Ceritasilat Novel Online

Bara Diatas Singgasana 25

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 25


Jika juru taman itu berteriak, diantara mereka pasti akan datang dan mengusut persoalannya.
"Aku akan berteriak," juru taman itu mengulang.
"Jangan, jangan."
"Apa peduliku. Aku akan berteriak."
"Jangan, jangan. Aku tidak benar-benar akan membunuhmu. Bukankah aku sudah mengatakan. Aku akan berkunjung ke rumahmu membawa oleh-oleh buat anak binimu."
"Aku tidak mempunyai anak bini. Aku hidup sendiri."
"O, jika demikian aku akan membawa oleh-oleh buatmu."
"Bawalah uang sebanyak-banyaknya. Aku lebih senang kau membawa uang."
Prajurit itu membelalakkan matanya. Tetapi ia-pun segera memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Baik, baik. Aku akan membawa uang buatmu. Aku benar-benar akan datang malam nanti. O, malam nanti adalah malam yang baik untuk berkunjung ke rumahmu."
"Terima kasih. Aku akan menunggumu."
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Sambil mengkibas-kibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu maka ia-pun kemudian meninggalkan juru taman itu sendiri.
Sepeninggal prajurit itu, Sumekar-pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, "Tentu bukan ia sendiri penjilat didalam istana ini. Tentu masih banyak orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan dari setiap perkembangan persoalan. Jika penjilat-penjilat semacam itu masih juga mendapat kesempatan, maka istana ini pasti akan segera terbakar."
Sejenak Sumekar berdiri termangu-mangu. Kemudian ia-pun meninggalkan pohon yang sedang disianginya. Ia tiba-tiba saja ingin berbicara dengan Anusapati atau Mahisa Agni.
"Mungkin ada perkembangan yang belum aku mengerti," berkata Sumekar didalam hati.
Sumekar-pun kemudian meninggalkan tempat itu. Sambil membawa alat-alat seorang juru taman, maka ia-pun pergi ketaman di halaman bangsal Mahisa Agni. Ternyata seorang juru taman yang lain sedang membersihkau daun-daun kuning yang berguguran karena angin yang agak kencang.
"He, dimana kau?" bertanya juru taman itu kepada Sumekar.
"Aku sedang menyiangi pohon ceplok piring itu."
"Halaman ini menjadi sangat kotor. Bukankah ini tugasmu?"
"Ya," jawab Sumekar, "baiklah, aku selesaikan."
Juru taman itu-pun kemudian menyerahkan sapu lidinya kepada Sumekar sambil berkata, "Pekerjaanku sendiri sudah selesai. Jika masih sibuk biarlah aku selesaikan pekerjaan ini."
"Kenapa kau serahkan sapu ini kepadaku?"
Juru taman itu tersenyum. Katanya, "Jadi bagaimana" Apakah aku harus melanjutkannya."
"Tidak," jawab Sumekar, "aku akan membersihkannya. Jika bukan aku, tentu tuanku Mahisa Agni akan marah karena tidak akan dapat sebersih bekas tanganku."
"Macam kau. Coba biarlah aku yang menyelesaikan. Nanti, kita tunggu, apakah tuanku Mahisa Agni akan marah atau tidak. Kita bertaruh. Rangsum makan kita tiga hari."
Sumekar merenung sejenak, lalu menggelengkan kepalanya, "Tidak mau. Aku tidak tahan untuk tidak makan tiga hari."
"Nah, jika demikian jangan sombong."
"Baik. Aku tidak akan sombong."
Juru taman itu memandang Sumekar dengan kerut-merut dikeningnya. Lalu ia-pun meninggalkannya sambil menggerutu, "Kau sudah mulai kambuh lagi."
Sumekar tertawa. Dipandanginya saja kawannya itu sampai hilang dibalik gerumbul-gerumbul pohon bunga di sudut halaman, ia memang menghendaki agar orang itu pergi meninggalkan bangsal itu.
Sambil membersihkan halaman Sumekar mendekati dua orang prajurit yang bertugas di regol. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Ki Sanak, apakah tuanku Mahisa Agni ada didalam bangsal?"
"Kenapa?" bertanya prajurit itu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya akan membersihkan pohon-pohon bunga sampai ke longkangan samping. Jika tuanku Mahisa Agni sedang beristirahat, aku takut, kalau aku mengejutkannya. Tuanku Mahisa Agni menurut pendengaranku adalah seorang Senapati yang keras hati. Jika sekali aku dipukulnya, maka kepalaku akan dapat lepas karenanya."
"Tidak," jawab prajurit itu, "tuanku Mahisa Agni sedang keluar."
"Kemana?" "Aku tidak tahu. Tuanku Mahisa Agni tidak pernah membawa seorang pengawalpun. Bukan saja di halaman istana, tetapi juga jika ia pergi keluar. Mirip sekali dengan tuanku Pangeran Pati."
Sumekar menganggukakan kepalanya. Lalu katanya, "Jika demikian, mumpung tuanku Senapati itu tidak ada, aku akan menyiangi tanaman dilongkangan. Selama tuanku Mahisa Agni ada di Singasari, aku hampir tidak pernah mendapat kesempatan melakukannya, sehingga pohon bunga-bunga di longkangan itu menjadi kurus dan layu."
" Lakukanlah." Sumekar-pun kemudian pergi kelongkangan samping. Dilihatnya pintu butulan bangsal itu tertutup. Dan ia-pun sama sekali tidak mendekati pintu yang tertutup itu.
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya Sumekar berada dilongkangan. Ia memang menunggu sampai Mahisa Agni datang. Ia ingin mendengar sesuatu tentang perkembangan terakhir dari hubungan yang kalut antara Sri Rajasa, Permaisurinya dan Putera Mahkota.
Ternyata dalam pada itu, Mahisa Agni masih duduk merenung di bangsal Permaisuri. Tetapi tidak lama kemudian berkata, "Sudahlah tuan Puteri, hamba akan kembali ke bangsal hamba. Untuk waktu yang sejauh dapat hamba usahakan, hamba akan tetap berada di Singasari. Kecuali jika hamba tidak mempunyai kesempatan lagi karena perintah Sri Rajasa. Tetapi sebelum perintah itu mendesak, hamba masih akan tetap disini."
"Terima kasih kakang. Awasilah Anusapati. Hatiku selalu cemas bagaikan melepaskan anak yang baru pandai merangkak di pinggir jurang."
"Baiklah tuan Puteri, hamba akan selalu mencoba mengawasinya. Hamba akan mencoba mengendalikannya agar Putera Mahkota itu tidak bertindak tergesa-gesa."
"Terima kasih." suaranya-pun kemudian merendah, "tidak ada orang lain yang kini dapat aku percaya selain kau kakang."
Terasa dada Mahisa Agni berdesir. Kata-kata itu diucapkan oleh Ken Dedes. Tetapi kini setelah rambutnya hampir berwarna rangkap.
"Tuan Puteri," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku menjunjung tinggi kepercayaan itu. Baik sebagai seorang saudara laki-laki, mau-pun sebagai seorang Senapati Agung di Smgasari."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Namun terasa betapa kecemasan yang sangat selalu membayangi Permaisuri itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun mohon diri sambil berpesan perlahan-lahan sekali, "Tuan Puteri. Tuan Puteri harus tetap menyadari, bahwa sesungguhnya tuan Puteri tidak sedang sakit. Jika tuan Puteri tidak menyadarinya, maka akan dapat terjadi, tuan Puteri benar-benar menjadi sakit, atau rasa-rasanya seakan-akan tuan Puteri benar-benar sakit."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mencoba tersenyum ia menjawab, "Ya kakang. Kadang-kadang aku lupa bahwa sebenarnya aku hanya berpura-pura saja sakit, sehingga rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat bahwa sebenarnyalah Ken Dedes sedang menderita sakit. Bukan badannya, tetapi hatinya yang kemudian mempengaruhi jasmaniahnya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun meninggalkan bangsal Ken Dedes. Namun agaknya masih terlampau siang untuk singgah di bangsal Anusapati. Karena itu, maka ia-pun berjalan-jalan saja di halaman tanpa tujuan sekedar untuk mengisi waktu.
Tanpa disadarinya ia-pun menyusuri dinding yang membatasi halaman istana Singasari yang lama dengan istana yang dibangun oleh Ken Arok untuk isterinya yang muda Ken Umang. Dan tanpa sesadarnya pula Mahisa Agni melangkah didepan regol yang terbuka.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar seseorang-menyapanya, "Kakang Mahisa Agni."
Mahisa Agni berpaling. Hatinya bagaikan berguncang ketika dilihatnya Ken Umang berdiri diseberang regol yang terbuka itu sambil tersenyum.
"O, ampun tuan Puteri," sahut Mahisa Agni dengan suara gemetar. "Hamba tidak tahu bahwa tuan Puteri berdiri disitu."
"Ah, kenapa kau masih saja mempergunakan basa-basi itu" Kita sama-sama berasal dari keturunan orang kecil. Panggil saja aku Ken Umang."
"Tentu tidak tuan Puteri," jawab Mahisa Agni, "keturunan kita tidak mempengaruhi kedudukan kita sekarang. Tuan Puteri adalah isteri Maharaja di Singasari."
"Dan kau adalah Senapati Agung dan sekaligus wakil Mahkota di Kediri. Selisih kedudukanmu dengan Sri Rajasa sendiri hanya selapis."
"Ampun tuan Puteri Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan Sri Rajasa itu. Dan karena itulah>hamba merasa betapa kecilnya diri hamba."
Ken Umang tertawa. Katanya, "Sikapmu belum berubah kakang. Kau masih saja takut kepadaku. Bukan karena kedudukanku. Aku tahu, bahwa kau menganggapi aku seorang wanita yang sangat rendah. Meski-pun aku berkedudukan tinggi, yang kini menjadi perempuan kedua sesudah Permaisuri, tetapi sikapmu dan tatapan matamu tetap tidak ingkar, bahwa setelah aku tinggal di istana ini, aku masih juga mencoba menyeretmu kedalam perbuatan yang tercela itu. Tetapi itu dahulu kakang."
"Ampun tuan Puteri. Hamba sekali-kali tidak pernah menganggap tuanku sebagai seorang perempuan yang rendah. Sama sekali tidak."
Ken Umang tertawa. Sekali ia berpaling memandang beberapa orang emban yang duduk agak jauh daripadanya.
Mahisa Agni yang masih berdiri diseberang regol menjadi semakin berdebar-debar. Meski-pun umur mereka sudah menjadi semakin tua, tetapi kesan yang ada didalam hatinya tentang Ken Umang-pun masih belum dapat dilupakannya. Agaknya Ken Umang menyadarinya sehingga seakan-akan ia dapat membaca isi hati Mahisa Agni.
"Kakang," berkata Ken Umang. "sekarang kita sudah merayapi tahun demi tahun. Meski-pun tampaknya kau masih lebih muda dari umurmu yang sebenarnya, dan barangkali aku masih juga pantas untuk mengganggumu, tetapi aku kira sekarang aku mempunyai kepentingan yang lain."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Katanya, "Sebenarnyalah kata tuan Puteri. Hamba memang sudah tua."
"Itu tidak penting," sahut Ken Umang. Lalu, "Kakang Mahisa Agni. Kakang tentu sudah melihat perkembangan istana Singasari sekarang ini."
"Ya tuan Puteri, perkembangan Singasari benar-benar menggembirakan."
"Bukan itu yang aku maksud. Tetapi penghuni-penghuni istana ini. Tegasnya keluarga kita, keluarga Sri Rajasa."
"O," Mahisa Agni memandang wajah Ken Umang sejenak. Tetapi kepalanya-pun segera tertunduk kembali.
"Kakang Mahisa Agni," berkata Ken Umang, "bukankah kau adalah paman dari Anusapati?"
"Hamba tuan Puteri," jawab Mahisa Agni dengam jantung yang berdebaran.
"Sebagai seorang ibu aku senang melihat anak-anak hidup dalam kegembiraan. Apalagi Anusapati sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang menjadi semakin besar." Ken Umang berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi alangkah sedih hati seorang ibu bila melihat anak-anaknya bertengkar. Bagiku, Tohjaya dan Anusapati adalah anak-anakku. Aku tidak membeda-bedakannya. Tetapi Anusapati bersikap aneh terhadapku dan terhadap adiknya Tohjaya. Seakan-akan kami berdua adalah musuhnya. Nah, tolong, sampaikan kepada Anusapati, bahwa kami menganggapnya sebagai keluarga yang tidak terpisah. Anusapati adalah anakku dan Tohjaya-pun putera kakanda Permaisuri, dan sebaliknya. Apakah kau mengerti maksudku?"
"Hamba tuan Puteri."
"Nah, jika demikian, nasehatkan kepada Anusapati, agar ia dapat bersikap lebih baik. Agar ia dapat sedikit mendekatkan diri kepada adiknya."
Mahisa Agni menarik nafas, tetapi ia menyahut, "Hamba tuan Puteri. Hamba akan memperingatkannya. Anusapati memang harus bersikap baik terhadap tuanku Tohjaya."
Jawaban itu sama sekali tidak diharapkan oleh Ken Umang. Ia ingin mendengar Mahisa Agni membantahnya agar timbul persoalan untuk memancing pendapat Mahisa Agni yang sebenarnya terhadap keadaan yang sedang berkembang itu.
Dan justru karena itu maka untuk sesaat Ken Umang terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Sebenarnyalah Ken Umang menjadi heran, kenapa Mahisa Agni begitu saja mengiakan kata-katanya tentang Anusapati.
Karena Ken Umang tidak segera menyahut, maka Mahisa Agni melanjutkannya, "Tuan Puteri. Perkenankanlah hamba mohon maaf atas segala kelakuan dan tingkah laku Anusapati sampai saat ini apabila tidak berkenan dihati tuan Puteri Ken Umang."
Ken Umang masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian tampaklah ia menjadi kebingungan.
Baru sejenak kemudian Ken Umang berkata patah-patah, "jadi, jadi kau membenarkan kata-kataku bahwa Anusapati memang anak muda yang tidak tahu diri?"
"Karena hamba tidak berada di Singasari tuanku, maka hamba tidak dapat menyebutkannya. Tetapi karena menurut tuanku, Anusapati telah berbuat kurang baik, maka biarlah hamba memperingatkannya."
Justru Ken Umanglah yang menjadi jengkel karenanya. Ia tidak berhasil memancing pertengkaran. Jika Mahisa Agni menjadi marah, dan mereka berbantah, maka ada alasan untuk segera minta kepada Sri Rajasa, agar Mahisa Agni segera diperintahkan kembali ke Kediri, karena Mahisa Agni sudah menghinakan isteri Sri Rajasa.
Tetapi usaha itu ternyata belum berhasil. Namun demikian Ken Umang masih juga berusaha. Katanya, "Kakang Mahisa Agni. Siapakah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan Anusapati itu?"
"Ampun tuan Puteri. Tentu tanggung jawab Anusapati sendiri. Apalagi Anusapati kini sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah seorang dewasa, bahkan ia sudah seorang ayah. Itulah sebabnya maka ia harus sudah bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sadar atau tidak sadar."
"Tetapi ia tidak tiba-tiba saja menjadi dewasa. Tentu ada yang mendidiknya sejak kanak-anak. Orang itulah yang bertanggung jawab atas segala macam tingkah laku Anusapati."
"Maksud tuanku, apakah yang bertanggung jawab tuanku Permaisuri?"
Ken Umang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun untuk memancing pertengkaran ia menjawab, "Ya. kanda Permaisuri dan kau."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang sekilas kesudut halaman itu, dilihatnya beberapa orang prajurit bertugas. Demikian juga didepan regol bangsal Ken Umang.
Karena itu Mahisa Agni harus berhati-hati. Bukan karena ia takut menghadapi tindakan kekerasan, tetapi ia sadar sepenuhnya bahwa Ken Umang memang sedang memancing perselisihan. Jika ia bersikap keras dan berbantah, tentu prajurit-prajurit itu akan menjadi saksi. Demikian juga beberapa orang emban yang duduk tidak begitu jauh dari Ken Umang.
Jika demikian, maka akan timbul berbagai macam akibat yang barangkali terlalu jauh baginya.
Karena kesadaran itulah maka Mahisa Agni tetap pada sikapnya. Ia sekali-sekali membungkukkan kepala dengan tangan bersilang. Sama sekali tidak ada sikap menentang dan melawan setiap kata-kata Ken Umang.
"Apa katamu Mahisa Agni," Ken Umanglah yang mulai membentaknya.
Sekali lagi Mahisa Agni membungkukkan kepalanya. Jawabnya, "Ampun tuan Puteri. Jika menurut pendapat tuan Puteri hamba ikut bertanggung jawab, maka baiklah hamba akan mencoba membetulkan kesalahan hamba. Sudah hamba katakan, bahwa hamba akan mencegah Anusapati, agar ia kemudian bersikap baik dan tidak memusuhi tuanku Tohjaya. Tetapi tentang sikap dan tanggung jawab tuanku Permaisuri, itu ada diluar kekuasaan hamba. Hamba tidak berhak menegurnya meski-pun ia adalah adik hamba."
"Kenapa kau tidak berhak" Kau adalah saudara tuanya. Meski-pun ia seorang Permaisuri, ia tetap adikmu."
"Hamba tidak berani melakukannya. Hamba takut kepada tuanku Sri Rajasa. Tuanku Permaisuri kini bukan menjadi tanggungan hamba lagi sejak ia bersuami. Segala tingkah laku dan perbuatannya telah menjadi tanggung jawab suaminya."
"O. jadi kau menyalahkan tuanku Sri Rajasa?"
"Bukan maksud hamba. Tetapi sebaiknya tuanku Sri Rajasalah yang memberinya peringatan. Hamba justru takut kepada Sri Rajasa."
"Pengecut" Kenapa kau takut" Tentu Sri Rajasa tidak sempat berbuat seperti itu. Tuanku Sri Rajasa adalah Maharaja yang berkuasa di Singasari. Ia tidak sempat mengurusi isterinya saja. Apalagi kakanda Permaisuri yang hampir tidak pernah menarik perhatian Sri Rajasa."
Terasa dada Mahisa Agni berguncang. Tetapi ia masih harus menahan hati. Sambil membungkukkan kepalanya ia berkata. "Sebenarnyalah hamba akan menjalankan semua perintah karena hamba hanyalah seorang abdi di istana ini. Meski-pun hal itu bertentangan dengan kemauan hamba sendiri misalnya, tetapi apabila hal itu harus hamba kerjakan, hamba akan mengerjakannya. Jika memang tuanku Sri Rajasa memerintahkan kepada hamba untuk memberikan peringatan kepada tuanku Permaisuri."
"Kau memang bodoh sekali," Ken Umang menjadi marah, "Jika tuanku Sri Rajasa sempat memerintahkan kepadamu, ia tidak memerlukan kau lagi. Mengerti?"
Mahisa Agni menahan nafasnya sejenak. Lalu, "Hamba mengerti tuanku."
"Jadi kaulah yang bertanggung jawab seluruhnya atas kelakuan Anusapati itu. Mengaku atau tidak mengaku."
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap sadar. Jika ia bersikap seperti Ken Umang pula, maka orang-orang yang melihatnya akan dapat menjadi saksi, bahwa ia telah berani menentang isteri Sri Rajasa.
Karena itu, sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata betapa-pun ia menahan hati, "Hamba tuan Puteri. Hamba memang bersalah karena hamba tidak dapat mengajar anak itu bersikap baik. Tetapi hamba berjanji untuk memperbaiki kesalahan itu."
"O, gila, gila. Kau memang bukan laki-laki jantan. Kau hanya berani merunduk seperti budak yang paling hina. Apakah kau sadar, bahwa sikapmu sama sekali bukan sikap seorang Senapati besar?"
"Mungkin tuan Puteri benar," jawab Mahisa Agni, "hamba memang tidak dapat bersikap lain kali ini, karena hamba berhadapan dengan junjungan hamba. Memang sangat berbeda dengan sikap seorang Senapati dipeperangan."
Kemarahan Ken Umang sudah sampai ke puncaknya sehingga ia berteriak, "Apakah kau dapat bersikap yang lebih baik dari sikap seorang penjilat."
Sebenarnya kesabaran Mahisa Agni-pun sudah sampai diujung ubun-ubun. Tetapi ia masih memaksa diri untuk tetap bersabar.
Sementara itu beberapa orang prajurit yang melihat dari kejauhan-pun menjadi heran. Semula mereka memang menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni berbantah dengan Ken Umang, meski-pun Mahisa Agni adalah seorang Senapati, tetapi ia dapat dianggap bersalah dan ia dapat dengan serta-merta diperintahkan untuk meninggalkan istana Singasari ke Kediri. Tetapi ternyata sikap Mahisa Agni itu diluar dugaan mereka. Mahisa Agni sama sekali tidak menunjukkan sikap menentang. Bahkan sikap hormatnya agak berlebih-lebihan.
"Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh tuan Puteri," berkata para prajurit itu didalam hati. Namun sebenarnyalah mereka dengan mudah dapat menduga, bahwa Ken Umang sengaja memancing persoalan agar Mahisa Agni segera diperintahkan meninggalkan Singasari. Tetapi para prajurit itu tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Mereka hanya menganggap bahwa kehadiran Mahisa Agni itu menguntungkan Anusapati, karena setiap orang-pun mengetahui bahwa Anusapati dan Tohjaya agaknya sukar dirukunkan, dan setiap orang tahu bahwa Sri Rajasa agak berpihak kepada Tohjaya. Bukan kepada Anusapati. Bagi mereka yang mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya-pun mengerti, bahwa Sri Rajasa ternyata tidak dapat menerima kehadiran anak Tunggul Ametung itu dengan sepenuh hati.
Sedang prajurit yang lain, yang mengetahui persoalan yang sedang dihadapinya itu-pun berkata, "Mahisa Agni memang seorang yang bijaksana. Sebagai seorang Senapati Agung di Singasari ia membiarkan dirinya dicaci maki oleh isteri muda Sri Rajasa. Tampaknya itu suatu kekalahan baginya, tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Agnilah yang menang, jika ia tetap dapat bertahan.
Prajurit itu terkejut ketika ia melihat tiba-tiba saja Ken Umang menghentak-hentakkan tangannya sambil berteriak, "Pengecut yang paling buruk diseluruh Singasari. Aku akan mengatakannya kepada Sri Rajasa, bahwa kau tidak pantas menjadi seorang Senapati Agung di Singasari. Kau hanya pantas menjadi seorang penjilat yang rendah dan hina. Ternyata kau tidak dapat mempertahankan sikapmu dan mempertanggung jawabkan segala macam perbuatanmu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus berlahan sedikit lagi. Ternyata bahwa Ken Umang sendiri sudah kehilangan kesabarannya meski-pun ia telah dengan sengaja memancing persoalan.
"Pergi, pergi dari hadapanku penjilat yang rendah," berkata Ken Umang, "aku tidak mau berhubungan lagi dengan orang semacam kau. Kau hanya pantas berhubungan dengan budak-budakku, dengan hamba-hambaku yang paling rendah."
Dada Mahisa Agni bagaikan retak karenanya. Tetapi ia masih tetap bertahan dengan segenap kemampuan perasaannya. Rasanya lebih mudah untuk bertahan melawan sepuluh orang prajurit dalam benturan jasmaniah daripada harus bertahan membiarkan dirinya dihinakan.
"Pergi, pergi," teriak Ken Umang kemudian.
"Hamba tuanku, hamba akan pergi jika memang tuanku kehendaki."
"Aku tidak mau melihat wajahmu lagi."
Mahisa Agni membungkuk dalam-dalam. Namun ia-pun kemudian terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata, "Paman, kita tetap disini. Aku adalah Putera Mahkota. Paman harus mendengarkan segala perintahku."
Semua orang yang mendengar suara itu-pun berpaling. Mereka melihat Anusapati berdiri bertolak pinggang dengan wajah yang merah padam.
Ternyata bukan Mahisa Agnilah yang kehabisan kesabaran, tetapi justru Anusapati yang justru sedang mencarinya.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berbisik, "Tahankan perasaanmu Anusapati. Ingat, kau mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada harga dirimu. Aku sudah membiarkan diriku dihinakan dihadapan banyak orang karena kepentingan yang lebih besar itu."
Anusapati menggeretakkan giginya. Bahkan ia masih juga berkata, "Hanya perintah ayahanda Sri Rajasa sajalah yang berada diatas perintahku, karena aku adalah Pangeran Pati. Bahkan ibunda Permaisuri-pun tidak dapat mengubah keputusanku."
Semua orang yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Para prajurit yang sedang bertugas menjadi termangu-mangu. Prajurit yang bertugas di halaman bagian istana yang lama dan bagian istana yang baru. Kedua pihak tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang mereka cemaskan adalah apabila Tohjaya mengetahui persoalan itu. Ia pasti tidak akan tinggal diam.
Sementara itu, wajah Ken Umang menjadi bagaikan menyala mendengar kata-kata Anusapati orang yang paling dibencinya itu. Sehingga justru karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam karenanya.
Anusapati yang sudah sampai pada batas kesabarannya itu masih juga berkata, "Paman Mahisa Agni. Aku perintahkan paman tetap tinggal disini. Paman harus mengawasi setiap orang yang ada di halaman ini. Seluruh halaman istana Singasari. Yang lama mau-pun yang baru adalah wewenang ayahanda Sri Rajasa. Dan limpahan kekuasaan Putera Mahkota adalah sama dengan kekuasaan Maharaja."
"Omong kosong," teriak Ken Umang. "kau sudah gila. Kau sangka Sri Rajasa senang melihat tampangmu?"
Anusapati sama sekali tidak menjawab kata-kata Ken Umang. Bahkan kemudian dibelakanginya perempuan itu sambil berkata lantang, "Aku akan merobah halaman istana ini. Aku akan menutup regol ini dengan dinding batu."
Kemarahan Ken Umang bagaikan memecahkan dadanya. Hampir diluar sadarnya ia berteriak, "Emban, panggil Tohjaya. Ada orang gila masuk kedalam istana."
Emban itu tidak menunggu lebih lama. Berlari-lari ia pergi ke bangsal Ken Umang untuk memanggil Tohjaya yang ada didalamnya.
"Anusapati," desis Mahisa Agni kemudian, "kau lihat, akibat dari peristiwa ini akan berkepanjangan."
"Aku sudah siap paman. Apa-pun yang akan terjadi, aku akan menghadapinya. Meski-pun seandainya harus ada pertentangan terbuka dengan Sri Rajasa. Aku akan menyatakan diriku di depan setiap orang, bahwa akulah yang berhak atas tahta ini."
"Anusapati," potong Mahisa Agni, "kendalikan perasaanmu."
"Maaf paman. Aku akan mengendalikan persaanku. Tetapi tidak sekarang."
Mahisa Agni masih akan menjawab. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Ken Umang, "Nah, itulah orang gila itu Tohjaya. Kau harus mengusirnya. Bukan saja mengusir dari regol itu, tetapi kau harus mengusirnya dari istana dan bahkan dari Singasari."
Tohjaya tidak menghiraukan apa-pun lagi. Ia tidak rela menyaksikan ibunya yang dihinakan oleh siapa-pun juga, meski-pun ia seorang Pangeran Pati. Apalagi ia sadar, bahwa Pangeran Pati ini memang harus disingkirkan.
Karena itu maka ia-pun segera mendekati Anusapati sambil berkata lantang, "Apakah kau memang sudah mulai gila kakanda Anusapati?"
Anusapati memandang Tohjaya sejenak. Namun kemudian terdengar ia tertawa, "Ha, aku memang menunggu kau adinda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku punya hak untuk berbuat apa saja di istana ini, karena aku adalah Pangeran Pati. Jika sampai saat ayahanda Sri Rajasa tidak lagi memegang pemerintahan, entah karena atas kehendak sendiri, atau karena umurnya yang pendek."
"Tutup mulutmu," teriak Tohjaya.
"Anusapati," Mahisa Agni masih ingin mencegah, "kenapa kau kehilangan akal he" Apakah kau memang benar-benar gila?"
Tetapi Anusapati benar-benar tidak menghiraukannya lagi. Bahkan katanya, "Kau mau apa Tohjaya. Coba berbuatlah sesuatu kalau kau berani."
Tohjaya benar-benar terbakar mendengar tantangan itu. Karena itu, makan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Anusapati sudah memperhitungkannya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan serangan membabi buta itulah yang ditunggu-tunggunya.
Dengan gerak yang lebih cepat dari gerak Tohjaya, maka Anusapati-pun menghindar. Tetapi ia tidak sekedar menghindari serangan Tohjaya. Bahkan sekaligus ia menyerangnya pula.
Serangan itu benar-benar tidak diduga oleh Tohjaya. Apalagi kecepatan bergerak Anusapati jauh melampaui kemampuannya, sehingga karena itu, maka Tohjaya-pun kemudian terlempar dan jatuh terguling ditanah.
Ternyata Anusapati yang sudah kehabisan akal itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia masih ingin meloncat membunuhnya. Namun ia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah benturan yang dahsyat sehingga Anusapati itulah yang kemudian terlempar dan jatuh terguling.
Dengan serta-merta Anusapati meloncat bangkit. Namun ia tertegun ketika ia melihat, pamannya Mahisa Agnilah yang berdiri dihadapannya.
Sejenak Anusapati melihat Tohjaya tertatih-tatih bangun. Namun kemudian dipandanginya wajah pamannya yang tegang.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni. Betapa tegang wajahnya, namun kata-katanya tetap sareh dan tenang, "Apakah kau memang sengaja ingin membuat tontonan di halaman Istana ini atau kau ingin memamerkan kemampuanmu. Aku berterima kasih bahwa kau mempertahankan martabatku. Tetapi aku kurang senang melihat darahmu yang masih terlampau mudah menyala. Cobalah, tenanglah sedikit. Lihatlah banyak orang yang menonton peristiwa ini, seperti orang melihat ayam bersabung. Padahal kalian adalah bangsawan tertinggi di Singasari saat ini. Apakah kau mengerti?"
Anusapati tidak segera menjawab. Dengan wajah yang tegang dipandanginya pamannya yang berdiri tegak seperti batu karang. Alangkah garangnya. Tentu dipeperangan Mahisa Agni akan tampak lebih garang lagi. Dengan senjata di tangan dan wajah yang tegang.
Ternyata perbawa itu meresap kedalam dada Anusapati. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk lesu. Sebuah penyesalan telah merayapi hatinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan rasa-rasanya semakin lama semakin banyak mata yang memandanginya.
Perlahan-lahan terdengar suaranya bergumam didalam mulutnya, "maafkan aku paman. Ternyata aku telah kehilangan pengamatan diri. Penghinaan yang tiada batasnya itu membuat dadaku bagaikan terbelah."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berlega hati ketika dilihatnya bahwa Anusapati sudah mulai berhasil menguasai perasaannya.
Namun selagi Mahisa Agni mulai merasa tenang, setelah ketegangan yang sangat mencengkam hatinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Tohjaya lantang, "Ayahanda, inilah orang gila yang ingin mengacaukan istana itu."
Dengan serta-merta Mahisa Agni berpaling. Dadanya berdesir ketika dilihatnya Sri Rajasa berdiri tegak diiringi oleh beberapa orang pengawal. Dengan sorot mata yang menyala dipandangnya Mahisa Agni dan Anusapati berganti-ganti.
"Sudah tiba saatnya bagi ayahanda untuk bertindak."
Tetapi Sri Rajasa masih tetap berdiri diam seperti patung.
Tohjaya menjadi heran sejenak. Demikian ibunya Ken Umang. Perlahan-lahan isteri muda Sri Rajasa itu melangkah maju sambil berkata, "Kakanda Sri Rajasa. Alangkah cemasnya hati hamba melihat ananda Anusapati berbuat diluar sadarnya. Hamba tidak tahu apa yang seharusnya hamba lakukan. Sedangkan kakang Mahisa Agni sama sekali tidak berbuat apa-pun juga untuk menenangkan keadaan. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap seperti orang tua."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekati Anusapati yang berdiri termangu-mangu disebelah Mahisa Agni. Beberapa langkah daripadanya berdiri Tohjaya dengan wajah yang tengadah.
"Kakanda," berkata Ken Umang, "sebaiknya kakanda menimbang dengan adil. Hamba lihat pakaian Tohjaya yang kotor dan kusut itu" Ananda Anusapatilah yang telah melakukannya tanpa disangka-sangka."
Sri Rajasa menjadi semakin dekat, sehingga dada Mahisa Agni-pun menjadi semakin berdebar-debar.
"Jika semuanya harus terjadi saat ini, apaboleh buat," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "meski-pun aku tidak dapat memperhitungkan, bagaimana akhir dari setiap persoalkan yang dapat timbul karenanya."
Agaknya Anusapati-pun mencemaskannya pula. Jika ayahandanya tidak dapat mengekang dirinya pula, maka yang terjadi adalah bencana yang maha dahsyat. Bukan saja bagi pimpinan tertinggi Singasari, tetapi bagi Singasari dan rakyatnya.
Gejolak hati Anusapati itu telah mendorongnya berbisik ditelinga Mahisa Agni, "Paman, Trisula itu aku bawa sekarang."
"Ah," Mahisa Agni berdesah. Tetapi ada semacam air yang menitik di jantungnya yang sedang membara. Sadar atau tidak sadar, Mahisa Agni harus mengakui, bahwa Sri Rajasa adalah bukan manusia kebanyakan. Ia memiliki kelebihannya. Ia memiliki kelebihan yang tidak dapat dimengerti oleh sesamanya.
Sejenak Sri Rajasa berdiri dengan tegang. Namun kemudian ia berkata, "Aku mengerti apa yang telah terjadi. Seorang perwira yang melihat peristiwa ini langsung menyampaikannya kepadaku. Dengan tergesa-gesa aku datang kemari, karena yang terjadi adalah sepercik noda yang paling kotor pada keluarga Maharaja di Singasari. Dan aku melihait bagian terakhir dari tontonan yang mengasyikkan ini."
Semua orang yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Suara Sri Rajasa sudah menjadi agak gemetar oleh perasaaan yang tertahan didalam dadanya.
Ken Umang memandang Sri Rajasa tanpa mengedipkan matanya. Seakan-akan ia menunggu, keputusan apakah yang akan diambilnya didalam keadaan itu.
Sementara itu Tohjaya bergeser selangkah mendekati ayahandanya. Dalam ketegangan itu ia berkata, "Ayahanda dapat bertindak sekarang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya, aku memang dapat bertindak. Dan aku memang akan bertindak sebaik-baiknya."
"Tentu ayah," sahut Tohjaya.
Anusapati membeku ditempatnya, sedang wajah Mahisa Agni tidak lagi disaput ketegangan yang dalam membayang di wajah itu.
Sekilas ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang Senapati berdiri tegang. Bahkan Panglima pasukan pengawalnya-pun telah ada di halaman itu pula.
"Benar seperti sabungan ayam," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat menduga, apa saja yang akan dilakukan oleh para prajurit ini."
Sejenak Mahisa Agni memandang ke kejauhan menembus kesuraman senja yang mulai turun. Seorang juru taman berdiri disebelah gerumbul yang lebat. Sekali-sekali ia berlindung dibalik gerumbul itu, dan sekali ia menampakkan dirinya jika kebetulan Mahisa Agni memandangnya. Juru taman itu adalah Sumekar.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Juru taman itu akan dapat ikut menentukan akhir dari peristiwa yang tidak diinginkannya apabila hal itu terpaksa terjadi di halaman ini, dibatas antara istana yang lama dan yang baru.
Sejenak orang-orang yang berdiri berpencaran itu termangu-mangu. Mereka memandang Sri Rajasa dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tanpa mereka sadari, nafas mereka-pun seakan-akan berkejaran. Yang berdiri dengan tegang itu adalah dua orang Raksasa yang tidak ada bandingnya di Singasari.
Sri Rajasa adalah seorang yang bagi Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Orang yang memiliki kelebihan tanpa dicarinya. Karena itulah maka orang mengatakan bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu adalah kekasih dewa-dewa.
Tetapi bagi Sri Rajasa, Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Satu-satunya anak muda yang mampu mengimbanginya selagi ia masih berkeliaran di Padang Karautan. Dan Ken Arok vang bergelar Sri Rajasa itu mengetahui, bahwa Mahisa Agni pada waktu itu, memiliki sebuah pusaka yang baginya sangat mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari pusaka yang selama ini dianggapnya pusaka yang paling keramat, Keris mPu Gandring. Dan pusaka itu hanyalah sebuah trisula yang tidak seberapa besarnya. Tetapi dapat bercahaya seperti matahari yang menyilaukan.
Namun Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memang tidak akan berbuat apa-apa. Setelah beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, maka ia-pun berkata, "Aku minta kalian kembali kebangsal masing-masing."
Tohjaya terkejut mendengar perintah itu. Bahkan yang lain-pun tidak kalah terkejut pula. Mahisa Agni yang tegang dan Anusapati yang berdebar-debar saling berpandangan sejenak.
"Aku tidak senang melihat pertengkaran itu," berkata Sri Rajasa lebih lanjut, "sejak lama aku selalu memperingatkan, sikap bermusuhan itu sangat memalukan. Apalagi kalian adalah Putera seorang Maharaja yang sangat dihormati. Tindakan kalian itu tentu merendahkan martabatku sebagai seorang Raja yang memerintah seluruh Singasari sekarang ini."
Ken Umang memandang ken Arok dengan sorot mata yang aneh. Memang ia tidak mengerti akan perintah itu. Ia berharap agar Sri Rajasa mengambil tindakan yang paling keras terhadap Anusapati. Hukuman yang dapat merendahkan nilainya sebagai seorang Putera Mahkota. Menghinakannya, dan akan lebih baik lagi jika kemudian mengusirnya dari Istana.
Ken Umang menjadi lebih heran lagi ketika ia mendengar Sri Rajasa itu berkata, "Aku mengucapkan terima kasih kepadamu Mahisa Agni."
Tohjaya menjadi tegang sejenak. Dan ia mendengar Sri Rajasa melanjutkan, "Aku melihat dari kejauhan apa yang kau lakukan. Ternyata bahwa kau berdiri diatas ikatan keluarga yang ada pada dirimu. Meski-pun kau paman Anusapati dari saluran darah ibunya, retapi kau sudah berusaha sebaik-baiknya mencegah pertengkaran ini. jika kau tidak menghalangi Anusapati, maka aku kira Tohjaya akan mengalami cidera yang dapat membahayakan jiwanya. Jika demikian maka tidak akan ada gunanya lagi aku membina daerah ini dengan mempertaruhkan semua yang ada padaku."
Tidak seorang-pun yang menyahut. Bahkan tidak seorang-pun yang bergerak meski-pun hanya sekedar ujung jari kakinya.
"Jika Tohjaya mengalami cedera, apalagi sampai membahayakan jiwanya, maka Anusapati harus dihukum. Dengan demikian aku akan kehilangan kedua-duanya sekaligus. Kehilangan Pangeran Pati yang akan menggantikan kedudukanku, dan kehilangan Tohjaya satu-satunya orang akan dapat menggantikan kedudukan Anusapati apabila terjadi sesuatu dengannya. Memang aku masih mempunyai beberapa orang anak laki-laki. tetapi aku harus membinanya dari permulaan sekali." Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, "karena itu tindakan Mahisa Agni memang pantas dipuji."
Betapa mereka yang mendengar kata-kata Sri Rajasa itu tidak dapat mengartikannya dengan segera. Ada yang heran, ada yang tidak percaya kepada pendengarannya, tetapi ada yang menganggap, bahwa itu adalah sikap yang bijaksana.
"Nah," sekali lagi Sri Rajasa berkata, "Sekarang kembalilah kebangsal masing-masing. Jangan menjadi tontonan di sini. Semakin cepat semakin baik."
"Kakanda," Ken Umanglah yang akan memotong kata-kata Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa mendahuluinya, "Kau-pun sebaiknya meninggalkan tempat ini. Adalah kurang baik jika kau berada diantara wajah-wajah yang tegang dan sikap bermusuhan."
Ken Umang menahan gejolak didalam dadanya. Tetapi ia tidak berani membantahnya. Digamitnya Tohjaya dan dengan isyarat diajaknya Tohjaya meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu Mahisa Agni-pun kemudian menggandeng Anusapati meninggalkan tempat itu sambil berkata kepada Sri Rajasa, "Sikap Tuanku sangat bijaksana. Hamba mengucapkan terima kasih."
"Apakah mungkin aku berbuat lain?" bertanya Sri Rajasa.
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia-pun menjawab, "Memang tidak ada sikap lain bagi seorang yang bijaksana."
"Bagi yang tidak bijaksana?"
"Tuanku, hamba tidak dapat mengatakannya, karena ternyata yang ada adalah seorang yang sangat bijaksana."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya langkah Anusapati disamping Mahisa Agni, dan diarah yang lain Tohjaya berjalan dibelakang ibunya, Ken Umang.
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya ketika perasaannya mulai menilai kedua anak muda itu. Ia tidak mau melihat kenyataan bahwa ternyata anak Tunggul Ametung itu mempunyai banyak kelebihan dari anaknya.
"Ibunyalah yang memiliki kelebihan. Adalah bodoh sekali bahwa aku tidak pernah memikirkan dengan sungguh-sungguh kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu merenung sejenak. Ia mulai membayangkan kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng. Ia adalah anaknya dan anak Ken Dedes. Jika benar Ken Dedes memiliki kemungkinan yang besar pada keturunannya, maka Mahisa Wonga Teleng-pun pasti memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
"Tetapi sudah terlambat," ia berkata didalam hatinya, "Anusapati sudah mulai meloncati pagar yang selama ini berhasil aku lingkarkan mengelilingi. Tetapi ternyata pada suatu saat anak itu telah melepaskan dirinya dari semua kungkungan. Sebelumnya ia tidak pernah berani berbuat apa-apa-pun jangankan seperti yang dilakukannya saat ini."
Tiba-tiba terlintas didalam angan-angannya. Ken Dedes yang sedang terbaring dipembaringannya. Tentu Ken Dedes sudah mengatakan semuanya tentang Anusapati. Tentu Ken Dedes juga mengatakan saat-saat kematian Tunggul Ametung, dan tentu sekarang Anusapati sedang didalam gejolak yang paling dahsyat yang pernah dialaminya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia sudah dihadapkan pada suatu keadaan yang sama-sama. Seakan-akan ia sedang memandang cahaya matahari yang kemerah-merahan, yang sebentar lagi akan turun dan hinggap dipunggung pegunungan. Kesempatan itu adalah kesempatan terakhir untuk memandang wajah bumi karena sebentar lagi matahari itu akan tenggelam.
"Tentu tidak akan mungkin lagi dapat terbit di Timur," katanya didalam hati, "aku memang bukan matahari. Jika saat tenggelam itu datang, maka biarlah namaku tenggelam pula bersamanya. Tetapi jangan Singasari."
Ken Arok itu-pun kemudian perlahan-lahan melangkahkan kakinya kembali kebangsalnya. Pengawal-pengawalnya-pun mengikutinya dari kejauhan. Ketika Ken Arok kemudian masuk kedalam bangsalnya, maka para prajurit itu-pun tinggal di gardu penjagaan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Agni membawa Anusapati kebangsalnya. Ketika mereka berjalan lewat didepan seorang juru taman yang sedang berjongkok, maka Mahisa Agni-pun memberikan isyarat kepadanya sambil berbisik, "Nanti malam aku datang kegubugmu."
Sumekar sama sekali tidak menyahut. Justru ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Baru ketika keduanya sudah menjadi semakin jauh. Sumekar itu baru berdiri dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, cahaya matahari memang sudah mulai pudar. Semakin lama semakin suram. Dan sebentar lagi, maka seluruh Singasari itu-pun ditelan oleh kegelapan malam.
Di bangsal Anusapati, Mahisa Agni duduk tepekur dihadap oleh Anusapati. Agak sulit baginya untuk memberikan beberapa nasehat kepada Putera Mahkota itu. Karena ia tahu, bahwa selama ini Anusapati selalu menjaga perasaan isterinya. Ia selalu berusaha untuk menghindarkan semua pembicaraan yang dapat membuat isterinya menjadi semakin berkecil hati. Sebagai seorang perempuan yang hidup dilingkungan yang asing, maka ia memerlukan ketenangan didalam lingkungannya yang baru itu.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun menunggu hingga pada suatu kesempatan ia dapat mengatakannya.
Ketika Mahisa Agni yakin bahwa isteri Anusapati itu tidak berada didalam bilik sebelah yang mungkin dapat mendengar suaranya, barulah ia berkata, "Anusapati. Ternyata keadaan sudah menjadi semakin panas dan gawat. Tetapi aku melihat perkembangan lain pada Sri Rajasa itu."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir berbisik, "Aku masih belum yakin paman. Tetapi mudah-mudahan ayahanda Sri Rajasa dapat melihat kebenaran tentang hubunganku dengan adinda Tohjaya. Tetapi seandainya demikian, hal itu tentu sudah terjadi beberapa saat lamanya."
"Pikiran dan perasaan seseorang dapat berkembang Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian, "dan aku berharap, bahwa Sri Rajasa akan mengalaminya."
"Mungkin pada suatu saat paman. Tetapi jika ibunda Ken Umang mendapat kesempatan berbicara maka ayahanda tentu akan bersikap lain pula."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit bagi Ken Arok untuk berjalan surut. Dan jika ia tetap maju, maka jarak perjalanan itu menjadi semakin dekat.
"Hati-hatilah Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku berharap keadaan bertambah baik. Tetapi aku juga berharap agar kau tidak lengah. Sudah sepantasnya kau membawa trisula kecil itu kemana-pun kau pergi. Tetapi ingat, jangan kau pergunakan jika kau tidak dalam keadaan terpaksa. Terpaksa sekali.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku berjanji akan menemui Sumekar. Malam sudah menjadi semakin gelap. Besok aku kembali melihat keris itu. Sekarang waktunya agaknya kurang baik bagiku untuk melihat keris itu. Jika ada satu dua orang yang sempat melihatnya, maka udara yang panas ini tentu akan mendidih. Besok aku akan kembali untuk melihat keris itu."
"Apakah aku harus membawanya kebangsal paman?"
Mahisa Agni menggeleng, "Aku tidak mengatakan demikian sekarang. Aku tidak tahu, jika keadaan besok akan berkembang."
Anusapati menundukkan kepalanya.
"Sekarang, biarlah aku pergi ke gubug Sumekar. Aku perlu berbicara sedikit dengan juru taman itu."
"Silahkanlah paman."
"Ingat, dalam keadaan serupa ini, trisula kecil itu jangan terpisah dari dirimu. Bukanlah trisula itu tidak mengganggumu jika kau sembunyikan didalam lapisan ikat pinggangmu."
Anusapati menganggukkan kepalanva. Pesan itu menyatakan bahwa Mahisa Agni-pun menjadi sangat cemas terhadap perkembangan keadaan.
Namun Mahisa Agni itu-pun kemudian berpesan, "Tetapi ingat pula Anusapati, bahwa trisula itu bukan senjata dan yang dipergunakan jika itu bukan cara terakhir satu-satunya jalan yang dapat kau tempuh."
Sekali lagi Anusapati mengangguk sambil menjawab, "Ya paman, aku mengerti."
"Nah, tinggal sajalah di bangsalmu. Kau dapat sedikit memberikan pesan, meski-pun tidak berterus-terang terhadap para pengawal di halaman, agar mereka-pun berhati-hati pula."
"Ya paman." "Nah, biarlah aku pergi sekarang. Bukankah anakmu sudah tidur?"
"Sudah paman." "Besok saja aku menemuinya."
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Ia tidak segera pergi kegubug Sumekar tetapi ia berjalan kebangsalnya sendiri. Perlahan-lahan seperti seorang jejaka berjalan dibawah cahaya bulan yang sedang purnama.
Mahisa Agni harus yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahui sedap pertemuannya dengan Sumekar, mau-pun Anusapati dengan Sumekar agar Sumekar tidak segera terlibat dalam keadaan yang panas itu. Dengan demikian ada seorang yang kuat, yang masih dapat diharapkan berbuat sesuatu diluar perhitungan Sri Rajasa.
Tetapi jika pertentangan yang tampaknya akan menjadi terbuka itu berkembang, Mahisa Agni memerlukan kekuatan diluar istana itu. Jika kemudian terjadi bentrokan-bentrokan senjata dengan terbuka, dan Sri Rajasa mempergunakan kekuasaan dan haknya sebagai seorang Maharaja, maka dengan sangat terpaksa Mahisa Agni-pun harus menghadapinya dengan cara serupa. Tetapi karena ia tidak berhak memberikan perintah langsung kepada para prajurit yang ada di Singasari, maka ia harus mendapatkan kekuatan lain yang dapat melindungi Anusapati bersamanya. Bukan sekedar melindunginya karena ia takut mati, tetapi melindungi dirinya dan Anusapati bersama segala macam cita-cita dan kemungkinannya.
Setelah malam menjadi semakin gelap, maka Mahisa Agni-pun keluar lagi dari bangsalnya. Kepada prajurit yang mengawal bangsalnya ia berkata, "Udara sangat panas didalam. Aku akan keluar sebentar."
Prajurit-prajurit itu memandanginya sejenak. Seakan-akan ingin bertanya, kemanakah ia akan pergi didalam keadaan yang bagi para prajurit, agak kalut itu" Meski-pun mereka tidak melihat pertentangan sampai keakar hati Mahisa Agni, Anusapati, Tohjaya dan orang-orang yang terlibat lainnya termasuk Sri Rajasa sendiri, namun mereka melihat pertengkaran antara Anusapati dan Tohjaya sebagai anak-anak muda yang kian tidak mau hidup dalam suasana persaingan. Sayang persaingan diantara mereka itu sama sekali tidak mendorong mereka kearah yang lebih baik dari pertengkaran yang kasar. Seperti pertengkaran anak-anak seorang rakyat kebanyakan saja. Bahkan hampir saja mereka berkelahi dalam arti yang sebenarnya di hadapan banyak orang.
Mahisa Agni dapat menangkap dari sorot mata para prajurit itu, pertanyaan-pertanyaan yang bergulat didalam hati mereka. Karena itu ia-pun tersenyum sambil berkata, "jangan cemas. Anak-anak itu tidak akan berkelahi lagi, apalagi memperluas pertengkaran mereka, meski-pun orang-orang tua terpaksa ikut campur."
Para prajurit itu-pun tersenyum pula. Bahkan tersipu-sipu karena Mahisa Agni dapat menebak pertanyaan didalam hatinya dengan tepat.
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 77) Jilid 77 "MEMANG MEMALUKAN," berkata Mahisa Agni lebih lanjut, "tetapi mereka adalah anak-anak muda. Seperti anak muda kebanyakan. Hanya karena mereka tinggal diistana ini maka sorotan bagi mereka menjadi lebih tajam karenanya. Setiap orang memperhatikannya dan menilainya. Tetapi sebagai manusia biasa mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan anak-anak muda yang tinggal di padukuhan yang paling terpencil. Darahnya masih terlampau mudah mendidih dan kurang pengendalian diri. Tetapi jika mereka meningkat semakin tua, maka keadaannya pasti akan jauh berbeda. Anusapati yang kini sudah mempunyai seorang anak itu ternyata sudah jauh berkurang, sudah jauh mengendap dibandingkan beberapa saat yang lampau."
Para prajurit yang mendengarkan kata-kata Mahisa Agni itu menganggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak mengatakan suatu apa.
"Sudahlah, bertugaslah dengan baik. Aku akan menghirup udara malam dihalaman dan dipertamanan. Mudah-mudahan badanku menjadi segar dan pikiranku menjadi bening."
Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ketika Mahisa Agni melangkah meninggalkan halaman bangsalnya, dua orang prajurit mengiringinya sebagai yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi seperti biasa pula Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, "Biarlah aku berjalan sendiri. Bukankah demikian kebiasaanku" Didalam halaman istana ini tidak akan ada gangguan apapun. Meski-pun kadang-kadang terjadi hal-hal yang tidak dapat dimengerti, orang-orang berkerudung, orang yang tidak dikenal yang hampir saja membunuh juru taman itu, dan bermacam-macam lagi, tetapi mereka tidak akan mengganggu aku."
Prajurit-prajurit itu saling berpandangan sejenak, namun mereka-pun menganggukkan kepalanya dalam-dalam sekali lagi. Salah seorang dari mereka berkata, "jika itu perintah tuan."
"Ya," jawab Mahisa Agni, "itu perintahku."
"Baik tuan. Kami akan menunggu disini," sahut salah, seorang dari keduanya. Didalam hati mereka berkata, "Sebenarnyalah pengawalan itu tidak perlu bagi Mahisa Agni."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prajurit-prajurit itu-pun kemudian hanya dapat memandang Mahisa Agni yang berjalan menjauhi regol dan hilang didalam gelap.
Sambil manarik nafas dalam-dalam seorang prajurit berkata, "Bagaimana mungkin orang dapat memiliki ilmu seperti Senapati besar itu?"
"Ilmunya adalah kurnia Yang Maha Agung. Tidak semua orang dapat memilikinya meski-pun ia berlatih setiap hari sepanjang umurnya."
Yang lain hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan salah seorang berdesis, "Seperti juga Sri Rajasa, ia-pun seorang manusia yang aneh."
"Tidak banyak manusia seperti mereka itu. Dan kini tampaknya Putera Mahkota itu-pun akan tumbuh seperti ayahanda dan pamannya."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang sudah berada dikegelapan itu berjalan menyusuri tempat-tempat yang sepi dipetamanan. Sejenak ia berdiri ditempat yang terlindung. Bagaimana-pun juga ia memang harus berhati-hati. Apalagi dihalaman istana ini sering terjadi sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya lebih dahulu.
Tetapi ternyata bahwa taman itu benar-benar sepi. Tidak ada seorang-pun yang berada disekitarnya dengan alasan apapun.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun bergeser pula mendekati gubug Sumekar.
Dengan hati-hati Mahisa Agni-pun kemudian mengetuk pintu gubug itu.
"Siapa?" Sumekar berbisik dibalik pintu.
"Agni." Mahisa Agni tidak perlu mengulanginya. Pintu gubug itu-pun kemudian terbuka dan Sumekar-pun melangkah keluar.
"Ikuti aku," desis Mahisa Agni.
Keduanya-pun kemudian menyusup kedalam taman. Beberapa langkah dibalik rimbunnya pohon bunga-bungaan, kedua berhenti sejenak.
"Sumekar," berkata Mahisa Agni, "aku ingin minta pertolongan lebih lanjut setelah sampai saat ini kau mengawasi dan melindungi Anusapati. Agaknya keadaan menjadi semakin gawat, sehingga aku perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi dari saat-saat yang lewat."
"Apakah yang harus aku lakukan?"
"Aku tidak sempat membuat hubungan dengan Witantra. Aku tidak sampai hati meninggalkan Anusapati dalam keadaan seperti sekarang. Apakah kau bersedia?"
"Apakah aku harus pergi ke Kediri menghubungi kakang Kuda Sempana."
"Tidak. Aku kira, Witantra atau Mahendra masih juga sering berkeliaran disekitar istana ini. Mereka-pun tentu ingin mengetahui perkembangan keadaan ini lebih lanjut."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku kira demikianlah. Apalagi dengan perkembangan terakhir. Ceritera tentang pertengkaran langsung yang terjadi ini, tentu akan sampiai ketelinga mereka, karena hal itu pasti akan segera tersebar."
"Ya. yang bertengkar adalah putera Sri Rajasa. Tentu ceritera itu tersebar luas dalam waktu yang singkat. Akibatnya, maka rakyat Singasari pasti akan terbelah. Sebagian akan berpihak kepada Anusapati dan sebagian akan berpihak kepada Tohjaya, karena mau tidak mau mereka akan langsung menghubungkan pertengkaran itu dengan sikap Sri Rajasa yang tampak dengan jelas, agak kurang adil terhadap kedua puteranya."
"Orang-orang tua akan tahu sebabnya. Tetapi bagi yang muda tanggapannya pasti akan agak berbeda."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia-pun kemudian berkata, "Sumekar, apakah kau bersedia mencari Witantra atau Mahendra disekitar istana ini" Tentu saja kau harus keluar dari istana ini tidak lewat regol depan atau regol butulan."
"Aku sudah mempunyai jalan sendiri," Sumekar tersenyum.
"Terima kasih. Sampaikan pesanku kepada mereka, bahwa aku memerlukan mereka setiap saat, apabila keadaan benar-benar tidak terkendali. Jika kau dapat mengusahakan, bawalah salah seorang dari mereka masuk kedalam taman, dan berilah aku isyarat apabila kau berhasil."
"Apakah isyarat itu?"
"Kau dapat menirukan suara burung tertentu?"
Sumekar mengerutkan keningnya.
"Kalau tidak, lemparlah atap bangsalku dengan kerikil kecil. Aku akan segera keluar dan pergi ketaman ini. Jika bukan malam ini, tentu malam-malam berikutnya. Tetapi aku berharap kau berhasil malam ini. Bukankah tempat kau sering menemui mereka itu masih dapat dijadikan ancer-ancer, kemana kau pertama-tama harus pergi?"
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Mereka-pun tentu akan menyadari keadaan."
"Selagi aku masih ada di Singasari. Perintah dari Sri Rajasa dapat datang setiap saat."
"Aku mengerti."
"Baiklah. Cobalah malam ini. Aku menunggu isyaratmu."
"Aku akan memberikan isyarat. Jika aku melempar atap rumahmu, atau menirukan suara burung kedasih beberapa kali, tandanya aku berhasil. Tetapi jika aku memberi isyarat hanya tiga kali, maka malam ini aku belum dapat menemuinya. Dan kau tidak usah menunggu semalam suntuk."
"Terima kasih. Di hari-hari terakhir, Sri Rajasa-pun tentu telah berbuat sesuatu. Dan kita-pun harus mengimbanginya."
Demikianlah maka Sumekar-pun mempersiapkan dirinya untuk keluar halaman istana mencari hubungan dengan Witantra atau Kuda Sempana. Ia masih berharap bahwa kedua orang itu belum jemu menunggu kesempatan untuk mendapat hubungan dengan Mahisa Agni.
Mahisa Agni-pun kemudian kembali ke bangsalnya. Tetapi ia tidak langsung masuk kedalam bangsal itu. Sejenak ia masih sempat berbincang dengan para prajurit, "Aku ingin beristirahat," berkata Mahisa Agni kemudian, "sudah terlalu malam. Jika aku tidak tidur malam nanti, maka kalian tidak mempunyai tugas lagi."
Para prajurit itu tertawa. Mereka memang menyadari, bahwa tugas mereka hanyalah mengawasi bangsal itu, karena jika terjadi sesuatu, akhirnya Mahisa Agni sendirilah yang harus melindungi dirinya sendiri.
Namun yang menarik perhatian para prajurit itu adalah sikap Mahisa Agni. Ia adalah Senapati Agung yang kedudukannya diatas para Panglima. Apalagi bagi Kediri. Tetapi sikapnya masih tetap seperti Mahisa Agni yang dahulu, Mahisa Agni anak Panawijen.
Jarang sekali seorang Panglima sempat bercakap-cakap dengan para prajurit. Jika ada satu dua prajurit yang mengawalnya, maka sikapnya adalah sikap seorang Panglima terhadap seorang prajurit bawahan. Bahkan satu dua orang perwira yang lain-pun sudah bersikap demikian.
"Ia adalah seorang Senapati besar. Bukan saja kedudukannya sebagai Senapati Agung dan wakil Mahkota di Kediri, tetapi jiwanya-pun ternyata cukup besar."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Pengaruh itu tampak pula pada Putera Mahkota. Selain sikapnya, maka keduanya tidak menaruh prasangka buruk terhadap sesamanya. Ternyata keduanya tidak memerlukan pengawalan seperti tuanku Tohjaya dan putera-putera Sri Rajasa yang lain."
"Ya, selain mereka tidak berprasangka, mereka-pun terlalu percaya kepada diri sendiri. Coba katakan, siapakah yang dapat melampaui kemampuan tuanku Mahisa Agni, dan tuanku Pangeran Pati selain Sri Rajasa. Dan tentu Sri Rajasa tidak akan berbuat apa-apa atas mereka."
"Orang berkerudung yang sempat masuk kehalaman itu?"
"Seandainya mereka sempat bertemu dengan keduanya atau salah seorang dari pada mereka, maka sejauh-jauh dapat dilakukan adalah seimbang saja."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang sependapat bahwa Mahisa Agni adalah seorang yang berjiwa besar, ramah dan rendah hati.
Dalam pada itu, Sumekar yang telah berhasil meloncati dinding tanpa diketahui oleh para peronda itu-pun segera menyelusuri jalan kota Singasari. Yang pertama-tama didatanginya adalah tempat yang biasa dipergunakan oleh Witantra atau Mahendra menunggu hubungan dari dalam istana.
Tetapi Sumekar tidak melihat seorangpun, sehingga karena itu ia-pun mengambil keputusan untuk pergi saja mengelilingi kota. Mungkin disatu tempat ia bertemu dengan salah seorang dari keduanya.
Namun belum lagi ia beringsut, terdengar suara seseorang memanggilnya. Dan suara itu bukan suara Witantra dan bukan pula suara Mahendra.
Sumekar berhenti sejenak. Dari dalam kegelapan dibalik bayangan dedaunan Sumekar melihat sesosok bayangan yang muncul.
"Bukankah kau Sumekar?" bertanya bayangan itu.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kakang Kuda Sempana. Justru kakang yang ada disini?"
"Ya, Beberapa hari ini giliranku. Keduanya hampir jemu menunggu. Tetapi tidak seorang-pun yang datang. Lalu akulah yang mendapat giliran tidur disini. Aku sudah empat malam selalu menungu salah seorang dari kalian di istana Singasari."
Sumekar-pun kemudian mendekati Kuda Sempana, dan keduanya-pun duduk dibalik gerumbul sambil membicarakan masalah yang sedang dihadapinya.
"Jadi persoalan itu seakan-akan menjadi panas?"
"Ya. Bahkan hampir terjadi dengan terbuka."
"Lalu apakah pesan Mahisa Agni."
"Sekedar persiapan. Jika setiap saat meledak. Dan rasa-rasanya kita memang berada diatas ujung tanduk. Setiap saat, jika kita kurang berhati-hati, maka perut kita dapat berlubang."
"Apakah aku harus menyampaikannya kepada Witantra."
"Ya. Dan Mahendra."
"Baiklah. Tentu bukan sekedar kami bertiga yang diharap oleh Mahisa Agni. Dan aku akan menyampaikannya kepada Witantra. Mungkin ia mengerti, apa yang sebaiknya harus aku kerjakan."
"Tetapi agaknya Mahisa Agni-pun ingin bertemu."
"Jangan sekarang," berkata Kuda Sempana, "aku harus menemui Witantra, kita bersama-sama akan bertemu dengan Mahisa Agni besok malam disini."
"Barangkali ia perlu pesan kepadamu. Aku dimintanya untuk memberikan isyarat apabila aku dapat menemui kalian salah seorang atau semuanya."
Kuda Sempana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Kenapa tidak besok?"
"Malam ini, dan sehari besok, bermacam-macam persoalan dapat terjadi."
"Tetapi tidak mungkin malam ini aku mencari Witantra."
"Mungkin tidak perlu. Tetapi sekedar bahan yang akan kalian bicarakan perlu kau dapat malam ini."
"Baiklah. Aku menunggu disini."
"Terima kasih. Aku akan membawa Mahisa Agni keluar halaman istana malam ini."
Demikianlah Sumekar-pun segera berusaha untuk dapat memberikan isyarat kepada Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menemui kesulitan untuk memasuki halaman istana, seperti pada saat ia keluar.
Dan ia-pun tidak mendapat banyak kesulitan untuk mendekati bangsal Mahisa Agni. Tetapi Sumekar tidak dapat segera memberikan isyarat dengan melemparkan kerikil keatas atap bangsal itu, karena pengawasan yang ketat. Karena itu Sumekar mempergunakan cara yang lain. Dari sudut halaman ia menirukan bunyi seekor burung kedasih beberapa kali. Ia berharap bahwa Mahisa Agni akan dapat mendengarnya dan menangkap isyaratnya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni dapat menangkap isyarat itu. Ia mendengar bunyi kedasih itu dan mengerti maknanya. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun sagera berusaha untuk dapat keluar dari bangsalnya tanpa diketahui oleh siapa-pun juga.
Itu-pun bukan suatu kesulitan bagi Mahisa Agni. Dan dengan demikian, maka ia-pun segera bersama-sama dengan Sumekar keluar dari halaman istana menemui Kuda Sempana.
"Kuda Sempana," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku memerlukan Witantra saat ini. Aku masih menganggap bahwa nama Witantra belum terhapus sama sekali dari hati para prajurit dan perwira pasukan pengawal, terutama yang sudah berusia pertengahan."
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya. Aku kira demikian."
"Karena itu, aku mengharap kedatangannya. Mungkin pada suatu saat, kita memerlukan pengaruhnya didalam lingkungan para pengawal Aku tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Panglimanya yang sekarang seandainya terjadi persoalan yang terbuka antara Tohjaya dan Anusapati."
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tentu Witantra tidak akan dapat berterus terang berada diistana Singasari."
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti," jawabnya, "aku kira Witantra-pun tidak akan berkeberatan."
Demikianlah maka, Kuda Sempana-pun segera pergi meninggalkan Singasari. Ia harus menghubungi Witantra dan membawanya menemui Mahisa Agni besok malam. Dalam keadaan yang panas itu, perubahan dapat terjadi setiap saat itu merupakan waktu yang sangat berharga. Sepeninggal Kuda Sempana maka Mahisa Agni-pun segera kembali kebangsalnya dan Sumekar masuk kedalam gubugnya yang kecil tanpa mengganggu tetangga-tetangganya yang tinggal disebelah menyebelah gubugnya.
Namun ia tidak dapat segera tidur. Persoalan-persoalan itu masih tetap tersangkut dikepalanya. Dan bahkan dorongan didalam dadanya untuk berbuat sesuatu rasa-rasanya tidak dapat dikendalikan lagi.
Tetapi Sumekar masih harus menghormati usaha Mahisa Agni. Ia tidak dapat merusak rencana Mahisa Agni itu. "Tetapi apabila datang saatnya, aku benar-benar harus bertindak. Lebih baik aku menjadi tumbal daripada harus terjadi persoalan dan pertentangan yang lebih luas lagi. Jika dengan alas pengorbananku, persoalan ini dapat selesai tanpa melibatkan prajurit dan rakyat Singasari, maka alangkah baiknya. Singasari yang selama ini dipupuk dan disirami tidak akan segera layu dan bagaikan daun yang kering, menguning dan berguguran ditanah," berkata Sumekar didalam hatinya.
Dalam pada itu, seperti Sumekar. Mahisa Agni-pun tidak segera dapat tidur nyenyak malam itu. Ia selalu dipengaruhi oleh berbagai macam angan-angan. Memang mungkin terjadi sesuatu dengan Anusapati didalam sepinya malam. Tetapi Anusapati bukannya orang yang mudah menyerah pada keadaan. Apalagi ia memiliki kemampuan yang dapat melindunginya. Bahkan seandainya Sri Rajasa sendiri datang ke bangsal itu. Anusapati pasti akan dapat bertahan beberapa lama. Dengan trisula kecilnya, Anusapati akan dapat berusaha mempertahankan dirinya. Sementara itu tentu terjadi keributan di halaman ini, sehingga ia akan sempat mendengarnya dan ikut campur secara langsung.
"Tetapi bagaimana jika Sri Rajasa berhasil memasuki bangsal itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula bertindak atas Anusapati?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Mahisa Agni tidak dapat melepaskan kemungkinan itu, karena yang pernah dilakukan oleh Sri Rajasa adalah tindakan licik serupa itu. Ia telah membunuh mPu Gandring, Tunggul Ametung dan dengan licik sekali menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam jebakannya.
"Tentu ia dapat berbuat licik pula terhadap Anusapati," berkata Mahisa Agni didalam hatinya.
Namun ia percaya bahwa Anusapati tentu tidak akan lengah. Meski-pun Sri Rajasa dapat meremas dinding kayu yang secengkang tebalnya, tetapi Anusapati-pun tentu dapat mendengar gemerisik yang betapa-pun lembutnya. Dan bahkan mungkin sekali Anusapati sama sekali tidak dapat tidur dimalam hari.
Karena itulah, maka di pagi-pagi benar. Mahisa Agni telah telah terbangun. Ia hanya sekejap saja dapat memejamkan matanya. Tetapi bagi Mahisa Agni, yang sekejap itu telah cukup untuk menyegarkan tubuhnya.
Ketika ia kemudian keluar dari bangsalnya, dilihatnya suasana yang wajar di halaman istana. Para prajurit masih tetap bertugas dan yang lain bahkan masih berbaring didalam gardu. Dengan tergesa-gesa mereka-pun berloncatan bangun ketika tiba-tiba saja mereka melihat Mahisa Agni sudah berada didepan gardu itu.
"Kami sedang beristirahat," salah seorang dengan tergesa-gesa berkata, "kami bertugas dipermulaan malam ini."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tidurlah. Hari memang masih sangat pagi. Kau masih mempunyai waktu sedikit."
Tetapi para prajurit itu justru berlompatan bangkit dan membenahi pakaian mereka.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Aku akan berjalan-jalan. Aku tidak ingin mengganggu kalian. Apalagi yang baru saja sempat berbaring karena habis tugasnya."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk.
Dan begitu Mahisa Agni pergi, maka mereka-pun berebut melingkar kembali didalam gardu. Tetapi langit menjadi semakin cerah dan sambil menggeliat mereka-pun terpaksa bangkit kembali dan pergi ke pakiwan untuk berbenah diri.
Mahisa Agni yang kemudian berjalan menyelusuri halaman istana sama sekali tidak melihat kemungkinan yang tidak dikehendakinya. Bahkan ketika ia berjalan tidak jauh dari bangsal Anusapati, ia melihat prajurit yang bertugas di halaman bangsal itu masih berada ditempatnya.
"Tentu tidak ada sesuatu terjadi," berkata Mahisa Agni didalam hatinya. Dengan demikian maka ia-pun melanjutkan langkahnya berjalan-jalan dipagi yang menjadi semakin cerah.
Namun dengan tergesa-gesa ia berbelok ketika dilihatnya regol yang menyekat halaman istana ini dengan perluasannya, tempat Ken Umang dan putera-puteranya tinggal. Mahisa Agni tidak mau mengalami perlakuan seperti yang pernah terjadi, sehingga hampir terjadi pertentangan terbuka antara Anusapati dan Tohjaya.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin terang di Timur, maka Mahisa Agni-pun melangkah kembali ke bangsalnya. Dilihatnya gardu-gardu penjagaan sudah mulai ramai, dan para prajurit sudah mulai mengemasi diri. Bahkan sebagian telah datang para penggantinya yang akan bertugas untuk satu hari satu malam pula digardu itu.
Pada waktu berikutnya dihari itu, ternyata tidak terjadi sesuatu pula. Anusapati memerlukan datang kebangsal Mahisa Agni dan berbicara seperlunya. Namun ia-pun segera kembali kepada anak dan isterinya dibangsalnya.
Bagaimana-pun juga Anusapati mencoba menyembunyikan perasaannya, namun sebagai seorang isteri, akhirnya ia merasa bahwa sesuatu telah terjadi atas suaminya. Wajah yang kadang-kadang murung dan sikap yang tidak dimengertinya. Namun isterinya itu-pun tidak ingin membebani suaminya dengan kesulitan baru, maka ia tidak pernah berusaha untuk memaksa Anusapati mengatakan tentang persoalannya. Meski-pun demikian, perlahan-lahan ia berusaha tanpa terasa oleh Anusapati untuk menangkap, apakah yang sebenarnya telah terjadi di Singasari dan atas suaminya yang sangat dicintainya itu. Tetapi yang pada hari itu berdebar-debar adalah Mahisa Agni. Ketika ada paseban kecil di bangsal istana Singasari, maka Mahisa Agni-pun datang menghadap diantara para pemimpin Singasari. Di hadapan banyak orang, Sri Rajasa sudah bertanya kepadanya tentang penyakit Permaisuri.
"Apakah ia masih belum sembuh benar?" bertanya Sri Rajasa.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sadar akan arti pertanyaan itu. Tetapi ia masih juga menjawab, "Am-pun tuanku, menilik pengamatan hamba, tuanku Permaisuri masih juga sakit agak berat. Tetapi sebenarnyalah bahwa hambalah yang seharusnya bertanya kepada tuanku, bagaimanakah penyakit Tuanku Permaisuri itu, agar hamba dapat menentukan, apakah hamba dapat segera kembali ke Kediri. Jika terlalu lama hamba berada disini, maka tugas hamba akan dapat terbengkelai karenanya, dan hamba yang disini hampir tidak berbuat apa-apa itu akan menjadi jemu pula."
Wajah Sri Rajasa menegang sesaat. Namun kesan itu-pun segera terhapus dari wajahnya. Sambil tersenyum Sri Rajasa berkata, "Bukankah kau yang hampir setiap hari menunggui dan mengikuti perkembangannya?"
"Hamba tuanku. Tetapi yang tahu pasti tentang penyakit tuanku Permaisuri tentu tuanku Sri Rajasa."
"Baiklah," berkata Sri Rajasa, "akulah yang akan menentukan apakah kau sudah dapat meninggalkan Singasari atau belum. Aku akan segera memberitahukan kepadamu, jika Permaisuri itu sudah dapat kau tinggalkan."
"Hamba tuanku. Hamba akan melakukan segala titah."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun bagaimana-pun juga ia menyembunyikan perasaannya, tetapi terasa dalam sidang itu, bahwa memang ada sesuatu yang terentang diantara kedua tokoh tertinggi di Singasari itu, seperti juga ada sesuatu yang membentang diantara Ken Umang dan Ken Dedes, dan antara Anusapati dan Tohjaya.
Sejenak Mahisa Agni masih mengikuti pembicaraan-pembicaraan tentang perkembangan Singasari pada saat-saat terakhir. Tetapi ia sudah kurang berminat untuk mendengarkannya. Yang didengarnya saat ini masih saja hampir sama dengan yang didengarnya beberapa hari dan beberapa bulan yang lalu. Semuanya baik. Tidak ada kesulitan dan rakyat berkembang maju.
"Jika demikian, dan Sri Rajasa puas dengan laporan-laporan itu, akan menjadi pertanda bahwa Singasari akan berhenti disini. Sri Rajasa sudah kehilangan gairah perjuangannya membuat Singasari menjadi semakin besar dan memberi kesejahteraan yang lebih tinggi bagi rakyatnya," berkata Mahisa Agni didalam hati. Namun ia-pun menjadi cemas bahwa beberapa orang pemimpin Singasari yang lain tidak lagi menghiraukan keadaan yang sebenarnya terjadi. Tetapi mereka sekedar ingin mendapat pujian dari Sri Rajasa dengan mengatakan laporan-laporan yang tidak berdasarkan pada kenyataan.
Tetapi Mahisa Agni tidak menanggapi laporan-laporan itu. Ia tidak ingin menyakitkan hati pemimpin-pemimpin Singasari yang lain agar persoalan yang langsung menyangkut Anusapati tidak terganggu pula karenanya.
Meski-pun demikian, Mahisa Agni dapat menilai, bahwa saat-saat terakhir Singasari benar-benar mengalami kemunduran. Para pemimpinnya tidak lagi dengan penuh cita-cita membina Singasari. Mareka sudah dihinggapi oleh penyakit yang berbahaya bagi Singasari.
"Tentu karena Sri Rajasa tidak sempat lagi melihat perkembangan Singasari dengan mata kepala sendiri," berkata Mahisa Agni didalam hatinya. "kesibukannya telah menenggelamkan kedalam suatu keadaan yang kurang menguntungkan bagi tanah yang selama ini dibinanya dengan susah payah."
Laporan-laporan berikutnya Mahisa Agni sudah hampir tidak mendengarnya lagi seperti didalam paseban-paseban yang lalu. Semuanya rasa-rasanya menjemukan baginya.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terkejut ketika Sri Rajasa kemudian berkata kepadanya, "Setelah paseban ini selesai Mahisa Agni, tinggallah disini sebentar."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang berkeliling. Dilihatnya didalam paseban itu para Panglima dan para piemimpin Singasari yang lain.
"Apakah Sri Rajasa berhasrat menjebakku sekarang?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Mahisa Agni adalah seorang yang berhati tabah. Itulah sebabnya ia kemudian menjawab, "Hamba tuanku. Segala perintah tuanku hamba junjung tinggi."
Demikianlah ketika semua pembicaraan itu selesai maka Sri Rajasa-pun segera mengakhiri sidang. Sedang Mahisa Agni yang masih harus tinggal menjadi berdebar-debar.
"Apakah para Panglima itu sudah mendapat pesan-pesan tertentu dari Sri Rajasa untuk menangkap aku sekarang?" bertanya Mahisa Agni didalam hati, "demikian para pemimpin pemerintahan yang lain pergi, maka para Panglima itu akan menarik keris mereka dan menahan aku disini."
Tetapi dugaan Mahisa Agni itu ternyata keliru. Dengan suara yang lantang maka Sri Rajasa berkata, "Tinggalkan paseban ini. Semuanya, selain Mahisa Agni."
Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mereka-pun kemudian beringsut meninggalkan sidang itu seorang demi seorang, sehingga hanya Mahisa Agni sajalah yang tinggal.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati kemudian, "Sri Rajasa memang bukan seorang pengecut. Jika ia ingin menyelesaikan dengan cara itu, ia akan menghadapi aku seorang lawan seorang."
Demikianlah, maka paseban itu akhirnya menjadi kosong. Yang ada tinggallah Sri Rajasa dan Mahisa Agni. Bahkan para penasehat Sri Rajasa-pun diperintahkannya untuk meninggalkan paseban itu.
Ketika tidak ada orang lain dipaseban itu, sekali lagi terasa ketegangan mencengkam dada Mahisa Agni. Namun sekali lagi ia keliru. Sri Rajasa sama sekali tidak memandangnya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi matanya bahkan menjadi redup dan kosong.
"Mahisa Agni," berkata Sri Rajasa kemudian dengan nada yang rendah, "kau mendengar semua laporan-laporan didalam paseban ini?"
Mahisa Agni menjadi heran atas pertanyaan itu. Karena itu ia tidak segera menjawab.
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
Mahisa Agni masih belum mengerti maksud Sri Rajasa. Namun menangkap siratan wajahnya. Mahisa Agni mulai menyesali dirinya sendiri. Ternyata bahwa ia sendirilah yang terlampau berprasangka. Sejak terjadi persoalan yang hampir menyeret Anusapati dan Tohjaya dalam pertentangan terbuka, ia selalu saja berprasangka buruk terhadap Sri Rajasa yang dikenalnya sangat aneh namun juga licik.
"Mahisa Agni," berkata Sri Rajasa kemudian, "aku ingin mendengar pendapatmu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya, atau ia harus bersikap seperti para pemimpin Singasari yang lain, yang hanya sekedar mengemukakan persoalan-persoalan yang mereka anggap dapat menyenangkan hati Sri Rajasa saja.
"Aku tidak boleh bersikap seperti itu," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "jika demikian aku sudah membohongi diriku sendiri, dan tidak mau lagi mengakui kenyataan yang berlaku di Singasari."
Karena itu dengan penuh tanggung jawab Mahisa Agni berkata meski-pun dengan sangat hati-hati, "Tuanku. Sebenarnyalah memang seperti yang dikatakan oleh para pemimpin Singasari itu. Meski-pun masih harus ada beberapa keterangan."
"Apakah yang kau maksud dengan keterangan itu?"
"Memang dalam pandangan sepintas keterangan itu sangat menarik dan seakan-akan Singasari tidak lagi menghadapi persoalan-persoalan lagi."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya.
"Tetapi tuanku," berkata Mahisa Agni lebih lanjut, "jika hamba boleh mengatakannya dengan jujur, sebenarnya masih banyak yang perlu dilaporkan didalam paseban seperti ini, apalagi didalam paseban agung."
"Misalnya?" "Tuanku, seharusnya tuanku mendapat gambaran seluruhnya tentang Singasari. Tuanku harus mendengar bahaya kering yang mengancam daerah Selatan, yang perlu mendapat penyelesaian. Kemudian kesulitan yang timbul karena binatang yang buas yang tidak terkendalikan, berkembang biak dengan cepatnya di hutan tidak begitu jauh dari kota ini. Selain daripada itu, masih ada perampok-perampok yang mengganggu dan selebihnya memang memberikan gambaran yang cerah buat masa depan Singasari."
"Itulah yang ingin aku dengar Mahisa Agni."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Sri Rajasa sejenak. Namun dilihatnya wajah itu bagaikan air telaga yang bening, yang dapat dilihat sampai ke dasarnya. Menurut tangkapan Mahisa Agni, apa yang dikatakan oleh Sri Rajasa itu adalah apa yang dipikirkannya.
"Kali ini ia berkata dengan jujur," desis Mahisa Agni didalam hatinya.
"Mahisa Agni," berkata Sri Rajasa, "sebenarnya aku sudah muak mendengar laporan-laporan yang tidak sewajarnya itu. Mereka adalah orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, mementingkan kedudukan dan kebanggaan mereka kepada dirinya sendiri. Dan ini sangat memuakkan sekali. Tetapi aku masih belum sempat untuk menghentikannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata sesuatu telah tumbuh didalam hatinya.
"Sri Rajasa tidak sejahat yang aku duga." katanya didalam hati, namun, "atau barangkali ia mulai melihat kesalahan yang sudah dibuatnya?"
"Mahisa Agni," berkati Sri Rajasa kemudian, "ternyata kau masih Mahisa Agni yang dahulu. Kau adalah salah satu dari orang-orang Singasari yang jumlahnya tidak banyak, yang berani mengatakan kekurangan Singasari kepadaku. Meski-pun mungkin aku akan menjadi marah atau menghukummu. Tetapi sekarang aku sadar, bahwa yang penting bagiku adalah kebenaran. Bukan sekedar kebanggaan yang semu."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil, ia menjadi berpengharapan lagi, bahwa jika Sri Rajasa berkata dengan jujur, ia akan menanggapi persoalan Anusapati dan Tohjaya dengan cara yang lebih baik dari cara yang pernah dilakukan sebelumnya.
Dalam pada itu Sri Rajasa berkata selanjutnya, "Mahisa Agni. Pada saatnya kau akan kembali ke Kediri. Aku mengharap bahwa pada suatu saat, kau datang kepaseban agung, kau akan mengatakan keadaan Kediri yang sebenarnya. Dengan demikian akan membuka kemungkinan, para pemimpin Singasari yang lain menyadari kekeliruannya. Bahkan yang aku harapkan adalah keterangan yang sebenarnya. Bukan sekedar usaha untuk mempertahankan pangkat dan jabatan."
"Baiklah tuanku," jawab Mahisa Agni, "jika hal itu memang tuanku kehendaki."
"Sekarang tinggalkan bangsal ini. Kemudian aku akan memberitahukan kepadamu, apakah Permaisuri sudah dapat kau tinggalkan. Kediri akan kesepian jika kau tidak segera kembali."
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah hamba mohon diri tuanku."
"Ya. Aku sudah selesai."
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal paseban. Hatinya masih saja tersangkut kepada sikap Sri Rajasa. Namun ia tidak dapat melupakan apa yang pernah dilakukan oleh Sri Rajasa itu. Bahkan sekilas didalam dadanya dugaan bahwa sebenarnyalah Sri Rajasa sedang merencanakan sesuatu yang tidak diketahuinya.
"Aku dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit. Aku seakan-akan melihat perubahan pada diri Sri Rajasa. Tetapi aku tidak dapat mempercayainya sepenuhnya," berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri.
Namun bagaimana-pun juga apa yang dilihat dan dirasakannya telah mempengaruhi perasaannya.
Meski-pun demikian, Mahisa Agni ingin memanfaatkan waktunya yang tentu tidak akan terlalu lama lagi untuk mengarahkan persoalan itu menjadi terang. Tetapi ia akan tetap gelisah jika tidak ada pemecahan yang dapat menjernihkan keadaan.
Persoalan itulah yang membebani Mahisa Agni sehari penuh. Persoalan yang justru bertambah rumit karena sikap Sri Rajasa yang dirasakannya berubah.
Dimalam hari, Mahisa Agni tidak melupakan pesannya kepada Kuda Sempana, bahwa ia ingin bertemu dengan Witantra. Karena itulah maka ia-pun kemudian pergi keluar istana seperti yang dilakukan semalam sebelumnya bersama Sumekar.
"Jika kakang Kuda Sempana belum berhasil menemuinya, maka kita harus menunggu sampai besok," berkata Sumekar.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan Witantra sudah hadir malam ini." Keduanya-pun kemudian pergi ketempat yang sudah mereka tentukan. Tetapi Mahisa Agni dan Sumekar masih belum menjumpai siapapun.
"Kita tunggu sebentar," berkata Sumekar, "mungkin kita datang terlampau cepat."
"Bukankah, kita tidak tergesa-gesa?" berkata Mahisa Agni, "mudah-mudahan Sri Rajasa tidak memanggil aku malam ini, sehingga kepergianku tidak segera diketahuinya."
Ternyata mereka tidak sia-sia menunggu. Meski-pun agak lama, namun akhirnya Witantra-pun datang juga. Bahkan sekaligus bersama Mahendra dan Kuda Sempana.
"Kalian datang bertiga?" bertanya Mahisa Agni.
"Ya. Kami sudah terlalu lama menunggu. Setiap malam salah seorang dari kami pasti datang ketempat ini. Selambat-lambatnya dua malam sekali. Baru kemarin Kuda Sempana sempat bertemu dengan kalian."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Marilah, silahkan duduk. Aku mempunyai ceritera yang cukup menarik buat kalian."
Mereka-pun kemudian duduk melingkar dibalik sebuah gerumbul yang lebat, sehingga tidak seorang-pun yang akan segera dapat melihatnya. Apalagi pertemuan itu adalah pertemuan lima orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan, sehingga mereka akan segera mengetahui jika ada orang yang mengintai.
Sementara itu Mahisa Agni-pun menceriterakan semuanya yang telah terjadi diistana Singasari. Persoalan Permaisuri yang rasa-rasanya benar-benar menjadi sakit, persoalan Anusapati yang hampir saja terlibat dalam perselisihan terbuka dengan Tohjaya dan kemudian sikap Sri Rajasa yang membuatnya ragu-ragu.
Witantra, Mahendra dan kuda Sempana mendengarkannya dengan penuh minat. Yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu adalah apa yang akan dapat membakar Singasari.
Ketika Mahisa Agni selesai dengan ceriteranya, maka mereka yang mendengarkannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka mencernakan ceritera itu, seakan-akan mereka ingin menimbang persoalannya dari segala segi.
"Mahisa Agni," berkata Witantra kemudian, "kita semuanya sudah mengenal Sri Rajasa. Kita mengenal apa saja yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan tahta itu. Karena itu, alangkah sulitnya untuk melupakannya. Aku sudah kehilangan adik seperguruanku karena pokalnya. Bahkan aku telah dihinakan diarena, meski-pun waktu itu kaulah yang naik melawan aku, tetapi sudah tentu bahwa kau semata-mata telah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, karena kau-pun telah tertipu pula oleh Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa. Kau tentu menyangka bahwa yang membunuh pamanmu, mPu Gandring itu, adalah Kebo Ijo pula."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau tentu dapat membayangkan, betapa liciknya Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu, sehingga ia berhasil memperistri Ken Dedes yang baru saja ditinggalkan oleh suaminya, Tunggul Ametung." Witantra berhenti sejenak. Lalu, "tetapi memang tidak mustahil bahwa seseorang pada suatu saat akan sampai pada suatu keadaan yang dapat menyudutkannya dalam kesulitan batin. Dalam keadaan yang demikian, memang kadang-kadang semuanya yang telah dilakukan itu tercermin kembali didalam angan-angannya. Dan seandainya hal itu terjadi maka tidak mustahil pula bahwa Ken Arok itu menyesali semua perbuatannya. Tetapi apakah artinya penyesalan itu sekarang" Kita hormati Ken Arok, karena ia sudah membuat Tumapel menjadi Singasari yang besar sekarang ini. Tetapi jika kelanjutan dari Singasari ini menjadi kabur, dan bahkan akan menjadi padam sama sekali, kita harus berpikir kembali."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apalagi jika Sri Rajasa berusaha untuk menyerahkan kerajaan ini kepada keturunan Ken Umang," berkata Witantra lebih lanjut. Lalu, "aku kenal Ken Umang sejak ia masih seorang gadis remaja karena ia tinggal bersama kakak perempuannya. Aku tahu bagaimana sifat-sifatnya dan aku tahu bahwa hatinya bukannya hati yang bersih. Kemudian aku juga mendengar banyak tentang Tohjaya yang tidak berbeda dari sifat-sifat ibunya. Dengan demikian, maka kita sudah dapat membayangkan, bagaimana dengan Singasari dimasa mendatang, jika Singasari jatuh ditangan Tohjaya itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski-pun tidak seorang-pun yang dapat memastikan bahwa Anusapati akan dapat berbuat lebih baik dari Tohjaya, tetapi mereka dapat memperhitungkan kemungkinan itu.
"Karena itu Mahisa Agni," berkata Witantra itu pula, "kau jangan sekali lagi terjerumus kedalam perangkap Ken Arok. Aku tahu bahwa justru karena hatimu terlalu bersih, maka kau tidak dapat membayangkan, betapa liciknya seseorang. Meski-pun kita tidak menutup kemungkinan, bahwa pada suatu saat seseorang seperti Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu dapat menyesali semua perbuatannya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi bibirnya bergerak, "Sebenarnya aku berharap bahwa Ken Arok menjadi baik ketika kami sedang membuat bendungan dan membangun Panawijen dipadang Karautan, setelah Panawijen yang lama menjadi kering. Tetapi tiba-tiba saja penyakit padang Karautanmya berjangkit kembali."
"Itulah yang dapat kita lihat padanya. Sebagai seorang Maharaja ia berbuat sebaik-baiknya. Tetapi di saat-saat terakhir, maka pamrih pribadinya pulalah yang kemudian justru menonjol," sahut Witantra.
Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk. Namun dalam pada itu terdengar Sumekar berkata dengan nada yang dalam tetapi seakan-akan bergetar dari dasar hatinya, "Kakang Mahisa Agni. Bagaimana-pun juga, aku yang melihat kehidupan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa sehari-hari dan puteranya tuanku Tohjaya, tidak akan dapat mempercayainya lagi. Mungkin disaat-saat tertentu ia dapat bersikap baik. Tetapi itu sekedar suatu usaha untuk membayangi sikapnya yang sebenarnya. Bagiku tugas Sri Rajasa sudah selesai. Kita bersama-sama menaruh hormat atas usahanya mempersatukan seluruh Singasari. Tetapi jika ia masih berkesempatan mengatur saluran kekuasaan sampai ke putera-puteranya, maka akan terjadi suatu saat Singasari akan hancur. Marilah kita tidak sekedar terpancang pada kepentingan tuanku Anusapati yang kebetulan adalah putera tuan Puteri Ken Dedes, dan tidak pula terikat kepada kebencian kita kepada tuanku Tohjaya, putera tuan Puteri Ken Umang, tetapi adalah kebetulan sekali bahwa menurut perhitungan kita, jika kekuasaan Singasari jatuh ke tangan tuanku Tohjaya, maka Singasari tidak akan lestari. Itulah sebabnya maka kita harus memotong jalur yang memungkinkan hal ini terjadi."
"Maksudmu?" bertanya Mahisa Agni.
"Sri Rajasa dilenyapkan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "jangan tergesa-gesa Sumekar. Persoalannya tidak begitu sederhana. Meski-pun seandainya kita akan sampai juga kepada jalan itu, tetapi semuanya harus yakin dan masak."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Mahisa Agni tentu tidak menyetujuinya untuk saat ini. Tetapi Sumekar sama sekali tidak melihat jalan lain.
Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana hanya dapat mengerutkan keningnya. Bagi mereka, banyak pertimbangan yang harus diperhitungkan.
"Kakang Mahisa Agni," berkata Sumekar, "aku dapat mengerti perasaanmu. Kau adalah seorang yang menurut tangapanku, sangat dipengaruhi oleh pertimbangan-angan perikemanusiaan. Karena itu, maka kau adalah seseorang yang sangat baik. Tetapi menghadapi Sri Rajasa kau harus mempunyai pertimbangan yang lain."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Seperti yang aku katakan Sumekar, apabila sampai saatnya, apaboleh buat. Tetapi kita harus mendapatkan saat yang tepat dan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan sekedar prasangka dan alasan-alasan yang sangat kabur."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, "Banyak soal yang ingin aku ketahui. Namun yang terpenting adalah perkembangan hubungan antara Anusapati dan Tohjaya."
"Hubungan yang sangat dipengaruhi oleh sikap Sri Rajasa sendiri," sahut Sumekar.
"Ya." Witantra berpikir sejenak, lalu "dimana keris buatan mPu Gandring itu sekarang?"
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak, namun katanya kemudian, "Ada pada Anusapati."
Witantra dan orang-orang lain yang mendengarnya mengerutkan keningnya. Dan Sumekar-pun menyahut, "jalan sudah terbuka."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Bagaimana mungkin keris itu ada ditangan Anusapati?" bertanya Witantra.
"Ken Dedes memberikan kepadanya."
"Apakah Permaisuri sudah memilih?" desak Mahendra.
"Bukan maksudnya, Anusapati menyimpan keris itu untuk pengamanan dirinya. Jika keris itu tidak berada di tanganya, maka ada kemungkinan keris itu menikam jantungnya."
"Dan Sri Rajasa tidak memintanya?" bertanya Kuda Sempana.
"Sampai sekarang tidak," jawab Mahisa Agni, "aku tidak tahu apakah Sri Rajasa sudah mengetahuinya."
Mereka yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesan yang aneh telah merambat dihati mereka. Seakan-akan mereka mempunyai gambaran yang sama bagi masa mendatang.
"Hanya ada dua kemungkinan," berkata Witantra didalam hatinya, "Anusapati dilenyapkan atau melenyapkan. Suatu pilihan yang maha sulit. Agaknya Anusapati tidak cukup kuat secara batin untuk menjatuhkan pilihan itu. Seperti juga Mahisa Agni sendiri yang terlalu banyak dipengaruhi oleh pertimbangan peri kemanusiaan seperti yang dikatakan oleh Sumekar."
Tetapi Witantra tidak mengucapkannya.
Yang kemudian berbicara adalah Mahendra, "Jadi menurut pertimbanganmu Agni, apakah yang sebaik-baiknya kita lakukan sekarang?"
"Aku ingin mendapat bantuan pengaruh Witantra pada para Senapati, terutama yang berusia sebaya dengan kita atau lebih muda sedikit. Mereka tentu mengenal siapakah Witantra itu. Bagi Senapati yang muda, mungkin Witantra hanyalah nama saja. Tetapi bagi yang lebih tua, mereka mengenal jauh lebih banyak."
"Maksudmu?" bertanya Witantra.
"Witantra. Sekali-sekali aku ingin kau menampakkan dirimu. Dengan demikian maka nama Witantra akan disebut-sebut lagi. Dan aku yakin bahwa nama itu akan berpengaruh pada Sri Rajasa."
"Pengaruh apakah yang kau kehendaki?"
"Ia akan semakin disudutkan oleh kenangan masa lampaunya. Mudah-mudahan ia dapat melihat segala kesalahan yang pernah dilakukannya."
"Kau berharap bahwa Sri Rajasa akan melangkah surut?"
Mahisa Agni tidak menjawab. Kepalanya perlahan-lahan menunduk lesu. Namun demikian, kepalanya itu bergerak sedikit, Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Suatu keajaiban. Seandainya ada penyesalan dihati Sri Rajasa. tetapi ia sudah terperosok terlampau jauh. Tohjaya sudah menjadi dewasa serta dibekali dengan segala macam angan-angan yang hitam. Tentu Tohjaya akan selalu memaksa Sri Rajasa untuk berjalan terus, betapa-pun hatinya sendiri dirambati oleh kesadaran, namun sudah terlambat."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, "Aku kira dapat juga dicoba Mahisa Agni. Aku besok akan menemui satu dua orang Senapati terutama dari pasukan Pengawal yang aku duga masih dapat mengenal aku dan mengingat apa yang pernah mereka kenal itu dahulu."
"Kita masih akan mempertaruhkan beberapa hari untuk itu?" bertanya Sumekar.
"Hanya beberapa hari," jawab Mahisa Agni, "sampai saat ini aku masih belum diusir oleh Sri Rajasa meski-pun sudah ada beberapa kesan agar aku segera kembali ke Kediri."
"Jadi, apakah kita tidak lebih baik bertindak langsung dan cepat?" bertanya Sumekar kemudian.
"Kita masih akan mencoba Sumekar."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Kita melihat apakah dibeberapa hari ini ada perubahan pada Sri Rujasa dan terutama pada tuanku Tohjaya. Jika hubungan keduanya tidak terputus, menurut dugaanku, akan sulitlah kiranya mendapatkan perubahan suasana diistana Singasari yang menjadi semakin panas ini."
Mahisa Agni memandang Sumekar sejenak. Namun kepalanya-pun terangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita berdoa, mudahkan ada perbaikan yang terjadi di istana Singasari."
"Tetapi kita jangan membiarkan diri kita terjebak oleh kebaikan hati kita," berkata Mahendra kemudian, "aku setuju untuk menunggu satu dua hari. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Sumekar, dalam satu dua hari dapat terjadi apapun, karena perubahan dapat berlangsung dengan cepatnya. Sri Rajasa mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Itulah sebabnya semuanya dapat terjadi."
"Aku menyadari," jawab Mahisa Agni, "karena itu, selain setiap usaha harus dialasi dengan sikap hati-hati, juga harus dilambari dengan kesiagaan untuk menghadapi segala kemungkinan."
"Baik. Aku sependapat," berkata Witantra, "marilah kita coba. Aku akan segera menghubungi beberapa orang perwira didalam pasukan pengawal istana."
Demikianlah mereka kemudian menemukan kesepakatan. Meski-pun Sumekar dan Mahendra menyangsikan hasilnya. Namun mereka ingin melihat juga, apakah yang kira-kira akan terjadi.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni dan Sumekar-pun segera kembali ke istana, sedang Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana kembali kepersembunyian mereka dipinggir kota. Mereka telah berusaha untuk mendapatkan sebuah pondokan bagi mereka yang menyebut dirinya pedagang-keliling, karena sebenarnyalah bahwa Mahendra adalah seorang saudagar.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan Mahisa Agni masih dapat bersabar beberapa saat. Perkembangan perasaan yang dibacanya pada tingkah laku Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa menimbulkan harapan dihatinya, bahwa masalahnya tidak harus diselesaikan dengan kekerasan.
Dengan lembut ia berusaha menenteramkan hati Anusapati. Meski-pun ia tidak mengatakannya, bahwa ia melihat perubahan pada Sri Rajasa, namun ia mengharap bahwa Anusapati tidak merubah cara hidupnya sehari-hari.
"Berbuatlah seperti tidak terjadi sesuatu atasmu dan atas perasaanmu Anusapati," berkata Mahisa Agni, "mudah-mudahan kita menemukan jalan yang sebaik-baiknya."
Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, "Mudah-mudahan kita tidak terlambat paman. Menurut perasaanku, kini sedang terjadi perang yang tiada kasat mata antara kita dengan ayahanda Sri Rajasa bersama adinda Tohjaya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak 'dapat ingkar. Yang dikatakan oleh Anusapati itu memang sebenarnya telah terjadi.
Meski-pun di saat terakhir terpercik harapan dihati Mahisa Agni, namun ia selalu memperingatkan kepada Anusapati, bahwa ia tidak boleh melupakan trisula kecilnya.
"Aku selalu membawanya paman. Disetiap saat trisula itu ada padaku. Bahkan dimalam hari bukan saja trisula itu, tetapi juga keris mPu Gandring selalu berada dipembaringan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia bergumam, "Mudah-mudahan aku dapat menyaksikan, bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang tajam sampai saatnya aku kembali ke Kediri."
"Tetapi bagaimana sepeninggal paman?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sepeninggalku-pun keyakinan itu harus aku dapatkan. Jika tidak, aku masih akan tetap berada di istana ini, meski-pun jatuh perintah Sri Rajasa agar aku kembali ke Kediri. Atau ..." Mahisa Agni tidak melanjutkan kata-katanya.
"Atau" Apakah maksud paman?" bertanya Anusapati.
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Tetapi didalami hati ia berkata, "Atau perang ini sudah berakhir, siapa-pun yang akan menjadi korban."
Demikianlah, maka Anusapati yang muda itu masih harus menahan diri. Kadang-kadang terasa dadanya menjadi pepat dan kehilangan pengendalian diri. Tetapi setiap kali ia menyadari pesan pamannya, maka ia-pun segera mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu.
Bahkan ia selalu berusaha untuk berbuat seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Ia berkeliaran dihalaman istana tanpa pengawalan. Bahkan ia berkunjung dari satu gardu yang lain seperti yang sering dilakukannya. Namun demikian ia tidak berpisah dengan trisula kecilnya, yang dapat memberikan perlindungan kepadanya, apabila pada suatu saat Sri Rajasa telah sampai pada titik akhir dari kesabarannya.
Dalam pada itu, Witantra benar-benar telah menepati janjinya. Dalam pakaian seorang pedagang ia berjalan hilir mudik didalam kota Singasari yang menjadi semakin besar. Dan ternyata seperti dugaannya, tidak ada orang lagi yang dapat mengenalnya. Selain wajahnya yang bertambah tua, Witantra sebagai Panglima tidak pernah berpakaian seperti yang dipakainya itu.
Tetapi Witantra masih dapat mengenali beberapa orang prajurit yang tidak sedang bertugas. Namun demikian Witantra tidak menemui setiap orang yang dijumpainya. Ia masih juga memilih orang-orang yang menurut dugaannya dapal dipercayainya.
Witantra tertarik kepada seorang prajurit dan Pasukan Pengawal yang sedang berdiri dimuka regol rumahnya, Rumah yang agaknya belum terlalu lama dibangun. Rumah yang dibangun sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang perwira.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Rumah itu jauh lebih baik dari rumah orang itu selagi ia masih menjadi seorang perwira di Tumapel.
"Apa salahnya," berkata Witantra, "itu adalah haknya. Mudah-mudahan ia masih mengenal aku dan mudah-mudahan ia dapat diajak berbicara serba sedikit seperti dahulu. Jika ia berubah, maka persoalannya akan menjadi lain."
Meski-pun dengan agak berdebar-debar juga Witantra mendekati regol itu. Tetapi dalam ujud seorang pedagang yang berkecukupan, maka perwira yang berdiri diregol itu-pun menaruh perhatian kepadanya.
Karena ternyata Witantra mendekatinya, maka perwira itu-pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil menyapanya, "Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan?"
Witantra-pun mengangguk hormat. Jawabnya, "Ya, ki Sanak. Aku ingin bertemu sejenak."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dan Witantra bertanya pula, "Apakah aku boleh minta sekedar keterangan?"
"Tentu," jawab perwira itu.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin bertemu dengan seseorang yang bernama Kebo Pamungkas."
"Kebo Pamungkas?" orang itu mengulangi.
Witantra menganggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat sesuatu yang menyentuh perasaannya.
"Kenapa Ki Sanak mencari Kebo Pamungkas?" bertanya orang itu.
Witantra mulai curiga. Ia sadar, bahwa orang itu tidak akan segera mengaku tentang dirinya. Apalagi agaknya orang itu sama sekali sudah tidak mengenalinya.
"Aku adalah seorang utusan dari kawan Kebo Pamungkas," jawab Witantra.
"Siapakah yang mengutusmu?"
"Seorang pertapa dipuncak gunung."
"Aneh," jawab orang itu, "menilik bentuk lahiriah, saudara adalah seorang pedagang, atau seorang pemilik tanah yang kaya. Bukan seorang cantrik, atau putut yang tinggal dipuncak gunung pada seorang pertapa."
"Sebenarnya aku seorang Putut."
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya, "Siapakah pertapa dipuncak gunung yang mengutusmu menemui Kebo Pamungkas."
Witantra menjadi ragu-ragu. Namun katanya kemudian. "Ia adalah seorang bekas prajurit, yang tersisih. Tetapi sampai saat ini ia masih yakin akan kebenaran pendiriannya itu."
Perwira itu mengerutkan keningnya.
"Kenapa kau sama sekali tidak mengesankan bahwa kau seorang Putut dari padepokan dipuncak gunung" Apatah perjalananmu mengandung suatu maksud sandi?"
"Tidak," berkata Witantra, "tidak ada maksud sandi."
"Sebut namanya," perwira itu tidak sabar.
"Witantra, Witantra," orang itu merenungi nama itu sejenak. Lalu, "dimana padepokan itu?"
"Jauh, dipuncak gunung."
"Witantra," sekali lagi orang itu menyebut namanya, lalu katanya, "apakah sekarang Witantra menjadi seorang bertapa dipuncak gunung yang jauh?"
"Ya." Perwira itu memandang Witantra itu sejenak. Lalu, "Silahkan. Silahkan masuk."
Witantra menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak tahu tanggapan yang sebenarnya dari perwira itu. Namun ia-pun tidak menolak dan mengikuti perwira itu masuk kedalam rumahnya.
Witantra-pun kemudian duduk dipendapa. Sejenak ia mengamati perabot rumah itu. Dilihatnya lewat pintu pringgitan yang terbuka, beberapa jenis senjata tergantung pada dinding rumah itu.
"Aku tertarik sekali jika Ki Sanak dapat berceritera tentang Witantra," berkata perwira itu kemudian, "sudah lama sekali aku tidak melihatnya sejak ia meninggalkan Tumapel."
"Ya. Sejak itu," sahut Witantra. Lalu, "ia merasa bahwa ia sudah tidak terpakai lagi."
"Sejak ia dikalahkan oleh Mahisa Agni di arena karena ingin membela nama baik Kebo Ijo."
"Ya. Dan sekarang Mahisa Agni menjadi wakil Mahkota di Kediri."
"Tetapi hubungan antara keduanya tidak seperti yang kita harapkan. Apakah banyak yang kau ketahui tentang isi istana" Tentang Sri Rajasa, puteranda Pangeran Pati dan putera-putera Ken Umang?"
Witantra menggelengkan kepalanya. "Apakah ada sesuatu yang menarik?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa," jawab perwira itu.
Witantra memandanginya sejenak. Lalu, "Bagaimana jika para perwira, terutama yang telah bertugas didalam pasukan pengawal sejak Tumapel, bertemu kembali dengan Witantra."
"Kami tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan Witantra. Witantra adalah seorang pemimpin yang baik bagi kami." Perwira itu berhenti sejenak. Lalu, "tetapi kami yang sudah ada didalam pasukan Pengawal sejak Tumapel, jumlahnya tidak lebih dari jari tangan."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu diantara mereka ada yang sudah terlalu tua. Tetapi tentu ada yang dengan sengaja disisihkan karena tidak disukai.
"Ki Sanak," berkata Witantra kemudian, "bagaimanakah jika Witantra itu pada suatu saat mengunjungi sahabat-sahabatnya di Singasari?"
"Tentu tidak apa-apa," jawab perwira itu, namun kemudian, "Tetapi saat ini Mahisa Agni berada di Singasari. Jika hubungan diantara mereka dapat pulih kembali, maka tidak akan ada persoalan yang lain. Aku kira Sri Rajasa-pun tidak akan menaruh banyak perhatian."
"Benar begitu?"
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, "Entahlah bagi Sri Rajasa itu."
Witantra mengerutkan keningnya. Namun ia tidak segera mengatakan sesuatu tentang dirinya. Agaknya ia masih ingin meyakinkan tanggapan perwira itu sendiri.
"Bagiku," berkata perwira itu, "perhatian Sri Rajasa kini tertumpah pada persoalan putera-puteranya itu. Agaknya Putera Mahkota dan putera tertua dari isteri Sri Rajasa yang muda, tidak dapat dirukunkan."
"Apakah Sri Rajasa tidak berpihak?"
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak dapat mengatakannya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia masih dicengkam oleh keragu-raguan. Dan ia-pun bertanya, "Apakah itu berarti bahwa kedatangan Witantra di Singasari tidak menambah persoalan bagi Sri Rajasa?"
"Memang mungkin sekali. Karena menurut pendapat kami, kepergian Witantra adalah karena adik seperguruannya yang terbunuh oleh Ken Arok, langsung atau tidak langsung sebelum Ken Arok bergelar Sri Rajasa."
"Maksudmu?" bertanya Witantra, "apakah sebenarnya Kebo Ijo tidak bersalah?"
"Tentu Kebo Ijo bersalah. Tetapi ia belum sampai di arena hukuman yang sebenarnya. Bukankah Witantra mengetahui bahwa kematian Kebo Ijo justru sebelum jatuh keputusan tentang dirinya, sedang saat itu tujuh pimpiaan di Tumapel masih meragukan kesalahannya?"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia-pun bertanya, "jadi bagaimana menurut pendapatmu" Jika seandainya sekarang Witantra itu hadir di Singasari?"
"Tidak apa-apa bagiku," berkata perwira itu. "tetapi, aku kira pengaruhnya masih juga menggelisahkan Sri Rajasa dan barangkali juga Mahisa Agni. Kita tidak tahu, jika Witantra ada di Singasari, bagaimanakah tanggapannya atas peristiwa yang kini terjadi di istana ini. Mungkin ia tidak sependapat dengan Sri Rajasa dan tidak pula berpihak kepada Mahisa Agnj sekaligus. Mungkin ia ingin menanamkan pengaruhnya sendiri sehingga pada suatu saat akan ada tiga kekuatan yang terpisah di Singasari."
"Tentu tidak," berkata Witantra, "Witantra tidak akan mempunyai keinginan untuk berbuat apa-apa lagi. Jika ia hadir di Singasari hanyalah sekedar melepaskan kerinduannya kepada beberapa orang sahabatnya termasuk Mahisi Agni."
Witantra menggelengkan kepalanya. Katanya, "Ia tidak mendendam kepada siapa pun. Tidak kepada Mahisa Agni dan tidak kepada Sri Rajasa."
Perwira itu mengangguk-anggukkkan kepalanya. Katanya, "Mungkin Witantra yang sudah menjadi seorang pertapa itu tidak mendendam dan bahkan tidak lagi menganggap ada persoalan apa-pun di Singasari ini. Tetapi aku tidak tahu apakah tanggapan Sri Rajasa atas kehadirannya.
Sepak Terjang Hui Sing 4 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pedang Tanpa Perasaan 10

Cari Blog Ini