Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 2

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


seorang gagah, terkenal sebagai Ketua Hek-i-pang, apakah engkau tidak memiliki keberanian
untuk mem-perebutkan kantung emas ini dengan pinto" Mari kita bertanding satu lawan satu
dan pinto akan menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, pinto akan
menyerahkan sekantung emas ini, sebaliknya kalau engkau yang kalah, engkau harus
melepaskan anak itu. Nah, beranikah engkau menyambut tantanganku!"
Ditantang di depan para anak buahnya seperti itu, tentu saja Lauw Ki Seng sebagai Ketua
Hek-i-pang merasa malu dan tidak enak kalau menolak. Menolak beracti mengaku kalah dan
menyatakan takut, padahal dla pun terkenal sebagai seorang jagoan yang selama beberapa
tahun menjadi Ketua Hek-i-pang belum pernah bertemu tanding. Apalagi tosu itu
menantangnya untuk melawan dengan tangan kosong! Betapa sombongnya! Dan dia memiliki
ilmu pedang yang disebut Liu-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Kilat)!
"Baik, dan engkau tidak akan mampu ingkar janji!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia sudah
menyerang dengan pedangnya. Serangan ini saja sudah menunjukkan bahwa Ketua Hek-ipang itu ada-lah seorang yang licik. Serangan men-dadak tanpa peringatan lagi seperti
layaknya orang yang mengadu ilmu silat. Biasanya dalam suatu pertandingan silat, dia yang
mulal menyerang akan menge-luarkan ucapan yang sifatnya memper-ingatkan dan sebagai
pembukaan serangan. Akan tetapi Lauw Ki Seng langsung menyerang menyambung katakatanya dan serangannya memang dahsyat. Sesuai dengan nama ilmu pedangnya "Sinar Kilat!" pedang itu menyambar dengan cepat sekali sehingga yang nampak hanya si-narnya saja
yang berkilat. Kilat itu me-nyambar ke arah dada Liok-te Lo-mo.
Akan tetapi jauh sebelum Ketua Hek-i-pang itu menyerang, Liok-te Lo-mo su-dah dapat
menduganya dan sejak tadi dia sudah waspada. Maka begitu sinar pedang itu menyambar
dengan tusukan ke arah dadanya, dia dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan dengan
tangan terbuka dia menepiskan pedang itu se-hingga tusukan itu luput. Tangan yang menepis
pedang itu berputar menjadi cengkeraman ke arah pergelangan tangan yang memegang
pedang, sedangkan ta-ngan kiri mencengkeram dari atas ke arah kepala Lauw Ki Seng.
Gerakan ini serba otomatis dan cepatnya bukan main.
Lauw Ki Seng merasa terkejut sekali. Tadi dia menyerang, malah kini berbalik dia
menghadapi serangan pada pergelangan tangan dan kepalanya!
"Heiiit....!" Dia membentak sambil anelompat jauh ke belakang sambil memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya. Kemudian, dia menerjang ke depan lagi dengan penyerangan
yang lebih dahsyat. Kini pedang itu menyambar-nyambar untuk membabat ke arah lawan.
Namun, dengan ringannya tubuh tosu itu bergerak dan berkelebatan di antara sambaran sinar
pedang. Gerakan tosu itu sedemikian cepatnya sehingga betapapun ketua Hek-i-pang itu
mempercepat serangannya, pedangnya tldak pernah dapat menyentuh tubuh tosu itu. Bahkan
tosu itu dapat pula membalas serangan yang tidak kalah hebatnya. Setiap tamparan atau
tendangan tosu itu, kalau mengenai sasaran, tentu akan merobohkan lawan.
Mulailah Ketua Hek-i-pang menjadi terkejut sekali. Pantas saja adiknya tewas di tangan tosu
ini, kiranya memang tosu ini seorang yang amat tangguh. Dia mengeluarkan seruan keras lagi.
"Aaaattt...." Dan tubuhnya merendah, pedangnya menyambar ke arah kedua kaki tosu itu,
Liok-te Lo-mo meloncat ke atas membiarkan pedang lewat di bawah kakinya. Ketika kedua
kakinyaa turun, lawan telah menyerangnya dengantusukan pedang ke arah dadanya. Dia
mengelak ke samping sambil memutar tubuh dan tusukan itu kembali telah mengejarnya
dengan tusukan berikutnya, demikian cepatnya pedang bergerak sehingga tosu itu tidak
sempat lagi nam-paknya untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dia masih memiringkan
tubuhnya dan pedang itu lewat di dekat dada. Liok-te Lo-mo menggerakkan lengannya
menJepit pedang itu di bawah ketiaknya dan tangannya terjulur ke depan seperti seekor ular,
tahu-tahu jari tangannya mencengkeram ke arah tangan Jawan yang memegang pedang!
"Ahhh....!" Lauw Ki Seng terkejutt sekali. Tadi ketika pedangnya terjepit lengan dan dada, dia
sudah girang sekal! karena pedangnya yang tajam tentu dapat, dia gerakan untuk melukai
dada dan lengan itu, akan tetapi tidak disangka-sangkanya tangan lawan telah menyan-cam
tangannya yang memegang pedang. Untuk menolong tangannya, tangan kirinya menangkisan
tetapi pada saat itu, tangan kiri Liok-te Lo-mo telah memukulnya dengan tangan terbuka.
"Desss....!" dorongan tangan kiri itu sempat mengenai dada Lauw Ki Seng. Ketua Hek-i-pang
ini merasa dadanya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Dia terlempar ke belakang
dan terpaksa melepaskan pedangnya yang tertinggal dalam jepitan ketiak lawan! Dia jatuh
terjengkang dengan keras dan dadanya terasa sesak sehingga napasnya terengah-engah.
Semua anak buahnya memandang terbelalak seolah tidak percaya akan pandang mata sendiri.
Pimpinan mereka yang mereka banggakan itu, dengan ber-senjata pedang, kalah sedemikian
mudah-nya oleh tosu itu yang bertangan kosong!
Lauw Ki Seng juga tahu diri. Dia maklum bahwa lawannya itu lihai sekali dan tosu itu pun
tidak peduli kalau dia membunuh muridnya. Akan tetapi kalau dia membunuh muridnya yang
tidak ada gunanya itu, tentu mereka semua akan dibasmi dan dibunuh oleh tosu itu dan inl
bukan sekedar gertakan kosong. Dengan ilmu kepandaiannya yang setinggi itu, bukan hal
yang mustahil kalau mereka semua akan dapat terbunuh olehnya.
"Lepaskan anak itu!" katanya dengan napas terengah. Para anak buahnya membebaskan Thian
Lee yang segera menghampiri suhunya.
"Heh-heh-heh, engkau baru mengenal kelihaianku'" kata Liok-te Lo-mo sambil memegang
pedang yang tadi terjepit di ketiaknya. Kemudian sambil melontarkan pedang itu kepada
pemiliknya dia berka-ta, "Nih, pinto kembalikan pedangmu!" Lontaran itu kuat sekali dan
pedanp me-luncur bagaikan anak panah cepatnya. Lauw Ki Seng yang masih terengah-engah
itu mencoba untuk menghindarkan diri-nya, namun tetap saja pahanya ter usuk pedangnya
sendiri sampai tembus dan dia pun roboh lagi' Darah mengaJir dari pa-hanya membasahi
celananya dan ketua itu merintih kesakitan.
"Heh-heh-ha-ha-ha!" Liok-te Lo-mo tertawa bergelak, kemudian berkata kepada Thian Lee,
"Mari kita pergi!" dan dia pun melenggang seenaknya tanpa menengok lagi, diikuti oleh
Thian Lee dan beiakang. Anak ini merasa semakin tidak senang kepada gurunya. Gurunya
telah membunuhi banyak tukang pukul dusun dengan kejam, kemudian merampas perahu
nelayan tua yang tidak berdaya. Dan sekarang, setelah menang adu kepandalan, dia masih
melukai Ketua Hek-i-pang yang sudah kalah. Gurunya ini sungguh seorang yang kejam dan
tidak mempedulikan penderitaan orang lain, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri.
Padahal, sejak kecil dalam benak Thian Lee telah ditanamkan watak dan sifat pendekar oleh
ibunya. Dia tidak boleh membenci, dan menentang kejahatan bukan karena benci kepada
orangnya. Kebencian akan menimbulkan tindakan kejam. Apalagi dia tidak boleh merampas
hak milik lain orang. Dan Liok-te Lo-mo ini sudah merampas perahu nelayan, bahkan
merampas pula sekantung emas dari orang-orang Hek-i-pang. Guru ma-cam apa yang dia
temukan ini" Akan tetapi karena tosu itu telah menyelamat-kan nyawanya, maka mau tidak
mau dia haruslah menyatakan terima kasihnya de-ngan menaatinya. Pula, dia ingin memetik
ilmu-ilmu dari tosu ini, bukan mencontoh kejahatan dan kekejamannya. Akhirnya perjalanan
mereka sampai Nam-bun-tiang, sebuah kota di sebelah barat kota Pao-ting dan berada di kaki
Pegunungan Tai-hang-san. Tosu tu berhenti di kota ini untuk berbelanjd. Beberapa guci besar
arak, daging kering dan terigu, juga bumbu-bumbu masak.
Setelah itu, dia mengajak Thian Lee untuk mendaki Bukit Tai-hang-san melalui lereng-lereng
yang terjal. Thian Lee kelelahan karena dia diharuskan memikul barang-barang belanjaan
tadi. Setelah tiba di sebuah iereng yang rata, di mana terdapat sebuah bangunan yang
menyendiri, tosu itu mengajaknya berhenti di depan rumah itu. Liok-te Lo-mo membu-ka
pintu rumah dan ternyata itulah ru-mah tinggalnya. Sebuah pondok yang lumayan besarnya,
dan ternyata lengkap dengan prabot rumah tangga yang serba baru.
"Nah, itulah rumah pinto. Thian Lee, rumah ini sudah lama pinto tinggalkan. Lihat kotor
sekali. Hayo cepat bersihkan pymah ini agar enak ditempati."
Thian Lee menanti perintah gurunya. Dari pagi itu sampai sore, sehari penuh ia
membersihkan rumah itu, mengebut, menggosok dan menyapu sehingga rumah. itu kini
nampak bersih semua dinding dan lantainya, juga perabot-perabotnya. Senanglah hati Liok-te
Lo-mo melihat ke-rajinan muridnya yang tentu akan menjadi pembantu yang amat berguna
baginya. Dan memang demikianlah. Setiap hari Thian Lee bekerja keras untuk keperluan
suhunya. Membersihkan rumah dan halaman, menyirami tanaman bunga dan tanaman obat,
mencuci pakaian, memasak, pendeknya semua pekerjaan dia la-kukan. Dan tak pernah dia
mengeluh dalam mengerjakan semua itu. Hal ini agaknya memuaskan hati Thian-te Lo-mo
dan mulailah dia merasa suka kepada Thian Lee. Dia mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat tinggi yang dikua-sainya dan lebih girang lagi hatinya melihat betapa anak berusia
sepuluh tahun itu memiliki dasar yang kuat dan baik sekali.
Ketika musim salju tiba, Thian Lee melihat betapa suhunya suka merendam kedua lengan
sampai ke siku ke dalam air yang membeku menjadi air es sampai berjam-jam! Setelah itu,
suhunya memanggang kedua lengannya itu di atas api unggun besar yang panas sekali! Dan
untuk permulaan, dia pun diharuskan merendam kedua lengannya ke dalam air membeku.
Tentu saja dia merasa tersiksa sekali. Rasa dingin menyusup sampai ke tulang sumsum,
sampai ke hatinya, dan setelah dia hampir tidak kuat bertahan, baru gurunya membolehkan
dan membebaskan tangannya dari selimutan air es itu. Akan tetapi setelah setiap hati di-latih,
sebelum musim salju lewat, Thian Lee mulai dapat menahannya dengan me-nyalurkan hawa
dari tian-tan (bawah pusar) ke kedua lengannya sehingga biarpun direndam es, kedua lengan
terasa hangat dan dia dapat bertahan sampai berjam-jam! Di luar tahunya, dia telah mulai
melatih diri dengan sinkang yang amat kuat. Pada tahun ke dua, dia mulai dilatih
memanggang kedua lengan di atas api unggun. Mula-mula memang tak tertahankan, kulit
kedua lengannya sampai menjadi kemerahan. Akan tetapi sebelum kulitnya melepuh, gurunya
sudah menghentikannya dan memarami kedua lengannya dengan daun obat. Setelah dilatih
terus menerus, mulailah dia dapat melawan hawa panas itu dengan saluran sin-kang yang
membuat kedua lengannya dingin seperti kalau direndam dalam es. Dan mulailah dia dapat
bertahan memanggang kedua lengannya sampai berjam-jam di atas api!
Jilid 3________ Selama dua tahun menjadi murid Liok-te Lo-mo, dia hanya diajar langkah-langkah dan kudakuda sebagai dasar ilmu silat, dan latihan sinkang menggunakan es dan api itu. Sama sekali
belum diajar ilmu silat. Karena itu, apabila ingin melatih silat, Thian Lee melatih ilmu silat
yang pernah diajarkan ibunya, yaitu ilmu silat mendiang ayahnya yang menjadi tokoh Kunlun-pai. Dan dia mendapat kenyataan betapa ilmu silat Kun-lun-pai ini sekarang dapat dia
main-kan dengan lebih mantap. Gerakannya mantap dan kuat.
Pada suatu sore setelah selesai semua pekerjaannya, seperti biasa Thian Lee berlatih silat di
pekarangan belakang, bersilat dengan ilmu silat Kun-lun-pai.
Yang dimainkannya itu adalah Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) yang gerakannya gagah
dan kedua lengan seolah men-jadi sayap burung elang, dipentang ke kanan kiri dan setiap
pukulan seperti tamparan sayap burung itu, setiap tendangan seperti cakaran burung elang.
Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan belas jurus dan semua jurus telah di-malnkan Thian
Lee dengan bersungguh-sungguh. Pukulan dan tendangan anak berusia dua belas tahun ini
mendatangkan angin menyambar-nyambar, dan ini ada-lah berkat sin-kang yang dimilikinya
ketika melatih diri dengan air beku dan api.
Baru saja dia rnenyelesaikan jurus ter-akhir, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya,
"Hemmm, bagus. Cuma herannya mengapa Liok-te mengajarkan silat Kun-lun-pai kepada
muridnya" Tidak tahu malu sekali tosu kurus kering itu, mencuri ilmu Kun-lun-pai dan
diajarkan kepada orang lain."
Thian Lee terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata di situ telah berdiri seorang kakek
yang usianya tentu tidak lebih muda dari Liok-te Lo-mo. Apalagi melihat kakek yang
rambutnya dibiarkan panjang riap-riapan itu sudah tidak mempunyai gigi lagi dan juga
rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Dan kakek itu memegang seba-tang
tongkat bambu kuning yang dipergu-nakannya untuk menopang tubuhnya yang agak
bongkok. "Saya tidak menerima ilmu silat Kun- lun-pai ini dari Suhu Liok-te Lo-mo," kata Thian Lee.
"Locianpwe ini siapakah dan ada kepe.rluan apakah datang ke sini?"
Kakek itu tidak menjawab melainkan memandang Thian Lee dengan penuh per-hatian.
Kemudian dia berkata, "Anak baik, coba engkau pertahankan dirimu dari seranganku ini!"
Dan tanpa banyak cakap. lagi tosu itu lalu menyerang de-ngan tongkat bambunya! Tongkat
itu menusuk ke arah mata Thian Lee.
Thian Lee terkejut sekali dan tentu saja dia tidak ingin matanya ditusuk. Dia lalu
menggerakkan tubuhnya dan otomatis dia bersilat dengan ilmu silat Elang Ter-bang yang
dikuasainya. Tangan kirinya menangkis tongkat. Akan tetapi tongkat itu gerakannya cepat
sekali, begitu di-tangkis tangan kiri tahu-tahu sudah me-nyodok ke arah perut! Thian Lee
menangkis lagi berturut-turut tongkat itu menyerang bertubi-tubi, Thian Lee sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk balas menyerang karena tongkat itu bergerak cepat sekali. Thian
Lee tidak sem-pat mengelak, maka dia nnenggunakan kedua tangannya untuk menangkis
sambil mengerahkan tenaganya. Dan kakek itu memang agaknya hendak menguji tenaga anak
itu karena setiap menyerang dia pun menambah tenaga dalam serangannya tongkatnya.
Serangan itu semakin cepat dan kuat dan akhirnya, tanpa dapat ditangkis lagi, sebuah totokan
ujung tongkat mengenai pundak Thian Lee dan anak itu pun tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, bagus, bagus sekali. Eng-kau anak yang baik, tulang dan otot yang baik!" kakek
itu berkata dan sekali tongkatnya bergerak, dia baskan Thian Lee dari totokan.
Thian Lee memandang dengan mata-nya yang mencorong. "Locianpwe siapa dan apa maksud
Locianpwe menyerang saya" Ada keperluan apakah Locianpwe datang ke sini?"
"Aku hanya kebetulan lewat dan me-lihat engkau berlatih. Siapa namamu, Nak?"
"Nama saya Song Thian Lee."
"Engkau murid Liok-te Lo-mo?"
"Benar." "Akan tetapi belum diajar silat. Sudah berapa lama engkau menjadi murid-nya?"
"Baru dua tahun."
"Sudah dua tahun belum diajar silat, padahal engkau memiliki bakat yang baik sekali. Lebih
baik engkau turut denganku saja, Thian Lee dan engkau akan kuajari ilmu silat yang lebih
baik daripada yang dapat diajarkan Liok-te Lo-mo Kepadamu."
Thian Lee mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya tidak ingin ikut Loclanpwe,
saya lebih senang menjadi murid Suhu Liok-te Lo-mo."
"Ha-ha, sekali aku mengeluarkan keputusan, siapa dapat mengubahnya" Eng-kau harus
menjadi muridku, Thian Lee."
"Hemm, perlahan dulu, Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tangan)!" tiba-tiba terdengar bentakan
dan muncullah Liok-te Lo-mo di tempat itu. "Berani engkau hendak merampas muridku?"
"Ha-ha, Liok-te Lo-mo. Tidak perlu' murid diperebutkan. Akan tetapi anak ini memiliki bakat
yang baik, pantas menerima guru terpandai!"
"Jadi engkau anggap aku ini guru yang kurang pandai?"
"Aku melihat muridmu ini memainkan ilmu silat Kun-lun-pai. Itu membuktikan bahwa
engkau tidak becus mengajarnya, inaka biarkan aku yang menjadi gurunya."
"Jeng-ciang-kwi, engkau menganggap dirimu lebih berharga menjadi guru daripada pinto?"
"Tentu saja! Boleh kau uji!"
"Baik. Sekarang begini saja. Kita mengadu llmu kepandaian dan siapa yang menang dialah
yang berhak menjadi guru Thian Lee!" kata Liok-te Lo-mo yang memiliki watak tidak mau
kalah oleh siapa pun, sungguhpun dia tahu bahwa kakek dl depannya ini adalah seorang sakti
yang lihai sekali. Sudah lama dia mengenal kakek yang berjuluk Setan Se-Cibu Tangan itu,
akan tetapi belum pernah mencoba ilmu kepandaiannya, maka kini dia mendapatkan jalan
untuk menco-banya. "Bagus! Memang aku pun ingin mengusulkan demikian. Mari kita main-main sebentar, Liokte Lo-mo!" kata kakek yang berambut putih itu sambil melin-tangkan tongkat bambunya di
depan dada. Llok-te Lo-mo menggerakkan tangan ke balik jubahnya dan nampaklah dia memegang
sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu melihat Liok-te Lo-rno, memegang pedang, kakek yang berjuluk Jeng-ciang-kwi itu
sudah menyerangkan tong-katnya dengan dahsyat sekali. Tongkat itu menotok belasan jalan
darah di sebelah depan tubuh Liok-tek Lo-mo secara bertubi-tubi. Melihat serangan yang
cepat dan dahsyat ini, Lo-mo memutar pedang-nya untuk melindungi tubuhnya. Berkah-kali
tongkat bertemu pednng. Anehnya, tongkat yang hanya terbuat dari bambu kuning itu tidak
patah bertemu dengan pedang yang demikian tajamnya, walaupun mengeluarkan suara
nyaring. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Setan Seribu Tangan itu.
Thian Lee kini terbelalak menonton pertandingan itu. Sekali ini gurunya ber-temu tanding
sehingga pertandingan itu tidak seperti yang pernah ditontonnya, di mana suhunya dengan
amat mudahnya merobohkan lawan-lawannya. Tongkat dan pedang itu seolah telah berubah
menjadi banyak sekali sehingga pening dia yang menjadi penonton. Bahkan tak lama kemudian, pedang dan tongkat lenyap ben-tuknya dan yang nampak olehnya hanya gulungan
dua macam sinar, putih dan ku-ning, bagaikan dua ekor naga yang ber-main-main di angkasa.
Bahkan tubuh dua orang itu pun tidak nampak lagl, terbungkus bleh dua gulungan sinar itu.
Pertandingan itu memang seru bukan main. Keduanya adalah orang-orang sakti yang ilmu
kepandaiannya sudah tinggi. Mereka itu saling serang dan mencoba untuk merobohkan lawan
dengan serangan jurus-jurus terampuh. Namun semua serangan dapat dihindarkan lawan
sehingga pertandingan berjalan sampai dua ratus jurus belym Juga ada yang menang atau
kalah. Akan tetapi akhirnya ternyata bahwa kakek itu sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan gerak
dibandingkan Liok-te Lo-mo dan lewat dua ratus jurus, mulai-lah dia mendesak. Bagi Thian
Lee yang menonton pertandingan itu sebagai saksi tunggal, dia hanya melihat betapa gulungan sinar kuning tadi menjadi lebih lebar dan mnlai menggulung sinar putih. Tiba-tiba
sinar putih yang mengecil itu mencuat ke belakang dan narnpaklah gurunya berdiri dengan
pedang dilintangkan depan dada. Wajahnya nampcik agak pucat dan jubah di bagian
dadanya terobek lebar. Sinar kuning pun lenyap dan nampaklah kakek berambut putih itu
berdiri sambil tersenyum.
"Bagaimana, Lo-mo?" tanya kakek itu sambil bertopang pada tortgkat bambunya.
"Jeng-ciang-kwi, engkau semakin tua semakin hebat saja. Hari ini terpaksa aku mengakui
keungguianmu dan engkau boieh membawa Thian Lee bersamamu."
"Ha-ha-ha, bagus! Itu tandanya bahwa engkau benar-benar mengakui keunggul-anku. Hayo,
Thian Lee, bawa pakaianmu. Engkau ikut bersamaku!"
"Tidak! Tadi sudah saya katakan ke-padamu, Locianpwe, bahwa saya tetap akan ikut Suhu
dan tidak mau berguru kepadamu," kata Thian Lee dan sikap anak ini mengejutkan kedua
orang tua itu. Mereka tidak tahu bahwa Thian Lee bersikap demikian sesuai dengan ajaran
mendiang ibunya yang selalu berpesan agar dia menjadi seorang yang setia. Kesetiaan adalah
ciri khas seorang ga-gah, demikian pesan ibunya. Tanpa kese-tiaan, maka orang akan menjadi
pengecut. Demi kesetiaan dia harus berani menghadapi apa pun, karena mati dalam kesetiaan
lebih berharga daripada hidup tidak memiliki kesetiaan. Inilah sebabnya dia menolak keras
menjadi murid kakek rambut putih karena dengan demikian dia harus meninggalkan suhunya
yang selama ini bersikap baik kepadanya. Gurunya pernah menyelamatkan nyawanya, sudah


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendidiknya, bagaimana mungkin dia meninggalkannya begitu saja. untuk ikut Jeng-ciangkwi walaupun kakek rambut putih itu, menang berebutan dengan su-hunya"
"Engkau tidak mau ikut" Heh, sekali aku memutuskannya, engkau pun tidak bisa
mengubahnya!" Tiba-tiba tongkat itu meluncur dan tubuh Thian Lee sudah tidak mampu
bergerak lagi. Dia tentu sudah roboh dengan lemas kala kakek rambut putih itu tidak cepat
me.iyambar tubuhnya dan memanggul di atas pundak-n.ya.. Kemudian dia pergi dengan
langkah lebar tanpa menoleh lagi kepada Liok-te Lo-mo yang memandang dengan muka
pucat. Liok-te Lo-mo merasa kehilangan sekali setelah Thian Lee dibawa pergi. Akan tetapi
untuk mencegah tidak mungkin. Selain dia sudah mengadakan perjanjian dengan Jeng-ciangkwi dan dia kalah, dia pun merasa tidak mampu merebut Thian Lee dari tangan kakek sakti
itu. Sementara itu, Thian Lee sama sekali tidak berdaya dalam pondongan kakek berambut putih.
Dan ia memejamkan mata ketika melihat betapa kakek itu berlari cepat bagaikan terbang saja.
Angin bertiup di mukanya dan rambut putih kakek itu pun menyapu-nyapu pipi-nya. Tahulah
dia bahwa dia tidak mung-kin lagi menolak karena dalam tangan kakek rambut putih ini, dia
tidak ber-daya sama sekali. Bagaimanapun juga dia tidak melanggar kesetiaannya, apalagi
karena Liok-te Lo-mo juga tidak mence-gahnya dibawa pergi Jeng-ciang-kwi.
"Locianpwe, ke mana engkau hendak membawa aku?" tanya Thian Lee ketika dia terbebas
dari totokan. Mereka telah pergi jauh sekali dari tempat tinggal Liok-te Lo-mo.
"Eh, engkau telah terbebas" Bagus, .ini menunjukkan bahwa tubuhmu memiliki kekuatan,"
kata kakek itu lalu meni.runkan Thian Lee. Akan tetapi kakek itu nenge-rutkan alisnya. "Wah,
engkau sama sekali tidak membawa bekal pakaian. Salahmu sendiri, engkau tidak mau
kubawa...." "Locianpwe...."
"Tolol! Sebut aku Suhu! Aku adalah gurumu, engkau boleh mau atau tidak. Aku gurumu dan
engkau harus menyebut aku suhu, atau aku akan menotokmu lagi sampai engkau tidak bisa
bangkit kembali untuk selamanya."
Thian Lee seorang anak yang cerdik. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek
yang lebih aneh, mungkin lebih kejam dibandlngkan Liok-te Lo-mo. Dia belum ingin mati
sedemikian mudahnya. Oleh larena itu, dia mengalah.
"Suhu, mengapa Suhu berkeras mengambil murid padaku" Dan ke mana Suhu hendak
membawaku?" . "Pendeknya, ke manapun engkau ikut saja. Aku akan membawamu menonton keramaian di
puncak Luliang-san. Semua tokoh kang-ouw akan hadir di sana untuk memilih seorang
bengcu." "Apakah bengcu itu, Suhu?" Thian Lee tertarik mendengar bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
akan berkumpul dan dia akan diajak menonton keramain itu.
"Bengcu adalah pimpinan dunia kang-ouw, dan mungkin akan diadakan pertandingan silat di
sana untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi bengcu. Sudah, tidak perlu banyak
bertanya, sekarang kita pergi mencari pakalan untuk-mu dan juga untukku."
Mereka memasuki sebuah kota dan kakek itu ternyata memiliki banyak uang emas dan perak.
Dia membeli beberapa potong pakaian untuk Thian Lee dan diri-nya sendiri, membungkus
dalam sebuah buntalan dan menyuruh Thian Lee meng-gendong buntalan itu. Thian Lee
merasa agak lega hatinya. Setidaknya, gurunya yang baru ini tidak mencuri seperti yang
dilakukan Liok-te Lo-mo. Setelah makan dan membeli pula makanan kering untuk bekal di
perjalanan, Jeng-ciang-kwi mengajak Thian Lee mulai melakukan perjalanan ke barat,
menuju Luliang-san. Sudah menjadi kebiasaan di dunia kang-ouw pada waktu itu bahwa setiap lima tahun sekali
diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang tokoh kang-ouw yang dihormati dan dipandang
tingg, oleh seluruh dunia kang-ouw. Tokoh bengcu ini memang diperlukan oleh mereka,
bukan saja untuk menjadi pemimpin dalam se-mua urusan yang terjadi mengenai tokoh-tokoh
kang-ouw, bahkan juga untuk mewakili seluruh tokoh kang-ouw dalam urusan menghadapi
pemerintah. Kalau pemerintah hendak mengumumkan sesuatu kepada para tokoh kang-ouw
atau per-kumpulan persilatan, pemerintah hanya menghubungi bengcu ini saja dan bengcu ini
yang akan menyebar-luaskan pengumuman itu. Juga kalau ada persoalan timbul di antara
warga dunia kang-ouw sendiri, untuk mendapatkan keadilan dan keputusan, maka orangorang itu pergi melapor kepada bengcu. Maka, teramat penting kedudukan bengcu ini bagi
dunia kang-ouw. Pada waktu itu, kedudukan bengcu lowong karena bengcu yang tadinya me-megang
pimpinan, yaitu Ouw Hui Sian, seorang pendekar tua sakti yang terkenal dengan julukan Si
Golok Sakti telah me-ninggal dunia karena usia tua. Maka para tokoh kang-ouw lalu
mengadakan perun-dingan untuk mengadakan pertemuan di puncak Luliang-san, untuk
memilih se-orang bengcu baru.
Pada hari yang ditentukan itu, ber-bondong-bondonR para wakll dari perkum-pulanperkumpulan silat, juga tokoh-tokoh perorangan, mendaki Gunung Luliang-san untuk
menghadiri pemilihan bengcu. Bahkan dari pihak pemerintah juga da-tang seorang wakil yang
terkenal karena panglima yang datang ini dahulunya juga seorang pendekar dan terkenal di
dunia kang-ouw sebagai seorang ahli pedang bernama Gui Tiong In yang berjuluk Hok-liongkiam (Pedang Penaluk Naga). Gui-ciangkun datang bersama tiga orang pembantunya.
Karena pertemuan ini untuk memilih bengcu baru merupakan pertemuan amat penting, maka
banyak sekali yang datang hadir. Wakil dari Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Khong-tong-pai
juga hadir, belum lagi dari peirkumpulan-perkumpulan orang gagah dan perguruan-perguruan
silat, namun diwakili tokoh-tokoh mereka. Para pendekar perorangan juga banyak yang hadir
sehingga jumlah mereka yang ber-kumpul di situ tidak kurang dari seratus orang!
Setelah semua orang berkumpuj, dengan suara bulat mereka menunjuk Gui-ciangkun untuk
menjadi ketua pemilihan bengcu. Semua orang setuju karena bia-sanya, dalam pemilihan
bengcu, sering kali terjadi perebutan dan pertentangan. Dengan adanya orang dari pemerintah
yang memimpin pemilihan, diharapkan tidak akan terjadi pertentangan dan pe-milihan akan
berjalan tertib tanpa tindak kekerasan dari pihak mana pun. Gui-ciangkun yang mengerti akan
pentingnya pemilihan ini bagi pemerintahnya, setuju dan demikianlah, Gui-ciangkun bersama
para pimpinan perkumpulan yang diang-eap sebagai kaum tua yang berkedudukan lebih
tinggi, duduk di panggung, sedang-kan para undangan lain duduk di bawah panggung.
Gui-ciangkun bangkit berdiri dan setelah memberi hormat kepada para locian-pwe yang
duduk di panggung kehormatan, dia lalu berkata kepada hadirin dengan suara lantang, "Cu-wi
(Saudara Sekalian) yang hadir, terima kasih atas kepercaya-an yang diberikan kepada saya
untuk memimpin pemilihan ini. Untuk memben kebebasan memilih kepada Cu-wi, seperti
biasanya, sebaiknya kalau Cu-wi memilih calon masing-masing untuk kemudian dari sekian
calon itu kini memilih bengcu berdasarkan suara terbanyak. Silakan Cu-wi mengajukan nama
calon masing-masing."
Semua yang hadir kini sibuk bicara sendiri, agaknya untuk merundingkan de-ngan kelompok
masing-masing siapa yang akan mereka angkat sebagai calon. Akan tetapi wakil dari Bu-tongpai, yaitu Tong Bu Leng yang bertubuh tinggi besar bangkit berdiri dan terdengar suaranya
yang lantang, "Gui-ciangkun, kami dari Bu-tong-pai berpendapat bahwa kalau terlalu banyak
diajukan calon merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Biasanya dalam pemilihan yang
lalu, makin banyak calon, menjadi semakin kacau karena terjadi perebutan dan persaingan.
Oleh karena itu, kami usulkan agar mengang-kat satu dua orang calon saja yang be-nar-benar
pantas untuk menjadi bengcu, kemudian dilakukan pemilihan bengcu!"
"Saya setuju sekali dengan usul Tong-enghiong dari Bu-tong-pai. Bagaimana pendapat Cu-wi
yang hadir" Setujukah dengan usul itu untuk mengangkat atau menunjuk satu dua orang calon
saja agar pemilihan bengcu menjadi lebih sederhana dan cepat, tidak sampai menimbulkan
perebutan dan persaingan?"
Serentak semua orang menyatakan pendapatoya, "Setuju....!"
Kemudian terdengar suara nyaring seorang tosu yang bangkit berdiri dari tempat duduknya di
panggung kehormat-an? "Pinto merasa setuju sekali. Memang tidak semestinya kalau setiap
golongan memilih calon bengcu dari kalangan sendiri sehingga terjadi perebutan dan persaingan. Kita semua memilih bengcu bukan untuk kepentingan kelompok sen-diri, melainkan
untuk kepentingang dunia kang-ouw pada umumnya. Pinto mengu-sulkan agar Ina Yang
Sengcu dari Kun-lun-pai ditunjuk sebagai calon. Beliau pantas menjadi bengcu karena
kedudukan beliau sebagai Ketua Kun-lun-pai yang merupakan partai besar dan kuat, juga
mengingat pengalaman beliau yang sudah berusia lanjut serta kesaktian beliau yang tiada
bandingannya. Bagaimana pendapat Cu-wi" Setujukah kalau kita ajukan Im Yang Sengcu
sebagai calon?" Yang bicara ini adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus. Dia adalah
Ciong Jin Tosu, berusia lima puluh tahun, tokoh Kong-thong-pai yang rnewakili
perkumpulannya hadir di situ dan mendapat tempat duduk di panggung kehormatan pula.
Yang ditunjuk itu adalah Im Yang Sengcu, Ketua Kun-lun-pai yang kebetul-an hadir pula di
situ. Dia seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, bersikap tenang dan
anggun de-ngan jenggot panjang putih. Kumis dan rambutnya masih hitam akan tetapi yang
mencolok adalah alisnya yang sudah putih semua. Karena alisnya itulah dia men-dapat
sebutan Pek-bi Lo-jin (Orang Tua Beralis Putih). Ketua Kun-lun-pai ini ter-kenal sebagai
seorang yang gagah perka-sa dan bijaksana, ilmu silatnya tinggi dan dia disegani oleh seluruh
tokoh kang-ouw. Mendengar dirinya ditunjuk sebagai calon bengcu, Im Yang Sengcu bangkit berdiri darl
kursinya dan cepat dia mem-beri hormat kepada semua orang dengan mengangkat kedua
tangan di depan dada-nya.
"Siancai, siancai....!" Suaranya halus lembut namun dapat menembus kegaduh-an itu sehingga
semua orang berdiam diri untuk mendengarkan. Tadinya semua orang ribut menyatakan
dukungan mereka dan persetujuan mereka dengan Jiangkat-nya Im Yang Sengcu menjadi
calon. Kini setelah tosu itu bicara, mereka semua diam mendengarkan penuh perhatian.
"Terlma kasih atas kepercayaan Cu-wi menunjuk pinto menjadi calon. Akan tetapi sungguh
pinto merasa tidak sang-gup. Kedudukan bengcu adalah kedudukan yang istimewa
pentingnya, sedangkan pinto adalah seorang ketua perkumpulan yang sudah sibuk sekali
dengan tugas pinto dalam perkumpulan. Juga pinto merasa tidak sanggup mewakili dunia
kang-ouw untuk menghadapi urusan besar. Karena itu, pinto usulkan agar mengang-kat
sahabat pinto, yaitu Hui Sian Hwesio yang kini hadir di sini. Dia adalah wakil Ketua Siauwlim-pai, selain cakap dan memiliki tingkat kepandaian tinggi, juga kita semua mengetahui
bahwa hubungan antara Siauw-lim-pai dan pemerintah amatlah dekatnya. Dengan
mengangkat wakil Siauw-lim-pai sebagai bengcu, ma-ka semua urusan dengan pemerintah
akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagai-mana pendapat Cu-wi, setujukah dengan usul
pinto ini?" Hui Sian Hwesio yang tinggi gendut seperti Jilaihud itu juga seorang tokoh yang amat
terkenal. Biarpun dia hanya wakil ketua, akan tetapi untuk urusan luar, Ketua Siauw-lim-pai
sendir., tidak pernah maju. Hui Sian Hwesio inilah yang mewakili ketua maju dalam setiap
urusan keluar, sehingga namanya lebih terkenal. Dan pada waktu itu, memang Agama Buddha
lebih diterima permerintah Mancu daripada Agama To, maka semua orang yang mendengar
ucapan Im Yang Sengcu itu serentak menyatakan setuju.
Hui Sian kini bangkit berdiri dan mu-kanya yang penuh senyum lebar itu amat menyenangkan
hati orang yang ikut-ikut tersenyum.
"Omitohud! Sungguh elok sekali. Lima tahun yang lalu, ketika diadakan pemilih-an bengcu di
Thai-san, masih terjadi per-saingan dan perebutan, seolah kedudukan bengcu merupakan
kedudukan yang ber-harga untuk dimiliki, seolah anenjadi sumber rejeki sarana nama besar.
Akan tetapi apa yang pinceng lihat sekarang" Yang ditunjuk malah tidak mau meneri-ma dan
mengoperkan kepeda orang lain!"
Kalau begitu, harap Losuhu tidak mengoperkan pula kepada orang lain!" Terdengar teriakan
dan semua orang tertawa sambil berteriak-teriak menyetujui ucapan itu.
"Omitohud, bukan maksud pinceng untuk mengelak. Pinceng hanya menjelas-kan keadaan
saja. Keadaan yang berbeda sekarang ini di mana tidak mendapat perebutan dan persaingan,
menunjukkan dengan jelas bahwa yang hadir semua ini adalah para pendekar yang tidak haus
akan kedudukan. Dahulu, kalau diadakan pemilihan bengcu, golongan sesat selalu ikut
mencampuri dan merekalah yahg berdaya upaya keras untuk merebut ke-dudukan bengcu
agar kepentingan golongan mereka terjarnin. Sekarang keadaan lain lagi karena itu kita harus
memilih dengan bijaksana jangan sampai salah pilih. Apa yang diucapkan oleh sahabat Im
Yang Sengcu tadi rrlemang betul se-kali. Kedudukan bengcu amat penting untuk kita semua,
karena itu kita harus memilih seorang yang benar-benar tepatj untuk kedudukan itu."
Losuhu, yang paling tepat untuk menjadi bengcu!" terdengar seseorang berteriak dan teriakan
ini diikuti pula suara setuju.
Hui Sian Hwesio mengangkat tangan ke atas dan semua orang diam. "Omito-hud, bukan
semata-mata pinceng menolak, akan tetapi adalah karena alasan ' yang amat kuat. Cu-wi
mengetahui bahwa pinceng adalah wakil ketua per-kumpulan yang besar sekali, bukan saja
mengurus urusan umum dengan dunia kang-ouw, akan tetapi juga urusan penyebaran agama.
Menjadi bengci atau pemimpin naruslah seorang yang jujur, setia dan dapat mencurahkan
seluruh tenaga dan pikiran untuk jabatannya itu. Dia tidak boleh memiliki kedudukan
rangkap, karena dengan demikian dia tentu tidak akan dapat mencurahkan tenaga scluruhnya.
Pinceng mempunyai seorang calon dan Cu-wi tentu akan se-tuju dengan calon yang pinceng
usulkan itu. Mengenal ilmu silat, dia jauh lebih hebat dari pinceng. Mengenai pengalaman, dia
sudah malang melintang di dunia kang-ouw selama puluhan tahun. Dan namanya yang besar
juga bersih sebagai seorang pendekar budiman yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Pe-mimpin haruslah seorang yang tidak me-mentingkan diri sendiri dan calon pinceng ini
memenuhi semua persyaratan itu. Dia masih muda, berpengalaman di dunia kang-ouw,
selama ini sepak terjangnya sebagai seorang pendekar meyakinkan, dan namanya pun baik di
mata pemerintah. Pinceng usulkan Taihiap (Pendekar Besar) Souw Tek Bun untuk menjadi
ketua!" Kini riuh rendah orang bersorak me-nyambut nama yang diusulkan oleh wakil Ketua Siauwlim-pai itu. Siapa yang ti-dak mengenal pendekar Souw Tek Bun" Dia berjuluk Sin-kiam
Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis), seorang pendekar yang memiliki ilmu pedang turunan
dari keluarga Souw. Nenek moyang Souw Tek Bun adalah Souw Cian, seorang pendekar sakti
ratusan tahun yang lalu, yang telah merangkai ilmu pedang Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Penakluk Iblis) yang hanya dipelajari oleh keturunannya. Souw Tek Bun sudah terkenal
sebagai seorang pendekar budiman, membantu pemerintah membasmi para. penjahat sehingga
lama-nya dihormati semua tokoh kang-ouw dan juga dihormati pemerintah. Bahkan Kaisar
sendiri berkenan memberi hadiah sebatang pedang kepadanya!
"Hidup Souw-taihiap!" Terdengar sorakan mereka.
Di antara tamu yang duduk di panggung kehormatan, seorang pria bangkit berdiri dengan
tenang. Dia bertubuh tegap, berwajah tampan berwibawa, usianya sekitar empat puluh tahun
dan pakaian-nya yang sederhana itu ringkas. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Wa-jahnya yang segi empat itu gagah sekali, dengan sepasang alis tebal, mata menco-rong
dan mulut selalu tersenyum tenang dan sabar, namun lekuk di dagunya yang tidak berjenggot
itu menunjukkan kekerasan hatinya. Inilah dia Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hokmo. Pedang di punggungnya itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka
hadiah dari Kaisar Kian Liong kepadanya karena jasanya membasmi banyak gerom-bolan
penjahat. Perjaka yang tinggal seorang diri di puncak Hong-san.
Souw Tek Bun memang hidup seba-tang kara, kedua orang tuanya telah tiada, ayahnya juga
seorang pendekar tewas oleh pengeroyoknya banyak tokoh sesat. Ibunya menyusul ayahnya
setelah sakit berat sehingga Souw Tek Bun hidup sebatang kara. Sampai berusia empat puluh
tahun, dia tidak mau menikah dan tinggal seorang diri di puncak Hong-san, hanya ditemani
oleh seorang pelayan pria yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Mendengar dirinya dipilih sebagai bengcu seperti diusulkan oleh wakil Ke-tua Siauw-lim-pai,
Souw Tek Bun lalu bangkit berdiri dengan sikap tenang sam-bil tersenyum, mengangkat
kedua tangan ke atas sebagai isarat agar semua orang diam. Setelah suara gaduh itu terhenti,
terdengar suaranya yang mantap, lembut namun mengandung wibawa,
"Cu-wi yang terhormat! Saya tidak perlu berpura-pura. Memang sudah men-"|S jadi
kewajiban kita semua untuk meng-galang persatuan di antara semua tokoh kang-ouw demi
keamanan negara dan kesejahteraan rakyat. Dan kalau memang benar Cu-wi memilih saya,
maka saya pun tidak akan berani menolak. Hanya perlu diingat bahwa saya yang muda ,
masih kurang pengalaman, oleh ?arena itu saya baru berani menjadi bengcu kalau dua orang
Locianpwe yan.c saya sebutkan namanya ini suka menjad) penasehat sehingga dalam
memutuskan semua perkara, saya lebih dulu mendapatkan nasihat mereka. Kedua Locianpwe
yang saya mohon menjadi penasihat adalah pertama Locianpwe Pek Bi Lojin atau Im Yang
Sengcu Ketua Kun-lun-pai, dan kedua adalah Locianpwe Hui Sian Hwesio dari Siauw-limpai. Bagaimana, apakah Cu-wi setuju dengan permintaan saya ini" Dan terutama sekali,
apakah Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Gagah Perkasa) dapat menerima permohonan saya"'
Mendengar ucapan yang tegas itu, semua orang bersorak mendukungnya. Im Yang Sengcu
tertawa ketika mendengar ucapan itu dan dia bangkit dari kursinya. Semua orang terdiam,
ingin mendengar-kan bagaimana pendapat tosu yang di-angkat menjadi penasihat itu.
"Siancai....! Kalau Souw-taihiap yang menjadi bengcu, tentu dengan gembira sekali pinto
suka menjadi penasihatnya. Pinto yakin bahwa sepak terjang Souw-taihiap selalu menurut
jalan kebenaran. Pinto setuju!"
"Omitohud, benar apa yang diucapkan oleh Im Yang Sengcu, pinceng juga setuju saja
menjadi penasihat mendampingi Souw-taihiap yang menjadi bengcu!"
Semua orang menyambut dengan gem-bira. Mendengar semua ini, Gui-ciangkun tersenyum
dan dia pun bangkit berdiri sambil mengacungkan tangan minta ke-pada semua orang untuk
tenang. "Kami sungguh merasa gembira sekali. Baru sekali ini pemilihan bengcu berjalan
demikian lancar, mudah dan semua suara menyetujui, tidak ada pertentangan sama sekali.
Oleh karena itu, kami, sebagai pimpinan pemilihan bengcu ini, dengan ini menyatakan bahwa
Tai-hiap Souw Tek Bun, menurut hasil pemilihan yang sah, ditetapkan menjadi...."
"Ha-ha-ha-heh-heh, tunggu duiu! Tidak semudah itu orang menjadi bengcu, memimpin
seluruh dunia kang-ouw. Tidak, semudah itu!"
Semua orang terkejut. Suara itu lirih dan lembut, akan tetapi terdengar jelas dan nada
suaranya mengandung ejekan. Melihat bahwa yang mengeluarkan suara celaan menghentikan
ucapan tadi adalah seorang kakek yang bongkok kurus ber-jenggot putih, Gui Tiong In atau
Gui-ciangkun adalah seorang panglima yang dahulunya juga seorang pendekar yang terkenal,
tentu saja pengalamannya sudah banyak di dunia kang-ouw dar banyak pula tokoh kang-ouw
yang dikenalnya. Akan tetapi dia merasa tidak mengenal kakek ini, maka dia segera memberi
hormat, mengangkat tangan ke depan dada dan berkata dengan suara hormat,
"Locianpwe siapakah dan mengapa berkata demikian" Pemilihan ini dilakukan dengan sah
dan sudah menurut keputusan rapat."
"Ha-ha-ha, rapat yang diputuskan hanya karena pemungutan suara terba-nyak bukanlah rapat
orang gagah! Pemilihan bengcu biasanya dilakukan bukan dengan mengadu suara, melainkan
mengadu senjata dan siapa yang paling gagah dan menang, dialah yang pantas menjadi
bengcu. Apa jadinya kalau seorang beng-cu yang memlmpin orang-orang gagah hanya


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang yang lemah" Bisa menjadi tertawaan dunia'"
"Locianpwe, pandangan Locianpwe ini keliru sama sekali," kata Gui-ciangkun. "Tidak sesuai
dengan pandangan pemerin-tah. Seorang bengcu haruslah seorang yang gagah perkasa,
memang, akan tetapi bukan seorang jagoan yang menduduki jabatan bengcu karena
kekerasan. Kalau demikian, dia akan memimpin dengan kekerasan pula. Seorang bengcu
haruslah seorang yang bijaksana, berhati jujur dan bersih, menentang kejahatan dan
kepalsuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, selalu berusaha untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat, bukan sebaliknya menindas rakyat dan melakukan kejahatan mengganggu
ketenteraman. Karena Souw - taihlap memilih semua syarat itu, maka kaml memilihnya
sebagai bengcu." "He-he-he, Ciangkun. Itu adalar pan-danganmu sebagai seorang pejabat peme-rintah. Akan
tetapi pandangan seorang kang-ouw lain lagi. Seorang bengcu haruslah nomor satu di dunia,
baru dia berhak menjadi bengcu!
Tiba-tiba Hui San Hwesio bangk't dari kursinya dan menudingkan telunjukrya ke arah kakek
bongkok yang memegang tong-kat bambu kuning itu. "Omitohud, kalau . pinceng tidak
keliru, melihat tongkat bambu kuning itu, engkau adalah Jeng-ciang-kwi, benarkah" Apa
maksudmu da-tang ke tempat pertemuan ini" Bengcu sudah terpilih, apa kehendakmu
sekarang?" "Ha-ha. Hui Sian Hwesio darl Siauw-lim-pai bersikap angkuh! Aku tidak menghendaki apaapa, hanya aku ingin mengatakan bahwa aku baru mau menga-kui adanya seorang bengcu
dunia kang-ouw kalau bengcu itu mampu mengalah-kanku!"
Semua orang yang hadir kini meman-dang dengan hati tegang. Biarpun belum pernah bertemu
dengan orangnya, akan tetapi mereka semua sudah mengenal nama Jeng-ciang-kwi, seorang
datuk se-sat yang namanya annat terkenal, akan tetapl jarang dapat ditemui orang itu.
Sementara itu, Thian Lee yang tadi da-tang dan berdiri di belakang gurunya mendengarkan
dan memandang dengan penuh perhatian. Dia dapat menduga bahwa orang-orang yang hadir
di situ adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tentu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
gurunya yang seorang diri itu agaknya hendak menentang mereka! Dan mendengar
perbantahan itu, dia mengang-gap gurunya benar. Menjadi pemlmpin para tokoh persilatan
tentu saja haruslah seorang yang ilmu silatnya tanpa tanding.
"Jeng-ciang-kwi, apakah maksudmu menantang bengcu baru terpilih ini untuk merampas
kedudukan bengcu" Apakah engkau bermaksud ingin menjadi bengcu dengan jalan
kekerasan, mengadu ilmu silat?"
"Ho-ho-ha-ha, siapa mau menjadi bengciu, mengikatkan kaki tangannya ke-pada kedudukan"
Tidak, aku tidak ingin merampas kedudukan bengcu. Akan tetapl aku tetap berpendirian,
bahwa siapa yang menjadi bengcu haruslah dapat mengalah-kan aku, kalau tidak mana aku
mau mengakuinya sebagai bengcu" Juga semua rekanku tidak akan sudi mengakuinya sebagai
bengcu. Nah, aku tantang bengcu pilihan kalian itu. Ataukah dia tidak be-rani menyambut
tantanganku mengadu ilmu" Seorang bengcu yang ketakutan menghadapi tantangan" Ha-haha, alang-kah lucunya!"
Sejak tadi Souw Tek Bun sudah meff rasa penasaran sekali. Dia pun pernah mendengar nama
besar Jeng-ciang-kwi, akan tetapi belum pernah bertanding de-ngannya. Tentu saja dia tidak
menjadi gentar, hanya tadi menahan kesabaran agar jangan terjadi keributan. Sekarang,
mendengar tantangan dan ejekan bahwa dia takut menghadapi tantangan itu, dia tidak dapat
menahan sabar lagi dan banekit dari tempat duduknya. Kemudian dengan langkah lebar dia
menuju ke te-ngah panggung dan memberi hormat ke arah Jeng-ciang-kwi yang masih berada
di bawah panggung. "Aku Souw Tek Bun bukanlah seorang pengecut. Aku sudah lama mendengar nama besar
Jeng-ciang-kwi dan kalau Jene-ciang-kwi menantangku, sudah tentu akan kulayani untuk
membuktikan bahwa aku bukan seorang pengecut walaupun dalam ilmu silat tentu aku bukan
lawan Jeng-ciang-kwi yang amat tersohor itu!
"Bagus sekali, ini baru namanya se-orang calon bengcu yang gagah," kata Jeng-ciang-kwi dan
sekali tongkatnya me-notol tanah, tubuhnya sudah melayang naik ke atas panggung.
"Jeng-ciang-kwi, ketahuilah bahwa bukan aku yang minta menjadi bengcu melainkan para
Locianpwe dan udara yang berada di sini yang mermlih aku untuk menjadi bengcu. Lalu apa
kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi.
Engkau menjadi bengcu baik-baik saja, akan tetapi untuk dapat menerima pe-ngakuanku dan
pengakuan orang-orang kang-ouw yang saat ini tidak ikut hadir, engkau harus lebih dulu
mengalahkan aku." "Aku tidak pernah menolak tantangan, apalagi di antara kita tidak pernah ada permusuhan,
hanya merupakan tantangan mengadu ilmu saja. Silakan, Jeng-ciang-kwi, aku sudah siap
untuk melayanimu!" kata Souw Tek Bun dan sekali tangan kanannya bergerak ke belakang
tangan itu kini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan mengeluarkan sinar hijau.
Itulah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar Kian Liong kepadanya.
"Ho-ho, pokiam (pedang pusaka) yang bagus!" kata kakek itu memuji.
"Ini adalah Ceng-liong-kiam, pemberi-an Sri Baginda Kaisar untuk membasmi kejahatan!"
jawab Souw Tek Bun dengan gagah.
"Ha-ha-ha, asal saja jangan anggap aku seorang penjahat yang patut dibasmi" kata kakek itu
tertawa mengejek. "Tergantung dari sepak terjangmu, Jeng-ciang-kwi. Nah, aku sudah siap menghadapi
tantanganmu'." jawab Souw Tek Bun dengan suara tegas.
"Heh-heh, saudara sekalian menjadi saksi apakah dia pantas menjadi bengcu ataukah tidak.
Sin-kiam Hok-mo, demi-kian julukanmu, bukan" Ha-ha, biarlah aku menjadi Lo-mo (Iblis
Tua) apakah benar pedangmu itu dapat menundukkan iblis! Sambutlah seranganku ini!"
Kakek itu menggerakkan tongkatnya. Dengan lambat saja tongkat itu menyambar, akan tetapi
angin pukulannya terasa oleh mereka yang jarak duduknya tidak terlalu jauh sehingga semua
orang terkejut. Souw Tek Bun maklum akan kelihaian kakek itu, maka dia pun sudah memasang kuda-kuda
yang kuat dan begitu tongkat bambu kuning itu menyambar, dia langsung saja menangkis
dengan bacokan kuat untuk mematahkan tongkat itu. Agaknya Jeng-ciang-kwi juga khawatir
kalau tong-kat bambunya terpotong oleh pedang yang ampuh itu, maka sebelum tongkatnya
bertemu pedang tiba-tiba saja tong-kat itu ditarik kembali dan kini tongkat itu melanjutkan
serangan dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah yang mematikan di sebelah
depan tubuh lawan. Souw Tek Bun cepat berlompaian untuk mengelak dan kadang menangkis serangkaian
serangan yang berbahaya 'tu. Dan dia pun berusaha untuk membcilas serangan. Akan tetapi
ilmu tongkat Ni-kek itu memang aneh sekali dan luar biasa. Daya serangan tongkat itu seperti
bersambung-sambung tiada habisnya, se-tiap kali dielakkan atau ditangkis fong-kat itu sudah
melayang lagi dengan ujungnya yang lain sehingga serangan menjadi bertubi-tubi dan Souw
Tek Bun sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Maka, akhirnya Souw Tek
Bun hanya dapat memutar pedangnya menjadi perisai gulungan sinar yang ne-.lindungi
tubuhnya dari hujan serangan itu.
Melihat ini, kakek itu mengendurkan serangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Souw
Tek Bun untuk balas me-nyerang dengan tusukan kilat. Kakek itu nampak lambat gerakannya
menghindar sehingga pedang itu menyerempet dada-nya dan merobek bajunya, akan tetapi
pada saat itu tongkatnya sudah dua kali menotok, mengenai kedua paha Souw Tek Bun dan
pendekar ini tak dapat dicegah lagi sudah jatuh berlutut!
Jeng-ciang-kwi menghentikan serang-annya dan tertawa, "Ha-ha-ha, kalian lihat. Belum apaapa dla sudah bertekuk lutut kepadaku, apakah yang begini pan-tas menjadi bengcu dunia
kang-ouw?" Thian Lee merasa gembira sekali melihat gurunya dapat mengalahkan lawan dan ini
membuktikan bahwa gurunya memang seorang yang lihai sekali. Un-tunglah dia mempunyai
seorang guru yang demikian tangguh, yang tentu akan mengajarkan ilmu-ilmu hebat
kepadanya. Tak terasa lagi saking gembiranya dia bertepuk tangan memuji. Kakek itu menoleh dan tersenyum kepadanya. Dalam keadaan itu, tak seorang pun memihak padanya
kecuali muridnya dan hal ini menyenangkan hatinya.
"Omitohud, Jeng-ciang-kwi sungguh sombong. Biarpun Souw-taihiap kalah dalam ilmu silat
olehmu, tetap saja dia seratus kali lebih pantas menjadi bengcu daripada kamu. Kalau pinceng
tetap memilih dia sebagai bengcu, habis engkau mau apa?"
"Ha-ha-ha, bengcunya tidak bisa apa-apa, tentu pemilihnya tidak becus lagi. Hui Sian Hwesio,
seharusnya engkau me-milih bengcu yang cakap dan pantas, setidaknya yang dapat
menandingi aku. Kalau tidak demikian, pilihanmu hanya menyatakan kebodohanmu dan akan
men-jadi bahan tertawaan dunia kang-ouw saja."
"Jeng-ciang-kwi, apakah ini berarti bahwa engkau juga menantang pinceng?"
"Engkau dan siapa saja boleh mencoba-coba menandingiku, agar kalian baru terbuka mata
bahwa pilihan kalian itu sama sekali keliru. Carilah orang yang setidak-nya setingkat dengan
kepandaianku." "Kau sombong!" Pendeta Siauw-lim-pai itu membentak dan tubuhnya sudah melayang ke
depan Jeng-ciang-kwi, se-mentara itu Souw Tek Bun yang jelas sudah kalah itu terpaksa
mundur sambil menyimpan pedangnya. Wajahnya agak kemerahan karena merasa penasaran.
Hui Sian Hwesio sudah berdiri berha-dapan dengan Jeng-ciang-kwi, tangan ka-nannya
memegang sebatang tongkat pen-ss.a deta setlnggi tubuhnya.
"Hemm, wakil Ketua Siauw-lim-pai hendak turun tangan sendiri menguji kepandaianku?"
kata Jeng-ciang-kwi de-ngan suara mengejek,
"Tidak perlu membawa-bawa nama Siauw-lim-pai dalam urusan ini. Karena semua memilih
Souw-taihiap memang sebagai wakil' dari perkumpulan masing-masing, akan tetapi kini
pinceng meng-hadapimu sebagai Hui Sian Hwesio pribadi. Kalau sebagai wakil Ketua Siauwlim-pai tentu pinceng tidak sudi berurus-an dengan orang seperti engkau. Kita |gg| berdua
berdiri berhadapan sebagai pribadi-pribadi yang saling membela kebenaran sendiri. Nah,
pinceng sudah siap, mulailah!"
"Bagus, hendak kulihat sampai di mana kehebatan Lo-han-pang (Ilmu Tong-kat Orang Tua)
darimu. Sambutlah!" Jeng-cian-kwi sudah menggerakkan tong-kat bambu kuningnya
melakukan serangan. Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya lalu membalas dan
dalam be-berapa menit keduanya sudah saling se-rang dengan hebatnya. Tongkat dan ba-tang
bambu itu menyambar-nyambar ba-gaikan dua ekor naga yang bermain di angkasa. Setiap
kali bertemu mendatang-kan getaran yang terasa oleh semua yang hadir di situ, menandakan
bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwee-kang (tenaga dalam) yang amat dahsyat. Dan
kadang-kadang kedua tongkat itu kalau bertemu mengeluarkan bunyi nyaring, kadang-kadang
tidak berbunyi sama sekali seolah kedua senjata itu terbuat dari bahan yang lunak.
Bukan main serunya pertandingan an-tara kedua orang tokoh tua yang kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi itu. Bahkan sebagian besar para penonton tidak dapat mengikuti
pertandingan itu dengan baik karena kadang gerakan ke-duanya demikian cepat sehingga
yang nampak hanyalah gulungan sinar kuning dan putih yang panjang melingkar-lingkar.
Akan tetapi ada kalanya mereka bergerak lambat sekali dan mengadu tenaga sin-kang melalui
tongkat mereka. Setelah lewat seratus jurus lebih, tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan suara bentakan
melengking dan kedua tangannya memegang bambu kuning itu mendorong ke depan. Hui
Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya dan ter-dengar suara keras ketika tongkatnya
patah menjadi dua potong! Terpaksa dia melompat ke belakang.
"Omitohud....! Engkau memang tangguh sekali, Jeng-ciang-kwi!" terpaksa dia mengakui
keunggulan lawan. "Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak bertanding dengan aku" Kulihat Im Yang Sengcu berada di
sini. Selain dia, kiranya tidak ada yang pantas menjadi lawanku, ha-ha-ha!"
Im Yang Sengcu adalah seorang ketua dari perkumpulan besar Kun-lun-pai. Tentu saja dia
merasa segan untuk bertanding begitu saja di depan umum melawan seorang yang tidak ada
urusan apa-apa dengan dirinya pribadi atau dengan Kun-lun-pai, maka dia merasa serba salah.
Akan tetapi melihat Hui Sian Hwesio sudah dikalahkan, Im Yang Sengcu juga merasa tidak
enak kalau diam saja. Dia lalu bangkit berdiri menghampin Jeng-ciane-kwi dan setelah
berhadapan, dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan
berkata, "Siancai, plnto Ketua Kun-lun-pai tidak mempunyai alasan untuk bertanding deneanmu. Akan tetapi pinto merasa kagum sekali atas kepandaianmu yang tinggi, Jeng-ciangkwi. Terimalah hormat pinto.
Ketika tosu itu memberi hormat dengan mengacungkan kedua tangan depan dada, ada
serangkum hawa yang me-nyambar dari kedua tangannya ke depan. Jeng-ciang-kwi segera
maklum bahwa tosu itu hendak menguji kekuatan sin-kangnya, maka dia pun cepat membalas
penehormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke
depan sambil mengerahkan sin-kang. Terjadi adu tenaga sakti yang amat dahsyat di udara.
Mereka yang berada agak dekat dapat merasakan getaran itu dan otomatis mereka meiangkah
mundur. Dan dalam adu tenaga sakti itu, Ketua Kun-lun-pai tergetar dan kedudukan kakinya
berubah, akan tetapi sebaliknya Jeng-ciang-kwi melangkah mundur dua kali. Ini merupakan
tanda bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Iblis Tangan Seribu itu masih kalah setingkat. Dia
terkejut sekali dan merasa beruntung bahwa Ketua Kun-lun-pai itu menjaga martabat dan
tidak mau mengadu Imu kepandaian dengannya, karena kalau demikian halnya, besar
kemungkinan dia akan katah melawan Ketua Kun-lun-pai itu.
Sementara itu, Gui Tiong In s'idah bangkit dan melangkah maju menghadapi Jeng-ciang-kwi
dan suaranya terdengar menggeledek ketika dia berkata, "Jeng-ciang-kwi, kami minta engkau
suka mun-dur dan jangan membikin kacau pemilih-an bengcu yang sudah berjalan tertib ini.
Kalau engkau tidak mau menghentikan pengacauanmu, engkau akan berhadapan dengan
pemerintah!" Jeng-ciang-kwi merasa jerih ditantang seperti itu. Bagaimanapun juga, kalau sampai dia
dianggap musuh oleh pemerintah dan harus menghadapi pasukan besar yang kokoh kuat,
tentu dia tidak akan merasa aman lagi hidupnya. Ke manapun dia pergi, dia akan menjadi
orang buruan dan akhirnya tentu dia akan tertawan juga, atau terbunuh.
"Ha-ha-ha, siapa yang membikin kacau" Aku hanya ingin menguji kepandaian bengcu dan
sekarang juga aku akan pergi. Hanya lucu sekali kalau pemerintah mulai mencampuri urusan
dunia kang-ouw. Thian Lee, mari kita pergi!" Dia lalu memutar tubuhnya, melompat turun
dari panggung dan melangkah pergi diikuti oleh Thian Lee.
Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mengatasi kesukaran dalam kehi-dupan, untuk
mencari kesejahteraan dan kebahagiaan, seperti alat-alat lain yang ada pada diri manusia.
Ilmu tidaklah jahat ataupun baik, semua itu tergantung kepada pemakainya, kepada manusia.
Baik dan buruknya ilmu sebagai alat manusia, tergantung kepada manusianya. Kalau ilmu
dipergunakan untuk berbuat jahat, tentu saja ilmu itu menjadi ilmu jahat, sebaliknya ilmu apa
pun kalau di-pergunakan, untuk berbuat kebaikan, ilmu itu menjadi ilmu yang balk. Yang
baik atau jahat bukanlah ilmunya, bukanlah alatnya, melainkan manusianya. Dan betapa pun
tinggi ilmu, betapa pun baik-nya, apa artinya apabila ilmu tidak diamalkan untuk berbuat
kebaikan" ilmu yang dipergunakan untuk berbuat jahat, akhirnya akan menceiakakan
manusianya sendlri. Orang seperti Jeng-ciang-kwi menganggap ilmu untuk menang-menangan, untuk bersaing dan
menonjolkan diri sebagai jagoan tak terkaiahkan. Dengan sendirinya pendapat seperti ini
hanya mendatangkan permusuhan belaka. Bagaimanapun juga, orang yang dikalahkan tentu
akan mendendam dan akan mempelajari ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kekalahannya.
Dan orang begini tentu selalu memandang diri sendiri yang terpandai, tak terkalahkan,
merendahkan orang lain sehingga terpupuk kesombong-an dalam hatinya.
Setelah Jeng-ciang-kwi pergi, rapat pertemuan itu dilanjutkan dan akhirnya diambil keputusan
bahwa yang menjadl bengcu adalah Souw Tek Bun. Pendekar ini bertempat tinggal di puncak
Hong-san, tinggal seorang diri karena dalam usianya yang empat puluh tahun itu dia masih
membujang. Biarpun tingkat ke-pandaian pendekar ini belum mencapai puncaknya dan masih
dikalahkan Oleh Jeng-ciang-kwi, akan tetapi kedudukannya seba-gai bengcu cukup kuat
karena dia men-dapat dukungan wakil-wakil partai besar, tokoh-tokoh kang-ouw ternama dan
ter-utama sekali mendapat dukungan dari pemerintah Ceng. Kerajaan Ceng, terutama ketika
dipegang oleh Kaisar Kian Liong, memang pandai mengambil hati orang-orang pandai.
Karena dunia kang-ouw juga sudah dirangkulnya, maka tentu saja para pendekar tidak lagi
memiliki semangat untuk memberontak, tidak ada pikiran untuk berjuang membebaskan
rakyat dari penjajahan. Apalagi karena sang penjajah mementingkan kebutuhan rakyat, tidak
menekan, bahkan lebih baik daripada ketika rakyat diperintah oleh bangsa sendiri, maka
rakyat pun merasa lega dan tidak mempunyai keinginan untuk memberontak. Kalau
pemerintah sudah mendapat dukungan rakyat terbanyak, tentu saja pemerintah itu menjadi
kuat. Jeng-ciang-kwi membawa muridnya ke tempat tinggalnya, yaitu di Bukit Kwi-san yang
berada di utara. Di Kwi-san ini terdapat sebuah lembah yang disebut Lembah Iblis dan di
tengah lembah itu terdapat sebuah guha yang dari jauh bentuknya mirip tengkorak manusia,
ka-rena itu disebut Guha Tengkorak. Di Lembah Iblis ini, Jeng-ciang-kwi tinggal sebagai
majikannya dan dia mempunyai selosin anak buah yang selalu menjaga tempat itu. Jalan
masuk ke tempat ting-gal Jeng-ciang-kwi hanya satu, yaitu melalui guha yang seperti
tengkorak itu. Ketika Thian Lee tiba di situ bersama gurunya, dia merasa ngeri melihat guha
yang mirip tengkorak itu. Kemudian ber-munculan dua belas orang yang berpakaian serba
hitam dan mereka itu kelihatan bengis dan bertubuh kuat. Mereka semua memberi hormat
kepada Jeng-ciang-kwi sambil berlutut di kanan kiri guha.
"Terjadi apakah selama aku pergi?" tanya Jeng-ciang-kwi.
"Tidak terjadi sesuatu yang penting, Kokcu (Majikan Lembah)," seorang di antara mereka
melapor. "Bagus! Kalian lihat baik-baik, anak ini adalah Song Thian Lee, muridku yang baru. Kalian
harus bersikap baik-baik kepadanya. Dan Thian Lee, mereka ini adalah para pfelayanku, juga
murid-murid-ku dan anak buahku. Engkau harus meng-hormati mereka."
"Baik, Suhu. Para suheng, kalian baik-baik sajakah?" tegur Thian Lee kepada mereka. Dua
belas orang itu hanyai mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Aku ingin merayakan kepulanganku bersama Thian Lee, sediakan arak dan, makanan," kata
pula Jeng-ciang-kwi dan dia mengajak Thian Lee memasuki guha tengkorak. Ternyata guha
itu besar dan dalam. Dan di sebelah dalamnya merupa-kan terowongan yang lebar dan
panjang yang menembus ke sebuah taman yang luas pula. Dan di tengah-tengah aman itu
berdirilah sebuah bangunan yang me-gah dan besar. Kiranya kakek itu memiliki tempat
tinggal yang besar dan bagus, pikir Thian Lee terheran. Mereka memasuki rumah itu dan
Thian Lee mendapat-kan sebuah kamar di tengah. Dua belas orang itu memiliki kamar-kamar
di ba-gian belakang rumah besar itu.
Demikianlah, mulai hari itu Thia Lee tinggal di rumah besar Jeng-ciang-kwi. Dan mulai pula
dia menerima pelajaran ilmu sMat dari gurunya. Karena Thian Lee sudah memiliki
pengetahuan dasar ilmu silat tinggi yang dipelajari selama dua tahun dari Liok-te Lo-mo, dan
ka-rena memang dia berbakat baik, maka dengan mudah dia dapat berlatih sesuai dengan
pelajaran yang diberikan Jeng-ciang-kwi. Juga Iwee-kang yang pernah dilatihnya dari Liok-te


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo-mo dengan cara merendam tangan di dalam es, lalu memanggang di atas api, telah mendatangkan sin-kang yang lumayan.
Selama setengah tahun menjadi murid Jeng-ciang-kwi, Thian Lee merasa bahwa apa yang
diajarkan Jeng-ciang-kwi amat-lah lambat. Dan selain menjadi mund dan belajar silat,
waktunya dihabiskan untuk bekerja di dalam rumah itu. Mem-bersihkan semua perabotan,
menyapu lantai dan segala macam pekerjaan yang dia lakukan setiap hari.
Ada satu hal yang membuat Thian Lee merasa penasaran. Di dalam rumah itu terdapat sebuah
kamar yang pintunya selalu tertutup. Gurunya melarang dia memasuki kamar itu, apalagi
membersih-kannya. Sudah lajim bagi siapa saja, hal yang dilarang itu bahkan menarik hati,
Karena dilarang memasuki kamar itu, Thian Lee merasa penasaran dan ingin sekali dia
melihat apa sebetulnya yang berada di kamar itu.
Pada suatu hari, Jeng-ciang-kwi memanggil Thian Lee, "Thian Lee aku akan meninggalkan
rumah barang tiga hari. Engkau jaga rumah baik-baik dan jangan lupa untuk melatih jurus
yang baru ku-ajarkan kepadamu kemarin. Juga jangan lupa membersihkan rumah. Ingat,
jangan keluar dari dalam guha kalau aku sedang tidak berada di rumah."
"Baik, Suhu." kata Thian Lee.
Setelah gurunya pergi, dia menyapu lantai rumah yang luas itu seperti biasa. Ketika dia
menyapu tiba di depan kamar yang terlarang itu, dia berhenti dan termenung memandangi
pintu kamar. Apa sih yang berada di dalam kamar ini, pikirnya ingin sekall tahu. Gurunya
sedang tidak berada di rumah dan para anak buah gurunya juga tidak berada di rumah itu.
Mereka itu selalu berada dl luar rumah untuk bekerja mengurus keperluan sehari-hari dan juga
untuk berjaga rumah di sebelah luar. Kalau tidak dipanggil oleh Jeng-ciang-kwi, tidak ada
seorang pun di antara mereka yang berani memasukl rumah.
Tidak ada orang lain di dalam rumah, pikir Thian Lee. Kalau aku menjenguk ke dalam kamar,
apa salahnya" Karena keinginan tahu yang amat mendesak, yang timbul dari larangan
suhunya, akhirnya Thian Lee mendorong daun pintu. Daun pintu itu tidak dikunci dan biarpun
agars' berat, dapat juga terbuka. Dan ternyata, kamar itu penuh dengan kitab! Berderet-deret
di rak buku dan juga kotor ber-debu!
Thian Lee adalah seorang penggemar membaca kitab. Maka melihat demikian banyaknya
kitab, hatinya menjadi girang sekali. Kalau hanya kitab-kitab isi kamar ini, mengapa
dirahasiakan oleh gurunya"' Melihat kitab-kitab itu demikian kotor, Thian Lee segera
membersihkannya dengan pengebut bulu. Juga lantainya kotor" bukan main. Dia mengebut
lalu menyapu lantainya sehingga kamar itu bersih.Akan tetapi selain itu, dia tidak dapat
mehahan keinginan hatinya untuk melihat-lihat kitab itu. Ada sebuah kitab yang kelihatan
sudah tua sekali. Dibukanya kitab itu dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran silat.
Judul kitab itu "Pat-kwa-sin-kun" (Ilmu Silat Sakti Delapan Segi) dan segera dibacanya.
Membaca satu bagian Thian Lee mengnafalnya di luar kepala, lalu dia mengernbalikan kitab
itu dan keluar dari dalam kamar. Malamnya, di dalam kamarnya, dia mengingat kembali apa
yang telah dibacanya dan mencoba untuk memainkan jurus ilmu silat yang telah dibacanya.
Ternyata lebih mengasyikkan daripada apa yang telah dipejari dari gurunya.
Sekali membaca bagian pertama, Thian Lee .rnenjadi penasaran dan setiap kali terdapat
kesempatan, dia selalu menyelinap masuk ke dalam kamar pustaka dan membaca kitab Patkwa-sin-kun. Sedikit demi sedikit dia membaca dan menghafalkan lalu melatih dirinya di
dalam kamar. Sebetulnya ilmu silat Pak-kwa-sin-kun yang dipelajari Thian Lee itu hanyalah ilmu silat biasa
saja, akan tetapi karena dia mempelajari sambil sembunyi-sembunyi, maka menarik sekali dan
dia merasa seolah menemukan suatu ilmu rahasia yang hebat.
. Akan tetapi pada suatu hari, ketika dia sedang membaca kitab di dalam ka-mar tiba-tiba
terdengar tindakan kaki di luar kamar! Dan terdengar suara gurunya, "Benarkah bahwa dia
sering kali memasuki kamar ini?"
"Benar, Kokcu. Saya tidak berani berbohong!" terdengar suara seorang anak buah.
Mendadak kamar itu terbuka. Gurunya sudah berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut
dan mata mencorong marah Thian Lee yang sedang membaca kitab itu menjadi demikian
kaget sehingga kitab itu terjatuh ke atas lantai.
"Kau....! Berani engkau melanggar laranganku?" bentak Jeng-ciang-kwi.
Karena sudah ketahuan, Thian Lee tidak dapat membela diri. Dia hanya menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, "Ampunkan teecu, Suhu!"
"Enak saja minta ampun. Hayo keluar!" Bentak gurunya. Thian Lee keluar dan pintu kamar
itu kembali ditutup oleh Jeng-ciang-kwi. Kemudian dia menarik Thian Lee diajak pergi keluar
dan ru-mah, terus melalui terowongan dari keluar dari dalam guha tengkorak. Seperti terbang
kakek itu lari sambil menggandeng tangan Thian Lee yang tergantung | dan seperti
diterbangkan saja. Setelah tiba di kaki bukit, barulah kakek itu berhenti. "Engkau tahu dosamu?"
"Teecu mengaku salah, Suhu," kata Thian Lee dan dalam suaranya terkandung ketakutan
melihat wajah gurunya yang demikian bengisnya.
"Engkau pantas dihukum mati! Belum pernah ada orang yang melanggar larang-anku!" Dia
mengeluarkan sehelai tali yang agaknya dibawanya sejak tadi dan , sekali dia melempar tali
itu, tubuh Thian Lee sudah terlibat dan terikat tali.
"Maafkan teecu Suhu," kata Thian Lee. Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, melainkan
dengan satu hentakan tubuh Thian Lee yang sudah terikat tali "itu melayang ke atas pohon
dan di lain saat dia telah tergantung dari pohon dengan kedua tangan terikat pada tubuhnya.
Dia digantung di situ sehingga kepalanya berada di bawah kakinya di atas, sama sekali tidak
mampu meronta karena kedua lengan dan kaki terbelit-belit tali yang kuat sekali. Dia
tergantung kira-kita satu meter dari tanah dan kakek itu mengikatkan ujung tali pada batang
pohon. "Aku akan membiarkan engkau di sini sampai ada harimau atau binatang buas lain
memakanmu! Inilah hukumanmu!" kata kakek itu dan dia segera pergi dari situ meninggalkan
Thian Lee tergantung dari pohon itu.
Thian Lee merasa ngeri. Dia tahu bahwa di sekitar tempat ini memang banyak terdapat
binatang buas sepepti harimau, ular dan semacam srigala yang buas.
"Suhu, lepaskan teecu...." Berulang dia memohon akan tetapi tidak ada suara jawaban.
Agaknya kakek itu sudah meninggalkan dia dalam keadaan tidak berdaya. Kalau benar
muncul harimau atau binatang liar lainnya, tentu dia akan mudah dijadikan mangsa binatang
itu tanpa dapat melawan atau melarikan diri sama sekali
Jilid 4________ "Suhuu" Sampai serak tenggorokannya memanggil gurunya, akan tetapi sia-sia saja. Bahkan
yang muncul bukan gurunya, melainkan seekor harimau hitam! Harimau itu mengendusendus dengan mulutnya, mencium bau manusia dan akhirnya dilihatnya pemuda remaja yang
tergantung di situ. Berindap-indap harimau itu menghampiri, mengeluarkan suara auman
mengerikan. Kemudian dia mendekam dan mengambil ancang-ancang untuk menubruk Thian
Lee. Tentu saja anak itu merasa ngeri bukan main. "Suhu....! Tolonglah teecu...!" Dia berteriak dan
teriakannya mengejutkan harimau itu akan tetapi tidak menbuatnya takut, hanya agaknya
menunda terkamannya. Sejenak harimau itu menunggu, akan tetapi karena tidak terjadi
sesuatu, dia lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat dan menerkam mangsa itu.
Thian Lee terbelalak memandang harimau itu. Mati aku sekarang, pikirnya dan otomatis
mulutnya berseru, "Ibu, tolonglah aku....!"
Pada saat itu harimau melompat dan menerkam. Thian Lee memejamkan matanya, menanti
saat dia diterkam. Akan tetapi terdengar suara gedebukan dan harimau itu menggereng keras.
Ketika dia membuka mata, dia melihat harimau itu bergulingan dan sebatang kayu sebe-sar
lengan telah menancap di perut harimau itu. Kemudian harimau itu melarikan diri sambil
membawa kayu yang masih menancap di perutnya. Agaknya ada yang menolongnya dan
menyerang harimau itu dengan tombak kayu! Tentu gurunya yang menolongnya.
Nampak Jeng-ciang-kwi muncul keluar entah dari mana dan dia pun marah-marah. "Jahanam
keparat! Siapa yang berani lancang membunuh harimau dan menolong anak setan ini?"
Thian Lee masih tidak mengerti, mengira gurunya berpura-pura karena selain gurunya, siapa
dapat menolongnya tadi dan membuat harinnau itu terluka dan melarikan diri" Dia hanya
dapat memandang sambil bergantung di tali itu.
"Jeng-ciang-kwi, engkau yang jahanam keparat! Kernbalikan jiwa suteku." Terdengar
bentakan nyaring suara wanita dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang wanita yang
menyeramkan sekali. Wanita itu sebetulnya tidak buruk wajahnya, bahkan dapat dibilang
cantik akan tetapi muka itu pucat seperti muka mayat, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Tubuhnya tinggi kurus, usianya kurang lebih empat puluh tahun
dan bajunya serba merah! Di tangan wanita itu terpegang seekor ular merah yang panjangnya
hanya setengah meter dan besarnya seibu jari kaH. Ular itu melingkar di lengan kanannya.
Melihat wanita itu, Jeng-ciang-kwi memandang tajam lalu tertawa, "Ha-ha-ha, tentu engkau
yang bernama Ang-tok Mo-li (Iblis Wanita Racun Merah)." Mungkin julukan itu karena ia
berpakaian serba merah, dan melihat julukannya pakai racun dapat diduga bahwa ular yang
berada di tangannya itu tentu juga beracun!
"Sudah mengenal namaku, engkau harus rnembayar hutangmu atas kematian suteku!"
"Hemm, sutemu itu tentu Hek-kak-liong, bukan" Ketahullah, Hek-kak-liong (Naga Tanduk
Hitam) berani menentangku dan kanru berkelahi. Karena kepandaiannya yang belum seberapa
berani menen-tangku, dan dalam perkelahian dia tewas, apa lagi yang harus diributkah?"
"Dia adalah suteku yang tercinta, sekarang telah kaubunuh, engkau harus mengganti
nyawanya!" bentak wanita itu, suaranya nyaring melengking.
"Heh-heh-heh, adik seperguruanmu ataukah kekasihmu" Ha-ha, aku sudah mendengar bahwa
Hek-kak-liong itu seorang mata keranjang dan engkau iblis betina ini juga tidak jelek."
"Keparat, engkau harus marasai tanganku!" bentak wanita itu marah dan ia pun sudah
menubruk maju dan menyerang kakek itu dengan cakaran tangaf kirinya yang berkuku
runcing. Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat serangan ini yang mendatangkan angin keras
dan dia mencium bau amis, tanda bahwa tangan wanita itu, mungkin kukunya, mengan-dung
racun yang berbahaya. Maka dia pun melompat ke belakang lalu mengayun tongkat
bambunya menyerang. Akan te-tapi wanlta itu dapat bergerak dengan gesit, mengelak dari
sambaran tongkat bambu, lalu menyerang lagi, kini lebih hebat karena dia menggunakan
tangan kanan dan ular yang tadi melingkar di lengan kanannya itu tiba-tiba terulur dan
menggigit ke arah pundak Jeng-ciang-kwi. Kakek ini mendengus dan mengelak sambil
memutar tongkat bambunya. Me-reka segera saling serang dengan seru dan hebatnya.
Sementara itu,thian Lee yang masih tergantung itu tiba-tiba melihat seorang artak perempuan
menghampirinya. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, cantik mams
dengan Tarribut dikepang menjadi dua kuncir dan memakai pita merah. Pakaiannya
berkembang-kembang dan tangan kirinya juga mem-bawa seekor ular hitam. Dia mendekati
Thian Lee dan bertanya, "Engkau ini kenapakah diikat dan digantung di sini" Hi-hik, kau lucu
sekali, seperti seekor monyet yang tertangkap jebakan, hi-hik."
Thian Lee mengerutkan alisnya. Ucap-an anak perempuan itu menyakitkan hati-nya. Kalau
tadinya dia ingin minta to-long agar dilepaskan, ketika mendengar ucapan itu, maksudnya
minta tolong diibatalkan.
"Aku diikat di sini, apa pedulimu" Pergilah, tak perlu engkau mengejek
aku!" kata Thian Lee.
Anak perempuan ilu tertawa. "Aku tahu, engkau tentu hendak dibunuh oleh kakek jahat itu.
Tadi kalau tidak ada aku yang menyambitkan tombak kayu kepada harimau itu, engkau kini
tentti sudah berada di dalam perut harimau dan tidak dapat bersikap angkuh seperti ini." Thian
Lee terkejut. Jadi bocah inikah yang tadi telah menyelamatkan nyawanya dari terkaman
harimau" Dia menyesal telah bersikap tidak bersahabat. "Ah, engkau yang tadi menolongku"
Terima kasih kalau begitu," katanya dan mukanya berubah merah.
"Engkau belum menjawab pertanyaan-ku. Kenapa engkau terikat disini?"
"Suhu yang mengikat aku di sini."
"Suhumu" Siapa suhumu?"
"Jeng-ciang-kwi itulah suhuku."
"Dan dia mengikat muridnya sendiri untuk dimakan harimau" Bagaimana ini" Mana ada suhu
mengancam begitu?" "Aku yang bersalah. Aku mencuri baca kitab milik Suhu dan aku dihukum."
"Tidak pantas! Kalau murld membaca kitab gurunya, hal itu sudah semestinya. Menghukum
boleh saja, akan tetapi se-ngaja mengorbankan murid untuk dimakan harimau" Itu sungguh
mengerikan dan keji sekali. Mari kubebaskan engkau, maukah?"
"Tentu saja mau."
Bocah itu lalu mengalungkan ular hitam di lehernya sehingga kini kuncirnya bertambah satu
karena seekor ular itu berjuntai seperti kuncir rambut. Kemudi-an sepuluh jari tangannya yang
kecil mungil mulai membuka ikatan pada tubuh Thian Lee sehingga akhirnya Thlan Lee
terlepas dan jatuh ke atas tanah. Dia merasa kaki tangannya bekas gigitan ikatan tali itu nyerinyeri dan kini dia bangkit memandang kepada gadis cilik itu.
Anak perempuan itu hanya setinggi pundaknya. Diam-diam dia kaget sekali. Masih begitu
kecil sudah dapat membuat harimau tadi terluka parah dan melarikan diri, mungkin mati
karena perutnya ter-tembus kayu. Hebat sekali! ", "Apakah engkau murid wanita yang
bertempur melaWan guruku itu?"
"Benar, namaku Bu Lee Cin. Engkau siapa?"
"Namaku Song Thian Lee. Lee Cih, terima kasih atas pertolonganmu yang dua kali itu.
Membunuh harimau dan mernbebaskan aku dari ikatan. Mudah-mudahan lain waktu aku
dapat membalas pertolonganmu ini."
"Hemm, tidak bisa. Agaknya kita sekarang harus tertanding, saling serang. Hayo, mulailah"
anak perempuan itu sudah memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang Thian Lee.
"Eh" Apa-apaan engkau ini" Mengapa kita harus saling serang?"
"Lihat gurumu dan guruku sudah bertanding. Kita sebagai murid-murid mereka harus
membela guru, maka marilah kita bertanding."
"Tidak, engkau sudah menolongku, untuk apa aku bertanding" Kalau engkau tadi tidak
mpnolongku, aku sudah mati diterkam harimau. Kalau kini engkau hendak menagih, ambillah
nyawaku. Bunuhlah aku, aku tidak akan melawan."
Gadis itu tidak jadi memasang kuda-kuda. "Lho, engkau ini bagaimana sih" Apakah engkau
tidak hendak membantu gurumu?"
"Tidak, kalau pembelaan itu mengharuskan aku bertanding denganmu. Engkau seorang gadis
yang baik, aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuh."
"Kalau begitu, mari kita menonton saja. Kaukira siapa yang akan menang" Guruku atau
gurumu?" tanya Lee Cin.
"Tongkat bambu kuning guruku lihai sekali, gurumu tidak akan menang," kata Thian Lee
sambil menonton pertempuran yang masih berlangsung seru itu.
"Belum tentu! Engkau tidak tahu. Ular yang dibawa guruku itu adalah ular merah yang
racunnya ampuh sekali. Sekali terkena gigitan ular itu, gurumu akan mampus!" jawab Lee Cin
tidak mau kalah. Pertandingan itu memang hebat bukan main. Baru sekarang Jeng-ciang-kwi ber-temu tanding
yang setingkat. Memang, permainan tongkat bambu kuning di tangannya membuat lawannya
terdesak, akan tetapi Ang-tok Mo-li memiliki ge-rakan yang gesit sekali sehingga biarpun
terdesak, tubuhnya berkelebatan di anta-ra gulungan sinar tongkat yang kekuning-kuningan.
Sementara itu, ,beberapa kali ularnya hampir dapat menggigit lengan kakek itu sehingga
kakek itu rnenjadi lebih hati-hati memutar tongkatnya, tidak memberi lubang sama sekali bagi
ular itu untuk mematuk. Ular itu adalah Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah), bukan saja
beracun hebat sekali, akan tetapi juga memiliki gerakan yang gesit.
Setiap kali ujung tongkat bambu mengancam kepalanya, ular itu dapat mengelak sendiri.
Ekornya membelit pergelangan tangan wanita tua itu dan kepalanya kadang meluncur untuk
menyerang. Biar-pun ada ular di lengannya, Ang-tok Mo" li masih dapat menggunakan
tangan ka-nan itu untuk menyerang dan kedua ta" ngannya yang membentuk cakar itu juga
mengandung racun yang hebat sehingga Jeng-ciang-kwi harus berhati-hati sekali karena
sekali saja terkena goresan kuku atau gigitan ular, akibatnya akan berbahaya bagi dirinya.
Perkelahian itu sudah berlangsung hampir dua ratus jurus dan belum ada yang menang atau
kalah. Dua orang anak yang menonton itu duduk berdampingan seperti dua orang sahabat
baik. Katau ada orang melihatnya tentu sama sekali tidak akan mengira bahwa mereka adalah
murid-murid dari dua orang yang berkelahi mati-matian nampak begitu akur!
"Bagaimana kalau gurumu nanti kalah dan mati, Thian, Lee?" tanya Bu Lee Cin.
''Hemm, aku akan pergi merantau dan hidup sebatang kara di kolong langit ini."
"Kau sudah tidak mempunyai ayah ibu dan saudara?"
"Tidak sama sekali, hanya seorang diri sebatang kara."
"Sama saja. Aku pun demikian. Hanya ada Subo disampingku."
"Hemm, bagaimana kalau, subomu yang kalah dan tewas?"
"Aku pun akan merantau' seorang diri. Aih, alangkah senangnya kalau kita dapat pergi
merantau berdua, Thian Lee!"
"Ya, senang sekali. Hemm, bagaimana mungkin" Engkau murid subomu dan aku murid
suhuku."' "Engkau tidak menyesai Walau suhumu kalah dan tewas?"
"Apa yang disesalkan" Suhu tadi juga hampir membunuhku. Kalau dia kalah dan tewas,
adalah kesalahannya sendiri mengapa dia sampai kalah. Bagaimana kalau subomu yang
tewas" Apakah engkau tidak menyesal?"
"Tentu saja. Aku akan Belajar lebih' tekun dan k^lak membalas kernatian suboku."
Terdengar suara melengking keras yang menghentikan percakapan mereka karena mereka
kini memperhatikan lagi jalannya pertandingan yang terlalu cepat bagi mereka. Kadang
mereka tidak dapat membedakan mana guru masing-masing kalau kedua orang itu bergerak
cepat. Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan bentakan nyaring, "Kena....!" Dari ujung tongkatnya
benar saja telah berhasil menotok pundak lawan. Ang-tok Mo-li menjerit dan tangan kirinya
bergerak, tiba-tiba ular merahnya meloncat dan seperti terbang meluncur ke depan, tahu-tahu
sudah menempel di lengan Jeng-ciang-kwi dan menggigit sekali, lalu mencelat lagi kembali
ke tangan Ang-tok Mo-li. Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang dan rnuntah darah,, sebaliknya Jeng-ciang-kwi juga
terhuyung lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya rnengerah-kan sin-kang untuk
melawan racun ular yang telah menggigit lengannya. Ang-tok Mo-li juga ambruk dan bersila.
Ke-dua orang itu sama-sama telah terluka parah, entah siapa yang lebih parah. Ang-tok Mo-li
yang tertotok pundaknya ataukah jeng-ciang-kwi yang tergigit ular merah. Ang-hwa-coa
memang mempunyai racun yang hebat sekali dan orang yang terkena gigitannya akan sukar
mendapat-kan obatnya. Ang-tok Mo-li juga terkena totokan di pundaknya yang membuatnya
terluka hebat di sebelah dalam dadanya.
Jeng-ciang-kwi cepat menotok siku dan pangkal lengannya untuk menghenti-kan jalan
darahnya agar racun tidak menjalar naik, akan tetapi dia menderita nyeri yang bukan main.


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengannya seper-ti dibakar.
Thian Lee lari menghampiri gurunya, lalu memapahnya untuk diajak pergi dari situ, untuk
kembali ke rumah di puncak Kwi-san. Dan Lee Cin juga memapah gurunya, diajak pergi
meninggalkan tempat itu. Kedua orang yang sudah terluka itu menurut saja dipapah muridnya
ka-rena mereka khawatir kalau tidak cepat pergi dan lawan dapat menyerang selagi mereka
terluka, tentu mereka tidak akan dapat melawan lagi.
Thian Lee memapah gurunya yang bersandar kepadanya dan berjalan terta-tih-tatih. "Jangan...
jangan bawa aku pu-lang.... bawa ke sana, ke barat, ke hutan itu."
"Akan tetapi, Suhu, kenapa tidak pulang dan mau apa ke hutan itu?" tanya Thian Lee heran.
"Aku mendengar dari para suhengrrtu bahwa di sana terdapat seorang tabib sedang
mengumpulkan daun-daun dan akar obat. Mungkin dia akan dapat menolong dan
mengobatiku." "Baik, Suhu." Thian Lee lalu menuju ke hutan dan suhunya tetap berpegang pada pundaknya
dan melangkah perlahan-lahan menahan nyeri.
"Thian Lee...." "Ya, Suhu?"
"Kenapa engkau mau menolongku" Aku hampir saja membunuhmu, membiar-kanmu menjadi
mangsa harimau." "Teecu telah bersalah mencuri baca kitab dan Suhu telah menghukum teecu, itu sudah
sepantasnya. Kini Suhu terluka dan teecu menolong Suhu, juga sudah sepatutnya."
"Thian Lee, engkau anak yang baik, terlalu baik. Kelak kebaikanmu malah akan
menyusahkan dirimu sendiri." Akani tetapi Thian Lee sudah tidak mau mem-j pedulikan lagi
kepada suhunya dan me-langkah terus memasuki hutan. Tak lama kemudian benar saja dia
melihat seorang yang berpakaian longgar sedang mencari daun-daun di antara semak belukar.
"Locianpwe....!" Thian Lee memanggil! dan orang itu menengok, melihat anak yang
memapah seorang kakek bongkok kurus.
"Eh, .siapakah engkau, Nak" Ada urusan apa mencari dan memanggil pinto?"
Kiranya orang itu seorang tosu, maka Thian Lee cepat memberi hormat. "To-tiang, kami
datang mencari Totiang untuk memohon pertolongan Totiang."
"Pertolongan apa yang dapat pinto berikan?"
Kini Jeng-ciang-kwi yang berkata,
"Sobat, aku mohon pertolonganmu untuk mengobati aku. Seekor ular menggigit lenganku dan
nyerinya bukan kepalang. Ular itu tentu berbisa sekali."
Tosu itu kelihatan kaget mendengar iifgK dan cepat dia menghampiri Jeng-ciang-kwi. Dia
menyuruh kakek itu duduk, kemudian diperiksanya luka di lengan itu. Ketika dia melihat
denyut nadinya, tahulah dia bahwa jalan darah telah dihentikan di bagian siku dan pangkal
lengan. "Untung jalan darahmu dihentikan, kalau tidak tentu sudah menjalar ke atas. Akan tetapi,
racun ini hebat bukan main. Seperti apakah bentuk dan warna ular itu?"'
"Ularnya berwafna reerah, sebesar jari dan panjangnya setengah meter." kata Jeng-cian-kwi.
"Siancai....! Sudah kuduga. Tentu ular itu Ang-hwa-coa yang racunnya luar biasa sekali
hebatnya! Akan tetapi agak-nya Thian belum menghendaki engkau tewas maka engkau
bertemu dengan pin-to. Sungguh kebetulan sekali baru kema-rin ini pinto menemukan buah
Coa-cu (Mestika Ular) yang dapat memunahkan racun Ang-hwa-coa. Padahal buah seperti ini
amat langka. Agaknya Thian mem-benkan kepada pinto justeru untuk me-nolongmu, sobat.
Nah, kaumakanlah buah iru, rasanya pahit dan getir dan merupakan obat mujarab untuk
menolong nyawamu. Dengan penuh semangat Jeng-ciane-kwi menerima dan makan buah sebesar kepalan tangan
itu. Rasanya amat pahit dan getir, akan tetapi sambil memejamkan matanya dimakannya
semua buah itu sampai habis dan terasa perutnya panas.
.sekarang pinto harus melukai lenean yang tergigit untuk mengeluarkan darah yang sudah
keracunan," kata tabib itu dan dia mengeluarkan sebilah pisau motong daun yang tajam lalu
ditorehnya luka di lengan yang tergigit ular itu, selebar dua senti sampai mengenai urat-nya.
Lalu dia mengurut-urut lengan itu dan darah bercucuran dari lukanya. Da-rah yang
menghitam! Setelah beberapa saat lamanya, dia berkata, "Nah, sekarang sudah selamat, engkau boleh
mengalirkan darahmu kem-bali ke lengan yang terluka," katanya sambil membubuhkan obat
bubuk ke atas luka itu yang sebentar saja mengering. Jeng-ciang-kwi lalu menggunakan jari
tangan kiri untuk membebaskan totokan iengan kanannya sehingga darahnya ber- , jalan
lancar kembaii. Rasa panas di pe-rutnya makin lama makin menghilang dan dia tidak
merasakan nyeri lagi pada lengannya.
Setelah menggerak-gerakkan lengannya yang sudah pulih kembali kekuatannya, Jeng-ciangkwi memandang kepada tosu itu. Tosu itu pun memandang kepadanya dan berkata, "Siancai,
engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi masih saja dapat dikalahkan musuh.
Entah sam-pai bagaimana hebatnya kepandaian mu-suhmu itu."
"Siapa kalah" Aku tidak kalah!" bentak Jeng-ciang-kwi. "Engkau yang me-ngira bahwa aku
dikalahkan orang harus kubunuh agar jangan menyebar berita bohong itu!" Berkata demikian,
Jeng-ciang-kwi sudah mengangkat tangan untuk menyerang tabib itu.
Melihat ini, Thian Lee menjadi pena-saran sekali. Dia meloncat ke depan gurunya untuk
menghalangi gurunya me-nyerang tabib itu dan berteriak, "Suhu , tidak boleh berbuat seperti
itu!" "Heh, engkau berani menghalangi ke-hendakku?"
"Tentu saja teecu berani karena Su-hu memang bertindak salah besar. To-tiang ini telah
menyelamatkan nyawa Suhu, sepatutnya Suhu bersukur dan ber-terima kasih kepadanya,
bukan malah hendak membunuhnya!"
"Kalau engkau beram menghalangi, aku tidak segan untuk membunuhmu pula!" bentak Jengciang-kw marah. "Setelah teecu bersusah payah menolong Suhu dan mencarikan tabib, Suhu malah hendak
membunuhnya. Me-mang kami berdua tidak dapat melawan Suhu, akan tetapi kalau Suhu
membunuh kami, maka kami akan mati penasaran dan roh kami akan selalu mengutuk dan
mengejar Suhu!" bantah Thian Lee dengan sikap menantang, sama sekali tidak takut,
Anehnya, kini Jeng-ciang-kwi yang merasa ngeri. Dia tidak takut melawan manusia yang
mana pun, akan tetapi kalau benar nanti roh kedua orang itu akan selalu mengutuk dan
mengganggunya, bagaimana dia akan dapat melawan roh yang penasaran"
"Huh, aku tidak sudi itiempunyai mu-rid sepertimu lagi. Pergilah kalian!" Mendadak dia
mengamuk, kedua tangannya memukul dari jarak jauh ke arah Thian Lee dan tabib itu. Kedua
orang ini ter-jengkang karena dilanda hawa pukulan yang amat dahsyat, bahkan Thian Lee
yang berdiri di depan, langsung pingsan sedangkan tosu itu muntah darah.
"Ha-ha-ha, kalian tidak perlu rnenjadi setan penasaran, kubiarkan hidup agar lain kali aku
dapat memukul kalian lagi kalau berjumpa!" kata Jeng-ciang-kwi dan dia pun lalu pergi
berkelebat dari situ. Thian Lee siuman ketika rnerasa ke-pala dan mukanya diguyur air dingin. Kiranya dia sudah
berada di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih sekali dan tosu tabib itu sudah duduk di
dekatnya, sedangkan dia rebah telentang di iatas rumput.
Thian Lee hendak bangkit duduk, akan tetapi dia merasa dadanya sesak dan rebah kembali.
"Jangan bangkit dulu, rebah sajalah. Engkau menderita luka dalam yang cukup parah."
Thlan Lee teringat akan perbuatan Jeng-ciang-kwi yang tadi memukul me-reka dari jarak
jauh. "Dan Totiang sendiri...." Bukankah tadi juga terpukul....?"
"Pinto sudah menelan obat, luka pinto sydah hampir sembuh. Tinggal engkau yang harus
menelan obat ini untuk me-nyembuhkan luka dalam di dadarnu. Nah, lima butir pel ini
telanlah dan minumlah dengan air ini." Tosu itu memasukkan lima pel ke dalam mulut Thian
Lee lalu memberinya minum air dari daun yang lebar. Setelah menelan lima butir pel itu,
Thian Lee merasa dadanya hangat dan rasa nyeri banyak berkurang. Dia lalu bangkit duduk
dan memberi hormat kepada tabib itu.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Totiang."
"Tidak ada tolong menolong, tidak perlu berterima kasih. Perbuatan yang dianggap
pertolongan, bukanlah perbuatan baik lagi. Perbuatan yang mengandung pamrih adalah
perbuatan palsu dan buruk sekali."
Mereka duduk di tepi anak sungai. Agaknya tosu itu membawa Thian Lee ke anak sungai.
Pemandangan di situ indah sekali, dan udaranya sejuk. Suara air gemercik itu sungguh
mendatangkan rasa tenang dan tenteram.
"Kalau begitu, apa yang dinamakan kebaikan itu, Totiang?" tanya Thian Lee tertarik. Kalau
perbuatan baik dianggap pertolongan bukan perbuatan baik lagi, lalu yang disebut kebaikan
itu yang bagaimana" "Orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa dia melakukan kebaikan, maka dia
terjerumus ke dalam kepalsuan dan timbullah pamrih dalam batinnya untuk mendapatkan
imbalan dari perbuatannya itu. Kalau ada perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan
mendorong orang untuk menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan pamrih untuk kesenangan' diri pribadi. Mungkin pamrih itu berupa keinginan
agar dianggap atau disebut baik oleh orang lain, keinginan untuk mendapatkan imbalan jasa
dari yang ditolongnya, atau bahkan keinginari untuk mendapatkan berkah atau pahala cari
Tuhan karena perbuatan baik kita. Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan
apa pun macamnya pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi
perbuatannya itu hanya merupakan cara untuk memperoleh apa yang diinginkan. Bukankah
perbuatan begini palsu adanya dan munafik?"
"Kalau begitu perbuatan yang baik itu bagaimana, Totiang?"
"Tidak ada perbuatan baik bagi si pelaku bijaksana. Yang ada hanyalah per-buatan yang benar
dan ini dianggapnya sebagai suatu kewajiban dalam hidup. Hidup haruslah ada kasih sayang
di anta-ra manusia dan dari kasih sayang inilah timbul perasaan iba yang mendorong kita
berbuat benar dan membantu siapa yang berada dalam kesukaran. Perbuatan yang didorong
oleh kasih ini sama sekali tidak berpamrih, bahkan si pelaku tidak menya-dari bahwa
perbuatannya itu baik atau ti-dak. Dia hanya yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah
benar karena menurutkan dorongan kasih sayang antara manusia."
"Kakau begitu, kita tidak perlu mem-balas kebaikan orang kepada kita, Totiang?"
"Hutang budi sama saja dengan hutang dendam. Keduanya menuntut balasan. Balas budi atau
balas dendam. Ini dapat terjadi pada hati yang tidak me-ngenal kasih sayang. Bagi orang yang
mengenal kasih sayang, tidak ada me-lepas budi atau hutang budi, tidak ada melepas hutang
yang menimbulkan den-dam dan tidak ada pula dendam."
"Akan tetapi, Totiang, bagaimana mungkin kita hidup terbebas dari budi dan dendam?"
"Terserah kepada pribadi masing-ma-sing akan membiarkan dirinya terbebas ataukah tidak.
Akan tetapi siapo masih terbelenggu budi dan dendam, pastilah dia akan mengalami duka
sengsara. Kedua perasaan itu, budi dan dendam, adalah racun yang menggelapkan mata hati."
"Mengapa begitu, Totiang?"
"Contohnya. Orang yang berhutang budi pada seseorang dan ingin membalas budi itu, tentu
menganggap orang yang dihutangi budi itu seorang yang benar dan baik walaupun semua
orang meng-anggap dia seorang yang jahat. Sebaliknya, orang yang mendendam kepada
seseorang dan ingin membalas dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang den-dam itu
seorang yang salah dan jahat walaupun semua orang menganggap dla seorang yang budiman.
Sudahlah, engkau masih terlalu muda untuk dapat mengerti semua itu. Siapakah namamu,
Nak?" "Nama saya Song Thian Lee, Totiang. Oan bolehkah saya mengetahul nama Totiang?"
"Hemm, orang-orang menyebut pinto Kim-sim Yok-sian (Dewa Obat Berhati Emas), padahal
pinto hanyalah seorang tukang obat biasa saja. Jadi engkau adalah murid orang tadi. Siapakah
dia itu?" "Dia berjuluk Jeng-ciang-kwi, Totiang."
"Siancai....! Kiranya datuk sesat itu. Pantas sikapnya seperti itu. Dan engkau muridnya" Aneh,
mengapa dia malah hendak mebunuhmu" Dan mengapa eng-kau berbeda sekall dengan
gurumu?" "Saya belum lama menjadi muridnya dan ini pun karena dia memaksa saya, Totiang. Dia
marah kepada saya karena saya mencuri baca kitab pelajaran silat miliknya, maka hendak
membunuh saya." Lalu Thian Lee menceritakan bagaimana dia digantung oleh gurunya itu akan tetapi ditolong
oleh seorang anak perem-puan murid Ang-tok Mo-li. Kemudian betapa gurunya berkelahl
dengan Ang-tok Mo-li dan tergigit ular merah.
"Dan sekarang, setelah gurumu meninggalkanmu, engkau hendak ke mana" Sebaiknya kalau
engkau kembali kepada orang tuamu. Di mana mereka tinggal?"
"Totiang, kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Saya hldup sebatang kara, tidak memiliki
keluarga lagi, tidak memiliki tempat tinggal."
"Dan sekarang engkau hendak kemana" Sungguh kasihan, sekecil ini sudah hidup sebatang
kara." "Saya tidak mempunyai tujuan tetap, Totiang. Saya akan pergi merantau ke mana kaki saya
membawa saya, dan saya ingin belajar silat agar kelak tidak akan tertekan oleh orang jahat,
juga saya akan mampu mempergunakan ilmu silat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan!" kata Thian, Lee penuh semangat.
"Slancai....!" Tosu itu menjadi semakin heran mendengar niat seperti itu diucapkan oleh
murid seorang datuk seperti Jeng-ciang-kwi. "Aku heran mendengar ucapanmu, Thian Lee.
Coba kauceritakan riwayatmu."
Thian Lee tidak ragu lagi untuk men-ceritakan riwayatnya kepada kakek yang sudah
menyelamatkan nyawanya itu. Diceritakannya betapa ibunya tewas oleh orang-orang jahat
dan dia melarikan diri agar jangan dibunuh pula. Betapa ayah-nya juga telah tewas ketika dia
masih kecil. "Bagaimana ayahmu tewas dalam usia muda itu?" tanya Yok-sian tertarik.
"Ayah saya tewas dikeroyok pasukan pemerintah dengan tuduhan memberontak karena Ayah
berani menghajar seorang pangeran yang memaksa seorang gadis dusun, demikian menurut
cerita mendiang Ibu." Kemudian Thian Lee bercerita be-tapa dia bertemu Liok-te Lo-mo dan
menjadi murid kakek itu selama dua tahun.
"Murid Liok-te Lo-mo?" Tosu itU terbelalak. "Hebat, bagaimana seorang anak seperti engkau
menjadi murid datuk-datuk yang sesat dan sakti" Lalu bagaimana" Lanjutkan ceritamu." Yoksian semakin tertarik. Thian Lee lalu bercerita betapa dia diperebutkan antara Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi
dan akhirnya perebutan itu dimenangkan oleh Jeng-ciang-kwi se-hingga dia dibawa kakek
iblis itu untuk menjadi muridnya sampai mereka ber-temu dengan Ang-tok Mo-li yang menolongnya ketika dia digantung oleh Jeng-ciang-kwi.
"Demikianlah, Totiang. Guru saya yang ke dua itu memang lihai bukan main. Dia pernah
mengajak saya untuk menga-caukan pemilihan bengcu dan tidak ada yang mampu
menandinginya. Akan tetapi dia terluka keracunan ketika bertanding melawan Ang-tok Mo-li,
walaupun dia juga melukai wanita itu. Bagaimanapun juga, dia adalah guruku maka saya memapahnya untuk mencari Totiang dan minta agar Totiang suka mengobatinya. Sungguh tidak
saya sangka dia sedemikian jahatnya, setelah disembuhkan Totiang berbalik malah hendiik
membunuh Totiang." Yok-sian menghela napas panjang. "Memang demikianlah sepak terjang para datuk sesat.
Sungguh pengalamanmu hebat sekali, bertemu dengan mereka bah-kan dijadikan murid. Ahh,
sedikit banyak engkau tentu telah mempelajari ilmu silat mereka. Apakah engkau benar ingin
belajar ilmu silat, Thian Lee?"
"Benar, Totiang. Saya ingin belajar ilmu silat dengan sungguh-sungguh. Me-nurut pesan
mendiang Ibu, saya harus menjadi seorang pendekar seperti juga mendiang ayahku. Kalau
Totiang sudi menerima saya sebagai murid, saya akan berterima kasih sekali."
"Siancai....! Aku hanya tukang obat! Akan tetapi pinto mempunyai seorang suheng. Guru
kami memang memiliki dua macam ilmu, yaitu ilmu silat dan Umu pengobatan dan beliau
mengajarkan kepa-da kami sesuai dengan bakat karni. Pinto berbakat dalam ilmu pengobatan
maka Suhu mengajarkan ilmu pengobatan, sebaliknya suheng pinto berbakat dalam ilmu silat
dan dia digembleng ilmu silat tinggi. Kalau engkau suka, pinto akan mengajakmu menghadap
Suheng, mudah-mudahan dia mau menerimamu sebagai murid."
"Saya akan senang sekali, Totiang." "Baiklah. Mulai sekarang engkau mem-bantuku mencari
daun obat sambil melakukan perjalanan ke barat. Suhengku itu kini menjadi seorang pertapa
di Peau-nungan Hlmalaya dan kita harus melaku-kan perjalanan jauh sekali untuk menca-pai
tempat tinggalnya." "Saya akan melayani Totiang dengan baik dan saya sanggup melakukan perja-lanan jauh,"
kata Thian Lee dengan gi-rang dan tosu itu lalu mengajak dia me-ninggalkan tempat itu.
Thian Lee yang mengikuti Kim-sim Yok-sian merantau ke barat dan setelah lewat waktu
hampir setahun, barulah keduanya tiba di Pegunungan Himalaya! Akan tetapi perjalanan itu
merupakan pengalaman yang amat berguna bagi Thian Lee. Bukan saja membuka matanya
melihat keadaan hidupnya suku-suku bangsa di barat, akan tetapi juga setiap harinya dia
membantu Yok-sian yang se-ring kali berhenti di sebuah dusun yang dilanda wabah penyakit
untuk menolong orang. Dan sedikit demi sedikit dia men-dapat pula pengajaran pengobatan
dari Dewa Obat itu, terutama sekali menge-nai pengobatan luka-luka dan penyakit biasa yang
sering kali diderita manusia.
Suheng dari Kim-sim Yok-sian adalah seorang biasa, bukan pendeta, seorang laki-laki
berpakaian siucai (sastrawan) berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan
sikapnya tenang penuh kesabaran. Dia tinggal di sebuah puncak di antara sekian banyak
puncak-puncak Pegunungan Himalaya, sebuah puncak yang tidak terlalu tinggi akan tetapi
hawanya cukup dingin dan tempatnya sunyi. Dia memiliki sebuah pondok sederhana dengan
kebun yang luas. Nama pendekar yang mengenakan jubah sastrawan ini adalah Tan Jeng Kun.
Berbeda dengan sutenya, Kim-sim Yok-sian yang me nper-oleh nama julukan karena dia
berkecim-pung di dunia kang-ouw, Tan Jeng Kun ini tidak dikenal orang kang-ouw karena
semenjak muda dia mengasingkan diri dan bertapa seperti seorang yang sudah menjauhkan
diri dari dunia ramai. Ketika Yok-sian dan Thian Lee tiba di tempat itu, mereka melihat tuan ru-mah yang hidup
menyendiri itu sedang memasak air di atas api unggun yang dibuatnya di halaman depan
rumahnya. Ketika melihat Yok-sian, orang itu ter-belalak gembira, lalu bangkit berdiri dan
kedua kakak beradik seperguruan ini lalu saling memberi hormat, kemudian saling
merangkul. "Sute, angin apakah yang meniupmu sampai ke sini" Sudah sepuluh tahun berpisah, baru harl
ini tiba-tiba engkau muncul, betapa senangnya hatiku'" kata Tan Jeng Kun sambil tertawa
gembira. "Suheng, setelah berpisah sepuluh tahun kini engkau kelihatan makin muda dan gagah saja.
Agaknya selama ini eng-kau tidak menyia-nyiakan ilmumu dan berlatih terus!" jawab Yoksian. Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang mendengar ucapan sutenya itu. "Nah, itulah tidak
enaknya belajar silat, Sute. Aku sekarang merasa menyesal sekali mengapa dulu aku tidak
mempela-jari saja llmu pengobatan seperti engkau. Sekali paham ilmu pengobatan, tidak usah


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlatih setiap hari. Berbeda dengan ilmu silat, kalau tidak dilatih larna-lama akan lenyap atau
berkurang tingkatnya. Juga, ilmu silat hanyalah untuk memukul orang, sedangkan ilmu
pengobatan untuk menolong dan menyembuhkan orang. Aih, Sute, engkau jauh lebih
beruntung daripada aku. Eh, siapakah anak ini" Engkau" malah sudah mempunyai seorang
murid?" "Anak ini bernama Song Thian Lee, seorang anak yatim piatu dan sebatang kara yang
kebetulan bertemu dengan pinto di jalan. Sejak menjadi yatim piatu, berulang kali dia terjatuh
ke tangan datuk sesat, bahkan pernah dipaksa men-jadi murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciangkwi! Akan tetapi karena pada da-sarnya dia berjiwa baik maka dia tidak suka menjadi murid
mereka." Yok-sian lalu menceritakan sedikit riwayat Thian Lee kepada sutenya itu.
"Kalau begitu engkau mendapatkan murid yang baik, Sute," kata Tan Jeng Kun!
"Tidak, Suheng. Dia saya bawa ke sini agar menjadi muridmu. Anak ini kulihat memiliki
dasar yang luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau menjadi murid-mu. Thian Lee, berilah
hormat kepada suhengku."
Thian Lee segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada sastrawan itu. Akan
tetapi sastrawan itu memandang dengan alis berkerut.
"Menjadi muridku" Ah, Sute, untuk apa menjadi muridku" Aku tidak suka mengajarkan ilmu
kepada orang lain yang kelak hanya akan dia pergunakan untuk melukai atau membunuh
orang saja. Engkau tahu kenapa aku bersembunyi di tempat sunyi ini" Agar jangan terpancing
berkelahi dengan orang. Tidak aku tidak suka mengajarkan silat kepada siapa pun!"
Naga Dari Selatan 18 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Pusaka Negeri Tayli 5

Cari Blog Ini