Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 1
Pusaka Negeri Tayli
Saduran : Can Kontributor : aaa Dimhader
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Daftar Isi PUSAKA NEGERI TAYLI
DAFTAR IS I JILID 1 JILID 2 JILID 3 JILID 4 JILID 5 JILID 6 JILID 7 JILID 8 JILID 9 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 TAMAT Jilid 1 Ang Nio-cu. Gunung Jong san terkenal sebagai gunung batu marmar
yang indah. Luarnya meliputi beratus-ratus li.
Puncak gunung yang terletak diwilayah Hun-lam itu,
sepanjang tahun tertutup kabut. Di musim dingin, kabut itu
menjadi gumpalan salju putih. Puncak yang tertutup salju
abadi. Demikian orang menjulukinya, karena sepanjang
tahun salju itu tak pernah cair.
Negeri Tayli terletak di tengah-tengah pegunungan itu.
Karena letaknya itu maka negeri Tay-li memiliki keindahan
alam yang tiada taranya.
Negeri yang kecil mungil itu, memiliki kebudayaan
tersendiri. Istana, bangunan dan peradabannya masih
murni. Tetapi sekalipun begitu, tak terhindar juga dari
beberapa pengaruh kebudayaan luar juga.
Pendiri dari kerajaan Tayli, seorang marga Toan,
bergelar Toan Hong-ya. Dia mengangkat diri sebagai raja
yang dipertuan dari negeri Tayli.
Pada masa tahun ketiga berdirinya kerajaan Tayli,
Sippat-thian mo atau Delapan-belas iblis-langit dari daerah
Tionggoan serempak menuju ke gunung Jong san. Tujuan
mereka hendak mencari dua buah mustika pusaka kerajaan
Tayli. Kim-cu-giok-pay atau Ikat-pinggang bertabur ratna mutu
manikam. Dan kitab Giok-Ka-kim-keng atau Kitab-emas
dalam kotak kumala, Kedua benda itu merupakan pusaka
negeri Tayli yang termasyhur dalam dunia persilatan
sebagai benda yang tak ternilai harganya.
Kitab Giok-ka-kim-keng sebuah kitab pusaka kuno yang
berisi ilmu pelajaran silat sakti. Barang siapa yang
mendapatkannya, tentu akan dapat menjagoi dunia
persilatan. Baginda Toan Hong-ya juga gemar ilmu silat. Dalam
kerajaannya. ia mempunyai pengawal2 yang berbakat dan
berkepandaian tinggi.
Setiap kaum persilatan, se dunia persilatan menitikkan
air liur mendengar nama kitab Giok-ka-kim-keng, namun
apabila membayangkan jago2 sakti Tayli, nyali merekapun
menyurut, tiada seorangpun yang berani coba2 mengunjungi daerah selatan itu.
Sip-pat-thian-mo atau iblis langit, termasyhur sebagai
tokoh dunia persilatan di Tiong goan, tiada seorang jago
persilatanpun yang tak gemetar mendengar nama mereka.
Merekapun mendengar akan kitab Giok ka-kim-keng itu
dan berniat untuk memilikinya dan pergi ke negeri Tayli.
Namun selama berpuluh tahun lamanya, tiada seorangpun yang mengetahui jejak mereka, seolah-olah
lenyap begitu saja.
Beberapa tahun kemudian nampak seorang padri dan
seorang imam memberanikan diri menuju ke negeri Tayli,
mereka tidak masuk kedalam kota kerajaan melainkan
langsung menuju ke gunung Jong-san.
Dalam semalaman mereka mendaki, pada hari itu,
mereka tiba di bawah sebuah jajaran batu dan kedua padri
itu saling tukar pandang.
Mata si paderi itu berkilat-kilat memandang pada jajaran
batu. Lama sekali ia dalam keadaan seperti orang
merenung. "Benar!" tiba2 ia bertepuk tangan lalu tertawa gembira,
"Kim-toh-tin yang dirobah dari barisan Pat-tin-tho ciptaan
Cukat Su-hou!"
Kim-toh-tin artinya barisan Kunci emas.
"Gong-gong-cu menganggap tempat ini sebagai ujung
dunia. . ." kata paderi itu pula.
"Apakah kemungkinan kitab Giok-ka-kim-keng ini
berada di dalamnya?" tanya imam tua.
"Pasti begitu," sahut si paderi, " hayo kita serbu saja ke
dalam!" Dengan kepandaiannya yang tinggi, kedua paderi dan
imam itu mulai menyerbu dari dua arah. Mereka
menghancurkan jajaran batu2 itu kemudian dengan tertawa
gembira keduanya masuk kedalam gua.
Tiba di mulut gua, imam tua berkata:
"Hud heng, barisan batu telah kita bobol, tetapi apakah
di dalam gua masih terdapat rintangan lagi?"
Baru ia berkata begitu, tiba2 dari dalam gua terdengar
letusan dahsyat. Menyusul belasan sosok bayangan
manusia berhamburan keluar.
Kejut kedua paderi dan imam itu bukan kepalang.
Mahluk2 yang keluar dari gua itu benar2 mengerikan sekali.
Tubuh mereka rata2 tak utuh lagi. Wajahnya
menyeramkan, rambut dan jenggotnya terurai memanjang.
Tiga bagian menyerupai manusia, tujuh bagian seperti
setan. Paderi dan imam tua itu terlongong-longong. . . .
Manusia2 mengerikan itu berjumlah delapan belas orang.
Mereka mengepung kedua paderi dan imam itu di tengah.
Kemudian salah seorang dari kawanan manusia mengerikan itu tertawa gelak-gelak dan berseru:
"Bagaimana kalau kita bagi keuntungan?" Seorang
manusia mengerikan yang lain berteriak keras mencegah:
"Jangan! Jika bukan mereka berdua yang membobolkan
barisan, tentulah kita seumur hidup takkan melihat sinar
matahari lagi. sekali ini kita beri ampun mereka!"
"Kalau begitu kita pergi saja."
"Ya, hayo pergi !"
Terdengar suara hiruk pikuk dan ke delapan belas
manusia mengerikan itupun segera lari seperti terbang.
Setelah mereka lenyap barulah si imam tua berkata:
"Hud-heng, mereka tentulah Sip-pat-thian-mo yang
termasyhur itu!"
"Omitohud." seru paderi itu, "to-heng, kita telah
menempuh bencana besar ..."
Tepat pada saat itu seorang tua berambut putih bergegasgegas lari mendatangi. Serentak dia banting2 kaki.
"Thian-hiancu, Go-leng-cu, karena nafsu kalian yang
temaha, kalian telah menimbulkan bencana besar dalam
dunia persilatan, ah, takdir.."
Kedua paderi dan imam itu termenung diam.
"Bu-lim Sam-cu jika tak berusaha untuk mencegah
bencana ini, harus menebus dosa dengan membunuh diri"
seru orang tua berambut putih yang baru datang itu.
Imam tua mengangkat muka dan berseru: "Gong-gongcu
mengapa engkau tak lebih dulu memberi tahu bahwa
tempat ini menjadi tempat penjara bagi kawanan Sip-patthian-mo?"
Orang tua berambut putih itu menyahut dengan nyaring:
"Jika memberi tanda dengan terang2an, bukankah anak
buah Sip pat thian mo akan mengobrak abrik kerajaan
Tayli?" Tiba2 setiap gelombang badai melanda. Dari udara
segera berhamburan salju. Dalam waktu sekejap saja.
tempat dan sekeliling ketiga orang itu berdiri telah tertutup
salju. Demikian pula mereka bertiga.
-ooo0dw0ooo- Setiap musim semi tiba, alam pemandangan di wilayah
Kanglam sangat indah. Burung2 berkicau, bunga2
bermekaran, rumput2 menghijau.
Ketika matahari menjulang sepenggalah tingginya, di
jalan besar yang merentang antara wilayah Sujwan Hopak,
seekor kuda tegar tengah mencongklang pesat.
Penunggang kuda itu seorang pelajar baju putih, wajah
berseri-seri, bibir merah, alisnya yang lebat menjulang
hingga ke pelipis. Cakap dan gagah sekali. Disamping
pelana kuda, terselip sebatang pedang yang berwarna
legam. Tiba2 pelajar pemuda itu bersenandung:
Indah nian wilayah Kanglam.
Alamnya nan selalu meriah
bunga2 bermekaran merah menyala.
Air bengawan hijau ke biru2an
Mengetuk hati selalu terkenang..."
Sehabis bersenandung, ia berkata seorang diri pula: "Ah,
perjalanan harus berganti dengan kendaraan air, betapa hati
merasa sayang tetapi kuatir ayabunda gelisah menanti. . ."
"Aha, sungguh romantis anda ini" Apakah habis pesiar di
daerah Kanglam?"
Tiba2 seorang berseru dalam nada parau. Pelajar itu
kerutkan alis dan hentikan kuda nya. Ia berpaling.
"Totiang seorang imam, mengapa tak tahu diri?" serunya
agak kurang senang.
Ternyata yang berseru dan belakang itu seorang imam
tua yang jubahnya tak keruan tetapi mukanya bersih.
Sambil mengurut-urut jenggot, imam tua itu tertawa
mengikik: "Anda seorang pemuda yang gagah perkasa, bagaimana
aku tak mengetahui?"
Pelajar itu tertawa angkuh.
"Sudah tiga hari lamanya totiang terus menerus
membuntuti aku. Apakah maksud totiang?"
Imam tua itu mengangguk.
"Bertemu itu tandanya berjodoh. Marilah kita berbicara
soal jodoh itu..."
Dengan tertawa dingin pemuda itu menukas:
"Aku tak mengerti soal jodoh, silahkan totiang
melanjutkan perjalanan."
"Mengapa anda menolak orang yang datang dari seribu li
jauhnya?" seru imam itu.
"O. apakah totiang memang mengikuti perjalananku?"
balas pelajar itu.
"Karena pinto tak mau melewatkan "jodoh" itu begitu
saja." Tampaknya kuda pelajar itu tak sabar lagi. Berulang kali
kuda itu melonjak-lonjak seperti minta kepada tuannya
supaya berjalan lagi.
Imam itu melesat ke hadapan pemuda pelajar yang saat
itu tengah mengemasi duduknya dengan tegak. Ketika
memandang imam itu ia berseru:
"O, kiranya totiang itu Thian-hian-cu totiang dari tiga
serangkai Bu-lim sam-cu ..."
"Ha, ha, ha, ha!" ia itu tertawa, "tajam benar
penglihatanmu, anak muda. Ya, aku memang Thian-hiancu." "Totiang hendak memberi petunjuk apa kepadaku?"
"Engkau belum menghayati apa yang kukatakan tentu
kata "jodoh" tadi."
"Maafkan kebodohanku. Aku memang tak mengerti
maksud totiang !"
"Apakah engkau pura2 tak mengerti?"
Wajah yang cakap dan pelajar itu agak berubah
cahayanya. . "Mengapa totiang hendak main teka-teki kepadaku?"
serunya. Thian-hian-cu kerutkan alis.
"Anak muda . . . engkau memiliki dasar kepandaian ilmu
silat yang bagus . . ."
"Ah apa artinya ilmu silat cakar kucing semacam yang
kumiliki itu." sahut pelajar dengan nada hambar.
"boleh tahu siapa namamu?"
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku she Cu nama Jiang."
"Nama perguruan?"
"Ini . . . maaf tak dapat memberitahukan." Thian-hian-cu
kerutkan dahi merenung sejenak lalu berkata. "Ada sesuatu
yang hendak kukatakan kepadamu ...."
"Silahkan," kata Cu Jiang.
"Dengan bakat yang engkau miliki itu, apabila mendapat
petunjuk yang hebat, tentu akan memperoleh hasil yang
luar biasa."
Cu Jiang tersenyum.
"Aku mengerti maksud totiang."
"Mengerti bagaimana?"
"Apa yang totiang katakan "berjodoh" itu kemungkinan
bukan jodoh. Karena aku tak menginginkan hati yang luar
biasa. Sampai jumpa lagi!"
Habis berkata ia terus memacu kudanya berjalan
perlahan-lahan.
Imam Thian hian-cu tertegun. Sambil memandang
bayangan pemuda itu ia berkata seorang diri:
"Siapakah pemuda yang begitu jumawa itu" Pada
umumnya, setiap orang persilatan yang mendapat rejeki
memperoleh petunjuk dari salah seorang Bu lim Sam cu,
tentu akan girang setengah mati. Tetapi dia sedikitpun tak
tertarik. Sejenak berhenti dia berkata, lagi: "Tetapi soal itu
menyangkut masalah besar, kalau kesempatan ini terlepas
kemanakah aku harus mencari lagi" Bila perlu terpaksa aku
harus membuang gengsi!"
Sekali kebutkan lengan jubah, tubuh imam itupun segera
meluncur bagai air mengalir deras, mengejar pemuda tadi.
Walaupun tak berpaling tetapi Cu Jiang dapat merasa
bahwa imam itu mengejarnya. Ia segera mengeprak kuda
dan mencongklangkannya dengan pesat menuju ke arah
matahari terbenam.
Melintasi sebuah hutan, barulah terdapat tempat
menginap. Tetapi tiba di muka hutan, kudanya berhenti dan
meringkik sekeras-kerasnya seraya mengangkat kaki depan
tinggi2 ke atas: Binatang itu tak mau memasuki hutan.
Cu Jiang hampir kewalahan. Ia heran. Ketika
memandang ke sekeliling, wajahnya serentak berobah.
Tampak ditengah jalan yang merentang ketengah hutan
itu terkapar tujuh delapan sosok mayat yang memenuhi
jalanan. Cu Jiang loncat turun, mengelus-elus kepala kudanya
kemudian melangkah pelahan-lahan ke muka, menghampiri
tumpukan mayat itu.
Ternyata mayat2 itu terdiri dari orang persilatan semua.
Senjata mereka masih terselip di tubuh masing2 seperti
belum digunakan. Tetapi mereka sudah mati.
Dengan begitu jelaslah bahwa musuhnya tentu seorang
yang berilmu tinggi sekali.
Ketika memeriksa dengan seksama, ternyata wajah
mereka menunjukkan ketenangan, seperti orang yang
sedang tidur nyenyak. Juga tiada bekas2 luka pada tubuh
mereka. Hanya pada alis mereka terdapat bekas noda warna
ungu sebesar kedele.
"Jari-terbang." serentak pelajar itu berteriak kaget,
"apakah dia . . . Ang Nio-cu!"
Memeriksa ke sekeliling, ternyata dia dapat menemukan
tanda ciri pengenal dari Ang Nio-cu. Pada sebatang pohon
yang tumbuh di tepi jalan tergantung sehelai kain mantel
wanita berwarna merah. Warna yang menyolok mata
sekali. Segera teringat dalam perjalanan pesiar ke daerah
Kanglam kali ini, ketika berada di menara Lui-hong-tha
telaga Se-ou, Iapun mengalami peristiwa pembunuhan ngeri
semacam itu. Ang Nio cu adalah seorang Iblis atau momok wanita
dalam dunia persilatan yang paling ditakuti oleh orang
persilatan, baik dari golongan Putih maupun Hitam.
Tetapi sejauh itu, tiada seorang persilatan pun yang
pernah melihat bagaimana wajah wanita itu.
Menurut kabar, dia adalah ahli waris dari perguruan
Hiat-ing-bun atau perguruan Bayangan darah.
Setelah tertegun beberapa saat. Cu Jing pun naik kuda,
mengitari tumpukan mayat ia terus menyusup ke dalam
hutan. Tiba2 dari arah bagian dalam dari hutan itu
berkumandang tertiup angin suara tertawa yang dingin.
Hanya suaranya, tetapi tiada tampak orangnya.
Cu Jiang tergetar. Ia menyadari bahwa melintasi tempat
yang terdapat tanda pengenal dari Ang Nio-cu, merupakan
pelanggaran besar.
Tetapi pelajar yang masih berdarah panas itu tak peduli.
Dia tak mau kembali lagi. Tiba2 terdengar suara orang
berseru: "Berani melanggar tanda pengenalku ini, rasanya
baru engkau yang pertama!"
Walaupun nadanya dingin dan bengis tetapi kumandangnya melengking nyaring. Cu Jiang menduga
orang itu tentulah masih muda juga. Cu Jiang hentikan
kuda dan berseru: "Apakah anda ini yang bergelar Ang Niocu?" "Benar."
"Aku tergesa-gesa menempuh perjalanan, tolong berikan
kelonggaran sekali saja," kata Cu Jiang.
"Tidak ada pengecualian!" Dalam berkata-kata itu diam2
Cu Jiang memperhatikan arah suara itu. Tetapi, arahnya
sukar di duga, seperti dari jauh tetapipun seperti dekat.
Akhirnya ia mengertek gigi, berseru:
"Lalu bagaimana maksud anda?"
"Tinggalkan jiwamu!"
"Jika aku menolak?"
"Tak ada jawaban semacam itu."
Cu Jiang loncat turun dari kudanya dan berseru dengan
angkuh. "Aku tak mau kembali lagi!"
"Memang kalau mau kembalipun sudah terlambat!"
"Jika anda meminta nyawaku, silahkan ke mari
mengambilnya."
Cu Jiang terus siap sedia. Sekalipun begitu hatinya kebat
kebit tak keruan. Ia menyadari telah naik diatas punggung
macan. Daripada turun di makan binatang itu lebih baik ia
bulatkan tekad untuk menghadapinya.
Tapi sampai beberapa saat belum juga terjadi apa2. Cu
Jiang heran. Pikirnya: "Bagaimana kah sebenarnya wujud
momok wanita itu" Dia hendak menggunakan cara apa
untuk membunuh aku" Pertempuran nanti tentu mengerikan sekali."
Sejenak ia melirik pada pedang pusaka yang terselip di
pelana kuda, diam2 wajahnya membesi.
Tiba2 terdengar suara Ang Nio-cu yang melengking
dingin itu pula:
"Anak kambing memang tak takut pada harimau!"
"Jangan terkebur!" sahut Cu Jiang dengan angkuh.
"Apakah engkau tak tahu bahwa barang siapa yang
bersalah kepadaku temu takkan terhindar dari kematian?"
seru Ang Nio cu pula.
"Aku tak menghiraukan soal begitu."
"Ah, engkau benar2 keras kepala seperti pelajar kutu
buku yang tolol. .. Hm, apakah engkau tak tahu akan arti
Hidup dan Mati itu?"
"Sebagai seorang persilatan, mengapa harus memperhitungkan soal mati dan hidup?" balas Cu Jiang.
"Hai, nada bicaramu sok jagoan sekali!"
"Ang Niocu, jangan terlalu menghina kepadaku!" seru
Cu Jiang. "Ha, ha, ha, ha . ..."
Terdengar momok yang disebut Ang Nio-cu itu tertawa
nyaring. Cu Jiang meluap amarahnya. Dia masih muda, darahnya
masih panas. "Ang Nio-cu, jangan sembunyikan kepala unjukkan ekor,
Kalau memang hendak mengambil jiwaku, silahkan
keluarlah!" ia menantang.
"Engkoh kecil, rupanya engkau sudah bosan hidup" Aha,
sudah berapa tahunkah engkau makan nasi?" diluar dugaan,
momok Ang Nio-cu itu masih menggodanya.
"Huh . ." Cu Jiang mendesah.
"Siapa namamu?" seru Ang Nio-cu pula.
"Tak perlu memberitahu kepadamu!"
"Namamu Cu Jiang, benar kan?" Cu Jiang terkejut.
"Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya lagi!"
Baru Cu Jiang menjawab begitu tiba2 terdengar derap
kuda mencongklang jauh. Tiga ekor kuda lari membinal
menerobos ke dalam hutan situ.
Cu Jiang berpaling. Ia terkejut. Siapakah ke tiga
penunggang kuda yang berani melanggar tanda pengenal
Ang Nio cu itu" Adakah mereka juga tak takut terhadap
Ang Nio-cu si momok wanita itu"
Tepat pada saat itu ketiga penunggang kuda itupun tiba
dihadapannya. Mereka berhenti dengan mendadak sehingga
menimbulkan debu tebal yang melumuri pakaian Cu Jiang
sampai berobah kelabu warnanya.
Cu Jiang deliki mata ke arah ketiga penunggang kuda
itu. Mereka terdiri dari orang tua berbaju hitam yang
berwajah seram. Mata mereka mencurah ke arah Cu Jiang.
Salah seorang yang memelihara jenggot kambing segera
berseru dengan nada tak enak di dengar:
"Hai, budak, apakah engkau melihat seorang budak
perempuan lalu di tempat ini?"
"Ha, lihat, engkau belum, minta maaf atas perbuatanmu
mengotori pakaianku begini rupa!" sahut Cu Jiang.
"Apa" Ha, ha, ha, ha . . ." ketiga orang tua itu tertawa
keras. "Ini bukan lelucon!" bentak Cu Jiang marah.
Salah seorang yang pipinya terdapat bekas luka tergurat
golok dan sikapnya seperti seorang banci, berseru:
"Kunyuk kecil, sikapmu seperti seorang yang berbakat
bagus tetapi engkau begitu tolol!"
Habis berkata ia tertawa gelak2.
Merah muka Gu Jiang mendengar kata2 si banci itu,
bentaknya keras2:
"Anda seorang tua, mengapa anda berbicara tanpa
aturan sedikitpun juga?"
"Tata cara " tata cara apa ?"
"Silahkan pikir sendiri !" sahut Cu Jiang.
"Ha, ha. engkoh kecil, engkau belum menjawab
pertanyaanku tadi !"
"Aku tak ingin menjawab !"
"Ho, budak, rupanya engkau bosan hidup..ya?"
"Kenapa ?"
"Tahukah engkau siapa aku ini ?"
"Tidak tahu dan tak ingin tahu."
"Tak ingin tahupun tetap kuberitahu. Pernah dengar
nama Tiga harimau-Sujwan ?"
Sujwan nama sebuah propinsi.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Tak disangkanya bahwa orang
tua itu ternyata salah seorang momok golongan hitam yang
termasyhur sebagai Tiga-harimau Sujwan.
Ketiga momok itu memang sakti tetapi ganasnya bukan
kepalang, Biasanya mereka selalu muncul bertiga,
bertempur bertiga. Setiap kaum persilatan mengatakan,
lebih suka bertemu dengan bangsa setan seribu, daripada
dengan Tiga-harimau-Sujwan."
Tetapi Cu Jiang masih muda. Darahnya masih panas.
Apalagi dia penasaran karena diperlakukan remeh.
Dia tak mempedulikan siapa orang tua itu. Seketika ia
berseru nyaring:
"Aha, sudah lama aku mendengar nama kalian yang
mengerikan!"
Orang tua jenggot kambing tadi tertawa seram:
"Budak, engkau berteriak tak tahu mati, berani ngoceh
sembarangan saja. Bagiku lebih mudah membunuh seorang
manusia daripada seekor semut. Apakah engkau sungguh2
sudah bosan hidup ?"
Orang tua bermata segi-tiga yang lainnya, ikut bersuara.
Suaranya nyaring seperti genderang ditabuh:
"Toako, perlu apa banyak bicara dengan dia" Mari kita
lekas lanjutkan perjalanan, jangan sampai budak perempuan itu lolos .. ."
"Perlu turun tangan ?"
"Tak usah, biarkan dia menyelesaikan dirinya sendiri."
Lelaki tua yang wajahnya berhias bekas guratan golok,
memandang Cu Jiang, serunya:
"Budak, engkau dengar tidak?"
"Apa ?" sahut Cu Jiang.
"Lekas engkau bunuh diri sendiri !"
"Bunuh diri " Mengapa ?"
"Kami bertiga tak pernah turun tangan terhadap bangsa
budak kecil!"
Dada Cu Jiang serasa meledak.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba2 terdengar setiap suara tawa dingin. Datangnya dari
bagian dalam hutan.
Orang tua berjenggot kambing tertawa mengekeh:
"Ho, budak kecil, makanya engkau begitu berani mati,
kiranya engkau mempunyai tiang andalan."
"Hai, sahabat yang bersembunyi didalam hutan, silahkan
keluar!" teriak lelaki tua bermata segitiga.
Tetapi tiada penyahutan dari dalam hutan.
"Kalau keluar, kalian tentu mampus !" tiba2 Cu Jiang
mencemooh. "Sungguh besar sekali mulutmu ! Siapakah yang berada
dalam hutan itu?"
"Ang Nio cu !" sahut Cu Jiang.
"Hai!" serempak Tiga-harimau-Sujwan itu berteriak
kaget, "apa katamu ?"
"Ang Nio cu !" Cu Jiang mengulang.
Ketiga momok itu saling bertukar pandang. Tampaknya
mereka siap hendak kabur.
"Tunggu dulu!" tiba2 orang tua bermuka bekas luka
golok berseru, "budak itu mungkin hanya mengacau saja.
Mengapa tak kelihatan pertandaannya ?"
Kedua kawannya celingukan kesana kemari. Tiba2
wajah si jenggot kambing berobah lesu. Menunjuk pada
sebatang pohon dia berteriak:
"Hayo, cepat kita pergi !"
Habis berkata si jenggot kambing terus loncat keatas
kuda dan melarikannya. Kedua kawannya terpaksa
mengikuti juga.
Kiranya si jenggot kambing tadi telah melihat mantel
merah yang tersangkut pada cabang sebatang pohon.
Cu Jiang tak mau cari perkara. Dia biarkan saja ke tiga
momok itu melarikan diri. Diam2 dia heran mengapa
sampai saat itu Ang Nio-cu belum juga menampakkan diri.
Terdengar derap kuda ketiga durjana diri Su-jwan itu
telah mencapai berpuluh-puluh tombak jauhnya.
"Aaah .... ahhh . . . aah..."
Terdengar tiga buah jeritan ngeri. Cu Jiang terkejut.
Cepat ia menceplak kudanya dan mencongklang ke muka.
Tak berapa lama ia terkesiap.
Tiga-harimau Sujwan, telah terkapar malang melintang
menjadi mayat di tanah. Pada dahi mereka terdapat sebintik
pekat warna ungu. Ah, merekapun telah mati dibawah ilmu
Hui ci atau Jari-terbang dari Ang Nio-cu.
Cu Jiang turun dari kudanya. Memang sikapnya tampak
tenang tetapi sesungguhnya hatinya berdebar keras. Ia
menyadari bahwa situasi yang dihadapi saat itu sangat
berbahaya. Tiga - harimau Sujwan yang termasyhur dan berilmu
tinggi, dalam waktu singkat saja sudah hancur. Kepandaian
Ang Nio-cu benar2 menakjubkan sekali !
Tetapi Cu Jiang tak mempunyai pikiran untuk melarikan
diri. Dia tak takut mati. Hanya apabila dia sampai mati, dia
membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya
nanti. Dia sudah berjanji kepada orang tuanya akan pulang
menurut waktu yang dijanjikannya. Apabila dia sampai tak
pulang, betapa bingung perasaan ke dua orang tuanya
nanti" Memikirkan keadaan orang tuanya, dia segera mengambil kertas dan pena dari tas bukunya yang ditaruh
di pelana kuda. Segera ia menulis:
"Ayah bunda yang tercinta,
Tak disangka sangka dalam perjalanan pulang anak telah
menderita halangan. Anak belum tahu dapatkah anak
menghadapi halangan itu dengan selamat. Sebenarnya anak
merasa tak berbakti karena tak mau menghindari halangan itu.
Tetapi mengingat, anak ini keturunan keluarga ksatria, maka
anakpun tak mau bersikap pengecut dan akan menghadapinya
dengan sekuat tenaga.
Apabila dalam tiga hari anak belum pulang, berarti anak
sudah terkubur dalam sebuah hutan belantara. Mohon ampun
atas kesalahan anak yang tak berbakti.
Cu Jiang. Setelah selesai ia membacanya sekali lagi. Serentak
terbayanglah akan wajah kedua orang tuanya yang begitu
mencintainya. Tak terasa hatinya seperti disayat sembilu.
Tetapi apa daya"
Segera ia melipat surat itu lalu dimasukkan dalam tas
bukunya. Ia mencabut pedang pusakanya, mengelus-elus
kepala kuda dan berkata:
"Hijau, untuk sementara terpaksa kita harus berpisah.
Pulanglah lebih dulu! "
Kuda yang diberi nama Hijau itu rupanya dapat mengerti
maksud tuannya. Setelah meringkik pelahan, ia mengucapkan kepalanya ke tubuh Cu Jiang.
Melihat kesetian kuda itu berlinang-linanglah airmata Cu
Jiang. Tetapi dia harus keraskan hatinya.
"Pergilah! " ia menepuk kepala kuda itu dan
membentaknya. Kuda itu meringkik lalu mencongklang pergi.
Setelah kuda itu lenyap dari pandangan, barulah Cu
Jiang menghela napas longgar, seolah perasaannya telan
terlepas dari himpitan batu besar.
Serentak ia menghapus segala macam keresahan dan
mulai mencurahkan pikirannya untuk mengadu kepandaian
dengan Ang Nio cu. Ia menyadari bahwa dirinya jelas
bukan tandingan dari Ang Nio-cu. Maka ia memutuskan
untuk menggunakan siasat main kucing-kucingan.
Matahari mulai condong ke barat. Hutan yang pada
tengah hari tak tertembus sinar matahari, saat itu makin
gelap suasananya.
Setelah menenangkan pikiran maka berseru dia dengan
nyaring: "Ang Nio-cu, mari kita selesaikan urusan kita ini! "
Dari dalam hutan terdengar suara penyahutan Ang Niocu: "Cu Jiang, sia2 saja engkau suruh kuda mengundang
bala bantuan ..."
"Huh. aku orang she Cu, tak pernah berbuat semacam
itu!" "O, kalau begitu engkau mengirim berita kecelakaan?"
"Ang Nio-cu, hari sudah gelap. Rasanya tak perlu
membicarakan hal2 yang tiada sangkut paut dengan urusan
ini!" "Ih, mengapa engkau begitu terburu-buru hendak pulang
ke akhirat" " seru Ang Nio-cu.
"Jangan tekebur dulu. Kan belum diketahui siapa yang
akan kalah dan menang, " sahut Cu Jiang.
"Oh" seru Ang Nio-cu, "cobalah engkau tanya pada
dirimu sendiri. Adakah engkau lebih sakti dari Tigaharimau-Sujwan atau Delapan tikus Holam?"
Saat itu barulah Cu Jiang menyadari bahwa orang
pertama kali dilihatnya mayat2 yang malang lintang dalam
hutan itu tak lain adalah Delapan-tikus-Holam. Juga
kedelapan tikus dari propinsi Holam itu merupakan
kawanan tokoh2 Hitam yang terkenal sekali.
Dalam waktu yang sangat singkat, Ang Nio-cu telah
membunuh kawanan tokoh hitam yang ternama.
"Ang Nio-cu, harimau adalah harimau, tikus juga tikus.
Tetapi lainlah halnya dengan diriku Cu Jiang. Sudahlah,
jangan banyak bicara lagi!"
"Apakah engkau sudah benar-benar ikhlas mati?"
"Unjukkanlah dirimu! " seru Cu Jiang.
Ang Nio-cu tertawa gelak2.
"Engkau tak layak melihat diriku!"
-ooo0d-w0ooo- Hukum rimba. Cu Jiang mendengus geram.
"Apakah engkau tak berani keluar untuk mengambil
jiwaku?" "Kurobah keputusanku..."
"Engkau .... engkau hendak merobah keputusanmu?"
teriak Cu Jiang terkejut.
"Hm . . . ."
"Keputusan apa?"
"Aku tak jadi membunuh engkau !"
Ucapan Ang Nio-cu itu benar2 di luar dugaan Cu Jiang
sehingga pemuda itu terlongong-longong.
Mengapa momok wanita itu tidak jadi membunuhnya"
Apa sebabnya"
"Mengapa engkau tak jadi membunuh aku?" akhirnya ia
berseru. Tetapi hutan sunyi senyap. Ang Nio-cu tak menjawab.
Cu Jiang seperti berada dalam lingkupan kabut. Dia tak
mengerti tindakan Ang Nio-cu yang aneh itu. Tetapi
betapapun, ia girang sekali karena terhindar dari
pertempuran maut.
Kini pikirannyapun mulai menimang-nimang, adakah
dia harus lekas melanjutkan perjalanan mengejar kudanya si
Hijau atau berjalan seenaknya saja. Tetapi rasanya dia
harus cepat2 pulang karena apabila membaca surat yang
dibawa si Hijau, kedua orang tuanya tentu gelisah sekali.
Setelah mengambil keputusan, segera ia enjot kakinya
untuk berlari kencang. Namun dia juga masih berjaga-jaga
menghadapi serangan tak terduga-duga dari Ang Nio-cu.
Tetapi sehingga keluar dari hutan, tetap ia tak
mengalami gangguan apa2. Saat itu barulah ia benar2
menghela napas lega Namun iapun tetap tak mengerti
mengapa tiba-tiba Ang Nio cu merobah keputusannya itu.
Agar dapat mengejar si Hijau, ia tak berani berayal lagi.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, ia teras meluncur d
sepanjang jalan.
Tetapi betapapun ia berusaha, tetap ia tak dapat
mengejar lari si Hijau. Kuda itu memang bukan sembarang
kuda tetapi seekor kuda istimewa.
Ketika senja tiba, hitung2 dia sudah berlari berpuluhpuluh li tetapi tetap tak dapat melihat bayangan si Hijau.
Akhirnya ia lambatkan lari. Tetapi saat itu iapun terkesiap.
Rupanya dia tersesat jalan. Disebelah muka tampak Jajaran
batu karang gunung yang berserakan tinggi rendah.
Diam2 ia mengeluh. Terpaksa ia harus menempuh
perjalanan sepanjang malam. Kemudian ia mendaki karang
yang penuh ditumbuhi pohon siong.
Saat itu rembulan mulai muncul. Tetapi tempat ia
berjalan itu, tertutup oleh kabut tipis.
Tiba2 ia mendengar suara ringkik kuda. Ia tak asing
dengan suara ringkikan itu. Menurut arah suara itu, segera
itu, segera ia menyerbunya.
Ah". Ia terkesiap. Ternyata kudanya si Hijau tertambat pada
sebatang pohon siong. Hm, aneh benar. Mengapa si Hijau
tertambat di situ " Adakah seseorang sengaja hendak
mempermainkannya" Ataukah si Hijau itu telah tertangkap
oleh pencuri kuda dan diikat di pohon itu "
Segera ia menghampiri kuda itu. Ternyata barang2 yang
berada di pelana kuda, tak ada yang hilang. Hanya surat
yang ditulisnya secara terburu-buru itu yang hilang. Padahal
surat itu ditujukan kepada orang tuanya. Cu Jiang benar2
tak habis herannya.
Setelah merenungkan peristiwa itu, ia menarik kesimpulan bahwa memang ada orang yang sengaja
menambatkan si Hijau di situ dan orang itu memperhitungkan bahwa dia tentu akan lewat di tempat
itu. Siapakah orang itu" Apa maksudnya mengambil surat"
Cu Jiang makin puyeng. Benar2 ia tak dapat
memecahkan teka teki itu. Aneh... benar2 aneh sekali.
Katanya dalam hati seraya geleng2 kepala.
Pada saat ia hendak melepas tali pengikat si Hijau
sekonyong-konyong ia mendengar suara orang membentak
keras2. Kemudian dari arah karang pohon siong jauh di
sebelah muka, terdengar suara seorang gadis berseru dengan
nada gemetar: "Apakah kalian benar2 hendak membunuh habishabisan" Dulu aku tiada mempunyai dendam dengan
kalian, sekarangpun tidak bermusuhan. . ."
Seorang lelaki bernada kasar, berseru:
"Kami hanya menjalankan perintah saja, bocah ayu, tak
perlu engkau banyak bicara!"
Mendengar itu Cu Jiang kerutkan alis lalu loncat
menerjang kearah suara itu.
Dalam hutan dia melihat empat lelaki menghunus
pedang sedang mengepung seorang dara.
Dara itu berpakaian warna hijau, tangannya membawa
sebuah bungkusan kain. Umurnya di sekitar dua-puluhan
tahun. Ditingkah cahaya rembulan, tampak gadis itu
berwajah amat cantik sekali, Ia terpesona. Jarang dia bersua
dengan gadis yang memiliki kecantikan sedemikian
cemerlang. Saat itu tampak wajah si nona menampil ketakutan dan
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
airmatanya berlinang linang.
Cu Jiang menghampiri. Sampai mencapai jarak dua
tombak dari nona itu, tetap keempat lelaki bersenjata
pedang itu masih belum mengetahui.
Ketika melihat gadis itu berpakaian warna hijau seketika
Cu Jiang teringat akan Tiga-harimau-Sujwan yang bertanya
kepadanya tentang diri seorang gadis baju hijau.
Kemungkinan besar tentu si jelita ini yang dimaksudkan
ketiga momok dari Sujwan itu.
"Mau kemana engkau, nona cantik ?" seru keempat lelaki
itu. Dengan nada teriba-iba. si jelita baju hijau berkata:
"Silahkan kalian melanjutkan perjalanan, lepaskan aku,
berbuatlah dharma kebaikan untuk penitisan kalian yang
akan datang..."
Salah seorang dari keempat lelaki itu tertawa mengekeh:
"Heh, heh, penitisan yang akan datang" Apa itu"
Manisku, biarlah kami yang menggendong mu menempuh
perjalanan!"
Ucapan yang cabul itu membangkitkan kemarahan Cu
Jiang. Salah seorang yang bernada nyaring, tiba2 berteriak:
"Hai, kawan2, tadi kuda itu bernama . .. "
Lelaki yang cabul tadi menukas:
"Persetan, siapa yang suruh dia berani menyiram air
dikepala pangeran, berani mencampuri urusan kita.
Cu Jiang tak dapat menabas diri. Dia tertawa dingin:
"Justeru aku memang hendak bertanya kepada kalian !"
"Hai, siapa itu !" serempak keempat orang berteriak
seraya berbalik tubuh. Serta melihat seorang yang tampan
dan gagah, mereka terkejut.
"Kongcu, tolonglah aku !" serentak si jelita berteriak
minta tolong kepada Cu Jiang. Cu Jiang mengerling.
Pandang matanya tertumbuk pada pandang mata jelita itu.
Seketika tersiraplah darahnya. Seorang gadis yang memiliki
kecantikan luar biasa dengan pandang mata meminta
pertolongan. "Gadis ini benar-2 cantik sekali," pikirnya, "selama aku
berkelana di Kanglam, entah sudah berapa ratus gadis
cantik yang pernah kujumpai. Tetapi yang secantik gadis ini
baru pertama kali ini aku bertemu."
Salah seorang dari keempat lelaki yang membawa
pedang itu, rupanya yang menjadi pemimpinnya,
mengawasi lekat pada Cu Jiang.
"Engkoh kecil." sesaat kemudian dia berseru, "apakah
engkau benar2 hendak turut campur urusan kami ini ?"
"Pasti!" sahut Cu Jiang dengan nada tegas.
"Mengapa engkau menyiksa dirimu ..."
"Apa maksudmu ?" tukas Cu Jiang.
"Menilik sikapmu, engkau tentu bukan pemuda
sembarangan. Usiamupun belum berapa banyak. Bukankah
sayang kalau engkau sampai mati ?"
Meledaklah tawa Cu Jiang karena kemarahannya:
"Kebalikannya, apakah kalian juga tak sayang kalau
sampai mati?"
Keempat lelaki itu mengerut dahi. Wajah mereka sarat
dan matanya memancarkan sinar pembunuhan.
Pemimpin dari keempat lelaki itu segera berseru:
"Budak, ini berarti engkau hendak cari mati sendiri."
"Apakah anda sekalian hendak bertekad mati ?"
walaupun marah tetapi Cu Jiang masih dapat mengendalikan diri.
"Lalu bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu ?"
"Lanjutkan saja perjalananmu !"
"Lalu gadis ini ?"
"Tinggalkan saja !"
"Ha, ha, ha, ha !" orang itu tertawa mencemooh, "budak,
kata-katamu lebih merdu dari orang menyanyi."
"Aku sebenarnya tak ingin membunuh orang."
"Bau pupuk kepalamu masih belum kering tetapi
mulutmu sudah sedemikian besar. Tahukah engkau siapa
kami berempat ini ?"
"Tak lebih dari kawanan tikus belaka !"
Mendengar Jawaban Cu Jiang, seketika meluaplah
kemarahan keempat orang itu. Orang yang nada suaranya
kasar tadi segera getarkan pedangnya dan berseru:
"Budak, pernahkah engkau mendengar nama Gedung
Hitam ?" Terkejut Cu Jiang mendengar nama itu. ."Apakah kalian
ini orang dari Gedung Hitam?"
Gedung Hitam merupakan sebuah perkumpulan rahasia
dalam dunia persilatan. Pengaruh partai Gedung Hitam itu
meliputi daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka membasmi
kaum persilatan yang bukan golongannya. Setiap orang
persilatan tentu akan gemetar mendengar nama Gedung
Hitam itu. Tetapi di manakah letak markas Gedung Hitam itu dan
siapakah pemimpinnya, selama puluhan tahun tiada
seorangpun yang tahu.
"Ah, rupanya engkau sudah terlambat." seru lelaki yang
menjadi pemimpin kawan-kawannya itu.
Serentak Cu Jiang teringat akan pesan ayahnya ketika
dia hendak berangkat berkelana. Ayahnya pesan, selama
berkelana di dunia persilatan itu jangan sekali-kali cari
perkara dengan orang-orang Gedung Hitam. Berbahaya
sekali tentu celaka.
Tetapi apa mau dikata lagi. Saat itu dia sudah terlanjur
berhadapan dengan empat anggauta Gedung Hitam.
Sekalipun dia hendak menghindar, tentulah mereka tak
mau melepaskannya.
Seketika bangkitlah semangat Cu Jiang Sebagai putera
seorang ksatria, bagaimana dia mau ber peluk tangan
mengawasi seorang gadis lemah yang hendak diganggu oleh
kawanan anggauta Gedung Hitam"
Seketika timbullah semangat kegagahan Cu Jiang.
Serunya dengan nada datar:
"Apakah kesalahan nona itu kepada kalian?"
"Tiada seorangpun yang berani menanyakan urusan
pihak Gedung Hitam! " sahut pemimpin ke empat orang
itu. "Tetapi kalau aku berkeras hendak bertanya?"
"Heh, heh, kematian sudah di depan mata, mengapa
engkau masih banyak tingkah." orang itu tertawa seram.
"Kongcu, jika engkau tak mau menolong, aku tentu
celaka di tangan mereka." kembali jelita Itu berteriak
dengan nada beriba.
Cu Jiang berpaling memandangnya. Seketika bulatlah
tekadnya. Keadilan dalam dunia persilatan tak boleh
diinjak-injak. Dia harus turut campur tangan dalam urusan
itu. Tetapi tiba2 iapun ingin mengetahui, mengapa gadis
cantik itu sampai dikejar-kejar orang Gedung Hitam"
Kemudian Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa
kawanan Delapan-tikus-Holam dan Tiga harimau-Sujwan
yang telah dibunuh Ang Nio cu itu kiranya juga anggauta
dari Gedung Hitam.
"Mengapa nona sampai berurusan dengan mereka?"
akhirnya ia meminta keterangan kepada jelita itu.
Dengan nada rawan jelita baju hijau itu berkata:
"Delapan jiwa dalam keluargaku telah dibunuh semua,
hanya tinggal aku seorang. Tetapi mereka tetap tak mau
melepaskan aku!"
"Apa sebabnya?" tanya Cu Jiang.
"Karena pemimpin Gedung Hitam itu tertarik pada
wajahku!" "Harus dibasmi!" Cu Jiang mendengus geram.
"Budak, jangan berkentut busuk!" teriak pemimpin
kawanan lelaki itu seraya terus menusuk Cu Jiang.
Ilmu pedang orang itu memang bukan olah2. Aneh dan
ganas sekali. Sekaligus ujung pedang berhamburan
mengarah kelima buah jalan darah di tubuh Cu Jiang.
Gerakan pedangpun menimbulkan desis angin yang tajam
sekali. Dengan tenang Cu Jiang bergerak ke samping untuk
menghindar. "Bagus, budak, kiranya engkau mempunyai modal juga
maka engkau begitu jumawa!" seru orang itu. Dan mereka
berempat segera berpencar di empat penjuru untuk
mengepung Cu Jiang.
"Apakah kalian hendak memaksa aku harus turun
tangan" "seru Cu Jiang.
"Serahkan jiwamu!" teriak lelaki yang bersuara kasar. Ia
terus menusukkan pedang ke dada Cu Jiang. Sementara
ketiga kawannya juga serempak menyerang dari tiga arah.
Tring, iring, tring
Terdengar serentetan dering senjata yang menusuk
telinga dan seketika gerakan pedang keempat orang itu
berhenti, orangnyapun masing2 mundur sampai dua tiga
langkah. Tampak Cu Jiang sedang memegang pedang pusakanya
yang berwarna hitam legam. Mencabut dan membabatkan
pedangnya, dilakukan dengan kecepatan yang amat tinggi
sekali. Seolah-olah pedang itu sudah melekat pada
tangannya. Tetapi hal itu hanya penundaan sementara. Tak ada
anggauta Gedung Hitam yang tak ganas. Sudah tentu
mereka tak mau menerima begitu saja akan kekalahan itu.
Serempak mereka berempat menggembor dan menerjang
lagi. Mereka melancarkan jurus2 serangan yang buas,
seolah ingin lekas2 membelah pemuda itu.
Melihat tingkah mereka, berkobarlah kemarahan Cu
Jiang. Dengan mendengus, ia taburkan pedangnya pula.
"Huak..."
Terdengar jeritan ngeri menguak suasana. Lelaki yang
tadi buka suara besar itu rubuh, tubuhnya mandi darah.
Ketiga kawannya serentak tertegun.
"Aku dipaksanya untuk membunuh!" kata Cu Jiang pula.
"Aih . . . !" tiba2 gadis jelita tadi menjerit kaget.
Ketiga anggauta Gedung Hitam segera membungkukkan
tubuh dan terus mengundurkan diri.
Cu Jiang cepat berpaling. Tampak, entah kapan, di
tempat itu telah bertambah dengan kemunculan sesosok
bayangan raksasa. Ketika mengawasi dengan lekat, bulu
roma Cu Jiang meregang tegak dan menahan napas.
Bayangan raksasa yang ditingkah sinar rembulan itu
sepintas menyerupai bangsa setan gunung. Memakai topi
hijau dan jubahnyapun berwarna hijau.
Tangannya memegang sekeping papan. Matanya
menonjol ke luar, hidung melesak. Mengerikan mata
memandangnya. Sepintas menyerupai seorang menteri
kerajaan yang berpangkat sebagai hakim.
Dengan mata yang berkilat-kilat memancar cahaya hijau,
orang itu memandang Cu Jiang.
Siapakah orang itu" Dan gerak geriknya ketika dia
muncul tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, jelas
dia tentu memiliki ilmu yang sakti.
Cu Jiang paksakan diri untuk menegur:
"Kojiu dari manakah anda ini ?"
"Hakim baju hijau dari Gedung Hitam!" sahut orang
tinggi besar itu dengan nada macam guntur yang
memekikkan telinga.
Cu Jiang belum pernah mendengar tentang diri Liokpoan-koan atau Hakim Baju hijau. Tetapi karena dia
menjabat pelindung hukum dari Gedung Hitam, tentulah
ilmu kepandaiannya tinggi sekali.
"O, Hakim baju hijau," tanpa disadari Cu Jiang
mengulang nama itu.
Tetapi orang itu tak menghiraukan Cu Jiang. Dia
mengalihkan pandang matanya kearah gadis jelita.
Beberapa jenak kemudian baru dia berkata:
"O, benar2 memikat hati!" Kemudian dia beralih
memandang Cu Jiang lalu membentaknya: "Budak,
tahukah engkau bagaimana cara engkau akan mati?"
Cu Jiang mengertek gigi.
"Mati dengan cara bagaimana?" serunya.
"Tubuhmu akan kusempal-sempal hidup-hidupan !"
"Ah, masakan begitu mudah!"
"Belum pernah aku meninggalkan mayat korbanku
masih utuh !"
Cu Jiang menggenggam pedangnya makin kencang.
Kemudian dengan besarkan nyali, berseru:
"Soal itu harus dilihat kenyataannya !"
Liok-poan-koan atau Hakim baju hijau mengeliarkan biji
matanya beberapa kali. Kemudian tertawa seram.
"Budak, aneh, tiba2 saja aku ingin bermurah hati, tak
sampai hati untuk turun tangan..."
"Mengapa ?" seru Cu Jiang.
"Karena tulang-tulangmu bagus sekali, sebuah bahan
istimewa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan!"
Lalu ?" "Jika engkau masih ingin hidup, masih terbuka sebuah
jalan ...."
"Jalan yang bagaimana ?" tukas Cu Jiang.
"Menjadi muridku!"
Tak tahan Cu Jiang untuk tidak tertawa. Serentak dia
berseru: "Anda berpikir terlalu muluk !"
Mendengar jawaban itu mata Liok-poan-koen segera
menghambur sinar hijau.
"Apa katamu" Engkau menolak?" teriaknya marah
sekali.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya,"
"Coba ulangi lagi kalau berani!"
"Aku tidak mau! "
"Huh..."
kerongkongan Liok-poan-koan menelan ludahnya. Kemudian ia menyusupkan Papan-besi ke
pinggangnya lalu berseru:
"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu!"
Serempak dengan kata2, tangannya yang segede kipas
bertebar dan kelima jarinya yang menyerupai cakar2 besi
segera menerkam Cu Jiang.
Walaupun tahu bahwa dirinya bukan lawan orang itu
tetapi dalam keadaan terdesak seperti saat itu, tiada lain
pilihan bagi Cu Jiang kecuali harus melawan. Dia babatkan
pedangnya dengan sepenuh tenaga. Ujung pedang
berhamburan bagai hujan mencurah deras ke arah tiga belas
buah jalan darah di tubuh lawan.
Jurus permainan pedang itu benar2 mengejutkan sekali.
"Ahhh ....!"
Entah dengan gerak bagaimana, tahu2 Cu Jiang rasakan
tangannya yang memegang pedang itu tergetar. Bukan saja
seluruh gerakan pedangnya terhalang, pun dia juga harus
menyurut mundur tiga langkah. Dan tanpa disadari dia
menjerit kaget.
Liok-poan-koan tak mau mengejar melainkan hentikan
serangannya. Rupanya dia merasa sayang.
Liok-poan-koan si manusia aneh itu tertawa aneh,
serunya: "Budak, selama ini aku membunuh erang seperti
membunuh nyamuk saja. Tapi hari ini, kuadakan
pengecualian. Sekali lagi jawablah. Engkau mau atau tidak
menjadi muridku?"
Cu Jiang deliki mata dan menyahut dengan seram:
"Tidak bisa!"
Tangan Liok-poan koan yang diangkat ke-atas.
diturunkan pula. Kemudian berseru marah:
"Kunyuk kecil, jika aku sengaja tak memberi kelonggaran, tak mungkin engkau mampu menerima
sebuah seranganku saja. Ketahuilah, jika engkau dapat
mewarisi kepandaianku, dalam dunia persilatan tiada yang
dapat melawanmu !"
"Tidak bisa !"
"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu !" seru Liokpoan koan seraya ulurkan tangan mencengkeram.
Ternyata Cu Jiang sudah tak berdaya lagi. Tenaganya
habis. Untuk mengangkat pedang saja dia sudah tak
mampu. Maka dia hanya pejamkan mata menunggu
kematian. Dalam detik2 malaekat Elmaut hendak merenggut jiwa
Cu Jiang, sekonyong-konyong terdengar sebuah suara
nyaring berseru.
"Liok poan-koan, biarlah pinto yang mewakilinya
menerima seranganmu!"
Serempak muncullah seorang imam tua yang kain
kepalanya tak keruan.
Cu Jiang terbeliak. Ternyata imam tua itu tak lain adalah
Imam yang bertemu padanya di tengah jalan dan berkeras
hendak mengambilnya sebagai murid. Dia adalah Thianhian-cu, salah seorang dari Tiga-serangkai-imam dalam
dunia persilatan.
Cu Jiang timbul pula semangatnya. Liok-poan-koan
menarik tangannya dan tertawa gelak:
"Imam Jembel. tak kira kalau engkau masih berani
keluar gunung. Apakah engkau hendak mengantar jiwamu
kemari ?" Thian-hian-cu melemparkan sebutir pil kepada si jelita
yang tak berapa jauh dari tempatnya seraya berkata
pelahan: "Suruh dia lekas minum lalu lanjutkan perjalanan lagi,
jangan lupa!"
Setelah memberi pesan dia terus melangkah ke muka dan
memberi anggukan kepala kepada Liok-poan-koan: "Ah,
sudah lama kita tak berjumpa !"
Tetapi Liok-poan-koan membentaknya: "Imam busuk,
jangan banyak bicara, lekas serahkan jiwamu !"
Segera dia lepaskan sebuah hantaman.
Thian hian-cu pun cepat2 mengangkat tangannya untuk
menyongsong. Bum . . . terdengar letupan dahsyat. Batu
dan pasir berhamburan, ranting dan rumput2 bertebaran.
Kedua bayangan itupun segera berpencar lagi.
Ternyata kekuatan keduanya berimbang.
Sesaat kemudian keduanya lalu maju lagi. Saat itu
cuacapun mulai gelap. Malam tiba. Rembulan dan bintang
tak tampak di cakrawala.
Setelah menerima pil, si jelita tadi segera menghampiri
Cu Jiang. Dengan tangannya yang putih mulus, ia
menyusupkan pil itu ke mulut Cu Jiang.
Cu Jiang mengangakan mulut hendak berkata apa2,
tetapi si jelita sudah mendahului untuk menyusupkan pil ke
dalam mulutnya.
Ketiga lelaki membawa pedang tadi, rupanya hendak
mencari kesempatan. Mereka memberi isyarat mata lalu
tiba2 mereka serentak menyerang maju.
"Hm, cari mampus lu!" Terdengar ketiga orang itu
menjerit ngeri dan rubuh di tanah. Ternyata yang turun
tangan adalah Thian-hian-cu.
Walaupun sedang bertempur dengan Liok-poan-koan
tetapi Thian-hiancu masih sempat untuk menghantam
ketiga lelaki berpedang itu. Suatu bukti yang jelas bahwa
nama Bu-lim sam-cu atau Tiga-serangkai-imam dunia
persilatan, memang tak bernama kosong.
Hantaman dari Thian hian-cu yang merubuhkan ketiga
lelaki bersenjata pedang itu masih membaurkan angin yang
melanda ke Cu Jiang sehingga anak muda itu sampai
terhuyung. Melihat itu si jelita buru2 memegangnya agar
jangan sampai jatuh. Dengan demikian kedua muda mudi
itu telah bersentuhan tubuh.
Seketika hidung Cu Jiang terbaur oleh bau yang harum
sedap dari tubuh dan napas si jelita.
Cu Jiang tersirap, mukanya ter-sipu2 merah. Melihat itu
si jelitapun segera lepaskan tangannya dan dengan ke
malu2an, ia bertanya:
"Kongcu, apakah engkau dapat berjalan?"
Cu Jiang seperti di ingatkan akan keadaan yang
dihadapinya saat itu. serentak ia melakukan pernapasan dan
ternyata tenaganya sudah pulih separoh.
Ia tahu bahwa pil pemberian Thian-hian-cu itu memang
hebat sekali. Serentak timbullah keperwiraan hatinya. Dia
tak mau melarikan diri. Setelah Thian hian-cu selamat, baru
dia akan pergi.
Tetapi pada lain saat, ia menyadari. Sekali pun
tenaganya sudah sembuh sama sekali, diapun tetap tak
dapat membantu Thian-hian-cu. Ia bingung dan tak tahu
bagaimana harus mengambil keputusan.
"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini," si jelita
mendesaknya. Nadanya selembut sutera, kumandangnya semerdu
burung kenari. Telinga Cu Jiang seperti mendengar
nyanyian yang mengikat jiwa. Terutama ketika jelita itu
mengucapkan kata2 kita. Ah, semangat Cu Jiang seperti
me-layang2. Walaupun mereka berdua baru saja berkenalan dan
belum mengetahui siapa diri masing2 yang sesungguhnya,
tetapi keadaan telah mempersatukan mereka dalam nasib
yang sama. Dan keadaan itulah yang menyebabkan mereka
menghilangkan segala rasa kikuk dan malu satu sama lain.
Keduanya seperti kawan lama yang mesra.
Di tingkah cahaya rembulan, Cu Jiang sempat pula
memperhatikan betapa sorot mata si jelita itu memancarkan
rasa bersyukur, harapan dan percikan perasaan hati yang
tersembunyi. Dalam pada itu, ketiga lelaki bersenjata pedang telah
duduk di tanah untuk menyembuhkan lukanya.
Sementara Thian-hian-cupun
masih melanjutkan pertempuran maut dengan Liok-poan-koan.
Hanya tampaknya Thian-hian-cu lebih di atas angin.
Sejenak memandang ke arah gelanggang pertempuran
berkatalah Cu Jiang kepada si jelita:
"Nona, bagaimana kalau engkau berangkat dulu?"
"Mengapa?" tanya si jelita.
"Aku tak dapat meninggalkan imam itu .. ."
"Tetapi kongcu, imam itulah yang memberi pesan
kepadamu."
"Tetapi .... sebagai seorang ksatrya.. ."
"Kongcu, maaf kalau aku lancang bicara. Tetapi apabila
kongcu tetap berada di sini, imam itu akan bertambah
beban pikiran. Luka mu . . . ."
Merah muka Cu Jiang. "Nona, mungkin kita tak satu
jalan." Wajah si jelita tampak sedih, ujarnya:
"Kongcu, karena engkau sudah mengulurkan budi
pertolongan kepadaku, tentulah kongcu tak tega kalau aku
sampai jatuh ke tangan orang2 jahat itu, bukan?"
Cu Jiang terkesiap, ia serba salah.
Tiba2 Thian-hian-cu berteriak:
"Hai, budak, kasak kusuk apa lagi itu" Kalau mau
bermesra-mesraan, pindahlah ke lain tempat. Jangan di sini.
Celaka kalau sampai datang poan-koan (hakim) yang lain
lagi!" Cu Jiang terbeliak. Diam2 dia mengakui ucapan imam
itu memang benar. Jika muncul jago ko-jiu dari Gedung
Hitam lagi, menilik si jelita itu seperti orang yang tak
mengerti ilmu silat, bukankah dirinya akan celaka.
Perangai Cu Jiang yang angkuh, saat itu harus
mengendap. Ia harus mengalah. Maka berserulah ia kepada
Thian-hian-cu: "Cian pwe, budi pertolonganmu itu kelak pasti akan
kubalas!" Dia terus berputar tubuh dan mengajak si jelita berlalu
dari situ. Keduanya menuju ke dalam hutan.
"Kongcu, mengapa balik ke sana lagi" " tegur si jelita.
Cu Jiang hentikan langkah dan menjawab: "Kudaku
masih berada di bawah karang."
"Oh..."
"Apakah nona pernah belajar silat?"
"Ah, hanya gerakan seperti orang menari-nari saja,
masakan dapat digunakan untuk melindungi diri. Mohon
tanya siapakah nama kongcu?"
"Namaku Cu Jiang."
"O, aku . . . namaku Ho Kiong Hwa! " Kiong Hwa
artinya Bunga istana. Ah, memang wajahnya benar2
secantik bunga istana.
"Nama yang indah!: tanpa disadari Cu Jiang berseru
memuji. Kemudian ia tersipu-sipu sendiri karena tak dapat
mengendalikan perasaannya.
Ho Kiong Hwa tertawa gembira: "Ah, kongcu terlalu
memuji. " Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di tempat kuda
Hijau ditambatkan. Tetapi seketika itu mata Cu jiang
melotot dan wajahnya merah padam. Dadanya hampir
meledak karena diluap kemarahan yang besar.
Kuda Hijau, kuda kesayangannya, saat itu terkapar di
tanah, kepalanya hancur, darah bercucuran ke luar.
Antara Cu Jiang dengan kuda kesayangannya itu telah
terjalin suatu hubungan yang mesra. Melihat kudanya
dalam keadaan begitu mengenaskan, diapun mengucurkan
airmata. "Ai, temuan Liok poan-koan itu yang melakukan." seru
Ho Kiong Hwa. "Bagaimana nona tahu?"
"Yang dapat menghancurkan kepala kuda tanpa
menimbulkan suara, siapa lagi kalau bukan makhluk aneh
itu." "Nona benar." tukas Cu Jiang dengan geram. "Pada
suatu hari aku tentu akan memperlakukan dia seperti apa
yang dilakukan terhadap kudaku ini. Kepalanya akan
kuhancurkan juga! "
"Kongcu, bagaimana kita sekarang?"
"Terpaksa harus berjalan kaki. "
"Cu kongcu, demi menolong diriku, engkau, banyak
mengalami kesukaran apalagi engkau harus menderita
kesedihan karena kehilangan kuda kesayanganmu. Hal ini
benar2..."
"Nona Ho. sungguh menyesal. Karena kepandaianku
yang dangkal maka aku sampai mengalami penderitaan
ini!" "Ah. kalau kongcu mengatakan begitu, hatiku makin
berat." Di sebelah sana pertempuran masih berlangsung seru.
Suasana sunyi di pegunungan tersibak oleh hiruk pikuk
pertempuran maut itu.
"Kita tinggalkan tempat ini dulu baru nanti kita
berunding lagi."
"Terserah bagaimana kongcu hendak mengatur, aku
hanya menurut saja."
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari pelana kudanya, Cu Jiang mengambil beberapa
benda yang penting lalu disisipkan dalam bajunya. Yang
lain2 ia tinggalkan di situ.
Setelah berjalan menyusuri pegunungan karang itu,
mereka lalu lanjutkan berjalan dengan cepat.
Malam itu rembulan bersinar indah. Tetapi Cu Jiang tak
mempunyai hati untuk menikmati keindahan malam itu.
Belum pernah ia mengalami penderitaan yang begitu berat
dan begitu menyedihkan. Sifat kegagahannya pun seolah
pudar. Demikian keduanya menyusur di sepanjang jalan kecil
dilereng gunung. Jauh disebelah muka tampak jalan yang
lebih lebar. Tiba2 Cu Jiang berhenti. "Nona Ho, kita terpaksa harus
berpisah !"
Si jelita memandang Cu Jiang dengan rawan, serunya:
"Berpisah ?"
Cu Jiang terkesiap.
"Akhirnya kita tak dapat terus menerus bersama-sama
...." Ho Kiong Hwa tersenyum:
"Tetapi aku ingin terus begini !"
Percik harapan yang tertumpah pada kata2 itu. sudah
tentu Cu Jiang dapat menerima. Tetapi dia selalu memikiri
rumah dan ingin pulang.
Kedua orang tuanya karena menyingkir dari dendam
permusuhan maka mengasingkan diri ditempat yang
tersembunyi, agar jangan diketahui orang. Seingatnya,
karena tempat tinggalnya diketahui orang, maka ayahnya
telah berpindah tempat sampai empat kali.
Dia harus mentaati pesan ayahnya, supaya jangan
sembarangan menceritakan tentang dirinya dan tempat
tinggalnya. Ho Kiong Hwa, sinona jelita itu belum jelas asal
usulnya. "Mudah jatuh pada kecantikan wanita, bukan laku
seorang ksatrya." Demikian ajaran ayahnya.
Maka ia teguhkan hatinya dan berkata: "Nona Ho, kelak
kita tentu berjumpa lagi"
Wajah si jelita kembali mengerut kesedihan. Kemudian
berkata dengan rawan:
"Cu kongcu, aku sudah sebatang kara, tiada punya
rumah, tiada sanak keluarga. Entah bagaimana jadinya
dengan diriku dalam pengembaraanku di dunia persilatan
itu. Menilik sikap dan peribadi kongcu, kongcu tentu putera
seorang keluarga yang ternama. Apakah kongcu sudi
melimpahkan budi untuk menerima diriku sebagai bujang
pelayan . . ."
Cu Jiang gelengkan kepala pelahan.
"Nona Ho, aku sendiri dari keluarga miskin."
"Ah, tak percaya."
"Terserah pada nona."
"Apakah kongcu tak kasihan padaku?"
"Nona Ho, apabila aku mengandung hati begitu,
mengapa aku harus berjerih payah mengikat permusuhan
dengan fihak Gedung Hitam. . ."
"Maafkan kongcu, aku kelepasan omong!"
"Ah, janganlah nona berkata begitu," sahut Cu Jiang.
"Budi pertolongan kongcu, kelak tentu akan kubalas."
"Ah, jangan nona berkata begitu. Apa yang kulakukan
itu tak berarti apa2."
"Meskipun kongcu tak mengharap balas, tetapi aku tentu
selalu mengingat budi pertolongan kongcu."
"Sebenarnya aku sangat memikirkan keadaan nona tetapi
aku tak berdaya hendak membantu nona, kudoakan Thian
selalu memberkahi nona."
"Terima kasih, kongcu."
"Harap nona suka menjaga diri baik2."
"Harap kongcu juga baik2 menjaga diri."
"Semoga kelak kita akan berjumpa lagi."
"Pasti . . ." Cu Jiang memberi hormat. Dengan keraskan
hati, ia terus lari menuruni gunung. Ada sesuatu yang
membuat hatinya menderita tetapi sukar untuk diucapkan.
Setelah tiba di jalan besar, ia terus menuju ke arah
selatan. Pada hari ketiga, sampailah ia di kota Li-jwan.
Setelah itu akan mencapai daerah gunung Bu-teng-san yang
tak jauh dari tempat tinggalnya
Ia segera menuju ke rumah makan yang menjadi
langganannya apabila dia tiba di kota itu.
Pemilik rumah makan itu seorang nyonya bertubuh
gemuk. Ia menyambut kedatangan Cu Jiang dengan
gembira. Sambil bertepuk tangan dia berseru:
"Ai, Kongcu. sudah setengah tahun, kita tak bertemu.
Silahkan masuk! Mana kudanya?"
"Aku jalan kaki saja," Cu Jiang tertawa.
"Ah, kongcu tentu letih, silahkan beristirahat di ruang
kebun belakang!"
"Toa-Nio, aku hanya singgah makan saja terus akan
melanjutkan perjalanan lagi."
"Sudah lama tak bertemu mengapa begitu terburuburu...." Cu Jiang hanya tertawa dan terus masuk ke ruang
belakang. Di belakang terdapat tiga buah halaman. Yang satu
terang dan yang dua gelap. Di tengah halaman di tumbuhi
dengan bunga2an dan di hias dengan batu. Suasananya
sunyi tenang. Cu Jiang menuju ke ruang yang di tengah. Tak berapa
lama pelayan mengantar minuman, buah2an dan handuk
panas. "Apakah kongcu hendak minum arak?"
"Ya, sedikit saja."
"Pakai sayur apa?"
"Biasa saja yang sering kumakan."
Jongos segera ke luar, Cu Jiang duduk merenungkan
semua pengalaman selama dalam perjalanannya. Ang Niocu, Liok-poan-koan, si jelita Ho Kiong Hwa, Thian-hian-cu.
. . Juga tentang suratnya yang hilang di pelana kuda. Dia
heran memikirkan hal itu. Mengapa bukan uang atau perak
yang di bekalnya yang hilang tetapi surat itu" Bukankah
surat itu hanya sekedar memberitahu kepada kedua orang
tuanya tentang keadaan dirinya waktu itu" Apa guna orang
itu mengambilnya"
Dan pula, mengapa kuda si Hijau sampai tertambat pada
pohon siong itu"
Setelah melalu lalang dalam lamunan, akhirnya
pikirannya teringat kembali kepada si jelita Ho Kiong Hwa.
seorang nona yang cantik luar biasa tetapi menderita nasib
yang malang. Membayangkan betapa dalam waktu sesingkat itu ada
suatu perasaan yang menjalin hatinya dengan si jelita,
merahlah muka Cu Jiang.
Diam2 dia menyesal mengapa sekali sudah menolong
nona itu, ia tak mau menolong sampai akhir, membawanya
ke rumah makan di situ" Tetapi ketika teringat bahwa
rumah makan itu penuh di kunjungi dengan tetamu2 yang
pergi datang, padahal si jelita itu sedang diburu oleh orang2
Gedung Hitam, bukankah rumah makan itu akan terlibat"
Tiba2 pelayan muncul dengan membawa hidangan yang
di pesannya. Kemudian pelayan itu keluar lagi.
Kini Cu Jiang duduk minum seorang diri. Pikirannya
masih tertuju pada si jelita.
Ho Kiong Hwa benar2 seperti yang terlukis dalam
suratan nasib: "Wanita cantik kebanyakan tentu bernasib
malang . . ."
Sekonyong-konyong tirai pintu tersiak dan muncullah
seorang lelaki berpakaian biru di pinggir pintu. Dia
melangkah masuk tertawa sinis kepada Cu Jiang.
"Mau apa engkau !" bentak Cu Jiang.
Lelaki itu lemparkan sebuah benda lalu berbalik tubuh
dan melangkah keluar.
Cu Jiang menyambuti benda itu dengan sumpitnya lalu
berteriak: "Berhenti!"
Tetapi orang itu sudah menerobos keluar dan
menghilang. Cu Jiang terpaksa tak dapat mengejar. Dia
rasakan benda yang disumpitnya itu cukup berat. Ketika
diamatinya ternyata sebuah thiat pay atau papan besi warna
hitam, bagian tengahnya terdapat sebuah huruf yang
menonjol dan berbunyi MATI.
00ood-woo00 Jilid 2 Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Amanat Maut !" teriaknya.
Amanat-maut merupakan pertandaan dari pihak Gedung
Hitam untuk mencabut nyawa orang. Tak beda seperti
amanat dari Giam lo-ong atau si Raja Akhirat. Barang siapa
menerima amanat itu tentu mati.
Dulu Cu Jiang hanya pernah mendengar tentang itu.
Tetapi kini dia benar2 melihat bahkan menerimanya
sendiri. Balik kedalam ruangan, hilanglah selera Cu Jiang untuk
minum arak. Pengaruh Gedung Hitam benar2 luas dan mengerikan.
Dalam waktu singkat saja dia sudah jatuh kedalam
cengkeraman mereka.
Bagaimana dengan si jelita Ho Kiong Hwa " Ah, nona
itu tentu tak terhindar dan genggaman orang2 Gedung
Hitam. Entah bagaimana, walaupun dirinya sedang
menghadapi bencana maut, lebih dulu dia memikirkan diri
dan keselamatan si jelita Ho Kiong Hwa.
Pemilik rumah makan bergegas mendatangi dan berseru:
"Kongcu, orang tadi. . .."
"Menerimakan benda ini." kata Cu Jiang seraya
menunjukkan papan besi itu.
"Amanat-maut." teriak wanita itu.
"Benar, memang amanat kematian," kata Cu Jiang
dengan nada sarat.
Pipi wanita pemilik rumah makan yang besar dengan
daging itu segera mengerut. Sepasang alisnyapun hampir
meregang tegak.
"Kongcu, kenapa engkau sampai bermusuhan dengan
orang Gedung Hitam?" serunya.
"Karena menolong seorang nona."
"Aih, lalu bagaimana ?"
"Toa nio, aku segera hendak melanjutkan perjalanan
saja." "Kemungkinan engkau tak dapat mencapai satu li saja !"
"Habis, daripada menunggu kematian !"
"Kongcu, berikan waktu kepadaku untuk ikut memikirkan..."
"Tidak, toa nio, aku tak mau melibatkan dirimu."
Wanita gemuk itu deliki mata. "Ngaco !" teriaknya.
Cu Jiang terkesiap. Selama ini belum pernah wanita
gemuk pemilik rumah makan itu begitu keras sikapnya
terhadap dia. Seorang perempuan yang konon kabarnya tak
pernah belajar silat tetapi mengapa kenal Amanat-maut dan
Gedung Hitam "
Aneh. Apakah wanita gemuk itu selama ini memang tak
mau unjukkan dirinya yang sesungguhnya "
Tetapi betapapun juga, tak mungkin dia berani bertindak
menentang Gedung Hitam yang begitu besar pengaruh
kekuatannya dalam dunia persilatan.
"Toa-nio, apa yang engkau pikirkan?"
"Mencarikan jalan hidup untukmu !"
"Ah, tak perlu."
"Mengapa ?"
"Rumah tangga dan Jiwa toa nio, masakan harus ikut
menderita karena urusanku."
"Tutup mulutmu!" bentak wanita gemuk itu, "apabila
engkau mati ditangan orang Gedung Hitam, masih tak
mengapa. Tetapi Jiwa papah mamahmu juga terancam
bahaya." Cu Jiang terkejut. Selama ini wanita gemuk itu tak
bertanya dan diapun tak pernah menceritakan tentang
keadaan ayah bundanya. Tetapi mengapa wanita gemuk itu
tahu " Apakah wanita itu sesungguhnya orang Gedung
Hitam yang sengaja memancing-mancing "
"Apa kata toa-nio?" Cu Jiang menegas.
"Tutup mulutmu !" bentak wanita gemuk itu pula seraya
deliki mata. Cu Jiang terbeliak. Ia terlongong-longong memandang
wanita gemuk itu.
"Siapakah dia . .. .?"
Wanita gemuk itu tiba2 mengisar kemuka dinding lalu
menekan dinding itu sampai tiga kali. Dinding yang terbuat
daripada batu merah berkembang dan tiba2 merekah dan
terbukalah sebuah pintu.
Dibalik pintu itu merupakan sebuah titian atau undakundakan batu yang jauh menjurus ke-sebelah bawah.
Karena ujung titian yang dapat dilihat mata, tertutup dalam
kegelapan, maka tak dapat diketahui sampai berapakah
dalamnya lorong rahasia itu.
"Kongcu, turunlah. Didalamnya terdapat cukup persedian makanan, tiga hari kemudian engkau boleh
keluar !" Cu Jiang terkejut.
Diam2 ia menimang. Jika ia menuruti permintaan
wanita gemuk itu dan masuk kebawah lorong rahasia,
bukankah dia akan seperti burung yang terjebak dalam
sangkar " Atau mungkinkah wanita gemuk itu memang benar2
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengandung maksud baik hendak menyelamatkan dirinya"
"Lekas turun !" teriak wanita gemuk itu.
"Toa-nio !"
"Kusuruh engkau turun mengapa masih banyak omong
lagi!" Sejenak meragu, akhirnya Cu Jiang mengambil sikap.
Dalam menghadapi saat2 yang membahayakan jiwanya, ia
harus lebih dulu mendapat keterangan yang jelas dan tak
boleh begitu pasrah saja. Bukankah ia bisa mati konyol "
"Toa nio, apakah engkau seorang persilatan?" segera ia
bertanya. "Eh, mengapa masih banyak mulut " Apakah engkau
benar2 ingin mati ?"
"Aku tak mengerti, mengapa toa-nio berani menempuh
bahaya untuk menolong seorang yang telah menerima
Amanat Maut dari Gedung Hitam" "masih Cu Jiang
bertanya. "Kelak engkau tentu tahu !"
"Tetapi sekarang juga aku ingin tahu."
"Tolol . . . engkau "
"Dan lagi rupanya toa-nio tahu akan keluargaku ?"
"Anggap saja sudah tahu, lekas engkau masuk!"
"Tidak ! Toa-nio harus memberi penjelasan dulu . .. . "
"Waktunya tak keburu lagi!"
Cu Jiang makin curiga. ia berkeras menolak.
"Jika begitu, maaf, aku tak dapat menuruti perintahmu !"
Wanita gemuk itu deliki mata dan berseru bengis:
"Apakah engkau benar2 menghendaki toaniomu harus
turun tangan?"
Cu Jiang tergetar hatinya.
"Betapapun disembunyikan dalam kulit domba, rubah
(rase) tentu akan tampak juga ekornya," pikirnya.
"Toanio," ia tertawa dingin, "sungguh tak kira kalau
engkau mengerti silat."
"Masih banyak hal2 yang tak dapat engkau duga !"
"Kalau begitu toanio harus banyak2 memberi penjelasan
lagi." "Turun !"
"Tidak !"
"Rupanya aku terpaksa turun tangan ..."
"Apa boleh buat..."
Tring, Cu Jiang terus mencabut pedang.
Wanita gemuk itupun segera singsingkan lengan bajunya
lalu siap mengangkat tangannya ke-atas.
Keduanya segera akan bertempur.
"Toa-nio," seru Cu Jiang dengan nada gemetar,
"bertahun-tahun engkau telah memperlakukan aku dengan
baik. Seharusnya tak boleh aku mencurigaimu. Tetapi hal
ini menyangkut suatu mati hidup"
Wanita gemuk itu melangkah maju dan membentak
dengan marah: "Tak perlu engkau banyak berkentut, mau turun atau
tidak !" "Maaf..."
"Ho, budak kecil."
Serempak dengan kata2 itu wanita gemukpun terus
ayunkan tangannya menghampiri.
Cu Jiang terpaksa menangkis dengan pedangnya.
"Ha, kepandaianmu masih jauh sekali terpautnya,
budak!" Gerakan tangan wanita gemuk itu lebih cepat dari katakatanya. Sementara pukulan tangan kanannya tadi masih
dilanjutkan, tangan kirinyapun menjulur maju menabas.
Hebat! Seketika itu gerak pedang Cu Jiang-pun tertutup
tak dapat berkembang. Dalam sekejap, Cu Jiangpun terkena
pukulan wanita gemuk itu. Dia sempoyongan ke belakang.
"Turun !"
Sebelum pemuda itu sempat berdiri tegak, kembali dia
sudah dilanda oleh gelombang angin pukulan dari wanita
gemuk itu. Cu Jiang kehilangan keseimbangan badan dan
diluar kehendaknya, dia tergelincir kedalam liang terowongan. Tetapi pemuda itu juga tidak lemah. Selekas kakinya
menyentuh tanah dibawah, cepat ia enjot tubuhnya hendak
melambung keatas lagi.
Wanita gemuk tertawa gelak2 seraya menghantam lagi.
Sudah tentu tubuh Cu Jiang tertekan kebawah dan jatuh ke
dalam terowongan pula.
Ha, ha ha terdengar wanita gemuk itu tertawa mengekeh
dan pada lain saat, pintu terowongan rahasia itupun
tertutup. Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Tak disangkanya
sama sekali bahwa wanita bertubuh gemuk seperti seekor
babi itu ternyata memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Cu
Jiang merasa bahwa apa yang dipelajari selama ini sudah
cukup tinggi. Tetapi ternyata berhadapan dengan wanita
gemuk saja ia sudah kelabakan dan tak dapat berkutik lama
sekali. Memandang ke arah bawah, gelapnya bukan main
sehingga ia tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri. Ia
siapkan pedangnya menjaga setiap kemungkinan yang tak
terduga. Kemudian ia pejamkan mata dan tenangkan
pikiran. Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan dapatlah
dengan samar2 ia melihat keadaan terowongan rahasia itu.
ia coba mengacungkan pedangnya keatas. Tring, ternyata
ujung pedangnya telah menyentuh pintu rahasia tadi.
Pintu itu terbuat dari besi baja yang tebal sekali.
Sekalipun pedangnya itu juga sebuah pedang pusaka tetapi
sukar untuk membobolkan.
Betapapun geram dan bencinya terhadap wanita gemuk
itu tetapi Cu Jiang dipaksa oleh kenyataan. Dia tak dapat
keluar dari terowongan rahasia itu. Apa boleh buat, dia
harus berjuang untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Diam2 diapun mengutuk dirinya sendiri yang karena
kurang pengalaman maka sampai tertipu oleh wanita
gemuk itu. Dengan membulatkan tekad, ia segera menuruni titian,
Lebih kurang lima tombak menurun ke bawah, sampailah
dia diujung titian yang terakhir. Kini dia berhadapan
dengan sebuah jalan yang datar.
Setelah menunggu beberapa saat dan tak terjadi suatu
apa, barulah ia melangkah maju. Sekalipun lorong
terowongan itu gelap tetapi tak berhawa lembab.
Lebih kurang dua-puluhan tombak berjalan dia
membiluk ke sebelah kiri dan tiba2 keadaannya terang
benderang. Sinar penerangan itu berasal dari untaian
mutiara yang terpancar dari dalam sebuah ruang.
Dalam ruang itu terdapat juga tempat tidur, meja kursi
dan lain2 alat perabot.
Berdiri di muka pintu, Cu Jiang masih meragu. Dia tak
tahu bagaimanakah sebenarnya maksud wanita gemuk itu
terhadap dirinya. Adakah wanita gemuk itu bermaksud baik
atau buruk kepadanya.
Sampai beberapa saat tertegun, ia tak melihat sesuatu
yang mencurigakan. Karena tiada lain pilihan lagi dan
karena ingin tahu, apapun yang akan terjadi ia harus
menghadapinya. Dengan menghunus pedang ia segera melangkah masuk
ke dalam ruang. Ternyata kamar itu di hias dengan bersih
sekali. Di meja telah disediakan bahan makan dan
minuman. Tempat tidur pun lengkap dengan selimut dan
bantal. Juga disediakan rak buku dengan beberapa puluh
jilid buku bacaan.
Cu Jiang benar2 heran. Selama memasuki kamar rahasia
itu, dia tak menjumpai rintangan apa2. Dan keadaan dalam
kamar itu tepat seperti yang dikatakan si wanita gemuk.
Persedian makanan dan minuman disitu cukup untuk tiga
hari. Apakah dia salah duga terhadap wanita gemuk itu"
Pikirnya. "Tetapi mengapa dia menolong diriku?" tanya Cu Jiang
dalam hati. Ransum makanan kering dan minuman disitu jelas
bukan baru saja disiapkan. Karena waktu dia menerima
Amanat Maut, sampai saat itu hanya berselang beberapa
saat saja. Ah, hanya satu kemungkinan saja. Tentulah wanita
gemuk itu memang sudah siap menyediakan kamar rahasia
yang dilengkapi dengan ransum makanan untuk menjaga
kemungkinan apabila wanita gemuk itu menghadapi
bahaya. Sekalipun ia menduga begitu namun hatinya masih
belum yakin. Saat itu dia ibarat burung yang sudah berada
dalam sangkar, setiap saat musuh tentu mudah sekali untuk
mengambil jiwanya.
Tiba2 ia teringat bahwa pintu di atas tadi terbuat dari
besi baja yang kokoh. Wanita gemuk mengatakan bahwa
tiga hari kemudian dia boleh keluar lagi Ah, bagaimana
mungkin! Apabila persedian ransum makanan dan minuman di situ
sudah habis, bukankah dia akan mati kelaparan"
Apakah wanita gemuk itu memang sengaja hendak
membunuhnya secara pelahan"
"Ah, benar, benar," pikirnya, "wanita gemuk tadi telah
kelepasan omong, jelas dia tahu akan keadaan keluargaku."
Merenung hal itu diam2 Cu Jiang menggigil. Apa yang
di reka dalam dugaannya tadi, hapus semua. Jelas wanita
gemuk itu tentu seorang anggauta dari Gedung Hitam.
Diam2 pula Cu Jiang gelisah memikirkan keselamatan
ayah bunda dan adik2nya.
Makin merenungkan hal itu makin mendidihlah darah
Cu Jiang. Serentak ia menyambar pedang dan terus lari ke
luar lagi. Saat itu ia tiba kembali di bawah pintu baja yang
gelap tadi. Berulang kali ia berusaha untuk membacok,
menabas dan menusuk, namun pintu baja itu tak bergeming
sedikitpun juga.
Apa boleh buat, terpaksa dengan rasa kecewa ia kembali
lagi ke dalam kamar. Ia duduk termenung-menung.
Tiba2 ia mendapatkan bahwa dalam kamar itu juga
diperlengkapi dengan alat waktu atau jam model kuno,
yang dari tabung kaca yang berisi pasir.
Memang mudah ia untuk mengetahui waktu tetapi tak
tahu ia bagaimana nanti peristiwa yang akan menimpa pada
dirinya. Entah baik, entah celaka.
Mengeliar pandang ke arah rak buku, timbullah rasa
iseng untuk melihat2. Segera ia berbangkit dan menghampiri tempat buku itu, mengambil sejilid dan
membacanya. Ia tertawa. Ternyata buku2 yang berada di
rak itu terdiri dari kitab Kim-kong-keng, Mi-io-keng dan
lain2 pelajaran agama Buddha.
"Huh, si gemuk itu rupanya hendak mempelajari agama
Buddha agar kelak dia dapat menitis lagi sebagai wanita
cantik . ."
Demikian tak terasa persedian bahan makanan telah
habis separuh dan menurut alat penghitung waktu, ternyata
saat itu sudah tiga hari lamanya dia berada di situ.
Tiga hari rasanya seperti tiga tahun. Harapan Cu Jiang
untuk keluar dari situ sudah pudar. Karena hal itu jelas tak
mungkin. Tetapi selama hayat masih di kandung badan,
manusia tentu selalu berdaya, harapan selalu tergenggam.
Saat itu dia keluar dari kamar dan menuju ke pintu di
atas tadi. Ketika mengamati dengan seksama, hampir saja
dia bersorak kegirangan.
Tapi pintu tampak bergurat lubang sehingga sinar dapat
memancar masuk. Seketika itu berobahlah pandangannya
terhadap wanita gemuk. Ternyata wanita gemuk itu
bermaksud baik kepadanya.
Diam2 ia malu sendiri mengapa menduga jelek pada
orang yang bermaksud baik. Setelah menyelipkan pedang,
dia segera mendaki ke atas. Dengan kedua tangan mulailah
ia mengisar pintu itu, ternyata pintu itu dapat bergerak.
Sejenak berhenti ia kerahkan seluruh tenaganya untuk
menarik. Pintupun berkisar lagi. Setelah untuk yang ketiga
kalinya ia mendorong, terbukalah sebuah lubang yang
cukup untuk dimasuki orang.
Girang Cu Jiang bukan kepalang. Selama tiga hari dalam
kamar rahasia di bawah tanah, tak pernah ia menduga akan
menghadapi peristiwa seaneh itu. Dia mengira pasti akan
mati kelaparan dalam kamar di bawah tanah.
Serentak ia menerobos ke luar. Tetapi ketika memandang
ke sekeliling, kejutnya bukan kepalang. Hampir ia tak
percaya apa yang disaksikan saat itu.
Bangunan rumah tiga hari yang lalu ia masuk dan
dihantam jatuh ke dalam terowongan oleh si wanita gemuk,
saat itu hanya tinggal reruntuhan puing. Dinding rubuh,
tiang dan genteng berserakan dimana-mana, hangus
terbakar. Ah, itulah sebabnya pintu baja memancarkan guratan
sinar. Ternyata dinding dan tiang kayunya telah terbakar.
Apakah yang telah terjadi"
Apakah wanita gemuk itu yang membakar rumahnya
ataukah orang Gedung Hitam yang karena tak berhasil
menemukan dirinya ( Cu Jiang ) lalu marah dan membakar
rumah makan itu"
Jika wanita gemuk itu yang membakarnya sendiri, jelas
tak mungkin. Masakan dia akan menghancurkan rumah
makannya sendiri. Tak mungkin pula hanya karena hendak
menolong dirinya, wanita gemuk itu lantas membakar
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah makan dan akibatnya tetangga2 yang berdekatan
ikut menderita!
Kemungkinan yang paling besar, tentulah gerombolan
Gedung Hitam yang melepas api.
Lalu ke manakah wanita gemuk dan para pegawainya"
Apakah mereka mati atau masih hidup"
Berbagai pikiran melalu lalang dalam benak Cu Jiang,
Tetapi yang jelas. rumah makan itu telah terbakar habis dan
pemiliknya, si wanita gemuk, tentu mengalami derita hebat.
Teringat akan kebaikan budi wanita gemuk kepadanya,
Cu Jiang menitikkan beberapa butir air mata.
Nadanya yang nyaring dan wajahnya yang cerah berseri
dan wanita gemuk itu, terbayang pada pelupuk Cu Jiang.
Sedih dan duka segera berubah menjadi rasa geram dan
dendam. Serentak Cu Jiang menengadah dan bersumpah:
"Selama aku masih hidup, aku tentu akan menghancurkan Gedung Hitam, demi menghimpaskan
dendam kaum persilatan yang telah menjadi korban
keganasannya."
Apabila wanita gemuk itu karena menolong dirinya
sampai rumah-tangganya
berantakan dan jiwanya melayang, Cu Jiang merasa berhutang budi seumur hidup.
Bulat sudah keputusannya, Gedung Hitam tak perlu
disingkiri, tetapi harus dihadapi dan dihancurkannya.
Bahkan karena gejolak kemarahannya yang merangsang,
saat itu juga ia ingin bertemu dengan orang Gedung Hitam
dan mengadu jiwa.
Tetapi sesaat teringat akan ilmu kepandaiannya dan
kesaktian dari jago2 Gedung Hitam seperti Liok-poan-koan,
mau tak mau menurunlah kemarahannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk segera tinggalkan tempat
itu karena dikuatirkan orang2 Gedung Hitam masih
berkeliaran di sekitar tempat itu. Dengan mudah mereka
pasti akan mengenali dirinya. Dan apabila mereka sampai
memergoki dan menyerangnya, bukankah dia akan mati
dengan sia2. Dia mati sih tak apa, tetapi dendam darah dari wanita
gemuk yang telah mengorbankan jiwanya itu, tentu tak
dapat terhimpas selama-lamanya.
Setelah menutup pintu rahasia itu, ia segera mengayunkan langkah dengan perasaan yang sukar
dilukiskan. Tak lama ia segera berada di tengah kerumunan orang2
yang di sekeliling jalan. Ia berusaha untuk mendengarkan
berita tentang kebakaran rumah makan itu. Tetapi
pembicaraan mereka hanya simpang siur tak keruan, sukar
untuk menemukan jejak. Kebanyakan mereka tak tahu
kejadian yang sebenarnya dan hanya menduga-duga saja.
Sekonyong-konyong muncul lima penunggang kuda bulu
hitam yang dengan cepat tiba di jalan tempat orang2
berkerumun menyaksikan kebakaran itu. Yang empat
berpakaian warna hitam, membekal pedang. Sedang yang
seorang seorang baju hitam.
Orang2 itu segera menyingkir. Ketika tiba di tempat
kebakaran, kelima penunggang kuda itu berhenti.
Cu Jiang sebenarnya hendak segera melanjutkan
perjalanan. Ia telah memperhitungkan bahwa waktu yang
telah dijanjikan kepada kedua orang tuanya sudah lewat. Ia
harus buru2 pulang agar mereka jangan gelisah.
Tetapi ketika melihat kedatangan kelima penunggang
kuda itu, ia batalkan maksudnya dan tetap berada di situ. Ia
ingin tahu siapa mereka berlima dan apa yang hendak
mereka lakukan.
Tampak lelaki tua berbaju hitam berbicara asyik sambil
menuding kian kemari dengan keempat orang baju hitam.
Karena jaraknya jauh, entah apa yang dibicarakan mereka
Cu Jiang tak dapat menangkap.
Beberapa saat kemudian salah seorang penunggang kuda
baju hitam. tiba2 turun dari kudanya, mencabut pedang lalu
menabas lehernya sendiri.
Sekalian orang yang berkerumun disitu, menjerit kaget.
Darah menyembur dan rubuhlah orang itu. Sudah tentu
orang2 terkejut menyaksikan pertunjukan bunuh diri itu.
Bahkan yang nyalinya kecil terus ngacir pergi.
Cu Jiang juga terkejut. Siapa kelima penunggang kuda
baju hitam yang dandanan seperti kaum bu su (persilatan)
itu" Dan mengapa salah seorang memenggal lehernya
sendiri" Seorang penunggang kuda yang lain lalu turun dari
kudanya, mengangkat tubuh kawannya yang bunuh diri itu
ke atas kudanya, mengusainya erat2. Setelah lelaki tua itu
memberi isyarat, mereka lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Peristiwa itu masih meninggalkan kesan dan menjadi
pembicaraan yang ramai dari orang2 yang masih
berkerumun disitu.
Tiba2 bahu Cu Jiang ditepuk orang dari belakang. Ia
terkejut dan cepat berpaling. Seorang paderi jubah kelabu
berada di belakangnya dan tengah memandangnya dengan
mata berkilat-kilat.
Cu Jiang mengisar ke samping lalu cepat ber putar tubuh,
"Cianpwe, apa yang cianpwe hendak katakan kepadaku?"
Paderi tua jubah kelabu itu berkata dengan suara sarat:
"Lekas ikut loni!" habis berkata paderi tua itu terus
ayunkan langkah tinggal tempat itu.
Cu Jiang meragu. Ia belum kenal dengan paderi tua itu
dan belum tahu dari aliran mana. Mengapa paderi tua itu
menyuruh dia mengikutinya " Apakah dia juga seorang
anggauta Gedung Hitam "
Teringat akan Gedung Hitam, seketika meluaplah
kemarahan Cu Jiang. Serentak ia menyusul.
Paderi tua Itu tak mau berpaling untuk melihat apakah
Cu Jiang mau menurut perintahnya atau tidak. Dia tetap
berjalan cepat ke muka seolah percaya bahwa Cu Jiang
tentu akan menyusulnya.
Cu Jiang mengikuti pada jarak lima tombak dibelakang
paderi tua itu.
Paderi tua itu ternyata tak mau mengambil jalan besar
melainkan menyusur jalan kecil dan gang. Tak lama tibalah
mereka disebuah tempat sepi dekat tembok kota.
Tiba2 paderi tua itu berpaling kearah Co Jiang lalu
loncat keatas tembok dan melayang turun diluar tembok.
Tempat itu merupakan bagian ujung kota Li-Jwan yang
paling sepi. Paderi tua itu tetap lanjutkan berjalan menuju
ke sebuah tempat yang lebih sepi. Cu Jiang terpaksa
mengikutinya. Tak berapa lama mereka tiba disebuah hutan dan
barulah paderi tua itu berhenti.
Dengan hati2 Cu Jiang berhenti juga. Ia tetap menjaga
jarak lima tombak dari paderi tua itu dan bersiap-siap.
Memandang lekat kearah pemuda itu, paderi tua
menganguk-angguk kepala dan berkata.
"Benar2 seorang bahan yang sukar dicari keduanya !"
Cu Jiang terkesiap. "Mohon tanya, siapa cianpwe ini?"
serunya. "Loni adalah Go-leng-cu."
"Tokoh kedua dari Bu-lim Sam-cu?"
"Benar, pengetahuan sicu cukup luas !" sahut paderi tua
itu. "Apakah maksud cianpwe memanggil aku kemari ?"
Wajah Go-leng-cu mengerut serius, serunya. "Siau-sicu,
engkau bernyali besar sekali."
"Apa maksud cianpwe ?" Cu Jiang terkejut.
"Tahukah sicu, apa artinya peristiwa berdarah di tanah
lapang bekas kebakaran tadi?"
Soal itulah yang menarik perhatian Cu Jiang. Dia
memang hendak mengetahui peristiwa itu. Kecurigaannya
terhadap paderi tua yang dikiranya anggauta Gedung
Hitam tetapi ternyata salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam
cu atau Tiga-serangkai-paderi yang memakai nama gelar
Cu, kini mulai lenyap.
Iapun teringat akan Thian-hian cu yang pada beberapa
hari yang lalu telah menolong dirinya dari serangan Liokpoan-koan, tokoh Gedung Hitam yang menjabat sebagai
Hu-hwat atau pelindung hukum dari gerombolan itu.
Thian-hian cu adalah tokoh ketiga dari Bu-lim Sam-cu,
sedang Go-leng cu yang berada dihadapannya saat itu
adalah tokoh kedua.
"Harap cianpwe suka memberi penjelasan."
"Lelaki tua berpakaian hitam tadi adalah Kho Kun
bergelar Bu-ceng-thay-swe
atau Pangeran tak berperikemanusian. Keempat penunggang kuda tadi adalah
pengikutnya yang di sebut Pengawal hitam."
"Pengawal Hitam?"
"Engkau belum pernah mendengar?"
"Belum."
"Pengawal Hitam merupakan pengawal berani mati dari
Gedung Hitam. Kepandaian mereka rata2 hebat dan
ganasnya bukan main..."
"Ho, kiranya kaki tangan Gedung Hitam." seru Cu Jiang
dengan mata melotot.
"Ko Kun si Pangeran-ganas itu adalah seorang toathaubak (kepala) barisan Pengawal Hitam dari Gedung
Hitam . . ."
"Mengapa Pengawal Hitam tadi bunuh diri?" tanya Cu
Jiang pula. "Karena tak dapat melakukan tugas!"
"Tugas apa?"
"Membunuhmu!"
Cu Jiang serentak loncat ke muka paderi tua itu dan
menegas: "Karena gagal membunuh aku?"
"Benar," sahut Go-leng-cu, "peristiwa itu merupakan
yang pertama kali di mana Amanat Maut dari Gedung
Hitam telah menemui kegagalan!"
"Karena tak dapat membunuh korbannya, Pengawal
Hitam itu harus bunuh diri?"
"Itu peraturan Gedung Hitam!"
"Tahukah cianpwe siapa pemimpin Gedung Hitam?"
"Ini . . . mungkin tiada seorang persilatan yang tahu."
"Mengapa rumah makan itu terbakar?"
"Api yang aneh."
"Api ajaib?" Cu Jiang mengulang.
"Benar, karena tak di ketahui siapa yang melepas api
itu." Diam2 Cu Jiang menimang. Adakah karena hendak
menolong dirinya maka wanita gemuk itu rela membakar
rumah makannya sendiri" Jika benar begitu, ah betapa besar
pengorbanan wanita gemuk itu terhadap dirinya.
Padahal perkenalan mereka hanya sebagai langganan
saja, mengapa wanita gemuk itu sampai rela berkorban
sedemikian besar"
"Cianpwe, mengapa cianpwe tahu hal itu?" akhirnya ia
bertanya. Dari pembicaraan kawanan Pengawal Hitam, kutahu
bahwa api itu bukan mereka yang melepas," sahut Go-lengcu. "Tahukah pula cianpwe, siapa saja yang mati dalam
kebakaran itu?"
"Entah, loni kurang jelas."
"Mengapa cianpwe tahu akan keadaanku?"
"Dari pembicaraan mereka yang menyebut tentang
seorang pelajar baju putih, siapa lagi kalau bukan engkau?"
Cu Jiang mengangguk.
"Seluas seratus li di sekeliling daerah ini, penuh dengan
anak buah Gedung Hitam yang sedang mencarimu. Engkau
sungguh berani mati sekali karena berani mengunjuk diri . .
. . " "Terima kasih atas petunjuk cianpwe." kata Cu Jiang.
"Tak usah, itu jodoh namanya."
Mendengar kata "jodoh" serentak teringatlah Cu-Jiang
akan Thian hian-cu yang juga mengatakan hal itu
kepadanya. Bu-lim Sam-cu merupakan tokoh sakti yang termasyhur
pada masa itu. Banyak orang persilatan yang ingin bertemu
muka dengan mereka tetapi gagal.
Diam2 Cu Jiang merenung, apakah di balik kata jodoh"
dari Go leng cu itu mengandung maksud tertentu
kepadanya. "Benar, memang berjodoh," katanya.
"Dari perguruan manakah sicu." tanya Go-leng-cu.
"Didikan keluarga sendiri."
"O, siapakah ayah sicu?"
"Hal ini, maaf, aku tak dapat memberitahu kan."
"Kalau memang tak leluasa, tidak apalah, tak usah
engkau katakan. Karena sicu sudah mengakui tentang
jodoh itu maka tentulah sicu akan menurutkan garis jodoh
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu." "Garis jodoh?"
"Ya."
"Harap cianpwe suka menjelaskan."
Go-leng-cu berhenti sejenak lalu berkata dengan tandas:
"Dengan memiliki seperangkat tulang yang begitu bagus,
sicu kelak dapat menjadi jago nomor satu dalam dunia!"
Mendengar itu tahulah Cu Jiang kemana arah ucapan
paderi tua itu. Jelas paderi itu juga mempunyai maksud
sama dengan Thian-hian-cu tempo hari. Maka tanpa ragu2
lagi, dia segera tersenyum:
"Apakah di dunia ini terdapat jago nomor satu?"
Dengan wajah bersungguh Go-leng-cu menjawab:
"Sudah tentu ada. Dengan memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi setiap orang dapat menjadi jago nomor satu.
Tetapi apa yang di sebut nomor satu itu, hanyalah berlaku
untuk satu masa yang tertentu, menunjukkan suatu
perbuatan yang cemerlang untuk menundukkan sekalian
jago2 silat."
Mendengar penjelasan itu, diam-diam Cu Jiang tertawa.
Walaupun penjelasan itu memang mempunyai landasan
tetapi tampaknya seperti dipaksakan. Ayahnya sendiri
bukankah juga jago nomor satu dalam dunia persilatan"
Mengapa sekarang harus menyingkir dari musuh- musuhnya" Dengan begitu bukankah musuh-musuhnya itu lebih
unggul dari jago nomor satu" Jika begitu tidakkah lebih
pantas kalau musuhnya itulah jago yang nomor satu"
Lalu masih pula pemimpin dari gedung Hitam itu.
Tergolong nomor berapakah dia itu"
Walaupun dalam hati berpikir begitu tetapi Cu Jing tetap
berkata: "Ucapan cianpwe memang benar. "
"Jika begitu bukankah sicu ingin menjadi jago nomor
satu dalam dunia?" seru Go leng-cu.
"Ah, aku tak berani mengharapkan hal semacam itu."
"Bukan mengharapkan tetapi hanya tergantung sicu mau
atau tidak." seru Go-lang-cu.
"Maksud cianpwe. . ."
"Sicu dapat berjumpa dengan loni, sudah suatu jodoh
yang luar biasa," seru Go leng-cu pula.
Diam2 Cu Jiang membatin: "Dalam kalangan Bu-lim
Sam-cu, tokoh yang pertama Gong-gongcu paling tinggi
kepandaiannya. Baik dalam ilmu sastera maupun silat dan
lain2 pengetahuan, dia memang mempunyai kelebihan dari
orang lain. Sedang kedua tokoh yang lainnya belum tentu lebih
unggul dan ayah Cu Jiang sendiri. Mampukah tokoh kedua
Go-leng cu itu menggembleng seorang murid yang kelak
akan menjadi calon jago nomor satu dalam dunia
persilatan"
Tetapi Go-leng-cu mempunyai maksud baik terhadap
dirinya. Cu Jiang tak mau membuat dia kecewa.
"Budi kebaikan cianpwe. kuterima dengan rasa terima
kasih yang tak terhingga," akhirnya ia berkata.
"Engkau . . . engkau tidak mau ?" seru Go-leng-cu.
"Bukan tak mau melainkan tak dapat."
"Mengapa ?"
"Kaum persilatan menarik garis tajam antara perguruan
yang satu dengan yang lain." sahut Cu Jiang.
"Soal itu ?" kata Go-leng-cu, "loni tiada partai merk
perguruan apa2 dan tak ada suatu ikatan sebagai guru dan
murid." Ci Jiang sudah mengambil ketetapan.
"Karena aku sudah mendapat pelajaran dari ayahku
sendiri, aku tak berani melanggar peraturan maka dengan
menyesal terpaksa tak dapat menerima budi kebaikan
cianpwe." Wajah Go-leng cu segera menampilkan kerut kecewa. Ia
memandang lekat2 pada Cu Jiang untuk beberapa saat,
kemudian berkata:
"Apakah sicu tak perlu mempertimbangkan lagi ?"
"Maafkan kalau aku berlaku kurang hormat kepada
cianpwe karena tak dapat menuruti perintah cianpwe !"
"Tahukah sicu bahwa dunia persilatan bakal menghadapi
kekacauan besar ?" tanya Go-leng cu.
"Apakah cianpwe maksudkan... gerombolan-2 Gedung
Hitam itu?"
"Yang kuat akan bersimaharajalela!"
"Maaf, aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Thian telah memberkahi diri sicu dengan seperangkat
tulang yang bagus. Suatu bahan yang apabila ditempa tentu
akan berguna sekali. Dunia persilatan di Tionggoan akan
mengalami kehancuran. Maka harus ada suatu bibit baru
yang tumbuh dan bersemi agar dapat membangun lagi
sebuah dunia persilatan yang baru dan jaya lagi. Adakah
sicu bersedia untuk berkorban demi kepentingan itu?"
"Jika ada kesempatan, sudah tentu aku akan mengerahkan tenagaku," jawab Cu Jiang.
"Mengapa sicu menolak maksudku?"
"Mohon cianpwe suka memberi maaf kepadaku."
Go leng-cu mengucap doa Omitohud, lalu berkata pula:
"Umat Buddha memandang penting soal "jodoh" itu.
Loni tetap akan menunggu saat tibanya jodoh itu dan untuk
sementara akan pergi. Sebelum pergi, loni perlu memberi
peringatan kepada sicu, sebaiknya sicu harus menyembunyikan jejak sicu agar jangan diketahui orang."
Cu Jiang memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih kepada paderi tua itu.
Sejenak memandang pemuda itu lagi, Go-leng-cu segera
ayunkan langkah. Setelah paderi tua itu lenyap dari
pandang mata, barulah Cu Jiang melanjutkan langkah
masuk ke hutan. Keluar dari hutan, dia berhadapan dengan
deretan puncak gunung.
Seketika wajah pemuda itu ber seri2. Ditempat belantara
yang berkabut rimba hijau itulah tempat kediaman dari
kedua orang tuanya. Kegembiraannya me luap2 laksana
burung yang terbang pulang ke sarangnya. Bahkan untuk
mencurahkan kegembiraannya, ia bersenandung.
Sesaat kumandang senandung lenyap, sesosok bayangan
melintas dan menghadang di hadapannya.
Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah. Lebih terkejut
lagi ketika melihat orang itu.
Dari atas kepala sampai kaki, terbungkus dengan kain
hitam. Mengenakan ikat kepala kain hitam, pakaian hitam,
mantel hitam dan bahkan sepatunyapun hitam.
"Pengawal Hitam !" teriak Cu Jiang seketika. Seketika
meluaplah dendam kemarahan pemuda itu. Tangannyapun
cepat meraba tangkai pedang.
"Ho, budak, tiada seorang manusia yang mampu lolos
dari Amanat Maut !" dengus Pengawal Hitam dengan nada
seram. Tring, Cu Jiang mencabut pedang dan menjawab dengan
geram. "Akan kubasmi kalian kawanan anjing2 ini !" Pengawal
Hitam juga mencabut pedang dan berseru:
"Budak, jangan ngoceh tak karuan. Sekarang beritahukan
dulu asal usulmu agar dapat kuberi putusan !"
"Jangan harap ."
"Baik, engkau memilih bunuh diri atau perlu kubunuh ?"
"Jangan menggongong seperti anjing gila!"
"Akan ku belah tubuhmu . . . ." secepat kilat menyambar,
sinar pedang segera mengancam ke tubuh Cu Jiang.
Cu Jiang benci sekali kepada kawanan Gedung Hitam.
Dengan menyeringai dia segera menangkis dengan
pedangnya, Tring, tring, tiing .... denting menghambur, letik
bunga api segera disusul dengan kedua sosok tubuh yang
masing2 menyurut mundur.
Pengawal Hitam sejenak memeriksa pedangnya. Ternyata batang pedangnya telah berhias tiga buah lubang.
Wajahnya makin seram.
"Bagus, budak, kiranya engkau hendak mengandalkan
punya pedang pusaka !"
Tetapi Cu Jiang tak mau menyahut melainkan taburkan
pedangnya menyerang lagi.
Keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang
dahsyat. Dalam beberapa kejap saja sudah sepuluh jurus
lebih tetapi ternyata masih berimbang.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Hanya seorang Pengawal
Hitam saja ternyata sudah sedemikian tinggi kepandaiannya. Tak heran kalau Gedung Hitam dapat
menguasai dunia.
Diam ia malu dalam hati karena teringat akan
ucapannya hendak membasmi gerombolan Gedung Hitam.
Kata2 itu tak lebih seperti orang bermimpi disiang hari.
Tiba2 muncul pula dua orang Pengawal Hitam, Melihat
itu diam2 Cu Jiang mengeluh. Serentak ia keluarkan ilmu
permainan warisan keluarganya ...
"Aihhh" terdengar sebuah pekik ngeri dan Pengawal
Hitam itupun terhuyung mundur tiga langkah lalu jatuh
terduduk di tanah. Dadanya sebelah kiri berhias sebuah
luka sepanjang sejari. Darah merah mengucur deras.
Melihat itu, kedua Pengawal Hitam yang baru muncul
itu sempat menyerang dari kanan dan kiri.
Cu Jiang kembali menyambut dengan sebuah jurus
istimewa. "Auhh .... " salah seorang Pengawal Hitam itu
sempoyongan ke belakang sedang kawannya terlongonglongong. Cu Jiang sudah terlanjur mengumbar kemarahannya.
Cepat ia menusuk Pengawal Hitam yang tercengangcengang itu. Tiing . . . ., Pengawal Hitam itupun terhuyung
kebelakang sampai tiga langkah.
"Serahkan jiwamu !" teriak Cu Jiang seraya menyerang
dengan jurus istimewa lagi.
"Auhhhh..." terdengar jerit teriakan ngeri berkumandang
memecah kesunyian dan Pengawal Hitam itupun rubuh
mandi darah dan putus jiwanya.
Hawa pembunuh sudah berkobar dalam dada Cu Jiang.
Segera ia membabat Pengawal Hitam yang masih duduk di
tanah tadi. Dan seiring dengan jeritan ngeri, Pengawal
Hitam itupun melayang jiwanya.
Melihat itu Pengawal Hitam yang menderita luka ringan
tadi segera berputar tubuh terus melarikan diri.
Tetapi jurus yang dimainkan Cu Jiang itu telah menguras
tenaganya. Dia masih muda dan belum memiliki dasar
tenaga-dalam yang kokoh. Sehabis mengeluarkan jurus
istimewa itu, tenaganyapun habis. Dengan menyanggahkan
pedangnya ke tanah ia berdiri dengan napas terengah2. Dia
tak mampu mengejar Pengawal Hitam yang melarikan diri
itu. "Kembali !" terdengar sebuah teriakan nyaring terdengar
dari samping Cu Jiang.
Cu Jiang terkejut dan berpaling. Kejutnya bukan
kepalang. Seorang Pengawal Hitam tua dengan dikawal
empat orang Pengawal Hitam, entah kapan datang, tiba2
muncul ditempat itu.
Pengawal Hitam tua itu bermulut runcing, mata
menonjol dan wajah seram. Menilik pakaiannya dia
tentulah golongan thau-bak dari Gedung Hitam.
Pengawal Hitam yang melarikan diri tadi segera berhenti
dan kembali menghampiri.
Pengawal! Hitam tua itu sejenak memandang Cu Jiang,
mulutnya segera menyeringai seram.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Ia merasa tenaganya yang telah
habis itu belum dapat kembali lagi dengan cepat.
Bagaimana mungkin menghadapi kelima Pengawal Hitam
yang sakti itu. Jelas tak mungkin. Bahkan berhadapan
dengan seorang saja, mungkin dia hanya dapat bertahan
selama tiga jurus saja.
Pengawal Hitam yang lari dan di panggil kembali tadi,
dengan wajah pucat lesi menghadap Pengawal Hitam tua
dan memberi hormat.
"Hormat kepada Ong thaubak!"
"Ya."
"Budak itu memiliki kepandaian yang diluar dugaan
kami sekalian. . ."
"Tutup mulut !" bentak lelaki tua yang di panggil Ong
thau bak itu," tahu engkau melanggar pasal berapa dari
peraturan markas kita?"
"Hamba berdosa, mohon thaubak . . . . "
"Bilang, pasal ke berapa?" bentak kepala Pengawal
Hitam itu. Bluk, anggauta Pengawal Hitam itu segera menekuk
lutut di hadapan Ong thaubak dan berkata dengan
tersendat-sendat:
"Pasal ke ... . lima!"
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa bunyi pasal kelima itu?"
Dahi Pengawal Hitam itu mulai mengucurkan keringat
sebesar kedelai, kemudian ia menunduk dan berkata dengan
nada gemetar: "Mohon thaubak . . ."
"Engkau menghendaki aku supaya melindungi engkau?"
tegas thaubak yang bermulut lancip itu.
"Ah, hamba tak berani."
"Sebutkan bunyi pasal itu!"
"Takut kepada musuh . . . dan melarikan diri ... . mati!"
"Bagus, engkau sudah menentukan pilihan?"
"Thaubak . . . ."
Thaubak itu berpaling kepada Pengawal Hitam yang
berada di sampingnya. Dan Pengawal Hitam itu terus
loncat ke muka, menusuk punggung Pengawal Hitam yang
berlutut tadi. "Auhhhh!" Pengawal Hitam itu menjerit rubuh tak
bernyawa. Pengawal Hitam yang melaksanakan hukuman itu,
mengusapkan pedangnya yang berlumur darah ke tubuh
korbannya lalu kembali ke tempat semula, seolah tak terjadi
apa2. Menyaksikan peristiwa itu kepala Cu Jiang berdenyut
keras. Sudah dua kali ia melihat kekejaman gerombolan
Gedung Hitam yang tak punya perikemanusian. Jika
terhadap kawan sendiri begitu kejam, apalagi terhadap lain
orang. Thaubak bermulut lancip itu memberi isyarat: "Di sini
sudah beres, bawa mayat itu pulang!"
Keempat Pengawal Hitam mengiakan. Mereka segera
membawa mayat kawannya pergi.
Diam2 Cu Jiang heran. Mengapa si mulut lancip
mengatakan disitu sudah beres" Apa maksudnya"
Setelah pengiringnya pergi barulah thaubak atau kepala
kelompok Pengawal Hitam beralih pandang ke arah Cu
Jiang. "Cu sauhiap, sungguh beruntung kita dapat bertemu, "
tiba2 thaubak itu memberi hormat dan berseru.
Sudah tentu Cu Jiang seperti dipagut ular kejutnya.
Bagaimana dia tahu kalau dirinya orang she Cu.
Sampai beberapa jenak ia tertegun dan tak dapat
menjawab. Thaubak itu tertawa gelak2, serunya:
"Aku Ong Tiong Ki, menjabat thaubak dari Gedung
Hitam. Adakah ayah dan mamah sauhiap baik2 saja?"
Cu Jiang makin terbeliak.
"Aku bukan orang she Cu," akhirnya ia mendapat
pikiran untuk menyangkal.
Sekali lagi Ong Tiong Ki itu tertawa gelak2.
"Ah, mengapa siauhiap tak mau mengaku?"
"Berdasar apa anda mengatakan begitu?" balas Cu Jiang.
"Secara beruntun sauhiap telah membunuh tiga anggauta
Pengawal Hitam. Dan yang sauhiap gunakan itu adalah
ilmu pedang It-kiam-tui-hun, bukan?"
It-kiam-tui-hun artinya Pedang-pemburu nyawa.
Mendengar itu seketika berobahlah muka Cu Jiang.
Namun ia berusaha untuk menenangkan diri.
"Ilmu silat dalam dunia itu beraneka ragam tetapi tetap
tak meninggalkan sumbernya. Hampir mirip dan terdapat
banyak bagian2 yang sama.. ."
Kembali Ong Tiong Ki tertawa geli.
"Siauhiap, ilmu pedang It-kiam-tui-hun itu sudah
diketahui oleh setiap orang persilatan bahwa penciptanya
adalah Dewa-pedang Cu Beng Ko, jago nomor satu dalam
dunia persilatan.. Dan di ketahui orang pula bahwa Dewapedang Cu Beng Ko itu tak pernah mempunyai murid.
Itulah sebabnya dengan mudah aku segera dapat mengenali
diri sauhiap!"
"Ah, mungkin anda salah duga," Cu Jiang.
"Dunia akan geli apabila si Mata-jeli Ong Tiong Ki ini
sampai salah lihat!"
Saat itu Cu Jiang rasakan tenaganya sudah agak pulih.
Apabila ia dapat mengulur waktu, tentulah ia akan lebih
kembali lagi tenaganya. Untung lawan sudah menyuruh
pergi pengiringnya. Maka ia segera tertawa datar.
"Dugaan anda seolah hampir mendekati
tetapi kenyataannya masih jauh sekali," serunya.
"Sikap dan wajah sauhiap menyerupai Dewa pedang Cu
Beng Ko, lalu apa kata sauhiap lagi?"
"Baru kali ini aku mendengar orang berkata begitu!"
sahut Cu Jiang.
"Cu sauhiap..."
"Apakah anda tetap memastikan aku ini orang she Cu?"
tukas Cu Jiang.
"Rasanya takkan salah," seru Ong Tiong Ki, "dalam
hidupku aku sangat mengagumi Dewa-pedang Cu Beng Ko,
sayang karena tiada rejeki, aku tak berjodoh untuk bertemu
muka. Tetapi rupanya keinginanku dikabulkan juga oleh
Thian karena saat ini aku dapat berjumpa dengan Cu
siauhiap. Maukah Cu siauhiap membawa aku menghadap
ayah sauhiap?"
Cu Jiang menyadari bahwa karena menghindari musuh
maka ayahnya sampai beberapa kati pindah tempat. Tak
mungkin ia terpikat oleh Ong Tiong Ki yang belum
dikenalnya. Ia gelengkan kepala:
"Anda salah faham. Tak tahu aku bagaimana harus
memberi penjelasan kepada anda."
Tampaknya Ong Tiong Ki masih bersikap sabar. Dengan
lemah lembut ia berkata pula:
"Apakah karena aku menjadi anggauta Gedung Hitam
maka sauhiap menolak membawa aku kepada ayah
sauhiap?" "Anda benar2 salah faham. Aku bukan putera dan
Dewa-pedang!" cepat Cu Jiang menukas.
"Lalu dari mana asal usul sauhiap ini?"
"Soal itu maaf, aku tak dapat memberi tahu." Tiba2
wajah Ong Tiang Ki mengerut gelap.
"Orang she Cu, aku Ong Tiong Ki, bukan orang yang
mudah dipermainkan!" serunya dengan bengis.
Diam2 Cu Jiang geli karena akhirnya orang itu tak dapat
menahan diri dan menampakkan dirinya yang asli. Diam2
Cu Jiang telah mengerahkan tenaga dan dapatkan bahwa
tenaganya sudah sembilan bagian pulih. Kegagahannyapun
timbul lagi. "Anda bicara menurut seenak lidah anda sendiri saja."
serunya. Wajah suara dari Ong Tiong Ki makin seram. "Bagus.
budak. engkau benar2 tak tahu diri:" Sambil cebirkan bibir,
Cu Jiang menyahut: "Kenal diripun tak perlu memberitahu
kepadamu!"
"Budak, engkau benar2 tak tahu diri. Berani melindungi
dara cantik yang hendak ditangkap perhimpunan Gedung
Hitam. Kemudian berani menentang Amanat-maut dan
sekarang engkau berani membunuh tiga orang Pengawal
Hitam. Tahukah engkau bagaimana engkau harus mati?"
Cu Jiang deliki mata. serunya: "Menurut anda,
bagaimana aku harus mati?"
"Tulang belulang di cacah2 dan dagingmu dijadikan
makanan anjing."
"Kentut!"
"Lihat sajalah!"
Tring, si Mata-jeli Ong Tiong Ki terus mencabut pedang.
seketika suasana penuh diliputi hawa pembunuhan.
Diam2 Cu Jiang telah menghimpun seluruh tenaganya
ke arah pedang. Dia mengharap dengan jurus istimewa
akan dapat menundukkan lawan.
Sepasang mata Ong Tiong Ki yang menonjol, tampak
memancarkan sinar yang tajam. Kemudian pedangnya
pelahan lahan di angkat ke atas. Dengan pembukaan itu
jelas dia telah memandang Cu Jiang seperti seorang lawan
yang tangguh. Tak berani ia meremehkan anak muda itu.
Cu Jiang juga tampak serius sekali. Ia menyadari bahwa
kalau tak mampu menundukkan lawan dengan ilmu pedang
simpanannya, akibatnya tentu runyam sekali.
Terdengar kedua orang itu serempak memekik keras, dan
sesaat kemudian di susul oleh dering senjata beradu.
Cepat sekali serangan itu berlangsung dan pada lain saat
keduanyapun segera mundur dua langkah ke belakang.
Terdengar napas mereka memburu keras.
Bahu sebelah kiri dari si Mata jeli Ong Tiong Ki
berlumuran darah merah. Tetapi lukanya hanya bagian luar
saja. Cu Jiang terkejut sekali. Jurus yang dilancarkan itu,
merupakan jurus terhebat dari ilmu pedang It-kiam-tuihong. Tetapi ternyata hanya mampu membuat musuh
terluka ringan saja.
Ong Tiong Ki tertawa menyeringai.
"Hai, budak, engkau benar2 berisi. Sayang belum
sempurna. Jika serangan tadi dimainkan oleh Dewa-pedang
Cu Beng Ko, saat ini aku pasti sudah jadi mayat !"
Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Cu Jiang
memang belum dapat mencapai tataran yang tinggi dalam
ilmu pedang ajaran ayahnya itu. Sudah tentu kesaktian dari
ilmu pedang itu jauh berkurang sekali perbawanya.
Cu Jiang diam2 bingung. Ia merasa tenaga-dalamnya
mulai berkurang lagi. Memang tampaknya ia masih tetap
tenang2 saja agar lawan jangan mengetahui kelemahannya.
Saat itu Ong Tiong Ki mulai maju lagi.
Setelah jaraknya cukup untuk menyerang, segera ia
menggembor keras dan mulai menyerang lebih dulu.
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang kerahkan sisa
tenaganya. Ia tetap menggunakan ilmu pedang It kiam-tuihun untuk bertahan dan menyerang.
"Huh . . ." terdengar desah tertahan dan tubuh Cu Jiang
sempoyongan ke belakang, pedangnya hampir terlepas.
Ong Tiong Ki tertawa mengejek.
"Budak, kiranya kepandaianmu hanya begitu saja!"
serunya. Lalu menyerang lagi.
Cu Jiang sudah tak mempunyai tenaga untuk menangkis
lagi. Ia mengisar langkah kesamping untuk menghindar.
Tetapi setelah serangannya itu luput, Ong Tiong Ki tetap
mengejarnya dan menghujani lagi serangan yang lebih
gencar. "Auh !" terdengar desuh mengerikan. Cu Jiang menderita
tiga buah luka. Bahu kiri, dan dada kiri kanan. Pakaiannya
yang putih segera berlumuran darah merah.
Ong Tiong Ki maju selangkah dan lekatkan ujung
pedang pada dada Cu Jiang. Dengan gembira ia tertawa
mengekeh. "Ho, budak, sekarang bukankah engkau melihat
buktinya?"
Cu Jiang meraung seperti singa terluka:
"Ksatria rela dibunuh daripada dihina. Hayo bunuhlah !"
"Ah, tidak seenak itu."
"Apa maksudmu ?"
"Sebelum tahu siapa dirimu, memang engkau tentu
kubunuh. Tetapi setelah tahu engkau ini putera dari Dewapedang Cu Beng Ko, maka lain lagi urusannya."
"Maksudmu ?"
"Sudah tujuh delapan tahun Cu Beng Ko menyembunyikan diri. kali ini dia mau tak mau harus
keluar !" Cu Jiang meraung lalu muntah darah.
"Budak, ayo jalan!" bentak Ong Tiong Ki.
"Tidak bisa," suruh Cu Jiang pelahan.
"Jangan engkau membawa kemauanmu sendiri !"
"Kalau mau bunuh, bunuhlah . . . ."
"Sekarang belum dapat membunuhmu. Pohcu (pemimpin) kami tentu akan gembira sekali menyambut
kedatanganmu !"
Cu Jiang terkejut. Adakah musuh yang dihindari
ayahnya itu ternyata pemimpin Gedung Hitam "
"Siapa poh-cu kalian itu?" tanyanya. "Engkau tak pantas
bertanya begitu !"
"Kalau aku masih dapat hidup, hinaanmu saat ini, kelak
tentu akan kubalas!"
"Hahaha," Ong Tiong Ki mengekeh," budak, rupanya
engkau bermimpi."
Tiba2 mengangkat tangan dan melentikkan jarinya. Dia
gunakan ilmu menutuk dari jarak jauh dan tepat mengenai
jalan darah Jien-ma-hiat (pelemas) pada tubuh Cu Jiang.
Anak muda itu serentak rubuh.
Ong Tiong Ki menyarungkan pedangnya lagi lalu
berseru. "Budak, mari kita jalan !" ia terus mencengkeram tubuh
Cu Jiang. Cu Jiang masih dapat mendengar dan melihat tetapi tak
dapat berkutik. Ia hanya deliki mata memandang Ong
Tiong Ki tetapi tak dapat berbuat apa2. Betapa kemarahan
dan penderitaan hatinya saat itu, benar2 sukar dilukiskan.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara kuda
meringkik. Ong Tiong Ki pasang telinga lalu menggeram
marah: "Hm, setan mana yang berani mengganggu kudaku itu !"
Ia terus lepaskan tubuh Cu Jiang dan lari menuju kearah
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara itu. Baru saja orang itu pergi, Cu Jiang segera
mencium bau yang harum dan tahu2 ia rasakan tubuhnya
diangkat orang lalu dibawa lari masuk ke dalam hutan.
Saat itu tubuh Cu Jiang masih lemas. Dia tak dapat
berkutik sama sekali. Ia tahu bahwa yang menolong dirinya
itu tentu seorang gadis tetapi ia tak berdaya untuk melihat
wajah penolongnya itu.
Beberapa kejap kemudian, mereka sudah terpisah
beberapa li dari tempat tadi. Hutan itu sebuah hutan
belantara yang lebat sekali sehingga tak tertembus sinar
matahari. Cu Jiang diletakkan diatas sebuah tumpukan daun kering
yang lembut dan sesaat kemudian terdengar suara seorang
wanita berseru:
"Siau Hui, bukalah jalan darahnya yang tertutuk itu !"
Terdengar seorang gadis yang berada dekat di
sampingnya berseru:
"Nona, mengapa engkau melakukan hal Ini ?"
"Entah, aku sendiri juga tak tahu." sahut suara yang
merdu. "Apabila hal ini sampai tersiar..."
"Hanya aku dan engkau yang tahu, siapa yang akan
membocorkan lagi?"
"Tetapi . . ."
"Sudahlah, jangan membantah, lekas engkau bebaskan
jalan darahnya."
"Baiklah."
Setiap angin membentur tubuh Cu Jiang dan seketika itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es 22 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama