Ceritasilat Novel Online

Bara Diatas Singgasana 15

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 15


Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Mahisa Agni-pun mempersilahkan tamunya untuk beristirahat. Pertemuan itu telah menuntun keduanya untuk bersikap, untuk ikut membantu perkembangan hari depan Anusapati dan Singasari.
Singasari tidak boleh berkisar dari tujuannya. Singasari tidak boleh jatuh ketangan keturunan Ken Umang yang dibakar oleh nafsu yang menyala-nyala. Nafsu ketamakan untuk diri mereka sendiri.
Di-pagi-pagi buta sebelum matahari naik kepunggung bukit Mahisa Agni mengantar tamunya sampai ke regol halaman rumahnya yang luas. Halaman rumah yang pernah menjadi istana Ratu Angabaya.
Para penjaga menjadi heran. Tamu itu datang setelah Kediri dibayangi oleh gelapnya malam, dan kini ia meninggalkan istana itu sebelum matahari terbit.
Tetapi mereka tidak dapat mencurigainya karena Mahisa Agni sendiri mengantarkannya sampai ke gerbang.
"Salamku buat seluruh isi padepokan," berkata Mahisa Agni didepan regol.
"Baiklah. Akan aku bawa slam yang akan memberikan kebanggaan bagi kami seluruh isi padepokan. Kau merupakan kebanggaan yang tiada taranya, bahwa Panawijen mendapat kehormatan melahirkan seorang anak yang kini menjadi seorang yang besar."
Mahisa Agni tersenyum didalam hati. Sumekar dapat juga bermain dengan baik. Ketika ia melambaikan tangannya, maka Sumekar-pun berpacu diatas punggung kudanya, semakin lama menjadi semakin jauh tenggelam didalam keremangan pagi.
Sepeninggal Sumekar, Mahisa Agni masih berdiri sejenak diregol halaman. Dipandanginya para penjaga yang masih berdiri tegak ditempatnya. Tanpa ditanya oleh seorang-pun Mahisa Agni berkata, "Aku dilahirkan di Panawijen. Sehingga bagiku Panawijen merupakan kenangan yang menyenangkan dimasa kanak-anak."
Para pengawalnya tidak menjawab. Sejenak, mereka berpandangan, namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Sedang Mahisa Agni masih terus berkata, "Ia masih tetap hidup sebagai seorang cantrik."
Para pengawal itu-pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Siapakah diantara kalian yang datang dari padepokan para Pendeta?"
Para pengawal itu tidak menjawab, lalu Mahisa Agni-pun berkata terus, "Aku adalah keturunan Pendeta."
Ketika Mahisa Agni kemudian masuk ke dalam istana, maka para pengawalnya berdesis, "Pantas kalau tuanku Mahisa Agni keturunan Pendeta. Sikap kependetaannya masih ada, ada padanya disamping sifat-sifatnya sebagai seorang ksatria. Ia tidak menggunakan kekuasaannya yang ada padanya. Ia seorang pemurah dan penuh dengan belas kasihan. Bukan seorang yang pendendam dan pemarah."
Demikianlah maka Sumekar-pun kemudian berpacu kembali ke Singasari. Setelah menyimpm kudanya dipadepokannya, maka ia-pun kemudian beristirahat semalam menikmati hidup dipadepokan. Terasa alangkah tenangnya hidup diantara orang-orang yang berpikir sederhana jauh dari kepentingan diri sendiri. Orang-orang yang berhati terbuka tanpa menyimpan dendam dan kebencian dengan yang lain.
"Sebenarnya lebih senang hidup disini, berkata Sumekar-pun kepada diri sendiri, "kalau tidak ada kepentingan yang lebih besar dan kepentingan diriku sendiri aku sama sekali tidak ingin kembali keisiana. Tempat yang penuh dengan bayang-bayang yang semu. Wajah-wajah yang membayangkan sikap yang lain dari perasaan yang disembunyikan didalam dada. Senyum yang sekedar menghias bibir yang kemudian mengumpat-umpat. Dan segala jenis kepalsuan yang lain."
Tetapi Sumekar harus kembali keistana Singasari.
Dengan pakaian yang kusut oleh debu dan keringat yang membasahi kening dan punggung ia memasuki gerbang istana dibagian belakang sambil menjinjing sebungkus pakaiannya yang sederhana. Seorang pengawal yang melihatnya dipintu gerbang bertanya, "He juru taman. Dari mana kau?"
"Aku mendapat waktu untuk beristirahat dipadukuhan. Selama sepekan."
"Jadi kau baru kembali dari waktu-waktu istirahatmu?"
"Ya." "Dan kau menjadi semakin hitam seperti terbakar dan menjadi semakin kurus?"
"Ternyata di padukuhanku sedang dilanda oleh paceklik panjang. Banyak tanaman yang tidak tumbuh sewajarnya. Dan bahkan ada orang yang menabur sampai tiga kali tetapi yang tumbuh adalah batang ilalang."
"He bagaimana mungkin?"
"Kekurangan air dan hama bilalang yang dahsyat, apalagi tikus-tikus yang memusnakan benih yang sedang ditabur itu."
"Dan kau dengan tergesa-gesa kembali sebelum masa istirahat yang kau mohon itu habis?"
"Aku mempegunakannya seluruhnya."
Prajurit pengawal itu tidak bertanya lagi. Dibiarkannya saja Sumekar melalui regol halaman. Seorang pengawal yang lain yang berdiri didalam memandangnya dengan kening yang berkerut-merut. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
Demikianlah maka kehadiran Sumekar kembali telah menumbuhkan debar didada Putera Mahkota. Sehari kemudian barulah ia mendengar dari Sumekar hasil pembicaraannya dengan Mahisa Agni meski-pun tidak seluruhnya dikatakan terutama yang menyangkut Witantra. Sumekar berkata, "Tuanku Putera Mahkota tidak usah mencemaskannya. Menurut kakang Mahisa Agni, Witantra dapat dipercaya sepenuhnya. Meski-pun demikian kita tidak boleh kehilangan sikap."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku mengerti paman."
Tetapi Sumekar tidak mengatakan tentang sebuah pembicaraan mengenai kemungkinan Putera Mahkota untuk segera mendapatkan seorang isteri. Seandainya Anusapati boleh mendengarnya, biarlah Mahisa Agni sendiri yang mengatakannya kepadanya.
Dihari-hari berikutnya, kehidupan di istana Singasari berjalan seperti sediakala. Latihan-latihan yang sering dilakukkan oleh Anusapati bersama Tohjaya. Gurunya yang baru ternyata berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuat kedua muridnya menjadi anak-anak muda yang berilmu didalam olah kanuragan. Bukan sekedar berloncat-loncatan seperti tupai yang tidak mengerti arti gerakannya sendiri.
Tetapi disamping latihan-latihan itu Anusapati sendiri menjadi semakin sering pula keluar dari istana. Kini ia medapat teman berlatih yang baru. Ternyata Witantra sering juga hadir didalam latihan-latihan yang diadakan didalam jurang yang dalam itu.
Ilmu Anusapati ternyata berkembang dengan suburnya. Semakin lama menjadi semakin matang, seperti juga jiwanya yang menjadi semakin matang pula.
Tetapi kehidupannya di istana Singasari hampir tidak mengalami perubahan. Ia masih tetap merasa sepi. Kadang-kadang saja ia menghadap ibunya dan bertemu dengan saudara-saudaranya seibu. Dengan saudaranya yang lahir dari Ken Umang, Anusapati memang tidak begitu sering bertemu. Apalagi dengan penuh kesadaran Ken Arok menganggap hahwa mereka tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Anusapati lahir dari Ken Dedes karena titisan darah Akuwu Tunggul Ametung, sedang Tohjaya dan adik-adiknya yang lahir dari Ken Umang adalah anak-anaknya.
Bahkan saudara1 seibunya-pun hampir tidak menghiraukannya lagi, selain adiknya yang tertua Mahisa-wongateleng. Kadang-kadang adiknya yang juga sudah meningkat dewasa itu datang kepadanya. Tetapi itu-pun jarang sekali dilakukannya.
Dengan iramanya sendiri istana Singasari meloncat dari hari kehari. Demikian pula setiap umur dari orang-orang yang ada didalamnya. Sri Rajasa, Ken Dedes, Ken Umang, Anusapati, Tohjaya, adik-adiknya dan semua orang. Yang tua menjadi semakin tua, yang kecil meningkat semakin besar. Demikian pula Anusapati telah menjadi, seorang yang dewasa sepenuh. Bahkan adiknya Mahisa-wongateleng-pun telah menjadi seorang anak muda yang tegap.
"Kakanda Putera Mahkota," bertanya Mahisa-wongateleng pada suatu hari kepada Anusapati, "sudah lama aku menyimpan pertanyaan ini. Sebenarnya aku takut menyampaikannya kepada kakanda Putera Mahkota. Tetapi aku-pun tidak tahan menyimpannya saja didalam hati." Mahisa-wongateleng berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Anusapati yang sedikit berubah.
"Apa yang akan kau tanyakan adinda Mahisa-wongateleng?"
"Aku melihat sesuatu yang lain pada kakanda. Aku tahu bahwa kakanda adalah Putera Sulung dari kedua ibunda, sehingga kakanda diangkat menjadi Putera Mahkota seperti kakanda terima. Tetapi aku tidak tahu, kenapa justru hubungan yang paling akrab dengan ayahand Sri Rajasa bukannya kakanda Putera Mahkota, tetapi jusrtu kakanda Tohjaya."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan kita bicarakan masalah ini. Kau tahu bawa aku tidak akan dapat memberikan jawaban."
Mahisa-wongateleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berkata, "Kakanda Anusapati. Kita adalah saudara seibu. Bagaimana-pun juga terasa dihatiku, bahwa ibunda Ken Dedes seharusnya mempunyai kedudukan yang lebih haik dari ibunda Ken Umang, karena ibunda Ken Dedes adalah Permaisuri ayahanda Sri Rajasa. Tetapi didalam hubungan sehari-hari rasa-rasanya ibunda Ken Umang mendapat tempat yang lebih dekat dihati ayahanda Sri Rajasa. Apakah kakanda Anusapati yang lebih tua dari padaku dapat mengatakannya?"
Anusapati menggelengkan kepalanya, "Tidak adinda. Aku tidak tahu."
"Kenapa bukan ibunda Ken Umang sajalah yang semula diangkat menjadi Permaisuri, kalau memang ayahanda Sri Rajasa lebih mapan beristerikan ibunda Ken Umang?"
Putera Mahkota itu-pun hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia bertanya, "Apakah kau merasakan perbedaan itu?"
"Tentu kakanda. Bagi kami sehari-hari perbedaan itu tidak begitu terasa. Tetapi setiap kali aku mendapatkan nasehat, petunjuk dan petuah ibunda Permaisuri terasa bahwa ada sesuatu tersembunyi didalam hatinya. Semula aku tidak merasakannya, seperti adik-adik kita sekarang yang masih terlampau muda. Tetapi bagiku, semakin aku menjadi dewasa, aku merasakannya, bahwa ibunda Permaisuri agaknya memang menahan hati."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Kaulah yang seharusnya lebih banyak mengetahui daripada aku. Karena sikap ayahanda terhadapku, aku benar-benar seorang yang terasing didalam istana yang ramai ini. Apakah kau dapat mengerti?"
"Itulah yang aku tanyakan sejak semula. Kenapa kakanda menjadi terasing, terutama dari ayahanda Sri Rajasa?"
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Aku juga bertanya seperti itu adinda Mahisa-wonga-teleng. Aku juga selalu bertanya kesalahan apakah yang telah aku lakukan sejak aku masih terlampau muda. Bukankah sikap itu sudah berjalan bertahun-tahun. Semakin lama semakin nyata. Semakin aku bertambah dewasa, sikap ayahanda Sri Rajasa menjadi semakin jelas, bahkan hampir tidak tertahankan lagi sehingga semua hamba istana aku kira menyimpan pertanyaan seperti itu pula."
"Apakah kakanda pernah bertanya kepada ibunda Pemaisuri?"
" Aku pernah bertanya. Tetapi pertanyaan itu membuat ibunda semakin muram dan bersedih. Ketika aku agak memaksa ibunda menangis. Karena itu aku tidak menanyakannya lagi. Aku tidak mau membuat ibunda Permaisuri semakin bersedih."
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Memang keaadaanku agak lebih baik dari kakanda Anusapati. Aku dan adik-adikku dari kedua ibunda dapr berhubungan lebih rapat dengan ayahanda Sri Rajasa. Tetapi tidak dapat membiarkan suasanan yang tidak seimbang itu menjadi berkepanjangan. Aku masih juga memikirkan ibuku sendiri. Ibunda Permaisuri yang berada dalam suasanan jauh berbeda dengan Ibunda Ken Umang."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku-pun tidak begitu rapat dengan ibunda Permaisuri. Aku tidak begitu rapat dengan setiap orang didalam istana ini. Mudah-mudahan kau dapat selalu membuat hati ibunda agak sejuk. Ajaklah adik-adikmu seibu untuk berbuat demikian."
"Aku akan mencoba kakanda. Tetapi adik-adik kita yang masih sangat muda itu masih belum dapat membedakan, apa yang baik bagi ibunda Permaisuri dan apa yang justru membuatnya bersedih."
"Itu juga bukan salah mereka. Mereka masih terlampau muda."
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, "Tetapi bagaimana dengan ilmu bela diri yang kakanda pelajari dari guru yang sama dengan kakanda Tohjaya itu?"
Anusapati mengerurtkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Baik. Semuanya berjalan dengan baik."
"Aku juga mendapat seorang guru yang lain. Aku harus berlatih bersama adinda Apanji Saprang, adinda Panji Sudatu, dan adinda Agaibaya sudah harus selalu mengikutinya pula, meski-pun belum sepenuhnya. Mungkin ia kelak harus berlatih bersama adinda Wregola, dari seorang guru yang lain pula."
Anusapati tidak segera menyahut. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia mencoba membayangkan, bagaimana adik-adiknya itu berlatih bersama-sama. Adik-adiknya yang lahir dari dua orang ibu. Agaknya Sri Rajasa memang ingin memmbuat anak-anaknya merasa satu sebagai saudara kandung.
Namun ternyata Sri Rajasa tidak berhasil. Mahisa-wonga-teleng yang sudah meningkat dewasa itu segera merasakan perbedaan sikap. Meski-pun bukan atas anak-anaknya yang lahir dari dua orang ibu. tetapi justru atas ibu mereka masing-masing.
"Adinda Mahisa-wonga-teleng," berkata Anusapati selanjutnya, "ternyata bahwa kau mempunyai kesempatan yang berbeda dari aku. Karena itu, pergunakanlah kesempatanmu itu sebaik-baiknya. Kalau bukan aku, kau adalah putera yang wajib menjunjung nama ibu kita dan keluarga kita semuanya. Kau tidak boleh kalah dari Tohjaya. Aku tidak tahu nasib apakah yang besok atau lusa akan menerkam aku. Jika nasibku terlampau jelek adinda, maka kau adalah anak tertua diantara adik-adikmu."
" Kenapa kakanda Anusapati berkata demikian?"
"Kau sendiri dapat melihat, bagaimana aku semakin lama menjadi semakin terasing di istana ini, meski-pun aku seorang Putera Mahkota. Kalau ada usaha menggeser tahta pada keturunan Ken Umang, maka aku benar-benar tidak akan rela. Karena itu, seandainya pada suatu saat jatuh keputusan ayahanda untuk benar-benar menyingkirkan aku karena kesalahan yang tidak aku ketahui, maka kau adalah Putera Mahkota. Kau dan bukan Tohjaya."
"Kita tidak dapat menentukan kakanda."
"Memang. Hanya ayahandalah yang dapat menentukan. Tetapi ayahanda tidak akan dapat meninggalkan tata kesopanan kerajaan. Karena itu kita harus meyakinkan diri, bahwa takhta kerajaan Kediri adalah untuk keturunan Sri Rajasa yang lahir dari Permaisurinya. Bukan orang lain. Putera pertama adalah aku. Tetapi agaknya aku sangat tidak disukai oleh ayahanda Sri Rajasa. Maka kalau bukan aku, kaulah yang harus menjadi Putera Mahkota karena kau adalah Putera Permaisuri."
Mahisa-wonga-teleng tidak menyahut. Sebenarnya ia sama sekali tidak pernah menginginkan jabatan apa-pun didalam istana Singasari. Tetapi kata-kata Anusapati itu agaknya telah menyentuh hatinya. Keturunan Ken Dedes sebagai seorang Permaisurilah yang pantas untuk mewarisi tahta. Bukan orang lain meski-pun ia putera Sri Rajasa pula.
Tanpa disadarinya, jarak antara Mahisa-wonga-teleng dan Tohjaya serasa menjadi semakin jauh. Demikian juga dengan putera-putera Sri Rajasa yang lain. Serasa jarak yang terbentang diantara mereka menjadi semakin lebar dan dalam.
Namun Anusapati masih berkata, "Tetapi kau jangan ditelan oleh perasaanmu senhingga kau kehilangan pengamatan diri. Berlakulah seperti biasa. Bersikaplah baik terhadap saudara-saudaramu meski-pun yang lahir dari ibu Ken Umang."
Mahisa-wonga-teleng menangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, apakah yang akan dihadapinya kini.
"Kalau kan memang sudah mendapat seorang guru adinda, maka belatihlah dengan tekun. Kau akan mencapai suatu tingkat yang pantas bagi Putera Maghkota seorang raja yang besar."
"Apakah kakanda Anusapati ingin melihat bagaimana kami berlatih?"
"Apakah aku diperkenankan?"
"Kakanda Tohjaya sering juga melihat."
"Keadaan kami, maksudku aku dan adinda Tohjaya sangat berbeda."
"Kalau kakanda Anusapati ingin melihat, biarlah aku menjemput kakanda di bangsal ini."
"Apakah saat kita berlatih tidak bersamaan?"
"Tentu ada saat-saat yang tidak bersamaan, karena kanda Tohjaya pernah juga menyaksikan latihan itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah. Aku akan mencari kesempatan untuk menyaksikannya."
"Kalau pada suatu saat kakanda Tohjaya ada diarena latihan kami, maka aku akan menjemput kakanda Anusapati."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan sangat berterima kasih atas perhatianmu adinda. Tetapi hal itu pasti tidak akan menguntungkan kau sendiri. Kalau kau terlampau sering dalang kepadaku, maka pada suntu saat kau akan terpercik oleh kesalahanku yang tidak aku ketahui itu, sehingga mungkin sekali ayahanda Sri Rajasa-pun akan menghukummu seperti aku. Terasing di dalam keributan istana."
Muhisa wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, sebelum ia menjawab Anusapati sudah mendahuluinya, "Mungkin kau tidak berkeberatan. Tetapi kau harus melindungi nama baik ibunda Permaisuri dan adik-kita. Kau tahu maksudku!"
"Ya, aku tahu kakanda. Tetapi kalau hanya sekali atau dua kali, aku kira tidak akan ada dugaan yang tidak baik atas kita."
Anusapati, mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasai terharu juga melihat sikap adiknya. Ternyata ikatan yang membelit dihati mereka karena mereka dilahirkan dari ibu yang sama cukup kuat untuk merangkai perasaan kedua saudara seibu itu. Apalagi mereka berdua merasa, bahwa mereka adalah anak yang seayah pula.
Demikianlah, maka pada suatu saat ketika Anusapati sedang tidak berlatih bersama guru dan adiknya, tiba-tiba Mahis-wonga-teleng berlari-lari kebangsalnya. Belum lagi ia sampai ditangga, anak muda itu sudah berkata, "Buknnkah kakanda tidak berlatih saat ini. Kakanda Tohjaya juga sudah berada diarena latihan kami."
"Ya. kami memang tidak berlatih disaat ini. Kami akan berlatih senja nanti."
"Marilah Kakanda menyaksikan lalihan kami. Kakanda Anusapati akan dapat memberikan banyak petunjuk."
"Ah kau sangka aku mempunyai kelebihan darimu?"
"Tentu, Kakang Tohjaya ternyata juga mempunyai banyak kelebihan dari kami"
Anusapati mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa-wonga-teleng sejenak. Namun hatinya masih disaput oleh keragu-raguan. Apakah ia juga boleh masuk keluar arena yang dipergunakan oleh Mahisa-wonga-teleng untuk berlatih.
"Marilah kakanda Anusapati," ajak Mahisa-wonga-teleng mendesak.
"Aku menjadi ragu-ragu," jawab Anusapati.
"Kakanda selalu ragu-ragu. Kenapa kakanda Tohjaya tidak ragu-ragu" Justru kakanda Tohjaya berbuat lebih hanyak dari pelatihku."
"Apa yang sudah dilakukan?"
"Marilah." Anusapai, tidak membantah lagi, ketika Mahisa-wonga-teleng menarik tangannya. Ketika ia berjalan terseret-seret mengikuti tarikan adiknya ia melihat seorang juru taman muncul di halaman. Juru taman itu adalah Sumekar.
"Tunggu. Tunggu sebentar adinda." minta Anusapati.
"Apalagi yang harus ditunggu, latihan itu harus segera dimulai."
"Aku akan menemui juru taman itu. Aku sudah terlanjur menyuruhnya datang. Aku ingin memindahkan batang Soka Merah itu kesudut."
Mahisa-wonga-teleng mengerutkan keningnya. Tetapi dilepaskannya Anusapati yang kemudian menemui Sumekar.
Sumekar mengangguk dalam-dalam sambil bertanya, "Apakah tuanku akan pergi bersama tuanku Mahisa-wonga-teleng?"
"Ya. Pindahkan pohon Soka merah itu kesudut," namun kemudian Anusapati berbisik, "adinda Mahisa-wonga-teleng minta aku melihat latihannya bersama adik-adik yang lain. Adinda Tohjaya sudah lebih dahulu disana."
"Kenapa tuanku pergi pula kesana?" bertanya Sumekar.
"Aku tidak dapat menolak, adinda Mahisa-wonga-teleng menarikku."
"Baiklah tuanku. Seandainya tuanku harus pergi juga tuanku harus berhati-hati. Tuanku harus menahan hati seandanya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan justru karena tuanku Tohjaya ada disana."
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Ingat, peranan tuan adalah peranan yang berat, didalam lakon ini Tuanku harus selalu menyadari. Justru untuk tuanku dimasa depan."
"Baiklah paman."
"Ingat akan keadaan tuanku. Jika demikian, tuanku tidak akan terdorong dalam suatu tindakan yang tidak mengntungkan."
Anusapati-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang berdiri termangu-mangu. Bersama Mahisa-wonga-teleng. Anusapati berjalan tergesa-gesa menuju ke longkangan dalam di belakang bangsal Tuanku Sri Rajasa, diatas tanah yang telah dilaburi dengan pasir yang tebal.
Ketika Mahisa-wonga-teleng memasuki pintu samping yang langsung sampai, kelongkangan dalam semua orang berpaling kepadanya. Pelatihnya dengan serta merta berkata, "Kami disini tinggal menunggu tuanku Mahisa-wonga-teleng."
Namun Tohjaya yang hadir juga disitu menyambung, "Nah ternyata kakanda Anusapati juga berkenan hadir didalam latihan ini."
Longkangan itu menjadi hening sejenak. Semua orang memandang Anusapati yang masih berdiri didepan pintu regol samping itu. Namun yang menyahut adalah Mahisa-wonga-teleng " Akulah yang telah menjemputnya. Aku mengajak kakanda Putera Mahkota untuk memberikan pendapatnya tentang kami adik-adiknya."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Kepalanya-pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Memang sebaiknya kau minta kakanda Anusapati untuk menyaksikan latihan ini. Kakanda Anusapati pasti akan dapat memberikan pendapatnya."
"Kakanda benar," sahut Mahisa-wonga-teleng, "kami memang ingin mendapatkan beberapa petunjuk, selain dari kakanda Tohjaya, juga dari kakanda Anusapati."
Tohjaya berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Anusapati yang dipenuhi oleh kebimbangan. Namun kemudian ia tersenyum dan mempersilahkan Anusapati, "Marilah kakanda Pangeran Pati. Latihan bagi adik-adik kita akan segera dimulai."
Anusapati-pun kemudian melangkah mendekati Tohjaya dan kemudian duduk disampingnya, diatas sebuah tikar yang tebal.
Sejenak kemudian maka Mahisa-wonga-teleng-pun telah siap pula bersama adik-adiknya, putera dari kedua isteri Sri Rajasa. Agnibaya yang masih terlampau muda, masih belum mengikuti latihan itu sepenuhnya.
Tohjaya dan Anusapati yang duduk di pinggir arena itu segera terikat pada latihan-latihan yang diberikan oleh seorang guru, juga seorang perwira pengawal kepada adik-adiknya itu. Setiap kali Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang vang berilmu tinggi Anusapati segera dapat melihat, betapa jauh adik-adiknya sudah menerima ilmu tata bela diri.
"Ternyata Mahisa-wonga-teleng mempunyai kemampuan yang cukup. Kalau ia mengikuti latihan-latihan yang lebih khusus, ia akan dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa," Berkata Anusapati didalam hatinya. Secara umum ia tiba-tiba mengambil kesimpulan bahwa keturunan Ken Dedes agak lebih baik dari keturunan Ken Umang didalam dasar kemampuan menerima pendidikan dan pengetahuan olah kanu ragan.
Tanpa disadari Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pernah mendengar bahwa ayahanda ibunda Permaisuri selain seorang Pendeta, adalah seorang guru yang memumpuni, yang telah menurunkan ilmunya kepada murid tunggalnya Mnhisa Agni. sehingga darah keturunan kakeknya itu ada pula pada cucu-cucunya.
Begitu asyik Anusapati menyaksikan latihan itu, sehingga ia tidak merasa bahwa Tohjaya telah memperhatikannya. Bahkan ia tidak menyadari sama sekali bahwa Tohjaya memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Ia baru berpaling ketika ia mendengar Tohjaya bertanya, "Kenapa kakanda mengangguk-angguk?"
Anusapati agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Bukan saja karena Tohjaya tiba-tiba saja bertanya, tetapi juga isi pertanyaannya. Karena itu untuk sesaat Anusapati tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Karena Anusapati tidak segera menjawab, maka Tohjaya mendesaknya, "Kenapa kakanda Anusapati mengangguk-nngguk?"
Anusapati menarik nafas. Kemudian jawabnya, "Aku senang sekali melihat adik-adik kita cepat sekali maju. Aku belum pernah menyaksikan mereka berlatih dengan sungguh-sungguh. Tetapi kini aku melihat mereka telah agak jauh mendalami olah kanuragan."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Kini perhatiannya kembali kepada adik-adiknya yang sedang berlatih itu. Mereka harus menirukan beberapa unsur gerak dari gurunya. Gerak-gerak dasar ilmu tata beli diri yang mapan.
Namun selagi mereka asyik berlatih, tiba-tiba mereka terhenti ketika mereka mendengar Tohjaya tiba-tiba berteriak, "Tidak. Tidak begitu. Kau selalu membuat kesalahan serupa adinda Sudatu. Juga adinda Mahisa-wonga-teleng, tidak pernah memahami tata gerak yang dilakukannya."
Anusapati mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Tohjaya kemudian berdiri dan melangkah kearena. Seperti guru adikrnya, Tohjaya mulai memberikan contoh sambil berkata, "Begini seharusnya. Lihat. Untuk memberikan tekanan pada ujung tangan kanan harus meletakkan berat tubuh kalian kearah gerak tangan kalian. Tetapi kalian tidak boleh melepaskan keseimbangan apabila tangan kalian tidak menemui sasaran. Kalian tidak harus meloncat maju selangkah penuh. Justru karena kalian terlepas dari sandaran kaki kalian pada tanah, maka kalian tidak dapat memberikan dorongan kekuatan sepenuhnya. Apalagi apabila kelak kalian mempelajari ilmu olah kanuragan yang bersumber pada tenaga cadangan yang sekarang tidak kalian kenal maka kalian akan mengalami banyak kesulitan."
Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya yang sedang berlatih berdiri menepi sejenak. Mereka menyaksikan Tohjaya memberikan beberapa contoh kepada mereka.
"Nah, apakah kalian melihat kesalahan kalian" Didalam perkelahian yang sesungguknya, kalian harus berusaha agar jarak diantara kalian dan musuh kalian tidak terlampau jauh. Apakah kalian mengrti" Dan kalian harus sadar sepenuhnya di dalam perkelahian yang demikian unsur ketrampilan gerak memegang peranan yang penting disamping kekuatan dan penguasaan gerak-gerak dasar dari ilmu kalian."
Adik-adik Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, bahkan guru mereka-pun mengangguk-anggukkan pula. Namun Anusapati segera dapat menangkap siratan perasaan perwira pengawal itu. Ia sebenarnya tidak senang melihat sikap Tohjaya. Tetapi karena ia sadar, bahwa Tohjaya adalah putera terdekat dari tuanku Sri Rajasa maka pengawal itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, meski-pun dengan demikian Tohjaya sudah mengganggu usahanya melatih putera-putera Sri Rajasa menurut caranya.
"Sekarang," berkata Tohjaya kemudian, "coba kalian ulangi lagi. Lalu katanya kepada pelatih adik-adiknya itu, "Ulangilah. Anak-anak itu memang harus mendapat latihan yang agak berat supaya sepadan dengan keadaan mereka. Sebagai putera Sri Rajasa, mereka harus menjadi anak-anak yang kuat dan cekatan."
Betapa-pun beratnya, namun perwira pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baiklah tuanku."
Dengan demikian maka latihan-latihan itu-pun mulai diulangi kembali. Adik-adik Tohjaya harus mengulangi unsur-unsur gerak yang sedang mereka pelajari.
Tetapi agaknya Tohjaya tidak juga menjadi puas. Meski-pun demikian ia berkata, "Baiklah. Tetapi kalian harus selalu mengulangi latihan-latihan yang sudah kalian dapat. Sekarang kalian dapat meneruskan latihan ini, meski-pun latihan ini sama sekali tidak memuaskan. Kalian harus belajar bersungguh-sungguh. Kalau kalian malas, maka kalian tidak akan dapat menguasai ilmu kalian dengan baik." tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Anusapati, seakan-akan memberikan contoh kepada adiknya bahwa apabila mereka tidak beratih dengan sungguh, maka mereka tidak akan menjadi lebih baik dari Arusupati.
Adik-adiknya hanya memandanginya dengan kerur-merut di keningnya. Bahkan pelatihnya-pun hanya berdiri saja termangu-mangu.
"Teruskan, teruskan," berkata Tohjaya kemudian.
"Baiklah tuanku," jawab pelatih Mahisa-wonga-teleng itu.
Mereka-pun kemudian melanjutkan latihan mereka. Mereka mulai diajari menyusun gerak-gerak yang lebih sulit. Gerak-gerak rangkap dan gerak-gerak dasar yang sudah mereka sadari.
"Didalam perkelahian yang sebenarnya," berkata pelatihnya, "jarang sekali tuanku mempergunakan unsur gerak murni dari tata gerak dasar. Tuanku pasti harus menggabungkan setiap unsur tata gerak dengan unsur ynng lain untuk menanggapi keadaan. Setiap keadaan harus ditanggapi dengan gerak rangkap yang khusus. Apakah hal ini dapat tuanku mnngerti?"
Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya mengangguk-anggukkan keplanya.
"Sudah beberapa kali tuanku mencobanya. Marilah kita sekarang mencobanya pula."
"Apakah mereka harus berlatih berpasangan?" bertanya Tohjaya.
"Hamba tuanku," jawab perwira itu.
"Baiklah. Aku ingin melihat latihan itu."
Sejenak kemudian maka putera-putera Sri Rajasa itu telah menyiapkan diri. Mahisa-wonga-teleng, Saprang dan Sudatu. Agnijaya justru hanya berdiri saja di tepi arena.
"Tuanku Mahisa-wonga-teleng akan berlatih bersama tuanku Panji Saprang, Tuanku Panji Sudatu akan berlatih bersama hamba."
Demikianlah maka dua pasang lingkaran latihan itu-pun segera dimulai. Pasangan Sudatu dan pelatihnya sama sekali tidak menarik perhatian karena garunya selalu menyesuaikan dirinya. Yang menerik perhatian adalah latihan yang dilakukan oleh kedua adiknya yang lain.
Mahisa-wonga-teleng Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang berusaha berlatih sebaik-baiknya. Kadang-kadang meraka terlibat dalam sikap yang keras. Namun meski-pun gurunya sendiri sedang melayani Panji Sudatu, tetapi ia masih juga sempat mengawasi latihan yang dilakukan oleh kedua muridnya yang lain, sehingga kadang-kadang pelatihnya harus bergerak menyesuaikan diri dengan lawan latihannya sambil berbicara keras-keras untuk mengekang latihan Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang.
Anusapati menyaksikan latihan itu sambil mengangguk-angguk pula. Kedua adiknya. Mahisa-wonga-teleng dan Punji Saprang memang sangat menarik perhatian. Ternyata keduannya mempunyai bekal yang cukup baik, sehingga pada tataran yang masih rendah, keduanya sudah menunjukkan beberapa sikap yang mengagumkan. Lincah dan kuat. Kadang-kadang meski-pun tidak disadari, kedua menurjukkan tata gerak yang mengejutkan.
"Mudah-mudahan mereka mendapat kesempatan seterusnya," berkata Anusapati didalam hatinya, "mudah-mudahan mereka tidak mengalami nasib seperti aku. Jika demikian maka keduanya pasti akan sangat terhambat."
Dengan bangga Anusapati menyaksikan latihan itu berlangsung terus. Sekali-sekali ia mencoba untuk melihat adiknya yang lain, panji Sudatu. Seperti yang lain, maka Sudatu juga dapat diharapkan untuk menjadi seorang yang perkasa kelak. Bahkan mungkin lebih baik dari Tohjaya apabila ia berlatih terus dan tekun.
"Bukan saja anak-anak itu mempunyai bekal yang baik tetapi agaknya gurunya-pun cukup baik. Caranya membimbing murid-muridnya tidak dilakukan tanpa perhitungan seperti guruku yang telah meninggal itu. justru karena ia bersikap berat sebelah."
Anusapari yang sedang berangan-angan itu tiba-tiba terkejut. Tiba-tiba saja Tohjaya berdiri sambil berkata, "Berhenti. Berhenti dahulu!"
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 63) Jilid 63 MEREKA yang berlatih-pun segera berhenti. Dengan herannya perwira pengawal yang sedang berlatih bersama muridnya itu-pun memandang Tohjaya yang memasuki arena.
"Kalian terlampau bernafsu," berkata Tohjaya kepada Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang. "Seharusnya kalian tidak boleh berbuat sekehendak hati. Apakah gunanya unsur-unsur gerak yang pernah kau pelajari kalau tidak pernah terbayang didalam tata gerak. Kalian tidak sedang berlatih berdasarkan ilmu yang kalian pelajari. Tetapi kalian sekedar berkelahi dengan kasarnya. Memukul, menyepak dan menghantam tanpa perhitungan. Kalau lawan kalian memiliki ketenangan, kalian akan segara dihancurkannya."
Mahisa-wonga-teleng dan Panji Saprang mendengarkannya sambil mengangguk-angguk.
"Mungkin kalian tidak merasa. Tetapi kami yang menyaksikan dapat melihat kesalahan itu, kecuali mereka yang sama sekali tidak mampu menilai tata gerak sama sekali."
Kedua adik-adiknya mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk.
"Coba, marilah, aku beri kalian contoh. Mahisa-wonga-teleng, cobalah, kita bermain sebentar."
Mahisa-wonga-teleng mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu. Dengan demikian maka sejenak ia hanya berdiri saja termangu-mangu.
"Marilah. Kenapa kau ragu-ragu. Aku ingin menunjukkan bahwa kau telah membuat banyak kesalahan."
Mahisa-wonga-teleng masih juga ragu-ragu. Sejenak kemudian ia berpaling kepada gurunya, seolah-olah ia minta pertimbangan, apakah ia diperkenankan memenuhi ajakan Tohjaya.
Gurunya-pun menjadi bimbang. Ia tidak dapat menolak, tetapi sebenarnya ia agak berkeberatan.
"Marilah. Kenapa kau ragu-ragu." lalu Tohjaya berpaling kepada perwira pelatih adik-adiknya itu, "bukankah kau tidak berkeberatan?"
Pelatih itu menjadi bingung sejenak. Namun kemudian dengan berat ia terpaksa menganggukkan kepalanya, meski-pun ia kemudian berkata, "Tetapi tuanku Mahisa-wonga-teleng masih sangat rawan tuanku."
"Aku sudah tahu. Justru karena itu aku ingin menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Dan jangan cemas, aku dapat menyesuaikan diriku menghadapi anak-anak yang baru mulai."
Karena gurunya tidak berkeberatan, Mahisa-wonga-teleng-pun kemudian maju mendekati kakandanya. Sejenak kemudian mereka-pun segera bersiap untuk melakukan latihan.
"Nah, mulailah," berkata Tohjaya, "aku akan menyesuaikan diriku. Dan aku akan menunjukkan kelemahan-kelemahanmu. Mulailah. Bersungguh-sungguhlah supaya tampak pula, kesalahan-kesalahan yang kau lakukan."
Mahisa-wonga-teleng menjadi ragu-ragu sejenak.
"Ya, mulailah. Jangan takut. Bersungguh-sungguhlah."
Sejenak kemudian Mahisa-wonga-teleng melangkah semakin dekat. Dengan ragu-ragu ia-pun kemudian mulai menyerang. Tetapi serangannya sama sekali tidak bertenaga.
Tohjaya mengelakkan serangan itu sambil berkata, "Kau masih saja ragu-ragu. Jangan kau kekang tenagamu. Lepaskan serangan seperti kau berkelahi bersungguh-sungguh. Jika tidak demikian, aku tidak akan dapat menilai tata gerakmu yang salah."
Mahisa-wonga-teleng menjadi semakin berani. Geraknya menjadi semakin cepat dan tangkas. Namun Tohjaya dapat mengelakkannya dengan lincahnya pula.
Sejenak kemudian latihan itu-pun menjadi semakin cepat. Ternyata Mahisa-wonga-teleng cukup berhati-hati menghadapi kakaknya. Tanpa disangka-sangka oleh Tohjaya, maka serangannya menjadi semakin cepat.
"Anak gila," pikir Tohjaya. Dan Tohjaya-pun kemudian ingin segera menunjukkan kelebihannya. Tiba-tiba ia tidak saja mengelakkan serangan adiknya. Ia ingin membuktikan bahwa ketenangannya akan segera dapat menguasai tata gerak Mahisa-wonga-teleng yang dianggapnya tergesa-gesa tanpa pengekangan diri.
Tetapi dadanya berdesir, ketika serangannya yang pertama sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ternyata Mahisa-wonga-teleng, meski-pun lebih muda dari Tohjaya, tetapi bentuk tubuhnya agak lebih meyakinkan.
Karena itu, maka Tohjaya-pun segera mengulangi serangannya. Dengan cepat ia merendahkan dirinya. Sebuah kakinya menyapu kaki Mahisa-wonga-teleng yang baru saja berjejak diatas tanah karena loncatannya menghindari serangan Tohjaya yang gagal.
Namun sekali lagi Tohjaya kecewa dan bahkan terkejut ketika dengan lincahnya pula Mahisa-wonga-teleng melenting surut beberapa langkah.
"Gila," Tohjaya menggeram didalam hatinya. Dua kali ia tidak berhasil. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika tampak olehnya guru Mahisa-wonga-teleng yang tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia tengah berbangga karena muridnya berhasil menghindarkan diri dua kali berturut-turut.
"Sekarang ia tidak akan dapat menghindar lagi," katanya didalam hati.
Ternyata Tohjaya telah menyiapkan suatu serangan yang meyakinkan bagi Mahisa-wonga-teleng. meski-pun tidak sampai membahayakan. Namun demikian, ternyata guru Mahisa-wonga-teleng dapat melihat lewat kerut kening dan sikap Tohjaya bahwa serangan mendatang pasti tidak akan dapat dielakkannya.
Mahisa-wonga-teleng sendiri tidak begitu menghiraukannya, apakah Tohjaya akan bersungguh-sungguh atau sekedar bermain-main. Ia-pun merasa bangga atas dirinya sendiri, karena ia berhasil mengelakkan serangan-angan Tohjaya. Bahkan kemudian ia menjadi semakin mantap apabila Tohjaya berlatih semakin cepat. Dengan demikian ia akan mendapat banyak kemajuan dan pengalaman.
Tatapi Mahisa-wonga-teleng sama sekali tidak menyangka, bahwa Tohjaya menjadi marah karena ia justru berhasil menghindari serangannya, ia menyangka bahwa Tohjaya akan memujinya dan kemudian mempercepat serangannya untuk menuntunnya.
Demikianlah ketika Mahisa-wonga-teleng menjadi sedikit lengah, meluncurlah serangan Tohjaya yang cepat dan keras. Dan bahkan sama sekali tidak terduga-duga.
Guru Mahisa-wonga-teleng terkejut karenanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena jaraknya terlampau jauh. Meski-pun demikian ia meloncat maju mendekati muridnya yang kemudian terdorong beberapa langkah. Hampir saja Mahisa-wonga-teleng terdorong jatuh seandainya gurunya tidak cepat menangkapnya.
Mahisa-wonga-teleng menyeringai menahan sakit didadanya. Ternyata serangan Tohjaya telah mengenai dadanya dan mendorongnya dengan keras.
Yang menjadi basah oleh keringat adalah Anusapati. Hampir saja ia lupa akan dirinya. Ketika ia melihat Tohjaya menyerang Mahisa-wonga-teleng, dadanya berdesir tajam. Hampir saja ia meloncat menahan serangan itu. Seandainya ia melakukannya, maka ia pasti berhasil mendorong Tohjaya kesaniping dan bahkan membantingnya jatuh.
Untunglah bahwa ia berhasil menahan hatinya meski-pun keringat dinginnya mengembun diseluruh tubuhnya. Ia hanya menahan nafasnya melihat Mahisa-wonga-teleng terdorong beberapa langkah.
Dan Anusapati-pun memuji didalam hatinya, bahwa guru Mahisa-wonga-teleng adalah seorang perwira yang cekatan, karena ia tidak membiarkan muridnya jatuh. Bahkan terbayang di wajah perwira itu perasaan yang aneh, yang menurut tanggapan Anusapati, adalah suatu perasaan yang tidak senang sama sekali terhadap sikap Tohjaya. Tetapi karena Tohjaya seorang putera Sri Rajasa, maka guru Mahisa-wonga-teleng itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa.
"Kalau saja adinda Tohjaya orang lain." gumam Anusapati didalam hatinya, "pasti guru Mahisa-wonga-teleng itu sudah menantangnya berkelahi."
Namun dalam pada itu, Anusapati melihat Tohjaya tersenyum sambil melangkah maju mendekati Mahisa-wonga-teleng yang sudah berdiri sendiri.
"Kau memang kurang hati-hati," berkata Tohjaya, "tetapi aku tidak menyangka bahwa seranganku akan mengenaimu sekeras itu. Seharusnya kau mampu mengelakkannya atau mengurangi tekanan serangan itu. Tetapi kau gagal. Hal itulah yang akan aku tunjukkan kepadamu. Kau tidak berkelahi atau kali ini berlatih dengan akal dan nalar. Kau terlampau terburu-buru. Gerakmu menjadi kacau karena kau tidak lagi mempergunakan unsur-unsur gerak yang sudah kau pelajari. Seandainya ada juga yang tampak didalam tata gerakmu, tetapi justru kau tidak sengaja mempergunakannya, karena kau tidak mengetahui artinya."
Mahisa-wonga-teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya masih terasa sakit.
"Nah," berkata Tohjaya. "lain kali kau harus lebih berhati-hati."
"Ya kakanda," jawab Mahisa-wonga-teleng.
"Berlatihlah dengan baik. Cobalah mengerti arti setiap tata gerak," lalu kepada pelatih adiknya Tohjaya berkata, "sekarang kau melihat kelemahan muridmu. Ia tidak sadar menghayati tata gerak yang kau berikan."
Perwira itu menganggukkan kepalanya, "Hamba tuanku."
"Nah, berlatihlah terus. Aku akan melihatnya."
Perwira itu menganggukkan kepalanya. Sekilas ditatapnya wajah Anusapati. Tetapi ia tidak mendapat kesan apa-pun di wajah yang seakan-akan diam membeku itu.
Tetapi Anusapati itu terkejut ketika tiba-tiba saja Tohjaya berkata lantang, "Ha, aku hampir lupa. Disini ada kakanda Anusapati. Barangkali aku dapat memberikan beberapa contoh yang lebih baik bagi kalian yang berlatih disini. Adinda Mahisa-wonga-teleng, adinda Panji Saprang, adinda Sudatu dan yang lain-lain."
Anusapati menjadi berdebar-debar.
"Kakanda Anusapati. Marilah kita berlatih sejenak. Kita akan dapat memberikan beberapa contoh kepada adik-adik kita, bagaimana seharusnya kita menguasai tata gerak didalam latihan dan perkelahian yang lebih sulit. Bukankah kakanda Anusapati sama sekali tidak berkeberatan?"
Dada Anusapati berdesir mendengar ajakan itu. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan menghadapi suatu keadaan yang sangat sulit.
"Marilah kakanda Anusapati. Kita sekedar bermain-main untuk menunjukkan kepada adik-adik kita gerakan-akan yang agak sulit, supaya mereka mendapat gambaran, apakah yang kelak akan mereka pelajari. Apa yang harus mereka mengerti sebelum mereka meningkat pada ilmu yang lebih tinggi. Dalam tingkat kita inipun, kita masih belum diperkenankan untuk mempelajari ilmu yang khusus yang dapat menjadi pegangan kita masing-masing untuk selanjutnya," desak Tohjaya kemudian.
Anusapati masih belum menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Tohjaya, sebenarnya sama sekali tidak ingin menunjukkan gambaran tentang gerakan-akan yang lebih sulit seperti yang dikatakannya. Ia hanya sekedar ingin menyombongkan dirinya, menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sehingga adik-adiknya menjadi heran dan kemudian memujinya. Apalagi apabla didalam latihan itu, ia berhasil mengalahkannya, mengalahkan kakak sulung dari anak-anak muda yang ada dilongkangan itu. Anak sulung yang bergelar Pangeran Pati Kerajaan besar Singasari.
"Kenapa kakanda Anusapati diam saja" Sebaiknya kakanda Anusapati tidak usah merahasiakan kemampuan kakanda. Bukankah mereka adik-adik kita yang memerlukan bimbingan kita?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Tetapi kita dapat mengambil jalan lain adinda Tohjaya."
"Latihan adalah jalan yang sebaik-baiknya," jawab Tohjaya, "kalau kita hanya sekedar menunjukkan unsur-unsur gerak, itu tidak akan banyak berarti."
"Tetapi kita tidak boleh mengadakan latihan itu," sahut Anusapati selanjutnya.
"Kenapa?" "Disini tidak ada guru kita. Latihan-latihan langsung bagi kita, tidak dibenarkan tanpa hadirnya guru kita."
"Ah. Itu sekedar peraturan. Tetapi kita dapat saja mengambil suatu kebijaksanaan."
Anusapati terdiam sejenak. Dan bahkan Sudatu menyambung, "Ya kakanda Anusapati. Dengan demikian kita akan dapat menyaksikan suatu latihan yang pantas kita pelajari. Bukan sekedar latihan-latihan kita sendiri. Kami pasti akan dapat memetik manfaatnya apabila kakanda berdua bersedia mengadakan latihan. Gerak-gerak yang sulit, namun masih berada dalam batas kemampuan kami, kami akan dapat mempelajarinya langsung. Kakanda dapat mengulangi tata gerak itu beberapa kali."
Tetapi Anusapati menggeleng lemah. "Sayang adinda Sudatu," jawabnya, "kakanda Anusapati bukannya segan berlatih dan menunjukkan tata gerak yang kakanda miliki tetapi kakanda tidak berani melanggar pantangan yang diberikan oleh guru kami."
"Kakanda tidak usah takut," berkata Tohjaya, "akulah yang akan bertanggung jawab, apabila guru marah kepada kita nanti."
Tetapi Anusapati tetap menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku tidak berani adinda Tohjaya."
"Ah, kakanda terlampau mengikat diri dengan peraturan-peraturan beku itu. Kita dapat berbuat apa saja yang kita ingini. Tidak ada orang yang dapat mengganggu gugat kita diseluruh Singasari."
"Sebentar saja kakanda," desak Sudatu.
Anusapati termenung sejenak. Ia menyesal bahwa ia telah datang ketempat latihan itu. Kini ia berada dalam kesulitan. Permintaan Tohjaya itu adalah permintaan yang berlebihan.
"Kalau aku memenuhi permintaannya, maka yang terjadi pasti suatu pertengkaran yang sebenarnya. Tohjaya pasti ingin segera menang dan menunjukkan kepada adik-adiknya bahwa ia mempunyai kelebihan daripadaku. Tetapi sudah tentu aku-pun tidak akan dapat membiarkan diriku mendapat malu dihadapan adik-adik terlebih-lebih adik-adikku seibu. Mereka pasti akan berceritera kepada ibunda Permaisuri bahwa didalam latihan, aku sudah dikalahkan oleh Tohjaya," berkata Anusapati di dalam hatinya.
"Kakanda terlampau banyak pertimbangan," desak Tohjaya.
"Mungkin demikian adinda," jawab Anusapati, "tetapi marilah kita mencari jalan lain, bagaimana kita memberikan beberapa contoh gerakan-akan yang lebih sulit kepada adik-adik kita tanpa, melanggar ketentuan perguruan kita."
"Ah," desis Tohjaya, "agaknya kakanda mencoba merahasiakan ilmu itu. Kakanda cemas kalau adik-adik kita dapat menyusul kemampuan kita, terutama kakanda Anusapati yang tidak dapat lebih maju dari ilmu yang itu-itu juga. Kakanda agaknya sudah sampai kebatas kemampuan tertinggi kakanda."
Hampir saja Anusapati kehilangan nalar yang bening. Sudah tentu ia tidak mau menerima hinaan dari Tohjaya dihadapan adik-adiknya. Tetapi untunglah bahwa ia masih tetap berusaha mengendalikan dirinya.
Tiba-tiba saja ia menemukan akal untuk mengelakkan latihan itu. Setelah berpikir sejenak, maka ia-pun kemudian bertanya kepada guru Mahisa-wong-ateleng, "Bagaimanakah pertimbanganmu" Kau juga seorang perwira prajurit dan sekaligus seorang guru dari putera ayahanda Sri Rajasa. Seandainya murid-muridmu mengadakan latihan tanpa pengawasanmu, apakah kau tidak berkeberatan."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata, "Sebaiknya hamba menjawab dengan jujur."
"Ya, jawablah dengan jujur. Sebagai seorang perwira kau pasti seorang yang mendahulukan kejujuran daripada soal-soal yang lain."
"Ampun tuanku. Hamba sebagai seorang guru, agaknya memang berkeberatan apabila murid-murid hamba mengadakan latihan diluar pengawasan hamba sebelum hamba menganggap bahwa murid-murid hamba telah benar-benar matang."
"Nah," desis Anusapati, "aku kira guru kita-pun akan berpendapat begitu. Sebaiknya kita memang memberikan contoh kepada adik-adik kita. Tetapi bukan saja contoh tentang tata gerak dan olah kanuragan. Tetapi juga contoh bagaimana kita harus mentaati ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh guru kita."
Wajah Tohjaya menjadi kemerah-merahan. Dipandanginya Anusapati dan guru Mahisa-wonga-teleng itu berganti-ganti. Namun justru dengan demikian sejenak ia seakan-akan terbungkam karenanya. Waktu yang sejenak itu ternyata telah cukup untuk mencernakan perasaan adik-adiknya, sehingga tanpa maksud apa-apa Mahisa-wonga-teleng berkata, "Ya. Sebaiknya setiap latihan bagi mereka yang masih dibawah pengawasan seorang guru, harus ditunggui oleh gurunya itu."
Tohjaya masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi dimatanya memancar perasaan yang bergejolak didalam dadanya. Namun demikian, agaknya Tohjaya masih juga menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya guru Mahisa-wonga-teleng sama sekali tidak menjadi gelisah. Agaknya ia benar-benar telah menentukan sikap, apa-pun yang akan dihadapinya.
"Baiklah," akhirnya Tohjaya menggeram, "kali ini kakanda Anusapati dapat menghindar. Sama sekali bukan karena alasan-alasan lain, tetapi karena adinda semuanya memiliki kemampuan yang mengagumkan, yang akan dapat dengan mudah mempelajari tata gerak yang agak sulit, sehingga adinda semuanya akan segera dapat menyamai kami." Tohjaya berhenti sejenak, lalu "Tetapi itu bukan penyelesaian. Bukan akhir dari kemungkinan bagi kemajuan adinda semuanya. Aku akan mengundang adinda didalam latihan-latihan kami. Dan dengan demikian adinda akan melihat latihan itu dengan syarat yang terpenuhi. Kami akan ditunggui oleh guru kami."
Dada Anusapati berdesir. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Tohjaya itu. Kalau kali ini ia berhasil menghindar, itu bukan berarti akhir dari kemungkinan terjadi dua benturan diantara dirinya dan Tohjaya.
"Apakah aku dapat bertahan?" desis Anusapati didalam hati.
Dalam pada itu, guru Mahtsa-wonga-telenglah yang kemudian mengambil alih suasana. Kepada murid-muridnya ia berkata, "Marilah tuanku. Kita berlatih terus. Latihan-latihan yang telah tuanku terima dengan beberapa perbandingan yang tuanku dapatkan dari kakanda tuanku, pasti akan bermanfaat."
Mahisa wonga-teleng dan adik-adiknya-pun segera bersiap pula untuk menerima latihan-latihan berikutnya. Namun Tohjaya tidak lagi merasa perlu untuk menunggui latihan-latihan itu. Bersama pengawalnya ia-pun kemudian meninggalkan arena latihan dilongkangan dalam itu.
Anusapati masih berada dilongkangan itu beberapa saat lamanya. Sepeninggal Tohjaya ia justru merasa tenang untuk menyaksikan latihan itu. Tetapi jauh berbeda dari adiknya, Anusapati sama sekali tidak pernah berhasrat menghentikan latihan itu dan memberikan beberapa petunjuk kepada adik-adiknya. Ia sadar, bahwa hal itu pasti menyinggung perasaan pelatihnya, meski-pun ia tidak mengatakannya. Dan Anusapati sadar bahwa ia sama sekali tidak berhak berbuat demikian menurut tata kesopanan didalam setiap perguruan, meski-pun pelatihnya itu seorang perwira prajurit yang kedudukannya agak berbeda dari seorang guru diperguruan yang khusus.
Ketika Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya telah bermandikan keringat, maka latihan yang cukup berat itu-pun segera berakhir. Anusapati-pun kemudian minta diri untuk meninggalkan arena itu. Meski-pun demikian pelatih adik-adiknya itu masih juga mencoba bertanya kepadanya, "Bagaimanakah menurut pendapat tuanku?"
"Aku sebenarnya tidak cukup mampu untuk memberikan pendapat apapun. Seperti kau ketahui, aku sama sekali tidak berhasil untuk maju. Bukankah adinda Tohjaya sadah mengatakannya" Karena itu aku sama sekali tidak berani menilai latihan-latihan adik-adikku."
"Ah, tuanku merendahkan diri. Bagaimana-pun juga tuanku telah berlatih untuk waktu yang lama. Mungkin tuanku melihat sesuatu yang kurang baik didalam latihan-latihan ini, karena sebenarnya aku seorang prajurit, bukan seorang guru." suara pelatih itu-pun menurun sehingga adik-adik Anusapati tidak mendengarnya.
Anusapati tersenyum. Sambil menepuk bahunya ia berkata, "Kau ternyata seorang guru yang baik."
"Tuanku bergurau."
"Aku tidak bergurau."
"Pada suatu kesempatan aku akan melihat tuanku berlatih apabila tuanku Tohjaya memanggil aku dan tuanku Mahisa-wonga-teleng bersama adik-adiknya."
Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Apakah kau ijinkan murid-muridmu untuk melihat latihan semacam itu" Kalau aku boleh berpendapat, satu-satunya pendapatku adalah ilmu yang kau berikan harus murni. Baru setelah murid-muridmu menguasainya ilmu dasar dengan matang, mereka boleh mempelajari unsur-unsur gerak yang berbeda. Dengan demikian, mereka tidak akan dibingungkan oleh tata gerak yang mungkin mempunyai sifat dan watak yang berlawanan."
Perwira itu mengerutkan keningnya, ia merasakan perbedaan sikap pada kedua purera Sri Rajasa yang berlainan ibu itu. Anusapati tampak lebih matang dan hati-hati, sedang Tohjaya lebih gembira, tetapi kekanak-anakan dan agak sombong.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun kata-kata Anusapati itu ternyata, berpengaruh juga pada perwira itu. Apakah ia akan mengijinkan murid-muridnya menyaksikan latihan kedua kakak-kakaknya yang dituntun oleh guru yang berbeda dan didalam tataran yang lebih tinggi" Apakah hal itu tidak akan justru membingungkan mereka"
Tetapi perwira itu tidak ingin segera memutuskan, ia akan membuat pertimbangan-angan tertentu. Dan yang akan dilakukan pertama-tama adalah menemui perwira prajurit yang kini menjadi guru Anusapati dan Tohjaya. Bagaimanakah pendapatnya dan mungkin nasehatnya. Perwira itu menyadari, bahwa guru Anusapati lebih condong pada olah kanuragan secara pribadi, karena pada dasarnya ia bukan seorang prajurit. Karena itu, ia pasti lebih banyak mengetahui tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada setiap pribadi didalam olah kanuragan apabila beberapa macam ilmu saling mempengaruhi sebelum ilmu dasarnya cukup mapan.
Anusapati yang kemudian meninggalkan arena latihan itu-pun segera kembali kebangsalnya. Ia masih saja dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi diarena latihan itu. Tohjaya pasti berusaha dengan sekuat tenaganya, untuk menyeretnya, kedalam suatu bentuk latihan yang agak khusus, agar ia dapat mengundang adik-adiknya untuk menyaksikan latihan itu. Latihan yang sudah pasti menurut rencananya, dengan mudah akan dapat menunjukkan kemenangannya dari Anusapati.
Persoalan itu ternyata telah mendebarkan dada Anusapati. Ia sebenarnya tidak ingin terlibat dalam kesulitan serupa itu terus-menerus. Tetapi ia berada didalam suatu lingkungan yang tidak menguntungkannya.
Seperti yang diharapkannya, maka pada suatu saat Sumekar-pun datang kehalaman bangsalnya. Ia melihat sebatang bunga soka telah berada disudut dan bunga ceplok piring yang masih setinggi jengkal tangan dikurung dengan pagar bambu disisi regol dalam.
Dengan sebuah bumbung air ditangan. Sumekar berjalan menyilang halaman dan kemudian tertegun sejenak ketika melihatnya duduk di serambi.
Anusapatilah yang kemudian turun mendekatinya. Sambil menuangkan air dari dalam bumbung yang besar itu ke pohon-pohon bunga, Sumekar berbisik, "Tuanku sudah melihatnya?"
"Ya," jawab Anusapati.
"Bagaimana" Apakah adinda tuanku memiliki kemungkinan yang baik juga dihari depannya dan diasuh oleh seorang guru dengan baik dan tidak berat sebelah?"
"Mereka pada umumnya mempunyai kemungkinan yang baik didalam olah kanuragan. Gurunya-pun seorang yang baik pula, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berpihak pada siapapun."
Sumekar mengangguk-angguk, "Apakah tuanku Tohjaya hadir juga?"
Anusapati mengangguk. Kemudian diceriterakan apa yang telah terjadi atasnya. Usaha Tohjaya untuk memancing perkelahian dan yang sudah tentu, ia ingin menyelesaikannya dengan baik untuk kepentingannya.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Untunglah tuan berhasil menghindarkan perkelahian itu. Aku kira yang terjadi benar-benar sebuah perkelahian apabila tuan tidak berbasil menghindar."
"Tetapi adinda Tohjaya masih berusaha untuk mengusahakannya. Bahkan mungkin sebuah latihan terbuka seperti yang pernah terjadi."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kesulitan yang timbul pada Putera Mahkota itu seakan-akan bertimbun-timbun tanpa dapat dihindari. Namun menurut penilaian Sumekar, sumber dari semua kesulitan itu adalah perbedaan sikap Sri Rajasa atas kedua anak-anak muda itu. Kemanjaan Tohjaya yang berlebih-lebihan dan Anusapati yang lahir dari bapa yang berbeda.
"Tuanku harus tetap berusaha menghindar," berkata Sumekar kemudian, "hamba menyadari, bahwa tuanku berada dalam kesulitan. Tetapi hamba juga percaya bahwa tuanku cukup bijaksana."
Anusapati tidak menjawab. Ia-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang masih sibuk dengan tanaman-tanaman di halaman. Anusapati-pun kembali naik tangga dan duduk di serambi sambil, memandangi Sumekar yang sibuk.
Dalam pada itu ternyata Tohjaya benar-benar berusaha untuk dapat membalas sakit hatinya. Ia ingin berkelahi melawan Anusapati dihadapan adik-adiknya dan memperlihatkan kemenangannya. Ia harus membanting Anusapati jatuh pada serangannya yang pertama. Kemudian membuat Putera Mahkota itu tidak berdaya. Ia harus berdiri sambil bertolak pinggang disamping kakaknya yang terbaring dilantai arena. Adiknya pasti akan bertepuk tangan dan memujinya.
Tetapi Tohjaya tidak segera dapat menemui gurunya, karena gurunya sedang tidak ada di halaman istana. Lewat ibunya ia sudah menyuruh seorang pengawalnya memanggil gurunya dipondokannya, di halaman samping dari istana Singasari, diluar regol dalam. Tetapi gurunya itu sedang pergi karena ia tidak mempunyai tugas saat itu.
"Kemana ia pergi" " bentak Tohjaya kepada pengawalnya.
"Hamba tidak tahu tuanku. Pondokannya tertutup. Mungkin ia sedang berbelanja ke pasar atau berjalan-jalan diluar dinding istana, karena ia sedang tidak bertugas. Bukankah tuanku akan berlatih senja nanti?"
Tohjaya mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Baiklah. Nanti, sebelum saat latihan, kau harus pergi kepadanya dan memanggilnya kemari."
Tetapi sebelum pengawal Tohjaya itu menjumpai gurunya, seorang perwira perajurit yang lain, guru Mahisa-wonga-teleng, telah datang kepadanya. Perwira itu datang tepat beberapa, saat ketika guru Tohjaya itu kembali.
"O, apakah kakang dari bepergian?" bertanya perwira itu.
"Kenapa?" "Pakaian kakang itulah yang mengatakannya."
Guru Tohjaya itu tersenyum, "Ya, aku baru saja berjalan-jalan keluar sejenak. Melihat-lihat kota yang berkembang dengan pesatnya."
Perwira itu tersenyum pula.
"Tetapi apakah ada sesuatu yang penting?"
Perwira itu-pun kemudian menyampaikan maksudnya. Ia ingin mendapat penjelasan sikap guru Tohjaya itu tentang persoalan yang sedang dihadapi oleh kedua muridnya.
Guru Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku memang dibingungkan oleh kedua putera Sri Rajasa itu. Keduanya memiliki sifat dan kebiasaan yang jauh berbeda."
"Kakang benar. Aku baru mengenal mereka sekilas. Tetapi aku sudah melihat perbedaan itu dengan jelas."
"Baiklah," berkata guru Tohjaya yang sekaligus pamannya itu, "aku akan mempertimbangkannya."
Perwira prajurit yang menjadi guru Mahisa-wonga-teleng itu-pun kemudian minta diri. Ia percaya akan kebijaksanaan guru Tohjaya itu. Ia pasti lebih mengenal kedua putera Sri Rajasa yang besar itu, yang memiliki sifatnya masing-masing.
Baru saja perwira itu meninggalkan pondoknya yang kecil dibagian samping dari halaman luar istana itu, seorang prajurit pengawal Tohjaya datang kepadanya untuk menyampaikan perintah Tohjaya memanggilnya menghadap.
"Apakah ada suatu kepentingan?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya mendapat perintah untuk miemanggil."
"Baiklah, aku akan segera menghadap tuanku Tohjaya."
Memang tidak menyenangkan sekali menjadi seorang guru dari seorang pulera Raja yang besar. Meski-pun didalam olah kanuragan ia mempunyai kekuasaan atas kedua muridnya, tetapi kadang-kadang muridnya sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang murid dari sebuah perguruan tata bela diri. Seperti yang dilakukan Tohjaya kali ini adalah mirip perintah seorang putera raja kepada pengawalnya, tidak kepada gurunya.
Namun ia tidak dapat mengelak. Betapa-pun beratnya, ia-pun kemudian pergi juga menghadap Tohjaya yang sekaligus kemanakannya itu.
"Nah, paman," berkata Tohjaya, "mungkin paman terkejut mendengar panggilanku."
"Hamba tuanku," jawab gurunya, meski-pun sebenarnya ia sama sekali tidak terperanjat karena ia memang sudah mendengar dari guru Mahisa-wonga-teleng sehingga ia dapat membayangkan apa yang akan dibicarakan oleh Tohjaya itu.
"Aku memerlukan waktu untuk melakukan latihan khusus dengan kakanda Anusapati."
Pelatihnya itu mengerutkan keningnya. Ia masih berpura-pura terperanjat, dan sejenak merenung.
"Apakah kau dapat memutuskannya?"
"Tuanku," berkata pelatihnya, "hamba pernah berkata pada saat hamba mulai, bahwa latihan khusus seperti itu baru dapat dilakukan setelah tuanku masing-masing bersih sama sekali dari unsur-unsur gerak yang tidak sesuai dengan ilmu dasar hamba. Itu bukan berarti bahwa ilmu yang dahulu itu jelek. Tetapi hamba hanya ingin sekedar memurnikan tata gerak dari ilmu yang akan hamba turunkan kepada tuanku berdua."
"Ah, tetapi kami berdua telah hampir dapat membersihkan diri kami. Sisa-sisa yang tidak seberapa dibanding dengan tata gerak yang paman berikan aku kira sudah tidak akan berarti apa-apa lagi. Dengan latihan khusus dan agak mendalam kami berdua pasti akan mendapat banyak manfaat."
"Tuanku," berkata gurunya, "sebenarnya hamba tidak berkeberatan sama sekali seandainya hamba tidak bertanggung jawab atas tuanku berdua. Seandainya hamba hanya sekedar seorang guru tanpa mengingat hubungan yang lebih akrab lagi. Ilmu yang bercampur baur tanpa kesadaran dan kemampuan memperpadukan, adalah sangat berbahaya," perwira itu berhenti sejenak, lalu "misalnya tuanku berdua pada suatu saat menyaksikan latihan dari sebuah perguruan lain, dan tuanku berhasil menangkap beberapa macam tata gerak. Adalah sangat berbahaya bagi tuanku apabila tuanku mencoba menyatukan tata gerak itu kedalam rangkaian tata gerak yang sudah tuanku miliki dalam keadaan tuanku sekarang. Adalah berbeda sekali apabila tuanku berdua sudah cukup masak. Maka semuanya akan dapat berjalan dengan lancar dan aman bagi perkembangan ilmu tuanku berdua. Demikian juga sisa-sisa ilmu yang ada pada tuanku sekarang. Yang memang kurang sesuai sebaiknya dibersihkan. Kelak apabila tuanku sudah menguasai diri benar-benar, tuanku akan dapat menggalinya kembali dan menyatu-padukannya didalam ilmu tuanku sendiri."
Dada Tohjaya menjadi berdebar-debar. Sebelum ia menyampaikan niatnya untuk berlatih dan memanggil adik-adiknya agar mereka mendapat pengalaman dan pengenalan baru, ternyata gurunya telah mendahuluinya.
Tetapi Tohjaya sama sekali tidak tahu, bahwa gurunya telah lebih dahulu bertemu dengan guru adik-adiknya dan mendapat beberapa keterangan daripadanya, sehingga gurunya dengan sengaja telah memberikan beberapa penjelasan yang langsung atau tidak langsung telah menjurus kedalam suatu usaha untuk mencegah niat Tohjaya yang pasti hanya akan menimbulkan kesulitan itu.
Meski-pun demikian Tohjaya masih berkata, "Tetapi, sebagai suatu pengalaman, bukankah pengenalan atas bentuk-bentuk tata gerak itu perlu sekali" Seandainya tidak disatu-padukan dengan tata gerak sendiri, namun setidak-tidaknya seseorang dapat memperkaya pengenalannya seandainya ia justru bertemu dengan lawan yang mempergunakan tata gerak itu."
"Pengarahan dari setiap pengenalan masih diperlukan sekali tuanku. Seorang guru harus dapat memilih, yang manakah yang dapat dilihat dan yang manakah yang mungkin justru akan mengacaukannya. Kini tuanku berdua sedang berada dalam taraf membersihkan diri. Tuanku harus melakukannya sebaik-baiknya lebih dahulu sebelum tuanku terlambat dalam pelontaran ilmu yang masih belum bersih. Didalam latihan-latihan khusus, apalagi semacam perkelahian bebas itu, masih sangat kurang menguntungkan bagi tuanku berdua. Tuanku pasti masih akan dipengaruhi oleh tata gerak dari campuran ilmu yang masih belum bersih benar ini. Didalam latihan yang demikian, kadang-kadang perasaan seseorang akan menjadi lebih tajam menonjol dan pada nalar."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia-pun menggeram sambil berkata, "Jadi kau tetap tidak membenarkan kami mengadakan latihan serupa itu?"
"Mungkin dapat diadakan tuanku, tetapi dalam batas yang akan hamba tentukan. Hamba akan memberikan beberapa macam bentuk tangkapan didalam olah kanuragan ini yang dapat tuanku pelajari bergantian, unsur getak yang akan tergabung didalam tata bentuk yang khusus."
Sejenak Tohjaya justru terdiam. Agaknya gurunya-pun tidak membantunya dalam hal ini. Tidak seperti gurunya yang telah tidak ada lagi. Setiap usahanya, apalagi yang menyangkut hubungannya dengan Anusapati, selalu dibantunya. Gurunya saat itu membenci Anusapati pula. Tetapi agaknya gurunya yang sekarang masih belum dapat dibawanya kedalam perbuatan seperti itu. Agaknya gurunya sekarang yang masih berpegang pada sifat seorang guru terhadap kedua muridnya yang sejajar dan setingkat.
Meski-pun demikian, apa-pun yang akan terjadi didalam latihan nanti ia berkata kepada gurunya, "Baiklah. Dalam batas-batas yang kau setujui, kita akan tetap mengadakan latihan khusus. Aku ingin kita segera dapat melakukan latihan perkelahian yang agak longgar, sehingga latihan-latihan itu tidak terasa sangat menjemukan."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Didalam suatu perguruan, gurulah yang menentukan jenis-jenis latihan. Kadang-kadang memang seorang murid merasa jemu dengan latihan-latihan yang seakan-akan serupa saja. Namun ada dua manfaat dari latihan-latihan yang demikian. Yang pertama, menyempurnakan latihan dan penguasaan tata gerak itu, dan yang kedua, melatih kesabaran dan ketekunan. Melatih untuk tidak segera jemu terhadap sesuatu yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi dirinya dan hari depannya.
"Jadi," Tohjaya menjadi marah meski-pun masih ditahankannya, "tegasnya bagaimana?"
"Hamba dapat memenuhi sebagian dari keinginan tuanku itu. Latihan itu dapat diadakan didalam batas-batas yang akan hamba tentukan sesuai dengan tingkat ilmu tuanku berdua sekarang ini."
Tohjaya menggeram, tetapi ia bertanya, "Apakah orang lain dapat ikut melihat?"
"Siapakah yang tuanku maksud dengan orang lain?"
"Adik-adikku misalnya. Sudatu, Saprang, Agnibaya?"
Pelatihnya mengerutkan keningnya. Katanya, "Itu terserah kepada guru mereka. Tetapi sebenarnya hal itu menjadi pantangan bagi sebuah perguruan. Mungkin anak-anak muda itu tidak dapat berbuat banyak dari hasil penglihatannya, karena gurunya pasti akan melarang mereka melakukan gerak tiruan atau serupa itu yang dapat merusak latihan-latihan yang mereka lakukan berdasarkan urutan yang telah tersusun didalam perguruan itu. Tetapi apabila gurunya dapat menangkap beberapa tata gerak yang dapat dimanfaatkan didalam perguruannya, maka itu berarti kita akan kehilangan."
"Kau terlampau curiga. Mungkin lawan-lawan perguruan dapat berbuat begitu. Tetapi kita berhadapan dengan perguruan yang sama-sama mengabdi pada Singasari, kepada ayahanda Sri Rajasa. Apakah kau mengerti?"
Guru itu menarik nafas pula. Setiap kali, bahkan kemudian sambil mengusap keningnya yang mulai basah oleh keringat, "Meski-pun demikian, hamba akan tetap merahasiakan ilmu inti dari perguruan ini. Hamba telah menciptakan beberapa ilmu khusus yang tidak dimiliki oleh perguruan-perguruan lain, dan mungkin sebaliknya. Karena itu, hamba tidak akan mengorbankan ilmu semacam itu. Dengan demikian latihan-latihan itu akan tetap terbatas, apalagi dilihat oleh orang-orang dari luar perguruan kita."
"Tetapi perguruan adinda Mahisa-wonga-teleng tidak menyimpan rahasia apapun. Aku diperbolehkan melihat latihan-latihan yang mereka lakukan. Bahkan anak-anak ingusan itu sudah diperkenankan melakukan latihan perkelahian bebas."
"Lain sekali tuanku. Mereka justru masih terlampau sedikit mengetahui ilmu dari perguruan mereka sendiri. Mereka tidak akan melontarkan jenis tata gerak dari ilmu inti perguruan mereka, yang masih belum mereka kuasai sama sekali. Perkelahian yang mereka lakukan hampir seperti anak-anak berkelahi di pinggir jalan meski-pun ada sedikit saluran yang sudah mereka terima."
Tohjaya menggeretakkan giginya. Meski-pun demikian ia masih tetap berkata, "Kita akan mengadakan latihan khusus hari ini. Aku akan mengundang adinda Mahisa-wonga-teleng, adik-adikku yang lain dan gurunya. Mereka akan melihat, bagaimana seharusnya kita berlatih. Bukan seperti anak-anak malas yang menonton pertunjukkan diarena."
"Baiklah tuanku. Hamba akan mengatur latihan itu."
"Aku ingin berlatih olah kanuragan. Aku tidak ingin melakukan latihan tari. Kalau semuanya sudah diatur, maka sama sekali bukan latihan tata gerak perkelahian, itu namanya menari. Dan aku tidak memerlukan latihan-latihan tari semacam itu. Aku sudah mempunyai waktu khusus untuk berlatih menari dan mendapat guru yang khusus pula."
"Kalau saja yang berbicara itu bukan putera Sri Rajasa," berkata gurunya didalam hatinya. Namun ia tidak menyahut lagi. Sudah tentu ia tidak akan dapat berbantah dengan anak muda yang manja itu. Jika anak itu marah, ia akan dapat berbuat lebih dari sekedar mengumpat-umpat. Meski-pun anak itu muridnya, tetapi ia tidak akan dapat menghukumnya, karena ia putera Sri Rajasa yang perkasa. Sri Rajasa yang tidak terkalahkan oleh siapa-pun juga diseluruh Singasari. Namun demikian guru Tohjaya itu sempat juga bergumam, "Hanya ada seorang yang dapat menyamai kemampuannya. Orang yang telah berhasil mengalahkan Gubar Baleman yang memiliki ilmu rangkap tujuh. Mahisa Agni."
Tetapi guru itu sama sekali tidak menyangka, bahwa muridnya, Anusapati, sebenarnya adalah murid Mahisa Agni itu, dan bahkan telah mewarisi sebagian besar dari ilmunya, meski-pun masih belum cukup masak. Selebihnya orang itu tidak memperhitungkan orang-orang lain yang selama ini seakan-akan tersembunyi. Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana yang masing-masing seakan-akan telah hilang, namun dengan tekun mendalami ilmunya, bahkan meski-pun belum setingkat dengan mereka itu, namun dihadapan hidungnya ada juga seorang yang pantas diperhitungkan, seorang juru taman yang bernama Sumekar.
Demikianlah, meski-pun dengan perasaan yang berat, namun pelatih Tohjaya itu harus menyetujuinya, bahwa didalam latihan nanti, Tohjaya akan mengundang beberapa orang tamu. Namun ia percaya bahwa guru Mahisa-wonga-teleng itu akan mengatur sendiri murid-muridnya.
Tanpa menunggu persetujuan Anusapati, maka Tohjaya-pun kemudian memerintahkan kepada pengawalnya untuk mengundang adik-adiknya bersama gurunya sekaligus untuk menyaksikan latihan yang akan diadakan senja itu. Latihan khusus untuk menunjukkan kepada adik-adiknya, bagaimana mereka harus berlatih untuk mencapai tingkat yang lebih sulit.
Perasaan guru yang sekaligus pamannya itu benar-benar telah tersinggung. Dengan demikian maka jarak antara Tohjaya dan gurunya justru menjadi semakin jauh. Tetapi agaknya Tohjaya tidak menghiraukannya. Ia masih mempunyai pelatih yang lain, yang mendapat waktu khusus dan tempat yang khusus baginya atas ijin ayahanda Sri Rajasa. Justru disaat-saat terakhir Tohjaya yang tidak puas dengan gurunya yang resmi telah diangkat dari kalangan perwira prajurit Singasari itu, sehingga atas persetujuan ayahanda dan Ibunda, ia memberatkan diri pada latihan-latihan yang tersembunyi. Latihan-latihan yang diadakan semakin sering dan semakin memuncak. Pada suatu saat Tohjaya harus dapat mengejutkan rakyat Singasari dengan kemampuannya yang tidak terkalahkan. Apalagi oleh Anusapati.
"Biarlah, apa yang dilakukan oleh pamanmu itu," berkata Ken Umang kepada Tohjaya pada suatu saat, "ia mungkin masih belum dapat mengerti maksud kita. Tetapi pada suatu saat ia akan mengerti pula. Sementara itu, kau dapat mempersiapkan dirimu dengan bimbingan gurumu yang seorang lagi, yang langsung diawasi oleh ayahanda Sri Rajasa."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia berkata didalam hatinya, "Pada suatu saat paman akan aku tundukkan. Ia harus mengakui kelebihanku daripadanya. Aku akan menghinakannya dihadapan banyak orang sebagai imbalan sifatnya yang keras kepala. Apalagi muridnya yang lain. Anusapati, bagiku tidak akan berharga sama sekali untuk dilawan dalam latihan sekalipun."
Dan guru Tohjaya yang seorang itu adalah seorang pendeta tua yang bernama mPu Werdi. Tanpa mengetahui maksud Sri Rajasa secara pasti, ia telah memenuhi perintahnya, mengajari Tohjaya didalam saat dan tempat yang tersendiri.
Dan mPu Werdi mendapat pesan dari Sri Rajasa, agar latihan-latihan itu tidak diberitahukan kepada siapapun.
"Ingat," berkata Sri Rajasa, "hanya kau sajalah yang tahu bahwa Tohjaya mendapat ilmu yang lain dari gurunya, perwira prajurit yang bodoh itu. Ilmu prajurit itu sama sekali tidak berarti, sehingga ia memerlukan seorang guru yang sebenarnya, yang dapat membuatnya menjadi seorang yang benar-benar berilmu. Aku tidak dapat mengikut sertakan Anusapati, karena beberapa pertimbangan. Sebagai seorang Putera Mahkota ia harus mendapat pendidikan khusus yang akan aku pertimbangkan tersendiri."
Dengan bekal itulah mPu Werdi berada di istana dalam keadaan rahasia. Tidak seorang-pun yang mengetahuinya, bahwa didalam istana Singasari ada seorang pendeta tua yang dengan tersembunyi menggurui Tohjaya dalam olah kanuragan. Namun sehari-hari ia adalah seorang penasehat Sri Rajasa didalam olah pemerintahan.
Agaknya hal itu pulalah yang membuat Tohjaya menjadi seorang yang merasa dirinya memiliki beberapa kelebihan yang tersembunyi. Dan itu pulalah yang membuat gurunya merasa, bahwa ia masih belum berhasil membersihkan murid-muridnya dari pengaruh gurunya yang sudah meninggal itu.
Namun perwira prajurit, yang sekaligus paman Tohjaya itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa sebenarnya kedua muridnya adalah anak-anak muda yang memiliki guru yang lain. Tetapi karena Anusapati telah jauh lebih masak dari Tohjaya, maka Anusapati lebih banyak dapat membawakan dirinya didalam olah kanuragan. Apalagi sifat-sifat sombong Tohjaya agaknya tidak sesuai dengan usaha ayahandanya untuk menyembunyikan kemampuannya yang didapatkannya dari mPu Werdi.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan itu, diarena latihan, Tohjaya telah siap mendahului gurunya dan Anusapati. Dengan kesal ia berjalan hilir mudik didalam arena latihan. Kedua pengawalnya sama sekali tidak berani menegurnya. Mereka hanya berdiri saja seakan-akan membeku diatas rerumputan.
"Mereka adalah orang-orang malas." Tohjaya menggeram, "matahari telah hampir tenggelam, dan mereka masih belum datang."
Hampir saja salah seorang pengawalnya menyahut, bahwa matahari masih terlampau tinggi untuk disebutkan senja, tetapi niat itu diurungkannya. Pengawalnya sadar, bahwa Tohjaya pasti akan membentaknnya apabila kata-kata itu terlontar dari mulutnya.
Namun beberapa saat kemudian, maka gurunya-pun telah hadir pula ditempat itu, disusul justru oleh Mahisa-wonga-teleng bersama-sama dengan adiknya, dan gurunya.
"Apakah kakanda Anusapati tidak berani hadir di dalam latihan ini," tiba-tiba saja suara Tohjaya melengking.
Semua orang yang ada ditempat itu memandangnya dengan heran. Kenapa ia menjadi gelisah. Bahkan hampir tidak sabar menunggu kedatangan Anusapati"
Tohjaya sama sekali tidak menghiraukan ketika dikejauhan seorang juru taman lewat sambil menjinjing sebatang bumbung yang panjang. Kemudian menuangkannya pada batang-batang pepohonan. Agaknya juru taman itu agak terlampau lambat melakukan tugasnya hari ini. Biasanya semuanya sudah selesai beberapa saat sebelumnya. Yang terakhir dilakukan adalah menyiram pepohonan didalam taman. Namun agaknya hari ini, juru taman itu membuat acara yang agak berbeda, ia menyiram tanaman-tanaman yang ada didalam taman dahulu, sementara kawan-kawannya membersihkannya, menyapu dan menyisihkan daun-daun yang lepas dari tangkainya dan mengotori halaman petamanan. Sedang kawannya yang lain lagi sedang menggali lubang untuk menanam kotoran-kotoran, daun-daun kering dan ranting-rating yang terpotong. Dan kemudian menimbunnya kembali.
Juru taman yang membawa bumbung bambu itu adalah Sumekar.
Baru sejenak kemudian, maka dengan tenang Anusapati memasuki tempat latihan itu. Sambil tersenyum ia menganggukkan kepalanya kepada mereka yang lelah mendahului hadir.
Meski-pun sikap Anusapati itu adalah sikap yang wajar, seperti sikapnya setiap hari, namun kali ini terasa didada Tohjaya bagaikan hentakan-akan yang keras, seolah-olah Anusapati itu sengaja membuatnya marah.
Namun demikian dengan segala usaha Tohjaya menahan hatinya yang serasa akan meledak.
"Marilah kakanda Anusapati," dipaksanya bibirnya untuk tersenyum, "kami sudah menunggu. Sekian banyak orang disini telah berdiri termangu-mangu hanya karena kakanda seorang."
Anusapati tertawa. Katanya, "Terima kasih. Aku minta maaf, bahwa aku datang terakhir meski-pun belum terlambat."
"Matahari sudah hampir terbenam."
Anusapati menengadahkan wajahnya. Ditatapnya cahaya yang memang sudah mulai kemerah-merahan dilangit.
"Aku tidak menyangka bahwa adinda sekalian dan gurunya telah berada disini. Baru saja kami mengunjungi latihan mereka, kini kita sudah mendapat kunjungan balasan."
"Aku telah mengundang mereka," sahut Tohjaya.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski-pun bibirnya masih tersenyum, namun sebenarnya hatinya telah bergolak pula. Ternyata begitu cepatnya Tohjaya berusaha menebus kegagalannya. Kali ini Tohjaya pasti berusaha sejauh-jauh dapat di lakukan untuk menunjukkan kelebihan dan keunggulannya."
"Apa yang harus aku lakukan" " pertanyaan itu selalu membayangi Anusapati. meski-pun ia berusaha untuk tetap menyembunyikannya.
"Kita akan mengadakan latihan khusus kakanda," berkata Tohjaya, "adinda semuanya akan menyaksikan, apakah kita yang tua-tua ini telah benar-benar menguasai ilmu yang sedikit lebih baik dari mereka. Apakah Putera Mahkota Singasari adalah seorang dari antara putera ayahanda Sri Rajasa yang memiliki bekal yang cukup kelak untuk memangku jabatan ayahanda sekarang. Dengan demikian mereka akan mendapatkan kebanggaan. Kita yang tua ternyata telah menunjukkan kemampuan yang dapat mereka contoh dimasa datang."
Anusapati mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah gurunya sejenak. Kemudian guru adik-adiknya, dan berganti-ganti wajah-wajah Mahisa-wonga-teleng, Saprang dan yang lain-lain. Kini ia merasa benar-benar dihadapkan pada suatu kesulitan yang mungkin tidak teratasi lagi.
Namun dalam pada itu, pelatihnya berkata, "Tuanku berdua. Hamba akan menentukan latihan yang pantas tuanku lakukan saat ini. Hamba akan menentukan unsur-unsur gerak yang harus tuanku lakukan didalam latihan-latihan ini. Unsur-unsur gerak yang tidak akan banyak berpengaruh dan apalagi membingungkan bagi adinda tuanku yang hadir disini."
"Hamba akan berterima kasih tuanku, apabila guru tuanku berkenan malakukannya. Hamba menjadi bimbang, apakah tata gerak yang terlampau sulit tidak akan justru membingungkan murid-murid hamba yang seakan-akan baru mulai. Apalagi mungkin sekali cara yang hamba tempuh agak berbeda dari cara-cara yang berlaku disini, karena kami tidak seperguruan dengan saluran yang mengalir kepada tuanku berdua." Sela Guru Mahisa-wonga-teleng.
"Ah," desis Tohjaya, "kalian terlampau mempersulit diri. Yang sukar, yang merusak, yang tidak sesuai, yang ini, yang itu dan yang segala macam keragu-raguan dan kebimbangan itu boleh dibuang jauh-jauh. Anggaplah mereka menyaksikan suatu pertarungan diarena."
"Jika demikian, maka apakah maksud tuanku memanggil adinda tuanku semuanya untuk mendapatkan pengalaman didalam tata gerak dan oleh kanuragan" Jika tuanku bersedia melakukan tata gerak yang sederhana, yang masih berada di dalam jangkauan nalar dan kemampuan murid-murid hamba, maka alangkah berterima kasihnya hamba dan adinda tuanku semuanya."
"Persetan," Tohjaya hampir tidak dapat menahan hatinya lagi. Namun kemudian suaranya menurun, "aku akan melakukannya. Marilah kakang Anusapati. Kita bermaksud baik. Jangan hiraukan pendapat-pendapat cengeng serupa itu."
Anusapati mengangguk-angguklkan kepalanya. Tetapi ia kemudian berkata, "Adinda Tohjaya. Kita masih tetap berada dibawah asuhan seorang guru."
"Ya. Guru kita ada disini. Diarena latihan adinda Mahisa-wonga-teleng kakanda berkeberatan karena disana tidak ada guru kita yang dapat mengawasi latihan itu. Tetapi sekarang guru kita ada disini. Apalagi alasan kakanda?"
"Kalau guru kita ada, maka guru kita akan menentukan sesuatu. Seharusnya kita menurut apa yang diperintahkannya."
"Ah. Kenapa semua orang seakan-akan telah dibius oleh keragu-raguan, kebimbangan dan ketidak pastian. Seolah-olah masa depan kita terlampau tergantung sekali kepada guru-guru kita itu" Mereka adalah perwira-perwira prajurit yang mendapat tugas membimbing kita. sesuai dengan perintah ayahanda Sri Rajasa. Tetapi kita tetap memiliki kebebasan, sebagai seorang putera Maharaja. Kenapa kakanda Anusapati selalu ragu-ragu" Kenapa kakanda Anusapati seakan-akan tergantung sekali hanya kepada seorang perwira prajurit. Seorang diantara sekian ratus orang.
"Ah," potong Anusapati, "adinda agak terdorong kata. Tetapi biarlah aku minta maaf kepada kedua perwira yang hadir disini. Saat ini mereka sedang mengemban perintah ayahanda Sri Rajasa. Dengan demikian kita harus menghormati mereka seperti kita menghormati ayahanda Sri Rajasa sendiri, karena mereka kini membawa limpahan wewenangnya."
Tohjaya mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan bertanggung jawab. Marilah kakanda Anusapati. Kita mengadakan latihan khusus kali ini."
Anusapati mengangguk. Jawabnya, "Aku tidak berkeberatan. Tetapi guru kita akan memberikan batasan-batasan, sampai dimana kita boleh mempergunakan unsur-unsur gerak yang sudah kita pelajari."
"Itu tidak perlu. Aku tidak memerlukan. Aku menghendaki latihan khusus yang bebas. Tidak ada yang akan dapat merintanginya."
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya Tohjaya telah kehilangan pengamatan diri, sehingga ia tidak dapat mendengarkan lagi pendapat orang lain. Nafsunya telah melonjak sampai keubun-ubunnya untuk segera dapat mengalahkan Anusapati dihadapan beberapa orang saksi. Dan kali ini saksi yang dipilihnya adalah adik-adiknya. Kalau ia berhasil mengalahkan Anusapati dengan cara yang meyakinkan, maka adik-adiknya pasti akan menilainya jauh lebih baik dari Anusapati, meski-pun Anusapati mengemban gelar Putera Mahkota. Dan adik-adiknya itu pasti akan berbincang diantara mereka, "Kenapa bukan kakanda Tohjaya saja yang menjadi Putera Mahkota?"
Adik-adiknya akan tahu, hanya karena Anusapati lahir lebih dahulu dan kebetulan ia lahir dari isteri pertama Ken Arok sajalah, maka ia mendapat gelar dan kedudukan sebagai Pangeran Pati. Namun kemampuannya sama sekali tidak melampaui adiknya, Tohjaya meski-pun ia tidak mendapatkan gelar itu.
Demikianlah maka Tohjaya yang sudah tidak dapat dikekang lagi itu maju ketengah-engah arena. Sambil melemparkan pedangnya kepada para pengawalnya ia berkata, "Kita berlatih tanpa senjata apapun."
Anusapati masih tetap berdiri diam ditempatnya. Ia_memang tidak pernah membawa senjata apapun, apalagi didalam istana. Hanya disaat-saat tertentu, justru apabila tidak dilihat orang, ia berlatih mempergunakan senjata, kadang-kadang jauh diluar istana bersama Sumekar.
"Marilah kakang Anusapati." suara Tohjaya menjadi semakin keras.
Ternyata sikapnya telah membuat adik-adiknya menjadi berdebar-debar. Bagaimana-pun juga terasa oleh mereka, bahwa suasananya sama sekali tidak menyenangkan. Bukan suasana latihan yang akrab dari dua orang bersaudara. Tetapi seolah-olah mereka berada didalam perguruan yang dipenuhi oleh kedengkian dan iri hati.
Sikap Tohjaya itu sama sekali tidak menumbuhkan kebanggaan apa-pun bagi adik-adiknya. Bahkan adiknya yang dilahirkan oleh ibu yang sama. Meski-pun mereka tidak menyatakan sesuatu, tetapi mereka menganggap bahwa sikap itu sudah agak berlebih-lebihan.
Tetapi Tohjaya sendiri tidak mampu menilai sikapnya. Ia menganggap bahwa ia sudah berbuat sebaik-baiknya untuk menyatakan kelebihannya.
Karena itu, maka ia berkata selanjutnya, "Kakanda Anusapati. Kenapa kakanda masih tetap diam?"
"Aku menunggu perintah guru."
Dengan wajah yang tegang Tohjaya berpaling kepada gurunya dan berkata, "berilah perintah."
Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya, "Bukan begitu caranya tuanku, Hamba tidak bertanggung jawab apabila jalan itu yang akan tuanku pilih."
"Aku yang akan mempertanggung jawabkan."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Tohjaya adalah putera Sri Rajasa yang terdekat. Dan Sri Rajasa akan dapat berbuat apa saja terhadap siapa-pun juga. Bukan saja karena kekuasaannya yang tak terbatas, tetapi ia adalah seorang yang tidak terkalahkan."
Karena itu, maka gurunya tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Ia sudah berusaha mencegah. Tetapi karena Tohjaya tetap pada pendiriannya, maka gurunya hanya dapat menyaksikan apa yang akan terjadi dengan dada yang berdebar-debar. Namun demikian, apabila keadaan berkembang semakin buruk, maka ia tidak akan dapat tetap berdiam diri. Apa-pun yang akan terjadi atasnya. Meski-pun seandainya Sri Rajasa menganggapnya bersalah.
Namun untuk sementara ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menyaksikan kedua putera Sri Rajasa dalam sikapnya yang berbeda-beda.
"Marilah kakanda. Silahkan bersiap. Aku akan segera mulai."
Tetapi Anusapati menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mendapat perintah guru."
"Peduli dengan prajurit itu. Marilah kita mulai." TTohjaya berhenti sejenak, lalu "aku akan mulai. Apakah kakanda bersiap atau tidak. Aku sudah memberitahukannya. Bukan salahku kalau seranganku yang pertama akan bersarang didada kakanda."
Tohjaya tidak menunggu jawaban Anusapati. Beberapa plangkah ia maju mendekat. Kemudian tiba-tiba saja serangannya meluncur dengan cepatnya. Benar-benar mengarah kedada Anusapati.
Meski-pun Anusapati masih tetap berdiri diam, namun ia sudah menduga, bahwa Tohjaya benar-benar akan menyerangnya. Karena itu, maka ia-pun segera meloncat mengelakkan serangan itu. Namun demikian ia masih berusaha mencegahnya, "Jangan adinda Tohjaya."
Tetapi Tohjaya tidak mempedulikannya. Ia telah menyerang pula dengan lincahnya. Namun dengan unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya, ia-pun segera mengelakkan diri pula.
Tohjaya menjadi semakin bernafsu. Serangannya sama sekali tidak menyentuh Anusapati, sehingga ia berusaha bergerak semakin cepat.
Anusapati menjadi berdebar-debar. Sejenak ia menjadi bingung, apakah yang akan dilakukannya. Namun demikian ia masih belum membalasnya sama sekali. Ia masih saja berloncatan menghindar kian kemari.
Namun sikap itu telah membuat Tohjaya menjadi semakin bernafsu. Tanpa membalas serangan-angannya, Anusapati masih saja berhasil menghindarkan dirinya. Bahkan kadang-kadang dengan kecepatan yang mengherankan, melampaui kecepatan serangannya.
Karena nafsunya yang semakin melonjak, maka Tohjaya kurang dapat mengendalikan tata geraknya. Tanpa disadarinya, didorong oleh gejolak perasaannya, ia telah mempergunakan unsur-unsur gerak yang lain dari unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari perwira itu. Justru karena Tohjaya masih belum matang, maka sulitlah baginya untuk menyaring dengan cermat tata gerak dari dua perguruan yang berbeda yang sudah dimilikinya.
Ternyata mata Anusapati yang tajam, dan kematangannya yang jauh lebih tinggi dari Tohjaya, ia dapat menangkap tata gerak yang lain itu.
Terasa debar yang cepat menyentuh jantung Anusapati. Karena itu, tiba-tiba saja ia ingin meyakinkannya. Apakah bukan sekedar suatu kebetulan bahwa Tohjaya telah mempergunakan unsur gerak yang lain itu.
Dengan demikian, maka Anusapati-pun tidak segera berusaha menahan serangan Tohjaya. Ia masih meloncat-loncat menghindar. Karena serangan Tohjaya semakin cepat, maka gerak Anusapati-pun menjadi semakin cepat pula.
Ternyata didalam tata gerak selanjutnya, kelainan itu menjadi semakin jelas. Nafsu Tohjaya yang melonjak-lonjak benar-benar telah mendesaknya untuk mempergunakan segenap kecakapan yang ada padanya.
Bukan saja Anusapati, tetapi gununya-pun kemudian melihat dengan jelas, tata gerak yang bersumber pada gerak-gerak dasar yang lain pada Tohjaya. Dengan demikian maka dadanya menjadi kian berdebar-debar. Kini ia sadar, bahwa sebenarnya Tohjaya tidak hanya sekedar berguru kepadanya, tetapi diluar pengetahuannya ia sudah berguru kepada orang lain.
"Apakah Sri Rajasa sendiri sudah memberikan unsur-unsur gerak dasar kepada puteranya itu?" pertanyaan itu telah merayap didalam hatinya. Ia belum pernah melihat Sri Rajasa bertempur. Baik didalam perang tanding, mau-pun didalam peperangan. Karena itu, ia tidak dapat mengatakan, apakah unsur-unsur gerak itu bersumber pada ayahanda Sri Rajasa.
Pertanyaan yang serupa telah bergetar didalam dada Anusapati pula. Seperti gurunya, ia belum pernah melihat ayahanda bertempur atau berkelahi didalam perang tanding. Itulah sebabnya maka ia-pun tidak dapat mengatakan, darimanakah Tohjaya menemukan unsur-unsur tata gerak itu.
Tetapi supaya Tohjaya tidak menjadi semakin garang, Anusapati benar-benar tidak membalas setiap serangan. Ia hanya sekedar menghindar dan memancing serangan-angan Tohjaya. Dengan cermat ia mencoba mengamati tata gerak yang telah menumbuhkan persoalan didalam hatinya itu. Ia berniat untuk mencoba menangkapnya dan menanyakannya kepada orang-orang yang pernah melihat atau mengenal tata gerak Sri Rajasa.
Demikianlah Tohjaya yang semakin bernafsu itu menjadi semakin cepat menyerang Anusapati dengan tidak menghiraukan lagi tata geraknya. Bahkan seolah-olah Tohjaya tidak lagi .sedang menghadapi lawan didalam latihan.
Adik-adik mereka yang sedang bertempur itu melihat dengan penuh kekaguman. Mereka melihat tata gerak yang cepat dan sulit. Meski-pun mereka belum banyak menguasai ilmu serupa itu, tetapi mereka dapat merasakan, bahwa latihan itu sama gekali tidak berimbang. Bukan karena Tohjaya jauh melampaui kemampuan Anusapati, tetapi justru karena Anusapati masih tampak segan dan tidak pernah melakukan serangan-angan. Apalagi guru adik-adik Anusapati itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menyadari, bahwa sebenarnyalah niat Tohjaya untuk mengadakan latihan itu sama sekali tidak jujur dan sekedar didorong oleh keinginannya untuk menunjukkan kelebihannya.
Tetapi kali ini Anusapati ternyata masih berhasil menanggapinya dengan tepat. Meski-pun ia sama sekali tidak membalas serangan Tohjaya, namun ia sudah memperlihatkan kemampuannya yang seimbang. Bahkan ia masih tetap dapat memelihara tata geraknya, meski-pun kadang-kadang juga menumbuhkan keheranan pada gurunya. Meski-pun Anusapati tidak menyimpang, tetapi kecepatannya mengimbangi gerak Tohjaya hampir tidak dapat dimengerti oleh gurunya.
Namun demikian guru Mahisa-wonga-teleng sama sekali tidak mengerti Tohjaya telah menumbuhkan persoalan dihati gurunya. Ia tidak mengerti, apa saja yang sudah diberikan oleh gurunya dan bagaimana ia berlatih setiap hari.
Karena kematangan sikap Anusapati yang hampir sempurna, maka ia-pun segera dapat menangkap beberapa macam tata gerak adiknya. Ia telah berhasil mengingat dan mengenal watak beberapa daripadanya sehingga pada saatnya ia akan dapat menanyakan kepada seseorang yang pernah melihat Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu bertempur.
Dengan demkian, maka Anusapati-pun menganggap bahwa latihan itu tidak akan perlu lagi diteruskan. Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, "Adinda Tohjaya, kenapa kau masih juga menyerang terus" Sudah aku katakan, bahwa aku tidak dapat ikut didalam latihan serupa ini tanpa perintah guru kita."
Tetapi Tohjaya tidak menghiraukannya. Ia menyerang semakin cepat. Ia pasti akan menyesal sekali kalau ia tidak berhasil mengalahkan Anusapati dengan meyakinkan, sehingga adik-adiknya yang masih belum banyak berpengalaman itu tahu benar-benar, bahwa ia memang berhasil memenangkan latihan itu. Adik-adiknya harus tahu, bahwa ia mempunyai beberapa kelebihan dari Anusapati.
Tetapi Anusapati sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya mengelak sambil berloncatan kian kemari diarena.
"Adinda Tohjaya, berhentilah!"
Tohjaya menggeram, "Tidak. Aku tidak akan berhenti."
"Aku akan berhenti."
"Aku tidak peduli."
Anusapati itu-pun tiba-tiba meloncat menjauhi Tohjaya beberapa langkah, sehingga ia berdiri tepat di pinggir arena.
Sambil mengacukan kedua tangannya ia berkata, "Sudahlah. Sudahlah. Aku tidak akan melakukannya."
Tohjaya memang terganggu sejenak. Ditatapnya wajah Anusapati dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan terus."
"Jangan. Guru kita tidak memerintahkan latihan serupa ini."
"Aku tidak peduli. Aku adalah putera Sri Rajasa yang mempunyai wewenang."
"Aku adalah Putera Mahkota. Selain Sri Rajasa, perintahku harus diturut," berkata Anusapati tiba-tiba.
Tohjaya terkejut mendengar kata-kata Anusapati itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu dengan wajah yang tegang.
Ternyata kata-kata Anusapati itu telah menggetarkan setiap dada. Bukan saja Tohjaya, namun adik-adiknya dan para pelatih yang ada di tempat itu merasakan, betapa besar pengaruh wibawa jabatan Anusapati itu. Apalagi tanpa mereka sangka-sangka, mereka tiba-tiba saja di hadapkan pada pengaruh jabatan itu.
Tetapi ketika Tohjaya menyadari keadaannya, maka ia-pun kemudian berkata, "Kakanda Anusapati, kakanda jangan bersembunyi dibelakang gelar dan jabatan kakanda itu. Kita harus meyakinkan diri, siapakah sebenarnya yang lebih unggul diantara kita. Memang kakanda Anusapati adalah Putera Mahkota. Tetapi apakah kakanda sudah sepantasnya memegang jabatan itu. Pangeran Pati adalah jabatan tertinggi dibawah ayahanda Sri Rajasa. Tetapi apakah demikian pula kemampuan kakanda?"
Debar dada Anusapati menjadi semakin cepat, ia sudah mempertaruhkan gelar itu. Tetapi agaknya Tohjaya benar-benar sudah bermata gelap.
"Nah kakanda. Untuk menunjukkan bahwa kakanda benar-benar seorang Putera Mahkota, maka sekarang adalah waktunya yang tepat, sehingga adik-adik kita tidak akan menjadi ragu-ragu lagi."
Anusapati masih tetap berdiam diri. Dan Tohjaya berkata selanjutnya, "Bersiaplah kakanda. Aku akan segera mulai lagi."
Dalam waktu yang pendek itu Anusapati harus memeras otaknya. Apakah sebaiknya yang dilakukannya" Apakah ia harus menghindar saja terus-menerus, atau ia akan mengambil sikap lain.
Sejenak kemudian Anusapati sudah melihat Tohjaya mulai menyerang. Benar-benar sebuah serangan yang berbahaya.
Adik-adiknya dan kedua pelatih yang menyaksikannya mengerutkan leher mereka. Tampaknya Anusapati masih belum siap menghadapi keadaan itu.
Sejenak kemudian Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya terpaksa memejamkan mata mereka. Mereka melihat serangan Tohjaya mengenai sasarannya. Kaki Tohjaya langsung menghantam dada Anusapati sehingga Anusapati terdorong beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Dalam waktu yang singkat, Anusapati tertatih-tatih berdiri, Namun Tohjaya berkata lantang, "Sudah aku katakan. Aku akan melanjutkan latihan ini. Aku akan bersungguh-sungguh, Kakanda jangan membiarkan diri kakanda hancur karena serangan-seranganku. Aku tidak akan bermain-main seperti kanak-anak. Tetapi aku akan bermain-main seperti seorang yang telah dewasa."
Tohjaya tidak menunggu lagi. Sambil berteriak ia menyerang Anusapati yang baru saja berdiri, "jangan lengah kakanda, dan jangan menganggap bahwa aku hanya dapat berbicara saja."
Sekali lagi serangan Tohjaya tidak terelakkan. Sekali lagi kaki Tohjaya mengenai Anusapati. Kaki ini mengenai pundaknya, sehingga karena itu, sekali lagi Anusapati terlempar dan jatuh diatas rerumputan.
Adik-adiknya menutup mulut mereka dengan kedua telapak tangan. Mereka memang kagum melihat kecepatan serangan Tohjaya. Tetapi mereka tidak dapat menganggap bahwa Tohjaya memenangkan latihan itu karena Anusapati sama sekali tidak melawan. Anusapati hanya sekedar meloncat-loncat menghindar dan yang terakhir, bahkan seolah-olah ia membiarkan dirinya dikenai oleh serangan-angan Tohjaya.
Ketika Anusapati kemudian berhasil berdiri sambil terhuyung-huyung maka Tohjaya telah siap untuk meluncurkan serangannya kembali. Namun tiba-tiba saja gurunya telah meloncat seperti kilat, berdiri dihadapan Anusapati yang masih belum dapat berdiri tegak itu.
"Sudahlah tuanku," berkata pelatih itu. "tuanku Anusapati memang tidak bersedia melawan. Ia membiarkan dirinya tuanku kenai dengan serangan-angan yang hampir bersungguh-sungguh, sehingga dengan demikian, maka latihan ini tidak akan dapat berlangsung seperti yang tuanku kehendaki. Tuanku tidak akan dapat menunjukkan kepada siapa-pun juga, bahwa latihan ini sudah tuanku menangkan. Bahkan adik-adik tuanku itu-pun mengetahuinya, bahwa seakan-akan tuanku sudah berlatih sendiri, dan tuanku Anusapati menjadi sekedar sasaran, sehingga dengan demikian kekuatan keduanya tidak akan dapat diperbandingkan."
Tohjaya menggeram, hampir saja ia mengumpat. Tetapi bagaimana-pun juga ia masih harus menghormati kakaknya, yang kini bergelar Pangeran Pati itu.
"Kakanda membuat kami kecewa. Aku dan adik-adik ingin melihat sesuatu yang berharga pada latihan ini. Tetapi kakanda sama sekali tidak berbuat apa-apa. Kakanda tidak membantu aku, menunjukkan manfaat kemajuan kita kepada adinda Mahisa-wonga-teleng dan adinda-adinda yang lain."
Anusapati kini sudah berdiri tegak, meski-pun sekali-sekali ia masih harus menyeringai. Namun ia merasa, bahwa kali ini ia masih dapat bertindak tepat. Justru karena ia tidak melawan, maka tidak akan ada seorang-pun yang mampu menilai perimbangan kekuatan mereka. Tohjaya dan Anusapati. Ia hanya sekedar mengerahkan daya tahan tubuhnya yang hampir sempurna, sehingga sebenarnya serangan-angan Tohjaya itu tidak terlampau menyakitinya. Namun untuk membuat kesan yang lain, Anusapati berdiri terhuyung-huyung sambil mengeluh tertahan. Sekali-sekali diusapnya dada dan pundaknya yang telah dikenal oleh serangan Tohjaya itu.
"Apakah tuanku terluka?" bertanya gurunya.
Anusapati meraba dadanya dan berkata, "Apakah tulangku ada yang patah" "
Pelatihnya menjadi cemas. Tetapi ketika ia meraba dada Anusapati itu ia menggelengkan kepalanya, "Tidak tuanku, tuanku tidak terluka didalam."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sokurlah," katanya, "mudah-mudahan aku tidak terluka didalam seperti katamu."
"Tidak tuanku. Aku yakin." sahut pelatihnya.
Sejenak kemudian Anusapati yang dibimbing oleh pelatihnya itu maju beberapa langkah memasuki arena. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Putera Mahkota itu berkata, "Gerakmu terlampau cepat adinda. Tetapi aku tetap pada pendirianku. Aku tidak akan berlatih dengan cara itu sekarang."
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Ternyata ia telah gagal lagi untuk menunjukkan kelebihannya dari kakandanya. Meski-pun ia dapat mengenainya, tetapi justru karena Anusapati sama sekali tidak melawannya, maka tidak seorang-pun yang dapat mengatakan bahwa ia telah memenangkan latihan khusus itu.
"Adinda Tohjaya," berkata Anusapati kemudian, "latihan serupa ini tidak akan bermanfaat."
"Memang, latihan serupa ini tidak akan bermanfaat bagi siapapun. Tetapi hal ini terjadi karena kakanda sama sekali tidak membantu. Kakanda memang berusaha agar latihan ini gagal dan tidak seorang-pun melihat kelemahan kakanda."
"Apakah artinya kelemahanku dimata orang-orang yang hadir didalam latihan ini" Apakah memang demikian seharusnya, agar aku membantu memperlihatkan kelemahanku itu?"
Tohjaya tidak menjawab. Tetapi wajahnya yang merah menjadi semakin merah. Sejenak dipandanginya wajah-wajah yang ada disekitarnya. Anusapati, gurunya, Mahisa-wonga-teleng dan adik-adiknya yang lain, kemudian perwira prajurit guru adik-adiknya itu. Wajah-wajah itu seakan-akan menunjuk gejolak setiap hati didada mereka. Bahkan kemudian seakan-akan telah menunjuk kesombongannya, karena ia ingin dengan sengaja menunjukkan kelebihannya dari Putera Mahkota.
Tubuh Tohjaya kemudian menjadi gemetar karena menahan marah. Sejenak ia mematung. Namun kemudian ia-pun meloncat pergi meninggalkan arena itu tanpa minta diri kepada siapapun.
Beberapa orang yang ada diarena itu menjadi termangu-mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Mahisa-wonga-teleng memandang gurunya dengan kerut-merut dikeningnya. Namun kemudian ia berkata, "Aku tidak tahu. kenapa tiba-tiba saja kakanda Tohjaya menjadi aneh. Sikapnya membuat aku bingung."
"Sudahlah tuanku," berkata gurunya, "sebaiknya kita minta diri."
"Ya. ya. Sebaiknya kita minta diri. Undangan kakanda Tohjaya memang sangat berkesan bagiku." sahut Mahisa-wonga-teleng.
Anusapati memandang adiknya itu dengan bimbang.
Ia tidak tahu kesan apakah yang telah menyentuh hatinya.
"Aku mohon diri kakanda Anusapati," berkata Mahisa-wonga-teleng yang diikuti oleh adik-adiknya.
"Terima kasih atas kunjungan adinda."
"Tetapi aku sama sekali belum melihat, bagaimana kakanda berdua berlatih sebenarnya. Namun agaknya hal itu tidak akan menguntungkan bagi kami. Bahkan mungkin kami akan menjadi bingung dan justru tidak dapat memetik manfaatnya."
"Ya," potong gurunya, "tuanku hanya akan menjadi bingung."
Mahisa-wonga-teleng beserta adik-adiknya itu-pun kemudian meninggalkan arena itu bersama gurunya. Yang tinggal kemudian adalah Anusapati dengan gurunya pula.
"Hamba menyesal sekali bahwi hal ini telah terjadi," berkata gurunya.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Sikap tuanku Tohjaya membuat aku bingung. Dan aku juga tidak mengerti, kenapa tuanku dapat bersikap diam."
Anusapati memandang gurunya sejenak, lalu "Apakah aku sudah berbuat salah?"
"Tidak. Tuanku justru telah menghindarkan perkelahian yang sebenarnya. Bukan sekedar latihan. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, betapa tuanku memiliki kepercayaan kepada diri sendiri sebesar itu. Benar-benar suatu sikap seorang saudara tua. Tetapi lebih dari pada itu hanyalah orang-orang yang yakin akan dirinya sajalah yang dapat bersikap demikian. Dan tuanku telah melakukannya."
Anusapati menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Aku mempunyai alasan lain."
Gurunya memandanginya dengan heran.
"Mungkin aku tidak berkeberatan dikalahkan oleh adinda Tohjaya didalam suatu latihan. Tetapi latihan yang sewajarnya. Bukan sekedar usaha memamerkan kemenangannya kepada adinda yang lebih muda lagi dari padanya."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampak di wajahnya keragu-raguannya atas kebenaran alasan Anusapati itu.
"Sayang," desis Anusapati kemudian, "aku sama sekali tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk bertahan. Kalau aku mampu mengimbangi, meski-pun tidak melampaui kemampuan adinda Tohjaya, barang kali aku akan bersedia melakukannya."
"Benarkah begitu?" bertanya gurunya.
"Ya." "Kenapa tuan agak ketinggalan dari adinda tuanku itu?"
"Aku tidak tahu. Seharusnya kaulah yang memberitahukan kepadaku. Apakah sebabnya. Apakah aku terlampau malas" Terlampau bodoh atau memang aku tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari olah kanuragan" "
"Tuanku," berkata gurunya, "hamba tidak dapat mengatakan demikian. Tetapi apabila hamba tidak dianggap kurang sopan, apakah tuanku tidak berkeberatan mengatakan, kenapa pada saat hamba datang, tuanku sudah jauh ketinggalan dari tuanku Tohjaya?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Selisih diantara tuanku berdua itu sudah hamba usahakan agar menjadi semakin berkurang. Meski-pun hamba adalah paman sepupu tuanku Tohjaya, namun hamba tidak ingin melanjutkan cara guru tuanku yang terdahulu."
"Kau sudah mengatakannya. Agaknya kau sudah tahu apa yang terjadi saat itu."
Pahlawan Harapan 9 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 11

Cari Blog Ini