Ceritasilat Novel Online

Rahasia Kunci Wasiat 1

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bagian 1


"Rahasia Kunci Wasiat
Karya: Khu Lung Terjemahan: Tjan ID Jilid 1 Pada bulan kedelapan permulaan musim rontok air sungai Liang Kiang mengalir dengan
perlahannya memenuhi danau Tiang Pek Auw di pinggiran dusun Tan Kwee Cung.
Malam hari semakin larut cuma terlihat bayangan rembulan memancarkan sinarnya di
tengah kejernihan air telaga.
Pohon pohon Kwi Ci yang tumbuh di tepi telaga secara samar-samar menyebarkan bau
harum yang semerbak".
Tiba-tiba suasana yang amat sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara air yang
memecahkan kesamping, tampak sebuah perahu dengan amat perlahannya berlayar dari
arah sebelah timur. Pada ujung perahu duduklah seorang lelaki tua yang memakai pakaian singsat dengan
mengenakan sebuah topi yang terbuat dari bulu di atas kepalanya, di samping lelaki tua
itu duduklah seorang perempuan cantik yang kira-kira berusia empat puluh tahunan
memangku seorang bocah cilik yang baru berusia sebelas tahunan.
Angin malam yang amat dingin berhembus tak henti hentinya membuat keadaan terasa
membeku, terlihatlah perempuan berusia pertengahan itu segera membuka mantel yang
dikenakannya kemudian diselimutkan ke atas badannya bocah tersebut, jelas sekali
kecintaan sang ibu kepada anak jauh mengalahkan segalanya.
Dengan perlahan kakek tua itu mengambil cawan air teh di atas sebuah meja kemudian
meneguknya satu tegukan, lantas ujarnya kepada perempuan itu.
"Leng jie apa sudah tertidur?"
"Ehmm" sudah!" Sahut perempuan cantik itu tersenyum kemudian tundukkan
kepalanya memandang sekejap ke arah bocah yang sudah tertidur pulas di dalam
pangkuannya Dengan perlahan si orang tua itu bangkit berdiri sambil mendongakkan kepalanya
memandang sang rembulan yang memancarkan sinar terang jauh di tengah awang-awang
dia menghela napas panjang.
"Heeeey". sia-sia saja jasaku yang aku perbuat bagi negara selama tiga puluh tahun
ini. Suaranya berat dan amat sedih, secara samar-samar memperlihatkan keperihan hati
dari seorang enghiong yang baru saja menemui kekecewaan.
"Eeeei malam sudah larut mari kita pulang saja!" potong perempuan berusia
pertengahan itu sambil tersenyum, "nanti Ling jie akan kedinginan dan masuk angin"."
Si orang tua itu segera mengangguk, baru saja dia orang mau memerintahkan si
tukang perahu untuk putar perahunya kembali tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah
perahu besar yang amat terang benderang berlayar dengan lajunya ke arah perahu
mereka. Agaknya perahu besar itu sudah kehilangan kemudinya, dengan mengikuti tiupan angin
ia bergerak maju terus menubruk ke arah perahu yang ditumpangi sang kakek tua beserta
anak istrinya itu. Tukang perahu di atas perahu kecil itu agaknya adalah seorang yang berpengalaman
luas, tanpa menanti perintah dari majikannya dia segera membanting kemudinya
menghindar ke arah samping.
Sedangkan tukang perahu lainnya dengan terburu buru lari ke ujung perahu sambil
goyang goyangkan tangannya membentak keras, "Hey kawan, matamu sudah kau taruh
dimana?"?" Walaupun dia sudah berteriak berulang kali suasana masih tetap sunyi senyap, tak
terdengar suara balasan dari atas perahu besar tersebut.
Si tukang perahu itu menjadi cemas hatinya dengan cepat dia goyangkan galanya
menutul ke arah perahu besar itu.
Waktu itu angin yang bertiup di tengah telaga sudah amat lemah sekali, begitu sang
perahu besar terkena tutulan gala posisinya segera terpukul nyaring kesamping, pada saat
yang bersamaan pula kedua perahu itu sudah saling berpapasan di samping.
Selama ini sang kakek tua itu masih tetap menggendong sepasang tangannya berdiri
tenang terhadap peristiwa mengerikan yang baru saja akan terjadi dia orang sama sekali
tidak tergentar hatinya air mukanya tetap tenang bagaikan jernihnya air telaga.
Silaki kasar yang melihat hampir-hampir saja perahu besar itu mau menubruk perahu
yang ditumpanginya tak tertahan lagi segera berteriak kembali,
"Hey! Masih adakah manusia yang hidup disana?"
Biar dia sudah memaki dengan kata kata apapun dari atas perahu besar itu tetap tak
terdengar suara sahutan. Luas telaga Tiang Pek Auw ada ratusan hektar, di sekelilingnya penuh ditumbuhi alangalang
yang lebat karena tutulan galah tadi yang membuat posisi perahu besar itu menjadi
miring membuat perahu tersebut kini terjerumus ke dalam tumbuhan alang alang yang
lebat. Si orang tua yang selama ini berdiri di ujung perahu tanpa mengucapkan sepatah
katapun ketika melihat tak terdengar adanya suara sahutan dari dalam perahu tak terasa
hatinya merasa curiga juga, pikirnya, "Eeeh jika dari situasi perahu tersebut agaknya tidak
ada orang yang mengemudikan apakah di atas perahu itu memangnya tak berpenghuni?"
Tetapi jika dilihat dari suasana yang terang benderang jelas sekali ada manusia yang
berdiam di dalam perahu itu, hatinya terasa semakin heran lagi"
"Cepat geserkan perahu kita kesamping perahu besar itu!" perintahnya kepada si
tukang perahu. Agaknya si perempuan berusia pertengahan itu bermaksud hendak mencegah tapi
akhirnya dia membatalkan kembali niatnya tersebut.
Si tukang perahu segera putar kemudi menggerakkan perahunya mendekati perahu
besar yang sudah terjerumus ke dalam tumbuhan alang-alang itu dan akhirnya berhenti
tepat di samping perahu tersebut.
Dengan perasaan penuh tanda tanya si orang tua itu memandang ke arah perahu yang
terang benderang tersebut. Dia agak rahu ragu lalu berpikir pula beberapa waktu lamanya,
akhirnya kepada si tukang perahu yang berdiri di ujung perahu perahu perintahnya,
"Perahu ini sedikit mencurigakan coba kau naik ke atas perahu untuk lihat-lihat sebentar!"
Si tukang perahu segera bungkukkan badannya memberi hormat dan berlalu untuk
melaksanakan perintah tersebut.
Sesudah meletakkan galahnya kesamping perahu dia mulai memanjat naik ke atas
perahu misterius itu. Si orang tua dengan menggendong tangan tetap berdiri di ujung perahu memandang
sang rembulan yang ada di atas awang-awang, air mukanya sedikitpun tidak berubah.
Mendadak" suatu jeritan yang amat keras bergema dari atas perahu misterius itu
disusul tubuh sang tukang perahu dengan terhuyung huyung berlari keluar dan meloncat
ke tengah telaga. Orang tua berjubah lebar itu mengerutkan alisnya, ujung bajunya dikebut dengan cepat
meloncat naik ke atas perahu.
Si bocah cilik yang sedang tertidur dengan amat nyenyaknya di dalam pelukan
perempuan berusia pertengahan itupun segera dibuat sadar kembali oleh jeritan yang
amat keras tadi, dia segera bangkit berdiri dari pelukan ibunya.
Saat itu orang tua berjubah lebar tersebut sudah berada di atas perahu, dengan
langkah perlahan dia mulai berjalan menuju ke dalam bilik.
Angin malam yang bertiup sepoi-sepoi secara samar-samar disertai bau amis darah
yang memuakkan. Dia segera menghentikan langkahnya.
"Adakah orang disana?" tanyanya dengan suara berat.
Sinar matanya yang amat tajam dengan perlahan berputar memandang keadaan di
sekeliling tempat itu, mendadak pandangannya tertunduk dengan sebuah gagang pedang
berwarna kuning yang bergoyang tertiup angin, ujung pedang tersebut sudah menancap
di atas dada seorang berpakaian perlente sehingga tembus sampai dadanya! keadaannya
sangat mengerikan sekali.
Di bawah sorotan sinar lilin yang bergoyang tertiup angin tampaklah orang berpakaian
perlente itu bukan lain adalah seorang pemuda yang usianya masih amat muda sekali.
Wajahnya yang pucat pasi sukar untuk menutupi ketampanan mukanya yang menarik itu.
Dengan perlahan si orang tua itu menghela napas panjang kemudian melanjutkan
langkahnya menuju ke dalam bilik.
Di tengah sebuah ruangan perahu yang mewah sekali tampaklah suatu pemandangan
yang sangat mengerikan, meja kursi berantakan darah segar berceceran memenuhi
seluruh lantai. Tidak jauh di depan pintu ruangan itu terlentanglah mayat seorang lelaki
berusia pertengahan yang batok kepalanya sudah hancur remuk.
Sekali lagi si orang tua itu menghela napas panjang gumamnya, "Sungguh
menyeramkan pemandangan disini!"
Pandangan matanya dengan perlahan berputar kembali, tidak jauh dari sebuah jendela
yang terbentang lebar berdirilah seorang lelaki berjubah hitam yang kesepuluh jarinya
dengan kencang-kencang tertancap ke dalam dinding papan.
Di dalam sekali pandang kelihatannya dia sedang memegang dinding tetapi sesudah
dipandang lebih teliti lagi barulah diketahui kalau orang itu sudah lama binasa, badannya
kaku cuma saja badannya tidak sampai rubuh karena kesepuluh jarinya dengan kencang
terpantek di atas dinding.
Pada seluruh tubuh orang ini tidak terlihat tanda-tanda terluka, cuma saja dari hidung
serta mulutnya mengeluarkan darah kental tak putus-putusnya.
Di bawah sorotan sinar lampu lilin terang benderang, tampaklah keadaan dari ketiga
sosok mayat itu amat menyeramkan sekali membuat suasana begitu menakutkan"
membuat hati bergidik bulu roma" pada berdiri.
Angin malam bertiup dengan perlahannya membawa hawa yang amat dingin serasa
menusuk tulang walaupun nyali kakek tua itu amat besar tak urung merasa bergidik juga
melihat suasana disana, dia menggelengkan kepalanya kemudian menghela napas panjang
dengan perlahan mulai berjalan mengundurkan diri dari dalam ruangan.
Sekonyong-konyong dari pojokan ruangan perahu itu berkumandang suara rintihan
yang amat lemah sekali. Walaupun suar rintihan itu amat lemah tetapi di dalam pendengaran orang tua itu
serasa guntur yang membelah bumi, saking terperanjatnya dia menghentikan badannya
dan berdiri mematung beberapa saat lamanya disana.
Dengan perlahan dia putar badannya memandang ke seluruh ruangan dengan
pandangan tajam dia berusaha mencari tahu dari mana suara rintihan tadi berasal.
Terasa olehnya keadaan dari ketiga sosok mayat itu semakin dilihat semakin
menyeramkan. Tak tertahan lagi seluruh bulu kuduknya pada berdiri, baru saja dia hendak
meninggalkan tempat itu. Sekali lagi suara rintihan tersebut berkumandang datang.
Si orang tua menjadi agak ragu-ragu, sebentar alisnya dikerutkan rapat-rapat lama
sekali dia berdiri tertegun gumamnya kemudian, "Orang yang menanti saat sekaratnya ada
di depan mataku. Bagaimana Loohu begitu tega tidak turun tangan memberi
pertolongan?"" Dia mengebutkan ujung jubahnya dan berjalan kembali ke dalam ruangan perahu itu.
Terlihatnya di tempat kegelapan dari pojok ruangan perahu itu tergeletak tubuh wanita
berbaju biru, rambutnya yang panjang terurai awut-awutan dan seluruh tubuhnya
bermandikan darah kini dia orang sudah setengah sekarat bersandar pada dinding papan
itu." Melihat keadaan yang amat mengerikan itu tak terasa lagi perasaanku iba memenuhi
hati si orang tua dia segera berlari keluar ruangan memanggil kedua orang tukang
perahunya untuk membantu menggotong perempuan yang luka parah itu keluar dari
ruangan. Di bawah sorotan sinar lilin terlihatlah wajahnya amat pucat pasi. Sepasang matanya
dipejamkan rapat-rapat sedang perahu bajunya sudah basah kuyup oleh ceceran darah
segar. Tiba-tiba dia mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya sedikit bergoyang disertai
suara rintihan yang amat berat"
Pada waktu tubuhnya sedikit berputar itulah tangannya secara tidak sengaja sudah
menyamplok lampu minyak yang ada di pinggirnya.
Lengan yang sebenarnya sudah penuh dengan luka karena gerakannya yang memaksa
ini membuat mulut luka mereka kembali, darah segar dengan derasnya mengucur keluar"
Dengan menggigit kencang bibirnya dia paksakan diri menahan perasaan sakit yang
amat sangat itu perlahan-lahan dia pejamkan matanya cuma peluh dengan derasnya
mengucur keluar membasahi wajahnya yang pucat pasi itu.
Baru saja kedua orang tukang perahu itu berhasil menggotong tubuh si perempuan
luka itu ke dalam perahu mereka. Mendadak dari dalam ruangan perahu besar itu
mengepul asap yang amat tebal disertai jilatan api yang berkobar-kobar membakar
seluruh barang yang ditemuinya, dengan adanya angin malam yang mulai memancar.
Seperti mulai menjalan keseluruh tempat di dalam sekejap saja perahu besar itu sudah
tenggelam di dalam lautan api.
"Cepat mendayung perahu, kita sedikit menjauh!" terdengar si kakek tua itu memberi
perintah dengan nada berat sesudah memperhatikan sebentar lautan api itu.
Dengan tergesa-gesa kedua orang perahu itu meletakkan perempuan itu kemudian
dengan sekian tenaga mendayung perahunya menyingkir dari sana.
Dengan perlahan perempuan berbaju biru itu membuka matanya melihat lautan api
yang menghabiskan seluruh-seluruh perahu dia berusaha melegakan hatinya. Tapi
dikarenakan luka yang dideritanya amat parah ditambah darah yang mengucur keluarpun
amat banyak tak kuasa lagi dia jatuh tak sadarkan diri.
Ketika dia sadar dari pingsannya, didapat dirinya sudah berbaring di dalam kamar yang
sangan indah sekali. Di atas pembaringan kayu dimana dia berbaring terbentanglah kasur yang amat empuk
di sekelilingnya tertutup dengan hordin sutera. Di atas meja tiolet terletaklah sebuah
cermin yang sebesar dua depa, sedang pada samping kanan dekat pojokan ruangan
tergantunglah sebuah lampu lentera yang cuma ada di dalam istana.
Sekali pandang saja dia sudah merasa kalau keluarga ini tentulah suatu keluarga yang
kaya raya. Tiba-tiba, hordin yang menutupi bilik pintu terbentang dan berjalanlah masuk seorang
perempuan berusia pertengahan dengan dandanan amat sederhana, pada tubuhnya
mengenakan baju berwarna hijau muda tetapi tidak menutupi kecantikan wajahnya.
"Aaaah! Kau sudah sadar?" ujar perempuan itu dengan wajah kaget, dengan perlahan
dia berjalan mendekati pembaringan itu.
Terdengar perempuan berbaju biru itu menghela napas panjang.
"Heeey" terima kasih atas pertolongan nyonya, aku disini mengucapkan terima kasih
dulu atas budi pertolongan kalian!"
Selesai berbicara dia berusaha untuk meronta bangun.
Siapa tahu karena sedikit gerakannya ini membuat mulut lukanya tergelar sehingga
terasalah sangat sakit sekali, tak kuasa lagi dia mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Beee! Seluruh badanmu penuh dengan luka bekas bacokan golok, lebih baik jangan
bergerak dulu!" cegah perempuan berusia pertengahan itu sembari terburu-buru
goyangkan tangannya. "Hee! jikalau bukannya Hujien turun tangan menolong diriku mungkin nyawaku sudah
habis sejak dari tadi. Budi yang amat besar ini aku orang tidak akan melupakan untuk
selamnya, aku akan mengukir budi ini di dalam hatiku!"
"Aduh, aduh, tidak usah berbicara perkataan begitu lagi!" Potong perempuan berusia
pertengahan itu sambil gelengkan kepalanya berulang kali. "Angin dua awan siapa yang
bisa menduga, bencana dan rejeki siapa yang bisa menolak?" di dalam hidupnya seorang
manusia tentu ada beberapa kali memenuhi bencana. Kau boleh beristirahat dengan
berlega hati, segala kebutuhan yang kau inginkan bolehlah kau minta dengan tanpa rikuriku,
sekalipun kami bukanlah orang kaya tapi kiranya masih bisa untuk memenuhinya."
"Siapakah nama besar Hujien?"" Sambung perempuan berbaju biru itu kemudian.
"Aku orang she Siauw?"
"Oooh Siauw Hujien!"
dengan perlahan Siauw Hujien gelengkan kepalanya.
"Jangan kau orang memanggil aku dengan sebutan itu, mungkin aku cuma lebih tua
beberapa tahun saja dari usiamu, lebih baik kau panggil aku dengan sebutan cici saja."
Perempuan berbaju biru itu termenung sebentar akhirnya dia menjawab, "Hujien begitu
pandang tinggi diriku, mana aku orang berani menerimanya?"
Dengan perasaan gusar dan bimbang perempuan berbaju biru itu terdiam pikirnya
dalam hati, "Akan kuingat selalu atas kebaikan budi Siauw Hujien ini?"
Tiba-tiba Siauw Hujien berkata dengan suara nada yang halus, "Heeey" luka Moaymoay
amat parah sekali untuk sementara janganlah berbicara sembarangan, suamiku
sudah berangkat ke dalam kota untuk belikan obat kuat kau."
Perempuan berbaju biru itu benar-benar merasa terharu oleh kebaikan budi sang,
perempuan berusia pertengahan itu. Titik-titik air mata tak kuasa lagi mengucur keluar
membasahi pipinya. "Kita belum saling mengenal tapi hujien mau berbuat begitu baik terhadap aku orang,
budi kebaikan ini aku tidak akan melupakan untuk selama-lamanya."
Perlahan-lahan sepasang matanya dipejamkan, dua titik air mata kembali menetes
keluar dari ujung kelopaknya.
Tiba-tiba dia teringat kembali akan sesuatu peristiwa yang amat penting sekali,
sepasang matanya yang baru saja dipejamkan mendadak dibentangkan lebar-lebar.
"Tolong tanya apakah perahu yang aku orang tumpangi masih berhenti ditengahtengah?"
"Heeey" sudah terbakar habis!" Seru Siauw Hujien sambil gelengkan kepalanya.
"Rejeki datang tidak berkawan, bencana pergi tidak sendirian jilatan api yang amat
dahsyat itu bukan saat sudah membakar habis perahu besarmu, bahkan sampai tumbuhan
alang-alang yang penuh tumbuh ditepi telaga juga ikut musnah. Yang paling kasihan lagi
beberapa buah perahu nelayan yang sedang buang sauh disekitar tempat itu banyak rewel
ikut terbakar musnah. Api itu sudah padam pada tengah malam tadi mungkin perahumu
itu kini sudah terbakar ludas tak berbekas?"
Mendengar berita itu perempuan berbaju biru itu cuma menggoyang-goyangkan biji
matanya, dia tetap membungkam dalam seribu bahasa.


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Hujien yang melihat perubahan wajah dia orang segera mengira sang
perempuan sudah merasa sedih, atau kehilangan perahunya itu, lalu hiburnya, "Harta
benda bisa dicari kembali tapi nyawa sukar untuk dicarikan gantinya, buat apa kau
bersusah hati" lebih baik kau berdiam saja disini dengan tenang."
"Terima kasih atas kebaikan budi hujien," segera ujarnya"
"Pada tubuhmu terdapat sembilan tempat luka yang amat parah tetapi ternyata masih
bisa mempertahankan nyawamu, hal ini sungguh berada diluar dugaan loohu."
"Terima kasih hujien sudah menolong nyawaku lolos dari bahaya kematian ini."
Si orang tua gelengkan kepalanya seraya berkata dengan penuh semangat.
"Walaupun Loohu sedikit mengerti tentang ilmu obat-obatan tapi luka yang demikian
parahnya benar-benar membuat aku merasa bingung sekali jika keadaanmu yang sampai
saat ini masih bisa mempertahankan hidupmu kelihatan sekali tidak ada bahaya buat
nyawamu. Menanti sesudah luka-luka ini menutup kembali dan beristirahat beberapa
waktu lagi mungkin kesehatanmu akan pulih kembali seperti biasa."
Sekali lagi Siauw Hujien memandangi luka bekas bacokan yang memenuhi tubuhnya
itu, dengan sedih dia gelengkan kepalanya kemudian mengundurkan diri dari dalam
kamarnya. Air muka perempuan berbaju biru yang penuh diliputi oleh perasaan sakit pada saat ini
terlintaslah suatu senyuman setelah itu dia baru pejamkan matanya tidur.
Ketika sadar kembali untuk kedua kalinya, hari sudah larut malam.
Di dalam ruangan yang sangat mewah itu selain hadir Siauw Hujien yang amat cantik
kini sudah bertambah dengan seorang tua berjubah hijau yang sangat berwibawa sekali.
Di bawah tempat lilin itu terletaklah secawan obat yang masih mengepulkan uap panas.
Ketika si orang tua berwajah angker itu melihat perempuan berbaju biru itu sadar
kembali dari pulasnya. "Obat yang ada di atas meja itu sudah membuang banyak tenagaku untuk
membuatnya, sesudah kau orang minum obat tersebut harap kau jangan memikirkan
banyak urusan lagi. Baik-baiklah kau tidur satu malaman soal-soal yang lain biarlah besok
pagi aku periksa kembali urat nadimu."
Selesai berkata sambil membopong tangannya dengan perlahan dia berjalan keluar dari
dalam ruangan. Siauw Hujien segera mengambil cawan obat itu dan berjalan mendekati samping
pembaringan. "Suamiku jadi orang berhati dingin dan sikapnyapun amat kaku sekali harap moaymoay
jangan sampai tersinggung oleh sikapnya yang tanpa sungkan-sungkan itu."
Bisiknya dengan perlahan.
"Aaah Hujien bicara terlalu berlebihan!" bantah perempuan berbaju biru itu dengan
cemas. "Budi pertolongan ini sudah sedalam sekalipun mati aku tetap akan membalasnya."
Siauw Hujien segera tersenyum.
"Moay-moay tidak usah banyak bicara lagi ayo minum obat ini!"
"Aku orang adalah seorang manusia gelandangan, mana berani berada di dalam satu
tingkatan dengan Hujien, namaku adalah Im Kauw harap Hujien memanggil dengan
sebutan namaku saja."
Sekali lagi Siauw Hujien tersenyum.
"Walaupun moay-moay sudah terluka parah tapi sinar wajahmu masih amat cemerlang,
jikalau dugaanku tidak salah tentu moay-moay bukanlah seorang sembarangan!"
Dengan perlahan Im Kauw menghela napas panjang dia tidak banyak bicara lagi segera
diterimanya mangkok obat itu dan diteguknya hingga habis.
Setelah mendapatkan perawatan selama beberapa hari lamanya akhirnya sebagian
besar dari luka Im Kauw sudah menutup kembali sedang dia sendiripun sudah dapat turun
dari tempat pembaringan. Dari mulut Siauw Hujien dia sudah banyak mengetahui kisah yang telah dialami oleh
mereka sekeluarga. Sekiranya Siauw thay Hujien adalah seorang pembesar negeri yang bersifat jujur, tetapi
diantara banyak pembesar curang banyak yang tidak suka padanya yang kemudian
bersama-sama turun tangga mencelakai dirinya sehingga satu keluarga pada masuk dalam
penjara. Untung saja pada suatu malam mereka berhasil ditolong oleh seorang jagoan dari
Badim yang membantu mereka meloloskan diri dari dalam penjara, sejak saat itu mereka
mengasingkan diri di tempat sunyi. Setiap hari kecuali memancing ikan, menanam bunga
dan menikmati keindahan alam mereka berdiam tak unjukkan diri.
Beberapa tahun kemudian akhirnya keluarga dikaruniai seorang anak lelaki.
"Heeeeeeeey" demikianlah untuk menghindarkan diri dari kejaran kaum pembesar
laknat kami sekeluarga terpaksa mengasingkan diri di tempat itu?""
Demikianlah Sauw Hujien mengakhiri kisahnya.
Satu bulan lewat dengan cepatnya, kini semua luka yang diderita Im Kauw pun sudah
sembuh. Karena pergaulannya selama beberapa hari ini dengan Siauw Hujien membuat
perhubungan persahabatan diantara mereka makin rapat. Tetapi selama ini juga dia orang
tidak pernah menceritakan asal usulnya sendiri, bahkan terhadap perahunya yang sudah
terbakar musnah itupun dia tidak pernah menganggapnya kembali, agaknya peristiwa itu
sudah terlupakan sama sekali.
Jumlah anggota keluarga Siauw ini amat sedikit sekali, kecuali suami istri beserta
anaknya cuma ada Siauw Hok itu pelayan tua yang sudah mengikuti keluarga Siauw
berpuluh-puluh tahun lamanya serta seorang pelayan dan seorang budak perempuan.
Kiranya perahu berwarna putih yang ditumpangi Siauw thay Hujien tempo hari juga ikut
terbakar oleh amukan api yang menghebat sedangkan kedua orang tukang perahunyapun
sudah mengundurkan diri dari pekerjaan.
Kini di tengah halaman rumah yang amat luas kecuali seorang pelayan yang
membersihkan lantai serta menyirami bunga tak ada orang lain yang muncul di tempat itu.
Karena sebab itulah suasana di tengah halaman sunyi dan tenang sekali.
Pada suatu hari setelah makan siang tiba-tiba Im Kauw berkata kepada Siauw Hujien,
"Lukaku kini sudah sembuh benar-benar sedang setiap hari tidak punya pekerjaan rasanya
amat senggang sekali. Baiknya putramu kirim kepadaku saja untuk aku kasih pelajaran
ilmu surat, dengan demikian akupun bisa melenyapkan kemurungan hatiku ini?"
Siauw Hujien termenung sebentar, akhirnya dia tertawa.
"Kalau memangnya moay-moay punya maksud begitu, aku takut malah sudah buang
banyak tenagamu dengan percuma?"
Im Kauw tahu dalam hatinya sedang ragu-ragu, karenanya dia tidak banyak mendesak
lagi. Pada keesokan harinya Siauw Hujien dengan membawa anaknya datang menyambangi
dirinya kembali, walaupun Im Kauw sudah menolak beberapa kali akhirnya si bocah cilik
itu menjalankan penghormatan juga kepadanya.
Sekalipun Siauw Thayjien sudah amat lama sekali mengasingkan diri dari dunia ramai
tetapi terhadap peraturan rumah dia mempertahankan dengan kerasnya.
Walaupun dari mulut Siauw Hujien dia sudah mendengar kalau keluarga Siauw
mempunyai seorang anak tunggal tetapi sejak dia sadar dari pingsannya hingga saat ini
belum pernah bertemu muka sang bocah.
Menurut ingatannya sendiri Siauw Thayjien sendiripun, selama beberapa bulan ini cuma
menjenguk satu kali saja, selama ini dia selalu ditemani oleh Siauw Hujien serta seorang
budak-budak perempuan yang baru berusia delapan sembilan belas tahunan.
Setelah Siauw Hujien menyuruh anaknya memberi hormat kepada Im Kauw segera
menarik tangannya sambil berkata dengan mesra.
"Moay-moay, bakat bocah ini sangat bagus ingatannyapun amat tajam sekali cuma
sayang tubuhnya amat lemah harap Moay-moay mau sedikit memperhatikan dirinya?"
"Cicikan harap berlega hati, aku bisa memperhatikan dirinya seperti kau memperhatikan
dia orang." Tak tertahan lagi Siauw Hujien menghela napas panjang.
"Moay-moay, harap kau jangan salah paham atas maksud hatiku, jikalau kau orang
mau pukul pukullah sesuka sesukamu, jika harus dimaki makilah sesuka hatimu, ada
paparan yang mengatakan pisau jika tidak diasah tak akan tajam?"
"Cici harap kau berlega hati," sambung Im Kauw sambil melirik ke arah bocah tersebut.
"Aku lihat bakatnya amat bagus otaknyapun amat tajam pada kemudian hari
kecerdasannya tidak akan di bawah suamimu!"
"Heeeey" suamiku selalu kukuh pada pendirian sehingga sudah banyak membuat
kesalahan kepada kaum pembesar. Terpaksa kami harus lari dan mengasingkan diri di
tengah dusun Tad Kwee ini. Biar orang sudah sumpah untuk tidak akan mendidik anaknya
menjadi seorang pembesar negeri, ilmu suart yang biasanya diajarkan kepada sang bocah
tidak ada sebuahpun yang menyangkut soal negara. Nyangkut soal negara, jika bukannya
syair sejak nyanyian perbintangan kitab suci dan kitab-kitab lainnya dia menyandarkan
juga apa yang dia pikirkan pada waktu itu, sehingga seorang bocah yang baru berusia dua
belas tahun sudah dibuatnya memiliki macam-macam ilmu pengetahuan yang aneh."
"Suamimu sedikitpun tidak salah," ujar Im Kauw kemudian sambil tertawa. "Tidak
perduli pada kemudian hari bocah ini mau menjabat sebagai pembesar negeri atau tidak
ilmu-ilmu pengetahuan itu memang seharusnya diketahui."
Siauw hujien pada saat itu agaknya sudah merasa waktunya telah cukup bercakapcakap
kepada puteranya lalu dia berpesan, "Ling jie kau harus baik-baik mendengar
nasehat bibi Im." Dia segera putar badan meninggalkan tempat itu.
Im Kauw juga tidak menahan lebih lama. Dia segera menghantar Siauw hujien keluar
pintu kemudian menutup pintu kamarnya.
Di dalam kamar buku itu kecuali terdapat seperangkat alat minum saja. Jendela di
samping kamar tepat menghadap ke arah kebun bunga yang secara samar-samar
memancarkan bau harum yang semerbak.
Dengan pandangan amat tajam Im Kauw memperhatikan bocah itu dari atas kepala
hingga ke ujung kakinya, terlihatlah pada kulitnya yang berwarna kuning secara samarsamar
mengandung warna hijau kebiru-biruan tak terasa lagi dia menghela napas panjang
pikirnya, "Untung sekali bocah ini sudah bertamu dengan aku kalau tidak umurnya tidak
akan lebih dari dua puluh."
Lalu katanya, "Aku bernama Siauw Ling!"
"Nama ini amat bagus sekali, semoga saja pada kemudian hari kau berhasil
mencermelangkan nama keluargamu."
Tapi Siauw Ling cepat-cepat gelengkan kepalanya.
"Tia pernah memeriksa urat nadiku, dia orang tua bilang usiaku tidak akan lebih dari
dua puluh tahun asalkan aku berhasil sedikit belajar ilmu pengetahuan dua tahun
kemudian dia mau membawa aku berpesiar kesemua tempat yang punya pemandangan
indah sekalipun kemudian hari aku harus mati dalam usia muda juga tidak akan sampai
merasa kecewa." Mendengar perkataan itu Im Kauw menjadi melengak. Tapi sebentar kemudian dia
sudah tertawa. "Perkataan ini apakah kau pernah memberitahukan kepada ibumu?"
"Tidak! tia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku untuk jangan sampai menceritakan
urusan ini kepada ibu. Tia bilang kalau ibu tahu akan urusan ini, dia pasti akan menangis
sedih." Sekali lagi Im Kauw tersenyum.
"Ling jie, kau takut mati tidak?" tanyanya
"Tidak takut! Tia bilang mati hidup berada di tangan Thian, siapapun tidak akan bisa
mengubahnya." "Tetapi kematian adalah suatu pekerjaan berat seberat gunung Thay-san, ringan
seringan bulu angsa" Walaupun mati hidup seseorang ada di tangan Thian, tetapi setiap
orang harus memiliki keinginan untuk hidup lebih lama lagi."
Dengan perlahan Siauw Ling tundukkan kepalanya, lalu ujarnya dengan sedih, "Aku
tidak ingin melihat Tia merasa sedih karena aku?"
Air muka Im Kauw seketika itu juga berubah amat serius. Sekilas hawa dingin yang
amat kaku menyelimuti seluruh wajahnya lalu ujarnya sepatah demi sepatah, "Bocah bila
kau orang mau mendengarkan omonganku maka kau tidak akan mati?"
"Sungguh?" teriak Siauw Ling sambil membelalakan matanya.
"Hemm" cuma ada satu hal yang harus kau ingat. Apa yang kau pelajarkan kepadamu
kau orang tidak boleh memberitahukan kepada ayah ibumu."
"Baiklah!" sahut Siauw Ling kemudian sesudah termenung sejenak.
Waktu berlalu dengan amat cepatnya, di dalam sekejap mata dua bulan sudah berlalu
kembali. Tidak ada seorangpun tahu ada yang sudah dikerjakan Im Kauw serta Siauw Ling yang
bersembunyi di dalam kamar buku yang tertutup rapat itu selama dua bulan ini.
Tetapi ada satu hal yang membuat Siauw hujien merasa lega, tubuh Siauw Ling yang
semula amat lemah kini sudah menjadi bertambah sehat sedang sinar kemerah-merahan
pun mulai melampisi air mukanya.
Siauw thay cien yang hatinya amat tawar walaupun melihat puteranya Siauw Ling
memperlihatkan perubahan yang amat cepat tapi dia tidak mau ambil berduli, sebaliknya
Siauw hujien yang melihat puteranya semakin hari semakin sehat menjadi amat girang,
dia mana mau tahu sebenarnya Siauw Ling sudah belajar apa dari diri Im Kauw.
Hari itu, bulan dua belas tanggal dua puluh tiga baru saja Siauw hujien selesai
berdandan tampaklah olehnya Siauw Ling dengan tergesa-gesa berlari masuk ke dalam
kamar sambil berteriak, "Mama" bibi Im sudah pergi!"
"Apa?" Teriak Siauw Hujien terkejut.
"Bibi Im sudah pergi secara diam-diam dia orang cuma meninggalkan sepucuk suart
buat kita." Dengan terburu-buru Siauw hujien menerima surat itu dan dibaca isinya, "Buat Siauw
hujien yang baik!" "Budi pertolongan dari kalian sekeluarga terutama cinta kasih hujien kepadaku
sebenarnya tidak"ah sepantasnya aku pergi tanpa pamit."
"Aku merasa amat sayang tidak bisa melanjutkan memberi pelajaran kepada Ling jie
untuk membalas budi yang amat besar itu, tapi apa boleh buat. Siauw moay mempunyai
urusan penting yang harus diselesaikan secepat mungkin."
"Sebetulnya Siauw moay mau berpamit kepada cici sekalian. Berhubung takut kalau cici
menahan aku lebuh lama lagi terpaksa dengan meninggalkan sepucuk surat ini aku pergi
secara diam-diam harap cici sekalian suka memaafkan kesalahan ini."
"Tapi cici jangan kuatir, budi yang amat besar ini pada suatu hari pasti akan kubalas."
Selagi membaca surat ini Siauw Hujien segera berteriak, "Bagaimana ini bisa jadi" dia
adalah seorang perempuan lemah apa lagi di tengah musim salju yang demikian
derasnya." Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia yang berjalan masuk dengan tergesa-gesa
Siauw Thay jin dengan menyingkap hordin sudah berjalan masuk kedalam.
Waktu itu dihari Siauw Hujien benar-benar merasa cemas sekali melihat suaminya
berjalan masuk segera ujarnya dengan cepat, "Lho ya coba kau lihat, Im Kauw sudah
meninggalkan tempat ini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat saja."
"Tidak usah dilihat lagi! Di dalam hal ini tentu ada urusan," ujar Siauw Thayjien sambil
gelengkan kepalanya. Dia segera menyambut surat itu kemudian disobek-sobek dan memasukkannya kembali
ke dalam saku. "Kau berbuat apa?" Teriak Siauw Hujien tertegun,
"Surat ini tak bisa dia simpan lagi."
"Kenapa?" Siauw Thay jin menghela napas panjang.
"Kita harus berjaga-jaga terhadap peristiwa yang tidak diinginkan, urusan yang sudah
berlalu biarkanlah berlalu kita tidak usah mengungkapnya kembali."
Si orang tua yang berhati tawar ini sekalipun tidak tahu urusan yang sudah terjadi di
dalam Bulim tetapi dia kurang punya pengalaman amat luas secara samar-samar sudah
merasakan kalau urusan ini sedikit tidak beres.
Siauw Ling yang dengan termangu-mangu melihat tindak tanduk ayahnya mendadak
tertawa ringan. "Menurut pendapatku bibi Im pasti akan kembali lagi," ujarnya perlahan. "Cepat atau
lambat aku pasti bisa bertemu kembali dengan dia orang."
Air muka Siauw Thay jin segera berubah membesi.
"Bocah cilik, tahu apa?"?" makinya.
Tetapi tidak perduli ayahnya bagaimana memaki dirinya di dalam hati bocahnya dia
merasakan suatu keteguhan hatinya yang amat aneh sekali. Dia merasa Im Kauw tidak
akan meninggalkan begitu saja, pada suatu hari dia tentu akan bertemu kembali dengan
dirinya. Usianya yang masih muda ini membuat apa yang sudah dirasakan mantap di dalam
hatinya tidak akan diubah kembali untuk selamanya.
Mulai saat itu setiap hari dia terus menanti-nanti di depan pintu tidak perduli bagaimana
dinginnya hawa saat itu dia tetap melototkan sepasang matanya memperhatikan jalan
raya yang sudah memutih tertutup oleh salju.
Kadang kali Siauw Hujien menariknya ke dalam rumah tetapi begitu pengawasannya
kendor dia lari kembali keluar, karenanya semua isi rumah sudah tau akan kebiasaannya
ini sehingga tidak ada yang berani buka mulut mencegah.
Musim salju yang sangat dingin merupakan hari yang cepat berlalu, siang jauh lebih
pendek dari malam harinya di dalam sekejap saja lima hari sudah berlalu dengan amat
cepatnya. Beberapa hari menjelang tahun baru seperti biasa dengan menggunakan mantel
berbulu yang tebal memakai topi berbulu pula dia berdiri di depan pintu memandang salju
nan putih yang menutupi seluruh permukaan.
Tiba-tiba terdengar suara helaan napas panjang berkumandang dari belakang tubuhnya
disertai beberapa patah kata, "Majikan cilik pulang saja! Salju yang begitu tebal sudah
menutupi permukaan tidak akan ada orang yang berani melakukan perjalan dalam waktu
seperti ini." Siauw Ling segera menoleh. Entah sejak kapan Siauw Hok itu pelayan tuanya sudah
berdiri di belakang tubuhnya. Tak heran lagi, dia mengerutkan alisnya rapat-rapat
kemudian ujarnya dengan amat gusarnya, "Siapa yang suruh kau ikut campur dalam
urusanku. Cepat pulang!"


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak sesosok bayangan manusia dengan menempuh tiupan angin serta hujan
badai berlari mendatang. Hatinya menjadi amat girang sekali teriaknya, "Aaaah". sudah
datang, sudah datang, aku sudah menduga dari dulu bibi Im tidak akan meninggalkan
aku"..!" Nada suaranya penuh disertai perasaannya yang amat girang.
Siauw Hok menjadi tertegun, diapun mengikuti arah pandangan majikan ciliknya
memandang ke arah depan. Ternyata tidak salah dari antara tumpukan salju itu tampaklah
sesosok bayang manusia berjalan mendatang. Jika dilihat dari potongan dadanya yang
amamt ramping jelas sekali dia adalah seorang perempuan.
Di dalam musim yang demikian dinginnya setiap orang yang memakai pakaian tebalpun
merasa kedinginan tetapi perempuan itu cuma memakai pakaian singsat yang amat tipis
lagi pula compang camping di tengah tiupan angin yang amat dingin uung bajunya
berkibar tak hentinya. Bayangan manusia itu semakin lama semakin mendekat, saat itulah baru jelas terlihat
kalau orang itu bukan lain adalah seorang gadis berbaju hijau yang baru berusia enam,
tujuh belas tahunan rambutnya yang panjang terurai ke bawah wajahnya pucat
menghijau, wajahnya di tengah tiupan angin taupan gemetar dengan amat kerasnya jelas
sekali dia tak bisa menahan rasa dingin yang menyerang badannya.
Air muka Siang-Siang yang semula penuh diliputi oleh senyuman kegembiraan kini
sudah lenyap kembali berganti dengan perasaannya yang amat kecewa, dia menghela
napas panjang. Baru saja tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu mendadak terdengar gadis itu
menjerit keras, tubuhnya sudah terluyung-luyung maju dua langkah ke depan lalu rubuh
ke atas permukaan salju. Pemandangan pada saat itu amat menyedihkan sekali di atas permukaan salju yang
begitu tebal di tengah tiupan angin yang dingin seorang perempuan muda berpakaian
amat tipis menggeletak tak sadarkan diri di atas tanah.
Dengan amat sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang.
"Sungguh kasihan bocah itu!"
Walaupun pada nada suaranya mengandung penuh perasaan kasihan tetapi orangnya
masih tetap berdiri di tempat semula sama sekali tidak bergerak.
Salju turun bagaikan bulu angsa di dalam sekejap mata itulah sebagian besar tubuh
gadis berbaju hijau yang menggeletak di atas tanah sudah terpendam di dalam tumpukan
salju. Siauw Ling ragu-ragu sebentar akhirnya dengan langkah lebar dia berjalan mendekati
tubuh sang gadis dan membersihkan salju yang menutupi sebagian besar tubuhnya itu.
"Hey, kau bangunlah!" teriaknya sembari menarik tangannya sigadis berbaju hijau itu.
"Biar aku bimbang kau masuk kerumah untuk menghindarkan diri dari amukan salju?"
Melihat tingkah laku dari majikan mudanya dengan hati cemas Siauw Hok berjalan
mendekat. "Heeey" Thay Souw ya di tengah tiupan angin yang demikian dingin serta curahan
salju yang demikian lebat mungkin dia orang sudah mati beku," ujarnya cepat-cepat.
"Hmm! Sekalipun sudah mati kitapun seharusnya membantu dia orang menguburkan
mayatnya." "Tapi selama dua hari ini Loo-ya serta Hujien sedang murung hati!" seru Siauw Hok
sembari tertawa pahit. "Bilamana mereka melihat kau orang menggotong nona ini
kerumah mungkin Loo-ya dia orang?"
"Loo-ya kenapa?" teriak Siauw Ling sambil melototkan matanya. "Tia bukanlah manusia
berhati kejam yang tidak mau menolong orang di dalam keadaan susah. Cepat gotong
nona ini ke dalam rumah, bila ada urusan aku yang menanggung semua!"
Ketika dia dapat melihat wajah dari gadis ini dalam hatinya entah dikarena apa segera
merasakan kalau wajahnya sangat dikenal olehnya, tanpa terasa lagi dari dalam hatinya
timbul perasaan simpatik, oleh karenanya dengan kokoh dia ingin membawa sang nona
kembali kerumah. Dia orang yang sudah mengikuti sang majikan berpuluh-puluh tahun lamanya sudah
mengenal benar-benar sifatnya sang Loo-ya, dia tau dalam beberapa hari ini Loo-ya
maupun Hujien sedang dibuat murung oleh peristiwa Im Kauw dalam hati dia benar-benar
tidak ingin ada urusan lagi yang mengganggu karenanya dengan diam-diam dia membawa
tubuh gadis ke belakang rumah.
Siapa tahu baru saja sampai di tengah halaman justru pada saat itu telah bertemu
dengan Siauw Hujien, tak kuasa lagi hatinya terasa tergetar amat keras, terpaksa ujarnya
sambil bungkukkan diri memberi hormat.
"Nona ini dengan menempuh hujan salju sudah melakukan perjalanan mungkin karena
tidak kuat menahan hawa dingin dia orang sudah rubuh tak sadarkan diri di atas
permukaan salju, nanti biarlah aku orang beri beberapa stel pakaian kepadanya kemudian
suruh dia melanjutkan perjalanan kembali."
Dengan sinar mata penuh kasih sayang Siauw Hujien memandang beberapa kejap ke
arah wajah sang gadis, mendadak dia menghela napas panjang.
"Bocah perempuan ini sungguh amat kasihan hawa demikian dingin dia cuma memakai
baju begitu tipis" Heeeey! Biarlah dia orang menginap beberapa hari saja disini, sesudah
hujan salju ini berhenti baru kita baik-baik lepaskan dia untuk melanjutkan perjalannya
kembali." Terpaksa Siauw Hok menyahut sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.
Pada saat yang bersamaan pula Siauw Ling tiba-tiba muncul dari mereka, sambil
merangkul lengan Siauw Hujien ujarnya tertawa, "Dari tadi Lingjie sudah tahu kalau mama
menyalahkan diriku?"
Seharian ini hujan salju turun tak henti-hentinya membuat hawa semakin dingin, pada
saat Siauw Ling menemani orang tuanya duduk menghangatkan tubuh dipinggir api
unggun mendadak tampak banyangan manusia berkelebat gadis berbaju hijau itu dengan
langkah perlahan berjalan masuk.
Sesudah beristirahat seharian penuh tenaganya kini pulih kembali. Di bawah sorotan
sinar lilin tampaklah wajahnya yang memerah seperti buah apel dengan rambutnya yang
hitam panjang terurai ke bawah, walaupun baju yang dipakai amat kasar tapi tidak
menutupi kecantikan wajahnya yang sangat menggiurkan itu.
Dia menggibaskan salju yang melekat pada badannya kemudian berjalan masuk ke
dalam ruangan. Dari kejauhan kepada Siauw Thayjien suami istri jatuhkan diri memberi
hormat. "Siauw li mengucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan aku orang?"
"Heeey" nona silahkan bangun," terdengar Siauw Thayjien menghela napas panjang.
"Terima kasih Loo-ya Hujien."
Siauw Hujien yang amat menarik itu membuat hatinya betul-betul gembira.
"Bocah, kau kemarilah," ujarnya sambil menggapai.
Gadis berbaju hijau itu menurut dan berdiri di samping Siauw Hujien tanyanya dengan
suara lembut, "Entah Hujien punya petunjuk apa?"?"
Semakin melihat Siauw Hujien semakin tertarik cepat-cepat dia menarik tangannya.
"Bocah, cepat duduklah, siapa namamu" Kenapa melakukan perjalanan seorang diri di
tengah tiupan angin dan curahan hujan salju yang lebat ini?"
"Siauw li she Gak bernama Siauw-cha kini menempuh perjalanan jauh sedang mencari
buku yang entah sudah pergi kemana," ujarnya sambil meneteskan air mata dengan amat
derasnya. "Bilamana bukannya Loo-ya serta Hujien turun tangan menolong mungkin Siauw
li sudah terkubur di bawah curahan hujan salju."
Nada suaranya amat lembut bahkan mengabung kesedihan ditambah pula gerakgeriknya
yang membuat orang lain merasa beriba hati membuat Siauw Hujien menghela
napas panjang tak henti-hentinya.
Sebaiknya wajah Siauw Thay-jien tetap angker tanyanya dengan perlahan, "Jejak
ibumu apakah nona sudah tahu?""
"Arah yang ditempuh itu adalah empat penjuru jauh di ujung langit dekat di depan
mata." "Ehmm".. ehmmm". nona sungguh patut dikasihani."
"Siauw li masih mengharapkan Loo-ya mau memberi nasehat kepadaku?"
Siauw Ling yang sejak Gak Siauw-cha masuk ke dalam ruangan terus menerus
memperhatikan wajahnya mendadak dia menyela, "Ooooooh". Tia". moay-moay ini mirip
sekali dengan bibi Im."
"Bocah cilik jangan omong sembarangan!" Segera bentak Siauw Thayjien dengan keras.
Siauw Ling tidak berani berbicara lagi, cepat-cepat dia orang menutup mulutnya
kembali. Siauw Hujien yang mendengar perkataan puteranya secara diam-diam lalu
memperhatikan lebih teliti wajah sang gadis, ternyata sedikitpun tidak salah wajahnya
memang amat mirip sekali dengan Im Kauw, dia menjadi tertegun.
"Perkataan dari Ling jie sedikitpun tidak salah, nona Gak ini memang benar-benar ada
tujuh bagian mirip dengan wajahnya Im Kauw."
"Heeeey" kalian bercakap-cakaplah dahulu! Aku mau kembali ke kamar buku," ujarnya
Siauw Thayjien perlahan lalu dengan perlahan bangkit berdiri dan berlalu dari sana.
Siauw Ling yang melihat ayahnya meninggalkan ruangan tak merasa lagi nyalinya
semakin besar. Sambil memandang Gak Siauw-cha ujarnya, "Sayang sekali bibi Im sudah
pergi pada enam, tujuh hari yang lalu. Heeeeey" jika kau seorang datang beberapa hari
dan sebelumnya mungkin sekali kau langsung bisa bertemu dengan bibi Im ku itu, saat itu
kau baru akan tahu kalau perkataanku sendiripun tidak salah."
Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya, "Tapi aku percaya pada suatu hari pasti akan
kembali." "Semoga saja perkataan dari kongcu sedikitpun tidak salah?"
"Jika kau tidak ada tempat yang dituju lebih baik untuk sementara tinggal di rumahku
ini dulu nanti sesudah bibi Im kembali lagi kau akan tahu perkataanku bukanlah bohong
belaka." "Heey. Jika kalian mau menerima, Siauw li mau menjadi budak untuk melayani Hujien
serta kongcu." "Tidak bisa, tidak bisa!" teriak Siauw Ling goyangkan tangannya berulang kali. "Aku
sudah begini besarnya buat apa dijaga orang lain lagi, kau cukup melayani mama seorang
saja." Dengan perlahan sinar mata Gak Siauw-cha menoleh ke arah Siauw Hujien kemudian
jatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas kemurahan hati Hujien mau menerima Siauw li disini," ujarnya
dengan perlahan. "Jumlah keluarga kami amat sedikit sekali. Jikalau nona mau tinggal disini tentu saja
aku merasa sangat gembira."
Cuaca di dalam seharian saja sudah berubah kembali, awan tebal tersapu bersih
berganti dengan munculnya sang surya memancarkan sinar terang memenuhi seluruh
permukaan. Suatu pagi yang memancarkan sinar terang memenuhi seluruh permukaan
suatu pagi cerah muncul di depan mata.
Dengan memakai seperangkat baju Siauw Ling keluar dari dalam kamar sejak dia
memperoleh cara bersemedi untuk belajar ilmu kwe kang dari Im Lauw bukan saja
badannya yang lemah kini menjadi sehat bahkan secara tidak disadari olehnya dia sudah
memperoleh sadar untuk belajar silat.
Sesampainya di tengah halaman terlihatlah olehnya Gak Siauw-cha yang memakai baju
hijau itu sedang membersihkan tumpukan salju yang mengotori halaman dalam.
Gerak-geriknya amat lincah dan cepat sekali, di dalam sekejap mata tumpukan salju
yang ada di tengah halaman sudah disapunya hingga amat bersih.
Dengan perlahan dia menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya Siauw Ling berdiri disana
dia segera tertawa. "Kongcu, selamat pagi," ujarnya sembari berjalan mendekati.
Di bawah sorotan sinar matahari tampaklah pipinya yang merah serta kulit tubuhnya
yang putih bagaikan salju yang membuat wajahnya semakin kelihatan cantik dan menarik
sekali. Siauw Ling yang melihat lebih tegas lagi kalau wajah serta bentuk tubuhnya sangat
mirip dengan diri bibi Im nya, dia dibuat tertegun kembali.
"Kongcu kenapa kau terus menerus memandangi diri budakmu?" tanyanya kemalumaluan
ketika dilihatnya Siauw Ling memandang terus wajahnya dengan termangumangu.
"Heey, wajahmu mirip sekali dengan bibi Im; jika umurmu bertambah lagi beberapa
tahun waktu itu tidak akan bisa membedakan lagi siapakah kau dan siapakah bibi Im."
Air muka Gak Siauw segera berubah amat berat tetapi di dalam sekejap saja wajahnya
kembali berubah tenang kemudian putar badannya dan berlalu dari sana.
Selama beberapa hari ini sejak pagi Siauw Ling sudah berlari ke depan pintu untuk
menanti kembalinya diri bibi Im. Di dalam hati kecilnya dia terus menerus menganggap
kalau Im Kauw pada suatu hari pasti akan kembali. Dia orang tidak mungkin mau
meninggalkan dirinya. Tetapi kini dia mulai merasakan hatinya kecewa wajah yang cantik dari Gak Siauw-cha
serta suar tertawanya yang merdu walaupun tidak kalah dari Im Kauw tetapi semuanya itu
tidak dapat menggantikan rasa cinta kasih yang diberikan Im Kauw kepadanya, di dalam
hati kecilnya dia mulai merasa rindu dan murung.
Dengan pikiran kosong dia berjalan kembali ke dalam kamar bukunya.
Tempat ini sudah ada beberapa hari lamanya Siauw Ling masuk, barang-barang yang
ada di dalam ruangan masih tetap seperti semula tapi Im kauw tetap tak ada kabar
beritanya. Di tempat inilah dia menerima kasih sayang dari Im Kauw, di tempat ini juga Im Kauw
memberi pelajaran dasar ilmu kweekang tersebut tetapi dia tahu bahwa badannya yang
semula lemah mendadak menjadi sehat sekali semuanya ini adalah pemberian dari Im
Kauw. cinta kasih yang begitu besarnya ini sudah terukir dalam-dalam di dalam hatinya.
Saking sedih hatinya tak tahan lagi, perlahan-lahan mulai memejamkan matanya dan
berlatih sesuai dengan petunjuk dari Im Kauw.
Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak dia dibuat sadar oleh suara pecahnya
barang di atas sana. Cepat-cepat dia membuka mata, terlihatlah wajah Gak Siauw-cha berubah amat pucat.
Sepasang matanya yang jeli dengan termangu-mangu memperhatikan sesuatu di atas
jendela sedang nampan cawan yang ada ditangannya sudah jatuh ke atas tanah sehingga
hancur lebur. Siauw Ling menjadi tertegun.
"Kau kenapa?" tanyanya.
Seperti baru saja sadar dari impian Gak Siauw-cha membereskan rambutnya yang
terurai ke bawah, dengan perlahan dia putar badannya.
"Bibi Im yang hilang itu apakah dulu tinggal di kamar buku itu?" tanyanya tiba-tiba.
Walaupun dia berusaha untuk menyimpan golakan hatinya yang amat keras tak urung
suaranya rada gemetar juga. Jelas sekali dia sedang merasa sangat sedih.
Walaupun Siauw Ling merasa beberapa patah katanya ini ditanyakan secara mendadak
dia gelengkan kepalanya. "Bibi Im tidak tinggal disini tapi di tempat inilah dia memberi pelajaran ilmu surat
kepadaku!" "bagaimana sikap bibi Im terhadap dirimu?"
"Sangat baik, maka aku selalu rindu kepadanya. Heee! Semoga saja dia bisa kembali
secepatnya." "Semoga saja demikian," jawab Gak Siauw-cha kemudian dengan hati perih.
Segera dia punguti cawan yang pecah kemudian dengan sedih mengundurkan diri dari
dalam kamar. Siauw Ling yang jadi orang amat cerdik ketika melihat sikap dari Gak Siauw-cha amat
aneh hatinya menjadi amat curiga, dengan diam-diam dia bangkit berdiri kemudian
berjalan mendekati jendela tersebut dan memeriksanya dengan teliti.
Lama sekali dia mengadakan pemeriksaan tetapi sedikitpun tidak tampak hal-hal yang
mencurigakan hatinya, saking murungnya dia segera membuka jendela itu.
Tampaklah seluruh kebun penuh dilapisi oleh salju nan putih, beberapa batang pohon
Bwee tetap tumbuh diantara tumpukan salju dan menyiarkan bau harum yang semerbak.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat kemudian dengan amat cepatnya
bersembunyi dibalik pepohonan diantara tumpukan salju itu.
Hanya di dalam satu kali pandang saja sudah bisa melihat bayangan itu bukan lain
adalah diri Gak Siauw-cha.
Perasaan ingin tahu segera meliputi hatinya dengan tergesa-gesa berlari keluar dan
mengadakan pengejaran. Tampaklah bekas-bekas telapak kaki yang tertinggal di atas salju dengan mengikuti
bekas-bekas telapak kaki itu Siauw Ling mengadakan pengejaran terus.
Sesudah mengitari pepohonan yang lebat sampailah pada pojokan kebun itu, mendadak
jejak kaki yang ada di atas permukaan salju lenyap tanpa bekas.
Siauw Ling segera menghentikan langkahnya terlihatlah langit biru yang bersih disertai
sang surya yang memancarkan sinar terang menerangi seluruh permukaan tapi tak
tampak apapun disana! kemana sebetulnya diri Gak Siauw-cha"
Tak tertahan gumamnya seorang diri, "Sungguh aneh sekali, sebenarnya dia lari
kemana?" Mendadak sinar matanya terbentur dengan sebuah lubang kecil seluas tiga depa yang
ada di atas permukaan salju kurang lebih empat lima depa di samping badannya sekarang.
Itulah sebuah sumur kuno! menurut ingatan Siauw Ling itu sudah lama kering dan tidak
pernah dipakai lagi. Tempat itu merupakan pojokan kebun dari keluarga Siauw yang paling sepi, selain
tukang kebun yang mengurasi kebun tersebut jarang sekali ada orang yang sampai di
tempat itu. Suatu keinginan yang amat aneh membuat diri Siauw Ling tanpa sadar sudah berjalan
menuju ke arah sumur tersebut.
Tiba-tiba" suara tangisan yang menyayatkan hati berkumandang keluar dari dalam
sumur. Siauw Ling menjadi amat terperanjat. Cepat-cepat dia melongok melihat dasar sumur
tersebut. Di bawah sorotan sang surya terlihatlah secara samar-samar ada barang yang sedang
bergerak pada dasar sumur itu.
Terlihatlah sesosok bayangan manusia sedang berjongkok dan menangis dengan


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedihnya disana. Suara tangisan itu begitu menyedihkan membuat hati orang lain terasa
sangat tidak enak. Dengan seluruh kekuatan Siauw Ling berusaha memandang ke arah sumur. Lama sekali
dia baru bisa melihat orang itu bukan lain adalah dari Gak Siauw-cha di depan tubuhnya
terlihatlah sesosok manusia duduk bersila tak bergerak sedikitpun, terhadap suara
tangisan dari Gak Siauw-cha ini, dia sama sekali tidak ambil perduli. Suara tangisan itu
semakin lama semakin sedih, semakin lama semakin menyayatkan hati"
Secara samar-samar di tengah suara tangisan itu terdengar seruan yang terputusputus,
"Ooooh" ibu putrimu" putrimu sudah datang terlambat" aku tidak bisa, tidak
bisa, tidak bisa bertamu lagi dengan kau, ooooh mama" Oooooh?"
Saking terharunya Siauw Ling ikut menangis dua titik air mata menetes keluar
membasahi pipinya, dengan perlahan dia angkat ujung bajunya untuk mengusap.
Siapa tahu sepasang tangannya yang tadi digunakan untuk menahan badannya di atas
permukaan salju membuat tangannya itu menjadi kaku, baru saja dia angkat tangannya ke
atas segera terasalah badannya menjadi berat tak kuasa lagi tubuhnya terpeleset masuk
ke dalam sumur kering tersebut.
Di dalam keadaan amat gugup dengan ajak-ajakan Siauw Ling berusaha untuk
merambat barang apa yang didapatinya di pinggiran sumur tersebut.
Pada saat yang amat kritis itulah mendadak Siauw Ling merasakan badannya tersebut
tersedot oleh suatu tenaga hisapan yang amat lunak menahan badannya disusul bau
harum semerbak yang menyerang hidungnya.
Ketika dia sadar apa yang sudah terjadi terlihatlah dirinya kini sudah ada di dalam
pelukan Gak Siauw-cha, sepasang matanya yang jeli tetap tak henti-hentinya meneteskan
air mata. Dengan gugup Siauw Ling meloncat berdiri. Tiba-tiba sinar matanya terbentur dengan
orang yang sedang bersila ini!
Tubuhnya dengan cepat menubruk ke depan.
Tapi dengan cepat tubuhnya sudah tertahan oleh sebuah tangan halus yang melintang
di depan dadanya. "Kongcu, kau jangan sembrono, ibuku sudah meninggal dunia!" terdengarlah suara Gak
Siauw-cha yang sedih berkumandang masuk ke dalam telinganya.
Siauw Ling cuma merasakan dadanya seperti dipukul dengan sebuah martil yang amat
berat, darahnya bergolak amat keras sedang seluruh wajahnya berubah menjadi merah
padam. Perubahan yang amat mengejutkan ini benar-benar membuat Siauw Ling termangumangu.
Lama sekali dia baru berhasil menguasai hatinya.
"Bibi Im adalah ibumu?"" Tanyanya sembari memandang sekejap ke arah Gak Siauwcha.
"Benar, dialah ibu kandungku!" Sahut Siauw-cha sembari melelehkan air mata.
Dengan perlahan Siauw Ling menoleh kembali ke arah diri Im Kauw, terlihatlah pada
saat Im Kauw sedang duduk bersila dengan amat tenangnya wajahnya yang memerah
serta pakaiannya yang rajin persis seperti orang hidup, hal ini membuat perasaan gusar
meliputi hatinya. "Kau orang jangan omong kosong!" makinya keras. "Kau kira aku seorang bocah cilik
yang belum pernah melihat orang mati?" Bibi Im sering duduk bersemedi seperti ini, maka
mungkin dia sudah meninggal?""
"Kongcu mana kau orang tahu?" Sela Gak Siauw-cha sambil gelengkan kepalanya.
"Tenaga dalam ibuku amat tinggi bahkan diapun sudah menelan pil sakit untuk
mempertahankan jenasahnya, karena itu badannya tidak akan rusak."
"Aku tidak percaya omonganmu, bibi Im masih segar bugar mana mungkin bisa mati di
dalam sumur kering ini. Bibi Im" bibi Im?"
Sekalipun dia sudah berteriak-teriak seberapa kali Im Kauw tetap berdiam diri tak
menjawab. Dengan adanya gangguan dari Siauw Ling ini kesadaran Gak Siauw-cha pun pulih
beberapa bagian, jawabnya dengan sedih, "Untuk selamanya kau orang tidak akan
memperoleh jawabnya Heeey! Kongcu kau yang dididik dalam ilmu surat saja tidak akan
paham urusan yang sudah terjadi di dalam Bulim. Untuk memberi penjelasan yang sejelasjelasnya
kepadamu." Dia berhenti sebentar kemudian sambungnya,
"Lebih baik kongcu bisa sedikit menenangkan pikiran, janganlah sampai mengejutkan
orang-orang lain." "Bibi Im apa benar-benar sudah meninggal?" Tanya Siauw Ling dengan pandangan
penuh ragu dan curiga. Dengan paksakan diri menahan kesedihan yang menyerang hatinya Gak Siauw-cha
mengangguk. "Benar! jika aku bisa datang beberapa hari lebih pagi mungkin masih sempat untuk
bertemu muka dengan ibuku."
Sekali lagi Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke arah Im Kauw.
"Tapi bibi Im sedikitpun tidak mirip sudah mati!" Serunya ngotot dengan tidak percaya
dia mengeluarkan tangannya mencoba memeriksa napas dari bibinya.
Tangannya ada rasa sedikit gemetar sedangkan air mukanya penuh perasaan terkejut
bercampur curiga yang amat besar.
Gak Siauw-cha sendiripun tidak mencegah dirinya lagi cuma matanya dengan amat
tajam memperhatikan tangannya yang mulai mendekati mayat ibunya. Dia takut Im Kauw
akan rusak oleh sentuhan tersebut.
Dengan perlahan tangan Siauw Ling tersentuh dengan wajah Im kauw yang sudah
dingin kaku bagaikan es itu. Saat itulah dia baru percaya kalau bibi Im nya memang
benar-benar sudah binasa.
Sesudah melengak beberapa saatnya tak kuasa lagi dia menangis tersedu-sedu.
"Kongcu harap kau jangan menangis keras-keras hal ini tidak boleh sampai diketahui
oleh orang-orang lain!" seru Gak Siauw-cha setengah berbisik.
"Bibi Im betul-betul sudah meninggal, aku mau memberitahukan hal ini kepada Tia
serta Mama agar mereka bisa mengusahakan sesuatu upacara penguburan yang lebih
bagus." "Tidak bisa, tidak bisa jadi?" Cepat Gak Siauw-cha membantah. "Peristiwa ini tidak bisa
mengejutkan orang tuamu aku tak mau mengirim mayat ibuku secara diam-diam."
"Kau mau membawanya kemana?"
"Menurut surat wasiat ibumu dia minta mayatnya dipindahkan ke suatu tempat yang
sudah ditentukan." "Semakin dipikir pikiranku semakin linglung," ujar Siauw Ling gelengkan kepalanya,
"Bukankah bibi Im dalam keadaan baik-baik saja bagaimana secara mendadak dia bisa
meninggal" Heeey, aku tahu bahwa bibi Im tidak akan seorang diri tapi aku sama sekali
tidak menduga kalau dia bisa meninggal di dalam sumur ini!"
"Di dalam surat wasiatnya ibuku sudah jelaskan kalau budi kebaikan kalian kepada dia
orang tua amat besar sekali. Dia orang tua tidak ingin menyusahkan kalian dia minta aku
secara diam-diam kirim jenasahnya ke suatu tempat yang aman."
"Dimana?" desak Siauw Ling dengan cepatnya.
"Kongcu tidak paham akan urusan dunia kangouw. Juga tidak kenal nama-nama dari
jagoan Bulim sekalipun aku memberitahukan kepadamu kaupun tidak akan tahu."
"Lalu cici akan berangkat sekarang juga?"
Gak Siauw-cha mengangguk.
Jilid 2 "Aku mau menghantarkan jenazah ibuku menuju ke tempat yang sudah ditujukan
olehnya." "Aku ikut pergi!" Tiba-tiba Siauw Ling berseru tanpa berpikir lagi.
"Tidak bisa! tidak bisa!" teriak Siauw-cha berseru kaget. "Perjalanan ini sangat jauh
sekali apabila penuh dengan bahaya maut yang setiap saat bisa mengancam, kongcu kau
orang tidak boleh ikut aku pergi menempuh bahaya."
Siauw Ling tidak mau tahu, dengan ngotot dia menjerit-jerit, "Tidak, aku mau ikut, aku
mau ikut" bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, kini dia meninggal apakah tidak
seharusnya aku ikut menghantarkan jenazahnya" Cici" aku tetap mau ikut" aku mau
ikut?" Tak kuasa lagi Siauw Ling menangis tersedu-sedu.
"Terima kasih atas maksud baik dari kongcu budakmu disini mengucapkan banyak
terima kasih." Begitu selesai dia berkata tanpa sungkan-sungkan lagi dia jatuhkan diri memberi
hormat. Siauw Ling menjadi cemas, dengan cepat diapun jatuhkan diri berlutut dihadapan
jenazah Im Kauw, ujarnya, "Bibi Im memang aku seperti putra kandungnya sendiri dan
amat sayang padaku tak kalah seperti ibu kandung sendiri". nona kau boleh dikata adalah
ciciku, heeey lain kali kau jangan memanggil aku dengan sebuta kongcu lagi."
"Lalu budakmu harus memanggil dengan sebutan apa?"
Siauw Ling berpikir sebentar.
"Aku kecil beberapa tahun dari kau, baiknya kau panggil aku sebagai adik saja."
"Soal ini budakmu tidak berani."
"Apanya yang tidak berani" Kau boleh besar dari aku kau harus panggil aku dengan
sebutan adik, hal ini merupakan peraturan yang sudah terbiasa."
Melihat sikapnya yang tulus ikhlas dari Siauw Ling, Gak Siauw-cha tidak tega untuk
menolaknya kembali, dia menghela napas panjang.
"Kalau kongcu berbicara begitu, baiklah aku menurut perintah saja."
Sejenak suasana menjadi hening. Siauw Ling dongakkan kepalanya termenung sedang
Gak Siauw-cha pun sedang memandang jenazah ibunya dengan amat sedih, mendadak
suara dari Siauw Ling memecah kesunyian, "Cici, bawalah serta diriku!"
"Adik cepatlah kau keluar dari sini, soal itu tidak bisa diambil secepatnya."
"Apa mungkin cici benci diriku?"
"Siapa yang bilang" budi pertolongan dari orang tuamu terhadap diriku sudah membuat
hatiku sangat berterima kasih!"
"Lalu mengapa kau orang tidak mau membawa aku ikut serta dalam perjalanan ini?"
"Perjalanan kali ini amat jauh sekali bahkan diliputi oleh suasana yang sangat
membahayakan, apalagi kau adalah putra tunggal dari keluarga Siauw , jika aku
membawa kau serta bukanlah kedua orang tuamu akan merasa cemas?"
Dengan perlahan Siauw Ling bangkit berdiri dia pandang wajah Im Kauw yang masih
segar itu dengan terpesona, lama sekali dia termenung.
"Dia bilang usiaku tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dia orang tua tidak akan
banyak mengurusi diriku, sedang ibuku sangat cinta padaku. Mungkin dia tidak akan rela
membiarkan aku melakukan perjalanan seorang diri."
"Dia sering mempelajari ilmu meramal, ilmu obat-obatan, kitab suci, syair dan lain-lain
bahkan dalam niatnya dia sudah bermaksud untuk membawa aku berpesiar kesemua
tempat terkenal kini bilamana dia orang tahu kalau aku hendak ikut cici melakukan
perjalanan jauh bukan saja tidak akan menghalangi ini aku mungkin akan mencarikan satu
cara agar ibuku menjadi lega hati."
"Kalau begitu kau pulanglah dulu," ujar Gak Siauw-cha kemudian sambil memandang
cuaca. "Untuk berangkat akupun harus sedikit mengadakan persiapan," berkata Gak
Siauw-cha. Diam-diam Siauw Ling berpikir di dalam hati, "Asalkan aku secara diam-diam
memeriksa sumur tua ini dia tidak akan bisa membawa jenazah bibi Im berlalu secara
diam-diam sepengetahuanku, waktu itu dia tidak akan lolos dari pengawasanku lagi."
Dia segera mengangguk tanda setuju.
Tapi mendadak pada ingatannya berkelebat suatu ingatan, tinggi sumur itu ada satu
kaki lebih sedangkan di sekeliling tempat itu tiada tempat untuk taruh kaki, bagaimana
mereka bisa keluar dari sana" Dengan hati murung ujarnya, "Cici, jika ada orang yang
menaruh tali di atas sumpa kita baru bisa keluar dari sumur ini."
Walaupun dia adalah seorang bocah yang cerdik tapi tetap merupakan seorang bocah
yang tidak tahu urusan Bulim, tentang hal-hal yang aneh dia orang sama sekali tidak
mengerti. Mendengar perkataan tersebut Siauw-cha segera tertawa.
"Kau pejamkan matamu. Aku bisa hantar kau ke atas!"
Siauw Ling menjadi ragu-ragu, dinding sumur yang demikian tingginya bagaimana bisa
dipanjati" mungkin kecuali mempunyai sayap tidak akan bisa lolos lagi dari sana walaupun
begitu dia orang tidak mau banyak tanya. Segera dia tutup matanya.
Kiranya di dalam hati kecil dia sudah ambil keputusan untuk melihat dengan cara
bagaimana Siauw-cha hendak mengantar tubuhnya keluar dari sumur setinggi tiga kaki ini.
"Adik Ling hati-hatilah?" terdengar Siauw-cha sudah berseru.
Sepasang tangannya ditekankan ke bawah ketika Siauw Ling kemudian serunya kembali
dengan perlahan, "Jangan takut!"
Siauw Ling cuma terasakan segulung angin kencang yang amat keras mengalir keluar
dari kedua ketiaknya membuat seluruh tubuhnya terangkat sama sekali ke atas!
Di dalam sekejap saja dia merasakan hawa dingin dari salju di depan sumur, kiranya dia
orang sudah berada di atas permukaan tanah kembali.
Gak Siauw-cha pun ikut melayang tubuh Siauw Ling,
"Adik Ling kau takut?" tanyanya perlahan.
"Sedikit takut, cuma sekarang sudah tidak."
Perlahan-lahan sinar matanya berhenti di atas wajah Siauw-cha ujarnya dengan serius,
"Bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, hatiku sampai kini terus menerus masih
merindukan dirinya, tapi kini bibi Im sudah meninggal aku harus menghantarkan jenazah
ke tempat tujuan perjanjian diantara kita baiknya diputuskan demikian saja, "Cici! kau
jangan menipu aku, kau tidak boleh berangkat seorang diri!"
Gak Siauw-cha menjadi melengak.
"Bilamana adik Ling sungguh-sungguh mau ikut aku pergi, bukankah akan membuat
orang tuamu merasa kuatir?"
"Tidak, sesudah jenazah bibi Im dikubur aku akan segera pulang, nanti malam pada
kentongan ketiga aku akan pergi cari kau."
Setelah itu barulah Siauw Ling putar badannya meninggalkan tempat tanpa menoleh
lagi. Gak Siauw-cha yang melihat bayangan punggung Siauw Ling lenyap dibalik pepohonan,
hatinya benar-benar merasa terharu pikirnya, "Pada waktu dia pergi sekali menolehpun
tidak, hal itu membuktikan kalau dia benar-benar percaya padaku, walaupun di dalam
surat wasiatnya ibu memesan kepadaku agar aku menjaganya baik-baik tetapi sama sekali
tidak pernah mengatakan bolehkah aku membawa dia keluar rumah, keluarga Siauw
begitu baiknya terhadap aku orang, aku sendiri juga tidaklah seharusnya meninggalkan
Siauw Ling begitu saja. Hey jika aku benar-benar membawa dia pergi bukankah hal ini
membuat kedua orang tuanya bersedih hati?"
Semakin berpikir hatinya semakin kacau tak terasa lagi dia menghela napas panjang.
Sekembalinya di dalam kamar dengan tergesa-gesa Siauw Ling menulis sepucuk surat
buat ayah ibunya, kemudian membereskan sedikit pakaian yang dibungkus ke dalam
sebuah buntalan dan disembunyikan di bawah pembaringan. Walaupun dia belum pernah
melakukan perjalanan jauh tetapi dia sering mendengar ayahnya menceritakan bagaimana
waktu hendak mengadakan perjalanan.
Dia mengharapkan sang surya cepat lenyap di arah barat, dia mengharapkan malam
hari cepat menjelang. Teringat akan perjalanannya kali ini entah sampai kapan baru
kembali, sampai kapan baru bisa bertemu kembali dengan ayah ibunya. Hatinya serasa
amat sedih, tapi mengingat dia akan melihat pemandangan-pemandangan indah yang
belum pernah ditemuinya, hatinyapun merasa amat gembira.
Saking banyaknya pikiran yang berputar di dalam otaknya tak terasa lagi Siauw Ling
sudah tertidur pulas. Mendadak dia dikejutkan oleh suara panggilan yang amat perlahan sekali di pinggir
tubuhnya, "Adik Ling, cepat bangun!"
Siauw Ling menjadi terkejut, cepat-cepat dia melompat bangun dari atas pembaringan
dan menyambar buntalan yang disembunyikan di bawah pembaringannya.
Tidak salah lagi, Gak Siauw-cha sudah ada disana dan sedang berdiri dengan
tenangnya. Dia orang segera menerima buntalan dari Siauw Ling dan katanya, "Adik Ling, mari aku
bawa kau pergi dari sini!"
Dengan memeluk pinggangnya dia segera melayangkan badannya meninggalkan
tempat itu. Siauw Ling yang melihat kepandaiannya amat tinggi seperti seekor burung saja
hatinya semakin kagum lagi, pikirnya, "Pada suatu hari aku harus bisa berlatih ilmu seperti
cici ini." Gerakan tubuh Gak Siauw-cha amat cepat sekali, dalam sekejap mata dia sudah berada
di tengah pegunungan yang sunyi.
Malam ini merupakan suatu malam yang amat gelap, semua permukaan tanah cuma
terlihat salju yang amat putih, angin dingin bertiup amat kencangnya membuat setiap
orang merasa menggigil. Siauw Ling yang kedinginan tak terasa lagi sudah menyusupkan kepalanya ke dalam
pangkuan Gak Siauw-cha. Mendadak Gak Siauw-cha menghentikan larinya.
0000000 "SIAUW LING, kau naiklah ke dalam kereta," ujarnya halus.
Tampaklah oleh Siauw Ling di atas permukaan salju berdirilah sebuah kereta
berkerudung hitam amat angker sekali kelihatannya.
Gak Siauw-cha segera membuka pintu kereta dan memasukkan tubuh Siauw Ling ke
dalamnya. "Aku sudah siapkan selimut buat kau disana, bilamana kau merasa lelah
tidurlah senyenyak-nyeyaknya." Katanya.
"Ehmmmm?" Kain kerudung hitam itu segera diturunkan kembali membuat suasana di dalam kereta
terasa hangat sekali. Tapi keadaannya semakin gelap sehingga sukar untuk melihat lima jarinya sendiri.
Siauw Ling segera berteriak, "Cici, kau tidak ikut masuk kesini?"
"Aku harus mengemudikan kereta, kau baik-baiklah beristirahat seorang diri!" terdengar
suara dari Gak Siauw-cha dari luar.
Selesai bicara segera terdengar suara putaran roda yang amat ramai disertai sedikit
goncangan di dalam kereta tersebut, dengan secepatnya kereta berkerudung hitam itu
berlari menuju ke arah depan.


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Ling pejamkan matanya beristirahat sebentar, ketika membuka matanya kembali
dia bisa melihat keadaan di dalam kereta itu secara lebih jelas lagi.
Jenazah dari Im Kauw yang tertutup oleh kain putih tidak lain terletak pojok kanan dari
dirinya. Im Kauw masih tetap pada gayanya semula, sepasang matanya dipejamkan dan
bersandar pada dinding kereta, keadaannya begitu tenang sedikitpun tidak
memperlihatkan perubahan-perubahan aneh dari seorang yang sudah mati.
"Adik Ling! Kau sedikitlah berhati-hati." Tiba-tiba terdengar suara dari Gak Siauw-cha
berkumandang masuk ke dalam telinganya, "Kau orang jangan sampai membentur
jenazah bibi Im?" Dia berhenti sebentar, kemudian tanyanya lagi. "Kau takut yaaah?"
"Tidak, keadaan dari bibi Im seperti dia masih hidup."
Gak Siauw-cha menghela napas panjang, dia tidak bicara lagi dan mendadak
mempercepat larinya kuda melanjutkan perjalanan ke arah depan.
Tubuh Siauw Ling yang lemah sekalipun mendapatkan latihan dari Im Kauw tetapi
dikarenakan rejekinya yang tidak ada membuat latihannya mogok di tengah jalan, susah
payah dari Im Kauw selama beberapa bulan dulu tidak lebih cuma berhasil sedikit
menguatkan badannya saja.
Kini dia harus bersusah payah semalaman sejak tadi badannya terasa lemas, tak terasa
lagi dia sudah tertidur pulas.
Entah beberapa saat kemudian dia dikejutkan oleh suara berbisik tangisan yang amat
menyayatkan hati, dia orang yang amat cerdik dan pikirannya tajam segera pura-pura
masih tertidur, dia tidak membuat itu terkejut oleh dirinya.
Tampaklah Gak Siauw-cha sedang berlutut di hadapan jenazah Im Kauw dan menangis
dengan sedihnya, cuma saja suara tangisnya amat perlahan sekali agaknya dia takut
sampai menyadarkan diri Siauw Ling.
Di samping badannya terletaklah sepucuk surat. Dengan meminjam serentetan sinar
sang surya yang memancar masuk ke dalam kereta Siauw Ling bisa membaca beberapa
patah kata, ?"" Jangan sampai dia membiarkan dia menangis, tertawa keras, hatinya
merasa terharu dan goncang?"
Tulisan selanjutnya dia tidak bisa mengetahuinya karena sudah tertutup oleh selimut di
atas tubuhnya. Beberapa kalimat yang tidak diketahui artinya ini segera membuat hati Siauw Ling
berputar, pikirnya, "Kalau dilihat dari tulisan itu agaknya tulisan dari bibi Im, apakah itulah
yang dimaksud dengan surat wasiatnya?"
Tak terasa lagi dia angkat kepalanya memandang, siapa tahu dengan gerakannya ini
segera membuat Gak Siauw-cha sadar kembali dari sedihnya walaupun hatinya sedang
susah tapi pendengarannya maupun penglihatannya masih tetap tajam. Cukup sedikit
tubuh Siauw Ling bergoyang saja dia segera tahu kalau dia orang sudah bangun dari
tidurnya. Dengan gugup dia menyambar surat wasiat itu dan dimasukkan ke dalam sakunya,
kemudian mengusap kering bekas air mata di pipinya.
"Eeeh" kau pasti tertidur dengan pulas bukan?" ujarnya sambil memperlihatkan
tertawa paksa. Dia yang sedang bersedih hati karena kematian ibunya, tetapi berusaha menekan rasa
sedih itu dari wajahnya, membuat Siauw Ling yang melihat senyumnya yang dipaksa
hatinya merasa sedih. Siauw Ling mendadak merangkak bangun dan jatuhkan diri berlutut di depan jenazah
Im Kauw. Melihat hal itu dengan cepat Gak Siauw-cha mencegah.
"Adik Ling, kau mau berbuat apa?"
"Aku mau memberi hormat kepada mayatnya Bibi Im!"
"Tidak usah!" cegah Siauw-cha gelengkan kepalanya, "Jika kau orang berbuat demikian
hal ini malah mendatangkan keperihan hatiku saja, kini hari sudah siang aku kira perutmu
juga sudah lapar, mari kita turun dari kereta untuk bersantap."
Tidak menunggu Siauw Ling memberi jawaban dia sudah menyingkap hordin kereta
dan menarik Siauw Ling turun dari kereta.
Sang surya memancarkan sinarnya amat terang sekali sehingga menyilaukan mata,
terdengar suara mengalirnya air memecahkan kesunyian.
Kereta kencana itu berdiri di tengah hutan yang amat lebat, di samping sebuah pohon
siong yang besar terdapatlah tiga buah batu yang di atasnya tertumpang sebuah kuali
besi, bau harum yang semerbak tidak henti-hentinya meniup mendatang.
Gak Siauw-cha menarik tangan Siauw Ling untuk bersama-sama duduk di atas akar
pohon yang besar, ujarnya sambil tertawa, "Sewaktu ibuku masih hidup dia orang tua
sering mengajari aku cara memasak, bagaimana kalau kau merasakan kepandaian diri
cicimu ini?"" Kiranya Gak Siauw-cha takut keretanya yang memuat mayat dari Im Kauw diketahui
oleh orang-orang Bulim sehingga mendatangkan banyak kesulitan, dia orang tidak berani
mencari makan di dalam rumah-rumah makan.
Dengan tergesa-gesa mereka berdua bersantap dengan lahapnya, Siauw Ling memuji
tak henti-hentinya kehebatan atas cara memasak dari Siauw-cha ini.
Padahal santapan yang dimasak dengan bahan-bahan yang tak komplit apalagi
bahannyapun sangat sederhana, walaupun dikata Gak Siauw-cha memiliki kepandaian
memasak yang amat tinggi belum tentu pada saat ini bisa memasak sehingga betul-betul
lezat. Sudah tentu pujian dari Siauw Ling ini sepatutnya adalah sedang mencari muka
separuhnya lagi karena tertarik.
Setelah menyimpan kembali kuali besi tersebut Gak Siauw-cha segera menuntun Siauw
Ling naik ke atas kereta kembali, setelah membuat beberapa tanda gambar di atas pohon
siong tersebut mereka baru melanjutkan perjalanan kembali.
Siauw Ling yang dapat melihat tanda yang dibuat olehnya itu tulisan tak mirip tulisan
gambaran tidak mirip gambaran, membuat orang sulit untuk mengetahui maksudnya
walaupun di dalam hati, dia menaruh rasa curiga tetapi tak sepatah kata ditanyakan.
Mereka melanjutkan kembali perjalanannya selama beberapa hari lamanya hari itu
sewaktu udara menunjukkan siang hari" sampailah mereka di sebuah kota besar.
Tampak kereta serta manusia yang berlalu lalang amat ramai sekali yang kadang kala
diiringi suar hiruk-pikuk yang memekakkan telinga.
Siauw Ling merasakan perutnya amat lapar sekali, selama beberapa hari ini dia selalu
bersantap dengan sembarangan di tengah hutan walaupun perutnya merasa tidak sesuai
tetapi diapun tidak berani mengemukakan hal itu kepada Gak Siauw-cha.
Saking laparnya dia tidak bisa tahan lagi mendadak dia menjerit dan jatuh terlentang di
atas tanah. Melihat hal itu Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Adik Ling!" ujarnya perlahan. "Kita makan dulu kemudian baru melanjutkan kembali."
Mendengar perkataan itu Siauw Ling menjadi amat girang.
"Bagus" sejak tadi aku memang sudah merasa lapar!" serunya keras.
Mereka berdua segera menjalankan kudanya mencari sebuah rumah penginapan,
setelah memesan kepada pengurus rumah penginapan itu untuk baik-baik mengurus
kudanya, bersama-sama dengan Siauw Ling dia mencari tempat duduk di dekat jendela.
Mendadak" Suara derapan kuda amat ramai sekali berkumandang datang, tampaklah dua ekor
kuda dengan amat cepatnya berkelebat datang.
Kedua orang lelaki kasar yang ada di atas kuda itu masing-masing pada pinggangnya
tersoren sebilah senjata. Walaupun saat ini sedang musim dingin tetapi dua ekor kuda itu
kelihatan basah kuyup oleh keringat.
Mendadak tampaklah lelaki yang menunggang kuda di depan menarik tali les kudanya
membuat kuda yang sedang berlari cepat seketika itu juga berhenti dan meringkik sambil
mengangkat kedua kakinya seketika.
Orang di daerah Kang Lam memang kebanyakan paling suka melihat kuda, saat ini
melihat kepandaian menunggang kuda yang demikian sempurnanya dari orang itu tidak
tak terasa lagi pada bersorak memuji.
Belum habis suara pujian itu bergema mendadak menyusul suara teriakan kaget yang
amat keras sekali. Kiranya penunggang kuda yang ada di belakang sama sekali tak menduga kalau kuda
yang ada di depannya menghentikan tunggangannya karena tiba-tiba sehingga kudanya
yang sedang berlari keras tidak sempat ditarik kembali sehingga dengan amat kerasnya
menerjang ke depan. Terlihatlah lelaki yang ada di depan dengan amat tenangnya melancarkan satu tenaga
dorong memukul ke arah kuda yang menubruk ke arahnya.
Semua orang jadi terkejut dan pada menjerit, ternyata kuda yang ada di belakangnya
itu berhasil ditahan oleh tenaga dorongannya tadi sehingga berhenti.
Di tengah suara tepukan yang amat keras kedua orang lelaki kasar itu pada meloncat
turun dari kudanya dan melirik sekejap ke arah kereta berkerudung kain hitam yang
berhenti di depan rumah penginapan tersebut.
"Ehmm" disini!" terdengar salah satu lelaki berseru.
Dengan cepat dia melepaskan tali les kudanya lalu dengan langkah lebar berjalan
masuk ke dalam rumah penginapan tersebut dia langsung menuju ke depan Gak Siauwcha
sambil merangkap tangannya menjuru.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah agak tenang. Dia sedikit mengerutkan alisnya.
"Kalian kenapa begitu tergesa-gesa?" serunya kurang senang.
Agaknya lelaki itu segera merasa kalau tindak tanduknya terlalu ceroboh, dengan cepat
dia tertawa memperlambat langkahnya.
"Kami sudah melihat tanda rahasia yang nona tinggalkan di tempat-tempat tertentu
lantas cepat-cepat mengejar kemari"," ujarnya dengan suara lirih.
"Ada urusan kita bicarakan nanti saja!" Tiba-tiba potong Gak Siauw-cha sambil
mengulapkan tangannya. Agaknya di dalam hati lelaki itu mempunyai banyak urusan yang hendak disampaikan,
mendengar perkataan tersebut segera dia berbatuk-batuk ringan dan dengan paksakan
diri menahan sabar. Waktu itu lelaki kasar yang lainpun sudah menambat kedua ekor kuda itu di depan
kuda lalu ikut masuk ke dalam rumah penginapan tersebut.
Dia pun dengan amat hormatnya memberi hormat kepada diri Gak Siauw-cha.
Diam-diam Siauw Ling memperhatikan diri kedua orang lelaki itu, tampaklah lelaki itu
usianya kurang lebih ada diantara tiga puluh tahunan, seperangkat baju hijau yang singsat
membungkus tubuhnya dengan sebilah golok tersoren pada punggungnya dan lelaki yang
lain mempunyai senjata Pan Koan Pit menghiasi pinggangnya, sikapnya agak gagah dan
berwibawa sekali, tetapi lucunya terhadap Gak Siauw-cha yang lemah lembut ternyata
sangat menghormati. Lelaki bersenjatakan golok yang masuk ke dalam ruangan itu terlebih dulu agaknya
sudah tidak dapat menahan sabar lagi, ujarnya dengan suara pelan, "Nona! Jejak kita
sudah bocor, musuh-musuh tangguh sudah pada menguntit kemari."
Walaupun di dalam ruangan itu ada beberapa orang tamu yang tertarik oleh kejadian
ini tetapi melihat sikap lelaki yang bersenjata tajam itu angker dan menyeramkan cepatcepat
sudah pada melengos tidak heran melihat lebih lama lagi.
Mendengar berita itu air muka Gak Siauw-cha segera berubah amat hebat, sepasang
matanya yang besar bulat berkelebat sekejap lalu perintahnya dengan suara perlahan,
"Kalian cepat bersantap, lalu dengan secepat mungkin berlalu dari."
Agaknya kedua orang lelaki itupun merasa perutnya agak lapar, segera dia orang
mengambil sayur dan bersantap dengan lahapnya.
Dengan tergesa-gesa akhirnya santapannyapun selesai setelah membayar rekening
mereka melanjutkan kembali perjalanannya dengan tergesa-gesa.
Lelaki kasar bersenjatakan golok itu lantas menggantikan kedudukan dari Gak Siauwcha
untuk mengemudikan kereta, sedangkan lelaki yang bersenjatakan Pan Koan Pit
mengikuti dengan kencangnya dari belakang kereta. Suasana amat tegang sekali.
Selama beberapa hari ini Siauw Ling selalu berada seorang diri di dalam kereta. Kini
melihat Gak Siauw-cha pun berada di dalam satu kereta dengan dirinya tidak terasa lagi ia
memandang dirinya lebih tajam.
Tampak wajahnya yang cantik agak murung alisnya dikerutkan rapat-rapat sedangkan
pandangannya amat sayu, jelas sekali satu urusan penting yang sudah membingungkan
hatinya. Suara berputar roda semakin santar menunjukkan kereta itu pun larinya semakin cepat
tidak selang lama, kemudian kereta tersebut sudah keluar dari kota.
Mendadak Gak Siauw-cha angkat kepalanya memandang tajam wajah Siauw Ling yang
tampan menarik itu. "Adik Ling!" serunya.
"Ada apa?" tanya Siauw Ling melengak.
"Jejak kita sudah bocor, kemungkinan sekali sebentar lagi bakal terjadi satu
pertempuran yang amat sengit dan membahayakan jiwa kita. Adik Ling, kau orang
bukanlah manusia dari kalangan Bulim sudah seharusnya jangan mencampuri urusan kami
yang sangat membahayakan keselamatanmu. Maksud cici lebih baik untuk sementara
waktu aku kirim kau ke suatu tempat yang aman, entah bagaimana maksud dari adik
Ling?" "Tetapi tempat ini aku merasa paling aman." Bantah Siauw Ling cepat.
"Hai, usiamu masih amat kecil dan tidak mengerti urusan yang terjadi di dalam Bulim,"
ujar Siauw-cha sambil menghela napas panjang. "Sekarang akupun tidak bisa menjelaskan
urusan ini kepadamu, kau tak mengerti ilmu silat lagi pula cuma seorang bocah cilik,
asalkan tidak melakukan perjalanan bersama-sama kita bahaya apapun tidak bakal
mengancam dirimu lagi."
"Tidak bisa jadi!" seru Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya. "Aku mau bersamasama
dengan cici sekalipun ada bahaya mengancam aku juga tidak takut. Hai, ayahku
sudah beritahu padaku kalau aku orang sukar hidup lebih dari dua puluh tahun. Kini aku
sudah berusia dua belas tahun, tak lebih tak kurang, aku cuma bisa hidup delapan
tahunan lagi. Mati sekarang atau mati dikemudian hari aku rasa sama saja."
Sebetulnya Gak Siauw-cha kepingin memaksa diri Siauw Ling untuk meninggalkan
dirinya tetapi ketika secara tiba-tiba dia teringat kembali akan pesan terakhir yang ditulis
ibunya dimana kurang lebih begini, "Kau baik-baiklah menjaga dirinya, bocah ini usianya
tidak panjang, sekalipun aku sudah berhasil memberikan pelajaran Sim Hoat kepadanya
tetapi masih belum bisa juga menyembuhkan penyakitnya hanya di dalam waktu singkat,
di dalam dua tahun ini kau janganlah sekali-sekali membuat dia merasa sedih, merasa
gembira sehingga menggocangkan hatinya."
"Setelah lewat dua tahun diaman dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat waktu
itulah kau orang berusaha untuk menolong jiwanya, tapi janganlah menggunakan cara
yang kasar sehingga membuat hatinya sedih dan nyawanya sukar untuk dipertahankan
lagi." "Pesanku ini janganlah kau langgar."
Siauw Ling yang melihat lama sekali Siauw-cha memandang dirinya tanpa
mengucapkan sepatah katapun tidak kuasa lagi dia sudah bertanya, "Cici, kau sedang
memikirkan apa?" "Adik Ling, jika kau mau ikuti diriku terus, kau harus menyanggupi dulu dua syarat."
"Syarat apa?" "Tidak perduli sudah terjadi peristiwa yang bagaimana bahayanyapun aku melarang kau
untuk ikut campur atau banyak bicara."
"Baiklah, sampai waktunya aku tidak akan ngomong juga tidak akan bergerak, harap
cici berlega hati." "Masih ada satu urusan lagi," sambung Gak Siauw-cha selanjutnya. "Tidak perduli kau
orang sudah bertemu dengan urusan yang bagaimana sedih atau gembiranya kaupun
tidak boleh menangis sedih atau tertawa keras."
"Kenapa?" tanya Siauw Ling keheranan.
"Kau janganlah bertanya mengapa!" Potong Gak Siauw-cha dengan cepat. "Jikalau kau
orang tidak mau menyanggupi syarat ini aku akan kirim segera orang untuk mengantar
dirimu pulang." "Baiklah aku meluluskan permintaanmu itu!" seru Siauw Ling dengan cepat.
"Kalau begitu, sekarang kau harus duduk dan beristirahat," perintah Gak Siauw-cha
selanjutnya setelah itu dia menyingkap hordin dan meloncat keluar dari dalam kereta.
Terdengar dari luar kereta segera berkumandang datang suara percakapan yang amat
lirih sekali, saking lirihnya suara itu sehingga Siauw Ling cuma merasakan larinya kereta
itu semakin lama semakin cepat, goncangan yang terasapun semakin keras, agaknya
kereta itu sedang melakukan perjalanan melalui sebuah jalan gunung yang banyak
berbatu. Mendadak kereta berkuda itu berhenti, Gak Siauw-cha meloncat masuk ke dalam
ruangan kereta dan menggendong keluar mayat dari Im Kauw kepada Siauw Ling ujarnya
dengan suara yang lirih, "Adik Ling, cepat ikuti diriku."
Siauw Ling dengan cepat meloncat turun dari kereta, tampaklah puncak gunung yang
menembus awan berdiri sejajar dihadapannya. Tidak jauh disana di tengah hutan bambu
yang amat lebat berdirilah sebuah rumah gubuk.
Dengan tergesa-gesa Gak Siauw-cha berlari menuju ke arah rumah gubuk tersebut,
Siauw Ling pun mengerahkan seluruh tenaganya menguntil di belakang Gak Siauw-cha
setelah melewati sebuah hutan bambu yang lebat sampailah mereka di depan gubuk itu.
Suasana di sekeliling tempat itu amat sunyi sekali, pintu rumah tertutup rapat bahkan
tidak tampak sesosok bayangan yang muncul di depan.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha mengetuk tiga kali keras pintu rumah gubuk itu lalu
dengan hormatnya berdiri menanti.
Kurang lebih seperminuman teh kemudian dari dalam rumah gubuk itu terdengarlah
berkumandangnya suara yang amat tua berat dan serak sekali.
"Siapa?" tanyanya.
"Boanpwee Gak Siauw-cha."
Dari dalam rumah gubuk itu segera bergema kembali suara helaan napas panjang yang
amat menyedihkan. "Aku orang tua sudah ada sepuluh tahun lamanya tidak menerima tetamu sekalipun
kau adalah putri dari seorang teman lamaku tetapi aku tidak ingin melanggar peraturan


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Kau pulanglah!" ujarnya perlahan.
Gak Siauw-cha menjadi amat cemas.
"Tetapi ibu dari boanpwee sudah menemui ajalnya!" serunya dengan cepat.
"Jenazahnya kini sudah ada di depan rumah, harap Locianpwee mau melihat sekejap ibuku
yang sudah meninggal dan melanggar peraturan itu satu kali."
Suara suitan yang amat keras mendadak berkumandang dan memotong pembicaraan
Gak Siauw-cha yang belum selesai.
Dari dalam rumah gubuk itu segera bergema suara terbenturnya tongkat kayu di pintu
rumah gubuk itu dengan perlahan-lahan terbuka.
Siauw Ling dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah itu, tampaklah seorang
nenek tua yang rambutnya sudah berubah dengan mencekal sebuah tongkat bambu
berdiri di depan pintu. Wajahnya sudah penuh dengan keriput. Sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat
sedang perawakannya kurus kering bagaikan lidi.
Gak Siauw-cha segera meletakkan jenazah dari Im Kauw ke atas tanah lalu dengan
sangat hormatnya dia memberi hormat kepada nenek tua itu.
"Boanpwee menghunjuk hormat kepada diri Locianpwee."
Sejak munculnya nenek tua itu dia orang terus menerus berdiri mematung disana tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Terhadap Gak Siauw-cha yang jatuhkan diri berlutut
dihadapannya dia sama sekali tidak ambil perduli.
Melihat hal itu di dalam hati kecilnya diam-diam Siauw Ling berpikir, "Huuh" sungguh
sombong benar nenek tua ini!"
Tampak nenek tua itu dengan perlahan-lahan mengulurkan keluar jari tangannya yang
amat kurus itu dan dengan lambat-lambat mendorong pintu rumahnya.
"Ehmm" bukankah sekarang aku sudah menemui dirimu?" ujarnya tawar.
"Locianpwee sudi melanggar peraturan yang berlaku dengan munculkan dirinya,
boanpwee merasa sangat berterima kasih sekali."
"Tadi kau ingin bertemu dengan aku sekarang bukankah kau sudah bertemu muka?"
Potong nenek itu dengan dingin. "Kenapa belum pergi juga kau dari sini" Kau mau tunggu
apa lagi?" "Boanpwee masih ada satu urusan yang ingin minta bantuan, harap Locianpwee mau
mengabulkannya!" ujar Gak Siauw-cha dengan sangat hormatnya.
Air muka nenek tua itu berubah semakin dingin lagi dia berdiri tegak disana tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Dengan nada yang amat sedih Gak Siauw-cha melanjutkan kembali kata-katanya,
"Ibuku menderita luka yang amat parah dan kini sudah menemui ajalnya, di dalam surat
wasiatnya dia orang itu memerintah boanpwee untuk membawa jenazahnya ke rumah
seorang kawannya di atas gunung Heng-san?"
Nenek tua itu tetap dengan tenangnya berdiri di tempat itu, dia tidak bergerak juga
tidak mengucap sepatah katapun.
Gak Siauw-cha yang melihat dia tidak memberikan komentar, segera sambungnya lagi,
"Di dalam ingatan boanpwee, Locianpwee adalah salah satu kawan ibuku semasa
hidupnya, pada setahun yang lalu ibuku pernah membawa boanpwee datang kemari untuk
menyumpang, tetapi dikarenakan Locianpwee sedang tutup pintu dan tak menerima tamu
lagi maka kami tidak berani mengganggu, ibuku lalu membawa boanpwee meninggalkan
tempat ini." "Ini hari ibuku sudah meninggal dunia, boanpwee terpaksa menuruti petunjuknya
dengan membawa jenazah datang ke gunung Heng-san, siapa sangka di tengah jalan aku
sudah memancing datangnya musuh tangguh yang membuntuti boanpwee terus menerus.
Boanpwee sendiri tidak takut untuk menerima kematian, tetapi takut sudah mengganggu
jenazah dari ibuku maka itu boanpwee sangat mengharapkan kalau locianpwee mau
melanggar peraturan sekali ini saja dengan menerima jenazah ini untuk sementara waktu,
dengan demikian boanpwee bisa menghadapi musuh-musuh dengan lega hati."
Air muka nenek tua yang amat dingin itu kelihatan sedikit bergerak, agaknya dia dibuat
terharu juga oleh perkataan Gak Siauw-cha ini.
Pintu rumah gubuknya yang semula mulai menutup kinipun dipentang kembali.
"Memandang wajah ibumu yang sudah meninggal, aku mengijinkan jenazahnya
berdiam disini selama tujuh hari," ujarnya.
"Budi dari Locianpwee akan boanpwee ingat untuk selama-lamanya"," ujar Gak Siauwcha
dengan sangat haru. Mendadak matanya menyapu sekejap ke arah Siauw Ling lantas
sambungnya, "Boanpwee ingin sekalian menitip bocah cilik untuk merawat jenazah
ibuku?" "Gubuk pencuci dosaku ini, selamanya melarang bocah cilik untuk memasukinya,"
potong nenek tua dengan nada dingin.
Melihat sikap nenek tua yang amat dingin dan ketus itu sejak tadi Siauw Ling sudah
merasa gemas sekali, cuma saja dia tak berani memperlihatkannya diluaran, kini dia orang
tak bisa menahan sabar lagi, teriaknya dengan keras, "Cici, aku tak mau berdiam disini!"
Nenek tua itu tak mau menggubris mereka berdua lagi, dengan perlahan dia putar dan
masuk ke dalam rumah. "Adik Ling, kau jangan keburu nafsu dulu keadaan kita sangat berbahaya," bisik Gak
Siauw-cha dengan cepat, "Orang-orang yang menguntit datangpun semuanya memiliki
kepandaian silat yang amat lihay. Untuk melindungi diri cici sendiri saja tidak punya
pegangan yang kuat" mana aku bisa bantu melindungi dirimu?"
"Cici tak usah khawatir, aku tidak akan takut" sahut Siauw Ling dengan cepat sambil
membusungkan dadanya. Gak Siauw-cha yang melihat sikapnya amat kukuh dan gagah sekali bahkan sama sekali
tak takut mati tak terasa lagi dibuat tertegun juga dia segera menggendong jenazah dari
Im Kauw untuk dibawa masuk ke dalam rumah gubuk itu dan cepat-cepat balik ke dalam
hutan tempat semula. Siauw Ling pun dengan kencang menguntil dari belakang Gak Siauw-cha terus
menerus. Kereta berkuda yang dikerudungi kain hitam itu masih tetap berhenti ditepi jalan
gunung itu, tampaklah kedua orang lelaki kasar yang menjaga kereta tersebut sedang
menanti kedatangan mereka dengan cemas.
Gak Siauw-cha segera menarik tangan Siauw Ling untuk meloncat naik ke dalam kereta
kuda, setelah itu tangannya diulap sambil berseru, "Ayoh berangkat!"
Kereta berkuda itu dengan segera dilarikan amat cepat sekali melanjutkan
perjalanannya ke arah depan.
Baru saja kereta berkuda itu lari, sejauh seratus kaki mendadak terdengarlah suara
bentakan yang amat keras laksana menggelegarnya suara geledek yang membelah bumi
berkumandang keluar dari arah belakang.
"Hey berhenti!"
Gak Siauw-cha tetap duduk bersila di dalam kereta melakukan latihannya, terhadap
datangnya suara bentakan yang amat keras itu dia orang sama sekali tidak ambil perduli.
Tidak tertahan lagi Siauw Ling merasa ketarik juga, dengan cepat ia menyingkap hordin
dan mengintip ke belakang.
Terlihatlah tiga ekor kuda dengan cepat bagaikan sambaran kilat mengejar dari
belakang hanya di dalam sekejap dia sudah berada di belakang kereta mereka.
Siauw Ling dapat melihat ketiga ekor kuda itu sudah basah dengan peluh. Jelas-jelas
sekali baru saja mereka melakukan perjalanan yang amat jauh tanpa berhenti.
Penunggang kuda yang paling depan melarikan kudanya semakin cepat lagi, hanya
sekejap saja dia sudah berada kurang lebih satu kaki dari belakang kereta.
Mendadak orang itu meninggalkan kuda tunggangannya dan meloncat ke tengah udara
dan bersalto beberapa kali di tengah angkasa, di dalam sekejap saja dia sudah berhasil
melewati kereta berkuda itu dan meloncat turun ke atas permukaan tanah menghadang
jalan pergi kereta berkuda itu.
Tangan kanannya dengan cepat berkelebat membacok ke arah lelaki kasar yang tengah
mengemudikan kereta berkuda itu.
Lelaki yang mengendalikan kereta itu bukan lain adalah si lelaki yang bersenjatakan
golok itu, tampak tangan kirinya dengan cepat menarik tali les kuda menghentikan kereta
berkuda yang sedang lari dengan cepatnya itu. Cambuk panjang yang ada di tangan
kanannya mendadak dikebutkan ke depan mengancam lengan kanan dari orang yang
menghalangi perjalanan mereka.
Siauw Ling yang memandang ke arah depan dengan amat cermatnya segera bisa
melihat orang yang menghalangi perjalanan mereka itu bukan lain adalah seorang kakek
tua berjubah hitam pekat yang pada janggutnya memelihara jenggot kambing yang putih
sepanjang empat lima coen.
Tampak tubuhnya dengan cepat berkelebat mengundurkan diri sejauh delapan depa
dengan amat mudahnya dia berhasil menghindarkan diri dari serangan cambuk lelaki itu
tanpa meninggalkan kedudukan semula.
Siauw Ling yang melihat pertempuran yang dianggapnya amat sengit itu sudah
berlanggung hatinya tidak terasa lagi menjadi tertarik. Rasa takutpun sudah tersapu bersih
dari benaknya. Semakin dia orang menonton jalannya pertempuran itu dengan perhatian mendadak
tampaklah sebuah tangan yang halus meluncur keluar dari dalam kereta menarik tangan
kanan dari Siauw Ling dan terpaksa dia masuk kembali ke dalam kereta.
"Cici! Pertempuran itu sangat bagus sekali!" seru Siauw Ling dengan cepat sambil
melirik sekejap ke arah Gak Siauw-cha. "Gerakan mereka sangat cepat sekali sehingga
membuat pandanganku menjadi berkunang-kunang. Gerakan mereka makin lama semakin
tidak jelas." Dengan perlahan-lahan Gak Siauw-cha menghela napas panjang.
"Pertempuran yang menentukan mati hidup seseorang, apanya yang bagus untuk
dilihat?" ujarnya perlahan. "Kau jangan mengintip lagi?"
Mendadak mendengar suara bentakan yang amat keras bergema dari arah ke belakang
kereta disusul suara getaran yang amat keras sekali. Agaknya ada benda senjata besi yang
terbentur satu sama lain.
Kecepatan dari kereta kuda itu pun menjadi semakin berkurang, di tengah suara
bentakan manusia, ringkikan kuda serta bentrokan senjata tajam yang ramai membuat
suasana seketika sangat kacau dan penuh diliputi oleh suara hiruk-pikuk yang memekikkan
anak telinga. Gak Siauw-cha yang bersandar di dalam kereta tetap memejamkan matanya tidak
bergerak. Agaknya dia sedang memikirkan satu urusan yang amat berat sekali sehingga
sama sekali tidak punya niat untuk mencampuri pertempuran yang sedang berlangsung
diluar kereta itu. Di dalam hati Siauw Ling segera menggambarkan sendiri bagaimana keadaan
pertempuran di tempat luaran itu, kereta berkuda beserta para lelaki yang melindungi
keretanya tentu sedang bertempur dengan amat serunya dengan tiga orang pengejar itu.
Di depan kereta maupun di belakang kereta tampak bayangan senjata tajam berkelebat
memenuhi angkasa, keadaan amat menarik sekali.
Beberapa kali dia ingin menongolkan kepalanya untuk mengintip keluar tetapi diapun
merasa takut kalau sampai Gak Siauw-cha memaki dirinya lagi terpaksa dengan menindas
kembali rasa ingin tahunya dia duduk tidak bergerak.
Sepasang mata dari Gak Siauw-cha sedikit berkedip tetapi sebentar kemudian sudah
dipejamkan kembali. Siauw Ling tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. Tangannya dengan cepat
menyingkap hordin untuk mengintip keluar.
Terlihatlah lelaki yang mengemudikan kereta tadi sudah mencabut keluar goloknya dan
meloncat turun dari atas kereta, kini dia orang sedang bertempur dengan amat sengitnya
dengan si kakek tua berjenggot kambing itu.
Sebaliknya kakek tua itu walaupun pada punggungnya ada tersoren senjata tajam
tetapi dia orang sama sekali tidak menggunakan tangan kosong dia memberikan
perlawanan sengit terhadap serangan-serangan gencar dari lelaki bersenjatakan golok itu
mereka berdua saling serang menyerang dengan amat sengit ramainya, sungguh
merupakan suatu pertempuran yang amat sengit sekali.
Siauw Ling tidak mengerti akan ilmu silat. Dia yang melihat golok di tangan lelaki itu
dimainkan sehingga membentuk sinar putih dan mengurung seluruh tubuh kakek tua
diam-diam merasa amat kagum sekali.
Kepalanya segera ditoleh ke belakang, pertempuran yang berlangsung di belakang
kereta jauh lebih seru dan ramai sekali.
Lelaki yang melindungi kereta dari belakang itu pada saat itu sudah mencabut keluar
senjata Pan Koan Pitnya yang tersoren di pinggang dan melawan kedua orang musuhnya
dengan amat gigih. Kedua orang musuhnya itu bersenjatakan cambuk panjang yang terbuat dari serat
emas sebuah senjata aneh yang mirip golok tetapi mirip juga pedang, mereka berdua
dengan rapatnya menggenjot musuhnya dengan serangan-serangan yang mematikan
membuat lelaki itu jadi kerepotan dipaksa berada di bawah angin.
Tampaklah sinar terang yang menyilaukan mata dengan dahsyatnya menghajar lelaki
bersenjatakan Pan Koan Pit sehingga seluruh tubuhnya terkurung di dalam seranganserangan
musuh, terpaksa dia cuma bisa menangkis datangnya serangan itu dengan
sepenuh tenaga. Sebaliknya Gak Siauw-cha yang ada di dalam kereta tetap duduk bersila dengan amat
tenangnya tanpa memperlihatkan sedikit gerakan apapun.
Semakin lama dalam hati Siauw Ling merasa semakin ragu-ragu juga, pikirnya,
"Pertempuran diluar kereta berlangsung dengan demikian sengitnya. Sebaliknya, Gak cici
malah enak-enak duduk di dalam kereta saja, tentunya kepandaian silat dari Gak cici tidak
bisa memadai musuh-musuhnya sehingga dia tidak sanggup untuk turun tangan memberi
bantuan dan seperti juga aku terpaksa duduk di dalam kereta menunggu."
"Hai?"! Jika kali ini kita memang masih tidak mengapa, jikalau tidak untuk menderita
kalah" Jika dilihat dari sikap ketiga orang yang menyerupai malaikat iblis ini mana mereka
mau melepaskan kita."
Sedang enaknya dia berpikir mendadak terdengar suara bentakan yang amat keras
memecahkan kesunyian, lelaki kasar yang bersenjatakan golok itu berhasil kena hajar
pundak kirinya oleh kakek tua bertangan kosong itu sehingga tubuhnya tergetar mundur
beberapa langkah ke belakang.
Dengan mundurnya tubuh lelaki kasar itu dengan sendirinya terbanglah satu jalan buat
kakek itu untuk mendekati kereta berkuda tersebut.
Sebetulnya lelaki itu dengan taruhan nyawa sudah bertahan jangan sampai kakak tua
itu berhasil mendekati kereta, akhirnya dikarenakan ilmu silatnya tidak memadai dan
terkena satu pukulannya membuat dengan demikian terbukalah satu jalan buatnya.
Melihat kejadian itu Siauw Ling jadi terperanjat sekali.
"Aduuuh" sungguh aneh!" serunya.
Agaknya lelaki kasar bersenjatakan golok itu merupakan seorang yang keras kepala
setelah terkena pukulan sehingga mundur ke belakang dia menarik hawa murni dan
menerjang maju kembali, goloknya diobat abitkan di depan kereta tersebut.
Kakek tua itu segera tertawa dingin.
"Bagus" bagus sekali. Kamu orang tidak ingin hidup lebih lama lagi bukan?" teriaknya
gusar. Tangan kanannya dengan menggunakan jurus "Hwee Pah Ciong Cong" atau terbang
melayang menumbuk genta menghajar ke atas wajahnya.
Mendadak Gak Siauw-cha membuka matanya kembali lalu menyingkap hordin dan
menyapu sekejap ke arah situasi pertempuran baik di depan kereta maupun di belakang
kereta. "Apa yang lucu?" tanyanya kepada Siauw Ling dengan mata yang amat lirih.
"Kakek tua itu kelihatannya sudah terkurung oleh sinar golok yang amat rapat,
bagaimana dia secara tiba-tiba dia bisa merebut kemenangan dan berhasil memukul Toa
siok itu!" Kiranya dia melihat lelaki bersenjatakan Pan Koan Pit yang ada di belakang kereta
dimana dia orang dikeroyok oleh dua orang sekaligus menurut anggapannya tentu
terdesak dan keadaannya sangat berbahaya sekali, siapa duga lelaki bersenjatakan golok
di depan kereta yang kelihatannya memang sama sekali tidak terduga sudah terkena
dihajar oleh kakek tua itu.
"Adik Ling kau tidak mengerti ilmu silat sudah tentu tak mengetahui juga keadaan yang
sesungguhnya," sahut Gak Siauw-cha.
Mendadak "Bluuurr!" sekali lagi tubuh lelaki bersenjatakan golok itu kena hajar
sehingga golok yang ada di tangannya terpental ke tengah udara oleh pukulan yang
dahsyat tangan kakek tua itu.
Agaknya nafsu untuk membunuh sudah meliputi diri kakek tua itu, tangan kirinya
bersamaan dengan gerakan tangan kanannya mendadak menepuk ke depan menghajar
dada lelaki itu. Sang lelaki yang semula sudah menderita luka gerakannya tak begitu gesit lagi,
kelihatannya dia tak sanggup untuk menghindarkan diri dari serangan ini.
Siauw Ling jadi sangat terkejut sekali mendadak tampak bayangan hitam berkelebat di
depan matanya, Gak Siauw-cha secara tiba-tiba sudah berkelebat keluar lalu kirim satu
pukulan yang mematikan menghajar kakek tua itu.
Perubahan yang terjadi di depan mata ini berlangsung hanya di dalam sekejap saja,
sebelum Siauw Ling sempat melihat lebih jelas lagi telinganya sudah mendengar suara
dengusan berat yang mengerikan, kakek tua yang berjenggot kambing itu mendadak
mundur ke belakang dengan sempoyongan, tangan kirinya dengan lemas bergantungan ke
bawah. "Apa lukamu berat?" terdengar suara dari Gak Siauw-cha sedang bertanya pada lelaki
bersenjatakan golok itu. "Sedikit luka saja tidak terlalu berat!" sahut lelaki bersenjatakan golok itu dengan air
muka kecewa. Walaupun pada mulutnya dia berbicara begitu tetapi Gak Siauw-cha bisa melihat kalau
lukanya tak ringan, walaupun tidak sampai membahayakan jiwanya tetapi harus
beristirahat juga dengan cukup.
Dia segera memungut kembali goloknya yang terjatuh di atas tanah lantai diletakkan
kereta serunya dengan suara perlahan, "Kau naiklah ke dalam kereta untuk beristirahat
sebentar, nanti kita harus melakukan perjalanan kembali."
Selesai berkata tubuhnya dengan amat gesitnya bergerak maju ke depan melancarkan


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan kembali ke arah kakek tua itu.
Jalan darah "Chi Tie Hiat" pada lengan kiri kakek tua itu sudah berhasil ditotok oleh Gak
Siauw-cha sehingga tangan tersebut tak mau mendengar perintahnya lagi tetapi
kesadarannya masih penuh.
Melihat datangnya serangan dari Gak Siauw-cha itu tangan kanannya dengan cepat
dibabat ke depan mengirim satu pukulan gencar.
Gerakan Gak Siauw-cha amat cepat laksana bertiupnya angin malam, jurus
serangannyapun amat cepat bagaikan kilat, lima jari tangan kanannya mendadak diubah
menjadi serangan bacokan mengancam jalan darah "Sian Khie Hiat" dari kakek tua itu
sewaktu melihat datangnya babatan dari kakek tua itu mendadak diubah menjadi
serangan bacokan mengancam pergelangan tangan kanannya.
Si kakek tua yang sudah kena hajar satu kali sehingga gerakannya tak leluasa segera
mengetahui kalau kepandaian silatnya bukan tandingan dia orang, pergelangan tangan
kanan dengan terburu-buru ditekan ke bawah bersamaan pula tubuhnya mundur ke
belakang siap-siap melepaskan senjata tajamnya untuk menghadapi serangan musuh.
Siapa sangka jari dari Gak Siauw-cha yang ditekuk separuh itu mendadak disentilkan ke
depan, terasalah beberapa gulung angin serangan yang sangat tajam menerjang dengan
dahsyatnya. Kakek tua itu cuma bisa merasakan pergelangan tangannya menjadi kaku, seluruh
tenaga dalam yang ada di dalam tubuhnya menjadi lenyap tak berbekas, dengan demikian
pun gerakannya jadi semakin lambat.
Di dalam sekejap mata itulah Gak Siauw-cha sudah mendekati badannya, tangan
kanannya berturut-turut berkelebat menotok empat buah jalan darah.
Siauw Ling yang melihat kecepatan gerak dari Gak Siauw-cha sewaktu melancarkan
serangan-serangan mengalahkan musuhnya tadi di dalam hati merasa sangat kagum
bercampur girang, pikirnya, "Aah, kiranya dia mempunyai kepandaian silat yang demikian
tingginya, kiranya tadi dia sengaja memejamkan mata tidak menggubris dikarenakan tidak
ingin turun tangan melawan orang-orang semacam itu."
Sewaktu pikirannya sedang berputar itulah Gak Siauw-cha sudah melayang ke belakang
kereta membentak mundur lelaki kasar yang bersenjatakan Pan Koan Pit itu, tubuhnya
meloncat ke atas kembali dengan menggunakan tangan kosong dia memberikan
perlawanan yang sengit terhadap kedua orang itu.
Diantara ketiga orang itu si kakek tua itu bertindak sebagai pimpinannya, kini mereka
berdua melihat pimpinannya sudah menggeletak di atas tanah, membuat pikirannya
menjadi kacau, apalagi serangan yang dilancarkan oleh Gak Siauw-cha pun amat cepat
sekali, tidak selang empat, lima jurus, kemudian kedua orang itupun sudah rubuh pula
terkena totokan. Siauw Ling yang melihat kejadian itu di dalam hati diam-diam merasa sangat girang
sekali. "Hoooreee" kepandaian cici sangat hebat sekali?" teriaknya sambil berjingkrak
kegirangan. Mendadak terdengar suara yang amat nyaring bergema memenuhi angkasa tampaklah
seekor burung dara dengan amat cepatnya meluncur ke tengah udara dan terbang dengan
cepatnya menuju ke arah belakang.
Melihat hal itu Gak Siauw-cha segera mengerutkan alisnya rapat-rapat sinar matanya
dengan cepat dialihkan ke atas wajah laki-laki bersenjatakan Pan Koan Pit, ujarnya, "Jejak
kita sudah bocor, sebelum pihak lawan mengetahui keadaan kita lebih jauh dan berhasil
memperoleh hasil mereka tidak akan berpeluk tangan."
"Cici, kepandaian silatmu demikian tingginya kenapa nyalimu begitu kecil," timbrung
Siauw Ling tiba-tiba. "Sekalipun ada orang yang datang mengejar bukankah cici masih
menahan serangan mereka?"
Gak Siauw-cha segera tertawa.
"Adik Ling kau tidak tahu menahu urusan tentang dunia Kangouw, kepandaian cicimu
Pahlawan Dan Kaisar 12 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 2

Cari Blog Ini