Ceritasilat Novel Online

Badai Awan Angin 25

Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Bagian 25


"Ayah, aku cuma ingin mengantarkan Seng Toa-ko, masa kau malah menegurku begitu" Baiklah Liong-toa-ko, semoga kau lekas sampai di tempat tujuan dan segera pulang, aku senantiasa menunggumu." kata si nona.
Melihat Khie Kie sungguh-sungguh mencintainya, tanpa terasa Seng Liong Sen terharu juga.
1777 "Kasihan dia, padahal saat ini yang sedang aku pikirkan justru bukan kau tetapi orang lain." pikir Seng Liong Sen.
Kota Yang-ciu yang dituju Seng Liong Sen kali ini justru kampung halaman Ci Giok Hian. Pek-hoa-kok tempat tinggal keluarga Ci yang terkenal di luar kota Yang-ciu.
Sesudah semua diatur beres Seng Liong Sen berangkat ke Yang-ciu. Di perjalanan dia tidak menemui gangguan apaapa. Ketika perjalanan semakin dekat dengan tempat tujuan, jantung Seng Liong Sen berdebar tidak karuan. Ci Giok Hian memang selalu terkenang dalam benaknya.
"Barangkali sekarang dia ada di Kim-kee-leng atau malah ada di rumahnya" Jika dia ada di rumah, aku bisa menjenguknya dengan diam-diam. Dia pasti tak akan mengenaliku. Tapi setelah aku bertemu dengannya, apa yang bisa kukatakan padanya?" pikir Seng Liong Sen. Dia jadi bimbang sendiri dan menyesal karena perbuatannya yang lampau.
Ketika itu Ci Giok Hian memang ada di rumah.
Dia sampai di rumahnya sudah sebulan yang lalu. Di sana Ci Giok Hian tinggal bersama seorang budak tua, tukang kebunnya yang setia.
Ketika Ci Giok Hian baru pulang, dia rasakan hatinya seolah sudah beku. Kerjanya sepanjang hari hanya mengurung diri di kamar, dan jarang keluar kecuali mandi dan makan. Seharusnya dia harus menyampaikan kabar kematian suaminya kepada Bun Yat Hoan. Akan tetapi setelah dipikir beberapa kali, dia merasa tidak punya keberanian untuk berdusta pada Bun Yat Hoan. Jika dia laporkan menurut apa yang terjadi, dia semakin tidak berani.
1778 Maka itu dia mengambil keputusan untuk tidak keluar rumah lagi, dengan harapan orang akan melupakan dia selamanya. Dia sudah memutuskan akan mengasingkan diri di Pek-hoa-kok.
Dia tidak yakin orang bisa melupakan dirinya" Dia ingat pada Kok Siauw Hong, juga kepada Han Pwee Eng.
Terutama pada kakaknya, Ci Giok Phang, Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun... Dapatkah dia melupakan orang-orang itu" Memang sulit rasanya dia melupakan mereka.
Terutama Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Dua orang yang paling lekat di hatinya.
"Mereka pasti sudah menikah di Kim-kee-leng" Apa mereka tahu saat ini aku sedang menderita di Pek-hoa-kok?"
pikir Ci Giok Hian. Ketika musim semi tiba, taman bunga milik Ci Giok Hian tidak terawat hingga tidak seindah dulu walau bunga-bunga itu tetap mekar di tengah semak rumput dan reruntuhan pagar.
Suatu hari Ci Giok Hian dan budak tua itu menata tanaman di taman bunga. Melihat keadaan ini dia terkenang masa lalu.
"Dua tahun aku pergi dari rumah hingga taman ini terlantar begini rupa. Hai, Lauw Ong, kau masih ingat dulu di saat begini pekerja kita memetik bunga untuk disuling dibuat arak. Mereka sibuk sekali," kata Ci Giok Hian mengenang masa lalunya.
"Dulu puluhan orang bekerja, sekarang tinggal Sio-cia dan aku berdua saja," kata budak tua itu. "Sebelum Sio-cia kembali hamba sendiri yang menjaga taman ini. Karena sendirian hamba tak sempat menanam bunga terlantar!"
1779 Sebagai keluarga besar ada puluhan orang yang bekerja di rumah ini.
"Aku senang kau tetap setia padaku," kata Ci Giok Hian sambil tersenyum. "Di mana mereka sekarang" Kok cuma kau sendiri saja?"
"Sio-cia, setelah kau meninggalkan rumah ini, daerah Kanglamjadi kacau. Keamanan sekitar Tiang-kang terganggu oleh bajak yang bergabung dengan bangsa Mongol. Untung saat ini bangsa Kim dan Mongol tidak bergerak sehingga keadaan jadi aman. Sedang orang-orang kita sudah banyak yang jadi tentara rakyat di daerah Kanglam. Karena usiaku sudah lanjut hamba tidak ikut jadi tentara."
Mendengar ucapan itu Ci Giok Hian tersentak. Dia merasa malu, budak saja tahu kewajiban berjuang membela tanah airnya. Tapi kenapa dia malah mengurung diri"
Akhirnya nona Ci termenung. Melihat majikannya diam, budak itu bertanya pada Ci Giok Hian.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Sio-cia?"
"Ah, tidak. Mari kubantu kau!" kata nona Ci.
Dia ikut mencabuti rumput di taman bungan.
Sang surya memancarkan cahaya terang, seolah nona Ci mandi cahaya saja. Hatinya yang sumpek perlahan-lahan mulai terbuka.
Tiba-tiba terdengar seseorang menyapa pada budak tua.
"Hai, Lauw Ong, apa kau masih ingat padaku?"
Pintu pagar taman bunga memang sudah rusak dan belum dibetulkan. Maka dia bisa langsung masuk. Ketika Ci Giok Hian berpaling, ternyata dia Chan It Hoan budak tua keluarga Han Pwee Eng. Sebenarnya Chan It Hoan tokoh 1780
kalangan Kangouw. Dulu dia pernah ditolong Han Tay Hiong, dia bekerja sebagai pembantu di rumah Han Tay Hiong.
Terakhir dia membantu Bun Yat Hoan, ketika Giok Hian menikah dengan Seng Liong Sen. Saat itu Chan It Hoan ikut membantu dalam pesta pernikahan itu. Bahkan ketika Han Pwee Eng diantarkan ke Yang-ciu untuk menemui calon suaminya, Chat It Hoan dan Liok Honglah yang mengantarkannya.
Sesudah terjadi keributan di Pek-hoa-kok, Liok Hong pulang ke Lok-yang, sedang Chan It Hoan mengabdi di tempat Bun Yat Hoan. Ketikia Ci Giok Hian menikah dengan Seng Liong Sen, Chan It Hoan pun ikut sibuk membantu. Sesudah memberi hormat, Chan It Hoan bertanya pada Ci Giok Hian.
"Nyonya mana Seng Siauw-hiap?" kata Chan It Hoan.
"Bun Tay-hiap berharap dia segera kembali, karena banyak perkara yang perlu diurus!"
"Dia....ah dia tidak bisa menemui gurunya lagi......" kata Ci Giok Hian terbata-bata.
Wajah Ci Giok Hian pun berubah merah.
Mendengar jawaban Ci Giok Hian, Chan It Hoan terkejut dan cepat bertanya lagi.
"Kenapa begitu?" tanya Chan It Hoan.
Sambil menangis tersedu-sedu Ci Giok Hian menjawab.
"Dia.......dia sudah meninggal!" kata Ci Giok Hian.
Mendengar penjelasan itu Chan It Hoan melongo seolah tidak percaya.
"Sungguh di luar dugaan, apa yang terjadi" Bagaimana dia meninggal?" kata Chan It Hoan.
1781 "Suatu hari dia bertemu dengan Wan-yan Hoo. Dia dikerjai oleh Wan-yen Hoo, urat nadinya terluka dan tak tertolong dan akhirnya meninggal," kata Ci Giok Hian.
Sekalipun merasa malu Ci Giok Hian terpaksa berdusta begitu. Kemudian dia menundukkan kepala. Dia tidak berani memandang ke wajah Chan It Hoan yang bengong keheranan seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya.
Melihat Ci Giok Hian berduka, Chan It Hoan
menghiburnya. "Nona kau jangan berduka, kita pasti akan menuntut balas," kata Chan It Hoan. "Kapan Seng Siauw-ya meninggal" Apa kau sudah mengirim kabar pada Bun Tayhiap?"
"Tiga bulan yang lalu, memang belum kulaporkan!
Kebetulan Paman Chan datang, harap paman saja yang menyampaikan kabar ini kepada Bun Tay-hiap," kata Ci Giok Hian.
"Baik, nona Ci," kata Chan It Hoan sambil mengangguk.
"Tetapi mungkin tak bisa sekarang, karena aku belum mau pulang sekarang!"
"Lalu apa maksud kerdatangan Paman Chan ke mari?"
kata Ci Giok Hian. "Aku akan mencari tahu, apakah Ci Siauw-ya sudah pulang atau belum?" jawab Chan It Hoan. "Sebelum aku bertemu dengannya malah aku bertemu denganmu!"
"Kakak Giok Phang belum pulang," kata Ci Giok Hian.
"Memang ada urusan apa kau mencari dia?"
Sesudah menarik napas akhirnya Chan It Hoan menjelaskan.
1782 "Sebenarnya masalah ini pun harus kau ketahui juga,"
kata Chan It Hoan, hanya...." Chan It Hoan ragu-radu.
"Kenapa?" "Kedatanganku tidak kebetulan, kau sedang berduka...."
kata Chan It Hoan. Ci Giok Hian cerdik, dia bisa menduga apa maksud Chan It Hoan.
"Oh, kau ingin minta bantuan Kakakku" Katakan saja, asal aku bisa aku mau membantumu." kata Ci Giok Hian.
"Tapi ini bukan urusanku, ini......"
"Apa urusan dinas tentara rakyat" Dan kau kuatir aku membocorkannya?" kata Ci Giok Hian.
"Bukan itu maksudku. Urusan ini sangat penting. Aku sedang mempertimbangkan pantaskah kau ikut masalah ini." kata Chan It Hoan.
"Katakan saja, mungkin saja aku bisa ikut membantu?"
kata Ci Giok Hian. "Aku dapat tugas dari Bun Tay-hiap ke Kim-kee-leng.
Baru saja pulang dari sana. Sebenarnya kami merencanajan perampokan pada pembesar di kota Yang-ciu. Dananya akan kita sumbangkan untuk membantu tentara rakyat."
"Pembesar korup mana yang akan kalian jadikan sasaran?" kata Ci Giok Hian
"Ti-hu (Bupati) kota Yang-ciu yang bernama Gak Liang Cun!" kata Chan It Hoan.
"Kalau dia aku setuju. Aku dengar dia memang jahat dan rakyat memusuhinya!" kata Ci Giok Hian.
1783 "Tidak cuma itu saja, dia malah bersekongkol dengan Su Thian Tek, hampir sebagian besar perbekalan bajak Su Thian Tek atas dukungannya." kata Chan It Hoan.
"Aku dengar Su Thian Tek sudah takluk pada bangsa Mongol?"
"Sekarang bangsa Mongol dan bangsa Kim terus berperang, tapi tujuan mereka sama ingin menguasai Kerajaan Song! Akhir-akhir ini bangsa Kim dan Mongol berdamai, maka itu orang Kim ingin merangkul bajak Su Thian Tek agar mereka mengacau di daerah Kang-lam hingga dengan mudah mereka bisa menyerang negara Song!
Maka itu Ti-hu itu pun menyumbang Su Thian Tek!"
Ketika itu Yang-ciu sudah jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Kim dan menjadi tapal batas antara kerajaan Kim dan Song.
"Dari keterangan yang kami dapat, Gak Liang Cun akan mengirim perbekalan ke Tay-toh (Bei-jing ibukota bangsa Kim). Maka itu kita merencanakan merampas perbekalan mereka itu. Terutama untuk menolong rakyat dari bencana banjir!" kata Chan It Hoan.
"Kapan kalian mulai turun tangan?"tanya Cu Giok Hian.
"Tepat tanggal 18 bulan ini pada hari ulang tahun Gak Liang Cun yang ke-60. Hari itu pasti dia mengadakan pesta besar. Maka itu pada kesempatan itu kita gunakan untuk turun tangan. Seluruh pembesar yang hadir di pesta itu akan kita sergap seluruhnya."
"Itu sebuah rencana bagus, aku siap membantu kalian!"
kata Ci Giok Hian. -o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o1784 BAB 65 Rencana Perampokan Di Rumah Gak
Liang Cun; Seng Liong Sen Berhasil Menyelesaikan
Tugasnya Ci Giok Hian kelihatan bersemangat, dia yang semula akan menyepi, akhirnya memilih akan berkelana lagi. Dia akan mengerjakan pekerjaan yang menggemparkan di kota Yangciu. Saat itu Chan It Hoan sedang memberi penjelasan kepada Ci Giok Hian.
"Yang akan memimpin gerakan ini Tu-thauw-leng, Tu Hok yang dulu pernah ikut ke Pek-hoa-kok, pasti kau masih ingat. Jika kau bersedia membantu, bagaimana jika malam ini kuajak dia ke sini untuk berunding?" tanya Chan It Hoan.
"Oh, jadi dia yang memimpin," kata Ci Giok Hian.
"Bagus sekali jika dia yang datang."
Tu Hok salah seorang utusan Hong-lay-mo-li yang ikut mendamaikan peristiwa di Pek-hoa-kok dulu sehingga kedua pihak dapat dilerai. Ingat kejadian itu, tanpa terasa Ci Giok Hian jadi murung.
Melihat Ci Giok Hian murung Chan It Hoan seolah tahu perasaan Ci Giok Hian. Dia diam sejenak. Tak lama dia berkata dengan suara perlahan.
"Nona, ketika aku ada di Kim-kee-leng, teryata Kok Siauwya tidak ada di sana. Aku dengar mereka ada di Kang-lam, tetapi entah ada di mana" Nona, kado yang kau titipkan padaku masih kusimpan!"
Sesudah itu dia langsung mengeluarkan sebuah tusuk rambut batu Giok yang buatannya halus dan indah.
Tusuk kundai itu hadiah dari Kok Siauw Hong sebagai tanda mata untuk Ci Giok Hian. Sehari sebelum dia 1785
menikah dengan Seng Liong Sen, karena selalu berduka saat melihat benda itu, dia memutuskan untuk mengembalikan benda itu pada pemiliknya. Maka benda itu dia titipkan kepada Chan It Hoan agar diserahkan kepada Han Pwee Eng.
"Kalau begitu kau simpan saja benda itu, jika kau bertemu dengan nona Han kau serahkan kepadanya! Jadi selama Paman ada Kim-kee-leng, di sana ada siapa lagi?"
kata Ci Giok Hian. "Aku dengar bangsa Mongol akan menyerbu ke selatan, sedang dari Kim-kee-leng tidak banyak orang yang bisa diperbantukan! To-thauw-leng hanya ditemani oleh belasan orang berangkat dari sana. Bun Tay-hiap pun hanya mengirim beberapa orang ke sini. Maka itu aku ingat pada kalian dan sengaja aku datang ke mari untuk mencari kakakmu. Ditambah lagi hari ulang tahun pembesar itu sudah dekat, tinggal tiga hari lagi......."
"Kalau begitu malam ini kau undang dia kemari," kata Ci Giok Hian memberi kepastian.
"Baik, Nona Ci!" kata Chan It Hoan.
Sesudah itu Chan It Hoan pun pamit.
Sepeninggal Chan It Hoan, nona Ci termenung sendirian. Dia ingat pada Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Tapi tibatiba dia ingat pada Seng Liong Sen.
Bagaimanapun lelaki itu suaminya. Sayang jenazahnya tak sempat dilihatnya lagi.
Sedikit pun Ci Giok Hian tidak menyangka kalau saat itu Seng Liong Sen ada di kota Yang-ciu. Dia sudah tiba di kota ini dengan tugas yang hampir mirip seperti yang akan dilaksanakan Ci Giok Hian dan kawan-kawannya. Bedanya Seng Liong Sen akan membunuh isteri Ti-hu she Gak, 1786
sedangkan Ci Giok Hian dan kawan-kawannya hendak melakukan perampokan di rumah ti-hu itu.
Hari itu dia sudah tiba di Yang-ciu walau ulang tahun ti-hu itu masih tiga hari lagi. Jadi masih ada waktu luang baginya selama tiga hari lagi sebelum hari ulang tahun Gak Liang Cun dilaksanakan. Ketika mencari sebuah penginapan, pikiran dia sedang kacau sekali.
Dia jadi bimbang sekali. Khie Wie menyuruh dia membunuh seorang perempuan yang tidak ditahui apa dosanya" Dia bingung haruskah dia lakukan atau jangan"
Jika sedang bingung, dulu biasanya diarundingkan dengan Ci Giok Hian.
Tanpa terasa wajah Ci Giok Hian terbayang di mukanya.
Karena ingat isterinya, dia jadi tak tahan ingin bertemu dengan sang isteri. Sedang ulang tahun Gak Liang Cun masih tiga hari lagi.
"Jika aku menemuinya di Pek-hoa-kok, aku bisa melihat Giok Hian. Bagaimana jika sudah bertemu" Apa yang harus aku katakan padanya?" Seng Liong Sen berpikir.
Tiba-tiba saja kepalanya pening. Matanya gelap. Dia bangun dari tempat tidur sambil merintih kesakitan.
Suaranya cukup keras. Baru dia ingat sudah sebulan pergi dari rumah Khie Wie. Dia juga sudah dinasihati penyakitnya akan kumat. Maka itu dia buru-buru mengambil obat dan buru-buru dia telan.
Sesaat setelah menelan obat itu, terasa ada hawa hangat di perutnya. Dia mulai merasa nyaman. Ketika dia rasakan sudah sehat kembali, terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Ada dua orang yang masuk ke kamarnya, yang satu pemilik penginapan dan seorang lagi verpakaian tabib.
1787 "Tuan Anda tadi merintih seperti orang kesakitan, apa Tuan sakit?" tanya pemilik pengnapan kelihatan cemas.
Dari tubuh Seng Liong Sen tak hentinya keluar keringat dingin. Mereka kelihatan cemas bukan main. Mungkin suara rintihan pemuda itu terdengar oleh mereka.
"Aku tidak apa-apa, mungkin terlalu lelah di perjalanan saja! Perutku tadi memang sakit, tapi aku sudah minum obat. Sekarang sudah baikan," kata Seng Liong Sen.
Dia mengucapkan terima kasih.
"Ini tabib she Ong, beliau sangat terkenal di kota Souwciu. Hari ini kebetulan saja beliau lewat di sini!" kata pemilik penginapan. "Jika kau mau, kau bisa diperiksa olehnya!"
"Rasanya tidak perlu, maaf aku cuma merepotkan kalian, saja," kata Seng Liong Sen yang langsung mengucapkan terima kasih lagi.
Tabib Ong tak yakin pada ucapan Seng Liong Sen. Lalu dia perhatikan wajah pemuda itu. Sesudah termenung sejenak dia berkata bersungguh-sungguh.
"Lebih baik kau aku periksa!" kata tabib Ong.
Tanpa menunggu persetujuan Seng Liong Sen, tabib Ong segera memegang nadi pemuda itu dan memeriksa denyut nadinya.
Melihat Seng Liong Sen ragu-ragu dan kurang percaya pada tabib Ong itu, pemilik penginapan memberi penjelasan padanya.
"Tabib Ong tidak pernah mau mengobati orang di luaran, dia menolak undangan hartawan dan pembesar yang ingin diobati olehnya," kata si pemilik penginapan sambil tertawa. "Tetapi beliau sifatnya aneh, jika dia 1788
melihat ada penyakit yang belum ditemukannya, tanpa diminta pun beliau langsung memeriksa orang itu walaupun tidak dibayar!"
Mendengar keterangan itu sedikitpun Seng Liong Sen tidak percaya, malah dengan nada kurang puas dia meremehkan tabib keliling itu. Dia anggap tabib itu pasti cuma omong kosong.
"Mana mungkin dia bisa tahu penyakitku?" pikir Liong Sen.
"Ah, penyakitnya benar-benar aneh!" tiba-tiba tabib Ong berjingkrak keheranan.
Tak terduga, segera terdengar tabib itu bersuara heran, katanya : "Hai, ini benar-benar penyakit aneh !"
Saat si tabib memegang nadinya, Seng Liong Sen merasakan nadi di pergelangan tangannya terasa panas, seolah diserang suatu arus tenaga dalam yang kuat.
Seng Liong Sen merasa yakin tabib ini pasti orang pandai. Dia merasa seperti sedang dipijat oleh seorang ahli.
Ketika itu dia rasakan jalan darahnya jadi lancar sekali.
"Aneh sekali!" pikir Seng Liong Sen terkejut. "Apakah dia ini seorang tokoh persilatan yang sengaja mengasingkan diri?"
Pemilik penginapan pun kaget oleh ucapan tabib Ong.
"Penyakit apa yang diderita olehnya" Apa berbahaya?"
kata si pemilik penginapan dengan heran.
Seharusnya Seng Liong Sen yang menanyakan penyakit yang diderita. Tapi rupanya pemlik penginapan takut tamunya mati di penginapannya, maka dia yang mendahului Seng Liong Sen bertanya pada tabib Ong.
1789 "Aku tidak tahu penyakit apa ini" Aneh sekali!" kata si tabib sambil menggelengkan kepalanya, "Ini penyakit aneh, aku sendiri tidak tahu penyakit apa ini?"
"Apanya yang aneh?" tanya Seng Liong Sen.
"Aku tidak melihat ada tanda penyakit," kata tabib itu.
"Tapi dari denyut nadimu, sebulan lagi penyakitmu akan kambuh lagi. Aku tak bisa menjelaskan sakit apa kau"
Sebaiknya sebulan lagi kau datang ke tempatku di kota Souwciu."
"Jadi dalam sebulan ini Tuan ini tidak akan ada masalah?" kata si pemilik penginapan.
"Aku jamin begitu! Jika terjadi apa-apa sebelum sebulan, kau boleh datang ke tempatku. Kau boleh hancurkan papan merek pengobatanku!" kata si tabib.
Seng Liong Sen mengucapkan terima kasih. "Baik, sebulan lagi aku pasti akan datang ke tempatmu." kata Seng Liong Sen.
Sekalipun mulutnya berkata begitu, Seng Liong Sen sangsi pada kemampuan tabib itu. Dia juga kuatir jika diperiksa akan ketahuan penyakitnya. Jika itu diketahui oleh gurunya, itu bisa berabe.
Tapi suatu ketika Seng Liong Sen gembira juga. Dia pikir, siapa thau tabib itu pandai. Jika dia bisa sembuh, dia akan terlepas dari ketergantungan pada Khie Wie.
"Waktunya masih lama, kenapa aku tak mencari tahu, siapa sebenarnya Tabib Ong ini?" pikir Seng Liong Sen. Dia juga ingin tahu bagaimana kemampuan tabib itu.
Pada tengah malam, diam-diam Seng Liong Sen keluar dari kamarnya dan dia mencoba mengintai ke kamar tabib itu.
1790 Di penginapan itu hanya ada belasan kamar, sampai di kamar nomor tiga segera terdengar suara tabib Ong bicara dengan seseorang entah siapa.
"Ah, dia bicara dengan temannya. Biar akan kudengarkan apa yang mereka bicarakan," pikir Seng Liong Sen. Kemudian Seng Liong Sen menguping. Sekalipun tabib itu bicara sambil berbaring di tempat tidur, dan suaranya perlahan, tapi Seng Liong Sen bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Chan It Hoan sudah ke Pek-hoa-kok. Bagaimana hasilnya?" kata tabib Ong.
"Ya, dia sudah ke sana, tapi tak bertemu dengan Ci Giok Phang!" kata teman tabib Ong.
"Dia bertemu dengan siapa?" tanya tabib Ong.
"Dia bertemu degan Nona Ci!" jawab temannya.
"Nona Ci yang mana" Apa dia menantu Bun-Tay-hiap?"
tabib Ong menegaskan. "Bukankah suaminya yang bernama Seng Liong Sen?"
"Ya," kata temannya. "Cuma aku dengar Seng Liong Sen sudah mati tanpa kuburannya."
Mendengar pembicaraan itu jatung Seng Liong Sen memukul keras, seolah akan mencelat keluar.
Terdengar tabib Ong menghela napas.
"Duabelas tahun yang lalu aku diundang Bun Yat Hoan untuk menyaksikan pemandangan kota Hang-ciu," kata tabib Ong. Sekarang aku mendengar tentang kematian murid kesayangannya. Betapa hancurnya dia. Aku dengar muridnya itu pandai dan cerdas sekali. Sayang dia meninggal tanpa kuburan! Aku yakin Bun Yat Hoan pasti 1791
sedih. Beberapa hari lagi kita pergi ke sana untuk menghiburnya!"
"Bukankah kau sudah berjanji kepada orang sakit yang ada di penginapan dan kau suruh dalam waktu bulan menemuimu di Souw-ciu?" kata temannya. "Apa kau sudah tahu, penyakit apa yang diderita orang itu Aku heran kenapa tabib terkenal seperti kau sampai menyerah tidak berdaya?"
Ketika Seng Liong Sen mendengar pembicaraan mereka beralih membicarakan dirinya, Seng Liong Sen mencoba menguping lebih jauh. Sesudah sekian lama tabib Ong tidak bicara lagi, mendadak terdengar suara daun jendela dibuka!
Dengan sigap Seng Liong Sen bersembunyi tak lama sesudah daun jendela terbuka terlihat teman tabib Ong melompat keluar dari jendela.
Masih untung Seng Liong Sen sempat bersembunyi sehingga tidak terlihat oleh teman tabib Ong itu. Ketika sudah sunyi Seng Liong Sen pun buru-buru kembali ke kamarnya.
Ketika Seng Liong Sen mengintai lewat celah jendela, dia lihat orang itu menoleh kian-ke mari. Saat tahu tidak melihat ada gerakan apa-apa, dia melompat turun dari atas genting. Sayup-sayup terdengar orang itu berkata pada tabib Ong.
"Di luar tak ada siapa-siapa, kau jangan curiga!" kata orang itu. "Keadaan di luar penginapan sepi sakali."
Setelah keluar orang itu tidak masuk ke kamar tabib Ong, dia langsung masuk ke kamar lain. Seng Liong Sen jadi tahu orang itu tidak tidur sekamar dengan tabib Ong, tapi tamu kamar lain.
1792 "Ah, ternyata tabib itu kenal pada Guruku," pikir Seng Liong Sen. "Untung aku berhati-hati! Jika aku tak salah ingat Chan It Hoan pelayan Han Pwee Eng. Saat aku akan pergi Suhu menyuruh dia ke Kim-kee-leng. Sekarang dia ada di Pek-hoakok. Jika aku ke sana bisa berabe jika bertemu dengannya!"
Esok harinya...... Penyakit Seng Liong Sen sudah agak baik, tapi agar dia tidak dilihat orang, maka itu dia terus mengunci diri di kamarnya.
Sedangkan tabib Ong sejak tadi pagi sudah keluar, seharian tidak pernah terlihat oleh Seng Liong Sen.
Sore harinya.... Penginapan di mana Seng Liong Sen bermalam
kedatangan seorang tamu baru. Orang itu bertubuh pendek dan gemuk, dia mengenakan pakaian bagus. Tingkahnya seperti seorang hartawan kaya, nungkin dia seorang saudagar kaya. Pemilik penginapan menyambut kedatangan tamu ini dengan sikap hormat.
Seng Liong Sen dengar orang itu she Lauw, pemilik toko di Souw-ciu. Dia datang ke Yang-ciu untuk menghadiri pesta ulang tahun Ti-hu she Gak. Percakapan antara tamu dan pemilik penginapan itu didengar jelas oleh Seng Liong Sen.
Mendengar percakapan itu Seng Liong Sen tertarik juga.
Diam-diam dia mendekati tamu itu, untuk diajak berkenalan. Kemudian tamu itu dia undang ke kamarnya.
Kepada tamu itu Seng Liong Sen mengaku sebagai pedagang kain sutera;
1793 "Anda membuka toko di mana?" tanya tamu she Lauw itu.
"Di Kay-hong," jawab Seng Liong Sen. "Aku ke Kanglam untuk memperluas toko. Kalau perlu aku buka cabang di sini!"
Saudagar she Lauw tampak acuh tak acuh dia tidak tertarik pada keterangan Seng Liong Sen. Sikapnya dingin bahkan tidak menanggapi kata-kata Seng Liong Sen.
Tiba-tiba Liong Sen dikagetkan oleh sapaan orang dari luar kamarnya pada tamu orang she Lauw itu.
"Saudara Lauw, ternyata kau ada di sini! Pasti kau tak mengira aku sudah ada di sini juga, kan?" katanya sambil langsung masuk ke kamar Seng Liong Sen tanpa permisi lagi.
Suara orang itu dikenali Seng Liong Sen, ternyata orang itu teman tabib Ong yang semalam dia intai. Orang itu berpakaian bagus, wajahnya merah bercahaya. Dia mirip seorang saudagar juga.
"Saudara Sun," kata saudagar she Lauw sambil tertawa.
"Jadi kau sudah ada di sini! Rupanya kalian sudah saling mengenal?"
"Saudara Liong, pasti kau tak kenal padaku. Tapi aku tahu namamu dari tabib Ong. Dia sahabatku." kata orang she Sun itu.
"Jadi Anda sahabat tabib Ong, aku pernah diperiksa olehnya," kata Seng Liong Sen.
Sesudah itu Seng Liong Sen ragu dan berpikir.
"Apakah dia tahu aku mengintainya semalam?" pikir Seng Liong Sen dengan perasaan was-was.
"Anda berjualan apa?" tanya Seng Liong Sen.
1794 "Siauw-tee pedagang beras, maka itu aku sering bertemu dengan saudara Lauw di Souw-ciu. Kita sesama kalangan pedagang. Kalian asyik sekali! Apa kalian sedang bicara soal dagang?" kata orang she Lauw.
Kata-kata orang she Lauw itu membuat Seng Liong Sen sedikit curiga. Dia jadi khawatir jangan-jangan rahasia dirinya sudah diketahui oleh mereka.
"Aku cuma seorang pedagang kecil, jauh jika dibanding dengan kalian berdua. Kami malah mau membicarakan soal ulang tahun Ti-hu she Gak itu," kata Seng Liong Sen.
"Tadi sebelum kau ke mari, saudara Liong ini mau meyumbang kepada Ti-hu sebagai awal perkenalannya,"
kata orang she Lauw. "Karena baru kali ini ke sini dia belum kenal pada Gak Ti-hu!"
Tamu she Sun itu mengawasi ke arah Seng Liong Sen sejenak. Sesudah itu dia tertawa terbahak-bahak.
"Itu tidak sulit," kata orang she Sun. "Besok kau boleh ikut bersama kami ke sana!"
"Oh, terima kasih! Terima kasih," kata Seng Liong Sen.
Seng Liong Sen pikir ajakan orang she Sun itu sangat kebetuoan.
"Apa tabib Ong juga akan ikut ke pesta itu?" kata Liong Sen.
"Entahlah, aku belum tahu, bisa jadi dua akan hadir juga," jawab orang she Sun.
Ternyata sampai hari sudah malam, tabib Ong tidak pulang ke penginapan entah kenapa" Menjelang tengah malam, datang beberapa petugas dari kantor ti-hu. Mereka mengadakan pemeriksaan secara serentak ke semua penginapan di kota itu. Mungkin mereka curiga dan kuatir 1795
ada penyusup atau orang jahat yang bisa mengganggu keamanan saat pesta ulang tahun berlangsung.
Para petugas itu memeriksa setiap kamar, ketika sampai di kamar Seng Liong Sen, pemuda asing ini ditanya secara teliti.
"Siapa namamu dan dari mana kau datang" Apa maksud kedatanganmu ke kota Yang-ciu?"
Ketika itu tamu she Sun dan she Lauiw datang menemuinya. Mereka menjelaskan bahwa Liong Sen sahabat mereka. Mereka jamin atas nama mereka, bahwa Liong Sen orang baik. Dengan demikian para petugas, mungkin juga mereka kenal dengan mereka, akhirnya semua beres tak ada masalah.
Esok harinya....." Seperti sudah dijanjikan semalam Seng Liong Sen ikut pada kedua saudagar itu pergi ke kediaman Gak Liang Cun untuk menghaturkan selamat ulang tahun. Ketika mereka berangkat tabib Ong memang belum pulang juga ke penginapan.
Gak Liang Cun sangat dikenal sebagai pembesar yang korup. Tidak heran jika pesta ulang tahunnya dirayakan dengan bersar-besaran. Gedungnya yang besar dan mewah sudah dihias warna-warni. Lampu-lampu berwarna merah sudah bergantungan memeriahkan suasana.
Orang-orang yang diundang pun banyak sekali, selain para pejabat setempat juga datang pejabat dari berbagai daerah. Terutama para kenalannya. Mereka berdatangan menghadiri pesta yang meriah itu. Di ruang tamu di tempat diselenggarakannya pesta, para tamu sudah berdatangan dan penuh sesak, hingga untuk berjalan pun rasanya sulit 1796
sekali. Sedang isteri pertama dan kedua isteri muda Buati Gak Liang Cun belum muncul di ruang pesta.
Seng Liong Sen sudah ada di tengah-tengah pesta bersama para tamu lainnya. Saat dia memperhatikan ke seluruh ruangan, dia sedikit kaget. Ternyata kedua saudagar she Lauw dan she Sun tidak kelihatan entah ke mana"
Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang sengaja datang untuk mengucapkan selama ulang tahun itu, Seng Liong Sen menyaksikan banyak tamu-tamu yang berbincang di antara kenalan mereka.
Dari pembicaraan yang didengar Seng Liong Sen, ada tamu mengatakan, Wan-yen Ong-ya mengirim utusan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ada juga yang bilang kagum pada Gak Liang Cun. Dia mendapat perhatian dari sang pangeran. Padahal dulu atasan Gak Liang Cun berulang tahun, tapi dia tidak mendapat perhatian seperti Gak Liang Cun.
Entah karena lama menunggu tuan rumah muncul, kebanyakan tamu mengira tuan rumah sedang sibuk menyambut utusan dari Wan-yen Tiang Cie. Dalam waktu singkat mungkin belum bisa keluar untuk menyambut mereka. Maka itu para tamu yang merasa kesal bersamasama keluar ruangan dan mereka menuju ke taman di belakang gedung. Di tempat ini mereka menyaksikan berbagai tontonan, seperti wayang orang, wayang kelitik dan tontonan lain yang sengaja didatangkan memeriahkan pesta.
Bukan saja para tamu yang lain, Seng Liong Sen pun sudah kesal. Bahkan dia sudah dongkol karena lama menunggu. Maka Seng Liong Sen pun ikut ke taman bersama tamu-tamu lain. Suasana pesta sangat meriah.
1797 Suara orang bicara pun ramai sekali hingga sulit ditangkap apa yang sedang mereka bicarakan.
Di panggung pertunjukan terdengar suara anak wayang menyanyi, suaranya mengingatkan Seng Liong Sen pada seseorang.
"Ah, bukankah itu suara isteriku, Giok Hian?" pikir Seng Liong Sen terperanjat.
Buru-buru Seng Liong Sen mendekat ke arah panggung untuk melihat lebih jelas, apakah benar itu suara isterinya"
Dengan susah-payah Seng Liong Sen menyelinap di antara penonton yang berjubel berdesakan. Dari jauh dia sudah melihat seorang penyanyi sedang bernyanyi membawakan cerita "See-siang-kie" sebuah kisah roman yang terkenal. *)
*). See Siang Kie atau "Peristiwa Di Kamar Barat"
roman klasik yang manis zaman Tang. Tak lama lagi buku ini akan diterbitkan oleh Penerbit Marwin.
Seng Liong Sen agak sangsi solah ketika itu dia sedang bermimpi. Karena memang benar orang itu Ci Giok Hian adanya. Jadi dia tidak sedang bermimpi.
"Heran, benarkah dia Giok Hian" Kenapa dia mau main sandiwara di tempat ini" Atau aku cuma salah lihat karena secara kebetulan wajah nona itu sama dengan wajah isteriku?" pikir Seng Liong Sen sangsi bukan main.
Memang sudah lama dia terkenang, bahkan siang dan malam dia mengenang isterinya dan ingin melihat wajah isterinya yang cantik itu. Tetapi sesudah bertemu dia terkesima dan bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang"


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat di atas panggung terdengar suara yang merdu, dan gerak yang lincah memainkan tokoh si cantik, Ci Giok Hian mendapat tepuk-sorak dari penonton.
1798 Macam-macam teriakan penonton, ada yang memuji kecantikannya, malah ada yang berani menggoda. Siapa tahu nona di atas panggung itu tertarik oleh godaannya.
Ci Giok Hian memang tinggal di Pek-hoa-kok atau di wilayah Yang-ciu, tapi karena dia jarang keluar rumah ditambah lagi sekarang dia berdandan sebagai anak wayang dan tidak ada orang yang mengenali, kecuali Seng Liong Sen, suaminya!
"Eh, jangan-jangan Giok Hian bermaksud melakukan sesuatu sepertiku?" begitu yang ada di benak Seng Liong Sen.
Teriakan-teriakan penonton yang semakin histeris menggoda Ci Giok Hian membuat suara semakin riuh saja.
Penonton hampir sulit dikendalikan sesama penonton mereka saling dorong.
Tiba-tiba muncul seorang pelayan menghampiri Ci Giok Hian.
"Nona Seng, hu-jin (nyonya rumah) meminta kau menyanyi di belakang!" kata pelayan itu.
"Baik," kata Ci Giok Hian.
Tak lama Ci Giok Hian berjalan mengikuti pelayan itu ke ruang belakang. Tanpa terasa Seng Liong Sen terus mengikuti rombongan isterinya ke ruang belakang.
Seng Liong Sen senang bukan kepalang saat mendengar Ci Giok Hian "dipanggil nona Seng" itu berarti "di hati" Ci Giok Hian masih ada kenangan atas dirinya.
Orang yang berdesakan mendorong kian-kemari, hingga Seng Liong Sen pun jadi terdorong kian-kemari. Dia dongkol lalu orang yang mendesak dia hajar dengan kepalannya.
1799 "Duuk!" "Aduh! Aduh!" teriak orang itu.
Saat dia awasi orang yang memukulnya, orang itu langsung memaki.
"Dasar setan muka jelek! Kau mau merebut si cantik, ya?" kata orang itu.
Ketika itu wajah Seng Liong Sen genas bukan main, tetapi dia tidak meladeni orang itu. Ketika kepalanya sedikit pening. Tiba-tiba ada suara sangat tajam bicara dekatnya.
"Ingat akan pesan Khie Lo-cian-pwee, kau lindungi Gak Liang Cun! Orang yang harus kau bunuh cuma isteri keduanya!"
Seng Liong Sen terkejut bukan kepalang. Segera dia menoleh ke belakang, tapi tidak melihat orang yang dia curigai. Di tengah orang demikian banyak, sulit bagi Seng Liong Sen menentukan siapa orang yang tadi
membisikinya. "Hm, jangan-jangan orang she Khie itu mengirim orang untuk mengawasiku!" pikir Seng Liong Sen." Jika aku tidak melaksanakan tusasnya, pasti berabe!"
Dia jadi kaget dan sedikit kuatir juga.
Dengan jantung berdebar diam-diam dia kembali ke ruang depan. Kebetulan saat itu Ti-hu Gak Liang Cun baru muncul di ruang depan diiring oleh sahabat-sahabat dan beberapa pengawalnya. Segera Gak Liang Cun mengambil tempat duduk.
Sedang di belakang Bupati Gak Liang Cun berdiri dua orang perempuan cantik, keduanya berpakaian mewah.
Seng Liong Sen mengira kedua wanita itu pasti isteri muda Gak Liang Cun.....
1800 "Aneh, bukan isteri pertamanya yang keluar, malah kedua isteri mudanya yang ikut keluar." bisik seseorang.
"Ah, kebetulan kalau begitu!" pikir Seng liong Sen. "Jadi aku tidak perlu membuat kaget isteri tuanya!"
Sesudah memberi hormat pada para tamunya Gak Liang Cun lalu berkata, "Aku girang, Tuan-tuan mau datang ke pestaku! Terima kasih atas kedatangan kalian ke pestaku yang sederhana ini!"
"Tutup mulutmu pembesar anjing, serahkan jiwamu padaku!" begitu tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
Bersamaan dengan teriakan itu, orang itu maju ke depan.
Dia tendang meja yang penuh dengan barang antaran.
"Braak!" meja pun terbalik.dan berhambuiran di lantai.
Tentu bukan saja Gak Liang Cun tapi semua tamu termasuk Seng Liong Sen pun kaget. Dua pria yang tubuhnya kekarkekar langsung menerjang. Mereka itu Tu Hok dan Chan It Hoan.
Sebelum Tu Hok dan Chan It Hoan sampai, dua orang yang berpakaian mirip pelayan sudah menghunus golok mereka dan mencoba menghalangi majunya Tu Hok dan Chan It Hoan.
Chan It Hoan seorang jago kawakan kalangan kang-ouw, sedangkan Tu Hok seorang jago dari Kim-kee-leng, mereka berdua ahli silat kenamaan. Ilmu silat mereka memang lihay. Tu Hok lebih lihay dari Chan It Hoan.
Kedua orang pengawal Gak Liang Cun itu, entah dari mana asalnya. Ilmu golok mereka sangat aneh, seorang memegang golok dengan tangan kanan yang seorang lagi menggunakan tangan kiri untuk memegang goloknya.
Kedua golok mereka secara bersamaan menyerang dari dua 1801
arah, seolah hendak memotong lawan yang datang mendekati majikan mereka.
Di luar rumah Gan Liang Cun terdengar suara letusan hebat. Orang-orang yang tadi menyamar seperti pengemis, mereka telah membakar yan-hwee atau petasan terbang yang tadi mereka sembunyikan di balik pakaian mereka.
Suara letusan petasan itu terdengar di mana-mana.
Suaranya memekakkan telinga.
Suara letusan itu disusul oleh suara bentakan keras.
"Kami orang gagah dari Kim-kee-leng, kalian yang tidak berdosa jangan takut. Kami hanya akan membunuh musuh kita dan ingin menangkap pembesar korup! Bagi orang Han kuanjurkan jangan ikut campur!" teriak orang itu.
Di antara pembesar dan prajurit yang ada di ruang pesta sebagian besar memang bangsa Han. Melihat para pengemis itu menerjang laksana harimau lapar, mereka gugup dan bingung sekali..
Ruang pesta dalam panik dan berlarian ke berbagai arah untuk
menyelamatkan diri. Panglima militer kota Yang-ciu seorang bangsa Kim yang sudah berpengalaman di medan perang, dengan tenang dia berteriak.
"Jangan panik, tutup pintu. Kita tangkap para penjahat itu!" teriaknya.
Melihat keadaan demikian kacau, kesempatan ini tak disiasiakan oleh Seng Liong Sen. Segera dia maju, sekali lompat dia melesat ke arah Gak Liang Cun dan kedua isterinya.
1802 Melihat Seng Liong Sen meluncur ke arah majikan mereka, dua orang pengawal yang berada di depan Gak Liang Cun maju mencoba akan menghalangi Seng Liong Sen. Tapi pemuda ini lebih gesit, segera dia tusuk kedua pengawal itu hingga roboh tak bernyawa. Sesudah itu dengan sekali salto Seng Liong Sen sudah berdiri tepat di depan kedua isteri Gak Liang Cun.
Kedua perempuan itu terkejut, karena tidak menyangka akan diserang, maka itu keduanya berteriak.
"Am..........ampuni kami....." katanya. "Aduh..."
Secepat kilat Seng Liong Sen telah memotong kepala isteri kedua Gak Liang Cun dengan mudah. Sesudah itu dia tendang isteri ketiga Gah hingga terpental. Sesudah itu dia jumput kepala perempuan malang atau isteri kedua Gak segera dia masukkan ke kantung kulit yang sudah dia siapkan.
Sesudah itu Seng Liong Sen memutar tubuhnya dan menerjang ke arah Gak Liang Cun. Ketika itu Gak Liang Cun sudah dikawal oleh dua pengawal lain, tapi sayang kepandaian kedua orang itu tidak setinggi kedua temannya.
Mereka ketika itu bermaksud mencegat Seng Liong Sen.
Dengan suara agak serak Seng Liong Sen membentak.
"Jika kalian sayang nyawamu, lekas pergi dari sini!" kata Seng Liong Sen.
Pedang pemuda itu bergerak cepat, hingga salah seorang dari pengawal tertusuk pedangnya. Untung yang seorang lagi segera menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan bergulingan menyelamatkan diri. Dua orang pengawal yang menghadang Tu Hok dan Chan It Hoan agak jerih.
Tiba-tiba Tu Hok mengayunkan goloknya.
"Kena!" bentak Tu Hok.
1803 Saat goloknya menyambar, budak yang ada di sebelah kiri terbacok hingga berdarah-darah. Chan It Hoan tidak mau ketinggalan, dengan bertangan kosong dia pun maju.
Dia rampas golok pengawal itu dengan tangan kosong.
Tapi Seng Liong Sen lebih cepat, hanya dua kali melompat dia sudah berada dekat Gak Liang Cun sebelum Chan It Hoan sampai ke sana. Tak diduga sama sekali, Seng Liang Sen sudah berada di samping Bupati itu. Saat itu juga dia tampar bupati itu dengan tangan kanannya.
Sesudah itu Liong Sen mengepit tubuhnya. Gak Liang Cun dia bawa ke ruang dalam.
Saat Seng Liong Sen beraksi tadi, saudagar she Lauw dan she Sun pun ikut bergerak di bagian lain. Orang she Lauw mendekati komandan militer bangsa Kim dan bertanya.
"Tay-jin, siapa yang hendak kau tangkap?" tanya orang she Lauw itu.
Ternyata panglima kota Yang-ciu itu kenal pada saudagar she Lauw. Saat si komandan keheranan melihat seorang saudagar cita berani berkeliaran di tempat pertempuran, mendadak komandan itu merasakan sebagian tubuhnya kesemutan. Tanpa diduga kedua tangan komandan telah diikat oleh saudagar she Lauw.
"Eh, kenapa kau menangkapku. Bukankah kau saudagar Lauw?" tanya komandan kota Yang-ciu keheranan.
Orang she Lauw itu hanya tertawa sambil menjawab dengan tenang.
"Kau benar, sekarang aku bukan saudagar lagi. Sesudah aku menangkapmu, aku tak perlu lagi jadi pedagang!" kata orang she Lauw sambil tertawa.
1804 Orang she Sun mengayunkan cambuk, langsung
menghajar anak buah komandan kota yang hendak mereka bantu. Mereka terhajar oleh cambuk orang she Sun.
senjatanya langsung berjatuhan terhajar cambuk yang lihay.
Sesudah Seng Liong Sen berhasil mengempit Gak Liang Cun, dia langung membawanya ke ruang belakang. Tentu saja kedua saudagar she Lauw dan she Sun itu keheranan.
"Ah, ternyta dia kelompok kita, tetapi kenapa dia bunuh isteri Gak Liang Cun dan menawan serta membawanya ke ruang belakang?" pikir orang she Lauw.
Melihat pemuda itu masuk ke ruang dalam, mereka mengira Seng Liong Sen salah jalan saking paniknya.Maka itu mereka berteriak memangggil pemuda itu.
"Saudara Liong, jangan ke sana. Mari keluar, jangan membunuh anggota keluarganya!" teriak orang she Lauw.
Ketika itu Chan It Hoan berniat mengejar Seng Liong Sen, tapi tidak sempat karena pintu ruang belakang langsung ditutup oleh Seng Liong Sen.
Ketika terjadi keributan di ruang depan, Ci Giok Hian yang ada di ruang belakang yang diundang oleh nyonya rumah, Giok Hian yang cerdik, bertanya-tanya dalam hatinya.
"Kenapa isteri Bupati mengundangku ke ruang belakang?" pikir Ci Giok Hian. "Apa dia mengenali penyamaranku?"
Maka itu terpaksa Ci Giok Hian harus berhati-hati ketika dia ke ruang belakang bersama pelayan nyonya rumah itu.
Isteri tua Bupati itu ternyata ramah sekali, sambil tertawa ia berkata, "Aku dengar kau pandai menyanyi, ternyata kau juga cantik sekali! Maka itu aku memanggilmu ke mari.
Kau she apa dan sudah berkeluarga belum?"
1805 Mendengar bicara nyonya rumah itu demikian ramah, Ci Giok Hian lega juga hatinya. Maka itu dia jawab pertanyaan nyonya rumah dengan ramah pula. Dia tahu nyonya ini tidak memasang perangkap baginya.
"A Lan, suguhi tamu kita teh hangat," kata Nyonya Gak.
"Terima kasih, Nyonya!" kata Ci Giok Hian. "Jangan repotrepot!"
Tetapi nyonya Gak tetap menyuruh pelayannya menyuguhi secawan arak untuk Ci Giok Hian. Ci Giok Hian tidak dapat menolak suguhan itu, dia menerimanya.
Tetapi dia tetap waspada pada segala kemungkinan yang akan terjadi. Saat dia mengangkat cawan araknya, tangan Ci Giok Hian gemetar hingga isi cangkir tercecer sedikit.
Ketika arak itu menyiram lantai, seketika timbul uap hitam.
Kiranya arak itu telah dicampur dengan racun yang ganas.
"Eh, kenapa kau tumpahkan araknya, kurang ajar!" tegur nyonya rumah kaget dan jengkel.
Ketika itu di ruang depan sudah terjadi pertempuran hebat. Ci Giok Hian yang kaget, langsung berniat menangkap isteri Bupati itu untuk dijadikan sandera.
Ketika Ci Giok Hian maju hendak menyandera nyonya Gak, nyonya itu pun sudah mendahului menyerang Ci Giok Hian. Terpaksa nona Ci melemparkan cangkir teh ke arahnya. Tapi dengan gesit nyonya Gak mengibaskan lengan bajunya dan....
"Praang!" Cangkir teh itu jatuh ke lantai langsung hancur berantakan. Rupanya nyonya Bupati ini seorang ahli silat.
Ci Giok Hian maju, dengan jarinya dia menotok jalan darah nyonya Gak. Kembali nyonya Gak mengibaskan 1806
lengan bajunya. Terdengar suara kain robek ternyata jari nona Ci berhasil merobek lengan baju nyonya pembesar itu.
Ci Giok Hian pun kaget karena dia rasakan serangan nyonya itu sakit sekali.
"Kau anak Khie Wie kan" Kenapa kurang ajar" Apa kau tidak tahu siapa aku ini?" bentak nyonya Bupati.
Ketika itu Ci Giok Hian bingung.
"Bukan! Aku orang dari Kim-kee-leng untuk menghabisi pejabat korup!" kata Ci Giok Hian. "Ternyata kau juga bukan orang baik!"
Nyonya Bupati ini pun tidak yakin Khie Wie akan mengirim puterinya, sekalipun dia dendam padanya. Maka itu dia melancarkan serangan berbahaya ke arah Ci Giok Hian.
Sedikitpun Ci Giok Hian tidak mengira kalau nyonya Bupati itu lihay sekali. Sedang pertarungan di ruang depan sedang berlangsung dengan sengit, maka itu dia berpikir harus bertempur mati-matian untuk membereskan nyonya rumah secepatnya.
Ci Giok Hian yang bertangan kosong agak terdesak oleh nyonya rumah, maka itu dia segera menghunus pedangnya.
Dengan cepat pula dia menyerang dengan jurus "Giok-li-coanso" atau "Gadis manis melemparkan tambang" Ujung pedang nona Ci mengarah jalan darah lawan.
"Nyonya, tongkatmu!" teriak seorang pelayan sambil melemparkan sebuah tongkat pada nyonya rumah. Dengan cepat Ci Giok Hian hendak mencegah nyonya Gak memperoleh tongkat itu. Maka itu dia babat tongkat itu dengan pedangnya.
"Traang!" 1807 Saat kedua senjata beradu, tongkat itu tetap meluncur ke arah majikannya. Sekarang nyonya rumah sudah memegang tongkat kepala naga sebagai senjatanya.
Ci Giok Hian buru-buru lari ke ruang dalam maksudnya akan meloloskan diri ke ruang depan. Tetapi nyonya rumah tak tinggal diam, dia membentak sambil mengayunkan tongkatnya. Ci Giok Hian hendak menangkis tongka lawan dengan pedangnya. Kembali terdengar suara bentrokan senjata, kali ini hampir saja pedang Ci Giok Hian terlepas dari tangannya. Buru-buru Ci Giok Hian menghindar dan lari. Sedang lawannya pun terus memburunya.
Dari ruang dalam ke luar harus melewati taman yang luas. Dari jarak jauh Ci Giok Hian sudah melihat pintu keluar tertutup rapat. Dia kaget bukan kepalang...
Di pihak lain Seng Liong Sen yang sudah ada di ruang dalam, buru-buru menurunkan Gak Liang Cun dari kepitannya.
"Lekas selamatkan dirimu!" kata Liong Sen. "Jika terlambat, aku juga tak akan mampu melindungimu!"
Gak Liang Cun kaget seolah dia tidak percaya, kenapa pembunuh isteri keduanya ini malah menolonginya" Gak Liang Cun kelihatan agak ragu-ragu, sedang pemuda itu menyuruhnya segera pergi. Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata, saat itu Ci Giok Hian muncul sedang dikejar oleh nyonya Gak. Melihat suaminya berada dengan orang yang tak dikenal, nyonya Gak kaget dan mengira suaminya sudah jatuh ke tangan musuh.
Tadi Seng Liong Sen masuk ke ruangan dalam untuk mencari Ci Giok Hian. Dia jadi kaget melihat Ci Giok Hian sedang dikejar-kejar oleh nyonya rumah.
1808 Dalam paniknya nyonya rumah mengejar Ci Giok Hian dan mengurungnya dengan tongkat kepala naganya.
"Jika kau bunuh suamiku, maka kawanmu pun akan kubunuh!" ancam nyonya Gak.
Dengan tak banyak bicara tiba-tiba pedang Seng Liong Sen mengarah ke jalan darah nyonya Gak, hingga terpaksa nyonya Gak harus menolong jiwanya dulu. Serangan pemuda ini di luar dugaan nyonya Gak. Sesudah berkelit tangan kanan nyonya Gak bergerak hendak menangkap tangan Seng Liong Sen.
Ternyata nyonya Gak tua-tua keladi, dia lihay, hampir saja lengan Seng Liong Sen tercengkram oleh cengkramannya. Bahkan pedang pemuda itu akan berpindah tangan.
Seng Liong Sen tidak kalah gesitnya, dia berkelit dari serangan itu. Sedang pedangnya dipakai membabat tangan lawan. Saat cengkramannya tak mngenai sasaran, Gak Hujin kaget. Dia tahu bahaya mengancam dirinya, buru-buru dia mundur.
"Breet!" Ujung lengan bajunya tak urung terbabat pedang Seng Liong Sen. Keadaan di taman agak gelap dan remang-remang. Ci Giok Hian girang karena ada yang menolonginya. Maka diam-diam dia awasi orang itu.
Ternyata orang itu seorang pemuda bermuka jelek sekali.
Tetapi hatinya terkesiap, seolah dia pernah melihat orang berperawakan demikian, hanya wajahnya saja yang membuat dia pangling. Ci Giok Hian melongo keheranan.
"Kau., .kau siapa..........." kata nona Ci..
Pada saat yang sama nyonya rumah pun bertanya.
1809 "Siapa kau" Dengan Khie Wie kau ada hubungan apa?"
tanya Gak Hu-jin. Ketika Seng Liong Sen menyerang dia menggunakan jurus ilmu silat ajaran Khie Wie, karena dia takut Ci Giok Hian mengenali jurusnya. Maka itu nyonya rumah mengenali jurus itu.
"Nona, lekas lari!" kata Liong Sen dengan mengubah suaranya.
Ketika para penjaga gedung Ti-hu mendenga suara keributan di bagian dalam, mereka bemunculan hendak memberikan bantuan. Tetapi karena pintu terkunci, terpaksa mereka menggedornya berkali-kali. Dengan tak berpikir panjang lagi, Ci Giok Hian membalikan tubuh dan melompat ke atas genting.
"Orang itu entah siapa, biar akan kutanyakan pada Paman Chan dan Tu, mungkin mereka tahu siapa orang yang berwajah buruk itu?" pikir Ci Giok Hian. Ketika itu Seng Liong Sen sudah menghadapi Gak Hu-jin dan menangkis serangan tongkatnya.
"Aku tidak bermaksud membunuh suamimu. Tak perlu kau menanyakan siapa aku!" kata Seng Liong Sen.
Para pengawal gedung itu sudah bisa masuk, mereka mengepung Seng Liong Sen.
"Orang ini telah membunuh isteri kedua Lo-ya, tangkap dia!" kata para pengawal itu.
Gak-hu-jin terkejut juga girang.
"Ternyata kau telah membantu aku membunuh perempuan itu, maka kau pun tidak akan aku ganggu!" kata Gak hu-jin. "Silakan pergi!"
1810 "Hu-jin, kita juga harus lari. Penjahat Kim-kee-leng telah menangkap panglima kota," kata Gak Liang Cun pada isterinya.
Gak Liang Cun ini licin, segera dia bertukar pakaian dengan pakaian pengawal. Dengan menyamar sebagai pengawal dia berusaha akan kabur. Sedangkan isterinya disuruh mengawal si pengawal gedung yang dipakai bajunya untuk meloloskan diri jika pintu depan dibobol oleh musuh.
Ketika Seng Liong Sen sudah melompat ke atas genting akan menyusul Ci Giok Hian ternyata sang isteri sudah menghilang. Kebetulan saudagar she Lauw juga ada di atap rumah, maksud dia akan menyusup ke ruangan dalam untuk membuka pintu. Mereka berdua berpapasan di atas genting.
"Mana nona Ci?" kata orang she Lauw itu.
"Dia sudah kabur, apa kau tidak melihatnya?" jawab Seng Liong Sen.
"Mana Gak Liang Cun?" tanya orang she Lauw lagi.
"Di sana! Dia lari ke sana!" kata Seng Liong Sen asal tunjuk."Hati-hati isterinya lihay!"
Terpaksa dia berbohong karena tugas dari orang she Khie, dia harus melindungi Gak Liang Cun. Saat orang she Lauw pergi hendak mengejar Gak Liang Cun, Seng Liong Sen tersenyum karena puas orang she Lauw sudah tertipu olehnya.
Dia segera meninggalkan tempat itu. Sesudah merasa jauh, ia menoleh dari jauh dia lihat gedung bupati she Gak itu kelihatan terbakar. Mungkin dibakar oleh para pejuang dari Kim-kee-leng.
1811 "Tugas dari Khie Wie sudah beres semua, sekarang aku harus segera kembali ke sana untuk menemui dan menyerahkan kepala ini! Tapi aku akan tinggal dulu beberapa hari di Yang-ciu untuk menyelidiki Giok Hian."
pikir Seng Liong Sen. Dia tidak kembali lagi ke penginapan, saat dia sampai di persimpangan jalan yang menuju ke Pek-hoa-kok, dia bimbang. Mau ke sana atau jangan"
Dalam pengejarannya orang she Lauw berhasil menyusul nyonya Gak dan Gak Liang Cun palsu. Setelah bertarung beberapa jurus, mereka tahu pintu depan telah bobol didobrak musuh. Tu Hok memburu ke dalam. Bupat palsu itu sudah tertangkap. Sedangkan nyonya Gak berhasil kabur.
Setelah diadakan pemeriksaan, Tu Hok berteriak penasaran karena merasa tertipu. Dia tampar pengawal itu lalu melepaskannya. Tu Hok dan kawan-kawannya mencoba menggeledah seluruh pelosok gedung pembesar itu. Namun, Gak Liang Cun entah sudah kabur ke mana"
Untung mereka berhasil menangkap perwira tinggi bangsa Kim. Walau tidak berhasil menangkap Gak Liang Cun mereka cukup puas. Mereka segera membongkar gudang dan mengambil harta pembesar she Gak itu.
Sesudah gedung itu dibakar. Mereka tinggalkan gedung itu.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o1812 Jilid Keenam BENG CIANG HONG IN LOK (Badai Awan dan Angin) Karya: Liang Ie Shen Sumber Buku Kiriman : Aditya Djvu oleh : Dewi KZ
Edit teks oleh : aaa Ebook oleh : Dewi KZ TIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Cersil karya Liang Ie Shen ini dengan latar belakang zaman Song, dimulai saat Nona Han Pwee Eng akan menemui calon suaminya di Yang-cou, di tengah jalan rombongannya dihadang penjahat. Timbul masalah lain, calon suami Nona Han direbut oleh sahabatnya.
Kisah ini selain mengisahkan cinta juga diseling pertarungan silat kelas tinggi. Jalinan kisah asmara yang berliku ini diselingi kisah menegangkan, mengharukan.
Bagaimana bangsa Han mengusir penjajah bangsa Kim (Tartar) dan Goan (Mongol).
BENG CIANG HONG IN LOK (Badai Awan dan Angin) oleh : Liang le Shen Jilid Ke 6 Diceritakan kembali oleh : Marcus A.S.
MARWIN Penerbitan & Percetakan
1813 Judul asli: Beng Ciang Hong In Lok Penulis asli: Liang le Shen Diterjemahkan oleh : Ai Cu Diceritakan kembali oleh
: Marcus A.s.-Diterbitkan atas kerjasama dengan San Agency & Marwin Cetakan pertama : 2006
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0oBAB 66 Ci Giok Hian Mencurigai Pemuda Cacat
itu; Seng Liong Sen Bertemu Uh-bun Tiong
Rombongan Kim-kee-leng meninggalkan kota Yang-ciu.
Setiba di luar kota. mendadak Tu Hok ingat kepada pemuda bermuka buruk itu, Tu Hok langsung bertanya pada kawannya, ternyata tidak ada yang kenal. Mereka juga tidak tahu siapa dan ke mana perginya pemuda cacat itu.
"Apa yang kau maksudkan pemuda yang wajahnya penuh luka itu?" tanya Ci Giok Hian.
"Kau benar, tadi dia berhasil menawan Gak Liang Cun, lalu pergi ke ruang dalam," kata Tu Hok. "Sesudah itu aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana!"
"Untung dia ke dalam, aku pun diselamatkan olehnya,"
kata Ci Giok Hian. "Mungkin karena ingin menolongku, Gak Liang Cun yang sudah dia tangkap dilepaskan lagi!"
"Aku kira dia terjebak akal licik Gak Liang Cun," kata saudagar she Lauw. "Aku juga heran, bagaimana mungkin bedebah itu bisa menyamar jadi pengawal dalam waktu sesingkat itu?"
"Siapa dia dan dari mana asalnya?" tanya Ci Giok Hian.
"Kebetulan dia tinggal bersama kami di satu penginapan.
Kepada saudara Sun dia mengaku bernama Liong Sin!"jawab orang she Lauw.
1814 "Siapa, Liong Sin?" kata Ci Giok Hian sedikit kaget. Dia pikir nama itu mirip dengan nama suaminya.
"Bagaimana kalian bisa berkenalan dengannya?" tanya Ci Giok Hian.
Orang she Lauw bilang dia bertemu dan berkenalan di penginapan, di kamar pemuda itu. Demikian juga Tu Hok ikut menceritakan, bagaimana pemuda itu mengacau di ruang pesta dan berhasil membunuh isteri kedua orang she Gak. Sesudah itu dia kepit Gak Liang Cun, dan anehnya pemuda itu justru masuk ke ruang dalam.
"Apa mungkin dia" Aku rasa bukan dia?" pikir nona Ci.
"Dia jatuh ke jurang yang demikian curamnya, sekalipun tidak mati, tapi mana mungkin dia bisa sembuh dalam waktu demikian singkat?"
"Jika benar, kenapa dia membunuh isteri kedua Gak Liang Cun, dan melindungi pejabat korup itu!" pikir Ci Giok Hian lagi. "Tapi jika bukan dia.....aku rasa pernah melihatnya?"
"Perbuatan pemuda itu mengherankan! Nanti akan kutanyakan pada teman-teman yang lain. Aku rasa kita akan tahu siapa dia sebenarnya?" kata Tu Hok.
"Nona Ci, sudah jangan kau pikirkan soal itu! Apa kau mau ikut kami ke Kim-kee-leng" Aku kira tak lama lagi nona Han pun sudah akan ke sana!"
Kelihatan Ci Giok Hian agak ragu.
"Terima kasih, aku harus pulang dulu," kata si nona.
"Ajakanmu akan kupertimbangkan!"
"Nona, bagaimana jika kau ikut aku saja," kata Chan It Hoan. "Kejadian yang menimpa suamimu harus segera kau laporkan pada guru suamimu. Bagaimana pendapatmu?"
1815 "Masalah ini kita bicarakan besok saja, bagaimana jika Paman Chan ikut aku ke Pek-hoa-kok?" kata Ci Giok Hian pada Chan It Hoan.
Saat itu Tu Hok dan kawan-kawannya sedang mengawal barang hasil rampasan. Sesudah berbincang sejenak, Chan It Hoan setuju ikut Ci Giok Hian, mereka pun langsung pamit.
Tu Hok mengambil jalan sendiri, sedang Chan It Hoan dan Ci Giok Hian berjalan menuju ke Pek-hoa-kok. Di tengah jalan otak Ci Giok Hian bekerja.
"Bila benar orang itu suamiku, apa yang harus aku perbuat" Apa aku maafkan dia, atau jangan?" begitu pikir Ci Giok Hian.
Tiba-tiba dia jadi geli sendiri.
"Kenapa aku ingat dia" Tapi mungkinkah dia" Mengapa aku harus memikirkannya?" begitu Ci Giok Hian mengambil putusan.
Di luar dugaan saat Ci Giok Hian dan Chan It Hoan sedang berjalan ke Pek-hoa-kok, Seng Liong Sen justru sedang menunggu kedatangan Ci Giok Hian di taman bunga milik nona Ci.
Semula Seng Liong Sen ragu, akankah dia menemui istrinya atau tidak" Tapi kemudian dia berpikir, sudah lama dia ingin melihat isterinya. Kenapa saat ada kesempatan malah disiasiakan" Maka itu dia berjalan menuju ke Pekhoa-kok dan menunggu kedatangan isterinya.
Begitu Seng Liong Sen sampai di Pek-hoa-kok, hari sudah hampir tengah malam. Diam-diam dia berharap semoga saja malam itu Ci Giok Hian pulang. Dia berjalan dan melompati pagar tembok, lalu masuk ke dalam taman 1816
bunga. Kemudian bersembunyi di balik sebuah gununggunungan.
Sesudah menunggu cukup lama, tapi isterinya belum juga pulang. Seng Liong Sen jadi cemas dan sedikit kuatir, dia takut terjadi apa-apa pada isterinya.
"Sudah lewat tengah malam begini kenapa dia belum pulang juga?" pikir Seng Liong Sen. "Ah, jangan-jangan dia tidak pulang!"
Saat sedang kebingungan Seng Liong Sen mendengar langkah kaki orang mendatangi. Dari tempat gelap dia awasi, ternyata ada dua bayangan hitam sedang menuju ke arahnya.
"Siapa mereka itu?" pikir Seng Liong Sen.
Dengan bantuan cahaya rembulan Seng Liong Sen bisa melihat dengan jelas. Kedua orang itu muncul di taman.
Seorang lelaki dan seorang lagi perempuan. Yang perempuan bukan Ci Giok Hian, tapi isteri tua Gak Liang Cun.
Seng Liong Sen penasaran mencoba memperhatikan yang laki-laki. Bukan main kagetnya Seng Liong Sen.
Ternyata orang itu Wan-yen Hoo, atau orang yang menjerumuskan dirinya hingga dia mau bergabung dengannya. Akibatnya hampir saja dia tewas di jurang.
Tak lama terdengar Nyonya Gak bicara.
"Siauw Ong-ya, apa kau yakin orang itu dia?" kata Gak Hujin.
"Dari bentuk tubuh dan gerak-geriknya, iya!" jawab Wan-yen Hoo. "Aku yakin dia itu Ci Giok Hian!"
1817 Tiba-tiba dari dalam rumah Ci Giok Hian muncul seseorang. Ternyata dia jago silat bangsa Kim yang berumur sekitar empat puluh tahun.
"Cian Ciang-kun, apa kau menemukan sesuatu di rumah ini?" tanya Wan-yen Hoo.
"Tidak, selain seorang pelayan tua rumah ini," jawab jago Kim itu. "Dia pun tak bisa silat, tadi aku menotoknya!
Dia bilang nonanya sudah lama tidak ada di rumah!"
"Aku yakin orang yang menyanyi itu Ci Giok Hian!"
kata Wan-yen Hoo. "Mungkin tak lama lagi dia pulang.
Tunggu saja di sini! Dia akan kutangkap agar kau tidak penasaran terus! Ditambah lagi kedudukan suamimu tergantung kepadanya!"
"Baik, Siauw Ong-ya, aku harap kau mau menjelaskan pada Ayahmu!" kata Gak Hu-jin.
Sebenarnya dia tidak mengharapkan suaminya lagi. Tapi karena ada yang lain yang dia harapkan, maka dia setuju saja. Tapi entah kenapa dia tidak mau berterus-terang kepada Wan-yen Hoo.
Jantung Seng Liong Sen berdebar keras. Melawan Wanyen Hoo saja dia belum tentu menang, apalagi sekarang ada bu-su Kim dan Gak Hu-jin. Bagaimana dia tidak cemas"
Dia memang pernah mendengar tentang orang she Cian itu karena dia pernah datang ke tempat guru Seng Liong Sen.
Malah Cian Tiang Cun pun pernah bertarung melawan Pek Tek, katanya ilmu silatnya seimbang.
"Aku dengar nona Ci isteri Seng Liong Sen, apa benar?"
tanya Cian Tiang Cun.

Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya!" kata Wan-yen Hoo sambil tertawa. "Karena itu aku ingin menangkapnya hidup-hidup!"
1818 "Apa antara Pangeran dengan dia bermusuhan?" kata Cian Tiang Cun.
"Tidak! Dia sudah kutaklukkan, ilmu silatnya juga sudah kukerjai hingga dia menurut. Tapi sayang ketika dia kuperintahkan menyergap Kong-sun Po, dia malah ingkar!
Maka itu terpaksa kupukul dia hingga jatuh ke jurang! Tapi aku belum tahu apa dia sudah mampus atau masih hidup?"
"Jadi, Siauw Ong-ya mau menangkap Ci Giok Hian untuk menyelidiki, apakah suaminya sudah mati atau masih hidup?" tanya Nyonya Gak.
"Ya," kata Wan-yen Hoo. "Aku kira sekalipun dia beruntung lolos dari maut, pasti dia akan mengasingkan diri, sedikitnya untuk beberapa tahun. Sesudah itu baru dia berani keluar lagi. Tapi aku kira dia tidak berani membohongi isterinya, maka itu aku dan Cian Ciang-kun sengaja datang ke Yang-ciu."
Ternyata Cian Tiang Cun mendapat tugas dari Wan-yen Tiang Cie, ayah Wan-yen Hoo untuk mengambil perbekalan dan sekalian mewakili Wan-yen Tiang Cie untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Gak Liang Cun. Sedang kedatangan Wan-yen Hoo untuk menyelidiki keberadaan Seng Liong Sen.
Dia seorang pangeran, untuk menjaga harga diri, dia tidak mau tampak di depan umum, apalagi memberi selamat kepada seorang bawahan ayahnya. Maka itu Wanyen Hoo sengaja datang terlambat. Maksudnya dia datang setelah pesta bubar.
Saat Wan-yen Hoo tiba, gedung milik Gak Liang Cun sedang terbakar. Ketika itu dia sempat melihat isteri Gak Liang Cun berlari keluar gedung. Dari nyonya Gak ini Wan-yen Hoo mendapat keterangan tentang nona yang 1819
menyanyi di tempat pesta. Dia yakin wanita itu pasti Ci Giok Hian, isteri Seng Liong Sen.
Seng Liong Sen terkejut mendengar pembicaraan mereka itu.
"Bangsat Wan-yen Hoo! Ternyata kau masih saja ingin menggangguku. Jika dulu aku matipun, pasti kau masih mengejarku! Akan kubalas kejahatanmu ini, Wan-yen Hoo!" pikir Seng Liong Sen. "Aku akan berusaha agar tidak bertemu dengannya. Semoga saja malam ini Ci Giok Hian tidak pulang!"
Harapan tinggal harapan, justru saat itu Ci Giok Hian dan Chan It Hoan sampai. Sebelum orangnya kelihatan, suara Chan It Hoan sudah terdengar sedang bicara dengan nona Ci.
Ketika mereka sampai di depan pintu pekarangan, Ci Giok Hian berkata pada Chan It Hoan.
"Mungkin pegawaiku sudah tidur," kata si nona.
Dia terus berjalan sampai akhirnya dia kaget sendiri.
"Eh. Kok pintu pagarnya terbuka" Kenapa dia tak mengunci pintu pagar?" kata Ci Giok Han.
"Dia sudah tua, mungkin karena sudah pikun, dia lupa mengunci pintu pagar," kata Chan It Hoan.
Mereka masuk ke pekarangan, langkah kaki mereka terdengar jelas di malam hari yang sunyi itu. Di tempat persembunyiannya Seng Liong Sen bingung.
"Haruskah aku keluar" Tapi jika aku keluar berbahaya bagiku, jika aku tidak keluar, istriku yang akan terperangkap musuh! Aku pernah bersalah, sekarang aku tak boleh melakukan kesalahan lagi!" pikir Seng Liong Sen.
1820 Dengan tak berpikir lagi Seng Liong Sen muncul secara tiba-tiba. Begitu keluar Seng Liong Sen berteriak, "Kalian lari!"
Sesudah itu dia melompat ke arah Wan-yen Hoo yang sedang bersembunyi. Teriakan Seng Liong Sen mengejutkan Ci Giok Hian dan Chan It Hoan. Saat nona Ci menoleh ke arah suara teriakan itu, dia mengenali pemuda berwajah buruk dari bantuan cahaya rembulan.
"Eh, dia lagi yang menyelamatkan aku," pikir Ci Giok Hian. "Tapi anehnya, sekarang suaranya tidak seperti ketika di gedung Gak Liang Cun" Suara ini seperti aku kenal!"
Saat itu Nyonya Gak dan Cian Tiang Cun memburu ke arah Chan It Hoan dan Ci Giok Hian.
"Cepat lari, Nona Ci!" kata Chan It Hoan.
Chan It Hoan pernah melihat kepandaian Cian Tiang Cun di rumah Bun Yat Hoan. Dia duga kepandaian Nyonya Gak pasti lebih tinggi dari Cian Tiang Cun. Karena berpikir mereka tak mungkin melawan musuh, Chan It Hoan menganjurkan agar Ci Giok Han lari. Tapi karena Ci Giok Hian terkejut dia diam saja. Melihat nona Ci diam saja, buru-buru Chan It Hoan menarik tangan si nona.
Dalam keadaan terdesak, jalan yang paling baik adalah lari.
Saat Seng Liong Sen sampai di depan Wan-yen Hoo, dia langsung menusukkan pedangnya ke arah Wan-yen Hoo.
Serangan itu sangat cepat, hampir saja Wan-yen Hoo tertusuk. Terpaksa Wan-yen Hoo berkelit mundur beberapa langkah. Melihat si muka buruk mampu mengatasi Wanyen Hoo, Ci Giok Hian yang ditarik tangannya oleh Chan It Hoan ikut berlari kencang.
1821 "Hm! Ci Giok Hian, kau mau lari ke mana" Tetap kau akan kukejar!" kata Nyonya Gak Liang Cun yang terus mengejar
Jarak antara Ci Giok Hian yang dikejarnya sudah semakin dekat saja. Sedang di tempat lain Wan-yen Hoo yang memang lihay, mampu mengatasi serangan Seng Liong Sen. Sekarang serangan Seng Liong Sen bisa diatasi, hingga Seng Liong Sen tidak bisa menyerang seperti tadi.
Wan-yen Hoo mengeluarkan kipas baja dan
menggunakan jurus ampuh dia menotok ke arah lawan ybryk melakukan serangan balasan. Setiap totokan mengarah ke jalan darah Seng Liong Sen yang berbahaya.
Tak lama kelihatan Seng Liong Sen mulai terdesak.
Semula untuk mengelabui Wan-yen Hoo dia
menggunakan jurus yang diajarkan oleh Khie Wie. Tapi karena terus terdesak Seng Liong Sen akhirnya mengeluarkan ilmu silat ajaran gurunya. Si Sastrawan Berpit Baja.
Sekalipun masih berada di bawah kepandaian Wan-yen Hoo, tapi Seng Liong Sen mulai mampu mengatasi serangan lawannya. Dengan demikian Wan-yen Hoo tidak bisa berbuat seperti tadi, dia jadi sulit untuk mengalahkan lawannya ini.
Sesudah bertarung cukup lama, sekarang Seng Liong Sen menggunakan jurus dari Bun Yat Hoan. Karena mereka bertarung dari jarak dekat, Wan-yen Hoo pun bisa mengenali siapa lawannya" Sekalipun wajah Seng Liong Sen telah berubah, tapi gerak-geriknya masih dikenali Wanyen Hoo.
"Eh, siapa kau" Apa kau setan......" belum habis ucapan Wan-yen Hoo, Seng Liong Sen sudah memotong katakatanya.
1822 "Benar, aku ini setan!" kata Seng Liong Sen sengaja mengubah suaranya hingga menyeramkan
Saat itu bukan main kagetnya Wan-yen Hoo'
"Oh, jadi benar kau... kau Seng...." kata Wan-yen Hoo.
Kembali ucapan Wan-yen Hoo terputus.
Waktu itu pedang Seng Liong Sen yang meluncur deras sekali berhasil melukai Wan-yen Hoo.
"Kau harus mengembalikan nyawaku!" kata Seng Liong Sen.
Karena keadaan di tempat mereka bertarung agak gelap dan samar-samar, membuat suara Seng Liong Sen yang tinggi sangat menakutkan. Mendengar suara yang menyeramkan itu mau tak mau Wan-yen Hoo ngeri juga.
Dia bingung, benarkah dia sedang berhadapan dengan setan" Karena serangan datang bertubi-tubi dan Wan-yen Hoo merasa ngeri, dia sedikit agak lalai. Maka itu dia memilih lebih baik kabur. Ketika ada kesempatan baik, Wan-yen Hoo melompat dan kabur.
Melihat Wan-yen Hoo kabur, Seng Liong Sen tidak mengejarnya, karena dia menguatirkan keselamatan istrinya. Maka itu dia membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari isterinya. Tapi sebelum Wan-yen Hoo berlari jauh, dia sudah berhenti.
"Eh, kenapa aku lari" Bukankah orang itu mirip dengan Seng Liong Sen yang hendak kuselidiki" Ah bodoh benar aku ini!" pikir Wan-yen Hoo.
Setelah hatinya tenang Wan-yen Hoo memutar
tubuhnya, kembali ke tempat tadi untuk mencari lawannya itu. Tapi begitu sampai Wan-yen Hoo tidak menemukan lawannya itu.
1823 Saat itu sayup-sayup dia mendengar suara bentrokan senjata tajam.
Sedang Chan It Hoan dan Ci Giok Hian yang sedang melarikan diri dikejar dua lawannya. Akhirnya Chan It Hoan terkejar juga. Di belakang dia, Nyonya Gak sudah mengayunkan tongkat berkepala naga ke arah Chan It Hoan. Melihat ada bahaya, Chan It Hoan berbalik, tangannya dia ulurkan untuk menangkap tongkat Nyonya Gak Liang Cun.
"Roboh!" teriak Nyonya Gak.
Tongkat Nyonya Gak berhasil menggaet kaki Chan It Hoan hingga Chan It Hoan roboh dan bergulingan di tanah.
Sesudah merobohkan Chan It Hoan Nyonya Gak langsung mengejar Ci Giok Hian. Mendengar Chan It Hoan jatuh nona Ci kaget. Dia berniat kembali untuk menolong Chan It Hoan. Tapi tahu-tahu nyonya Gak sudah ada di depan Ci Giok Hian.
"Anak liar, menyerahlah!" kata Nyonya Gak.
Ketika itu tongkat naga Nyonya Gak sudah menyerang ke arah Ci Giok Hian, nona Ci terpaksa menangkis.
Sekarang mereka mulai bertarung. Ci Giok Hian melakukan perlawanan dengan sengit. Tetapi sesudah beberapa puluh jurus, dia mulai terdesak. Tubuh nona Ci sudah terkurung oleh tongkat berkepala naga milik Nyonya Gak yang lihay. Ci Giok Hian tak bisa berbuat banyak, kecuali bertahan, karena tidak sanggup membalas serangan lawan.:
Ketika itu Chan It Hoan sudah melompat bangun, tapi sayang Cian Tiang Cun sudah sampai dan menyerangnya.
"Bangsat! Mari kita adu jiwa!" bentak Chan It Hoan nekat.
1824 "Hm! Kau mau mengadu jiwa denganku" Kau jangan sombong!" kata Cian Tiang Cun.
Chan It Hoan maju sambil menyerang Cian Tiang Cun dengan hebat, mereka sudah langsung bertarung hebat.
Tibatiba terdengar suara mengejutkan.
"Krek! Aduh!" teriak Chan It Hoan.
Saat agak lengah, tangan Chan It Hoan tertangkap oleh Cian Tiang Cun. Dengan kejam orang she Cian itu mematahkan tangan Chan It Hoan yang tampak kesakitan bukan main.
"Hm! Sekarang kau baru tahu bagaimana kelihayanku!"
kata Cian Tiang Cun sambil tertawa.
Cian Tiang Cun maju, dia hendak menghabisi jiwa Chan It Hoan. Tapi tiba-tiba...
Datang serangan dari Seng Liong Sen, pedangnya menusuk ke bahu lawan. Namun. Cian Tiang Cun lihay.
Ketika dia merasakan ada angin dari belakang, buru-buru dia berkelit dan menoleh ke belakang.
"Hm! Rupanya kau lagi!" kata Cian Tiang Cun gemas sekali.
Sambil berbalik ke belakang Cian Tiang Cun
menggunakan tangan kosong untuk menangkap pedang di tangan Seng Liong Sen. Tapi Seng Liong Sen bukan anak kemarin sore. Setelah menghindari cengkraman Cian Tiang Cun, dia kembali menyerang hingga terjadi pertarungan hebat. Sambil bertarung Cian Tiang Cun berpikir.
"Eh, bukankah si buruk ini sedang melawan Wan-yen Hoo" Tetapi kenapa dia bisa ke mari" Apakah Wan-yen Hoo terluka olehnya?" pikir Cian Tiang Cun.
1825 Ketika Seng Liong Sen menyerang, terpaksa Tiang Cun mundur beberapa langkah ke belakang. Tapi saat serangan Seng Liong Sen yang gencar itu ingin mendesak Cian Tiang Cun, tiba-tiba Wan-yen Hoo muncul. Dari jauh dia langsung membentak.
"Tahan dia, jangan sampai kabur!" teriak Wan-yen Hoo.
Melihat Wan-yen Hoo tidak terluka dan datang ke tempat itu, semangat bertarung Cian Tiang Cun bangkit lagi.
"Baik, Pangeran! Dia tidak akan lolos dari tanganku!"
kata Cian Tiang Cun. Ketika itu Seng Liong Sen melihat Ci Giok Hian sedang terancam bahaya. Tongkat Nyonya Gak menyerangnya dengan ganas. Melihat hal itu Seng Liong Sen mau tak mau gugup dan kuatir. Seketika itu nekatlah Seng Liong Sen.
Tibatiba pedangnya menusuk ke dada Cian Tiang Cun.
Rupanya Seng Liong Sen sudah mengambil keputusan, jika perlu dia siap mati bersama lawan.
Diserang demikian hebat Cian Tiang Cun kaget juga.
Segera dia berkelit menghindari serangan lawan. Tapi gerakan pedang Seng Liong Sen saat menyerang musuh sangat aneh. Ketika tusukan Seng Liong Sen luput, pedang itu menebas ke bagian bawah tubuh Cian Tiang Cun.
Betapa gesitnya Ciang Tiang Cun menghindar, tidak urung lututnya tertusuk juga oleh ujung pedang Seng Liong Sen.
Tapi kepandaian bertarung jarak dekat Cian Tiang Cun cukup lihay. Maka itu sekalipun lututnya terluka, dia masih sempat menampar wajah Seng Liong Sen dua kali. Hajaran tangan Cian Tiang Cun cukup hebat, saat itu wajah Seng Liong Sen berlumuran darah, hingga wajahnya bertambah tidak karuan.
1826 Sebaliknya luka di lutut Cian Tiang Cun pun membuat dia kurang leluasa. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Seng Liong Sen, secepat kilat dia memburu ke arah Gak Hu-jin yang sedang menghadapi Ci Giok Hian. Melihat kedatangan Seng Liong Sen yang maju kalap, hal ini membuat Nyonya Gak kaget. Sekalipun kepandaian Nyonya Gak cukup tinggi, tapi karena diserang demikian hebat oleh orang yang sedang kalap, mau tidak mau dia keder dan jerih juga. Dengan adanya bantuan dari suaminya itu, keadaan Ci Giok Hian yang tadi terdesak, sekarang agak bebas. Dia sangat berterima kasih kepada pemuda yang berwajah buruk itu walau merasa heran.
"Kenapa dia begitu mati-matian menerjang musuh untuk menolongiku tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri?" pikir Ci Giok Hian.
"Terima kasih, Toa-ko! Siapa sebenarnya Toa-ko ini...."
kata Ci Giok Hian ragu-ragu. "Aku punya obat, lekas obati lukamu!"
Ci Giok Hian melemparkan sebungkus obat bubuk yang selalu dia bawa-bawa dan langsung disambuti pemuda itu tanpa menyahut.
Sementara itu dia langsung menerjang ke arah Nyonya Gak dengan lebih hebat lagi. Karena serangan itu demikian nekat, tanpa terasa obat bubuk dari Ci Giok Hian terjatuh ke tanah. Padahal wajah pemuda yang berdarah itu semakin banyak saja mengeluarkan darah.
Saat itu Wan-yen Hoo sudah sampai di situ. Mendengar kata-kata Ci Giok Hian, Wan-yen Hoo keheranan.
"Jadi dia belum tahu, kalau orang ini suaminya!" pikir Wan-yen Hoo.
1827 Saat itu Wan-yen Hoo memang belum tahu kalau penyakit Seng Liong Sen sudah diobati oleh Khie Wie, dan sudah sembuh! Maka itu dia masih tetap berusaha hendak menaklukkan Seng Liong Sen agar pemuda itu bisa dia peralat. Maka itu dia tidak membuka rahasia itu di depan Ci Giok Hian.
Saat itu Cian Tiang Cun yang lututnya berlumuran darah sedang berusaha menahan sakit dan memaki ke arah pemuda berwajah buruk itu. Dia sedang memburu dengan kaki pincang ke arah Seng Liong Sen.
"Istirahat saja Cian Ciang-kun, biar aku yang hadapi dia!" kata Wan-yen Hoo..
Ketika keadaan sedang tegang, tiba-tiba terdengar suara seruan.
"Hai, kau Cici Giok Hian bukan" Cici, kami datang untuk membantumu!" kata orang itu.
"Wan-yen Hoo, kau juga ada di sini" Saudara Kok, bangsat ini anak Wan-yen Tiang Cie. Kali ini jangan biarkan dia lolos!" kata seorang lelaki.
Rupanya orang yang datang itu Kiong Mi Yun yang ditemani Kong-sun Po dan Kok Siauw Hong. Bukan main girangnya Ci Giok Hian melihat kedatangan sahabatnya itu. Dia langsung berteriak dengan nyaring.
"Ah, kiranya kalian! Ayo tolongi dia! Toa-ko ini terluka!"
kata Ci Giok Hian sambil menunjuk ke arah Seng Liong Sen.
Kedatangan ketiga orang itu tentu saja membuat Seng Liong Sen jadi serba salah. Dia girang tapi juga kaget.
"Ah, mereka datang! Jangan-jangan aku akan dikenali oleh mereka! Apalagi oleh Kong-sun Po. Aku juga tidak 1828
ingin Kok Siauw Hong berkumpul lagi dengan Ci Giok Hian!" pikir Seng Liong Sen.
Karena berpikir begitu tiba-tiba dia menyerang dengan hebat ke arah musuh. Saat musuh menghindar kesempatan itu dia gunakan untuk kabur, sebelum Kong-sun Po dan kawan-kawannya tiba!
Melihat pemuda yang wajahnya buruk tiba-tiba pergi, Ci Giok Hian kaget dan heran.
"Hai mau ke mana kau, Toa-ko?" teriak Ci Giok Hian.
Tapi teriakan isterinya tak dihiraukannya, Seng Liong Sen malah mempercepat larinya lalu menghilang di kegelapan malam.
Saat Ci Giok Hian agak lengah tiba-tiba nyonya Gak muncul, dia mencoba akan menangkap nona Ci.
"Kau mau lari ke mana!" bentak Nyonya Gak.
Serangan Nyonya Gak diketahui oleh nona Ci. Dia berkelit, tapi pakaiannya terjambret oleh Nyonya Gak hingga robek. Saat itu Kong-sun Po tiba. Dia menyaksikan keganasan Nyonya Gak.
"Sadis sekali perempuan tua ini!" kata Kong-sun Po.
"Saudara Kok, kau hadapi Wan-yen Hoo! Biar kuhadapi dia!"
Dengan bersenjata payung baja, Kong-sun Po langsung maju. Karena belum tahu keampuhan senjata pemuda ini, Gak Hu-jin langsung menyambut serangannya dengan tongkat kepala naganya dengan menggunakan jurus "Kie-hwee-liauwthian" (Menyuluhi langit dengan sebuah obor).
"Trang!" Terdengar suara nyaring beradunya besi. Lelatu api memancar ke segala penjuru. Gak-hu-jin kaget tangannya 1829
bergetar, terpaksa dia mundur beberapa langkah. Tongkat berkepala naganya hampir saja terlepas dari pegangannya.
Tongkat itu beratnya sekitar 70 kati, belum lagi serangan Nyonya Gak demikian hebat. Rupanya dia mengira payung Kong-sun Po akan rusak, tetapi ternyata payung itu tetap utuh tak apa-apa. Ketika datang bantuan dari Kong-sun Po, Ci Giok Hian punya kesempatan untuk melompat keluar dari kalangan pertempuran. Namun, si pemuda berwajah buruk itu sudah tidak kelihatan lagi, sekali pun hanya bayangannya.
Tiba-tiba dia lihat Chan It Hoan sedang bersandar di sebuah pohon dengan lengan kanan terluka mungkin patah oleh lawannya. Ci Giok Hian segera memburu ke tempat Chan It Hoan untuk menolongnya.
"Nona Ci, lukaku tidak parah, kau bantu saja kawan kita mengusir mereka!" kata Chan It Hoan.
"Jangan kuatir, mereka cukup tangguh untuk melawan musuh," kata Ci Giok Hian. "Biarlah kuobati dulu lukamu, Paman Chan!"
Sesudah tangan Chan It Hoan diperiksa, ternyata tangan itu tidak patah, tapi hanya terkilir saja. Segera Ci Giok Hian mengurut dan membetulkan lengan Chan It Hoan hingga pulih, walau sakitnya masih terasa.
Saat itu Kok Siauw Hong dan Kiong Mi Yun sedang bertarung. Kiong Mi Yun menghadapi Cian Tiang Cun, sedangkan Kok Siauw Hong melawan Wan-yen Hoo.
Sekalipun kepandaian Cian TiangCun jauh lebih tinggi dari Kiong Mi Yun, tapi karena lututnya sedang terluka, gerakan Cian Tiang Cun tidak leluasa. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Kiong Mi Yun. Sengaja Kiong Mi Yun berputar-putar menghadapinya, hingga Cian Tiang Cun sulit menghadapi nona Kiong yang lincah itu. Sebentar 1830
ada di depan sebentar lagi ada di belakang dia. Terpaksa dia pun harus terus bergerak hingga kakinya bertambah sakit.
Kiong Mi Yun sengaja lari kian ke mari mengadu kelincahan hingga Cian Tiang Cun sibuk bukan main menghadapinya.
Di tempat lain Wan-yen Hoo kuatir dan jerih berhadapan dengan Kong-sun Po, ketika dia harus menghadapi lawan yang lain, hatinya lega juga. Tak diduga Cit-siu-kiam-hoat yang dipakai Kok Siauw Hong sangat lihay. Sekalipun tenaganya tidak sehebat Kong-sun Po tapi serangan Kok Siauw Hong lebih lihay.
Wan-yen Hoo saat itu telah nengeluarkan segenap kemampuannya untuk menangkis, tapi dia cuma sanggup bertahan saja dan belum mampu membalas. Sekilas dia lihat Gak-hu-jin sedang terdesak. Melihat hal itu Wan-yen Hoo diam-diam kuatir juga. Maka itu dia berpikir untuk menyelamatkan diri. Mendadak dia pura-pura menyerang, tapi sesudah itu dia memutar tubuhnya dan kabur.
"Kau mau kabur ke mana?" bentak Kok Siauw Hong.
Dia terus mengejar lawannya.
Wan-yen Hoo yang dikejar segera bersuit. Tak lama seekor kuda putih lari keluar dari dalam hutan. Kuda putih itu kuda pilihan hadiah dari raja Kim kepada ayahnya.
Kuda perang ini pun sudah terlatih, tubuhnya tinggi besar.
Begitu Wan-yen Hoo naik ke atas kudanya, dia langsung melarikan kuda itu secepatnya.
Kok Siauw Hong segera melepaskan dua buah senjata rahasia, tapi tidak mencapai sasaran, karena Wan-yen Hoo sudah jauh bersama kuda putihnya.
Cian Tiang Cun yang ditinggal sendirian jadi kelabakan dan cemas bukan kepalang. Dengan sedikit nekat dia serang 1831
Kiong Mi Yun, dia menghantam pedang lawan. Saat itu tangan Cian Tiang Cun tertusuk. Namun karena pedang Kiong Mi Yun terlepas, pedang itu jatuh ke tanah. Sedang tubuh Kiong Mi Yun sempoyongan lalu duduk di tanah.
Cian Tiang Cun bersuit memanggil kudanya, lalu melompat dan kabur. Kok Siauw Hong tidak mengejar, karena mengkuatirkan keadaan Kiong Mi Yun.
Kong-sun Po kaget ketika melihat Kiong Mi Yun terjatuh. Saat dilihat Kong-sun Po agak lengah. Nyonya Gak langsung menghantam payung Kong-sun Po sekuat tenaganya. Saat Kong-sun Po mundur dia juga kabur.
"Bagaimana keadaanmu, adik Mi Yun?" tanya Kong-sun Po.
"Aku tak apa-apa," kata Kiong Mi Yun yang langsung berdiri. "Sayang tak seorang pun berhasil kita tangkap!"
Kong-sun Po mencoba memegang nadi Kiong Mi Yun, dia lega karena kekasihnya tak apa-apa.
"Biar hari ini dia lolos dari tanganku, lain kali dia akan jatuh lagi ke tanganku!" kata Kong-sun Po.
Ketika itu Ci Giok Hian sudah selesai membalut luka Chan It Hoan. Kemudian dia mendekati Kong-sun Po.
"Terima kasih, Kong-sun Toa-ko!" kata Ci Giok Hian.
"Kebetulan kami bertemu dengan Tu Hok hingga kami tahu kau sudah pulang!" kata Kiong Mi Yun.
Ketika Kiong Mi Yun dan Kong-sun Po ke Kim-keeleng, Tu Hok baru saja berangkat ke Yang-ciu. Sedang Hong-lay-mo-li yang kuatir Tu Hok tidak membawa pembantu yang dapat diandalkan, meminta agar Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun menyusul Tu Hok ke Yang-ciu.
Sedang Kok Siauw Hong yang baru datang pun langsung 1832
bergabung hingga mereka bersama-sama berangkat ke Yang-ciu.
Kiong Mi Yun mendekati Ci Giok Hian.
"Kakak Ci, mari ikut kami ke Kim-kee-leng. Di sana kau tidak akan kesepian!" kata Kiong Mi Yun.
"Bangsat Wan-yen Hoo itu telah mencelakakan Seng Toako, kami ikut berduka dan bersumpah akan menuntut balas!" kata Kok Siauw Hong.
"Terus-terang mula-mula aku kurang simpati pada suamimu, tapi setelah aku lihat dia melawan Wan-yen Hoo hingga tewas, aku jadi hormat kepadanya. Dia seorang lakilaki sejati. Kau harus bangga pada suamimu!" kata Kiong Mi Yun.
Ci Giok Hian senang karena dia tahu Kiong Mi Yun tidak membuka rahasia keburukan suaminya pada orang lain. Maka itu dia sangat bersyukur juga. Tapi tak urung dia merasa malu, sebab lambat-laun perbuatan suaminya akan ketahuan juga.
"Mudah-mudahan tidak!" pikir Ci Giok Hian. Lalu dia memutuskan akan ikut mereka ke Kim-kee-leng. Tanpa diminta Kiong Mi Yun memberi penjelasan begini.
"Semula Kok Toa-ko ke sini akan mencari kakak Han Pwee Eng, tapi tidak bertemu. Sekarang dia sudah tahu di mana Kakak Han Pwee Eng berada!" kata Kiong Mi Yun.
"Dia ada di mana ?" tanya Ci Giok Hian.
"Di tempat Theng Siok Peng, seorang pendekar yang telah mengasingkan diri di Souw-ciu. Theng Loo-cian-pwee kawan lama ayah Han Pwee Eng," kata Kiong Mi Yun.
"Jika masalah di Yang-ciu sudah selesai, Kok Toa-ko akan 1833
pergi menemui Cici Han. Maka jika kau ikut kami ke Kimkee-leng, kita bisa bertemu dengannya di sana."
Ci Giok Hian senang, tetapi juga berduka.
"Jika tahu nasibku akan jadi begini, dulu aku tidak melakukan kesalahan sampai mengacaukan perjodohan mereka?" pikir Ci Giok Hian. "Ah, aku malu rasanya bertemu dengannya! Tak lama lagi mereka akan menikah, sebaliknya aku jadi seorang janda. Masih untungjika perbuatan suamiku tak diketahui oleh mereka!"
Ketika Kong-sun Po ingat peristiwa yang baru saja terjadi, dia berkata pada Ci Giok Hian.
"Nona Ci, siapa orang yang membantumu tadi?" kata Kong-sun Po.
"Aku sendiri belum tahu siapa dia?" jawab Ci Giok Hian.
"Kelakuan orang itu sangat aneh, dia sudah dua kali menyelamatkan jiwaku. Tetapi selalu secara terburu-buru menghilang!"
"Aku rasa aku pernah melihatnya, tetapi lupa entah di mana?" kata Kong-sun Po.
"Wajahnya penuh bekas luka, jika kau pernah melihatnya tak mungkin kau tidak ingat?" kata Kiong Mi Yun.
"Maka itu aku heran dan kenapa aku tidak ingat," kata Kong-sun Po.
"Siapa tahu mukanya cacat belum lama!"
"Ya, barangkali luka di mukanya itu baru dan belum lama. Mungkin dulu mukanya tidak begitu." kata Kiong Mi Yun.
1834 Nona Kiong cerdik, sejak tadi dia curiga, sambil tertawa dia berkata, "Sudah, tidak perlu menerka siapa dia" Jika dia kenalan kita, kenapa dia kabur begitu saja?"
"Kau benar," kata Kong-sun Po. "Yang pasti dia bukan musuh kita. Setiba di Kim-kee-leng kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya?"
Kiong Mi Yun berkata begitu untuk menghilangkan keraguan Ci Giok Hian. Tapi sesudah mendengar kata-kata Kong-sun Po, nona Ci semakin sangsi dan curiga.
"Ah, ternyata Kong-sun Toa-ko saja mengaku pernah betemu dengannya. Lalu siapa dia?" pikir nona Ci. "Jika dia suamiku... .Ah tidak mungkin! Tak mungkin dia masih hidup?"
Saat itu Seng Liong Sen sedang kebingungan seperti nona Ci. Sesudah meninggalkan mereka dia lari ke tengah hutan bukan main sedih hatinya. Seng Liong Sen terharu dan melamun. Tiba-tiba dia mendengar suara panggilan untuknya. Nada suara orang itu lirih sekali. Seng Liong Sen kaget, dia menoleh, tetapi dia tidak melihat siapa-siapa.
"Sahabat, siapa kau?" kata Seng Liong Sen.
"Hm! Kau pandai berbohong! Tapi jangan harap kau bisa membohongiku!" kata suara itu.
Sesudah itu terdengar suara tertawa.
Seng Liong Sen tak bisa mengenali suara siapa. Dia jadi cemas dan kuatir entah berapa orang yang mengetahui rahasia pribadinya" Dia bergerak ke tempat suara itu.
"Siapa kau" Katakan apa maumu?" kata Liong Sen.
"Serrr!" Seng Liong Sen waspada itu pasti senjata rahasia lawan.
Dia menghunus pedang dan menangkis serangan itu.
1835 "Taak!" Ternyata sebuah batu kerikil mengarah padanya, sekarang batu itu jatuh tersampok pedangnya.
"Jika kau berani, ikut aku!" ejek orang itu Seng Liong Sen cuma mendengar suara tapi dia tidak melihat orangnya. Ternyata kerikil yang dilontarkan orang itu sebagai tanda agar dia menuju ke arah itu. Jadi bukan sebuah serangan gelap. Seng Liong Sen berlari ke arah petunjuk kerikil itu, maksudnya akan menemui orang itu.
"Dia harus kutemui, kalau perlu kutangkap dia!" pikir Seng Liong Sen.
Dengan menggunakan tenaga dalam yang tinggi dia berlari mencari orang itu. Tapi ternyata sia-sia saja, karena dia tidak dapat menemukannya. Dia berhenti.
"Ah, biar aku tak mencarinya!" pikir Seng Liong Sen.
Saat dia akan kembali ke tempat semula, lagi-lagi sebuah kerikil melesat ke arahnya. Mau tak mau Seng Liong Sen harus mengelak dari serangan batu kecil itu. Bukan main dongkolnya Seng Liong Sen yang merasa dipermainkan itu.
Dia mengejar terus hingga sampai di puncak gunung sebelah timur. Sampai di tempat yang sepi, di tempat itu terdapat belukar dan pepohonan yang lebat, sehingga cahaya matahari agak terhalang. Suasana tempat itu terasa sangat menyeramkan.
"Dia seperti setan, aku harus hati-hati jangan sampai terjebak olehnya!" pikir Seng Liong Sen.
Saat Seng Liong Sen sedang bingung dan berdiri dengan tidak tenang, terdengar suara itu lagi.
"Baik, kau berdiri di situ! Mari kita bicara!" kata orang itu.
1836 Hati Seng Liong Sen panas, dia maju hendak
mencengkram orang itu. Tapi dengan mudah orang itu menepis dan menangkis serangannya.
"Jangan main gila, kau mau apa sebenarnya?" bentak Seng Liong Sen.
"Hm!" ejek orang itu. "Jika mau bertarung denganku, kau harus belajar lagi selama sepuluh tahun pada orang she Khie itu!" kata orang itu.
Saat diamati ternyata orang itu seorang lelaki mengenakan pakaian hitam. Wajahnya kaku tidak berperasaan, suaranya parau tak enak didengar. Usia orang itu sulit diduga. Entah umur berapa dia" Seng Liong Sen merasa ngeri juga, dia mencoba menenangkan diri.
"Kau siapa" Apa maksudmu mengajakku ke mari?" kata Seng Liong Sen.
Orang itu tertawa sejenak.
"Hm! Apa kau lupa, aku pernah memberi peringatan padamu, saat kau ada di gedung orang she Gak itu!" kata orang itu. "Kau kuajak ke mari karena ada yang ingin kutanyakan padamu!"
Ucapan itu menyadarkan Seng Liong Sen. Jelas dia orang yang dikirim Khie Wie untuk memata-matai dia.
Seng Liong Sen berkata. "Hm! Kau sebenarnya mau apa?" kata Seng Liong Sen.
"Kau jangan berpura-pura bodoh," kata orang itu. "Aku tahu Ci Giok Hian itu isterimu! Dengan licik kau menipu anak perempuan Khie Wie untuk menemui isterimu! Jika hal ini diketahui oleh Khie Wie, kau tahu sendiri akibatnya!"
1837 Mendengar ancaman orang itu Seng Liong Sen
merinding juga. Maka itu dia pikir jalan keluar satu-satunya dia harus membunuh orang itu! Dulu Khie Wie mengatakan jika dia berkhianat kepada perguruan, dia pasti akan dibunuh oleh Khie Wie. Apa lagi dia telah menipu anak perempuannya. Tak mungkin Khie Wie rela membiarkan anaknya dipermainkan"
"Baik, aku takluk padamu, lalu bagaimana baiknya menurutmu?" kata Seng Liong Sen.
Tapi sambil berkata dia menusukkan pedangnya ke arah orang itu. Ternyata orang itu sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Ketika serangan datang dia egos, jarinya dia tusukkan ke mata Seng Liong Sen.
"Apa kau mau buta" Atau kau sudah bosan hidup?" kata orang itu.
Mendapat serangan duajari lawan, Seng Liong Sen menunduk, sekuat tenaganya dia putarkan pedangnya. Tak ampun lagi lengan baju orang itu terpapas pedang Seng Liong Sen yang tajam. Dia kaget, tapi puas. Tadi jika Seng Liong Sen lengah, matanya sudah buta! Kejadian yang demikian sempat mengejutkan Seng Liong Sen, maka itu dia jadi jerih dan diam tak berani menyerang orang itu.
"Hm! Kau akan membunuhku untuk menghilangkan saksi. Jangan berharap kau bisa melakukannya!" kata orang itu.
Seng Liong Sen diam tak menjawab.
"Aku kira kau juga tidak bodoh! Jika kau berhasil membunuhku, apa kau kira Khie Wie tidak akan curiga"
Karena dia yakin kau telah membunuhku. apa kau kira dia tidak akan mencarimu?" kata orang itu.
1838 Seng Liong Sen kaget. Tubuhnya sedikit merinding dan mengeluarkan keringat dingin karena ngerinya. Dia sadar orang itu dikirim oleh Khie Wie untuk mengawasi dia. Jika dia binasa pasti Khie Wie curiga.
Sekarang Seng Liong Sen jadi serba-salah, sebab ilmu silatnya kalah. Menyerang secara diam-diam pun gagal hingga akhirnya dia bingung sendiri. Karena putus-asa dia sodorkan gagang pedangnya pada orang itu.
"Sekarang silakan kau bunuh saja aku!" kata Seng Liong Sen. Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Sudah simpan pedangmu, aku tidak bermaksud membunuhmu. Aku ingin bersahabat denganmu asal kau turuti kata-kataku!" kata orang itu.
"Sebenarnya apa maumu?" tanya Seng Liong Sen.
"Aku cuma ingin kau ajari rahasia tenaga dalam ajaran Khie Wie," kata orang itu.
Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen heran.
"Aneh!" pikir Seng Liong Sen. "Jika dia dikirim oleh Khie Wie, setidaknya dia orangnya atau muridnya. Tapi ternyata dia minta rahasia ilmu tenaga dalam Khie Wie?"
Melihat Seng Liong Sen ragu orang itu langsung bicara, seolah dia tahu kalau pemuda itu ragu-ragu.
"Sebenarnya aku bisa minta diajari langsung oleh Khie Wie. Tapi menurut Khie Wie, ilmu itu masih ada bagian yang belum bisa dia pelajari! Jika ada orang lain yang mengajarkan ilmu itu, dia tidak keberatan. Sebab jika datang bencana yang celaka pasti orang lain!" kata orang itu.
"Kenapa kau tak sabar hingga kau minta aku yang mengajarimu?" kata Seng Liong Sen.
1839 "Terus-terang aku katakan kepadamu, aku ingin segera menguasai ilmu itu agar aku dapat segera membalas dendam," kata orang itu. "Jika menunggu dia yang mengajariku, entah kapan aku akan diajari olehnya" Dan mana bisa aku menunggu terlalu lama?"
"Apa kau tidak bicara terus-terang kalau kau mau membalas-dendam?" tanya Seng Liong Sen.
Mendengar pertanyaan Seng Liong Sen yang terlalu melitmelit, kelihatan dia tidak senang.
"Sudah jangan banyak omong! Sekarang aku cuma mengajakmu tukar-menukar sesuatu. Aku berjanji tidak akan membocorkan perbuatanmu yang busuk itu, asal kau mau mengajariku rahasia tenaga dalam ilmu silat ajaran Khie Wie padaku!" kata orang itu. "Jika kau tidak mau, tak apa. Aku kira yang rugi bukan aku kok!"
"Mendengar ucapannya, aku yakin dia tak akur dengan Khie Wie. Lalu kenapa aku takut kepadanya?" pikir Seng Liong Sen.


Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabar!" kata Seng Liong Sen. "Aku mau saja berdamai denganmu. Tapi sebenarnya aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Khie Wie?"
Sesudah adu bicara Seng Liong Sen sadar bahwa orang itu bukan murid Khie Wie.
"Baik, jika kau setuju aku mau berterus-terang padamu.
Aku bernama Uh-bun Tiong. Hubunganku dengan Khie Wie dia sahabat lamaku!" kata orang itu.
Seng Liong Sen mengangguk. Dia pun percaya pada ucapan Uh-bun Tiong karena Khie Wie pernah bilang, bahwa ilmu tenaga dalamnya hanya diajarkan kepada famili dekatnya. Jika Uh-bun Tiong bukan sanaknya, jelas dia tak akan diajari ilmu itu.
1840 "Baik, sejak saat ini kita bersahabat!" kata Seng Liong Sen
"Aku sudah berlatih tenaga dalam selama tiga bulan.
Sesudah tugasku di sini selesai, aku harus kembali menemui dia. Maka itu yang akan kuajarkan padamu hanya inti dari rahasianya saja. Kau boleh melatihnya sendiri!" kata Seng Liong Sen.
"Ya, aku mengerti. Memang ilmu ini harus dilatih lama, mana mungkin tamat dalam tiga bulan?" kata Uh-bun Tiong. "Kalau begitu mari kau ikut aku!"
Dia mengajak Seng Liong Sen ke suatu tempat, di sana ada sebuah gubuk atap di balik semak-semak yang rindang.
Di gubuk itu terdapat sebuah gentong besar penuh berisi beras dan satu gentong lain berisi air minum. Selain itu tersediajuga makanan kering lainnya sebagai persediaan untuk beberapa bulan lamanya.
"Aku tidak perlu lama-lama, sebulan saja sudah cukup,"
kata Uh-bun Tiong. Sesudah itu Seng Liong Sen mulai mengajari teori tenaga dalam yang diajarkan Khie Wie pada Uh-bun Tiong.
Sedang Uh-bun Tiong menghafalkannya dengan teliti. Dia mulai bersemedi berkonsentrasi penuh, sehingga di ubun-ubunnya muncul uap putih. Ketika itu apapun yang terjadi di sekitarnya tak dia perhatikan. Malah jika mau Seng Liong Sen bisa membunuhnya dengan mudah, tapi hal itu tidak dilakukannya. Sesudah setengah harian belajar, baru Uh-bun Tiong berhenti latihan. Dia menyeka keringat di dahinya, lalu mengucapkan terima kasih kepada Seng Liong Sen. Dia sangat ber-syukur.
"Sungguh berbahaya, jika dia tahu aku bukan sahabat Khie Wie malah musuhnya, jiwaku bisa dikatakan berada di tangannya." pikir Uh-bun Tiong.
1841 Sejak saat itu Seng Liong Sen mengajari Uh-bun Tiong berlatih tenaga dalam. Tanpa terasa sudah hampir sebulan mereka berlatih.
Pada suatu malam, sekitar lewat tengah malam, mendadak Seng Liong Sen dibangunkan oleh Uh-bun Tiong.
Seng Liong Sen terbangun kaget, tapi Uh-bun Tiong berbisik di telinganya.
"Jangan kaget dan jangan bersuara! Mari ikuti aku!" kata Uh-bun Tiong.
Seng Liong Sen tidak mengerti apa maksud sahabat barunya itu, tapi terpaksa Seng Liong Sen bangun dan mengikuti Uh-bun Tiong yang berjalan perlahan-lahan.
Gubuk itu dikelilingi pohon-pohon yang rindang, jika orang tidak teliti sulit bisa menemukan bubuk itu.
Ditambah lagi gubuk itu berada di balik batu-batu yang cukup besar. Lewat celah batu itulah mereka keluar. Seng Liong Sen heran melihat Uh-bun Tiong begitu hati-hati. Di antara batu-batu itu terdapat celah hingga tidak perlu mendorong batu penutup jika mau keluar masuk. Dengan tenaga dalam mereka yang lumayan, mereka pun bisa melompat ke atas tanpa kesulitan.
Seng Liong Sen curiga melihat sikap Uh-bun Tiong yang tampak tegang, apalagi dia diminta agar tidak bersuara.
Terpaksa Seng Liong Sen menahan rasa herannya. Uh-bun Tiong segera mengajak kawannya ke tepi jurang yang terletak di belakang gubuk atap mereka, di situ baru Uh-bun Tiong berkata perlahan.
"Tak lama lagi aku akan kedatangan beberapa orang musuhku. Kau harus membantuku." bisik Uh-bun Tiong.
1842 "Jadi kau bersembunyi di sini untuk menyergap mereka?"
tanya pemuda itu. Dia bertanya begitu karena kurang menghargai sikap Uhbun Tiong. Karena itu bukan cara seorang ksatria yang berani menghadapi musuh. Seng Liong Sen heran, padahal dia tahu kepandaian Uh-bun Tiong cukup tinggi tetapi kenapa dia masih minta bantuan kepadanya" Maka itu sadarlah Seng Liong Sen, betapa lihay musuh kawan barunya itu.
"Benar, jika aku tak sanggup melawan mereka, akan kupancing mereka datang ke tempat ini!" kata Uh-bun Tiong. "Jika kau mampu mengalahkan salah satu saja dari mereka, aku yakin kita bisa mengalahkan mereka! Tapi ingat! Jangan gunakan senjata rahasia, percuma saja!"
"Siapa mereka itu" Apa mereka lihay sekali?" tanya Seng Liong Sen.
"Ya! Maka itu kita harus menghadapi mereka dengan akal," jawab Uh-bun Tiong. "Jika kita kalah, maka kita yang akan binasa di tangan mereka! Kau jangan tanya siapa mereka!"
Selesai mengatur siasat Uh-bun Tiong kembali ke gubuk atap meninggalkan Seng Liong Sen di tempat itu sendirian.
Tidak lama Seng Liong Sen mencoba membuka telinganya.
Sayup-sayup dia sudah mendengar suara langkah kaki orang sedang mendatangi.
-o0~DewiKZ~Aditya~aaa~0o1843 BAB 67 Seng Liong Sen Dan Uh-bun Tiong
Menjebak Lawan Mereka: To-su dan Hwee
shio Terluka Parah Ketika itu jantung Seng Liong Sen berdebar-debar tak hentinya. Dia sedang gelisah. Dengan bantuan cahaya rembulan dia lihat keempat orang itu sudah muncul semua.
Dari tempat persembunyiannya Seng Liong Sen mengintai.
Mereka datang yang terdiri dari seorang Hwee-shio, seorang To-su dan dua orang perwira pengawal Gak Liang Cun.
Hwee-shio dan To-su itu tidak dia kenal, tapi kedua perwira itu sudah pernah dia lihat. Kedua orang itu orang yang melindungi Gak Liang Cun ketika terjadi pertarungan di kediaman pembesar itu. Sekarang mereka berdua sudah berganti pakaian seragam tentara.
Merasa sanggup menghadapi kedua pengawal Gak Liang Cun, Seng Liong Sen tidak gentar karena mungkin mereka hanya menjadi penunjuk jalan saja. Sedangkan jago yang mereka jadikan andalan yaitu Hwee-shio dan To-su itu.
Dugaan Seng Liong Sen tidak meleset. Tak lama salah seorang dari perwira berseragam itu berkata pada hwee-sho dan to-su itu.
"Gunung ini tempat yang baik untuk bersembunyi, lebih baik kita mulai menggeladah di sekitar gunung ini saja."
kata perwira itu. "Jadi kau sudah tahu Uh-bun Tiong hanya seorang diri saja?" kata si Hwee-shio.
"Ada kawan yang melihatnya, dia sendiri saja! Aku tak tahu sekarang dia sudah punya kawan atau belum!" kata perwira itu.
1844 "Kata Nyonya Ti-hu mungkin saja orang she Liong itu ada di sini," kata perwira yang lain.
"Ya. Aku dengar dia murid Khie Wie!" kata si To-su.
"Jadi jelas dia tidak akan bersahabat dengan Uh-bun Tiong!
Tadi kami tak bilang apa-apa, sebab jika aku katakan, nyonyamu tidak akan mengantarkan kami ke sini!"
"Aneh sekali, mereka bilang aku murid Khie Wie, tetapi kenapa aku tidak mungkin bergaul dengan Uh-bun Tiong?"
pikir Seng Liong Sen agak curiga. "Apa Uh-bun Tiong musuh Khie Wie?"
Saat itu Uh-bun Tiong yang ada di dalam gubuk hatinya kebat-kebit, karena jika si To-su dan si Hwee-shio membuka rahasia hubungan dirinya dengan Khie Wie, pasti hal itu akan diketahui Seng Liong Sen. Sebelum To-su itu bicara lebih jauh, tiba-tiba si Hwe-shio menemukan rumah atap di semak-semak itu.
"Lihat! Kita sudah menemukan gubuk itu!" kata si hweeshio.
"Hai, Uh-bun Tiong, ayo keluar!"
"Jika kalian berani, mari masuk!" jawab Uh-bun Tiong.
"Hati-hati, mungkin dia telah memasang perangkap!"
kata si To-su memperingatkan.
"Ya. Kita bakar saja gubuknya!" kata si hwee-shio.
Sesudah berkata si hwee-shio melepas yan-hwee yang segera menyala karena jatuh di atas gubuk atap itu. Karena pada ujung panah itu ditaruhi belerang, hingga saat jatuh ke atas atap gubug bahan api itu meletus dan membakar atap gubuk. Tak lama api pun berkobar. Melihat gubuk sudah mulai terbakar, hwee-shio itu tertawa terbahak-bahak.
1845 "Uh-bun Tiong, keluar! Apa kau ingin menjadi kura-kura dan tetap bersembunyi di dalam gubuk yang terbakar" Ayo keluar!" kata si To-su yang juga tertawa.
Tanpa terasa gubuk itu sudah hampir terbakar habis.
Tetapi Uh-bun Tiong masih belum keluar juga.
"Aneh, dia sembunyi di mana.....?" kata si hwee-shio.
Tiba-tiba terdengar jeritan perwira yang ada di sebelahnya. Dia roboh dan mengeluarkan darah segar dari tubuhnya.
Sedikit pun mereka tak mengira kalau Uh-bun Tiong sudah keluar sebelum gubuk itu terbakar habis. Maka itu dia langsung berputar dan berada di belakang lawan. Tak heran jika perwira itu dengan mudah bisa dia serang dengan goloknya hingga roboh.:
"Kurang ajar kau Uh-bun Tiong! Hari ini ajalmu telah tiba!" kata si hwee-shio yang langsung maju menyerangnya.
Gerakan si hwee-shio cepat tapi Uh-bun Tiong pun gesit.
Sesudah merobohkan seorang lawan, dia maju ke arah perwira yang lain dengan serangannya. Tapi to-su itu mengejarnya ingin menyerang Uh-bun Tiong dari belakang.
Melihat Uh-bun Tiong menerjang, perwira itu kaget, sebab dia bukan tandingan Uh-bun Tiong yang lihay.
"Hm! Uh-bun Tiong, apa kau sudah bosan hidup?" kata si hwee-shio.
Keadaan perwira itu terancam sekali. Jika dia mampu menangkis serangan Uh-bun Tiong, jiwanya akan tertolong karena serangan tosu sudah akan sampai. Ditambah lagi hwee-shio itu pun sudah memburu ke arah Uh-bun Tiong yang akan mereka keroyok berdua. Jika perwira itu tak mampu menangkis serangan Uh-bun Tiong, dan serangan si 1846
to-su gagal, tak ampun lagi hwee-shio yang beusaha menyerang secara bersama itu akan mati di tangan Uh-bun Tiong.
Saat itu Uh-bun Tiong sudah tahu dia diserang dari depan dan belakang, Uh-bun Tiong kesal karena kedua perwira Gak Liang Cun itu sudah tahu rahasianya. Maka dia akan membunuhnya. Maka itu dia nekat menyerang dengan hebat! Cepat bagaikan kilat golok Uh-bun Tiong menusuk perwira itu.
"Aduh!" teriak si perwira.
Dadanya tertembus oleh golok Uh-bun Tiong yang tajam. Walau serangan nekat Uh-bun Tiong sangat membahayakan dirinya, tapi dia lakukan juga. Begitu goloknya berhasil menembus dada perwira itu, tubuhnya dia pakai menangkis serangan si to-su yang bersenjata pedang.
"Eh, bangsat kau mau kabur ke mana?" teriak si hweeshio.
Tak lama tongkatnya terayun ke kepala lawan, tapi Uhbun Tiong segera menangkis dengan pedangnya hingga terdengar suara benturan keras.
"Trang!" Sesudah menangkis tongkat si to-su, Uh-bun Tiong melompat jauh menghindari serangan pedang si to-su.
Diamdiam Seng Liong Sen mengawasi pertarungan seru itu di tempat persembunyiannya. Menyaksikan mereka bertarung demikian hebat, jantung Seng Liong Sen pun berdebar. Sekalipun Uh-bun Tiong lihay, tapi karena dikepung dua musuh tangguh, tidak urung dia jadi kewalahan. Sekarang Uh-bun Tiong hanya bisa berkelit menghindari setiap serangan, atau menangkisnya. Untuk 1847
menyerang jelas sulit baginya, apalagi untuk lolos dari kedua lawan yang lihay itu.
Melihat hal itu Seng Liong Sen cemas bukan main.
"Ah, jika aku tak bisa membantu Uh-bun Tiong mengalahkan mereka, aku pun akan habis bersama Uh-bun Tiong!" pikir Seng Liong Sen.
Uh-bun Tiong yang cerdik coba memancing kedua lawannya itu ke perangkap yang sudah disiapkan. Tetapi rasanya sulit memancing lawan ke sana. Tiba-tiba si to-su berteriak.
"Kena!" katanya.
Uh-bun Tiong yang terkena serangan itu tampak berdarah dan sempoyongan walau masih nekat melakukan perlawanan sengit.
"Bangsat! Kenapa kau belum menyerah juga, apa kau mau mampus?" kata si to-su.
Tadi saat ditikam si to-su, Uh-bun Tiong menyerang hingga tertusuk oleh pedang lawan. Sedang si to-su yang dicengkram olehnya, kesakitan, maka itu dia memaki kalang-kabut. Saat itu Seng Liong Sen yang berada agak jauh tak melihatnya.
Buru-buru Uh-bun Tiong memindahkan goloknya ke tangan kiri lalu dia menyerang dengan dasyat. Serangannya semakin gencar dan dasyat. Melihat musuh nekat tentu saja si hweeshio gentar oleh serangan-serangan mautnya itu.
Apalagi sekarang hwee-shio itu diserang terus-menerus dengan gencar. Tapi si to-su memang lihay, mendadak dia membentak.
"Lepaskan golokmu!" bentak si to-su.
1848 Sekarang si to-su sudah memegang senjata kebutan. Tak lama golok Uh-bun Tiong sudah terbelit oleh kebutan si to-su.
Melihat kesempatan yang baik itu, hwee-shio gendut itu langsung mengayunkan tongkatnya ingin menghantam kepala Uh-bun Tiong.
Mendadak Uh-bun Tiong menggunakan goloknya yang dia sambitkan ke arah muka hwee-shio itu. Karena golok Uh-bun Tiong terbelit kebutan si To-su, akhirnya dia nekat dan melontarkan goloknya ke arah lawan. Dia pikir dari pada golok itu dirampas musuh, lebih baik dipakai menyerang lawan. Gerakan tipu Uh-bun Tiong di luar dugaan si To-su, maka itu dia jadi tertegun sejenak. Ketika golok Uh-bun Tiong menyambar, terpaksa Hwee-shio gendut itu menarik kembali tongkatnya untuk menangkis golok lawan. Tak lama terdengar suara bentrokan senjata yang nyaring sekali.
"Trang!" Golok itu berubah arah terlempar ke samping, sedangkan Uh-bun Tiong langsung menjatuhkan diri dan bergulingan meninggalkan gelanggang cukup jauh juga.
To-su itu mengayunkan kebutnya hingga golok yang terlibat itu tersampok ke arah Uh-bun Tiong.
"Ambil golokmu, ayo maju lagi!" bentak To-su itu.
Uh-bun Tiong merasa sayang jika sampai kehilangan goloknya. Sekalipun sadar sambaran golok yang disampok si to-su menyambar keras sekali, tapi dia yakin pada kepandaiannya untuk menangkap golok itu. Tangan Uhbun Tiong bergerak langsung memyambar golok bagian belakang atau bagian yang tumpulnya untuk diambil.
1849 Memang tepat sekali punggung golok yang tidak tajam itu terpegang olehnya. Diam-diam dia tersenyum girang.
Sedikitpun Uh-bun Tiong tak mengira kalau sambaran golok itu keras luar biasa. Sekalipun golok sudah tergenggam di tangannya, kekuatan sambaran masih cukup hebat. Maka tak heran jika telapak tangan Uh-bun Tiong terluka dan mengeluarkan darah. Tapi dia bangga goloknya telah kembali dan terbebas dari kepungan musuh.
Hwee-shio dan si to-su marah bukan main. Mereka memburu Uh-bun Tiong yang mencoba melarikan diri.
Tahu lawan mengejar, Uh-bun Tiong berlari sambil melakukan perlawanan. Tangannya yang terasa sakit sekali tidak dihiraukannya. Dia terus berusaha melakukan perlawanan sengit.
Ketika Uh-bun Tiong sudah sampai di tebing yang curam tempat Seng Liong Sen bersembunyi, kembali Uh-bun Tiong terluka beberapa kali oleh serangan lawan. Untung lukanya tidak berbahaya dan tidak parah walau sekujur tubuhnya sudah mandi darah.
"Kau mau kabur ke mana?" bentak si hwee-shio.
Ketika si hwee-shio melihat Uh-bun Tiong berlari ke arah jalan buntu, si hwee-shio girang bukan main. Sebab dia tahu di depan Uh-bun Tiong terdapat jurang yang dalam hingga dia bisa terjatuh ke dalam jurang itu. Maka dengan tak berpikir panjang si hwee-shio mengangkat tongkatnya langsung membabat ke arah Uh-bun Tiong!
Pedang Tanpa Perasaan 11 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Wanita Gagah Perkasa 5

Cari Blog Ini