Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 8
"Kalau begitu, kau juga setuju merangkapkan
perjodohan mereka?" Siangkoan Thay berseri
kegirangan. "Mereka sudah bergaul mesra, usia dan rupa mereka
juga sesuai, rasanya tiada yang lebih tepat lagi dari
perjodohan itu," kata Nyo Ceng. Tiba-tiba ia menghela
napas, "Ah, hanya .... sayang, sayang!"
Siangkoan Thay terkesiap, serunya, "Apanya yang
disayangkan?" "Sayang kita tak siang-siang merencanakan, baru
sekarang membicarakan urusan perjodohan dan sudah
terlambat!" "Mengapa?" tanya Siangkoan Thay.
Kembali Nyo Ceng menghela napas, lalu berkata
perlahan-lahan, "Waktu aku datang ke tempat Tioktoako,
Tiok-toako juga mengemukakan hal perjodohan
anaknya. Seperti dirimu, dia pun hendak berbesan
dengan aku!" "Oh, jadi dia juga ingin menjodohkan putrinya kepada
anakmu" Bukankah si Ceng-hoa itu masih terlalu kecil?"
seru Siangkoan Thay. "Kecil sih memang kecil, tapi tidak terlalu. Tahun ini ia
berumur 12, hanya lebih muda tiga tahun dari anak
Hoan. Kata Tiok-toako, memang sudah selayaknya suami
harus lebih tua dari istrinya. Tapi kutahu anak Hoan
hanya menganggap Ceng-hoa sebagai adik. Yang
sungguh dicintainya adalah putrimu, anak Wan."
"Eh, mengapa tiba-tiba saja Tiok-toako hendak
menjodohkan putrinya" Tidak dulu-dulu, tidak besokbesok,
tapi mengapa justru sekarang mengatakan hal itu
padamu?" tanya Siangkoan Thay.
"Tiga bulan yang lalu, putrinya untuk yang pertama
kali keluar sendirian, secara diam-diam meninggalkan
rumah. Coba kau terka, kemana perginya?" tanya Nyo
Ceng. "Apakah pergi ke rumahmu mencari anak Hoan?"
Siangkoan Thay balas bertanya.
"Benar. Dia diam-diam meninggalkan rumah karena
hendak mengajak anak Hoan main-main beberapa hari.
Keluarganya sibuk tak keruan, kecuali budak perempuan
itu, seisi rumah diperintahkan keluar mencarinya."
Kini barulah Kang Hay-thian tahu bahwa lelaki baju
biru yang dijumpainya bersama seorang nona kecil
tempo hari dan rombongan orang yang mencarinya
adalah bujang-bujang keluarga Tiok. Keluarnya mereka
telah menimbulkan kegemparan di dunia persilatan.
Siapa tahu, kiranya hanya untuk urusan sekecil itu saja.
"Tiok-locianpwe itu kelewat menyayangi putrinya,
tetapi bujang-bujangnya itu tak mau kenal dengan kaum
Hek-to dan Pek-to. Untuk kerugian yang diderita kaum si
dara dari Ki-lian-sam-siu, karena Ki-liansiam-siu
bersekongkol dengan kaki tangan pemerintah kerajaan,
maka bujang keluarga Tiok itupun lantas membunuh kaki
tangan kerajaan itu. Dilihat dari sudut ini, agaknya TiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
locianpwe itu masih boleh diajak bersahabat," pikir Kang
Hay-thian. Nyo Ceng melanjutkan kata-katanya, "Aku pun
sebenarnya menganggap nona itu seperti anak-anak.
Secara diam-diam dia datang bermain ke rumahku,
kuanggap seperti tingkah anak-anak saja, tak tahu aku
akan gerak-geriknya selama di luaran itu, tetapi Tioktoako
tidak berpikir begitu. Baru pertama kali
meninggalkan rumah, anaknya terus mencari putraku di
rumah. Ini mestinya mengingatkan padanya bahwa kini
putrinya itu sudah beranjak dewasa. Kecuali ayahbundanya,
dalam hati anak dara itu hanya ada seorang
engkoh misan, itulah sebabnya maka Tiok-toako lantas
mengemukakan perjodohan itu padaku, agar lekas dapat
ditetapkan." "Kau sudah meluluskan belum?" tanya Siangkoan
Thay. Nyo Ceng tertawa getir, "Apakah aku dapat menolak
Tiok-toako" Dia bukannya berunding, melainkan memberi
perintah padaku supaya mempersiapkan seperlunya."
Siangkoan Thay tertegun sejenak, kemudian katanya,
"Ah, Tiok-toako memang begitu. Pernikahan adalah soal
suka sama suka, mana boleh diperintah" Ai, karena
sudah begitu, aku pun tak mau berebut dengan dia."
Nyo Ceng berseru tak puas, "Benar" Tapi kaulah orang
ketiga yang menuntut keadilan bagiku! Bagaimana kau
boleh disuruh menelan penasaran begitu" Jangankan
anakku itu memang sudah suka pada putrimu, sekalipun
tidak, aku pun tak rela anakku menerima tekanan
mereka!" "Ceng-hoa masih kecil. Menilik wataknya, sekalipun
juga congkak, tapi tidak membabi-buta seperti ayahnya,"
kata Siangkoan Thay. Diam-diam Kang Hay-thian geli dalam hati, Siangkoan
Thay sendiri seorang 'pembabi-buta', kini ia mengecap
orang lain begitu. Tentulah ipar orang she Tiok itu lebih
gila lagi atau jangan-jangan Siangkoan Thay terdorong
oleh kemarahan karena calon menantunya direbut orang
she Tiok" Menilik Siangkoan Thay juga memuji kebaikan
dara she Tiok itu, terang dia itu masih punya rasa
keadilan. Demikian Kang Hay-thian membuat analisa
dalam hati. Karena yang dibicarakan itu ternyata urusan
pernikahan anak-anak mereka, Kang Hay-thian tak ingin
mendengarkan lebih jauh. Tapi saat itu-ia bersembunyi di
atas pohon, sedang kedua orang itu berada di bawahnya,
ia tak sanggup menyelinap pergi tanpa diketahui mereka.
Sesaat terkilas dalam ingatannya, siapa tahu dalam
pembicaraan mereka nanti, ia akan memperoleh bahanbahan
keterangan lebih jauh tentang diri orang she Tiok
itu, maka ia membatalkan keinginannya pergi.
Sementara itu Nyo Ceng telah berkata pula, "Ada ayah
tentu ada anaknya. Kalau sekarang saja budak Ceng-hoa
itu sudah congkak, apalagi besok kalau sudah besar,
tentu tak beda dengan ayahnya. Taruh kata anak Hoan
sanggup menerima tekanan istrinya, tapi aku tetap tak
tahan menerima tekanan besanku."
Siangkoan Thay tertawa katanya, "Toh urusan sudah
ditetapkan, percuma saja kau mengeluh." Tertawanya itu
ditujukan pada Nyo Ceng, tapi sebenarnya merupakan
rintihan batinnya sendiri.
"Tidak, biarpun aku tak berani menolak, tapi aku pun
belum menerima lamarannya. Itulah sebabnya maka
sekarang aku mengajakmu berunding," kata Nyo Ceng.
"Lalu apa maksudmu dan bagaimana akan kau
katakan pada Tiok-toako?"
"Kukatakan nanti kalau pulang akan kubicarakan hal
ini kepada ibu anak Hoan. Toh usia mereka masih samasama
kecil, perlu apa harus terburu-buru," sahut Nyo
Ceng. "Apa kata Tiok-toako waktu itu?" tanya Siangkoan
Thay. "Semula dia tak senang, dia mengatakan istrinya dan
istriku toh bersaudara, masakah tak setuju" Kujawab,
memang sudah menjadi kebiasaan untuk merundingkan
sesuatu masalah dengan istriku. Kutahu kalau ia nanti
bakal tak menolak, tapi memberitahukan padanya toh
tiada buruknya agar ia gembira. Dan setelah itu baru
menyelenggarakan upacara perhelatan, toh masih belum
terlambat. Karena kalah beradu alasan, terpaksa Tioktoako
menurut pendapatku, tetapi dia masih mengajukan
suatu hal, dia suruh aku menjaga putraku. Hehe, hal ini
ada hubungannya juga dengan kau dan putrimu!"
Siangkoan Thay melonjak kaget, serunya, "Mengapa
menyangkut dirikur "Bukankah anak Wan dan anak Hoan bulan yang lalu
bersama-sama mengunjungi rumah Tiok-toako" Karena
sudah lama tak pulang, barulah aku menjenguk anak
Hoan ke sana," kata Nyo Ceng.
"O, apakah karena itu maka Tiok-toako menjadi sirik"
Mereka adalah saudara misan, sejak kecil sudah biasa
bermain bersama, memang di waktu kecil dikawal orang
yang besar, tetapi setelah mereka besar kan tak perlu
diantar orang. Toh hal itu tiada halangan, masakah kita
masih memegang adat lama d i mari a pemuda dan
pemudi tak boleh bergaul bersama?" sahut Siangkoan
Thay. "Benar, tapi Tiok-toako justru tak berpandangan
begitu. Adalah karena anaknya sudah besar maka ia
mempunyai pikiran untuk menjodohkan pada putraku.
Dan itulah sebabnya maka ia tak senang melihat anak
Wan menyela di tengah, ia menyuruh aku melarang anak
Hoan pergi bersama anak Wan lagi, ia pun minta aku
menyampaikan padamu supaya kau juga membujuk
putrimu!" Manusia yang dicintai Siangkoan Thay di dunia
hanyalah putrinya, mendengar sentilan itu, diam-diam ia
marah sekali, sahutnya, "Anak perempuanku tak usah
diurus orang lain." Nyo Ceng tertawa dan ikut mengejek, "Ya, kita berdua
ini saudara ipar, tapi rupanya dia seakan hendak
menjadikan kita sebagai orang bawahannya saja. Bila
sudah menyuruhmu berbuat sesuatu, mana boleh kau
mengatakan sepatah kata penolakan?"
"Putra-putri kita, masakah dia sampai ikut mengurus,
itu sungguh kelewat menghina," akhirnya muntahlah
kemarahan Siangkoan Thay.
"Siangkoan-heng, asal kau bertekad bulat, kita akan
tetap bisa berbesan untuk membikin panas hatinya," Nyo
Ceng mulai memasukkan jarum proyokasinya.
Siangkoan Thay terdiam, sampai lama baru ia
menjawab, "Itu berarti membuka perpecahan dengan
dia!" "Benar, justru hal itulah yang perlu kurundingkan
padamu, kita berdua bersepakat dan selanjutnya jangan
menurut omongannya lagi!"
"Tapi biarpun kita berdua bersekutu, tetap belum
tentu dapat menangkan dia?" kata Siangkoan Thay.
"Tapi toh sekurang-kurangnya akan dapat
menghadapinya dengan seimbang?" bantah Nyo Ceng.
"Sesama saudara ipar saling berkelahi, sungguh aku
merasa sungkan!" "Masakah kau mandah dihinanya seumur hidup"
Bahkan anak-anak kita pun akan menderita hinaan itu"
Sebenarnya mereka adalah pasangan yang tepat, tetapi
dipisahkan olehnya!" kata Nyo Ceng.
Teringat akan kebahagiaan putrinya dan
membayangkan bagaimana pedih kalau kelak melihat
wajah sang putri bercucuran air mata, hampir saja ia
menyanggupi ajakan Nyo Ceng. Tapi akhirnya ia masih
kuat menahan perasaannya dan hanya menghela napas
saja dan tak mau bicara. "Kau masih takut padanya?" tanya Nyo Ceng.
"Bukannya takut, ah, kau tak tahu ... pada hakikatnya
aku memang tak suka berkelahi dengan dia," sahut
Siangkoan Thay. Di atas pohon Kang Hay-thian dapat melihat jelas
bagaimana sewaktu mengucapkan kata-katanya itu nada
suara Siangkoan Thay agak gemetar dan mimik
wajahnya pun berubah. Ia menduga orang she
Siangkoan itu tentu menyembunyikan sesuatu, maka
betapapun Nyo Ceng mendesaknya, ia tetap tak mau
bentrok dengan iparnya. Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Aku mempunyai akal, tak
usah kita yang turun tangan sudah dapat melenyapkan
dia, tetapi entah apakah kau mau membantu atau tidak?"
Siangkoan Thay tertegun beberapa jenak, serunya,
"Kau ... kau hendak menggunakan tipu pinjam pisau
membunuh orang?" "Tepat, hendaklah menurut pendapatku saja. Di masa
ini hanya Kang Hay-thian satu-satunya orang yang dapat
menandingi Tiok-toako. Kita cari akal supaya kedua
harimau itu bertarung, kalau tak berhasil
melenyapkannya, sekurang-kurangnya kita dapat
membuat kedua orang itu sama-sama terluka parah!"
Mendengar itu, tersadarlah Kang Hay-thian, pikirnya,
"O, makanya orang she Nyo itu membocorkan rahasia
kepandaian iparnya. Dia memang pintar merencanakan
siasat jahat, tapi coba lihat saja bagaimana reaksi
Siangkoan Thay?" "Bagaimana akalmu itu" Tentunya kau sudah
merencanakannya?" demikian tanya Siangkoan Thay.
"Apakah kau menghendaki supaya Tiok-toako mencari
Kang Hay-thian atau Kang Hay-thian yang mencari
Toako?" Nyo Ceng balas bertanya.
"Kalau Tiok-toako yang mencari Kang Hay-thian,
bagaimana caranya?" "Dalam hal ini kau harus berani menerima sedikit
resiko, kau harus melukai dirimu sendiri dan mengatakan
Kang Hay-thian yang melakukan dan akulah saksinya
nanti. Dan akan kuajarkan kau bagaimana merangkai
kata untuk membikin panas Tiok-toako supaya mengadu
jiwa dengan Kang Hay-thian. Walaupun kau harus
menderita sedikit kesakitan, tapi demi kepentingan anakanak
kita, rasanya masih berharga juga."
"Rupanya kau cukup mempelajari watak Tiok-toako.
Betapapun ia benci kepadaku, tetapi jika benar-benar
aku sampai dilukai orang, dia tentu akan membela aku
mati-matian. Hehe, tapi mengapa siasat menyakiti diri itu
tak kau lakukan sendiri?"
"Karena kebetulan kaulah yang bentrok dengan Kaypang,
Kang Hay-thian datang kemari bersama Tiong
Tiang-thong dan kau pun memang bertempur dengan
ketua Kay-pang itu. Meskipun Kang Hay-thian yang
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melerai, tetapi apakah kau yakin kalau Kang Hay-thian
diam-diam tak membokongmu" Dengan adanya
bentrokan itu, siasat 'menyakiti diri' rasanya kaulah yang
tepat menjalankannya," Nyo Ceng memberi sanggahan.
"Hehe, bagus siasat menyakiti diri yang bagus. Tak
sia-sia kau dapat menemukan siasat itu!" Siangkoan
Thay tertawa sinis. Melihat wajah sang ipar tak wajar lagi, buru-buru Nyo
Ceng menyusuli, "Telah kukatakan tadi, aku mempunyai
dua macam cara. Siasat 'menyakiti diri' itu hanya
terserah pada pertimbanganmu sendiri, apakah kau mau
merundingkan siasat yang lain?"
"Yang satunya ialah supaya Kang Hay-thian datang
kepada Tiok-toako. Dia seorang pendekar utama,
bukankah kau telah menjajaki hatinya" Kau hendak
menyuruh Kang Hay-thian mengadu jiwa untukmu,
apakah itu tidak melamun?" Nyo Ceng tertawa gelakgelak,
katanya pula, "Tak dapat menggerakkan Kang
Hay-thian, masakah kita tak mempunyai akal lain agar
dia tanpa dipaksa mau mencari Tiok-toako sendiri?"
"Baik, ingin aku mengetahui betapa indah siasatmu
itu." "Kang Hay-thian mempunyai seorang calon murid
bernama Li Kong-he, kini anak itu berada di rumah Tioktoako,
menjadi kacungnya. Untuk mencari muridnya itu,
berbulan-bulan Kang Hay-thian mondar-mandir ke
daerah utara dan selatan sungai Hong-Ho!"
Kata Siangkoan Thay, "Hal itu telah kuketahui, tapi
apakah hubungannya dengan siasatmu yang indah itu?"
Nyo Ceng tertawa sinis, "Persoalan kita dititik beratkan
pada murid Kang Hay-thian itu, misalkan, tahu-tahu anak
itu meninggal di rumah Tiok-toako, masakah Kang Haythian
tak akan mengadu jiwa dengan Tiok-toako?"
Hati Siangkoan Thay tergetar, "Kau mau mencelakai
anak itu" Jika kau lakukan hal itu, mana Tiok-toako mau
memberi ampun kepadamu lagi" Bukanlah kau tadi
mengatakan kalau Tiok-toako dan putrinya
memperlakukan anak itu seperti keluarganya sendiri?"
Nyo Ceng tertawa, "Sudah tentu aku takkan setolol itu
untuk turun tangan sendiri, maka sekarang aku hendak
berunding denganmu. Bukankah kau tahu tentang
sejenis rumput beracun yang dapat menghabisi jiwa
orang tanpa bekas" Berikanlah rumput itu padaku, nanti
akan kutumbuk menjadi puyer. Aku mempunyai akal
pinjam tangan Ceng-hoa untuk meracuni anak itu. Cenghoa
sendiri pasti takkan menyadarinya."
Berdirilah bulu tengkuk Kang Hay-thian mendengar
rencana sekeji itu, ia tak menyangka kalau Nyo Ceng
sedemikian ganasnya. Hampir saja ia tak bisa menahan
kemarahannya dan terus hendak membuka kedoknya,
tapi pada lain saat ia mendapat pikiran biarlah menunggu
dulu bagaimana jawaban Siangkoan Thay nanti.
Terdengar Siangkoan Thay tertawa dingin, ujarnya,
"Nyo-toako, kau anggap aku ini orang apa?"
Nyo Ceng tercengang, serunya, "Yang berhati kecil
bukan seorang perwira, yang berhati lemah bukan
seorang lelaki. Jika hal ini berhasil, paling tidak kita tentu
dapat membuat mereka sama-sama remuk dan ini
sangat menguntungkan kita. Pertama, terhindar dari
tekanan keluarga Tiok. Kedua, anak-anak kita dapat melangsungkan
perjodohan tanpa kuatir diganggu lagi. Dan ketiga, hehe,
dengan hilangnya kedua tokoh besar itu, kalau kita
berdua bersatu-padu, siapakah di kolong langit ini yang
bisa melawan kita lagi?"
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Siangkoan Thay
membentak sekerasnya. "Seribu macam keuntungan
sekalipun, aku Siangkoan Thay tak sudi menjadi seorang
manusia yang bermartabat begitu hina!"
Muka Nyo Ceng sebentar hijau sebentar merah, ia
tertawa dingin, "Siangkoan-heng, aku seorang manusia
rendah, tapi perbuatanmu selama ini juga tak layak
disebut ksatria!" Siangkoan Thay gusar sekali, ia sampai melompat dan
berseru, "Meskipun bukan ksatria utama, tetapi
sekurang-kurangnya masih punya hati nurani."
"Kang Hay-thian melepas budi padaku, sebaliknya kau
hendak membalas air susu dengan air tuba dan
menganjurkan aku membunuh seorang anak kecil! Hm,
kau ini benar-benar ...."
"Kau tidak mau, ya sudah. Kita berdua retak hubungan
sih tak mengapa, asal anak-anak kita jangan sampai
menderita kesulitan, apakah selanjutnya mereka tidak
akan berjumpa lagi?"
Mestinya Siangkoan Thay hendak memaki Nyo Ceng
lebih buas dari binatang, mendengar kata-kata Nyo Ceng
yang terakhir, terkilas dalam bayangannya Bagaimana
sang putri terhadap Nyo Hoan. Diam-diam ia mengeluh
dan tak mau kelewat menyakiti hati Nyo Ceng, ia
menghela napas, ujarnya, "Pulanglah, anggap saja kau
tak pernah membicarakan soal ini dan aku pun takkan
mengungkitnya. Urusan perjodohan biarlah nasib yang
menentukan, kau meluluskan atau menolak pinangan
keluarga Tiok, terserah padamu sendiri. Hanya pesanku,
kikislah pikiran hendak mencelakai orang!"
Kering sekali nada Nyo Ceng ketika menyahut, "Kau
mandah menerima hinaan Tiok-toako, aku pun tak mau
memaksamu. Baiklah, kau mengusir aku tentu aku akan
pergi, hanya kuharap jangan kau menyesal di belakang
hari." Habis itu Nyo Ceng segera hendak angkat kaki, tetapi
tiba-tiba Siangkoan Thay mencegahnya, "Tunggu!"
Mengira orang berbalik pikiran, tertawalah Nyo Ceng,
"Apakah kau sudah berpikir jelas" Bagaimana, apakah
kita berunding lagi?"
Wajah Siangkoan Thay mengerut gelap dan mata
menatap tajam kepada Nyo Ceng, kemudian berkata
dengan perlahan-lahan, "Jika hanya urusan anak-anak
saja, janganlah kau turunkan tangan jahat . kepada Tioktoako,
kau sudah mengetahui rahasia keluarga Tiok" Jika
kau hendak mengajak berunding aku, janganlah coba
mengelabui aku!" Kasar sekaligus tabiat Siangkoan Thay, tapi dia sekalikali
bukan orang jahat gila-gilaan, apalagi dia juga sudah
berumur 50-an tahun, pengalamannya cukup banyak.
Maka setelah agak tenang, timbullah segera suatu
kecurigaan terhadap apa yang dikemukakan oleh Nyo
Ceng tadi, apa sebabnya Nyo Ceng begitu membenci
kepada iparnya, seakan-akan kalau dapat hendak
membunuhnya" Teguran Siangkoan Thay membuat wajah Nyo Ceng
berubah, tetapi pada lain kilas ia terdengar tertawa
gelak-gelak, "Siangkoan-heng, pertanyaanmu itu
memberi kesan kapadaku bahwa rupanya kau juga tahu
rahasia Tiok-toako" Siangkoan Thay tahu ia hendak dikorek oleh Nyo
Ceng, pikirnya, "Biarlah kukatakan beberapa bagian,
coba bagaimana reaksinya."
"Kabarnya Tiok-toako hendak mendirikan sebuah
partai baru, apakah kau tak suka menjadi orang
bawahannya?" kata Siangkoan Thay.
"Kau hanya tahu satu tidak tahu dua, bukan terbatas
hanya mendirikan partai saja, ia pun hendak mendirikan
gerakan melawan pemerintah Cing!"
"Oh, jadi Tiok-toako benar-benar mempunyai cita-cita
yang begitu luhur" Sungguh tak kuduga sama
sekali!"sahut Siangkoan Thay.
"Memang benar. Manusia seperti kita yang
mengasingkan diri di pegunungan sunyi, alangkah
bebasnya! Perlu apa harus ikut menceburkan diri dalam
pergolakan air keruh begitu" Tiok-toako harus sadar,
sebenarnya ia pun serupa kita, beberapa generasi tinggal
di gunung terpencil tak mau ikut campur urusan dunia
luar. Kini selagi dia sudah mendekati usia tua, tiba-tiba
timbul semangatnya yang patriotik. Coba pikir, apakah
dia tidak linglung" .... Dia linglung sih tak mengapa, tapi
kita berdua juga tentu akan terembet. Tiok-toako
menganggap sekarang rakyat sudah tergugah pikirannya,
maka sudah saatnya bergerak. Dia sama sekali tak
memikirkan betapa kokoh berakarnya pemerintahan
Ceng yang sudah ratusan tahun ini. Dapatkah kaum
pemberontak melawan kekuatan tentara Ceng yang
besar dan teratur itu" Jika kitajkut padanya, apabila
sampai kalah, bukankah kita akan menerima hukuman
dibasmi seluruh keluarga kita?"
"Oh kiranya begitu, tetapi setiap orang mempunyai
cita-cita sendiri. Kau tidak mau ikut kepadanya, apakah
dia tidak boleh melaksanakan cita-citanya?" bantah
Siangkoan Thay. "Ai, kukira kau tentu paham perangai Tiok-toako, dia
orang yang tak mau mendengar nasehat orang lain.
Sekali dia membuat gerakan, jika kita tak mau ikut,
masakah dia akan membiarkan kita begitu saja"
Dikuatirkan begitu mulut kita mengatakan 'tidak', dia
tentu seeera akan membunuh kita."
"Maka kau lantas mendahului akan melenyapkannya?"
Siangkoan Thay mengomentari dengan nada dingin.
Mendengar nada ucapan Siangkoan Thay yang tak
wajar dan belum tahu bagaimana sebenarnya
pendiriannya itu, berkatalah Nyo Ceng, "Ucapan
Siangkoan-heng terlalu berat, aku sama sekali tidak
punya rencana hendak membunuhnya, hanya saja
hendak berusaha menghindari bencana itu. Jika dia
sampai bertempur dengan Kang Hay-thian, keduanya
tentu sama-sama terluka dan cacad. Pada saat itu baru
dia yang menurut perintahmu, sebaliknya kita tak perlu
mendengar perintahnya. Hehehe, dengan begitu bukan
saja perjodohan anak kita dapat berlangsung, Tiok-toako
pun akan dapat melewatkan sisa hari tuanya dengan
tenang. Bukankah masing-masing pihak akan mendapat
kebaikan?" "Sungguh penyelesaian yang membawa kebaikan
semua pihak! Jadi jelas kau masih memikirkan diri Tioktoako?"
seru Siangkoan Thay. "Tentu, tentu, aku memikirkan dari sudut untung
ruginya. Peribahasa mengatakan, 'Dari dua kecelakaan
kita dapat mengambil keringanan'. Benar Tiok-toako dan
Kang Hay-thian akan mengalami penderitaan bersama,
tapi dengan begitu Tiok-toako dapat terhindar dari
bencana, itu masih patut dilaksanakan! Apalagi kita
berdua juga akan memperoleh manfaatnya."
Tiba-tiba Siangkoan Thay tertawa dingin, "Mungkin
masih ada sebuah keuntungan lagi, rupanya kau masih
belum mengatakan?" Seketika berubahlah wajah Nyo Ceng, serunya,
"Siangkoan-heng, apa maksud ucapanmu?"
Tegas dan tenang Siangkoan Thay bertanya, "Hadiah
apakah yang akan kau peroleh dari pihak kerajaan
sehingga kau begitu bernafsu hendak melenyapkannya?"
Muka Nyo Ceng beringas dan dengan suara
menggeledek ia berseru, "bagaimana kau bisa
mengatakan begitu" Hm, hm, Siangkoan Thay, kau
anggap aku Nyo Ceng ini orang apa?"
Bagaimanapun Siangkoan Thay masih memiliki
kejujuran, melihat sikap orang begitu bersungguhsungguh,
ia bersangsi sendiri, ujarnya, "Kalau tidak,
itulah bagus. Hanya saja, Nyo-heng, janganlah kau salah
mengerti dengan aku, aku hendak mengucapkan barang
separah kata untuk memberi nasehat padamu ..."
Sekonyong-konyong selagi Siangkoan Thay lengah,
Nyo Ceng secepat kilat menjotos dadanya! Kepandaian
orang she Nyo itu memang lebih tinggi dari Siangkoan
Thay, ditambah pula pukulan itu dilancarkan secara tak
terduga-duga, mana Siangkoan Thay dapat menghindar"
Bluk, tinju Nyo Ceng tepat mendarat pada sasarannya,
tetapi anehnya, seketika itu juga Siangkoan Thay merasa
suatu aliran tenaga kuat mendorong tubuhnya sampai
melengkung ke samping, berbareng itu Nyo Ceng pun
merasakan suatu arus tenaga menyambar mukanya.
Kiranya kedua arus tenaga itu berasal dari Kang Haythian
yang secepat kilat melayang turun dari pohon,
segera melancarkan dua buah tamparan, tangan kiri
mendorong Siangkoan Thay, tangan kanan menghantam
Nyo Ceng. Dua gerakan tangan, dua macam tenaga yang
dilancarkan, yang tertuju pada Siangkoan Thay memang
cukup keras sehingga dapat mendorongnya ke samping,
tapi Siangkoan Thay tak terluka, sebaliknya yang
dilancarkan kepada Nyo Ceng merupakan hantaman
maut. Sayang Kang Hay-thian meskipun sebelumnya sudah
menaruh kewaspadaan, tapi sedikitpun ia tak menyangka
bahwa Nyo Ceng akan tega menurunkan tangan jahat
terhadap iparnya sendiri. Dalam hal itu Kang Hay-thian
tidak bersiap-siap, baru setelah Nyo Ceng turun tangan,
ia cepat melompat turun dan menyerang, tetapi sudah
agak terlambat. Kalau Ko-chiu berkelahi, sedetik saja sudah banyak
artinya. Gerakan Kang Hay-thian yang walaupun dilakukan
lebih cepat dari kejapan mata, tapi sudah cukup memberi
kesempatan Nyo Ceng untuk menghindar dari kematian.
Benar dia kalah unggul daripada Kang Hay-thian, tapi dia
pun juga seorang Ko-chiu kelas satu, begitu melihat
berkelebatnya tubuh turun dari pohon, cepat ia sudah
melesat setombak jauhnya sambil mendorongkan kedua
tangannya untuk menolak pukulan Pik-khong-ciang dari
Kang Hay-thian. Karena tubuhnya terdorong ke samping, dada
Siangkoan Thay terhindar dari tinju maut, tapi tak urung
punggungnya termakan juga, tubuhnya berputar sekali,
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"huak", darah menyembur dari mulut dan jatuhlah ia ke
tanah, tetapi ia dapat lolos dari lubang jarum. Coba
dadanya yang kena, jangan harap dia masih bernyawa
lagi. Namun Nyo Ceng pun juga harus merasakan pil pahit,
pukulan Kang Hay-thian mengandung dua macam tenaga
berlapis. Melompat setombak dan menolak dengan kedua
tangan, memang Nyo Ceng dapat menangkis tenaga
pukulan Kang Hay-thian lapis pertama. Baru saja ia
bernapas longgar, tahu-tahu gelombang tenaga lapis
kedua melanda. "Huak", ia pun muntah darah, terus lari
sipat-kuping turun gunung. Untung baginya bisa lolos
dari lubang jarum, coba Kang Hay-thian lebih cepat turun
tangan dan kemudian menolong Siangkoan Thay lebih
dulu, mungkin orang she Nyo itu sudah tak bisa melihat
matahari lagi. Karena tak tahu bagaimana luka Siangkoan Thay,
Kang Hay-thian tak mau mengejar Nyo Ceng, ia
menghampiri Siangkoan Thay untuk memeriksa lukanya.
"Tidak kusangka bangsat itu begitu ganas, sama sekali
tidak menghiraukan ikatan saudara lagi. Kang-tayhiap,
terima kasih atas pertolonganmu menyelamatkan jiwaku.
Sayang aku tak dapat membalas budi!" Siangkoan Thay
tertawa getir. Waktu meraba dadanya, tahulah Kang Hay-thian kalau
orang she Siangkoan Thay itu tak begitu parah lukanya.
Ia merasa lega, ujarnya, "Dia pun cukup menderita
dengan sebuah pukulanku tadi, paling sedikit dia harus
beristirahat sebulan lamanya."
Siangkoan Thay mengusap darah di ujung mulutnya,
lalu menelan sebutir pil, katanya, "Kang-tayhiap, aku
hendak memohon suatu hal padamu."
"Silakan Cianpwe mengatakan."
"Walaupun bangsat she Nyo itu menderita luka, tapi
dia sudah lari. Kejadian tadi harap Kang-tayhiap jangan
menyebarkan kepada siapa pun."
Kang Hay-thian tahu Siangkoan Thay tak menghendaki
putrinya tahu hal itu sehingga akan menderita batin. Di
samping itu mungkin dia masih mengharap Nyo Ceng
bisa sadar akan kesalahannya. Jika disebarkan keluar,
apalagi kalau sampai terdengar oleh Tiok-toako, tentu
habislah riwayat Nyo Ceng.
Sebagai orang yang lapang dada, Kang Hay-thian pun
segera mengiakan, "Tak nanti aku membuat Cianpwe
mendapat kesukaran, tetapi aku pun hendak mohon
sebuah permintaan, hendak menanyakan
"Bukanlah tentang diri iparku Tiok-toako itu?" tukas
Siangkoan Thay. "Benar, terus terang dengan orang gagah yang
bercita-cita menentang pemerintah Cing, aku banyak
kenal. Karena Tiok-locianpwe itu juga mengandung citacita
begitu, sungguh sehaluan. Aku bermaksud hendak
mengunjunginya." Siangkoan Thay merenung beberapa jenak, ujarnya,
"Walaupun mempunyai cita-cita begitu, tapi tak secepat
itu Tiok-toako akan bergerak, kulihat paling cepat setelah
dia nanti berhasil mendirikan sebuah partai. Watak Tioktoako
itu aneh, apa yang direncanakan tak boleh
diketahui orang, kecuali kalau dia sudah sehati dengan
kau, tentu dia akan memberitahukan sendiri, maka
kurasa lebih baik Kang-tayhiap jangan terburu-buru
mengunjunginya dulu, biarlah tunggu saja dia nanti
menemuimu." Karena dalam ucapan orang bernada kuatir, terpaksa
Kang Hay-thian tak mau mendesak, tetapi ia tetap
memikirkan keselamatan Li Kong-he, ujarnya, "Baiklah
kalau begitu, tetapi muridku berada di rumah keluarga
Tiok, karena Nyo Ceng mengandung maksud hendak
mencelakainya, tak boleh tidak harus dijaga."
"Ini mudah dikerjakan, akan kusuruh orang
memberitahukan kepada Tiok-toako agar dia suka
menjaga anak itu baik-baik. Nyo Ceng sudah terluka,
rasanya tak mungkin mendahului tindakanku itu. Dan lagi
kuduga dia tentu tak berani datang ke rumah Tiok-toako
lagi." Mendengar kata-kata orang beralasan, Kang Hay-thian
pun menurut, ia percaya Kong-he tentu takkan kena apaapa.
Dan kini karena partai Bin-san-pay memerlukan
tenaganya, dia pun harus lekas pulang membantu
istrinya. Untuk sementara waktu, biarlah ia tunda dulu
mengambil Kong-he. Setelah minum pil, tenaga Siangkoan Thay pun mulai
pulih. Sambil memandang langit, ia tertawa, "Hari segera
akan terang tanah, mari kita kembali. Jika Wan-ji sampai
tahu, orang di rumah tentu akan kaget!"
Kang Hay-thian hendak memayangnya, tapi karena
dilihatnya tuan rumah sudah dapat berjalan sendiri,
bahkan sudah dapat berlari cepat, diam-diam dia merasa
kagum juga. Setiba di rumah mereka masuk kamar
masing-masing, tetapi alangkah terkejut Kang Hay-thian
ketika masuk kamar, ternyata Lim To-kan sudah tidak
ada di pembaringannya. Buru-buru ia keluar mencari,
baru tiba di belakang taman, ia melihat sesosok
bayangan mendatangi. Setelah menenangkan keguncangan hatinya, barulah
Kang Hay-thian tahu bahwa yang datang itu Tiong Tiangthong.
Lekas ia gunakan Lwekang Thoan-tun-coan-im
untuk menyusupkan kata pengenal diri, barulah Tiong
Tiang-thong lega. "Apa yang telah terjadi?" tanya ketua Kay-pang itu.
"Tak ada apa-apa. Hanya Siangkoan-siancu telah
menggebah pergi orang she Nyo itu. Nanti setelah
meninggalkan tempat ini baru kita bicara lagi. Mana Kanji,
apakah kau melihatnya?"
"Kang-ji dengan teman kecilnya bersembunyi di bawah
gunung-gunungan palsu, rupanya kedua bocah itu sudah
saling mencocoki." jawab Tiong Tiang-thong.
"Sahabatnya yang mana?" Kang Hay-thian heran, tapi
pada lain saat ia tersadar, serunya pula, "Apakah putri
Siangkoan Thay itu?"
Tiong Tiang-thong mengiakan
Kiranya tadi To-kan terbangun, dia kaget karena tak
nampak Suhunya, lalu dia keluar dan kebetulan bertemu
dengan Siangkoan Wan yang juga sedang mencari
ayahnya, mereka bertemu di belakang kebun.
"Mereka tentu hendak merundingkan sesuatu yang tak
boleh kita dengar. Karena sudah telanjur bangun, mari
kita tunggu mereka di kebun ini," kata Siangkoan Wan.
Ia lebih tua tiga tahun dari To-kan, ia anggap dirinya
lebih tahu urusan orang besar.
Walaupun Lim To-kan lebih kecil, tapi dia menang
pengalaman, dia menduga tentu ada sesuatu yang tidak
sewajarnya, namun ia yakin akan kepandaian Suhunya.
Ia mempunyai kesan baik terhadap si dara, maka maulah
dia menemaninya. Karena baru berumur 12 - 13 tahun,
To-kan tak punya perasaan apa-apa terhadap lain kaum.
Waktu To-kan keluar, Tiong Tiang-thong
mengetahuinya, ia segera mengikutinya. Dia tak
menguatirkan Kang Hay-thian, tapi memikirkan diri anak
itu. Diam-diam ia melindungi dari tempat yang tak
kelihatan. "Sayang kau hanya tinggal sampai besok pagi saja, tak
dapat menemani aku bermain beberapa hari lagi. Baik,
besok pagi tentu akan kuajak kau bermain-main sampai
puas. Di gunung banyak sekali bunga-bunga yang indah,
akan kuajak kau memetik bunga, akan kurangkai bunga
untukmu." Karena pembicaraan mereka hanya berkisar pada soal
main-main saja, diam-diam geli juga Tiong Tiang-thong,
pikirnya, "Dara itu tak mempunyai kawan sebaya, Nyo
Hoan mungkin hanya setahun sekali datang kemari,
maka dara itu menjadi kesepian."
Mendengar Tiong Tiang-thong menyebut nama Nyo
Hoan dan anaknya, resahlah hati Kang Hay-thian,
pikirnya, "Dara ini jujur dan lincah, jauh lebih
menyenangkan dari Nyo Hoan. Sayang dalam hatinya
yang tengah mekar itu hanya tergores bayangan Nyo
Hoan seorang." To-kan dan Siangkoan Wan sibuk berbicara. Kata Tokan,
"Baik, kau buatkan aku rangkaian bunga, aku akan
tangkapkan burung untukmu. Aku gemar sekali
memanjat pohon, belakangan ini aku telah belajar ilmu
Sip-hun-poh, dibuat memanjat pohon, sungguh tepat
sekali. Hm, Sip-hun-poh itu tak perlu menggunakan
tangan memegang dahan pohon, cukup berjalan
sepanjang batangnya saja."
"Kalau begitu bukan disebut 'panjat pohon'!" sela si
dara. "Mengapa tidak" Ilmu Ginkang ini memang hebat
sekali!" "Tanpa memegang dahan, mana kau bisa berdiri tegak
di atas batang pohon?"
"Kau tak tercaya" Baik, besok akan kutunjukkan
untukmu." Siangkoan Wan ingin bisa juga, ujarnya, "Ah, kau
sungguh beruntung punya Suhu yang begitu sakti
sehingga dapat mempelajari Ginkang begitu hebat."
"Sip-hun-poh masih belum apa-apa, ada lagi yang
lebih sakti ialah Thian-lo-poh. Kalau sudah menguasai
ilmu Ginkang itu, musuh yang lebih tangguh tak akan
mampu memukulmu, tetapi ilmu itu hanya digunakan di
tempat datar." "Benarkah?" Si dara meneeas. Ia keiut-keiut girang
mendengar cerita To-kan. Kang Hay-thian geli dalam hati, "Baru belajar
beberapa macam kepandaian saja, anak itu sudah
membanggakan pada orang. Tetapi rupanya dia juga
hati-hati, tak memberitahukan rahasia ilmu itu kepada
orang luar." "Tempo hari sebenarnya Suhuku hendak memberi
pelajaran beberapa kepandaian padamu dan Nyo Hoan,
sayang kalian tak mau," kata To-kan.
Jawab Siangkoan Wan, "Itulah karena adik misanku
Nyo Hoan yang tinggi hati, sebenarnya aku sudah
mengetahui kalau Suhumu bukan orang sembarangan."
Habis itu, pembicaraan mereka tak terdengar. Lewat
beberapa saat lagi, barulah terdengar Siangkoan Wan
tertawa mengikik, disusul dengan tawa To-kan, tetapi
nada tawa To-kan agak dipaksakan karena untuk
menemani si dara saja. Kang Hay-thian heran, pikirnya, "Eh ... apakah mereka
berdua membisikkan kata-kata rahasia?" Kalau tak
berbisik ke dekat telinga, ia tentu dapat menangkap
pembicaraan meraka. Tiba-tiba terdengar teriakan Siangkoan Thay
memanggil, "Wan-ji, Wan-ji!" Rupanya ia juga mencari
dara itu. "Yah, aku ke sini untuk adik Lim," sahut Siangkoan
Wan, yang muncul dari balik gunung-gunungan.
Siangkoan Thay tertegun, tegurnya, "Mengapa tengah
malam buta begini kalian bersembunyi di sini?"
"Kami keluar mencarimu, bukankah kau pergi keluar
bersama Kang-tayhiap?" kata Siangkoan Wan.
Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Budak cerdik,
dapat menerka jitu. Benar, memang aku bersama Kangtayhiap
mengantar pamanmu pulang."
Siangkoan Wan terkesiap, "Mengapa tengah malam
dia pulang" Ada urusan apa?"
"Tidak apa-apa. Watak pamanmu itu memang selalu
ingin buru-buru, tiba-tiba ia menguatirkan adikmu yang
di rumah seorang diri akan terjadi apa-apa, maka ia
lantas pulang." "Masakah perlu pada tengah malam!" bantah
Siangkoan Wan. "Ya, memang telah kukatakan begitu
kepadanya, tetapi begitulah adat pamanmu. Teringat
apa, terus saja dikerjakan, dia pergi mencari putranya
yang sudah lama tidak pulang, kalau dia memaksa
hendak pulang, aku pun tak dapat menahannya lagi."
Beberapa handai taulan Siangkoan Thay memang
beradat aneh, bilang pergi terus pergi, bilang pulang
terus pulang. Siangkoan Wan sejak kecil sudah biasa
dengan kelakuan mereka, maka ia pun tak curiga akan
pulangnya sang paman di tengah malam itu, ia hanya
bertanya bilakah pamannya itu akan datang lagi"
Siangkoan Thay tertawa, "Kau juga terkenang akan
adik misanmu itu, bukan" Pamanmu mengatakan, tak
lama dia akan datang kemari." Berdusta kepada sang
putri, sebenarnya hati Siangkoan Thay tak enak, tapi
demi menjaga jangan sampai sang putri mengalami
derita batin, ia terpaksa berbuat begitu.
Dalam pada itu dengan bisik-bisik Kang Hay-thian
mengajak Tiong Tiang-thong kembali ke dalam kamar,
Siangkoan Thay pun tak mau membicarakan diri Nyo
Ceng dan putranya lagi. Ia mengalihkan pembicaraan,
"Rupanya kau gembira benar bermain dengan adik Lim,
kalian tertawa, bisik-bisik, apa saja yang dibicarakan?"
Siangkoan Wan tertawa, "Adik Lim hendak mengajar
aku panjat pohon dan aku berjanji hendak membuatkan
rangkaian bunga untuknya. Ilmu Ginkang yang baru saja
dipelajarinya dari Kang-tayhiap, tanpa berpegangan
dahan dapat berjalan di atas pohon. Aneh tidak, ayah?"
"Bagus, kalau begitu kalian harus lekas masuk tidur
lagi supaya besok pagi tidak mengantuk!" Siangkoan
Thay tertawa. Tak lama setelah Kang Hay-thian pura-pura tak tahu,
tanyanya, "Kemana saja kau tadi?"
"Keluar mencari Suhu dan kebetulan berjumpa dengan
nona Siangkoan. Suhu, aku
"Kenapa" Bilanglah!" tukas Kang Hay-thian.
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan urusanku, hanya nona Siangkoan hendak
mohon sebuah permintaan padamu, tapi dia takut bilang
sendiri." "Tentang urusan apa?" Kang Hay-thian tersenyum.
"Dia hendak minta kau mengajarkan semacam ilmu
kepandaian kepadanya."
"Sebenarnya aku sudah meluluskan untuk memberinya
pelajaran, mengapa tak berani bilang padaku?"
"Yang ingin ia pelajari ialah sebuah kepandaian
istimewa, bukannya menurut apa yang Suhu hendak
ajarkan padanya." "Ilmu apa yang hendak dimintanya itu?" Kang Haythian
heran. "Dia hendak belajar ilmu kepandaian yang dapat
mengalahkan Nyo Hoan, ia bilang Suhu sudah pernah
berkelahi dengan ayah Nyo Hoan, tentu mengerti
keunggulan kepandaian keluarga Nyo, maka ia hendak
belajar ilmu kepandaian yang dapat mematahkan
kepandaian keluarga Nyo itu!"
"Sebab apa dia ingin belajar ilmu silat yang dapat
mengalahkan Nyo Hoan?" tanya Hay-thian dengan rada
heran. "Supaya Nyo Hoan mau tunduk padanya," sahut Tokan.
"Tampaknya dia sangat baik kepada Nyo Hoan,
sebaliknya Nyo Hoan suka menang-menangan."
"Apakah begitu katanya" Dia suka Nyo Hoan, tentu
aku menjadi tidak tenang," ujar Hay-thian dengan
tertawa. Meski masih kecil, To-kan merasa sang guru sedang
mengolok-' olok padanya, dengan kikuk ia berkata, "Aku
sih tak pusing, cuma anak she Nyo itu terlalu tengik
tingkah-lakunya, aku memang agak muak padanya."
Diam-diam Hay-thian tahu To-kan agak cocok dengan
Siangkoan Wan, cuma sayang To-kan lebih muda tiga
tahun, kalau tidak, tentulah mereka akan merupakan dua
sejoli yang setimpal. "Suhu, engkau suka mengajar dia atau tidak?"
demikian To-kan mendesak pula. "Apalagi engkau
memang sudah berjanji akan mengajarkan sesuatu
padanya" Cuma dia minta Suhu suka merahasiakan hal
ini agar tidak diketahui oleh ayahnya?"
"Dara cilik ini benar-benar nakal," kata Hay-thian
dengan tertawa. "Lebih baik kau tetap bermain dengan
dia dan kau nanti yang mengajarkan padanya."
"Cara bagaimana aku mengajar dia?" tanya To-kan
dengan heran. "Setelah aku mengajarkan kau, tentu kau dapat
mengajarkan pula padanya," kata Hay-thian. "Kau sudah
mahir Liap-in-poh dan Thian-lo-poh-hoat, masih ada lagi
semacam kepandaian It-ci-sian-kang (ilmu tenaga jari),
akan kuajarkan rumus rahasianya padamu, kemudian
boleh kau ajarkan kepadanya, biar dia melatihnya sendiri
kelak. Dia punya dasar Lwekang yang kuat, sekali tahu
rumus rahasianya tentu akan cepat memahaminya.
Dengan tiga macam kepandaian ini rasanya sudah lebih
dari cukup untuk mengalahkan Nyo Hoan."
To-kan menjadi girang, katanya, "Hah, memangnya
dia sangat mengagumi kedua macam ilmu langkah itu,
sekarang Suhu mengizinkan aku mengajarkan padanya,
tentu dia akan sangat senang."
Begitulah Kang Hay-thian lantas mengajarkan It-cisiankang kepada To-kan. Ilmu itu memang sangat
hebat, tapi rumusnya cukup sederhana, tidak seberapa
lama To-kan sudah dapat mengingatnya dengan baik.
Besok paginya, sesudah sarapan pagi Siangkoan Thay
lantas mengumpulkan segenap kerabatnya untuk
mencarikan rumput obat bagi keperluan Tiong Tiangthong
seperti yang dijanjikan kemarin. Merasa berterima
kasih, Tiang-thong dan Hay-thian ikut keluar bersama
tuan rumah, sedangkan To-kan pagi-pagi sekali sudah
pergi bermain bersama Siangkoan Wan.
Rupanya sudah puluhan tahun Siangkoan Thay tidak
berkecimpung di dunia Kangouw, maka ia asyik sekali
berbicara dengan Tiong Tiang-thong tentang kejadiankejadian
di Kangouw yang menarik. Ia pun banyak
bertukar pikiran tentang ilmu silat dengan Kang Haythian,
cuma kalau pembicaraan menyinggung tentang
sumber ilmu silatnya serta asal-usulnya, maka segera ia
membelokkan pokok pembicaraan, lebih-lebih tentang
kakak-iparnya yang she Tiok itu, sedikitpun dia tidak mau
menyebutnya. Sampai petang bahan obat-obatan yang dikumpulkan
sudah cukup banyak. Tiang-thong mengucapkan terima
kasih kepada Siangkoan Thay, beramai-ramai rombongan
mereka lantas pulang. Setiba di rumah, segera Siongkwan Thay menanyakan
putrinya yang tidak nampak memapaknya itu. Selagi dia
hendak menyuruh mencarinya, tiba-tiba terdengar suara
seruan Siangkoan Wan dari luar, "Ayah, anak sudah
pulang!" Menyusul muncullah anak dara itu bergandengan
tangan dengan Lim To-kan, tertampak leher To-kan
berkalungkan karangan bunga, kedua tangan Siangkoan
Wan membawa dua ekor burung kecil berbulu indah.
"Kemana saja anak kecil bermain sampai sehari
suntuk?" tegur Siangkoan Thay.
"Aku dan adik Lim pergi menangkap burung. Lihatlah
ayah, elok benar kedua ekor burung ini!" sahut
Siangkoan Wan. Diam-diam Kang Hay-thian menduga pastilah kedua
bocah itu telah pergi saling belajar kepandaian yang baru
saja diajarkan, burung-burung itu tentulah hasil ujian
kepandaian mereka yang baru itu. Tampaknya dalam
waktu singkat ilmu It-ci-sian-kang itu pasti dapat
diyakinkannya dengan sempurna.
Begitulah semalaman tiada terjadi apa-apa. Besoknya
Kang Hay-thian dan tokoh-tokoh Kay-pang itu lantas
mohon diri. Dengan rasa berat Siangkoan Thay dan
putrinya mengantar sampai di bawah gunung barulah
berpisah. Di tengah jalan Tiong Tiang-thong telah berkata, "Kali
ini kita malah menambah seorang sahabat baik bagi Tokan.
Lihatlah betapa akrabnya dia bergaul dengan anak
dara itu, sayang kalian masih terlalu kecil."
"Tapi engkau juga mendapatkan seorang kawan baik,
Tiong-kongkong," sahut To-kan. "Kemarin dulu kalian
bertempur mati-matian, tapi tadi kalian berpisah dengan
berat sekali." "Sobatku dan sobatmu kan lain," ujar Tiang-thong
dengan tertawa. "Tapi kau pun benar. Biarpun tingkahlaku
Siangkoan Thay rada aneh, namun wataknya cocok
juga dengan aku. Kalau dibandingkan Nyo Ceng, terang
Siangkoan Thay jauh lebih baik. Eh, bicara tentang Nyo
Ceng, aku ingin tanya padamu, apa yang telah terjadi
kemarin malam sehingga dia dienyahkan oleh Siangkoan
Thay?" "Ya, sekarang bolehkah kuceritakan," ujar Hay-thian,
lalu ia pun menguraikan apa yang dialaminya kemarin
malam. "Ternyata tidak meleset dari dugaanku, terang Nyo
Ceng itu telah berkomplot dengan pihak kerajaan," kata
Tiang-thong. "Sayang pukulanmu itu kurang keras."
Mendengar percakapan itu, diam-diam To-kan juga
merasa penasaran bagi Siangkoan Wan jika anak dara itu
sampai terpengaruh oleh pemuda dari keluarga tak
senonoh itu. Dalam pada itu Kang Hay-thian telah berkata,
"Sekarang telah diketahui dengan pasti anak Li Bun-sing
berada di rumah keluarga Tiok. Kabarnya iparnya she
Tiok itu juga ingin bergerak melawan kerajaan, tapi
entah mengapa dia tidak mau berhubungan dengan
orang-orang Kangouw. Kay-pang kalian biasanya sangat
tajam mata telinganya, bolehlah kalian coba
menyelidikinya." "Baik, tentu akan kuperhatikan," kata Tiang-thong.
"Sekarang kerajaan sedang mengincar Kay-pang dan Binsanpay, aku harus lekas pulang untuk mengatur
penjagaan, juga perlu mengolah obat-obat luka yang
diminta pasukan pergerakan itu. Bila urusanku sudah
agak longgar, tentu aku akan datang ke Bin-san untuk
menemui kau." Begitulah mereka lantas berpisah, yang satu menuju
ke selatan, yang lain berangkat ke utara.
Sudah ada setengah tahun Kang Hay-thian
meninggalkan rumah, tentang Li Kong-he sudah
diperoleh berita yang pasti.
Sekarang yang masih dikuatirkan olehnya adalah Yap
Leng-hong saja, ia tidak tahu bahwa saat itu dengan
selamat Yap-Leng-hong sudah pulang sampai di rumah.
Hari itu setelah melepaskan diri dari pemerasan Hong
Jong-liong, dengan cepat Leng-hong langsung kembali ke
Tong-peng-koan, walau dia sudah terlepas dari ancaman
Hong Jong-liong, tapi bayangan gelap yang ditanamkan
Hong Jong-liong dalam benaknya sukar dilenyapkan.
Pengalaman malam itu seakan impian buruk yang
mengerikan dan tak terlupakan.
Hong Jong-liong adalah jago pengawal gubernur Siamsay,
yaitu ayah Leng-hong, tapi tugas yang sebenarnya
adalah mata-mata yang dikirim kerajaan untuk
mengawasi ayahnya. Maka tidak heran Hong Jong-liong
cukup mengetahui seluk-beluknya, bahkan sekarang ada
dua kelemahannya yang dipegang oleh Hong Jong-liong,
yaitu pertama, memalsukan diri orang lain dan mengaku
sebagai keponakan Kok Tiong-lian. Kedua, di kala
kepepet dia mengkkhianati kawan sendiri sehingga Utti
Keng yang terluka itu kena ditawan antek-antek kerajaan
dan dia sendiri berhasil menyelamatkan diri.
Karena adanya kelemahan-kelemahan yang dipegang
oleh Hong Jong-liong itu, terpaksa Leng-hong tunduk dan
terima menjadi mata-mata di rumah keluarga Kang serta
setiap saat harus melaporkan gerak-gerik Kang Hay-thian
dengan pemimpin-pemimpin pasukan pergerakan.
Ia tidak ingin berbuat begitu, tapi juga tidak berani
membangkang. Kalau meninggalkan keluarga Kang saja
rasanya berat pula kehilangan sang Sumoay yang cantik
jelita itu, apalagi dia telah ditetapkan sebagai murid ahli
waris Kang Hay-thian. Ia pikir jalan satu-satunya adalah
merebut hati Kang Hiau-hu lebih dulu, jika sudah
menikah, karena beras sudah menjadi nasi, andaikan
urusan akhirnya ketahuan juga masih ada kemungkinan
akan mendapat pengampunan dari Kang Hay-thian.
Begitulah dengan rasa bimbang, akhirnya Leng-hong
sampai juga di rumah. Tiba-tiba terbayang pula olehnya
bayangan pemuda yang beralis tebal dan bermata besar,
yaitu Ubun Hiong. Selama beberapa bulan ini pemuda itu
selalu berdampingan dengan Hiau-hu, jangan-jangan di
antara mereka sudah .... Tapi lantas terpikir lagi olehnya,
"Ah, dalam hal apa anak muda itu mampu menandingi
aku" Bicara tentang kepintaran, tampang muka, ilmu silat
maupun sastra, tiada satu pun yang dia mampu melebihi
aku. Apalagi aku mendapat sokongan ibu guru yang telah
menganggap aku sebagai keponakannya, mustahil citacitaku
takkan terkabul?" Setiba di depan perkampungan kediaman Kang Haythian,
tiba-tiba Leng-hong mendengar di balik semaksemak
pohon sana ada suara mengikik tawa, lalu
terdengar pula suara nyaring seperti benturan dua
batang pedang. Segera Leng-hong kenal suara tertawa
itu adalah suara Kang Hiau-hu. Ia menduga sang
Sumoay mungkin sedang berlatih ilmu pedang dan
mungkin kawan berlatihnya itu adalah Ubun Hiong,
seketika perasaannya menjadi kecut.
Selagi dia hendak turun dari kudanya untuk mengintip,
mendadak Jik-liong-ki, kuda tunggangannya itu telah
meringkik lebih dulu, mungkin binatang itupun
kegirangan karena sudah sampai di rumah.
Rupanya suara ringkik kuda itu telah mengejutkan
Kang Hiau-hu, anak dara itu telah berlari keluar
membelah semak-semak pohon sambil berseru, "He,
seperti suara Jik-liong-ki kita. Aha, kiranya Toasuko
sudah pulang!" Demikian ia lantas memapak maju dan
ketika dilihatnya Yap-Leng-hong cuma sendirian, segera
ia bertanya, "Eh, mengapa Toasuko sendirian saja"
Dimanakah ayah?" "Ceritanya sangat panjang, biarlah kita bicarakan lagi
sesudah menemui bibi lebih dulu," kata Leng-hong.
"Engkau sudah pulang, Toasuko?" demikian Ubun
Hiong ikut menyapa dengan girang menyusul di belakang
Hiau-hu. "Eh, luka Sute sudah sembuh, syukurlah," sahut Lenghong
dengan mengunjuk rasa simpatik. Padahal di dalam
hati ia ingin meremas sang Sute. "Tentu ilmu silat Sute
selama setengah tahun ini sudah banyak maju." Sambil
berkata ia terus mengulurkan tangan untuk menjabat
tangan Ubun Hiong. Sama sekali Ubun Hiong tidak berjaga-jaga, dengan
suka hati ia pun menjabat tangan sang Suheng. Di luar
dugaan mendadak Leng-hong menggenggam sekuatnya
dengan Lwekangnya, Ubun Hiong terkejut dan dengan
sendirinya mengeluarkan tenaga dalam untuk melawan.
Mestinya dasar Lwekang Ubun Hiong lebih kuat daripada
Yap Leng-hong, tapi karena dia baru sembuh dari
lukanya, sebaliknya selama setengah tahun ini Lenghong
telah banyak bertambah kuat, karena itu Ubun
Hiong menjadi lemah malah, ia sampai meringis
menahan sakit. "Wah, hebat benar tenaga Toasuko," kata Ubun Hiong
dengan tersenyum getir sambil memijat-mijat tangannya.
Melihat itu, Hiau-hu mengira Toasuheng sengaja
menguji kekuatan Sutenya, walaupun ia tidak
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyalahkan Leng-hong, tapi ia sangat menaruh
perhatian kepada Ubun Hiong, cepat ia bertanya, "O,
apakah kesakitan" Tidak apa-apa bukan?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Ubun Hiong pura-pura, lalu
tanpa curiga ia mengajak mengobrol lagi kepada Yap
Leng-hong. Sungguh cemburu dan kuatir pula hati Leng-hong
melihat hubungan kedua Sute dan Sumoay yang rapat
itu, diam-diam ia bertekad akan mencari satu akal untuk
memisahkan mereka, namun lahirnya dia tetap tenangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tenang saja, ia minta maaf kepada Ubun Hiong, lalu
bertanya pula keadaan selama berpisah ini.
Belum sempat mereka bicara banyak, tiba-tiba Kok
Tiong-lian sudah muncul, segera ia pun berseru, "Aha,
engkau sudah pulang, Leng-hong" Selama ini aku
merasa kuatir sekali atas keadaan kalian. Dimanakah
pamanmu" Mampir kemana lagi dia?"
Tiong-lian tahu sahabat suaminya sangat banyak dan
mungkin tertahan oleh salah seorang sahabat, lalu Lenghong
disuruh pulang lebih dulu. Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa sang suami akan mengalami suatu
halangan. Diam-diam Leng-hong merasa senang karena sang
bibi sedemikian ramah padanya, seketika besar lagi
hatinya, segera ia menjura dan menjawab, "Titji ingin
minta maaf padamu, bibi. Mungkin paman mengalami
sesuatu kesukaran, tapi kepandaian Titji terlalu rendah
sehingga tidak dapat mencari tahu jejaknya, sebab itulah
buru-buru pulang lebih dulu untuk melapor kepada bibi."
Tiong-lian terkejut, cepat ia bertanya, "He, ada
apakah" Bukankah kau berada bersama pamanmu" Apa
yang sudah terjadi" Marilah masuk ke rumah dulu,
ceritakanlah pengalamanmu selama ini."
"Pengalaman selama setengah tahun sungguh
panjang untuk diceritakan," kata Leng-hong. "Tapi ilmu
silat Suhu teramat sakti, andaikan beliau mengalami
sesuatu juga tidak jadi halangan baginya."
Lalu ia pun menceritakan kejadian Kang Hay-fhian
bertemu Thia Pek-gak dan Ki-lian-sam-siu sehingga
mendapat berita tentang Lim Jing, ketua Thian-li-kau
yang tersohor. Akhirnya Kang Hay-thian seorang diri
berangkat ke Cong-liong-poh di Bici untuk
menyampaikan berita, semuanya ia tuturkan dengan
jelas, lalu ia menghela napas dan berkata, "Demi
mengetahui jago-jago istana hendak menggerebek Lim
Jing di Cong-liong-poh, sedangkan kedua ekor kuda kami
terluka, tanpa pikir Suhu lantas pergi ke Bici untuk
menolong Lim Jing. Suhu menganggap aku tak mampu
mengikuti kecepatan jalannya, maka aku disuruh
menunggu di suatu kota kecil Kiokyau."
"Ya, watak Suhumu memang begitulah, untuk
menolong orang dia selalu ingin cepat-cepat
dilakukannya," sahut Tiong-lian. "Kemudian bagaimana,
dia tidak kembali lagi?"
"Suhu berjanji 10 hari kemudian akan kembali, tapi
sampai hari kesebelas beliau masih belum muncul, pada
malamnya lantas terjadi sesuatu di luar dugaan," tutur
Leng-hong pula. "Apakah kau kepergok antek-antek kerajaan?" tanya
Tiong-lian. "Betul, dugaan bibi benar-benar sangat tepat," sahut
Leng-hong. Padahal Tiong-lian hanya kena separoh saja
dugaannya. Antek-antek kerajaan itu hanya secara
kebetulan memergoki Leng-hong di kala mereka
menguber buronan, yaitu Utti Keng.
Diam-diam Leng-hong merasa waswas, ia pikir
ceritanya harus hati-hati supaya tidak menimbulkan
curiga ibu gurunya, segera ia melanjutkan, "Tapi mereka
bukan antek kerajaan biasa, yang mengepalai mereka
justru adalah wakil komandannya, Ho Lan-bing. Dalam
perlawananku akhirnya aku kena senjata rahasia Ho Lanbing,
berkat Jik-liong-ki aku beruntung selamat. Lihatlah
ini, lukaku masih belum sembuh."
Padahal malam itu meski Leng-hong dua kali diserang
senjata rahasia oleh Ho Lan-bing, tapi berturut-turut dia
diselamatkan oleh Utti Keng dan Hong Jong-liong
sehingga tidak sampai terluka apa-apa, lukanya ini
adalah perbuatannya sendiri yang sengaja dilakukannya.
Dengan kecerdikan Kok Tiong-lian, mestinya tidak
sukar baginya untuk mengetahui luka itu tulen atau
buatan sendiri, tapi dia percaya penuh kepada
'keponakan yang baik' itu, maka dia hanya memandang
sekilas saja, lalu tidak mengusut lebih lanjut. Ia malah
berkata, "Kau ditinggal pergi oleh Suhumu, tentu kau
telah banyak menderita. Untung kau berhasil melarikan
diri." "Tapi Pek-liong-ki telah dirampas oleh mereka," sahut
Leng-hong. "Ah, asal orangnya selamat, apa artinya seekor kuda
saja," ujar Tiong-lian.
"Ya, jangan kuatir Toasuko, biarlah kelak akan kurebut
kembali," Hiau-hu menyela.
"Anak Hu, enak saja kau bicara, apakah kau kira Ho
Lan-bing itu kaum keroco yang mudah dirobohkan?"
omel Tiong-lian tertawa. "Jika begitu, harap ibu lekas mengajarkan semacam
kepandaian lihai padaku untuk mengalahkan orang she
Ho itu," kata Hiau-hu.
"Apakah kau kira ilmu silat yang lihai sedemikian cepat
kau pelajari" Untuk bisa mencapai tingkatan sempurna
juga perlu giat belajar dan makan tempo tertentu," kata
Tiong-lian. "Tapi baiklah, aku tahu maksud baikmu
terhadap Piauko. Biarlah besok juga akan kuajarkan
sejurus ilmu pedang yang dapat kalian mainkan bersama
agar kelak dapat merobohkan tokoh seperti Ho Lan-bing
atau jago silat lainnya."
Mimpi pun Tiong-lian tidak menyangka bahwa Yap
Leng-hong ini adalah keponakannya yang palsu. Dia
memang mempunyai maksud mendekatkan Leng-hong
kepada putrinya, sebab itulah dia sengaja hendak
mengajarkan ilmu pedang yang harus dimainkan mereka
berdua. Sebagai pemuda yang cerdik sudah tentu Lenghong
dapat memahami maksud ibu gurunya.
Segera Leng-hong menghaturkan terima kasih,
katanya pula, "Sebenarnya aku ingin mencari Suhu, tapi
sepanjang jalan kulihat banyak sekali anjing alap-alap
pihak kerajaan berlalu-lalang, kukuatir terjadi apa-apa
atas diriku yang berkepandaian rendah ini sehingga
pulang melapor bibi saja tak dapat, maka buru-buru aku
pulang lebih dulu agar bibi maklum."
"Memangnya waktu yang dijanjikan Suhumu juga
sudah lewat, memang seharusnya kau mesti pulang
melapor padaku," kata Tiong-lian tanpa curiga walaupun
uraian Yap Leng-hong itu banyak dustanya, terutama
mengenai Utti Keng dan Hong Jong-liong.
Sesudah merenung sejenak, kemudian Tiong-lian
berkata pula, "Suhumu pulang terlambat, kukira pasti
terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Dari sini ke Bici
terlalu jauh, andaikan terjadi apa-apa atas dirinya juga
aku tidak keburu menolongnya lagi. Celakanya baru-baru
ini aku menerima kabar pula bahwa pihak kerajaan akan
bertindak terhadap Bin-say-pay. Sebagai ketua Bin-saypay
tidaklah mungkin aku menempuh perjalanan jauh
untuk urusan lain." "Tapi tentang keadaan ayah perlu juga diselidiki," kata
Hiau-hu. Namun Tiong-lian menjawab, "Sepuluh hari lagi adalah
hari Cheng-beng, para kerabat Bin-say-pay akan
berkumpul semua di atas Bin-san untuk membersihkan
makam cikal-bakal kita, yaitu Tok-pi Sin-ni dan Lu Si-nio,
maka paling tidak lima hari sebelumnya kita harus
berangkat dari rumah. Semoga dalam lima hari ini
ayahmu sudah dapat pulang, bila belum pulang, terpaksa
aku tak dapat menunggu lagi. Setiba di Bin-san tentu aku
dapat minta bantuan para kawan Bu-lim untuk mencari
berita tentang ayahmu."
"Selama lima hari ini apakah kita harus tinggal diam
saja, ibu" Tidakkah lebih baik minta kakek mengirim
berita kepada Kay-pang dan minta bantuan Kay-pang
mencari kabar keadaan ayah?" ujah Hiau-hu.
"Boleh juga usulmu ini," sahut Tiong-lian. "Cuma kita
pun kenal watak kakekmu yang kekanak-kanakan itu,
apalagi usianya memang juga sudah lanjut, sebenarnya
tidak enak kalau merisaukan beliau. Tapi apa boleh buat,
dalam keadaan terpaksa mesti membikin capai padanya.
Nah, Hiong-ji, boleh kau pergi mengundang kakek pulang
dulu." Kiranya paling akhir ini Kang Lam mempunyai kenalan
main catur di kota, jika iseng tentu dia ke kota untuk
main catur, terkadang sampai bermalam.
Begitulah sesudah Ubun Hiong berangkat, sorenya Kok
Tiong-lian lantas mengajarkan ilmu pedang kepada Lenghong
dan Hiau-hu sebagaimana dijanjikannya.
Diam-diam Hiau-hu merasa ibunya kurang adil,
mengapa Ji-sukonya tidak disuruh belajar sekalian.
Namun lantas teringat pula olehnya bila perlu kelak toh
dirinya dapat mengajarkan sendiri kepada Ubun Hiong,
rasanya sang ibu juga takkan marah padanya.
Kiranya ilmu pedang itu meliputi 8 x 8 = 64 gerakan,
dimainkan dengan keras dan halus sehingga cocok bagi
permainan ganda campuran. Dasar ilmu silat Yap Lenghong
jauh di bawah Hiau-hu, tapi dia lebih cerdas
sehingga cuma dalam waktu satu-dua jam saja dia sudah
cukup hapal memainkan 64 gerakan ilmu pedang itu.
Tengah mereka asyik berlatih, sekonyong-konyong
ada orang bergelak tertawa dan berseru, "Bagus! Ilmu
pedang bagus. Muridnya juga bagus!"
Waktu mereka menoleh, kiranya Kang Lam sudah
pulang bersama Ubun Hiong.
"He, Jisuko, kami sedang berlatih ilmu pedang baru,
apakah engkau mau ikut belajar?" demikian mendadak
Hiau-hu sengaja berkata demikian di hadapan sang ibu.
Namun Ubun Hiong menjawab, "Tidak, Si-mi-kiamhoat
saja aku belum hapal, mana boleh aku belajar yang
baru lagi, kan tambah tidak keruan nanti."
"Ya, sudahlah, kita belajar lagi lain hari saja," cepat
Leng-hong menyela. "Kakek sudah pulang, biarlah kita
memberi laporan dulu." Habis berkata ia lantas
menyimpan kembali pedangnya dan memberi hormat
kepada Kang Lam. "Sudahlah, tak perlu banyak adat," kata Kang Lam
dengan tertawa. "Tentang pengalamanmu sudah
kudengar dari Hiong-ji, kau tidak perlu mengulangi lagi."
Segera Tiong-lian juga berkata, "Ayah, keadaan Haythian
entah bagaimana, kami ingin mohon engkau
suka..." "Ya, aku sudah tahu, besok juga aku lantas berangkat
ke Tekciu," sela Kang Lam. "Coba kalau bukan urusan ini,
masakah aku mau pulang" Boleh kau tebak dimanakah
Hiong-ji menemukan aku?"
"Bukankah di rumah kawanmu bermain catur itu?"
sahut Tiong-lian. "Tidak, tapi di sebuah rumah minum yang baru saja
dibuka," kata Kang Lam.
Mendengar itu, hati Yap Leng-hong tergetar dan
wajahnya menjadi pucat. Namun orang lain tidak
memperhatikan perubahannya itu, Tiong-lian menyangka
pemuda ini tentu terlalu lelah saja, maka tidak
menanyakannya. Dalam pada itu Hiau-hu telah berkata dengan tertawa,
"Wah, kakek telah mendapat tempat mengobrol yang
baru. Kapan-kapan harap kakek membawa serta aku ke
sana." "Ya, tempat baru itu memang sangat menyenangkan,
araknya bagus, masakannya lezat, pelayanan rapi,
tempatnya sejuk di tepi telaga," demikian kata Kang Lam
yang dasarnya memang ceriwis. "Cuma sayang, besok
juga kakek akan berangkat, entah kapan barulah aku
dapat mengajak kau ke sana."
"Jika besok pagi juga ayah akan berangkat, silakan
mengaso saja dahulu. Aku pun harus menulis sepucuk
surat untuk disampaikan kepada Nyo-thocu," kata Tionglian.
"Apakah kau kuatir mulutku kurang jelas
menyampaikan keinginanmu?" ujar Kang Lam dengan
tertawa, "tapi boleh juga, dengan sepucuk surat akan
kelihatan lebih sopan."
Begitulah, habis makan malam mereka lantas pulang
ke kamar masing-masing. Tapi sepanjang malam Yap
Leng-hong tak bisa pulas, bayangan Hong Jong-liong
seakan-akan iblis yang siap menerkamnya selalu
terkenang olehnya. Teringat olehnya pesan Hong Jongliong
yang terakhir tempo hari tentang pos penghubung
di kemudian hari adalah sebuah rumah minum arak yang
baru dibuka di kota Tong-peng, letak rumah minum itu
adalah di tepi telaga. Setiap pelayan di rumah minum itu
adalah komplotan sendiri, kode penghubungnya adalah
istilah "matahari dan rembulan tak bersinar".
Tadinya demi untuk melepaskan diri dari pemerasan
Hong Jong-liong, maka segalanya Yap Leng-hong
mengiakan saja, ia pikir bila perlu kelak dapat
menghindari apa yang dipaksakan oleh Hong Jong-liong
itu. Siapa duga baru hari pertama pulang. Kang Lam
sudah lantas membenarkan adanya rumah minum yang
ditunjuk itu, keruan hatinya sangat terguncang dan
pikiran pun menjadi kacau.
Padahal dia hanya ada suatu persoalan saja, yaitu
'tunduk kepada perintah Hong Jong-liong atau tidak"'.
Cuma persoalan ini memang menyangkut untung dan
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rugi kehidupannya di masa depan. Kelemahannya telah
dipegang oleh Hong Jong-liong, tapi ia tiada mempunyai
keberanian untuk mengaku terus terang kepada ibu
gurunya. Sebab itulah semalam suntuk ia tidak dapat
pulas dan persoalan itu tetap sukar dipecahkan.
Tanpa terasa fajar sudah menyingsing, ia coba
bersemadi untuk mengumpulkan semangat. Dalam pada
itu terdengarlah suara Kang Hiau-hu dan Ubun Hiong
sedang bicara di luar jendela, cepat Leng-hong memakai
baju dan keluar. Beramai-ramai mereka lantas pergi
mengantar keberangkatan Kang Lam.
Selesai itu, Kok Tiong-lian berkata kepada Leng-hong,
"Sebagai murid pewaris, sebaiknya kau lebih giat
mempelajari ilmu silat perguruan kita. Pertemuan Bin-san
kali ini aku pun bermaksud mengajak kau ke sana untuk
menambah pengalaman. Anak Hu, iringilah latihan
Toasuhengmu agar kau pun dapat lebih maju."
Begitulah seharian mereka bertiga saudara perguruan
lantas berlatih di taman bunga. Meski Hiau-hu merasa
ibunya agak pilih kasih namun ia pun tidak menaruh
curiga bahwa sang Piauko ternyata mempunyai maksud
tertentu terhadap dirinya.
Sebenarnya Hiau-hu tiada mempunyai kesan baik
kepada Leng-hong, tapi juga tidak merasa jemu, sebab
apapun juga pemuda itu adalah Piaukonya. Namun
demikian di kala latihan tampaknya dia lebih akrab dan
lebih rapat bergaul dengan Ubun Hiong.
Sudah tentu Leng-hong merasa iri, namun lahirnya dia
tidak memperlihatkan sesuatu tanda apa-apa. Tapi
hatinya tambah panas ketika malamnya ia melihat Hiauhu
dan Ubun Hiong keluar berjalan-jalan bersama. Ia
merasa serba salah apakah mesti ikut mereka keluar atau
tetap tinggal di dalam rumah saja.
Pada saat itulah tiba-tiba Kok Tiong Lian berkata
padanya, "Tit-ji, kau duduklah di sini, aku ingin bicara
padamu." Leng-hong mengiakan dengan hormat. Lalu dengan
tersenyum Tiong-lian bertanya, "Tampaknya kau
menahan sesuatu dalam perasaanmu" Apakah dapat kau
ceritakan kepada bibimu ini?"
"Tidak ada!" sahut Leng-hong dengan mengelak.
"Kulihat kau agak kesal, apakah barangkali Hiau-hu
telah membikin marah padamu?" tanya Tiong-lian pula.
"Tidak, Piaumoay sangat baik padaku, yang kupikirkan
adalah Suhu saja," sahut Leng-hong.
Tengah bicara, sekonyong-konyong terdengar suara
orang menggedor pintu dengan keras, diam-diam Tionglian
heran, siapakah yang malam-malam kemari.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan
Ubun Hiong, "Perempuan keparat, besar sekali nyalimu,
berani kau datang ke sini!" Menyusul lantas terdengar
suara "sret", mungkin pedangnya sudah mulai
menyerang. Cepat Kok Tiong-lian dan Yap Leng-hong berlari
keluar, maka tertampaklah di pekarangan luar berdiri
seorang wanita berbaju hitam, semula berkerudung kain
sutera, tapi sekarang sudah dibuka sehingga kelihatan
jidatnya dekat pelipis terdapat sejalur luka lecet yang
masih berdarah. Tusukan pedang Ubun Hiong tadi
rupanya menancap di atas batang pohon dan belum lagi
dicabut keluar. Melihat wanita itu, seketika tergetarlah hati Lenghong.
Kiranya dia bukan lain adakan istri Utti Keng, yaitu
Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in.
"Jangan kurang sopan, anak Hiong," cepat Tiong-lian
bersuara. "Apakah yang datang ini..."
"Su-nio, dia adalah perempuan keparat yang melukai
aku dan Sumoay tempo hari itu," seru Ubun Hiong.
Kiranya tentang Kang Hay-thian telah berubah
menjadi kawan dengan Utti Keng suami istri di markas
Kay-pang di Tekciu tempo hari, berita itu sudah diketahui
oleh Kok Tiong-lian melalui orang Kay-pang, cuma Tionglian
belum mengatakan kepada Ubun Hiong, sebab waktu
itu Ubun Hiong masih belum sembuh lukanya.
Ayah Ubun Hiong pada masa hidupnya adalah seorang
Piau-su kenamaan, tapi karena barang kawalannya kena
dirampas oleh Utti Keng, saking dendamnya,
sepulangnya lantas jatuh sakit dan akhirnya meninggal
dunia. Sebab itulah Ubun Hiong memandang Utti Keng
sebagai musim pembunuh ayah, ditambah lagi terluka di
lembah sunyi tempo hari, maka begitu melihat Ki Seng-in
dia lantas menyerang. Akan tetapi Ki Seng-in sempat
menghindar sehingga tusukan Ubun Hiong itu mengenai
batang pohon. Kok Tiong-lian sendiri belum kenal Ki Seng-in, tapi
demi mendengar caci-maki Ubun Hiong tadi, sudah
diduganya siapakah pendatang wanita itu.
Dalam pada itu Ki Seng-in sudah membuka suara, "Ini
tentulah Kang-hujin adanya" Ya, memang kami suamiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
istri pernah melukai putrimu, jika Kang-hujin masih
dendam boleh silakan bunuh saja diriku."
Di sebelah sana Ubun Hiong sudah mencabut
pedangnya dari batang pohon dan siap untuk melabrak
musuh lagi. Kang Hiau-hu juga sudah melolos pedang
dan siap membantu. Tapi Tiong-lian lantas membentak, "Mundur kalian,
jangan kurangajar kepada tetamu! Utti-hujin, harap
maafkan. Entah ada keperluan apakah nyonya
berkunjung kemari?" "Ya, memang ada sedikit keperluan," sahut Ki Seng-in.
"Tapi tampaknya kedatanganku ini kurang tepat
waktunya dan salah sasaran." Kiranya ia menjadi kurang
senang melihat Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu masih
bersikap menantang padanya.
"Ibu, hanya kawan yang datang barulah dapat kita
anggap sebagai tamu!" tiba-tiba Kang Hiau-hu menyela.
Ki Seng-in tertawa dingin, baru saja dia hendak
membuka suara, tiba-tiba Leng-hong tampil ke muka dan
berkata, "Sute dan Sumoay, mungkin kalian belum tahu
bahwa Suhu sudah menjadi kawan Utti-thocu,
persengketaan kecil dahulu sudah dihapuskan. Apalagi
Sumoay mungkin juga belum tahu bahwa ketika di
lembah sunyi tempo hari sebenarnya Utti-hujin tidaklah
sungguh-sungguh hendak melukai kau, k esalah
pahaman tempo hari sudah dibicaranya dengan baik
antara Suhu dan Utti-thocu berdua dan sudah tak
dipikirkan lagi. Kedatangan Utti-hujin sekarang justru
adalah tamu kita, andaikan kita hendak mengundangnya
mungkin malah sukar."
Kiranya Yap Leng-hong sengaja hendak mengambil
hati mereka yang bersangkutan, berbareng juga ingin
menjajaki sikap Ki Seng-in. Satu hal sudah pasti baginya
adalah Ki Seng-in belum mengetahui dia yang membikin
celaka Utti Keng, kalau tahu, mustahil sejak tadi Ki Sengin
tidak mengumbar perasaannya.
Kang Hiau-hu tampak melengak atas ucapan Lenghong
itu, ia pandang sang ibu dengan ragu-ragu.
"Ucapan Suhengmu memang betul, anak Hu," kata
Tiong-lian. "Kau mesti minta maaf kepada Utti-hujin."
Mendengar itu, masih boleh juga bagi Kang Hiau-hu,
sebaliknya Ubun Hiong menjadi serba susah. Dia tak
dapat melawan kehendak perguruan, di lain pihak sakit
hati orang tua juga tak bisa dilupakan olehnya, karena
itu ia menjadi berduka dan bingung.
Dalam pada itu Ki Seng-in telah berkata pula, "Kanghujin,
aku hanya ingin bertemu dengan Kang-tayhiap
untuk bertanya sesuatu padanya, habis itu segera aku
akan pergi!" "Suamiku tiada berada di rumah," sahut Tiong-lian.
"O, jika begitu aku benar-benar datang pada waktu
yang kurang tepat," ujar Ki Seng-in sambil menghela
napas. "Baiklah, biarlah aku mohon diri saja."
Habis berkata segera Ki Seng-in memutar tubuh
hendak berangkat. Namun Kok Tiong-lian lantas berseru, "Nanti dulu,
Utti-hujin! Caramu ini bukankah terlalu memandang
enteng padaku?" Mendadak langkah Ki Seng-in tampak sempoyongan,
ia menoleh dan menjawab, "Ada apa lagi?"
"Biarpun suamiku tidak di rumah, segala apa akulah
yang bertanggung jawab dan akan kulakukan dengan
sekuat tenaga," kata Tiong-lian tegas.
Ki Seng-in merasa kagum atas sikap Kok Tiong-lian
yang tegas itu, lekas ia minta maaf dan berkata, "Ya,
Kang-hujin adalah Ciangbunjin, seorang ksatria kaum
kita, masakah aku berani memandang enteng padamu.
Sebenarnya aku pun tiada urusan yang terlalu penting,
hanya ingin mencari suatu berita kepada Kang-tayhiap."
"Andaikan aku tidak tahu, boleh jadi muridku inipun
tahu, dia baru pulang kemarin dari bepergian bersama
gurunya," kata Tiong-lian.
"O, ketika di Tekciu tempo hari suamiku telah berlaku
kasar padamu, aku harus minta maaf juga kepada
saudara muda ini," kata Seng-in kepada Leng-hong.
Diam-diam hati Leng-hong berdebar-debar. Tapi dari
ucapan Ki Seng-in yang sungguh-sungguh itu ia merasa
nyonya itu tentu belum mengetahui kejadian atas diri
suaminya baru-baru ini. Maka ia berkata, "Aku berpisah dengan Suhu pada
setengah bulan yang lalu. Berita apa yang hendak kau
tanya, bila tahu pasti akan kuceritakan."
"Marilah masuk saja ke dalam rumah, betapapun juga
hari ini Utti-hujin harus tinggal dulu di sini, masakah kau
tidak menganggap kami sebagai sahabat?" ujar Tionglian
dengan tertawa". Kiranya Tiong-lian dapat melihat keadaan Ki Seng-in
yang payah itu, cuma tidak diketahui bagaimana lukanya,
maka dengan tulus hati ia hendak menahannya supaya
bermalam. Sudah tentu Ki Seng-in dapat memahami maksud baik
nyonya rumah itu, pikirnya, "Keadaanku agak payah.
Meski muridnya yang kecil ini masih dendam padaku, tapi
sebagai tamu ibu gurunya rasanya Ubun Hiong inipun tak
berani berbuat sembrono padaku. Dahulu suamiku
secara gagah berani pergi menemui Kang Hay-thian,
masakah sekarang aku malah takut dan menolak maksud
baik nyonya Kang?" Begitulah, maka dengan tertawa ia lantas berkata,
"Sungguh aku sangat berterima kasih atas kesediaan
Kang-hujin menganggap aku sebagai sahabat. Mau tak
mau aku mesti membikin repot padamu."
Yang dipikirkan Ki Seng-in adalah sikap permusuhan
Ubun Hiong, sebaliknya dia lengah terhadap Yap Lenghong.
Padahal meski Ubun Hiong masih dendam
padanya, tapi jiwa pemuda itu sangat jujur, betapapun
juga tidak nanti dia berbuat tidak pantas terhadap tamu
ibu gurunya. Apalagi Ki Seng-in juga bukan musuhnya
yang sejati, cuma dia adalah istri Utti Keng, maka timbul
juga rasa permusuhannya. Sebaliknya diam-diam Yap Leng-hong mengandung
maksud tidak baik padanya, sedikitpun tidak disadari oleh
Ki Seng-in, ia malah berkesan baik padanya karena
dianggapnya sebagai ksatria muda yang luhur budi.
Sesudah masuk ke dalam rumah dan dipersilakan
duduk, lalu Ki Seng-in berkata, "Sesungguhnya
kedatanganku ini adalah ingin mencari kabar tentang diri
suamiku. Pekerjaan suamiku sudah kalian ketahui
sehingga selalu menjadi buronan pihak yang berwajib,
musuhnya juga tidak sedikit, sebab itulah aku agak kuatir
baginya. Tiga bulan yang lalu kami berpisah untuk
melaksanakan pekerjaan masing-masing dan berjanji
akan berkumpul lagi sebulan kemudian, tapi sampai saat
ini dia sama sekali tidak ada kabarnya. Dia pernah
menyatakan hendak berkunjung kepada Kang-tayhiap,
maka hari ini aku sengaja datang kemari untuk mencari
keterangan." "Suamiku sendiri sudah keluar setengah tahun
lamanya dan sampai hari ini juga belum pulang," sahut
Tiong-lian. "Hong-ji, apakah di tengah jalan kalian
pernah bertemu dengan Utti-thocu?"
Leng-hong memang sudah menduga Ki Seng-in pasti
ingin mencari tahu tentang diri suaminya, maka ia sudah
siap sedia, segera ia menjawab dengan sewajarnya,
"Tidak pernah bertemu. Cuma sesudah Suhu berangkat
sendiri, entahlah apakah beliau pernah bertemu dengan
Utti-thocu atau tidak."
"Dengan kepandaian Utti-thocu yang tinggi, rasanya
tidak sampai terjadi apa-apa atas dirinya," ujar Tionglian.
"Ya, kalau kaum keroco biasa saja tentulah suamiku
tidak perlu takut," kata Ki Seng-in. "Tapi setahuku, kali
ini jago-jago kerajaan yang dikerahkan untuk
menangkapnya terdapat seorang yang bernama Ho Lanbing
yang terkenal lihai permainan ruyungnya. Selain itu
kabarnya Ki-lian-sam-siu juga telah menggabungkan diri
pada pihak kerajaan, sedangkan mereka bertiga adalah
musuh kami semua." Ternyata berita yang diterima Ki Seng-in tidaklah
sempurna. Bahwasanya Ho Lan-bing memang telah
muncul di daerah Siamsay dan Kamsiok, tapi yang dituju
adalah Lim Jing yang disinyalir bersembunyi di Bici,
sedangkan Be Seng-liong itu orang ketiga dari Ki-liansamsiu juga sudah mati. Namun demikian
perhitungannya juga tidak meleset seluruhnya, sebab
kemudian Utti Keng memang benar telah ditawan oleh
Ho Lan-bing. Tiba-tiba Hiau-hu menukas, "Kau bilang Ho Lan-bing"
Eh Toasuko, ketika di Kiokyau bukankah kau bilang
pernah bertemu dengan Ho Lan-bing itu?"
Leng-hong tergetar, tapi cepat ia menenangkan diri,
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sahutnya, "Benar, aku memang melihat Ho Lan-bing.
Untung kudaku cepat sehingga selamatlah aku. Tapi aku
tidak melihat Utti-thocu."
"Jika begitu, jelas Ho Lan-bing berada di sekitar sana,"
ujar Ki Seng-in sesudah merenung sejenak. "Boleh jadi
suamiku belum kepergok dengan mereka."
"Menurut kabar yang didengar Suhuku, katanya
rombongan Ho Lan-bing itu hendak menuju ke Bici untuk
menangkap ketua Thian-li-kau."
"Tapi bagaimanapun juga aku tetap kuatir bagi
suamiku, cuma sayang aku tidak dapat segera pergi ke
sana untuk menyelidiki," kata Seng-in.
Diam-diam Leng-hong kuatir. Menurut cerita Utti Keng
tempo hari, katanya dia mempunyai seorang kenalan di
kota Kiokyau. Jika perempuan ini menyelidiki ke sana
tentu akan mendapat tahu tentang tertangkapnya Utti
Keng dan tentu akan terbongkarlah kebohongannya.
Dalam pada itu Kok Tiong-lian telah bertanya, "Maaf,
apakah barangkali Utti-hujin menderita sedikit luka?"
"Terima kasih atas perhatian Kang-hujin," sahut
Seng-in. "Memang sebenarnya di Leng-pik hari ini aku telah
bertemu dengan tiga orang antek kerajaan, aku telah
terluka sedikit, tapi mereka pun sudah kubereskan
semua. Luka ini kukira besok juga sudah dapat sembuh!"
Diam-diam Tiong-lian terkejut. Leng-pik itu ada 200 li
jauhnya, sesudah terluka dia masih berlarian sejauh itu,
pantas tertampak lesu dan lelah seperti terluka dalam.
"Betapapun juga harus diobati untuk menjaga
kemungkinan menjalarnya penyakitmu itu," kata Tionglian.
"Biarlah kubuka resep untuk membelikan obat
bagimu." "Terima kasih, cuma hari sudah malam, biarlah tunggu
sampai besok saja." "Tidak apa-apa, rumah obat di Tong-peng-tin ini
adalah kenalan baik kami, sekarang masih keburu,
biarlah kusuruh muridku pergi membeli obatnya," habis
berkata Tiong-lian lantas memeriksa nadi Ki Seng-in, lalu
membuka resep sambil berpikir siapakah yang harus
disuruh pergi membeli obat di antara kedua muridnya itu.
"Kebaikan Kang-hujin entah cara bagaimana aku harus
membalasnya," ujar Ki Seng-in kemudian. "Sebenarnya
aku pun ingin membeli seekor kuda, sudah malam begini
entah dapat membelinya di kota atau tidak?"
Tiong-lian terdiam sejenak, ia merasa sukar juga
untuk membeli kuda di kota kecil itu, lagi pula sudah
malam. Tiba-tiba Kang Hiau-hu menyela, "Aku punya usul, ibu.
Aku tahu Ong-toasiok (paman Ong) mempunyai seekor
kuda bagus, kedua Suko juga pernah melihat kuda itu,
walaupun tak dapat dibandingkan Pek-liong-ki dan Jikliongki kita, tapi seharian juga dapat lari sampai dua-tiga
ratus li." "Siapakah paman Ong itu?" tanya Seng-in.
"Dia adalah teman main catur ayah, orangnya sangat
baik," sahut Tiong-lian.
"Baiklah, jika dia suka memberikan kudanya, beli saja
berapa pun harganya," kata Seng-in.
Tapi Hiau-hu lantas berkata, "Aku kenal watak paman
Ong, jika bicara tentang harga tentu dia akan menolak
malah. Sudahlah, kau tahu beres saja, tentu paman Ong
akan memberikan kudanya."
"Jika begitu aku sangat berterima kasih," kata Seng-in.
"Selain itu aku minta tolong pula agar di kota nanti
sukalah mencari tahu seorang kawanku. Kami telah
berjanji akan bertemu di Tong-peng-tin, sama sekali aku
tidak menduga akan terluka dan mesti bermalam di sini."
"Di kota hanya ada tiga buah rumah penginapan kecil,
rasanya tidak sukar untuk mencarinya," ujar Tiong-lian.
"Cuma tidak tahu apakah temanmu itu sudah datang
atau belum?" "Kami telah berjanji, bila dia sudah datang, maka di
atas dinding belakang rumah penginapan itu akan diberi
tanda lukisan bunga Bwe yang kecil di tempat yang
kurang menyolok. Asal menemukan tanda gambar itu,
tidak perlu menemui orangnya, cukup aku diberitahu
saja," demikian kata Seng-in.
"Baiklah, untuk urusan demikian perlu seorang yang
sabar dan teliti," kata Tiong-lian. "Anak Hu adalah anak
perempuan, malam-malam begini tentu akan menarik
perhatian orang jika kelihatan berkeliaran di kota, pula
kebanyakan orang sudah kenal kau adalah putri Haythian."
"Jadi aku tidak boleh pergi, ibu" Habis siapa yang
akan membawa kuda paman Ong pulang kemari?" tanya
Hiau-hu. Sejak tadi Leng-hong diam saja, sekarang mendadak
ia berbangkit dan berkata, "Bibi, biarlah aku saja yang
pergi." "Toasuko kan belum kenal paman Ong, pula tidak
kenal rumah obat itu," ujar Hiau-hu.
"Kukira Ubun-sute dapat pergi bersama aku," sahut
Leng-hong dengan tertawa. "Bukankah Sute juga kenal
paman Ong?" "Bagaimana Hiong-ji?" tanya Tiong-lian kepada Ubun
Hiong. "Murid menurut saja terhadap setiap perintah Subo,"
sahut Ubun Hiong. Ia tidak ingin mencari muka kepada Ki
Seng-in, tapi ia pun tidak dapat membantah perintah ibu
gurunya. Maka berkatalah Tiong-lian, "Baiklah, jika begitu
bolehlah kalian berangkat. Pemilik toko obat itu kenal
tulisanku, asal kuberi tanda sedikit coretan tentu dia
akan merahasiakannya bagiku." Habis berkata ia lantas
menyerahkan resep obat kepada Yap Leng-hong.
"Pemilik toko obat itupun kenal engkoh Hiong," ujar
Hiau-hu. "Jika begitu lebih baik lagi," kata Tiong-lian. Walaupun
demikian resep obat itu tetap dia serahkan kepada Lenghong.
Ubun Hiong adalah orang jujur, tapi tidak berarti tolol,
dia dapat merasakan kurang dipercayai ibu gurunya
mengingat sakit hatinya kepada Utti Keng.
Kemudian Tiong-lian menambahkan lagi, "Kepada
paman Ong hendaklah kau katakan kita hanya pinjam
kudanya, Ceng-cong-ma, barang setengah bulan saja,
bila perlu dia dapat memakai Jik-liong-ki kita bila besok
atau lusa kakek sudah pulang."
Dengan pesannya itu secara tidak langsung ia
menyuruh Ubun Hiong yang pergi meminjam kuda dan
membiarkan Yap Leng-hong yang pergi membeli obat.
Walaupun sebenarnya merasa kurang senang cara
pembagian tugas Kok Tiong-lian itu, tapi terpaksa Lenghong
tak berani membantah. Segera ia bersama Ubun
Hiong berangkat ke Tong-peng-tin.
Dengan menggunakan Ginkang, maka dalam waktu
singkat saja perjalanan yang cuma belasan li jauhnya itu
sudah sampai di tempat tujuan. Saat itu belum lewat
tengah malam, akan tetapi Tong-peng-tin adalah satu
kota kecil, bila hari sudah gelap lantas sepi, toko-toko
sudah tutup pintu. Tiba-tiba Leng-hong berkata kepada Ubun Hiong,
"Sute, kau kenal pemilik toko obat, boleh kau pergi beli
obat dulu, kemudian barulah pergi meminjam kuda.
Biarlah aku pergi menyelidiki kawan Ki Seng-in itu."
"Tidak, Suheng, lebih baik Suheng saja yang pergi
membeli obat seperti pesan Subo tadi," jawab Ubun
Hiong. "Bukannya aku malas, sesungguhnya aku harus
menghindari prasangka jelek karena sedikit
percekcokanku dengan suami-istri Ki Seng-in itu. Soal ini
akan kuceritakan besok jika dia sudah pergi."
Karena Ubun Hiong telah bicara terus terang, terpaksa
Leng-hong menurut, katanya, "Jika begitu, sesudah kuda
itu kau pinjam, boleh kau tunggu aku di tepi jalan saja
dan tak perlu masuk kota lagi untuk mencari aku."
Kiranya dia sudah mencari tahu bahwa rumah paman
Ong itu berada dua-tiga li di luar kota.
Ubun Hiong mengiakan, segera pula mereka berpisah
untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
Kiranya Yap Leng-hong sebenarnya sudah merancang
suatu tipu muslihat 'sekali tepuk dua lalat'. Kesempatan
itu mestinya akan digunakan untuk mengganti obat
dengan racun, dengan demikian Ki Seng-in dapat
dibinasakan, sebaliknya yang tersangka adalah Ubun
Hiong. Untuk ini dengan sendirinya yang harus pergi
membeli obat adalah Ubun Hiong, tapi justru Ubun Hiong
telah merasakan kesangsian ibu guru atas dirinya, maka
dia tidak sampai masuk perangkap.
Begitulah sambil memegangi resep obat itu Leng-hong
menjadi bingung malah. Pikirnya, "Subo justru
menyangsikan dia dan percaya padaku, sudah tentu ini
menguntungkan diriku, tapi tipu akalku menjadi sukar
dilaksanakan lagi. Padahal sekarang adalah kesempatan
paling bagus untuk membinasakan Ki Seng-in, bila tidak,
kalau kelak dia mengetahui tentang tertawannya Utti
Keng, tentu pengkhianatan diriku akan terbongkar, tentu
nyonya itu akan mengusutnya dan pasti celakalah aku.
Wah, akal apalagi yang dapat kugunakan dengan
sempurna?" Tengah terbenam dalam lamunannya itu, ketika
mendadak ia mendongak, ia menjadi kaget. Kiranya
tanpa terasa ia telah berada di depan sebuah restoran.
Merek restoran itu tampak tertulis "Thay-pek-lau". Papan
merek itu kelihatan masih baru, terang restoran itu
belum lama mulai berusaha, letak restoran ini di tepi
telaga seperti apa yang diceritakan Kang Lam kemarin,
tentunya adalah restoran yang dimaksudkan Hong Jongliong
sebagai pos penghubung itu.
Di atas loteng restoran itu masih kelihatan cahaya
lampu, lapat-lapat tertampak pula bayangan-bayangan
orang. Seketika Leng-hong gelisah, bayangan Hong
Jong-liong muncul pula dalam benaknya. Sayup-sayup
seperti terdengar suara Hong Jong-liong sedang berbisik
padanya, "Kau ingin membunuh Ki Seng-in, mengapa
tidak masuk ke dalam untuk berunding dengan kawan
kita?" Ya, sekali sudah salah langkah, apa mau dikata lagi"
Demikian pikirnya kemudian. Dan baru dia hendak
melangkah ke dalam restoran itu, tiba-tiba suatu suara
lain seperti sedang menegurnya, "Wahai, Yap Leng-hong,
salah satu kali jangan salah untuk kedua kalinya lagi.
Sekali kau memasuki restoran gelap ini, selama hidupmu
tentu akan terjeblos semakin dalam. Kau sudah
membikin celaka Utti Keng, sekarang kau hendak
meracuni istrinya pula, dimanakah letak hati nuranimu?"
Namun sayang, hati nuraninya cuma timbul sekilas
saja lalu lenyap lagi. Ia sudah mundur dua langkah, tapi
segera maju lagi tiga tindak, katanya di dalam hati,
"Manusia mana di dunia ini yang tidak memikirkan
kepentingan dirinya sendiri" Untuk hari depanku sendiri
aku tidak boleh membiarkan Hong Jong-liong
membongkar rahasiaku, tapi aku pun tak dapat
mengampuni Ki Seng-in!"
Selagi berjangkit pertentangan hatinya antara jahat
dan bajik, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang
melompat tiba, tahu-tahu Leng-hong kena dicengkeram,
sebilah belati sudah mengancam pula di tenggorokannya.
"Keparat, siapa kau" Berani kau mengintai ke sini?"
bentak orang itu. Sebenarnya dengan kepandaian Yap Leng-hong, tidak
sampai dia dikekuk begitu saja oleh lawan, cuma dia
sedang bimbang dan melamun, hakikatnya tiada punya
pikiran buat melawan, sebaliknya demi nampak orang itu
melompat keluar dari restoran itu, tanpa pikir ia terus
berseru dengan suara tertahan, "Matahari dan rembulan
tak bercahaya!" "Aha, kiranya adalah kawan sendiri, marilah masuk!"
kata orang itu dengan tertawa.
Sebenarnya Leng-hong juga bermaksud masuk ke
restoran itu, cuma dia tahu ambang pintu itu adalah
batas antara manusia dan binatang, maka kakinya terasa
berat untuk melangkah ke dalam. Tapi sekarang kena
ditarik oleh orang itu, mirip perahu tanpa kemudi saja
segera ia terhanyut ke tengah-tengah pusaran air dan
tanpa terasa ikut masuk ke dalam.
Kita tinggalkan dulu pertemuan rahasia antara Yap
Leng-hong dengan orang-orang di dalam restoran itu.
Sementara itu Ubun Hiong sudah berhasil meminjam
kuda dari paman Ong dan sedang menunggu di tepi jalan
sana. Sampai sekian lamanya masih tidak nampak bayangan
Yap Leng-hong, diam-diam Ubun Hiong merasa kuatir
apakah terjadi sesuatu" Tengah bersangsi, sekonyongkonyong
terasa berkesiurnya angin seperti ada orang
melayang lewat di sebelahnya.
Ia terkejut. Waktu diperhatikan, ternyata cepat sekali
gerakan orang itu, tahu-tahu hanya setitik bayangan
hitam saja yang masih kelihatan jauh di depan sana,
dalam sekejap saja titik hitam itupun menghilang di
dalam kota. Ubun Hiong menjadi sangsi dan kuatir, jika bayangan
itu adalah musuh, tentu sang Suhengnya bisa celaka
kalau kepergok di tengah jalan. Selagi dia bermaksud
menyusul ke sana, tiba-tiba bayangan itu telah datang
kembali, cuma tidak secepat tadi.
Tapi sesudah dekat barulah Ubun Hiong tahu bukan
orang tadi, serunya girang, "He, Suheng, kiranya kau!"
Leng-hong sampai melengak. "Memangnya kau kira
siapa?" katanya. "Tadi kulihat seorang berlari masuk ke dalam kota,
kukira dia yang telah keluar kembali," tutur Ubun Hiong.
Diam-diam Leng-hong terkejut. "Kenapa aku tidak
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat orang itu?" katanya.
"Jika dia tidak mencari perkara kepada kita, maka kita
pun tak perlu urus dia, marilah kita pulang saja. Apakah
obatnya sudah Suheng belikan?"
"Sudah tentu. Aku telah menggedor toko obat itu
sehingga agak terlambat sedikit."
"Silakan Suheng naik kuda ini dan pulang dulu, biarlah
aku menyusul dengan berjalan saja"
Leng-hong merasa kebetulan malah, maka ia pun
tidak menolak. Segera ia mencemplak ke atas kuda dan
pulang lebih dulu. Walaupun naik kuda, tapi perasaan Leng-hong seperti
naik harimau, rasanya serba susah untuk turun kembali.
Ia pikir urusan dengan Hong Jong-liong sudah telanjur,
apakah akan untung atau akan buntung biarlah terserah
nasib. Cuma bayangan orang tadi entah kawan atau
lawan. Jika mereka adalah kawanan di Thay-pek-lau itu
tidaklah menjadi soal, bila dia adalah teman Ki Seng-in
yang dimaksudkan itu, boleh jadi akan menimbulkan
kesukaran. Untung juga hubunganku dengan Thay-peklau
tidak sampai dilihat olehnya.
Tidak lama, sampailah dia di rumah. Waktu
mendengar suara kuda meringkik, segera Kok Tiong-lian
dan Hiau-hu memapak keluar.
"Dimanakah Sutemu?" tanya Tiong-lian heran.
Leng-hong menyerahkan kudanya kepada Hiau-hu,
jawabnya, "Sute minta aku lekas pulang dulu mengantar
obat, maka aku pun tidak sungkan-sungkan lagi dengan
dia". Sesudah di dalam rumah, Leng-hong menyerahkan
obatnya dan berkata, "Juragan toko obat itu sudah tidur,
terpaksa aku menggedor pintu dan membangunkan dia,
maka agak makan waktu."
"Baiklah, ambilkan anglo kecil dan bantulah
menyalakan api," kata Tiong-lian. "Kita masak obat di
dalam kamar saja supaya dapat menemani Utti-hujin
sekalian." Nyata maksud Kok Tiong-lian adalah untuk
menghilangkan rasa curiga Ki Seng-in. Sebaliknya Lenghong
merasa bersyukur, "Untunglah aku telah mengatur
rencana lain, kalau tidak, tentu tipu muslihatku akan
ketahuan Subo." Kok Tiong-lian memeriksa seperlunya bahan-bahan
obat yang dibeli itu, lalu dimasak dengan ceret kecil.
Pada kesempatan itu Ki Seng-in lantas bertanya, "Yapkongcu,
apakah kau menemukan tanda dari kawanku
itu?" "O, ya, aku sudah memeriksa ketiga rumah
penginapan di sana, tapi tiada menemukan tanda apaapa,"
sahut Leng-hong. "Aneh, mengapa dia belum datang" Biasanya kawan
ini sangat tepat janji," ujar Seng-in. "Biarlah besok juga
aku pergi mencarinya."
Padahal sama sekali Yap Leng-hong tidak pernah pergi
menyelidiki teman Ki Seng-in itu, keterangannya tadi
hanya sengaja dibuat-buat saja. Tapi segera ia
menambahkan, "Eh Utti-hujin, selain itu akan
kuberitahukan pula kejadian ini mestinya Suteku yang
mengalami sehingga aku tidak tahu dengan persis.
Namun bolehlah kuceritakan garis besarnya saja. Ketika
Sute pergi meminjam kuda dan aku membeli obat dan
menyelidiki temanmu, sekeluarnya dari kota, dari jauh
kulihat ada seorang dengan cepat sekali menghilang di
dekat Sute, entah siapa dia. Menurut Sute adalah orang
Kangouw biasa yang berlalu di situ. Apakah tidak
mungkin orang itu adalah teman yang kau maksudkan?"
"Kukira bukan, sebab kelemahan kepandaian temanku
itu justru terletak pada Ginkangnya," sahut Ki Seng-in.
"Sebentar juga Hiong-ji akan pulang, biar kita tanya
dia nanti," sela Kok Tiong-lian. "Obatnya sudah jadi,
silakan Utti-hujin minum obat dulu."
"Sungguh aku sangat berterima kasih atas perhatian
Kang-hujin," kata Ki Seng-in. Segera ia minum habis
semangkuk obat. "Utti-hujin, engkau sudah minum obatnya" Akan
kuambilkan air kumur untukmu," demikian tiba-tiba
terdengar suara Kang Hiau-hu.
"Eh, Sute, kau baru pulang?" tanya Leng-hong.
Kiranya secara diam-diam Ubun Hiong juga ikut di
belakang Hiau-hu. Ubun Hiong merasa kikuk, sahutnya, "Ya, Gingkangku
belum sempurna sehingga tak dapat berjalan cepat,
sampai-sampai Utti-hujin pun sudah selesai minum
obatnya." Padahal bukanlah Ginkangnya kurang tinggi, soalnya
dia baru sembuh dari luka, maka tidak berani terlalu
banyak mengeluarkan tenaga.
Mendadak tampak Ki Seng-in mengerut kening,
keringat berbutir-butir merembes keluar juga dari
dahinya, semua orang terkejut. Tiong-lian mengira
obatnya tidak tepat. Ubun Hiong juga merasa kuatir
dirinya akan disangka jelek bila terjadi apa-apa atas diri
Ki Seng-in. Syukurlah sejenak kemudian Ki Seng-in telah
menghela napas lega, lalu katanya dengan tersenyum,
"O, obat ini benar-benar sangat manjur, sehabis
berkeringat, badanku lantas terasa segar."
"Ai, aku sampai kuatir kalau-kalau obatku tidak betul,"
ujar Tiong-lian dengan rasa lega.
"Ah, Kang-hujin terlalu rendah hati, obatmu justru
sangat tepat, rasanya besok juga aku sudah dapat
berangkat," kata Seng-in sesudah berkumur mulut.
"Anak Hiong, katanya kau telah bertemu seorang
Kangouw di tengah jalan, macam apakah orang itu?"
tanya Tiong-lian. "Gerakan orang itu teramat cepat, sekelebatan saja
sudah lewat di sampingku sehingga murid tidak dapat
melihat jelas," sahut Ubun Hiong.
"Kemudian apakah kau melihat orang yang
mencurigakan lagi?" tanya Tiong-lian.
Diam-diam Ubun Hiong berduka dan mendongkol
karena sang ibu guru ternyata masih tak percaya penuh
padanya. Maka tanpa terasa ia pun menjawab dengan
nada rada keras, "Tidak melihat siapa-siapa lagi, Subo.
Tecu paham akan peraturan perguruan, bila ada apa-apa
tentu Tecu akan memberi laporan sejelasnya."
Tiong-lian menjadi kurang senang, katanya dalam
hati, "Bocah ini benar-benar sembrono, maksudku biar
didengar sendiri oleh Ki Seng-in, tapi dia malah
menyesali diriku." Namun ia pun bukan orang yang tidak
bijaksana, ia kenal watak Ubun Hiong yang tulus lurus,
maka tidak enak lagi menaruh prasangka kepada murid
itu, katanya kemudian, "Beberapa hari terakhir ini
suasana agak genting, kita harus berlaku hati-hati
walaupun tiada terjadi urusan mengenai Utti-hujin ini."
Ubun Hiong juga lantas merasa sikapnya tadi agak
kasar, cepat ia menjawab dengan kepala menunduk, "Ya,
Subo." "Sudahlah, kalian boleh kembali ke kamar masingmasing,
biar Utti-hujin dapat mengaso dengan tenang,"
kata Tiong-lian kemudian.
Memangnya Ubun Hiong tidak ingin tinggal lama-lama
di situ, segera ia memohon diri paling dulu. Hiau-hu juga
lantas mengucapkan selamat malam kepada ibunda dan
tamunya, lalu menyusul keluar untuk menghibur Ubun
Hiong. "Kau pun boleh kembali ke kamarmu, Leng-hong,"
kata Tiong-lian. Leng-hong tertawa, jawabnya, "Sebentar lagi, bibi.
Boleh jadi Piaumoay akan bicara apa-apa kepada Sute,
nanti aku akan menunggu mereka."
"Ah, kau pun terlalu banyak pikiran," ujar Tiong-lian
dengan mengerut kening. Maka Leng-hong tak berani mengadu-biru lagi, ia tahu
ucapannya itu mulai bersarang di dalam hati ibu gurunya,
hal itu berarti maksud tujuannya sudah tercapai.
Sesudah Leng-hong keluar, Ki Seng-in tertawa dan
berkata, "Entah sudah berapa umur putri Kang-hujin
itu?" "Tujuh belas tahun ini," sahut Tiong-lian.
"Ya, sudah mencapai usia remaja yang cukup
membuat pusing orang tua," kata Seng-in. "Kang-hujin,
engkau sungguh sangat baik padaku, kita boleh dikata
sekali bertemu sudah seperti sobat lama. Jika aku ingin
bicara sesuatu, entah engkau suka mendengar atau
tidak?" "Ah, mengapa engkau berkata demikian," sahut Tionglian.
"Silakan bicara saja."
"Melihat gelagatnya, kukira kedua muridmu samasama
menaruh perhatian terhadap putrimu," kata Ki
Seng-in. "Padahal untuk memilih menantu bagi keluarga
kalian, kukira yang utama adalah kepribadian calon
menantu harus baik, asal-usulnya harus jelas. Tentang
ilmu silatnya adalah soal kedua malah."
Hati Tiong-lian tergerak, segera jawabnya, "Mengingat
simpatik Utti-hujin ini, aku pun ada sesuatu pertanyaan
entah boleh kuajukan atau tidak?"
"Perkenalan kita ini sungguh seperti pertemuan
sahabat lama saja, maka aku ingin sekali bicara secara
dari hati ke hati dengan Taci," sahut Seng-in. Dengan
sebutan "Taci", nyata menandakan persahabatan yang
cukup akrab dan tidak perlu bicara secara sungkansungkan
lagi. "Baiklah, jika begitu aku ingin tanya tentang
persengketaan kalian suami-istri dengan muridku yang
kedua ini, tentu Taci sudah kenal juga asal-usulnya?"
Kiranya Tiong-lian yakin Yap Leng-hong adalah
keponakannya, maka tentang asal-usulnya tidak perlu
disangsikan lagi. Sebaliknya terhadap Ubun Hiong dia
masih belum percaya seluruhnya. Memang betul dahulu
Kang Hay-thian pernah kenal ayah Ubun Hiong, yaitu
Ubun Long, ketika mereka bertemu di Cui-in-ceng dan
dikenalnya Ubun Long sebagai murid tertua In Ciau.
Sesudah Ubun Hiong menyerahkan surat tinggalan
ayahnya barulah Hay-thian mengetahui Ubun Long telah
menjadi Piauthau di Hong-lui-piau-kiok dan tentang jatuh
melaratnya berhubung barang kawalannya dirampas oleh
Utti Keng sehingga akhirnya mangkat dengan menahan
dendam. Akan tetapi seluk-beluk tentang keluarga Ubun
Hiong selama belasan tahun terakhir ini kurang jelas bagi
mereka. Sebab itulah Kok Tiong-lian ingin mencari tahu
seluk-beluk tentang ayah Ubun Hiong itu.
Memangnya Ki Seng-in bermaksud menceritakan
persoalan itu, maka ia lantas menjawab, "Ya, suamiku
telah meramapas harta kawalan Hong-lui-piau-kiok,
urusan ini tentu sudah diketahui Taci, tapi apakah
engkau tahu sebab musababnya?"
"Justru ingin minta keterangan padamu," sahut Tionglian.
"Sebenarnya kami tiada permusuhan apa-apa dengan
Ubun Long, perampasan harta kawalan itupun tidak
ditujukan kepadanya. Soalnya juga bukan mengincar
harta kawalannya yang cuma beberapa ratus ribu tahil
perak, sebab harta sekian sesungguhnya tidaklah berarti
bagi kami. Yang menjadi pokok persoalan adalah karena
Hong-lui-piau-kiok telah kemasukan pesero dari kalangan
pembesar, yaitu Li Tay-tian, wakil komandan pasukan
pengawal kotaraja yang sejajar dengan Ho Lan-bing.
Kepandaian Li Tay-tian lebih rendah daripada Ho Lanbing,
tapi Li Tay-tian lebih tamak dan korup."
"O, jadi tujuan Utti-thocu adalah untuk menjatuhkan Li
Tay-tian?" kata Kok Tiong-lian. Akan tetapi diam-diam ia
pun merasa perbuatan Utti Keng itu agak kelewatan,
sebab akibatnya tentu saja membikin susah para
Piauthau dan pegawai-pegawai Piau-kiok, Li Tay-tian
paling banyak hanya kehilangan modal seronya saja.
"Ya, memang kejadian itu hanya terdorong oleh rasa
marah suamiku yang timbul seketika itu, sehabis itu dia
pun merasa menyesal," kata Ki Seng-in lebih jauh.
"Lebih-lebih sesudah diketahui putra Ubun Long telah
menjadi muridmu, kami menjadi lebih-lebih tidak
tenteram. Lantaran itulah maka kami telah meminta
maaf kepada Kang-taythiap ketika beliau berada di
Tekciu." "Sebenarnya kematian Ubun Long tidak dapat
disamakan dengan permusuhan umumnya, apalagi
urusan sudah berlalu, Cici tak perlu memikirkan lagi,"
ujar Tiong-lian. "Walaupun begitu kami tetap merasa menyesal," kata
Seng-in. "Sesudah bertemu dengan Kang-tayhiap di
Tekciu tempo hari, kemudian kami telah membagibagikan
sejumlah 20 laksa tahil perak kepada para
Piauthau dari Hong-lui-piau-kiok dahulu melalui seorang
teman di kota Pakkhia. Hal ini adalah nazar yang pernah
kami janjikan kepada Kang-tayhiap, sekarang sudah kami
selesaikan apa mestinya. Di sini adalah tanda terima dari
teman kami di kotaraja itu, silakan Cici menerima dan
memeriksa adanya." Tiong-lian tercengang, "Maksudmu apakah
"Sekadar pertanggungan jawab kami kepada Kangtayhiap,
pula mohon Cici suka memberi penjelasan
kepada murid kalian," kata Ki Seng-in.
"Tabiat muridku yang kedua ini memang agak keras,
tapi orangnya sih cukup baik dan mau menerima nasehat
orang tua. Biarlah besok akan kubicarakan padanya,
kuyakin dia juga dapat mengerti."
"Aku sih tidak mencurigai muridmu, tapi ada satu hal
yang ingin kuingatkan kepada Cici. Mendiang ayahnya
sangat luas pergaulannya, termasuk golongan orangorang
seperti Li Tay-tian dan lain-lain, bilamana mereka
mengetahui dia adalah muridmu, hendaklah kalian
Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waspada agar pemuda itu tidak diperalat oleh mereka.
Maafkan ucapanku yang terus terang ini."
Padahal ucapan Ki Seng-in terang-terangan menaruh
prasangka terhadap Ubun Hiong. Sama sekali tak
disadari olehnya bahwa orang yang dia maksudkan itu
sebenarnya bukanlah Ubun Hiong, tapi adalah Yap Lenghong.
"Maksud baik Cici ini tentu akan kuperhatikan," sahut
Tiong-lian. "Apakah Cici menganggap tingkah-laku
muridku ini ada sesuatu yang mencurigakan?"
"O, tidak. Jika Cici dapat mempercayai murid sendiri
masakah aku tidak?" sahut Ki Seng-in. "Hanya dari berita
yang kami dengar, kabarnya pihak kerajaan ada rencana
akan bertindak terhadap Bin-san-pay kalian, boleh jadi
orang Kangouw yang dilihat muridmu semalam adalah
mata-mata kerajaan yang sengaja dikirim kemari."
"Ya, memang kami sedang diincar oleh pihak kerajaan,
tapi biasanya kami hidup prihatin, tidak hutang pajak,
tidak melanggar undang-undang, betapapun mereka
tidak berani mengutik kami secara terang-terangan.
Kalau cuma kaum keroco saja, rasanya kami lebih dari
cukup untuk membereskan mereka. Sebaliknya aku
malah kuatir bagi Cici, jangan-jangan yang sedang
mereka incar adalah jejakmu."
"Kawanan anjing yang menguntit diriku sudah
kubereskan kemarin, kukira orang yang dilihat muridmu
itu bukanlah rombongannya. Andaikan cuma seorang dua
orang musuh saja aku pun masih sanggup
membereskannya.?" Kok Tiong-lian tahu Ki Seng-in buru-buru ingin pergi
mencari suaminya, maka ia pun tidak mencegahnya lagi,
katanya, "Jika begitu silakan Cici mengaso saja agar
besok dapat berangkat dengan semangat penuh."
Begitulah mereka berdua lantas tidur sekamar.
Besoknya pagi-pagi sekali Ki Seng-in sudah bangun. Kok
Tiong-lian dapat mendengar suara Ki Seng-in, segera ia
pun terjaga bangun dan bertanya, "Apakah kurang
nyenyak tidur Cici semalam?"
"Ah, obatmu itu sungguh sangat manjur, sekarang aku
sudah sembuh seluruhnya," sahut Ki Seng-in. Ia kuatir
Kok Tiong-lian menahannya untuk tinggal beberapa hari
lagi, maka sengaja dilebih-lebihkan pujiannya. Padahal ia
merasa tenaganya baru pulih tujuh atau delapan bagian.
Namun Tiong-lian percaya saja, katanya, "Jika
demikian aku pun merasa bersyukur bagimu."
"Biarlah sekarang juga aku lantas berangkat,
mumpung pagi-pagi, hawa masih sejuk," kata Ki Seng-in.
Kok Tiong-lian mengantarnya ke kandang kuda untuk
mengambil kuda Ceng-cong-ma pinjaman semalam dari
Ong-toasiok. Tertampaklah Yap Leng-hong sudah
menanti di luar pintu, segera ia menyapa, "Utti-hujin,
apakah engkau akan berangkat sekarang" Sampaikanlah
hormatku kepada Utti-thocu bila sudah bertemu."
"Dimana Sumoaymu" Apakah belum bangun?" tanya
Tiong-lian. "Sudahlah, jangan membuatnya repot lagi. Terima
kasih atas perhatianmu, Yap-kongcu," kata Ki Seng-in.
Lalu Leng-hong berkata pula, "Sebelum tidur semalam
Sute telah memberi makan sekenyangnya kepada kuda
ini, tampaknya semangatnya penuh dan tenaga kuat."
"Jika begitu, pagi ini tak perlu kuberi makan lagi,
terlalu kenyang nanti malah tak bisa lari cepat," ujar Ki
Seng-in. Segera ia pun mencemplak ke atas kuda dan
mengucapkan selamat tinggal. Sekali pecutnya
menyabet, Ceng-cong-ma lantas mencongklang ke depan
secepat angin. Setelah Ki Seng-in pergi, Leng-hong lantas berkata,
"Bibi, sebenarnya Sumoay dan Sute sudah bangun
semua. Mungkin Sute tidak ingin mengantar
keberangkatan Ki Seng-in, maka mereka telah pergi ke
taman untuk berlatih."
Tiong-lian mengerut kening diam-diam ia menduga
tentu Ubun Hiong merasa mendongkol atas kejadian
semalam, maka sengaja menghindari pertemuan lagi.
Anak muda memang sok uring-uringan, sifat jelek ini
kelak harus diperbaiki. Tapi ia pun tidak mau mengomeli
murid kedua di hadapan murid tertua, ia hanya berkata
dengan acuh tak acuh, "O, mereka sedang berlatih" Coba
kau panggil Sutemu ke sini, aku ingin bicara padanya."
Begitulah untuk memenuhi permintaan Ki Seng-in,
maka Kok Tiong-lian hendak berusaha menghapus sakit
hati antara Ubun Hiong dengan Utti Keng suami-istri.
Kembali mengenai Ki Seng-in. Ia telah melarikan
kudanya dengan cepat sekali, akan tetapi aneh, tidak
lama kemudian lari kuda itu mulai lambat, biarpun
dicambuk juga tetap tak bisa lari lebih cepat. Ia menjadi
curiga, teringat olehnya kuda itu adalah Ubun Hiong
yang meminjam dari pemiliknya, yang memberi makan
semalam juga pemuda itu, jangan-jangan pemuda itu
diam-diam telah mengerjai kuda ini, demikian pikirnya.
Waktu itu dia sedang mendaki suatu tanjakan,
sesudah melintasi tanjakan itu akan sampailah di Tongpengtin. Mendadak kuda itu meringkik panjang,
keempat kakinya tertekuk lemas dan jatuh terkulai.
Cepat Ki Seng-in melompat turun, dilihatnya mulut
kuda itu berbusa, napasnya terengah-engah. Sebagai
seorang Kangouw kawakan segera ia mengetahui kuda
itu telah diracun orang. Racun itu bekerja lambat,
sesudah kuda itu berlari, lambat-laun racun lantas
bekerja. Dugaan pertama Ki Seng-in dengan sendirinya jatuh
atas diri Ubun Hiong, pikirnya dengan gusar, "Sungguh
kurangajar sekali bocah itu. Manusia kotor begitu akan
berbahaya jika dibiarkan tinggal di rumah keluarga Kang.
Aku harus kembali ke sana untuk memberitahukan Kanghujin."
Karena kuda itu adalah kuda pinjaman dan tak dapat
ditinggalkan begitu saja, mestinya Ki Seng-in hendak
pulang ke rumah Kang Hay-thian. Tapi pada saat itu juga
lantas terdengar suara orang bergelak tertawa dan
berseru, "Haha, "perempuan keparat, sekarang kau telah
masuk ke dalam jaring, apakah kau dapat merat lagi?"
Habis itu dari balik gundukan tanah sana lantas
melompat keluar tiga orang yang semuanya dikenal oleh
Ki Seng-in. Yang berdiri di tengah jelas adalah Li Tay-tian, wakil
komandan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kotaraja). Yang
berdiri di sisi kiri adalah perwira pasukan pengawal yang
bernama Wi Hwan yang terkenal lihai juga, pangkatnya
lebih rendah satu tingkat daripada Li Tay-tian, tapi ilmu
silatnya malah lebih tinggi. Sedangkan yang berdiri di
sebelah kanan adalah seorang Tosu, semula adalah
ketua Hian-bian-koan di Sohciu, tapi kemudian telah
menjadi anjing pemburu pihak kerajaan, namanya Pektiu
Tojin. Kedua orang ini pernah ikut menggerebek Li
Bun-sing di puncak Thay-san dahulu.
Melihat ketiga musuh ini, seketika Ki Seng-in menjadi
murka. Li Tay-tian memangnya sudah lama dicarinya,
terutama mengenai urusan Hong-Iui-piau-kiok.
Sedangkan Wi Hwan dan Pek-tiu Tojin pernah ikut
mengeroyok Li Bun-sing bersama Hek-bok Hwesio dan
Peng Hong, kedua orang yang belakangan ini terbunuh
oleh Li Bun-sing. Wi Hwan dan Pek-tiu berhasil melarikan
diri dengan membawa luka parah. Tak terduga lukanya
dapat disembuhkan dan sekarang kepergok lagi di sini.
Dengan tertawa dingin Ki Seng-in lantas membentak,
"Bagus! Memangnya aku ingin menuntut balas bagi Li
Bun-sing!" Berbareng kedua tangannya bergerak
sekaligus, dua batang panah, dua bilah pisau, dua buah
paku, serentak disambitkan.
Ki Seng-in berjuluk Jian-jiu-koan-im, Buddha
bertangan seribu, dengan sendirinya kepandaian dalam
hal senjata rahasia bukan main lihainya. Enam buah
senjata rahasia itu sekaligus dihamburkan untuk
mengarah Hiat-to mematikan di tubuh ketiga orang
musuh. Sayangnya tenaga Ki Seng-in belum pulih seluruhnya,
sebaliknya ketiga musuh juga bukan kaum lemah. Sekali
ruyung Wi Hwan berputar, "plok-plok", kedua pisaunya
telah kena disempuk jatuh. Di sebelah sana Pek-tiu Tojin
juga sudah mengayun pedangnya sehingga kedua
batang panah kena ditabas kutung olehnya. Kepandaian
Li Tay-lian agak rendah, sebuah paku kena disampuk
jatuh, tapi paku yang lain menyerempet lewat di
lengannya sehingga terluka lecet sedikit
Dalam pada itu, dengan cepat sekali setelah
menghindarkan serangan senjata rahasia, serentak
ketiga orang itupun sudah menubruk maju sehingga Ki
Seng-in terkepung di tengah.
"Hahaaaah! Kekasihmu yang dahulu sudah mampus,
seharusnya sekarang kau mengikuti suami baru saja
dengan setulus hati. Saat ini suamimu sudah menyerah
pada kerajaan sedang menikmati kehidupan bahagia di
kotaraja, apakah kau tidak ingin bertemu dengan dia!"
demikian Wi Hwan lantas berseru sambil tertawa.
"Ngaco-belo!" damprat Ki Seng-in. Berbareng
pecutnya lantas menyabet.
Wi Hwan bersenjatakan ruyung lemas yang mirip
cambuk, cuma lebih berat dan tidak kurang lemas. Cepat
ia pun mengayun ruyung untuk menangkis. "Prak",
kedua senjata berbentur dan saling membelit, tapi
cambuk Ki Seng-in yang lebih panjang ujungnya tetap
menyabet ke bawah sehingga lengan baju Wi Hwan
terobek sepotong. Dalam pada itu dengan jurus Pek-hong-koan-cit
(pelangi putih menembus cahaya matahari), pedang Pektiu
Tojin telah menyambar tiba.
Tak terduga selain lihai dalam menyambit senjata
rahasia, Ki Seng-in juga lihai dalam permainan pedang
bersama cambuk. Baru saja ujung pedang Pek-tiu Tojin
menyambar sampai di depan dada Ki Seng-in,
sekonyong-konyong pedang Ki Seng-in yang bergerak ke
belakang malah mendahului tiba pada sasaran,
berbareng dengan mengegosnya tubuh, tahu-tahu ujung
pedang Ki Seng-in sudah mengancam muka Pek-tiu Tojin
malah. Keruan Pek-tiu terkejut, cepat ia mengkeret mundur
dan menangkis sebisanya. Pada saat itulah golok Li Taytian
juga telah mengancam punggung Ki Seng-in,
terpaksa Seng-in menarik pedangnya dan menyabet ke
belakang tanpa menoleh. Menghadapi serangan mati-matian begitu, Li Tay-tian
masih sayang akan jiwa sendiri, terpaksa ia tarik kembali
serangannya dan mundur selangkah. Ki Seng-in tertawa
mengejek, berbareng ia memutar balik, ia gunakan
cambuk untuk melawan ruyung dan pedang melawan
pedang, sekaligus ia patahkan pula serangan Wi Hwan
dan Pek-tiu Tojin. Habis itu ia terus menerjang pula ke
arah Li Tay-tian. Sebagai seorang jago silat kelas tinggi, sesudah
bergebrak dua-tiga jurus, segera Ki Seng-in tahu di
antara ketiga lawan hanya kepandaian Li Tay-tian yang
paling lemah, untuk bisa mencapai kemenangan harus
menggempur musuh yang paling lemah itu, segera
pedangnya menusuk pula. Tapi Li Tay-tian juga dapat melihat kelemahan Ki
Seng-in, yaitu dalam hal tenaga. Maka sekuatnya ia
lantas menyampuk dengan maksud membikin senjata Ki
Seng-in tergetar jatuh. Namun Ki Seng-in bukan anak kemarin, secepat kilat
pedangnya berputar ke bawah terus menusuk pula ke
atas dari samping. Kejut Li Tay-tian bukan buatan, lekas
ia miringkan kepala dan menggeser ke samping. Tapi
tidak urung terasalah kepalanya menjadi dingin, pedang
Ki Seng-in menyambar lewat, ternyata kucirnya yang
Pedang Golok Yang Menggetarkan 16 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Panji Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama