Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 10
mengangkat nama. Namanya termasyhur di seluruh
Tionggoan. Pada tahun itu akupun mengutus seorang anak
murid. Kebetulan melihat ayahmu sedang memuji
kepandaian dengan seseorang. Dalam sepuluh jurus,
ayahmu dapat mengalahkan orang itu. Kemudiam anak
murid yang kuutus itu segera mencari orang yang
dikalahkan ayahmu dan mendatanginya. Dalam delapan
jurus, anak muridku dapat mengalahkannya. Dari hal ini
engkau tentu jadi jelas."
Tergetar hati Cu Jiang, pikirnya: "Jika ayah dapat
mengalah dalam sepuluh jurus tetapi murid yang diutusnya
itu mampu mengalahkah dalam delapan jurus: jelas jauh
sekali perbedaannya . . ."
Tetapi segera Cu Jiang teringat bahwa jika tidak sangat
terpaksa memang mendiang ayahnya tak mau mengeluarkan jurus It kiam tui hun yang diandalkannya itu.
"Masih meragukan, " serunya.
Wajah Busan sinli berobah, serunya:
"Apa maksudmu?"
"Mendiang ayahku masih tak mau mengeluarkan seluruh
ilmu kepandaiannya. "
"Bagaimana engkau tahu?"
"Setelah menciptakan sebuah ilmu pedang sakti, jika tak
terpaksa ayah tak mau menggunakannya. "
"Ketahuilah, bahwa selama melancarkan sepuluh jurus
serangan itu, masakan ayahmu tak menggunakannya?"
"Menurut dugaan memang tidak," jawab Cu Jiang,
"karena setiap kali jurus itu digunakan tentu lawan terluka
atau binasa. Dan pula ayah mengingat karena pertempuran
itu hanya semacam menguji kepandaian bukan suatu
pertempuran antara musuh. Tentu ayah tak mau
menggunakan jurus maut itu."
Bu san sin li mengangguk.
"Mungkin engkau benar," katanya, "mari, kita minum
lagi." Habis berkata dia terus mengangkat cawan dan saling
beradu cawan dengan Cu Jiang.
Beberapa saat kemudian kembali Bu-san-sin li berkata
serius: "Kalau menurut keteranganmu tadi, bukankah penilaianku pada waktu dulu itu salah ?"
"Mungkin."
"Apakah engkau juga mampu menggunakan Jurus ilmu
pedang sakti ciptaan ayahmu itu ?"
"Dapat."
"Bagaimana tingkat penguasaanmu kalau di banding
dengan ayahmu dulu ?"
"Aku berlatih dengan susah payah."
"Ketika tadi ia membunuh kedua lelaki tua baju hitam
itu apakah juga menggunakan jurus ilmu pedang itu."
"Bukan."
"Hm, maka kuduga ilmu kepandaianmu bukan berasal
dari dunia persilatan Tionggoan tetapi dari suatu sumber
yang aneh . . .."
"Ya, kutahu," tiba2 wajah Cu Jiang terkesiap menyadari
sesuatu. "Apa yang engkau ketahui ?"
"Sin li meminta aku mengobati penyakit suami Sin-li,
bukankah tak lain dan bertanding ilmu pedang ?"
"Tepat,"
seru Bu-san sin-li, "inilah maksudku mengundang engkau ke dalam keraton sini."
"Lalu bagaimana yang harus kulakukan?"
"Tundukkan dia agar nafsunya untuk mencari orang
yang dapat mengalahkan dirinya, dapat padam."
Darah muda Cu Jiangpun serentak berkobar. Demi
menjaga nama baik ayahnya, dia harus meluluskan
permintaan Bu san sin li.
"Apakah aku mampu?" tanyanya.
"Mungkin mampu, tetapi . . ."
"Apakah masih ada petunjuk lagi?"
"Akan kuterangkan lebih dulu kepadamu. Kalau engkau
sanggup, terserah apa saja yang hendak engkau lakukan. "
"Apa maksud Sin-li?"
"Selama berpuluh tahun menyembunyikan diri, perangai
suamiku berobah aneh sekali. Begitu turun tangan mungkin
dia tak peduli lagi siapa musuhnya . . ."
"Apakah harus sampai berdarah?"
"Mungkin begitu. Kalau engkau tak sanggup menghadapi bahaya, silahkan pergi."
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Bukan soal menghadapi bahaya tetapi soal pertempuran
itu. Aku yang berlumur darah atau suami anda."
Wajah Bu san sin li mengerut.
"Aku hendak mengajukan permohonan yang kurang
layak. " "Apakah itu?"
"Kalau ilmu pedangmu memang lebih tinggi dari
suamiku, harap membatasi diri untuk menutuknya saja."
Permintaan itu memang kurang layak dan lebih banyak
dipengaruhi dengan kepentingan peribadi. Cu Jiang tertawa
hambar: "Kalau suami Sin li lebih sakti, aku tetap harus
berlumuran darah?"
Merah muka Bu san-sin-li.
"Itulah sebabnya maka lebih dulu kukatakan bahwa
permohonanku itu kurang layak. Tetapi, aku tentu akan
berusaha untuk menghentikan adegan-adegan yang mengerikan itu."
"Baik." sahut Cu Jiang dengan wajah serius, "kuterima
permintaan Sin-li."
Bu san-sin-li mengangkat cawan arak dan berseru:
"Lebih dulu kuhaturkan arak terima kasih kepadamu."
Setelah minum, Cu Jiangpun tinggalkan tempat
perjamuan itu dan duduk kembali di tempat semula.
Demikianpun Bu-san-sin li. Beberapa dayang baju hijau lalu
membenahi meja perjamuan.
Bu-san sin-li membisiki beberapa patah kata kepada
dayang yang berada di sampingnya dan dayang itupun lalu
bergegas ke luar. Tak berapa lama dia kembali lagi dan
memberi laporan kepada Bu san-sin-li bahwa semua telah
dipersiapkan. Dari luar tiba2 tampak penerangan yang terang sekali.
Dua orang dara membawa galang yang ujungnya diberi
mutiara cemerlang tegak di ujung ruang.
"Cu sauhiap, apakah sudah siap ?" tegur Bu-san-sin-li.
"Aku tak mempunyai persiapan apa2." kata Cu Jiang.
"Baik, Jika begitu silahkan menuju keluar ruang !"
Sepanjang lorong serambi telah disediakan tempat
duduk. Cu Jiang dan Bu-san-sin-li lalu duduk di kursi yang
sudah disediakan.
Sesungguhnya Cu Jiang merasa tak enak hati. Demi
menegakkan keharuman nama mendiang ayahnya, dia
telah menerima adu ilmu pedang dengan syarat yang aneh
itu. Pendekar Patah-hati itu seorang tokoh aneh pada Jaman
seratusan tahun yang lalu. Dapatkah ia menghadapinya
nanti, sama sekali belum diketahuinya.
Begitu pintu disudut terbuka maka muncullah seorang
jago pedang pertengahan umur dengan mengenakan
pakaian yang gemilang.
Kecuali kerut wajahnya agak gelap, semangat dan
tampangnya menunjukkan bahwa dia seorang pria yang
cakap. Cu Jiang benar2 heran tak mengerti, inikah yang disebut
Pendekar Patah Hati itu" Apakah dia sudah berumur
seratusan tahun "
Pada saat Cu Jiang sedang mengambang renungan, jago
pedang setengah tua itupun pelahan-lahan melangkah ke
tanah lapang yang berada di muka ruang.
Cu Jiang mengalihkan pandang matanya kearah Bu-sansin-li. "Dialah suamiku, silakan turun ke lapangan" suaranya
agak tegang. Setelah memberi hormat, Cu Jiangpun segera menuju ke
tanah lapang. Ia tak sempat lagi untuk melontarkan
pertanyaan2 yang terkandung dalam hatinya.
Saat itu si jago pedangpun sudah tiba di tengah dari
persilangan jalan dari taman bunga yang berbentuk bundar.
Dengan pandang berkilat-kilat tajam ia menatap Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tenang2 saja melanjutkan langkah
dan tegak di hadapannya.
"Beritahukan namamu!" sampai beberapa lama baru Cu
Jiang membuka mulut. Nadanya dingin sekali.
"Putera tunggal dari Dewa Pedang yang bernama Cu
Jiang." Sahut Cu Jiang dengan nada yang tak kalah dingin.
"Ha, ha, ha, ha! Dewa-Pedang, berani benar menganggap diri sebagai Dewa !"
"Itu kaum persilatan yang memberikan nama Gelar
bukan suatu kebanggaan !"
"Tetapi apakah pedang itu mempunyai Dewa?"
"Ilmu sastra setara dengan ilmu silat, berbeda tetap sama.
Beberapa tokoh jaman dulu yang disanjung sebagai dewa,
tentu takkan mengecewakan namanya."
"Tetapi sudah berpuluh tahun aku tak bertemu dengan
lawan yang mampu mengalahkan, lalu bagaimana
katamu?" "Dalam dunia ini banyak tunas2 berbakat dan manusia2
yang luar biasa. Soalnya hanya belum dapat berjumpa
dengan mereka saja."
"Apakah engkau merasa bangga sebagai putera Dewapedang?" "Ah, tidak. Aku hanya sekedar melakukan sesuatu yang
tidak mengecewakan harapan orang tuaku."
"Lalu engkau bersedia hendak mengukur kepandaian
denganku?"
"Hanya sekedar tukar menukar pengetahuan saja."
"Berapa umurmu?"
"Dua puluh."
"Tahu berapa umurku ?"
"Kemampuan tak menghiraukan soal umur2"
"Kalau begitu aku tak berguna hidup seratusan tahun ?"
"Aku tak bermaksud mengatakan begitu."
"Kalau engkau menyandang nama tanpa kenyataan,
tahukah engkau bagaimana akibatnya."
"Aku tak meresahkan soal mati atau hidup."
"Belum sampai pada tingkat itu."
"Lalu bagaimana?"
"Aku hendak membasmi semua jago2 pedang ternama
dalam dunia ini."
Cu Jiang mendengus. "Hm, Janganlah anda kelewat
bernafsu besar!"
Sijago pedang setengah tua itupun mendesus dan
memandang Cu Jiang tajam2.
"Takkan kubiarkan kawanan berandal tak berguna itu
menggunakan keluhuran nama Dewa."
"Lalu apa tujuan anda belajar ilmu pedang ?"
"Mengembangkan ilmu pedang."
"Tetapi dengan cita2 hendak membunuh semua jago
pedang di dunia ini, apakah tidak menghancurkan
kemajuan ilmu pedang?"
"Ngaco!"
"Aku berkata secara wajar."
"Hm, kalau engkau hanya bernama kosong tak ada
buktinya, engkaulah yang pertama akan mati!"
"Kalau aku berhasil dapat menerima beberapa jurus ilmu
pedang anda ?"
"Sejak saat ini nama Pendekar Patah - hati akan hapus
dari dunia persilatan !"
Rupanya Jago pedang itu terpengaruh oleh emosi. Cu
Jiangpun tertawa hambar.
"Ah, tak perlu harus begitu. Sesungguhnya dalam dunia
ini tiada terdapat jago pedang yang tak ada tandingannya.
Ilmu silat itu tiada batasnya. Jika anda memang tidak
mengejar nama dan tidak memburu keuntungan melainkan
hanya bertujuan hendak memajukan ilmu pedang, mengapa
harus mempertaruhkan kehormatan nama?"
"Huh, engkau belum layak memberi nasehat kepadaku !"
Cu Jiang hendak berkata tetapi tak jadi. Berdebat dengan
seorang yang dirangsang emosi tiada gunanya.
"Bagaimana kalau sekarang kita segera mulai?" serunya.
Dan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai. engkau menggunakan pedang kutung?" Pendekar
Patah-hati berteriak kaget.
"Ya" "Engkau berani memandang rendah aku?"
"Memang inilah senjata yang kupakai!"
"Apa engkau tahu bahwa, panjang pendeknya senjata itu
akan menentukan kemenangan ?"
"Tahu."
"Disini kita menyediakan pedang, engkau boleh tukar
mana yang engkau sukai."
"Tak usah !"
Sejenak Pendekar Patah-hati merenung lalu pelahanlahan menghunus pedang, serunya.
"Kalau begitu, bersiaplah menyambut seranganku."
"Lebih dulu aku hendak berkata."
"Silakan."
"Entah menang entah kalah, mati atau hidup, aku hanya
melakukan serangan satu jurus saja, takkan sampai dua
jurus..." "Ha ha, bagus, bagus! Jika kesaktianmu sebesar mulutmu
yang sombong itu, hari ini aku benar2 bertemu dengan
seorang jago pedang yang sejati!"
"Dan..." kata Cu Jiang pula, "sejurus permainan pedang
yang kulakukan nanti adalah ajaran dari almarhum ayahku.
Hal ini perlu kukatakan lebih dulu. "
"Ho, rupanya engkau mabuk dengan nama gelar Dewa
pedang dari ayahmu?"
"Menjadi anak orang harus melanjutkan cita2 ayahnya."
"Ha, ha, ha, hi, sungguh besar sekali nyali mu.
Bersiaplah!"
"Silakan."
Keduanya segera pasang kuda2, saling berpandangan
dengan penuh perhatian. Suasana hening sunyi tetapi penuh
ketegangan. Berpuluh dara baju hijau dan putih tegak ber jajar2 di
sekeliling tepi lapangan. Satupun tak ada lelaki. Tentulah
kawanan dara itu tak mau melewatkan kesempatan untuk
menyaksikan pertandingan in pedang yang jarang terdapat
dalam dunia persilatan seperti itu.
Cu Jiang telah menghimpun dan memusatkan segenap
semangat perhatiannya. Seolah-olah dirinya sudah menunggal dengan pedang.
Pendekar Patah-hati juga seperti patung. Matanya tak
berkedip sama sekali.
Dua buah hawa pedang yang seram mulai bertebaran
membawa bayang2 maut. Bu-san-sin-li segera berbangkit
dan berdiri di titian. Dia tampak tegang sekali.
Memang dapat dimengerti. Cu Jiang adalah orang yang
diundangnya sedang yang menjadi lawan adalah suaminya
sendiri. Mungkin pertandingan itu akan berakhir dengan
suatu kesedihan.
"Benarkah tindakanku ini?" ia bertanya dalam hati.
Tetapi keadaan sudah seperti itu, sukar untuk dibatalkan
lagi. Detik demi detik berjalan tegang. Kedua belah pihak
sama2 menyadari bahwa kali ini mereka berhadapan
dengan lawan yang paling berat yang pernah dihadapinya.
Mati hidup, menang dan kalah, hanya tergantung pada
perobahan setiap saat.
Setengah jam, lalu satu jam telah berlalu. Bagi yang
bertempur, setengah dan satu jam, seperti tak terbuang sia
sia. Tetapi bagi yang melihat, mereka merasa menunggu
satu tahun lamanya!
Ketegangan suasana menyebabkan orang sampai tak
berani bernapas. Bagaimana nanti akhir pertempuran itu
tiada seorang yang dapat membayangkan.
Cuacapun makin terang. Bintang2 mulai pudar sinarnya.
"Hait hait..."
Tiba2 dua buah suara gemboran keras memecah
kesunyian. Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Yang
tampak hanya sinar pedang memancar lalu padam lagi.
Tampak orang merapat lalu berpencar lagi.
Pertarungan antara dua buah pedang yang berdering
nyaring, benar2 merontokkan hati orang. Sinar pedang
berhamburan memenuhi sekeliling, daun dan ranting
berguguran dan kawanan
dara yang menyaksikan disekeliling tepi lapangan itupun pucat seketika.
Bu-san-sin-li menutup mukanya dengan ujung lengan
baju. Ia tak berani melihat akhir pertempuran itu.
Tampak pedang Patah-hati berkerenyutan wajahnya.
Pedangnya ditekan ke tanah untuk menyanggah tubuhnya
yang bergemetar keras.
Sedangkan Cu Jiang masih memegang pedang yang
terangkat keatas. Pedang miring tetapi tak sampai jatuh.
Wajahnya membesi.
Beberapa waktu kemudian tiba2 Pendekar Patah-hati
memekik keras: "Aku kalah. kalah sejurus . . ." kemudian dia tertawa
nyaring. Nadanya panjang menggemuruh bagai ombak
menyapu. Bu-san-sin li membuka ujung lengan bajunya dan
menghela napas panjang.
Cu Jiang pelahan-lahan menyarungkan pula pedang
kutungnya. Walaupun sikapnya tampak tenang tetapi
sesungguhnya hatinya berguncang keras.
Kemenangan yang direbutnya itu benar2 tak mudah.
Hanya karena ia memiliki tenaga dalam yang hebat berkat
mendapat rejeki luar biasa mempelajari kitab pusaka negeri
Tayli, maka dapatlah ia memenangkan sebuah gerak dalam
jurus permainannya.
Memang apa yang digunakan Cu Jiang saat itu bukan
ilmu pedang Thian-te kau thay yang terdapat dalam kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dari negeri Tayli.
Apabila Cu Jiang menggunakan jurus Thian-te-kau thay
dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, pendekar Patahhati tentu bukan hanya kalah satu jurus tetapi pasti akan
mengalami akibat yang mengerikan yaitu kalau tidak mati
tentu terluka parah.
Tetapi demi menjaga martabat nama Dewa-pedang dari
mendiang ayahnya, Cu Jiang tetap memakai jurus It-kiamtui-hun. Memang berbahaya tetapi dia sudah memperhitungkan akibatnya.
"Ah, anda mengalah," seru anak muda itu dengan nada
dingin. Pendekar Patah-hati memegang pedang dengan tangan
kiri lalu tangan kanannya menekuk. trang . . . pedang
kutung menjadi dua.
Sekalian orang yang berada di gelanggang pertempuran
itu seketika pucat wajahnya.
Diam2 Cu Jiangpun menyesal. Dia mengakui pendekar
Patah hati itu memang seorang jago pedang yang sukar
dicari tandingnya. Jika dirinya tak mendapatkan sesuatu
rejeki yang luar biasa, tak mungkin dia mampu
mengalahkan jago pedang itu.
Setelah melemparkan kutungan pedang ke tanah,
pendekar Patah hati tertawa nyaring.
"Sejak saat ini aku takkan membicarakan ilmu pedang
lagi. Toan kiam jan-jin, sejak seratus tahun ini, engkaulah
sesungguhnya jago pedang nomor satu dalam dunia
persilatan!" serunya.
Ia berputar tubuh lalu berjalan pelahan-lahan dan lenyap
di ujung pintu.
"Oh, terima kasih Bumi dan Langit, inilah penyelesaian
yang menggembirakan sekali." terdengar Bu-san-sin li
berseru dengan tegang.
Cu Jiang berputar tubuh menghadap ke arah Sin-li,
serunya: "Maaf atas kekurang-ajaranku!"
"Penyakit suamiku sudah sembuh sama sekali. Sungguh
aku berterima kasih kepadamu." seru Sin-li.
"Ah, janganlah Sin-li mengucap begitu."
"Cu sauhiap, apakah permintaanmu?"
"Tak ada, hanya akan mohon diri." Cu Jiang tertawa
hambar. "Apa tidak ada lain lagi?"
"Tidak .... kecuali .... ada sedikit pertanyaan yang
hendak kumohonkan penjelasan Sin-li."
"Katakan."
"Menurut kata orang, Sin li sudah berusia seratusan
tahun . . ."
Bu san sin li tertawa cerah.
"Semua penghuni dalam keraton ini, tak ada yang
umurnya kurang dari lima puluh."
"Ah, bagaimana mungkin" " Cu Jiang terkejut.
"Ini suatu rahasia," kata Bu san sin li dengan wajah
bersungguh, "harap setelah meninggalkan tempat ini, Cu
sauhiap suka menyimpan rahasia."
"Baik."
"Istana Sin li kiong itu menembus sampai ke pusar
gunung. Di situ mengeluarkan suatu sumber air Giok ciok
leng lu (susu dari batu kumala). Semua penghuni istana itu
minum susu itu dapat ternyata dapat membuat kita awet
muda." Cu Jiang terkejut.
"Jika begitu bukankah usianya akan abadi bersama
dengan bumi dan langit." serunya. Bu san sin li tertawa.
"Mustika langit dan bumi memang mampu menentang
takdir alam. Dapat membuat wajah takkan tua selamalamanya. Tetapi umur manusia tetap terbatas. Mana
mampu menyamai bumi dan langit. Paling2 hanya lebih
lama dari manusia kebanyakan. "
Memandang ke arah kawanan gadis2 cantik yang
berseliweran itu, timbullah rasa heran dalam hati Cu Jiang.
Masakan dara2 yang muda belia itu ternyata sudah
berumur lima puluh tahun lebih. Apabila tidak mendengar
keterangan dari Sin li sendiri, sudah tentu dia takkan
percaya! Dunia yang seluas ini ternyata memang penuh dengan
segala macam keanehan.
"Ya, itu memang benar," akhirnya dia mengangguk
membenarkan keterangan Sin li.
Saat itu cuaca sudah terang. Dia dapat memperhatikan
bahwa istana Sinlikiong itu terletak di tengah cekung perut
gunung. Empat kelilingnya merupakan dinding karang yang
curam. Sedang istana itu menempati sebuah dataran seluas
satu bahu lebih. Sungguh merupakan sebuah gua langit
yang istimewa. Lembah Mo jin koh tempat tabib sakti Kui Jiu sin jin
merupakan sebuah taman firdaus atau tempat kediaman
dewa. Tetapi kalau dibanding dengan istana Sin li kiong
masih tetap kalah.
Bu san sin li berbisik-bisik memberi pesan kepada gadis
di belakangnya dan gadis itupun segera mengundurkan diri.
Cu Jiang teringat akan Thian put thou dan Ang Nio Cu.
Dia ingin lekas2 menemui mereka maka diapun segera
pamit. "Harap tunggu sebentar." kata Sin li.
"Apakah Sin li masih mempunyai pesan lagi?"
"Ya, sedikit."
"Harap suka memberitahu."
"Engkau dapat masuk ke dalam istana dan membantu
urusanku, jelas hal itu merupakan suatu jodoh. Ada sebuah
barang yang hendak kuberikan kepadamu sebagai kenangkenangan."
"Oh, ini . . . . aku tak berani menerima, terima kasih. "
"Tunggu, sebentar lagi tentu datang."
Tak berapa saat gadis itupun muncul dengan membawa
sebuah kotak emas. Dengan kedua tangan dia menghaturkan kotak itu kepada Bu san sin li.
Setelah menerima kotak, Bu san sin lipun ayunkan
langkah turun ke titian menghampiri ke tempat Cu Jiang,
membuka kotak emas itu.
"Ini sebuah mustika Thian ju cu, mustika yang
mempunyai khasiat memunahkan racun. Jika engkau bawa,
engkau bebas dari terkena segala macam racun. Dan
apabila bertemu dengan orang yang terkena racun, asal
engkau tempelkan pada mulutnya dalam sekejap saja tentu
racun itu akan tawar. Akan kuberikan kepada sauhiap
sebagai tanda kenang2an dari istana Sin li kiong."
Melihat mustika Thianjucu itu hanya sebesar buah
kelengkeng dan berwarna putih kemilau, Cu Jiang tak
berani memandang remeh.
"Ah, bagaimana aku layak menerima pemberian yang
begini berharga..."
"Tak perlu siauhiap sungkan. Mustika itu tentu berguna
sekali dalam perkelanaanmu di dunia persilatan."
"Jika begitu, akupun menurut perintah Sinli."
"Silakan menyimpannya."
Cu Jiang mengambilnya dengan jari lalu disimpan dalam
baju. Ia menghaturkan terima kasih dan terus pamit.
"Jika engkau memang hendak tergesa-gesa, silakan," kata
Sin-li lalu berpaling seraya memberi perintah kepada gadis
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memegang kipas, "antarkan Cu sauhiap keluar."
Gadis itu segera serahkan kipas kepada seorang gadis
lain lalu berpaling kepada Cu Jiang, "Silakan ikut aku."
Setelah memberi hormat lagi kepada Sin-li, Cu Jiang lalu
mengikuti gadis itu melangkah keluar seperempat jam
kemudian barulah mereka keluar dari barisan batu.
"Cu sauhiap, harap suka membawa aku," tiba2 gadis itu
berkata. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. "Apa" Membawamu
pergi?" serunya. Gadis itu menghela napas sedih dan
mengiakan. "Apakah engkau tak kembali ke dalam istana?"
"Tidak, aku sudah jemu dengan kehidupan dalam neraka
itu." "Tempat dewa yang tiada taranya di dunia, dapat
membuat orang awet muda, masakan engkau katakan
sebagai neraka?"
"Berbulan-bulan, bertahun-tahun hidup didalam perut
gunung yang tak kena sinar matahari, apakah bukan neraka
namanya?" "Apakah masih kurang baik?"
"Manusia," kata gadis itu, "harus menuntut kehidupan
sebagai layaknya manusia. Walaupun tetap awet muda
tetapi tak mungkin lari dari kematian. Mengapa tidak hidup
wajar menurut kodrat alam sebagaimana lazimnya
manusia?" Rupanya Cu Jiang dapat mengerti isi hati gadis itu. ia
mengangguk. "Jika begitu, apakah kawan-kawanmu yang berada di
istana itu hanya lahirnya saja tampak bahagia?"
"Ya."
"Kalau memang begitu, mengapa tak tinggalkan tempat
itu saja ?"
"Tak mungkin dapat."
"Kenapa?"
"Kami telah dipaksa untuk menelan pil beracun. Tiap 3
hari sekali, kami harus menelan obat penawar racun itu.
Jika kami tinggalkan tempat itu dalam tiga hari pasti mati!"
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Dia tak
menyangka bahwa Bu san-sin li yang tampaknya seperti
seorang dewi, ternyata menggunakan cara sekejam itu
untuk menekan anak-buahnya.
"Kalau engkau pergi, bukankah engkau akan mati?"
"Bukankah Sin li telah memberikan Thian-ju cu yang
dapat menawarkan racun itu ?"
"Oh kiranya engkau mengincar benda itu."
"Mohon sauhiap sudi meminjamkan untuk menolong
jiwaku," nona itu setengah mengharap.
"Ini . . ."
"Apakah sauhiap menolak?"
"Tetapi bukankah hal itu bertentangan dengan Sin-li "
Mustika ini dia yang memberi !"
"Dayang2 dalam istana berjumlah puluhan, bukan hanya
aku seorang."
"Tetapi tindakanmu menyalahi kebaikan Sin-li."
Dengan berlinang-linang airmata, nona itu memandang
Cu Jiang, "Kalau memang demikian nasibku." katanya dengan
sedih. "lebih aku mati asal mati di luar."
Habis berkata dia terus lari. Cu Jiang terkejut dan cepat
mengejarnya. "Sudahlah, ambil saja benda ini." katanya seraya
menyerahkan mustika Thian-ju-cu itu.
Bercucuran air mata nona itu ketika memandang Cu
Jiang. "Budi sauhiap, sungguh tak dapat kubalas," katanya lalu
menyambuti mustika itu terus dikulum kedalam mulut.
Beberapa waktu kemudian ia muntahkan mutiara itu lagi.
wajahnya tampak ceria dan berlinang-linang airmata
kegirangan. Ia mengembalikan mutiara itu kepada Cu Jiang
lagi. "Namaku Tang Yin Yin. berasal dari daerah Han. Lima
puluh tahun yang lalu aku telah diculik dan dibawa
kedalam istana. ..."
"Lima puluh tahun yang lalu?"
"Ya."
"Lalu sekarang engkau . . . "
"Enam puluh delapan tahun."
"Enam puluh delapan?"
"Ya."
"Ah, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap mengira kehidupan dalam istana itu
bahagia ?"
"Ai, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap masih mengira kehidupan dalam istana
Sin li-kiong itu menyenangkan."
"O, tidak! Apakah engkau tetap hendak kembali ke
daerah Han?"
Tang Yin Yin tertawa getir.
"Tidak. Ketika meninggalkan rumah, aku masih muda
belia dan kini sudah menjadi seorang wanita berumur lebih
dari setengah abad. Banyak orang yang sudah tak kenal lagi
siapa diriku. Bahkan keluargaku tentu sudah banyak yang
mati. Dengan wajahku seperti sekarang ini, orang tentu
gempar. Dan juga Sinli tentu akan memerintahkan orang
untuk mengejar aku, maka . . ."
"Bagaimana?"
"Walaupun wajahku masih cantik tetapi umurku sudah
tua, sukar untuk diterima sebagai budak atau pelayan demi
untuk membalas budi sauhiap. Maka aku hendak mohon
diri, kelak apabila masih ada rejeki tentu dapat berjumpa
lagi." "Baik, silakan pergi agar jangan diketahui orang Sin likiong." Sehabis menghaturkan terima kasih dan hormat, wanita
itu terus melesat lenyap dari pandangan.
Cu Jiang masih tertegun. Peristiwa yang di alami malam
itu, sungguh seperti impian. Menilik gerakan Tang Yin Yin
tadi, sudah jelas dia memiliki ilmu kepandaian setingkat
dengan jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Kini wanita itu sudah bebas dari penghidupan seperti
neraka. Tetapi bagaimana dengan kawanan nona yang
masih berada di Sin li-kiong itu"
"Hai, adik kecil, kukira engkau mendapat kesulitan, ah.
membuat bingung hatiku saja!" seru Thian-put-thou yang
berlarian menyongsong kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang amat bersyukur sekali. Manusia thian-put-thou
yang tak peduli segala apa di dunia, bahkan apabila langit
ambruk diapun takkan mempedulikan, ternyata begitu
menaruh perhatian besar kepada dirinya.
"Lo-koko, maafkan aku," serunya.
"Apa yang terjadi ?"
"Aku memburu suara harpa itu."
"Hm, sungguh besar sekali nyalimu. Lalu bagaimana
hasilnya?"
Cu Jiang tak dapat membohongi lo-kokonya itu tetapi
diapun harus menepati janji kepada Bu-san-sin-li untuk
tidak menyiarkan rahasia Sin-li-kiong.
"Lo-koko, semalam aku memang bertemu dengan
peristiwa yang luar biasa," akhirnya ia berkata. "tetapi aku
sudah berjanji kepada orang itu untuk tidak memberitahukan kepada lain orang."
"O, kalau begitu, akupun takkan bertanya lagi." kata
Thian put-thou.
"Apakah semalam lo koko tidak tidur ?"
"Engkau kira aku dapat tidur pulas?"
"Ah, kalau begitu aku yang salah."
"Sudahlah,
mari kita kembali ke gua untuk menghabiskan makanan. Setelah itu baru kita turun
gunung." Selama kembali kedalam gua merekapun masing2
habiskan sisa arak dan makanan setelah itu turun gunung.
Cu Jiang masih mengenakan kerudung penutup muka.
Keluar dari daerah Busan, haripun sudah petang.
Perkampungan masih jauh.
"Lo-koko, kita cari tempat beristirahat atau lanjutkan
perjalanan pada malam hari ?" tanya Cu Jiang.
"Jalan terus."
"O, benar Lo-koko, tolong pinjam kedok muka itu lagi."
"Apa engkau masih mau menyamar ?"
"Ya, kalau tidak jejak kita tentu akan diketahui musuh."
"Disebelah muka sana terdapat perumahan orang, kita
siapkan perbekalan."
Setelah lari beberapa saat mereka memang melihat
beberapa perumahan orang. Thian-put-thou hentikan
langkah. "Tunggu dulu, aku hendak pinjam beberapa barang."
"Apa lo-koko kenal dengan mereka?"
"Hi, hi, dengan siapa saja aku tentu kenal."
Cu Jiang tersadar, serunya : "O, mencuri ?"
"Katakan pinjam, jangan pakai istilah mencuri, kurang
sedap didengar."
Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir diapun
sudah melesat pergi. Tiba2 dari sebuah perumahan itu
terdengar suara anjing menyalak. Tetapi hanya sebentar
terus sepi lagi.
Dan beberapa saat kemudian Thian-put-thou sudah
kembali dengan tertawa mengikik seraya membawa sebuah
bungkusan. "Hasil ?" Cu Jiang menegur tertawa.
"Adik kecil, untuk seperangkat pakaian baru ini akupun
telah meletakkan setahil perak sebagai gantinya, adil
bukan?" "Terlalu banyak," seru Cu Jiang.
"Hayo, lekas engkau ganti pakaian," Thian-put-thou
membuka bungkusan. Isinya seperangkat baju pendek
warna biru, sepasang sepatu yang butut dan sebuah topi
yang berlubang. Diapun mengeluarkan kedok muka dan
diberikan kepada Cu Jiang.
Dalam pakaian Itu Cu Jiang berobah menjadi seorang
pemuda desa. Pedang kutungnya dibungkus dengan
bajunya sendiri dan dipanggul dibahu belakang. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanan lagi.
"Lo-koko, apakah Ang Nio Cu masih berada digunung
itu ?" "Entah."
"Sejak turun gunung kita tak pernah..."
"Sudah kutinggalkan tulisan pada batu di luar gua."
"Ah lo-koko sungguh cermat."
"Apa langkah pertama yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Cari ketua Gedung Hitam untuk membuat perhitungan!" sahut Cu Jiang.
"Tidak mudah untuk mencarinya .... "
"Kalau tak sampai berjumpa dengan anak buah Gedung
Hitam, kita masih punya cara lagi."
"Apakah bersama-sama berjalan dengan engkau, aku
tidak mengganggu?"
"Tidak," sahut Cu Jiang. "dengan pengalaman lo-koko
yang luas, sungguh suatu bantuan yang amat berharga
sekali kepadaku. Tetapi hal ini menyangkut musuh
keluargaku, aku hendak menyelesaikannya seorang diri.
Harap lo-koko jangan salah mengerti,"
"Baik, kalau begitu kita bercerai saja."
"Maaf, lo-koko, ini sungguh terpaksa sekali."
"Kutahu."
"Apakah lo koko tahu letak markas besar dari
perkumpulan Hoa-gwat bun ?"
"Itu merupakan suatu rahasia penting dari mereka. Aku
belum pernah dengar."
"Jadi untuk mencari ketua Hoa-goat-bun, hanya secara
untung-untungan saja ?"
"Tidak sukar." jawab Thian-put-thou, "anak murid
mereka kebanyakan berada ditempat pelesiran. Dapat
diselidiki jejaknya."
"Dan Bu-lim seng-hud Sebun Ong itu?"
"Tempat tinggal orang itu tak tentu, tak pernah terdengar
orang menceritakan tentang rumah-tangganya."
Demikian mereka berpisah dan beberapa hari kemudian
tibalah Cu Jiang di jalan besar yang menuju ke kota
Kengso. Dalam dandanan seperti seorang pemuda dekil, tak
seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya.
Tak ada yang menyangka bahwa dia adalah Toan-kiam
Jan Jin yang termasyhur itu.
-oo0dw0oo- Jilid 17 Menjelang tengah hari, dia tiba ditempat ketika toa
suhengnya, mendiang Ho Bun Cai, tempo
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari membawanya masuk ke Gedung Hitam. Ialah sebuah kota
kecil dimana dia pernah bertemu dengan wanita gemuk
yang ternyata adalah bibinya atau adik dari ayahnya.
Ia segera masuk ke sebuah kedai minum. Kebetulan
tempat yang dulu pernah ia duduki, masih kosong. Dia
segera duduk disitu.
Seorang pelayan menghampiri, mengawasi Cu Jiang
beberapa jenak.
"Mau makan apa ?" tegurnya dengan dingin.
Sudah tentu Cu Jiang marah terhadap tingkah pelayan
yang begitu kasar. Dia hendak berbangkit tetapi pada lain
saat ia teringat bahwa saat itu dia sedang dalam
penyamaran. Terpaksa dia mengekang kemarahannya dan
pura2 bersikap ketolol-tololan seperti seorang desa.
"Aku mau minum arak apa?" katanya.
"Ya, mau minum arak apa?" sahut pelayan.
"Arak putih saja."
"Hidangannya?"
"Apa saja."
Pelayan itu tertawa gelak2.
"Bung, kami tak jual hidangan "apa saja " ! "
Cu Jiang tetap menahan kemarahannya dan berkata
pula: "Seekor ayam, terserah mau dimasak apalah!"
"Baik, harap tunggu." kata pelayan terus ngeloyor.
Kedai makan itu termasuk yang paling mewah di kota
kecil itu. Orang desa pada umumnya tak berani masuk ke
situ dan Cu Jiang termasuk yang paling gengsi.
Beberapa waktu kemudian barulah pelayan membawakan hidangan yang dipesan Cu Jiang. Sambil
makan Cu Jiang teringat akan peristiwa dahulu ketika ia
bersama toa-suheng Ho Bun Cui yang masih menjabat
sebagai congkoan Gedung Hitam.
Saat itu dia masih menganggap Ho Bun Cai sebagai
musuh. Kini toa suhengnya itu sudah meninggal, sedang
bibinya, si wanita gemuk, berada di negeri Tayli.
Membayangkan hal itu, hatinyapun rawan sehingga
selera makannya turut hilang.
Tengah dia melamun tiba2 hidungnya terbaur setiup
angin yang harum, ia memandang ke muka dan terkesiap.
Seorang dara yang berpakaian seperti puteri keraton
melangkah masuk dengan diiring oleh seorang gadis
pelayan. Dara itu tak lain adalah Ki Ing beserta bujang
pelayannya. Pemilik rumah makan gopoh menyambut sendiri dan
memberi hormat.
"Ah, sungguh suatu kehormatan besar kami dapat
menerima kunjungan siocia. Tetapi maaf, persedian
hidangan kami terdiri dari hidangan yang kasar2."
Tetapi Ki Ing tak menghiraukan pemilik rumah makan
itu. Ia terus berjalan menuju sebuah tempat duduk di dekat
jendela. Melihat itu pemilik rumah makan bergegas membersihkan kursi dengan lengan bajunya.
"Disini mungkin tak sesuai, silakan siocia duduk di
dalam." katanya.
"Tak usah, disini sajalah." bujang baju hijau menyahut.
Pemilik rumah makan itu tersipu-sipu mengiakan dengan
hormat. "Siocia minum arak atau dahar nasi?" kembali pemilik
rumah makan bertanya.
"Minum arak." Kembali bujang baju hijau yang bernama
Siau Hui menyahut.
"Mohon suka memberi pesanan hidangannya."
"Beberapa yang enak."
"Baik, baik." pemilik
rumah makan itu terus mengundurkan diri.
Ki Ing tak mengacuhkan Cu Jiang. Ia tak menyangka
bahwa orang desa yang tengah makan disitu itu adalah Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang memikirkan diri nona itu. Mengapa
mereka datang ke kota didaerah gunung yang jelas
merupakan wilayah kekuasaan orang Gedung Hitam. Dan
mengapa pemilik rumah makan begitu menghormat sekali
kepada nona dan bujangnya itu "
Cu Jiang serentak teringat akan lencana Hek-hu yang
pernah diberikan nona itu kepadanya. Dengan lencana itu
ternyata Pek poan-koan atau Hakim Putih dari Gedung
Hitam tunduk. Dengan begitu nona ini tentu mempunyai
hubungan dengan Gedung Hitam. Lalu apakah hubungannya" Siapakah sesungguhnya dara cantik itu"
Walaupun Ki Ing seperti bidadari cantiknya dan
bujangnya Siau Hui itu juga cantik, tetapi tetamu2 yang
berada di rumah makan itu hanya berani mencuri pandang
ke arah mereka. Itupun dilakukan secara diam2. Tak
seorangpun berani mengganggunya. Hal ini makin
membuat Cu Jiang heran dan curiga.
Teringat akan tindakan Ki Ing yang telah memberinya
lencana Hek hu dan mencari mayat si pelajar baju putih (Cu
Jiang), pemuda itu diam2 dapat menilai akan isi hati Ki Ing.
Tetapi dia sudah terikat janji dengan Ang Nio Cu untuk
mengawini Ho Kiong Hwa. Dengan demikian sekarang dia
sudah beristeri. Ah, biarlah peristiwa yang pernah terjadi
antara dia dengan sidara Ki Ing itu merupakan suatu
kenangan yang indah saja.
Bukankah pelajar baju putih yang didambakan Ki Ing itu
sudah lenyap tak berbekas"
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melirik ke
arah dara itu. Tampak Ki Ing sedang bertopang dagu,
termenung-menung Dalam keadaan seperti itu, Ki Ing
makin tampak cantik.
Serentak hati Cu Jiangpun bergolak. Buru2 dia menarik
pandang matanya tak melihatnya lagi.
Tak lama kemudian pemilik rumah makan mengantarkan sendiri hidangan. Alat2 hidangannya, bagus
sekali. Berbeda dengan yang diberikan kepada tetamu lain.
Kedua nona dan bujang itu menikmati hidangan dengan
diam. Suasananya tampak rawan.
Tiba2 Ki Ing menghela napas panjang. "Siau Hui,
apakah engkau rasa pelajar baju putih itu masih hidup di
dunia?" tiba2 ia bertanya dengan bisik2.
Seketika darah Cu Jiang mendebur keras dan jantungnya
serasa melonjak. Jelas dara cantik itu tetap mengenang
dirinya, masih tercengkram merindukan kasihnya.
Serentak ingin dia hendak terbang kesana dan membuka
kedok mukanya. Tetapi serentak kesadaran pikirannya
mencegah agar dia jangan bertindak begitu.
Untuk menyalurkan luapan perasaannya, ia segera
meneguk dua cawan arak. Mabuk, ya, biarlah mabuk akan
menghilangkan keresahan pikirannya saat itu.
Ki Ing bicara pelahan sekali. Kecuali orang memiliki
tenaga-dalam yang tinggi seperti Cu Jiang memang sukar
untuk menangkap pembicaraan mereka.
"Sudah tentu masih hidup," sebut Siau Hui dengan agak
geram. "Bagaimana engkau tahu ?"
"Omongan si Gok-Jin ji itu bohong semua. Menilik
tindakannya menggunakan lencana Hek-hu yang siocia
berikan, untuk mendesak Pek hu hwat membebaskan
seorang tawanan, tentulah Gok Jin-Ji itu bukan orang
sembarangan. Memang tampaknya dia seperti orang yang
minta dikasihani tetapi kurasa dia tentu berisi. Kalau tidak
bagaimana mungkin dia mampu lolos dari penjara Gedung
Hitam. Menurut perasaan hamba, pelajar baju putih itu
bukan seorang pemuda yang setia tetapi manusia yang suka
mengecewakan hati orang."
"Engkau lihay sekali Siau Hui." seru Cu Jiang dalam
hati. Dia gemetar dan tak dapat bicara. Dia merasa bukan
seorang manusia yang suka memainkan hati gadis, tetapi
kenyataan memang demikian.
"Hamba rasa siocia menyiksa perasaan siocia sendiri
sehingga menderita hatin," kata Siau Hui pula.
"Sudahlah, lalu bagaimana baiknya kalau menurut
pandanganmu?" tanya Ki Ing.
"Tetapi aneh sekali, mengapa Gok-jin-ji itu-pun lenyap."
"Aku curiga pada Toan-kiam Jan-Jin itu ..."
"Apanya yang siocia curigai ?"
"Jangan2 Toan-kiam-jan-jin itu penyaruan dari Gok Jin
ji!" "Kalau dapat menemukan orang itu lalu bagaimana
siocia hendak bertindak ?"
"Akan kulucuti dirinya supaya dapat diketahui wajahnya
yang aseli."
"Tidak mudah..."
"Kenapa ?"
"Kabarnya Toan-kiam jan-jin itu tinggi sekali ilmu
silatnya, Dan orangnya pun angkuh dan dingin sekali.
Sukar untuk dihadapi."
"Kalau tak dapat menyelidiki mati hidup-hidupnya
pelajar baju putih, aku tak tenang!"
"Ah, mengapa siocia harus begitu?"
"Engkau tak mengerti."
"Siocia, hamba rasa baiklah siocia lupakan saja dia!"
"Tidak!" Ki Ing menolak.
Cu Jiang mengangkat cawannya lagi tetapi sudah tak
Ada araknya. Cepat dia berseru:
"Hai, minta tambah arak lagi!"
Pelayan gopoh menghampirinya.
"Hai, bung. jangan berteriak-teriak. Kami sedang
menerima tetamu agung!"
"Tambah satu poci besar lagi." Cu Jiang deliki mata
kepada pelayan itu.
Pelayan cepat ngeloyor dan datang lagi dengan
membawa poci besar.
"Hati-hati, bung, jangan sampai mabuk!"
"Apa pedulimu, pokok aku bayar!"
"Ya, sudahlah, engkau minta sampai puas," pelayan
terus ngeloyor pergi.
Siau Hui memandang kian kemari lalu melanjutkan
pembicaraannya tadi.
"Siocia, siocia telah melupakan sebuah soal besar."
"Soal besar apa?"
"Apabila asal usul diri pelajar baju putih itu telah
dibuktikan dengan betul . . ."
"Aku tak peduli," tukas Ki Ing.
Mendengar percakapan itu kecurigaan Cu Jiang mulai
bangkit. "Mengapa mereka hendak mencari tahu asal usul
diriku." pikirnya.
Sebenarnya Cu Jiang ingin membuka kedok mukanya
dan menjelaskan semua rahasia itu. Tetapi ia teringat
bahwa tempat itu merupakan daerah kekuasaan Gedung
Hitam. Apabila dia menuruti keinginan hati. mungkin akan
menelantarkan urusannya yang penting.
Tiba2 ia mendapat akal. Jika Ki Ing dan bujangnya itu
hendak menuju ke Gedung Hitam, bukankah mereka dapat
dijadikan penunjuk jalan yang tepat"
Walaupun tindakan itu memang agak kurang layak
tetapi apa boleh buat. Ia harus menggunakan segala macam
cara agar dapat melakukan balas dendam.
Saat itu Ki Ing dan bujangnyapun sudah berbangkit dari
tempat duduk dan melangkah keluar tanpa membayar
rekening apa2. Bahkan pemilik rumah makan itu gopoh
mengantarkan sampai ke-pintu. Sikapnya amat menghormat sekali.
Cu Jiangpun segera memanggil pelayan untuk membayar
rekening, kemudian bertanya:
"Siapakah kedua nona cantik tadi ?"
"Jangan usil mulut, bung," pelayan deliki mata.
Cu Jiang menyengir. Ia anggap pelayan itu tak layak
diajak berbantah. Mungkin dia mengerti tetapi tak berani
mengatakan. Diapun segera melangkah keluar.
Tampak Ki Ing dan Siao Hui sudah naik kuda dan
berada jauh diujung jalan. Terpaksa Cu Jiang menyusul
dengan berjalan kaki.
Tak berapa lama dia sudah keluar dari kota itu. Tetapi ia
merasa ada sesuatu yang tak benar. Ternyata kedua nona
majikan dan bujang itu tidak menuju kearah gunung tetapi
mengambil jalan yang keluar dari gunung. Cu Jiang kecele.
Beberapa saat ia tertegun. Akhirnya ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan langkah menyusul kedua nona itu.
Tujuannya ke tempat itu adalah hendak mengobrak-abrik
Gedung
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hitam, menghimpaskan dendam darah keluarganya. Kalau gagal membuntuti kedua nona itu. dia
harus cari jalan lain.
Ia memandang bayangan kedua nona majikan dan
bujang itu lenyap di ujung jalan. Ada sesuatu yang terasa
hilang dalam hati Cu Jiang.
Sekonyong-konyong seorang lelaki tua muncul dari
muka dan berjalan lewat disampingnya. Lelaki itu
berpakaian seperti seorang sasterawan miskin. Bajunya dari
kain kasar, kotor dan berlubang. Kopiahnyapun sudah
butut. Melihat dandanan dan gerak langkah orang itu tahulah
Cu Jiang kalau dia itu Ki Siau Hong salah seorang dari Sutoa-ko-Jiu atau empat Jago sakti yang mengawal Cu Jiang.
Munculnya Ki Siau Hong ditempat itu, tentu ada
sesuatu. Cu Jiang pun terbatuk-batuk lalu mengucapkan
kata2 sandi: "Burung alap2 walaupun sakti, tetapi tak menang
melawan gadis merah."
Mendengar itu Ki Siau Hong cepat berpaling dan
berbalik tubuh.
"O, kiranya ciangkun, hamba sampai tak mengenali."
bisiknya. "Jangan menggunakan sebutan begitu."
"Baik, siau hengte (kakak) gelisah mencari lo-te (adik).
Entah kemana saja lote selama ini."
"Terserang penyakit ringan, lalu berobat !"
"Ah. tidak menjadi soal bukan ?"
"Ya, tidak apa2. Lalu hendak cari apa?"
"Aku sedang mengikuti majikan kemari!"
"Siapa ?"
"Majikan ketiga. Long-sim ... ."
Cu Jiang terkejut sekati. Tokoh nomor tiga dari kawanan
Sip pat thian-mo yakni Long-sim mo, mengapa datang ke
gunung situ "
"Apa tujuannya datang kemari ?"
"Belum jelas."
"Lalu dia dimana ?"
"Sedang beristirahat di tepi jalan sebelah muka."
"Bagaimana rupanya?"
"Seperti seorang dusun yang tua."
"O. tahu. Aku segera menemuinya !" habis beristirahat
Cu Jiang terus lari menuju ke depan. Melintasi lereng
gunung, ia melihat Ki Ing dan Siau Hui masih menyusur
jalan. Setelah terpisah pada jarak sepuluhan tombak, Cu Jiang
mulai menimang-nimang. Adakah ia akan melampaui
kedua nona itu untuk mencari Long-sim-mo atau...
Tiba2 terdengar suara orang memaki: "Apa engkau tak
punya mata ?"
Itulah suara Siau Hui. Cu Jiang memandang kearah
mereka. Ternyata seorang tua baju hitam sambil memikul
sebuah kotak kayu, berdiri menghadang didepan kuda
kedua nona itu.
Seketika terkejutlah Cu Jiang, Jelas orang lelaki seperti
penjual itu adalah Long-sim-mo atau Iblis-berhati Serigala.
Mengapa dia menghadang jalan kedua nona itu "
Cepat Cu Jiang gunakan gerak langkah Gong gong-poh
untuk menyelinap masuk kedalam sebuah hutan ditepi
jalan. Dia bersembunyi disitu.
Penjual itu bertubuh tinggi besar, gagah perkasa, tulang
mukanya menonjol malang, mata memancarkan sinar
berkilat-kilat. Dia tertawa galak2.
"Apakah kalian tak mau melihat barang baik?" serunya.
"Enyahlah !" teriak Siau Hui.
"Aku membawa bermacam-macam dagangan, pupur,
gincu, minyak wangi, bedak, jarum sulam segala ukuran,
handuk dan macam2 model sepatu. Apakah nona tidak
memerlukan?"
Siau Hui mendengus dingin.
"Hm, tak usah pura2. Bilang siapa engkau ini!"
Lelaki tua itu tertawa seram. Ho Ho, kalau menilik nada
ucapanmu, engkau tentu orang persilatan. "
"Anggap saja begitu."
"Dan siocia ini tentu juga bukan siocia biasa?"
"Apa maksudmu" "
"Kuminta nona berdua suka ikut aku!"
"Buat apa?"
"Tidak apa2. Karena sahabatku tak mau mengunjuk diri
maka kuminta tolong nona berdua suka menjadi petunjuk
jalan. " "Siapa sahabatmu itu" "
"Disini tak leluasa bicara, mari kita pergi cari lain
tempat." "Hai, jangan engkau cari penyakit! " teriak Siau Hui.
"Heh, heh, heh, heh," lelaki tua itu tertawa mengekeh,
"belum tentu begitu."
"Harap anda suka memberitahu nama anda dulu." saat
itu baru Ki Ing kedengaran membuka mulut.
"Kerucuk tak ternama, rasanya lebih baik tak perlu
memberitahu namanya."
"Lebih baik anda lekas lanjutkan perjalanan sendiri!"
"Kenapa?"
"Kalau anda memang masih ingin hidup, lebih baik anda
lekas pergi."
"Pergi sih boleh saja tetapi harus bersama kalian berdua!"
"Engkau cari mati?"
"Ih, jangan nona begitu galak, nanti tak bisa mendapat
mertua. " Merah pipi Ki Ing. segera ia memberi perintah: "Siau
Hui, kerjai dia!"
Siau Hui mengiakan. Dia ayun tubuhnya ke udara lalu
berjumpalitan dan menukik turun dalam gerak yang indah
sekali. "Ah, terhadap nona yang begini cantik, aku siorang tua
ini benar2 tak sampai hati turun tangan! " seru orang tua itu
seraya menampar dengan tangan kanan.
Wut... Segulung tenaga yang dahsyat melanda ke arah Siau Hui
sehingga Siau Hui mendesuh kejut dan serentak dengan
bunyi yang keras, tubuh Siau Huipun mendesus ke belakang
sampai tiga tombak gantinya. Tetapi dengan cepat, Siau
Huipun melenting bangun. Dia memang tak menderita luka
apa2, tetapi wajahnya tampak pucat lesi.
"O, anda menghina aku," seru Ki Ing seraya loncat turun
dari kudanya. Lelaki tua itu turunkan pikulannya. Kedua tangan
mendorong ke muka dan seketika terdengarlah jeritan ngeri.
Ke-dua ekor kuda dari Ki Ing dan Siau Hui rubuh
menggelepar di tanah, putus nyawanya
Melihat itu diam2 Cu Jiang terkejut. Ilmu tenaga-dalam
dari iblis itu benar2 telah mencapai tataran yang tinggi
sekali. Wajah si cantik Ki Ing berobah membesi dan sepasang
matanyapun memancarkan kilat pembunuhan.
"Tikus, engkau berani menghina aku!" teriaknya seraya
tebarkan jari tangannya untuk menyerang orang desa itu.
Namun walaupun menghadapi jurus serangan yang luar
biasa ganas dan dahsyat, lelaki desa itu tak gentar, ia
menggurat-guratkan kedua tangannya dan lekas serangan
Ki Ing yang dahsyat itupun terhapus seketika.
"Kalau ayahnya hebat, puterinyapun jempol. Cukup
menggairahkan seranganmu, sayang masih kurang mantap!" Ki Ing hentikan serangannya dan berseru:
"Harap anda memberitahukan diri anda!"
"Telah kukatakan." sahut lelaki tua itu dengan tak acuh,
"disini bukan tempat yang sesuai. Kita cari lain tempat."
Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa agaknya iblis Long
sim mo itu tahu akan asal usul Ki Ing. Itulah sebabnya
maka dia mengatakan "ayah lihay, puterinya tentu jempol".
Lalu siapakah ayah dari Ki Ing itu" Apakah pemilik dari
lencana Hek-hu itu"
Sekonyong-konyong
terdengar derap kuda mencongklang gemuruh dan pada lain kejap muncul
delapan penunggang kuda baju hitam. Yang tiga orang,
berjajar lurus. Jelas mereka itu kawanan Pengawal Hitam.
"Lekas kemarilah," bisik penjual itu seraya loncat masuk
ke dalam hutan di tepi jalan.
Aneh dikata. Entah bagaimana Ki Ing dan Siau Huipun
segera ikut menyusup ke dalam hutan itu.
Cu Jiang terkejut. Hendak memainkan siasat apakah iblis
Long sim-mo itu"
Setelah masuk ke dalam hutan. Long-sim mo tidak
melanjutkan langkah masuk lebih dalam. Ki Ing dan Siau
Hui tegak termangu-mangu di samping iblis itu. Mereka
sama membisu Wajahnya tegang sekali seperti melihat
hantu. Tempat ketiga orang itu bersembunyi hanya terpisah tiga
tombak dari tempat Cu Jiang. Cu Jiang terpaksa menahan
napas dan tak berani bergerak.
Pada saat ketiga orang itu masak ke dalam hutan, empat
orang penunggang kuda pun tiba. Salah seorang berbaju
hitam itu lalu mengangkat tangan ke atas dan keempat
penunggang kuda serempak berhenti.
"Hai, celaka, inilah kuda tunggangan milik siocia .. ."
teriak orang baju hitam itu.
Mendengar Itu Cu Jiang segera menyadari. Ki Ing itu tak
lain adalah puteri dari ketua Gedung Hitam. Memang
waktu itu Ki Ing hanya memberitahukan nama tanpa
menyebut shenya karena kata she akan menyangkut nama
ayahnya. Begitu pula lencana Hek hu yang diberikannya itu
banyak berpengaruh terhadap lingkungan anak buah
Gedung Hitam. Lain2 orang persilatan tak kenal.
Ah, dia ternyata puteri dari musuhnya yang paling
dibenci. Sesaat Cu Jiang tertegun dalam kelongongan yang
menghanyutkan segera ia berpikirnya.
Iblis Long sim-mo dengan menyaru sebagai orang desa
hendak mencari ketua Gedung Hitam tentulah mempunyai
rencana. Keempat penunggang kuda itupun loncat turun dan
memencar ke sekitar tempat itu.
"Ji Bing, lekas lepaskan pertandaan untuk memberitahu
kepada pohcu !" seru Pengawal Hitam yang tua.
"Baik," salah seorang menyahut lalu mengambil panah
berapi dan pelana kuda.
"Ha, ha, ha, ha . . ." tiba2 terdengar suara orang tertawa
gelak2 dan seram, seorang lelaki desa tua muncul dan
menghampiri mereka.
"Berhenti." teriak orang tua baju hitam, "ko-jiu dari
manakah anda ini ?"
Namun lelaki desa itu tetap berjalan seraya menyahut:
"Apa-apaan sih segala macam ko-jiu " Seorang penjaja
barang2 yang menjual segala macam jarum dan alat2
kecantikan wanita, sedang lewat digunung ini."
Orang tua baju hitam mendengus dingin: "Hm, sahabat,
beritahukan namamu!"
Lebih kurang empat tombak dari tempat kawanan baju
hitam itu, barulah si penjual berhenti. Memandang kearah
Pengawal Hitam yang sedang memegang panah berapi, dia
berseru: "Tak perlu begitu !"
"Jadi peristiwa disini engkau yang melakukan ?" seru
orang tua baju hitam pula.
"Peristiwa apa ?"
"Engkau mengapakan kedua nona itu?"
"O, tidak kuapa-apakan, masih tetap seperti sediakala."
Tiga orang Pengawal Hitam serentak melolos pedang
dan berpencar mengepung penjual tua itu. Tetapi penjual
barang2 itu tenang2 saja.
"Sahabat, tahukah engkau siapa nona yang seperti puteri
keraton itu ?"
"Apakah bukan puteri dari Gedung Hitam?"
"Kalau sudah dapat menduganya, jelas engkau memang
sengaja . . ."
"Anggap saja begitu !"
"Apa maksudmu ?"
"Tak perlu bertanya. Percuma saja kalian tahu. Kalian
berempat tinggal saja disini."
"Maju !" serentak orang tua baju hitam itu berteriak
marah. Tiga batang pedang segera berhamburan melayang dari
tiga Jurusan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang. Tetapi
waktu penjual itu kebaskan lengan bajunya, ketiga pedang
itupun tersiak semua.
Suatu peristiwa aneh telah terjadi. Ketiga Pengawal
Hitam itu tidak menyerang lagi. Pedang mereka terkulai
dan orangnyapun tegak seperti palang.
Orang tua baju hitam terbelalak lain membentak sekeraskerasnya: "Engkau pakai racun..." baru dia berkata begitu tiba2
diapun tertegun diam.
Cu Jiang terkejut sekali. Kiranya Long-sin-mo dapat
menguasai Ki Ing dan Siau Hui kemudian keempat anak
buah Gedung Hitam itu bukan dengan ilmu sihir tetapi
dengan kekuatan racun. Jelas suatu jenis racun yang luar
biasa, tidak bersuara dan tidak berwujud, tetapi tahu2 orang
telah kehilangan kesadaran dirinya.
Tiba2 dia mendengar suara orang tertahan berturut-turut.
Ternyata keempat anak buah Gedung Hitam itu telah
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibantai Long-sim-mo. Iblis itu mencakar hancur batok
kepala mereka. Menilik caranya yang ganas itu, tepatlah
kalau dia dijuluki sebagai Long-sim-mo atau Iblis-berhatiserigala. Setelah membunuh keempat orang itu, Long-Sim-mo
masuk kedalam hutan lagi. Sambil memandang Siau Hui,
dia bergumam: "Kalau kubawa, sebenarnya memang merepotkan. Tetapi
kalau kuhancurkan, juga sayang sekali. Jarang sekali bisa
mendapatkan Cewek2 seperti mereka berdua. Kalau
kubuang bukankah suatu kehilangan besar" Hm, biarlah
kunikmati dulu baru nanti melanjutkan perjalanan lagi."
Habis berkata dia terus menggapai: "Mari jalan lagi !"
Entah bagaimana kedua nona itu amat mendengar kata
sekali, Disuruh jalan terus jalan. Mengikuti Long sim-mo
masuk lebih dalam kedalam hutan.
Timbul pertentangan hatin Cu Jiang. Haruskah ia
menolong kedua nona itu. Tetapi Ki Ing adalah puteri dari
musuh besarnya. Ah, seorang lelaki harus dapat menarik
garis antara budi dan dendam. Dia pernah menerima
kebaikan dari nona itu.
Dan bagaimanapun juga, dia masih dapat merasakan
curahan hati Ki Ing. Dan lagi Long-sim-mo itu juga salah
seorang musuh yang dibasmi. Tentu takkan dilepaskan
begini saja. Setelah mengambil keputusan, diapun segera mengikuti
jejak mereka. Kira2 satu li jauhnya, jalanan mulai sukar
dilalui. Long sin-mo berhenti di sebuah tempat. Dia
menarik Siau Hui ke bawah pohon.
"Kalau engkau dapat melayani dengan baik, aku tentu
akan membawamu dalam perjalanan," katanya dengan
mata memancarkan nafsu binatang yang menyala-nyala.
Dia menerkam lengan Siau Hui, sedang sebelah
tangannya mengelus-elus pipi dara itu.
"Heh, heh, manis, mari kita menikmati kesenangan yang
memuaskan!" ia tertawa mengekeh. Namun Siau Hui tetap
tertegun seperti patung. Demikian pula Ki Ing yang berada
disebelah, juga tak mengadakan reaksi suatu apa.
Melihat itu seketika terbayanglah ingatan Cu Jiang akan
peristiwa yang lampau dimana mamahnya, anak perempuan dari paman Liok telah diperkosa. Seketika
meluapkan hawa pembunuhan. Serentak dia membuka
kopiah lalu mengenakan kerudung muka dan mengenakan
pakaian sebagai pelajar.
Saat itu Long-sim-mo memondong Siau Hui diletakkan
di atas tumpukan daun kering.
"Lekas buka pakaianmu, bukalah..."
Siau Hui memang benar2 kehilangan kesadarannya. Dia
menurut saja perintah orang dan mulai membuka sabuknya.
Long-sim mo menunggu dengan tertawa menyeringai.
Pada saat itu Cu Jiangpun melesat muncul. Memang tak
kecewa Long sim-mo menjadi anggauta Sip-pat thian-mo.
Cepat dia berputar tubuh dan tertegun ketika melihat Cu
Jiang. "Engkau mau cari mati" " bentaknya.
Cu Jiang hanya memandang tajam2 dan tidak menyahut.
Rupanya Long sim mo seperti teringat sesuatu.
"Ho, apakah engkau ini bukan Toan kiam jan jin itu?"
bentaknya. "Benar, memang aku." sahut Cu Jiang dengan nada
dingin. Long sim mo menyurut mundur selangkah. Dahinya
berkerunyutan hawa pembunuhan yang seram.
"Bagus, budak, memang aku hendak mencarimu!"
serunya gemetar.
"Long sim mo, saat kematianmu sudah tiba!"
"Akan kucincang tubuhmu untuk membalas dendam
saudara-saudaraku."
"Huh, mampukah engkau?"
"tring," pedang kutungpun serentak dicabutnya.
Tanpa tampak bergerak tahu2 tubuh Long sim mo sudah
melayang ke muka Cu Jiang dan terus kebutkan kedua
lengan bajunya.
Cu Jiang rasakan hidungnya terbaur hawa harum
sehingga kepalanya agak pening tetapi pada lain kejap
sudah segar lagi. Dia tahu bahwa Long sim mo mulai
menebarkan racun wangi tetapi karena dia menyimpan
mustika Thian ju cu pemberian dari Busan sinli, maka
diapun kebal terhadap segala racun. Tetapi saat itu dia
pura2 terhuyung agar dikira terkena racun.
Benar juga, Long sim mo segera tebarkan jari tangannya
dan maju menerkam. Saat itu tak disia-siakan oleh Cu
Jiang. Sekali membabatkan pedang, huakkkk .... terdengar
jeritan ngeri dari mulut Long sim mo. Lengan kiri iblis itu
telah kutung dan jatuh di tanah, darah menyembur seperti
air mancur. Tetapi iblis itu memang luar biasa. Walaupun menderita
luka parah tetapi dia tetap gesit. Selekas kehilangan
lengannya, dia terus enjot tubuhnya loncat ke belakang dan
melarikan diri.
"Berhenti! " tetapi baru dia hendak lari Cu Jiang sudah
melesat dan menghadang di depannya. Sudah tentu kejut
iblis itu bukan kepalang. Namun dia masih berusaha untuk
bersikap tenang.
"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku" " serunya
dengan garang. "Benar, aku hendak membunuhmu!" sahut Cu Jiang
dingin. Saat itu Long-sim-mo sudah menutuk lengannya untuk
menghentikan pendarahan. Ia mundur beberapa langkah
dan membentak: "Engkau . . . tidak takut racun?"
"Racun" Huh, apa racun itu" Bukankah hanya mainan
orang persilatan saja?"
"Budak, engkau .... sebenarnya siapa?"
"Toan-kiam jan-jin, menerima perintah dari suhuku guna
membereskan kawanan Sip pat-thian mo!"
"Siapa suhumu?"
"Gong-gong cu, tahu?"
"Engkau .. engkau murid Gong-gong-cu ..."
"Serahkan jiwamu!" Cu Jiang ayunkan pedang dan
terdengar lagi jeritan ngeri dari Long-sim-mo disusul
dengan tubuhnya yang rubuh dalam genangan darah.
Setelah membereskan iblis itu, Cu Jiang berputar tubuh.
Seketika darahnya mendebur keras sekali. Buru2 dia
berbalik diri lagi.
Ternyata saat itu Siau Hui sudah membuka seluruh
pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang
mengerikan hati Cu Jiang.
Pemuda itu pejamkan mata. Setelah berhasil menenangkan gejolak darahnya, dia tidak berani berbalik
tabuh lagi melainkan terus menghampiri ke tempat Ki Ing.
Menghadapi dara yang menjadi puteri musuh besarnya,
Cu Jiang benar2 kehilangan faham. Dia mengeluh mengapa
nasib telah menggariskan keadaan yang sedemikian
kejamnya. Antara suara hati dengan tugas.
Tetapi bagaimanapun halnya, dia telah bertunangan
dengan Ho Kiong Hwa. Dengan demikian segala pertalian
hati yang tak dikehendaki akan putus itu tetap putus juga.
Ki Ing memandangnya dengan terlongong-longong.
Wajahnya tak menampilkan suatu reaksi apa2. Sikapnya
yang ceria pun tak tampak sama sekali.
Cu Jiang mengambil mustika
Thian-Ju-cu dan diserahkan kepada dara itu.
"Kulumlah dalam mulut!"
Ki Ing menyambuti dan terus memasukkannya ke mulut.
Beberapa saat kemudian tampak matanya mulai bersinar.
Sikapnya yang kakupun mulai bersemangat lagi.
Melihat itu Cu Jiang memerintahkan supaya si dara
memuntahkan mustika dalam mulutnya.
Ki Ing membuka mulut hendak berkata dan meluncurlah
mustika itu keluar. Cu Jiang cepat menyambutinya,
menyurut mundur beberapa langkah untuk melihat
bagaimana perkembangan dara itu.
Tak berapa lama wajah Ki Ing tampak mengerut rasa
heran dan kejut.
"Siapakah anda?" akhirnya ia berseru.
Sebelum Cu Jiang menyahut, pandang mata Ki Ingpun
sudah terbentur pada Siau Hui yang telanjang bulat.
Serentak berobahlah cahaya wajah dara itu:
"Binatang, aku hendak membunuhmu !" teriaknya seraya
menyerang Cu Jiang dengan jurus maut.
Cu Jiang beringsut dengan gerak langkah Gong-pongpoh-hwat. Diam2 Cu Jiang memuji ilmu kepandaian yang
dimiliki Ki Ing memang hebat sekali.
Serangannya luput, Ki Ing cepat mengganti Jurus.
Setelah memperhatikan arah tempat Cu Jiang dia tentu
tebarkan lengan bajunya. Dari jarinya mendesis angin yang
gencar kearah Cu Jiang.
Itulah ilmu Lau-hoa-hud-hian-jiu atau Tamparan jalandarah yang sudah Jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Ci Jiang menghindar dan berseru:
"Nona, harap tahan dulu."
"Aku harus menghancurkan tubuhmu !" teriak Ki Ing
dengan menyala-nyala kemarahannya.
"Seharusnya nona bertanya dulu tentang peristiwa ini."
"Perlu apa harus bertanya lagi, bukti sudah jelas didepan
mata." "Apakah nona tak dapat mengingat lagi peristiwa yang
terjadi beberapa saat tadi ! Cobalah lihat, mayat siapa yang
menggeletak ditanah itu?"
Ki Ing memandang kearah mayat Long-sim-long dan
seketika dia seperti teringat sesuatu.
"Apakah penjual tua itu anda yang membunuhnya ?"
serunya. "Ya."
"Oh. kalau begitu aku..."
"Dia bukan seorang penjual biasa melainkan Iblis ketiga
dari Sip-pat-thian mo yang bergelar Long-sim-mo !"
"Hai, Long-sim-mo" Siau Hui . . ."
"Kalau terlambat sedikit aku muncul, entah bagaimana
keadaannya."
Ki Ing merah wajahnya.
"Siau Hui, mengapa tak lekas berpakaian ?" ia meneriaki
bujangnya. Tetapi Siau Hui hanya memandang nona majikannya
lalu mengenakan pakaiannya lagi. Tetapi gerakannya
lambat sekali. "Nona berdua telah terkena racun penghilang kesadaran
dari Long-sim mo. Racun dalam tubuh nona sudah hilang
tetapi dia belum."
"O, benar," teriak Ki Ing terkejut, "mustika yang engkau
bawa tadi, apakah bukan ..."
"Bukan, itu mustika untuk menghilangkan racun !"
"Jika begitu, andalah yang menolong kami berdua. Aa,
aku bersikap kurang pantas, harap anda memaafkan dan
terima kasih."
"Tak usah."
"Tolong tanya anda . . ."
"Mengapa tidak menolong dia dulu ?"
Merah muka Ki Ing, serunya:
"Kalau begitu terpaksa akan merepotkan anda sekali
lagi." Cu Jiang segera menyerahkan mustika Thian-ju cu
dengan pesan agar Siau Hui mengulum dimulut.
Pada saat Ki Ing mengobati Siau Hui, Cu Jiang yang
berdiri dibelakang mereka masih sibuk menimang-nimang.
Apakah ia akan menanyakan tentang letak Gedung Hitam
kepada Ki Ing. Demikian juga tentang asal usul ketua
Gedung Hitam itu"
Tetapi teringat akan curahan kasih serta budi
pertolongan dara itu, Cu Jiang bersangsi. Budi dan dendam
harus dipisahkan agar dia tidak mengecewakan diri sebagai
seorang persilatan.
Saat itu Ki Ing dan Siau Huipun sudah menghampiri dan
menyerahkan mustika Thian-Ju-cu serta tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Tiba2 Siau Hui berteriak:
"Siocia, dia ...."
"Dia kenapa ?" Ki Ing kerutkan alis.
"Dia adalah Toan-kiam-jan-jin."
"Ah !" Ki Ing berteriak kaget dan terus menyurut mundur
tiga langkah, memandang dengan penuh kejut kepada Cu
Jiang. katanya, "Apakah anda benar Toan kiam-jan-jin ?"
"Benar," sahut Cu Jiang.
"Kali ini kami berdua keluar dari rumah pun perlu
hendak mencari..." tiba2 dara itu merasa kelepasan bicara
dan berhenti. Tetapi apa maksudnya sudah jelas.
"Nona meninggalkan Gedung Hitam secara diam2,
apakah karena diriku ?" cepat Cu Jiang menyambung.
"Apakah anda sudah tahu asal usul diriku?"
"Ya."
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba2 wajah Ki Ing tampak muram. "Tetapi anda tetap
menolong kami berdua !"
"Itu lain soal."
"Apakah anda mempunyai dendam permusuhan hebat
terhadap keluargaku ?"
"Memang benar seperti yang nona katakan."
Wajah dara itu menampilkan kedukaan, katanya dengan
rawan: "Sampai kapankah bunuh membunuh itu akan berakhir?"
"Sampai yang harus mati itu sudah mati." sahut Cu Jiang
dengan nada dingin.
"Mengerikan sekali!"
"Kurasa tak tepat kalau aku membicarakan soal itu
dengan nona."
Mendengar itu Ki Ing tundukkan kepala. Beberapa saat
kemudian dia baru mengangkat muka.
"Aku hendak minta tanya sebuah hal kepada anda."
"Silahkan."
"Apakah Gok Jin-Ji seperguruan dengan anda?"
Cu Jiang tak mengira kalau Ki Ing akan mengajukan
pertanyaan begitu. Dia tergetar hatinya.
"Aku tak kenal dengan Gok jin-Ji," setelah merenung
beberapa jenak akhirnya ia menjawab.
"Benarkah itu?" Ki Ing kerutkan alis.
"Tentu," Jawab Cu Jiang. "dalam dunia persilatan
manakah terdapat seorang tokoh yang bernama Gok-jin-ji?"
Sejenak Ki Ing keliarkan pandang kontak Siau Hui, lalu
bertanya pula: "Aku hendak bertanya lagi tentang seseorang !"
"Siapa ?"
"Pelajar baju putih !"
Lagi2 hati Cu Jiang mendebur keras. Tetapi dengan nada
dingin dan hambar ia menjawab.
"Siapakah dia?"
Wajah Ki Ing makin tegang dan matanyapun bersinar.
Kemudian menggigit lidah seperti telah mengambil
keputusan penting. Lalu dengan suara yang sarat ia berkata:
"Mungkin dia adalah putera tunggal dari Dewa pedang
Cu Beng Ko."
"Oh." Cu Jiang pura2 terkejut, "mungkin saja! Apakah
nona belum merasa pasti ?"
"Hampir dapat memastikan."
"Siapa namanya?"
"Cu... Jiang."
Sengaja Ki Ing menyuarakan nama itu dengan panjang
sambil memperhatikan wajah Cu Jiang. Dia ingin melihat
bagaimana reaksi pemuda itu. Tetapi karena Cu Jiang
mengenakan kain kerudung muka maka Ki Ingpun hanya
dapat melihat sinar mata pemuda itu yang berkilat-kilat
memancarkan dendam kebencian. Namun buat Ki Ing hal
itu sudah cukup menjadi bukti bagi Ki Ing.
Memang karena masih berdarah panas, Cu Jiang sukar
untuk menyembunyikan luapan perasaannya sehingga
terpancar dari sinar matanya.
"Apakah hubungan nona dengan dia ?" tanya Cu Jiang.
"Harap anda menjawab dulu, kenal atau tidak
kepadanya?"
Untuk menghindari desakan si nona dan sekalian hendak
mengetahui apa maksud tujuan nona itu, maka Cu
Jiangpun menjawab:
"Memang pernah bertemu beberapa kali."
"Tentu tidak hanya itu saja ?"
"Terserah nona percaya atau tidak."
"Baik, untuk sementara aku percaya. Lalu di mana dia
sekarang ?"
"Dunia begini luas, sukar mengatakan."
Ki Ing menggigit bibirnya lagi, lalu berkata dengan nada
gemetar: "Apakah anda tak mau memberitahu ?"
"Tetapi nona belum mengatakan pertanyaannya," sahut
Cu Jiang. Tiba2 Siau Hui menyelutuk:
"Terus terang saja, siocia kami memang menaruh hati
kepadanya ..."
Merah muka Ki Ing. Dia buru2 tundukkan kepala.
Dengan kuatkan hati, Cu Jiang berkata: "Lebih baik
nona hentikan pemikiran itu..."
Ki Ing merentang kedua matanya.
"Apa maksud kata-katamu ?" serunya membelalak.
Cu Jiang berusaha untuk menekan perasaannya dan
berkata dengan nada tenang.
"Seharusnya nona tahu sendiri."
"Aku tak mengerti !"
"Ah, nona terlalu mendesak."
"Mengapa tak anda katakan yang terang ?"
"Tak perlu kukatakan tentulah nona sudah menyadari
sendiri." Wajah Ki Ing berobah pucat dan berseru dengan
gemetar: "Anda maksudkan permusuhan antara kedua belah
pihak?" "Benar."
"Dendam itu mudah dinyatakan, sukar dihapus. Kurasa
...." "Dendam itu memang tak dapat dihapus!"
Wajah Ki Ing makin tak sedap dipandang dan terhuyung
mundur selangkah. Ditatapnya Cu Jiang dengan tajam.
"Sukalah anda memberitahu jejak pelajar baju putih
itu..!" serunya.
"Aku tak dapat memberitahukan."
"Harap anda suka membuka penutup muka anda."
"Nona, tahukah nona bahwa soal itu tak dapat
kulakukan?"
"Kalau kukatakan . . ."
"Mengatakan apa?"
"Bahwa anda inilah pelajar baju putih itu!"
Gemetar tubuh Cu Jiang. Kemudian dia tertawa nyaring
sampai lama. Setelah berhenti tertawa baru dia berseru:
"Bagaimana tiba2 nona timbul anggapan begituan ?"
"Tidak aneh."
"Lalu?"
"Maukah anda membuka penutup muka anda?"
"Tidak dapat !"
Tiba2 Siau Hui menyelutuk.
"Kalau aku jadi pelajar baju putih itu, aku takkan
menyembunyikan diri dengan mengatakan kalau sudah
mati. Budi atau dendam, harus ada suatu penyelesaian yang
jelas!" Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa omongan bujang itu
memang tepat sekali. Seharusnya ada penyelesaian.
Dia teringat ketika hendak memasuki gunung, apabila
tidak mendapat pertolongan nona dan bujangnya itu jelas
dia tentu mati ditangan musuh. Dan waktu turun gunung,
apabila tidak mendapat pemberian lencana Hek hu, juga
sukar untuk lolos dengan selamat.
oee-dw-eeo Tetapi dendam berdarah dari keluarga, harus dihimpaskan. Jika tidak membunuh Ki Ing dan Siau Hui,
itupun sudah termasuk membalas budi kebaikan keduanya.
Demikian pikiran Cu Jiang menimang-nimang suatu
penyelesaian dan akhirnya ia memutuskan bahwa
penyelesaian itu baiklah ditangguhkan sampai terdapat
suatu kesempatan yang baik di kemudian hari.
Setelah mengambil keputusan dia segera memberi
hormat: "Maaf, aku hendak mohon diri!"
"Tunggu dulu!" Ki Ing berteriak dan melesat menghadang. "Nona masih hendak memberi pesan apa?" seru Cu
Jiang. Sepasang biji mata dara cantik itu merah membara dan
berseru dengan penuh dendam.
"Engkau sungguh kejam sekali!"
"Ah, nona salah duga."
"Pelajar baju putih, Gok jin-ji, Toan-kiam-jan jin, semua
adalah satu orang yalah engkau sendiri!"
"Ha, ha, ha, ha..."
"Tak ada yang harus ditertawakan. Mari kita bicara
dengan sesungguhnya."
"Apa lagi yang harus dibicarakan?"
"Engkau benar2 seorang manusia yang tak punya
perasaan hati."
Sebenarnya dalam hati Cu Jiang tergerak akan
pernyataan Ki Ing yang begitu tulus mencintainya. Tetapi
bagaimanapun, dia harus teguhkan hati untuk melakukan
balas dendam. Dia akan membasmi ketua Gedung Hitam. Jika dia
berhati lemah, akibatnya tentu celaka. Maka sengaja dia
berkata dengan dingin:
"Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah insan yang anda
impikan itu."
Bercucuran air mata Ki Ing mendengar kata itu, serunya
setengah meratap:
"Aku bukan akan mengemis cintamu, hanya . . ."
Sampai disitu Ki Ing tak melanjutkan kata-katanya.
"Aku melakukan pertolongan hanya sekedar memenuhi
kewajiban sebagai seorang persilatan. Kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
"Tiada alasan mengapa aku harus menolong."
"Toan kiam jan jin," teriak Ki Ing dengan menggigit
bibirnya, "tak peduli siapa sesungguhnya dirimu itu. Kita
tak mempersoalkan hal2 yang lain hanya aku hendak
bertanya kepadamu. Apakah tujuanmu datang kemari
karena hendak menuntut balas.?"
"Benar, apakah nona sudah puas?"
"Engkau tahu apa akibat dari tindakanmu itu?"
"Nona sendiri menganggap bagaimana?"
"Akibatnya tentulah pertumpahan darah, kematian,
entah fihak yang mana. "
"Benar, memang demikianlah yang akan ku lakukan."
"Engkau tahu siapa diriku tetapi engkau tak mau
membunuh bahkan menolong, mengapa?"
"Seorang persilatan tahu bagaimana harus bertindak dan
bagaimana tidak harus bertindak. Lain kali mungkin saja !"
"Mengapa tidak sekarang ?"
"Itu menyalahi pendirianku semula !"
"Sampai berapa jauh engkau hendak membalas dendam
nanti?" Dengan mata berkilat-kilat memancar api, berkatalah Cu
Jiang penuh kemantapan:
"Gedung Hitam akan kucuci dengan darah."
Menggigil tubuh Ki Ing mendengar ucapan dendam
kesumat anak muda itu. Ia menyurut mundur dan berseru:
"Kalau sebelum dapat melaksanakan tujuanmu engkau
keburu meninggal, lalu bagaimana ?"
"Itu terserah pada nasib," sahut Cu Jiang tanpa ragu2.
"Nasib itu ditanganmu sendiri. Pada detik2 dimana
engkau akan menentukan pilihan, mengapa engkau tak mau
merubah nasib ?"
"Nona tak perlu berkering lidah untuk mempengaruhi
aku !" "Engkau senang pertumpahan darah ?"
"Dalam dunia persilatan
Gedung Hitam sudah termasyhur sebagai sumber kejahatan, pertumpahan darah
dan pembunuhan. Setiap orang persilatan yang mempunyai
rasa kesatryaan, tentu akan membencinya. Mengapa nona
menuduh aku senang menumpahkan darah?"
"Yang hendak engkau tuntut itu pembalasan dendam
peribadi atau untuk kepentingan umum?"
"Kedua- duanya."
"Tak dapat dihentikan?"
"Tidak mungkin bisa!" habis berkata Cu Jiang terus
gunakan tata - langkah Gong - gong poh-hwat menyelinap
lenyap. Ki Ing menghela napas panjang.
"Ah, jika tahu begini, mengapa kita dulu berjumpa ?"
Siau Hui menghampiri.
"Siocia, apakah engkau sudah menyadari?"
"Tidak !"
"Apakah siocia menganggap memang dia orangnya ?"
"Benar."
"Jika begitu mari kita pulang, rasanya tiada gunanya kita
keluar rumah."
"Tidak !"
"Apakah siocia masih . . ."
"Kurasa tak perlu aku hidup di dunia ini!"
Mendengar itu Siau Hui terkejut sekali.
"Mengapa siocia berkata begitu ?" serunya dengan
cemas, "Satu sama lain tak terikat suatu pertalian hubungan
yang akrab, tetapi hanya..."
"Engkau tak mengerti."
Saat itu Cu Jiang belum berapa jauh. Dia tengah ganti
pakaiannya penyamaran lagi. Sudah tentu dia dapat
mendengar pembicaraan kedua nona itu. Tetapi soal itu tak
dapat menggoyahkan pendiriannya untuk menuntut balas.
Sekonyong-konyong empat sosok bayangan menyiak
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ranting dan semak, menerobos kedalam hutan. Melihat Ki
Ing dengan Siau Hui, mereka terkejut dan gopoh memberi
hormat. "Atas titah pohcu, mohon siocia suka pulang ke gedung,"
salah seorang berseru.
Ki Ing deliki mata.
"Aku tidak pulang, pergilah kalian !"
Keempat orang itu adalah Pengawal Gedung Hitam.
Orang yang berbicara tadi memberi hormat lagi dan
berseru: "Siocia, kami mendapat perintah dari ayahanda siocia .."
"Enyah !" bentak Ki Ing.
Tepat pada saat itu sebuah suara terdengar menyambuti:
"Moay-moay, toako datang menjemputmu !" dan
serentak muncullah seorang pemuda dalam pakaian seorang
bu-su warna kuning emas.
Siau Hui cepat menggamit ujung baju nona majikannya
namun Ki Ing tetap bersikap manja, serunya:
"Toako, aku tak ingin pulang."
"Engkau hendak kemana?" sambil berkata pemuda itu
menghampiri maju.
"Dalam gedung terlalu sempit perasaanku. Aku hendak
keluar mencari hiburan."
Di tempatnya, Cu Jiang diam2 gembira karena putera
dari ketua Gedung Hitam muncul disitu.
Pemuda baju kuning emas itu tertawa:
"Ah, moay-moay, engkau tak tahu keadaan..."
"Mengapa tak tahu ?"
"Saat ini waktu apa?"
"Hampir petang hari."
"Bukan itu yang ku maksudkan !" kata pemuda itu pula
"saat ini merupakan saat2 yang gawat bagi gedung kita.
Thong-thian-kau tetap akan berusaha untuk merebut
kedudukan kita dari dunia persilatan. Anak buah kita
banyak yang sudah menjadi korban. Sedang diluaran
bertambah lagi dengan munculnya Toan-kiam-Jan jin . ..
hai, siapakah yang mati itu ?"
"Salah seorang dari kawanan Sip-pat thian-mo yang
bergelar Long sim-mo !"
Seketika wajah pemuda itu berobah. "Long-sim-mo ?" ia
mengulang, "Benar."
"Ah, kiranya lawan sudah berani menyusup masuk
kedalam pusat daerah kita. Mungkin beberapa korban yang
berada di jalan sebelah luar hutan itu dia yang
membunuhnya."
"Siapa lagi kalau bukan dia !"
"Moay moay yang membunuhnya ?"
Agak ragu Ki Ing hendak menjawab tetapi akhirnya ia
berkata: "Hampir saja aku terkena tangan beracunnya."
"Lalu siapa yang membunuhnya ?"
"Toan kiam-jan jin!"
"Toan-kiam jan jin ?" pemuda baju kuning emas itu
berteriak kaget, wajah berubah dan mundur selangkah lalu
berseru. "kalau begitu dia tentu juga sudah menyusup
kemari." "Itu sudah dapat diduga,"
"Tetapi mengapa tak ada laporan dari para penjaga ?"
"Dengan kepandaiannya yang tinggi rasanya para
penjaga itu tentu sukar untuk mengetahui jejaknya."
"Mengapa dia membunuh Long-sim-mo ?"
"Menolong aku dan Siau Hui."
"Dia tahu siapa dirimu?"
"Tidak tahu."
"Apa saja yang kamu bicarakan."
"Tidak ada pembicaraan apa2. Dia dingin sekali. Muncul
dan lenyap secara tiba2"
Pemuda itu berpaling kearah keempat Pengawal Hitam,
serunya: "Lekas kalian kembali ke gedung dan beritahu bahwa
Toan-kiam-jin Jin sudah masuk kedaerah ini. Perkuat
penjagaan!"
Keempat Pengawal Hitam itu mengiakan lalu melesat
pergi. Cu Jiangpun segera melesat keluar hutan. Dari Jarak
beberapa tombak, ia lepaskan tutukan-dari Jarak Jauh.
Seorang Pengawal Hitam itu mendengus dan rubuh.
Ketiga kawannya kaget. Tanpa sebab mengapa
kawannya itu mendadak rubuh. Setelah saling bertukar
pandang, mereka bertiga terus lari. Cu Jiang melepaskan
tutukan - Jari lagi dan seorang Pengawal Hitam rubuh lagi.
Yang dua orang makin ketakutan sehingga kakinya
lunglai. Seorang lelaki desa muncul dari gerumbul pohon.
Melihat itu kedua Pengawal Hitam segera mengangkat
pedang dan berseru:
"Hei, sahabat darimana ?"
"Mengambil nyawa." Baru berkata begitu, lelaki desa itu
sudah melambung dan hantamkan kedua tangannya. Tak
sempat lagi kedua pengawal Hitam itu menggerakkan
pedangnya, tubuh mereka mencelat membentur pohon.
Terdengar erang tertahan mereka. Cu Jiang menyusuli
dengan dua buah tutukan jari dan melayanglah jiwa kedua
orang itu. Setelah membunuh empat orang Pengawal Hitam dia
masih belum puas. Dia lari kembali ke tempatnya tadi.
Tiba2 dia melihat Ki Ing dan Siau Hui lari menuju ke
arahnya. Buru2 dia bersembunyi ke pinggir. Setelah ketiga
orang itu lewat diam2 dia mengikutinya.
Saat itu timbul berbagai pertimbangan dalam hati Cu
Jiang. Apakah dia harus membunuh putera dari ketua
Gedung Hitam saat itu atau tidak.
Akhirnya ia memutuskan, untuk sementara dia takkan
membunuhnya melainkan akan menggunakannya sebagai
penunjuk jalan.
Sekeluar dari hutan mereka tiba di jalan besar. Karena
takut akan diketahui mereka, Cu Jiang bersembunyi dengan
hati2. Tiba di puncak gunung, matahari sudah condong ke
barat. Ki Ing bertiga masuk lagi ke rumah makan tadi. Jelas
rumah makan itu tentu mempunyai hubungan dengan
Gedung Hitam. Ki Ing tak mau minum arak juga tak mau
bicara. Dia hanya makan dengan gegas. Pemilik rumah
makan melayani sendiri dengan sikap yang menghormat.
Cu Jiang yang juga masuk ke rumah makan itu,
mendahului keluar dan menunggu di luar kota. Tak berapa
lama tiga ekor penunggang kuda mencongklang keluar dari
kota itu. Haripun mulai malam. Malam di pegunungan lebih pagi
datangnya dari di kota. Cu Jiang lalu gunakan ilmu
meringan-tubuh untuk menyusul.
Setelah melintasi beberapa puncak, tampak sebuah biara
kecil disebelah depan. Mereka bertiga hentikan kuda dan
pemuda baju kuning emas itu bersuit. Sesosok bayangan
muncul dari tempat gelap.
"Menghaturkan hormat kehadapan sau-pohcu!"
"Ya. Bawa perintahku, sampaikan kepada mereka agar
penjagaan lebih diperlipat gandakan !"
"Baik." kata orang itu terus mengundurkan diri.
"Moay moay, mari kita masuk kedalam bersama, aku
hendak bicara tentang sedikit soal kepadamu."
"Bicara sambil berjalan apakah tidak leluasa?"
"Tidak. Itu penting sekali tak boleh didengar orang lain."
"Nanti kalau pulang ke gedung kita bicarakan lagi."
"Juga kurang leluasa kalau bicara di gedung."
"Ah, jangan koko jual rahasia. Kitakan engkoh adik,
masakan tak bisa omong2 dalam rumah . . ."
"Nanti engkau tentu tahu sendiri." habis berkata dia
berpaling kepada Siau Hui, "pulanglah dulu untuk memberi
laporan. Siocia segera akan menyusul, agar pohcu dan hujin
(nyonya majikan) tidak gelisah."
"Baik," Siau Hui terus mencongklangkan kudanya.
Diam2 Cu Jiang bingung. Akan mengikuti Siau Hui atau
tetap mengikuti gerak-gerik kedua engkoh dan adik
perempuannya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap
mengikuti Ki Ing saja. Betapapun ia ingin juga mendengar
apa yang akan dibicarakan kedua saudara itu.
Ki Ing dan engkohnya menuju ke biara kecil. Dalam
pada itu Cu Jiangpun menyadari bahwa saat itu dia berada
di daerah yang gawat. Penjagaan didaerah itu tentu sangat
ketat. Maka dia harus berhati-hati sekali. Sepanjang
berjalan mengikuti kedua engkoh adik itu, dia selalu
menggunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat.
Seorang thaubak atau kepala kelompok segera muncul
menyambut kedatangan Ki Ing dan engkohnya. Setelah
turun, keduanya menyerahkan kuda-kudanya kepada
thaubak itu. "Suruh anak buah dalam biara keluar semua. Walaupun
terjadi apa saja, mereka dilarang masuk ke dalam biara,"
pemuda baju kuning emas itu memberi perintah.
Thaubak mengiakan lalu membunyikan pertandaan
rahasia, setelah itu dia masuk kedalam hutan disamping
biara. Seperti bayangan setan, Cu Jiang menyelinap masuk ke
biara itu. Biara itu tak berapa besar" Kecuali pintu besar,
didalamnya hanya terdapat tiga buah ruang. Ruang muka
merupakan ruang besar, sedang dua ruang yang lain tampak
gelap. Tak ada penerangannya dan sunyi senyap.
"Lekas bilanglah, koko," rupanya Ki Ing tak sabar.
"Kita masuk ke ruangan," sahut engkohnya.
Setelah masuk kedalam ruang gelap itu, pemuda baju
kuning emas itu duduk diatas sebuah kursi bundar
kemudian mempersilahkan Ki Ing duduk di kursi yang di
sebelah muka. Dengan ragu2, duduklah Ki Ing. Tetapi sekonyongkonyong dia menjerit terus rubuh ke lantai.
Dari sela2 dinding disebelah luar ruang itu, Cu Jiang
mengintai kedalam. Walaupun gelap sekali tetapi berkat
matanya yang tajam dapatlah ia melihat keadaan dalam
ruang itu. Pada saat Ki Ing duduk, cepat sekali pemuda itu sudah
menutuk Jalan darah nona itu.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Mengapa tiba2 pemuda
itu menutuk Ki Ing. Bukankah keduanya engkoh dan adik "
Karena jalan darahnya tertutuk, Ki Ing masih dapat
bicara tapi tak dapat berkutik.
"Koko," serunya gemetar. "apakah artinya ini?"
Pemuda baju kuning emas itu tertawa riang: "Moaymoay, aku cinta padamu."
Seketika mendidihlah darah Cu Jiang. Hampir dia tak
percaya akan pendengarannya. Bukankah pemuda itu
engkoh dari Ki Ing" Mengapa dia mengucapkan kata2
begitu. "Apa katamu ?" teriak Ki Ing tak kalah kejutnya.
Pemuda itu cepat mendekap pipi Ki Ing dan berkata
dengan bisik-bisik.
"Aku cinta padamu, aku akan memiliki engkau selamalamanya." "Apa engkau gila!" teriak Ki Ing.
"Tidak, aku tidak gila."
"Lalu mengapa engkau berkata begitu ?"
"Karena aku cinta kepadamu. Bukan sehari dua hari
tetapi sudah bertahun-tahun, kutunggu sampai engkau
dewasa ..."
"Engkau . . . engkau ... benar2 sudah gila . . . "
"Aku tetap waras."
"Engkau mau apa?"
"Adik yang baik, kawinlah dengan aku . .."
"Engkau . . . engkau ..." Ki Ing bercucuran airmata.
Tetapi pemuda baju kuning emas itu malah tertawa
gembira. "Moay-moay, saat ini marilah kita jadikan hari baik kita
itu ... " "Engkau . . . berani?"
"Aku cinta kepadamu, takkan kubiarkan engkau jatuh ke
tangan lain orang."
"Engkau manusia atau binatang?"
"Sudah tentu aku seorang manusia."
"Aah, kalau ayah dan mamah tahu, engkau tentu
dibunuh!" "Jangan kuatir, mereka takkan melakukan itu."
Mendengar pembicaraan itu seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Benar-2 dia tak menduga bahwa di
dunia terdapat manusia yang lebih rendah martabatnya dari
binatang. Pada saat ia hendak bertindak . . .
"Sebenarnya engkau bukan adikku!" tiba2 terdengar
pemuda itu berkata.
Cu Jiang tertegun dan hentikan langkah.
Ki Ingpun seperti disambar kilat kejutnya. "Aku bukan
adikmu?" serunya gemetar.
"Bukan !"
"Engkau ngaco!"
"Kalau tak percaya tanyakanlah pada mamahmu!.."
"Mamahku " Apakah mamahku bukan mamah mu?"
"Bukan !"
"Mamahku sudah lama meninggal dan aku ikut ayah."
"Engkau hanya ngaco belo .. .."
"Dengar! Ini bukan ngaco belo, tetapi memang sungguh.
Waktu engkau masih kecil, engkau datang ke gedung
bersama mamahmu."
"Benarkah itu?"
"Aku bersumpah."
"Lalu siapa ayahku ?"
"Tanya pada mamahmu."
"Ah !"
Ki Ing benar2 terpagut rasa kejut yang tak terhingga
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mendengar asal-usul dirinya. Bahwa menurut
keterangan pemuda yang dianggap sebagai engkohnya
sendiri, ternyata antara dirinya dengan engkohnya itu
ternyata bukan saudara.
Engkohnya itu adalah anak dari ketua Gedung Hitam
dengan mamah yang lain. Dan ia sendiri adalah anak dari
mamahnya yang berasal dari papahnya yang sudah
meninggal. Jelasnya ketua Gedang Hitam itu seorang duda dengan
seorang anak, menikah dengan seorang Janda yang juga
sudah membawa anak.
"Lepaskan aku." teriak Ki Ing setelah menyadari keadaan
saat itu. "Moay moay, engkau tentu tahu bahwa permintaanmu
tentu tak dapat kulakukan," sahut pemuda baju kuning
emas. Ki Ing menjerit kalap.
"Bunuhlah aku !"
Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Dia alihkan
tangan mulai membuka pakaian Ki Ing seraya berbisik:
"Moay-moay, apakah aku sampai hati membunuhmu?"
"Sekalipun kelak aku jadi setan, aku tetap takkan
mengampuni mu."
"Moay-moay, sejak kecil kita bermain-main bersama dan
sama2 berangkat dewasa."
"Huh!"
"Moay-moay.."
Rasa malu, marah gugup dan geregetan meluap dari
dada Ki Ing. Ia menguak memuntahkan darah segar lalu
pingsan .... Saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi. Cepat ia
melesat keluar...
Tetapi hampir berbareng dengan langkahnya itu, dalam
ruang itu terdengar suara orang mengerang. Cu Jiang
hentikan gerakannya. Tampak pemuda baju kuning emas
Itu menggelepar di tanah. Ternyata punggungnya telah
tertancap sebatang pedang pendek yang menyusup masuk
hingga tinggal tangkai saja yang kelihatan.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Pembunuhnya itu cepat
dan lipat sekali gerakannya. Tetapi siapakah gerangan
orang itu " Kecuali ketua Gedung Hitam, siapakah yang
memiliki keberanian untuk membunuh siau-pohcu"
Kalau bukan ketua Gedung Hitam tetapi orang luar,
mengapa sama sekali tak terdengar suaranya memasuki
ruang itu"
Jelas tadi pemuda itu telah memerintahkan kepada
semua anak buah Gedung Hitam yang berada dalam kamar
keluar semua. Dengan begitu tak mungkin terdapat orang
yang bersembunyi dalam ruang itu.
Karena tak dapat memecahkan pertanyaan itu, Cu Jiang
mementang mata dan memandang tajam ke sekeliling ruang
itu. Tetapi dia tak melihat suatu apa.
"Sahabat dari manakah yang telah turun tangan ini,
harap suka unjuk diri," akhirnya ia berseru.
Tetapi sampai diulang beberapa kali tetap tiada jawaban.
Dengan perangainya yang keras kepala, bukan mundur
tetapi kebalikannya Cu Jiang malah ingin mengetahui
peristiwa aneh itu. Cepat ia melesat masuk.
Tiba2 terpencarlah sepercik penerangan dan seketika
ruang itu telah terang benderang. Cu Jiang terkejut, mundur
tiga langkah. Entah kapan datangnya, ternyata di muka
arca dalam ruang itu telah berdiri seorang wanita
pertengahan umur yang cantik.
Sedang di atas meja terletak sebutir mutiara besar.
Mutiara itulah yang memancarkan sinar penerangan.
Wanita itu memiliki kecantikan yang cemerlang sekali
sehingga orang takut untuk menatapnya.
Dahulu ketika masih muda, tentulah dia merupakan
seorang Jelita yang jarang terdapat tandingannya.
"Adakah wanita cantik Itu yang membunuh pemuda
atau siau-pohcu itu ?"
Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang,
berkatalah wanita itu dengan lembut:
"Dari manakah sahabat ini ?"
"Berburu dan kesasar tiba disini," sahut Cu Jiang.
"Berburu orang atau berburu binatang ?"
Cu Jiang tertegun,
"Sudah tentu berburu binatang, masakan berburu
manusia ?"
"Tetapi di gunung ini tiada jenis binatang yang berharga
diburu." "Baru pertama kali ini aku datang kemari."
"Sahabat, didepan area sang Buddha, Jangan menyulut
dupa palsu. Gunung ini merupakan daerah pangkalan
Gedung Hitam yang penting. Penuh dengan penjagaan
sehingga burungpun sukar terbang melintasi gunung ini.
Aku sungguh kagum atas nyali dan kepandaianmu . . ."
"Rasanya tak perlu kujelaskan lagi," kata Cu Jiang.
Wanita itu tertawa, ujarnya:
"Mengingat-ingat kau hendak menolong puteriku tadi,
akupun takkan bertanya lebih lanjut tentang asal-usulmu ..."
Cu Jiang terperanjat. Ia tak menyangka bahwa wanita
cantik itu adalah isteri dari ketua Gedung Hitam.
"Adakah nyonya yang membunuh sau pohcu tadi ?"
serunya agak heran.
"Benar, karena dia sendiri yang cari mati," Menilik nada
ucapan wanita itu, apa yang diceritakan pemuda baju
kuning emas Kepada Ki Ing tadi memang benar. Rupanya
antara nyonya itu dengan si pemuda, tak ada hubungan
darah apa2. "Kuperingatkan kepadamu!" kata wanita itu pula.
"lekaslah engkau tinggalkan gunung ini. Engkau dapat
datang tentu mampu pergi juga."
Apa boleh buat, Cu jiang terpaksa tak mau bertindak
dulu sebelum ia mengetahui jelas siapa dan bagaimana
keadaan ketua Gedung Hitam itu.
Serentak ia memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih atas nasehat wanita itu. Kemudian dia berputar tubuh
dan melesat keluar dengan tata-langkah Gong gong-pohhwat. Tetapi cepat ia membiluk lalu dengan hati2
menyelundup masuk lagi.
Dilihatnya wanita cantik dan Ki Ing berdiri berhadapan.
Air mata. Ki Ing bercucuran dan mulutnya mengertek lagi.
"Ma, engkau sudah lama berada dalam biara ini, tetapi
mengapa engkau membiarkan saja binatang ini . . ."
"Anakku, serigala yang berhati buas, sudah lama
kuperhatikan. Tak kira dia berani bernyali besar. Beruntung
ditengah jalan aku bertemu dengan Siau Hui. Dia
mengatakan bahwa engkau diajaknya kedalam biara ini.
Aku seperti mencium gelagat tak baik dan bergegas datang
kemari. Aku masih menunggu kalau2 dia sadar dan dapat
menghentikan perbuatannya yang gila itu tetapi ternyata
tidak. Maka akupun terpaksa turun tangan membunuhnya."
"Apakah keterangannya itu benar semua?"
"Ini .... hanya sebagian yang benar."
"Bagaimana jelasnya?"
"Dia memang ikut ayahnya tetapi engkau adalah anak
kandungku."
"Ayah ?"
"Nak, perlu apa engkau tanyakan" Kabarnya Toan-kiam
jan-jin pernah menolongmu dari tangan Long-sim-mo ?"
"Ya."
"Apa engkau tak dapat mengenali dirinya?" Sejenak
wanita itu merenung lalu berkata : "Nak, mari kita pulang."
"Mayat itu ?"
"Kita bawa pulang. Jangan sampai diketahui anakbuahnya, habis berkata dia terus menarik kain tirai dimuka
arca, dibungkusnya tubuh sau-pohcu lalu dijinjingnya,
setelah menyimpan mutiara, ia segera mengajak Ki Ing
pergi." Keduanya naik kuda dan tinggalkan biara itu. Diam2 Cu
Jiang tetap mengikuti. Lebih kurang sepuluhan li, haripun
sudah terang tanah. Disebelah muka penuh dengan Jajaran
puncak gunung, setelah melintasi jalan-setapak pada dua
buah puncak, kedua ibu dan puterinya itu masuk kedalam
lembah dan lenyap.
Cu Jiang terkejut sekati. Jaraknya dengan ke dua orang
itu hanya sepuluhan tombak. Dia dapat melihat bayangan
kedua ibu dan puterinya itu. Tetapi mengapa tiba2 mereka
lenyap " Cepat ia mengejar akan tetapi tetap tak mendapatkan
kedua wanita itu. Tampak disebelah muka karang gunung
yang berbentuk menonjol dan menurun kebawah, Jalan
bersilang selisih ruwet sekali. Sejenak Cu jiang berhenti. Ia
teruskan pengejarannya atau berhenti disitu saja.
Beberapa saat kemudian ia memutuskan akan melanjutkan langkahnya mengejar mereka, ia memutuskan
untuk mengambil jalan yang agak besar Tetapi setelah lari
sekian saat, ternyata dia kembali lagi ditempat semula tadi.
Saat itu baru ia menyadari kalau dirinya sedang
terkurung dalam sebuah barisan yang aneh. Pada hal dia tak
mengerti sama sekali akan ilmu barisan yang aneh2. Kalau
dia nekad melanjutkan lari menyusuri jalan2 hal itu tentu
sia2 saja. hanya membuang tenaga. Bahkan kemungkinan
akan diketahui musuh. Akhirnya ia memutuskan mencari
sebuah tempat untuk beristirahat.
Ia merenung memikirkan keadaan yang dihadapi saat
itu, Bertahun-tahun Gedung Hitam dapat menjaga
rahasianya sehingga tak dapat diketahui oleh orang
persilatan, ternyata memang memiliki keistimewaan.
Sebelumnya dia tak sampai berpikir begitu. Lalu bagaimana
langkahnya sekarang"
Diam2 ia menyesal mengapa ketika di negeri Tayli dulu,
dia tak mau belajar tentang ilmu barisan kepada gurunya"
Mungkin saat itu jejaknya sudah diketahui musuh.
Terlambat, ia mengeluh. Kalau tadi dia terus bertindak
tegas untuk menangkap kedua wanita itu dan menyuruh
mereka menunjukkan jalan mungkin lain keadaannya.
Tiba2 terdengar derap langkah orang berjalan dari arah
gua. Tidak hanya seorang tetapi beberapa, Cu Jiang mulai
tegang. Saat itu kiranya sudah fajar hari tetapi keadaan di tempat
itu masih tetap remang. Seketika timbul suatu pikiran.
Benar, kalau mereka datang, asal dia dapat menangkap
salah seorang dan memaksanya untuk menunjukkan jalan,
tentulah dia dapat lolos dari tempat itu.
Tetapi tindakan itu tentu akan menimbulkan suara
berisik. Kemungkinan akan mengundang kedatangan
beberapa bala bantuan mereka. Padahal Gedung Hitam
mempunyai banyak sekali jago2 ko-jiu yang sakti.
Tak berapa lama langkah kaki orang itu berhenti tak
berapa jauh, ditengah barisan. Kalau ia diam saja, tentulah
mereka takkan melihat, Setelah menentukan siasat, dia
segera berteriak.
"Setan keparat, masakan orang berburu engkau sesatkan
begini ?" Tetapi tetap ada tiada penyahutan, kembali ia
mengulang: "Biar, masakah setelah hari terang toaya tak dapat keluar
dari sini!"
"Ha, ha, ha, ha . ..." tiba2 tiga sosok bayangan manusia
muncul di muka. Dua orang berpakaian ringkas dan
seorang berpakaian hitam, umurnya diantara tiga-puluh
tahun. Cu Jiang segera dapat mengenali bahwa yang berpakaian
hitam itu tentu seorang thaubak (Kepala kelompok).
Mereka tentu sedang bertugas menjaga barisan.
Cu Jiang pura2 melonjak kaget dan berseru kepada
mereka: "Tuan-tuan sekalian, tempat apakah ini ?"
Lelaki berpakaian hitam itu memandang Co Jiang
dengan tajam. "Engkau tak tahu tempat apa ini ?" tegurnya dengan
nada dingin. "Kalau aku tahu takkan kemari !"
"Tetapi bagaimana engkau masuk kesini ?"
"Mengejar binatang yang hendak kuburu dan akhirnya
tersesat disini."
"Ngaco ! Jelas engkau tentu seorang persilatan . , . . "
"Heh, heh, aku sebenarnya bukan orang persilatan tetapi
aku pun pernah berlatih beberapa gerakan silat."
"Hm, tiga puluh li sekeliling tempat ini, burungpun tak
dapat masuk. Sahabat, engkau hebat juga !"
"Tuan tuan. aku benar2 seorang baik2. Sudah beberapa
keturunan aku mencari nafkah sebagai pemburu."
Lelaki berpakaian hitam itu tiba2 melangkah maju,
menebarkan kelima jari tangannya dan secepat kilat
menerkam pergelangan tangan Cu Jiang. Cu Jiang memang
sudah siap. Ia sengaja tak mau melawan.
"Aduh !" ia pura2 menjerit kesakitan dan terus
berjongkok. "Bawa dia !" perintah lelaki baju hitam itu. Kedua anak
buahnya segera menyeret Cu Jiang.
Diam2 Cu Jiang gembira. Dengan membiarkan dirinya
diseret begitu, bukankah suatu cara yang mudah untuk
dapat masuk kedalam Gedung Hitam. Namun ia pura2
menjerit-jerit.
"Hai, apa-apaan kalian ini" Kalian bukan pembesar
negeri juga bukan penguasa..."
"Bungkam mulutnya !" teriak lelaki baju hitam itu.
Hanya dalam beberapa kejap, cuaca sudah terang
benderang lagi. Kiranya mereka sudah keluar dari barisan
dan saat itu haripun sudah terang.
Dengan menyeret Cu Jiang kedua anak buah Gedung
Hitam itu berlari. Diam2 Cu Jiang memperhatikan tempat2
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dilalui. Kiranya dia dibawa kembali kearah biara kecil
yang didatanginya semalam.
"Hai. tuan2 hendak membawa aku ke mana ?" teriak Cu
Jiang. Sebenarnya mudah sekali dia membunuh ketiga
orang itu tetapi ia memutuskan untuk tetap bersikap pura2.
Ia hendak melihat lebih jauh apa yang akan dilakukan
ketiga orang itu.
Sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimuka biara
kecil. Kedua anak buah itu berhenti didepan pintu biara
sedang lelaki baju hitam terus melangkah masuk kedalam
biara. Tak berapa lama terdengar orang berseru memberi
perintah. "Bawa masuk !"
Suara orang itu menyengat telinga. Bukan seperti suara
orang laki tetapi Juga bukan suara orang perempuan.
Kedua anak buah itu segera menyeret Cu Jiang masuk
kedalam biara. Sunyi senyap tiada orangnya. Dan salah
seorang dari kedua anak buah itupun segera berseru.
"Orangnya sudah kami bawa!"
Sejenak bertukar pandang, kedua anak buah itu segera
melangkah kedalam ruang besar. Tetapi tiba dipintu,
keduanya menjerit kaget dan tegak seperti patung.
Cu Jiang merentang mata memandang kedalam ruang
besarku. Seketika bulu kuduknyapun ikut meregang dan
semangatnya terasa terbang.
Ternyata dalam ruang besar itu telah berjajar lebih dari
lima puluh sosok mayat manusia. Dijajar rapi sekali! Juga
lelaki baju hitam yang baru masuk tadi, pun ikut terbujur
dalam jajaran mayat itu.
"Huak, huak..." tiba2 kedua anak buah itu menjerit dan
rubuh ke lantai. Sementara karena dilepas, Cu Jiang
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kini di hadapannya telah muncul dua orang wanita
muda berpakaian warna merah. Mereka memandang Cu
Jiang lalu tersenyum.
Saat itu baru Cu Jiang menyadari. Kiranya Ang Nio Cu
juga ada disitu. Dan semuanya itu adalah perbuatannya.
Kedua manusia baju merah itu menyeret mayat kedua
anak buah Gedung Hitam dan dijajarkan pada jajaran yang
lain. Cu Jiang cepat melesat masuk, serunya:
"Toaci, engkau juga datang kemari?"
Sesosok bayangan merah darah, melesat keluar dari
belakang arca. "Ai, siaute, aku memang lebih dulu dari engkau. "
"Oh, taci sudah lebih dulu datang" Mendapat penemuan
apa saja?"
"Lekas kita tinggalkan gunung ini! "
"Kenapa?"
"Bukankah engkau terjebak dalam barisan" Itulah yang
akan menjadi soal . . . . "
"Soal?"
"Benar. Gedung Hitam itu terletak di tengah barisan
Apakah engkau tahu akan ilmu barisan?"
"Ti . . .dak. "
"Itulah makanya engkau terperangkap."
"Mengapa toaci tak mau membiarkan salah seorang dan
mereka hidup untuk kita korek keterangan?"
"Soal itu tak perlu engkau ingatkan. Apa yang harus
dikerjakan tentu kulakukan. Tetapi mereka lebih suka mati
daripada membuka mulut. Dan sesungguhnya, kecuali
beberapa tokoh yang mempunyai kedudukan, para thaubak
dan anak buah itu memang tak mengerti keadaan markas
mereka. Barisan itu dijaga sendiri oleh orang kepercayaan ketua
Gedung Hitam. Tanpa ijin, siapapun tak boleh masuk ke
markas. Berani melanggar tentu dihukum mati."
Tiba2 Cu Jiang membanting-banting kaki.
"Celaka, aku telah melepaskan kesempatan yang baik!"
serunya. "Kesempatan apa ?"
"Sebenarnya aku sedang mengikuti jejak isteri ketua
Gedung Hitam dan puterinya. Kalau tahu begini, lebih baik
mereka kutangkap saja .. "
"Percuma."
"Kenapa ?"
"Engkau tetap tak dapat pergi dari tempat itu, Begitu
masuk kedalam barisan, engkau tentu kehilangan faham.
Bentuk luarnya, barisan itu menyerupai barisan Kiu-kiongpat-kwa. Tetapi dalamnya merupakan barisan Bi-hun-toatin (barisan besar Penyesat nyawa). Aku sendiri pernah
menyusup masuk jauh ke dalam. Andaikata tak lekas2
menyadari gelagat, mungkin aku tentu sudah terperangkap
didalamnya."
"Karena sudah tahu akan nama barisannya, toaci
tentu..." "Yang kuketahui hanya kulit luarnya saja. Tetapi
bagaimana perobahan2 didalamnya, hanya lawan yang
tahu. Juga belum diketahui apakah di luar barisan itu masih
terdapat lain batuan bay-Taok (barisan pendam).
Taruh kata engkau dapat menangkap seorang lawan
yang berkedudukan penting, pun begitu masuk kedalam
barisan Bi-hun tin, pikiranmu akan kacau dan tentu
tertangkap. Bukankah itu akan sia2 saja?"
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Mencari seseorang."
"Siapa ?"
"Seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri dari
dunia persilatan, bergelar Ih-se lojin..."
"Ih-se lojin ?" Cu Jiang mengulang heran.
"Ya, pernah dengar ?" tanya Ang Nio Cu.
"Belum."
"Gelarnya Ih-se lojin, siorang tua yang meninggalkan
keduniawian, sudah tentu tak mau campur dengan manusia
lagi. Perangainya aneh, tak kalah dengan tabib Kai-Jiu-sinjin itu." "Perlu apa mencarinya ?"
"Dalam dunia persilatan Jaman ini, kecuali dia seorang
yang mahir akan segala ilmu barisan aneh, masih ada
seorang lagi yakni Gong-gong cu . . ."
"O, mencarinya unjuk memecahkan barisan di Gedung
Hitam ?" "Benar, minta petunjuknya."
"Dimana tempat kediamannya ?"
"Ada dua buah jalan yang dapat kita telusuri. Menurut
kabar, ada orang yang pernah melihatnya berada di gunung
Tay-pa-san. Dan yang kuketahui, dia tinggal di gunung
Bok-nia. Kedua gunung itu Jaraknya amat jauh sekali. Satu
di utara, satu di selatan. Kita berpencar mencarinya. Kita
tentukan kapan bertemu lagi. Bagaimana pendapatmu?"
Sesaat meragu, Cu Jiang menyahut: "Mengapa kita tak
nantikan kesempatan lain lagi."
"Siaute," kata Ang Nio Cu dengan lembut, "rasanya
hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan.
Menunggu kesempatan, tiada kepastian waktunya. Dan lagi
setiap waktu tentu terjadi perobahan yang sukar diduga.
Mencari orang tua itu dan meminta petunjuknya cara
memecahkan barisan, merupakan cara penyelesaian yang
terbaik." "Baik, aku menurut saja."
"Bagus, adikku."
Cu Jiang merah mukanya lalu menanyakan Ang Nio Cu
hendak menuju ke gunung mana.
"Aku lebih paham keadaan gunung Bok nia. Engkau
yang pergi ke gunung Tay-pa-san. Empat-puluh hari kita
bertemu di rumah penginapan Naga-hijau dikota Tongyangshia." "Baik, tetapi bagaimana ciri2 dari Ie-se lojin itu?"
"Ih. benar. Hampir saja aku lupa memberitahukan.
Orang itu selalu mengenakan jubah warna kuning telur,
tidak memakai kain kepala juga tidak bersepatu. Diantara
kedua alisnya terdapat sebuah tahi lalat merah. Kalau
bertemu tentu mudah mengenalinya ..."
Tiba2 dari arah jauh terdengar suara burung hantu. Dan
Ang Nio cepat segera memberi isyarat tangan:
"Ada orang datang, kita harus lekas2 tinggalkan tempat
ini. Siaute, hati-hatilah dalam perjalanan !"
"Sampai Jumpa, toaci," kata Cu Jiang. Sekali bergerak
dia sudah melesat keluar dan lenyap.
Suara burung hantu Itu memang dari anak buah Ang
Nio Cu. Sekeluar dari biara, Cu Jiang melihat
segerombolan bayangan manusia yang berlari mendatangi
dari arah jauh. Empat penjuru biara itu sunyi senyap.
Semua penjaga tempat itu sudah dibereskan Ang Nio Cu,
Kawanan pendatang itu tentulah penjaga2 yang akan
mengganti giliran.
Ia menuju keutara. Satu-satunya jalan singkat mencapai
gunung Tay-soat san harus mengitari gunung Tay-hong-san.
Kesanalah dia menuju.
Hari itu dia tiba di kota Ih-shia, sebuah kota bandar yang
ramai. Bagian hulu terdapat kota Siang-yang dan bagian
muara kota An-liok. Setelah melintas sungai Han cui.
gunung Tay-hong-san sudah tak berapa jauh lagi.
Selama dalam perjalanan itu Cu Jiang tetap memakai
kedok muka. Hanya pakaiannya berganti seperti seorang
pedagang. Dia menginap di rumah penginapan Gwa lay ti
tua. Dia memesan beberapa hidangan dan arak. Tengah dia
hendak menikmati hidangan, tiba2 pintu kamarnya dibuka
orang. "Jangan berisik, kalau keperluan nanti kupanggil," seru
Cu Jiang mengkal. ia kira tentu pelayan.
"Ki Siau Hong, Ko Kun!" terdengar suara orang diluar.
"Oh, silakan masuk."
-oo0dw0oo- Jilid 18 DUA orang lelaki masuk. Seorang sasterawan tua dan
seorang tua bungkuk. Keduanya tak lain dari Ki Siau Hong
dan Ko Kun, dua dari keempat pengawalnya.
"Silakan duduk, akan kusuruh pelayan menambah gelas,
kita minum bersama .. ."
"Tak usah."
Cu Jiang terkejut mendengar nada mereka yang kaku.
Kedua orang itu mengambil kursi dan duduk disebelah Cu
Jiang. "Ciangkun, kami hendak bicara dengan sungguhsungguh !" kata Ki Siau Hong.
"Soal apa ?"
Sejenak memandang kearah wajah membesi dari Ko
Kun. Ki Siau Hong berkata dengan tegas.
"Ciangkun, maafkan hamba berlaku kurang hormat.
Walaupun kedudukan ciangkun lebih tinggi, tetapi kami
juga sama2 menjadi menteri dan sama2 mengemban tugas
dari Kok-su, agar diam2 membantu ciangkun. Dalam hal
ini ciangkun tak berhak membunuh . .. ."
"Apa katamu ?" teriak Cu Jiang kaget.
"Apakah ciangkun tak tahu?"
"Jangan menyabut ciangkun !"
"Tidak, ini menyangkut urusan dinas."
"Aku benar2 tak mengerti. Katakanlah yang jelas."
Tiba2 Ki Siau Hong berbangkit dan dengan deliki mata
berseru dalam nada getar:
"Bagaimana kesaktian ciangkun, kami semua sudah
mengetahui, kami bukan tandingan . ... "
Cu Jiang benar2 bingung. Tetapi melihat sikap orang
yang begitu serius dan tegang, dia anggap urusan tentu
serius sekali. Diapun berbangkit dan berseru:
"Sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
Ko Kun juga berbangkit dan menyeletuk: "Kenapa ?"
"Sia-sia kami antarkan jiwa di Tionggoan, mati tanpa
alasan apa2."
Cu Jiang memandang kedua orang itu dengan tajam lalu
berkata dengan sarat : "Aku tak jelas apa yang kalian
katakan ...."
"Asal ciangkun mengerti sajalah."
"Kalian takut mati. Memang
tugas ini penuh
mengandung bahaya. Baiklah, kalian boleh pulang."
"Sebagai seorang biasa, tak mungkin takut mati. Tetapi
mati harus yang jelas dan harus yang berharga." Ki Siau
Hong menyelutuk.
"Berharga bagaimana?"
"Kami memberanikan diri hendak mohon tanya kepada
ciangkun." kata Ki Siau Hong, "apakah kesalahan Ong
Kian sehingga menimbulkan kemurkaan ciangkun dan
ciangkun lalu membunuh nya?"
Mendengar itu gemetarlah Cu Jiang.
"Apa katamu?" serunya keras.
"Mohon tanya apa kesalahan Ong Kian sehingga
ciangkun menghukumnya mati?"
"Apa" Engkau .... mengatakan aku membunuh Ong
Kian?" "Apakah ciangkun menyangkal?"
"Ini . . . ini . . . apa buktinya?"
"Silakan ciangkun lihat ini." Ki Siau Hong mengeluarkan
sebuah benda dan menyerahkan kepada Cu Jiang. Tangan
Ki Siau Hong gemetar keras. Sedang Ko Kun yang
menyaksikan dari sampingpun juga tegang sekali wajahnya.
Dahinya berkerenyutan keras.
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Ternyata barang
itu seperangkat pakaian dan diatasnya tertulis huruf dari
darah, berbunyi: "Ciangkunlah yang membunuh aku."
"Tulisan ini adalah tulisan tangan Ong Kian. Pada saat
hendak kami kuburkan, baru kami menemukannya." kata
Ki Siau Hong. Dada Cu Jiang bergolak keras. Dia membuka kedok
muka dan menunjukkan wajahnya yang aseli. Tampak
kerut wajahnya membesi dan dahinya berkerenyutan, bum .
. . . "
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang membunuh Ong Kian?" dia menghantam
meja sekeras-kerasnya.
Kedua pengawal itu tergetar dan saling bertukar
pandang. "Ciangkun, ijinkanlah kami pulang lebih dahulu ke
Tayli. " Pikiran Cu Jiang penuh dengan berbagai persoalan. Dia
marah dan sedih atas peristiwa itu.
"Dimana Ong Kian dibunuh?" tanyanya.
"Diluar kota Hok yang-shia."
"Bagaimana kalian dapat menemukannya?"
"Karena kami mendengar bahwa ciangkun muncul di
pintu kota itu maka kamipun buru2 menyusul."
Mendengar itu Cu Jiang tahu bahwa persoalan itu
memang tak wajar. Jelas dia tak melalui kota Hok yang
shia. Tetapi sesaat dia tak dapat memberi penjelasan.
"Dan kalian menemukan Ong Kian sudah dibunuh
orang?" "Benar, tubuhnya menderita delapan belas buah tusukan
pedang. Bekas luka2 itu menunjukkan kalau dari tusukan
pedang kutung milik ciangkun."
"Apakah tulisan darah itu dia yang menulis?"
"Ciangkun, sekarang bukan saatnya berdebat . . ."
"Kenapa ?"
"Orang luar tentu tak menyebut "ciangkun" kepada
ciangkun" Diam2 Cu Jiang mengeluh dalam hati. Peristiwa
memang benar2 aneh sekali.
"Ciangkun, kami mohon diri."
"Tunggu dulu.."
Wajah kedua orang itu berobah lalu mereka diam2
bersiap-siap. Cu Jiang menghela napas.
"Atas kematian Ong Kian, aku benar2 sedih sekali.
Tetapi aku mengatakan dengan sungguh2. bahwa aku tak
membunuhnya. Dan memang tiada alasan untuk membunuhnya. Harap kalian tenang dan marilah kita
bicara dengan baik2."
Dari kerut wajah kedua orang itu, tampak mereka tak
mau percaya begitu saja kepada Cu Jiang. Empat huruf
yang ditulis dengan darah itu menjadi bukti yang berbicara.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan menerjang masuk
dan terus menyerang Cu Jiang. Karena tak menduga dan
berlangsung dalam waktu secepat kilat, Ki Siau Hong dan
Ko Kun menjerit kaget. Tetapi Cu Jiang lebih cepat
reaksinya. Ia condongkan tubuh dan menyambar pedang yang
menyerang nya. Ah. ternyata penyerangnya itu tak lain
adalah Song Pak Liang yang menyaru jadi penjual obat
tempo hari. Dengan mata penuh bawa pembunuhan dan tubuh
menggigil keras. Song Pek Liang memandang Cu Jiang
dengan penuh dendam kebencian.
"Juara Jago pedang, kalau engkau mau bunuh Song Pek
Liang, bunuhlah !" serunya penuh dendam sinis.
Cu Jiang tahu bahwa orang itu sedang dirangsang
dendam kemarahan yang timbul karena salah faham.
Harpa Iblis Jari Sakti 5 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Pedang Golok Yang Menggetarkan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama