Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 32

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 32


Genta-kaleleng. Ilmu itu dapat menghernbuskan suara kearah tempat yaig berlawanan. Orangnya
berada di sebelah timur maka suaranya akan terdengar di sebelah barat. Demikian selanjutnya.
"Kurang ajar" tiba-tiba Lowara terhentak manakala teringat sesuatu. Dan sesuatu itu segera
"Siapa engkau! " Hardik resi Lowara sambil menatap orang aneh tajam-tajam.
"Sama dengan engkau !" sahut orang aneh itu dengan nada yang dibuat-buat serupa nada orang
lelaki. Namun ia bersikap tenang.
"Hi, hi, hi, hik .... " ba- ba suara tawa mengejek itu terdengar pula. Sepintas seper berasal dari
balik sebuah gerumbul sebelah utara.
Lowara tetap diam. Dia tak mau lekas terpancing oleh nafsu melainkan mempertajam indriya
pendengarannya. Ia dapat menangkap guncang-guncang halus dari daun pepohonan kecil
disebelah utara karena dihembus oleh angin. Gelombang angin itu lembut tetapi kuat arusnya.
Secepat kilat ia menyelinapkan pandang kearah hembusan angin itu. Ternyata hembusan angin itu
berasal dari sebatang pohon kamal.
"Hm, akan kubalas punya dengan pu juga," diam-diam ia sudah merancang rencana.
Sekonyong-konyong ia bergerak kearah gerumbul semak disebelah selatan itu tetapi tak disangkasangka mendadak ia membuang tubuh ke belakang dan melayang kearah pohon kamal disebelah
utara itu. "Maling liar, kembalikan patungku ! " hardiknya seraya menerkam ke balik pohon.
"Ih .... " terdengar suara mendesis kejut dan sesosok tubuh berguling-guling ke tanah sampai
berapa langkah. Ke ka terbentur pada sebatang pohon, orang itu terus melen ng bangun, berdapsiap. Resi Lowara tak mau memburu melainkan tegak berdiri menatap orang. Ia terkejut. Orang itu
juga mengenakan jubah warna hitam dan memakai kain penutup muka dan kepala warna hitam,
hampir mirip dengan pakaian yang dikenakannya. Ia sempat memperha kan bahwa orang itu
bertubuh kecil langsing. Dari lubang kain penutup mukanya, tampak sepasang matanya
memancarkan sinar yang bening.
"Hm, akhirnya ketahuan juga," gumam Lowara. Orang itu dak menyahut melainkan mendesuh
juga. "Siapa engkau! " hardik resi Lowara.
"Sama dengan engkau ! " sahut orang aneh itu dengan nada suara yang sengaja dibuat- buat
agar membesar seperti nada lelaki.
"Kurang ajar! " geram Lowora.
"Siapa yang kurang ajar" " sahut orang aneh itu pula.
"Engkau, maling liar! "
"Mengapa aku kurang ajar " Karena mengenakan jubah hitam dan penutup muka ini " Uhr,
bukankah engkau juga begitu " "
"Eagkau maling kurang ajar ! "
"Jangan lancang mulut mengatakan aku maling. Apa yang kumaling " " balas orang aneh itu
melantang. "Engkau mencuri patungku," seru Lowara.
"Mencuri " "
"Ya." "Aku mengambil bukan mencuri."
"Itu patungku ! "
"Patungmu ?" orang aneh itu menegas lalu tertawa mencemoh "ha, ha, jangan tekebur, ki sanak.
Engkau pembohong besar ! "
"Pembohong " "
"Jelas " "Aku berbohong soal apa " "
"Kalau benar patung milikmu, aku tentu tak mau mengambilnya. Tetapi kutahu jelas bahwa
patung itu bukan milikmu."
Lowara terbeliak. "Engkau maling akupun maling. Engkau maling kesatu dan aku maling kedua. Celakanya,
terjadilah peris wa yang lucu seper ini. Ini namanya "maling kemalingan' " orang aneh itu
melanjutkan cemohnya. Merah muka Lowara. Untung tertutup kain kerudung sehingga tak tampak "Jangan mengumbar
keliaran, lekas kembalikan patung itu."
"Kepada siapa " "
"Kepadaku." "Milikmukah patung itu ?"
"Ya." "Bohong! " "Patung itu sudah berada di tanganku, lekas serahkan kembali."
"Kalau aku tak mau menyerahkan kepadamu?"
"Terpaksa engkau akan kuringkus begini .... " Lowara menutup kata-katanya dengan sebuah
gerak menyambar lengan orang aneh itu. Tetapi ia hanya menyambar angin karena orang itu
sudah cepat menyurut dua langkah ke belakang. Pada saat Lowara kejarkan sambarannya,
tiba tiba orang itu dengan suatu gerak yang bukan olah-olah cepatnya sudah mendahului
menampar mukanya. Terpaksa Lowara harus menyurut mundur.
"Hm, apakah engkau benar-benar hendak bersikap keras kepala," seru Lowara menatap orang itu
tajam-tajam. "Hm, apakah engkau juga sungguh-sungguh berkeras kepala hendak menangkap aku ?" balas
orang aneh itu dengan gaya dan nada seperti Lowara.
Lowara tak mau berbanyak kata lagi. Kesabarannya sudah habis "Baik, jika begitu, terpaksa
engkau harus kutangkap," ia ayunkan tubuh menerkam.
Tetapi orang aneh itu juga teramat gesit dan tangkas. Ia selalu mampu menghindar dari
terjangan Lowara, baik terjangan itu merupakan sambar atau terkaman ataupun pukulan. Bahkan
sesekali ia mampu balas memukul Lowara.
Lowara makin kesal hatinya. Ia tak mau memberi kesempatan lagi. Apabila dia mau bertindak
kejam, mungkin ia sudah dapat merobohkan orang aneh itu. Tetapi maksudnya bukan hendak
melukainya melainkan hendak menangkapnya saja dan memaksanya supaya mengembalikan
patung itu. Orang aneh itupun juga bersitegang untuk mengimbangi permainan Lowara. Tetapi diam-diam
Lowara tertawa dalam ha . Ia faham semua gerak dan tata-kelahi orang itu. Maka dengan mudah
dapatlah ia menguasainya. Namun ia tak mau cepat-cepat mengalahkan. Ia hendak
memperpanjang pertempuran itu agar lawan kehabisan napas. Disamping diapun ingin melihat
sampai tataran manakah la han orang itu dalam ilmu tata-kelahi yang dimilikinya "Sekedar untuk
melatihnya juga," pikir Lowara.
"Hm, tata Kala nantang dapat difahaminya. Tata Sanggar-waringan juga dimainkan dengan
bagus. Tata Bantala-rengkah, juga dikuasainya. Tetapi mulai tata Macam-ketawang, dia mulai sibuk
.... " diam-diam Lowara memperha kan dan menilai gerak kanuragan lawan "nan pada jurus
terakhir Nujupati, dia tentu akan menyerah."
Memang pada saat itu permainan orang aneh itu mulai ricuh dan kehilangan ketenangan.
Berulang kali hampir saja Lowara berhasil menerkam lengan orang itu.
"Celaka, tata Macan-ketawang ini aku belum faham sekali. Apabila menginjak jurus terakhir
nanti, aku belum mempelajari sama sekali. Hm, mengapa guru pilih kasih dan tak mau
mencirikan pelajaran tata terakhir itu kepadaku .... "
Tepat pada saat ia berpikir begitu, tata Macan-ketawang telah selesai dan setelah itu tentu
dilanjutkan dengan tata yang terakhir yani Nuju-pa yang dahsyat. Sekali, dua kali, masih orang
aneh itu dapat menghindar tetapi pada gerak yang keempat dan kelima, runtuhlah daya
perlawanannya. Lowara berhasil menerkam bahu kiri orang itu lalu secepat kilat tangan kanannya
menyambar kain penutup muka orang itu.
"Ah .... ah .... "
Terdengar dua buah suara yang hampir serempak keluar dari mulut kedua orang yang tengah
bertanding itu. Kemudian keduanya berdiri tegak seperti patung yang saling berhadapan.
Kiranya pada saat tangan Lowara menyingkap kain penutup muka orang itu, tanpa disangkasangka, orang aneh itu pun dengan gerakan secepat kilat, ayunkan tangan kirinya yang masih bebas
untuk menarik kain penutup muka Lowara. Hampir serempak waktunya, keduanya terbuka kain
penutup mukanya dan .... "Engkau Sedayu . . . , ! " seru Lowara.
"Kakang Ludira . ... . !" orang aneh itupun serempak berteriak.
Kini bukanlah lagi dua dua orang aneh yang mukanya bertutup kain hitam, melainkan dua orang
anak-muda. Yang mengenakan dandanan seper resi Lowara itu bukanlah resi Lowara dari candi
Bentar, melainkan seorang pemuda yang berwajah cakap. Sedangkan orang aneh lawannya itu
bukan seorang insan yang berwajah menyeramkan, melainkan seorang remaja puteri yang can k,
berusia sekitar enambelas tahun.
"Hm, memang sudah kuduga kalau engkau," desuh anakmuda yang menyaru sebagai resi Lowara.
"Uh, akupun sudah tahu kalau engkau," sahut dara yang disebut dengan nama Sedayu itu.
"Apa katamu " Engkau sudah tahu?" pemuda yang disebut Ludira itu menegas.
"Heran" " "Tetapi Sedayu," kata Ludira "bukankah engkau masih berada di pertapaan Karoalasana bersama
guru" Mengapa tiba-tiba engkau berada disini" "
"Heran ?" "Eh, jangan ber ngkah segenit itu. Ingat, engkau seorang murid dari seorang maharsi yang
termasyhur, Sedayu."
"Cukup kakang Ludira," balas Sedayu seraya menunjuk ke arah sebatang pehon anjiluang yang
rindang "aku tak membutuhkan nasehat, tetapi aku butuh beris rahat karena le h. Mari kita
duduk di bawah pohon itu."
Ludira hanya geleng geleng kepala "Sudah gadis remaja masih kekanak-kanakan. Dasar anak
perempuan manja," gerutunya dalam ha . Namun ia mengiku juga langkah Sedayu menuju ke
pohon anjiluang itu. "Sedayu, bagaimana keadaan guru?" selekas duduk berhadapan dengan perawan itu, Ludira
segera mengajukan pertanyaan.
"Pertanyaanmu itu terjawab oleh kehadiranku disini," jawab Sedayu.
"Apa maksudmu " "
"Kalau guru mendapat halangan, masakan aku dapat tiba disini?"
"Ah, mengapa tabiatmu masih belum berobah, Sedayu ?"
"Tabiat yang bagaimana ?"
"Berlidah tajam, suka mengolok-olok dan kemanja- manjaan "
"O, terima kasih kakang Ludira, atas pujianmu itu," balas Sedayu "lidahku biasa saja yalah
tidak bertulang. Suka mengolok olok " Ah, sebenarnya aku memang tak ingin mengolok. Tetapi
heran mengapa selalu ada saja peristiwa yang merangsang aku untuk berolo-olok. Dan kalau
kemanja-manjaan, akupun tidak manja terhadap lain orang kecuali kepada guru dan .... "
"Sudahlah, Sedayu, jangan cerita yang bukan-bukan," cepat Ludira menukas karena ia tahu
kemana arah kata-kata yang terakhir dari dara itu "ceritakanlah bagaimana engkau dapat
berada disini dan apa sebab engkau kemari" "
"Guru mengidinkan aku pulang ke pura Singasari untuk menjenguk rama dan ibu. Dalam
perjalanan, aku berjumpa dengan dua orang pandita. Serentak mbul kecurigaanku mengapa
kedua pandita itu mengadakan perjalanan pada malam hari. Lalu kuiku gerak gerik mereka secara
diam-diam. Apa yang terjadi" Ternyata kecurigaanku memang beralasan."
"Kedua pandita itu berbisik-bisik merundingkan suatu rencana dan tak lama kemudian mereka
menuju ke desa Panawijen. Yang seorang langsung masuk kedalam sebuah rumah yang belakangan
baru kuketahui kalau tempat kediaman empu Paramita. Sedang yang seorang bersembunyi dibalik
gerumbul pohon tak jauh dari rumah empu Paramita. Tak berapa lama kulihat pandita tadi keluar
dari rumah empu Paramita dan dikejar empu. Aku merasa heran. Apa yang telah terjadi" "
"Eh, tahu-tahu pandita yang sembunyi dibalik gerumbul pohon itu terus keluar dan bergegas
masuk kedalam rumah empu Paramita. Ternyata dia mengambil sebuah patung dan membawanya
ke hutan." "Mengapa tidak engkau gagalkan perbuatannya ?" tukas Ludira.
"Tidak, kakang," sahut Sedayu "bermula aku memang mempunyai pikiran begitu tetapi ba- ba
mbul pikiran lain. Aku hendak mengetahui siapakah sebenarnya pandita itu dan apakah
tujuannya mengambil patung buatan empu Paramita " "
"Wah, engkau cerdik sekali, sedayu" puji Ludira.
"Tentu," sambut Sedayu "kalau aku tak cerdik masakan aku layak menjadi adik seperguruan
ksatrya Ludira yang gagah perkasa itu."
"Uh, jangan mengada-ada, Sedayu," cercah Ludira "teruskan ceritamu "
"Alangkah kejutku ke ka melihat kawan dari pandita itu sudah menunggu di kaki gunung. Pada
hal jelas kulihat dia sedang dikejar empu Paramita, melarikan diri menuju kearah barat. Tak
mungkin dalam waktu sesingkat itu dia sudah dapat meloloskan diri dari kejaran empu Paramita
dan terus menunggu di tempat itu," kata Sedayu.
"Jangan engkau memandang rendah pada resi Lowara. Dia murid maharsi Dewadanda yang
termasyhur sakti," kata Ludira.
"Ya," sahut Sedayu "tetapi empu Paramita itu juga sak . Dia adalah cucu dari empu Parwa, ayah
Ken Dedes yang termasyhur itu."
"Hm, teruskan ceritamu."
"Aku makin curiga," kata Sedayu "kuiku gerak gerik kedua resi itu. Ternyata mereka menanam
patung itu dalam hutan. Setelah itu merekapun pergi."
"Setan, kiranya dia tahu semua," desuh Ludira dalam hati Namun ia tak menyatakan suatu apa.
"Saat itu sebenarnya aku sudah akan bertindak," kata Sedayu.
"Mengambil patung itu dari dalam liang" "
"Perlu apa harus mengotorkan tanganku" "
"Eh, lalu bagaimana rencanamu" " Ludira heran.
"Bukankah kalian memberi tanda makam patung ttu dengan meletakkan segunduk batu" "
"O, kutahu," cepat Ludira menukas "engkau hendak memindahkan batu pertandaan itu, bukan "
" Sedayu tertawa "Bukankah kalian akan bingung mencari letak kuburan yang benar?"
"Eh, Sedayu," seru Ludira "mengapa berulang kali engkau menyebut kata kalian " Siapa yang
engkau maksudkan kalian itu ?"
"Hi, hi, hi, asal sudah tahu sajalah," kata Sedayu kemudian cepat-cepat melanjutkan ceritanya
pula, "kubatalkan rencanaku lalu kuiku lagi kedua resi itu turun gunung. Kutahu salah seorang
pulang ke Singasari untuk memberi laporan kepada gurunya. Tetapi yang seorang itu, eh, aneh
benar. Dia kembali ke tempat penanaman patung dan menggali liang itu lalu melemparkan patung
ke luar. Aku tak kuasa lagi menahan diri. Kuanggap resi itu seorang culas yang hendak menghiana
kawannya. Resi yang begitu ternaha, perlu diberi pengajaran. Maka cepat kuambil patung itu untuk
mempermainkan pencurinya .... "
"Kurang ajar engkau Sedayu," seru Ludira "masakan engkau sebut aku ini pencuri."
"Eh, aku mengatakan resi Lowara, mengapa engkau marah?"
"Bukankah engkau sudah tahu siapa resi Lowara, yang menggali patung itu ?"
Sedayu tertawa mengikik "Lalu aku harus menyebut bagaimana?"
"Ah, sudahlah, Sedayu, jangan berolok-olok," kata Ludira yang kewalahan "katakanlah, dirnana
engkau sembunyikan patung itu ?"
"Katakan dahulu apa kepen ngan kakang mengambil patung itu, baru nan kukembalikan,"
jawab Sedayu. Ludira kerutkan kening. Wajahnya berkabut keragu-raguan. Rupanya pemuda itu tak mudah
untuk cepat cepat mengabulkan permintaan Sedayu.
"Kakang, apakah engkau sudah tak percaya kepadaku ?" melihat sikap pemuda itu, Sedayu cepat
mendesak "bukankah guru mengajarkan kita supaya bersikap jujur dan saling percaya" Apakah
engkau hendak mengingkari pesan guru ?"
"Sama sekali dak begitu, Sedayu," jawab Ludira "tetapi hal itu merupakan suatu rahasia yang
maha penting." "Maha penting" Apakah yang kakang anggap maha penting itu?"
"Bagi ksatrya, pahlawan dan prajurit yang berjuang menunaikan tugas, ada yang lebih pen ng
dari yang maha penting, kecuali kepentingan negara."
"O, maksud kakang, rahasia itu menyangkut kepentingan negara, bukan" "
"Ya." "Negara manakah yang kakang maksudkan" "
"Aneh, benar engkau Sedayu," desuh Ludira "engkau dan aku ini kawula mana ?"
"Singasari." "Kiranya engkau tahu, mengapa masih menegas lagi. Sudah tentu kepen ngan negara kita
Singasari." "Jika demikian, aku dapat menarik kesimpulan bahwa kakang menanggap aku tak layak
mengetahui rahasia itu karena menyangkut kepentingan Singasari."
"Jangan tergesa menarik kesimpulan dulu, Sedayu. Karena kesimpulan yang dak bebas dari
prasangka, bukan suatu kesimpulan yang murni."
"Ya, lalu bagaimana?"
"Rahasia itu peribadi sifatnya. Hanya dapat diketahui seorang. Rahasia yang diketahui dua orang,
bukan rahasia penuh melainkan setengah rahasia. Apalagi kalau diketahui ga orang, itu sudah
bukan rahasia lagi."
"Adakah kakang menganggap diriku ini orang luar sehingga kalau kakang memberitahu kepadaku
lalu kakang merasa telah memberi tahu kepada orang luar atau orang kaJua" " Sedayu tak mau
menyerah. Memang ia seorang dara manja tetapi tajam otak tajam ucap.
"Ah, kurasa," Ludira mendesah "lebih baik untuk sementara ini, jangan engkau menanyakan hal
itu. Kelak apabila sudah tiba saatnya, tentu akan kuberitahu kepadamu."
"O, begitu " Terima kasih .... "
"Hai," Ludira berteriak seraya cepat melompat dan menyambar lengan Sedayu karena dara itu
ternyata hendak pergi "mau kemana engkau, anak liar ! "
"Kemana lagi kalau tidak ke pura Singasari " Kenapa?" Sedayu berpaling nyalangkan mata.
"Tetapi engkau belum mengembalikan patung itu."
"Siapa mengatakan kalau aku hendak mengembalikan patung itu ?" balas Sedayu.
Ludira menghembuskan kemengkalan ha nya dengan menghela napas panjang "Sedayu, apakah
engkau hendak menyusahkan aku ?" tanyanya.
"Sama sekali dak," sangkal Sedayu "bahkan aku sebenarnya hendak membantu engkau. Tetapi
karena engkau menganggap sepi diriku, terpaksa akupun hendak melanjutkan perjalanan lagi."
"Ah," Ludira mendesah pula "jangan engkau salah faham. Bukan karena aku tak mau
mengatakan kepadamu tetapi ketahuilah. Rahasia itu menyangkut keselamatan jiwa seorang
mentri kerajaan Singasari. Apabila rahasia itu sampai bocor, aku tiada harapan menolongnya."
"Kakang," seru Sedayu dengan tandas "jiwa dan ragaku telah ditempa guru untuk mencintai
tanah-air, menghorma kejujuran dan memegang teguh kepercayaan. Masakan kakang masih


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum percaya kepadaku. Apabila kakang mau memberitahukan rahasia itu maka aku bersumpah,
demi Batara Agung, aku takkan membocorkan kepada siapapun juga."
Ludira lepaskan cekalannya pada lengan Sedayu. Ia menghela napas "Sedayu, rahasia itu
mengandung bahaya besar sekali. Itulah sebabnya aku tak mau memberi tahu kepadamu. Bukan
aku tak percaya tetapi kali ini kuminta pengertianmu yang berarti membantu beban tugasku."
"Kakang Ludira" sahut Sedayu "apakah ada suatu pekerjaan yang tak mengandung akibat" Tidak
kakang. Rasanya ada suatu pekerjaan yang tak mengandung bahaya. Terutama pekerjaan yang
menyangkut kepen ngan negara, bahayanya tentu besar. Tetapi pekerjaan demi kepen ngan
negara itu suatu pekerjaan luhur. Sedayu cukup faham dan pantang mundur."
Ludira atau lengkapnya Jaka Ludira dan Rara Sedayu sama-sama berguru pada empu Santasmer
di pertapaan Kamalasana. Santasmer itu tak lain adalah pujangga keraton Singasari yang karena
tak setuju atas ndakan baginda Kertanagara yang telah mencopot ga mentri tua yani pa h
amangkubumi Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre , dan melihat bahwa seri
baginda lebih percaya pada pa h Aragani, maka empu Santasmer pun segera mengajukan
permohonan berhen . Alasannya sudah lanjut usia dan sudah cukup lama mengabdi kepada
kerajaan Singasari, sekarang ia hendak menenangkan diri di pertapaan, mencari penerangan ba n
untuk bekal perjalanan sesudah selesai dharma hidupnya di alam fana ini.
Sebagai kakak seperguruan dan sama-sama berangkat dewasa, Ludira cukup tahu bagaimana
watak perangai dan peribadi Rara Sedayu. Dara itu memang manja tetapi dibalik kemanjaannya,
dia seorang dara yang keras ha , jujur dan setya. Setelah memper mbangkan segala sesuatu,
akhirnya mau juga ia mengalah.
"Sedayu," kata Ludira "engkau tahu siapa patih Raganata " "
"O, sudah tentu tahu, bahkan kenal. Mengapa kakang mempersoalkan diri eyang Raganata
?" "Setelah dicopot dari kelungguhan pa h mangkubumi, rakryan empu Raganata diangkat sebagai
adhyaksa di Tumapel "
"Ya, kutahu," sambut Sedayu "peris wa itu terjadi serempak atas diri rama yang dilorot dari
kelungguhan demung menjadi mentri angabaya dan juga paman tumenggung Wiraraja yang
dipindah menjadi adipati di Sumenep."
Ludira mengangguk. "Benar, ternyata engkau masih ingat semua," katanya "tetapi tahukah engkau tentang empu
Ragamata di Tumapel itu" "
"Entah," sahut Sedayu "apa yang terjadi pada diri beliau ?"
"Empu adhyaksa Raganata telah hilang .... "
"Apa?" Sedayu melonjak kaget "engkau maksudkan eyang Raganata telah meninggal?"
Ludira gelengkan kepala "Bukan, empu tidak meninggal tetapi hilang diculik orang."
"O, dewata agung . . . . ! " Sedayu memekik "eyang Raganata diculik orang" Apakah kesalahannya
maka eyang yang sudah lanjut usia itu masih diganggu orang" "
"Tanyalah pada penculiknya, Sedayu," Ludira gelengkan kepala.
"Jangan bergurau, kakang! "
Ludira tertawa "Aku tidak bergurau tetapi bicara sungguh-sungguh."
"Benarkah terjadi peristiwa itu ?"
"Ya." "Siapa yang menculik?" Ludira tersenyum.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 28 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Sri Krishna memandang dengan penuh iba pada Arjuna yang berlinang-linang airmata dan
bimbang hatinya dalam mengangkat senjata melawan Korawa, sanak keluarganya sendiri.
"O, putera dari Pritha, janganlah engkau menuru kelemahan ha mu. Itulah tak selayaknya.
Enyahkanlah segala keluh kesahmu dan bangkitlah, hai, ksatrya yang gagah berani! " ujar Sri
Krishna, Demikian dalam waktu-waktu senggang, empu Santasmer sering memberi wejangan-wejangan
untuk menempa iman dan ba n kedua anakmuridnya, Jaka Ludira dan Rara Sedayu. Santasmer
adalah pujangga kerajaan Singatari yang mengundurkan diri karena tak tahan melihat keadaan
pemerintahan Singasari. Seri baginda Kertanagara telah mencopot mentri-mentri wredha yang se a
dan makin percaya pada patih Aragani.
Ulah krida peperangan dan ilmu kanuragan serta kedigdayaan, hanyalah sebagai sarana
kelengkapan seorang ksatrya, sebagai halnya senjata pusaka.
Ilmu atau pusaka, hanyalah alat. Berguna atau berbahayakah ilmu alat itu, tergantung pada
pemiliknya. Yani manusianya. Banyak orang berilmu yang membahayakan manusia, masyarakat
dan negara, karera pikiran dan jiwa orang itu sesat. Senjata dan pusaka akan menjadi alat
pembunuh yang mengerikan apabila tangan yang menggerakkan itu manusia yang berjiwa jahat.
Maka yang pen ng adalah manusia dan letak dari
ndakan dan perbuatan manusia itu
bersemayam pada pikiran dan bertahta pada patin, bersumber pada jiwa.
Maka itulah sebabnya empu Santasmre tak jemu-jemunya mengisi jiwa kedua muridnya dengan
ajaran-luhur dari sifat daa dharma keksa yaan "Angger, berbahagialah ksatrya- ksatrya yang
mendapat kesempatan menunaikan dharmanya, karena untuk mereka seolah olah pintu berbang
surga telah terbuka," kata sang empu meninjam ajaran kitab Bhagawat Gita pada bagian Sri Krishna
memberi wejangan pada Arjuna di medan perang Kurusetra.
"Dan engkau ini Sedayu," kata empu Santasmre kepada Rara Sedayu "walaupun engkau seorang
wanita tetapi janganlah engkau kecewa atau merasa rendah diri. Wunitapun dapat menjadi
prajurit utama seper Wara Srikandi itu. Dan berbhak kepada negara, melaksnakan dharma hidup
di jagadloka ini bukanlah hanya wewenang kaum pria belaka. Pun wanita juga berhak dan
berkewajiban. Pria dan wanita itu hanya dibedakan dari jenis jasmaniah, tetapi ba n dan jiwanya
adalah sama. Maka nini, engkau pun dapat menunaikan dharma-bhak mu kepada negara dan
rakyat." Demikianlah dengan mengemban amanat yang terkandung dalam ajaran-ajaran sang empu itu,
Rara Sedayupun ikut berkecimpung dalam kancah perjuangan menegakkan kewibawaan kerajaan
Singasari. Melihat Ludira hanya tersenyum, Sedayu menegur "Mengapa engkau hanya tersenyum, kakang "
" "Geli," sahut Ludira.
"Geli apa ?" Sedayu heran.
"Geli atas kebodohanku sendiri, Sedayu," kata Ludira "apa yang diucapkan guru memang baru
kurasakan kebenarannya sekarang ini. Bahwa terburu nafsu itu membuat pikiran keruh. Pikiran
keruh membuat kita bingung. Aku ingin cepat-cepat menemukan jejak empu Raganata dan akupun
scgera menyusur ke segala arah. Makin tak berjumpa, akupun makin bingung dan kalap. Makin
bingung, makin hilang tampaknya jejak empu Raganata itu."
Sedayu mengangguk angguk.
"Adakah sampai saat ini kakang belum menemukan arah dan masih teridap dalam
kebingungan?" tanyanya.
"Tidak Sedayu," kata Ludira "karena aku sudah dapat mengatakan kekhilafan itu maka akupun
sudah menyadarinya. Ada tiga fihak yang patut kucurigai."
"O, siapa-siapa sajakah mereka itu, kakang?"
"Daha, Aragani dan candi Bentar. Mereka adalah musuh dalam selimut dari kerajaan
Singisari." Sedayu mengangguk sendat "Tentulah kakang mempunyai landasan, apa sebab kakang
menjatuhkan prasangka kepada mereka, bukan?"
"Ya," sahut Ludira "walaupun eyang Raganata sudah dipindah ke Tumapel namun eyang masih
mempunyai banyak pengikut yang se a di kalangan narapraja. Maka musuh-musuh Singasari tetap
berusaha untuk menyingkirkan eyang Raganata."
"Benar " sahut Sedayu " gurupun mengatakan begitu. Dengan dicopotnya eyang Raganata,
ramaku dan paman Wiraraja, jelas ada golongan tertentu yang hendak melemahkan kekuatan
Singasari. Yang jelas patih Aragani telah membuai seri baginda dengan kesenangan tuak dan
pujian. Tetapi siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang patih Aragani itu, kita belum dapat
mengungkapnya." Ludira mengangguk " Memang mengenai diri pa h Aragani itu, masih sukar diselami. Yang jelas,
dia mempunyai hubungan dengan kepala candi Bentar tetapi dia tak suka dengan Daha. Diapun
tentu menyadari bahwa jika dia memang mengandung maksud untuk merebut tahta kerajaan, jalan
yang akan ditempuhnya tentu penuh bertabur kerikil tajam bahkan duri-duri yang berbahaya. Pa h
Kebo Anengah yang menguasai pasukan, dak mau diajak bersekutu. Beberapa mentri dan
senopa pun demikian juga. Sesungguhnya dalam kalangan mentri senopa kerajaan,
kedudukannya kurang menguntungkan. Dia hanya berlindung di bawah kekuasaan seri baginda
yang dijadikan tiang andalan."
"Sedangkan Daha," Ludira melanjutkan pula "memang lebih berbahaya bagi Singasari. Tetapi
sayangnya seri baginda terlalu percaya pada kekuatannya."'
"Kurasa seri baginda lebih meni kberatkan pada kepercayaan atas ikatan keluarga antara
Singasari - Daha. Bukankah raja Jayakatwang itu menjadi besan baginda?"
"Itupun benar, Sedayu."
"Lalu apa hubungan patung itu dengan hilangnya eyang Raganata" " Sedayu kembali pada
pokok pembicaraan. "Karena belum dapat memas kan pihak mana yang menculik eyang Raganata maka kugunakan
cara begini," sejejak Ludira melayangkan pandang mata ke sekeliling untuk memas kan bahwa di
sekeliling tempat itu ada lain orang yang hadir "Engkau tahu Sedayu, patung Joko Dolok itu dibuat
oleh empu Paramita atas, tah raja Jayakatwang yang akan mempersembahkan kepada seri baginda
Kertanagara." "Ya " "Pa h Aragani tahu akan hal itu. Dan mulailah dia merancang siasat; ia kua r jika seri baginda
makin erat dengan Daha. Sudah tentu kekua rannya itu berdasar pada kepen ngannya sendiri.
Maka dia segera menghubungi candi Bentar dan meminta bantuan kepala candi itu untuk
melenyapkan patung Joko Dolok."
"Agar baginda murka kepada Jayakatwang ?" seru Sedayu.
"Tepat Sedayu," kata Ludira "seri baginda tentu merasa dipermainkan oleh Jayakatwang."
"Dan apakah fihak candi Bentar menyetujui " "
"Tentu saja, karena candi Bentar sudah banyak berhutang budi kepada patih Aragani."
"O, jika begitu kedua pandita itu dari candi Bentar, kakang?"
Ludira mengangguk "Benar. Itulah sebabnya maka kuiku gerak gerik mereka. Kemudian aku
menyamar sebagai salai seorang dari mereka dan menunggu di lereng gunung. Dengan memberi
alasan-alasan yang dapat diterima akhirnya dapatlah aku menyuruh pandita itu pulang ke candi
Bentar dan aku segera kembali hendak mengambil patung itu. Patung itu akan kujadikan suatu
buk untuk menekan Daha dan pa h Aragani ataupun candi Bentar supaya membebaskan eyang
Raganata." "Ah," Sedayu mendesuh kagum "engkau cerdik sekali, kakang. Bukankah rencanamu hendak
menukarkan patung itu dengan kebebasan eyang Raganata?"
"Engkau juga pintar Sedayu," balas Ludira "memang begitulah rencanaku. Mereka sangat
mementingkan sekali patung itu dan tentulah mereka akan mau membebaskan eyang
Raganata. Tetapi ingat Sedayu! Jangan sekali-kali engkau siarkan rahasia ini kepada siapapun
juga. Patung itu adalah keselamatan jiwa eyang Raganata !"
Sedayu mengulangi janjinya. Kemudian ia mengajak Ludira ke tempat ia menyembunyikan patung
"Tetapi hendak engkau pengapakan patung itu, kakang," tanyanya.
"Akan kusembunyi di telatah Tumapel. Penukaran patung itu dengan eyang Raganata akan
kuminta supaya dilakukan di Tumapel," kata Ludira.
Demikian kedua muda mudi seperguruan itu membawa patung ke Tumapel.
"Pandita yang menyiasa empu Paramita itu tentu bingung karena tak mendapatkan kawannya
menunggu di lereng gunung," kata Sedayu di tengah perjalanan.
Ludira tertawa "Biarlah mereka cakar-cakaran sendiri, salah menyalahkan, tuduh menuduh dan
mungkin akan berkelahi, ha, ha .... "
"Kakang, apa saja yang engkau lakukan selama ini?" tanya Sedayu pula.
"Banyak Sedayu," sahut Ludira "bukanlah guru mengajarkan kepada kita supaya jangan
menganggur karena menganggur itu menimbulkan kekosongan. Setiap kekosongan mudah diisi oleh
bisikan iblis." "Uh, meniru guru kalau memberi wejangan, ya"," desuh Sedayu.
"Bukan," sahut Ludira "aku hanya sekedar mengulang kembali ucapan guru agar kita jangan
lupa." "Coba katakan, apa saja yang kakang lakukan selama ini ?"
"Tujuanku menuntut ilmu kedigdayaan bukanlah sekedar untuk penghias kebanggaan diri,
ataupun untuk menjadi seorang jagoan berkelahi. Melainkan untuk suatu tugas mulia, mengabdi
kepada negara. Saat ini Singasari sedang terancam bahaya dari dalam. Ibarat pohon sedang
digerago ulat-ulat dan rayap-rayap. Menjadi tugas yang telah terpaten dalam jiwaku, untuk
membasmi rayap-rayap yang akan merapuhkan Singasari itu."
"Bagus, kakang Ludira," seru Sedayu "memang demikianlah hendaknya pambeg seorang ksatrya
negara itu. Tetapi eh, kakang Ludira, aku merasa heran."
"Heran ?" Ludira terkesiap "apa yang engkau herankan Sedayu ?"
"Mengapa kekang begitu setia sekali kepada Singasari" Bukankah seharusnya kakang
mendendam kepada seri baginda Kertanegara?"
Ludira terkejut "Sedayu! Apa maksudmu?"
"Bukankah seharusnya kakang membalas dendam kepada seri baginda Kertanagara yang telah
membunuh rama kakang .... "
"Cukup Sedayu! " tukas Ludira "siapa yang menceritakan hal itu kepadamu?"
"Bapa guru, kakang Tetapi jangan kua r, aku telah mengangkat sumpah dihadapan bapa guru
bahwa hanya aku seorang diri yang tahu akan rahasia diri kakang dan takkan mengatakan hal itu
kepada siapapun juga."
Ludira menghela napas longgar seolah seper terlepas dari beban berat yang menghimpit
dadanya "Sedayu, kuminta engkau benar-benar melaksanakan sumpahmu di hadapan bapa guru
itu." "Demikianlah sumpahku kepada kakang Ludira."
"Cukup Sedayu," Ludira mencegah "sekarang akan kujawab pertanyaan yang menghuni
dalam hatimu itu. Peristiwa antara ramaku dengan seri baginda Kertanagara itu, adalah
persoalan keluarga, bukan persoalan negara. Tetapi persoalan Singasari adalah persoalan
negara. Kita harus dapat memisahkan kedua persoalan itu pada tempat masing masing."
"Apabila aku lebih mementingkan persoalan keluarga yani membalas dendam rama, tidakkah
aku berdosa kepada bumi dan rakyat Singasari" Sekarang kerajaan Singasari sedang
terancam oleh musuh-musuh dari dalam. Jika aku turut memusuhi baginda Kertanagara,
tidakkah berarti aku ikut membantu usaha musuh-musuh Singasari itu" "
Sedayu mengangguk. "Perjuanganku untuk membela Singasari, adalah berlandaskan pada kewajibanku sebagai
seorang putera pertiwi. Aku tak ingin melihat Singasari hancur dan dikuasai oleh Daha ataupun
oleh kerajaan mana saja. Ini pendirian hidupku. Dan pendirian itu harus murni, bebas dari
warna-warna pamrih ataupun percikan dendam. Aku takkan melakukan balas dendam apabila
hal itu akan mengakibatkan kehancuran Singasari dan penderitaan para kawulanya."
"Engkau benar-benar seorang ksatrya yang ber-pambek perwira, kakang," seru Sedayu.
"Ah, jangan bermanja pujian, Sedayu."
"Kakang Ludira," kata Sedayu "dengan siapa sajakah engkau bekerja selama ini?"
"Karena hal itu kuanggap sebagai tugas panggilan jiwa maka tanpa menunggu harus
menghimpun kawan, aku bekerja seorang diri."
"Kakang," ba- ba Sedayu berteriak "aku, adik seperguruanmu akan mengiku jejak
perjuanganmu. Akulah yang akan membantumu, kakang Ludira."
"Tetapi Sedayu .... "
"Tetapi apa" Apakah engkau meremehkan aku seorang wanita" Wanitapun dapat berjuang untuk
mengabdi negara " "Bukan, sedayu, bukan aku meremehkan engkau sebagai wanita. Kalau wanita seper engkau,
belum tentu dua tiga pria mampu melawanmu."
"Jangan berceloteh, kakang. Aku bersungguh-sungguh ini."
"Maksudku," kata Ludira "mengapa engkau membantu perjuanganku yang jelas membela
baginda Kertanagara " Bukankah engkau juga mempunyai persoalan dalam peris wa dilorotnya
kelungguhan ramamu, rakryan tumenggung Wirakreti itu?"
"Kakang Ludira," seru Sedayu "jika kakang mempunyai dada ksatrya yang dapat menampung
segala persoalan negara, adakah Sedayu tak mempunyai dada selapang itu" Betapapun rama.
hanya dilorot kelungguhan tetapi masih-tetap diangkat sebagai Angabaya, berar masih
mempunyai kesempatan untuk menunaikan dharmanya sebagai seorang mentri kerajaan. Mengapa
aku harus mendendam kepada seri baginda " Tidak kakang Ludira. Sedayu memang puteri
tumenggung Wirakreti tetapi Sedayu mempunyai pendirian sendiri. Sedayu bebas dari segala ikatan
jasa dalam mengabdi kepada Singasari itu."
"Bagus, Sedayu, engkau benar benar Srikandi yang meni s di bumi Singasari. Selama putera dan
puteri Singasari mempunyai pendirian seper kita, dak mungkin Singasari akan hancur," kata
Ludira. Setelah ba di Tumapel maka Sedayupun melanjutkan perjalanan ke Singasari. Mereka berjanji
setengah candra lagi akan bertemu di kediaman Raganata.
"Kakang Ludira memang tak kecewa sebagai seorang ksatrya yang berdarah luhur. Ramanya
pangeran Kanuruhan telah ma dalam peperangan dengan baginda Kertanagara di Glagah Arum,
tetapi dia tetap hendak berjuang membela baginda," demikian masih berkesan dalam ha Sedayu
ketika mengayunkan langkah untuk pulang ke rumah ramanya, tumenggung Wirakreti di Singasari.
-o0~DewiKZ~Ismoyo~Mch~0o"U ungka! " tegur resi Lowara agak keras "mengapa engkau tak menunggu aku di tempat yang
telah kita janjikan itu" "
"Apa ?" pandita U ungka terkejut "bukankah kakang sendiri yang menyuruh aku pulang lebih
dulu?" Demikian pembicaraan yang berlangsung di asrama candi Bentar ke ka malam itu resi Lowara
menemui resi Uttungka. "U ungka! " teriak resi Lowara menyalangkan mata lebar-lebar "aku menyuruhmu pulang "
U ungka, jangan berolok-olok. Bertemu dengan engkaupun dak, mengapa aku menyuruhmu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang " Engkau bermimpi barang kali."
Uttungka tak kurang kejut sehingga ia melonjak bangun dan mencekal tangan resi Lowara, kakang
seperguruannya "Kakang resi, aku dak berolok-olok. Matakupun masih belum kabur. Jelas
kakanglah yang menyuruh aku pulang, mengapa kakang malah marah kepadaku?"
"Om," resi Lowara mengucap doa "demi batara Syiwa, demi batara Buddha dan demi dewa-dewa
yang agung, aku ba kembali di gunung Kawi pada dinihari dan terus langsung menuju ke tempat
pertemuan yang telah kita janjikan itu. Tetapi ternyata engkau tak ada. Maka akupun terpaksa
pulang. Ah, ternyata engkau memang sudah mendahului pulang ke sini."
Mendengar pernyataan itu seke ka pucatlah wajah U ungka. Ia menyadari bahwa sumpah yang
diucapkan resi Lowara itu berat. Tak mungkin Lowara akan bohong. Tetapi diapun merasa jelas
telah bertemu dengan dia di hutan gunung Kawi. Ia gugup dan gemetar "Kakang Lowara, aku
bingung kakang resi. Tolonglah beri penerangan padaku, kakang."
"Tenanglah adi. Ketenangan akan menjernihkan pikiranmu."
U ungkapun pejamkan mata, mengendapkan ketegangan, melarutkan pikirannya yang bergolak
ke alam yang tenang. "Beginilah ceritanya, kakang," beberapa taat kemudian dia berkata "ke ka aku ba di tempat
yang kita janjikan, ternyata kakang, eh ..... karena kakang merasa dak ke sana, maka tentulah
seorang yang telah menyaru seper kakang, sudah menunggu aku di situ. Ia mengusulkan supaya
menanam patung Joko Dolok itu di dalam hutan raja."
"Dan engkau menurut" "
"Ya, karena kuanggap usul itu baik," sahut U ungka "setelah itu kitapun turun gunung. Tiba- ba
ia mengatakan masih ada suatu tugas yang hendak dilaksanakan dan minta supaya aku pulang
lebih dulu. Akupun menurut saja. Tak kusangka ternyata kakang datang menegur aku. Dengan
begitu jelas, ada seorang yang menyamar sebagai diri kakang untuk ....... "
"Celaka! " tukas resi Lowara "kita telah tertipu musuh, Uttungka!"
Uttungka menghempas diri ke tempat duduk. Bayu nadinya serasa luluh lunglai. Dia merasa
bersalah dalam peristiwa itu "Kakang resi, akulah yang bertanggung jawab atas kesalahan ini.
Mari kita laporkan hal ini kepada, guru maharesi."
Lowara gelengkan kepala "Jangan, U ungka. Maharesi tentu akan mempersalahkan kita karena
bertindak kurang hati-hati."
"Biarlah aku yang bertanggung jawab tentang kesalahan itu."
"Tidak, U urgka" seru Lowara "aku juga bertanggung jawab atas kesalahan itu. Karena bapa garu
telah menugaskan kita berdua Lebih baik kita bertindak sendiri untuk menyelesaikan peristiwa itu."
"Bagaimana maksud kakang ?"
"Kita ke tempat itu lagi dan menggali liang penanaman patung itu."
U ungka mengerutkan dahi "Tetapi dakkah orang yang telah menyiasa aku itu sudah
mengambilnya, kakang?"
"Kemungkinan besar memang begitu. Tetapi apa salahnya kita membuk kan hal itu. Dan
barangkali saja nan kita menemukan sesuatu yang dapat menjadi penuntun dalam mencari jejak
orang itu." Malam itu juga kedua pandita dari candi Bentar itupun segera berangkat menuju ke lereng
gunung Kawi pula. Sebagai murid utama dari maharsi Dewadanda, kedua resi itupun memiliki ilmu
kesak an yang hebat. Mereka mengembangkan aji Sepi angin atau ilmu berlari cepat. Keesokan
harinya tibalah sudah mereka di gunung itu.
"Dimana engkau tanam patung itu ?" tanya Lowara.
"Dalam hutan di lereng timur gunung ini" kata Uttungka.
Berdebar-debarlah perasaan Uttungka ketika tiba di tempat penanaman patung itu. Ia
berusaha menghibur diri ketika melihat tempat itu masih tampak seperti semula. Tiada tandatanda bekas dibongkar orang.
Walaupun sudah memiliki prasangka bahwa akan menghadapi hal serupa itu namun adalah
resi Lowara dapat membebaskan diri dari rasa kejut yang menggetarkan ha nya "Ah, patung Joko
Dolok hilang ..... ! "
Tetapi saat itu U ungka menemukan sebuah kotak kecil dalam mbunan tanah di liang itu.
Diambilnya kotak itu lalu dia loncat ke luar dari liang dan terus hendak membukanya.
"Jangan Uttungka," cepat-cepat resi Lowara mencegah.
"Kakang .... " "Kita harus hati-hati menjaga setiap kemungkinan dari siasat orang."
"Maksud kakang kotak ini berisi sesuatu yang berbahaya?"
Resi Lowara mendesuh "Hm, jika sudah berani menyiasa patung, bukan mustahil mereka akan
maju tapak pula untuk mencelakai kita."
Uttungka kerutkan dahi. Tampaknya ia masih bersangsi atas peringatan resi Lowara.
"Antara lain, bisa saja mereka menaruh ular berbisa ataupun binatang lain yang berbisa di dalam
kotak itu sehingga waktu dibuka binatang berbisa itu akan menggigit tangan kita," Lowara
menambah penjelasan lagi untuk menghilangkan keraguan Uttungka.
"Ah," U ungka mengangguk lalu meletakkan lagi kotak kecil itu ke tanah kemudian mengambil
pedang "Bagaimana kalau kuletakkan pedang ini pada tepi kotak. Bila kotak sudah berlubang
tentulah kita dapat mengetahui apa isinya."
Lowara menyetujui. Pedang Utungka ternyata amat tajam. Sekali tabas, tepi kotak itupun terpapas sehingga
berlubang. Tak tampak barang sesuatu yang ke luar dari kotak itu dan U ungkapun menghampiri,
memeriksanya "Ah, hanya kotak kosong, kakang."
Ia terus menjamahnya dan hendak membuka. Tetapi resi Lowara mencegah lagi "Jangan tergesagesa, adi. Ingat, menilik siasat yang telah dilakukan orang itu untuk mengambil patung, kita harus
menganggap bahwa yang kita hadapi saat ini seorang lawan yang julig dan licin. Bukan suatu hal
yang mustahil terjadi apabila lawan semacam itu akan melumuri bagian dalam dari kotak itu
dengan racun yang dapat menghancurkan kulit tangan kita. Baiklah engkau gunakan ujung pedang
untuk membukanya". "Ah, kakang banyak prasangka," desuh Uttungka.
"Bukan prasangka Uttungka tetapi berlaku hati-hati selalu lebih baik," jawab Lowara.
U ungka menurut. Ia gunakan ujung pedang untuk mencungkil tutup kotak itu. Ah, ternyata
kosong melompong. Namun setelah diperiksa dari dekat, ternyata berisi sehelai daun lontar.
Dicukilnya daun itu dari dasar kotak dan berserulah Uttungka "Ah, daun lontar bertulis, kakang."
"O," desuh Lowara seraya maju mendekat dan mengama daun itu "Hm, rupanya surat, dari si
pencuri itu untuk kita, Uttungka. Coba kubacakan:
Ki sanak, Engkau akan mendapatkan patung Joko Dolok itu berada di sini pula, apabila empu Raganata sudah
berada kembali di tempat kediamannya.
Singa Ludira. "Singa Ludira" " ulang Utturgka "siapakah gerangan manusia itu" "
"Jelas seorang lawan yang berdiri di pihak empu Raganata," kata resi Lowara "lawan yang tak
dapat kita abaikan kekuatannya."
"Siapakah golongan yang berdiri di belakang empu Raganata?" tanya Uttungka.
"Raden Wijaya."
"Raden Wijaya senopati yang baru dan calon menantu seri baginda itu ?"
Lowara mengiakan. "Tetapi bukankah raden Wijaya saat ini sedang menuju ke tanah Malayu ?" sanggah Uttungka.
"Ya, benar," jawab Lowara "tetapi para kadehannya masih banyak di Singasari. Nambi, Sora,
Lembu Peteng, Medang Dangdi dan lain lain masih bebas bergerak."
Tiba-tiba terlintas sesuatu pada benak Uttungka.
"Kakang Lowara, engkau benar," serunya sesaat kemudian "diantara nama-nama yang kakang
sebutkan itu, rasanya aku tak tertarik. Tetapi masih ada seorang lagi yang lebih mengundang
kecurigaanku." "Siapa " "
"Lembu Mandira "
"Lembu Mandira?" Lowara menegas.
"Dia putera empu Raganata. Besar kemungkinan dialah yang mencuri patung itu untuk
membebaskan ramanya yang hilang itu."
"Tetapi mengapa dia mengarahkan sasirannya pada patung Joko Dolok" Apakah dia menduga
kalau candi Bentar yang menculik ramanya" "
"Ada dua bahkan ga kemungkinan," sahut Lowara "pertama dia tentu mencurigai fihak Daha,
lalu pa h Aragani. Dan karena candi kita mempunyai hubungan baik dengan pa h Aragani, maka
diapun mencurigai fihak kita juga. Dengan mencuri patung itu, dia akan berusaha untuk menekan
salah satu dari ketiga fihak yang dicurigainya itu, supaya membebaskan ramanya."
"Dengan begitu dia belum tahu jelas siapakah yang menculik ramanya itu, bukan?"
"Ya," kata U ungka "dia hanya memancing-mancing di air keruh. Siapa yang merasa
berkepentingan tentulah akan membebaskan empu Raganata."
"Ah, penilaianmu itu tepat, Uttungka," puji Lowara "hal itu menang bukan mustahil ....... "
"Tetapi kakang resi," tukas Uttungka "dimanakah sebenarnya empu Raganata itu " "
Resi Lowara mengangkat bahu "Aku sendiripun kurang jelas. Baiklah kita tanyakan pada guru.
Tetapi Uttungka, kitapun harus menentukan langkah."
"Bagaimana maksud kakang ?"
"Kita menghadap guru untuk melaporkan peris wa kehilangan patung itu dan meminta
keterangan tentang tempat empu Raganata. Atau melakukan ndakan sendiri untuk menyelidiki
pencuri itu." "Mengenai saran yang pertama," kata U ungka "apabila kita sudah mendapat keterangan
tentang tempat persembunyian empu Raganata, lalu apakah kita mohon kepada guru supaya
berusaha membebaskannya?"
Lowara berpikir sejenak, katanya "Hal itu tergantung keputusan guru. Apakah patung itu
sangat diperlukan atau tetap mempertahankan empu Raganata."
U ungka diam sejenak. Sesaat kemudian ia berkata "Tetapi sebagaimana kata kakang tadi,
melapor pada guru berarti kita melaporkan kelalaian kita."
"Seperti katamu tadi, kita harus berani bertanggung jawab atas kesalahan itu," kata resi Lowara.
"Benar," jawab U ungka "tetapi hal itu berar menyerah pada lawan. Guru tentu membebaskan
empu Raganata untuk mendapat kembali patung itu."
"Hal itu terserah saja kepada guru," kata resi Lowara "tetapi yang kita cemaskan kalau-kalau guru
memang tak mengetahui tempat penahanan empu tua itu."
"Ah," Uttungka mendesah panjang. Ia memandang resi Lowara dengan pandang paserah saja.
Resi Lowara mengangguk pelahan sekali "Ibarat sudah terlanjur basah, lebih baik kita mandi
sekali. Mari kita ke Tumapel untuk menyelidiki Lembu Mandira."
U ungka menganggap ndakan itu memang tepat. Sebelum menghadap maharesi Dewadanda
untuk melaporkan peris wa hilangnya patung itu, mereka akan berusaha sendiri lebih dulu untuk
mendapatkan kembali patung itu.
Malam itu juga mereka ba di Tumapel dan langsung menuju ke gedung kediaman empu
Raganata. Penjaga pintu terkejut menerima kedatangan kedua pandita dari candi Bentar yang
termasyhur itu. "Laporkan kepada empu Adhyaksa bahwa kami utusan dari candi Bentar mohon menghadap,"
kata resi Lowara. Penjaga itupun masuk dan tak lama keluar mempersilakan kedua resi masuk. U ungka terkesiap
lalu mengisar kepala memandang Lowara. Resi Lowara hanya mengangguk pelahan. Rupanya dia
dapat menangkap isyarat yang dipancarkan melalui pandang mata U ungka yang menyatakan
keheranannya atas peris wa yang dihadapi saat itu. Resi Lowara balas mengisyaratkan agar
Uttungka berlaku tenang. Ke ka melangkah ke sebuah ruang besar, kedua pandita candi Bentar itu menyalangkan mata
lebar-lebar melihat seorang lelaki tua, berambut dan berjanggut pu h, tergopoh-gopoh
rnenyongsong. "Maaf, empu, apabila kedatangan kami mengganggu tuan," resi Lowara cepat mengulai
keterkejutannya dengan permintaan maaf.
"Ah, tak apa resi ... "
"Lowara," cepat resi Singasari itu memperkenalkan diri, kemudian memperkenalkan U ungka
pula. Dalam bertukar salam itu Lowara dan U ungka mencurahkan perha an kepada tuan rumah.
Diperha kannya wajah bekas pa h amangkubumi dari Singasari yang kini dilorot menjadi adhyaksa
Tumapel itu, memang penuh keriput ketuaan. Mereka terpaksa mengharuskan diri untuk percaya
walaupun sesungguhnya belum pernah mereka berhadapan muka sedemikian dekat dengan empu
Raganata yang jarang dilihatnya itu.
Rupanya empu Raganata tahu akan hal itu. Namun ia bersikap tenang seolah tak mengetahui.
Setelah membawa kedua tetamunya duduk maka bertanyalah empu Raganata akan maksud
kedatangan mereka. "Pertama, kami membawa pesan baru Dewadanda untuk menghaturkan doa keselamatan
kepada empu yang amat diindahkannya. Kedua kalinya, guru kami akan mohon petunjuk dari
paduka," kata resi Lowara.
"Terima kasih, ki resi," kata empu Raganata dengan nada keparau parauan sebagaimana
lazimnya seorang yang sudah lanjut usia "ah, maharsi terlalu memanjakan diriku se nggi langit.
Pada hal Raganata sudah rapuh, jiwa dan raganya. Untunglah baginda masih berkenan memberi
muka kepada Raganata menjadi adhyaksa di Tumapel sini. Maka berat nian rasa ha ku menerima
kepercayaan sang maharsi dan aku kua r akan mengecewakan harapan sang maharsi yang mulia
itu." "Ah, janganlah empu terlalu merendah diri," sambut Lowara "apa yang hendak dipersembahkan
guru hamba kepada empu, bukanlah sesuatu yang rumit dan menyulitkan empu."
"O. Tetapi aku sudah menjauhkan diri dari urusan pemerintahan dan hidup tenang di Tumapel.
Adakah sang maharsi percaya bahwa aku akan mampu memenuhi harapannya?"
Lowara tertawa "Begini empu. Bukankah tuan sudah mendengar tentang maksud raja Daha
untuk mempersembahan patung Joko Dolok kepada seri baginda."
"O, soal itu " kata empu Raganata " ya, aku memang mendengar juga."
"Guru Dewadanda ingin sekali menerima pendapat empu tentang hal itu."
Empu Raganata menghela napas dan merenung. Beberapa saat kemudian dia berkata
"Sesungguhnya hal itu menjadi wewenang baginda, ki resi."
"Demikianlah," sahut resi Lowara yang tangkas bicara "tetapi seri baginda pun juga meminta
pendapat dari para menteri utama, antara lain ki pa h Aragani, kepala Dharmaadhyaksa ring
Kasoga an, kepala Dharcnadhyaksa ring Kasyiwan, para dang acarrya dan bahkan guru Dewadanda
pula. Guru Devadanda amat menghormat tuan sebagai seorang wreddha mentri yang luas
pandangan dalam soal ketata-prajaan dan ilmu kenegaraan. Maka gurupun mengutus kami berdua
untuk mempersembahkan pemohonan ke hadapan empu."
"Tetapi ki resi," sambut empu Raganata "aku sudah tua
renta dan telah disingkirkan dari urusan pemerintahan kerajaan."
Resi Lowara tcitawa "Hal itu daklah mengurangkan nilai kewajiban tuan sebagai seorang mentri
sepuh, seorang baureksa kerajaan, seorang putera utama dari kerajaan Singasari untuk memikirkan
kepen ngan Singasari. Bahkan pandangan empu itu tentu akan lebih murni, bebas dari segala
ikatan karena empu sudah tak berada di tampuk pimpinan pemerintahan."
Empu Raganata terdiam. Ucapan resi dari esndi Bentar itu memang tajam dan mengena. Ia tak
dapat menghindar lagi. "Semoga demikian, ki resi. Raganata terpaksa harus membalas penghargaan maharesi yang
sedemikian besar. Namun apa yang ku utarakan ini, hanyalah pandangan peribadi dari seorang rua
renta yang sudah rapuh. Dan pandangan itu bukan suatu saran yang mengikat pula."
"Kami siap mendengarkan dengan penuh khidmat," kata Lowara.
Sejenak empa Raganata terdiam, mengatur napas, menenangkan gejolak pikiran ke dalam alur
per mbangan untuk menuju ke arah pembentukan keputusan. Lalu dengan ha -ha ia mulai
berkata "Memang terdapat suatu lik perbedaan pandangan antara seri baginda dengan aku. Seri
baginda menganggap keadaan dalam negeri Singasari sudah aman dan sentausa. Raja-raja didaerah
dan rakyat patuh kepada baginda. Diantara musuh dalam negeri yang paling dipandang sebagai
musuh bebuyutan dan berbahaya, yani Daha, pun telah diikat dengan tali kekeluargaan karena
putera raja Daha pangeran Ardaraja telah dipungut sebagai menantu baginda. Baginda makin yakin
akan kekuatan dalam negeri. Dan karena itulah maka baginda lalu mengarahkan perha an ke luar
daerah diseberang buana."
"Tetapi aku tetap mencemaskan keadaan dalam negeri," kata empu Raganata pula "aku lebih
meni kkan pada usaha mempertahankan, memperkokoh kesatuan dan meningkatkan kemakmuran
rakyat. Jangan sampai kekuatan dalam negeri, terutama pura Singasari kosong, sehingga
menimbulkan rangsang bagi musuh-musuh dalam negeri yang tak tampak itu, terutama Daha,
dapat menggun ng dalam lipatan. Dan pendirian itulah yang menyebabkan aku dilorot sebagai
adhyaksa di Tumapel ini."
"Adakah pendirian empu itu masih tetap tak berobah hingga sekarang ?" tukas resi Lowara.
"Selama keadaan masih belum sesuai dengan pandanganku, selama itu pendirianku takkan
berobah. Bukan pendirian yang merobah keadaan tetapi keadaan yang merobah pendirian."
"Dalam rangka pendirian itu, empu tentu menaruh rasa kecurigaan terhadap persembahan
patung Joko Dolok dari raja Daha itu, bukan ?" resi Lowara mulai menikamkan pertanyaan yang
tajam. "Berlaku waspada adalah langkah yang utama," jawab empu Raganata dengan cara yang sukar
diraba. "Menurut pendapat empu, dapatkah pemberian itu diterima baginda ?" desak Lowara pula.
Empu Raganata mengangguk "Menolak persembahan, mungkin akan menimbulkan
tersinggungnya perasaan raja Daha. Yang pen ng bukan soal menerima atau menolak
persembahan patung itu tetapi meningkatkan kewaspadaan dengan jalan memperkokoh kekuatan
dalam pura," kata empu Raganata.
"Terima kasih, empu. Akan kami haturkan petunjuk empu ini ke hadapan guru," kata resi Lowara
terus minta diri. "Hai, mengapa tuan-tuan amat tergesa-gesa " Bukankah hari sudah malam " Tidakkah tuan
menganggap bahwa pondok Raganata yang kotor ini cukup memadai untuk penampung tuan
semalam ini ?" cegah empu Raganata.
Namun dengan alasan maharsi Dewadanda menghendaki akan menerima keterangan dari empu
Raganata pada malam itu juga karena besok pagi sudah harus menghadap baginda maka resi
Lowara dan Uttangka segera pamit.
Kedua pandita candi Bentar itu bergegas menuju ke lereng gunung Kawi lagi. Dengan sudah
kembalinya empu Raganata di Tumapel, pencuri patung yang menyebut diri sebagai Singa Ludira
itu tentu akan menepati janji untuk mengembalikan patung itu. Demikian anggapan mereka.
Tetapi alangkah kejut dan marah mereka ke ka liang tempat penanaman patung itu masih tetap
kosong. "Hm, penjahat itu memang hendak mempermainkan kita," Uttungka menggeram.
"Atau kemungkinan ..... " resi Lowara kerutkan dahi merenung.
"Kemungkinan bagaimana kakang resi ?"
"Kemungkinan empu Raganata yang berada di Tumapel itu bukan empu Raganata yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesungguhnya?""."
"Kakang Lowara," Uttungka serentak melonjak kaget "maksudmu dia bukan empu Raganata?"
"Ya, kemungkinan begitu," kata resi Lowara.
Tiba- ba pa!a ia berseru keras "Tidak kemungkinan lagi tetapi memang benar-benar dia empu
Raganata palsu ! Ah, mengapa aku sebodoh ini?"
Uttungka makin terbelalak "Bagaimana kakang yakin akan hal itu ?"
Resi Lowara tertawa hambar, sehambar perasaan ha nya yang geram dan kecewa karena merasa
dipermainkan orang. "Apakah engkau masih belum menyadari hal itu, U ungka?" seru Lowara "cobalah engkau
renungkan. Surat dari Singa Ludira itu jelas ditujukan kepada kita. Dia curiga bahwa fihak Bentarlah
yang menculik empu Raganata. Tetapi belum lagi kita ber ndak melaporkan surat itu kepada guru,
mengapa empu Raganata sudah kembali di rumahnya?"
"Ohhhh," pandita U ungka mendesah dan menghunjamkan kakinya ke tanah keras-keras. Tetapi
pada lain saat dia tertegun "tetapi kakang resi, apakah dak mungkin Singa Ludira itu juga
mengirim surat semacam yang kita terima kepada fihak-fihak yang dicurigainya ?"
"Hm." "Mungkin fihak yang menerima surat itu dan kebetulan memang yang telah menculik, empu
Raganata lalu tergesa-gesa mengembalikan empu."
"Tidak mungkin, Uttungka! "
"Bagaimana tak mungkin kakang" "
"Patung itu berada pada kita. Lalu apa yang dibuat pegangan fihak itu sehingga Singa Ludira
perlu memberi tekanan kepada mereka" Apa yang harus atau berharga untuk dipertukarkan
dengan kebebasan empu Raganata itu " "
U ungka tertegun. Sanggahan Lowara mema kan langkahnya. Akhirnya ia menerima alasan
Lowara mengenai ke dak keaseliannya empu Raganata di Tumapel itu "Jika begitu mari kita
kembali ke Tumapel untuk meningkus empu gadungan itu ! " serunya geram
Namun resi Lowara hanya merenung diam.
"Bagaimana kakang resi?" desak Uttungka,
"Aku sedang berpikir mencari alasan kedatangan kita kepada empu Raganata itu. Walaupun kita
percaya dia bukan empu Raganata tetapi kita harus mempunyai alasan juga untuk menemuinya.
Dan .... andaikata dugaan kita ini meleset, dia memang empu Raganata yang sesungguhnya
bagaimana kita harus memberi alasan?"
U ungka terkesiap. Ia menyadari bahwa dirinya terlalu diburu ketegangan. Apa yang dikatakan
Lowara itu rremang benar.
Akhirnya resi Lowara berkata juga " Baiklah kita atur supaya kita datang ke tempat kediaman
empu Raganata pada malam hari saja. Alasan kita, karena disuruh pula oleh guru untuk
menyampaikan pesan."
"Pesan apa, kakang resi ?"
"Ah, nanti kita pikirkan lebih lanjut. Sekarang mari kita berangkat kembali ke Tumapel."
Keduanya tak mau cepat-cepat menempuh perjalanan. Mereka memperhitungkan agar pada esok
malam dapat tiba di Tumapel.
Penjaga pintu gedung kadhyakian terkejut ke ka menerirra kedatangan kedua resi dari candi
Bentar itu. "Kami hendak menyampaikan pesan pen ng, kepada empu," cepat cepat resi Lowara menghapus
keheranan penjaga pintu itu dengan sebuah alasan yang tepat.
"O," desuh penjaga pintu itu "tetapi sayang empu pergi ke Singasari" "
Resi Lowara dan U ungka terkejut. Mereka tak pernah mengira akan kemungkinan hal seper
itu. "Benarkah itu?" Lowara menegas.
"Benar," sahut penjaga pintu "mengapa aku harus berbohong resi ?"
"Bilakah empu berangkat ke Singasari" "
"Pi?gi tadi " "Mengapa dia ke Singasari " "
"Atas titah seri baginda."
Lowara terpaksa mengajak U ungka berlalu. Di tempat sepi Lowara berhen , bisiknya "Nan
menjelang tengah malam kita lakukan penyelidikan ke dalam gedung empu Raganata."
"Kakang resi menyangsikan keterangan penjaga pintu itu?" tanya Uttungka.
"Apakah engkau sendiri percaya penuh kepadanya ?" balas Lowara.
U ungka terbeliak. Karena dicengkam rasa gelisah dia tak sampai mencapai pemikiran ke situ
"Ya, baiklah. Malam nanti kita masuk ke gedung empu itu."
Setelah malam ba dan Tumapel seolah olah ter dur lelap, dua sosok bayangan menuju ke
gedung kediaman empu Raganata. Tetapi kedua orang itu dak mengambil jalan dari pintu depan
melainkan melingkar ke samping gedung memanjat pagar tembok lalu loncat turun ke dalam
lingkungan gedung. Mereka terkejut mendengar bunyi kentung penjaga gedung yang melakukan ronda malam.
Terpaksa mereka harus bersembunyi di tempat yang gelap. Setelah peronda itu lalu, barulah
mereka mulai menyelinap masuk ke dalam gedung.
Ruang pendapa gelap. Demikianpun ruang tengah. Dengan langkah seringan daun gugur, mereka
berjingkat-jingkat masuk kebagian ruang pringgitan. Mereka duga empu Raganata tentu berada
dalam salah sebuah bilik.
Sambil berjalan mata mereka meni bentuk ap bilik yang berada dalam ruang itu. Akhirnya
pandang mata mereka mendarat pada sebuah bilik yang besar.
Dengan ha -ha pula mereka mengeluarkan sebilah pisau dan mulai mengupas grendel pintu.
Lowara memberi isyarat agar U ungka menunggu di depan pintu sementara dia masuk untuk
menangkap empu Raganata. Agak berdebar juga ha resi Lowara ke ka melihat sesosok tubuh membujur di atas tempat dur
dengan berselimut kain tebal.
Setelah memas kan bahwa orang yang dur itu tak mengetahui kedatangannya, resi Lowara jalu
mengeluarkan sehelai kain dan secepat kilat mendekap tubuh berselimut itu. la hendak meringkus
dan menyumbat mulut empu Raganata agar jangan sempat berteriak.
"Hai ..... ! " bagaikan tersambar petir, resi Lowara memekik kaget dan loncat mundur.
Mendengar teriakan itu Uttungka serentak menerobos masuk "Mengapa kakang resi" "
"Kita ter pu lagi!" sahut resi Lowara sambil menunjuk tubuh yang terbungkus selimut "itu bukan
orang tetapi bantal ... "
"Keparat!" terlepaslah sebuah makian dari mulut pandita U ungka. Ia merasa benar-benar telah
dipermainkan orang dengan semena-mena. Kemudian ia mengajak "Mari kita geledah seluruh
rumah ini." Kedua pandita dari candi Bentar itupun segera melangkah ke luar. Ke ka membuka pintu,
mereka mendesuh kejut ke ka melihat sesosok tubuh tegak menan dengan mengulum senyum
tawar. Tubuh itu milik seorang pemuda cakap yang tegak sambil berteliku tangan.
"Siapa engkau!" seru Lowara.
Pemuda itu tertawa ringan "aneh, umumnya penjahat tentu takut kepada yang empunya rumah
tetapi mengapa terdapat juga penjahat yang berani menyapa tuan rumah" Mungkin inikah yang
disebut orang sebagai penjahat kurang ajar itu" Ha, ha, ketahuilah, aku adalah Lembu Mandira,
putera empu Raganata."
"Oh," kedua pandita itu mendesuh kejut pula "dimanakah empu sekarang?"
"Mengapa hendak mencari rama?" balas Lembu Mandira "apa keperluannya?"
"Kami utusan candi Bentar perlu hendak menyampaikan pesan pen ng kepada empu," sahut resi
Lowara. Lembu Mandira tertawa "Begitukah cara pandita menemui orang" Bukankah sore tadi kalian
sudah diberitahu penjaga bahwa rama ada di rumah" Mengapa kalian masih tetap menyelundup
kemari pada waktu tengah malam begini ?"
Lowara dan U ungka saling berpandangan. Kata-kata Lembu Mandira itu memang
mangena.sekali. "Raden, engkau berhadapan dengan pandita yang menjadi utusan candi Bentar, candi terbesar di
Singasari dan candi yang paling dihorma para kawula. Hendaknya janganlah engkau bicara sekasar
itu," kata resi Lowara.
Lembu Mandira menjawab "Aku bicara menurut apa yang harus kukatakan. Terhadap panditapandita dari candi Bentar, akupun menaruh hormat. Tetapi terhadap pandita, sekalipun mengaku
dari candi Bentar, apabila ber ngkah laku seper kalian ini, tentu akan kuperlakukan sesuai
dengan ulah kalian!"
"Katakan, di mana empu Raganata," seru Uttungka setengah menghardik.
"Menghadap baginda di pura Singasari," sahut Lembu Mandira.
"Benarkah itu?" Uttungka menegas.
Lembu Mandira tertawa mengejek "Jangan mengukur baju orang dengan badanmu. Jangan
mencurigai keterangan orang karena engkau sendiri bertindak salah, pandita."
"Hm, engkau congkak sekali. Beda dengan ramamu, empu Raganata," tegur resi Lowara.
Lembu Mandira tertawa dingin "Kutahu, resi, bahwa sikap congkak itu memang tak baik. Tetapi
kurasa ada kalanya kecongkakan itu diperlukan juga bilamana menghadapi orang-orang yang tak
kenal tata susila." "Jangan banyak mulut! " bentak Uttungka "sekali lagi kutanya, di mana empu Raganata! "
Lembu Mandira tertawa mencemoh "Mengapa aku harus menyembunyikan rama" Rama benarbenar di tahkan menghadap seri baginda di pura kerajaan. Bilamana engkau hendak
menyampaikan pesan, sampaikanlah kepadaku. Nan akan kusampaikan kepada rama apabila
rama pulang." "Tidak," Uttungka menolak "kami harus menemui empu Raganata sendiri. Jika engkau tak
mau menunjukkan kamipun akan bertindak sendiri ... "
"Apa katamu ?" Lembu Mandira nyalangkan mata.
"Akan kugeledah rumah ini!"
"Engkau hendak menggeledah rumah ini, pandita" Ha, ha ..... hak apa engkau berari melakukan
ndakan semacam itu ?" seru Lembu Mandira makin geram "Kalian hanya utusan dari candi Bentar,
bukan dari kerajaaan. Hem, besar sekali nyalimu hendak menggeledah rumahku ini."
"Anakmuda, engkau ..... " belum sempat U ungka menyelesaikan kata-katanya, resi Lowara
sudah memberi isyarat supaya dia berhen . Kemudian resi itu berkata "Raden, bilakah empu
Raganata kembali ke Tumapel " Bukankah beberapa waktu yang lalu empu telah diambil orang ?"
"Apa maksud kata-katamu itu ?"
"Bukankah beberapa waktu yang lalu empu Raganata telah diculik?"
Lembu Mandira kerutkan alis "Aneh, dari mana engkau memperoleh berita itu " Pada hal selama
ini rama tetap berada di rumah saja."
Kembali kedua pandita itu bertukar pandang. Resi Lowara mengangguk pelahan dan
Uttungkapun segera berseru "Raden, jelas engkau bohong !"
"Apa katamu!" Lembu Mandira memberingas.
"Empu Raganata memang telah diculik orang, jangan engkau menyangkal. Nah, dengan dasar
penyangkalanmu terhadap kenyataan, akupun tak percaya lagi pada keteranganmu saat ini bahwa
empu Raganata tak berada di rumah. Engkau tentu bohong pula."
"Setan! " teriak Lembu Mandira tak dapat menguasai diri lagi "belum kuminta engkau
mempertanggung jiwabkan ndakanmu berani masuk ke rumah ini tanpa idin, sekarang engkau
berani mengatakan aku bohong dan bahkan berani pula hendak menggeledah rumah ini. Hm,
kudengar para pandita candi Bentar itu sak -mandraguna sekali. Hayo, keluarkanlah ilmu
kedigdayaanmu pandita, agar kalian dapat meninggalkan rumah ini dengan selamat."
Uttungka mengerling ke arah resi Lowara dan resi itupun memberi anggukan kepala.
"Baik, anakmuda. Rupanya engkau memang seper anak kambing yang tak takut terhadap
harimau. Akan kululuskan permintaanmu itu," seru U ungka seraya maju selangkah ke hadapan
Lembu Mandira dan mengambil sikap.
"Walaupun tak kuundang engkau adalah tetamu," sera Lembu Mandira "silakan engkau yang
memulai lebih dahulu."
"Baik," sahut Lembu Mandira tak mau banyak cakap lagi. Ia terus membuka serangan dengan
sebuah tinju yang dilayangkan ke dada orang. Sedang tangan kiri yang terbuka, menabas lambung.
"Bagus, anakmuda," seru U ungka seraya mengisar tubuh ke samping, menghindari tabasan
seraya menyambar pergelangan tangan Lembu Mandira. Sebuah gerak yang indah. Menghindar
sekaligus balas menyerang.
Tetapi Lembu Mandira bukan seorang lawan empuk yang mudah ditelan begitu saja. Ia
mengendapkan nju ke bawah, selekas terhindar dari cengkeraman orang, iapun segera
menyerempaki dengan mengisar langkah lalu ayunkan tinju ke perut orang.
U ungka terkejut, jarak sedemikian dekat sehingga tak mungkin lagi ia sempat menarik tangan
untuk menangkis. Dengan menggeram marah ia loncat ke belakang. Tetapi sebelum kaki sempat
menginjak tanah, Lembu Mandira sudah loncat membayangi. Pandita itu tak diberi kesempatan lagi
untuk mengatur diri. Diserangnya pandita itu dengan pukulan sederas hujan mencurah, diseling
pula dengan tendangan yang menyambar-nyambar bagai kilat.
Jelas bahwa U ungka telah terdesak di bawah angin. Melihat itu Lowara tak dapat berpeluk
tangan lagi. Serentak diapun hendak loncat untuk menghantam punggung pemuda itu. Tetapi
sebelum sempat mengayun tubuh, terdengarlah suara tawa yang tajam dan panjang dari arah
belakang. "Wahai, pandita candi Bentar, layakkah kalian hendak mengerubut seorang anakmuda ....... ! "
Lowara hen kan gerakannya dan cepat berputar tubuh ke belakang. Dilihatnya pada jarak
sepuluhan langkah dari tempatnya, tegak seorang yang mengenakan kerudung menutup hidung
sampai ke bawah dagu. Dari bentuk wajahnya, orang itu masih muda. Dan yang menonjol adalah
sepasang biji matanya yang memancarkan sinar berkilat-kilat tajam menikam.
"Siapa engkau!" seru resi Lowara sambil bersiap-siap.
Orang itu tertawa datar "Ah, tak perlu engkau tahu namaku."
"Apakah engkau tak berani menyebut namamu" "
"Bukan tak berani," sahut orang itu dengan tenang "tetapi aku kasihan kepadamu."
"Kasihan" Mengapa harus kasihan?" resi Lowara makin heran.
"Karena namaku itu hanya akan membuat engkau pingsan ... "
"Ah," resi Lowara menggeram "sesungguhnya namamu itu tak pen ng bagiku. Hanya aku ingin
supaya jangan sampai aku salah membunuh orang. Dan begitu pula agar jika kelak engkau ma ,
akupun dapat mengirim doa supaya engkau mendapat tempat yang layak."
"Ha, ha, ha ..... " kembali orang itu tertawa nyaring "orang mengatakan bahwa yang gemar
membunuh orang itu hanya kaum penjahat dan pembunuh yang tak berperi-kemanusiaan. Tetapi
ternyata seorang resi yang mengajarkan dharma welas asih juga gemar membunuh orang. Ua, resi
keranjingan itu namanya! "
Merah muka resi Lowara mendengar cemoh itu "Kutahu bangsa kura-kura yang menyembunyikan
mukanya tentu tak berani juga untuk menyebut namanya."
Orang itu tertawa pula. "Bukan karena tak berani tetapi aku kasihan kalau engkau sampai kelenger nan . Pada hal
bukankah engkau akan menghadapi aku ?" serunya.
"Hm, apa ar nama seekor kus kecil seper engkau. Bahkan andaikata engkau bernama Kubilai
Khan, pun aku takkan terkejut"
"Benarkah itu?" orang itu masih menggoda.
"Huh," dengus resi Lowara.
"Baik," kata orang itu "sekarang dengarkan dan bersiaplah menahan debur jantungmu. Aku
hendak memberitahu namaku. Namaku memang sepele tetapi bagi pendengaranmu pas akan
terasa seperti petir menyambar !"
Resi Lowara hampir tak dapat menahan kesabaran karena merasa diperoleh orang dengan habishabisan. Tetapi sebelum ia sempat membentak, ba- ba orang itu sudah melantang "Namaku
Singa Ludira ... " "Hai ... " serentak resi Lowara terbeliak dan menyurut mundur selangkah. Sedemikian besar rasa
kejut yang menikam ha nya sehingga ia tergetar mundur kemudian berdiri terlongong -longong
seperti pantung. Duk ..... auh ..... ba- ba terdengar bunyi tubuh terhunjam nju, disusul dengan jerit kesakitan
lalu tubuh yang menggedebuk jatuh ke lantai.
Lowara seper tersentak dari mimpi. Serentak ia ia berpaling ke arah bunyi itu dan ah .....
kejutnya makin mengoyak ha . Kiranya U ungka sudah menggeletak di lantai. Jelas dia telah
menderita kekalahan. Kiranya pada saat orang aneh itu menyebutkan nama Singa Ludira, U ungka juga mendengar
dan dia-pun menderita kejut seper disambar pe r. Seke ka dia tertegun. Tepat pada saat itu
Lembu Mandira sedang melayangkan pukulannya. Pukulan itu tepat menghunjam dada U ungka.
Tak ampun lagi pandita dari candi Bentar itupun segera terjungkal rubuh ke belakang.
"Ha, ha, lihatlah," seru orang aneh itu "mendengar namaku, kawanmu sudah pingsan. Dan
sekarang akan tiba giliranmu untuk mencium lantai."
Resi Lowara dak sempat berpaling untuk meninjau keadaan U ungka karena saat itu ia harus
memper mbangkan langkah untuk menghadapi nju si orang aneh yang hendak mendarat di
dadanya. "Bagus," orang aneh yang menyebut dirinya bernama Singa Ludira itu berseru memuji ke ka
dalam keadaan yang sudah amat terjepit ternyata Lowara masih dapat menggelincirkan tubuh ke
samping lalu berayun ke muka. Suatu penghindaran yang mengejutkan sekali seolah lolos dari
lubang jarum. Apabila setelah condong ke samping pandita itu terus loncat mundur sebagaimana lazimnya
dilakukan se ap orang yang menghindari pukulan lawan, tentulah Singa Ludira akan segera locat
membayanginya karena dia sudah memperhitungkan langkah itu dan siap akan ber ndak. Tetapi
ternyata apa yang diduga Singa Ludira itu salah. Bukan loncat mundur, kebalikannya resi Lowara
malah loncat maju ke depan. Dengan demikian karena salah hitung, orang aneh itupun tertegun
dan dapatlah resi Lowara lolos.
"Hm, sambutlah balasanku," seru resi Lowara yang secepat berkoar terus melancarkan serangan
dahsyat. Singa Ludirapun tak berani memandang rendah lagi. Dalam gebrak pertama tadi, ia mendapat
kesan bahwa resi Lowara itu memang berisi. Andaikata lain orang tentu tak mungkin dapat
meloloskan diri dari serangannya yang mengejutkan tadi.
Demikian keduanya segera terlibat dalam serang-menyerang yang gencar dan dahsyat. Tiap
langkah dan gerak mempunyai ar yang dapat merobah kedudukan. Hanya sejenak Singa Ludira
tadi telah tertegun, walaupun ia segera berkisar tubuh untuk menghadapi serangan resi Lowara
namun kedudukannya sudah berobah. Dari fihak yang menyerang, kini Singa Ludira menjadi fihak
yang diserang. Serangan resi Lowara memang bukan olah olah dahsyat, gencar lagi keras. Resi itu telah
menumpahkan seluruh ilmunya untuk merubuhkan Singa Ludira. Karena dengan dapat
menangkap orang itu, dapatlah ia memperoleh kembali patung Joko Dolok yang dicurinya itu.
Sebagai murid pertama dari maharsi Dewa-danda, Lowara mendapat juga ilmu ulah kanuragan
dan kedigdayaan. Melalui petunjuk dari maharsi Dewadanda, dia dapat menguasai pernapasan
atau ilmu Prana untuk menyalurkan tenaga sakti Cakram Ana Hata dan Cakram Manipura.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam sebuah serangan yang gegirisi, Singa Ludira tak sempat menangkis. Dia terpaksa harus
menghindar. Tetapi baru hendak berputar tubuh, tinju resi Lowara sudah melayang ke bahunya.
"Celaka," diam-diam Singa Ludira mengeluh. Ia merasa kali ini jelas tentu harus menderita
pukulan lawan. Karena untuk menangkis maupun menghindar sudah tak sempit lagi maka satusatunya jalan hanyalah mengerahkan tenaga mengencangkan bahu untuk menyambut pukulan
lawan. "Krakkkk .... "
Sesosok tubuh melayang dan tiba-tiba menghantam tinju Lowara. Terdengar bunyi berderak
keras ketika dua kerat tulang tangan saling beradu keras. Resi Lowara tertegun, tinjunya
terhenti. Tetapi orang yang menyongsong tinjunya itupun lebih menderita lagi karena harus
terpental tiga langkah ke belakang.
"Engkau Lembu Mandira ..... pengecut!" ke ka melihat bahwa orang yang menyambut njunya
tak lain dari Lembu Mandira maka resi Lowarapun marah dan memakinya.
"Apa yang engkau sebut pengecut itu ?" balas Lembu Mandira.
"Engkau menyerang secara pengecut! "
"Aku tidak menyerang melainkan menahanmu."
"Apakah itu bukan pengecut juga" "
"Tidak !" sahut Lembu Mandira.
"Tidak ?" "Ya, kukatakan dak. Karena inilah rumahku, aku berhak penuh untuk melarang se ap manusia
yang hendak mengacau di sini."
"Setan ... " "Dan terhadap seorang pandita yang kurang tata memasuki rumah seper seorang perampok,
memang tak perlu harus yang memakai tata peraturan lagi," seru putera empu Raganata itu pula.
"Mandira, menyingkirlah! " di luar dugaan ba- ba Singa Ludira menghardik penuh kemarahan.
Matanya berkilat-kilat memandang Lembu Mandira penuh dendam amarah.
Lembu Mandira terkesiap. "Kakang, dia hampir mencelakai dirimu," serunya sesaat kemudian.
"Ya, benar. Tetapi baru hampir, belum mencelakai dan memang tak mungkin dapat mencelakai
diriku" Apakah engkau kira aku tak mampu menghindarkan diri dari serangannya tadi?" seru Singa
Ludira masih menggeram. Lembu Mandira tersipu-sipu. Ia menyadari bahwa ia telah melanggar peraturan. Memang ia
bermaksud baik tetapi dengan ndakan itu ia memang mencemaskan bahwa orang aneh itu tak
dapat menghindar. Dan jelas hal itu tentu menyinggung perasaan orang itu. Sebagai seorang
ksatrya muda, setelah menyadari kekhilafannya, diapun tak malu untuk serta merta meminta maaf
dan lalu mundur. "Ha, ha, ha," resi Lowara tertawa mencemoh "Singa Ludira, mengapa engkau suruh dia mundur"
Bukankah sebaiknya kalian maju berdua saja agar dapat menghemat tenaga dan waktuku?"
"Pandita," sahut Singa Ludira "jangan menepuk dada dulu sebelum pertempuran ini berakhir.
Apa engkau kira aku sudah kalah karena seranganmu tadi?" .
Resi Lowara tertawa mencemoh "Engkau memang tak merasa tetapi ndakan Lembu Mandira
untuk gopoh menolongmu tadi, suatu buk yang berbicara bagaimana keadaanmu tadi apabila dia
tak menahan tinjuku."
"Hm," geram Singa Ludira "menang kalah dalam pertempuran adalah sudah jamak. Dapat
memukul sekali dua kali pada lawan, bukan msnjadi suatu penilaian bahwa engkaulah yang akan
menang, sebelum pertempuran kita ini selesai. Ya, kutahu. Memang pandita-pandita candi Bentar
terkenal memiliki ilmu Prana yang nggi. Kabarnya maharesi Dewadanda gurumu itu telah berhasil
mencapai tataran ke tujuh dari ilmu Pranayama ...."
"Aku tak membanggakan hal itu. Namun apabila engkau sudah tahu, seharusnya engkaupun
harus tahu diri," sahut resi Lowara.
"Sebagai murid pertama dari candi Bentar, engkau tentu memiliki ilmu Prana yang hebat juga.
Namun sampai dimana kehebatan dari ilmu itu, marilah kita uji," seru Singa Ludira pula.
Ilmu Praaayama yalah ilmu- pernapasan dalam samadhi. Walaupun sesungguhnya Pranayama itu
untuk pengantar mencapai ngkat ter nggi dari samadhi yalah Kamoksan atau pelepasan ba n
dari segala keruwetan pikiran. Namun ilmu Prana itupun dapat memberi penguasaan pada
peredaran darah, pemusatan pikiran dan pengerahan tenaga-in dalam tubuh manusia. Dan
penguasaan itu apabila diserapkan kedalam ilmu ulah kanuragan atau tata kelahi maka akan
menjadikan setiap gerak tangan maupun kaki dari ilmu kanuragan itu makin dahsyat kekuatannya.
Diam-diam Lowara terkejut juga mendengar ucapan Singa Ludira. Namun segera ia menindas rasa
kejut itu dengan sebuah tekad untuk menangkap Singa Ludira yang di umpankan dalam sebuah
serangan keras. Ia ingin mengadu kekerasan dengan Singa Ludira. Mudah-mudahan Singa Ludira
mau menangkis pukulannya itu sehingga ia dapat memperhitungkan kekuatan orang itu. Dan agar
lawan terangsang untuk menangkis, sengaja ia mengangkat tangannya keatas untuk memukul.
"Ah," diam-diam resi Lowara mendesuh heran karena di luar dugaan Singa Ludira tak mau
menangkis tetapi menghindar ke samping. Disusulkannya lagi sebuah pukulan yang deras untuk
memaksa supaya lawan menangkis. Tetapi untuk yang kedua kalinya pula, Singa Ludira menyurut
mundur. "Aneh," diam-diam Lowara berkata dalam ha "hm, rupanya dia mengandung maksud tertentu.
Baiklah, akan kuserangnya dari dua arah supaya tak dapat menghindar lagi."
Gerak serangan ke ga yarg dilancarkan resi itu memang luar biasa cepat, dahsyat dan hebat.
Tangan kanan dan kiri serempak menyilang ke dada dan rusuk seper orang menggun ng. Ia yakin
kali ini lawan tentu terpaksa menungkis.
Tetapi untuk yang ke ga kalinya, Lowara terbeliak heran ke ka ba- ba orang itu
mengendapkan tubuh ke bawah, berjongkok lalu ba- ba melambung ke udara dan melayang
turun beberapa belas langkah jauhnya.
"Hai, apakah maksudmu selalu menghindar itu?" tegur resi Lowara.
"Sebagai penebus maaf atas kelancangan Lembu Mandira yang menggempur engkau tadi, aku
akan mengalah sampai tiga kali," seru orang berkerudung itu.
"O," desuh Lowara diam-diam merasa malu hati "itu kehendakmu sendiri. Sama sekali aku
tak menginginkan bahkan malah minta kalian berdua supaya maju serempak."
"Tangguhkan dulu ucapanmu itu apabila engkau sudah mampu mengalahkan aku," sambut orang
berkerudung itu. Resi Lowara secara tak sadar merasa terhina atas ndakan dan kata-kata orang berkerudung itu.
Betapa dak. Orang itu tak mau balas menyerang sampai ga kali dan ternyata memang mampu. Di
kalangan candi Bentar yang mempunyai beribu-ribu murid, Lowara termasuk yang paling nggi
ngkatannya. Dia dianggap sebagai wakil dari maharesi Dewadanda. Bagaimana mungkin dapat
diterima akal bahwa dia tak mampu merubuhkan seorang lawan yang tak mau balas menyerang
sampai tiga kali. "Baik," seru resi Lowara dalam luapan amarah yang menghanyutkan ketenangan dan kesadaran
pikirannya "sambutlah pukulanku ini."
Tampaknya pelahan sekali ayun tangan resi Lowara itu. Tetapi pada waktu sambaran angin
pukulan ba, terkejutlah Singa Ludira. Tenaga pukulan resi itu bagaikan air bengawan yang tak
beriak tetapi sukar dijajagi dalamnya.
"Astacandala!" seru Singa Ludira menyebut nama ilmu pukulan resi Lowara.
Resi Lowara terkejut dalam ha . Memang pukulan yang dilancarkan itu menggunakan aji
Astacandala, salah sebuah gerak dalam lambaran aji Tantra. Suatu pengerahan tenaga-in dari
Cakram Manipura atau pusar, lalu disalurkan ke lengan tangan. Kedahsyatannya mampu
menghancurkan segunduk batu karang.
Dan kejut resi Lowara itu makin meluap ke ka dilihatnya orang berkerudung muka itu membuka
telapak tangan kiri ke bawah dada lalu ke ga jari tangannya bergerak-gerak membentuk sebuah
lingkaran. Desssss .... terdengar bunyi keras meranggas macam api tersiram air.
"Witarkamudra!" seru resi Lowara kejut-kejut terkesiap. Mudra yalah sikap tangan di kala orang
melakukan samadhi. Ada enam macam mudra dalam persamadhian itu. Dan pandita Lowara itu
heran mengapa lawan dapat menggunakan sikap mudra menjadi sebuah gerak tata bela diri.
"Siapa engkau! " teriaknya.
Orang aneh itu tertawa datar "Bukankah sudah kusebutkan namaku kepadamu tadi" "
"Itu bukan namamu yang sesungguhnya! "
Orang aneh itu tertawa datar "Yang pen ng bagimu, bukanlah untuk mengetahui namaku tetapi
untuk mengalahkan aku. Silakan engkau keluarkan ilmu simpananmu lagi agar akupun mempunyai
kesempatan untuk meneli sampai dimanakah tataran yang telah kucapai dalam pengajian
ilmuku." Merah padam wajah resi candi Bentar itu. Amarahnya makin berkobar "Hm, rupanya engkau
murid seorang sakti yang menganut aliran agama Syiwa atau Buddha."
"Dugaanmu tepat," sambut orang aneh itu "memang aliran yang kupeluk sama dengan agama
yang engkau anut. Sama tetapi berbeda."
"Apa maksudmu" "
"Sama aliran agamanya tetapi berbeda ajarannya. Ajaran agama dari guruku mengajarkan
dharma yang baik tetapi aliran agamamu mengajarkan engkau supaya menjalankan dharma yang
buruk." "Jangan bermulut lancung!" Lowara lontarkan sebuah pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Angin
yang terpancar dari pukulannya itu menderu-deru seper prahara "Hayo, katakanlah nama ilmu
pukulanku ini!" serunya.
Lembu Mandira terkejut. Diam-diam ia bersyukur dan menyadari mengapa orang aneh yang
menyebut diri dengan nama Singa Ludira itu mengusirnya dari medan laga. Kiranya Singa Ludira
sudah dapat menilai kesak an resi dari candi Bentar itu tentu hebat. Memang diam-diam ia
mengakui pula, bahwa andaikata ia yang menghadapi, tentulah sudah rubuh di bawah pukulan resi
itu. Dalam pada itu, diam-diam Singa Ludira sendiri juga bingung. Ia tak tahu ilmu apa yang tengah
dilancarkan resi itu. Tetapi dia tak mempunyai banyak peluang untuk merenungkan hal itu karena
saat itu angin pukulan lawan sudah melandanya, sesaat kemudian nju tentu akan ba. Cepat ia
songsongkan kedua telapak tangan ke muka perut lalu diputar-putarnya.
"Ha, ha, Dharmacakramudra," seru resi Lowara mencemoh gerak pembelaan diri Singa Ludira.
Derrrrr..... Singa Ludira terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang lalu rubuh terduduk di lantai.
"Kakang ....... ! " melihat itu Lembu Mandira berteriak kaget dan serentak loncat menghampiri.
Tetapi ia hen kan tangannya yang hendak menjamah tubuh Singa Ludira ke ka melihat Singa
Ludira sedang pejamkan mata melakukan prana atau ilmu pernapasan untuk menyalurkan
peredaran darah dalam tubuhnya.
Melihat Singa Ludira masih dapat bersamadhi, legalah ha Lembu Mandira. Walaupun tak tahu
bagaimana keadadaan luka yang diderita Singa Ludira namun Lembu Mandira tak mencemaskan
keselamatan jiwa orang itu. Jelas Singa Ludira masih dapat sadar. Kini Lembu Mandira beralih
pikiran untuk mengetahui keadaan resi Lowara. Ia harus melakukan pembalasan kepada resi itu.
Walaupun ia tahu bahwa resi itu amat sak namun ia bertekad untuk menghadapinya. Kalau perlu
ia bersedia untuk mengorbankan jiwa raganya.
"Hai, kemana dia ....... ! " serentak Lembu Mandira memekik kaget ke ka berpaling dan tak
mendapatkan resi dari candi Bentar itu berada dalam ruangan. Bahkan resi U ungkapun ikut
lenyap. Cepat Lembu Mandira berbangkit dan lari memburu ke pintu.
"Ah ..... " ba- ba pula ia terbeliak dan tertegun seper patung demi melihat sebuah
pemandangan yang hampir tak dapat dipercayainya. Ia mengusap-usap kelopak mata, lalu
merentang lebar-lebar memandang ke muka.
"Mandira, apa yang engkau herankan" Masa engkau lupa kepada ramamu .... "
"Rama .... benarkah engkau ini rama Raganata ?" seru Lembu Mandira ke ka melihat dua orang
tua berdiri pada. jarak empat lima langkah di luar pintu.
Kedua pria tua itu hampir serupa perwujutannya. Sama-sama berambut putih daa berjanggut
putih menjulai menutup dada. Sama-sama pula kurus dan tingginya dan sama-sama pula
memiliki wajah yang memantulkan wibawa seorang cendekia. Bedanya hanyalah, yang satu
mencekal sebatang tongkat kayu berbentuk melingkar-lingkar. Dan yang seorang tidak
membawa apa-apa. "Adakah engkau masih bersangsi, anakku " Adakah engkau mengira di telatah Singasari dan
Tumapel ini terdapat dua orang Raganata?" seru orang tua yang tak bertongkat.
"Duh, rama .... " serta merta Lembu Mandira lari menyongsong lalu menubruk dan mencium kaki
ramanya. Pria tua itu tak lain memang empu Raganata, sang adhyaksa Tumapel. Dia mengelus-elus kepala
puteranya dengan penuh kasih sayang. Sesaat kemudian ia berkata "Bangunlah, Mandira. Engkau
harus menghaturkan terima kasih kepada kakang Santasmerti uwamu ini."
Lembu Mandira terkejut ketika mendengar ucapan ramanya. Ia pernah mendengar ramanya
menceritakan bahwa dalam keraton Singasari terdapat seorang yang berilmu tinggi, namanya
Santasmerti. Dia pujangga keraton Singasari yang putus dalam segala ilmu sastra dan falsafah.
Pun juga memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
Lembu Mandirapun terkejut mendengar ramanya mengatakan supaya ia menghaturkan terima
kasih kepada pujangga keraton yang kini sudah berhen dari jabatannya dan mensucikan diri di
pertapaan Komalasana. Mengapa dan untuk hal apakah dia harus menghaturkan terima kasih
kepada pujangga tua itu"
"Kakang Santasmer inilah yang menolong aku, Mandira. Lekas engkau haturkan sembah terima
kasih kepadanya," empu Raganata mengulang perintahnya.
Saat itu baru Lembu Mandira terang akan duduk persoalannya. Serta merta dia mencium kaki
sang pujangga dan menghaturkan sembah terima kasih.
"Bangunlah Mandira," seru empu Santasmer , "ayahmu telah menceritakan banyak tentang
dirimu. Engkau seorang putera yang baik. Bangunlah angger dan mari kita bicara di dalam."
Demikian mereka segera masuk kedalam gedung. Lembu Mandira mendahului langkah untuk
memberi-tahu kepada Singa Ludira tentang berita yang menggirangkan atas kembalinya ramanya.
Tetapi ketika tiba di ruang tengah, dia berteriak
"Kakang .... " tetapi dia serentak hentikan teriakannya ketika melihat ruang itu kosong. Orang
aneh yang memakai kerudung penutup muka tadi jelas masih duduk bersamadhi di lantai. Tetapi
saat itu sudah tak tampak lagi.
"Hai, kemanakah dia .... " Lembu Mandira masuk ke ruang dalam dan mencari ke segenap tempat
namun tak berhasil menemukan orang aneh itu.
"Mandira, mengapa engkau berjalan mondar-mandir tak keruan seper orang yang gelisah "
Siapakah yang engkau cari itu?" tegur empu Raganata.
"Kakang, kakang .... yang bertempur dengan kedua pandita tadi," sahut Lembu Mandira dengan
terbata-bata. "Kakang siapa" " tanya empu Raganata pula.
"Entah, dia tak mau memberitahukan namanya," sahut Lembu Mandira "tetapi dialah yang
melindungi rumah kita ini, rama."
Lembu Mandirapun menceritakan apa yang telah terjadi di rumah. Pada malam itu datanglah
seorang aneh yapg mengenakan kain hitam untuk menutup hidung sampai ke bawah dagunya. Dia
memperkenaIkan diri sebagai seorang kawan yang akan menyelamatkan keluarga empu Raganata
dari musibah. Dengan terus terang dia menuturkan tentang peris wa patung Joko Dolok yang telah
dicuri oleh kedua pandita candi Bentar dari padepokan empu Paramita di lereng gunung Kawi.
"Dengan siasat yang tak tercapai oleh pikiran mereka, akhirnya aku berhasil menjiasa kedua
pandita itu dan dapat menyembunyikan patung Joko Dolok di satu tempat. Kepada kedua pandita
itu ku nggalkan sepucuk surat daun lontar bahwa patung itu akan kukembalikan apabila empu
Raganata sudah kembali di rumah," kata orang aneh itu.
"Lalu kutanyakan apa maksud kedatangannya saat itu," kata Lembu Mandira melanjutkan
ceritanya "dan diapun mengatakan bahwa kedua pandita itu pas datang ke rumah ini untuk
menyelidiki diriku ..... "
"Menyelidiki engkau Mandira ?" tukas empu Raganata.
"Benar rama," sahut Lembu Mandira "karena menurut keterangan orang aneh itu, kedua
pandita candi Bentar itu menaruh kecurigaan keras terhadap diriku sebagai yang mencuri
patung itu. Lalu ki sanak aneh itu menganjurkan supaya aku menyaru jadi rama dan menemui
kedua pandita itu ..... "
"O, engkau menurut?" tanya empu Raganata.
"Ya." "Dan benarkah kedua pandita itu datang berkunjung kemari lagi" "
"Benar rama " sahut Lembu Mandira " mereka tampak terkejut ke ka melihat aku sebagai rama
menyambut kedatangan mereka. Kemudian mereka kembali ke lereng gunung Kawi lagi "
"Ah, ki sanak yang aneh itu memang cerdik sekali," puji empu Raganata.
"Tetapi kedua pandita itu datang lagi kemari rama "
"Hah " Mereka datang lagi " Mengapa ?" empu Raganata heran.
"Rupanya ke ka mereka kembali ke lereng Kawi, patung itu belum kembali ditempatnya. Mereka
merasa dipermainkan dan mungkin mbul kecurigaan bahwa empu Raganata yang menyambut
mereka di Tumapel itu bukan empu Raganata yang aseli maka mereka bergegas datang lagi kemari
untuk membuktikan kecurigaannya itu."
"Lalu bagaimaaa tindakanmu " "
"Saat itu aku dak menyamar sebagai rama lagi tetapi sebagai diriku sendiri untuk
menyambutnya. Kukatakan kepada mereka bahwa pagi itu rama telah di tahkan menghadap seri
baginda di keraton Singasari. Terpaksa kedua pandita itu pulang dengan menggigit jari."
"O, apakah kesemuanya ki sanak itu yang mengajarkan kepadamu, angger ?" tanya empu
Raganata. "Ya," Lembu Mandira mengiakan "kemudian pria aneh itupun masih mengatakan kepadaku
bahwa malam nan , kedua pandita itu tentu akan kembali untuk menyelidiki ke rumah ini. Maka ia
minta supaya aku mengatur siasat."
"Siasat bagaimana, angger" "
"Supaya meletakkan bantal yang dibungkus selimut diatas pembaringan rama agar dikira kalau
rama yang sedang tidur."
"O, ada- ada saja ki sanak itu," sambut empu Raganata "lalu bagaimaaa " "
"Ternyata kedua pandita itu benar-benar datang lagi kemari pada malam itu. Dengan ilmunya
yang sakti mereka dapat memasuki rumah lalu langsung masuk kedalam ruang peraduan rama .... "
"O, mereka tentu kecewa "
"Benar rama," sahut Lembu Mandira "mereka hendak mengambil rama tetapi mereka terkejut
sekali setelah mengetahui bahwa tubuh yang berselimut diatas pembaringan itu ternyata hanya
bantal belaka. Bergegas mereka keluar tetapi saat itu aku sudah menunggu di luar bilik. Terjadi
perbantahan tajam dan akhirnya salah seorang pandita itu menyerang aku. Karena aku dapat
mengatasinya maka yang satupun hendak maju mengerubu aku. Tetapi ba- ba pria aneh itu
muncul dan menghadapi pandita yang hendak maju mengerubut aku itu. Aku berhasil merubuhkan
lawanku tetapi pria aneh itu dapat dirubuhkan pandita yang menjadi lawannya. Pandita yang satu
memang sak . Habis melontarkan pukulan dahsyat rupanya pandita itu terus meloloskan diri.
Karena saat iiu aku sibuk menolong pria aneh tadi maka aku tak tahu kalau pandita itu sudah lolos.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kuketahui pandita itu lenyap, akupun segera memburu keluar dan yang kulihat hanyalah
rama bersama paman Santasmerti ....... "
Pujangga tua itu mengangguk "Ya, tentu dia."
Lembu Mandira tarkesiap "Apakah rama berjumpa dengan pandita itu ?"
Empu Raganata mengiakan "Ya. Dia berjalan dengan tertatih-tatih. Ketika kami tanya, dia
mengatakan kalau habis diserang penjahat. Kakang Santasmerti kasihan lalu memeriksa
tubuhnya. Ternyata pandita itu terancam bahaya akan menderita kelumpuhan akibat goncangan
keras dari pusat tenaga dalam tubuhnya. Kakang Santasmerti berkenan mengurut urut tubuh
pandita itu dan memberi obat. Dianjurkan supaya pandita itu beristirahat selama setengah tahun
untuk memulihkan kesehatannya. Dan selama itu tak boleh menggunakan tenaga atau
pekerjaan yang berat."
"O, begitu parahkah luka pandita itu, paman?" tanya Lembu Mandira kepada empu Santasmerti.
Pujangga itu mengangguk "Ya. Setelah kuperiksa denyut nadinya, aku terkejut. Atas
pertanyaanku, dia mengaku memang telah menggunakan ilmu Bajradaka atau tenaga Pe r Air yang
maha sakti... " "Ilmu Bajradaka?" Lembu Mandira terkejut karena selama ini belum pernah dia mendengar ilmu
dengan nama itu "ilmu apakah itu, paman ?"
"Bajradaka merupakan ilmu yang sangat terahasia dari kaum agama Buddha. Hanya pandita
pandita ngkat nggi yang dapat menyelami tataran ilmu itu. Ilmu itu amat bertuah sekali. Apabila
digunakan dengan kejujuran dan kesucian ha , dia dapat menjadi alat pelebur nafsu kotor yang
maha sak . Tetapi apabila orang yang menggunakan itu kotor ba nnya dan digunakan untuk
tujuan buruk, ilmu sak itu akan menghancurkan tubuh orang itu sendiri... " Pujangga Santasmer
berhenti, menghela napas.
"Ah, pandita itu telah menerima akibat dari tuah Bajradaka. Dia masih kotor batinnya dan
menggunakan ilmu bertuah itu untuk maksud yang buruk sehingga Bajradaka itu telah
menghancurkan seluruh ilmu dan tenaga kesaktiannya sendiri. Masih untung dia bertemu
dengan aku dan cepat kutolong. Jika tidak, dia tentu akan menderita lumpuh selama hidupnya."
Diam-diam Lembu Mandira merasa giris ha nya. Dia tak mengira bahwa di kalangan kaum
agama, baik Syiwa maupun Buddha, terdapat sumber ajaran ilmu yang sedemikian saktinya.
"Mandira," ba- ba empu Raganata berkata, "siapakah nama ki sanak yang telah berulang kali
membantumu itu?" "Anu .... ah, aku tak sempat memperhatikan rama," sahat Lembu Mandira.
"Apa engkau tak bertanya kepadanya" "
"Tidak," kata Lembu Mandira "hanya ke ka bertanya jawab dengan pandita yang dihadapinya
itu, dia telah memberitahukan juga namanya. Tetapi karena saat itu aku sedang menumpahkan
segenap perha an dan semangatku untuk menyelesaikan pandita yang menjadi lawanku, maka aku
kurang perhatian." "Ah, sayang, Mandira," empu Raganata menghela napas "kepada ki sanak yang telah melepas
budi itu engkau harus ingat dan kelak engkau harus berusaha untuk membalas budi kebaikannya."
Lembu Mandira mengiakan. "Bagaimanakah kira-kira perawakan dan umur orang itu" " ba- ba pula pujangga Santasmer
bertanya. "Karena dia mengenakan kain hitam yang menutup hidung sampai ke bawah dagu, maka
bagaimana wajahnya yang sesungguhnya, aku tak dapat melihat jelas. Tetapi aku sempat
memperha kan juga mata dan keningnya. Dia masih muda, lebih tua sedikit dari aku, demikian
pula perawakannya hampir serupa dengan diriku."
Empu Raganata dan empu Santasmer sama-sama mengangguk. Hanya anggukan empu
Raganata itu suatu anggukan bersyukur tetapi anggukan empu Santasmer itu memercikkan suatu
penger an dalam dugaannya terhadap pria aneh itu. Namun karena belum yakin maka diapun tak
mau mengatakan dugaannya itu.
"Bagaimana pendapat kakang ?" empu Raganata mengisar paling kearah empu Santasmerti.
Pujangga Santasmer menghela napas penuh ar "Yah, memang masih sukar menentukan
siapakah pria itu. Memang akhir-akhir ini di bumi Singasari telah bermunculan ksatrya-ksatrya
muda yang berilmu nggi. Kecuali raden Wijaya yang telah tampil secara gemilang dalam
percaturan pemerintahan, pun kiranya masih banyak ksatrya-ksatrya yang tak dikenal yang muncul
segera sembunyi. Mudah-mudahan kemunculan mereka itu akan membawa kesegaran pula pada
semangat perjuangan membela Singasari."
Lembu Mandira tersentuh ha nya. Ia merasa ucapan sang pujangga itu sebagai suatu amanat
kepada dirinya untuk ikut serta berkecimpung dalam medan bhak terhadap negara. Penampilan
pria aneh yang telah membantunya dalam menghadapi kedua resi candi Bentar, merupakan suatu
canang akan kebangkitan para muda untuk segera menyingsingkan lengan menghadapi keadaan
dalam negeri Singasari yang makin gawat "Baik, ki sanak, ajakanmu kusambut dengan gembira,"
katanya dalam hati. Kemudian dia menanyakan perihal peris wa ramanya sehingga pulang bersama-sama dengan
empu Santasmerti. Maka empu Raganatapun bercerita.
"Ketika tempo hari aku tak sadarkan diri setelah minum teh daun jeruk yang disedu Sonto,
aku tak ingat suatu apa lagi. Ketika membuka mata ternyata aku berada dalam sebuah gua
dengan sebelah kakiku diikat rantai. Tiap hari seorang lelaki tua mengantar makanan kepadaku.
Berulang kali kucoba mencari keterangan kepadanya tetapi dia, tak mau menjawab kecuali
hanya gelengkan kepala. Beberapa hari kemudian baru kuketahui kalau dia itu seorang gagu ....
" "Rama," sela Lembu Mandira "apakah rama tak mampu memutuskan rantai itu ?"
"Itulah yang mengherankan, Mandira," kata empu Raganata "kulihat rantai itu tak seberapa
besar, seharusnya dapat kuputuskan. Tetapi entah bagaimana kurasakan tenagaku merana, tubuh
lunglai." "Aneh," tukas Lembu Mandira pula "apakah sebabnya, rama?"
"Tidak aneh, Mandira," ba- ba empu Santasmer ikut bicara "karena makanan yang diberikan
kepada ramamu itu dicampuri dengan ramuan yang melumpuhkan tenaga."
"O," desuh Lembu Mandira "lalu bagaimana rama dapat lolos dari cengkeraman mereka" Dan
tahukah rama, siapa mereka itu?"
Empu Raganata menghela napas seraya gelengkan kepala "Selama ditawan dalam gua, tak ada
orang pernah berkunjung kecuali si gagu pengantar makanan itu sehingga aku gelap sama sekali
mengenai orang yang menawan aku. Baru kemarin malam, setelah makan, kurasakan kepalaku
pening sekali dan akupun segera jatuh dur terlena. Ke ka membuka mata kudapatkan diriku
berada diatas sebuah pembaringan dalam sebuah pertapaan. Dan ke ka kukeliarkan pandang
mata, ternyata kakang Santasmerti berada di samping pembaringan mengulum senyum .... "
"O," Lembu Mandira segera menatap empu Santasmerti dengan pandang bertanya. Dan
empu Santasmerti pun tahu apa yang dikehendaki anakmuda itu.
"Pagi itu aku dikejutkan oleh cantrik yang menghadap dan melaporkan tentang didapatinya
seorang lelaki tua yang tidur di muka pintu. Segera aku keluar dan ternyata lelaki itu adalah
ramamu sendiri. Segera kusuruh cantrik membawanya masuk. Kuduga ramamu tentu minum
semacan ramuan yang membuatnya tidur senyenyak itu."
"O, jadi bukan parnan yang telah mengambil rama dari tempat penahanan itu" "
"Bukan " "Lalu siapa yang meletakkan rama di depan pintu pertapaan paman " "
"Entah," kata empu Santasmer "cantrik melaporkan tentang seorang pria tua yang dur di
depan pintu saja." "Rama," Lembu Mandira beralih pertanyaan kepada empu Raganata "siapakah yang telah
membebaskan rama itu?"
"Aku sendiri juga tak tahu, angger."
"O, sungguh aneh sekali peristiwa ini," kata Lembu Mandira. Sejenak merenung dia berkata
pula, "memang peristiwa itu masih tertutup kabut. Siapakah yang telah menculik rama dan
apakah latar belakang dari penculikan itu."
"Ya," sambut empu Raganata "tetapi pada hakekatnya orang aneh yang mengambil patung Joko
Dolok itulah kemungkinan besar yang telah menolong aku. Dengan demikian dapat kita tarik
kesimpulan bahwa yang menculik aku itu tentulah salah satu diantara dua golongan. Golongan
patih Aragani atau golongan raja Jayakatwang."
"Jika rama menduga dari fihak Jayakatwang, memang besar kemungkinannya. Karena
persembahan patung Joko Dolok itu memang berasal dari Daha. Tetapi bagaimana rama
menyangkut-pautkan patih Aragani juga" " tanya Lembu Mandira.
"Hal itu kudasarkan pada penampilan kedua pandita dari candi Bentar," kata empu Raganata.
"Ketahuilah Mandira. Candi Bentar itu mempunyai hubungan erat dengan pa h Aragani. Secara
tak disadari, candi Bentar telah dikuasai pa h Aragani. Maka aku menaruh kecurigaan bahwa pa h
Araganilah yang berdiri di belakang rencana pencurian patung Joko Dolok dari tempat empu
Paramita." "Apa kepentingan patih itu?" tanya Lembu Mandira.
"Sudah tentu hal itu menyangkut kepen ngan peribadinya. Ar nya kelungguhannya sebagai
pa h tentu akan goyah apabila hubungan Daha dengan seri baginda makin erat. Oleh karena itu
dia berusaha untuk menggagalkan rencana Daha."
"Dia hendak memecah hubungan Daha dengan seri baginda?" Lembu Mandira menegas.
"Tujuannya yang terakhir adalah begitu," kata empu Raganata "apabila seri baginda tak senang
dengan Daha maka patih Aragani tentu akan lebih, mendapat kepercayaan baginda."
Lembu Mandira mengangguk dalam-dalam. Kiranya sedemikian berliku-liku cara dan siasat yang
berlangsung di kalangan mentri narapraja yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan itu.
Masing-masing berusaha untuk memperkokoh kedudukan, meluaskan kekuasaan. Diam-diam dia
memuji siasat patih Aragani.
"Jika demikian," katanya sesaat kemudian "apakah tak mungkin orang aneh yang merebut
kembali patung Joko Dolok dari tangan kedua pandita candi Bentar itu bukan dari fihak Daha?"
"Memang bukan mustahil." sahut empu Raganata "tetapi telah kukatakan tadi bahwa yang
berkecimpung dalam golak percaturan pemerintah di Singasari itu, bukan semata patih Aragani
dan fihak Daha. Tetapi pun masih ada golongan ketiga, keempat mungkin sampai kelima.
Bagaimana corak pendirian golongan-golongan itu memang masih belum tampak jelas. Tetapi
yang pasti, mereka masing-masing berjuang untuk mengejar kepentingannya sendiri."
~dewi.kz^ismo^mch~ II Malam sunyi tak berbintang. Kesunyian itu makin senyap dirasakan oleh sekelompok bayangan
hitam yang tengah bersembunyi di balik sebuah gerumbul pohon.
Lengking cengkerik kian nggi seolah hendak mengungguli jerit tenggoret yang sedang
berdendang riuh. Sayup sayup terdengar pula bunyi burung kulik menyanyi. Angin malam
berhembus dan menari-narilah daun-daun pepohonan.
Malam mempunyai ar tersendiri bagi para penghuni hutan. Demikian juga kepada kelompok
manusia yang tengah mendekam dalam kegelapan gerumbul semak yang lebat.
Mereka berjumlah lima orang. Masing-masing mengenakan kain hitam yang menyelubungi kepala
hingga muka. Dalam kegelapan malam mereka seolah tenggelam dalam kepekatan. Salah seorang
mempunyai potongan tubuh langsing dan gerak yang tangkas.
"Raden, apakah mereka pasti lewat disini ?" tanya salah seorang dari mereka.
"Laporan yang kuterima, memang begitu," sahut orang yang disebut raden. Dia tak lain adalah
yang bertubuh langsing itu dan tangkas itu "mudah- mudahan mereka tak merobah rencananya."
"Sura," kata orang yang disebut raden itu pula "ingat, selekas terdengar pertandaan suara
burung kulik dari Patra, engkau harus lekas mendukung ayu ini," ia menunjuk kepada orang yang
bertubuh kecil langsing "ke jalan dan larilah pelahan-lahan. Apabila mereka mengejar, segera
serang saja mereka. Tetapi ingat, si Panglulut itu berikan padaku, dia bagianku jangan kalian
mengganggunya." Sura dan kedua kawannya mengiakan.
Sesaat hening pula. Malam makin larut. Rupanya kelima orang itu tengah mempersiapkan suatu
rencana untuk menyergap orang. Walaupun mereka gembira melakukan rencana itu namun tak
terhindarlah hati mereka dari rasa tegang-tegang gelisah.
Tampak orang yang disebut raden itupun termenung. Pikirannya melayang kembali pada
peris wa yang dialaminya beberapa hari yang lalu. Ia menghadap ramanya yang sedang bermuram
durja. Ke ka ia menanyakan soal apa yang sedang menjadi keresahan ha ramanya itu maka
ramanya menggeram "Perbuatan ini tentu patih bedebah itu yang melakukan!"
"Perbuatan apa, rama" Dan siapakah yang rama maksudkan dengan pa h bedebah itu?" ia
bertanya makin heran. "Siapa lagi kalau bukan si Aragani," sahut ramanya "apakah engkau belum mengetahui tentang
peristiwa itu ?" "Belum rama." "Ah, engkau ini bagaimana Ardaraja," sahut ramanya "patung Joko Dolok yang kita pesan kepada
empu Paramita telah dicuri orang .... "
"Rama!" ia berteriak kaget "benarkah hal itu" Bagaimana mungkin empu Paramita sampai tak
dapat menjaga patung itu ?"
"Empu Paramita telah disiasa penjahat itu supaya mengejar seorang pencuri. Sedang kawan
pencuri itu lalu masuk kedalam rumah, ketika empu Paramita sedang mengejar keluar."
"Ah," ia menghela napas.
"Itulah sebabnya maka engkau kupanggil. Ardaraja," kata ayahnya "dugaanku tentu si bedebah
patih Aragani itu yang menyuruh orang untuk mencurinya."
"Apa sebab rama memiliki dugaan terhadap patih Aragani?" tanyanya.
"Bagaimana sikap patih itu terhadapmu di Singasari."
"Biasa saja, rama. Dia selalu ramah tutur dan ramah sikap kepadaku."
"Memang bukan patih Aragani si serigala tua kalau dia tak dapat menutupi hati dengan sikapnya.
Dia kua r apabila baginda Keranagara akan sayang dan percaya kepadamu dan bersikap baik
kepadaku. Itulah yang menjadi landasan mengapa aku mencurigainya. Dia menginginkan agar
baginda Kertanagara marah karena patung itu hilang dan hubungan Singasari - Daha tetap tak
baik." Dia mengangguk dan berkata "Lalu bagaimana kehendak rama?"
"Untuk merebut kembali patung itu, Ardaraja," kata ramanya " ada lain jalan lagi kecuali kita
harus melakukan pembalasan yang berani."
"Bagaimana tindakan yang rama titahkan?"
"Ambil patih itu dari kediamannya dan paksa dia supaya mengembalikan patung Joko Dolok!"
Ya, dia masih ingat betapa murka wajah ramanya saat itu. Dengan mengemban titah
ramanya itu dia akan memasuki gedung kepatihan. Tetapi kepatihan dijaga ketat sekali, tak
mungkin dia dapat memasukinya. Andaikata dia tetap nekad, akibatnya tentu lebih buruk dari
rencana yang dititahkan ramanya. Bukan karena ia takut mati ataupun takut melaksanakan titah
ramanya tetapi ja sempat menggunatan kepala yang dingin untuk memikirkan akibat-akibat
kelanjutannya. Apabila dia gagal, baik tertangkap hidup maupun terbunuh ma oleh penjaga penjaga
kepatihan, bukankah mereka segera akan mengetahui siapa dirinya itu"
Jika akibat itu dia sendiri yang menanggungnya itupun masih dapat ia derita, walaupun ia harus
kehilangan muka dan mungkin kehilangan kedudukannya sebagai putera menantu raja Singasari.
Tetapi kemungkinan akibatnya akan lebih berlarut pula. Baginda Kertanagara tentu akan berkurang
kepercayaannya terhadap ramanya. Pa h Aragani sebagai mentri kepercayaan baginda tentu akan
menggunakan kesempatan itu untuk meretakkan hubungan Singasari - Daha.
Lalu ia teringat pula bahwa di pura Singasari masih terdapat seorang mentri yang menjadi
korban dari perbuatan patih Aragani. Semula mentri itu berpangkat tumenggung dan menjabat
demung dalam keraton Singasari. Dengan begitu berarti dia harus menjalankan tugasnya di luar
keraton. Segera ia menghadap mentri tua itu dan mengajaknya bekerja sama untuk menggulingkan pa h
Aragani "Paman, apakah paman melupakan perbuatan pa h Aragani terhadap ke ga wreddhamentri, empu Raganata, demang Wiraraja dan paman sendiri?" katanya dihadapan mentri tua itu.
Mentri Angabbaya yang tak lain adalah tumenggung Wirakre mengangguk pelahan lalu
menghela napas. "Mengapa paman tumenggung menghela napas" " ia memberanikan diri bertanya.
"Raden Ardaraja," kata tumenggung Wirakre "memang orang takkan percaya mendengarkan
tetapi memang demikianlah pendirianku dan yang kuketahui jelas pendirian kakang empu
Raganata. Hampir kami berdua menemukan persamaan dalam pendirian kami mengabdi kepada
negara itu." Ia, Ardaraja, tertegun. "Pengabdian kepada negara bagi pendirian kami, aku dan kakang empu Raganata, adalah suatu
kewajiban, suatu drama bak seorang putera bumi per wi kepada negara dan bangsanya. Pangkat
dan ketangguhan hanyalah suatu pembagian tugas dalam susunan bidang-bidang kewajiban pada
tubuh pemerintahan sebagai suatu keseluruhan."
"Berlandaskan pada pendirianku tadi dan menyadari akan ar kelungguhan dan pangkat yang
Pendekar Naga Mas 2 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Duri Bunga Ju 8

Cari Blog Ini