Ceritasilat Novel Online

Patung Emas Kaki Tunggal 2

Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Bagian 2


berani memakannya?" Berubah air muka Khong Bun-thong, teriaknya gusar,
"Meski obat yang bisa menghancurkan isi perut, orang she
Khong juga tidak gentar!" segera ia angkat buah itu ke
mulutnya. Dengan gugup Khong Bun-ki merintangi, "Toako! buat apa
kau menuruti perasaan hati!"
Tak terasa tangan Khong Bun-thong jadi merandek. Cepat
Thio Hun-cu tertawa ujarnya, "Kokcu kan seorang ahli dalam
menggunakan racun, tentu kau paham bahwa buah itu
sedikitpun tidak beracun, kalau Khong-jie Sianseng tidak
percaya, coba silahkan kau cicipi lebih dulu."
Khong Bun-thong terloroh-loroh, serunya, "Umpama
mengandung racun aku orang she Khong juga tidak takut!"
Lalu dengan dua jarinya ia pijat sampai buah di tangannya
pecah dan mengalirkan sari buahnya yang bening, cepat ia
menyedot dengan mulutnya, setelah ia kunyah habis daging
buahnya, ia lemparkan kulitnya, lalu bergelak tertawa,
serunya, "Wah, enak sekali, ternyata memang wangi dan
segar buah ini"."
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 3 SELAMA itu Khong Bun-ki terus mengawasinya dengan
perasaan tegang dan was-was, melihat engkohnya menyedot
sari buahnya tidak kurang suatu apa, ia jadi berlega hati.
Sementara Khong Bun-thong sudah berkata pula,
"Menerima tidak balas memberi rasanya kurang hormat, Jiete!
Silahkan ambil dulu cangkir Loh-hun-lok buatanku itu untuk
menyambut kedatangan Thio-heng dan nona Thio ini."
Khong Bun-ki mengiyakan, bergegas dia lari ke belakang.
Tak lama kemudian berlari keluar sambil menenteng sebuah
botol dengan dua buah cangkir terus diletakkan di atas papan
warna merah, Khong Bun-thong menuangkan sampai penuh
ke dalam cangkir itu, lalu katanya sambil memegangi kedua
cangkir arak, "Sebenarnya Loh-hun-lok tidak ternama karena
racunnya, tapi Loh-hun-lok ini hasil ramuanku, sahabat Thio
ini merupakan seorang kosen dalam kalangan kedokteran,
tentu kau paham berbagai ramuan yang ada dalam arak ini."
"Ha ha ha, istilah menerima harus balas memberi memang
tepat, kenapa Khong Kokcu begini sungkan, ramuan apayang
terdapat dalam arak ini tidak perlu kuselidiki lagi, hakikatnya
setetes dapat menghancurkan usus, satu cangkir bisa
menghilangkan sukma, seumpama harus menyeralikan jiwa
pun aku suka menerima penghargaan Kokcu."
Habis berkata ia sambuti secangkir diantaranya terus
ditenggak sampai habis. Khong Bun-thong lalu angsurkan
cangkir yang lain kepada si gadis, katanya, "Apakah nona Thio
suka memberi muka padaku?"
Si gadis melengak dan ragu-ragu, sesaat ia bimbang dan
tak berani menyambuti cangkir arak itu, Thio Hun-cu ikut
keripuhan, selanya, "Apakah tidak cukup aku saja yang
mengiringi kehendak Kokcu?"
"Di bawah pimpinan seorang jendral ternama tentu tiada
tentara yang lemah, nona Thio ini kan anak gadismu,
secangkir arak beracun ini pasti tidak ambil dalam hati
bukan?" Thio Hun-cu menggeleng kepada si gadis katanya rawan,
"Ah-ceng! Kau minum saja. Mungkin memang ayahmu terlalu
banyak urusan, sudah sekian tahun aku menyembunyikan diri,
ternyata hanya karena ingin menang sendiri, akhirnya
mendapat kesukaran begini."
Si gadis menerima cangkir arak itu, tangannya gemetar
keras. Tak tertahan Koan San-gwat berkata, "Thio-lopek!
Bagaimana perasaanmu setelah kau minum arak itu?"
"Loh-hun-lok ternyata memang lihai. Setiap hari aku
berkecimpung dalam ratusan jenis racun, lidahku inipun sudah
saling mencicipi ribuan rasa, tetapi ramuan obat dalam arak
beracun ini masih belum dapat kuselami kadar racun sudah
mulai bekerja, aku sedang mengadakan percobaan dengan
hawa murniku paling tidak harus makan waktu satu jam leibh,
aku kuatir pada saat mana meski aku berhasil menyelami sifat
racun ini, temponya sudah tidak keburu lagi"."
Khong Bun-thong bergelak tawa kesenangan, ujarnya,
"Tidak malu sandara Thio sebagai ahli pengobatan, buatanku
ini memang kucampur beberapa jenis racuo yang paling jahat
dan sulit didapat dalam dunia ini. Pengalaman dan
pengetahuan Thio-heng agaknya cukup luas, mungkin dalam
setengah jam cukup mengetahui secara pasti, tapi aku berani
tanggung setelah lewat setengah jam, tenaga untuk bicara
lagipun Thio-heng tidak akan mampu lagi"."
Mendadak tergerak hati Koan San-gwat serunya, "Waktu
setengah jam jauh berkelebihan bagi kami menyelesaikan
urusan dinas." "Apa maksud ucapanmu?" tanya Khong Bun-thong.
Koan San-gwat tidak hiraukan pertanyaan orang, sekali raih
ia rebut cangkir di tangan si gadis terus ditenggak kering,
langsung ia banting bancur cangkir itu ke lantai, lalu katanya
sambil membusungkan dada kepada Khong Bun-thong, "Arak
bagian nona sudah kuwakili, apakah urusan sudah beres?"
"Isi arak dalam botol memang cuma dua cangkir, cangkir
kedua ini memang sebenarnya kusediakan untuk kau, tapi
pura-pura kupersembahkan kepada nona Thio, kalau tidak
masa kau sudi minum arak ini sedemikian gampang. Bocah
keparat! Gunakanlah waktu setengah jam ini untuk
menyambung nyawamu"."
Dengan tenang tanpa berubah sedikitpun air mukanya
Koan San-gwat bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu bila aku
akan mewakili nona Thio minum arakmu itu?"
"Di saat aku tahu bahwa kau masih hidup dalam dunia ini,
diam-diam aku lantas memikirkan daya upaya untuk
menghadapi kau, pikir punya pikir cuma Loh-hun lok ini yang
cocok. Kebetulan saudara Thio itu ingin mencoba aku, secara
demonstrasi ia paksa aku memakan Kiu coan-tho itu, racun
yang terkandung di dalam buah itu dapat membikin kaki
tangan orang membeku, tapi toh belum tentu dapat
menundukkan aku, maka seagaja aku pura-pura sungkan dan
akhirnya menghabiskan buah itu. Tapi kugunakan pula alasan
ini untuk mendesak mereka minum Loh-hun-lok buatanku ini,
sejak tadi sudah aku perhitungkan bahwa kau pasti akan
unjuk gigi mewakili Ilona ini, karena mereka datang demi
kepentinganmu, kalau kau tidak berbuat demikian apakah ada
harganya kau mengagulkan diri sebagai akhli waris Bing-tholingcu"." "Bagus. Perhitungan sangat tepat! Tapi kau melupakan
satu hal, tadi sudah aku katakan, kau pernah memukul aku
satu kali, kuberitahukan bahwa secara terang-terangan akan
kubalas pukulanmu itu meskipun kini waktunya tinggal
setengah jam lagi, namun sebelum ajal aku masih punya
banyak waktu untuk menyelesaikan urusan ini."
"Bedebah!" maki Khong Bun-thong terloroh. "Sungguh
muluk jalan pikiranmu, seumpama Tokko Bing belum mati,
diapun tidak akan mampu dalam jangka setengah jam
mengalahkan aku, apalegi kau paling lama cuma kuat
bertahan setengah jam, sebentar saja kadar racun dalam
tubuhmu akan kumat, terpaksa kau harus rebah di tanah
menanti aja1 saja. Tatkala itu mungkin kau bakal mengerang
dan bertobat minta kematianmu supaya dipercepat agar tidak
menderita lebih lanjut."
Sikap Koan San-gwat sangat tenang, perlahan-lahan ia
angkat tangan serta katanya, "Urusan tidak akan terjadi begitu
gampang seperti jalan pikiranmu, kau bersabarlah! Aku
hendak turun tangan!"
Dengan sikap acuh tak acuh Khong Bun-thong berdiri di
tempatnya seperti tidak terjadi sesuatu apa-apa, di kala
telapak tangan Koan San-gwat sudah terdorong di depan dan
hampir mengenai kulitnya baru dia angkat telapak tangannya
memotong pergelangan tangan lawan.
Tapi sedikitpun Koan San-gwat tak gentar dan menjadi
gugup karenanya, dorongan telapak tangannya diteruskan,
dan kontan telapak tangan Khong Bun-thong dengan telak
mengenai tangannya. tetapi ia merasa seperti membentur
tongkat besi, sehingga telapak tangan sendiri terpental ke
samping, maka dadanya kena pukulan telapak tangan musuh
dengan telak sekali. Pukulan yang mengandung tenaga penuh ini seketika
mengeluarkan suara keras seperti tambur pecah, seiring
dengan itu terlihat badan Khong Bun-thong seperti sepotong
batu dilemparkan terbang melesat ke belakang sampai
beberapa tombak dan jatuh di atas singgasana upacara,
karuan meja sembahyang di sana ditumbuk hancur dan
ambruk. Dengan terkesiap banyak orang memburu ke sana untuk
membangunkan Khong Bun-thong, tampak dadanya melekuk
dalam bertapak tangan berwarna merah semu biru, dalamnya
sampai satu setengah centi, jantung dan paru-parunya hancur
lebur. Pelan-pelan Koan San-gwat menurunkan telapak tangannya
yang berlepotan darah, katanya kepada Khong Bun-thong
yang bernapas empas-empis, "Kau tidak menyangka begini
akhirnya bukan?" Darah tersembur deras dari mulut Khong Bun-thong. kedua
biji matanya mendelik keluar seperti jengko1, tapi tenaga
untuk bicara sudah tidak mampu lagi, napasnya memburu
tersengal-sengal. Dari samping Thio Hun-cu ikut memberi komentar, "Khong
Bun-thong. Sungguh hebat kau, ternyata kau kenal asal-usul
Kiu coan-tho itu, tapi kau tak akan menduga bahwa di dalam
sari buahnya sebelumnya sudah kumasuki getah An-si-lan,
getah An-si-lan merupakan obat untuk menguatkan badan
sedikitpun tidak mengandung racun, rasanya mirip dengan sari
buah Tho, maka kau tidak akan dapat membedakannya, tapi
An-si-lan itu sendiri dapat menyebabkan ilmu silatmu
sementara punah, sehingga kau tidak akan mampu menangkis
serangan Koan-hiantit. Dalam permainan Loh-hun-lok,
memang kau lebih unggul, tapi dalam perang kecerdikan kau
asor, di tengab jalan menuju ke akhirat, masih ada
kesempatan kita nanti melanjutkan pertandingan ini!"
Khong Bun-thong menggembor keras, darah menyembur
makin keras dari mulutnya, setelah berkelejetan beberapa kali,
kakinya jadi tersendal-sendal, napas terus berhenti.
Melayanglah jiwanya. Mata Khong Bun-ki memancarkan bunga api, pelan-pelan ia
letakkan jenazah engkohnya. hendak adu jiwa dengan Koan
San-gwat, tapi segera Koan San-gwat mengacungkan
kepalannya serta mengancam, "Berani kau bergerak, akan
kubuat kau seperti kakakmu. Kadar racun Loh-hun-lok
sebentar lagi baru akan kumat, dalam tempo yang pendek aku
mampu mengambil jiwamu seperti membalikkan telapak
tangan mudahnya!" Terbayang pada gebrak pertama tadi, sejurus saja lengan
kanannya sudah terluka, hatinya jadi jeri dan tidak berani
banyak bergerak lagi. Cepat Thio Hun-cu berkata kepada Koan San-gwat, "Koanhiantit,
lekas kau selesaikan urusanmu, temponya sudah tidak
keburu lagi." Koan San-gwat manggut-manggut, cepat ia membalik
menghadapi Lu Bu-wi lalu katanya, "Lu-cianpwee! Sebetulnya
ada sedikit omongan hendak kusampaikan kepada para
sahabat yang hadir disini, tapi mungkin sekarang tidak keburu
lagi, untunglah sebelumnya sudah kusiapkan apa yang hendak
kuucapkan sudah kutulis dalam sampul surat ini, di samping
itu ada pula kucantumkan cara memunahkan kadar racun Uiho
ciu-ce-sa. Terima kasih akan bantuan yang kusampaikan di
dalam buntalan ini!"
Setelah Lu Bu-wi menerima sampul surat itu, cepat Koan
San-gwat bersama Thio Hun-cu dan putrinya menerobos lewat
dari kerumunan orang banyak terus tinggal pergi dengan
langkah lebar. Loh-hun-kok (Lembah jatuh sukma) menjadi sesuai dangan
nama dan keadaannya, hari ulang tahun Khong Bun-thong
yang keenam puluh jadi pula hari kematiannya, hari lahir sama
dengan hari kematian, kejadian ini mimpipun ia tidak akan
menduga sebelumnya. Dalam pada itu Lu Bu-wi sudah membuka sampul surat
yang ditinggalkan Koan San-gwat, di hadapan sekian banyak
orang ia membaca dengan lantang, "Disampaikan oleh Bingtholing-cu II Koan San-gwat kepada seluruh tokoh Bulim di
kolong langit. Tempo guruku almarhum meluruk ke tempat
kalian, merebut Ling-hu atau tanda kebesaran setelah
mengasingkan diri di tengah gurun pasir, beliau amat
menyesal akan sepak terjangnya itu, maka seterusnya
memperdalam ilmu membina diri dalam jalan ke Tuhan-an
sesuai dengan ajaran agama. Beliau melihat semangat kalian
terbangkit untuk memperdalam ilmu dan mempertinggi mutu
pelajaran silat masing-masing, menutup diri giat belajar,
sebetulnyalah memang demikian tujuan guruku semula, untuk
kesalahan itu harap para sahabat suka memaafkan beliau di
alam baka." "Pertemuan tiga tahun yang lalu, sesuai pesan peninggalan
guru almarhum. San-gwat ditugaskan menguji sampai di mana
tingkat kepandaian para sahabat setelah memperdalam ilmu
selama tahun lamanya, menang atau kalah sama saja akan
kami kembalikan barang-barang kalian."
"Namun apa daya urusan berkembang tidak sesuai dengan
rencana semula, San-gwat hampir melayang jiwanya karena
ditipu dan dijebak oleh perbuatan rendah, sehingga tidak
sempat menyampaikan pesan guruku almarhum kepada kalian
sungguh harus disesalkan."
"Semula San-gwat sudah pasrah nasib dan yakin pasti
mampus, untunglah di tengah jalan bertemu dengan Thio
Hun-cu Cianpwee yang pandai pengobatan, akhirnya jiwaku
dapat diselamatkan beliau, sebetulnya sudah lama kami
hendak datang untuk menjelaskan maksud semula. Tapi
akhirnya kuketahui bahwa keluarga Khong di Loh-hun-kok
adalah tokoh yang pandai mempergunakan racun, punya citacita
merajai jagat, terpaksa kami bertindak secara diam-diam
sambil menunggu perubahan yang bakal terjadi."
"Ui- ho-ciu-ce-sa adalah racun yang paling jahat di dunia


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, demi keselamatan jiwa sekian banyak tokoh-tokoh Bulim,
maka kami mohon Thio Cianpwe menyertakan resep obat
pemunahnya, supaya obat racun itu tidak meninggalkan
bencana lebih besar. San-gwat tahu selain ahli racun keluarga
Khong pun lihay dalam berbagai kepandaian silat tinggi, maka
dengan tulisan ini kami ingin memperlihatkan semua siap
waspada dan berjaga-jaga. Perlu juga diketahui bahwasanya
Khong Bun-thong mempunyai seorang putri yang kini sedang
belajar ilmu di bawah bimbingan seorang aneh yang lihay
sekali, kepandaian silat orang aneh ini mungkin jauh lebih
tinggi dari kemampuan guruku almarhum, tapi karena
terhalang oleh sumpahnya sendiri ia tak akan mengunjukkan
diri dalam percaturan dunia persilatan. Hal ini kami tahu jelas.
Tapi gadis itu kalau pelajaran ilmunya sudah tamat kelak,
pasti akan mengobarkan kelaliman Loh-hun-kok, dunia
persilatan kelak bakal tak aman dan tidak tentram lagi, melalui
sepucuk surat ini kami harap para saudara sekalian unjuk
beritahu supaya siap waspada dan hati-hati"."
Setelah Lu Bu-wi selesai membaca surat itu, keadaan
seluruh barak itu sunyi senyap.
Dalam pada itu Khong Bun-ki sudah mengusung jenazah
Khong Bun-thong ke belakang, demikian juga kaki tangan dan
kambrat-kambratnya juga ikut ke sana. Maka persoalan yang
ditulis dalam surat Koan San-gwat ini jadi sulit untuk
membuktikannya, tapi semua hadirin percaya bahwa surat itu
tentu tidak akan salah. Maka beramai-ramai mereka bubar meninggalkan Loh-hunkok
(lembah jatuh sukma) sanubari masing-masing dibekali
rasa was-was dan ketakutan yang akan selalu menghantui
benaknya sepanjang masa ".
Di tengah kegelapan itu tampak tiga bayangan orang
sedang melangkah cepat tergesa-gesa, sebetulnya cuma boleh
dihitung dua bayangan saja, karena saat mana Koan San-gwat
telah jatuh pingsan dan tengkurap di atas punggung Thio
Hun-cu. Sambil berjalan Thio Ceng Ceng menggerutu., "Ayah!
Kau memang suka cari gara-gara, sekarang Koan-toako yang
menerima aklbatnya. Kalau dia sampai meninggal, kau suruh
aku bagaimana bersikap terhadapnya"."
"Mana aku tahu dia bakal bertindak begitu nekad! Salahnya
sendiri terburu nafsu, kalau aku tidak bekerja secara
sempurna, masa begitu bodoh mau menghabisi arak beracun
itu, siapa tahu dia "."
Kata Thio Ceng Ceng dengan suara hampir menangis,
"Maksud Koan-toako kan baik dia takut aku kena celaka. Ayah,
apakah racun dalam arak ini tiada obat pemunahnya".?"
Thio Hun-cu menggeleng kepala, sahutnya, "Aku sendiri
belum jelas. Nanti setelah sampai di rumah, harus kuselidiki
dulu baru bisa kuobati."
Thio Ceng Ceng membanting kaki, omelnya, "Apakah dia
kuat bertahan sampai sekian lamanya?"
"Aduh bingung," keluh Thio Hun-Cu tertawa getir. "Agaknya
kau semakin tidak percaya akan kemampuanku, bagaimana
khasiat obat Pin-sip-coan-bing-san ku itu kan kau tahu, jangan
kata baru sekeras pohon, seumpama hampir mati asal dia
masih empas-empis, kutanggung dia masih akan kuat
bertahan selama empat puluh hari!"
Tidak tertahan lagi air mata Thio Ceng Ceng mengucur
deras, katanya sesenggukan, "Lalu selanjutnya" Bila kau tidak
berhasil menyembuhkannya, sama saja dia bakal mati."
"Kalau demikian kejadiannya apa boleh buat, toh jiwanya
semula kita yang menolong, jikalau dia tidak ketemu kita, tiga
tahun yang lalu dia sudah mati tanpa kubur di gurun pasir!"
"Persoalan tidak bisa disama-ratakan!" sela Thio Ceng Ceng
uring-uringan. "Mati hidupnya waktu itu tiada sangkut paut
dengan kita, tapi sekarang dia mati karena kita". Kaulah yang
harus disalahkan, kalau tidak main umpak-umpakan mau adu
kepandaian segala, mana bisa terjadi peristiwa ini, kalau
sebelumnya kaupun berikan segala persiapanmu kepadanya
bukankah tidak terjadi seperti ini."
"Bicaramu sendiri melantur dan tak pakai aturan, ketahuilah
aku seorag tabib yang suka memperdalam ilmu pengobatan.
Begitu mendengar ada seorang semacam Khong Bun-thong itu
kalau tidak coba-coba jajal rasanya gatal dan sayang sekali,
apalagi sebelumnya sudah kuperhitungkan bahwa dia pasti
akan bertanding cara menggunakan racun, maka sebelumnya
sudah kutelan beberapa macam obat-obatan sehingga perutku
kebal terhadap racun, siapa tahu bocah goblok ini bisa maju
menalangi juga." "Aku tak peduli," omel Thio Ceng Ceng sambil
sesenggukkan. "Meski aku harus mengorbankan jiwa sendiri,
betapapun harus menolong jiwa Koan-toako "."
Thio Hun-cu jadi melengak, kakinya pun berhenti
melangkah, pelan ia turunkan Koan San-gwat lalu
direbahkannya katanya, "Ceng-ji. Kau tidak punya pikiran
hendak mencari dan minta tolong kepada orang itu bukan
".?" Terpaksa Thio Ceng Ceng ikut berhenti, katanya, "Kalau
kau sendiri sudah tidak mampu menolongnya, terpaksa aku
harus mencari dia. "."
Berubah air muka Thio Hun-cu, katanyanya tegas, "Ceng-ji!
Kau dengar, aku akan berdaya upaya sekuat tenagaku untuk
menolong jiwanya, tapi kalau kau sendiri tak punya keyakinan
terhadap pengobatanku, ingin mencari orang ini, lebih baik
aku rela kau membenciku seumur hidup, bocah ini akan
kubikin mampus saja!"
"Ayah! kenapa kau begitu benci dan dendam terhadap
orang itu" Bukankah kau sendiri mengaku bahwa di kolong
langit ini, hanya dia seorang paling lihay tiada tandingannya
ilmu pengobatannya?"
"Benar! Aku boleh mengakui bahwa ilmu pengobatanku
masih kalah dibanding dengan dia, tapi aku bersumpah
seumur hidup ini aku tak mau takluk padanya. Ceng-ji, kita
harus bicara lebih dulu. Sekali-kali jangan kau punya pikiran
seperti maksudmu ini!"
Thio Ceng Ceng merandek, katanya sambil berlinang air
mata, "Baiklah ayah. Kudengar nasehatmu, tapi kau harus
tolong jiwa Koan-toako."
Thio Hun-cu manggut-manggut, pelan-pelan ia meraba
dahi Koan San-gwat, mendadak ia berseru, "Celaka! Suhu
badannya semakin panas, dalam arak itu memang dicampur
nyali kelabang merah dan jambul merah burung bangau dua
macam obat-obatan yang berlawanan."
Thio Ceng Ceng semakin gugup, serunya, "Ayah tak usah
banyak omong lagi, lekaslah sediakan obat pemunahnya!"
"Obat pemunahnya sih aku tahu, cuma sulit
mendapatkannya, karena dia memerlukan darah panas ular
hijau!" "Malam hari kebetulan adalah saatnya binatang ular keluar
sarang, lekaslah kau pergi mencarinya!"
Thio Hun-cu berpikir sebentar, latu dari dalam kantongnya
mengeluarkan botol kecil lalu menuang dua butir terus
menjejalkan ke mulut Koan San-gwat, pesannya kepada Thio
Ceng Ceng, "Sudah kucekoki Ping-sip-coan-bing-san untuk
mengekang menjalarnya kadar racun, sementara racun tidak
akan bekerja, kau tunggu dia disini, aku pergi mencari ular
hijau, segera aku akan kembali!"
Thio Ceng Ceng manggut-manggut, bergegas Thio Hun-cu
berlari pergi. Dalam hutan belantara sedemikian luasnya memang
banyak terdapat ular, tapi macam dan jenis ular terlalu
banyak, di dalam waktu yang begitu kritis untuk menangkap
ular hijau hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah!
Mengandal sinar bintang-bintang di langit ia berjalan
munduk-munduk, membongkar baru membetot akar pohon,
bekerja berat setengah malaman dengan susah payah
akhirnya berhasil ditangkapnya seekor, tersipu -sipu ia jalan
kembali ke tempat semula, tapi bayangan Thio Ceng Ceng
berdua sudah tiada lagi. Di samping dimana tadi Koan San- gwat berbaring
dilihatnya ada secarik kain sutera. Itulah kain sobekan dari
baju dalam Thio Ceng Ceng, di atas sobekan kain sutera ini
ada beberapa baris tulisan yang masih basah, itulah hurufhuruf
yang ditulis dengan tinta darah!
"Ayah! setelah kau pergi, karena keadaannya semakin
memburuk, terpaksa aku mengeluarkan banyak darah untuk
mengurangi kadar racun dalam tubuhnya, tapi keadaannya
yang payah tak dapat lagi aku menunggu kau, jiwa Koantoako
jauh lebih penting dari aku, bukan karena dia menalangi
aku minum arak beracun ini! Di dalam hidup berdampingan
selama tiga tahun berselang sudah menyerahkan perasaan
dan hati nuraniku kepadanya."
"Bukan aku tidak punya keyakinan terhadap ilmu
pengobatanmu, tapi aku tahu betapapan kau tak akan mampu
mengobatinya! Demi jiwanya terpaksa aku harus mencari
seseorang yang dapat menolong jiwanya, meski orang itu
sejak semula sudah kau larang dan kau tentang keinginanku
untuk mencarinya, tapi dalam keadaan yang terpaksa ini aku
tidak punya pilihan lain."
"Aku gunakan darah Koan-toako untuk meninggalkan
suratku ini, darahnya mengalir begini banyak, hatiku sungguh
sangat menderita seperti diiris-iris maka kumohon kepada kau
dalam sisa-sisa kesadaran angkara murkamu, cobalah kau
berpikir lebih lanjut secara tenang dengan kepala dingin,
jikalau bukan karena sikapmu yang mau menang sendiri,
darah Koan-toako rasanya tidak perlu dikorbankan!"
"Aku tahu orang itu berada di Kun-lun-san, jarak Kun Lun
ribuan Li jauhnya semoga Tuhan melindungi hambanya,
sampai aku dapat menemukan orang itu, semoga pula Koantoako
kuat bertahan sampai waktu itu!"
"Kalau kau masih sudi mengingat hubungan ayah beranak,
kuharap kau jangan mengejer jejakku. Kalau tidak kau hanya
menemukan putrimu yang sudah ajal. Jiwa Koan-toako telah
bersatu padu dengan jiwa ragaku!"
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada kau,
cuma mengharapkan pengampunanmu, bila Koan-toako tidak
mati, setelah aku memberitahukan perasaan hatiku, segera
aku akan kembali ke haribaanmu, untuk selanjutnya aku ingin
menjadi seorang putri yang berbakti terhadap orang tuanya,
atau sebaliknyalah aku mendahului kau menunggu di alam
baka. Sebab sampai detik ini aku belum ada kesempatan
untuk menyuarakan isi hatiku, ingin kusampaikan bahwa aku
cinta kepadanya"."
Dengan kesima Thio Hun-cu membaca habis surat itu,
sekonyong-konyong ia buang jauh-jauh ular di tangannya
dengan menghela napas ia menjublek sekian lamanya tanpa
suara. oooo)0(oooo PUNGGUNG Thio Ceng Ceng memanggul badan Koan Sangwat
yang jauh lebih tinggi dan besar, perbandingan badan
mereka menjadikan tubuhnya kecil mungil, tetapi badan yang
kecil mungil itu tersembunyi sesuatu kekuatan dan keteguhan
hati yang luar biasa dan mengejutkan.
Kekuatan dan keyakinan inilah yang menyanggah badannya
sehingga sampai di puncak Kun lun-san dengan memanggul
Koan San-gwat. Puncak Kun lun san yang dilapisi salju dan
sunyi serta berhawa dingin tidak menjadikan semangatnya
luluh, meski cuma setitik harapan namun harapan itulah yang
membuat ia kuasa bertahan sekian lama dan jauh, akhirnya ia
berhasil menanjak ke puncak yang tertinggi seolah-olah
menembus langit, setibanya di-Ciat-tian-hong, baru dia mulai
patah semangat. Sebab dia tahu Peng-sip-coan-bing-san buatan ayahnya itu
paling lama cuma kuar bertahan selama lima puluh hari,
sepanjang jalansudah menggunakan waktu empat puluh hari,
keadaan badan Koan San-gwat sudah semakin buruk,
meskipun begitu, di atas pegunungan yang diliputi salju yang
berhawa dingin tapi suhu badannya masih memuncak tinggi
seperti dibakar, badannya yang kekar dan kuat itu kini tinggal
kulit pembungkus tulang dan lemas tidak bertenaga
sedikitpun, jangankan berdiri, berpeganganpun sudah tidak
kuasa lagi, untung Thio Ceng Ceng mengikat erat di belakang
punggungnya sehingga tidak terjatuh!
Akan tetapi orang yang ingin dicarinya itu tak karuan arah
dan tidak diketahui di mana jejaknya.
Di puncak gunung yang berhawa dingin itu, dirangsang
perut lapar dan letih lagi, yang paling sukar dan ia tanggulangi
adalah rasa ke putus-asaan sanubarinya. Waktu ia meraba
dahi Koan San-gwat yang digendong di belakangnya terasa
masih panas dan tinggi suhu badannya tanpa terasa ia jadi
menangis dengan rawan, keluhnya, "Koan-toako! Meski kau
kena racun karena aku, tapi kugendong kau sampai di tempat
ini, berarti aku sudah berdaya upaya sekuat tenagaku,
seandainya aka tidak berhasil menemukan orang itu, biarlah
kutemani kau terkubur di puncak gunung yang sepi dan dingin
ini. Hanya sayang kepandaian silatmu yang begitu tinggi dan
lihay harus ikut lenyap ditelan masa, sungguh aku merasa
penasaran bagi kau "."
Terdengar suara "Tak" tiba-tiba di bawah kakinya, itulah air
matanya yang menetes membeku jadi butiran es, terjatuh
mengeluarkan suara membentur tanah bersalju yang keras.
"Koan-toako," ujar Thio Ceng Ceng seorang diri dengan
perasaan pilu, "Agaknya kau tidak punya harapan lagi,
mumpung masih ada waktu beberapa hari lagi, akan
kugunakan beberapa waktu mendatang ini, kutangisi kau
sepuas hatiku, biarlah kukubur jenazahmudengan air mataku
yang membeku. Tapi beberapa kejap kemudian baru dia
menyadari bahwa air matanya sudah kering, butiran air
matanya yang membeku berwarna merah, tanda bahwa air
mata yang dia kucurkan adalah air darah.
Akhirnya ia mengeluh sendiri, "Oh, ternyata air mataku
sudah kering diganti darah mengucur keluar, untuk mengubur
jenazah Koan-toako yang sedemikian besar. Aku memelihara
badan dengan mengisi perut supaya badan kuat dan air
matapun bisa kuperas keluar. Tapi di atas pegunungan yang
gundul pelontos ini kemana harus kucari makanan, kecuali
binatang". aih binatang"."
Teringat akan binatang mendadak hidungnya mengendus
semacam bau amis yang biasanya tersebar dari badan
binatang buas, karuan ia berjingkrak girang, cepat ia
menunduk mencium dahi Koan San-gwat terus menanggalkan


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baju luarnya merebahkan badan Koan San-gwat di atas baju
luarnya yang dibeber di tanah bersalju.
Waktu dia berdiri dan memutar badan, ia merasa bau amis
binatang itu keluar dari sebelah belakang, seketika ia berdiri
kesima tak bergerak. Seekor binatang sebesar kerbau sedang bercokol di atas
batu di belakangnya sana, kepalanya bundar, kupingnya kecil,
matanya besar bentuknya persis seperti kucing. Sekilas saja
otaknya sudah dapat menyimpulkan, "Itulah seekor macan
kumbang, macan salju berbulu putih, binatang buas macam ini
cuma terdapat di atas pegunungan yang tinggi. "
Mau tak mau ia jadi was-was dan mulai takut, macan sallu
merupakan salah satu binatang buas yang paling ganas,
tenaganya besar cakarnya tajam dan runcing, demikian juga
gigi dan taringnya teramat berbahaya, macan salju merupakan
binatang, yang merajai pegunungan bersalju.
Tapi rasa cintanya yang murni dan agung dan tekadnya
yang teguh menambah nyalinya menjadi besar, hilanglah rasa
takutnya. "Demi Koan-toako, aku harus bunuh dia, makan
daging dan minum darahnya, supaya aku punya air mata
untuk mengubur Koan-toako! Mengubur nyawaku, cintaku"."
Dia tidak membekal senjata tajam, cuma selendang sutera
sutera buat menggendong Koan San-gwat, itulah satu-satunya
barang yang dia bawa. Untung waktu hidup di gurun pasir ia
sudah belajar menggunakan tali laso dari para gembala,
seutas tali dapat meringkus seekor kuda binal.
Cepat-cepat ia bikin bundelan selendangnya, lalu meraup
segenggam salju dan diremas -remas jadi bola bundar.
Soalnya selendang suteranya masih terasa nada pendek maka
terlebih dulu ia harus goda binatang buas itu menjadi gusar
supaya menubruk maju, kalau tidak ia tak kuasa
mengembangkan kepandaian permainan tali lassonya dengan
selendang suteranya itu. Macan salju itu diam saja mendekam di atas salju, kedua
kaki depannya mencakar-cakar salju di depannya, perut dan
ekornya menempel tanah, inilah gaya hendak menerkam
mangsanya. Sewaktu masih berada di gurun pasir dia pernah berburu
serigala dan harimau, terhadap kebiasaan dan sifat bermacam
binatang dia sudah rada paham, maka sebelum lawan
bergerak bola salju di tangannya sudah terbang melesat
mengarah batok kepala macan salju.
Dengan membawa larinya sinar putih bola salju itu melesat
laksana anak panah, tapi reaksi macan salju itu sungguhsungguh
di luar dugaan! Bukan saja tidak menghindar diapun tidak menerkam maju,
sebelah kaki depannya diangkat menyampok jatuh bola salju
itu menjadi berkeping-keping, mendadak ia mengaum keras
sekali, berbareng di atas keempat kakinya, badannya meliuk
meninggi bagian perutnya.
Thio Ceng Ceng jadi gentar, tapi juga aseran, bentaknya,
"Binatang masih berani bertingkah!" segera ia membungkuk
tubuh meraup segenggam salju pula, begitu tangan terangkat
ia sambitkan lagi salju itu dengan cara melempar senjata
rahasia. Bola salju itu terbang melengkung terus menukik ke
bawah menyerang ke hidung macan salju.
Tak nyana macan itu angkat kepala sambil pentang mulut
menggigit bola salju, tapi kali ini ia terjebak oleh tipu Thio
Ceng Ceng. Ternyata cara sambitan senjata rahasianya mempunyai
variasi yang luar biasa, jelas sekali bola salju itu sudah hampir
kena tergigit, tetapi mendadak secara reflek menikung ke
samping dan melesat lewat tepat sekali mengenai mata
kirinya. Bentuk bola salju itu cukup besar jadi tidak bisa
membikin buta matanya, tapi tenaga sambitannya cukup
keras, sudah tentu rasanya sakit bukan main. karuan si macan
salju menggerung marah, bagai anak panah lepas dari
busurnya, tubuh yang melengkung itu tiba- tiba melesat
lempeng menerkam dengan ganasnya.
Memang begitulah tujuan Thio Ceng Ceng, cepat
pergelangan tangannya di ujung menggentak, selendang
suteranya kontan terbang menyabet ke depan, bundelan di
ujung selendang itu tepat sekali berhasil mengalung ke leher
si macan salju, gayanya indah tenaganya besar daya
luncurannya cepat sekali.
Itulah salah satu kepandaian suku bangsa di padang pasir
waktu menangkap kuda liar, begitu tali lasso berhasil menjirat
leher, betapapun kau berontak, asal kau menarik kencang dan
tidak sampai terlepas jiratan tali itu semakin ditarik semakin
kencang, sampai sang kuda kelelahan dan takluk.
Sejak Thio Ceng Ceng dibesarkan di ladang gembala,
ditambah dasar kepandaian silatnya cukup tinggi, maka
serangan selanjutnya itu seratus persen pasti tidak akan
gagal, tetapi menghadapi macan salju ini ternyata
kepandaiannya itu tidak berguna sama sekali.
Harimau dengan badan yang besar dan gesit gerakgeriknya
itu mendadak jumpalitan di tengah udara, dengan
cukup lincah berhasil meluputkan diri dari libatan selendang
sutera itu, dan langsung menubruk ke arah Koan San-gwat.
Karuan Thio Ceng Ceng kaget dan gusar, apalagi ia paling
menguatirkan keselamatan Koan San-gwat, ia rela dirinya
yang mati dari pada harimau salju itu melukai seujung rambut
Koan San-gwat, maka sambil menghardik keras, selendangnya
terayun dan melecut menggeletar, ia gunakan selendangnya
sebagai pecut. Biasanya orang bila gusar tenaganya berlipat ganda,
demikianlah pecutannya yang keras itu tepat mengenai pantat
macan salju itu, malah ujung selendangnyapun berhasil
membelit salah sebuah kaki belakangnya, lalu dengan
mengerahkan seluruh kekuatannya ia gentakkan ke atas.
Secara mentah-mentah macan salju yang menubruk ke
depan itu kena tarik balik serta terpental bergelinding di atas
tanah, tapi begitu bangkit dia menubruk pula ke arah Koan
San-gwat. Agaknya macan itu cukup cerdik, ia tahu Koan San-gwat
yang tidak sadar itu jauh lebih sukar dilayani, maka ia selalu
merangsak ke sasaran yang lemah ini. Sudah tentu tindakan
ini membuat Thio Ceng Ceng menjadi keripuhan dan gelisah,
mati-matian ia memburu maju terus angkat kaki menendang
ke pinggang si harimau. Saat mana kaki depan macan salju itu sudah menginjak
dada Koan San-gwat. Tapi karena tendangan yang keras itu
seketika ia mengaung kesakitan, kontan badannya tergulingguling
beberapa kaki, di kala ia berdiri lagi sepasang matanya
memancarkan sorotan buas, lidahnya yang merah darah
menjulur keluar sambil memperlihatkan taring-taringnya yang
besar dan tajam, kini sasaran yang pertama ia alihkan kepada
Thio Ceng Ceng. Dua pihak sama berhadapan tanpa bergerak, tiba-tiba ekor
macan salju itu membelit bundar berbareng kaki depannya
terangkat ke atas berdiri dengan kaki belakang terus melejit
maju menubruk dengan kekuatan yang dahsyat, kesempatan
datang pula, cepat Thio Ceng Ceng menyabetkan selendang
suteranya pula. Agaknya macan salju ini sudah rada lengah, telak sekali
ujung selendangnya berhasil membelit lehernya, ia menyendal
dan menarik dengan kekuatan yang besar sekali, tapi macan
ini cukup cerdik, tarnyata kaki belakangnya tidak tinggal diam,
menutul keras juga luncuran tubuhnya bertambah kencang,
karena jaraknya terlalu dekat berat badan macan inipun ada
ratusan kati, tarikan Thio Ceng Ceng jadi meleset dengan
perhitungan, si macan yang menubruk tiba repot sekali kedua
kakinya menginjak kedua pundaknya, dalam keadaan yang
panik, mengendur hawa pernapasannya yang amis
memualkan. Lagi, saking gugupnya kontan ia dorongkan
kepalan tangannya masuk ke dalam mulut si macan salju.
Betapa berbahaya tangannya yang putih halus itu
diangsurkan masuk ke dalam mulut binatang itu, tapi karena
sudah tiada jalan lain ia jejalkan kepalannya semakin keras.
Sudah tentu si macan sendiri jadi gelagapan juga, kepalanya
digoyang-goyangkan berusaha melepaskan barang yang
menyumpal mulut menyesakkan napasnya, di samping itu
cakar kaki belakangnya dengan sendirinya melorot turun dan
tepat sekali berhasil mencakar tubuh Thio Ceng Ceng dari
batas dada ke perutnya sehingga kain bajunya dedel dowe1,
dengan sendirinya kulit dagingnya pun tergores luka panjang
yang mengeluarkan darah segar.
Darahnyapun berceceran di tanah salju, tapi sedikitpun ia
tidak merasa sakit, demikian juga lengannya sudah terluka
oleh gigitan taring si macan salju itu, tapi dengan mati-matian
ia merintangi di depan Koan San-gwat.
Sungguh aneh macan salju itu sebetulnya dapat menggigit
putus pergelangan tangannya tapi tidak berbuat demikian, kini
malah mundur rada jauh sambil mendengus-denguskan
rendah. Thio Ceng Ceng berdiri mematung, matanya mendelong
mengawasi macan salju itu, berbagai pikiran bergejolak di
dalam benaknya. Sementara itu darah yang mengalir dari
luka-luka di dadanya sudah membeku, tapi rasa pening mulai
merangsang kepalanya. Betapa pun dia seorang perempuan, setelah perjalanan
demikian jauh dengan kondisi badan yang semakin buruk lagi,
kini harus kehilangan darah bukan mustahil akhirnya dia bakal
roboh kehabisan tenaga. Dalam pada itu, macan itu sudah mendekam pula, pelanpelan
tubuhnya menggeremet maju munduk-munduk siap
untuk melancarkan serangannya lagi, sasarannya kepada Koan
San-gwat pula. Thio Ceng Ceng siap waspada sambil menahan napas,
dengan gelisah ia menunggu perkembangan selanjutnya,
diam-diam ia menerawang jarak dan cara mengatasi nanti.
"Dalam jarak lima enam-kaki aku bisa mulai menggasaknya.
Bagaimana pun juga kali ini aku pantang dikalahkan!"
Demikian ia bertekad dalam hati. Dalam pada itu macan
salju sudah menggeram maju pula tiga empat kaki, tiba-tiba
laksana angin badai badannya menerkam sambil menggerung
laksana geledek mengguntur melampaui atas kepalanya dan
tepat sekali cakar kaki depannya jatuh di dada Koan San-gwat.
Gerak-gerik si macan ini sungguh teramat cepat dan
mendadak lagi, hingga Thio Ceng Ceng tidak sempat
merintangi dengan berbagai akalpun, begitu ia membalik
tubuh macan salju itu sudah menggigit kain baju di depan
Koan San-gwat terus diseret dengan cepat berlari ke dalam
hutan. Karuan gugup Thio Ceng Ceng bukan kepalang. Di dalam
gugupnya entah dari mana datang tenaganya yang luar biasa,
mendadak ia menjejakkan kakinya maju mengejar, sekali
tepat ia berhasil menangkap ekor si macan terus dibetot ke
belakang sekuat tenaganya.
Macan salju itu mengeluarkan suara auman yang
menggetarkan alam pegunungan, mulutnya melepas Koan
San-gwat terus membalik badan hendak menggigit Thio Ceng
Ceng. Tapi mati-matian Thio Ceng Ceng memegangi ekornya dan
tak mau dilepas sehingga cakar kakinya itu tidak bisa sampai
melukainya, begitulah binatang lawan manusia ini jadi saling
berputar-putar di tanah bersalju.
Memang badan sudah lemas kini harus diajak berputar,
karuan kepala Ceng Ceng terasa pening, luka-luka di dadanya
jadi pecah dan mengeluarkan darah pula, sakitnya sampai
menusuk tulang, namun sedikitpun ia tidak mau
mengendorkan pegangannya, karena ia insyaf sekali kalau ia
lepas tangan maka Koan-toakonya pasti akan celaka.
Setelah berputar sekian kali dilihat di dirinya tidak mampu
membebaskan diri atau menyerang lawan, macan salju itu jadi
buas dan marah, tiba-tiba ia mengerang panjang seraya
melejit tinggi menerjang ke depan, karuan Thio Ceng Ceng
jadi terseret setombak tingginya dan di lain saat meluncur
turun dan "Blang!" ia terbanting kesakitan di atas tanah
bersalju, sementara macan itu sudah siap melompat pula
untuk kedua kalinya. Thio Ceng Ceng insyaf dirinya tak akan kuat bertahan dari
sekali bantingan lagi, untuk mengadu jiwa sekaranglah
kesempatan yang terakhir. Setelah bertekad tapi belum lagi ia
sempat melaksanakan niatnya, tiba-tiba didengarnya dari
kejauhan sana ada bentakan suara manusia lalu disusul
meluncurlah sebatang tombak bercabang langsung mengarah
punggung si macan salju secepat anak panah.
Agaknya macan salju ini tahu akan kelihaian tombak
bercabang ini, sebat sekali ia menggelundungkan badannya ke
samping, maka terlihatlah sesosok tubuh orang berkelebat
mengejar datang serta mengeluarkan hardikan keras,
"Binatang! Kau berani mengganas sekali lagi!"
Setelah mendengar suara manusia pertahanan Thio Ceng
Ceng menjadi kendor seolah-olah ia sudah mendapat bantuan
yang diandalkan, maka luluhlah semua pertahanan dan
keberaniannya, serta merta kedua tangannya terlepas, macan
salju itu laksana sebatang panah terus berlari seperti kucing.
Thio Ceng Ceng hanya melihat orang yang menolongnya itu
adalah seorang perempuan pertengahan umur, lalu ia tak tahu
apa-apa lagi selanjutnya.
Di kala ia siuman kembali, dirasakan rasa sakit dan letih
tubuhnya sudah lenyap sama sekali, demikian juga
semangatnya sudah banyak pulih, bergegas ia bangkit duduk.
Sambil mengamati sekelilingnya, didapati ia terbaring di dalam
sebuah gua, dinding sekelilingnya adalah batu cadas
pegunungan yang keras, di atas dinding banyak tergantung
binatang yang sudah dikeringkan.
Tapi ia tidak perduli akan keadaan sekelilingnya, yang
paling diperhatikan adalah Koan San-gwat. "Dimanakah Koantoako"
Bagaimanakah keadaannya sekarang?"
Luas gua ini cuma beberapa tombak, kecuali perabotan
yang sederhana tak kelihatan bayangan seorang manusia pun,
segera ia melorot turun dari balai-balai batu, pikirnya hendak
mencari keluar gua. Tapi begitu telapak kakinya menyentuh lantai, seketika rasa
dingin menembus ke ulu hati, di samping itu hawa
pegunungan yang menghembus masuk seketika membuat
seluruh badannya bergidik kedinginan. Waktu menunduk baru
ia sadar bahwa seluruh tubuhnya ternyata telanjang bulat


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa mengenakan secuil pakaian pun, meski dalam ruang
goa ini tiada orang lain, tak urung ia jadi malu dan merah
jengah selebar mukanya, cepat ia menarik selimut dari atas
dipan terus membungkus tubuh sendiri seenaknya.
"Tempat apakah ini" Siapakah yang melucuti pakaianku?"
inilah pertanyaan berlarut yang berkecamuk dalam benaknya.
Tetapi semua pikiran itu tidak lebih besar dari rasa
perhatiannya kepada Koan San-gwat, maka cepat-cepat ia
berlari ke arah luar. Bagian luar ini juga merupakan sebuah ruangan baru, cuma
jauh lebih luas, disini ada bertumpuk bermacam barang
danbenda, di pojok sana terlihatlah pakaiannya yang sudah
dedel dowel tak karuan, baru sekarang teringat akan kejadian
yang lalu, lapat-lapat ia masih ingat seorang perempuan
pertengahan umur keburu tiba menolong jiwanya, jadi kamar
batu ini pasti tempat tinggal orang. Cuma dimanakah Koantoako"
Demikian ia bertanya-tanya.
Di saat ia berdiri menjublek itulah di luar terlihat sebuah
bayangan berkelebat masuk, ternyata perempuan
pertengahan umur itu sudah kembali sambil memanggul
seekor kijang. Begitu melihat Ceng-Ceng sudah bisa turun dan
berjalan serta berdiri, raut wajahnya lantas mengunjukkan seri
tawa yang penuh perasaan welas asih, katanya, "Nona cilik!
Kau sudah bisa bangun! Sungguh hebat kau, selama sepuluh
hari ini aku selalu berkuatir bagi keselamatanmu, tenagamu
habis terkuras, darahpun mengalir terlalu banyak, sungguh
aku tidak habis mengerti cara b\agaimana kau kuat
bertahan.!" Sudah tentu Thio Ceng Ceng berjingkrak kaget, teriaknya,
"Apa" jadi aku jatuh pingsan setelah sepuluh hari?"
Perempuan itu mengunjuk senyum, sahutnya, "Masa aku
menggoda kau! Selama sepuluh hari ini tidurmu seperti orang
yang sudah mati, menurut perhitunganku, paling tidak kau
harus beristirahat dua tiga bulan baru bisa pulih seperti sedia
kala. Tak nyana kondisi badanmu jauh lebih kuat dan sebat
dari orang lain"."
Dengan gelisah Thio Ceng Ceng bertanya, "Lalu dimanakah
Koan-toako?" "Maksudmu bocah laki-laki itu" Keadaannya memang rada
aneh, seluruh tubuhnya tidak kelihatan kena luka tapi dia tidak
dapat bergerak, aku sendiri tidak tahu terserang penyakit apa,
terpaksa kuantar ke tempat Soat-lo Thay-thay!"
Thio Ceng Ceng tercengang, tanyanya, "Siapakah Soat-lo
Thay-thay. Kenapa Koan-toako harus diantar ke tempatnya?"
"Ilmu pengobatan Soat-lo Thay-thay sangat tinggi, bocah
itu amat aneh lagi, kini cuma beliau yang mampu mengobati,
luka-luka di tubuhmu juga kuobati dari rumah obat
pemberiannya! Lihatlah betapa manjur obatnya itu, sedikitpun
tidak meninggalkan bekas-bekas di kulit badanmu "."
Kejut dan heran pula rasa Thio Ceng-Ceng, dari penuturan
orang ia dapat menyimpulkan bahwa Soat-lo Thay-thay yang
dimaksud itu tentu adalah orang yang ditentang ayahnya itu,
orang ini pula yang hendak dicarinya. Cuma tidak habis
terpikir olehnya kenapa ayah merasa sirik dan benci terhadap
seorang perempuan tua, maka setelah merenung ia berkata
kepada perempuan pertengahan umur itu. "Dimana tempat
tinggal Soat-lo Thay-thay, aku ingin menengok keadaanKoantoako
"." Cepat perempuan itu menggoyangkan tangan, katanya,
"Jangan kau kesana! Soat-lo Thay-thay pernah kemari melihat
keadaanmu, ia ada pesan wanti-wanti. Bagaimana juga
melarang kau pergi kesana. Kalau tidak, masa aku menahan
kau di sini merawat lukamu. Tempatku ini memang kecil cuma
tinggal seorang lagi, jadi kekurangan tenaga untuk merawat
keadaanmu, tapi Soat-lo Thay-thay sendiri sudah berpesan
sebelumnya, aku pun tidak dapat berbuat apa-apa."
Thio Ceng Ceng jadi melengak, timbul berbagai pertanyaan
dalam benaknya, tanyanya, "Kenapa Soat-lo Thay-thay tidak
mengijinkan aku ke sana?"
"Akupun tidak tahu, macan salju itu adalah binatang
peliharaan Soat-lo Thay-thay. Sebenarnya dia tidak bisa
melukai orang, entah kenapa bisa bertengkar dengan kau. Aku
lebih tidak mengerti kenapa Soat-lo Thay-thay bisa merasa
sirik terhadap kau. Saat aku tidak meminta-minta kepada
beliau, luka-lukamu ini beliau pun tidak mau mengobati! Nona
apakah kau punya permusuhan dengan Soat-lo Thay-thay?"
"Tidak! selamanya aku belum pernah melihat dia!"
"Memang. Soat-lo Thay-thay sudah menetap dua puluh
tahun disini, selamanya beliau belum pernah keluar, usiamu
paling banyak baru dua puluh tahun, bagaimana pun tidak
mungkin mengikat permusuhan dengan maka aku heran
kenapa beliau tidak suka kepada kau."
Namun dalam benak Thio Ceng Ceng sudah menyimpulkan
sesuatu, wajahnya mirip dengan bentuk wajah ayahnya tentu.
Cuma ia tidak habis mengerti antara ayahnya dengan Soat-lo
Thay-thay ini ada ganjalan sakit hati apa".?"
Melihat orang termangu-mangu, perempuan pertengahan
umur itu bertanya, "Nona cilik! Untuk apa kau bawa bocah itu
jauh-jauh ke Kun-Lun-san sini"." Oh, ya! Tentu kau kenal
Soat-lo Thay-thay, maka kau bawa bocah itu kemari minta
pengobatannya?" "Selama hidupku belum pernah aku melihat Soat-lo Thaythay,
soalnya Koan-toako terkena racun jahat, kudengar di
puncak Kun-lun-san ada seorang kosen yang mengasingkan
diri, pandai ilmu pengobatan, maka kubawa dia kemari mohon
diobati. Apakah Soat-lo Thay-thay orang kosen yang hendak
kucari itu aku sendiri tidak tahu."
"Ya, tidak salah lagi, orang yang menetap di puncak Kunlunsan sini cuma beberapa orang saja, apalagi yang pandai
ilmu pengobatan cuma Soat-lo Thay-thay seorang, jauh-jauh
kau datang justru membawa seorang pasien, tidak heran
beliau tidak senang terhadap kau!"
"Kenapa?" tanya Thio Ceng Ceng heran.
"Watak Soat-lo Thay-thay sangat aneh, dia pernah beritahu
kepadaku, kecuali musuh dalam dunia ini dia sudah tidak
punya sanak kadang lagi. Sudah tentu kau bukan musuh yang
dimaksud itu, tapi kenalan beliaupun tak banyak, orang yang
memberi petunjuk supaya kau kemari itu tentu punya
permusuhan dengan beliau maka ia jadi salah paham pula
kepada kau!" Thio Ceng Ceng jadi rada tenang akan duduk perkaranya,
cuma dia tidak menjelaskan persoalan antara ayahnya dengan
Soat-lo Thay-thay sebab seluk-beluk peristiwa itu ia sendiri
tidak jelas, setelah berpikir sejenak, sengaja ia alihkan pokok
pembicaraan, tanyanya, "Toanio! Kau she apa, bagaimana
bisa hidup sebatangkara di atas pegunungan yang sunyi ini?"
"Menyinggung namaku, dahulu memang pernah tenar dan
". aih, kenapa aku ngelantur. Aku she Peng, kau boleh
panggil aku Peng Toanio saja! Dua puluh lima tahun yang lalu,
aku pernah terluka parah dan dikejar-kejar musuh sampai ke
puncak Kun-lun-san ini, untung Soat-lo Thay-thay keburu
datang dan menggebah lari musuhku itu, aku terus tinggal
disini, berkat pertolongan beliau luka-lukaku sembuh
seluruhnya. Maka sejak saat itu, aku terus tinggal disini,
meskipun hawanya dingin, tapi keadaan yang sepi ini cukup
nyaman dan tentram, maka aku tidak berniat berkecimpung
lagi di dunia Kangouw."
Thio Ceng Crag termenung sebentar lalu berkata dengan
tekad yang besar, "Meskipun Soat-to Thay-thay tidak suka
akan kedatanganku, akupun akan meluruk ke tempatnya, apa
pun yang terjadi nanti aku harus tahu keadaan Koan-toako.
Racun yang mengeram di dalam badannya sukar
disembuhkan, apakah Soat-lo Thay-thay mampu
menyembuhkannya?" "Untuk itu akupun kurang jelas, setelah kuantar bocah itu
masuk ke dalam Sincoat-kok, Soat-lo Thay-thay cuma datang
menjenguk kau sekali saja, selanjutnya bila aku kesana selalu
dirintangi oleh Khong Ling-ling."
"Siapa pula itu?"
"Ling-ling adalah murid Soat-lo thay-thay," Peng-toanio
menjelaskan sambil menjengek. "Budak kecil itu jauh lebih
galak dari Soat-lo Thay-thay, kalau bicara dengan aku selalu
bersikap acuh tak acuh dan menyebalkan. Bapaknya saja tidak
berani bersikap demikian terhadapku. Di kala Kui-thian-ya-se
(kuntilanak terbang ke langit) malang melintang di Kang-ouw,
Loh-hun kok sama sekali belum apa-apa pada masa itu."
"Apa?" teriak Thio Ceng Ceng. "Jadi putri Khong Bun-thong
berada disini?" Peng- toanio melirik, jengeknya, "Apa kau juga kenal Khong
Bun-thong si keparat itu?"
Nada perkataannya penuh rasa gusar dan tidak senang,
seolah-olah merasa disepelekan, dan nama Khong Bun-thong
malah banyak mempengaruhi hatinya.
Thio Ceng Ceng makin gelisah, cepat ia berseru, "Toanio!
Bagaimana juga aku harus segera menemui Koan-toako, kalau
tidak pasti celaka!"
"Kenapa?" tanya Peng-toanio tercengang. "Kenapa kau
begini gugup?" "Sudah, jangan terlalu banyak tanya, pendek kata bila Kong
Ling-ling tahu asal-usul Koan-toako pasti urusan lebih
payah"." "Kenapa bisa begitu" Masa kau tahu Khong Ling-ling si
budak busuk itu bakal melalap kekasihmu itu. Meski budak liar
itu telah mendapat didikan Soat-lo Thay-thay tapi aku tidak
gentar terhadapnya, soalnya kupandang muka beliau. Kalau
tidak, sejak dulu aku sudah labrak dia habis-habisan. Kau tak
usah takut, jelaskan dulu perkaranya, mungkin aku dapat
memberikan bantuan, kalau tidak seorang diri kau menerjang
kesana, seumur hidupmu ini jangan harap dapat keluar dari
Sin-Soat-kok!" Thio Ceng Ceng tahu orang tidak menggertak atau hendak
menakut-nakuti dirinya, untung orang benci terhadap Khong
Ling-ling maka tidak berhalangan dia menjelaskan kejadian
yang sebenarnya, maka tuturnya, "Nama Koan-toako adalah
Koan San-gwat. dia adalah murid tunggal atau pewaris dari
Bing-tho-ling-cu Tokko Bing"."
"Apa" Bocah itu adalah pewaris Tokko Bing" Bagaimana
keadaan Tokko Bing, selamanya ia tidak pernah menerima
murid"." "Toanio jangan ribut, Tokko-cianpwe sudah meninggal,
seluruh kepandaian silatnya sudah diturunkan kepada Koantoako"."
Berubah pucat air muka Peng-toanio, ujarnya lirih, "Sudah
meninggal" Orang seperti dia bisa mati begitu cepat" Cara
bagaimana dia mati?"
"Aku tidak tahu, kelak silahkan kau tanya Koan-toako
sendiri. Dia"."
"Ya! Aku harus tanya kepadanya, bagaimana dengan dia!"
"Koan-toako terkena racun jahat Loh-hun-lok Khong Bunthong,
tapi diapun berhasil mengganyang Khong Bun-thong
itu. Kalau peristiwa ini sampai diketahui Khong Ling-ling,
kejadian bakal"."
Peng-toanio ikut terkejut, serunya, "Sungguh sangat
kebetulan, tapi tidak usah gelisah, sejak kecil Khong Linglingbelajar
silat kepada Soat-lo Thay-thay, ayah
kandungnyapun tidak tahu dia berada disini, maka berita itu
tidak akan dapat didengarnya!"
"Tapi kalau Koan-toako sendiri yang mengatakan,
bagaimana?" "Aku justru tidak berpikir ke arah situ, agaknya kita
memang harus menyusulnya ke sana, kau tunggu sebentar,
kucarikan pakaian untuk kau, segera kita ke sana"."
Thio Ceng Ceng mengenakan pakaian dari kulit menjangan,
ia mengintil di belakang Peng-toanio, berjalan cepat. Hawa
sangat dingin tapi perasaan hatinya justru panas membara.
Dia tidak tahu bagaimana keadaan Koan San-gwat sekarang.
Apakah racunnya sudah punah" sudah sembuh" Atau sudah
mati" Kalau sudah sembuh, apakah dia bercerita tentang asalusul
sendiri" Pikiran dan kekuatiran ini berkecamuk dalam
benaknya, sehingga kedua alisnya bertaut ke dalam.
Sepanjang jalan Peng-toanio mengoceh sendiri, "Sudah
mati". bagaimana kau bisa mati".?"
Thio Ceng Ceng tahu orang terkenang kepada Tokko Bing,
entah ada hubungan apa antara orang tua ini dengan Tokko
Bing, soalnya hatinya sendiri sedang kalut, segan ia bertanya.
Begitulah sekian lama mereka berputar-putar di puncak
gunung bersalju akhirnya tiba di sebuah lembah yang sangat
tersembunyi. Salju sudah mengeras dan merintangi jalan,
cuma sebuah jalan sempit yang menembus ke dalam sana,
macan salju itu tampak mendekam di tengah jalan, agaknya
berjaga di mulut lembah, begitu melihat Thio Ceng Ceng,
mulutnya lantas mengeluarkan suara gerungan marah.
Peng-toanio lantas menghardiknya, "Binatang! Hayo
minggir, berani kau menghalangi aku masuk!?"
Macan salju itu melirik sekilas ke arahnya, sinar matanya
menatap ke arah Thio Ceng Ceng maksudnya tidak diijinkan
masuk ke dalam. Kontan Peng-toanio menggablok pantatnya serta
membentak gusar, "Kurang ajar. Akulah yang membawanya
kemari dan akulah yang bertanggung jawab!"
Setelah dipukul, apa boleh buat! Macan salju itu menyingkir
ke pinggir. Lekas Peng-toanio menarik Thio Ceng Ceng masuk
ke dalam lembah. Setelah menyusuri sebuah jalan sempit
yang diapit batu pegunungan, keadaan mata tiba-tiba terbuka
luas, hawa disini pun terasa segar, pohon hidup ditaburi
bunga salju, dimana-mana tampak kembang mekar, pohon
Siong menghijau, bunga Bwe berkembang pohon bambu pun
tumbuh subur di mana-mana.
Meski hati Thio Ceng Ceng dirundung kerisauan, setelah
melihat keadaan yang luar biasa ini, serta merta ia menghela
napas, ujarnya, "Tak nyana di tempat ini ada dunia luar yang
mempesonakan." Peng-toanio tersenyum, ujarnya, "Maju lebih lanjut kau
akan melihat banyak pandangan yang tidak atau belum
pernah kau lihat. Bukan saja ilmu silat Soat-lo Thay-thay
teramat hebat, ilmu pengetahuan lainnya pun sama tinggi dan
luas sekali"." Perhatian Thio Ceng Ceng tertarik pada sebuah penglihatan
yang ada di bawah sebuah pohon Siong tua dan besar, jadi ia
tak perhatikan ucapan Peng-toanio. Rada jauh di depan sana
dilihatnya seorang gadis remaja mengenakan pakaian serba


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah sedang menuntun seorang berjubah hijau berjalan
lambat-lambat, laki-laki itu bukan lain adalah Koan San-gwat
yang selalu dirindukan itu.
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 4 "KOAN- TOAKO!" TAK tahan lagi Thio Ceng Ceng berteriak
terus memburu kesana. Tapi begitu tiba di tempat itu,
seketika ia berdiri terlongong. Sebab kedua biji mata Koan
San-gwat memandang lurus ke depan seakan-akan tidak kenal
dirinya, seperti tidak mendengar teriakannya pula.
Thio Ceng Ceng menjadi pilu, memburu dua langkah ia
tarik dan genggam erat-erat tangan Koan San-gwat, teriaknya
sambil menangis, "Koan-toako! Apakah kau sudah sembuh!
Kenapa kau diam saja"."
Koan San-gwat menarik tangannya, tidak menjawab juga
tidak hiraukan dirinya, Thio Ceng Ceng melengak dan
menjublek, jauh-jauh dari tempat puluhan ribu Li dia bawa
Koan San-gwat kemari mau minta pengobatan, setelah lolos
dari lobang maut, kini di luar dugaan bersikap begitu dingin
terhadap dirinya. Peng-toanio yang berpikiran jernih segera memperingatkan,
"Nona cilik, jangan kau sentuh dia, apa kau tidak perhatikan
biji matanya, hakikatnya dia tidak melihat apa-apa."
Baru sekarang Thio Ceng Ceng menyadari hal ini, rona
muka dan sikap Koan San-gwat seperti orang linglung,
pendengarannya pun sudah tuli, maka sikapnya kaku.
"Peng Kiok-jin!" terdengarlah gadis baju merah itu
menjengek dingin kepada Peng-toanio, "Besar ya nyalimu,
bukankah Suhu sudah memberitahu kepadamu kau dilarang
bawa gadis ini ke dalam lembah, berani kau semena-mena."
Peng-toanio mendengus, "Apa yang kuperbuat aku yang
bertanggung jawab, tak perlu kau banyak bacot!"
Ceng Ceng tahu gadis baju merah ini tentu Khong Ling-ling
adanya, cepat ia menimbrung, "Khong-cici bagaimanakah
keadaan Koan-toako?"
"Bukankah matamu bisa lihat sendiri, kenapa harus tanya
kepadaku?" sindir Khong Ling-ling.
Mendapat jawaban kasar, Thio Ceng Ceng menahan emoai,
katanya pula, "Maksudku apakah dia bisa sembuh seperti
sedia kala".?" "Kau ini apanya" Begitu besar perhatianmu kepadanya!"
ejek Khong Ling-ling. Ceng Ceng melengak, tak tahu bagaimana harus
menjawab. Untung Peng-toanio sagera menimbrung, "Dia
adalah calon istrinya, sudah sepatutnya ia
memperhatikannya!" Berubah air muka Khong Ling-ling, tanyanya dangan
bengis, "Apa betul?"
Merah jengah muka Ceng Ceng, serba salah dan runyam
untuk menjawab, maklum belum pernah ia mencurahkan isi
hatinya kepada Koan San-gwat. Ingin berterus terang tapi
malu, kalau menyangkal, jelas bikin malu Peng-toanio.
Terdengar Peng toanio tertawa dingin, jengeknya, "Urusan
ini tiada sangkut pautnya dengan kau, tak usah kau
mencampuri urusannya."
Khong Ling-ling naik pitam, amarahnya tertuju kepada
Peng-toanio, teriaknya beringas, "Peng Kiokjin! Berani kau
bicara padaku dengan nada kurang ajar begitu!?"
"Kentut!" Peng-toanio juga berang, "Kau ini barang apa,
karena memandang muka Soat-lo Thay-thay, selalu aku
mengalah terhadap kau, bicara tentang tingkatan di kalangan
Kangouw, bapakmu pun harus membungkuk hormat
kepadaku, berani kau gembar-gembor memanggil namaku
secara langsung?" Saking marah muka Khong Ling-ling menjadi kelabu,
teriaknya pula sambil menuding, "Hwi-thian-ya-ce, jangan kau
mengudal aturan Kangouw, kau tidak lebih cuma budak
guruku, segalanya harus dengar perintahku. Ssekarang
kuperintahkan keluar dari sini."
Peng-toanio menarik muka, katanya berat, "Kecuali Soat-lo
Thay-thay, siapapun tiada hak main perintah kepada aku!"
"Suhu sedang menutup pintu dan semadi, aku mewakili
beliau, kau mau pergi tidak.?"
"Soat-lo Thay-thay sendiri juga sungkan mengusir aku
dengan kata-kata kasar, kau budak busuk ini rasanya perlu
dihajar!" Khong Ling-ling mendengus, tiba-tiba badannya berkelebat,
tangannya menampar ke muka Peng-toanio, gerak geriknya
bagaikan setan. Peng-toanio tidak siaga. "Plak" pipinya kena
digampar keras Sambil bertolak pinggang, Khong Ling-ling tertawa dingin,
"Hwi-thian-ya-ce! Kalau kau tidak tahu diri, awas aku tidak
berlaku sungkan lagi terhadap kau!"
Lima jari yang berwarna merah yang menyolok membekas
di pipi Peng-toanio. Biji-matanya mendelik gusar, sambil
menggerakkan kedua telapak tangannya sudah merangsang
ke dada Khong Ling-ling. Khong Ling-ling berhasil
mematahkan serangannya, malah dia berhasil mencengkeram
urat nadinya, desisnya dengan bengis, "Peng Kiok-jin, kalau
tidak memandang muka Suhu, segera kucabut nyawamu,
menggelindinglah!" Begitu tenaqa dikerahkan, sekali sendal badan Peng-toanio
mencelat tinggi jatuh terduduk di atas tanah tak bergerak,
kedua matanya menjublek tanpa berkesip.
Sekian lama ia terduduk diam, akhirnya seperti sadar dari
mimpi buruk, sekonyong-konyong ia menggembor keras,
mulutnya menyemburkan darah segar, badannya pun
berguling rubuh ke belakang. Meski berkumpul cuma beberapa
hari, tapi kesan Thio Ceng Ceng terhadap perempuan ini
sangat baik, cepat ia memburu maju serta memaapahnya,
teriaknya, "Toanio, toanio. Kenapa kau?" sembari berteriak
tangannya mengurut dada orang, sejak kecil ia hidup
berdampingan dengan Thio Hun-cu sedikit banyak paham soal
pengobatan, ia tahu Peng-toanio jatuh pingsan karena sesak
napas, maklum terlalu mengandung malu dan gusar, kalau
darah yang menyumbat dada tidak dikeluarkan dan sampai
membeku, kelak bisa menjadi bibit penyakit.
Khong Ling Ling menghampiri seraya menjengek dingin,
"Dia sedang pura-pura mati! Lekas kau bawa dia keluar!"
Thio Ceng Ceng memohon, "Khong-siocia. Tolong usahakan
supaya aku bertemu dengan Soat-lo Thay-thay, aku ingin
tanya keadaan penyakit Koan-toako!"
Khong Ling-ling membeku, sahutnya menggeleng, "Tidak
bisa, Suhu melarang kau kemari, beliau sudah pesan bila kau
berani melangkah setapak ke dalam lembah ini, kau harus
dibunuh tanpa perkara, kini kuberi kesempatan keluar dari
sini, itu berarti sudah melanggar pesan Suhu."
"Kenapa Soat-lo Thay-thay sedemikian benci kepadaku?"
"Tidak tahu!" teriak Khong Ling-ling aseran. "Hayo
mengelinding pergi, jangan memancing amarahku. Aku tidak
segan turun tangan!"
Thio Ceng Ceng insyaf bila berkelahi dirinya jelas bukan
tandingan orang, terpaksa dengan duka dan rawan ia jinjing
tubuh Peng-toanio. katanya sambil sesenggukan, "Khong
siocia, Koan-toako"."
Khong Ling-ling sudah tidak sabar, dengusnya, "Legakan
saja hatimu, di bawah pengobatan guruku, tanggung dia tidak
akan mampus!" Thio Ceng Ceng masih ingin bicara, tapi mendadak Pengtoanio
yang berada dalam pelukannya meronta dan melompat
seperti banteng ketaton melabrak ke arah Khong Ling ling,
karena gerakannya terlalu cepat dan mendadak lagi, Thio
Ceng Ceng tidak menduga, sehingga ia terpental jatuh
terduduk di tanah. Agaknya Khong Ling-ling juga tidak waspada, tersipu-sipu
ia angkat lengannya menangkis, berbareng tangan yang lain
menyengkelit dengan keras, kemudian badan Peng-toanio
terangkat , terus dilempar jumpalitan, tapi pipi Khong Ling-ling
masih kena tampar dengan cukup keras dan berbunyi nyaring.
Peng-toanio gentayangan beberapa langkah baru ia dapat
berdiri tegak, sambil mendongak ia terloroh-loroh, serunya,
"Budak, akhirnya aku berhasil membalas tempilinganmu tadi!"
Pipi kanan Khong Ling-ling merah dan bertapak lima jari,
pipi kiri menjadi pucat saking marahnya, secepat anak panah
badannya terbang melesat, beruntun jari tangannya menusuk
dan memuntir, gerak-geriknya lihay, sekaligus beberapa jalan
darah Peng-toanio tertutuk dan roboh terkapar di tanah.
Sebelah kaki Khong Ling-ling menginjak dadanya, katanya
dengan beringas, "Peng Kiok-jin! Hari ini akan kubuat kau mati
tanpa tempat kubur."
Beberapa jalan darah penting di tubuh Peng-toanio
tertutuk, tak mampu bergerak dan balas memaki, tapi sorot
matanya menunjukkan kekerasan hatinya. Sorot matanya
membuat Khong Ling-ling seperti api disiram minyak, sekali
tendang badan Peng-toanio terguling-guling seperti bola.
Thio Ceng Ceng tidak tega, lekas ia menubruk terus
memeluk Peng-toanio serta berteriak ke arah Khong Ling-ling.
"Khong siocia, Peng-toanio seorang tokoh Bulim yang cukup
tenar namanya, kau boleh membunuhnya tapi jangan kau
menghina dia sedemikian rupa!"
Khong Ling-ling menyeringai dingin, jengeknya, "Kau
minggir! Bukan saja akan kubunuh dia sampai badannya
hancur lebur, sebelum mampus akan kubikin dia merasakan
penderitaan Hun-kin-joh-kut perguruanku!"
"Kong Ling ling!" teriak Thio Ceng Ceng.
"Minggir kau!" damprat Khong Ling-ling, sekali raih dan
jambret ia rebut badan Peng-toanio dari pelukan Thio Ceng
Ceng, sudah tentu Ceng Ceng berusaha merebutnya pula, tapi
baru saja ia mendekat, tiba-tiba Khong Ling-ling membalik
sebelah tangannya, dengan cara yang lihay dan menakjupkan
ia tekan dan dorong pundaknya, sehingga Thio Ceng Ceng
tergentak mundur sempoyongan, beruntun Ling ling tutuk
beberapa Hiat-to di badan Peng-toanio.
Muka Peng-toanio menjadi pucat dan mengalirkan keringat
dingin sebesar kacang, mukanya berkerut menahan sakit,
demikian juga biji matanya jelalatan sangat menderita.
Tapi Khong Ling-ling terlalu keji, dengan gemas ia banting
tubuh orang ke tanah, mulutnya menyungging senyum,
mukanya diliputi napsu yang sadis, menikmati keadaan Pengtoanio
yang menderita itu sambil tertawa-tawa dingin.
Sementara itu, Thio Ceng Ceng sudah menubruk maju pula,
teriaknya, "Kau tidak boleh berbuat begini keji seperti ini,
lekas bebaskan hiat-tonya."
"Sekali kau cerewet lagi, biar kaupun merasakan juga
siksaanku." Entah darimana keberanian Thio Ceng Ceng, mendadak ia
layangkan pukulannya serta membentak, "Boleh kau bunuh
aku sekali!" Khong Ling-ling angkat tangan membelit dan menarik
mencengkeram urat nadi pergelangan tangan Ceng Ceng,
katanya dingin, "Sejak tadi, kutunggu ucapanmu ini, akupun
menunggu kau turun tangan lebih dulu. Karena guruku
melarang aku tidak boleh turun tangan lebih dulu. Sekarang
aku mendapat alasan untuk membunuh kau!"
Seiring dengau ucapannya ia angkat sebelah tangan yang
lain terus menepuk ke jidat Thio Ceng Ceng. SekonyongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
konyong terdengar tawa aneh yang mendirikan bulu roma di
belakang mereka, disusul berkelebatnya sesosok tubuh dan
"blarrrr" pukulan Khong Ling-ling yang mematikan itu
tertangkis sehingga tersurut mundur empat langkah.
Di lain saat Thio Ceng Ceng sudah pindah tangan, terasa
tangan orang dingin seperti es, cepat ia angkat kepala,
seketika ia menjerit kaget, suaranya mengandung rasa takut
dan ngeri yang tak terperikan!
Karena teriakan ini, orang itupun lekas melepas cekalannya,
tapi sepasang matanya menatap wajah Thio Ceng Ceng, sorot
matanya sangat welas asih dan penuh rasa cinta kasih.
Setelah bebas baru Thio Ceng Ceng sadar bahwa jiwanya
baru saja direnggut kembali dari jurang elmaut oleh orang ini,
meski kejadian sangat mendadak, tapi sikap dirinya tadi terasa
kurang hormat. Maka segera ia merubah sikap dan
mengangguk serta unjuk senyum manis tanda rasa terima
kasihnya yang tak terhingga.
Tak sangka senyumannya membuat orang itu kesima,
mulutnya komat-komit mengeluarken suara yang tidak jelas.
Thio Ceng Ceng lantas menduga orang ini gagu, tapi selintas
pandang bentuk tubulnya memang sangat menakutkan.
Rambut di atas kepalanya awut-awutan, selapis mukanya
tumbuh codet bekas luka-luka yang malang melintang besar
kecil tidak karuan, sorot matanya bersinar tajam, rambut yang
awut-awutan itu sudah banyak uban, maka dapatlah diduga
bila usianya sudah tidak muda lagi, dari bentuk mukanya
dapat dinilai bahwa kalau wajahnya tidak penuh codet, di
waktu mudanya beliau pasti cantik rupawan.
Baju yang dipakaipun sudah buruk dan kumal, seperti
pelayan atau budak di pedalaman, tapi ilmu silatnya ternyata
sangat mengejutkan, Khong Ling-ling tergentak mundur oleh
tenaga pukulannya. Khong Ling-ling sudah tenang kemhali, teriaknya kepada
perempuan jelek yang mendadak muncul. "Si gila! Kenapa kau
keluar kalau diketahui oleh Suhu, tentu beliau akan membetot
uratmu." Agaknya ancaman itu membuat perempuan jelek itu jadi
takut, cepat ia menyurut mundur ke samping.
Thio Ceng Ceng terkejut, bukan saja jelek, perempuan ini
ternyata gila, sungguh sangat kasihan, tapi Khong Ling-ling
bersikap keras dan kasar terhadapnya, pelan-pelan mendekat,
serunya, "Jangan kau kira orang gila ini bakal menolongmu,
diapun tidak berani menentang aku"."
Telapak tangannya sudah terangkat hendak melancarkan
serangan lagi, Thio Ceng Ceng tahu bahwa dirinya bukan
lawan orang, cepat ia berpaling ke arah si gila dengan
pandangan mohon dikasihani.
Ternyata perempuan gila itu terpengaruh oleh sorotan
matanya, dengan ahah uhuh beruntun ia berteriak dua kali
seraya maju menghadang di depan Thio Ceng Ceng.
Karuan Khong Ling-ling makin murka, bentaknya, "Si gila!
Minggir kau! Jangan kau campuri urusanku!"


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan kukuh perempuan gila itu menggeleng kepala,
menandakan bahwa dia tidak mau mundur.
"Agaknya kaupun ingin mampus!" hardik Khong Ling-ling
seraya melancarkan serangan mendadak. Ternyata reaksi
perempuan itu cukup cepat juga, kedua telapak tangannya
membalik keluar "plak!" sekali lagi Khong Ling-ling kena
dipukul mundur, keruan Khong Ling-ling melengak dibuatnya,
agaknya ia tidak mengira bila perempuan gila ini sedemikian
lihai, tapi sikapnya tetap dingin, ancamnya, "Si gila! Kau
berani membantu orang luar melawan aku, sebentar akan
kuadukan kepada Suhu!"
Habis berkata ia putar tubuh lantas tinggal pergi. Agaknya
si gila sangat takut akan akibat tindakkannya ini, cepat ia
memburu maju menarik tangan Ling-ling, mulutnyapun
mengoceh tak karuan, seperti ia minta ampun terhadap Khong
Ling-ling. Tak kira mendadak Khong Ling-ling membalikkan
tubuh jari kanannya menutuk jalan darah di bawah tetek
sebelah kiri. Si gila tidak mengira dan tidak bersiaga, kontan ia berteriak
kesakitan sambil mendekap dada terus berjongkok menahan
sakit. Secepat kilat Khong Ling-ling melejit balik serta
melancarkan serangan kepada Thio Ceng Ceng pula.
Terpaksa Thio Ceng Ceng melawan sebisa mungkin, akan
tetapi Lwekang dan kepandaian silatnya terpaut jauh, "blang"
tiba-tiba tubuhnya mencelat terbang, belum lagi badannya
terbanting di tanah, Khong Ling-ling sudah memburu datang
seraya tertawa dingin, berbareng telapak tangannya
membacok lehernya. Perempuan gila yang terjongkok tadi melompat bangun,
agaknya ia menahan sakit yang luar biasa untuk menolong
Ceng Ceng, tangannya menangkis bacokan tangan Khong
Ling-ling yang keras ini, tapi karena sudah terluka oleh
tutukan Khong Ling-ling tadi, Lwekangnya sudah susut
sebagian besar, kontan ia tertolak mundur dan terhuyung
roboh ke tanah. Tapi kelihatannya ia kuatir Thio Ceng Ceng terbunuh, tibatiba
kedua kakinya menjejak tanah melejit bangun lagi, matimatian
ia berusaha merintangi perbuatan Khong Ling-ling.
"Gila!" teriak Khong Ling-ling, "Kau benar-benar
menggangguku, biar kubunuh juga!" Kedua telapak tangannya
merangsek dengan ganas dan keji, walaupun perempuan gila
itu dapat menangkis dan membela diri tak urung ia terdesak
mundur berulang-ulang, langkah kakinyapun sudah
sempoyongan hampir roboh.
Demi dirinya perempuan gila itu harus menghadapi bahaya
dan terluka, Thio Ceng Ceng jadi tidak tega, cepat ia
menariknya mundur serta katanya penuh haru, "Toama!
jangan kau bantu aku lagi, biar dia bunuh aku habis perkara!"
tahu bahwa ajal sudah menjelang maka dengan rawan ia
mengeluh, "Oh, ayah! Sungguh aku menyesal tidak dengan
nasehatmu ". ".aku nekad kemari dan kini kau takkan dapat
bertemu muka pula dengan Ceng-ji"."
Mendadak berubah air muka perempuan gila itu, dengan
suara serak iapun berteriak, "Ceng-ji". Ceng-ji". "
Mendengar perempuan gila ini dapat bicara agaknya Khong
Ling-ling juga merasa heran, namun hatinya sudah dirangsang
nafsu hendak membunuh Thio Ceng Ceng, maka tidak
menghiraukan perobahan perempuan gila itu, kembali ia
hendak menyerang kepada Thio Ceng Ceng
Agaknya penyakit gila perempuan itu memang kumat,
mulutnya sambung menyambung menggumam, "Ceng-ji".
Ceng-jii". Ceng".ji"."
Sekarang tidak lagi bertahan ia malah balas menyerang
Khong Ling-ling dengan nekad dan beringas, rasa sakit
badannya sudah terlupakan sama sekali, tenaganyapun
berlimpah ruah, dengan serangan membadai ia desak mundur
Khong Ling-ling. Sudah tentu Khong Ling-ling amat marah, mendadak ia
menghardik keras, permainan pukulannya juga berubah,
kedua telapak tangannya seperti kupu menari-nari, gerak tipu
silatnya sangat aneh dan lucu, puluhan jurus kemudian dada
perempuan gila itu kena digaploknya sekali.
Pukulan ini cukup berat seketika perempuan gila itu
terkapar roboh mulutnya menyemburkan darah segar dan
tidak mampu merangkak bangun lagi.
Agaknya Khong Ling-ling bekerja tidak kepalang tanggung,
ia memburu sambil angkat tangannya menepuk ke batok
kepala orang, di kejauhan didengarnya sebuah bentakan
keras, "Tahan! Mana boleh kau melukainya sedemikian rupa!?"
Khong Ling-ling segera urungkan niatnya, lalu melesat
datang sesosok bayangan secepat terbang, seorang nenek tua
beruban mendatang tiba, tangannya mencekal sebuah tongkat
hitam yang mengkilap, dengan keras ia ketukkan tongkatnya
ke tanah serta bentaknya, "Ling-ling" Sungguh besar nyalimu!
Berani kau melukai orang di dalam lembah ini?"
Khong Ling-ling kelihatan takut, tapi masih membandel,
katanya menuding Thio Ceng Ceng, "Suhu! Peng Kiok-jin
berani melanggar pantanganmu membawa perempuan ini ke
dalam lembah, Tecu ingat pesanmu, di saat hendak kubunuh
mereka"." Tongkat di tangan nenek beruban diketukkan lagi,
semprotnya gusar, "Bukankah sudah kukatakan berulang kali,
bukan sebenarnya aku ingin kau benar-benar melaksanakan
perintahku, Soat-sin-kok kediamanku ini selamanya belum
pernah berlepotan darah, tapi ternyata kau berani mengumbar
adat di sini." Khong Ling-ling jadi melengak, cepat berkata, "Tecu tidak
tahu maksud Suhu yang sebenamya, maka aku bekerja secara
patuh, Untung Peng Kiok-jin tidak mati, cuma kututuk jalan
darahnya, sebenarnya Tecu tidak ingin membuatnya
susah".!" "Tidak membuatnya susah, lalu kau gunakan Hun kin-Johkut
menghadapinya. Di kala aku menurunkan ilmu itu kepada
kau, apa yang telah kupesan kepada kau?"
Khong Ling-ling semakin gugup dan gelagapan, sahutnya,
"Soalnya ia kurang ajar dan bermulut koror, menyinggung
kau"." "Kau bohong!" Thio Ceng Ceng berteriak, "Dia berlaku
sangat hormat kepada Lo thay-thay, soalnya kau merasa
dengki terhadap dia baru kau turun tangan sedemikian keji!"
Kali ini Khong Ling-ling cuma mengerling tajam ke arah
Thio Ceng Ceng tidak mengumbar adat di hadapan si nenek
tua, si nenek tuapun tidak memberi reaksi, lekas ia berjongkok
memeriksa luka-luka perempuan gila itu, berselang agak lama
baru dia membentak lagi dengan bengis, "Perkara lainnya sih
boleh dibikin habis, tapi kenapa kau berani gunakan Jong-jiehoat
untuk melukainya?" "Waktu tecu hendak bunuh gadis itu, entah darimana si gila
ini mendadak menyerang aku"."
Belum habis Khong Ling-ling bicara, nenek tua itu cepat
angkat tongkatnya menghajar pantatnya, dengan keras,
kontan Khong Ling-ling tersungkur jatuh ke depan.
"Keparat!" teriak si nenek dengan amarah yang meluapluap,
"Berani kau memanggil "si gila" kepadanya".?"
Saking kesakitan Khong Ling-ling berguling di tanah, tapi ia
tidak berani merangkak bangun, dengan sesenggukan ia
menjawab, "Tecu tak tahu harus memanggil apa, terpaksa
mengikuti Suhu"."
"Aku boleh memanggil demikian, tapi kau tidak. Kau tahu
siapa dia?" "Tecu tidak tahu, Suhu belum pernah menjelaskan"."
"Dia adalah putriku, putri tunggalku satu-satunya"."
Berubah hebat air muka Khong Ling-ling, sedemikian kaget
dan herannya, seketika tangisnya pun berhenti, katanya
tersekat, "Tecu betul-betul tidak tahu."
"Sudah! Hayo pulang, menggelindinglah ke kamar obat,
tanpa ijinku kularang kau ke luar!"
Dengan terserot-serot Khong Ling-ling merangkak bangun
terus mengeluyur pergi tanpa berani bertingkah lagi.
Thio Ceng Ceng keheranan, ia tahu bahwa nenek tua ini
pasti Soat-lo Thay-thay adanya, hanya ia tidak menduga
perempuan gila itu adalah putrinya, baru saja ia hendak
bicara, nenek tua itu sudah membebaskan tutukan Pengtoanio,
dengan keripuhan Peng-toanio berkata gagap, "Lo
Thay-thay, aku"."
"Sudahlah! Aku tahu semuanya, aku tak salahkan kau! "
ujar si nenek sambil mengulapkan tangan.
Peng-toanio kelihatan lega, cepat ia angkar tangan ke arah
Thio Ceng Ceng, maksudnya supaya dia maju memberi
hormat kepada Soat-lo Thay-thay, tak nyana si nenek sudah
memutar tubuh dan berjongkok pula di samping tubuh
perempuan gila itu, tangannya mengurut-ngurut dan menutuk
berkali-kali, mulutnya berkata halus, "Sin-ji, bagaimana
Perasaanmu" Kenapa kau ngeloyor keluar dari kamarmu?"
Setelah diurut pelan-pelan, perempuan itu siuman, masih
menggumam, "Ceng ji". Ceng-ji"."
Si nenek jadi haru dan kegirangan pula, "Sin-ji! Kau sudah
bisa bicara lagi! Oh! sungguh menggirangkan"."
Pandangan perempuan gila itu mendelong, air mata mulai
berlinang di kelopak matanya, katanya dengan suara gemetar,
"Sin-ji Kau sudah bisa menangis! Tuhan sungguh maha
pengasih, ternyata penyakitmu bisa sembuh! Nak, sungguh
kasihan kau"." Mulut perempuan gila itu gemetar, agaknya ingin bicara
apa, tapi si nenek cepat berseru, "Sin-ji! Panggil ibu, nak!
Sudah dua puluh tahun kau tidak pernah memanggil aku "."
Air matanya semakin deras meleleh keluar, mulut
perempuan gila itupun semakin jelas mengeluarkan suara
yang lemah, "Bu". aku". Ceng-ji"."
Mendengar perempuan gila itu selalu memanggil namanya,
Thio Ceng Ceng heran dan tidak mengerti, tapi cepat-cepat si
nenek menutuk jalan darahnya hingga pingsan, pelan-pelan ia
bangkit berdiri, katanya kepada Thio Ceng Ceng, "Bopong
ibumu dan ikut aku!"
"Dia". adalah ibuku".?"
Mandadak si nenek mengunjuk rasa marah teriaknya gusar,
"Kalian ayah beranak menganiayanya sedemikian rupa,
terutama bapakmu yang durhaka dan durjana itu, bila dia
berani datang kemari, pasti kugecek hancur leburkan
tubuhnya." Thio Ceng Ceng menjublek di tempatnya, ia jadi berdiri
kaku dengan mendelong sungguh perasaannya goncang oleh
berita ini. Menurut cerita ayahnya, bahwa sejak lama ibunya
sudah meningga1, kenapa sekarang muncul lagi seorang yang
katanya adalah ibu kandungnya"
Melihat dia terlongo, si nenek berteriak lagi dengan marahmarah,
" Hayo lekas, apa kau jijik karena mukanya jelek atau
tidak setimpal menjadi ibumu".?"
Melihat muka si nenek membasmi kaku, Thio Ceng Ceng
tidak berani banyak bicara, lekas ia memayang tubuh
perempuan gila itu serta mengintil di belakang si nenek, Pengtoanio
juga mengekor di belakangnya.
Di kala bayangan mereka sudah menghilang di kejauhan
sana, Koan San-gwat masih berdiri mematung seperti orang
linglung, segala kejadian yang berada di sekitar dirinya seperti
tidak didengar dan dilihat. Tidak terpikir olehnya bahwa
peristiwa yang baru saja berlangsung ini justru bakal
menentukan jalan hidup dan terikat erat dengan jalan
hidupnya selanjutnya. ooo000ooo Sambil membopong perempuan gila itu, berbagai
pertanyaan dan kecurigaan berkecamuk dalam benak Thio
Ceng Ceng, begitulah tanpa bersuara ia mengikuti langkah
Soat-lo Thay-thay mendahului masuk ke rumah yang berada
di tengah, tangannya menuding sebuah dipan, katanya,
"Rebahkan ibumu, duduklah di samping menunggui, akan
kupersiapkan segala keperluan, sekarang juga mulai kuobati.
Inilah kesempatan terakhir untuk menyembuhkan kesehatan
ibumu, maka kau harus tabah dan tenang." Habis berkata
tanpa menunggu reaksi atau jawaban terus tinggal pergi ke
balik kamar lain. "Nona Thio!" Peng-toanio maju mendekat, serta bertanya
dengan penuh keheranan, "Apakah benar orang ini ibumu"
Kalau demikian jadi Soat-lo Thay-thay adalah nenekmu!"
Thio Ceng Ceng menggeleng kepala tanda tidak mengerti,
katanya, "Aku sendiri tidak tahu akan kebenarannya, sejak aku
berpikir belum pernah kulihat ibuku, menurut ayah katanya
ibu sudah mati sejak aku masih kecil, maka soal ini"."
"Tapi perkataan Soat-lo Thay-thay tidak akan meleset,
diantara kalian tentu ada latar belakangnya yang berselukbeluk
amat rumit. Sudah lama orang ini berada di atas
gunung. karena tidak bisa bicara dan ingatannya rada
terganggu, maka Soat-lo Thay-thay lantas mengurungnya
dalam sebuah kamar, baru tadi aku tahu bahwa dia adalah
putri tunggal Lo-Thay-thay."
Mata Thio Ceng Ceng jadi merah dan berkedip-kedip
menahan air mata, katanya, "Aku jadi mengharap dia benarbenar
adalah ibuku, sejak kecil aku sudah kehilangan belaian
kasih sayang seorang ibu, melihat anak lain aleman di
haribaan ibundanya aku jadi mengiri sekali"."
Dalam pada itu Soat-lo Thay-thay sudah kembali sambil
membawa banyak barang-barang dan peralatan, mendengar
ucapan yang terakhir ini, biji matanya sekilas mengerling
kepadanya, tanyanya dengan suara dingin, "Apakah kau tidak
jijik melihat mukanya yang buruk dan sudah menjadi gila
lagi?" Thio Ceng Ceng menahan air mata, ujarnya, "Cinta kasih
antara ibu beranak tidak mengenal akan buruk atau gila, bila
dia memang benar adalah ibu kandungku, dalam
pandanganku beliau akan jauh lebih cantik dari yang lain-lain,
segalanya kupandang wajar"."
Uraiannya ini agaknya mengetuk sanubarinya Soat-lo Thaythay,
sikap selanjutnya tidak sedingin dan sekasar tadi, sambil
menghela napas ia berkata, "Agaknya kau masih punya
Liangsim (hati nurani), dibanding ayahmu yang jahat dan
brutal itu jauh lebih baik. Dulu ibumupun secantik kau
sekarang, justru karena kau pula sehingga dia menjadi
berubah seperti sekarang."
Thio Ceng Ceng heran, tanyanya, "Lolo". Lolo! Apakah
yang telah terjadi pada masa silam?"


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soat-lo Thay-thay mendengus, sahutnya, "Kelak bicara
lebih lanjut! Sekarang yang terpenting mengobatinya, inilah
kesempatan terakhir yang sulit didapat dan bakal menentukan
mati hidupnya!" Lalu dibukanya sebuah buntalan dan dikeluarkannya
segebung jarum-jarum perak halus panjang tiga inci, sikap
Soat-lo Thay-thay sangat prihatin. Setelah semua keperluan
dipersiapkan, ia mulai mempergunakan jarum-jarum perak itu
menusuk urat nadi, jalan darah dan sendi di atas badan
perempuan gila itu dengan cara yang sangat mahir dan
cekatan. Jarum-jarum perak itu menusuk amblas sampai dua inci,
setiap kali tusukan jarumnya membuat perempuan gila itu
gemetar menahan sakit, jumlah seluruhnya ada hampir
seratus batang lebih, semua sudah ditusukan ke badan
perempuan gila, setelah selesai baru berkata kepada Thio
Ceng Ceng, "Genggamlah kedua tangannya, apapun yang
terjadi jangan kau lepaskan, aku akan mulai mengerahkan
hawa murn menutup Hiat-tonya!"
Thio Ceng Ceng turut segala petunjuk, dengan kencang ia
pegang kedua pergelangan tangan perempuan gila, sementara
Soat-lo Thay-thay dengan sikap tegang dan prihatin mulai
samadi mengerahkan tenaga, tak lama kemudian kedua
telapak tangannya berubah merah membara seperti besi yang
terbakar. Di kala suhu panas di telapak tangan Soat-lo Thaythay
sudah mencapai taraf yang paling tinggi, pelan-pelan ia
alihkan ke dekat badan perempuan gila, jari-jarinya lantas
bekembang, kesepuluh jarinya masing-masing menekan
dipangkal jarum dan mulailah ia salurkan suhu panas di
telapak tangannya ke dalam badan perempuan gila melalui
jarum-jarum yang tersebar luas di atas badannya.
Kontan Perempuan gila itu mengeluarkan pekik menggila
yang menggetarkan sukma, agaknya merasa kesakitan bukan
main, kedua tangannya meronta-ronta sekuat tenaga.
Teringat akan pesan Soat-lo Thay-thay, sedikitpun Thio Ceng
Ceng tidak berani lengah dan mengendorkan pegangannya.
Tapi melihat penderitaan sang ibu, mau tidak mau terketuk
pula sanubarinya, tanpa sadar air matanya meleleh
membasahi kedua pipinya. Kesepuluh jari Soat-lo Thay-thay dari ke sepuluh pindah
kesepuluh jarum yang lain, setiap jarum yang tersentuh
tekanan jari-jarinya pasti mengepulkan uap hitam yang
mengandung bau amis terbakar, sangat menusuk hidung dan
memualkan. Di kala mereka sedang bekerja dengan penuh ketegangan
dan keprihatinan, mendadak pintu kamar terbuka, tampak
Khong Ling-ling melangkah masuk berindap-indap dengan
muka yang penuh mengunjuk perasaan gusar dan penasaran.
Perhatian semua orang sedang tercurah kepada
pengobatan yang menegangkan ini, sehingga tiada yang
melihat akan kedatangannya.
Khong Ling-ling langsung menuju ke belakang Soat-lo
Thay-thay, rona wajahnya bengis penuh hawa membunuh
yang sudah menghantui sanubarinya, Telapak tangannya
mengenai punggung Soat-lo Thay-thay mengeluarkan suara
keras dan menusuk kuping. Kontan badan Soat-lo Thay-thay
tersuruk ke depan dan rebah tengkurap di atas perempuan
gila, tapi cepat pula sudah bangun duduk pula dan pelanpelan
berpaling muka, dengan tajam kedua biji matanya
mendelik dengan bengis menatap Khong Ling-ling.
Setelah menyerang dengan dahsyat, ternyata Suhunya
masih kuat bertahan dan seperti tidak terjadi apa-apa setelah
terkena pukulan yang telak, Khong Ling-ling jadi ketakutan
dan tersurut mundur, wajahnya pucat pias.
Khong Ling-ling mundur mepet ke pintu, terdengar Soat-lo
Thay-thay berkata dengan suara bengis, "Ling-ling! Saat ini
aku lebih penting mengerahkan tenaga untuk pengobatan ini,
sementara tidak akan bertindak kepadamu. Lebih baik lekaslekas
lari, lari yang jauh jangan sampai kulihat selamanya."
Habis berkata kembali ia memutar tubuh melanjutkan
pengobatan, telapak tangannya masih tetap kelihatan merah
membara. Suhu panas telapak tangannya masih tetap tinggi
seperti tungku menyala besar seolah-olah pukulan Khong Ling
ling yang fatal itu sedikitpun tidak mempengaruhinya.
Khong Ling-ling menjerit sekali terus lari terbirit-bitit, baru
sekarang Peng-toanio tersentak kaget dari lamunannya.
Sembari menjerit keras ia bergerak hendak mengejar, tapi
Soat-lo Thay-thay keburu berteriak memanggilnya, "Kiok-jin!
Kembali!" Peng-toanio menghentikan langkahnya mundur kembali ke
samping mereka, serunya gugup, "Lo-Thay-thay"." ketika
hendak bicara, mendadak rona wajahnya berubah hebat,
mulutnya terpentang menyemburkan darah segar, badan pun
tidak kuat lagi bertahan terus meloso roboh di atas ranjang,
karuan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng menjadi gugup,
teriaknya, "Lo-Thay-thay".kau kenapakah".?"
Soat-lo Thay-thay sedang berusaha menekan kembali
darah segar yang hendak berhamburan keluar, dengan suara
yang lirih berkata, "Tidak apa-apa! Kiok-jin! Lekas kau ke
kamar obat, di atas rak sebelah dinding timur terdapat sebuah
botol putih, lekas kau bawa kemari!"
Sambil mengiakan lekas-lekas Peng-toanio berlari pergi,
Soat-lo Thay-thay lantas pejamkan mata memulihkan
semangatnya, air mukanya sangat buruk. Hati Thio Ceng Ceng
jadi geliah dan kuatir, tapi ia tidak berani mengganggu.
Tak lama kemudian Peng-toanio berlari kembali dengan
tangan kosong, teriaknya gegetun, "Lo-thay-thay, kamar obat
sudah diobrak-abrik tidak karuan, beberapa macam obatobatan
penting semua hilang."
Berubah pucat air muka Soat-lo Thay-thay hidungnya
mendengus, makinya, "Budak keparat itu! kerjanya terlalu
keji"." Cepat Thio Ceng Ceng mengeluarkan sebuah botol tanah
liat, katanya, "Lolo! aku masih punya Peng-sip-coan-bing-san,
obat ini piranti untuk mengobati luka dalam"."
Dengan tangan Soat-lo Thay-thay mendorongnya ke
samping, teriaknya dengan gusar, "Lebih baik mati daripada
makan obat buatan ayahmu."
Karena suaranya terlalu keras, kontan ia menyemburkan
darah segar lagi, kini benar-benar tidak kuat bertahan lagi,
dengan badannya terperosok jatuh.
Meski Peng-toanio keburu maju menolongnya, tapi toh dia
cuma bisa meringis tanpa mampu memberi pertolongan
seperlunya. Tatkala itu meski masih ada beberapa jalan darah belum
sempat diurut dan tertekan serta ditusuk jarum, tapi keadaan
perempuan gila itu sudah semakin tenang, tidak lagi merontaronta.
Thio Ceng Ceng melepaskan kedua tangannya, terus
mengeluarkan botol obatnya menuang dua butir pil warna
putih lalu dijejalkan ke mulut Soat-lo Thay-thay, katanya
kepada Peng-toanio, "Toanio, mohon bantuanmu, carilah
sedikit arak kemari, obat itu akan lebih mujarab khasiatnya
dan bekerja lebih cepat bila ada arak."
Peng-toanio mengunjuk rasa kuatir dan was-was, katanya,
"Nona Thio! Kurasa". kurasa kurang tepat dan runyam nanti,
watak Lo-Thay-thay"."
Dengan penuh prihatin Thio Ceng Ceng berkata, "Tidak jadi
soal, bier aku yang tanggung jawab, betapapun aku tidak bisa
berpeluk tangan melihat jiwanya di ambang maut"."
Apa boleh buat terpaksa Peng-toanio pergi ke dapur
mencari sebotol arak lalu dituang ke dalam sebuah cawan
kecil serta dilelehkan ke mulut Soat-lo Thay-thay, pil obat itu
akhirnya tertelan hancur ke dalam perutnya.
Thio Ceng-Ceng jongkok di sebelah samping mengurut dan
melancarkan jalan darahnya, tak lama pelan-pelan Soat-lo
Thay-thay siuman dari pingsannya, melihat keadaan dirinya
segera ia paham apa yang telah terjadi, dengan amarah
meluap-luap ia ayun telapak tangannya serta berteriak
beringas, "Budak mampus! Berani kau mencelakai aku dengan
obat"." Thio Ceng Ceng terjengkang jatuh, tapi mulutnya mengeluh
dan berteriak, "Lolo! Obat itu adalah kwalitet terbaik untuk
mengobati, mana bisa mencelakai kau?"
"Kentut!" teriak Soat-lo Thay-thay lebih murka,
"Kepandaian pasaran bapakmu masa mampu membuat obat
mujarab apa!" Thio Ceng Ceng diam saja sambil mengusap air mata, tak
tertahan segera Peng-toanio ikut menimbrung, "Lo-Thay-thay,
maksud nona Thio baik."
"Baik kentut!" bentak Soat-lo Thay-thay, "Dulu dia berlaku
kejam dan telengas terhadap Sin-ji, aku pernah bersumpah
akan menemukan dia dan membuat perhitungan lama
kepadanya. Sekarang sebaliknya aku menelan obatnya, cara
bagaimana aku punya muka untuk menemuinya?"
"I.olo" rengek Thio Ceng Ceng sesenggukan, "Aku tidak
tahu kau punya ganjalan hati apa terhadap ayah. Tapi hari ini
aku menolong kau bekerja demi Koan-toako dan ibu. Penyakit
mereka perlu perawatan dan pengobatan. Kalau kau tetap
ngambek dan marah-marah, bila terjadi sesuatu, tamatlah
mereka"." Sekilas Soat-lo Thay-thay berpaling ke arah perempuan gila
yang terbaring di ranjang lalu menghela napas, "Ai, memang
takdir! Selama hidupku ini kenapa selalu ditimpa kemalangan
belaka"." Pelan-pelan ia menggerakkan badan lalu merambat ke arah
ranjang, tangannya terulur meraba erat nadi perempuan gila,
lapat-lapat terunjuk rasa girang, serunya, "Bagus! Sin-ji
akhirnya bisa tertolong! Sayang budak hina itu tangannya
terlalu cepat, sehingga aku belum bekerja tuntas melancarkan
seluruh urat sarafnya terpaksa dia harus menderita beberapa
hari lagi"." Lalu ia mulai bekerja pula, kini satu persatu ia cabuti jarumjarum
perak yang menancap tersebar di badan perempuan
gila, semua ia serahkan kepada Peng-toanio serta katanya,
"Kiok-jin! kau harus pendam jarum-jarum ini di dalam tanah,
semakin dalam lebih baik. Setelah itu gunakanlah arak obat
menggosok seluruh badannya. Cara kerjamu harus pelanpelan,
jangan sampai membuatnya bangun. Ceng Ceng, kau
ikut aku ke kamar obat, aku hendak periksa budak itu mencuri
apa saja!" Peng-toanio mengiakan dan segera bekerja dengan apa
yang dipesan. Thio Ceng-Ceng tahu bahwa Soat-lo Thay-thay
nenek luarnya ini ada omongan apa-apa hendak dibicarakan
dengan dirinya, maka tanpa-sangsi segera ia ikut keluar.
Baru saja tiba di luar pintu, mendadak ia teringat apa-apa,
sambil berseru kaget bergegas ia berlari kencang menuju ke
mulut lembah. Soat-lo Thay-thay memburu sambil berteriak, "
Budak setan, kenapa kau lari?"
Sembari berlari Thio Ceng Ceng berseru, "Koan-toako
masih berada di dalam hutan, aku kuatir Khong Ling-ling
berlaku kasar terhadapnya"."
Soat-loThay-thay menjengek, "Bocah busuk itu, kalau
memang ditakdirkan mati, sejak lama dia sudah mampus, apa
adanya kau buat geger."
Thio Ceng Ceng tidak hiraukan ocehannya, dengan cepat ia
sudah menerobos masuk ke dalam hutan, tampak Koan Sangwat
masih segar bugar berdiri di sana, hatinya jadi lega.
Tapi di atas sebatang pohon besar di sebelah Koan Sangwat,
berpeta sebuah telapak tangan, dalamnya sampai
beberapa senti. Mungkin Khong Ling-ling sudah kemari, semula memang
hendak membunuh Koan San-gwat, entah karena apa,
seketika ia batalkan niatnya, tapi ia lampiaskan kedongkolan
hatinya di atas pohon. Mengawasi bekas telapak tangan itu, diam-diam mencelos
hati Thio Ceng Ceng, dengan menghembuslsan napas ia
menggumam, "Khong Ling-ling, karena hari ini kau sudah
menaruh belas kasihan terhadap Koan-toako, kelak bila
ketemu, baiklah kuampuni sekali jiwamu!"
Soat-lo Thay-thay tertawa dingin, jengeknya, "Dengan
kepandaianmu sekarang masa membunuh dia" Kau sedang
mimpi agaknya?" Dengan lekat Thio Ceng Ceng mengawasi, katanya, "Lolo!
walaupun sekarang aku masih kalah, tapi setelah mendapat
petunjuk dan bimbinganmu, tentu dapat membekuk dia."
Rada berubah air muka Soat-lo Thay-thay semprotnya,
"Darimana kau bisa tahu kalau aku suka memberi petunjuk
dan bimbingan kepada kau?"
Dengan laku hormat dan bersikap wajar Thio Ceng Ceng
berkata, "Lolo! kecuali kau mau mengumbar murid murtadmu
itu!" "Mengumbar dia," dengus Soat-lo Thay-thay gusar, "ingin
rasanya mengelupas kulitnya. Budak hina itu memang
berwatak culas dan jahat, sejak lama memang sudah
kuketahui, cuma aku tidak menyangka dia berani turun tangan
keji terhadapku. Kelak aku akan mencarinya sendiri untuk
membuat perhitungan padanya."
"Lolo!" kata Thio Ceng Ceng menggeleng kepala, "Kenapa
kau mempersulit dirimu sendiri" Setelah kau kena pukulannya,
urat nadi tubuhmu sudah tergetar putus atau sungsang
sumbel, meski kau bertahan sekuat tenaga dan berhasil
menggertak dia lari, tapi tidak dapat mengelabui sepasang
mataku. Kau sendiripun tidak akan mampu membekuk dan
membereskan dia!" "Maksudmu aku sudah menjadi seorang cacat?"
"Cacat sih tidak, tapi ilmu silatmu sudah banyak menurun
dan tidak mungkin dipulihkan kembali. Maka untuk balas
dendam dan menghukum muridmu yang murtad itu, tugas ini
harus kau serahkan kepadaku!"
"Kenapa?" "Sebab aku adalah keturunanmu, cucu perempuan yang
tunggal! Unruk sementara waktu Khong Ling-ling dapat kau
kelabui. Setengah atau satu tahun, melihat kau tidak mencari
dia, pasti dia dapat menyelami perihal itu. Tatkala itu,
mungkin dia yang akan mencari kau"."
"Memang aku harus takut terhadapnya?"
"Lolo! Jangan marah-marah lagi, kau tidak perlu takut
terhadapnya, tapi bukan mustahil jiwa ibuku bakal diancam
olehnya! Demi ibu, kau tidak pantas menolak diriku!"
Sikap keras Soat-to Thay-thay akhirnya lunak, katanya


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menghela napas, "Akhir akibatnya seperti yang
dialaminya sekarang". Baiklah" Daku akan tuangkan ilmu silat
kepada kau, tapi dengan satu syarat!"
"Syarat apa?" "Kalau kau hendak belajar silat kepadaku, selanjutnya tidak
boleh kau mengakui bapakmu yang durhaka itu!"
"Lolo, aku tidak akan setuju dengan syaratmu ini, sebab
sejak kecil aku diasuh beliau sampai besar."
Berubah air muka Soat-lo Thay-thay, tapi dengan kalem
Thio Ceng Ceng melanjutkan, "Cuma sebaliknya ayah tidak
sudi lagi mengakui aku sebagai putrinya lagi"."
"O, kenapa begitu?"
"Ayah melarang aku datang kemari, katanya bila aku
kemari maka dia hendak memutuskan hubungan ayah beranak
Akan tetapi. ". demi Koan-toako aku nekad kemari, mungkin
selama hidup ini beliau tidak akan memaafkan aku lagi"."
Mendadak Soat-lo Thay-thay tertawa besar, serunya,
"Bagus! Thio Hun-cu! Dulu kau merebut putriku, sekarang kau
sendiripun kehilangan putrimu, satu lawan satu, inilah
pembalasan yang setimpal!"
"Lolo! Kenapa kau begitu benci kepada ayah?"
Soat-lo Thay-thay menghela napas, pelan pelan ia
menceriterakan kisah lama, sebuah tragedi yang
menyedihkan. Dua pulub tahun yang lalu, Soat-sin-kok tidak sepi seperti
sekarang ini. Tabib sakti Ih-bing meninggal pada saat usianya
sedang menanjak, tapi seluruh kepandaian dan ajaran ilmu
pengobatan ia wariskan kepada istrinya yang tercinta
LimKeng-hong. Di waktu kecil Lim Keng-hong pernah diangkat murid oleh
seorang tokoh aneh dan diajari ilmu silat yang lihay dan aneh
pula, setelah menikah dan menjadi warga keluarga Soat,
mereka menetap di dalam Soat-sin kok di Kun-lun-san
menikmati kehidupan suci seperti dewa.
Ilmu pengobatan Soat Ih-bing memang bukan olah-olah
hebatnya, tapi dia tidak mampu menolong jiwa sendiri. Karena
keluarga Soat mempunyai semacam penyakit turunan yang
jahat. Berbagai cara pengobatan tidak membawa hasil, Soat
Ih-bing sendiri setelah berjerih payah sekian tahun
memperoleh sedikit endusan dalam mengatasi penyakit yang
berbahaya itu, apa lacur manusia punya usaha, Tuhan punya
kuasa, terpaksa dia meninggalkan tugas penyelidikannya ini
kepada istrinya yang janda, semoga dia dapat lebih giat dan
rajin memperdalam ilmunya.
Karena adanya penyakit turunan ini maka warga keluarga
Soat Ih-bing hanya mempunyai seorang putri tunggal yang
diberi nama Soat Ci-sin. Di waktu dia mangkat, usia Soat Cisin
ini sedang menanjak dewasa, otaknya cerdik dan pintar,
wajahnya rupawan dan bentuk tubuhnya pun elok
menggiurkan, sayang terlalu diumbar sehingga bermain
kurang tekun dalam pelajaran, sangat besar harapan Lim
Keng-hong kepada putri tunggalnya ini, ia berusaha
menurunkan seluruh ilmu pengobatannya kepada putrinya ini.
Sayang terhadap kedua ajaran ilmu yang membuang-buang
waktu dan melelahkan badan itu, sedikitpun putrinya tidak
tertarik, karena sejak kecil sudah biasa diumbar dan disayang.
Lim Keng-hong tidak tega terlalu memaksa, terserah berapa
banyak dia mampu menguasai ajaran-ajarannya itu, lambat
laun tentu akan berkembang sendiri.
Waktu Ci-sin berusia sembilan belas tahun, terjadi suatu
perubahan di Soat-sin-kok. Datanglah seorang pemuda ke
dalam lembah itu. Pemuda itu She Thio, bernama Hun-cu, sikapnya sopan
santun, terpelajar dan berkepandaian silat cukup lumayan,
yang lebih menyenangkan bahwa diapun pandai ilmu
pengobatan. Hari itu karena mendaki Kun-lun-san hendak
mencari Soat-lin, dia kesasar masuk ke Soat-sin-kok.
Karena hidup terasing dan tidak pernah bergaul sesama
manusia, begitu bertemu dengan pemuda asing ini, Soat Ci-sin
lantas hatinya tertambat pada Thio-Hun-cu ini. Lim Keng-hong
pun sangat setuju, beberapa kali kesempatan ia langsung
menguji ilmu pengobatan yang pernah diajarkan kepadanya,
meski kalah jauh bila dibanding dirinya, tapi di dalam alas
pegunungan yang sepi ini memperoleh mantu yang cukup
setimpal ini, Ia harus bersyukur dan berdoa akan kemurahan
hati Tuhan. Oleh karena ini bukan saja dia tidak melarang hubungan
intim kedua muda-mudi ini, malah secara sengaja ia merestui
dan seperti menganjurkan hubungan yang lebih erat, sering ia
beri kesempatan mereka mengadakan pertemuan empat
mata, untuk menyuburkan dan mempercepat pertumbuhan
hubungan mesra mereka. Tibalah pada suatu hari, sambil tertawa riang, Thio Hun-cu
menggandeng tangan Ci-sin datang meenghadap kepadanya.
Lim Keng-hong tahu bahwa waktunya sudah tiba, dengan
wajah berseri ia menunggu mereka membuka kata. Dengan
muka jengah, Thio Hun-cu unjuk hormat kepadanya serta
katanya, "Pekbo! Siautit ada sebuah permintaan kepada kau
orang tua, sengaja ku kemari mohon persetujuanmu."
"Soal mengenai Ci-sin bukan?"
Thio Hun-cu merasa malu, dia tunduk kepala.
Lim Keng-hong menjadi geli, ujarnya, "Sejak lama aku
sudah tahu, memang aku sudah tahu, memang aku sudah
menunggu kau buka suara kepadaku."
"Kalau begitu Pek-bo merestui perjodohan kami ini!?"
Saking girang Lim Keng-hong tertawa besar, ujarnya,
"Jikalau aku tidak setuju, masa kuijinkan anak Sin
berhubungan begitu intim dengan kau. Semula memang aku
hendak mengajukan persoalan ini dengan kau, cuma kuharap
kalian bisa jauh lebih intim, masing-masing bisa lebih paham
dan pengertian." Tersipu-sipu Thio Hun-cu berlutut unjuk hormat besar,
serunya girang, "Terima kasih Pekbo, aku bersumpah kepada
kau, selama hidupku ini pasti kuperlakukan Gi-sin baik-baik,
betapapun aku tidak akan meninggalkan dia"."
Dengan tersenyum Lim Keng-hong memapahnya bangun,
katanya, "Kau punya tekad yang luhur dan bajik pula, aku
sudah cukup puas. Selama ini secara diam-diam segalanya
sudah kupersiapkan, besok juga kalian bisa segera
melangsungkan upacara, selanjutnya Soat sin-kok ini bakal
menjadi dunia kalian."
Thio Hun-cu rada tercengang, katanya, "Maksud Pekbo,
setelah kami menikah, kita harus menetap di sini?"
Lim Keng-hong tertegun, katanya, "Kalau tidak tinggal di
sini, lalu menetap dimana?"
Segera Thio Hun-cu berkata, "Di puncak antara utara
Thian-san, Siautit punya sedikit peninggalan, disana hawanya
sejuk, selamanya hangat dan kehidupan subur"."
Lim Keng-hong merasa di luar dugaan. Mendengar
ucapannya ini, cepat ia bertanya, "Sebelum kau mengajukan
lamaranmu, apakah kau sudah mendapat persetujuan dari
Sin-ji?" "Sudah," sahut Thio Hun-cu manggut, "berkat kemurahan
hati Gi-sin, dia rela menikah dengan aku."
"Nikah apa?" teriak Lim Keng-hong melonjak bangun.
"Siapa yang berkata demikian?"
Kata Thio Hun-cu heran, "Pekbo sudah merestui pernikahan
kami, kenapa tidak mengijinkan dia ikut kepadaku?"
Dengan muka serius Lim keng-hong berkata, "Memang!
Tapi dalam hal ini ada seluk beluknya yang perlu dijelaskan
dulu. Sin-ji, apakah kau tidak memberitahukan pesan terakhir
ayahmu kepadanya?" Dengan takut-takut Soat Gi-sin menyahut, "Sudah pernah
kujelaskan! Hun-cu, dia tidak merasa jijik meski aku punya
penyakit, malah pun percaya bahwa aku mempunyai penyakit
turunan yang jahat, dan yang terpenting bahwa dia punya
keyakinan dapat mengobati penyakitku"."
Lim Keng-hong tertawa dingin, jengeknya, "Ayahmu sendiri
seorang tabib sakti yang tiada bandingnya, sedikitpun dia tak
mampu mengatasi penyakit jahat itu, dengan kemampuannya
yang tak seberapa itu, berani dia membuka mulut besar"
Jangan kau meninggalkan tempat ini, kau tidak akan hidup
lebih lama dari tiga tahun. "
Baru sekarang Thio Hun-cu paham duduk perkara
sebenarnya, cepat ia menyela; "Pekbo ternyata kau
menguatirkan kesehatan Gi-sin. Untuk hal ini legakan saja
hatimu. Sekarang ini Siautit ada menyelami beberapa
peninggalan dari paman Soat, sedikit banyak aku memperoleh
sedikit gambaran terhadap penyakit jahat yang biasa kumat
dalam jangka waktu tertentu. Kalau Gi-sin bisa pindah ke
tempat yang lebih hangat dan dalam suasana yang riang
gembira, mungkin bisa membawa manfaat bagi dirinya"."
Lim Keng-hong tertawa dingin, "Kalau begitu ilmu
pengobatanmu jauh lebih tinggi dan lihay dari ayahnya".?"
"Soal pengobatan Siautit tidak berani mengagulkan diri.
Ilmu pengobatan paman Soat memang teramat dalam dan
luas sekali, betapapun Siautit tak mampu menandingi beliau.
Cuma mengenai penyakit turunan yang jahat itu, agaknya
paman Soat belum pernah mengadakan eksperimen lainnya
yang berguna, maka berdasarkan kemungkinan yang tertera
di atas ajaran teorinya"."
Tiba-tiba Lim Keng-hong menggebrak meja dan berseru
gusar, "Jangan kau bicarakan teori dengan aku, di dalam hal
ini aku jauh lebih jelas dan paham dari kau, selama beberapa
keturunan keluarga Soat sengaja menetap di tempat tinggi di
atas alam pegunungan memangnya kau anggap tiada
sebabnya, anggap saja teorimu itu memang masuk di akal,
bagaimana pun juga Gi-sin tidak boleh ikut kau keluar dari
tempat ini, apakah kau tahu bahwa keluarga Soat masih
punya perundang-undangan lainnya?"
Cepat Soat Gi-sin menyela, "Bu, aku pernah jelaskan
kepadanya, menurut pandangannya sedikitpun aku tidak akan
melanggar larangan kakek moyang kita."
"O, cara bagaimana kau beri penjelasan, coba kau
katakan!" Thio Hun-cu segera menjawab, "Menurut undang-undang
leluhur, keluarga Soat tidak melarang keturunannya
meninggalkan lembah ini, tapi Gi-sin justru tidak terkekang
oleh larangan ini"."
"Anggapanmu dia bukan keturunan keluarga Soat?" seru
Lim Keng-hong marah. Thio Hun-cu tertawa ewa, sahutnya, "Tentu sekarang,
benar, tapi setelah dia menikah dan ikut aku, dia bukan she
Soat lagi"." Semakin beringas wajah Lim Keng-hong, tanyanya kepada
Soat Gi-sin, "Apakah kaupun berpikir demikian?"
Dengan menekan suara Soat Gi-sin menyahut pelan-pelan,
"Peraturan leluhur tidak melarang anak putrinya dengan orang
luar, bukankah dulu sudah ada contohnya?"
"Lain dulu lain sekarang, kini keluarga Soat hanya punya
kau seorang keturunan, setelah kau menikah dengan orang
luar, apakah untuk selanjutnya keluarga she Soat harus putus
turunan" Di waktu kau menyetujui lamarannya, apakah kau
pernah pikirkan hal ini?"
Soat Gi-sin menunduk dan tidak bersuara lagi. Tak tahan
Thio Hun-cu berkata, "Kalau begitu, selamanya Gi-sin tidak
bisa menikah dengan orang! Selamanya akan hidup
menyendiri dan menyepi di dalam lembah yang dingin dan
sebatangkara"."
"Benar! Selamanya tidak boleh menikah dengan orang
luar," bentak Lim Keng-hong. "Tapi dia tidak akan
sebatangkara untuk selamanya, kalau tidak masa aku mau
merestui pernikahan kalian, apakah kalian tahu makna dari
pernikahan itu?" Thio Hun-cu berpikir sebentar lalu menjawab, "Siau-tit
paham, maksud Pekbo adalah ingin Siau-tit menjadi menantu
keluarga Soat dan menetap di sini!"
Lim Keng-hong manggut-manggut, ujarnya, "Benar! Itulah
cara satu-satunya untuk menyambung keturunan keluarga
Soat. Kalau kau benar-benar mencintai Gi-sin, maka sudah
sepatutnya berani berkorban bagi dia"."
Thio Hun-cu termenung sebentar lalu menyahut dengan
tegas, "Untuk hal ini mungkin Siau-tit tidak bisa menurut.
Siau-tit hidup sebatangkara tanpa sanak kadang, kalau aku
harus memenuhi peraturan dan menyambung keturunan
keluarga Soat, apakah aku tidak boleh menyambung
keturunan keluarga Thio kita" Bagaimana aku harus
bertanggung jawab kepada leluhurku?"
"Hun-cu!" saking gugup Gi-sin menangis sesenggukan.
"Apa kau tidak sudi berkorban demi kepentinganku?"
Thio Hun-cu tertawa getir, katanya, "Gi-sin, kenapa kaupun
bisa berpikir demikian?"
Soat-lo Thay-thay terlongong sebentar, mendadak ia
menangis sesambatan sambil menutupi mukanya. Thio Hun-cu
membanting kaki dan menghela napas panjang.
Lim Keng-hong tidak tega melihat putrinya menangis
sedemikian sedihnya, akhirnya ia berkata kepada Thio Hun-cu,
"Kenapa kau begitu kukuh! Aku bukan orang yang egois untuk
memaksa kau meninggalkan marga leluhurmu, tapi Gi-sin
punya kesukaran yang lebih berat dari kau, dia terkekang oleh
larangan leluhur. Asal kalian dapat melahirkan dua anak, satu
orang satu keluarga bukankah kedua belah pihak sama-sama
memperoleh keuntungan?"
Tapi dengan keras kepala Thio Hun-cu menggeleng,
katanya, "Tidak mungkin! Kalau Gi-sin tetap tinggal di tempat
ini, penyakitnya selamanya tidak akan bisa sembuh, keturunan
keluarga Soat kalian akan selalu tunggal, seolah-olah sudah
menjadi tradisi, dia tidak akan mungkin memperoleh anak
lebih banyak, kecuali dia meninggalkan tempat ini."
Pendekar Bayangan Setan 15 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Nurseta Satria Karang Tirta 4

Cari Blog Ini