Ceritasilat Novel Online

Geger Dunia Persilatan 13

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 13


Khik-si lari, ia pun tak mau mengejarnya.
"Hm, biar hari ini kuampuni jiwamu, tapi lain hari tetap
akan kubikin perhitungan lagi," kata Kong-he geram.
Nyo Hoan yang berada di dalam kedai, merasa lega
ketika didengarnya derap langkah mereka makin lama
makin jauh. Waktu hendak menentukan arah pengejaran, Kong-he
agak bimbang. Terus ke utara berarti menuju ke
kotaraja, kalau balik ke selatan, akan kembali ke Bin-san.
Akhirnya Ceng-hoa yang menghiburnya, "Tadi ketika
berada di dalam kedai, lapat-Iapat aku seperti
mendengar suara pertempuran di luar sini. Jika
komplotannya terang mereka takkan berkelahi dengan
Lok Khik-si, mungkin tentulah lain orang yang membawa
karung itu." Kong-he merasa lega, ia anggap ucapan dara itu
memang masuk akal. Hanya ketika tiba di sebuah jalan
simpang tiga, jejak kuda yang diikutinya itu hilang
lenyap, suatu hal yang membuat mereka kehilangan arah
pengejarannya. Ternyata yang menghapus jejak kuda itu adalah Ubun
Hiong, sebenarnya ia seorang pemuda yang jujur, tapi
sebagai putra seorang Piauthau (pemimpin kantor
pengiriman), mengerti juga ia akan cara-cara orang
persilatan untuk menghadapi pengejaran musuh.
Sebenarnya ia hendak menuju ke Bin-san, tetapi untuk
mengelabui musuh atau pengejaran pasukan pemerintah,
ia terpaksa mengambil jalan arah sebaliknya. Ketika tiba
di persimpangan tiga itu, barulah ia berhenti. Kala itu
sudah petang hari. Ia merobek kain bajunya untuk
membungkus keempat kaki kudanya, kemudian ia
berkuda lagi masuk ke sebuah hutan di dekat situ. Malam
itu ia hendak bermalam di dalam hutan dan
mengeluarkan To-kan, setelah malam barulah ia akan
menempuh perjalanan balik lagi. Dengan cara itu, apabila
ada musuh mengejar tentulah mengira kalau ia menuju
ke kotaraja, padahal ia pergi ke Bin-san.
Setelah berada dalam hutan, segera ia membuka
karung itu. Lim To-kan menggelundung keluar, tetapi tak
dapat berdiri. Ubun Hiong terkejut, buru-buru
diangkatnya anak itu. Tampak wajah anak itu pucat lesi,
dadanya berombak keras. Waktu hendak ditanyai, tibatiba
anak itu berteriak, "Bisa mati sesak aku! Siapa kau?"
Mendengar suara To-kan, legalah hati Ubun Hiong.
Terang anak itu tak menderita luka apa-apa, memang
To-kan hanya mengalami penderitaan dikurung dalam
karung selama satu malam satu hari tanpa makan minum
hingga tenaganya lemas sekali.
"Aku adalah Suhengmu, siapakah namamu?" tanya
Ubun Hiong. "Eh, sedangkan namaku saja kau tak tahu, mengapa
mengaku-aku jadi Suhengku?" balas To-kan.
"Bukankah kau ini murid Kang Hay-thian" Aku adalah
murid kedua Kang-tayhiap. Kau lebih muda dari aku,
tentulah kau baru datang belakangan, maka tentulah
Suteku," sahut Ubun Hiong.
To-kan masih bersangsi, jangan-jangan berhadapan
dengan seorang pembohong, ujarnya, "Kasih tahu dulu
siapa namamu." Ubun Hiong memberitahukan namanya, lalu mencabut
pedang dan ia segera memainkan ilmu pedang Toa-si-mikiam.
"Sreet", sebatang ranting kutung menjadi tiga,
setelah itu baru ia menarik pulang pedangnya,
"Percayakah kau kalau aku ini murid Kang-tayhiap?"
Memang pernah Kang Hay-hian mengatakan bahwa
To-kan mempunyai seorang Toasuheng bernama Yap
Leng-hong dan Jisuheng bernama Ubun Hiong. Melihat
ilmu pedang Suhunya dimainkan oleh Ubun Hiong,
seketika lenyaplah segala kesangsiannya, buru-buru ia
memberi hormat kepada Suhengnya.
Ubun Hiong mengatakan kalau To-kan tentu kelewat
lapar, ia mengambil air di sebuah sungai, kemudian
mengeluarkan rangsum kering dan menyuruh To-kan
makan. Setelah makan dan minum, semangat To-kan
bertambah segar, maka bertanyalah ia, "Bagaimana
dengan Samsuheng" Ubun-suko, mengapa kau hanya
menolong aku seorang" Tidak sekalian menolongnya?"
Ubun Hiong tercengang, "Samsuheng yang mana?"
"Siapa lagi kalau bukan Li Kong-he" Suhu pernah
mengatakan kalau ia telah menerima Samsuheng sebagai
calon murid. Waktu aku diterima menjadi murid,
meskipun Samsuheng belum diketemukan, tetapi Suhu
telah memberi janji lebih dahulu, maka menurut urutan,
dia adalah Samsuhengku," jawab anak itu.
"Kau maksudkan putra Li Bun-sing itu" Benar,
memang kutahu Suhu pernah mencarinya. Ha,
dimanakah dia sekarang?" Ubun Hiong bertanya.
"Hai, apakah kau tak melihatnya" Yang bertempur
dengan Nyo Hoan dalam kedai itu ialah Samsuheng!"
"Aku belum masuk ke kedai itu. Dahulu aku pun belum
pernah berjumpa dengan Li-sute, sekalipun tadi aku
masuk ke dalam kedai pun juga tak mengenalnya," sahut
Ubun Hiong. "Celaka, celaka! Nyo Hoan itu lihai sekali, apalagi
ditambah Lok Khik-si. Dikuatirkan Li-suko tentu sudah
jatuh ke tangan mereka!" To-kan mengeluh.
"Apakah Li-sute tiada berkawan?" tanya Ubun Hiong.
To-kan menerangkan bahwa selama itu ia dimasukkan
dalam karung, jadi tak tahu, tetapi jelas didengarnya
kalau masih terdapat seorang dara yang dipanggil adik
misan oleh Nyo Hoan. "Ha, aneh sekali. Entah bagaimana
anak perempuan itu akhirnya membela Li-suko dan
berkelahi dengan Nyo Hoan sendiri," kata To-kan.
Ubun Hiong tak kenal siapa Tiok Ceng-hoa, siapa Nyo
Hoan itu, tetapi ia tahu kalau Suhunya mencari matimatian
pada Li Kong-he. Ia menyesal sekali bahwa Sute
yang sebenarnya tanpa sengaja dapat diketemukan itu
telah lolos dari tangannya lagi. "Ah, sekarang sudah
lewat beberapa jam, jika terjadi sesuatu pada Li sute,
kita pun tak dapat menolong. Pada saat ini, tentulah
mereka sudah meninggalkan kedai itu," kata Ubun Liong
dengan menghela napas. "Tetapi paling tidak kita harus mengetahui, apakah Lisuko
sudah mati atau dilarikan orang. Bagaimana kalau
kita balik ke kedai lagi?" tanya To-kan.
Ubun Hiong anggap hal itu memang baik, tetapi ia
merasa cemas juga. Rasa cemas itu bukan tentang apaapa,
melainkan tentang diri Lim To-kan. la belum tahu
sampai dimana kepandaian silat anak itu, anak itu habis
mengalami penderitaan masuk karung, bagaimana ia
dapat mengajaknya ke tempat yang berbahaya" Ia
merasa tak sanggup mengalahkan Lok Khik-si dan tak
tahu pula kalau Nyo Hoan sudah terluka. Ia kuatir kalau
sampai kebentur dengan mereka, bukan saja tak dapat
menolong Li Kong-he, malah jangan-jangan Lim To-kan
sendiri juga akan jatuh ke tangan musuh.
To-kan seorang anak cerdas, apa yang diragukan
Ubun Hiong dapat diketahuinya juga. "Jisuko, harap kau
memberi petunjuk padaku barang beberapa jurus saja!"
tiba-tiba ia berseru. Selama merawat luka di rumah keluarga Kang, dalam
setahun itu ia hanya mendapat pelajaran ilmu pelajaran
Lwekang dan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam. Sebaliknya
To-kan yang berbulan-bulan menempuh perjalanan
dengan Suhunya, sebenarnya telah menerima pelajaran
lebih banyak dari Ubun Hiong, tetapi semua itu hanya
jumlah jenis pelajaran, sedang latihannya masih kurang
sempurna. Sebaliknya meskipun hanya satu macam,
tetapi Ubun Hiong telah dapat meresapi intisari ilmu
pedang Toa-si-mi-kiam dengan jelas.
Toa-si-mi-kiam itu sebuah ilmu pedang yang luar biasa
hebatnya, jika bertempur sungguh-sungguh, tentulah Tokan
kalah dengan Jisukonya, tetapi karena terhadap
seorang Sute yang lebih kecil, apalagi To-kan menyerang
secara mendadak, maka tak sempatlah bagi Ubun Hiong
untuk mengeluarkan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam. Lim
To-kan menggunakan ilmu Siau-kim-na-jiu, sebuah ilmu
tangan kosong yang diciptakan oleh Kang Hay-thian
sendiri berdasarkan beberapa jenis ilmu Kim-na-jiu dari
partai-partai persilatan, sudah tentu gayanya hebat
sekali. Karena tak bersiap, lengan Ubun Hiong kena
dipelintir oleh To-kan. Ubun Hiong kerahkan Lwekang ke
arah lengan, tangan To-kan pun segera mencelat, tetapi
anak itu hanya terhuyung saja tak sampai jatuh. Ubun
Hiong kaget dan buru-buru hendak menolonginya, siapa
tahu sekonyong-konyong To-kan menyambar telapak
tangan Jisukonya lagi, kali ini Ubun Hiong tak mau
menggunakan Lwekang dan membiarkan tangannya
dipegang sang Sute. Keduanya saling bercekalan tangan
dan tertawa gelak-gelak. "Lim-sute, hebat benar kepandaianmu. Dua jurus Kimnajiumu itu aku tak mampu menandingi, hanya
"Ya, memang kutahu kalau belum dapat melawan Lok
Khik-si, tetapi kalau dia hendak menjatuhkan aku dalam
10-an jurus juga tak mudah. Kuda ini cepat sekali larinya,
jika terdesak bukankah kita dapat melarikan diri dengan
kuda ini?" buru-buru To-kan menanggapi.
Apa yang dikatakan To-kan itu memang kenyataan,
dalam usia yang begitu muda, To-kan sudah dapat
memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan. Anak itu
boleh dijadikan pembantu tanpa Ubun Hiong harus
memikirkan untuk melindunginya.
"Baik, usiamu masih muda tapi kau sudah mengerti
setia-kawan, memang sekurang-kurangnya kita harus
mencari kabar tentang diri Li-sute. Ayo, kita berangkat!"
akhirnya Ubun Hiong tergerak semangatnya. Kala itu
sudah malam hari, karena kaki kuda dibungkus dengan
robekan kain, maka tak meninggalkan jejak apa-apa.
Derap kakinya pun tak seberapa keras. Saat itu Ceng-hoa
dan Kong-he telah melewati simpang tiga dan terus
melarikan kudanya sejauh 5 li. Dengan demikian
hilanglah kesempatan untuk berjumpa dengan Ubun
Hiong dan To-kan. Dalam perjalanan itu, Lim To-kan menceritakan nama
dan asal-usul dirinya pada Ubun Hiong.
"Oh, kiranya kau sudah ke rumah Suhu, apakah
semua keluarga Suhu tak kurang sesuatu apa?" tanya
Ubun Hiong. Dengan pertanyaan itu ia hendak mencari
tahu tentang diri Kang Hiau-hu.
To-kan mengatakan semua keluarga Suhu baik-baik
saja, lalu ia bertanya, "Tapi Jisuko, mengapa kau seorang
diri berkelana?" "Eh, apakah mereka tak memberitahukan padamu?"
"Memberitahu apa?" balas To-kan
"Apakah kau tak pernah menanyakan mereka tentang
diriku?" "Ya, sudah. Suci menjawab bahwa beberapa tahun
lagi kau baru kembali ke rumahnya, la pesan itu supaya
aku jangan mengatakan hal itu di hadapan Suhu dan
Subo, karena pesan itu aku pun tak berani menanyakan
pada Suhu dan Subo. Jisuko, apakah sebenarnya yang
terjadi padamu?" tanya To-kan.
Ubun Hiong tertawa getir, "Ah, panjang benar
ceritanya. Besok saja kuceritakan padamu." Dari
keterangan Sutenya itu, terhiburlah hati Ubun Hiong.
Dari situ dapat diketahui bahwa Hiau-hu masih tetap
mengenangnya dan diam-diam dara itu kurang puas
dengan tindakan mamahnya.
Cepat sekali mereka tiba di kedai makan tadi. Waktu
hendak masuk, tiba-tiba di dalam kedai terdengar suara
orang bicara. Buru-buru Ubun Hiong menarik To-kan dan
menempelkan telinganya pada daun pintu untuk mencuri
dengar. Yang bicara itu ternyata seorang gadis.
"Kurangajar! Berani sekali Li Kong-he itu melukaimu.
Besok pagi-pagi tentu kukejar mereka," gadis itu marahmarah.
"Apakah kau tak takut pada Tiok Ceng-hoa?" sahut
seorang lelaki yang bukan lain adalah Nyo Hoan.
Gadis itu menghela napas, "Engkoh Hoan, apakah
keteranganmu tadi benar-benar sesungguhnya?"
"Mengapa aku harus membohongimu" Ketahuilah,
dalam hatiku hanya ada dirimu. Karena terpaksa baru
aku pura-pura menyetujui pernikahan dengan Tiok Cenghoa
itu, mereka telah menghina habis-habisan ayahmu,
karena marah aku sampai tak dapat mengatakan apaapa!"
sahut Nyo Hoan. Ubun Hiong dan To-kan mengira kalau Nyo Hoan tentu
sudah pergi, tapi ternyata tidak. Dan keterangan Nyo
Hoan tadi menyatakan bahwa Kong-he ternyata sudah
pergi, bukannya jatuh ke tangan musuh. Suatu hal yang
menggirangkan Ubun Hiong dan To-kan.
Memang luka Nyo Hoan banyak mengeluarkan darah
sehingga setelah diberi obat oleh Lok Khik-si, tetap ia
belum dapat jalan, terpaksa ia beristirahat dulu di kedai
itu. Kira-kira sejam dari kepergian Ceng-hoa dan Konghe,
datanglah seorang anak perempuan dengan berkuda.
Ketika melalui kedai, gadis itu mendengar rintihan Nyo
Hoan. Ia terkejut dan cepat-cepat turun dari kuda dan
menyapa, "Hai, apakah itu engkoh Hoan?"
Gadis yang ternyata adalah Siangkoan Wan, putri
Siangkoan Thay kejut-kejut girang ketika masuk ke
dalam kedai melihat Nyo Hoan duduk dikelilingi lantai
berdarah, Lok Khik-si tengah memberinya obat. Mayat
ketiga pelayan yang dibunuh Nyo Hoan tadi masih
bergelimpangan di situ. "Engkoh Hoan, mengapa terluka begini parah?" seru
Siangkoan Wan, nona itu memang menaruh perhatian
istimewa pada Nyo Hoan. Pertama yang ditanyakan tentu
saja diri pemuda itu, tentang bagaimana ketiga sosok
mayat itu ia tak menghiraukan.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyo Hoan sengaja merintih lebih mengiba, sahutnya,
"Percuma saja kuberitahukan padamu, toh kau tidak
dapat membalaskan sakit hatiku."
"Siapa musuhmu" Apakah sakti sekali" Kalau aku
kalah, toh ada ayahku! Masih ada pula pamanku.
Mengapa pula tak mau engkau memberitahukan?"
Nyo Hoan tertawa dingin, "Kau masih mimpi akan
bantuan pamanmu" Hm, hm, sekali kau sebut-sebut
namanya, aduh, duh, aku, aku ..."
Cepat-cepat Siangkoan Wan mewakili Lok Khik-si
merawat luka Nyo Hoan. "Engkoh Hoan, bagimana
lukamu?" tanyanya. "Luka di badan sih tak mengapa, tapi luka di hatilah
yang paling parah," sahut Nyo Hoan.
Siangkoan Wan menjamah tubuh si anak muda,
diketahuinya memang luka engkoh misannya itu tak
berbahaya, hanya karena kelewat banyak mengeluarkan
darah maka tubuhnya lemas. Setelah membalut luka Nyo
Hoan, bertanyalah ia, "Apakah yang terjadi sebenarnya"
Mengapa kau mengeluh ketika mendengar kusebut nama
paman" Bagaimana urusanmu dengan adik Ceng-hoa?"
Dalam anggapannya ia mengira Nyo Hoan tentu marahmarah
karena dipaksa kawin oleh pamannya yang
pertama itu. Nyo Hoan menghela napas, "Jangan menyebut-nyebut
ayah dan gadis itu lagi. Lebih dulu bilanglah, kau
sebenarnya hendak pergi kemana?"
"Hendak ke rumah paman pertama."
"Untuk apa?" "Eh, apakah kau tidak tahu" Bulan yang lalu ketika
ayah mengunjungi paman, ayah mengatakan paling lama
setengah bulan tentu sudah pulang, tetapi ternyata
sudah sebulan dia belum pulang. Mamah kuatir terjadi
sesuatu dengan ayah, maka menyuruh aku mencarinya.
Bukankah bulan yang lalu kau juga berada di tempat
paman" Apakah kau pernah melihat ayahku?"
Nyo Hoan pura-pura unjuk sikap masgul dan dengan
mengertak gigi ia berseru, "Cici Wan, karena sudah
begitu, terpaksa kubicara terus terang padamu. Paman
hendak memaksa ayahmu supaya melarang kau jangan
bergaul dengan aku. Ayahmu menolak, beliau
mendamprat paman yang dikatakan hendak
memperbudak dan mengikat kebebasan orang. Mereka
bercekcok mulut, akhirnya berkelahi, paman telah
mengurung ayahmu dalam kamar tahanan."
"Benarkah begitu" Siangkoan Wan terperanjat sekali.
"Masakah kau tak tahu perangai paman" Kalau ia hanya
mengurung ayahmu dalam kamar saja masih mending.
Saat itu aku menyaksikan pertengkaran mereka, hatiku
berdebar sekali demi melihat wajah paman berubah
sedemikian bengisnya. Aku kuatir ia akan bertindak
ganas, untung tidak."
Pandainya Nyo Hoan membawakan kata-katanya,
telah membuat Siangkoan Wan percaya sehingga seketika itu
wajahnya pucat, ujarnya, "Habis bagaimana ini" Aku
harus mencari daya untuk menolong ayah. Hm, ya, yang
paling disayang paman hanya adik Ceng-hoa. Kalau kita
mencari padanya untuk minta tolong, tentulah akan
berhasil. Bagaimana pendapatmu?" .
Nyo Hoan tertawa menghina, "Huh, kau masih
memikirkan Ceng-hoa?"
Siangkoan Wan mendidih dalam hati, pikirnya, "Benar,
sekalipun adik Ceng-hoa itu baik dengan aku, tapi kini ia
sudah menjadi bakal istri engkoh Hoan. Rasanya sukar
mempercayai kalau ia tak menganggap aku sebagai
saingan." Berpikir begitu, rawanlah hati Siangkoan Wan.
"Engkoh Hoan, kalau aku yang menemui tentu tidak
leluasa, baiknya kau sendiri yang meminta pertolongan
padanya," bisiknya. Nyo Hoan menggelengkan kepala, "Kalau dia
mendengar kataku, tentu siang-siang sudah kukatakan
hal itu. Apa kau kira Ceng-hoa hanya benci padamu saja"
Aku pun juga dibencinya! Mungkin kau belum tahu
tentang sebuah hal!"
Siangkoan Wan gelagapan dan meminta penjelasan.
"Coba tebak, siapakah yang melukai aku ini?" tanya
Nyo Hoan. "Apakah Ceng-hoa?" Siangkoan Wan balas bertanya.
"Sekalipun bukan tangannya sendiri, tapi serupa juga
seperti dia. Aku menerima bacokan dari kacungnya!"
jawab Nyo Hoan. "Kacungnya" Budak yang bernama Li Kong-he itu"
Mengapa ia berani melukai kau?" Siangkoan Wan kaget.
"Masakah kau tidak tahu bahwa Ceng-hoa sudah
mengangkat saudara dengan budak itu dan tak lagi
menganggapnya sebagai kacung. Karena cemburu
melihat hubunganku dengan kau, ia mengajak aku
bertengkar, dengan adanya kejadian itu dan mengingat
tingkah-laku paman, hatiku tak tahan lagi. Aku
bersumpah tak mengambilnya menjadi istri dan
meninggalkan rumahnya."
Siangkoan Wan kejut-kejut girang mendengar hal itu,
"Benarkah begitu" Tetapi bagaimana kau dapat
melarikan diri?" Nyo Hoan tak mau kepalang tanggung berbohong,
dengan wajah tak berubah ia melanjutkan keterangan,
"Mengapa aku membohongimu" Hatiku hanya untukmu
seorang. Sekalipun tiada kejadian itu, aku pun tak puas
dengan ini. Setelah menyekap ayahmu dalam kamar,
paman lalu menyuruh Koan-ke (pengurus rumah tangga)
untuk menjaga dan melarang siapa pun masuk ke dalam
kamar tahanan itu. Setelah menyerahkan ayahmu pada
Koan-ke, paman segera mengajak beberapa bujangnya
menuju ke Bin-san, katanya hendak menghadiri rapat
besar para orang gagah. Pada hari kedua setelah paman
pergi, barulah terjadi percekcokan dengan Ceng-Hoa, bibi
tak berani mencegah aku sehingga dapatlah aku
melarikan diri." Siangkoan Wan menerima tanpa sangsi, ujarnya, "O,
kiranya begitu. Engkoh Hoan, sekalipun kau tak berhasil
menolong ayahku, tetapi aku tetap berterima kasih
kepadamu." "Tetapi urusan tak berhenti sampai di situ, Ceng-Hoa
marah-marah dan mengajak budak itu mengejar aku,"
kata Nyo Hoan pula. Mendengar itu, agak meragulah Siangkoan Wan,
batinnya, "Paman benar bengis, tapi adik Ceng-hoa lebih
halus pekertinya, mengapa ia bisa berubah" Apakah
benar-benar cemburu padanya?"
"Waktu kemarin aku tiba di sini, mereka telah
mengejarku, Ceng-Hoa dan kacungnya mengeroyok aku.
Karena harus menjaga serangan Ceng-hoa, lenganku
kena dibacok kacung itu, ketiga pelayan kedai pun
dibunuh kacung itu. Untung Lok-lotoa kebetulan jalan di
sini dan dapat mengenyahkannya, dengan begitu
dapatlah jiwaku tertolong, kalau tidak, mungkin saat ini
kau tak dapat melihat aku lagi. Coba apa katamu,
menjengkelkan tidak mereka itu"."
Tiada lain pikiran Siangkoan Wan kecuali mempercayai
kata-katanya itu, kemudian ucapnya, "Kalau memang
begitu, sudah tentu menjengkelkan, tetapi karena ayah
sekarang sedang ditahan di rumah paman, tentang
hutang dendam budak Li Kong-he itu, besok saja kita
mencarinya." "Aku mempunyai akal, dapat menolong ayahmu juga
dapat membalas sakit hatiku," kata Nyo Hoan.
"Bagus! Apa itu?" Siangkoan Wan girang.
"Mereka tak punya kuda, kulihat mereka menuju ke
utara. Kau boleh berkuda mengejarnya, tentu akan dapat
menyandaknya. Biar kuminta Lok-lotoa membantumu
menangkap mereka," kata Nyo Hoan.
Usia Siangkoan Wan lebih besar setahun dari Nyo
Hoan, begitupun ilmu silatnya juga lebih tinggi, tetapi
biasanya mereka suka berbahasa 'engkoh' dan 'taci'. Jika
Lok Khik-si seorang belum tentu dapat menang, tetapi
jika bersama Siangkoan Wan tentulah mudah menangkap
mereka, maka Nyo Hoan hendak menggunakan tenaga si
nona. "Menangkap adik Ceng-hoa" Mana ... mana bisa?"
Siangkoan Wan terkejut. "Paman toh bisa menangkap ayahmu, mengapa kau
tak dapat menangkap putrinya" Jika sudah dapat
menangkapnya, jangan kuatir paman takkan melepaskan
ayahmu." "Oh, kiranya kau hendak memakai adik Ceng-hoa
sebagai barang tebusan ayah," kata Siangkoan Wan.
"Begitulah! Rasanya kecuali dengan cara itu, mana
kita dapat menghadapi paman" Biasanya orang itu
ngotot untuk menang dalam perdebatan, kaum paderi
ngotot berebut dupa sembahyang. Jika hendak menolong
ayahmu, janganlah kau menghiraukan hal-hal yang lain."
"Lalu hendak kau apakan budak Li Kong-he itu nanti?"
tanya Siangkoan Wan. "Itu menjadi urusanku, tetapi aku berjanji padamu,
kalau aku takkan membunuhnya agar hatimu tenteram."
"Baik, aku setuju dengan usulmu, tetapi tunggu
setelah terang tanah, setelah lukamu agak baik, barulah
aku dapat mengejarnya dengan pikiran tenang," akhirnya
karena mengingat diri sang ayah, Siangkoan Wan
menerima usul Nyo Hoan. Nyo Hoan kuatir kalau-kalau nona itu nanti berubah
pikiran, maka ia mendesak supaya lekas berangkat saat
itu juga, namun Siangkoan Wan tetap mau menunggu
sampai terang tanah. Adalah pada saat-saat mereka
berunding itu, tibalah Ubun Hiong dan Lim To-kan.
Mereka hanya berhasil mendengar separuh bagian dari
pembicaraan Nyo Hoan dan Siangkoan Wan.
Ubun Hiong menjamah telapak tangan To-kan dan
menuliskan huruf 'pergi'. Ia anggap berita tentang Li
Kong-he sudah jelas, jadi tak perlu berada di situ terlalu
lama. Tetapi tak terduga-duga To-kan tak mau beringsut,
ketika Ubun Hiong tahu Sute itu tidak mau mengikutinya
pergi, ia berpaling ke belakang. Tampak dalam
keremangan bulan, anak itu tengah berdiri di pinggir
pintu seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Eh, apakah Sute tak menangkap maksudku" Di dalam
kedai ada tiga orang. Sekalipun budak she Nyo itu
terluka, tapi masih ada orang she Lok yang sukar
ditundukkan, apalagi masih ada si nona itu. Kita sudah
mendapat berita, maka harus lekas menyingkir, jangan
sampai ketahuan." Itu dugaan Ubun Hiong, tetapi To-kan ternyata
mempunyai rencana sendiri. Ia tengah memikirkan si
nona (Siangkoan Wan). Meskipun hanya berjumpa dua
kali dan tinggal di rumahnya semalam, tapi ia merasa
cocok dengan nona itu. Bahkan keduanya saling
berbahasa taci dan adik. Ia masih ingat bagaimana
Siangkoan Wan karena hendak menjaga kalau-kalau Nyo
Hoan berubah hatinya, lalu minta ajaran sebuah ilmu
yang dapat menundukkan anak muda itu pada Kang Haythian,
tetapi nona itu sungkan mengatakan sendiri, maka
To-kanlah yang menyampaikan hal itu pada Suhunya.
Memang To-kan sudah tak senang kepada Nyo Hoan,
maka ia merasa gegetun mengapa Taci Wan itu sampai
terpikat dengan pemuda jahat. Makin mendengar
semakin tak kuatlah To-kan menahan perasaannya, ia
marah kepada Nyo Hoan yang membohongi mentahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mentah dan kasihan pada Siangkoan Wan. Bingung ia
untuk bertindak, apakah akan menerobos masuk dan
menelanjangi kebohongan Nyo Hoan" Tetapi kalau
Siangkoan Wan tidak percaya, lalu bagaimana
tindakannya nanti" Secerdas-cerdas pikirannya, namun ia
masih muda. Menghadapi peristiwa itu, ia benar-benar
kehilangan akal. Ubun Hiong kelabakan ketika melihat Sutenya tetap
tak beringsut dari samping pintu, akhirnya terpaksa ia
kembali hendak menariknya. Dan tindakannya itu
memang menguntungkan sekali, karena tepat pada saat
itu terdengar sebatang anak panah mendesir keluar dari
celah pintu. Menyusul pintu terpentang dan Lok Khik-si
menerobos keluar seraya memaki, "Siapa yang berani
mencuri dengar di luar itu!"
"Tring", Ubun Hiong cepat menyabet anak panah itu
dengan pedangnya. Terlambat sedikit saja pastilah Tokan
akan termakan. "Ho, kiranya kalian berdua datang hendak mengantar
kematian. Bagus, aku dapat menghemat waktu tak usah
mencari kalian. Hahaha!" teriak Lok Khik-si sambil
tertawa gelak-gelak. Ubun Hiong menggunakan jurus Heng-hun-hong
menangkis senjata Lok-kak-jat sambil meneriaki Lim Tokan
supaya cepat lari, tetapi anak itu tak mau pergi.
Pada saat itu Siangkoan Wan dan Nyo Hoan pun keluar,
begitu melihat To-kan, berteriaklah Siangkoan Wan
dengan kaget, "Hai, mengapa kau di sini?"
Nyo Hoan pun girang sekali, serunya, "Cici Wan,
budak kecil ini sekawan dengan Li Kong-he, lekas
tangkap, jangan sampai lari!."
Siangkoan Wan bingung dibuatnya, "Bagaimana ini?"
"Nanti kuterangkan, sekarang tangkap dulu budak
itu!" Nyo Hoan mendesaknya.
To-kan tertawa mengejek, "Kau takut aku bilang" Hm,
Cici Wan, kau tak menanyakan aku pun tetap akan
mengatakan" Nyo Hoan mendesak si nona lagi, "Mulut anjing kecil
itu tajam sekali, jangan hiraukan, lekas ringkus saja!"
"Tak nanti dia melarikan diri. Biarkan ia berkata dulu,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa tak boleh?" sahut Siangkoan Wan.
Nyo Hoan marah, tapi dikarenakan saat itu ia
mengandalkan tenaga si nona, terpaksa ia diam saja.
Bertanding melawan Lok Khik-si, Ubun Hiong merasa
kewalahan, sedangkan To-kan segera mendamprat Nyo
Hoan, "Mulutmu sendiri yang layak disebut mulut anjing!"
Ia mencabut golok lalu membantu Ubun Hiong. Setelah
agak tenang, barulah ia berseru, "Cici Wan, Nyo Hoan itu
bukan manusia baik. Ia hendak menangkap aku untuk
mengemis pahala pada kerajaan, si Tok-kak-si ini adalah
kuku garuda pemerintah Cing!"
"Cici Wan, apakah kau percaya omongan setan cilik
itu" Coba kau tanya padanya, dimana aku pernah
menangkapnya?" seru Nyo Hoan.
"Percuma kau menyangkal! Kau menyelundup ke Binsan
dan sekonyong-konyong menangkap aku. Banyak
orang gagah yang menyaksikan kejadian itu!" balas Tokan.
Nyo Hoan tertawa gelak-gelak, "Nah dengar tidak!
Katanya aku menangkapnya di Bin-san, lucu, lucu! Di
Bin-san tengah diadakan rapat para orang gagah,
penjagaannya kuat sekali. Mana aku dapat malang
melintang menangkap dirinya!"
Siangkoan Wan ragu, memang ucapan Nyo Hoan itu
beralasan juga, tapi bantahan To-kan bahwa banyak
orang gagah yang menjadi saksi lebih kuat, pikirnya, "Ya,
jika omongan Kan-te itu benar, masakah tiada saksinya.
Kelak aku tentu dapat mengetahui benar tidaknya."
Rencana Nyo Hoan ialah untuk mengelabui Siangkoan
Wan, apabila Li Kong-he dan Lim To-kan sudah dapat
ditangkap, tak menjadi soal baginya untuk ditinggalkan
nona itu. Ia pun cukup tahu bahwa Siangkoan Wan tak
kenal dengan orang gagah golongan Cing-pay yang
sedang rapat Bin-san itu. Sekalipun ke sana hendak
menyelidiki tentu akan kecele, karena sebelumnya ia
(Nyo Hoan) hendak menghubungi orang-orangnya di
sana agar menjumpai Siangkoan Wan dan merangkai
keterangan palsu. Ternyata Siangkoan Wan tak mau buru-buru turun
tangan, kesempatan itu tak disia-siakan To-kan yang
sambil bertempur sambil menelanjangi kejahatan Nyo
Hoan serta ayahnya. Ia memperingatkan Siangkoan Wan
supaya jangan mudah percaya omongan pemuda yang
menjadi antek kerajaan itu. Makian itu membuat Nyo
Hoan seperti orang kebakaran jenggot. "Bangsat kecil,
jangan memfitnah orang semaumu sendiri. Terimalah
ini!" Sambil mengangkat tongkat, Nyo Hoan hendak
menghantam To-kan, tetapi ia terlalu banyak
mengeluarkan darah, tubuhnya lemas. Hal ini cukup
disadarinya, adanya ia nekat hendak menyerang adalah
dengan rencana tertentu. Pertama adalah dapat
menghentikan ocehan To-kan. Dan kedua, untuk
mendesak agar Siangkoan Wan mau bertindak.
"Dengan tindakanku ini, dapatlah kuketahui apakah
budak perempuan itu berpihak padaku atau kepadanya,"
demikian yang menjadi pertimbangannya.
"Bagus, aku pun hendak mengadu jiwa padamu!"
teriak To-kan. Ia tetap mendendam terhadap orang yang
pernah menculiknya itu. Sekalipun baru berumur 14 tahun, tapi sejak kecil ia
sudah belajar silat. Kemudian mendapat pelajaran ilmu Lwekang dari
Kang Hay-thian, dengan begitu tenaganya cukup kuat.
"Tring", tongkat Nyo Hoan terpental lepas, ujung golok
To-kan meluncur terus ke dadanya. Hanya tinggal
beberapa senti saja pasti akan melayanglah jiwa pemuda
itu. "Aku tak melukaimu, tetapi janganlah kau
melukainya!" tiba-tiba Siangkoan Wan menyodokkan
pedangnya ke golok To-kan. Pada saat golok terdorong
ke samping, Nyo Hoan menyelinap ke samping terus
menghantam To-kan. Ia mengerti juga ilmu Kiu-kiongpohhoat. Setelah memperhitungkan bahwa si dara tentu
akan bertindak ternyata benar, maka ia menggunakan
kesempatan baik itu untuk melukai To-kan.
Pukulan Nyo Hoan tepat mengenai jalan darah Ih-gihiat
yang merupakan salah satu jalan darah kematian.
Untung beberapa hari yang lalu To-kan sudah berhasil
meyakinkan ilmu untuk menutup jalan darah. Dan karena
terluka, tenaga Nyo Hoan banyak berkurang. To-kan
hanya terhuyung-huyung beberapa tindak, lambungnya
terasa sakit sekali tetapi tak sampai terluka.
Perbuatan curang Nyo Hoan itu diketahui juga oleh
Siangkoan Wan. Buru-buru ia menarik Nyo Hoan,
serunya, "Tak kuizinkan ia melukai kau, kau pun tak
boleh membunuhnya!" Dengan gusar To-kan berseru, "Cici Wan, telah aku
utarakan sepenuhnya apa yang harus kukatakan. Kau
masih dapat tertipu atau tidak, itu terserah padamu.
Jisuko, mari kita pergi!"
Siangkoan Wan tertegun, ia kecewa bahwa orang
yang paling dekat dengan hatinya ternyata tak dapat
dipercaya, ia terlongong-longong beberapa saat..
Ubun Hiong segera melompat keluar dari kalangan,
terus hendak lari menghampiri kudanya yang tertambat
pada pohon di tepi jalan. Tiba-tiba Lok Khik-si
menimpukkan sebatang Hui-to ke tali kendali kuda, ia
tahu bahwa jika menimpuk Ubun Hiong tentu percuma
saja, maka sasarannya ditujukan pada kudanya. Kuda itu
sebenarnya milik Nyo Hoan, Nyo Hoan bersuit keras
memanggilnya. Mendengar itu, kuda lari menyingkir dari
Ubun Hiong terus kembali kepada Nyo Hoan.
Kala itu hampir terang tanah. Kuatir kalau Siangkoan
Wan berganti halauan memusuhinya, dan takut pula jika
anak buah Lok Khik-si keburu datang, terpaksa Ubun
Hiong mengajak To-kan berlari. Pada waktu To-kan
sudah lenyap dari pandangan, Siangkoan Wan masih
termangu-mangu. "Apakah engkoh Hoan itu benar menjadi antek
pemerintah Cing?" demikian renungan yang
mencengkeram batinnya. Ngeri benar ia membayangkan
hal itu, karena ia telah mempercayakan hatinya pada
engkohnya itu, tetapi To-kan seorang anak yang masih
murni, tentulah takkan bohong. Ia masih mengharapkan
setitik harapan, mudah-mudahan engkoh Hoan itu
jangan seperti yang dituduhkan To-kan tadi. Ah, cinta,
cinta. Cinta itu memang buta. Sekalipun tahu bahwa
yang dihadapinya itu memang kenyataan, tetapi ia masih
tak berani mempercayai, ia takut untuk merusak
impiannya yang indah. Nyo Hoan menghela napas, "Cici Wan, apakah kau tak
percaya pada omonganku" Mari kita segera mengejar
Ceng-hoa, kau boleh bertanya kepadanya benar atau
tidak ayahmu ditahan di rumahnya" Tanyakan padanya,
benar tidak budak Li Kong-he itu melukai aku" Jika kedua
hal itu benar, terang membuktikan bahwa aku tak
bohong, membuktikan pula bahwa kata-kata budak she
Lim tadi hanya semata-mata hendak memfitnah diriku
saja!" Pintar juga Nyo Hoan mengemukakan kedua hal itu,
tetapi saat itu Siangkoan Wan tengah ruwet pikirannya,
mendengar Nyo Hoan begitu berani diadu kebenarannya,
maka timbul lagi harapannya. "Baik, harus kutanyakan
kedua hal itu pada Ceng-hoa. Ayahku tak dapat
kubiarkan dirampas kemerdekaannya, engkoh Hoan pun
tak boleh dihina budak itu."
Demikian ketiganya segera naik kuda melakukan
pengejaran. Dan sekarang kita ikuti perjalanan Tiok
Ceng-hoa dan Li Kong-he. Setelah tak dapat mencari To-kan, mereka berhenti
sejenak di simpang tiga. Kata Ceng-hoa, "Lebih baik
sekarang kita menuju ke Bin-san dulu mencari ayah. Kini
aku tak percaya lagi pada omongan Nyo Hoan itu, ia
mengatakan ayah dan Kang-tayhiap sama-sama terluka,
itu tentu bohong belaka."
Sebenarnya Kong-he pun ingin sekali mencari
Suhunya, tapi karena kuatir jangan-jangan To-kan
tersesat jalan dan mendapat celaka, ia tak dapat
mengambil keputusan dengan segera.
"Adanya Nyo Hoan hendak menangkap Sutemu itu,
tentulah hendak diserahkan ke kotaraja. Kalau tidak,
masakah ia begitu berjerih-payah memanggulnya"
Menilik pertimbangan itu, sekalipun andaikata Sutemu
jatuh ke tangan musuh lagi, tentu juga takkan
dibunuhnya. Dan dengan tenaga kita berdua, terang
tidak mungkin dapat menolong orang di kotaraja, maka
kurasa lebih baik kita mencari ayah dan Suhumu dahulu
daripada kita bergerak sembarangan," kata Ceng-hoa.
Kali ini Kong-he dapat menerima pendirian Ceng-hoa.
Semalam suntuk mereka tak tidur, setelah menempuh
perjalanan sejauh 30-an li, hari pun sudah terang tanah.
Ceng ho mengajak mencari rumah makan.
"Delapan atau sepuluh li lagi kita akan tiba di kedai
makan tadi malam. Entah apakah Nyo Hoan masih di situ
atau sudah pergi?" sahut Kong-he.
"Eh, kau masih terkenang akan kedai itu" Pelayanpelayannya
telah mati begitu mengenaskan. Aku
sungguh benci kepada Nyo Hoan, tetapi karena kita tak
dapat mengalahkan mereka, lebih baik kita berjalan
mengitar saja," kata Ceng-hoa.
Sekonyong-konyong mereka mendengar derap kaki
kuda berlari menghampiri. Melihat penunggangnya,
Ceng-hoa terkejut dan berseru girang, "Cici Siangkoan
Wan, mengapa kau berada di sini?"
Ternyata yang datang lebih dulu adalah Siangkoan
Wan, sementara Nyo Hoan yang kehabisan darah
terpaksa ketinggalan beberapa li di belakang.
Ceng-hoa hendak menghampiri, tapi kejutnya bukan
kepalang ketika turun dari kudanya, Siangkoan Wan
tampak memelototkan mata, "Tiok Ceng-hoa, apakah
ayahku berada di rumahmu" Kenapakah dia?"
Dengan sikap menyesal Ceng-hoa menjawab, "Ini ...
ini suatu kesalah pahaman..."
"Kesalah pahaman apa" Ayo lekas bilang!" bentak
Siangkoan Wan. "Ayah telah khilaf mendengar omongan orang
sehingga paman kedua.."
"Bagaimana?" tukas Siangkoan Wan.
"Ditahan ayah, tetapi paman kedua tak kurang suatu
apa," dengan nada berat Ceng-hoa memberitahukan.
Seketika berubahlah wajah Siangkoan Wan.
"Cici Wan, aku masih mau omong lagi," Ceng-hoa
terkejut. Dalam pada itu Nyo Hoan dan Lok Khik-si pun
sudah tiba. "Cici Wan, jika hendak membebaskan ayahmu,
mengapa kau tak lekas turun tangan!" teriak Nyo Hoan.
Siangkoan Wan terkesiap darahnya. "Tiok Ceng-hoa,
jangan sesalkan aku tak ingat persaudaraan lagi, aku
terpaksa menangkapmu!" serunya seraya menggunakan
Kim-na-jiu untuk mencekal lengan Ceng-hoa.
Ceng-hoa terkejut sekali, karena tak menduga Taci
misannya akan menyerangnya dengan begitu ganas, ia
tak siap sama sekali. Pada saat Ceng-hoa akan kena
dicekal, tiba-tiba Kong-he membacok jari Siangkoan
Wan. Anak itu karena gugup tanpa banyak pikir terus
mengayunkan goloknya, tapi maksudnya sekali-kali
bukan hendak melukai, melainkan hanya mencegah
perbuatan Siangkoan Wan saja.
Siangkoan Wan marah sekali, cengkeramannya diubah
menjadi tamparan, "Tring", gigir golok Kong-he kena
ditampar ke samping. "Bagus, kau memang pengacau,
budak!" bentaknya. "Cici Wan, jangan percaya ocehan Nyo Hoan!" kata
Ceng-hoa dengan gugup. "Bukankah yang membacok Nyo Hoan itu kau,
budak?" bentak Siangkoan Wan tanpa menghiraukan
kata-kata Ceng-hoa. "Benar, memang aku yang membacok. Aku masih
belum puas tak dapat mengurungi cakar anjingnya itu,
apakah kau penasaran?" sahut Kong-he dengan jumawa.
Ia marah sekali karena dipanggil "budak".
"Adik He, jangan kurang adat pada Cici Wan, tetapi
kau tak dapat menyalahkan dia. Kurasa memang
seharusnya ia membacoknya," seru Ceng-hoa. Segera ia
hendak menjelaskan tentang kejadian itu, tetapi
Siangkoan Wan sudah tak menggubrisnya lagi. Dengan
gerak Kim-li-joan-poh ia melesat untuk menampar muka
Kong-he, sudah tentu Kong-he tak mandah dihina begitu
saja. Sambil mendakkan tubuh ke bawah, ia membacok
lengan si nona. "Bagus, kau berani juga melukai aku, budak!" bentak
Siangkoan Wan dengan gerakan kedua tangannya.
Tangan kiri menabas, tangan kanan menggunakan jurus
Khong-jiu-jip-peh-jim untuk merebut golok. Ia
dirangsang kemarahan, ia memaki-maki Kong-he tanpa
mengingat bahwa sebenarnya dialah yang menyerang
lebih dulu. Serangannya sekaligus dua gerakan itu amat
berbahaya sekali, jika kena tebasannya, pasti Kong-he
akan terluka. "Siangkoan Wan, kau tahu aturan atau tidak" Kau
dapat menggunakan golok, masakah aku tak mampu
pakai pedang?" tiba-tiba Tiok Ceng-hoa mendamprat
keras. Mendengar kesiur senjata menyerang dari belakang,
Siangkoan Wan mengisar ke samping, mencabut golok
terus membacok, pikirnya, "Apa yang dikatakan engkoh
Hoan memang benar, Ceng-hoa telah jatuh hati pada
budak itu hingga tak segan memusuhi aku juga. Ah,
karena kau tak ingat persaudaraan, aku pun terpaksa
melayani!" Sebenarnya serangan pedang Ceng-hoa itu bukan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melukainya, sedang Kong-he karena goloknya
hendak direbut, telah mengeluarkan ilmu golok dari
keluarganya. Benar ilmu silatnya kalah dibanding
Siangkoan Wan, tapi dalam pertempuran ia lebih banyak
pengalamannya. Pada saat Siangkoan Wan merasa akan
dapat merampas goloknya, tiba-tiba ia membabat
tangannya. Kejut Siangkoan Wan tak terkira, saat itu ia
memakai kedua tangannya, yang satu untuk menangkis
pedang Ceng-hoa, yang satu untuk merebut golok Konghe,
justru Kong-he telah mengeluarkan jurus yang
istimewa. Dalam kegugupannya, Siangkoan Wan
memiringkan tubuh berputar ke samping sambil
menampar golok dengan lengan bajunya. Benar ia dapat
menyingkirkan golok Kong-he, tapi ia pun kehilangan
keseimbangan badan sehingga ia tak mampu menangkis
pedang Ceng-hoa. "Sret", ia rasakan ujung pedang Cenghoa
hampir menyentuh tulang rusuknya. Kejutnya bukan
kepalang dan buru-buru menghindar, kemudian ia berdiri
tegak memperbaiki keseimbangan rubuhnya.
Suatu perasaan aneh timbul dalam batinnya,
"Sebenarnya Ceng-hoa tadi dapat melukai aku, mengapa
tidak mau" Apakah ia masih mengingat hubungan
saudara?" "Nona Siangkoan, jangan kuatir. Budak perempuan itu
serahkan padaku, kau ringkus saja bangsat kecil itu
untuk membalaskan sakit hati engkohmu itu," tiba-tiba
Lok Khik-si berseru. Ia kuatir kalau Siangkoan Wan
berbalik hati karena teringat persaudaraannya dengan
Ceng-hoa, maka ia tak mau memberi kesempatan si nona
merenung lama-lama. "Kurangajar! Siangkoan Wan, kau ... kau ...." seru Tiok
Ceng-hoa. Sebenarnya ia hendak memaki Siangkoan
Wan bersekutu dengan kaki tangan pemerintah Cing
untuk mencelakai dirinya, tetapi baru mengucap separuh,
Lok Khik-si sudah menusuk dadanya. Terpaksa Ceng-hoa
menumpahkan seluruh perhatian untuk melayaninya.
Di sana pun Nyo Hoan sengaja menjerit-jerit, "Bangsat
kecil, perbuatanmu menabas badanku tentu akan
kubalas!" ia putar tongkatnya, lalu maju menyerang
Kong-he. "Bagus, memang justru aku hendak menumpas
kawanan anjing!" dengan geram Kong-he menyapukan
goloknya. Nyo Hoan segera menggunakan jurus Cui-patsia
atau delapan dewa mabuk untuk bergerak lincah kian
kemari. Tiga buah serangan kilat dari Kong-he hanya
mengenai angin saja, tetapi bagi orang yang
menyaksikan, sebenarnya Nyo Hoan berada dalam
bahaya. Akhirnya Siangkoan Wan tak dapat berpeluk tangan
lagi, "Engkoh Hoan, mundurlah, biar kubalaskan sakit
hatimu!" Sekali memainkan Liu-yap-tonya, terdengarlah
gemerincing suara senjata beradu. Kong-he melingkarlingkar
hampir jatuh, sedangkan Liu-yap-to Siangkoan
Wan gumpil sedikit. Ternyata yang dimainkan Kong-he ialah ilmu golok
keluarganya, Kwalitas goloknya menang dari Liu-yap-to
milik Siangkoan Wan, tetapi kepandaian nona itu jauh
lebih tinggi dari Kong-he. Serangannya yang dihayati
dengan Lwekang lunak untuk meminjam tenaga lawan
membuat Kong-he kalang-kabut.
"Bagus, Cici Wan, jangan lupa bahwa ayahmu masih
ditahan mereka. Terhadap musuh jangan sungkansungkan
lagi!" Nyo Hoan berteriak mengipasi si gadis.
Rupanya ucapan Nyo Hoan itu mengacaukan pikiran
Siangkoan Wan, serunya, "Benar, kamu telah menghina
ayahku dan melukai engkoh Hoan. Kedua hal itu
memang terbukti, apakah kalian masih menyangkal" Tiok
Ceng-hoa, sudah salah kau masih berani memaki aku
kurangajar" Kau sendirilah yang kurangajar!"
Urusan ayah Siangkoan Wan ditahan oleh ayah Cenghoa,
memang Ceng-hoa hendak memberi penjelasan,
tapi hal itu memerlukan keterangan yang panjang lebar.
Apalagi saat itu ia diserang deras oleh Lok Khik-si,
sedikitpun ia tak mempunyai kesempatan bicara. Makian
Siangkoan Wan tadi terpaksa ditelannya saja karena ia
harus tumpahkan seluruh perhatian menghadapi Lok
Khik-si. Di pihak Siangkoan Wan sendiri, meskipun mulut
mengucap begitu, tetapi dalam hati masih teringat akan
ikatan kekeluargaan, ia pun cukup mengerti bahwa tadi
sebenarnya Tiok Ceng-hoa jika mau dapat melukainya.
Karena itu tak mau ia dengan tangan sendiri mencelakai
adik misannya itu, maka sengaja ia 'berikan' Ceng-hoa
pada Lok-Khik-si sedang ia mengurus Kong-he.
Dengan ilmu pedangnya yang indah dan gerakannya
yang gesit, sebenarnya kepandaian Ceng-hoa itu tak di
bawah Khik-si, tetapi sayang tenaganya masih belum
cukup, semangatnya lesu karena semalam kurang tidur,
ditambah pula ia memang kalah pengalaman bertempur
dibanding lawannya. Menghadapi Lok Khik-si ia hanya
dapat bertahan saja, tetapi Lok Khik-si pun tak mampu
segera mengalahkan gadis itu dalam 3-5 puluh jurus.
Sedang Kong-he sebenarnya kalah tangguh dari
Siangkoan Wan, tetapi pikiran si nona saat itu sedang
kacau karena belum yakin benar salah tidaknya Tiok
Ceng hoa itu. Kong-he berlaku tenang menghadapi si
nona, maka selama Siangkoan Wan masih belum
memutuskan untuk menyerang dengan jurus serangan
maut, selama itu pula Kong-he masih dapat bertahan.
Nyo Hoan yang mengikuti pertempuran itu diam-diam
merasa gegetun sekali karena beberapa kali dilihat
sebenarnya Siangkoan Wan dapat merobohkan Kong-he,
tetapi selalu dapat dihindari, pikirnya, "Ah, mengapa
permainan Cici Wan tak sehebat biasanya" Janganjangan
ia menyangsikan diriku dan tak mau bersungguhsungguh
membantuku?" Setelah mengerutkan jidat, Nyo Hoan mendapat akal,
serunya, "Bangsat kecil itu ganas sekali, Cici Wan, aku
membantumu!" "Tak usah, tak usah. Engkau sedang terluka, mana
boleh membantuku?" Siangkoan Wan tersipu-sipu
mencegah. "Kukuatir kau tak mampu menjatuhkannya, biar aku
terluka tetapi tetap hendak membalas sakit hati!" seru
Nyo Hoan. "Jangan buru-buru, aku tentu akan menang!"
"Baik, lekas kau robohkan dia agar aku tak perlu turun
ke gelanggang," kata Nyo Hoan. Ia sengaja hendak
menguji sampai dimana kesungguhan hati si nona
terhadap dirinya. Tiba-tiba Ceng-hoa mengeluarkan sebuah jurus yang
luar biasa untuk mendesak Lok Khik-si, kemudian
menggunakan kesempatan itu untuk berseru kepada
Kong-he, "Adik He, katakan duduk perkaranya pada Cici
Wan!" Memang secara diam-diam Ceng-hoa membagi
perhatian pada pertempuran Kong-he dan Siangkoan
Wan. Ia cukup tahu sampai dimana kelihaian Taci
misannya itu, jelas dilihatnya kalau Siangkoan Wan tak
bersungguh hati hendak melukai Kong-he. Itulah
sebabnya maka ia mencari saat luang untuk menyuruh
Kong-he menerangkan pada Siangkoan Wan, sebab ia
sendiri tiada sempat bicara dalam menghadapi serangan
Lok Khik-si yang gencar. Siangkoan Wan tertegun serunya, "Ya, benar,
mengapa kau melukai engkoh Hoan?"
"Aku toh sudah mengatakan padamu bahwa Ceng-hoa
cemburu pada kita, maka lantas menyuruh bangsat kecil
itu untuk mencelakai diriku!" buru-buru Nyo Hoan
berseru menyahut. "Kentut!" bentak Kong-he, "jika kau tak menculik
adikku To-kan, mana bisa aku menyerangmu?"
"Siapa adik Kan itu?" teriak Siangkoan Wan.
"Namanya Lim To-kan, putra seorang ksatria pejuang
yang menentang pemerintah Cing!" sahut Kong-he.
"Dimana ditangkapnya?" tanya Siangkoan Wan pula.
Kong-he sebenarnya belum pernah melihat Lim Tokan,
ia pun tak tahu bagaimana terjadinya penculikan
anak itu. Hanya karena menduga Nyo Hoan datang dari
Bin-san, maka cepat-cepat ia mengatakan kalau
penculikan itu terjadi di gunung Bin-san.
Tergetar hati Siangkoan Wan mendengar sahutan itu,
karena cocok dengan keterangan Lim To-kan sendiri,
pikirnya, "Jika benar demikian, bukankah engkoh Hoan
itu "Tiok Ceng-hoa dan bangsat itu baru keluar dari
rumah, mana mereka tahu kejadian di Bin-san?" Nyo
Hoan kalap. Goyah pikiran Siangkoan Wan, siapa yang patut
dipercayainya" Habis membantah, Nyo Hoan lantas
menimpukkan beberapa buah Thi-lian-cu. Kong-he
memutar goloknya untuk menangkis, tapi tak urung kena
dua buah senjata rahasia. Untung tenaga Nyo Hoan
masih belum pulih, jadi Kong-he pun tak sampai terluka
berat. Tujuan Nyo Hoan memang tak ingin melukainya,
melainkan hendak mengacau supaya Kong-he tak sempat
bicara dengan Siangkoan Wan lagi.
Saat itu sebenarnya mudah sekali Siangkoan Wan
untuk menangkap Kong-he, tetapi setelah mendengar
keterangan dari kedua pihak, ia ragu dalam hati.
Sekalipun tidak mengundurkan diri tetapi juga tak mau
melukai Kong-he. Sementara Ceng-hoa yang tak tahu apakah Kong-he
terluka oleh timpukan Thi-lian-cu, segera mencaci-maki
Nyo Hoan, "Nyo Hoan, kau sungguh nista sekali! Kau
hendak melenyapkan mulut seorang saksi?" Ceng-hoa
terus hendak melompat membantu Kong-he, tetapi Lok
Khik-si cepat merintanginya. Karena pikiran kacau, Cenghoa
pun terdesak. Pernyataan Tiok Ceng-hoa itu menimbulkan reaksi
dalam hati Siangkoan Wan, pikirnya, "Ya, mengapa,
engkoh Hoan begitu bernafsu hendak membunuh anak
itu" Apakah karena hendak membalas sakit hati atau
karena sebab lain" Tadi dia menyatakan padaku takkan
membunuh anak itu, mengapa sekarang berbalik haluan"
Hm, meskipun keterangan anak ini belum boleh seratus
persen dipercaya, tetapi karena cocok dengan
keterangan To-kan, sekurang-kurangnya dia (Kong-he)
tentu melihat peristiwa penculikan To-kan, tetapi engkoh
Hoan hanya mengatakan bahwa dia dibacok Kong-he,
tidak menyebut-nyebut kalau mereka sudah kenal.
Apakah sebabnya?" Makin dipikir makin tebal kecurigaan Siangkoan Wan,
meskipun jauh dari pemikiran bahwa Nyo Hoan itu
menjadi kuku garuda, tetap sekurang-kurangnya tentang
penculikan Lim To-kan itu, ia sudah maju
kepercayaannya. Sambil melanjutkan timpukan Thi-lian-cu, berserulah
Nyo Hoan, "Cici Wan, jika tak kau tangkap dulu, mana
dapat kau mengorek keterangannya?"
"Baik, akan kutangkapnya dulu, tetapi janganlah kau
lanjutkan timpukanmu lagi," karena menganggap
beralasan, maka Siangkoan Wan segera menyetujui.
Diam-diam Nyo Hoan mengejek dalam hati, "Hm, asal
sudah kau tangkap, akulah yang akan turun tangan. Biar
aku putus hubungan denganmu, tak apa. Di dunia ini toh
banyak wanita cantik, nanti di kotaraja masakah aku tak
bisa mencari gadis yang lebih cantik dari kau?"
Namun Siangkoan Wan tetap tak mau melukai Konghe,
ia menggunakan pedang dengan tangan kosong.
Kong-he menghindari kian kemari, kadang-kadang ia
terpaksa membacok apabila dalam posisi terdesak.
Dengan cara itu dapatlah ia menghadapi serangan si
gadis sampai dua tiga puluh jurus, tetapi saat itu
Siangkoan Wan sungguh-sungguh mengeluarkan
kepandaiannya. Sekalipun Kong-he memakai golok, tetap
saja kalah. Lewat 30-an jurus, napas Kong-he sudah
terengah-engah. Dalam beberapa detik lagi tentu ia akan
kena ditangkap. Tiok Ceng-hoa sibuk bukan kepalang, makin sibuk
makin payah keadaannya. "Tring", sekali membolakbalikkan
senjata Lok-kak-jat, Lok Khik-si dapat
menampar jatuh pedang Ceng-hoa. Berbareng itu
Siangkoan Wan pun berseru, "Lepaskan!" Pergelangan
tangan Kong-he kena dijepit dari Siangkoan Wan dan
goloknya terampas oleh gadis itu.
Pada saat Lok Khik-si dan Siangkoan Wan hendak
mengejar untuk menangkap lawan, mendadak seorang
penunggang kuda berlari mendatangi, "Tahan!" serunya.
Mendengar nada suara orang itu, terkesiaplah darah
Siangkoan Wan. Ia tak asing lagi dengan suara itu,
pikirnya, "Eh, mengapa Lau tua yang datang?"
Cepat sekali penunggang kuda yang bertubuh kurus
itu tiba. Ya, memang dia adalah Lau tua, kepala rumah
tangga keluarga Tiok Siang-hu. Tadi Nyo Hoan
mengatakan bahwa ayah Siangkoan Wan yang ditawan
di rumah keluarga Tiok itu diserahkan kepada Lau tua
itu. Karena ada tugas itu, tentunya Lau tua tak dapat
pergi keluar rumah, tetapi mengapa saat itu dia datang
dari jurusan Bin-san"
Seketika pucatlah wajah Siangkoan Wan, bukan
karena takut kepada Lau tua itu, melainkan ngeri
membayangkan bahwa keterangan Nyo Hoan tadi dusta
seluruhnya. "Pak Lau, mengapa kau datang kemari?" ia
pun segera menegurnya. Pak Lau melirik tajam pada Nyo Hoan, lalu menyahut,
"Aku mendapat perintah dari tuan Tiok supaya
menyampaikan berita padamu dan ibumu. Ha, tak
kuduga bisa berjumpa di sini, sungguh kebetulan sekali.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hm, kau Siaucu (budak kecil), mengapa kau masih di
sini" Kukira kau sudah ke kotaraja mengambil hadiah!"
"Lau San jangan kurang adat! Sekalipun aku ada
sedikit salah paham dengan nona majikanmu, tetapi hal
itu urusan pribadi. Baik atau buruk aku ini setengah
resmi adalah tuanmu!" bentak Nyo Hoan.
"Cis, tak malu, siapa yang menjadi tuanmu. Pak Lau,
dia menghina padaku, tangkaplah! Dan binatang Lok
Khik-si itu juga jangan dikasih ampun!" Tiok Ceng-hoa
memaki. Lok Khik-si licin sekali, ia cukup paham sampai dimana
kelihaian kepala rumah tangga keluarga Tiok itu. Pada
saat Lau tua datang, ia sudah bersiap-siap, jika Nyo
Hoan dengan menggunakan pengaruh sebagai calon
menantu Tiok Siang-hu dapat menundukkan pak Lau,
itulah syukur, tetapi ternyata Lau tua itu sudah menyebut
Nyo Hoan dengan kata-kata "Siau-cu". Tahu gelagat
jelek, Lok Khik-si cepat melompat ke atas kuda dan
kabur. Lau tua tak mau mengejar, melainkan berpaling
kepada Nyo Hoan, "Memang dahulu boleh kau dianggap
sebagai tuanku setengah resmi, tetapi sekarang sama
sekali bukan. Apa yang kau ayah dan anak lakukan,
apakah kau kira tuanku tak mengetahui?"
Siangkoan Wan tersentak kaget, tanyanya, "Perbuatan
apakah yang dilakukan mereka berdua ayah dan anak"
Dan bukankah kau diserahi untuk menjaga ayahku?"
"Pak Lau, pak Lau, lekas tangkap dulu budak itu!"
Ceng-hoa mendesak lagi. Mendengar itu, serasa terbanglah semangat Nyo
Hoan. Cepat ia melompat ke atas kudanya.
"Toasiocia, ayahmu tentu dapat mengurus mereka
ayah dan anak. Asal kau tak kena dipikatnya saja,
biarkanlah dia kabur," kata Lau tua. Kiranya memang
sudah menjadi peraturan keluarga Tiok, bahwa bujangbujangnya
tak boleh melakukan hal-hal yang tidak
diperintahkan. Lau tua hanya diperintah untuk
menyampaikan berita ke rumah keluarga Siangkoan. Ia
tak mendapat tugas menangkap Nyo Hoan, maka ia
biarkan saja pemuda itu lari.
Ketika Nyo Hoan mencemplak ke punggung kuda,
Siangkoan Wan berdiri seperti patung. Pada saat itu
sebenarnya ia sudah terang gamblang siapakah yang
jujur dan siapa yang dusta. Namun ia masih menghibur
lamunannya, akan menunggu jawaban pak Lau.
"Nona Siangkoan, jangan kuatir. Pamanmu sudah
membebaskan ayahmu. Penderitaan yang diderita
ayahmu kali ini adalah gara-gara Nyo Ceng dan anaknya
itu. Merekalah yang mengadu dombakan paman dan
ayahmu," jawab Pak Lau.
Mendengar keterangan itu, seolah-olah bumi yang
dipijak Siangkoan Wan itu amblas, dunia yang penuh
isinya itu dirasakan kosong melompong. Ia tak
menyangka sama sekali bahwa pemuda yang menjadi
pujaan hatinya itu ternyata yang mencelakai ayahnya.
Lama sekali ia kehilangan semangat seperti patung, baru
kemudian berkata dengan nada bergetar, "Jadi Nyo Ceng
ayah dan anak yang mengacau" Dia ... dia mengapa
berbuat demikian?" "Karena Nyo Ceng ayah dan anak sudah menjadi kaki
tangan kerajaan Cing, dan ayahmulah orang satusatunya
yang mengetahui hal itu. Kepergianku ke
rumah nona adalah hendak menyampaikan beberapa hal.
Pertama, menyampaikan permintaan maaf dari tuanku.
Dan kedua, menjaga agar kalian jangan sampai terpikat
oleh kedua ayah dan anak itu," sahut pak Lau tua.
Dengan rasa iba, berkatalah Ceng-hoa kepada Taci
misannya, "Cici Wan, syukur kita berdua tak sampai
termakan jerat Nyo Hoan. Lupakanlah peristiwa yang
telah lalu dan kita tetap menjadi kakak beradik yang
mesra." Tiba-tiba pecahlah tangis Siangkoan Wan, terus ia
melompat ke atas kudanya.
"Hai, Cici Wan, hendak kemana kau?" seru Ceng-hoa.
"Jangan mengurusi aku!" sahut Siangkoan Wan. Ia
mencambuk kudanya dan mencongklang pesat menuju
arah yang ditempuh Nyo Hoan.
"Ia dapat menangis, itulah lebih baik," kata Lau tua.
"Apakah ia hendak menyusul Nyo Hoan" Pak Lau,
lekas susullah dia!" kata Ceng-hoa.
Tetapi bujang tua itu menyahut, "Kukira belum tentu
ia menyusul Nyo Hoan. Saal ini ia sedang dirundung rasa
kecewa besar, maka tak mau berjumpa dengan orang.
Tak apa, tentu akan kulindungi dia."
Sambil berkata itu pak Lau naik ke atas kudanya, ia
bertanya mengapa Ceng-hoa diam-diam pergi dari rumah
bersama Kong-he. "Ayahmu sudah pulang, kuharap nona
lekas pulang juga," katanya.
"O, jadi ayah tak benar bertanding dengan Kangtayhiap
dan mereka berdua tak luka?" seru Ceng-hoa.
"Tidak sama sekali! Siapa yang bilang?"
Waktu mendengar kalau Nyo Hoan yang mengatakan,
berkatalah bujang tua itu, "Mengapa kau masih percaya
pada omongannya" Bukan saja ayahmu tak bertempur
dengan Kang-tayhiap, bahkan mereka telah menjadi
sahabat baik. Panjang juga ceritanya, nanti kalau pulang
boleh bertanya pada ayahmu saja."
"Lha, Suhuku bagaimana?" tanya Kong-he.
"Kang-tayhiap telah berangkat ke kotaraja, kelak
tuanku juga akan ke kotaraja menjumpainya. Apa masih
ada pertanyaan lagi?"
Ceng-hoa mengatakan tidak ada dan menyuruh
bujang tua itu segera mengejar jejak Siangkoan Wan.
Setelah itu ia mengajak Kong-he pulang.
"Pulang" Pulang kemana?" tanya Kong-he
"Masakah bertanya, tentu saja pulang ke rumah.
Rapat besar di Bin-san sudah selesai. Ayahku sudah
pulang dan Kang-tayhiap pun sudah pergi ke kotaraja.
Kalau tak pulang apakah kita akan ke Bin-san lagi?"
sahut si dara. "Tidak, aku tak turut pulang. Aku hendak menuju ke
kotaraja mencari Suhuku," kata Kong-he.
Ceng-hoa terkejut, "Mau ke kotaraja" Apakah kau tak
takut ditangkap?" "Sudah tiga tahun lamanya aku menunggu menjadi
murid Suhu, sekarang setelah mengetahui tempat
beradanya Suhu, masakah aku tak mencarinya?"
"Eh, apakah kau tak mendengar keterangan pak Lau
tadi bahwa nanti ayah juga akan ke kotaraja menemui
Kang-tayhiap" Kita pulang dulu, besok kita ikut ayah ke
kotaraja. Tidakkah ini lebih tepat?"
"Tidak, aku tak mau menunggu lama-lama lagi. Dan
aku kuatir akan timbul lagi hal-hal yang tak diduga,"
sahut Kong-he "Siapa tahu setiba di rumahmu, ayahmu sudah
berangkat. Dan aku pun tak tahu sampai berapa lama
Suhu tinggal di kotaraja. Kalau ikut kau pulang seperti
rencanamu itu, paling tidak tentu akan memakan waktu
sebulan lagi baru berangkat. Jika Suhu sudah pergi dari
kotaraja lagi kemanakah hendak kucari beliau?"
Selain alasan yang dikemukakan itu memang tepat,
juga sebenarnya masih mempunyai lain alasan yang
kuat. Yakni ketika menutup mata, ayahnya telah
menyerahkan Hay-te padanya, dengan begitu Kong-he
itu sebenarnya adalah murid dari Thian-li-kau. Hay-te
adalah alat pertanda dari perkumpulan rahasia Thian-likau.
Dengan menyerahkan benda itu, ayah Kong-he
seperti menganjurkan agar putranya meneruskan citacitanya.
Thian-li-kau adalah sebuah perkumpulan yang
menentang pemerintah Cing, membangun pemerintah
Bing lagi. Sejak kecil diasuh dalam lingkungan partai,
membuat Kong-he tahu juga mematuhi peraturanperaturan
partai, hanya kepada orang Thian-li-kau atau
orang-orang yang dipercaya oleh partai itu, ia mau
memberitahukan dirinya. Sekurang-kurangnya kaum
ksatria penentang pemerintah Cing mau juga
menganggap dia sebagai 'orang sendiri', maka betapa
baik sekalipun keluarga Tiok memperlakukannya, namun
ia masih menganggap mereka sebagai orang 'luar".
Apalagi Kong-he memang masih belum jelas betul
tentang pribadi Tiok Siang-hu yang aneh itu. Rencananya
untuk meninggalkan keluarga Tiok mencari Suhunya dan
sekalian menyelidiki tentang berita 'paman Lim' memang
sudah lama dirancang. Bahwa sekarang ia sudah
mendapat kesempatan, tentu saja akan segera
melaksanakannya. "Tetapi kotaraja itu luas sekali. Kau ... kau seorang diri
ke sana, ini ... ini ... aku tak tega," kata Ceng-hoa
dengan nada mesra. "Jangan kuatir, Cici Hoa. Di kotaraja aku mempunyai
kenalan sahabat-sahabat ayahku. Dan kalangan kuku
garuda yang mengenal diriku hanyalah terbatas Ki-liansamsiu dan kawan-kawannya saja, belum tentu mereka
berada di kotaraja. Asal aku hati-hati menghindari
bertemu dengan mereka, tentu tak akan apa-apa," kata
Kong-he. "Tidak, aku tetap tak tega. Baiklah, jika kau berkeras
hendak ke kotaraja, aku pun akan menyertaimu,"
akhirnya Ceng-hoa berkata.
Usia Kong-he lebih muda dari Ceng-hoa, dalam hati
mereka masih belum ada benih-benih asmara, melainkan
hanya sebagai kakak adik saja. Meskipun Kong-he tahu
bahwa pada suatu hari ia akan berpisah dengan dara itu,
namun pada saat-saat hendak mengucapkan selamat
berpisah, ternyata berat sekali hatinya. Bahwa Ceng-hoa
menyatakan hendak ikut, sebenarnya Kong-he terkejut
girang, tetapi ia menggelengkan kepala, "Jangan Cici
Hoa, jangan ikut aku."
"Mengapa?" tanya Ceng-hoa. Ia menatap Kong-he
lekat-lekat. Kong-he bersangsi sejenak, kemudian
berkata, "Cici Hoa, kau tak tahu bahwa semasa hidupnya
mendiang ayahku itu dianggap sebagai pesakitan negara.
Dia meninggal di tangan kuku garuda, kawanan kuku
garuda itu masih hendak menangkap aku lagi.
Kepergianku ke kotaraja ini lain sifatnya dengan ke Binsan.
Aku ... aku tak ingin kau terlibat."
"Justru begitu aku makin tak tega membiarkan kau
pergi seorang diri. Aku tak takut terlibat, aku dapat
membantumu," sahut si dara.
"Kau sih tak takut terlibat, tetapi mungkin ayahmu tak
senang berurusan dengan kuku garuda. Kalau sampai
terjadi apa-apa, bukan kau saja tetapi akan merembet
pada keluargamu juga."
Ceng-hoa tertawa, "Jangan kuatir, justru ayah
memang hendak membuat perhitungan dengan kaum
kuku garuda itu. Pernah sekali kudengar beliau
berunding dengan pak Lau, apabila saatnya tiba akan
segera bergerak. Perbuatanku mencuri dengar
pembicaraan itu kepergok ayah. Beliau memberi
peringatan keras padaku supaya jangan menguarkan hal
itu kepada orang lain. Bahkan Nyo Hoan pun tak boleh
diberitahu, kala itu kau belum datang di rumahku.
Sebenarnya sewaktu kau berada di rumahku, hendak
kuberitahukan hal itu, tetapi kukuatir nanti malah
menimbulkan kecurigaanmu, maka baru sekarang
kukasih tahu." "Bagus, kalau begitu baiklah," seru Kong-he.
Demikianlah kedua anak muda itu segera berangkat.
Pembicaraan tadi telah meningkatkan ikatan hati mereka
lebih erat, walaupun Kong-he belum memberitahukan
tentang rahasia Thian-li-kau, tapi dalam hati ia
menganggap dara itu sebagai 'orang sendiri'. Selama
dalam perjalanan itu tak terjadi suatu apa dan pada hari
itu juga tibalah mereka di kota Po-ting. Kota itu menjadi
pusat markas Thian-li-kau, ialah tempat tinggal Kong-he.
Sejak kecil ikut ayahnya membuat Li Kong-he tahu
cara menjaga diri apabila berada di daerah yang penuh
dengan mata-mata musuh. Dipilihnya waktu magrib
untuk masuk kota, pada saat itu banyak bakulbakul
(pedagang) desa yang terburu-buru pulang sebelum
pintu kota ditutup. Ceng-hoa berganti pakaian sebagai
gadis desa dan Kong-he pun memoles mukanya dengan
angus menyaru seperti anak gembel. Setelah masuk ke
dalam kota, Ceng-hoa bergurau, "Dengan dandanan
seperti ini, mungkin jongos hotel tak mau menerima
kedatangan kita. Kemana kita nanti bermalam?"
"Jangan kuatir, mari kita cari rumahku yang dahulu,"
jawab Kong-he. Ketika lewat di muka rumahnya, Kong-he
mendapatkan pintu rumah itu disegel. Warna merah
segel sudah luntur dan kunci pintu pun sudah karatan.
Tiga tahun yang lalu ia bersama ayahnya melarikan diri
dari rumah, kini hanya dia sendiri yang pulang tanpa
dapat masuk ke dalamnya. Teringat akan hal itu,
timbullah seketika ingatan Kong-he untuk menjenguk ke
dalam, ia ajak Ceng-hoa menuju ke gang yang sepi dan
membeli wedang. Kala itu sudah tengah malam, tokotoko
dalam kota sudah tutup semua.
"Eh, adik He, apakah kita akan bermalam di tempat
ini" Bukankah kau mengatakan mempunyai kenalan?"
tanya Ceng-hoa. "Sudah berselang tiga tahun, entah apakah mereka
masih tinggal di alamatnya yang dulu. Dan apakah
sekarang mereka sudah tak berbalik haluan" Nanti
setelah kuselidiki jelas baru kukunjungi mereka. Jangan
kuatir Cici Hoa, akan kuajak kau pulang ke rumahku."
"Ke rumahmu" Bukankah rumahmu sudah disegel!"
Ceng-hoa heran. "Masakah kita tak dapat masuk dari samping tembok"
Sudah lewat tiga tahun, kunci pintunya sudah berkarat.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kukira kawanan kuku garuda itu tak nanti terus menerus
menjaga di sini. Besok akan kucari seorang yang dapat
kupercaya," sahut Kong-he.
"Lompat tembok rumahmu sih tak apa, tetapi aku
tetap cemas." "Aku tak percaya kalau kepergok mereka. Ah, ingin
benar aku menjenguk tempatku bermain-main waktu
kecil, menikmati pula barang-barang peninggalan ayah
bundaku. Mamahku meninggal pada saat aku dan ayah
melarikan diri, mungkin barang-barang peninggalannya
masih, mungkin sudah hilang. Aku harus menjenguknya,
sekalipun kepergok kawanan kuku garuda, tetap akan
kuhadapi." Ceng-hoa menyatakan kesediaannya. Mereka kembali
ke rumah kediaman Kong-he, setelah diperhatikan tiada
orang lagi, diam-diam mereka melompat ke atas tembok.
Di antara pintu besar ada ruang tamu, terdapat halaman
yang cukup luas, di situlah semasa kecil Kong-he berlatih
silat dan bermain-main. Di bawah sinar rembulan
remang, tampak halaman itu penuh ditumbuhi rumput.
Kong-he tertusuk perasaannya, ia membungkuk
mengisar sebuah pot bunga dan dengan hati-hati
menyiak rumputnya, seperti hendak mencari sesuatu.
"Eh, kau sudah berada di rumah, mengapa tak lekas
masuk?" tanya Ceng-hoa.
"Dahulu mamah meninggal di halaman ini. Kawanan
kuku garuda menerobos masuk dengan tiba-tiba, karena
hendak melindungi diriku, mamah sampai binasa.
Kasihan, ketika roboh di tanah, beliau masih menguatkan
diri mendesak ayah suruh lekas membawa aku lari.
Hendak kulihat lagi apakah di dalam semak rumput ini
tiada terdapat barang-barang peninggalannya" Akan
kucari apakah tiada bekas darah di tanah ini?"
Dari semak rumput melompat dua ekor jangkerik,
hidung Kong-he mencium bau rumput busuk, Ceng-hoa
menarik tangan Kong-he, "Adik He, tak berguna kelewat
bersedih. Kau harus menjaga dirimu baik-baik agar dapat
menuntut balas. Asal kau selalu ingat pada sakit hati itu,
tiada perlu lagi harus mencari peninggalan mamahmu,"
Ceng-hoa menghiburnya. Kong-he berbangkit, ujarnya, "Aku beruntung
mendapatkan sebuah. Sayang bukan benda yang
dipakainya saat itu."
Ternyata Kong-he mencekal sekeping porselen
(tembikar). Peristiwa itu terjadi sudah lama sekali, pada
suatu hari datang seorang sahabat ayahnya dari Kian-se.
Kenalan itu memberikan sebuah patung dewi Koan Im
dari porselin buatan dari kota Keng-tek yang termasyhur.
Setelah orang itu pergi, tanpa bicara apa-apa, mamah
Kong-he terus melemparkan patung itu ke halaman.
Keping porselin itu mungkin pecahan patung yang waktu
itu, karena bujang kurang bersih menyapu, masih
ketinggalan di situ. Di kemudian hari setelah berjumpa
dengan Jian-jiu-koan-im Ki Seng-im barulah Kong-he
mengetahui bahwa mamahnya karena benci terhadap
wanita itu maka patung porselin yang berbentuk gambar
Koan-im dibanting juga, tetapi apa sebab mamahnya
membenci Jian-jiu-koan-im, sampai sekarang Koan-he
tak tahu. Setelah menyimpan keping pecahan porselin itu,
Kong-he pun berjalan masuk ke dalam ruangan. Dalam
kegelapan tiba-tiba ia seperti mendengar isak tangis
seseorang, dan datangnya dari kamar mendiang
mamahnya. Ceng-hoa bergidik, "Eh, apakah karena mati
penasaran, arwah mama adik He menjadi setan?"
Bahkan Kong-he yang tak percaya akan segala setan,
ternyata tergetar juga hatinya, tapi dengan
memberanikan diri ia mendorong daun pintu, "Mah, aku
adalah anak He, aku sudah pulang mah!"
Pintu terbuka dan terdengarlah seorang wanita
berseru, "O, apakah anak He" Aku mencarimu kemanamana,
sungguh beruntung sekali sekarang kau pulang!"
Kong-he terkesiap, wanita itu menyulut pelita. "Oh,
kiranya kau. Mengapa kau berada di sini" Dan berada di
tempat mamaku?" tegur Kong-he setelah mengetahui
wanita itu ternyata Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in.
Ternyata Ki Seng-in tidak mati, meskipun di kota
Tang-peng ia menderita luka parah, tetapi setelah diberi
minum jinsom oleh suami istri Gak Ting, sebulan
kemudian ia sudah sehat kembali. Kali ini ia memang
datang ke kotaraja hendak menyirapi berita tentang
suaminya. Ki Seng-in sebenarnya adik misan ayah Li Kong-he.
Sejak kecil bermain bersama, sampai berangkat dewasa
tetap bergaul, semua orang menganggap mereka kelak
tentu akan terangkap menjadi suami istri, tetapi ternyata
di kemudian hari mereka mempunyai jalan hidup sendirisendiri.
Ayah Kong-he tahu bahwa perangai Ki Seng-in
tak mencocoki seleranya, maka ia segera
meninggalkannya, kemudian menikah dengan pendekar
wanita Lo Ki-wan dari Thian-li-kau. Karena marah dan
putus asa, Ki Seng-in lolos ke Kwan-gwa, beberapa tahun
kemudian baru menikah dengan Utti Keng, berandal
besar dari daerah Liau-tang.
Utti Keng sangat menyayangi istrinya sehingga
tumbuh juga kecintaan Ki Seng-in terhadap suaminya,
tetapi romannya semasa masih muda tetap tidak dapat
dilupakan. Lebih-lebih setelah Li Bun-sing meninggal, ia
merasa sedih jika tak dapat merawat putra Li Bun-sing
yang sudah sebatang kara itu.
Hari itu Ki Seng-in berlalu di kota Po-ting,
terkenanglah ia akan peristiwa masa remaja, maka ia
pun diam-diam masuk ke dalam rumah hanya karena
sekadar menikmati kenangan indah di masa lampau. Ia
tak nyana sama sekali Kong-he akan muncul di situ,
karena anak itu sudah jatuh di tangan musuh, maka
kegirangannya sedemikian melonjak sehingga ingin sekali
ia memeluk anak itu, tetapi kong-he mempunyai
perasaan lain. Teringat peristiwa mendiang mamahnya
membanting patung Koan-Im, ia pun tak senang kepada
Ki Seng-in. Perih hati Ki Seng-in mendengar teguran yang tajam
dari Kong-he itu, ujarnya, "Anak He, bertahun-tahun
karena iri atas kebahagiaan mamahmu, pernah aku
bertempur dengannya. Aku memberikan sebuah bacokan
golok dan sebuah tusukan pedang, sekalipun tak terluka,
tetapi akulah yang menyerangnya lebih dulu. Untuk hal
itu aku merasa menyesal dan aku pun tak menyalahkan
mamahmu benci padaku, sebenarnya ingin sekali aku
menghaturkan maaf di hadapannya. Anak He, apakah
kau masih membenci padaku?" Perasaan menyesal telah
mendorong Ki Seng-in menumpahkan isi hatinya secara
terus terang. Pada usia itu Kong-he sudah mulai mengerti persoalan
muda-mudi, terbukalah kesadarannya setelah mendengar
keterangan Ki Seng-in, pikirnya, "O, kiranya demikian.
Kalau begitu sekalipun dia cemburu kepada mamah
tetapi ia sayang sekali kepada ayahku." Kong-he amat
mencintai ayah, terhadap wanita yang cinta pada
ayahnya, ia pun tak memandangnya sebagai musuh.
"Tempo hari kau tak mau ikut padaku hingga kena
dikelabui si Tok-kak-lok. Betapa cemasku, anak He.
Kedua ayah bundamu sudah tiada dan diam-diam aku
telah bersumpah untuk melakukan sesuatu guna kedua
orang tuamu, oleh karena itu tak dapat aku tinggal diam
melihat kau ditawan musuh. Bertahun-tahun aku
mencarimu, akhirnya Thian mengabulkan dan kita dapat
berjumpa di sini. Tentu kau sekarang sudah tahu siapa
Tok-kak-lok itu, bukan" Anak He, apakah kau masih
benci padaku?" Wanita itu mengucurkan air mata.
Sekalipun masih muda, Kong-he dapat juga
membedakan orang baik dan jahat, melihat betapa
kesungguhan hati seorang wanita yang hendak menebus
dosa asmaranya, Kong-he pun terharu dan ikut
mengucurkan air mata. "Bibi," akhirnya mulut Kong-he
meluncurkan panggilan mesra.
"Bibi, untukku kau bertahun-tahun menempuh bahaya.
Kukira di alam baka arwah mamah tentu tak benci lagi
kepadamu," sahut Kong-he.
Dalam celah-celah wajah yang basah air mata itu,
berserilah cahaya kegirangan. "Baik, puaslah hatiku
sekarang. Tempat ini bukan tempat yang cocok untuk
kita tinggali lama-lama, lebih baik kita lekas pergi dari
sini. Aku mempunyai tempat untuk kalian berteduh,
apakah nona ini Pada saat itu barulah Ki Seng-in sempat
menanyai Tiok Ceng-hoa. "Namaku Tiok Ceng-hoa, aku mengangkat saudara
dengan Kong-he. Aku girang sekali Kong-he yang sudah
sebatang kara berjumpa dengan bibinya," kata Cenghoa.
Mendengar ucapan itu, Ki Seng-in dapat menyingkap
hati si dara. Melihat Ceng-hoa seorang dara yang cantik,
diam-diam Ki Seng-in girang sekali, ujarnya dengan
tertawa, "Tidak, sekarang dia sudah punya dua
keluarga." Ceng-hoa tertegun, sesaat dapat menangkap siapa
yang dimaksud dengan keluarga yang satunya itu,
merahlah wajah Ceng-hoa. Setelah itu Ki Seng-in segera mengajak kedua anak
muda itu pergi, tetapi seketika itu juga terdengar kesiur
angin melayang di atas penglari rumah. Ki Seng-in
terkejut dan cepat menarik kedua anak muda itu,
bisiknya, "Ikutlah di belakangku, lompat keluar dari
jendela. Ada tetamu malam masuk rumah ini."
Setelah memadamkan lampu, sambil mendorong daun
jendela, Ki Seng-in menyiapkan serangkum Bwe-hoaciam.
Menyusul terdengarlah jerit orang mengaduh. Setelah
melompat keluar jendela, Ki Seng-in berseru, "Jian-jiukoanim berada di sini. Siapa yang tak takut mati, silakan
maju!" "Jian-jiu-koan-im sungguh tak bernama kosong, tetapi
sayang hanya mampu melukai dua orang bawahanku
saja. Hehe, aku Ho Lan-bing berada di sini, mana kau
dapat melarikan diri?" terdengar suara sahutan orang.
Menyusul itu terdengar lain suara, "Jian-jiu-koan-im,
sungguh beruntung dapat bertemu di sini! Tempo hari
kau dapat melukai Loktoakoku, sekarang aku Yo-loji juga
ingin menerima pelajaran darimu!"
Di bawah cahaya rembulan remang, tampak empat
orang berbaris tegak di halaman. Yang seorang Ho Lanbing,
yang kedua Yo Tun-hou dan dua orang lagi ialah
perwira barisan Gi-lim-kun. Yang terkena jarum dan
rebah di tanah mengenakan pakaian pegawai kantor
residen, tentulah pegawai pemerintah kota Po-ting-hu.
Rumah Li Bun-sing disegel kantor pemerintah kota Poting,
maka Ho Lan-bing dan kawan-kawan harus
diantarkan dua pegawai kota Po-ting untuk melakukan
penyergapan. Mereka berdua berkepandaian rendah dan
belum kenal siapa Ki Sing-in, akibatnya merekalah yang
harus menerima persen jarum Bwe-hoa-ciam.
Sebenarnya Ki Seng-in belum mendengar berita
tentang suaminya yang telah ditangkap, tetapi ia tahu
bahwa rombongan kuku garuda yang mengejar Utti Keng
di Siam-kam itu dikepalai oleh Ho Lan-bing. Ketemu
musuh lama, merahlah mata Ki Seng-in, ia melolos Jwanpian,
lalu berseru, "Ho Lan-bing, kau tak datang kemari,
aku pun memang hendak mencarimu. Kau apakan
suamiku itu?" Ho Lan-bing tertawa mengejek, "Belum mati dan tak
terluka. Kupelihara dia baik-baik, maka silakan kau
nyanyikan lagu 'Perjumpaan sepasang suami istri', tetapi
kau harus kenal gelagat, kalau tidak, hehe, salah-salah
akan kujadikan kau seorang janda nanti!"
Ki Seng-in murka sekali, "Lihat serangan!" Kim-sijwanpian secepat kilat disabetkan.
"Ai, cepat sekali. Apa kau sungguh ingin menjadi
janda?" Ho Lan-bing mengejek sembari mengangkat
Kong-pian untuk menangkis.
Ceng-hoa dan Kong-he maju menyerbu, tetapi segera
disambut oleh Yo Tun-hou dan kedua perwira Gi-lim-kun
itupun menghunus senjatanya juga.
"Yo-loji, ringkuslah kedua anak itu agar Jian-jiu-koanim
tak mengatakan kita menghina kaum wanita. Dan
kalian berdua, masuklah ke dalam melakukan
penggeledahan. Coba lihat apakah masih ada konconya
lagi," Ho Lan-bing memberi perintah kepada kedua
perwira. Yo Tun-hou sudah tahu kelihaian Jian-jiu-koan-im, Ho
Lan-bing tak menyuruhnya membantu, itu sungguh
kebetulan sekali. Yang diurusnya hanyalah dua anak
kemarin sore, ia anggap tentu mudah untuk
membereskan. Cepat ia gunakan ilmu tangan kosong
Toa-kim-na-jiu untuk menangkap Ceng-hoa dan Kong-he,
dan kedua perwira itu segera melakukan perintah Ho
Lan-bing. Yo Tun-hou merangsek dengan kedua tangannya,
tangan kiri hendak mencengkeram bahu Kong-he, tangan
kanan menotok siku lengan Ceng-hoa. Terhadap Kong-he
ia gunakan jurus maut, terhadap Ceng-hoa ia berlaku
murah, ini disebabkan karena melihat Ceng-hoa seorang
dara yang cantik gilang-gemilang. Ingin ia menawannya
hidup-hidup untuk dipersembahkan pada salah seorang
pangeran kerajaan yang mempunyai pengaruh besar.
"Bagus!" seru Ceng-hoa. Sekali putar pedangnya ia
menusuk tiga jurusan, pergelangan tangan, lengan dan
iga. Sekali serang tiga sasaran, lihainya bukan kepalang.
Kejut Yo Tun-hou tak kepalang, ia tak menyangka
sama sekali bahwa dara yang begitu cantik ternyata
sedemikian lihainya. "Tring", terpaksa ia ganti gaya
serangan untuk menotok pedang Ceng-hoa dengan jari


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengahnya. "Cakarmu kutung!" Kong-he berseru sembari
menebas. Karena sedang sibuk menghadapi serangan
Ceng-hoa itu, terpaksa Tun-hou memutar tubuh dengan
menggunakan gerak Ih-sing-hoan-wi untuk menghindari.
Li Kong-he hendak membalas sakit hati tempo hari.
Mendapat angin, ia maju mendesak.
"Budak kecil, kau sudah bosan hidup?" bentak Yo Tunhou
seraya merubah cengkeraman dengan pukulan.
Seketika Kong-he merasakan dadanya sesak, tubuhnya
terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Ceng-hoa
terperanjat dan maju menyerang untuk menghalangi Yo
Tun-hou. Meskipun dalam kalangan Ki-lian-sam-siu, Yo Tun-hou
termasuk nomor dua, tetapi kepandaiannya nomor satu.
Memang Ceng-hoa dan Kong-he cukup hebat, tapi
mereka tetap kalah dari Yo Tun-hou. Untung Kong-he
seorang pesakitan negara yang harus ditangkap hidup,
jangan sampai dibunuh. Dengan begitu Yo Tun-hou pun
tak berani kelewat ganas.
Ho Lan-bing adalah wakil komandan Gi-lim-kun, dia
tokoh terkemuka dalam pasukan Gi-lim-kun, jauh lebih
lihai dari Tun-hou. Setelah menerima serangan beberapa
jurus dari Ki Seng-in, timbullah kemarahannya. Ia
tertawa gelak-gelak, "Sungguh beruntung sekali dapat
berjumpa dengan ahli pian, rupanya kita sepasang
tandingan yang setimpal. Baik, aku hendak melayanimu
dengan sungguh-sungguhi"
Ki Seng-in marah juga mendengar hinaan itu, ia
mainkan Jwan-pian sedemikian rupa, khusus mengarah
jalan darah lawan. Jurus-jurus yang dilancarkan
merupakan serangan maut, namun dengan Kong-pian,
Ho Lan-bing dapat menghalau serangan-serangan itu
semua. "Jian-jiu-koan-im, mengapa kau tak kenal
kasihan sama sekali" Untung aku tak sampai kena!" ia
tertawa mengejek. Keduanya sama-sama menggunakan senjata pian,
tetapi jurus permainannya berbeda. Yang digunakan Ki
Seng-in ialah Kim-si-jwan-pian atau ruyung dari kawat
emas. Sedang Ho Lan-bing memakai Cui-mo-kong-pian
atau pian baja. Pian dari Ki Seng-in lebih lincah, tetapi
pian Ho Lan-bing lebih keras, yang satu lunak yang satu
keras. Sayang Ki Seng-in tak dapat mengembangkan
ilmu 'dengan kelemasan menundukkan kekerasan'.
"Ilmu pianmu tak menang dari aku, perlu apa
bertempur terus" Mari kuajak .kau menemui suamimu.
Heh, mengapa kau masih menyerang" Apakah kau
benar-benar ingin menjadi janda" Hai, benarlah! Memang
Utti Keng si jelek itu tak sembabat menjadi suamimu, kau
tak mau melihatnya lagi, bukan?" Ho Lan-bing tertawa
mengolok-olok. "Bangsat anjing, rasakan kelihaianku!" bentak Ki Sengin,
tahu-tahu tangan kirinya sudah mencekal sebilah
pedang pendek. Dengan pedang di tangan kiri dan pian
di tangan kanan, ia menghajar Ho Lan-bing sederasderasnya.
Ki Seng-in bergetar Jian-jiu-koan-im atau dewi
Koan-im seribu tangan. Dan digelari juga sebagai Piankiamsiong-ciat atau jago pedang dan pian. Biarpun Ho
Lan-bing lebih tinggi kepandaiannya, namun dengan
serangan dua macam senjata yang dimainkan secara luar
biasa, terpaksa wakil komandan Gi-lim-kun terdesak,
hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang.
Sekalipun begitu juga tak mudah bagi Ki Seng-in untuk
mengalahkan sang lawan. Dan celakanya, pada saat Ki
Seng-in berada di atas angin itu, di sana Ceng-hoa dan
Kong-he kelabakan ditekan Yo Tun-hou.
Pada saat Ki Seng-in mendesak Ho Lan-bing, Yo Tunhou
pun dapat menampar ke samping pedang Ceng-hoa,
kemudian hendak mencengkeram bahu Kong-he. Pada
waktu cengkeramannya akan berhasil, tiba-tiba sebuah
jurus Hwe-hong-soh-liu (angin berkisar menyapu pohon
Liu), Ki Seng-in mencambuk ke belakang. Serangan itu
datangnya dari jarak dekat dan secara tak terduga-duga,
dalam kejutnya Yo Tun-hou berusaha mengapungkan
tubuh untuk menghindar, namun tak urung kakinya kena
sabet dan jatuhlah ia terkapar di tanah.
Tetapi Ki Seng-in pun menderita, pada saat ia
membalikkan tangan mencambuk ke belakang, Ho Lanbing
pun melompat menerjang dengan piannya. Ki Sengin
bukannya tak tahu akan resiko itu, tetapi untuk
menolong kedua anak itu, terpaksa ia harus menempuh
bahaya itu. Sabetan Kong-pian Ho Lan-bing tak dapat
dihindari lagi, ia masih mencoba menangkis dengan
pedang pendeknya, tapi tenaganya kurang. "Tring",
punggung tangan Ki Seng-in tergurat berdarah. Untuk itu
sebenarnya ia harus merasa bersyukur.
"Bibi!" rasa kejut dan haru mendorong Kong-he untuk
maju menggempur Yo Tun-hou. Yo Tun-hou
menggunakan gerak Le-hi-ta-ting atau ikan lele meletik,
tapi tak urung tulang betisnya kena. Lukanya lebih parah
daripada Ki Seng-in,. jago Ki-lian-sam-siu itu mempunyai
ilmu kebal, meskipun terluka tetapi tulangnya tak sampai
patah. Adalah karena memikirkan keselamatan Ki Sengin,
maka Kong-he dan Ceng-hoa telah melepaskan
kesempatan bagus untuk melukai Yo Tun-hou.
"Lekas merapat, hati-hati menghadapi musuh!" seru Ki
Seng-in dengan suara serius. Saat itu ia sudah dapat
memperbaiki posisi tubuhnya dan mulai memainkan
kedua senjatanya, pian dan pedang pendek. Pian untuk
menyerang jarak jauh dan pedang untuk menjaga jarak
dekat, dengan begitu dapatlah ia melindungi kedua anak
itu dari serangan kedua Ko-chiu itu. Walaupun pihaknya
tetap lebih lemah, namun dapat juga Ki Seng-in memberi
perlawanan. Pada saat itu keluarlah kedua serdadu Gi-Iim-kun yang
diperintah menggeledah ke dalam rumah tadi, mereka
melapor pada Ho Lan-bing bahwa di dalam tiada terdapat
barang seorang pun juga. "Baik kalau begitu, kalian bantu meringkus kedua
bocah itu. Hari segera terang tanah, kita tak boleh lamalama
di sini!" Karena harus menyudahi pertempuran itu,
terpaksa Ho Lan-bing tak menghiraukan kedudukannya
sebagai wakil komandan pasukan Gi-lim-kun lagi.
Kedua perwira itu kepandaiannya lebih lemah dari Yo
Tun-hou, tetapi juga cukup berbahaya, paling tidak
mereka dapat menghadapi kedua anak muda itu. Kedua
perwira itu yang saru menggunakan rantai Lian-cu-jui
dan yang satu tongkat besi, sebuah senjata yang berat.
Mereka menyerang Kong-he dan Ceng-hoa, tapi tak
berani mendekati Ki Seng-in.
Ditekan oleh kedua jago tangguh, Ki Seng-in tak
sempat lagi membagi tenaganya untuk membantu Konghe
dan Ceng-hoa. Mereka masih muda, tenaganya belum
penuh. Sebenarnya mereka sudah tercecar, apalagi
lawan ketambahan dua tenaga pula.
Tengah terjepit dalam keadaan berbahaya, mata dan
telinga Ki Seng-in yang selalu memperhatikan empat
penjuru tiba-tiba mendengar di atas rumah ada angin
berkesiur. Bercekatlah hati Ki Seng-in, yang dihadapinya
itu saja sudah berat apalagi kalau sampai datang bala
bantuan musuh. Tetapi ia sudah membulatkan tekad,
daripada menerima hinaan lebih baik gugur saja.
"Siapakah yang datang itu" Lekas beritahukan
namamu!" tiba-tiba Ho Lan-bing berteriak. Rupanya ia
juga mendengar kesiur angin itu, tetapi tak tahu kawan
atau lawan yang datang. Sesosok tubuh melompat turun, serentak memaki
dengan keras, "Kawanan anjing buduk, kamu berani
menghina kaum wanita di dalam rumah saudaraku!"
Mendengar suara orang itu, girang Kong-he bukan
kepalang, serunya, "Paman Lim, kau datang!"
"He-tit, kaukah?" orang itupun berseru kaget.
Karena berteriak itu, Kong-he menjadi agak lengah.
"Tring", goloknya terpental ke udara oleh sambaran
rantai si perwira. "Berhenti! Kalau tidak, akan kucincang tubuhmu!"
tiba-tiba pendatang itu membentak. Karena bentakan itu,
rantai di tangan kiri si perwira tak mengenai sasaran,
dengan demikian Kong-he dapat menyelinap lolos.
Pendatang itu segera maju untuk merintangi kejaran si
perwira. Kejut Ho Lan-bing lebih besar dari perwira itu, karena
ia tahu siapa pendatang itu, namun ia masih menegas,
"Apakah yang datang Lim-kaucu?"
"Benar! Bukankah kalian hendak mencari aku"
Sekarang aku datang sendiri, jika mampu tangkaplah
aku!" sahut orang itu yang memang Lim Jing adanya.
Mimpi pun tidak Ho Lan-bing bahwa Lim Jing berani
muncul di kota Po-ting, diam-diam ia menyesal mengapa
tak menyiapkan anak buahnya yang lihai untuk
menangkapnya. Kedua perwira itu belum kenal siapa Lim Jing, melihat
orang hanya bertangan kosong, maka timbullah
keinginan mereka untuk menangkapnya. Jika dapat
menangkap ketua Thian-li-kau, tentulah akan mendapat
pahala besar, serempak kedua perwira itu maju
menyerang. Waktu rantai bandringan melayang ke muka Lim Jing,
ketua Thian-li-kau membentaknya, "Roboh!" Ia
menghindar terus menyambar rantai. Perwira itu sertamerta
roboh bermandikan darah. Setelah merampas
rantai, Lim Jing segera mempermainkannya, perwira
yang menggunakan tongkat segera menjerit roboh dan
kepalanya pecah. Lim Jing menjemput golok pusaka Kong-he, dengan
mendongak ke langit ia tertawa keras, "Li-hiante, kau
telah dicelakai kawanan anjing alap-alap. Sekarang engkoh akan membalas sakit hatimu dengan golokmu ini,
agar arwahmu mengaso dengan tentram di alam baka!"
Perwira yang memakai rantai bandringan tadi tak
begitu parah lukanya, waktu ia hendak merayap bangun,
tahu-tahu kepalanya sudah menggelinding. Ilmu golok
Lim Jing bukan olah-olah cepatnya.
"Ki-temoay, mundurlah!" teriak Lim Jing kepada Ki
Seng-in. Nyonya itu segera mundur, ia cukup tahu
sampai dimana kelihaian ketua Thian-li-kau itu, tak perlu
ia membantunya. Melihat sekali gebrak Lim Jing dapat membunuh dua
orang perwiranya, kuncuplah nyali Yo Tun-hou. Diamdiam
ia sudah merencanakan untuk lolos. Pada saat Lim
Jing berganti tempat dengan Ki Seng-in, Yo Tun-hou
segera kabur. Dalam beberapa kejap saja ia sudah
melompat ke atas pagar tembok.
"Paman Lim, jangan biarkan bangsat itu kabur! Dia
adalah musuhku!" teriak Kong-he.
"Tak nanti dia mampu!" sahut Lim Jing yang segera
melontarkan sebuah pukulan seraya membentak,
"Turun!" Yo tun-hou baru saja naik ke atas tembok, tiba-tiba ia
merasa didorong oleh sebuah tangan kuat yang tak
kelihatan. Tak ampun lagi ia terdorong jungkir-balik.
Berbareng itu senjata rahasia Ki Seng-in pun menembus
tubuhnya, dengan begitu tak dapat ia bernapas lagi ....
Habis mengirim pukulan, Lim Jing segera menerjang
Ho Lan-bing sebagai wakil komandan Gi-lim-kun,
kepandaian Ho Lan-bing lebih unggul dari Yo tun-hou.
Biar bagaimanapun ia tak mau menyerah, ia pun segera
mengeluarkan ilmu pian, Utti-pian-hoat dari pusaka
keluarganya. Pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan angin
empat penjuru bertemu di Tiong-ciu, demikian jurus yang
dimainkan Ho Lan-bing. Pian gelombang demi gelombang
mendampar dengan hebat. "
"Apakah kau sudah mengeluarkan semua
kepandaianmu" Lihat golok!" Lim Jing tertawa mengejek.
Dan pada lain saat ia membentak, "Kena!" Dari curahan
hujan pian yang gencar, ia menerobos maju. Ho Lan-bing
berteriak keras, tubuhnya melesat keluar. Kiranya bahu
wakil komandan Gi-lim-kun itu terkena bacokan, tetapi
sekalipun begitu dia masih lihai. Larinya menjurus ke
arah Li Kong-he, saat itu Kong-he sedang tercengang
melihat permainan Lim Jing, ia tak mencekal senjata
karena goloknya dipakai Lim Jing.
"Celaka!" Ki Seng-in mengeluh dan buru-buru
melindungi anak itu. Lim Jing sebenarnya sudah bersiapTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
siap kemungkinan lawan berbuat begitu, ia bergerak
mendahului untuk melompat ke samping Kong-he. "Apa
kau masih mau unjuk keganasan" Fui, mau lari kemana
kau!" Di luar dugaan Ho Lan-bing berganti arah, sekali
melompat ia naik ke tembok. Kiranya ia menggunakan
apa yang disebut Seng-tang-ki-se atau suara di timur
menerjang ke barat. Ia pura-pura hendak meringkus
Kong-he untuk memancing Lim Jing dan Ki Seng-in ke
situ, setelah itu barulah ia lolos.
Tahu tertipu, Lim Jing melontarkan sebuah pukulan
seperti ia berbuat terhadap Yo-Tun-hou tadi. Ho Lan-bing
menjerit dan mengapungkan tubuh setombak tingginya,
berjumpalitan di udara lalu melayang turun keluar
tembok. Ki Seng-in tak dapat melontarkan senjata
rahasia, lalu melompat ke tembok, tetapi ternyata Ho
Lan-bing sudah lari. Dengan kuda pilihannya memang
sukar untuk mengejar wakil komandan Gi-lim-kun itu.
Pukulan Lim Jing memang dahsyat, tetapi kepandaian Ho
Lan-bing pun bukan seperti Yo Tun-hou. Dengan begitu
walaupun terluka, tetap jago istana itu masih dapat
melarikan diri. Lim Jing membesut darah pada goloknya, lalu
menyerahkan kembali kepada Kong-he, "Anak baik, tiga
tahun tak berjumpa kepandaianmu sudah maju pesat.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baik-baiklah kau memakai golok pusaka tinggalan
mendiang ayahmu ini!"
Kong-he menerima golok pusaka itu dengan berlinang
air mata, mulurnya tak dapat mengucap apa-apa, Lim
Jing segera mengajak mereka keluar. Kala itu sudah
hampir jam 3 pagi, tetapi pintu kota masih belum dibuka.
Po-ting adalah ibukota propinsi Ciat-lim, tembok kota tak
kurang dari 4-5 tombak tingginya, Ceng-hoa dan Konghe
tak mampu melompat ke atasnya.
"Biar kubukakan jalan, mari ikut aku naik," Lim Jing
tertawa. Sebenarnya ia dapat melompat ke atas, tetapi ia
hanya menggunakan ilmu Bik-hou-ba-jiang atau cecak
merayap tembok, dengan tangan menempel tembok ia
merayap naik. Tiap 5-6 depa, ia tusukkan jarinya
membuat lubang pada tembok agar anak-anak itu dapat
berpegangan. Tiok Ceng-hoa kagum, bisiknya, "Pamanmu Lim
sungguh hebat sekali. Dia menggunakan ilmu Toa-latengjiau-kang, sedikitpun tak menggunakan tenaga.
Ayah pun demikian juga."
Demikianlah setelah keluar dari kota Po-ting, keempat
orang itu segera menggunakan ilmu lari, dalam sekejap
saja sudah mencapai 10-an li lebih.
Hari pun mulai terang. Katalah Lim Jing, "Bagus, sekarang kita berjalan agak
lambat. He-ji, apakah kau tahu berita tentang adikmu,
To-kan?" Kong-he pun menyahut dengan sedih, "Aku bertemu
di tengah jalan. Eh, tidak, dia berada dalam karung, aku
belum pernah melihatnya, tetapi aku dengar suaranya
memanggil aku dari dalam karung. Sayang aku tak becus
menolongnya." "Mengapa ia berada dalam karung?" Lim Jing heran.
Kong-he menceritakan tentang peristiwa Nyo Hoan
menculik To-kan. "O, kiranya dia diculik anjing alap-alap" Jadi kau
mengira ia dibawa ke kotaraja hingga kau hendak
menolongnya ke kotaraja juga?"
"Ya, meski kepandaianku dangkal, tetapi kuketahui
bahwa Suhuku, Kang hay-thian, juga berada di kotaraja.
Paman Lim, tahukah kau akan Suhuku?"
"Belum pernah berjumpa, tetapi Kang-tayhiap melepas
budi padaku, aku pun tahu."
Karena belum tahu peristiwa di Cong-liong poh, Konghe
hendak menanyakan, tetapi Lim Jing sudah
mendahului, "Siapa nama nona ini" Apakah datang
bersamamu?" Setelah memberitahukan nama Tiok Ceng-hoa, Konghe
menyatakan bahwa nona itu adalah Taci angkatnya.
"Apakah ayah nona adalah Tiok-cianpwe Tiok Sianghu?"
tanya Lim Jing. "Darimana kau tahu, Lim-kaucu?" Ceng-hoa heran.
Lim Jing tertawa, katanya, "Kulihat kepandaian nona
tadi bukan sembarangan, tentulah ajaran ayahmu.
Kemasyhuran nama ayahmu sudah lama aku
mendengarnya." Kiranya sewaktu Ceng-hoa dan Kong-he bisik-bisik
membicarakan kepandaian Lim Jing dibandingkan
dengan ayahnya (Tiok Sing-hu), Lim Jing telah dapat
mencuri dengar. "Setelah ayah binasa, aku menerima budi Tioklocianpwe,
tinggal setahun lebih di rumahnya," kata
Kong-he. "Ah, peruntunganmu memang besar. Kau mendapat
seorang ayah angkat seorang tokoh luar biasa dan
menjadi murid Kang Hay-thian, tokoh nomor satu di
dunia persilatan," kata Lim Jing.
"Tetapi sampai saat ini aku belum pernah melihat
Suhuku." "Eh, aneh. Mengapa?"
Kong-he segera menuturkan peristiwa selama ini.
"O, kiranya begitu, maka kau tak menghiraukan
bahaya datang ke kotaraja hendak mencarinya," kata Lim
Jing. Kemudian katanya kepada Ki Seng-in, "Ki-temoay,
mengapa kau juga berada di Po-ting. Hendak kemana
saja" Kabarnya kau sudah berumah tangga di Kwan-gwa,
Moayhu (adik ipar) mengapa tidak ikut?"
"Adik iparmu itu juga ditawan kuku garuda, entah
hidup entah mati" Aku pun hendak ke kotaraja untuk
mencari beritanya," jawab nyonya itu yang lalu
menuturkan peristiwa yang menimpa diri suami istri itu.
"Dan kau paman Lim, kemana saja kau selama
beberapa tahun ini" Apakah juga hendak ke kotaraja?"
tanya Kong-he. "Tahun pertama aku bersembunyi di Cong-liong-poh,
kemudian setelah Cong-liong-poh dibakar, aku
mengembara kemana-mana tanpa tujuan."
"Hai, jadi Cong-liong-poh sudah dibakar" Bagaimana
dengan paman Tio?" Kong-he kaget.
"Untung bisa melarikan diri bersama aku, setelah itu
baru Cong-liong-poh dibakar. Kabarnya waktu
pembakaran itu Kang-tayhiap kebetulan datang ke CongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
liong-poh. Adikmu To-kan yang masih berada dalam
Cong-liong-poh kabarnya juga ditolong oleh Kangtayhiap.
Berita ini kudapat dari seorang desa yang juga
binasa karena kebakaran itu. Tapi bagaimana
sebenarnya, aku pun juga belum mengetahui," kata Lim
Jing. Kong-he baru jelas bahwa apa yang dikatakan Lim
Jing soal hutang budi pada Kang-Hay-thian ternyata
tentang hal itu, kemudian Kong-he mengajak paman Lim
Jing bersama-sama ke kotaraja. Pertama, dapat bertanya
jelas pada Kang Hay-thian dan kedua, bisa membantu
bibi Seng-in menolong suaminya.
"Memang aku hendak ke kotaraja, tetapi aku kuatir
tak ada waktu mencari Suhumu. Mudah-mudahan bisa
ketemu saja," kata Lim Jing.
"O, jadi paman Lim masih ada urusan penting lain?"
tanya Kong-he. "Memang ada urusan penting yang memerlukan
kedatanganku ke sana, Ki-temoy, mungkin urusan itu
secara tak langsung akan membantumu menolong
Moayhu. Ayo, kita berangkat," kata ketua Thian-li-kau
itu. Sebagai seorang persilatan, Ki Seng-in cukup mengerti
peraturan, ia bukan orang Thian-li-kau, sudah tentu tak
mau banyak bertanya. Sebelum berangkat, Lim Jing menyuruh Kong-he
membasuh mukanya yang tak keruan itu.
Kemudian dengan nada serius Lim Jing memberi
pesan, "Di dalam kotaraja banyak sekali telinga dan mata
kerajaan. Penjagaan di sana ketat sekali, jauh berbeda
dengan di Po-ting, tetapi jangan harap kau dapat berbuat
begitu di kotaraja."
Kong-he tertawa meringis, ia meminta paman itu suka
memberi petunjuk, Lim Jing menyanggupi akan
mengusahakan. Po-ting hanya terpisah 300-an li dari kotaraja. Dengan
berjalan, pagi berangkat tengah malam tibalah sudah
mereka di luar kotaraja, di sebuah dusun yang terletak
50 li dari kotaraja. Di situ sudah ada beberapa orang
yang menyambut kedatangan Lim Jing.
Keesokan harinya Lim Jing memberi Kong-he ganti
satu stel pakaian bagus, menyuruh dia menjadi seorang
putra hartawan. Sedang ia (Lim Jing) sendiri menyaru
menjadi perwira dari luar daerah yang mengunjungi
kotaraja, sedangkan empat' orang lagi menyaru jadi
pengiring. Mereka naik empat buah tandu, masuk ke
kotaraja. Benar juga penyaruan itu telah dapat
mengelabui mata kawanan kuku garuda, bahkan ke-16
anggota Thian-li-kau yang menyaru jadi tukang pikul
tandu pun lolos dari pengawasan mereka.
Dalam kotaraja terdapat cabang partai Thian-li-kau,
tempatnya di sebuah gedung besar bekas milik seorang
hartawan, kamarnya beberapa puluh buah. Lim Jing
menempatkan Kong-he di sebelah kamarnya, Ki Seng-in
dan Ceng-hoa menempati kamar dalam. Lim Jing
berpesan pada mereka jika tak perlu jangan sekali-kali
keluar rumah. Selama itu Kong-he lihat setiap hari tentu ada orang
yang datang menemui Lim Jing dan berunding, tahu
akan peraturan partai, Kong-he pun tak mau bertanya.
Setiap Lim Jing menemui tetamu, Kong-he tentu pergi ke
dalam mencari Ceng-hoa. Dia seorang anak, jadi tak
sungkan bermain dengan anak perempuan. Diam-diam
Kong-he menduga, bahwa ditilik dari kesibukan Lim Jing
dan orang-orang itu, tentulah mereka tengah
mempersiapkan rencana yang hebat.
Pada hari itu Lim Jing meminta kedatangan Ki Seng-in,
katanya, "Aku sudah menerima berita yang boleh
dipercaya, Moayhu disekap dalam penjara besar Thian-lo.
Pembesar-pembesar anjing itu hendak memaksanya
supaya memberi keterangan tentang harta benda yang
dirampasnya selama bertahun-tahun, di antaranya yang
penting ialah Cu-kwan (kopiah mutiara) dari istana.
Selama mereka belum memperoleh pengakuan dari
Moayhu tentang barang-barang itu, tentulah takkan
bertindak ganas kepada Moayhu."
Mendengar keterangan itu, legalah hati Ki Seng-in,
tetapi jika membayangkan betapa kejam para petugas
dalam mencari pengakuan seorang pesakitan, mau tak
mau bergidiklah bulu roma Ki Seng-in.
"Selama dalam penjara tentu dia mengalami siksaan
hebat, entah bagaimana dengan kesehatan badannya?"
tanyanya. "Terus terang" Lim Jing memberi keterangan, "Untuk
mendapat pengakuan, kawanan pembesar anjing itu
sudah tentu melakukan segala macam siksaan, tetapi
janganlah kau kuatir. Moayhu hanya mendapat luka luar
saja." "Masakah begitu enak?" tanya Ki Seng-in.
"Moayhu cerdik sekali, ia menggunakan akal untuk
mempedayai mereka. Di depan pengadilan, sepatah pun
ia tak mau mengatakan, tetapi di dalam penjara ia diamdiam
membisiki para petugas di situ tentang tempat
penyimpanan harta rampasannya. Sudah tentu tempat
yang tak begitu penting, ia suruh petugas itu mengambil
dan membagi rata pada semua kawan-kawannya.
Dengan mendapat kebaikannya itu sudah tentu para
petugas penjara tak berani membikin susah padanya.
Alat siksaan apapun yang digunakan itu, semua telah
dilatih dengan seksama. Memang pada waktu di depan
pembesar, Moayhu mendapat siksaan, tetapi yang luka
hanya kulitnya saja. Apalagi Moayhu mempunyai
kepandaian lihai, sudah barang tentu makin tak menjadi
soal. Dan karena rakus supaya diberi bagian lagi,
petugas-petugas penjara itu melayani Moayhu luar biasa
baiknya. Hidangannya terdiri dari ikan dan daging yang
lezat-lezat!" "Ya, meskipun demikian aku tetap akan menolongnya
keluar baru pikiranku lega," kata Ki Seng-in.
"Sudah tentu, tetapi penjagaan penjara itu luar biasa
ketatnya. Sejak moayhu dimasukkan ke dalam penjara,
penjagaan di situ diperkuat dengan beberapa Ko-chiu
istana, maka kuharap kau suka bersabar sedikit, jangan
sembarangan merampas penjara, tetapi jangan kuatir
lambat-laun kita tentu akan menolong Moayhu!" Lim Jing
menghibur nyonya itu. Setelah itu berkatalah Lim Jing kepada Kong-he, "Aku
pun telah menyuruh orang mencari berita tentang
Suhumu, tetapi sampai sekarang belum mendapat kabar
apa-apa. Kulihat dalam beberapa hari ini kau murung
saja, apakah kau hendak mencari Suhumu?"
"Kulihat paman begitu sibuk, ingin sekali kudapat
membantu sedikit. Jika aku boleh keluar
"Setelah pertempuran di Po-ting itu, memang kawanan
anjing alap-alap dalam kotaraja tampak sibuk, tetapi
setelah dalam beberapa hari ini tiada terdapat gerakan
apa-apa, dalam dua hari ini memang agak longgar. Tak
apa, kau boleh keluar mencari angin sana. Jika
seseorang tak mendapat ujian kesulitan, memang sukar
menjadi orang." Sejak itu Kong-he sering keluar melakukan sesuatu
untuk Lim Jing, misalnya mengantar surat atau menemui
seorang. Sudah tentu Lim Jing tak mau membiarkan dia
keluar seorang diri dan menyuruh seorang Thaubak
menyertainya. Thaubak itu bernama Te Kun, orang
kelahiran kota itu. Tak terasa sudah 10-an hari lebih, rencana besar yang
dirancang Lim Jing itu masih belum dilaksanakan, juga
gerakan menolong Utti Keng dari penjara belum juga
dilakukan. Ki Seng-in gelisah sekali, tetapi tak dapat
berbuat apa-apa. Ada kalanya ia mengeluarkan isi
hatinya pada Kong-he. Tetapi Kong-he cukup paham akan perangai paman
Lim itu, sekali paman itu menyanggupi, tentu akan
mengerjakan sampai selesai.
Pada suatu pagi, ketika Kong-he hendak mengajukan
soal itu kepada paman Lim Jing, Lim Jing sudah
mengangsurkan sepucuk surat kepadanya dan menyuruh
dia mengantarkan. Kala itu Lim Jing sibuk sekali dan
melayani beberapa orang tetamu, Kong-he pun tak mau
mendesak. Penerima surat itu ialah seorang yang tinggal di
bagian timur kota. Waktu Kong-he dan Te Kun
mengantar, kala itu sudah tengah hari. Pulangnya
mereka melalui Tho-yan-thing, sebuah tempat tamasya
yang indah di dalam kotaraja. Hiang-hui-tiong atau
makam permaisuri raja, terletak di dekat Tho-yan-thing


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Permaisuri Hiang-hui, seorang wanita cantik dari
suku Hwe, ditawan kaisar Kian Liong tetapi tak mau
menurut dan meninggal. Negara asal Tiok Siang-hu,
bertetangga dengan daerah Hwe. Karena sewaktu
berada dalam rumah keluarga Tiok, Kong-he pernah
mendengar cerita tentang permaisuri itu, maka ingin juga
ia melihat makamnya. "Jika kau hendak menikmati pemandangan indah, kau
tentu kecele," kata Te Kun, "tetapi dalam tempat pesiar
itu ada juga warung arak, boleh juga kita masuk minumminum."
Kiranya yang disebut makam Hiang-hui-tiong itu
ternyata segunduk tanah belaka, malah kalah dengan
kuburan orang biasa, tetapi karena disohorkan sebagai
tempat pesiar, banyak juga orang yang berkunjung,
maka orang pun membuka juga warung minuman.
Karena kecele dengan apa yang disaksikan, Kong-he
dan Te Kun pun lalu minum teh di warung. Ada beberapa
tetamu di situ, antaranya seorang tetamu yang datang
sendirian, seorang pemuda berumur 20-an tahun.
Anehnya pemuda itu rupanya menaruh perhatian akan
pembicaraan Kong-he dan Te Kun, tempo-tempo
melepas lirikan mata juga kepada orang tua itu.
Te Kun seorang Kangouw yang berpengalaman, cepat
sekali gerak-gerik pemuda itu menarik perhatiannya, la
bertanya bisik-bisik pada Kong-he, "Pernahkah kau
melihat orang itu?" Kong-he menyatakan belum pernah.
Kuatir jangan-jangan pemuda itu golongan mata-mata
musuh, maka cepat Te Kun memanggil pelayan supaya
menghitung bayarannya, tetapi pemuda itu sudah
mendahului menghampiri ke tempat Te Kun dan Konghe.
"Engkoh kecil, apakah kau orang she Li?" tegurnya.
Kong-he terkejut, ia tak kenal pada pemuda itu, tetapi
agaknya ia pernah mendengar nada suaranya. Karena
melihat sikap orang bersungguh-sungguh, ia pun
menjawab, "Kalau ya bagaimana, kalau tidak
bagaimana?" Pemuda itu setengah berbisik berkata, "Di sini banyak
orang, ayo kita cari tempat yang sepi."
Buru-buru Te Kun menarik Kong-he dan menegur
orang itu, waktu pemuda itu hendak menjawab, tiba-tiba
ada seorang lelaki datang menghampiri dan menepuk
bahunya, "Eh, apakah bukan Hiong-ji ini" Sudah berapa
tahun tak bertemu, apa masih kenal padaku?"
"Oh, paman Ting, sungguh kebetulan sekali," seru
pemuda itu. Lelaki she Ting itu tertawa, "Bukan kebetulan, tetapi
memang aku sengaja kemari menjumpaimu."
Si pemuda tertegun, "Paman Ting, mengapa kau tahu
aku berada di sini?"
Sahut lelaki itu, "Bukankah kau menjanjikan Sat-lotoa
untuk bertemu di sini" Dia tak datang, akulah yang
mewakilinya." Pada saat itu datang pula beberapa orang, setiap
orang membawa senjata. Dan tetamu-tetamu yang
berada di dalam warung situ berdiri semua. Pemuda itu
tersadar, sekonyong-konyong ia mencengkeram lelaki
tadi, bentaknya, "Bagus, kiranya kau menjadi antek
kerajaan!" "Bluk", bahu orang she Ting itu terkena
hantaman si pemuda, tetapi pemuda itupun tak berhasil
menangkapnya. Lelaki itu bahunya berdarah, ia
melompat menghindar, serunya, "Ubun Hiong, kau
bersahabat dengan kawanan pengacau akan menentang
kerajaan. Jangan salahkan paman Ting tak kenal kasihan
padamu!" Sekali ia memberi isyarat tangan, tetamutetamu
tadi dan beberapa opas segera menyergap
pemuda itu. Kiranya pemuda itu bukan lain adalah Ubun Hiong,
murid Kang Hay-thian. Ketika ia dan To-kan tiba di
gunung Bi-san, ternyata rapat sudah bubar, dia
mendengar bahwa Suhunya sudah pergi ke kotaraja,
Subo (ibu guru) juga tak pulang ke Soatang. Karena
ingin lekas mendapatkan Suhunya, Ubun Hiong segera
menyusul ke kotaraja. Ia suruh To-kan menunggu saja di
rumah Suhunya (Kang Hay-thian) tetapi bocah itupun
tetap mau ikut, terpaksa Ubun Hiong membawanya juga.
Dulu ayah Ubun Hiong adalah Piauthau (pemimpin)
perusahaan Tin-wan-piau-kiok, di Pakkhia mempunyai
banyak sahabat. Karena sejak kecil hidup di kotaraja,
maka banyak juga kenalan Ubun Hiong. Karena saat itu
ia sudah mengetahui asal-usul Lim To-kan, maka setiba
di kotaraja, ia sewakan sebuah kamar untuk To-Kan dan
tak berani mengajak ke rumahnya dahulu, pikirnya ia toh
tak berbuat kesalahan atau melanggar peraturan
pemerintah, asal ia dapat menyembunyikan To-kan,
dapatlah ia bebas berkeliaran di dalam kotaraja.
Demikian setelah dua hari tiba di kotaraja, barulah ia
berani keluar. Sebenarnya Ubun Hiong bukan seorang pemuda yang
cermat, tetapi apa yang dilakukan kala itu memang hatihati
sekali. Tak berani ia mencari sembarang orang orang
yang dijanjikan bertemu di warung itu bernama Sat
Thian-lip, bekas tenaga lama dari kantor ayahnya dahulu,
ia juga sahabat baik ayahnya. Ubun Hiong anggap orang
itu boleh dipercaya, untuk menjaga kemungkinan yang
tak diinginkan dan jangan sampai merembet keluarga
Sat, Ubun Hiong menulis sepucuk surat, lalu menyuruh
seorang anak pengemis mengantarkan kepada keluarga
Sat. Maksud Ubun Hiong hendak mencari keterangan
tentang diri Suhunya pada Sat Thian-lip. Untuk
pertemuan itu ia memilih Tho-yan-thing yang sepi.
Tiba di Tho-yan-thing dan menunggu sekian lama
belum juga Sat Thian-lip datang, dan di luar dugaan,
yang ditemukan di situ ialah Kong-he. Waktu Ubun Hiong
di tengah jalan merampas To-kan, Kong-he sedang
bertempur melawan Nyo Hoan di dalam warung arak.
Yang satu di tengah jalan, yang satu di dalam warung,
maka mereka belum berjumpa, namun nada suara
masing-masing dapat dikenalnya.
Dari To-kan, Ubun Hiong sudah mengetahui tentang
diri Kong-he, maka setelah mendengar nada suara Konghe,
buru-buru ia pun menghampirinya, tetapi sebelum
melanjutkan pembicaraan, Ubun Hiong sudah diserang
kawanan anjing alap-alap.
Anjing alap-alap yang menjadi mata-mata itu bernama
Ting Koh, dahulu juga bekas Piauthau Tin-wan-piau-kiok.
Memang sejak bekerja dalam Piau-kiok, Ting Koh sudah
banyak hubungannya dengan para pembesar negeri,
tetapi karena kala itu Piau-kiok banyak mengerjakan
pengiriman barang-barang dari pemerintah, maka
hubungan Ting-Koh dengan pembesar-pembesar itu tak
diperhatikan orang. Siapa tahu sejak saat itulah Ting Koh
mendaftarkan diri masuk menjadi antek kerajaan.
Setelah Piau-kiok tutup, ia menjadi mata-mata dari
kantor gubernur Kiu-bun-te-tok.
Kebetulan sekali pada saat si bocah pengemis
mengantar surat dari Ubun Hiong, Ting Koh pun sedang
berada di rumah keluarga Sat. Dan Sat Thian-lip merobek
surat itu di hadapan Ting Koh, itulah sebabnya maka
Ting Koh mengetahui tentang perjanjian Ubun Hiong
dengan Sat Thian-lip. Tentang hubungan Ubun Hiong dengan Kang Haythian,
karena di dalam rumah Kang Hay-thian terdapat
Yap Leng-hong yang menjadi mata-mata pemerintah
Cing, maka sudah dilaporkan pada pemerintah pusat.
Kembali ke kantor Gi-bun, Ting Koh segera melaporkan
apa yang diketahuinya. Malam itu juga Gi-bun mengirim
pasukan menangkap Sat Thian-lip. Dan besok harinya,
Ting Koh mewakili Sat Thian-lip menjumpai Ubun Hiong.
Kawanan kaki tangan pemerintah itu belum
mengetahui bahwa Ubun Hiong membawa juga To-kan,
tetapi bahwa To-kan sudah diterima menjadi murid Kang
Hay-thian sudah diketahui oleh mereka. Penangkapan
atas diri Ubun Hiong itu maksudnya hendak mencari tahu
dimana beradanya To-kan, mereka menduga yang
merampas To-kan di tepi jalan tentulah sahabat Kang
Hay-thian. Mimpi pun tidak mereka sangka kalau yang
melakukan hal itu ternyata Ubun Hiong sendiri.
Pada saat kawanan hamba negeri mengepung Ubun
Hiong, diam-diam Te Kun mengajak Kong-he keluar,
tetapi di luar dugaan Kong-he menyiak tangan Te Kun,
serunya, "Dia adalah Jisuhengku." Dengan mencabut
golok ia segera menerjang. Dari Ki Seng-in, Kong-he
sudah mendengar tentang diri Ubun Hiong, maka setelah
mengetahui tentang Jisuhengnya itu, tak mau ia
meninggalkannya. Sambil menangkis serangan musuh, Ubun Hiong
membentak, "Bah, budak gila, siapa Jisuhengmu" Jangan
omong sembarangan!" Maksud Ubun Hiong hendak menghindarkan Kong-he
terlibat dalam urusan itu, di samping ia memberi kisikan
supaya Kong-he lekas pergi saja, tetapi kawanan anjing
alap-alap itu sudah banyak pengalaman. Mereka tahu
akan maksud kata-kata Ubun Hiong tadi, kepala opas
tertawa gelak-gelak, "Sungguh tak terduga, yang hendak
kita tangkap hanya ikan kecil, siapa tahu akan dapat
kakap besar juga. Budak ini adalah putra Lim Jing!"
Memang mereka keliru menyangka bahwa Kong-he itu
Lim To-kan, putra Lim Jing, tetapi toh sama artinya,
mereka akan menangkap Kong-he.
Kong-he berhadapan melawan seorang opas yang
bersenjata rantai, opas itu hendak menangkap Kong-he
hidup-hidup, maka yang disabet kaki Kong-he saja.
Kong-he menggunakan jurus Kun-te-tong-to-hoat
(bergelundungan di tanah), malah membabat kutung
telapak kaki penyerangnya.
Kawanan anjing alap-alap yang menyergap berjumlah
8 orang, di antaranya ada 3 orang yang berkepandaian
tinggi, Wi-su (pengawal) dari istana. Sedang yang 5
orang juga opas kelas satu, tetapi berhadapan dengan
murid Kang Hay-thian yang mendapat gemblengan
setahun (Ubun Hiong), ketiga jago istana itu tak dapat
mengatasi. Kelima hamba opas sibuk menyergap Konghe,
mereka tiada waktu untuk membantu kerepotan
ketiga Wi-su itu. Berhasil membabat kaki seorang opas, semangat
Kong-he bertambah besar. Ia segera mainkan ilmu golok
Pat-kwa-to, dengan lincah menghadapi keempat
pengeroyoknya. Keempat opas itupun tak berdaya
menangkapnya. "Biar aku yang menangkap budak itu!" seru Ting Koh,
dia adalah Piauthau tua Tin-wan-piau-kiok,
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kelima opas itu. Tadi
bahunya kena dicengkeram Ubun Hiong, jeri terhadap
anak muda itu kini ia hendak ganti pada Kong-he.
Kong-he menabas dengan goloknya, Ting Koh
menggunakan tangan kosong Khong-jiu-jip-peh-jim
untuk merebut golok, Kong-he miringkan tubuh
menghindar, "Bret", bajunya kena ditarik robek oleh Ting
Koh. Saat itu terdengar suara orang menggerung keras,
sekali bergerak Te Kun dapat menjungkir-balikkan dua
orang opas, kemudian maju mengirim pukulan kepada
Ting Koh. Adanya Te Kun mengajak Kong-he pergi tadi
karena kuatir ketahuan dirinya hingga dapat
menelantarkan urusan yang ditugaskan Lim Jing, tetapi
setelah Kong-he terancam, tak mau lagi ia berpeluk
tangan. Apalagi ia sudah mengetahui kekuatan lawan, ia
Harpa Iblis Jari Sakti 23 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Elang Terbang Di Dataran Luas 3

Cari Blog Ini