Ceritasilat Novel Online

Si Pemanah Gadis 1

Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 1


" SI PEMANAH GADIS
JILID 1 TABIR ILMU SAKTI RIMBA PERSILATAN
Oleh: Gilang ? Si Pemanah Gadis " Bab 1
Mata Malaikat! Siapa orang persilatan yang tidak kenal dengan dua kata ajaib ini"
Siapa saja pasti kenal!
Beberapa pendekar persilatan begitu teramat sangat tertarik dengan yang namanya ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi, apalagi yang namanya "Ilmu Sakti Mata Malaikat", jangan ditanya berapa jumlah peminatnya.
Banyak, cing! Beberapa argumentasi seputar ilmu ini pun berhembus kencang. Ada yang mengatakan bahwa dengan menguasai ilmu sakti ini bisa menembus ruang dan waktu, bisa menembus alam gaib, bisa menembus ke dalam mimpi seseorang yang dikehendaki, bahkan pandangan mata bisa menembus tebalnya tembok dan besi meski berlapis-lapis sekali pun. Bahkan para hidung belang menambahkan bahwa ilmu ini bisa menembus baju seseorang sehingga bisa melihat "jeroan" tanpa perlu menggunakan alat bantu. (Gile ... Sinar X aja kalah meeenn!")
Ada pula yang mengatakan bahwa dengan ilmu ini bisa menghilang dari pandangan, bahkan lebih hebat dari ilmu menghilang yang sejenis, misalnya "Ilmu Panglimunan" atau pun "Ilmu Wedar Sukma" kalah sakti dari "Ilmu Sakti Mata Malaikat"!
Pernah tersebut seorang tokoh mengatakan bahwa ia memiliki ilmu sakti tersebut, sehingga berbondong-bondonglah jago-jago persilatan mengunjungi tempat kediaman si tokoh dan pada akhirnya ... si tokoh dijadikan bulan-bulanan karena dianggap menipu.
Bahkan ada beberapa perguruan silat yang mengklaim memiliki "Ilmu Sakti Mata Malaikat", hingga membuat beberapa perguruan silat lain mendatangi perguruan tersebut dan buntutnya ... lagi-lagi mereka tertipu mentah-mentah oleh orang tidak waras yang tersesat jalur tenaga dalamnya sehingga ia berhalusinasi.
Lalu ... bagaimana sebenarnya Mata Malaikat itu"
Tidak ada satu pun yang tahu!
-o0o- Seorang bocah dengan pakaian biru kumal, berjalan tertatih-tatih dengan sebatang tongkat hitam diketuk-ketukkan di tanah, berjalan seorang diri pada pinggiran sawah yang mengering akibat musim kemarau panjang. Rambut panjang awut-awutan melengkapi tubuh kurus kering yang sudah hampir satu minggu tidak pernah menyentuh makanan, dimana terlihat dari perut si bocah yang terlihat tipis serta bernafas pelan satu-satu. Dengan kaki telanjang, ia menapaki jalan tanah yang retak-retak terpanggang matahari.
Namun yang mengherankan, justru badan si bocah berkulit kurus tapi terlihat bersih, seakan baru saja mandi di sungai atau di danau. Tidak ada bau busuk menyengat yang biasa dimiliki bocah-bocah gelandangan umumnya. Bocah dengan usia kisaran sepuluh tahunan terus berjalan dengan meraba-raba lewat tongkat hitam yang tergenggam di tangan kanan.
Wussh!! Ketika angin siang hari sedikit kencang, rambut awut-awutan sedikit tersibak sehingga memperlihatkan roman ketampanan yang tidak begitu kentara, sebab debu-debu halus seakan bersicepat untuk menempel di wajah bocah yang berkeringat. Saat mengejap-ngejapkan matanya, sebentuk hal yang luar biasa terlihat.
Mata si bocah berwarna putih!
Rupanya si bocah bertongkat hitam tersebut adalah bocah buta, dimana bola mata hitam tidak terlihat sama sekali. Tentu saja kebutaan itu tidak dibuat-buat dengan tujuan agar dikasihani oleh setiap orang yang melihatnya. Ia buta sejak dilahirkan ke dunia, dan saat bersamaan dengan tangisan pertamanya di dunia, ia langsung hidup sebatang kara.
Saat itu, masa sepuluh tahun silam Desa Pesisir Wetan yang letaknya di tepi sebuah pantai tempat dimana ia dilahirkan mengalami bencana besar. Ombak setinggi bukit meluluh-lantakkan desa beserta isinya, bahkan beberapa desa tetangga pun turut menjadi korban. Beruntunglah bahwa Yang Kuasa masih melindunginya. Saat bencana terjadi, ia baru saja dilahirkan dan sesuai dengan kebiasaan penduduk Desa Pesisir Wetan, bahwa setiap bayi yang baru lahir, harus diletakkan diatas kapal kecil atau sampan dengan harapan ia menjadi seorang nelayan tangguh beserta sebuah kalung dengan bandul taji ayam jago melingkar di leher. Baru saja diletakkan di atas sampan, saat itulah ombak setinggi bukit diikuti dengan amukan badai laut datang bergelombang, menerjang apa saja yang ada didepannya tanpa pandang bulu!
Sehari semalam ia terombang-ambing diatas permukaan air laut. Dan sehari semalam itu pula bayi mungil tanpa daya itu dalam keadaan tertidur lelap, lengkap dengan usus dan ari-ari yang masih menempel di pusar karena belum sempat dipotong.
Hingga pada akhirnya, sampan kecil itu terdampar di antara rekahan batu karang yang menjorok ke dalam laut, dimana diatasnya terdapat dinding-dinding gua tempat bernaung ribuan burung walet lengkap dengan sarangnya.
Disaat terdampar itulah, ia terbangun dari tidur lelapnya, kemudian menangis keras.
Suara tangisan itu didengar oleh sepasang kakek nenek nelayan yang kala itu sedang melepas lelah akibat bekerja seharian mengambil sarang burung walet yang ada di gua itu. Pada mulanya kakek nenek nelayan itu tidak peduli terhadap tangisan itu, dikiranya suara deburan ombak yang ada dibawah dimana jarak antara gua itu sejauh tujuh delapan tombak.
Tapi, lama kelamaan suara itu semakin melengking tinggi.
"Nyi, kau dengar suara tangis itu?" tanya si kakek.
"Sedari tadi aku juga mendengar, Ki! Cuma aku ragu ... itu suara bayi apa memang suara ombak yang membentur batu karang?"
"Coba kau dengarkan lagi, itu benar suara bayi khan?"
Si nenek sedikit memiringkan kepalanya untuk mempertegas pendengarannya, sebentar kemudian ia berseru, "Benar, Ki! Itu suara bayi!"
"Tapi ... bayi siapa yang sampai ke tempat tinggal kita ini, Nyi?"
"Apa Aki tidak mendengar, bahwa kemarin ada bencana hebat yang melanda beberapa pesisir pantai ini, mungkin saja bayi itu salah satu korban bencana dan tersasar sampai kemari." tutur si nenek.
"Benar juga."
"Cepat kau ambil bayi itu, dia ada di tenggara dari tempat kita."
"Baiklah!"
Dengan si kakek menuruni dinding-dinding terjal yang tegak lurus seperti cicak merayap di dinding. Tidak ada tali atau pun alat bantu yang bisa digunakan si kakek nelayan, semuanya murni menggunakan kekuatan tangan dan kaki. Jelas sudah bahwa pasangan tua renta itu bukanlah orang biasa, sebab tidak mungkin orang biasa mau melakukan gerakan yang sifatnya membahayakan nyawa sendiri, setidaknya mereka berdua sepasang tokoh sakti yang mengasingkan diri di tempat terpencil untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan damai.
Beberapa saat kemudian, muncullah si kakek dengan menggendong sesosok benda bergerak-gerak yang terbungkus jarik kembang-kembang.
Begitu sampai diatas, si kakek segera bergegas menghampiri si nenek sambil berkata nyaring, "Nyi! Ternyata pendengaran kita tidak salah! Aku menemukan bayi di bawahsana ."
"Benarkah" Mana bayi itu?"
"Ini!"
Si kakek segera mengangsurkan bungkusan jarik kembang-kembang pada si nenek. Begitu di buka, terlihatlah sebentuk wajah mungil dan imut seorang bayi laki-laki yang langsung dengan tangan-tangan kecil berusaha menggapai-gapai untuk meraih wajah si nenek.
"Bayi yang lucu, Ki!"
Pada akhirnya kehidupan pasangan tua renta itu menjadi ramai dengan hadirnya sosok bayi laki-laki mungil yang diberi nama ...
Jalu Samudra! Nama depan "Jalu" disebabkan di leher si bocah melingkar kalung berbandul taji (bahasa jawanya -Jalu-) ayam jago, sedang kata "Samudra" dikarenakan si bayi ditemukan di laut. Jalu Samudra dianggap sebagai cucu sendiri oleh pasangan kakek nenek nelayan itu, bahkan saat mengetahui bahwa bayi itu cacat kedua bola matanya atau buta, tidak memupuskan rasa bahagia mengasuh si bocah mungil.
Seiring dengan berjalannya waktu, si bocah mulai bisa beradaptasi dengan kegelapan yang menyelimuti dirinya, bahkan saat Jalu berusia empat tahun, si kakek mengajarkan beberapa gerakan silat pada bocah untuk menjaga diri. Gerakan-gerakan silat tersebut bisa dibilang aneh dan bisa juga dikatakan unik, karena posisi badan yang miring-miring ke kiri dan ke kanan, bahkan gerakan tangan dan kaki seperti menggapai-gapai ke depan seperti capit kepiting.
Memang yang diajarkan pasangan kakek nenek sakti itu adalah sejenis ilmu silat langka yang bernama Ilmu Silat "Kepiting Kencana". Ilmu ini tidak ada duanya di dunia persilatan dan satu-satunya orang yang mengetahui serta mempelajari Ilmu Silat "Kepiting Kencana" selain pasangan tua renta itu hanya Jalu Samudra seorang, si bocah buta yang ditemukan di laut.
Ilmu Silat "Kepiting Kencana" merupakan gabungan ilmu-ilmu tingkat tinggi milik si kakek nenek nelayan yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Tombak Utara Tongkat Selatan. Gerakan tombak dan tongkat digabung menjadi satu bentuk jurus silat baru, dimana tombak yang lentur bisa menyusup ke setiap celah dipadu dengan gerakan tongkat yang kokoh menggebrak. Jika dilihat sekilas memang seperti gerakan ketam atau kepiting yang sedang berjalan dengan langkah kaki miring-miring.
Jika pada pagi hingga siang hari Jalu Samudra berlatih silat dibawah asuhan kakek nenek sakti itu, maka pada malam harinya ia berlatih hawa tenaga dalam justru di bawah asuhan si nenek Tombak Utara, sebab hawa tenaga dalam yang dimiliki si kakek Tongkat Selatan kalah jauh dengan si nenek Tombak Utara, sedang dalam jurus-jurus silat mereka bisa dikatakan seimbang, namun dalam ilmu peringan tubuh atau lari cepat, si kakek jagonya. Meski adakalanya si kakek Tongkat Selatan juga mengawasi latihan si bocah buta dengan memberikan beberapa petunjuk demi kemajuan cucu angkatnya terutama dengan indera pendengaran sebagai ganti indera penglihatan yang tidak sempurna.
Sampai-sampai ilmu baca tulis pun diajarkan oleh sepasang kakek nenek itu dengan cara unik, membuat huruf-huruf di atas pasir laut sehingga memudahkan bocah buta belajar membaca dan menulis (kalau sekarang namanya huruf Braille).
Saat menginjak usia delapan tahun, seluruh rangkaian Ilmu Silat "Kepiting Kencana" yang terdiri dari lima belas jurus beserta hawa tenaga dalam penunjang ilmu silat langka itu selesai dipelajari oleh Jalu Samudra, termasuk juga didalamnya ilmu baca tulis yang aneh itu. Walau sudah dikuasai dengan baik, namun kekuatan ilmu silat dan tenaga yang ada pada diri si bocah masih jauh dari harapan. Untunglah Jalu Samudra memiliki bakat baik, tulang kokoh, darah bersih serta otak cemerlang, sehingga apa yang berikan oleh kedua kakek neneknya bisa diserap dengan baik. Tinggal bagaimana ia melatihnya saja.
Enam bulan kemudian, si kakek mangkat!
Selang lima bulan kemudian, si nenek yang sering sakit-sakitan sejak ditinggal pergi sang suami, akhirnya juga menghembuskan nafas terakhir setelah sehari sebelumnya memberikan petuah-petuah serta menceritakan siapa diri mereka berdua dan bagaimana pasangan tua renta itu menemukan dirinya di laut dan diasuh hingga sekarang. Tentu saja Jalu Samudra sedih ditinggal oleh kakek nenek baik hati yang telah mengasuhnya hingga hampir sembilan tahun lamanya.
Setelah ia menguburkan si nenek bersebelahan dengan makam si kakek, Jalu Samudra pergi dari tempat itu dengan membekal sebuah tongkat warna hitam legam warisan si nenek, dimana tongkat itu cukup aneh karena bagian atas bawah terdapat lubang kecil seperti untuk mengaitkan tali atau benang serta ditengahnya agar sedikit menebal dengan beberapa bagian di buat sedikit berlekuk-lekuk mirip badan ular.
-o0o- ? Si Pemanah Gadis " Bab 2
?"Panas sekali disini," gumam si bocah sambil menyusut peluh di dahi. "Kalau berada di tempat kakek dan nenek pasti sejuk. Apalagi udara yang sedikit bergaram ... hemm ... pasti nyaman sekali buat tidur siang. Kangen juga aku dengan Gua Walet."
Si bocah yang ternyata adalah Jalu Samudra kembali berjalan dengan meraba-rabakan tongkat hitamnya. Sesaat kemudian, saat angin bertiup semilir, terdengar suara keresekan daun-daun di sebelah utara dan bersamaan itu pula dari jarak dua tiga tombak di belakangnya berjalan dua petani yang memegang sabit serta setumpuk rumput di atas pundak.
"Bocah! Jangan menghalangi jalan," kata yang sebelah kiri dengan sedikit membentak.
"Oh ... maaf paman, saya tidak tahu," jawab Jalu mundur ke belakang dua tindak lalu menoleh ke sumber suara dengan kepala sedikit digoyang-goyangkan.
"Tidak tahu" Apa matamu bu ... " yang sebelah kanan gantian berkata, namun tidak jadi dilanjutkan setelah melihat sepasang mata putih si bocah. Sebab ia tahu, bahwa orang bermata putih tanpa titik hitam ditengahnya pastilah orang buta.
"Iya paman, saya memang buta kok."
"Maaf ... paman tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, bocah muda."
"Tidak apa-apa, paman," sahut Jalu Samudra dengan senyum tulus. "Oh ya, paman ... apa jarak pohon dengan tempat saya berdiri masih jauh?"
Dua orang itu saling pandang.
"Kasihan benar anak ini," pikir mereka berdua.
"Tidak jauh, nak. Berjalanlah ke kiri kira-kiralima belas langkah, kau akan menemukan pohon trembesi yang cukup rindang. Meski ini musim kemarau, pohon itu tetap berdaun cukup lebat, karena dibawahnya ada mata air," kata paman yang kanan. "Apa perlu paman tunjukkan?"
"Ohh ... tidak perlu. Terima kasih atas pemberitahuan paman berdua."
"Sama-sama bocah muda."
Dua orang itu mengawasi Jalu dengan sorot mata kasihan.
"Kasihan benar tuh anak. Sekecil itu sudah menderita, tidak bisa melihat indahnya dunia." kata laki-laki sebelah kanan.
"Heh, gelandangan seperti itu buat apa dikasihani?"
"Goblok benar kau! Apa matamu buta?"
"Enak saja kau mengatakan aku goblok dan buta?" tantang si laki-laki sebelah kiri. "Tunjukkan kalau aku memang benar-benar buta!"
"Jika ia memang gelandangan asli, coba perhatikan kulitnya ... terlalu bersih untuk ukuran bocah gembel sekalipun." tuturnya meNilai si bocah buta, " ... dan lagian, apa kau mencium bau tak sedap pada diri anak itu" Tidak bukan!?"
Laki-laki yang sebelah kiri mengangguk-anggukkan kepala setelah mengamat-amati si Jalu, lalu ia menjawab, "Benar juga apa katamu! Aku yakin ia bukan anak sembarangan."
"Sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan pulang. Perutku sudah keroncongan dari tadi."
"Baiklah," jawab si laki-laki kiri, lalu ia berseru pada bocah buta yang kini sedang duduk bersandar pada pohon trembesi, "Bocah muda! Kami mau pulang ke desa, apa kau mau ikut dengan kami?"
"Terima kasih, paman! Maaf tidak bisa mengabulkan kebaikanmu." kata si bocah dari kejauhan.
Lalu sambil berjalan beriringan, laki-laki yang kanan pun ikut berseru, "Baiklah kalau begitu! Jika kau ingin mampir, berjalan saya ke arah kananmu sejauh dua belas tombak, maka kau akan sampai di desaku. Cari saja Suro Keong, semua orang pasti kenal!"
"Baik, paman Suro! Mungkin saja akan bermalam disini, hawanya lebih sejuk," sahut si bocah.
Dengan kepala sedikit dimiringkan ke kanan kiri, ia mendengar langkah kaki dua orang itu yang berjalan menjauh.
"Hemm, lebih baik aku tiduran saja dibawah pohon ini, anginnya sepoi-sepoi bikin ngantuk saja," gumam si bocah sambil menyandarkan kepalanya di batang pohon yang agak menonjol keluar. " ... di mata air ini ada pasti ada ikannya, kudengar suara kecipakan di sudut sana. Nanti sore bisa makan ikan bakar nih."
Pendengaran Jalu memang lain dari pada yang lain, sebab suara kecipak ikan yang jaraknya sekitar enam tujuh tombak jauhnya bisa ditangkap dengan baik oleh sepasang telinganya, mungkin karena ia pernah hidup berdampingan dengan laut sehingga bisa membedakan suara kecipak air, jatuhnya daun di atas air, sentuhan angin yang saling bergesekan dengan air sehingga menimbulkan suara alam yang unik. Bahkan dengungan lebah yang ada di atas pohon trembesi pun bisa ia tangkap dengan jelas.
Sebentar saja ia sudah tidur terlelap dibuai mimpi!
Bagi orang buta, siang dan malam tidak ada bedanya, semua serba gelap. Hanya kepekaan indera perasa yang bisa membedakan pergantian siang dan malam. Seperti halnya yang dialami Jalu Samudra, saat sore menjelangi terbangun dari tidurnya. Dengan sedikit menggeliat, ia melemaskan otot-otot tubuhnya.
"Emmm ... nyaman sekali tidur di bawah pohon ini," katanya dengan sedikit menguap. Hidungnya mengendus-endus perlahan, "sudah sore rupanya, pantas perutku sudah keruyukan sedari tadi."
-o0o- Dari arah kejauhan terlihat dua orang gadis berjalan lenggang kangkung. Gadis sebelah kiri yang berusia sekitar lima belas tahunan dengan kulit berjalan lambat-lambat agar gadis sebelahnya yang sedikit lebih muda usianya sekitar tiga tahunan dibawahnya, pun berusaha mensejajari langkah orang di sebelahnya. meski masih terlihat muda, tapi roman cantik manis ke dua gadis itu sudah bisa terlihat dengan jelas meski dengan kulit sedikit menghitam akibat terpanggang sinar matahari. sorot mata mereka terlihat menderita beban batin yang berat.
"Kangmbok, memangnya kita mau kemana?" tanya si gadis sebelah kiri.
"Kumala Rani, kita harus lari sejauh-jauhnya untuk menghindari pengejaran orang-orang Gagak Cemani!"
"Iya, Rani tahu, Kangmbok Nila! Tapi kaki Rani sudah pegal-pegal akibat berlari seharian," rengek si gadis kecil yang disebut Kumala Rani. "Bagaimana kalau kita istirahat dulu di dekat pohon sana ... " usul Kumala Rani sambil menunjuk pada pohon trembesi.
Si gadis yang bernama lengkap Nila Sawitri sedikit meragu, "Tapi ... "
"Lagian sebentar lagi malam. Ayolah ... sebentar saja ... "
"Huh ... kau ini memang menjengkelkan, Rani!" sungut Nila Sawitri, karena tangan kanan di tarik paksa ke arah pohon trembesi.
Sesampainya di dekat pohon, Kumala Rani melihat seorang bocah laki-laki berusia sepantaran dirinya duduk santai menikmati sepoinya angin dan rindangnya dedaunan. Gadis kecil itu langsung memasang muka masam, setelah mengetahui bahwa bocah laki-laki ternyata seorang gembel!
"Gembel jelek! Aku mau istirahat, cepat kau minggir sana!" bentak si gadis kecil, sambil kakinya menendang ke arah si bocah.
Dukkk! "Rani! Jangan keterlaluan!" bentak kakaknya, namun terlambat!
Kaki kecil Kumala Rani dengan telak mendarat di pinggang si bocah Jalu Samudra.
Jalu Samudra yang sempat mendengar desiran angin mengarah ke pinggang kanan, sebisa mungkin mengalirkan hawa tenaga dalam. Meski sedikit terlambat tapi ia tidak terluka, namun tendangan si gadis kecil cukup membuatnya terguling-guling dan hampir menabrak batu yang ada didepan.
"Gadis edan! Datang-datang main tendang saja!" bentak Jalu Samudra sambil mengusap-usap pinggang yang terasa nyeri. "Apa kau tidak pernah diajari sopan santun sama orang tuamu, hah?"
"Apa kau bilang?" seru Rani dengan meradang.
"Rani, hentikan perbuatan burukmu itu!" bentak Nila Sawitri sambil menarik adiknya menjauhi si bocah laki-laki, lalu berkata lembut, "Maafkan perbuatan adikku, sobat kecil!"
"Buat apa minta maaf sama gem ... "
"Diam!" bentak Nila Sawitri dengan mata melotot.
Si gadis kecil Kumala Rani segera saja meruncingkan mulut sambil membanting pantat ke bawah, lalu duduk bersender di pohon.
Ngambek dia! Jalu Samudra segera beringsut ke depan dengan tangan meraba-raba tanah, apalagi yang ia lakukan jika tidak mencari tongkat hitamnya"
Tentu saja perbuatan Jalu membuat Nila Sawitri terperangah kaget dan terlebih lagi Kumala Rani, sampai ia terlonjak ke atas.
"Kau ... buta?" tanya Kumala Rani dengan muka serba salah.
"Kalau iya, kenapa?" kata Jalu dengan ketus dengan tangan masih meraba-raba di tanah.
"Ditanya baik-baik ... jawabnya pedas amat!" gantian Kumala Rani membentak.
"Memangnya tadi kau bertanya waktu menendangku?" bentak si bocah dengan tangan masih meraba-raba. "Brengsek! Dimana sih tongkatku?"
Nila Sawitri kasihan melihat si bocah buta mencari-cari tongkatnya, ia melihat tongkat hitam itu sejarak dua tindak di samping kanan si bocah, segera berkata, "Tongkatmu ada di sebelah kananmu. Ya ... ke kiri dikit."
Begitu mendapatkan tongkatnya kembali, Jalu Samudra segera berdiri.
"Sobat kecil, maafkan adikku yang tadi telah lancang menendang pinggangmu." tanya Nila Sawitri. "Apa pinggangmu masih sakit?"
"Sudah tidak apa-apa, kok! Tendangan tadi seperti gigitan semut saja," kata Jalu Samudra dengan angkuh, padahal dalam hatinya ia memaki panjang pendek, "Sialan, sakitnya sampai menembus tulang!"
Lalu berjalan menjauh dengan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah. Setelah empat lima tombak, ia berhenti berjalan dan duduk manis sambil memasukkan dua kakinya ke dalam air.
"Apa kau bilang" Jadi kau mau ditendang lagi?" kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri, lalu pasang kuda-kuda kokoh.
"Huh, untung saja kakakmu sudah memintakan maaf untukmu, kalau tidak ... gadis tengil macammu sudah pasti kulempar ke tengah danau," jengek si Jalu Samudra dari kejauhan.
"Rani! Hentikan tingkah ugal-ugalanmu!" kata Nila Sawitri dengan sedikit keras. "Jika kau tidak mau diam, aku tinggal kau disini seorang diri!" lanjutnya dengan sedikit ancaman.
Gadis cantik itu tahu seberapa bengalnya sang adik, semakin dicegah akan semakin menjadi-jadi.
"Jangan Kangmbok Nila, jangan!" sahut si gadis dengan muka memelas.
-o0o- ? Si Pemanah Gadis " Bab 3
Malam pun kini kembali meraja ...
Jalu Samudra yang biasa hidup dalam kegelapan, tentu saja tenang-tenang saja. Pendengaran super tajam yang dimilikinya sudah lebih dari cukup sebagai pengganti mata. Suara dengingan nyamuk serta keresekan badan ular diantara daun-daun yang bertebaran tertangkap jelas di indera pendengarnya.
Sambil duduk di tepi danau, beberapa kali ia mencelupkan tongkat hitamnya ke dalam air, entah apa yang dilakukannya.
Sedang si gadis galak Kumala Rani dan Nila Sawitri duduk melingkari api unggun, selain untuk mengusir hawa dingin juga mengantisipasi datangnya binatang liar, seperti ular misalnya.
"Jalu, lebih baik kau bergabung saja dengan kami," ucap Nila Sawitri melihat si bocah buta hanya duduk manis sedari tadi.
"Tunggulah sebentar! Aku sedang mencari makan malam di tempat ini." seru Jalu dari kejauhan.
"Huh, bocah buta macam dia paling-paling bisanya cuma mengemis," gerutu Kumala Rani.
Rupanya gadis kecil itu masih merasa sebal karena tidak bisa menyalurkan kemarahannya pada Jalu Samudra. Jika tidak ada kakaknya, mungkin si Jalu sudah diembatnya habis-habisan!
"Rani, kau tidak perlu mengejek dia terus-terusan. Kasihan dia!" bisik Nila Sawitri," ... aku yakin ia buta sejak kecil."
"Dari mana Kangmbok tahu ia buta sejak kecil?"
"Bola matanya putih semua, kemungkinan besar ia telah buta sejak dilahirkan."
"Buta sejak lahir atau tidak ... memangnya apa peduliku?" sahut Kumala Rani dengan ketus.
Nila Sawitri hanya menghela napas dalam-dalam.
"Adikku ini benar-benar keras kepala!" kata Nila, " ... coba kalau tidak ada si Jalu! Mungkin saat ini aku sudah berderai air mata karena menangisi kematianmu, tahu!"
Kumala Rani diam seribu bahasa.
Memang tadi sore, disaat ia mandi di pinggir danau, dibalik rimbunnya ilalang yang lebat. Berenang kesana kemari tanpa menyadari bahwa seekor ular sebesar paha orang dewasa bersarang di tempat itu. Kumala Rani kaget saat ia mengetahui bahwa sepasang mata kuning kehijauan memandang buas tubuh telanjangnya disertai juluran lidah merah bercabang.
Ular! Sshhh! Seeehhh!!
Baru saja sang ular mengangkat kepala dengan mulut terpentang lebar, itu pun sudah membuat Kumala Rani gemetar diam tanpa gerak di dalam air.
Tiba-tiba saja ...
Wutt! Prakk!! Sebuah tongkat hitam dengan tepat menghantam kepala ular hingga pecah berantakan.
Suara pecahnya kepala ular membuat Nila Sawitri terkejut. Dari kejauhan ia melihat bocah buta berdiri dengan posisi badan miring ke kanan, sedang tongkat hitamnya terlihat berlumuran darah. Dan ia mengetahui dengan pasti, bahwa di tempat itulah adiknya mandi.
"Kurang ajar! Dia membunuh adikku!" pikir Nila Sawitri sambil melesat ke arah si bocah.
Hampir saja ia melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi jika tidak melihat bangkai ular sebesar paha orang dewasa mengambang di air, sejarak setengah tombak dari tempat Kumala Rani mandi dan Jalu Samudra berdiri. Tanpa banyak kata karena panik, Nila Sawitri langsung menarik keluar adiknya dari dalam air, tapi ia lupa bahwa adiknya mandi dalam keadaan telanjang bulat.
"Aaahhh ... " Kumala Rani memekik kecil, dan ...
Byurr!! Ia kembali masuk ke dalam air!
"Apa yang kau lakukan, Rani?"
"Bocah brengsek! Buat apa kau masih disitu" Cepat pergi!" bentak Kumala Rani dari dalam air dengan mata melotot.
"Tolol benar kau ini! Bukankah dia ini buta" Kau telanjang bulat di depannya pun tidak bakalan ia bisa melihatmu!" kata Nila Sawitri pada adiknya, diikuti senyuman kecil.
"Meski pun ia buta ... tapi ia kan tetap laki-laki! Aku tidak mau telanjang bulat dihadapannya!" seru Kumala Rani dari dalam air.
Dengan tanpa bersuara, Jalu Samudra berjalan menjauh, memberi kesempatan pada gadis bawel itu berpakaian.
"Gadis sinting! Di tolong bukannya bilang terima kasih ... eh ... malah dibentak-bentak. Aku kerjain aja dia," pikir si Jalu, nakal.
Baru saja Rani selesai memakai celana, si Jalu berseru keras, "Awas ... ! Ada ular! Ada ular!"
Begitu mendengar kata 'ada ular', kakak beradik itu langsung pucat, dan tanpa dikomando lagi mereka berdua lari tunggang langgang meninggalkan tepi danau.
"Ha-ha-ha!"
Si Jalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut saking gelinya, sebab dari dengusan napas yang ia tangkap, nyata sekali bahwa si gadis bawel teramat sangat ketakutan!
Nila Sawitri yang menyadari bahwa ia dan adiknya dikerjain si bocah buta, hanya menghela napas untuk melepaskan rasa dongkol di hati, sedangkan adiknya Kumala Rani harus malu untuk kedua kalinya, sebab ia lari dalam keadaan setengah telanjang!
Itulah sebab kemarahannya pada si Jalu, yang setelah itu mereka bertiga saling bertegur sapa dengan mengenalkan diri masing-masing.
Jalu Samudra berjalan dengan pelan-pelan. Beberapa kali ia miring-miringkan kepala untuk mencari tempat keberadaan Nila Sawitri dan Kumala Rani. Tangan kiri menenteng sesuatu, setelah dekat dengan dua gadis itu, ia mengacungkan tangannya.
"Nih ... silahkan bagian para gadis yang memasak! Aku sudah capek seharian memancing disana," kata si Jalu sambil menyodorkan ikan tangkapannya.
Entah disodorkan pada siapa ikan itu!
Kumala Rani dan Nila Sawitri saling pandang. Mereka tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang buta bisa memancing dan mendapatkan hasil tangkapan yang begitu banyak"
Benar-benar kejadian luar biasa!
Tentu saja mereka tidak tahu, bahwa dalam kesehariannya Jalu Samudra hidup berdekatan dengan laut selama sembilan tahun, bahkan ia pun dilahirkan di pesisir laut.
Tanpa berucap sepatah kata pun, Nila Sawitri menerima ikan dari tangan si bocah buta.
"Hemm ... lumayan besar! Cukup untuk mengganjal perut," ucap Nila.
Kumala Rani mencabut pisau pendek dari pinggang, lalu diserahkan pada kakaknya. Ia sendiri mempersiapkan tempat pembakaran ikan, cukup untuk memanggang sebelas ekor sekaligus. Sebentar kemudian, tercium aroma gurih dan harumnya ikan bakar. Begitu selesai dibakar seluruhnya, enam tangan dan tiga mulut bagai beradu cepat menyikat habis sepuluh ikan bakar ukuran besar dan satu ekor ukuran sedang.
Mereka bertiga makan dengan lahap sekali, mungkin karena kondisi yang benar-benar kelaparan atau memang rakus, siapa yang tahu"
Setelah mencuci tangan dan membasuh muka dengan air danau, mereka bertiga duduk mengitari api unggun. Mungkin karena perut kenyang membuat kemarahan Kumala Rani pada Jalu Samudra lenyap tak berbekas.
-o0o- " ... saat ini kami sedang menghindari pengejaran orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, bahkan dari kabar yang kudengar bahwa perguruan kami telah hancur rata dengan tanah." ucap Kumala Rani sendu, menceritakan apa sebabnya mereka berdua bisa berada di tempat ini.
"Perguruan kalian hancur" Lalu ... apa yang menyebabkan perguruan kalian sampai diserang oleh Perkumpulan Gagak Cemani?" tanya Jalu Samudra, sekalian saja ia menimba pengetahuan baru tentang keadaan rimba persilatan.
"Ini semua gara-gara Mata Malaikat, Perguruan Gunung Putri harus hancur!" kata Kumala Rani geram.
"Mata Malaikat" Siapa itu" Apa ia adalah Ketua Perkumpulan Gagak Cemani?"
"Bukan! Kami sendiri tidak tahu apa yang dimaksud Mata Malaikat itu." sahut Nila Sawitri, lalu sambungnya, " ... entah nama orang sakti, sejenis ilmu kesaktian tingkat tinggi, kitab pusaka bahkan benda pusaka pun kami tidak tahu! Intinya semua itu hanya kabar angin yang dihembuskan oleh orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dengan maksud agar Perguruan Gunung Putri menghilang selamanya dari kancah rimba persilatan Tanah Jawa ini!"
"Orang-orang Gagak Cemani benar-benar keterlaluan!" kata Jalu Samudra dengan lirih. "Hanya karena berita yang belum tentu kebenarannya sudah bisa mencelakakan orang lain."
"Itulah sifat asli dari golongan hitam, Jalu!" kata Nila Sawitri, " ... bagi mereka, perbuatan jahat sama seperti orang makan, tidak perlu memikirkan apakah merugikan orang lain atau tidak! Pokoknya asal senang tentu mereka kerjakan!"
Tiba-tiba saja, Jalu Samudra mengangkat telunjuk kanan dan diletakkan di depan bibir, sambil tangan kirinya menyambar air terus disiramkan air ke api unggun.
Bresshh! "Ada orang mendatangi tempat ini. Mungkin saja mereka musuh-musuh kalian," lirih sekali suara si Jalu. " ... sekitar sembilan orang."
Kumala Rani dan Nila Sawitri paham apa maksud bocah buta itu, segera saja mereka diam tanpa melakukan gerakan apapun. Sebagai orang buta, tentu telinga si Jalu lebih tajam dari pada telinga dua gadis kakak beradik itu.
Belum lagi mereka bertiga beranjak dari duduknya, sembilan sosok bayangan telah mengepung tempat itu!
"Mau lari kemana kau, gadis manis?" seru salah seorang yang sebelah kiri.
"Lari ke neraka pun tetap akan kami kejar, ha-ha-ha!" ucap kawan disebelahnya sambil mengelus-elus golok yang terselip di pinggang.
"Apalagi jika mengejar gadis cantik, tidak bakalan kami lelah meski sudah dua hari dua malam lari kencang!" sahut yang paling kanan bermata juling.
"Apa kehancuran perguruan kami belum membuat kalian puas hingga masih mengejar-ngejar kami berdua?" kata Nila Sawitri sambil melolos sepasang trisula dari balik punggung, demikian juga dengan Kumala Rani melolos pula sebilah pedang pendek dan pisau.
Srett! Srakk! "Wah ... wah ... kalian tidak perlu mencabut senjata anak manis. Kami tidak akan mengganggu kalian, asal ... " si lelaki sebelah kanan berbicara dengan di potong-potong.
"Asal apa?"
"Asal kalian mengatakan dimana beradanya Mata Malaikat pada kami!" kata serak lelaki yang tengah.
"Sudah kukatakan berulang kali kami tidak berdua tidak tahu dengan keberadaan Mata Malaikat yang kalian cari. Melihatnya saja belum pernah!" seru Kumala Rani dengan keras.
"Kalau begitu ... dengan senang hati kami akan mengganggu kalian, hua-ha-ha!"
"Rani ... buat apa bicara panjang lebar dengan orang-orang budek ini" Bikin capek mulut saja!" seru Jalu sambil melintangkan tongkat di belakang punggung.
"Benar katamu, Jalu! Mungkin kuping mereka di sumpal tahi kambing hingga tidak bisa mendengar dengan baik," seru Kumala Rani dengan nada mengejek.
Gadis kecil itu muak sekali mendengar perkataan yang tidak karuan itu. Tanpa menanti kata balasan dari lawan yang sudah mengepungnya, gadis kecil berkelebat cepat. Sepasang pedang dan pisau saling berputaran susul menyusul mengarah ke orang terdekat, yaitu orang bermata juling di sebelah kanan.
Sett! Wizz!! Kelebatan pisau dan pedang lewat jurus 'Pisau Pedang Membedah Gunung' mengurung salah satu dari sembilan orang pengepung dengan rapat. Si mata juling kaget mendapat serangan mendadak, dengan gugup ia berusaha mundur satu dua langkah. Namun terlambat. Ujung pedang tanpa bisa dicegah lagi berhasil menyambar jakun di leher.
Crasss! Si mata juling tidak menduga bahwa serangan kilat ditujukan pada leher, sebab sekilas jurus pedang pendek dan pisau mengarah ke paha dan perut, namun ternyata serangan itu berbelok tajam ke atas membentuk sudut siku hingga berubah sasaran ke leher.
"Kkheek ... kehhhh ... prharr ... ratthh!"
Si mata juling mendekap leher yang berdarah-darah sambil menuding Kumala Rani yang baru saja selesai mengerahkan jurusnya, dan bersamaan dengan suara mengorok si mata juling terdengar sumbang, sebuah bayangan biru berkelebat cepat.
Wutt! Prakk! Si mata juling tewas dengan kepala pecah berhamburan dimana cairan putih bercampur merah semburat dari kepala yang pecah. Tewasnya si mata juling hanya berlangsung dalam satu helaan napas. Sebuah serangan gerak cepat telah dilancarkan Kumala Rani dan Jalu Samudra untuk mengurangi jumlah lawan.
Tentu saja yang paling kaget adalah delapan orang kawan si mata juling. Mereka tahu bagaimana kehebatan si mata juling dalam pertarungan. Dua orang dari mereka saja butuh waktu lama untuk menjatuhkannya, namun serangan gabungan dari si gadis kecil dan bocah bertongkat hitam berhasil menewaskan si mata juling dalam sekali serang.
"Mata juling!"
"Keparat! Kalian telah membunuh sahabat kami! Terimalah kematian kalian!"
"Cincang saja!"
"Bunuh tanpa ampun!"
Delapan orang langsung mancabut golok dan pedang masing-masing, kemudian diikuti teriakan kemarahan langsung menyergap ke tiga orang yang ada dalam kepungan.
Trang! Tiing! Triiing! Trakk!
Suara dentingan senjata membuncah membelah malam. Tanpa perlu diragukan lagi, pertarungan hidup mati terjadi di tempat itu.
Nila Sawitri, Kumala Rani dan Jalu Samudra saling berdiri membelakangi satu sama lain. Jika Nila Sawitri dan Kumala Rani terlihat kompak mengerahkan ilmu silat khas Perguruan Gunung Putri yang sebagian besar telah diketahui oleh orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, lain halnya dengan Jalu Samudra, bocah didikan Tombak Utara Tongkat Selatan bergerak dengan langkah-langkah aneh. Gerakan tongkat hitam yang acap kali menebas dan menusuk dari samping disertai gerak kaki yang kadang miring ke kiri ke kanan tak tentu arah membuat orang-orang itu menjadi sedikit kebingungan.
Sett! Sett! Trakk!!
Beberapa pukulan tongkat si bocah buta berhasil mengenai tangan kanan orang ke lima dari kiri. Meski hanya menyerempet saja, namun sudah membuat tangan yang memegang pedang kesemutan, dan akhirnya pedang itu jatuh ke tanah.
Sambil menggerakkan telinga ke kiri kanan, Jalu bisa mendeteksi tempat keberadaan lawan. Dan setelah bisa memastikan posisi keberadaan lawan tanpa bisa dicegah lagi, Jalu membuat gerakan tongkat setengah lingkaran ke arah lawan disertai hawa tenaga dalam penuh.
Wuuung! Bukk! Jurus 'kepiting Keluar Laut' kembali tepat sasaran. Orang itu langsung jatuh kelenger karena pundaknya terhantam remuk.
Pingsan seketika!
? Si Pemanah Gadis " Bab 4
Melihat salah seorang kawannya berhasil dijatuhkan seorang bocah buta bertongkat hitam dalam tiga jurus, membuat tujuh orang lainnya semakin meningkatkan serangan.
"Bocah buta keparat! Makan golokku!"
Seorang yang bergolok besar menggerakkan golok sedemikian rupa hingga membentuk gulungan golok membadai, mengurung ruang gerak Jalu Samudra.
Weerr! Wess!! Dengan mengandalkan indra pendengaran super tajam, Jalu Samudra bergegas menarik diri ke samping lewat jurus 'Kepiting Beringsut'.
Sett! Lagi-lagi si pemegang golok kaget mendapati kenyataan itu.
"Jurus apa yang digunakan bocah itu" Belum pernah selama akumalang melintang melihat jurus seaneh itu" Miring-miring kayak kepiting?" pikir si pemegang golok sambil bersalto ke atas menghindari sapuan tongkat hitam yang dilancarkan Jalu Samudra. "Bocah buta! Murid siapa kau ini?"
"Aku" Aku ya ... muridnya guruku!" sahut si bocah sambil melenting ke atas menghindari sabetan golok.
"Siapa nama gurumu?"
"Kusebutkan pun kau juga tidak bakalan tahu!" sahut Jalu Samudra sambil memutar tongkat hitamnya bagai kitiran.
Werr! Werr! Takk! Trakk! Suara beradunya tongkat dan golok terdengar keras. Jalu Samudra terjajar beberapa langkah ke belakang. Dan celakanya ... tepat di belakang bocah itu terdapat sebuah lubang yang cukup besar.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liang ular! Begitu kakinya menginjak udara kosong, tubuh si bocah buta itu terjeblos masuk ke dalam liang diikuti jerit lengking memanjang.
"Aaaaaa .... !"
Bersamaan suara lengkingan Jalu Samudra yang jatuh ke dalam lubang ular, terdengar pula jeritan kecil dari arah belakang.
"Ahhh ... !"
Rupanya Kumala Rani tidak berhasil menghindari sabetan pedang panjang lawan, dimana pundak kanan terserempet ayunan pedang hingga terluka cukup dalam. Praktis, pedang pendeknya jatuh ke tanah karena tangan kanan tidak kuasa menggenggam dengan erat.
"He-he-he, terimalah jurus 'Gagak Mencincang Bangkai'-ku, gadis binal! Hyaatt ... !"
Nila Sawitri dengan sepasang trisulanya tidak bisa berbuat apa-apa karena lima orang Perkumpulan Gagak Cemani menekannya dengan keras hingga tidak sempat memberi bantuan pada Kumala Rani yang terancam bahaya, bahkan gadis cantik itu masih sempat mendengar jerit lengking Jalu Samudra yang terperosok ke dalam lubang.
Wuuss!! Kumala Rani hanya menatap nanar pada pedang panjang yang berkelebat cepat melalui jurus 'Gagak Mencincang Bangkai' ke batang lehernya. Rasa ngerinya terhadap kematian terbayang di pelupuk mata.
Akan tetapi, rupanya Yang Maha Kuasa belum menghendaki nyawa gadis keras kepala itu pergi meninggalkan raga. Sesosok bayangan berkelebat cepat menyambar Kumala Rani diikuti dengan berkelebatnya sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menghambur ke arah orang yang mengayunkan pedang.
Blarrr ... ! Tubuh orang itu langsung hangus disertai bau sangit.
"Ilmu "Pukulan Tombak Akherat"!" seru laki-laki yang berada ditengah, "Semuanya mundur!"
Serentak tujuh orang dari Perkumpulan Gagak Cemani langsung berloncatan meninggalkan Nila Sawitri.
"Paman Suro Bledek! Paman Suro Keong!" seru Nila Sawitri sambil menghampiri orang yang baru saja melepas Ilmu "Pukulan Tombak Akherat" yang ternyata adalah Suro Keong adanya, sedang yang menyambar Kumala Rani adalah Suro Bledek.
"Suro Keong, cepat kau obati Kumala Rani! Biar begundal tengik ini aku yang menghadapi!" kata si Suro Bledek, seperti namanya, suara memang keras menggelegar seperti halilintar jika ia sedang marah.
Suro Keong, laki-laki yang tadi siang dijumpai oleh Jalu Samudra bergegas menotok beberapa titik jalan darah yang ada di pundak si gadis kecil, lalu ia menaburi jejak luka dengan bubuk putih.
"Dasar licik! Menghadapi gadis kecil saja pakai racun," gumam Suro Keong.
Sementara itu ...
"Sobat, kami tidak ada urusan denganmu!"
"Tidak ada urusan denganku katamu" Kalian mengeroyok keponakanku masih mengatakan tidak ada urusan padaku?" sahut Suro Bledek dengan suaranya yang menggelegar. "Apa nyawa kalian rangkap sepuluh hingga berani menghadapiku?"
Kali ini amarahnya benar-benar meledak. (kalau diumpamakan seperti petasan bersumbu pendek, tinggal disulut langsung meledak!)
"Perkara dia keponakanmu atau bukan, itu bukan urusan kami dari Perkumpulan Gagak Cemani! Tapi yang jelas, orang-orang Gunung Putri harus dimusnahkan dari muka bumi!" seru si lelaki yang ada di tengah.
"Ooo ... jadi kalian ini cecunguk-cecunguk dari perkumpulan ngawur itu!" seru Suro Keong dari kejauhan. "Bledek! Jangan banyak cingcong. Mereka telah membumihanguskan Perguruan Gunung Putri! Sikat saja sekalian!"
"Apa!?"
Kali ini jurus "Mulut Guntur" langsung terlepas tanpa kontrol dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga tempat itu bagai dilanda topan kecil.
Whozzz! Brakk! Enam orang dari mereka langsung jatuh bergelimpangan dengan telinga mengucurkan darah kental, sedang pimpinan mereka bertahan dengan dua tangan bersilangan di depan dada.
"Edan! Teriakannya bisa membuat gendang telingaku pekak!" batin laki-laki yang masih berdiri kokoh.
"Orang-orang Gagak Cemani benar-benar keparat! Lebih baik mampus saja kalian!"
"Tunggu se ... "
Belum lagi ucapan pimpinan rombongan selesai, langsung terdengar teriakan keras membahana yang langsung menerjang ke arah tujuh orang utusan Perkumpulan Gagak Cemani.
"Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... "
Bagai sebuah genderang perang di tabuh bertalu-talu sehingga menimbulkan getaran-getaran keras yang merambat cepat lewat udara dimana wilayah sejauh belasan tombak bergetar bagai gempa bumi.
"Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... "
Setingkat demi setingkat, Suro Bledek meningkatkan daya hancur jurus "Mulut Guntur" andalannya.
Pada tingkat ke lima, dua orang tewas dengan kepala pecah berantakan tidak kuat menahan daya hancur jurus maut Suro Bledek. Di tingkat ke enam, kembali tiga korban berjatuhan akibat serangan jurus "Mulut Guntur" dengan kondisi yang sama. Pada tingkat ke tujuh, dua orang lagi tewas mengenaskan karena seluruh tubuhnya hancur bagai dicacah-cacah dengan sebilah pisau tajam.
"Huaaaa .... haaaaaaaaa ... "
Kali ini tinggal sang pimpinan. Ia pun ikut berteriak keras untuk menahan serangan udara dari jurus "Mulut Guntur" yang kini memasuki tahap ke delapan. Namun bagaimanapun juga, jurus "Pekikan Gagak" milik si pimpinan rombongan kalah mutu jurus "Mulut Guntur" si Suro Bledek. Hingga memasuki tahap delapan setengah, si pimpinan sudah tidak kuat lagi menahan jurus sakti yang seolah-olah membetot tubuhnya dari segala penjuru. Dan akhir ...
"Toobbaaaatt .... !!!"
Diikuti teriakan keras, tubuh orang terakhir dari Perkumpulan Gagak Cemani meledak berhamburan membentuk serpihan-serpihan daging merah darah.
Dharrr ... dhuarr!!!
Sebenarnya sembilan orang jago dari Perkumpulan Gagak Cemani bukanlah orang-orang yang lemah. Mereka terkenal dengan sebutan Sembilan Gagak Sakti, dimana sembilan orang itu merupakan orang tingkat kedua dari perkumpulan tersebut. Sembilan Gagak Sakti berhasil dengan gemilang menghancurkan Perguruan Gunung Putri, bahkan puluhan murid Gunung Putri yang rata-rata gadis cantik pun menjadi budak nafsu setan mereka bersembilan.
Selesai memperkosa satu gadis, langsung dibunuh begitu saja!
Setelah dihitung kembali, ternyata masih tersisa dua orang yang bisa meloloskan diri. Tentu saja mereka tidak mau membiarkan mangsa lepas begitu saja, hingga akhirnya melakukan pengejaran dua hari dua malam lamanya. Pada akhirnya, Sembilan Gagak Sakti berhasil menyusul buruannya yang ternyata Nila Sawitri dan Kumala Rani. Belum lagi mereka memperkenalkan diri sebagai Sembilan Gagak Sakti, si mata juling telah tewas terlebih akibat terlalu meremehkan kekuatan lawan, tewas di tangan Jalu Samudra, si bocah buta. Hingga akhirnya Sembilan Gagak Sakti hancur di tangan Suro Bledek, pemilik jurus "Mulut Guntur".
"Hanya segitu saja, cuih!!" kata Suro Bledek sambil menarik kembali hawa tenaga dalam yang tadi dilancarkannya.
Lalu ia berjalan menghampiri kawannya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Racunnya sudah hilang, tinggal luka luar saja. Paling seminggu juga pulih." jawab Suro Keong.
"Jalu" Mana si Jalu?" teriak Nila Sawitri, panik.
"Jalu" Jalu siapa?" tanya Suro Keong.
"Si bocah buta! Tadi ia membantu kami menghadapi mereka," kata Kumala Rani lirih.
"Maksudmu bocah yang memegang tongkat hitam?" tanya Suro Bledek.
"Benar! Dialah orangnya!"
"Aduh, celaka!"
"Kenapa, Paman Bledek?"
"Kalau bocah buta itu berada di tengah-tengah mereka, pasti sekarang sudah jadi perkedel!" ucap Suro Bledek sambil berulang kali menepak jidat.
"Hah!?" pekik dua gadis beda usia itu.
"Kasihan sekali si Jalu! Padahal aku belum mengucapkan terima kasih padanya," kata Kumala Rani pelan.
"Kita cari dia! Siapa tahu ia masih hidup." kata Suro Keong sambil bangkit berdiri.
Mereka berempat dengan obor di tangan mencari di sekitar lokasi pertarungan. Namun tidak ditemukan satu petunjuk tentang keberadaan si bocah buta berbaju biru.
Tiba-tiba saja, Rani berteriak keras, "Kemari sebentar!"
Tiga orang itu segera bergegas menghampiri si gadis kecil yang saat itu sedang berjongkok.
"Ada apa Rani?" tanya Nila Sawitri.
"Lihat!"
Gadis itu menjumput sesuatu di rerumputan.
Sebuah sobekan baju warna biru laut!
"Ini ... ini kan baju si Jalu." gumam Kumala Rani. "Tapi kemana orangnya?"
Baru saja gadis itu melangkah ke depan, tiba-tiba ia terjeblos masuk ke dalam tanah.
"Eh?"
Wutt! Sebuah tangan kekar langsung menyambar pinggang si gadis kecil. Siapa lagi yang punya kecepatan kilat seperti itu jika bukan si Suro Keong, pemilik Ilmu "Pukulan Tombak Akherat?"
Jantung Kumala Rani berdebar kencang.
"Untung saja aku bertindak cepat, kalau tidak kau sudah dimakan ular raksasa!" kata Suro Keong sambil meletakkan Kumala Rani menjauhi tempat yang tertutup rumput. Suro Keong segera menghantamkan tangan ke bawah, ke arah rerumputan tebal.
Blumm! Sebuah lubang terkuak. Rupanya tebalnya rumput menutupi sebuah lubang yang menganga lebar. Terlihat beberapa selongsong kulit ular berserakan di dalam lubang.
"Kalau begitu ... "
"Kemungkinan besar, si Jalu terjeblos masuk ke dalam sarang ular ini." kata lirih Suro Keong setelah mengamati beberapa saat.
Kumala Rani dan Nila Sawitri terlihat sedih mendengar perkataan paman mereka. Mereka masih ingat kebaikan Jalu Samudra yang meski buta sudah mencarikan makan malam buat mereka berdua dan menolong Kumala Rani dari incaran ular.
Tiba-tiba Kumala Rani tersentak, "Paman! Berapa jumlah ular yang menghuni liang ini?"
"Memangnya kenapa?"
"Sebab tadi sore Jalu telah membunuh seekor ular besar di sebelah sana," kata Kumala Rani sambil menuding ke arah rimbunnya ilalang tempat ia mandi.
"Apakah ular itu belang-belang kuning keemasan dengan kepala sedikit membulat?" tanya Suro Bledek.
"Benar, Paman!"
"Hmmm ... si jantan telah mati!" gumam Suro Bledek, " ... jadi tinggal si betina saja yang berada di dalam sarang."
"Oooh ... kasihan si Jalu! Ia pasti jadi santapan ular," keluh Suro Keong.
Ia masih ingat betul bahwa tadi siang dirinya menawari si bocah untuk singgah dikediamannya, namun ditolak dengan halus.
"Lebih baik kita pulang saja!" ucap Suro Bledek.
"Lalu ... bagaimana dengan si Jalu?"
"Kita doakan saja supaya bocah buta baik hati itu diberi umur panjang. Hidup mati seseorang bukan urusan kita," kata bijak Suro Keong.
Akhirnya, mereka berempat meninggalkan tepi danau yang kini penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan.
Mayat Sembilan Gagak Sakti!
? Si Pemanah Gadis " Bab 5
Begitu memasuki liang ular, tubuh Jalu Samudra langsung meluncur tegak lurus dengan deras. Setelah sejaraklima belas tombak, bocah buta itu merasakan bahwa tempat dimana ia meluncur sekarang ini mulai meliuk ke kanan ke kiri. Beberapa kali kepalanya terantuk tanah padas.
Brakk! Brakk! "Mati dech aku ... " keluh Jalu Samudra saat kepalanya terbentur padas cukup keras.
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga membuat kepalanya berdenyut-denyut saking kerasnya setiap benturan.
Brakk! Lagi-lagi saat melalui belokan ke kiri, kali ini justru jidatnya terbentur padas padat, namun kali ini sudah bisa ditahan lagi.
Ia pingsan! -o0o- Entah berapa ia pingsan, tapi akhirnya siuman juga.
"Uhhh ... kepalaku ... " keluhnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
Lalu ia mengambil sikap semadi, dua kali terlipat membentuk teratai dengan dua telapak tangan saling bertemu di depan dada. Napas mengalir pelan dari hidung, melewati leher, dilanjutkan mengisi paru-paru. Begitu seterusnya hingga sebentar kemudian sebuah aliran hawa hangat yang berada di bawah pusar bergolak. Bocah berbaju biru itu segera mengalirkan hawa hangat ke seluruh tubuh.
"Hemm, lumayan juga! Kepalaku sudah tidak sakit lagi!" gumamnya. "Dimana aku ini?"
Keadaan liang yang gelap dan yang jelas karena ia buta, membuat Jalu sulit sekali menentukan arah dan dimana saat ini ia berada. Beberapa kali ia memiringkan kepala, namun tidak terdengar suara apa pun, hanya desiran angin yang menerpa dari arah depan.
"Angin bertiup dari depan ... kemungkinan besar ada lubang angin disana. Tidak ada suara seekor binatang pun di tempat ini."
Baru saja ia bangkit, tangannya secara tidak sengaja menyentuh sebuah benda panjang.
"Tongkatku!" serunya gembira setelah mengetahui bahwa benda yang tersentuh tangan kirinya adalah tongkat warisan dari nenek Tombak Utara.
Tongkat hitam! Dengan memegang tongkat hitamnya, ia mulai meraba-raba keadaan sekitar liang, dan akhirnya ia menemukan sebuah lorong.
"Hemm ... disini cuma ada lorong ini" Masuk atau tidak, ya?" gumamnya, " ... ah ... bodo amat! Paling-paling juga mampus."
Setelah mengambil keputusan bulat, ia memasuki lorong yang tidak diketahui seberapa dalam dan bahaya yang akan dihadapinya. Setelah berjalan dua tombak lebih, ia mendapati sebuah ruangan yang cukup besar dan lebar.
"Anginnya bertiup semakin kencang. Pasti ini sebuah ruang atau gua yang cukup besar."
Baru saja berjalan beberapa langkah.
Kriuukk! Kriukkk!
"Yach ... perutku minta jatah." keluhnya, "Biasanya ini perut baru minta jatah setelah empat hari. Apa aku pingsan selama itu ya?" katanya sambil duduk bersandar di dekat pintu gua. "Mau makan apa di tempat seperti ini?"
Saat ia berniat meletakkan tongkat di samping kiri, tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu yang menggantung berada persis sejangkauan di depannya.
"Eh ... apa itu tadi?"
Hidung sedikit mengendus-endus, mirip sekali dengan hidung anjing yang membau daging.
"Baunya harum sekali."
Dengan sedikit meraba-raba, akhirnya ia berhasil menemukan benda yang mengeluarkan bau harum semerbak.
"Apa ini?"
Tangan kanannya memegang-megang dua benda kecil sebesar buah tomat.
"Apa ini yang namanya tomat ya" Kata nenek benda seperti ini namanya tomat."
Setelah itu ia menggeser tangan, searah dengan buat yang disebutnya tomat.
"Buah apa ini" Kok besar banget! Apa kelapa ya" Dua lagi!" tangannya terus menggeser ke samping sambil mengomel panjang pendek. "Uh ... siapa sih yang kurang kerjaan menggantung buah tomat bersebelahan dengan buah kelapa."
Saat ia beralih ke sebelah, ia mendapati sebuah benda panjang yang cukup keras.
Hanya sebuah! "Benda apa lagi ini" Jangan-jangan ... ini mentimun?" katanya dengan nada aneh. "Aku pernah makan mentimun pemberian kakek. Meski sedikit keras, tapi bisa mengurangi lapar beberapa lama."
Setelah itu ia menggeser tangan ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ditemukan apapun di tempat itu.
"Enak dimakan nggak ya?" katanya. "Coba dulu ah ... moga-moga aja tidak beracun."
Setelah itu, Jalu menggeser sedikit ke kanan, melewati buah mentimun, dua buah kelapa dan akhirnya singgah pada buat yang disebutnya tomat, lalu dipetiknya dengan pelan.
Kress! "Hi-hi-hik, suaranya nyaring juga, kayak dipotong dengan pisau," katanya sambil memasukkan satu buah tomat ke dalam mulut. Setelah mengunyah sebentar, langsung ditelan, dan langsung amblas ke dalam perut. "Manis! Coba yang satunya!"
Ia pun memasukkan buah satunya ke dalam mulut, dan dengan cara yang sama benda itu akhirnya menghuni ke dalam perutnya.
"He-he-he, segar juga!" katanya sambil mengecap-ngecapkan mulut. "Sekarang yang mana lagi ya?"
Ia pun menggeser sedikit ke kiri.
"Kalau makan buah kelapa, ntar ngga habis. Lebih baik yang mentimun aja dech, buah kelapanya buat empat dan delapan hari ke depan." katanya setelah menimbang-nimbang antara makan buah kelapa dan mentimun. Kemudian ia memetik buah mentimun dengan lembut. Dan lagi-lagi terdengar suara pelan seperti pisau memotong daun.
Kress! "Wah ... yang ini juga bersuara nyaring. Jangan-jangan tanaman aneh ini ada penunggunya," gumamnya, "Bodo ah! Mau makan saja ribet amat! Perkara ada penunggunya atau tidak, itu urusan belakangan!"
Jalu Samudra dengan nikmat makan mentimun yang baru saja dipetiknya sambil duduk di dekat pintu gua.
Krauk! Krauk! "Edan! Ini buah apa batubata" Kerasnya minta ampun!" katanya sambil mengunyah cepat, terus di telan begitu saja. "Rupanya mentimun ini ngajak perang mulut! Baik aku layani!"
Dengan semangat membara, mentimun itu kembali beradu keras dengan gigi Jalu Samudra.
Krauk! Krauk! Suara beradu pun kembali terdengar di tempat itu, bahkan sampai menggema ke mana-mana, menjalari seluruh dinding dua. Setiap kali si bocah menggigit dan mengunyah, langsung terdengar suara gema yang kian lama kian keras, tapi semua itu tidak disadari oleh Jalu samdra.
Yang ada di kepalanya saat itu hanyalah makan dan makan!
Sepeminuman teh kemudian, buah mentimun yang kerasnya mirip batubata itu akhirnya kalah telak, dan kini menghuni perut si bocah buta.
"Wah ... sekarang kok haus ya" Ambil buah kelapa ah ... "
Baru saja ia bangkit berdiri, mendadak sebentuk arus panas dan kuat disertai rasa perih menjalari sekitar perut.
"Aduh ... celaka! Jangan-jangan buahnya beracun!" kata si Jalu sambil memegangi perut.
Saat ia menekan perut, tiba-tiba saja sepasang matanya bagai dijalari sengatan petir.
"Aahhh ... " jerit si Jalu sambil memegangi dua matanya.
Setelah mata, gantian bawah pusarnya, tepat dimana pilar tunggal penyangga langitnya berada, kini terasa panas membara bagai di godok dalam kuali.
"Huaa ... "
Kali ini jeritan si Jalu semakin keras " semakin keras dan semakin keras terdengar, seolah beusaha memenuhi seluruh ruangan dengan jerit lengking kesakitan. Sebentar kemudian, seluruh tubuh si Jalu merasakan sakit yang terus menjalari seluruh jalan darah di dalam tubuh. Rasa panas bagai di panggang api serta sekujur tubuh bagai dihujani sengatan halilintar datang silih berganti. Si bocah buta betul-betul mengalami siksaan yang berat.
Lebih berat dari kebutaan yang ia alami!
Suara teriakan keras diikuti dengan kelojotan tubuh yang berguling-guling kesana kemari memenuhi gua bawah tanah.
Sementara itu diluar sana, saat matahari musim kemarau berada tepat di atas kepala, seleret cahaya kilat datang silih berganti.
Sratt! Sratt! Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Semuanya mengarah pada liang ular, lalu berkelok-kelok dan akhirnya menghujani tubuh Jalu yang saat ini sedang berkelojotan menahan sakit akibat makan buah tomat dan mentimun aneh.
Zrrtt! Zrrtt! Semua orang bisa melihat kilatan itu dengan jelas, bahkan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang mengawasi latihan silat antara Nila Sawitri dengan Kumala Rani pun tercekat melihat kilatan cahaya putih di langit biru yang terang benderang.
"Apa akan hujan, ya?"
"Tidak mungkin hujan!" sela Suro Keong.
"Tapi kok ada kilat di langit?"
"Aku juga tidak tahu."
"Ini khan pertengahan musim kemarau, tidak mungkin terjadi hujan, Paman!" kata Kumala Rani, sambungnya " ... kecuali kepepet! Hi-hi-hi!"
"Maksudmu ... hujan di musim kemarau begitu?" seloroh Suro Keong, menimpali canda Kumala Rani.
Kilatan cahaya di langit hanya terjadi sebentar, setelah itu langit kembali bersih dan matahari semakin garang memancarkan sinarnya.
"Bledek, apa kau menghitung berapa jumlah sambaran kilat barusan?"
"Jika tidak salah hitungan sekitar sembilan kali." kata Suro Bledek.
"Benar! Sembilan kali tepat! Tidak lebih dan tidak kurang!" ucap Suro Keong, mantap.
"Memangnya ada apa dengan sambaran kilat sembilan kali" Kukira tidak ada yang aneh?"
"Aku masih ingat dengan perkataan mendiang guru kita. Jika di langit muncul sambaran kilat sebanyak sembilan kali, itu artinya ada orang yang berhasil menguasai Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" dengan sempurna."
"Apa" Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" yang legendaris itu?"
"Benar!"
"Maksudmu sempurna ... itu tingkat ke sembilan?"
"Tepat! Tingkat ke sembilan!" tegas Suro Keong, lalu bergumam lirih, "Tapi ... siapa orangnya yang bisa menguasai ilmu langka itu?"
Di dalam gua bawah tanah ...
Begitu sambaran kilat ke sembilan menerjang tubuh Jalu, sebuah lengkingan keras terdengar. Bahkan lengkingan kali ini lebih besar dari sebelumnya.
"Aaaaaahh ... "
Tubuh kecil itu kembali tersentak-sentak bahkan lebih keras dari sebelumnya dan ketika sampai pada titik kekuatan yang dimilikinya ...
Ia pingsan! Bagaimana pun juga, ia masih seorang bocah. Sakit atau pun derita tampaknya akan selalu membayangi perjalanan hidup bocah buta yang dibesarkan di oleh laut, tepatnya di Gua Walet. Sepanjang ia mengarungi samudra kehidupan selain kakek neneknya yang paling menyayangi dirinya, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan orang mencaci-maki dirinya dengan segala bentuk umpatan yang menusuk perasaan. Gelandangan-lah, pengemis-lah, si buta-lah, atau apalah sebutannya, ia terima dengan lapang dada. Justru dengan adanya caci maki itulah yang membentuk dirinya menjadi bocah bermental baja, berkemauan kuat dan pantang menyerah. Semua itu tidak lepas dari jasa baik Tombak Utara Tongkat Selatan yang mendidiknya sedari kecil. Caci-maki bagi Jalu merupakan cambuk yang bisa menguatkan semangatnya untuk bisa maju.
Baginya putus asa adalah dosa, sebuah perbuatan yang tidak bisa diampuni!
Meski ia mengalami siksaan lahir yang kuat dan menyakitkan, sebisa mungkin ia bertahan dengan sekuat tenaga. Sebisa mungkin hingga titik kekuatan tertinggi yang bisa ia raih. Saat ia mengalami siksa derita sehabis makan buat tomat dan mentimun aneh, sekuat mungkin ia bertahan dari serangan yang bertubi-tubi. Yang namanya laut saja ada pantainya, seperti halnya Jalu Samudra, kekuatan yang dimilikinya juga ada batasnya. Pada sengatan kilat ke sembilan, ia akhirnya kalah juga. Jiwa dan raganya ambruk, takluk oleh kekuatan alam yang maha dahsyat.
Justru karena ia makan tomat dan mentimun aneh itulah yang sebenarnya merupakan keberuntungan tidak terduga bagi si Jalu. Siksaan raga dan batin hanyalah proses penyatuan sepasang buah Naga Kilat dan Bibit Matahari ke dalam tubuhnya. Setelah penyatuan berakhir, maka berakhir pula siksa derita yang dialami si Jalu. Tanpa disadari sendiri oleh si Jalu, bahwa dalam dirinya kini bermukim dua kekuatan hebat yang bersumber dari Naga Kilat dan Bibit Matahari, dimana dengan penyatuan dua benda langka itu bisa menumbuhkan sebentuk kekuatan ajaib, yang oleh kalangan tokoh-tokoh persilatan disebut sebagai ...
Mata Malaikat! Tidak ada satu pun tokoh persilatan yang bisa menemukan bagaimana bentuk asli dari Mata Malaikat. Semuanya masih dalam bentuk praduga. Ada yang mengatakan sebuah ilmu sakti, ada pula yang menyebut benda langka, bahkan terakhir kabar terdengar ada yang menyebut sebuah kitab pusaka. Namun, jsutru seorang bermata buta yang tidak kenal sama sekali oleh tokoh silat mana pun, berhasil mendapatkan apa yang disebut sebagai Mata Malaikat dengan sempurna!
Padahal sebenarnya, yang dimaksud dengan Mata Malaikat adalah Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" tingkat sembilan!
Mungkin dinamakan sebagai Mata Malaikat karena siapa saja yang terkena ilmu ini, tubuhnya langsung berasap dan akhirnya mati dengan tubuh menghilang, seperti halnya malaikat yang bisa datang dan pergi bagai asap. Ilmu ini pernah dimiliki oleh pasangan tokoh putih dari Partai Pengemis dari Aliran Rajawali Terbang pada masa lima ratus tahun silam, yang dijuluki sebagai Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, yang konon kabarnya istri si Dewa Pengemis merupakan putri tunggal aliran Partai Pengemis (Gai Bang) dari Daratan Tiongkok.
Pada saat lima ratusan tahun silam hingga sekarang ini, Partai Pengemis dibagi menjadi tiga aliran yaitu Tongkat Dewa, Naga Perak dan Rajawali Terbang, dimana setiap aliran memiliki memiliki Ketua Aliran yang dipilih berdasarkan tataran ilmu kesaktian dan budi pekerti luhur. Tidak ada Ketua Tunggal dalam Partai Pengemis ini, sebab meski sama-sama dalam golongan pengemis, mereka tetap menghormati satu sama lain.
Barulah pada masa Dewa Pengemis-lah, tiga Partai Pengemis disatukan dalam satu wadah dengan tiga aliran masing-masing.
Dewi Binal Bertangan Naga yang waktu itu sedang terluka parah akibat kapalnya hancur di hantam badai, kemudian di tolong Dewa Pengemis muda dan akhirnya saling jatuh cinta kemudian mengikat diri sebagai pasangan suami istri. Dikarenakan kondisi luka yang tidak memungkinkan untuk belajar ilmu silat dalam tiga empat tahun ke depan, dua kitab sakti aliran aliran Partai Pengemis (Gai Bang) diberikan pada Dewa Pengemis untuk dipelajari, dimana si suami yang pada waktu itu sedang getol-getolnya mempelajari ilmu silat.
Itulah sebabnya, mengapa Dewa Pengemis hanya bisa menguasai tingkat tiga Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" dari leluhur aliran Pengemis yang diketemukan secara tidak sengaja di suatu tempat bawah tanah. Meski baru mencapai tingkat ke tiga dari Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari", tapi sudah bisa membuat Dewa Pengemis disejajarkan dengan tokoh-tokoh tingkat atas dan dianggap memiliki ilmu sakti tersebut, sebab dari kedua matanya bisa mengeluarkan kilatan cahaya yang bisa menghancurkan apa saja termasuk tubuh manusia yang tersentuh akan berubah menjadi debu. Sampai pada akhirnya, Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga menghilang dari percaturan dunia persilatan lima ratus tahun silam, hingga sekarang ini tidak ada yang mengetahui tempat terakhir dari tokoh utama golongan pengemis tersebut.
-o0o- ? Si Pemanah Gadis " Bab 6
Sembilan hari sembilan malam lamanya Jalu Samudra terbujur pingsan di tempat itu. Pakaiannya sudah compang-camping, hangus di sana-sini. Rambut gundul plontos, andai seekor lalat hinggap disana pasti terpeleset saking licinnya.
Pada hari ke sembilan, tubuh si bocah mulai terlihat bergerak-gerak. Saat ia membuka mata, tiba-tiba matanya terasa silau.
"Uhh ... cahaya apa ini" Kenapa silau sekali," katanya sambil memejamkan mata kembali. Setelah berkali-kali mengerjap-ngerjap mata menyesuaikan diri, akhirnya ia membuka kelopak mata. Begitu ia membuka mata, langsung terlonjak kaget.
"Lho ... sudah siang tho?"
Sebuah kata yang aneh terlontar dari mulutnya.
Tentu saja siang hari, terang benderang begitu masa' di bilang malam"
Goblok amat ni anak!
Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
"Ini ... pasti tongkatku," katanya sambil memungut tongkat hitam.
Ia pun melihat ke sekelilingnya. Semua terlihat jelas alias jelas terlihat. Bahkan sampai seberapa luas dan lebarnya gua ia tahu. Saat ia mendongak, dilihatnya beberapa kelelawar bergelantungan di atassana . Beberapa selongsong kulit ular terlihat berserakan dimana-mana.
"Tunggu dulu! Aku ... aku bisa melihat!" gumamnya sambil mengangkat dua tangan di depan mata. "Tanganku pun bisa kulihat dengan jelas."
Tiba-tiba ia berjingkrak-jingkrak seperti orang kesurupan.
"Cihuy! Asyiikkk!! Aku bisa melihat! Aku bisa melihat!" katanya dengan keras. "Aku tidak buta lagi! Asyiikkk ... !!"
Benar-benar kamso alias kampungan tur ndeso!
Makin lama lompatannya makin tinggi, dan hampir saja ia kepala botaknya benjol membentur atap gua, jika tidak dengan sigap mencengkeram tonjolan batu yang ada di depannya.
"Upss!"
Kress! Seperti meremas tahu, batu dinding gua itu langsung hancur. Tentu saja tubuh telanjang Jalu langsung meluncur ke bawah dengan deras.
Jlegg! Bless! Begitu menyentuh tanah, sepasang kaki bocah buta yang kini bisa melihat itu, langsung amblas setinggi lutut!
"Wah ... kok aku jadi hebat begini?"
Disentuhnya tanah didepannya dengan jari telunjuk kiri.
Bless! Tanah langsung bolong bundar!
"Jariku pun juga jadi hebat!" seru Jalu girang, " ... kalau gini sih jadi mendadak sakti dong!"
Bukan mendadak dangdut, lho!
Pelan-pelan ia mengangkat kaki kiri keluar dari lubang, diikuti kaki kanan dikeluarkan pula.
"Jadi orang sakti susah juga, harus bisa mengatur tenaga biar tidak kelewar takaran." keluhnya.
Saat ia menunduk dengan maksud melihat bekas injakan kaki, si Jalu terlonjak kaget.
"Wuaaa ... kok bisa gedhe begini?"
Tentu saja ia kaget, sebab ia melihat pilar tunggal penyangga langit miliknya menjadi panjang mendekati pusar dan berukuran lumayan besar, sedang berdiri tegak menantang mengajak perang. Dengan gemetar, ia mulai menyentuh pilar tunggal penyangga langit, dan disentilnya pelan.
"Benar-benar keras! Aduh gimana nih ... kok tidak lemes-lemes juga?" keluhnya, "Kalau dilihat orang khan malu. Ntar pada bilang masa" kuda ekornya di depan?"
Begitulah ... sesorean Jalu Samudra sibuk dengan hal-hal baru. Mata melek, lalu adanya lonjakan tenaga dalam yang berubah ribuan kali lipat, hingga perubahan postur tubuh yang menjadi lebih kekar, bahkan kulit menjadi lebih liat dan kenyal. Adakalanya ia mencoba jadi orang buta dan berjalan dengan tongkat hitam sambil mengetuk-ngetuk tanah, bahkan dengan otak mesum ia membayangkan tubuh telanjang Kumala Rani yang sedang mandi.
Dasar bocah piktor (pikiran kotor)!
Merembang malam, barulah ia bisa menyesuaikan dengan keadaan dirinya yang baru. Bahkan saat ia menemukan peti kecil yang berisi beberapa pakaian, langsung dipakai meski kedodoran dimana-mana, tapi sudah dari cukup membungkus rapat tubuhnya, terutama sekali pilar tunggal penyangga langitnya yang kini sudah kembali ke bentuk semula, meski saat tertidur terlihat gedhe juga dan rasanya berat di depan.
Di sudut gua, ia menemukan sebuah pancuran air dengan kolam jernih. Beberapa ekor ikan tampak berlalu lalang di kolam itu. Lalu ia menuju dimana beradanya sebuah peti kecil dan dari dalam peti kecil ia mengeluarkan satu jilid kitab yang terdiri dari tiga bab, terus berjalan ke pinggir kolam, lalu duduk uncang-uncang kaki di tepi kolam.
Pada sampulnya ia membaca tulisan jawa kuno yang berbunyi 'Kitab Dewa Dewi Diperuntukkan Bagi Yang Berjodoh' sedang dibawahnya tertulis 'Buah cinta Dewa Pengemis kepada Dewi Binal Bertangan Naga"!
"Apa aku berjodoh dengan kitab ini, ya?" renungnya setelah ia membaca sampul kitab.
Lalu pada lembar kedua, berisi sebuah tulisan yang cukup panjang.
Muridku, Jika kau bisa membaca tulisan ini, berarti kau sudah lulus ujian yang kami berikan!
"Ujian" Memangnya tadi ada ujian?" pikirnya.
Jika muridku laki-laki, haruslah berumur dibawah dua belas tahun dan jika seorang gadis haruslah berusia dibawah sebelas tahun.
Untuk mempelajari kitab ini, yang laki-laki terlebih dahulu harus selamat dari siksaan sambaran Naga Kilat dan dipanggang panasnya Bibit Matahari, sedang yang gadis harus selamat dari dinginnya Kabut Rembulan. Dua buah Naga Kilat dan Bibit Matahari diberikan khusus hanya laki-laki sedangkan dua butir Kabut Rembulan yang berukuran besar hanya boleh diberikan kepada seorang gadis. Keliru memakan dua jenis benda langka akan mengubah jiwa laki-laki menjadi berjiwa perempuan dan berjiwa perempuan menjadi jiwa laki-laki.
Ingat baik-baik pesanku ini, muridku!
"Jadi yang berbentuk bulat besar seperti kelapa gading itu namanya Kabut Rembulan. Wah ... untung aku tidak rakus kemarin! Kalau kumakan seluruhnya ... Hiiih! Makan Buah Naga Kilat dan Bibit Matahari saja sudah seperti ini, kalau sekalian kumakan Kabut Rembulan, kayak apa aku ya jadinya?" gumam Jalu sambil bergidik ngeri. "Mungkin dinamakan banci kali ya?"
Bisa dibayangkan laki-laki seperti dia memiliki payudara yang besar lengkap dengan pilar tunggal penyangga langit panjang dan besar.
Jalu Samudra melanjutkan dengan membuka lembaran kedua.


Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muridku, Akibat dari dua buah Naga Kilat dan Bibit Matahari akan memunculkan Tenaga Sakti Kilat Matahari yang jumlahnya sembilan tingkat. Siksa derita ini harus bisa kau tahan hingga sampai pada sambaran ke sembilan, jika kurang dari sembilan sambaran dan kau sudah jatuh pingsan, maka Tenaga Sakti Kilat Matahari hanya bisa dikuasai sampai tingkat dua setengah. Sama halnya jika tidak kuat dengan dinginnya Kabut Rembulan.
"Perasaan ... kemarin aku tersengat sambaran kilat sembilan kali berturut-turut. Tapi entahlah ... mau tingkat dua setengah atau sembilan kek, itu bukan urusanku," katanya mantap, lalu ia melanjutkan membaca.
Jika kau tidak tidak menelan buah Naga Kilat, Bibit Matahari atau pun Kabut Rembulan, jangan harap bisa membuka dan membaca kitab ini!
Mati hangus tersambar kilat atau mati beku diserang kabut!
"Ooo... begitu rupanya! Jadi untuk bisa membuka dan membaca kitab ibi, harus disiksa dulu. Kejam amat yang buat kitab ini!" gerutunya, " ... tapi, sekarang khan mereka berdua sudah jadi guruku. Ngga boleh mengejek guru dong, itu khan sama artinya mengejek diri sendiri."
Pada bagian bawah terdapat tulisan yang terdiri dua baris saja.
Seluruh isi kitab harus dipelajari semua!
Waktumu hanya sepuluh tahun sejak kitab ini terbuka, dan untuk keluar hanya dengan cara ikan menyusup ke kedalaman!
"Apa maksudnya?" kata Jalu sambil membuka lembar berikutnya, "Masa mempelajari kitab segini tebal harus sepuluh tahun" Mana cukup?"
Pada lembar berikutnya tertulis, Ilmu "Asmara Pemanah Gadis"!
"Ilmu "Asmara Pemanah Gadis?" Nama ilmu kok aneh begini?" katanya sambil membuka lembar berikutnya.
Begitu ia terbuka, langsung saja ia terperanjat kaget!
"Huah! Ilmu apa ini?" serunya sambil memelototi gambar-gambar yang ada di depannya.
Bagaimana tidak kaget, sebab yang namanya Ilmu "Asmara Pemanah Gadis" berisi gambar-gambar hubungan intim antara pria dan wanita, dimana pada tiap jurus memuat penjelasan detil tentang tata krama dan tata tertib plus aneka trik hubungan intim yang unggul, dimana seluruhnya terdiri dari "30 Jurus Asmara Pemanah Gadis". Nama-nama jurus juga ditampilkan dalam nuansa romantis.
Benar-benar lengkap!
Di bagian kiri atas terdapat sederet tulisan kecil yang berbunyi 'Karya cinta kasih Dewi Binal Bertangan Naga dan Dewa Pengemis'!
"Wah ... kalau ilmu seperti ini sih ... tanpa disuruh pun aku juga mau belajar. He-he-he ... asyik juga jadi murid mereka berdua!" ia berkata sambil membuka-buka lembar gambar yang ada, hingga tuntas seluruhnya. Bahkan jurus-jurus silat aneh yang intinya dari "30 Jurus Asmara Pemanah Gadis" terpampang disitu.
Lalu ia membuka bab berikutnya, tepatnya pada halaman ke tiga puluh tiga. Disana tertulis '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang karya Dewa Pengemis, di bawahnya tertulis 'Jurus ini merupakan gubahan terbaru dari "36 Jurus Tongkat Penggebuk Anjing (Da Gou Bang Fa)" dari Daratan Tiongkok serta seluruh inti ilmu silat Dewa Pengemis!'.
"Jurus Panah Hawa?" kata lirih si Jalu, sambil mengamati posisi tangan dan kaki dari gambar yang ada di dalam kitab.
Pada jurus pertama, tertulis 'telunjuk kanan menghadap ke langit, menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari'. Begitu ia mengikuti petunjuk dan posisi seperti gambar, dimana jari telunjuk kiri menuding-nuding diikuti hentakan tenaga dari pusar melewati jari.
Srett! Keluar seberkas cahaya putih berkelok-kelok dari jari telunjuk dan melabrak dinding di depannya, menimbulkan suara desisan keras.
Cuss! Brull! "Wah ... hebat! Dinding batu saja bisa berlobang," ujar si bocah kagum sambil mengamat-amati jarinya yang baru saja melepaskan "Jurus Panah Hawa" bagian pertama tanpa disadari. Begitu seterusnya, ia mencoba setiap jurus yang ada dalam Kitab Dewa Dewi itu. Hingga pada halaman ke tujuh puluh, terdapat tulisan yang cukup aneh bagi mata Jalu.
"Tulisan model rumput begini cara bacanya gimana?" keluhnya sambil membolak-balik kitab.
Akan tetapi terjadilah keanehan, begitu si Jalu membolak-balik kitab untuk ketiga kalinya, dibawah tulisan rumput keluar tulisan lain yang berbunyi '18 Jurus Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)'!
"Kitab ini pengertian sekali, cuma dibolak-balik saja bisa menterjemahkan tulisan yang tidak kumengerti." katanya sambil membuka-buka Kitab Dewa Dewi temuannya.
Pada bagian akhir kitab, dimuat pula tata cara bagaimana melatih Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" hingga tingkat ke sembilan.
"Lebih baik, aku latih dulu tenaga saktiku, biar bisa mengontrol dengan baik dan benar, tidak kelepasan seperti tadi."
Lalu bocah yang kini tidak buta lagi itu berlutut di tanah.
"Guru Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, murid Jalu Samudra memberi hormat! Serta berjanji dengan sepenuh hati belajar dengan giat dan pantang menyerah." katanya sambil membentur kepala tiga kali ke tanah. "Mohon arwah guru berdua merestui!"
Akhirnya, dengan kesungguhan hati, Jalu Samudra yang berjodoh dengan Kitab Dewa Dewi mempelajari kitab itu dengan seksama. Bahkan Ilmu Silat 'Kepiting Kencana' yang diwarisi dari kakek neneknya digabung dengan Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" semakin terlihat kehebatannya. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh Jalu Samudra yaitu kebiasaan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah seperti orang buta berjalan dan justru yang tidak disadari oleh si bocah, meski matanya bisa melihat seperti mata orang pada umumnya, bahkan mungkin lebih tajam, tapi bola mata si Jalu tetap berwarna putih bersih.
Mata orang buta!
-o0o- ? Si Pemanah Gadis " Bab 7
?"Orang-orang Gagak Cemani harus menerima pembalasanku! Gara-gara kalian, kekasihku mati!" geram seorang gadis cantik berpakaian putih-putih sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang diikuti dengan sentakan kuat ke depan berulang kali.
Syutt! Syutt! Darr! Daarrr! Orang-orangan dari tumpukan jerami langsung berhamburan diselimuti bau sangit menyengat saat sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menerabas langsung. Jurus apalagi yang digunakan gadis cantik berpakaian putih-putih itu jika bukan Ilmu "Pukulan Tombak Akherat", dan yang menguasai jurus maut itu selain Suro Keong yang dijuluki si Pendekar Tombak Putih, tentulah muridnya. Namun, ternyata ia bukanlah murid resmi si Pendekar Tombak Putih, tapi keponakan dari saudara seperguruannya yang bernama Suro Bledek, pemilik jurus 'Mulut Guntur'.
Pada sepuluh tahun silam, dua murid Perguruan Gunung Putri yang tersisa yaitu Nila Sawitri dan Kumala Rani ditolong oleh Suro Keong dan Suro Bledek dari keroyokan Sembilan Gagak Sakti, dan pada akhir pertarungan sembilan orang dari Perkumpulan Gagak Cemani harus melepas nyawa di tangan dua tokoh sakti itu, dimana yang satu orang justru terbunuh di tangan Jalu Samudra.
Delapan tahun sejak peristiwa maut itu, di saat Kumala Rani sedang berjalan-jalan dengan kekasihnya yang juga anak kepala desa yang bernama Raganata, mereka diserang orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani. Namun kali ini Raganata yang berilmu silat pas-pasan harus meregang nyawa menghadapi satu orang saja dari Perkumpulan Gagak Cemani. Yang pada akhirnya, sepuluh orang lawan Kumala Rani juga harus menyusul Raganata ke alam baka, sebagai bentuk balas dendam pada kekasih yang sangat dicintai oleh gadis cantik itu.
Kumala Rani kemudian semakin tekun berlatih silat dibawah bimbingan Suro Keong, sedang kakaknya Nila Sawitri yang saat itu baru saja menikah dengan seorang pendekar muda Rangga Wuni yang berjuluk Pedang Naga Perkasa juga menimba ilmu pada Si Mulut Guntur, sehingga pasangan suami istri itu masing-masing menguasai jurus "Mulut Guntur". Jika Rangga Wuni hanya mencapai tingkat enam justru Nila Sawitri berhasil menembus tingkat delapan. Sekarang pasangan suami istri itu menghuni puncak Gunung Naga yang bersebelahan dengan Gunung Putri dan mendirikan sebuah partai persilatan yang bernama Partai Naga Langit.
Mendengar bahwa kekasih adiknya tewas di tangan orang-orang Gagak Cemani, membuat Nila Sawitri naik pitam. Beruntunglah bahwa suaminya dengan sabar memadamkan kemarahan istrinya, karena memang belum waktunya mereka menggempur Perkumpulan Gagak Cemani yang telah membunuh Raganata dan juga menghancurkan Perguruan Gunung Putri.
"Rani! Jika jiwamu dalam kondisi tidak tenang, Ilmu "Pukulan Tombak Akherat" hanya berfungsi setengah saja," seru seorang yang berjalan dengan lambat-lambat menghampiri si gadis.
"Paman!"
"Bagaimana pun juga, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Rani!" kata Suro Keong sambil mengelus pelan rambut Kumala Rani yang saat itu berdiri dengan napas memburu, "Apa kematian Raganata masih terus membayangimu?"
Kumala Rani hanya terdiam. Tidak berkata berarti benar.
"Saat ini ... dendam kesumatmu harus kau kubur ke dasar hatimu yang paling dalam. Jika kau belum menguasai benar jiwamu, tingkat terakhir dari pukulan yang kau mainkan tidak bisa berjalan sempurna." kata Pendekar Tombak Putih sambil mendekati orang-orangan dari jerami itu, "Lihat buktinya! Seharusnya kau bisa menghanguskan seluruh bagian orang-orangan ini dengan ilmu itu, tapi pada bagian bawah masih utuh, tidak tersentuh sedikitpun hawa pukulanmu." sambungnya sambil menunjuk bagian bawah orang-orangan jerami.
Kumala Rani hanya menunduk lesu.
"Jika kau ingin bisa segera membalas dendam, hilangkan dulu hawa amarahmu." kata Suro Keong kemudian.
Gadis cantik berbaju putih segera menghela napas dalam-dalam, lalu dihembuskan dengan pelan melalui hidung dan mulut. Sebentar kemudian ia sudah merasa tenang kembali.
"Bagus!" seru Suro Keong, "Coba kau ulangi jurus pukulan tadi."
Kumala Rani mengarahkan dua jari tangan lurus kencang diikuti dengan sentakan kuat ke depan. Sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menerabas langsung dengan cepat. Kali ini sinar putih itu lebih cepat dan lebih berbahaya dari sebelumnya
Syutt! Syutt! Blub! Jdarr! Orang-orangan yang sebelah kiri yang masih utuh langsung hancur berhamburan diselimuti bau hangus menyengat.
Plok! Plok! "Kau betul-betul hebat, Rani!" seru seseorang dengan suara keras.
Siapa lagi jika bukan Suro Bledek, Si Mulut Guntur!
"Kekuatan seperti itulah Ilmu "Pukulan Tombak Akherat" yang sejati!" kata Suro Keong membenarkan ucapan Suro Bledek. "Gunakan dengan jiwa tenang, maka tenaga yang terpancar justru semakin mantap dan berbahaya."
"Terima kasih atas nasehatnya, paman berdua." kata Kumala Rani.
"Hari sudah sore, lebih baik kau mandi sana. Baumu sudah sampai disini," kata Suro Keong sambil memencet hidung betetnya. "Siapa tahu saja ada perjaka tampan yang bisa memikat hatimu jika sudah mandi bersih."
"Ah ... Paman bisa saja."
Kumala Rani segera masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan sebuah buntalan berisi baju dan celana.
"Kau mau kemana?" tanya Suro Bledek, heran.
"Mau mandi sekalian mencuci di danau."
"Tapi di danau khan ada ularnya?"
"Pukul saja dengan Tombak Akherat, khan beres." seru Kumala Rani dari kejauhan.
"Ooi ... ilmuku bukan untuk membunuh ular!" seru Suro Keong.
"Biarin!"
Kumala Rani sudah menghilang di kelokan yang ada di ujung jalan.
"Bocah itu makin lama makin bandel saja."
"Lha memang siapa gurunya" Khan kau juga!"
"Eee ... memangnya kau juga bukan gurunya?"
"Bukan! Aku khan gurunya kakaknya, bukan gurunya adiknya!" elak Suro Bledek.
"Huah-ha-ha-ha!"
Keduanya langsung tertawa terbahak-bahak.
Entah apanya yang lucu, pokoknya tertawa!
-o0o- ? Si Pemanah Gadis " Bab 8
Kumala Rani berjalan dengan cepat menuju danau yang telaknya di tepi hutan. Sejak ditemukannya bangkai ular raksasa dan mayat sejumlah sembilan orang pada sepuluh tahun silam, sampai sekarang tidak ada lagi penduduk yang berani lagi mencuci apa lagi sampai mandi di danau itu. Jangan kata cuma cuci muka, mau cuci kaki saja penduduk desa tidak ada yang berani, andai lewat sekitar danau saja mereka langsung lari sipat kuping.
Hingga sekarang hanya Kumala Rani yang berani mandi dan mencuci di danau, bahkan sang kakak sendiri, Nila Sawitri pilih mandi di rumah dari pada harus berjalanlima belasan tombak untuk mencapai danau bening. Habis mandi bersih kok sudah berkeringat, itulah kata yang selalu dilontarkan oleh Nila Sawitri pada Rani.
Sebentar saja, Kumala Rani sudah berada di tempat kesukaannya, sebuah cerukan batu yang cukup dalam dengan lebar tiga kali tiga tombak serta kedalaman dua tombak lebih sedikit. Cukup besar dan dalam untuk mandi dua belas orang sekaligus. Tempat itu menjadi rindang di bawah naungan pohon trembesi raksasa. Di kiri kanan terdapat pohon-pohon perdu dan batu-batu besar yang memang sengaja di susun gadis itu untuk meletakkan pakaian atau tempat cucian. Sebenarnya tempat itu adalah tempat dimana sepuluh tahun yang lalu ia mandi pertama kali di danau itu dan disana pula ia hampir mati jika tidak ditolong seorang bocah buta bernama Jalu Samudra.
Akan tetapi kali ini, tempat favorit Kumala Rani sudah ada orang yang senang asyik duduk di atas batu sambil uncang-uncang kaki yang dimasukkan ke dalam air.
Seorang pemuda!
Tentu saja Kumala Rani terkejut saat melihat seorang pemuda berbaju biru laut duduk membelakangi dirinya, bahkan sampai berani menduduki "wilayah kekuasaannya". Andaikan ia masih seperti sepuluh tahun yang lalu, pasti pemuda kurang ajar itu sudah babak belur dihajarnya.
"Siapa pemuda itu?" pikir Rani sambil berjalan sedikit memutar ke kiri untuk melihat wajah si pemuda.
"Aneh ... kenapa ia tidak bereaksi ya?" pikirnya lagi setelah bisa melihat sebagian wajah pemuda yang tertutup rambut gondrong, "Hemm ... tampan juga. Kulitnya lumayan bersih, dan dari sini ... Terlihat macho dan jantan, tapi ... kenapa memejamkan mata" Apa ia sakit mata atau ... sedang menikmati sejuknya udara sore?"
Kumala Rani menggeser langkah sedikit ke kiri. Kini jarak mereka berdua hanya satu tombak lebih sedikit.
"Kenapa aku jadi deg-degan" Seperti maling ketangkep basah saja," pikirnya.
Bersamaan dengan angin lewat, pemuda itu membuka sepasang bola mata, Kumala Rani langsung terkaget-kaget.
"Matanya putih!" pekik Rani, tapi cuma dalam hati. "Ia ... buta!"
Rani berjalan mendekat. Kini jaraknya tinggal setengah tombak dari si pemuda buta yang sedari tadi hanya diam membisu.
Kembali Kumala Rani tersentak kaget untuk kesekian kalinya saat pandangan matanya menatap sebentuk tongkat hitam dengan bentuk aneh tergeletak begitu saja di samping kiri si pemuda, tongkat itu mirip dengan tongkat yang pernah menolongnya sepuluh tahun yang lalu, di tempat ini pula.
Tongkat hitam milik Jalu Samudra!
"Kenapa cuma diam saja" Kayak maling saja kau ini," kata si pemuda lembut.
Saat si pemuda menoleh, seulas cengiran kuda terukir di kedua sudut bibir si pemuda.
"Ohh .. cengiran itu" Dia ... mirip sekali Si Jalu!" pekik Kumala Rani, yang berkali-kali hanya diteriakkan dalam hati.
"Kau ... Si Jalu?" tanya Kumala Rani sambil berjalan mendekat.
"Sepertinya aku pernah mendengar suaramu." kata si pemuda sambil tetap memasang cengiran khasnya.
"Ya ... suaramu ... suaramu! Kau memang si Jalu!" seru Rani dengan senang.
Si pemuda gantian yang kaget.
"Bagaimana kau tahu namaku?" tanya si pemuda yang disebut si Jalu.
"Masih ingatkah kau dengan seorang gadis kecil yang mandi di danau lalu ... "
"Lalu ada seekor ular besar yang hampir mencaplokmu, kemudian tongkat hitam ini yang mengemplang mampus ular itu."
"Tepat sekali!"
"Jadi ... kau ini Kumala Rani?" tanya si pemuda yang tak lain adalah Jalu Samudra.
"Itu juga tepat!" kata Kumala Rani yang entah kenapa ia senang sekali berjumpa dengan pemuda buta itu setelah sepuluh tahun tidak ketemu.
Akhirnya ... dua orang yang dulu bagai anjing dan kucing saling bertukar cerita sambil duduk bersebelahan. Jika Kumala Rani bercerita blak-blakan, justru Jalu Samudra menyembunyikan semua kenyataan yang terjadi pada dirinya. Bahkan saat ia keluar dari dalam perut bumi setelah sepuluh lamanya ia jadi manusia ular di dalam sana dan akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh isi Kitab Dewa Dewi milik Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga yang secara tidak langsung menjadi gurunya, ia lalu menceburkan diri ke dalam kolam, berenang melawan arus ke atas dan pada akhirnya ia sampai di ujung selatan danau itu tepat malam hari.
Jadi ... ia sudah berada di danau itu sehari semalam, bahkan sempat bermalam di atas pohon trembesi yang masih berdiri kokoh di tempat itu.
"Pantas ... waktu aku cari-cari yang kutemukan cuma sobekan bajumu di atas liang ular, kukira kau sudah menjadi santapan ular di bawah sana," kata Kumala Rani sambil menatap tajam wajah pemuda tampan di hadapannya.
Selama ini Kumala Rani tetap beranggapan bahwa Jalu Samudra yang tampan itu masih buta seperti sebelumnya, dan lucunya lagi si Jalu sendiri malah lupa mengatakan pada gadis cantik bertubuh aduhai dengan bongkahan daging kenyal putih mulus di dadanya bahwa ia bisa melihat dengan jelas segala macam benda di dunia ini. Tentu saja wajah cantik dan tubuh mulus gadis itu juga tidak terlewatkan.
Buta melek, itulah istilah yang pas untuk kondisi Jalu Samudra saat ini!
Kumala Rani perlahan-lahan ia melepas baju atasnya di depan Jalu.
Tentu saja pemuda itu terlongong bengong melihat perbuatan si gadis cantik.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku melepas baju."
"Untuk apa melepas baju" Kau kepanasan?"
"Aku mau mandi. Bodoh benar kau ini!"
"Mau mandi" Nggak salah, nih" Tapi aku kan ada di depanmu." kata Jalu dengan sambil menatap ke arah Rani. "Ntar kau marahin seperti dulu lagi?"
"Biarin aja." kata Rani sambil menggulung baju putihnya.
Saat ini gadis cantik itu masih mengenakan kutang putih tipis, hingga tidak bisa menutupi gumpalan daging segar montok putih mulus yang penuh seakan hendak meloncat keluar dengan ujung-ujung coklat kemerahan terbayang. Terlihat sekali kalau kutang putih tipis itu tidak sanggup memuat isi dada Kumala Rani.
"Aku kan bisa melihatmu mandi!?" ucap Jalu dengan jakun turun naik.
Bagaimana tidak turun naik, benda bulat padat menantang itu hanya sejarak satu jangkauan tangan saja.
"Hih-hi-hi, kamu khan buta ... jadi aku telanjang bulat di hadapanmu pun kau tidak akan bisa melihatku," kata Kumala Rani sambil melepas jarik yang melingkar di pinggang. "Silahkan saja kau bayangkan diriku yang sedang mandi telanjang bulat! Aku tak bakalan marah!"
Srett! Kini terpampanglah paha indah milik Kumala Rani lengkap dengan segala macam perabot yang sebelumnya tertutup rapat, termasuk pula pantat besar dan membulat. Kejutan sering dialami oleh Jalu Samudra, tapi kejutan kali inilah yang paling mengejutkan seumur hidupnya.
Melihat gadis cantik dengan sukarela telanjang bulat di hadapannya!
"Benar-benar sinting, ni anak," pikir Jalu Samudra dengan mata jelalatan memandangi tubuh mulus dan dada padat Kumala Rani.
"Kau benar-benar mau mandi?" tanya Jalu Samudra saat melihat gadis itu melepaskan kutang putih tipis yang menutupi sepasang dada montok putih mulus itu.
Tuiing! Sontak, buah dada montok putih mulus tergelar bebas di depan mata pemuda bermata putih.
Benar-benar bulat-bundar sempurna!
Sosok Kumala Rani yang tinggi langsing dengan kulit putih bersih dihiasi sepasang bukit kembar bulat montok, kencang dan padat menantang dengan ujung-ujung warna coklat kemerahan di tengah-tengah, tidak menggelantung seperti payudara gadis umumnya, tapi benar-benar berada pada posisi yang pas dan sempurna dilengkapi rambut kepala hitam legam panjang tergerai sampai punggung dibiarkan lepas bebas. Belum lagi dengan muka bulat telur serta bibir tipis kemerahan plus dada membusung kencang menambah pesona kecantikan Kumala Rani.
Tentu saja setan-setan burik di belakang Jalu mulai ngoceh seakan memberi aba-aba, 'sikat saja meen! Dah di depan mata tuh"!
Saat si gadis melepas perlahan-lahan benda kecil yang menutupi gerbang istana kenikmatan lengkap dengan hutan belantaranya, sudah membuat si Jalu menelan ludah saking terkejutnya.
Rani hanya tersenyum kecil melihat si buta tampan di depan turun naik buah jakunnya saat ia merapatkan pangkal paha putih mulus tanpa cacat itu.
"Pendengaranmu tajam juga! Pasti dalam otak kotormu sedang membayangkan tubuhku, bukan?" goda Kumala Rani.
"Tak perlu membayangkan ... aku sudah bisa melihatnya dengan jelas."
"Hihihi, dasar pemuda buta! Tak mau melihat kelemahan diri sendiri!" kata Rani sambil mengangkat ke dua tangan, bermaksud mengikat rambut panjangnya. Tentu saja sepasang buah dada montok gadis itu sedikit bergoyang dan terangkat naik, menimbulkan sebuah gerakan indah mempesona.
"Rambutmu tidak perlu kau ikat. Kau lebih cantik apa adanya begitu!" saran Jalu Samudra pelan.
"Benarkah?" ucap Rani sambil menurunkan tangan, tidak jadi mengikat rambut panjangnya.
Kumala Rani bangkit berdiri dengan bebas. Tentu saja gerakan tubuh gadis cantik padat berisi semakin membuat bara di dada Jalu Samudra semakin terbakar. Pelan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit miliknya mulai bereaksi. Kencang dan keras mengencang.
"Duh, kenapa pilar tunggal penyangga langitku pakai ikutan bangun segala" Dalam posisi yang salah lagi," keluh Jalu Samudra sambil mengubah posisi duduknya.
Byurr! Tubuh telanjang Kumala Rani langsung terbenam ke dalam air. Bagai ikan, ia berenang kesana kemari di dalam sana begitu sampai di dasar danau buatannya, lalu dengan sedikit mengempos tenaga, ia meloncat ke atas.
Brashh ... !! Air bermuncratan kesana kemari. Tubuh mulus penuh tetesan air keluar setengah badan ke atas. Dengan menggerakkan sepasang kaki putihnya, gadis itu terlihat mengambang di air. Pemandangan indah itu tidak luput dari mata putih Jalu yang semakin nanar memelototi tubuh mulus si gadis. Sebersit sinar mentari sore lolos dari kepungan dedaunan, dan biasnya jatuh tepat di tubuh telanjang menggairahkan itu. Jalu kembali menelan ludah. Payudara Kumala Rani yang tegak membusung tampak semakin indah dalam cahaya alami yang agak remang.
Namun yang pasti, Jalu Samudra yang jaraknya hanya setengah tombak dari tempat mandinya Kumala Rani bajunya langsung basah kuyup semua terkena cipratan air.
"Hi-hih-hik! Jalu, kau masih membayangkan tubuh mulusku, ya" Lihat aja ... lehermu naik turun begitu!"
"Enggak perlu dibayangin."
"Alaaa ... nggak perlu mungkir deh ... " seru Rani sambil mengibaskan tangan kiri.
Pratt! Air kembali muncrat, dan semakin membasahi baju si pemuda. kali ini si gadis berenang mendekat ke tepi cerukan yang agak dangkal, lalu ia tersenyum sambil berdiri di dasar batu hitam, membiarkan permukaan air hanya menyentuh bagian bawah kedua payudaranya. Mata gadis itu bersinar nakal, karena ia tahu Jalu Samudra sedang terperangkap oleh daya khayal tentang tubuh telanjang miliknya. Kedua puting payudaranya mengkilat oleh air dan kedua bukit putih mulus di dadanya menggelembung seperti mengajukan tantangan.
"Oii ... kau mau membuatku jadi seperti ikan, ya," seru Jalu sambil mengusap air yang mengenai wajah tampannya.
"Sekalian saja kau mandi disini. Airnya sejuk!"
"Mandi ... bersamamu?"
"Kenapa" Tidak mau?"
"Beneran nih?"
? Si Pemanah Gadis " Bab 9
Si gadis hanya mengangguk pelan. Nun jauh di dasar hatinya, ia merasakan sesuatu yang unik saat bercakap-cakap dengan Jalu.
"Aneh! Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya. Sepertinya Jalu begitu memikat di hadapanku meski ia buta. Menginginkan seorang pemuda mandi bersama" Ini hal aneh yang pernah kulakukan." pikirnya saat ia melihat si Jalu melepas pakaian biru dan celana hitamnya. "Sudahlah! Mungkin sudah saatnya aku membuka diri untuk pemuda lain." Lalu sambungnya dalam hati, "Meski ia buta, tapi tampan juga. Dada bidang dengan postur tubuh yang tidak begitu kekar, dengan kulit bersih terawat rapi. Dia bukan pemuda malas yang biasa aku temui. Dan yang jelas ... dia pernah menyelamatkan nyawaku. Kalau cuma membiarkannya mandi disini, kukira tidak ada jeleknya. Lagian ia buta sejak kecil, sampai matanya copot pun juga tidak bakalan bisa melihat tubuh indahku. Anggap saja ini sebagai balas budiku padanya."
Saat itu si Jalu sudah dalam keadaan setengah bugil, baju dan celana panjang sudah terlepas dan telah dilipat rapi, kini bersiap melepas celana dalamnya, tapi ia ragu-ragu.
Tentu saja keraguan itu dilihat oleh Kumala Rani.
"Lepas saja, kenapa sih" Apa perlu kubantu?" kata Kumala Rani sedikit nakal. Lagi-lagi ia merasa aneh sendiri, "Kok aku berani ngomong begitu sih?" pikirnya.
"Aku bisa sendiri, kok!" kata Jalu Samudra, "Beneran nih, mau ngajak mandi bersama" Ntar kalau kenapa-kenapa gimana?"
"Kenapa-kenapa gimana, maksudmu?"
Si Jalu hanya nyengir kuda sambil melepas celana satu-satunya yang masih menempel ditubuhnya, dalam hati ia tertawa senang, "Rupanya mau liat punyaku" Boleh!"
Sementara itu, setan-setan burik di belakang si Jalu berteriak-teriak kesenangan.
Begitu terlepas, mata Rani sedikit membelalak melihat benda yang tegak menantang di bawah perut si Jalu.
Pilar tunggal penyangga langit super jumbo!
"Wah ... gedhe banget!" pekik Kumala Rani sambil menutup mulut, agar tidak terlalu terdengar oleh si pemuda, dalam hati ia berkata, "Pilar tunggal penyangga langit Kakang Raganata kalah dengan milik si Jalu. Apa setiap orang buta memiliki pilar tunggal penyangga langit berukuran segitu?"
Si Jalu langsung terjun bebas.
Byurr! Menimbulkan suara ramai yang mengagetkan beberapa burung di atas pohon sambil ribut mencicit seperti segerombolan gadis marah-marah.
Air muncrat kemana-mana, bahkan Rani sampai terpekik kecil.
Gadis itu berenang menjauh sambil tertawa kecil, sedang Jalu bagai ikan menyusul dengan cepat di belakangnya. Bagaimana pun juga ia sejak kecil tinggal dekat laut, berenang dan menangkap ikan adalah keahliannya, apalagi jika menangkap ikan cantik, tentu ia lebih ahli lagi!
Dua insan beda jenis pun mandi bersama, saling canda dengan kecipakan air. Ada kalanya tanpa sengaja tangan Jalu menyentuh buah dada sekal Rani, yang tentu saja gadis itu maklum karena beranggapan bahwa si pemuda benar-benar buta. Padahal yang sesungguhnya memang disengaja (mumpung ada kesempatan) dan ada kalanya pula tangan Rani membalas menyenggol pilar tunggal penyangga langit si pemuda dari bawah air.
"Bagaimana kalau kita bertanding?" kata Jalu sambil mengapung di air, dengan gaya tidur terlentang.
Gadis itu kaget juga melihat gaya renang terapung begitu.
"Bertanding apa?" tanya Kumala Rani dengan sedikit berdebar-debar, sebab memang baru kali ini ia mandi bersama seorang pemuda, meski pemuda itu buta sekalipun (itu anggapan Rani lho ... !)
"Asal tidak bertanding mengapung saja," kata gadis itu kemudian.
"Bagaimana jika bertanding ... menyelam! Berani?"
"Siapa takut!"
"Lalu apa hukuman bagi yang kalah?" tanya Jalu.
"Tentu saja yang kalah harus tunduk pada yang menang!"
"Dalam hal apa?"
"Dalam segala hal!" timpal Rani cepat, tiba-tiba Rani menyadari bahwa ia salah kata. "Tung ... "
Namun terlambat!
Blubb! Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu bagai kura-kura laut sudah menyelam lebih dulu ke dasar danau, lalu duduk manis di bawah sana dengan kepala mendongak ke atas.
Apalagi jika tidak memandang tubuh mulus si gadis dari bawah air!
"Brengsek benar dia! Mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan," gerutu Kumala Rani, lalu mengambil napas dalam-dalam, terus menyelam ke dalam air. "Kau sudah menyelam duluan, sedang aku belakangan. Kau pasti kalah!" pikir Kumala Rani.
Blubb! Kumala Rani bergegas menyelam ke dasar danau. Meski hanya sedalam tiga tombak, tapi tekanan air di tempat itu lumayan besar. Dan itu dirasakan oleh Kumala Rani. Gadis itu yakin dengan kemampuannya bertahan di dalam air, tentu saja dalam hal ini hawa tenaga dalam yang dimiliki si gadis sangat berperan serta.
Sepeminuman teh lamanya mereka berdua hanya duduk-duduk saja tanpa melakukan gerakan apa pun!
Kumala Rani memandang tajam seraut wajah tampan si Jalu, lalu dengan curi-curi pandang menatap pilar tunggal penyangga langit milik pemuda yang duduk di depannya. Selebar mukanya panas dan beberapa segelembung udara keluar tanpa sengaja saat ia membuka mulut.
Blubb! "Kurang ajar! Jalu benar-benar berhasil memikat hatiku! Perasaanku jadi tidak karuan," pikirnya sambil mengatur hawa dalam tubuhnya.
Sementara itu si Jalu tenang-tenang saja, sebab saat ini dirinya menggunakan salah satu jurus dari "18 Tapak Naga Penakluk" yang bernama "Ikan Menyusup Ke Kedalaman" (Yu Yue Yu Yuan) yang selain bisa digunakan sebagai jurus tapak, juga berfungsi kuat berlama-lama di dalam air, karena ia menggunakan napas pori-pori kulit.
Curang juga dia!
Dua peminuman teh telah berlalu. Pertandingan menyelam antara Jalu Samudra dengan Kumala Rani sudah mendekati detik-detik akhir. Seluruh rongga dada Kumala Rani sudah panas terbakar karena terlalu lama menahan napas di dalam air. Beberapa gelembung air sudah berhamburan keluar, melayang sebentar ke atas dan akhirnya ...
Pyuss ... ! Pecah, membebaskan udara yang ada di dalamnya.
Payudara putih mulus dengan ujung coklat kemerahan semakin menggelembung padat. Hingga pada titik kemampuan yang dimilikinya, gadis itu akhirnya menyerah kalah, dengan sigap ia meluncur ke atas.
Byar!! "Huah-hah-hah!"
Kumala Rani megap-megap sambil berusaha mengatur napas. Rongga dada segera terisi udara segar. Napas gadis cantik itu sudah pulih sebagian sambil melihat ke bawah.
"Kuat benar dia!"
Kumala Rani dengan napas yang masih sedikit tersengal-sengal berenang menepi, dan duduk di atas batu besar yang menonjol, hanya kepalanya saja yang diatas air, sedang dari leher ke bawah masih terendam. Sepasang kaki indahnya sedikit terbuka dalam posisi ditekuk sedikit, sebab batu tempat duduknya hanya sedalam setengah tombak saja. Sambil memejamkan mata ia beristirahat akibat pertandingan menyelam yang melelahkan itu.
Justru yang kelabakan sekarang adalah Jalu Samudra yang masih berada dibawah dan yang paling senang tentu saja setan-setan burik di belakang sana yang langsung bersorak gembira.
"Brengsek! Dia malah duduk menggodaku, sepertinya gerbang istana kenikmatan itu sengaja disediakan untukku," pikir Jalu sambil terus memandangi tubuh telanjang Kumala Rani terutama pada segundukan gerbang istana kenikmatan yang ada di atas sana.
Pelan-pelan ia bangkit dari duduknya, lalu berenang pelan ke atas seperti kura-kura. Setelah dekat dengan sepasang betis indah Rani yang saat itu sedikit terpentang lebar, memperlihatkan sebentuk keindahan alami yang dimiliki para gadis. Kedua tangannya memeluk pelan paha mulus dan bibirnya bergerak mendekati gerbang istana kenikmatan.
Pemuda bermata putih melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Tidak pernah di atas air, apalagi di bawah permukaan air!
Tentu saja Kumala Rani kaget bukan alang kepalang, tapi hanya sebentar kemudian ia sudah mengerang lirih sambil memegang erat di kepala pemuda itu di bawah air. Kedua pahanya terkuak melebar ketika lidah pemuda itu melakukan apa yang biasa ia lakukan di mulut. Lidah panas terus menjelajah nakal, semakin dalam dan semakin dalam.
Kenakalan yang disukai Kumala Rani!
"Uuhh ... ssst ... ahh ... nikmat sekali!" keluh si gadis, dalam hati ia berkata, "Tidak kukira dengan cara seperti itu aku bisa merasakan getaran nikmat yang menjalari seluruh tubuhku."
Jalu Samudra sanggup menahan napas di dalam air cukup lama karena menggunakan "Ikan Menyusup Ke Kedalaman" (Yu Yue Yu Yuan). Tetapi dengan kegiatan baru ini, ia butuh udara lebih banyak. Cepat-cepat ia mengatur hawa di pori-pori kulitnya agar bisa mengambil udara yang ada di dalam air, lalu kembali ia melakukannya jurus bersilat lidah di dalam air. Kali ini pemuda itu mempraktekkan Ilmu "Asmara Pemanah Gadis" untuk pertama kalinya terhadap seorang gadis. Seluk beluk dan lekuk tubuh gadis yang tertera jelas di dalam Kitab Dewa Dewi dihapalnya dengan cepat, terutama pada bagian titik-titik kenikmatan yang bisa memanjakan seorang gadis, salah satunya adalah setitik benda bulat kecil sebesar kacang yang berwarna merah muda.
Salah satu jurus 'Asmara Pemanah Gadis' adalah jurus "Tikus Menggali Lubang", dimana jurus ini merupakan jurus rangsangan-pemanasan, tangan meraba-raba payudara sambil menjilat dengan lidah berlanjut hingga ke gerbang istana kenikmatan, namun jari tidak diperbolehkan masuk ke puncak gerbang kenikmatan, hanya menggesek-gesek lembut di sekitar atas pintu gerbang.
Sesaat Jalu melakukan sesuatu dengan kedua bibirnya di bawah sana, sontak Kumala Rani mengerang lirih dan merenggangkan lagi kedua belah pahanya. Ia ingin membuka diri selebar mungkin, karena rasanya ada sesuatu di dalam sana yang memerlukan sentuhan lembut tetapi cepat. Kumala Rani menggeliat sambil bertahan agar tidak merosot turun dari batu yang kini diduduki pantatnya!
Suatu saat Jalu mengambil napas segar ke permukaan air. Mengambil nafas dalam-dalam sebelum tenggelam lagi didorong lembut tetapi setengah memaksa oleh bidadari cantik yang sedang bertahta di atas batu dalam air. Gerakannya semakin cepat dan semakin tangkas. Dan Kumala Rani merasakan titik puncak asmara datang secepat kilat. Tubuhnya menegang-meregang, lalu bergeletar kecil dan berkali-kali.
"Oooh!" jeritnya sambil memejamkan mata erat-erat.
Ia tidak mau terbangun dari mimpi indah ini!
Sentakan-sentakan nikmat memenuhi sekujur tubuh gadis ini berputar dalam hitungan delapan, sembilan atau mungkin belasan kali.
? Si Pemanah Gadis " Bab 10
Kumala Rani terus menggeliat untuk yang kesekian kalinya dalam puncak asmara yang berhasil didakinya dengan sempurna, sebelum membiarkan tubuhnya luruh, masuk ke air lagi sebatas leher.
"Gila!" pikir pemuda ini dalam hati, "Gadis ini cepat sekali mencapai puncakasmara ."
Tapi justru apa yang barusan dia lakukan benar-benar lebih gila.
Tanpa permisi dulu meminta persetujuan si gadis, langsung serobot begitu saja!
Dua jenis manusia itu melanjutkan kegiatan saling menyalurkan kenikmatan ragawinya. Ada saat-saat di mana Rani seperti sedang meluncur cepat di pusaran air yang bergelora, terbawa arus entah ke mana, cepat sekali menggelandang di antara lika-liku kenikmatan yang diberikan secara jelas dan nyata oleh Jalu.Ada saat di mana sang gadis bagai melambung di atas bola-bola air, ada kalanya bagai melayang di atas awan yang bergumpal-gumpal.
Seluruh pori-pori tubuhnya dijalari rasa nikmat yang muncul bertubi-tubi ketika kulit mulusnya tersentuh, tertelusur, terjilat, tergigit, tersedot ...
"Oh ... !"
Rani sungguh tak pernah menyangka bahwa kendali dirinya bisa begitu cepat lepas. Ia membiarkan saja Jalu Samudra menciumi lembah dangkal di antara dua bukit sekal di dada, membiarkan tangannya meremas dan memilin bergantian di ujung-ujung bukit kembarnya. Dalam Kitab Dewa Dewi disebutkan salah satu kiat melakukan rangkaian jurusasmara tertinggi adalah "rayulah, rabahlah, biarkan dia merintihlah saat bersetubuh. Menjilat dan biarkan dia menjerit mencurahkan isi hatinya'.
Kali ini si Jalu sudah mulai mengawali langkah pertama!
Jalu mendorong tubuh mereka berdua semakin ke pinggir, ke sebuah lokasi yang agak lapang beralaskan batu hitam datar. Di situ Jalu mencoba melanjutkan dan menyempurnakan kegiatan mereka. Kali ini pemuda murid tokoh sakti masa silam itu bersiap-siap melancarkan jurus "Naga Bersalto Di Udara" dimana si gadis berbaring terlentang, sementara si laki-laki menindih dan menyerang dari atas dengan pilar tunggal penyangga langit yang kokoh bagai batu karang.
Kumala Rani terus mendesah, menggeliat, terlentang pasrah, dibiarkan pemuda tampan yang juga telanjang bulat itu mengangkat kedua lututnya, menguak sebentuk gerbang istana kenikmatan di antara kedua belah paha.
Kisah Pedang Di Sungai Es 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 15

Cari Blog Ini