Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 12
suhumu mengadakan beberapa perobahan tetapi sumber
dasarnya tetap tak meninggalkan perguruan."
"Lalu ?"
"Suhumu berbudi luhur, memiliki bakat yang bagus, oleh
karena itu paling disayang oleh gurunya. Sudah tentu hal
itu menimbulkan rasa iri dan benci dalam hati supehmu.
Dia tak akur dengan suhumu . . ."
"Oh!"
"Kala itu kakek gurumu mempunyai rencana untuk
menyerahkan kedudukan ketua perguruan kepada gurumu .
. ." "Mendudukkan yang pertama dan mengangkat murid
yang kedua, apakah hal itu tidak bertentangan dengan
peraturan dunia persilatan ?"
"Itu hanya suatu peraturan saja. Setiap partai perguruan
mempunyai peraturan sendiri tidak harus mengangkat
murid yang pertama. Seorang calon pengganti ketua harus
dinilai dari perbawa, peribadi dan tingkah laku serta ilmu
kepandaian .... Apabila semua2 itu sudah dipenuhi barulah
dapat diangkat sebagai pewaris ketua."
"Tetapi apakah nama dari perguruan kami?"
"Thay hi bun !"
"Thay hi bun " Rasanya belum pernah mendengar nama
itu.. ." "Ya, memang. Thay-hi-bun itu sebuah perguruan
rahasia, tidak ikut dalam kancah dunia persilatan dan tidak
menghimpun pergolakan dunia...."
"Lalu seterusnya ?"
"Pusaka dari perguruan Thay hi-bun itu merupakan
sebuah kitab pusaka yang disebut Thay-hi keng- Kecuali
ketua, lain2 murid tak boleh mempelajari isinya. Kakek
gurumu telah menyerahkan kitab itu kepada suhumu.
Dengan begitu berarti secara diam2 dia telah memberi
isyarat bahwa kelak suhumulah yang akan diangkat sebagai
penggantinya."
"Lalu mengapa ..."
"Setelah mengetahui hal itu, supehmu menuduh kakek
gurumu berat sebelah. Dan sejak itu dia makin membenci
sekali kepada suhumu. Tetapi hanya karena penyerahan
kitab itu belum cukup sebagai hak untuk mengganti
kedudukan ketua."
"Makanya bukan begitu cara pengupasannya. Manusia
bukan dewa, iri dan marah merupakan sifat kelemahan
setiap orang. Sebenarnya supehmu itu, kecuali wataknya
yang keras dan aneh, dalam segala hal dia berimbang
dengan suhumu."
"Kemudian lalu?"
"Akhirnya kedua saudara seperguruan itu bertempur.
Suhumu berhasil melukai suhengnya. Dia bersalah karena
tak mau mendengar nasehat gurunya. Dia melanggar
peraturan perguruan dan harus diusir dari perguruan dan
untuk selama-lamanya tak diakui sebagai murid Thay-hi
bun . . ."
"Ah . . ."
Tepat pada saat itu muncullah Cu Keng Yap dengan
wajah yang muram durja. Setelah beberapa saat
memandangnya, baru Lam-ki-soh bertanya: "Bagaimana?"
Wajah Ih Se lojin berkerenyutan sampai beberapa saat,
baru kemudian berkata dengan nada tegang:
"Silahkan masuk !"
"Bersama dengan anak ini ?"
Ih Se lojin mengangguk. Dia yang berjalan sebagai
penunjuk jalan dimuka. Diam2 Lam-ki-soh menyeringaikan
wajah kepada Cu Jiang. Geli. Cu Jiang hanya mengikuti
saja. Setengah li kemudian, tibalah mereka dimuka sebuah
gedung yang indah. Empat orang lelaki yang berumur
sekitar 30 an tahun, sudah siap disitu untuk menyambut.
Dengan hati tak keruan rasanya, Cu Jiang ikut masuk.
Setelah Lam ki-soh dipersilakan duduk, dia tetap berdiri
disampingnya. Keempat lelaki yang dimuka pintu tadi tak
ikut masuk. Ih Se lojin menghela napas pajang.
"Karena salah langkah telah mengakibatkan dendam
kebencian yang mengerikan." ujarnya.
Berkata Lam ki soh dengan wajah serius:
"Ciang-bun-jin, peristiwa itu sudah lama lampau, Bahwa
sekarang hal itu dapat dihapus, benar2 merupakan
kebahagian dalam perguruanmu. Tak perlu engkau sesali
lagi . . ."
"Tidak, kedudukan ciang-bun-jin ini, akan kuberikan
kepada sute . . ."
"Engkau salah, itu bukan maksud Nyo Wi."
"Apakah aku masih mempunyai muka untuk menduduki
jabatan ini."
"Co toako, engkau adalah ketua yang diangkat atas titah
ketua yang telah lalu. Sudah tentu pengangkatan itu resmi
dan sah." "Tidak, memang kesalahanku sehingga ketua yang
terdahulu salah angkat . . ."
"Sutemu kini sudah menjabat kok-su di negeri Tay-li,
tentu takkan kembali ke Tionggoan lagi."
"Aku akan kedaerah selatan untuk menemui dan
menghaturkan maaf kepadanya."
"Tak perlu," kata Lam-ki soh, "maksudnya apabila anak
ini dapat diterima kedalam perguruan, maka diapun tak ada
maksud lainnya lagi."
"Sute rela menderita diusir dari perguruan, sungguh
suatu penderitaan yang menusuk hatiku selama-lamanya.
Segala itu adalah terjadi karena perbuatanku. Jika aku tak
diberi kesempatan untuk menghaturkan maaf, bagaimana
kelak aku dapat bertemu dengan arwah kakek guru di alam
baka." "Penderitaan yang dialami saudara Nyo selama ini,
hanyalah berdasar karena menghormat saudara tua maka
dia rela menggunakan cara itu. Maka apabila kali ini
kembali menduduki jabatan ketua lagi, tentulah perasaannya tersinggung. Maka dalam hal itu tak perlu
dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang ini ialah untuk
menerima anak itu masuk kedalam perguruan."
Habis berkata dia berpaling kepada Cu Jiang.
"Buka kedok mukamu dan berilah hormat kepada
ketua!" Hati Cu Jiang tegang sekali. Saat itu dia sudah dapat
merangkai suatu dugaan. Segera ia melakukan perintah,
membuka kedok mukanya.
Melihat wajah Cu Jiang, Ih Se lojin mendesah kaget. Cu
Jiang membereskan pakaiannya. Pada saat dia hendak
menghaturkan hormat...
"Tunggu!" tiba2 Ih Se lojin mengangkat tangan
mencegahnya. Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah.
"Kalian masuk kemari." seru Ih se lojin kepada keempat
penjaga. Mereka berempat masuk dan setelah memberi
hormat kepada Ih Se lojin mereka tegak berjajar disamping.
Saat itu Lam ki-soh pun memberi kicupan mata kepada
Cu Jiang dan anak itupun segera melangkah kehadapan Ih
Se lojin lalu berlutut menghaturkan hormat.
"Murid Cu Jiang, mohon menghadap ciang-bun supeh!"
"Bangun," seru Ih Se lojin, "kenalkan dengan keempat
suhengmu!"
Cu Jiang bangun. Secara berturut-turut Ih Se lojin lalu
memperkenalkan:
"Itulah ji suhengmu yang bernama Ko Kun, sam-suheng
Siong Ci Beng, si-suheng Gak Ong dan ngo suheng Ih Kim
Gan!" Cu Jiang memberi hormat kepada keempat suheng itu.
Tetapi terhadap toa-suhengnya, ia mempunyai kesangsian.
Mengapa yang ada hanya keempat suheng" Ke manakah
toa-suheng atau suheng yang pertama"
Setelah memberi hormat, Cu Jiang kembali ketempatnya
semula. Keempat suheng itu agaknya terkejut dan heran
atas pertemuan yang tiba2 itu.
"Toa-suhengmu yang bernama Go Wi Jin, pada sepuluh
tahun yang lalu terpaksa pulang ke desanya untuk merawat
mamahnya yang sudah tua. Dia hanya pada musim rontok
datang sekali kemari, Besok kalau ada kesempatan tentu ku
perkenalkan engkau dengan dia, " kata Ih Se lojin pula.
Kemudian kepada keempat muridnya, dia memperkenalkan Cu Jiang sebagai murid dari paman guru
(susiok) Nyo Wi. Kemudian dia memerintahkan supaya
malam itu diadakan perjamuan untuk merayakan persatuan
kembali dari perguruannya.
Cu Jiang tak mengira bahwa ia akan mengalami
peristiwa semacam itu. Kini dia tahu lebih jelas tentang
asal-usul suhunya, Gong-gong-cu yang selama ini selalu
dirahasiakan. Setelah keempat murid itu mengundurkan diri maka Ih
Se Lojin berkata pula kepada Cu Jiang.
"Pada waktu suhumu diusir dari perguruan sucou (kakek
guru) lupa untuk meminta kembali kitab Thay hi keng.
Sucoumu mengira kitab itu tentu dibawa pergi suhumu
yang setelah meninggalkan perguruan terus lenyap tak
diketahui rimbanya. Dua tahun kemudian, sucou-mu telah
meninggal dunia. Dan tiga tahun kemudian dalam dunia
persilatan telah muncul tiga tokoh yang disebut Bu lim Sam
cu. Tetapi ku tak tahu bahwa diantara ketiga tokoh yang
bernama Gong gong-cu itu ternyata adalah suhumu. Baru
tahun yang lalu, toa-suhengmu datang membawa berita
kalau Gong-gong-cu itu adalah paman gurunya, Nyo Wi,
yang telah diusir dari perguruan itu.Sebenarnya aku hendak
mencarinya untuk meminta kembali kitab Thay-hi-keng itu,
tetapi masih belum sempat. Ai, tak kira ..."
Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Dia tak
membawa kitab pusaka Thay-hi-keng dan menyembunyikan kitab itu dibawah arca cousu. Disamping
itu dia telah meletakkan sepucuk surat, ambil dan bacalah
sendiri!" ia mengeluarkan sehelai kertas dan diserahkan
kepada Cu Jiang.
Serentak Cu Jiang maju menyambut. Surat itu berbunyi:
Dihaturkan toa-suheng,
Kedudukan ketua, seharusnya diserahkan kepada toa-suheng.
Tetapi perintah suhu tak dapat kubantah. Maka terpaksa kuambil
siasat supaya aku dikeluarkan dari perguruan. Mohon setelah
membaca surat ini, toa-suheng sudi memohon ampun atas segala
kesalahan dan terima kasih atas semua budi kebaikannya. Setelah
toa-suheng menerima kedudukan ketua, aku tentu akan pulang ke
gunung untuk mohon hukuman. Nyo Wi."
Tak terlukiskan perasaan Cu Jiang saat itu. Dia benar2
sangat mengagumi dan menghormat sekali akan kepribadian suhunya. Kemudian ia menyerahkan kembali
surat itu seraya mengatakan bahwa selama ini suhunya tak
pernah bercerita apa2 tentang hal itu.
"Jika suhumu tak mau datang kemari untuk menerima
jabatan ketua, aku benar2 tak punya muka untuk
menghadap arwah para sucou. . ." kata Ih Se lojin.
Sebagai angkatan yang lebih muda. sudah tentu Cu Jiang
tak dapat memberi tanggapan ini ituu apa tentang urusan
dalam perguruan. Dia diam saja.
"Dia takkan meluluskan," kata Lam-ki-soh dengan nada
tandas, "Jika engkau tetap memaksa dia supaya menerima
berarti engkau menutup pintu agar dia tak datang ke
gunung sini lagi"
Beberapa saat kemudian murid kedua Ko Kun
menghadap untuk menyampaikan laporan bahwa hidangan
sudah siap. Maka Cu Jiangpun diajak Ih Se lojin masuk.
Setelah menghadap arca dari kakek guru. mereka kembali
lagi ke ruang. "Engkau mengatakan hendak meminta petunjuk untuk
memecahkan barisan apakah itu?" tanya Ih Se lojin.
Dengan mata merah penuh dendam kemarahan,
berkatalah Cu Jiang:
"Tentang gerombolan Gedung Hitam yang banyak
mencelakai dunia persilatan, apakah supeh sudah mendapat
berita yang lengkap ?"
"Hai," desuh Ih Se lojin.
"Dan ketua Gedung Hitam itu adalah musuh besar dari
keluarga murid."
"Ah, asal usul dirimu ..."
"Almarhum ayah murid adalah Cu Beng Ko."
"O, engkau putera dari Dewa-pedang ?"
"Engkau mencari guru dengan sudah mempunyai bekal
kepandaian ?"
"Ya."
"Ah, makanya ilmu pedangmu .. ."
"Tetapi itu bukan ajaran Keluargaku."
"Apa " Bukan ilmu warisan keluargamu " Tetapi Jelas
ilmu pedang yang engkau gunakan itu bukan dari
perguruan ku."
d00w Dengan terus terang Cu Jiang lalu menuturkan semua
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peristiwa yang dialaminya ketika ia mendapatkan ilmu
pedang itu. "Luar biasa," seru Ih Se lojin, "kelak engkau tentu
mampu mempelajari kitab pusaka Thay hi-keng itu. Dengan
menggubahnya sendiri, pastilah kelak ilmu silat perguruan
kita akan cemerlang dalam dunia persilatan."
"Terima kasih, supeh."
"Bagaimana persoalanmu dengan Gedung Hitam ?"
"Selama ini tiada seorang persilatan yang mampu
menyelidiki markas besar Gedung Hitam di gunung Kengsan karena markas besar itu dibentuk dalam barisan yang
aneh." "Barisan apa ?"
"Menurut keterangan seorang sahabat, barisan itu
dibentak antara gabungan barisan Kiu-kiong pat kwa
dengan ti-hun-im."
"Mestinya itu barisan Thay ho-tin .. ."
"Thay-ho tin ?" Cu Jiang menegas.
"Ya, kalau menurut keterangan, barisan itu mestinya
disebut Thay-ho-tin. Tetapi barisan Thay-ho-tin itu
merupakan salah satu barisan dari tiga barisan besar yang
terdapat dalam kitab pusaka Ki-bun-ceng ciat. Mengapa dia
bisa menyusun barisan itu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat.
"Kitab Ki-bun-ceng ciat diwaktu hilang dan jatuh ke
tangan Pek kut song-sian...?"
"Tidak mungkin, kedua iblis itu singkat sekali waktunya
mendapatkan kitab pusaka itu, hanya dalam seratus hari."
"Mohon tanya, bagaimana kitab itu bisa hilang ?"
"Gara2 sam-suhengmu yang mempelajari kitab itu. Tidak
seharusnya waktu keluar lembah, dia membawa kitab itu
sehingga ketahuan kedua iblis dan direbutnya. Untung anak
dari suami isteri iblis itu dapat kutawan sebagai sandera."
"Ya, murid telah mengetahui."
"Tetapi apakah benar barisan di markas Gedung Hitam
itu merupakan Thay-ho-tin. Jika tidak, tentulah akan
membuang waktu sia-sia." kata Lam-ki soh yang sejak tadi
diam saja. Ih Se lojin kerutkan dahi.
"Jika kusuruh murid untuk memeriksa, berarti akan
mencampuri urusan dunia persilatan. Suatu hal yang
bertentangan dengan pendirian perguruan ku," katanya.
"Tetapi sekarang saja Cu Jiang sudah masuk menjadi
murid Thay-hi bun. Apakah hal itu berarti dia tak boleh
melakukan gerakan apa2."
"Itu lain lagi persoalannya, pertama, karena dia
mampunyai dendam berdarah untuk keluarganya. Dan
kedua, dia telah mendapat perintah dari suhunya ...."
"Kalian telah bersumpah untuk mengasingkan diri tak
mau mencampuri urusan dunia, adakah dalam soal budi
dendam dari murid. Juga tak mau memberi bantuan?" tegur
Lam-ki-soh. "Peristiwa budi dendam yang menyangkut dirinya
dahulu sebelum masuk kedalam perguruan, perguruan kami
takkan mengurus."
Kuatir kedua tokoh tua itu akan terlibat dalam
perdebatan yang sengit, buru2 Cu Jiang berkata:
"Supeh, murid hanya mohon petunjuk bagaimana cara
untuk memecahkan barisan Thay-ho-tin saja. Jika tak
berhasil, kelak murid akan menghadap kemari lagi untuk
mohon petunjuk."
"Kalau begitu sih boleh," kata Ih Se lojin "tetapi ingat,
selama engkau bergerak di dunia persilatan tak boleh
engkau mengaku sebagai murid perguruan Thay-hi-bun !"
"Murid akan ingat baik"
"Masih ada satu lagi. Jika benar barisan itu barisan Thayho-tin, engkau harus menyelidiki siapakah yang membuatnya."
"Baik."
Sementara itu kelima murid Ih Se lojin, masuk dengan
melaporkan bahwa hidangan dan arak sudah siap semua.
Sembari berbangkit, Ih Se lojin mengajak Lam-ki-soh
makan bersama. Tetapi tokoh itu menolak dan mengatakan
dia cukup akan makan bekalnya sendiri.
"Gong-heng, menganggap aku orang she Co ini benar
seorang manusia yang tak kenal perasaan?"
"Ai, hanya bergurau saja. Kan merepotkan saudara. "
Demikian mereka lalu bersama-sama duduk di meja dan
menikmati hidangan malam. Selesai makan haripun sudah
malam. Ih Se lojin lalu membuat sebuah lukisan peta dan
diserahkan kepada Cu Jiang dengan memberi penjelasan2
seperlunya. Juga mengenai barisan dalam lembah itu, Ih Se
lojinpun memberitahu kepada Cu Jiang.
Keesokan harinya, Cu Jiang bersama Lam-ki-soh pamit.
Dengan masih mengenakan kedok muka, Cu Jiang keluar
dari lembah itu. Setelah tiba di kaki gunung Tong-pik-san,
Cu Jiang berpisah dengan Lam-ki-soh.
Jika menuju ke Hu-yang untuk menemui Ang Nio Cu, di
perhitungkan waktunya masih belum tiba, mungkin Ang
Nio Cu tentu belum kembali.
Apabila dia bertindak sendiri untuk menggempur
Gedung Hitam, dia merasa telah melanggar janji dengan
Ang Nio Cu. Ah, akhirnya ia memutuskan, baiklah ia
pelahan-lahan menuju Huyang agar waktunya menunggu
disana tak usah terlalu lama.
Demikianlah dengan cara santai itu, setengah bulan
kemudian barulah dia tiba di kota Huyang. Terpaut dengan
waktu berangkat ke gunung Tay-pa san sudah hampir satu
bulan. Menurut perjanjian dengan Ang Nio Cu, ia lalu
mencari dan menginap di hotel Naga Hijau, sebuah hotel
besar yang terletak dipusat kota.
Untuk tidak menarik perhatian orang. Cu Jiang
menyamar jadi seorang anak sekolah. Tetapi menunggu
sampai tiga hari belum juga Ang Nio Cu muncul. Dia mulai
gelisah. Menurut perhitungan waktunya, seharusnya Ang
Nio Cu sudah datang.
Karena tak dapat menemui Ih Se lojin, seharusnya Ang
Nio Cu cepat kembali ke Huyang. Saat itu sudah menjelang
keempat puluh hari, mengapa dia belum muncul juga"
Seorang diri dia menikmati arak dalam kamar.
Pikirannya melayang-layang. Kalau sampai hari yang
keempat puluh, Ang Nio Cu tetap belum muncul, terpaksa
dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia harus
menggempur Gedung Hitam sendiri.
Sekonyong-konyong dari arah luar kamar terdengar
suara wanita bersungut-sungut:
"Dia sudah mengatakan dalam empat puluh hari lagi
akan datang ke rumah penginapanmu ini . . ."
"Eh. siapakah sesungguhnya yang nona hendak cari itu?"
kata jongos hotel.
"Bukanlah sudah kukatakan kalau aku hendak mencari
seorang anak keponakanku yang jauh?"
"Nona, tetapi dia tentu mempunyai nama, kalau engkau
hanya bersungut-sungut
dan marah2, tentu akan mengganggu lain2 tamu. . ."
Cu Jiang terkesiap. Cepat ia beranjak dan mengintai
kearah luar Di halaman tampak seorang wanita tengah
memandang kian kemari sedang seorang jongos menyeringai di sampingnya.
Wanita itu tergolong sudah pertengahan umur, karena
mengenakan baju merah maka cepat Cu Jiang dapat
mengenalinya sebagai salah seorang dari Empat wanita baju
merah yang menjadi pengawal Ang Nio Cu.
"Aku disini, " seru Cu Jiang.
Nona itu deliki mata kepada si jongos: "Tuh, apa
bukan?" "O, Allah, mengapa nyonya tadi2 tak bilang kalau tuan
muda itu?" seru jongos. Namun nyonya itu tak
mengacuhkannya dan terus masuk ke dalam kamar Cu
Jiang. "Silahkan duduk toanio." Kata Cu Jiang.
"Jangan memanggil begitu, namaku Soh Tan Hong."
"O, Soh toanio."
Jongos datang membawa minuman lalu menanyakan Cu
Jiang mau pesan apa lagi.
"Bawakan bebek panggang dan arak wangi," kata Cu
Jiang. Setelah jongos keluar, Cu Jiang menuangkan arak ke
cawan dan mulai menanyakan tentang Ang Nio Cu.
"Dia tak dapat datang memenuhi janji dan memerintahkan aku kemari . . ."
"Mengapa dia tak dapat datang?"
"Dia menderita luka parah, jiwanya terancam . . ."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Seketika wajahnyapun
berobah. "Dimana dia sekarang?" serunya gemetar.
"Di sebuah biara tua diluar kota Keng-ciu."
"Dimana dia menderita luka?"
"Waktu di belakang puncak Kiu-kiongsan!"
"Siapa yang mencelakainya?"
"Entah. Mungkinkah Ih Se lojin?"
"Tidak mungkin! "
"Bagaimana sauhiap memastikan begitu?"
"Karena aku sudah dapat menemukan Ih Se lojin itu."
"Di gunung Tay pa-san?"
"Hm," Cu Jiang hanya sembarangan mendengus karena
dia tak mau sembarangan memberitahukan tempat
perguruannya. "bagaimana lukanya?"
"Menderita luka dalam yang parah sekali, sehingga tak
sadarkan diri. Waktu kutinggalkan sudah lima hari
lamanya, entah..." ia tak dapat melanjutkan kata2 karena
tersendat isak air matanya.
"Toanio, silahkan makan dulu, nanti kita segera
berangkat."
"Aku . . . tak dapat makan."
"Tetapi engkau harus makan agar tenagamu tak lemas.
Mari minum dulu..."
"Tidak."
Begitulah keduanya terus makan. Cu Jiang sendiri juga
tak ada selera makan. Setelah membereskan rekening, dia
bersama Soh Tan Hong terus tinggalkan Hu yang.
Karena siang malam menempuh perjalanan, pada hari
keempat pagi mereka tiba di kota Keng-ciu. Soh Tan Hong
membawanya menuju ke sebuah biara bobrok yang terletak
tujuh delapan li dari kota.
"Mengapa tak memilih tempat yang layak?" tegur Cu
Jiang ketika menyaksikan alam sekeliling tempat itu sunyi
senyap. Soh Tan Hong tertawa hambar.
"Majikan kami banyak musuh, dan lagi dalam keadaan
luka parah, dia tak dapat membuat gerakan yang
menimbulkan perhatian orang."
"Oh, begitu." Kata Cu Jiang.
Keadaan biara tua memang mengenaskan sekali.
Dindingnya banyak yang gompal dan rumput tumbuh liar
tak dirawat. Biara itu sendiri amat besar, dulu tentu
merupakan tempat ziarah yang ramai.
Memasuki ruang kedua, muncul seorang wanita lain lagi.
"Bagaimana dengan majikan?" tegur Soh Tan Hong
kepada kawannya itu.
Wanita itu menghela napas panjang: "kita harus
bersyukur kepada Langit dan Bumi bahwa majikan tak
sampai terancam malapetaka. Tetapi dia masih memerlukan istirahat untuk memulangkan tenaga . . ."
Apa sudah mau makan?"
"Hanya sedikit."
"Bicara?"
"Secara memaksakan diri."
Kemudian wanita itu berkata kepada Cu Jiang.
"Sungguh tepat kedatangan sauhiap ini. Waktu sadar,
pertama yang disebut oleh majikan kami ialah nama
siauhiap."
"Apakah aku boleh menengoknya?"
"Tentu saja boleh, silahkan."
Melintasi halaman yang penuh ditumbuhi rumput liar,
mereka tiba di muka sebuah ruang yang bersih. Dan wanita
yang menjadi penunjuk jalan itu berseru nyaring:
"Cu sauhiap hendak menghadap majikan!"
"Lekas silahkan masuk." terdengar suara wanita
menyahut dari dalam.
Cu Jiang amat tegang. Mengikuti kedua wanita itu
masuk, ia melihat sebuah ranjang kayu yang diberi alas
dengan rumput jerami dan diatasnya rebah tubuh dari tokoh
misterius dalam dunia persilatan yakni Ang Nio Cu. Dia
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih mengenakan kain kerudung muka.
"Toaci, aku datang menjengukmu," seru Cu Jiang
dengan nada tegang.
Sepasang mata Ang Nio Cu berkaca-kaca, dengan suara
lemah ia menyahut:
"Ah, adik, membikin repot engkau saja."
"Taci, bagaimana dengan lukamu?"
"Rasanya tentu mati."
"Sudah minum obat?"
"Aku hanya mengandalkan tenaga dalam untuk
menyembuhkan, mungkin masih perlu waktu setengah
bulan lagi untuk beristirahat."
"Apakah yang dapat kulakukan?"
"Tak usah, aku dapat mengatasi sendiri. Adik,
bagaimana hasilmu ke gunung Tay pa san?"
"Beruntung tak sampai mengecewakan perintah taci."
"Engkau.... dapat menemui Ih Se lojin."
"Ya !"
"Dia mau memberi petunjuk kepadamu cara memecahkan barisan?"
"Ya."
"Ah."
"Taci, bagaimana engkau sampai terluka?"
"Biar... Go Kiau yang memberitahu kepadamu."
Wanita yang menjaga di samping, mengangkat sebuah
meja kaki tiga.
"Harap Cu siauhiap duduk, aku akan bercerita pelahanlahan." Cu Jiangpun duduk.
Wanita yang bernama Go Kiau itupun mulai menutur:
"Aku dan Soh suci bertiga mengikuti... majikan kami tiba
di belakang gunung Bok-tok-san. Tujuan kami pertama
yang mencapai lembah Ki lin koh yang berada di belakang
puncak gunung Kiu kiong san. Karena Ih Se lojin pernah
muncul disitu. Kami sangka dia tentulah penghuni lembah
itu. Tiba di mulut lembah, majikan memerintahkan kami
supaya menunggu di luar dan dia terus masuk ke dalam
lembah..."
Cu Jiang mengangguk.
"Lebih kurang seperminum teh lamanya, majikan keluar
dari lembah membawa luka. Dia suruh kami cepat2
membawanya pergi dari tempat itu, dan beberapa saat
kemudian diapun pingsan tak sadarkan diri lagi..."
"He, lalu..."
"Kamipun segera meninggalkan mulut lembah masuk ke
dalam daerah pedalaman untuk mencari persembunyian.
Kami bertiga berusaha menyalurkan telaga dalam dan
setengah hari kemudian barulah majikan kami siuman.
Dia terus menitahkan supaya diantar ke Hu yang. Kami
berusaha menggunakan kendaraan darat dan air. tetapi
sampai ditempat ini keadaan majikan sudah tak kuat lagi.
Terpaksa menggunakan biara tua ini untuk tempat
meneduh dan menyuruh Soh suci memberitahu Cu
sauhiap..."
"Apa hanya begitu ?"
"Masih ada lagi. Setelah keadaan majikan agak tenang,
dia mengatakan bahwa ketika di lembah Ko Min ton, yang
menyerangnya adalah seorang lelaki tua aneh yang pada
tengah dahinya tumbuh sebuah tahi lalat. Tak diketahui
nama dan asal usulnya. Begitu bertemu terus menyerang.
Hanya dalam lima gebrak, majikan sudah terluka parah dan
meloloskan diri. Untung masih dapat lolos, kalau tidak,
malah bagaimana jadinya..."
Cu Jiang berpaling kearah Ang Nio Cu. "Taci, apakah
engkau dapat menduga siapa orang tua itu ?"
Ang Nio Cu pejamkan mata, ujarnya.
"Tak dapat kuketahui asal usulnya. Yang jelas ilmu
kepandaian teramat sakti. lebih tinggi dari ketua Gedung
Hitam." Sejenak berdiam diri Cu Jiang berkata.
"Taci, engkau perlu harus beristirahat."
"Ya, paling sedikit setengah bulan."
"O itu lebih baik. . ."
"Mengapa lebih baik?"
"Aku hendak menuju ke Kiu-Kiong-san "
"Mengapa ?"
"Taci, dendam darah kita itu, harus kutagih kepada
mereka." "Ah, adik Jiang, sudahlah, tak usah kita bicarakan lagi,"
seru Ang Nio Cu.
"Tidak! Betapapun aku harus dapat melihat siapa
sebenarnya orang itu ! Masakan dunia memperkenankan
manusia yang lebih buas dari binatang, setiap bertemu
orang tentu membunuhnya."
"Apakah engkau benar2 hendak kesana ?"
"Tentu, setelah aku kembali dari sana, luka tacipun tentu
sudah baik."
"Hati-hatilah."
"Harap jangan kuatir, aku dapat membawa diri dan
kuharap taci dapat menjaga diri baik-baik agar lekas
sembuh. Sekarang aku mohon diri. ."
"Sekali-kali jangan kau memandang rendah pada lawan.
Bertindaklah menurut gelagat."
"Baiklah."
"Akan kusuruh menyediakan makanan dan arak.
Beristirahatlah dan besok engkau boleh berangkat."
"Tak usah."
"Adik Jiang . .. engkau harus meluluskan pesanku tadi
untuk berhati-hati... jangan membuat hatiku cemas. Engkau
harus mengetahui bahwa masih ada sebuah kebahagian
hidup seseorang yang diserahkan kepadamu..."
Cu Jiang tergetar perasaannya. Secara resmi ia telah
menjadi suami isteri dengan Ho Kiong Hwa tetapi tak
pernah ia memikirkan diri nona itu...
"Taci, aku akan melakukan segala pesanmu."
"Bagus."
"Sekarang aku mohon diri."
"Baik2 engkau menjaga diri, adik Jiang."
Sedemikian akrab bahkan mesrah Ang Nio Cu bersikap
terhadap Cu Jiang. Seolah-olah seperti seorang taci
terhadap adik kandungnya.
Dengan perasaan gembira dan berterima kasih, Cu Jiang
keluar dari biara itu. Saat itu masih siang, ia tak mau masuk
ke kota lagi melainkan terus melanjutkan perjalanan.
Agar tidak putus hubungan dengan rombongan Ki Siau
Hong, disepanjang jalan ia selalu meninggalkan tanda
rahasia. Ketika tiba di lembah Ki lin koh gunung Kiu Kiong san,
Cu Jiang berganti menyaru sebagai tokoh Toan kiam jan jin
lagi. Ia sengaja berjalan dengan langkah pincang dan
pinggang menyelip pedang kutung bertebar mutiara.
Lebih kurang empat puluh tombak memasuki lembah
tiba2 ia melihat sebuah ciok pay atau papan batu yang
bertulis empat buah huruf yang besar, berbunyi:
"Masuk lembah pasti mati."
Cu Jiang tertawa dingin, Brak, ia menghantam hancur
papan batu itu. Kemudian ia melanjutkan langkah.
Jalanannya berbahaya sekali, penuh karang dan batu2 aneh
yang malang melintang, Sepintas memang tampak seperti
seekor kilin yang muncul.
Diantara batu2 yang aneh bentuknya itu, terdapat pula
tulang belulang yang menyeramkan pandangan mata.
Tentulah tulang2 itu berasal dan orang yang berani
memasuki tempat itu.
Dari kesan itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang
berada dalam lembah tentu seorang manusia yang ganas.
Krak, krak, setiap langkah Cu Jiang menimbulkan bunyi
yang menyeramkan karena kakinya menginjak hancur
tulang2 manusia.
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 seseorang
telah menghadang jalan. Cu Jiang hentikan langkah
Memandang kemuka, terpaku ia terkesiap. Yang muncul di
muka itu seorang manusia yang menyeramkan, lebih tepat
dikatakan makhluk yang aneh.
Matanya hanya satu, punggung bungkuk menjungkai
keatas, bibir sumbing sehingga giginya yang besar2
menonjol keluar. Rambut kaku dan tangan mencekal
sebatang Joan pian atau ruyung lemas.
Mahluk seram itu memalingkan kepala memandang Cu
Jiang sejenak lalu tertawa aneh:
"Hai, bocah cilik, engkau berani menghancurkan papan
larangan di mulut lembah itu" siapakah engkau bagaimana
nanti engkau harus mati ?"
"Coba saja katakan, bagaimana cara kematian yang
harus kuterima ?" Cu Jiang menyahut sinis.
"Lebih dulu akan kubeset urat2 mu lalu kulitmu, setelah
itu engkau akan kurendam dalam air garam, nah, coba
bayangkan bagaimana rasanya nanti ?"
"Bagus, bagus, sungguh nikmat sekali. Tetapi asal
engkau mampu melakukan !"
Sring.... ruyungpun segera menggeletar di udara dan
secepat kilat menyambar.
"Aku hendak bertemu dengan yang menjadi pemilik ini,"
seru Cu Jiang. Makhluk aneh itu tertawa lagi. Nadanya jauh lebih
menyeramkan dari serigala melolong.
"Jangan mimpi !"
"Kalau tak salah beberapa waktu yang lalu disini
kedatangan seorang wanita yang mukanya memakai
kerudung. Apakah kalian yang melukainya ?" seru Cu
Jiang. "Dia belum mati ?"
"Tak mungkin dia akan mati !"
"Ah ah. engkau komplotannya ?"
"Ya, memang, aku memang khusus datang kemari
hendak membuat perhitungan."
"Heh. heh, bagus, bagus. Sungguh tak pernah kuduga
kalau ada orang yang berani datang kemari hendak
membuat perhitungan."
"Jangan heran, yang lebih bagus lagi akan terjadi nanti !"
"Budak kecil, aku tak punya waktu adu lidah dengan
engkau," habis berkata dia terus ayunkan cambuk joan-pian
nya. Cu Jiang menghindar hilang. Manusia aneh itu menjerit
kaget dan cepat menarik pulang cambuknya.
"Hai, budak kecil, engkau hebat sekali!"
Setelah mengambil arah, dia segera ayunkan lagi
cambuknya, tar, tar . . . . seketika bayangan cambuk itu
mengembang seperti selembar layar hitam yang melingkupi
seluas dua tombak.
Cu Jiang tetap gunakan gerak langkah Gong gong pohhwat untuk menghilang lenyap.
"Rupanya aku terpaksa harus membunuhmu lebih dulu!"
Dua kali serangan cambuk ruyungnya luput, rambut
manusia aneh itu meregang tegak. Matanya yang bundar
kecil seperti mata ular, berkeliaran buas. Mulut menganga
sehingga gigi-giginya yang panjang tampak membersitbersit. Cu Jiang mencabut pedang kutung.
"Engkau Toan kiam jan jin ?" teriak orang aneh itu.
"Benar !"
"Bagus! Tak kira kalau engkau mengantarkan jiwamu
kemari sendiri . ." kata2 itu ditutup dengan ayunan cambuk
yang menimbulkan bunyi menggeletar sekeras-kerasnya
menyambar. Tetapi Cu Jiang sudah siap. Ia memutar pedang. Tiba2 ia
rasakan tangannya kesemutan dan tahu2 pedang kutung
telah terlilit cambuk.
"Heh, heh, heh, heh . . ." terdengar manusia aneh itu
tertawa mengekeh dan Cu Jiang serentak merasakan dari
ujung cambuk orang itu telah memancar aliran tenagadalam yang keras.
Cepat anak muda itu mengerahkan tenaga dalam untuk
mencekal pedangnya erat2. Lalu mulai balas mendesak.
Ternyata tenaga-dalam orang aneh itu bukan main
hebatnya sehingga ia masih mengimbangi Cu Jiang. Pada
saat Cu Jiang mengerahkan segenap tenaga dalamnya,
tampak biji mata orang aneh itu seperti melotot keluar,
urat2 dahinya melingkar-lingkar dan keringat bercucuran
sebesar kedele. Tetapi dia tetap ngotot untuk bertahan.
Tenaga dalam yang dimiliki Cu Jiang sudah menjadi
tataran hampir sempurna. Dengan begitu dapat diduga
betapa hebat tenaga dalam dari manusia aneh yang mampu
bertahan terhadap serangan Cu Jiang. Jelas dia lebih unggul
dari kawanan Sip pat Thian-mo.
Tetapi betapapun toh daya pertahanan manusia aneh itu
bobol juga. Dengan aliran tenaga-dalam yang dahsyat dan
tak henti-hentinya seperti ombak mendampar, akhirnya Cu
Jiang mengerahkan seluruh tenaga dan tiba2 mengibaskan
pedangnya. Hai terdengar orang tertahan dan cambuk ruyung dari
manusia aneh itu terlepas, kaki terhuyung tiga langkah ke
belakang, mulutnya mengucur dua tetes darah.
Cu Jiang mengentak jatuh batang ruyung lalu melesat
maju. tak mau kasih kesempatan kepada musuh, demikian
terlintas kata2 itu dalam benaknya.
Huakkk... terdengar jerit ngeri, tubuh manusia aneh itu
bergemetaran, dadanya berlumur darah merah.
Tetapi pada saat itu, orang anehpun sempat
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghantam Cu Jiang sehingga anak muda itu terpental
selangkah ke belakang.
Cu Jiang benar2 heran tak terkira, mengapa jurus ilmu
pedang Thian-te kay thay tak berhasil merobohkan lawan.
Tiba2 orang aneh itu berputar tubuh terus lari masuk
kedalam lembah.
"Hai, berhenti dahulu!" teriak Cu Jiang seraya
mengacungkan pedang kutung ke atas kepala.
Gigi orang aneh itu terdengar berkemerutukan. Tiba2 dia
ngangakan mulut dan beberapa benda mirip bintang segera
menyembur keluar.
Cu Jiang cepat menghindar tetapi betapapun, tetap dia
kalah cepat dengan semburan yang tak terduga-duga itu.
Jaraknya begitu dekat dan senjata rahasia itu disemburkan
dengan mulut. Lengan dan bahunya telah termakan beberapa biji
senjata rahasia itu. Untung tak mengenai jalan darah
penting. Kalau sampai terkena pada bagian jalan darah
penting, dia tentu mati.
"Huakkkk..."
Terdengar pekik ngeri menembus udara. Tubuh orang
aneh itu telah terbabat kutung menjadi dua oleh pedang Cu
Jiang. Sebelum kumandang jeritan ngeri itu lenyap tiba2
terdengar suara mengembor keras.
"Hai, manusia liar dari mana yang berani membunuh
anak buahku yang bertugas menjaga mulut lembah !"
Selesai kata2, orangnyapun sudah muncul. Seorang laki2
tua berambut putih tetapi tubuh masih segar kekar.
Cu Jiang terperanjat. Ketika memandang, ia memperhatikan pada tengah2 dahi orang tua itu terdapat
sebuah tahi lalat yang besar seperti mata.
Diam2 Cu Jiang girang. Inilah orang yang dikehendakinya. Pemilik lembah yang telah melukai Ang
Nio Cu itu, pikirnya. Yang dibunuhnya tadi hanyalah anak
buah, dan Kalau anak buah saja sudah begitu hebat
kepandaiannya, majikannya tentu lebih dahsyat lagi, Mau
tak mau Cu Jiang tergetar juga hatinya.
Orang tua pendatang yang dahinya seperti mempunyai
sebuah mulut lagi (tahi lalat besar), tampak memandang
kearah mayat manusia aneh tadi. Tubuhnya yang tinggi
besar tampak gemetar. Tentulah dia sangat marah sekali.
Cu Jiang mencekal pedangnya erat2, siap menghadapi
segala kemungkinan. Sesaat orang tua itu mengangkat
muka, sepasang matanya berkilat2 tajam memandang
kearah Cu Jiang.
Cu Jiang merasa seperti dipancari sinar tajam yang
membuat bulu2 tubuhnya meremang tegang.
"Engkau .... Toan-kiam-jan Jin?"
Cu Jiang terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekati
membuka mulut, orang itu sudah mengenal dirinya. Diam2
Cu Jiang menyadari bahwa ciri2 dirinya sebagai pemuda
pincang dengan pedang kutung ternyata sudah termasyhur
dan dikenal oleh setiap orang persilatan.
"Ya !" sahutnya ringkas.
"Heh, heh, budak kecil, engkau bakal mati tak berkubur!"
"Siapakah nama anda ?"
"Aku Sam Bok thian-cun!"
Cu Jiang tertegun. Dia tak pernah mendengar nama
tokoh persilatan semacam itu. Tetapi ia percaya, orang itu
tentu seorang tokoh angkatan tua yang ternama.
"Belum lama ini apakah anda melukai seorang nona
yang makanya memakai kain cadar ?" serunya pula.
"Melukai " Apakah dia tak mati ?" Sam Bok thian-cun
atau Malaikat bermata-tiga mengulang. Dan kata2 itu tepat
seperti yang diucapkan manusia aneh tadi.
Setiap orang yang diserang, tentu mati. Aneh sekali
kalau hanya menderita luka dan tak sampai mati. Suatu hal
yang menunjukkan betapa ganas dan buas mereka.
"Apakah tentu harus mati ?" ulang Cu Jiang.
"Yang berharga untuk menerima serangan tanganku,
tidak banyak jumlahnya. Tetapi tak pernah ada yang
hidup." "Tetapi kali ini memang suatu pengecualian!" sambut Cu
Jiang. "Toan-kiam-jan-Jin, bagaimana asal usul dirimu ?"
"Tak perlu bertanya, aku takkan memberitahu! "
"Tak kubiarkan engkau menurut sekehendakmu sendiri.
Aku harus menyelidiki sampai jelas !"
"Untuk apa ?"
"Mencabut rumput harus sampai pada akarnya !" nada
Sam bok thian cun sangat menyerampak sekali.
Cu Jiang mendengus dingin:
"Sam Bok thian-cun, tak usah banyak bicara yang tak
berguna, Anda harus membayar semua perbuatan anda
selama ini."
"Membayar" Ha, ha, rasanya dalam dunia ini hanya
engkau seorang yang berani menagih pembayaran
kepadaku."
"Anda heran ?"
"Heran sekali !"
"Akupun baru pertama kali ini mendengar ucapan yang
begitu tekebur seperti anda."
"Ho, apakah arti budak semacam engkau ini."
"Dan engkau sendiri juga makhluk macam apa?" balas
Cu Jiang. "Ha, ha. entah bagaimana harus kucincang tubuhmu
supaya hatiku puas nanti..."
"Sama-sama, bung !" sahut Cu Jiang.
"Budak, Jika engkau bukan Toan-kiam Jan jin, tak nanti
aku mau banyak bicara."
"Oh, terima kasih."
Sepasang mata Sam Bok thiancun membara merah
sehingga wajahnya makin menyeramkan. Ke dua tangannya pelahan-lahan mulai diangkat...
Tiba2 Cu Jiang menyarungkan pedangnya.
"Pukulan harus disambut dengan pukulan. Biar engkau
mati dengan puas!" serunya dengan nada beku.
Sam Bok thiancun tertawa menyeringai.
"Hebat engkau !" serunya.
Seiring dengan bentakan yang dahsyat, serentak
keduanya mengayunkan kedua tangan, bum . . terdengar
letupan keras yang- menggetarkan seluruh lembah. Batu
dan pasir beterbangan ke udara.
Cu Jiang mundur tiga langkah. Darahnya serasa
bergolak-golak keras. Tetapi Sam Bok thian cun juga
tersurut ke belakang tiga empat langkah. Rambutnya awutawutan. Ke-dua2nya tak membuka mulut tetapi hati masing2
sudah tahu bahwa kali itu mereka benar2 bertemu dengan
lawan yang tak boleh dianggap enteng.
Cara mereka berhantam tadi yalah keras lawan keras.
Tak memakai gerak jurus ilmu silat apa2, melainkan secara
jujur beradu kerasnya tulang dan tingginya tenaga. Siapa
yang lemah tentu binasa.
Setelah sama2 memulangkan napas, merekapun mulai
bergerak kembali ketempatnya semula tadi.
Tangan mulai di angkat, tenaga dihimpun dan hampir
serempak mereka mengayunkan lagi tangannya.
Buuummm..... Terdengar ledakan hebat lagi dan keping2 hancuran
karang, yang mencurah dari udara seperti hujan.
Kali ini keduanya terpental ke belakang sampai tujuh
delapan langkah. Napas mereka memburu keras seperti
kerbau habis bekerja.
Hampir sepeminum teh lamanya baru mereka bergerak
maju ke tempatnya tadi. Saat itu merupakan babak
penentuan mati atau hidup. Keduanya sama2 mengerahkan
seluruh tenaga-dalam lalu mengayunkan tenaganya untuk
babak yang ketiga.
Kali ini yang terhebat sendiri. Hamburan karang dan
debu serta ranting2 dan daun bertebaran memenuhi lembah
sehingga suasana amat gelap.
Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, rubuhlah
Cu Jiang ke tanah. Segumpal darah meluap kearah
tenggorokan tetapi ia paksakan diri untuk menelannya
kembali. Tulang belulangnya seperti remuk.
Pandang matanya berkunang-kunang. hawa murni
tubuhnya sudah habis. Kali ini tamatlah riwayatku,
pikirnya. Beberapa saat setelah suasana tenang dan terang, dia
melihat Sam Bok thiancun juga jatuh terduduk ditanah.
Rambutnya yang putih berwarna merah dan tubuhnya
menggigil keras.
"Dia terluka lebih hebat dari aku," kata Cu Jiang dalam
hati. Sekarang ia harus cepat bertindak untuk mendahului
lawan. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dialah yang
akan menang. Cu Jiang segera melakukan ilmu pernapasan menurut
ajaran dalam kitab Giok-kah-kim-keng.
Sudah tentu Sam Bok thiancun juga tak tinggal diam.
Dia juga mempunyai rencana seperti yang diangankan Cu
Jiang. Beberapa waktu kemudian Cu Jiang mulai berbangkit.
Dia tak mau memberi kesempatan sampai lawan dapat
memulihkan tenaganya.
-oo0dw0oo- Jilid 20 Selangkah demi selangkah dia menghampiri ke tempat
Sam Bok thiancun. Langkahnya yang sarat menimbulkan
suara berderak-derak yang menyeramkan. Suasana saat itu
benar2 menyeramkan sekali.
Urat2 wajah Sam Bok thiancun bergeliatan menonjol.
Diapun mulai berbangkit.
Setelah lebih kurang satu setengah meter dimuka Sam
Bok thiancun, Cu Jiangpun hentikan langkah.
"Budak kecil." seru Sam Buk thiancun dengan napas
terengah-engah, "engkau merupakan satu-satunya lawan
yang dapat mengimbangi kepandaianku selama ini, hanya
salah seorang dari kita berdua yang harus hidup atau
mungkin kita berdua akan sama2 terluka atau mati.
Dapatkah engkau.... mengatakan asal usul dirimu?"
Cu Jiang menggertak gigi.
"Putera tunggal dari Dewa-pedang Cu Beng Ko."
serunya. Sepasang mata Sam Bok thiancun mendelik.
"Dengan modal apa Cu Beng Ko berani mengangkat diri
sebagai dewa pedang ?"
"Tua bangka, engkau berani menghina mendiang
ayahku?" Blum Cu Jiang menutup kata-katanya dengan sebuah
hantaman dan Sam Bok thiancun pun balas menangkis.
Terdengar letupan keras dan erang ngeri. Mulut Sam Bok
thiancun muntah darah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang juga terhuyung-huyung, setelah muntah darah
diapun jatuh terduduk, pandang matanya serasa gelap.
Pikirnya, kali ini kalau Sam Bok thiancun turun tangan, dia
tentu mati. Dia benar2 tak mampu menggerakkan anggauta
tubuhnya lagi. Sekonyong-konyong terdengar derap langkah kaki orang
dan sesaat kemudian lengking jerit seorang wanita. Hati Cu
Jiang bergetar. Samar2 dia melihat dua orang wanita tetapi
tak dapat melihat jelas wajah mereka.
"Ma. Sucou..."
"Hai, kiranya si algojo kecil ini."
"Dia "
Semangat Cu Jiang serasa terbang ketika mendengar
kedua wanita itu menyebut sucou (kakek guru) kepada Sam
Bok thiancun. Saat itu dia sudah lebih sadar. Bayangan
kedua wanita itu mulai tampak lebih jelas.
"Sekarang aku pasti mati." diam2 ia mengeluh.
Kedua wanita yang datang itu bukan lain adalah nyonya
Gedung Hitam bersama puterinya.
Wajah nyonya Gedung Hitam itu membeku dingin,
sepasang matanya berapi-api. Sedangkan nona itu atau
yang menurut pengakuannya bernama Ki Ing, tampak
pucat. Yang berseru menyebut sucou tadi, Ki Ing juga. Dengan
demikian mamanya atau isteri dari ketua Gedung Hitam itu
murid pewaris dari Sam Bok thiancun.
Dengan demikian rahasia diri wanita itu yang selama ini
tiada orang yang mengetahui jelas bagaimana asal usulnya,
sedikit-sedikit mulai tersingkap.
Diam2 Cu Jiang teringat bagaimana manusia aneh
penjaga mulut lembah dan pemilik lembah itu atau Sam
Bok thiancun, dapat mengatakan kalau dia adalah Toankiam-jan-jin. HaI itu tentulah karena sudah mendengar
laporan dari nyonya Gedung Hitam.
"Adakah dendam permusuhan antara ayah dengan ketua
Gedung Hitam, juga karena mempunyai hubungan dengan
Sam Bok thiancun ?" pikir Cu Jiang.
Tanpa disadari sinar matanya telah beradu dengan
tatapan sinar mata Ki Ing. Tergetarlah hati Cu Jiang.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pandangannya, Ki Ing itu seorang nona yang
penuh kasih dan curahan asmara. Tetapi Cu Jiang tak
tersentuh hatinya. Andaikata Cu Jiang belum terikat
pernikahan dengan Ho Kiong Hwa, diapun tetap sukar
menerima Ki Ing karena mereka terpisah oleh jurang
pemisah lebar yang berupa dendam darah dari orang tuanya
masing2. Ki Ing, nona yang pertama-tama pernah menyentuh
hatinya, ternyata puteri dari musuhnya. Diam2 Cu Jiang
bersyukur karena ia belum sampai menjalin hubungan kasih
yang lebih dalam.
Kemudian mengerling kesamping, Cu Jiang melihat
tubuh Sam Bok thiancun rebah tak bergerak di tanah. Dia
mati. "Hari ini engkau pasti mati," seru Hek Poh hujin atau
nyonya Gedung Hitam. Secepat kilat tangannya menyambar kain kerudung yang menutupi muka Cu Jiang,
juga kedok mukanya.
"Hai, dia benar2 pelajar baju putih itu !" serentak Ki Ing
melengking kejut.
Saat itu Cu Jiang sedang menderita luka-dalam yang
parah sekali sehingga dia tak dapat berbuat apa2.
Sejenak nyonya Gedung Hitam tertegun lalu berseru.
"Apakah engkau hendak meninggalkan pesan apa-apa ?"
sesaat nyonya itu menegur.
"Aku masih penasaran mengapa tak dapat membunuh
kalian gerombolan Iblis ini dan menghancurkan Gedung
Hitam !" sahut Cu Jiang dengan nada keras.
"Cita-citamu memang mulia, sayang engkau harus
menunggu sampai penitisanmu yang akan datang," sahut
nyonya Gedung Hitam.
"Ma!" tiba2 Ki Ing berseru dengan rawan.
Nyonya itu berpaling kearah puterinya yang tercinta dan
kerutkan alis melihat sikap anak itu.
"Nak, engkau kenapa ?"
"Apakah.... engkau tak dapat melepaskannya."
"Apa " Melepaskannya ...."
"Ya."
"Nak, engkau gila !"
"Aku tidak gila, ma."
"Soal lain2 tak perlu kita bicarakan tetapi dari
perbuatannya membunuh sucoumu itu saja, dia harus
mati!" "Yang kuat menang yang lemah hancur, itu sudah
menjadi dalih dunia persilatan. Kurasa apa yang terjadi tadi
memang suatu pertempuran yang layak."
"Tutup mulutmu!" bentak nyonya itu. "engkau tak
menyadari apa yang engkau katakan. Jika tidak sekarang
kita turun tangan, kelak tentu berbahaya akibatnya !"
Sepasang mata nona itu merah. Setelah terdiam beberapa
jenak dia berkata pula:
"Ma, kali Ini lepaskanlah dia."
"Nak, jangan engkau terlalu bermanja diri, tak mungkin
hal itu dapat kulakukan !"
Dalam pada itu berkat memperkeras ilmu Sim-hwat.
dapatlah Cu Jiang memulihkan sebagian dari tenaganya.
Dia menyadari bahwa gelagat saat itu lebih banyak celaka
daripada menguntungkan. Dia benar2 penasaran kalau
harus mati ditangan seorang wanita.
Dengan bercucuran airmata, Ki Ing tetap merengek:
"Aku telah berhutang sesuatu perasaan kepadanya!"
"Hutang perasaan apa ?"
"Perasaan, ya perasaan, tidak perlu kukatakan."
"Nak, Jika engkau lepaskan dia, apakah dia juga akan
melepaskan kita ?"
"Aku akan berusaha agar dia melepaskan niatnya untuk
melakukan pembalasan berdarah.."
"Suatu kegaiban ?"
"Aku tetap akan berusaha."
"Tak perlu berusaha. Melepaskan harimau pulang ke
gunung, tentu akan segera menerima bencana."
"Ma, berikan kesempatan satu kali saja kepadaku !"
"Jangankan satu kali, setengah kalipun tidak!"
Tiba2 Ki Ing melintang dihadapan Cu Jiang dan berseru
dengan meratap.
"Kalau begitu bunuhlah aku dulu, ma!"
"Engkau benar2 sudah gila," teriak nyonya Gedung
Hitam, "tak mau tahu segala apa. enyahlah !"
"Tidak!" seru Ki Ing.
Nyonya itu tak dapat berbuat apa2, dengan napas
memburu keras dia berkata:
"Baiklah, jika tidak kecebur kedalam bengawan
Hoanghoo, engkau tentu belum jera. Coba tanya kepadanya
apakah dia mau melepaskan niatnya mencari balas atau
tidak !" Ki Ing berputar kebelakang memandang Cu Jiang.
Dipandangnya wajah pemuda itu sampai beberapa jenak.
"Setelah berjumpa, apa katamu ?" akhirnya meluncur
juga kata2 dari mulutnya.
"Budi kebaikan ini, tentu akan kuukir selama-lamanya
dalam hatiku !" kata Cu Jiang dengan nada gemetar.
"Itu persoalan lain."
"Aku tak mau memohon belas kasihan supaya dapat
hidup dan tak dapat melepaskan niatku untuk menuntut
balas !" "Tidak dapat?" seru Ki Ing dengan gemetar.
"Ya, tidak dapat, " Ki Ing mengertek gigi.
"Sekarang engkau tak dapat hidup, bagaimana engkau
masih kukuh mengatakan tak dapat?"
"Seorang lelaki takkan memberatkan soal mati atau
hidup." "Orang yang mati segala akan habis." seru Ki Ing,
"ksatrya atau bukan, apa bedanya?"
"Itu tak perlu dipersoalkan."
"Apakah engkau benar2 tak mau mempertimbangkan
lagi?" "Tidak usah dipertimbangkan lagi"
Ki Ing banting2 kaki dan menjerit dengan sedih:
"Baik, matilah dan jadilah ksatrya di neraka?"
"Nak, bagaimana" Apakah engkau masih tetap pada
pendirianmu?" tiba2 nyonya Gedung Hitam menyelutuk.
Ki Ing menutup muka dengan lengan bajunya tetapi
tetap tak mau menyingkir.
"Pergilah!" bentak nyonya Gedung Hitam.
Tetapi Ki Ing tetap tak mau bergerak. Cu Jiang tergerak
hatinya. Bahwa seorang gadis yang mencintai, tentu akan
berbuat tindakan yang diluar dugaan orang.
Tiba-2 nyonya itu melesat dari samping dan terus
menghantam Cu Jiang.
Buuuum....... Terdengar erang ngeri ketika tubuh Cu Jiang terlempar
sampai dua meter dan membentur sebuah batu besar. Dia
muntah darah beberapa kali.
Untuk yang kedua kalinya dia harus merasakan lagi
betapa rasa orang yang sekarat maut itu.
"Sudahlah kini, . . . tentu tak dapat hidup!" kembali Ki
Ing menyerbu. Nyonya Gedung Hitam mendengus:
"Hm, aku hendak membuktikan apakah dia benar2
sudah mati!"
Saat itu kesadaran pikiran Cu Jiang makin kabur. Dia
merasa kematiannya sudah tak jauh. Pada waktu berpisah
dengan Ang Nio Cu, nona itu pesan wanti2 agar dia
berhati-hati, jangan mengagulkan kekerasan.
"Ma, mengapa engkau . . ." Ki Ing meratap.
"Pembuktian yang tepat hanyalah kalau mencerai
beraikan mayatnya!"
Walaupun keadaan Cu Jiang sudah tak sadar lagi tetapi
samar2 dia masih mendengar kata2 "menceraikan
mayatnya" .
Mati dengan cara apapun saja tetap mati. Tetapi mati
ditangan musuh, memang suatu kematian yang tak
merelakan. Darah kembali bercucuran dari mulut Cu Jiang.
Dia masih belum mati rata, belum putus napasnya. Dia
masih dapat merasakan penderitaan dari kematian yang
akan dialaminya nanti.
Tiba2 telinga Cu Jiang mendengar suara orang berseru:
"Berhenti!" Suara itu dia cukup mengenalnya.
"Pencuri tua, apakah engkau mau cari mampus!"
"Tio Hong Hui, kalau pencuri tua ini mati tentu takkan
melepaskan engkau juga !"
Menyusul terdengar suara benturan keras. Tetapi Cu
Jiang sudah tak berdaya lagi, kesadaran pikirannyapun
hilang. Ketika dia siuman, bintang2 bergemerlapan di angkasa,
angin berkesiuran silir dan tubuhnyapun terasa sakit.
"Hai, aku belum mati ?" serunya.
"Adik kecil, engkau tak mati!"
Terkejut Cu Jiang mendengar suara itu. Cepat dia
berpaling kesamping lalu menggeliat duduk. Ah, ternyata
yang berada disamping adalah Ciok Yau Je yang bergelar
Hanya-langit tidak dicuri.
Dia teringat ketika pingsan, samar2 dia masih
mendengar suara itu.
"Lo koko, engkaukah yang menolong aku ?"
"Jangan mengatakan menolong, aku memang menyusul
engkau !" "Bagaimana lo-koko tahu ?"
"Aku berjumpa Ang Nio Cu, dia yang memberi tahu."
"Oh lo koko, tempat apakah ini ?"
"Masih didaerah, tak boleh berjalan. Aku tak berani
membawamu keluar gunung."
Cu Jiang mencoba melakukan pernapasan. Memang
hawa-murni dalam tubuhnya lemah sekali. Tulang
belulangnya seperti copot dari persendian.
Tetapi dia tak mempedulikan lukanya. Dia tetap
mencurahkan pikiran pada sebuah soal besar.
"Lo-koko, rasanya tadi engkau menyebut nama Tio
Hong Hui, bukan ?"
"Ya, kurang sedikit saja aku remuk di tangannya.
Engkau ...."
"Apakah dia bukan Ratu-kembang Tio Hong Hui itu?"
"Benar."
"Isteri majikan Gedung Hitam ?" tanya Cu Jiang pula.
Kali ini giliran si pencuri tua yang gelagapan.
"Dia itu isteri pemilik Gedung Hitam ?" serunya terkejut.
"Ya." sahut Cu Jiang.
"Bukankah dia menikah dengan Tionggoan-tay-hiap
Cukat Giok?" tanya Ciok Yan Je pula.
"Memang benar ..." sahut Cu Jiang Ia merangkai dugaan
bahwa kemungkinan besar Cukat Giok atau kakek cacad di
dasar jurang itu, tentu dicelakai pemilik Gedung Hitam.
Mungkin gembong Gedung Hitam itu menyaru sebagai Bu
lim-seng-hud Sebun Ong.
Itulah sebabnya mengapa Sebun Ong gelagapan dan
menyangkal keras kalau dia telah membunuh Cukat Giok.
Dan Ki Ing itu tentulah puteri tunggal dari Cu Kat Giok.
Ya, benar. Bukankah sau pohcu atau putera dari pemilik
Gedung Hitam pernah mencoba hendak mencemarkan
kehormatan Ki Ing di biara tempo hari! Sau pohcu itu
mengatakan bahwa Ki Ing bukan saudaranya sungguh!
Tetapi nyonya Gedung Hitam atau Tio Hong Hui tetap
memberitahu kepada Ki Ing. bahwa ayah Ki Ing itu adalah
tokoh pemilik Gedung Hitam. Hm, jelas wanita itu
berbohong .... "Adik kecil, engkau lengah melamun apa?" tiba2 Ciok
Yau Je menegur.
"Aku memang justeru hendak mencari Tio Hong Hui!"
"Mengapa?"
Cu Jiang segera menuturkan pengalamannya bertemu
dengan Cukat Giok di dasar jurang.
"Bermula engkau mengira ketua Hoa-gwat-bun Tiam Su
Nio itu sebagai Tio Hong Hui, bukan?" tiba-2 Ciok Yau Je
bertanya. "Ya, karena itu maka timbul beberapa peristiwa !"
"Adik kecil, engkau harus beristirahat dulu agar cepat
sembuh." "Baik."
"Kubantu engkau . . ."
"Tak usah, cukup lo koko menjaga keamanan saja."
"Apa engkau masih dapat melakukan pernapasan
sendiri?" "Bisa."
"Baik, silakan mulai."
Cu Jiang segera rebah, pejamkan mata dan mulai
menyalurkan ilmu Sim hwat untuk menyembuhkan
lukanya. Beberapa waktu kemudian setelah bangun Cu Jiang
rasakan tubuhnya panas. Ternyata saat itu matahari sudah
di tengah angkasa. Ketika dia menggeliat bangun, barulah
dia tahu kalau saat itu dia sedang berada di sebuah puncak
gunung. Ciok Yiu Je tertawa mengikik, serunya:
"Adik kecil, apakah engkau sudah sembuh?"
"Lo koko, budi pertolonganmu, entah bagai mana aku
harus menghaturkan terima kasih."
"Ah, tak perlu."
"Lo koko. apa engkau pernah mendengar nama Sam Bok
thiancun?"
Ciok Yau Je kerutkan alis, terkejut.
"Mengapa tiba2 engkau menyebut nama itu?"
"Aku telah membunuhnya "
"Apa" Engkau ... engkau membunuh Sam Bok
thiancun?"
"Ya."
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dimana ?"
"Ditempat aku menderita luka itu."
"Ah, karena mencurahkan pikiran untuk menolong
engkau, aku sampai tak memperhatikan hal itu. Sudah
berpuluh tahun Sam Bok thian-cun muncul di dunia
persilatan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seratus
tahun. Dia seorang tokoh yang kejam dan buas tetapi ilmu
kepandaiannya tinggi sekali. Kabarnya dulu dia sudah mati
dibunuh orang-orang jago dari aliran putih tetapi ternyata
sampai sekarang masih hidup. Apakah yang melukai Ang
Nio Cu juga dia ?"
"Ya. pemilik Gedung Hitam itu adalah murid
pewarisnya!"
"Hei." teriak Ciok Yau Je, "jika benar begitu, engkau
telah berhasil menyingkap sebuah rahasia besar yang
selama ini tak diketahui dunia persilatan ..."
"Lo koko, aku hendak pergi ke lembah Ki lin-koh lagi !"
"Mau apa ?"
"Mencari Tio Hong Hui dan menyelesaikan urusan
Tionggoan- thayhiap."
"Baik, aku akan menemanimu."
"Berapa jauhnya dari sini ?"
"Lebih kurang setengah jam."
Keduanya segera lari menuruni gunung. Karena kain
kerudungnya hilang maka saat itu Cu Jiang menampakkan
wajahnya yang aseli. Selama dalam perjalanan dia tetap
memikirkan tentang diri gadis Ki Ing yang ternyata begitu
kemati-matian mencintainya. Kini setelah dapat menemukan bagai mana asal usul nona itu maka
pandangannya terhadap nona itupun berobah.
Tetapi justeru karena hal itu maka diapun kehilangan
faham. Asmara, benar2 merupakan sesuatu yang menggelisahkan hati manusia. Ksatrya yang gagah dan
berani dapat menabas putus leher musuh, membunuh
semua lawan. Tetapi berapakah jumlah ksatrya gagah yang
mampu memutuskan libatan asmara, mampu membunuh
asmara hatinya"
Jika ia nanti akan menyingkap asal usul diri nona itu,
lalu bagaimana reaksi Ki Ing" Bagaimana reaksi nona itu
apabila tahu bahwa ayahnya telah memberi tugas
kepadanya (Cu Jiang) untuk membunuh ibu nona itu"
Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah tiba
di mulut gua. Rupanya Cu Jiang sudah tak sabar lagi. Ia
terus menerjang masuk seraya berteriak:
"Lo koko, mari kita masuk!"
"Baik, tetapi harus hati-hati!"
Tiba ditempat Cu Jiang melakukan pertempuran
kemarin, ternyata mayat manusia aneh dan Sam Bok
thiancun sudah tak kelihatan lagi. Hanya ceceran darah dan
dua gunduk makam baru.
Cu Jiang menjemput kain kerudung tetapi kedok sudah
tak dapat dipakai lagi.
"Lo koko. kedoknya sudah rusak."
"Lempar saja, aku masih punya."
"Kurasa tak perlu lagi. Wajahku sudah terbuka dan
musuhpun sudah kelihatan."
"Baik, kalau mau pakai, bilang. Lalu bagaimana kita
sekarang?"
"Masuk kedalam lembah."
"Ayo!"
Dangau gunakan ilmu meringankan tubuh keduanya
berlincahan melintasi gunduk2 batu dan tiba didasar
lembah. Tetapi yang ada hanya puing2 batu. Tio Hong Hui
tentu sudah menghancurkan markasnya.
Cu Jiang kecewa. Untuk mencari Tio Hong Hui bukan
hal yang gampang.
"Menghancurkan markas dan mengubur kedua orang itu
tentu makan waktu setengah malam. Dengan begitu Tio
Hong Hui dan puterinya tentu belum lama meninggalkan
lembah ini. Mereka tentu menuju ke Gedung Hitam. Jika
kita kejar, kemungkinan dapat menyusul mereka," kata
Ciok Yau Je. Cu Jiang mengiakan. Keduanya segera meninggalkan
lembah itu. Setelah keluar dari daerah gunung, Cu Jiang
mengusulkan supaya mereka berpencar.
"Kita nanti bertemu di kuil tua diluar kota Keng-ciu itu, "
katanya. Ciok Yau Je setuju. Selama menempuh perjalanan Cu
Jiang tak mau mengenakan kerudung muka. Kecuali
beberapa pentolan Gedung Hitam, anak buah mereka
jarang yang kenal akan wajahnya.
Dua hari dua malam terus menempuh perjalanan tetapi
dia tak melihat jejak wanita itu. Cu Jiang makin penasaran.
Kecuali tidak mengambil jalan yang sama, tentulah wanita
itu akan tersusul.
Hari kedua diwaktu petang, Cu Jiang tiba di sebuah kota
kecil Bian yang. Dia memutuskan untuk bermalam. Setelah
masuk kedalam kota dia memilih rumah penginapan Lu-an.
Dia minta kamar di loteng agar dapat melihat setiap pejalan
yang lalu di jalan situ.
Tiba2 ia melihat sebuah tandu bercat biru yang keluar
dari pintu rumah penginapan. Cu Jiang terkejut dan buru2
turun loteng, mencari jongos:
"Siapakah yang naik tandu itu?"
"Seorang wanita dengan anak perempuannya. Anaknya
cantik sekali dan mamanya . . ."
"Uang kamarku!" cepat Cu Jiang susupkan sekeping
perak ke tangan jongos, lalu melangkah keluar.
Jongos terkejut dan lari menyusul: " Tuan, terlalu banyak
ini!" "Kelebihannya, buat engkau!" tanpa berpaling Cu Jiang
lanjutkan langkah. Tiba2 disebuah jalan dilihatnya tandu
itu berjalan pelahan-lahan.
Di jalan besar tak leluasa untuk turun tangan maka
diapun terus mengikuti dari kejauhan.
Lebih kurang satu Ii jauhnya, pejalan mulai berkurang
tetapi pada Saat itu Cu Jiangpun melihat bahwa disebelah
muka tampak seorang tua berjubah hitam yang berjalan
mengikuti di belakang tandu.
Cu Jiang segera cepatkan langkah dan ketika hampir
dekat, orang tua jubah hitam itu tiba2 berpaling. Melihat
wajah orang tua itu makin yakinlah Cu Jiang bahwa yang
berada dalam tandu itu tentu Tio Hong Hui dan Ki Ing.
Orang tua jubah hitam itu tak lain adalah Ki Gui Kah,
kepala busu dari Gedung Hitam. Jelas dia sedang mengawal
keamanan nyonya majikannya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan Ki Gui Kah, Cu
Jiang lambatkan langkah lagi dan terpisah agak jauh. Jika
turun tangan ia harus membasmi Ki Gui Kah dulu.
Tak berapa lama tandupun tiba diluar kota yang sepi.
Orang di jalanpun jarang2. Cu Jiang anggap sudah
waktunya untuk bergerak. Lebih dulu ia mengenakan kain
cadar menutup mukanya lalu menyelinap kedalam hutan.
Setelah berputar-putar mengitari jalan, dia terus loncat
keluar menghadang Ki Gui Kah:
"Berhenti!" bentaknya.
Ki Gui Kah berhenti. Mengamati penghadang itu,
wajahnya berobah seketika.
"Apakah engkau Toan-kiam-jan-jin ?" serunya.
"Benar."
"Mau apa?"
"Minta nyawamu!"
Ki Gui Kah menggigil lalu menyurut mundur tiga
langkah dan mencabut pedang.
Cu Jiangpun mencabut pedang dan menggembor:
"Hai..."
Tetapi pada saat itu juga. Ki Gui Kapun taburkan
pedangnya sehingga Cu Jiang gelagapan dan terpaksa
memutar pedangnya. Dan tepat pada saat Cu Jiang sibuk
menangkis, Ki Gui Kapun terus loncat menyusup kedalam
hutan. "Hai, mau lari kemana engkau!" Cu Jiang cepat mengejar
tetapi Ki Gui Kah sudah lenyap bayangannya.
"Hm, menurut peraturan Gedung Hitam, bukankah
tokoh yang mempunyai kedudukan akan mendapat
hukuman berat apabila takut berhadapan dengan musuh."
pikirnya. Tetapi serentak ia terbeliak karena teringat akan
tujuannya. Apabila Tio Hong Hui sampai lolos, bukankah
akan sia2 saja jerih payahnya itu"
Cepat ia menerobos keluar dari hutan dan dilihatnya
tandu itu masih benda pada jarak berpuluh tombak. Segera
mengejar dan menghadang:
"Jangan bergerak!" bentaknya.
Keempat lelaki yang memikul tandu serentak meletakkan
tandu dan terus lari ketakutan. Cu Jiang tak menghiraukan
mereka. Menghampiri ke muka pintu tandu dia memberi
perintah supaya penumpangnya keluar.
"Siapa?" terdengar lengking suara seorang wanita.
Dan sesaat kain tenda tersingkap maka sesosok tubuh
gemuk segera melesat keluar. Cu Jiang terlongong-longong
tak dapat berkata apa2. Sementara menyusul lagi sesosok
tubuh yang langsingpun keluar dari tandu itu.
Kali ini Cu Jiang benar2 seperti terbang semangatnya
sehingga dia mundur tiga langkah matanya dipentang lebar
dan tubuh gemetar. Sampai lama baru dia dapat membuka
mulut : "Toanio, kiongcu, kalian..."
Yang muncul dari tandu itu bukan Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi si wanita gemuk dan puteri raja Tayli.
Bahwa wanita gemuk itu kembali ke Tionggoan itu
masih dapat dimengerti tetapi bahwasanya kiongcu dari
Tayli itu juga ikut, Cu Jiang benar2 seperti bermimpi.
Puteri itupun terkejut memandang Cu Jiang, serunya
dengan nada gemetar:
"Apakah engkau Cu sausu?"
"Benar."
Dengan wajah sedih, wanita gemuk itu bertanya rawan:
"Nak. engkau tahu aku ini siapa?"
"Bibiku."
"Oh, engkau sudah tahu."
"Toa-suheng Ho Bun Cai yang memberitahukan hal itu
kepadaku."
"Apakah dia masih menjabat congkoan di Gedung
Hitam?" "Dia telah tertimpa kemalangan."
"Apa katamu?" wanita gemuk membelalak.
"Toa-suheng sudah . . ."
"Hai, mengapa terjadi begitu?"
"Pada saat menutup mata, toa-suheng mengatakan kalau
dia dicelakai Bulim-seng-hud Sebun Ong!"
"O, Tuhan!" wanita gemuk mengeluh. Air matanya
bercucuran deras.
Puteri tak mengerti apa pembicaraan mereka. Dia hanya
melihat saja kedua orang itu.
Beberapa pejalan yang lalu di tempat itu terpaksa
mengitari jalan karena tengah-2 jalan dipenuhi oleh tandu.
"Bibi, di sini kita mengganggu jalan, lebih baik kita
bicara di dalam hutan," bilik Cu Jiang.
Wanita gemuk mengangguk. Setelah mengambil barang
bekal dari dalam tandu, ia memimpin tangan kongcu
berjalan ke arah hutan. Cu Jiang mengikuti dari belakang.
Mereka memilih beristirahat di sebuah tempat yang bersih
dalam hutan itu. Puteri kerutkan dahi dan berkata:
"Sausu, kitakan orang sendiri. Buka saja kerudung
mukamu." Cu Jiang mengangguk dan terus melepaskan kain cadar
yang menutup mukanya.
"Hai ....!" tiba2 puteri menjerit kaget.
Cu Jiang tahu apa yang dikejutkan puteri. Sambil
tersenyum ia memberi keterangan:
"Karena beruntung bertemu dengan tabib sakti, wajahku
dapat dipulihkan seperti semula."
"Apakah wajah yang sudah rusak dapat di pulihkan
kembali?" puteri setengah tak percaya.
"Dapat, " sahut Cu Jiang, "tetapi itu tergantung dari
rejeki luar biasa."
"Ih, ternyata di dunia terdapat ilmu pengobatan yang
dapat merobah ketentuan alam ..."
"Tetapi dewasa ini, di dunia kiranya hanya ada seorang
saja yang mempunyai ilmu kepandaian seperti itu. "
"Siapa namanya?"
"Kui-jiu Sin-jin."
"Enak benar kedengarannya nama itu tetapi aku asing
sama sekali dengan tokoh2 Tionggoan .... sausu, engkau
benar2 seorang pria yang tampan !" seru puteri.
Walaupun puteri raja tetapi kerajaan Tayli terletak
didaerah selatan yang terpencil. Kebudayaan dan alam
kehidupan di kerajaan itu masih serba bersahaja sehingga
perangai puteri Itupun lugu, Apa yang dikandung dalam
hati terus di utarakan di mulut.
Cu Jiang tersipu-sipu merah mukanya.
"Nak, coba engkau ceritakan bagaimana toa suhengmu
sampai dicelakai orang ?" si nyonya gemuk berseru dengan
nada rawan. "Dibunuh Bu-lim-seng-hud Sebun Ong."
"Mengapa Sebun Ong membunuhnya " Bukankah
diantara mereka berdua tiada dendam permusuhan suatu
apa ?" "Juga terhadap tit ji, diapun berulang kali hendak
mencelakai," kata Cu Jiang.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tit-Ji berarti anak keponakan, digunakan Cu Jiang untuk
menyebut dirinya kepada khuma atau bibinya.
"Kenapa ?"
"Entah, hanya dia yang tahu."
"Ah, tak nyana pertemuanku dengan toa-suhengmu di
kota pegunungan itu merupakan yang terakhir kali," nyonya
gemuk atau Poan toanio menghela napas.
Hidung Cu Jiang mengembang air. Dengan mengertak
gigi dia bergumam:
"Sebun Ong harus membayar hasil perbuatannya !"
"Bagaimana dengan semua musuh2 keluargamu ?" tanya
Poan toanio. "Ya, memang tit-ji justeru hendak minta petunjuk bibi.
Sesungguhnya permusuhan apakah yang telah terjalin
antara ayah dengan ketua Gedung Hitam itu ?" Cu Jiang
balas bertanya.
"Pada hakekatnya perkataan pada dalih "pohon tinggi
tentu menderita angin besar, nama besar tentu terancam
bahaya . .."
"Tetapi bukankah ayah sudah menyingkir mengasingkan
diri ?" "Ya. memang dia sepertinya hendak menyingkiri
permusuhan."
"Lalu mengapa sampai terjadi permusuhan itu."
"Lawan telah mengeluarkan Si-pay (Amanat maut),
dalam pertempuran, ayahmu telah menghancurkan dua
belas jago2 ko-Jiu musuh dan melukai ketua Gedung
Hitam. Setelah Itu musuh lalu mengundang Sam Bok
thiancun."
"Hm, Sam Bok thiancun ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. Apa engkau pernah mendengar nama orang itu?"
"Harap bibi suka melanjutkan lagi."
"Ayahmu bukan tandingan Sam Bok thiancun. Dalam
pertempuran sengit hampir saja ayahmu tak dapat
meloloskan diri. Sejak itu dia merasa malu karena
mengecewakan harapan kaum persilatan yang telah
menyebutnya dengan gelar Kiam-seng (Dewa pedang). Dan
menjaga kemungkinan musuh akan melakukan pembunuhan habis-habisan maka ayahmu lalu berusaha
untuk menyembunyikan diri atau menyingkir dari kejaran
musuh !" "Tetapi musuh tatap tak mau melepaskannya?"
"Dendam itu harus dibalas !" seru Poan toa-nio.
"Apakah bibi tahu akan riwayat ketua Gedung Hitam ?"
"Tidak tahu. Dia adalah benggolan durjana pada masa
itu. Sekalipun menyelundup menjadi congkoan di Gedung
Hitam sampai bertahun-tahun, tetapi toa-suhengmu tetap
tak pernah dapat melihat wajahnya yang aseli dan asal usul
dirinya. Toa-suhengmu tak percaya kalau orang mampu
merahasiakan diri selama-lamanya. Pada suatu hari dia
pasti dapat mengetahuinya!"
"Yang jelas, iblis itu adalah anak murid pewaris dari Sam
Bok thiancun!" kata Cu Jiang.
"Bagaimana engkau tahu ?" Poan toanio kaget.
"Tit-ji telah dapat membinasakan Sam Bok thiancun."
seru Cu Jiang dengan geram. Poan toanio menggigil.
"Apa " Engkau dapat membunuh Sam Bok thiancun ?"
"Ya."
"Dimana ?"
"Di lembah Ki-lin-koh yang terletak dibelakang gunung
Kiu-kiong-san."
"Ah, nak. ini benar2 kejutan besar. Dengan kepandaianmu itu, dapatlah kiranya engkau menghibur
para arwah yang telah menjadi korban keganasan momok
itu." "Tit-ji sudah terlanjur bersumpah untuk mencuci Gedung
Hitam dengan darah."
"Mencuci dangau darah ?" tiba2 puteri terkejut,
"mengapa harus begitu " Apakah kecuali balas dendam
berdarah, di dunia persilatan itu tiada lain urusan lagi ?"
Baginda Toa Hong-ya dari negeri Tayli menganut agama
Buddha. menjunjung welas asih. Dia paling benci dengan
pertumpahan darah. Puteripun sedikit banyak lelah
mewarisi perangai ayahandanya.
"Apakah kiongcu tahu akan penderitaan hidupku?" Cu
Jiang tertawa hambar.
"Ya. toanio yang menceritakan."
"Kiongcu, bagaimana pendirian kiongcu?"
"Ah, tak perlu membicarakan soal itu. Engkau menyebut
aku dengan sebutan kiongcu dan akupun memanggilmu
Sausu atau ciangkun. Rasa2nya janggal. Bagaimana kalau
kita berganti dengan lain sebutan saja?"
"Sebutan apa?"
"Sesuai dengan adat istiadat Tionggoan, bagaimana
kalau engkau panggil aku nona Toan dan aku menyebutmu
Cu toako" "
Cu Jiang gelengkan kepala.
"Tidak! Tata-susila tak boleh dihilangkan."
Puteri tundukkan kepala dan berkata sendu:
"Apakah engkau masih membenci perbuatanku ketika
pertama kali aku melihat wajahmu?"
"Tidak," Cu Jiang gopoh menjawab, "sama sekali aku tak
mengandung pikiran semacam itu. Memang wajahku waktu
itu, aku sendiripun juga ngeri melihatnya."
"Kalau begitu engkau anggap wajahku tentu buruk?"
desak puteri. "Kiongcu secantik bidadari menjelma di dunia,
bagaimana aku berani menghina?"
OdwO Puteri mengangkat muka dan menatap Cu Jiang dengan
pandang mendesak. Cu Jiang tergetar hatinya. Dia tak asing
dengan sinar mata begitu dari seorang gadis Ho Kiong Hwa
dan Ki Ing juga pernah menatapnya dengan pandang mata
begitu, hati puteri telah terpancar keluar melalui sinar
matanya. Tetapi dia sudah beristeri, disamping diapun hanya
seorang busu, sedang gadis itu seorang puteri raja, apakah
dia layak menjadi pasangannya"
"Jika tidak begitu engkau tentu memandang diriku ini
seorang gadis dari daerah liar," seru puteri pula dengan
nada rawan. "Ah, kiongcu makin lama makin jauh," Cu Jiang
tergopoh-gopoh.
Poan toanio tersenyum.
"Apakah salahnya untuk berganti dengan lain sebutan
saja?" Cu Jiang merah mukanya.
"Bibi, engkau tak tahu . . ."
"Nak, kutahu Kiongcu suka kepadamu, seharusnya
engkau berbahagia!"
"Bibi, aku . . ."
"Baiklah, hari masih panjang, kelak kita bicara lagi."
Cu Jiang terpaksa menurut dengan beralih pada lain
pembicaraan. Dia bertanya bagaimana bibinya bersama
puteri dapat tiba di Tiong goan.
Wajah Poan toanio kembali gelap.
"Waktu aku berada di istana, aku telah menerima berita
dari toa-suhengmu yang mengatakan bahwa Gok jin-ji itu
tak lain adalah engkau sendiri. Hari pembalasan sudah di
ambang pintu. Maka akupun membulatkan tekad kembali
ke Tionggoan. Kiongcu ingin sekali menikmati alam
pemandangan Tiong goan yang permai dan memaksa ikut .
. ." "Oh, dewasa ini suasana dunia persilatan sedang
terancam bahaya, keselamatan jiwa kiongcu ..."
"Asal tidak menunjukkan diri tentu tiada halangan
apa2." sahut Poan toanio.
"Perkumpulan Thong thian-kau dan Gedung Hitam
sama2 mengincar jiwaku. Apabila mereka tahu kalau bibi
dan kiongcu mempunyai hubungan dengan aku. akibatnya
tentu runyam sekali . . ."
"Oleh karena itu di depan umum, hendaknya kita jangan
menonjolkan hubungan itu. Di samping itu masih ada
empat orang ko jiu istana Tayli yang mengawal
keselamatan kiongcu . . ."
"Apakah bibi sudah bertemu dengan Ki Siau Hong dan
kawan-kawannya?"
"Hm."
"Bibi tahu juga nasib yang diderita Ong Kian?"
"Ya, tahu. Berita itu sudah disampaikan ke Tayli. "
"Tit-ji sungguh merasa tak enak hati."
"Bukan salahmu. Sekali orang berani turun ke
gelanggang dunia persilatan, tentu tak dapat menghindari
hal2 yang buruk."
"Apa petunjuk dari suhu?"
"Hanya sepatah. Jangan mengecewakan harapan
baginda." "Baik," sahut Cu Jiang tegas.
"Nak, kalau panggil aku tetap saja dengan sebutan
"toanio". Aku suka dengan sebutan itu."
Cu Jiang mengiakan.
"Kita tak boleh terlalu lama disini, Kemanakah engkau
hendak pergi ?" tanya Poan toanio.
"Tit-ji hendak ke Keng-ciu."
"Setelah itu?"
"Ke Gedung Hitam!"
"Benar! Kok-su masih mengirim sebuah pesan .... "
"Bagaimana?"
"Apabila tugas berat itu sudah engkau selesaikan, apabila
engkau tak mau kembali ke Tayli, engkau boleh tinggal di
Tionggoan."
Sejenak Cu Jiang merenung dan kemudian mengatakan
bahwa soal itu kelak akan ia pertimbangkan lagi.
"Sausu sudah memutuskan untuk tidak kembali ke
Tayli!" tiba2 puteri menyeletuk.
Cu Jiang terbeliak.
"Bagaimana kiongcu dapat mengatakan demikian?"
Puteri tertawa rawan, sahutnya:
"Tanyalah pada hatimu sendiri."
Cu Jiang dapat menyelami kata2 puteri itu. Jelas puteri
itu menuduh bahwa dia takkan mau menerima cinta puteri,
Cu Jiang tak mau menjawab. Ia berpaling kepada bibinya.
"Pemikul tandu toanio sudah melarikan diri, lalu
bagaimana?"
"Nanti akan ku usahakan lagi. Eh, benar, siapakah orang
tua yang mengikuti di belakang tandu tadi ?"
"Kepala pasukan pengawal dalam dari Gedung Hitam
yang bernama Ki Gui Kah."
"Bagaimana engkau menyelesaikannya?"
"Sayang dia dapat lolos."
Sejenak merenung Poan toanio berkata:
"Rasanya akan terjadi sesuatu yang tak terduga lagi.
Karena curiga dia lalu mengikuti tandu, kemudian engkau
hajar tetapi dia dapat lolos. Dia tentu penasaran. Dan
paling tidak jejak kita tentu sudah diketahuinya ..."
"Mungkin tidak begitu mencemaskan karena dia tak tahu
penyamaranku."
"Bagaimana engkau dapat mengejar tandu yang kami
naiki ?" "Karena tit-ji menyangka bahwa yang berada dalam
tandu ini, orang yang hendak kucari."
"Siapa orang itu ?"
"Ratu-kembang Tio Hong Hui dan anaknya."
"Ah..."
Tiba2 kesiur angin yang lembut bertiup. Poan toanio dan
puteri tak merasakan apa2 tetapi telinga Cu liang yang
tajam cepat dapat menangkap kesiur angin itu dan dapat
pula mengetahui bahwa ada serombongan orang yang
tengah mendatangi. Serentak ia bangun berdiri.
"Toanio, ada orang datang. Lekas ajak kiong cu menuju
kearah barat hutan ini. Dan yang datang bukan hanya
seorang !"
Poan toanio mengangguk-angguk.
"Nak, hati2 menghadapi mereka. Selanjutnya kalau
mengadakan hubungan, kita gunakan sandi rahasia."
"Baik."
"Kiongcu, mari kita berangkat," kata nyonya gemuk itu.
Namun sejenak puteri menatap Cu Jiang. Bibirnya gemetar
hendak mengucap sesuatu tetapi tak jadi. Dia terus
mengikuti wanita gemuk itu melintasi hutan.
Cu Jiang mengantar kedua wanita itu dengan pandang
penuh arti. Yang seorang, putri raja dari sebuah kerajaan di
pedalaman selatan. Yang seorang, adalah bibinya, satusatunya keluarga yang masih hidup dalam dunia.
Cu Jiang dapat menangkap apa arti sinar mata puteri
yang bersinar-sinar memancarkan luapan kasih hati
kepadanya. Sementara itu suara dari kejauhan itu makin terdengar
jelas, menyusup disela-sela dan Cu Jiang cepat mengenakan
kain kerudung mukanya lagi dan duduk bersandar pada
sebatang pohon. Kedua matanya setengah dipejamkan.
Pada lain kejab terdengar suara kata2 orang: "Ui tongcu,
apakah engkau anggap lawan akan terperangkap siasat
kita?" "Tentu," sahut yang ditanya, "saat ini pengaruh Thianthong-kau sedang berkembang sedangkan gerombolan Sippat-thian-mo itu sama sekali tak memandang mata pada
orang persilatan ...
"Kalau siasat ini tak termakan mereka dan lawan dapat
menguasai Oh-yang, kita siapkan siasat lagi di Hun yang.
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pihak kita pasti akan keluar sebagai yang utuh
sendiri... ."
"Li hu-hwat, bagaimana dengan tempat ini ya, disini kita
mulai mempersiapkan."
Mendengar pembicaraan itu tahulah Cu Jiang bahwa
mereka anak buah Gedung Hitam tetapi tujuannya bukan
mengejar dia melainkan hendak mengatur siasat untuk
menghadapi Thian-thong-kau.
Rombongan pendatang itu berhenti pada jarak puluhan
tombak dari tempat Cu Jiang. Beberapa saat kemudian
terdengar kesiur angin menggetar daun2 pohon.
Diam2 Cu Jiang menimang. Kalau tujuan anak buah
Gedung Hitam itu hendak mengarah tokoh gerombolan
Sip-pat-thian-mo, sungguh suatu kesempatan bagus sekali
baginya. Ia memutuskan, untuk sementara takkan
menampakkan diri dulu.
Ia berbangkit lalu mencari tempat bersembunyi yang
lebih rapat. Dari celah2 daun yang menutup tempatnya, ia
dapat mengintai gerak-gerik mereka.
Ia terkejut ketika melihat dua lelaki tua baju hitam dan
serupa orang Pengawal Hitam tengah menggantung empat
sosok mayat pada batang pohon.
Kemudian mereka menggali liang disekeliling pohon itu.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, keempat Pengawal
Hitam itu meninggalkan tempat itu tetapi kedua lelaki tua
baju hitam masih berada disitu.
"Siap!"
"Lepaskan pertandaan rahasia !"
"Jangan, tunggu sebentar lagi. Biar kaum Iblis itu mulai
curiga dulu baru lepaskan pertandaan rahasia untuk
menjebak mereka!"
"Kalau ketiga iblis itu tidak semua muncul ?"
"Muncul satu, bunuh satu !"
Mendengar ucapan kawannya, lelaki tua baja hitam itu
tertegun, kemudian berkata:
"Menurut keterangan dari korban tadi, Jika melepaskan
panah-api panca-warna, menandakan kalau ada peristiwa
besar. Entah apakah keterangannya dapat dipercaya."
"Tentunya dapat dipercaya."
"Menurut kata Ki thongleng, Toan-kiam Jan-jin sudah
muncul disekitar tempat ini, Entah mau apa dia ?"
"Hal itu mudah saja ditebak. Kalau bukan mencari
sasaran kepada Gedung Hitam kita, tentulah perkumpulan
Thong-thian-kau.."
"Hm, sungguh sombong sekali manusia itu berani
menentang dua kekuatan besar yang merajai dunia
persilatan dewasa ini !"
"Tetapi memang ilmu pedangnya luar biasa sekali. Ki
thongleng mengaku bukan tandingannya."
"Bagaimana kalau ketua kita."
"Ah, Jangan membicarakan soal itu lagi!"
"O, ya, ya."
"Segera saja mulai bekerja !"
"Baik," kata salah seorang tua itu lalu mengeluarkan
sebuah benda dari kantong baju dan menyulut korek.
Sepercik sinar bintang melayang ke udara dan pletak, benda
itu meledak menghamburkan bunga api warna warni.
Melihat itu Cu Jiang tahu apa yang terjadi. Anak buah
Gedung Hitam berhasil menangkap anak murid Thong
thian-kau, setelah dikorek keterangannya lalu dibunuh.
Kemudian ditempat itu mereka memasang perangkap
dengan melepaskan panah api sebagai umpan.
Setelah melepas panah-api panca warna, kedua lelaki tua
itupun cepat2 meninggalkan tempat itu. Tetapi baru dua
puluh tombak jauhnya, pandang mata mereka nanar ketika
melihat seorang yang wajahnya bertutup kain hitam, tegak
menghadang ditengah jalan.
Keduanya berhenti dan salah seorang memekik keras.
"Toan-kiam Jan-jin!" Wajah kedua lelaki tua itu tampak
ketakutan sekali.
"Ingin kubertanya beberapa patah kata kepada kalian,"
seru Cu Jiang yang saat itu dalam perwujudan sebagai
Toan-kiam-Jan-jin lagi.
"Soal apa ?" seru salah seorang dengan gemetar.
"Untuk menghadapi pihak manakah rencana yang kalian
siapkan dalam hutan itu," tanya Cu Jiang.
"Perlu apa engkau tanyakan hal itu?"
"Jangan bertanya apa2, cukup engkau memberi jawaban
saja !" Kedua lelaki tua itu saling bertukar pandang, kemudian
tertawa mengekeh.
"Mungkin engkau tentu gembira sekali mendengarkannya. Rencana itu kami tujukan kepada iblis
nomor sebelas, dua belas dan lima belas dari gerombolan
Sip-pat thian mo!"
"Hm, Bagus, aku memang girang sekali, tetapi .. ."
"Bagaimana ?"
"Kalian juga harus serahkan jiwa!"
Kedua lelaki tua itu pucat dan menyurut mundur
beberapa langkah. Tangannya meraba pedang.
Cu Jiang tak mau membuang waktu.
"Bersiaplah menjaga diri!" serunya seraya menerjang.
Mencabut pedang dan menyerang maju, hampir dilakukan
dengan serempak dalam gerak yang luar biasa cepatnya.
"Huak, huak" kedua lelaki tua itupun rubuh. Cu
Jiangpun bersembunyi lagi di tempat tadi. Lebih kurang
menunggu sampai sepeminum teh lamanya, tiba2 muncul
beberapa lelaki dalam pakaian kuning emas. Mereka
terkejut melihat tubuh yang tergantung diatas pohon.
"Berhenti !" teriak salah seorang yang menjadi pimpinan
rombongan, "tunggu dulu perintah dari ketiga Huhwat
kita!" Tak berapa lama, muncul tiga sosok tubuh yang tinggi
besar. Sedikitpun gerak mereka tak bersuara.
Cu Jiang tegang. Jelas ketiga orang itu tentu iblis nomor
sebelas, dua belas dan lima belas dari Sip pat-thian-mo.
"Kawanan kerucuk itu memang menjemukan sekali."
kata salah seorang dari ketiga pendatang itu, "Ong thaubak
!" Pimpinan rombongan baju emas tadi segera tampil
memberi hormat: "Murid siap mendengar perintah."
"Lepaskan mayat itu !"
Ong thaubak mengiakan lalu memberi perintah dan
empat orang baju emas segera naik keatas pohon. Mereka
masing2 menurunkan sesosok mayat.
"Potong saja talinya dengan pedang," perintah Ong
thaubak. "Baik!" seru keempat baju emas lalu mencabut pedang
dan membabat tali penggantung. Keempat mayat itu
meluncur jatuh.
Bum . .. Serempak pada saat mayat2 itu jatuh di tanah
terdengarlah letupan keras dan asap tebal segera bergulunggulung menyelimuti empat penjuru. Pohon tumbang,
tubuh2 manusia beterbangan.
Cu Jiang juga terpental beberapa meter dari tempat
persembunyiannya, Ia rasakan seperti terjadi gempa bumi
hebat. Setelah asap menipis, barulah dia tahu apa yang terjadi.
Sekeliling tempat itu penuh dengan darah dan kutungan2
anggauta badan. Mengerikan sekali. Daerah seluas lima
tombak keliling, hampir sudah binasa semua.
Baru Cu Jiang berdiri, tiba2 ia mendengar suara orang
menggembor. "Oo, engkau budak !"
Ia terkejut dan mengangkat muka. Ah, ternyata saat itu
dia sudah dikepung olah tiga manusia aneh yang bertubuh
tinggi besar. Ia terkejut dan heran mengapa ketiga iblis
durjana itu tak sampai mati dalam ledakan itu.
"Budak, bukankah engkau yang disebut Toan kiam-janjin itu?" salah seorang iblis bertanya.
"Benar !"
"Engkau berani menggunakan siasat licik itu?"
"Rasanya aku belum pernah melakukan pekerjaan selicik
itu!" "Kalau begitu .. ."
"Ingat saja hutang piutangmu dengan pihak Gedung
Hitam !" "Budak, Mengapa engkau memusuhi pihak kami ?"
"Anggap saja sebagai Jalan kearah kesejahteraan!"
"Untuk kesejahteraan " Ha. ha ha. ha . .. ." enam pasang
biji mata yang berapi-api mencurah kearah wajah Cu Jiang,
seolah hendak menelan hidup-hidupan.
Baru mendengar nama Sip-pat-thian-mo saja, orang
persilatan pasti sudah menggigil nyalinya. Apalagi kalau
bertemu dengan salah seorang anggautanya.
Tetapi berhadapan dengan ketiga iblis dari Sip-pat-thianmo itu, Cu Jiang tak gentar sama sekali. Dia memang
sedang mengemban tugas untuk membasmi kawanan Sippat-thian-mo yang ganas itu. Untuk menyelamatkan dunia
persilatan dan kepentingan negeri Tayli.
"Pedang tak bermata, harap kalian suka mempertimbangkan !" seru Cu Jiang.
Tetapi peringatan Cu Jiang itu hanya disambut dengan
gelak tawa oleh ketiga iblis.
"Mengapa kalian tertawa ?"
"Budak, apa yang engkau kehendaki supaya kami bertiga
mempertimbangkan?"
"Hancurkan kepandaian kalian sendiri dan lekas
tinggalkan dunia persilatan !"
Kembali ketiga iblis itu tertawa nyaring.
"Budak, apakah engkau tengah mengigau dalam
bermimpi ?" salah seorang iblis itu berseru.
"Aku mengatakan yang sejujurnya!"
"Tetapi justeru akulah yang hendak mencincang
tubuhmu." "Rupanya kalian memaksa aku harus turun tangan !"
"Akan kubeset kulitmu hidup-hidupan !" sahut ketiga
iblis itu. Tiba2 Cu Jiang mendapat pikiran. Untuk meringankan
bebannya, ia tak boleh memberi kesempatan sehingga
ketiga momok itu dapat bersatu untuk mengerubutinya.
Suhu dan baginda Toan Hong-ya memang menitahkan
supaya kawanan Sip-pat thian mo itu jangan dibasmi
semua. Tetapi terhadap kawanan durjana semacam mereka,
sukar untuk melaksanakan perintah itu.
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
Ketiga iblis itupun saling bertukar pandang lalu serempak
mengangkat tangan mereka ...
Tiba2 dengan kecepatan seperti kilat menyambar, Cu
Jiang menyerang kepada iblis yang berada disamping
kanan. Dia menggunakan tenaga penuh. Terdengar suara
orang tertahan, darah menyembur dan iblis itupun
terhuyung-huyung empat lima langkah, bluk. ia jatuh
terduduk. Serempak pada saat itu juga pukulan dahsyat dari kedua
iblis telah melanda Cu Jiang sehingga anak muda itu
terpental mundur sampai lima enam langkah.
Dengan menggembor seram, kedua iblis itu terus loncat
menerjang Cu Jiang seraya lepaskan empat buah pukulan
maut. Cu Jiangpun ayunkan pedang. Kiam-gi atau hawa
pedang menyongsong pukulan lawan, menimbulkan
benturan keras.
Cepat sekali kedua momok itu mengisar kaki berganti
langkah. Mereka menyerang dari kanan kiri. Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat
untuk menghindar, tetapi kepandaian kedua momok itu memang
bukan olah2 hebatnya.
Mereka dapat menguasai setiap gerakannya, menyerang
dan menarik pukulan, dilakukan dengan sempurna. Setelah
menilai posisi gerak putaran Cu Jiang, keduanya lalu
menyerang gencar.
Cu Jiang terpaksa memutar pedang untuk menyerang
iblis yang menyerangnya dari kanan.
"Huak . .. ." terdengar pula suara erang yang ngeri, iblis
itu rubuh tetapi punggung Cu Jiang termakan pukulan iblis
yang berada dikiri. Cu Jiang terseok-seok kebelakang
sampai beberapa langkah dan hampir rubuh.
Darahnya bergolak keras, pandang matanya gelap.
Tetapi ia masih memiliki kesadaran pikiran. Waktu
terhuyung-huyung dia menjurus ke sebelah samping.
Siut, siut, siut angin tajam yang berasal dari pancaran
jari, berhembus lewat disisinya. Kurang sedikit saja dia
tentu hancur tubuhnya. Angin tajam itu telah menyasar
pohon dan menimbulkan tiga buah lubang.
Karena kedua kawannya sudah mati. iblis Itu marah
sekali. Saat itu Cu Jiang sudah menyelinap ke belakangnya.
"Anda menduduki urutan yang ke berapa ?" Seru Cu
Jiang. Iblis itu berputar tubuh. Dia pancarkan lagi semburan
tenaga-jari yang sakti seraya menyahut: "Aku berada di
urutan nomor sebelas!"
"Apakah anda Kim ci-mo?" tanya Cu Jiang seraya
menghindar. Tetapi baru dia tegak, punggungnya telah
dilanda angin pukulan dahsyat.
"Uh .,..," ia sempoyongan hampir rubuh. Ternyata yang
menyerangnya itu adalah iblis yang terluka dan jatuh
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terduduk itu. Saat itu Cu Jiang terhuyung beberapa langkah
di mula iblis. Setelah berhenti dan berdiri tegak, ia menegur.
"Dan anda termasuk urutan yang ke berapa?"
"Kelima belas !"
"Hai, anda benar2 tak bernama kosong Hek sim-mo!"
seru Cu Jiang. "Budak, Jiwamu memang alot sekali!"
"Jika begitu, yang telah mendahului berangkat itu
tentulah iblis nomor dua belas Toan bing-mo ...." dalam
berkata-kata itu Cu Jiang sudah melesat kemuka Kim ci-mo
atau iblis Jari-emas. Ia mengangkat pedang kutung dan
berseru: "Sekarang giliran anda yang akan kuberangkatkan ke
akhirat!" "Jangan tekebur!" Kim-ci mo menggembor, mengendapkan tubuh, kedua tangan menjulur dan jarijarinya menebar.
Saat itu Cu Jiang baru menyadari bahwa ujung jari
lawan berwarna kuning emas, seperti menjepit jarum atau
paku emas. Tiga batang jarum itu telah mengenai batang
pohon dan pohonpun berlubang.
Apabila dirinya sampai terkena jari emas itu, uh, ngeri
juga membayangkan bagaimana akibatnya.
Barang siapa menyerang dulu, dia tentu memperoleh
posisi yang kuat, Ya, benar dan Cu Jiang-pun segera
kembangkan ilmu pedang Thian-te-kau-thay
dan menyerang dengan cepat.
Tring. tring....
Terdengar bunyi berdering-dering dan percikan sinar
emas berhamburan, Cu Jiang rasakan bahu kirinya nyeri
sekali sampai menusuk tulang. Dia tahu kalau terkena jariemas lawan. Dari rasa sakit, ia duga Jari-emas atau Kim-ci itu tentu
mengandung racun.
Huakkkkk. Terdengar pekik seram dan tubuh Kim-ci-mo terhuyunghuyung, bluk, dia jatuh terkapar berlumuran darah.
Cu Jiang cepat mengeluarkan mustika katak dan
disusupkan ke dalam mulutnya. Kemudian ia berpaling ke
arah Hek sim mo.
Iblis itu tengah merangkak bangun. Wajahnya seperti
binatang yang buas.
Mustika katak itu memang bukan olah2 sakti nya. Dalam
beberapa kejap saja bahu kirinya yang terluka itu sudah
lenyap sakitnya. Cu Jiang muntahkan mustika itu dan
disimpannya lagi.
"Budak, engkau pasti mati!" seru iblis Hek-sim mo atau
Hati-hitam sambil memandang Cu Jiang.
"Iblis tua, apakah engkau memastikan bagiku?"
"Engkau telah terkena racun dari Kim ci, walaupun
tenaga dalamnya sudah sempurna sekali, pun hanya
mampu bertahan untuk beberapa waktu saja. Jika tidak
menggunakan tenaga, memang tak apa2. Tetapi begitu
engkau bergerak mengeluarkan tenaga, racun itu akan
menyerang ulu hatimu !"
"Belum pasti begitu !"
"Aku bersedia menolongmu ..."
"Ha, haa, kalau anda mati dulu, tentu tak dapat melihat
aku mati, bukan ?"
Hek sim-mo mundur beberapa langkah. Wajahnya
berkerenyutan lalu berseru tegang:
"Walaupun aku dicari sebagai iblis berhati hitam,
sebenarnya tidak begitu ..."
"Bagaimana ?"
"Kalau engkau sekarang ingin hidup, aku dapat
membantumu tetapi..."
"Tetapi ada syaratnya, bukan ?"
"Tentu."
"Apa syaratnya ?"
"Hancurkan
kepandaianmu sendiri, nanti baru kuberitahu obat penawar."
Cu Jiang tertawa gelak2.
"Caramu itu terlalu kekanak-kanakan. Biarlah kulawan
racun dalam tubuhku itu dan akan kuantar anda ke akhirat
lebih dulu !"
"Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Kalau aku turun tangan anda tentu mati !"
"Tak apa, cobalah !"
Cu Jiang masukkan pedang kedalam sarung lalu berkata
dengan dingin: "Bagaimana kalau kugunakan pukulan
tangan saja ?"
Hek-sim-mo tertawa aneh, teriaknya: "Bagus kesombonganmu ini memang tak ada duanya dalam
dunia!" "Sebenarnya aku tak ingin membasmi habis-habisan.
Silakan anda menghancurkan ilmu kepandaian anda sendiri
dan kubebaskan dari kematian !" seru Cu Jiang.
"Engkau bermimpi?"
"O. anda benar2 ingin mati?"
Tiba2 Hek-sim-mo ayunkan kedua tangan menghantam.
Dia ingin memancing Cu Jiang supaya balas menghantam
dengan sepenuh tenaga agar racun Kim-ci segera
berkembang menyerang uluhatinya.
Cu Jiang memang menangkis dengan dorongkan kedua
tangan. Dia menggunakan tenaga penuh.
Bum..... Terdengar benturan keras dan seketika Hek-sim mo
muntah darah lalu jatuh terduduk lagi.
"Bagaimana ?" seru Cu Jiang.
Betapapun hitam hati Hek-sim-mo tetapi ia baru rontok
nyalinya ketika melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa.
Pada hal racun Kim-ci itu ganasnya bukan kepalang.
Orang yang kepandaiannya kurang, seketika tentu mati.
Dan yang kepandaiannya tinggi, hanya dapat bertahan
beberapa waktu saja.
"Toan-kiam-jan-jin engkau... tidak terkena racun itu ?"
serunya terbata-bata.
"Racun semacam Kim-ci masakah mampu berbuat apa2
terhadap diriku ?"
"Engkau..."
"Kejahatan anda sudah melewati takaran, matipun masih
enak!" Cu Jiang terus maju dan mengangkat tinju,
diarahkan ke kepala Hek-sim-mo.
Saat itu Hek-sim-mo sudah tak berdaya sama sekali. Dia
meraung lalu muntah darah. Pada saat tinju hendak
diayunkan tiba2 Cu Jiang menghentikannya.
"Budak, engkau bermaksud bagaimana?" teriak Hek-sim
mo. Saat itu tiba2 Cu Jiang teringat akan pesan suhunya agar
jangan mengobral pembunuhan. Pun baginda Toan Hongya juga melarang pertumpahan darah apabila tak terpaksa.
Cu Jiang berkata.
"Kali ini kuberi ampun jiwamu, Kuharap engkau
memberitahukan kepada kawan-kawanmu, setelah dapat
membubarkan Thong-thian-kau. lekaslah kalian tinggalkan
dunia persilatan . . ."
0odwo0 "Huh, siapa sudi menerima ampunmu ?"
"Apa yang telah kukatakan tentu kulaksanakan, engkau
akan tetap hidup tetapi ilmu kepandaianmu harus
dilenyapkan agar engkau jangan berbuat kejahatan lagi."
"Bunuhlah aku!" teriak Hek-sim-mo marah, "toh nanti
tentu ada orang yang akan membalaskan engkau budak . . ."
"Engkau tak dapat menuruti kehendakmu sendiri!" seru
Cu Jiang dan serentak dia pancarkan tenaga-sakti dari Jari.
Seketika Hek-sim-mo gemetar, meraung keras dan muntah
darah. Ilmu kepandaian dihancurkan, bagi seorang tokoh
persilatan ternama, jauh lebih tersiksa daripada dibunuh.
Terutama durjana2 seperti gerombolan sip-pat-thian-mo itu.
"Budak, bunuhlah aku saja !" Hek-sim-mo meraungraung pilu. Cu Jiang tertawa dingin: "Dengarkan, aku hendak titip
pesan supaya engkau sampaikan kepada kawan kawanmu.
Bahwa aku memang ditugaskan untuk membasmi
gerombolan Sip-pat-thian-mo!"
Hek-sim mo menggigil keras.
Sementara Cu Jiangpun terus ayunkan langkah keluar
dari hutan. Dia menghitung-hitung jumlah gerombolan Sippat-thian-mo yang telah diselesaikan. Hek sim-mo dan
Kiam-mo telah dihancurkan ilmu kepandaiannya. Longsim-mo, Kiau-thian-mo, Gong mo, Toa lat Sin-mo, Bu-mo
dan tadi di tambah pula dengan Kim-ci mo serta Toan lengmo, semua berjumlah tujuh iblis yang telah dibunuhnya.
Dengan demikian kedelapan belas iblis itu sekarang
sudah berkurang separuh. Suhunya pernah mengatakan
bahwa yang paling ditakutkan ialah apabila Lo Mo atau
iblis tertua diantara mereka, masih hidup.
Sip-pat-thian mo sudah begitu menggelisahkan dunia,
ketua mereka tentu lebih hebat lagi.
Kemudian ia beralih memikirkan diri putri Tayli yang
mengembara ke Tiong goan itu. Sungguh berbahaya sekali
tindakan puteri itu. Apalagi hanya ditemani oleh Poan
toanio, tentu setiap saat terancam bahaya.
Diam2 Cu Jiang cemas. Teringat betapa sikap dan nada
puteri itu kepadanya Cu Jiangpun makin gelisah. Dia
menyadari dirinya hanya seorang persilatan biasa, tentu tak
layak menjadi pasangan hidup puteri itu.
Juga tali pernikahannya dengan Ho Kiong Hwa sudah
menjadi kenyataan, sukar untuk diputuskan lagi.
Teringat akan Ho Kiong Hwa, ia membayangkan betapa
nasibnya yang malang. Gadis itu seorang yang baik, layak
mendapat curahan kasihan.
Saat itu dia sudah muncul dijalan besar. Sebenarnya dia
hendak mengejar Jejak Ratu-bunga Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi diluar dugaan dia bertemu dengan puteri
Tayli dan Poan toanio, kemudian dapat membasmi tiga
iblis sip pat-thian-mo.
Hari itu dia tiba di sebuah dusun yang tak jauh dari kota
Keng-ciu. Saat itu hari sudah petang tetapi dia ingin lekas2
berjumpa dengan Ang Nio Cu.
Maka setelah mengisi perut disebuah rumah-makan,
iapun meneruskan perjalanan lagi. Diperhitungkannya
bahwa menjelang tengah malam nanti dia tentu tiba
ditempat Ang Nio Cu. Entah bagaimana keadaannya,
apakah lukanya sudah sembuh.
Beberapa li jauhnya, tiba2 sesosok bayangan hitam lewat
disisinya dengan menggunakan ilmu lari yang cepat.
Walaupun malam gelap tetapi mata Cu Jiang yang tajam
dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Pengawal
Hitam. Terhadap musuh besar dari Gedung Hitam, dia tak
pernah mau memberi kelonggaran. Diikutinya Pengawal
Hitam itu. Beberapa waktu kemudian, orang itu membiluk
kesebuah jalan kecil dan lebih kurang satu li jauhnya
tampak sebuah pedesaan yang terdiri dari beberapa rumah
kaum pemburu. Pengawal Hitam itu lari menuju ke desa yang sunyi
senyap itu. Bahkan lampu2 pun sudah dipadamkan semua.
Rupanya kehidupan mereka miskin maka merekapun
sangat berhemat.
Setelah melompat pagar tembok yang pendek. Pengawal
Hitam itu terus masuk ke dalam sebuah rumah yang terdiri
dari tiga petak. Terdengar anjing menyalak tetapi sesaat
kemudian sudah sirap lagi.
Cu Jiang dengan hati2 mengikuti masuk. "Siapa?"
terdengar suara orang dari dalam rumah.
"Aku, yah, Sam Long"
"Mengapa tengah malam pulang ?"
"Ada urusan penting, lekas buka pintu."
"Ya, tunggu sebentar."
Penerangan dalam rumah dinyalakan dan terdengar
suara wanita bergumam lalu suara anak kecil terkejut
bangun. Pintu terbuka dan masuklah Pengawal Hitam itu. Yang
membuka pintu seorang lelaki setengah tua. Kemudian
muncul seorang wanita muda yang mengempo bayi.
Sambil mengucal-ucal mata, lelaki tua itu menegur:
"Sam Long, ada peristiwa apa?"
"Yah, ringkasilah barang2, kita pergi dari sini!" kata
Pengawal Hitam dengan gopoh.
"Ada kejadian apa sih ?" seru wanita muda itu agak
gemetar. Pengawal Hitam yang bernama Sam Long Itu belum ada
tiga puluh tahun umurnya. Cakap juga wajahnya.
"Kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini. Kalau mereka
tahu, tentu celaka kita !" kata Pengawal Hitam itu.
"Katakan apa yang terjadi!" lelaki tua itu berseru
gemetar. Pengawal Hitam itu membuka bajunya dan melongok
keluar dengan pandang cemas, lalu berkata:
"Yah, aku telah melarikan diri dari mereka."
"Mengapa " Apa yang terjadi ?"
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cong-koan kami yang lama Ho Bun Cai telah dibunuh,
ditanam ditepi sungai. Enam orang Pengawal Hitam yang
mempunyai hubungan rapat dengan Hu congkoan, sudah
ada lima orang yang dibunuh. Tinggal aku seorang maka
akupun nekat melarikan diri."
"Oh !" seru lelaki itu.
"Ai !" wanita muda itupun menjerit.
Sam Long melanjutkan lagi. "Tadi aku kebetulan
mendapatkan tugas meronda diluar. Ditengah jalan
kawanku yang bernama Tong Co Ju memberi tahu tentang
peristiwa itu maka . . . akupun segera melarikan diri."
"Nak, walaupun dunia ini lebar sekali, tetapi tak
mungkin kita dapat bersembunyi," kata lelaki tua itu.
"Tetapi kita tak dapat menunggu kematian tanpa berdaya
apa-apa. . ."
"Bawalah isterimu pergi sejauh mungkin. Biarlah aku
tetap menjaga warisan leluhur kita ditempat ini. Matipun
aku ingin berkubur disini!"
San Long bertekuk lutut dihadapan ayahnya dan
meratap: "Anak tidak berbakti, mohon ayah..."
"Kita akan menuju kemana ?"
"Kota Pek-te-shia."
"Apa " Pek-te-shia ... mengapa ?"
"Kota itu merupakan daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kau. Disana pengaruh Gedung Hitam tidak
seberapa."
"Tetapi kota itu ribuan li jauhnya. Mampukah kita
mencapai kesana dengan selamat?"
"Yah, jangan hiraukan soal itu, kita nanti akan
menyamar ...."
"Bangun !"
Sam Longpun berbangkit, pipinya bercucuran air mata.
isterinyapun pucat dan berkata dengan gemetar: "Dulu lebih
baik engkau jangan masuk perkumpulan Gedung Hitam
itu." "Ah, tak perlu menyesali hal itu, tak ada gunanya. Aku
berhutang budi kepada Ho congkoan yang telah menolong
jiwaku. Dialah yang minta kepadaku supaya masuk sebagai
pengawal dari Gedung Hitam. Sudah tentu aku tak dapat
menolak." "Ah," isterinya menghela napas.
"Pergilah kalian berdua, aku tetap akan tinggal disini."
sahut lelaki tua itu berkata dengan mantap.
Sam Long menangis: "Yah. mereka tentu takkan
melepaskan engkau."
Tetapi orang tua itu tetap kukuh: "Aku sudah tua, tak
tahan menempuh bahaya sejauh perjalanan itu . ..."
Tiba2 dari ruang tengah melayang sebuah benda yang
tepat jatuh keatas meja, tring ....
"Amanat Maut!" teriak Sam Long ketika melihat benda
itu. Seketika ia menggigil seperti orang sakit demam.
Wajahnya pucat seperti mayat.
Lelaki tua dan isteri Sam Long juga kaget. Bayinya
menangis. "Ah, habis riwayat kita sekarang" Sam Long mengernyut
geraham. Sebuah suara seram terdengar dari ruang tengah.
"Kang Sam Long, keluarlah!" seru suara itu.
Sejenak memandang kepada ayah dan isterinya Sam
Long menendang pintu dan melangkah keluar. Ayah dan
isterinyapun mengikuti ke pintu.
Dihalaman muka tampak empat sosok tubuh. Yang tiga
mengenakan pakaian hitam seperti Sam Long dan yang
seorang lelaki tua berlengan tunggal. Ditingkah cahaya
bulan remang, wajah orang tua itu tampak menyeramkan
sekali. Sam Long memberi hormat di hadapan orang berlengan
satu itu. "Menghaturkan hormat kepada congkoan !"
Lelaki berlengan tunggal itu tertawa seram: "Kang Sam
Long, tak usah banyak omong, tahukah engkau akan
peraturan Gedung kita " Bagaimana tindakanmu ?"
Rupanya Sam Long sudah menentukan keputusan.
Dengan suara tenang dia berkata: "Cong-koan, hamba tahu
akan kesalahan hamba, terserah bagaimana hukuman yang
hamba terima. Tetapi hamba hendak mengajukan sebuah
permohonan !"
"Apa ?"
"Mohon keluarga hamba dibebaskan dari hukuman .."
"Engkoh Sam..." wanita muda menjerit dan menangis.
Bayinya juga ikut menangis keras.
Lelaki tua berlengan satu itu berpaling ke arah seorang
pengawal: "Jangan sampai membikin kaget para tetangga
sekeliling. Hentikan tangis mereka !"
Pengawal Hitam itu segera mencabut pedang dan
menghampiri. Melihat itu Sam Long berseru kepada
isterinya: "Lekas masuk jangan bersuara."
Dengan wajah sedih dan takut, wanita itu mendekap
mulut anaknya dan masuk kedalam. Pengawal Hitam itu
melanjutkan langkahnya.
Kang Sam Long juga mencabut pedang dan berteriak:
"Li San Beng, jangan membunuh orang yang tak berdosa.
Semuanya aku yang bertanggung jawab !"
Lelaki berlengan tanggal mengangkat tangan, memberi
isyarat agar Li Sin Bang kembali ke tempatnya lagi.
Kemudian lelaki lengan satu itu memandang Sam Long,
serunya: "Kang Sam Long, engkau berani mencabut
pedang?" "Congkam, mohon keluargaku yang tak berdosa ini
diberi ampun. Hamba rela menerima hukuman apapun
juga!" jawab Sam Long.
"Sekarang jawablah beberapa pertanyaanku dengan terus
terang," kata lelaki lengan satu itu, "kesatu, masukmu ke
dalam Gedung Hitam adalah Hu congkoan yang
mengusulkan. Lalu tugas apa yang Ho Bun Cai berikan
kepadamu?"
"Tidak memberi tugas apa2." kata Sam Long dengan
keraskan hati. "Hm. dalam sekian tahun, apa saja yang engkau telah
lakukan untuknya ?"
"Hamba bertugas sebagai Pengawal Hitam dan selalu
bertindak menurut perintah atasan. Tak pernah hamba
melakukan sesuatu yang melanggar peraturan."
"Ah, baik sekali engkau hendak menghindar. Engkau
tentu kenal jelas tentang diri Ho Bun Cai . . ."
"Hamba tak tahu."
"Dan kaki tangannya itu ?"
"Cong-kam, hamba benar2 tak tahu."
"Rupanya semua pertanyaanku itu sia2 saja."
"Hamba menjawab dengan sejujurnya."
"Baik Pengawal, kemarilah!"
Ketiga Pengawal Hitam serempak menghadap.
"Seret keluar orang2 dalam rumah itu tetapi jangan
sampai menimbulkan suara gaduh !"
Setelah mengiakan ketiga Pengawal Hitam segera
melangkah kedalam rumah. Tetapi secepat itu Sam
Longpun sudah melintangkan pedang menghadang.
"Congkam, apakah hendak memaksa hamba melawan ?"
serunya dengan bengis.
"Engkaukan sudah melawan !"
"Silakan . . ." seru Sam Long mengucap sepatah kata,
tiba2 lengan congkam itu berayun dalam gerak setengahlingkar lalu kembali lagi ke tempatnya.
Telapak tangan Sam Long terkulai dan pedangnyapun
terlepas. Dia tegak seperti patung. Jelas jalan darahnya
telah ditutuk oleh lelaki bertangan tunggal itu.
Ketiga Pengawal Hitam menyerbu ke dalam, menyeret
isteri Sam Long dan ayahnya. Memang mereka tak menjerit
dan menangis karena jalan-darahnya sudah ditutuk.
Sepasang mata Sam Long merah membara, keringat
bercucuran deras. Walaupun tak dapat berkutik tetapi
mulutnya masih dapat bicara.
"Jika keluarga sampai dibunuh, aku Kang Sam Long
sekalipun jadi setan, tetap akan jadi setan untuk membalas
dendam ini !" serunya.
Lelaki tua berlengan tunggal itu hanya menyambut
dengan tertawa iblis. Berpaling kearah Pengawal Hitam
yang membawa bayi: "Bawa ke-sampingnya!"
Pengawal Hitam itu segera membawa bayi "..
^^Jilid 20 Halaman 26/27 Hilang^^
?"hendaki orang tua dan perempuan itu hidup.
Janganlah engkau ikut campur urusan ini !"
Cu Jiang tak menghiraukan, ia memberi peringatan keras
kepada kedua Pengawal Hitam itu.
"Dengarkan, serambut saja kalian berani mengganggu
kedua orang itu, kalian pasti kucincang !"
Kedua Pengawal Hitam itu gemetar.
Kemudian Cu Jiang berpaling lagi kepada Li Ho.
serunya: "Lengan anda yang putus itu bukankah terjadi
ketika di gunung Bu-leng-san dahulu?"
Wajah Li Ho berobah seketika, serunya. "Budak, apakah
engkau benar2 putera dari Cu Beng Ko ?"
"Orang she Li, sudah lama aku mencarimu !"
"Siapa namamu ?"
"Cu Jiang !"
"Hm, bukankah dahulu eagkau sudah terlempar kebawah
jurang ....."
"Tuhan belum menghendaki aku harus mati."
"Tidak ! Tidak ! Engkau . . . tentu si Gok-jin ji itu."
Serentak Cu Jiang mencabut kain penutup muka dan
tampaklah wajahnya yang tampan. Melihat itu Li Ho
menyurut mundur.
"Engkau ,.. pelajar baju putih itu ?"
"Benar,"
"Umurmu sungguh panjang .. ."
"Li Ho, siapakah yang turun tangan waktu di gunung
dahulu itu ?"
"Engkau kira aku tentu mau memberitahu ?"
"Mungkin."
"Engkau ngimpi!"
Cu Jiang maju selangkah, matanya berapi-api, serunya:
"Li Ho, engkau hendak membayar apa yang telah engkau
lakukan selama ini?"
"Budak," teriak Li Ho. "selangkah engkau berani maju
lagi, lelaki dan wanita ini tentu kuhabisi jiwanya !"
Cu Jiang berpaling kearah kedua Pengawal Hitam,
serunya: "Kurasa mereka takkan berani melakukan."
"Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Ya, aku memang hendak mencoba . . ." Sambil
mengangkat pedang kutung, Cu Jiang maju selangkah lagi.
Cring, Li Ho juga mencabut pedang. Sekali-pun
lengannya tinggal satu tetapi sikapnya memang masih
berwibawa. Jelas bahwa ilmu pedangnya tentu hebat.
Keduanya saling mencurah perhatian, menunggu
kesempatan. Dalam pada itu Kang Sam Long-pun
mencabut pedang dan menghampiri ke samping kedua
Pengawal Hitam.
Jika kedua Pengawal Hitam itu berani membunuh ayah
dan isterinya, diapun akan menyerang.
Sampai beberapa saat masih belum terjadi gebrakan
tetapi saat itu kepala Li Ho sudah bercucuran keringat dan
matanya mulai berkunang-kunang. Dalam mata seorang
ahli pedang, tanda2 itu sudah menunjukkan suatu
kesalahan yang fatal.
"Hait . . . tring . . . ngekkk !"
Terdengar gemboran, denting benturan dan suara
menguak ngeri. Hanya dalam sekejap mata, mautpun sudah
menyambar nyawa. Lima buah tusukan celah menghias
tubuh Li Ho. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
Cu Jiang cepat berputar tubuh dan menghadap ke arah
kedua Pengawal Hitam : "Lepaskan !"
Kedua Pengawal Hitam itu ngeri dan tanpa disadari
telah melepaskan ayah dan isteri Kang Sam Long.
Melihat itu Kang Sam Long buru2 menyarungkan
pedang lalu menarik kedua ayah dan isterinya. Cu Jiangpun
memancarkan tenaga dari jari untuk membuka jalan darah
kedua orang yang tertutuk itu.
"Kang Sam Long, lekas benahi2 barang-mu dan
tinggalkan tempat ini !" seru Cu Jiang lalu mengambil dua
butir beng cu (mutiara) dan dilemparkan: "Benda ini
rasanya cukup untuk membuat rumah baru lagi."
Kang Sam Long terlongong-longong mengawasi Cu
Jiang. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan kata2.
"Ho Bun Cai itu suhengku, engkau harus mengerti dan
lekaslah pergi !" seru Cu Jiang.
Kang Sam Long mendesah kejut, memungut mutiara
lalu menghaturkan hormat: "Budi anda akan kuukir sampai
mati!" habis berkata dia terus memimpin tangan ayah dan
istrinya masuk kedalam rumah.
Tiba2 kedua Pengawal Hitam loncat hendak melarikan
diri. Tetapi Cu jiang cepat membentak: "Berhenti !"
Kedua Pengawal Hitam itu terpental kembali ketempatnya semula dan tahu2 Cu Jiang sudah menghadang dimuka mereka.
"Menurut peraturan Gedung Hitam, anak buah yang
melarikan diri dari lawan, akan dihukum mati!"
Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah kedua Pengawal Hitam itu pucat seperti mayat.
Mengangkat pedang kutung. Cu Jiang berseru: "Mati
dalam pertempuran merupakan kematian yang gemilang
dari seorang ksatrya. Sekarang hunuslah pedang kalian dan
siaplah membela diri!"
Kedua Pengawal Hitam itu sejenak melihat kearah
congkam mereka yang masih duduk ditanah. Dengan
gemetar keduanya menyurut mundur.
"Lekas cabut pedang. Aku hanya menyerang dalam satu
Anak Harimau 2 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Anak Harimau 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama