Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bagian 6
ciangbunjien dari satu partai besar, dia meneriakkan sihidung kerbau sitoosu tua sungguh
kurang sedap didengar" orang ini kurang ajar sekali!"
Tetapi sewaktu dilihatnya air muka Bu Wie Tootiang masih tetap tenang-tenang saja
diapun tidak berani mengumbar hawa amarahnya.
Sinar mata Tiam Loo jie dengan perlahan dialihkan keatas tubuh Siauw Ling sibocah
cilik itu. "Lalu siapakah bocah cilik ini" Hahaha"justru tujuan para jago pada mendatangi
gunung Bu tong san pada malam ini dikarenakan dia orang."
Sepasang mata Tiam Loo jie segera dipentangkan lebar-lebar, dia memperhatikan
beberapa kejap ke arah diri Siauw Ling.
"Karena dia" Apakah bocah cilik ini mempunyai ikatan dendam kesumat dengan para
jago di Bulim?" 00 X 00 Bilamana Cuma ada ikatan dendam kesumat saja dengan orang-orang Bulim hal ini
tidak bakal memancing datangnya berbagai kesulitan yang memusingkan kepala.
"Hey hidung kerbau! Kau tidak usah jual mahal lagi, cepat beritahu urusan ini kepadaku
sejelas-jelasnya!" teriak Tiam Loo jie kemudian dengan amat kerasnya saking tidak bisa
menahan sabar lagi. Air muka Bu Wie Tootiang segera berubah jadi amat serius dan keras sekali lagi dia
menceritakan kisahnya bagaimana bocah cilik ini terseret di dalam persoalan anak kunci
Cing Kong Ci Yau yang lagi diperebutkan oleh para jago Bulim.
Selesai mendengarkan kisah itu nampak Tiam loo jie termenung sebentar, lalu ujarnya
dengan perlahan, "Persoalan anak kunci Cing Kong Ci Yau ini bakal menyeret suatu
peristiwa yang amat besar, Loo toa kami pernah bilang bilamana ingin menjaga
ketenangan dan ketenteraman dunia kangouw maka urusan pertama haruslah cepat-cepat
memusnahkan anak kunci tersebut. Tidak disangka ternyata dugaannya sedikitpun tidak
meleset." Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya, "Tetapi yang benar orang-orang
itu sedikit keterlaluan, bukannya pergi mencari Gak Siauw-cha serta Tiong Cho Siang-ku.
Bagaimana tujuan mereka bisa beralih ketubuh seorang bocah cilik yang sama sekali tak
bertenaga ini." Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang amat keras berkumandang datang.
Dengan cepatnya Can Jap Cing menggerakkan badannya bagaikan kilat berkelebat
keluar ruangan. "Kepandaian silat dari siauw sutemu itu tidak jelek, aku lihat lain kali ia bakal
memperoleh kemajuan yang amat pesat dan pasti tidak berada di bawah dirimu, Cuma
saja gerakannya terlalu terang-terangan. Menurut penglihatanku Tiam Loo jie, musuhmusuh
yang menyerbu gunung pada malam ini ada dua orang iblis yang paling sukar
untuk dilayani. Aku mau pergi menyambut kedatangannya."
Tidak menunggu jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi dia lantas gerakkan kakinya
berjalan keluar dari ruangan. Tiba-tiba terdengar Siauw Ling menghela napas panjangpanjang.
"Heei, aku harus belajar ilmu silat," ujarnya dengan keras. "Hmm! Bilamana aku sudah
berhasil memiliki ilmu silat maka aku akan kasih sedikit hajaran kepada orang-orang itu."
"Bagus! Semangatmu amat bagus sekali, tetapi tahukah kau?" seru Bu Wie Tootiang.
Mendadak terdengar suara seseorang yang dingin berat dan kaku berkumandang
datang dari tempat kejauhan.
"Loohu Pak Thin Coen cu (si rasul sakti dari langit utara) khusus datang kemari
disebabkan mendengar kemunculannya anak kunci Cing Kong Ci Yau di dalam Bulim dan
bocah yang ada di dalam ruangan itulah satu-satunya kunci untuk mendapatkan anak
kunci tersebut. Dahulu loohu terus menerus tutup diri dan mengasingkan diri sehingga
tidak pernah mengikuti suatu pertandingan ilmu silat. Kini aku mulai merasa menyesal."
Berbicara sampai disini mendadak suaranya terputus.
Siauw Ling segera menoleh ke tempat luaran tetapi disana tak nampak sesosok
bayangan manusiapun, sewaktu menoleh kembali ke arah Bu Wie Tootiang terlihatlah air
muka yoosu tua itu sudah berubah sangat hebat, diataas keningnya secara samar-samar
sudah dibasahi oleh keringat dingin. Mendadak terasalah api di dalam tungku bergoyang
tiada hentinya, di tengah sambaran angin yang amat keras di dalam ruangan tersebut
sudah kedatangan tiga orang manusia.
Orang yang ada di tengah adalah seorang kakek tua berjubah sutera dengan
bersulamkan seekor naga, jenggotnya yang putih terurai memanjang hingga dadanya.
Sedang dua orang yang ada di sampingnya adalah siucay berusia pertengahan yang
memakai baju berwarna putih.
Dengan cepat Bu Wie Tootiang meloncat bangun lalu merangkapkan tangan memberi
hormat. "Tidak mengetahui akan kedatangan dari Coen cu maaf pinto tidak menyambut
dari kejauhan." Sikakek tua yang berdiri di tengah itu lantas tertawa.
"Loohu hanya lewat disini saja karena mendengar anak kunci Cing Kong Ci Yau kembali
muncul dalam dunia kangouw dan karena tidak turut di dalam pertemuan puncak para
jago tempo hari dalam hatiku selama puluhan tahun ini merasa amat menyesal."
Dua rentetan sinar mata yang amat dingin dan menyeramkan dengan cepat dialihkan
keatas tubuh Siauw Ling, lalu sambungnya, "Walaupun loohu tidak merasa tertarik
terhadap harta pusaka yang ada di dalam istana tersebut tapi sangat mengharapkan dapat
ikut memasuki istana terlarang itu untuk memeriksa apakah kawan serta sahabat-sahabat
karibku tempo hari masih hidup atau sudah mati."
Dengan wajah yang amat serius Bu Wie Tootiang berdiri tak bergerak, diam-diam dia
mulai menyalurkan hawa khie kangnya yang dilatih selama puluhan tahun ini untuk siap
menghadapi serangan musuh.
Pak Thian Coen cu yang melihat Bu Wie Tootiang sama sekali tidak mengucapkan
sepatah katapun, air mukanya segera berubah dengan amat hebatnya.
"Tetapi kunci emas pembuka istana rahasia itu bagaikan batu di tengah samudera,
selama puluhan tahun ini Cuma terdengar beritanya saja yang tersiar di dalam Bulim.
Loohu sudah ada tiga kali memasuki daerah Tionggoan untuk menyelidiki jejak dari kunci
wasiat tersebut tetapi selama ini tak ditemui juga."
"Kali ini aku dengar berita yang mengatakan kunci emas pembuka istana terlarang itu
ada disini karena itu sengaja loohu datang kemari untuk mengecek kebenarannya, tetapi
jika ditinjau dari banyaknya jago-jago Bulim yang pada berkumpul digunung Bu tong san
ini aku rasa berita itu pastilah benar."
Setelah lewat beberapa saat Bu Wie Tootiang pun baru bisa menenangkan kembali
hatinya. Dia tertawa tawar dan memandang sekejap ke arah Siauw Ling sibocah cilik itu.
"Menurut berita yang tersiar di dalam Bulim maka satu-satunya kunci untuk
memperoleh anak kunci pembuka istana terlarang adalah bocah ini," ujarnya tawar.
"Dengan ketajaman mata dari Locianpwee tentunya kau orang bisa tahu apakah bocah ini
pernah berlatih ilmu silat atau tidak. Locianpwee janganlah kau suka percaya terhadap
berita yang tersiar di dalam dunia kangouw, karena berita tersebut sengaja disiarkan
untuk menimbulkan suatu gelombang di dalam dunia kangouw."
Dengan perlahan Pak Thian Coen cu mengelus jenggot putihnya yang sepanjang dada
dengan telitinya dia lantas memeriksa sekejap bocah itu.
Mendadak dari sepadang matanya memancar keluar sinar yang amat tajam dingin, lalu
ujarnya dengan serius, "Tahukah kau orang apa akibatnya bilamana berani mengelabuhi
diri loohu?" "Soal ini pinto tidak tahu," sahut Bu Wie Tootiang dengan hati bergetar.
"Seluruh perguruan akan dibasmi habis, anjing dan ayam tidfak tertinggal seekorpun
lain hari bilamana loohu berhasil mengetahui kalau di dalam persoalan ini ada hal-hal
mengandung siasat maka partai Bu-tong-pay jangan harap tancapkan kakinya kembali di
dalam dunia kangouw. Kini loohu mohon diri terlebih dulu?" seru Pak Thian Coe cu.
Sepasang mata Siauw Ling yang terbelalak lebar-lebar kini melotot semakin besar lagi.
Dia sama sekali tak dapat melihat dengan jelas bagaimana caranya ketiga orang itu pergi
dari sana. Matanya terasa kabur dan dalam sekejap mata saja ketiga orang itu sudah lenyap tak
berbekas yang membuat dalam hati dia merasa amat kagum, pikirnya, "Kepandaian ilmu
silat dari beberapa orang ini sungguh hebat sekali. Hei. Bilamana aku berhasil melatih
ilmuku sedahsyat itu maka enci Gak tidak perlu pikirkan untuk melindungi diriku lagi, di
samping itu akupun dapat membantu dia untuk membalas dendam bibi Im."
Terdengar Bu Wie Tootiang menghela napas panjang dan berjalan keluar dari kamar
dengan langkah perlahan. Siauw Ling hanya merasakan darah panas didadanya mendadak bergolak amat keras,
dengan cepat dia lari mengikuti dari belakang Bu Wie Tootiang, lalu serunya, "Tootiang,
kau tidak usah menghela napas panjang, semua bencana yang dialami partai Bu-tong-pay
hanyalah muncul dikarenakan aku Siauw Ling saja, asalkan aku tinggalkan tempat ini
maka mereka tak akan mencari gara-gara lagi kesini."
"Bocah sungguh kukuh hatimu!" seru Bu Wie Tootiang tak tahan lagi sambil menoleh
memandang sekejap ke arah bocah itu.
Mendadak dia meloncat keluar dari ruangan dan membentak keras, "Siapa?"
Telapak tangannya dengan cepat mengirim satu pukulan dahsyat ke depan.
Dari tempat kegelapan dibalik pepohonan segera meloncat keluar sesosok bayangan
manusia yang menggerakkan tangan kanannya menyambut datangnya serangan dari Bu
Wie Tootiang ini, sedang tubuhnya dengan meminjam kesempatan itu meloncat sejauh
dua kaki lebih. "Hmm! Nama besar ciangbunjien Bu-tong-pay ternyata bukan nama kosong belaka,
sungguh dahsyat tenaga dalammu!" puji orang itu dengan suara dingin.
Sehabis berkata tubuhnya segera melesat ke tengah udara dan berkelebat lenyap dari
pandangan. Bu Wie Tootiang pun tidak melakukan pengejaran lebih lanjut. Tangan kanan serta
kirinya sedikit didayung ke belakang tubuhnya sudah meloncat balik ke dalam ruangan
semula. Ketika Siauw Ling dapat melihat kelas apa yang terjadi tampaklah dikedua belah tangan
Bu Wie Tootiang sudah membawa dua orang toosu cilik berjubah hijau yang menyoren
pedang pada punggungnya. Cuma saja pada saat ini mereka sama sekali tidak berkutik, jelas jalan darahnya sudah
keburu ditotok. Dengan telitinya Toosu tua itu memeriksa di sekeliling tubuh toosu cilik itu mendadak
sepasang tangannya bersama-sama digerakkan ke depan masing-masing menepuk di atas
jalan darah In Bun Hiat pada pundak kanannya.
Terdengar kedua orang toosu cilik itu menghembuskan napas panjang dan mulai
menggoyangkan biji matanya. Setelah memandang sekejap mata ke arah Bu Wie Tootiang
pada paras mukanya segera tertulis rasa menyesal yang bukan kepalang.
Mendadak mereka menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan berseru, "Kepandaian
silat tecu tak becus sehingga menimbulkan rasa malu buat perguruan, harap ciangbun
suhu turun tangan memberi hukuman."
"Ayo bangun, aku tidak akan menyalahkan kalian. Kedahsyatan dari musuh yang
muncul malam ini berada diluar dugaan pinto!" seru Bu Wie Tootiang sambil gelengkan
kepalanya. Dalam hati dia tahu kedua orang toosu cilik itu kena ditotok jalan darahnya oleh Pak
Thian cu, dengan kepandaian silat yang demikian dahsyatnya dari si rasul sakti dari langit
utara sekalipun Bu Wie Tootiang sendiripun belum tentu tandingannya apalagi kedua
orang muridnya. Mendengar perkataan dari ciangbunjiennya ini kedua orang toosu cilik itu segera
berlutut mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih suhu suka mengampuni dosa kami!" serunya berbareng.
"Sudahlah" seru Bu Wie Tootiang sambil mengulapkan tangannya diantara pepohonan.
"Diluar ruangan ada kemungkinan sudah bersembunyi berpuluh orang jagoan Bulim, kalian
berjaga-jagalah satu kaki diluar ruangan ini, asalkan orang-orang yang bersembunyi
dibalik pepohonan itu tidak menyerbu ke dalam ruangan maka janganlah urusi diri
mereka." Kedua orang toosu cilik itu lantas menyahut mencabut keluar pedangnya dan bersamasama
berlalu dari sana. Mereka berdua sesudah mengalami kerugian kali ini tidak berani berlaku gegabah lagi,
sambil mencekal pedang dan punggung menempel mereka melakukan perondaan dan
penjagaan terhadap jejak musuh yang mulai memenuhi sekeliling tempat itu.
Di atas wajah Bu Wie Tootiangpun dengan perlahan terlintas perasaan yang amat
murung, sinar matanya dengan termangu-mangu memandang keatas percikan api
berwarna hijau di atas tungku.
Siauw Ling yang melihat kemurungan diri Bu Wie Tootiang memberi peringatan segera
berkecamuk di dalam benaknya peristiwa yang telah lewat kembali berkelebat dihatinya
diam-diam dia berpikir, "Aku, Siauw Ling kenapa begitu membawa sial" Sewaktu aku
dilahirkan ayahku kena difitnah oleh pembesar laknat sehingga meletakkan jabatannya,
bibi Im bersikap sangat baik terhadap diriku diapun mati di dalam sumur kering, kemudian
enci Gak begitu cinta padaku kini mati hidupnya tidak jelas akhirnya aku datang ke gunung
Bu tong san ini tetapi tidak sampai tiga hari sudah mendatangkan gara-gara buat pihak
Bu-tong-pay?" Semakin dipikir hatinya semakin pedih, tidak terasa lagi darah panas bergolak dengan
amat derasnya di dalam dada.
Mendadak dia berteriak amat kerasnya, "Aku adalah manusia pembawa sial. Ini
siapapun jangan mengurusi aku lagi!"
"Bocah, kau kenapa?" tanya Bu Wie Tootiang tertegun sewaktu dilihatnya sikap bocah
itu sangat aneh. "Tootiang! Aku mau tanya tentang beberapa hal kepadamu tetapi kau jangan menipu
lho?" seru Siauw Ling dengan paras amat serius.
Bu Wie Tootiang hanya merasa dari sinar matanya mengandung rasa golakan hati yang
keras tidak terasa lagi dia sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Bocah, kau bertanyalah?"
"Kau pernah berjanji, bilamana aku hendak meninggalkan tempat ini kau tidak akan
menghalangi niatku ini. Bukankah begitu?"
"Tidak salah!" Mendadak Siauw Ling si bocah cilik itu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan
memberi hormat dengan tulusnya.
"Budi kebaikan Tootiang terhadap diriku, aku Siauw Ling tidak akan melupakan untuk
selamanya. Bilamana aku masih bisa hidup di dunia dan berhasil belajar ilmu silat lain hari
tentu akan kubalas budi kebaikan ini."
"Bocah kau hendak berbuat apa?" tanya Bu Wie Tootiang kebingungan.
"Aku mau meninggalkan tempat ini!"
"Heeei" kini jejak musuh meliputi seluruh penjuru, nafsu membunuh sudah
mengelilingi seluruh kuil Sam Yuan Koan ini, apa lagi kau adalah seorang bocah yang
lemah dengan racun yang belum benar-benar punah dari badanmu, kau hendak pergi
kemana?" seru Bu Wie Tootiang lagi sambil menghela napas panjang.
"Kau tidak usah ikut campur!"
Sehabis berkata dengan langkah lebar segera berjalan keluar dari ruangan tersebut.
"Bocah!" seru Bu Wie Tootiang terburu-buru sambil berkelebat menghalangi di depan
tubuhnya. "Bilamana kau benar-benar ingin belajar ilmu silat pinto dengan rela akan
mengerahkan tenaga yang ada untuk penuhi keinginanmu."
Dengan perlahan-lahan Siauw Ling menggelengkan kepalanya.
"Maksud baik dari Tootiang biarlah aku terima dihati saja. Aku tidak ingin mengangkat
kau sebagai guru, biarlah aku pergi saja."
Mendadak terasa segulung angin berkelebat, seorang pemuda berbaju biru dengan
menenteng pedang sudah menghalangi di depan pintu kamar dan mencegat perjalanan
dari Siauw Ling. Darah yang menempel di atas pedang belum kering keringat mengucur dengan
derasnya jelas baru saja dia orang terseret di dalam satu pertempuran yang amat sengit.
Siuaw Ling melirik sekejap ke arah pemuda itu kemudian sambil membusungkan dada
dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan langkah lebar.
Dengan cepat pemuda berbaju biru itu mencengkeram tubuh Siauw Ling dan menegur.
"Hai bocah yang tidak tahu diri, dengan kedudukan ciangbunjien dari But tong pay
ternyata dia orang suka menerima kau sebagai murid. Hal ini boleh dikata merupakan
suatu keuntungan bagimu."
"Heeeei?" terdengar Bu Wie Tootiang menyambung dengan suara yang ramah.
"Karena nafsu rakus muncul dihatiku membuat akal jadi tertutup. Selama puluhan
tahun ini pinto selalu melarang setiap anak murid Bu-tong-pay untuk mencari gara-gara
dengan orang-orang Bulim, tidak disangka akhirnya menjadi rumit persoalan ini tak bisa
terhindar lagi suatu badai taupan bakal melanda partai Bu-tong-pay kami."
"Urusan timbul karena diriku, bilamana aku meninggalkan gunung Bu tong san ini
sudah tentu mereka tidak akan mencari kekuil Sam Yuan Koan lagi," sambung Siauw Ling
dengan cepat. "Walauoun perkataan itu tidak sedikitpun salah, tetapi?"
"Tetapi apa" Apakah Tootiang hendak menggunakan aku sebagai umpan untuk
memancing kedatangan dari enci Gak ku dan memaksa dia untuk menyerahkan anak kunci
istana rahasia itu?"
Karena selama beberapa waktu ini berturut-turut dia mengalami kekejaman serta
kelicikan orang-orang kangouw sehingga membuat pandangan serta pengetahuannya
bertambah tajam dan tambah luas.
"Walaupun pinto mempunyai nafsu rakus untuk memiliki anak kunci tersebut tetapi
sama sekali tak bermaksud untuk menggunakan dirimu sebagai umpan."
"Lalu mengapa Tootiang tidak mengijinkan aku pergi?"
"Waktu ini dikuil Sam Yuan Koan sedang berkecamuk suatu pertempuran yang amat
sengit, kau tidak berkepandaian silat bagaimana bisa lolos dari tempat ini?"
"Sekalipun para jago yang mendatangi tempat ini amat banyak tetapi tujuan mereka
adalah menawarkan aku untuk dijadikan umpan mereka tak akan melukai diriku," sahut si
bocah. "Bilamana kau suka masuk menjadi anggota Bu-tong-pay maka pinto tak akan sayangsayangnya
mengasingkan diri selama tiga bulan untuk menyembuhkan ketiga urat nadimu
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tersumbat itu."
Bu Wie Tootiang menarik napas berulang kali.
"Kau memiliki tulang serta bakat yang amat baik" sambungnya. "Tidak sukar bagimu
untuk mewarisi seluruh kepandaian silat dari pinto."
Sepasang mata Siauw Ling dipentangkan semakin lebar.
"Lalu bagaimana jikalau kepandaianmu dibandingkan dengan Pak Thian Coen cu itu?"
"Sute lepaskan dirinya!" tegur Bu Wie Tootiang sambil mengulapkan tangannya.
Walaupun dia didalama hati pemuda berbaju biru itu tidak suka tetapi diapun tidak
berani melanggar perintah dari suhengnya dengan hati berat tangan kiri terpaksa
dikendorkan melepaskan diri Siauw Ling dari cengkeramannya.
Lengan kanan Siauw Ling yang kena dicekal oleh pemuda berbaju biru itu sekalipun tak
menggunakan tenaga besar tetapi siauw Ling merasakan aliran darahnya tidak lancar
sedang lengannya secara samar-samar terasa amat sakit.
Dengan cepat dia gerak-gerakan tangannya lalu bertindak maju untuk meninggalkan
tempat itu. Jilid 12 Mendadak terdengar ujung baju tersampok angin, tahu-tahu dihadapannya sudah
berkelebat datang beberapa sosok bayangan manusia yang pada berdiri sejajar
dihadapannya. Dua orang yang ada disebelah kiri adalah majikan dari Sian Kie Su Lu di daerah Kiang
Pak Ih Bun Han To adanya sedang di sampingnya adalah Pek So Suseng Jan Ing.
Dua orang berdiri disebelah kanan adalah Tiong Cho Siang-ku, saat ini di tangan
mereka berdua sudah pada mencekal senjata tajam.
Di tangan kiri Sang Pat mencekal Siepoa emas yang memancarkan cahaya tajam,
sedang di tangan kiri dan kanan Tu Kiu mencekal gelang Hu So Gien Cian serta pit
besinya. Melihat munculnya orang-orang itu mendadak pemuda yang berbaju biru itu menukuk
lutut dan menubruk ke depan dengan kecepatan bagaikan kilat, diantara berkelebatnya
sinar pedang terlihat bunga-bunga pedang memenuhi angkasa.
"Kembali!" bentak Bu Wie Tootiang dengan suara rendah.
Pemuda berbaju biru itu segera menyahut dan berkelebat kembali lagi ke tempat
semula. Pulang pergi hanya dilakukan dalam sekejap mata tapi dalam waktu yang singkat itu
pula dia sudah melancarkan tiga tusukan dahsyat ke arah Tiong Cho Siang-ku yang Sang
Pat serta Tu Kiu bersama-sama menggerakkan senjatanya untuk memusnahkan datangnya
serangan tersebut. Agaknya dalam hati pemuda berbaju biru itu merasa sangat tak puas.
"Suheng" serunya pada Bu Wie Tootiang dengan suara berat. "Bilamana malam ini kita
biarkan beberapa orang ini meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup-hidup, bilamana
berita ini sampai tersiar di dalam dunia kangouw bukankah hanya akan merusak nama
baik dari Bu-tong-pay kita?"
Baik Ie Bun Han To maupun Tiong Cho Siang-ku agaknya pada tidak ingin mengikat
permusuhan dengan pihak Bu-tong-pay walaupun mendengar perkataan dari pemuda
berbaju biru itu amat sombong dan mereka tidak membantah barang sekejappun.
Air mkuka Bu Wie Tootiang berubah amat keren, diapun tidak ambil perduli terhadap
perkataan dari pemuda berbaju biru itu.
Sepasang matanya dengan dingin dan amat tajam menyapu sekejap ke arah Ie Bun
Han To serta Tiong Cho Siang-ku lalu sambungnya, "Saudara-saudara sekalian sudah
berhasil menerjang segala rintang di bawah pengawasan yang ketat dari anak murid Butongpay kami. Hal ini menunjukkan kalau kepandaian kalian sungguh luar biasa sekali."
"Haaaa, haaa, Tootiang terlalu merendah" sahut Sang Pat sambil tertawa terbahakbahak.
"Bilamana bukannya anak murid Bu-tong-pay turun tangan setengah-setengah,
bagaimana mungkin cayhe dua bersaudara bisa melewati halangan tersebut."
"Perkataan ini memang tidak salah" sambung Ie Bun Han To pula. "Bilamana anak
murid Bu-tong-pay yang tersebar diseluruh penjuru mengadakan perlawanan dengan
sepenuh tenaga, cayhepun tidak mungkin bisa menerjang halangan tersebut dengan
demikian mudahnya." Bu Wie Tootiang hanya tertawa tawar, ujarnya, "Kepandaian silat dari saudara-saudara
sekalian lihay sekali, pintopun tahu kalau dengan kekuatan anak murid kami tidak bakal
bisa menghalangi kalian dengan tenaga dalam kalian yang tinggi tentunya sudah banyak
murid kami yang terluka di tangan kalian bukan?"
Berbicara sampai disitu sinar matanya yang amat tajam segera berkelebat memandang
beberapa kali ke arah beberapa orang itu.
Kembali si Siepoa emas Sang Pat tersenyum.
"Walaupun beruntung cayhe dua bersaudara berhasil menerjang lolos dari ketiga
cegatan yang dipasang partai Bu tong kalian tetapi senjata kami tak membekas darah,
kami sama sekali tak membunuh maupun melukai anak murid Tootiang" katanya.
"Cayhepun hanya metotok luka tiga orang anak murid Bu-tong-pay" sambung Ie Bun
Han To. "Tetapi urusan ini sudah terjadi karena berada dalam keadaan terpaksa, cayhe
tidak bisa membiarkan Ngo Kiam bersatu padu sehingga barisan pedang Ngo Kiam Sin
yang amat terkenal diseluruh langit itu terbentuk."
Terdengar suara bentakan gusar berkumandang datang dengan ramainya, jelas sekali
ada banyak tempat yang lagi terjadi pertempuran-pertempuran sengit.
Bu Wie Tootiang dengan perlahan berubah jadi tenang kembali, dia menghela napas
panjang. "Heeei, orang yang datang malam ini tak sedikit jumlahnya, dan merupakan suatu
peristiwa yang belum pernah dialami kami pihak Bu-tong-pay sejak ratusan tahun yang
lalu." "Kami orang yang melakukan pekerjaan dagang masih untung tidak sampai mati
datang kemari," sambung Sang Pat tersenyum.
"Entah sukakah Too heng memberi sedikit penghargaan kepada kami orang yang
berdagang untuk membawa pergi bocah tersebut."
"Heee, heee, apakah Sang heng tidak merasa perkataanmu itu terlalu ringan?" seru Ie
Bun Han To sambil tertawa dingin.
"Kini cayhe ada disini bilamana kau hendak membawa pergi bocah tersebut dengan
begitu ringan bukankah sama saja dengan tidak memandang sebelah mata kepada cayhe."
"Hmmm! Hmmm! Ie Bun heng, bilamana kau hendak ikut serta di dalam dagangan ini
maka kitapun terpaksa harus mengambil caranya tersendiri!" seru si Leng Bian Thiat Pit Tu
Kiu dengan tawar. "Haaaa, haaaa, urusan ini menyangkut modal selembar jiwa. Agaknya kami dua
bersaudara tidak kuat melakukan perdagangan ini," sambung sang sambil tertawa
terbahak-bahak. "Langit dan bumi amat luas, dimanapun terdapat gunung nan hijau untuk mengubur
tulang-tulang kalian. Bilamana saudara bermaksud mengadu jiwa lebih baik jangan
dilakukan di dalam kuil Sam Yuan Koan kami ini!" tiba-tiba tegur pemuda berbaju biru itu
dengan amat dingin. "Bilamana dugaan pinto tidak salah, sebentar lagi bakal muncul jago-jago Bulim lebih
baik kalian berenpat bersabar dan tunggu sebentar lagi," ujar Bu Wie Tootiang pula.
Baru saja selesai berkata mendadak telinganya dapat menangkap suara tersampoknya
ujung baju terkena udara, tiga sosok bayangan manusia dengan cepat bagaikan kilat
berkelebat datang. Tiong Cho Siang-ku serta Ie Bun Han To pada menengok ke arah dimana datangnya
bayangan manusia itu. Tampaklah orang itu memakai pakaian singsat abu-abu keperak-perakan dengan kain
hitam membungkus kepala sehingga cuma kelihatan sepasang matanya yang dingin dan
amat tajam sedang ditangannya menenteng sebilah pedang panjang.
Cukup ditinjau dari gerakan tubuh mereka bertiga yang amat gesit, beserta kelebatan
sinar mata yang dingin dan tajam itu tidak sulit untuk menduga kalau mereka semua
adalah jago-jago berkepandaian tinggi yang memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Diam-diam Bu Wie Tootiang merasa hatinya rada bergidik.
"Jika ditinjau dari kepandaiannya. mereka bertiga tentulah jagoan lihay dari suatu
daerah tetapi dari manakah asalnya" Begitu lihay dia orang sehingga berhasil menerobos
halangan-halangan yang ketat dari murid-murid Bu-tong-pay" pikirnya.
Belum habis dia berpikir tampaklah dua sosok bayangan sudah meloncat datang
dihadapannya. Dandanan dari kedua orang itu sangat aneh sekali. Orang yang ada disebelah kiri
memakai jubah berwarna merahdarah dengan di depan dadanya terukir sebuah obor yang
disulam dengan benang emas pada punggungnya tergantung sebuah pipa tembaga
sebesar lengan dengan panjang tiga depa delapan coen. Ditangannya mencekal sebuah
tongkat perak yang khusus digunakan untuk menotok jalan darah.
Usianya kira-kira empat puluh tahunan. Wajahnya berbentuk paras kuda dengan
jenggot yang pendek seperti kawat, sepasang matanya berbentuk segitiga yang amat
aneh dan memancarkan cahaya terang, perawakannya tinggi besar dan sebuah mahkota
terbuat dari emas menghiasi kepalanya.
Sedang orang yang ada dikanan memakai jubah berwarna putih dengan seikat tali rami
terikat pada pinggangnya, rambut yang panjang terurai sepanjang pundak, tangan
mencekal sebuah tongkat berkepala ular.
Begitu mereka berdua muncul di tengah kebun dengan langkah yang lebar lantas
melanjutkan gerakannya menuju ruangan, terhadap beberapa orang yang ada di sekeliling
tempat itu mereka sama sekali tidak ambil gubris, sekejappun tidak.
Tiong Cho Siang-ku serta Ie Bun Han To yang melihat munculnya kedua manusia aneh
itu lantas bertukar pandangan sekejap dan mengundurkan diri dua langkah ke belakang
tanpa mengucap sepatah katapun.
Bu Wie Tootiang yang beriman kuat diam-diam pun mulai menyalurkan tenaga
kwekangnya siap sedia menghadapi sesuatu tetapi pada paras mukanya sama sekali tidak
berubah terhadap munculnya kedua orang ini diapun pura-pura tidak melihat.
Sebaliknya pemuda berbaju biru itu tidak kuasa untuk menahan rasa gusar dihatinya,
pedang ditangannya dengan cepat dikebaskan ke depan sedang tubuhnya maju tiga
langkah ke depan. Diantara berkelebatnya pergelangan tangan tampaklah bunga-bunga pedang menghiasi
angkasa menghalangi perjalanan pergi dari dua orang itu.
"Berhenti!" bentaknya dengan dingin.
Si orang berbaju putih dengan rambut terurai panjang itu segera angkat tongkat
berkepala ularnya menangkis datangnya pedang tersebut.
"Loohu adalah Sam Im So (si tangan pencabut nyawa) Tiauw Cian adanya!" serunya
dingin. Pemuda berbaju biru itu yang belum pernah berkelana di dalam dunia kangouw, kecuali
dua suhengnya maka belum pernah ia kenal dengan orang lain, sekalipun nama besar dari
Tiauw Can lebih terkenal sepuluh kalipun belum tentu membuat dia orang jadi jeri.
Pedangnya kembali digetarkan membentuk cahaya tajam yang dingin dan menyilaukan
mata. "Sekalipun kau adalah Im So Yang So setelah dikuil Sam Yuan Koan ini jangan harap
bisa bertingkah semaunya."
Bu Wie Tootiang melirik sekejap ke arah sutenya diapun tidak membentak untuk
mencegah perbuatannya itu.
Jelas sekali Bu Wie Tootiang memiliki batin yang kuat ini sudah mengerti kalau situasi
macam ini sangat penting sekali dan tidak terhindar dari satu pertempuran yang amat
seru. Dia tahu sekalipun dirinya mencegah sutenya untuk jangan bergebrak belum tentu
pertempuran malam ini bisa terhindar dengan begitu saja.
Tampak Im SO Tiauw Cian sedang memutar-mutar biji matanya yang aneh itu.
"Bocah. Sungguh tidak kecil nyalimu. Kau anak murid siapa" Ayo cepat sebutkan
namamu!" "Anak murid Bu-tong-pay, Can Jap Cing" sahut pemuda berbaju biru itu dingin.
Kembali Tiauw Cian tertawa dingin.
"Kau orang bukanlah tandingan dari loohu. Bilamana benar-benar ingin bergebrak cepat
undang keluar Ciangbun suhumu!" serunya.
Dia yang melihat usia Can Jap Cing paling tidak baru dua puluh dua tahun di dalam
anggapannya dia orang tentulah anak murid dari Bu Wie Tootiang.
"Ciangbun suheng dari cayhe ini mempunyai kedudukan yang amat tinggi sekali," ujar
Can Jap Cing dengan dingin.
"Dengan kedudukannya yang sangat terhormat, beliau tidak akan sembarangan
unjukkan diri. Bilamana kau benar ingin bertemu dengan suhengku, heeee, heeee,
mudah" mudah saja asalkan kau orang bisa menangkan pedang ditanganku ini."
"Akh"! Bu Wie Tootiang adalah suhengmu?" teriak Tiauw Cian rada tergerak.
"Tidak salah, kenapa?"
"Kalau begitu loohu sudah memandang terlalu rendah akan kedudukan," tongkat
berkepala ular di tangan segera ditotokan ke arah depan dengan dahsyatnya.
Pedang panjang di tangan Can Jap Cing segera digerakkan dan menyalurkan hawa
murninya ke dalam tubuh pedang.
Diantara berkelebatnya cahaya yang menyilaukan mata pedang tersebut sudah melesat
dari samping tongkat berkepala ular itu lalu menangkis datangnya serangan tersebut.
Bentrokan senjata yang terjadi baru-baru ini sama sekali tidak menimbulkan sedikit
suarapun, padahal diantara bentrokan itulah masing-masing pihak sudah mengadu tenaga
kwekang dengan dahsyatnya.
Walaupun Can Jap Cing berhasil menangkis datangnya serangan tongkat berkepala ular
dari Tiauw Cian tidak urung lengan kanannya terasa linu, diam-diam dia merasa amat
terperanjat sekali. "Aaah, tidak disangka tenaga dalam siluman tua ini amat dahsyat. Aku tidak boleh
memandang terlalu rendah" pikirnya.
Sebaliknya si Sam Im So Tiauw Cian pun diam-diam merasa terperanjat, pikirnya,
"Tidak disangka bocah yang masih amat muda ini memiliki tenaga dalam yang demikian
sempurna, kiranya nama besar dari Bu-tong-pay yang tersiar dalam Bulim bukanlah nama
kosong belaka." Dengan bentrokan tadi maka di dalam hati mereka berduapun semakin waspada lagi,
siapapun tak ada yang berani memandang rendah pihak musuhnya.
Terdengar Tiauw Cian mendengus dingin.
"Hmm! Nama besar dari Bu-tong-pay kiranya bukan nama kosong belaka. Malam ini
loohu ingin minta beberapa petunjuk dari ilmu silat simpanan dari partai Bu tong."
Tongkat kepala ularnya didororng ke depan lalu menotok kesamping, hanya di dalam
sekejap saja dia sudah melancarkan tiga serangan gencar mengancam tiga buah jalan
darah penting di tubuh Can Jap Cing.
Can Jap Cing yang sudah saling bentrok satu kali dengan dirinya di dalam hati mengerti
bagaimana dahsyatnya tenaga dalam orang tersebut diapun mengerti dengan senjata
ringan bilamana hendak menangkis tongkatnya yang merupakan senjata berat tentu akan
menderita kerugian. Maka hawa murninya ditarik panjang-panjang kemudian dengan gesitnya menghindar
dari serangan tersebut sedang pedangnya dengan cepat membabat dari samping.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini sangat berada diluar dugaan manusia
aneh tersebut seketika itu juga Tiauw Cian kena desak mundur satu langkah ke belakang.
Tiauw Cian yang melihat dirinya kena didesak mundur satu langkah oleh pemuda
tersebut dihadapan umum dari rasa malu dia jadi amat gusar sekali. Tongkat berkepala
ular ditangannya mendadak digetarkan ke depan dan melancarkan serangan gencar.
Hanya di dalam sekejap saja bayangan tongkat berkelebat memenuhi angkasa disertai
suara sambaran angin yang menderu-deru.
Can Jap Cing segera bersuit nyaring. Pedang pusaka ditangannya dengan cepat
digerakkan membentuk serentetan pelangi berwarna keperak-perakan meluncur masuk
diantara menggulungnya bayangan tongkat itu.
Suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi di dalam dunia kangouw segera
terbentang di depan mata, tampaklah bayangan tongkat berkelebat laksana gunung
sehingga menimbulkan cahaya putih yang memasuki mata.
Sepasang mata yang tajam bagaikan kilat dari Bu Wie Tootiang dengan tak penuh
perhartian tercurah ke tengah kalangan pertempuran diam-diam tebaga murninya sudah
dikerahkan mencapai sepuluh bagian dikedua belah tangannya ia bersiap sedia bilamana
sutenya tidak kuat bertahan lagi maka dengan sepuluh tenaga dia akan melancarkan
serangan menolong. Simanusia aneh bermahkota emas, dengan jubah berwarna merah darah itupun dengan
melototnya sepasang matanya yang berbentuk segitiga memperhatikan terus ke tengah
kalangan pertempuran dengan wajah melengak. Agaknya dia sama sekali tidak
menyangka kalau di dalam partai Bu tong kecuali Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu masih
ada seorang jagoan lihay yang demikian mudanya.
Ie Bun Han To serta Tiong Cho Siang-ku yang selama ini menonton jalannya
pertempuran tanpa mengucapkan sepatah katapun setelah melihat kejadian itu dalam hati
merasa terkejut juga, mereka sama sekali tidak menyangka kalau seorang pemuda yang
tak bernama dari Bu-tong-pay ini bisa bergebrak dalam keadaan seimbang dengan diri
Sam Im So Tiauw Cian yang merupakan iblis sakti dari dunia kangouw.
Bayangan tingkat bergoyang silih berganti cahaya pedang berputar-putar memeningkan
kepala. Hanya di dalam sekejap itu saja mereka berdua sudah bergebrak sebanyak tiga
puluh jurus dengan serunya tapi keadaan masih seimbang tanpa ada yang menang dan
tanpa ada yang kalah. Si manusia aneh berbaju merah itupun agaknya semakin lama semakin merasa tidak
sabar, sambil menggoyang-goyangkan tongkat penotok jalan darahnya yang terbuat dari
perak dia memandang ke arah Bu Wie Tootiang dengan pandangan dingin.
"Siapa saudara" Apa punya kesenangan untuk melayani beberapa jurus dengan cayhe?"
tantangnya. Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengebutkan ujung jubahnya lalu berjalan maju
dengan langkah perlahan. "Biarlah pinto melayani beberapa jurus!" sahutnya.
"Suheng, tunggu dulu, biarlah siauwte yang menemui dirinya!" terdengar suara
bentakan keras berkumandang datang.
Ketika para jago pada menengok kebelakanh maka terlihatlah Im Yang Cu sambil
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencekal pedang melayang datang dengan gerakan yang amat cepat. Dibelakangnya
menyusul datang dua belas orang toosu berusia pertengahan dengan wajah yang serius
dan masing-masing pada mencekal sebilah pedang berjalan mendatang.
Gerakan tubuh Im Yang Cu ini amat cepat sekali, hanya di dalam sekejap mata dia
sudah berada kurang lebih empat lima depa dari manusia aneh berbaju merah itu dan
menghentikan gerakannya. "Pinto anak murid dari Bu-tong-pay, Im Yang Cu adanya mohon petunjuk beberapa
jurus dari saudara," ujarnya dengan keren sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Cayhe adalah Tok Hwee (si api beracun) Chin Gak," ujar manusia aneh berbaju merah
itu dengan suara yang dingin menyeramkan.
"Lama sekali pinto mendengar nama besar dari Chin heng. Malam ini bisa bertemu
muka sungguh beruntung sekali, silahkan saudara mulai turun tangan."
Si api beracun Chin Gak tertawa dingin.
"Bu-tong-pay merupakan sebuah partai lurus yang selamanya membicarakan soal
peraturan Bulim, maaf cayhe adalah seorang manusia kasar yang bersifat berangasan dan
tidak mengerti akan soal tersebut."
Tongkat penotok jalan darahnya dengan menggunakan jurus "Thian Wa Lay Im" atau
alar langit muncul mega, dengan cepatnya mengancam jalan darah "Siap Thii" di atas
tubuh Im Yang Cu. Serangannya amat ganas, kejam dan mengancam tempat kematian dari manusia.
Melihat datangnya serangan yang amat ganas itu Im Yang Cu segera menggerakkan
pedangnya dengan menggunakan jurus Kiem si Can Wan atau serat emas melingkari
pergelangan menghajar pergelangan tangan kanan dari Chin Gak, yang memaksa dia
orang terpaksa harus menarik kembali serangannya itu.
"Hmm! Ilmu pedang yang bagus!" seru si api beracun Chin Gak sambil mendengus
dingin. Telapak tangan kanannya ditekan ke bawah menghindarkan diri dari datangnya
serangan tersebut sedeang telapak kirinya didorong ke depan bersamaan waktunya pula
dia maju ke depan, tongkat perak penotok jalan darahnya menggunakan jurus Wan Teh
Huan Im atau mengobrak abrik dengan tangan dari arah bawah menggulung keatas
dengan cepatnya. Im Yang Cu segera menggoyangkan pedangnya membentuk berpuluh-puluh kuntum
bunga pedang yang menyilaukan mata, tubuhnya berturut-turut mundur tiga langkah ke
belakang. Tetapi sebentar kemudian dia sudah maju kembali ke depan menyerang sisi tubuh
musuh, gerakan pedangnya tiada putus diarahkan ke depan.
Tampaklah cahaya terang berkelebat menyilaukan mata disertai bunga pedang hanya di
dalam sekejap mata dia sudah melancarkan tusukan berantai.
Serangan yang gencar dan berantai ini seketika itu juga memaksa si api beracun Chin
Gak terdesak mundur ke belakang.
Tetapi begitu delapan serangan berantai dari Im Yang Cu ini berlalu maka Chin Gakpun
lantas melancarkan serangan tongkat perak jalan darahnya bagaikan seekor ular beracun
berkelebat tiada hentinya dengan berbagai perubahan yang aneh dan ganas setiap
serangannya mengancam jalan darah kematian dari toosu tersebut.
Dengan penuh perhatian Im Yang Cu terus menerus menggerakkan pedangnya laksana
titiran roda kereta, cahaya terang berkelebat menyilaukan mata dengan ketatnya dia
menutup seluruh titik-titik kelemahannya.
Sinar mata Ie Bun Han To berkelebat tiada hentinya mendadak dia merangkap
tangannya menjura kepada Bu Wie Tootiang.
"Too heng apakah kau membutuhkan bantuan dari cayhe?" tanyanya sambil tertawa.
"Terima kasih, pinto tak begini merepotkan dirimu," tolak Bu Wie Tootiang sambil
tertawa-tawa. Waktu itulah kedua belas orang toosu berusia pertengahan yang mengikuti dari
belakang Im Yang Cu kini sudah menyebarkan diri membentuk dua buah berisi Ngo Heng
Kiam Tin siap-siap menanti serangan musuh.
Barisan pedang Ngo Heng Kiam Tin dari Bu-tong-pay serta barisan Loo Han Tin dari
Siauw Lim pay merupakan barisan terkenal dikolong langit dan jarang sekali ada orang
yang bisa meloloskan diri dalam keadaan selamat dari kurungan barisan tersebut.
Kedua belas orang Toosu yang dibawa Im Yang Cu pada saat ini merupakan anak
murid Bu-tong-pay pilihan diantaranya angkatan pertama. Setiap orang bukan saja
memiliki ilmu pedang yang amat lihay apalagi dengan dua puluh tahun latihan pula
terhadap barisan Ngo Heng Kiam Tin itupun sangat hafal sekali.
Kini kedua buah barisan pedang tersebut sudah dibentuk maka sama saja dengan suatu
dinding baja sudah terbentuk disana.
Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu yang melihat semakin bertempur situasinya semakin
tegang bahkan pihak Bu-tong-pay sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk
melindungi diri Siauw Ling dalam hati mulai merasa amat cemas.
"Loo toa," bisiknya kepada si Kiem Siepoa Sang Pat. Walaupun orang yang sudah
datang pada malam ini tidak sedikit jumlahnya tetapi belum tentu bisa menahan serangan
dari Bu-tong-pay yang amat kuat ini. Apakah kita baru turun tangan setelah mereka
berhasil menentukan siapa menang siapa kalah?"
"Orang yang bisa menyerbu kemari boleh dikata bukan termasuk manusia
sembarangan saja," ujar Sang Pat. "Bilamana kita turun tangan terlalu pagi ada
kemungkinan malah menjadi arah perhatian orang banyak. Kitapun belum tahu siapakah
ketiga orang berpakaian singsat warna abu-abu keperak-perakan dengan kain hitam
pembungkus kepala itu, lebih baik untuk sementara waktu kita tunggu dulu sampai
merekapun ikut turun tangan, dengan mengambil kesempatan sewaktu keadaan amat
kacau itulah kita baru turun tangan merebut bocah tersebut. Ingat kau yang merebut sang
bocah sedang aku pembuka jalan setelah berhasil mendapatkan bocah itu jangan sampai
terkurung di dalam barisan pedang Ngo Heng Kiam Tin."
Mereka berdua merundingkan urusan itu dengan masing-masing menggunakan ilmu
untuk menyampaikan suara walaupun perhitungan dia sedikit tak salah cuma sanyang
mereka tidak menyangka kalau ketiga orang berbaju keperak-perakan itupun mempunyai
maksud yang sama dengan mereka.
Sejak muncul dirinya disana mereka sama sekali tidak bercakap-cakap bahkan berdiri
dengan membentuk kedudukan segitiga.
Waktu itu pertempuran sengit antara Can Jap Cing dan Tiauw Cianpun sudah mencapai
pada taraf tegang-tegangnya tongkat berkepala ularnya, pedang panjang semakin panas
dan semakin dahsyat. Can Jap Cing menang di dalam kegesitan dari perubahan jurus pedang sedang Tiauw
Cian menang di dalam kesempurnaan ilmu kwekangnya karena itu keadaan mereka
seimbang tak ada yang menang tak ada yang kalah.
Pertempuran antara Im Yang Cu serta si api beracun Chin Gak pun seimbang tanpa ada
yang bisa rebut kemenangan.
Sejak semula Im Yang Cu sudah mengenal sekali nama besar api beracun ini, ia tahu
bilamana sampai membiarkan dia orang mengeluarkan ilmu kepandaian api beracunnya
maka malam ini dirinya pasti akan menderita kerugian yang amat besar. Pedangnya
melancarkan serangan kencang lagi sedikitpun dia tidak memberi kesempatan bagi Chin
Gak untuk mengeluarkan senjata rahasia api beracunnya tersebut.
Dengan perlahan Ie Bun Han To mengangkat kepala memandang cuaca sewaktu
dilihatnya waktu sudah menunjukkan kentongan ke tempat dalam hatinya kelihatan mulai
cemas. Kedatangannya malam ini sama sekali bukan dikarenakan Siauw Ling karena itu dia
orang tidak terlalu memperhatikan bocah tersebut. Kini melihat Im Yang Cu dan Can Jap
Cing sudah terlihat di dalam suatu pertempuran yang amat sengit dalam hati lantas tahu
pertempuran itu tidak bakal bisa diselesaikan di dalam ratusan jurus.
Apalagi orang yang sedang dinantikan tak kunjung datang pula hatinya semakin dibuat
cemas lagi. Dengan cepat dia menyapu sekejap ke arah tiga orang berpakaian singsat itu.
"Apakah kedatangan kalian bertiga juga dikarenakan anak kunci Cing Kong Ci Yau?"
Dalam hati dia tahu Tiong Cho Siang-ku sukar dilayani, apalagi Sang Pat menjadi orang
amat licik dan amat cerdik sekali. Ada kemungkinan malah dia sendiri yang kena
diselomoti. Karena itu bukannya mencari gara-gara dengan Tiong Cho Siang-ku sebaliknya
dia coba mencari gara-gara dengan ketiga orang lelaki berpakaian singsat dan menutupi
wajahnya dengan kain hitam itu.
Seketika itu juga orang berpakaian singsat itu dengan dinginnya mengalihkan enam
buah matanya keatas tubuh Ie Bun Han To.
"Kalau memangnya benar kau mau berbuat apa?" seru orang pertama dengan suara
dingin. "Kalau memangnya sudah berani memandangi gunung Bu tong san ini dan menerjang
rintangan yang dipasang tentunya termasuk manusia punya nama buat apa kalian
bersikap sembunyi hmm! Apakah tidak merasa terlalu memalukan nama kalian sendiri."
"Urusan dari kami bersaudara tidak usah kau banyak cerewet" seru orang itu lagi.
"Heee" hee" cuma sayang cayhe harus melihat bagaimanakah wajah yang sebetulnya
dari kalian begitu!" teriak Ie Bun Han To sambil tertawa dingin.
Dan tangan kanannya bagaikan kilat cepatnya diayun ke depan kelima jari tangannya
laksana kuku elang dengan cepat menyambar keatas kain hitam yang menutup wajah
lelaki tersebut. Lelaki itu dengan cepat menggerakan pedangnya membabat ke arah depan dengan
menggunakan jurus Lin Cian Su Hong atau angin berat menggulung tikar kecepatan
geraknya benar-benar berada diluar dugaan dari Ie Bun Han To.
Dengan hati terperanjat buru-buru Ie Bun Han To meloncat mundur untuk
mengundurkan diri dari serangan pedangnya itu.
Lelaki itu tetap berdiri di tempat semula tidak melakukan pengejaran lebih lanjut.
Melihat kejadian itu Bu Wie Tootiang diam-diam mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Dari manakah asalnya ketiga orang itu?" pikirnya. "Cukup dilihat dari gerakan
pedangnya itu sudah dapat diketahui kalau kepandaian silatnya pasti tidak ada di bawah si
api beracun Chin Gak serta sitangan pencabut nyawa Tiauw Cian."
Terdengar Ie Bun Han To tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
"Haaa, haaa, sungguh cepat gerakan pedangmu, cukup mengandalkan kecepatan dari
seranganmu tadi cayhe seharusnya minta beberapa petunjuk dari dirimu."
Telapak tangannya dengan disertai tenaga pukulan yang amat dahsyat segera
membabat ke depan. Kembali lelaki itu menggerakkan pedangnya menyambut datangnya angin pukulan yang
laksana mengamuknya ombak di tengah samudera itu.
Diantara berkelebatnya angin pukulan yang membuat ujung baju lelaki itu berkibar
tampak serentetan sinar pedang berkelebat memenuhi angkasa.
Lelaki itu sama sekali tidak jadi terpukul mundur oleh dahsyatnya pukulan itu.
Sebaliknya Ie Bun Han To kena didesak mundur oleh ketajaman dari desiran hawa
pedang pihak lawan. Hatinya semakin terperanjat lagi.
"Akh, tidak kusangka bocah cilik ini bisa juga menyalurkan hawa kwekangnya ke dalam
serangan pedangnya itu," pikirnya diam-diam di dalam hati.
Kembali sepasang telapak tangannya segera dibabatkan bersama-sama ke depan,
tenaga kwekang ini laksana ambruknya gunung Thay-san segera menekan ke arah lelaki
berpakaian singsat yang baru saja menerima datangnya angin pukulan dari Ie Bun Han To
itu walaupun pada luarnya sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa padahal dalam
hatinya terjadi suatu pergolakan yang amat keras dia merasa tenaga kwekang dari orang
itu benar-benar amat dahsyat dan merupakan satu-satunya musuh tangguh yang baru
ditemuinya selama ini. Kini melihat dia orang kembali melancarkan serangan dengan begitu dahsyatnya dalam
hati lantas sadar kalau pukulan tersebut tidak dapat diterima dengan keras lawan keras,
maka telapak kirinya dengan cepat diayunkan ke depan menyambut datangnya angin
pukulan dari Ie Bun Han To tersebut sedang tubuhnya sudah menyingkir kesamping.
Kedua orang lelaki berpakaian singsat ini sewaktu melihat kawannya mulai bergeser
kesamping, agaknya merekapun mengerti apa yang dimaksud.
Tampaklah kedua orang itu dengan amat cepatnya berputar membentuk kedudukan
segitiga dan masing-masing mengulurkan tangan kirinya untuk ditempelkan pada pundak
kawannya. Kiranya mereka bertiga hendak menggunakan ilmu penyaluran hawa kweekang tingkat
atas untuk bersama-sama menerima datangnya angin pukulan dari Ie Bun Han To itu
dengan keras lawan keras.
Dua gulung angin pukulan yang amat dahsyat begitu terbentur satu sama lainnya
segera terjadilah suatu angin taupan yang amat dahsyat sekali.
Pada saat mereka berempat sedang mengadakan tenaga kwekang itulah Tiong Cho
Siang-ku segera bersama-sama turun tangan.
Sang Pat dengan mencekal Siepoa emasnya yang memancarkan cahaya keemasemasan
menubruk ke arah Siauw Ling.
Melihat datangnya serangan tersebut dengan amat gusarnya Bu Wie Tootiang
mengebutkan ujung jubahnya ke depan.
"Kalian berdua benar-benar tidak suka memberi muka kepada kami Bu-tong-pay?"
bentaknya keras. Segulung angin pukulan dahsyat dengan cepatnya sudah menggulung ke arah depan.
Terburu-buru Sang Pat mendorongkan Siepoa emasnya ke depan, tampaklah cahaya
terang memenuhi angkasa diselingi suara tik tak tik yang membisingkan telinga.
"Hahah" hahaha, sungguh dahsyat tenaga pukulan dari Tootiang ini".." serunya
sambil tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya bergoyang kesamping, dengan keras lawan keras dia menerima datangnya
serangan tersebut. Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu yang selama ini mengikuti terus di belakang tubuh Sang Pat
begitu melihat kakaknya menerima pukulan dari Bu Wie Tootiang dengan keras, maka
mengambil kesempatan itu lantas meloncat ke depan, dengan menggunakan pit besi di
tangan kanan untuk melindungi tubuh, tangan kirinya menyambar tubuh Siauw Ling
kemudian enjotkan tubuhnya melarikan diri dari tempat itu.
Mendadak tampak cahaya terang menyilaukan mata. Sang Pat dengan menggunakan
gaya Cian Liong Sin Thin atau naga sakti melayang keangkasa tubuhnya bersalto ke
tengah udara sedang Siepoa emasnya didorong ke depan.
Di dalam keadaan gusar Bu Wie Tootiang membentak keras, tangan kanannya dengan
menggunakan jurus So Hwee Ngo Sian atau sapuan tangan lima jurus mengejar jedepan.
Sang Pat dengan cepat membalikkan badannya Siepoa emasnya dengan menggunakan
jurus Nin Swee Sing Tan atau melanggar air menjalankan perahu menyambut kembali
serangan dari Bu Wie Tootiang dengan kekerasan pula.
Terdengarlah suara bentrokan yang amat keras memenuhi angkasa dan terlihatlah
tubuh Sang Pat terlempar sejauh enam tujuh depa dan jatuh di atas tanah.
Bu Wie Tootiangpun ikut terjatuh di atas tanah setelah terjadi bentrokan ini karena
hawa murninya terbuyar kembali.
Terdengar sang Pat menghela napas panjang.
"Heeei, tenaga dalam dari Ciangbunjien dari Bu-tong-pay sungguh luar biasa sekali.
Cayhe bukanlah tandingannya."
"Hmm! bilamana sungguh-sungguh kami membiarkan kalian merebut orang dari tangan
kami maka akan kemanakah wajah Bu-tong-pay kami" Apakah dikemudian hari Bu-tongpay
kami masih bisa tancapkan kakinya lagi di dalam dunia kangouw?" seru Bu Wie
Tootiang dengan dingin. Di tengah suara bentakan yang amat keras itu tubuhnya sudah menubruk ke arah Sang
Pat. Lima jari tangan kanannya dipentangkan lebar-lebar bagaikan cakar burung elang
menyambar dadanya. Walaupun tubuh Sang Pat amat gemuk dengan perut yang menonjol keluar tetapi
gerakannya amat gesit sekali, tubuhnya dengan cepat berputar menghindarkan diri dari
serangan Bu Wie Tootiang ini.
"Tootiang! berhubung urusan ini memakai modal selembar jiwa kami bersaudara maka
mau tak mau kita harus keraskan hati mengambil tindakan."
"Kini tangan kanan dari Tootiang sudah terkena racun jahat, bilamana Tootiang
paksakan diri kerahkan tenaga untuk menggebrak maka sebelum sepuluh jurus racun
tersebut akan mulai bekerja."
Bu Wie Tootiang yang serangannya berhasil memaksa Sang Pat mundur dua langkah ke
belakang segera angkat tangan kanannya untuk diperiksa, sedikitpun tidak salah, telapak
tangannya tampak sudah dipenuhi dengan bintik-bintik hitam yang amat banyak.
"Sejak semula cayhe sudah tahu kalau kepandaian silat Tootiang amat tinggi dan
tenaga dalamnya pun amat sempurna maka racun-racun biasa saja tidak bisa melukai diri
Tootiang" sambung Kie Siepoa Sang Pat lebih lanjut. "Karena itu terpaksa cayhe harus
korbankan sedikit modal untuk pasang jarum beracun Hua Hiat Tok Cam diantara senjata
Siepoa ku ini, jarum-jarum ini berasal dari aliran Thian Ban di daerah Si Ih yang terbuat
dari besi ribuan tahun dan di tempat jadi benang halus bukan saja mengandung racun
yang amat ganas bahkan luar biasa sekali reaksinya sudah tentu Tootiang pernah
mendengarkan hal ini bukan?"
Bu Wie Tootiang yang melihat warna hitam di atas telapak tangannya semakin lama
menjalar semakin keatas sehingga dalam sekejap saja pergelangan tangannya sudah
menghitam semua, buru-buru ia kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup seluruh aliran
darah sedang tangan kirinya dengan cepat menotok beberapa buah jalan darah di
tubuhnya. "Heee, heee, pinto bisa potong lengan kanan ini dari pada harus mendengarkan
desakan serta tuntutan dari kalian Tiong Cho Siang-ku."
Sang Pat yang melihat Tu Kiu dengan menggendong tubuh Siauw Ling serta pit besinya
tiada hentinya berkelebat menyerang kesana kemari dengan serunya lantas tahu kalau dia
orang sudah kena dikurung di dalam pedang Ngo Heng Kiam Tin yang amat lihay itu
dalam hati merasa mata terperanjat.
Tetapi dia orang yang sudah sering melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw dan
memiliki pengalaman yang luas maka walaupun kini dalam hatinya merasa amat cemas
paras mukanya masih tetap tenang saja.
"Nama besar dari Bu-tong-pay serta kuil Sam Yuan Koan di atas gunung Bu tong san ini
diketahui oleh setiap orang di dalam kolong langit" katanya sambil tersenyum. "Sekalipun
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam ini kau berhasil menahan diri Siauw Ling disini tetapi sejak kini pula jago-jago Bulim
yang mendatangi tempat ini akan mengalir tiada hentinya, tak seperti cayhe berdua yang
bisa menyembunyikan jejak dan berkelana keujung langit apalagi anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu sama sekali tidak berada di tangan Siauw Ling. Kami berbuat demikian tidak
lebihkarena cayhe pernah menyanggupi Gak Siauw-cha untuk melindungi keselamatan diri
Siauw Ling akan mempertemukan mereka kakak beradik. Perkataan yang sudah diucapkan
berat laksana gunung dan kamipun tak ingin merusak merek kami yang sudah punya
nama." "Berita yang tersiar di dalam Bulim walaupun seolah-olah mengatakan siapa yang bisa
menawan Siauw Ling maka anak kunci Cing Kong Ci Yau bisa didapatkan dengan mudah
sebenarnya adalah salah besar, coba Tootiang bayangkan kini Gak Siauw-cha sudah
terjatuh di tangan kami lalu apa gunanya mendapatkan kembali Siauw Ling sibocah cilik
itu" Coba Tootiang pikir tiga kali perkataan dari cayhe ini dan rasakan cengli tidak?"
"Walaupun perkataan sedikitpun tidak salah tetapi pinto sudah menyanggupi untuk
melindungi diri Siauw Ling, aku orang tidak suka melanggar janji bahwa dikarenakan
kuatir atas keselamatan diri sendiri," kata Bu Wie Tootiang dingin.
"Tootiang!" tiba-tiba ujar Sang Pat lagi sambil menarik kembali senyuman. "Kami dua
saudara cuma suka akan harta benda. Padahal harta yang berhasil kami kumpulkan sudah
banyak sekali dan kamipun mengerti kalau benda-benda tersebut tak bisa dibawa mati,
setelah kami mati maka barang-barang tersebut akan ikut musnah cuma saja dengan rasa
rakus serta cari nama ini membuat diri kami tanpa merasa sudah menerima perdagangan
ini." "Walaupun cara kami berdagang selalu menggunakan akal tetapi selamanya tidak
pernah merebut barang orang lain dengan main paksa dan selamanya cayhe tidak bakal
melanggar perkataan ini. Malam ini cayhe ada sedikit janji buat Tootiang. Bilamana
dikemudian hari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu berhasil kami Tiong Cho Siang-ku
dapatkan dan berhasil membuka istana terlarang itu, maka kami pasti akan memberi satu
bagian buat Tootiang!"
"Heeee, heeee, bilamana pinto menyanggupi janjimu itu bukankah sama saja dengan
menurunkan derajat dari partai kami." seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa dingin.
"Kami dua bersaudara hanya rakus dengan harta tetapi sama sekali tidak mengingini
nyawa orang lain." Mendadak terdengar suara teriakan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang
datang si Sam Im So Tiauw Cian mendadak menarik kembali tongkat berkepala ularnya
dan meloncat pergi. Si api beracun Chin Gak yang begitu mendengar suara teriakan ngeri dari Tiauw Cian
dalam hati merasa bergidik mendadak dia melancarkan dua buah serangan menahan
datangnya serangan pedang dari Im Yang Cu sedang tubuhnya meloncat sejauh tiga kaki
dan melepaskan tabung hijau yang ada pada punggungnya itu.
Im Yang Cu tahu isi dari tabung hijau itu adalah api beracun yang mangangkat nama
Chin Gak di dalam dunia kangouw keganasan dari api ini luar biasa sekali. Di dalam
keadaan cemas itulah dia lantas membentak keras.
"Kawanan tikus, kau berani menggunakan api beracun!"
Hawa murninya ditarik panjang-panjang tubuhnya dengan cepat meluncur ke arah
depan. Walaupun gerakannya amat cepat tetapi tak urung terlambat satu tindak juga, si api
beracun Chin Gak sudah melepaskan tabung hijau yang tergantung pada punggungnya
itu. Pada saat yang amat kritis itulah mendadak segulung angin pukulan yanmg dahsyat
menggulung ke depan. Terdengar Chin Gak mendengus berat tubuhnya mundur ke belakang dengan
sempoyongan sedang tabung hijau yang ada ditangannyapun ikut terjatuh keatas tanah.
Sewaktu ia hendak memungut kembali itulah pedang Im Yang Cu dengan disertai
bunga-bunga pedang berwarna perak mengurung seluruh tubuhnya.
Kini si api beracun Chin Gak tidak sempat lagi memungut kembali tabung hijau itu,
terburu-buru tubuhnya melayang sejauh tujuh depa ke belakang.
Pada saat itulah terdengar Sam Im So Tiauw Cian sudah berseru dengan suaranya yang
berat dan dingin . "Selama gunung masih berdiri tidak takut kehabisan kayu bakar, ayo kita pergi!"
Seorang toosu berusia pertengahan yang begitu melihat kedua iblis itu hendak
melarikan diri dengan cepat ia gerakan pedangnya membabat ke depan tetapi tubuhnya
segera kena dihantam oleh saru pukulan dingin dari Tiauw Cian sehingga tubuhnya
menggigil keras, dengan terhuyung-huyung dia terdorong mundur ke belakang.
Kaki kiri Im Yang Cu dengan gesitnya menyontek tabung hijau yang menggeletak
ditanah kemudian dicekal di tangan kirinya dan pedangnya digigit dimulut serta tangan
yang kanan membimbing tubuh toosu berusia pertengahan yang mundur terhuyunghuyung
oleh pukulan Tiauw Cian itu.
"Cepat duduk dan kerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka," bisiknya dengan
cepat. Ketika dia mendongakkan kepalanya kembali si api beracun Chin Gak serta Tiauw Cin
dengan mengambil kesempatan itu sudah melarikan diri dari sana dan lenyap di tengah
kegelapan. Kini si Siepoa emas Sang Pat yang melihat situasi sudah berubah amat besarnya, dari
dalam sakunya dia lantas mengambil keluar sebutir pil dan diserahkan kepada Bu Wie
Tootiang. "Tootiang! obat ini bisa memusnahkan racun Hua Hiat Tok Ciam itu harap kau orang
suka menelan cepat-cepat lalu menggunakan hawa khe kang masuk keluar jarum tersebut
dan terhisap keluar dengan besi sembrani dengan kedahsyatan dari tenaga dalam
Tootiang paling banter cuma beristirahat dua hari seluruh tubuhnya bakal pulih kembali."
"Dan pukulan tenaga dalam tidak berwujud yang baru lancarkan untuk pukul jatuh
tenaga milik si api beracun Chin Gak . Dia sudah membantu racun dari jarum tersebut
merembes masuk ke dalam jalan darah yang kau tutup tadi."
Bicara sampai disini ia lantas memperendah suaranya.
"Hati-hatilah terhadap Ie Bun Han To, walaupun Tootiang jarang sekali melakukan
perjalanan di dalam dunia kangouw tetapi urusan terjadi sangat kebetulan sekali dengan
terjadinya pertempuran sekait malam ini nama besarmu akan bertambah kesohor lagi
melampaui kecermelanganmu tempo hari tetapi kau orang jangan terlalu pandang remeh
nyawamu sendiri, perkataan tadi cayhe cukup sampai disini, aku pergi dulu."
Dia menggerakkan Siepoa emas ditangannya lalu menerjang ke arah barisan pedang
Ngo Heng Kiam Tin tersebut.
Im Yang Cu segera menggetarkan pedangnya ke depan dengan disertai berkibarnya
ujung jubah dan berkelebatnya cahaya terang pedangnya menotok ke arah punggung
Sang Pat. Sang Pat segera membabatkan Siepoa emasnya ke belakang, diantara bentrokan
senjata yang amat keras serta percikan bunga api dia sudah berhasil menangkis
datangnya serangan pedang dari Im Yang Cu itu.
Im Yang Cu merasakan lengan kanannya rada linu juga membuat hatinya jadi
terperanjat pikirnya, "Nama besar dari Tiong Cho Siang-ku ternyata bukan nama kosong
belaka, tenaga dalamnya berhasil dilatih jauh di atas tenaga dalam dari si api beracun Chin
Gak." Walaupun di dalam hati dia berpikir tetapi tangannya tidak berhenti sampai disitu saja
hanya di dalam sekejap saja berturut-turut dia sudah melancarkan kembali ketiga
serangan mematikan. Kembali Sang Pat menggerakan Siepoanya ke depan, di tengah suara tik tak yang
membisingkan telinga kembali dia menangkis datangnya serangan pedang dari Im Yang
Cu dengan keras lawan keras.
Bu Wie Tootiang yang diberi obat oleh Sang Pat dengan termangu-mangu dia
memandang pil tersebut pikirannya berputar tiada hentinya mendadak dia memasuki pil
tersebut ke dalam mulutnya lalu membentak keras, "Sute, bubarkan barisan pedang Ngo
Heng Kiam Tin dan bebaskan diri mereka pergi!"
"Im Yang Cu jadi melengak, tetapi dia tidak berani membantah lagi diantara
berkelebatnya sinar pedang barisan Ngo Heng Kiam Tin itu sudah membubarkan diri.
"Tooheng terima kasih!" bisik Sang Pat dengan suara perlahan, dengan cepat dia
melintangkan Siepoa emasnya di depan dada dan membuka jalan terlebih dulu menerjang
keluar dari kepungan musuh.
Hanya di dalam sekejap saja tubuh mereka berdua sudah lenyap di tengah kegelapan.
Di dalam kuil Sam Yuan Koan sekalipun sudah dipasangi penghalang yang rapat, tetapi
dengan kelihayan ilmu silat mereka berdua ditambah pula anak murid Bu-tong-pay sudah
mendapat perintah untuk tidak melawan dengan mengadu jiwa maka tidak sampai
sepertanak nasi lamanya mereka berdua sudah berhasil meloloskan diri dari kuil Sam Yuan
Koan tersebut. Sekeluarnya dari kuil Sam Yuan Koan si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu baru
menghembuskan napas panjang-panjang.
"Heeei" barisan pedang No Heng Kiam Tin dari hidung kerbau si toosu tua itu sungguh
dahsyat sekali!" serunya.
Sang Pat pun dengan kesalnya menghela napas panjang.
"Loojie, sehabis melakukan jual beli ini kitapun seharusnya cuci tangan mengundurkan
diri dari pekerjaan," katanya.
Sehabis berkata dia lantas mengebutkan ujung baju, menyimpan kembali Siepoa
emasnya dan jalan ke depan dengan langkah lebar.
Mereka berdua dengan cepatnya melakukan perjalanan menuruni gunung tersebut
sewaktu hari mulai terang tanah merekapun sudah tiba dikaki gunung Bu tong san.
Mendadak Sang Pat menghentikan larinya.
"Loojie! Bagaimana dengan bocah itu" Kenapa tidak kedengaran sedikit suarapun?"
tanyanya sambil menoleh. "Jalan darahnya sudah kutotok!"
Kiranya Siauw Ling yang kena disambar Tu Kiu meronta terus tiada hentinya, di bawah
serangan musuh tangguh dan keadaan yang amat kritis terpaksa Tu Kiu menotok jalan
darahnya. Mendengar perkataan tersebut Sang Pat lantas berjalan balik dan turun tangan
membebaskan jalan darah yang tertotok pada tubuh Siauw Ling itu.
Terdengar bocah cilik itu menghembuskan napas panjang dan membuka matanya
dengan perlahan-lahan. Waktu itu cuaca sedang terang tanah, sang suryapun dengan perlahan sudah muncul
diujung langit sebelah barat, sehingga setiap pemandangan bisa dilihat dengan jelas.
Siauw Ling memutar biji matanya sebentar lalu memandang sekejap ke arah orang itu.
"Apakah kalian berdua yang membawa aku datang kemari?" tanyanya dingin.
Nada ucapannya amat kasar dan sedikitpun tidak mengindahkan kesopanan.
"Hmm! Apa kau kira beberapa orang toosu tua hidung kerbau itu benar-benar bisa
menghalangi diri kami?" tegur Tu Kiu.
"Hmm! kini kalian mau bawa aku kabur kemana?"
"Sudah tentu menemui enci Gak mu!" sahut Sang Pat dengan cepat.
"Kepandaian silat kalian tentu amat tinggi kalau tidak mungkin bisa merebut diriku lolos
dari kuil Sam Yuan Koan itu."
"Lalu apa kau anggap merek emas dari Tiong Cho Siang-ku yang berhasil dipupuk
selama puluhan tahun ini mudah dirusak dengan begitu saja?" sela Tu Kiu dingin.
"Hehehe" cuma sayang walaupun kepandaian silat kalian amat lihay tetapi tindak
tandusnya amat keras dan main paksa seperti perampok jadi orangpun buas, kejam dan
telengas." "Setan cilik kau berani memaki orang!" teriak Tu Kiu dengan gusar, tangannya segera
diangkat siap digaplokkan ke depan.
Terburu-buru Sang Pat melintangkan tangannya menangkis datangnya gaplokan dari
Tu Kiu itu. "Hahahaha" bocah cilik kau orang sungguh bernyali." pujinya.
"Hmm! kalau mau pukul ayo cepat pukul" teriak Siauw Ling sambil membusungkan
dadanya. "Paling banter juga tidak akan lolos dari kata-kata mati!"
"Akh! bocah kau sungguh bernyali!" seru Sang Pat melengak.
"Hmm! bocah cilik apakah kau pernah merasakan bagaimana enaknya mati atau tidak
bisa hiduppun susah?" sambung Tu Kiu.
"Apa yang perlu ditakutkan?" tantang Siauw Ling dengan gusarnya pula. "Dibacok satu
kali juga mati dibacok seribu kali akhirnya juga mati. Kau kira aku benar-benar takut
dengan beberapa bacokan golokmu" hehehe, jangan harap kau bisa membuat aku orang
jadi takut." Sejak kecil dia sering membaca dan belajar ilmu kepandaian yang bermacam-macam, di
dalam benaknya pada saat ini sudah dipenuhi dengan berpuluh-puluh kisah cerita yang
tidak diketahui maksud sebenarnya. Beberapa perkataannya itupun diucapkan dengan
dada yang dibusungkan lagaknya benar-benar dia menunjukkan suatu sikap semangat
jantan yang sedikitpun tidak takut menghadapi maut.
"Hmmm! bagus sekali!" seru Tu Kiu dengan dingin, sinar matanya berkelebat dengan
buasnya. "Ini hari aku mau suruh kau orang merasakan sedikit penderitaan, kalau tidak
begitu kau bocah cilik tentu tidak mengerti seberapa tinggi langit itu dan seberapa
tebalnya bumi." Dan jari tangannya segera dipentangkan siap-siap melancarkan satu totokan ke depan,
tetapi baru saja jari tangannya itu menempel tubuh sang bocah mendadak dia menarik
kembali serangannya dan menghela napas panjang.
"Bilamana aku Tu Kiu harus mencari gara-gara dengan seorang bocah cilik seperti kau
dikemudian hari mana aku punya muka lagi untuk tancapkan kaki di dalam dunia
kangouw." "Hahaha" hahaha" bocah cilik kami sama sekali tidak bermaksud untuk mencelakai
dirimu mari biar aku gendong kau untuk melanjutkan perjalananmu!" kata Sang Pat
kembali sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau kata?" teriak Siauw Ling sambil melototkan sepasang matanya lebar-lebar.
"Aku punya sepasang kaki, aku bisa jalan sendiri."
Sehabis berkata dengan langkah lebar dia melanjutkan perjalanan menuju ke depan.
Tu Kiu yang melihat keputusan serta sifat keras kepala dari bocah itu di dalam hati rada
mendongkol, tangan kanannya lantas menyambar hendak mencengkeram pundaknya,
tetapi keburu dicegah oleh Sang Pat.
"Hahahaha" biarlah dia berjalan sendiri," katanya sambil tertawa.
Dengan membawa rasa mangkel sekejap saja Siauw Ling sudah melakukan perjalanan
sejauh tujuh delapan li. tetapi badannya yang masih lemah itu tidak bisa menahan terlalu
lama lagi, semakin berjalan semakin lemah. Keringat mengucur bagaikan curahan hujan
membuat seluruh tubuhnya basah kuyup, dan akhirnya kakinya terasa jadi lemas dan
rubuh di atas tanah. Terburu-buru Sang Pat menyambar tubuh Siauw Lingagar jangan sampai terjatuh.
"Bocah apa kau sudah lelah?" tanyanya tertawa.
"Hmm! lepaskan aku!" serunya sambil meronta dan dengan ujung bajunya dia
mengusap keringat diwajahnya.
Melihat sikap tersebut Tu Kiu kembali mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Loo toa, bocah ini terlalu keras kepala, aku lebih baik kita totok jalan darahnya saja
kemudian membawanya pergi."
Tidak menanti jawaban dari Sang Pat lagi dia lantas menotok jalan darah tidur di atas
tubuh Siauw Ling. Seketika itu juga bocah tersebut jatuh tidak sadarkan diri.
Entah lewat berapa waktu lamanya, sewaktu pikirannya jadi jernih kembali
didapatkannya dirinya sudah berbaring di atas pembaringan kayu sedang telinganya
menangkap suara air yang amat berisik.
Menanti dia menoleh kesamping tampaklah Sang Pat sambil tersenyum sedang berdiri
disisi pembaringan tersebut.
"Bocah, kau sudah bangun?" tanyanya sewaktu melihat Siauw Ling membuka matanya.
"Apakah kau orang suka makan sedikit?"
Siauw Ling tidak menjawab sebaliknya dengan cepatnya meloncat bangun dari tempat
tidurnya. "Dimanakah tempat ini?" tanyanya.
"Di tengah sungai Tiang Kang, kita berada di atas sebuah perahu besar."
Siauw Ling merasakan kepalanya berat dan kakinya terasa amat ringan dengan
kepalanya amat pening dan berkunang-kunga tetapi dia paksakan diri juga turun dari
pembaringan tersebut dan berjalan keluar dari ruangan perahu tersebut.
Sang Pat segera menyingkir kesamping memberi jalan buatnya.
Dengan mencekal dinding ruangan Siauw Ling paksakan diri keluar dari ruangan perahu
itu juga tiupan angin sungai yang sampai itu membuat kesadarannya semakin pulih.
Sang surya itu memancarkan sinarnya di tengah awang-awang langit nan biru bersih
dari awan, dengan termangu-mangu dia memandang keatas gulungan ombak yang saling
susul menyusul di samping bayangan layar perahu di tempat kejauhan membuat dadanya
terasa amat lega. Saat ini dia berdiri di atas perahu layarnya yang amat besar dan sedang berlayar di
tengah sungai yang luas. "Bocah! Angin amat besar. Kau baik-baiklah berdiri disana," terdengar suara yang halus
dari Sang Pat berkumandang datang.
Siauw Ling menoleh memandang sekejap ke arah Siepoa emas itu, dia termenung dan
bungkam seribu bahasa. Sang Pat yang melihat sinar matanya berubah terus tiada hentinya seperti lagi
memikirkan sesuatu tak terasa sudah tersenyum.
"Eeeei, bocah kau lagi pikirkan urusan apa?" tanyanya.
"Aku lagi berpikir walaupun aku tidak suka akan sifat kalian yang buruk itu tetapi
kalianpun tidak termasuk manusia-manusia yang sangat jahat, lain hari bilamana aku
berhasil melatih ilmu silatku maka aku orang tidak akan membinasakan diri kalian!"
Mendengar perkataan tersebut Sang Pat segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha" kau hendak belajar ilmu silat dari siapa?"
Mendadak dari pintu ruangan berkelebat datang sesosok bayangan tubuh manusia si
Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu tahu-tahu sudah muncul di atas geladak terdengar dia tertawa
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin tiada hentinya. "Hehehehe" bocah, dikolong langit pada saat ini kiranya tidak bakal kau orang berhasil
mendapatkan seorang suhu yang bisa mempelajari ilmu silat yang cukup untuk membunuh
orang kami." Mendadak di dalam benak Siauw Ling terbayang kembali sikap tegang dari Bu Wie
Tootiang setelah mendengar nama dari Pak Thian Coen cu, kini begitu mendengar ejekan
itu dia lantas menyahut dengan cepat, "Lalu bagaimana dengan Pak Thian Coen cu itu?"
Sang Pat jadi melengak. "Pak Thian Coen cu" dari mana kau mendengar nama sebutan ini hahaha?"
"Bukan saja mendengar nama besarnya bahkan pernah bertemu dengan orangnya!"
seru Siauw Ling tidak mau kalah.
Tu Kiu segera mendengus dingin.
"Hmmm, bocah cilik kau pandai benar berbohong" katanya dengan suaranya yang
dingin. "Pak Thian Coen cu sudah mati sangat lama sekali apa mungkin sukmanya bisa
menjelma kembali?" "Oooouw. Jadi kau tidak percaya?"
"Sudah tentu tidak percaya."
"Baiklah, kalau kau tidak percaya sudahlah."
"Bocah apakah kau orang benar-benar sudah bertemu dengan Pak Thian Coen cu?"
tanya Sang Pat lagi setelah berpikir sejenak dengan wajah amat serius.
"Sudah tentu sungguh buat apa aku menipu dirimu."
Mendadak terdengar suara air sungai yang terbelah kesamping. Sebuah perahu kecil
dengan menerjang ombak bergerak mendekati perahu besar tersebut disusul melayangnya
sesosok bayangan manusia menubruk ke arah Siauw Ling.
Dengan gusarnya Sang Pat membentak keras, satu pukulan dahsyat segera dilancarkan
ke depan. Siauw Ling pada saat itu masih lemah, kini terkena tekanan hawa pukulan dari Sang Pat
membuat kakinya jadi gontai.
Tak tertahan lagi tubuhnya lantas jatuh rubuh ke dalam sungai dengan ombak yang
amat deras itu. Melihat kejadian itu bayangan manusia yang lagi melayang ke arah perahu besar itu
mendadak bersalto beberapa kali di tengah udara dan meluncur pula ke dalam sungai
yang amat deras itu. Tiong Cho Siang-ku walaupun memiliki kepandaian silat yang amat lihay akan tetapi
mereka berdua tidak mengerti ilmu dalam air, begitu melihat orang itu menyelam ke
dalam air dan lenyap tak berbekas mereka cuma bisa melototkan matanya lebar-lebar
tanpa bisa berkutik. Jilid 13 Dengan cepat mereka mengalihkan pandangannya dengan sebuah penutup kepala
lebar yang lagi duduk dibelakangnya buritan perahu kecil itu, saat ini orang itu duduk
membelakangi mereka sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas bagaimana wajahnya.
Tangannya yang satu memegang kemudi sedang yang lain mendayung perahunya di
tengah gulungan ombak, walaupun angin bertiup amat santar tetapi perahunya tetap
menjaga suatu jarak yang tertentu dengan perahu besar itu.
"Loo toa!" bisik Tu Kiu dengan cepat setelah melihat hal tersebut.
"Orang itu asal usulnya tidak beres biarlah aku pergi menawan dirinya."
"Loo jie jangan?"
Tetapi gerakan dari Tu Kiu jauh lebih cepat. Baru saja Sang Pat membuka mulut dia
orang sudah meloncat setinggi satu kaki dan meluncur keatas perahu kecil itu.
Lima jari tangan kanannya segera dipentangkan mencengkeram keatas tubuh lelaki
tersebut. Kelihatannya lima jari tangannya bakal mengenai pundak lelaki tersebut. Mendadak
orang itu membungkukkan badannya menghindarkan diri dari serangan itu lain dengan
mengambil kesempatan tersebut meloncat ke dalam sungai yang amat deras itu.
Jurus "Hwee Ing Poh Toh" atau elang sakti menangkap kelinci dari Tu Kiu ini boleh
dikata sudah dilatih hingga mencapai kesempurnaan sewaktu meloncat dan melancarkan
serangan tadi sama sekali tidak membawa sedikit suarapun. Tidak disangka lelaki itu
ternyata berhasil juga menghindarkan diri dari serangan tersebut, hal ini menunjukkan
kalau pendengaran orang itu amat tajam sekali.
Tu Kiu lantas merasa kalau dirinya kini sudah ketemu dengan musuh tangguh hawa
murninya ditariknya panjang-panjang. Sepasang lengannya dipentangkan dan melayang
turun dari perahu dengan tenangnya.
Selama hidupnya dia orang paling tidak mengerti ilmu di dalam air, saat ini dalam hati
dia merasa takut bilamana lelaki itu mendadak munculkan dirinya dari permukaan air dan
mengambil kesempatan tersebut memukul jatuh dirinya ke dalam air karena itu dia tidak
berani berhenti di atas perahu kecil tersebut, dengan cepat ilmu kwekangnya Thay Lit Cian
Kiem Coe dikerahkan keluar.
Dimana tubuhnya menahan perahu tersebut lantas tenggelam ke dalam sungai, air
dikedua belah sisinya bagaikan air mancur memancar ke depan dan kesamping dengan
dahsyatnya. Dengan meminjam kesempatan itulah Tu Kiu lantas meloncat ke tengah udara dan
bersalto beberapa kali kembali keatas perahu besar.
Walaupun mereka menanti kembali seperminum teh lamanya bukan saja jejak dari
Siauw Ling tak ditemukan, sampai kedua orang lelaki yang terjun ke dalam sungaipun tak
nampak munculkan dirinya kembali.
Sang Pat serta Tu Kiu terpaksa hanya saling bertukar pandangan dengan wajah amat
terperanjat. "Loo toa!" terdengar Tu Kiu bertanya dengan suara berat. "Coba kau lihat mereka
bertiga yang menyelam ke dalam air kenapa kita tidak berhasil melihat mereka munculkan
dirinya kembali?""
"Kita dua bersaudara bukanlah orang buta bagaimana mungkin bisa tidak melihat,"
jawab Sang Pat tersenyum.
"Kalau memangnya begitu jelas hal ini menunjukkan kalau mereka masih keluar dari
dalam air." Dia termenung sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, "Mereka berdua datang
kemari dengan membawa persiapan sudah tentu kepandaian menyelam dari mereka
berdua amat sempurna sekali tetapi Siauw Ling tidak mengerti akan ilmu di dalam air
setelah berada di dalam sebegitu lama apakah dia bisa begitu kuat ikut berada di dalam
air?"" "Mereka tidak naik kitapun tidak bisa turun kalau begitu kita masing-masing saling
menunggu saja! Kita lihat siapa yang lebih kuat mereka atau kita," kata Sang Pat.
Mendadak paras mukanya berubah memberat dan menutup mulutnya kembali.
Senyuman serta sikapnya yang ramah walaupun menghadapi musuh tangguh kini
sudah lenyap dari wajahnya, hal ini menunjukkan kalau dia orang benar-benar sudah
menemui suatu urusan yang membingungkan.
Tu Kiu sudah amat lama berkumpul dengan dirinya, sudah tentu mengerti juga akan
sifatnya kini melihat Loo toanya berubah amat keren diapun lantas membungkam diri.
Tampaklah Sang Pat termenung beberapa saat lamanya kemudian baru ujarnya dengan
suara perlahan, "Loo jie, kau orang cepat turun dari perahu untuk melakukan pemeriksaan
bilamana mereka membawa Siauw Ling mendarat ketepi pantai dengan jalan menyelam
bukankah kita akan menantinya dengan sia-sia saja di tempat ini."
"Aah" tidak salah?" teriak Tu Kiu dengan hati tergetar.
Tubuhnya yang sudah bertindak maju mendadak dihentikan kembali.
"Eeeeei kau tunggu apa lagi?"
"Air sungai menggulung begitu besarnya sehingga sulit untuk melancarkan ilmu
meringankan tubuh, kau suruh aku menggunakan cara apa menuju ketepian!"
"Bagaimana menghadapi musuh tangguh adalah urusan Loo toa, bagaimana caranya
melaksanakan adalah urusan Loo jie!"
Tu Kiu jadi melengak, tapi sebentar kemudian dia sudah berseru, "Siauwte terima
perintah!" Sehabis berkata tubuhnya kembali meloncat ke depan.
Terlihatlah tubuhnya bagaikan seekor burung walet dengan amat gesitnya melayang
diangkasa dan meloncat turun di atas perahu kecil itu.
Waktu itu perahu kecil tersebut sudah terbalik dengan dasar perahu menghadap keatas
sehingga sulit untuk didayung, walaupun begitu keadaan jauh lebih mantap lagi dari pada
keadaan semula. Sang Pat yang melihat tubuhnya berhasil melayang turun di atas perahu tersebut dia
lantas tersenyum. "Kau pergilah!" serunya sambil mengirim satu tenaga pukulan ke depan.
Angin pukulan tersebut kelihatannya tidak sebegitu keras tetapi kekuatannya luar biasa
sekali sukar untuk dipercaya.
Perahu kecil tersebut setelah terkena angin pukulan ini bagaikan sebatang anak panah
dengan cepatnya meluncur mengikuti aliran sungai.
Tu Kiu lantas tersenyum, hawa murninya disalurkan ke arah tangan diapun
melancarkan satu pukulan keatas permukaan sungai di belakang perahu tersebut, diantara
menggulungnya sang ombak kembali perahu tersebut bergerak ke depan.
Demikianlah dengan menggunakan cara yang sama dia menjalankan perahunya
mengikuti arus sungai. Dengan kerennya Sang Pat berdiri diujung perahu, walaupun perahu kecil itu sudah
meluncur dengan cepatnya ke depan tetapi sepasang matanya tak berani mengendor, dia
terus menerus mangawasi keadaan di sekeliling tempat itu.
Sejak semula dia sudah memerintahkan para kelasi untuk melepaskan kemudi dan
membiarkan perahu tersebut berputar di tengah sungai, asalkan kedua orang lelaki itu
berani munculkan dirinya maka senjata tajam serta angin pukulan dari Sang Pat telah
menanti mereka untuk kirim satu serangan mematikan.
Mendadak di atas sungai meluncur datang sebuah perahu layar dengan cepatnya Sang
Pat segera merasa semangatnya berkobar kembali, sepasang matanya laksana mata
burung elang memperhatikan keadaan tempat itu lebih teliti dia berpikir bilamana kedua
orang lelaki itu hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk meloncat naik keatas
perahu tanpa ditenui olehnya hal ini merupakan satu urusan yang sulit melebihi sulitnya
menaiki langit. Kedatangan perahu tersebut sudah bersisipan lalu menjauh dan akhirnya berubah jadi
titik hitam. Tetapi di atas permukaan sungai tidak nampak sedikit gerakanpun, di tengah
menggulungnya ombak serta tiupan angin hanya terasa keadaan yang sunyi sekali"
Air mata Sang Pat semakin lama berubah semakin memberat, sepasang alisnya
dikerutkan rapat-rapat. Menanti senja hampir tiba Tu Kiu baru kelihatan muncul kembali disana mereka berdua
saling bertukar pandangan, lama sekali tak ada yang mengucapkan sepatah katapun.
Wajah Tu Kiu kelihatan amat murung dan lelah sekali, jelas dia orang sudah kehabisan
tenaga sewaktu menjalankan perahu tadi.
"Tidak ada!" sahutnya singkat dengan nada kesal.
Sang Pat pun tahu kalau dia orang lagi lelah karenanya ia tidak bertanya lebih lanjut.
Lewat beberapa saat lamanya Tu Kiu tak bisa menahan rasa herannya lagi, dia
menghela napas panjang bergumam seorang diri.
"Aneh" aneh" apakah mereka sudah memasuki istana di bawah air."
Dengan perlahan dia dongakkan kepalanya dan berkata, "Loo toa, apakah kau sudah
menduga dari mana asal usul kedua orang lelaki itu?"
"Heee" bukan saja aku tidak tahu akan asal usul mereka berdua sekalipun bagaimana
lihaynya kepandaian silat merekapun aku tidak bisa mengambil kesimpulan, dari cara
menghindarkan dari serangan "Hwee Ing Poh Toh" mu tadi aku lihat tapi dia memiliki
kepandaian yang amat tinggi tapi kalau memangnya begitu mana mungkin bisa terdesak
sehingga jatuh ke dalam air?"
Bicara sampai disitu mereka berduapun pada bungkam kembali selama beberapa tahun
mereka berdua melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw walaupun dengan tidak
bisa dikatakan setiap urusan pasti berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan tetapi
kejadian yang dialami hari ini benar-benar luar biasa sekali.
Perahu bergerak mengikuti aliran sungai beberapa kali nelayan tersebut melongoklongokan
kepalanya terakhir dengan memberanikan diri dia lantas maju bertanya,
"Saudara berdua mau menepi dimana?"
Dengan dinginnya Sang Pat mendengus, tangannya diayun menghajar permukaan
sungai. Seketika permukaan sungai timbullah suatu gelombang yanga amat besar disusul
munculnya suatu pancaran air yang amat besar.
Melihat kejadian itu sipemilik perahu jadi amat terperanjat, buru-buru dia menarik
kembali kepalanya dan bungkam seribu bahasa.
Terdengar Sang Pat tiba-tiba tertawa panjang dengan amat nyaring. Suaranya laksana
pekikan naga menembus tengah awan, lama sekali dia menarik suara tertawanya.
"Loo jie!" serunya dengan wajah amat serius. "Merek emas yang telah kita pupuk
selama puluhan tahun ini tak disangka telah hancur di tangan dua orang manusia yang
tidak diketahui nama maupun asal usulnya."
"Air sungai menggulung dengan begitu kerasnya ada kemungkinan mereka berdua
bersama-sama dengan Siauw Ling telah mati didasar sungai," sambung Tu Kiu dengan
cepat. "Heei" perduli Siauw Ling kini masih hidup ataupun mati, kita orang yang tidak berhasil
membawa dia kembali apakah masih ada muka untuk menemui Gak Siauw-cha?" kata
Sang Pat sembari menghela napas panjang.
"Urusan sudah amat terdesak, apakah kita tak dapat melakukan pekerjaan sesuai
dengan keadaan." "Apa" kau bicara apa?" bentak Sang Pat dengan keras matanya mendelik bulat-bulat.
"Apakah kita harus menghancurkan peraturan yang sudah kita buat sendiri selama
puluhan tahun ini?" Biasanya dia selalu tersenyum, perduli sudah terjadi yang bagaimana besarnyapun
selamanya tidak pernah marah-marah, tetapi kini dia mirip dengan seorang yang lagi
kalap. Wajahnya yang bulat tembem itu terlintas warna merah itu yang membawa sepasang
matanya mendelik lebar hatinya sedih terharu dan gemas.
"Lalu apa rencana Toako selanjutnya?"" Buru-buru bisik Tu Kiu dengan suara perlahan.
Mendengar pertanyaan itu Sang Pat tertawa pahit.
"Selama puluhan tahun ini kita selalu mengutamakan janji dan selamanya
tidak pernah berubah tetapi kini kita tidak sanggup membawa Siauw Ling untuk
diserahkan kepada Gak Siauw-cha sudah tentu tidak punya muka lagi untuk memenuhi
dirinya demikian juga terhadap para jago serta enghiong di dalam dunia kangouw apalagi
untuk memaksa orang serahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau?"
Tiong Cho Siang-ku yang selama di dalam dunia kangouw walaupun dimana saja
mereka telah berusaha untuk kepentingan diri sendiri tetapi selamanya belum pernah
ingkar janji setiap perkataan yang telah diucapkan selamanya tidak bakal berubah dan
para jago-jago Bulim kebanyakan sudah memahami akan sifat mereka yang tak pernah
melanggar janji ini. Asalkan perkataan yang diucapkan oleh Tiong Cho Siang-ku tidak
mungkin kena dibohongi. Kedua orang itu dengan mengambil keuntungan ini mencari kesana dan kemari dengan
mendapatkan merek emas yang amat terkenal.
Kini Siauw Ling tenggelam di dalam sungai dan lenyap. Mati hidupnya tidak jelas hal ini
membuat Sang Pat tidak berhasil menepati janjinya dengan Gak Siauw-cha, dengan
kejadian yang amat memalukan dan menyinggung ini sudah tentu bagi Sang Pat tidak ada
muka lagi untuk terjunkan diri di dalam kangouw kembali.
Terdengar Tu Kiu menghela napas panjang.
"Heeei" urusan sudah jadi begini, lebih baik toako jangan terlalu menyalahkan diri
sendiri." Mendadak Sang Pat mendongakkan kepalanya, sepasang matanya yang bulat itu
memancarkan sinar tajam dan memandang wajah Tu Kiu tak berkedip.
"Loo jie!" sambungnya dengan cepat.
"Kita dua bersaudara sudah bekerja sama dan boleh dikata hubungan kita sudah sangat
akrab melebihi saudara sekandung. Tidak disangka nama besar serta kepercayaan yang
kita pupuk selama puluhan tahun ini sudah hancur di dalam sekejap saja, kini cayhe sudah
punya rencana bagi kehidupan selanjutnya dan aku tidak ingin memaksa kau ikut
bersama-sama aku menjalankan tindakan ini."
"Toako bagaimana kau bocah bicara begitu!" seru Tu Kiu sangat terharu.
"Tiong Cho Siang-ku laksana timbangan dengan ukurannya. Toako! Silahkan kau orang
sebutkan jalan yang bagaimana kita harus tempuh, bilamana aku sebagai saudara
mengerutkan alisnya setelah mendengar perkataan itu malu aku bukanlah seorang lelaki
sejati!" "Bagus sekali!" teriak Sang Pat kegirangan.
"Kini merek kita sudah rusak yang berarti kita sudah tidak punya muka untuk berkelana
kembali di dalam dunia kangouw, mulai saat ini juga di dalam Bulim tidak bakal ada nama
kita dua bersaudara lagi dan sejak kini pula kita tidak usah mengungkap kembali persoalan
yang menyangkut Gak Siauw-cha, aku mau pergi menyamar dan menyelidiki keadaan
Siauw Ling selanjutnya sehari tidak berhasil mendapatkan Siauw Ling maka sehari pula
nama Tiong Cho Siang-ku lenyap dari kalangan dunia persilatan."
"Bilamana Siauw Ling sudah mati tenggelam?"
"Haaahh" haaahh. Berarti pula nama besar kita Tiong Cho Siang-ku akan ikut
tenggelam pula mengikuti tubuh Siauw Ling yang jatuh ke dalam air dan mengalir
mengikuti arus sungai," jawab Sang Pat sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan perlahan Tu Kiu menghela napas panjang.
"Heeei. Bilamana Siauw ling masih hidup di dalam dunia berarti pula kita bersaudarapun
masih ada harapan untuk pulihkan kembali nama besar kita bukan?" serunya.
"Asalkan kita berhasil membawa Siauw Ling untuk diserahkan kepada Gak Siauw-cha
sehingga sudah memenuhi janji kita maka nama Tiong Cho Siang-ku pun baru bisa muncul
lagi di dalam dunia kangouw!"
"Baiklah!" sahut Tu Kiu kemudian sambil mengangguk.
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimanapun juga kita belum pernah berjanji waktu dengan Gak Siauw-cha entah itu
delapan tahun atau sepuluh tahun kemudian masih belum terhitung mengingkari janji!"
Sang Pat yang sudah berhasil mengambil ketetapan di dalam hatinya perasaan sedih
serta murung yang mencekam hatipun sudah jauh berkurang.
"Rapatkan perahu kepantai!" serunya kemudian sambil menyapu sekejap ke arah
pengemudi tersebut. Sang pengemudi perahu yang semula sudah dapat melihat kelihayan dari ilmu silat
mereka berdua saat ini sama sekali tidak berani mengucapkan sepatah katapun. Walaupun
di dalam hati mengerti kalau di tempat tersebut bukan merupakan pelabuhan yang bisa
dirapati perahu apalagi tempatnya sangat berbahaya tetapi dengan paksaan diri dia
menjalankan juga perahunya untuk menepi.
Agaknya Sang Pat sudah keburu hendak naik kedarat, maka sewaktu perahunya berada
kurang lebih dua kaki dari tepi pantai mendadak dia sudah enjotkan badannya laksana
seekor burung raksasa dengan cepatnya melayang keatas darat.
Tu Kiu yang begitu melihat tindakan dari toakonya itu dari dalam saku dia lalu
mengambil keluar sekeping emas yang dilemparkan keatas geladak lalu dengan
kencangnya mengikuti dari belakang Sang Pat meloncat keatas daratan.
Daratan yang disinggahi mereka saat ini adalah sebuah tempat yang amat sunyi dan
gersang, batuan cadas tersebar memenuhi permukaan tanah di samping tanah berpasir
yang amat luas, beberapa li jauhnya dari tempat itu tak tampak sebuah dusunpun.
Tiga batang pohon Liuw yang tua dan tinggi besar tumbuh menjadi satu di samping
tepi sungai. Dengan termangu-mangu Sang Pat memperhatikan sekejap ketiga batang pohon Liuw
itu, lalu dengan perlahan dia berjalan mendekat sambil mengerahkan tenaga dalamnya ia
mulai mengukir beberapa kata di atas batang pohon tersebut dengan menggunakan
kekuatan jarinya. "Jan Hua tahun kesebelas bulan dua belas tanggal dua, Siauw Ling jatuh di dalam
sungai sekitar tempat ini. Tertanda Tiong Cho Siang-ku."
Walaupun Sang Pat ini mempunyai pikiran yang cerdas dan akal yang licik tetapi dia
tidak banyak membaca buku, maka setelah menulis perkataan tersebut di dalam hatinya
merasa amat puas sekali sehingga tak kuasa lagi dia tertawa terbahak-bahak.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
"Haa" haa" tulisan ini anggap saja tanggung jawab kita dua bersaudara terhadap Gak
Siauw-cha dan membuat pula sebuah teka-teki membingungkan buat para kawan-kawan
Bulim yang bermaksud untuk mendapatkan anak kunci Cing Kong Ci Yau," katanya.
"Tidak salah!" sambung Tu Kiu sembari mengangguk.
"Kitapun harus mencari kawan yang lebih banyak lagi untuk bantu kita dua bersaudara
mencari jejak serta berita mati hidupnya dari bocah itu."
Dengan termangu-mangu Sang Pat dongakkan kepalanya memandang sang surya yang
mulai tenggelam diufuk barat, mendadak dia bersuit nyaring dan putar badan berlalu dari
tempat itu. Kini balik pada Siauw Ling yang kena terpukul oleh angin pukulan yang dihasilkan oleh
Sang Pat sehingga ia terjatuh ke dalam sungai.
Bocah itu hanya merasakan badannya mendadak jadi amat dingin dan tenggelam terus
kedasar sungai. Hatinya benar-benar amat cemas sekali.
"Aduuh" celaka!" teriaknya diam-diam.
Walaupun badannya sangat lemah tetapi hatinya keras dan mempunyai ketetapan yang
teguh maka di dalam keadaan kritis yang mempengaruhi mati hidupnya ini dia tidak
bingung. Buru-buru pernapasannya ditutup dan sambil mengikuti aliran air sungai yang
menggulung tiada hentinya ia sebentar tenggelam sebentar muncul kembali mengalir terus
ke depan. Lama kelamaan diapun mulai merasakan napasnya jadi sesak, dadanya terasa amat
panas, hatinya mulai bingung apa yang harus diperbuat waktu itu?"
Mendadak tubuhnya terasa disambar oleh seseorang disusul sebuah tabung bambu
yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Siauw Ling yang sedang kehabisan napas itu dengan cepat melepaskan
kesumpakannya tersebut melalui tabung bambu itu, iapun merasakan tubuhnya mulai
diseret seorang untuk berenang ke arah depan.
Berenang di dalam air sungai yang berombak besar membuat bocah itu tak kuasa untuk
membuka matanya dan dengan demikian diapun tidak mengetahui tindakan orang
tersebut. Tetapi yang jelas kini napasnya tidak sesak lagi karena dia dapat bernapas
melalui tabung bambu yang ada dimulutnya itu.
Tiong Cho Siang-ku walaupun sudah lama sekali berkelana di dalam dunia kangouw
dan pengetahuannyapun amat luas tetapi mereka berdua yang tidak mengerti akan ilmu di
dalam air sudah tentu tidak pernah berpikir juga kalau orang masih bisa menggunakan
tabung bambu untuk bernapas di dalam air sehingga nyawa Siauw Ling bisa dipertahankan
lebih lanjut. Air sungai mengalir dengan ombak yang besar sedang tabung bambu itu amat kecil
sekali bentuknya, walaupun berada di atas permukaan air tetapi sulit sekali untuk bisa
dilihat dengan jelas. Siauw Ling yang tubuhnya kena dirangkul oleh seseorang berendam terus di bawah
permukaan air entah lewat beberapa saat lamanya bocah itu hanya merasakan badannya
semakin lama terasa semakin dingin, tangan kakinya mulai jadi kaku sehingga se4waktu
muncul kembali dipermukaan air seluruh tubuhnya sudah tak bisa berkutik kembali.
Tetapi kesadarannya masih penuh, dia hanya merasa badannya dibaringkan disebuah
pembaringan dan pakaiannya yang basah itupun dilepaskan lalu badannya ditutupi dengan
selimut yang amat tebal untuk memulihkan kembali kehangatan tubuhnya.
Matanya dengan perlahan menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tampaklah saat
ruangan perahu yang kecil, cuaca sudah amat gelap sedang di dalam ruangan perahu
hanya diterangi dengan sebuah lilin yang kecil.
Seorang kakek tua yang memakai pakaian rumput dengan usia lima puluhan tahun dan
memelihara jenggot kambing sedang duduk minum arak dan seorang lelaki memakai
pakaian hitam pekat. Sayur dari mereka itu sangat sederhana sekali. Sepiring ikan asap, sepiring kacang
goreng dan sepoci arak. Siauw Ling yang melihat sikap serta tindak tanduk dari mereka berdua amat dingin
pikirannya mulai berputar.
"Hmm, kelihatannya kedua orang inipun bukan manusia baik-baik. Ada delapan bagian
mereka pasti lagi mencari anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut!"
Berpikir akan hal itu dia lantas melengos tidak suka melihat lebih lanjut.
Kedua orang itupun tidak terlalu banyak berbicara dengan diri Siauw Ling, sehabis
bersantap merekapun mulai menjalankan perahunya.
Ombak menggulung dengan besarnya diselingi dengan suara angin yang bertiup
menderu-deru diantara suara percikan air yang amat ramai itu dengan perlahan perahu itu
mulai bergerak ke arah depan.
Tubuh Siauw Ling yang memangnya sudah lemah apalagi sudah berendam beberapa
jam lamanya di dalam air saat ini merasa amat lelah sekali, tanpa terasa dia sudah jatuh
pulas dengan nyenyaknya sehingga sang surya muncul kembali menerangi seluruh jagat.
Sikakek tua memakai pakaian rumput itu tampak berjalan masuk dengan membawa
semangkuk nasi dan sayur, dia memandang sekejap ke arah bocah itu, lalu meletakkan
sayur dan nasi di atas meja dan putar badannya berjalan keluar dari ruangan.
Sejak tadi Siauw Ling sudah merasa amat lapar tanpa memperduli lagi suasana
disekitarnya dia sudah bangun dan menyikat habis santapan tersebut.
Itu hari mereka berdua hanya masuk sekali saja ke dalam ruangan untuk menengok diri
Siauw Ling tetapi selama ini tak sepatah katapun yang diucapkan keluar.
Haripun dengan perlahan menggelap kembali diudara penuh tersebar berjuta-juta
bintang, sang rembulan memancarkan sinarnya remang-remang di tengah angkasa.
Pada saat itulah tiba-tiba tampil si lelaki kasar tua berjalan dan masuk ke dalam
ruangan perahu. "Ayolah mendarat!" serunya singkat.
Tanpa menanti jawaban dari Siauw Ling lagi dia sudah menyambar tubuhnya untuk
digendong dan meloncat dari dalam perahu.
Dengan meminjam cahaya rembulan yang remang-remang tampaklah orang itu dengan
amat gesitnya meloncat dan merangkak menaiki sebuah tebing yang amat terjal dan
curam dengan dibawahnya terbantang sungai berombak besar.
"Aaah" habis sudah" pikir Siauw Ling diam-diam. "Dia mau mengirim aku keatas
puncak gunung yang demikian curam sudah mempunyai suatu maksud tertentu."
Gerakan dari orang itu benar-benar amat cepat sekali, hanya di dalam sepertanakan
nasi lamanya dia telah berhasil mendekati puncak tersebut, mendadak tubuhnya meloncat
kekiri lalu menikung kekanan dan berjalan masuk ke dalam sebuah gua itu yang amat
gelap. Sejak dahulu Siauw Ling sudah tidak pikirkan keselamatan serta mati hidupnya,
walaupun dua merasa dirinya tetap tenang sedikitpun tidak gugup.
Terasa orang itu berlari semakin lama semakin cepat, dan sebentar menikung kekiri
sebentar membelok kekanan beberapa saat kemudian dia baru berhenti dan mendorong
sesuatu ke depan. "Kraaak"!" pandangannya mendadak jadi amat terang.
Waktu itulah lelaki tersebut baru turunkan diri Siauw Ling keatas tanah, sambil
membereskan pakaiannya. Dengan sinar mata yang tajam Siauw Ling mulai menyapu dan memandang sekejap ke
arah sekeliling tempat itu, tampaklah di dalam ruangan batu yang luas itu hanya ada dua
buah kamar saja dan sebuah lampu lentera tergantung di atas dinding-dinding ruangan itu
bercahaya laksana pualam dan di dalam ruangan tersebut kecuali sebuah kursi kayu benda
apapun tidak kelihatan. Dalam hati dia jadi keheranan pikirnya, "Apa maksud orang ini membawa aku datang
kemari?"" Sewaktu dia lagi termenung itulah mendadak terdengar suara mendehem, dan dari
ujung ruangan batu itu terbuka sebuah pintu dan berjalan masuk seseorang pemuda
berbaju hijau. Melihat munculnya sipemuda berbaju hijau itu buru-buru lelaki berbaju hitam itu
bungkukkan badannya menjura.
"Hamba memenuhi perintah dari kongcu dan membawa bocah ini datang kemari!"
ujarnya. Pemuda berbaju hijau itu segera mengulapkan tangannya, lelaki itupun lantas
mengundurkan diri dan menutup kembali pintu batu tersebut.
Saat ini di dalam ruangan cuma tinggal Siauw Ling serta pemuda berbaju hijau itu dan
tampaklah pemuda tersebut menggape dan berseru dengan suara perlahan.
"Saudara cilik jangan takut."
"Aku tidak takut" sahut Siauw Ling sambil busungkan dadanya.
Pemuda berbaju hijau itu agak dibuat melengak sejenak lalu dia tertawa tawar.
"Nyalimu sungguh amat besar, ayahku sengaja mengundang kau datang kemari tidak
lebih hanya hendak menanyakan suatu urusan dengan dirimu. Asalkan kau suka
menjawab dengan sejujurnya kami tidak akan mengganggu dirimu," katanya.
"Kalau begitu kau boleh mulai bertanya!"
"Saudara cilik silahkan ikuti aku!" ujar pemuda berbaju hijau itu sambil menggape.
Siauw Ling dengan mengikuti pemuda itu lantas berjalan melewati pintu batu itu.
Ruangan yang ada dibalik pintu ini jauh lebih besar beberapa kali lipat dari ruangan
depan. Didekat dinding batu tampaklah sebuah pembaringan yang beralaskan kulit macan,
di atas pembaringan berbaring seorang tua yang badannya ditutupi selimut tebal,
kelihatannya dia sedang menderita sakit.
"Ayah?" panggil pemuda berbaju hijau itu sambil berjalan mendekat pembaringan.
Si orang tua yang berbaring di atas pembaringan kayu itu tampak menghembuskan
napas panjang, dengan perlahan putar badannya.
"Bimbing aku bangun!" pintanya.
Pemuda berbaju hijau itupun segera membantu si orang tua itu duduk dan menarik
selimut untuk menutupi badannya.
Dengan pandangan yang tajam Siauw Ling memperhatikan orang itu, terlihatlah orang
tua itu amat kurus sekali hanya tinggal kulit pembungkus tulang saja tetapi perawakannya
amat kasar dan besar tentunya sebelum sakit badannya amat kekar sekali.
Sinar mata si orang tua yang amat tajam itu dengan terpesonanya memperhatikan diri
Siauw Ling lalu tanyanya dengan suara yang serak, "Bocah! Apa kau kenal dengan Gak Im
Kauw?" Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling jadi ragu-ragu pikirnya, "Apa maksudnya
mengungkap bibi Im secara tiba-tiba?"
Walaupun dalam hati merasa ragu-ragu akhirnya ia menjawab juga dengan lantang.
"Sudah tentu aku kenal, karena dia adalah bibiku!"
"Siapakah namamu?"" tanya si orang tua kurus itu lagi sambil mengerutkan alisnya.
"Aku bernama Siauw Ling."
"Berita di dalam dunia kangouw yang mengatakan bahwa Gak Im Kauw telah
memperoleh anak kunci pembuka istana terlarang apakah hal ini sungguh-sungguh
terjadi?"" "Sudah tentu sungguh-sungguh."
Jawaban yang diucapkan secara terus terang dan lantang ini benar berada diluar
dugaan sikakek tua berbadan kurus itu, diapun jadi melengak dibuatnya.
"Setelah memperoleh anak kunci Cing Kong Ci Yau berarti pula dia telah menjadi
musuh dari seluruh jagoan kolong langit, lalu dimanakah sekarang dia berada?" tanyanya
lagi. "Mati?" jawab Siauw Ling sambil menghela napas sedih.
"Apa" dia sungguh-sungguh sudah mati" Berita yang tersiar di dalam Bulim apakah
sungguh-sungguh?" teriak si orang tua itu dengan paras berubah hebat.
"Benar! tetapi sekalipun bibi Im sudah mati tetapi wajahnya masih bagus seperti sedia
kala kecuali dia tidak bisa bicara dan bergerak lainnya mirip sekali sewaktu ia masih
hidup." Agaknya perasaan hati si orang tua kurus itu benar-benar sudah terkena pukulan yang
amat berat. Air mata mengucur keluar membasahi kedua pipinya kelihatan dia orang amat
sedih sekali. "Bocah! Apakah Gak Im Kauw mempunyai seorang puteri?"" tanyanya lagi dengan
suara perlahan. "Ada dia seorang nona yang cantik."
Dengan perlahan si orang tua itu mengangguk.
"Bocah sekarang kau harus beristirahat!" serunya itu kemudian sambil ulapkan
tangannya. "Keadaan di dalam dunia kangouw sangat berbahaya buat dirimu, karena para
jago mulai memasang jebakkan untuk mencari jejakmu tetapi di tempat ini kau boleh
bermain dengan senang hati lega mereka tidak bakal berani mencari gara-gara kemari!"
Dalam hati kecil Siauw Ling pada saat ini benar-benar diliputi banyak persoalan yang
mencurigakan sewaktu dia bermaksud hendak bertanya itulah mendadak pemuda berbaju
hijau itu sudah menarik pergelangan tangan kanan Siauw Ling dan mengajaknya berlalu
dari sana. "Saudara cilik, mari aku hantarkan kau untuk beristirahat!" serunya.
Tidak menanti jawaban itu dari Siauw Ling dia lantas menarik tubuhnya berlalu dari
ruangan batu itu. Gua rahasia di dalam lambung gunung ini separuh bagian adalah penjelmaan alam dan
sebagian lagi terbuat oleh tangan manusia. Dimana saja tampaklah ruangan-ruangan batu
yang tertutup dan terbuka.
Pemuda berbaju hijau itu membawa Siauw Ling berjalan mengelilingi beberapa buah
tikungan dan akhirnya sambil menuding ke arah sebuah ruangan batu, ujarnya, "Kamar
baru itu adalah tempatmu untuk beristirahat kau masuklah untuk melihat-lihat bilamana
ada urusan beritahu saja nanti orang yang datang sendiri untuk melayani!"
Agaknya pemuda berbaju hijau itu menaruh rasa benci dan mual terhadap diri Siauw
Ling tidak menanti jawaban dari bocah itu lagi dia sudah lantas putar badan dan berlalu
dari sana. Sesampainya di depan pintu ruangan mendadak dia menghentikan kemabli langkahnya
dan menoleh ke belakang. "Hey bocah cilik!" serunya memberi peringatan. "Lebih baik kau belajar tenang saja dan
janganlah sembarangan lari kemana-mana sehingga tidak sampai mendatang bencana
kematian buat dirimu sendiri."
"Urusan apa?" "Sekalipun aku beritahukan kepadamu kaupun tidak bakal paham. Asalkan kau ingatingat
saja kecuali benda yang di dalam ruanganmu ini perduli sudah melihat benda yang
bagaimana aneh dan kukoaynya jangan sekali-kali coba untuk memegang dan mencawil,
cukup itu saja kau harus perhatikan!"
Selesai berkata dia lantas putar badan dan berlalu dengan tergesa-gesa.
Dengan pandangannya termangu-mangu Siauw Ling memperhatikan bayangan
punggung pemuda itu yang mulai lenyap dari pandangan, dalam hati kecilnya timbullah
perasaan untuk melanggar, pikirnya, "Justru kau tidak boleh aku orang lihat, sengaja aku
mau pergi kemanapun untuk melihat-lihat."
Sifatnya yang keras dan kepala batu itu membuat dia orang segera bertindak setelah
berpikir dengan perlahan dia meninggalkan ruangan batu itu dan berjalan ke dalam
melalui lorong yang ada. Walaupun di dalam lambung gunung itu terdapat banyak ruangan maupun loronglorong
batu tetapi boleh dikata ruangan utamalah yang paling luas. Dengan langkah yang
perlahan Siauw Ling berjalan masuk kedalam, entah sudah lewat beberapa saat lamanya
dan tak tahu pula sudah melewati berapa banyak ruangan mendadak terdengar suara air
terjun yang amat dahsyat dan memekikkan telinga berkumandang datang.
Siauw Ling jadi keheranan, pikirnya, "Di dalam gua batu ini dari mana datangnya air
terjun yang demikian dahsyat?"
Dengan cepat dia pusatkan seluruh perhatiannya untuk mendengar, semakin didengar
semakin jelas agaknya dentuman air terjun tersebut muncul dari suatu tempat yang tak
jauh dihadapannya. Waktu itulah Siauw Ling baru mulai merasakan kalau di dalam gua batu di tengah
Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lambung gunung ini mengandung kemisteriusan, agaknya di dalam setiap pintu itu yang
tertutup rapat tergantung suatu benda yang amat aneh, dan penuh kemisteriusan.
Pada saat dia lagi berpikir dan melamunkan akan hal-hal itulah sudah mencapai pada
ujung dari ruangan batu itu dan suara air terjun itupun kedengaran lebih jelas lagi
berkumandang keluar deari balik dinding batu tersebut.
Dengan perlahan bocah itu meraba dinding batu yang penuh ditumbuhi dengan lumut.
Bukan saja tempat itu tak pernah kedatangan manusia bahkan sangat lembab dan basah
sekali. Mendadak tangannya terbentur dengan sebuah tonjolan batu yang berbentuk aneh
sedikit dia gunakan tenaga batu tersebut ternyata berputar dengan amat mudahnya.
Dalam hati Siauw Ling jadi kaget bercampur heran, tak terasa lagi tangannya
memutarnya semakin keras lagi.
"Kraaaak" kraaak?" dengan diiringi suara gesekan yang berat dan nyarinmg seluruh
dinding batu itu mulai bergoyang dan bergerak kesamping.
Dengan hati sangat terperanjat Siauw Ling buru-buru meloncat ke arah belakang.
Tiba-tiba serentetan cahaya terang menembus masuk kedalam, percikan air membasahi
wajahnya dari dinding dihadapannya muncullah sebuah pintu yang amat besar.
Siauw Ling sama sekali tidak menyangka kalau tonjolan batu yang berbentuk aneh itu
ternyata bukan lain adalah tombol untuk menggerakkan pintu rahasia tersebut.
Dibalik pintu yang terbuka lebar itu tampaklah sebuah air terjun yang amat besar dan
deras muncullah dihadapannya, seluruh pintu batu itu terbungkus oleh cahaya serta
percikan air terjun yang mana dahsyat sehingga kelihatan amat seram dan mengagumkan.
Lama kelamaan dari rasa tertarik bocah itu jadi kepingin tahu lebih jauh, maka dengan
hati rada berdebar-debar dia mulai berjalan maju ke depan.
Pintu batu itu luasnya kurang lebih hanya tiga depa, dan sambil bercekelan dinding
batu itu Siauw Ling melengok ke arah bawah.
Tampaklah sebuah tebing yang amat curam terbentang di samping pintu dengan
sebuah jurang yang tak kelihatan dasarnya menghiasi pandangan mata.
Air terjun itu terurai dari puncak kedasar jurang dengan daya luncur air yang amat
mengejutkan. Di tempat itu kecuali disoroti dengan sedikit cahaya sang surya yang berhasil
menembus curahan air terjun itu yang tampak hanyalah kabut nan tebal serta percikan air
yang sangat dingin. Siauw Ling benar-benar dibuat terpesona melihat pemandangan alam yang begitu
indahnya, diam-diam dalam hati berpikir, "Melakukan perjalanan selaksa li jauh lebih
mengagumkan daripada membaca selaksa jilid kitab perkataan ini benar-benar tidak salah,
tempat yang demikian curam dan berbahayanya ini tidak bakal bisa aku temui di dalam
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 6 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Pedang 3 Dimensi 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama