Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 15
murid takkan menolak."
Wajah Kang Hay-thian menampilkan senyuman,
katanya, "Bagus, demikianlah baru benar-benar muridku
yang baik." Lalu ia pun menyerahkan dokumen rahasia
yang diterimanya dari Lim Jing itu kepada Ubun Hiong,
lalu menyambung, "Kau lekas berangkat ke Sucwan,
carilah Ciong Leng dan Sumoaymu, perlihatkan dokumen
rahasia ini. Tentu mereka nanti akan membantu kau
memberi ganjaran setimpal kepada murid murtad itu.
Tapi ingat, sebelum bertemu dengan Ciong Leng, jangan
sekali-kali rahasia ini sampai bocor. Bocah she Yap itu
sangat licik, jangan-jangan kau tidak berhasil menggebuk
anjing berbalik malah digigit anjing."
Ubun Hiong mengiakan dan menyatakan akan berlaku
hati-hati. Ia menerima dokumen itu dan menyimpannya
dengan baik di dalam baju, lalu ia pun mohon diri untuk
keluar agar gurunya dapat mengaso.
Tapi Kang Hay-thian tiba-tiba seperti ingat sesuatu, ia
berkata pula, "Nanti dulu anak Hiong, ada sedikit urusan
pribadi yang hendak kubicarakan denganmu."
Mendengar pembicaraan yang akan diadakan adalah
soal pribadi, Utti Keng dan lain-lain lantas mengundurkan
diri keluar kamar. Segera Kang Hay-thian menyuruh
Ubun Hiong mendekatinya, katanya dengan tersenyum,
"Anak Hiong, aku ingin tanya sesuatu urusan pribadimu.
Ketika ayah-bundamu masih hidup, apakah beliau-beliau
itu sudah mengikatkan jodoh bagimu?"
Selamanya Kang Hay-thian tidak pernah berkelakar
dengan anak muridnya, maka Ubun Hiong menjadi
melengak ketika mendadak sang guru menanyakan soal
perjodohannya, dengan muka merah kemudian ia
menjawab, "Belum."
Lalu Kang Hay-thian berkata pula, "Aku tahu kau dan
Hiau-hu sangat cocok saru sama lain. Menurut cerita ibu
gurumu, sesudah kau difitnah dan meninggalkan rumah,
selama itu Hiau-hu terus memikirkan dirimu dan pernah
menangis beberapa kali."
Hati Ubun Hiong berdebar-debar dan muka merah
jengah. Tapi Kang Hay-thian menyambung lagi dengan
tertawa, "Asalkan kalian suka sama suka, maka aku pun
bersedia menjadikan kalian. Kesehatanku ini entah kapan
baru dapat pulih kembali, boleh jadi akan timbul pula halhal
di luar dugaan. Andaikan terjadi apa-apa atas diriku,
maka bolehlah kau katakan kepada ibu gurumu bahwa
aku sudah menyanggupi perjodohan kalian."
Sungguh girang Ubun Hiong tak terkatakan, untuk
sekian lamanya dia sampai terkesima.
"Bagaimana, aku menyerahkan anak Hu padamu,
apakah kau bersedia mendampingi dia selama hidup?"
tanya Hay-thian pula. Baru sekarang Ubun Hiong sadar, cepat ia berlutut
dan mengucapkan terima kasih, katanya, "Atas budi
kebaikan Suhu, tentu murid takkan mengecewakan
harapanmu serta cinta kasih adik Hu. Semoga kesehatan
Suhu lekas pulih seperti sediakala."
Begitulah, dia buru-buru menyatakan terima kasihnya
sehingga lupa memanggil "ayah mertua" kepada Kang
Hay-thian, tapi soal tetek-bengek inipun tak dipikir oleh
Hay-thian, dia hanya tertawa senang.
Melihat hari masih siang, segera Ubun Hiong
menyatakan maksudnya, "Hari baru saja lewat Iohor,
murid pikir dapat berangkat sekarang juga. Apakah Suhu
masih ada pesan apa-apa?"
"Baiklah, selekasnya kau sampai di Siau-kim-jwan,
selekas itu pula aku merasa lega," .kata Hay-thian. "Aku
tiada pesan-pesan lain lagi. Asalkan kau ingat betulbetul,
segala sesuatu harus mengutamakan kepentingan
umum daripada keuntungan pribadi, bertindak sesuatu
harus tabah dan hati-hati. Untuk urusan kita, aku
percaya kau tentu dapat menyelesaikannya dengan
baik." Ubun Hiong mengiakan dan menerima pesan itu, lalu
mohon diri. Di luar Thio Su-liong sudah menyediakan
kuda baginya, segera Ubun Hiong mohon diri juga
kepada para pahlawan. Hubungan Utti Keng dengan
Kang Hay-thian dan muridnya itu jauh lebih akrab
daripada anggota Thian-li-kau, maka Utti Keng dan
istrinya telah mengantar keberangkatan Ubun Hiong
sampai beberapa puluh li jauhnya.
Sebelum berpisah, lebih dulu Ki Seng-in telah minta
maaf kepada Ubun Hiong karena pernah membikin susah
padanya tempo hari, sedangkan Utti Keng telah berkata
dengan tertawa, "Ubun-laute, dahulu hampir saja aku
membunuh kau, tapi sekarang aku benar-benar ingin
bersahabat dengan kau. Aku tidak pandai bicara, pendek
kata kelak bilamana kau mempunyai kesulitan apa-apa,
hendaklah kau katakan padaku saja. Jika urusan di sini
sudah rada tenang, selekasnya tentu aku akan menyusul
ke Siau-kim-jwan. Jangan kuatir, bila kau tidak sanggup
membunuh keparat Yap Leng-hong itu, tentu aku akan
membantu kau membeset kulitnya dan mematahkan
tulangnya." Ubun Hiong tertarik oleh jiwa orang yang suka
berterus terang itu, jawabnya dengan tertawa, "Uttithocu,
sesungguhnya aku malah harus berterima kasih
kepada kalian, tempo hari aku pun bersalah karena tidak
dapat membedakan mana yang betul dan mana yang
salah, namun kalian telah sudi memaafkan
kelancanganku, sungguh aku sangat berterima kasih.
Tentang sakitnya guruku itu diharap kalian sudi
merawatnya. Tampaknya hari sudah petang, silakan
kalian kembali saja, sudah waktunya kita harus
berpisah." Begitulah Ubun Hiong lantas melanjutkan perjalanan.
Bayangan Kang Hiau-hu segera timbul di depan mata
pemuda itu menggantikan kepergian Utti Keng dan
istrinya, kejadian-kejadian di masa lalu segera terbayang
lagi. Dahulu bila dia dan Kang hiau-hu tidak sama-sama
terluka di lembah sunyi itu, tentu mereka tidak akan
saling mengenal. Dari sudut ini, kalau dahulu Utti Keng
tidak melukainya tentu dia takkan dapat tinggal di
lembah sunyi itu bersama Hiau-hu.
Demi terkenang kepada si nona, segera Ubun Hiong
melarikan kudanya secepat terbang, sungguh ia ingin
bersayap untuk bisa lekas terbang ke samping Kang
Hiau-hu. Setelah berpisah sekian lamanya, dia ingin
mengutarakan rasa rindunya kepada si nona, sementara
itu Hiau-hu belum tahu Yap Leng-hong adalah matamata
musuh, entah nona itu akan mengalami perlakuan
keji atau tidak" Teringat demikian ia menjadi kuatir bagi
keselamatan sang Sumoay, selain itu ia pun ingin lekas
bertemu dengan si nona agar dapat menyampaikan
'berita bahagia' kepadanya.
Ya, berita bahagia yang sebelumnya tak pernah dipikir
oleh Ubun Hiong bahwa sang Suhu sendiri yang telah
menjanjikan perjodohan mereka.
Dengan perasaan yang diliputi oleh rindu asmara,
Ubun Hiong melarikan kudannya dengan cepat tanpa
mengenal waktu. Tak terasa sang dewi malam sudah
menghias di tengah cakrawala nan biru permai.
Pada saat itulah tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
nyaring beradunya senjata. Waktu ia memandang ke
depan, ternyata di situ ada segerombolan orang sedang
bertempur. "Jangan-jangan ada kawan pergerakan sedang
dikerubut oleh anjing alap-alap kerajaan?" demikian pikir
Ubun Hiong. Segera ia keprak kudanya menuju ke
kalangan pertempuran. Sesudah dekat, kiranya ada seorang wanita muda
bersama empat laki-laki kekar sedang mengembut
seorang laki-laki berbaju hitam. Senjata yang digunakan
keempat laki-laki kekar itu adalah sejenis, yaitu gada
bergigi, tampaknya berbobot cukup berat. Tapi yang
paling lihai adalah wanita muda itu, dia bersenjata
sepasang golok, satu panjang dan yang lain pendek.
Dengan kencang ia cecar si lelaki baju hitam dengan
serangan-serangan maut. Namun laki-laki baju hitam itu tampaknya lebih lihai
daripada lawan-lawannya, pedangnya berputar
sedemikian kencangnya sehingga angin pun tak tembus.
Keempat laki-laki itu hanya berputar di sekelilingnya,
gada mereka ternyata tidak sanggup menembus sinar
pedang lawan. Coba kalau tiada bantuan sepasang golok
si wanita muda, mungkin sejak tadi laki-laki baju hitam
itu sudah kabur dengan leluasa. Tapi sekarang dia harus
satu lawan lima sehingga kekuatan kedua pihak boleh
dikata sama kuatnya. Dari dandanan keempat laki-laki itu jelas kelihatan
bukanlah antek-antek kerajaan, pula jago-jago istana tak
mungkin dipimpin oleh seorang wanita. Karena tidak
kenal asal-usul orang-orang itu, seketika Ubun Hiong
menjadi sukar untuk ikut turun tangan walaupun samarsamar
ia seperti sudah kenal si lelaki baju hitam, cuma
dimana dia pernah melihatnya seketika belum teringat.
Selagi Ubun Hiong bermaksud maju lebih dekat agar
dapat mengenal lebih jelas wajah si lelaki baju hitam.
Mendadak seorang laki-laki tegap tadi membentaknya,
"Siapa itu" Besar amat nyalimu berani sembarangan
terobosan di sini" Kalau ingin selamat hendaklah lekas
menyingkir pergi." Ubun Hiong menjadi gusar, sahutnya dengan dingin,
"Jalan umum ini boleh dilalui oleh segala orang, jalanan
ini toh bukan milikmu, berdasar apa kau melarang aku
lewat di sini?" Pada saat itu juga mendadak orang berbaju hitam
telah bersuara kejut, kiranya lebih dulu dia sudah
mengenali Ubun Hiong. Waktu Ubun Hiong berpaling, tepat dia beradu
pandang dengan si baju hitam sehingga muka orang
tertampak jelas. Tanpa terasa Ubun Hiong juga
menyerukan suara kaget. Kiranya si baju hitam itu tak lain tak bukan adalah si
pemuda baju hitam yang pernah dijumpai Ubun Hiong
pada waktu dia diusir pergi dari rumah perguruannya
tempo dulu. Tatkala itu si pemuda baju hitam itu pernah memberi
nasehat agar Ubun Hiong jangan pergi jauh-jauh,
katanya dia sanggup menyelidiki perkaranya dan
tanggung Ubun Hiong dapat pulang kembali ke
perguruannya. Juga pemuda baju hitam itulah yang secara tidak
bosan-bosannya pernah menanyakan tentang asal-usul
Yap Leng-hong, biarpun waktu itu Ubun Hiong tak mau
menjelaskan, tapi pemuda baju hitam masih terus
bertanya tak habis-habisnya. Bahkan pemuda baju hitam
itulah yang pertama-tama memberi isyarat padanya
bahwa Toasukonya yang bernama Yap Leng-hong itu
adalah orang yang mencurigakan.
Cuma sayang waktu itu Ubun Hiong tidak mau percaya
pada omongannya dan tidak mau tinggal di Tong-pengkoan
untuk menyelidiki lebih terang persoalannya. Begitu
pemuda baju hitam itu sudah pergi, segera juga dia
lantas berangkat meninggalkan kampung halaman
perguruan. Waktu itu Ubun Hiong sangat menghormati
sang Toasuheng, sudah tentu dia tidak mau
sembarangan percaya kepada omongan seorang yang
belum pernah dikenalnya. Tetapi sesudah dipikirkan
kembali, mau tak mau ia mesti percaya kepada pemuda
baju hitam itu. Sekarang walaupun Ubun Hiong tetap belum jelas
asal-usul pemuda baju hitam ini, namun sedikitnya sudah
mengetahui bahwa orang yang menyampaikan berita
kepada Gak ing, tentang terkurungnya Ki Seng-in di luar
kota Tong-peng tempo hari itu justru adalah si pemuda
baju hitam ini. Kemudian orang yang membakar restoran
Thay-pak-lau itu juga si pemuda baju hitam ini, berdasar
kedua hal ini saja sedikitnya sudah dapat pula
menentukan, apakah kawan atau lawan si pemuda baju
hitam itu. Ketika melihat si pemuda baju hitam rupanya kenal
Ubun Hiong, rombongan pengerubut tadi segera
bertindak, ada seorang lantas menimpukkan sebuah Piau
ke arah Ubun Hiong. Cepat Ubun Hiong melolos pedang untuk menyampuk
sambil melompat turun dari kuda, teriaknya dengan
gusar, "Kalian ini benar-benar manusia yang sewenangwenang!"
"Bukan urusanmu, lekas kau pergi saja, tunggulah aku
di depan sana," seru si pemuda baju hitam. Setahun
yang lalu dia pernah menjajal kepandaian Ubun Hiong,
dia kuatir bukannya membantu, sebaliknya mungkin
Ubun Hiong bisa celaka sendiri malah.
Sudah tentu Ubun Hiong tidak mau menurut, dia
masih terus melangkah maju. Akan tetapi dengan cepat
sekali seorang laki-laki pengerubut tadi dengan gadanya
yang bergigi sudah lantas menghantamnya sambil
membentak, "Bocah yang tidak takut mampus, jalan ke
surgamu tak mau kau tuju, sebaliknya ingin menerobos
ke dalam neraka. Baik, biarlah kau tahu rasa nanti."
Cepat Ubun Hiong menangkis dengan pedangnya,
terasa gada lawan sangat berat sehingga tangan sendiri
sampai kesemutan. Namun dengan Si-mi-kiam-hoat yang
hebat, mendadak Ubun Hiong terus menabas ke depan
sehingga jari tangan orang itu hampir-hampir terpapas.
Orang itu terkejut, dengan gugup dia menarik
tangannya. Untung baginya, jarinya dapat diselamatkan,
tapi tidak urung ujung bajunya juga terpapas sebagian.
Melihat ilmu pedang Ubun Hiong sedemikian hebat,
baru sekarang si baju hitam merasa lega, pikirnya, "Ilmu
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat ajaran pamanku memang luar biasa. Perpisahanku
dengan Ubun Hiong baru setahun, tapi sudah mencapai
kemajuan sepesat itu."
Orang yang menyerang Ubun Hiong dengan piau tadi
segera melompat maju untuk mengerubut. Dua senjata
Long-ge-pang (gada bertaring srigala) telah bekerja
sama dengan rapat sehingga kekuatan mereka
bertambah lebih satu kali lipat. Namun Ubun Hiong
sudah tahu tenaga lawan cukup hebat, segera ia
melawan dengan mengutamakan kelincahan dan
kegesitan. Melihat kedua kawannya tak mampu membekuk Ubun
Hiong, si wanita muda mendadak mendamprat, "Dasar
tidak becus semua, masakah seorang bocah ingusan saja
tak mampu membereskannya!" Mendadak ia pegang
kedua goloknya ke sebelah tangan, tangan lain lantas
mencabut dua buah tusuk kundai emas, terus
disambitkan sebagai senjata rahasia.
"Ai, perhiasan nona yang berharga mahal itu mana
boleh sembarangan diberikan kepada orang!" seru si
pemuda baju hitam sambil tertawa. Berbareng tangannya
lantas meraup ke samping, tapi tusuk kundai itu hanya
kena ditangkap sebuah saja, sebuah lagi tetap
menyambar ke arah Ubun Hiong.
Saat itu Ubun Hiong sedang memutar pedangnya
dengan kencang sehingga berwujud suatu tirai cahaya
yang tak tertembus air, akan tetapi tusuk kundai sekecil
itu ternyata lebih kuat dari bidikan panah. Terdengar
"tring" sekali, pedang Ubun Hiong kena membentur
tusuk kundai itu. Namun benda kecil itu tidak tersampuk
jatuh, sebaliknya masih terus menyambar ke depan dan
"cret", bahu Ubun Hiong telah tertancap oleh tusuk
kundai itu. Keruan kejut Ubun Hiong tak terkatakan, baru
sekarang ia percaya apa yang sering dikatakan gurunya
bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang
pandai masih ada yang lebih pandai. Usia wanita itu
sebaya dengan dirinya, tapi kepandaiannya terang lebih
tinggi, hanya saja caranya yang agak keji dan tercela
Di sebelah sana sesudah pemuda baju hitam berhasil
menangkap sebuah tusuk kundai si wanita muda, sambil
tertawa ia lantas memasukkan benda kecil itu ke dalam
saku, katanya, "Emas begini kalau dibuang begitu saja
kan terlalu sayang" Memangnya aku sedang miskin,
biarlah kusimpan sebagai uang saku saja."
Dengan malu dan mendongkol wanita muda itu terus
menerjang maju ke arah si pemuda dengan sepasang
goloknya. Namun sekarang keempat kawan si wanita
muda sudah terbagi dua untuk melayani Ubun Hiong,
kekuatan mereka menjadi berkurang dan agak
kewalahan menghadapi pedang si pemuda baju hitam.
Mestinya keempat lelaki tegap itu mempunyai
permainan barisan gada bergigi yang ampuh, dengan
bekerja sama yang rapat mereka bisa bertempur dengan
lihai sekali, tapi sekarang mereka harus terbagi menjadi
dua kelompok, permainan gada mereka menjadi pincang.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak terdengar
"trang" satu kali, pedang si pemuda baju hitam tepat
kena menusuk pergelangan tangan salah seorang lakilaki
kekar tadi sehingga gadanya terlepas dari cekalan.
Menyusul pedang berputar dan menyambar tiba pula,
kontan secomot rambut laki-laki kekar yang lain
terpapas, berbareng golok si wanita muda yang sedang
membacok juga kena ditangkisnya. Saking kagetnya
sampai kedua laki-laki kekar itu melompat mundur.
Kejut dan dongkol sekali wanita muda itu, bentaknya
kepada kawan-kawannya, "Sudahlah, tak perlu bikin
malu lagi, pulang saja semua! Hm, bocah she Yap, hari
ini biar kau senang dulu, kelak kita berjumpa lagi di
depan sana!" "Maaf, aku telah kedatangan sahabat, aku tiada
sempat untuk memenuhi undanganmu!" sahut si pemuda
baju hitam dengan tertawa.
Segera si wanita muda mendahului kabur disusul
kawan-kawannya, si pemuda baju hitam juga tidak
mengejarnya. Memangnya Ubun Hiong sedang kewalahan melayani
dua musuh, mendadak sekarang kedua pengerubut itu
melarikan diri, diam-diam ia bersyukur dan segera
mendekati si pemuda baju hitam.
"Tidak nyana hari ini kita berjumpa pula di sini," kata
si baju hitam dengan tertawa. "Banyak terima kasih atas
bantuanmu tadi." Muka Ubun Hiong berubah merah, sahutnya,
"Kepandaianku tidak becus, bilamana kau tidak mengusir
lari mereka, tentu aku bisa celaka. Entah orang-orang
macam apakah mereka itu, mengapa mereka
mengeroyok saudara?"
"Aku pun tidak tahu seluk-beluk mereka," sahut si baju
hitam. "Apakah baik-baik saja selama berpisah" Kau
masih ingat janji pertemuan kita dahulu?"
Ubun Hiong merasa rikuh, sahutnya, "Hari itu juga aku
lantas pergi dari Tong-peng, harap maafkan aku tidak
menetapi janji." "Hahaha! Syukurlah kau tidak datang, sebab aku
sendiri pun ingkar janji," ujar si baju hitam sambil
terbahak-bahak. Ubun Hiong melengak heran, sebagai seorang pemuda
polos, tanpa pikir ia terus bertanya, "Mengapa kau pun
tidak datang?" "Tidak apa-apa," sahut si baju hitam. "Karena aku
menjanjikan buat menyelidiki urusanmu, maka malam itu
juga aku telah pergi menemui Toasukomu secara diamdiam.
Tak tersangka dia telah menyerang aku dengan
sebatang jarum berbisa, lantaran itu aku sendiri terpaksa
berbaring selama beberapa bulan dan hampir-hampir
jiwa melayang. Sebab itulah besoknya aku pun tidak
dapat memenuhi janji pertemuan kita."
Kiranya sesudah terkena jarum berbisa pada malam
itu, hampir saja jiwa pemuda baju hitam itu melayang
oleh serangan gelap Yap Leng-hong itu. Pada saat maut
hendak merenggutnya itu, dengan nekat ia telah terjun
ke danau Tong-peng, tapi dengan demikian jiwanya
dapat diselamatkan malah.
Waktu itu air danau lagi naik pasang, dia berbawa oleh
ombak dan terdampar keluar serta hanyut ke sungai.
Dasar belum sampai ajalnya, dia telah ditolong oleh
seorang nelayan, perutnya yang sudah kembung dengan
air itu dapat diperas keluar. Tak terduga dengan
demikian malah telah mengurangi racun yang telah
menyerangnya, perutnya seakan dicuci dan dikuras oleh
air sungai yang dipencet keluar itu. Sisa racun di dalam
badannya boleh dikata tak berhalangan lagi bagi
Lwekangnya yang kuat. Sekarang secara acuh tak acuh diceritakan kejadian
itu, tapi Ubun Hiong yang sangat terperanjat, serunya,
"Yap Leng-hong benar-benar telah menyerang kau
sedemikian keji" Sungguh kotor dan hina!"
"Aku sih tidak heran dengan caranya yang keji dan
hina itu, sebab aku tidak cuma satu kali itu saja dicelakai
olehnya," kata si baju hitam dengan tertawa.
"Dahulu ia pun pernah mencelakai kau?" tanya Ubun
Hiong heran. "Ya, cuma dahulu dia tidak langsung turun tangan,"
kata si baju hitam. "Tatkala itu berkat Hoa-san-ih-un Hoa
Thian-hong yang telah menolong jiwaku, sedang kali ini
adalah karena aku belum ditakdirkan untuk mati. Ah,
jangan terus bicara tentang diriku, sekarang bergilir aku
bertanya padamu. Mengapa kau merasa heran terhadap
perbuatan Toasuhengmu itu, apakah kau masih
menganggap dia orang baik?"
"Aku menyesal dahulu tidak percaya kepada
omonganmu," sahut Ubun Hiong. "Tapi aku pun tidak
mengerti sebab apakah berulang kali Yap Leng-hong
hendak mencelakai kau" Apakah kau memang
sahabatnya, makanya kau tahu asal-usulnya?"
"Dahulu aku tidak tahu, tapi sekarang sudah tahu,"
tutur si baju hitam. "Dia adalah putra gubernur Sucwan,
Yap To-hu alias si jagal. Dengan keterangan ini tentu
dapat kau pahami apa sebabnya berulang kali dia ingin
mencelakai aku. Pendek kata, siapa saja yang mungkin
tidak menguntungkan dia, tentu akan dicelakai olehnya.
Kau sendiri kan juga hampir-hampir dibikin celaka
olehnya?" Padahal dia belum menjelaskan bahwa
sesungguhnya dia sendirilah 'Yap Leng-hong yang tulen'.
Ubun Hiong manggut-manggut sesudah mendapat
penjelasan itu. Melihat itu, dengan tertawa si baju hitam
menambahkan pula, "Sekarang tentu kau sudah
mendapatkan gambaran yang jelas, tapi aku tidak dapat
berbuat sepantasnya bagimu, sungguh aku merasa
gegetun. Entah urusanmu yang penasaran itu sudah
dibikin terang atau belum?"
"Banyak terima kasih atas perhatianmu," sahut Ubun
Hiong. "Aku sudah bertemu dengan guruku dan beliau
telah berkenan menerima aku kembali ke dalam
perguruan, beliau juga sudah mengetahui perbuatan
Toasuheng yang jahat. Saat ini Suhu sedang merawat
sakitnya di dusun Wi-jun yang terletak ratusan li dari sini.
Apakah engkau mau pergi menemui beliau?"
"Merawat sakitnya" Gurumu menderita sakit apa?" si
baju hitam menegas. "Sakitnya juga lantaran marah terhadap perbuatan
Yap Leng-hong itu, tapi rasanya tidak berbahaya. Jika
kau ingin menemui beliau, biarlah aku menjelaskan
tempat tinggalnya." Sebenarnya pemuda baju hitam itu ada maksud
mencari paman iparnya, yaitu Kang Hay-thian, untuk
memberitahukan asal-usul Yap Leng-hong. Tapi sekarang
demi diketahui perbuatan Yap Leng-hong sudah
diketahui Kang Hay-thian, maka dirinya tidak perlu
menemuinya lagi sesuai dengan pesan ayahnya agar
jangan buru-buru bertemu dengan para sanak famili
sebelum putra mahkota kerajaan Masar naik takhta.
Setelah merenung sejenak, akhirnya si baju hitam
bertanya, "Ubun-siauhiap, maafkan kalau lebih dulu aku
ingin bertanya padamu, apakah kau ada urusan penting
yang harus dilakukan mengingat kau menempuh
perjalanan cepat di tengah malam buta?"
Ubun Hiong menjadi ragu-ragu apakah mesti
memberitahukan tentang pesan sang guru agar
membereskan Yap Leng-hong itu. Sesudah ragu-ragu
sejenak, kemudian ia balas bertanya, "Kita telah bicara
sekian lamanya, tapi aku masih belum tahu siapakah
nama saudara yang terhormat?"
Diam-diam pemuda baju hitam itu geli karena nama
aslinya sebenarnya sudah dikenal baik sekali oleh Ubun
Hiong. Namun dijawabnya, "Sebenarnya apa artinya
sebuah nama itu" Seperti Yap Leng-hong, sebenarnya
adalah sebuah nama yang indah, tapi sekali dipakai oleh
seorang durjana, seorang mata-mata musuh, maka
busuklah nama itu, maka yang utama kukira adalah
melihat orangnya dan tak perlu peduli namanya.
Biasanya aku tidak terlalu mementingkan nama, maka
bolehlah kau memanggil aku sesukamu. Namun bila kau
berkeras ingin tahu namaku yang asli, maka boleh juga
aku memberitahukan padamu. Aku she Tiba-tiba ia
teringat si wanita muda telah menyebut shenya dan
tentu telah didengar pula oleh Ubun Hiong, maka
urunglah dia memakai nama samaran, terpaksa
mengaku, "Sungguh sial, aku pun she Yap, sama she
dengan Toasuhengmu yang menjadi mata-mata musuh
itu, namaku Boh-hoa."
Untuk membedakan dirinya dari nama aslinya yang
telah dicuri oleh Yap Leng-hong, maka pemuda baju
hitam itu sengaja menggunakan nama kecil, yaitu Yap
Boh-hoa. Habis itu, dengan tertawa ia berkata, "Dan kau
sendiri masih belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Aku ... aku ... sebenarnya aku pun tiada urusan
penting apa-apa, hanya atas perintah Suhu aku harus ke
Sucwan untuk menemui beberapa Locianpwe dari dunia
persilatan, karena para Cianpwe itu adalah buronanburonan
kerajaan, nama mereka harus dirahasiakan."
Meski Ubun Hiong tidak menerangkan maksud
tujuannya, tapi diam-diam Yap Boh-hoa sudah dapat
meraba apa yang akan dilakukan pemuda itu, pikirnya,
"Katanya paman sedang sakit, tapi dia malah berangkat
ke Sucwan, terang karena atas perintah gurunya.
Padahal panglima kerajaan yang sedang menumpas
pemberontakan di daerah Sucwan itu adalah Yap To-hu
alias si jagal, sedangkan asal-usul Yap Leng-hong palsu
itu katanya tadi sudah diketahui oleh paman. Kalau
diselami lebih mendalam, jangan-jangan bocah jahanam
itu telah berhasil menyelundup ke dalam pasukan
pergerakan dan sekarang Ubun Hiong atas perintah
paman diharuskan pergi ke sana untuk membongkar
kedoknya?" Dengan cerdasnya ternyata dia sudah dapat
menerka dengan hampir jitu duduknya perkara.
Namun ia tidak mengutarakan dugaannya itu, dia
hanya memperlihatkan rasa senang mendadak, katanya
dengan tertawa, "Wah, sungguh sangat kebetulan. Aku
pun akan menuju ke Sucwan, jika tidak merasa jemu,
marilah kita berangkat bersama. Tentang gurumu,
semoga kelak ada kesempatan lagi untuk bertemu
kepada beliau." Maksud Yap Boh-hoa sesungguhnya ialah hendak
mengawal Ubun Hiong, mengingat pemuda itu
mempunyai tugas yang amat penting. Sebaliknya Ubun
Hiong juga merasa kebetulan, hanya saja ia masih
menyembunyikan tugas perjalanannya itu, tanyanya,
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entah Yap-heng akan menuju ke timur atau barat
Sucwan?" "Ke timur, dan kau?" balas tanya Yap Boh-hoa. "Aku
sebaliknya ke barat," sahut Ubun Hiong. "Sayang,
sayang, sesudah masuk wilayah Sucwan terpaksa kita
harus berpisah," kata Boh-hoa. "Cuma jarak dari sini ke
Sucwan masih ada ribuan li jauhnya, paling sedikit
setengah bulan lagi baru bisa sampai. Selama ini tentu
aku dapat banyak belajar darimu."
"Ah, Yap-heng terlalu rendah hati," sahut Ubun Hiong.
"Engkau sudi jalan bersama kau, akulah yang harus
belajar padamu." Sementara itu hari sudah lewat tengah malam. Yap
Boh-hoa mengusulkan bermalam saja di situ sekadar
mengaso, Ubun Hiong setuju. Segera ia memanggil
kudanya dan menurunkan sebuah buntalan,
dikeluarkannya kain kemah yang ringan.
Waktu memasang kemah, di tanah itu tiba-tiba
diketemukan sebuah benda kuning. Kiranya adalah tusuk
kundai sambitan si wanita muda yang disampuk jatuh
oleh Ubun Hiong tadi. Dengan mendongkol segera Ubun
Hiong hendak membuang tusuk kundai itu, namun Yap
Boh-hoa sudah lantas mendahului mengambil benda itu,
katanya, "Tusuk kundai ini terbuat dari emas murni,
kalau dibuang agak sayang, biarlah berikan padaku saja."
"Betul juga," ujar Ubun Hiong. "Bukankah Yap-heng
tadi juga sudah menangkap sebuah tusuk kundai wanita
itu" Sekarang dapatlah menjadi satu pasang, malah
dapat disimpan untuk kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan apa" Ah, Ubun-heng suka
berkelakar saja," kata Boh-hoa.
"Wanita itu menggunakan tusuk kundai sebagai
senjata rahasia, hal ini bukankah sangat hebat dan ada
nilainya untuk dibuat kenang-kenangan?" ujar Ubun
Hiong. "Ah, Ubun-heng benar-benar suka bergurau," sahut
Boh-hoa sambil menyimpan tusuk kundai itu.
Diam-diam Ubun Hiong merasa di antara Yap Boh-hoa
dan wanita muda tadi tentu ada sesuatu hubungan yang
tidak diketahui orang luar. Karena baru kenal, ia merasa
tidak enak untuk banyak bertanya tentang rahasia orang
lain, segera ia berkata, "Kemah sudah selesai dipasang,
marilah kita mengaso saja."
Karena menunggang kuda setengah harian, ditambah
tadi telah ikut bertempur, maka Ubun Hiong benar-benar
sudah lelah. Begitu merebahkan rubuhnya segera ia
terpulas. Sebaliknya Yap Boh-hoa masih guling-gelantang
tak bisa pulas sambil meraba sepasang tusuk kundai di
dalam bajunya itu. Angin malam di tanah padang meniup dengan
kerasnya, tapi dalam benak Yap Boh-hoa terbayang
kembali sesuatu adegan kejadian masa silam....
Sama halnya sekarang, pada suatu hari yang sejuk di
musim rontok, dia sedang melarikan kudanya secepat
terbang di padang rumput yang luas, yaitu padang
rumput di dataran Tarim. Waktu itu dia sedang berburu.
Rupanya hari itu dia lagi sial, seekor binatang kecil
pun tidak diperolehnya. Tengah merasa kesal, tiba-tiba
dilihatnya seekor elang terbang rendah lewat di atasnya.
Ia pikir, "Elang ini benar-benar jauh lebih besar daripada
elang biasa. Dia berburu binatang, biarlah aku berburu
dia, apa sih salahnya?"
Segera ia pentang busur, sekali bidik saja elang itu
kena dipanah jatuh. Waktu dia mendekati hasil buruannya itu, tiba-tiba
terlihat di badan elang itu sudah ada sebatang panah
lain. Jadi elang itu telah kena panah lebih dulu, pantas
begitu gampang elang itu kena dipanah dan jatuh lantas
mati. Diam-diam ia heran siapakah pemanah yang pandai
itu, segera ia cabut panah itu, dilihatnya di atas gagang
panah terukir sebuah huruf "Kheng".
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keleningan
kuda berbunyi, seekor kuda putih mulus secepat terbang
sedang mendatangi. Penunggangnya adalah seorang
nona cilik berusia antara 16-17 tahun, rambutnya
dikepang menjadi dua kuncir, dua tusuk kundai emas
berkepala burung Hong tampak menghias di atas
kepalanya. Nona cilik itu sebelah tangan memegang
busur dan tangan lain membawa cambuk.
Yap Boh-hoa merasa heran, apakah mungkin si nona
cilik inilah yang memanah elang tadi" Namun sebelum
ditegur, datang-datang nona cilik itu sudah lantas
mendamprat, "Kau ini benar-benar tidak tahu aturan,
mengapa kau memanah mati elangku ini?"
Karena merasa dirinya memang bersalah, walaupun
pihak lain hanya seorang nona cilik, tapi Yap Boh-hoa
lantas menyodorkan kembali bangkai elang itu sambil
minta maaf. Tak tersangka nona cilik itu tetap marah, sekali ayun
cambuknya kontan bangkai elang itu kena disabet jatuh
dari tangan Yap Boh-hoa, dampratnya, "Apakah dengan
minta maaf saja lantas habis perkara" Apakah kau tahu
bahwa aku sengaja hendak menangkap elang ini hiduphidup
untuk dipiara. Jika kau seorang pemburu tulen
tentu kau akan tahu elang itu sudah terluka lebih dulu,
mengapa secara ngawur kau memanahnya lagi hingga
mati" Tidak, aku tidak peduli, kau harus mengganti
elangku ini!" Tatkala itu usia Yap Boh-hoa juga baru 18 tahun,
darah mudanya dengan sendirinya juga panas dan tidak
mandah didamprat begitu saja. Segera ia menjawab,
"Elangmu sudah kupanah mati, tapi maaf, aku pun tak
dapat mengganti, jika kau tetap marah boleh terserah."
Nona cilik itu benar-benar mengamuk, mendadak ia
keprak kudanya ke depan, begitu mendekat segera pula
cambuknya menyabet sambil membentak, "Kau tidak
mau mengganti elangku, nih rasakan cambukku!"
Melihat gaya serangan nona cilik itu cukup lihai, Bohhoa
terkejut. Ia tidak berani ayal, segera ia melolos
pedang dan bertempur. Dari atas kuda mereka akhirnya
melompat turun dari kuda, sampai ratusan jurus mereka
masih belum dapat menundukkan pihak lain. Akhirnya
betapapun kepandaian Yap Boh-hoa memang lebih tinggi
sedikit, pula tenaganya lebih kuat, dia telah mengurung
si nona dengan sinar pedangnya. Cuma ia pun tidak
benar-benar hendak mengalahkannya, hanya ingin
memaksa si nona mundur teratur, maka serangannya
tidak terlalu ganas. Di luar dugaan mendadak si nona cilik telah ganti cara
bertempur, rupanya ia tahu pikiran Yap Boh-hoa, ia
sengaja memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk
menusuk tanpa menangkis, ketika Yap Boh-hoa terkejut
dan cepat menarik kembali pedangnya, pada saat itulah
si nona lantas melancarkan serangan. "Sret, sret, sret",
cambuknya menyabet tiga kali susul menyusul.
Cambukan dua kali dapat dihindarkan Yap Boh-hoa,
namun sabetan ketiga kalinya, kopiahnya telah
tersampuk jatuh. Walaupun demikian pedang Yap Bohhoa
juga sempat mencungkit jatuh sebuah tusuk kundai
si nona. Kedua orang sama-sama kagetnya dan serentak
melompat mundur. "Boleh juga kepandaianmu, ternyata
kau dapat melawan aku dengan sama kuatnya," kata si
nona. "Usiamu lebih kecil dariku, kita dapat bertempur
dengan sama kuatnya, maka kau dapat dianggap yang
menang. Cuma saja elangmu ini tetap tak dapat
kuganti," sahut Bah-hoa sambil menjemput kembali
kopiahnya. Si nona cilik juga mengambil tusuk kundainya yang
jatuh itu, di luar dugaan ia berkata dengan tertawa,
"Sungguh harus kukatakan, selama dua tahun aku
tinggal di sini, belum pernah aku melihat orang pandai
seperti kau. Apakah kau orang dari daerah lain" Sesudah
berkelahi, jelek-jelek kita sudah terhitung berkenalan.
Apa artinya seekor elang, jika kau suka boleh kau ambil
saja." Dasar anak muda, sebentar berkelahi sebentar lagi
sudah baik kembali, maka mulailah mereka saling
berkenalan, Yap Boh-hoa tetap menggunakan nama
kecilnya ini, si nona cilik mengaku she Kheng, tapi tak
mau menerangkan asal-usulnya. Dia hanya berjanji akan
bertemu dengan Yap Boh-hoa pada tengah malam nanti
di suatu menara lonceng di tengah kota Ili, dimana akan
diperkenalkan juga kepada ayahnya yang katanya paling
suka kepada anak muda yang berkepandaian tinggi.
Karena rasa tertarik, pula senang kepada tingkah laku
si nona cilik yang lincah itu, untuk persahabatan
selanjutnya yang lebih akrab, maka Yap Boh-hoa telah
menyanggupi janji itu. Sebenarnya Yap Boh-hoa adalah orang yang paling
pegang janji, tapi sekali ini dia telah ingkar janji.
Kejadian itu adalah enam tahun yang lalu, tatkala itu
usia Boh-hoa baru 18 tahun, dia masih berkumpul
bersama ayah-bundanya, yaitu Yap Tiong-siau dan
Auyang Wan. Yap Tiong-siau mempunyai hubungan baik
dengan para pahlawan suku bangsa di daerah Sinkiang.
Waktu itu dia sedang bertamu di rumah seorang kepala
suku Kazak. Kazak adalah suku bangsa yang gagah berani di
padang rumput Tarim yang sering berperang melawan
penjajahan pasukan Boan-jing. Karena bangsa Kazak
hidup dari beternak dan mengembara, mereka pada
umumnya pandai naik kuda dan mahir memanah,
pasukan Boan-jing benar-benar pusing menghadapi
perlawanan mereka. Yap Tiong-siau telah membantu
suku bangsa Kazak, maka dari itu ia pun merupakan
buronan kerajaan Boan. Hari itu sesudah Yap Boh-hoa berjanji untuk bertemu
dengan si nona, sepulangnya di kemah kepala suku
Kazak, ia telah menuturkan pengalamannya kepada sang
ayah dan kepala suku dengan memperlihatkan panah si
nona yang dibawa pulang itu.
Di luar dugaan, sesudah memeriksa panah itu, kepala
suku tampak terkejut, lalu dengan kurang senang ia
sodorkan panah itu kepada Yap Tiong-siau. Setelah
melihat sekejap huruf "Kheng" di gagang panah,
mendadak Yap Tiong-siau mematahkan panah itu dan
berkata dengan suara aseran, "Janji pertemuan malam
nanti tak perlu lagi kau penuhi."
Sudah tentu Boh-hoa terperanjat dan bingung, ia
menanyakan apa sebabnya dan adakah sesuatu yang
tidak betul" Jawab ayahnya, "Kau tak perlu ke sana, sebab
ayahnya adalah Ili Congpeng (komandan militer kota
Ili)." Ili adalah suatu kota besar di daerah Sinkiang selatan,
komandan militer kota itu she Kheng dan mempunyai
seorang putri bernama Hong-koh yang mahir memanah,
nona itu seringkah berburu sendirian di padang rumput.
Orang-orang Kazak tahu siapa diri nona cilik yang cantik
itu. Karena itu mau tak mau Yap Boh-hoa menurut juga
ucapan sang ayah dan tidak jadi pergi menemui si nona,
walaupun dalam batin ia merasa nona itu belum tentu
sejahat ayahnya yang menjadi panglima kerajaan Boan
itu. Suatu adegan lenyap, menyusul terbayang pula suatu
adegan lain Itupun suatu hari yang sejuk di musim rontok, ia pun
sedang melarikan kudanya secepat terbang, akan tetapi
bukan di padang rumput yang luas, tapi di tengah
perjalanan yang penuh debu pasir antara Siamsay dan
Kamsiok, kejadiannya adalah tiga tahun kemudian. Di
tengah jalan itulah kembali dia bertemu pula dengan si
nona cilik yang cantik menggiurkan. Bilamana teringat
kepada kejadian itu, tanpa terasa Yap Boh-hoa menghela
napas, sungguh tak tersangka bahwa nona itu adalah
seorang gadis cantik yang licin dan berbisa.
Waktu itu ayah-ibunya sudah berangkat keluar lautan,
seorang diri Boh-hoa membawa surat ayahnya yang
ditujukan kepada Kang Hay-thian di daerah Tionggoan.
Di luar dugaan dia bertemu pula dengan si nona, untuk
sejenak mereka termangu, namun si nona lantas
menegur, "Apakah kau masih ingat kepada nona cilik di
padang rumput tiga tahun yang lalu?"
Sesaat itu Yap Boh-hoa tidak tahu apa yang harus
diucapkan, ia hanya mengangguk saja.
"Kukira kau sudah lupa," kata pula si nona. "Malam itu
mengapa kau tidak datang?"
Boh-hoa tidak biasa berdusta, tapi juga tidak enak
bicara terus terang, keruan mukanya menjadi merah dan
sukar menjawab. "Baiklah, biarlah kita membicarakannya lebih lanjut
nanti, sekarang aku ada urusan, kukira k.m pun terburuburu
hendak melanjutkan perjalanan, besok lohor
bil.mi.iii.i k.m berlalu di kaki gunung Masjit, di sana ada
sebuah kuil rusak, bolehlah aku menunggu kau di sana.
Ingat, sekali ini kau jangan ingk.ii |.mji lagi," demikian
kata si nona. Habis itu dengan tertawa segera
mendahului mengeprak kudanya ke depan.
Selama tiga tahun itu pengalaman d.in pengetahuan
Boh-hoa sudah tambah luas. Seperginya si nona, diamdiam
ia bertanya pada dirinya sendiri, "Aku harus
memenuhi undangannya atau tidak" Padahal asalusulnya
belum kukenal, bahkan mencurigakan. Apakah
dia betul-betul putri panglima kerajaan musuh" Tapi
kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia toh bukan seorang
jahat atau sepaham dengan ayahnya" Apa salahnya bila
aku bersahabat dengan dia?"
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena merasa ingin tahu, pula daya tarik si nona
benar-benar telah melekat dalam sanubarinya, walaupun
ada kemungkinan menghadapi bahaya, namun ia
memutuskan besoknya akan pergi untuk menemui si
nona. Dan hasilnya ternyata sangat di luar dugaannya, di
tempat yang telah dijanjikan itu tidak kelihatan bayangan
si nona, sebaliknya yang menunggu kedatangannya
adalah 13 orang jago-jago istana yang segera
mengepungnya. Dalam pertarungan sengit itu, sebagian besar musuh
dapat dibinasakan olehnya, sisanya juga terluka parah,
namun ia sendiri pun roboh dengan luka berat. Ada di
antaranya musuh yang terluka parah itu masih merontaronta
dan berusaha mendekat untuk membunuhnya.
Tampaknya akhirnya dia pasti akan gugur bersama
dengan musuh, syukurlah pada saat itu telah muncul
seorang pemuda dan telah membantu membunuh
musuh-musuh lain yang terluka parah, tapi masih hidup
itu. Sudah tentu Yap Boh-hoa merasa sangat berterima
kasih walaupun ia merasa luka sendiri sangat berat dan
sukar tertolong pula. Pemuda penolongnya itu adalah orang yang kemudian
memalsukan dia sebagai Yap Leng-hong itu, namanya
asli ialah Yap Thing-cong, putra gubernur SiamsayKamsiok pada waktu itu. Namun ketika itu Boh-hoa tidak
tahu asal-usulnya, apalagi Yap Thing-cong mengaku
sebagai pahlawan pergerakan melawan kerajaan, bahkan
dengan simpatik berusaha mengobati luka Yap Boh-hoa,
mau tak mau Yap Boh-hoa mempercayai juga ucapannya
itu sehingga memberi pesan-pesan seperlunya bilamana
dirinya meninggal, bahkan menyerahkan juga surat
ayahnya yang ditujukan kepada Kang Hay-thian. Inilah
suatu kesalahan maha besar yang telah diperbuatnya.
Sama sekali ia tidak menduga bahwa dia tidak lantas
mati, tapi cuma pingsan saja yang terus ditinggal pergi
oleh Yap Thing-cong alias Yap Leng-hong palsu itu.
Syukur akhirnya secara kebetulan dia tertolong oleh tabib
sakti Hoa Thian-hong. Kenangan Yap Boh-hoa kembali terbayang kepada diri
si nona jelita itu. Apabila dia tidak memancing aku ke
gunung Masjit, tentu aku takkan dikerubut musuh dan
takkan terjadi pemalsuan diriku oleh Yap Thing-cong.
Kalau diusut, pangkal utama dari semua kejadian yang
membikin celaka diriku adalah nona cantik itu. Namun
apakah nona itu memang sengaja hendak membikin
celaka dirinya" Pertanyaan ini dihubungkannya dengan
apa yang terjadi pagi hari tadi.
Hari ini untuk ketiga kalinya ia berjumpa pula dengan
si nona, tapi sekarang nona itu membawa kawankawannya.
Belum lagi Boh-hoa menegur si nona
mengenai kejadian-kejadian dahulu, tahu-tahu nona itu
sudah lantas mengerubutnya dengan marah-marah.
Karena macam-macam pertanyaan yang meliputi
benaknya, sedapat mungkin Boh-hoa masih coba
bertanya, "He, he! Ada apakah kau" Belum lagi kau
terangkan kejadian tempo dulu, kenapa datang-datang
sudah menyerang kenalan lama?"
"Kenalan apa segala" Aku mempunyai dendam
sedalam lautan kepadamu," seru nona itu dengan murka.
Tentu saja sikap dan ucapan si nona makin membikin
sangsi Yap Boh-hoa, hanya orang yang membunuh orang
tuanya biasanya dikatakan dendam sedalam lautan.
Padahal Yap Boh-hoa tidak merasa punya permusuhan
apa-apa dengan si nona, jago-jago istana yang pernah
dibunuhnya di pegunungan Masjit dahulu juga diketahui
tiada seorang pun she Kheng yang pernah menjadi
panglima di kota Ili, yang waktu itu diketahui telah
dipindahkan ke daerah lain dan sedang dalam perjalanan
menuju ke kotaraja bersama keluarga.
"Apakah kau benar-benar putri Ili Congpeng yang
dahulu?" saking tidak tahannya Yap Boh-hoa mengajukan
pertanyaan. Ternyata si nona semakin gusar, dampratnya,
"Kurangajar! Memangnya kau sangka aku mempunyai
ayah yang kedua?" Keempat laki-laki tegap yang ikut mengeroyok itupun
memaki, "Kau telah membunuh Tayjin kami, sekarang
berani lagi menyebut namanya?"
Begitulah mereka lantas mempergencarkan serangan
sehingga Boh-hoa terkurung rapat di tengah. Syukurlah
ketika pertarungan sengit itu berlangsung, tiba-tiba
datanglah Ubun Hiong dan membantunya menghalau si
nona dan kawan-kawannya sehingga Boh-hoa juga tidak
sempat memperoleh keterangan lebih lanjut tentang diri
nona she Kheng itu. Sekarang Boh-hoa merenungkan kembali semua
kejadian itu, makin dipikir makin tidak mengerti.
Mengapa datang-datang nona itu menyatakan dendam
sedalam lautan padanya" Padahal semula ia sendiri yang
merasa tertipu dan dijebak oleh si nona ketika dia hampir
tewas dikerubut oleh 13 jago istana. Hanya satu hal yang
sudah jelas, yaitu si nona benar adalah putri Ili Congpeng
yang bernama Kheng Siu-hong dengan nama kecil Hongkoh
itu. Selain itu ada pula yang membuatnya heran, yaitu
ilmu silat Kheng Siu-hong. Ia merasa permainan
cambuknya sudah pernah dilihatnya, begitu pula
permainan goloknya jelas mempunyai persamaan dengan
ilmu pedang keluarganya sendiri.
Karena hal-hal yang sukar dimengerti itu, dengan
muram ia menyimpan kembali tusuk kundai emas itu,
pikirnya, "Sekarang aku sudah tahu dia adalah putri
panglima kerajaan, buat apa aku mesti memikirkan dia
lagi" Paling penting sekarang aku harus mengawal Ubun
Hiong ke Sucwan dan membantunya membinasakan Yap
Leng-hong palsu itu."
Saat itu Ubun Hiong sedang mendengkur dengan
nyenyak, tiba-tiba Boh-hoa teringat sesuatu, kemudian
secara diam-diam ia bangun dan keluar kemah.
Besok paginya ketika Ubun Hiong mendusin, ia tidak
melihat Yap Boh-hoa lagi. Ia merasa heran mengapa
pemuda itu diam-diam mengeluyur pergi tanpa pamit"
Padahal katanya akan mengiringinya ke Sucwan.
Segera Ubun Hiong bebenah sendiri dan meringkasi
kain kemah, baru saja ia hendak berangkat, tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda yang nyaring. Kiranya Yap
Boh-hoa sudah kembali dengan menunggang seekor
kuda merah yang bagus. "O, kiranya kau pergi mencari kuda," ujar Ubun Hiong
dengan tertawa. "Untuk mengimbangi kudamu yang bagus dalam
perjalanan jauh ini, aku pikir harus mencari seekor kuda
bagus pula," sahut Boh-hoa dengan tertawa. "Bagaimana
pendapatmu terhadap kudaku ini?"
"Ehm, bagus sekali, sungguh kuda pilihan yang jarang
terdapat," sahut Ubun Hiong. "Secara mendadak entah
darimana kau bisa memperolehnya?"
"Binatang ini kuperoleh secara kebetulan saja," kata
Boh-hoa. "Kemarin aku lewat di suatu tempat yang
bernama Ban-keh-ceng, terletak kira-kira 50 li dari sini.
Kulihat Ban-cengcu dari perkampungan itu sedang
menunggang kuda bagus ini, dari penyelidikanku
diketahui Ban-cengcu itu adalah seorang tuan tanah yang
suka menindas rakyat jelata. Kukira tidak ada salahnya
jika aku mengambil kudanya ini."
Ban-keh-ceng itu terletak tidak terlalu jauh dari
Pakkhia, dahulu Ubun Hiong sering mendengar tentang
namanya. Dengan kejut ia bertanya, "Apakah Bancengcu
itu bernama Ban Peng-ya yang berjuluk 'Wi-tinhopak' (pengaruhnya merajai Hopak)" Kabarnya ilmu
silatnya sangat hebat. Engkau benar-benar maha lihai,
hanya setengah malaman saja sudah berhasil menyatroni
dia dan membawa lari kuda kesayangannya."
"Maha lihai apa?" sahut Boh-hoa tertawa. "Aku cuma
mencari kesempatan baik saja. Semalam dia sedang
mengadakan pesta perkawinan anaknya dan belum
bubar sampai jauh malam. Aku pun tidak kenal Bancengcu
yang berjuluk Wi-tin-ho-pak apa segala, hanya
ada seorang yang telah mengejar aku dan menyambitkan
tiga batang piau, tenaganya memang tidak lemah. Cuma
sayang aku tiada tempo buat menghajarnya, kalau tidak,
ada baiknya juga orang jahat yang suka menindas kaum
lemah itu dilabrak sekadarnya."
Menurut arah yang harus mereka tempuh, dari Titlik
menuju ke Siau-kim-jwan mereka memutuskan akan
mengambil jalan sebelah barat-laut. Yaitu melalui Soasay
dan Siamsay, kemudian masuk ke wilayah Sucwan
sebelah timur-laut, akhirnya akan sampai di Siau-kimjwan.
Jarak seluruhnya ada lebih tiga ribu li.
Mereka melarikan kuda dengan cepat, sampai petang
sudah lebih 300 li mereka lampaui dengan aman.
Sepanjang jalan mereka asyik bicara tentang kejadiankejadian
di dunia Kangouw dan soal ilmu silat.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di
pegunungan Ou-tho-san di perbatasan antara propinsi
Soasay dan Siamsay. Kalau dihitung sudah lebih
setengah jalan yang mereka tempuh, mereka menduga
bila tiada halangan apa-apa, dalam sepuluh hari lagi
mereka sudah mencapai wilayah Sucwan.
Hari itu mereka sedang melarikan kuda mereka
dengan cepat, tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada sebuah
tiang kayu berbentuk salib. Ujung tiang kayu bagian atas
ada bekas dibacok senjata tajam sehingga terbelah
hampir sampai bagian salib.
Boh-hoa bersuara heran dan berkata, "Sepanjang
jalan kita lalui dengan aman, boleh jadi hari ini akan
ketemukan sesuatu di luar dugaan. Kita harus lekas lewat
di daerah ini agar tidak ikut tersangkut dalam urusan
orang." "Tanda apakah tiang kayu itu?" tanya Ubun Hiong.
"Itulah tanda kawanan bandit hendak menyatroni
sesuatu di sekitar sini dan melarang orang lain ikut
campur. Akan tetapi dari tanda bacokan di atas tiang itu
rupanya sudah ada orang sengaja menantang mereka,"
tutur Boh-hoa. "Diharap saja pertempuran mereka tidak terjadi pada
hari ini sehingga kita dapat lewat di tempat pertengkaran
ini," ujar Ubun Hiong.
Sementara itu sudah dekat maghrib, setiba mereka di
bawah gunung sang surya juga sudah terbenam di ufuk
barat. Mereka melarikan kuda dengan lebih cepat agar
dapat mencapai sesuatu tempat yang cocok untuk
berkemah. Tidak lama kemudian, tiba-tiba terlihat di depan sana
pagar tembok yang tinggi melintang di jalan dimana
mereka lewat. Dari bentuk temboknya, tampaknya
seperti sebangsa benteng.
Biasanya orang-orang yang berpengaruh atau
berkuasa di daerah barat-laut memang suka membangun
tembok-tembok seperti benteng dalam wilayah
kekuasaannya, sering kali luasnya sampai belasan li
persegi, yang kecilan juga beberapa li luasnya. Di dalam
benteng kurung itu mirip seperti sebuah kota dengan
pemerintahan sendiri. Hal demikian mirip sekali dengan
seorang gembong bandit yang berkuasa di satu
pegunungan. Sesudah dekat, mereka melihat di atas pintu gerbang
benteng itu terpancang tiga huruf ukiran "Kui-tek-po".
Pintu gerbangnya tertutup rapat.
Bon-hoa terkesiap, pikirnya, "Kiranya tempat ini adalah
benteng Kui Koh-ku."
Kui Koh-ku terkenal sebagai seorang berpengaruh dan
disegani di daerah ini, dalam wilayah kekuasaannya
seluas beberapa li, tiada seorang pun yang tidak takluk
padanya sehingga mirip satu raja kecil.
Di atas benteng itu rupanya ada penjaganya, sebelum
Boh-hoa bersuara, sudah keluar beberapa orang dan
membentak mereka, "Siapa kalian dan mau apa datang
ke sini?" "Orang lewat biasa, karena hari sudah malam, maka
ingin bermalam di dalam kota," sahut Ubun Hiong
dengan mendongkol. "Hm, orang lewat ingin bermalam, mengapa justru
datang pada malam ini" Bahkan membawa senjata pula,
masakah begini kebetulan" Huh, ada lebih baik kau
bicara terus terang saja, orang macam apakah kalian
ini?" demikian semprot penjaga itu.
Mendengar pertanyaan orang ada udang di balik batu,
segera Yap Boh-hoa menyenggol Ubun Hiong, dia lantas
menyela, "Kami benar-benar orang lewat yang
kemalaman. Untuk menjaga gangguan orang jahat,
membawa senjata juga jamak saja. Tuan-tuan penjaga,
sungguh aku tidak paham sebab apakah malam ini kami
tidak boleh masuk di dalam kota kalian?"
"Hm, tidak paham" Kukira kalian sengaja berlagak
pilon!" semprot penjaga tadi. "Bilang menjaga gangguan
dari orang jahat segala, kulihat kalian sendiri justru
adalah penjahatnya. Boleh jadi kalian adalah mata-mata
yang dikirim bandit wanita dari Hui-hong-san itu."
Keruan Boh-hoa sangat mendongkol, lebih-lebih Ubun
Hiong, dengan murka segera ia hendak melabrak
penjaga-penjaga itu. Pada saat itulah mendadak dari dalam benteng muncul
pula beberapa penunggang kuda, pemimpinnya adalah
seorang laki-laki berusia 30-an dan bertubuh kecil.
Melihat orang itu, penjaga yang ngotot tadi segera
memberi hormat dan melapor, "Siaupocu (tuan muda
penguasa benteng), ada orang memaksa hendak masuk
kota, tapi hamba menyangsikan mereka adalah matamata
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musuh, harap Siaupocu memeriksanya sendiri."
Dengan acuh tak acuh Siaupocu itu mendengus sekali,
lalu ia melirik hina kepada Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong.
Tiba-tiba pandangannya tertarik pada kuda tunggangan
Yap Boh-hoa, bentaknya segera, "Kalian berdua bangsat
cilik ini masih berani pura-pura sebagai orang lewat di
sini" Hm, ingin kutanya, darimanakah kalian
mendapatkan kuda ini" Sungguh besar amat nyali kalian,
sampai-sampai kuda kesayangan Ban-cengcu juga kalian
curi." Kiranya antara Ban-keh-ceng dan Kui-tek-po memang
ada hubungan baik, maka Siaupocu itu cukup kenal kuda
kesayangan Ban-cengcu yang mempunyai warna bulu
khas itu. Agaknya Siaupocu itupun memiliki kepandaian
lumayan, ia tidak pandang sebelah mata kepada kedua
'bangsat cilik' itu. Tanpa bicara lagi segera cambuk
kudanya menyabet ke arah Yap Boh-hoa, beberapa
pengiringnya juga tidak tinggal diam, serentak mereka
lantas menyerbu Ubun Hiong.
"Bagus!" seru Boh-hoa sambil mengayun cambuknya
sehingga ujung kedua cambuk saling libat.
Siaupocu itu memang mempunyai sedikit kepandaian
lumayan, tapi mana sanggup melawan tenaga Boh-hoa
yang kuat, sekali betot saja Siaupocu itu sudah kena
diseret jatuh ke bawah kuda.
Pengiring-pengiringnya lebih celaka lagi, hanya
beberapa kali gebrakan saja mereka sudah dibikin kocarkacir
oleh Ubun Hiong. Lekas Siaupocu itu merangkak
bangun dan lari masuk ke dalam benteng diikuti
begundalnya. "Bagus kalian bangsat-bangsat cilik ini, janganlah lari
jika kalian tidak takut mampus!" teriak Siaupocu itu
sambil menghilang di dalam benteng dan menutup rapat
kembali pintu gerbangnya. Dia suruh orang lain jangan
lari, tapi dia sendiri sudah lari lebih dulu.
Sesudah naik ke atas benteng, segera Siaupocu itu
membunyikan tanda bahaya sambil memerintahkan
penjaga menghamburkan anak panah.
Karena tidak ingin terlibat dalam persengketaan
dengan mereka, segera Boh-hoa mengajak Ubun Hiong
kabur. Sementara itu matahari sudah terbenam lama, hari
sudah remang-remang. Mereka mendaki bukit dan
ternyata pihak benteng tidak ada yang mengejar, mereka
lantas berhenti untuk berunding.
"Rupanya mereka harus berjaga kemungkinan diserbu
apa yang disebut kawanan bandit dari Hui-hong-san,
maka mereka tidak mengejar kita," demikian kata Bohhoa.
"Jalan yang baik sekarang terpaksa harus
mengambil jalan berputar yang lebih jauh hampir seratus
li. Mungkin kau belum paham jalan mengitar ini, biarlah
aku melukiskan bagimu."
Ia jemput sebatang ranting, lalu melukiskan peta jalan
di atas tanah, katanya, "Dari sini ke barat, sesudah
memutar ke balik gunung terus menyusur ke selatan, di
sana ada suatu jalan raya, lalu ke barat lagi kira-kira
lebih 20 li akan sampailah di suatu kota kecil bernama
Oh-liong-poh, di situlah boleh kau bermalam dan
menunggu aku." "Hah, apakah kau tidak ikut berangkat bersama?"
tanya Ubun Hiong kaget. "Tidak, aku masih ada sedikit urusan yang harus
kuselesaikan di dalam benteng itu, kau boleh berangkat
lebih dulu, besok kita bertemu lagi di Oh-liong-poh,"
sahut Boh-hoa. "Yap-toako, tidakkah lebih baik aku tetap tinggal
bersama kau, sedikit banyak aku pun dapat membantu
kau?" "Tidak, apakah kau sudah lupa bahwa kau mempunyai
tugas penting yang harus segera diselesaikan di Siaukimjwan" Bilamana kita terhalang di sini, siapa lagi yang
akan menyelesaikan tugasmu itu?"
Ubun Hiong melengak, apa yang diucapkan Boh-hoa
memang betul. Apalagi entah urusan pribadi apa yang
akan diselesaikan Yap Boh-hoa, ia tidak enak untuk
bertanya terus terang padanya. Terpaksa ia menjawab,
"Baiklah, jika begitu aku akan berangkat lebih dulu.
Hendaklah engkau berhati-hati saja."
"Terima kasih," sahut Boh-hoa. "Malam inipun aku
tidak perlu pakai kuda, maka kudaku ini tolong dibawa
saja sekalian." "Baiklah, sampai bertemu pula besok," seru Ubun
Hiong sambil mencemplak ke atas kuda, di belakang
mengikut kuda merah milik Yap Boh-hoa itu.
Tinggal Boh-hoa sendirian berdiri di atas bukit
memandang jauh ke arah Kui-tek-po, ia pikir, "Mengapa
timbul pikiranku yang aneh terhadap benteng itu" Jika
dugaanku salah dan 'bandit wanita' itu ternyata bukan
dia, maka ini benar-benar runyam dan menertawakan."
Kiranya dari kejadian tadi, Boh-hoa menjadi sangsi
jangan-jangan bandit wanita dari Hui-hong-san seperti
apa yang dikatakan penjaga Kui-tek-po tadi adalah
Kheng Siu-hong si nona yang telah tiga kali bertemu
dengan dia sejak beberapa tahun yang lampau itu.
Sangsinya itu didasarkan terutama kepada gada
bersalib yang tertancap di tepi jalan itu, bentuk gada itu
serupa dengan gada yang digunakan keempat laki-laki
yang mengiringi Kheng Siu-hong itu. Apalagi nona itupun
telah menyatakan akan menyatroninya lagi di depan
sana, tapi sampai saat ini masih belum muncul. Cuma ia
pun merasa geli apakah mungkin putri seorang panglima
perang sekarang bisa berubah menjadi bandit"
Sementara itu sang dewi malam sudah menongol,
bundar dan terang. Boh-hoa mengeluarkan sepasang
tusuk kundai emas itu dan memandangnya sejenak,
akhirnya ia ambil keputusan, "Tak peduli apakah dia atau
bukan, malam ini juga aku harus menyelidiki soal ini
dengan jelas." Segera ia mengeluarkan sebutir Ih-yong-tan (obat
rias), ia mencari sedikit air dan diaduknya obat itu, lalu
dipoles mukanya sendiri sehingga wajahnya sukar
dikenal lagi. Ia coba mengamat-amati keadaan sekitar benteng itu,
dari jalan depan terang tak bisa dimasuki. Kanan-kiri
benteng itu adalah tanah pegunungan yang terjal,
namun hal ini bukan halangan baginya, dengan Ginkang
yang tinggi segera ia turun dari tempat yang terjal itu.
Sepanjang jalan tiada rintangan apa-apa. Walaupun
terkadang juga ada penjaganya, tapi dengan enteng
sekali Boh-hoa sudah melayang lewat. Ada juga satu-dua
penjaga yang kepergok, tapi dengan mudah saja sudah
dibereskan oleh pemuda itu.
Ketika hampir mencapai tembok benteng, tiba-tiba di
angkasa bertaburan bunga api yang terang dan aneka
warna yang indah. Baru sekarang Boh-hoa ingat bahwa
malam itu adalah malam Cap-go-meh, rupanya di dalam
benteng itu rakyat sedang merayakan malam tradisionil
itu. Suasana pesta-pora di dalam benteng itu
memudahkan Yap Boh-hoa untuk menyusup ke dalam
kota, dia terus melintasi tembok benteng dan menyusup
beberapa kampung di pinggir kota. Pusat Kui-tek-po itu
adalah sebuah kota yang ramai, jalan menuju ke pusat
kota lebih dulu harus melalui beberapa kampung
pinggiran dimana suasana juga diliputi kegembiraan,
terutama kaum anak-anak yang ribut ingin pergi melihat
kembang api yang indah itu.
Boh-hoa mencampurkan diri dengan orang-orang
kampung yang berbondong-bondong keluar melihat
keramaian, sampai di suatu jalan simpang, dari sana
muncul serombongan orang dengan suara tetabuhan
yang gemuruh. Orang-orang itu menyamar dalam
macam-macam corak, ada yang menyamar sebagai setan
jangkung hitam-putih dengan memakai kaki panjang dari
kayu (egrang), ada pula yang menyaru sebagai setan
perempuan dengan lidah menjulur panjang untuk
menakuti anak-anak yang beramai-ramai mengintil dari
belakang. Didengarlah beberapa orang di sampingnya sedang
mengobrol, "Ha, rombongan ini bukankah keluarga Cu
bersaudara yang belum lama menetap di sini" Biasanya
mereka tidak berhubungan dengan Kui-pocu, mengapa
malam ini mereka pun ikut meramaikan pesta Cap-gomeh
ini bagi Kui-pocu?" Sebagai seorang berpengalaman, Boh-hoa melihat
rombongan penyamar itu rata-rata kuat dan tangkas,
bagian pinggang pakaian mereka agak melambung,
terang di dalamnya tersembunyi senjata.
Lalu terdengar seorang lagi berkata, "Kabarnya ada
bandit wanita dari Hui-hong-san hendak menyatroni Kuipocu,
entah maksud tujuannya melulu hendak mengacau
kepada Kui-pocu saja atau akan menyerbu benteng ini
secara umum. Sebagai rakyat jelata, aku justru tidak
percaya ada kawanan bandit yang mau mengincar kita.
Sesungguhnya kita pun tiada harganya menjual nyawa
bagi kepentingan keluarga Kui."
"Sssst, jangan sembarangan omong!" demikian desis
kawannya sambil melirik ke arah Yap Boh-hoa yang
berjalan di sebelahnya. Maka laki-laki pertama tadi tidak berani bicara lebih
banyak lagi ketika melihat Boh-hoa berada di samping
mereka. "Toako ini berasal dari kampung mana"
Mengapa jarang kelihatan?" demikian ia coba mengadaada
mengajak bicara kepada Boh-hoa.
"O, aku memang tinggal di atas gunung dan jarang
turun ke kota," sahut Boh-hoa samar-samar.
"Ah, kiranya adalah pemburu yang tinggal di gunung,
pantas kita tidak saling kenal," kata laki-laki tadi sambil
menyengir. "Paling akhir ini tinggal di gunung juga tidak aman,
sering diganggu orang jahat, maka mumpung hari raya,
iseng-iseng pesiar ke kota," kata Boh-hoa pura-pura.
"Jangankan cuma orang gunung seperti kalian,
sedangkan Kui-pocu kami yang selama ini malang
melintang di dunia Kangouw, siapa tahu kali ini bandit
wanita dari Hui-hong-san ternyata berani menantang
beliau," tutur orang itu. "Sudah tentu Kui-pocu tidak
pandang sebelah mata kepada bandit-bandit yang tak
berarti itu, beliau justru sengaja merayakan pesta Capgomeh tahun ini secara besar-besaran untuk
memperlihatkan wibawanya."
Dalam pada itu orang-orang semakin membanjir dan
datang dari berbagai jurusan menuju ke pusat kota, Bohhoa
mencampurkan diri dengan khalayak ramai dan maju
terus ke depan. Sampai di pintu masuk sebelah barat,
dilihatnya di situ dibangun sebuah barak untuk kandang
kuda, padahal di depannya adalah gedung-gedung yang
megah. Entah berapa banyak kuda yang berada di
kandang itu, ia heran, biasanya kandang kuda dibuat di
tempat yang terpencil, mengapa sekarang berada di
tengah tempat keramaian" la coba bertanya pada orang
di sebelahnya. "Bangunan ini hanya untuk sementara saja," tutur
orang itu. "Yaitu disediakan bagi para petugas, bila perlu
dapat segera berkuda untuk bertempur melawan
kawanan bandit. Kui-pocu kami selama ini telah malangmelintang
di dunia Kangouw." Gedung kediaman Kui Koh-ku terletak di pusat kota
itu, di depannya adalah sebuah lapangan luas dengan
enam jalan besar yang mengarah ke berbagai penjuru
dimana ada lagi jalan-jalan simpang.
Di depan gedung kediaman keluarga Kui itu adalah
sebuah ruang pendopo yang luas dan di bawahnya
adalah undak-undakan batu puluhan tingkat. Di tengah
pendopo itu tersedia lima kursi besar dan yang duduk di
tengah-tengah adalah Kui Koh-ku, pemilik dan penguasa
kerajaan benteng itu. Di kanan-kirinya berduduk empat
orang jago pengawalnya, semuanya adalah tokoh-tokoh
Kangouw yang terkenal, makanya dipandang sebagai
tamu terhormat. Dari jauh Yap Boh-hoa dapat mengenali dua orang di
antaranya. Seorang bernama Cin Cu-cun berjuluk
'Malaikat maut hitam' dan yang lain bernama Ciu Ting
berjuluk 'Malaikat bertenaga raksasa'.
Diam-diam Boh-hoa membatin, "Pantas begini besar
pengaruh Kui-tek-po, kiranya di antara begundalnya
terdapat pula dua benggolan Kangouw ini. Entah bandit
wanita yang akan menyatroni benteng malam ini adalah
Kheng Siu-hong atau bukan" Jika dia, tentu akan ketemu
lawan tangguh seperti Cin Cu-cun dan Ciu Ting, belum
lagi kedua jago lain yang tak dikenal itu."
Di ruang pendopo itu selain Kui-pocu dan keempat
jagonya, kedua samping masih berdiri pula orang
banyak. Putranya, Kui Siau-leng, juga berada di antara
orang-orang yang berdiri itu.
Sementara itu orang-orang yang ikut meramaikan
pesta Cap-go-meh itu sudah berkumpul, segera akan
dimulai pawai dengan macam-macam tontonan dan
lampion-lampion yang indah. Ada rombongan yang main
barong-say, ada tarian liong (naga) dan macam-macam
lagi. Kelihatan juga keluarga Cu bersaudara yang
menyamar sebagai setan jangkung serta setan wanita
itupun bercampur di barisan pawai.
Sementara itu rembulan sudah menghias di tengah
cakrawala, hari sudah tengah malam. Saat itulah puncak
keramaian Cap-go-meh. Suara tambur dan gembreng
berbunyi riuh ramai memekakkan telinga, kembang api
bertaburan di udara laksana berjuta-juta bintang.
Dengan perasaan bimbang Boh-hoa mendesak di
antara orang banyak dan mendekati undak-undakan batu
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendopo itu, dilihatnya Kui Koh-ku sedang menikmati
keramaian itu dengan riangnya dan terkadang
mengeluarkan suara tawa bersama orang-orang di
sekitarnya. Mendadak terdengar si malaikat maut hitam Cin Cucun
bergelak tertawa, lalu berkata, "Hahaha, rupanya
bandit wanita itu cukup tahu diri, agaknya malam ini dia
tidak berani datang. Kalau berani datang, hm, tanggung
akan kubekuk dan kupersembahkan kepada Siaupocu."
Terdengar Kui Koh-ku mendengus, katanya, "Binatang
inipun keterlaluan, putri keluarga baik-baik dan
terhormat dia tidak mau, dia justru penujui seorang
bandit. Dasar bandit wanita itupun tidak kenal maksud
baik orang, bukan saja tidak menerima lamaranku,
sebaliknya malah mengancam akan mengacau ke sini.
Hm, celakalah kalau punya menantu perempuan seperti
itu. Kalau dia benar-benar berani datang, sesudah
dibekuk nanti biarlah dia dihajar adat supaya tahu rasa."
"Tapi kabarnya bandit wanita itu bukan sembarangan
bandit," ujar Cin Cu-cun.
"Oo, kau tahu asal-usulnya?" tanya Kui Koh-ku.
"Ya, kabarnya dia berasal dari keluarga pembesar
negeri," sahut Cu-cun, lalu ia menempelkan mulutnya ke
tepi telinga Kui Koh-ku dan entah apa yang dibisikkan.
Walaupun ucapan Cin Cu-cun itu kemudian dibikin
lirih, tapi sayup-sayup masih dapat ditangkap Yap Bohhoa.
Ia terkejut dan bergirang pula, hatinya menjadi
berdebar-debar, pikirnya, "Bandit wanita berasal dari
keluarga pembesar, siapa lagi kalau bukan dia?"
Tiba-tiba kelihatan seorang berlari ke atas undakundakan
secara tergesa-gesa, lalu menjura di hadapan
Kui Koh-ku dan entah apa yang dilaporkan. Habis itu
tampak Kui Koh-ku lantas berbangkit, sinar matanya
yang berjelilatan memandang kian-kemari di sekitar
lapangan, lalu dia turun ke bawah undak-undakan
dengan diikuti keempat jagonya.
Saat itu pawai kebetulan sampai pada rombongan
keluarga Cu bersaudara, kedua saudara she Cu yang
menyaru sebagai setan jangkung hitam-putih itu sedang
menguber-uber seorang yang menyamar sebagai setan
perempuan dengan lidahnya yang menjulur panjang.
Waktu melihat Kui Koh-ku mendekati lapangan, segera
setan wanita itu berlari-lari ke depannya dengan diuber
oleh kedua setan jangkung.
Setiba di depan Kui Koh-ku, dengan memencet
hidungnya setan perempuan itu mengeluarkan suaranya
yang melengking, "Kematian hamba terlalu penasaran, di
dunia sukar mendapatkan keadilan, di akhirat juga
diuber-uber. Mohon Laupocu sudi membela keadilan!"
Dari belakang kedua setan jangkung hitam-putih
samaran kedua bersaudara Cu juga sudah menyusul tiba,
mereka berteriak, "Raja akhirat sudah menentukan
kematianmu, siapa lagi yang berani menghidupkan kau!"
Penonton-penonton mengira rombongan pemain
keluarga Cu itu mendadak mengeluarkan adegan yang
lucu, maka tertawalah mereka dengan riuh.
Kui Koh-ku tampak senyum tak senyum, ia menoleh
dan berkata, "Cin-lotoa, coba kau saja yang memberi
keadilan." "Baik," sahut Cin Cu-cun, si Malaikat maut hitam.
Mendadak ia melompat maju terus mencengkeram ke
batok kepala setan perempuan itu.
Lekas setan perempuan itu menundukkan kepala
hingga cengkeraman Cin Cu-cun itu mengenai
rambutnya. Di luar dugaan rambutnya tahu-tahu
mengelotok lepas, kiranya setan perempuan itu memakai
rambut palsu. Keruan 'setan perempuan' itu terkejut, namun Cin Cucun
tidak berhenti sampai di situ saja, cepat ia
menjambret pula bajunya terus ditarik hingga robek,
maka tertampaklah dadanya yang lapang, terang dia
seorang laki-laki yang menyamar sebagai setan
perempuan. "Ada apakah kalian ini, sungguh kalian terlalu
menghina orang!" demikian kedua saudara she Cu jang
menyamar sebagai setan hitam-putih itu berkaok-kaok
marah. Terpaksa Kui-Koh-ku tampil ke muka, katanya untuk
melerai, "Hendaklah kedua saudara Cu maklum, karena
malam ini ada kemungkinan akan dikacau oleh bandit
wanita dari Hui-hong-san, maka Cin-hiante terpaksa
mesti lebih waspada, rupanya dia telah salah duga
kawanmu ini sebagai samaran bandit wanita itu."
Baru sekarang Yap Boh-hoa paham sebabnya Cin Cucun
mendadak membuka kedok 'setan perempuan' tadi,
kiranya disangka samaran bandit wanita dari Hui-hongsan.
Sudah tentu yang paling penasaran adalah orang yang
menyaru sebagai 'setan perempuan' tadi, dengan nekat
ia lantas menubruk ke arah Cin Cu-cun. Namun dengan
sedikit mengegos dan sengkelit saja, tahu-tahu orang itu
malah kena dilempar pergi.
Selagi kedua saudara Cu berkaok-kaok marah,
sebaliknya Kui Koh-ku dan kawan-kawannya bergelak
tertawa. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara lengking seorang, "Ini dia bandit wanita dari Huihongsan berada di sini!"
Mendengar suara yang telah dikenalnya itu, kejut dan
girang pula Boh-hoa, waktu ia menoleh, dilihatnya dari
atas papan pigura yang melintang tinggi di atas ruangan
pendopo sana telah melompat keluar seorang wanita
bersenjata sepasang golok pendek dan panjang. Siapa
lagi dia kalau bukan Kheng Siu-hong yang diharapkannya
sejak tadi" Kiranya sejak tadi Kheng Siu-hong sudah
menyelundup ke situ dan bersembunyi di tempat yang
tak terduga, saat itu Siaupocu Kui Siau-leng masih berdiri
di undak-undakan batu sebelah belakang, maka orang
yang menjadi sasaran serbuan pertama oleh Kheng Siuhong
adalah dia. Cuma sayang, serangan Kheng Siu-hong itu tidak
dilakukan secara menyergap, lebih dulu ia sengaja
mengeluarkan suara sehingga musuh-musuhnya sempat
berpaling, maka Ciu Ting si Malaikat bertenaga raksasa
yang berdiri lebih dekat dengan Kui Siau-leng cepat
memburu maju dan melontarkan suatu pukulan.
Namun begitu, datangnya Kheng Siu-hong benarbenar
cepat luar biasa, sebelah goloknya sudah lantas
membacok hingga Kui Siau-leng kontan menggeletak.
Cuma sayang bacokan itu tidak mengenai tempat
bahaya, karena guncangan tenaga pukulan Ciu Ting,
bacokan Kheng Siu-hong itu hanya melukai bahu
sasarannya. Dengan menjerit Kui Siau-leng terguling ke bawah
undak-undakan batu, di sebelah sana Ciu Ting dengan
diikuti dua orang kawannya lagi sudah lantas memburu
tiba. Kui Koh-ku juga lantas memerintahkan anak
buahnya membunyikan tanda bahaya.
Keruan suasana riang gembira tadi seketika berubah
menjadi kacau-balau. Penonton hiruk pikuk berlari
pulang, anak buah Kui Koh-ku jang tersebar di segenap
penjuru beramai-ramai mengurung ke arah pendopo.
"Tangkap bandit wanita itu, tangkap!" teriak Kui Kohku
dengan murka. "Kau telah menghina kami dan lantas menganggap
habis perkara sampai di sini saja?" bentak Cu-lotoa yang
menyaru sebagai setan jangkung hitam, mendadak ia
angkat kain bajunya ke atas, dengan satu lompatan,
dengan cepat mereka mematahkan kayu-kayu itu,
kiranya di dalamnya tersimpan senjata sepasang gaetan,
serentak mereka menerjang ke arah Kui Koh-ku.
Cu-loji yang menyaru jadi setan jangkung putih juga
berbuat sama, dari dalam kaki kayunya telah dikeluarkan
senjata sepasang gaetan, serentak mereka menerjang ke
arah Kui Koh-ku. Namun dengan cepat Cin Cu-cun telah melompat maju
mengadang di depan kedua saudara Cu.
Senjata yang dipakai Cin Cu-cun adalah toya untiran
rotan, sekali bergerak, lebih dulu ia gentak tongkat Culotoa
ke samping, menyusul ujung toyanya lantas
menyapu untuk menangkis pergi sepasang gaetan Culoji.
Kui Koh-ku sendiri tiada pikiran buat bertempur
dengan rombongan kedua saudara Cu itu, cepat ia
hendak menyingkir, tapi mendadak orang yang menyaru
sebagai setan wanita tadi muncul dari penontonpenonton
yang lari tunggang-langgang sehingga tepat
kepergok dengan Kui Koh-ku.
"Bayar kembali jiwaku!" teriak orang itu dengan nada
seram, berbareng itu lidah palsu yang menjulur panjang
itu mendadak tergigit putus terus disemburkan ke arah
Kui Koh-ku. Serangan cara demikian benar-benar di luar dugaan
siapa pun juga, dan baru saja ia melenggong kaget,
tahu-tahu bajunya sudah berlepotan darah, bahunya
juga telah tertusuk oleh 'lidah' putus itu dan terasa agak
linu. Kiranya 'lidah' yang gemelantung itu sebenarnya
adalah sebilah belati kecil yang berbisa, untunglah Kui
Koh-ku berlatih ilmu Tiat-poh-san, begitu menyentuh
tubuhnya, belati itu lantas jatuh ke tanah.
"Kau main gila apa?" bentak Kui Koh-ku dengan gusar
sambil menghantam. Kontan 'setan wanita' kena dipukul
terguling, tapi ia pun tidak sempat membinasakannya,
segera ia berlari pula ke depan.
Pada saat itulah tiba-tiba tertampak api menganga
membumbung ke langit. Dari dalam pendopo tadi telah
menerjang keluar pula beberapa orang, empat orang
laki-laki di antaranya memakai senjata yang sama, yaitu
gada bergigi, selain itu adalah dua wanita muda
berdandan sebagai dayang dan bersenjata golok, kiranya
mereka juga telah bersembunyi di situ bersama Kheng
Siu-hong. Waktu itu Kheng Siu-hong sedang dikerubut oleh tiga
jagoan sewaan Kui Koh-ku, dengan datangnya bala
bantuan itu segera ia mempercepat serangannya,
goloknya yang panjang membacok, golok yang pendek
terus menusuk. "Sret-sret", tahu-tahu toya Ciu Ting
tersampuk ke samping, menyusul tulang pundaknya
sudah terbacok. Kedua kawannya tidak sempat
menolongnya lagi karena sedang dikerubut oleh anak
buah Kheng Siu-hong. Setelah merobohkan Ciu Ting, tanpa menghiraukan
mati hidupnya lagi, segera Kheng Siu-hong melompat ke
bawah undak-undakan untuk menguber Kui Siau-leng.
Pada saat itu Kui Siau-leng baru saja merangkak bangun
dan hendak mengerahkan begundalnya, tapi tahu-tahu
Kheng Siu-hong sudah memburu sampai di belakangnya
dengan golok membacok. Saat itu Kui Koh-ku kira-kira belasan meter jauhnya
dari situ, melihat putranya terancam bahaya, sambil
menggertak, goloknya lantas ditimpukkan sekuatnya.
Karena Kheng Siu-hong sedang melontarkan serangan
dan sedetik lagi tentu jiwa sasarannya bisa dibikin
melayang, tapi ia pun terkesiap ketika mendengar angin
keras menyambar dari samping, untuk menangkis atau
menghindar terpaksa ia harus menarik kembali pula
serangannya. Pada saat hampir bersamaan itulah sekonyongkonyong
terdengar suara mendenging dan "tring", entah
darimana datangnya sebuah senjata rahasia kecil telah
berhasil membentur golok yang ditimpukkan Kui Koh-ku
itu sehingga golok itu terpental ke samping.
Sedikit ayal itu saja bacokan Kheng Siu-hong tadi
menjadi agak melenceng, ia tertegun sebentar sehingga
Kui Siau-leng sempat mencondong tubuhnya ke depan,
namun tidak urung punggungnya terbacok juga sehingga
terluka parah, kontan ia menjerit dan terguling.
Ketika Kheng Siu-hong menoleh, dilihatnya sesuatu
benda kecil tepat jatuh di sampingnya. Ia
menjemputnya, kiranya adalah sebuah tusuk kundai yang
dikenalnya sebagai miliknya sendiri. Tergetarlah hati si
nona, entah girang entah kejut.
"Kiranya dia juga berada di sini. Dia adalah musuhku
mengapa malah membantu aku?" demikian pikirnya.
Dalam pada itu Kui Koh-ku sudah memburu tiba,
melihat putranya roboh bermandikan darah, ia menjadi
murka. "Bangsat wanita, biar kucincang tubuhmu!" teriaknya
sambil menerjang maju. "Tua bangka, biar kukirim kau ke akhirat bersama
binatang kecil itu!" bentak Kheng Siu-hong sambil
memutar sepasang goloknya dengan kencang, seketika
Kui Koh-ku terkurung rapat di bawah sinar goloknya.
Ternyata Kui Koh-ku sama sekali tidak gentar, dengan
bertangan kosong segera ia hendak merebut golok
Kheng Siu-hong. Akan tetapi mendadak ia merasa lengan
kirinya agak pegal dan kurang leluasa bergerak. Rupanya
tadi dia tertimpuk belati berbisa yang disemburkan 'setan
wanita' itu, walaupun tidak sampai cacad, tapi sedikit
lecet saja racun sudah mengganggu kekuatan lengannya
itu. Dalam pada itu serangan-serangan Kheng Siu-hong
sudah membadai datangnya, terpaksa Kui Koh-ku
melayani dengan sebelah tangan saja dan sudah tentu
hal ini sangat tidak menguntungkan dia. Untung baginya
pada saat itu Cin Cu-cun telah berhasil mendesak
mundur kedua saudara Cu dan memburu datang untuk
membantu. "Bangsat wanita ini serahkan padaku saja, Kui-toako!"
seru Cin Cu-cun. Sekali putar toya rotannya, "plak-plak",
kontan kedua golok Kheng Siu-hong kena disampuk pergi
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga Kui Koh-ku terhindar dari ancaman maut.
"Malam ini kalau kita tidak menangkap hidup-hidup
bangsat wanita ini, tentu lenyaplah nama baik Kui-tek-po
selama ini," seru Kui Koh-ku. "Dalam keadaan demikian
apakah kita perlu bicara tentang peraturan Kangouw
lagi?" Rupanya Kui Koh-ku menjadi nekat dan gemas karena
bentengnya diobrak-abrik, putranya terluka parah dan
entah hidup atau mati. Saking murkanya ia tidak
menjaga harga diri lagi dan bermaksud mengerubut
Kheng Siu-hong yang masih muda belia itu.
Permainan toya rotan Cin Cu-cun itu terhitung suatu
kepandaian terkemuka di daerah barat laut, serangannya
beraneka macam gayanya dan sangat lihai. Untuk satu
lawan satu saja Kheng Siu-hong tak bisa menang,
apalagi sekarang dikerubut.
Dalam pada itu di tanah lapang itupun sudah terjadi
pertempuran gaduh, anak buah Kui Koh-ku sebagian
sibuk memadamkan api, sebagian lagi harus menghadapi
kelompok rombongan persaudaraan Cu, keempat jago
bersenjata gada bergigi dan dua dayang pribadi Kheng
Siu-hong. Ketika melihat tuan putri mereka dikerubut, cepat
kedua dayang itu melepaskan diri dari kalangan
pertempuran mereka dan memburu datang untuk
membantu tuan putrinya. Maka Kheng Siu-hong menjadi
longgar, ia sempat mengeluarkan sebuah tanduk kerbau
terus ditiup dan mengeluarkan suara "tut-tut" yang keras
dan berkumandang jauh. "Hm, apa yang kau jeritkan" Biarpun kau memanggil
bala bantuan juga tak berguna, apakah kau kira
bentengku ini mudah dibobol?" jengek Kui Koh-ku.
Terkaan Kui Koh-ku memang benar, Kheng Siu-hong
memang sedang meminta bala bantuan, dengan suara
tiupan tadi kiranya penyerangan terhadap Kui-tek-po kali
ini sebelumnya sudah direncanakan dengan baik. Dengan
bersekongkol dengan kedua saudara Cu, anak buah
Kheng Siu-hong telah bersiap akan menyerbu masuk ke
dalam benteng melalui suatu jurusan yang penjagaannya
agak longgar, apabila kelihatan api sudah mulai
membakar di ruang pendopo. Akan tetapi sekarang api
sudah menyala sekian lamanya dan bala bantuan dari
luar itu masih belum kelihatan, diam-diam Kheng Siuhong
menduga mungkin telah terjadi sesuatu, ia menjadi
gelisah. Namun dia masih coba meniup tanduknya untuk
memanggil bala bantuan itu.
Ia tak bisa meniup tanduknya lebih lama lagi karena
segera Cin Cu-cun telah menyerangnya dan dia terpaksa
harus menangkis. Di tengah pertarungan sengit itu tibatiba
tertampak dua penunggang kuda berlari datang.
Seorang di antaranya telah memberi lapor kepada Kui
Koh-ku, "Pocu, ada berita baik. Kawanan bandit Huihongsan telah berusaha melintasi selat Hek-hong-kiap,
untung kepergok oleh Lau-suhu dari Ban-keh-ceng yang
kebetulan lewat. Sekarang kawanan bandit itu sudah
terkepung di sana, tanggung mereka takkan lolos
seorang pun." Laki-laki yang satunya segera melompat turun dari
kuda dan berseru, "Kedatanganku sebenarnya hendak
minta bantuan, tak tersangka di sini juga sedang direcoki
orang jahat, tanpa sengaja aku malah sudah berjasa bagi
Kui-pocu." Kiranya orang yang lapor tadi adalah anak buah Kui
Koh-ku, sedang laki-laki yang belakangan ini adalah Lau
Jin-kiat, jago sewaan Ban Peng-ya, pemilik
perkampungan Ban-keh-ceng yang kuda kesayangannya
dicuri oleh Yap Boh-hoa itu. Secara kebetulan Lau Jin-kiat
memergoki laskar Kheng Siu-hong yang sedang bersiap
di tengah selat gunung dan menunggu isyarat pimpinan
mereka. Diam-diam Lau Jin-kiat menyampaikan berita
dari apa yang dilihatnya itu kepada laskar Kui Koh-ku,
yang menjaga tidak jauh dari selat gunung itu sehingga
laskar Kheng Siu-hong kena dikurung di tengah selat
gunung. Maka dengan girang Kui Koh-ku menanggapi, "Bagus,
Lau-suhu jasamu ini tentu akan kubalas dengan pantas."
Cin Cu-Cun adalah sahabat Lau Jin-kiat, dengan
tertawa ia ikut bicara, "Kedatanganmu ini sangat
kebetulan, Lau-Iotoa. Apakah kau tidak ingin berjasa
lebih banyak lagi" Itulah hadiahnya dua dayang molek
itu, kau senang tidak?"
Dasar Lau Jin-kiat memang gemar pipi licin, ia
bergelak tertawa mendengar itu, sahutnya, "Terima
kasih, Cin-toako. Kita adalah orang sendiri, bila ada
kesukaran tentu dipikul bersama." Habis berkata segera
ia ikut menerjang ke kalangan pertempuran.
Memangnya Kheng Siu-hong sudah kewalahan,
sekarang pihak lawan bertambah lagi seorang jago,
keruan ia tambah repot. "Nona Kheng," tiba-tiba Cin Cu-cun berseru dengan
cengar-cengir, "aku sudah tahu asal-usulmu, kau adalah
putri seorang Congpeng yang mulia, buat apa mesti
bertempur mati-matian dan rela menjadi kaum bandit.
Tidakkah lebih baik kau terima lamaran Siaupocu kami,
tanggung kau hidup senang bahagia."
"Tutup bacotmu!" bentak Kheng Siu-hong dengan
murka, segera sepasang goloknya diputar cepat, dengan
mati-matian ia menerjang.
Memangnya Cin Cu-cun memancing amukan Kheng
Siu-hong, dalam keadaan kalap nona itu tentu akan lebih
mudah dibekuk, "Trang", mendadak golok Kheng Siuhong
yang pendek tersampuk jatuh. Menyusul toya rotan
Cin Cu-cun sudah lantas mengemplang dari atas, serunya
sambil tertawa terkekeh-kekeh, "Nona Kheng, sekarang
biarpun kau mau menurut juga sudah terlambat!"
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar
suara kuda meringkik ramai dengan suara gemuruh lari
binatang-binatang itu, seakan beratus ribu pasukan
berkuda di medan pertempuran. Sedikit Cin Cu-cun
tercengang, kesempatan itu telah digunakan oleh Kheng
Siu-hong untuk melompat ke samping.
Dalam pada itu terdengar ada orang berteriak, "Ini dia
orang-orang gagah dari Hui-hong-san! Mana itu tua
bangka she Kui dan putra anjingnya."
Keruan Kui Koh-ku terperanjat, waktu ia berpaling,
kiranya barak darurat yang digunakan sebagai kandang
kuda itu telah terbakar, beratus-ratus ekor kuda itu lari
serabutan seperti gila, menerjang ke sana sini di tanah
lapang itu. Tentu saja medan pertempuran itu menjadi
kacau, banyak anak buah Kui Koh-ku sendiri yang
diseruduk dan disepak terguling oleh kuda-kuda binal itu.
Kiranya Yap Boh-hoa yang telah melakukan sabotase
itu, ia lihat kedudukan pihak Kheng Siu-hong tidak
menguntungkan, untuk menolongnya dengan tenaga
sendiri juga sukar. Tiba-tiba ia mendapat akal, ia
menyusup ke barak darurat itu, belasan penjaga di situ
disergapnya dengan totokan-totokan kilat sehingga tak
bisa berkutik, ia membakar barak itu, lalu pantat kudakuda
itu ditusuk dengan pedang. Karena kesakitan kudakuda
itu lantas berjingkrak dan meringkik, terus berlari
menerjang kian kemari seperti kesetanan, asal ketemu
orang lantas menyepak tanpa membedakan kawan atau
lawan. Memangnya ruang pendopo sudah kebakaran dan
belum sempat dipadamkan, sekarang api berkobar lagi di
lain tempat, keruan suasana tambah kacau balau.
Banyak anak buah Kui Koh-ku yang lari tungganglanggang
mencari selamat. "Tangkap dulu bangsat wanita ini mati atau hidup,
hadiah disediakan kepada siapa pun yang berjasa!" seru
Kui Koh-ku untuk memberi semangat kepada
begundalnya. "Baik!" seru Cin Cu-cun, toyanya mencambuk golok
panjang Kheng Siu-hong, menyusul ia menghantam pula
dengan sebelah telapak tangannya. Kelihatan telapak
tangannya hitam hangus, kiranya dia memiliki pukulan
telapak tangan berbisa, makanya orang memberi julukan
'Hek-sat-sin' atau si Malaikat maut hitam.
Namun sebelum Kheng Siu-hong menangkis, tiba-tiba
sejalur sinar emas menyambar tiba. Kiranya Yap Boh-hoa
sudah menyambitkan sebuah tusuk kundai sebagai
senjata rahasia untuk menolong si nona.
Tusuk kundai itu mengincar titik darah di tengah
telapak tangan Cin Cu-cun, jika kena, pasti punah
segenap ilmu telapak tangan berbisa yang dilatihnya itu.
Sebagai seorang jagoan, Cin Cu-cun terkesiap juga
mendengar sambaran tusuk kundai yang membawa
suara mendesing itu, cepat ia menarik kembali
tangannya. Pada saat lain tahu-tahu Yap Boh-hoa sudah
memburu tiba. Di sekitar situ terdapat seorang pengiring Kui Siauleng
yang kenal Yap Boh-hoa, ia berteriak-teriak, "Itu dia
bocah yang membikin onar tadi!"
"Kurangajar! Bangsat cilik semacam kau juga berani
main gila di sini!" bentak Kui Koh-ku dengan gusar.
Berbareng ia terus menghantam dengan ilmu pukulan
Tay-Iik-kim-kong-ciang, pukulan tenaga raksasa.
"Hm, ada ubi ada talas, kalau diberi harus dibalas! Ini
kau pun terima pukulanku!" sahut Yap Boh-hoa. Dan
pada saat yang hampir bersamaan ia pun melontarkan
pukulan Pan-yak-ciang-hoat ajaran ayahnya yang
dahsyat. Tenaga pukulan Pan-yak-ciang itu paling lihai buat
menggetar putuskan urat nadi lawan, biarpun Kui Koh-ku
juga bukan jago silat rendahan toh tak tahan juga.
Begitu kedua tangan beradu, "biang", seluruh badan Kui
Koh-ku tergetar, darah bergolak dalam rongga dadanya
dan hampir-hampir menyembur keluar. Keruan kagetnya
tidak kepalang, lekas ia melompat ke samping untuk
melancarkan napasnya. Melihat majikannya kecundang, cepat Cin Cu-cun
meninggalkan Kheng Siu-hong, ia putar toyanya terus
menyerampang kaki Yap Boh-hoa. Sambil meloncat ke
atas Yap Boh-hoa juga sudah melolos pedangnya. Sekali
menyambar, dalam sejurus saja pedangnya telah
mengancam tujuh tempat Hiat-to di tubuh Cin Cu-cun.
Cin Cu-cun tahu telah ketemu lawan tangguh, dari
menyerang terpaksa menjaga diri, ia putar toyanya
dengan kencang sambil melangkah mundur.
Yap Boh-hoa tidak mendesak lebih jauh, tapi sebelah
kakinya lantas menyungkit sehingga golok pendek milik
Kheng Siu-hong yang jatuh tadi mencelat ke arah si
nona, katanya, "Nona Kheng, terima kembali senjatamu!"
Pikiran Kheng Siu-hong gelisah tak keruan, dia
bingung apakah masih benci atau mesti berterima kasih
kepada pemuda itu, namun tidak urung ia menangkap
juga golok pendek itu dengan muka bersemu merah, lalu
ia berputar ke sana untuk membantu kedua dayangnya.
Pada kesempatan itu pula Boh-hoa sempat menjemput
kembali tusuk kundai yang disambitkan tadi dan
disimpan kembali untuk dipulangkan kepada Kheng Siuhong
pada kesempatan lain. Habis itu segera ia
mengayun pedangnya menerjang pula ke arah Cin Cucun.
Di sebelah sana Lau Jin-kiat menjadi kelabakan
diterjang oleh Kheng Siu-hong, apalagi dikenalnya pula
bahwa Yap boh-hoa adalah pencuri kuda yang lihai itu.
Keruan ia bertambah jeri karena sudah merasakan
betapa lihatnya Yap Boh-hoa. Dan karena gugupnya,
sedikit meleng saja bahunya telah kena ditabas oleh
golok Kheng Siu-hong, lekas ia lari menyingkir ke
samping. Sesudah bersatu dengan kedua dayangnya, Kheng
Siu-hong melihat keempat pengawalnya yang bersenjata
gada bergigi itupun sudah menerjang keluar dari
kepungan untuk bergabung dengan dia. Hanya satu saja
di antara keempat orang itu yang terluka ringan, yang
lain tidak mengalami cidera apa-apa.
Dalam pada itu suasana pertempuran sudah agak
reda, hanya tinggal sebagian kuda binal tadi yang masih
berlari-lari kian kemari tak teratur. Anak buah Kui Koh-ku
juga ada sebagian yang telah kabur mencari selamat. Kui
Koh-ku sangat gusar, ia perintahkan orang membunyikan
tanda berkumpul, ia hendak menghimpun pasukannya
untuk mengejar Kheng Siu-hong.
Kheng Siu-hong sendiri karena ingin pergi menolong
laskarnya yang terkurung di selat gunung, pula keadaan
pertempuran juga tidak menguntungkan, bilamana
sampai terkepung lagi tentu akan sukar meloloskan diri,
segera ia memberi tanda agar kawan-kawannya merebut
kuda dan menerjang keluar dari benteng Kui-tek-po.
Sambil melarikan kudanya, dia masih sempat berteriak,
"Dengarkan tua bangka she Kui, hari ini kami hanya
memberi hajar adat padamu, jika kau masih belum
kapok, lain kali tentu kami akan mencabut nyawamu!"
Sesudah kata-kata itu terucapkan, diam-diam ia
merasa malu sendiri, sebab tadi kalau tiada bantuan dari
Yap Boh-hoa, boleh jadi dirinya sukar lolos dari
cengkeraman Kui Koh-ku, jangankan bilang hendak
memberi hajar adat. Dengan kuda rampasan, segera Kheng Siu-hong dan
rombongan meninggalkan sarang musuh. Yap Boh-hoa
juga sudah merampas seekor kuda dan ikut di belakang.
Namun sama sekali Kheng Siu-hong tak menggubrisnya,
dia melarikan kudanya paling depan diikuti kedua
dayangnya, di belakangnya menyusul keempat laki-laki
bersenjata gada, paling akhir adalah Yap Boh-hoa. Sudah
tentu Yap Boh-hoa merasa kesepian, tapi tidak leluasa
untuk memburu maju dan mengajak bicara.
Mestinya banyak pertanyaan Yap Boh-hoa akan
diajukan kepada Kheng Siu-hong, tapi nona itu tetap
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak menggubris padanya sepanjang jalan. Dalam pada
itu fajar sudah menyingsing, tiba-tiba ia teringat kepada
perjanjiannya untuk bertemu kembali di Oh-liong-poh.
Kheng Siu-hong seperti tak sabar lagi, ia melarikan
kudanya secepat terbang. Tentu saja Yap Boh-hoa lebihlebih
tiada kesempatan buat mengajak bicara, akan
tetapi ia pun merasa berat untuk tinggal pergi begitu
saja. Secara kebetulan kali ini bertemu lagi dan dirinya
telah membantunya, kesempatan ini sebenarnya sangat
baik untuk digunakan menyelesaikan kesalah pahaman
selama ini. Tentang kesalah pahaman ini sungguh ia merasa
bingung dan tidak tahu apa sebabnya, maka kalau
sekarang tidak ditanyakan sejelasnya mungkin kelak
tiada kesempatan sebaik ini lagi. Walaupun penting juga
janjinya kepada Ubun Hiong, tapi ia yakin kalau
terlambat beberapa jam saja masih dapat dimengerti
oleh Ubun Hiong, andaikan pemuda itu harus berangkat
lebih dulu dan tidak menunggunya, biarlah kelak bila
bertemu lagi akan diberi penjelasan.
Begitulah tanpa terasa ia telah ikut sekian jauhnya di
belakang rombongan Kheng Siu-hong, kini mereka sudah
berada di jalan lereng gunung, sayup-sayup terdengarlah
suara pertempuran di lembah gunung sana. Diam-diam
Yap Boh-hoa ingin mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi. Ia pikir sekali sudah membantu biarlah
membantu sampai akhirnya.
Sementara itu hari sudah terang benderang, sang
surya telah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang,
kabut juga masih menyelimuti lereng gunung, seperti
baru saja tersingkap dan mulai buyar. Dari jauh samarsamar
sudah kelihatan bayangan orang berlari-lari di
sana sini, tak terbedakan kawan atau lawan.
Segera pula Kheng Siu-hong memutar sepasang
goloknya dan melarikan kudanya ke depan secepat
terbang, dari jauh ia sudah berteriak, "Kui-tek-po sudah
kami serbu dan bobol, ruang pendopo sarang tua bangka
she Kui juga sudah kami bakar menjadi puing. Jika kalian
ingin hidup, lekaslah letakkan senjata dan angkat
tangan!" Dia berteriak dengan menggunakan tenaga dalamnya
sehingga suaranya berkumandang jauh, ternyata cukup
berhasil gertakannya ini. Sebagian anak buah Kui Koh-ku
menjadi ketakutan dan melarikan diri tak teratur,
sebagian lagi walaupun masih coba melawan, tapi
dengan mudah telah diberesi oleh Kheng Siu-hong dan
rombongannya. Ternyata laskar Kheng Siu-hong sendiri juga sudah
kocar-kacir tak keruan, untunglah dia keburu tiba, kalau
tidak, tentu sukar diramalkan bagaimana nasib anak
buahnya itu. Seorang Thaubak laskarnya lantas
menghadap untuk melapor dan minta ampun.
"Bukan salahmu," kata Kheng Siu-hong, "terkurungnya
laskar kita adalah secara kebetulan saja sehingga
mangacaukan rencana. Paling penting sekarang lekas
kau urus anak buah yang terluka dan yang gugur."
Habis itu ia lantas bantu memeriksa beberapa anak
buahnya yang terluka serta memberi obat seperlunya.
Ketika dia berpaling, tahu-tahu Yap Boh-hoa kelihatan
berdiri di hadapannya, "Kau ... kau mau apa ikut ke sini?"
tanyanya tak terduga-duga.
"Nona Kheng, maafkan bila aku mengganggu. Aku ...
aku hanya ingin bicara sedikit padamu," sahut Boh-hoa.
"Yap-kongcu," kata Siu-hong, "tiada sesuatu yang
perlu kita bicarakan. Untuk selanjutnya hendaklah kau
pun jangan ikut campur urusanku lagi."
Boh-hoa tertegun, diam-diam ia merasa nona itu
terlalu tidak tahu kebaikan orang. Dengan aseran ia
lantas menjawab, "Baiklah, anggap saja akulah yang usil
dan suka campur urusan orang lain."
"Yap-kongcu," seru Kheng Siu-hong sebelum Yap Bohhoa
hendak melangkah pergi. "Kau telah membantu aku
semalam, mesti aku harus mengucapkan terima kasih
padamu, namun kaum persilatan kita paling tegas
membedakan antara budi dan dendam. Boleh kau pilih
apakah aku menjura padamu sebagai tanda terima kasih,
lalu kita mulai lagi menggunakan senjata atau kita
anggap saja pertolonganmu telah melunasi dosamu,
untuk selanjutnya kita menempuh jalan sendiri-sendiri
dan tiada sangkut-paut apa-apa."
Boh-hoa terkejut bingung, tanyanya, "Sungguh aku
tidak paham maksud ucapanmu, nona Kheng" Bantu
membantu adalah hal yang lazim di dunia persilatan. Aku
merasa tiada menanam budi apa-apa kepadamu,
sebaliknya aku pun tidak tahu bilakah berbuat dosa"
Sungguh aku tidak paham, dapatkah kau bicara lebih
jelas lagi persoalannya?"
"Bocah she Yap," kata seorang di antara empat lakilaki
bersenjata gada yang entah sejak kapan telah
mengepung di belakang Yap Boh-hoa, "apa yang telah
kau perbuat, kau sendirilah yang tahu. Apakah
perbuatanmu yang keji itu kau kira orang lain tidak tahu"
Kau adalah musuh pembunuh ayah Siocia (tuan putri)
kami, tapi semalam kau telah menolong jiwa kami pula.
Apakah kurang jelas bagimu apa yang dimaksudkan
Siocia kami?" Boh-hoa tambah bingung. "Sungguh aneh," katanya
kemudian. "Hakikatnya aku belum pernah kenal,
siapakah ayah nona Kheng, darimana aku bisa dituduh
membunuh beliau" Bahwasanya aku memang memusuhi
kerajaan Boan-jing, itu tidak berarti mesti membunuh
ayah nona. Sungguh aku tidak paham persoalannya."
"Tak perlu kau membela diri, justru kami tahu kau
memusuhi kerajaan, makanya majikan kami telah
menjadi korbanmu. Meski majikan tidak dibunuh oleh
tanganmu sendiri, tapi tewasnya beliau adalah karena
gara-garamu. Dan apakah kau tetap tidak mau mengaku
sebagai musuh Siocia kami," kata seorang kawannya lagi.
Dari pembicaraan mereka itu, sedikit banyak Yap Bohhoa
dapat meraba, boleh jadi majikan mereka telah
menjadi korban keganasan pihak kerajaan, karena
merasa dendam, maka si nona dan anak buahnya
terpaksa masuk hutan dan naik gunung menjadi bandit
untuk melawan kerajaan, tapi sebenarnya tidak sejalan
dengan laskar pemberontakan.
Maka dengan aseran ia pun berteriak, "Benar, aku
memang buronan kerajaan dan majikanmu adalah
panglima kerajaan, terang aku bukan orang golongan
kalian, tapi apa sangkut-pautku dengan kematian
majikanmu" Mengapa kematiannya dianggap garagaraku?"
"Hm, apakah kau sudah lupa pada perjanjian
pertemuan kita di pegunungan Masjit tempo dulu?" tibatiba
tiba Siu-hong menjengek. Mendengar itu, alis Boh-hoa menegak, serunya
dengan penasaran, "Jadi kau masih ingat kepada janji
tempo hari" Hm, aku sih tidak berani menuduh kalian
ayah dan anak sengaja membikin celaka padaku. Tapi
nyatanya ketika aku sampai di tempat itu, bukannya kau,
nona Kheng, yang menanti di situ, sebaliknya aku sudah
ditunggu oleh 13 orang jago istana."
"Hah, apa betul?" Siu-hong menegas dengan terkejut.
"Mengapa tidak betul, di atas tubuhku masih tertinggal
belasan bekas luka yang dapat menjadi bukti," seru Bohhoa.
"Untunglah aku tidak jadi mampus, sebaliknya ke-13
jagoan kalian itu malah mati semua. Memangnya kau
perlu bertanya?" "Aku perlu bertanya karena aku memang tidak tahu,"
sahut Siu-hong. "Tidak tahu" Janji pertemuan kita itu kalau bukan kau
yang menyiarkan, masakah begitu kebetulan ke-13
anjing alap-alap kerajaan itu bisa mengetahui?" jengek
Boh-hoa. Siu-hong tampak bersangsi, pikirnya, "Apakah
mungkin ayahku yang membocorkan soal ini?" Dia
memang telah memberitahukan janjinya dengan Yap
Boh-hoa itu kepada sang ayah, ayahnya telah melarang
dia pergi memenuhi janji, tapi juga tidak akan mengusut
lebih jauh persoalan itu atau membikin susah
sahabatnya, untuk ini ia dapat mempercayai ayahnya.
Maka dengan aseran ia pun berteriak, "Ya, aku tidak
tahu, Justru kau sendirilah yang memfitnah ayahku
bersekongkol dengan pihakmu berdasarkan perjanjian
pertemuan kita itu. Seumpama kau ingin memaksa ayah
ikut berontak, sebenarnya tidak perlu menggunakan cara
serendah itu. Hm, kau membikin celaka ayah, aku benci,
aku benci selamanya padamu."
"Darimana kau bisa menuduh aku demikian" Tentu
kau telah dihasut atau salah mendengar desas-desus
yang sengaja disiarkan orang," ujar Boh-hoa.
"Ini bukan desas-desus, tapi adalah bukti hitam di atas
putih yang tertulis di dalam laporan rahasia gubernur
Siam-say kepada kaisar, katanya dari mata-matanya
yang menyusup di pihakmu telah diperoleh keterangan
dan bukti bahwa ayahku bersekongkol dengan kalian,
bahkan namaku juga ikut terseret, katanya akulah yang
membantu ayah mengadakan hubungan rahasia yang
akan diadakan hari apa di atas gunung Masjit dan
macam-macam tuduhan lagi. Untunglah seorang sahabat
baik yang berwenang dalam kerajaan telah
menyampaikan berita tuduhan itu kepada ayah, sehingga
ayah menyuruh aku lekas meloloskan diri, kalau tidak,
saat ini jiwaku tentu sudah melayang bersama ayah."
"Apakah gubernur Siamsay yang kau maksudkan itu
adalah si jagal she Yap yang kini menjabat gubernur
Sucwan itu?" Boh-hoa menegas.
"Aku tak peduli apakah dia jagal atau pembesar baik,
pendek kata tentulah bahan fitnah itu diperoleh dari
pihakmu," sahut Siu-hong. "Kau tidak perlu mungkir lagi,
laporan rahasia itu adalah bukti yang kuat."
"Ya, laporan itu mungkin terjadi, apa yang dilaporkan
itu hanya sengaja dibuat-buat untuk memfitnah belaka,"
kata Boh-hoa. "Ya, isi laporan itu memang fitnah belaka, memfitnah
ayahku," kata Siu-hong.
"Bukan begitu maksudku," ujar Boh-hoa.
"Apa maksudmu?" Siu-hong menegas.
Seketika jantung Yap Boh-hoa berdebar-debar dan
sukar menjawab, ia sudah menduga, boleh jadi peristiwa
ini ada hubungannya dengan Yap Leng-hong palsu itu.
Yang terang janji pertemuannya dengan Kheng Siu-hong
dahulu itu toh tak diceritakanya kepada Yap Leng-hong
palsu, entah darimana dia dapat mengetahuinya dan
memasang perangkap" Andaikan sekarang hendak diberi
penjelasan kepada Kheng Siu-hong, rasanya juga sukar
dipercaya oleh si nona. Dalam pada itu para korban di pihak anak buah Kheng
Siu-hong telah diselesaikan, Thaubak tadi datang
melapor pula, "Tampaknya api di Kui-tek-po sudah
dipadamkan, bila kita tertunda lebih lama di sini boleh
jadi tua bangka she Kui itu akan mengerahkan
pasukannya untuk mengejar. Dalam keadaan lelah,
saudara-saudara kita tentu sukar bertahan, lebih baik
kita lekas mengundurkan diri saja, mohon Cecu memberi
petunjuk." "Baiklah, yang luka supaya diangkut dulu di muka, kita
mengawal di belakang, boleh segera berangkat," kata
Kheng Siu-hong. Begitu perintah diberikan, berbondong-bondong laskar
itu lantas bergerak. Pikiran Yap Boh-hoa benar-benar
kusut dan serba susah. Melihat Yap Boh-hoa tertegun, Kheng Siu-hong lantas
membuka suara, "Tentang bantuanmu tadi aku pun
takkan mengucapkan terima kasih. Anggaplah kita sudah
tidak saling hutang budi dan dendam, kita selesaikan
sampai di sini dan habis perkara."
Waktu itu hari sudah dekat lohor. Karena teringat
kepada Ubun Hiong yang sedang menunggu di Oh-liongpoh,
diam-diam ia pun menimang-nimang, urusan di
Sucwan itu jauh lebih penting, untuk sementara ini
terpaksa aku mendendam penasaran. Persoalaan ini
agaknya juga sangat ruwet dan sukar dibikin terang
dalam waktu singkat. Hari sudah siang, kalau tidak lekas
berangkat mungkin aku akan ditinggalkan Ubun Hiong."
Maka dengan menghela napas ia berkata, "Nona
Kheng apa yang kukatakan adalah sungguh-sungguh,
jika kau tidak percaya, apa yang dapat kukatakan lagi.
Persoalan ini kelak pasti akan menjadi terang. Sampai
berjumpa pula." Namun dengan dingin Kheng Siu-hong menjawab,
"Aku tidak ingin melihat kau lagi, kau pun tak perlu
mencari aku pula." Saat itu Yap Boh-hoa sudah mencemplak ke atas
kudanya dan dilarikan, sayup-sayup Kheng Siu-hong
mendengar suara helaan napas pemuda itu. Tiba-tiba
dalam hati kecilnya terasa cemas juga, ia sendiri raguragu
apa benar dirinya tidak ingin melihatnya lagi"
Perasaan Yap Boh-hoa juga cemas, ia mengira kali ini
dapat diselesaikan kesalah pahaman mereka, siapa tahu
telah berakhir dengan nihil. Yang terhibur baginya
hanyalah dua hal, pertama, sudah diketahuinya sedikit
duduknya perkara, teranglah pokok pangkal peristiwa itu,
adalah karena perbuatan Yap Lep-hong yang licik itu.
Kedua, dengan tegas Kheng Siu-hong telah
menyatakan takkan memusuhinya lagi, rasa dendamnya
telah dihapus sebagai imbalan budi pertolongannya kali
ini. Jadi sedikitnya perselisihan paham mereka boleh
dikatakan sudah berakhir sebagian.
Ketika tanpa sengaja Yap Boh-hoa merogoh saku dan
menyentuh tusuk kundai yang dijemputnya kembali itu
barulah teringat olehnya bahwa dia lupa mengembalikan
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benda itu kepada si nona. Namun soal kecil ini lantas
dikesampingkan olehnya karena dia harus buru-buru
menuju ke Oh-liong-poh untuk bertemu dengan Ubun
Hiong. Setiba di kota kecil itu, ternyata tiada menampak
bayangan Ubun Hiong dengan kedua ekor kudanya,
diam-diam Boh-hoa mengeluh. Maklumlah kuda hasil
curiannya dari Ban-keh-ceng itu adalah kuda bagus yang
sehari mampu menempuh ribuan li jauhnya, kuda itu
semalam telah dia titipkan kepada Ubun Hiong. Sekarang
dirinya cuma menunggang seekor kuda rampasan yang
sudah terluka malah, jika Ubun Hiong sudah berangkat
lebih dulu dengan kuda yang bagus itu, teranglah dirinya
tidak dapat menyusulnya lagi.
Kota kecil itu tidak banyak terdapat rumah makan,
maka dengan mudah saja Yap Boh-hoa dapat
menemukan rumah makan yang pagi itu disinggahi Ubun
Hiong. Menurut pelayan rumah makan itu, Ubun Hiong
menunggu cukup lama di situ, tapi akhirnya telah
berangkat dengan tergesa-gesa.
"Kira-kira sudah berapa lama dia berangkat, mengapa
kelihatan tergesa-gesa?" tanya Boh-hoa.
Si pelayan menjawab, "Kira-kira baru lebih satu jam
dia berangkat. Tadinya tuan tamu muda itu duduk
tenang-tenang saja sambil bersantap, tapi tiba-tiba ada
seorang laki-laki berewok berkuda lewat di sini. Entah
mengapa tuan tamu muda itu menjadi gelisah dan buruburu
meninggalkan serenceng uang perak terus berlari
keluar, beliau mencemplak kuda terus menyusul ke arah
orang berewok itu." Boh-hoa mengucapkan terima kasih dan memberi
persen atas keterangan pelayan itu, cepat ia pun
meninggalkan rumah makan itu. Ia menjadi gelisah,
Ubun Hiong sudah berangkat lebih satu jam lamanya,
apakah mungkin dirinya dapat menyusulnya"
Ia merasa heran juga siapakah orang berewok yang
menarik perhatian Ubun Hiong itu sehingga pemuda itu
terus mengubernya tanpa menunggu kedatangannya
lagi" Karena rasa sangsinya itu, sekuatnya Boh-hoa
mengeprak kudanya ke depan walaupun ia tidak yakin
akan dapat menyusul Ubun Hiong.
Siapakah sebenarnya orang berewok yang dilihat Ubun
Hiong itu" Kiranya pagi hari itu Ubun Hiong sudah sampai di Ohliongpoh. Rumah makan itu baru saja membuka pintu
dan dia merupakan tamunya yang pertama pada pagi itu.
Dengan tenang Ubun Hiong menanti sampai menjelang
lohor, tapi Yap Boh-hoa yang ditunggu masih belum
menongol, sesungguhnya dia sangat gelisah mengingat
tugasnya yang harus buru-buru berangkat ke Siau-kimjwan.
Sudah tentu ia pun mengirakan kemungkinan
terjadi sesuatu di luar dugaan yang menghambat
kedatangan Yap Boh-hoa, tapi ia yakin dengan ilmu silat
Yap Boh-hoa yang tinggi itu tentu tidak sampai
mengalami cidera apa-apa.
Ia menjadi ragu-ragu dan serba salah, tugas berat
mengharuskan ia lekas berangkat, tapi rasa setia
kawannya meminta dia menunggu lagi. Tengah bingung
dan sukar mengambil keputusan, tiba-tiba didengarnya
suara derapan kuda yang cepat. Waktu Ubun Hiong
melongok keluar, dilihatnya seorang laki-laki berewok
melarikan kudanya secepat terbang dan berkelebat lewat
dengan cepat sekali. Ubun Hiong meloncat kaget demi mengenali siapa
orang itu, tanpa pikir lagi ia merogoh saku dan
melemparkan serenceng uang perak ke atas meja
makan, lalu berlari keluar dan mencemplak ke atas
kudanya terus dikaburkan ke arah laki-laki berewok tadi.
Kiranya laki-laki berewok itu bukan lain daripada jago
pengawal gubernur Sucwan yang sekarang, yaitu Yap Ki
alias Yap To-hu, dengan jabatan rahasianya sebagai
utusan raja yang ditugaskan mengawasi Yap To-hu yaitu
Hong Jong-liong. Justru karena rahasia Yap Leng-hong
diketahui oleh Hong Jong-liong, makanya dia kena
didalangi dan terpaksa menjadi mata-mata kerajaan di
dalam pasukan pergerakan.
Kuda tunggangan Hong Jong-liong justru adalah Jikliongki, kuda mestika milik Kang Hay-thian, yang hilang
dibawa lari oleh Hong Jong-liong ketika kuda itu
dipasrahkan kepada Yap Leng-hong untuk merawatnya di
kota Kik-yau tempo dulu. Ubun Hiong tahu kuda merah itu adalah kuda
kesayangan sang Sumoay, yaitu Kang Hiau-hu. Sekarang
mendadak dilihatnya di tengah jalan, sudah tentu ia
kaget. Tanpa pikir lagi segera ia mengejarnya walaupun
dia tidak tahu siapakah Hong Jong-liong itu.
Karena kuda merah hasil curian Yap Boh-hoa dari Bankehceng jauh lebih bagus daripada kuda miliknya
sendiri. Maka yang dia cemplak adalah kuda merah itu
dan membiarkan kuda sendiri mengikut dari belakang. Ia
pikir entah siapakah orang berewok itu, yang penting Jikliongki harus dirampas kembali dulu, urusan belakang.
Tak terduga kecepatan lari Jik-liong-ki jauh lebih cepat
daripada kudanya, sesudah mengejar belasan li, jaraknya
bukan makin dekat, sebaliknya malah ketinggalan
semakin jauh. Saat itu mereka sedang menanjak ke jalan
pegunungan, Ubun Hiong pikir bila si berewok sampai
melintasi lereng gunung itu, maka sukar lagi untuk
mencari jejaknya mengingat dirinya sudah ketinggalan
agak jauh. Di luar dugaan, setiba di ujung jalan suatu belokan,
mendadak orang berewok itu telah menahan kudanya
dan berhenti. Ubun hiong berbalik tercengang melihat orang
mendadak berhenti, dalam sekejap saja ia pun sudah
menyusul sampai di pengkolan jalan itu. Nyata di jalanan
yang berbahaya itu hanya mereka berdua saja dan tiada
orang ketiga. Hong Jong-liong lantas memapak maju, serunya
sambil tertawa, "Bocah, kudamu ini boleh juga ya"
Apakah kau ingin berlomba kuda-dengan aku atau
sedang mengincar kudaku ini" Lekas katakan, untuk apa
kau terus menguntit jejakku?" Nyata ia telah salah
sangka Ubun Hiong adalah anak yang masih hijau dan
ingin merampas kudanya. Ubun Hiong ternyata tidak menjawabnya, sebaliknya ia
terus bertanya malah, "Darimana kau memperoleh kuda
ini?" Menurut laporan palsu Yap Leng-hong dahulu, katanya
kuda Jik-liong-ki itu hilang direbut oleh Ho Lan-bing,
maka menurut perkiraan Ubun Hiong hanya ada dua
kemungkinan, kuda ini direbut oleh si berewok dari
tangan Ho Lan-bing atau Ho Lan-bing yang
meminjamkan kuda ini padanya. Dengan demikian kawan
atau lawan segera pula dapat dibedakan, sebagai
seorang pemuda yang cerdik dan bisa bekerja teliti,
sebelum bertindak Ubun Hiong perlu menyelidiki lebih
dulu. Hong Jong-liong melengak juga atas teguran Ubun
Hiong tadi, tapi ia lantas melotot dan balas bertanya,
"Siapakah kau" Peduli apa darimana aku mendapatkan
kuda ini?" "Sudah tentu aku harus bertanya, karena kuda ini
adalah punya Suhuku," sahut Ubun Hiong secara blakblakan.
Rupanya ia pikir di situ toh tiada orang ketiga,
apabila si berewok adalah anjing alap-alap kerajaan,
maka ia tidak segan-segan membunuhnya. Tapi kalau
orang adalah sahabat atau sealiran, untuk
memberitahukan asal-usulnya sendiri juga tidak menjadi
soal. Karena dahulu ia pernah bertempur melawan Ho
Lan-bing dengan sama kuat, ia taksir kalau si berewok ini
adalah antek kerajaan tentu kepandaiannya juga takkan
lebih tinggi dari komandannya, yaitu Ho Lan-bing. Sama
sekali tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Hong Jongliong
justru lebih tinggi daripada Ho Lan-bing dan tidak
lebih rendah. Setelah mengetahui siapa Ubun Hiong, kejut dan
girang pula Hong Jong-liong, dasar dia memang licin dan
sudah berpengalaman, maka dia pura-pura terkejut dan
menyambut dengan tertawa, "Aha, kiranya Kang-tayhiap
adalah gurumu" Ini benar-benar benar sangat kebetulan.
Marilah kita mengaso dulu untuk bicara."
Walaupun sangsi, namun Ubun Hiong tidak mau
kurang adat menurut orang Kangouw. Ia melompat turun
dari kudanya lebih dulu dan memberi hormat, tanyanya
kemudian, "Siapakah nama Cianpwe yang mulia" Apakah
kenalan baik Suhu?" Hong Jong-liong memperkenalkan sesuatu nama
palsu, lalu katanya dengan tertawa, "Bukan saja kenal
gurumu, bahkan kami adalah sobat lama. Aku tahu
belum lama dia telah menerima beberapa murid, apakah
kau adalah muridnya yang pertama, Yap Leng-hong, atau
murid kedua, Ubun Hiong?"
Memang Hong Jong-liong belum pernah kenal Ubun
Hiong, tapi dari Yap Leng-hong ia sudah mendapatkan
keterangan tentang diri Ubun Hiong dan asal-usulnya.
Dia sengaja bertanya untuk membuktikan bahwa dia pun
belum kenal Yap Leng-hong. Inilah kelicinan Hong Jongliong.
Diam-diam Ubun Hiong merasa heran karena belum
pernah mendengar nama orang ini dari Suhunya, tapi ia
masih tidak berani kurang sopan, dengan hormat ia
menjawab, "Tecu Ubun Hiong adanya, apa barangkali
Cianpwe sudah lama tidak bertemu dengan guruku?"
"Benar sudah sekian tahun kami tidak berjumpa,"
sahut Hong Jong-liong. "Kali ini gurumu telah
mengundang aku untuk bertemu di kotaraja. Sayang
ketika aku sampai di sana, sudah lebih dulu terjadi
penyerbuan istana oleh laskar pemberontak Thian-li-kau.
Kang-tayhiap dan Lim-kaucu serta kawan-kawan yang
lain entah menyingkir kemana, aku tidak sempat
Heng Thian Siau To 6 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Kemelut Blambangan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama