Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 9

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 9


"Pohcu, selamat bertemu! "
Ketua Gedung Hitam tertawa gelak2.
"Toan kiam jin jin, apakah engkau pernah sesumbar
hendak menghancurkan Gedung Hitam?"
"Benar."
"Mampukah engkau?"
"Tentu!"
"Ha, ha, ha, ha! Jangan keliwat tak tahu diri!"
"Kenyataan nanti yang akan membuktikan!"
"Aku harus bersyukur kepadamu karena engkau mau
merawat mayat congkoan kami Ho Bun Cai," seru ketua
Gedung Hitam. "Hm," Cu Jiang mendengus.
"Mengapa engkau tahu bahwa dia itu murid dari Dewa
pedang?" "Tak perlu engkau tahu." baru berkata begitu tiba2 Cu
Jiang terkesiap. Congkoan dibunuh orang mengapa ketua
Gedung Hitam itu tidak menanyakan sebab2 pembunuhan
itu kebalikannya mengalihkan pembicaraan pada lain soal"
Sungguh mengherankan!
Saat itu Cu Jiang hendak bertanya tentang peristiwa
pembunuhan kedua orang tuanya tetapi pikir2, sebelum ada
bukti tentulah ketua Gedung Hitam itu akan menyangkal.
Dan kalau mengemukakan peristiwa pembunuhan itu,
bukankah dirinya sendiri tentu akan ketahuan. Saat itu dia
sedang terkena racun, belum tahu bagaimana nanti
nasibnya. "Toan-kiam jan-jin." tiba2 ketua Gedung Hi tam berseru
pula, "jangan2 engkau ini juga pewaris dari Dewa-pedang
Cu Hong Ko?"
"Kalau betul begitu, lalu bagaimana?" balas Cu Jiang.
"Engkau sesumbar hendak menghancurkan Gedung
Hitam," kata ketua Gedung Hitam, "atas dasar perhitungan
apa?" "Perhitungan darah!"
"Dalam peristiwa yang mana?"
"Seharusnya engkau Sudah tahu jelas."
"Banyak sekali aku berhutang kepada orang. Silakan
engkau mengatakan sendiri!"
Cu Jiang merenung. Jika mengatakan pada saat itu,
tentulah dirinya akan ketahuan. Saat itu masih belum
waktunya, lebih baik dia tak mengungkat peristiwa itu, Jika
musuhnya bukan hanya terbatas ketua Gedung Hitam itu
sendiri, bukankah mereka akan terkejut dan tahu lalu
bersiap-siap"
Serentak dia teringat akan pesan Ang Nio Cu bahwa
selama dalam perjalanan untuk mencari obat ke Busan itu,
sekali-kali jangan marah dan jangan berkelahi dengan orang
karena hal itu akan mengakibatnya racun segera bekerja
keras. "Aku tak mau membereskan hutan darah itu sekarang,"
seru Cu Jiang. "Kenapa ?"
"Itu urusanku."
"Tetapi aku justeru hendak mengambil batang kepalamu!"
"Coba saja kalau mampu!"
Tiba2 dari dalam hutan berhamburan keluar belasan
sosok bayangan manusia. Cu Jiang mengerling pandang ke
sekeliling dan melibat dua diantara orang2 itu terdapat dua
orang tua yang tak asing baginya.
Kedua orang itu adalah kedua jago silat yang menjadi
pengawal Kopuhoa anak raja Biau waktu meminang puteri
baginda Tayli dahulu.
Kini jelas bagi Cu Jiang, bahwa anak raja Biau itupun
sudah ditunggangi ketua Gedung Hitam untuk dijadikan
alat memburu kitab pusaka Giok kah- kim-keng.
Cu Jiang kenal dengan kedua kojiu itu tetapi sebaliknya
mereka tak mengenali dirinya. Waktu di Tayli, dia
mengenakan kedok sebagai panglima Tia-tin-ciang-kun.
Dan dia pun tidak menggunakan pedang kutung seperti
sekarang. Ha, kini makin jelas bahwa Gedung Hitam itu ternyata
sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab Giok-kahkim-keng. Thian-hian-cu dan Go-leng-cu, berturut-turut
telah menjadi korban mereka.
Saat itu Cu Jiang tak dapat melanjutkan renungannya
lebih lanjut karena bayangan orang2 itu makin menyempitkan kepungannya hingga hanya terpisah jarak
lima tombak. Cu Jiang menyadari bahwa pertempuran berdarah tak
dapat dihindari lagi. Bagaimana nanti akhirnya, ia tak dapat
membayangkan. "Heh, heh, Toan-kiam-jan-jin." ketua Gedung Hitam
tertawa mengekeh, "mengapa engkau tak mau memberitahukan asal usul dirimu lebih dulu ?"
"Tak perlu!"
"Bagaimana kalau engkau bunuh diri saja?"
"Jangan mimpi!"
"Kalau bertempur, engkau tentu akan mati lebih
mengenaskan . . ."
"Mungkin engkau ?"
"Hm, mari kita lihat saja . .."
Belum habis ucapan itu tiga Pengawal Hitam serentak
maju dari tiga arah. Cu Jiang terkesiap. Ia mendapat kesan
bahwa kesemuanya itu tentu sudah diatur lebih dulu.
Gedung Hitam hendak menggunakan siasat bertempur
secara bergilir untuk menghabiskan tenaganya. Dan yang
terakhir baru ketua Gedung Hitam itu sendiri yang akan
turun tangan. Saat itu dia masih terkena racun. Menurut Ang Nio Cu,
dia tak boleh menggunakan tenaga dalam. Karena apabila
dia menggunakan tenaga, racun itu tentu akan bekerja.
Jika saat itu tidak hendak meloloskan diri, memang tidak
sukar. Dengan ilmu langkah Gong-gong-poh-hoat, dia tentu
mampu lolos dari kepungan musuh. Tetapi karena masih
berdarah panas, dia tetap tak takut.
Dan terutama nanti apabila menghadapi ketua Gedung
Hitam, dia akan bertempur mati-matian. Sekalipun dia
harus mati, asal durjana itu juga tewas, dia sudah puas.
"Hm, apakah anda tak berani turun tangan sendiri?"
serunya sambil memandang tajam kepada ketua Gedung
Hitam. "Siapa bilang?"
"Mengapa harus suruh mereka mengantar jiwa lebih
dulu?" "Untuk melatih kepandaian mereka."
"Ucapan yang indah. Tetapi tidakkah anda bermaksud
hendak menggunakan siasat bertempur secara berantai?"
"Andaikata begitupun tidak apa. Asal bisa mengambil
nyawamu." "Anjing yang tak tahu malu..."
Saat itu ketiga pengawal Hitam sudah maju dengan
serangan pedang. Ditilik dari kehebatan serangan mereka
tentulah mereka itu termasuk jago2 pilihan dari Gedung
Hitam. Pelahan-lahan Cu Jiang melolos pedang keluar. Matanya
memancarkan sinar berkilat-kilat buas. Dalam keadaan
seperti saat itu, hanya tinggal satu pilihan, membunuh atau
dibunuh. Suasana dalam ruanganpun segera berobah tegang
regang, penuh dengan hawa pembunuhan.
Ketua Gedung Hitam mundur sampai empat lima
langkah. Serentak terdengar tiga buah aum pekik yang
dahsyat dari ketiga Pengawal Hitam yang menyerbu dari
tiga arah. Dengan menggigit gigi, Cu Jiang segera lancarkan jurus
Thian te-kiau-toay atau langit bumi-saling-terangkap.
Huak buk .... Terdengar jeritan ngeri dan sinar merah darah. Dua
orang pengawal Hitam segera rubuh ke tanah. Sedang yang
seorang terhuyung-huyung mundur dengan berhias tiga
empat tusukan pedang.
Seluruh anak buah Gedung Hitam yang berada di
gelanggang situ, pucat seketika. Serentak tiga lelaki tua baju
hitam masuk kedalam gelanggang. Salah seorang adalah
jago yang menyamar sebagai pengawal putra raja Biau
tempo hari. Jelas bahwa ketiga lelaki tua baju hitam itu
lebih sakti dari kawanan Pengawal Hitam.
Saat itu Cu Jiang rasakan kepalanya agak pusing", Ia
menyadari dirinya akan tertimpah malapetaka. Diapun
sudah membulatkan tekad. Sebelum dia rubuh, mudahmudahan dia dapat membunuh kepala Gedung Hitam itu.
Ketiga lelaki tua baju hitam itu dengan menudingkan
ujung pedang, pun sudah maju menghampiri.
Yang menyerang lebih dulu, akan memiliki kesempatan
lebih kuat. Cu Jiang teringat akan ajaran itu. Saat itu bukan
menguji kepandaian tetapi sedang beradu jiwa. Kalau salah
langkah, pasti akan mati dibawah ujung pedang musuh.
Suatu hal yang membuat hatinya penasaran. Matipun
dia tentu takkan meram, Bagaimana nanti dia harus
mempertanggung jawabkan dirinya kepada raja Tayli,
kepada Gong gong-cu dan kepada kawan-kawan yang telah
mati terbunuh oleh keganasan musuh...
Tiba2 ia mengembangkan ilmu langkah Gong-gong poh
hwat Sekali menggeliat, dia terus melenyapkan diri dari
hadapan ketiga lawan.
Huak, huak, huak
Terdengar tiga buah jeritan ngeri dan diatas tanah segera
bertambah dengan tiga sosok mayat lagi.
Ketua Gedung Hitam terkesiap. Seluruh anak buah
Gedung Hitampun tercengang menyaksikan peristiwa luar
biasa itu. Tetapi saat itu Cu Jiangpun terhuyung-huyung.
Kepalanya makin pening. Sebelah tangannya mulai mati
rasa. Dia menyadari bahwa keadaannya sudah makin gawat
sekali. Jika tidak segera bertindak, tentulah dia akan mati
dengan membawa dendam penasaran.
Serentak dia melompat ke tempat ketua Gedung Hitam
seraya membentak:
"Cabut pedangmu!"
Gerakan Cu Jiang itu memang diluar dugaan dan diluar
dugaan pula ketua Gedung Hitampun mundur selangkah.
Tiga jago pedang segera loncat menyerang Cu Jiang dari
belakang. Tanpa berpaling, Cu Jiang mengayunkan
pedangnya ke belakang.
Terdengar dering yang tajam dan tiga butir kepala
manusia terlempar jatuh. Yang dua orang tangannya juga
putus. Tetapi Cu Jiang makin pening. Bahkan pandang
matanya sampai berkunang-kunang, perutnya mual mau
muntah, Itulah gejala dari bekerjanya racun. Namun dia
tetap mengertek gigi dan bertahan berdiri tegak.
Dia merasa bahwa ketua Gedung Hitam itu memang
tengik sekali. Tak mau melayani tantangannya tetapi terus
main mundur dan menyuruh anak buahnya yang maju
dulu. Jika demikian, sia-sialah harapannya. Dia mati tanpa
dapat menyentuh ketua Gedung Hitam yang dibencinya itu.
Tiba2 ketua Gedung Hitam yang mundur sampai tiga
tombak jauhnya.
"Mundur !" serunya. Sekalian anak buahnya yang siap
hendak menerjang Cu Jiang, serempak mundur dan
tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang diam2 menghela napas longgar dalam hati. Ah,
kalau saja ketua Gedung Hitam itu tahu akan keadaan
dirinya saat itu, tak mungkin dia mau memberi perintah
mundur kepada anak-buahnya.
Sesaat Cu Jiang tertegun. Dia merasa seperti kembali
dari akhirat. Diapun mulai merenungkan tindakan ketua
Gedung Hitam tadi Apakah ketua Gedung Hitam itu takut
kehilangan banyak sekali jago-jagonya "
Atau sebab karena merasa tak mampu melawan musuh,
mereka agar jangan kehilangan pamor di hadapan anak
buahnya, ketua Gedung Hitam itu lalu memerintahkan
mereka mundur "
Tiba2 iapun teringat akan keadaan dirinya. Bukankah
akan berbahaya sekali apabila musuh bersembunyi dan
masih mengawasi dirinya "
Diam2 Cu Jiang menggigil terus ayunkan langkah
menuju ke jalan besar. Tetapi baru berjalan beberapa belas
langkah, masih belum keluar dari lingkungan medan
pertempuran tadi, ia rasakan pandang matanya gelap,
kepalanya berat dan tubuhnya kaku sehingga dia tak kuat
menggerakkan kaki lagi. Tubuhnyapun terhuyung huyung
akan jatuh. Dalam keadaan antara sadar tak sadar, sekonyongkonyong ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di
hadapannya. "Mati aku .. . ." hati mengeluh, tangan pun segera
menyambitkan pedangnya ke muka dan orangnya terus
rubuh. Pada waktu ia rubuh, ia masih sempat mendengar
sebuah suara yang dikenalnya. Tetapi siapa orang itu atau
bagaimana kelanjutannya dia tak mampu mengetahui lagi


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena saat itu dia terus pingsan.
Waktu dia membuka mata, ia dapatkan dirinya rebah di
atas sebuah ranjang yang beralas jerami dan diterangi oleh
sebuah pelita. Di manakah dia saat itu" Mengapa dia tak mati" Siapa
yang menolongnya" Mengapa, bagaimana dan kenapa
menghujam benaknya.
"Adik kecil, apakah engkau masih kenal aku?" tiba2
terdengar sebuah suara.
"O. lo koko." serentak Cu Jiang mengenal siapa orang itu
dan berseru sambil bangkit.
Kini dia baru mengetahui bahwa Thian-put thou Ciok
Yau liu duduk di samping ranjangnya.
"Bagaimana yang engkau rasakan" " tanya Ciok Yau Je
pula. Cu Jiang berusaha hendak bangun tetapi tenaganya
lunglai sekali. Ia mencoba pula untuk mengerahkan tenagamurni, juga tak mampu. Keadaan itu sama dengan orang
yang tak dapat ilmu silat. Ia tertawa hambar.
"Lo-koko, aku mungkin sudah tak berguna!"
"Siapa bilang!" teriak Thian-put-thou dengan keras,
"bagaimana engkau tak berguna lagi..."
"Tetapi ilmu kepandaianku sudah lenyap!"
"Ah, apakah yang telah terjadi pada dirimu?"
Cu Jiang segera menuturkan semua yang di alaminya.
Setelah terkena tusukan beracun dari anak buah Hoa-gwatbun, dia telah dikepung anak buah Gedung Hitam.
Lalu terjadi pertempuran berdarah yang menyebabkan
racun dalam tubuhnya berkembang sehingga dia rubuh.
Thiau-put thou kerutkan dahi.
"Ah, kutahu engkau memang terkena racun. Tetapi aku
tak menduga kalau engkau terkena racun Toan bun tok
yang ganas itu..."
"Lo-koko, tempat apakah ini?"
"Rumah pondok Bulu-ayam. Kupilih rumah penginapan
kecil ini agar tidak menarik perhatian orang."
"Bagaimana lo-koko secara kebetulan sekali dapat
berjumpa dengan aku?"
"Ha, ha, memang suatu kebetulan yang jarang terjadi.
Aku sedang mondar mandir di Kai-ciu, tak terduga telah
berjumpa dengan sesosok tubuh yang menggeletak di tepi
jalan. Ternyata dia adalah Gong Beng taysu, seorang
tianglo dari vihara Siau lim yang telah menjadi sahabat
baikku. Dia tak dapat menjawab pertanyaanku. Setelah
kuperiksa ternyata dia terkena pukulan beracun Ngo tok
ciang dari Ngo tok-mo, iblis ke tujuh dari gerombolan iblis
Sip-pat-thian-mo. Segera kubawa ia menyingkir lalu aku
nekad mencuri obat penawar racun di markas cabang Thian
tong-kau di Kwi ciu."
"Apakah Ngo-tok mo itu ketua cabang Thian-thong kau
di Kwi-ciu?"
"Benar."
"Lalu ?"
"Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mencuri
sebutir pil Hui-lok wan. Ketika aku tiba ditempat
persembunyian. ternyata Gong Beng sudah meninggal.
Terpaksa dengan hati masygul aku melanjutkan perjalanan
lagi. Secara kebetulan kulihat engkau terhuyung-huyung
rubuh. Aku bergegas lari menghampiri tetapi engkau terus
melontarkan pedangmu kepadaku."
"Maaf. lo-koko, kukira musuh yang datang.."
"Ah, tak apa. Waktu kuperiksa nadi pergelangan
tanganmu kudapatkan engkau tak menderita luka tetapi
terkena racun. Maka pil Ho tok-wan yang sedianya hendak
kuberikan kepada Gong Beng taysu itu, kuminumkan
kepadamu..."
"Oh, lo-koko, benar2 suatu kebetulan yang luar biasa !"
"Tetapi Hoa tok-wan itu hanya mampu menahan racun
Toan bun tok itu untuk sementara waktu tetapi tak dapat
menghapus racun itu!"
"Aku hendak ke gunung Busan untuk menemui Ang Nio
Cu." "Ang Nio Cu?"
"Ya" "Bagaimana engkau bersahabat dengan momok wanita
itu?" "Aku banyak berhutang budi kepadanya."
"Momok wanita itu memang misterius sekali. Kabarnya
dia itu anak murid dari perguruan Hiat-ing-bun (bayangan
darah). Siapakah sesungguhnya dia ?"
"Maaf, lo koko. Walaupun aku bersahabat dengan dia,
tetapi aku sungguh2 tak tahu bagaimana wajahnya yang
asli." "O, begitu."
"Dia hendak mengajak aku ke puncak Sin li-hong untuk
meminta obat kepada Kui Jin-sin Jin."
"Siapa" Kui-Jiu-sin jin?"
"Ya. Apakah lo-koko kenal padanya?"
Thian-put-thou kerutkan alis, katanya.
"Mungkin hal itu sukar terlaksana."
"Mengapa ?"
"Kui jiu sin-jin itu seorang manusia yang terkenal aneh
sekali wataknya. Sifatnya yang nyentrik, mungkin tiada
keduanya di dunia ini. Dia tinggal di lembah Mo-jin-koh . .
. ." "Apa " Mo jin koh !"
"Ya. Mo jin kok atau Lembah-emoh-manusia."
"Mengapa memakai nama itu ?"
"Hm, dia sendiri yang menamakan tempat itu. Lembah
itu merupakan sebuah tempat yang buntu, hanya terdapat
sebuah jalan yang menuju ke lembah buntu itu. Lalu dia
memperlengkapi lembah itu dengan bermacam-macam Ki
bun (barisan aneh). Disebelah luar di tanami rumput dan
bunga2 beracun. Tanpa mendapat ijinnya, tiada seorangpun
yang boleh masuk. Itulah makanya disebut Mo Jin koh."
"Tetapi kecuali ke sana aku tiada lain daya lagi."
"Baiklah, aku bersedia menemanimu kesana."
"Ah, hanya merepotkan lo-koko saja ...."
"Jika engkau begitu, aku akan pergi."
"Ya. ya, akan kubantu saja."
"Juga tidak boleh." Cu Jiang tertawa lalu mengiakan.
"Apakah engkau tak dapat jalan ?" tanya Thian-put-thou.
"Hm . .. rasanya begitu."
"Pada hal banyak sekali musuh2 yang menghendaki
jiwamu." "Memang aku sedang mengalami kemalangan yang tak
terduga." "Jika aku terang-terangan membawamu kesana, tentu
akan timbul kesulitan
Cu Jiang tertawa hambar dan mengiakan.
Thian-put thou merenung sejenak. Tiba2 ia menepuk
paha, serunya. "Ada ! Kita berdua minta nasi!"
"Minta nasi?" Cu Jiang terbeliak.
"Hm. kita berdua berganti dengan pakaian pengemis.
Aku mempunyai beberapa kedok muka dan kita lalu
menyamar sebagai pengemis. Tentu orang takkan tahu dan
takkan mengganggu perjalanan kita."
"Kalau mempunyai kedok muka, mengapa harus
menyaru sebagai pengemis?"
"Adik kecil, kakimu yang pincang itu tentu paling
menarik perhatian orang. Jika menyaru sebagai pengemis
dan berjalan dengan sebatang tongkat, tentu dapat
mengelabuhi mata orang."
"Kita berjalan siang malam. Kalau siang engkau berjalan
sendiri, kalau malam baru engkau ku panggul."
"Ah, lo-koko !"
"Sudahlah, jangan banyak ini itu lagi."
Cu Jiang bersyukur sekali dalam hati. Jika tidak bertemu
dengan raja copet Thian put thou, dia tentu mengalami
nasib yang mengenaskan sekali.
Demikianlah dengan menyaru sebagai pengemis mereka
lalu menempuh perjalanan. Dan selama dalam perjalanan
itu mereka tak menemui gangguan apa2, tiba dengan
selamat di gunung Busan.
Diperhitungkan bahwa saat itu Cu Jiang sudah tujuh hari
berpisah dengan Ang Nio Cu. Walaupun tiap hari makan
sebutir pil Pit-tok wan, tetapi keadaannya makin payah.
Adakalanya dia seperti tak sadar pikirannya dan hampir tak
dapat melanjutkan perjalanan lagi. Untunglah Thian-putthou memberi bantuan kepadanya.
Walaupun sudah tiba di gunung Busan tetapi untuk
mencapai puncak Sin-li hong, merupakan suatu jarak
perjalanan yang cukup sukar. Dalam penyamarannya
sebagai pengemis itu, tentulah Ang Nio Cu sukar untuk
mengenal mereka.
Rupanya Thian-put-thou menyadari hal itu maka dia
segera mencopot penyamarannya dan ganti pakaian seperti
semula lagi. Dengan susah payah akhirnya dapat dia membawa Cu
Jiang ke bawah kaki puncak Sin-li-hong dan menempatkannya di sebuah tempat yang cukup aman.
Ia mengeluarkan ransum kering tetapi Cu Jiang sudah
tak sadarkan diri dan tidak dapat makan dan minum lagi.
Menunggu sampai setengah hari, masih belum juga Ang
Nio Cu muncul. Thian put-thou mulai gelisah. Waktu
sudah amat mendesak sekali.
Kalau tak lekas mendapat pertolongan, Cu Jiang tentu
mati. Sedang dia sendiri tak tahu bagaimana cara memasuki
lembah itu. Dengan begitu jelas dia tak mungkin dapat
mencari manusia aneh Kui-Jiu-sin jin.
Saat itu mentari mulai condong ke balik gunung,
cuacapun mulai meremang petang. Sayup2 terdengar lolong
kawanan serigala dan binatang buas. Tak mungkin dia
paksakan diri membawa Cu Jiang ataupun dia sendiri,
menuju ke lembah Mo-jin koh.
Akhirnya, dalam keputusan daya. Thian-put-thau
melepaskan harapannya kepada Ang Nio Cu. Besok pagi
terang tanah, dia akan membawa Cu Jiang untuk mencapai
lembah Mo Jin koh.
Hawa malam di gunung itu terasa dingin sekali.
Terpaksa Thian-put thou menyalakan api unggun untuk
menghangatkan badan. Disamping itu api unggunpun dapat
mengenyahkan bangsa ular dan serangga.
Maka dia terus keluar dari gua tempat persembunyian itu
untuk mencari rumput kering dan kayu bakar. Tetapi sekitar
tempat itu merupakan sebuah pegunungan karang yang
tandus. Yang tumbuh hanya jenis pakis dan beraneka
rumput. Apabila hendak mencari kayu bakar harus turun kedalam
hutan yang jaraknya sepuluhan tombak dibawah.
Tetapi dia tak enak kalau meninggalkan Cu Jiang yang
masih pingsan itu seorang diri. Setelah memikir bolak balik,
akhirnya ia memutuskan tetap akan mencari kayu bakar
kehutan itu. Api unggun itu perlu untuk menghangatkan
dingin. Asal dia cepat pergi dan cepat pulang, rasanya Cu
Jiang tak perlu harus dikuatirkan keselamatannya.
Maka diapun terus turun kebawah dan setelah
mengumpulkan beberapa ranting kering, ia terus bergegas
kembali lagi. Tiba di mulut gua, ia seperti tersambar geledek
kagetnya. Cu Jiang sudah lenyap !
Setelah agak terang, dia mulai memeriksa keadaan gua
dan sekitar. Dia tak melihat barang suatu jejak dan telapak
kaki binatang ataupun bekas2 tubuh yang diseret keluar.
Jelas Cu Jiang tentu bukan dimakan binatang buas
melainkan oleh seseorang. Dan menilik peristiwa itu tak
meninggalkan suatu bekas apa2, jelas orang itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Karena kalau tidak, tak mungkin kehadiran orang itu
dapat mengelabuhi pendengaran dan penglihatannya.
Apalagi dia hanya sebentar saja meninggalkan gua itu.
Lalu siapakah orang itu "
Ang Nio Cu "
Mungkin. Dan mudah-mudahan saja dia. Tetapi kalau
bukan dia, ah. celaka. Kalau saja Cu Jiang jatuh ketangan
musuh, dia pasti akan mati ....
Baru pertama kali sepanjang hidupnya, Thian put-thou
merasa gelisah sekali. Pada hal biasanya dia terkenal
sebagai manusia yang tak acuh segala apa di dunia ini.
Kemanakah dia harus mencari Cu Jiang dalam malam
yang segelap itu" Jangankan mencari, sedangkan berjalan
saja sukar untuk melihat jalan.
Tetapi bukanlah Thian-put-thou atau si Pencuri-sakti,
apabila dalam menghadapi
situasi begitu menjadi kelabakan. Dia memang cerdik. Dalam menghadapi
kekacauan seperti itu. yang pertama-tama dilakukan adalah
menenangkan pikirannya dulu.
Setelah tenang, barulah dia mulai mengadakan analisa
tentang peristiwa itu dan siapa2 yang patut dicurigai.
Yang paling keras diduganya adalah Ang Nio Cu.
Mungkin karena tetap hendak menjaga gerak geriknya yang
serba misterius itu, Ang Nio Cu tak mau tindakannya
diketahui orang.
Maka diam2 dia mengikuti perjalanan Cu Jiang dan
menggunakan kesempatan Thian-put-thou sedang turun
kebawah mencari ranting kering Ang Nio Cu terus
menyambar dan membawa Cu Jiang pergi.
Kemungkinan yang kedua, jatuh pada fihak Gedung
Hitam. Tetapi kemungkinan itu memang tipis. Karena
setelah menyamar sebagai pengemis, kalau orang2 Gedung


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hitam itu memang sudah mengetahui, tentu ditengah
perjalanan mereka sudah turun tangan. Tak perlu
menunggu sampai ditempat itu.
Kemungkinan ketiga, diarahkan kepada musuh2 Cu
Jiang yang secara tak sengaja ialah berpapasan di tengah
jalan. Mereka segera menggunakan kesempatan untuk
turun tangan. Sudah tentu kemungkinan ini yang paling
tipis sendiri...
Dengan begitu jelas bahwa kemungkinan pertama itu
yang paling besar. Betapapun saktinya tetapi Ang Nio Cu
itu seorang wanita. Dengan memanggul tubuh Cu Jiang
tentulah langkahnya agak tak leluasa.
Asal dia terus menyusul ke arah lembah Mo Jin koh,
tentulah akan dapat menemui mereka. Dan apabila tiba di
lembah itu ternyata tak menemui mereka, Jelas kalau Cu
Jiang tentu tertimpah suatu peristiwa yang tak diharapkan.
Setelah puas menganalisa, Thian-put thau lari menuju
kearah lembah Mo-Jin-koh.
Dalam malam segelap itu sukar untuk mencari jalan.
Thian-put-thou hanya lari dengan berpedoman pada arah
letak lembah itu. Jika memang Ang Nio Cu tidak sengaja
menyembunyikan diri, tentulah dia akan dapat menyusul.
Dan Thian put-thou mempunyai keistimewaan yang
dapat diandalkan yakni pendengaran dan penglihatannya,
luar biasa tajamnya.
Melintasi puncak Sin li hong, dia mendengar gemericik
suara air dari sebuah parit yang terbentang dihadapannya.
Ditengah parit itu. penuh dengan batu2 menonjol yang
aneh bentuknya. Besar kecil seperti bayangan setan.
Betapapun besar nyali si Thian-put thou itu, tetapi dia
meremang juga bulu-romanya.
"Haha..." tiba2 dari tengah parit itu terdengar suara tawa
dingin tetapi tak ada orangnya.
Tetapi Thian-put-thou malah bangkit semangatnya.
Paling tidak dia telah bertemu orang entah kawan entah
lawan. Dia tak mau bergegas mencari tahu tempat
persembunyian orang itu melainkan hentikan langkah dan
batuk2 lalu berseru.
"Siapa ?"
"Anda seharusnya dapat mengenali." sahut suara orang
itu. Dan nadanya jelas seorang wanita.
Girang Thiau-put-thou bukan alang kepalang. Ia merasa
seperti terlepas dari himpitan batu besar.
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?" serunya.
"Benar. Tengah malam buta anda berkeliaran ditengah
lembah pegunungan yang sunyi, sungguh suatu kegemaran
yang luar biasa..."
"Hi, hi, haha sama-sama."
"Apakah sebenarnya yang anda cari ?"
"Papan merk ku jatuh !"
"Apa ?"
"Merk namaku jatuh."
"Mengapa ?"
"Kecuali hanya langit, segala apa dalam dunia ini dapat
kucuri semua. Tetapi malam ini aku justeru kecurian."
"Benda apa ?"
"Seorang bocah besar!"
"Pencuri tua, Jangan bergurau. Urusan ini gawat sekali."
"Urusan apa ?"
"Lekas usahakan supaya si maniak aneh dalam lembah
ini keluar untuk mengobati Toan-kiam-jan-jin."
"Ah, dimana dia ?"
"Keadaannya gawat sekali."
"Apakah engkau bukan manusia ?"
"Hm."
"Mengapa engkau tak mau melakukannya sendiri tetapi
menyuruh aku si tua ini ?"
"Bukan menyuruh tetapi meminta. Aku, Ang Nio Cu,
baru pertama kali ini dalam hidupku meminta pertolongan
kepada orang . . ."
"Mengapa ?"
"Anda tentu tahu bahwa mahluk aneh itu paling
membenci kaum wanita. Kalau aku yang datang, tentu akan
runyam." "Hm, beralasan juga .... tetapi..."
"Tetapi apa?"
"Ini berarti suatu tugas."
"Bukankah dia itu adik kecilmu?"
"Heh, heh. sudah tentu. Kalau tidak begitu, aku si
pencuri tua ini tentu tak sampai begini kalap keluyuran ke
tempat semacam ini !"
"Sudah, kita putuskan begitu. Aku akan membantu
secara bersembunyi."
"Tetapi bagaimana kalau mahluk aneh itu berkeras tak
mau keluar?"
"Dengan kecerdasan yang anda miliki, anda tentu dapat
mencari akal..."
"Sukar dikata lebih dulu."
"Kalau perlu boleh pakai segala cara ..."
"Cara bagaimana?"
"Sampai saatnya baru kukatakan. Sekarang silahkan !"
habis itu terus diam tak ada suara terdengar lagi.
Dengan tertawa kecut, Thian-put-thou geleng-geleng
kepala. Karena Cu Jiang sudah berada ditangan Ang Nio
Cu, Ia tak perlu cemas lagi. Biar nanti setelah terang tanah,
baru dia mulai bekerja. Dari situ ke lembah Mo-Jin koh
hanya terpisah beberapa li saja. Lebih baik ia tidur dulu
untuk memulangkan semangat.
Ia segera mendaki keatas sebuah batu besar lalu
rebahkan diri tidur.
Begitu bangun matahari sudah menjulang di timur. Dia
membasuh muka di saluran air lalu makan ransum kering
dan setelah itu baru turun, lari menuju ke lembah.
Setengah jam kemudian, hari sudah terang benderang.
Dia terus lari menuju kemulut lembah.
"Lokoko . . ." tiba2 terdengar sebuah suara memangginya
sehingga Thian-put thou melonjak kaget. Memandang
kearah suara itu, dia terkejut girang.
Di bawah sebatang pohon, tampak Cu Jiang rebah
dengan tanpa memakai kain penutup muka sehingga
wajahnya yang buruk itu tampak jelas.
Thian put-thou segera lari menghampiri.
"Adik kecil, bagaimana engkau sudah sadar ?" serunya
gembira. Cu Jiang menghela napas panjang.
"Ang Nio Cu-lah yang telah menolong aku. Sungguh
merepotkan kalian."
"Adik kecil, sudahlah. Jangan omong begitu. Mari kita
mulai bergerak."
"Aku tak bisa jalan."
"Tak apa. Kita sedang meminta pertolongan orang, harus
memakai peradatan. Biarlah aku yang akan mengundang
tuan rumah." ia terus menghadap ke mulut lembah dan
setelah mengumpulkan tenaga lalu berseru nyaring:
"Thian-put thou Ciok Yan Je mohon menghadap pada
tuan pemilik lembah ini !"
Setelah menunggu beberapa saat. Thian-put-thou
mengulang lagi teriakannya. Tetapi tetap tanpa suatu
jawaban. Sampai sepeminum teh lamanya, keadaan tetap
sunyi senyap. Thian-put-thou tahu bahwa kalau dengan menggunakan
tata cara yang layak, tentu tak mungkin dapat bertemu
dengan tuan rumah. Dia berpaling ke arah Cu Jiang.
"Aku hendak memaki orang itu!"
"Oh, harus dimaki ?" Cu Jiang tertawa.
"Kalau tidak dimaki tentu tidak berhasil. Mahluk tua itu
memang lain wataknya dengan orang biasa."
"Setelah dimaki dan keluar, apakah akan di ajak
berkelahi?"
"Tidak! Aku mempunyai siasat yang bagus. Hanya
dikuatirkan dia tetap tak mau keluar walau pun dimaki
kalang kabut. "
"Maki sajalah!"
Setelah membasahi kerongkongan dengan ludah, ia
menyeringaikan muka lalu mulai berteriak-teriak:
"Ho, tolol, apakah begini caramu menyambut tetamu?"
Menunggu sebentar, Thian-put-thou berseru lagi:
"Hai, orang she Bun, engkau tak memandang mata
kepada aku si pencuri tua ini" Bagus. Mari kita mengadakan
perjanjian mati. Kalau tak bertemu muka, takkan pergi dari
sini. Engkau tak berani keluar, aku yang masuk mencarimu.
Jangan kira dengan mengandalkan permainanmu seperti
anak kecil ini, dapat merintangi aku ..."
Melihat sikap dan kerut wajah Thian-put-thou, diam2
Gu Jiang tertawa geli.
Karena tak diacuhkan, Thian put-thou naik pitam. Dia
memaki sekeras-kerasnya:
"Bun Yok Uh, kalau engkau tetap seperti kura2 yang
menyembunyikan kepala, terpaksa akan kubuka borokmu!"
Rupanya ucapan itu membawa hasil. Dari dalam lembah
segera terdengar suara penyahutan yang dingin:
"Pencuri tua, jangan berkaok-kaok di sini. Apa sih
borokku yang hendak engkau buka itu?"
Thian-put thou tertawa gelak2.
"Aku sih hanya bergurau, Bun lote, karena kuatir engkau
menutup pintu tak mau terima tamu, mata sengaja kubikin
panas hatimu!"
"Silahkan bikin panas, toh ada2 saja. Aku tak mau
menerima orang luar!"
"Tidak mau mengingat betapa jerih payahku jauh2
datang kemari?"
"Itu urusanmu, akukan tidak mengundang."
"Bun lote, jangan begitu getas, dong. Kalau engkau
benar2 mengundang, belum tentu aku mau datang."
"Tentu saja. Kalau tidak mau minta tolong kepadaku,
masakan engkau datang kemari .. ."
"Orang yang pintar tentu sudah mengerti. Ya, engkau
benar. " "Lebih baik engkau pulang saja, aku tak ada tempo."
"Apakah engkau sungguh2 menolak seorang tetamu
yang datang dari ribuan li?"
"Terserah anda mau mengatakan apa saja. Aku orang
she Bun, memang begini watakku. Banyak bicara tiada
guna . . ."
Thian put thou tertawa dingin:
"Jika begitu, langit sungguh tak kenal orang!"
"Apa maksudmu?" seru Kui jiu sin jin.
"Seorang tabib itu tentu mempunyai budi welas asih
untuk menolong orang. Langit seharusnya tak memberkahi
engkau dengan kepandaian ilmu pengobatan."
"Heh, heh, heh, heh, omong kosong semua!"
"Bun Yok Uh, apakah engkau benar2 tak mau bertemu
orang?" "Siapapun aku tak mau bertemu."
"Hanya kaum perempuan dan manusia kerdil yang sukar
dipelihara. Engkau memang seorang manusia kerdil," teriak
Thian put thou.
"Orang semacam dirimu, tak berhak menilai orang."
"Pencuripun mempunyai tata susila. Orang she Bun, aku
bukan manusia yang malu berhadapan dengan orang.
Tetapi engkau?"
"Silahkan, aku tiada waktu untuk adu lidah dengan
engkau . . . . "
"Bajingan tua..."
Cu Jiang terkejut mengapa lo kokonya itu dapat memaki
orang. Tetapi Thian put thou memberi kedipan mata
kepadanya agar dia tenang saja.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan
muncul di mulut lembah. Seorang tua yang sudah berusia
lanjut dengan berpakaian jubah yang hanya menutupi di
bawah dengkulnya sehingga kakinya yang telanjang
kelihatan. Sedang tangannya memegang susuk untuk menyerok
obat. Wajahnya pucat ke biru-biruan dan memandang
Thian put thou dengan penuh kemarahan.
Thian put thou malah tertawa gelak2. "Bun lote,
maafkan perkataanku yang kotor tadi!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sinjin berteriak: "Aku
hendak mengambil jiwamu!"
"Aku sih sudah tua, matipun tak sayang." sahut Thian
put thou dengan masih tertawa meringis, "kalau minta
nyawaku, sih boleh2 saja. Tetapi lebih dulu engkau harus
mengobati adikku yang kecil ini, bagaimana?"
"Jangan ngimpi, engkau!"
"Apakah engkau benar2 tak mau melakukan?"
"Mengapa aku harus melakukan ?"
Thian put-thou menyeringai.
"Engkau minta imbalan apa ?"
"Engkau tentu tak dapat membayar!"
"Gila, katakanlah!"
"Jiwamu yang tua itu !"
"Ambillah."
Kui-jiu-sin-jin berseru dingin:
"Pencuri tua, jangan engkau tertawa kegirangan,
menghambur namun makian, mengejek orang sesuka
hatimu. Seluas satu li dari lembah ini, telah kutaburi dengan
racun aneh. Barang siapa masuk masuk kedalam lembah
sampai setengah li dan dalam setengah jam tak keluar, tentu
akan kemasukan racun itu. Dalam sehari tentu akan lenyap
tenaganya. Kalau tak percaya, cobalah engkau salurkan
hawa-napasmu!"
Baik Thian-put thou maupun Cu Jiang terkejut dan
serempak menyalurkan napas. Ah, ternyata tenagamurninya telak mengumpal tak dapat disalurkan lagi.
"Bun Yok Uh," teriak Thian-put-thou marah sekali, "tak
kira engkau telah tersesat kedalam aliran iblis! Dengan cara
yang licik dan keji engkau telah mencelakai orang."
Tiba2 seorang wanita yang mukanya bertutup kain
kerudung muncul.
"Orang she Bun, saat kematianmu sudah dekat!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa engkau?" seru Kui Jiu sin jin dengan suara
tergetar. "Ang Nio Cu !"
"O, Ang Nio Cu, tenaga kepandaianmu sudah banyak
yang hilang. Engkau paling lama berada ditempat ini dan
masih ada tiga orang anak-buahmu lagi ! Ha, ha, ha . . .."
Ang Nio Cu mendegus dingin
"Kui-jiu sin-jin," serunya, "telah kusiapkan beratus-ratus
kati obat pasang pada kedua puncak dikedua samping
lembah ini. Cukup untuk menimbuni lembahmu ini !"
Wajah Kui-Jin sin-jin pucat seketika.
"Engkau berani menghancurkan tempat tinggalku?"
serunya. "Engkau berani meracuni orang, mengapa aku tak berani
menghancurkan serangan ?" balas Ang Nio Cu.
"Kita mati bersama-sama !" seru Kui-Jiu-sin-jin.
"Apakah sampai mati engkau tetap tak mau mengobati
orang?" "Tidak!"
Dada Cu Jiang hampir meledak. Sayang saat itu dia tak
dapat berkutik. Dia merasa menyesal dalam hati karena
orang2 yang hendak menolong dirinya itu malah berbalik
tertimpah bencana sendiri. Dia mati, memang sudah
selayaknya. Tetapi lo koko dan Ang Nio Cu itu " Bukankah
mereka harus korban untuk darinya"
"Kui-jiu-sin-Jin," seru Ang Nio Cu dengan nada tergetar,
"apakah engkau tak kecewa kalau mati ?"
"Tidak !"
"Asal aku memberi tanda, obat pasang itu pasti
meledak!" "Silahkan! Aku masih mempunyai cukup waktu untuk
membunuhmu lebih dulu!"
"Belum tentu."
"Kalian sudah terkena racun. Andaikata bisa lolos, toh
tetap akan menjadi cacat seumur hidup. Apalagi kalian tak
mempunyai kesempatan untuk lolos !"
"Aku ingin supaya engkau yang mati lebih dulu!"
Ang Nio Cu segera mengeluarkan sebuah benda sebesar
genggam tangan. Warnanya hitam kelam. Lalu berseru:
"Kui-Jiu-sin-Jin. kenalkah engkau dengan benda ini?"
Wajah Kui Jiu-sin jiu berobah, tetapi suaranya masih
tetap dingin: "Tak ada yang harus diherankan dengan peluru Bi lik tan
semacam itu!"
"Tentu lebih dari cukup untuk menghancurkan tubuhmu,
bukan?" "Kan aku sudah bilang, kita bakal mati bersama-sama ?"
Kui jiu-sin-jin benar2 manusia yang aneh wataknya.
Sekalipun menghadapi maut, dia tetap keras kepala tak mau
tunduk. Menilik gelagatnya, rupanya tiada lain jalan kecuali
harus sama-sama mati.
Tiba2 dengan kerahkan sisa tenaganya, Cu Jiang berseru:
"Sudahlah, saudara berdua. Mati hidup itu sudah ada
garisnya. Aku tak ingin melihat peristiwa yang mengenaskan hati.. . ."
"Bun Yok Uh." tiba2 Thian-put thou tergerak
hatinya,"biarlah dalam penitisan besok engkau menjelma
menjadi kerbau yang akan disembelih dengan pisau dan
dikuliti urat-uratmu."
Kui-Jiu-sin Jin hanya mendengus tetapi tak mau
menyahut. Karena tak mempan, Thian put-thou melanjutkan
makiannya lagi:
"Orang she Bun, Isterimu Cium Ngo Nio itu kelak dalam
penitisannya tentu masih menjadi wanita cabul yang
mempermainkan kaum lelaki. Dan engkau hanya menjadi
binatang Kerbau yang akan disembelih dan dijadikan
hidangan mereka !"
Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Kiranya Cian Ngo Nio,
ketua gerombolan Hoa-goat-bun itu adalah isteri Kui-jiu-sin
jin. Itulah sebabnya maka Thian-put-thou mengatakan
bahwa Kui jiu sin jin itu paling benci kepada wanita.
Muka Kui jiu tin jin merah seperti kepiting direbus.
Uratnya berkerut-kerut dan tubuhnya gemetar. Matanya
memancar sinar pembunuhan yang berkobar-kobar.
Kata2 Thian put thou benar2 telah menyinggung
perasaannya. Dan karena Kui jiu sin jin menggunakan
racun untuk mencelakai orang, Thiau put thoupun terpaksa
menyemprot dengan kata2 setajam itu.
Ang Nio Cu mengangkat pelor Bik li tan dan berseru
nyaring : "Orang she Bun, untuk yang terakhirnya jawablah.
Engkau mau atau tidak mengobati racun yang telah
mengendap ke dalam tubuh kita itu?"
"Tidak bisa." cepat Kui jiu sinjin menjawab.
"Terpaksa akan kulontarkan!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sin jin menyambut
ancaman itu: "Lemparkanlah, tak nanti aku tunduk!"
Ibarat sudah naik di punggung macan, Ang Nio Cupun
terpaksa harus melakukan apa yang diucapkan itu.
Pada saat malaekat elmaut hendak menaburkan
keganasan, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari
dalam lembah dan saat itu muncullah seorang pemuda
gagah berpakaian hitam di sisi Kiu-jiu sin jin.
"Mengapa engkau tak mau mendengar perintahku
supaya jangan keluar?" tegur Kui jiu sin jin dengan nada
tergetar. Sejenak pemuda itu memandang Thian put thou dan
Ang Nio Cu lalu berkata kepada Kui jiu sin jin:
"Yah, hancurkan mereka!"
"Bagus kiranya kalian bapak dan anak sealiran. Tentu
tidak kesepian, ya! "
Mata pemuda itu memandang ke arah Cu Jiang yang
menggeletak di samping. Tiba2 ia menjerit:
"Ih, engkau!" serentak dia terus melesat menghampiri.
"Mau apa engkau?" Thian put thoupun melesat dan
membentak. Pemuda itu deliki mata kepada Thian put thou:
"Jangan cengeng! saat ini anda tak kuat menerima
tamparan sebuah jariku saja!"
Thian put thou mendengus:
"Hai, budak kecil, keadaanku bukan seperti yang engkau
duga!" Melihat pemuda itu, Cu Jiang seperti sudah pernah
bertemu tetapi lupa entah dimana.
Pemuda itu tak menghiraukan Thian put thou melainkan
menuding Cu Jiang.
"Apakah saudara masih ingat padaku?" tegurnya.
Cu Jiang kerutkan alis, sahutnya: "Seperti sudah pernah
ketemu tetapi tidak ingat."
"Aku adalah Bun Cong Beng!"
"Bun . . . Cong . . . Beng .... o, benar . . . . " segera Cu
Jiang terkenang akan peristiwa beberapa waktu yang
lampau ketika ia tengah meneduh hujan ke dalam sebuah
kuil di luar kota Kui-cu, dia berjumpa dengan rombongan
anak buah Gedung Hitam yang dipimpin Pek poan-koan
atau Hakim Putih yang meringkus seorang pemuda.
Hakim Putih itu telah memaksa pemuda itu untuk
menyerahkan kitab Sin-liong po-tian sebagai penukar
jiwanya. Saat itu karena tak tahan melihat perbuatan yang
sewenang-wenang, Cu Jiang lalu menggunakan lencana
Hek-hu pemberian dara Ki Ing untuk mendesak Hakim
Putih melepaskan pemuda itu....
"Apakah saudara sudah ingat?"
"Ya. sekarang ingat."
"Rupanya saudara sedang mengalami kesulitan" "
"Benar, aku telah terkena racun Toan-bun-tok dan
hendak mohon pertolongan ayahmu mengobati racun itu .."
Bun Gong Ban bergegas lari kepada ayahnya dan
mengucapkan beberapa patah kata.
"Setitik menerima budi orang, harus dibalas dengan
curahan pertolongan. Bawa dia masuk!" seru Kui jiu-sin jin
keras2. Thian put-thou memandang kepada Ang Nio Cu dan
geleng2 kepala:
"Ah, sungguh2 tak terduga!"
Bun Cong Beng kembali ke tempat Cu Jiang dan
mengajaknya masuk ke dalam lembah.
"Bun-heng, bukan aku bermaksud hendak meminta lebih
dari apa yang layak kudapatkan tetapi dapatkah kiranya
anda mengobati dulu racun yang bersarang pada tubuh
kedua kawanku itu?"
"Akan kubicarakan dengan ayah!"
Rupanya Kui-jiu-sin-jin sudah mendengar perkataan
puteranya maka cepat2 dia menanggapi: "Aku hanya
berhutang budi seseorang!"
Saat itu dengan dipimpin Bun Cong Beng, Cu Jiang
sudah tiba di hadapan Kui jiu sin-jin.
"Bun Cianpwe, tak dapat mengabulkan permohonan
wanpwe" "
"Aku selalu membedakan budi dan dendam tak mau
sembrono." sahut Kui jiu-sin jin.
"Baik," kata Cu Jiang, "kalau cianpwe tak mau
mengobati racun pada mereka, wanpwe pun tak mau
menerima pengobatan cianpwe."
"Engkau pernah menolong Cong Beng. Aku hendak
membayar hutang budimu. Selama hidup aku tak mau
menolong orang, juga tak suka berhutang budi kepada
orang." "Kedatanganku kemari bukan hendak meminta budi juga
tidak akan memberi budi dan mengharap balas. Tentang
asal usul putra cianpwe itu, sebelumnya aku tak tahu.
Hanya secara kebetulan saja hal itu kuketahui setelah dia
muncul tadi."
"Uruslah urusanmu sendiri. Sejam kemudian engkau
pasti takkan tertolong lagi ..."
"Wanpwe tak menghiraukan soal mati atau hidup !"
"Kalau begitu, mengapa datang kemari ?"
"Keadaannya berbeda. Sebelum mati berpantang ajal,
sudah menjadi sifat manusia. Tetapi kini setelah
berhadapan dengan dua hal: kebajikan atau kepentingan
diri sendiri, aku tetap memilih yang tersebut dulu dan tak
menghiraukan lagi soal mati atau hidup."
"Pandangan biasa."
"Lalu apakah pandangan cianpwe itu melebihi orang
biasa." "Jangan berlidah tajam."
"Karena kepentingan peribadi dan kehilangan kawan,
aku lebih baik menolak."
"Setelah kusembuhkan engkau, anggaplah sebagai
pembayar budimu. Kelak walaupun engkau mengucapkan
kata yang setinggi langit dan minta dengan mati-matian,
aku tak peduli lagi." kata Kui-jiu sin-jin.
Memang aneh sekali watak orang tua itu. Thian-put thou
memandang Bun Gong Beng lalu Cu Jiang, Ia
menghentakkan kaki ke tanah dan berseru:
"Bun Yok Ih, kalau engkau anggap kata-kataku
menyinggung perasaanmu, aku pencuri tua bersedia
mengaturkan maaf. . ." ia terus menjurah memberi hormat
kepada Kui-jiu-sim-jin.
Sudah tentu tak enak sekali hati Cu Jiang. Dia tahu
bahwa orang persilatan itu lebih baik mati daripada tunduk.
Mengapa lo-koko mau berbuat begitu merendah kepada Kui
Jiu sin jin tentu karena mengingat kepentingannya (Cu
Jiang). Ah, budi sebesar itu entah bagaimana kelak ia dapat
membalasnya. Dari kemasyhuran nama, Thian-put-thou tak kalah dari
Kui-jiu-sin-Jin. Dari kedudukan tingkat, bahkan lebih tinggi
setingkat dari Kui jiu sin jin itu, tetapi menghadapi
peristiwa semacam itu mau tak mau luluh juga hatinya.
Apalagi, Cu Jiang itu pernah menolong jiwa Bun Cong
Beng, Seketika wajahnya berobah lalu akhirnya mengeluarkan
sebuah botol kecil dan menuang lima butir pil. serunya:
"Obat ini masih baru, ambil dan tinggalkan gunung ini!"
Thian-put-thou terpaksa menelan kemengkalan. Dia
maju menerima pil itu lalu menunjuk ke arah Cu Jiang:
"Lalu dia?"
"Tak perlu engkau urus!"
"Dia terkena racun ganas Toan-bun-tok."
"Tahu."
"Orang she Bun, aku hendak berkata lebih dulu. Dia
kuserahkan kepadamu. Jika racun itu tak dapat diohati dan
kalau sampai terjadi sesuatu pada dirinya, aku pencuri tua
tentu akan menuntutmu."
"Silahkan !" habis berkata Kui jiu-sin Jin terus lari masuk
kedalam lembah.
Bun Cong Bengpun lekas menggandeng tangan Cu Jiang
diajak menyusul ayahnya.
Thian-put thou memandang Ang Nio Cu, tertawa kecut:
"Engkau Ang Nio Cu, apakah baru pertama kali ini
tunduk pada orang?"
Ang Nio Cu menjawab dingin:
"Demi menolong orang, kalau tidak mau tunduk, habis
bagaimana?"
Thian-put-thou melemparkan empat butir pil kepada Ang
Nio Cu seraya berkata.
"Bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Aku hendak menunggunya di gunung ini."
"Aku juga."
"Tetapi kita tak boleh bersama...."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah tentu." sahut Thian-put-thou, "mari kita jalan
sendiri2 !"
Sekali loncat, Ang Nio Cu terus melesat lenyap. Thianput-thoupun Segera ayunkan langkah tinggalkan lembah
itu. Sementara Cu Jiang digandeng Bun Cong Beng masuk
kedalam lembah, disepanjang jalan dia berpikir:
"Karena Ciam Ngo Nio ketua Hoa goat-bun itu isteri
dari Kui-Jiu-sin-jin, maka racun Toan-bun tok yang
digunakan itu tentu racun yang diperoleh dari suaminya.
Dengan begitu Kui-jiu-sin-jin tentu mudah mengobatinya.
Jika dikatakan bahwa racun itu sejenis racun ganas yang
tiada obatnya, mungkin dimaksudkan Ciam Ngo Nio
memang tak mengerti cara mengobatinya."
Tak berapa lama mereka tiba dimuka sebuah rumah batu
yang dikelilingi oleh pohon2 hijau. Alam pemandangan
disitu, tenang dan meresapkan perasaan.
Setelah dibawa masuk kedalam rumah, Bun Cong Beng
membaringkan Cu Jiang diatas sebuah ranjang kayu.
"Cu heng, akan kuminta ayah untuk menyembuhkanmu
dulu baru nanti kita makan," kata Bun Cong- Beng.
"Ah, terima kasih. Bun-beng," sahut Cu Jiang.
"Ai, Cu heng telah memberi budi besar kepadaku,
mengapa mengucapkan kata2 begitu."
"Hal itu sebenarnya hanya secara kebetulan saja. Aku tak
bermaksud hendak memberi budi apa2."
"Beristirahatlah, sebentar ayah tentu datang," baru Bun
Cong Beng mengucap begitu, Kui-jiu-sin-jinpun sudah
muncul dengan membawa sebuah peti obat.
Tanpa berkata apa2, dia terus menusuki seluruh jalan
darah pada tubuh Cu Jiang. Kemudian mengambil lima
butir pil yang berlain-lain warnanya, dimasukkan kemulut
Cu Jiang. Begitu masuk kedalam perut, serentak timbullah suatu
aliran panas yang tersebar ke seluruh tubuh. Terakhir
mencurah ke lengan kanan Cu Jiang.
Linu, kesemutan, sakit dan gatal, serempak bertukaran
dalam tubuh Cu Jiang sehingga dia tak tahan dan
mengerang-erang. Beberapa saat kemudian rasa sakit yang
sukar ditahan itu pelahan-lahan mulai mengalir kebawah
lengan, ke siku lalu ke pergelangan tangan, Dan terakhir
mengumpul di Jari telunjuk. Ketika Cu Jiang memandang
ke tempat itu, ia terkejut.
Ternyata jari tengahnya bengkak sampai lipat dua
besarnya dan berwarna hitam.
Kui-Jiu- sin-jiu mengambil sebuah pisau tajam lalu
memegang tangan Cu Jiang. Sementara Cong Beng
mengambil sebuah baskom kumala ditaruh dibawah. Begitu
pisau membelek jari tengah maka darah bercampur air
hitam segera mengucur keluar.
Dan Cong Beng lalu menampung kucuran darah hitam
kedalam baskom.
Setengah jam kemudian, Jari tengah itupun pulih
bentuknya seperti semula dan Kui-jiu-sin-Jin lalu berkata:
"Sudah selesai !"
Keringat Cu Jiang membanjir keluar. Rasa sakit reda
tetapi orangnyapun pingsan.
Ketika sadar, lampu sudah menyala. Cu Jiang rasakan
badannya segar. Turun dari ranjang, meja didepan ranjang
sudah tersedia nasi dan lauk pauk. Sedang Cong Beng
tampak berdiri dibelakang meja dan tertawa:
"Cu heng kau tentu lapar. Silahkan makan seadanya..
Kami hanya dapat menyediakan masakan kasar, harap
jangan marah."
Cu Jiang mengucapkan terima kasih atas budi kebaikan
kedua ayah dan puteranya itu.
Selesai makan. Cu Jiang memperhatikan agaknya Cong
Beng hendak berkata tetapi ragu2.
"Bun - heng, silahkan apabila hendak berkata kepadaku."
"Aa, hanya suatu keinginan yang gila karena hendak
mengetahui rahasia orang. Tetapi kalau memang tidak
leluasa, tak perlu anda menceritakan..."
"Tak apa, katakanlah."
"Tempo hari karena tergopoh-gopoh berpisah, sampai
lupa menanyakan nama anda."
"Namaku Cu Jiang, ayahku adalah mendiang Dewapedang Cu Beng Ko.. ."
Bun Cong Beng melonjak bangun dari duduknya dan
berseru kaget: "O. anda ini putera dari Dewa-pedang. Ah, maaf aku
perlakuanku kurang hormat."
"A., janganlah Bun-heng mengatakan begitu."
"Pada waktu akhir2 ini dunia persilatan digemparkan
dengan munculnya seorang tokoh Toan-kiam-jan-jin,
apakah..."
"Memang aku sendiri."
"Oh," Cong Bun makin terkejut penuh rasa kagum, "Cu
heng, apakah ayahmu sudah meninggal ?"
"Ya," Cu Jiang menyahut sedih, "telah dicelakai oleh
musuh. Seluruh keluarga habis terbunuh, hanya tinggal aku
seorang." "Ah, maafkan kelancanganku sehingga menyinggung
perasaan Cu-heng..." baru Cong Bun berkata begitu, tiba2
sesosok tubuh berkelebat dan tahu2 muncullah Kui-Jiu sinJin. "Ho. engkau anak dari Cu Beng Ko?"
Cu Jiang gopoh2 memberi hormat dan mengatakan.
"Kabarnya Cu Beng Ko sudah mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan hidup ditempat yang sepi. Lalu
bagaimana peristiwa itu?"
"Ayah menyembunyikan diri karena hendak menghindari musuh. Tetapi musuh tetap mencarinya "
"Siapa musuh ayahmu?"
"Sedang wanpwe selidiki."
"Sebelum dia menyembunyikan diri, aku pernah bertemu
muka dengan ayahmu.... berapa orang saudaramu ?"
"Wanpwe mempunyai seorang adik lelaki dan seorang
adik perempuan. Tetapi keduanya juga ikut dibunuh
musuh." "Engkau putera yang sulung?"
"Ya."
"Berapa umurmu sekarang?"
"Hampir dua-puluh."
Kui Jiu-sin jin terkejut.
"Kuingat jelas waktu engkau masih kecil wajahmu amat
tampan. Mengapa sekarang berobah begitu rupa ?"
Cu Jiang mengertak gigi. Dia lalu menuturkan semua
peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar kisah yang
menyedihkan itu Kui jiu sin Jin sampai menitikkan dua
butir airmata. "Walaupun berwatak aneh, tetapi orang tua ini
sebenarnya seorang yang halus perasaannya," diam2 Cu
Jiang membatin.
"Mari kita duduk," kata Kui-Jiu sin Jin. Mereka bertiga
lalu duduk. "Aku dan ayahmu mempunyai tali persahabatan yang
karib. Boleh dikata hanya dialah satu-satunya orang yang
tahu akan perangaiku. Sungguh tak nyana kalau dia sampai
tertimpa nasib semalang itu, Tak apa, aku akan
memberikan bantuan sekuat kemampuanku untuk memulihkan wajahmu kembali seperti sediakala!" kata Kuijiu-Sin-Jin. O0odwo0O Bukan kepalang kejut Cu Jiang saat itu. Dia hampir tak
percaya akan pendengarannya saat itu. Suatu hal yang tak
pernah ia mengimpikan, bahkan mengharappun tak pernah
terlintas dalam benaknya.
"Mengembalikan
wajahku seperti bermula?" ia mengulang dengan nada gemetar.
"Ya."
"Tetapi.... sudah begini cacad .... "
"Engkau percaya kepadaku atau tidak ?"
"Wanpwe . .. hanya ... hanya . .. keliwat tak menduga."
"Apakah nama Kui - Jiu - sin - Jin itu hanya gelar kosong
saja ?" Kui-Jiu sin-jin artinya Manusia-dewa-bertangan-setan.
"Ya, ya, maafkan wanpwe," Cu Jiang tak dapat berkata
apa2 lagi karena diluap oleh rasa girang yang tak terhingga.
"Wajah dan kaki kirimu itu harus dikerjakan lagi dengan
ilmu pembedahan."
"Pembedahan ?"
"Benar," kata Kui-jiu-sin-jin, "tulang yang patah dapat
disambung tetapi muka yang rusak itu harus diganti dengan
kulit daging yang diambilkan dari tubuhmu."
"Ah," Cu Jiang mendesah penuh keheranan. Baru
pertama kali itu dia mendengar tentang ilmu pembedahan
yang begitu mengagumkan.
"Dan untuk menyelesaikan pembedahan itu harus
memerlukan waktu seratus hari," kata Kui-jiu-sin jin pula.
"Wanpwe .... entah dengan kata apa harus menghaturkan terima kasih ...."
"Tak perlu. Anggap saja bahwa aku telah melakukan
sesuatu terhadap sahabatku lama."
Demikian dengan ilmu pengobatannya yang sakti, Kuijiu-sin-Jin mulai membedah wajah Cu Jiang. Semua bekas
noda dan luka, dihilangkan kemudian ditambal dengan
kulit dan daging pada bagian lain dari tubuh anak muda itu.
Kakinya yang pincangpun mengalami operasi dan
sambung tulang. Selama mendapat pengobatan itu, tiada
lain pekerjaan bagi Cu Jiang kecuali hanya tiduran. Dan
waktu2 beristirahat itu dipergunakan untuk merenungkan
dan memecahkan bagian terakhir dari kitab Giok kah-kimkeng yalah bagian pelajaran kim kong-sin-kang-lip-bun.
Tenaga sakti Kim-kong-sin-kang
itu tak dapat diselesaikan dalam latihan sehari dua hari tetapi harus
menggunakan waktu yang lama, perhatian yang tekun dan
latihan2 yang giat.
Demikian tak terasa seratus hari telah lewat. Pada hari
itu Kui Jiu sin Jiu membuka kain pembalut muka Cu Jiang.
Entah bagaimana gemetar juga tangan orang tua itu.
Rupanya tabib sakti itu juga merasa kasihan atas
nasibnya dan kagum atas kegagahannya menghadapi segala
bahaya dan musuh-musuh yang ganas itu.
Cong Beng memberikan sebuah cermin dan suruh Cu
Jiang melihat wajahnya. Waktu berkaca, Cu Jiang menjerit
kaget, heran dan gembira. Wajahnya yang semula penuh
bintik dan noda2 luka yang menyeramkan pandang mata,
kini telah berobah halus dan tampan seperti dulu lagi.
Air matanya berderai-derai dan tubuhnya gemetar keras.
Serentak memandang kearah Kui Jiu sin-jin dia terus
berlutut: "Terima kasih atas budi besar yang cianpwe limpahkan
kepada wanpwe."
Kui jiu sin-jin mengangkatnya bangun.
"Tak usah mengatakan begitu. Selama hidup aku hanya
melakukan pekerjaan yang kusenangi dan juga tak pernah
meminta pertolongan orang. Tetapi..."
"Mohon cianpwe suka memberi petunjuk."
"Setelah turun gunung, lakukan suatu pekerjaan
untukku." "Baik, mohon cianpwe katakan apa yang harus wanpwe
lakukan nanti."
"Bunuhlah Ciam Su Nio "
Cu Jiang teriak kaget. Ia memandang Bun Cong Beng
lekat2. Dilihatnya pemuda itu juga mengeretak geraham.
Cu Jiang bingung Betapapun tidakkah ketua Hoa Gwat
bun yang bernama Cian Su Nio itu ibu dari Bun Cong Beng
" Betapapun bencinya, tetapi mereka tetap terikat suatu
hubungan darah.
Cu Jiang merasa bahwa peristiwa dalam dunia ini,
memang aneh dan penuh dengan segala kemungkinan yang
tak mungkin.. Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok minta tolong kepadanya
untuk membunuh istri dan mencari anak perempuannya.
Kini Kui-jiu sin-jin juga minta tolong kepadanya supaya
membunuh isterinya. Kedua tokoh itu sama dikhianati oleh
istrinya yang menyeleweng.
Melihat Cu Jiang diam saja, Kui-Jiu sin jin segera
menegur: "Sama sekali bukan karena pernah menolong kepadamu
maka aku terus minta tolong padamu. Aku takkan
memaksa. Kalau engkau tak mau, pun tak mengapa."
"Bukan begitu maksud wanpwe."
"Lalu bagaimana?"
"Tetapi bukankah Ciam Su nio itu .... isteri cianpwe
sendiri?" "Ha, ha, ha, ha .. . isteriku yang pertama sudah


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggal ketika melahirkan Cong Beng. Itu waktu aku
belum berhasil mempelajari ilmu pengobatan, jika tidak,
tentulah dapat menyelamatkan jiwanya . . .."
"O, begitu. Baik, wanpwe akan melakukan perintah
cianpwe." "Bukankah engkau ingin lekas2 tinggalkan tempat ini?"
Merah muka Cu Jiang, sahutnya.
"Maaf, cianpwe. Memang wanpwe masih banyak
urusan" "Tak perlu mengemukakan alasan," sahut Kui-jiu-sin-Jin,
"akupun takkan menahan engkau. Tetapi . . . pintu Mo jinkoh ini selalu terbuka untukmu. Setiap saat engkau boleh
datang kemari!"
Cu Jiang membungkukkan tubuh dan menghaturkan
terima kasih. "Cu heng, kuminta engkau datang lagi supaya kita dapat
bercakap-cakap dengan puas," kata Cong Beng.
Cu Jiang mengiakan.
"Silahkan berangkat." kata Kui jiu sin jin. Kemudian dia
suruh Ceng Beng mengantarkan ke luar. sambil berkata dia
terus masuk ke dalam.
Setelah mengambil barang-barangnya dan pedang
kutung, Cu Jiang lalu mengajak Cong Beng menuju ke luar
lembah. Karena waktu dalam keadaan tak sadar dan dibopong
Cong Beng, ia tak tahu jelas keadaan lembah itu.
Kini barulah dia sempat melihatnya. Ternyata lembah itu
penuh dengan batu2 yang berbentuk aneh. Juga pohon2
aneka warna yang diantarnya Cu Jiang tak tahu namanya.
Tetapi dia tahu bahwa batu dan pohon2 itu merupakan
barisan yang melindungi lembah.
Sedangkan bunga2 yang menonjol warnanya itu
mengandung racun. Orang luar yang berani gegabah
masuk, tentu akan mati.
Cong Beng memberikan sebutir pil.
"Harap Cu heng telan pil penawar racun ini. lembah ini
penuh dengan hawa dan tanaman beracun. Kelak kalau
datang kemari, harap Cu Jiang berseru memanggil aku."
Cu Jiang mengiakan dan menelan pil itu.
Memang dunia ini penuh dengan segala keanehan. Jika
waktu masuk dia seorang pemuda yang berwajah buruk dan
rusak, kakipun pincang, tetapi kini dia kembali utuh lagi
sebagai pemuda yang berwajah tampan dan tidak pincang.
Sedemikian tegang perasaan Cu Jiang saat itu sehingga
dia tak dapat berkata-kata.
"Bun-heng, berkat budi pertolongan dari ayah Bun-heng
yang dengan kepandaian sakti telah dapat memulihkan aku
sebagai seorang manusia yang dapat berjalan tegak di
dunia, aku sungguh tak mengerti bagaimana kelak aku
harus membalas budinya."
Bun Cong Beng tertawa:
"Hendaknya jangan Cu heng mengatakan begitu. Jika
Cu-heng tempo hari tidak menolong aku, bagaimana
mungkin saat ini aku masih hidup di dunia" Maaf ada
sedikit pertanyaan yang ingin ku ketahui. Tetapi tak tahu
apakah layak pertanyaan itu kuajukan kepada Cu-heng?"
"O. silakan. Tak perlu sungkan!"
"Mengenai benda yang mempunyai daya kekuasaan
besar sehingga begitu Cu heng memperlihatkan, hu hwat
dari Gedung Hitam itupun menurut perintah. Sebenarnya,
benda apakah itu ?"
"Oh. itu hanya pemberian dari seorang nona yang
bernama Ki Ing. Aku sendiri sampai sekarang belum jelas
asal usul nona itu."
"Baiklah, tak perlu kita bicarakan soal itu," kata Cong
Beng yang sementara itu sudah dimulut lembah. Dia
berhenti. "Cu-heng, maaf, aku tak dapat mengantar lebih jauh.
Harap Cu-heng menjaga diri baik2 dan sampai jumpa lagi !"
Keduanya saling memberi hormat perpisahan. Setelah
mengantar pandang Cu Jiang beberapa jenak, barulah Cong
Beng kembali kedalam lembah.
Pelahan-lahan Cu Jiang berjalan. Hatinya penuh
kegembiraan yang tak dapat dilukiskan. Kini dia dapat
berjalan seperti orang biasa lagi.
Tiba2 matanya tersentak sebuah pemandangan yang
mengejutkan, Diantara rumput belukar tampak beberapa
sosok mayat, ia maju menghampiri dan memeriksa. Ah,
ternyata korban2 itu mengenakan pakaian hitam.
Diantaranya ada dua orang yang memakai mantel hitam
dan seorang orang biasa. Tak terdapat suatu luka apapun
pada tubuh mereka kecuali hanya sebuah bekas warna
merah pada alis mereka.
"Telapak Jari terbang!" teriak Cu Jiang. Apakah Ang Nio
Cu masih belum meninggalkan lembah ini " Jelas korban2
ini dia yang membunuhnya. Demikian ia menimangnimang. Anak buah Gedung Hitam datang ke lembah ini. Apakah
tujuan mereka "
Cu Jiang segera teringat akan peristiwa Gedung Hitam
menangkap Bun Cong Beng dan memaksanya supaya
menyerahkan kitab pusaka Sin-long-po-lian milik Kui jiusin jin. Tidakkah kedatangan mereka ke lembah itu juga
karena hendak memburu kitab pusaka itu"
Ia merasa telah menerima budi pertolongan besar dan
Kui jiu-sin jin Sudah tentu dia tak dapat berpeluk tangan
mengawasi peristiwa itu.
Sekonyong-konyong ia mendengar debar pakaian tertiup
angin. Cepat iapun menyelinap bersembunyi di balik batu
karang. Dan saat itu juga berhamburanlah bayang2 yang
bergerak seperti hantu cepatnya.
"Hai ....!" terdengar teriakan dari sosok tubuh itupun
serempak berhenti. Mereka terdiri dari lima orang Pengawal
Hitam dan empat orang tua berbaju hitam. Rupanya
keempat orang baju hitam itu mempunyai kedudukan tinggi
dalam Gedung Hitam.
Cu Jiang memandang dengan seksama. Keempat orang
baju hitam itu yang tiga bertubuh tinggi besar, agaknya dia
pernah melihat wajah mereka. Sedang yang seorang
bertubuh pendek.
Salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
berseru. "Mati semua, hah, hah, heh, Kui-jiu-sin jin berani
menggunakan tangan beracun..."
"Bukan makhluk tua itu yang turun tangan." Seru salah
seorang kawannya.
"Lalu siapa ?"
"Ang Nio Cu. wanita iblis yang selalu memusuhi itu !"
"Hah ! ilmu Jari-terbang! Ya, benar, memang wanita
busuk itu..."
"Mengapa dia juga muncul disini ?"
Dalam pada itu Cu Jiang mengingat-ingat untuk
mengenal kembali mereka. Tiba2 ia tersadar dan tahu siapa
ketiga orang baju hitam itu.
Seketika hawa pembunuhan meluap, darah bergolakgolak seperti meledakkan dadanya. Ketiga orang itu bukan
lain adalah manusia aneh yang dulu telah menghantam dia
sampai terlempar kedasar jurang.
Cepat ia mengenakan kedok muka dan terus muncul dari
balik karang. "Ada orang !"
"Hai, siapa itu !"
"Ah, Toan-kiam-jan-Jin!"
Hiruk pikuk ucapan dan teriakan kaget itu segera diiring
dengan menumpahkan berpuluh mata kearah diri Cu Jiang.
Cu Jiang memutuskan bahwa dia tetap hendak
mempertahankan diri dalam wajah Toan-kiam jan-jin.
Dengan kaki terpincang-pincang ia maju menghampiri.
"Tak kira kalau si invalid ini juga berada di sini." gumam
si tua pendek dengan gemetar.
"Kita bersama-sama kerjai dia," seru orang tua baju
hitam yang pertama tadi.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiangpun sudah tegak
berhadapan dengan mereka. Kelima Pengawal Hitam
serempak menyingkir tetapi tetap siapkan pedangnya.
Keempat orang tua baju hitam itu segera berpencar dan
membentuk formasi setengah lingkar busur. Kecuali hanya
si tua pendek yang menggunakan pedang, yang tiga orang
tetap bertangan kosong.
Cu Jiang curahkan pandang kepada ketiga lelaki tua
tinggi besar. Dendam kesumat yang menyusup sampai ke
tulang sunsum, membuat Cu Jiang seperti bara api yang
panas. Ketiga lelaki tinggi besar itu sampai gentar dan menyurut
selangkah. "Toan kiam jan jin, sungguh beruntung kita berjumpa
lagi." salah seorang berseru.
Dengan tegas, Cu Jiang berseru sepatah demi sepatah:
"Mulai saat ini, setiap orang yang termasuk anak buah
Gedung Hitam, harus membayar lunas semua dosadosanya!" Salah seorang lelaki tinggi besar itu tertawa aneh:
"Toan kiam jan jin, jangan bermulut besar. Hari ini
engkaulah yang pasti mati!"
"Lekas beritahukan nama kalian!" bentak Cu Jiang.
"Ha, ha, ha, ha ..... " keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu serempak tertawa keras. Mereka lalu berkisar
langkah untuk menduduki tempat masing2.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan nasehat Thian put thou
tempo hari. Apabila berhadapan dengan musuh harus
memperhatikan beberapa hal:
"Jangan kasih kesempatan pada lawan. Jangan ragu2
turun tangan . . . ."
-oo0dw0oo- Jilid 16 SAAT itu, dia akan mematuhi nasehat Thian put thou.
Dia takkan membiarkan musuh musuhnya itu sampai lolos.
Serentak ia menggembor dan terus menyerang. Antara
mencabut pedang dan menyerang itu hampir terjadi pada
waktu yang serempak. Keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu benar2 tak mempunyai kesempatan lagi untuk
bergerak. "Huak " terdengar jeritan ngeri disusul dengan darah
yang muncrat ke empat penjuru. Si tua pendek itu lengan
putus kepalanya terbang lalu rubuh seketika.
Ketiga lelaki bertubuh tinggi besar meraung dan
serempak menghantam. Cu Jiang menahan dengan pedang
kutungnya. Ketika angin pukulan dan pancaran hawa pedang saling
beradu, terdengarlah letupan yang keras. Cu Jiang masih
juga tegak berdiri di tempatnya, tetapi ketiga lelaki tinggi
besar itu terdorong mundur selangkah.
Kerut wajahnyapun berobah, matanya memberingas
buas. Sementara kelima Pengawal Hitam yang berada di
luar gelanggangpun sudah pucat mukanya.
"Masih ingat akan peristiwa berdarah di gunung Bu leng
san dulu?" seru Cu Jiang.
Ketiga lelaki tinggi besar itu menggigil. Salah seorang
berteriak. "Siapakah engkau ini sesungguhnya ?"
"Pelajar baju putih yang pernah kalian hantam sehingga
terlempar ke dasar jurang dulu !"
"Engkau pelajar baju putih itu ?" ketiga lelaki tinggi besar
itupun serempak menjerit kaget.
"Siapa diriku sudah kuterangkan." Kata Cu Jiang. "kalau
kalian mati tentu sudah tak penasaran. Kuharap kelak kalau
kalian menitis jadi manusia, supaya jangan lagi tersesat ke
jalan yang gelap..."
"Serbu !" serempak ketiga lelaki tinggi besar itupun, maju
menyerang.. Sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik jeritan
ngeri. Salah seorang dari ketiga lelaki tinggi besar itu rubuh
ke tanah. Cu Jiang juga menderita bahunya berguncang-guncang
keras karena dilanda angin pukulan ketiga lawannya. Tetapi
dia tak mau memberi ampun lagi. Ia taburkan pedangnya
kepada lawan yang berada di sebelah kanan.
Dia menyerang dengan penuh dendam kesumat dan
menggunakan seluruh tenaganya. Jurus Thian-te-kau-thay
atau ilmu pedang Langit-bumi-terangkap, dilancarkan
dengan hebat. "Huaakk"
Terdengar pula jeritan ngeri dan lelaki tua yang berada
disebelah kanan, tanpa sempat mengeluarkan suara terus
rubuh bermandi darah.
Melihat gelagat berbahaya, lelaki yang disebelah kiri
terus loncat mundur dan melarikan diri.
"Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Cu Jiang
seraya loncat menaburkan pedang. Tubuh lelaki baju hitam
itupun terhuyung jatuh terduduk, tubuhnya berkubang
darah segar. Melihat peristiwa sengeri itu, kelima Pengawal Baju
Hitam pecah nyalinya. Mereka serempak lari.
Karena kakinya sudah sembuh maka Cu Jiang dapat
bergerak dengan leluasa sekali. Percuma saja kelima
Pengawal Hitam itu akan melarikan diri. Susul menyusul
terdengar jeritan ngeri dari tubuh2 yang rubuh dan terpental
sampai dua tiga tombak.
Cu Jiang hentikan kejaran dan kembali ketempat
keempat lelaki tua tadi. Dan empat orang yang mati tiga
dan yang terluka satu. Memang Cu Jiang sengaja hendak
menyisakan seorang untuk ditanya keterangan.
Menghampiri ketempat orang tua yang tak dapat berdiri
itu, Cu Jiangpun membentaknya:
"Kuharap engkau mau menjawab dengan terus terang
beberapa patah pertanyaanku ini!"
Lelaki tua itu mengangkat muka dan memandang Cu
Jiang dengan deliki mata, serunya:
"Apakah engkau benar pelajar baju putih dulu ?"
"Benar, putera dari Dewa-pedang !"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau tidak mati ?"
"Anggaplah belum ditakdirkan mati! Karena kalau aku
mati, keadilan dan kebenaran, dalam dunia persilatan tentu
akan hancur lebur ditangan manusia2 seperti engkau !"
"Bagus . . . budak kecil, aku menyerah, lekas bunuhlah
aku ..." "Tidak seenak itu !"
"Lalu engkau hendak mengapakan aku ?"
"Beritahu namamu lebih dulu!"
"Ya, tak apa. Aku dan kawan-kawanku itu adalah
pengawal dan istimewa dari Gedung Hitam . . ."
"Pengawal Istimewa ?"
"Ya."
"Siapakah yang menjadi biang keladi dari peristiwa
berdarah di gunung Bu-leng-san dahulu. Berapa orang yang
ikut dalam peristiwa itu ?"
"Engkau kira aku mau memberitahu ?"
"Tentu !"
"Engkau mimpi . . ."
"Yang ngimpi mungkin engkau !" tiba2 Cu Jiang
jentikkan jari, menutuk jalan darah orang itu. Dia meraung
keras, wajahnya pucat lesi.
"Sekarang engkau mau memberi keterangan atau tidak.
Tak mungkin engkau akan bunuh diri," kata Cu Jiang
dengan bengis. Tetapi lelaki tua itu rupanya memang nekad, teriaknya
kalap: "Walaupun engkau siksa aku dengan cara apa saja,
akhirnya akupun toh akan mati. Tetapi ketahuilah, budak
kecil, engkaupun takkan hidup lama didunia. Gedung
Hitam pasti akan membereskan engkau . . ."
"Kehancuran Gedung Hitam sudah di depan mata!"
"Budak, engkau ngimpi. Gedung Hitam itu sekokoh
gunung baja, penuh dengan jago2 sakti. Dengan
mengandalkan...."
"Jangan banyak mulut, lekas jawab pertanyaanku !"
bentak Cu Jiang.
"Tidak !"
"Engkau menginginkan mati dengan dikerat sepotongsepotong ?"
"Terserah!"
Cu Jiang ulurkan tangan kiri lalu mencengkeram bahu
orang, diangkat dan dibentak. "Engkau mau bilang atau
tidak !" Walaupun Menghadapi kematian tetapi wajah orang tua
itu tetap tak berobah. Dia mengertek gigi dan menjawab
tandas. "Tidak !"
Cu Jiang marah sekali, Ia keraskan cengkeramannya
sehingga daging orang itu remuk. Tetapi lelaki tua itu tetap
tak mengerang, melainkan hanya deliki mata.
Cu Jiang geregetan sekali. Ia mencabut pedang kutung
dan berseru: "Apakah engkau benar2 tak mau bilang?"
"Tidak !"
Cu Jiang mendengus geram. Ia tusukkan pedangnya
pelahan-lahan menembus tulang bahu orang itu. Orang itu
mengerang ngeri. Mukanya tak ubah seperti binatang buas
yang sedang menderita.
"Bilang atau tidak ?"
Cu Jiang memutar pedangnya. Betapapun kuatnya orang
tua itu tetapi setelah ilmu kepandaiannya dihancurkan, dia
tentu tak tahan lagi menderita siksaan yang sedemikian
hebat. "Bunuh.... bunuhlah .... aku ....!"
"Tidak seenak itu!"
"E.... uh auh . .. ."
Percuma engkau mengerang dan merintih.
"Aku akan menyuruhmu mati secara perlahan, seiris
demi seiris, akan kusayati tubuhmu."
Karena menahan kesakitan yang tak tertahan, mata
orang tua itu sampai melotot ke luar.
"Bilang," bentak Cu Jiang. "siapa saja yang ikut pada
peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san dahulu. Apa
maksud mereka" biang keladinya jelas tentu ketua Gedung
Hitam, majikan kalian itu!"
Namun orang tua itu tetap mengatupkan mulut kencang2
dan tak mau berkata apa2.
Akhirnya Cu Jiang memutuskan percuma saja ia
menekan orang itu. Hanya membuang waktu saja. Karena
jelas musuh utamanya adalah ketua Gedung Hitam. Sekali
ia putar pedang, tubuh orang itu pun terbelah menjadi
beberapa potong.
Setelah membasmi anak buah Gedung Hitam itu semua,
ia berdiri tegak dan acungkan pedang lurus ke muka seraya
memanjatkan doa:
"Ayah dan mamah yang berada di alam baka, harap
menyaksikan anak akan mulai melakukan pembalasan!"
Setelah memasukkan pedang, ia menengadah memandang matahari. Saat itu matahari sudah mulai
condong ke barat. Akhirnya ia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan agar besok pagi sudah keluar dari
gunung. Tetapi pada saat ia berputar tubuh, tiba2 terdengar
sebuah suara melengking:
"Ih, puas ya melakukan pembunuhan?"
Cu Jiang segera dapat mengenali suara itu sebagai Ang
Nio Cu Cepat dia berputar menghadap kearah pendatang
itu. "Mengapa anda masih belum meninggalkan gunung Busan ini?" "Tentu saja aku tak mau bekerja kepalang tanggung,
setelah menyerahkan engkau kepada Kui jin-sin jin terus
angkat kaki begitu saja!"
"Anda tentu menunggu sampai tiga bulan?"
"Hm, kiranya engkau dapat menghitung waktu dengan
tepat!" Tak tahu Cu Jiang bagaimana hendak menyatakan rasa
terima kasihnya kepada wanita itu.
"Budi anda sampai akhir hayatku kiranya masih belum
dapat kuhimpaskan." katanya dengan nada gemetar.
Ang Nio Cu tertawa.
"Tak ada orang yang mengharap pembalasan budi
darimu. Dan tak perlu mengucapkan tentang budi
pertolongan segala. Asal kelak engkau mencintai isterimu
Ho Kiong Hwa, berarti engkau sudah membalas budi
kepadaku. Dapatkah engkau melakukan hal itu?"
Tergerak hati Cu Jiang mengapa Ang Nio Cu begitu
memperhatikan sekali si dara baju hijau Ho Kiong Hwa.
Apa hubungan kedua wanita itu"
Ia termenung-menung memikirkan. Bahwa kali ini
andaikata dia tak mendapat obat dan mati karena racun itu,
bukankah Ho Kiong Hwa menjadi seorang janda yang
belum dinikah. Diam2 ia menggigil dan serentak menyahut. "Tentu!"
"Kuhaturkan selamat atas pulihnya kembali kakimu yang
pincang dan wajahmu yang cacad."
"Oh apakah anda tahu?"
"Anak dari makhluk aneh itu yang mengatakan. Kalau
tidak masakan aku bersabar menunggu sampai seratus
hari." "Oh, lalu lo-koko . . ."
"Dia juga masih berada di gunung ini menunggu
engkau!" "Di mana dia sekarang?"
"Di gua hati puncak Sin li hong."
"Jika begitu, aku harus menemuinya." teriak Cu Jiang.
"Tunggu dulu!"
"Anda mau menugaskan apa lagi" "
"Jika mayat2 ini tidak disingkirkan, tentu akan memberi
akibat yang hebat kepada si mahluk tua apabila dia
menerima pembalasan . . ."
"Ah, benar. Aku hampir melupakan hal itu. Akan
kusingkirkan mereka ..."
"Tak usah. biar kusuruh anak buahku yang mengurus
mereka." "Ah, mana aku berani membikin repot..."
"Tak usah mengatakan begitu. Tetapi bolehkah aku
melihat wajahmu yang sekarang?"
Walaupun bertukar pembicaraan tetapi saat itu Ang-Nio
Cu tidak menunjukkan diri dan bersembunyi di balik
sebuah batu pada jarak tiga tombak dari tempat Cu Jiang.
"Mengapa tak boleh." seru Cu Jiang terus membuka
kerudung mukanya.
"Aa, sungguh tak bernama kosong mahluk aneh itu
digelari sebagai Kui-jiu-sin jin. Dia seperti dewa yang dapat
merobah kodrat alam. Benar2 wajahmu sama seperti dulu
sebelum rusak! " Ang Nio Cu berteriak terkejut.
Cu Jiangpun menutup kembali kain kerudung. Lalu ia
meluapkan kata2 yang sudah lama tersimpan dalam
sanubarinya: "Apakah aku boleh melihat wajah anda?"
Rupanya Ang Nio Cu sudah menduga hal itu.
"Tidak bisa." serunya cepat.
"Ini . . . apakah adil?"
"Harap engkau bersabar. Kelak pada suatu hari engkau
pasti tahu. Sekarang belum waktunya."
"Mengapa?"
"Sudah tentu aku mempunyai kesulitanku sendiri."
"Baiklah, sekarang tak perlu dibicarakan. Tetapi aku
hendak mohon tanya sebuah hal..."
"Silahkan bilang. "
"Apakah hubungan anda dengan Ho Kiong Hwa?"
"Hem." Ang Nio Cu mendehem lalu merenung.
Beberapa saat kemudian baru berkata lagi, "erat sekali
hubungannya tetapi belum waktunya memberitahu kepadamu."
"Di manakah dia sekarang?"
"Engkau hendak bertemu kepadanya?"
Merah wajah Cu Jiang.
"Atas bantuan anda untuk merangkapkan perjodohan
ini, aku . . . seharusnya menanyakan tentang keadaannya . .
." Ang Nio Cu tertawa.
"Rupanya sekarang baru engkau memperhatikan
dirinya?" "Aku..." suara Cu Jiang tersendat-sendat, "sekalipun . .
memperhatikan juga ..."
"Dia sehat tak kurang suatu apa." tukas Ang Nio Cu.
"harap engkau jangan kuatir. Meski-pun dia bertubuh lemah
tetapi berbudi luhur. Dia tak seperti muda-mudi yang selalu
ingin bercumbu rayu. Saat ini diapun tak mengharap
bertemu dengan engkau. Silakan engkau melanjutkan apa
saja yang menjadi tujuanmu."
"Aku berterima kasih atas pengertiannya."
"Tak usah."
"Masih ada sebuah hal lagi yang rasanya kurang layak
...." "Kalau tahu kurang layak, mengapa hendak engkau
katakan!" "Karena terpaksa . . ."
"Katakanlah !"
"Kepada anda aku harus menggunakan sebutan apa yang
sesuai ?" "Oh, engkau maksudkan hal itu .. . Ai, menyebut anda,
apakah tidak sesuai ?"
"Kurang tepat dan tak sesuai!"
"Kalau begitu, panggil saja toa-ci !"
"Toaci !" Cu Jiang diam2 terkejut. Dengan begitu
tentulah Ang Nio Cu itu masih muda.
"Bagaimana " Apakah kurang tepat ?"
"Bagus sekali!"
"Dan akupun memanggil sebagai siaute:"
"Terserah saja kepada toaci."
"Ha. ha, ha, ha " Ang Nio Cu tertawa gembira. Cu Jiang
memperhatikan bahwa nada tawa Ang Nio Cu itu lebih
cerah dan bening dari apabila dia berkata-kata. Dengan
begitu jelas pada waktu berbicara, Ang Nio Cu tentu
menggunakan tenaga-dalam untuk merobah nada suaranya.
Suara itu jelas bukan suaranya yang aseli. Dengan begitu
dapatlah Cu Jiang menduga bahwa sebenarnya Ang Nio Cu
masih seorang nona muda.
"Kabarnya toaci adalah murid pewaris dari perguruan
Hiat-ing-bun ?"
"Soal itu aku tak menyangkal."
"Hiat ing-bun merupakan perguruan yang paling rahasia
dalam dunia persilatan di daerah Tiong goan. Selama ini
tak pernah ikut serta dalam pergerakan apa saja dari partai2
persilatan. Maka tentu ada sebabnya toaci bergerak
melawan kekuatan Gedung Hitam."
"Tentu! Orang tidak mengganggu aku. aku pun takkan
mengganggu orang. Demikian pendirian perguruan kami . .
." "Lalu apa sebabnya toaci sampai bertindak melawan
Gedung Hitam ?"
Tiba2 nada suara Ang Nio Cu berobah sember dan
rawan. "Ketua perguruan kami yang dulu bersama dua orang
murid, telah dicelakai oleh ketua Gedung Hitam maka


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akupun hendak menuntut balas !"
"Jika begitu toaci mempunyai dendam permusuhan yang
sama seperti aku."
"Soal itu sudah kuketahui ketika engkau bertukar jawab
dengan pengawal istimewa Gedung Hitam tadi !"
"Apakah toaci pernah tahu bagaimana wajah yang
sesungguhnya dari ketua Gedung Hitam?"
"Tidak tahu. Durjana itu memang hebat sekali. Tidak
mudah untuk mengetahui wajahnya yang aseli."
"Setelah turun dari gunung ini, aku terus hendak menuju
ke Gedung Hitam."
"Engkau tahu dimana letak Gedung Hitam?"
"Kudengar terletak di tengah gunung Keng-san, tentu tak
sukar untuk mencarinya."
"Ditengah gunung Keng san ?"
"Ya."
"Tak mungkin engkau dapat mencarinya!"
"Kenapa?"
"Kepergianmu ini tentu sudah diketahui musuh dan
merekapun tentu sudah bersiap-siap menghadapi engkau!"
"Ya, benar."
"Lebih baik serahkan pekerjaan itu kepadaku saja."
"Tetapi toaci tak tahu jelas keadaan dan letak markas
mereka yang tepat. Keng-san itu amat luas sekali, tentu
memakan waktu lama sekali untuk mencarinya. Aku akan
menempuh perjalanan pada waktu malam dan kalau siang
beristirahat. Juga penyelidikan akan kulakukan secara
rahasia." "Baiklah, aku akan membantumu secara bersembunyi. "
"Jika begitu aku ingin menemui lo-koko lebih dulu. "
"Silahkan. Urusan di sini akan kusuruh orang ku
mengurusnya."
"Terima kasih atas bantuan toaci. "
Setelah kakinya sembuh maka Cu Jiangpun dapat
melakukan gerakan yang sebelumnya dia tak mampu
karena terhalang kakinya yang pincang. Sekali ayunkan
tubuh, dia terus meluncur dan lenyap dalam hutan.
Naik ke puncak Sin li hong, haripun sudah malam.
Bulan pudar, bintangpun samar. Sekeliling penjuru hanya
gunduk2 puncak. Cu Jiang diam2 mengingat-ingat Ketika
lo koko membawanya ke sebuah gua di gunung Bu-san.
Tetapi saat itu dia sedang terluka parah, ingatannya tak
terang sehingga tak dapat mengingat jelas letak gua itu.
Berbagai peristiwa terkenang dalam benaknya. Terutama
pengalaman yang diperolehnya di gunung Bu-san itu.
Kemudian diapun teringat bahwa diantara keanehan yang
aneh itu. tentang pertunangannya dengan Ho Kiong Hwa.
Ia sudah bertunangan tetapi ia tak merasakan hal itu.
Pikirannya tertumpah ruah pada dendam, kewajiban
untuk menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Ah, apabila toa suhengnya Ho Bun Cai masih hidup dan
menjabat congkoan dalam Gedung Hitam, dia tentu akan
mendapat bantuan berharga untuk menyingkap tabir
rahasia dari ketua Gedung Hitam dan komplotannya.
Yang membunuh Ho Bun Cai adalah Buddha-hidup
Sebun Ong. Apa tujuannya"
Dia heran mengapa seorang tokoh yang berilmu tinggi
seperti toa suheng Ho Bun Cai, sampai tak dapat membela
diri atau lolos dan harus menderita luka parah yang
menyebabkan harus menemukan kematian yang begitu
mengenaskan "
Dendam kebenciannya terhadap Sebun Ong tak kalah
hebatnya terhadap ketua Gedung Hitam. Sungguh tak kira
bahwa ksatrya yang diagungkan sebagai Buddha hidup
dalam dunia persilatan itu ternyata seorang durjana besar.
Seekor harimau yang berselimut kulit domba.
Tengah dia melamun, tiba2 terdengar suara tawa yang
parau. "Lo-koko !" serentak Cu Jiang berseru girang.
Thian put thou loncat ke hadapan Cu Jiang.
"Adik kecil, siang malam aku berada di puncak untuk
menunggu. Akhirnya engkau datang juga."
"Lo koko, aku sungguh berterima kasih . . ."
"Ai, kebetulan aku sedang memanggang dua ekor ayam
hutan dan mempunyai sebotol arak. Hayo, kita makan
minum untuk menghangatkan badan . . ."
Mendengar itu seketika timbullah rasa lapar Cu Jiang.
Dia segera mengikuti Thian-put-thou lari turun gunung.
Tak berapa lama mereka tiba di gua tempat mereka berhenti
dulu. Dua ekor ayam sedang terpanggang di unggun api,
menyiarkan bau yang menggelitik perut. Setelah menambah
kayu bakar, hawa dalam gua itupun terang dan hangat.
Cu Jiang mengatakan bahwa dia lupa dan tak dapat
menemukan gua itu sehingga tadi dia berdiri termenungmenung di puncak.
Thian-put-thou tertawa lalu mengambil dua buah
mangkuk dan guci arak.
"Adik kecil, hayo engkau seekor aku seekor, kita
ganyang sampai habis!"
"Dari mana lo-koko memperoleh arak?" Cu Jiang
terkejut. "Ini harus berterima kasih kepada Ang Nio Cu. Dialah
yang mengirim," Thian put-thou tertawa.
"Ah," kata Cu Jiang lalu membuka kain penutup
mukanya. "Hai...!" Thian-put-thou melonjak kaget dan menjerit
sehingga arak dalam mangkukpun tertumpah.
Cu Jiang juga ikut kaget tetapi cepat dia segera
menyadari hal itu,
"Lo koko, wajahku sudah pulih kembali seperti dulu!"
segera dia memberi penjelasan.
Thian put-thou menatap wajah Cu Jiang sampai
beberapa saat. "Ho, si Pencuri-tua ini sudah hidup sampai begini tua
tetapi belum pernah mendengar peristiwa seaneh ini. Wajah
yang rusak dapat diperbaiki dan pulih lagi. Kui Jiu sin-Jin
benar2 manusia hebat sekali. Hayo, minumlah tiga cawan
yang kuhaturkan untuk memberi selamat kepadamu !"
"Lo koko, silakan duduk saja" Cu Jiang tertawa geli
melihat tingkah Thian put-thou yang bertubuh kecil pendek
dan berloncatan seperti seekor kera.
Demikian keduanya lalu duduk dan menikmati arak.
Baru pertama kali itu Cu Jiang meneguk arak keras.
Kemudian mereka mengganyang ayam panggang.
Selama makan dan minum itu Cu Jiang menuturkan
tentang pengobatan yang dilakukan Kui-jiu-sin-Jin
kepadanya. Thian-put-thou tak habis herannya.
Sekonyong-konyong mereka mendengar suara harpa
berkumandang dari kejauhan.
"Aneh, di tengah malam pada tempat yang begini sepi
mengapa terdapat orang yang memetik harpa," kata Cu
Jiang. Tetapi Thian-put-thou tak menyahut. Rupanya semangatnya sedang terpikat oleh irama harpa itu.
Cu Jiang juga begitu. Dia rasakan semangatnya
melayang-layang dan hidungnyapun mulai basah.
Tiba2 Thian-put-thou menutup telinganya dan berseru:
"Celaka, harpa iblis!"
Mendengar itu Cu Jiang tersentak kaget dan semangatnya yang melayang itupun sadar kembali. "Apa"
Harpa iblis?" teriaknya.
Thian-put-thou melepaskan tangannya.
"Itulah irama harpa iblis dari Bu san sin li." serunya.
"Apa" Bu-san sin-li?"
"Engkau tak pernah mendengar namanya?"
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Apakah lo-koko hendak bercerita tentang dongeng raja
jin bertemu dengan bidadari dari gunung Bu-san . . . . "
"Sin-li itu bukan bidadari dalam dongeng yang itu! "
"Lalu apa" " Cu Jiang kerutkan alis.
Wajah Thian-put-thou mengerut tegang dan tangannyapun menutup telinganya lagi.
"Kalau bidadari itu masih hidup, umurnya tentu sudah
lebih dari seratus tahun. Barang siapa mendengar suara
harpanya, pasti akan mati. Adik kecil, ilmu tenagadalammu memang hebat sehingga tak merasa apa2. Tetapi
aku lo koko ini ... . tak kuat bertahan diri . . . . "
Habis berkata dia terus pejamkan mata mengerahkan
tenaga murni untuk menahan daya-kesaktian suara harpa.
Saat itu suara harpa deras seperti kuda besi
mencongklang di medan peperangan. Penuh dengan hawa
pembunuhan. Cu Jiangpun merasa berdebar hatinya,
darahnya mulai bergolak. Dia terkejut lalu buru2 tenangkan
semangat. Diam2 ia ingin mengetahui siapa gerangan
wanita yang disebut Bu-san-sin-li itu.
Serentak dia keluar dari gua. Sejenak mendengarkan, ia
merasa bahwa suara harpa itu seperti berasal dari puncak
tempat dia mencari Thian-put-thou tadi.
Harpa melengking nyaring macam ujung pisau yang
menusuk ulu.hati. Karena menderita debar yang keras
terpaksa Cu Jiang mendekap telinganya.
Berapa saat kemudian suara harpa itu lenyap. Cu
Jiangpun segera lari menuju ke puncak. Tetapi apa yang
disaksikan di situ, benar2 mengejutkan hati.
Belasan sosok mayat malang melintang di tanah dengan
mulut, hidung, mata, telinga berlumuran darah. Jelas mayat
itu tentu mati karena suara harpa tadi.
Menilik pakaiannya, mereka adalah anak buah Gedung
Hitam untuk membantu rombongan anak buahnya yang
lebih dulu masuk ke dalam lembah itu.
Dengan begitu jelas sudah, bahwa anak buah Gedung
Hitam banyak sekali yang dikirim ke lembah Mo jin-koh.
Pada saat itu tiba2 tampak sosok bayangan yang
bergerak. Ternyata dua lelaki tua tengah berbangkit berdiri
dari tanah. Cu Jiang terkejut. Jika kedua orang itu tak mati terserang
suara harpa, tentulah mereka memiliki kepandaian yang
sakti. Kedua orang itupun melihatnya.
"Sahabat dari mana ini" " tegur orang itu.
"Apakah kalian ini dari Gedung Hitam?" Cu Jiang balas
bertanya. "Benar," sahut yang seorang, "sahabat dari mana" "
"Hm, aku mempunyai peraturan! "
"Peraturan apa?"
"Begitu memberitahu namaku tentu akan mengalirkan
darah! " "Ha, ha. ha, budak kecil, siapakah engkau ini
sebenarnya" "
"Toan-kiam jan-jin!" baru mengucap begitu Cu Jiang
terkejut sendiri karena teringat bahwa saat itu dia tak
mengenakan kerudung muka. Adalah karena bernafsu
sekali untuk membasmi setiap anak buah Gedung Hitam
maka dia sampai lupa.
Kedua orang itu terkejut dan menyurut mundur dua
langkah seraya berteriak:
"Toan-kiam-jan jin?"
Cu Jiang melesat ke hadapan mereka berdua. Dalam
cuaca malam yang gelap gulita, sepasang matanya tampak
berkilat-kilat seperti harimau melihat korban.
"Lekas cabut pedang dan bertempur!"
Kedua lelaki tua harus segera mencabut pedang mereka.
"Toan-kiam jan jin, tentunya engkau mempunyai alasan
untuk bertempur ini! " seru salah seorang dari lelaki tua itu.
"Tentu saja!"
"Apa alasanmu?"
"Membalas dendam berdarah!"
"Dendam berdarah yang mana" "
"Aku adalah putera dari Dewa Pedang Cu Beng Ko,
mengerti?" seru Cu Jiang seraya sudah mempersiapkan
pedang. Kedua orang itu menyurut selangkah lagi.
"Engkau .... anak dari Dewa-pedang?" seru salah
seorang. "Ya."
Sekilas sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik
teriakan ngeri. Sebelum kedua orang itu sempat bergerak,
mereka sudah rubuh di tanah.
Cu Jiang masukkan pedangnya dan memandang ke
sekeliling. Tetapi tiada terdengar suara apa2.
"Apakah Bu san-sin-li sudah pergi" Sebatang harpa dapat
membunuh sekian banyak jiwa . . ." pikirnya.
"Toan-kiam-jan-jin,
Sin-li mengundangmu!"
tiba2 terdengar lengking suara wanita.
Cu Jiang terkejut dan memandang ke arah tempat suara
itu. Seorang dara baju hijau tampak berdiri tiga tombak
jauhnya. "Apa" Sin li mengundang aku?"
"Ya."
"Hendak memberi petunjuk apa?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silahkan ikut aku."
Karena heran dan ingin tahu, Cu Jiangpun segera
ayunkan langkah mengikuti dara itu. setelah melintasi
sebuah hutan yang gelap gulita mereka tiba di sebuah
tempat yang penuh dengan batu2 aneh.
"Harap berhenti dulu." tiba2 dara itu berpaling.
Kemudian dia terus menyusup lenyap ke hutan batu itu.
"Apakah engkau yang bernama Toan kiam jan jin?" tiba2
terdengar suara seorang wanita dari balik batu. Merdu dan
lembut sekali nada suaranya, seperti mengandung daya
pikat yang kuat.
"Siapakah wanita itu" Menurut keterangan lo-koko, Busan-sin li itu sudah berumur seratusan tahun. Tak mungkin
memiliki nada suara yang begitu merdu. Apabila dia
menggunakan ilmu tenaga dalam, paling2 hanya mampu
memperbesar atau memperkecil nadanya saja tetapi tak
dapat mengubah kelembutan dan kemerduannya."
"Ya," sahutnya.
"Tetapi engkau tidak cacad," kembali suara yang merdu
memikat itu terdengar pula.
Cu Jiang terperangah. Dia tergesa-gesa ke luar tanpa
memakai kerudung muka dan berjalan dengan tegak,
sehingga tidak sesuai lagi sebagai Jan jin atau manusia
invalid. "Mungkin tetapipun belum tentu !" sahutnya.
"Apa artinya ?"
"Itu soal peribadi, harap jangan mendesak lebih lanjut."
"Engkau congkak, ya ?"
"Tidak."
"Tenaga-dalam dan ilmu pedangmu, hebat sekali.
Engkau benar2 seorang tunas yang sukar didapat keduanya
. . ." "Ah, harap jangan memuji."
"Dibawah alunan suara harpa dalam lagu PanggilanJiwa engkau masih dapat bergerak dengan leluasa, sungguh
baru pertama kali ini aku bertemu."
Cu Jiang terkejut. Menilik kata-katanya wanita itu
tentulah Bu-san sin-li, Seorang wanita yang berumur
seratusan tahun tetapi dapat melantangkan nada suara
seperti seorang dara, sungguh hebat bukan kepalang.
Lagu Panggilan-Jiwa " Uh, betapa seram nama lagu itu.
"Adakah anda ini Bu-san-sianli ?" akhirnya Cu Jiang
serunya. "Benar, pengetahuanmu luas sehingga kenal juga
namaku sebuah nama yang sudah lama hilang dalam dunia
persilatan."
"Apakah maksud anda memanggil aku ?"
"Sebenarnya aku sudah mengasingkan diri dari dunia
ramai. Tetapi sungguh menjengkelkan orang2 yang datang
mengganggu ketenanganku itu. Karena jengkel aku sampai
memetik harpa lagi. Tak kukira kalau dapat menarik
perhatianmu seorang jago muda. Engkau tidak terkecoh
dengan suara harpa itu maka kuundang engkau datang
kemari." "Apakah hanya begitu maksud anda ?"
"Ha. ha, ha, ha . . . ." terdengar wanita itu tertawa
gemerincing bagai untaian mutiara tertumpah di pinggang
kumala. Menusuk telinga tetapi memikat hati.
Cu Jiang buru2 tenangkan pikiran.
"Harap anda segera mengatakan apa yang anda hendak
pesan kepadaku," katanya.
"Tunggu dulu. Apakah engkau mau mendengarkan
sebuah lagu Selendang-pelangi lebih dulu?"
Tergerak hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu hendak
menguji kepandaiannya. Hal itu tak beda seperti bertanding
dengan tangan, hanya caranya berlainan.
Menurut keterangan lo-koko, jelas wanita tokoh
sembarangan. Dengan kata2 itu Sin-li hendak menantangnya. Ah, mengapa dia harus mengunjuk
kelemahan. Biar dia terima tantangan itu sekalian untuk
menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya yang
dimiliki saat itu.
"Sayang aku tak mengerti seni musik! " sahutnya.
Kembali Bu-san-sin li menghambur tawa yang mengikat
jiwa. "Kecuali engkau seorang tolol, tentulah engkau mengerti
tentang seni suara. Paling tidak engkau tentu dapat
menikmatinya."
"Yah, kalau begitu, aku menurut saja."
"Jangan berdiri, duduklah yang santai."
"Hm," Cu Jiang terus duduk bersila di atas sebuah batu.
Dia tahu bahwa ujian yang akan dihadapinya itu bukan
olah-olah hebatnya.
Tung . . . tung . . . tung .
Tiga dentang suara yang nyaring bergemerincing. Setelah
itu tak kedengaran suara apa2 lagi. Sampai lama baru
terdengar suara yang halus dan lembut berkumandang.
Terasa bagai sekawan bidadari yang melayang turun dari
langit. Pelahan-lahan suara harpa itu makin deras dan cepat.
Dan dalam perasaan Cu Jiang seolah dia melihat
sekelompok bidadari dalam pakaian warna-warni macam
warna pelangi mulai menari-nari sehingga pandang mata
menjadi kabur dan silau.
Di luar kesadaran, tiba-tiba Cu Jiang berdiri dan bergerak
gerak menari menurut urutan irama lagu itu. Uh tiba tiba
dia tergelincir jatuh ke bawah dan kesadaran pikirannyapun
pulih kembali. "Berbahaya." serentak dia duduk lagi diatas batu.
Menghening semangat dan cipta mengumpulkan perhatian
dan pikiran. Dan lenyaplah bayang2 itu. Tetapi suara harpa
itu masih tetap melengking-lengking.
Tetapi saat itu dia sudah tak terpikat oleh suara harpa Itu
lagi. Memang indah merdu nian suara harpa itu Cu Jiang
hanya merasakan tetapi tak terpikat apa-apa.
Ilmu tenaga dalam Kim-kong-sin-kang
yang dipelajarinya telah memberikan dia kekuatan yang hebat
sehingga mampu menolak segala gangguan dari luar.
Suara harpa tiba2 berobah menjadi lunak bagaikan suara
dara2 yang tengah mendambakan musim semi atau seorang
isteri yang tengah mengharapkan suaminya pulang.
Hati Cu Jiang kembali tak tenang. Tetapi cepat ia
menyadari maka buru2 ia gunakan tenaga-dalam untuk
menolaknya. Begitu irama harpa itu berobah-robah, lagu demi lagu
berganti dan kepala serta dahi Cu Jiang pun mulai
bercucuran keringat.
Taaanngg..... Tiba2 harpa berhenti dan terdengarlah Bu-san sin-li
berteriak: "Hebat sungguh tenagamu sehingga mampu mendengarkan lagu Selendang pelangi sampai habis !"
Cu Jiang tertawa gelak2 lalu berbangkit.
"Sin li sungguh pandai bermain harpa !" serunya memuji.
"Ah, tak nyana hari ini aku bertemu dengan seorang ahli
musik . . . . "
"Ah, mana aku patut disebut ahli. Kepandaianku cetek,
sama sekali hampir tak mengerti keindahan seni musik. "
"Jangan merendahkan diri."
"Memang benar."
"Apakah anda mau mengunjungi ke istana kami?"
Tergerak hati Cu Jiang. Dalam keinginan tahu, dia terus
menyambut undangan itu dengan serentak.
"Harap Pengawal Hijau menunjukkan jalan!" seru Bu san
sin li dan dara baju hijau itu segera muncul lalu menggapai
kepada Cu Jiang:
"Sauhiap, harap ikut aku."
"Mungkin dara baju hijau itu adalah Pengawal Hijau
yang dimaksud Bu san sin li"
Cu Jiangpun ikut di belakang dara itu. Mereka menuju
ke barisan batu. Walaupun tampaknya tidak teratur tetapi
sebenarnya merupakan barisan aneh. Cu-Jiang tahu akan
hal itu. Setelah belok kian kemari, mereka tiba di muka sebuah
gua. Pada puncak gua terdapat tiga buah ukiran huruf
berbunyi: Sin-li-kiong atau Istana Sin-li.
Di mulut pintu gua tampak empat dara baju hijau tegak
berjajar pada kedua samping. Diantara senyum memikat
dan mata penuh pesona tengah memandang Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tak balas memandang mereka
melainkan terus mengikuti si dara baju hijau masuk ke
dalam gua. Gua itu bersih dan datar, Puncak langit gua berhias
mutiara yang memancarkan sinar terang benderang,
berjalan lebih kurang lima puluh tombak, pemandangan
tampak makin terang.
Tampak beberapa ruang yang semua terbuat daripada
batu kumala putih. Sayup2 terdengar suara harpa dan tawa.
Burung2 seriti beterbangan kian kemari. Benar2 merupakan
sebuah kerajaan yang indah.
Cu Jiang terkejut. Tak kira kalau ditempat alam
pegunungan yang begitu sepi, ternyata terdapat sebuah
tempat yang begitu indah. Bau harum yang bertebaran
dibawa angin, benar2 menyegarkan semangat.
Setelah melalui beberapa bangunan, tampak sebuah
ruang besar yang gilang gemilang. Di muka ruang itu penuh
berhias dengan pohon bunga dan jalan yang terbuat dan
batu putih. "Harap tunggu sebentar." setelah tiba di muka ruang,
tiba-tiba dara baju hijau itu berseru dengan hormat kepada
Cu Jiang. Kemudian dia membungkuk tubuh dan berteriak
menghadap ruang.
"Tetamu sudah tiba, sedang menunggu di luar ruang."
Dari dalam ruang terdengar suara seorang dara
menyahut: "Silakan tetamu masuk !"
Dara baju hijau berpaling, tersenyum kepada Cu Jiang:
"Silakan."
Cu Jiang segera ayunkan langkah. Tetapi alangkah
kejutnya ketika kakinya seperti berat pada saat ia
memandang kearah ruang. Kejutnya bukan kepalang.
Di tengah ruang tampak dua orang dara cantik yang
tegak berdiri di kanan kiri mengapit seorang gadis cantik
berpakaian seperti puteri keraton.
Apakah dia itu Bu-san-sin-li " Apakah dia yang dianggap
sebagai Sin-li yang berumur seratusan tahun "
Apakah dia Sin-li yang memikat hati orang itu"
"Mengapa tidak masuk ?" terdengar sebuah suara yang
penuh pesona. Cu Jiang seperti kehilangan semangat. Ia segera
menyadari kalau dirinya telah terlongong2 karena kagum
akan kecantikan Sin-li itu.
Diam2 merahlah wajah Cu Jiang. Melangkah ke muka
lagi dia berhenti kira2 empat lima langkah dari tempat
wanita itu lalu memberi hormat:
"Terimalah hormatku . . .."
"Ah, tak usah banyak peradatan, silakan duduk." kata
wanita itu. Ketika Cu Jiang mengangkat muka dan pandang
matanya beradu dengan mata wanita itu, dia terkejut sekali.
Betapa bola mata wanita itu tampak bersinar-sinar penuh
mengandung daya pesona. Bola mata yang sedemikian,
bagaimana layak mau jadi milik seorang wanita yang
berumur seratusan tahun"
Dara baju putih itu mengisar sebuah kursi dari samping
dan mempersilahkan Cu Jiang duduk. Cu Jiangpun duduk
disebelah bawah.
"Toan kiam jan-jin," seru Bu-san-sin-li. "tentunya engkau
mempunyai nama yang aseli."
"Tentu."
"Siapakah namamu itu ?"
"Maaf, belum dapat kuberitahukan."
"Kalau aku tetap menghendaki tahu supaya engkau
memberi tahu ?"
Cu Jiang agak tertegun lalu menjawab: "Siapapun tiada
hak untuk memaksa orang harus mau mengatakan hal yang
dia tak suka bilang."
"Engkau congkak benar !"
"Ah, tidak !"
"Apa maksud kedatanganmu ke gunung ini ?"
"Minta obat."
"Apa sudah mendapat."
"Ya."
"Menilik ilmu pedangmu yang hebat, engkau tentu
pernah berguru atau bertemu dengan sesuatu yang luar
biasa." "Ya, aku tak-menyangkal."
"Engkau kira aku berwajah jelek ?"
Cu Jiang terbelalak mendengar pertanyaan itu. Tetapi
diapun dapat menyahuti:
"Cantik dan Jelek hanya perasaan orang yang
memandangnya. Jelek atau cantik itu hanya lahiriah, sama
sekali tak mewakili buruk atau baiknya hati. Sekalipun
cantik seperti Se Si jaman dulu, tetapi kalau hatinya seperti
ular berbisa, apa gunanya ?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hebat, hebat, sungguh suatu uraian yang hebat!"
"Sin li memanggil aku kemari, sebenarnya apakah yang
Sin-li kehendaki?"
Bu-san-sin li tertawa.
"Yang datang itu sebagai tetamu, ijinkan aku
mengunjukkan sikap dan penyambutan sebagai tuan rumah
!" habis berkata dia terus bertepuk tangan tiga kali.
Karena sudah terlanjur berada disitu, Cu-Jiangpun
terpaksa harus menunggu lebih lanjut.
Tetapi bagaimana dengan lo-koko. Karena dia pergi dan
tak balik, tentulah lo-koko itu akan bingung mencarinya.
Tak berselang berapa lama, sekelompok dara baju hijau
muncul dan mempersiapkan hidangan pada kedua lorong
besar itu. Setelah mereka mundur maka beberapa dara baju
hijau muncul lagi dengan membawa hidangan.
"Ah, betapa mewah Bu-san-sin li hendak mengadakan
penyambutan ini. Dia benar2 menikmati kehidupan yang
mewah." pikir Cu Jiang.
Paling akhir, dua orang dara baju putih keluar dengan
membawa poci perak. Keduanya berdiri setengah berlutut
di tepi meja. Sambil berbangkit Bu-san-sin-li mempersilakan Cu Jiang
duduk ke ruang perjamuan.
Kedua duduk persis saling berhadapan. Cu Jiang sempat
memperhatikan peralatan makan yang tersedia di meja
perjamuan itu. Cawan dari kumala hijau, sumpit seperti dari gading,
makanan bersih dan beraneka warna.
Dara baju putih menuang arak. Setiup hawa harum
berhamburan menebar ruang.
Tiba2 Bu-san-sin-li mengusapkan lengan bajunya
kewajahnya dan seketika itu mata Cu Jiang-pun silau.
"Aahhh," mulut pemuda itu mendesah kecil.
Bu-san sin-li yang tampak mengerikan dengan kedok
muka yang buruk, begitu kedok muka diusap diusap maka
tampaklah sebuah wajah seorang nona Jelita yang cantik
sekali. Sedemikian cantik nona yang umurnya baru duapuluhan tahun itu sehingga Cu Jiang terlongong-longong
seperti orang kehilangan semangat.
Apakah dia menggunakan ilmu sihir"
Tetapi cepat Cu Jiang menyadari bahwa Bu-san-sin li itu
memang memakai kedok muka. Oleh karena itu baik kulit
maupun nada suaranya memang tak menyerupai seorang
wanita tua. Dan wajah yang tampak saat itu tentulah
wajahnya yang asli.
Tetapi mengapa lo-koko mengatakan bahwa umur
wanita itu sudah mencapai seratusan tahun. Tidakkah Sin-li
yang dihadapinya itu seorang nona yang berumur duapuluhan tahun lebih "
Bu-san-sin-li tertawa merdu. "Kaget ?"
Cu Jiang merah mukanya.
"Ya, memang tak menduga sama sekali."
"Demi menyambut kehadiran seorang tetamu terhormat,
akupun mengunjukkan wajahku yang aseli."
"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian Sinli yang
begitu tinggi!"
"Benarkah?"
"Aku hendak mohon bertanya."
"Silakan."
"Kabarnya Sinli sudah terkenal sejak dahulu ..."
"Siapa yang bilang?"
"Seorang cianpwe."
"Omongan orang bagaimana dapat dipercaya" Mari, kita
minum habis arak ini." kata Sin li terus mengangkat cawan.
Karena jawaban Sin-li itu menyimpang dari pertanyaan
maka tahulah Cu Jiang bahwa Sin-li tentu tak mau
menerangkan sebenarnya. Diapun lantas mengangkat
cawan dan menghaturkan terima kasih kepada Sin-li.
Harum dan lezat sekali arak itu. Cu Jiang tak tahu nama
arak itu. "Di pegunungan belantara sesunyi ini, tak ada hidangan
yang lezat dapat kuhaturkan. Mari kita minum arak lagi."
"Ah. Sin-li terlalu merendah diri. Kulihat hidangan
semua terdiri dari hidangan kelas satu yang mahal. Kecuali
di istana dan di rumah pangeran2, rasanya jarang orang
menghadapi hidangan semacam ini."
"Marilah, kita minum lagi . . ."
Setelah beberapa kali meneguk arak, Cu Jiang pun
bertanya pula: "Apabila Sin-li hendak memberi pesan, harap mengatakan. Maaf, aku tak dapat lama2 mengganggu
waktu Sin-li."
"Sejak seratus tahun ini, hanya lima orang yang pernah
diundang ke Sin li kiong !"
"Jika begitu sudah seharusnya aku merasa bangga karena
mendapat kehormatan besar !"
"Apakah engkau merasa rendah memasuki tempat ini ?"
"Sama sekali aku tak punya perasaan seperti itu."
"Lalu mengapa hendak buru2 meninggalkan tempat ini?"
"Karena aku masih mempunyai urusan penting yang
harus kuselesaikan, Dan lagi ada seorang kawan yang
menunggu aku."
"Baiklah, sekarang mari kita bicara dengan serius."
"Silahkan."
"Kuminta engkau mengobati seseorang !"
"Tetapi aku sama sekali tak mengerti ilmu pengobatan,"
Cu Jiang terkejut. "kedatanganku ke Bu-san ini juga
bermaksud berobat. Kui-Jiu-sin-Jin juga tinggal didaerah
ini, mengapa Sin-li tak mau minta pertolongannya ?"
Sin-li gelengkan kepala.
"Makhluk tua itu tiada gunanya!"
Cu Jiang tertawa.
"Kui-jiu-sin Jin Bun Jok Ih, dapat mengobati segala
penyakit. Kepandaiannya seperti dewa masakan dia tak
berguna. Aku. . ." tiba2 Cu Jiang hentikan kata-katanya:
"Memang benar." kata Sin li. "tetapi harus dilihat dulu
siapa yang sakit."
"Apa maksud Sin-li ?"
Bu-san-sin li kerutkan alis, katanya:
"Penyakit yang menyerang orang itu bukan penyakit
biasa melainkan penyakit hati. Diseluruh penjuru dunia
mungkin sukar mencari orang yang dapat mengobatinya.
Tetapi engkau, Toan-kiam-Jan jin adalah tabib yang tepat
untuk mengobatinya. .. ."
"Aku ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. Penyakitnya itu penyakit linglung. Jika engkau mau
turun tangan tentu dapat menyembuhkannya."
"Ah, harap Sinli Jangan bergurau."
"Pernahkah engkau mendengar nama seorang pendekar
yang bergelar Coat-ceng-kiam-khek?"
Cu Jiang terkesiap, merenung. Coat-ceng-kiam-khek
artinya Pendekar pedang Patah-hati.
"Ya," ia mengangguk, "memang pada waktu kecil,
mendiang ayahku pernah menyebut nama orang itu.
Pendekar Patah-hati merupakan cianpwe yang sakti pada
beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan sebatang pedang
dia telah malang melintang dalam dunia persilatan. Setiap
lawan tentu tak kuat menghadapi dua jurus serangannya.
Tetapi sudah lama sekali beliau menghilang dari dunia
persilatan. Entah mengapa tiba2 Sin-li mengatakan tentang
dirinya?" "Dia masih hidup! "
"Ah...."
"Dan berada di istana sini!"
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Benarkah itu?" serunya.
"Dialah yang kukatakan penderita penyakit linglung itu!"
"Oh ..... " Cu Jiang mendesuh, " tetapi aku benar2 tak
mengerti ilmu pengobatan."
"Engkau bisa!"
"Ah, Sin-li berolok-olok. "
"Tidak, aku memang bersungguh-sungguh."
"Ini .... "
"Terus terang kuberitahu kepadamu, Coat-ceng kiamkhek itu adalah suamiku."
Untuk yang kesekian kalinya Cu Jiang seperti dipagut
ular kejutnya. Benar2 ia seperti orang bermimpi. Pendekar
Patah-hati itu menurut umurnya tentu sudah seratusan
tahun. Menurut keterangan mendiang ayah Cu Jiang, waktu
Pendekar Patah-hati muncul di dunia persilatan ayah dari
Cu Jiang itu masih belum belajar silat. Sedang Bu-san-sin-li
itu tampaknya begitu muda, belum ada tiga puluh tahun
umurnya. Mengapa menjadi isteri dari Pendekar Patahhati" "Aku benar2 semakin bingung, " katanya.
Bu-san-sin li tertawa, katanya:
"Suamiku itu adalah si Pedang gila ..."
"Pedang-gila?"
"Benar, karena mempelajari ilmu pedang, dia sampai jadi
gila dan dari gila menjadi linglung."
"Aih."
"Selama lima tahun dia berkelana di wilayah Kanglam
dan Kangpak dan selama itu belum pernah berjumpa
dengan lawan yang mampu menandinginya. Oleh karena
itu dia masygul dan berobah perangainya ...."
"Aneh sekali. Kalau tak mendapat lawan berarti ilmu
pedangnya sudah mencapai tingkat sempurna. Seharusnya
gembira mengapa malah kecewa?"
"Soal2 dalam dunia ini memang ada kalanya tak dapat
dipikir dengan nalar sehat. Bermula karena kuatir kalah
dengan orang, giat dan tekun belajar. Setelah mencapai
kepandaian yang tinggi lalu tak mendapat lawan dan
kecewa, sedih, masygul ...."
"Apakah selama berpuluh tahun itu benar2 tak mendapat
lawan?" "Ya, memang tak ada."
"Misalnya seorang tokoh yang bergelar Dewa-pedang Cu
Hong Ko itu?" sengaja Cu Jiang mengajukan pertanyaan.
Sin-li tertawa tawar.
"Mendiang ayahmu, bukan?"
Cu Jiang meringis dan merahlah wajahnya. Kiranya
waktu dia berbicara dengan kedua Pengawal Hitam tadi,
diam2 Bu-san-sin-li telah mendengarkan. Terpaksa ia
mengiakan. "Aku hendak berkata terus terang, harap engkau jangan
kecewa. Ayahmu belum dapat menjadi tandingannya! "
kata Bu-san-sin-li.
o0-dw-0o Mau tak mau Cu Jiang tersinggung juga perasaannya.
Ayahnya telah digelari kaum persilatan sebagai Dewapedang. Kalau dia tak mampu menerima dua jurus
serangan pedang dari Pendekar Patah hati, bukankah gelar
ayahnya itu hanya sebuah nama kosong belaka"
"Apakah sinli anda sudah pernah bertempur dengan
mendiang ayahku?" akhirnya ia berseru dengan nada serius.
"Belum,"
"Lalu dari sudut manakah Sin-li mengadakan penilaian
tadi?" "Sudah tentu ada alasannya. Masakan aku hanya omong
sembarangan saja."
"Mohon Sin-li suka memberi keterangan."
"Ai, agaknya harus dimulai dari permulaan," kata Bu san
sin-li, "suamiku hanya lima tahun lamanya malang
melintang di dunia persilatan. setelah itu lalu kukurung dia
di istana ini. Tak kuijinkan dia muncul di dunia perbuatan
lagi. "Kenapa?"
"Selama bertahun2 tak ada lawan yang mampu
menerima dua buah jurus ilmu pedangnya, kuibaratkan
sebagai pohon. Makin tinggi pohon itu tentu makin sering
dilanda badai. Makin termasyhur makin terancam. Musuh
yang terang mudah dihadapi tetapi musuh yang gelap sukar
dijaga. Sesungguhnya dia hanya tergila-gila pada ilmu
pedang, sama sekali bukan karena hendak mengajar nama .
.. ." "Hm, tetapi adakah suami Sin-li itu menurut saja?"
"Sudah tentu tidak," sahut Bu-san-sin-li "aku mempunyai
cara tersendiri. Setiap tahun kusuruh seorang murid untuk
turun gunung dan menyelidiki apakah saat itu di dunia
persilatan terdapat seorang Jago pedang baru. Jika ada,
maka suamiku tentu akan muncul untuk menantangnya . "
"Apakah selama bertahun-tahun demikian ?"
"Ya."
"Kalau begitu tentu tak terhindar akan berhadapan
dengan mendiang ayahku?"
"Belasan tahun tahun yang lalu, ayahmu sudah
Pendekar Bodoh 19 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Kisah Pedang Di Sungai Es 12

Cari Blog Ini