Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Bagian 24
"Ya, karena dia bersama Kong-sun Toa-ko, maka itu dia tahu jelas persoalannya," kata nona Jen. "Karena sudah telanjur, akan aku katakan terus-terang padamu.
Sebenarnya Han To Yu punya dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Menurut Yan Hoo, Han To Yu sepakat akan mengambil Kong-sun Po menjadi
menantunya!" Bukan main kagetnya Kiong Mi Yun.
"Benarkah begitu" Apa kau tidak sedang bergurau padaku?" kata nona Kiong. "Yan Kong-cu itu cakap, jika aku jadi Han To Yu aku akan lebih memilih dia menjadi menantunya! Sedangkan Kong-sun Toa-ko mirip orang desa, mana mungkin Han To Yu memilih dia?"
"Aku tidak berbohong, keinginan Han To Yu ada alasannya. Dia ingin merangkul guru Kong-sun Toa-ko, jika puterinya dijodohkan dengan murid Ciu Tay-hiap, itu jalan yang paling baik untuk menarik Ciu Tay-hiap ke pihaknya."
Kiong Mi Yun jadi bingung. Dia pikir cerita itu masuk akal juga. Jika Ciu Cioh ingin berkuasa, dia harus dekat dengan Han To Yu. Dengan wajah berubah merah Kiong Mi Yun bertanya.
"Apa Ciu Tay-hiap menyetujuinya?"
"Ciu Tay-hiap jujur dan setia, dia memimpin rakyat melakukan perlawanan terhabap serbuan bangsa asing.
Sedang Han To Yu pejabat yang berkuasa sekarang ini.
1701 Untuk mendapat dukungan terpaksa Ciu Tay-hiap harus merangkul Han To Yu," kata nona Jen.
Ucapan nona Jen ini sekaligus jawaban untuk nona Kiong.
Melihat perubahan wajah nona Kiong, Jen Hong Siauw berusaha menenangkan hatinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, Kiong cici! Di dunia ini masih banyak pemuda yang cakap...." kata Jen Hong Siauw.
"Aku ikut gembira jika ceritamu itu benar," kata Mi Yun.
"Sudah malam sudah karut, mari kita tidur!"
Mereka mencoba tidur, tapi keduanya tak bisa tidur.
Malah tiba-tiba Kiong Mi Yun bangun dan duduk merenung.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Kiong Cici?" tanya nona Jen. "Kenapa kau tidak tidur?"
"Kau juga masih belum tidur?" kata Mi Yun. "Ada yang sedang aku pikirkan."
"Tentang apa?" tanya nona Jen.
"Tentang Yan Kong-cumu itu, aku ingin tahu asal-usulnya siapa dia dan dari mana asalnya?" kata Kiong Mi Yun.
Nona Jen kaget dia mengira Kiong Mi Yun sedang memikirkan kekasihnya, karena itu dia memikirkan Yan Hoo.
"Jadi kail aneh mendengar ucapanku itu?" kata Kiong Mi Yun yang melihat nona Jen kaget. "Aku tak bisa tidur karena aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!"
1702 "Kenapa kau tanyakan asal-usulnya, apa yang aneh" Oh, kau curiga tentang bicaranya yang campur-aduk dari berbagai daerah?" kata nona Jen.
"Ya, itu sebabnya aku bingung, sebenarnya dia berasal dari mana?" kata Kiong Mi Yun.
"Aku dengar dia sejak kecil suka berkelana, itu sebabnya ucapannya tidak murni!" kata nona Jen. "Katanya dia dari Buseng di Propinsi Shoa-tang. Lalu kenapa kau tanyakan soal itu?"
Kiong Mi Yun diam saja. Tapi nona Jen mendesaknya.
Sesudah didesak akhirnya Kiong Mi Yun menjawab juga.
"Aku ingin bertanya, apakah dia pernah ke Tay-toh atau tidak?"*) kata Kiong Mi Yun.
"Sayang, aku tidak tahu soal itu," kata nona Jen. "Aku baru dua kali bertemu, barangkali dia pernah ke sana!
Kenapa kau tanyakan soal itu, Kiong Cici?"
"Tidak apa, tadi aku asal bertanya saja, mari kita tidur!"
kata Kiong Mi Yun. Kiong Mi Yun pura-pura tidur, sedang otaknya bekerja keras. Dari logat bicara Yan Hoo itulah timbul kecurigaan nona Kiong kepadanya. Dia peminat bahasa, saat ikut ayahnya ke Mongol, dia sempat meneliti perbedaan berbagai dialek yang ada di sana. Kebetulan di kota Bit-in-kwan tempat mereka tinggal di Mongol, justru terdapat berbagai bangsa. Ada orang Mongol, orang Han maupun orang Kim.
Maka itu nona Kiong mengira bukan saja Yan Hoo pernah ke Tay-toh, tapi dia juga pernah tinggal di sana.
"Kalau begitu dia bangsa Kim! Tapi ah, barangkali aku salah duga?" begitu pikir nona Kiong. "Aku kira dia bohong 1703
mengatakan pada Jen Hong Siauw bahwa dia orang dari Buseng! Hm! Jen Thian Ngo orangnya licik dan licin, jika dia berani sekongkol dengan pihak Mongol, kenapa dia juga tidak berani bersekongkol dengan bangsa Kim" Aku yakin Yan Hoo ini bukan orang baik-baik!"
Nona Kiong jadi semakin bingung.
"Jika benar dia orang Kim, kenapa Kong-sun Toa-ko mengajari dia Keng-sin-ci-hoat" Jelas itu pelajaran dari Kong-sun Toa-ko!" pikir Kiong Mi Yun. "Jika benar mereka bekumpul di satu tempat, kenapa Bun Tay-hiap dan Ciu Tay-hiap pun bisa tertipu olehnya?"
Sesudah lama berpikir akhirnya Mi Yun mengambil kesimpulan.
"Misteri ini baru bisa terungkap jika aku bertemu dengan Kong-sun Toa-ko, tapi apa mungkin" Dari mana dia tahu aku terkurung di sini" Celaka aku ini!" pikir Kiong Mi Yun yang semalaman tidak bisa tidur sama sekali.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o*). Ketika cerita ini terjadi kota Tay-toh belum bernama Peking (Beijing menurut dialek Pin-yin). Perlu diketahui pada zaman Song ketika itu Tiongkok belum seluas sekarang. Wilayahnya masih kecil. Para pengarang cersil pada umumnya memusuhi bangsa Ceng (Boan) atau Manchu. Hingga terjadi pemeo di kalangan mereka, bahwa bangsa Boan yang menaklukan Kerajaan Beng (Ming) itu, adalah penjahat, musuh bangsa dan Negara.
Jika kita iseng melihat peta Tiongkok zaman sebelum Zaman Penjajahan Boan, Tiongkok tidak luas. Atas jasa bangsa Manchu itulah, Tiongkok menjadi selebar sekarang.
1704 Bangsa Manchu sesudah menduduki Tiongkok, mereka sengaja telah melebur diri baik bahasa maupun budayanya.
Mereka justru memakai bahasa Tionghoa dan kebudayaan Tionghoa. Ketika mereka memperluas Negara Tiongkok yang didukinya, lalu meluaskannya dengan cara berperang ke berbagai arah. Atau mereka menggunakan perkawinan politik, misalnya ketika mereka berhasil menguasai Monggolia, mereka gunakan cara "perkawinan politik".
Puteri Kaisar Kong Hie dinikahkan dengan putera raja Mongol dan seterusnya. Namun, yang kita tahu sampai hari ini, musuh bangsa Han adalah bangsa Boan. Jika diingat jasa bangsa Boan, sebenarnya merekalah yang memperluas daerah Tiongkok. Namun, secara patriot memang pantas juga, jika bangsa Han memusuhi bangsa Mancu yang memang penjajah negaranya. Tapi jasanya tetap ada. Red.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0oBAB 62 Kong-sun Po Akan Membebaskan Kiong
Mi Yun; Seng Liong Sen Dikerjai Oleh Wan-yen Hoo
Sedikitpun Kiong Mi Yun tidak mengira, kalau Kongsun Po sedang mencarinya. Pemuda itu justru sedang menuju ke tempatnya, karena Kong-sun Po sengaja datang mencari sang kekasih yang dirindukan itu.
Semakin dekat ke rumah Jen Thian Ngo, orang she Han itu semakin kuatir. Maka itu orang she Han itu memohon.
"Jika sudah sampai di rumah orang itu, aku harap kau tidak menyusahkan aku," kata orang she Han.
"Jangan takut, aku tidak akan menyeret-nyeret kau, jika sampai terjadi walau aku berkelahi dengannya," kata Kongsun Po. "Aku yakin jika aku mati olehnya dia akan berterima kasih kepadamu!"
1705 "Aku tidak ingin kau mati, malah aku harap kau bisa mengalahkannya," kata orang she Han itu."Sudah, ayo kita cari dia!" kata Kong-sun Po.
Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda. Tak lama tampak dua penunggang kuda mendatangi dari belakang mereka. Saat Kong-sun Po menoleh dan sudah saling melihat, mereka hampir bersamaan kaget. Mereka itu Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen.
"Eeh, ternyata kau" Kok kau ada di sini?" kata Ci Giok Hian girang.
"Tenyata kita bertemu lagi di sini," kata Seng Liong Sen.
"Bulan lalu aku bertemu gurumu," kata Kong-sun Po.
"Sayang aku tak ada di tempat," kata Seng Liong Sen.
Saat itu Ci Giok Hian langsung turun dari kudanya.
"Kau mau ke mana Kong-sun Toa-ko?" kata Ci Giok Hian sambil tersenyum manis.
Melihat isterinya bersikap ramah pada Kong-sun Po, Seng Liong Sen sudah lama tahu bahwa Kong-sun Po ini sahabat Kok Siauw Hong, timbul rasa cemburunya.
Begitu Seng Liong Sen dan Kong-sun Po sudah turun dari kuda mereka dan mereka saling memberi hormat, Seng Liong Sen bertanya kepada Kong-sun Po.
"Eh, Saudara Kong-sun, siapa sahabatmu ini?" kata Liong Sen.
"Dia Han Toa-ko dari Tiauw-houw-kan!" jawab Kongsun Po. "Aku ke sini diantar olehnya."
"Ada urusan apa kau minta diantar ke mari?" kata Seng Liong Sen heran sekali.
1706 "Aku akan mencari Paman Kok Siauw Hong, katanya Jen Thian Ngo tinggal di sini," kata Kong-sun Po.
Mendengar nama Kok Siauw Hong disebut-sebut, tentu saja Seng Liong Sen bertambah kurang senang.
"Jadi Paman Kok Siauw Hong tinggal di sini" Giok Hian, kenapa kau tak memberitahuku?" kata Seng Liong Sen agak kurang senang. "Jika aku tahu, kita bisa membawa oleh-oleh untuknya. Siapa tahu kita juga bisa bertemu dengan Siauw Hong di sini!"
Ci Giok Hian tahu suaminya kurang senang, tapi dia diam saja.
"Aku yakin Kok Siauw Hong tidak ada di sini, aku ke sini untuk mencari seseorang!" kata Kong-sun Po.
"Siapa?" tanya Ci Giok Hian.
"Nona Kiong, kau ingat tidak Nona Ci, nona yang kumaksud itu dulu pernah mengambil arakmu!" kata Kongsun Po.
"Aah, aku ingat. Nona itu yang kau cari" Seharusnya aku tahu saat kau sendirian, kenapa aku tidak menanyakan di mana dia?" kata Ci Giok Hian sambil tertawa karena ingat kejadian dulu.
"Bukankah dia puteri Kiong To-cu?" kata Seng Liong Sen.
"Ya, benar! Dia seorang nona yang baik!" kata Kong-sun Po.
"Kok kau bicara soal mengambil arak segala, bagaimana ceritanya?" kata Seng Liong Sen pada isterinya.
Mendengar pertanyaan suaminya hati Ci Giok Hian tersentak. Ci Giok Hian sadar jika Kong-sun Po 1707
menceritakan kejadian itu, pasti suaminya akan bertambah cemburu. Ingat peristiwa dulu Ci Giok Hian jadi berduka.
"Dia baik," kata Ci Giok Hian. "Tapi agak nakal dan iseng, arak buatan keluarga kami dia curi. Maka itu aku berkelahi dengannya. Dari situ kita jadi saling kenal satu sama lain!"
kata Ci Giok Hian mendahului Kong-sun Po agar pemuda itu tidak cerita tentang kejadian dulu itu.
Mata Ci Giok Hian pun dikedipkan ke arah Kong-sun Po yang mengerti maksudnya.
"Aah, di kalangan Kang-ouwjika berkelahi lalu jadi sahabat itu biasa," kata Seng Liong Sen. "Dulu kita juga begitu, kan?"
Tapi tak lama sikap Seng Liong Sen jadi dingin dan aneh. Tak lama Seng Liong Sen berkata lagi.
"Kau mencari dia di rumah Jen Thian Ngo, kenapa begitu?" kata Seng Liong Sen.
"Aku dengar dari Han Toa-ko, dia tinggal di sini!" kata Kong-sun Po.
"Aneh?" kata Seng Liong Sen. "Jen Thian Ngo itu di kalangan Kang-ouw dikenal jujur dan seorang pendekar, ternyata dia juga bersahabat dengan Kiong To-cu" Aku baru tahu!"
"Aku tak tahu apa mereka bersahabat atau tidak" Aku sendiri tidak yakin, apa Jen Thian Ngo ini bermaksud baik atau.... sebaliknya?" kata Kong-sun Po.
Ci Giok Hian pernah mendengar dari Kok Siauw Hong yang mencurigai sikap pamannya itu. Maka itu dia juga heran kenapa nona Kiong ada di rumahnya"
1708 "Bagaimana jika dia tak mau menyerahkan nona Kiong padamu" Kau akan bertarung dengannya?" kata Seng Liong Sen.
"Benar! Jika perlu aku akan bertarung dengannya!" kata Kong-sun Po.
"Eh, Giok Hian, jika tidak salah ingat, kau pernah bilang, keluarga Jen sahabat keluargamu, bukan?" kata Liong Sen.
"Benar," jawab isterinya. "Dulu Ayahku dengan Jen Thiang Ngo bersahabat, sesudah Ayahku meninggal dia jarang datang lagi ke tempat kami."
Dulu adik perempuan Jen Thian Ngo memang pernah dijodohkan dengan ayah Ci Giok Hian, tapi mereka batal berbesanan. Sesudah agak lama Liong Sen berpikir akhirnya dia bicara.
"Maaf, Saudara Kong-sun, rasanya jika kau langsung mencari nona Kiong ke rumahnya, aku rasa itu kurang sopan!" kata Seng Liong Sen.
"Menurutmu seharusnya aku bagaimana?" tanya Kongsun Po.
Seng Liong Sen berpikir lagi. Tak lama dia mulai menyampaikan rencananya.
"Bagaimana jika kami dulu yang ke sana, pasti Jen Thian Ngo tidak akan mencurigai kami. Jika benar nona Kiong ada di rumahnya, Giok Hian bisa menemuinya, lalu menanyakan kenapa dia ada di situ. Sesudah masalahnya jelas, baru kita minta agar dia membebaskan nona Kiong.
Jika dia menolak kita bisa bersama-sama menghajar dia!
Bagaimana menurut pendapatmu?" kata Liong Sen.
1709 Orang she Han yang sejak tadi ikut mendengarkan tertawa.
"Benar! Itu siasat yang baik," kata orang she Han itu.
"Baik, aku setuju," kata Kong-sun Po. "Tapi bagaimana aku bisa menghubungimu?" kata Kong-sun Po.
"Mudah saja! Nanti malam kau naik ke atas gunung, aku akan menemuimu," kata Seng Liong Sen. "Tempat pertemuan itu harus agak jauh dari rumah Jen Thian Ngo.
Lalu kau nyalakan api unggun, aku akan menemuimu di sana. Aku yakin kami bisa menyelidiki tentang nona Kiong untukmu."
Kong-sun Po polos dia percaya saja. Sekarang dia yakin Kiong Mi Yun ada di rumah Jen Thian Ngo, maka itu orang she Han itu dia pikir sudah boleh dibebaskan.
"Baik, usulmu aku terima," kata Kong-sun Po. "Terima kasih atas bantuan kalian!"
"Jangan segan-segan, kami ini sahabatmu juga," kata Liong Sen. "Kalau begitu kami jalan lebih dulu! Sampai nanti malam!"
Sesudah suami-isteri itu pergi, orang she Han itu berkata pada Kong-sun Po.
"Apa sekarang aku boleh pergi?" kata orang she Han.
"Aku lihat kau takut pada Jen Thian Ngo, baik pergilah!"
kata Kong-sun Po. Mendengar dia bebas, orang she Han itu girang. Sesudah dia bebas dia bisa memberi kabar pada Kim Jit atau yang lainnya. Sedikit pun Kong-sun Po tidak curiga, orang she Han yang dia bebaskan itu punya niat jahat. Sesudah itu Kong-sun Po terpaksa menunggu sampai hari sudah gelap.
1710 Dikisahkan Seng Liong Sen dan isterinya sudah naik ke atas gunung. Tapi di sepanjang jalan Ci Giok Hian tak habishabisnya heran melihat sikap suaminya itu. Maka itu di tengah jalan dia bertanya pada suaminya.
"Liong Sen aku lihat semula kau tidak simpatik pada Kong-sun Toa-ko, tapi tiba-tiba kau ingin membantunya, kenapa?" kata Ci Giok Hian.
Suaminya cuma tertawa sambil berkata.
"Bantuanku ini pun masih membutuhkan kerja-sama denganmu," kata Liong Sen sambil tersenyum sinis.
Menyaksikan wajah sinis suaminya Ci Giok Hian kaget dan ngeri. Ci Giok Hian sadar di "balik" kebaikan suaminya ada maksud jahat. Dugaan Ci Giok Hian ternyata benar.
Tiba-tiba Seng Liong Sen berkata pada isterinya.
"Giok Hian, kau lebih membela suamimu atau sahabatmu?" kata Seng Liong Sen.
"Aneh kau ini, tentu saja aku lebih membela suamiku!"
kata Ci Giok Hian. "Baik, akan kukatakan terus-terang, sebenarnya aku ke rumah Jen Thian Ngo bukan untuk urusan Kong-sun Po, tapi demi kepentinganku!" kata Seng Liong Sen.
"Apa maksudmu" Aku tidak mengerti?" kata Ci Ciok Hian.
Seng Liong Sen segera mendekatkan kudanya ke dekat kuda Ci Giok Hian. Setengah berbisik dia berkata pada isterinya.
"Untuk kepentinganku agar aku bisa menjadi lelaki sejati sebagai suamimu!" bisik Seng Liong Sen. "Kau mengerti maksudku?"
1711 Wajah Ci Giok Hian terasa panas dan berubah merah karena malu. Sejak mereka menikah mereka memang belum pernah berhubungan badan layaknya suami-isteri karena Seng Liong Sen impotent gara-gara Tik Bwee memberinya racun.
"Jadi kau pikir Jen Thian Ngo bisa mengobatimu?" kata Giok Hian menegaskan.
"Tidak! Hek-hong To-cu juga tidak akan bisa mengobatiku. Begitu pun Bibiku Seng cap-si Kouw, mungkin tidak bisa mengobatiku, karena dia juga tidak punya obat pemunahnya. Tapi ingat! Bibiku itu ahli racun dan dia bisa berusaha menyembuhkan aku!" jawab Seng Liong Sen.
"Heran" Kenapa kita tidak mencari Bibimu saja" Lalu untuk apa kita menemui Jen Thian Ngo?" kata Ci Giok Hian.
"Memang Jen Thian Ngo tidak ada hubungannya dengan Bibiku, tetapi... Hm! Temanmu itu kan ada hubungannya!" kata Seng Liong Sen dengan senyum liciknya.
"Di rumah Jen Thian Ngo ada temanku" Siapa dia" Oh, jadi yang kau maksudkan nona Kiong itu!" kata Giok Hian baru sadar.
"Ya, jika aku ingin bertemu dengan Bibiku, aku harus menggunakan dia!" kata Liong Sen kembali tersenyum licik.
"Aneh, aku tidak mengerti apa maksudmu?" kata isterinya.
"Baik, aku jelaskan. Aku dengar Bibiku ada di Hek-hongto, dia tertipu oleh ayah nona Kiong!" kata Seng Liong Sen.
1712 "Aah, apa benar begitu" Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?" kata Ci Giok Hian.
"Aku tak mau bilang karena takut kau menyulitkan aku,"
kata Seng Liong Sen sinis.
Itu cuma alasan Seng Liong Sen saja.
"Aku heran, Bibimu itu cerdas dan lihay, kenapa sampai bisa tertipu oleh Kiong Cauw Bun?" kata Ci Giok Hian.
"Ketika itu Bibi ada di daerah suku Biauw. Dia dikepung orang-orang yang menuduh Bibiku mencelakai Han Tay Hiong. Saat itu Kiong Cauw Bun pun ada di sana. Dengan licik dia menipu Bibiku dengan suatu rencana busuk.
Setelah Bibiku cacat, Kiong Cauw Bun mem-bawa bibiku ke pulaunya." kata Seng Liong Sen.
"Dari mana kau tahu cerita itu?" tanya isterinya.
"Bu Hian Kam menceritakan kejadian itu kepada guruku. Tentang Bibiku aku dengar dari orang Biauw yang menyaksikan kejadian itu. Semua cerita itu bisa dipercaya!"
kata Seng Liong Sen. Ci Giok Hian mengangguk, dia jadi ingat kenapa Liong Sen mengajaknya pergi ke utara, ternyata karena itu.
"Jika kau sudah tahu Bibimu ada di tempat Hek-hong Tocu, kenapa kau ajak aku ke utara?" tanya Giok Hian ingin tahu.
"Semula ke utara untuk menyandera Beng Cit Nio yang aku tahu baik padamu," kata Seng Liong Sen. "Dengan menyandera Beng Cit Nio Han Tay Hiong akan muncul dan meminta pada Kiong Cauw Bun agar membebaskan Bibiku. Aku tahu kekuatan Beng Cit Nio sudah berkurang setelah dia bertarung dengan Bibi dulu. Sebenarnya rencana ini baru akan kukatakan sesampai kita di rumah. Tapi 1713
sekarang ada perubahan mendadak karena aku dengar puteri Kiong Cauw Bun ada di tempat Jen Thian Ngo.
Dengan demikian kita tak perlu buang tenaga terlalu banyak lagi!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya isterinya.
Ci Giok Hian tahu suaminya licik, tetapi dia tidak mengira suaminya akan menggunakan tipu-muslihat serendah itu.
"Kau masih bertanya, tentu kita harus menangkap nona Kiong untuk dijadikan sandera. Kita paksa agar ayahnya menyerahkan Bibiku! Bukankah ini lebih baik daripada mencari Beng Cit Nio?" kata Seng Liong Sen.
"Jen Thian Ngo lihay, apa kita mampu
mengalahkannya?" tanya isterinya. "Selain itu aku dengar puteri Jen Thian No juga lihay. Bagaimana kita bisa melaksanakan rencana ini?"
"Tenang saja, kalau perlu puteri Jen Thian Ngo juga kita sandera. Dengan demikian ayahnya tidak berdaya!" kata Liong Sen. "Usaha kita memang sulit dan berbahaya, tapi untuk kebahagiaan kita bersama maka itu harus kita tempuh bersama juga!"
"Bagaimana dengan Kong-sun Po?" tanya isterinya.
"Biarkan saja anak dungu itu, untuk apa kita temui lagi dia?" kata Seng Liong Sen. "Hm! Kenapa kau sebut-sebut dia" Hm kau terkenang pada bekas kekasihmu, ya?"
"Keterlaluan sekali kau menghinaku!" kata Giok Hian.
"Maafkan, aku salah bicara," kata Seng Liong Sen yang takut isterinya akan marah.
1714 "Hm! Baik, kuikuti kehendakmu. Hati-hati bicaramu, nanti kata-katamu didengar orang!" kata Ci Giok Hian.
Dengan tak banyak bicara lagi mereka bergegas mencari rumah Jen Thian Ngo. Sesudah mendapat petunjuk dari tetangga rumah Jen Thian Ngo, mereka pun singgah.
Kedatangan dua tamu itu disambut oleh Jen Thian Ngo dengan perasaan heran dan curiga.
"Aah, kebetulan, bagaimana kalian bisa ada di daerah ini?" kata Jen Thian Ngo.
"Sudah lama kami dengar kau tinggal di sini, aku juga sudah lama ingin berkunjung ke mari," kata Seng Liong Sen berbasa-basi.
Melihat kedua muda-mudi itu hendak berlutut, Jen Thian Ngo mencegahnya. Dia menyuruh keduanya bangun sambil kedua tangan Jen Thian Ngo mencoba mengangkat mereka.
Seng Liong Sen kaget, dia merasakan tenaga orang tua itu kuat sekali. Seng Liong Sen sadar tuan rumah mungkin hendak menunjukkan tenaga-dalamnya yang tinggi.
"Nona Ci, ternyata kau sudah bersuami!" kata Jen Thian Ngo. "Kenapa tidak mengundangku saat kalian menikah?"
"Cuma pesta kecil-kecilan, mana berani kami menyusahkan Paman," kata Ci Giok Hian dengan malu-malu.
"Karena itu mohon maafkan kami," sambung Seng Liong Sen.
"Dulu orang tua Giok Hian sahabatku, sebaiknya kalian bermalam saja di sini untuk beberapa hari," kata Jen Thian Ngo.
1715 "Jika Paman tidak keberatan baiklah, malah aku ingin minta petunjukmu, Paman," kata Seng Liong Sen.
Sesudah mereka duduk Jen Thian Ngo mulai bicara.
"Syukurlah kalian datang. Saat di Cie-lo-san aku dan keponakanku Siauw Hong berpisah, apa kalian pernah berjumpa dengannya?" kata Jen Thian Ngo.
Orang tua ini khawatir karena kedatangan kedua anak muda itu hendak menyelidiki keadaannya, karena dia ingat Kok Siauw Hong pernah menangkap Ih Hoa Liong, muridnya. Ketika ditanya muridnya itu tak mau menjelaskan apa yang dikatakan pada Siauw Hong. Sebab Jen Thian Ngo cemas, Kok Siauw Hong akan menyebarkan kabar bahwa dia sekongkol dengan bangsa Mongol bisa berabe. Maka itu dia mencoba mengorek keterangan dari Seng Liong Sen dan isterinya.
"Aku pernah bertemu dengannya di Siong-hong-nia,"
kata Seng Liong Sen. "Tetapi aku tak tahu, pernahkah dia menemui Guruku?"
"Apa dia bicara tentang aku dengan kalian?"
"Tidak! Kami hanya bertemu sebentar, yang aku tahu dia sedang mencari Han Tay Hiong!"
Mendengar jawaban Seng Liong Sen, Jen Thian Ngo pun melihat pada wajah Liong Sen tampak kebencian dia pada Kok Siauw Hong. Sekalipun Seng Liong Sen berusaha menyembunyikannya, tapi Jen Thian Ngo yang
berpengalaman mengetahui hal itu.
"Dia benci karena tahu isterinya bekas kekasih keponakanku. Sikapnya baik kepadaku. Entah jika dia sudah tahu aku bersekongkol dengan bangsa Mongol?" pikir Jen Thian Ngo.
1716 Sekalipun puas tapi Jen Thian Ngo masih belum tahu, apa maksud kedatangan Seng Liong Sen dan isterinya itu.
"Mana puterimu" Apa dia sudah punya calon?" kata Giok Hian.
Niat Ci Giok Hian ingin menanyakan Kiong Mi Yun, karena takut Jen Thian Ngo curiga, dia mengalihkan pertanyaan dan menanyakan puteri tuan rumah dulu.
"Dia belum punya pacar, biarlah dia sudah dewasa.
Terserah dia saja," kata Jen Thian Ngo.
Mendengar basa-basi isterinya, Seng Liong Sen mulai tak sabar, dia langsung bicara.
"Aku dengar nona Kiong ada di rumahmu, apa benar?"
kata Seng Liong Sen. "Apa yang kau maksud itu puteri Kiong To-cu?" kata Jen Thian Ngo agak curiga.
"Ya, dia sahabat baik isteriku," kata Seng Liong Sen.
"Aku kenal ayahnya, tapi sudah lama tidak pernah bertemu dengannya," kata Jen Thian Ngo. "Dia memang ada di sini! Aah cepat sekali kau mendengar tentang dia?"
"Aku dengar dari seorang kawanku, tadinya aku tidak percaya," kata Seng Liong Sen.
Jen Thian Ngo memang cerdas, dari kawan yang mana Seng Liong Sen mendapat informasi" Jika dari anak buah Jen Thian Ngo yang diperintahkan "menculik" nona Kiong, tentu saja tidak mungkin. Dengan demikian terbuka sudah rahasia Seng Liong Sen. Dia jelas berbohong. Jen Thian Ngo sudah tahu kedatangan kedua suami-isteri itu mencari nona Kiong.
"Tunggu sebentar, akan kupanggil puteriku dan nona Kiong agar menemui kalian!" kata Jen Thian Ngo.
1717 Ketika itu di kamar Jen Gong Siauw, Kiong Mi Yun dan Hong Siauw sedang bercerita hal yang lucu, saat Mi Yun menyamar jadi pria dan jatuh cinta kepada Han Pwee Eng yang sebenarnya tunangan Kok Siauw Hong
"Sungguh menggelikan," kata Kiong Mi Yun.
"Kenapa geli, walau kejadian itu lucu juga," kata Hong Siauw.
"Aku tidak bisa menyalahkan Siauw Hong," kata Mi Yun.
"Aku kira Giok Hian juga salah, kenapa kekasih orang dia rebut" Aku dengar sekarang Giok Hian sudah menikah dengan Seng Liong Sen!" kata Jen Hong Siauw.
Tak lama ayahnya datang dan ayahnya mengatakan suamiisteri itu ingin bertemu dengan mereka, Hong Siauw bereaksi.
"Aku sebal menemui mereka!" kata Hong Siauw.
"Aku ingin tahu keadaan di luaran, mari kita temui saja mereka!" kata Kiong Mi Yun.
Mereka bersama-sama menemui suami-isteri itu.
Ci Giok Hian girang bertemu dengan Kiong Mi Yun, tapi dia jadi malu sendiri karena suaminya berniat jahat pada sahabatnya itu.
Di ruang tamu ada Jen Thian Ngo, maka itu saat Ci Giok Hian bicara dia agak kikuk. Hal ini dilihat oleh Kiong Mi Yun yang sedikit curiga. Wajah Ci Giok Hian tidak segembira dulu, saat dia berkelana.
"Apakah hidupnya tidak bahagia?" begitu Kiong Mi Yun menduga-duga.
1718 "Aku senang kalian yang muda-muda bisa bergaul," kata Jen Thian Ngo. "Sebenarnya masih ada seorang lagi, dia tamu mudaku yang perlu kuundang ke mari untuk berkenalan dengan kalian!"
"Siapa dia, Paman?" kata Ci Giok Hian.
"Dia Yan Kong-cu!" jawab tuan rumah. "Aku rasa ada baiknya kalian berkenalan dengannya."
Ci Giok Hian segera dapat menangkap nada
pembicaraan Jen Thian Ngo. Maka itu Ci Giok Hian menduga, Yan kong-cu itu pasti caton puteri tuan rumah.
"Ah, selamat Hong Siauw, ternyata kau sudah punya....
Kenapa tidak kau perkenalkan pada kami?" kata Ci Giok Hian.
"Aku baru kenal dengannya, kau jangan bicara begitu aku jadi malu," kata Hong Siauw.
Dia bilang begitu tapi hatinya senang sekali.
"Kalau begitu, mari kita bicara di tempat lain saja," kata Ci Giok Hian.
Pucuk dicinta ulam tiba, begitu kata pepatah. Sebenarnya nona Kiong pun ingin bicara berdua saja dengan Ci Giok Hian, maka itu dia senang sekali.
"Kau mau bermalam di sini?" kata Kiong Mi Yun.
"Mungkin!" jawab Giok Hian.
"Kalau begitu kau minta izin pada suamimu, agar malam ini saja kau tidur bersamaku," kata Mi Yun.
Seng Liong Sen yang mendengar kata-kata itu justru senang sekali.
"Kalian sahabat lama, jangankan hanya semalam beberapa malam pun boleh saja!" kata Liong Sen.
1719 "Sebelum kau pergi, kenalan dulu dengan Yan Kong-cu, dia juga bukan orang lain," kata Jen Thian Ngo. "Apa kau tak keberatan, Nyonya Seng?"
"Oh, tidak, kami orang kang-ouw tidak ada masalah."
kata Ci Giok Hian yang mengira Jen Thian Ngo salah paham, karena baru menikah dia tidak mau bertemu dengan lelaki lain.
"Kalau begitu tunggu sebentar, sebelum kalian masuk,"
kata Jen Thian Ngo. Sesudah itu Jen Thian Ngo masuk ke dalam akan mengundang Yan Kong-cu alias Wan-yen Hoo. Tetapi sebelum mereka keluar lagi, Jen Thian Ngo memberitahu Wan-yen Hoo, siapa saja tamunya itu. Dengan ramah Wan-yen Hoo memberi hormat kepada Seng Liong Sen.
"Sudah lama aku dengar namamu yang terkenal di kalangan kang-ouw, hari ini beruntung kita bisa berkenalan di sini," kata Wan-yen Hoo.
Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku baru saja mengembara, bagaimana sudah dikatakan terkenal?" kata Seng Liong Sen yang sebenarnya dia senang mendapat pujian itu.
"Aku bukan mau omong kosong, kau memang sudah terkenal bah-wa kau pengganti gurumu, Seng Siauw-hiap!"
kata Wan-yen Hoo. Melihat wajah Wan-yen Hoo yang ganteng, tapi mulutnya manis hanya dibuat-buat Ci Giok Hian ngeri dan sebal juga.
Sesudah itu dia juga memuji-muji Ci Giok Hian yang katanya mereka merupakan pasangan serasi. Sesudah berbasa-basi Ci Giok Hian yang hatinya tidak senang, langsung mengajak Hong Siauw dan Kiong Mi Yun 1720
meninggalkan ruang tamu. Nona Hong Siauw agak kecewa melihat sikap Ci Giok Hian ini, tapi dia tetap ikut masuk.
Sesudah semua pergi, Seng Liong Sen berbincangbincang dengan gembira bersama Wan-yen Hoo, seolah cocok dengan pemuda yang baru dikenalnya itu.
Mereka berbincang sampai jauh malam. Suatu saat Wanyen Hoo mengajak Seng Liong Sen jalan-jalan di taman untuk menikmati cahaya rembulan yang indah.
Tiba-tiba Seng Liong Sen ingat kepada Kong-sun Po. Dia yakin bocah itu sedang menunggu dia di suatu tempat.
Pembicaraan semakin asyik sampai bicara ke soal syair. Dia lalu membicarakan syair-syair Su Tung-po yang terkenal di zaman Song Utara. Wan-yen Hoo membacakan syair-syair Su Tung Po itu. Kemudian dia membacakan sajak orang asing. Sesudah itu dia bertanya pada Seng Liong Sen.
"Tahukah kau sajak siapa yang kubacakan tadi?" kata Wan-yen Hoo sambil mengawasike arah Seng Liong Sen.
"Tidak," jawab Seng Liong Sen jujur.
"Itu sajak bangsa Kim, ciptaan Wan-yen Liang!" kata Wan-yen Hoo menjelaskan. "Dia orang yang mengalahkan Kerajaan Song dulu!"
"Eh, apa maksudnya membicarakan sajak bangsa asing?"
pikir Seng Liong Sen keheranan.
Sesudah itu Wan-yen Hoo bicara soal ilmu silat yang dia katakan, ilmu silat bangsa asing tak kalah lihaynya dengan ilmu silat bangsa Han. Seng Liong Sen tersinggung mendengar hal itu.
"Anda benar, misalnya saja Bu-lim Thian-kiauw Tam Yu Cong, dia lihay dan dia bangsa Kim," kata Seng Liong Sen.
1721 "Tapi menurutku semua ilmu silat yang ada tidak setinggi milik bangsa Han!"
"Anda murid Bun Tay-hiap, pasti sudah mewarisi semua kepandaiannya, bukan?" kata Wan-yen Hoo agak panas mendengar negaranya diremehkan oleh Seng Liong Sen.
"Benar, tapi walaupun aku muridnya, aku tidak berbakat seperti beliau, jadi ilmu silatku masih rendah," kata Seng Liong Sen merendah sambil memberi hormat.
Sebenarnya Seng Liong Sen mengakui, dia seorang jago silat ternama.
"Sebaliknya aku, aku tidak memperoleh guru silat yang ternama, sekalipun aku pernah belajar ilmu silat bangsa Kim," kata Wan-yen Hoo. "Kebetulan kita berkenalan di sini, maukah kau menunjukkan beberapa jurus kepadaku sebagai pelajaran bagiku?"
Seng Liong Sen sedikit kaget, ketika dia tahu secara halus sahabat barunya ini menantang dia. Maka itu dia berkata lagi.
"Kau sebagai sahabat baruku, tidak perlu kau bilang aku memberi petunjuk segala," kata Seng Liong Sen.
"Aku dengar gurumu ahli tiam-hiat, maka itu aku ingin belajar kenal dengan ilmu tersebut. Maafkan kelancanganku," kata Wan-yen Hoo.
Kaget juga Seng Liong Sen mendengar permintaan yang sebenarnya bemaksud menantang ilmu totoknya itu.
Sebelum dia sempat menjawab, dengan cepat jari Wan-yen Hoo menotok ke arah dada Seng Liong Sen.
Bukan main kagetnya Seng Liong Sen, tapi segera dia berkelit sambil memuji.
"Totokan yang hebat!" kata Seng Liong Sen.
1722 Sesudah itu Liong Sen balas menyerang dengan sebuah totokan yang juga lihay.
"Bagus! Totokan yang bagus sekali!" puji Wan-yen Hoo sambil mengelak.
"Awas seranganku!" kembali Wan-yen Hoo menotok dengan sebuah gerakan yang indah.
Gerakan totokan itu belum pernah dilihat oleh Seng Liong Sen, maka itu dia keheranan.
"Ilmu macam apa ini?" pikir Seng Liong Sen.
Seng Liong Sen tahu gurunya ahli tiam-hiat, tapi jurus yang dipakai Wan-yen Hoo tak dikenalinya. Sekarang Seng Liong Sen tak berani menganggap remeh totokan lawan itu.
Tapi kelihatan Wan-yen Hoo sangat bernapsu ingin menjatuhkan lawannya. Seng Liong Sen kaget saat jari Wan-yen Hoo menyentuh tubuhnya, dia langsung kesemutan. Untung Wan-yen Hoo belum mahir sekali, hingga serangannya belum lihay sekali.
Melihat musuh keterlaluan ingin menjatuhkannya, Seng Liong Sen panas juga. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya. Tangannya bergerak dengan cepat sekali.
Tiba-tiba terdengar suara kain yang robek. Ternyata pakaian yang dikenakan Wan-yen Hoo robek bagian dadanya. Tapi tak lama terdengar suara keras.
"Buuk!" Seng Liong Sen mundur terdorong oleh pukulan lawan.
Terlihat Seng Liong Sen sempoyongan. Saat itu Wan-yen Hoo melompat. Sebelum Seng Liong Sen roboh ke tanah, dia sempat menahannya. Seng Liong Sen terjatuh tak berdaya.
1723 "Maaf, Seng Siauw-hiap!" kata Wan-yen Hoo sambil tertawa.
Seng Liong Sen berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuka totokan lawan. Namun sia-sia saja sampai Wan-yen Hoo menolonginya.
"Ternyata kau lebih lihay, Saudara Yan!" kata Liong Sen sambil menunduk malu.
"Bukan itu masalahnya," kata Wan-yen Hoo. "Aku bukan lebih lihay, tapi aku kira kau pun tahu sebabnya!"
Seng Liong Sen tidak mengerti apa maksud Wan-yen Hoo berkata begitu.
"Tolong Anda jelaskan, aku tidak mengerti," kata Liong Sen.
"Ilmu totokmu lihay, tapi tenaga dalammu yang kurang bagus," kata Wan-yen Hoo. "Jika tenaga dalammu kuat, mungkin aku sudah roboh olehmu. Tapi sayang...."
"Apa yang sayang?" tanya Liong Sen penasaran.
"Tapi maaf jika aku bicara terus-terang padamu," kata Wan-yen Hoo. "Barangkali tenaga kelelakianmu telah hilang entah gara-gara apa" Tapi ah, sudahlah tak perlu kukatakan lagi...."
"Kau benar," kata Seng Liong Sen dengan malu-malu.
"Tapi aku tak tahu apa kau tahu bagaimana akibatnya nanti?"
"Sekarang coba kerahkan tenagamu ke perut, apa ada perasaan aneh tidak?" kata Yan Hoo alias Wan-yen Hoo.
Saat dia mencoba mengerahkan tenaganya ke perut, keringat dingin Seng Liong Sen bercucuran. Dia kaget bukan kepalang.
1724 "Heran sekali," kata Seng Liong Sen. "Baru sekarang aku merasa begini! Coba kau katakan, kenapa begini?"
Wan-yen Hoo berbisik. "Ini akibat ada yang salah dari anggota tubuhmu!" bisik Wan-yen Hoo. "Akibatnya kau bisa lumpuh total!"
Bukan main kagetnya Liong Sen mendengar keterangan itu.
"Tapi ini baru gejala saja. Akibatnya akan dirasakan tiga tahun lagi," kata Wan-yen Hoo menambahkan. "Aku heran permusuhan apa di antara kalian, hingga begitu kejinya orang yang mengerjaimu?"
"Jika Wan-yen Hoo tahu penyakitku, maka aku yakin Wan-yen Hoo bisa mengobatiku!" pikir Seng Liong Sen.
Tetapi dia malu untuk berterus-terang, hingga sampai saat itu dia tutupi rahasia pribadinya itu. Sekarang terpaksa dia harus berterus-terang pada sahabat barunya ini.
"Orang yang mencelakakan aku itu, dia seorang budak Bibiku. Terus-terang dia mencintaiku secara sepihak, Dialah pelakunya hingga aku... aku jadi tidak bisa melakukan kewajiban sebagai suami. Jika kau tahu cara mengobatinya, aku mohon petunjukmu. Aku akan bereterima kasih sekali padamu!" kata Seng Liong Sen.
"Jangan berkata begitu, aku akan berusaha, hanya..."
"Hanya apa" Katakan saja!" desak Seng Liong Sen.
"Kau pernah dengar nama obat Thian-sim-ciok dari Sengsiok-hay di Kun-lun-san?" kata Wan-yen Hoo.
Seng Seng Liong Sen bingung karena dia baru mendengar nama obat itu.
"Belum pernah," kata Liong Sen terus terang.
1725 "Obat itu sangat sulit, sekalipun khasiatnya lambat, tapi jika diminum secara teratur pasti akan pulih penyakitmu itu!" kata Wan-yen Hoo.
"Benarkah" Apa kau punya obat itu?"
"Sekarang aku tidak punya, jika mau bisa kita cari," kata Wan-yen Hoo. "Tapi tempat itu jauh dari sini. Apa kau mau ke sana atau tidak?"
"Di mana itu?" "Di Tay-toh, di negeri Kim!" jawab Wan-yen Hoo. "Obat itu milik raja Kim dan ada di istananya!"
"Jadi kau.... Kau...." Liong Sen tak meneruskan katakatanya.
"Benar, aku pangeran Kim, sheku Wan-yen. Putera Wan-yen Tiang Cie!" kata Wan-yen Hoo.
'Jadi kau...." Lagi-lagi kata-kata Liong Sen terputus.
"Tenang! Bukankah Tam Yu Cong juga pangeran Kim?"
kata Wan-yen Hoo. "Sekali pun Ayahku panglima perang, aku tidak ikut campur urusan pemerintah. Aku lebih senang bergaul dengan orang yang cocok denganku."
"Setahuku Tam Yu Cong membantu bangsa Han, tapi kau siapa?" pikir Seng Liong Sen.
"Orang tidak ada yang tahu aku ini siapa, kecuali Paman Jen. Sekarang karena kau sahabatku aku berterus-terang padamu," kata Wan-yen Hoo.
"Terima kasih atas kepercayaanmu, tapi mana boleh aku bergaul denganmu, kau seorang pangeran," kata Seng Liong Sen.
"Kau sendiri murid jago ternama, jika kau bergaul denganmu malah kau yang rugi!" kata Wan-yen Hoo.
1726 "Begini saja, jika keberatan pergi bersama-sama, kau boleh datang sendiri ke Tay-toh (Bei-jing atau Pak-khia). Kau akan kuberi alamat yang sangat rahasia!"
"Maaf, aku tidak bisa pergi, tak apa jika penyakitku tak bisa disembuhkan, ini sudah takdirku," kata Seng Liong Sen.
"Tak perlu kau putus asa, kau punya isteri yang cantik, ingat itu!" kata Wan-yen Hoo membujuknya.
"Dia benar, isteriku cantik. Jika mati aku bisa jadi penasaran!" pikir Seng Liong Sen.
"Kau seorang Bu-lim Beng-cu," kata Wan-yen Hoo lagi.
"Jika kau sampai lumpuh, wah sayang sekali! Aku tahu bibimu memang ahli racun, tapi kau jangan terlalu berharap kepadanya. Apalagi sekarang dia ada di tangan Kiong To-cu yang lihay! Pikirkan itu!"
Seperti kaget Seng Liong Sen berpikir keras.
"Dia seolah bisa menebak rencana kedatanganku. Jika sampai dia menyebar luaskan soal kelemahanku, wah bisa berabe aku! Apakah aku terima saja tawarannya" Jika aku terima, pasti dia akan minta imbalan dariku entah imbalan apa?" begitu Seng Liong Sen berpikir.
Melihat Seng Liong Sen bingung, Wan-yen Hoo seperti tahu apa yang ada di otak Seng Liong Sen.
"Aku tahu kau takut rahasiamu itu tersebar di luaran, kan" Aku jamin, aku ini sahabatmu aku tidak akan menyiarkannya" kata Wan-yen Hoo.
Sesudah berpikir sejenak akhirnya Liong Sen berkata pada orang Kim itu.
1727 "Baiklah, kita bicara terus terang. Imbalan apa yang kau inginkan dariku?" kata Seng Liong Sen.
Wan-yen Hoo tertawa. Sebenarnya bukan karena pengetahuan Wan-yen Hoo luar biasa, sehingga dia tahu rahasia Seng Liong Sen. See-bun Chu Sek itu keponakan See-bun Souw Ya. Dari dialah Wan-yen Hoo mengetahui tentang Kiong Cauw Bun berhasil memboyong Seng Cap-si Kouw. Sedangkan tentang penyakit Seng Liong Sen diketahuinya dari Han Hie Sun. Dia tahu dari gurunya dan pernah menawarkan Ci Giok Hian kepada Han Hie Sun untuk dijadikan isterinya. Wan-yen Hoo tidak mengira kalau hal itu sekarang sangat berguna baginya.
Sebenarnya penyakit "impotent" yang diderita Seng Liong Sen tak ada hubungannya dengan tenaga dalamnya.
Tapi rasa sakit di perut Seng Liong Sen akibat totokan Wan-yen Hoo. Semua itu hanya bualan orang Kim ini saja.
"Jangan sungkan, aku ini sahabatmu," kata Wan-yen Hoo sambil tertawa.
"Jika kau tak mau berterus-tterang aku juga tak berani menerima pertolonganmu," kata Seng Liong Sen.
"Baiklah, kalau begitu aku akan berterus-terang," kata Wan-yen Hoo. "Ada sesuatu benda yang aku inginkan."
Mendengar orang Kim itu menginginkan sesuatu barang, hati Liong Sen lega. Itu berarti dia tidak pelu berkhianat pada guru maupun sahabat-sahabatnya bangsa Han.
"Benda apa itu" Coba kaujelaskan!" kata Seng Liong Sen.
"Aku perlu payung besi milik Kong-sun Po!" kata Wan-yen Hoo.
"Jadi kau ingin payung orang itu, tapi...." Seng Liong Sen tak meneruskan kata-katanya.
1728 "Kenapa?" tanya Wan-yen Hoo. "Kau keberatan?"
"Bukan! Bukan aku keberatan, masalahnya aku tak tahu entah di mana dia sekarang" Ditambah lagi dia lihay, mungkin bukan lawanku?" kata Seng Liong Sen.
Wan-yen Hoo tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak jujur, Saudara Seng!" kata Wan-yen Hoo.
"Maksudmu?" kata Seng Liong Sen.
"Hm! Bukankah tadi siang kau bersamanya" Masakan kau tak tahu dia ada di mana?" kata Wan-yen Hoo.
Sedikitpun Seng Liong Sen tak mengira, informasi tentang kedatangannya telah diketahui Wan-yen Hoo dari Jen Thian Ngo. Sedangkan Jen Thian Ngo tahu masalah itu dari anak buahnya yang ditemui oleh orang she Han yang dilepaskan oleh Kong-sun Po. Mendengar keterangan Wanyen Hoo yang rinci, Seng Liong Sen jadi gelagapan dan serba-salah.
"Ternyata kau lebih cepat nendapat informasi yang akurat," kata Seng Liong Sen. "Tadi siang memang aku bertemu dengannya! Tetapi..."
"Tetapi apa lagi?" kata Wan-yen Hoo. "Kau takut padanya?"
"Dia dan aku punya hubungan, kakek Kong-sun Po guru Ciu Cioh, sedang Ciu Cioh guru Kong-sun Po..." kata Seng Liong Sen.
"Semua itu aku sudah tahu!" kata Wan-yen Hoo. "Kau jangan takut, Kong-sun Po hanya sendirian. Jika kita bunuh siapa yang tahu" Karena dia lihay mungkin aku bukan tandingannya. Tapi dia temanmu. Mala itu dia tidak akan curiga jika kau temui. Saat dia lengah kau totok dia, beres 1729
kan" Jika kau gagal ada aku dan Jen Lo-cian-pwee. Ingat itu!"
"Apa, kau bilang Jen Thian Ngo ikut...."
"Ya, aku sudah bicara terus terang padanya," kata Wanyen Hoo.
Bukan main kagetnya Seng Liong Sen, hingga keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Apakah tindakan kita tidak terlalu kejam?" kata Liong Sen.
"Kenapa" Sepengetahuanku, dia bukan sahabat karibmu, aku tahu itu! Apa kau mau mengorbankan masa depanmu sendiri?" kata Wan-yen Hoo.
"Ah, dia sudah bersekongkol dengan Jen Thian Ngo.
Jika ajakannya aku tolak, ini berbahaya bagiku dan isteriku!"pikir Seng Liong Sen.
Sesudah lama berpikir akhirnya Seng Liong Sen mengangguk. "Baiklah," kata dia.
Wan-yen Hoo tertawa senang.
"Nah, begitu itu namanya kau sahabat baikku!" kata Wan " yen Hoo.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0oBAB 63 Seng Liong Sen Menyerang Kong-sun Po;
Puteri Jen Thian Ngo Berkorban Untuk Sahabatnya
Wan-yen Hoo memang jahat, selain menginginkan payung Kong-sun Po, dia juga ingin memiliki Negara Song seluruhnya. Tapi dia juga ngeri oleh perlawanan para patriot bangsa Han. Oleh karena itu dia butuh dukungan, 1730
misalnya dari orang yang seperti Seng Liong Sen dan orang Han yang tega menjual negaranya pada bangsa asing.
Maka itu dia berusaha memancing Seng Liong Sen agar mau datang ke Tay-toh (Bei-jing). Di sana dia akan memaksa pemuda itu agar tunduk kepadanya. Apalagi rahasia pribadi Seng Liong Sen, terutama tentang penyakit impotentnya. Dwngan demikian Seng Liong Sen bisa diancam dengan mengatakan, dia akan membuka rahasianya di depan umum. Pemuda itu pasti ketakutan.
Jika Seng Liong Sen sudah tunduk, dia bisa dijadikan matamata bangsa Kim di tengah para patriot bangsa Han.
Di tempat lain Jen Hong Siauw menemani Ci Giok Hian. Nona Ci tidur bersama Kiong Mi Yun dan Hong Siauw. Dengan demikian mereka bertiga bisa berbincangbincang dengan leluasa.
Sebenarnya Ci Giok Hian kecewa karena ditemani Hong Siauw, jadi dia tidak bisa bicara empat mata dengan Kiong Mi Yun. Maka itu saat mereka di tempat tidur, Ci Giok Hian hanya bercerita tentang masa kecil dan petualangannya di kalangan kang-ouw. Itu pun bukan yang penting-penting, tapi soal biasa saja.
"Dulu saat kita masih kecil, kau senang wangi dupa Liongyan-hiang. Aku pernah memberimu sebungkus. Apa kau masih punya sisanya?" kata Giok Hian.
"Ah, aku hampir lupa, dupa itu sangat harum, mencium harumnya terkadang aku tertidur lelap," kata Hong Siauw.
"Karena aku sayang dan harganya mahal, tapi sekarang aku lupa di mana aku menyimpannya" Ah, aku ingat di kamar baca, baik akan kuambil dulu dupa itu, ya!"
Sesudah Jen Hong Siauw pergi, Ci Giok Hian mendekati Kiong Mi Yun dan berkata dengan perlahan.
1731 "Mi Yun," bisik Ci Giok Hian, "totok aku!"
Kiong Mi Yun bingung. "Kenapa?" tanya Kiong Mi Yun.
"Jangan banyak bertanya, lekas kau totok aku sesudah itu kau harus segera kabur dari sini," bisik Ci Giok Hian.
"Tidak! Sebelum kau bicara jelas aku tak mau. Kenapa aku harus menotokmu dan lari?" bisik Mi Yun.
"Ada orang yang akan mencelakakan kau," bisik Giok Hian.
"Siapa?" "Jangan banyak bertanya, kerjakan perintahku!" bisik Giok Hian. "Jika ayal-ayalan bisa terlambat!"
"Teima kasih, tapi aku tidak mau pergi," bisik Mi Yun.
Saat itu Kiong Mi Yun berpikir orang yang ingin mencelakakan dia itu Jen Thian Ngo. Jika dia tentu dia sudah tahu. Saking gugup dan terburu-burunya, akhirnya Ci Giok Hian membuka rahasia. Melihat Kiong Mi Yun tak mengindahkan peringatannya, Giok Hian heran.
"Kakak Mi Yun, orang yang akan mencelakakanmu itu dia suamiku!" bisik Ci Giok Hian.
Mata Giok Hian mengeluarkan air mata.
"Oh, kiranya begitu!" Mi Yun baru sadar. "Ah, kau baik sampai kau sampai berani menentang keinginan suamimu!"
Sambil menyeka air matanya Giok Hian mendesak MiYun.
"Semua kuberitahu padamu, kenapa kau tak segera pergi?" kata Giok Hian.
1732 "Aku bukan tak mau, tapi bagaimana aku bisa keluar dari sini?" kata Kiong Mi Yun.
"Kenapa?" bisik Ci Giok Hian.
"Di rumah ini dipasang berbagai alat rahasia, kita bisa keluar jika Hong Siauw mau membantu kita!" bisik Kiong Mi Yun.
"Tidak mungkin, mana mau dia menentang ayahnya!"
bisik Ci Giok Hian yang jadi bingung sendiri.
"Memang aku juga ragu apa dia mau membantuku atau tidak, jika dia mau sudah lama aku kabur dari sini!" kata Mi Yun dengan suara perlahan.
"Kalau begitu ayo kita lari bersama, kita hadapi bahaya itu bersama-sama!" bisik Ci Giok Hian.
"Jangan! Aku tak ingin hubungan kau dengan suamimu retak! Selain itu aku yakin kau juga tidak tahu tentang perangkap yang dipasang oleh tuan rumah," kata Kiong Mi Yun. "Jika kita kabur pun akan sia-sia saja!"
"Jangan pedulikan suamiku, aku tak suka pada orang seperti dia!" kata Ci Giok Hian.
"Jika kau tak berkata begitu aku tak berani berterusterang. Semula aku juga heran, kenapa suamimu mau bersekongkol dengan JenThian Ngo?" kata Kiong Mi Yun.
"Terus-terang dia tidak bersekongkol dengannya, tapi dia punya rencana lain," kata Ci Giok Hian. "Sebenarnya,.... ah sulit kukatakan. Sebenarnya dia tak ingin mencelakaimu, dia hanya akan menyanderamu dan menemui ayahmu, lalu mengadakan tukar-menukar kau dengan bibinya!"
Kiong Mi Yun berpikir tidak pantas ayahnya menawan Seng Cap-si Kouw, sekalipun wanita itu jahat. Seng Liong Sen akan menyandera dia, ini pun perbuatan tidak baik, 1733
maka itu dia pikir ada rencana lain di benak suami Giok Hian"
Akhirnya nona Kiong berbisik.
"Baik, karena kau menyelamatkan aku, jika kita bisa lolos dari sini, aku akan memohon pada Ayahku agar dia membebaskan bibi suamimu!" kata Kiong Mi Yun.
"Apalagi kau punya cara untuk melolos dari sini?" bisik Ci Giok Hian.
"Kita coba saja, siapa tahu berhasil," kata Mi Yun. "Jika Hong Siauw kembali, kita bicara terus terang dengannya.
Dia dan ayahnya berbeda jauh. Aku juga akrab dengannya.
Siapa tahu dia mau menolong kita!"
"Bagaimana jika dia menolak, bukankah ini bisa semakin kacau," kata Giok Hian. "Tapi tak ada salahnya jika kita coba!"
Hari semakin malam sedang nona Jen tak munculmuncul juga.
Dikisahkan saat nona Jen akan ke kamar baca, dia harus melintasi taman. Saat sampai di taman dia dengar ada dua lelaki sedang bicara. Dia kenal itu suara Wan-yen Hoo dan Seng Liong Sen. Karena ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan, nona Jen mengendap-endap mendekati mereka secara diam-diam.
"Akan kudengarkan, apa yang mereka bicarakan. Nanti akan kukageti mereka!" begitu pikir nona Jen.
Mendengar pembicaraan Wan-yen Hoo yang sengaja membuka rahasia dirinya, Jen Hong Siauw terkejut. Dia dengar bagaimana liciknya Wan-yen Hoo memperdaya suami Ci Giok Hian. Apa yang dia dengar Wan-yen Hoo bicara.
1734 "Terus-terang, aku pangeran kerajaan Kim, Ayahku Wan-yen Tiang Cie!" kata-kata itu membuat Hong Siauw terperanjat. Kata lain yang membuat dia bertambah kaget, katanya ayahnya pun komplotan Wan-yen Hoo. Saat itu tangan dan kaki nona Jen dingin dan sedikit gemetar.
"Tidak mungkin, apa benar Ayahku seorang pengkhianat?" pikir nona Jen Hong Siauw.
Dia tahu ayahnya terhormat di kalangan kang-ouw. Tapi apa yang dia dengar dari mulut calon suaminya, pasti bukan omong kosong belaka. Malah saat sebulum masuk ke kamar, dia memang melihat orang she Li menemui ayahnya. Dia benci pada Li Jie Koay. Dia tahu orang she Li itu jahat. Dia
mendengar kalau ayahnya membicarakan soal payung pusaka. Sesudah mendengar pembicaraan Wan-yen Hoo yang meminta agar Seng Liong Sen merampas payung dari Kong-sun Po, Hong Siauw bertambah yakin ayahnya berkomplot dengan orang-orang jahat itu.
Tak lama Hong Siauw mendengar Wan-yen Hoo bicara lagi.
"Mari kita berangkat, pasti si dungu itu sedang menunggumu, ada tempat yang bagus untuk menghabisi dia...." kata Wan-yen Hoo.
"Baik," jawab Liong Sen.
Lalu keduanya meninggalkan tempat itu.
Sesudah keadaan sunyi kembali, Hong Siauw mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar-debar.
"Ah, jadi Ayahku itu orang jahat!" pikir Jen Hong Siauw.
Tanpa berpikir lagi dia lari ke kamarnya.
1735 Saat itu Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun sedang menunggu Hong Siauw kembali ke kamarnya. Melihat Hong Siauw muncul sambil lari, keduanya kaget. Begitu masuk dia langsung menangis.
"Eh, kenapa kau menangis. Kalau dupa itu hilang, sudah saja jangan kau pikirkan," kata Ci Giok Hian.
"Bukan soal dupa," kata nona Jen.
"Laku apa?" kata Kiong Mi Yun mencoba menghibur.
"Coba tenangkan hatimu, dan ceritakan apa yang terjadi pada kami!"
"Masalah ini tak boleh ayal-ayalan, lekas kau tinggalkan tempat ini Kiong Cici!" kata Jen Hong Siauw.
Memang semula akan minta tolong pada Hong Siauw, malah sekarang Hong Siauw yang menawarkan
pertolongan itu tanpa diminta lagi.
"Kami memang mau pergi, tapi...." Kiong Mi Yun tak meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu, jangan takut! Kalian akan kuantar keluar dari sini!" kata nona Jen Hong Siauw.
"Aku juga ikut kalian!" kata Ci Giok Hian.
"Benar, aku tahu suamimu.... Ah sudah nanti saja kuceritakan!" kata Jen Hong Siauw.
"Rupanya dia sudah tahu sifat suamiku?" pikir Giok Hian.
Atas petunjuk Jen Hong Siauw mereka berhasil meloloskan diri dari rumah Jen Thian Ngo. Sesampai di atas gunung Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian
mengucapkan terima kasih pada Jen Hong Siauw.
"Silakan kau pulang!" kata Ci Giok Hian.
1736 "Aku tidak mau pulang!" kata nona Jen.
"Tapi nanti ayahmu marah?" kata Ci Giok Hian.
"Aku tidak peduli padanya, aku juga tak ingin bertemu lagi dengannya," kata nona Jen.
"Kenapa?" tanya Kiong Mi Yun.
"Kong-sun Po berada di sekitar hutan ini, mereka akan mencelakakan dia! Ayo kita harus mencarinya!" kata Hong Siauw.
Di suatu tempat Kong-sun Po sedang menunggu kedatangan Seng Liong Sen dengan tak sabar. Sekalipun dia sudah menyalakan api unggun, tapi Seng Liong Sen tak muncul-muncul. Tentu saja Kong-sun Po jadi gelisah.
Tiba-tiba terdengar suara daun terpijak kaki orang. Tak lama Seng Liong Sen tiba sambil tertawa
"Saudara Kong-sun, sudah lama kau menungguku" Aku membawa kabar baik," kata Seng Liong Sen.
"Kau sudah bertemu dengannya, bagaimana apa kalian bisa menolonginya?" tanya Kong-sun Po'
"Jangan kuatir dia sudah keluar dari rumah Jen Thian Ngo!" kata Liong Sen.
"Di mana dia sekarang?" tanya Kong-sun Po girang.
"Aku disuruh isteriku memberi tahumu, bahwa malam ini nona Kiong dan dia akan melarikan diri. Mereka menunggumu di sebelah barat hutan ini!" kata Liong Sen.
Tanpa banyak curiga bagaimana Liong Sen dan isterinya bisa begitu cepat membebaskan kekasihnya. Kong-sun Po langsung mengucapkan terima kasih pada Seng Liong Sen.
"Bagus sekarang mari kita susul mereka, tolong kau tunjukkan jalannya," kata Kong-sun Po.
1737 Seng Liong Sen girang karena tipu-muslihatnya berhasil.
Lalu dia menunjuk ke arah barat.
"Mereka sedang menunggu kita di sana. Tapi sebaiknya kita ambil jalan berputar supaya tidak kepergok musuh!"
kata Seng Liong Sen. Tanpa pikir panjang Kong-sun Po yang ingin segera bertemu dengan kekasihnya, dia berjalan di depan diikuti Seng Liong Sen. Tak lama mereka sampai di sebuah jalan sempit yang berbahaya. Jalan itu berada di tebing gunung, jurangnya curam sekali.
Saat tiba di tempat itu jantung Seng Liong Sen berdebar.
"Sampai di jurang, kau dorong dia ke jurang! Begitu pesan Wanyen Hoo kepadanya.
Tapi aneh sampai di sini Seng Liong Sen malah raguragu. Dia tak tega melakukan pembunuhan demikian keji.
Dia pikir itu perbuatan manusia rendah. Tiba-tiba dia berpikir lain.
"Wan-yen Hoo dan Jen Thian Ngo telah bergabung, jika aku tak membunuhnya pasti mereka tak membiarkan aku lolos!" pikir Seng Liong Sen. "Celaka aku ini!"
Kong-sun Po yang merasa terlalu cepat berhenti menunggu Seng Liong Sen. Dia berkata pada sang kawan.
"Hati-hati Seng Siauw-hiap, jalannya licin!" kata Kongsun Po.
Saat dia berhenti, ternyata Seng Liong Sen sudah ada di belakang Kong-sun Po.
"Terima kasih atas perhatianmu, aku juga hati-hati. Jalan di pegunungan memang begini," kata Seng Liong Sen.
1738 Sambil bicara suami Ci Giok Hian menotok Kong-sun Po. Tiba-tiba Kong-sun Po merasa sedikit kesemutan, lalu berkata pada kawan-nya.
"Apa yang kau lakukan, saudara Seng?" kata Kong-sun Po.
Untung Kong-sun Po tak sampai jatuh ke jurang.
Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat Seng Liong Sen menotok jantungnya berdebar, hingga tangannya agak gemetar. Sasaran totokannya jadi meleset, sehingga Kong-sun Po tidak terkena telak oleh totokannya. Semula Seng Liong Sen hendak mendorong Kong-sun Po ke jurang. Tapi karena tidak tega dia asal totok saja.
Sekarang Kong-sun Po sudah bisa berdiri tegak kembali.
"Apa yang kau lakukan, saudara Seng?" kata Kong-sun Po.
"Benar, aku pun ingin bertanya begitu!" kata suara seseorang.
Saat diawasi Kong-sun Po mengenali orang yang bicara itu Wan-yen Hoo.
Rupanya orang Kim itu sudah lama ada di situ sedang bersembunyi sebelum Kong-sun Po dan Seng Liong Sen tiba. Sesudah itu Wan-yen Hoo melompat, pedangnya di arahkan kepada Kong-sun Po.
"Kenapa Liong Sen ingin membunuhku?" pikir Kong-sun Po. Tapi karena pedang Wan-yen Hoo sudah tiba, Kongsun Po tak sempat berpikir lebih jauh. Dia tak sempat untuk berkelit, tapi dia merasakan dadanya tertusuk pedang lawan. Tapi Kong-sun Po cukup lihay, sebelum pedang lawan menembus lebih dalam, dia sudah mengelak dan tangan yang satu dipakai menepis pedang, sedang tangan 1739
kanannya mencengkram tangan Wan-yen Hoo yang memegang pedang.
Di luar dugaan Wan-yen Hoo pun lihay. Dia tahu jika tusukannya gagal, lawannya akan membalas, maka itu dia tarik pedangnya. Lalu ditusukkan ke sasaran lain. Pukulan Kong-sun Po datang, dia gunakan tangannya menangkis serangan Kong-sun Po.
Saat kedua tangan mereka beradu, Kong-sun Po terdorong mundur beberapa langkah. Sedang Wan-yen Hoo pun terdorong mundur. Melihat Liong Sen diam saja seperti terpesona, Wan-yen Hoo membentak.
"Liong Sen kenapa diam, ayo maju lagi!" kata Wan-yen Hoo.
Saat itu Wan-yen Hoo sudah menusukkan pedangnya, tapi Kong-sun Po menangkis dengan membuka payungnya.
Tak lama terdengar benturan keras, lelatu api pun memancar. Sekarang Kong-sun Po sudah bergeser menjauhi tebing jurang yang curam.
Seng Liong Sen yang baru diperingati oleh Wan-yen Hoo sudah maju menyerang, hingga Kong-sun Po kaget.
"Seng Liong Sen, apa kau tahu siapa dia?" kata Kong-sun Po.
"Pasti dia tahu!" ejek Wan-yen Hoo. "Jika tidak mana mau dia menyerangmu" Ayo serang lagi!"
"Keterlaluan, jika kau tahu siapa dia, kenapa seorang murid Bu Tay-hiap bersekongkol dengan bangsa Kim?" kata Sun Po.
"Tapi mertuamu mengurung Bibiku, kau tahu tidak?"
bentak Seng Liong Sen. 1740 Saat itu mata Kong-sun Po mendelik ke arah Seng Liong Sen sambil mengawasinya dengan tajam. Saat Seng Liong Sen berpaling tak berani beradu mata dengan Kong-sun Po.
"Jika benarpun, apa hubungannya denganku?"kata Sun Po.
"Kau menantunya, kenapa tak ada hubungannya?" kata Seng Liong Sen.
"Sebagai Beng-cu kau tak pantas bergabung dengan bangsa Kim dan kau berniat mencelakaiku!" kata Kong-sun Po.
Wan-yen Hoo tertawa, dia mengejek.
"Dari siapa kau tahu mereka musuhku, justru mereka kawan lama kami," kata Wan-yen Hoo.
"Liong Sen..." tapi sebelum Kong-sun Po selesai bicara, Liong Sen memotongnya.
"Tutup mulutmu! Tadi tidak kudorong kau ke jurang pun, seharusnya kau bersyukur!" kata Seng Liong Sen.
Kong-sun Po memang sadar, jika mau tadi Liong Sen mendorongnya ke jurang. Mungkin karena dia ragu dia tak jadi mendorong Kong-sun Po.
"Apa maumu, Liong Sen?" kata Kong-sun Po.
"Aku akan menukarkan kau dengan Bibiku!" jawab Liong Sen.
Dia menyerang sambil berkata pada Wan-yen Hoo.
"Wan-yen Kong-cu sebaiknya kita tangkap dia hidup-hidup, lalu musnahkan ilmu silatnya!" kata Seng Liong Sen.
Tapi Wan-yen Hoo tampak cemas. Dia heran kenapa Jen Thian Ngo yang katanya akan membantu tapi tak munculmuncul"
1741 Akhirnya Wan-yen Hoo mengalah.
"Baiklah, Kong-sun Po jika kau mau selamat menyerahlah!" kata Wan-yen Hoo.
"Jika kalian mampu silakan bunuh, aku tak akan menyerah pada kalian, hai manusia-manusia busuk!" kata Kong-sun Po.
"Kau dengar Liong Sen, berarti kau juga termasuk manusia busuk!" kata Wan-yen Hoo memanasi hati Seng Liong Sen. "Apa kau tak ingin membunuhnya?"
Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen jadi kalap dan nekat. Maka itu dia maju menyerang. Totokkan Seng Liong Sen bagaimanapun berpengaruh juga. Sedangkan dua lawan Kong-sun Po bukan orang biasa. Mereka lihay semua.
Dugaan Kong-sun Po benar lama-lama dia mulai terdesak dikeroyok dua orang itu. Ditambah lagi dia berada di tepi jurang, jika salah injak dia akan terjatuh ke dalam jurang.
"Hai bocah, sebaiknya terima usul Seng Liong Sen, menyerah saja!" Wan-yen Hoo membujuk.
Hati pangeran ini tak tenang. Dia merasa heran kenapa Jen Thian Ngo belum datang juga. Dia juga takut jika Kong-su Po nekat, bukan tak mungkin mereka berdua akan jatuh ke dalam jurang bersama Kong-sun Po.
Tetapi Kong-sun Po tidak menghiraukan ocehan pangeran Kim itu, dia terus bertahan sambil melakukan perlawanan sebisanya. Keberanian dan kenekatan Kongsun Po ini membuat kedua lawannya bingung bukan kepalang.
1742 Dikisahkan tiga orang nona, Kiong Mi Yun, Jen Hong Siauw sebagai petunjuk jalan dan Ci Giok Hian sudah jauh meninggalkan rumah Jen Thian Ngo. Mereka bertiga bergegas hendak menolongi Kong-sun Po yang berada dalam bahaya.
"Aku dengar mereka bilang Kong-sun Po menunggu di sekitar sini," kata Jen Hong Siauw.
Tak lama mereka melihat ada api unggun.
"Lihat di sana ada api!" kata Jen Hong Siauw.
Mereka menuju ke api unggun itu, tapi Kong-sun Po tak ada di sana. Ci Giok Hian mencoba berkonsentrasi, sesudah itu dia mengajak kedua kawannya.
"Ikuti aku, aku seperti mendengar suara senjata," kata Ci Giok Hian.
Mereka terus menyusuri hutan. Tak lama Giok Hian berkata lagi.
"Benar itu suara senjata!" katanya.
Mereka bergegas menuju ke arah suara senjata beradu.
Tapi tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Eh, anakku kenapa sudah jauh malam begini kau masih membawa tamu-tamu kita jalan-jalan" kata suara itu.
Dengan bantuan cahaya rembulan mereka mengenali orang itu Jen Thian Ngo. Bukan main terkejutnya ketiga nona itu.
"Ayah, tahukah kau bahwa mereka hendak mencelakai Kong-sun Toa-ko?" kata Jen Hong Siauw.
"Mereka" Siapa yang kau maksud mereka?" kata Jen Thian Ngo.
"Wan-yen Hoo dan Seng Liong Sen!" kata Hong Siauw.
1743 "Apa katamu?" kata Jen Thian Ngo seolah kaget. "Wanyen Hoo yang mana?"
"Yan Kong-cu itu pangeran Kim!" jawab Hong Siauw.
"Apa Ayah memang tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu?"
"Tidak mungkin! Kau jangan percaya omongan orang!"
kata Jen Thian Ngo. "Aku dengar sendiri!" bantah Jen Hong Siauw dengan berani.
Ci Giok Hian sudah tahu ini hanya siasat untuk mengulur waktu.
"Maaf Paman Jen, beri kami jalan! Kami akan ke atas memeriksanya!" kata Ci Giok Hian. "Di atas akan jadi jelas semuanya!"
"Benar, Paman," kata Kiong Mi Yun. "Aku dengar di atas ada orang sedang bertarung!"
"Hong Siauw, dia sangat baik padamu. Apa kau tak percaya kepadanya" Juga kau, Giok Hian! Kenapa suami sendiri kau curigai" Ayo kalian pulang, biar aku yang akan memeriksa ke atas!" kata Jen Thia Ngo.
Sambil berkata Jen Thian Ngo maju ke arah ketiga nona itu.
Saat itu Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian jadi serba salah. Jika mereka melawan mereka sulit akan mendapat kemenangan dari Jen Thian Ngo. Kembali lagi ke rumah, pasti Kong-sun Po celaka. Tapi saat mereka kebingungan, tiba-tiba Jen Hong Siauw maju.
"Ayah, jika kau halangi kami, lebih baik aku mati di depanmu!" kata Hong Siauw.
1744 "Hai jangan!" teriak Kiong Mi Yun yang kaget melihat nona Jen sedang memegang belati yang ditandalkan ke lehernya.
Tapi Ci Giok Hian menyenggol tangan Kiong Mi Yun agar tidak mencegahnya. Melihat puterinya nekat hendak bunuh diri, Jen Thian Ngo kelabakan karena tahu sifat puterinya yang keras kepala. Maka itu dia tak berani maju, dia hanya bisa membujuk saja.
"Jangan begitu, anakku! Lepaskan pisaumu kau membuat kaget Kiong Cicimu saja!" kata Jen Thian Ngo.
"Ayah pulang bersamaku, sampai di rumah baru kubuang pisau ini!" ancam Hong Siauw.
"Baik, baiklah. Ayo kalian juga ikut kami pulang!" kata Jen Thian Ngo pada Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun.
"Tidak! Hanya Ayah dan aku yang pulang, biar mereka pergi!" kata Hong Siauw.
Tampak Jen Thian Ngo kebingungan.
"Celaka dia keras kepala, jika tak kuturuti bisa berabe!"
pikir Jen Thian Ngo. "Baik pura-pura kuturuti dia, sampai di rumah baru kubujuk dia. Aku kira Seng Liong Sen dan Wan-yen Hoo akan mampu menghadapi bocah itu.Tapi jika kedua nona itu kubiarkan hidup, aku bisa celaka. Biar lebih baik aku kembali untuk membereskan mereka!"
Saat itu Hong Siauw memperhatikan sikap ayahnya.
Tibatiba Ci Giok Hian menjerit, mereka kaget melihat pakaian Jen Hong Siauw sudah penuh darah. Rupanya Hong Siauw tahu jalan pikiran ayahnya, maka itu dia jadi nekat akan bunuh diri.
Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun memburu ke a rah Hong Siauw, tapi sudah didahului Jen Thian Ngo yang 1745
menotok jalan darah puterinya supaya darah yang mengalir berhenti. Kiong Mi Yun menangisi Jen Hong Siauw.
"Jen Mei-mei, kenapa kau nekat membela kami sampai begini?" kata Kiong Mi Yun.
"Sudah! Kalian pergi dari sini, jangan pura-pura menangisinya!" bentak Jen Thian Ngo.
"Benar! Segera kalian tolongi Kong-sun Toa-ko! Ayah kau jangan salahkan mereka. Mereka baik padaku hingga aku rela men-olongi mereka!" kata Jen Hong Siauw.
Maka pergilah Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian ke tempat terdengar senjata beradu. Saat itu Kong-sun Po sedang bertarung mati-matian melawan dua musuhnya.
Keadaan Kong-sun Po benar-benar mulia kepayahan.
"Kong-sun Po, menyerahlah!" kata Wan-yen Hoo.
Sebenarnya Wan-yen Hoo dan Liong Sen pun sudah kelelahan.
Tapi Kong-sun Po tetap melawan dia tak meladeni bujukan Wan-yen Hoo itu.
Seng Liong Sen mulai kalap dia serang Kong-sun Po hinggga pedangnya mengenai tangan Kong-sun Po. Saat itu Wan-yen Hoo pun membarenginya dengan serangan kipas bajanya hingga payung Kong-sun Po terlepas dari tangannya.
Wan-yen Hoo segera maju, kakinya akan mecolek payung itu untuk diambil olehnya. Tapi Kong-sun Po lebih cepat, lalu menginjak payung itu. Tangannya langsung menghantam ke arah Wan-yen Hoo. Saat itu Kong-sun Po sudah benar-benar nekat. Bahu Wan-yen Hoo terhajar olehnya, tapi tangan Kong-sun Po pun tergores kipas baja 1746
lawan. Melihat lawan mulai kalap Wan-yen Hoo agak jerih juga.
"Seng Liong Sen lekas bunuh dia!" kata Wan-yen Hoo.
Seng Liong Sen maju akan menyerang lagi. Tapi saat itu Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun tiba di tempat itu.
"Awas Kong-sun Toa-ko, kau diserang dari belakang!"
teriak Kiong Mi Yun. "Hentikan, Liong Sen!" bentak Ci Giok Hian sengit.
Melihat isterinya datang Seng Liong Sen kaget, begitupun Kong-sun Po yang melihat kedatangan Kiong Mi Yun.
Kong-sun Po jadi bersemangat, dia tangkis serangan Wan-yen Hoo dengan sebelah tangannya, sedang tangan yang lain dipakai menghantam ke arah Seng Liong Sen.
"Duuk!" Seng Liong Sen mundur ke belakang. Dia kaget saat dia tak merasa kakinya bertumpu pada tebing jurang, maka jatuhlah Seng Liong sen ke dalam jurang.
Ketika itu mulut Ci Giok Hian ternganga, tapi tak keluar suara. Sesudah agak lama baru dia menjerit dan memburu ke tepi jurang. Betapapun jahatnya Seng Liong Sen adalah suaminya. Maka itu Ci Giok Hian memeriksa jurang untuk melihat apakah suaminya selamat atau tidak.
Wan-yen Hoo pun tak kurang kagetnya, karena sekarang dia sendirian saja. Buru-buru dia membalikkan tubuhnya dan kabur.
Sesudah musuh lari semua Kong-sun Po baru merasakan tangannya yang terluka dan mengeluarkan darah sakit sekali. Dia terduduk di tepi jurang.
1747 "Kong-sun Toa-ko, bagaimana lukamu?" kata Kiong Mi Yun.
Segera luka Kong-sun Po diobati dengan obat bubuk, lalu lukanya dibalut dengan kain pembalut.
Sedang Ci Giok Hian masih berdiri terpaku di tepi jurang, air matanya berlinang-linang. Dia mau menangis tapi tak bisa. Melihat Ci Giok Hian bersedih, Kiong Mi Yun bingung karena tidak tahu bagaimana harus menghiburnya.
Tak lama sesudah Kong-sun Po bisa bediri, dia dekati Ci Giok Hian sambil berkata perlahan.
"Nona Ci, aku tak berani meminta maaf padamu.
Sebenarnya kejadian yang menimpa suamimu tidak kusengaja...." kata Kong-su Po.
"Jangan cemas aku tahu," kata Ci Giok Hian. "Dia berdosa kematiannya memang sudah takdirnya! Malah aku yang harus kau maafkan!"
Sesudah itu Ci Giok Hian menangis.
"Kenapa harus berduka,suamimu memang tak berharga untuk didukakan," pikir Kiong Mi Yun.
Sebenarnya Ci Giok Hian bukan sedang berduka untuk suaminya yang jatuh ke jurang, tapi dia berduka untuk dirinya sendiri. Jika dia dulu tak mau menikah dengannya, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.
Kiong Mi Yun mendekati nona Ci lalu menarik tangannya untuk menjauhi tepi jurang. Sesudah itu Kiong Mi Yun berkata pada Kong-sun Po.
"Kong-sun Toa-ko, apakah saat Seng Liong Sen jatuh kau dengar dia berteriak atau tidak?" kata Kiong Mi Yun.
1748 "Ya, aku dengar," kata Kong-sun Po. "Mari kita turun ke jurang untuk memeriksa apakah dia selamat atau sudah mati" Tidak mustahil dia masih hidup!"
"Jangan!" kata Ci Giok Hian.
Kedua kawannya merasa heran mereka saling pandang.
Tak lama Ci Giok Hian meneruskan.
"Sekalipun dia masih hidup, aku juga sudah tidak...
tidak..." Ci Giok Hian tidak meneruskan kata-katanya.
Mungkin Ci Giok Hian berat untuk melanjutkan katakatanya hingga terhenti.
"Jangan berkecil hati, kejelekkan Seng Toa-ko masih bisa diperbaiki, jika mau tadi dia bisa mendorongku ke jurang, tapi tak jadi dia lakukan," kata Kong-sun Po. "Mungkin dia terpengaruh kata-kata Wan-yen Hoo, jika dia masih hidup dan terluka, kita masih bisa mengobatinya!"
"Kong-sun Toa-ko kau baik sekali, memang bagaimanapun dia suamiku, aku memang harus mengurus mayatnya!" kata Ci Giok Hian.
Sambil dituntun oleh Kiong Mi Yun mereka turun ke jurang untuk mencari Seng Liong Sen. Mereka heran dan kaget sekali sampai di bawah mereka tak menemukan Seng Liong Sen di sana. Pemuda itu entah ke mana perginya"
"Mungkin hanya terluka ringan dan sudah pergi dari sini!" kata Kong-sun Po.
"Aku tidak yakin," kata Ci Giok Hian. "Kecuali lwe-kangnya tinggi sekali. Malah aku kira mayatnya sudah dimakan binatang buas. Sekalipun dia masih hidup aku menganggapnya sudah mati saja! Aku hanya ingin memohon sesuatu pada kalian!"
1749 "Kau telah membantuku, aku sendiri belum sempat berterima kasih. Kenapa kau malah memohon sesuatu pada kami, katakan saja!" kata Kiong Mi Yun.
Sesudah menyeka air matanya, Ci Giok Hian mulai bicara.
"Dia jahat, matipun pantas!" kata Ci Giok Hian. "Tapi aku dan dia sudah menjadi suami-isteri, aku minta kalian bersedia untuk tidak mengejeknya, hingga dia dimusuhi orang!"
"Jangan kuatir, kami tak akan membicarakannya," kata Mi Yun.
"Diceritakan pun tak apa, asal sebab kematiannya jangan kalian ceritakan," kata Giok Hian.
"Akan kami katakan dia disergap oleh Wan-yen Hoo dan terjatuh ke jurang," kata Kong-sun Po.
"Begitupun boleh, Dengan demikian jika masih hidup dia tidak akan dicemooh orang," kata Kiong Mi Yun.
"Rasanya tak mungkin dia masih hidup," bantah Ci Giok Hian, "jika benar masih hidup pun aku tak berani memohon pada kalian untuk menutupi dosanya!"
"Sekalipun cinta Giok Hian tidak teguh, tapi paling tidak bagi Liong Sen dia isteri yang baik!" pikir Kiong Mi Yun yang segera memegang tangan Ci Giok Hian.
"Kakak Ci mari kita pergi!" kata Mi Yun. "Kau mau ke mana?"
Kelihatan Ci Giok Hian bingung.
"Entahlah, aku tak tahu mau ke mana?" kata Ci Giok Hian.
"Bagaimana jika kita bersama-sama ke Kim-kee-leng?"
1750 "Ya, mari ikut bersama kami saja," kata Kong-sun Po.
"Di sana kau bisa bertemu dengan Cici Han Pwee Eng!"
Kata-kata Kong-sun Po justru membuat Ci Giok Hian bertambah duka. Dia merasa malu kelak jika dia bertemu dengan Han Pwee Eng maupun dengan Kok Siauw Hong.
"Terima kasih, rasanya aku harus pulang dulu!" kata Ci Giok Hian.
Kiong Mi Yun tahu mungkin nona Ci tak ingin bertemu bekas kekasihnya, dia mengangguk.
"Baiklah, kau istirahat dulu nanti kami akan menjengukmu!" kata Mi Yun sambil tersenyum.
Mereka turun dari gunung, sampai di bawah mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Kiong Mi Yun dan Kong-sun Po mengawasi kepergian Ci Giok Hian sampai jauh sekali. Mereka ikut berduka atas nasib sahabatnya itu.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0oBAB 64 Luput Dari Bahaya Maut; Mendapat
Tugas Berat Sedikitpun tak ada yang mengira apa sebenarnya yang dialami Seng Liong Sen saat dia jatuh ke dalam jurang yang dalam itu" Melihat dalamnya jurang tersebut tak ada orang yang akan mengatakan dia akan selamat. Apalagi hidup!
Bahkan Ci Giok Hian pun sebagai isterinya sudah menganggap Seng Liong Sen mati. Tapi jika mati lalu di mana mayatnya"
1751 Cerita yang sebenarnya demikian. Ketika Seng Liong Sen merasakan kakinya menginjak tempat kosong, karena tubuhnya terjerumus, Seng Liong Sen pun sudah menduga.
"Mati aku!" pikir Seng Liong Sen.
Saat menghadapi ajal yang akan merenggut nyawanya, Seng Liong Sen merasa menyesal, kenapa dia mau berkomplot dengan pangeran Kim itu" Tapi tubuhnya sudah meluncur ke bawah dengan deras, sekalipun otaknya masih sadar. Tahutahu dia merasakan tubuhnya membentur benda keras.
"Heek!" Dia juga masih mendengar suara dahan kayu patah, mungkin karena tertimpa tubuhnya yang berat. Sepintas lalu dia masih merasakan tubuhnya menghantam dahan cemara yang tumbuh di tepi jurang dengan dahan yang menonjol ke luar. Karena hantaman batang-batang cemara itu Seng Liong Sen merasakan sekujur tubuhnya sakit dan pedih. Akhirnya tubuh Seng Liong Sen nyangkut di salah satu dahan cemara dan sia girang karena tak sampai terjatuh ke dasar jurang.
"Oh, ternyata aku masih punya harapan untuk hidup?"
pikir Liong Sen. Dengan tergesa-gesa dia coba menjangkau sebuah dahan cemara, begitu berhasil terdengar suara dahan patah.
"Kraaak!" "Celaka!" Seng Liong Sen mengeluh.
Kembali tubuhnya terjatuh ke bawah. Sekarang semua harapannya itu musnah sudah!
Sekarang sedikit pun dia tidak berani berharap akan selamat, karena jurangnya begitu curam. Jika tubuhnya 1752
jatuh terbanting ke bawah, maka nyawanya pun akan lenyap.
Tiba-tiba dia merasakan matanya gelap, tapi kedua tangannya menjangkau ke mana saja. Saat itu dia hampir pingsan ketika dirasakan ada sambaran angin hingga tubuhnya seolah tersanggah. Entah binatang apa yang menyergapnya, yang jelas berbulu. Sesudah itu dia pingsan tak tahu apa-apa lagi.
Seng Liong Sen tidak tahu berapa lama dia pingsan, sayupsayup telinganya menangkap ada orang sedang bicara.
"Untung Tay-wi berhasil meraih tubuhnya hingga dia tak jatuh ke jurang dan binasa!" kata suara itu. "Dia punya lweekang tinggi, pasti dia akan hidup!"
"Dari mana kau tahu lwee-kangnya tinggi, Ayah?" kata suara wanita.
Saat itu Seng Liong Sen sudah sadar.
"Ah, kiranya ada orang menyelamatkan aku! Entah siapa mereka ini?" pikir Liong Sen.
"Kenapa sampai terjerumus ke dalam jurang, mungkinkah Jen Thian Ngo dan anak buahnya yang mencelakakan dia?" kata suara perempuan. "Kalau kulihat pakaiannya, mungkin dia hendak dirampok!"
"Bisa jadi," sahut sang ayah. "Aku tak takut pada Jen Thian Ngo, tapi sebaiknya kita pun jangan bentrok dengannya! Sudah, kaujangan ceritakan kejadian ini!"
"Ya" Ayah," kata yang perempuan.
Seng Liong Sen senang, sebab dari pembicaraan mereka Seng Liong Sen tahu, mereka bukan anak buah Jen Thian Ngo. Sesudah mendengar pembicaraan ayah dan anak itu, hati Seng Liong Sen lega juga.
1753 "Lihat Ayah, dia sudah sadar!" kata si nona.
Saat Seng Liong Sen membuka matanya, dia sedang terbaring di sebuah balai-balai bambu. Di sampingnya ada seorang kakek yang sudah beruban dan seorang nona yang baru berumur 17 tahun. Dandanan nona itu sangat sederhana.
"Lo-cian-pwee, terima kasih atas pertolongan kalian,"
kata Seng Liong Sen. Ketika itu Seng Liong Sen akan bangun untuk memberi hormat. Orang tua itu segera mencegahnya.
"Kau terluka parah, jangan terlalu banyak bergerak!" kata orang tua itu.
Saat itu Seng Liong Sen memang merasakan sekujur tubuhnya sakit bukan main. Bahkan dia kuatir ada tulang yang patah terkena dahan kayu. Baru terpegang sedikit oleh si kakek, Liong Sen sudah meringis kesakitan.
Tak lama Seng Liong Sen merasakan ada arus yang mengalir ke tubuhnya, dia tahu orang tua itu sedang berusaha mengurangi rasa sakit Seng Liong Sen dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Tentu saja Seng Liong Sen sangat bersyukur.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" kata si lelaki itu.
"Mulai agak nyaman, terima kasih," kata Seng Liong Sen.
"Mau berapa kali kau mengucapkan terima kasih," kata si
nona. "Kau terlalu see-ji!" "Seharusnya kau berterima kasih padanya," kata si kakek
sambil menunjuk nona itu.
1754 "Terima kasih," kata Liong Sen.
"Hm. Kau bilang terima kasih, sebenarnya yang menyelamatkan nyawamu bukan aku, tapi Tay-wi!" kata si nona sambil tertawa.
"Tay-wi" Siapa dia?" kata Liong Sen.
Nona itu bersuit, tak lama muncul dua orang hutan.
"Dia yang menyelamatkanmu!" kata si nona. "Yang kecil adiknya!"
Seng Liong Sen bengong. "Rupanya ajalmu belum sampai. Ketika itu aku dan Taywi sedang mencari daun-daunan untuk obat. Untung saja ada pohon cemara yang menahan jatuhnya tubuhmu, hingga Taywi berhasil menangkap tubuhmu." kata si nona.
"Aaah, untung sekali aku," kata Liong Sen.
"Siapa namamu, kenapa kau terjatuh ke jurang?" kata si nona.
"Aku she Liong, namaku Sin," kata Seng Liong Sen menutupi identitasnya, terpaksa dia berbohong. "Di atas aku bertemu dua orang penjahat, karena tak sanggup melawan
mereka aku lari. Mereka mengejarku sampai aku terjerumus ke dalam jurang!"
"Setahuku lwee-kangmu tinggi, siapa yang mengajarimu?" kata si kakek.
"Aku cuma belajar beberapa jurus dari Ayahku," kata Liong Sen,
Saat orang tua itu menanyakan nama ayah Liong Sen, pemuda ini memberi nama palsu. Orang tua itu 1755
menggelengkan kepala yang berarti dia tidak kenal nama itu.
Sebenarnya Liong Sen tidak berniat membohongi para penolongnya, tetapi karena takut terpaksa dia lakukan.
Rupanya dia takut jika kakek itu kenal dengan gurunya, hingga rahasia dia bersekongkol dengan orang Kim akan ketahuan gurunya. Mendengar keterangan Seng Hiong Sen orang tua itu hanya manggut saja.
"Untung kau belajar Tong-cu-kang sejak kecil, kalau tidak maka lukamu tidak bisa segera sembuh. Sesudah kau beristirahat selama sebulan, lukamu akan pulih sama-sekali!" kata orang tua itu.
"Ayah, ilmu Tong-cu-kang itu ilmu apa?" kata si nona.
"Ilmu yang hanya dilatih oleh anak lelaki," kata orang tua itu sambil tersenyum. "Puteriku orang dusun, dia kurang pengalaman. Harap tak kau tertawakan dia!'
Seng Liong Sen kaget, karena orang tua itu bisa menerkanya jika dia masih bujangan alias jejaka.
"Maaf, sejak tadi kita berbincang, kalau boleh aku tahu siapa nama Tuan?" kata Seng Liong Sen.
"Kami mengasingkan diri lebih dari duapuluh tahun, dan jarang bertemu orang, nama pun aku hampir lupa," kata orang tua itu.
"Jika dia harus tinggal lama di sini, apa salahnya Ayah memberi tahu nama Ayah," kata si nona.
Ayahnya tertawa. Si nona langsung memberi tahu nama ayahnya.
"Ayahku bernama Khie Wie, sedang namaku Khie Kie,"
kata si nona. Nona itu menulis di tanah dan tulisannya bagus.
1756 "Tulisanmu bagus, Nona," kata Liong Sen. Rupanya dulu orang tua ini seorang jago aliran hitam, tapi tiba-tiba dia menghilang dari kalangan kang-ouw.
Seng Liong Sen memang pernah mendengar nama Khie Wie disebut-sebut gurunya. Malah orang tua ini dikira sudah mati, ternyata sekarang Liong Sen bertemu dengannya. Padahal sifat jago silat ini aneh dan urakan.
Namun, kepada Seng Liong Sen dia ramah.
Selang sebulan luka-luka Seng Liong Sen pun sembuh.
Malah dia sudah bisa berjalan-jalan.
Waktu berjalan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Tanpa terasa musim semi tiba. Ketika itu cuaca sangat indah. Nona Khie mengajak Liong Sen jalan-jalan menuruti ajakan nona itu. Berjalan dengan seorang nona dusun yang cantik hati Liong Sen gembira sekali.
Akhirnya mereka sampai di sebuah kali yang airnya jernih dan mengalir deras. Mata air itu datang dari atas gunung.
"Lepas sepatumu, biar kau kutuntun!" kata nona Khie.
"Biar aku melompat sendiri," kata Seng Liong Sen.
"Jangan, kau baru sembuh itu berbahaya," kata si nona.
"Nona kau baik sekali padaku," kata Liong Sen.
Wajah nona dusun itu berubah merah. "Siapa bilang?"
katanya. Melihat sikapnya Liong Sen menduga nona dusun itu menyukai dirinya.
"Ayahnya menolongiku, sedang anaknya menyukaiku.
Ah, kebetulan!" pikir Liong Sen.
Dia tersenyum tapi tiba-tiba dia teringat isterinya.
1757
Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, mungkin isteriku mengira aku mati di jurang!" pikir Liong Sen. "Karena peristiwa tempo hari, dia melihat aku bersekongkol dengan Wan-yen Hoo, rasanya tidak mungkin aku jadi suaminya lagi" Sekarang puteri tuan penolongku mencintaiku, kenapa tidak aku rayu saja dia?"
"Liong Toa-ko, kau melamun ya" Lekas lepas sepatumu!" kata nona Khie.
"Hari ini hari yang menyenangkan hatiku," kata Liong Sen.
Kembali wajah nona Khie berubah merah.
"Ayo, hati-hati, batu di sini licin dan berbahaya, jangan melamun!" kata si nona.
"Ah, airnya sejuk sekali!" kata Seng Liong Sen yang sudah turun ke kali kecil itu.
Melihat airnya sangat jernih, iseng-iseng Seng Liong Sen mengawasi ke bawah untuk mengacai wajahnya. Karena kaget kakinya tergelincir di batu licin. Untung nona Khie segera datang menahan tubuhnya, jika tidak dia akan terjatuh ke dalam air.
"Eh, kau kenapa Liong Toa-ko?" kata nona Khie.
"Hm! Kenapa kau tidak bilang padaku?" kata Seng Liong Sen. "Kalau wajahku jadi begini! Bagaimana aku bisa bergaul di luaran?"
Ketika Seng Liong Sen terjatuh ke dalam jurang, dan tubuhnya membentur-bentur batu dan dahan pohon cemara, wajahnya terluka parah. Sesudah sembuh di wajah Seng Liong Sen meninggalkan bekas yang tak sedap dipandang. Begitu buruknya sampai dia hampir tak mengenali wajahnya lagi.
1758 Dulu Seng Liong Sen sering membanggakan kecakapan wajahnya dan kepandaian silatnya. Dia juga seorang sastrawan dan dia dianggap sebagai pendekar muda serba bisa. Sekarang wajahnya berubah jadi buruk sekali. Dia berpikir pantas di rumah nona Khie tidak sebuah kaca muka. Rupanya mereka telah menyembunyikan cermin itu darinya. Mungkin mereka pikir jika dia melihat wajahnya maka dia akan kecewa sekali!
"Kenapa kau berduka" Wajah orang bukan masalah, tapi hatinya yang baik itu yang penting!" kata si nona. "Kau jangan berduka, mungkin orang lain tak suka melihat wajahmu, tetapi aku sendiri suka padamu!"
Semula Seng Liong Sen memang hanya ingin
mempermainkan nona dusun itu. Saat mendengar ketulusan cintanya, Seng Liong Sen jadi terharu.
"Kau salah terka tentang pribadiku, barangkali pribadiku malah jauh lebih buruk dari wajahku ini!" kata Seng Liong Sen.
"Tidak! Ayahku bilang, kau pemuda yang sopan dan tampan," kata si nona.
Apa benar begitu" Rupanya sang ayah hanya ingin menghibur puterinya saja. Semula Seng Liong Sen akan mengakui kesalahan yang dilakukannya dulu, tetapi sayang dia tidak punya keberanian untuk itu.
"Jangan!" begitu kata hati Seng Liong Sen. "Jika kuberitahu keburukan sifatku dulu, apakah dia masih akan menyukaiku?"
"Liong Toa-ko, Ayahku ahli obat. Barangkali dia bisa mengobati wajahmu!" kata nona Khie.
1759 "Nasibku sudah begini, kelak aku tidak berani terlalu berharap mukaku bisa pulih lagi!" kata Seng Liong Sen.
"Kau sangat baik padaku, aku bersyukur sekali"
Seng Liong Sen pikir bahwa perubahan wajahnya ini menurutnya akan ada gunanya. Jika dia sendiri tidak mengenali wajahnya, apalagi Ci Giok Hian, isterinya.
Dengan wajah barunya dia bisa berkelana di kalangan kangouw dengan bebas. Bahkan dia juga tidak takut jika Kongsun Po melaporkan dia pada gurunya.
"Anggap saja aku yang dulu sudah mati!" pikir Seng Liong Sen. "Sekarang aku jadi Liong Sen yang belum mereka kenali"
Sesudah berjalan-jalan sejenak, nona Khie yang sudah tak melihat Seng Liong Sen berduka, dia girang sekali.
"Ayo, kita jalan-jalan. Lihat, di sana banyak bunga yang indah-indah!" kata si nona riang.
"Ah, bagus sekali. Bunga apa namanya, nona?" kata Seng Liong Sen.
"Nama bunga itu Po-cun-hwa (Bunga Musim Semi),"
jawab si nona. "Bunga ini hanya mekar pada musim semii"
"Bagus sekali nama bunga itu!" kata Seng Liong Sen.
"Kau menyukainya" Biar aku lompat ke tebing untuk mengambilnya!"
"Dinding tebing itu curam dan berbahaya, jangan kau lakukan itu!" kata Seng Liong Sen.
Nona Khie tak menghiraukan peringatan Seng Liong Siri. Dia lari dan melompat, lalu merayap bagaikan seekor kera di dinding tebing. Sesudah berhasil memetik setangkai bunga itu, dia turun kembali dengan gesit, lalu menyerahkan bunga itu pada Seng Liong Sen. Pemuda itu 1760
kagum menyaksikan kegesitan si nona, sambil menerima sekuntum bunga itu, dia awasi nona Khie dengan tajam.
"Apa yang sedang kau perhatikan" Kenapa kau hanya mengawasiku, apakah bunga ini memang indah sekali, tapi setelah dipadu denganmu, dia jadi kurang menarik dibanding dirimu!" kata Seng Liong Sen.
"Kenapa begitu?" kata si nona.
"Karena kau lebih cantik dari bunga ini!" kata Liong Sen.
"Alangkah bahagianya aku, jika aku si buruk ini bisa menyuntingmu, bidadariku!"
"Hm! Kau sengaja ingin menyenangkan hatiku!" kata si nona.
Saat Liong Sen mau mengungkapkan isi hatinya, tak jauh dari mereka terdengar suara batuk.
"Eh, kau Ayah!" kata si nona.
Seng Liong Sen kaget setengah mati.
"Ah, jangan-jangan kata-kataku tadi didengar olehnya?"
pikir Liong Sen. Khie Wie mengawasi pemuda itu.
"Kalian gembira sekali, aku datang untuk mencarimu!"
kata Khie Wie. "Ada apa, Paman?" kata Liong Sen.
"Nak, kau pulang dulu, aku ingin bicara dengannya."
kata Khie Wie. Dengan wajah merah nona Khie meninggalkan mereka.
Mungkin nona ini menduga ayahnya akan membicarakan soal perjodohannya dengan pemuda itu. Tapi nona Khie berpurapura kurang senang.
1761 "Urusan apa sih sampai aku tidak boleh ikut mendengar pembicaraan kalian?" kata si nona.
Sesudah anaknya pergi cukup jauh, baru Khie Wie bicara.
"Bagaimana keadaan lukamu?" kata Khie Wie.
"Sudah baik Paman! Terima kasih atas pertolongan Paman," kata Seng Liong Sen.
"Luka luarmu memang sudah sembuh, tapi aku tahu kau masih punya penyakit lain. Apakah kau tak tahu?" kata Khie Wie.
Seng Liong Sen kaget, karena dia tahu apa maksud orang tua itu. Jika ayahnya tahu dia "impoten", mana mungkin anak gadisnya dinikahkan denganku" Malah mungkin sang ayah marah, bila mengetahui Seng Liong Sen merayu anaknya.
"Di rumah kau masih punya siapa lagi?" kata Khie Wie mengalihkan pembicaraan.
"Tak ada siapa-siapa, hanya ada Bibiku. Sejak kecil aku sudah yatim-piatu," kata Seng Liong Sen.
"Aku tahu kau belum beristeri, apa kau sudah punya tunangan?"
Mula-mula Seng Liong Sen ragu, setelah berpikir hubungannya dengan Ci Giok Hian sulit dijalin kembali, akhirnya dia menjawab.
"Belum!" jawab Seng Liong Sen.
"Bagus!" kata orang tua itu. "Sekarang tanya padamu, tapi kau harus terus-terang. Apa yang kau lakukan dulu hingga orang begitu keji membuatmu bukan seperti lakilaki?" kata Khie Wie.
1762 "Ada penjahat besar bernama Kiong Cauw Bun, apa Paman kenal padanya?" kata Seng Liong Sen.
"Dulu, duapuluh tahun yang lalu aku pernah mendengar namanya," kata Khie Wie. "Tapi ketika itu dia sudah pergi dari Tiong-goan. Apalagi aku juga mengasingkan diri, hingga tidak kenal kepadanya."
Mendengar hal itu Seng Liong Sen jadi senang. Sebab jika dia cerita, pasti orang tua itu akan percaya saja.
"Jadi dia yang melakukannya padamu?" kata Khie Wie.
"Ya," jawab Liong Sen.
"Kau masih muda, bagaimana kau bisa bermusuhan dengannya?" kata Khie Wie.
"Entahlah, aku pun tak merasa bersalah, tapi dia..." kata Seng Liong Sen.
"Mana boleh begitu?"
"Saat masih muda Bibiku sangat cantik, orang she Kiong itu pernah meminang Bibiku, tapi ditolak. Oleh karena itu dia pergi dari Tiong-goan," kata Seng Liong Sen.
"Jadi seperti itu ceritanya?" kata Khie Wie. "Yang aku dengar dia bersekongkol dengan Kong-sun Khie. Tapi ketika mereka kalah oleh Hong-lay-mo-li. karena tak bisa tinggal di Tiong-goan, dia kabur!"
"Barangkali begitu. Sedang yang aku ceritakan aku dengar dari Bibiku," kata Seng Liong sen agak kaget karena Khie Wie tahu cerita yang sebenarnya.
"Bisa juga terjadi seperti ceritamu. Lalu bagaimana lanjutannya?" kata Khie Wie.
"Tiga tahun yang lalu Kiong Cauw Bun muncul lagi untuk mencari Bibiku. Dia berhasil menculik Bibiku lalu 1763
dibawa ke pulau Hek-hong-to. Sekarang mungkin Bibiku sedang dia siksa! Sedangkan aku dipaksa minum arak beracun. Hingga akhirnya aku jadi begini!" kata Seng Liong Sen.
Seng Liong Sen sengaja berbohong. Sebab jika dia bilang Tik Bwee yang membuat dia impoten, dia takut Khie Wie akan bertanya siapa dia. Ceritanya akan panjang dan dia akan ketahuan belangnya. Tapi untung Khie Wie cuma mengangguk dan percaya saja ceritanya.
"Jahat sekali dia, biar jika aku bertemu dengannya akan kubalaskan sakit hatimu!" kata Khie Wie.
"Kau telah menyelamatkan aku, Paman Khie, mana berani aku membuat kau repot," kata Liong Sen. "Dia tinggal di sebuah pulau yang jauh dari sini, itu akan berbahaya bagimu!"
"Memang, aku juga tak akan ke sana." Kata Khie Wie.
"Tapi jika mau membalas dendam pasti ada caranya."
"Paman, aku dengar racun ini selain menyebabkan impoten, katanya juga akan membuat lumpuh orangnya, apa benar" Apa kau bisa mengobatinya?" kata Seng Liong Sen.
"Siapa yang bilang begitu?" kata Khie Wie. "Kau jangan percaya, itu cuma gertakan saja!"
Hati Seng Liong Sen pun lega. Sekarang tahu dia bahwa dia ditipu oleh Wan-yen Hoo dan mengutuknya. Dia girang dan yakin orang tua itu tahu obatnya.
Lama Seng Liong Sen menunggu, baru Khie Wie bicara lagi.
"Tidakkah kau berbohong padaku" Apa benar kau belum pernah mengganggu gadis orang?" kata Khie Wie.
1764 Pertanyaan itu membuat Seng Liong Sen kaget.
"Belum pernah!" kata Seng Liong Sen.
"Bagus! Aku bertanya begitu karena aku pernah berbuat kesalahan. Itu sebabnya aku tak mau mengembara lagi di kalangan kang-ouw!" kata Khie Wie.
Diam-diam Seng Liong Sen bisa menerka ke mana arah pembicaraan orang she Khie itu. Rupanya ibu nona Khie pernah dia ganggu, hingga dia jera berbuat jahat lagi.
"Jika Kiong Cauw Bun menginginkan kau tak punya turunan, aku sebaliknya!" kata Khie Wie.
"Jadi... Jadi kau bisa mengobatiku?" kata Liong Sen.
"Ya. Asalkan kau menguasai lwee-kang golongan kami,"
kata orang tua itu. "Bagaimana caranya agar aku bisa jadi murid golongan Paman?" kata Seng Liong Sen.
"Ilmu silat kami hanya diajarkan pada orang sendiri. Jika kau ingin jadi muridku, kau harus jadi keluarga kami!" kata Khie Wie.
"Atas pertolongan Paman, jiwaku selamat. Apa yang Paman kehendaki dariku katakan saja!" kata Seng Liong Sen.
"Masalah ini tak bisa dipaksakan, terserah kau saja! Aku lihat anakku menyukaimu, bagaimana pendapatmu?" kata Khie Wie.
Ucapan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Seng Liong Sen, maka itu dia langsung memberi hormat.
"Gak-hu (Ayah-mertua) jika kau tak keberatan, aku bersedia menikahi puterimu," kata Seng Liong Sen.
1765 Tapi heran Khie Wie malah mencegah Seng Liong Sen berlutut.
"Tunggu dulu, jangan tergesa-gesa!" kata Khie Wie.
"Masih ada yang perlu aku katakan padamu. Sesudah kau setuju baru boleh kau lakukan!"
"Silakan Paman katakan," kata Liong Sen.
"Jika kau telah menjadi menantuku, kau juga langsung jadi muridku. Kau tidak boleh berbohong pada Gurumu.
Jika kau melanggar maka hukumannya berat sekali! Yaitu hukuman mati!"
Seng Liong Sen kaget dia merasa keberatan pada syarat itu. Tapi karena dia ingin sembuh akhirnya dia menjawab.
"Semua akan aku taati," katanya.
"Jika kelak kau menyakiti puteriku, sekalipun aku sudah mati aku punya cara untuk membunuhmu!" kata Khie Wie.
"Aku tidak berani berbuat jahat pada puterimu!" kata Seng Liong Sen yang jadi ngeri juga oleh ancaman itu.
"Yang terakhir, sesudah kau belajar silat dariku, kau harus melaksanakan tugas untuku!" kata Khie Wie.
"Katakan saja, tugas apa?" kata Seng Liong Sen.
"Nanti saja akan kukatakan padamu, mungkin tugas ringan atau barangkali malah tugas yang sulit! Bagaimana?"
"Baik, tugasmu akan kulaksanakan dengan baik, Su-hu!"
kata Seng Liong Sen tanpa pikir panjang lagi.
"Mulai hari ini kau kuajari dasar lwee-kang perguruan kami," kata Khie Wie.
Sesudah Seng Liong Sen memberi hormat, dia diajak pulang.
1766 "Mungkin Khie Kie sedang menunggu kita!" kata Khie Wie. Sesampai di rumah Khie Wie memanggil puterinya,.
"Anakku, mulai sekarang kau panggil dia Toa-ko!" kata sang ayah.
"Jadi Ayah tak menerima dia sebagai anak angkatmu.
Ayah?" "Bukan itu saja, dia kuterima sebagai menantu dan muridku," kata Khie Wie sambil tertawa. "Tapi karena kau masih kecil, maka pernikahan kalian baru dilangsungkan tiga tahun lagi!"
"Ayah!" kata Khie Kie aleman.
"Sekarang kau ikut aku, Liong Sen!" kata Khie Wie.
Sesudah tinggal berdua Khie Wie mulai mengajarkan dasardasar lwee-kang perguruannya. Tangan Khie Wie diletakkan di bahu Seng Liong Sen lalu Liong Sen menjalankan lwee-kang yang diajarkannya. Tak lama pemuda ini merasakan ada hawa panas mengalir dari tangan gurunya.
Padahal setiap kali dia berlatih lwee-kang pelajaran dari gurunya, biasanya darahnya berjalan lancar dan sekujur badannya terasa segar. Seng Liong Sen heran kenapa lwekang ajaran Khie Wie ini aneh sekali"
"Ah, barangkali ini lwe-kang dari golongan hitam?" pikir Liong Sen. Tetapi karena dia ingin sembuh dari penyakitnya, terpaksa dia bertahan. Ternyata Seng Liong Sen tekadnya kuat. Khie Wie pun memuji keteguhan Seng Liong Sen ini.
"Tekadmu teguh, jika kau tahan menderita, selang beberapa hari pasti kau akan merasakan manfaatnya." kata Khie Wie.
1767 Sejak hari itu Seng Liong Sen giat berlatih dan ini berlangsung hingga beberapa hari. Setiap hari berlatih tiga kali. Selang lima hari, benar saja keadaan Seng Liong Sen bertambah baik. Rasa sakitnya semakin berkurang. Malah seperti orang kecanduan jika tidak berlatih tubuhnya terasa tidak enak seperti ketagihan madat.
Ilmu tenaga dalam ini ternyata membawa hasil baik.
Hanya dalam sebulan saja Seng Liong Sen sudah merasa sehat dan bersemangat. Sekarang Seng Liong Sen yakin penyakit yang membuat pikirannya terganggu mungkin sudah lenyap. Pasti tenaga lelakinya sudah pulih lagi.
Nona Khie Kie lincah dan sangat terbuka, dia sering kelihatan duduk bersama. Selama ini mereka bergaul erat tapi masih dalam batas yang wajar. Tanpa terasa pergaulan yang bebas ini menimbulkan cinta Seng Liong Sen kepada nona Khie. Namun, kadang-kadang Seng Liong Sen masih terkenang kepada Ci Giok Hian, hingga pikirannya jadi risau.
Sesudah merasa penyakit dalam Seng Liong Sen dianggap sembuh, Khie Wie berkata kepada Seng Liong Sen.
"Sekarang untuk melanjutkan pelajaranmu, kau boleh belajar kepada Su-moaymu, ilmu silat keluargamu dasarnya sangat kuat, tentu tidak sukar bagimu untuk belajar ilmu silat perguruan kita. Setelah kau berlatih sebulan dua bulan lagi, baru aku akan mengajarmu lagi." kata Khie Wie.
Hari berjalan dengan cepat tanpa terasa sebulan telah berlalu....
Pada suatu hari Seng Liong Seng dan Khie Kie berlatih di luar rumah, mereka pergi ke sungai kecil. Karena kuatir melihat bayangan mukanya sendiri yang buruk, Seng Liong 1768
Sen melompati sungai itu. Tetapi tanpa disengaja bayangan itu tetap terlihat juga, hingga Seng Liong Sen kecewa sekali.
Melihat Seng Liong Sen demikian kecewa, nona Khie menghiburnya.
"Ayah pernah mengatakan ada cara untuk memulihkan wajahmu," kata Khie Kie.
"Benarkah?" kata Seng Liong Sen.
"Benar, hanya kata Ayah kau harus menunggu tiga tahun lagi, baru akan memberitahu cara pengobatannya. Ayah pun menyuruh aku yang mengobatimu. Karena masalah ini aku sampai bertengkar dengan Ayah, sebab aku minta sekarang juga agar Ayah mengobatimu. Biasanya Ayah selalu menuruti kehendakku, kali ini aneh dia menolak permintaanku dan harus menunggu tiga tahun lagi."
Seng Liong Sen ingat pada kata-kata Khie Wie, dia bilang tiga tahun lagi baru mereka boleh melangsungkan pernikahan mereka. Itu berarti setelah mereka menjadi suami-isteri baru ayah si nona akan mengobati wajahnya.
Seng Liong Sen heran, kenapa Khie Wie menentukan waktu seperti itu" Apa dia tidak senang anak perempuannya mendapat suami cakap"
Seng Liong Sen kebingungan dan tidak mengerti maksud Khie Wie itu" Tetapi dia pikir lebih baik wajahnya seperti sekarang. Dengan demikian kenalan lama tidak akan mengenali wajahnya. Menurut Liong Sen ini lebih menguntungkan bagi dirinya.
Sambil tertawa Seng Liong Sen berkata pada nona Khie.
"Khie moay-moay, asal kau tidak mencela wajahku, aku tidak butuh wajah cakap. Bukankah kehidupan seperti sekarang lebih membahagiakan kita ?"
1769 "Seng Toa-ko, aku tidak mempersoalkan wajahmu, tetapi aku tahu kau sangat berduka melihat wajahmu yang buruk itu! Aku tahu, kau jangan dustai aku."
"Sekarang aku tidak ingin wajahku yang dulu, aku harap kau jangan memohon lagi pada ayahmu!" kata Seng Liong Sen.
Mendengar Seng Liong Sen bicara dengan
bersungguhsungguh, Khie Kie heran.
"Kenapa begitu?" tanya si nona.
"Banyak sebabnya, misalnya sekalipun wajahku seburuk ini, tapi kau tetap menyukaiku. Apalagi yang aku harapkan dari wajahku yang dulu" Malah yang aku inginkan kita bisa hidup bahagia seperti sekarang ini untuk selama-lamanya!"
kata Seng Liong Sen. Bukan main bahagianya nona ini mendengar kata-kata itu.
"Jangan bohong! Benarkah begitu?" kata si nona. "Jika kau senang begini aku juga senang! Maka kau akan kucintai seumur hidupku."
"Ini kukatakan setulus hatiku, apa kau tidak percaya!"
kata Seng Liong Sen. Seng Liong Sen menegaskan dengan mengucapkan kata
"setulus hati" sampai dua kali, sebenarnya ucapan itu bukan sebenarnya "setulus hati" dari Seng Liong Sen.
"Akan lebih baik jika orang tidak mengenaliku lagi,"
pikir Seng Liong Sen. "Malah aku bisa menemui Ci Giok Hian tanpa dikenali olehnya! Sekalipun tidak mungkin hidup bersama lagi dengannya, tetapi aku puas asalkan aku bisa bertemu sekali lagi dengannya. Tapi aku juga ragu bisakah aku bertemu lagi dengannya?"
1770 Sekarang Seng Liong Sen sadar bahwa nona Ci tidak bisa dia lupakan. Tapi dia buru-buru menenangkan diri agar tidak terlihat sedang berpikir ke masalah lain oleh nona Khie.
Nona Khie melihatnya lalu menegur Seng Liong Sen.
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan" Mari kita berlatih pedang, apa jurus Ngo-heng-kiam-hoat itu sudah kau pahami?"
"Sebaiknya nanti saja kita berlatih lagi, "jawab Seng Liong Sen. "Khie su-moay, aku ingin bertanya sesuatu padamu, tapi kau jangan marah! Jika aku salah, anggap saja aku terlalu lancang!."
"Apa yang akan kau tanyakan, katakan saja! Aku tidak akan marah padamu," kata nona Khie.
"Apakah aku boleh mengetahui tentang ibumu, karena selama ini kau tidak pernah menceritakan tentang ibumu?"
kata Liong Sen. Mendengar pertanyaan itu wajah nona Khie berubah merah.
"Nama Ibuku saja sampai saat ini aku tidak tahu. Aku cuma tahu hari lahirnya jatuh sehari sesudah harian Tiong-ciu, yaitu tanggal 16 bulan delapan. Setiap kali tiba hari lahirnya itu, diam-diam aku terkenang kepada beliau." kata nona Khie.
"Kenapa ayahmu tidak memberitahumu?" tanya Seng Liong Sen. 'Terlalu sampai nama ibu sendiri saja kau tidak tahu, sungguh luar biasa."
"Memang luar biasa! Kata Ayah, Ibu meninggal karena sulit saat melahirkan. Ayah sangat mencintai Ibuku, setiap kali teringat kepada Ibuku, pasti Ayahku sangat berduka.
1771 Sejak kecil aku sudah dibiasakan tidak boleh membicarakan tentang Ibuku dengan Ayah." Kata nona Khie.
"Lalu dari mana kau mengetahui hari lahir ibumu?"
tanya Seng Liong Sen. "Setiap malam tanggal 16 bulan delapan Im-lek (Penanggalan orang Tionghoa), di luar tahuku pada tengah malam Ayahku pasti keluar rumah dan menangis sedih.
Pada suatu saat kupergoki Ayah sedang menangis. Ketika aku tanya, kapan hari lahir Ibunya. Baru Ayah memberi tahu hari lahir Ibuku." jawab nona Khie.
"Kelakuan Khie Wie benar-benar aneh," pikir Seng Liong Sen.
"Seng Toa-ko, karena hari ini kau tidak bersemangat untuk latihan, mari kita pulang saja! Besok baru kita berlatih lagi," kata nona Khie.
Seng Liong Sen menerima baik usul itu. Semula dia ingin diam seorang diri di kamarnya. Tetapi ketika sampai di rumah Khie Wie langsung memanggilnya untuk diajak membicarakan sesuatu. Ternyata yang dibicarakan tentang masalah yang tidak terduga oleh Seng Liong Sen.
Setelah Seng Liong Sen datang ke kamar tulis, Khie Wie muncul sambil berkata pada anak muda itu.
"Sesudah kau kuajari ilmu silat apakah hasilnya lumayan?" kata Khie Wie.
"Benar, Suhu berkat petunjuk Su-moay, walaupun belum paham seluruhnya, tapi rasanya sudah ada kemajuan,"
jawab Liong Sen, "Baik, kalau begitu besok kau sudah boleh turun gunung," kata Khie Wie. "Malam nanti kau akan kuberi 1772
petunjuk mengenai kunci ilmu pedang Ngo-heng-kiam-hoat itu!"
Mendengar gurunya mengatakan dia sudah boleh turun gunung, Seng Liong Sen terkejut dan girang.
"Apa Suhu hendak memberi tugas pada tee-cu?" kata Liong Sen sambil menyembunyikan rasa girangnya.
"Ya, kau harus melaksanakan syarat yang kukatakan dulu, bahwa kau harus melakukan tugas untukku" Nah, sekarang kau akan kutugaskan melaksanakannya." kata Khie Wie.
Ucapan guru atau calon mertuanya itu membuat hati Seng Liong Sen berdebar-debar, sebab tak dia ketahu apa tugas yang harus iia selesaikan itu"
"Katakan saja Suhu, tugas apa?" kata Liong Sen.
"Aku ingin agar kau membunuh seorang perempuan dan menampar seorang lelaki sebanyak dua kali!" kata Khie Wie.
Mendengar perintah itu Seng Liong Sen heran.
"Siapakah laki-laki dan perempuan itu?" tanya Liong Sen.
"Dia seorang Ti-hu (Bupati) bernama Gak Liang Cun, dia bertugas dan tinggal di kota Yang-ciu. Sedangkan yang perempuan isteri ketiga Ti-hu itu!" kata Khie Wie. "Pada tanggal 18 bulan tiga nanti hari ulang tahun Gak Liang Cun yang ke-60. Di rumahnya akan diadakan pesta besar dan isteri tua serta kedua istri mudanya pasti akan keluar melayani para tamu suaminya. Kau harus menyusup ke sana, bagaimana caranya terserah kau saja! Tugasmu di depan semua tamunya sebanyak dua kali dan bunuh isteri kedunya. Jangan bunuh isteri pertamanya. Selisih usia 1773
kedua isteri muda Ti-hu itu dengan isteri pertama sekitar belasan tahun. Jelas mudah dibedakan. Tetapi jika kau tidak bisa membedakan mana isteri kedua dan ketiga, lebih baik mereka kau bunuh dua-duanya!"
"Apakah Ti-hu kota Yang-ciu itu orang jahat" Kenapa harus membunuh isteri mudanya?" pikir Seng Liong Sen.
"Jika Ti-hu yang jahat, seharusnya dia yang dibunuh. Tapi kenapa malah isteri mudanya saja yang harus dibunuh?"
"Kau tidak perlu banyak bertanya! Lakukan saja tugas itu dengan baik!" kata Khie Wie.
Nada ucapannya jelas dia kurang senang atas pertanyaan Seng Liong Sen itu.
Dengan tanpa alasan yang jelas, dan harus membunuh seorang perempuan yang belum dia ketahui dosanya Maka itu Seng Liong Sen jadi bingung dia merasa tidak tegajuga.
Tapi dia tahu adat Khie Wie aneh, terpaksa dia menganggukkan kepalanya.
"Jika sudah sampai di Yang-ciu, akan kubunuh atau tidak perempuan itu, semua terserah aku. Mana bisa dia mengawasiku terus-menerus?" pikir Seng Liong Sen.
Maka itu dia langsung mengiakan saja.
"Masalah ini jangan sampai diketahui orang lain.
Sekalipun puteriku jangan kau beri tahu!" kata Khie Wie.
"Baik, Suhu," kata Seng Liong Sen.
"Jika kau bekerja dengan baik, tanpa harus menunggu tiga tahun lagi, sepulang dari tugas itu, kau boleh menikah dengan puteriku. Ini ada dua bungkus obat untukmu!" kata sang calon mertua.
"Obat untuk apa, Su-hu?" tanya Liong Sen heran.
1774 "Bungkusan merah kau gunakan untuk merendam kepala perempuan hina itu! Sesudah obat ini kau campur air, kepala perempuan hina itu kau rendam dalam air obat itu.
Dalam sekejap kepala itu akan menjadi kecil sebesar kepalan tangan. Kemudian kepala itu kau bawa ke mari!"
Mendengar ucapan Khie Wie, tanpa terasa kuduk Seng Liong Seng merinding.
"Lalu yang dibungkusan kain putih untuk apa?" kata Seng Liong Sen.
"Itu untukmu, ilmu tenaga dalam perguruan kita bisa cepat dilatih, tetapi untuk mencapai tinggi agak sulit! Saat pertama aku memberi petunjuk padamu, aku kurang hatihati dan lupa hingga salah kuajarkan!" kata Khie Wie.
"Apa itu berbahaya, Su-hu?" kata Seng Liong Sen yang kaget bukan kepalang.
"Bahaya besar sekali tidak," jawab sang guru. "Apa lagi kau memiliki dasar lwee-Iang yang bagus dari dua aliran.
Tetapi karena kesalahanku itu, kau bisa terserang penyakit lama. Maka itu kau bawa obat itu untuk kau makan. Aku yakin tidak terjadi apa-apa atas dirimu! Aku kira untuk pergi ke Yang-ciu kau hanya perlu waktu setengah tahun saja!"
Seng Liong Sen cukup cerdik, segera dia mengerti masalahnya. Ternyata calon mertua itu mengizinkan dia pergi ke Yang-ciu, tapi sebelum itu dia sudah mempersiapkan sesuatunya. Jika Seng Liong Sen melanggar janji, dia tidak akan lepas dari jerat Khie Wie. Terpaksa dia harus kembali karena membutuhkan pengobatan.
Mau tak mau Seng Liong Sen harus mengakui kelihayan dan kelicikan Khie Wie.
1775 "Apa aku harus tergantung terus dari obat itu?" kata Seng Liong Sen.
"Sesudah kau pulang dan berhasil menjalankan tugasmu, kau akan kuajari lwee-kang. Sesudah kau mahir, obat itu tidak diperlukan lagi!" kata sang guru. "Aku yakin kelak kau akan jadi tokoh persilatan!"
"Ah, bagaimana aku masih berharap terlalu jauh," pikir Seng Liong Sen. "Asalkan aku bisa terlepas dari cengkramannya saja, aku sudah sangat bersyukur!"
Tetapi dia menjawab dengan hormat.
"Baik, Su-hu," kata Liong Sen.
Segera dia mengundurkan diri.
Ingat ilmu tenaga dalam dari orang she Khie ini, Seng Liong Sen jadi merinding. Dilatih hasilnya dia sering tak enak badan, tidak dilatih apa lagi. Dia seperti ketagihan madat saja, dan dia harus tetap berlatih.
Malam itu saat diadakan pesta perpisahan antara dia dan guru serta nona Khie, tampak Seng Liong Sen kurang bersemangat dan lesu sekali. Melihat sikap Seng Liong Sen nona Khie malah mengira pemuda itu sangat berat untuk berpisah dengannya.
Esok harinya.... Saat akan berangkat nona itu menghibur calon suaminya dengan berbagai nasihat dan kata-kata manis.
"Jangan cemas, setengah tahun itu tidak lama! Kau sudah akan kembali dan kita bertemu lagi," kata nona Khie.
Seng Liong Sen cuma mengangguk. Diam-diam nona ini menanyakan, tugas apa yang diberikan ayahnya pada Seng Liong Sen. Tetapi tidak dijawab oleh Liong Sen. Dia hanya bilang begini.
1776 "Aku sudah jadi yatim-piatu, yang ada cuma orang tua dari paman, maka urusan pernikahanku perlu dimintakan restu mereka." kata Seng Liong Sen.
Mengetahui pertanyaannya dialihkan nona itu diam saja.
Tak lama Seng Liong Sen melanjutkan.
Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut Suhu, jika aku sudah pulang pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Bukankah kau sudah diberitahu hal itu oleh Ayahmu?" kata Liong Sen.
Nona Khie girang ternyata ucapan ayahnya memang benar. Sudah tentu dia girang sekali. Dengan wajah yang berubah merah dia berkata, "Ah, entahlah. Jadi cuma urusan ini saja dan tidak ada urusan lainnya?"
Hati Seng Liong Sen tergerak, dia pikir apakah si nona mengetahui urusan di Yang-ciu atau tidak"
Sebelum Seng Liong Sen berkata lebih jauh, dari dalam rumah terdengar Khie Wie berkata.
"Anak Kie, kenapa kau bicara tak ada habisnya, biar Liong Toa-komu berangkat! Jika dia sudah pulang nanti, kau bisa bicara dengannya sepuasnya! Berpisah hanya setengah tahun itu tidak lama." kata ayah nona Khie.
Seng Liong Sen kaget. "Ah, untung aku tidak berkata apa-apa, jika aku bicara pasi dia mendengar pembicaraanku dengan puterinya!"
pikir Seng Liong Sen. Wajah Khie Kie bersemu merah.
Ilmu Ulat Sutera 13 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pukulan Naga Sakti 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama