Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Bagian 3
mereka tidak dapat bergerak maju. Namun
tampaknya mereka juga pantang mundur. Sambil
bertahan di tempat, mereka berteriak, "Bunuh!
Serang!" Bai Su-zhen dan Xiao Qing yang berada di barisan
terdepan, serempak mengacungkan pedang.
"Pasukan, jangan gentar."
Terpesona oleh semangat Bai Su-zhen, pasukan
Manusia Air menyambut dengan teriakan perang
mereka. Mereka terus mencoba maju melawan tiupan
angin. Jia Lian mengacungkan tombaknya, untuk
menghalangi jalan musuh. Pada saat itu, keempat
Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir bergabung
dengan pasukan Jia Lian. Semuanya melengkapi diri
dengan senjata sakti yang melekat di pinggang.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing tetap bertempur
dengan penuh semangat. Dengan dibantu oleh
Manusia Air, mereka tak berhenti menghentak
mengibaskan pedang. Dewa Angin, Hujan, Awan, dan
Petir pun mundur, diikuti oleh Jia Lian. Ketika
dilihatnya mereka bersiap-siap menggunakan senjata
sakti, Bai Su-zhen berteriak, "Biarkan saja. Berikan
kesempatan kepada Bangau Putih untuk menyerang!"
Bangau Putih menjawab, "Aku di sini.
Menyingkirlah!" Sesungguhnya dari semua peri yang ada, yang
paling membuat gentar Bai Su-zhen dan Xiao Qing
adalah Bangau Putih. Dengan mengenakan busana
berbulu burung, Bangau Putih sekarang memimpin
pasukan. Bai Su-zhen sadar bahwa Fa Hai telah
mempersiapkan segalanya. Tetapi semangat
pasukannya pun sangat tinggi. Namun begitu melihat
Bangau Putih, keberanian yang semula menyalanyala
seketika lenyap. Mereka tidak berani maju
tanpa perintah dari Bai Su-zhen.
Bai Su-zhen segera berteriak lantang. "Bangau
Putih, aku telah mengampunimu ketika kita terakhir
kali bertemu di gunung tempat tinggal Peri Tua di
Kutub Selatan. Ia memberikan kebebasan dan
Rumput Abadi kepadaku. Tidakkah kausadari betapa
jahatnya Fa Hai" Ia telah menculik Xu Xian dan
merusak kebahagiaan rumah tangga kami.
Seharusnya kau tidak bertempur di pihaknya.
Cepatlah menyingkir."
Bangau Putih menunjuk ke sungai dan berkata.
"Banjir ini akan menggenangi biara. Apakah itu
bukan kejahatan" Dengarkan aku! Tarik mundur
pasukanmu sebelum aku terbang ke angkasa dan
membunuhmu." Bai Su-zhen menjawab dengan marah.
"Banjir ini hanya akan menggenangi biara. Kami
telah membuat jalan khusus untuk menyelamatkan
rakyat dari banjir. Tak akan ada yang menderita!"
"Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Bersiapsiaplah!"
Bangau Putih segera terbang ke udara dan
menjelma menjadi bangau raksasa. Paruhnya
memanjang hingga satu setengah depa. Dengan
membabi buta ia menyerang Bai Su-zhen dan Xiao
Qing. Kedua wanita itu langsung menghunus pedang
dan bersiap-siap untuk menyerang kembali. Pada
saat itu tiba-tiba terdengar seorang berteriak,
"Jangan bunuh mereka, Peri Tua datang."
Mereka memandang ke atas dan melihat Peri Tua
dari Kutub Selatan berdiri di awan. Rambutnya yang
putih panjang diikat dengan dua pita kuning. Ia
mengenakan jubah kuning dan menggenggam sebuah
tongkat berbentuk kepala naga pada pegangannya.
Bangau Putih menghentikan serangannya.
"Bai Su-zhen mencari suaminya. Salahkah itu"
Seharusnya kau tidak melibatkan diri dalam
pertempuran ini," kata Peri Tua.
Bangau Putih yang saat itu telah kembali pada
ukurannya semula, berlutut di hadapan Peri Tua.
"Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir, tuntutan Bai
Su-zhen sama sekali bukan urusan kalian. Mengapa
kalian melibatkan diri?"
Karena malu, mereka pun mundur setelah
membungkuk memberikan hormat. Bai Su-zhen dan
Xiao Qing berlutut di hadapan Peri Tua. Mereka
memohon kepada Peri Tua untuk menyelamatkan Xu
Xian. Bila permohonan itu dikabulkan, mereka
berjanji untuk segera menarik mundur seluruh
pasukan. Melihat yang sedang terjadi, hati Fa Hai khawatir,
takut biaranya digenangi banjir. Ia segera berlari ke
pintu gerbang sambil membungkuk dengan takzim.
Peri Tua berkata, "Aku datang untuk menengahi
pertempuran, bukan untuk berkelahi. Bai Su-zhen,
jangan menyerang lagi. Panggil pasukanmu. Dan kau
Fa Hai, jangan khawatir, biaramu tak akan tergenang
banjir." Bai Su-zhen dan Xiao Qing pun segera naik ke
pintu masuk biara yang dijaga ketat oleh tiga lapis
pasukan. Fa Hai berdiri di balik pintu. Bai Su-zhen
berteriak. "Jia Lian, lihatlah! Anak buahku sudah mundur.
Apakah engkau masih berkeras kepala menolak
pembebasan Xu Xian" Pintu masuk akan segera kami
hancurkan." Manusia Air tertawa terkekeh-kekeh mendengar
kata-kata Bai Su-zhen. Suaranya menggema,
menggetarkan hati. Jia Lian melihat Manusia Air
mulai bergerak turun dari gunung dan membentuk
barisan lima lapis di depan pintu masuk. Sejauh
mata memandang yang terlihat hanyalah air yang
menghampar. Semua manusia air menyandang
senjata. Setiap gerakan yang mereka lakukan
mendatangkan tiupan angin dingin. Ombak sungai
yang semakin tinggi tampak mendekati Gunung
Emas. Kemudian langit menjadi gelap lagi dan petir pun
menyambar. Bunyinya benar-benar memekakkan
telinga. Dengan lantang Bai Su-zhen berteriak kepada
pasukannya. "Yang Abadi sendiri telah menyatakan
bahwa kami berada di pihak yang benar. Sekarang
pergi dan usirlah Fa Hai!"
Perintahnya disambut dengan gegap gempita.
Pasukan Manusia Air pun segera mendesak maju,
walaupun lima ratus Pasukan Surga menghadang.
Tiba-tiba Bai Su-zhen mengeluh kesakitan. Ia tak
mampu mengangkat pedang dan terpaksa mundur
beberapa langkah. Xiao Qing terkejut dan menghampiri kakaknya.
"Kakak sakit?" tanyanya dengan khawatir.
Bai Su-zhen membungkuk menahan sakit.
"Rasanya saat melahirkan telah dekat. Pasukan
kita tak akan mampu mendesak maju terus tanpa
komandan. Perintahkan mereka agar segera
mundur." Karena melihat pasukan sudah tiba di pintu
masuk dan hampir meraih kemenangan, Xiao Qing
tidak segera melaksanakan perintah kakaknya. Maka
Bai Su-zhen yang saat itu hampir tak mampu lagi
berdiri, segera mengangkat pedangnya dan berseru,
"Saudara-saudara, jangan menyerang. Mundur! Aku
tak sanggup lagi memimpin kalian."
Pasukan Surga menduga bahwa mundurnya lawan
hanya siasat Bai Su-zhen. Mereka tidak berusaha
mengejar, hanya memandang dari kejauhan pasukan
musuh yang mundur dan kembali ke dalam air.
"Mari kita pergi," erang Bai Su-zhen. "Sakitnya
semakin tak tertahankan. Aku tak ingin melahirkan
di sini." Lalu keduanya naik ke angkasa dan menunggang
awan menuju ke suatu tempat yang lebih tenang. Bai
Su-zhen bersandar pada Xiao Qing. "Di mana kita
sekarang?" tanyanya berbisik.
Xiao Qing menunjuk ke bawah dan menjawab, "Itu
jalan menuju Hangzhou. Mari kita beristirahat
sebentar." BAB 13 elama pertempuran berlangsung, Xu Xian ditahan
di tempat perlindungan dan dijaga oleh seorang
pendeta. Ia tidak mengerti mengapa hujan turun
deras sekali. Namun ia mendengar bahwa Ular Putih
dan Ular Hijau membawa sepasukan Manusia Air
untuk membanjiri biara. Ia pun mendengar bahwa
untuk mencegah banjir pendeta Fa Hai meletakkan
jubahnya di tepi sungai. Ia juga tahu bahwa
sekalipun biara tergenang air, ia akan tetap selamat.
Ia yakin akan kemampuan istrinya.
Seorang pendeta tiba-tiba masuk tergopoh-gopoh,
mengatakan bahwa Ular Putih dan Ular Hijau telah
datang menyerang biara. Xu Xian sangat senang
mendengarnya. Pendeta yang lain menambahkan, ia
tidak perlu merasa khawatir karena Pasukan Surga
pasti akan mampu mempertahankan biara. Dengan
kesaktian dan jumlah pasukan yang besar yang
tersebar di seluruh kota, mereka pasti tidak
terkalahkan. Kegembiraan hati Xu Xian pun musnah.
Fa Shan, pendeta penjaga, berkata kepadanya.
"Pertempuran sudah mencapai pintu masuk biara. Ini
benar-benar peristiwa luar biasa. Aku ingin melihat
ke luar. Dan kau?" "Kalau Tuan mau melihat ke luar, silakan," jawab
Xu Xian. "Kuharap kau tidak akan melarikan diri," sahut
pendeta khawatir. "Melarikan diri?" seru Xu Xian. "Ke mana" Kalau
S tidak bertemu Fa Hai, aku pun pasti akan mati."
Jawaban Xu Xian melegakan hati Fa Shan. Ia lalu
berkata, "Tetaplah duduk di sini. Aku akan segera
kembali." "Pergilah. Aku tidak akan melarikan diri," ulang Xu
Xian. Tetapi begitu pendeta meninggalkan ruangan,
hujan berhenti. Bintang dan bulan muncul di langit.
Xu Xian berjalan ke luar untuk melihat keadaan di
luar. Tak seorang pun terlihat di sana.
"Sekarang tiba saatnya aku melarikan diri,"
ujarnya. "Karena semua orang berada di depan, aku
akan melarikan diri dari pintu belakang. Dengan
demikian tidak seorang pun akan melihatku."
Perlahan-lahan Xu Xian mengendap-endap
menyeberangi halaman biara dan akhirnya ia berada
di pintu gerbang. Dengan gembira ia membukanya,
menyelinap ke luar, dan menutupnya kembali dengan
hati-hati. Karena tidak tahu arah dan tujuan, Xu
Xian berjalan saja mengikuti kehendak kakinya.
Jalan itu berakhir di sebuah desa. Sambil
melangkahkan kaki ia membayangkan bagaimana
akhir pertempuran itu. Bila istrinya menang, ia pasti
akan mencari Xu Xian. Tetapi bila istrinya kalah,
paling tidak ia telah berada di luar biara. Itu jauh
lebih baik, karena ia tidak ingin menjadi pendeta.
Kemudian Xu Xian tiba di sebuah bangunan
bersegi delapan. Ia mendongakkan kepalanya ke atas.
Bulan dilihatnya mulai tenggelam di barat. Xu Xian
berniat untuk sejenak beristirahat hingga datang
fajar. Baru kemudian ia akan memikirkan rencana
selanjutnya. Ia lalu membaringkan tubuhnya di
sebuah bangku batu, dan jatuh tertidur.
"Xu Xian, bangunlah!" terdengar teriakan
seseorang. Xu Xian terkejut dan terbangun. Ia tidak
dapat melihat siapa yang memanggilnya, karena
matanya masih kabur oleh kantuk.
"Dari mana Tuan tahu nama saya?" tanya Xu Xian
heran. "Bukan saja namamu yang kuketahui, aku juga
tahu mengapa engkau melarikan diri."
Xu Xian duduk dan menyeka matanya. Orang itu
tidak bertopi, tetapi berpakaian seperti pendeta
Budha. Kemudian lelaki tua itu berkata, "Gunung Emas
berada di dekatmu. Aku yakin kau tak akan dapat
memicingkan mata." Xu Xian terkejut. Orang ini benar-benar
mengetahui kesulitan yang ia alami. Dengan penuh
hormat ia membungkukkan badannya, "Kakek,
tolonglah hamba. Pendeta Fa Hai adalah manusia
yang berbahaya. Tetapi siapa sesungguhnya nama
Tuan?" Orang tua itu melihat ke sekeliling untuk
meyakinkan diri bahwa tak seorang pun berada di
dekatnya kecuali mereka berdua. "Aku adalah Peri
Tua dari Kutub Selatan."
"Oh!" seru Xu Xian dengan gembira. "Jadi Tuankah
yang telah memberikan Rumput Abadi kepada istri
saya. Dan berkat badi itulah saya hidup kembali.
Saya benar-benar bersyukur dapat berjumpa dengan
Tuan. Dengan demikian saya bisa mengucapkan
terima kasih." Sambil berbicara, Xu Xian berlutut memberi
hormat. "Mohon katakan kepada saya, apa yang
harus saya lakukan?" tanyanya sambil bangkit
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri. "Aku sengaja datang ke mari untuk menyuruhmu
pulang ke Hangzhou," kata orang tua itu.
"Hangzhou" Saya memang berasal dari sana.
Tetapi, di kota itu saya tidak mempunyai kerabat,
kecuali seorang kakak perempuan yang telah
berkeluarga." "Pada saat ini, Bai Su-zhen dan Xiao Qing berada
di Danau Barat. Temui mereka di sana," perintah Peri
Tua. Hati Xu Xian sangat gembira.
"Tetapi, bukankah saya sekarang berada di
Zhenjiang, ratusan kilometer jauhnya dari
Hangzhou," katanya. "Aku akan membawamu ke sana. Ikuti saja katakataku.
Engkau segera akan bertemu dengan
mereka," kata Peri Tua.
"Terima kasih! Apakah mereka kalah sehingga
harus melarikan diri ke Hangzhou?"
"Mereka hampir saja menang. Tetapi istrimu tibatiba
sakit dan harus segera pergi. Tenangkan hatimu.
Istrimu akan menjelaskan segala-galanya."
"Bagaimana caranya agar saya dapat segera
menemuinya?" tanya Xu Xian penuh semangat.
"Bergantunglah pada tongkatku. Kalau
kuperintahkan tutup matamu, artinya kita akan
segera terbang. Kalau kuperintahkan buka matamu,
berarti engkau sudah berada di Hangzhou."
Xu Xian pernah terbang mengendarai awan ketika
ia diculik oleh pendeta Sorban Kuning. Jadi ia
mengetahui apa yang harus ia lakukan. Dipegangnya
tongkat Peri Tua erat-erat.
"Pegang tongkatku ini. Apa pun yang terjadi,
jangan dilepaskan. Dan jangan pula bertanya, di
mana kau sedang berada," kata orang tua itu.
Kemudian Peri Tua memberi tanda bahwa mereka
akan segera terbang. Angin dingin berhembus di
telinganya. Ketika membuka matanya, Xu Xian
melihat atap rumah-rumah penduduk, di sekitarnya
terlihat langit luas penuh awan dan bintang-bintang
yang bersinar. Karena ngeri, ia segera menutup
kembali matanya. "Berhenti!" demikian teriak Peri Tua, dan Xu Xian
mendapatkan dirinya berdiri di sebuah jalan. Di
ujungnya ia melihat dua buah gunung yang mengapit
sebuah danau. Sekali matanya memandang berkeliling. Benar! Ia
telah berada di Danau Barat dengan pohon-pohonnya
yang khas. "Aku berada di jalan Su Ti!" serunya.
"Ah, rupanya engkau mengenalinya," kata orang
tua itu. "Sekarang kau telah berada di daratan.
Teruslah berjalan, dan engkau akan segera tiba di
rumah." Xu Xian menatap wajah Peri Tua yang selalu
tersenyum. Dengan ragu-ragu, Xu Xian bertanya,
"Orang yang akan saya temui di rumah adalah Bai
Su-zhen dan Xiao Qing, bukan?"
"Tentu saja." Sambil mencekal baju Peri Tua, Xu Xian berkata,
"Dan saya tak perlu khawatir, bukan?"
"Sama sekali tidak!" jawab Peri Tua. "Tetapi tentu
saja mereka akan merasa kesal, karena gara-gara
perbuatanmu semuanya jadi kacau."
Xu Xian mendesah, "Fa Hai-lah penyebabnya. Jika
nanti saya meminta maaf, istri saya pasti bersedia
melupakan semuanya. Tetapi Xiao Qing belum tentu
mau mengerti." "Jangan khawatir," ulang Peri Tua. "Berjanjilah
untuk tidak mengulangi kesalahanmu itu. Lihat,
mereka memanggilmu."
Xu Xian melihat mereka di kejauhan, namun ia
tidak mendengar apa pun. Dan ketika ia
membalikkan tubuhnya, orang tua itu tak terlihat
lagi. Dalam hati ia bersyukur dan mengucapkan
terima kasih. Namun ia masih saja merasa khawatir;
ia yakin Xiao Qing marah kepadanya.
Matahari di. atas gunung menyinari danau, bagai
kaca tembaga raksasa yang memantulkan bayangan
bangunan-bangunan di sekitarnya.
Xu Xian belum juga meyakini kebenaran kata-kata
Peri Tua bahwa Bai Su-zhen dan Xiao Qing akan
datang ke tempat itu. Namun, karena ia masih
mempunyai kenalan baik di kota itu, ia
merencanakan untuk tinggal menumpang di rumah
temannya. Ketika tiba di Jembatan Patah, Xu Xian
sejenak melamun. Di kejauhan ia melihat dua orang
wanita duduk di bawah pohon di tepi sungai. Mereka
adalah Bai Su-zhen dan Xiao Qing. Karena kelelahan
bertempur, mereka-tak bertenaga lagi untuk
meneruskan perjalanan. "Kakak," kata Xiao Qing sambil duduk di sebuah
batu besar. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja. Namun, rasa sakit belum juga
hilang," jawab Bai Su-zhen.
"Kita sudah tiba di Hangzhou. Sebaiknya kita
segera mencari tempat yang sepi."
"Karena Xu Xian masih ditahan Fa Hai, kita belum
dapat beristirahat. Sebaiknya kita tidak ke luar kota,"
kata Bai Su-zhen. Xiao Qing menggelengkan kepalanya, "Bah! Xu
Xian bukan lagi kawan kita. Lupakan saja dia."
Bai Su-zhen hanya tersenyum, "Xu Xian jujur dan
baik hati! Kejadian di Gunung Emas benar-benar
bukan kesalahannya. Waktu kita bertempur tadi,
perutku mendadak sakit. Kurasa waktu melahirkan
hampir tiba." "Kita akan beristirahat di Hangzhou," Xiao Qing
memutuskan. Tiba-tiba Bai Su-zhen mengerang, "Oh! Sakitnya
datang lagi." Xu Xian tak dapat lagi menahan
hatinya. Ia segera berlari menghampiri Bai Su-zhen,
"Istriku, kau sakit?"
Bai Su-zhen sangat gembira melihat Xu Xian.
Sejenak ia melupakan rasa sakitnya. "Xu Xian!"
teriaknya dengan sukacita.
Xu Xian kembali bertanya, "Istriku, bagaimana
keadaanmu?" Xiao Qing tetap diam dan berdiri membelakangi
mereka berdua, seakan-akan tidak pernah mengenal
Xu Xian. Bai Su-zhen berkata, "Perbuatanmu telah
mendatangkan kesulitan kepada kami. Gara-gara
ulahmu, aku terpaksa mengerahkan Manusia Air
untuk menyerang biara, dan Fa Hai telah
menghimpun bala bantuannya untuk memerangi
kami. Ketika kami hampir memasuki biara,
mendadak perutku sakit, sehingga kami terpaksa
mundur, lalu terbang ke sini. Tetapi, mengapa
engkau tidak datang ketika kami sedang bertempur?"
"Aku ditahan di ruangan belakang," kata Xu Xian.
"Perang memang berkecamuk di luar. Tetapi di
dalam, aku tidak melihat sesuatu pun. Lagi pula, aku
dijaga ketat oleh para pendeta, sehingga tidak dapat
bergerak." "Tetapi bagaimana engkau dapat melarikan diri ke
sini?" tanya Bai Su-zhen.
Xu Xian menceritakan seluruh kejadian yang
dialaminya, "Jarak Zhenjiang-Hangzhou jauh sekali.
Kalau tidak ada yang menolongku, bagaimana
mungkin aku dapat melarikan diri dan tiba di sini?"
Dengan gembira, Bai Su-zhen berkata, "Rasarasanya
aku harus berterima kasih kepada Peri Tua
sekali lagi!" Tiba-tiba Xiao Qing menghentikan kalimatnya,
"Jangan percaya kepadanya. Siapa tahu ia dikirim ke
mari oleh Fa Hai untuk menipu kita," katanya sambil
memandang Xu Xian dengan marah.
Xu Xian membungkuk dan berkata tanpa merasa
bersalah, "Xiao Qing, kau marah kepada Fa Hai,
bukan?" "Tidak, aku marah kepadamu," jawabnya.
Xu Xian tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Xiao Qing berkata lagi, "Aku benar-benar
membencimu. Kami telah menyabung nyawa garagara
ulahmu!" Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. Tampaknya
ia pun membela adiknya. Dalam hati Xu Xian
berpikir, "Kedua wanita itu sanggup mengerahkan
Manusia Air untuk menyerang biara. Jadi, kalau
mau, mereka dapat saja membunuhku sekarang."
Badan Xu Xian gemetar ketakutan.
"Ayo, mengakulah! Kalau tidak..." kata Xiao Qing
mengancam. Dengan gigi gemeletuk ketakutan, Xu Xian
berkata, "Memang benar! Akulah penyebab semua
kekacauan ini. Apa lagi yang dapat kukatakan?"
"Apa yang diperintahkan Fa Hai kepadamu?" tanya
Xiao Qing. "Ia hanya menginginkan agar aku bersedia menjadi
pendeta." "Huh! Pasti ia mengirimmu kemari untuk
mengkhianati kami, bukan?" tuduh Xiao Qing sambil
mendekati Xu Xian. Melihat betapa marahnya Xiao Qing, Xu Xian
menoleh kepada istrinya. "Istriku, aku tidak
berdusta." "Dulu, kami memang mempercayaimu. Tetapi
sekarang tidak lagi," lanjut Xiao Qing dengan geram.
"Katamu, kau tidak berdusta, tetapi mengapa kau tak
berteriak ketika mereka menculikmu" Cepatlah
mengaku! Ayo!" Xiao Qing mengangkat tangannya. Xu Xian hanya
dapat bersembunyi di balik istrinya.
Bai Su-zhen yang saat itu sedang menahan sakit
berbisik kepada Xiao Qing. "Aku tahu engkau sangat
marah. Tetapi, berilah kesempatan kepadanya untuk
berbicara!" Adiknya menjawab, "Baik. Bicaralah cepat!"
"Ketika kita sedang berada di Gunung Hu Qiu, dua
pendeta bersorban kuning mengatakan bahwa kalian
berdua diundang Fa Hai dan sudah berada di
tempatnya. Itu sebabnya ketika mereka membawaku,
aku tidak berteriak. Baru kemudian aku sadar bahwa
mereka telah menipuku. Namun segalanya sudah
terlambat." Xiao Qing menukas, "Itu tidak..." Namun Xu Xian
segera berlutut dan memotong kalimatnya.
"Aku bersumpah kepada dewa-dewa. Kalau aku
berdusta, biarlah aku mati tertusuk pedang sekarang
juga." Bai Su-zhen menariknya, "Xu Xian, bangkitlah!"
Kata Xu Xian, "Xiao Qing. Mungkin sebaiknya aku
pergi saja." "Kalau saja Bai Su-zhen tidak sakit," sahut Xiao
Qing, "Aku tidak akan pernah memaafkan dirimu.
Tetapi, karena ia menderita dan karena kau mengenal
kota ini dengan baik, cepat katakan ke mana kita
bisa mencari tempat untuk beristirahat?"
"Ke rumah kakakku," tegas Xu Xian. "Kakak
iparku, Li Ren pasti mau membantu kita. Tetapi ini
hanya sekadar usul. Apakah kau menyetujuinya,
Istriku" Dan kau Xiao Qing?"
Xiao Qing tak dapat menahan senyumnya melihat
sikap Xu Xian. "Aku setuju. Aku dapat tidur di mana saja. Bai Suzhen
akan segera melahirkan. Saranmu cukup baik.
Kami juga membawa uang, sehingga tidak akan
menyulitkan kakakkmu."
Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. "Kalau
kakakmu dan suaminya mau menerima kita,
alangkah baiknya," kata Bai Su-zhen.
Rasa sakit kembali datang. Bai Su-zhen
menyandarkan tubuhnya kepada Xiao Qing.
Kemudian, mereka berjalan perlahan-lahan menuju
rumah Fu Yun, kakak Xu Xian.
"Istriku, tentunya sulit bagimu untuk berjalan
jauh," kata Xu Xian. "Duduk sajalah di sini bersama
Xiao Qing. Aku akan memanggil dua tandu untuk
membawa kalian ke rumah kakakku."
"Usulmu hebat," kata Xiao Qing. "Tetapi, kurasa
cukup satu tandu saja. Jangan pikirkan diriku."
"Aku pergi sebentar," kata Xu Xian sambil berlari
menyeberangi Jembatan Patah. Di sana ia
menemukan tempat pemberhentian tandu, dan
berhasil memperoleh tiga buah tandu.
Ketika mereka akan masuk ke dalam tandu, Bai
Su-zhen berkata, "Xu Xian, ada satu hal yang harus
kauingat. Bila kita sudah tiba di rumah kakakmu,
jangan ceritakan apa pun tentang kejadian di Biara
Gunung Emas. Katakan saja kita datang kemari
karena aku akan melahirkan."
"Baiklah," Xu Xian berjanji.
BAB 14 u yun sangat gembira melihat kedatangan Xu
Xian, Bai Su-zhen, dan Xiao Qing. Ia berlari
menyambut mereka dengan gembira. "Oh, kejutan
yang menyenangkan! Kami mendengar kalian
berhasil. Tidak pernah kuduga akan bertemu kalian
secepat ini."
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebentar lagi aku akan melahirkan," kata Bai Suzhen.
"Karena hanya kalianlah keluarga kami di sini,
maka aku sengaja datang kemari untuk meminta
bantuan." Bai Su-zhen sambil berjalan ke dalam
rumah. Fu Yun berkata, "Tampaknya saat kelahiran sudah
dekat." "Benarkah?" kata Xu Xian khawatir. "Apakah
kalian punya kamar kosong?"
"Tentu saja! Uang pemberian kalian, kami jadikan
modal untuk berdagang. Dari keuntungan yang kami
dapat kami mendirikan bangunan tambahan di
belakang rumah ini, dan baru selesai dua hari yang
lalu. Tempatilah rumah itu. Perabotannya memang
belum ada, tetapi kalian dapat mengaturnya
kemudian. Dalam satu-dua hari, kalian akan seperti
di rumah sendiri." Bai Su-zhen duduk dengan hati-hati dan
mengucapkan terima kasihnya kepada Fu Yun.
Dengan susah payah ia berkata, "Kakak ipar,
maafkan kami bila tidak dapat membalas segala
kebaikanmu." F "Jangan pikirkan hal itu!" seru Fu Yun. "Kau akan
segera melahirkan. Akan kupanggilkan dua wanita
untuk membantu persalinanmu."
"Tak perlu buru-buru," jawab Bai Su-zhen.
"Saatnya belum tiba. Izinkan kami melihat rumah
itu." "Ya. kau harus mempersiapkan diri, sebelum tiba
saat melahirkan," kata Fu Yun.
Fu Yun memanggil nyonya Jiang yang kemudian ia
perkenalkan kepada Bai Su-zhen. Ia juga
memberikan kunci rumah kepada Bai Su-zhen, dan
menyuruh ketiganya masuk. Bai Su-zhen tampak
lega, Xu Xian dan Xiao Qing disuruhnya melihat-lihat
ke dalam. Dinding rumah itu terbuat dari batu kapur. Kayukayu
dan atapnya dicat rapi. Seluruh bangunan
terbagi atas lima ruangan yang sama besar.
"Bagus sekali," kata Xu Xian. "Tetapi tempat tidur
dan perabotan lainnya belum tersedia. Karena Bai
Su-zhen akan segera melahirkan, sebaiknya untuk
sementara kita tinggal saja dulu di rumah Fu Yun."
Xiao Qing bertanya kepada nyonya Jiang, "Apakah
rumah ini mempunyai pintu belakang?"
"Oh ada, di belakang ruangan ini," jawab nyonya
Jiang. "Bagus," kata Xiao Qing. "Ketika datang ke sini,
kulihat ada beberapa toko yang menjual barangbarang
keperluan rumah tangga. Aku akan pergi
membeli barang-barang yang diperlukan Bai Su-zhen.
Aku akan kembali sekitar satu jam lagi."
Xu Xian tahu benar siapa Xiao Qing. Itu sebabnya
ia mengangguk saja tanda setuju. "Pergilah. Karena
istriku akan segera melahirkan, tampaknya tidak ada
pilihan lain yang lebih baik. Tetapi tentunya kau
membutuhkan uang cukup banyak untuk membeli
perabotan." "Jangan khawatir. Tolong kunci pintu gerbang"
Nyonya Jiang dan Xu Xian pergi mengunci pintu
dan menunggu di luar. Dengan menggunakan
kekuatan sihirnya, Xiao Qing kemudian menciptakan
perabotan-perabotan rumah tangga. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan, ruangan itu dikuncinya
dari dalam. Setelah satu jam, Xiao Qing membuka
pintu dan memanggil. "Semuanya beres. Masuk dan
lihatlah." Ketika pintu dibuka, Nyonya Jiang terkejut.
Halaman rumah telah dipenuhi pot-pot bunga yang
indah, dan guci-guci emas yang sangat besar dan
berat yang berisi batu-batu karang kecil. Di kamar
tidur ia melihat sebuah dipan kayu berukir, ditutup
dengan kain bersulam. Di dekat tempat mencuci
tangan, terdapat mangkok-mangkok porselin. Nyonya
Jiang ternganga, tak dapat berkata-kata.
"Masuklah Nyonya Jiang," kata Xiao Qing.
Nyonya Jiang melihat berkeliling. "Xiao Qing,
apakah engkau seorang peri" Seisi rumah penuh
dengan barang-barang besar dan berat yang
memerlukan waktu berjam-jam untuk
mengangkatnya kemari. Bagaimana kau dapat
membereskannya seorang diri?"
Xu Xian tidak terkejut lagi melihat keajaibankeajaiban
seperti itu. "Xiao Qing memang wanita yang
sangat pandai. Ia juga mempunyai banyak uang
untuk membeli semua barang ini," jelasnya.
Fu Yun dan Bai Su-zhen datang. Fu Yun terkejut
melihat keadaan di dalam rumah. Bai Su-zhen hanya
berdiri sambil mendesis menahan sakit.
"Adik," kata Fu Yun kepada Bai Su-zhen.
"Beristirahatlah dulu. Semua sudah diatur rapi. Kau
dapat melahirkan dengan tenang."
Xu Xian menyambung, "Ya, lebih baik kau
beristirahat. Bila memerlukan sesuatu, biar
kuambilkan." "Yang kuperlukan sekarang adalah
mempersiapkan kelahiran bayiku," kata Bai Su-zhen.
"Aku sudah membeli barang-barang yang
diperlukan," kata Xiao Qing. "Tetapi masih ada
beberapa benda yang tidak kudapatkan di toko.
Tentunya kakak bersedia meminjamkannya kepada
kami." "Jangan khawatir," jawab Fu Yun. "Apa pun yang
kauperlukan, akan kusediakan. Tetapi tentunya
banyak yang sudah agak usang!" kata Fu Yun dengan
mata berbinar-binar. "Kami benar-benar merasa beruntung kakak
berada di sini bersama kami," kata Bai Su-zhen
hangat. Setelah Fu Yun pergi dengan Nyonya Jiang untuk
mencari pakaian-pakaian bayi, Bai Su-zhen
menyuruh Xu Xian pergi membeli baskom dan
handuk. Ketika ia tinggal berdua saja bersama Xiao
Qing, Bai Su-zhen berkata kepada Xiao Qing, "Kau
telah mengisi rumah ini dengan baik. Tetapi karena
terlalu cepat, kurasa mereka agak curiga."
"Biar saja. Asalkan mereka tidak menyangka
bahwa aku adalah seorang peri," jawab Xiao Qing.
"Ya, tetapi lain kali kita harus lebih hati-hati," kata
Bai Su-zhen. "Pendeta Fa Hai benar-benar jahat. Ia
telah merusak ketenangan hidup dan menyebabkan
kita terpaksa bersembunyi. Menurut pendapatmu,
apa lagi yang kita perlukan untuk seorang bayi"
Cepat kausiapkan sementara orang-orang lain belum
kembali ke sini." "Ayunan, baju bayi, baju hangat, dua bantal kecil,
semuanya telah tersedia. Hei, mengapa pula kau ini?"
Bai Su-zhen mencekal pinggiran tempat tidurnya
sambil menggigit kedua bibirnya.
"Oh, sakit rasanya!" katanya terengah-engah. "Xiao
Qing, cepat lakukan sesuatu."
"Aku akan memanggil Fu Yun," jawab Xiao Qing.
"Jangan pergi sekarang. Siapkan terlebih dahulu
barang-barang yang kuperlukan. Waktumu sempit!"
Sekali lagi Xiao Qing menggunakan kekuatan
sihirnya. Beberapa saat kemudian, Fu Yun datang
membawa setumpuk pakaian bayi. Dilihatnya Bai Suzhen
hanya sendirian di kamarnya. Fu Yun bertanya,
"Bagaimana sakitnya?"
"Kalau serangan datang, sakitnya tak tertahankan.
Tetapi sekarang tidak lagi," sahut Bai Su-zhen.
Sambil meletakkan baju-baju yang dibawanya, Fu
Yun bertanya, "Sudah ada tanda-tanda kelahiran?"
"Ya! Darah! Tetapi hanya sedikit."
"Ya ampun! Itu tandanya bayi akan segera keluar.
Ia dapat lahir sewaktu-waktu. Mana Xiao Qing?"
"Aku di sini, sedang mempersiapkan barangbarang
untuk bayi," teriak Xiao Qing dari ruangan
lain. "Cepat kemari. Aku akan menjemput Nyonya
Jiang. Ia sudah berpengalaman membantu
kelahiran." Tak lama setelah ia pergi, Xu Xian datang
membawa baskom dan barang-barang lain. Melihat
Bai Su-zhen sendirian di kamarnya, ia bertanya
dengan khawatir, "Bagaimana" Aku benar-benar
malu. Xiao Qing sibuk mempersiapkan segalagalanya.
Semua diperolehnya dengan mudah.
Sedangkan aku, hanya ini yang dapat kuperoleh."
"Ia dapat lahir sewaktu-waktu," jawab istrinya.
"Aku senang engkau berhasil membeli barang-barang
yang kuminta. Sekarang, keluarlah! Biar para wanita
yang mengurusnya." Fu Yun dan Nyonya Jiang berlari menghampiri Bai
Su-zhen. Nyonya Jiang bertanya kepada Bai Su-zhen
tentang beberapa hal. Melihat Xu Xian masih saja
berada di ruangan, ia berkata, "Suamiku, keluarlah.
Bila telah selesai, kau akan kami panggil."
Xu Xian melihat wajah istrinya yang menahan
sakit. Ketika dilihatnya Nyonya Jiang mulai
menanggalkan baju Bai Su-zhen, perasaannya
semakin tak menentu. "Adik, cepatlah keluar!" perintah Fu Yun.
"Tenagamu tidak diperlukan di sini."
Dengan berat hati, Xu Xian beranjak ke luar. Dan
pintu pun segera dikunci dari dalam. Xu Xian
berjalan mengitari ruangan, sambil menunggu
dengan was-was. Dari luar ia mendengar suara-suara, "Semoga
Budha membantumu. Dorong! Ayo! Dorong sekali
lagi." Dari apa yang terdengar, Xu Xian dapat
membayangkan betapa susahnya melahirkan! Ingin
rasanya ia membantu, namun Bai Su-zhen
melarangnya masuk. Karena itu ia hanya berjalan
mondar-mandir di luar kamar, sambil memasang
telinga mendengarkan dengan hati pedih jerit
kesakitan istrinya. Ia lalu berdoa dalam hati, "Wahai
para nenek moyang. Bantulah istriku. Aku akan
memujamu sepenuh hatiku."
Tiba-tiba didengarnya Fu Yun berseru dengan
gembira. "Bagus, kepalanya sudah tampak. Dorong sekali
lagi. Bagus, bagus! Bayinya besar sekali. Aku akan
segera membersihkannya... Selamat, Dik!"
Jantung Xu Xian serasa berhenti berdenyut. Ia
berjalan ke pintu dan menguping. Didengarnya suara
tangisan bayi. "Aku akan menggendongnya," terdengar suara Fu
Yun. "Nah, sekarang peganglah ia dengan hati-hati."
Xu Xian mendengar suara Bai Su-zhen dan suarasuara
lain di dalam ruangan, "Selamat! Selamat!"
Semuanya penuh sukacita. Xu Xian berterima kasih kepada Yang Di Atas,
kepada para dewa di langit, di bumi, dan kepada para
nenek moyang! Xiao Qing keluar dari kamar untuk mengucapkan
selamat kepada Xu Xian, "Selamat! Engkau mendapat
bayi laki-laki yang sehat."
Xu Xian tidak menyangka Xiao Qing akan bersikap
ramah kepadanya. Semenjak kejadian di Gunung
Emas, baru saat itulah Xiao Qing berbaik hati
kepadanya. Ia pun menjawab, "Ya, Adik, kau telah
mempersiapkan segalanya dengan baik."
"Jangan tergesa-gesa masuk. Kami sedang beresberes,"
kata Xiao Qing, sambil melangkah masuk ke
dalam kamar. Kebahagiaan Xu Xian tak dapat dilukiskan. Ingin
rasanya ia melompat-lompat untuk melampiaskan
kebahagiaan hatinya. Ia merasa seakan harus menunggu berabad-abad
sebelum akhirnya Fu Yun mempersilakannya masuk
untuk melihat bayinya. Dilihatnya Bai Su-zhen
duduk di atas tempat tidurnya. Sebuah selimut
bersulam berwarna merah menutup kedua kakinya.
Namun, tempat tidur kecil di sampingnya tetap
kosong. "Kau mencari anakmu?" tanya Bai Su-zhen
lembut, "Ia berada di sini," katanya sambil
mengangkat bayi yang terbaring di sampingnya dan
menyerahkannya kepada Xu Xian. Xu Xian
memandang bayinya yang dibungkus kain tebal
berwarna merah. Wajahnya bulat dan rambutnya
hitam lebat. "Ia mirip ayahnya," kata Fu Yun.
"Tetapi, matanya seperti mata ibunya," kata Xu
Xian. "Engkau harus memberinya nama," kata Bai Suzhen.
"Anakku! Kau kuberi nama Shi Lin6. Dan kau
harus mempunyai banyak adik, lelaki dan
perempuan." Fu Yun bertepuk tangan. "Nama yang bagus,"
katanya menyetujui. "Bagaimana menurut
pendapatmu, Adik?" "Nama yang sangat indah," jawab Bai Su-zhen
dengan halus. Kemudian terdengar Nyonya Jiang
berkata, "Kau sudah cukup lama menggendong
anakmu. Sekarang biarkan ia tidur." Lalu ia
mengambil bayi itu dari gendongan Xu Xian dan
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibaringkannya di tempat tidur bayi.
Dari luar terdengar teriakan, "Hai! Saudara Xu
telah kembali. Ia pasti kaya raya! Lihatlah bungabunga
di tamannya!" "Kakak iparmu pulang," kata Fu Yun, "Adik, cepat
temui ia. Nanti ia mencari-cari kita."
6 Kata 'Lin' berarti hutan. Hutan terdiri dari banyak pohon. Jadi nama Shi
Lin dimaksudkan agar ia kelak mempunyai banyak adik, laki-laki dan
perempuan. Xu Xian berlari ke luar menemui Li Ren. Melihat
Xu Xian, Li Ren terkejut dan segera tertawa gembira.
"Sudah lama kita tak bertemu, Li Ren," kata Xu
Xian sambil membungkuk memberi hormat.
"Lebih dari setahun," kata Li Ren. "Tetapi, lihatlah
rumah ini! Kau telah mengubahnya dalam waktu
singkat." Dengan terheran-heran Li Ren memandang
meja, kursi dan perabotan lainnya serta barangbarang
porselin di ruang tengah. Bahkan pada
dinding-dindingnya pun tergantung lukisan-lukisan.
Jambangan-jambangan bunga yang indah terletak di
atas meja. "Kami datang dari jauh," kata Xu Xian. "Semuanya
masih berantakan." "Apa maksudmu" Berantakan?" kata Li Ren
tertawa. "Oh ya! Di mana istrimu?"
"Masih ada berita baik untukmu," kata Xu Xian
dengan bangga. "Istriku baru saja melahirkan.
Bayinya laki-laki. Namanya Shi Lin."
Li Ren menjabat tangan Xu Xian. Dengan gembira
ia berteriak, "Selamat! Ini benar-benar berita baik!
Kita harus merayakannya."
Sebelum Xu Xian menjawab, Bai Su-zhen berteriak
dari dalam, "Kakak ipar! Aku tak dapat
menyambutmu ke luar. Tetapi, aku setuju bila
kelahirannya kita rayakan."
Sambil menepuk dadanya, Li Ren berkata dengan
ceria kepada Xu Xian, "Kaudengar itu, Dik" Kita
harus merayakannya!"
BAB 15 emua tetangga berebut membantu persiapan
pesta. Padahal saat itu Xu Xian sedang
kebingungan karena hanya membawa beberapa
keping uang logam di sakunya. Namun ia enggan
meminta uang kepada istrinya. Sebagai pengusaha
yang berhasil di Suzhou, orang tidak akan
menyangka bahwa sesungguhnya ia tak mempunyai
banyak uang. Hal itu akan memaksanya untuk
bercerita tentang kejadian di Gunung Emas. Padahal
ia telah berjanji kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing
untuk tidak bercerita kepada siapa pun. Semalam
sebelum pesta dimulai, ketika Bai Su-zhen sedang
menidurkan bayinya, Xu Xian bertanya kepada
istrinya. "Bagaimana keadaanmu, Istriku?" tanya Xu Xian
lembut. "Cukup sehat, sekalipun masih terlalu lemah
untuk berdiri. Tetapi jangan terlalu mencemaskan
diriku." "Jeritanmu saat melahirkan benar-benar
membuatku takut. Namun sekarang kau tampak
jauh lebih sehat," kata Xu Xian dengan wajah
bahagia. Bai Su-zhen tersenyum. "Anak ini benar-benar
mirip ayahnya. Apakah kau ingin menggendongnya?"
tanyanya. Ketika Bai Su-zhen akan meraih bayinya, Xu Xian
melarang. "Ia sedang tidur. Jangan diganggu. Aku
S ingin bertanya sesuatu kepadamu. Tidak ada orang
lain di sini, "kan?" tanya Xu Xian kepada istrinya.
Bai Su-zhen duduk. "Tentang kejadian di biara
itu?" tanyanya. "Bukan. Aku sudah mengetahuinya," jawab Xu
Xian. "Yang hendak kutanyakan ialah tentang toko
kita di Suzhou. Apakah toko itu masih ada?"
"Duduklah, akan kujelaskan," jawab istrinya. "Kita
sekarang tidak dapat kembali ke Suzhou. Kalau kita
tetap membuka toko itu, berarti kita hanya mencari
keuntungan. Bukan itu tujuan kita. Itu sebabnya, Ma
Zi-hou dan Li Ben-liang telah kusuruh menutup toko.
Tentu saja hal ini membutuhkan waktu."
"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Xu Xian dengan khawatir.
"Apa yang membuatmu khawatir" Masih ada uang
di dalam lemari. Dengarkan aku. Walaupun mulanya
uang kita berasal dari kekuatan sihirku, uang yang
kita punyai sekarang benar-benar hasil keringat kita."
"Menurut pendapatmu, kita dapat mengundang
semua tetangga?" tanya Xu Xian.
"Tentu saja. Walaupun mereka tidak minta
diundang, aku bermaksud mengundang mereka
semua. Suamiku, keluarga Xu kini sudah mempunyai
keturunan. Aku sangat bahagia. Beberapa orang
masih berkata bahwa aku adalah makhluk halus.
Mereka mengatakan bahwa bayi ini bukanlah
milikku." Xu Xian menjawab dengan bersemangat, "Ya!
Benar-benar tidak masuk akal. Sekarang, aku akan
menghitung jumlah tamu yang akan kita undang."
"Tenanglah! Kau dapat mengundang siapa saja.
Aku akan bisa mengatasinya. Tetapi jangan
kaukatakan kepada kakakmu asal-usul uang itu."
"Tentu saja tidak!"
Bai Su-zhen memasukkan tangannya ke bawah
bantal, lalu mengambil sebuah kunci besar dan
memberikannya kepada Xu Xian. "Ini adalah kunci
peti kita. Semua isi peti itu berasal dari Suzhou.
Bagaimana barang-barang itu sampai kemari..." Bai
Su-zhen tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh
kepada Xu Xian. "Aku tahu. Makhluk halus telah mengangkutnya
kemari," kata Xu Xian menyambung kata-kata
istrinya. "Jangan pernah mengatakan sesuatu tentang
kunci ini, kepada siapa pun dan dengan alasan apa
pun juga," kata Bai Su-zhen. "Kunci ketiga adalah
kunci untuk peti kedua. Bukalah peti itu."
Xu Xian pergi ke ruang belakang dan membuka
peti. Ia menemukan semua uangnya di bawah lapisan
kain. "Banyak sekali!" serunya.
"Jangan bicara terlalu keras," kata Bai Su-zhen.
Xu Xian mengunci peti, dan kembali ke kamar Bai
Su-zhen. "Menurut pendapatmu uang itu cukup untuk
membiayai pesta kita?" tanya Bai Su-zhen.
"Lebih dari cukup," jawab Xu Xian dengan wajah
tak percaya. "Aku tahu. Aku ingin kau melihat sendiri uang itu.
Sekarang tak ada lagi yang perlu engkau
khawatirkan!. Aturlah segalanya."
Xu Xian memberikan kembali kunci itu kepada
istrinya, "Engkau harus menjaga uang itu. Aku takut
kuncinya hilang." Dengan penuh pengertian Bai Su-zhen berkata,
"Aku juga akan membantumu mencari nafkah."
Mendengar perkataan istrinya, hati Xu Xian sangat
bahagia. Perlahan-lahan ia datang mendekat, lalu
duduk di ujung tempat tidur. "Engkau telah
melakukan terlalu banyak untukku. Terima kasih,"
katanya tulus. Matanya menyiratkan cinta kasih.
"Engkau telah memberikan kekayaan kepadaku
selama ini, dan aku sangat berbahagia bila kau akan
tetap bersedia membimbingku. Di mana kita akan
bekerja nantinya?" "Untuk menuju biara Gunung Emas, siapa pun
akan melewati daerah sekitar Sungai Changjiang,"
jawab Bai Su-zhen. "Dan kalau kita mampu
melewatinya, demikian pula Fa Hai. Kalau kita ingin
hidup tenang, sebaiknya kita tidak tinggal terlalu
lama di Hangzhou." "Jadi, di mana kita akan tinggal?"
"Di mana saja," kata Bai Su-zhen dengan penuh
keyakinan. "Namun, untuk saat ini yang harus kita
pikirkan adalah anak kita."
Kata-kata Bai Su-zhen melegakan Xu Xian. Tinggal
masalah pesta yang harus ia pikirkan.
Dua hari kemudian, tubuh Bai Su-zhen mulai
pulih. Ia bangkit dari tempat tidur lalu duduk di tepi
jendela. Kemudian ia menyusui Shi Lin. Xu Xian
memandang sambil tertawa.
Bai Su-zhen mengerlingkan matanya, "Tidakkah
lebih baik bila kau cari tempat yang sejuk dan
menyegarkan, daripada memandangiku saja tanpa
henti. Panasnya sungguh tak tertahankan!"
"Aku sedang berpikir untuk menyewa seorang ibu
susuan bagi anak kita untuk menggantikanmu. Pada
cuaca sepanas ini, engkau perlu juga beristirahat."
Bai Su-zhen menggeleng. "Bukankah semua ibu
susuan juga mempunyai anak" Dan aku pun dapat
melakukannya sendiri." Dengan hati terharu Xu Xian
berkata, "Kau benar-benar istri yang berbakti. Karena
biasanya orang kaya akan menyewa ibu susuan bagi
putranya, apalagi dalam cuaca sepanas ini."
"Mungkin," kata Bai Su-zhen sungguh-sungguh.
"Lebih baik mulai merencanakan pesta. Bagaimana
persiapannya?" "Aku telah membuat daftar undangan. Jumlahnya
kira-kira dua puluh orang. Makanan pun sudah
dipesan. Tetapi, masih ada satu hal lagi yang
mengganggu pikiranku," kata Xu Xian.
"Uang kita cukup banyak. Apa lagi yang engkau
khawatirkan?" "Ruangan manakah yang dapat kita gunakan
untuk meletakkan meja makan?"
"Aku tahu," jawab Bai Su-zhen dengan tenang.
"Tanyakan kepada pemilik rumah makan di depan
rumah ini, apakah kita boleh menyewa rumah
makannya untuk berpesta. Aku yakin ia pasti
bersedia meminjamkannya kepada kita."
Xu Xian bertepuk tangan, "Ya! Ya! Kau benar!"
teriaknya bersemangat. "Kami telah lama bertetangga.
Aku yakin bila kita undang, pasti ia datang."
"Bicarakan baik-baik masalah ini bersamanya,"
kata Bai Su-zhen. "Bila ia setuju, kau dapat menulis
undangannya. Dan buatlah undangan yang menarik
agar semua tamu ingin datang. Sebutkan pula bahwa
para tamu diharapkan untuk tidak membawa
bingkisan. Kalau mereka berkeras membawanya,
bingkisan itu akan kita kirimkan kembali."
"Baiklah," kata Xu Xian agak ragu-ragu. "Tetapi,
apakah hal itu tidak akan terlalu merepotkan?"
Bai Su-zhen tertawa mendengar kata-kata Xu
Xian. "Tentu saja itu semua hanya basa-basi. Harga
barang-barang sangat mahal akhir-akhir ini. Mereka
pasti akan merasa senang bila tidak harus membawa
bingkisan. Tetapi kalau kakak iparmu ingin
memberikan sesuatu, kita akan menerimanya dengan
tangan terbuka. Betul, "kan?"
Ketika Shi Lin berumur satu bulan, matahari
bersinar cerah. Bai Su-zhen mendandaninya dengan
baju tunik merah dan celana panjang hijau. Pipinya
pun kemerah-merahan. Di ruang utama terdapat sebuah meja altar dan
teko-teko baru. Lilin-lilin besar dinyalakan dalam
tempat lilin yang terbuat dari kuningan. Wangi kayu
cendana tercium di seluruh ruangan, seakan
mengucapkan selamat datang kepada para tamu.
Bai Su-zhen menggendong bayinya dan menerima
ucapan dari para tamu. Di hadapan para tamu, ia
berkata, "Paman dan bibi anak ini telah berbaik hati
meminjamkan rumahnya kepada saya, sehingga saya
dapat melahirkan dengan selamat di sini. Kebaikan
dan kemurahan hati mereka tak akan dapat saya
lupakan. Kini di hadapan hadirin sekalian, saya akan
memberi penghormatan kepada mereka sebagai
ucapan terima kasih kami."
Bai Su-zhen membungkuk memberi hormat. Mulamula
kepada Xu Xian, Fu Yun, dan kemudian kepada
Li Ren. Setelah Bai Su-zhen selesai memberikan
penghormatan, Xiao Qing maju ke depan. Ia juga
ingin mengucapkan terima kasih. Ditariknya Nyonya
Jiang ke dekatnya, lalu katanya, "Nyonya Jiang juga
pantas mendapat penghormatan. Ia telah membantu
kakak saya melahirkan dan mengurus segalanya."
Bai Su-zhen membungkuk di depan Nyonya Jiang
untuk memberikan penghormatan. Nyonya Jiang
menarik seikat uang dari sakunya, dan berkata, "Aku
telah menabung. Kuberikan uang ini kepada Shi Lin.
Kalau ia menyimpannya, mudah-mudahan ia hidup
lebih dari seratus tahun."
Bai Su-zhen menerimanya dengan penuh sukacita.
Ia mengangguk sekali lagi tanda terima kasih. Xiao
Qing berseru, "Semoga bayi ini mewarisi sifat jujur
ayahnya. Tetapi mudah-mudahan ia tidak pemalu
dan pencemas seperti ayahnya."
Semua tamu di ruangan itu tertawa keras dan
acara dilanjutkan. Bai Su-zhen membawa bayinya
berkeliling. Dihampirinya para tamu satu demi satu,
sehingga mereka dapat melihatnya dari dekat dan
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengucapkan selamat kepadanya. Para tamu
berseru, "Ia benar-benar mirip ayahnya. Setelah
menikah Xu Xian berhasil. Kalau anak ini mau
bekerja keras, ia akan mendapat kedudukan yang
terhormat." Walaupun banyak tamu yang sekadar berbasabasi,
Bai Su-zhen dapat merasakan adanya ketulusan
dan kejujuran. Bai Su-zhen tersenyum kepada tamutamunya
dan berkata, "Terima kasih akan doa restu
kalian pada kesempatan ini. Saya juga berdoa agar
kesehatan dan keberhasilan selalu menyertai kalian
semua." Kemudian Xu Xian dan Li Ren mengajak para
tamu pergi ke rumah makan di depan rumah. Setelah
semuanya berkumpul, Li Ren mengumumkan
kedatangan Bai Su-zhen dan bayinya yang digendong
oleh Xiao Qing. Bai Su-zhen kemudian berpidato
untuk mengucapkan terima kasih kepada para tamu.
Ia lalu menghampiri para tamu untuk bercakapcakap,
didampingi Xiao Qing yang menggendong Shi
Lin. Hadirin yang baru melihat Bai Su-zhen untuk
pertama kali, sangat mengagumi kecantikan dan
keanggunannya. Semua berkata bahwa Xu Xian
sangat beruntung mempunyai istri secantik Bai Suzhen.
Bai Su-zhen mempersilakan tamu-tamunya duduk.
Sambil tersenyum sekilas, ia berkata, "Mudahmudahan
Anda menyukai makanan yang
dihidangkan. Kami juga menghidangkan anggur.
Silakan minum sepuasnya."
Para tamu menyambut gembira. "Mari kira minum
anggur." Bai Su-zhen tertawa dan berkata, "Bila hadirin
tidak berkeberatan, saya ingin mengumumkan
sesuatu. Sejak kami menikah, saya mendengar
bahwa banyak orang merasa curiga dari mana kami
mendapat uang. Usaha kami di Suzhou sangat
berhasil. Namun masih saja ada orang yang merasa
curiga: Mana mungkin kami mendapat banyak uang
dari toko sekecil itu dan menduga bahwa kekayaan
kami berasal dari sumber lain. Bahkan yang terakhir,
saya mendengar ada yang mengatakan bahwa saya
adalah makhluk halus. Dalam kesempatan ini,
izinkan saya memberikan penjelasan. Pertama, ketika
kami baru menikah, uang yang saya gunakan sebagai
modal adalah uang peninggalan almarhum ayah saya.
Kedua, uang dan segala harta benda yang kami
peroleh di Suzhou adalah hasil dari kerja Xu Xian
dan tabungan kami. Karena saya mempunyai sedikit
pengetahuan tentang obat-obatan, saya pun bekerja
sebagai tabib untuk membantu Xu Xian. Terakhir,
mengenai ilmu silat. Sejak kecil almarhum ayah telah
mengajari kami ilmu silat. Semua ini tidak ada
hubungannya dengan makhluk halus. Namun, saya
tak dapat memaksa Anda sekalian untuk
mempercayai semua yang saya katakan. Lagi pula,
tidak ada makhluk halus yang dapat memberikan
keturunan bagi suaminya. Saya hanya berharap,
mudah-mudahan segala keraguan terhadap diri saya
dan Xiao Qing, adik saya, tidak ada lagi mulai hari
ini." Rupanya di antara para tamu, memang pernah ada
yang mendengar desas-desus tersebut. Setelah para
tamu diberi keterangan oleh Bai Su-zhen, mereka
semua percaya kepadanya. Mereka menganggap
kelahiran Shi Lin sebagai bukti bahwa Bai Su-zhen
tidak berdusta. Bai Su-zhen kemudian menyerahkan Shi Lin
kepada Xiao Qing. Ia mengisi gelasnya dengan anggur
dan mengajak para tamu untuk minum bersama.
Pesta berlanjut hingga larut malam.
BAB 16 eberapa hari setelah pesta, Li Ren melihat Xu
Xian menggendong anaknya.
"Xu Xian, hari masih pagi. Kalau tak ada pekerjaan
di rumah, mari kita berjalan-jalan sebentar ke
danau." Dengan senang hati Xu Xian menuruti ajakan
kakak iparnya. Sesampai di jalan Bai Ti, dalam
perjalanan pulang dari danau, seseorang memanggil
Xu Xian. "Xu Xian. Sudah lama kita tidak bertemu."
Jantung Xu Xian serasa hendak berhenti berdetak.
Fa Hai! Sekalipun merasa terperangkap, ia tetap
menghampiri sang pendeta dan membungkuk
memberi hormat kepadanya. "Memang. Sudah lama
sekali kita tidak bertemu," jawabnya.
"Kau berhasil melarikan diri dari Zhenjiang. Tetapi
aku selalu berhasil menemukanmu kembali," kata Fa
Hai. "Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak ingin
menjadi pendeta," kata Xu Xian cepat-cepat.
Fa Hai memandangnya dan berkata.
"Aku tak mau berbicara di sini. Terlalu banyak
telinga yang ikut mendengarkan. Tetapi terlebih
dahulu kau harus menyadari keadaanmu."
Xu Xian merasa senang pendeta itu tidak
mendesaknya. Lalu ia cepat-cepat pergi, setelah
mengangguk kepada Fa Hai.
"Apa yang diinginkan pendeta itu?" tanya Li Ren.
B Rupanya ia tidak mendengar percakapan mereka.
"Oh, ia dulu pernah menolongku," kata Xu Xian. Ia
berusaha berbicara wajar. "Ia ingin minta sedekah."
Li Ren tidak bertanya lagi. Tetapi hati Xu Xian
diliputi kebimbangan, bagaimana ia harus bercerita
kepada Bai Su-zhen mengenai pertemuannya dengan
Fa Hai. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiam diri,
takut membuat Bai Su-zhen khawatir, karena ia baru
saja melahirkan. Beberapa hari berlalu tanpa kejadian yang berarti.
Hingga suatu hari, ketika Bai Su-zhen sedang
menyisir rambut di depan meja rias, Xu Xian
memandanginya tak berkedip.
"Ada sesuatu yang aneh pada diriku" Mengapa kau
tak berhenti memandangku" Bukankah aku hanya
menyisir rambut?" tanya Bai Su-zhen.
Xu Xian menepuk bahu istrinya sambil berkata.
"Sementara engkau menyisir rambut aku mencium
bau yang sangat harum. Ini membuatku terkenang
kembali pada hari-hari pertama pernikahan kita, saat
kausuruh aku menyematkan bunga-bunga di
rambutmu. Sekalipun kejadian itu sudah setahun
berlalu, tetapi aku tidak pernah bosan mengingatnya
dan memandangimu." Sambil memandang ke cermin, Bai Su-zhen
mengalihkan pembicaraan. "Karena sekarang cuaca mulai dingin, aku
merencanakan untuk segera menyewa perahu. Kita
pindah ke San Xiang."
"Suatu tempat yang tenang," kata Xu Xian,
"Maksudmu kita pindah ke sana, agar para pendeta
tidak dapat menemukan kita?"
Tiba-tiba Nyonya Jiang memanggilnya, "Tuan Xu,
ada seorang pendeta yang ingin bertemu denganmu."
Xu Xian tersedak. "Ia ingin menemuiku?" tanyanya lemas. Apa lagi
ketika dilihatnya Fa Hai berjalan ke arahnya sambil
berteriak. "Xu Xian! Hari ini aku datang sendiri."
Xu Xian berlari ke ruang utama dan mengangguk
di depan pintu. Ia berkata, "Ah, Pendeta Fa Hai.
Silakan masuk." Fa Hai tetap berjalan dan mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan angkuh. "Aku membawa senjata," teriaknya. "Bawa Ular
Putih ke hadapanku. Cepat!"
Xu Xian melihat Fa Hai mengeluarkan sebuah
mangkok besar tempat menaruh uang sedekah dari
dadanya, lalu diulurkannya kepada Xu Xian. Xu Xian
tak berani memegang benda itu. Ia mundur beberapa
langkah ke arah dinding. "Jangan berbuat yang bukan-bukan," perintah Fa
Hai. "Istriku, cepat lari," teriak Xu Xian.
Bai Su-zhen tak sempat lagi melarikan diri, karena
sibuk mencari senjatanya. Tetapi ruangan itu sudah
dikepung oleh Pasukan Surga. Jendela pun sudah
ditutup rapat. Tak ada pilihan lain bagi Bai Su-zhen,
selain mendatangi Fa Hai.
"Ular Putih," desis Fa Hai. "Telah kuperintahkan
kepadamu untuk meninggalkan Xu Xian dan kembali
ke gunung guna menyempurnakan ilmumu. Tetapi
engkau tak juga mengindahkan nasihatku. Hari ini
aku akan membalas dendam atas nama penghuni
Biara Gunung Emas." Sambil berbicara Fa Hai
mengangkat mangkok sedekah dan
mengguncangkannya ke arah kepala Bai Su-zhen.
Dengan mata bersinar, Bai Su-zhen menjawab,
"Ketika kami membanjiri Gunung Emas, kami telah
membangun dua jalan kecil untuk mengungsi, agar
penduduk yang tak berdosa tidak tenggelam."
"Aku tidak ingin mendengar ceritamu," kata Fa
Hai. "Kini aku hanya ingin memperlihatkan bentuk
aslimu kepada Xu Xian dan setelah itu
mengurungmu di Pagoda Puncak Kilat untuk
selamanya." Badan Xu Xian gemetar. Ia merasa takut, putus
asa, dan dirundung rasa bersalah. Ketika dilihatnya
Fa Hai menyodorkan mangkok sedekah itu kepada
Bai Su-zhen, ia berseru dengan sedih, "Istriku,
mengapa kau tidak lari ketika kuperingatkan?"
"Tak sempat lagi," jawab Bai Su-zhen. "Pasukan
Surga telah mengepung. Lagi pula, mangkok itu.
Pedangku pun diambilnya, sehingga aku terpaksa
keluar." "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Xu Xian.
"Apakah kita akan memohon kemurahan hatinya?"
Xu Xian segera menjatuhkan diri dan berlutut di
hadapan Fa Hai. "Kuizinkan kau melihat anakmu untuk terakhir
kalinya," teriak Fa Hai dengan geram.
Dengan berurai air mata, Xu Xian berkata kepada
istrinya, "Pak Pendeta mengizinkanmu melihat anak
kita untuk yang terakhir kalinya!"
"Ya, tolong bawa ia ke sini," jawab Bai Su-zhen
sambil memandang ke sekelilingnya, mencari peluang
untuk melarikan diri. Namun hal itu tak dapat ia
lakukan, karena mangkok sedekah kembali
diarahkan ke kepalanya. Xu Xian menggendong Shi Lin dan memberikannya
kepada Bai Su-zhen. Bai Su-zhen segera mencium
Shi Lin dan berkata sambil menangis, "Anakku, Fa
Hai akan membawaku. Aku terpaksa
meninggalkanmu. Bayiku yang malang, kau tak akan
beribu lagi meski dalam tahun pertama usiamu."
Seakan-akan memahami perkataan ibunya, bayi
itu mulai menangis. "Tuan," pinta Bai Su-zhen, "Lihatlah betapa
sedihnya bayiku ini. Maukah Anda memaafkan
saya?" "Engkau adalah roh ular," jawab Fa Hai, tanpa
menunjukkan belas kasihan. "Engkau dapat
berbicara manis seperti ini karena nyawamu
terancam. Tetapi jika kau kulepaskan, kau akan
menimbulkan bencana. Letakkan anakmu sekarang,
kalau trdak, anak itu akan mati bersamamu."
Bai Su-zhen menyerahkan anaknya kepada Xu
Xian dan berkata dengan berani, "Kau sudah
menolak permohonanku. Kini aku hanya menunggu
apa yang akan kaulakukan kepadaku."
Perlahan-lahan Fa Hai melemparkan mangkoknya
ke udara, dalam keadaan terbalik. Berjuta-juta sinar
keemasan berpendar dari mangkok itu dan menutupi
kepala Bai Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen belum juga
mau menyerah. Mangkok di atas kepala Bai Su-zhen
itu laksana besi puluhan kilogram beratnya, sehingga
membuat dirinya terdorong ke lantai. Tetapi Bai Suzhen
tetap berusaha mengerahkan seluruh tenaganya
untuk melawan tekanan dari mangkok Fa Hai.
"Kau masih belum juga menyerah?" ejek Fa Hai.
"Aku hanya tinggal mengucapkan satu mantra
khusus, dan kau akan segera mati. Tetapi, aku tidak
berniat membunuhmu."
Mangkok itu semakin menekan tubuh Bai Suzhen,
dan Bai Su-zhen masih mampu bertahan.
"Selama lebih dari seribu tahun aku
menyempurnakan ilmuku. Aku datang ke dunia
kehidupan manusia dan menikah dengan Xu Xian.
Belum pernah aku mencelakakan siapa pun.
Sebaliknya, aku telah menyelamatkan banyak orang
ketika kami membuka toko obat di Sizhou. Kau tak
takut, bukan, Suamiku?"
Xu Xian berdiri menggendong anaknya dan
menangis. "Tidak! Aku hanya menginginkan istriku," katanya.
Tiba-tiba seseorang berteriak dari ruangan lain.
"Aku akan bertempur melawanmu Fa Hai!
Kakakku telah memohon belas kasihanmu, tetapi kau
tak punya belas kasihan." Xiao Qing datang
menyerang Fa Hai sambil menghunus pedangnya.
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fa Hai berteriak, "Wei Tuo!"
Dalam sekejap seorang ksatria yang mengenakan
baju besi turun dari langit-langit dan menangkis
serangan Xiao Qing. "Xiao Qing," panggil Bai Su-zhen dengan khawatir.
"Kekuatanmu masih belum sebanding dengan
kekuatanku. Jangan mempertaruhkan nyawamu. Wei
Tuo telah datang, lari dan selamatkanlah dirimu."
Kemudian Xiao Qing melihat mangkok sedekah
yang menekan Bai Su-zhen. Ia segera menyadari
bahwa keadaan sudah gawat. Maka ia berkata,
"Kakak, jagalah dirimu. Aku akan membalas dendam
untukmu." Xiao Qing menyerang Wei Tuo, untuk kemudian
menghilang dari pandangan. Namun Wei Tuo tidak
begitu saja menyerah. Ia mengejar Xiao Qing dengan
bersemangat. Fa Hai berteriak, "Ular Putih, apakah engkau akan
mengatakan sesuatu?"
Pada saat itu Fu Yun dan dua orang pelayan
berada di luar kamar. Mereka tidak dapat masuk ke
dalam ruangan, tertahan oleh sebentuk sinar ajaib.
Mereka tak dapat bergerak. Tubuh Xu Xian bergetar
keras dari kepala hingga ke kaki.
"Aku takkan mengatakan apa-apa lagi," jawab Bai
Su-zhen dengan tenang. "Aku hanya memohon belas
kasihanmu." "Tiga kali sudah aku menyuruhmu agar kau
kembali ke bentuk asalmu. Tetapi engkau selalu
melawan. Sekarang, terimalah ini!" Fa Hai
mengarahkan tongkat ajaibnya pada mangkok di atas
kepala Bai Su-zhen dan berteriak, "Jadilah!"
Pada saat itulah mangkok itu semakin menekan
Bai Su-zhen hingga kepalanya tertutup sama sekali.
Kemudian mangkok itu berubah bentuk, dan
semakin panjang. Bai Su-zhen tak mampu menahan
serangan Fa Hai. Tubuhnya terdesak dan terlipat. Ia
menjerit, "Suamiku! Anakku!"
"Kurung dia," perintah Fa Hai. Sekali lagi ia
mengarahkan tongkat ajaibnya kepada mangkok itu
yang telah menjadi semakin besar dan menutup
seluruh tubuh Bai Su-zhen. Xu Xian menjerit sedih.
"Kejahatan apa yang telah diperbuat istriku?"
ratapnya. "Ia tak pantas menerima hukuman sekejam
ini." Fa Hai tersenyum mencemooh.
"Xu Xian," katanya. "Kau sungguh bodoh!
Tidakkah engkau tahu bahwa aku telah
menyelamatkan dirimu. Sekarang angkat mangkok
itu, dan lihatlah sendiri, apa yang telah terjadi."
Xu Xian menjerit. "Istriku sayang. Sekalipun kau telah kembali ke
bentuk aslimu, aku tidak takut lagi. Apalagi kau telah
melahirkan Shi Lin. Aku tak berhenti memohon
kepada pendeta ini agar ia segera mengangkat
mangkok ini dan membebaskanmu."
"Bodoh!" hina Fa Hai. "Rupanya kau belum sadar
juga. Aku tahu Bai Su-zhen telah mendalami ilmu
gaib selama ribuan tahun. Oleh karena itu, aku tak
akan membunuhnya. Ada sebuah pagoda bernama
Puncak Guntur. Ia akan kukurung di sana. Tempat
itu dijaga oleh para makhluk halus dan tidak
mempunyai jalan keluar. Dengan demikian, kau tak
akan dapat melihatnya lagi."
Xu Xian berlari ke ruangan sebelah untuk
meletakkan Shi Lin, dan kembali menghampiri Fa Hai
sambil berteriak. "Pendeta, aku tantang kau berkelahi!"
Ia berlari menerjang Fa Hai. Fa Hai tertawa
terkekeh-kekeh dan menunjuk Xu Xian dengan
tongkatnya. Tubuh Xu Xian menjadi kaku, tak
mampu bergerak lagi. Ia terpaku di pintu, matanya
membelalak hampa. "Xu Xian, jangan terlalu memaksakan dirimu,"
kata Fa Hai menenangkan. "Dalam beberapa saat
lagi, kaudapat bergerak seperti sedia kala. Ayo para
peri! Bawa mangkok ini ke Pagoda Puncak Guntur."
Pasukan Surga berkumpul. Mangkok itu pun
terangkat ke atas dan melayang di udara. Walaupun
tak dapat bergerak, indera pendengarannya masih
dapat bekerja. Ketika mendengar perintah Fa Hai, Xu
Xian menangis tersedu-sedu.
Fa Hai mencoba menghiburnya.
"Jangan khawatir. Kau boleh datang ke Pagoda
Puncak Guntur, tetapi kau tak akan dapat melihat
istrimu lagi. Selamat tinggal."
Fa Hai kemudian terbang mengendarai awan
menuju ke Pagoda Puncak Guntur. Pagoda ini
dibangun oleh seorang raja pada periode Lima
Dinasti. Semula bangunan itu direncanakan
bertingkat tiga belas, tetapi karena persediaan kayu
tidak mencukupi, hanya tujuh tingkat yang dapat
diselesaikan. Fa Hai mendarat sambil mengacungkan
tongkatnya ke arah pagoda yang kokoh itu. Dengan
suara mendesir, pintu di lantai dasar membuka.
Pasukan Surga membawa turun mangkok yang berisi
Bai Su-zhen. Fa Hai mengejek. "Kini engkau telah berada di Pagoda Puncak
Guntur dan dikepung oleh Pasukan Surga. Kami
akan mengurungmu di dalamnya, sehingga kau tak
akan dapat melarikan diri."
Fa Hai merentangkan tangannya. Mangkok itu
melayang dan kembali dalam ukurannya semula. Bai
Su-zhen sudah menjelma kembali menjadi manusia
dan berdiri di atas mangkok itu. Seberkas sinar
menyilaukan memancar dari matanya.
"Ular Putih. Pagoda ini adalah tempat
pengasinganmu. Masuklah!" perintah Fa Hai.
Bai Su-zhen menegakkan kepala dan merapikan
bajunya. Dengan perlahan-lahan ia melangkah ke
dalam pagoda. Fa Hai memberi perintah kepada anak buahnya.
"Kalian harus membangun beberapa tingkat lebih
tinggi. Setelah pekerjaan itu selesai, Raja Danau
Barat akan mengawasinya. Jika Bai Su-zhen ingin
melarikan diri, terlebih dahulu ia harus
menghancurkan pagoda ini."
Setelah berkata, Fa Hai pun menghilang. Awan
kelabu menyelimuti langit. Kabut tebal menghalangi
pemandangan. Kilat sabung-menyabung.
Namun keesokan harinya, cuaca sekali lagi
menjadi cerah. Pagoda itu telah bertambah tinggi,
kini sembilan lantainya. BAB 17 etelah Fa Hai pergi, Xu Xian tepekur di depan
meja rias. Fu Yun menghampirinya dan berkata lembut, "Aku
tidak melihat yang baru saja terjadi. Ceritakanlah
kepadaku semua kejadian dari awal mula. Baru
kemudian kita putuskan apa yang masih dapat kita
lakukan." Xu Xian menyapu air matanya. Ia melihat Fu Yun
bersama beberapa orang lainnya.
"Seperti halnya kalian, aku pun mengira Bai Suzhen
adalah seorang wanita biasa yang lemah lembut.
Setelah kalah bertempur melawan Fa Hai, pendeta itu
mengubahnya ke bentuk semula, yaitu seekor ular
besar berwarna putih. Ternyata ia telah mendalami
ilmu gaib selama lebih dari seribu tahun. Seandainya
ia tidak menikah denganku, ia akan hidup selamalamanya."
Semua orang terkejut, "Benarkah ceritamu itu"
Bagaimana Xiao Qing?"
"Ia adalah Ular Hijau," jawab Xu Xian. "Tetapi Xiao
Qing tidak sepandai kakaknya, karena ia baru
berlatih selama enam ratus tahun."
Fu Yun berkata, "Bai Su-zhen adalah orang baik.
Tetapi kami tidak mengerti mengapa ia dianggap
melanggar Hukum Surga setelah menikah
denganmu." "Bai Su-zhen sendiri pun tidak menduga hal itu,"
keluh Xu Xian. "Baru setelah kita menikah...
S Duduklah. Biar kulanjutkan ceritaku."
Semua yang hadir merasa tertarik mendengar
cerita Xu Xian. Mereka mencari kursi dan duduk
berkeliling. Xu Xian menceritakan seluruh peristiwa, dari awal
mula, sejak terjadinya badai di Danau Barat hingga
peristiwa yang baru saja terjadi ketika Fa Hai
membawa Bai Su-zhen pergi. Seusai bercerita, Xu
Xian berkata, "Aku sebenarnya tidak merasa takut,
walaupun ia seekor ular. Ia tidak pernah
mencelakakan aku, dan aku bahagia hidup
bersamanya. Namun kini semua impianku telah
berakhir. Kini aku harus menjalani kehidupan ini
hanya bersama Shi Lin, anakku." Lalu ia mulai
meratap lagi. "Walaupun ia telah pergi," kata Fu Yun, "Aku yakin
ia masih hidup. Mudah-mudahan pendeta itu merasa
kasihan kepadanya dan berkenan membebaskannya.
Ya! Siapa tahu" Kini tugasmu adalah membesarkan
Shi Lin. Bila suatu kali istrimu kembali ia pasti akan
memujimu." "Apakah ia masih akan kembali?" tanya Xu Xian
tak percaya. "Bila hari ini cuaca baik, aku bermaksud
pergi ke Pagoda Puncak Guntur untuk
menjenguknya. Aku akan sangat berterima kasih
apabila kau bersedia menjaga Shi Lin."
"Berangkatlah," sahut Fu Yun penuh kasih sayang.
"Tetapi berhati-hatilah! Anak buah Fa Hai pasti
menjaga ketat tempat itu."
"Jangan khawatir," kata Xu Xian. "Kita hanya
manusia biasa. Mereka tidak akan mengganggu kita.
Kita berdoa saja kepada dewa-dewa di surga agar
melindungi kita." Xu Xian berjalan ke rumahnya seorang diri. Ia
pergi ke ruang utama, namun Bai Su-zhen dan Xiao
Qing tak ada di sana. Begitu pula di ruangan yang
lain. Perasaannya mengatakan bahwa Bai Su-zhen
dan Xiao Qing tidak hadir lagi di sana.
Tak seorang pun dapat meredakan kesedihannya.
Xu Xian hanya duduk tepekur sambil menangis.
Suasana semakin mengharukan karena Shi Lin pun
ikut menangis, sehingga Xu Xian harus menggendong
dan menenangkannya. Fu Yun mendekati Xu Xian dan berkata, "Tak tahu
aku bagaimana dapat meringankan kesedihanmu.
Tetapi, di rumah sebelah ada seorang bayi yang
kurang lebih seumur dengan Shi Lin."
"Usulmu sangat baik. Sedemikian sedihnya hatiku
sehingga Shi Lin hampir terlupakan," jawab Xu Xian.
Fu Yun segera menggendong Shi Lin dan menutup
tubuh anak itu dengan sehelai selimut tipis.
"Jangan hanya duduk dan menangis," kata Fu Yun
menasihati adiknya. "Lakukanlah sesuatu."
Namun sepeninggal Fu Yun, Xu Xian masih saja
duduk melamun. Terbayang kembali semua
percakapan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan
bersama Bai Su-zhen. Begitu pula gurauan bersama
Xiao Qing. Tangis Xu Xian semakin menjadi-jadi,
ketika menyadari bahwa kebahagiaannya benarbenar
telah berakhir. Keesokan harinya, cuaca hangat dan cerah. Xu
Xian terbangun dengan mata pedih karena
semalaman ia tak dapat tidur. Pikirannya hanya
tertuju kepada istrinya dan bau rambutnya yang
harum. Xu Xian memutuskan untuk pergi ke pagoda.
Namun ia tak tahu bagaimana caranya.
Li Ren masih berada di rumah. Dari halaman
belakang ia berteriak. "Adik, kalau kau hanya duduk, kau akan jatuh
sakit. Kudengar kau ingin pergi ke pagoda. Aku
bersedia mengantarmu ke sana."
"Terima kasih," jawab Xu Xian. "Tetapi, aku tak
ingin menyusahkan hatimu."
"Apa pula ini," kata Li Ren dengan kesal. "Bagiku,
membantu adik dalam kesulitan adalah suatu
kewajiban. Aku tidak merasa terganggu."
Xu Xian segera menyetujui saran Li Ren. setelah
mengambil uang secukupnya, keduanya lalu
berangkat melalui jalan Su Ti dan Bai Ti menuju ke
pagoda. Walaupun hari masih pagi, terik matahari
terasa membakar kulit. Pagoda itu terlihat menjulang tinggi di kejauhan, di
atas sebuah bukit. Pohon-pohon pinus berdiri tegak
mengelilinginya. Pada saat mereka mulai mendaki,
pepohonan itu seakan mendesah oleh hembusan
angin tenggara yang datang dari arah danau.
Pagoda bulat itu, tampak sangat megah dengan
bangunannya yang berlantai sembilan. Atap dan
dindingnya berwarna putih.
"Bagaimana caranya agar kita dapat masuk ke
dalam pagoda?" tanya Xu Xian.
Namun pagoda itu dikelilingi oleh dinding putih
yang tinggi dan tidak berpintu. Sedangkan pintu di
lantai dasar pagoda terkunci rapat, di atasnya
terdapat tulisan yang tak dapat dibaca dari kejauhan.
Di lantai dua, tampak sebuah lempengan tembaga
bertuliskan kata-kata peringatan dalam warna
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah. Bunyinya: "Bila pagoda ini hancur, Ular Putih
akan meninggalkan dunia yang fana ini."
"Lihat," ujar Li Ren sambil menunjuk ke atas
pagoda. "Dua lantai teratas pagoda itu baru saja
dibuat, begitu pula dinding tinggi yang
mengelilinginya." Xu Xian dan Li Ren merasa putus asa. Mereka
berdiri tanpa berkata-kata. Xu Xian mulai menangis.
"Istriku," tangisnya. "Apakah kau benar-benar
dikurung di tempat ini" Aku datang untuk
menjengukmu. Katakanlah sesuatu."
Angin yang bertiup di puncak pagoda seakan
menjawab desiran pepohonan. Namun jawaban yang
ditunggu dari pagoda tak juga terdengar.
"Sampai kapan pun kita berdiri di sini, aku yakin
keadaannya tidak pernah akan berubah," kata Xu
Xian. "Sebaiknya kita turun saja. Mudah-mudahan
kita dapat menemukan sesuatu."
Xu Xian dan Li Ren berjalan mengelilingi pagoda
dengan perasaan sedih. Xu Xian mengangkat
kepalanya dan kembali meratap. Air matanya jatuh
berderai-derai. "Istriku, masih ingatkah kau pada pertemuan kita
di perayaan Qing Ming tahun lalu" Juga ketika kita
naik perahu bersama" Kuharap kau tak akan pernah
melupakan saat kita bersenang-senang di danau.
Kemudian kita dipertemukan lagi di Jembatan Patah
setelah kita kembali dari Gunung Emas. Aku sangat
mencintaimu! Kebaikanmu tak terhitung lagi. Aku
memikirkan kepergianmu."
Tak ada jawaban maupun gerakan dari pagoda
pada saat Xu Xian berhenti berbicara. Di sela-sela
tangisnya Xu Xian melihat ke atas pagoda.
"Atau kau tidak berada di sini, Istriku?" tangisnya.
"Jika kau benar-benar berada di tempat ini, mengapa
pertanyaanku tak juga kaujawab?"
Tangis Xu Xian terdengar semakin keras. Karena
tak dapat lagi menahan rasa sedihnya, Xu Xian jatuh
terduduk di tanah. Li Ren berlutut di sampingnya, berusaha
meredakan perasaan Xu Xian.
"Adik. Berhentilah menangis. Ingatlah bahwa kita
hanyalah manusia biasa. Kita tidak tahu apakah
Budha memang menghendaki istrimu dikurung Fa
Hai di tempat ini." "Aku tahu," keluh Xu Xian. "Tetapi kau pun tahu
bahwa Budha sangat murah hati dan penuh belas
kasih. Pada saat istriku menyabung nyawanya untuk
mencari obat untukku, Peri Tua dari Kutub Selatan
jatuh kasihan kepadanya dan memberinya Rumput
Abadi. Dan kini anakku tak beribu lagi. Aku benarbenar
tak akan pernah dapat melupakan segala
kebaikan yang diberikan istriku kepadaku."
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan langit menjadi
gelap. Awan bergumpal di puncak menara.
"Mari kita pulang," kata Li Ren dengan khawatir.
"Sebentar lagi hujan akan turun."
Pada saat Xu Xian dan Li Ren akan beranjak pergi,
angin bertambah kencang, membuat mereka terdiam
kaku tak dapat lagi bergerak. Tiba-tiba terdengar
suara menggelegar; jendela di lantai dua pagoda yang
semula tertutup rapat, kini terbuka. Xu Xian dan Li
Ren tertegun. Sebentuk tubuh muncul di jendela, dan
Xu Xian segera mengenalinya.
"Istriku, oh istriku tersayang!" teriaknya.
"Suamiku tercinta, kakak Li Ren. Aku telah
mendengar semua yang kaukatakan, Xu Xian.
Namun aku tak dapat menjawab karena Tentara
Surga menjaga ketat. Namun ketika melihat Xu Xian
menangis, Jia Lian berbelas hati lalu membuka
jendela ini bagiku, agar kalian dapat melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa aku memang berada di
sini." "Istriku, Shi Lin dan aku selalu merindukan
kedatanganmu," ujar Xu Xian sambil mengulurkan
tangannya. Bai Su-zhen memotong kalimat Xu Xian.
"Suamiku, jangan! Penjaga tak akan pernah
membiarkan aku pergi dari sini."
"Jadi, apa yang harus kulakukan" Aku
membutuhkan kehadiranmu," keluh Xu Xian.
"Kita harus berterima kasih kepada Dewa Danau
Barat yang telah mempertemukan kita untuk yang
terakhir kalinya. Karena sesudahnya tak seorang pun
yang akan dapat melihatku. Semoga kau bertemu
dengan seorang wanita yang baik yang dapat
kauambil sebagai istri, agar kaudapat membesarkan
Shi Lin, anak kita, bersamanya."
"Aku tak akan melakukannya," jerit Xu Xian
dengan getir. "Aku akan membesarkan Shi Lin
seorang diri dan selalu setia menunggu
kedatanganmu. Mudah-mudahan Dewa-dewa akan
mengasihani kita dan membebaskanmu dua atau tiga
tahun lagi." "Aku diperintahkan untuk menutup jendela,"
teriak Bai Su-zhen mengingatkan dengan sedih. "Tak
ada gunanya memohon lagi. Xu Xian! Li Ren! Selamat
tinggal." Teriakan Bai Su-zhen semakin lama semakin
sayup. Pada saat itu terdengar bunyi gemuruh dan di
sekitar pagoda kilat sambar-menyambar menyilaukan
mata. Xu Xian mengejapkan matanya. Jendela
pagoda kini telah menutup dan tampaknya tak akan
pernah dibuka kembali. Bai Su-zhen pun telah hilang
dari pandangan. "Adik," kata Li Ren dengan gemetar.
"Kau harus menerima nasibmu. Setidaknya kau
harus bersyukur masih diperkenankan memandang
istrimu untuk terakhir kali. Sekarang mari kita
pulang." Xu Xian berdiri tak bergerak. Ia masih saja
memandang ke jendela. Tatapan matanya kosong.
Begitu pula hatinya. "Tak ada gunanya kauturutkan
perasaanmu. Mari kita pulang, Adik," kata Li Ren
lembut. Ia menarik tangan Xu Xian dan membimbingnya
pulang. Sepanjang perjalanan Xu Xian tak hentihentinya
menangis. Hatinya benar-benar hancur.
BAB 18 ementara itu, Xiao Qing memutuskan untuk
mengungsi dan bersembunyi di suatu pulau yang
sepi, di suatu tempat yang tak berpenghuni. Di sana
tak ada makhluk halus maupun kaki tangan Fa Hai.
Ia lalu pergi menyusuri pantai Laut Cina Timur.
Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat
hanyalah ombak yang bergulung-gulung di tepi
pantai. Di atas permukaan laut burung-burung
camar putih terlihat beterbangan. Xiao Qing
menyempatkan diri melihat berkeliling saat ia
mengendarai awan. Beberapa pulau yang dilihatnya
tampak terlalu besar sebagai tempat persembunyian,
sementara yang lain terlalu kecil sehingga mudah
ditelan ombak dan badai. Syukurlah bahwa pada
akhirnya ia menemukan sebuah pulau yang agak
terpencil. Tempat itu ditumbuhi hutan hijau yang
lebat dan diselimuti bunga-bunga yang indah. Di
sana juga terdapat tiga buah gunung. Satu di antara
ketiga gunung itu tingginya sekitar seratus meter.
Xiao Qing menyebutnya Pagoda Puncak Guntur.
Setelah melatih diri dan mencoba ilmu sihirnya
terhadap ketiga gunung ini, ia berniat menuntut
balas dan membebaskan Bai Su-zhen.
Satu atau dua tahun kemudian, Xiao Qing berdiri
di tepi pantai memegang dua bilah pedang.
"Tebas gunung itu!" teriaknya seraya melempar
kedua pedangnya ke udara. Matanya memandang ke
gunung kecil di depannya. Hatinya kecewa, sebab
S pedangnya kembali ke sarungnya, gunung itu tetap
diam tak bergeming, utuh tak terbelah.
Delapan tahun kemudian, Xiao Qing berdiri di
tempat yang sama. Ia kembali berteriak.
"Tebas gunung itu!"
Maka dilihatnya gunung itu terpotong oleh
pedangnya sehingga tingginya berkurang.
Bertahun-tahun kemudian, Xiao Qing berhasil
memotong puncak gunung itu. Pecahannya menyebar
menjadi serpihan-serpihan kecil. Pada saat itulah ia
merasa yakin dapat menghancurkan Pagoda Puncak
Guntur. Agar lebih aman, ia memutuskan untuk
berlatih lagi. Beberapa puluh tahun kemudian, ia bahkan
berhasil menghilangkan gunung itu. Xiao Qing
semakin yakin bahwa ia dapat menghancurkan
pagoda tempat Bai Su-zhen dikurung dan
mengalahkan para makhluk halus yang menjaganya,
sekaligus melenyapkan Fa Hai.
Maka terbanglah Xiao Qing mengendarai angin ke
mulut Sungai Chang Jiang. Ia harus bertindak sangat
hati-hati, karena tahu jalan menuju pagoda dijaga
ketat oleh para peri yang kekuatannya tak dapat
diabaikan. Ia berharap, setelah melihat kehebatan
ilmunya, mereka akan merasa gentar dan
mengundurkan diri, tanpa bertempur.
Ketika ia sedang sibuk berpikir, dua tubuh muncul
dari dalam danau. Mereka adalah Ma Zi-hou dan Li
Ben-liang. "Lama sekali kita tak bertemu," ucap mereka
sambil memberi hormat kepada Xiao Qing.
"Tiba saatnya kita harus menghancurkan Pagoda
Puncak Guntur. Aku datang untuk memanggil kalian
agar kalian segera membentuk pasukan," kata Xiao
Qing. "Akan segera kami lakukan," jawab Ma Zi-hou.
"Karena sesungguhnya kami pun memiliki keinginan
serupa. Namun kami tak berani mencoba, karena
menyadari kekuatan kami yang tidak seberapa. Jika
Anda bersedia memimpin kami, kami yakin semua
akan dengan senang hati membantu Anda."
Xiao Qing tersenyum puas.
"Sekarang aku tidak lagi seperti Xiao Qing di masa
lalu. Lihat ke depanmu. Aku akan segera membuat
gunung di atas danau!" Dengan satu gerakan, tibatiba
sebuah gunung kecil muncul dari bawah air
danau. Ma Zi-hou dan Li Ben-liang terkesima.
"Dengan kekuatan seperti ini," seru Li Ben-liang,
"Kita tak perlu takut lagi kepada Fa Hai maupun kaki
tangannya. Izinkan saya memanggil Manusia Air."
Beberapa saat kemudian, ribuan Manusia Air
sudah berhasil dikumpulkan.
Setelah memberi salam, Xiao Qing berkata, "Fa Hai
telah menahan kakakku di Pagoda Puncak Guntur
dan menugasi para makhluk halus untuk
menjaganya. Kakakku tak pantas mendapat
perlakuan seburuk itu. Jadi aku merencanakan
untuk menyerbu pagoda itu dan menyelamatkannya.
Siapa yang bersedia membantu?"
Mendengar ajakan Xiao Qing, mereka serempak
berseru. "Kami ikut! Kami akan membantu! Kami tak akan
berhenti sebelum membebaskan Putri Bai Su-zhen."
Xiao Qing mengangkat pedangnya dan
menyilangkannya di udara.
"Terima kasih! Mari kita berangkat ke Hangzhou
sekarang juga." Kemudian semuanya naik ke atas awan dan
bergerak menuju Hangzhou.
Saat itu perayaan Qing Ming telah dekat.
Penduduk Hangzhou dan para pengunjung sedang
melakukan berbagai persiapan di Danau Barat.
Pemandangan danau terlihat sangat indah oleh
perpaduan warna hijau dan biru dari pepohonan dan
air danau. Sore harinya, awan hitam mulai bergulung-gulung.
Angin dan hujan lebat turun dengan bunyi yang
memekakkan telinga. Hujan pun turun semakin
deras, seperti pada saat Xu Xian bertemu untuk
pertama kalinya dengan Bai Su-zhen dan Xiao Qing.
Badai yang terjadi saat itu sesungguhnya hasil
ciptaan Xiao Qing yang sedang terbang menuju
Pagoda Puncak Guntur. Kemudian ia berteriak
dengan keras, "Semua makhluk yang menjaga tempat
ini, buka pagoda dan bebaskan Bai Su-zhen."
Kilat bersambaran di langit dan seseorang berbaju
besi warna keemasan turun menantang Xiao Qing,
sambil mengacungkan tongkat ajaibnya.
"Aku Wei Tuo," teriaknya. "Aku bertugas menjaga
Bai Su-zhen hari ini. Siapa berani membuat
keributan di tempat ini?"
Xiao Qing tertawa mengejek.
"Kau tak ingat lagi kepadaku" Aku tahu siapa
dirimu. Waktu itu kau mengejarku dari rumah Xu
Xian. Setelah berlatih bertahun-tahun aku tidak lagi
seperti Xiao Qing yang kaukenal. Aku tidak akan
mempergunakan ilmuku terhadapmu, karena aku
tahu engkau hanya menjalankan perintah Fa Hai.
Kini, sebaiknya kau cepat memilih. Cepat bebaskan
Bai Su-zhen atau kau ingin Manusia Air
menyerangmu?" Wei Tuo melihat ke sekitarnya. Sejauh mata
memandang, yang tampak hanyalah jutaan Manusia
Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Air. "Aku tahu engkau membawa banyak pasukan.
Tentu kau pula yang menciptakan hujan dan badai
ini," kata Wei Tuo membusungkan dadanya dengan
angkuh. "Tetapi aku bertugas menjaga tempat ini.
Tak. seorang pun diizinkan membuka pintu pagoda."
"Perintah siapa?" tanya Xiao Qing dengan tajam.
"Engkau telah menahan seorang wanita yang tidak
bersalah. Ayo cepat lakukan perintahku. Buka segera
pintu pagoda!" Wei Tuo dengan cepat menghitung jumlah
pasukannya. Jia Lian membawa sekitar seratus orang
yang semuanya tak terlihat oleh mata manusia.
Dengan sengaja ia mengulur-ulur waktu dengan
menyuruh Xiao Qing menunggu sementara ia
memanggil bala bantuan. Namun Xiao Qing segera menghunus pedangnya
dan tertawa dingin. "Kau ingin memanggil bala bantuan, bukan"
Mereka tidak akan pernah datang karena aku tak
akan memberi mereka kesempatan untuk datang
bergabung." Kemudian Xiao Qing bersiul nyaring. Dari segala
arah, awan datang bergumpal-gumpal membawa
pasukannya. Pasukan yang pertama mendarat adalah
mereka yang memiliki ilmu tertinggi. Yang kedua
adalah mereka yang berkesaktian menengah,
sedangkan yang ketiga membawa hujan dan angin
tenggara. Wei Tuo menyadari bahwa walaupun ia memiliki
pasukan yang kuat, jumlah mereka tak sebanding
dengan pasukan Xiao Qing. Ia ketakutan.
Melihat kekhawatiran Wei Tuo, Xiao Qing
tersenyum puas. "Nah! Bagaimana sekarang?"
Wei Tuo menggerakkan tongkatnya dan menyuruh
pasukannya berkumpul berkeliling. Xiao Qing segera
menyerang Wei Tuo dengan dua berkas sinar hijau
yang memancar dari kedua sisi tubuhnya, bagai dua
buah gunung yang menghimpit Wei Tuo. Pasukan
terdepan Manusia Air pun ikut menyerang.
Begitu menjejakkan kaki di tanah, Wei Tuo segera
berpikir untuk melepaskan Bai Su-zhen. Ia
menyadari bahaya yang sedang dihadapinya.
"Xiao Qing," teriaknya. "Kesaktianmu sangat hebat.
Aku menyerah." Wei Tuo berkata sambil menyibakkan pasukan
Xiao Qing yang berada di sudut dan menghadap ke
utara. Setelah menangkis beberapa pedang dengan
tongkatnya, ia terbang meninggalkan pagoda.
Melihat kepala penjaga melarikan diri, Pasukan
Surga pun menyerah. "Kami akan pergi. Pasukanmu terlalu kuat."
Jia Lian memerintahkan pasukannya untuk
mundur, yang didesak oleh Manusia Air yang
tampaknya sangat kesal karena urung bertempur.
Atas perintah Wei Tuo, Pasukan Surga pun pergi dari
sana dan menghilang dari pandangan.
Xiao Qing terbang ke langit dan melihat ke
sekitarnya. Ia memberi isyarat kepada pasukannya.
"Kurasa mereka tak akan kembali. Kalian tak perlu
mengejar." Xiao Qing tersenyum di tengah-tengah pekik
kemenangan anak buahnya. Semua pasukan Xiao
Qing kemudian turun dari langit dan berdiri
mengelilingi pagoda. Saat itu matahari hampir
terbenam. Ia berkata kepada pasukannya dengan suara yang
menyiratkan kekhawatiran.
"Pagoda ini ditutup dan dikunci dengan guntur
dan kilat. Jika aku mengucapkan mantra, pintunya
akan terbuka. Namun karena Bai Su-zhen telah
dikurung di dalamnya selama bertahun-tahun, aku
khawatir ia tak akan kuat menahan ledakan yang
akan kuciptakan." Manusia Air menjawab dengan penuh keyakinan.
"Jadi bagaimana" Mungkin kami yang dipercaya
untuk meruntuhkannya?"
Setelah berpikir sejenak, Xiao Qing mengangguk.
Manusia Air segera berkerumun dan membanjiri
pagoda hingga ke puncaknya, dan berusaha
melubangi dinding pagoda. Namun belum lama
mereka bekerja, wajah mereka tampak memerah
kelelahan. Mereka sadar bahwa kekuatan yang
mereka miliki, tak mempan menembus dinding.
Xiao Qing berseru. "Berhentilah! Biaraku yang melakukannya."
Tetapi ia terdiam dan merasa ragu. Tiba-tiba
sebuah suara terdengar berteriak dari balik tembok
pagoda. "Xiao Qing, aku tahu engkau telah datang
membawa pasukan untuk membalas dendam.
Apakah musuh sudah ditaklukkan?"
Xiao Qing berteriak dengan gembira.
"Oh, Kakak, engkaukah itu" Dugaanmu benar.
Mereka telah kami kalahkan."
"Kita dapat membuka tempat ini" kata Bai Suzhen.
"Engkau berusaha dari luar sementara aku
membantumu dari dalam. Perintahkan kepada
Manusia Air untuk sementara menyingkir."
Manusia Air segera terbang menjauh. Xiao Qing
berdiri tiga meter dari pagoda sambil mengacungkan
pedangnya. Ia lalu berteriak, "Tebas!" Pedang itu
melayang dan dalam sekejap tembok dan atap pagoda
meledak. Pecahannya terlempar ke segala penjuru.
Tak lama kemudian tempat itu telah menjadi puing.
Di tengah reruntuhan pagoda, Bai Su-zhen berdiri
mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya
digelung. Ia memakai sepatu putih bersulam.
Xiao Qing berlari menghampirinya sambil berteriak
gembira, "Kakak! Oh, senang sekali aku dapat
melihatmu lagi." Bai Su-zhen dan Xiao Qing berpelukan erat. Air
mata Bai Su-zhen jatuh berderai-derai. Untuk
beberapa saat ia tak mampu berkata-kata.
"Aku sungguh berterima kasih atas segala jerih
payahmu," katanya sambil terisak.
Manusia Air berkumpul di sekitar mereka dan
bersorak-sorai, "Putri kita telah bebas! Hidup Putri
kita!" Bai Su-zhen berlutut dan memberi hormat kepada
pasukannya. Kemudian ia berkata, "Karena para
penjaga telah melarikan diri, kalian boleh pulang.
Besok aku akan mengunjungi kalian untuk
menyatakan terima kasihku."
Manusia Air segera meninggalkan tempat itu.
Hujan segera mereda dan angin pun berhenti bertiup.
Bulan sabit muncul di langit yang tak berawan,
bersinar di atas danau. Suasana terasa sangat
tenang, menyejukkan hati.
"Sudah lama sekali kita tidak bersenang-senang di
danau," ucap Bai Su-zhen. "Mari ikut bersamaku.
Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu."
Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan perlahanlahan
di sepanjang jalan Su Ti sambil bercakapcakap.
"Hari ini ada perayaan Qing Ming, bukan?" kata
Bai Su-zhen sedih. "Masih segar dalam ingatanku
saat kita meminjam payung milik Xu Xian."
"Jangan pikirkan lagi hal itu," kata Xiao Qing.
"Aku hendak bertanya," Bai Su-zhen terus berkata.
"Bagaimana keadaan rumah tangga Xu Xian?"
Xiao Qing terkejut, "Rupanya kau tidak ingat lagi
berapa lama kau dikurung di pagoda itu?"
"Tidak, aku tidak lupa," jawab Bai Su-zhen. "Tetapi
Xu Xian orang baik dan ia telah membesarkan Shi
Lin dengan baik pula," katanya sambil terisak.
"Jangan menyesali masa lalu," kata Xiao Qing
lembut. "Mereka berdua orang-orang yang terhormat,
seperti yang selalu kaukatakan. Tidak seorang pun di
Hangzhou yang tidak mengenal mereka. Semua orang
menghormati mereka berdua."
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya dan terus
melangkah. Akhirnya mereka tiba di jalan Bai Ti.
"Oh, lihat! Bukankah itu Jembatan Patah?" seru
Bai Su-zhen sambil menunjuk ke depan.
"Masa lalu rupanya terlalu sulit untuk dilupakan"
bisik Xiao Qing. Bai Su-zhen berhenti dan memegang tangan Xiao
Qing. "Kehidupan manusia tak ubahnya seperti
bulan. Lihat, malam ini bulan tidak penuh. Dan
seperti bulan, kehidupan kita pun kadang kala
terang, dan kadang kala gelap. Karena itu, kita harus
selalu bersiap-siap agar tidak kehilangan kesempatan
ketika bulan bersinar terang. Jembatan Patah
membuatku berpikir. Barangkali di masa lalu aku
tidak terlalu memusingkan masa depan. Kalau saja
dulu kita berpindah tempat lebih awal, Fa Hai tak
mungkin menemukan kita. Dan kita tidak akan
menyeberangi Jembatan Patah ini."
Xiao Qing tidak menjawab. Ia hanya berdiri
memandang bulan yang tertutup pepohonan.
Cahayanya menyembul dari celah-celah dedaunan. Ia
tengah menghayati kata-kata Bai Su-zhen.
Kehidupan tidak selalu menjanjikan kebahagiaan.
Dan di balik setiap kebahagiaan ada kekecewaan,
yang sebaiknya segera diatasi. Seperti bulan di langit,
suatu saat purnama, di saat lain hanya terlihat
seulas, untuk kemudian muncul kembali dengan
cahayanya yang benderang. Bukankah lebih baik
memandang jauh ke depan dan mempersiapkan diri
menghadapi masa yang akan datang, daripada
tenggelam dan dihanyutkan masa lalu"
--?""-- Misteri Kapal Layar Pancawarna 15 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Pendekar Jembel 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama