Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bagian 2
sekarang ini tidak lebih cuma kunang-kunang di tengah lampu lentera, ibuku yang
kepandaian silatnya sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari akupun tidak lolos dari terluka
dalam sehingga menemui ajalnya apalagi aku?"
"Apa" Bibi Im mati karena terluka dalam?" Teriak Siauw Ling tertegun, "Kapan dia
berkelahi dengan orang" kenapa aku sedikitpun tidak tahu?"
Gak Siauw-cha tidak menjawab, dia segera memerintahkan lelaki bersenjatakan Pan
Koan Pit itu untuk mengikat ketiga orang itu lalu menotok lagi beberapa jalan darahnya
dan dilemparkan ke dalam tanah gersang yang ada di sekitar tempat itu.
Dari ketiga ekor kuda jempolan yang tertinggal dia memilah seekor lagi yang paling
bagus untuk menggantikan kudanya sendiri.
Setelah semuanya selesai dia baru menuding ke atas puncak gunung yang tinggi di
depannya. "Jalanan ke bawah puncak yang tinggi itu!" Serunya dengan perlahan.
Diapun segera meloncat naik ke dalam kereta.
Di dalam hati lelaki bersenjatakan Pan Koan Pit walaupun merasa terheran dan raguragu
tetapi dia tidak berani banyak bertanya segera kereta tersebut dijalankan menuju ke
arah depan. Dari dalam sakunya Gak Siauw-cha mengambil keluar dua butir pil dan diserahkan
kepada lelaki kasar itu untuk ditelan setelah semuanya selesai dia baru menghela napas
panjang, ujarnya kepada Siauw Ling dengan suara yang lirih, "Walaupun ibuku berhasil
ditolong oleh ayahmu tetapi yang sebenarnya dia orang sudah menderita luka dalam yang
amat parah sekali." "Sungguh aneh!" potong Siauw Ling keheranan. "Bibi Im tinggal dirumahku ada
beberapa bulan lamanya tetapi dia orang sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala
yang aneh. Jikalau dia benar-benar terluka dalam mana mungkin dia bisa hidup beberapa
bulan lamanya." "Tenaga dalam ibuku ini sangat sempurna sekali." Gak Siauw-cha menerangkan.
"Setelah dia orang tua mendapatkan pertolongan dari ayahmu dengan paksakan diri dia
menyalurkan hawa murninya untuk menutupi rasa sakit dan mempertahankannya hanya
dengan sebotol pil mujarab yang digembolnya, gerak-geriknya sekalipun tidak melebihi
orang biasa padahal setiap hari harus menanggung derita rasa sakitnya dan kambuhnya
luka dalam itu. Jikalau aku bisa datang sebelumnya kemungkinan aku orang masih bisa
bantu dia orang tua untuk menyembuhkan luka dalamnya atau paling sedikit bisa
melindungi dia untuk meninggalkan rumahmu dan mencari seorang tabib sakti untuk
mengobati luka dalamnya itu."
"Saat itu kepandaian silatnya sudah punah, jikalau disuruh dia seorang diri melakukan
perjalanan jauh sebetulnya tidak mungkin terlaksana, sungguh tidak disangka karena
keterlambatan selama beberapa hari saja urusan ternyata sudah jadi berantakan, sukar
bagiku untuk bertemu kembali dengan ibu."
"Tapi bibi Im bisa mempertahankan diri selama beberapa bulan lamanya mengapa tidak
bisa menunggu beberapa hari lagi?" tanya Siauw Ling lagi.
"Luka dalam yang dideritanya amat parah sekali dia orang tidak sampai menemui
ajalnya semuanya ini dikarenakan mengandalkan kemujaraban dari obat yang dibawanya
sehingga hawa murninya tidak sampai buyar, setelah kegunaan dari obat itu lenyap sudah
tentu sukar baginya untuk mempertahankan hidupnya lebih lanjut, karena itu dia baru
menulis surat wasiat dan secara diam-diam bersembunyi di dalam sumur tua itu untuk
menantikan saat ajalnya!"
Siauw Ling yang teringat kembali akan kebaikan budi dari Im Kauw tidak tertahan lagi
hatinya merasa sangat sedih, dua titik air mata dengan derasnya mengucur keluar
membasahi pipinya. "Benar..!" ujarnya sambil menghela napas panjang. "Karena bibi Im takut kita merasa
sedih setelah mengetahui kematiannya maka sengaja dia menulis surat perpisahan agar
kita salah menduga kalau dia ada urusan sudah meninggalkan tempat itu."
"Selain itu tidak orang tua juga takut memancing datangnya kesulitan buat kalian,"
sambung Gak Siauw-cha cepat.
"Cici, aku ada satu urusan yang tidak begitu paham!"
"Urusan apa?" tanya Gak Siauw-cha heran.
"Dunia begitu lebarnya, bagaimana cici bisa mencari dia orang tua sampai dirumahku?"
"Sejak semula ibuku sudah meninggalkan tanda rahasia diluar dusun Tan Kwee
Cungcuma saja tidak ada orang yang mengenalnya."
"Lalu bagaimana ibuku sudah meninggalkan bersembunyi di dalam sumur kering
dirumahku itu" cici apa mengetahui dari tanda rahasia yang ditinggalkan bibi Im di dalam
kamar bacanya?" Dengan perlahan Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.
"Ibuku cuma meninggalkan tanda rahasia kematian di dalam kamar bacamu itu dan
bukannya meninggalkan tanda rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan
jenazahnya maka itu sewaktu aku menemukan tanda tersebut tanpa terasa lagi aku sudah
menjatuhkan cawan sehingga hancur."
Dengan perlahan dia menghapus kering butiran air mata yang menetes keluar
membasahi pipinya itu, lantas sambungnya,
Jilid 3 "Di dalam surat wasiatnya ibuku membicarakan tentang adik Ling juga walaupun kau
sudah memperoleh pelajaran mengatur ilmu pernapasan dari ibuku tetapi belum bisa
mengetahui benar rahasianya jikalau latihanmu salah bukan saja sukar untuk
menghilangkan penyakit yang ada di dalam tubuhmu dan menembus saat kematianmu
pada usia dua puluh tahun, bahkan kemungkinan sekali malah mempercepat kematianmu,
saat itu bukanlah sama saja ibuku sudah membalas air susu dengan air tuba" karenanya di
dalam surat wasiatnya diapun memerintahkan aku untuk memberi petunjuk selanjutnya
kepadamu, jika itu bukannya dikarenakan perintah ibuku ini sekalipun kau memohon
secara bagaimanapun aku juga tidak berani membawa kau untuk melakukan perjalanan
bersama-sama." "Kenapa?" bantah Siauw Ling setelah mendengar perkataan itu. "Tidak urung akupun
tidak bisa hidup lebih lama lagi di dalam dunia."
"Masa mendatang sekalipun pendek tapi masih ada tiga empat tahun lamanya, tetapi
jika kau mengikuti aku untuk melakukan perjalanan yang sangat berbahaya ini keadaan
jadi sukar untuk diduga, kemungkinan sekali cuma ini haripun sukar untuk meloloskan
diri." Mendadak terdengar suara dengusan napas yang memburu dan ngos-ngosan
berkumandang datang. Dengan cepat mereka palingkan kepalanya, tampaklah lelaki kasar yang sedang
menyembuhkan lukanya saat ini sedang bernapas dengan amat sesaknya, air mukanya
menjadi berubah merah padam agaknya napasnya sudah tersumbat di tenggorokan
sehingga sukar untuk dikeluarkan.
Gak Siauw-cha dengan cepat mengeluarkan jalan darah di belakang punggung lelaki
itu. Tampak dia menghembuskan napas panjang, napas yang memberat semakin lama
semakin menghilang sedangkan air muka yang memerahpun dengan perlahan-lahan
membayar kembali. "Gak cici, dia mengapa?" tanya Siauw Ling keheranan.
"Sewaktu menyalurkan hawa murninya untuk menyembuhkan luka dia sudah salah
melanggar urat nadi." Sahut Gak Siauw-cha menerangkan. "Bilamana bukannya aku cepatcepat
turun tangan membantu dia untuk menotok jalan darah pentingnya, hari ini
sekalipun dia tidak menemui ajalnya paling sedikit juga akan menjadi cacat."
"Aah, kiranya berlatih silatpun ada macam-macam kerepotan?" seru Siauw Ling sambil
menjulurkan lidah. Tampaklah lelaki kasar itu dengan perlahan-lahan membuka matanya kembali.
"Terima kasih atas pertolongan nona sebanyak dua kali ini," ujarnya perlahan.
Dalam hati Gak Siauw-cha sedang murung, dia cuma tertawa tawar saja tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Suasana di dalam ruangan kereta menjadi amat sunyi sekali, cuma terdengar suara
berputarnya roda memecahkan kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu.
Entah berapa saat lamanya mendadak berputarnya roda berhenti secara tiba-tiba
kemudian terdengar sebuah suara yang amat kasar berkumandang masuk dari luar kereta.
"Nona, kereta sudah sukar untuk maju lagi!" ujarnya.
Gak Siauw-cha segera menyingkap hordin dan meloncat turun dari atas kereta tampak
sang surya sudah lenyap dibalik gunung magrib pun datang menjelang.
Siauw Ling pun meloncat turun dari atas kereta dan memandang keempat penjuru,
tampaklah rentetan pegunungan sambung menyambung di tempat kejauhan, puncak yang
satu lebih tinggi dari puncak yang lain mirip sekali dengan seekor naga yang sedang tidur.
Sinar pantulan sang surya mengenai puncak gunung memantulkan suatu sinar
lembayung yang amat indah sekali. Hal ini membuat hatinya terasa amat tenang dan
gembira. Tidak kuasa lagi dia tertawa terbahak-bahak.
"Suatu pemandangan yang amat indah sekali!" pujinya dengan suara keras.
Gak Siauw-cha yang melihat kegembiraannya sama sekali tidak lenyap bahkan tidak
mengetahui kalau mara bahaya sudah berada dihadapan mata, hatinya merasa sangat
pedih, pikirnya, "Orang tuanya memberikan budi kepadaku, jikalau aku tidak dapat
melindunginya hanya sekalipun hidup di dunia akupun merasa amat malu sekali."
Tidak terasa lagi semangatnya berkobar kembali setelah memandang sekejap sekeliling
tempat itu cepat-cepat serunya dengan nyaring, "Kita tinggalkan kereta itu dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki."
Selesai berkata dia segera melanjutkan langkahnya ke depan.
Siauw Ling sendiri di bawah bimbingan serta bantuan dari kedua orang lelaki besar itu
tanpa terasa lagi sudah melewati beberapa buah puncak gunung.
Beberapa saat kemudian Gak Siauw-cha berhenti kembali di samping sebuah jurang
yang amat curam sekali, ujarnya, "Malam ini kita menginap di tempat ini kalian pergilah
membersihkan salju di tempat ini, aku mau pergi sebentar."
Dengan cepat tubuhnya meloncat sejauh satu kaki dan sebentar kemudian lenyap dari
pandangan. Di dalam perjalanan tadi walaupun Siauw Ling dibimbing orang lain tetapi diapun harus
pusatkan perhatiannya untuk memanjat atau menuruni tebing. Saat ini setelah berhenti
bergerak tidak terasa lagi dengan hati girang dia memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu. Tampaklah tempat dimana mereka berhenti merupakan sebuah tempat yang
keadaannya sangat membahayakan sekali. Di sebelah depan berdirilah sebuah puncak
gunung yang amat tinggi ribuan kaki, di sebelah kanannya merupakan sebuah jurang yang
dalamnya ratusan kaki keadaannya sangat mengejutkan sekali kecuali sebuah jalan usus
kambing yang teramat sempit yang menghubungkan tempat itu dengan tempat luaran
tidak ada jalan lagi yang nampak.
Sinar matanya dengan perlahan berputar kembali, akhirnya pandangannya berhenti di
atas tubuh kedua orang lelaki yang membantu dirinya tadi, terlihatlah napas mereka
berdua memburu dengan amat cepatnya sedang keringat mengucur keluar dengan amat
derasnya. Siauw Ling memandang sekejap ke arahnya lantas tanyanya, "Toa siok berdua,
siapakah nama kalian?"
"Kongcu memanggil kami dengan sebutan tersebut hamba tidak berani menerimanya,
nama hamba adalah Thio-kan!" sahut lelaki bersenjatakan golok itu.
"Aku bernama Hoo-kun, tolong tanya siapakah nama dari Si heng?" ujar lelaki
bersenjatakan Pan Koan Pit itu.
"Aku bernama Siauw Ling!" sahut Siauw Ling sambil tertawa. "Toa siok berdua
sebetulnya ada hubungan apa dengan Gak ciciku itu?"
"Kami adalah bawahan dari nona Gak," sahut Thio-kan dengan suara yang serak. "Lain
kali jikalau kongcu ada urusan silahkan perintah saja kepada kami, kami segera
melaksanakannya." "Eeeai" sebetulnya Gak ciciku itu?"
Thio-kan serta Hoo-kun pada saling bertukar pandangan sekejap, lalu bersama-sama
sahutnya, "Tentang soal ini lebih baik kongcu tanyakan sendiri dengan nona Gak."
Sewaktu mereka sedang berbicara itulah tampak Siauw-cha dengan membawa seikat
ranting kayu sudah berjalan kembali.
"Adik Ling," ujarnya dengan halus terhadap diri Siauw Ling. "Pertempuran sengit tadi
tentunya kau melihat dengan mata kepalamu sendiri bukan?"
"Benar!" sahut Siauw Ling sambil mengangguk. "Kepandaian silat dari cici sangat tinggi
sekali Siauw te merasa amat kagum."
"Tetapi mereka-mereka itu tak lebih cuma beberapa tentara kecil yang dipasang di
depan garis pertempuran, musuh yang tangguh-tangguh sebentar lagi bakal datang.
Mereka mempunyai burung dara yang membuntuti kita tidak lama kemudian mereka tentu
akan tiba disini, kemungkinan sekali malam ini bakal terjadi suatu pertempuran yang amat
sengit sekali." "Cici, kau jangan merasa kuatir" hibur Siauw Ling. "Mati atau hidup ada di tangan
Thian, orang budiman tentu dilindungi terus oleh Thian, walaupun Siauw te tidak paham
ilmu silat tetapi hatiku sedikitpun tidak takut."
"Ehmm" besar juga nyalimu." puji Gak Siauw-cha sambil tertawa.
"Sekalipun tidak ada urusan ini akupun tidak bisa hidup beberapa tahun lagi. Cici
bilamana mau membawa aku meluaskan pandangan sekalipun harus mati lebih cepat
hatiku juga sudah puas."
"Jikalau bukannya dikarenakan hendak melindungi keselamatan dari adik Ling, kitapun
tidak akan memilih suatu tempat yang demikian bahaya untuk menahan serangan musuh,"
ujar Gak Siauw-cha dengan nada serius. "Jika kau tidak mau mendengar omonganku, kau
orang tidak usah turut kami lagi."
"siapa yang bilang aku tidak mau mendengarkan omongan cici?" seru Siauw Ling
dengan cemas. "Kalau begitu baiklah," ujar Gak Siauw-cha kemudian sambil mengangguk. "Nanti
jikalau ada musuh yang mengejar sampai disini, kau tidak boleh lari secara sembarangan,
kau harus sembunyi di belakang batu besar tersebut. Bilamana sukma ibu yang ada di atas
melindungi kita dan malam ini kita berhasil membasmi musuh tangguh, kemungkinan
sekali kita akan segera melanjutkan perjalanan kembali."
"Pihak musuh mempunyai burung dara untuk memberi jejak," ujar Thio-kan tiba-tiba,
"Sekalipun kita bersembunyi kemanapun jejak kita bakal diketemukan juga oleh mereka.
Jikalau kita hendak bermaksud menghilangkan jejak seharusnyalah mencari sebuah akal
untuk membereskan burung dara itu terlebih dahulu."
"Menurut dugaanku, pimpinan dari kaum pengejar selama ini paling lambat nanti
malam pasti sudah tiba disini." kata Gak Siauw-cha. "Jikalau malam ini kita berhasil
menyingkirkan musuh-musuh yang menyerang malam ini, urusan akan mendekati sedikit
beres, sekalipun mereka mempunyai burung dara yang bisa mencari jejak, paling cepat
tiga, lima hari kemudian mereka baru akan tiba disini."
"selamanya dugaan nona selalu tepat, sudah tentu urusan tidak meleset dari dugaan
tersebut." sambung Thio-kan kemudian.
"Tetapi cayhe ada satu urusan yang tidak paham, harap nona mau memberi
penjelasan." tiba-tiba sela Hoo-kun.
"Ada urusan apa" Bicaralah!"
"Tadi nona melarang aku untuk membinasakan orang pengejar itu bahkan mereka
hidup lebih lanjut bukankah hal ini cuma memberikan satu keuntungan buat lawan?"
"Sekalipun kita binasakan mereka bertiga belum tentu persoalan bisa beres dengan
sendirinya, lebih baik kita tinggalkan kehidupan buat mereka agar mereka mewakili kita
memberikan berita-berita yang membingungkan pihak musuh."
Dia berhenti sebentar, kemudian dengan perlahan sinar matanya menyapu sekejap ke
arah Thio-kan serta Hoo-kun tambahnya, "Untuk menghadapi pertempuran sengit nanti
malam, seharusnya sekarang kalian beristirahat secukupnya."
"Nonapun harus baik-baik menyimpan tenaga buat nati malam." sahut Thio-kan dan
Hoo-kun berbareng. "Kiranya musuh-musuh yang bakal mengejar kemari bukanlah
manusia-manusia tidak becus."
Gak Siauw-cha segera angkat kepalanya menghembuskan napas panjang.
"Adik Ling! Kau baik-baiklah beristirahat!" katanya kemudian kepada Siauw Ling dengan
suara yang amat perlahan. "Jikalau nanti musuh tangguh sudah datang maka
pertempuran sengit bakal berlangsung, saat itu sekalipun kau amat lelah juga tidak bakal
bisa tidur." Beberapa perkataannya ini amat halus, ramah dan menaruh perhatian yang khusus
terhadap dirinya, lagaknya mirip dengan cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya sendiri.
Siauw Ling merasakan sikapnya terhadap dia ada kalanya sangat halus dan ramah
sekali ada kalanya pula dingin, kaku sukar diduga membuat dia orang menaruh rasa
hormat juga takut terhadap dirinya, dengan cepat dia pejamkan matanya untuk mengatur
pernapasan. Malam semakin kelam" suasana ditanah pegunungan sunyi senyap" suara auman
srigala yang memanjang bercampur dengan suara pekikkan burung malam dari tempat
kejauhan menambah keseraman dan kengerian dimalam itu.
Mendadak suara-suara siutan panjang yang memekikan telinga memecahkan kesunyian
menembus awan. Dengan cepat Siauw Ling membuka matanya terlihatlah sinar bintang berkedip jauh
diangkasa puncak gunung yang tinggi dan menjulang keangkasa kelihatan jauh lebih
mengerikan, tidak terasa lagi hatinya terasa sedikit bergidik.
"Adik Ling!" tiba-tiba terdengar suara yang amat halus dari Gak Siauw-cha
berkumandang masuk ke dalam telinganya, "Musuh sudah pada datang, kau cepatlah
bersembunyi di belakang batu cadas yang kasar itu."
Siauw Ling amat penurut sekali, dia segera bangun berdiri dan berjalan menuju ke
belakang batu cadas yang amat besar itu.
Baru saja berjalan dua langkah mendadak terasalah sebuah telapak tangan yang amat
halus sudah mencekal pergelangan tangan kanannya, disusul tercium bau wangi yang
semerbak masuk ke dalam hidung.
Dengan cepat dia menoleh ke belakang terlihatlah Gak Siauw-cha dengan wajah yang
amat murung sedang memandang dirinya.
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia jadi melengak. "Cici, ada urusan apa?" tanyanya heran.
"Adik Ling, musuh yang bakal datang memiliki kepandaian yang amat tinggi sekali
masing-masingpun mempunyai yang amat kejam dan ganas sekali," ujar Gak Siauw-cha
dengan sedih, "Adik Ling sekalipun kau masih amat kecil dan tidak mengerti ilmu silat
tetapi jikalau sampai terjatuh ketangan mereka tentu bakal sukar untuk lolos dari
kematian. Sewaktu nanti cici melawan musuh, kemungkinan sekali waktu itu aku tidak bisa
mengurus dirimu lagi. Tidak perduli bagaimana seru sengitnya jangan munculkan diri
untuk menonton, lebih kau sembunyilah serapat mungkin sehingga tidak sampai diketahui
musuh." "Aku akan mengingat-ingatnya semua, cici kau harap berlega hati." sahut Siauw Ling
dengan cepat. Setelah itu dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju ke belakang sebuah batu
besar. Setelah Gak Siauw-cha melihat Siauw Ling sudah bersembunyi dengan amat rapat lalu
kepada Thio-kan serta Hoo-kun baru berkata, "Pertempuran yang bakal terjadi malam ini
tidak sama dengan pertempuran yang terjadi biasanya di dalam Bulim, pertempuran
malam ini menyangkut mati hidup masing-masing. Kalian turun tanganlah sekejam
mungkin, lebih banyak melukai seorang musuh berarti pula mengurangi satu bagian
bahaya buat keselamatan kita."
"Nona harap berlega hati." sahut Thio-kan serta Hoo-kun bersama-sama. "Malam ini
bukannya pihak musuh yang menemui ajalnya tentulah kami bersaudara yang binasa."
Mendadak terdengarlah suara tawa aneh yang menyeramkan sekali berkumandang
datang dari tempat berpuluh-puluh kaki jauhnya, suara tawa itu amat mengerikan sekali
mirip dengan suara pekikan burung malam, bagkan dengan amat cepatnya bergerak
mendatang. Hanya di dalam sekejap saja suara itu sudah di bawah tebing jurang itu.
Sejak semula Gak Siauw-cha sudah menyusun satu cara untuk menghadapi musuhmusuhnya
itu, tangan kanannya dengan cepat diulapkan, Thio-kan serta Hoo-kun segera
pada meloncat mengambil tempat kedudukan masing-masing.
Mereka bertiga dengan mengikuti keadaan di dalam tebing itu berpencar menjadi segi
tiga bersama-sama menghadapi serangan musuh.
Dengan cepat Gak Siauw-cha merogoh ke dalam sakunya meloloskan sebuah pedang
lemas yang panjangnya empat depa delapan cun dengan luas dua jari tangan, dengan
perlahan dia berjalan mendekati tepi tebing sedangkan tangan kirinya merogoh ke dalam
sakunya meraup segenggam jarum perak yang amat halus sekali.
Terdengar dari bawah tebing itu berkumandang kembali suara yang berat, serak dan
amat dingin sekali. "Heee" heee" budak-budak rendah! teriaknya.
"Kalian sekarang sudah kami kepung rapat-rapat. Keadaan kalian mirip seekor burung
yang berada di dalam sangkar, mirip pula dengan seekor binatang buas yang ada di dalam
kandang, heee" heee" jangan salahkan loohu akan turun tangan kejam terhadap kalian!"
Selama ini Thio-kan paling menghormati dia Gak Siauw-cha, mendengar orang yang
ada memaki dirinya tidak terasa lagi dia jadi sangat gusar sekali.
"Cucu kura-kura janganlah beraninya memaki orang jika punya nyali ayo turun
bergebrak dengan aku!" bentaknya dengan keras.
Segera terdengar suara aneh yang amat seram memekikan telinga bergema datang
sesosok bayangan manusia bagaikan seekor kera dengan amat gesitnya sudah meluncur
ke bawah tebing. Kiranya orang itu sekalipun berhasil mengetahui sampai disini tapi dikarenakan keadaan
cuaca yang amat gelap sekali tidak tahu Gak Siauw-cha sekalipun, sengaja dia memaki
dengan kata-kata kotor untuk memancing balasan dari pihak lawan sehingga dengan
demikian bisa diketahui tempat kedudukan lawan. Thio-kan yang tidak mengetahui akan
siasat ini ternyata sudah berhasil kena pancing siasat musuh.
Gak Siauw-cha yang melihat gerakan tubuh dari orang itu amat gesit sekali dalam hati
segera mengetahui kalau kepandaian silat musuh tidak lemah.
Nafsu membunuhnya segera berkobar memenuhi benaknya, dia berdiri tegak di atas
tebing tanpa bergerak sedikitpun, menanti orang itu hampir mencapai tanah mendadak
pergelangan tangan kirinya diayun ke depan segenggam senjata rahasia yang amat
dahsyatnya menyambar ke arah depan.
Jarak diantara mereka berdua amat dekat sekali apalagi kekuatan menyambit dari Gak
Siauw-cha pun menggunakan tenaga yang amat dahsyat sekali, seharusnya menurut
perkiraan orang itu tidak bakal bisa menghindarkan diri dari serangan tersebut.
Siapa sangka ilmu silat dari orang itu ternyata amat tinggi sekali diluar dugaan diri Gak
Siauw-cha, tampak orang itu di dalam keadaan yang tergesa-gesa miringkan badannya
kesamping lalu melancarkan satu pukulan ke depan.
Perbuatan yang dilakukan oleh orang itu amat cepat sekali, hanya di dalam sekejap
saja dia sudah berhasil menghindarkan diri dari sambitan senjata rahasia Gak Siauw-cha.
Beberapa batang jarum perak tersebut dengan amat tajamnya berkelebat melewati atas
kepalanya sedangkan sisanya berhasil dipukul miring arahnya oleh tenaga pukulan dari
orang itu sehingga pada berjatuhan di atas tanah.
Melihat keadaan itu di dalam hati Gak Siauw-cha merasakan hatinya bergidik, pikirnya,
"Cukup dilihat dari caranya melayang turun dari atas tebing serta gerakan dari tubuhnya di
dalam menghindarkan diri dari serangan jarum perak sudah cukup membuktikan dia
adalah seorang musuh yang amat tangguh sekali?"
Mendadak terdengarlah suara bentakkan keras dari Thio-kan disusul suara beradunya
senjata tajam yang amat ramai sekali, dengan tergesa-gesa Gak Siauw-cha menoleh
kesamping. Terlihatlah waktu Thio-kan sedang memutarkan goloknya melancarkan serangan
bertubi-tubi menyerang seorang lelaki berbaju hitam.
Tampak pada tangan manusia berbaju hitam itu memancarkan sinar yang berkilauan
ternyata dia menggunakan sebuah senjata swaatika yang aneh sekali itu "Liang Hien Ban
Ci Loh" yang merupakan senjata tandingan dari golok yang ada di tangan Thio-kan itu.
Cukup membicarakan hal senjata tajam saja Thio-kan sudah kalah di bawah angin
apalagi orang yang bisa mempergunakan senjata semacam itu biasanya memiliki
kepandaian tunggal yang amat lihay sekali sudah tentu dia orang semakin terdesak lagi.
Tetapi Thio-kan memberikan perlawanan dengan amat gigih sekali, dia melancarkan
serangan dengan penuh tenaga membuat sinar golok berkelebat memenuhi seluruh
angkasa, goloknya sebentar menusuk semuanya menggunakan jurus-jurus serangan yang
paling dahsyat membuat manusia berbaju hitam itu untuk sementara waktu tidak bisa
mengapa apakan dirinya. Waktu itu tempat penjagaan dari Hoo-kun dan sudah mulai terdengar suara desiran
angin serangan angin yang amat gencar, tampak seorang kakek tua yang botak dan kurus
kering seperti bambu entah sejak kapan sudah menerjang masuk ke dalam tebing
tersebut. Tampaklah dia orang dengan menggunakan sepasang kepalannya yang laksana
besi menyambut datangnya serangan Pan Koan Pit dari Hoo-kun.
Walau pun kakek tua botak itu cuma menggunakan serangan kepalan saja, ilmu yang
digunakan olehnya bukan lain adalah ilmu cakar elang yang dicampur dengan kepandaian
merebut senjata tajam yang amat lihay, di tengah kegelapan malam yang amat sunyi
terlihatlah jenggotnya yang putih berkibar tak henti-hentinya di tengah kalangan, kelihatan
ilmu silatnya jauh berada di atas manusia berbaju hitam tadi.
Hanya di dalam sekejap saja sudah ada dua orang musuh tangguh yang merebut turun
dari tebing, sinar mata Gak Siauw-cha dengan cepatnya berkelebat di tengah kalangan,
tampaklah orang yang tadi berhasil menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu
dengan amat cepatnya sudah menubruk kehadapannya.
Pedang panjang yang ada di tangan Gak Siauw-cha dengan cepat digetarkan hingga
timbullah pelangi perak yang menyilaukan mata.
Diantara berkelebatnya sinar pedang muncullah bunga-bunga pedang yang amat
banyak menghajar pihak musuh.
Orang itu segera tertawa dingin, sepasang tangannya direntangkan kesamping dari
ujung bajunya mendadak berkelebat keluar dua gulung sinar lingkaran yang hitam.
Ternyata senjata itu bukan lain adalah sepasang gelang "Siauw Hauw Siang Huan" yang
terbuat dari besi baja. Sepasang gelang bajunya ini sejak semula sudah disembunyikan dibalik jubah, saat ini
begitu tangannya digetarkan segera terlihatlah sepasang gelang itu berkelebat dengan
amat cepat menutupi seluruh serangan pedang-pedang dari Gak Siauw-cha.
Criiiing"!! bagai pekikan naga sakti, pedang serta sepasang gelang baja itu bentrok
satu sama lainnya sehingga terlihatlah bunga api memancar keluar memenuhi angkasa,
pedang panjang di tangan Gak Siauw-cha yang semula lurus bagaikan sebuah pit
mendadak ditekuk kesamping, diantara berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata
bagaikan kilat cepatnya membabat ke arah sepasang tangan dari pihak lawan yang
mencekal sepasang gelang baja itu.
?"?"?"?""
http://ecersildejavu.wordpress.com/
?"?"?"?"?"?"Haruslah diketahui pedang panjang adalah sebuah senjata yang diantara keras
membawa kelembutan, diantara kelembutan itu membawa kekuatan dahsyat, perubahan
yang terjadi secara mendadak ini sudah tentu berada diluar dugaan pihak lawan.
Orang yang menggunakan sepasang gelang baja itu semula bermaksud hendak
menutup datangnya serangan pedang dari pihak musuh lalu dengan meminjam
kesempatan ini maju melancarkan serangan.
Siapa sangka pedang lemas dari Gak Siauw-cha ternyata bisa menekuk lalu berputar
arah, di dalam keadaan yang amat terperanjat dia sempat berganti jurus lagi sambil
melepaskan gelangnya dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas udara lalu bersalto
beberapa kali dan meluncur kembali ke atas tebing.
Di tengah kegelapan yang mengaburkan pandangan terlihatlah butiran darah segar
dengan mengikuti melayangnya tubuh menjauhi tempat tersebut menetes keluar
membasahi permukaan tanah, jelas sekali urat nadi pada pergelangan tangannya sudah
berhasil dibabat robek oleh serangan dari Gak Siauw-cha tadi.
Gak Siauw-cha sendiripun hampir-hampir tidak mau percaya kalau serangannya tadi
berhasil mendesak seorang musuh yang tangguh untum melayang turun kembali ke
bawah tebing, tidak terasa dia menjadi tertegun.
Pada saat itulah mendadak dari bawah tebing melayang kembali seorang bayangan
manusia yang mempunyai perawakan amat tinggi besar yang bagaikan kilat cepatnya
menubruk datang. Dengan cepat Gak Siauw-cha menggerakkan tangannya, sepasang gelang baja yang
semula masih tergantung di atas ujung pedangnya dengan cepat disambitkan ke arah
dada serta lambang dari bayangan manusia sedang menubruk ke arahnya itu.
Gerakannya ini sebetulnya tak bermaksud untuk melukai orang, dia hanya ingin
meminjam kesempatan ini untuk berebut kedudukan, baru saja sepasang gelangnya
disambit keluar pedangnya dengan amat cepat sudah menotok pula ke arah depan.
Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak sepasang gelang baja tadi ternyata sudah
terpukul balik oleh pukulan angin serangan yang amat gencar dari pihak lawan.
Dalam hati Gak Siauw-cha merasakan hatinya bergidik, dengan cepat tubuhnya
berputar kesamping untuk menghindarkan dia dari serangan tersebut.
Terdengar suara desiran angin serangan yang amat tajam di tengah kegelapan malam
tampak berkelebatnya sesosok bayangan hitam laksana ular licin dengan menembus
angkasa berkelebat mendatang. Kiranya benda itu adalah sebuah cambuk lemas berkepala
ular yang amat aneh sekali.
Pedang emas di tangan Gak Siauw-cha dengan cepat digetarkan keluar diantara
berkelebatnya sinar keperak-perakan dengan gerakan menyerang dia balas melancarkan
serangan. Baru saja lewat tiga jurus Gak Siauw-cha sudah merasakan kepandaian silat dari orang
itu amat tinggi sekali, perubahan yang terjadi pada cambuk lemas ditangannyapun amat
aneh dan sukar untuk diduga sebelumnya.
Dengan cepat pedang lemas ditangannya dikebutkan ke depan, seketika itu juga
tampak sinar yang amat dingin berkelebat memenuhi angkasa, bunga-bunga pedang
dengan amat santernya mengurung seluruh ruangan. Kiranya Gak Siauw-cha tahu
pertempuran malam ini harus diselesaikan secepat mungkin, asal pimpinan dari
pengejaran malam ini bisa dilukai olehnya maka untuk meloloskan diri akan jauh lebih
mudah lagi, karena itu baru saja pertempuran itu dimulai dia sudah mengeluarkan seluruh
jurus serangannya yang paling dahsyat.
Tetapi kepandaian silat dari orang itu amat lihay dan tinggi sekali. Cambuk lemas
berkepalakan ular yang ada ditangannya bukan saja mempunyai perubahan yang amat
banyak sehingga sukar diduga bahkan tenaga pergelangannyapun amat dahsyat setiap
serangannya tentu disertai sambaran angin.
Walaupun serangan-serangan yang dilancarkan oleh Gak Siauw-cha amat gesit dan
ganas tetapi untuk sementara waktu mereka tidak bisa mengapa apakan pihak lawan yang
amat lihay ini. Sinar matanya dengan amat cepat beralih ke atas wajahnya, tampaklah orang itu
dengan menggunakan sebuah kain sutera hitam mengerudungi wajahnya sehingga cuma
kelihatan munculnya sepasang mata yang memancarkan sinar tajam. Serangan-serangan
yang dilancarkan dengan menggunakan cambuk berkepalakan ular itupun semakin aneh
dan merupakan jurus-jurus serangan yang belum pernah dijumpai.
Diam-diam dalam hati Gak Siauw-cha merasa amat heran.
"Orang ini kalau memangnya sengaja mengejar diriku apalagi ilmu silat yang dimilikipun
amat tinggi sekali, kenapa dia orang tak mau menemui aku dengan wajahnya yang
sesungguhnya" Apakah di dalam hal ini masih ada rahasia yang tak boleh diketahui orang
lain?" Pada saat pikirannya berputar itulah terdengar suara bentakan yang amat dingin sekali
bergema mendatang. Lepas tangan diikuti suara benturan yang amat nyaring, agaknya ada senjata tajam
yang terlepas dari tangan di atas tanah.
Dengan gugup Gak Siauw-cha menoleh kesamping terlihatlah senjata Pan Koan Pit
yang ada ditangan, diri Hoo-kun sudah terpukul lepas oleh datangnya serangan kakek
botak yang kurus kering seperti bambu itu.
Saat ini dengan mengandalkan senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya dia
melancarkan serangan dengan mati-matian.
Tetapi serangan telapak dari kakek tua botak itu semakin gencar dan semakin lama
semakin cepat, Hoo-kun yang pada mulanya bersenjatakan sepasang "Pan Koan Pit" pun
tak berhasil mempertahankan serangannya yang gencar apalagi kini senjatanya cuma
tertinggal sebuah saja, keadaannya benar-benar sangat terdesak sekali bahkan dirinyapun
sudah berada di dalam situasi yang mengkhawatirkan.
Sinar matanya cepat berputar kembali ke arah yang lain, terlihatlah Thio-kan yang
bertempur dengan lelaki bersenjatakan swastika itu walaupun bergerak dengan amat
sengitnya tapi untuk sementara waktu masih bisa mempertahankan diri sehingga tak
terkalahkan, tak terasa hatinya merasa sedikit lega.
Pergelangan tangannya berturut-turut melancarkan tiga buah serangan dahsyat ke
depan, seketika itu juga sinar yang menyilaukan mata bagaikan kilat cepatnya memenuhi
angkasa, bunga-bunga pedang dengan membentuk sebuah dinding yang amat kuat
mendesak ke arah manusia berkerudung itu membuat dia orang sakit tak tahannya
berturut-turut mundur tiga langkah ke belakang.
Saat itu si kakek botak itu berturut-turut sudah melancarkan kembali seranganserangan
yang mematikan mendesak Hoo-kun yang terpaksa harus menghindar kekiri
meloncat kekanan meloloskan diri dari bahaya maut serangan-serangan gencar si orang
tua botak itu, tetapi dia orang yang tak mempunyai niat untuk mengadu jiwa walaupun di
dalam keadaan yang amat kritis dia selalu mengingat-ingat jangan sampai membiarkan
musuhnya berhasil menerjang dirinya sehingga keadaan dari Gak Siauw-cha semakin
berbahaya. Oleh sebab itulah dengan mati-matian dia mempertahankan tempat kedudukan itu
tanpa mau mengalah barang setindakpun.
Tapi ilmu silat dari masing-masing pihak terpaut sangat banyak sekali, apalagi
pertempuran ini sekali tak seimbang, sekalipun untuk sementara waktu Hoo-kun berhasil
mempertahankan diri dari serangan yang dahsyat dari pihak musuh tetapi setelah waktu
makin panjang akhirnya dia tak kuat juga untuk menahan serangan gencar pihak
lawannya. Apalagi setelah senjata di tangan kirinya berhasil disampok jatuh oleh pihak lawan dia
semakin dibuat gelagapan lagi kelihatan sebentar lagi dia akan terbinasa di tangan musuh.
Mendadak terdengarlah suara bentakan yang amat nyaring memecahkan kesunyian
disusul berkelebatnya sinar yang amat menyilaukan mata menusuk ke arah kakek botak
tersebut. Kepandaian silat dari diri kakek tua berkepala botak itu ternyata lihay juga, di tengah
kegelapan mata ternyata dia bisa membedakan juga datangnya serangan senjata tajam.
Sebelum tubuhnya berputar telapak tangannya dengan cepat sudah dihantamkan ke
depan, segera terasalah segulung angin pukulan dahsyat menghajar datangnya serangan
pedang, tadi sedang tubuhnya dengan meminjam kesempatan itu meloncat mundur
beberapa kaki ke belakang.
Gak Siauw-cha yang harus melancarkan serangan dahsyat untuk menolong Hoo-kun
meloloskan diri dari bahaya maut kini keadaannya malah berbalik kena terdesak.
Kiranya dengan mengambil kesempatan itu si manusia berkerudung tadi telah
melancarkan serangan gencar kembali dengan menggunakan cambuk berkepala ular itu
untuk mendesak dirinya. Sebetulnya keadaan dari mereka berdua adalah seimbang, masing-masing selalu
berhati-hati di dalam melancarkan serangannya menghadapi musuh bahkan tidak
seorangpun diantara mereka yang berani menggunakan serangan itu terlalu lama takuttakut
digunakan kesempatan ini oleh pihak musuh sehingga keadaannya semakin
memburuk dan terluka dipihak lawan. Karena itu sampailah saat ini mereka sama sekali
tidak berani menggunakan jurus-jurus serangan yang paling dahsyat itu untuk
menghadapi musuhnya. Tetapi kini Gak Siauw-cha harus dipecahkan perhatian untuk menolong Hoo-kun, hal ini
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
justru memberikan kesempatan baik bagi manusia berkerudung itu untuk melancarkan
serangannya yang paling dahsyat.
Terasa desiran angin serangan yang amat tajam muncul dari ujung cambuk lalu secara
mendadak memencar kesamping sehingga menimbulkan suara teriaknya yang amat aneh
sekali. Pedang lemas yang ada di tangan Gak Siauw-cha ada empat depa delapan coen
panjangnya, sebaliknya cambuk lemas dari manusia berkerudung itu ada tujuh depa
panjangnya, begitu serangannya dilancarkan maka tempat seluas satu kaki lebih sudah
berada di bawah kurungan bayangan cambuk yang menyilaukan mata, itu saat dia yang
berhasil merebut kedudukan yang lebih baik lagi sudah tentu serangan yang dilancarkan
pun semakin lama semakin dahsyat.
Dengan sekuat tenaga Gak Siauw-cha memainkan menangkis datangnya semua
serangan pihak musuh di tengah berkelebatnya bayangan cambuk yang memenuhi
angkasa, hawa pedang bagaikan kilat cepatnya menerjang setiap kurungan yang
mendesak tubuhnya, tidak sampai sepuluh jurus kemudian dia sudah berhasil memperbaiki
kedudukannya. Segera terdengarlah manusia berkerudung itu menghela napas panjang.
"Haaai" ilmu pedang dari keluarga Gak ternyata sangat dahsyat sekali?"
Suaranya mendadak terputus sampai diseparuh jalan, agaknya secara tiba-tiba dia
sudah teringat akan suatu urusan.
Semangat diri Gak Siauw-cha segera berkobar kembali, pedang panjangnya dengan
menggunakan jurus "Pek Hoo Kay Jong" atau sungai es retak merekah digetarkan dengan
amat kerasnya sehingga berbentuklah tiga kuntum bunga pedang yang secara terpisah
mengancam tiga buah jalan darah penting pada tubuh manusia berkerudung itu.
Datangnya serangan itu amat ganas sekali dan sukar untuk dihindari. Manusia
berkerudung itu cuma merasakan datangnya serangan dari Gak Siauw-cha itu seperti
menotok seperti juga sedang membabat membuat cambuk lemasnya seketika itu juga
dipukul keluar dari kalangan sehingga sulit untuk ditarik kembali, di dalam keadaan yang
amat tergesa-gesa dengan cepat dia menjatuhkan diri bergulingan ditanah dengan
menggunakan gerakan jembatan baja, dia berhasil juga menghindarkan diri dari
datangnya serangan pedang itu.
Gak Siauw-cha yang melihat serangannya mendapatkan hasil segera merebut posisi
utama, mana dia orang mau memberikan kesempatan buat musuhnya untuk melancarkan
serangan balasan lagi"
Jurus pedangnya bagaikan menggulungnya ombak di tengah tiupan angin topan
dengan tak henti-hentinya mengalir keluar di dalam sekejap saja hawa dingin mengitari
seluruh tubuh dari manusia berkerudung itu jadi kalang kabut tidak karuan, tubuhnya
yang masih terlentang di atas tanah untuk sementara waktu tidak berhasil bangkit berdiri.
Tetapi kepandaian silat yang dimiliki manusia berkerudung itupun bukan termasuk
lemah, sekalipun punggungnya yang menempel di atas permukaan tanah berguling
kekanan kekiri tak henti-hentinya tetapi tangannya tidak mau berhenti sampai disitu dia
babat ke depan segera dibarengi dengan tendangan kaki yang amat keras.
Dengan meminjam tenaga tendangan itulah tubuhnya bagaikan kitiran berputar dengan
amat cepat di atas tanah, di dalam keadaan seperti ini sekalipun Gak Siauw-cha
melancarkan berpuluh-puluh serangan sekaligus tetapi tidak berhasil juga melukai dirinya.
Walaupun begitu bunga-bunga pedang yang mengikuti gerakan pedangnya berkelebat
memenuhi dengan amat rapatnya melayang turun ke bawah tanah, walaupun tidak
berhasil melukai manusia berkerudung itu barang sedikitpun tetapi manusia berkerudung
itupun tidak berhasil pula memecahkan bunga-bunga pedang yang menderak tubuhnya
dengan amat rapat itu. Dengan sangat paksakan diri manusia berkerudung itu mempertahankan dirinya lagi
beberapa waktu lamanya, mendadak dia mengendorkan tangannya membuang cambuk
lemas itu. Tangan kanannya dengan cepat merogoh ke dalam sakunya mencabut keluar sebilah
pisau belati, di tengah suara bentakan yang amat keras pisau belati itu dengan
memancarkan sinar kehijau-hijauan yang menyilaukan mata menutup datangnya seluruh
serangan pedang tersebut kemudian dengan tergesa-gesa melompat bangun.
Serangan dari Gak Siauw-cha semakin mengencang, mana dia orang mau membiarkan
seluruh musuh menyerang keluar dari kalangan" Dia orang-orang segera tertawa dingin.
"Kalau memangnya berani mencari gara-gara dengan diriku, kenapa kau tidak berani
bertemu dengan wajahmu yang sebenarnya" Beberapa kali aku sudah mengampuni
jiwamu bilamana kau orang masih tebal muka dan tidak mau memperlihatkan wajah juga
janganlah menyalahkan aku akan turun tangan kejam terhadap dirimu."
Kiranya secara samar-samar dari nada ucapannya serta gerakan jurus serangannya Gak
Siauw-cha sudah merasakan kalau orang ini amat dikenal olehnya cuma saja dia masih
tidak mempunyai pegangan yang kuat sehingga tidak berani membongkar rahasia secara
langsung. manusia berkerudung itu sembari menggerakkan pisau belatinya melancarkan serangan
bertubi-tubi menangkis datangnya serangan musuh dalam hati dia terus menerus berpikir
hendak memungut kembali cambuk lemasnya ynag menggeletak di atas tanah, tetapi
dikarenakan serangan dari Gak Siauw-cha semakin lama semakin gencar membuat dirinya
untuk sesaat tidak berhasil mewujudkan niatnya.
Kurang lebih beberapa saat kemudian mendadak situasi di dalam kalangan berubah
kembali, terdengar suara dengusan yang amat berat Hoo-kun dengan sempoyongan
mundur beberapa langkah lalu jatuh tertunduk di atas tanah.
Kiranya setelah Gak Siauw-cha membantu dia mendesak mundur kakek berkepala botak
itu dengan meminjam kesempatan tersebut Hoo-kun sudah memungut kembali senjata
Pan Koan Pit nya yang terjatuh.
Dengan sepasang senjata yang berada kembali semangatnya pun berkobar kembali,
sekali lagi dia melancarkan serangan-serangan gencarnya mendesak kakek berkepala
botak itu. Di dalam ilmu silat mereka berdua mempunyai perbedaan yang amat jauh sekali,
beberapa jurus serangan yang semula kelihatan sedikit dahsyat setelah lewat lima jurus
kembali jadi kacau sehingga sekali lagi dia terdesak oleh serangan kakek tua botak itu dan
memaksa tubuhnya mundur terus ke belakang.
Mendadak kakek itu berturut-turut melancarkan beberapa kali serangan dahsyat
menghantar sepasang Pan Koan Pit nya sehingga miring kesamping, dengan meminjam
kesempatan itulah tangan kiri dari kakek botak itu kembali kirim satu pukulan maut yang
dengan tepatnya menghajar di atas pundak Hoo-kun.
Pukulan ini mengenai tubuhnya dengan amat berat sekali membuat Hoo-kun tidak kuat
berdiri lebih lama dengan sempoyongan tubuhnya mundur ke belakang lalu terjatuh ke
atas tanah, lengan kirinya terasa menjadi kaku tidak terangkat kembali, dengan sendirinya
senjata Pan Koan Pit terjatuh kesamping tubuhnya.
Gak Siauw-cha dengan cepat putar kepalanya memandang ke arah mana, saat itu si
kakek tua botak itu sudah angkat tangan kirinya siap dibabatkan ke depan.
Pada waktu itu Gak Siauw-cha sendiripun sedang menghadapi musuh yang amat
tangguh sekali sekalipun turun tangan juga tidak punya tenaga untuk berbuat membikin
hatinya menjadi amat bingung.
Mendadak terdengar suara bentakan yang amat keras mendadak Hoo-kun
menyambitkan Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya ke arah orang itu.
Di dalam keadaan yang kepepet dan membahayakan jiwanya dengan sekuat tenaga dia
melancarkan serangan tersebut, tampak senjata Pan Koan Pit itu dengan disertai suara
sambaran yang amat tajam sekali meluncur ke arah si kakek tua botak itu.
Si orang tua botak yang melihat musunya hampir menemui binasa di bawah
serangannya, di dalam hati merasa amat girang, siapa tahu Hoo-kun ternyata
menggunakan senjatanya sebagai senjata rahasia menyambit ke arahnya membuat dia
jadi tertegun. Di dalam waktu yang bersamaan pula tangan kiri Gak Siauw-cha merogoh ke dalam
sakunya meraup segenggam jarum perak kemudian diayunkan ke arahnya.
Mendadak tekanan yang menindih dirinya jauh berkurang disusul suara yang amat
nyaring berkumandang masuk ke dalam telinganya.
"Cepat pergi tolong orang."
Sekali mendengar saja Gak Siauw-cha sudah tahu suara itu berasal dari manusia
berkerudung tersebut, segera tanpa banyak berpikir lagi mendadak tubuhnya meloncat ke
depan diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan dia melancarkan serangan gencar
menusuk kakek tua botak itu.
Si kakek tua botak yang baru saja berhasil menghindarkan diri dari serangan dari Hookun
sama sekali tidak menyangka Gak Siauw-cha bisa menyambit jarum emas kepadanya.
Senjata rahasia itu amat kecil bobotnya pun tidak seberapa, di tengah malam yang
amat gelap ini sulit sekali buatnya untuk menghindar, segera terasalah lengan kiri serta
pundak kanannya teramat sakit, kiranya dia sudah terhajar dua batang jarum.
Dalam hati dia merasa amat terkejut, belum sempat pikirannya dipusatkan sekali lagi
serangan pedang dari Gak Siauw-cha sudah melanda datang.
Ternyata kepandaian silat dari orang itu tak jelek, walaupun sudah terkena senjata
rahasia tetapi pikirannya tak kacau, tubuhnya dengan cepat menyingkir kesamping
menghindarkan diri dari tusukan pedang.
Dengan mengikuti gerakkan pedangnya, Gak Siauw-cha segera meloncat ke depan
melancarkan satu tendangan yang tepat ke arah lambung dari si kakek tua botak itu.
Suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang keluar memenuhi
seluruh angkasa, diikuti tubuh sang kakek botak yang kurus kering itu melayang ke tengah
udara meluncur jatuh ke dalam jurang.
Baru saja dia dapat berhembus lega mendadak terasa kembali adanya desiran angin
serangan yang melanda datang, cambuk berkepalakan ular itu dengan amat dahsyatnya
sudah menerjang kembali mengancam badannya.
Gak Siauw-cha dengan cepat balik badan menangkis datangnya serangan tersebut
kemudian diantara bergetarnya pedang dia balas melancarkan serangan.
"Cepat bantu Thio-kan bunuh orang itu jangan biarkan seorangpun hidup!" terdengar
suara dari si orang berkerudung itu bergema lagi masuk ke dalam telinganya Gak Siauwcha.
Gak Siauw-cha yang mendengar dia menyebut nama dari Thio-kan di dalam hati segera
dia mengerti kalau apa yang diduga sedikitpun tidak salah.
Pedangnya dengan menggunakan jurus "Kie Hong Hen Ciauw" atau membangunkan
Hong mengikat ular menerjang keluar dari kurungannya cambuk yang rapat itu lalu
langsung menerjang ke arah selelaki yang bersenjatakan swastika perak itu.
Hawa pedang menembus angkasa di tengah kegelapan terlihatlah serentetan sinar
keperak-perakan meluncur ke depan.
Thio-kan yang bertempur melawan lelaki itu walaupun di dalam hal ilmu silat dia orang
sudah mempunyai niat untuk beradu jiwa maka setiap kali dia menghadapi keadaan yang
berbahaya dia lantas sengaja membuka satu lobang kelemahan mengajak adu jiwa
dengan pihak lawannya. Sudah tentu pihak lawan tak mau menerima ajakkan adu jiwanya ini, karena itu untuk
sementara waktu keadaan tetap seimbang saja.
Ketika lelaki itu mendengar datangnya serangan dahsyat dari Gak Siauw-cha dengan
cepat dia paksa mundur dari Thio-kan, tangannya membalik melancarkan jurus "Lek Ping
Shian Lam" atau tenaga raksasa langit selatan memutar senjatanya melindungi seluruh
tubuh dan menangkis datangnya serangan dari Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha yang serangannya berhasil ditangkis olehnya, telapak kirinya bagaikan
kilat cepatnya segera kirim satu pukulan menghajar badannya sedang kaki kanannya itu
melayangkan satu tendangan mengancam ke arah lambung.
Dengan cepat lelaki itu miringkan badan kesamping setelah bersusah payah akhirnya
dia berhasil juga menghindarkan diri dari kedua buah serangan itu.
Sebentar saja dia sudah dapat melihat lelaki berkerudung yang bersenjatakan cambuk
berkepala ular itu berdiri tak bergerak disana, hatinya jadi menaruh curiga.
"Ling Siauw Cu!" bentaknya keras.
"Bagaimana" Kau sudah menaruh curiga padaku?" Sambung orang berkerudung itu
tertawa dingin. Serangan dari Gak Siauw-cha semakin mengencang, berturut-turut dia melancarkan
tiga serangan sekaligus membuat lelaki itu jadi kalang kabut dan tidak ada kesempatan
untuk berbicara. Terdengar orang berkerudung itu sudah membentak kembali dengan suaranya yang
adem, "Heee" heee" sayang kau mengetahui hal ini sudah rada terlambat!"
Lelaki itu melihat keadaan sudah berantakan semangat untuk bertempurpun jadi
mengendor. Serangan Gak Siauw-cha amat dahsyat dan gencar sekali, walaupun dia tadi melakukan
perlawanan dengan seluruh perhatiannya tetapi tidak memperoleh kemenangan apalagi
saat ini pikirannya sudah bercabang sedikit tidak waspada lengan kirinya sudah tertusuk
pedang sehingga darah segar mengucur keluar dengan derasnya.
Mengambil kesempatan ini Gak Siauw-cha segera membalikkan telapak tangannya
menggaplok ke arah punggungnya.
Tusukan serta gaplokkan ini walau tidak sampai mematikan tetapi sedikit membuat dia
orang terluka parah, tubuhnya segera sempoyongan dan jatuh duduk ke atas tanah.
"Orang ini sudah mengetahui rahasiaku, jangan dibiarkan hidup lagi!" terdengar orang
berkerudung itu berkata lagi.
Thio-kan yang mencekal golok dan berdiri di sampingnya segera menyahut dan
mengayunkan goloknya ke atas badannya.
Tubuh lelaki itu seketika itu juga terbabat jadi dua bagian membuat darah segar
muncrat membasahi permukaan tanah.
Dia lantas kirim kembali satu tendangan melemparkan mayat itu ke dalam jurang.
Setelah itu Gak Siauw-cha bungkukkan badannya dan memberi hormat kepada orang
berkerudung. "Terima kasih atas pertolongan dari saudara," ujarnya halus.
Dengan perlahan orang berkerudung itu mencopotkan kain hitam yang menutupi
wajahnya itu kemudian menghela napas panjang.
"Nona Gak apakah kau masih kenal dengan aku?" tanyanya dengan suara berat.
Di bawah sorotan sinar rembulan tampaklah orang itu mempunyai bentuk wajah yang
lebar dengan jenggot panjang terurai ke bawah, dan pipi sebelah kirinya jelas membekas
satu codet yang amat panjang.
"Akh, kiranya tidak salah memang Liauw Locianpwee adanya, boanpwee tadi sudah
menduga akan diri cianpwee setelah melihat cambuk dari Locianpwee itu," ujar Gak
Siauw-cha dengan cepat. "Heeei, kata-kata Locianpwee ini cayhe tidak berani terima," ujar orang itu sambil
meraba codet yang membekas di atas pipinya. "Bilamana nona tidak memandang rendah
dari cayhe, lebih baik kau memanggil namaku saja."
Mendadak tampaklah Thio-kan sambil melemparkan golok yang ada ditangannya dia
berlari mendatangi. "Pey Bun Khie Heng, kita sudah ada berpuluh-puluh tahun lamanya tidak bertemu."
Teriaknya. "Benar! Sudah ada sepuluh tahun lamanya tidak bertemu!" sambung Hoo-kun pula dari
kejauhan. "Tidak disangka ini malam kita bisa bertemu kembali di tengah gunung yang
amat sunyi ini." Agaknya luka yang diderita tidak ringan sekalipun batang badannya berhasil bangun
berdiri tetapi tidak dapat berjalan.
Dengan perlahan Liauw Bun Khie menghela napas panjang.
"Saudara berdua harap jangan bicara keras-keras, disaat dan keadaan seperti ini lebih
baik kita sedikit berhati-hati," ujarnya memberi peringatan.
Sinar mata Gak Siauw-cha dengan perlahan berputar memandang tajam atas wajahnya,
lalu ujarnya dengan suara yang berat.
"Berkat pertolonganmu malam ini kami merasa sangat berterima kasih sekali."
Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya lagi, "Agaknya kedudukanmu di dalam
perkumpulan Sin Hong Pang tidak rendah!"
"Benar sekali cayhe menjabat sebagai siangcu di dalam perkumpulan Sin Hong Pang."
"Tempo hari ibuku sudah usir kau dari perguruan, tetapi ini hari kau bisa melupakan
dendam lama dengan membantu kami."
"Nona lebih baik jangan mengangkat kembali peristiwa yang sudah terjadi pada masa
lalu," potong Liauw Bun Khie dengan serius. "Karena kesemua itu adalah kesalahan dari
cayhe itu sebenarnya memang diriku patut dihukum mati, tetapi ibumu berwelas asih dan
tidak tega membiarkan aku binasa di bawah tusukan pedang" hei" budi kebaikan ini
benar-benar amat besar sekali."
Dengan perlahan dia angkat kepalanya memeriksa keadaan cuaca kemudian baru
sambungnya lagi, "Sejak perpisahan kita apa yang sudah aku alami sangat panjang sekali
kalau diceritakan, keadaan saat ini sangat berbahaya sekali dan sukar untuk diceritakan
kepada nona harap nona suka memaafkan!"
Selesai berkata dengan sangat hormatnya dia menjura memberi hormat.
Gak Siauw-cha segera menghela napas panjang.
"Ibuku tidak untung sudah meninggal, peristiwa yang sudah terjadi tempo haripun
sudah lewat pergi, kau sudah ada sepuluh tahun lamanya meninggalkan kami keluarga
Gak, ini hari kau tidak usah begitu hormatnya lagi terhadap diriku."
"Bilamana bukannya kelonggaran hati dari ibumu tempo hari, mana mungkin cayhe
masih bisa hidup?" Seru Liauw Bun Khie sedih. "Keadaan pada saat ini aman. Sedetik
waktu berharga laksana emas, urusan tetek bengek ini lebih baik jangan dibicarakan lagi,
apalagi akupun tidak dapat lama berdiam disini, ada beberapa urusan penting aku hendak
cepat-cepat beritahu kepada nona."
"Urusan apa?" tanya Gak Siauw-cha sambil membenahi rambutnya yang awut-awutan
tertiup angin. "Menurut apa yang cayhe ketahui, kecuali perkumpulan Sin Hong Pang masih ada
berpuluh-puluh jago Bulim yang mengejar-ngejar diri nona."
Gak Siauw-cha menghela napas panjang dia menggerakkan bibirnya hendak
mengucapkan sesuatu tapi kemudian dibatalkan.
"Walaupun saat ini nona sudah memperoleh seluruh kepandaian ilmu pedang dari
ibumu," sambung Liauw Bun Khie lebih lanjut, "Tetapi dengan kekuatan seorang saja
kiranya tidak bakal bisa sanggup menahan kerubutan dari jago-jago Bulim lagi yang begitu
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyaknya, lebih baik nona cepat-cepat mengatur diri."
Sinar matanya dengan cepat berkelebat memeriksa keadaan sekeliling tempat itu
kemudian dia dengan memperendah suaranya dia berkata kembali, "Sore tadi cayhe
memperoleh berita yang dikirim lewat burung merpati, katanya Sin Hong Pangcu itu
dengan membawa keempat orang pelindung hukum sudah mengejar datang sendiri,
agaknya terhadap urusan ini dia menaruh perhatian khusus."
Selama ini Gak Siauw-cha cuma pusatkan perhatiannya mendengar apa yang
dibicarakan olehnya tanpa pernah menimbrung barang sekejappun.
Liauw Bun Khie batuk-batuk lagi dengan perlahan.
"Barang siapa yang berani membocorkan rahasia pangcu Sin Hong sebenarnya dia
orang bakal menerima siksaan digigit dengan beribu-ribu ular beracun, tetapi mengingat
budi kebaikan dari ibumu tempo hari terpaksa cayhe harus menempuh bahaya ini","
ujarnya lagi. Mendadak Thio-kan nyeletuk dari samping, "Perkumpulan Sin Hong Pang munculkan
diri di dalam Bulim tidak lebih baru sepuluh tahun saja tetapi nama besarnya sudah
menggetarkan seluruh pelosok dunia persilatan, entah macam apakah pangcu dari Sin
Hong Pang itu?" "Heei, kalau dibicarakan sungguh mengecewakan sekali," jawab Liauw Bun Khie dengan
perlahan. "Walaupun cayhe sudah ada sepuluh tahun lamanya menjadi anggota
perkumpulan Sin Hong Pang mereka tetapi selama ini cayhe belum pernah bertemu muka
sendiri dengan pangcu, tetapi keempat pelindung hukum itu mempunyai kepandaian silat
yang amat tinggi sekali, Heei"! bilamana sungguh-sungguh Sin Hong Pangcu mengejar
datang sendiri cayhe rasa aku tidak dapat membantu kalian lagi."
Mendadak suara suitan nyaring yang menggetarkan seluruh lembah berkumandang dari
tempat kejauhan. Air muka Liauw Bun Khie segera berubah sangat hebat, tetapi dia berusaha untuk
menenangkan pikirannya, ujarnya lagi, "Ilmu menguntit dengan menggunakan merpati Sin
Hong pang tiada tandingannya di dalam Bulim, bilamana nona ingin menghindarkan diri
dari kejaran orang-orang Sin Hong pang maka pertama-tama nona harus menghindarkan
dulu dari pengamatan merpati-merpati tersebut?"
Berbicara sampai disini mendadak dari sepasang matanya memancarkan sinar yang
amat tajam sekali dan menoleh ke arah diri Thio-kan.
"Thio-kan!" ujarnya perlahan. "Tolong kau hadiahi aku dengan satu bacokan, aku mau
pergi." "Apa?" Tanya Thio-kan melengak.
Mendadak tampak pergelangan tangan Gak Siauw-cha digetarkan, pedang panjangnya
disertai dengan sinar keemas-emasan yang menyilaukan mata berkelebat melukai lengan
kiri dari Liauw Bun Khie.
Darah segar segera memancur keluar dengan derasnya membasahi seluruh
pakaiannya. "Bagaimana" Apa terlalu berat?" tanya Gak Siauw-cha segera sambil menarik kembali
pedangnya. Liauw Bun Khie sekejap ke arah luka lengan kirinya lantas dia memperlihatkan satu
senyum yang pahit. "Bilamana lukanya terlalu ringan sukar buatku untuk mengelabui penglihatan mereka,
nona kau harus baik-baik berjaga diri cayhe permisi dulu."
Selesai berkata dia meloncat ke atas kemudian melayang turun dari bukit tersbut dan
berlalu di tengah kegelapan.
Dengan termangu-mangu Gak Siauw-cha memperhatikan bayangan punggung dari
Liauw Bun Khie lenyap di tengah kegelapan mendadak dia menghela napas panjang dan
angkat kepalanya memandang bintang yang menghiasi angkasa, pikirnya dengan cepat
sudah terjerumus ke dalam lamunan-lamunan yang membingungkan.
Thio-kan serta Hoo-kun pun termangu-mangu berdiri di samping, mereka tidak berani
mengganggu dirinya. Mereka berdua tahu setiap kali Siauw-cha menemui kesukaran-kesukaran yang
membingungkan hatinya dia tentu akan memperlihatkan sikap seperti ini, mendongakkan
kepala sambil berpikir tanpa berbicara.
Kurang lebih seperminum teh kemudian agaknya Gak Siauw-cha mengambil keputusan
di dalam hatinya, sinar matanya dengan perlahan beralih ke atas tubuh Hoo-kun.
"Bagaimana keadaan lukamu?" tanyanya.
"Sesudah beristirahat sebentar tentu akan sembuh dengan sendirinya," sahut Hoo-kun
dengan cepat. "Apa bisa melanjutkan perjalanannya?"
"Dapat!" jawab Hoo-kun kembali sambil menggigit kencang bibirnya.
"Baiklah! Kau telan dulu kedua butir obat ini, setelah itu kita segera berangkat," ujar
Gak Siauw-cha kemudian sambil merogoh ke dalam sakunya mengambil keluar sebuah
botol porselen dan mengeluarkan dua butir pil.
Hoo-kun segera menerima pil tersebut dan ditelannya, kemudian dia baru pejamkan
matanya untuk bersemedi. Gak Siauw-cha lantas menggulung kembali pedang lemasnya dan berjalan menuju
belakang batu besar itu. Tampak Siauw Ling dengan duduk bersandar di belakang batu besar pada saat ini
sedang pejamkan matanya bersemedi.
"Adik Ling!" panggilnya kemudian dengan suara perlahan.
Siauw Ling dengan perlahan membuka matanya dan memandang sekejap ke arah Gak
Siauw-cha kemudian baru tertawa.
"Apakah orang-orang itu sudah cici usir semua?"
"Benar! Sudah aku usir semua, apa kau tidak merasa takut dengan pertempuran tadi?"
ujar Gak Siauw-cha tertawa pahit.
"Tadi secara diam-diam aku mengintip dari celah-celah batu, aku melihat kepandaian
silat dari cici sangat lihay sekali bahkan berhasil pukul jatuh orang ke dalam jurang"
waah" cici kau pintar benar?"
"Heei" dirumah kau dimanja dan disayang, buat apa kau memaksa ikut merasakan
penderitaan yang selalu dirasakan?"
"Aku merasa amat gembira, aku sedikitpun tidak takut" sahut Siauw Ling sambil bangkit
berdiri. Gak Siauw-cha yang melihat seluruh tubuhnya gemetar dengan keras, dia segera tahu
karena badannya amat lemah pada saat ini ia tidak kuat menahan hawa yang amat dingin
ini. Dalam hati Siauw-cha merasa amat kasihan.
"Adik Ling" kau merasa dingin?" tanyanya sambil memegang tangannya erat-erat.
"Kaki dan tanganku memang merasa rada dingin."
"Kita segera mau berangkat, kita harus melakukan perjalanan malam, kau lelah tidak?"
tanya Gak Siauw-cha lagi dengan penuh perhatian.
Jilid 4 "Aaaaah" bagus sekali! Berlari-lari malah bisa menghangatkan badan" bagus sekali!"
seru Siauw Ling dengan girang.
"Jalan pegunungan ini amat curam dan terjal, salju yang tebalpun menutupi seluruh
permukaan, sekalipun seorang yang memiliki kepandaian silatpun belum tentu bisa
melewati tempat itu dengan cepat, maka itu bagaimana kalau aku suruh Thio-kan
menggendong dirimu?"
Siauw Ling yang tahu kalau jalan pegunungan itu memang amat curam dan sukar
untuk dilalui karenanya dia tidak menyahut dan berdiam diri.
Gak Siauw-cha segera melepaskan tali angkin yang ada di pinggangnya untuk mengikat
badan Siauw Ling dengan badan Thio-kan.
"Adik Ling, kau tidak usah takut," ujarnya dengan suara yang amat lirih, "Ada urusan
apapun biar cici yang bereskan."
"Cici" aku sudah begini besarnya aku tidak akan takut terhadap apapun!" sahut Siauw
Ling sambil mengangguk. Walaupun pada mulutnya Gak Siauw-cha menghibur diri Siauw Ling padahal di dalam
hati dia merasa sangat murung sekali.
Dia tahu perjalanannya kali ini sangat bahaya sekali, sedikit meleset saja maka jiwanya
akan segera melayang. Waktu itu Hoo-kun sudah selesai bersemedi, dia segera buka matanya dan bangkit
berdiri setelah melihat sekejap keadaan di sekeliling tempat ini, ujarnya kemudian, "Thio
heng biar aku orang bukakan jalan buat kalian."
"Tidak!" Bantah Gak Siauw-cha dengan cepat. "Kalian mengikuti saja dari belakangku,
kau lebih baik melindungi keselamatan dari Siauw Kongcu."
Selesai berkata dia segera berlalu terlebih dahulu ke depan.
Dengan mencekal erat-erat sepasang Pan Koan Pitnya Hoo-kun mengikuti terus dari
belakang Thio-kan, walaupun dia sudah mengatur pernapasannya dan menelan juga dua
butir pil mujarab dari Gak Siauw-cha tetapi lukanya masih terasa pada sakit. Gerakannya
pada saat inipun jadi tidak leluasa.
Ilmu meringankan tubuh dari Gak Siauw-cha walaupun amat tinggi dan bisa melewati
permukaan salju itu dengan cepat, tetapi dikarenakan Thio-kan harus menggendong tubuh
Siauw Ling dan luka dari Hoo-kun belum sembuh terpaksa diapun harus memperlambat
langkahnya untuk menanti kedua orang tersebut.
Siauw Ling yang digendong Thio-kan sepasang matanya dengan amat tajam menoleh
dan memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu.
Dia melihat keadaan disekitar sana amat gelap sekali, secara samar-samar tampaklah
puncak gunung yang tinggi menembus awan berdiri berjajar dihadapannya.
Pemandangan seperti ini terasa amat mengerikan sekali tapi menarik juga buat diri
Siauw Ling membuat dia orang sekalipun merasakan badannya menggigil kedinginan tapi
wajahpun masih memperlihatkan senyumannya.
Dengan dipimpin oleh Gak Siauw-cha mereka berempat menuruni tebing itu dan
memasuki sebuah lembah gunung.
Thio-kan tahu nona majikannya ini sangat cerdas sekali. Setiap gerak-geriknya tentu
ada kegunaannya karena itu diapun tak banyak bertanya.
Angin yang bertiup dalam lembah itu jauh berkurang jika dibandingkan dengan sewaktu
ada di atas tebing, dengan sendirinya hawa dingin yang mencekam di sekeliling tempat
itupun jauh berkurang. Sesudah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya mendadak Gak Siauw-cha
menghentikan gerakannya kemudian sengaja jalan berputar di sekeliling tempat itu
sehingga di atas permukaan salju yang putih seketika itu juga dipenuhi dengan bekas
telapak kaki yang amat banyak.
Siauw Ling yang melihat tindak tanduk dari cicinya ini jadi keheranan.
"Cici, kau sedang berbuat apa?" tanyanya tak tertahan lagi.
"Sedang membingungkan penglihatan musuh."
"Oooouw" aku sekarang paham!" seru Siauw Ling kemudian setelah berpikir sebentar.
"Kau mau meninggalkan banyak telapak kaki yang amat kacau disini sehingga membuat
para pengejar tidak berhasil menemukan kita."
"Melakukan perjalanan di atas gunung yang bersalju tidak bakal lepas dari bekas
telapak kaki, aku sengaja mengacaukan bekas-bekas kaki inipun tidak lebih cuma mau
mengaburkan sebentar penglihatan mereka, untuk lolos dari kejaran musuh tidaklah
mudah untuk melakukannya."
Beberapa orang itu kembali melakukan perjalanannya menuju ke arah depan,
mendadak sekali lagi Gak Siauw-cha menghentikan perjalanannya, dari samping jalan dia
memungut dua batang bambu lalu ujarnya kepada anak buahnya, "Kalian beristirahatlah
sebentar disana." Sehabis berkata dia putar badan balik lagi kejalan semula lantas dengan menggunakan
tangannya menghapus bekas telapak kaki yang membekas di atas permukaan salju itu.
Setelah menghapus beberapa kali jauhnya dia baru menempelkan bambu tadi ke atas
permukaan tanah dan melayang keangkasa, kemudian dengan menggunakan tongkat itu
pula dia ke atas tanah melanjutkan perjalanannya ke depan.
Dengan gerakannya ini dengan sendirinya di atas permukaan salju tidak tampak lagi
adanya bekas telapak kaki.
Siauw Ling dari tempat kejauhan melihat gerakan dari Gak Siauw-cha yang begitu
lincah dan entengnya tidak terasa lagi sudah menghela napas panjang.
"Eeeei adik Ling, kenapa kau menghela napas panjang?" tanya Gak Siauw-cha yang
baru saja melayang turun kehadapannya.
"Kepandaian silat dari cici ini benar-benar membuat orang merasa sangat kaget sekali."
"Bagaimana kau ingin sungguh-sungguh belajar, dengan kecerdasan dan bakat yang
kau miliki dikemudian hari mungkin malah melebihi diriku. Soal ini bukanlah satu persoalan
yang sulit bagi dirimu," ujar Gak Siauw-cha sambil tertawa.
"Cuma sayang aku hanya hidup sampai umur dua puluh tahun saja. Heee!" gumam
Siauw Ling sambil menghela napas panjang kemudian dengan sedihnya menundukkan
kepalanya. Melihat akan hal ini mendadak di dalam hati Gak Siauw-cha teringat akan sesuatu
pikirnya, "Di dalam surat wasiatnya ibu pernah memberitahu kalau dia menderita satu
penyakit aneh. Kedua urat nadi serta ketiga jalan darahnya buntu sehingga darah tidak
bisa mengalir dengan lancar di dalam tubuhnya, walaupun ibu sudah mewariskan ilmu
Khie Kang Thay Ih Khie kepadanya tetapi sebelum memperoleh dasar yang kuat dia tidak
diperkenankan merasa amat sedih atau merasa terlalu gembira bila mana menangis
dengan sedih atau tertawa dengan gembira maka nyawanya akan terancam bahaya?"
Teringat akan keseluruhannya itu tidak terasa lagi dia sudah menghibur dengan yang
halus, "Adik Ling, kau tidak usah kuatir asalkan kau suka mendengarkan perkataan dari
cicimu, jangan dikatakan dua puluh tahun sekalipun seratus tahun bukanlah satu urusan
yang sangat menyulitkan."
Air mukanya mendadak berubah jadi amat keren kemudian baru sambungnya lagi
dengan perlahan. "Tetapi jikalau kau tidak mau mendengarkan perkataan dari cici, bukan saja kau tidak
dapat hidup sampai dua puluh tahun malah ada kemungkinan sudah mensia-siakan jerih
payah dari bibi Im."
"Lalu apakah aku boleh berlatih ilmu silat?"" tanya Siauw Ling ragu-ragu.
Sebelum memberikan jawabannya diam-diam Gak Siauw-cha berpikir dulu di dalam
hatinya, "Pada saat dan keadaan seperti ini aku harus mengorbankan dulu semangatnya
sehingga membuat di dalam hati mempunyai kemauan yang besar."
Dia lantas tersenyum manis.
"Tidak salah!" sahutnya halus. "Di dalam surat wasiat dari ibuku beberapa kali dia
mengungkap kalau bakat dan kecerdikanmu luar biasa asalkan kau suka belajar dengan
rajin dan bersungguh-sungguh, maka bagimu untuk memiliki ilmu silat yang tinggi
bukanlah satu pekerjaan yang sulit."
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling jadi teramat girang pada wajahnyapun
segera terlintas satu senyuman yang amat menggembirakan sekali hatinya.
Thio-kan serta Hoo-kun yang sudah beristirahat sebentar semangatnyapun sudah pulih
kembali seperti biasa. Sinar mata dari Gak Siauw-cha segera menyapu sekejap ke arah mereka kemudian
dengan suara yang amat lirih tanyanya, "Luka kalian berdua apakah sudah baikan" Apakah
bisa memanjat tebing?""
"Tidak mengapa!" sahut Thio-kan serta Hoo-kun hampir berbareng.
"Bagus sekali! mari kita segera berangkat" sahut Gak Siauw-cha kemudian dengan
cepatnya dia mulai memanjat sebuah tebing curam yang ada dihadapannya.
Thio-kan serta Hoo-kun adalah manusia yang sudah lama berkelana di dalam dunia
kangouw, pengetahuannya yang diperolehpun sudah amat luas sekali. Sekalipun demikian
tetapi untuk menghadapi tindakan dari Gak Siauw-cha yang aneh ini benar-benar
membuat mereka berdua menemui kesulitan.
"Dia membawa aku sekalian memasuki lembah untuk menghindari kejaran musuh.
Kenapa malah sekarang mau memanjat tebing ini lagi?"" Pikir mereka bersama-sama di
dalam hati. Walaupun dalam hati mereka menaruh curiga dan ragu-ragu tetapi tidak berani terlalu
banyak bertanya, dengan kencangnya mereka mengikuti terus dari belakang tubuh Gak
Siauw-cha untuk memanjati tebing tersebut.
Tebing itu ada ribuan kaki tingginya ditambah lagi tertutup oleh salju yang amat tebal
membuat keadaan disana amat curam dan sukar untuk didaki. Gak Siauw-cha yang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan masih tidak
merasa terlalu sukar, tetapi Thio-kan yang harus menggendong tubuh Siauw Ling serta
Hoo-kun yang baru saja sembuh dari lukanya merasa badannya benar-benar tersiksa.
Ketika tiba di atas puncak tersebut seluruh tubuhnya sudah dibasahi oleh peluh yang
mengucur keluar dengan amat derasnya napasnya tersengkal-sengkal dadanya naik turun
dengan amat derasnya. Puncak tebing itu tidak lebih cuma ada empat kali persegi dan penuh berserakan batubatu
cadas yang aneh dengan dilapisi oleh salju yang tebal.
Gak Siauw-cha memilih satu tempat yang terlindung dari tiupan angin, sambil
membersihkan salju yang menutupi tempat tersebut ujarnya kepada Siauw Ling, "Adik
Ling, dipuncak yang tinggi ini badannya amat menggigilkan, badannyapun amat lemah
lebih baik pakai saja mantel ini."
Sambil berkata dia mengambil keluar sebuah mantel yang halus dan dirangkapkan ke
atas badan Siauw Ling. Siauw Ling yang melihat Gak Siauw-cha bersikap begitu baik terhadap dirinya bahkan
memberikan pula sebuah mantel kepadanya untuk melawan hawa dingin di dalam hati dia
merasa sangat berterima kasih.
"Cici, kau sungguh baik sekali terhadap diriku?"
Gak Siauw-cha tersenyum, sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah
Thio-kan dan Hoo-kun kemudian ujarnya kepada mereka.
"Dengan meminjam kesempatan ini, kalianpun harus bersemedi, mungkin sesudah
terang tanah kita akan menghadapi lagi satu pertempuran yang sengit?"
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas kemudian sambutnya lagi, "Di atas ada
merpati yang mencari jejak sedang di bawah ada musuh yang membuntuti kita. Buat
meloloskan diri dari kejaran mereka aku rasa bukanlah satu pekerjaan yang mudah heeei,
untuk sementara lebih baik kita menggunakan keadaan yang berbahaya dari tebing ini
untuk bersembunyi dari pencarian mereka. Bilamana beruntung kita bisa memancing pihak
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musuh menjauhi tempat ini hal ini sudah tentu jauh lebih baik lagi, kalau tidak terpaksa
kita harus menggunakan tempat diketinggian ini untuk mengamati keadaan dari musuh
kemudian baru mengatur suatu siasat untuk pukul mundur pihak musuh."
"Nona selalu cerdik dalam mengatur, kami sekalian menanti perintah selanjutnya dari
nona"ujar Hoo-kun serta Thio-kan dengan cepat.
"Musuh yang mengejar kita kecuali Sin Hong Pang masih ada lagi berpuluh-puluh orang
jago, kita harus berusaha untuk memancing mereka saling bunuh membunuh sendiri,
sedang kita mengeruk keuntungan dari tengah," ujar Gak Siauw-cha lagi dengan suara
yang perlahan. Thio-kan serta Hoo-kun sekalipun sudah lama berkelana di dalam Bulim tetapi lamanya
mereka berdua tidak mengerti akan siasat untuk menghadapi musuh mendengar
perkataan tersebut terpaksa mereka bungkam diri saja.
Malam semakin kelam" angin serta salju bertiup semakin mengencang.
Siauw Ling berdampingan dengan Gak Siauw-cha untuk mula-mula bersemedi sesuai
cara yang diberikan Im Kauw kepadanya.
Walaupun dia tidak tahu ilmu semedi yang diturunkan kepadanya oleh Im Kauw itu
adalah ilmu tenaga "khie kang thay ih khie kang" tetapi secara samar-samar dia merasa
setiap kali dia berlatih maka hawa dingin yang mencekam badannya dengan perlahanlahan
mulai lenyap. Karena itu semakin berlatih dia semakin giat seluruh perhatiannya
dipusatkan pada satu arah dan bersemedi dengan rajinnya.
Gak Siauw-cha yang melihat dia mersemedi hingga berada dalam keadaan lupa akan
segala-galanya di dalam hati diam-diam merasa amat girang, dengan perkembangan serta
kemajuan yang didapatnya ini tidak sampai setahun lamanya Siauw Ling sudah dapat
terhindar dari bahaya maut.
Entah lewat beberapa saat lamanya sinar terang mulai muncul diufuk sebelah timur,
haripun mulai terang tanah.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha memperhatikan keadaan dari Thio-kan serta Hoo-kun
setelah beristirahat setengah malam saat ini tenaga maupun semangat merekapun sudah
pulih kembali delapan bagian.
Sekonyong-konyong" suara gonggongan anjing memecahkan kesunyian dipagi hari
yang buta itu. Mendengar suara itu dalam hati Gak Siauw-cha merasa hatinya sedikit tergerak.
Di tengah pagi buta apalagi di atas puncak gunung bersalju yang demikian dinginnya,
dari mana datangnya suara gonggongan anjing itu.
Pada saat itulah dia mendengar pula suara sayap burung merpati yang terbang
menyampok angin. Dengan cepat Gak Siauw-cha meloncat bangun, kepada Thio-kan serta Hoo-kun
serunya perlahan, "Kalian baik-baik melindungi dirinya."
Tubuhnya bagaikan burung walet dengan gesit dan lincahnya sudah melayang ke atas
batu puncak tersebut. Ketika dia pandang lebih teliti lagi keadaan di sekeliling tempat itu terlihatlah di bawah
sorotan sinar sang surya yang mulai menampak dua ekor burung merpati dengan
cepatnya melayang dari puncak gunung menuju ke dalam lembah tersebut.
Terdengar suara gonggongan anjing kembali berkumandang datang. Ketika dia angkat
kepalanya kembali terlihatlah di bawah puncak gunung di atas permukaan salju yang putih
berkelebat datang tiga sosok bayangan manusia dengan amat cepatnya.
Tenaga dalam Gak Siauw-cha dilatihnya hingga mencapai taraf kesempurnaan,
ketajaman matanyapun melewati orang lain.
Secara samar-samar dia bisa melihat dua ekor anjing hitam yang amat besar dengan
cepatnya amat berlari, sedangkan di belakang kedua ekor anjing itu berkelebatlah sesosok
banyangan manusia. Kedua ekor anjing serta sesosok bayangan manusia itu bergerak dengan amat cepatnya
hanya di dalam sekejap saja mereka sudah tiba di bawah puncak tebing tersebut.
Saat ini cuaca sudah terang benderang sinar keemas-emasan mulai muncul dari ufuk
sebelah timur. Gak Siauw-cha dapat melihat orang itu memakai jubah panjang berwarna biru langit,
usianya masih muda dengan kepalanya memakai topi berwarna hijau yang menutupi
hampir separuh bagian wajahnya.
Kedua ekor anjing hitam itupun mempunyai badan yang luar biasa besarnya, tinggi
badannya bila berdiri kurang lebih hampir sama dengan tinggi badan orang berbaju biru
itu. Tampak sepasang anjing itu mendongakkan kepalanya ke atas agaknya mereka hendak
menaiki tebing tersebut tetapi orang berbaju biru itu dengan kencangnya menahan tali
kulit yang mengikat kedua anjing tersebut.
Mendadak terdengar suara suitan yang amat nyaring bergema datang dari dalam
lembah kembali muncul dua sesosok bayangan manusia yang berkelebat datang dengan
amat cepatnya. "Entah dari aliran manakah orang berbaju hitam itu?"" pikir Gak Siauw-cha di dalam
hati. "Jika ditinjau dari keadaannya serta kedua ekor anjing hitam yang dibawa jelas mereka
sudah mengetahui tempatku bersembunyi, tetapi kenapa dia tidak mau menaiki puncak
ini?"" Ketika dia berpikir sampai disitu terlihat sesosok bayangan hitam yang berkelebat
datang itu sudah hampir mendekati puncak tersebut. Terlihatlah mereka berdua bukan lain
adalah dua orang lelaki kasar yang memakai baju singsat dengan menggembol senjata
tajam pada punggungnya. Orang berbaju biru yang membawa anjing itu tepat berdiri di tengah jalan dari lembah
itu, kulit yang mengikat sepasang anjing tersebut amat panjang sekali dengan melintang
di tengah jalan menghalangi perjalanan dari kedua orang itu.
Ketika kedua orang itu melihat perjalanan mereka dihalangi dengan pandangan yang
tajam segera memperhatikan sekejap ke arah orang berbaju biru itu, tetapi kemudian
sikapnya sudah jadi lebih halus agaknya mereka tahu kalau orang yang ada dihadapannya
bukanlah manusia yang mudah diganggu.
"Kawan kau orang harap suka menyingkir sebentar!" serunya sambil merangkap
tangannya menjura." Gak Siauw-cha yang ada di tempat atas dapat melihat seluruh gerak-gerik mereka itu
dengan sangat jelas. Tampak dengan perlahan orang berbaju biru itu menoleh dan memandang sekejap ke
arah kedua orang itu dengan pandangan yang sangat dingin, mendadak dia
menggerakkan tali kulitnya memerintahkan kedua ekor anjingnya untuk menyerang.
Suara gonggongan yang amat ramai segera berkumandang keluar memecahkan
kesunyian dengan amat ganasnya kedua ekor anjing itu bersama-sama menubruk ke arah
kedua orang laki-laki tersebut.
Dengan gugup mereka berdua terburu-buru mencabut keluar goloknya dan memainkan
satu sinar yang menyilaukan mata melindungi seluruh tubuh kemudian mengundurkan diri
ke belakang. Mendadak orang berbaju biru itu menggetakan kembali tali kulitnya kedua ekor anjing
yang sedang menubruk maju ke depan segera menghentikan gerakannya dan
membungkuk ke bawah menghindarkan diri dari sambaran golok kedua orang itu
kemudian secara mendadak saja kedua ekor anjing itu meloncat bangun dan mencakar
wajah mereka" Dengan cepat kedua orang lelaki menghindar kesamping, kedua bilah golok besarnya
dengan disertai desiran angin yang tajam membacok ke arah bawah.
Dengan cepatnya di atas permukaan salju di bawah puncak itu terjadilah suatu
pertempuran yang amat sengit sekali diantara dua ekor anjing dengan dua orang manusia.
Kedua ekor anjing hitam itu di bawah komando orang berbaju biru itu maju mundur,
bertahan menyerang dengan sangat teratur sekali bahkan secara samar-samar
mengandung serangkaian ilmu silat yang amat lihay memaksa kedua orang lelaki
bersenjatakan golok itu sedikit kewalahan juga dibuatnya.
Kurang lebih seperempat jam kemudian mendadak orang berbaju biru itu melepaskan
tali kulit yang ada ditangannya.
Setelah tidak mendapatkan rintangan kedua ekor anjing itu menubruk ke depan
semakin ganas lagi, sekalipun bayangan golok dari mereka berdua berkelebat dengan
amat cepatnya tetapi tidak berhasil juga memaksa kedua ekor anjing itu untuk
mengundurkan dirinya ke belakang.
Gak Siauw-cha yang melihat kejadian itu diam-diam mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Hmm! Kedua ekor anjing yang tidak mirip dengan anjing ini walaupun amat ganas
sekali tetapi mereka tidak lain cuma seekor anjing yang tidak berakal, mereka yang dapat
bertempur dengan begitu serunya dengan jagoan Bulim jelas ini hal merupakan satu hal
yang luar biasa." Pikirnya di dalam hati. "Sebetulnya siapakah orang berbaju biru itu"
Bagaimana dia orang berhasil melatih kedua ekor anjingnya sehingga begitu lihaynya?"
Sewaktu dia berpikir sampai disitu mendadak terlihat golok yang ada di tangan kedua
lelaki itu berhasil memaksa mundur kedua ekor anjing itu ke belakang kemudian dengan
tergesa-gesa mengundurkan diri dari dalam kalangan.
Walaupun mereka belum sampai menderita kalah di bawah serangan anjing itu tetapi
jelas mereka mengerti kalau kepandaian mereka pada saat ini masih belum dapat
mengalahkan kedua ekor anjing itu karenanya dengan mengambil kesempatan ini cepatcepat
mereka melarikan diri. Mendadak orang berbaju biru itu bersuit rendah kedua ekor anjing yang semula sedang
menubruk ke depan dengan cepat mengubah gerakannya dari mengejar kedua orang
lelaki itu dengan amat ganasnya, hanya di dalam sekejap saja dua orang manusia dan dua
ekor anjing itu sudah lenyap dibalik tikungan.
Setelah itulah si orang berbaju biru baru melirik sekejap ke atas puncak tebing
kemudian melayangkan tubuhnya meloncat setinggi dua kaki lebih dan dengan sangat
entengnya berkelebat ke atas puncak.
Gerakannya amat aneh dan cepat sekali hanya di dalam sekejap saja dia sudah berada
dekat sekali dengan puncak tebing itu.
Gak Siauw-cha yang tidak kenal dengan orang itu untuk beberapa saat lamanya dibuat
bingung juga untuk turun tangan mencegah kedatangannya.
Pada saat hatinya sedikit ragu-ragu itulah orang berbaju biru itu sudah tiba di atas
puncak. "Apakah kau orang nona Gak?"?" tanyanya dengan nada yang amat dingin sambil
memperhatikan diri Gak Siauw-cha.
Thio-kan serta Hoo-kun yang melihat secara tiba-tiba di atas puncak tebing itu sudah
kedatangan orang, dengan gesitnya mereka melompat bangun kemudian dengan
mencekal kenang-kenangan senjata tajamnya pada berlari mendatang.
"Kalian cepat mundur!" Perintah Gak Siauw-cha dengan cepat sambil mengulapkan
tangannya. Mereka berdua segera menyahut dan mengundurkan diri sejauh satu kaki.
Agaknya orang berbaju biru itu punya maksud untuk menutupi mukanya sendiri. Dia
menarik topinya semakin rendah lagi sehingga menutupi hampir separuh bagian dari
wajahnya, waktu ini cuma kelihatan matanya yang sebelah kiri saja muncul keluar.
"Cayhe pernah punya jodoh untuk bertemu satu kali dengan nona, entah nona masih
ingat tidak denganku?" ujarnya dengan suara yang amat dingin dan tawar.
Gak Siauw-cha menundukkan kepalanya termenung dan berpikir sebentar di dalam
hatinya dia tidak paham kapan dirinya pernah bertemu dnegan manusia aneh semacam
dia orang dengan dandanan serta tindak tanduknya yang misterius ini bilamana dikatakan
pernah bertemu dia tidak akan terlupakan kembali untuk selamanya.
Terdengar orang berbaju biru itu melanjutkan kembali kata-katanya dengan amat
dingin. "Nona masih ingat dengan aku atau tidak hal ini tidak terlalu penting, kedatangan
cayhe kali ini hanyalah hendak mengajak nona untuk membicarakan suatu perdagangan!"
"Topi bulu dari saudara menutupi muka terlalu rendah," ujar Gak Siauw-cha mencela.
"Kalau memangnya kita pernah bertemu mengapa kau tidak berani memperlihatkan
wajahmu yang sesungguhnya."
"Tidak perlu!" sahut orang berbaju biru itu dengan cepat. "Separuh wajahku yang lain
tidak boleh dilihat orang, lebih baik kau tidak usah melihat?"
Dia berkata sejenak, kemudian ujarnya lagi, "Untung saja aku cuma mau
membicarakan soal dagangan saja dengan nona, kenal atau tidak dengan diriku dengan
urusan dagangan ini tidak ada sangkut pautnya."
"Dagangan apa?"" tanya Gak Siauw-cha ingin tahu.
"Nona Gak tentunya tahu keadaan dirimu sendiri bukan" Kecuali dari pihak Sin Hong
Pang yang membuntuti dirimu terus menerus masih ada lagi berpuluh-puluh orang jagoan
Bulim yang saling susul menyusul datang kemari, cayhe rasa nona sudah tahu jelas bukan
tentang soal ini?" "Terima kasih atas petunjukmu itu, aku disini banyak terima kasih terlebih dulu."
"Walaupun keluarga Gak merupakan satu keluarga jago pedang yang amat terkenal di
dalam Bulim tetapi satu lengan tidak dapat menahan empat pukulan, anghiong boo-han
tidak bakal bisa menahan kerubutan orang banyak," ujar orang berbaju biru itu lebih
lanjut. "Nona cuma seorang diri saja bahkan harus melindungi pula seorang bocah cilik
yang tidak mengerti ilmu silat. Keadaanmu benar-benar sangat berbahaya sekali."
"Kecuali nona seorang, apa kau kira kami bukan manusia?"" tiba-tiba Thio-kan nyeletuk
dengan amat gusarnya. "Perkataanmu sedikitpun tidak salah" sahut ornag berbaju biru mengangguk. "Kalian
berdua kalau jadi kusir kereta memang boleh dikata jauh lebih tinggi dari orang-orang lain,
tetapi jikalau harus bergebrak dengan jago-jago kelas satu dari Bulim yang mengejar
datang, bukannya cayhe pandang hina kalian berdua aku rasa bilamana kalian harus juga
maju bergebrak tidak lebih cuma menghantarkan nyawa saja dengan percuma."
Mendengar perkataan tersebut Thio-kan serta Hoo-kun benar-benar sangat gusar
dibuatnya baru saja mereka mau mengumbar hawa amarahnya mendadak tampaklah Gak
Siauw-cha sudah menggoyangkan tangannya mencegah mereka.
"Jangan kita ini kita harus bicarakan dengan cara apa?" kau minta harga berapa?""
tanyanya kemudian. Orang berbaju biru itu tersenyum.
"Nona! kau jadi orang ternyata menyenangkan sekali. Bilamana cayhe harus
membicarakan soal harga pula dengan diri nona bukanlah hal itu sedikit keterlaluan"
Begini saja, aku bantu nona untuk meloloskan diri dari mara bahaya tetapi kau harus
menghantar aku untuk menemui ibumu."
"Aaaah, sayang sudah terlambat," ujar Gak Siauw-cha dengan cepat. "Ibuku sudah
meninggal." "Heee, heee, bilamana dia masih hidup di dunia ini cayhe mana berani pergi menemui
dirinya?" Sambung orang berbaju biru itu dengan cepat.
"Apa maksudmu?"
"Aku cuma mau melihat sebentar jenazah dari ibumu."
"Orang yang sudah mati apanya yang bagus dilihat?" balik tanya Gak Siauw-cha dengan
hati yang keheranan. "Waktu yang ada dihadapan mata sedikitpun berharga laksana emas. Waktu ini tidak
ada kesempatan lagi untuk membicarakan soal tersebut nona. Kau sanggup menerima
dagangan ini atau tidak sempat katakan!" ujar orang berbaju biru itu tergesa-gesa.
"Baiklah!" sahut Gak Siauw-cha kemudian menyanggupi. "Bilamana kau bisa bantu aku
untuk meloloskan diri dari mara bahaya ini aku akan patuhi permintaanmu itu tetapi jika
tidak berhasil?" "Nona, kau boleh berlega hati, aku orang selamanya berdagang tidak pernah minta
uang ganti!" Mendengar perkataan tersebut dalam hati Gak Siauw-cha sedikit tergerak.
"Begini saja, kau boleh melihat sebentar jenazah ibuku tapi tidak boleh memegang
barang yang ada dibadannya," ujarnya kemudian.
Orang berbaju biru itu termenung berpikir sebentar kemudian tertawa dingin.
"Cayhe bantu nona untuk meloloskan diri dari mara bahaya ini boleh dikata mempunyai
resiko mengikat permusuhan dengan berpuluh-puluh orang jago dari Bulim, bilamana
dagangan yang aku dapatkan cuma begitu saja bukankah aku merasa rugi?"
Walaupun pada mulutnya Gak Siauw-cha mengajak orang berbaju biru itu berbicara
padahal di dalam hati dia terus menerus sedang memikirkan asal usul orang ini, jika
didengar dari nada ucapannya agaknya dia mengetahui amat jelas sekali terhadap seluruh
gerak-geriknya. Saat ini keadaan amat berbahaya sekali, tetapi jika dilihat dari gerak-gerik orang ini
jelas sekali dia memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, yang paling menakutkan adalah
kedua ekor anjing hitam itu mereka mempunyai keahlian di dalam pencarian jejak bahkan
jauh melebihi burung merpati dari Sin Hong Pang. Bilamana sampai bentrok dengan
dirinya jelas hal ini sangat tidak menguntungkan dirinya.
Terdengar suara yang amat dingin dan tawar dari orang berbaju biru itu berkumandang
lagi, "Orang yang berjual beli selamanya membicarakan soal keuntungan," ujarnya lagi.
"Cuma saja wajahnya dari cayhe ini tumbuh sedikit tidak sedap dipandang sehingga sukar
untuk mendapatkah rasa simpatik dari pemilik barang. Tetapi jangan kuatir aku orang
paling mengutamakan kepercayaan. Sekali aku berkata selamanya tidak akan aku tarik
kembali kata-kata tersebut. Bilamana nona suka bekerja sama dengan cayhe di dalam
perdagangan ini walaupun aku bisa mendapat sedikit keuntungan tetapi nonapun bisa
lolos pula dari bahay dengan tanpa kekurangan sesuatu apapun, dan bilamana nona tidak
mau, coba bayangkan dengan mengandalkan sebilah pedang apakah kau rasa bisa
berhasil meloloskan diri dari kepungan para jago yang begitu banyaknya?"
"Tidak salah, keadaanku saat ini walaupun sangat berbahaya tetapi paling banter juga
menemui ajal di dalam satu pertempuran yang sengit." seru Gak Siauw-cha dengan
mantap. "Tahukah nona apa tujuan mereka datang kemari dari tempat ribuan li jauhnya dengan
menempuh badai salju yang begitu derasnya?" tanya orang berbaju itu.
Mendadak Gak Siauw-cha teringat kembali dengan kata-kata yang ditulis di dalam surat
wasiat ibunya. Bisa minta dirinya bertindak sesuai dengan keadaan dan jangan terlalu
kokoh di dalam pendirian.
Tampak orang berbaju biru itu berdiam sebentar lalu sambungnya lagi, "Orang itu ada
kemungkinan sebagian besar tidak mengetahui kalau ibumu sudah meninggal, oleh karena
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu orang-orang yang mengejar datang bukan saja cukup untuk menghadapi nona Gak
bahkan sampai ibumu sendiripun bukan tandingannya, asalkan jejak dari nona terbocor ke
dalam Bulim maka satu pertempuran yang mengerikan bakal berlangsung bagaimana
sesudahnya?" heeee heee tentu kau tahu sendiri bukan?""
Mendadak terdengar suara tiupan yang amat rendah dan berat berkumandang datang
memotong pembicaraan selanjutnya dari orang berbaju biru itu.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah menjadi hebat dia lantas alihkan
pandangannya ke tempat kejauhan.
Sebaliknya orang berbaju biru itu segera memperlihatkan rasa kegirangan.
"Nona Gak, kau tidak usah kuatir. Orang yang datang bukanlah pihak musuh," ujarnya
tersenyum. Dari dalam sakunya dia segera mengambil sebuah terompet yang terbuat dari tanduk
kerbau kemudian ditiupnya tiga kali.
Diam-diam Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya melihat tindakannya itu pikirnya,
"Hmm! orang itu jahat sekali. Dengan suara terompetnya ini bukan saja sudah
mengundang kawannya bahkan memancing pula kedatangan pihak musuh. Hmm!
Agaknya dia memang bermaksud untuk menciptakan satu suara yang tegang sehingga
aku bisa dipaksa untuk menerima dagangannya itu?"
Begitu suara terompet itu sirap dari tengah udara maka suasana di sekeliling puncak
bersalju kembali berubah menjadi sunyi senyap tak terdengar sedikit suarapun.
Dengan perlahan orang berbaju biru itu berputar badannya memandang ke arah
puncak gunung yang ada dikejauhan. Punggungnya menghadap ke arah diri Gak Siauwcha
agaknya dia sama sekali tidak menaruh rasa kuatir terhadap bokongan dari Gak
Siauw-cha. Pikiran Gak Siauw-cha pada saat ini benar-benar bingung sekali. Jika ditinjau dari
keadaannya sekarang ini dia tidak seharusnya menyalahi orang itu tetapi diapun tidak
ingat menyanggupi permintaannya sekalipun seluruh pikirannya sudah diperas habishabisan
tetapi tidak mendapatkan juga jawabnya
Tiba-tiba terdengar orang berbaju biru yang sedang memandang ke tempat kejauhan
itu berbatuk-batuk ringan.
"Nona Gak!" ujarnya perlahan. ?"Loo toa kami sudah datang. Soal jual beli dia jauh
lebih mengerti dari aku orang lebih baik nona Gak bicarakan sendiri saja dengan dirinya?"
Mendadak di dalam pikiran Gak Siauw-cha terbayang akan dua orang cepat-cepat
serunya, "Locianpwee apakah Tiong Cho Ji ku.."
"Tidak salah" sahut orang berbaju biru itu menoleh lagi. "Cayhe adalah Leng Bian Thian
Pit atau sijago pit besi berwajah Tu Kiu."
Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengar suara tertawa terbahak-bahak yang
amat nyaring berkumandang datang dari bawah tebing mendadak terlihatlah sesosok
bayangan manusia dengan amat ringannya bagaikan seekor burung melayang datang.
Orang itu mempunyai potongan wajah yang bundar dan gemuk, diantara wajah putih
muncul warna semu merah, perutnya besar seperti perut Ji Lay Hud. Pada tubuhnya
memakai sebuah jubah besar berwarna hijau dengan wajah yang terus menerus dihiasi
oleh senyuman. Begitu sampai di atas puncak tebing dia lantas merangkap tangannya menjura.
"Aku orang sudah datang sedikit terlambat harap nona suka memaafkan," ujarnya.
Sehabis berkata dia tertawa terbahak-bahak kembali dengan kerasnya.
"Kedatangan Toa ko sungguh cepat sekali." sambung sijagoan pit besi berwajah dingin
Tu Kiu sambil berbatuk-batuk."Dengan ini sulit sekali dikerjakan. Lebih baik Toa ko sendiri
saja yang membicarakan harganya dengan nona Gak."
"Bagus" bagus sekali" kalau begitu kita kurangi sedikit keuntungan kita?" sahut orang
itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah dia lantas merangkap tangannya memberi hormat kepada diri Gak Siauw-cha.
"Cayhe adalah Kiem Siepoa atau Siepoa emas Sang Pat adanya!"
"Atas kedatangan dari Tiong Cho Ji Ku disini Siauw moay mengucapkan terima kasih
terlebih dulu," sahut Gak Siauw-cha sambil menjura.
"Bagus" bagus sekali." seru Siepoa emas Sang Pat lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebagai pedagang setiap orang paling mengutamakan keramah tamahan, saudaraku ini
selamanya cuma bekerja sebagai penagih utang saja sehingga tidak pandai membicarakan
soal jual beli, bilamana ada perkataan darinya yang kurang menyenangkan harap nona
suka memaafkan." Sebetulnya tadi Siauw Ling sedang bersemedi dengan mengikuti petunjuk yang
diperoleh dari Im Kauw, tetapi setelah mendengar suara tiupan terompet dari Leng Bian
Thian Pit tadi dia jadi terbangun.
Semakin dilihatnya dandanan serta potongan yang amat aneh dari Leng Bian Thian Pit
dalam hati dia merasa rada benci sehingga dia sudah melengos tidak mau melihat.
Tetapi sewaktu melihat wajah serta bentuk badan dari si Kiem Siepoa Sang Pat yang
penuh dengan senyuman ramah tamah itu dia lantas menaruh rasa simpatik kepadanya.
Tampaknya Kiem Siepoa Sang Pat merangkap tangannya memberi hormat kepada
semua orang yang ada disitu kemudian baru tertawa.
"Saudara-saudara sekalian!" ujarnya dengan ramah. "Terimalah penghormatan dari aku
orang ini." Dengan perlahan sinar matanya beralih ke atas wajah Gak Siauw-cha. Ujarnya kembali
sambil tertawa terbahak-bahak, "Cayhe yang bekerja sebagai pedagang selamanya tidak
pernah memeras orang lain dan dapat dipercaya bilamana nona suka mengadakan jual
beli dengan kami maka nanti nona akan tahu kalau perkataan dari cayhe bukanlah kosong
belaka." Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya lantas angkat sedikit bahunya.
"Cienpwee berdua pandai mempermainkan orang-orang di dalam kalangan Bulim hal ini
sudah terkenal sekali diseluruh sungai telaga," ujarnya dingin. "Ini hari Boanpwee bisa
bertemu muka sendiri dengan kalian berdua hal ini sungguh membuat hatiku merasa
sangat beruntung sekali?"
?"?"?"?""
http://ecersildejavu.wordpress.com
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?""
"Kami bersaudara jadi orang paling bisa dipercaya," ujar Kiem Siepoa Sang memuji
dirinya sendiri. "Berkat bantuan kawan-kawan maka perdaganganku makin besar.
Beberapa tahun ini boleh dikata sangat mujur sekali!"
Diam-diam Gak Siauw-cha berpikir di dalam hati, "semasa hidupnya ibu pernah
mengungkap pula soal Tong Cao Ji Ku ini, katanya ilmu silatnya amat lihay sekali tetapi
sifatnya ada diantara lurus dan jahat apalagi paling suka ikut campur di dalam urusan
orang lain" walaupun mereka berdua tidak pernah berbuat jahat tetapi sikapnya yang
seperti pedagang itu sungguh membuat aku tidak sedap."
Baru saja dia berpikir sampai disitu terdengar Kiem Siepoa Sang Pat sudah melanjutkan
kembali perkataannya, "Kami berdua bersaudara selamanya cuma membicarakan soal
dagang saja, tetapi kamipun tidak mau menggunakan kesempatan sewaktu orang berada
di dalam keadaan bahaya memaksa orang lain untuk menerima jual beli tersebut sekalipun
begitu nona perlu ketahui juga kalau keadaanmu pada saat ini benar-benar berbahaya
sekali. Baru saja aku mendapat berita katanya sampai pangcu dari Sin Hong Pang
mengejar datang sendiri kecuali itu ratusan li di sekeliling tempat ini sudah tersebar
berpuluh-puluh orang jago kelas satu dari Bulim yang punya maksud menculik nona."
"Omong terus terang saja kecuali kami dua bersaudara sekalipun nona menaikan harga
yang lebih tinggipun tidak bakal ada orang yang berani menerima jual beli ini."
Orang ini sungguh menyenangkan sekali dan jadi orangpun suka berterus terang dia
berbicara dengan lantangnya sehingga ludahnya melayang keluar hampir di sekeliling
tempat itu. "Dengan kekuatan dari nona seorang diri apakah kau merasa bisa menahan serangan
gabungan dari jago-jago Bulim yang begitu banyaknya?" sambungnya lagi. "Bilamana kau
sampai menderita luka maka siapa yang akan pergi melindungi jenazah dari ibumu" Nona
harus tahu pada saat dan keadaan seperti ini nona benar-benar berada di dalam keadaan
terdesak jual beli ini lebih baik kau terima saja!"
Gak Siauw-cha tahu perkataanya yang diucapkan sedikitpun tidak salah di dalam
keadaan seperti ini memang seharusnya menerima jual beli ini.
Si Kiem Siepoa Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
"Nona Gak!" ujarnya sambil tertawa.
"Setelah kau berhasil meloloskan diri dari mara bahaya kami cuma minta diperseni
dengan sebuah benda yang disimpan ibumu, persen ini boleh dikata sangat murah sekali,
daripada nona terluka oleh musuh kemudian untuk melindungi jenazah dari ibumu tidak
sanggup bukankah jauh lebih baik kau terima jual beli ini?"
Mendengar perkataan tersebut air muka Gak Siauw-cha mendadak berubah sangat
keren. "Barang peninggalan ibuku bagaimana aku boleh persenkan kepada orang lain dengan
begitu gampang" maksud baik dari cianpwee berdua aku terima saja dihati kecilku."
"Haaa" haaa" tidak mengapa, tidak mengapa," ujar Kiem Siepoa Sang Pat sambil
tertawa. "Penawaran jadi bayar di tempat dagangan tidak akan jadi marah" haa.. haa
kami berdua tidak akan memaksa perdagangan ini baiklah kalau begitu cayhe permisi
dulu." Berbicara sampai disini dia segera menggapai adiknya.
"Loo ji, ayo kita pergi saja!" serunya. "Barang dagangan ini tidak cocok?"
Selesai berkata dia berkelebat terlebih dulu menuruni tebing tersebut.
Si Leng Bian Thian Pit Tu Kiu menyahut dan segera mengikuti dari belakang badan
Sang Pat untuk menuruni tebing tersebut.
Gerakan tubuh mereka berdua amat gesit dan lincah sekali berjalan diantara tebingtebing
yang curam yang dilapisi salju itu seperti sedang berlari di tempat datar saja, hanya
di dalam sekejap saja mereka berdua sudah tiba di bawah tebing.
Setelah melihat kedua sosok bayangan manusia itu lenyap dari pandangan Hoo-kun
baru menghembuskan napas panjang.
"Hee, nama besar dari Tiong Cho Ji Ku sungguh bukanlah satu nama kosong belaka."
"Hmm," dengus Thio-kan dengan dingin. "Kita orang-orang Bulim bilamana bukannya
berkelana di dalam dunia persilatan untuk mencari pengalaman tentu mengasingkan diri di
atas pegunungan tidak mencampuri urusan dunia luar. Manusia seperti mereka berdua ini
sungguh tidak menyenangkan sekali payah-payah mereka melakukan perjalanan jauh
untuk membicarakan soal jual beli demi mendapatkan keuntungan, sekalipun
kepandaiannya jauh lebih tinggipun tidak akan mendatangkan rasa hormat dari orang
lain." Di dalam sekejap itu pula tubuh Tiong Cho Ji Ku sudah melayang di atas permukaan
salju di bawah tebing kemudian dengan cepatnya lenyap dari pandangan.
Gak Siauw-cha yang melihat bayangan kedua orang itu lenyap dari pandangan tidak
terasa lagi dia menghela napas panjang.
Ketika dia menoleh ke belakang, tampaklah Siauw Ling membelalakan matanya lebarlebar
sedang memperhatikan dirinya, wajahnya yang mantap dan tenang itu menunjukkan
kalau dia sudah menaruh rasa percaya yang penuh terhadap dirinya teringat pula
penderitaan bocah ini selama di dalam perjalanan yang penuh bahaya ini tidak terasa lagi
dia sudah berjalan mendekati dan ujarnya dengan suara yang halus, "Adik Ling, kau
sungguh patut dikasihani! Usiamu masih begitu muda bukan saja harus menderita siksaan
dari angin dan salju yang amat dingin bahkan harus menempuh bahaya pula diantara
perebutan yang terjadi diBulim kau suruh aku bagaimana bisa berlega hati?""
"Tidak mengapa!" sahut Siauw LIng sambil tertawa. "Bukankah kepandaian yang cici
miliki sangat tinggi sekali?"" orang-orang itu pasti bukankah tantangan dari cici cukup aku
bisa bersama-sama dengan cici sekalipun ada selaksana tentara menerjang datang
sekalipun berada dihutan golok juga tidak bakal takut."
"Bilamana cici terluka dan menemui ajalnya di tangan musuh sehingga tidak bisa
melindungi dirimu lagi, bukankah hal ini malah mencelakai nyawamu?"" ujar Gak Siauwcha
dengan termangu-mangu. "Tidak mungkin?" seru Siauw Ling perlahan, setela menghela napas panjang
tambahnya, "Kalau semisalnya cici mati, akupun tidak ingin hidup seorang diri!"
Dia orang adalah seorang bocah cilik yang belum tahu apa-apa. Ketika mendengar
perkataan dari Gak Siauw-cha itu di dalam benaknya segera teringat akan cerita sehidup
semati yang pernah dibacanya dari buku karenanya tanpa dia sadari diapun menirukan
kata-kata tersebut tanpa mengertikan yang lebih mendalam lagi.
Tetapi Gak Siauw-cha yang mendengar perkataan ini hatinya benar-benar terasa sangat
terharu, dia merasa hatinya amat sedih sekali"
Mendadak suara sayap burung merpati tang tersampok angin berkelebatnya datang
tampaklah dua ekor merpati dengan amat cepatnya berkelebat melalui atas puncak tebing
tersebut. Gak Siauw-cha segera memungut sebuah kerikil gunung dan disambit ke arahnya.
Seekor burung merpati segera terkena hajaran btu gunung itu dan roboh binasa ke atas
tanah, sedangkan yang lain mendadak menutup sayapnya kembali kemudian meluncur ke
bawah dan lenyap dibalik lembah di bawah tebing tersebut.
Thio-kan serta Hoo-kun agaknya sudah merasa kalau satu pertempuran yang amat
sengit bakal terjadi dihadapan mata, mereka segera menoleh ke arah Gak Siauw-cha.
"Nona!" ujarnya perlahan. "Jejak kita sudah diketahui oleh pihak musuh, dari pada
duduk disini menanti kematian lebih baik dengan tenaga kita berusaha untuk menerjang
keluar dari kurungan ini."
"Sayang sudah terlambat!" jawabnya Gak Siauw-cha dengan lirih. "Aku lihat pihak
musuh sudah mengetahui tempat persembunyian kita."
"Pihak musuh sekalipun memiliki ilmu silat yang amat tinggi tetapi sebagian besar
belum sampai disini!" bantah Thio-kan lagi. "Apalagi keadaan di atas gunung ini amat
terjal dan banyak gua. Kita bisa maju ke depan untuk mencari tempat persembunyian
yang baru nona Gak! bagaimana kalau kita berangkat sekarang juga?""
Dengan perlahan Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.
"Orang yang mengejar kita bukan saja memiliki kepandaian silat yang amat tinggi
bahkan sudah mempunyai niat untuk mendapatkan barang yang dicari. Kita tidak mungkin
bisa hidup di dalam kejaran musuh terus menerus kita mau lari kemana untuk
menghindarkan diri dari kejaran tersebut?""
"Cici!" tiba-tiba Siauw Ling nyeletuk dari tengah. "Di dalam hatiku aku mempunyai satu
persoalan yang membingungkan hatiku, dapatkah cici memberi jawabannya?""
"Kau bicaralah!" sahut Gak Siauw-cha sambil tertawa. "Mungkin usia kita sudah tidak
berapa lama lagi!" "Orang-orang yang disebut sebagai jago-jago kelas satu dari Bulim itu kenapa terus
menerus mengejar kita?"" tanya Siauw Ling dengan keheranan.
"Karena ibuku!"
"Eeei! bukankah bibi Im sudah meninggal?"" tanya Siauw Ling kebingungan. "Sekalipun
orang-orang itu mempunyai dendam sakit hati dengan bibi Im tetapi setelah beliau
meninggal sudah seharusnya merekapun melepaskan rasa sakit hati itu. Kenapa mereka
terus menerus mengejar kita?""
Dikarenakan pertemuan yang tidak disengaja dan penderitaan yang bersama-sama
mereka alami membuat Gak Siauw-cha menaruh rasa sayang terhadap Siauw Ling bocah
cilik yang lahir dari keluarga kaya ini.
"Adik Ling, kau tidak tahu soal kekejaman yang terjadi di dalam Bulim," ujarnya dengan
halus. "Walaupun diantara orang-orang ini ada beberapa orang yang merupakan musuh
buyutan dari ibuku tetapi sebagian besar mereka tidak ada ikatan sakit hati apapun
dengan dia orang tua."
"Kalau memangnya tidak mempunyai sakit hati apa-apa, kenapa mereka terus menerus
mengejar kita?" tanya Siauw Ling lagi kebingungan.
Gak Siauw-cha termenung berpikir sebentar, akhirnya dia menjawab juga dengan
perlahan, "Karena mereka ingin mendapatkan sebuah barang peninggalan dari ibuku."
"Oooh kiranya begitu," sahut Siauw Ling sambil mengangguk.
Mendadak Gak Siauw-cha meloncat bangun dan menggendong badan Siauw Ling
meloncat sejauh beberapa depa kemudian meletakkan badan Siauw Ling ke arah sebuah
batu cadas yang besar dan menonjol keluar itu.
"Adik Ling hati-hati!" serunya.
Tubuhnya dengan cepat berkelebat kembali melayang ketepi tebing tersebut.
Saat ini Thio-kan serta Hoo-kun pun agaknya sudah merasa suasana tidak beres,
dengan tergesa-gesa mereka meloncat bangun kemudian sambil mencabut keluar senjata
tajamnya masing-masing meloncat ketepi tebing.
Mendadak terdengar suara bentakan nyaring dari Gak Siauw-cha berkumandang datang
disusul suatu jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memenuhi angkasa.
Ketika Siauw Ling melongok ke arah luar tampaklah sesosok bayangan manusia
berkelebatnya dan terjatuh ke bawah tebing.
Saat ini pedang panjang dari Gak Siauw-cha sudah dicabut dari sarungnya, dengan
gagahnya dia berdiri ditepi tebing.
Angin gunung bertiup dengan kencangnya menyapu jatuh rontokan salju yang ada di
atas batu dan mengenai wajah dari Siauw Ling.
Dengan cepat Siauw Ling angkat kepalanya menghapus bekas salju yang mengenai
pipinya itu. Mendadak tampak seorang lelaki kasar dengan bersenjatakan golok tanpa
mengeluarkan sedikit suarapun sudah berjalan naik ke atas tebing dan mendekati badan
Gak Siauw-cha. Dia jadi sangat terkejut sekali.
"Cici awas di belakang ada orang!" teriaknya dengan keras, gerakan dari lelaki kasar itu
amat cepat sekali. Mendadak sepasang telapak tangannya menekan dinding batu
kemudian berjampalitan melayang ke arah diri Siauw Ling.
Siauw Ling cuma merasakan sesosok bayangan manusia berkelebat dihadapan matanya
bagaikan seekor burung elang dengan menukik dari angkasa menerkam dirinya.
Di dalam hati dia benar-benar merasa sangat terkejut sekali, untuk menghindar dia
tidak mengerti juga pandangan melongo dia memandang dirinya.
Mendadak tampak bayangan putih berkelebat disertai hawa pedang yang amat dingin
sekali, bekum sempat Siauw Ling melihat apa yang sudah terjadi telinganya segera
mendengar satu jeritan ngeri yang mendirikan bulu roma bergema datang kemudian
disusul tampaknya sesosok bayangan hitam melayang ke tengah udara dan terjatuh ke
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam jurang. Ketika dia memandang lebih jelas lagi tampaklah Gak Siauw-cha dengan gagahnya
berdiri disisi badannya. Pedang yang ada ditangannya secara samar-samar masih kelihatan
bekas darah segar. Dengan perlahan-lahan Gak Siauw-cha berjongkok dan membimbing pundak Siauw
Ling. "Adik Ling, kau kaget?"" tanyanya dengan penuh perhatian.
"Gerakan cici sangat cepat sekali, dimana orang itu?" tanya Siauw Ling sambil
menghembus napas panjang.
"Sudah aku tusuk mati!"
"Tapi mana mayatnya?""
"Aku tendang keluar dari tebing ini. Heeei" jika ditinjau dari keadaan seperti ini
agaknya ini hari kita tidak bakal terhindar lagi dari satu pertempuran berdarah. Terpaksa
cici harus turun tangan kejam terhadap diri mereka. Setiap kali cici berhasil membunuh
seorang musuh berarti pula aku sudah kekurangan seorang musuh?"
Elang Terbang Di Dataran Luas 10 Payung Sengkala Karya S D Liong Memanah Burung Rajawali 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama