Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 41

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 41


Dadang Wiranata segera menerjang, la bermaksud mencegat larinya pendeta itu dengan
sebatang golok. Namun sekali berkelebat, golok pusakanya kena terjang pedang Sangga Buwana.
Malahan lengannya hampir-hampir saja kena terbabat puntung pula. Cepat ia mundur, untuk
mengulangi suatu serangan kembali. Tetapi pendeta itu sudah kabur turun gunung.
Sangaji segera melesat memburu. Ingin ia menawan pendeta itu, apa sebab pedang pusaka
Sangga Buwana bisa berada di tangannya. Pada saat itu, tiba-tiba ia mendengar suara jerit melengking. Hatinya terkesiap, karena ia mengenal suara jeritan itu. la menoleh. Di antara berkelebatnya sebatang pedang yang terpental di udara, nampaklah Manik Angkeran menerjang maju dengan tangan kosong.
Melihat Manik Angkeran dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi Sangaji terus menghampiri.
Tiba-tiba ia disambut oleh suatu serangan serentak. Sedikit mengelak, Sangaji luput dari serangan itu. Tangannya menyambar dan dua orang penyerang kena ditangkapnya. Setelah dilemparkan ke samping, ia terus memburu menuruni lereng gunung.
Di balik lereng itu, Manik Angkeran sedang bertempur melawan seorang berperawakan tinggi besar. Orang itu bersenjata sebatang kapak raksasa. Tujuan serangannya hendak membinasakan seseorang yang jatuh terteng-kurap luka parah. Namun setiap kali kapaknya hendak membelah tubuh orang itu, selalu saja kena dirintangi Manik Angkeran.
Lambat laun orang itu mendongkol. Kapaknya terus saja berputar ke arah Manik Angkeran.
Karena Manik Angkeran tidak bersenjata, terpaksalah pemuda itu bermain mengelak sambil
berusaha melindungi orang yang luka parah.
Sekali melompat, Sangaji sudah tiba di depan mereka.
Tangannya mengibas dan kapak raksasa tertahan di udara. "Berhenti!" katanya. . Orang itu tertegun sejenak. Kemudian kapaknya turun tiba-tiba dengan sangat deras. Sedikit mengelak Sangaji terluput dari serangan dahsyat. Tangan kirinya mengibas dan sasaran kapak raksasa meleset menghantam batu pegunungan. Begitu hebat tenaga orang itu, sampai mata kapaknya
meliuk melingkar menjadi bulat. Sudah barang tentu, orang itu kehilangan keseimbangan.
Lengannya terasa menjadi nyeri luar biasa seakan-akan tenaganya tidak sanggup mengangkat kapaknya kembali. Dan kesempatan sebagus itu dipergunakan Manik Angkeran sebaik-baiknya, terus saja ia menghantam kening orang itu. Tanpa ampun lagi, orang itu tewas setelah
bergulungan menuruni lereng.
"Kau tidak apa-apa, bukan?" Sangaji menegas.
"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Manik Angkeran. "Aku terpaksa membunuhnya, karena dia hendak membunuh saudara kita yang luka oleh pedang Sangga
Buwana." "Hai! Apakah dia mencoba menghadang larinya pendeta itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku kurang pasti," jawab Manik Angkeran. "Aku hanya melihat ia lari mendaki dengan membabi buta sambil memanggil-manggil namamu."
"Memanggil-manggil namaku?" Sangaji heran.
"Ya. Dan tiba-tiba ia berlintasan dengan larinya Paman Tatang Manggala."
"Hai, Tatang Manggala?" Sangaji bertambah heran. "Apakah maksudmu pendeta itu?"
"Ya! Siapa lagi kalau bukan Paman Tatang Manggala" Dialah adik seperguruan guruku yang mengabdikan diri kepada kerajaan Banten," kata Manik Angkeran dengan suara segan.
Sangaji tertegun sejenak. Mendadak orang yang tertengkurap itu mengerang kesakitan. Ia
seperti tersadar dan segera melompat menghampiri. Begitu mengenal mukanya, hatinya seperti terpukul. Sebab dialah pendekar Kosim yang lenyap tatkala ia sedang menghadapi barisan Jala Sutera Indrajaya.
Sesungguhnya setelah dapat mengatasi kaum penyerbu, hendak mengusut tentang lenyapnya
Kosim. Tetapi berhubung keadaan tidak memungkinkan ditambah pula perkembanganperkembangan yang menyangkut dirinya, hampir-hampir pemikiran itu luput dari perhatiannya.
Karuan saja begitu melihat Ko-sim teriuka parah, gugup ia berkata memerintah kepada Manik Angkeran.
"Manik Angkeran! Apakah masih ada harapan?"
Semenjak Kosim menyebut-nyebut nama Sangaji, Manik Angkeran sudah menaruh perhatian
sehingga ia memberanikan diri untuk melindungi. Kini, jangankan sudah mendapat perintah
Sangaji, seumpama tidakpun, ia akan bekerja sedapat mungkin untuk menolongnya. Maka terus saja ia bertindak cepat membendung mengalirnya darah. Ternyata pedang Sangga Buwana hanya memapas pergelangan tangannya.
Dengan terjadinya peristiwa itu, Sangaji gagal memburu Tatang Manggala yang kini sudah
lenyap ditelan kegelapan malam. Namun dengan lenyapnya Tatang Manggala, lumpuhlah semua
perlawanan musuh. Mereka kena dibinasakan atau tertawan.
"Mana anakku Sangaji" Mana dia?" tiba-tiba terdengar Kosim berseru tinggi. Rupanya dia telah memperoleh kesadarannya. Dan begitu sadar, teringatlah dia kepada pengucapan hatinya.
"Ya, aku Sangaji," sahut Sangaji mendekatkan diri.
Kosim membuka matanya lebar. Ia berbimbang-bimbang. Sejenak kemudian barulah ia yakin.
Terus ia berkata girang, "Anakku... saudaraku Sangaji... Aku mendengar kabar... kau sudah berhasil... syukurlah... Sekarang tak berani lagi aku memanggilmu dengan engkau atau saudara.
Kau adalah ketua kami... raja kami... Karena itu, perkenankan aku..." sampai di situ, ia berusaha bangkit hendak melakukan sembah.
"Paman Kosim!" Sangaji mencegah cepat-cepat. "Janganlah terlalu memegang peradatan teguh-teguh. Biarlah aku tetap memanggilmu Paman. Apa sih bedanya hari kemarin dan
sekarang." "Tidak Gusti. Paduka adalah raja hamba." Kosim malah menjadi kukuh.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba Sangaji menghela napas, la seperti orang yang dipaksa
menempati dunia baru dengan tak dikehendaki sendiri. Dan dunia baru itu membuat dirinya
seakan-akan kehilangan kebebasannya seperti sedia kala. Itulah disebabkan oleh kesederhanaan dan kemuliaan hatinya yang selamanya tidak pernah dihinggapi suatu angan-angan besar.
"Gusti!" kata Kosim lagi memaksa diri. "Hamba dahulu tiba-tiba kena disergap orang tanpa dapat melakukan perlawanan. Hamba dibawa memasuki perkemahan. Ternyata... ternyata...
kepergian Gusti Sangaji selama beberapa hari, membuat tunangan paduka gelisah. Ia minta
bantuan ayahnya menjejak kepergian paduka... Bangsat tua yang membawa-bawa pedang
itulah... yang menunjukkan kemana paduka berada. Katanya, dia pernah mengadu tenaga dengan paduka dise-buah pertapaan..."
Mendengar keterangan Kosim, hati Sangaji tergetar. Memang ia sudah mempunyai prasangka
tentang ikut sertanya kompeni Belanda mendaki Gunung Cibugis. Tetapi tidaklah menyangka
menyangkut persoalan pribadinya. Ia hanya tahu bahwa kompeni memang mempunyai
kepentingan dalam menghancurkan Himpunan Sangkuriang. Sekarang ternyata, kompeni datang
karena dirinya. Inilah suatu masalah pelik lagi. Kalau ia sudah berpihak terang-terangan pada kaum pejuang Jawa Barat, betapa bisa kembali memasuki Jakarta dengan aman tenteram"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Padahal ibunya masih berada di sana, tak ubah seorang tahanan yang dijadikan sandera11)
baginya. 11) jaminan. "Ah!" sekonyong-konyong Manik Angkeran terkejut. "Sekarang tahulah aku, apa sebab Paman Tatang Manggala tiba-tiba terlontar ke udara sewaktu hendak meringkus diriku. Ternyata Paduka yang menolong hamba dengan diam-diam..."
"Manik Angkeran! Kau ikut-ikutan pula memanggilku dengan sebutan paduka segala?"
"Mengapa tidak" Kalau raja-raja muda yang usianya dua kali lipat daripadaku memanggilmu gusti dan paduka seraya membungkuk sembah, apa alasanku untuk memungkiri" Lagipula Paduka benar-benar patut kusembah dan kupatuhi."
Mendengar ujar Manik Angkeran, sekali lagi Sangaji menghela napas. Makin dirasakan makin terasa hatinya menjadi risih. Sekonyong-konyong teringatlah dia kepada ucapan Titisari di selatan Pekalongan. "Sekiranya" Engkau jadi raja... hm ... berapa jumlah permaisurimu?" Waktu itu dia memotong dengan suara tinggi, "Raja" Raja apa" ..." Dan ternyata ucapan Titisari mendekati suatu ramalan yang benar. Sekalipun dalam dirinya tiada terbetik suatu pengucapan sebagai raja, tetapi kenyataannya ia kini disembah-sembah dan di sebut sebagai raja juga.
Malam hari itu merupakan hari kemenangan
Himpunan Sangkuriang untuk yang pertama kalinya, setelah memperoleh ketua yang baru.
Maka tidaklah mengherankan, bahwa dalam tiap dada anggota Himpunan Sangkuriang timbullah suatu kepercayaan kokoh bahwasanya ketuanya yang baru itu membawa lambang kejayaan serta menjanjikan zaman keemasan.
Pada keesokan harinya, mereka membangunkan kembali gedung-gedungnya yang runtuh
secara bergiliran. Tidak mengenal letih dan bersemangat gotong-royong. Dalam pada itu, para raja muda berkumpul menghadap Sangaji. Tiba-tiba Andangkara berdiri tegak dan berseru lantang.
"Dengarkanlah hai laskar panji-panji Garuda! Aku adalah pemimpinmu yang mengasuh kalian lebih dari dua puluh tahun. Tapi ketahuilah, bahwa panji-panji Garuda sesungguhnya diilhami bendera sakti Himpunan Sangkuriang. Karena timbulnya suatu percekcokan, aku membawamu
memisahkan diri. Kini, Himpunan Sangkuriang sudah memperoleh ketuanya yang baru. Itulah
Gusti Sangaji. Maka sudah sepantasnyalah, kita kembali bersatu padu. Bersujud dan patuh kepada ketua kita. Karena itu barang siapa yang menyebutku dengan gusti aku kutuki dia. Kalau perlu kuhukum dengan tanganku sendiri. Aku hanya menghendaki seorang saja yang berhak disebut
gusti. Itulah Gusti Sangaji. Atau sebutlah lebih mudah lagi, Gusti Aji. Siapa di antara kalian tidak mau menerima anjuran dan ajakanku ini, silakan pergi dari hadapanku!"
Ucapan Andangkara di terima oleh suara sorak-sorai bergemuruh. Terdengar kemudian teriakan sambung-menyambung.
"Hidup Gusti Aji! Hidup Gusti Aji!"
"Bagus!" seru Tatang Sontani. "Akupun melarang siapa saja menyebutku dengan gusti.
Sebaliknya aku hanya mengakui seorang gusti. Itulah ketua kita yang baru, hidup Gusti Aji!"
Mendengar ucapan Tatang Sontani, raja muda lainnya tidak mau ketinggalan. Mereka-pun
menganjurkan kepada laskarnya masing-masing agar menyokong pernyataan kedua raja muda
tersebut. Maka suara sorak-sorai bertambah bergemuruh seumpama membelah angkasa.
Mau tak mau, Sangaji terpaksa menyambut.
"Aku sangat berbahagia, karena seluruh himpunan kini sudah kembali bersatu-padu seperti sedia kala. Beberapa hari yang lalu, aku menerima jabatan ketua karena terpaksa. Mengingat kita sedang menghadapi saat-saat genting. Kini musuh sudah terbasni. Sudah selayaknya, kuserahkan jabatan ketua kembali kepada para raja muda agar memilih ketua baru yang tepat. Di dalam Himpunan Sangkuriang banyak terdapat ksatria-ksatria gagah perkasa. Sebaliknya usiaku masih sangat muda. Lagipula aku mempunyai persoalan pribadi yang sulit untuk dibicarakan di sini.
Dengan sesungguhnya, tak berani aku menduduki jabatan seagung ini."
Raja muda Otong Surawijaya yang selamanya berbicara tanpa tedeng aling-aling12) terus saja berteriak nyaring.
"Gusti Aji! Setiap orang mempunyai persoalan pribadi. Hamba percaya, bahwa persoalan pribadi Paduka sangat rumit dan pelik. Namun hendaklah Paduka sudi memikirkan "keselamatan kami.
Karena urusan jabatan ketua, kami terpecah-belah. Kami berantakan serta saling membunuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akhirnya, kami semua kini telah tunduk dan patuh kepada Paduka. Bila Paduka menolak, silakan Paduka memilih seorang ketua baru sebagai pengganti Paduka. Tetapi hmm tak peduli siapa dia, hamba Otong Surawijaya yang pertama-tama tak sudi tunduk kepadanya. Sebaliknya, apabila
hamba yang Paduka pili... pastilah raja-raja muda lainnya betapa sudi tunduk kepada hamba ..."
12) Terang-terangan. "Ya, Gusti Aji. Ucapan Otong Surawijaya benar belaka," sambung raja muda Walisana. "Kalau paduka menolak tugas penting ini, pastilah Himpunan Sangkuriang akan terpecah-belah lagi.
Saling bermusuhan dan saling bunuh-membunuh. Manakala sudah terjadi begitu, apakah kami lalu harus memohon kembali bantuan Paduka?"
Benar juga, pikir Sangaji. Setiap orang pasti mempunyai persoalan pribadi. Besar kecilnya persoalan itu, sesungguhnya tergantung kepada kedewasaan hatinya. Teringat akan persoalan itu berbagai masalah merasuk ke dalam benaknya. Titisari, Sonny de Hoop, ibunya, kompeni dan kini ditambah masalah Himpunan Sangkuriang. Dan teringat Titisari, teringatlah dia kepada
sumpahnya di hadapan keris sakti Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Bahwasanya dia akan mengamalkan warisan pusaka-pusaka itu untuk kebajikan sesama hidup. Bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dan teringat akan sumpah itu, lantas saja dia memperoleh bentuk keputusan. Katanya kemudian, "Baiklah jika paman sekalian begitu mempercayai aku, walaupun penghargaan itu sangat berlebih-lebihan. Hanya saja aku mempunyai beberapa syarat. Apabila syarat-syarat yang kuajukan ini dapat kalian terima, aku akan menerima jabatan ketua ini selama hayat dikandung badan."
"Jangan lagi beberapa syarat, katakan seratus dua ratus syarat sekalipun, kami akan menerima dengan suara bulat," sahut mereka dengan berbareng. "Silakan nyatakan syarat itu di hadapan kami."
"Begini," kata Sangaji sejurus kemudian. "Yang pertama, aku masih terlalu muda.
Pengalamanku sangat dangkal. Karena itu, aku tidak menghendaki suatu perubahan dalam tata pemerintahan. Hari ini aku melantik raja muda Tatang Sontani sebagai wakilku untuk memegang tampuk pemerintahan. Dia seumpama diriku sendiri. Barang siapa yang membantah
kebijaksanaannya, samalah halnya membangkang terhadap diriku."
"Paduka bermaksud kebijaksanaan, bukan?" tungkas Otong Surawijaya. "Baik, aku menerima." ,
"Keputusan paduka hamba junjung tinggi," kata raja muda Ratna Bumi yang selamanya pendiam sebagai bumi. Semua orang tahu, bahwa dialah petugas pelaksana hukum. Karena itu keputusannya, merupakan keputu-san hukum pula. "Yang kedua," kata Sangaji lagi. "Musuh kita sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Bukan lagi laskar kerajaan. Sebab Ratu Fatimah sudah tiada lagi. Karena itu, kuharapkan agar selanjutnya kita menghapuskan dendam yang sudah
lampau. Terhadap pembantu-pembantunya, marilah kita lupakan permusuhan itu."
Mendengar syarat kedua itu, semua yang mendengar menjadi penasaran. Hal itu disebabkan,
karena di antara mereka banyak yang kena dibinasakan oleh begundal-begundal Ratu Fatimah.
Bukan oleh senjata kompeni Belanda. Sebab, kompeni Belanda bertempur secara terang-terangan.
Sebaliknya laskar kerajaan dengan begundal-begundalnya banyak yang menyerang secara
menggelap. Dan tak kurang pula yang menggunakan racun. Tetapi setelah sibuk sebentar,
akhirnya Otong Surawijaya berkata minta ketegasan.
"Bagaimana kalau mereka yang mencari permusuhan" Seumpama mereka menyerang dari
belakang atau menggunakan racun seperti biasanya."
"Bila begitu, kita akan mengimbangi keadaan. Sekiranya mereka memaksa dan mendesak kita ke pojok, sudahlah semestinya apabila kita tidak menyerah dengan mentah-mentah," jawab Sangaji.
"Bagus," seru Dwijendra. "Jiwa kami adalah pada yang menyelamatkan. Bagaimana Paduka menghendaki, kami akan patuh."
"Ya, benar," ujar Dadang Wiranata. "Memang kalau dipikir-pikir, musuh kita sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Siapa yang tak tahu, bahwa Ratu Fatimah sebenarnya hanya merupakan boneka semata" Baiklah, ketua kita tidak menghendaki penuntutan dendam terhadap mereka.
Kukira, justru kebalikan dan keutuhan kita. Sebab kalau kita teruskan, memang jadi berlarut-larut.
Masing-masing pihak akan jatuh korban."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah ucapan Dadang Wiranata direnungkan, mereka menerima syarat kedua tersebut. Maka
Sangaji meneruskan saratnya yang ketiga. Katanya, "Sewaktu aku menerima jabatan ketua ini, tidak semua pemimpin-pemimpin himpunan hadir. Seperti: Ki Tunjungbiru, Diah Kartika,
Suryapranata dan Maulana Syafri. Karena itu, aku menghendaki kehadiran mereka agar aku
mendengar kepu-tusannya. Sekarang tiada lagi penasihat kita almarhum Ki Tapa. Aku
mengusulkan Paman Tubagus Simuntang merangkap jabatan itu. Dia akan dibantu oleh Paman lnu Kertapati dan Sidi Mantera yang ternyata cakap melakukan tugas hubungan dengan dunia luar."
Setelah syaratnya yang ketiga diterima pula, segera Sangaji berkata lagi. "Aku hendak memasuki kota Jakarta untuk menyongsong kehadiran Ki Tunjungbiru di tengah-tengah kita.
Karena Beliau berada di dalam penjara, siapakah yang ikut aku membobol dinding penjara?"
"Hamba ikut," sahut para raja muda dengan serentak.
"Lawan kita sekarang bukanlah sembarang lawan," kata Sangaji. "Mereka memiliki senjata jarak jauh senapan dan meriam. Kecuali itu memiliki pula daerah kekuasaan dan laskar yang teratur rapi. Itulah sebabnya, kecuali Aki Andangkara dan Ratna Bumi semuanya menyertai aku. Aki Andangkara mengatur perlawanan seluruh Jawa Barat. Sedangkan Paman Ratna Bumi mengatur
tata pemerintahan di atas dataran ketinggian ini. Paman Tatang Sontani untuk sementara biarlah menjadi penasihat umum."
"Bagus! Bagus!" seru Otong Surawijaya girang.
"Apanya yang bagus?" tungkas Tubagus Simuntang.
"Kalau Ratna Bumi si pendiam menjaga gunung, kutanggung Gunung Cibugis ini bertambah seram," sahut Otong Surawijaya sambil tertawa berkakakan.
"Terima kasih," kata Ratna Bumi. "Kuharapkan saja engkau bisa menjaga dirimu baik-baik.
Terutama ketua kita yang baru. Sebab beliaulah jiwa kita."
Dengan terharu Otong Surawijaya menjabat tangan Ratna Bumi. Itulah suatu peristiwa yang
baru terjadi setelah melampaui masa perpecahan dua puluh tahun lebih.
Demikianlah Ratna Bumi mengantarkan ketuanya sampai di kaki Gunung Cibugis. Di sana raja muda Andangkara berpisah untuk melakukan tugas pemusatan. Sedangkan Ratna Bumi segera
mendaki kembali ke dataran tinggi Gunung Cibugis.
Setelah memasuki lembah pegunungan, Sangaji hanya minta diiringkan beberapa puluh orang
saja. Lainnya menempati sebagai pengawal dan sayap perjalanan.
Hebat perjalanan itu. Laskar Himpunan Sangkuriang yang turun dari sarangnya, seolah-olah memenuhi persada bumi Jawa Barat. Andangkara membawa laskarnya melingkari Gunung
Pangrango dengan tujuan memasuki lembah Pegunungan Bukit Tunggul. Dan dari sana hendak
menuju ke Sukamandi. Ia berniat menghimpun kekuatannya melintasi gunung, sungai dan
menyusur pantai. Dan Dwijendra yang menempati sayap kiri, menembus daerah Jasinga. Dari kota itu, ia hendak mendekati kota Jakarta dari arah barat daya. Sedangkan Dadang Wiranata yang berada di sayap kanan, mengarah ke Kedunghalang lalu ke Cibarusa. Dia hendak menikam kota Jakarta dari arah selatan.
Setelah rombongan Sangaji melintasi padang belantara kurang lebih seratus kilo meter
panjangnya, mereka beristirahat di pinggir petak hutan. Sampai malam hari, tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi menjelang larut malam, pendengaran Sangaji yang tajam luar biasa menangkap suatu bunyi derap kuda. Menilik gemuruhnya, pastilah berjumlah tidak kurang dari seratus orang.
Segera ia berkata kepada Manik Angkeran yang selalu menyertainya.
"Kau tetaplah di sini. Aku akan menyelidiki."
Baru saja ia hendak melangkah, datanglah Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang dengan
berbareng. Mereka berkata, "Gusti Aji! Di tengah malam begini, lewatlah suatu rombongan besar.
Pastilah mereka musuh kita."
Bersama dengan Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang, Sangaji segera menyelidiki suara itu.
Tidak lama kemudian sekonyong-konyong ia memungut sebongkah tanah berpasir seraya berkata,
"Darah! Hai, darah siapa yang tercecer sepanjang jalan ini?"
Melihat darah. Sangaji terus memberi perintah pengejaran. Dengan matanya yang tajam dan
berpengalaman, Tatang Sontani menemukan sebatang golok patah di atas tanah, la kaget
setengah mati, setelah mengenal golok tersebut.
"Bukankah ini golok buatan Muara-binuangeun?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia merenung sejenak. Lalu mengadakan suatu kesimpulan. Katanya lagi, "Kukira, mereka dijemput oleh rekan-rekannya yang mencemaskan perjalanannya."
"Ah, masakan begitu?" tungkas Tubagus Simuntang. "Kakek tua beserta rombongannya meninggalkan Gunung Cibugis hampir satu bulan yang lampau. Kalau hari ini mereka masih
berkeliaran di sini, bukankah suatu peristiwa yang menarik" Hai Sontani, bagaimana menurut pendapatmu" Mereka sedang melakukan apa?"
Sangaji yang mengukur semua pekerti manusia menurut bajunya sendiri, tidak mengambil
tindakan lebih jauh. Ia memerintahkan kembali ke perkemahan.
Pada hari kedua, perjalanan mulai melintasi lapangan terbuka. Kira-kira empat ratus meter di depannya, nampaklah suatu rombongan mendatangi. Sangaji yang bermata tajam luar biasa,
segera dapat menangkap jumlah mereka. Mereka terdiri dari rombongan wanita yang dikawal oleh empat belas laki-laki bersenjata bidik.
Begitu jarak mereka mendekat, seorang wanita yang mengenakan pakaian serba hijau
mendadak berseru nyaring.
"Hai! Itulah panji-panji bangsat Sangkuriang! Siagaa ... !" Dan rombongannya lantas saja menghunus senjatanya masing-masing.
Melihat pakaian serta gerak-gerik mereka, Sangaji segera mengenalnya. Pastilah mereka anak-murid Edoh Permanasari. Mengapa mereka datang kembali, setelah turun meninggalkan Gunung Cibugis" Sayang di antara mereka tiada yang dikenalnya. Maka terpaksalah ia menegur dengan sopan. "Apakah kalian anak murid pendekar Edoh Permanasari?"
Seorang wanita berperawakan tipis yang berumur kurang lebih empat puluh tahun, melompat
ke depan sambil membentak. "Kau berhak apa bertanya kepada kami" Selamanya kami
bermusuhan dengan bangsat Sangkuriang. Hayo, kalian menyerah atau tidak?"
"Maafkan, apabila kami membuatmu marah. Siapakah Tuan?" Sangaji menegas dengan suara rendah.
"Kau bangsat cilik begini tak mengenal aturan. Siapa kau?" dampratnya.
Tubagus Simuntang bergusar melihat keku-rangajaran perempuan itu. Sekali melesat, ia
menjambret dua laki-laki yang menjadi pengawalnya. Kemudian dilemparkan ke tanah tak ubah dua bola. Setelah itu kembali ke tempatnya. Gerakan itu dilakukannya begitu cepat, sampai semua yang menyaksikan menjadi tercengang-cengang. Rombongan anak murid Edoh Permanasari
memutar penglihatan. Dan mereka melihat kedua rekannya rebah di atas tanah tanpa dapat
berkutik lagi. Pada saat itu terdengarlah suara Tubagus Simuntang penuh kedongkolan hati.
"Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Orang yang kau sebut bangsat cilik ini adalah seorang pendekar yang tiada taranya di jagat ini. Jangan lagi kamu kurcaci-kurcaci picisan, aku sendiri takkan nempil. Dan beliau inilah yang kini memimpin seluruh anggota Himpunan Sangkuriang.
Beliau raja kita. Gusti Sangaji. Kalian dengar" Nah, tokoh sehebat ini masih sudi bersikap merendah kepadamu, bukankah suatu penghormatan luar biasa?"
Ocapan Tubagus Simuntang itu, membuat mereka terkejut. Mereka tadi sudah kagum melihat
kecepatan serta kegagahan Tubagus
Dihadapan anak murid Edoh Permanasari, Tubagus Simuntang berseru penuh kedongkolan
hati. "Nah, dengarlah baik-baik! Orang yang kau sebut bangsat cilik ini adalah seorang pendekar yang tiada taranya dijagat ini. Beliau raja kita Gusti Sangaji...
Simuntang. Tapi ternyata dia mengakui bahwa tokoh di sampingnya jauh lebih tinggi
kepandaiannya daripada dia sendiri. Melihat kesung-guh-sungguhannya, pastilah dia tidak menjual suatu omong kosong. Katanya lagi, "Kalian anak murid Edoh Permanasari yang terkenal karena pedang Sangga Buwana. Tetapi dengan beberapa gebrakan saja, pedang Sangga Buwana sudah
kena terampas ketua kami dari genggaman tangan gurumu. Nah, kalian mau bilang apa?"
"Kau sendiri siapa?" Perempuan itu menegas.
"Aku Tubagus Simuntang, raja muda yang senang berkeliaran di malam hari. Mengapa?"
Mendengar nama itu, mereka semua memekik tertahan. Mereka kenal nama itu baik dari
keterangan gurunya maupun rekan-rekan seperjuangannya, bahwasanya kebiasaan Tubagus
Simuntang tidak pernah mengampuni lawan yang sudah kena tangkap. Keruan saja dengan tak
dikehendaki sendiri, mereka menoleh ke arah tubuh dua rekannya yang masih saja rebah tak berkutik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm, kalian tak usah berkhawatir. Kali ini, aku mengampuni, karena semata-mata segan terhadap keagungan nama ketua kami Gusti Sangaji," kata Tubagus Simuntang.
Mereka belum mau percaya. Empat orang segera menghampiri rekannya. Tiba-tiba
terdengarlah suara kesiur angin halus lewat di sampingnya. Tahu-tahu dua orang rekannya sudah bisa bergerak. Itulah kepandaian ilmu sentil Tatang Sontani yang hampir sejajar tingkatannya dengan Adipati Surengpati.
Meskipun berjumlah lebih sedikit tetapi melihat ilmu kepandaiannya bukan sembarangan,
perempuan itu pandai melihat gelagat. Pikir-jiya, kalau sampai bergebrak pastilah tidak
menguntungkan. Maka dengan menekan keangkuhannya, ia berkata dengan suara rendah.
"Maafkan atas kelancangan mulut hamba. Hamba bernama Dedeh Sumanti, murid ketujuh
Edoh Permanasari. Hamba datang ke mari untuk menyusul guru hamba. Apakah Paduka dapat
memberi keterangan?"
"Tentu saja," tungkas Otong Surawijaya si mulut usil. Semenjak tadi, hatinya mendongkol menyaksikan perangai Dedeh Sumanti. Sekarang timbullah kejahilannya hendak membalas
membuatnya mendongkol. Katanya dengan setengah tertawa. "Baiklah, kukatakan dengan terus terang saja. Edoh Permanasari benar-benar tidak tahu diri sampai berani mencoba-coba mendaki Gunung Cibugis dengan membawa anak-anak kurcacinya. Terpaksalah kita menawannya.
Tunggulah barang delapan atau sepuluh tahun lagi, baru dia nanti kubebaskan. Tapi kalau hatiku masih mendongkol, biarlah kukutungi kedua belah tangannya. Ingin aku tahu, apakah dia masih bisa bermain pedang."
"Kalian jangan percaya omongan rekanku ini," potong Walisana yang tidak senang bergurau.
"Dia senang berolok-olok. Ilmu sakti Edoh Permanasari sangat tinggi. Juga sekalian murid-muridnya tidak tercela. Masakan sampai bisa kita tawan. Mulai saat ini, antara golongan-mu dan golongan kami tidak lagi bermusuhan. Nah, pulanglah kembali ke perguruanmu. Pastilah gurumu sudah berada di perguruanmu."
Mendengar keterangan Walisana yang bersungguh-sungguh, masih saja Dedeh Sumanti
berbimbang-bimbang. Karena itu Tubagus Simuntang segera menguatkan keterangan rekannya.
Katanya, "Rekan Otong Surawijaya memang suka berkelakar. Percayalah keteranganku ini. Demi keagungan nama ketua kami, masakan aku berdusta kepadamu."
"Ah, kalian bangsat Sangkuriang, betapa bisa dipercaya" Kalian sudah biasa hidup dengan tipu muslihat yang licik. Apa yang kalian ucapkan, belum tentu hatinya begitu," damprat Dedeh Sumanti.
Inu Kertapati dan Sidi Mantera menjadi gusar. Sekali mereka memberi tanda, laskar panji-panji Kuda Semberani dan Bunga Menyala terus saja bergerak mengepung dengan cepat. Dengan suara keras bagaikan guntur, Otong Surawijaya membentak.
"Aku raja muda Otong Surawijaya! Kalau aku tak sanggup lagi mengendalikan diri, kalian anak kemarin sore dapat kuringkus dalam sedetik dua detik. Apakah kalian ingin aku membuktikan?"
Mendengar suara guntur dan gerakan pengepungan yang begitu cepat dan rapi, hati anakmurid Edoh Permanasari tergetar. Gertakan pendekar itu agaknya tidak bergurau lagi. Tatkala itu terdengarlah suara Sangaji melerai.
"Sudahlah, sampaikan salamku kepada gurumu." Setelah berkata demikian, ia mendahului berangkat mengarah timur laut. Dan sekalian laskar panji-panji berangkat pula mengiringkan.
Melihat kepergian mereka yang rapi, cepat dan patuh, sekalian anak murid Edoh Permanasari heran bukan main sampai ter-longong-longong. Membayangkan betapa akan akibatnya apabila
tadi benar-benar bentrok, hati mereka menggeridik sendiri.
Dalam pada itu, Walisana berkata kepada Sangaji setelah merenung-renung beberapa jam.
Kemudian, "Gusti Aji! Edoh Permanasari sepatutnya, tidak mungkin terjadi salah jalan dengan anak-anak muridnya. Sebab biasanya, mereka saling memberi tanda atau sandi-sandi tertentu, meskipun kedudukannya berpencaran. Sekarang anak muridnya yang lain ternyata kehilangan
jejaknya. Pastilah terjadi sesuatu yang kurang beres. Bagaimanakah menurut pendapat Paduka?"
Sangaji tidak menjawab dengan segera. Alasan Walisana sangat masuk akal. Apalagi teringat pada pedang Sangga Buwana yang tergenggam di tangan orang lain, benar-benar suatu hal yang mengherankan. Tidaklah mungkin terjadi, seorang pendekar membiarkan pedang pusakanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpindah di tangan orang lain. Apalagi orang itu adalah seorang laki-laki. Sedangkan, tiap orang tahu, Edoh Permanasari paling benci kepada semua laki-laki di seluruh dunia, berhubung dengan riwayatnya. Memikir demikian, teringatlah dia kepada kompeni yang mempunyai kepentingan
besar dalam hal penghancuran Himpunan Sangkuriang. Dan kemudian pembasmian pada tiap
macam pergerakan di seluruh wilayah Jawa Barat. Melihat gelagatnya, mungkin sekali Edoh
Permanasari kena tawan kompeni Belanda. Tapi dengan cara bagaimana, itulah suatu soal yang masih penuh teka-teki. Ia tidak enak untuk membicarakan. Itulah disebabkan, Sonny de Hoop serta dirinya sendiri yang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan pihak kompeni Belanda.
Pada sore harinya, Tubagus Simuntang menemukan suatu hal yang aneh. "Benar-benar aneh!"
katanya berulang kali. Ia lari ke seberang jalan dan menyibakkan gerombol semak belukar.
Dengan cepat ia minta sebuah alat penggali tanah. Kemudian dengan cekatan ia menggali tanah.
Sebentar dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang anggota Himpunan Sangkuriang, ia
menemukan tumpukan bangkai manusia. Setelah diperiksa, ternyata mereka semua adalah anak murid pegunungan Gunung Gembol, Gunung Gilu dan Gunung Kencana. Mereka mengenali
seragam yang dikenakan. Dan semuanya mati, karena tertembus peluru berondongan.
"Mereka ditanam dengan sembarangan saja. Terang sekali mereka sengaja dihilangkan
jejaknya oleh lawannya," kata Tubagus Simuntang seperti kepada dirinya sendiri. Setelah itu ia membungkam. Juga lain-lainnya termasuk Tatang Sontani, Walisana, Inu Kertapati dan
Sidi Mantera. Dan melihat mereka bersikap diam, Sangaji jadi perasa.
Sebaliknya Otong Surawijaya yang bermulut jahil tidak tahan menguasai monyongnya. Terus
saja menyeletuk, "Siapa yang membunuh mereka, masa bodoh. Memang mereka musuh kita
turun-temurun. Kalau saja mereka kini mampus tidak berkubur, sudahlah selayaknya. Hanya saja pembunuhan begini macam ini bisa menyangkut nama baik Himpunan Sangkuriang. Pastilah kita yang dituduh membunuh dan mengubur mereka dengan sewenang-wenang. "
Tiba-tiba Manik Angkeran yang ikut pula memeriksa mayat-mayat itu berseru heran.
"Inilah kejadian terkutuk. Rupanya mereka tertembak mati, setelah terkena racun. Atau paling tidak, mereka dibunuh setelah kehilangan tenaga."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, semua orang terkejut sampai Tatang Sontani yang tenang
berkata minta ketegasan. "Apakah kau pasti."
"Mengapa tidak?" sahut Manik Angkeran yakin. Dan timbullah penyakit angkuhnya.
"Aku murid tabib sakti Maulana Ibrahim, masakan salah lihat?"
"Hm, kalau begitu... kita harus berhati-hati.
Rupanya di belakang punggung kompeni Belanda bersembunyi lawan yang senang meracun


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menikam dari belakang," kata Tubagus Simuntang.
"Ya, kompeni Belanda memang lawan kita. Tetapi mereka tidak pernah menggunakan racun terhadap kita," sambung Otong Surawijaya. Kemudian menatap Manik Angkeran. Katanya, "Manik Angkeran, apakah kau kenal macam racunnya?"
Manik Angkeran memiringkan kepalanya. Dahinya berkerinyut. Sejenak kemudian baru
menyahut, "Bahan ramuannya setidak-tidaknya bercampur dari negeri luar."
Sebenarnya itu bukan suatu jawaban, tetapi Otong Surawijaya tidak mau mendesak lagi. Ia
hanya berkata kepada seluruh anggota.
"Kalau begitu, kita harus selalu berjaga-jaga. Jangan menganggap remeh peristiwa ini. Juga minum dan makan kita."
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Hari sudah mendekati petang. Burung-burung sudah mulai pulang ke sarangnya masing-masing. Namun mereka masih saja berjalan dengan tenang. Tiada seorangpun yang memikirkan di mana nanti akan berkemah. Itulah disebabkan oleh besar rasa percaya mereka terhadap ketuanya yang baru. Mendadak
Manik Angkeran yang berjalan di depan bersama rombongan pendahulu, lari menghadap
Sangaji sambil berteriak.
"Dia dilukai ... anaknya mati pula di sampingnya. Terang ini suatu perbuatan keji!"
"Siapa?" tungkas Tubagus Simuntang. "Ah ya, bukankah aku dahulu datang mendaki Gunung Cibugis hendak mencari seorang laki-laki yang membawa anaknya perempuan" Dialah orangnya, tuanku. Dia berada di bawah jurang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tubagus Simuntang tertegun sejenak. Kemudian berkata, "Coba, tunjukkan di mana dia
berada." Di mulutnya ia berkata begitu, tetapi tubuhnya sudah melesat jauh mendahului. Dan sebentar kemudian, dia balik kembali menghadap Sangaji. Dalam pada itu berkatalah Manik Angkeran.
"Dia bernama Suhanda. Anaknya Rostika..."
"Suhanda?" potong Sangaji. Hatinya terkejut serasa kena pukul. Dan tanpa menunggu Manik Angkeran menyelesaikan laporannya, ia sudah melesat seumpama terbang. Tatang Sontani,
Walisana dan Otong Surawijaya menyusulnya dari belakang. Mereka berusaha hendak mengejar, namun makin lama jaraknya makin jauh. Diam-diam mereka mengakui, bahwa tenaga sakti
pemimpinnya yang baru itu benar-benar melebihi manusia lain yang "terdapat di kolong jagat ini.
Jurang itu benar-benar bertebing curam. Di antara rerumputan dan semak-belukar, nampaklah Inu Kertapati dan Sidi Mantra memeluk seorang laki-laki yang bernapas kempas-kem-pis. Melihat adegan itu, sekali melesat Sangaji sudah berada di antara mereka. Cepat ia memeriksa
pernapasan Suhanda dan Atika. Meskipun sangat lemah, masih bisa mereka bernapas. Segera ia mendukung mereka berdua dengan sekali peluk, lalu melesat mendaki ke atas. Kemudian dengan hati-hati ia meletakkan mereka berdua di atas batu. Dan tanpa menunggu perintah, Manik
Angkeran terus memeriksanya.
"Masih ada harapan, bisiknya. Hanya saja... di tenggorokannya terdapat segumpal darah yang menyekat pernapasan."
Dengan mengerahkan tenaga beberapa bagian, Sangaji menolong mereka berdua, Atika
tersadar terlebih dahulu. Anak perempuan itu terus menangis sambil melontakkan darah hitam.
Manik Angkeran menjejali beberapa butir pemunah racun. Kemudian memeriksa ruas tulangtulangnya. Ia bersyukur, karena masih utuh. Hanya terdapat beberapa tulang patah akibat suatu pembantingan. Namun tidak membahayakan jiwanya. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya yang terjadi pada diri Suhanda. Hampir seluruh tulang sambung pendekar itu, patah berantakan. Dan sekali teringatlah Sangaji kepada nasib gurunya, Wirapati yang pernah mengalami aniaya demikian pula. Hatinya menjadi gusar, cemas dan terharu. Benar-benar keji yang menganiayanya. Siapakah orang itu"
Suhanda nampaknya cepat menguasai kesadaran pikirannya. Begitu habis mengerang dengan
wajah girang ia menatap muka Sangaji karena segera mengenalnya. Dengan menyemburkan
gumpalan darah, ia mencoba berbicara. Tetapi sepertinya tidak begitu terang dan tersekat-sekat.
"Sakit... semua ..."
"Manik Angkeran!" potong Sangaji gugup. "Berilah obat penahan sakit."
Dengan mengangguk kecil, Manik Angkeran merogoh sakunya. Suhanda memaksa diri untuk
menoleh. Melihat Manik Angkeran menolong putrinya, ia tertegun sejenak. Ia me-manggut sebagai tanda ucapan terima kasih. Rupanya dia mengenali wajah Manik Angkeran, tatkala ia merampas Atika daripadanya oleh pikirannya yang kusut.
Tatang Sontani segera menolong merasuk-kan obat penahan rasa sakit kepada Suhanda. Dan
sejenak kemudian, benar-benar Suhanda dapat menguasai diri, terus berkata tersekat-sekat.
"Kerajaan Banten ... di belakang Belanda ... Aku disiksa ... Ratu ... Kenaka ..."
Singkat keterangan itu, tetapi sudahlah cukup terang benderang, sehingga hati Sangaji terasa terpukul palu godam. Sebab sekaligus ia menghadapi kenyataan dalam dua hal. Kompeni Belanda dan Ratu Kenaka. Terhadap kompeni, ia tiada mempunyai permusuhan pribadi. Hanya ia tahu, bahwa kedatangan kompeni Belanda di tanah airnya ialah dengan maksud menjajah dengan kedok perdagangan. Sebaliknya terhadap Ratu Kenaka, ia sudah terlanjur memberi perintah agar
bersikap tidak bermusuhan dengan sesama pendekar yang berpendirian serta berpaham lain. la mengalihkan perjuangan terhadap kompeni Belanda, karena tidak menyetujui bermusuhan dengan sesama bangsa. Tetapi kini, ia dihadapkan oleh suatu masalah pelik yang tidak bisa dielakkan hanya oleh suatu angan-angannya pribadi."
Dalam pada itu, malam sudah benar-benar tiba. Para anggota Himpunan Sangkuriang
menyalakan perdiangan untuk melawan hawa pegunungan yang dingin. Mereka sudah biasa hidup di tengah alam terbuka. Karena itu, mereka dengan cekatan menyediakan makan malam serta
minuman hangat. Tetapi Sangaji tidak mengindahkan semuanya itu. Perasaannya, ia seperti tidak berada di antara mereka. Masalah yang dihadapi benar-benar memusingkan ruang benaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda seusia itu yang dengan tiba-tiba memegang tampuk pimpinan tertinggi himpunan
perjuangan keadilan, menghadapi soal pelik yang datangnya dengan tiba-tiba pula. Di hadapannya tergelar suatu perjuangan antara persoalan pribadi, balas dendam dan budi. Menghadapi
persoalan demikian jangan lagi orang seusia dia walaupun seorang yang sudah berpengalaman, pastilah tidak gampang-gampang mencetuskan suatu keputusan. Maka tidaklah mengherankan
pula, bahwa beberapa kali anak muda itu menghela napas panjang.
Aku datang mendaki Gunung Cibugis hanyalah semata-mata memenuhi suatu undangan,
pikirnya di dalam hati. Tak kuduga, aku harus muncul melerai mereka yang sedang bertarung.
Kemudian, terpaksa aku berada di pihak himpunan. Ini suatu pemilihan terang-terangan yang berarti berhadapan dengan para pendekar yang berpaham lain di satu pihak dan kompeni Belanda di lain pihak. Lantas bagaimana persoalanku sendiri" Masih dapatkah aku pulang ke Jakarta menjumpai Ibu dengan aman" Dan bagaimana pula Sonny de Hoop" Sekarang terjadi suatu
kesukaran lagi. Suhanda dilukai demikian rupa oleh Ratu Kenaka. Kalau aku melarang
mengadakan suatu tuntutan keadilan, pastilah Himpunan Sangkuriang akan terpandang lemah. Ini berarti suatu pengkhianatan terhadap pendiri himpunan, jabatan serta Himpunan Sangkuriang sendiri. Sebaliknya, kalau aku membiarkan penuntutan keadilan, pastilah akan terjadi suatu bunuh membunuh lagi yang akan berlarut-larut entah sampai kapan berakhirnya. Bukankah ini
menggampangkan operasi kompeni Belanda yang memang menghendaki terjadinya demikian"
Benar-benar tidak gampang persoalan yang dihadapi Sangaji. Inilah suatu dunia yang tidak dikehendaki, tetapi yang harus dimasukinya. Agaknya Sangaji seperti ditakdirkan untuk memimpin seluruh himpunan perjuangan Jawa Barat, meskipun tidak dikehendakinya sendiri. Dan ia tidak bisa mengelaki dan seakan-akan dipaksa oleh keadaan untuk menghadapi dan mengatasi. Apakah kesukarankesukaran lainnya masih pula menunggu di depannya. Teringat akan Sonny de Hoop, ibunya dan Titisari, ia mengeluh. Tak terasa ia mengulangi ucapannya kepada Titisari di dalam hati, "Aku ini memang anak tolol. Seolah-olah aku sudah disediakan suatu jalan yang harus kutempuh dan yang tidak kumengerti sendiri apa sebab aku harus menempuhnya..."
Tatkala tengah malam tiba dengan diam-diam, tiba-tiba suatu pikiran menusuk ke ruang
benaknya. Di depan matanya seakan-akan ia melihat dua gadis yang selalu menggoda kalbunya.
Titisari dan Sonny de Hoop. Sonny de Hoop berada di dekat ibunya. Di belakangnya berbaris kompeni Belanda. Sebaliknya Titisari berdiri tanpa kawan. Tapi mendadak samar-samar nampaklah suatu barisan penuh. Setelah diamat-amati, ternyata laskar Himpunan Sangkuriang. Ya, ia terkejut dan ia sendiri kini, bahkan berada di antara Himpunan Sangkuriang! Sekarang di manakah letak kesukarannya" Kalau saja ibuku berada di sini, bukankah aku akan gampang mengambil suatu keputusan"
Memperoleh pikiran demikian, suatu kesegaran meraba dirinya sangat nyaman. Terus saja ia menoleh. Tak jauh dari padanya, raja muda berkumpul dengan membungkam mulut. Di
hadapannya tergelar sehelai tikar yang penuh dengan hidangan malam. Rupanya mereka tak sudi menyentuh makanan itu, karena pimpinannya tidak hadir. Melihat keadaan demikian, hati Sangaji jadi terharu. Segera ia mendatanginya. Karena ia sudah memperoleh suatu keputusan, wajahnya kelihatan segar. Berkata, "Hai, mengapa mesti menunggu aku" Silakan!"
Para raja muda berdiri membungkuk hormat. Terpaksa Sangaji membungkuk membalas
hormat, kemudian mendahului duduk di atas tikar. Dengan anggukan kecil, mulailah hidangan malam ditanggapi.
Begitu santapan malam selesai, Manik Angkeran melaporkan tentang keadaan Suhanda. Dia
masih jauh dari harapan, namun terdapat sebintik keterangan yang mungkin menyibakkan tirai kegelapan.
Dalam pikiran tak karuan, tiba-tiba ia berada di antara kompeni Belanda yang oleh seorang wanita kata Manik Angkeran katanya wanita itu pernah dikenalnya. Hanya siapa dia sebenarnya, tak sudi ia menerangkan.
"Apa lagi yang dikatakan?" Sangaji terkejut, ia tahu wanita siapa yang dimaksudkan. Itulah Sonny de Hoop.
"Ia terlibat dalam suatu pertempuran segi tiga. Antara dia, pihak Ratu Kenaka dan kompeni Belanda," Manik Angkeran meneruskan. "Tatkala ia kena pukul, wanita itulah yang menolong anaknya. Kemudian kompeni Belanda mengampuni. Tetapi Ratu Kenaka tidak membiarkan dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pergi dengan selamat. Ia kena selomot racun dan tulang belulangnya dipatahkan. Benar-benar Ratu Kenaka bergusar, menilik luka yang dideritanya. Apakah di sini terselip suatu dugaan, bahwa ia dikira hendak berkhianat" Menurut Kak Suhanda, mereka yang menyerbu Gunung Cibugis
sesungguhnya kena jebak akal licik kompeni dan Kerajaan Banten. Begitu mengira mereka sudah berhasil melumpuhkan Himpunan Sangkuriang, lantas saja kompeni dengan laskar Kerajaan
Banten bergerak membasminya. Sungguh sial! Dialah yang merupakan korban pertama tanpa
perlindungan." "Ya, siapa yang tak tahu, bahwa kompeni dan Kerajaan Banten mempunyai kepentingan besar dalam hal penggerebegan itu" Itulah si tolol. Kami semua sudah semenjak lama mengetahui hal itu," kata si jahil Otong Surawijaya dengan bernafsu. "Cuma saja, mereka yang membanggakan diri sebagai pendekar Jawa Barat, benar-benar tolol setolol kerbau buduk!"
Sangaji menghela napas. Terasa benar, betapa hebat jurang permusuhan itu antara pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang dan kaum penyerbu. Syukur di antara laporan Manik Angkeran tadi terselip suatu pendapat baru. Mungkin sekali Ratu Kenaka ingin membuat jasa dengan
melukai Suhanda, karena mengira pendekar itu hendak berkhianat. Namun alasan demikian
sangat lemahnya. Sebaliknya apabila apa yang dikatakan Suhanda benar, terdapat suatu hal yang meresahkan hatinya. Dia berkata, bahwa Sonny de Hoop menolongnya. Tapi kenapa Atika kena siska pula" Apakah Sonny de Hoop dalam keadaan berbahaya pula" Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berkata: "Paman sekalian, pada fajar hari nanti aku hendak mendahului memasuki Kota Jakarta untuk menyelidiki persoalan ini. Aku hanya minta bantuannya Paman Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang. Sementara itu, Paman Walisana dan Otong Surawijaya membawa para
anggota menyusul kami secara berturut-turut."
Raja muda Walisana dan Otong Surawijaya segera membungkuk mengemban perintah. Karena
hari sudah larut malam, mereka lalu bersiap-siap. Sangaji sendiri tidak menghendaki beristirahat, la nampak bergelisah. Itulah sebabnya tidaklah mengherankan, bahwa sebelum fajar hari tiba ia sudah mengajak pen^ dekar Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang berangkat.
Tubagus Simuntang adalah seorang pendekar yang mempunyai kecepatan bergerak tiada
bandingnya dalam dunia ini. Meskipun demikian, ia tak dapat menjajari Sangaji. Padahal ia sudah mengerahkan segenap tenaga dan kepandaiannya. Sedangkan Tatang Sontani yang berkaki gesit dan cepatpun kalah beberapa tingkat dalam hal mengadu kegesitan. Maka diam-diam mereka
berdua benar-benar merasa takluk kepada pemimpinnya yang baru itu.
Mereka berlari-lari terus hampir sepanjang hari. Menjelang petang, sampailah mereka di batas kota Jakarta. Kini, tak berani mereka bergerak terlalu cepat agar tidak menarik perhatian orang.
Dan ternyata pada hari itu, tidak terjadi sesuatu.
Tatkala mereka memasuki jalanan kota, segera mereka berpapasan dengan bangsa kulit putih yang mengenakan pakaian seragam dan preman. Sebenarnya hal itu tidaklah mengherankan,
karena pada dewasa itu hampir seluruh Jawa sudah dikuasai kompeni Belanda, namun begitu
dibandingkan dengan dua bulan yang lalu terdapat suatu perubahan yang agak menyolok. Mereka nampak sibuk dan bersikap rahasia, sehingga hal itu menarik perhatian Sangaji.
Sampai di barat kota, mereka singgah di sebuah rumah makan Tionghoa. Tatang Sontani
sengaja berlagak pemurah seperti seorang pedagang besar yang baru saja memperoleh
keuntungan di luar dugaannya sendiri. Tentu saja pelayan-pelayan rumah makan tersebut berebut menghambakan diri. Mereka semua bersikap hormat sekali. Dan Tatang Sontani berpura-pura
minta penjelasan tentang keadaan kota, tempat-tempat bertamasya dan yang bersejarah.
"Rupanya kompeni sedang bekerja keras untuk suatu pesta," kata Tatang Sontani asal berbicara saja. Tapi di luar dugaan, ucapannya ternyata tepat mengenai sasaran, sampai pelayan yang diajaknya berbicara terheran sejenak.
"Benar Tuan," kata pelayan itu. "Menurut kabar, itulah peristiwa penggantian pemerintahan."
"Penggantian pemerintahan bagaimana" Kau maksudkan seorang Kepala Pemerintah baru?"
"Bukan, bukan," sahut pelayan itu dengan cepat. "Agaknya Tuan-tuan bukan penduduk kota sampai tidak mendengar berita ini."
"Mengapa?" Tatang Sontani menegas dengan sikap acuh tak acuh.
"Buktinya Tuan tidak tahu," kata pelayan itu dengan tertawa. "Di negeri seberang terjadi suatu perubahan. Kabarnya Inggris hendak menggantikan pemerintahan di sini. Nah, bukankah suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
peristiwa yang penting. Inilah saat yang kebetulan sekali bagi Tuan-tuan. Kalau Tuan-tuan belum memperoleh tempat penginapan, cepat-cepatlah mencari agar tidak kehabisan tempat."
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang adalah dua raja muda Himpunan Sangkuriang
terkemuka yang sudah bertahun-tahun memimpin perjuangan. Tentu saja mereka mengetahui
belaka tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan yang bakal terjadi menurut perhitungan politik. Sedangkan Sangaji pernah mendengar hal itu dari keterangan kakak angkatnya Willem Erbefeld tentang terjadinya suatu peperangan besar di daratan Eropa..
Timbulnya kekuasaan Napoleon Bonaparte, pastilah akan menggoncangkan kedudukan
pemerintah Belanda di Indonesia. Waktu itu, sama sekali ia tidak tertarik pada soal-soal politik.
Tapi kini ia berkesan lain berhubung dengan kedudukannya sebagai ketua himpunan. Apalagi ia mempunyai kepentingan langsung perihal pembebasan Ki Tunjungbiru.
"Hai, bagaimana menurut pendapatmu?" kata Tubagus Simuntang seperti minta pertimbangan.
"Apakah kita turut menyatakan suatu kegembiraan atau tidak?"
Pertanyaan demikian, benar-benar tidak terduga oleh para pelayan. Karena tak tahu bagaimana harus menjawabnya, mereka tertawa melebar dengan pandang bingung. Mereka tak pernah
memikirkan hal itu. Tetapi begitu mendengar bunyi pertanyaan itu, tiba-tiba saja terasa betapa sulitnya untuk menentukan sikap. Kalau tidak menyatakan bergembira, ia bisa bernasib buruk pada pemerintahan yang mendatang. Fitnah begini bukan mustahil akan terjadi, karena pastilah mulai kini akan terjadi, karena pastilah mulai kini akan banyak berkeliaran orang-orang tertentu yang mengambil hati kepada Inggris yang bakal berkuasa. Sebaliknya apabila ikut menyatakan bergembira, pemerintah Belanda pada waktu itu masih berkuasa. Sekali kena tuduh seolah-olah pro Inggris, ia bisa diamankan di dalam penjara dengan segala akibatnya.
Melihat mereka kebingungan, Tubagus Simuntang tertawa terbahak-bahak. Dasar wataknya
masih liar, ingin ia menggodanya lagi, sekonyong-konyong pendengarannya yang tajam
menangkap bunyi derap kuda mendatang. Segera ia melemparkan pandang ke jalan besar.
Sembilan orang berkuda dengan cepat. Mereka berdandan sebagai pemburu menyandang
senapan panjang dan panah. Gerak-geriknya tangkas berwibawa. Seorang di antaranya,
mengenakan pakaian merah dengan kain leher putih. Tatkala Sangaji mengamat-amati, hampir saja dia melompat menegur.
"Hai! Benarkah dia Titisari?" hatinya memukul. Dan jantungnya berdegupan. Namun pada saat itu juga, suatu sanggahan yang tak kurang hebatnya terjadi di dalam dadanya. Ah, tidak mungkin ia berada di sini. Dan ia jadi ter-mangu-mangu.
Karena penglihatan itu datangnya dengan tiba-tiba dan kesan yang terjadi di dalam dirinya timbal balik serta saling bertentangan, tubuhnya bergemetaran. Dan hal itu tidak luput dari pengamatan kedua pengikutnya.
"Apakah Paduka melihat sesuatu?" bisik Tatang Sontani.
Sangaji berbimbang-bimbang sebentar. Kemudian memutuskan, "Biarlah kulihat lebih terang."
Setelah berkata demikian, segera ia keluar halaman rumah makan. Tetapi sayang, ia tak berani berjalan terlalu cepat. Meskipun keadaan jalan sunyi lengang, namun ia harus berjaga-jaga terhadap penglihatan orang. Itulah sebabnya, ia hanya bisa mengikuti dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian, ia sudah kehilangan pengamatan. Hatinya mengeluh. Mau ia berbalik ke rumah makan, tiba-tiba saja Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang sudah berada di
belakangnya. Sebagai tokoh-tokoh perjuangan yang sudah mempunyai pengalaman, segera
mereka mengetahui kesukaran pemimpinnya. Teringat, bahwa pemimpin berasal dari kota itu, mereka sudah dapat menebak sembilan bagian.
"Paduka segan berlari-lari kencang di dalam kota ini. Tapi hamba tidak," kata Tubagus Simuntang. Begitu habis ia berkata, tubuhnya sudah melesat dua puluh langkah jauhnya. Dia adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu lari tiada bandingnya di jagat ini. Gerak-geriknya gesit dan cekatan. Maka tidak mengherankan, bahwa sebentar saja tubuhnya lenyap ditelan
keremangan petang hari. Melihat Tubagus Simuntang berani bergerak begitu merdeka, timbullah suatu kenekatan di
dalam hati Sangaji. Pikirnya di dalam hati, aku segan, karena mengingat kedudukanku. Tapi...
mengingat perkembangan-perkembangan yang sudah terjadi, agaknya kompeni sudah tahu di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pihak mana aku berada. Meskipun aku kini berlagak seperti penduduk kota yang manis, pastilah kompeni sudah mengetahui diriku kini. Kalau begitu...."
Sehabis berpikir demikian, mendadak saja ia melesat bagaikan terbang. Terkejut adalah Tatang Sontani. Ia tak mengetahui perubahan sikap yang terjadi di dalam hati pemimpinnya. Maka begitu melihat pemimpinnya lari kencang segera ia tancap gas. Walaupun tidak dapat mengejar, namun penglihatannya tidak kehilangan bayangan tubuh pemimpinnya.
Untunglah, pada dewasa itu rumah penduduk kota Jakarta belumlah sepadat sekarang.
Kelompok rumah masih merupakan perkampungan-perkampungan terpisah. Jalan-jalan tiada
penerangan. Karena itu, penduduk kota segan keluar rumah menjelang malam tiba. Dengan
demikian mereka bisa bergerak bebas.
Kira-kira satu jam kemudian, Tubagus Simuntang sudah berbalik. Segera ia bertemu dengan
Sangaji. Terus lapor, "Mereka memasuki Gedung Tionghoa berhalaman luas...."
Sangaji mengangguk, namun kakinya masih saja melayang terbang. Cepat sekali ia melesatnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di bawah pagar tembok, la tak berani berlaku gegabah, walau hatinya berderum berguruh. Hati-hati ia melompat dan bersemayam di balik mahkota pepohonan.
Segera ia menembakkan penglihatannya. Dalam gedung sunyi lengang. Ia jadi keheranan.
Pikirnya, masakan Tubagus Simuntang bisa salah lihat" Pastilah mereka berada di dalam gedung ini. Tetapi di manakah kuda-kuda mereka"
la menunggu hampir satu jam di atas pohon itu. Tetap saja tiada terjadi suatu perubahan. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk di dalam benaknya. "Benar-benar aku ini tolol. Titisari adalah seorang gadis yang pintar luar biasa. Kalau dia tidak mau kutemui, masakan aku akan berhasil" Sebaliknya, pastilah dia sudah mengetahui beradaku semenjak lama. Dan diam-diam ia mentertawakan
ketololanku ini..." Teringatlah dia dahulu, tatkala ia sedang mencari jejak Pangeran Bumi Gede. Mula-mula ubek-ubekan mencarinya. Kemudian oleh akal Titisari, ia diajak bersembunyi. Itulah akal yang paling baik untuk mencari orang yang sedang bersembunyi. Tegasnya bersembunyi dilawan dengan
bersembunyi. Dan akal itu ternyata berhasil. Teringat akan hal itu, tidaklah mustahil bahwa Titisari sekarang mungkin sedang bersembunyi pula mengintai dirinya.
Dengan pikiran demikian, Sangaji meloncat turun. Hatinya setengah mendongkol, setengah
kecewa, pedih dan geli. Ia segera memanggil kedua pengikutnya. Katanya, "Paman! Mari ingin aku berbicara ..."
Setelah berkata demikian; ia lari mendahului. Waktu itu hari sudah benar-benar gelap. Ia tidak perlu khawatir lagi akan bertemu dengan orang. Larinya mengarah ke timur. Ternyata ia berhenti di dekat tanggul batu Rababa Tapa.
"Paman!" katanya mulai. "Bukankah Gusti Ratu Bagus Boang yang mendirikan batu peringatan ini?"
Kedua panglima Himpunan Sangkuriang semenjak tadi penuh teka-teki. Mereka bersegan-segan mendekati batu peringatan itu. Sikap mereka menghormat. Namun mendengar suara
pemimpinnya yang baru, mereka segera mendekati.
"Benar," sahut Tatang Sontani. "Tepatnya kami semua yang mendirikan sebagai suatu peringatan terakhir."
"Dan di sinilah mula-mula aku mendengar nama Gusti Amat dari mulut dua orang anggota kita," kata Sangaji. "Mereka kemudian menyerahkan tiga pusaka Jawa Barat kepadaku sebagai tanda ikatan persahabatan. Kotak berisikan segandeng buah Dewa Ratna, kalung berlian dan pedang Sokayana. Mereka berbicara atas nama Gusti Amat dan datang padaku atas nama Gusti Amat pula." la berhenti mengesankan. Kemudian menegas. "Paman! Sesungguhnya ilham itu datang dari mana" Bukankah Paman menerangkan, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya
merupakan suatu perbuatan yang sudah disetujui oleh para Dewan Penasihat?"
Mendengar pertanyaan Sangaji, Tatang Sontani tertegun sejenak. Sebentar ia memandang
Tubagus Simuntang, lalu menyahut dengan takzim.
"Benar perintah atas nama Gusti Amat itu, memang kami ketahui. Hanya darimana datangnya ilham itu, hamba masih belum memperoleh keterangan yang pasti."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ketiga pusaka Jawa Barat atau katakan saja ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang itu dahulu disimpan oleh penasihat Maulana Syafri dan Suryapranata dengan ditilik langsung oleh penasihat Ki Tunjungbiru," sambung
Tubagus Simuntang. "Maka besar dugaan hamba, bahwa ilham itu datang dari mereka bertiga."
Sangaji berdiam beberapa saat lamanya. Ia mendongak ke atas seolah-olah sedang
menentukan suatu kebulatan tekat. "Apakah Paman sekalian sudah bertemu atau berbicara dengan Beliau berdua?"
"Mereka berdua seperti Ki Tunjungbiru. Sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah berjumpa,"
mereka menyahut dengan berbareng.
Mendengar keterangan kedua panglima itu, Sangaji mengernyitkan dahi. Dan kembali ia
berdiam diri, beberapa saat lamanya. Kemudian dengan perlahan-lahan pandang matanya ke
muka mereka. "Apakah Paman berdua pernah mendengar nama Titisari?" katanya. Suaranya terdengar menggeletar suatu tanda hatinya terguncang hebat.
Dengan hati-hati Tatang Sontani menatap wajah Sangaji. Ia memperoleh kesan hebat yang
terjadi dalam diri pemimpinnya yang berusia muda itu. Tapi apa itu, ia tak dapat menebak, la mencoba menggerayangi. Karena itu ia menoleh kepada Tubagus Simuntang untuk minta bantuan rekannya itupun tak beda dengan sikapnya. Maka akhirnya ia memberanikan diri. Didahului
dengan membungkuk hormat, ia berkata: "Hamba memang seorang manusia yang tiada guna.
Semenjak Himpunan Sangkuriang terpecah belah, hampir setiap saat hamba berada di dataran ketinggian Gunung Cibugis. Mungkin rekan Tubagus Simuntang pernah mendengar nama itu
karena tugasnya sebagai penghubung ke luar dan ke dalam."
Mendengar perkataan Tatang Sontani, secara wajar Sangaji mengalihkan pandang kepada
Tubagus Simuntang. Pendekar itu lantas berkata tegas. "Tentang maksud menghaturkan ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang kepada Paduka, hamba mengetahui dengan jelas. Tetapi dengan sesungguhnya hamba menyatakan, bahwa nama itu belum pernah hamba dengar."
Sangaji percaya kepada pernyataan mereka. Dan ia jadi yakin, bahwa Titisari memegang salah satu peranan penting. Tetapi peranan bagaimana itulah suatu soal yang sulit untuk diterangkan.
Sebaliknya apabila hal itu hanya merupakan suatu dugaannya belaka peristiwa rangkaian
terjadinya penyerahan ketiga pusaka Ratu Bagus Boang, benar-benar aneh dan mencurigakan, la merasakan sesuatu. Dan rasa itu berkelebatan seperti tumpuan bayangan dalam benaknya. Tapi apa itu, tak bisa ia menangkapnya. Dasar ia tak pandai mengungkap isi hatinya, maka mulutnya membungkam dengan pikiran kabur.
"Sayang, aku tadi tak dapat melihatnya dengan lebih tegas sehingga tak dapat kubuat pegangan," kata Sangaji seperti kepada dirinya sendiri.
Sebagai pendekar-pendekar yang sudah kenyang makan garam, Tatang Sontani dan Tubagus
Simuntang sudah dapat menebak delapan bagian. Pastilah gadis tadi yang bernama Titisari. Tetapi siapa Titisari dan apa pula hubungannya dalam persoalan ketiga pusaka Ratu Bagus Boang inilah soal yang masih gelap. Menuruti deru hati, ingin mereka memperoleh keterangan lebih jelas.
Namun mereka tak berani mendesak.
Berkelebatnya bayangan Titisari tadi, memang benar-benar mengguncangkan hati Sangaji. Hal itu tidaklah mengherankan, karena peranan Titisari hampir memenuhi seluruh lubuk hatinya.
"Ah, mungkin aku yang sudah menjadi linglung." Sangaji menghibur diri. "Masakan Titisari berada di Jakarta. Untuk apa" Dan siapa pula mereka tadi yang mengenakan pakaian berburu"
Apakah Titisari mengalami peristiwa seperti dia pula menjadi Ratu tak bermahkota dengan tiba-tiba?" Memikir demikian Sangaji menjadi geli. Kemudian memutuskan, "Ah di dunia ini bukankah terdapat banyak orang yang sama rupa?"
Oleh keputusan itu, hatinya jadi berlega. Terus saja ia berkata kepada Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang.
"Paman! Sewaktu aku meninggalkan Jakarta, ibuku sama sekali tak mengetahui. Apakah kita masih mempunyai waktu untuk bersing-gah sebentar?"
"Mengapa tidak?" sahut Tubagus Simuntang cepat.
"Hamba kira laskar kita baru tiba menjelang fajar hari," kata Tatang Sontani.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka berjalan perlahan-lahan seperti penduduk kota yang sedang ke luar mencari angin.
Aneh adalah Sangaji. Pemuda itu, semenjak kakinya meraba batas kota Jakarta, ingin sekali menengok ibunya dengan segera. Hanya oleh rasa segan saja ia menahan diri. Tetapi kini, ia seperti ogah-ogahan13). Itulah disebabkan oleh kesannya melihat bayangan Titisari. Dan
pikirannya jadi penuh, sehingga seringkali ia terlongong-longong. Untunglah, waktu itu malam hari. Dengan demikian, kesan mukanya tidak nampak oleh kedua panglimanya.
Tatkala sampai di rumahnya, ia kaget. Delapan serdadu menjaga rumahnya dengan
menyandang senjata. Apakah artinya ini"
Ia berhenti sebentar. Kemudian setelah memberi isyarat kepada dua panglimanya, ia memasuki halaman rumahnya seorang diri. Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang tak perlu
mencemaskannya. Mereka kenal ketinggian ilmu sakti pemimpinnya. Apabila delapan serdadu itu sampai berani main gila, mereka semua bukan tandingnya. Sebaliknya pemimpinnya bisa
merampungi mereka dengan gampang. Dengan pikiran demikian, mereka berdua tinggal di luar rumah sambil berjaga-jaga terhadap kemungkinan yang terjadi di luar perhitungan.
Dalam pada itu, Sangaji telah memasuki rumahnya. Dari seorang Kopral ia memperoleh
keterangan, bahwa atas perintah Mayor de Hoop, ibunya dipindah di sebuah bangunan baru dekat lapangan kota.
Sangaji memeriksa isi rumahnya. Benar-benar kosong. Hatinya memukul, tatkala kamar
penyimpan pusaka-pusakanya kosong pula. Tapi percaya, bahwa kompeni tidak bakal
mengganggu semua pusakanya karena tidak mengerti, hatinya tenteram kembali. Dan segera ia meninggalkan rumahnya, setelah memperoleh keterangan lebih jelas lagi tentang letak lapangan kota yang dimaksudkan.
Ternyata rumah itu merupakan sebuah bangunan baru, dengan pendapa luas perkasa dan
mentereng. Tapi terlalu mentereng untuk tempat tinggal seorang janda seperti ibunya. Mungkin rumah itu dimaksudkan sebagai hadiah perkawinannya dengan Sonny kelak.
"Paman! Apakah Paman melihat sesuatu?" la minta pertimbangan kepada Tatang Sontani.
"Rumah itu jauh lebih bagus dari tempat kediaman semula. Tepat sekali untuk kediaman Paduka. Hanya saja letaknya begitu mencurigakan. Kecuali berada di tengah lapangan, letaknya berdekatan pula dengan tangsi kavaleri14). Mudah-mudahan saja, kompeni bermaksud baik."
"Kalau begitu, biarlah aku pergi dahulu," tiba-tiba Tubagus Simuntang memotong. Sebagai teman perjuangan yang sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya, ia mengerti ke mana
arah perkataan Tatang Sontani. Maka dengan membungkuk hormat itu berkata pula kepada
Sangaji. "Izinkan hamba mengatur teman-teman dahulu."
Sebenarnya Sangaji sudah merasakan sesuatu yang kurang beres. Dan biasanya ia senantiasa lambat dalam hal mengambil suatu kepu-tusan. Tapi begitu mendengar ujar Tubagus Simuntang, ia seperti sudah dapat menebak seluruhnya. Maka ia mengangguk.
"Kalau hamba boleh berkata dengan sebenarnya, bangunan ini lebih tepat apabila dibuat sebagai rumah tahanan," kata Tatang Sontani sejenak kemudian, setelah rekannya pergi melakukan tugasnya. "Paling tidak, apabila seorang tawanan bermaksud melarikan diri, ia baru sanggup melintasi lapangan terbuka terlebih dahulu."
Sangaji tersenyum pahit. Bukannya ia tidak dapat menebak maksud Mayor de Hoop
sesungguhnya, tapi teringat akan diri sendiri yang sebenarnya sudah semenjak lama menjadi tawanannya, ia jadi tergugah begitu mendengar ujar Tatang Sontani. Seketika itu juga, timbullah sifat kejantanannya. Terus saja ia berkata kepada Tatang Sontani.
"Paman! Dalam segala hal Paman lebih pandai dari padaku."
"Hamba tidak berani menerima pujian Paduka," potong Tatang Sontani dengan cepat.
"Dalam segala hal, Paduka pasti sudah dapat menggerayangi maksud pemindahan ini terlebih dahulu daripada hamba. Soalnya, Paduka terlalu mulia serta agung budi, sehingga tak sampai menyatakan hal tersebut."
"Tetapi dengan sesungguhnya, kali ini aku mohon pertolongan Paman."
"Silakan meskipun Paduka memerintahkan hamba memasuki lautan api atau menyeberang
lautan golok, hamba tidak akan mundur."
"Bukan itu," kata Sangaji agak segan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku mohon bantuan Paman untuk melihat-lihat gedung yang kita masuki petang hari tadi.
Mudah-mudahan Paman dapat membantu aku memperoleh pegangan kuat."
Bukan main girang hati Tatang Sontani memperoleh kepercayaan itu. Memang apabila menuruti hati serta kebiasaannya ia takkan meninggalkan gedung Tionghoa tadi sebelum memperoleh
keyakinan pasti. Tapi karena mengingat ketuanya yang baru itu terlalu sangat teguh memegang tata santun sehingga membatalkan niatnya sendiri, ia terpaksa mau mengalah. Kini, ia justru mendapat perintah. Maka begitu habis membungkuk hormat, segera ia melesat terbang seperti bayangan.
Sangaji sendiri lantas saja meneruskan perjalanannya. Dengan kebulatan tekat, ia
menyeberang lapangan terbuka, kemudian menjenguk pintu samping. Sekali pandang, ia melihat ibunya duduk menghadap meja panjang yang penuh dengan benda-benda gemerlapan. Namun
ibunya nampak bersikap dingin. Perhatiannya lebih tertarik kepada sebuah benda yang selalu dipangku dan diusap-usap-nya. Itulah mata tombak karatan warisan almarhum ayahnya yang
diterimanya dahulu dari gurunya Wirapati. Karena kesibukan hatinya, ia sampai lupa
menyampaikan kepada ibunya. Dan ia jadi menyesali diri atas kelalaiannya.
Sonny de Hoop juga berada di situ. Terang, ia bermaksud menemani ibunya. Teringat laporan Suhanda tentang beradanya gadis itu di sekitar lembah Gunung Cibugis,, suatu pertanyaan besar merumun dalam benaknya.
Biarlah aku menemuinya, katanya di dalam hati. Kalau ia merubah sikap apa boleh buat aku akan membawa Ibu pergi.
Dengan langkah tenang ia memasuki rumahnya yang baru dari pintu.depan. Begitu muncul di
ambang pintu, Sonny de Hoop bangkit dengan serentak dari tempat duduknya. Kemudian
menyambut dengan tersenyum manis.
"Ibu," kata gadis itu. "Lihat! Dia akhirnya toh datang juga." Kemudian kepada Sangaji, "Hm...
selamanya engkau membuat hatiku bingung saja. Mengapa kau pergi tanpa pamit?"
Seperti biasanya Sangaji tak pandai berbicara di depan Sonny. Ia hanya tersenyum, kemudian menghampiri ibunya yang memandangnya seolah-olah pertemuan itu terjadi dalam suatu mimpi buruk.
"Biarlah aku pergi dahulu. Setelah kau mandi, aku akan kembali," kata Sonny de Hoop. Ia tak menunggu jawaban Sangaji. Dan sebentar saja, langkahnya sudah tak terdengar lagi.
"Ibu! Darimana saja datangnya barang-barang ini?" Sangaji minta keterangan.
"Mayor de Hoop berkata, bahwa engkau sekarang sudah menjadi seorang yang penting. Karena engkau sudah membuat jasa besar terhadap pemerintah, maka beliau mengumpulkan hadiah
untukmu," sahut Rukmini. Kemudian meneruskan dengan menghela napas. "Hm sebenarnya, kita sudah biasa hidup dengan sederhana. Barang semahal ini, tidaklah penting ..."
Sangaji mengerenyitkan dahi. Keterangan ibunya tentang ucapan Mayor de Hoop benar-benar
mengandung duri tajam luar biasa. Ia sudah membuat jasa terhadap pemerintah Belanda" Inilah pernyataan yang aneh dan lucu. Dan segera ia dapat menebak maksud Mayor de Hoop
sesungguhnya. Paling tidak delapan bagian.
Tanpa disadari sendiri, ia menjelajahkan pandangnya. Benar-benar hebat perubahannya. Baik hiasan dinding maupun perabot rumahnya serba baru dan serba mahal. Bahkan penghuni rumah kini bertambah dengan sembilan orang pelayan, terdiri empat laki-laki dan lima perempuan.
"Menurut Mayor de Hoop, engkau kini sudah menjadi pemimpin tertinggi seluruh Jawa Barat.
Karena itu, sudah sepatutnya kita mendiami rumah ini," katanya. "Aji, Ibu benar-benar menjadi bingung. Apakah artinya ini, anakku?" Katanya pula, "Mayor de Hoop akan berbicara denganmu dalam beberapa hari lagi..."
Sangaji tercengang mendengar perkataan ibunya sebanyak itu. Maklumlah, Rukmini seorang


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendiam. Jarang sekali ia berbicara berkepanjangan. Meskipun Sangaji bukan Titisari yang memiliki otak tajam luar biasa, namun hatinya sibuk menduga-duga. Pastilah terjadi suatu peristiwa luar biasa, yang mengguncangkan kesederhanaan hati ibunya. Maka segera ia hendak memberi penjelasan, namun ibunya menyuruhnya mandi dahulu.
"Non Sonny akan datang kembali, setelah engkau mandi, Nah, mandilah dahulu. Pastilah kisahmu akan memakan waktu panjang," katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sehabis mandi, Sangaji mengabarkan pengalamannya mulai dari pertemuannya dengan Sidi
Mantera sampai kepada peristiwa di dataran tinggi Gunung Cibugis.
Rukmini menghela napas mendengar peristiwa yang mengherankan itu. Katanya perlahan, "Itu semua adalah jasa dari kedua gurumu dahulu. Coba sekiranya engkau tak memperoleh
bimbingannya, masakan engkau dapat melawan kegagahan mereka."
Sudah barang tentu Rukmini tak tahu, bahwa kesaktian Sangaji sesungguhnya diperolehnya
dari guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Kepandaian Sangaji kini apabila dibandingkan dengan kesaktian kedua gurunya, jauh berada di atasnya.
"Tetapi anakku..." kata Rukmini lagi sambil mengusap-usap tombak almarhum suaminya. "Kita sudah dipaksa nasib untuk tinggal di sini lima belas tahun lamanya. Jauh dari kampung halaman.
Jauh dari sanak keluarga, pun Mayor de Hoop memperlakukan kita begini baik, sesungguhnya ingin aku pulang ke kampung halaman. Aku tahu kau bukannya seorang yang berangan-angan
besar hendak menjadi seorang raja atau seorang jenderal kompeni. Pastilah kau akan senang bertempat tinggal di kampung halaman sendiri, walaupun sunyi sepi. Hanya urusan Nona Sonny, kurasa akan membuatmu sulit... Bukankah begitu?"
Bukan main terkejut hati Sangaji mendengar ucapan-ucapan ibunya itu. la tak mengerti hatinya sendiri, apakah girang, terharu, curiga atau bersangsi. Yang terang, hatinya memukul. Itulah masalah pelik yang selalu merumun ketenangan hatinya. Kini ibunya sudah menunjukkan warna kartu, bukankah menjadi gampang" Terus saja ia berkata, "Ibu! Ibu! Mengapa Ibu tak berkata semenjak aku datang dahulu?"
Setelah berkata demikian, ia memeluk ibunya erat-erat. Dan Rukmini membiarkan diriya dipeluk sampai anaknya puas. Kemudian berkata sambil mengusap-usap tombak karatan yang selalu
dipangkunya. "Warisan ayahmu inilah yang membuka mataku. Kau lupa memberi kepadaku. Suatu hari,
karena hatiku pepat memikirkan dirimu kulihat tombak ini. Oleh pertolongan seorang serdadu dari Jawa, ternyata terdapat tulisan gurumu Wirapati."
"Tulisan Guru?" Sangaji heran.
"Sebuah pesan," Rukmini menegaskan. "Bacalah! Bukankah ini suatu peringatan yang jujur?"
Untung, berkat ketekunannya menyelami Ilmu sakti Kyai Kesambi dahulu (Suradira Lebur
Dening Pangastuti) Sangaji telah pandai membaca huruf Jawa. Maka begitu membaca tulisan
Wirapati yang tergurat pada tombak karatan itu, hatinya tergetar.
Ayah Sangaji mati untuk apa" Sekedar membuktikan kepada anaknya, bahwa dia termasuk
seorang laki-laki tulen. Dan aku mengharapkan, agar anakku, anak didikku mati pula sebagai lakilaki. Biarlah dia hidup satu hari asal hidup sebagai harimau. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya"
Wirapati Benar, bisik Sangaji di dalam hati. Bukankah hidupku kini tak ubah seekor kambing yang kena dituntun ke sana ke mari" Ya, di mana aku sekarang ini"
Tak terasa ia membayangkan gurunya
Wirapati yang gagah perkasa. Dan secara wajar teringatlah dia pula kepada ucapan gurunya Jaga Saradenta: "... karena itu, engkau harus belajar mempunyai keputusan cepat, tegas dan tepat. Itulah senjatamu satu-satunya untuk mengarungi dunia yang lebar ini. Keputusannya ...
keputusanmu... keputusanmu..."
"Cobalah renungkan!" kata Rukmini. "Bunyi tulisan itu seolah-olah dialamatkan kepadaku, agar aku selalu menjagamu. Sungguh menyesal, ternyata aku tak pandai menjagamu. Semua
pusakamu kecuali kalung berlian dan buah sakti itu terbawa oleh Mayor de Hoop tatkala aku dipindahkan ke mari."
Mendengar warta itu, Sangaji terkejut. Namun ia berusaha hendak menghibur hati ibunya.
Belum lagi membuka mulut, ibunya berkata lagi. "Ibu seorang bodoh, anakku. Tetapi menyaksikan perampasan itu, tahulah Ibu bahwa engkau berada dalam kesulitan. Kemudian selama beberapa hari ini, ia bersikap luar biasa terhadap Ibu. Lihatlah emas, perak dan permata. Inilah hadiahnya.
Benar ia berkata, bahwa semuanya ini demi eratnya hubungan keluarga kita di kemudian hari, tetapi Ibu berada di dekatnya hampir tiga tahun lamanya. Dan mengenal dia lebih dari tujuh tahun. Ibu rasa cukup mengenal baik sifatnya. Ibu rasa, pastilah ada sebab utamanya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beralasan. Cobalah jawab pertanyaan Ibu dengan setulus hatimu, apakah engkau senang
manakala kuajak pulang ke kampung halaman?"
"Tentu! Tentu! Mengapa tidak?" Sangaji menyahut cepat.
"Tetapi Nona Sonny! Bukankah akan menyulitkan dirimu?"
Sangaji tertegun sebentar. Tiba-tiba timbullah keputusannya. Katanya di dalam hati, dengan sebenarnya aku menganggap Sonny tidak lebih dari seorang saudara. Sebaliknya dengan Titisari, aku mempunyai kisah sendiri. Biarlah kukatakan kepada Ibu, agar Ibu sendiri yang memutuskan.
Setelah memperoleh keputusan demikian, segera ia menceritakan riwayat pertemuan dengan
Titisari sampai terpisahnya kembali di perbatasan Cirebon.
"Aji! Mengapa engkau tak pernah menceritakan gadis pilihanmu itu," kata Rukmini setelah mendengarkan penuturan anaknya.
"Semenjak datang di Jakarta, ada saja persoalan yang harus kuhadapi sehingga belum
rnemperoleh waktu yang baik. Selain itu, sesungguhnya aku takut membuat Ibu sedih."
"Mengapa?" Rukmini menegas.
"Mayor de Hoop bersikap sangat baik terhadap kita. Kita berdua dilindungi semenjak lama.
Sonny pun bersedia pula menjadi isteri-ku. Masakan aku tak mengenal budi itu?"
Rukmini menghela napas. Sejenak kemudian berkata, "Kita memang berutang budi kepadanya.
Tetapi menurut tutur katamu, jasa Titisari tidak dapat ditebus dengan harta benda maupun semboyan-semboyan luhur belaka. Bukankah dia telah merebut jiwamu kembali, tatkala engkau luka parah. di benteng batu" Coba seumpama tiada Titisari, bukankah perjodohanmu dengan
Nona Sonny sia-sia belaka?" ia berhenti mengesankan.. Berkata lagi, "Dengan keluarga Mayor de Hoop, kita memang berutang budi. Tapi kepada Titisari, kita berutang jiwa. Ingat-ingatlah hal itu!"
"Yang berutang jiwa hanya aku seorang. Bukan Ibu," bantah Sangaji.
Rukmini tersenyum getir. Katanya, "Hm ... seumpama engkau tewas, masakan Ibu sudi hidup lama-lama lagi" Karena itu, ibupun ikut berutang jiwa pula."
Sangaji hendak menghela napas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar seorang
menarik napas dari luar dinding. Tak ragu lagi, itulah napas Sonny de Hoop. Mau ia bergerak, tapi ibunya berkata lagi. "Aji! Mendiang kakekmu dahulu pernah berkata kepada Ibu begini tatkala Ibu mendapat lamaran ayahmu: 'Perkawinan memang suatu tataran yang baik, tetapi apabila bakal membuatmu sengsara, apa perlu kaumasuki"' Aku tahu kini, apa sebab kakekmu berkata begitu terhadap Ibu. Sebenarnya, kakekmu agak menyangsikan kesetiaan ayahmu. Maklumlah, ayahmu
seorang berasal dari Pulau Bali. Sedangkan Ibu seorang gadis Jawa. Kakekmu mengira, bahwa perkawinan itu akan berakibat buruk untukku. Untunglah, prasangka kakekmu itu tidak terbukti.
Ayahmu ternyata seorang laki-laki sejati."
Sampai di sini, Rukmini sukar menuntaskan perkataannya. Tangannya, menggenggam tombak
karatan itu, erat-erat. Tahulah Sangaji hati ibunya sedang terisi kenangan ayahnya. Maka ia tak mau mengganggunya.
Sejenak kemudian Rukmini berkata, "Sekarang, aku mau meminjam ucapan mendiang kakekmu itu untukmu. Ingatlah Aji, engkau anakku seorang. Ibu tahu, hatimu jauh berada di Jawa Tengah.
Apabila hatimu senantiasa pepat, masakan Ibu bisa tidur nyenyak dan makan enak?"
Bukan main terguncang hati Sangaji. la seperti kehilangan diri sendiri, sehingga tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
"Ibu!" akhirnya ia berkata seperti linglung. "Sepanjang perjalanan, aku seperti melihat bayangan Titisari. Mungkin sekali ia berada di sekitarku. Hanya saja, ia tak mau memperlihatkan diri."
"Kau berkata, Titisari berada di dekatmu?" Rukmini menegas.
Sangaji berbimbang-bimbang. Namun ia menyahut juga, "Titisari seorang gadis pintar luar biasa. Semua yang tersembunyi, baginya sangat cerah." Tetapi setelah berkata demikian, ia menyangsikan ucapannya sendiri. Tak dikehendaki sendiri, ia kelihatan ter-mangu-mangu.
"Kalau Titisari benar-benar berada di sekitarmu seperti dugaanmu... hm... engkau benar-benar dalam suatu kesulitan besar," Rukmini mengeluh. "Nona Sonny mungkin dapat kau buat mengerti.
Tapi ayahnya... inilah lain."
"Mengapa begitu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin sekali, ia akan tersinggung kehormatannya," sahut Rukmini. "Prajurit terlatih menjaga kehormatan kesatuannya. Karena itu, prajurit lekas saja tersinggung kehormatannya. Bukankah kakakmu Williem pernah berkata demikian berulang kali kepadamu. Lihatlah, sampai ibumu
sebodoh ini masih sanggup menghafal."
Sangaji adalah anak tunggal Rukmini. Tak mengherankan, bahwa ia menganggapnya sebagai
hidupnya sendiri. Dahulu tatkala ia mendengar kabar pertunangan Sangaji dan Sonny de Hoop sudahlah timbul kesangsian-nya. Sebagai seorang wanita suku Jawa, sudah barang tentu ia
mengharapkan agar memperoleh menantu berasal dari Jawa pula. Tetapi mengingat, bahwa
Sangaji masih membutuhkan perlindungan, ia tak memperlihatkan suatu sanggahan. Teringat
dirinya sendiri menerima cinta kasih seorang putera dari Pulau Bali, dia bersedia menerima pula kenyataan itu. Tetapi diam-diam ia mengetahui betapa sikap dingin Sangaji terhadap Sonny de Hoop. Terasa dalam naluri keibuannya Sangaji tak lebih seorang tawanan yang mencoba
mengatasi rasa kalahnya. Sonny de Hoop seorang gadis tiada cela. Malahan lambat-laun tertanamlah benih kasihnya.
Tapi melihat anaknya bersikap dingin, mau tak mau ia jadi perasa pula. Maka ia mencoba
menduga-duga. Dan begitu mendengar cerita anaknya yang menyebut-nyebut seorang gadis yang bernama Titisari dengan bersemangat, hilanglah sudah rasa sangsinya. Apalagi Titisari ternyata seorang gadis yang pernah merebut jiwa Sangaji.
"Mayor de Hoop tidak hanya mempunyai kekuasaan kompeni, tapi ia menguasai kita berdua pula. Belum-belum ia sudah merampas pusaka milikmu. Aku khawatir, engkau kelak kena
dirampas pula... Marilah kita pulang saja ke kampung halaman. Lihat, inilah warisan tombak ayahmu..."
Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, Sonny de Hoop terdengar tiba di serambi depan.
Maka cepat-cepat ia berkata lagi, "Temuilah dia dan berbicaralah baik-baik. Bilang, bahwa engkau ingin menghadap ayahnya. Mudah-mudahan ayahnya memperkenankan kita pulang ke kampung
halaman dengan aman damai..."
Dengan membulatkan tekat, Sangaji berdiri dari tempat duduknya. Hatinya terasa ringan. Maka dengan langkah tetap ia berjalan ke serambi depan menyambut kedatangan Sonny de Hoop.
Ternyata Sonny de Hoop datang dengan dikawal oleh seorang sersan berusia tua. Sersan itu berkumis tebal. Matanya tajam berlindung di bawah alisnya yang tebal pula. Sekali pandang tahulah Sangaji, bahwa sersan itu bukan orang sembarangan. Memperoleh kesan demikian, diam-diam ia berjaga-jaga diri.
"Taruhlah di meja!" perintah Sonny de Hoop.
Dengan sikap hormat, sersan itu meletakkan bebannya di atas meja. Heran Sangaji, karena
beban itu ternyata pusaka sakti Kyai Tunggul-manik, Bende Mataram dan pedang Sokayana yang tadi menyibukkan pikirannya.
"Ayah kini tidak menganggapmu lagi sebagai seorang pemuda tolol. Namun karena menjaga hal-hal yang tidak kauinginkan, Ayah perlu menyimpan semua pusakamu ini. Malam ini kami
kembalikan dengan utuh. Periksalah dahulu barangkali engkau mengira Ayah memalsukan," kata Sonny de Hoop.
Untuk mengenal ketiga pusaka sakti itu, Sangaji tidak membutuhkan waktu lama. Dengan
pandang, ia sudah mengenalnya. Hatinya penuh syukur dan hampir saja menyatakan rasa terima kasih. Untung waktu itu, Sonny de Hoop berkata lagi sambil menghela napas. "Selamanya engkau membuatku tidak mengerti. Sebenarnya bagaimana bisa terjadi begitu?"
Mereka kemudian duduk di ruang depan. Setelah pembantu rumah menghantarkan minuman
ringan, mulailah Sangaji mengumpulkan semangat. Dengan mendengarkan kata-kata Sonny de
Hoop tahulah dia sudah, bahwa beradanya di dataran ketinggian
Gunung Cibugis bukan merupakan suatu rahasia lagi. Teringat helaan napas Sonny yang tadi didengarnya di luar dinding tatkala ibunya sedang memperbincangkan rencana pulang ke
kampung halaman, timbullah sikap jantannya. Dasar ia seorang yang jujur dan berjiwa ksatria sejati, lantas saja berkata dengan tenang.
"Sebenarnya tadinya aku hanya bermaksud memenuhi suatu undangan belaka. Kemudian aku menyaksikan mereka saling membunuh. Bukankah sayang" Alangkah baiknya, apabila mereka
hidup rukun dan damai sebagai kawan senasib dan sebangsa ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sederhana sekali kata-kata Sangaji. Untung, Sonny de Hoop sudah mengetahui persoalannya
dan laporan-laporan militer yang didengarnya. Dengan demikian, ia dapat menangkap keterangan Sangaji. Katanya kemudian, "Kau selamanya lambat dalam segala hal tidak pandai berbicara banyak. Tapi kali ini, engkau jadi luar biasa. Apakah kedudukanmu yang merubah dirimu?"
Pertanyaan itu sama sekali tak terduga, sehingga Sangaji jadi terbungkam. Sonny de Hoop
sendiri agaknya tak bermaksud memperoleh jawaban, la meruntuhkan pandang ke alas meja, lalu berkata memerintah kepada Sersan yang tetap berdiri tegak di dekatnya.
"Bawalah pusaka Tuan muda ini ke dalam!"
Sersan itu mengangguk, kemudian membawa ketiga pusaka sakti ke dalam. Setelah diserahkan kepada Rukmini, ia kembali ke serambi depan di sudut ruang samping.
"Aji! Betapa alasan Ayah, hatimu pasti sakit sewaktu mendengar kabar hilangnya ketiga pusaka itu, bukan" Pastilah engkau sudah menuduh Kompeni merampas milikmu. Agaknya benar juga,"
ujar Sonny de Hoop lembut. "Tiap prajurit selalu menyatakan diri, bahwa dia adalah penjaga dan pengatur keamanan. Padahal dialah sesungguhnya perusak keamanan. Kau percaya, tidak"
Lihatlah dengan alasan demi menjaga dan mengatur keamanan, kerapkali dia perlu membunuh
yang lain. Setidak-tidaknya membuat rugi yang lain. Nah, bukankah dia justru menjadi perusak keamanan" Maka teringatlah aku kepada ucapan seorang filsof Yunani kuna yang berkata begini: Kau tahu apakah sesungguhnya organisasi militer itu" Mereka tak lebih dari organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang. Kau percaya, tidak?"
Sonny de Hoop tertawa lembut. Dan Sangaji bertambah berwaspada. Katanya di dalam hati, dia berkata, militer adalah organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang"
Benarkah hatinya berkata begitu juga" Jangan-jangan ia hendak memancing aku...
Teringatlah dia akan sepak-terjang prajurit-prajurit kompeni laskar Pangeran Bumi Gede
maupun laskar Pangeran Ontowiryo. Semua-semuanya membunuh. Juga mereka yang
menamakan diri golongan pendekar di seluruh jagat ini. Maka terasalah betapa pernyataan Sonny de Hoop tepat mengenai sasarannya. Namun, tak berani ia berlaku semberono. Hati-hati ia
menatap wajah Sonny de Hoop. Siapa tahu, semua ucapannya mengandung duri.
Sonny de Hoop meruntuhkan pandang. Lalu memandang wajah Sangaji.
"Aji! Maafkan ayahku. Dengan sesungguhnya, ia bermaksud baik sekali. Lihatlah semua pusaka milikmu dikembalikan dengan utuh."
"Sonny! Ayahmu baik sekali." Dan selamanya dia baik sekali terhadapku dan Ibu, masakan aku berani menuduh yang bukan-bukan?" sahut Sangaji.
Terhadap Sangaji, Sonny de Hoop tiada pernah menyangsikan semua ucapannya. Maka dengan
penuh perasaan dia berkata, "Aku tahu dan aku percaya padamu. Semuanya itu terjadi, karena kemuliaan hatimu. Kau berkata tadi, bahwa kedatanganmu di dataran tinggi Gunung Cibugis
semata-mata hendak mendamaikan semua pihak yang sedang bertengkar. Sebab hatimu yang
mulia ingin melihat semua insan hidup damai. Kau ingin melihat ..." ia berhenti. Hatinya pilu dan pedih. Terasa sudah, bahwa antara dia dan Sangaji kini seperti telah terjadi suatu jurang pemisah.
Suatu hal yang tidak dikehendakinya sendiri. Katanya lagi, "Kompeni sekarang memang bertugas untuk mengamankan seluruh daerah Jawa Barat. Kau sekarang sudah menjadi pemimpin tertinggi Himpunan Sangkuriang. Tiap patah katamu akan didengar dan dilakukan dengan patuh. Cobalah bujuk mereka agar hidup berdamai dengan kompeni. Dengan begitu jalan yang akan kita lalui menjadi rata seperti semula."
"Tidak mungkin!" sahut Sangaji cepat. "Mereka bercita-cita justru hendak mengusir pemerintah Belanda dari bumi Jawa."
Mendengar ucapan Sangaji, wajah Sonny de Hoop berubah hebat sampai pucat. Tanpa disadari sendiri, ia bangkit dari tempat duduknya sambil berkata dengan nada tinggi.
"Kenapa kau mengucapkan kata-kata begitu" Kau bisa dianggap sebagai pemberontak."
"Sonny! Mereka memang berkata dan bercita-cita begitu. Lalu aku harus berkata bagaimana"
Apakah aku harus memperkosa ucapannya?" sahut Sangaji. "Mereka mempercayai aku. Meskipun hatiku enggan, tetapi aku tak menolak pula. Apakah menurut pendapatmu aku harus
mengkhianati mereka?"
Lama sekali Sonny de Hoop menatap wajah Sangaji. la nampak terkejut, gusar, kecewa dan
pilu. Juga sersan yang duduk di sudut ruang depan. Akhirnya perlahan-lahan Sonny de Hoop
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
duduk kembali dengan pandang lembut. Dan sersan itu terdengar melepaskan napas lega pula.
Perlahan Sonny de Hoop berkata, "Semula aku tak percaya kepada semua kabar yang kudengar.
Kemudian aku minta izin Ayah hendak membuktikan sendiri. Sekarang aku mendengar pula dari mulutmu sendiri. Apakah aku bisa mengingkari kesulitan ini?"
Setelah berkata demikian, gadis itu nampak berduka dengan hati pilu. la melemparkan pandang jauh di sana. Kepada tiang-tiang pendapa, kepada wajah sersan yang menunduk, kemudian pada kegelapan malam. Namun penglihatan itu tidak merasuk dalam rasanya. Akhirnya setelah lama berdiam diri ia meruntuhkan pandang ke bawah seraya berkata dengan berbisik.
"Waktu engkau diketemukan Ayah di dalam medan perang dahulu, Ayah sudah bercuriga.
Tetapi ia mendengarkan kata-kataku. Kemudian untuk kedua kalinya, engkau berada di
perkemahan. Juga Ayah tidak mengusut lebih lanjut. Tetapi sekarang semua orang mendengar kabarmu. Sulitlah untuk meniadakan semuanya itu." la berhenti sebentar menghela napas.
Sekonyong-konyong pandang mataya berkilatan,"Benarlah kata pepatah: Kalau suamimu menjadi raja, kau akan menjadi seorang permaisuri yang muda. Tetapi bila suamimu menjadi setan,
kaupun akan menjadi iblis. Nah, biarlah aku menjadi iblis." .
Mendengar ucapan Sonny de Hoop, hati Sangaji terharu bukan main. Dasar hatinya lemah, lagi pula tidak terdapat suatu kesalahan pada diri Sonny, maka berkatalah dia dengan penuh
perasaan: "Sonny...! Aku ini memang seorang yang tidak hanya tolol, tapi juga tidak tahu berterima kasih.
Sekarang biarlah aku patuh kepada kehendakmu... " Tetapi setelah berkata demikian, suatu bayangan berkelebat dalam otaknya. Segera ia dapat menguasai diri. Lalu berkata lagi,
"Terhadapmu memang aku dapat berkata begini. Tetapi bagaimana dengan ayahmu yang
memegang kekuasaan militer" Pastilah dengan alasan dinasnya, Beliau lebih mencintai
kedudukannya daripada kepadamu atau kepadaku ..."
"Ya benar," sahut Sonny dengan mengeluh. "Itulah sebabnya, aku dahulu tidak senang engkau menjadi semacam jagoan. Kau tahu sebabnya?" Sonny berhenti mengesankan. "Inilah jadinya.
Karena demi mengabdi kepada apa yang dinamakan kehormatan diri dan cita-cita, kau dan aku mungkin berdiri di seberang menyeberang."
"Janganlah berkata begitu, Sonny. Aku memang bersalah terhadapmu, tapi ayahmu bukan seorang jagoan. Beliau tidak memperebutkan apa yang dinamakan suatu kehormatan diri."
"Kau berkata apa?" potong Sonny de Hoop sengit. Berbareng dengan senyumnya pahit, ia meneruskan. "Kau berkata dia bukan termasuk golongan jagoan" Kau salah, aku justru berkata begitu. Dialah termasuk pula seorang jagoan yang kebetulan mengenakan pakaian seragam."
Sangaji menatap wajah Sonny de Hoop. Ingin ia menangkap sasaran ucapannya, namun
sebagai biasanya ia lambat dalam hal menebak maksud seseorang. Maka ia minta ketegasan, "Kau berkata Beliau seorang jagoan kebetulan mengenakan pakaian seragam?"
"Ya, bukankah sudah terang?" sahut Sonny. "Seorang jagoan adalah seorang yang mengabdikan diri kepada kehormatan dan nama yang kosong. Dalam hidupnya ia hanya
mendengarkan hatinya sendiri."
"Ah, belum tentu. Seorang yang berbudi luhur..."
"Mengapa belum tentu?" potong Sonny. "Seorang prajurit dididik untuk menang. Karena itu betapa dia mau mengalah" Kalau dia mau mengalah, dialah bukan seorang pra-jurit."
Selamanya Sangaji tak pandai berdebat. Meskipun pada waktu itu ia sudah memperoleh
kemajuan yang lumayan, namun masih saja ia tak mampu mengatasi bentuk pembicaraan yang
bersifat cepat. Maka mulutnya membungkam dengan mendadak. Dan seperti dahulu, ia lantas
menjadi tokoh pendengarnya.
Dalam suatu pertarungan seorang jagoan harus membunuh lawannya bilamana mau selamat.
Seorang prajuritpun demikian. Cuma bedanya, seorang prajurit dilindungi undang-undang.
Sebaliknya seorang jagoan tidak. Dia justru akan dikejar penuntutan balas dendam dan hamba undang-undang. Tapi pada hakikatnya setali tiga uang.
Sangaji berdeham. Ingin ia memberi pandangan lain namun mulutnya memang tidak kuasa
mengungkap rasa hatinya, la hanya berkata, "Tetapi Sonny... semuanya tergantung kepada pribadinya masing-masing. Seorang prajurit meskipun membunuh tetapi demi untuk keamanan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
umum. Sedangkan seorang jagoan hanya mengabdi kepada kepentingan diri sendiri... Inilah
bedanya." Sonny de Hoop tertawa lembut. Katanya, "Ah, benar-benar engkau sudah berubah. Kau
sekarang sudah pandai berbicara. Maka benarlah kata Ayah, bahwa engkau bukan seorang
pemuda tolol lagi..." .
Itulah suatu sindiran tajam. Kalau bukan Sangaji pastilah akan melahirkan suatu rentetan perdebatan. Tapi Sangaji yang berhati damai, segera mengalihkan pembicaraan.
"Sonny! Apakah engkau berhasil membicarakan keluarga Mulawir kepada ayahmu" Kalau
berhasil alangkah senang hatiku."
"Benarkah hatimu senang?" Sonny de Hoop mencoba.
"Tentu! Aku akan memaksamu untuk menerima rasa terima kasihku."
"O, Sangaji... semenjak dahulu aku berkata, bahwa aku akan ikut senang hati manakala hatimu senang pula. Keluarga Mulawir sudah dibebaskan. Tetapi ayah tidak dapat membebaskan Ki
Tunjungbiru, meskipun hatinya sangat menyesal."
"Mengapa?" "Perkaranya sudah terlanjur dilaporkan kepada atasan. Maka penyelesaiannya harus lewat saluran hukum pula."
"Ya, aku tahu," sahut Sangaji dengan kepala kosong. Sejurus kemudian berkata, "Sonny!
Apakah engkau mengerti di mana dia disekap?"
"Penjara Glodok."
Sangaji nampak prihatin. Mencoba, "Pastilah engkau dapat mengetahui keadaan penjara dengan jelas. Setidak-tidaknya melebihi pengetahuanku, berhubung kedudukan ayahmu."
Senang dan bersyukur hati Sonny de Hoop . mendengar bunyi kata-kata Sangaji. Sebagai anak seorang komandan, sering ia mendengar dan mengenal cara bergaul pembesar-pembe-sar militer.
Makin tinggi pangkat dan jabatannya, makin mereka berhati-hati dalam setiap pembicaraannya.
Itulah disebabkan karena kedudukan, tugas, jabatan serta kehormatan diri. Namun sikap hidup demikian tidak terdapat dalam diri Sangaji. Pemuda itu kini menjadi pemimpin tertinggi seluruh laskar perjuangan barat dan merupakan momok yang ditakuti kompeni. Sekalipun demikian, kata-katanya tidak berbeda tatkala ia baru mengenalnya. Itulah suatu tanda, bahwa hatinya tidak berubah terhadapnya. Maka terus saja gadis itu berkata menyahut, "Kau selamanya membuat hatiku bingung. Baiklah aku akan membantumu sebisa-bisaku. Kau pasti akan berusaha menolong Ki Tunjungbiru. Selama dia masih di dalam penjara pastilah hatimu tidak tenang. Hanya saja, sudahkah engkau mempunyai daya upaya untuk mengatasi kemarahan Ayah?" Sangaji
mengangguk. "Aku akan menghadap ayahmu. Aku tahu, ayahmu pasti akan menyatakan bermusuhan dengan tugasku. Karena itu aku akan minta ijin padanya untuk pulang bersama Ibu ke kampung
halaman." Mendengar kata-kata Sangaji, Sonny de Hoop tertegun. Wajahnya pucat. Tapi sebentar
kemudian, berubah menjadi lembut. Dengan tersenyum ia berkata, "Memang kadang-kadang pernah aku berpikir tentang diriku sendiri. Andaikata aku ini bukan bangsa Belanda, juga bukan anak seorang Komandan Kompeni Belanda yang kebetulan bermusuhan dengan kedudukanmu
sekarang alangkah senang dan gampang jadinya. Aku akan menyertaimu di mana saja kau
berada. Sekarang, ternyata engkau akan pergi benar-benar. Dan aku akan menyertaimu juga, di mana engkau berada. Biar aku menjadi setan demi untuk-mu ...
Bukan main terharu rasa hati Sangaji. Itulah suatu ucapan cinta kasih setulus-tulusnya.
Kenyataan demikian tak dapat diabaikan dengan begitu saja. Selagi ia berpikir demikian, terdengar Sonny de Hoop berkata lagi, "Kau tadi minta keterangan tentang keadaan penjara, bukan?"
Sangaji mengangguk. "Biasa saja," kata Sonny de Hoop. "Penjara di mana-mana saja dipimpin oleh seorang Kepala Penjara yang dibantu dengan pegawai-pegawai bawahannya. Hanya saja karena penjara Glodok dianggap sangat penting, penjaganya diperkuat dengan serdadu-serdadu Kompeni yang dibantu pula oleh tamping-tampingnya yang sudah mendapat kepercayaannya."
'Tamping" Apakah itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang yang terhukum untuk selama hidup dan sesudah mendapat kepercayaan diangkat oleh Kepala Penjara sebagai pembantu mengurus tata tertib."
Sangaji diam merenung. Penjara Glodok sudah sering dilihatnya. Kesannya seram dan
menakutkan. Menurut kabar, tidak gampang seseorang mencoba mendekati dindingnya tanpa
diketahui penjaganya. Sekiranya memaksa diri menjebol pintunya, pastilah akan menimbulkan suatu perjuangan sengit. Memikir demikian, ia jadi gelisah. Bukankah laskar Himpunan
Sangkuriang kini sedang dalam perjalanan mendekati penjara itu"
Selagi berpikir demikian, sekonyong-konyong nampaklah sinar api menyala tinggi di luar rumah.
Kemudian terdengarlah suara hiruk-pikuk disusul pula dengan bunyi tanda bahaya.
Cepat Sonny de Hoop keluar pendapa. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Hai! Bukankah itu penjara Glodok" Sersan!"
la menoleh ke serambi. Tetapi sersan yang tadi duduk di sudut ruang, tiada nampak batang hidungnya. Kapan ia meninggalkan ruang itu, berada di luar pengamatannya. Segera ia
menyerunya. Namun meskipun diulanginya beberapa kali, tetap sersan itu tidak muncul. Setelah berbimbang-bimbang sejenak, cepat Sonny masuk ke dalam, la mencoba minta keterangan
Rukmini. Tapi Rukmini tak dapat memberi keterangan. Juga semua pelayan yang berada di sekitar rumah.
Sangaji kala itu tiada sabar lagi melihat nyalanya api yang nampak membumbung tinggi di
udara. Teringatlah dia kepada Ki Tunjungbiru dan sekalian laskarnya. Apakah mereka sudah tiba di dalam kota dan terus menyerbu penjara?"
Karena dirumun berbagai soal, Sangaji lantas berdiri tegak. Tatkala melihat Sonny kembali ke serambi depan, ia berkata cepat: "Sonny, maafkan aku ingin melihat." Dan berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, sekali melesat bayangannya sudah lenyap dari penglihatan.
"Hai, hai! Tunggu dahulu!" teriak Sonny de Hoop, "Biarlah kita berangkat bersama."
Mendengar teriak Sonny de Hoop yang berkesan gupuh, Rukmini lari ke serambi depan. Tetapi pada saat itu, baik Sangaji maupun Sonny de Hoop sudah tiada lagi.
Pada saat itu Sangaji sudah berada di jalan. Ia melesat bagaikan terbang. Belum lagi memasuki daerah perkampungan Cina yang berada di depan, matanya yang tajam menangkap berkelebatnya sesosok bayangan yang menyongsong padanya. Melihat gerakan bayangan itu, pastilah bayangan seorang yang berkepandaian tinggi. Tiba-tiba pada detik itu terdengar bayangan tadi berseru,
"Gusti Aji!" Sangaji berhenti dengan mendadak. Ia menoleh. Ternyata bayangan itu Tubagus Simuntang.
Entah apa sebabnya hati Sangaji menjadi besar dan berbangga. Terus saja ia menyahut. "Paman!"
"Ada kejadian ajaib," kata Tubagus Simuntang setelah membungkuk hormat.
"Maksud Paman penjara terbakar?"
"Tidak hanya itu. Tetapi yang menyerbu bukan laskar kita," sahut Tubagus Simuntang. Seperti diketahui, Tubagus Simuntang minta ijin kepada Sangaji hendak melakukan tugasnya. Semenjak zaman Ratu Bagus Boang, Tubagus Simuntang menduduki jabatan penghubung. Dalam
melakukan tugasnya hendak menghubungi Dadang Wiranata, Dwijendra, Andangkara dan Otong
Surawijaya pada malam itu, ia menjumpai suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Segera ia mengikuti perkembangan peristiwa itu. Begitu memperoleh kepastian, segera ia lari sekencang-kencangnya, hendak memberi laporan kepada ketuanya. Katanya kemudian setidak-tidaknya enam pendekar datang menyerbu penjara.
"Untuk Ki Tunjungbiru?" potong Sangaji.
"Terang sekali tidak. Mereka datang untuk membebaskan anak-anak muridnya yang lenyap tiada bekasnya setelah turun dari dataran ketinggian Gunung Cibugis."
"Ah, apakah mereka kena tawan kompeni?" Sangaji heran.
"Benar," sahut Tubagus Simuntang. "Dalam suatu pertarungan, rupanya masing-masing perguruan ada yang dapat meloloskan diri sehingga dapat memberi laporan kepada gurunya
masing-masing. Nah, sekarang mereka semua datang dengan serempak. Hamba kira paling tidak enam pendekar turun tangan dengan berbareng. Ah, hebat! Pastilah akan merupakan suatu
tontonan yang menarik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar juga. Waktu tiba di depan penjara, mereka berdua melihat berkelebatnya beberapa
bayangan yang bergerak sangat cepat dan berani. Dengan berlompatan, bayangan itu menikam penjaga-penjaga yang sedang mengisi senapan bermesin bubuk.
Penjara Glodok pada zaman itu, tidaklah seperti sekarang. Penjara tersebut dibangun untuk tempat mengurung penentang-penen-tang pemerintahan Belanda yang disegani. Itulah sebabnya, penduduk menyebutnya sebagai kandang negara. Seratus tahun yang lalu, pahlawan Untung
Surapati pernah disekap di dalam salah sebuah kamarnya yang berada di bawah tanah. Ternyata dia masih dapat membebaskan diri. Bahkan membawa lari pula 120 orang hukuman yang
kemudian "Aku akan menyertaimu juga dimana kau berada. Biarlah aku menjadi setan demi untukmu..."
Bukan main terharu rasa hati Sangaji. Itulah suatu ucapan cinta kasih se-tulus-tulusnya.
mengadakan perlawanan di luar kota Jakarta. Betapa tinggi kepandaian Untung Surapati dapat dibuktikan dengan kenyataan tersebut.
Oleh pengalaman itu, pemerintah Belanda memperbaiki bangunan Glodok. Sekarang terdapat
sebuah menara tinggi yang terbuat dari balok-balok batu pegunungan. Tingginya kurang lebih 20
meter. Mempunyai kamar sel sebanyak 47 buah. Kamar-kamar tersebut yang disusun meninggi, khusus disediakan bagi musuh-musuh negara berkepandaian tinggi. Karena letak kamar-kamar itu bersusun tinggi, maka penglihatan itu lebih mirip sebuah menara penghias kota.
Bagian dinding luar terbuat dari besi tebal berlapis baja putih. Apabila kena sinar matahari memantulkan cahaya yang menyilaukan. Sedangkan tangga yang menghubungkan kamar teratas,
selalu bergerak. Kamar itupun merupakan sebuah kamar yang diperlengkapi dengan alat


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penggerak rahasia. Manakala digerakkan, dengan suara bergerit berputar dan turun ke dalam tanah.
Kamar tersebut dinamakan kamar maut, karena tiada lubang angin sama sekali. Barangsiapa
kena ditahan di dalam kamar tersebut, tiada harapan untuk bisa membebaskan diri. Kecuali apabila mampu menjebol dinding besinya yang tebal luar biasa.
Penjagaan berada di luar menara. Di atas gardu-gardu pengawas dengan dilindungi alat
penerangan dan terali besi. Penjaganya diperlengkapi dengan senapan bermesiu bubuk, panah, golok dan pedang.
Malam itu selagi para penjaga berada di atas gardunya masing-masing, tiba-tiba nampaklah tujuh bayangan melesat melompati tembok luar. Terang sekali, mereka bukan orang sembarangan. Dan baru saja para penjaga hendak mengadakan suatu reaksi, mereka telah
menyergapnya tanpa berbimbang-bimbang lagi.
Melihat robohnya semua penjaga yang berada di atas gardu penjagaan, Kepala Jaga lantas saja memukul lonceng tanda bahaya. Pembantunya melepaskan panah berapi di udara. Itulah sinar yang tadi terlihat oleh Sangaji dan Sonny de Hoop. Dan sebentar kemudian, bunyi sangkakala melengking di tengah malam.
Tamping-tamping yang merupakan urat nadi, muncul dari lorong samping. Baru saja mereka
mencongkakkan diri, terdengarlah angin tajam meniup semua lentera.
"Ini bukan manusia. Siluman!" Mereka berteriak terkejut. Berbareng dengan teriakan mereka, suara gemerincing memekakkan telinga.
Itulah suara rantasnya gerendel-gerendel dan terali sel. Dan muncullah orang-orang tahanan yang tersekap di dalam kamar menara. Ternyata mereka adalah para pendekar yang pernah
menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis.
Melihat munculnya mereka, hati Sangaji tergetar. Berbagai pertanyaan berkelebatan dalam
benaknya. Sekonyong-konyong dua bayangan berkelebat mendekati. Mereka datang dari arah
yang bertentangan. Yang lain, sersan yang tadi mengawal Sonny de Hoop.
Sangaji sudah menduga, bahwa sersan itu bukan sembarang orang. Namun tiada mengira,
bahwa ia memiliki kegesitan demikian, sehingga mampu menandingi Tatang Sontani.
Sersan itu melambaikan tangahnya. Kemudian berjalan dengan cepat menuju ke selatan.
Karena Sangaji menduga ada suatu berita rahasia yang akan disampaikan Sonny de Hoop lewat sersan itu, segera ia mengikuti. Otaknya memang lagi penuh dengan berbagai pertanyaan, maka kedatangan sersan itu diharapkan akan membawa suatu kecerahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan gesit, sersan itu berjalan membeloki lorong-lorong kecil. Setelah kurang lebih lima kilometer berada di luar kota, ia berhenti memutar tubuh.
Sangaji melayangkan penglihatan. Lapangan di depannya penuh dengan batu-batu berserakan.
Dua bukit batu berdiri tegak di belakangnya. Melihat sersan itu memutar tubuh, Sangaji memberi tanda kepada Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang agar mundur. Dalam pada itu, sersan
tersebut membungkuk hormat.
Sambil membalas hormat, diam-diam Sangaji menebak-nebak dalam hati, apakah maksud
orang ini" Apakah bermaksud hendak menjebak. Di sini tiada pembantunya. Kalau dia harus
menghadapi tiga orang, terang sekali dia akan kalah. Tetapi melihat sikapnya, agaknya tiada bermaksud jahat.
Selagi Sangaji sibuk menduga-duga, tiba-tiba sersan itu menggeram. Kedua tangannya terbuka bagaikan cakar lalu menubruk. Hebat serangannya. Jari tangan kirinya mirip cengkeraman
Bagus Sajiwo 1 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Pedang Dan Kitab Suci 5

Cari Blog Ini