Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 20

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 20


keterangan tersebut. Hal ini bukan berarti, kami berempat kemaruk kekuasaan. Melainkan sematamata untuk memenuhi janji guru. Kyai Kasan Kesambi, pasti mengerti arti pesan seorang guru."
Halus dan cukup sopan kata-kata pendekar Lumbung Amiseno. Tetapi dibalik itu terasa, betapa dia mengadakan desakan tajam. Suryaningrat yang berdarah panas karena usianya masih muda, lantas saja menjawab dengan lantang.
"Paman Lumbung Amiseno! Menurut pengakuan Paman sendiri, kedudukan kami berlima
adalah sederajat serta setingkat dengan paman sekalian. Karena itu, tak usahlah Guru kami bersusah payah menjawab pertanyaan dan permintaan Paman. Cukuplah kami, Suryaningrat,
murid termuda guru kami, Kyai Kasan Kesambi."
"Eh! Engkau hendak berkata apa?" damprat pendekar Watu Gunung yang merasa diri ber-usia lebih lanjut.
"Kakakku seperguruan Wirapati, memang telah datang kembali ke perguruan setelah
menghilang dua belas tahun lamanya. Tetapi alasan kepergiannya bukanlah karena hendak
merebut atau karena ingin memiliki pusaka Bende Mataram. Selama hidup, kami semua
memperoleh didikan dan diasuh Guru. Meskipun bodoh, namun tak berani membohong atau
menjual omongan yang bukan-bukan. Karena itu tenangkan hatimu, bahwa apa yang kukatakan
adalah benar belaka. Mengenai pertanyaan di manakah kini pusaka Bende Mataram tersebut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berada dan asal mula diketemukan pusaka tersebut, memang kakakku Wirapati mengetahui.
Tetapi ketahuilah paman sekalian, bahwa pusaka tersebut sebenarnya sudah menjadi milik
seseorang dan tiada seorangpun di dunia ini yang berhak memaksa agar menyerahkan dengan
begitu saja. Siapa yang mewarisi pusaka tersebut, terus-terang saja, kakakkupun mengetahui.
Namun sebagai seorang ksatria, tidak akan dia sudi menerangkan. Mengingat kesan ancaman
paman-paman sekalian dan tetamu lainnya. Meskipun dipenggal kepalanya atau teraduk isi
perutnya, kakakku Wirapati pasti takkan mau membuka mulut. Itulah pernyataan kami."
Dengan jawaban yang cukup lantang, jelas dan terus terang itu, pendekar sakti Lumbung
Amiseno jadi beragu. Diam-diam hatinya tergetar juga mendengar suara Suryaningrat yang penuh semangat dan
tiada gentar menghadapi segala.
"Hong Wilaheng," tiba-tiba Warok Kudawa-nengpati menyahut, "nampaknya apa yang dikatakan tiada berdusta. Hm, lalu bagaimana ini cara menyelesaikan?"
Semua tetamu terdiam dengan pikirannya masing-masing. Setelah hening beberapa saat
lamanya. Adipati Pesantrenan Sosrokusumo berkata minta keterangan.
"Baiklah. Kami sudah mendengar keterangan pendekar Suryaningrat, sekarang per-kenankan kami bertemu dan berbicara de-ngan pendekar Wirapati yang manakah orangnya?"
Mendengar pertanyaan Adipati Pesantenan, tetamu lainnya seperti tergugah. Ya semenjak tadi, mereka belum diperkenalkan dengan anak murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat. Kyai Kasan Kesambi yang semenjak tadi belum melihat Wirapati, diam-diam seperti diingatkan pula. Tadinya ia mengira, bahwa muridnya yang keempat itu barangkali sibuk mengurusi pekerjaan belakang.
Tetapi meng-ingat kesibukan di paseban, masakan dia tinggal mendekam di dapur.
Ranggajaya yang selama itu hanya berdiam diri, tampil ke muka dan berkata, "Terus terang saja, adikku seperguruan Wirapati tiada berada di sini."
"Ha!" gumam sekalian tetamu. Mereka sa-ling memandang dan menggerutu. Di antara para siswa atau pengiring mereka terdengar suara menuduh. "Siang-siang dia sudah melarikan diri. Dia seorang pengecut..."
"Apakah salahnya?" Ranggajaya seperti bisa menebak perasaan mereka masing-masing. "Dunia ini cukup lebar, dan manusia sebagai penghuni dunia bebas pula bergerak ke mana saja dia hendak pergi. Apakah ada undang-undangnya melarang seseorang bepergian" Apakah ada
undang-undang yang mewajibkan adikku Wirapati harus menemui kalian" Apakah ada undangundang yang mengharuskan adikku Wirapati memberi keterangan dan meluluskan permintaan
kalian" Cobalah katakan! Kami ingin mendengar!"
Ranggajaya selama beberapa tahun belakangan ini sudah pandai berbicara dan berdebat
sebagai suatu kemajuan. Dan begitu mendengar kata-katanya, sekalian yang hadir terbungkam.
"Bagus! Bagus!" seru Lumbung Amiseno mendongkol. Dalam hatinya, ia mengakui kebenaran ucapan Ranggajaya. Tetapi masakan kepergiannya kali ini akan sia-sia belaka" Maka mau tak mau, ia mencoba juga hendak memaksa. Katanya lagi, "Biara kami bukan dekat. Kau tahu, bahwa kami datang dari jauh. Apakah jahatnya hendak ikut mendengar tentang berita munculnya pusaka
Bende Mataram" Bukankah pusaka itu bukan pula haknya perseorangan?"
"Menurut kabar, almarhum Resi Buddha Wisnu adalah seorang sakti bagaikan Buddha sendiri.
Anak muridnya pun telah mewarisi seluruh kepandaiannya. Mengapa mesti memperebutkan suatu warisan pusaka yang belum tentu ada gunanya. Dengan menggunakan kedua belah tangan saja, paman sekalian sudah bisa malang melintang ke seluruh penjuru tanah air tanpa tandingan.
Karena itu pernyataan Paman amat mengherankan," kata Ranggajaya menyindir.
Disindir demikian, wajah Lumbung Amiseno berubah menjadi merah. Dengan sulit ia mempertahankan diri. "Nanti dahulu! Janganlah engkau buru-buru menuduh yang bukan-bukan. Sama sekali, kami tiada serakah untuk memiliki pusaka Bende Mataram itu. Hal ini kami lakukan semata-mata untuk memenuhi pesan almarhum guru kami."
Gagak Handaka yang diam memperhatikan keempat pendekar sakti, tiba-tiba berkata
mengejek. "Benarkah ucapanmu?"
"Mengapa tidak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm, seumpama adikku Wirapati saat ini memperlihatkan pusaka Bende Mataram tersebut, benar-benarkah Paman tiada sudi memiliki" Guru Paman sudah lama menutup mata. Apakah
Paman akan memendam pusaka tersebut ke dalam kuburan guru Paman sebagai pernyataan bakti Paman sekalian?"
Pendek kata-kata Gagak Handaka, tetapi mengenai tepat ke lubuk hati empat pendekar sakti tersebut. Sekaligus Gagak Handaka tiada percaya akan kata-katanya yang nampaknya manis
merdu. Bahkan dengan halus membuka kedok mereka sesungguhnya, bahwasanya mereka
memang ingin mengangkangi pusaka Bende Mataram. Dengan arti kata, mereka serakah, tamak
dan kemaruk keduniawian. Keruan saja, Lumbung Amiseno yang selamanya mengagul-agulkan diri sebagai seorang
pendeta dan untuk memperkuat kesan dia selalu mengenakan pakaian pendeta, bukan main
gusarnya mendengar ucapan Gagak Handaka. Karena tiada tahan menelan ejekan itu, dia
menggempur meja. Seketika itu juga, sebuah meja besar berkaki empat patah berantakan kena gempurannya. Ternyata tenaganya sangat besar dan mengagumkan, sehingga mengejutkan
sekalian tamu. Kemudian membentak, "Sudah lama kami mendengar ilmu Kyai Kasan Kesambi yang sakti tiada terlawan. Sudah lama kami mendengar kabar keper-wiraannya dan kehebatannya.
Hanya saja, belum pernah kami membuktikan benar-tidaknya. Hari ini, biarlah kami mencoba memberanikan diri menguji ilmu Kyai Kasan Kesambi di hadapan para ksatria di seluruh jagad ini.
Mari kita bertempur menguji diri!"
Mendengar tantangan Lumbung Amiseno, seketika itu juga gemparlah sekalian yang hadir.
Mereka semua tahu, Kyai Kasan Kesambi termasyhur semenjak 60 tahun yang lalu. Dan termasuk salah seorang tokoh utama dari tujuh orang sakti pada zaman itu. Lawan-lawannya dahulu
sebagian besar sudah meninggal dunia. Betapa tinggi ilmunya, bagi dunia luar hanya tersiar sebagai suatu berita atau dongeng mengagumkan. Kalau kelima muridnya saja sudah bisa
mengguncangkan dunia, apalagi gurunya. Namun begitu, pertimbangan itu masih merupakan
teka-teki belaka. Kepandaiannya yang sesungguhnya belum pernah disaksikan sekalian tamu yang hadir. Kecuali kelima muridnya. Itulah sebabnya tantangan Lumbung Amiseno terhadap Kyai Kasan Kesambi,
membersitkan suatu kegem-biraan dalam hati mereka masing-masing. Diam-diam mereka berdoa, semoga terjadilah adu kepandaian itu. Dengan demikian tak sia-sialah kehadirannya dari jauh.
Karena mereka pasti akan menyaksikan cara bertem-pur seorang tokoh wahid pada zaman itu.
Maka dengan tegang mereka melemparkan pandang kepada Kyai Kasan Kesambi, menunggununggu penentuan sikapnya.
Tak terduga, Kyai Kasan Kesambi hanya tersenyum selintasan. Dia tetap duduk dengan tenang.
Sama sekali tak bersuara atau berniat membalas tantangan itu, seolah-olah tiada mendengar.
"Ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi tiada bandingannya di seluruh dunia. Kami berem-pat merasa bukan tandingan Kyai Kasan Kesambi," kata Lumbung Amiseno lagi. "Hanya karena terpaksa, kami mengajukan suatu tantangan. Dalam suatu pertengkaran antara dua golongan, apabila tiada
diselesaikan dengan mengadu kepandaian, pastilah susah diselesaikan. Nah, marilah kita mulai.
Untuk menghormati Kyai Kasan Kesambi yang kedudukannya berada di atas tingkatan kami,
biarlah kami berempat melawan Kyai Kasan Kesambi berbareng."
Mendengar kata-kata Lumbung Amiseno, para tamu lainnya yang bersikap di luar garis
menggerutu dalam hati, ih, enak benar suara mulutmu. Kau licin dan licik! Meskipun ilmu Kyai Kasan Kesambi setinggi langit, namun seseorang yang sudah berusia lanjut belum tentu tahan melawan tenaga persatuan.
Gagak Handaka yang tadi menyalakan api kemarahan Lumbung Amiseno lantas berkata
lantang. "Hari ini adalah hari ulang tahun guru kami yang ke-83. Bagaimana beliau boleh bergebrak dengan tetamu..."
Tepat sekali alasan itu. Tetapi bagi tamu yang mengharap-harap jadinya suatu pertempuran, menuduh dalam hati. Ah, ternyata anak didik Gunung Damar tak berani meneri-ma tantangan
anak-murid Resi Buddha Wisnu...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di luar dugaan, Gagak Handaka meneruskan kata-katanya, "kalian berkata, bahwa tingkatan guru kami berada di atas tingkatan kalian. Karena itu, apabila benar-benar bergebrak melawan kalian, dunia luar akan mendesas-desuskan suatu berita, bahwa seorang dari angkatan tua mau menang sendiri dengan menghina angkatan muda. Tetapi anak murid Resi Buddha Wisnu sudah
menantang, terpaksalah anak murid Kyai Kasan Kesambi tampil ke muka. Sebagai tuan rumah, sudah selayaknya mengiringkan ke-hendak tetamunya. Kalian berempat, kami pun berempat."
Kembali para hadirin gempar mendengar ujar Gagak Handaka yang gagah berani. Mereka
saling berbisik dan saling meramalkan akhir pertempuran nanti.
Anak murid Resi Buddha Wisnu bukan pendekar-pendekar sembarangan. Mereka sakti, tangguh
dan pandai. Melawan salah seorang di antaranya, belum tentu menang. Apalagi melawan tenaga gabungan, pikir mereka.
Gagak Handaka bukan pula seorang yang tak tahu melihat gelagat, la tahu bahwa anak murid Resi Buddha Wisnu bukan merupakan lawan enteng dan murahan. Dalam hal keuletan dan
ketabahan, jauh melebihi semua anak murid Gunung Damar. Kalau seorang melawan seorang, ia yakin dirinya bisa memenangkan. Hanya saja ia harus memperhitungkan tenaga Bagus Kempong, yang baru saja sembuh dari lukanya. Melihat ketangguhan lawan, belum tentu bisa memenangkan apabila harus memeras tenaga jasmaniah berlebih-lebihan. Suryaningrat, mungkin tak bisa
memenangkan. Tetapi dia bisa mengadu kegesitan bergerak. Dengan mengandalkan
kegesitannya, pastilah dia takkan bisa terpukul jatuh sampai dia sendiri dapat membantu.
Sudah barang tentu, Lumbung Amiseno yang sudah berpengalaman bisa menimbang-nimbang
kekuatannya sendiri. Memang selama hidupnya, belum pernah salah seorang di antara saudara seperguruannya mengadu kekuatan melawan anak murid Kyai Kasan Kesambi. Tetapi sekilas
pandang tahulah dia, bahwa anak murid Kyai Kasan Kesambi tak boleh dipandang enteng. Apalagi berada di dekat gurunya. Masakan orang tua itu akan membiarkan anak muridnya menanggung
malu di hadapan para tetamu. Pastilah dia akan ikut mempertahankan pamor perguruan. Kalau tidak ikut bertempur, setidak-tidaknya memberi nasihat atau membantu dengan diam-diam. Inilah bahaya! Maka terpaksa dia berkata menyabarkan diri.
"Jika Kyai Kasan Kesambi tak sudi menerima tantangan kami, biarlah kami mengadu keuletan dengan anak murid Gunung Damar. Kami akan bertempur seorang melawan seorang dalam empat
babak. Kalah dan menangnya akan ditentukan dalam tiga babak."
Pandai dan licin Lumbung Amiseno. Kata-katanya langsung mempunyai dua keuntungan. Yang
pertama, dengan terus terang meminta agar Kyai Kasan Kesambi jangan ikut campur. Kalau sudah menyetujui, masakan akan menarik kata-katanya di depan para ksatria. Kedua, ia yakin, bahwa ketiga saudara seperguruannya pasti bisa memenangkan anak murid Gunung Damar andaikata dia sendiri sama unggul melawan Gagak Handaka. Ketiga, saudara seperguruannya pasti bisa
memperoleh tiga kemenangan. Setidak-tidaknya dua kemenangan, sudah cukup.
"Bagus," tiba-tiba Suryaningrat menyahut, "seorang melawan seorang, memang pantas. Tetapi betapa pun juga, jumlah kita berlebih seorang, yakni guru kami. Karena itu, sebaiknya kita maju berbareng. Pertama-tama, jumlahnya seimbang. Kedua, bisa memperoleh penyelesaian jauh lebih cepat."
"Setuju!" Ranggajaya menguatkan, "sekiranya anak murid Gunung Damar kalah, biarlah adikku Wirapati menerangkan di mana pusaka Bende Mataram berada. Andaikata sudah berada di
tangannya, biarlah kami suruh menyerahkan. Sebaliknya, apabila anak murid Resi Buddha Wisnu sudi mengalah, kami persilakan membawa teman-teman, sahabat, handai taulan yang berpura-pura datang menghaturkan selamat hari ulang tahun, agar cepat-cepat turun gunung."
Sekalian anak murid Gunung Damar tahu akan arti tantangan Suryaningrat yang diperkuat
Ranggajaya. Kyai Kasan Kesambi mempunyai ilmu simpanan yang diberi nama, Pancawara. Nama pancawara diambil dari istilah taufan dahsyat yang sanggup mengguncangkan segala. Sewaktu masih muda, Kyai Kasan Kesambi pernah mempunyai penga-laman diserang badai. Seluruh dusun sekitar Gunung Damar hancur berderai. Rumah sepanjang Desa Loano, Sejiwan, Maron, Kalinongko, Karangjati tersapu bersih oleh badai yang datang tiba-tiba. Setelah badai reda, ia berdiri tegak memandang bukit-bukit yang berdiri mengelilingi Gunung Damar. Heran ia, melihat bukit-bukti itu tetap berdiri di tempatnya. Sama sekali tiada goyah atau terguncang. Mestinya, bukit-bukit itu sudah seringkali mengalami badai dahsyat. Ia heran pula memikirkan kedahsyatan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kecepatan badai. Dia datang bergemuruh bergulungan dan hilang pula dengan suatu kecepatan yang mengagumkan. Tiba-tiba saja, ia memperoleh suatu ilham. Dengan tekun ia mempelajari dua sifat yang bertentangan. Yang pertama, gesit, bergemuruh, bergulungan dan dahsyat. Yang
kedua, tenang, tegak, anteb dan ulet. Maka beberapa bulan lamanya, ia menekuni. Dan akhirnya terciptalah suatu ilmu bertahan dan menyerang yang sangat dahsyat. Untuk memperingati titik tolak terciptanya ilmu tersebut, maka mengambil nama, Pancawara. Kebetulan sekali, ilmu itu harus dikerjakan oleh lima tenaga dengan berbareng (Panca = lima, wara = badai).
Lima unsur kekuatan alam itu, manakala dipergunakan oleh seorang akan sangat bagus. Sebab tenaganya bisa berubah menjadi tenaga seorang sakti kelas utama. Jika dilakukan oleh dua orang, akan merupakan tenaga gabungan sekuat empat orang sakti. Manakala ditambah seorang lagi, menjadi enam belas tenaga sakti. Ditambahkan seorang lagi, menjadi tiga puluh dua tenaga sakti.
Dan apabila lima orang maju berbareng, merupakan tenaga gabungan dari enam puluh empat
orang sakti. Samalah kekuatannya de-ngan 10 ekor gajah yang sedang mengamuk. Bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya.
Kini, Wirapati tiada hadir. Tetapi dengan empat orang saja, tenaga gabungan mereka akan
berubah menjadi 32 tenaga sakti. Itulah sebabnya, Suryaningrat berani menerima tan-tangan bertempur melawan empat orang sekaligus. Dengan demikian"dalam hal tenaga"anak murid
Kyai Kasan Kesambi tak usah khawatir. Padahal pada zaman itu, tokoh-tokoh yang terhitung sakti tiada melebihi 30 orang jumlahnya. Seumpama, anak-murid Kyai Kasan Kesambi dikerubut 100
tetamu, belum tentu bisa dikalahkan dengan gampang. Mengingat semua yang hadir belum dapat digolongkan tokoh-tokoh kelas satu.
Lumbung Amiseno ternyata seorang pendeta yang cerdik dan pandai berpikir. Begitu melihat nyala mata Suryaningrat yang berapi-api dan suaranya penuh semangat, ia jadi curiga. Maka cepat-cepat ia berseru nyaring. "Kurang baik" Kurang baik?" Tetapi kekurangan dalam hal apa, dia sendiri kurang terang. Hanya perarasanya yang menyuruh mulutnya berteriak demikian, sambil menggeleng-geleng kepala. Sebaliknya, mereka berdua mengira, Lumbung Amiseno gentar
menerima tantangan. Betapa boleh begitu" Bukankah sikap demikian akan menurunkan pamor
anak murid Buddha Wisnu" Maka dengan mengandalkan keberanian dan tenaga sendiri, terus saja mereka maju berbareng seraya membentak. "Coba terimalah pukulan ini."
Serangan mereka datang dengan tiba-tiba dan tak terduga sama sekali, meskipun baru tinggal menunggu nyala apinya. Gesit dan tangkas adalah Gagak Handaka dan Ranggajaya, begitu
mereka melihat bahaya, terus saja mereka melontarkan tenaga gabungan. Suatu benturan
dahsyat terjadi. Hebat akibatnya. Warok Kudawanengpati dan Watu Gunung terpental sampai
sepuluh langkah. Wajahnya berubah menjadi pucat lesi. Kemudian duduk terjongkok sambil
melontarkan darah segar. Sebaliknya Gagak Handaka dan Ranggajaya tetap berdiri dengan tenang bagaikan dua bukit
yang mengelilingi perguruan Gunung Damar. Mereka sendiri heran atas tenaga sendiri yang begitu dahsyat. Memang selama mereka menjadi murid Kyai Kasan Kesambi, belum pernah sekali juga menggunakan tenaga gabungan ilmu Pancawara. Karena itu belum bisa menilai kedahsyatannya.
Maka begitu melihat hasilnya, kepercayaan akan tenaga sendiri kian kuat.
"Bagus! Bagus! Tapi kurang baik," seru Lumbung Amiseno dengan terperanjat. Para hadirin lainnya terperanjat pula. Sama sekali mereka tak menduga bahwa anak-murid Resi Buddha Wisnu bisa diruntuhkan dalam satu gebrakan saja. Maka mereka yang diam-diam berdoa untuk
kemenangan anak-murid Resi Buddha Wisnu merasa seperti terdorong ke pojok.
Tetapi anggapan, bahwa anak-murid Resi Buddha Wisnu bisa dikalahkan dengan gampang
adalah terlalu tergesa-gesa. Karena tak lama kemudian, Warok Kudawanengpati dan Watu Gunung telah bangun kembali dengan tegap. Terus saja mereka menggabungkan diri dengan dua saudara perguruan lainnya. Lalu mengambil tempat tertentu dengan menduduki segi gerak tiga penjuru.
Seketika itu juga, teganglah suasana paseban. Masing-masing sedang bersiaga memasuki
gelanggang. Mendadak saja selagi ke-adaan menjadi hening sunyi terdengarlah suara tersekat-sekat dari bawah tanjakan.
"Eyang! Paman! Guru kena hantaman dari belakang! Lihat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua tetamu di paseban terkejut sampai tak terasa mereka menoleh hampir berbareng.
Mendadak saja Bagus Kempong dan Surya-ningrat terus melesat ke luar paseban sambil berteriak mengandung kecemasan.
"Sangaji" Siapa yang kena hantaman dari belakang?"
Memang yang datang ialah Sangaji. Dengan memapah seseorang, ia lari mendaki tanjakan.
Mukanya penuh keringat dan darah. Setelah menyibakkan para tetamu terus saja ia berlutut di hadapan Kyai Kasan Kesambi seraya berkata tersekat-sekat!
"Eyang....! Rupanya Guru kena pukulan keji dari belakang...!"
Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat terperanjat bukan kepalang.
Karena yang dipapah Sangaji ada-lah Wirapati. Wajahnya pucat lesi bersemu kuning. Matanya meram. Tubuhnya bermandikan darah.
* * * 21 PERJALANAN WIRAPATI SETELAH diamat-amati, ternyata darah itu merembes dari tiap tulang sambung. Benar-benar
mengerikan dan benar-benar kejam siksaan itu. Siapakah yang telah melukai Wirapati demikian hebat" Wirapati bukanlah tokoh sembarangan. Kalau hanya berhadapan dengan salah seorang
anak murid Resi Buddha Wisnu, takkan gampang-gampang bisa terlukai. Karena itu dugaan
Sangaji bahwa dia kena pukulan dari belakang punggung bisa diterima.
"Siapakah yang melukai gurumu" Bagai-mana gurumu kena hantaman dari belakang?" teriak Suryaningrat gugup.
Sangaji hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menjawab tak lancar.
"Aku... aku tak tahu. Guru kuketemukan sudah terbaring di tepi jalan..."
Setelah berkata demikian, ia terus menggeliat ke belakang. Ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Hebat bagi Kyai Kasan Kesambi yang te-ngah merayakan hari ulang tahunnya yang ke-83.
Pertama-tama ia kebanjiran tetamu tak diundang. Kedua, anak muridnya yang baru datang dari merantau selama 12 tahun, tiba-tiba menderita luka berat. Siapakah yang melukainya barangkali hanyalah setan yang tahu. Dan ini merupakan hadiah ulang tahunnya yang takkan terlupakan sampai saat ajalnya.
Siapakah yang melukai Wirapati begitu kejam" Seminggu yang lampau setelah mem-peroleh
persetujuan sekalian saudara sepergu-ruannya, ia turun gunung dengan berjalan kaki. Sampai menjelang tengah hari, ia tidak menjumpai sesuatu yang menarik perhatian-nya. Tetapi tatkala melampaui Desa Selatiyang dan di dekat persimpangan jalan Pesantren, mulailah ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Ia bersimpangan jalan dengan beberapa gerombol orang-orang luar daerah yang ber-jalan
berbondong-bondong sambil berbisik-bisik. Mendadak saja teringatlah dia akan pengalamannya dua belas tahun yang lalu, sewaktu bersua dengan anak buah sang Dewaresi dari Banyumas yang menyamar sebagai rombongan penari.
Melihat gerak-gerik mereka, banyak di antaranya yang berkepandaian tinggi. Mereka menuju ke selatan dengan wajah bersung-guh-sungguh. Apakah mereka termasuk tamu-tamu Guru, pikirnya.
Kemudian ia berkata kepada diri sendiri! Jika benar-benar mereka tamu Guru, ah! Sungguh hebat!
Guru bakal kebanjiran tamu tak diharapkan.
Makin lama jumlah mereka makin banyak. Mereka datang dari tiga penjuru. Timur, utara dan barat. Apabila mereka bersua dengan Wirapati, pandangnya lantas saja berubah. Untung di antara mereka belum ada yang mengenal Wirapati. Meskipun demikian pra-sangkanya mencurigai
pemuda itu seakan-akan ada sangkut pautnya dengan kedatangan mereka di sekitar wilayah
Loano. Sekonyong-konyong dari arah utara ter-dengar derap kaki seekor kuda. Kemudian se-ekor lagi dan seekor lagi. Tiga orang penung-gangnya membalapkan kuda tunggangan mereka demikian
menggila. Karena begitu cepat larinya, orang-orang yang berjalan cepat-cepat menyibakkan diri.
Ternyata yang menunggang kuda, mengenakan pakaian mewah, mirip keluarga bangsawan.
Mereka tiada membawa senjata. Tetapi dilihat dari ketangkasannya, sekaligus tahulah orang bahwa penunggangnya bukan orang lumrah. Pastilah mereka berkepandaian tinggi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha... apakah mereka anak murid Resi Buddha Wisnu" Kalau mereka datang juga, alangkah hebat!" seru seorang.
"Bukan! Bukan!" bantah temannya berjalan. "Anak murid Resi Buddha Wisnu kabarnya selamanya belum pernah berkuda. Kutaksir mereka utusan Pangeran Bumi Gede hendak
menyampaikan bingkisan untuk si tua Kasan Kesambi."
Diam-diam Wirapati terkejut mendengar disebutnya nama gurunya, meskipun tadi dia sudah
menduga bahwa mereka akan datang sebagai tamu. Ia lebih-lebih terkejut lagi, tatkala mendengar seseorang menyambung dengan suara lantang dari seberang jalan,
"Hm, aku ingin tahu bagaimana sih tam-pangnya si bocah Wirapati yang katanya mempunyai seorang murid yang mengetahui tempat beradanya pusaka Bende Mataram."
Mendengar seru orang itu, tak terasa Wirapati menoleh. Ternyata orang itu sudah berusia
lanjut. Rambut dan kumisnya putih. Pandangnya kuyu, tetapi wajahnya masih memantulkan
semangat jantan. Siapakah orang itu" Wirapati membatin. Mestinya bukan orang sembarangan. Agaknya dia
belum mengenal diriku. "Hm, mereka datang untuk memperebutkan pusaka warisan Sangaji, dengan dalih mengantarkan bingkisan-bingkisan segala. Jangan harap."
Kalau menuruti kata hatinya, waktu itu juga ingin dia mendekati dan memukulnya roboh. Tapi mengingat kepergiannya kali ini mem-punyai latar belakang yang akan menentukan persoalan, maka cepat-cepat ia menguasai diri. Kemudian berpikir sambil mempercepat langkah.
Melihat gerak-geriknya, ingin mereka mene-mui aku. Ah! Apakah tidak sebaiknya, aku
menyamar" Siapa tahu, di antara mereka ada yang mengenal diriku."
Memperoleh pikiran demikian, segera ia hendak menyimpang jalan. Tangannya sudah bergerak hendak mengawut-awut rambutnya. Mendadak ia berpikir lain, selamanya anak murid Gunung
Damar tidak pernah menyamar. Guru selalu mengajarkan sikap terang-te-rangan. Biarlah aku dalam keadaan begini. Mereka mau apa" Sekiranya mereka mengenal diriku, malah kebetulan.
Masa aku takut dipergoki"
Hatinya jadi mantap, setelah memperoleh keputusan. Bahkan dengan agak membu-sungkan
dada, ia meneruskan perjalanan menuju ke barat. Pandangnya menyala-nyala seolah-olah
menantang kepada semua yang hendak menantangnya.
Perjalanan pada dewasa itu masih sangat sukar. Jalan yang dilalui tidak serata kini. Seberang menyeberang jalan masih berhutan lebat. Kadang-kadang masih harus menye-berangi rawa-rawa dan sungai-sungai kecil. Itulah sebabnya, Wirapati baru sampai di wi-layah Dusun Karangtinalang setelah berjalan dua hari terus menerus tanpa berhenti.
Pada malam hari yang ketiga, ia mulai menyelidiki sekitar Kali Bregoto. Kemudian terus berjalan menyusur tebingnya sampai di sebelah selatan Dusun Jagong. Kebetulan waktu itu bulan terang, maka dia bisa mem-peroleh bantuan dari alam. Meskipun demikian, sampai di dekat persimpangan jalan ke Kuripan, belum juga ia memperoleh tanda-tanda yang menggembirakan. Ya waktu itu dua belas tahun telah lewat. Agaknya semuanya sudah mengalami perubahan. Tetapi yang benar,
pada waktu itu dia tidak mengamati sekitar tempat adu kekuatan melawan Ki Hajar
Karangpandan. Kira-kira menjelang larut malam, ia duduk melepaskan lelah di atas sebuah gundukan.
Pikirannya mulai bekerja keras untuk me-ngembalikan ingatannya pada dua belas tahun yang lampau.
"Di manakah aku dahulu bertempur melawan Ki Hajar," ia sibuk menduga-duga. "Terang sekali, aku dahulu lari mengarah ke tenggara. Hm... apakah aku harus mulai dari Karangtinalang!"
Mendadak saja teringatlah dia akan kata-kata penghabisan Wayan Suage yang diucapkan lewat mulut Sangaji, bahwa hutan tempat pertempuran dahulu sudah terbakar. Kemudian petak
tanahnya dibangun menjadi sebuah dusun baru. Teringat akan hal ini, seleret cahaya mulai bersinar dalam benaknya. Segera ia bangkit dan mulai bekerja lagi dengan memandang kiblat.
Tatkala hari hampir menjelang pagi, barulah dia menemukan dusun baru itu. la bersyukur
dalam hati dan segera mendaki pohon untuk menunggu hari pagi di balik mahkota daun-nya.
Keesokan harinya segera ia menyusur su-ngai yang melingkari dusun. Beberapa waktu
kemudian, ia merasa seperti pernah meram-bah daerah itu. Sepercik harapan timbul dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hatinya. Cepat ia menjenguk sungai. Dilihatnya sungai itu berlumpur. Jantungnya lantas saja jadi berdegupan. Yakinlah dia,bahwa itulah tempat beradanya almarhum Wayan Suage tatkala
disembunyikan di bawah pohon tembelekan yang kemudian terbakar habis. Gugup ia mengamatamati tebingnya. Sangaji berkata, bahwa tebing tempat menyimpan pusaka warisan adalah tebing batu. Sedang tebing seberang menyeberang adalah tanah merah belaka. Maka kembali lagi ia menyusuri tebing sungai ini. Mendadak saja dalam benaknya berkelebat suatu ingatan.... kakinya buntung. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari lautan api hanyalah menggulungkan diri ke dalam sungai berlumpur. Lukanya pasti sangat menyakiti dirinya. Masakan dia mampu merangkaki tebing, kemudian melarikan diri sejauh ini" Rasanya tak mungkin. Apalagi dia dibebani benda. Ah! Pastilah dia hanya meraba-raba tebing sejadi-jadinya. Lalu menemukan suatu tebing berbatu... lalu....
Bergegas ia kembali ke tempatnya semula. Begitu mengenal bagian sungai yang berlum-pur,
segera ia hendak meloncat. Mendadak teringatlah dia, bahwa sekitar lembah belum diperiksanya.
Bukankah dahulu dia pernah kepergok laskar Pangeran Bumi Gede yang berjaga di sekitar sungai itu" Maka dengan berlarian, ia memeriksa sekitar sungai sejauh lima pai. Setelah itu beristirahat melepaskan lelah sampai matahari terbenam.
Pada malam harinya setelah mengisi perut, segera ia menanggalkan pakaian. Kemudian
mencebur ke dalam sungai dengan hati-hati. Tatkala kakinya mulai meraba dasarnya, teringatlah dia kepada pengalamannya dua belas tahun yang lalu. Lapat-lapat ia mengenal terjalnya dasar sungai yang penuh lumpur dan batu-batu tajam. Segera ia meraba tebingnya dan menyusur.
Dugaannya ternyata benar. Tak lama kemudian ia menjumpai sesuatu tebing berbatu licin.
Sebenarnya adalah sebuah batu padas yang mencongakkan diri dari dasar tebing. Hati-hati ia menggerayangi, ternyata batu itu merupakan suatu permukaan belaka. Pada sisi bawahnya
menjorok ke dalam dan merupakan suatu gua yang cukup untuk didiami dua ekor bulus ).
Maka terpaksalah dia menyelam sambil ta-ngannya terus menggerayangi. Manakala kepalanya
tersembul di atas permukaan ter-nyata dia bisa bernapas.
Ah! Benar! Di sinilah tempat yang aman untuk menyembunyikan diri dari panas api. Ternyata Wayan Suage bukan orang bodoh, la pandai mengambil tindakan dengan cepat, pujinya dalam
hati. Mengingat akan bahaya binatang-binatang berbisa yang mungkin bersarang dalam kubang air
itu, ia balik kembali mengambil pedang pendeknya. Kali ini berhasillah dia menggerayangi kubangan itu sampai ke dasarnya. Perlahan-lahan ia menumbukkan pedangnya. Setelah memakan waktu beberapa waktu lamanya, didengarnya suara benda memantul. Jantungnya lantas saja
berdegu-pan karena girang. Cepat ia menjenguk ke dalam. Begitu ia mengaduk lumpurnya, segera munculah dua benda pusaka Bende Mataram yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi bahan
perebutan. Selamanya belum pernah sekali juga, Wirapati menjamah benda keramat tersebut.
Dahulu se-waktu menolong Wayan Suage, sama sekali tak tertarik hatinya. Bahkan
memandangpun tidak. Tapi kini setelah ikut menjenguk per-soalannya mendadak saja hatinya tergetar. Dirinya terasa seolah-olah dekat dan ber-sangkut-paut dengan benda itu.
Gugup ia menepi dan dengan tangan bergemetaran karena dingin air dan jantung berdegupan, ia mencoba mengamat-amati.
Hm, ia menghela napas. Tak lebih dan tak kurang adalah benda lumrah. Alangkah gila
manusia-manusia yang begitu mati-matian saling memperebutkan sampai tak menya-yangkan
nyawa sendiri. Apakah yang menarik" Aha... barangkali dongeng kekeramat-annya yang dibesar-besarkan. Tetapi aneh mengapa guru berdiam diri pula sewaktu aku memaparkan riwayat
perjalananku dua belas tahun yang lalu yang menyangkut pula riwayat perebutan benda itu"
Selagi dia berpikir pulang balik, sekonyong-konyong ia merasa seperti dihampiri sesuatu. Cepat ia menoleh sambil melompat ke depan. Tapi sekitarnya sunyi senyap. Tiada bayangan sekelumit pun nampak di depan hidungnya, kecuali bayangannya sendiri. Katanya bergumam dalam
mulutnya. "Aku pun jadi gila. Mengapa blingsatan tanpa alasan?" Segera ia mengenakan pakaian dan mengeluarkan goni penyimpan kedua pusaka tersebut yang sudah disediakan ter-lebih dahulu.
Kemudian berkata lagi seperti menasehati dirinya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betapa pun juga, benda ini sudah menjadi pembicaraan ramai. Mereka bersedia mengorbankan nyawa demi benda ini. Entah mereka yang bodoh atau aku yang goblok, baiklah aku
berhati-hati menjaga diri. Siapa tahu, mungkinpula terekam suatu rahasia sebenarnya di balik benda ini....
Memperoleh pikiran demikian segera ia bersiaga. Keris Panubiru yang disebut pula dengan
nama Kyai Tunggulmanik disisipkan di balik bajunya. Sedang Kyai Bende Mataram dibungkus
ringkas-ringkas ke dalam karung-nya. Setelah diikat dengan tali, ia meng-gantungkan di pinggang mirip seorang kelana menangsal bekalnya dalam perjalanan jauh.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu musim kering. Meskipun malam hari, seluruh alam menyebarkan hawa panas. Angin
meniup di tengah jalan, keringatnya merembes tiada hentinya. Tetapi oleh keringanan hati dan rasa tegar hendak cepat-cepat mencapai perguruan Gunung Damar, hawa panas dan rasa lelah tak diin-dahkan, seluruh pojok benaknya dipenuhi oleh peristiwa penemuan kembali pusaka Bende Mataram yang dibawanya. Pikirnya, semua orang menunggu aku. Siapa mengira, tiba-tiba hari ini aku menjadi manusia begini penting..., memikir demikian, ia geli sendiri.
Tentang riwayat kedua pusaka yang dibawanya itu bagi dia tiada asing lagi. Sebagai penduduk Gunung Damar yang berdekatan dengan Desa Loano, ia kenal riwayatnya. Riwayat pusaka
tersebut sudah menjadi do-ngeng rakyat yang tersebar dari mulut ke mulut. Dahulu gurunya pun seringkali mem-bicarakan. Tetapi sebagai seorang muda, sama sekali ia tak tertarik. Cerita itu tak lebih dan tak kurang hanya merupakan dongeng khayal belaka. Sebaliknya, pengasuhnya yang bernama Wirasimin menganggap dongengan itu sebagai suatu peristiwa bersejarah yang terjadi dengan sungguh-sungguh. Nyatanya, pada hari itu dia membawa pulang juga kedua pusaka
Bende Mataram itu. Entah kedua pusaka tersebut adalah benar, kedua pusaka Bende Mataram
yang diberikan patih Lowo Ijo ) entah tidak, tiada seorangpun dapat menjadi saksinya.
Yang terang, kini menjadi bahan perebutan hampir semua ksatria di seluruh Pulau Jawa. Maka teringatlah dia akan tembang Dan-danggula yang sering dinyanyikan Wirasimin pada malam sunyi apabila pengasuhnya itu hendak menghibur diri. Di antara deretan tembangnya terdapat sebuah bait yang menyinggung tentang adegan Bende Mataram dan Lowo Ijo. Bunyinya begini,
Mangkya Bende Mataram ji Mring patih Lawa Ijo sabda Sun jarivani glis marene Jenengsira
insun utus Hanyekel maling aguna sekti Pangeran Joyokusumo Ya kongsi keleru Sun bektani
pusaka Jawa Jala lawan Tunggulmanik Sarta Bende Mataram....
Alih bahasa Segera Bende Mataram Bersabda kepada patih Lawa Ijo Mendekatlah kuperintahkan padamu
Hendaklah kau tangkap maling sakti Pangeran Joyokusumo namanya Jangan sampai luput
Kusertakan pusaka Jawa Jala dan Tunggulmanik Serta Bende Mataram....
Lewat larut malam, ia menemukan sebuah gubuk. Di sana dia menginap. Keesokan hari-nya,
setelah membersihkan badan, ia melan-jutkan perjalanan. Waktu itu, barulah dia merasa lapar benar-benar, setelah memeras tenaga hampir dua hari dua malam. Maka bergegaslah ia mencari kedai hendak mengisi perut. Tapi sampai matahari sepenggalan tingginya, belum juga ia
menjumpai sebuah kedai. Baru setelah matahari mencapai titik tengah, ia melihat sebuah kedai di kejauhan.
Kedai itu berada di persimpangan jalan yang sunyi. Dindingnya terbuat dari dinding rong-sokan dan hitam lekam bekas kena angus. Tatkala ia memasuki, ternyata di dalamnya terdapat lima pengunjung. Pemilik kedainya seorang laki-laki setengah umur. Sikapnya dingin, wajahnya kuyu dan seperti seseorang yang telah lama kehilangan semangat, la duduk berdiam diri, menunggu kelima tamunya yang sekali-kali berbicara sambil meng-gerumuti penganan.
Dengan sedikit membungkuk, ia duduk di atas bangku bambu dan memesan secangkir kopi dan
sepiring nasi. Penganan yang berada di depannya terdiri dari ketela rebus, goreng pisang dan tempe goreng. Meskipun penganan murah, tetapi pada saat itu ia lapar bukan main. Maka terus saja dia menyambar tempe goreng dan ketela rebus sekaligus.
Selagi dia menggerumuti hidangan murahan itu, mendadak terdengarlah suara ribut-ribut di kejauhan. Tetamu lainnya terus saja melompat ke luar menjenguk jalan.
"Hai! Orang gila!" teriaknya agak gugup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian munculah seorang laki-laki tegap berlumuran darah. Tangannya mencekam
sebatang kapak besar dan mengo-bat-abitkannya ke udara dengan serabutan.
Laki-laki itu bercambang dan berbewok tak terurus. Sikapnya gagah dan tangkas. Tetapi sinar matanya agak guram. Gerak-geriknya seperti orang kurang waras. Suatu tanda bahwa dia gila.
Dengan mengernyitkan dahi, Wirapati mengamat-amati kapak raksasa yang digeng-gam orang
itu. Kapak itu terbuat dari baja murni. Berat, tetapi bisa digerakkan oleh perge-langan tangan begitu teratur dan tangkas. Terang sekali, orang gila itu bertenaga besar dan berkepandaian bukan sembarang.
la mencoba mengingat-ingat bentuk tubuh laki-laki itu. Sepasang ingatannya, belum per-nah gurunya memperkenalkan seorang tokoh yang bersenjatakan kapak raksasa. Pikirnya, tetapi ilmu kapaknya begini hebat. Penjagaan diri rapat dan kesiur anginnya bukan kepalang kerasnya.
Mengapa guru belum pernah mem-perkenalkan tokoh ini" Apakah karena dia dianggap gila,
sehingga tak bisa digolongkan ke dalam deretan ksatria-ksatria atau seorang pendekar"
Dalam pada itu, laki-laki itu memutar kapaknya kian kalang-kabut sambil berteri-ak-teriak dahsyat. Katanya dengan suara parau, "Hai cepat! Cepat! Laporkan kepada Gusti Pangeran...
musuh telah tiba!" Karena sikapnya galak, orang-orang kam-pung dan bocah-bocah yang menguntitnya dari jauh
jadi gentar hati. Setengahnya ada yang sudah bersiaga melarikan diri. Tamu-tamu warung, lari berderai pula dengan melompat-lompat tinggi seperti seseorang kemasukan kelabang dalan pipa celananya.
Dengan penuh perhatian, Wirapati menga-mat-amati wajah orang itu. Wajahnya membayangkan suatu kecemasan, seolah-olah menghadapi sesuatu yang menakutkan. Meskipun
permainan kapaknya masih gencar, tetapi tangannya sudah nampak kendur. Dengan terengahengah, orang itu berteriak sambil mempertahankan diri.
"Adikku Panji Pangalasan, cepatlah engkau mengundurkan diri! Jangan hiraukan aku! Biarlah Malangyuda menghadapi dia seorang diri! Lebih baik, cepatlah engkau memberi kabar kepada Gusti Pangeran!"
"Agaknya orang ini bernama Malangyuda dan begitu setia menghamba kepada majikan-nya yang disebut gelarnya. Siapakah nama majikannya" Sungguh mengagumkan kesetia-annya.
Seseorang yang sudah nampak luka dalam tubuh masih begini gerak mengobat-abitkan
senjatanya. Apabila bukan seorang hamba yang setia, masakan sudi menyakiti diri sendiri, pikir Wirapati. Karena terdorong rasa kagum dan rasa hormat, tanpa memikir diri sendiri Wirapati terus melompat ke luar kedai sambil menggapai, "Saudara Malangyuda! Mari kita mengaso barang sebentar, menghirup teh. Tenaga yang berlebih-lebihan akan membuat lukamu semakin parah!"
Mendengar seruan Wirapati, orang itu lantas saja memelototi seraya membentak.
"Jahanam begundal Pangeran Bumi Gede! Kau mau merobohkan aku" Ha, jangan mimpi! Awas, sekali kau berani menyinggung Gusti Pangeran, aku akan mengadu nyawa dengan-mu. Hayo
enyah, kau keparat!" Dan setelah membentak demikian, kapaknya terus saja diputar dan menyerang dahsyat.
Keruan saja orang-orang melihat sepak ter-jang si gila, menjerit ketakutan. Wirapati sendiri terkesiap hatinya. Pikirnya cepat, terang sekali otaknya kurang waras! Dia menyinggung nama Pangeran Bumi Gede. Aku dikira begundalnya. Apakah majikannya bermusuhan dengan Pangeran jahanam itu"
Baiklah kutolong dahulu orang ini. Siapa tahu aku bisa memperoleh keterangan yang berharga... Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia bersiaga. Menghadapi serangan si gila yang
serabutan, dia bukannya mundur malahan maju. Dengan gesit ia menghindari sabetan kapak.
Ternyata si gila bisa bergerak dengan gesit dan tangkas pula. Mendadak saja, begitu sabetannya luput terus saja diputar untuk menyodok perut.
Untung, Wirapati bukanlah seorang jago murahan. Menghadapi serangan tak terduga, luar
biasa cepatnya tangannya melipat mene-robos lengan si gila.
Tahu-tahu ia telah berhasil menusuk dada. Seketika itu juga, tubuh Malangyuda tergetar.
Memang tenaganya sudah hampir habis seper-ti dian nyaris kehabisan minyak. Maka begitu kena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pukulan Wirapati yang disertai tenaga gendam kedua, lengannya serasa menjadi lumpuh. Dengan lunglai lengannya terkulai ke samping dan kapak jatuh bergerontangan ke tanah.
Wirapati terus memeluknya dan dibawa masuk ke dalam kedai. Dengan ramah ia berkata, "Mari kita minum teh dahulu! Saudara sangat lelah."
Malangyuda sudah punah tenaganya, na-mun dia pantang menyerah. Dengan mata melotot ia
membentak. "Kau siapa"... Kau begundal Pangeran Bumi Gede atau bukan?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Wirapati sulit juga untuk segera menjawab. Apabila
menjawab bukan, bagaimana ia harus mem-buktikan. Tetapi pada detik itu, ia menjawab untung-untungan.
"Aku seorang perantau. Aku bukan begundal Pangeran Bumi Gede."
"Hm... kau bilang kau bukan begundal Pangeran Bumi Gede. Apakah kau kenal bangsat itu?"
Malangyuda tetap bercuriga.
"Aku kenal padanya. Dia memang seorang bangsat. Karena itu, kita adalah kawan seperjuangan."
Malangyuda nampak ragu-ragu. Pandangnya penuh selidik. Sejenak kemudian bertanya: "Di manakah Pangeran Bumi Gede kini berada?"
Wirapati mengernyitkan dahi. Pertanyaan itu tak gampang-gampang dijawab, karena terasa
ada lubang jebakannya. Maka cepat-cepat ia mengalihkan perhatian.
"Kita adalah sekawan seperjuangan, mari kita pergi menuntut balas Pangeran jahanam itu!"
Tiba-tiba Malangyuda bangkit dan berteriak, "Tidak, tidak! Bumi Gede terlalu sakti, perkasa dan tak terlawan. Lekaslah enyah dari sini dan tolonglah aku memberi kabar kepada Gusti Pangeran, agar bisa berjaga-jaga. Aku sendiri akan menghadang Pangeran jahanam itu di sini. Pergilah!"
Sehabis berseru demikian, cepat ia menyambar kapaknya dan hendak cepat-cepat pergi. Namun Wirapati menahan-nya dan menyabarkan.
"Gampanglah memberi kabar kepada majikanmu. Soalnya siapakah Gusti Pangeran yang kau sebut-sebut berulang-ulang" Dia kini berada di mana?"
Tetapi Malangyuda tak menggubris per-tanyaan itu. Cepat ia memaksa berdiri dan berteriak lagi seperti orang sinting.
"Minggat! Minggatlah dari sini! Kau Pangeran jahanam, boleh mencoba seribu jurus permainan kapakku. Jangan mimpi bisa mencelakakan Gusti Pangeran, selama hayatku masih dikandung
badan." Wirapati kewalahan juga. Mendadak terde-ngarlah pemilik kedai berkata menganjurkan,
"Nampaknya orang itu benar-benar meng-harapkan pertolongan Tuan. Seumpama Tuan mau
pergi mencari majikannya, mungkin pula dia bersyukur dalam hati."
"Benar! Benar! Cepatlah memberi kabar! Gusti Pangeran kini berada di Desa Ngasinan dekat Rawa Pening. Pergilah! Pergilah segera mumpung Pangeran jahanam itu belum nam-pak batang hidungnya lagi."
Wirapati menarik napas panjang. Rawa Pening letaknya tak dekat. Paling tidak harus
membutuhkan perjalanan satu hari penuh tanpa berhenti. Tetapi oleh desakan ber-ulang-ulang dari seseorang yang sedang luka parah, hatinya tak sampai. Lagi pula itulah darma kebajikan yang dianjurkan gurunya berulang-ulang sebagai ciri perguruan Gunung Damar yang khas.
"Baik, Rawa Pening aku tahu letaknya. Tetapi Desa Ngasinan masih asing bagiku," akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata Wirapati, Malangyuda girang bukan main sampai berloncat-loncat kecil.
Mendadak saja terus lari seperti diuber setan.
"Hai! Kau belum menerangkan letak Desa Ngasinan!" seru Wirapati memanggil.
"Biarlah tak mengapa," sahut pemilik kedai. "Aku pernah datang ke sana." Kemudian dia menerangkan, "Rawa Pening di zaman dahulu mempunyai riwayatnya sendiri. Di bukit sebe-lah selatan tersebutlah seekor ular raksasa bernama Baru Kelinting. Dia merubah diri menjadi seorang anak tanggung yang bepura-pura minta sedekah kepada penduduk sekitar rawa itu. Tetapi
penduduk sangatlah kikirnya. Untunglah dia ditolong oleh seorang nenek. Tatkala dia membalas dendam dengan menenggelamkan seluruh penduduk dusun dengan kesaktiannya, hanyalah nenek
itu sendiri yang selamat. Di kemudian hari, nenek itu menjadi jin penunggu Rawa Pening yang akan menjaga keabadiannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lekaslah kausebutkan di mana letak Desa Ngasinan! Apa perlu mendongeng tak keruan?"
bentak seorang pengunjung yang rupanya beradat berangasan. Kena dibentak demikian, pemilik lantas saja berkata, "Eh, ya, maaf. Tuan kenal persimpangan jalan sebelah utara Ambarawa"
Beloklah ke kanan. Kira-kira sejauh sepuluh pai, Tuan akan menjumpai sebuah jembatan batu.
Tetapi janganlah Tuan menyeberang lewat jembatan batu itu, kalau tak ingin tersesat. Sebaliknya pilihlah jembatan bambu yang terletak tak jauh dari jembatan batu tersebut. Kemudian beloklah ke kiri. Kira-kira satu pai, Tuan akan bertemu dengan simpang jalan lagi. Pilihlah yang ke kanan.
Nah, Tuan akan melihat sebuah dusun yang dilingkari pagar bambu lebat. Di sana terdapat sebuah rumah semacam pesanggrahan. Tanyalah kepada siapa saja yang disebut Gusti Pangeran. Pasti Tuan akan diantarkan."
Sebenarnya Wirapati tak sabar lagi mende-ngarkan keterangan pemilik kedai yang bertele-tele.
Tapi justru kurang sabar itulah yang membuat dia kena bahaya. Coba andaikata mau meneliti tiap keterangan pemi-lik kedai itu, pastilah akan heran mengapa dia bisa menerangkan tempat
beradanya yang disebut Gusti Pangeran begitu terang gam-blang.
Begitulah, setelah membayar makanan segera ia berangkat. Sehari itu ia berjalan cepat.
Setelah melampaui kota Magelang, pemandangan seberang-menyeberang mulai nampak indah.
Kadang-kadang ia menjumpai beberapa kereta pos kompeni yang datang dari Semarang. Biasanya dia usilan, tapi kali ini tidak. Dalam hatinya, ia ingin cepat menyele-saikan perkara tersebut.
Pikirnya, eh, kembali lagi aku terlibat dalam suatu perkara yang bukan kepentinganku. Tetapi aku sudah terlanjur sanggup menyampaikan berita kepada orang yang disebut sebagai majikannya.
Masakan aku akan menyia-nyiakan kepercayaan seseorang yang membutuhkan pertolongan" Di
kemudian hari apabila dia mengetahui bahwa aku adalah salah seorang murid Gunung Damar,
bukankah aku menyeret nama perguruan.
Memperoleh pikiran demikian mantaplah hatinya untuk menunaikan darma itu dengan sebaikbaiknya. Pada sore hari itu, tibalah di sebelah utara Dusun Pingit, la beristirahat sebentar di tepi jalan di bawah pohon rindang sambil merenungi bukit Telamaya dan Jakapekik. Pikirnya, besok pagi sampailah di tempat tujuan. Diam-diam legalah hatinya.
Pada malam hari itu, ia menginap di sebuah desa dekat Ambarawa. Keesokan harinya,
berbareng dengan terbitnya matahari ia meneruskan perjalanan.
Kira-kira delapan pai dekat Ambarawa. la membelok ke kanan. Seberang menyeberang jalan
adalah rumpun tetanaman dan sawah. Di bawah sebuah pohon tumbang, duduklah seorang
petani. Petani itu menyandarkan tubuhnya sambil merendam kakinya ke dalam lumpur.
Penglihatan demikian adalah lumrah. Yang tidak lumrah ialah, bahwasanya muka petani itu
berlumuran darah. Padahal waktu itu masih pagi hari. la memegang sebuah pacul tajam dan sabit oleh cahaya matahari terpantulah suatu sinar gemerlapan. Terang sekali sinar itu sangatlah tajamnya. Tatkala Wirapati lewat di sampingnya, terdengarlah pernapasannya tersekat-sekat.
Diam-diam Wirapati terkejut. Pikirnya, apakah dia habis berkelahi di pagi hari ini" Tertarik oleh penglihatan itu, lantas saja Wirapati menghampiri.
"Apakah Saudara membutuhkan perto-longan?"
Petani itu tiada menjawab. Dia hanya mendengus sekali dan nampak lagi menguasai
pernapasan. "Hm," Wirapati menyesal. Ia diam menim-bang-nimbang sejenak. Tiba-tiba mengalihkan pertanyaan. "Apakah saudara kenal letak Desa Ngasinan" Seorang sahabat bersenjata kapak minta padaku agar aku mengirimkan berita kepada majikannya di Dusun Ngasinan. Apakah benar jalan ini menuju Desa Ngasinan?"
Mendengar pertanyaan Wirapati, mendadak saja petani itu terkejut. Kepalanya mendongak dan ganti berbicara, "Apakah sahabat yang bersenjata kapak masih hidup atau sudah mati?"
"Ia hanya nampak lelah, mungkin luka parah. Kukira nyawanya tak perlu dikhawatir-kan."
"Syukurlah, Tuhan masih sudi melindungi," petani itu menghela napas. Dan melihat sikap-nya yang sopan serta tutur bahasanya teratur, Wirapati percaya bahwa petani itu bukan orang
sembarangan. Maka ia segera bersikap hati-hati. Bertanya minta keterangan, "Apakah orang yang bersenjata kapak itu teman Saudara?"
"Namanya Malangyuda. Aku sendiri, pang-gillah Pangalasan," sahut petani itu.
Meneruskan,"Jika saudara akan ketemu de-ngan majikan yang disebutkan, cepatlah berangkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyekat jalan persimpangan itu Pangeran Bumi Gede telah lewat pada fajar hari tadi. Malulah kalau kututurkan karena ternyata aku tak mampu melawannya."
Melihat luka parahnya, Wirapati percaya apa yang dikatakan. Lagi pula kesannya orang itu sangat sopan, sederhana dan terbuka hatinya. Diam-diam Wirapati senang padanya.
"Saudara Pangalasan. Agaknya lukamu tak enteng. Dengan senjata apakah Pangeran Bumi Gede melukai dirimu?" tanya Wirapati.
"Dengan sebatang tongkat."
"Tongkat?" Wirapati terkejut. Mendadak teringatlah dia akan penglihatannya pada dua belas tahun yang lalu tatkala melihat seorang pemuda membunuh salah seorang rombongan penari
aneh dan Made Tantre. Tak disadarinya bulu romanya menggelidik. Buru-buru ia memeriksa luka si petani itu. Ia membungkuki dan melihat sebuah luka cukup besar di atas dadanya. Cepat-cepat ia memijit di atas luka itu untuk membendung darah yang mengalir tiada henti seperti yang pernah dilakukan ter-hadap Wayan Suage. Kemudian mengeluarkan obat luka dan dipoleskan
dengan hati-hati. "Untung! Tiada beracun," katanya setengah bersyukur.
"Terima kasih atas budimu. Siapakah nama Saudara" Bolehkah aku turut mengenal?"
"Mengapa tidak" Aku Wirapati, murid keem-pat Kyai Kasan Kesambi."
"Ah!" Pangalasan terkejut. "Hari ini, akhirnya aku bisa bertemu dengan salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi. Hm, rasanya mati pun aku puas."
"Kata-katamu berlebih-lebihan." Potong Wi-rapati cepat. Kemudian mengalihkan perha-tian.
"Sebenarnya siapakah majikan orang bersenjata kapak itu" Agaknya engkau me-ngenal dia.
Apakah dia kawanmu?"
"Sudah kukatakan tadi, bahwa aku menge-nal dia. Apakah dia tidak menyebut namaku"
Lengkapnya Panji Pangalasan."
Wirapati mengerinyitkan dahi mengingatingat. Ya, dalam kekalapannya Malangyuda pernah
memanggil nama Panji Pangalasan agar mencari majikannya untuk memberi kabar bahaya. Maka dia mengangguk.
"Majikannya adalah majikanku pula. Kami menyebutnya Gusti Pangeran. Maafkan! Tetapi Gusti Pangeran bermukim di sebuah pesang-grahan di Desa Ngasinan. Dengan menyebut nama
Malangyuda dan namaku, rasanya tak sukar engkau mencari pesanggrahannya. Tiap orang akan bersedia menunjukkan."
Diam-diam Wirapati heran, mengapa orang itu tak berani menyebut nama junjungannya. Tapi
mengingat majikannya dalam keadaan bahaya, mungkin dia tak berani menyebut namanya
dengan terus terang untuk menjaga keselamatannya.
"Baiklah aku akan segera menghadap majikanmu."
Mendadak saja orang itu memaksa diri hendak berdiri, kemudian bermaksud menyembah
sambil berkomat-kamit, "Terima kasih... o, terima kasih..."
Buru-buru Wirapati mencegah maksudnya sambil berkata, "Sudahlah mengapa begini berlebihlebihan" Sampai berjumpa." Dan tanpa menunggu jawaban Wirapati terus saja meninggalkan cepat-cepat.
Tak lama kemudian, sampailah dia di tepi sebuah sungai yang bertebing curam. Sebuah
jembatan batu melintang dari seberang ke seberang. Di dekat jembatan batu, melintang pula sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Teringat akan keterangan pemilik kedai agar jangan lewat jembatan batu, segera ia menghampiri jembatan bambu. Sekonyong-konyong terdengarlah seseorang memanggilnya,
"Hai saudara! Jangan lewat jembatan bambu. Jembatan itu keropos di tengah."
Wirapati menoleh dan melihat seorang laki-laki berperawakan jangkung berdiri di te-ngah
jembatan batu sambil membawa cemeti panjang. Orang itu nampak ramah dan sung-guhsungguh. "Terima kasih," sahut Wirapati senang. "Desa yang kutuju berada di depan."
"Ngasinan?" "Ya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lewatlah di sini! Tadinya memang lewat jembatan itu, tetapi semenjak hujan terus-menerus maka orang membangun jembatan batu."
Wirapati tak menggubris peringatan orang itu. Dia tetap lewat jembatan bambu, karena takut masuk perangkapnya. Di luar dugaan, baru saja kakinya berada di tengah-tengah terdengar suara gemeretak. Jembatan patah di tengah-tengah seperti peringatan orang itu. Untunglah, Wirapati cukup cekatan. Dengan sebat ia menyambar bambu keropos yang sedang meluruk runtuh ke
bawah dan dengan suatu tenaga mengajaibkan ia melayang ke depan bagaikan burung mencapai seberang.
Orang itu tertawa terbahak-bahak sambil berseru, "Bagus! Luar biasa bagus! Rasakan kini, mengapa tak mendengarkan nasihatku. Hai, engkau begini tergesa-gesa hendak mencari siapa?"
Wirapati mendongkol mendengar ucapan-nya. Tatkala memeriksa sisa bambu yang masih
tergantung di seberang tahulah dia, bahwa runtuhnya jembatan itu ada yang membuat dengan sengaja.
Nampak sekali, betapa lonjoran bambu itu terkikis dari bawah.
"Hm," ia mendengus sambil menatap orang itu dengan tajam. Tetapi ia tak berkata lagi.
Bahkan terus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh.
"Hai! Hai! Tunggu! Aku pun mau ke sana...!" seru orang itu.
"Bagus! Nah kejarlah aku!" sahut Wirapati.
Dan setelah berkata demikian, ia memper-cepat langkahnya. Cepat orang itu menguber dari
arah jembatan batu. Tetapi betapa berusaha mempercepat langkahnya, tetap tak mampu
mengejar. Melihat orang itu berkepandaian lumrah, Wirapati tiada menaruh perhatian lagi. Kini sengaja ia lari dengan menjejak tanah. Maka sebentar saja, bayangan orang yang menge-jarnya tiada
nampak lagi. Jalan yang dirambah itu ternyata kian lama kian sempit. Seberang-menyeberang hanya dipagari rumput alam yang kasar dan tajam luar biasa. Kadang-kadang terseling rumpun bambu liar. Tak lama kemudian, Rawa Pening nampak di depan hidungnya. Sunyi menyayat hati dan berkesan
angker. Jalanan itu me-lingkari rawa dan kini mulai terhalang oleh gerombol belukar. Dan diam-diam Wirapati membatin. "Aneh! Siapakah majikan orang-orang itu yang memilih tempat begini sunyi sebagai tempat pesanggrahan?"
Baru saja ia membatin demikian, tiba-tiba matanya tajam melihat berkelebatnya sebuah
pancing menyambar padanya. Cepat ia melompat mengelak sambil menyambar ta-ngan hendak
merampas. Ternyata pancing yang berkelebat itu seperti terkendalikan.
Wirapati cukup gesit, tetapi pancing itu pun lebih gesit lagi. Diam-diam murid Kyai Kasan itu terkejut dalam hatinya. Tatkala menoleh, ia melihat seorang laki-laki lagi memancing di tepi rawa dengan acuh tak acuh. Seperti tak sengaja pancingnya menyerang Wirapati. Kemudian
mengumpat. "Kurang ajar! Bagus engkau bisa membe-baskan diri dari pancingku."
Kata-kata yang diucapkan itu meskipun nampaknya lagi mengumpat ikan yang berada di dalam rawa, tetapi kesannya tertuju kepada Wirapati pula. Mau tak mau Wirapati menghentikan
langkahnya. Lantas bertanya, "Saudara! Di manakah letak pesanggrahan majikan orang yang menyuruh aku meng-hadap padanya?"
Tanpa menoleh orang itu terus menyahut, "Haaa.... masakan begitu gampang engkau bisa menemuinya" Hayo makanlah cacing ini! Hayo makanlah kalau mampu. Masakan tam-pangmu
mampu mengalahkan aku."
Mendengar ucapan orang itu, Wirapati men-dongkol hatinya. Terang sekali, dia berpura-pura tak mendengar pertanyaannya. Maka ia hendak meneruskan perjalanan saja daripada mencari
perkaranya. Tak tahunya, tiba-tiba untuk yang kedua kalinya, pancing itu menyambar lehernya.
Cepat Wirapati me-ngendapkan diri sambil melompat ke depan. Mengira dia salah seorang
begundal Pangeran Bumi Gede yang sengaja menghambat per-jalanannya. Maka terus saja dia
mengumpat, "Hai! Belum pernah kita saling bertemu di perjalanan mengapa engkau menyerang daku?"
"Hm.... sekali pancing telah terlanjur dikait-kan, betapa bisa membiarkan mangsa luput dari pengamatan?" sahut orang itu. Kemudian melesat menyerang dengan bertubi-tubi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wirapati memang telah mendongkol pada-nya dan mengira orang itu salah seorang begundal
Pangeran Bumi Gede. Maka begitu ia diserang bertubi-tubi terus saja membalik tangan dan
membalas menyerang. Ternyata orang itu bukan tokoh sembarangan. Dia bisa mengelakkan
serangan Wirapati dengan gesit dan teratur. Tetapi betapa dia bisa melayani seorang tokoh semacam Wirapati yang sudah mempunyai pengalaman bertempur berulang kali. Itulah sebabnya, belum sampai tujuh gebrakan dia kena dipentalkan sampai terce-bur ke dalam rawa. Untung, Wirapati tiada niat menghabisi nyawanya. Dengan tak memedulikan lagi, ia melanjutkan
perjalanan mencari pesanggrahan.
Tak lama kemudian sampailah dia di sim-pang jalan. Teringat keterangan pemilik kedai, segera ia membelok ke kanan. Tak jauh di depannya terbentanglah sebuah dusun yang dilingkari rumpun bambu. Maka cepat-cepat ia menghampiri. Pikirnya dalam hati, menurut keterangan pemilik kedai kemarin, di sinilah letak pesanggrahan majikan yang disebut Gusti Pangeran.
Tetapi keadaan dusun itu lengang sunyi. Diam-diam ia jadi curiga. Mendadak di tengah
kesunyiannya, cepat-cepat ia mendengar seorang anak menangis. Anehnya, datangnya dari arah gerumbul. Segera ia bersiaga dan menduga ada sesuatu peristiwa yang kurang beres. Apakah laskar Pangeran Bumi Gede sudah tiba dahulu, pikirnya sibuk.
Dengan berjingkat ia mendekati gerombol. Ternyata suara tangis itu lenyap tiada bekas. "Ssst!
Siapa yang menangis di situ?" Wirapati berbisik. Tiada jawaban. Karena itu kesunyian dusun kian terasa.
"Ssst! Siapa menangis di situ?" Wirapati mengulang sambil merayap mendekati.
Sekonyong-konyong gerumbul bergerak perlahan-lahan. Terdengar kemudian geme-risik daundaun kering. Dengan tersenyum Wirapati terus saja melompat dan menyambar.
Anak yang menangis ternyata seorang gadis kecil kira-kira berumur 10 tahun. Ia ketakutan setengah mati sampai menjerit tinggi. Tubuhnya menggigil.
"Adik kecil, jangan takut. Di manakah rumahmu" Siapa ayah-bundamu dan mengapa menangis di sini?" Wirapati terus memberondongi dengan tiga pertanyaan sekaligus. Sudah barang tentu si anak tak pandai menjawab, apalagi dalam ketakutan. Meskipun seumpama dalam keadaan wajar, belum tentu pula bisa menjawab. Pertama-tama, Wirapati seorang yang masih asing baginya.
Kedua, pertanyaannya dilontarkan dengan gaya kuat dan sangat cepat.
Untunglah, betapa pun juga Wirapati se-orang pemuda yang sudah berpengalaman. Segera ia
insyaf, pertanyaannya malah menakutkan. Maka cepat-cepat ia melepaskan tangannya. Kemudian dengan wajah terang-benderang mengalihkan pertanyaannya,
"Adik kecil, kau tahu di mana letak pesang-grahan Gusti Pangeran?"
Mendadak saja gadis kecil itu jadi ketakutan. Wajahnya pucat lesi. Ia mundur selangkah dan nampak hendak melarikan diri.
"Ssst adik kecil! Jangan takut! Aku adalah sahabat bapakmu," Wirapati cepat-cepat ber-kata membohong.
"Bohong! Bohong! Kaulah yang membunuh Ayah," jerit anak itu dengan bibir bergemetar.
Mendengar sangkalan anak itu, Wirapati tercekat hatinya. Sekaligus tahulah dia apa yang telah terjadi di dusun ini, meskipun masih terasa samar-samar.
"Siapa yang membunuh ayahmu" Sekarang di mana dia?" Wirapati mendesak.
Si anak tadi tak menjawab. Matanya liar dan mengarah ke arah tenggara. Sebagai seorang
yang sudah berpengalaman, tak perlu lagi Wirapati menunggu keterangan. Terus saja ia melesat mengarah ke tenggara. Dan setelah melewati rumpun bambu yang merupakan pagar alam, tibalah dia pada suatu halaman luas. Di sana berdiri sebuah rumah bambu yang teratur rapi.
"Hai, apakah ini pesanggrahan yang dikata-kan pemilik kedai?" ia menduga.
Hati-hati ia menghampiri dari pohon kepo-hon. Keadaannya sunyi pula seperti tiada
penghuninya. Sekonyong-konyong ia melihat suatu pemandangan yang mengejutkan. Di pendapa rumah itu, nampak empat orang yang tergantung terbalik. Kaki mereka masing-masing diikatkan pada tiang atap, sehingga bergantungan mirip kelelawar.
Tatkala Wirapati menajamkan penglihatan, ternyata mereka terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan. Usia mereka telah lanjut. Rambutnya telah memutih. Karena itu betapa kejam orang yang menyiksanya sungguh di luar batas-batas kemanusiaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Darah Wirapati sekaligus terbangun dah-syat. Tanpa memikirkan keselamatan diri, terus saja dia mengumpat,
"Hai, siapakah yang berani berlaku sewe-nang-wenang ini?" Dalam kegusarannya, lan-tas ia berseru: "Tuan rumah! Ada orang tergantung!"
la memeriksa keadaan mereka. Ternyata mereka berlumuran darah dan napasnya telah
berhenti. Segera ia melemparkan pandang ke arah pintu yang terkunci rapat. Dengan
mengerahkan tenaga ia mendorong pintu, tetapi tak bergeming. Heran dia, nampaknya diganjal batu dari belakang. Mendadak ia mendengar suara parau sangat lemah.
"Anak muda! Lekas tolong Gusti Pangeran... dia tersekap di dalam. Musuh telah tiba. Kami semua tak mampu melindungi..."
Orang yang berbicara itu, seorang laki-laki tua yang tergantung di pojok timur. Segera Wirapati hendak menolongnya dahulu. Tetapi laki-laki itu cepat-cepat menyanggah.
"Jangan pedulikan aku... lekas masuk! Lebih cepat lebih baik..."
Tetapi betapa dapat Wirapati membiarkan dia tergantung begitu. Tahu-tahu ia melompat tinggi sambil menyabetkan senjata pamung-kas. Berbareng dengan turunnya tangannya menyambar dan meletakkan orang tua itu ke tanah.
"Terima kasih... " Orang itu tersekat-sekat lemah... "Cepat masuk..." Mendengar per-mintaan orang itu demikian sungguh, Wirapati terus bangkit. Segera ia kumpulkan tenaga Bayu Sejati ajaran Kyai Kasan Kesambi. Kemudian dengan menggerakkan kedua tangannya menubruk. Maka
terdengarlah suara gemerentang keras dan batu yang mengganjel di balik pintu terpental
bergulungan. Sekonyong-konyong terdengarlah seorang berkata dari dalam.
"Ha.... ilmu Bayu Sejati perguruan Gunung Damar ternyata benar-benar bukan omong kosong.
Wirapati, letakkan keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram ke tanah. Segera engkau akan kuberi seekor kuda dan sedikit hadiah agar bisa pulang ke gunung dengan selamat."
Wirapati terkejut. Diam-diam tergeraklah ingatannya seakan-akan pernah mengenal suara itu.
Pikirnya menebak-nebak, bukankah ini suara pemilik kedai" Hm... atau mungkin kebetulan
bernada sama" Kemudian berkata mencoba, "Agaknya Tuan mengenal namaku. Dan darimana pula Tuan mengenal kedua pusaka yang kubawa ini?"
"Hi ha ha... di seluruh jagad ini siapakah yang tak mengenal nama murid keempat Kyai Kasan Kesambi" Semenjak berada di selatan Magelang, bukankah kita telah pernah berte-mu?"


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar jawaban orang itu, keragu-raguan Wirapati hilang sekaligus. Kini timbulan rasa gusarnya, karena sadar lagi dipermainkan orang-orang tertentu. Maka ia membentak, "Bagus!
Kiranya Tuan yang berpura-pura menjual makanan di kedai dahulu. Mengapa Tuan tidak meracuni aku saja. Bukankah lebih gampang?"
"Hm... perbuatan demikian, bukanlah layak seorang ksatria. Tetapi andaikata engkau kepingin kuracuni, itu bukanlah suatu peker-jaan yang sukar. Bukankah engkau tadi habis menolong
seorang tak berguna yang kugan-tung di luar" Nah, seluruh pakaiannya telah kulumuri racun. Ha-ha-ha..."
Wirapati terperanjat bukan kepalang. Sekaligus tahulah dia, bahwa dia lagi meng-hadapi musuh yang bisa bedaku keji. Diam-diam ia mengerahkan tenaga gendam untuk menolak racun, sambil membentak, "Selamanya kita tak pernah bermusuhan, apa sebab tiba-tiba kau bisa berlaku begini keji" Siapakah namamu?"
"Kami bukan sanak bukan kadang. Juga tiada mempunyai dendam atau berniat memusuhi. Aku hanya menghendaki agar keris dan bende yang kau bawa itu, letakkan saja di tanah. Segera engkau akan kuberi obat pemusnahnya."
"Hm... apakah kedua pusaka ini milikmu?"
"Bukan! Bukan!" sahut orang itu cepat. "Tetapi siapakah yang tak ingin memiliki kedua pusaka wasiat itu?"
"Tepat ucapanmu. Karena itu, sesudah kedua pusaka wasiat berada di tanganku... akan kubawa dahulu ke gunung. Aku merasa bodoh dan kurang pengalaman. Biarlah guru sendiri yang akan memutuskan."
Orang yang berada di dalam kemudian berkata lagi tetapi suaranya kurang jelas. Terdengar gumamnya, "... namaku... tentang pusaka itu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau berkata apa?" Wirapati menajamkan telinga sambil maju memasuki ambang pintu.
Pada saat itu, tiba-tiba seluruh tubuh
Wirapati terasa gatal dan sakit seperti tergigit semut merah. Ia menyangka hanya rasa gatal lumrah. Maka sambil menggaruk ia berkata menegaskan. "Sudah berpuluh nyawa yang melayang ke dunia akhirat semata-mata kare-na dua pusaka itu. Cukuplah sudah, orang saling membunuh dan mendendam. Kini harus kupersembahkan dahulu kepada guru. Pada saat ini, mungkin guru tengah menerima kunjungan tamu-tamu dari berbagai daerah. Silakan kau datang saja. Siapa tahu, kaulah yang kejatuhan rejeki."
Terdengar orang di dalam mendengus dan berkata, "Nama perguruan Gunung Damar terlalu menakutkan aku. Lagi pula engkau telah kena senjata racunku. Lekaslah letakkan kedua pusaka itu ke tanah dan aku akan segera menghaturkan obat pemusnahnya."
Mendengar orang itu mengulangi istilah racun untuk yang kedua kalinya, Wirapati kini benarbenar menaruh perhatian. Gugup ia meraba bagian tubuhnya yang terasa gatal. Mendadak rasa gatal itu berubah menjadi pegal nyeri. Apakah aku telah kena racun! pi-kirnya. Tak terasa ia menoleh ke arah orang yang ditolongnya. Betapa kagetnya, karena baik orang yang ditolong maupun yang tergan-tung tadi, telah lenyap tiada bekasnya.
"Ah!" Wirapati tiba-tiba sadar. "Rupanya sewaktu aku lagi membongkar pintu dan terli-bat dalam percakapan, mereka telah menghi-lang dengan diam-diam."
Maka timbullah gusarnya. Terus saja mem-bentak, "Kauhilang, aku kena racun?"
"Hi ha ha... kematian telah mengambang di depan hidungmu, namun belum juga sadar"
Sewaktu kau kupancing dengan suara lapat-Iapat, bukankah kau maju selangkah memasuki
ambang pintu" Nah... memang racunku bukan sembarang racun. Itulah racun yang pernah kau
kenal dua belas tahun yang lalu. Meskipun berbeda, tapi cara kerjanya setali tiga uang.
Diingatkan pada racun Pangeran Bumi Gede yang menghabisi nyawa Gandi dan Wayan Suage,
mendidihlah darahnya. Tetapi kini badan sendiri kena racun itu pula, diam-diam ia mengeluh dalam hati. la kenal cara kerja racun tersebut amat jahat. Meskipun racun yang mengenai dirinya ini agak berbeda, tetapi yakinlah dia bahwa tiada jalan lain kecuali merampas obat pemusnahnya.
Maka setelah mengambil keputusan demikian, segera ia bersiaga. Di dalam rumah nampak
remang-remang, bahkan agak gelap. Tak peduli mungkin ada jebakan lain, cepat-cepat ia
melindungi mukanya dengan tangan kiri sedangkan dadanya dilindungi dengan tangan kanan.
Kemudian melesat masuk ke dalam rumah sambil melontarkan serangan.
"Jahanam! Apakah engkau sanak Pangeran Bumi Gede sampai memiliki racun keji pula?"
bentaknya. Belum lagi dia berdiri tegak, dari balik pintu terdengar angin menyambar. Cepat ia membalikkan tangan dan menghantam dengan seku-at tenaga. Plak! Dua tangan beradu dengan dahsyat dan kedua-duanya tergetar mundur selangkah.
Wirapati kaget, karena tangannya terasa pedih. Ternyata ia kena suatu tipu licik. Tangannya tercocok paku-paku tajam. Terang sekali musuhnya menyongsong pukulannya dengan menjepit
paku-paku beracun diantara jari-jarinya. Keruan saja, Wirapati menggeram karena marah. Diamdiam ia heran pula apa sebab musuh yang ternyata setanding kuatnya menggunakan tipu
serendah demikian. Sementara itu terdengar orang itu berkata dengan lemah-lembut. "Saudara! Untuk ketiga kalinya, engkau kena racunku. Racunku kali ini terbuat dari duri-duri Rukem. Meskipun andaikata engkau kebal dari senjata, tetapi apabila kena tercocok duri Rukem pasti akan keracunan.
Tenagamu luar biasa hebat. Aku kagum! Benar-benar kagum! Tapi sayang, umurmu takkan bisa tahan sampai matahari tenggelam. Nah, letakkan kedua pusaka itu ke tanah. Segera akan
kuberikan obat pemusnahnya."
Karena geram dan mendongkol, Wirapati menghunus keris pusaka Kyai Tunggulmanik dan
terus menyerang dengan sekuat tenaga. Orang itu dengan gugup menangkis serangan Wirapati dengan tongkat besi panjang bekas palang pintu. Tetapi begitu kena keris Tunggulmanik,
mendadak saja terpotong menjadi dua seperti terajang.
Baik Wirapati maupun orang itu terkejut sampai memekik tertahan. Wirapati tak men-duga,
bahwa keris yang nampak tak menarik sama sekali mempunyai ketajaman dan tena-ga kuat luar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
biasa. Sedangkan orang itu heran tak kepalang, bahwa tongkat besinya kena terpotong begitu mudah.
Memperoleh kepercayaan baru, Wirapati segera menyerang kalang-kabut seperti ban-teng
terluka. Orang itu jadi kelabakan. Karena di dalam rumah merasa terjepit terpaksalah dia melompat keluar dan berdiri tegak di pendapa. Tetapi belum lagi dia bersiaga, serangan Wirapati datang bertubi-tubi. Gugup ia menyambar daun pintu yang telah runtuh menangkis serangan
Wirapati sejadi-jadinya. Juga tak mampu menahan ketajaman keris Kyai Tunggulmanik. Begitu kena babatan, terus saja somplak menjadi dua potong. Cepat-cepat orang itu melesat mundur sambil berteriak. "Kau sayang nyawamu ataukah keris itu" Kalau kau sayang keris itu akan kutinggal bersembunyi. Sebentar sore, bukankah engkau telah menjadi bangkai."
"Baik! Kau beri obat pemusnah racunmu yang keji ini. Kuserahkan keris Kyai Tunggulmanik,"
sahut Wirapati. Kini seluruh tubuhnya mulai terasa nyeri luar biasa dan gatal. Tahulah dia, racun sudah bekerja. Tentang keris itu. Apabila racun terpunahkan masakan takkan dapat merebut kembali?" Tak terduga orang itu berkata lagi, "letakkan pula Bende Mataram! Masakan aku akan kena
kaukecohi?" Terpaksa pulalah Wirapati meletakkan pusaka Bende Mataram ke tanah di dekat keris Kyai
Tunggulmanik. Orang itu sangat girang dan dengan cepat mengambilnya, la menciumi dan
mengusap-usap tiada henti. Dan sampai lama tak mengeluarkan obat pemusnah.
Lambat tapi pasti, kaki Wirapati telah menjadi kaku. Maka dia menegur.
"Hai... katanya engkau akan memberi obat pemusnah, manakala telah kuserahkan kedua
pusaka itu." Mendengar teguran Wirapati, orang itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak seolah-olah lagi
mendengarkan suatu cerita yang kocak. Kemudian berkata, "Ahahaaa... kauhilang apa?"
"Aku menagih janjimu. Di manakah obat pemusnahnya" Nah, apakah yang lucu?" Wirapati mendongkol sambil menahan rasa nyerinya.
"Hoho... hihaho..." kembali orang itu tertawa terbahak-bahak. Sambil menuding hidung Wirapati dia berkata: "Sungguh tak terduga, bahwa murid Kyai Kasan Kesambi yang terkenal jempolan ternyata tolol tiada berotak. Hm, hm... mengapa kau begini tolol menye-rahkan kedua pusaka sebelum aku menye-rahkan obat pemusnah terlebih dahulu?"
"Seorang ksatria sejati manakala sudah berkata, masakan akan menjilat kembali ludahnya" Aku sudah setuju hendak menukar obat pemusnah dengan kedua pusaka ini, betapa aku akan mungkir janji" Kauberikan terlebih dahulu atau tidak kukira tiada beda."
"Jika kau tetap memegang keris pusaka dan wasiat Benda Mataram ini betapa pun juga aku takut padamu. Tapi kini, kedua pusaka ini telah berada di tanganku. Masakan masih perlu
menukar dengan obat pemusnah segala?"
Seketika itu juga mendidihlah darah Wirapati. la heran, selama hidupnya belum pernah
bermusuhan dengan orang itu. la per-caya juga, saudara-seperguruannya pun tidak pernah
bermusuhan. Sebab apabila pernah bentrok, pastilah dia sudah pernah mendengar. Karena murid Kyai Kasan Kesambi selalu melaporkan sepak terjangnya apabila turun gunung.
"Saudara! Ilmumu tidak rendah. Tampang-mu seorang ksatria. Aku tak percaya engkau bisa berlaku rendah seperti orang tak terna-ma," kata Wirapati masih menyabarkan diri.
Orang itu seperti tak menghiraukan. Berkata acuh tak acuh. "Wirapati baiklah kuterangkan padamu tentang kasiat racunku. Kau tadi kena racun tiga kali berturut-turut. Yang penghabisan kali adalah jenis racun terlalu jahat. Selain duri Rukem sangat beracun, ujungnya kulumuri pula dengan bisa ular. Karena itu dalam waktu 12 jam, seluruh dagingmu akan menjadi busuk dan rontok. Sebentar lagi kau akan lumpuh. Malahan kau akan menjadi orang yang bisu dan pekak.
Kecuali obat pemusnah dariku, tiada obat pemusnah lain di seluruh dunia ini yang akan
kautemukan. Baiklah, andaikata aku menyerahkan juga obat pemusnah, paling-paling aku hanya bisa menolong nyawamu. Tapi ilmu saktimu akan lenyap seperti kotoran tersapu air. Hm... sayang, sayang... agaknya aku pun enggan menyerahkan obat pemusnah. Bukankah tiada guna" Apakah
artinya hidup dengan menanggung cacat jasmaniah" Kukira lebih baik kau mati sajalah."
Wirapati terhenyak sejenak. Kamudian menjawab tegas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mati dan hidup seorang ksatria tergantung kepada takdir lllahi belaka. Aku Wirapati murid keempat Kyai Kesambi selamnya dididik menjadi seorang laki-laki yang bersikap terus terang tanpa main licik dan menodong dari belakang punggung. Meskipun kini aku ter-paksa mati
ditangan manusia berbudi rendah, masakan aku harus menyesal atau takut?"
Mendengar ucapan Wirapati yang gagah dan tegas itu, mau tak mau orang itu tercegang
sejenak. Kemudian dengan mengacungkan jempolnya, dia berkata lemah-lembut seperti seorang sahabat lama.
"Hebat! Benar-benar hebat! Anak-murid Kyai Kasan Kesambi benar-benar pantas di-kagumi orang. Tak terhitung ksatria-ksatria yang terkenal sakti, mati ditanganku kena racunku. Biasanya mereka merintih minta ampun atau menyembah-nyembah meng-harap obat pemusnahku. Ada
pula yang menangis menggerung-gerung. Yang ber-kepala batu paling tidak mencaci maki habis-habisan. Tapi mendengar dan menyaksikan betapa engkau begitu tegas, gagah dan bisa berlaku tenang menghadapi saat ajalmu, sungguh aku kagum luar biasa."
"Hm...." Wirapati mendengus. "Siapakah sebenarnya namamu dan apakah hubungan-nya dengan Pangeran Bumi Gede" Apakah dia saudara seperguruanmu atau majikanmu?"
"Ah, aku hanya seorang perantau tiada bernama. Apa perlu memperkenalkan nama segala. Lagi pula guna faedahnya tiada. Sebentar lagi, kau akan menjenakkan napas-mu yang penghabisan di tempat begini asing. Masakan saudara-saudara seperguruanmu akan mengerti sebab
musababnya" Meskipun gurumu seorang sakti tiada bandingannya pada zaman ini.... hm.... hm....
jangan harap dia dapat mencari daku."
Sementara itu, seluruh tubuh Wirapati telah mulai kaku. la merasa kesakitan luar biasa, karena seolah-olah tertusuk ribuan jarum dari dalam. Diam-diam ia berpikir, hari ini rupanya telah menjadi takdirku aku mati di sini. Baiklah jika aku mati, biarlah mati berbareng.
Memperoleh pikiran demikian, matanya mengerling kepada belahan daun pintu yang tergeletak tak jauh didepannya. Tatkala itu, mendadak saja munculan empat orang laki-laki dari samping rumah. Siapa lagi kalau bukan Malangyuda, Panji Pengalasan, orang di tengah jembatan dan si tukang pancing. Kemudian muncul lagi empat orang yang tadi tergantung dipendapa. Terang
sekali semua-nya itu adalah rangkaian permainan yang sudah diatur sebelumnya dengan rapi.
Munculnya mereka seolah-olah telah yakin, bahwa Wirapati sebentar lagi akan berangkat pulang ke alam baka. Pandangan mata mereka tenang-tenang saja seakan-akan tiada kesan tertentu.
Melihat mereka, Wirapati terus saja me-nyambar daun pintu. Kemudian menimpuk-kan sambil
menghantam sekuat tenaga. Se-rangannya kali ini membersit dari suatu kesadaran bahwa tiada jalan lain lagi hendak mengelakkan malapetaka. Maka tenaga yang dilontarkan adalah tenaga penghabisan sese-orang yang tengah menghadapi saat ajalnya. Hebatnya luar biasa dan serba tangkas diluar dugaan.
Karena serangan mendadak ini, mereka semua terperanjat sampai memekik. Orang yang
tengah mengamat-amati pusaka Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram itu seperti terpaku di
tanah. Ingatannya seperti kosong dari segala menghadapi serangan maut. Tatkala teringat akan keris pusaka, buru-buru ia mencoba menangkis. Tetapi kasep. Daun pintu dan gempuran Wirapati telah tiba berturut-turut. Diam-diam ia mengeluh bakal mampus seketika itu juga. Sekonyong-konyong gadanya tertolak ke samping. Ternyata salah seorang kawannya berani mengorbankan diri dengan menubruknya ke samping.
Meskipun ia terluput dari timpukan daun pintu tetapi hantaman Wirapati mengenai juga
perutnya. Seketika itu juga, ia terjungkal. Tetapi racun di dalam dirinya kian bergolak.
Penglihatannya makin lama makin kabur. Remang-remang ia melihat teman-teman orang itu.
Mereka mengepung dari samping. Segera ia menjejak kaki hendak mengirimkan gempuran. Tak
terduga, tenaganya seperti ter-lolosi. Dengan lemas lunglai kakinya menekuk ke tanah.
Penglihatannya terus menjadi gelap. Pada saat itu ia jadi tak sadarkan diri!
"Bangsat! Bangsat! Bunuhlah!" Terdengar jerit melengking. Itulah jerit orang yang kena hantaman Wirapati. Setelah sadar dari pingsannya, dengan melambung setinggi leher. Ia hendak bangkit, tetapi tenaganya punah.
"Tenangkan! Tenangkan! Meskipun susah kita memukulnya dia akan mati sendiri," sahut Panji Pengalasan. "Sekarang apakah yang akan kita lakukan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa bersusah payah memikirkan yang bukan-bukan. Bawalah dia kembali ke gunungnya.
Kita letakkan mayatnya di kaki gunung. Dengan begitu ia kan mati merem di alam baka," sahut yang lain. Dialah si tukang pancing yang kena dipentalkan Wirapati sam-pai tercebur ke dalam rawa.
"Nanti dahulu!" teriak Malangyuda. "Dia pernah menghantam dadaku di depan warung.
Terpaksalah aku menelan kekalahan itu demi rencana kita. Kini, biarlah aku mematahkan tulang-tulangnya sebelum masuk kubur.
Saat itu, perlahan-lahan Wirapati mulai sadar kembali karena kekuatan jasmaniahnya.
Mendadak saja, lengannya terasa diringkus orang. Krak! Krak! Lengan dan kakinya dipatahkan, la hendak menjerit kesakitan, tetapi mulutnya terbungkam. Ternyata ia telah menjadi bisu karena racun. Dan kembali ia pingsan tak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya.
Demikianlah maka apa yang terjadi tiada tiada dapat diingatnya kembali. Pada ke-esokkan
harinya, tatkala Sangaji turun gunung hendak menyusulnya, tubuhnya diketemukan di tepi jalan dekat kaki Gunung Damar. Betapa terkejut Sangaji tak terperikan. Cepat ia dibungkuki. Dibalik tubuhnya yang telah menjadi dingin, lapat-lapat terdengar detak jantungnya.
"Guru....! Guru....! Siapa yang menyiksamu?" jerit Sangaji.
Dengan hati berdebar tak karuan. Sangaji terus memapahnya. Wajah Wirapati nampak pucat.
Matanya terpejam. Ruas-ruas tulangnya berlumuran darah.
"Guru! Lihatlah.... Aku Sangaji.... murid-mu...." teriak Sangaji pilu.
Gugup pemuda itu terus lompat ke atas kudanya dan melarikan sepesat angin menuju ke
gunung. 22. MENUNTUT BALAS TENANG LUAR BIASA ADALAH KYAI KASAN KESAMBI. Menghadapi malapetaka demikian
besarnya tiada kesan sama sekali bahwa hatinya terguncang.
"Gagak Handaka! Tolong ambilkan air Kembang Wijayakusuma di dalam kamarku," katanya perlahan. Kemudian ia membungkuki tubuh Wirapati dengan berdiam diri. Tampak ia menghela napas. Wajahnya berkerut-kerut tetapi mulutnya membungkam. Setelah mere-nung sejenak,
tangannya memijat-mijat pelipis Wirapati berulang kali dengan disertai tenaga mukjizat.
Tamu-tamu semua tahu, bahwa ilmu mukjizat Kyai Kasan Kesambi sangat tinggi. Biasanya
meskipun napas seseorang telah tersekat beberapa waktu lamanya, apabila kena tangan Kyai Kasan Kesambi pasti dapat tersadar kembali. Tetapi kali ini sampai beberapa waktu lamanya, masih saja belum nampak hasilnya. Wirapati belum juga tersadar, meskipun sudah bernapas
lemah sekali. Semenjak Ranggajaya dan Bagus Kempong menjadi murid perguruan Gunung Damar, belum
pernah sekali juga melihat gurunya gugup seperti kali ini. Menghadapi segala pe-ristiwa betapa besarpun, gurunya tetap mem-perlihatkan ketenangannya. Kini, mereka memperlihatkan rasa
cemas. Maka tahulah mereka, bahwa Wirapati menderita suatu luka parah yang sangat berbahaya.
Tatkala itu Gagak Handaka sudah kembali dari kamar membawa botol air Kembang
Wijayakusuma. Air sakti ini dahulu diterima Kyai Kasan Kesambi dari sahabatnya almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I. Seperti diketahui, pengganti raja harus memiliki kembang tersebut sebelum naik tahta sebagai suatu adat turun-temurun. Kembang sakti tersebut diambil dari selat Cilacap pada sebidang batu karang yang bernama Singalodra. Barangsiapa meneguk air sakti itu akan bertambah umurnya. Apabila sedang sakit, akan cepat sembuh. Bahkan konon diceritakan, bahwa orang matipun akan dapat hidup kembali manakala belum sampai kepada takdir.
Dengan berdiam diri, Kyai Kasan Kesambi menerima botol tersebut yang tersumbat gabus
rapat-rapat. Dalam keadaan biasa, seseorang akan membuka gabus itu dahulu sebelum menuang airnya. Namun Kyai Kasan Kesambi dalam keadaan terguncang hatinya, melihat murid
kesayangannya terluka parah demikian rupa. Dengan tak sabar ia menyentil leher botol sehingga terpental hancur. Kemudian dengan gopoh diminumkan air sak-tinya. Tetapi air tersebut tak berhasil dimi-numkan, karena mulut Wirapati terkunci rapat dalam keadaan tak sadar pula.
Perlahan-lahan Kyai Kasan Kesambi meng-hela napas. Segera ia memijat-mijat tulang rahang Wirapati dengan ibu jari, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya mengurut-ngurut tulang dada. Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lama kemudian terbukalah mulut Wirapati. Begitu terbuka, Kyai Kasan Kesambi menuangkan air sakti dengan cepat. Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat bersuara lega melihat gurunya sudah berhasil meminumkan air sakti.
Sayang, air sakti tersebut tertahan di teng-gorokan. Agaknya daging bagian rongga dada sudah menjadi kaku. Cepat Gagak Handaka dan Ranggajaya memijat urat leher. Sedangkan Bagus
Kempong dan Suryaningrat memijat-mijat ibu jari kaki. Ibu jari kaki, urat leher dan jantung merupakan jalan darah yang berhubungan langsung. Seseorang yang lagi tidur lelap atau jatuh pingsan akan cepat tersadarkan apabila terpijat ibu jari kakinya.
Waktu itu Sangaji telah sadar kembali. Begitu melihat kesibukan, segera ia berteriak minta penjelasan.
"Eyang Panembahan! Apakah Guru dapat tertolong!"
Tetapi Kyai Kasan Kesambi tidak men-jawabnya. Hanya berkata seperti mengguna.
"Aji! Tiap orang pasti akan kembali. Siapakah manusia yang pernah hidup ini tidakkan mati?"
"Hm... karena urusan Bende Mataram semata?" Sangaji berteriak. Tubuhnya menggigil menahan amarah yang meluap-luap.
Mendengar tanya jawab antara Sangaji dan Kyai Kasan Kesambi, semua tetamu merasa tak
enak hatinya. Segera mereka memohon diri kepada Kyai Kasan Kesambi. Mereka tahu bahwa anak murid Gunung Damar takkan tinggal diam saja. Dan kalau sampai Kyai Kasan Kesambi ikut
campur, alangkah hebat. Gagak Handaka mewakili gurunya mengan-tar mereka dengan wajah suram. Rombongan
Raden Ayu Kistibantala adalah rombongan tetamu yang terakhir bermohon diri. Dengan sedih Raden Ayu Kistibantala menghampiri Suryaningrat sambil berkata perlahan. "Kangmas
Suryaningrat, aku akan pulang... jagalah dirimu baik-baik. Suryaningrat... Suryaningrat adalah salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang terhalus perasaannya. Tatkala melihat kecemasan gurunya, diam-diam ia mulai putus asa. Tak terasa air matanya memenuhi kelopaknya. Maka
begitu mendengar suara kekasihnya, dengan mendongak ia memaksa diri hendak menjawab.
Namun hatinya terlalu sedih, sehingga dengan tak sadar ia berkata menuduh.
"Jadi... engkaupun... engkaupun juga datang kemari untuk mencari keterangan tentang pusaka sakti Bende Mataram?"
"Ti... tidak," sahut Raden Ayu Kistibantala cepat.
"Memang kami telah menerima laporan, bahwa pusaka sakti tersebut berada di Gunung Damar.
Kami hanya diutus Sri Sultan Hamengku Buwono II, mempersaksikan belaka. Di kemudian hari, mengingat persahabatan antara Kyai Kasan Kesambi dan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II akan memberanikan diri untuk merundingkan. Bagaimana corak dan bunyi perundingan itu, sama sekali bukan urusanku."
"Ha... bagus!" tiba-tiba Sangaji berseru. "Guru kini dalam keadaan tak sadar. Untuk memaksa agar mengaku, bukanlah lebih mudah?"
Terang sekali, ucapan Sangaji tercetus dari lubuk hati yang sedang sedih bercampur dendam.
Meskipun demikian, ucapannya pedas luar biasa sehingga wajah Raden Ayu Kisti-bantala merah sekaligus.
Cepat-cepat Suryaningrat berkata, "Apa perlu mendengarkan ucapan seorang yang masih berbau kanak-kanak" Tetapi andai-kata... pihak lain menggunakan hubungan kita ini, rasanya aku pun terpaksa akan menolak. Mengertikah engkau?"
Raden Ayu Kistibantala mengangguk, kemudian bermohon diri dengan diikuti rom-bongannya.
Dan pendopo padepokan Gunung Damar kini menjadi sunyi menakutkan. Tiada yang berkutik atau bersuara, kecuali perna-pasan Kyai Kasan Kesambi yang terdengar berat menusup ke rongga dada Wirapati.
Semua anak murid Gunung Damar tahu, bahwa gurunya sedang membantu pernapasan
Wirapati agar memperoleh kesadaran. Keringat gurunya sampai nampak merembes ke bajunya.
Dan tak lama kemudian terdengar Wirapati menjerit sangat keras, sehingga hati Sangaji tergetar.
Inilah suara jeritan yang tertahan, Tatkala Malangyuda mematahkan ruas-ruas tulangnya.
Wajah Kyai Kasan Kesambi tetap memperli-hatkan kesan beku. Tak dapat mereka mem-baca
hatinya apakah dia sedang duka atau bersyukur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus Kempong, Suryaningrat! Papahlah Wirapati ke dalam kamarku!" Tiba-tiba Kyai Kasan Kesambi memberi perintah.
Bergegas, Bagus Kempong dan Surya-ningrat memapah Wirapati ke dalam kamar Kyai Kasan
Kesambi. Tak lama kemudian, Suryaningrat telah muncul kembali. Segera bertanya kepada
gurunya. "Guru! Apakah ilmu sakti Kangmas Wirapati akan dapat dipulihkan?"
Kyai Kasan Kesambi nampak berenung-renung mendengar pertanyaan murid bungsunya.
Sejenak kemudian menjawab sambil menarik napas.
"Apakah nyawanya dapat diselamatkan masih merupakan suatu teka-teki bagiku. Tunggulah satu bulan lagi! Kita akan memper-oleh jawabannya. Ruas-ruas tulangnya agak-nya belum patah sama sekali. Hanya terkena suatu bisa keji luar biasa sehingga menyekat jalan darahnya. Apabila ke-208 tulang sam-bungnya kena tersekat bisa tersebut, meskipun tertolong kakakmu akan
lumpuh juga. Karena itu, kewajiban kita adalah meng-usir bisa dari dalam tubuhnya. Kalau perlu kita pangkas salah satu anggota tubuhnya. Seorang laki-laki kehilangan sebelah tangan atau kakinya, bukanlah berarti tiada guna lagi."
Semua yang mendengar keterangan Kyai Kasan Kesambi terharu bukan kepalang. Suryaningrat
sekaligus berlinang-linang, sedangkan Sangaji terus saja menangis sedih. Pemuda ini teringat akan gurunya tatkala masih segar bugar berangkat dari Jakarta ke wilayah Jawa Tengah. Betapa
perkasa dia. menurut Sangaji tiada yang menyamai.
"Guru!" Gagak Handaka berkata dengan dahi mengerinyit. "Sesungguhnya, siapakah yang menganiaya Adinda Wirapati demikian keji" Pendekar gagah manakah yang terang-terangan
memusuhi kita?" Dengan menggeleng-gelengkan kepala Kyai Kasan Kesambi menjawab, "Seorang pendekar
gagah atau ksatria sejati, tidak menggunakan bisa atau racun begini keji. Menang atau kalah dalam suatu pertempuran adalah layak. Dan tiap ksatria atau pendekar akan menerima
kekalahannya dengan wajar dan hati terbuka."
"Jika dia penyamun atau perampok, Masakah bisa menganiaya Adinda Wirapati?"
"Handaka! Jangan engkau terlalu mem-banggakan pamor perguruan sendiri. Di dalam hidup ini banyak terjadi hal-hal yang berada di luar dugaan kita."
Mendengar tutur-kata Kyai Kasan Kesambi, Gagak Handaka terdiam. Di dalam hatinya ia kagum kepada ketinggian budi gurunya. Terang sekali bahwa gurunya terkenal sebagai tokoh utama tujuh orang sakti pada zaman itu. Meskipun demikian, tak pernah memandang rendah perguruan-perguruan lainnya. Tiba-tiba Suryaningrat berkata nyaring. "Guru! Kangmas Wirapati pernah mengisahkan pengalamannya tentang senjata rahasia Pangeran Bumi Gede. Apakah Kangmas
Wirapati terkena senjata rahasianya?"
Kyai Kasan Kesambi termenung-menung. Teringatlah dia kepada pengalamannya zaman
mudanya. Di pantai Selatan, bermukimlah seorang sakti bernama Rajapideksa, karena dia memiliki dua ilmu kebal bernama Rajapideksa dan Gondawijaya. Kecuali itu, dia pandai membuat racun ramuan-ramuan bisa ular yang banyak terdapat di wilayah Gunung
Kidul. Dahulu pada zaman Giyanti, banyaklah pembunuh kompeni Belanda dengan senjata
racunnya. Itulah sebabnya pula, Kyai Kasan Kesambi melarang anak muridnya menggu-nakan
suatu perkelahian dengan menggu-nakan senjata beracun. Tetapi masakan orang sakti itu masih hidup" Sedangkan waktu Perang Giyanti, umurnya sudah lanjut. Apakah anak muridnya atau cucu muridnya yang meneruskan warisan kepandaiannya" Apabila benar, alangkah hebat. Dan jika dia mewartakan dugaannya itu kepada sekalian anak muridnya sudah tentu mereka akan menuntut
balas. Seumpama bukan anak murid Rajapi-deksa yang melukai Wirapati, pastilah akan terjadi suatu permusuhan besar di kemudian hari. Suatu malapetaka yang berpangkal kepada tuduh
menuduh takkan ada habisnya.
Melihat Kyai Kasan Kesambi berdiam diri itu. segera Suryaningrat yakin bahwa dugaannya tak salah. Ia menegas lagi, "Apabila bukan Pangeran Bumi Gede, siapakah lagi yang mempunyai senjata berbisa begini keji?"
"Membuat senjata racun tidaklah mudah. Kadangkala seseorang membutuhkan kete-kunannya sepanjang hidupnya," jawab Kyai Kasan Kesambi. Kemudian terdiam lagi de-ngan berenung-renung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekonyong-konyong, Sangaji yang selama itu hanya menangis terisak-isak melompat tinggi dan kemudian melesat ke luar pendapa. Ia menghampiri sebatang pohon dan dengan ilmu sakti
Kumayan Jati ia merobohkan de-ngan sekali pukul. Lalu berteriak, "Eyang Panembahan! Apakah aku belum mampu menuntut balas Guru" Apakah musuh-musuh Guru yang menganiayanya jauh
lebih sakti daripada pukulanku?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Surya-ningrat terkejut melihat pukulan itu. Sama sekali
mereka tak menduga, bahwa bocah itu dapat memukul sebatang pohon sekali roboh. Hanya
Bagus Kempong yang nampak tenang, karena dia telah mengenal kemampuan Sa-ngaji tatkala
bertanding melawan Pringgasakti.
Kyai Kasan Kesambi mengawaskan seben-tar, kemudian berdiri dan masuk ke dalam kamarnya.
"Bagus Kempong!" katanya. "Aku membu-tuhkan pemikiranmu. Peristiwa ini benar-benar sulit untuk menentukan siapakah penganiaya adikmu."
Dalam hal menentukan sikap Kyai Kasan Kesambi selalu mengajak Bagus Kempong
memecahkan tiap persoalan. Bagus Kempong seorang pendiam, tetapi pandai menentukan sikap dan langkah-langkah selanjutnya. Sewaktu bersama Wirapati dihadang oleh gerombolan
petualang, dia telah membuktikan kesanggupannya. Maka begitu mendengar kata gurunya, segera menjawab sambil ber-jalan mengiringi.
"Sepak terjang Adinda Wirapati cukup berhati-hati dan waspada, meskipun hatinya usilan apabila menjumpai suatu peristiwa. Hatinya terbuka dan senang menerima suatu persahabatan.
Kukira, Adinda Wirapati menjadi korban dari ke lapangan hatinya sendiri. Sebab apabila
berlawanan dengan terang-terangan, tidaklah gampang menjatuhkan dirinya. Guru sendiri memuji kecerdikan dan kecermatannya."
Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut kecil menyetujui sambil memasuki ambang pintu.
"Ruas tulang yang terpatahkan, kukira hanya terjadi setelah dia kena bisa. Soalnya kini, siapakah yang meracuni dirinya" Tentang sebab musababnya terang benderang. Orang yang
meracunnya ingin memiliki kedua pusaka sakti Bende Mataram," Bagus Kempong menyambung.
"Hm, apakah engkau menduga lebih dari seorang?"
"Pasti. Nampak sekali bahwa yang meracuni dan yang mematahkan tulang-tulangnya
mempunyai kepentingan masing-masing."
"Hm, jika begitu, bantulah aku merawat adikmu. Sifat racun itu luar biasa anehnya. Sampai kini, belum dapat kuketahui obat pemunahnya. Dalam tubuhnya terdapat beberapa bintik-bintik bekas kena timpukan. Apabila yang menimpukkan senjata beracun bukan seorang yang
berkepandaian tinggi, masakah adikmu tak mampu mengelakkan?"
Sehabis berkata demikian, terus saja Kyai Kasan Kerambi memasuki kamar dengan diiringi
Bagus Kempong. Gagak Handaka, Ranggajaya dan Suryaningrat kembali ke kamarnya
masingmasing menghempaskan diri. Sedangkan Sangaji tetap berada di pekarangan dengan hati masgul luar biasa.
"Eyang tak mau menjawab seruanku. Apakah kepandaian musuh Guru jauh di atasku?" kata hatinya.
Sangaji adalah seorang pemuda yang seder-hana dan tak pandai berpikir berbelit-belit apalagi begitu rumit. Meskipun demikian kali itu dia memeras otaknya benar-benar, karena besarnya dendam yang berkecamuk dalam hatinya. Namun, karena otaknya tak pandai melayani kehendak hatinya, ruang benaknya tetap gelap gulita. Akhirnya, dia jengkel dan tiba-tiba menyalahkan diri sendiri membiarkan gurunya mengambil pusaka warisan.
"Guru! Mengapa engkau begitu bersusah payah untukku semata?" ia mengeluh sedih.
Dengan wajah berkerut-kerut ia duduk di atas batang pohon yang tadi kena dihajarnya roboh.
Hatinya pepat, tak tahu lagi apakah yang hendak dilakukan. Mendadak saja teringatlah dia kepada Titisari, sahabatnya yang otaknya serba pandai. Pikirnya, ah! Andaikata Titisari berada di sini...
aku percaya musuh Guru akan terpecahkan.
Semenjak bertemu di Cirebon ia telah menaruh kepercayaan besar terhadap Titisari. la percaya, betapa sulit suatu teka-teki pasti akan dapat terpecahkan.
Waktu itu matahari hampir mendekati garis lintang. Sebentar lagi matahari akan terbenam
benar-benar. Kemudian suara adzan terdengar mengaung-aung menukik ke angkasa. Memang di
sekitar lembah Loano, penduduk beragama Islam dan melakukan wajib agama dengan sungguhTiraikasih Website http://kangzusi.com/
sungguh. Itulah sebabnya, maka kentong tanda waktu Magrib bertalu bersambungan dari desa ke desa. Seluruh alam lantas terasa damai tenteram. Tetapi hati Sangaji tidaklah demikian. Berbareng dengan tenggelamnya matahari, kerisauannya makin bergolak tiada hentinya.
Ia menoleh ke arah pendapa. Para cantrik mulai menyalakan pelita. Suasana kelap-kelip
menambah kepepatan hatinya.
Tiba-tiba Gagak Handaka muncul di serambi depan. Melihat Sangaji duduk termenung di
pekarangan, segera ia memanggilnya. Murid tertua Kyai Kasan Kesambi terkenal sebagai seorang murid pendiam. Baik kepandaian maupun kewibawaannya tiada yang melebihi. Semua adik-adik seperguruannya tiada yang berani membantah setiap keputusannya. Maka begitu Sangaji
mendengar suaranya, tanpa dikehendaki terus saja menghampiri seolah-olah kena suatu daya kekuatan gaib.
"Masuklah!" perintah Gagak Handaka pendek.
Sangaji teruis memasuki kamar. Dia mencoba menidurkan diri dan menolak makan malam.
Tetapi sampai larut malam matanya tak mau dipejamkan karena diamuk rasa duka dan marah.
Sesudah gulang-guling tak keruan juntrungnya, diam-diam ia bangun. Besar hasratnya hendak menjenguk keadaan gurunya. Karena paman-pamannya akan mencegahnya, maka dengan
berjingkat-jingkat ia mendekati kamar eyang gurunya.
Tatkala sampai di serambi belakang yang menyekat kamar-kamar pamannya dan kamar eyang
gurunya, ia melihat seorang berperawakan tegap tinggi berdiri tegak di te-ngah kegelapan. Itulah eyang gurunya, Kyai Kasan Kesambi. Cepat ia bersembunyi di balik tiang dengan hati berdebar-debar. Ia merasa serba salah. Hendak kembali ke kamarnya, pasti akan diketahui. Apabila tetap bersem-bunyi harus berani menahan napas selama mungkin dan menipiskan secermat mungkin.
Tak lama kemudian, ia melihat Kyai Kasan Kesambi berjalan mondar mandir. Setiap kali ia
menggores udara dengan tangan kanannya seolah-olah sedang menulis. Diam-diam Sangaji heran menyaksikan hal itu. Apakah eyang gurunya jadi gendeng karena memi-kirkan muridnya" Ah,
bagaimana mungkin! Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia mengamat-amati dengan
saksama dan cermat.

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatkala itu Kyai Kasan Kesambi telah mencorat-coret beberapa kali di udara. Terdengar ia menarik napas panjang seperti seseorang lagi menghempaskan diri karena sedih hati. Kemudian berjalan berputar-putar sambil merenung. Sejurus lagi, tangannya bergerak dan bercorat-coret kembali. Kali ini bergerak dengan perlahan dan hati-hati. Diam-diam Sangaji terkesiap tatkala mengamat-amati. Terang sekali, bahwa eyang gurunya sedang menulis huruf-huruf di udara,
sayang sekali tak dapat ia membacanya, karena hurufnya bukan latin. Tetapi huruf Jawa seperti kebanyakan orang-orang tua pada zaman itu.
Eyang Panembahan lagi menulis apa" Pikir-nya dalam hati. Apakah dia sedang menulis suatu pesan" Pesan apa"
Memperoleh pikiran demikian, cepat ia menjelajahkan matanya. Yakinlah dia bahwa kecuali
dirinya pasti ada salah seorang paman gurunya yang berada di sekitar tempat itu, tetapi
keadaannya lengang sunyi.
"Baiklah! Biar kuhafalkan sebisa-bisaku. Esok akan kuulangi di depan paman guru, bukankah aku akan ikut mengerti" pikirnya lagi. Mendadak ia melihat suatu perubahan. Tangan eyang gurunya dengan perlahan-lahan mencoret suatu huruf latin. Bunyinya: SURADIRA JAYANINGRAT
LEBUR DENING PANGASTUTI. "Hai!" Sangaji terkejut. "Apakah Eyang Guru sedang memikirkan peristiwa Guru" Agaknya Eyang Guru yakin, bahwa betapa perkasa suatu kejahatan akan lebur juga oleh suatu kebaikan.
Ih! Jangan-jangan Eyang Guru sedang menciptakan suatu ilmu bergerak dan bertahan untuk
menghancurkan suatu kebiadaban, ya, siapa tahu!
Memperoleh pikiran demikian, teringatlah dia kepada gurunya yang luka parah. Maka rasa
dendamnya sekaligus berkecamuk hebat dalam dirinya sampai wajahnya menjadi tegang luar
biasa. Karena dendam itu pulalah, maka seluruh perhatiannya terpusat untuk suatu tujuan
menuntut balas. Cepat ia mengamat-amati gaya coretan Kyai Kasan Kesambi yang makin lama
makin galak dan terang sekali merupakan suatu jurus pukulan dan tangkisan. Sayang sekali, kali ini gaya tulisannya huruf Jawa, sehingga Sangaji jadi kelabakan. Tetapi terdorong oleh kekerasan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hati hendak menuntut dendam, mendadak saja otak pemuda itu yang biasanya tumpul jadi tajam luar biasa bagai sebuah belati mengke-rat-kerat sebuah benda ulat.
Sesungguhnya, Kyai Kasan Kesambi kala itu sedang menulis 20 huruf Jawa berikut huruf
sandang berulang-kali. Kemudian menyusun huruf-huruf tersebut menjadi istilah-istilah kata penghancur terhadap tiap butir kehendak nafsu, seperti Wisa Kontaling Maruta, Anjrah jroning Kalyun, Wedaring wacana Mulya, Gedongmineb jroning Kalbu, Sotya sinara wedi,
Tirtosahingsasana, Sotya murca saking embanan, Bantala rengka, Suta manut mring bapa, Waspa kumembeng jroning kalbu, Pancuran emas sumawur ing jagad, Rasa mulya kasucian, dan
bermacam-macam semboyan lainnya. Sekali lagi amatlah sayang, karena Sangaji tak dapat
membaca huruf-hurufnya. Andaikata pandai membaca, pastilah hatinya akan terharu melihat
betapa besar cinta kasih eyang gurunya terhadap gurunya. Orang tua itu yang sudah lama tak pernah memperlihatkan kepandaiannya, mendadak saja pada hari itu memperlihatkan giginya
bagaikan seekor harimau mondar-mandir dalam kerangkeng jebakan. Inilah suatu ilmu sakti hasil pengendapan diri selama bertekun dua belas tahun dalam kamarnya semenjak Wirapati hilang tiada kabarnya.
Biasanya Gagak Handaka dan Ranggajaya mewakili dia memberi pelajaran terhadap ketiga
murid lainnya. Dengan demikian, secara kebetulan Sangaji memperoleh ajaran ilmu sakti langsung dari Kyai Kasan Kesambi seorang tokoh utama dari tujuh orang sakti pada zaman itu.
Demikianlah, Kyai Kasan Kesambi waktu itu terus bergerak tiada hentinya mengulangi huruf-huruf yang sudah ditulisnya di udara. Oleh ulangan itu, lambat-laun tahulah Sangaji bahwa istilah huruf yang ditulisnya berjumlah 72 coretan. Dalam waktu kurang lebih tiga jam selesailah sudah.
Sekonyong-konyong Kyai Kasan Kesambi bersiul panjang dan mengakhiri ulangan tulisannya yang terakhir.
"Aji! Bagaimana pendapatmu tentang tulisanku yang kutulis dengan huruf Jawa?" Mendadak dia bertanya kepada Sangaji sambil merenung dikejauhan.
Sudah barang tentu, Sangaji terkejut bukan kepalang, sama sekali tak diduganya bahwa tanpa menoleh sedikitpun, eyang gurunya telah mengetahui kehadirannya, lantas teringatlah dia, bahwa pamannya Bagus Kempong saja bisa mendengar napas seseorang yang bersembunyi di balik
belukar dan gerak gerik Suryaningrat yang bersembunyi di balik mahkota pohon. Apalagi Kyai Kasan Kesambi. Memperoleh ingatan ini diam-diam ia mengutuki kegoblokannya. Maka dengan
merasa serba salah ia lantas berdiri tegak sambil menjawab, "Sungguh! Malam ini aku sangat beruntung dapat menyaksikan ilmu kepandaian Eyang Panembahan yang tiada taranya. Hanya
saja aku, tak mengerti huruf Jawa sehingga tak pandai membaca atau menilai, apakah aku
diperkenankan memanggil paman-paman guru agar mereka dapat menilai gaya tulisan Eyang
Panembahan?" "Tak perlu lagi. Hasrat untuk menulis sudah padam. Biarlah di kemudian hari, mereka membicarakan hal ini. Lagi pula mereka tak mengenal seni sastra," ujar Kyai Kasan Kesambi.
Kemelut Kerajaan Mancu 8 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Payung Sengkala 11

Cari Blog Ini