Ceritasilat Novel Online

Wanita Gagah Perkasa 5

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 5


suka angkat Hui Liong jadi ayah pungutnya disebabkan ia suka
kepada sifatnya yang mirip dengan sifatnya sendiri, pun
karena ia berkasihan orang telah ditinggal puteri dan
gundiknya. Tentu sekali tak dapat ia tampik hadiah itu, yang
merupakan hasil peryakinan beberapa puluh tahun.
"Terima kasih," ia mengucap sambil paykui pula.
Setelah itu Ong Ciauw Hie, Beng Ciu Hee dan To It Hang
pamitan kepada tuan rumah dan anak pungutnya. Giok Lo Sat
minta Ciauw Hie mewakili ia mengurus bentengnya, sedang
Ciu Hee diminta gantikan pimpin tentara wanitanya, Ciu Hee
suka terima tugas itu.
Berat Giok Lo Sat untuk berpisah dari It Hang, hampir ia
tak dapat lakukan itu.
Hari sudah siang ketika Hui Liong dan anak pungutnya
kembali ke dalam rumah untuk beristirahat sehabis
mengantarkan Cjauw Hie bertiga. Hui Liong tidak jadi kesepian
karena sekarang ada Giok Lo Sat sebagai kawan.
Tiba-tiba jago Tiat keeCung itu kerutkan alisnya.
"Aku heran kepadamu," katanya pada si anak pungut. "To
It Hang itu adalah anaknya orang berpangkat, nampaknya ia
tidak bisa lenyapkah sifatnya itu, kenapa dengan dia kau bisa
bergaul rapat?"
Giok Lo Sat tertawa, tetapi ia tidak menjawab ayah angkat
itu, Hui Liong bersenyum. Ia tidak memaksa meminta jawaban.
Tapi justeru itu satu Cungteng, bujang pengawalnya,
masuk sambil membawa sebuah sampul karcis nama warna
hitam. Menampak warnanya sampul itu, Hui Liong segera kerutkan
alis. "Orang itu tidak tahu adat!" kata Giok Lo Sat.
LIntuk karcis nama, warna kuning emas atau merah adalah
tanda girang. Tapi ini adalah warna hitam. Inilah bukan
biasanya. "Coba kita buka dan lihat dulu," Hui Liong kata. Ia buka
sampul itu akan baca karcis namanya di atas mana
tertuliskan:- "Hormatnya Uy Yap Toojin dan Angin Toojin dari Butong
san serta murid-muridnya."
Tiat Hui Liong menjadi heran.
"Butong Ngoloo datang dari tempat ribuan Iie mencari aku,
apakah perlunya?" kata dia sambil menduga-duganya.
"Mereka itu memandang dirinya sebagai golongan putih
bersih, mereka biasa anggap aku sebagai kalangan sesat,
sekarang kenapa mereka datang berkunjung dengan laku
menghormat?"
Tapi ia tidak berayal untuk segera perintahkan
Cungtengnya mempersilahkan tetamu-tetamunya masuk, ia
sendiri lantas bersiap.
Butong Ngoloo adalah Lima Tertua Butong Pay, di antara
mereka itu, Uy Yap Toojin terhitung yang nomor dua dan Ang
In Toodiin nomor tiga. Maka dapat dimengerti, dalam hal
derajat dalam kaumnya, mereka berdua cuma ada di sebelah
bawah Cie Yang Toojin, ahli waris dan pemimpin dari Butong
pay itu. Ketika dulu Tiat Hui Liong datangi Butong san untuk
tantang Cie Yang Toojin main-main dan ia dilayani bertanding
oleh Pek Sek Toojin, tertua yang nomor empat, dalam
pertandingan itu ia menang, nampaknya Uy Yap dan Ang In
tidak puas. Sekarang Hui Liong ingat kejadian yang dulu itu, ia
jadi curiga. "Mungkin maksud mereka tidak baik..." demikian ia raguragu.
Karena ini, meski ia tidak jeri, ia toh merasa kurang
enak. Tidak demikian dengan Giok Lo Sat, ia berdiri di samping
ayah angkatnya itu sambil bersenyum berseri-seri.
Tidak lama, terpentanglah pintu ruang muka. Di muka
tangga, Uy Yap Toojin dan Ang In Toojin berdiri berendeng.
Hui Liong rangkapkan kedua tangannya menyambut
dengan hormat. "Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, jiewie tootiang
nampaknya masih sehat walafiat seperti sediakala!" tuan
rumah berkata. "Apakah Cie Yang Tootiang juga baik?"
Wajahnya Uy Yap Toojin mendadak menjadi muram.
"Menyesal sekali suheng kami itu pada bulan yang baru lalu
telah berpulang dan naik ke nirwana," sahutnya dengan
berduka. Hui Liong terkejut, meski ia tidak utarakan itu pada
wajahnya. Ia tahu ia didendam oleh Pek Sek Toojin, tetapi
terhadap Cie Yang ia mengaguminya. Sekarang barulah ia
tahu kenapa rombongan Butong pay itu memakai sampul
karcis nama warna hitam. Hui Liong bersedih untuk wafatnya
imam yang dihormatinya itu, hingga air matanya meleleh.
"Sungguh tidak disangka," katanya sambil menghela napas.
"Sejak ini tidak ada lagi tertua yang dapat dengan pengaruh
dan kebijaksanaannya membuat orang tunduk kepadanya."
Kata-kata itu adalah satu pujian tinggi bagi Cie Yang
Toojin, akan tetapi mendengar itu, Uy Yap dan Ang In jadi
merasa tidak enak sendirinya.
Hui Liong sendiri segera memutar tubuhnya menghadap
arah selatan, lantas saja ia menjura tiga kali, sebagai tanda
penghormatan terakhir terhadap ketua Butong pay itu.
Selagi demikian, tuan rumah ini ingat sesuatu. Butong pay
kehilangan ketuanya, sudah seharusnya kalau diangkat
penggantinya, bahwa karena wafatnya sang ketua, banyak
yang harus dilakukan oleh murid-muridnya untuk mengurus
jenazah dan upacaranya. Kenapa sekarang Uy Yap dan Ang In
dapat kesempatan mendatangi rumahnya ini" Mungkinkah
mereka ini lebih mementingkan soal perselisihan" Tapi. dipikir
sebaliknya, itulah tidak mungkin.
Oleh karena tidak mau dibikin pusing dengan keraguraguannya
itu, akhirnya Hui Liong segera menanya langsung:
"Entah kedatangan jiewie lootiang ini dengan maksud apa?"
Uy Yap Toojin memandang ke sekitarnya seperti sedang
mencari apa-apa.
"Ada dua urusan untuk mana kami mohon keterangan,"
jawab ia. dengan suara adem. "Pertama, kami ingin tahu,
apakah di rumah tuan ini ada murid kaum kami yang bernama
To It Hang?"
"Untuk apa kalian datang cari To It Hang?" Giok Lo Sat
nyeletuk. mendahului ayah angkatnya. "Apakah dia hendak
dipanggil pulang untuk urus perkabungan?"
Uy Yap lirik nona itu. Ia memang tahu bahwa Tiat Hui Liong
mempunyai seorang gadis nama San Ho yang jumawa sekali,
maka ia duga, nona ini San Ho adanya Maka diam-diam ia
bersenyum, karena ia anggap nona itu tidak kenal adat
peradatan "Partai kami hendak memenuhi pesan terakhir dari
Cie Yang Tootiang yang hendak mengangkat To It Hang
menjadi ahli warisnya" Uy Yap menjawab. "Maka itu kami
datang kemari untuk sambut dia pulang."
Mendengar itu, Giok Lo Sat girang berbareng terperanjat.
Ia girang karena It Hang yang masih begitu muda telah
diangkat menjadi ahli waris, untuk mengepalai Butong pay,
dengan sendirinya, dia menjadi pemimpin umum dari Rimba
Persilatan, walau bukan pemimpin resmi. Dan yang membuat
ia terperanjat adalah dengan pihak Butong ia telah berselisih,
maka dengan It Hang menjadi ketua untuk selanjutnya
mungkin ia sukar mendekati pemuda pujaannya itu...
Melihat Uy Yap Toodiin bersikap jumawa, Hui Liong juga
jadi dingin hatinya.
"Sungguh tidak kebetulan kedatanganmu ini," ia menyahut.
"Baru saja To It Hang keluar dari sini!"
Hui Liong percaya, dengan keterangannya itu, Uy Yap
Toojin beramai akan segera berlalu untuk menyusul It
HangTapi dugaannya ini meleset.
"Adakah itu benar?" Uy Yap bertanya. "Baiklah, kami akan
berdiam di sini untuk menantikan padanya."
Dan mereka lantas ambil tempat duduk.
Hui Liong heran, dan tidak mengerti, tapi sesaat saja
segera ia sadar dan ingat, bahwa di dalam karcis nama ada
disebutkan, dua imam itu datang sambil mengajak muridmuridnya.
Maka sebentar lagi tentulah akan datang lain
rombongan, untuk menyambut ketua mereka yang baru
diangkat. Pasti penyambutan mesti dilakukan dengan suatu
upacara. Dua orang ini adalah paman gurunya It Hang, tugas
mereka tentunya untuk membantu saja, guna mendampingi
ketua yang usianya muda itu. Ingat kepada tata tertib dari
kaum Butong itu. Hui Liong tertawa di dalam hati. Iapun
percaya, akan kedatangannya lain rombongan, It Hang yang
belum lama pergi itu akan kesomplokan di tengah jalan, jadi
tidaklah heran kalau Uy Yap dan Ang In hendak menantikan di
rumahnya. Namun ia toh tetap masih bersangsi.
"Numpang tanya, jiewie tootiang, bagaimana pandai kalian
mendengar berita," berkata dia kepada kedua imam sambil
rangkapkan kedua tangannya. "Bagaimana caranya maka
kalian ketahui To It Hang berada di gubukku ini?"
Uy Yap tidak menjawab, sebaliknya ia perlihatkan tampang
yang sungguh-sungguh.
"Sekarang ada giliran maksud kedatangan kami yang
kedua," dia kata, suaranya pun kaku.
Mauatau tidak, Hui Liong jadi gusar.
"Silakan sebutkan!" katanya.
"Bagaimana sebenarnya kematiannya Ceng Kian Toojin
terjadi?" imam itu tanya.
Hui Liong mencelat bangun, ia kaget dan murka.
"Jadi kaulah yang hari itu tulis surat budek itu?" tegurnya.
"Betul!" jawabnya si imam.
"Jikalau begitu, teranglah kau salah janji!" demikian Hui
Liong menegur, yang ia pun tertawWrlingin.
"Sekarang toh masih belum kasip, bukan?" si imam
mengejek. Uy Yap dan Ang In datang berombongan bersama enam
murid dari tingkat kedua, enam murid itulah yang mesti
menyambut It Hang secara resmi, Uy Yap dan Ang In hanya
mengantar dan memimpin untuk memberikan pelbagai
pengunjukan. Seharusnya mereka menuju ke Siamsay Utara,
ke rumah keluarga To, akan tetapi di luar sangkaan mereka,
begitu memasuki wilayah Siamsay Utara itu, mereka dapatkan
satu tanda rahasia dari Ceng Kian Toojin yang malang itu di
rumah penginapan. Dari tanda itu tahulah mereka, Ceng Kian
Toojin telah orang curangi dan sedang bersembunyi untuk
berobat di bukit Cenghong san.
Murid-murid Butong pay tersebar di mana-mana, di antara
mereka itu ada yang lantas datangi Uy Yap Toojin
memberitahukan halnya Hui Liong kedapatan di sebuah rumah
penginapan. Ceng Kian Toojin itu adalah sahabat kekalnya Butong
Ngoloo, maka Uy Yap sudah lantas mendaki Cenghong san di
mana ia dapat cari imam yang bercelaka itu, yang benar-benar
sangat buruk nasibnya, disebabkan lukanya yang parah tidak
dapat pengobatan, ketika itu dia sudah tidak bisa bicara lagi.
Atas pelbagai pertanyaannya Uy Yap, Ceng Kian hanya dapat
menulis di tanah: "Tanyalah Tiat Hui Liong".
Ceng Kian sudah menjelaskan segalanya kepada Tiat San
Ho, ia percaya nona itu pasti akan menyampaikannya kepada
ayahnya, maka itu ia suruh Uy Yap pergi pada Hui Liong saja.
Demikian Uy Yap Toojin datang untuk sekalian menegur.
Karena dia telah salah mengerti. Dia menyangka Hui Liong
yang aniaya Ceng Kian. Dengan melihat keadaan luka itu dia
tahu Ceng Kian tiada mempunyai harapan dapat ditolong lagi.
Maka dia lantas saja berangkat pulang dengan kegusarannya
yang sangat. Diapun lantas tulis surat budeknya itu kepada
Hui Liong, yang dia kirim ke rumah penginapan di mana Hui
Liong singgah. Dia menjanjikan pertemuan di atas bukit,
supaya dia bisa membuat perhitungan di depan jenazahnya
Ceng Kian Toojin. Uy Yap sengaja mengirimkan surat budek
karena dia kuatir, karena jeri terhadap Butong Ngoloo, Hui
Liong nanti tidak berani terima tantangan itu.
Uy Yap sudah mengatur untuk menetapkan janji pertemuan
itu, tapi baru dia kirim surat kalengnya itu, tiba-tiba datang
berita lain, yang penting. Itulah kabar bahwa entah apa
sebabnya, rumah keluarga To telah ditutup pembesar negeri,
bahwa orang-orangnya keluarga itu bubar semuanya. Orang
menduga bahwa keluarga To tersangkut perkara besar.
Uy Yap beranggapan, perkaranya Ceng Kian dapat ditunda,
perkaranya It Hang harus didahului, maka itu ia telah tidak
dapat menepati janjinya terhadap Hui Liong. Ia sudah lantas
pergi ke rumahnya It Hang tapi di sana ternyata It Hang
sudah ditangkap dan dibawa ke kota Yanan. Ketika Uy Yap
menyusul ke dalam kota, ia dapat kabar bahwa It Hang sudah
ada orang yang menolongnya Ia menjadi gelisah dan ibuk
sekali. Ia lantas cari keterangan lebih lanjut.
Dalam penyelidikannya itu Uy Yap dengar It Hang
mempunyai hubungan dengan Ong Ciauw Hie. Ia tahu, Ong
Ciauw Hie adalah puteranya Ong Kee In di Wayauwpo, maka
ia ajak rombongannya pergi kepada orang she Ong itu. Kee In
belum tahu hal puteranya dan It Hang itu, dia hanya berikan
keterangan, bahwa sang putera sedang bepergian ke rumah
Tiat Hui Liong di Liongbun, Shoasay.
Ong Kee In tidak bersahabat kekal dengan ButongNgoloo,
tapi ia tahu bahwa pihak Butong tidak terlalu memandang
mata pada kaum Rimba Hijau -- Lok Lim -- , ini pun sebabnya
kenapa ia tidak mau omong banyak, hingga ia tidak jelaskan
juga halnya Giok Lo Sat dan Tiat Hut Liong sudah berjanji
untuk adu kepandaian, bahwa kepergiannya Ong Ciauw Hie
sebenarnya adalah untuk menolong nona tunangannya.
Uy Yap Toojin ambil kesimpulan, untuk mendapatkan It
Hang ia perlu cari Ciauw Hie, dan untuk cari Ciauw Hie, ia
mesti pergi ke rumahnya Tiat Hui Liong. Maka ia anggap tepat
kalau ia pergi ke Tiat keeCung, dengan demikian sekaligus ia
dapat selesaikan dua urusan.
Demikian Uy Yap dan rombongannya sampai di Tiat
keeCung. pertama untuk menanyakan halnya It Hang,
kemudian membuat perhitungan untuk kematiannya Ceng
Kian Toojin. Tentu saja Hui Liong juga menjadi gusar.
"Jadi jiewie tootiang percaya benar bahwa kebinasaannya
Ceng Kian Tootiang itu adalah perbuatanku?" akhirnya tuan
rumah tanya dengan hati mendongkol.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar!" Uy Yap jawab terus terang secara jantan.
Hui Liong merasa sangat terfitnah, amarahnya meluap.
Sambil berjingkrak ia ayunkan sebelah tangannya.
"Uy Yap Toojin, kau pandang Tiat Hui Liong orang macam
apa?" dia menegur dengan nyaring.
Imam itu menangkis sambil tertawa mengejek.
"Kau sendiri yang telah berbuat, buat apa kau tanya aku
lagi?" dia jawab. Dia pun panas hatinya.
Tiat Hui Liong habis sabar. Ia menggeram. Kedua
tangannya segera dipentang ke kiri dan kanan dalam gerakan
"Pekwan tamlouw" yaitu "Lutung putih mencari jalan." Kedua
tangan itu menggunting pundak lawan.
Uy Yap juga lompat mencelat seraya buka kedua
tangannya dalam dua rupa gerakan yaitu "Samhoan tauwgoat"
--- "Tiga melibat dan mengikat rembulan" dan "Honghut suiliu"
--- "Sang angin mengebut yangliu meroyot." Secara begitu
pecahlah serangannya tuan rumah.
Hui Liong tertawa dingin dan mengatakan: "Memang aku
tahu, setelah wafatnya Cie Yang Tootiang, kalian beberapa
gelintir imam yang cupat pikiran, pasti tidak akan melepaskan
aku! Hm, rim! Jikalau benar-benar, kau tidak puas, marilah
kita piebu pula!"
Dengan mengajak pula piebu, itulah sebagai sindiran,
karena salah satu di antara Butong Ngoloo telah pernah
dipecundangi. Tetapi sebenarnya, walaupun Uy Yap Toojin tidak puas
terhadap ketua dari Tiat keeCung ini, dia tidak mendendam
dari hal kekalahannya Pek Sek Toojin itu, hanya karena urusan
Ceng Kian dan orang "menyangkal", dia jadi panas hati.
hingga dia tak dapat kendalikan diri lagi. Maka dia lantas
pasang kuda-kudanya.
"Bangsat tua, jikalau kau mau piebu, mari kita segera
mulai!" dia pun menantang. "Mustahil aku jeri terhadapmu"
Ceng Kian Tootiang sedang menantikan kau di neraka, jikalau
kau mempunyai pesanan terakhir, baik kau siang-siang
beritahukan itu pada orang-orangmu!"
"Kau ngaco! Mari rasai tanganmu!"
Dalam murkanya yang meluap-luap, Hui Liong menyambar
kepada muka orang. Ia menyerang dengan pukulan
"Tiatpiepee Ciu" -- "Tangan piepee besi".
Uy Yap mundur bukan melulu untuk berkelit diri, tapi
sambil mundur iajuga menghajar lengannya tuan rumah, yang
dia incar jalan darahnya dengan dua jari tangannya.
Hui Liong tarik pulang tangan kanannya itu.
Justeru orang tarik pulang tangannya itu, tangan kiri Uy
Yap menggantikan tangan kanannya menyerang, kali ini ia
menggunai kepalan.
Hui Liong tolak kepalan musuh itu, hingga ia mundur tiga
tindak. Tapi juga Uy Yap turut mundur karena kerasnya
tolakan itu. "Orang telah binasakan Ceng Kian Tootiang, ada apa
sangkutannya dengan aku?" tanya Hui Liong, yang masih
penasaran. "Kenapa kalian sembarang menuduh aku" Jikalau
kalian tidak menghaturkan maaf, jangan harap kalian bisa
keluar dari pintu rumahku ini dengan masih hidup!"
Akan tetapi setelah bentrokan itu, ketua Tiat keeCung
sadar bahwa piebu dan kebinasaannya Ceng Kian Toojin
adalah dua persoalan yang tak dapat dicampur baurkan
menjadi satu. Kebinasaannya Ceng Kian mesti dibikin terang
lebih dahulu. Uy Yap pun nampak ragu-ragu karena seruannya tuan
rumah. "Apakah kau bicara dengan sebenar-benarnya?" dia
menegasi. "Terserah padamu percaya atau tidak?" serunya Hui Liong.
"Ketahuilah olehmu bahwa akupun hendak menuntut balas
untuk Ceng Kian Tootiang! Tetapi piebu pun kita harus
lanjutkan juga! Mengertikah kau sekarang?"
Kata-katanya ini ditutup oleh serangan sepasang
tangannya. Melihat serangan yang hebat itu, Uy Yap gunakan kedua
tangannya untuk memunahkan: tangan kirinya menangkis
sambil melibat, begitu juga tangan kanannya.
Hui Liong biarkan tangan kanannya hendak dilihat lawan,
tetapi tangan kirinya dilonjorkan terus untuk menoblos libatan,
guna menghajar pilingan si imam.
Di antara Butong Ngoloo, Uy Yap cuma berada di bawahan
ketuanya, bisa dimengerti ilmu silatnya tidak sembarangan,
maka walaupun tuan rumah pertunjukkan keliehayannya, ia
masih dapat kelitkan kepalanya, ia sambut serangan itu
dengan pundaknya, hingga terdengarlah suara keras: "Duk!"
Adalah setelah itu, ia terus libat tangan kiri penyerangnya.
Serangan kepada pundaknya itu membikin matanya
berkunangan walaupun ia tangguh, ia toh merasakan
hebatnya serangan itu. Di lain pihak, Hui Liong juga
merasakan sakit sekali kepada tangan kirinya itu. (a mencoba
mendorong, tapi Uy Yap dengan tangan kanannya menahan,
sehingga terjadi perkutatan antara mereka Mereka sama-sama
tidak mau melepaskan tangannya yang terlibat dan tercekal,
maka sekarang keduanya mengandalkan kepada tenaga
ambekan dan kuda-kuda kedua kakinya. Mukanya Uy Yap
pucat, napasnya memburu. Tapi juga Hui Liong rasakan
tulang-tulang lengannya sakit sekali.
Baru sekarang keduanya menyesal kenapa tadi mereka
umbar nafsu amarahnya, sekarang menyesalpun sudah kasip.
Ang In Toojin melihat hebatnya keadaan, ia memikir datang
sama tengah untuk memisahkannya, tetapi baru saja ia
memikir, satu tubuh lain sudah berkelebat, lantas ia tampak
Giok Lo Sat, yang berbaju putih, sudah sampai di sampingnya
Uy Yap dan Hui Liong berdua. Ia telah didahului orang.
Giok Lo Sat ulurkan kedua tangannya. masing-masing
menyambar ketiaknya Uy Yap Toojin dan Tiat Hui Liong,
hingga keduanya merasakan sangat geli, dengan demikian
kendorlah ambekan mereka masing-masing. Maka dengan
gunai ketikanya yang baik itu, si nona tarik dua lawan itu,
hingga mereka terpisah satu pada lain.
Uy Yap kaget bahna herannya Ang In juga heran untuk
kesehatannya nona ini.
Giok Lo Sat tertawa.
"Jiewie tootiang sudah berusia lanjut, kenapa kalian sama
pandangan seperti aku yang muda?" kata dia.
Uy Yap atur napasnya supaya tidak mengorong lagi.
"Apa kau kata?" dia menegasi.
"Aku maksudkan kebinasaannya Ceng Kian Toojin," sahut
nona ini. "Mula-mula akupun menyangka dia dibinasakan oleh
Tiat Lounghiong. maka seperti tootiang, tidak tanya hijau atau
merah atau putih, terus saja aku serang padanya. Kalau aku
ingat kesembronoanku itu, aku tertawa sendirinya."
Uy Yap menjadi heran.
"Apa" Apakah kau bukan puterinya Tiat Hui Liong?" dia
tanya. "Siapa kata bukan puterinya?" si nona jawab. Dia tertawa.
Imam itu mendongkol.
"Ha, kau main gila terhadap aku?" tegurnya
Pada waktu itu di luar terdengarlah suara berisik dari
tindakan banyak kaki. Ang In segera saja lompat untuk
melihatnya. "To It Hang datang!" terdengar dia berseru.
Uy Yap segera menoleh, begitupun Giok Lo Sat dan Hui
Liong. Memang juga, It Hang telah bersomplokan dengan
rombongan Butong pay.
Sehabisnya pamitan dari Giok Lo Sat, It Hang lakukan
perjalanan dengan lenyap kegembiraannya. Ia biarkan
kudanya jalan seenaknya di sebelah belakang Ong Ciauw Hie
dan Beng Ciu Hee. Ia melamun mengawasi pemuda pemudi
itu jalankan kudanya sambil berendeng. Mau tidak mau ia jadi
ingat Giok Lo Sat.
"To Sutee!" tiba-tiba ia dengar panggilan dari arah depan.
Ia heran dan angkat kepalanya. Ia tampak serombongan
penunggang kuda, yang mendatanginya cepat sekali.
Ong Ciauw Hie yang jalan di depan segera menahan
kudanya. Beberapa penunggang kuda itupun lantas berhentikan kuda
mereka, semuanya pada lompat turun.
It Hang segera kenali mereka itu. Yang paling depan adalah
Gie Sin Seng, murid kepala tingkat kedua dari Cie Yang Toojin,
atau suheng-nya sendiri. Di belakang suheng ini ada lima
orang lain, di antaranya terdapat Keng Ciauw Lam.
"Mari belajar kenal!" kata pemuda kita setelah ia sambut
suheng-nya itu, untuk diperkenalkan pada Ciauw Hie dan Ciu
Hee. Ciauw Lam yang sudah kenal pemuda she Ong itu
menjadi likat sendirinya mengingat lelakonnya dahulu.
It Hang menanyakan maksud suheng-nya pergi merantau.
"Apakah kau belum ketemu jiesusiok dan samsusiok?" Sin
Seng balik tanya.
"Apa" Apakah kedua susiok pun datang?" It Hang heran.
Sin Seng segera mengucurkan air mata.
"Pada bulan yang lalu tanggal sembilan, suhu telah
wafat..." kata ia dengan sedih.
It Hang kaget, ia menangis dengan tiba-tiba, tubuhnya
terhuyung hampir dia jatuh. Memang ia pandang gurunya, Cie
Yang Tooj in, bagaikan orang tua sendiri. Sudah dua belas
tahun guru itu merawat dan mendidik ia, maka ia ingat budi
gurunya yang besar itu, tetapi sekarang, sebelum ia bisa
membalas budi, sang guru telah tinggalkan ia untuk selamalamanya,
malah tanpa dapat kesempatan untuk bertemu lagi.
Sin Seng tubruk sutee itu agar tidak roboh.
"Jangan bersedih, sutee," ia menghibur, dan ia berbisik:
"Dengan wafatnya suhu, maka kaulah yang mesti
bertanggung jawab untuk Butong pay kita!"
It Hang angkat kepalanya. Ia seka air matanya.
"Apa suheng bilang?"
"Suhu telah memesannya supaya kau yang menjadi ahli
warisnya!"
It Hang terkejut.
"Tak mungkin!" katanya. "Di atas kita masih ada empat
susiok! Kenapa suhu kehendaki aku yang pegang pimpinan?"
"Sebabnya ialah kau bunbu CoanCay, sutee," Sin Seng
berikan keterangan. "Kau cerdas dan bersemangat, untuk
kemajuan partai kita, kaulah yang dibuat harapan. Semua
saudara setujui pesan suhu, semua tidak ada yang tidak
memuji suhu telah memilih penggantinya yang tepat!" (Bunbu
CoanCay = lengkap pengetahuan ilmu surat dan silat).
Sehabisnya mengucapkan kata-katanya itu, Gie Sin Seng
terus memberi hormat pada sutee itu, dalam kedudukannya
sebagai Ciangbunjin (ketua), kemudian diturut oleh Keng
Ciauw Lam dan yang lain-lainnya saudara-saudara
seperguruannya.
It Hang sibuk membalas hormat itu.
"Inilah hebat," kata dia kepada saudara-saudara
seperguruannya itu. "Soal ketua ini baik ditunda dahulu, nanti
sesudah aku pulang ke gunung, baru kita damaikan pula..."
"Tetapi kau jangan ragu-ragu lagi, sutee," Sin Seng
membujuknya. "Sekarang baiklah kita tengok dulu jiesusiok dan
samsusiok," Keng Ciauw Lam mengajak.
"Di mana adanya kedua paman guru itu?" It Hang tanya.
"Di sana, di Tiat keeCung," Sin Sengjawab.
"Ketahuilah bahwa dengan susah payah barulah kami
ketahui kau berada di sini," Ciauw Lam mengatakannya pula.
"Untuk aku seorang kedua susiok dan saudara-saudara
telah melakukan perjalanan jauh dan sukar, sungguh tidak
enak hatiku," ujar It Hang sambil menepas air matanya. "Aku
kuatir akan mensia-siakan harapan suhu dan semua susiok
dan saudara-saudara..."
Oleh karena ini, It Hang terpaksa berpisahan dengan Ciauw
Hie dan Ciu Hee, saking berduka, ia sampai mengeluarkan air
mata. Sepasang pemuda-pemudi itupun bersusah hati seperti
dia. "Suheng, mengapa kau berada bersama bocah itu?" tanya
Ciauw Lam sesudah Ciauw Hie pergi jauh.
"Kenapa?" balik tanya kakak seperguruan ini.
"Dia adalah puteranya Ong Kee In. itu penjahat besar dari
Siamsay Utara!" kata Ciauw Lam.
"Itulah aku sudah ketahui," sahut It Hang.
Mendengar ini. Sin Seng terperanjat. Ia adalah murid
kepala dalam tingkat kedua tetapi ia adalah saru manusia
biasa saja, selagi ia setuju sangat It Hang diangkat jadi
Ciangbunjin, dengan melewati padanya, ia juga sangat
menjunjung segala aturan dari Butong pay.
"Jadi dia adalah pemuda yang menunggang kuda putih
yang dahulu menemani kau di perjalanan?" dia menegasi
Ciauw Lam. "Betul," sahut Ciauw Lam. Memang, ketika dahulu ia pulang
sehabis mendapat hinaan itu, ia telah beber pengalamannya
itu, hingga semua orang Butong mendapat tahu.
"Sutee." Sin Seng lantas kata pada It Hang. "kau sekarang
telah menjadi Ciangbunjin, maka dalam gerak-gerikmu
selanjutnya kau harus berhati-hati karena kau harus menjadi
teladan bagi sesama saudara kita."
"Terima kasih, suheng, aku nanti ingat baik-baik nasihatmu
ini," kata It Hang dengan terharu. "Hanya baiklah diketahui, di
dalam kalangan Rimba Hijau ada banyak orang-orang gagah
sejati. Kita tidak menjadi berandal, aku anggap tidaklah
melanggar aturan jikalau kita bersahabat dengan mereka."
"Kau benar juga," Sin Seng kata. "Tapi aku dengar Ong
Ciauw Hie itu berkomplotan dengan bangsat perempuan Giok
Lo Sal. Kau telah ketahui bahwa Giok Lo Sat itu pernah
membegal engkongmu..."
Mukanya It Hang bersemu merah.
"Akan tetapi engkong tidak mendendamnya," kata dia,
suaranya tidak tedas.
Keng Ciauw Lam menjadi sangat tidak puas.
"Apakah saudara To pernah ketemu Giok Lo Sat?"
It Hang mengangguk.
"Sekarang pikiranku sedang kusut banyak yang aku hendak
bicarakan kepadamu, baik lain kali saja," ia berkata "Saudara
Keng, pada tahun yang lalu kau telah antar engkongku, aku
bersyukur dan berterima kasih kepadamu."


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia lantas menjura kepada adik seperguruan itu.
Dengan tersipu-sipu Ciauw Lam membalas hormat, tetapi
mukanya tampak kemerah-merahan.
"Kepandaianku rendah sekali, aku tak berdaya melindungi
engkongmu." ia mengakuinya "Suheng, walaupun kau tidak
tegur aku, sendirinya aku sudah merasa malu."
"Sudahlah, jangan sebut-sebut pula urusan itu," Gie Sin
Seng memotong. "To Sutee sekarang telah menjadi Ciangbunjin, maka kau
tak usah kuatir di belakang hari dia tidak akan tolongi kau
melampiaskan penasaranmu itu!"
It Hang jalankan kudanya perlahan-lahan. Ia benar-benar
sangat kusut pikirannya. Ia sudah menduganya bahwa
saudara-saudaranya itu memusuhi Giok Lo Sat, ia hanya tidak
sangka mereka memusuhinya secara demikian hebat, lapun
gelisah juga, karena ia tahu waktu itu Giok Lo Sat berada di
Tiat keeCung. Tidakkah, sebentar lagi kedua pihak akan dapat
ketemu satu pada lain"
"Sutee, jalankanlah kudamu sedikit cepat," berkata Sin
Seng pada saudara itu.
It Hang menurut, ia larikan kudanya. Maka itu, dengan
cepat mereka sampai di rumahnya Tiat Hui Liong. Dari luar
mereka sudah dengar suara keras dari Uy Yap, paman guru
mereka, mereka kaget. Karena ini Sin Seng lantas lompat
turun dari kudanya dan nerobos masuk tanpa bicara lagi
kepada pengawal pintu, perbuatannya ini diturut oleh
saudaranya. Inipun sebabnya mengapa Ang In segera dapat
lihat mereka dan menyerukannya.
Sampainya rombongan ini membikin pertempuran
tertunda. Uy Yap Toojin hendak menyambut murid keponakan
itu, yang segera akan menjadi ketuanya, tetapi It Hang
mendahului lompat kepadanya, untuk terus memberi hormat
sambil berlutut dan menangis.
"Sekarang kau telah diangkat menjadi Ciangbunjin," Uy Yap
segera memberitahukan sambil memimpin bangun.
"TeeCu tidak berguna, teeCu tidak sanggup pikul tanggung
jawab seberat itu," kata It Hang. "TeeCu minta susiok ajak
teeCu pulang, untuk panggil berkumpul semua saudara
seperguruan, untuk mereka pilih lain ketua..."
Uy Yap merasa tidak merdeka membicarakan urusan
partainya di rumah keluarga Tiat, maka ia jawab keponakan
murid itu dengan berkata: "Begitu pun baik. Tunggulah
sampai aku sudah selesai berurusan kepada tua bangka she
Tiat ini, baru kita pulang."
Tiat Hui Liong tidak puas yang orang bicara saja. Ia anggap
orang telah menggerecok, dan sebagai tuan rumah ia seperti
dikebelakangi dan berbalik menjadi tetamu. Syukur ia masih
ingat Cie Yang Toojin yang ia hargai, j ikalau tidak, pasti ia
sudah umbar kemendongkolannya. Akan tetapi, begitu lekas
orang sudah selesai bicara, ia lantas berkata dengan nyaring:
"Uy Yap Toojin, orang yang kau cari sekarang telah berada di
hadapanmu, tanyalah padanya, siapa yang aniaya Ceng Kian
Toojin!" Hatinya It Hang bercekat. Segera ia dapat duga, tentu
paman gurunya itu bentrok kepada jago tua she Tiat itu
disebabkan kebinasaannya Ceng Kian Toojin. Maka lantas saja
ia campur bicara.
"Susiok," katanya, kepada Uy Yap. "Ceng Kian Toojin
binasa di tangan muridnya Imhong Tiatsee Ciang Kim Tok Ek.
Tiat Lounghiong sendiri justeru hendak pergi ke barat untuk
balaskan sakit hatinya imam itu!"
Uy Yap Toojin tercengang. Ia percaya akan katanya
keponakan murid atau ketua baru ini. Meskipun dengan muka
merah bahna malu, namun ia rangkap juga kedua tangannya
kepada tuan rumah.
"Pintoo telah berlaku sembrono, dengan jalan ini pintoo
mohon dimaafkan." ia memohon secara laki-laki. "Bilakah Tiat
Lounghiong hendak berangkat" Nanti pintoo titahkah muridmuridku
turut pergi membantunya."
"Itulah tidak perlu!" jawab Hui Liong dengan tertawa
dingin. "Hanya satu hal aku ingin mohon daripadamu. Yaitu
tolong kau sampaikan di hadapan arwahnya Cie Yang
Tbotiang bahwa aku tak bisa datang mengunjuk hormatku
yang penghabisan terhadapnya, sebab pertama ialah aku
sedang punyakan urusan sangat penting, kedua karena kita
berbedaan golongan aku minta supaya aku dimaafkan. Dari
jauh saja aku unjuk hormatku."
Uy Yap bisa mengerti yang orang sedang mendongkol.
"Terima kasih, lounghiong," ia mengucap sambil rangkap
kedua tangannya pula
Ketika itu It Hang berdiri di samping. Ia telah diangkat oleh
gurunya menjadi Ciangbunjin, tapi ia masih tidak mau ambil
kedudukan sebagai ketua partainya itu. Ketika ia menoleh ke
samping, ia dapatkan Keng Ciauw Lam yang mendampingi
Ang In Toojin, paman gurunya sedang bisik-bisik pada paman
guru itu. Ia terperanjat.
"Inilah hebat," pikirnya. Ia tahu bahwa Ciauw Lam murid
yang disayang oleh paman gurunya itu. Ia menduganya
tentulah Ciauw Lam minta gurunyanya melakukan
pembalasan. Karena ini, ia lantas menoleh ke arah Giok Lo
Sat, yang sedang duduk diam di samping ayah angkatnya
Nona itu melihat ke kiri dan kanan seperti juga ia tidak tampak
akan terjadi ketegangan. Ketika secara kebetulan sinar mata
mereka bentrok satu pada lain, pemuda ini lekas-lekas
menundukkan kepala, hatinya memukul keras.
Uy Yap Toojin anggap urusan telah selesai, ia lantas beri
tanda pada Gie Sin Seng beramai untuk mereka pamitan.
Dengan paksakan bersenyum ia kata pada tuan rumah:
"Tiat Lounghiong, maafkan kami, kami mohon pamitan..."
Baru imam ini menutup mulutnya, atau Ang In Toojin
berlompat maju.
"Tunggu dulu, suheng" kata sutee ini. (Suheng = kakak
seperguruan). Uy Yap heran, ia menoleh dengan segera.
Tapi Ang In tidak bicara lagi dengan suheng-nya itu, ia
hanya terus tunjuk nona di sampingnya Tiat Hui Liong.
"Nona, kau membikin pintoo sangat mengaguminya!"
demikian katanya. "Sudah lama pintoo ingin memohon
pengajaran darimu, tidak kusangka, hari ini kita dapat
bertemu di sini!"
Uy Yap menjadi heran.
"Apakah sutee telah menjadi angot?" pikirnya. "Kenapa
sebagai salah satu dari Butong Ngoloo dia bisa mengeluarkan
kata-kata menantang terhadap satu nona muda"..."
Tiat Hui Liong sambil tertawa dingin sudah lantas geserkan
tubuhnya. Si nona Giok Lo Sat sebaliknya berbangkit dengan
ayal-ayalan, akan dengan ayal-ayalan juga rapikan
pakaiannya. Nampaknya Ang In panas benar hatinya. Dia maju ke
depan nona itu.
Giok Lo Sat bersenyum.
"Ilmu silat pedang dari Butong pay telah menjagoi di
kolong langit ini, cara bagaimana aku berani terima
pengajaran dari tootiang?" kata dia dengan sabar.
"Jikalau kau tidak ingin menyambutnya juga tidak
menjadikan apa-apa!" kata Ang In sambil mengejek: "Hm!" Ia
menambahkan: "Tetapi nona berhutang terhadap Butong pay,
sekarang dengan besarkan hati pintoo ingin menagihnya!"
Sepasang alis yang lentik dari Nona Lian terbangun.
"Apa yang hendak ditagihnya?" tanyanya, suaranya
nyaring. "Aku minta nona suka potong enam jari tanganmu untuk
diserahkan pada pintoo. buat pintoo bawa pulang!" jawabnya
Ang In Toojin. Memang waktu di Tengkun san Giok Lo Sat telah perhina
murid-murid Butong pay, dengan membabat buntung dua
jarinya Keng Ciauw Lam serta empat saudara seperguruannya
orang she Keng ini masing-masing satu jari.
Mendengar sampai di situ, mengertilah Uy Yap Toojin
sebabnya Ang In jadi gusar dan menantang nona itu.
Nya.talah nona itu bukan puterinya Tiat Hui Liong tapi Giok Lo
Sat si bandit wanita yang menggetarkan hatinya orang-orang
kangouw. Ia hanya heran, mengapa nona kosen itu masih
begini muda remaja.
Giok Lo Sat tertawa cekikikan, ia tidak menjawab imam itu.
Mendongkolnya Ang In bertambah-tambah, tetapi ia masih
tetap berdiri diam saja. Lebih-lebih tidak berani ia mendahului
menghunus pedangnya.
It Hang kalut pikirannya, sehingga tubuhnya bergemetar.
Keng Ciauw Lam lihat sikapnya saudara ini, ia heran, maka
diam-diam ia menghampiri.
"Kau kenapa, suheng?" tanyanya.
"Tidak apa-apa." sahut It Hang dengan perlahan.
"Bangsat perempuan itu sangat liehay ilmu pedangnya, aku
kuatir suhu tidak dapat bekuk padanya," kata pula Ciauw Lam,
"maka itu, suheng, baik kau siap sedia, supaya bangsat itu
tidak bisa lolos!"
It Hang mengangguk dengan seangguk-angguknyadi luar
kehendak hatinya, sebenarnya ia mengharapkan supaya
pertempuran tidak akan terjadi.
Dalam keadaan tegang itu, Tiat Hui Liong bertindak ke
tengah di antara kedua orang yang saling berhadapan itu. Ia
sekarang tampaknya sangat tenang, ia bisa tertawa riang.
"Anakku, Lian, apakah benar kau punya hutang kepada
pihak Butong pay?" dia tanya, suaranya nyaring dan nyata
sekali. . "Bukannya hutang, ayah, itulah hadiah!" sahut sang anak
sambil tertawa juga. "Lima murid Butong pay telah piebu
dengan aku, pasti sekali tak dapat aku pulang dengan tangan
kosong! Itulah aturan dari Hektoo, Kalangan Hitam. Ayah,
mungkinkah kau tidak ketahui aturan itu?"
Uy Yap Toojin kembali menjadi bingung. Mengapa mereka
itu membahasakan anak dan ayah satu pada lain"
Tiat Hui Liong mengusap-usap jenggotnya, ia tertawa
gembira. "Anakku, tentulah kau telah keliru mengenalnya!" dia
berkata pula. "Mungkin mereka telah memalsukan namanya
Butong pay! Ilmu pedang Butong pay menjagoi di kolong
langit, maka cara bagaimana bisa terjadi, lima lawan satu
tetapi yang dikerubuti peroleh kemenangan dan yang lima
keok?" Ayah dan anak itu bicara saling sahut, mereka telah
membuat An In Toojin serba salah, hatinyapun panas, maka
kemudian karena tidak dapat mengendalikan diri lagi, "Sret!"
dia cabut pedangnya.
"Giok Lo Sat, kau hendak bayar hutangmu atau tidak?" dia
menegur dengan bentakannya.
Tapi dengan tidak menunggu jawaban si nona lagi ia
segera berpaling pada Tiat Hui Liong dan berkata: "Gunung
kami tersembunyi dan sepi, karenanya kami jadi kurang
pendengaran, hingga kami tidak ketahui kau ada punya ini
satu anak perempuan yang gagah perkasa! Kami telah
menagih hutang kepadanya di hadapanmu, perbuatanku ini
memang sangat tidak hormat, akan tetapi siapa membunuh
orang, dia mesti menggantijiwa, siapa berhutang uang, dia
mesti membayar uang juga karena demikian kami terpaksa
menagihnya."
Tiat Hui Liong tertawa gelak-gelak.
"Anak perempuanku ini beda sangat daripada anak-anak
perempuan lainnya! "dia kata dengan nyaring. "Apa yang dia
perbuat, aku biasanya tidak tahu menahu, maka jikalau
memang dia berhutang, pasti dia dapat membereskannya
sendiri! Maka itu janganlah kalian menagih kepadaku..."
Ang In Toojin menjadi sangat heran, begitupun Uy Yap,
Tidakkah arti kata-kata Tiat Hui Liong ini menyatakan si nona
bukan gadisnya"
Justeru pihak Butong pay masih diam saja, Hui Liong
menambahkan pula:
"Meskipun demikian, karena aku menjadi orang tuanya,
dapat aku berlaku adil," demikian katanya. "Ingin aku
menanya jelas: Apakah Tootiang sendiri yang datang menagih
hutang ataukah mereka semua ini, orang-orang pandai dari
dua tingkat dari Butong pay. juga hendak menagih hutang
bersama?" Ang In menjadi gusar.
"Asal kau sendiri tidak turut turun tangan, sudah tentu kami
dari pihak Butong pay tidak nanti rebut kemenangan dengan
mengandalkan jumlah yang banyak!" diajawab.
Hui Liong tertawa pula.
"Benarkah katamu ini?" ia tegaskan, dengan lagaknya
mengejek. "Sebenarnya, meskipun kau ditambah dengan
beberapa orang lagi, anakku masih tidak berkeberatan... Asal
saja Uy Yap Tootiang seorang dapat mengatasi dirinya, aku si
tua bangka pasti tidak akan merasa jemu, suka sekali aku
duduk diam menemani padanya!"
Dengan itu Hui Liong maksudkan. "Asal Uy Yap Toojin tidak
turun tangan, biar kau semua maju, kalian tetap bukan
tandingannya Giok Lo Sat!"
Pasti sekali Ang In Toojin jadi sangat gusar.
Hui Liong dengan tidak menghiraukan sikap Ang In, ia terus
manggut kepada Uy Yap Toojin untuk memberi tanda, lalu ia
duduk, perbuatan mana diturut imam itu.
"Giok Lo Sat, apakah kau masih belum hendak hunus
pedangiriu?" Ang In tegur si nona. "Kau hendak tunggu apa
lagi?" Nona itu bersenyum.
"Titah Tootiang sebagai orang yang lebih tua, aku yang
muda tidak berani tidak menurutnya," berkata dia, "akan
tetapi tidak berani aku lancang mendahuluinya, maka silakan
tootiang yang mulai."
Ang In mendongkol bukan main.
Selagi ia sangat mendesak, tapi lawannya ada demikian
merendah. Iapun terlebih tua dan seorang suci pula,
sedangkan lawan di depannya adalah satu nona biasa.
Terpaksa ia tancap pula pedangnya ke dalam sarung, lalu ia
menghampiri dengan serangan tangan kirinya, dua jarinya
diluruskan. Itulah gerakan "Hwaliong tiamCeng" atau "Melukis
naga menitik matanya". Dua jarinya itu menyambar ke muka
si nona. Hanya dengan satu kali Giok Lo Sat elakkan serangannya,
imam itu telah tubruk tempat kosong. Tapi menyusul itu imam


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini merasakan sambaran hawa dingin di belakangnya, seperti
sambarannya senjata tajam, hingga ia kaget tidak terkira.
Syukur hatinya tabah, kepandaiannyapun tinggi, dengan
kedua kaki menjejak lantai, tubuhnya imam ini mencelat
dalam gerakan, "Loanyauw Capliu" -- "Membungkukkan
pinggang, menancap yangliu!" Tetapi ia tidak mencelat jauh,
ia hanya memutar tubuh, untuk memperlihatkan tipu silat
Butong pay "Wanyho Lianhoan twie" --- "Kaki berantai burung
Wanyho". Yaitu sambil memutar tubuh, kaki kirinya menjejak
ke belakang, mengarah lengan yang mencekal pedang dari
lawannya Giok Lo Sat yang telah perlihatkan kegesitannya, kembali
pertontonkan kelincahannya. Ketika kakinya menjejak, sebat
sekali ia menyampingkan bahunya yang terancam itu, dengan
begitu ia telah lolos dari bahaya.
"Eh tootiang, mengapa kau tidak hunus pedangmu?" tanya
si nona sambil tertawa manis. Ia memandangnya secara
menarik hati kepada si imam, yang menaruh kaki di depannya.
Diam-diam Ang In akui, inilah untuk yang pertama kali ia
hadapi orang sedemikian gesit sebagai Giok Lo Sat. Nona itu
dengan mudah saja dapat selamatkan dirinya dari jejakannya
itu. Iapun bersyukur, karena telah memandang enteng lawan
ini, ia bisa lolos dari bahaya.
Uy Yap saksikan pertempuran itu, iapun heran. Ia belum
tahu sampai di mana kepandaian silatnya nona ini, akan tetapi
mengenai kengsin kanghu, ilmu mengentengkan tubuh,
teranglah si nona ada di atasan Tiat Hui Liong. Ia juga
percaya, bahwa kepandaiannya nona ini bukanlah buah
pengajarannya jago dari Tiat keeCung itu.
Sekarang tidak lagi Ang In berani berlaku alpa. Ia
menghunus pedangnya.
"Baiklah," katanya. "Sekarang aku silakan kau lebih dahulu,
nona!" Suaranya imam ini juga lantas berubah menjadi lunak.
Giok Lo Sat bersenyum seperti biasa.
"Maafkan aku." kata ia. Ia menekan belakang pedangnya
dengan tangan kirinya, lantas pedang itu dilonjorkan ke
depan, selagi senjata tajam itu berkilau berkeredep, kakinya
menindak maju di arah tiongkiong, ujung pedangnya
menyambar ke dadanya si imam!
Di dalam kalangan persilatan ada disebut, "Pedang maju ke
samping, tumbak menjurus segaris." Atau, "Golok jalan di
hitam, pedang jalan di hijau." Itu artinya, pedang
mengutamakan kesehatan, dengan senjata pedang, orang
kebanyakan menyerang dari samping, kiri atau kajian, jarang
yang maju langsung di tengah, tiongkiong. Maka adalah luar
biasa, baru saja mulai. Giok Lo Sat sudah maju menyerang ke
tengah! Kesannya Ang In terhadap si nona berubah, sekarang ia
memandangnya sebagai lawan seimbang, maka itu, walaupun
ia diserang bukan dengan cara biasa, tidak lagi ia naik darah.
Ang In Toojin putarkan pedangnya dari samping ke tengah,
untuk menangkis serangan. Tipu silatnya ini ialah yang
dinamakan "Sanbu ginCoa" atau "Ular perak menari di atas
gunung". Ini ada salah satu dari tujuh puluh dua jurus ilmu
silat pedang Lianhoan Toatbeng kiam --- Berantai Merampas
Jiwa --- dari Butong pay. Inipun salah satu tipu untuk
memunahkan serangan langsung dari depan.
"Bagus!" Uy Yap memuji di dalam hatinya. Ia dapat
kenyataan, ilmu pedang adik seperguruan ini telah maju pesat
sekali. Biasanya, dengan tangkisan yang dibarengkan
serangan semacam ini, senjata musuh mesti kena dibetot
terlepas dari cekalan.
Juga Ang In Toojin beranggapan sebagai suheng-nya itu,
dia merasa pasti sembilan dalam sepuluh bagian serangannya
akan berhasil, tapi kesudahannya membuat ia heran, pedang
si nona tetap masih berada di tangannya. Malah sebaliknya ia
menjadi kaget tak terkira. Menurut dugaannya, si nona akan
menikamnya dengan "TokCoatouwsin" -- "Ular berbisa
muntahkan bisanya", akan tetapi entah bagaimana jalannya,
tanpa ia lihat lagi, ujung pedang nona itu sudah menyambar
ke bahunya. Dalam kagetnya, bersama-sama pedangnya Ang In berkelit
sambil memutar tubuh, dengan begitu, baru ia dapat
menghindarkan diri dari tikaman ulangannya si nona.
Akan tetapi Giok Lo Sat tidak berhenti sampai di situ. Selagi
lawannya memutar diri, ia juga menyusul dengan desakannya,
pedangnya bergerak sangat cepatnya.
Ang In Toojin t^ahu orang mengancam pula padanya, ia
angkat pedangnya menangkis, akan tetapi musuh
membatalkan serangannya setengah jalan, untuk ditukar
dengan lain macam serangan yang silih ganti, kelihatannya
ancaman menjurus ke atas. tapi tahu-tahu arah bawahlah
yang diserangnya, demikian pula serangan ke kiri tetapi
kananlah yang menjadi sasaran.
Maka akhirnya, dalam tempo yang sependek itu, Ang In
Toojin telah dibikin bingung dan repot melakukan perlawanan.
Ilmu pedang Butong pay bukan sembarangan. Demikian
dengan Ang In Toojin. Setelah terdesak beherapa jurus, imam
ini mulai mengerti cara bersilatnya si nona. Ia lantas dapat
perbaiki diri, ia bisa melayani dengan tenang tapi waspada. Ia
ambil putusan akan melayani terus dengan tujuh puluh dua
jurusnya dengan hanya menjaga diri tanpa menyerang dulu.
Ia menjaga rapat dirinya, umpama kata, "angin dan hujan tak
dapat menembusinya". Dengan kepandaian liehay inilah yang
membuat Butong pay dijulukkan "Thianhee teeit" --- "Nomor
satu di kolong langit".
Giok Lo Sat telah pertunjukkan kepandaian dan
kelincahannya, ia berhasil mengurung imam lawannya, akan
tetapi pembelaan lawannya sangat rapat, ia tak dapat berbuat
banyak. Ia hanya bisa mengurung, lebih tidak.
Selama pertandingan itu, Uy Yap Toojin kuatirkan sangat
sutee-nya itu, dikuatirkan melakukan sesuatu kekeliruan
gerakan, akan tetapi sekarang ia dapat bernapas lega.
Ang In tidak dapat terka Giok Lo Sat menggunakan ilmu
silat macam apa. Sudah lima puluh tujuh jurus ia
melayaninya, masih tetap nona itu berada di atas angin.
Hal ini membuat Uy Yap mulai berkuatir pula. Suheng ini
menjadi gelisah, karena ia telah berjanji dengan Tiat Hui Liong
tidak boleh membantui sutee itu, karena ia sudah membuat
perjanjian. It Hang duduk di sebelahnya Uy Yap Toojin paman guru ini
diam-diam tarik tangannya keponakan murid itu.
"Kau tunggu sebentar saja, lantas kau gantikan paman
gurumu itu," ia kata seperti berbisik.
Di dalam tingkat kedua, It Hang adalah yang kepandaian
silatnya paling tinggi, dibandingkan dengan Ang In, ia hanya
kalah satu tingkat, akan tetapi ia masih muda, dalam hal
tenaga ia jauh lebih menang dari sang paman. Maka Uy Yap
ingin keponakan ini layani Giok Lo Sat, sedikitnya untuk lima
puluh jurus. Iapun anggap It Hang ada dari tingkat muda,
walau kalah pun dia^ tidak mendatangkan malu. Ia pikir, baik
ambil tempo dulu sekedarnya setelah itu, baru ia akan pikir
pula lebih jauh.
Akan tetapi It Hang bengong memandang gelanggang
pertempuran, kaki tangannya dingin. Tangan yang dingin
seperti es itu membuat kaget paman gurunya hingga paman
ini mengawasi muka orang.
"Ah, kau sakit?" tanyanya, It Hang tidak menjawab, ia
melainkan anggukkan kepalanya bagaikan orang yang kurang
sadar akan dirinya.
Uy Yap Toojin jadi heran dan masgul.
Pertempuran berjalan terus dengan tak kurang hebatnya.
Dahinya Ang In Toojin telah bermandikan peluh...
Dalam keadaan sehebat itu mendadak terdengar tertawa
panjang dari Giok Lo Sat, lalu tampak pedangnya menjurus
kepada bahunya imam itu.
Ang In gunakan pedangnya untuk menangkis serangan itu.
Giok Lo Sat tarik memendekkan tangannya, lalu ia angkat
naik untuk dari atas menyerang ke bawah. Nyata sekali ia
hendak tikam lutut lawannya. Terang itulah ilmu pukulan
Butong pay "KimCiam touwhoa" atau "Jarum emas ditoblos
benang". Tentu sekali, Ang In Toojin heran karenanya.
Sesudah bertempur demikian jauh, seratus junis lebih,
imam dari Butong san ini mulai melihat tegas, ilmu silat
lawannya itu benar-benar luar biasa, sesuatu serangannya
atau gerakannya, adalah bertentangan dengan cara-cara yang
umum, ia jadi bingung, hingga ia tidak tahu dengan cara apa
ia harus memecahkan kurungan untuk balas menyerang. Maka
sedapat mungkin ia berlaku sabar, senantiasa berjaga-jaga.
terutama untuk menjaga jangan sampai ia kena diakali. Tapi
sekarang ia tampak orang serang ia dengan tipu silat
partainya sendiri, maka lupalah ia kepada sikapnya mengawasi
serangan berbalik dari lawan itu. Begitulah ia "membuka
pintu", untuk putar pedangnya dua libatan, guna menangkis.
Inilah tipu silat "SamCoan hoatlun" -- "Tiga kali roda
berputar", yang biasa dipakai memecahkan "KimCian
touwshoa" itu.
Benar-benar aneh cara bersilatnya Giok Lo Sat. Sudah jelas
dia menggunakan tipu silat Butong pay, pedangnya menjurus
ke bawah, tetapi belum mengenai pada sasarannya,
mendadak dia merubahnya, pedangnya menyambar ke atas
membentur pedangnya Ang In, hingga bentrokan itu membuat
pedangnya imam itu terpukul keras dan terpental, hampir
terlepas dari cekalan, sampai Ang In kaget tak kepalang.
VI Keng Ciauw Lam saksikan bahaya yang mengancam
gurunya itu, tanpa merasa ia keluarkan seruan, hingga ia
hendak betot Gie Sin Seng supaya suheng ini maju menolongi.
Tapi Ang In lolos dari bahaya, ia sempat mundur dua tindak.
Ini membuktikan bahwa ia adalah salah satu jago Butong pay.
Giok Lo Sat lantas tertawa pula dengan manis, walau ia
baru saja habis berkelahi lama dan seru, sedang lawannya
telah bermandikan peluh.
"Kita sudah bertempur sampai seratus jurus," kata dia,
dengan sikap gembira seperti biasa, tetapi tetap tidak ada
yang menang dan kalah, maka menurut pendapatku, baiklah
hutang ini dibikin habis saja, tidak perlu kita berkelahi terus!"
Nona itu mengucap demikian karena ia memandang kepada
It Hang, dengan demikian ia mau memberi muka pada Angin
Toojin. Akan tetapi Ang In memikir lain. Dia telah bertempur
lama sampai dia rasakan kepalanya pusing, sekarang di depan
murid-muridnya dia tidak sanggup robohkan satu anak muda,
dia merasa malu sendirinya. Malah mendengar kata-kata si
nona, bagaikan api ditambah minyak, dia menjadi bertambah
gusar, mukanya merah padam, giginya berkerot. Tanpa kata
lagi dia maju dan menikam Giok Lo Sat!
'Nona itu menangkis, alisnya bangkit berdiri. Ia tertawa
dingin. "Ha! kau masih hendak berkelahi terus?" tanya dia. Dan
dengan ujung pedangnya dia terus menikam iga kanan
lawannya itu. Kali inipun Giok Lo Sat menggunakan tipu silat Butong pay,
yakni "Pekho tokhie" atau "Bangau putih mematok ikan".
Baru saja Ang In peroleh pelajaran, seharusnya ia ingat itu.
Akan tetapi ia telah belajar ilmu pedangnya untuk puluhan
tahun, pedang itu seperti sudah menjadi satu dengan hatinya,
ia terpengaruh oleh kebiasaannya, maka melihat si nona
menyerang dengan "Pekho tokhie", tanpa menginsafinya lagilagi
ia membuka lowong penjagaan dirinya dengan menangkis
pedang lawan dengan "Hengkang kiattauw""Lintangkan sungai memotong tebing". Adalah
keinginannya untuk menggempur pedangnya nona itu. Giok Lo
Sat telah kembali memancing, nyata ia berhasil. Maka ketika"
pedangnya hendak digempur, ia membalik tangan seperti tadi
dan berbalik ia yang mendahului menggempur pedang
lawannya, yang disampok terputar dengan keras dan terpental
lepas dari cekalannya Ang In.
Dalam kagetnya Uy Yap Toojin tolak tubuhnya It Hang.
"Kau masih belum hendak keluar membantunya?" serunya
pada murid keponakan. Tapi waktu itu
Gie Sin Seng bersama saudara-saudaranya sudah lompat
menyerang Giok Lo Sat untuk menolongi paman gurunya,
karena mereka kuatir paman gurunya diserang terus hingga
terluka. It Hang kaget sampai seperti semangatnya terbang,
dengan tergesa-gesa ia hunus pedangnya.
Tetapi pertempuran telah menjadi sangat kalut, suara
beradunya senjata-senjata berisik sekali, karena Sin Seng dan
saudara-saudaranya sudah menyerang dan mengepung Giok
Lo Sat sangat serunya, hingga tampak si nona yang putih
bagaikan berterbangan, karena ia mesti perlihatkan
kelincahannya dengan selalu menyingkir dari setiap
rangsakan. Lima murid Butong pay lupa maksud mereka semula ialah
untuk menolongi paman mereka terus kepung si nona dengan
hebat. Akan tetapi pengepungan mereka tidak berlangsung
lama, karena segerajuga pedang mereka masing-masing telah
dibikin terbang terpental, lepas dari cekalan mereka.
Keng Ciauw Lam juga lompat maju, tetapi begitu lekas ia
dipelototi oleh si nona, lantas ia menjadi kuncup kembali,
bukan saja ia tidak berani menerjang terus, malah ia lempar
diri ke lantai, untuk bergulingan sampai di sudut tembok!
Menampak murid-muridnya dipermainkan secara demikian,
matanya Ang In Toojin menjadi merah bahna gusarnya, ia
lompat kepada pedangnya yang ia jemput, terus ia maju akan
menerjang pula musuhnya. Ia lupa dan telah mengingkari janji
untuk tidak mengerubuti si nona.
Giok Lo Sat mundur, ia tertawa dengan dingin.
"Lebih baik kau tunggu muridmu memungut pedang
mereka dahulu. masih belum terlambat!" demikian ia mengejek.
Ang In tidak perdulikan ejekan itu. ia menusuk dan
menusuk lagi. hingga tiga kali saling susul, selama itu Giok Lo
Sat main mundur sambil berjaga diri. Adalah pada tikaman
yang ketiga kalinya barulah si nona gerakkan pedangnya.
Justeru itu It Hang telah datang dekat kepada si nona. kaki
dan tangannya lemas seperti tidak bertenaga, akan tetapi dia


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paksakan diri akan serang si nona, karena dia lihat paman
gurunya sedang terancam. .
"Ah!" si nona berseru, menyusul mana, pedangnya terlepas
dan jatuh ke lantai, tubuhnya sendiri mencelat mundur sampai
kira-kira satu tombak, dari lengannya, mengalir darah yang
menembus keluar dari bajunya sehingga lengan baju itu
berubah warnanya menjadi merah.
Giok Lo Sat adalah seorang yang biasa suka menang
sendiri, semula di waktu layani Ang In ia masih sadar, ia masih
memandang It Hang, tidak mau ia melayaninya secara
sungguh-sungguh akan tetapi imam itu terlalu turuti
amarahnya, dia telah terlalu mendesak sehingga
membangkitkan kemendongkolannya nona itu, si nona,
menggempur pedangnya sampai terpental dan terlepas.
Adalah sesudah bikin terbang pedangnya semua murid Butong
pay, barulah nona itu sadar, ia menyesal atas kesudahan yang
demikian hebat itu. Maka kebetulan sekali It Hang lompat
menikam padanya, sambil di satu pihak ia tangkis pedangnya
Ang In Toojin, di lain pihak ia sengaja perayal gerakan
tangannya, membiarkan lengannya ditikam pedangnya
pemuda she To. lalu ia menjerit dan lompat mundur.
It Hang kaget, ia terhuyung karena lemas dan kelesuannya.
Ang In pun kaget, karena ia terlolos dari bahaya, tetapi
berbareng iapun heran karena si nona tertikam oleh It Hang
dan lompat mundur, hingga ia seperti merasa sedang
bermimpi. Karena ini, walaupun ia masih menyekal
pedangnya, ia tidak berani kejar nona itu.
Sementara itu Uy Yap Toojin tonton pertempuran itu
dengan hati gelisah, pikirannya kusut. Ia kaget akan lihat
romannya It Hang, hingga lupa ia pada janjinya kepada Tiat
Hui Liong. Dengan tiba-tiba ia mencelat bangun sambil
mementangkan kedua tangannya, setelah mana, ia lompat
maju! Menyusul mencelatnya Uy Yap itu, Tiat Hui Liong juga
bergerak bagaikan terbang untuk segera merintangi imam itu.
hingga tubuh mereka berbenturan sampai menerbitkan suara
keras, keduanya sama-sama terpental mundur.
"Uy Yap Toojin, janganlah kau merendahkan derajat
dengan mengingkari janjimu!" berteriak Hui
Liong sekuatnya bagaikan geramnya harimau.
Uy Yap berkuatir sangat untuk keponakan muridnya,
sampai ia tak gubris Hui Liong.
"It Hang, kau roboh?" dia tanya keponakan muridnya. Dia
menyangka murid itu terluka.
It Hang tidak lantas dapat menjawab paman gurunya itu, ia
bingung sekali.
"Suheng, mari kita pergi!" Ang In Toojin ajak kakak
seperguruannya itu.
Hui Liong masih gusar, ia hendak menyerang Uy Yap ketika
ia dengar suara anak pungutnya: "Ayah, anakmu bertempur
seri dengan mereka itu, sudahlah, bikin habis saja perhitungan
ini!..." kata Giok Lo Sat sambil melendotkan tubuhnya pada
meja kayu wangi.
"Apa yang kau hendak artikan?" Hui Liong tanya, karena ia
tidak mengerti.
"Aku berterima kasih kepada Ang In Tootiang yang telah
sudi mengalah terhadap aku." sahut anak pungut itu, "akan
tetapi setelah majunya murid mereka dari tingkat kedua, aku
telah dikalahkan. Maka aku anggap kita seri, tidak ada yang
kalah, tidak ada yang menang..."
"Jikalau begitu, perkara boleh dibikin habis," kata sang
ayah angkat kemudian. "Uy Yap Tootiang, kalian mempunyai
urusan penting sekali, aku tidak dapat menahan kalian lebih
lama pula!"
Jago tua ini segera kembali ke kursinya, untuk jatuhkan diri
berduduk. "Mari minum teh!" ia mengundang. Tapi itu adalah cara
menyilahkan orang pulang...
Ang In Toojin tertawa tidak bisa, menangispun tak dapat.
Ia diam saja. Uy Yap anggap tiada faedahnya untuk melanjutkan
pertempuran, ia memaksakan bersenyum. Ia lantas rangkap
kedua tangannya pada tuan rumah untuk pamitan.
"Di depan arwah Cie Yang Tootiang, tolong haturkan
maafku," Tiat Hui Liong mohon.
"Pasti aku tak akan lupakan itu!" sahutnya Uy Yap Toojin.
It Hang pun menuruti sikap gurunya, ia memberi hormat
untuk pamitan. Ia lihat Giok Lo Sat mengawasi padanya
dengan wajah berseri dan tertawa, ia jengah untuk balas
mengawasi, buru-buru ia memalingkan muka untuk segera
berlalu. Selagi meninggalkan Tiat keeCung, wajahnya Ang In Toojin
bermuram durja dengan terus membungkam mulut. Terang ia
sangat malu dan mendongkol.
Uy Yap Toojin jalan berendeng bersama It Hang, ia sengaja
jalan ketinggalan berdua It Hang di belakang adik
seperguruannya itu.
"Ilmu silat pedangnya Giok Lo Sat itu benar-benar luar
biasa. namanya yang tersohor bukannya kosong belaka," dia kata
dengan perlahan pada muridnya, "tetapi kenapa dia dengan
mudah dapat ditikam lengannya olehmu?"
"Itulah karena aku mengandal bantuannya samsusiok."
jawabnya, lt Hang.
Paman guru itu tertawa.
"Walaupun aku sendiri masih belum tentu dapat
mengalahkan padanya." dia kata.
It Hang tahu, bahwa paman gurunya tidak percaya
kepadanya, mukanya menjadi merah.
"Aku lihat dia sebenarnya mengasihi kau..." kata pula
paman guru itu.
Melihat paman gurunya tetap tidak mempercayainya,
terpaksa It Hang berkata terus terang tentang perkenalannya
kepada nona yang kosen itu, sedikitpun tidak ada bagian yang
ia umpetkan. Mengetahui si nona tempur enam "iblis" di atas gunung
Hoasan, diam-diam Uy Yap Toojin mengaguminya. Dan
mengenai asal-usulnya nona itu, ia menjadi heran. Lama ia
diam berpikir, baru ia manggut-manggut.
"Kalau begitu, nyatalah dia bukannya berandal biasa," pikir
imam ini. "Dia tersesat tetapi perbuatannya tidak terlalu dapat
dicela." Lalu ia berkata: "Kiranya dia disusui biang srigala, pantas
tabiatnya berandalan. Tetapi kau seorang keturunan
sasterawan, tidak selayaknya kau bergaul rapat kepadanya."
"Harap susiok ketahui, dengan dia sebenarnya aku tidak
punya perhubungan pribadi," It Hang jelaskan pada paman
guru itu. "Mudah-mudahan demikian adanya." Uy Yap tertawa. "Kau
kini telah diangkat sebagai Ciangbunjin, apabila kau membawa
kisah, kau bisa ditertawai saudara-saudara seperguruanmu."
Mendengar itu, It Hang pikir: "Baik aku tidak mau jadi
Ciangbunjin!"
Perjalanan dilanjutkan di sepanjang sungai Honghoo,
melewati Tongkwan, masuk ke propinsi Hoolam, lalu dari
Lamyang memasuki propinsi Ouwpak. Di sepanjang jalan
mereka tidak kesepian. It Hang tidak merasa lega hati. Ia
dapat kesan bahwa Ang In Toojin bersama Gie Sin Seng dan
lain-lainnya bersikap bermusuhan terhadap Giok Lo Sat,
kecuali Uy Yap Toojin. Tetapi Uy Yap Toojin memandangnya
Giok Lo Sat sebagai golongan sesat.
"Sayang," It Hang mengeluh. Ia telah peroleh pengalaman
bagaimana sukarnya untuk dapat melenyapkan salah
mengerti. Dua puluh hari lebih telah berselang, mereka telah lewati
pelabuhan Lauwhookauw. Dari situ mereka sudah lantas bisa
lihat gunung Butong san di mana sudah berkumpul muridmurid
Butong pay-murid-imam dan muridbiasa.
Mereka itu menyambut dengan gembira. Di antara
merekapun turut serta Pek Sek Toojin dan Ceng Soo Toojin.
Sehabisnya menjalankan kehormatan, ItHang diantar Pek
Sek Toojin menengoki jenazah gurunya. Dua bulan lebih sejak
wafatnya imam ini, untuk menantikan pulangnya It Hang,
mayatnya belum dikubur. Karena ini, mayat itu telah
dipakaikan obat pembalsem agar tubuhnya tidak menjadi
rusak. Melihat roman gurunya, It Hang menangis sampai roboh
pingsan, ketika ia sadar kemudian, ia dapatkan semua paman
gurunya serta saudara-saudara seperguruannya dari tingkat
kedua, yaitu dua belas murid kepala dari cabang-cabang
Butong pay Selatan dan Utara, sudah berdiri berbaris
mendampingi padanya, berdiri diam dengan roman sungguhsungguh.
Segeralah terdengar suaranya Uy Yap Toojin: "It Hang! Di
masa hidupnya, gurumu sangat sayang kepadamu, semua
kepandaiannya dia telah wariskan kepadamu, hingga kau
selanjutnya tinggal membutuhkan latihan dan pengalaman
saja Dengan perbuatannya itu, sudah tentu gurumu
mengharap supaya kau dapat mewarisi juga usahanya, guna
memancarkan sinarnya Butong pay kita. Tahukah kau
keinginan gurumu itu?"
It Hang mengangguk.
"Meskipun tubuh teeCu akan hancur lebur, itu masih tidak
cukup untuk membalas budinya suhu," ia nyatakan. Ia lalu
berlutut. Uy Yap Toojin memimpin bangun.
"Sebentar sore kau mesti berkeramas membersihkan diri
dan pantang juga," paman guru itu kata. "Besok kita akan
jalankan upacara besar, supaya selanjutnya kau dapat pegang
pimpinan. Mengenai pelbagai cabang kita, di mana yang kau
kurang jelas, sekarang kau boleh tanyakan keterangannya."
Akan tetapi It Hang berkata: "Dengan sesungguhnya teeCu
tidak sanggup untuk menjadi Ciangbunjin, tidak berani teeCu
menerimanya."
"Kenapa begitu?" Uy Yap Toojin tanya, ia heran.
"TeeCu masih sangat muda dan pengetahuanku cetek
sekali, bagaimana teeCu sanggup memimpin semua saudara
seperguruanku?" It Hang menjawabnya.
"Untuk memancarkan dan meluaskan kaum kita, kita
justeru membutuhkan kaum muda," berkata Uy Yap. "Adakah
kau mempunyai semangat untuk bertanggung jawab. Ataukah
kau hendak timpakan itu kepada kami beberapa tua bangka?"
It Hang berpaling kepada Gie Sin
Seng, siapa sebaliknya sudah lantas ajak empat murid
kepala dari pelbagai cabang menghampiri padanya, untuk
memberi hormat dan dia berkata: "To Hiantee, jangan kau
menolak lagi. Siapa berani menentangi pesan ketua
almarhum" Kau harus ingat, di sini ada empat susiok yang
bisa membantu padamu."
Sin Seng duga lt Hang kuatir lain-lain saudara seperguruan
tidak puas akan pengangkatan itu, maka ia mengucap
demikian, akan tetapi nyata dugaannya itu keliru.
"It Hang, kau harus ingat pengharapannya gurumu
almarhum," Pek Sek Toojin pun bantu membujuki.
It Hang mengawasi ke kedua belas saudara
seperguruannya, ia dapat kenyataan di antara mereka
memang tidak ada yang cocok, maka kalau ia pujikan satu di
antaranya, pasti akan ditolak.
"Gurumu tidak dapat lebih lama pula menantikan kau!" Uy
Yap Toojin mendesak karena ia lihat orang masih tetap raguragu.
"Jikalau kau tidak mau terima pengangkatan, gurumu
pasti belunvdapat dikubur. Puaskah hatimu apabila sampai
terjadi demikian macam?"
It Hang lantas saja menangis.
"Semua susiok dan saudara-saudara..." katanya, "teeCu
telah terima budinya kaum kita, apapula sekarang ada pesan
dari suhu, sudah selayaknya teeCu terima pengangkatan ini.
Akan tetapi teeCu mempunyai kesulitan sendiri. Umpama
teeCu harus menerimanya juga, itu mesti ditunda sesudah tiga
tahun." Uy Yap Toojin heran. "Kenapa begitu?" ia tanya. "Itulah
disebabkan karena difitnah, aku sekarang menjadi pemburon
pemerintah." It Hang terangkan. "Sebelum fitnahan itu dapat
dibikin terang, bagaimana teeCu dapat menjadi ketua?" Uy
Yap terkejut. "Mari!" ia mengajak. Maka mereka pergi ke lain
ruang di mana si imam tanya jelas keterangan lebih jauh dari
keponakan murid ini.
Selama dalam perjalanan pulang, di mana ada banyak
saudaranya, It" Hang tidak berani sembarang omong. Ia tahu,
bahwa bencana sedang mengancam pemerintah. Tapi di sini
dengan hanya berada berdua saja. ia berikan keterangannya.
Ia beber rahasia niatnya bangsa Boan melakukan penyerbuan,
untuk mana mereka itu sekarang lagi beli-belikan penghianat
untuk mewujudkan maksud jahatnya itu.
Mendengar itu, Uy Yap Toojin terperanjat, hingga ia
berdiam sekian lama.
"Habis, apakah Giok Lo Sat ketahui hal itu?" tanya dia.
"Ya, dia ketahui itu," It Hang jawab. "Dalam pertempuran
di atas Hoasan, dua di antara enam iblis itu adalah penghianat
yang menjadi perkakasnya bangsa Boan."
"Giok Lo Sat adalah seorang penjahat besar dari Rimba
Hijau," kata pula Uy Yap. "Dan yang lainnya adalah
penghianat yang hendak merobohkan negara, bukankah
mereka itu orang-orang sekaum?"
"Sebaliknya, susiok," kata It Hang. "Giok Lo Sat justeru
sangat benci rombongan penghianat itu " " membencinya
sampai ke tulang-tulangnya! Bukan melainkan Giok Lo Sat,
juga Ong Ciauw Hie benci kawanan manusia hina dina itu! Di
matanya kaum Rimba Hijau, raja boleh dirobohkan untuk
digantinya, akan tetapi negara tak dapat dibiarkan termusnah
di tangan bangsa lain." Kembali Uy Yap berdiam. "Sebenarnya
kita dari kaum Butong pay tidak biasanya mencampuri urusan
pemerintahan," kata ia kemudian, "akan tetapi urusan ada
mengenai keutuhan negara, kau sendiripun sedang terfitnah,
maka urusan ini kau harus membereskannya Apakah kau niat
berangkat ke kota raja begitu lekas gurumu dimakamkan?" It
Hang manggut. "Benar," jawabnya. "TeeCu ingin menghadap
putera mahkota. Kawanan penjahat itu sudah mencelakai
utusan-utusan raja, kejahatannya itu mereka timpahkan


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku, maka perlu aku menjelaskannya."
"Hal ini tidak perlu kau beritahukan saudara-saudara
seperguruanmu, kecuali paman guru-gurumu," Uy Yap kata.
"TeeCu juga memikir demikian," berkata It Hang. "Sama
sekali bukannya teeCu tidak mempercayai saudara-saudara
seperguruan sendiri tetapi teeCu anggap ada bahaya rahasia
bocor apabila orang yang mengetahuinya terlalu banyak."
"Aku mengerti, tidak usah kau menjelaskannya lagi." Uy
Yap kata. "Sekarang kau tunggu di kamar semedhi, nanti aku
panggil ketiga susiokmu itu."
It Hang menurut, ia pergi ke kamar semedhi untuk
menunggunya. Uy Yap muncul tidak lama bersama Ang In, Pek Sek dan
Ceng So, ketiga imam adik seperguruannya itu.
It Hang segera berikan keterangannya, sesudah mana,
mereka itu lantas mengadakan perundingan.
"Kalau demikian duduknya hal," menyatakan Pek Sek
Toojin, "baiklah It Hang tunda dahulu pengangkatannya
sebagai ketua, kami angkat suheng selaku pemangku jabatan
itu untuk tiga tahun."
"Usiaku sudah lanjut, kesehatanku makin hari makin
berkurang, bagaimana aku dapat menjalankan tugas itu?"
menyatakan Uy Yap.
"Hanya untuk selama tiga tahun, suheng." Pek Sek
mendesak. "Jikalau bukan suheng, siapa lagi yang dapat
melakukannya?"
Ang In dan Ceng So juga setujui Pek Sek, mereka bantu
membujuki. "Baiklah," kata Uy Yap Toojin setelah didesak.
Sampai di situ, empat tetua itu pergi keluar untuk menemui
dua belas murid kepala dari pelbagai cabang itu, untuk
menjelaskan mereka halnya It Hang terfitnah, perlulah ketua
muda itu diberi ketika untuk membersihkan diri, karenanya,
upacara pengangkatan ketua terpaksa harus ditunda dahulu.
Semua murid kepala itu dapat penjelasan, malah mereka
bersimpati kepada bakal ketuanya itu. Dengan tidak sangsisangsi
mereka segera berikan kesetujuannya.
Setelah persoalan ketua beres, mereka lalu repot membuat
persediaan untuk pemakaman jenazah Cie Yang Toojin, yang
dilakukannya selang beberapa hari kemudian, maka setelah
tfu, pelbagai murid lantas bubaran pulang. Cuma It Hang
seorang yang tidak segera berangkat
Pada suatu malam. Uy Yap Toojin panggil keponakan
muridnya ke dalam kamarnya.
"Semasa ayahmu di kota raja, apakah kau telah
ditunangkan?" tanyanya tiba-tiba paman guru ini.
"Tidak," menjawab It Hang dengan sebenarnya. Tapi dalam
hatinya ia heran, kenapa paman guru ini menanya demikian.
"Usiamu tidak muda lagi, seharusnya kau sudah
bertunangan." kata pula paman guru itu.
"Sekarang teeCu sedang berkabung, tidak pantas teeCu
membicarakan soal perjodohan?" sahut keponakan murid ini.
Uy Yap Toojin tertawa.
"Aku bukannya orang turunan berpangkat, sedikitnya aku
tahu juga tentang adat kesopanan." berkata dia. "Memang,
siapa sedang berkabung, dia mesti menanti tiga tahun, baru
dia dapat menikah, akan tetapi membicarakan hal perjodohan
tidak menjadi halangan"
It Hang terkejut.
"Sekarang sedikitpun teeCu tidak memikirkan hal
perjodohan." kata dia dengan lekas
Uy Yap berdiam sebentar, lantas ia tertawa.
"Orang semacam kau seharusnya mempunyai pasangan
yang cantik dan bijaksana," katanya pula. "Giok Lo Sat liCay
ilmu silatnya, sayang tak dapat dia lenyapkan sifat banditnya,
maka aku hendak menasihatkan kau supaya tidak jatuh hati
kepadanya."
"Soal itupun belum pernah teeCu pikir." It Hang kata.
"Berulang kali susiok sebut-sebut hal ini, mungkinkah susiok
tidak mempercayai teeCu?"
"Kau adalah orang kami yang dibuat andalan, orang yang
bertanggung jawab, maka aku sangat kuatir kau nanti salah
jalan!" sang paman guru omong terus terang.
"Harap susiok tetapkan hati," kata It Hang.
"Syukur!" sahut paman guru itu. "Meski demikian, apabila
ada satu nona yang cocok, aku nasihatkan kau mengikat
jodoh, supaya hatimu tidak lagi terpengaruh."
Makin lama It Hang makin heran mengenai sikapnya paman
guru ini. tanpa merasa, hatinya bercekat. Memang belum
pernah ia pikir untuk nikah Giok Lo Sat. akan tetapi entah
kenapa, setelah lihat nona itu, hatinya bagaikan terikat...
adatnya Giok Lo Sat yang keras ada kalanya membuat ia jeri.
malah pun terkadang ia sebal, akan tetapi wajahnya si nona
seperti sudah tercetak dalam hatinya. Sekarang, mendengar
kata-kata paman gurunya ini. ia mendapat kesan paman guru
itu telah menjadi comblang bagi dirinya untuk dijodohkan
dengan lain orang. Maka iajadi gelisah sendirinya.
"Benar-benar teeCu tidak memikir untuk menikah semuda
ini!" katanya sambil menggoyang-goyangkan tangan.
Uy Yap pandang keponakan murid itu. ia tertawa dalam
hatinya tetapipun ia merasa kuatir. Ia tidak percaya penuh
akan kata-katanya pemuda ini bahwa dia tidak pernah
memikiri Giok Lo Sat.
"Tetapi baiklah aku tidak desak terus padanya" pikirnya
kemudian. "Baik aku tunggu sampai sudah ada nona yang
tepat, nanti aku amprokkan mereka, supaya mereka lama
bergaul rapat, mustahil hatinya takkan berubah..."
Lalu ia bersenyum sendirinya. Dan ia tidak bicara lebih jauh
pula. It Hang lihat perubahan sikap paman gurunya itu, baru ia
merasa hatinya lega.
"Apakah susiok ada pesan lainnya lagi?" tanya It Hang
sambil berbangkit, sikapnya tetap menghormat. "TeeCu niat
berangkat besok."
Niat semula dari pemuda ini adalah untuk tunggu sampai
harian "samCit" (dua puluh satu hari), akan tetapi mendengar
kata-kata paman gurunya itu, ia lantas ubah waktu
keberangkatannya itu. Ia anggap, lebih cepat berangkat lebih
baik. "Kau duduklah dahulu!" paman guru itu berkata sambil
tertawa. Mau tidak mau keponakan murid ini terpaksa duduk pula.
"Kau adalah murid yang bakal jadi Ciangbunjin kita.
sebenarnya hatiku tidak tenteram membiarkan kau berangkat
seorang diri ke kota raja." kata Uy Yap dengan perlahan.
It Hang ingat desakannya I n Yan Peng dan Kim Cian Giam.
ia anggap kekuatirannya paman guru ini beralasan. Maka ia
diam saja. Uy Yap Toojin pun berkata pula: "Maka itu aku pikir hendak
minta sususiokmu menemani kau." (Sususiok = paman guru
yang ke-4). Sususiok itu adalah Pek Sek Toojin, karena di dalam Butong
Ngoloo -- Lima Tetua dari Butong pay -- dia adalah anggota
yang ke empat, usianyapun paling muda, baru berumur lima
puluh. Dia menjadi toosu " imam -- baru pada sepuluh tahun
yang silam. It Hang tahu paman guru yang ke empat ini asal orang she
Ho, dia menjadi imam karena isterinya meninggal dunia dia
pilih Butong san sebagai tempat sucikan dirinya.
"Sejak dia piebu dengan Tiat Hui Liong," kata Uy Yap
mengenai adik seperguruannya itu, dia rajin sekali melatih diri,
hingga dia sekarang beda jauh daripada dulu, maka dengan
bergaul rapat kepadanya, kau pasti akan peroleh banyak
kebaikan."
"Dengan ada sususiok sebagai kawan seperjalanan, itulah
bagus," kata It Hang. "Hanya dengan demikian aku akan
memberabekan sususiok..."
"Mengenai paman gurumu, kau tak usah berlaku sungkan."
kata Uy Yap sambil tertawa. Terus ia berbangkit. "Sekarang
pergilah kau beristirahat," dia menambahkan.
It Hang menurut. Ia girang mendapatkan Pek Sek Toojin
sebagai kawan seperjalanan. Memang biasanya ia dan Pek Sek
Toojin bergaul lebih rapat daripada lain-lain paman gurunya.
Keesokan harinya It Hang lantas pamitan dari ketiga paman
gurunya. Sebelumnya ia lebih dahulu sambangi kuburan
gurunya untuk pamitan. Kemudian barulah bersama-sama Pek
Sek Toojin ia turun gunung.
Setelah jalan sepuluh hari lebih keponakan murid dan
paman guru ini sudah memasuki wilayah propinsi Hoolam
bagian Timur. "It Hang, bagaimana kalau kita pergi ke gunung Siongsan?"
tiba-tiba Pek Sek Toojin tanya keponakan muridnya itu selagi
mereka berjalan.
It Hang bertujuan ke Pakkhia, ia heran untuk
kegembiraannya paman guru ini.
"Ada keperluan apakah maka susiok niat pesiar ke gunung
Siongsan?" tanyanya.
"Siongsan adalah salah satu dari lima gunung terbesar,"
sahut paman guru itu sambil tertawa. "Gunung yang demikian
besar dan kenamaan, akan sayanglah kita lewatkan begitu
saja!" "TeeCu anggap masih belum terlambat apabila kita
mengunjunginya lain waktu setelah selesai tugasku," kata
keponakan murid itu.
"Terlambat datang di kota raja beberapa hari tidak ada
artinya" kata
Pek Sek. "Aku tidak hanya hendak pesiar, aku sekalian ingin
mengunjungi satu orang..."
"Jikalau demikian, teeCu suka mengiringinya," kata It Hang,
tapi dalam hatinya ia menggerutu bahwa paman guru ini tidak
mau menjelaskannya.
Siongsan adalah nama lengkap untuk kedua gunung
Thaysit san dan Siauwsit san digabung satu. Kedua gunung itu
berdiri berhadapan, jarak di tengah-tengahnya ada kira-kira
sepuluh lie lebih. Di utaranya Siauwsit san, di bawah puncak
Ngoleng hong, adalah tempat keletakannya kuil Siauwlim sie
yang kesohor, pusatnya ilmu silat cabang Siauwlim pay.
"Apakah susiok hendak bikin kunjungan kehormatan ke
Siauwlim sie?" It Hang tanya paman gurunya.
"Kita kaum imam beda daripada pendeta, untuk apa aku
unjuk kehormatan?" sahut sang paman guru sambil tertawa.
"Aku pun tidak bersahabat kepada ketuanya Siauwlim sie. Kita
pesiar ke Thaysit san saja, kalau masih ada tempo, baru kita
pergi juga ke Siauwsit san."
Jawaban ini membuat heran pemuda kita. Kaum persilatan
yang manapun, apabila mengunjungi gunung Siongsan, tidak
ada yang tidak lebih dahulu pergi ke Siauwsit san. Mungkin
paman guru ini hendak tengok sahabatnya yang tidak
mengerti ilmu silat.
Untuk mendaki gunung, paman guru dan keponakan murid
ini bangun dan berangkat pagi-pagi. matahari baru mulai
muncul, kabut memenuhi seluruh gunung, hingga
pemandangan sangat indah tampaknya. Sesampainya mereka
di tengah gunung, barulah halimun mulai tipis, Batara Surya
tampak semakin nyata. Terdengar suara bercicanya burungburung,
harum semerbaknya bunga-bunga menyambar
hidung. "Sungguh indah pemandangan alam di sini!" It Hang
memuji. Mereka berhenti sebentar, untuk makan rangsum kering,
air selokan gunung yang jernih sebagai air minumnya, sehabis
itu, mereka melanjutkan mendaki.
Di Siongsan ini terdapat banyak pohon pek yang tua-tua.
Pek Sek dan It Hangjalan di antara pohon-pohon pek itu,
sampai mereka lihat sebuah yang sangat besar dan tinggi,
besarnya kira-kira dua pelukan orang. It Hang menjadi kagum
sekali. "Orang-orang yang mengunjungi Thaysit san memang
sangat tertarik kepada pohon ini," Pek Sek terangkan.
"Katanya ketika kaisar Han Bu Tee mengunjungi Siongsan. dia
telah menganugerahinya sebagai Tay Ciangkun, maka
selanjutnya pengunjung-pengunjung lainnya menamakan
pohon pek ini menjadi Ciangkun Pek. Andaikata cerita dahulu
itu benar, maka usianya pohon pek ini tentunya sudah dua
ribu tahun..." (Tay Ciangkun=Jenderal Besar. Ciangkun Pek =
Pohon Pek Jenderal).
It Hang pandang pohon pek istimewa itu, yang cabangnya
banyak dan lebat daunnya, tanpa merasa ia tertawa
sendirinya. Ia kata: "Manusia hidup tak lebih daripada seratus
tahun, dibanding dengan pohon ini, manusia adalah bayi
belaka! Maka itu, kenapa manusia mesti perebuti harta dan
nama besar sehingga mempersukar diri sendiri"..."
Selagi It Hang mengucap begitu. Pek Sek tarik tangannya.
"Kau dengar!" kata paman guru ini dengan perlahan.
"Seperti ada orang sedang jalan mendaki..."
It Hang dan paman guru itu segera bersembunyi di
belakang pohon pek, dari situ keduanya memasang mata ke
arah bawah, dari mana terlihat tiga orang asyik mendatangi
dengan berpakaian seragam pembesar negeri, malah satu di
antaranya, pemuda kita segera kenali sebagai Kimiewie Ciehui
Cio Ho, itu komandan dari pasukan pahlawan (pengawal)
Kimiewie. Ia jadi heran.
"Kenapa diapun ada punya kegembiraan akan pesiar ke
sini?" It Hang menduga-duga. Tapi ia tak dapat menerka
lama-lama, karena ia rasakan tangannya sang paman guru
menyekal tangannya untuk ditarik, dan ia rasakan tangan
pamannya itu sedikit gemetar.
Ketika itu angin halus menghembus ke arah mereka,
maka mereka dapat dengar pembicaraan orang-orang yang
mendatangi itu.
"Lie Tayjin," kata Cio Ho, "kimCee telah diantar ke kantor
tokbu, dengan begitu tanggungjawab kita telah jadi enteng
bukan main."
Orang yang disebut Lie Tayjin itu menyahut: "Putera
mahkota segera bakal naik atas tahta kerajaan, aku percaya
In Yang Peng dan kavvan-kawannya tidak akan berani
mengganggu kimCee pula."
It Hang segera duga, orang sedang asyik membicarakan
halnya dua kimCee atau utusan raja. kedua kimCee she Ciu
dan Lie. Rupanya kedua kimCee itu sudah lolos dari ancaman


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bencana. Lalu terdengar orang yang ketiga berkata: "Lie Tayjin,
malam ini pasti kami bakal tenggak arak kegirangan!"
Lie Tayjin bersenyum tetapi ia tidak kata apa-apa.
It Hang menoleh kepada paman gurunya, ia terperanjat.
Wajah paman ini tiba-tiba berubah. Tadinya ia hendak
bertanya tapi sang paman guru berikan tanda dengan
goyangan tangan untuk ia berdiam.
Sementara itu ketiga orang itu sudah mendekati pohon pek
besar. "Sukar dicari pohon pek demikian tua tapi masih tetap
segar," kata Cio Ho. "Mari kita singgah di bawah pohon."
Lie Tayjin itu menghela napas.
"Wanita cantik sejak dahulu diumpamakan panglima
kenamaan, orang inginkan dia untuk selamanya tidak menjadi
tua dan ubanan," katanya, "tidak demikian dengan pohon ini
yang dinamakan Thay Ciangkun. usianya sudah dua ribu
tahun, namun ia tetap tidak berubah, sungguh aku kagum..."
"Hai, orang ini paham ilmu sastera." pikir It Hang.
Selagi tiga orang itu mulai datang dekat, Pek Sek hendak
lompat keluar dari tempat sembunyinya, akan tetapi ia baru
berpikir, ia segera dengar suara tertawa bercampur omongan,
yang terbawa angin, datangnya dari bawah gunung. Itulah
suaranya orang perempuan. Maka ia urungkan niatnya.
Tiga orang itupun segera berhenti bicara.
Suara tertawa dan bicara itu datangnya dari satu nona
umur tujuh atau delapan belas tahun, yang mendatangi sambil
menuntun satu nona kecil yang umurnya kira-kira sepuluh
tahun lebih, yang jalannya sambil berjingkrak-jingkrak.
"Lihat, enCie, ada orang!" bocah itu kata. ketika ia tampak
Cio Ho serta dua kawannya. "Suruhlah mereka menyingkir,
supaya kita bisa main petak di sini!"
Ketika itu. tangannya Pek Sek Tojin kembali bergemetar.
Orang yang disebut Lie Tayjin itu berumur empat puluh
lebih, romannya gagah. Dia bertindak memapaki kedua nona
itu, terutama si nona cilik.
"Eh, nona kecil, apa namamu?" demikian dia tanya. "Mana
ibumu?" "Kau tidak perlu tahu!" sahut bocah itu, tapi ia terus
menambahkan: "Aku tidak punya ibu, ada juga bibiku."
Si nona pandang Lie Tayjin ini, lalu ia kata pada kawannya:
"Adik Hoa, jangan ladeni mereka! Mari kita pulang!"
"EnCie, apakah mereka itu orang-orang berpangkat?" tanya
si nona cilik. "Bibi kata kepadaku bahwa semua pembesar
bukannya orang baik-baik! Baiklah, enCie, mari kita pulang,
jangan kita ladeni mereka!"
Nona itu benar-benar tuntun kawannya untuk berlalu.
Lie Tayjin itu nampaknya kesusu.
"Eh, kami bukan orang-orang jahat!" serunya "Ajaklah aku
pergi menemui bibimu itu!"
"Bibiku tak dapat menemukan kalian!" jawabnya nona cilik
itu. Orang yang ketiga seperti hendak bermuka-muka kepada
Lie Tayjin ini, mendadak dia lompat ke kedua nona itu dan
menghalau di depan mereka, terus dia tertawa dan berkata
dengan ceriwis: "Nona kecil yang manis, mengapa kau tidak
mau perdulikan kami" Kami bisa ajak kau pesiar di dalam
kota, di sana kau dapat bermain dengan gembira!"
Ia lantas ulurkan tangannya hendak meraba mukanya nona
cilik itu. "Hai, Ouw, jangan main-main!" si Lie Tayjin menyerukan.
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan, tangannya si nona
sudah melayang sebab tangan itu telah mampir di kupingnya
orang ceriwis itu dengan perdengarkan suara "plok!"
Hampir It Hang tertawa bahna lucunya penglihatan itu.
"Tentulah opsir ini sudah biasa berbuat ceriwis terhadap
orang perempuan," ia berpikir. "Sekarang dia dapat bagian
dari nona ini, itulah pantas!"
Opsir itu gusar karena dapat persenan tabokan itu! Dia
benar orang she Ouw dan namanya Kok Cu. Pangkatnya lebih
rendah daripada Lie Tayjin itu, tetapi mereka sama bekerja
dalam barisan Kimiewie. Dia memang gemar minum susu
macan dan main perempuan. Ketika tadi dia ditegur
seatasannya, dia tidak puas, dalam hatinya dia menggerutu:
"Hm, kau berpura-pura alim!" Gaplokan kepada klipingnya itu
mendatangkan rasa sakit. Dia segera gerakan kedua
tangannya dan melompat ke depan menubruk nona cilik itu.
Si nona tarik minggir nona cilik itu, terus dia siap
menyambuti sambaran tangan opsir ceriwis itu. Dia pasang
tangannya satu tengkurap dan lainnya celentang.
Kok Cu gagal, kedua tangannya membentur tangan si nona
sampai ia terdorong mundur tiga tindak ke belakang.
"He. apakah kau berniat berkelahi?" tegurnya si nona.
Kok Cu bertambah gusar. Dia adalah huCiehui --komandan muda --- dari Kimiewie, murid Kunlun pay,
namanya terkenal juga dalam dunia Rimba Persilatan, tapi
sekarang dia tak dapat lolos dari gaplokan satu nona, juga
kena ditolak hampir roboh, dia bukan main malunya.
"Ha, kau hendak melayani aku berkelahi?" dia membentak.
Dia malu akan hilang muka.
"Bukannya aku yang hendak tempur kau, tetapi kau yang
hendak serang aku!" si nona baliki.
"Aku tidak perduli siapa!" Kok Cu membentak pula.
"Sekarang aku tidak dapat menyudahkannya begitu saja!"
Tadinya Lie Tayjin niat mencegah, tapi segera ia ingin
menyaksikan kepandaiannya si nona untuk ketahui nona itu
muridnya orang yang ia maksudkan atau bukan. Maka ia terus
berkata: "Kalau kalian mau berkelahi, mari di sinilah! Di sini
tempatnya lapang!"
Si nona nampaknya tidak senang.
"Walaupun kalian bertiga maju semuanya, aku tidak takut!"
katanya dengan jumawa. Ia terus bawa si nona cilik ke sebuah
batu besar tidak jauh dari situ. "Kau duduk di sini menonton!
Jangan kau pergi ke mana-mana!"
Nona cilik itu tertawa, ia tepuk-tepuk tangan dengan riang
gembira. "Bagus! Aku diam menonton saja!" serunya. "EnCie. kau
harus dapat robohkan mereka!"
Si nona tidak menjawab, dia hanya lompat mencelat ke
depan pohon pek Tay Ciangkun itu di mana terdapat sebidang
tempat yang agak besar juga "Hayo, kau kemari!" ia
memanggil seraya melambaikan tangannya.
Mukanya Ouw Kok Cu menjadi merah karena sangat
murkanya, tanpa mengucap sepatah kata ia terima tantangan
itu. Dengan satu lompatan pesat ia hampiri si nona. Nyata
ilmu enteng tubuhnya dia kalah daripada si nona.
Cio Ho segera memperingatkan: "Saudara Ouw. jangan
sembrono! Nona itu adalah seorang ahli!"
Tapi Kok Cu tidak memperdulikannya.
"Sambutlah!" serunya, begitu lekas ia datang dekat kepada
si nona tangan kanannya membarengi menyambar muka
orang. Nona itu mundur sedikit, tapi berbareng dan sebat ia
membabat lengan orang.
"Bagus!" seru Kok Cu sambil menangkis dengan tangan
kirinya sedang tangan kanannya, sesudah ditarik pulang
sedikit diteruskan untuk menjambak muka si nona.
Itulah pukulan "Kimliongtamjiauw" atau "Naga emas ulur
cengkeramannya", salah satu jurus dari Liongheng Sippat sie"
(Delapan belas jurus jalan naga) dari Kunlun pay.
Tapi jambakan ini mengenai sasaran kosong. Nona itu
sudah berkelit sambil menangkis, akan dengan tangan
kanannya balas menyerang iga kiri orang ceriwis itu Kok Cu
mengelak dengan meringkas tubuh, ia dapat tolong diri.
Selagi lawan berkelit, tangan kirinya si nona sudah
menyambar pula ke dada.
Orang she Ouw itu terkejut, ia berdongko untuk terus
lompat mundur, tapi dia kalah sebat, pundaknya kena
tersambar juga hingga bersuara, dia terhuyung mundur dua
tindak. "Sungguh berbahaya..." keluhnya di dalam hati. Ia
bersyukur hanya terhajar pundaknya kalau dadanya, hebat
bukan main. Karena ini, ketika ia maju pula, tidak berani lagi
ia memandang enteng nona itu. Ia melanjutkan bersilat
dengan Liongheng Sippat sie itu, yang kemudian diubah
menjadi Hekhauw kun -- silat Harimau Hitam. Ia menjaga diri
berbareng menyerang, ia bisa mendesak. Maka kemudian,
walaupun si nona mahir ilmu enteng tubuhnya, ia jadi
seimbang kepandaiannya.
Sampai di situ, si nona juga mengubah caranya bertempur.
Sekarang ia berloncat-loncat dan berputaran di sekitar dirinya
Ouw Kok Cu, sewaktu-waktu ada lowongan, baru ia
menyerang. Repot juga pahlawan itu, yang kalah gesit ia tidak lagi
sempat menyerang, bahkan untuk menjaga diripun ia sudah
sibuk sekali. Tidak heran, beruntun dua kali, ia rasakan pula
tangannya si nona. Untung baginya kedua-duanya serangan
itu tidak berbahaya. Hanya sekarang seluruh tubuhnya telah
bermandikan peluh.
Si LieTayjin saksikan kawannya yang telah kewalahan itu.
"Saudara Cio, pergi kau gantikan saudara Ouw," katanya,
"Tapi jangan kau lukai nona itu."
Cio Ho sudah lantas maju. Dengan satu lompatan, ia sudah
lantas berada di tengah-tengah di antara dua orang yang
sedang bertempur itu, lalu ia gerakkan kedua tangannya ke
kiri dan kanan, dengan tipu silat "Tayma kwieCo" -"Membawa kuda pulang ke kandang". Tangan kirinya menarik
Kok Cu ke damping, tangan kanannya menolak mundur si
nona. Jikalau mereka bertempur satu sama satu, mungkin Cio Ho
tidak sanggup lawan si nona, tetapi ia mempunyai latihan
lweekang yang baik, maka kedua tangannya sangat kuat.
Kuda-kudanya pun kuat sekali, ia menginjak lantai sampai bisa
meninggalkan tapak kaki.
Nona itu tertolak mundur, tetapi ia berani dan adatnya
keras pula. "Bagus!" dia menantang. "Hayo, maju kalian semua!"
"Sudahlah, nona!" si Lie Tayjin berkata. "Kita ada orangorang
sendiri. Bukankah gurumu seorang she Ho?"
Nona itu heran hingga ia mengawasi dengan ternganga. Si
Lie Tayjin itu bersenyum. "Sekarang marilah antarkan aku
menemui bibimu!" kata pula si tayjin ini sambil bersenyum.
Suara itu baru saja berhenti, dari atas gunung kelihatan
seorang berlari-lari turun sambil berseru dengan bengis: "Kau
masih datang pula kemari! Apa kau mau?"
Nyata orang itu adalah satu niekouvv, pendeta perempuan,
dari usia kira-kira empat puluh.
Melihat pendeta itu, Lie Tayjin lari menghampirinya.
"Ah, mengapa kau cukur rambutmu menjadi niekouw?"
tanyanya. Niekouw itu tidak menjawab, ia hanya ulurkan tangan kiri
dan kanan kepada si nona dan nona cilik.
"Di dunia ini ada banyak orang busuk, mari kita pulang!"
katanya. Sedikitpun ia tidak perdulikan tayjin itu.
Si LieTayjin maju lagi beberapa tindak.
"Eh, apa kau tidak bisa dengar beberapa patah kata dari
aku?" dia tanya.
Niekouw itu ragu-ragu.
"Kau bicaralah!" katanya kemudian.
Tayjin itu tertawa.
"Bicara banyakan toh boleh?" katanya.
Niekouw itu mengawasi, mukanya keren.
Lie Tayjin itu lantas berkata: "Adik Hee, dulu aku salah,
maka sekarang aku datang untuk sambut kau pulang!"
"Hm!" mengejek si niekouw. "Ada sangkutan apa lagi di
antara kau dan aku" Kau pangku pangkatmu, aku tetap
menjadi pendeta! Jangan kau gerecoki aku!"
"Tahukah kair, bahwa putera mahkota akan segera menjadi
kaisar?" kata si Lie Tayjin itu.
"Itupun tidak ada hubungannya dengan aku!"
"Kau tahu aku adalah orang kepercayaannya putera
mahkota. Asal aku minta jabatan di luar kota raja, segera aku
akan jadi satu Congpeng, atau mungkin satu jenderal! Itu
waktu kau jadi nyonya berpangkat tinggi!" (Congpeng =
brigadir jenderal).
Mukanya niekouw itu merah padam dan pucat bergantian.
"Kau toh sudah punyakan nyonya besarmu sendiri!" dia
menegur. "Jikalau kau banyak omong lagi, jangan katakan aku
tidak memandang-mandang lagi!"
Lie Tayjin itu masih tertawa.
"Tidak heran kau gusar, katanya dengan tertawa-pula. "Kau
tidak tahu bahwa Ouwsie sudah menutup mata dengan belum
meninggalkan seorang anakpun. Rumahku tetap rumahmu..."
Niekouw itu tertawa dingin dan menunjukkan roman
bengis. "Pergi!" dia mengusir. "Pada empat belas tahun yang lalu,
karena kau temahai uang dan pangkat, kau telah sia-siakan
aku!..." "Itulah kehendak -ibuku..." berkata Lie Tayjin. "Aku tidak
bersangkut paut."
"Tetapi aku bukannya manusia rendah! Kau harus
bertanggung jawab!"
"Meski demikian, umpama kau tidak mau ingat lagi sebagai
suami isteri, kau harus ingat kepada si Sin, anak kita..." kata
Lie Tayjin itu.
Tubuhnya niekouw itu bergemetar. Ia sudah memutar
tubuh tapi ia balik kembali.
"Bagaimana dengan anak Sin itu?" tanyanya.
"Dia sedang tunggui ibunya pulang..."
Niekouw itu tertawa dingin, ia mengejek pula.
"Apakah kau sangka aku tidak tahu keadaan dalam
rumahmu?" katanya dengan bengis. "Si Sin tidak tahan
terhadap kebengisan ibu tirinya, dia sudah minggat! Apakah
kau ingin aku beritahukan di mana adanya si Sin sekarang?"
Mukanya si Lie Tayjin menjadi pucat.
"Bagus!" serunya, yang tiba-tiba lompat berjingkrak.
"Benar-benar kaulah yang telah sambut dia!"
"Nah, kau lihatlah!" niekouw itu mengejek dengan tertawa
dinginnya. "Satu kali saja aku mencoba, aku telah berhasil!
Kau telah diuji! Sebetulnya kau datang untuk anakmu itu! Hm,


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala pangkat nyonya besar" Fui! Lekas pergi!"
Akan tetapi si Lie Tayjin justeru maju merangsek.
"Aku ingin kau semua, ibu dan anak pulang bersama!"
serunya. Niekouw itu berdiri tegak, sikapnya sangat dingin.
"Si Sin tidak ada di sini!" katanya, setelah tayjin itu datang
mendekati. "Habis, di mana adanya dia?" tanya Lie Tayjin itu.
Niekouw itu tidak ambil pusing, ia diam saja.
"Kalau begitu, mari kau ikut aku pulang!" Lie Tayjin
berteriak. Masih niekouw itu diam saja.
"Bagus!" kata tayjin itu. "Aku tahu kau masih tetap
menyintai binatang she Liong itu! Tapi dia tidak cinta
padamu!" "Ngaco belo!" membentak si niekouw, dan tangannya
segera melayang. Satu tabokan mampir di pipinya si tayjin,
sama seperti Kok Cu tadi.
"Hai, perempuan galak!" bentaknya Lie Tayjin, ia ulurkan
tangannya hendak menjambak.
Niekouw itu berkelit dengan memutar tubuh, lalu ia balas
menyerang. Lie Tayjin mengempeskan perutnya untuk menghindarkan
diri dari serangan.
"Aku sudah mengalah," katanya, "tetapi kau tetap tidak
insyaf!" Benar-benar dia menyerang dua kali beruntun, dengan
tangan kiri dan kanan.
Serangan itu hebat, tetapi si niekouw dapat mengelakkan
dirinya. "Kau mau berlalu atau tidak?" bentaknya pendeta wanita
itu, sambil menyambuti serangan untuk digaet.
Lie Tayjin itu membebaskan tangannya.
"Suami isteri berkelahi, kita ditertawai orang!" kata dia.
Tapi si niekouw sedang murka, ia menyerang berulangulang,
hingga si Lie Tayjin mesti mundur terus.
Cio Ho tidak berani maju membantui.
Segera juga Lie Tayjin telah mundur sampai di pohon pek
yang besar itu!
Kembali si niekouw menyerang secara hebat, hingga Lie
Tayjin mesti berkelit mundur ke belakang pohon, tapi
berbareng dengan itu, Pek Sek Toojin lompat keluar dari
tempat sembunyinya sambii dengan tangan kirinya menekan
pundak si tayjin ini hingga tertolak ke samping.
Ketika niekouw itu tampak imam ini, dia kaget berbareng
girang. "Koko!" serunya. Nyata iapun heran. "Kapan kau datang?"
"Baru saja," sahut Pek Sek Toojin.
Memang, niekouw itu adalah adiknya imam dari Butong san
ini. Dia adalah orang she Ho namanya Kie Hee. Pada dua
puluh tahun yang lalu, semasa masih gadis, duakeluarga
meminang Kie Hee. Kedua keluarga itu sama tersohor dalam
kalangan Rimba Persilatan.
Keluarga yang pertama adalah Liong Siauw In dari Ngobie
pay. Dan keluarga yang kedua adalah Lie Tayjin ini, yang
sebenarnya bernama Lie Thian Yang. Kedua keluarga itupun
bersahabat kekal dengan keluarga Ho, hingga ayahnya Kie
Hee tidak dapat memilihnya, akhirnya dia serahkan pemilihan
kepadaputerinya sendiri.
Waktu itu Nona Ho baru berumur tujuh belas tahun. Ia lihat
Lie Thian Yang lebih cakap dan gagah romannya, ia pilih
pemuda she Lie itu. Segera ternyata Thian Yang berambekan
keras untuk peroleh pangkat. Maka setelah menikah, ia
berangkat ke kota raja. Ia mengerti ilmu silat dengan baik,
juga pandai surat, di kota raja ia dipenujui satu jenderal
pangkat Kiekie Ciangkun, yang hendak ambil ia sebagai
mantu. Thian Yang masih ingat kehormatan dirinya, ia tidak lantas
terima "lamaran" itu, ia kasih alasan hendak pulang dulu untuk
dapatkan perkenan dari orang tuanya. Sepulangnya ia telah
lantas ambil ketetapan. Yaitu ia anjurkan ibunya untuk
ceraikan isterinya itu.
Suami isteri itu sudah dikaruniai satu anak lelaki umur tiga
tahun. Pek SekToojin masih belum jadi imam, dia telah pergi
pada keluarga Lie untuk cegah perceraian itu. Ia
memperingatkan bahwa mereka sudah menikah banyak
tahun, sudah punya anak juga, janganlah mereka sampai
bercerai. Pihak Lie berkeras hendak bercerai juga, maka dalam
gusarnya Pek Sek lantas bikin putus perhubungan persanakan
dengan keluarga Lie itu.
Empat belas tahun telah berselang. Lie Thian Yang di
dalam kalangan Kimiewie telah menjadi Ciehui, komandan. Di
lain pihak, tentang Liong Siauw In tidak ada kabar ceritanya.
Kie Hee, setelah diceraikan, lalu pergi ke Thaysit san akan
ikut gurunya. Pada tujuh tahun yang lalu, gurunya itu
meninggal dunia. Karena berduka dan tawar hatinya, sedang
iapun sudah biasa dengan penghidupan tenteram di atas
gunung, Kie Hee lantas menggundulkan rambutnya menjadi
pendeta. Sampai terjadinya pertemuan hebat seperti di atas.
Lie Thian Yang terkejut melihat adanya Pek Sek Toojin, ia
ternganga sampai sekian lama, barulah sesaat kemudian ia
sadar akan dirinya.
"Toaku, kebetulan!" dia berseru. "Tolong kau bujuki Kie
Hee..." Imam itu nampaknya mendeluh. "Inilah urusan kau
berdua, aku tidak perlu membujuki isterimu," dia jawab. "Pada
empat belas tahun yang lalu, aku toTTsudah beri nasihat
padamu!" Lie Thian Yang malu sampai ia diam bengong bagaikan
patung. Sampai di situ, To It Hang juga lompat keluar.
Melihat anak muda ini, Cio Ho maju memberi hormat.
"To KongCu!" ia memanggil. Terus saja ia cekal tangannya
pemuda kita untuk diajak pergi dari depan suami isteri dan
ipar yang sedang bercidera urusan rumah tangga itu, yang
membuat ia likat.
"Cio Ciehui," kata It Hang, "sekarang aku adalah seorang
pemburon, apa kau hendak tangkap aku untuk dibawa ke kota
raja?" Cio Ho tertawa. "Putera mahkota justeru sedang
pikirkan kau!" katanya. "Sekarang kau bukan lagi pemburon!
Sekarang Sri Baginda sedang sakit, keadaannya berat, maka
sejak dua bulan yang lalu, putera mahkota sudah mewakilkan
pegang kendali pemerintahan. Juga Lie KimCee dan Ciu
KirnCee telah lolos dari bahaya, sekaburnya mereka dari
rumahmu, mereka menuju ke propinsi Hoolam di mana
mereka menumpang tinggal di rumahnya pembesar yang urus
penjagaan gili-gili sungai. Dari sana mereka kirim kabar
rahasia kepada putera mahkota, memberitahukan bahaya
yang telah mengancam mereka Putera mahkota sudah
memegang pemerintahan, dia lantas memberi perintah
mengurus perkara itu, maka giesu yang menyamar jadi
kimCee itu sudah lantas ditangkap dan dipecat. Pahlawan In
Yan Peng juga telah ditangkap, hingga perkara merembet
kepada Thaykam Gui Tiong Hian. Tapi Gui Tiong Hian yang
mengepalai TongCiang, pengaruhnya besar, putera mahkota
tidak ingin bentrok dengan dia selagi ia belum naik secara
resmi atas tahta, maka urusan itu ia simpan tunda dahulu.
Sekarang putera mahkota sedang mengumpulkan orang-orang
gagah dan pintar, terutama ia sangat pikirkan kau. Ketika aku
bersama Lie Ciehui diutus melindungi kedua kimCee pulang,
aku dipesan untuk sekalian dengar-dengar kabar perihal kau."
"Aku memang hendak pergi ke kota raja untuk menghadap
putera mahkota," It Hang memberitahukan. "Karena kalian
sedang melindungi kimCee, aku tidak mau jalan sama-sama
kalian." "Kalau nanti kita bertemu di kota raja, pun sama saja," Cio
Ho kata. Justeru itu mereka dengar bentakannya si niekouw: "Hayo
pergi!" Rupanya tidak ada perdamaian di antara suami isteri itu,
malah suami yang hendak rujuk itu telah membuat bekas
isterinya jadi gusar pula.
Ketika It Hang menoleh, ia lihat Lie Thian Yang sedang
meringis dan berkata dengan penasaran: "Baiklah, sampai
nanti kita bertemu pula!..."
"Kita telah putus perhubungan untuk selamanya, jangan
kita saling bertemu pula!" Ho Kie Hee membentak.
Lie Thian Yang menghela napas, ?lantas ia gapaikan Cio Ho
dan kawannya, untuk diajak pergi.
Seberlalunya ketiga orang itu, It Hang menghampiri si
niekouw, untuk belajar kenal. Si nona pun telah menghampiri
niekouw itu, di samping siapa ia berdiri, sedang si nona cilik
duduk di pangkuannya Pek Sek Toojin.
"Kau panggil dia engko To!" kata si imam pada bocah itu
seraya tunjuk It Hang, kepada siapa terus ia tambahkan: "Kau
belum pernah lihat anak perempuanku, bukan?"
Ia tunjuk si nona. "Dia adalah Gok Hoa. Dan ini," ia empo si
nona cilik untuk diangkat, "adalah Lok Hoa."
Ho Lok Hoa, dengan kegembiraannya satu bocah jelita,
lantas saja memanggil: "Engko To!" Gok Hoa sebaliknya
merasa likat, ia memanggil dengan perlahan dan sambil
tunduk juga. Menampak itu, Pek Sek Toojin tertawa tergelak-gelak.
Imam ini, yang asalnya she Ho. telah punya dua anak,
keduanya perempuan, ialah Gok Hoa yang sudah berumur
delapan belas tahun, dan Lok Hoa baru sepuluh tahun. Belum
lama Lok Hoa dilahirkan, ibunya menutup mata, maka Pek Sek
titipkan kedua puterinya itu kepada adik perempuannya,
niekouw, yakni bekas isteri yang disia-sia oleh Lie Tayjin Lie
Thian Yang itu. Penitipan itu sehingga kini telah berjalan kirakira
sepuluh tahun. Selama itu, setiap satu atau dua tahun
tentu-tentu Pek Sek Toojin menyambangi kedua puterinya itu
di Thaysit san. Inipun sebabnya kenapa kali ini si imam ajak It
Hang mendaki gunung itu. It Hang belum pernah diberi
keterangan, tidak heran ia tidak mendapat tahu, hingga ia
menduga-duga siapa yang paman guru ini niat kunjungi.
Di samping mengunjungi anaknya itu, Pek Sek Toojin masih
punya satu maksud lain. Ia sebenarnya sangat penuju kepada
It Hang, yang selain murid berbakat dari tingkat kedua,
pemuda itu pun cakap dan pintar, hingga ia bercita-cita
merangkapkan jodohnya dengan Gok Hoa, puteri pertama itu.
Uy Yap Toojin ketahui niat adik seperguruannya itu, maka di
waktu bicara kepada It Hang tentang Giok Lo Sat, dia
sebenarnya hendak cari tahu hatinya keponakan murid itu
perihal cita-cita hidupnya.
"Gok Hoa," kata Pek Sek sambil tertawa, setelah ia
perkenalkan kedua anaknya pada It Hang, "suheng-mu ini
bukannya orang luar, tak usahlah kau berpegang teguh
kepada adat istiadat. Suheng-mu ini mengerti baik ilmu silat
dan surat, segala apa yang kau belum tahu, kau boleh dengan
merdeka menanyakan kepadanya."
Gok Hoa masih likat, ia diam saja
"Sekarang mari kita pergi ke kuil," mengajak Pek Sek
kemudian. Kie Hee, yang sekarang pakai nama suci Cu Hui, lantas ajak
kakaknya itu serta It Hang pergi ke kuilnya, karena sejak
sucikan diri, ia telah dirikan sebuah kuil sendiri.
Sesampainya di kuil, Cu Hui silakan It Hang duduk. Tapi
Pek Sek lantas berkata, "Biarlah mereka yang sesama tingkat
main-main sendiri!"
Gok Hoa lantas ajak It Hang pergi melihat-lihat seluruh kuil
bibinya itu, kemudian mereka duduk beristirahat di bawah
sebuah pohon pek tua. Mereka duduk berhadapan.
Sekarang si nona tidak lagi likat dan malu-malu seperti
semula. Mereka bisa bicara dengan leluasa. Si nona lantas
tuturkan nasib Kie Hee, sang bibi, yang jodohnya sangat buruk
itu. "Begitulah nasib buruk seorang wanita..." kata nona ini
kemudian sambil menghela napas.
"Kenapa kau berpendapat demikian?" It Hang tanya, ia
bersenyum. "Bukankah itu karena kebetulan saja Cu Hui
Suthay telah dapatkan suami yang tidak bijaksana?"
"Justeru itulah!" kata si nona. "Sejak dahulu umumnya
wanita mengandal kepada pria. Siapa dapatkan suami yang
baik. untunglah dia apabila sebaliknya, celakalah dia seumur
hidupnya. Bibi seorang yang cantik dan ilmu silatnyapun
mahir, akan tetapi sekarang dia cuma menjadi temannya
pelita dan Buddha, seumurnya dia akan hidup menyendiri di
pegunungan ini..."
"Sebenarnya tak usah suthay terlalu berduka karena
suaminya yang buruk itu," It Hang berkata pula.
"Benarlah! Meskipun suami isteri yang tadinya menyinta
satu pada lain, bukannya tak mungkin jodohnya bisa berubah
juga." Gok Hoa kata. "Kita dapat sebutkan Suma Siang Jie dan
To Bun Kun sebagai contoh. Tidakkah mereka itu yang satu
cantik dan yang lainnya cakap serta saling menyinta satu pada
lain" Akan tetapi setelah To Bun Kun lanjut usianya, Suma
Siang Jie telah berubah juga hatinya. Syukur To Bun Kun telah
membuat syair 'Pek Tauw Gim" (syair nyanyian "Kepala Putih"
= usia tua), yang membikin hatinya Suma Siang Jie berubah
pula. Dan Suma Siang Jie pun membikin syair pula, ialah
"Tiang Bun Hu' sehingga mereka menginsyafi kesengsaraan
hati yang satu terhadap yang lainnya."
Mendengar ini, It Hang tiba-tiba ingat kepada Giok Lo Sat.
Ia percaya, dari mulutnya Giok Lo Sat tidak nanti keluar katakata
"kesengsaraan wanita" itu.
Ho Gok Hoa halus budi pekertinya, kata-katanya teratur,
sikapnya toapan. ilmu silat dan ilmu suratnya pun cukup, akan
tetapi entah bagaimana, di matanya It Hang, Gok Hoa masih
banyak kekurangannya. Tidak demikian si Raksasi Kumala,
walau nona Lian itu kadang-kadang berlaku telengas...
Pek Sek Toojin pasti tidak dapat bade atau ketahui apa
yang terkandung dalam hatinya It Hang, maka ketika ia habis
omong-omong dengan adiknya dan ia keluar, bukan main
girang hatinya menampak pemuda itu serta puterinya duduk
berduaan berhadapan tengah mengobrol dengan asyik sekali.
Kita sudah ketahui bahwa Pek Sek Toojin tidak memikir
untuk membuat kunjungan ke gunung Siauwsit san. akan
tetapi keesoknya pagi, Cu Hui Suthay telah terima dua surat
undangan dari Cun Seng Siansu. yang menjadi Khamsie,


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengurus kepala, dari kuil Siauwlim sie dari Siauwsit san.
Itulah ada undangan untuk si niekouw serta Pek Sek Toojin.
Cu Hui tertawa dan kata: "Hebat pendengarannya Siauwlim
Khamsie! Baru satu hari koko datang, dia sudah
mendengarnya!"
Cu Hui, yang tinggal di puncak Thaysit san, yang
berdampingan dengan Siauwsit san, memang bersahabat dan
kenal baik pendeta-pendeta dari Siauwlim sie walaupun
mereka berlainan jenis kelaminnya.
"Ketika ketuaku wafat, pihak Siauwlim sie juga mengirim
utusan menyatakan bela sungkawa," kata Pek Sek, "maka
sudah selayaknya saja, hormat dibalas hormat juga. Marilah
kita pergi memenuhi undangan itu." Lalu ia kata pada It Hang:
"Kau adalah bakal ketua Butong pay, baiklah kau gunai ketika
yang baik ini untuk belajar kenal kepada tetua dari Siauwlim
sie." It Hang suka ikut paman gurunya ini.
Jarak di antara Thaysit san dan Siauwsit san hanya sepuluh
lie lebih, maka baru jalan kira-kira setengah jam, Cu Hui
Suthay bertiga sudah lantas sampai di Siauwlim sie, yang
terletak di kaki puncak Ngoleng hong, di utaranya Siauwsit
san, di mana terdapat banyak pagoda batu, hingga kuil
Siauwlim sie itu bagaikan terkurung hutan pagoda
"Kita harus ketemui dahulu tiekekCeng untuk
memberitahukan kedatangan kita," kata Pek Sek pada dua
kawannya. (TiekekCeng = pendeta tukang melayani tetamu).
It Hang manggut.
Begitu lekas ketiganya sampai di muka kuil, mereka lantas
dengar suara berisik. Pintu kuil tertutup rapat, rupanya
dikunci. Suara berisik datangnya dari dua orang tua, yang
duduk di atas batu di muka pintu. Mereka ini sedang mencaci
kalang kabutan.
"Hai, Keng Beng. tua bangka kepala gundul, jangan kau
banyak lagak?" demikian masih terdengar suaranya seorang
tua. "Kau memang kepala suatu partai akan tetapi kau harus
ketahui, bahwa kamipun bukannya orang yang tidak
mempunyai asal-usul!"
"Aku lihat kau kaum Siauwlim pay, cuma besar namanya
saja, nama kosong belaka!" kata orang tua yang lainnya.
"Jikalau kau benar-benar mempunyai kepandaian tinggi,
kenapa kau tidak sudi adu kepandaian dengan kami?"
It Hang heran sekali. Kenapa orang ada demikian berani,
malah sangat kurang ajar dengan menantang berkelahi"
Harus diketahui, Siauwlim pay dan Butong pay adalah kedua
partai terbesar di jamannya itu, bahkan di dalam hikayat,
Siauwlim pay jauh terlebih tua. Butong pay hanya menang
lebih banyak anggautanya. sedang dalam halnya murid-murid
yang pandai, pihak Siauwlim pay lebih banyak. Maka siapakah
dua orang tua ini, yang nyalinya demikian besar"
Kedua orang tua itu lihat ada orang-orang mendatangi,
mereka lompat bangun dari tempatnya bercokol dan
menghampiri, wajah mereka ramai dengan senyuman.
Cu Hui nampaknya acuh tak acuh terhadap kedua orang
itu. Menampak sikap adiknya, Pek Sek juga ikut tidak mau
ladeni kedua orang itu, yang ia anggap sangat tak tahu adat.
Dua orang tua itu agaknya kecele, tetapi mereka masih
maju terus, kali ini mereka menghampiri It Hang,
"Engko kecil," tegur mereka, "apakah kau datang
berkunjung kepada Siauwlim sie?"
It Hang menjawab dengan anggukan kepalanya.
Satu antaranya perdengarkan suara menghina dari
hidungnya. "Sebenarnya kau tidak perlu berkunjung kemari!" kata dia.
"Di. dalam Siauwlim sie, kecuali Keng Beng Tiangloo seorang,
Dendam Iblis Seribu Wajah 16 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Seruling Perak Sepasang Walet 10

Cari Blog Ini