Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Bagian 3
"Kalau dia meninggalkan lembah ini berarti melanggar
pantangan leluhur, maka selamanya tidak terhitung keturunan
keluarga Soat kita, meski kalian dapat beranak selusin juga
tidak diperbolehkan masuk menjadi keluarga Soat"."
Karena adanya alasan-alasan kuat dari kedua belah pihak
yang sama dikukuhi, sebuah perkawinan yang semestinya
membawa kebahagiaan nampaknya bakal gagal total. Dengan
penasaran dan hampa, Thio Hun-cu meninggalkan Kun Lunsan,
tapi dua hari kemudian Soat-sin-kok menjadi geger
karena Soat Gi-sin ternyata minggat.
-oo0dw0oo- Jilid 5 GADIS PINGITAN yang sejak kecil biasa hidup di alam
pegunungan bersalju, tak kuasa menahan gejolak asmara lalu
mengejar kekasih yang didambakannya setiap hari, lupa akan
ajaran leluhur, tanpa menghiraukan kesedihan ibunya, jauh
ribuan li ia menyusul ke Thian-san utara, mereka
melangsungkan pernikahan dan selanjutnya hidup sebagai
suami istri dan sering berkelana di padang rumput.
Semula Lim Keng-hong sangat murka, secara diam-diam
iapun menyusul ke padang rumput, menurut rencana semula
ia hendak bunuh kedua muda mudi yang dianggapnya terlalu
kurang ajar ini. Tapi begitu ia melihat wajah Soat Gi-sin yang
bercahaya dan penuh diliputi rasa bahagia yang berlimpahlimpah,
niatnya jadi luluh. Maklum adanya ikatan cinta kasih
seorang ibunda terhadap putrinya, terpaksa ia memaafkan
mereka, secara diam-diam pula ia kembali ke Kun-lun-san.
Sang waktu berjalan cepat bagai aliran air takkan kembali
lagi, tanpa terasa dua tahun sudah berselang, hawa padang
rumput yang panas memang banyak memberikan perubahan
terhadap penyakit Gi-sin, selama itu ia tetap hidup dengan
sehat walafiat, malah sudah mengandung.
Lahirnya kelihatan Lim Keng-hong itu telah melupakan
mereka, namun secara diam-diam sering datang menjenguk
mereka, terutama di saat Gi-sin hendak melahirkan oroknya
hampir tiba, setiap hari beberapa kali dengan sembunyisembunyi
ia tengok keadaan putrinya. Karena ilmu silatnya
lihay, pergi datang tidak meninggalkan bekas, sepasang suami
istri yang dilingkupi rasa bahagia itu sedikit pun tidak tahu
menahu. Gi-sin melahirkan seorang putri, kehidupan sehari-hari
bertambah bahagia semanis gula, penuh diliputi kasih mesra.
Semua kehidupan manusia dalam dunia ini memang tiada
yang abadi, tiada sesuatu yang tidak pernah berubah, di kala
putrinya itu Ceng Ceng menanjak satu tahun, bibit penyakit
dalam tubuh Soat Gi-sin mulai kambuh, memang itulah
penyakit khusus dari turunan keluarga Soat, suhu badannya
berubah sedemikian tinggi, setiap hari mulutnya mengigau,
seolah-olah jiwa raganya sedang digembleng dalam keadaan
kepanasan yang luar biasa.
Thio Hun-cu menggunakan kepandaian ilmu
pengobatannya berusaha menyembuhkan istri tercinta, segala
obat mujarab sudah dia gunakan, betapapun sulit usahanya ia
tetap tidak putus asa, akhirnya jerih payahnya ternyata
berhasil dengan menggembirakan.
Jiwa Soat Gi-sin dapat direnggut kembali dari elmaut. tapi
suhu badannya terlalu tinggi hingga ingatannya menjadi
kabur, dan celakanya selebar mukanya yang semula cantik
molek itu timbul bisul-bisul yang membusuk dan berubah
sangat menakutkan. Suatu ketika ingatannya agak jernih, teringat kepada
putrinya, Ceng Ceng yang sudah berusia setahun, bocah cilik
itu ternyata punya perasaan tajam, melihat wajah ibunya yang
semenakutkan itu ia menjerit keras terus jatuh pingsan, jeritan
keras ini memukul batin Gi-sin, kesadarannya menjadi semakin
kabur, Gi-sin akhirnya sinting ia mendadak maju hendak
mencekik putrinya yang pingsan, untung Thio Hun-cu keburu
mencegah perbuatan gilanya tapi Gi-sin sudah gila betul-betul
suami sendiri pun tidak kenal lagi. Mereka berkelahi
kekuatannya luar biasa sampai Thio Hun-cu terdesak tidak
kuat lagi melawan, suatu ketika pinggangnya dipeluk kencangkencang
hingga susah bernapas, dalam seribu kerepotannya
cepat ia tutuk jalan darah penting di bawah tenggorokan Soat
Gi-sin, syukur peristiwa yang menegangkan urat syaraf ini
dapat dihentikan. Thio Hun cu tahu bahwa penyakit gila tidak dapat
disembuhkan, demi keselamatan putrinya, terpaksa dia harus
dibunuh, supaya bebas dari penderitaan hidup yang tidak
wajar ini. Di saat ia hendak turun tangan itulah, Lim Keng-hong yang
sembunyi itu menerobos ke luar merintangi tindakannya.
Timbul perdebatan dan adu mulut yang seru, akhirnya ia
semaput oleh pukulan Lim Keng-hong, selanjutnya Gi-sin
dibawa pulang ke puncak Kun-lun-san.
Tutukan Thio Hun-cu sangat berat, meskipun Soat Gi-gin
tidak mati tapi sekarat, kecuali berteriak-teriak sekejappun
tidak mampu bicara lagi. Karena perobahan hebat ini, perangai Lim Keng-hong
menjali nyentrik, timbul perasaan dendam yang tidak
terlampias selama hidupnya terhadap Thio Hun-cu. Kehidupan
di atas pegunungan memang sunyi sepi, akhirnya dia
menerima seorang murid perempuan kecil, dia bukan lain
adalah Khong Ling-ling. Di bawah perawatannya yang tekun dan hati-hati, penyakit
gila Gi-sin kadang-kadang kumat kadang-kadang baik, dengan
segala daya upaya Lim Keng-hong tetap tidak berhasil
menyembuhkan penyakit gila itu, tidak mampu pula
membuatnya bicara. Waktu berjalan cepat, tahu-tahu dua puluh tahun sudah
berlalu. Lim Keng-hong berubah jadi nenek tua, ilmu
pengobatan dan kepandaian silatnya jauh lebih maju,
tabiatnya juga semakin jelek, kecuali Hwi-thian-ya-ce,
siapapun dilarang memasuki Soat-sin-kok.
Di saat Thio Ceng Ceng membawa Koan San-gwat datang,
pemuda yang terkena racun aneh itu menarik perhatian, ia
mau mengobatinya tapi setelah melihat wajah Thio Ceng Ceng
yang mirip ayahnya itu, membuat dia ingat akan dendam
lama, maka dia melarang Ceng Ceng ikut masuk ke dalam
lembah kediamannya. Siapa tahu Thio Ceog Ceng diselundupkan ke dalam Soatsinkok oleh Peng-toanio, maka jadilah bentrokan dengan
Khong Ling-ling, dalam saat-saat berbahaya itu, mungkin
karena ada hubungan batin serta cinta ibu ter hadap anak,
keributan itu menarik perhatian Gi-sin yang disekap dalam
sebuah kamar tersendiri. Saking kejut dan kegirangan karena Gi-sin yang terluka dan
dapat bicara, Soat-lo Thay-thay lupa diri, dia hajar Khong
Ling-ling yang sebelumnya ini tidak pernah terjadi.
Maka terjadilah peristiwa yang telah dituturkan di atas.
ooooo00000000oooooo Thio Ceng Ceng mendengar cerita ini dengan terlongong
dan kesima, tanpa merasa air mata meleleh di kedua pipinya,
katanya sambil sesenggukan, "Lolo! Kalau begini apakah
tindakanmu tidak terlalu kejam terhadap ayah".?"
Bertaut alis Soat-lo Thay-thay, agaknya hampir marah lagi,
tapi ia urung mengumbar adat. Katanya sambil menghela
napas, "Untuk urusan lain aku boleh memaafkan dia, cuma
tidak pantas ia berlaku kejam terhadap Gi-sin, semalam
menjadi suami istri seratus tahun akan selalu terkenang,
ikatan batin suami istri laksana lautan dalamnya, mana boleh
berlaku culas terhadap isteri sendiri."
Thio Ceng Ceng terbungkam seribu bahasa, selang agak
lama baru dia berkata pula, "Kejadian sudah berselang
demikian lama, kau orang sudah tua, tiba saatnya memaafkan
kesalahannya, mungkin karena terpaksa sehingga ayah
bertindak begitu, kalau ular beracun mengigit pergelangan
tangan, seluruh lengan harus cepat dipotong, kau sebagai
orang yang memperdalam ilmu pengobatan, seharusnya lebih
paham akan rasa penderitaan dan harus bertindak tegas
meski terpaksa." "Sudah tentu aku paham, kalau aku tidak mengerti hal ini,
hari itu sudah kupukul mampus dia, masa dia bisa hidup
sampai sekarang. Ai, sudahlah tiba saatnya kutanya kepada
bocah itu ada sangkut paut apa dengan kau! Apa yang telah
kalian alami?" Thio Ceng Ceng menunduk jengah. Melihat kelakuan Thio
Ceng Ceng yang malu-malu ini terbayang oleh Soat-lo Thaythay
pada waktu Thio Hun-cu menggandeng tangan Gi-sin
menghadapnya dulu, waktu itu pun bersikap demikian.
Kenangan lama kembali terbayang dalam kelopak matanya,
hanya generasi mendatang yang akan mengulang kejadian
pahit yang sudah berselang itu.
ooooo0000ooooo Kembang mekar untuk rontok pula, setahun sudah
berselang. Satu-satunya jalan pegunungan untuk keluar dari Soat-sinkok
sudah tertutup salju, Soat-lo Thay-thay Lim Keng-hong
menyatakan akan menemani putrinya yang sudah sembuh
yaitu Soat Gi-sin menetap selamanya di dalam Soat-sin kok,
selama hidup ini mereka tidak akan berkecimpung di dunia
ramai. Ilmu silat dan ilmu pengobatan yang dia miliki dengan
tekun dan teliti ia ajarkan kepada Thio Ceng Ceng, tapi
dengan satu syarat, yaitu harus membawa pulang batok
kepala Khong Ling-ling. Kepandaian Khong Ling-ling adalah buah didiknya,
perbuatan Khong Ling-ling yang berani membokong guru
sendiri secara durhaka ini, sudah gamblang, bahwa gadis itu
berhawa culas dan kejam. Kalau manusia jahat seperti dia
tetap hidup di dunia ini tentu akan membawa bencana bagi
kehidupan manusia. Tiada alasan bagi Hwi-thian-ya-ce Peng Kiok-jin untuk tetap
tinggal di atas gunung, terpaksa ia ikut turun gunung
berkecimpung pula di kalangan Kangouw. Sungguh haru dan
rawan pula hatinya, dalam sanubarinya masih menyimpan
rahasia, rahasia hubungan dirinya dengan Bing-tho-ling-cu
Tokko Bing, sudah berulang kali ia menyirap asal usul
kematian Tokko Bing kepada Koan San-gwat, tapi jawaban
Koan San-gwat sukar dipercaya.
Agaknya mengemban perasaan berat juga. Dua kali ia
muncul kedua-duanya menggetarkan dunia persilatan, padahal
ia hanya muncul seperti bintang di langit yang kelap kelip.
Di kala menatap mata Thio Ceng-Ceng yang cemerlang dan
lembut itulah baru rona wajahnya mengunjuk tawa yang
lebar, itulah tawa persahabatan, tawa yang mengandung rasa
terima kasih, haru dan mesra.
Sudah dua kali ia hampir menemui ajal tapi dua kali
ditolong oleh Thio Ceng-Ceng, adalah jamak kalau dia sangat
berterima kasih dan merasa berhutang budi pula.
Hidupnya memang sebatangkara, tiada kakak tiada adik,
hanya Thio Ceng Ceng saja sahabat terdekat, maka timbullah
dua perasaan bertentangan di dalam sanubarinya. Pemuda ini
bersikap dingin, tiada perasaan mesra terhadap hubungan
muda-mudi, kalau hanya hubungan kental antar
persaudaraan, dapatkah memuaskan nurani Thio Ceng Ceng"
Persoalan ini sulit dijawab. Sikap Thio Ceng Ceng terhadap
Koan San-gwat tetap mesra, lincah, jenaka, penuh gairah dan
cinta kasih pula, senang sama diresapi, duka sama dirasakan.
Cuma dalam batin ia mencurahkan perasaan hatinya, belum
pernah secara lahiriah memohon sesuatu kepadanya! Mungkin
dia bersikap menunggu, menunggu rona wajah yang kaku dan
dingin itu suatu ketika akan cerah dan penuh semangat.
Begitulah, dari barat mereka menuju ke timur langsung
memasuki Tionggoan, selama perjalanan itu sedikitpun tidak
menarik perhatian kaum persilatan.
Maklum Hwi-thian-ya-ce sudah lama menyembunyikan diri,
kaum persilatan sudah lama melupakan dia. Thio Ceng Ceng
hanya seorang gadis yang kelihatan hijau, hanya Koan Sangwat
pernah menggemparkan Bulim setahun yang lalu,
apakah kaum persilatan sudah lama melupakan dia juga"
Kiranya tidak mungkin atau mungkin kaum persilatan mengira
dia sudah mati. Dalam rumah makan pada sebuah perkampungan, agar
mendengar percakapan kaum perdagangan atau para Busu
dari perusahaan Piawkiok, sungguh tidak nyana bahwa
setahun ini kehidupan di kalangan Kangouw ternyata tenteram
sentosa. Sejak Khong Bun thong mati, Khong Bun-ki pun mati
menghilangkan, mengundurkan diri percaturan dunia
persilatan, agaknya Khong Ling Ling pun belum pernah pulang
ke kampung halamannya, kalau tidak masa sedikitpun tidak
terdengar kabar beritanya.
Hari ini mereka tiba di luar kota Ciu-coan. Sebagai kota
penting yang menjadi pusat perdagangan antar kota utara dan
selatan, kota ini lebih ramai, tempat singgah bagi para
pedagang dan kelana Kangouw.
Koan San-gwat bertiga duduk di barak ujung utara, mereka
makan gulai dan sate kambing, gegares hidangan mereka
pasang kuping dan diam-diam memperhatikan gerak-gerik
para tamu yang hilir mudik di sekitarnya, jelas tentang situasi
kalangan Kangouw selama setahun belakangan ini.
Tapi mereka agak kecewa, karena orang-orang yang
singgah di sini dari kaum persilatan tingkat rendah melul.
Kata-katanya kasar, suka jual lagak lagi.
Syukur sejak kecil Thio Ceng Ceng sudah biasa bercampur
baur dengan para gembala di padang pasir, sehingga ia tidak
merasa rikuh akan kelakuan kasar dan perkataan kotor itu.
Demikian juga usia Peng-toanio sudah cukup lanjut, tidak
jadi soal mendengar ucapan yang menusuk perasaan orang
lain. Koan San-gwat risi dan kikuk merasa dongkol pula, tapi
orang bebas bersenda gurau atau mengumpat caci orang lain
tanpa menyinggung dirinya.
Di saat ia merasa sebal dan tidak sabar lagi, dari arah timur
didengarnya derap langkah kuda ramai, puluhan laki-laki yang
datang itu berlumuran darah, ternyata kuping kiri mereka
terpotong hilang diiris orang.
Kedatangan puluhan laki-laki yang ini membuat orangorang
barak itu kesima, hening sesaat lamanya. Mereka
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi para laki-laki yang kehilangan sebelah kupingnya
itu. Seorang laki-laki yang kelihatannya pemimpin mereka
berteriak, "Tiam-keh! lekas bawa air panas kemari, suruh
pelayanmu memanggil tabib kemari!"
Tersipu-sipu pemilik warung makan membawakan
beberapa baskom air panas serta berkata tersendat-sendat, "
Tuan-tuan apakah yang terjadi, di daerah sini tiada tabib yang
pintar, terpaksa harus panggil dari kota!"
Laki-laki itu uring-uringan, bentaknya, "Sewa kereta dan
panggil dia kemari, kalau kita bisa masuk kota memangnya
kita sudi berhenti di sini, keadaan kita seperti ini masuk kota
hanya menjatuhkan pamor Siang-ing Piaukiok saja."
Keadaan menjadi ramai oleh suara heran dan bisik-bisik,
agaknya nama Siang-ing Piaukiok cukup tenar, bahwa kuping
mereka teriris semua adalah jamak kalau membuat orang lain
heran. Namun siapa yang berani bertanya kepada mereka"
Tergerak hati Koan San-gwat, segera ulurkan tangannya ke
arah Peng-toanio, maksudnya minta buntalan obat luka-luka
yang mereka bawa dari Kun-lun-san, jumlahnya tidak banyak,
sebetulnya mereka membekal obat untuk keperluan sendiri,
maka Peng-toanio ragu-ragu untuk memberinya.
Tapi tanpa pikir segera Thii Ceng Ceng membuka buntalan
itu dan mengangsurkan obat yang diminta, terpaksa Pengtoanio
diam saja. Begitu menerima obat itu, bergegas Koan San-gwat berdiri
terus mendekati laki-laki itu serta bersoja, katanya, "Saudara
ini, aku yang rendah kebetulan membawa obat luka mujarab
dari peninggalan leluhurku, kalau saudara sudi mari silahkan
pakai saja obat ini"."
Melihat orang berpakaian pelajar, sudah tentu laki-laki itu
tidak mengenal bahwa yang dihadapi adalah Bing-tho-ling-cu
yang kenamaan itu, maka sikapnya rada dingin dan
menyangsikan kasiar obatnya itu, namun orang membantu
dengan tulus tidak enak menampik kebaikan orang, maka ia
berkata, "Terima kasih, Siangkong!"
Segera Koan San-gwat membuka buntalan obatnya lalu
mengobati luka-luka di kupingnya, kasiat obatnya ternyata
luar biasa, kontan laki-laki itu merasa luka-lukanya tidak sakit
dan terasa nyaman, malah darahpun berhenti mengalir, tanpa
terasa mulutnya menyeringai lebar mengalir dan memuji,
"Obat Siangkong sunggub mujarab, masih ada beberapa
saudaraku yang terluka, harap Siangkong suka memberi
pertolongan juga pada mereka, nanti akan kami beri imbalan
yang cukup berarti."
Koan San-gwat tersenyum lebar, katanya, empat penjuru
lautan adalah saudara, kenapa saudara berlaku sungkan!!"
satu persatu ia bubuhi obat pada luka-luka mereka. Melihat
tindak tanduk Koan San-gwat yang gagah dan berwajah cakap
lagi keruan pemimpin itu segera mengunjuk hormat serta
berkata, "Harap tanya nama besar Singkong yang mulia,
Supaya kelak kita bisa membalas kebaikan ini. Aku She Sun
bernama Cit, gelaranku Hek-ing (elang hitam), sebagai
pimpinan Siang-ing piaukiok. Jalan-jalan raya antara Kam-siok
menuju ke Siamsay bila Siangkong punya keperluan silahkan
sebut namaku, tentu para kawan Bulim banyak yang suka
memberi bantuan." Koan San-gwat tersenyum, sahutnya, "Saudara Sun Cit
kenamaan di daerah Siam-say dan Kam-siok, sungguh
beruntung aku yang rendah bisa berkenalan "."
Sun Cit tertawa getir, katanya, "Ah, Siang kong menggoda
saja, karena kehilangan kuping kiri ini, kebesaran Hek-ing
boleh dikata sudah runtuh sama sekali "."
"Apakah yang telah terjadi?"
"Kalau dibicarakan memang memalukan, sudah dua puluh
tahun Siang-ing piaukiok mondar mandir di jalan raya ini,
belum pernah gagal, namun hari ini kita terjungkal secara
total. Kereta barang dirampas, dua orang piau-thau tertabas
kutung kepalanya, empat orang kami dibuntungi sebelah
kupingnya, kalau diceritakan sulit dipercaya, pihak lawan
hanya seorang saja, dia menunggang unta, tapi dengan
mudah ia gondol kereta yang memuat dua laksa tail perak."
Berubah air muka Koan San-gwat, serunya, "Apa"
Perampok itu menunggang unta" Unta macam apa?"
Sun Cit mendengus, sahutnya, "Binatang seperti itu
memang jarang terlihat, seluruh tubuhnya berbulu mulus
tanpa terlibat rambutnya yang berwarna lain, tapi berat uang
perak sebanyak dua laksa tail itu, namun ia dapat
membawanya lari bagai terbang."
"Jadi unta sakti itu"." teriak Koan San-gwat tak tertahan.
Sun Cit melirik sekali, tanyanya, "Unta sakti yang mana
maksud Siangkong?" "Aku pernah dengar unta yang ditunggangi Bing-tho-ling-cu
adalah seekor unta sakti dan pintar sekali"."
"Salah!" tukas Sun Cit, "Unta Bing-tho-ling-cu berbulu
putih, tapi tunggangan Hwi-lo-tho (Unta terbang) itu adalah
seekor unta hitam, tapi kekuatan larinya agaknya masih kalah
dibanding dengan Bing-tho!"
"O, sungguh tidak nyana di atas dunia ini, masih ada unta
lain yang dapat menandingi unta sakti berbulu putih itu."
Sun Cit mengunjuk rasa curiga, ia merasa ucapan Koan
San-gwat seperti kelepasan omong, tapi Koan San-gwat
segera memperbaiki sikapnya, ujarnya, "Aku pernah dengar,
katanya unta sakti milik Bing-tho-ling-cu itu adalah seekor
binatang cerdik pandai berbulu putih mulus, sungguh tidak
kita masih ada unta hitam yang setanding dengan dia". Sunheng
tadi mengatakan orang itu bergelar Hwi-lo-tho?"
"Begitulah! Kecuali ketiga huruf itu, keparat itu tidak
pernah mengeluarkan sepatah kata juga."
"Orang macam apakah dia.?"
Tidak tahu. Seluruh badan orang itu di kerudung pakaian
hitam, gerak geriknya laksana angin, ilmu silatnya tinggi,
sekali turun tangan ia bunuh dua pembantuku, tahu-tahu kita
merasa angin berkesiur ternyata kuping kirinya sudah putus
dari tempatnya dengan mendelong terpaksa kami awasi saja
dia menggondol pergi barang kawalan kita ke atas untanya
terus menghilang, dia laki atau perempuan kitapun tidak
tahu!" "Bagaimana perawakannya" Tinggi, rendah, gemuk atau
kurus tentunya bisa diketahui bukan?"
"Tidak tinggi juga tidak rendah, sedang, saja, tidak gemuk
dau tidak kurus tiada sesuatu yang menarik perhatian kita!"
Berubah air muka Koan San-gwat katanya, "Dua laksa tail
perak bukan jumlah kecil, bagaimana saudara memberi
pertanggungan jawab?"
Sun Cit menghela napas, katanya, "Kehilangan harta masih
mampu diganti, jiwa beberapa kawan itu yang mati
penasaran, bukan saja nama baik perusahaan kami jatuh,
nama besar Ciong-lam-pay pun ikut tersapu bersih!"
"Ada hubungan apa antara Siang-ing Piaukiok dengan
Ciong-lam-pay?" "Majikan kami Doh-he-siang-ing adalah murid Ciong-lampay."
Koan San-gwat manggut-manggut, katanya, "Orang yang
menamakan dirinya unta terbang itu mungkin bukan
sembarangan begal atau rampok picisan di kalangan
Kangouw. Atau mungkin memang sengaja hendak mencari
perkara terhadap Ciangbunjin."
"Akupun berpikir demikian. Eh, Siangkong seperti orang
sekolah, tapi agaknya cukup tahu seluk beluk dunia
persilatan!" Koan San-gwat hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan
ini tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Kejadian ini
kedengarannya sangat ganjil dan sulit dipercaya, setelah
Saudara Sun bertemu dengan majikan, mungkin kaupun sulit
memberi penjelasan kepadanya!"
Sun Cit cemberut, ujarnya, "Ya, unta terbang itu memang
meninggalkan tanda mata tapi dengan bukti-bukti yang ringan
ini, sulit memberi uraian, tetapi betapa pun dua jiwa dan
empat belas kuping menjadi kenyataan, tidak percayapun
majikan harus menerima kenyataan ini."
Koan San-gwat yang tertarik, tanyanya, "Jadi orang itu
masih meninggalkan bukti lain, apakah saudara Sun bisa
memperlihatkan kepadaku?"
Sun Cit rada sangsi sebentar, tapi karena rikuh akhirnya ia
mengeluarkan sekeping tembaga sebesar telapak tangan. Di
atas tembaga tipis itu terukir seekor unta hitam yang
bersayap, di bawah ada tertulis "Hwi-tho-ling" (lencana unta
terbang). Dan di baliknya ada tertulis pula hurup yang
berbunyi, "Unta terbang tiba orangnya datang, Lencana
terbang jiwapun melayang."
Tanpa merasa ragu wajah Koan San-gwat menunjukkan
amarah hatinya, jari-jarinya lantas meremas, sontak tembaga
itu diremas hancur menjadi bubuk dan berhamburan dari selasela
jarinya. Mencelos hati Sun Cit, sesaat ia kesima dan mematung
tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
Pertama ia tidak menduga pemuda pelajar yang lemah
lembut ini memiliki tenaga besar, kedua tembaga itu diremas
hancur lalu bagaimana ia harus memberi pertanggungan
jawab bila kembali nanti.
Dengan suara berat berkatalah Koan San-gwat, "Dalam tiga
hari, kutanggung barang-barangmu yang hilang akan kuminta
kembali!" "Siangkong. kau"." Sun Cit tergagap tak kuasa
mencetuskan kata-katanya.
"Sehari aku masih hidup, tidak kubiarkan orang lain berani
menggunakan unta sebagai lambang kebesarannya!"
Sun Cit adalah kawakan Kangouw, melihat tindak tanduk
orang, dalam hati ia sudah meraba-raba cuma ia tidak berani
mengutarakan. Terangkat alis Koan San-gwat, katanya dengan bengis,
"Jadi kau tidak percaya aku dapat merampas kembali barangbarangmu
itu?" "Cayhe tidak punya pikiran begini, cuma dapatkah kami
tahu nama Siangkong yang mulia".supaya Cayhe dapat
memberi pertanggungan jawab!"
Dengan sikap tawar Koan San-gwat merogoh keluar
sekeping tembaga diserahkan, katanya, "Cukup kau serahkan
milikku ini kepadanya!"
Begitu Sun Cit menerima tembaga dan melihat gambarnya,
seketika tangannya gemetar. Karena dia kenal bahwa lencana
tembaga itu adalah Bing-Tho-ling-cu yang sangat tenar di
seluruh kolong langit, tanpa ditanya ia sudah tahu bahwa
pemuda di hadapannya ini adalah Bing-Tho-ling-cu.
Melihat orang takut dan keheranan, Koan San-gwat tertawa
geli, katanya, "Boleh kau beritahu majikanmu, bahwa Koan
San-gwat masih belum mati."
Kini Sun cit sangat hormat dan merendah sahutnya sambil
berdiri tegak meluruskan ke dua tangan, "Baiklah, Ling-cu!"
Suasana dalam dan luar warung makan itu menjadi hening,
semua orang memandang heran kagum kepada pemuda yang
lemah lembut ini. Memang mereka belum pernah melihat atau berjumpa
dengan tokoh yang hebat ini, tapi nama kebesaran Bing tho
ling-cu laksana geledek berkumandang di kuping mereka.
Mereka sudah sering mendengar berbagai kisah
kepahlawanan pemuda ini. Siapa akan nyana tokoh yang diagungkan seperti dalam
dongeng itu kini berdiri di hadapan mereka.
Sikap Koan San-gwat tetap lemah lembut katanya, "Di
tempat mana terjadinya peristiwa itu?"
"Dua puluh li di depan sana daerah tandus yang dinamakan
Eng-ciu-kang!" "Gelarmu Hek-ing, setiba di Eng-ciu-kang (bukit elang
murung), seolah-olah memang sudah ditakdirkan kau bakal
terjungkal di sana!"
"Ling-cu menggoda saja, harap tanya malam ini Ling-cu
menetap dimana" Sebentar Siau-jin akan mengutus orang
untuk memberi laporan, sementara Siau-jin akan memberi
penjelasan kepada Ling-cu."
"Tidak usahlah! Aku belum mendapat tempat tetap!"
"Silahkan Ling-cu singgah di penginapan Kip-ing di dalam
kota, pemilik penginapan yang bernama Lau sam-thay juga
seorang persilatan, berhubungan sangat akrab dengan
majikan kami, tentu beliaupun sangat senang kedatangan
Ling-cu." "Begitupun baik," ujar Koan San-gwat sesudah berpikir
sebentar, "Sebetulnya tiada keinginanku untuk mendapat
pelayanan, justru diapun seorang persilatan, seandainya di
dalam penginapannya nanti terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, tidak nanti menimbulkan keributan yang berarti.
Menurut dugaanku unta terbang itu pasti akan mencari
perkara kepadaku nanti."
Mendapat persetujuan Koan San-gwat, kelihatannya Sun Cit
sangat gembira, tersipu-sipu ia mengutus bawahannya
memberitahukan kepada Lau Sam-thay lalu menyiapkan tiga
ekor kuda untuk Koan San-gwat. Di waktu naik ke atas kuda
sambil tersenyum lebar Peng-toanio berkata kepada Koan
San-gwat, "Sepak terjangmu jauh berlainan dengan gurumu.
Gurumu selalu secara mendadak dan tidak terduga-duga
laksana ular naga yang kelihatan buntutnya tidak kelihatan
kepalanya, jarang bergaul dengan khalayak ramai. Orang"
orang rendah macam kita ini jangan harap berkenalan dengan
beliau!" "Pandangan guruku memang teramat tinggi sepak
terjangnya, juga misterius, sehingga menimbulkan salah
paham para sahabat Kang-ouw. Beliaupun merasa sangat
menyesal akan kejadian ini, berulang-ulang beliau berpesan
kepadaku untuk merubah tindak tanduknya dulu, lebih banyak
bergaul dengan para sahabat Kangouw."
Peng-toanio tertawa, katanya, "Mencari sahabat harus cari
orang-orang yang bernilai. Orang macam apa elang hitam Sun
Cit, Cit-sing-to Lau Sam-thay itu" Bila kau keluarkan
maklumat, para Ciangbunjin berbagai aliran pasti datang ingin
berkenalan dengan kau"."
Koan San-gwat geleng kepala, "Aku lebih suka bergaul
dengan orang-orang rendah macam mereka ini, hanya
orangorang seper-ti seperti mereka mau bersahabat secara
tulus dan bakti, mereka tidak akan berani main tipu daya atau
mengatur jebakan mencelakai diriku, paling dalam saat-saat
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diperlukan, mereka tentu dapat dikerahkan untuk
melaksanakan tugas-tugas tanpa pamrih, sekarang yang
belum kumiliki adalah para sahabat seperti mereka ini!"
Peng-toanio melongo dan tertegun, agak lama kemudian
baru ia berkata, "Belum pernah aku berpikir begitu, agaknya
kau lebih bajik dari gurumu."
Tergerak hati Koan San-gwat, tanyanya, "Toanio,
hubungan dengan guruku apakah anda sangat intim?"
"Intim sih tidak, cuma pernah bertemu beberapa kali!"
Melihat air muka orang waktu bicara seperti tertekan
perasaannya, diam-diam tergerak sanubarinya Koan San-gwat,
tapi segera ia menyangkal pula akan rabaan hatinya, karena
gurunya adalah seorang sebatangkara, hidupnya selalu dalam
suasana hening dan sepi, tidak mungkin ia terikat dalam
persoalan asmara. Waktu mereka tiba di ambang pintu kota, Lau Sam-thay
sudah menunggu jauh-jauh sudah menjura, serunya, "Cayhe
tidak tahu kedatangan Ling-cu, harap dimaafkan sambutan
yang terlambat ini. Hari ini, betapa besar hati kami mendapat
kunjungan Ling-cu ke penginapan kami, sehingga menambah
ramai dan semarak"."
"Lau-heng!" ujar Koan San-gwat tertawa sambil membalas
hormat, "meski kita baru pertama kali ini bertemu tapi LauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
heng berderma bakti kepada sesamanya sudah lama aku
dengar, sebagai orang persilatan, tidak perlu banyak adat
istiadat, apalagi kedatangan kami ini bakal membikin repot
kau saja." Melihat sikap Koan San-gwat terbuka dan supel lagi, Lau
Sam-thay menjadi getol, ingin rasanya ia mengorek jantung
sendiri untuk membalas kebaikan orang, dengan seri tawa
cepat-cepat ia berkata, "Ling-cu terlalu menjunjung kami!
Jangan kata nama besar Ling-cu sudah menggetarkan empat
lautan, aku yang rendah masa ada harganya berkenalan, pula
persoalan sahabatku ini, seumpama harus mengorbankan
harta benda juga tidak jadi soal. Ling-cu mari silahkan!".
Begitulah Lau Sam-thay menjadi petunjuk jalan, tak lama
kemudian mereka sudah tiba di depan penginapan Kip-ing,
Karena Cit-sing-to Lau Sam-thay merupakan tokoh yang
mempunyai nama dan kedudukan di daerah Liang-cu, maka
banyak orang-orang yang datang berkerumun di sepanjang
jalan menyambut kedatangan mereka.
Koan San-gwat bertiga turun dari atas kuda terus
dipersilahkan masuk, dilihatnya banyak tamu sedang berbenah
barang-barangnya siap meninggalkan penginapan itu. Koan
San-gwat melengak, tanyanya, "Lau-Leng! Kenapakah mereka
itu?" "Ling-cu adalah tamu agung yang sulit datang kemari, asal
Ling-cu sudi menginap semalam saja di penginapan kami ini,
maka penginapan kami tidak akan memberi pelayanan kepada
tamu-tamu yang lain! Sebagai tanda hormat kami kepada
Ling-cu!" Koan San-gwat rikuh, katanya, "Kedatanganku ini sudah
cukup merepotkan, mana boleh mengganggu orang lain dan
merugikan usaha Lau-heng?"
"Hidup kami tidak tergantung oleh penginapan ini saja,
tempat ini hanya untuk mencari persahahatan dengan kaum
persilatan, banyak di antara mereka tidak kutarik ongkos.
Bukankah Ling-cu malam ini hendak menghadapi unta terbang
itu disini, dari pada konyol lebih baik mereka disingkirkan saja.
Soalnya si unta terbang ini baru pertama kali terjun ke dunia
persilatan, tapi sepak terjangnya terhadap Siang-ing piaukiok
dapatlah dibuktikan bahwa adalah seorang yang culas dan
kejam, kalau mereka tinggal disini bukankah menambah
kesulitan saja!?" Karena alasan yang cukup, Koan San-gwat tidak enak
banyak bicara lagi. Di samping menyiapkan hidangan, Lau Sam-thay
menyediakan tiga kamar mewah untuk mereka istirahat. Untuk
perjamuan Lau Sam-thay menyiapkan tiga meja. Lau Samthay
sendiri yang melayani dan menyiapkan semua perjamuan
itu. Tidak ketingggalan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng hadir
makan minum itu. Selama itu Lau Sam-thay belum tahu asal usul dan
kedudukan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng, belum lagi ia
sempat bertanya, tiba-tiba Koan San-gwat menjengek dingin,
dengan muka masam, serunya lantang ke arah jendela,
"Kawan di luar itu, silahkan masuk untuk bicara, kenapa
berdiri di luar mencuri dengar pembicaraan orang?"
Terdengar tawa dingin di luar jendela, ke depan daun
jendela tiba-tiba menjeplak, sesosok bayangan orang hitam
berkerudung melompat masuk, kontan Sun Cit menjerit keras,
"Unta terbang"."
Mendengar pendatang ini adalah unta terbang, sikap Koan
San-gwat berubah tenang dan dingin, katanya tawar, "Sudah
kuduga kau pasti datang, cuma tidak kusangka datangmu
sedemikian cepat." Suara orang berkedok sangat menghina, katanya, "Koan
San-gwat! Sebetulnya beberapa hari lagi baru aku akan
mencari kau tapi dari kau berani menghancurkan Unta
terbang"." Koan San-gwat menukasnya dengan suara bengis, "Selama
Bing Tho Ling Cu masih hidup, siapapun kularang
menggunakan lambang unta sebagai lambang kebesarannya."
Orang berkedok tertawa dingin, katanya, "Kentut! Justru
aku tidak senang melihat Bing tho-ling cu yang sok menang di
Kang-ouw maka sengaja kupilih unta sebagai lembang
kebesaranku, apakah kau masih ingat peringatan yang kuukir
di atas lencanaku" Unta tiba orangnya datang, lencana
terbang jiwapun melayang."
Koan San-gwat berteriak menambah gusarnya, "Baik! ingin
aku melihat buktinya, berani kau bicara besar dan pongah!"
"Nanti dulu! Aku ingin berunding dengan kau, tapi lambang
kebesaran Bing-tho-ling-cu, yaitu Tok-kak-cinjin (patung emas
kaki-tunggal) serta unta putihmu sekarang tidak kau bawa,
kalau aku dapat mengalahkan kau rasanya kurang dapat
dibanggakan!" Koan San-gwat berpikir sejenak lalu berkata, "Patung emas
dan unta putih ditinggalkan di suatu tempat, untuk
membawanya kemari pulang pergi memerlukan dua tiga hari
lamanya"." "Tidak perlu!" tukas si orang berkedok sambil
menggoyangkan tangan, "Aku tahu, kedua pusakamu berada
di puncak Thian-san utara, maka sudah kuutus orangku untuk
membawanya kemari. Satu bulan kemudian, kami bertemu di
Thay-san-koan, unta lawan unta, manusia lawan manusia!
Marilah kita berduel untuk memegang kebesaran nama
masing-masing." Disamping melengak berkobar semangat Koan San-gwat,
serunya, "Baiklah. Tapi persoalan dengan Siang-ing Piaukiok,
aku berjanji dalam waktu tiga hari merampas balik barangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
barang mereka sekarang kau memberi pertanggungan
jawabmu." Orang berkedok bergelak tawa, ujarnya, "Sebetulnya aku
punya sedikit perselisihan dengan anak murid Ciong-lam-pay,
baiklah kupandang mukamu, sementara aku kesampingkan
urusan ini, uang perak ini tetap dalam bentuk semula belum
tersentuh, kini kutinggalkan di luar pekarangan. Anggaplah
aku memberi muka dan kemurahan atas nama Bing-tho-ling."
Setelah bicara badannya barkelebat menghilang, waktu
Koan San-gwat memburu ke depan jendela, bayangannya
sudah tidak kelihatan. Tampak di pekarangan sana
menggeletak dua susun peti besar, di sebelahnya berdiri
seorang pelayan membawa nampan sayur mayur yang masih
mengepulkan asap, ternyata Hiat-tonya tertutuk hingga berdiri
kaku. Segera Koan San-gwat melompat keluar, sekali tepuk ia
hendak bebaskan tutukan pelayan itu, kontan pelayan itu
menjerit keras, bukan saja tidak bebas tutukannya malah
orangnya roboh terkapar. Peng-toanio ikut memburu keluar, melihat keadaan ini
berubah air mukanya saat mana Koan San-gwat sudah
berjongkok dan hendak meneruskan pertolongannya. Maka
cepat ia mencegah, "Jangan! Itulah Cit-tok-jiu-hoat!"
Koan San-gwat melengak, tanyanya tidak mengerti,
"Apakah Cit-tok-jiu-hoat ini?"
Peng-toanio tidak sempat memberi penjelasan, cepat ia
menoleh ke arah Thio Ceng Ceng, katanya, "Nona! Peng-sipcoansan buatan ayahmu masih ada?"
Dari dalam bajunya Thio Ceng Ceng mengeluarkan sebuah
botol kecil menuang sebutir pil diserahkan kepadanya. Begitu
menerima pil langsung Peng-toanio jejalkan ke mulut si
pelayan, lalu ia ulur tangan mengurut dan menepuk ke arah
yang berlawanan, tidak lama kemudian pelayan itu sudah
mulai bergerak. Baru sekarang Peng-toanio sempat menarik napas lega.
Katanya kepada Lau Sam-thay, "Dia harus istirahat setengah
bulan baru bisa sehat seperti sedia kala, dalam setengah bulan
jangan ia diberi makan udang atau ikan laut dan makanan
yang amis"." Lau Sam-thay mengiakan sambil mengucapkan terima
kasih, segera ia menyuruh pembantunya menggotong masuk
pelayan itu. Lalu ia persilahkan Koan San-gwat bertiga
meneruskan makan minum. Sementara Sun Cit sedang repot
menghitung dan memeriksa barang-barangnya.
Setelah duduk Koan San-gwat bertanya, "Cit-tok-jiu-hoat
itu sungguh amat lihay!"
"Kejadian ini merobah terkaanku semula," ujar Peng-toanio
tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Terkaan apa maksudmu?" tanya Koan San-gwat.
"Terkaan mengenai Unta terbang itu, semula kukira Unta
terbang ini adalah "."
"Khong Ling-ling maksudmu?" tanya Koan San-gwat.
"Jadi kaupun memikir kesitu?"
"Tokoh-tokoh kosen dalam Bulim sekarang tidak terlalu
banyak jumlahnya apalagi keji dan telengas, kecuali
perempuan laknat itu kiranya tidak ada orang lain, tapi setelah
melihat Unta terbang tadi dugaanku kuhapus sendiri. Unta
terbang tentu orang lain, jelas-jelas ilmu silat orang ini
teramat tinggi, mungkin jauh di atas kepandaian Khong Lingling
sendiri." Peng-toanio manggut-manggut, katanya, "Benar! Orang ini
bisa menggunakan Cit-tok- jiu-hoat, kalau dia benar anak
murid orang itu, mungkin dia bakal menjadi musuhmu yang
paling tangguh!" "Toanio!" ujar Koan San-gwat dengan penuh curiga,
"sebetulnya apakah yang kau maksud?"
Berubah air muka Peng-toanio, tanyanya dengan suara
berubah, "Sekarang jawab pertanyaanku secara terus terang,
sebetulnya Tokko Bing benar sudah meninggal?"
"Guru memang sudah ajal, kenapa Toanio ajukan
pertanyaan ini?" "Koancu! Terhadapmu boleh dikata aku membantu sekuat
tenaga dengan seluruh jiwa ragaku, usiaku sudah lanjut, harus
berkecimpung dengan kau di Bulim, kenapa kau tidak suka
bicara terus terang kepadaku?"
"Toanio," ujar Koan San-gwat dengan gelisah dan hampa,
"Ucapanmu tidak berani aku menerimanya."
Peng-toanio kelihatan gusar, "kalau Tokko Bing benar
benar sudah ajal, Cit-tok-jiu hoat itu tidak mungkin muncul di
kalangan Kangouw!" Koan San-gwat rada sangsi sebentar lalu berkata perlahanlahan,
"Guruku memang belum meninggal, tapi keadaannya
hampir sama dengan orang mati!"
"Apakah jadi ilmu silatnya sudah punah semua?" bergegas
Peng-toanio bertanya. "Bukan begitu! Tapi guruku tidak akan terjun kembali di
dunia ramai. Di waktu beliau menyerahkan Bing-tho-ling-cu
kepada aku, beliau ada berpesan, katanya beliau hendak
menghadiri sebuah pertemuan, selanjutnya hendak
mengasingkan diri, maka beliau baru memaklumkan berita
kematiannya, malah beliau juga memperingatkan kepadaku
supaya tidak membocorkan rahasia ini, jikalau tidak terdesak
oleh ucapan Toanio tadi, aku"."
"Kemana dia hendak menghadiri pertemuan itu?" tanya
Peng-toanio lebih lanjut.
"Hal itu aku sendiri tidak tahu," sahut Koan San-gwat
sambil angkat pundak, "Segala apapun biasanya guru tidak
pernah mengelabui aku, cuma soal pertemuan itulah
sedikitpun aku tidak pernah mendengar kabar sebelumnya,
pernah berulang kali aku mengajukan pertanyaan sedikitpun
beliau tidak mau memberi keterangan kepadaku."
Terunjuk mimik aneh yang selama ini belum pernah terlihat
pada wajah Peng-toanio, tanyanya, "Kalau begitu tentu benar
adanya! Anehnya Tokko Bing akan mendapatkan tempatnya
menetap, aku harus memuji dan mengumpaknya, akhirnya dia
dapat mengambil keputusan setelah mengalami gelombang
badai dan tekanan batin selama sekian tahun lamanya"."
"Toanio," ujar Koan San-gwat ketarik, tanyanya, "Apakah
kau tahu kemana tujuan guruku itu?"
"Ya!" sahut Peng-toanio manggut-manggut. "Dalam dunia
ini mungkin cuma aku seorang yang tahu di mana tempat
tinggalnya." "Dimana?" kini giliran Koan San-gwat yang terharu dan
gelisah. Perasaan hampa terbayang pada sorot mata Peng-toanio,
katanya. "Tidak bisa kukatakan, aku cuma tahu dia menghadiri
pertemuan dengan siapa, dan salah sebuah tempat yang
disebut Siau-se-thian. Tapi sudah sekian tahun aku kelana di
Kang-ouw selamanya belum pernah kudengar dan tidak tahu
dimana letak Siau-se-thian itu"."
Koan San-gwat rada kecewa, tapi dengan sabar ia
bertanya, "Lalu dengan siapakah guruku mengadakan
pertemuan" Dalam kejadian ini tentu ada latar belakang yang
tersembunyi!" "Kalau Tokko Bing sendiri tak mau memberitahukan kepada
kau, maka akupun tidak bisa menjelaskan kepadamu."
Melihat air muka Koan San-gwat mengunjuk rasa kurang
senang, sementara Thio Ceng Ceng juga hendak bicara,
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa ia menyambung sambil menghela napas, "Bukan aku
sengaja jual mahal, soalnya dulu kita pernah melakukan
sumpah yang sangat berat, seandainya aku mengorbankan
jiwaku untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya,
tapi tidak berani aku pertanggungjawabkan akan akibatnya.
Padahal Tokko Bing tidak kenal takut pada langit dan dumi,
kenapa sampai sekian lamanya baru berani menghadiri
pertemuan itu." Mendengar uraian ini Koan San-gwat semakin bingung,
ucapan Peng-toanio tidak mengenai juntrungan yang
diharapkan, malah satu sama lain kata-katanya rada kontras.
"Kongcu!" Peng-toanio menambahkan, "Baiklah kuberi
bisikan kepada kau tentang jejak Tokko Bing ada hubungan
erat dengan Unta terbang itu. Kalau dalam pertemuan yang
akan datang kau dapat mengalahkan dia, urusan selanjutnya
akan beres, tapi bila kau ingin menjumpai gurumu, lebih baik
kau jangan sampai mengalahkan dia"."
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku hanya bisa bicara demikian saja, kau boleh main terka
sendiri." Koan San-gwat tahu bahwa Peng Kiok-jin tidak akan
banyak bicara lagi, maka dari unta terbang itu. "Tapi aku
harus mengalahkan dia atau harus kalah olehnya?" Sementara
sorot mata Peng-toanio masih menatap dirinya, akhirnya
berketetapan, katanya tegas, "Kalau benar ilmu silatku tidak
becus, apa pula yang harus kukatakan, kalau tidak betapapun
aku harus berdaya upaya dengan segala kemampuan dan
kekuatanku demi menjaga kebesaran tradisi Bing-tho-ling-cu
yang sangat disegani. Bing-tho-ling-cu memang pernah kalah
oleh tipu daya yang licik tapi tidak boleh terkalahkan dalam
pertandingan silat."
Peng-toanio menarik napas katanya, "Begini keputusan
Kongcu, apakah kau hendak menemui gurumu pula?"
"Tidak salah! Guru pandang Bing-tho-ling-cu lebih berharga
dari jiwanya sendiri, beliau orang tua mengajarkan ilmu silat
kepadaku, bukan karena aku harus menjadi muridnya adalah
ingin supaya aku dapat meneruskan kebesaran Bing-tho-Lingcu
yang diagungkan. Maka aku harus meletakkan dasar
persoalan ini di tempat yang utama, baru bolehlah aku
mempertimbangkan persoalan yang lain!"
"Begitupun baik," ujar Peng-toanio manggut-manggut,
"Keputusanmu ini memang benar!"
Keputusan sudah diambil mereka jadi kehabisan bahan
untuk meneruskan percakapan ini, maka Thio Ceng Ceng
membuka suara sesaat kemudian, "Koan-toako, berapa jauh
letak Tay-san-koan itu dari sini?"
"Tidak jauh, menunggang kuda cepat, kira-kira sepuluh hari
bisa sampai." "Unta terbang menjanjikan satu bulan yang akan datang,
jangka waktu masih panjang,apa yang harus kita lakukan?"
Berkerut alis Koan San-gwat, sahutnya, "Ya, benar-benar
serba runyam, sebetulnya aku hendak menyelidiki keadaan
Loh-hun-kok, tapi waktu tidak keburu"."
"Ling-cu tidak usah kesana," segera Lau Sam-thay bicara,
"Loh-hun-kok sudah kosong melompong tanpa dihuni
seorangpun juga. Sejak Khong Bun-thong mampus, Khong
Bun-ki pun menghilang, berita itu kudengar dari para sahabat
Kangouw yang memberi tahu kepadaku, kuduga hal ini tidak
usah disangsikan!" Koan San-gwat manggut-manggut. Thio Ceng Ceng
bertanya lagi, "Lau-toako, apa kau pernah dengar berita
tentang ayahku, dia bernama Thio Hun-cu"."
Lau Sam-thay segera mengunjuk rasa kejut dan gugup,
katanya, "Kiranya ayah nona adalah Thio tayhiap, sungguh
aku berlaku kurang hormat". sejak muncul sekali di Loh-hunkok,
sampai sekarang belum pernah muncul lagi, banyak
orang sedang mencari beliau."
"Siapa saja yang mencari beliau" Untuk apa mereka
mencari ayahku?" Lau Sam-thay garuk-garuk kepala, sahutnya, "Mereka
adalah murid-murid dari berbagai aliran dan golongan besar,
sedemikian besar tenaga yang mereka kerahkan untuk
menemukan naga-naganya ada sesuatu urusan penting untuk
segera diselesaikan, cuma duduk perkaranya aku tidak jelas,
apakah nona sendiri tidak berada bersama ayahmu?"
Thio Ceng Ceng geleng-geleng kepala, katanya sambil
mengerut kening, "Rasanya mereka belum pernah ada
hubungan dengan ayahku, kecuali mereka terkena racun
berbisa, mau minta tolong hasilican ayahku."
Lau Sam-thay manggut-manggut, ujarnya, "Ya, mungkin
demikian, apakah nona dapat memperkirakan dimana
sekarang ayahmu berada?"
"Tidak tahu! Rumah tinggal kita di puncak utara Thian-san,
beliau mungkin menetap disana, kalau tidak senjata Koantoako
berada disana kalau tidak mana bisa suruhan Unta
terbang mengambilnya"."
Mendadak Koan San-gwat menimbrung, "Lau-heng, apakah
kau tahu beberapa kelompok orang yang sedang mencari
paman Thio apakah rombongan yang berada paling dekat
dengan tempat ini?" Lau Sam-thay berpikir sejenak lalu menjawab, "Yang
terakhir adalah Bu-khek-kiam-pay dari Im-san, putri
Ciangbunjin Im Siok kun yang bernama Im Tiang-hoa bulan
yang lewat di tempat ini dan menetap di penginapan ini, dia
pernah mencari tahu jejak Thio-tayhiap, lima hari yang lalu dia
datang pula, mungkin tidak membawa hasil apa-apa."
Koan San-gwat tertawa senang, katanya, "Kalau begitu kita
tidak usah nganggur, kebetulan kita bisa menyelidiki persoalan
ini!" Thio Ceng Ceng pun ingin tahu untuk keperluan apa
beberapa rombongan orang itu hendak mencari ayahnya,
segera ia mendukung niatnya, apa boleh buat terpaksa Pengtoanio
menurut saja. Lau Sam-thay bersemangat dan
kegirangan, perjamuan segera dilanjutkan lebih meriah sampai
tengah malam baru mereka masuk kamar untuk istirahat.
Hari kedua pagi-pagi benar Lau Sam-thay sudah
menyiapkan empat ekor kuda, segera ia persilahkan mereka
berangkat, melihat kuda yang dipersiapkan itu segera Koan
San-gwat berkata sambil tertawa lebar, "Agaknya Lau-heng
ingin ikut mencari keributan juga?"
Lau Sam-thay rikuh sahutnya menyengir, "Hobbyku
memang suka menyelidiki urusan Bulim, aku buka penginapan
dengan mengorbankan ongkos makan minum dan memberi
gratis, tujuannya adalah mengorek keterangan orang-orang
Kangouw itu, kapan dapat kesempatan sebaik ini, untuk
meluaskan pengalaman harap Ling-cu sudi mengijinkan aku
ikut serta." "Lau-heng sangat apal segala kejadian di Kangouw, tidak
enak aku menolak maksud baikmu ini, kelak bila aku ingin
mendirikan partai atau perguruan, orang-orang macam Lauheng
justru tenaga yang kubutuhkan!"
"Kalau Ling-cu punya cita-cita seluhur ini, meski badan
hancurpun aku akan mengabdi dengan suka rela."
Begitulah sambil bercakap-cakap mereka berangkat,
sebagai orang setempat yang apal jalanan Lau Sam-thay
menjadi penunjuk jalan. Dari Lian-cu ke Im-san dengan
kecepatan lari kuda membutuhkan tempo dua hari, mereka
sudah menempuh perjalanan satu hari, Lau Sam-thay mencari
penginapan untuk bermalam, nama Cit-sing-to memang cukup
tenar di bilangan situ maka mereka memdapat pelayanan
yang luar biasa. Belum lama mereka istirahat, tampak Lau Sam-thay
menggandeng Sun-cit masuk, mukanya pucat badan lemah
lunglai, begitu melihat Koan San-gwat, Sun Cit lantas berlutut
menangis gerung-gerung, katanya, "Ling-cu, harap kau suka
membalas dendam kedua majikanku."
Kata-kata yang tiada juntrungan ini benar-benar membuat
Koan San -gwat melengak heran, tanyanya, "Sun Cit apa yang
telah terjadi" Bagaimana dengan majikan kalian?"
Sambil menangis Sun cit mengangsurkan sebuah
bungkusan, waktu Koan San-gwat membukanya, isinya
ternyata dua keping lencana tembaga Unta terbang, lencana
unta terbang itu berlepotan darah. Dengan heran, ia bertanya,
"Apakah Loh-he-siang ing mengalami bencana?"
"Benar, kedua majikan dibunuh oleh Unta Terbang di Buwikun, mereka dibunuh dengan kedua lencana tembaga
ini"." "Di Bu-wi-kun!" ujar Koan San-gwat mengerut alis, "mana
mungkin, mereka kan berada di Lokyang. orang yang kau urus
memberi kabar meski tumbuh sayap belum tentu dapat
terbang sejauh itu, cara bagaimana mereka bisa berada di Buwikun?" Sambil sesenggukan Sun Cit menjelaskan, "Dua hari
kemudian setelah rombongan kami berangkat. majikan lantas
mendapat kiriman surat yang dilepas dengan golok terbang,
surat itu memberitahukan bahwa mereka hendak merampas
barang kawalan kami karena kuatir kedua majikan cepat-cepat
menyusul datang, tak duga sampai di Bu-wi-kun mereka
terbunuh orang, utusanku kebetulan dapat mengurusi jenasah
beliau. Ling-cu harap kau bantu membalas dendam majikan!"
"Urusan balas dendam semestinya aku tidak bisa menolak,
tapi mereka adalah murid Ciong-lam-pay, menurut aturan
Bulim, jamak kalau Ciangbunjin kalian Lu Bu-wi yang
membereskan kejadian ini."
Sun Cit meratap katanya, "Sebelum mati majikan ada
berkata". ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, belum tentu
Lu-ciangbun kuat melawannya, hanya Ling-cu saja yang ada
harapan".apalagi secara tidak langsung majikan menjadi
korban karena kau juga"."
"Apa maksudmu?" tanya Koan San-gwat mengerut alis.
"Pembunuh itu". waktu Unta terbang membunuh majikan,
dia pernah berkata, bahwa lencana Unta terbang tidak boleh
pulang dengan tangan hampa, kau menuntut kembali barang
rampasan itu, karena dia sudah memberi muka kepada kau,
maka dia harus menebusnya pula dengan jiwa majikan kami."
"Jahanam, orang keparat macam apa sebenarnya Unta
terbang itu, tidak berani mencari perkara dengan aku, tapi
melakukan kejahatan yang hina dan memalukan"."
Peng-toanio tersenyum, katanya, "Bukan lagi di Tay-sankoan
nanti, aku bersumpah untuk menghancur-leburkan orang
laknat ini." "Kukira tidak semudah seperti ucapanmu," olok Peng-toanio
tertawa. Koan San-gwat meliriknya cepat Peng-toanio
menambahkan, "Ucapanku mendorong kau untuk berlaku
lebih waspada kalau Unta Terbang sudah berani menantang
kau secara terang-terangan, tentu dia punya persiapan yang
dapat diandalkan, tidak berani aku mengatakan Kongcu bakal
kalah, tapi untuk menang, kukira bukan soal yang sepele!"
Koan San-gwat termenung sejenak lalu berkata kepada Sun
Cit, "Kau boleh istirahat! Sebulan lagi aku akan bekerja sekuat
kemampuanku, supaya Loh-he-siang-ing meram di alam
baka!" Berulang-ulang Sun Cit menyembah mengucapkan terima
kasih, lalu mengundurkan diri dengan hati lega.
Adalah Lau Sam-thay jadi kebingungan, katanya, "Ling-cu,
apakah kita melanjutkan ke Im-san?"
Koan San-gwat melotot sahutnya, "Sudah tentu ke sana. ini
kan dua persoalan yang berlainan."
Maka dengan tergagap Lau Sam-thay memberi tahu, "Tidak
aku mendapat sebuah berita, katanya Im Siok-kun sudah
mengumpulkan seluruh jago-jago kelas tinggi, seperti
menghadapi musuh besar berbondong-bondong mereka turun
gunung, malah kelihatannya menyongsong kedatangan
kita"." "Apa tujuan mereka?" jengek Koan San-gwat.
"Duduk perkara yang jelas aku tidak tahu, yang terang
mereka meluruk kemari karena adanya nona Thio di sini!"
Segera Thio Ceng Ceng menimbrung, "Yang mereka cari
adalah ayahku, ada sangkut paut apa dengan diriku?"
"Tidak tahu! Tapi mereka mengerahkan seluruh
kekuatannya, jelas tujuannya tentu tidak mengandung maksud
baik"." "Hm!" dengus Koan san-gwat, "banyak benar kejadiankejadian
aneh, sekarang mereka sudah sampai dimana?"
Lau Sam-thay menghitung-hitung lalu menjawab, "Mereka
terdiri dari kaum perempuan, menunggang joli jalannya rada
lambat, mungkin besok malam baru bisa sampai di sini."
"Apa" Anggota Im-san-pay terdiri dari kaum perempuan?"
seru Koan San-gwat heran, "belum pernah kudengar adanya
golongan mereka ini, dulu guru mengembara ke seluruh jagat
bertanding (bertandang) pada semua aliran besar kecil kok
tidak pernah menyinggung adanya mereka". " .
"Im San-pay kira-kira sepuluh tahun yang lalu baru
dihimpun dan didirikan, waktu itu Tokko-cianpwe keburu
mengasingkan diri, sebetulnya golongan mereka tidak
termasuk se Pay atau pang. seluruh anak murid Im San-pay,
tapi belum pernah mengadakan kontak dengan kaum
persilatan umumnya, maka jarang orang tahu seluk beluk
mereka. Soalnya pos yang kubangun di kota itu merupakan
pemberhentian para kelana yang sering membawa pergi
berita, maka sering kudengar hal-hal yang jarang dikatakan
orang lain. Im Siok-kun ada kalanya datang minta beberapa
petunjuk kepadaku"."
"Sudahlah, kitapun tidak perlu tidur, lebih baik malam ini
melanjutkan perjalanan, mari kita papak mereka di tengah
jalan, ingin aku tahu apa urusan mereka meluruk kemari."
Lau Sam-thay kelihatannya rada rikuh dan serba salah,
katanya, "Apakah Ling-cu boleh tidak bentrok dengan mereka,
umpama ada salah, mengingat perkenalanku dengan ImTiang-hau mungkin aku bisa melerainya, kalau terjadi
keributan, sulit aku melawan mereka"."
"Lau-heng tidak usah kuatir,aku bukan orang yang suka
mencari perkara, asal mereka tidak mencari urusan dengan
aku. tidak akan membuat keributan, apalagi apa sih artinya
melawan kaum hawa"."
Belum habis kata-katanya, tiba-tiba daun pintunya
ditendang terbuka, seorang gadis berdiri di ambang pintu
tangannya menyekal gagang pedang, dengan muka bersungut
ia membentak, "Laki-laki busuk! berani memandang rendah
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaum wanita. Keluar, biar nonamu yang menghajar mulut
kurang ajarmu itu!" Lau Sam-thay tersipu-sipu maju seraya berkata, "Nona ini
sungguh tepat kedatanganmu, kita baru saja"."
"Lau Sam-thay!" perempuan itu mengayunkan pedangnya,
"Jangan bersilat lidah dengan aku, tempo hari pernah kutanya
orang she Thio itu, katamu kau tidak tahu tapi sekarang
membawa puteri orang she Thio hendak mencari perkara ke
Im-san. Ketahuilah, memang sengaja aku menyuruh orang
memberi kabar bohong, sebetulnya sejak tadi kami sudah
tiba"." -oo0dw0oo- Jilid 6 LAU SAM THAY kebingungan terlongong kebingungan,
entah apa yang harus dilakukan.
Thio Ceng Ceng tampil ke depan: "Kalian mencari ayahku
untuk keperluan apa?"
"Jangan pura-pura pikun, perkara Thio Hun Cu si
bangkotan tua ini, masa kau tidak tahu?" jengek perempuan
itu. Sekali buka mulut orang memaki ayahnya, sudah tentu
Thio Ceng Ceng gusar, sebat sekali tiba-tiba ia merangsak ke
depan, jari telunjuknya menutuk ke pundak kiri orang, tapi
tidak kalah sebatnya perempuan itu memutar pedangnya
balas menusuk ke ulu hatinya.
Selama setahun mendapat gemblengan Soat-lo Thay-thay,
ilmu silat Thio Ceng Ceng bukan main lihaynya, cepat ia
membalikkan pergelangan tangannya, dari tutukan jarinya
ditekuk untuk menyenggol batang pedang lawan, Tang,
pedang lawan disampok ke samping, sebat sekali tangannya
sudah menyelonong maju pula mengarah jalan darah di tubuh
musuh. Agaknya kepandaian perempuan itupun cukup tinggi, dalam
keadaan terdesak sigap sekali ia menurunkan pundak, lalu
dengan suara gusar ia menyemprot : "Perempuan laknat kalau
kau punya kepandaian, mari ikut aku!" berbareng kedua
kakinya menutul tanah, badannya melejit terbang lewat
jendela. Tidak kalah gesitnya Thio Ceng Ceng mengejar keluar.
Koan Sang-gwat, Peng-toanio cepat memburu keluar.
Lau Sam-thay tidak mau ketinggalan, gerak geriknya jauh
lebih lambat. Waktu tiba di sebuah lapangan, tampak Thio Ceng Ceng
bertiga sudah dikelilingi beberapa perempuan yang
mengenakan seragam hitam, menyoren pedang, empat
perempuan di antaranya yang berusia agak lanjut berdiri
paling depan berhadapan langsung dengan mereka.
Melihat urusan menjadi besar, cepat Lau Sam-thay
memburu datang sambil menggoyang-goyangkan kedua
tangannya, teriaknya: "Jangan! Kalian salah paham, ada
perkara apa lebih baik dibicarakan dulu ?".."
Pihak Koan San-gwat diam-diam, salah satu dari
perempuan seragam hitam yang berusia agak lanjut berseru :
"Tiang-hoa! Siapakah orang ini ?"
Perempuan yang sudah bergebrak dengan Thio Ceng Ceng
tadi adalah gadis yang dipanggil Tiang-hoa oleh Lau Sam-thay
tadi, segera ia melirik dengan perasaan hina ke arah Lau Samthay,
sahutnya tertawa : "Dia bernama Cit-singto Lau Samthay,
ular tanah yang berkuasa di dalam kota Liang-ciu!"
Merah muka Lau Sam-thay, dengan gusar ia berkata :
"Nona Im?".. Meski aku orang she Lau bukan tokoh yang
kenamaan, tapi aku bukan macam orang yang kau sebutkan
tadi?"" Im Tiang-hoa memalingkan kepala tidak pedulikan dia lagi,
adalah perempuan pertengahan umur itu segera menjengek
dengan hina: "Minggir! Keparat kau, di sini tidak ada hak kau
bicara." Bukan saja menghina nada ucapannyapun sangat takabur,
betapa pun Lau Sam-thay berlaku sabar akhirnya naik pitam,
"sreng!" segera ia melolos Cit Sing-to dari punggungnya,
sambil membolang-balingkan senjata, ia berteriak : "Apa
kedudukanmu di dalam Bu-khek-kiam-pau kalian?"
Perempuan pertengahan umur itu angkat kepala tidak
perduli lagi padanya, Im Tiang-hoa segera menanggapi: "Lau
Sam-thay, sungguh memalukan, kau mengagulkan diri sebagai
pentolan tikus di jalan raya besar, masa kau tidak kenal
ibuku!" Mimpipun tidak Lau Sam-thay menduga bahwa perempuan
tua ini adalah Ciangbunjin Bu-khek-pay Im Siok-kun, meski
pengalaman sangat luas, soalnya ia sendiri belum pernah
melihat Im Siok-kun, maka sekian saat ia menjublek di
tempatnya, sedapat mungkin ia menahan perasaan gusarnya
dengan tertawa dibuat-buat segera ia bersoja dan berkata :
"Ternyata Im-ciangbunjin adanya, meski Cayhe seorang Siaucit
yang tidak ternama, tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa
dengan kalian, putrimu nona Tiang-hoa dua kali pernah
mampir ke rumahku, dengan hormat kulayani dia. Apakah
pantas Ciangbunjin sekarang bersikap kasar kepadaku?"
"Cara bagaimana aku harus bersikap terhadap kau?" jengek
Im Siok-kun menegak alis. Suaranya nyaring tajam, tanpa
terasa Lau Sam-thay bergidik tanpa kedinginan.
Katanya tergagap: "Paling tidak Ciangbunjin harus bersikap
rendah ?"" "Aku belum pernah kelana di Bulim, segala aturan Kangouw
aku tidak tahu. Jika aku berlaku salah terhadap Lau-toaenghiong,
entah bagaimana aku mohon maafku.."
Nadanya lebih congkak dan pongah, umpama Lau Samthay
dibuat dari lempung juga tidak tahan dihina begitu rupa,
maka sambil mengajukan Cit-sing-to ia berteriak: " Bu-khekkiampay kalian bukan aliran yang ternama, aku orang she
Lau memanggilmu Ciangbunjin sudah termasuk
menghormatimu, kau tidak tahu kebaikan, terpaksa aku orang
she-Lau minta pengajaran!"
"Lau-heng". tiba-tiba Koan San-gwat menyela sambil
tertawa enteng, "Tadi kau membujuk aku supaya jangan
mengumbar adat kenapa sekarang kau marah-marah?"
Agaknya marah Lau Sam-thay sudah memuncak, dengan
bengis ia berteriak: "Meski ilmu silatku tidak becus, jelek jelek
aku seorang laki-laki, masa harus dihina kaum kaum lemah?"
Im Siok-kun menarik muka, katanya dengan suara
tertekan: "Jimoy" keparat ini berani mengagulkan diri sebagai
laki-laki sejati, coba kau iris sedikit badannya!"
Seorang perempuan yang berdiri di sampingnya segera
mengiakan dan tampil ke depan, gerak-geriknya secerat
angin, begitu melejlt pedang lantas terayun memapas kaki Lau
Sam-thay. Cit-sing-to di tangan Lau-Sam-thay agaknya memang
kepandaian tulen, golok tunggal itu menyampok ke bawah
"Trang!" berhasil menangkis tebasan pedang lawan, tapi tidak
urung tergentak mundur dua tindak.
Karena serangan pertamanya gagal, ia mendengus hidung,
badannya mendesak maju mendekat. Tapi Lau Sam-thay tidak
tinggal diam, Cit-sing-to di tangannya berputar laksana kitiran
menghalau seriap serangan lawan.
Beruntun perempuan itu menyerang empat lima jurus
dengan pedangnya, semua tertangkis atau kesampok miring
oleh golok Lau Sam-thay, maka terdengar Im Siok-kun berseru
lantang: "Jimoy, kalau keparat ini bisa bertahan sepuluh jurus
selanjutnya, jangan kau jadi orang she Im."
Mendengar peringatan tersebut, perempuan itu pergencar
serangannya, ia berlaku nekat, dengan kekerasan ia berusaha
menjebol pertahanan sinar golok yang rapat, sekali tempo
pedangnya menahan rangsakan golok lawan, sementara
kedua jari tangannya laksana pisau menusuk ke lutut Lau
Sam-thay. Kontan Lau Sam-thay rasakan lututnya lemas, tanpa kuasa
ia jatuh bertekuk lutut, perempuan itu menjengek dingin lalu
melejit mundur kembali ke samping Im Siok-kun. Terdengar
gelak tawa Im Siok-kun yang bangga. "Lau-lo-enghiong, kau
adalah laki-laki sejati, kenapa kau bertekuk lutut?"
Malu dan gusar gejolak darah di dada Lau Sam-thay, cepat
ia ayunkan golok sendiri hendak menggorok leher, namun
baru goloknya terangkat, tiba-tiba tangannya kesemutan
disambar gelombang tenaga, tahu-tahu goloknya sudah
terampas orang, disusul baju punggungnya ditarik orang
didengarnya dua kali suara tepukan keras, kontan ia dapat
bergerak lagi seperti semula. Waktu ia berpaling, orang yang
menolong dirinya adalah perempuan tua yang selalu
mengiringi perjalanan Koan San-gwat.
Dia hanya tahu orang dipanggil Peng-toanio, tapi tidak tahu
bahwa orangpun pandai silat. Setelah mengembalikan Citsingto kepadanya, dengan muka sungguh-sungguh
berkatalah Peng-toanio: "Kalau kepandaian sendiri memang
tidak becus kenapa harus mati, orang yang gampang
menggorok leher karena malu apakah boleh disebut laki-laki
sejati"!" Lau Sam-thay menjadi malu sekali, setelah terima goloknya
ia menunduk kepala tanpa bersuara.
Sementara Peng-toanio membalik tubuh dan menjengek ke
arah perempuan pertengahan umur ini: "Kaum persilatan
boleh dibunuh tidak boleh dihina, kalau kau membuntungi
kedua kakinya, nenek tua seperti aku ini tidak akan banyak
cingcong, tapi kau menghina dan mempermainkan dia, aku
nenek tua ikut merasa terhina! Siau we! sebutkan namamu!!"
Melihat Peng-toanio dapat membebaskan ilmu tutukan
tunggal perguruannya dengan itu dan perempuan itu merasa
kaget, ia berdiri menenggang penuh kecurigaan, hingga lupa
menjawab, lekas Im Siok-kun menjengek dengan suara berat:
"Jimoy! orang sedang bertanya kepada kau! Apa kau tidak
dengar?" Perempuan itu tersentak sadar sahutnya lantang: "Musid
Bu-khek-bun Im Tiat-kun!"
Peng Kiok-jin terloroh-loroh, ujarnya : "Sudah sekian tahun
nenek tua ini tidak berkecimpung di Kangouw, badut dan
panca longok berani malang melintang, maka kaupun harus
berlutut seperti dia!"
Mendengar ancaman yang lantang ini seketika Im Tiat-kun
melongo, tapi Peng Kiok-jin tidak memberi kesempatan ia
berpikir, se enteng asap tiba-tiba tubuhnya meluruk ke depan,
jari tangannya tertekuk terus menjentik meluncurkan sejalur
angin keras. Belum lagi Im Tiat-kun sempat bersiap dan
melawan, tiba"tiba terasa lututnya lantas tak bertenaga,
badannya sudah bergoyang hampir berlutut, berobah air muka
Im Siok-kun, lekas sebelah tangannya mendorong ke samping.
Pukulan telapak tangannya bukan menyerang Pek Kiok-jin
yang menyergap tiba, tapi mendorong Im Tiat-kun sambil
berteriak: "Murid Bu-khek-pay adalah perempuan perkasa
yang rela mati menjadi mayat daripada dihina!"
Melihat Im Tiat-kun mampus dengan tujuh lobang
inderanya mengalirkan darah, Peng kiok-jin menjadi gusar:
"Terhadap saudara Sepupu sedemikian kejam "."
"Memang ini sudah menjadi perundang-undangan keluarga
kita!" kata Im Siok-kun ketus. "Tak perlu kau bersedih bagi
kita, meski dia mampus di tanganku, tapi kami harus mencari
perhitungan kepada kau".."
"Kau sendiri yang bunuh kerabatmu, tapi orang lain yang
harus bertanggung jawab hidup semua ini, baru sekarang aku
nenek tahu ada peraturannya si kentut busuk ini, tapi cara
bagaimana kau hendak mencari perhitungan denganku?"
"Gampang saja! Hutang darah bayar darah, hutang jiwa
harus bayar jiwa!" Im Siok-kun mengulapkan tangan, dua perempuan lain
yang berada di samping Im Siok-kun segera melolos pedang
hendak turun tangan, cepat Thio Ceng Ceng tampil ke depan,
serunya: "Tunggu sebentar, mari kita bicara dulu."
"Mengobrol apa lagi?" teriak Peng Kiok-jin gusar, "Kalau
mereka mampu, silahkan bawa nenek tua ini untuk menebus
jiwanya. Ka lau tidak aku akan bikin mereka berlutut minta
ampun kepadaku, ingin kulihat apakah Bu khek-pay kalian ada
orang yang suka berlutut dan mandah dihina."
"Toanio" bujuk Thio Ceng Ceng, "kuharap kau bersabar
sebentar, mereka mengatakan ayahku berbuat apa, aku harus
tanya duduk persoalannya."
Terpaksa Peng Kiok-jin mengalah mundur ke samping. Baru
sekarang Thio Ceng Ceng berkesempatan bicara kepada dua
perempuan itu. "Kuharap kalian suka menunggu sebentar,
setelah aku bicara dengan Ciang-bunjin kalian, belum
terlambat kita teruskan pertarungan ini."
Kedua perempuan itu berpaling ke arah Im Siok-kun,
agaknya menanti perintah lanjut, maka Im siok-kun berseru
gusar: "Tiada yang perlu dijelaskan lagi! Kalau kau adalah
putri Thio hun-cu, maka kaulah orang kita cari, perbuatan
bapakmu yang bangkotan itu terpaksa kau yang menerima
hukumannya!" Gusar dan gugup Thio Ceng Ceng dibuatnya, teriaknya:
"Sebetulnya apa yang dilakukan ayahku?"
"Kau kan putrinya masa tidak tahu?"
"Setahun yang lalu aku sudah berpisah dengan ayahku,
sampai sekarang belum pernah berjumpa kembali. "."
"Apa benar ucapanmu" tanya Im Siok-kun tidak percaya.
"Buat apa aku membual" Waktu Koan-toako terkena racun,
akulah yang membawanya mencari obat, selama ini belum
pernah berpisah sedikit pun, kau tidak percaya, silahkan kau
tanya dia!" Im Siok-kun berpaling ke arah Koan San-gwat, katanya:
"Kau adalah Bing-to Ling-cu, ucapanmu boleh dipercaya, kau
berani tanggung bahwa ucapannya benar?"
"Aku yang rendah berani mempertaruhkan batok kepalaku
ini, bahwa ucapan tetua Thio memang benar, selama setahun
ini dia selalu ikut aku, belum pernah jumpa dengan paman
Thio." "Aneh!" seru Im Siok-kun tertegun, "dua hari yang lalu ada
orang melihat Thio-Hun-cu berada di Ciu-cwan bersama
seorang gadis, maka kami menyusul kemari."
Koan San-gwat melengak, katanya: "Dua hari yang lalu
kami masih ada di Ciu-cwan, kami juga mencari paman Thio,
kenapa kami tidak melihatnya" Apakah orangmu itu tidak
salah lihat?" "Tidak mungkin salah, Thio Hun-cu sekarang menjadi
incaran orang banyak, orang tidak dapat dikelabui olehnya."
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, memang kemungkinan, tapi gadis itu sudah pasti
bukan nona Thio!" Im Siok-kun merenung sebentar lalu berkata pula dengan
gusar: "Seumpama benar mereka sudah lama tidak hidup
bersama, tapi hari ini kami sudah menemukan putrinya, kita
harus menuntut pertanggungan jawab ayahnya kepada
anaknya, kau adalah putri Thio Hun-cu maka kau harus berani
menanggung akibat ini."
"Sebenarnya apakah yang telah dilakukan ayahku" Begitu
benci kalian terhadap beliau!"
Kata Im Siok-kun gemas: "Kalau diceritakan, kau sebagai
putrinya mungkin bangga akan perbuatan ayahmu, sejak Thio
Hun-cu lolos dari Loh hun-kok setahun yang lalu, karena dia
paham cara memunahkan racun Ui-ho-ciu-oe-sa itu semua
hadirin menaruh hormat dan segan kepadanya". ?""
"Sebagai tabib yang memperdalam ilmu pengobatan,
adalah tanggung jawab beliau menolong sesama manusia!"
ujar Thio Ceng Ceng tertawa.
Im Siok-kun menyeringai dingin, sambungnya: "Kau
dengarkan saja nanti kan tahu betapa bagus perbuatannya.
Sejak peristiwa di Loh-hun-kok itu mendadak dia menghilang.
Kira-kira sebulan yang lalu, mendadak muncul. Dia bertandang
ke markas berbagai golongan dan aliran besar kecil. Karena
perbuatan suhunya dulu sudah tentu semua pihak suka
bersahabat dengan dia. Siapa tahu manusia berhati binatang
itu, ternyata melakukan perbuatan hina dina yang
memalukan." "Kau bohong!" maki Thio Ceng Ceng, "Ayahku bukan
macam itu!" "Apa yang dilakukan ayahmu, kini seluruh manusia di
kolong langit pasti ingin merajangnya untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya. Di Siau-Lim-sie ia mencuri buku rahasia
Ih-kin-keng karya Tatmo Cousu, dengan keji meracun
Ciangbunjin Siau-lim-pay Thong Sian Taysu hingga bisu dan
tuli, badannya lumpuh lagi. Di Bu-tong ia melarikan buku
pelajaran pedang dan meracuni Bu-tong Ciangbun Thian-ki
Totiang hingga mati. Soalnya partai dan golongan lain, aku
sendiri belum mendapat kabar yang pasti, entah perbuatan
laknat apa lagi yang sudah dilakukan, tapi mereka mengejar
Thio Hun-cu begitu ketat, tentu terjadi perkara besar".."
Thio Ceng Ceng terpukul hatinya, sambil menutupi
mukanya ia berteriak: "Kau bohong! Mana mungkin ayah
melakukan perbuatan semacam itu".."
"Kenapa kau tak mau meluruk ke Siau-lim-si untuk mencari
bukti?" "Sudah tentu aku akan ke sana!"
"Nanti dulu!" Koan San-gwat menimbrung pembicaraan
dengan sungguh-sungguh, "Aku bergaul cukup lama dengan
paman Thio. Aku tahu watak dan perangainya, ia tidak
mungkin melakukan perbuatan yang hina dan memalukan itu,
apalagi persoalan ini banyak lobang kelemahannya. Seperti
apa yang kau katakan, kukira golongan atau aliran yang
mengalami nasib jelek tidak mungkin sebanyak itu, cukup dua
golongan saja pasti akan menyiarkan berita jelek itu, golongan
yang lain cepat akan berlaku waspada, mana mungkin bisa
satu persatu kena ditipunya mentah-mentah?"
"Justru di sinilah kelihaiannya Thio Hun-cu," Im Siok-kun
menyeringai, "Dia bekerja dari timur ke barat, secara beruntun
dan teratur, berita yang tersebar di luar kalah cepat dengan
gerak-geriknya. Di kala golongan di sebelah barat memperoleh
berita, dia sudah datang dan bekerja beberapa lamanya ".. "
Koan San-gwat geleng -geleng kepala: "Kenapa sepanjang
jalan kita kemari, sedikit pun tak tahu menahu persoalan ini?"
"Perbuatan jahat yang dilakukan Thio Hun-cu kebanyakan
menyangkut rahasia berbagai golongan besar kecil atau
beberapa tokoh atau orang-orang penting itu, tiada yang
berani membeber borok yang memalukan ini, sudah tentu
kalian tidak bisa mendengar berita penting ini."
Dengan tenang dan dingin bertanyalah Koan san-gwat:
"Lalu pihak Bu khek-kiam-pay kalian mengalami musibah
apa?" Sesaat Im Siok-kun bimbang, akhirnya Ia berkata sambil
kertak giginya: "Apa yang menimpa golongan kita jauh lebih
memalukan dari golongan lain!"
"Apakah buku pelajaran Bu khek-kiam-pay kalian
dicurinya?" Koan San-gwat menegas.
"Bu khek-kiam-hoat terbagi dua jilid, jilid kedua adalah
pelajaran umum bagi seluruh anggota Bu-khek-kiam-pay kami,
jilid pertama berisi delapan gerak pelajaran ilmu pedang,
khusus diajarkan untuk Ciangbunjin, siapapun tidak mungkin
bisa mempelajarinya, sudah tentu jilid pertama ini dia tidak
berhasil membawanya lari."
"Lalu apa kerugian kalian?"
Wajah Im Siok-kun beringas, serunya berapia-api:
"Tujuannya yang terakhir adalah Im-san kami, aku belum
pernah ketemu dengan dia, cuma kudengar namanya cukup
tenar sebagai pendekar kelana, maka dengan tangan terbuka
kusambut kedatangannya. Siapa tahu"." bicara sampai di sini
ia tidak kuasa meneruskan saking gusarnya.
"Bagaimana ayahku?" Thio Ceng Ceng bertanya.
Im Siok-kun kertak gigi serunya bengis: "Dia".
memperkosa putriku yang terkecil Im Le-hoa dan meracunnya
hingga pikun." Koan San-gwat tersentak kaget, sesaat ia melongo, lalu
katanya: "Ini". agaknya tidak mungkin! Mana mungkin paman
Thio melakukan?""
"Anggota Bu khek-kiam-pay kita terdiri dari kaum hawa.
Kalau bukan dia siapa yang berbuat" ".?" semula Aku tidak
Percaya, tapi setelah aku bertemu murid Siau-lim-pay dan Butongpay maka dapatlah dipastikan tentu perbuatannya."
Thio Ceng Ceng seperti kehilangan akal pikirannya yang
jernih, tiba-tiba ia berteriak sambil menangis : "Kau bohong".
katu bohong?"."
Di bawah sinar bulan tampak air muka Im Siok-kun pucat,
dengan suara berat ia berkata "Tiang-hoa! Bawa adikmu
kemari!" Dengan muka sedih itu Tiang-hoa menuntun keluar
seorang gadis berpakaian hitam, wajahnya cantik molek,
usianya tujuh belasan, kedua matanya mendelong terus tidak
bergerak, gerak-geriknya serba linglung.
Im Siok-kun mendelik kepada Thio Ceng Ceng, serunya
gusar: "Tentu kau pun mahir ilmu pengobatannya, silahkan
kau periksa buah karya bapakmu."
Thio Ceng Ceng mengusap air mata maju ke depan si
gadis, dia membalik kelopak matanya serta memeriksa dengan
cermat, meraba urat nadinya pula, terakhir ia berikan kepada
Peng Kiok-jin: "Toanio! Harap beri sebutir Peng-sip-coat-pengsan!"
Dengan serius Peng kiok-jin membuka buntalan menuang
sebutir pil dan diberikan kepada Thio Ceng Ceng, Ceng Ceng
jejalkan pil itu ke mulut si gadis. Cepat Im Siok-kun
membentak: "Obat apa yang kau berikan kepadanya?"
Peng Kiok-jin segera menjawab: "Kau tidak usah kuatir,
kami tidak akan memberinya racun!"
Dengan perasaan tegang dan was-was Thio Ceng Ceng
memeriksa denyut nadi si gadis lalu mengurut-urut, setelah itu
ia mundur dua tindak menanti reaksinya, kulit mukanya
berkerut-kerut gemetar. Koan San-gwat maju mendekat serta
bertanya: "Nona Thio! Kenapa kau?"
Sahut Thio Ceng Ceng prihatin : "Kalau obatku itu dapat
menolongnya sadar?"". ?" tidak berani dia meneruskan
ucapannya, beberapa saat Koan San-gwat seolah-olah ikut
tenggelam, ia berdiri diam tak bergerak di sampingnya.
Entah berapa lama kemudian, biji mata itu mulai bergerakgerak,
bibirnya bergerak menggumam beberapa patah kata.
Thio Ceng Ceng menjerit terus menangis keras menutup
muka dengan kedua telapak tangannya, teriaknya: "Koantoako
tiada muka aku hidup"..
Jantung Koan San-gwat berdebar keras, hampir ia tidak
percaya dengan kenyataan di depan matanya. Urusan menjadi
jelas dan terbukti akan perbuatan Thio Hun-cu, apakah
mungkin" Setelah menangis sekian saat, tiba-tiba Thio Ceng Ceng
angkat kepala, katanya: "Tidak! Betapapun aku tidak percaya
akan perbuatan ayahku!"
Koan San-gwat juga tidak putus asa, bujuknya: "Benar!
Akupun tidak percaya ?" oh ya, kalau gadis ini sudah pulih
kesadarannya, marilah kita tanya kepadanya!"
Segera Thio Ceng Ceng memburu ke depan gadis itu: "Adik
cilik! Seseorang telah mengganggu kau, siapakah dia?"
Im Lee-hoa membuka lebar kedua biji matanya, dia tetap
mendelong, sesaat baru menggumam: "Tidak! Dia bukan
orang jahat, dia suka kepadaku, akupun suka kepadanya, dia
hendak menikah dengan aku, akupun menjadi istrinya"."
Im siok-kun merasa di luar dugaan, ia pun memburu maju,
teriaknya: "Lee-hoa kau sudah gila?"?"
Thio Ceng-Ceng makin panik, serunya: "Adik cilik, siapakah
dia ?" "Aku tidak tahu, dia tidak memberi tahu kepadaku?" sahut
Im Lee-hoa hampa. Segera Koan San-gwat berkata pada Im Siok-kun: "kalau
paman Thio mendapat pelayanan istimewa kalian, kenapa
putrimu tidak kenal dia?"
"Selamanya dia tidak pernah kenal dengan orang luar,
sudah terus tidak tahu!"
Kemba Thio Ceng Ceng menarik tangan Im Lee-hoa,
tanyanya lagi: "Bagaimana bentuk wajah orang itu?"
Im Lee-hoa diam sekian lamanya akhirnya menjawab
dengan rasa sedih. "Entahlah, aku sudah lupa! Mungkin kalau
ketemu sama dia aku bisa mengenalnya, waktu dia datang
menemukanku, keadaan sangat gelap aku hanya mengenal
suaranya." Mungkin bukan ayahnya, Thio Ceng Ceng agak lega.
Mendadak kedua mata Im Lee hoe bercahaya terang,
suaranya lembut mesra: "Aku masih ingat jenggotnya,
jenggotnya itu sangat bagus, lemas lembut seperti rambutku,
waktu mengusap wajahku rasanya begitu hangat dan
mengasikkan?"" Tiba-tiba Thio Ceng Ceng menjerit sekeras-kerasnya
melepas tangan Im Lee-hoa terus putar tubuh dan lari.
cepat Im Siok-kun melintangkan pedang mencegatnya,
bentaknya: "Duduk perkaranya sudah jelas, mau kemana
kau?" Hati Thio Ceng Ceng seperti disayar-sayat sembilu,
teriaknya sambil menangis gerung-gerung; "Jangan rintangi
aku, aku hendak mencari ayah?""
Cepat Koan San-gwat menarik tangannya, bujuknya: "Nona
Thio, kalau ayahmu benar seorang yang hina dina, kau tidak
perlu mencari lagi!"
"Tidak!" sahut Thio Ceng Ceng keras, "aku harus
menemukan dia. Aku akan bunuh dia lalu akupun bunuh diri.
Aku tidak mau membiarkan dia hidup, akupun tidak mau hidup
lagi ?"" "Apa-apaan ucapanmu" Paman Thio, meski Thio Hun-cu
layak dibunuh, bukan kewajibanmu untuk membunuhnya?""
"Tidak, aku sendiri yang harus bunuh dia! Dia bukan lagi
ayahku, aku bukan putrinya?""
"Sudah, kalian main sandiwara di hadapanku, kau kira aku
bisa melepas kau pergi?" tukas Im Siok-kun menyeringai
sadis. Mandadak Thio Ceng Ceng beringas, hardiknya murka:
"Minggir! Sekarang siapa pun aku tidak perduli lagi, jangan
kau merintangi jalanku."
Im Siok-kun semakin berang, teriaknya: "Kalau kita tidak
menemukan Thio Hun-cu, maka kau dulu yang harus menebus
dosanya." Thio Ceng Ceng menjerit panjang, dengan gusar ia melolos
pedang panjang dari punggungnya, hardiknya : "Berani kau
merintangi aku, kubunuh kau, sekarang hasratku cuma
membunuh orang","
Sebelum orang habis bicara, pedang Im Siok-kun sudah
menukik laksana ular menyambar dari samping, lekas Thio
Ceng Ceng angkat pedang menangkis dan balas menyerang,
maka terjadilah pertempuran seru.
Karena bertangan kosong, Koan San-gwat kerepotan untuk
melerainya, terpaksa ia minta bantuan Peng Kiok-jin: "Toanio!
Lekas kau cari akal untuk menghentikan amukannya !"
"Kepadamu dia tidak tunduk aku punya akal apa?" sahut
Peng Kiok-jin menyengir, "Aku maklum peristiwa ini menjadi
pukulan berat bagi bathinnya hingga pikirannya kacau
balau".." Koan San-gwat semakin gopoh dan gelisah, sementara Thio
Ceng Ceng sudah melabrak Im Siok-kun puluhan jurus.
Permainan Be-khek-kiam-hoat Im Siok-kun aneh
menakjubkan, jurus-jurusnya serba berlawanan dari
permainan pedang umumnya, setiap tipu serangannyapun
sangat ganas dan keji. Dalam keadaan marah, inti sari ilmu
pedangnya sukar dikembangkan.
Setelah mendapat petunjuk dan gemblengan Soat-lo Thay
thay, kepandaian Thio Ceng Ceng sudah berlipat ganda,
permainan pedangnya sangat hebat dan gerak perubahannya
laksana setan kelelap malaikat muncul, setiap jurus
serangannya menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih
menguntungkam sehingga Im Siok-kun terdesak mencakmencak,
saking gugupnya ia berkaok-kaok: "Hayo! maju
semua, cacah hancur tubuh perempuan laknat ini!"
Anak murid Bu-khek-kiam-pay serempak melolos pedang
terus menyerbu dari berbagai penjuru, hawa pedang
berkilauan memberondong ke arah Tnio Ceng Ceng dengan
rapi. Koan San-gwat hendak maju membantu, lekas Peng
kiok-jin menariknya, katanya: "Tidak perlu kau harus turun
tangan! Nona Ceng sudah cukup berkelebihan!"
Memang tindak tanduk Thio Ceng Ceng lebih kejam dan
nekat, meski ia hanya menggunakan sebilah pedang, tapi
permainannya sedemikian cepat, umpama hujan badai juga
tidak akan menembus pertahanannya yang rapat, para
pengepungnya saling terdesak mundur dan terpental pontangpanting
oleh perbawa ilmu pedangnya. Keruan Im Siok-kun
semakin murka bentaknya beringas : "Hayo maju semua, adu
jiwa dengan dia. Meski seluruh warga Im habis tertumpas,
jangan kita lepaskan perempuan laknat ini!"
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thio Ceng Ceng juga semakin murka, teriaknya; "Terpaksa
aku harus membunuh, kalian yang memaksa aku berbuat
demikian?"".."
"Bunuhlah! Kau sama dengan bapakmu. keparat yang patut
dihancur leburkan." Caci maki urang lebih menggelorakan darah Thio Ceng
Ceng, dimana pedangnya berkelebat bagai kilat menyambar
beruntun terdengarlah suara jerit dan pekik kesakitan, kecuali
Im Siok-kun dan beberapa orang yang berkepandaian tinggi,
banyak diantara mereka roboh terluka.
Banyak senjata putus, lengan tergores atau pergelangan
tangan kutung dan ada pula yang tubuhnya cacat. Mata Im
Siok-kun merah padam dan membara, teriaknya beringas:
"Keparat, biar aku adu jiwa dengan kau!"
Cepat sekali ujung pedang menusuk ulu hati, serangan ini
cukup ganas dan lihai, pedang Thio Ceng Ceng, yang
menyambar kuping kirinya pun tidak dihiraukan, ia agaknya
bertekad gugur bersama. Sebat sekali Thio Ceng Ceng
miringkan tubuh meluputkan diri, sementara gaya serangan
pedangnya masih meluncur tanpa berubah.
Sekarang Koan San-gwat tidak bisa berpeluk tangan, sigap
sekali ia jemput sebilah pedang di tanah terus melejit :
"Trang" pada waktunya ia berhasil menangkis pedang Ceng
Ceng, menolong jiwa Im Siok-kun.
Sejenak Thio Ceng Ceng tertegun, serunya keren, "Koan
San-gwat, kau pun hendak membunuhku?"
"Tidak" sahut Koan San-gwat dengan keren. "Aku tidak
membunuh kau, tapi kau pun jangan membunuh orang!"
Deras air mata Thio Ceng Ceng, tanpa banyak kata, Ia
menerjang keluar kepungan.
Im Siok-kun terus lari sekencang-kencangnya. Koan Sangwat
bergerak hendak mengejar, cepat Peng Kiok-jin
menahan dari belakang, katanya: "Biarkan dia pergi. Sekarang
perlu memberi ketenangan padanya. Untuk sementara waktu
kau jangan temui dia, aku akan mengawasi dirinya."
Koan San-gwat hendak menolak, cepat Peng Kiok-jin
menggoyangkan tangan, katanya: "Urusan ayahnya, akupun
belum percaya. Lebih baik carilah Thio Hun-cu, gunakan waktu
luangmu untuk membuat penyelidikan dalam persoalan ini."
Selesai berkata lantas memburu ke arah Thio Ceng Ceng
menghilang. Sesaat Koan San-gwat menjublek di tempatnya dengan
muka merah padam, Im Siok-kun meluruk kehadapannya,
jengeknya: "Orang she Koan, sejak hari ini Bu khek-kiam-pay
kami tidak akan berjajar dengan kau?""
Koan San-gwat melengak, ujarnya: "Aku tidak bermusuhan
dengan kalian, barusan jiwamu sudah kutolong, kenapa air
susu kau balas dengan air tuba?"
"Memang! Tapi kaupun menolong jiwanya pula, aku masih
ada jurus pedang lihai yang belum kulancarKan, aku berani
pastikan, ilmu pedangku itu akan menembus tenggorokannya.
Kau menolong jiwanya, sekarang aku tidak bisa membalas
dendam kepada kau, biarlah pertarungan ini kita bereskan lain
kesempatan." Dengan bingung Koan San-gwat membujuk : "Seumpama
kau tadi gugur, Yang berbuat kejahatan adalah ayahnya, ada
sangkut paut apa dengan dia" Untuk membalas dendam kau
harus mencari sasaran yang tepat!"
"Orang she Thio itu sudah merusak putriku, maka akupun
harus merusak putrinya, itu baru setimpal. Bicara terus terang,
aku lebih suka membebaskan Thio Hun-cu, tapi putrinya itu
harus menerima ganjaran yang setimpal."
"Kecuali kau sudah gila," seru Koan San-gwat naik pitam,
"Orang gila baru punya angan-angan yang gila pula!"
Im Siok-kun tidak menghiraukan dia lagi, ia pimpin seluruh
anak buahnya tinggal pergi tanpa banyak omong lagi.
Koan San-gwat termenung-menung sekian lamanya,
setelah Lau Sam-thav menarik bajunyas baru ia sadar. Dengan
lesu ia meninggalkan tempat itu.
Tatkala itu cuaca sudah terang berderang. Ufuk timur
sudah dihiasi cahaya kuning emas. Hawa pagi nan sejuk dan
nyaman, semangat Koan San-gwat pulih kembali, ia menarik
napas panjang. Malam ini masa amat panjang.
"-ooo000ooo?" Seorang diri Koan san-gwat menelusuri pinggir sungai
kuning, sementara Lau Sam-thay mencari perahu untuk
menyeberang. Seorang diri ia menengadah mengamati
bintang kerlap kerlip yang masih bercokol di cakrawala, pelanpelan
kudanya naik ke atas tanggul.
Keadaan yang sunyi dan pemandangan gelap sebelum fajar
ini membuat perasaannya hambar dan haru, sejak ia
mengembara empat tahun yang lalu, lebih banyak waktu
dihabiskan dengan merawat luka-luka yang dideritanya. Tapi
begitu ia terjun ke dunia persilatan, tentu menimbulkan
kegemparan yang teramat besar ?".sehingga ia lebih dapat
meresapi betapa besar arti kehidupan ini.
Lambat laun bangkit jiwa kesatrianya, menghadapi bulan
sabit, desah air sungai, serta hembusan angin pagi nan sepoisepoi
ini ingin rasanya melampiaskan kekesalan hati dengan
menggembor sekeras-kerasnya. Begitu mengerahkan hawa
murni ke pusarnya, sekali mulut terpentang, suara keras
menjulang tinggi menembus angkasa laksana jeritan naga,
berkumandang di alam semesta di pagi hari dan cerah itu.
Tanggul di bawah kakinya terasa bergetar oleh kedahsyatan
gemborannya. Demikian juga kuda tunggangannya berjingkrak
berdiri, hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya,
syukur ia cukup cekatan, tali kekang ditarik, sehingga
badannya terkendali. Tepat pada saat itu juga, kupingnya
yang tajam mendengar jerit kesakitan Lau Sam-thay di
kejauhan sana, disusul derap langkah kuda yang mendatangi
dengan kencang. Koan San-gwat kaget, ia mengira Lau Sam-thay mengalami
sesuatu. Sejak dibikin malu pihak Bu-khek-kiam-pay malam
itu, dia mengintil dirinya, alasannya cukup tepat, takut para
kerabat Im-san mencari perkara padanya, ia tahu dirinya
bukan tandingan mereka, apalagi perkara terjadi gara-gara
dirinya dengan Thio Ceng Ceng, Koan San-gwat langsung
menolak permintaan orang.
Apalagi sepanjang jalan ia selalu memberi pelayanan yang
baik pada dirinya, sehingga ia terhindar dari banyak kesulitan,
lambat laun Koan San-gwat merasa tidak bisa kehilangan
pembantu yang sangat diperlukan ini, maka begitu mendengar
jeritannya, segera ia keprak kudanya menyusul ke sana.
Belum berapa jauh, dilihatnya seekor kuda tanpa
penunggang sedang mencongklang pesat ke arah sini, kuda
itu adalah tunggangan Lau Sam-thay, melihat binatang itu
tidak ditunggangi majikannya, Koan San-gwat semakin kuatir,
lekas ia cegat dan tarik kuda itu lalu dibawa lari pula ke
depan. Beberapa kejap kemudian, jauh di depan sana dilihatnya
Lau Sam-thay sedang memukul dan menubruk serabutan
melawan seorang gadis yang bercokol di atas kuda. Gadis itu
menggunakan pakaian serba merah, tangannya memegang
pecut panjang, berulang-ulang ia melecutkan pecutannya ke
arah Lau Sam-thay. Berkali-kali Lau Sam-thay urut tangannya mencengkeram
ujung pecut lawan, tapi selalu gagal, malah kepala dan
mukanya dipecut beberapa kali, badan babak belur, bajunya
sudah sobek-sobek berdarah.
Sudah tentu Koan San-gwat tidak berpeluk tangan, cepat ia
keprak kudanya memburu kesana, bentaknya, "Berhenti!"
Bentakannya keras menggeledek menggelegar, gadis itu
segera menghentikan aksinya! Lau Sam-thay lantas berteriak:
"Liang-cu! Jangan kau turut campur, biar aku adu jiwa dengan
budak busuk ini?"."
Belum habis bicara tahu-tahu mukanya kepecut lagi,
terdengar gadis itu membentak: "Coba kau maki sekali lagi,
kubikin hancur mulutmu."
Agaknya pecutan terakhir ini jauh lebih berat, muka Lau
Sam-thay bertambah jalur berdarah, sudah tentu marahnya
bukan kepalang, hardiknya kalap: "Tuan besarmu justru ingin
maki kau, kalau berani coba kau bunuh aku saja, perempuan
busuk ?"".! Berubah air muka gadis itu, teriaknya melengking : "Kau
memang harus dihajar !"
Pecut sudah terayun dan hendak menghajar lagi,
sementara Koan San-gwat sudah tiba mencegat di antara
mereka, begitu melihat kedatangan Koan San-gwat, gadis itu
batalkan serangannya, teriaknya: "Kau minggir, akan kuhajar
dia supaya tidak memaki orang lagi!"
Kata Koan San-gwat dengan kalem : "Memaki orang
memang salah, tapi kau sudah menghajarnya begitu rupa, apa
tidak terlalu?" Gadis itu mendelik serunya : "Kusuruh kau minggir dengar
tidak" Kalau kau tidak mau minggir, kau pun akan kuhajar
sekalian." Lau Sam-thay berjngkrak gusar, teriaknya sambil bertolak
pinggang : "Perempuan busuk, kalau kau mampu memecut
Ling-cu, baru aku tunduk kepadamu!"
Gadis itu menjengek hidung, tiba-tiba pecutnya terayun
melingkar-lingkar terus menukik hendak membelit leher Koan
San-gwat. Koan San-gwat bersikap tenang sambil mengulum senyum,
tanpa berkelit ia mengulur tangannya mencengkeram ujung
pecut si gadis ini, yang dia gunakan adalah hun-kong poh-in,
membagi silat menerkam bayangan. Ia menyangka dengan
gerak tangan yang amat lihay itu, pecut lawan dapat
dipegang. Tak kira baru saja jarinya menggenggam ujung
pecut orang, gadis itu menggentak pergelangan tangannya,
ujung pecutnya itu seperti ular sakti yang licin memberesot
lolos dari telapak tangannya.
Hanya satu gebrak, kedua pihak menjadi tercengang, rasa
heran dan kaget gadis itu jauh lebih besar dari Koan Sangwat,
terdengar hidungnya mendengus lirih, lalu katanya:
"Hai, siapa namamu ?"
Belum sempat Koan San-gwat membuka mulut, Lau Samthay
sudah menjawab: "Perempuan busuk, Bing-to-ling-cu
yang namanya menggetarkan seluruh kolong langit masa tidak
pernah dengar" buat apa kau kenali kangouw."
"Siapa bilang aku orang Kangouw?" sentak gadis itu sambil
melotot. Agaknya luka-luka Lau Sam-thay masih sakit, dengan
marah ia memaki pula: "Perempuan busuk, dandananmu
menunjukkan kau adalan anggota rombongan akrobatik,
berani kau tidak mengaku!?"
Lau Sam-thay hendak memaki dan menghinanya, tak kira
gadis itu melotot heran, tanyanya: "Apa yang dinamakan
akrobatik!?" Lau Sam-thay menelan air liur, sungguh hatinya gemas,
entah pura-pura atau tidak tahu atau memang bodoh, sesaat
baru ia menjawab: "Kalau kau sudah tahu istilah Kangouw,
masa tidak tahu artinya?"
"Aku memang tidak tahu," sahut gadis itu tertawa, "Orang
Kangouw, nama ini kudengar dari ibuku, menurut kata ibu
orang kangouw tiada yang baik. Apakah kalian pun orang
Kangouw?" Lau Sam-thay uring-uringan, makinya: "Justru ibumu yang
bukan orang baik, berdasarkan apa dia berani mengatakan
orang Kangouw tiada yang baik!"
Gadis itu menarik muka, pecut terayun lalu menghajar pula
ke arah Lau Sam-thay, teriaknya gusar, "Berani kau memaki
ibuku" Sudah bosan hidup ya!?"
Sambil menghardik Koan San-gwat mengayun telapak
tangannya memotong pecut lawan di samping menolong Lau
Sam-thay, tujuannya merampas pecut orang. Akan tetapi
permainan pecut gadis itu sangat lincah dan licin sekali,
badannya meliuk dan bergoyang di punggung kuda. Di
samping menghindari pukulan Koan San-gwat, geraKan
tangannya tetap tidak berubah, pecutnya masih melingkar ke
atas Lau Sam-thay. "Plak" tanpa diberi kesempatan, pinggang
Lau Sam-thay kena sabet, serangan ini melecut sambil
menutuk jalan darah, kontan ia tergulung serta terseret ke
tanah tidak bergerak lagi, jalan darah di bawah ketiaknya
tertutuk. Koan San-gwat marah dibuatnya, segera ia melompat
turun, "Kau turun, akan kuberi hajaran kepadamu."
Sambil mendelik gadis itu berkata lantang: "Bukan aku
takut kepadamu tapi aku ingat pesan ibu, tanpa sebab
dilarang bentrok dengan orang lain. Kalau kau berani
memakiku segera akan kulabrak kau."
Koan San-gwat melengak, ia rasa gadis ini aneh, katanya
tertawa : "Jadi kawanku ini memakimu terlebih dulu baru kau
hajar?" "Sudah tentu! Aku tidak pernah turun tangan lebih dulu
tanpa sebab." Sambil tersenyum Koan San-gwat menghampiri Lau Samthay
lalu menjinjing bangun, beruntun ia gunakan lima enam
cara ilmu tutuk tidak berhasil membebaskan Hiat-to Lau Samthay.
"Aku menggunakan tutukan tunggal ciptaan ibuku, kau
tidak mampu membebaskan tutukanku, kalau dia tidak
memaki aku akan kubebaskan tutukan jalan darahnya. Kalau
tidak bisa lumpuh selamanya."
Saking kewalahan Koan San-gwat manggut-manggut,
ujarnya : "Baiklah, kutanggung dia tidak akan memaki kau
lagi!" -oo0dw0oo- Jilid 7 Tukang perahu cengar-cengir, ujarnya : "Wah, malam ini
agaknya aku ketiban rejeki nomplok, tulang-tulangku ini
agaknya menjadi berharga, ada gadis ayu ingin mengelus-elus
dan membayar kepadaku?""
"Sudah jangan cerewet," sentak Lok Siau-hong marah,
"berapa yang kau minta?"
Tukang perahu bergelak tertawa, serunya: "Jari-jarimu
yang manis halus itu, andainya harus mampus juga tidak
menyesal. maka aku tidak menuntut bayaran, silahkan saja,
kau boleh gratis!" Rasa gusar Lok Siau-hong mendadak sirna, cepat ia
tersenyum manis, katanya : "Kalau begitu banyak terima
kasih!"
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nadanya lemah lembut, tapi ia turun tangan tidak kasihan:
"wut!" cambuk panjang bergulung-gulung ke tengah udara
membawa kisaran angin yang menderu, melesat ke
pergelangan tangan orang dengan kecepatan yang susah
diukur. Berubah air muka tukang perahu, tersipu-sipu ia menarik
tangannya, tapi sudah terlambat, ujung cambuk laksana ular
hidup sudah membelit pergelangan tangannya, lekas
tangannya digen rak dan tan k kesam ping mak sudnya
hendak membebaskan tangannya dari lilitan cambuk itu.
Agaknya Lok Siau-hong sudah memperhitungkan reaksi lawan,
memperingatkan dan tarikan orang, sekali lagi cambuknya
disendal untuk memunahkan tenaga gentakan orang yang
besar, sehingga ujung cambuknya tetap membelit
pergelangan tangan orang.
Terdengar tukang perahu menjerit sekeras-kerasnya, tibatiba
ia dorong telapak tangannya ke depan.
Selama ini Koan San-gwat mengawasi kejadian ini dengan
waspada, cepat-cepat iapun dorong telapak tangannya
menyambut hantaman lawan.
Koan San-gwat kira lwekang tukang perahu ini luar biasa,
umpama Ia kerahkan seluruh tenaga juga belum tentu kuat
menahan pukulan orang, maka begitu melancarkan pukulan
tukang perahu rendah dan biasa saja, keruan badannya
kepukul terbang ke udara meluncur ke tengah sungai yang
airnya sedang bergolak itu.
Cambuk Lok Siau-hong yang membelit, tangan orang
belum terlepas keruan terseret beberapa langkah hampir
tersuruk masuk ke air. Cepat Koan San-gwat memburu maju
dan menarik pinggangnya serta lompat mundur.
Sementara itu, tukang perahu sudah lenyap, ditelan ombak
yang bergolak. Untunglah Koan San-gwat bertindak sehingga
Lok Siau-hong tidak terseret jatuh ke dalam sungai.
Karena tanpa kendali perahu oleng dan berputar di tengah
sungai, kuda yang tidak terikat berjingkrak kaget jatuh ke
dalam sungai, kuda milikc Koan San-gwat dan Lau Sam-thay
sementara kuda merah Lok Siau-hong masih tenang-tenang
berdiri di sana. Koan San-gwat tertawa tawar, "Usiaku toh lebih tua."
Setelah perahu tenang, Koan San-gwat melepas
pelukannya, Lok Siau-hong jadi malu jengah, katanya tersekat
: "Terima kasih Koan".."
Koan San-gwat tertawa tawar, katanya : "Usiaku lebih tua,
kau boleh panggil aku Koan-toako saja."
Lok Siau-hong kikuk, suaranya lirih: "Terima kasih Koantoako!"
Koan San-gwat manggut-manggut, belum ia buka suara,
mendadak dilihatnya air bergolak lalu muncullah kepala tukang
perahu. Ia naik salah seekor kuda, teriaknya: "Hai! Nona cilik,
pernah apa kau dengan Lok Heng kun ?"
"Beliau ibuku, untuk apa kau tanya dia?"
"Bagus!" teriak tukang perahu bengis, "akhirnya aku
berhasil menemukan dia. Kalian tinggal dimana?"
Tanpa pikir Lok Siau-hong berseru lantang: "Kami tinggal di
Si-yang-ceng, lima li di depan seberang sana."
Tukang perahu itu berteriak beringas : "Lekas pulang
beritahu kepadanya, besok siang setelah lohor aku akan
datang mencarinya!" "Ouw-hay-ik-siu!" Lok Siau-hong berteriak lantang, "lebih
baik lusa kau datang, bukan saja ibu, bibiku juga menunggu
kedatanganmu, datanglah pada waktunya, kedua belah pihak
bisa menyelesaikan persoalan lama sekaligus."
Tukang perahu tertegun sejenak, lalu sahutnya: "Baiklah
lusa tengah hari aku pasti datang, suruh mereka siap! " habis
berkata ia biarkan kuda itu hanyut terbawa air.
Koan San-gwat bingung, tanyanya: "Nona! Kau kenal orang
ini?" "Tidak!" tapi setelah dia menyebut nama ibuku lantas aku
tahu siapa dia. Menurut ibu, orang itu sangat jahat, musuh
besar keluargaku, ibu, bibi, dan paman menanti
kedatangannya!" Koan San-gwat ketarik tanyanya: "Ada permusuhan apa
dengan keluarga kalian?"
"Aku tidak tahu, ibu mengajar ilmu cambuk yang khusus
mengalahkan dia." "Jurus yang nona lancarkan tadi?"
Lok Siau-hong manggut-manggut dengan bangga.
"Ilmu silat orang tua itu sangat aneh dan agak sesat, urat
nadinya sudah kugencet dengan seluruh tenagaku, tapi
sedikitpun tidak terluka tapi kena pukulannya bisa saja?" "
Lok Siau-hong tertawa: "Kalau sebelumnya dia tidak kena
cambukku, tentu kau tidak akan merasa pukulannya biasa
saja." Koan San-gwat melengak heran, tanyanya: "Apakah
maksud ucapan nona?"
Lok Siau-hong acungkan cambuk di tangannya, sedikit ia
mengerahkan tenaga, ujung cambuk mendadak tegang berdiri
seperti kepala ular muncullah dua jarum kecil warna hitam.
Sekali muncul, lantas masuk kembali, kalau tidak diperhalikan
kau tidak akan menyadari kalau kau tertusuk jarum.
Beruntun Lok Siau-hong mendemontrasikan beberapa kali,
setelah Koan san-gwat dan Lau Sam-thay melihat jelas baru
dia tertawa dengan bangga, ujarnya. "Menurut ibu, tua
bangka itu punya ilmu sian-than-gun goan-hun-sip kang,
tubuhnya dapat dirobah menjadi empuk dan lemas seperti
benang kapuk, tenaga besar juga tidak akan bisa melukai dia.
Kuatir suatu ketika aku kepergok dia dan kecundang, maka ibu
menciptakan ilmu cambuk ini kepadaku. Dua puluh tahun yang
lalu dia pernah kecundang oleh tusukan jarum ini, hari ini
sekali lagi roboh di tanganku, sejauh ini dia belum tau duduk
perkara yang sebenarnya."
"Apakah jarum di dalam cambuk nona mengandung
racun?" "Liag coa-pian-hoatku tidak mengandung racun. Kalau
beracun menjadi Tok-coa-pian-hoat dong."
"Kalau mengandung racun, kenapa orang tidak mampu
mengerahkan tenaga setelah kena tusukan jarummu?"
"Jarum dalam cambuk ini panjangnya sato inci, begitu
menusuk urat nadi menembus ke khi-hiat, sudah tentu seluruh
pertahanannya bobol dan tenaga tak mampu dikerahkan lagi."
"Khi-hiat masa berada di urat nadi pergelangan tangan ?"
"Justru disitulah tempat keanebannya, kalau orang lain"."
"Terhadap orang lain tusukan itu tak berguna," demikian
Lau Sam-thay menyela. Lok Siau-hong melirik sekejap, katanya, "kalau orang lain
jiwanya sudah melayang, dan jalan darah penting siapa yang
kuat ditusuk jarum, dalam keadaan yang tidak siap siaga lagi.
Maka ibu berpesan supaya menggunakan terhadap dia saja!"
"Menilai pesan ibumu itu, jelas bahwa ibumu yang baik hati
dan bijaksana," ujar Koan San-gwat tersenyum.
"Ya, aku sendiri tidak tahu kenapa ibu menggunakan
julukan Hiat-lo-sat (kuntilanak berdarah), demikian pula bibiku
julukannya Pek-kut sin-mo."
Koan San-gwat melengak, seorang aneh pula, dengan
pikirannya nama-nama Hiat-lo-sat, Pek-kut-sin-mo dan Ouwhayih-siu belum pernah dengar selama ini, bagaimana sepak
terjang dan asal usul mereka" Ilmu silat mereka tinggi, kenapa
menyembunyikan diri melarang putrinya terjun ke percaturan
Kangouw" "Aku harus menyelidiki seluk beluk mereka hingga terang,
siapa tahu di belakang ini ada tersembunyi suatu rahasia
besar yang biasa menggemparkan Kangouw," hati berpikir tapi
akhirnya ia bersikap tawar, tanyanya: "Kalau ibumu tidak
pernah Kelana di Kangouw, untuk apa pula dia memiliki
gelar?" "Entahlah! ibu, bibi, dan paman memanggil julukan masingmasing
tidak pernah memanggil nama aslinya .. oh, ya,
pamanku bergelar Coh-san-sin (malaikat gunung yang buruk)
sebetulnya ia tidak kelihatan buruk malah cakap dan
ganteng!" Koan San-gwat berpikir dalam hati, setelah termenung
sekian saat mendadak teringat olehnya sebuah persoalan,
tanyanya: "Aku masih belum tahu nama kebesaran ayah nona,
tentu beliau seorang tokoh kosen yang menyembunyikan diri!"
Seketika berubah air muka Lok Siau-hong, sahutnya. "Aku
tidak punya ayah!" "Setiap orang tentu punya ayah dan ibu .."
"Justru aku tidak punya, begitulah kata ibu, aku pun harus
percaya saja, setiap kali kutanya hal ini, selalu aku dihajar dan
dimakinya, maka kalau ketemu ibuku jangan kau singgung
soal ini." Dalam pada itu perahu mereka sudah laju ke depan dan
terhanyut semakin jauh, untung Lau Sam-thay bisa
mengendalikan perahu. Setelah sekian lama bekerja keras
perahu akhirnya bisa mendarat. Waktu itu hari sudah terang
tanah. Setelah berada di atas darat, kelihatan Lau Sam-thay lebih
gelisah dari Koan San-gwat tanyanya: "Nona Lok, dimanakah
rumahmu ?" Lok Siau-hong celingukan mencari arah lalu berkata :
"Tempat ini sudah jauh dari rumahku, kuda kalian hilang lagi,
bagaimana melanjutkan perjalanan?"
"Tidak jadi soal, kau naik kuda saja, kami berlari menguntit
di belakangmu." Lok Siau-hong menepuk kudanya, katanya : "Kukira kau
salah perhitungan bila hendak lomba lari dengan
tungganganku ini, bila dia sudah lari, anginpun dapat dikejar
olehnya. Kata ibu kuda ini kelahiran Tay-hoan yang pilihan
dalam dunia cuma ada beberapa ekor saja"."
Sebagai orang yang dibesarkan di padang pasir sudah tentu
Koan San-gwat kenal kwalitet kuda. Kalau bukan kuda
jempolan masa berlaku tenang dan tidak bergeming di kala
perahu oleng dan hampir terbalik.
Lau Sam-thay angkat pundak, katanya "Bagaimana
baiknya, apa tiga orang menunggang satu kuda ?"
"Ya, terpaksa, begitulah, asal bisa duduk sepuluh orang
pun dia kuat ?" Karena tiada pilihan lain terpaksa Koan San-gwat setuju,
Koan San-gwat pegang kendali, Lau Sam-thay duduk di
tengah sementara Lok Siau-hong duduk di pantat kuda, kuda
merah besar itu bisa berlari bagaikan angin, tidak lama
kemudian mereka sudah jauh meninggalkan orang-orang yang
berdiri keheranan di pinggir jalan, setelah membelok ke
sebuah jalan datar berdebu kuning, hutan menghijau rimbun
di depan sana sudah kelihatan, di depan pohon itulah tampak
beberapa petak bangunan. Sambil menuding ke depan Lok Siau-hong berteriak girang
: "Lihatlah ! Itulah rumah Si-yang-ceng !"
Begitu sampai di luar perkampungan, si merah segera
menghentikan larinya. Seorang perempuan pertengahan umur
tampak berdiri di ambang pintu dengan muka dingin dan
masam. Begitu turun Lok Siau-hong lari ke hadapan
perempuan tua itu seraya berseru: "Bu! Aku membawa
seorang teman, dia bernama Koan San-gwat!"
Bergegas Koan San-gwat melompat turun, sapanya sambil
bersoja: "Apakah aku berhadapan dengan Hiat-lo-sat Lok
Heng-kun Locianpwe ?"
Perempuan tua itu mengipat tangan Lok Siau-hong serta
berkata dengan bengis: "Siau-hong masuk, kenapa kau
membawa pulang mereka, orang-orang Kangouw lagi".."
Lok Siau-hong tertegun melihat sikap ibunya, segera ia
merengek : "Ma, Koan-toako bukan orang biasa,
kepandaiannya hebat, dia" dia mampu menandingi Ling-coapianku."
Berubah air muka perempuan itu, mulutnya bersuara lirih,
dengan pandangan tajam mengawasi Koan San-gwat sesaat
baru berkata dengan dingin: "Bagus sekali! Kau mampu
melawan Ling-coa-pian Siau-hong, mungkin kau ingin menjajal
kepandaianku juga, bukan!"
Cepat Koan San-gwat berkata: "Aku yang rendah tidak
punya maksud demikian, cuma dari cerita puterimu, kudapat
tahu adanya seorang Bulim Cianpwe yang semayam di tempat
ini, maka sengaja kami kemari, sebagai Wanpwe kami mohon
petunjuk belaka!" "Mana kami berani terima, kami menetap disini dengan
tenang dan aman, selamanya tidak pernah berhubungan
dengan orang Kang-ouw, kalau saudara tidak punya urusan
lain, harap maaf, aku tidak bisa melayani lebih lanjut!"
Sikap dingin dan keras ini membuat Koan San-gwat serba
runyam dan kikuk, habis berkata perempuan tua itu putar
tubuh masuk kampung, segera Lok Siau-hong berteriak: "Ma!
Mana boleh kau bersikap begitu pada mereka, akulah yang
mengundang mereka!" "Siau-hong!" damprat perempuan tua itu. "Kau memang
semberono, sudah wanti-wanti aku berpesan padamu, jangan
bergaul dengan orang Kang-ouw, kau justru mengundang
mereka kemari, agaknya kau harus diberi sedikit hajaran!"
"Ma! Koan-toako bukan orang Kang-ouw sembarangan,
namanya besar kepandaiannya tinggi, dia adalah Bing-tho
Ling-cu!" Bahwasanya Lok Siau-hung tidak tahu sampai dimana
pengaruh dan kebesaran nama Bing-tho- ling-cu, karena
gugup ia berteriak mencari-cari alasan, tak kira ibunya
tertegun oleh keempat nama yang disebut itu, tiba-tiba ia
membalik serta bertanya: "Bukankah Bing-tho-ling-cu adalah
Tokko Bing" Bagaimana bisa ganti bocah muda seperti dia?""
Tergerak hati Koan San-gwat, diam-diam ia membatin:
"Suhu tidak pernah menyebut nama orang ini, tapi dia kenal
nama guru," sejenak berpikir ia lantas menjawab: "Insu (guru
berbudi) sudah wafat, wanpwe mendapat pesan untuk
meneruskan jabatan Bing-tho-ling."
"Tokko Bing sudah mati?"tukas perempuan itu sambil
tertawa dingin, "Anak muda, jangan membual terhadapku."
Mencelos hati Koan San-gwat, pikirnya: "Perihal kematian
guru, Peng Kiok-jin juga menyatakan tidak percaya, Hiat-lo-sat
juga berpendapat demikian, besar kemungkinan mereka dulu
kenal dengan Unsu".. Sesaat bimbang lalu jawabnye dengan
sungguh-sungguh: "Darimana Cianpwe tahu bila Unsu belum
wafat?" Perempuan ini tertawa dingin, ujarnya: "Tahu yang tahu,
kenapa harus kujelaskan" Kalau dia benar-benar sudah ajal,
pasti aku sudah memperoleh berita dukanya itu, kalau tokh
Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia sudah menyerahkan Bing-tho-ling-cu pada kau, tentu dia
sudah berangkat ke tempat itu!"
Mendengar keterangannya sama dan persis dengan apa
yang dikatakan Peng Kiok-jin seolah-olah sangat jelas segala
seluk-beluk Tokko Bing, cepat Koan San-gwat bertanya: "Ke
tempat mana?" "Dia tidak beritahu kepada kau?"
"Sebenarnya wanpwe tidak tahu menahu"."
Perempuan tua itu manggut-manggut, ujarnya: "Ya" kau
tidak tahu, Tokko bing tidak akan berani memberitahukan
kepada kau". Apa boleh buat, kalau kau memang ahli waris
Tokko Bing, aku harus melanggar kebiasaan menerima
kedatanganmu, silahkan masuk!"
Lok Siau-hong tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi
melihat ibunya sudah mau menerima Koan San-gwat, ia jadi
senang, katanya tertawa: "Ma! Kali ini sungguh
menyenangkan, bukan saja bertemu dengan Koan-toako, tadi
akupun bentrok dengan orang yang paling kau kuatirkan itu.
Di atas sungai kuning tadi dia kupersen sekali pecutan, Koantoako
menambahkan sebuah pukulan pula, kontan ia
terjungkaL ke dalam air!"
Berubah hebat air muka perempuan tua itu, tanyanya:
"Apa, semalam kau ketemu Ouw hay -ih-siu, bagaimana
dia".." "Ibu dan bibi biasanya mengagulkan dia tapi menurut
pandanganku tidak lebih dia itu sebuah gentong nasi belaka,"
demikian ujar Lok Siau-hong tertawa geli.
"Jangan membual, cepat ceritakan pengalamanmu, tak
mungkin ia mati kelelep karena serangan kalian itu."
"Ya, dia muncul di permukaan air, ketika dia menyebut
namamu, baru aku tahu siapa dia. Maka sesuai dengan
pesanmu kutantang dia. Semula dia berkata hari ini sebelum
lohor"." Perempuan itu makin gugup, katanya : "Wah celaka. Pekkut
kebetulan tiada, aku seorang diri mana kuat menandingi
dia".." "Aku tahu, maka kutantang dia besok lohor, waktu masih
keburu untuk mengundang bibi an paman kemari. Sebetulnya
ini pun sudah berkelebihan, ada aku dan Koan-toako kukira
sudah lebih cukup"."
"Kau tahu apa?" semprot perempuan itu, "Lekas berangkat
naik si merah, undang Pek-kut dan Coh-san-sin kemari!"
Pendekar Kembar 16 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama