Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 9

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


"Lee Cin, aku ayahmu. Tegakah engkau membunuh ayahmu sendiri?" Souw Tek Bun
kennbali berkata dengan lembut.
Pada saat itu terdengar teriakan me-lengking . dan muncullah Ang-tok Mo-li dengan gerakan
cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya berkelebat, bayangan merah dan tahu-tahu
ia sudah berdiri di depan Souw Tek Bun, di dekat , puterinya.
"Lee Cin, jangan hiraukan dia, jangan dengarkan omongannya! Hayo cepat gerakkan
pedangmu untuk membunuhnya!
Cepat!" seru Ang-tok Mo-li dengan suara memerintah.
Melihat munculnya subonya dan mendengar perintah itu, Lee Cin mengangkat tangan
kanannya, siap menusukkan pedangnya ke dada yang bidang itu. Akan tetapi ketika ia melihat
wajah yang gagah dan tenang itu, dengan senyum halus, tiba-tiba tangannya terkulai lagi.
"Subo... subo... benarkah apa yang diceritakannya tadi, bahwa Subo adalah ibuku dan dia
adalah ayahku?" "Lee Cin, tidak usah banyak cakap. Bunuhlah dia, sekarang juga!" kembali wanita berpakaian
merah itu mendesak. "Bu Siang, engkau boleh membenciku, akan tetapi kenapa engkau demikian membenci
anakmu sendiri, menyuruhnya membunuh ayah kandungnya?" kata Souw Tek Bun penuh
penyesalan. "Baiklah, kalau begitu biarkah aku sendiri yang membunuh kalian ayah dan anak!" Ang-tok
Mo-li sudah mencabut kebutan merahnya dan meloncat tinggi untuk menyerang Souw Tek
Bun dan Lee Cin' Pada saat itu nampak sinar kilat ber-kelebat menangkis kebutan merah itu dan Ang-tok Mo-li
terkejut karena sebagian bulu kebutannya putus! Ketika ia meloncat turun dan memandang,
ternyata Thian Lee telah berdiri di depannya.
Kiranya kembali pemuda itu yang me-nandinginya! Hati Ang-tok Mo-li marah bukan main
akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi pemuda yang amat lihai ini.
Apalagi di situ terdapat Souw Tek Bun yang tidak boleh dipandang ringan. la lalu mendengus
dan membalikkan tubuhnya.
"Lee Cin, mari kita pergi!" la mengajak muridnya.
Lee Cin memandang subonya dengan sinar mata lain dan menjawab, suaranya juga terdengar
ketus, "Tidak, engkau... jahat! Aku ingin ikut ayahku!"
Mendengar ini, Ang-tok Mo-li melon-cat dan terdengar lengkingnya. Sementa-ra itu, Souw
Tek Bun merasa girang sekali mendengar ucapan Lee Cin dan dia pun merangkul gadis itu
sambil ber-kata, "Lee Cin, anakku....!" ''
"Ayah... " Keduanya berangkulan dan keduanya merasa betapa hati mereka penuh dengan kebahagiaan.
Kini Lee Cin percaya sepenuhnya bahwa pria itu memang ayah kandungnya. Hal ini diperkuat
oleh sikap Ang-tok Mo-li tadi. la pun merasa me-nyesal sekali akan sikap Ang-tok Mo-li.
Selama ini ia merasakan kasih sayang Ang-tok Mo-li kepadanya dan baru ia tahu bahwa
subonya itu sesungguhnya adalah ibu kandungnya. Akan tetapi alangkah kejam ibu
kandungnya itu yang sengaja menyuruh ia melakukan pembu-nuhan terhadap ayah
kandungnya sendiri! 3elas perbuatan ibunya itu didorong oleh perasaan benci yang
mendalam, dan ke-kejaman yang luar biasa. Pantas saja ayahnya tidak mau menikah dengan
ibu-nya karena ibunya memang merupakan seorang iblis betina yang keji. Sebalik-nya,
ayahnya adalah seorang pendekar budiman, seorang bengcu yang terhormat! Karena itu, tidak
sukar baginya untuk memilih, yaitu memilih ayahnya. Apalagi baru saja tadi ibunya bahkan
hendak membunuhnya, bersama ayahnya pula. Andaikata tidak ada Thian Lee, kalau ayahnya
tidak melawan, mungkin saja mereka berdua akan tewas di tangan Ang-tok Mo-li yang kejam.
Setelah melepaskan keharuan hati mereka, Lee Cin lalu memperkenalkan Thian Lee kepada
ayahnya, "Ayah, pemuda ini adalah Thian Lee, seorang sahabatku."
Thian Lee cepat memberi hormat kepada orang tua itu. "Locianpwe, telah lama saya
mendengar nama besar Lo-cianpwe, terimalah hormat saya."
Souw Tek Bun sejak tadi merasa kagum dan heran melihat munculnya pemuda ini.
Gerakannya demikian cepat, pedangnya bergerak sedemikian lihainya ketika menangkis
kebutan, bahkan Ang-tok Mo-li sendiri kelihatan gentar menghadapi pemuda ini.
"Orang muda, baru saja engkau telah menyelamatkan kami ayah dan a?ak," katanya memuji.
"Eh, Thian Lee! Jadi engkau tadi membayangiku naik ke puncak ini?" Lee Cin menegur
Thian Lee, agak marah walaupun baru saja ia diselamatkan.
"Tidak, Lee Cin. Aku memang sengaja mendaki bukit ini karena aku ingin bertemu dengan
Souw-locianpwe." "Ah, engkau hendak bertemu dengan aku, orang muda. Ada keperluan apakah engkau hendak
bertemu dengan aku dan siapa yang menunjukkan tempat ini padamu?"
"Saya mendapat petunjuk dari kakak Locianpwe sendiri, yaitu Souw-pangcu, Ketua Kimliong-pang di Pao-ting."
"Ah, dari Can-toako, Bagaimana keadaan Can-toako sekarang" Apakah perkumpuJannya
mendapat kemajuannya?" Souw Tek Bun bertanya dengan nada suara gembira.
"Heee! 3adi kiranya Souw-pangcu itu masih kakak Ayah sendiri" Kalau begitu aku merasa
girang sekali pernah mem-bantunya menghadapi pengacauan orang-orang jahat!" seru Lee
Cin dan ia segera mencentakan pengalamannya ketika membantu Kim-liong-pang
menghadapi musuh-musuh yang terlalu tangguh bagi perkumpulan itu.
Souw Tek Bun mendengarkan cerita anaknya dengan girang, lalu dia mengajak Lee Cin dan
Thian Lee untuk bicara dt dalam pondoknya. Thian Lee lalu menje-laskan maksud
kedatangannya. "Mendiang ayah saya bernama Song, Tek Kw dan masih spte dari Supek
Souw Can." "Ah, aku pernah mendengar tentang kegagahan sepak terjang ayahmu itu, Thian Lee," kata
Souw Tek Bun dengan ramah dan akrab. "Lalu, apa maksi(dLa kunjunganmu ini?"
Thian Lee juga bercerita tentang per-golakan yang terjadi di kota raja dan tentang
penyelidikannya terhadap Pangeran Tua yang mengumpulkan banyak orang kang-ouw. Juga
dia menceritakan penyelidikan yang dilakukan oleh Lauw Tek betapa agaknya Pangeran Tua
mempunyai niat untuk memberontak.
"Karena gerakan itu mengenai orang-orang kang-ouw yang akan diperalat oleh Pangeran Tua,
maka saya datang berkun-jung untuk melaporkan dan mohon nasi-hat Locianpwe sebagai
bengcu." "Thian Lee, mendiang ayahmu adalah adik seperguruan dari kakakku, karena itu di antara kita
adalah orang sendiri, maka jangan menyebut aku Locianpwe, cukup dengan paman saja."
"Baik, dan terima kasih, Paman Souw".
"Sebetulnya urusan di kota raja Itu sudah banyak aku mendengar dari kawan-kawan, bahkan
sempat kumlntakan nasi-hat dari Im Yang Sengcu Ketua Kun-lun-pai dan Hui Sian Hwesio
wakil Ketua Siauw-lim-pai. Kami semua sudah setuju untuk menentang orang-orang kangouw yang hehdak membantu pemberontakan itu, dan masing-masing menjaga para anggauta
sendiri agar jangan ada yang terjebak dan ikut gerakan yang tidak baik itu. Dan kebetulan
sekali engkau datang kepadaku, Thian Lee. Aku melihat engkau seorang pemuda yang
memiliki kemampuan tinggi sehingga Ang-tok Mo li sendiri agaknya jerih melawanmu."
"Wah, Ayah tidak tahu! Thian Lee ini memang lihai bukan main. Subo... eh... Ibu... Ang-tok
Mo-Li pernah bertanding melawan Thian Lee dan ia kalah. Bukan itu saja. Mungkin Ayah
tidak percaya. Akan tetapi belum lama ini di kaki Bukit Hong-san aku bertemu dengan Thiante Mo-ong...." Terkejutlah Souw Tek Ekiw "Datuk besar yang juga disebut Iblis Selatan itu".
"Benar, Ayah. Tadinya aku bertemu dengan tiga orang tokoh sesat yang dulu mengganggu
Kim-liong-pang, dan aku bersama Thian Lee pernah mengusir me-reka. Mereka bertiga
mengenalku dan se-gera mengeroyokku. Akan tetapi muncul Thian-te Mo-ong dan tiga orang
itu lalu dibunuhnya dengan mudah sekali.'
"Aku tidak heran. Ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong sebagai seorang dari Empat Datuk Besar
memang hebat." "Setelah membunuh tiga orang tokoh sesat itu, Thian-te Mo-ong hendak memaksa aku
menjadi muridnya. Aku tidak mau, akan tetapi dia memaksaku dan ke-tika aku melawan, dia
menotokku. Lalu muncullah Thian Lee mernbebaskan aku. Wah, kalau saja Ayah menonton
pertandlngan itu, antara. Thian L-ee dan Thian-te Mo-ong. Hebat dan seru bukan main, Ayah.
Dan akhirnya. Datuk besar itu harus mengakui keunggulan ilrou kepandaian Thlan Lee dan
dia melarikan diri." Souw Tek Bun menjadi bengong saking kagum dan herannya. Kalau
bukan puterinya yang bercerita, bagaimana mungkin dia dapat percaya bahwa seorang
pemuda seperti Thian Lee itu mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong, seorang di antara
Empat Datuk Besar?" "Luar biasa!" akhirnya dia berseru setelah menghela napas panjang. "Masih begini muda
sudah dapat menandingi bahkan mengalahkan seorang di antara Empat Datuk Besar!
Mengagumkan sekali dan sulit untuk dipercaya! Thian Lee, kalau boleh aku mengetahui,
siapakah nama gurumu yang mulia dan sakti?"
"Suhu adalah seorang pertapa di Hi-malaya yang sama sekali tidak terkenal. Beliau lebih suka
mengasingkan diri dan tidak ingin dlperkenalkan namanya karena itu harap Paman maafkan
kalau saya tidak dapat menyebut namanya."
Bengcu itu mengangguk-angguk. la mengerti bahwa di dunla persilatan banyak terdapat
orang-orang sakti yang lebih suka mengasingkan diri dan menyembunyikan namanya. Bahkan
nama besar pendekar sakti yang tadinya amat terkenal di dunia persilatan seperti Pendekar
Super Sakti dan kedua isterinya yang saktl pula, lebih suka mengasingkan diri dan tidak ada
orang mengetahui dl mana adanya. Hanya dikabarkan bahwa mereka mengasingkan diri dl
Pulau Es, sebuah tempat yang penuh rahasia pula dari tidak ada orang lain tahu di mana
letaknya. Dia pun tidak mendesak lebih jauh untuk menanyakan di mana dan siapa guru
pemuda itu. "Sekarang lebih mantap hatiku untuk menugaskan engkau membantu pemerin-tah dalam
mencegah terjadinya pemberontakan, Thian Lee. Menurut berita yang kuterlma, Pangeran Tua
itu me-ngumpulkan tokoh-tokoh kang-ouw dengan niat untuk menyingkirkan para pangeran
yang tidak menyetujui dan menentang maksud jahatnya; Akan tetapi sebetulnya hal itu
tidaklah terlalu dikhawatirkan. Bukankah di istana Kaisar terkumpul pula banyak jagoan yang
berilmu tinggi" Bah-kan seorang di antara Empat Datuk Be-sar, yang paling tekenal, yaitu
Pak-thian-ong Dorhai, kini juga menjadi seorang penasihat Kaisar, bukan?"
"Ah, justeru Pak-thian-ong itu yang berbahaya. Saya melihat dia pun berada di istana
Pangeran Tua." "Benarkah itu?" Souw Tek Bun berseru kaget.
"Benar, Paman. Ketika itu, pada suatu malann saya hendak melakukan penyelidikan di rumah
Pangeran Tua. Mendadak saya melihat berkelebatnya bayangan orang dan kiranya ia adalah
puteri Pangeran Tang Gi Su yang bernama Tang Cin Lan. Gadis itu dengan beraninya masuk
ke istana itu untuk menantang seorang di antara jagoan yang berada di situ bernama Liok-te
Lo-mo. Nah, pada saat itulah muncul Pak-thian-ong menandingi gadis itu. Melihat keadaan
berbahaya, saya lalu menyelamatkan gadis puteri pangeran itu dan melarkannya keluar."
Thian Lee, gadis itu nampaknya gagah perkasa juga, sampai ia berani memasuki istana
Pangeran Tua. Berarti memasuki guha harimau'" seru Lee Cin kagum.
"Memang ia seorang yang gagah perkasa, murid dari Pek 1 Lokai," jawab Thian Lee.
"Wah, pantas saja ia gagah pferkasa. Aku mengenal Pek 1 Lokai sebagai seorang tokoh yang
berllmu tinggi. Bahkan Empat Datuk Besar juga tidak berani sembarangan menghadapi dia.
Dan kalau gadis itu berani, juga tidak terlalu mengherankan. Selain sebagai murid Pek 1
Lokai tentu ia lihai sekali, juga ayahnya, Pengeran Tang Gi Su, adalah se-orang pejabat tinggi
yang dipercaya benar oleh Sri Baginda Kaisar. Para peja-bat tinggi juga takut kepadanya
karena dia adalah seorang pengawas para pejabat tidak segan-segan akan bertindak kalau ada
pejabat yang menyeleweng. Dia adalah adik dari Pangeran Tua yang bernama Tang Gi Lok."
"Agaknya Paman mengetahui banyak tentang para pangeran dikota raja," kata Thian Lee
kagum. "Sekarang engkau jangan terlalu lama di sini, Thian Lee. Kebalilah ke kota raja dan aku akan
memberimu ?dua buah surat. Yang pertama untuk seorang panglima bernama Gui Tiong In.
Gui-ciangkun ini dahulu juga seorang pendekar yang berjuluk Hok-liong-kiam (Pedang
Penakluk Naga) dan dialah yang mewakili kerajaan hadir ketika diadakan pemilihan bengcu.
Surat yang ke dua adalah untuk dihaturkan kepada Sri Baginda Kaisar sendiri."
Thian Lee terkejut. Membawa surat untuk Kaisar" Agaknya Souw-pangcu melihat kekagetan
pemuda itu. "Jangan khawatir, Thian Lee. Lebih dulu serahkan suratku untuk Gui-ciangkun
itu. Dialah yang akan membawamu menghadap Kai-sar dan menyerahkan suratku. Kaisar
adalah seorang yang amat bijaksana dan beliau menghormati orang-orang dunia persilatan.
Setelah engkau menghadap Sri Baginda Kaisar, selanjutnya engkau hanya memenuhi
perintahnya saja." "Baiklah, Paman," kata Thian Lee.
"Ayah, aku akan ikut Thian Lee. Aku dapat membantunya dalam pekerjaan yang berbahaya
itu," kata Lee Cin. Souw Tek Bun sudah dapat menyelami watak puterinya ini, maka dia pun
tidak melarangnya karena dalam suara gadis itu sudah terkandung tekad yang pasti dan tidak
mungkin dapat dibantah. Selain itu, dia pun maklum akan kelihaian puterinya sehineea pantas
kalau membantu ThianLee. "Bagus, aku girang sekali kalau engkau juga membaktikan dirimu kepada Sri Baginda Kaisar.
Akan tetapi engkau jangan sembrono dan melakukan tindakan sendiri, Lee Cin. Karena
engkau menjadi pembantu Thian Lee, dalam segala hal engkau harus menurut apa yang
dikata-kan oleh Thian Lee."
"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan menjadi pembantu yang taat!" kata gadis itu dengan
girang. Di dalam hatinya, Thian Lee sebetulnya kurang setuju di-bantu oleh Lee Cin yang
suka bertindak ugal-ugalan, akan tetapi untuk menolak tentu saja dia merasa sungkan,
terutama sekali terhadap Souw Tek Bun yang kini menjadi ayah Lee Cin.
Demikianlah, setelah dua buah surat itu ditulis oleh bengcu itu, pada hari itu juga Thian Lee
bersama Lee Cin menuruni kembali Pegunungan Hong-san dan melakukan perjalanan
kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan dari Hong-san ke kota raja yang memakan waktu beberapa hari itu,
Lee Cin memperlihatkan perasaan hatinya kepada Thian Lee dalam sikap dan pelayanan. la
selalu memperlihatkan perhatiannya, dan di waktu mereka makan, ia yang memilihkan
warung makan, bahkan kalau terpaksa harus menyediakan makanan sendiri di perjalanan yang
jauh dari kota atau du-sun, ia mencari binatang hutan dan di-panggangnya. la memilihkan
daging yang paling enak untuk Thian Lee. Bahkan ia menyediakan dirinya untuk mencucikan
pakaian Thian Lee yang kotor. Semua sikap yang manis ini sungguh membuat Thian Lee
merasa terharu sekali. Kalau saja hatinya tidak terikat oleh Cin Lan yang membuatnya tak
pernah dapat melupakannya, agaknya tidak terlalu sukar baginya untuk menanggapi kasih
sayang yang diperlihatkan seorang gadis seperti Lee Cin. Akan tetapi kini dia sudah hampir
merasa yakin bahwa dia rnencinta Cin Lan. Buktinya, tak pernah dia dapat melupakan dan dia
amat merindukannya. Sungguh bodoh, kadang dia memaki diri sendiri. Bagainana dia dapat
mengharapkan seorang gadis puteri pangeran" seorang gadis bangsawan tinggi yang kaya
raya" Sedangkan dia itu apa" Miskin dan sebatang kara, tidak memiliki apa-apa yang patut
dibanggakan. Baru ayah gadis itu saja sudah memandang rendah kepa-danya. Dia tahu betapa
bodohnya untuk jatuh cinta kepada puteri pangeran? akan tetapi agaknya hatinya tidak
menurut. Hatinya selalu merindukan gadis bangsawan itu. Sebetulnya Lee Cin lebih pantas
baginya. Lee Cin juga seorang gadls petualang, biarpun kini menjadi puteri bengcu, namun
ayahnya pun hanya se-orang pertapa yang hidup sederhana. Mereka berdua sama-sama
petualang di dunia kang-ouw, tidak seperti Cin Lan yang hidup di dalam sebuah istana!
Cinta asmara memang sesuatu yang aneh. Tidak mengenal siapa saja, dapat diserangnya.
Tidak mengenal waktu, tem-pat atau keadaan. Dalam keadaan bagai-manapun orang dapat
jatuh cinta. Kalau sudah jatuh cinta, maka tidak ada lagi harta, kedudukan, atau bahkan rupa.
Bagi seorang yang mencinta, segalanya yang ada pada diri orang yang dicinta itu selalu baik,
selalu indah dan menarik.
Kalau menurut perhitungan, Thian Lee semestinya memilih Lee Cin daripada Cin Lan.
Banyak hal yang mendorongnya memilih Lee Cin, kalau menurutkan akal sehat, Lee Cin
keadaannya cocok dengan dirinya, sama-sama orang kecil yang bukan hartawan bukan
bangsawan, sama-sama petualang kang-ouw. Juga Lee Cin tidak kalah cantik jelitanya
dibandingkan Cin Lan. Lebih dari itu, Lee Cin mencintanya. Mau apa lagi" Akan tetapi,
hatinya yang sudah tertusuk panah asmara itu lebih memilih Cin Lan.
Padahal menurut perhitungan akal, tidaklah mungkin bagi dia untuk mempersunting Cin Lan.
Gadis itu puteri pangeran, puteri bangsawan yang kaya raya, dan lebih dari itu, gadis itu pun
belum tentu mau kepadanya, belum tentu mencinta-nya, bahkan rasanya tldak mungkin seorang puteri pangeran dapat jatuh cinta kepada seorang yatim piatu miskin seperti dia!
Kini, dalam perjalanan ke kota raja sikap Lee Cin jelas sekali memperlihatkan cintanya
kepadanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lee Cin dan merasa berkewajiban untuk
menghentikan sikap itu. Dia harus mengaku terus terang kepada Lee Cin, bukan saja bahwa
dia tidak mencinta Lee Cin melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Lebih lagi, dla harus
mengaku terus terang bahwa dia mencinta gadis lain. Kalau hal ini tldak segera dia lakukan,
maka siap Lee Cin akan terus seperti itu dan hal ini merupakan gangguan besar sekali
baginya. Benar? dia harus mengaku terus terang!
Mereka tiba di sebuah bukit kecil yang sunyi. Matahari telah naik tinggi dan mereka sejak
pagi telah melakukan perjalanan mendakl bukit-bukit yang melelahkan.
"Kita beristirahat sebentar, Lee Cin."
"Ah, lelahkah engkau, Thian Lee" Kalau begitu, sebaiknya kita beristirahat dulu. Itu di sana
ada pohon yang teduh, kita mengaso di sana," kata Lee Cin dan mereka menuju ke bawah
pohon yang memberi keteduhan itu.
"Ini ada batu yang licin dan bersih, Thian Lee. Kau duduklah di sini!" kata pula Lee Cin
sambil menyapu sebuah batu besar dengan tangannya.
Thian Lee menghela napas lalu duduk di atas batu itu. "Lee Cin, engkau selalu bersikap manis
dan penuh perhatian se-lama beberapa hari ini kepadaku. Kenapa engkau begini baik
kepadaku, Lee Cin?" Thian Lee bertanya dan sudah siap untuk bicara terus terang.
"Masih perlukah engkau bertanya lagi, Thian Lee" Aku cinta padarnu, itulah sebabnya.
Haruskah kujawab lagi" Engkau tentu sudah mengetahui akan perasaan hatiku kepadamu,
Thian Lee," kata Lee Cin seolah menegur. Keterlaluan pemuda itu, pikirnya. Masih bertanya
lagi tentang sikap baiknya!
Thian Lee menghela napas. "Lee Cin, aku tahu dan karena itulah maka aku minta penjelasan
darimu. Semua ini harus kauhentikan, Lee Cin. Bersikaplah wajar saja, sebagai seorang
sahabat biasa. Ketahuilah bahwa aku hanya suka kepadamu, bukan mencinta. Aku suka dan
ka-gum kepadamu, rasa suka seorang sahabat, Lee Cin. Engkau harus tahu benar akan hal
ini." Lee Cin menatap wajah pemuda itu dan tersenyum manis. "Engkau sudah mengatakan hal itu
dan aku cukup mengerti, Thian Lee. Akan tetapi aku tidak putus asa. Dari kesukaanmu itulah
aku harapkan dapat berkembang menjadi rasa cinta, demikian kuharapkan, Thian Lee. Siapa


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu pada suatu saat engkau akan benar-benar merasa cinta kepadaku seperti perasaanku
kepadamu." Thian Lee menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Lee Cin. Tidak mungkin aku jatuh cinta
kepadamu atau kepada gadis manapun juga, karena aku...."
"Karena mengapa?" Lee Cin mengejar dengan alis berkerut.
"Karena aku sudah memiliki seorang pilihan hati, aku telah mencinta seorang gadis maka
tidak mungkin aku mencinta gadis lain. Tidak mungkin aku mencintamu dan ini harus
kukatakan terus terang agar jangan engkau dipermainkan oleh harapanmu yang takkan
tercapai. Maafkan aku, Lee Cin."
Thian Lee melihat betapa sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka itu berubah pucat
sekali. Dia tidak tega melihat ini dan ia menundukkan mukanya agar jangan terlihat olehnya
wajah yang diselimuti kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan itu.
Tiba-tiba tangan Lee Cin bergerak ke arah pundak Thian Lee. Dan begitu jari tangannya
menotok jalan darah di kedua pundak, tiba-tiba saja tubuh Thian Lee menjadi lemas terkulai
dan dia rebah miring di atas batu itu. Bagaimana Thian Lee yang demikian lihai itu sampai
dapat tertotok dengan mudah" Sebetulnya Thian Lee dapat merasakan gerakan tangan Lee
Cin tadi, akan tetapi sama sekali dia tidak menyangka bahwa Lee Cin hendak menotoknya.
Kalaupun Lee Cin menotoknya, dia pun akan dapat melindungi tubuhnya dengan kekebalan
sin-kangnya. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak menduga bahwa Lee Cin menotoknya
dengan ilmu It-yang-ci! Ilmu totokan It-yang-ci yang dipelajari Lee Cin dari In Kong Thaisu
Ketua Siauw-li-pai itu memang merupakan ilmu yang luar biasa sekali. Biarpun Lee Cin
belum sempurna benar melatih ilmu itu, namun daya to-tokannya sudah sehebat itu sehingga
Thian Lee yang tangguh dapat juga di-buat tidak berdaya dan, roboh lemas di atas batu
"Hayo katakan siapa perempuan membentak Lee Cin kepada Thian Lee.
Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan mata penuh penyesalan. Tak disangkanya Lee
Cin akan berbuat begitu. "LeeCin, apa yang kaulakukan ini" Cepat bebaskan totokanmu," katanya sabar dan tenang.
"Tidak, engkau telah menghancurkan harapanku. Engkau orang yang tidak tahu dicinta orang,
tak mengenal budi! Hayo katakan siapa perempuan itu kepadaku!
"Hemm, kalau kuberltahukan, engkau mau apa?" tanya Thian Lee.
"Mau apa" Mau membunuhnya! Tidak ada perempuan lain di dunia ini yang boleh
memilikimu!" bentak Lee Cin.
"Hem, aku akan melindunginya dan mencegahnya," kata Thian Lee.
"Boleh kaucoba! Hayo cepat katakan kepadaku, siapa namanya dan di mana tempat tinggal
perempuan itu!" "Aku tidak akan memberitahukan ke-'padamu, Lee Cin," kata Thian Lee dengan sikapnya
yang masih tenang. Diam-diam dia mencoba menggerakkan hawa tenaga saktinya di bawah
pusar, namun belum juga berhasil. Totokan itu memang istimewa, membuat seluruh tubuhnya
tak dapat digerakkan, kecuali mulut dan matanya.
"Kalau tidak kauberitahukan, aku akan membunuhmu! Kalau aku tidak dapat memilikimu,
seluruh wanita di dunia ini pun tidak akan dapat nnemilikimu!" Setelah berkata demikian,
sekali tangarinyei bergerak, ia telah melolos pedang yang dibuat sabuk melilit pinggangnya.
"Singgg....!" Pedang itu telah meno-dong dada Thlan Lee. "Thian Lee, sekali lagl aku
bertanya. Maukah engkau melu-pakan perempuan itu dan berjodoh dengan aku?"
"Tidak, Lee Cin!"
"Kalau begitu, matilah engkau!" Pedang itu ia tusukkan, akan tetapi tepat pada saat ujung
pedang sudah menyentuh baju Thlan Lee, gerakan itu dihentikan dan Lee Cin mengeluh.
"Lee Cin, engkau tidak akan mampu melakukan ini. Engkau bukan seorang wanita jahat,
jangan berpura-pura menjadi wanita sesat yang kejam. Engkau tidak seperti ibumu, melainkan
lebih menuruni watak gagah dari ayahmu!" kata Thian Lee, sedikit pun tidak merasa gentar
walaupun tadi nyawanya telah bergantung pada sehelai rambut.
"Ihhh....!" Lee Cin kemball rnengeluh, kemudian ia memejamkan matanya dan menahan
napas. Tiba-tiba pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi dan ia memben-tak, "Matilah kau,
Thian Lee!" Pedang itu menyambar dengan kuat dan cepatnya ke bawah dengan sebuah
bacokan. "Crakkk!" Batu itu terbelah dan tubuh Thian Lee terguling ke atas tanah karena batu itu
terbelah dua tepat di samping tubuhnya. Kiranya pada saat terakhir, Lee Cin bukan membacok
tubuh Thian Lee melainkan membacok batu itu.
Thian Lee kini rebah telentang dan dia dapat melihat betapa gadis itu menu-tupi mata dengan
kedua tangannya sam-bil menangis tersedu. Dia merasa kasihan sekali.
"Lee Cin, maafkan aku...." katanya lirih dan ucapan ini membuat Lee Cin ynenangis semakin
sedih, sampai terisak-isak.
"Lee Cin, aku tahu bahwa engkau seorang gadis yang baik sekali. Seandainya aku belum jatuh
cinta kepada seorang gadis lain, kiranya tidak ada gadis yang leblh baik darimu bagiku, Lee
Cin. Engkau gadis yang cantik, berilmu tinggi, dan berbudi baik. Percayalah, kelak eng-kau
akan mendapatkan jodoh seorang pemuda yang jauh lebih baik dariku, terutama sekali
pennuda yang dapat rnencintamu sepenuh hatinya. Engkau akan menemukan jodohmu
sendiri, Lee Cin." Pada saat itu, Thian Lee merasa ada gerakan di tan-tian (bawah pusar),
maka dia lalu menekan hawa sakti itu ke atas untuk membebaskan totokan pada dirinya.
Lee Cin masih terisak dan menurunkan kedua tangan, menyimpan pedangnya. "Thian Lee,
aku... aku benci padamu. Aku tidak mau lagi bersamamu!" la memandang dan terbelalak
melihat betapa pemuda itu sudah bangkit duduk. "Kau... kau sudah bebas dari totokan?"
"Kebetulan saja aku mampu menembus totokanmu dan membebaskannya, Lee Cin." Hal itu
sebetulnya dapat terjadi karena Lee Cin masih kurang sempurna melatih ilmu barunya, belum
memperoleh tenaga yang tepat sehingga totokannya juga kurang mengandung tenaga yang
diperlukan. "Aku... aku benci padamu!" kata lagi Lee Cin sambil mengusap air matanya.
"Percayalah kepadaku, Lee Cin. An-daikata engkau tadi jadi membunuhku, engkau akan
benci sekali kepada dirimu sendiri."
"Huh!" Lee Cin membuang muka lalu meloncat pergi meninggalkan pemuda itu. Thian Lee
menarik napas panjang dan sampai lama dia duduk di atas batu yang terbelah dua oleh pedang
Lee Cin tadi. Dia termenung. Hubungan antara pria dan wanita memang membutuhkan
kejujuran. Apa yang dia lakukan tadi sudah benar. Kalau dia tidak berterus terang, berarti dia
memelihara harapan Lee Cin, harapan yang akhirnya akan sia-sia belaka dan membuat gadis
itu kelak akan menjadi lebih sedih lagl.
Dan dia pun harus berterus terang kepada Cin Lan. Ya, benar! Dalam urusan cinta dia harus
jujur. Mengapa merasa rendah diri" Dalam kesempatan pertama, kalau dia bertemu dengan
Cin Lan, dia akan mengakui cintanya! Mungkin juga dia akan mengalami dan merasakan
seperti apa yang dialami dan dirasakan Lee Cin. Mungkin cintanya akan ditolak gadis
bangsawan itu dan itu lebih baik daripada merahasiakannya, daripada mengharapharapkan hal
yang belum tentu. Dia akan mengaku cinta kepada Cin Lan!
Keputusan hatinya ini mendatangkan semangat kepadanya dan mengusir kegundahannya oleh
urusan dengan Lee Cin tadi. Dia lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Tidak sukar bagi Thian Lee untuk menemukan di mana tempat tinggal Gui-ciangkun atau Gui
Tiong In. Nama pang-lima inl sudah terkenal sekali di kota raja, sebagai seorang panglima
yang sudah banyak jasanya dalam menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah
perbatasan. Setelah menemukan alamat Gui-ciangkun, Thian Lee lalu datang berkunjung.
Kepada para petugas keamanan dia memberitahukan siapa namanya dan apa kepentingannya
hendak bertemu Gui-ciangkun. Dia mengatakan bahwa dia membawa berita dari Souwbengcu. Begitu mendengar bahwa ada seorang utusan dari Souw-bengcu minta mengha-dap, Guiciangkun segera menemui Thian Lee di sebuah kamar tamu yang tertutup. Setelah bertemu,
Thlan Lee memberi hormat dan memandang panglima itu dengan kagum. Seorang panglima
yang gagah berwibawa, berusia lima puluh tahun lebih. Sebaliknya, Gui-ciangkun juga
mengamati tamunya dan merasa heran bahwa Souw-bengcu mengutus seorang yang masih
begitu muda untuk menemuinya.
"Ciangkun, saya Song Thian Lee utus oleh Souw-bengcu untuk menghadap Ciangkun," kata
Thian Lee memperkenalkan dirinya.
"Duduklah, Song-sicu dan kataki nlah, pesan apa yang harus kau sampaikan kepadaku," kata
Gui-cianekun mempersilakan tamunya duduk.
Thian Lee mengeluarkan sampul surat pertamli yang ditujukan kepada panglima itu, yang
diterima oleh tuan rumah lalu dibacanya. Wajah panglima itu nampak serius ketika dia
membaca surat itu dan isinya tentu arnat penting karena dia mengulang pembacaannya.
Setelah selesai membaca, dia berkata kepada Thian Lee dan pandangannya terhadap pemuda
itu sudah berbeda. "Song-taihiap, saya sudah membaca banyak keterangan Souw-bengcu tentang diri dan
kemampuan Tai-hiap, dan tentang pergolakan yang sedang terjadi di kota raja. Memang di
sini sedang terjadi pembunuhan-pembunuhan aneh terhadap beberapa orang pangeran dan
pejabat tinggi. Kalau benar apa yang dikemuka-kan bengcu ini, sungguh merupakan malapetaka besar. Dalam suratnya, Souw-bengcu menyebutkan bahwa engkau mem-bawa
sepucuk suratnya untuk dihaturkan Sri Baginda Kaisar, benarkah?"
"Benar, Ciangkun. Suratnya ada pada saya".
"Baik, kalau begitu, mari sekarang juga engkau kuhadapkan Sri Baginda. Urusan ini terlalu
penting dan berbahaya untuk ditunda-tunda lebih lama lagi."
Demikianlah, Thian Lee lalu diajak Gui-ciangkun untuk menghadap Sri Baginda Kaisar.
Sebagai seorang panglima kepercayaan, tidak ada kesukaran bagi Gui-ciangkun untuk
menghadap Kaisar sewaktu-waktu. Mendengar bahwa Gui-ciangkun mohon menghadap
bersama seorang pemuda, Kaisar Kian Liong dapat menduga bahwa tentu panglimanya itu
membawa berita yang amat penting. Kalau tidak penting, tidak mungkin panglimanya itu
berani mengganggunya. Diai lalu memerintahkan pengawal untuk membawa kedua orang itu
menghadapnya di taman bunga, di mana Kaisar itu sedang mencari angin. Hawa udara pada
siang hari itu memang panas. Dia menyuruh para selir dan dayang yang tadi melayani dan
menemaninya untuk pergi menjauh karena dia dapat menduga bahwa panglima itu tentu akan
membicarakan sesuatu yang teramat penting dan yang tidak selayaknya didengarkan para selir
dan dayang. Juga para pengawal pribadinya diharuskan rnenunggu dan ber-jaga di luar
pondok taman itu. Gui-ciangkun dan Thian Lee dibawa oleh para pengawal ke pondok dalam ta-man itu. Thian
Lee sebelurnnya telah diberitahu oleh Gui-ciangkun tentang tata-cara menghadap Kaisar,
maka ketika dia melihat Gui-ciangkun menjatuhkan diri berlutut, dia pun berlutut di samping
panglima itu. Daun pintu terbuka dan muncullah Kaisar. Thian Lee hanya me-lihat ujung
sepasang sepatu yang indah dan ujung celana dari sutera halus. Dia tetap menundukkan
mukanya dengan si-kap hormat.
"Gui-ciangkun dan kau orang muda, kami ijinkan untuk bangkit dan masuk-lah!" terdengar
suara yang lembut namun berwibawa. Thian Lee menanti sampai Gui-ciangkun menghaturkan
terima kasih dan bangkit, baru dia pun ikut bangkit, dengan kepala tetap ditundukkan. Mereka
melangkah masuk, berdiri dengan sikap hormat menanti Kaisar itu duduk.
"Kalian boleh mengambil tempat duduk".
Barulah kedua orang itu berani duduk. Memang sikap Kaisar Kian Liong berbeda dengan
kaisar-kaisar lain. Kalau berhadapan dengan orang kepercayaannya atau orang-orang dunia
persilatan, dia menyuruh mereka duduk di kursi sehingga dia dapat mengajak mereka bicara
dengan enak, dapat menatap wajah mereka. Hanya dalam sidang pertemuan resmi saja para
ponggawa berlutut. Setelah mengambil tempat duduk, sekilas Thian Lee berani memandang wajah itu. Biarpun
hanya sekilas, dia telah dapat melihat gambaran dar! Kai-sar yang amat terkenal sebagai
kaisar yang bijaksana itu. Kaisar itu sudah tua, tentu ada. enam puluh tahun usianya, namun
masih nampak sehat dan lebih 'nflttdla dari usianya. Sepasang matanya tajam seperti dapat
menembus ke dalam lubuk hati yang dipandangnya.
"Nah, Gui-ciangkun, berita apakah yang kaubawa dan siapa pula orang muda ini?". Kaisar
bertanya kepada Gui Ciangkun.
"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba berani menghadap tanpa diperintah. Hamba hendak
menghadapkan pemuda ini yang bernama Song Thian Lee dan dia adalah utusan dari Souwbengcu untuk menyampaikan sepucuk surat, dihaturkan kepada Paduka".
"Hemm, Souw-bengcu" Song Thian Lee, cepat serahkan surat dari Souw-bengcu itu kepada
kami." "Baik, Yang Mulia," kata Thian Lee dan dia lalu mengeluarkan surat itu, maju berlutut dan
sambil berlutut menyerahkan surat. Setelah surat diterima oleh Kaisar, dia lalu mundur dan
duduk lagi di atas kursinya.
Kaisar membaca surat dari Souw-bengcu itu. Alisnya berkerut dan setelah selesai
membacanya, dia lalu memandang kepada Thian Lee, lalu berkata, "Song Thian Lee, yakin
benarkah engkau akan apa yang kaubicarakan dengan Souw-bengcu tentang Pangeran Tua
itu" Bahwa dia telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dengan niat buruk?"
"Hamba belum mendapatkan buktinya Yang Mulia. Akan tetapi melihat banyak tokoh sesat
berkumpul di sana, kemudian melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mencoba untuk
membunuh Pangeran Tang Gi Su ketika hamba kejar melarikan diri ke dalam tempat tinggal
Pangeran Tua, maka hamba merasa yakin."
"Kami telah menyerahkan urusan iru untuk diselidiki dan ditanggulangi oleh Pangeran Tang
Gi Su. Akan tetapi sampai sekarang belum ada perkembangannya, sementara itu
pembunuhan-pembunuhan masih terus berlangsung. Baiklah, engkau kuangkat menjadi
panglima dan kutugaskan untuk membantu Pangeran Tang Gi Su melakukan penyelidikan
sampai menemukan buktinya dan menghancurkan komplotan gelap ini, Song Thian Lee.
"Ampunkan kalau hamba berani memberi peringatan agar Paduka menjaga diri balk-baik dan
berhati-hati terhadap Pak thian-ong Dorhai yang kabarnya telah menduduki jabatan penting dl
istana, Yang Mulia."
"Hemm, Dorhai telah menjadi seorang penasihat kami. Mengapa engkau berkata demikian?"
"Karena hamba pernah melihat dia berada di rumah Pangeran Tua, bahkan dia berusaha untuk
menangkap puteri Pangeran Tang Gi Su." Dengan singkat namun jelas Thian Lee lalu
menceritakan pengalamannya ketika dia menolong Cin Lan dari tangan Pak-thian-ong Dorhai.
Mendengar laporan ini, Sri Baginda Kaisar mengerutkan alisnya. "Ahhh, beta-pa sulitnya
mengukur isi hati orang-orang itu! Diberi anugerah kedudukan malah hendak memukul dari
belakang. Song Thian Lee, engkau bersama Gu-ciangkun hubungllah Pangeran Tang Gi Su
dan bekerja sama dengannya untuk menghancurkan komplotan ini kalau memang benar ada di
dalam waktu yang secepat-cepatnya. Song Thian Lee, pangkatmu sekarang menjadi panglima
muda keamanan istana dan kau kutugaskan untuk membantu Gu-ciangkun dan Pangeran Tang
Gi Su. Nah, berangkatlah kalian dan cepat lakasanakan tugas kalian dengan baik."
Thian Lee berlutut dan menghaturkan terima kasih. Gui-ciangkun lalu mendapat perintah
untuk mengatur pemberian perlengkapan pakaian panglima muda bagi Thlan Lee. Keduanya
lalu mengundurkap, diri dan keluar dari istana.
"Selamat, Song-ciangkun!" Setelah tiba di luar istana, Gui-ciangkun memberi, selamat kepada
rekannya yang masih muda. "Engkau beruntung sekali. Agaknya Sri Baginda Kaisar telah
sangat mempercayai surat Souw-bengcu sehingga tanpa, menguji lagi beliau telah
menganugerahkan kedudukan panglima muda kepadamu" Biarlah nanti aku yang mengatur
persediaan perlengkapan untukmu."
"Hal itu tidak perlu tergesa-gesa, Gui-ciangkun. Kalau aku bertugas melakukan penyelidikan,
bagiku leblh leluasa kalau aku berpakaian biasa saja. Kelak saja kalau keadaan sudah aman,
baru aku akan mengenakan pakaian panglima muda itu." Gui Ciangkun mengangguk angguk.
"Akan tetapi, setidaknya engkau harus memegang surat tanda pangkatmu. Biar nanti
kubuatkan, agar setiap saat dapat kau pergunakan dan perlihatkan kepada para pejabat lain."
"Harap Ciangkun pulang lebih dulu. Aku ingin menemui seorang sahabatku bernama Lauw
Tek. Pendekar inilah yang banyak membantuku dalam menyelidiki gerakan yang dilakukan
Pangeran Tua dan dia kini masih selalu menanti berita dariku di sebuah kuil tua," kata Thian
Lee. Gui-ciangkun menyetujui.
"Kalau sudah selesai, cepat engkau datang ke rumahku karena engkau harus segera
mengadakan hubungan dengan Pangeran Tang Gi Su. Untuk itu aku akan memberi surat
perkenalan kepadamu."
Jilid 16 ..... Thian Lee mengangguk dan jantungnya berdebar. Dia tentu saja sudah mengenal Pangeran
Tang Gi Su karena sudah pernah bertemu dan membayangkan dia akan berkunjung ke istana
pangeran itu membuat jantungnya berdebar tegang karena hal itu berarti bahwa dia akan
bertemu dengan Tang Cin Lan!
Hari telah sore ketika dia memasuki kuil di mana biasanya Lauw Tek berada. Kuil itu
biasanya menjadi tempat pertemuan mereka. Dan benar saja, Lauw Tek teiah berada di situ
dan agaknya telah lama menunggunya.
"Ah, engkau sudah kembali, Song-te" Bagaimana kabarnya dengan bengcu" Sudahkah
engkau bertemu dengannya?" seru. Lauw Tek gembira melihat sahabatnya itu. Dia tahu
bahwa Thian Lee berkunjung ke Hong-san, bahkan dia pun menganjurkan pemuda itu
menghubungi bengcu. "Sudah, Lauw-twako. Sudah kuceritakan semua kepadanya bahkan aku men-dengar banyak
dari bengcu." Thian Lee menceritakan pengalamannya bertemu dengan Souw Tek Bun. Akan
tetapi dia tidak bercerita tentang Lee Cin. Dia menceritakan betapa dia membawa surat untuk
Gui-ciangkun dan untuk Kaisar, dan betapa kini oleh Kalsar dia diangkat rhenjadi panglima
muda dan ditugaskan melakukan penyelidikan dan menanggulangi komplotan pemberontak
itu. "Wah, engkau memang patut menjadi panglima, Song-te. Dan aku girang sekali kalau engkau
dapat memberantas komplotan pemberontak."
"Aku harus menghubungi Pangeran Tang Gi Su, karena kaisar telah menye-rahkan tugas
membongkar komplotan itu kepada Pangeran Tang Gi Su."
"Bagus! Pangeran Tang Gi Su adalah seorang di antara para pejabat yang baik dan adil.
Dengan bekerja sama yang baik tentu kalian akan mampu membongkarnya."
"Akan tetapi kami membutuhkan bantuan, Lauw-twako. Sebagai penyelidik, engkaulah yang
berjasa dan yang lebih dahulu mengetahui tentang Pangeran Tua. Karena itu, mari ikutlah
denganku meng-hadap Pangeran Tang Gi Su."
Setelah dibujuk, akhirnya Lauw Tek menyatakan bersedia membantu dan menghadap
Pangeran Tang Gi Su. Demi-kianlah, pada keesokan harinya, dengan berbekal surat dari Guiciangkun, Thian Lee mengajak Lauw Tek untuk berkun-jung ke rumah Pangeran Tang Gi Su.
Ketika Pangeran Tang Gi Su keluar menemui dua orang tamu yang minta bertemu dengan dia,
pangeran ini nampak terkejut memandang kepada Thian Lee.
"Kau...." Bukankah engkau... pemuda yang malam hari itu telah mengusir pembunuh....?"
Thian Lee cepat memberi hormat. "Benar sekali, Taijin. Saya adalah Song Thian Lee. Akan
tetapi kedatanganku sekali ini adalah melaksanakan perintah Sri Baginda Kaisar dan ini saya
memba-wa surat pengantar dari Panglima Gui Tiong In." Thian Lee lalu mengeluarkan


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepucuk surat dari Gui-ciangkun dan menyerahkan kepada pangeran itu yang masih nampak
terkejut dan heran. Ketika Pangeran Tang Gi Su membaca isi surat pengantar Gui-ciangkun
yang dikenalnya dengan amat akrab, dia semakin terkejut dan membelalakkan kedua matanya,
ke mudian memandang kepada Thian Lee.'
"Ah, Song-ciangkun! Kiranya engkau telah diangkat sendiri oleh Sri Bagind untuk menjadi
panglima muda keamanai istana?"
"Benar, Taijin. Dan saya ditugaskar bekerja sama dengan Taijin untuk mem-basmi komplotan
pemberontak." "Akan tetapi kenapa engkau tidaki naiengenakan pakaian panglima?"
"Saya hendak menjadi penyelidik, tentu tidak leluasa kalau mengenakan pakaian seperti itu."
Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk dan rnemandang kagum. Pemuda yang tadinya
pelayan rumah makan inp telah menjadi panglima muda, diai gkat sendlri oleh Kaisar! Akan
tetapi, mengingat akan kepandaiannya yang tinggi, memang pantas dia menjadi panglima.
"Persoalannya tidaklah sedemskian mudahnya, akan tetapi,.. siapakah temanmu ini?"
"Maaf, Taijin. Tadi belum sempat memperkenalkan. Dia ini bernama Lauw Tek, seorang
pendekar yang juga menen-tang pemberontakan. Dialah yang pertama kali memberitahu
kepada saya tentang adanya orang-orang kang-ouw di rumah Pangeran Tua. Lauw-twako ini
se-orang penyelidik yang ulung, maka saya bawa menghadap Taijin, barangkali Taijin
berkenan mempergunakan tenaganya."
Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk. "Baik, makin banyak pembantu semakin baik.
Mulai sekarang, engkau membantuku melakukan penyelidikan, Lauw Tek."
"Saya siap melaksanakan perintah Taijin," kata Lauw Tek dengan sikap gagah.
"Tadi Taijin mengatakan persoalannya tidaklah sedemikian mudahnya, apa maksud Taijin?"
tanya Thian Lee. "Maksudku mengenai Pangeran Tua. Sejak dahulu, kakak tiriku itu memang seorang yang
cerdik dan selalu berhati-hati. Biarpun kita sudah yakin bahwa semua pembunuhan itu
dilakukan oleh oranR-oranR kang-ouw yang dikumpulkan di rumahnya, akan tetapi apa
artinya kalau kita tidak mempunyai bukti. Dia pandai sekali berpura-pura dan
menyembunyikan semua bukti. Kita harus dapat menemu-kan bukti tentang komplotan
pemberon-tak itu. Sri Baginda Kaisar tentu juga tidak ?etuiu kalau kita turun tangan
menyerbu ke sana tanpa adanya bukti nyata."
"Saya mempunyal akal, Taijin. Di sana, di antara para tokoh kang-ouw, terdapat pula seorang
tokoh yang berjuluk Liok-te Lo-mo. Orang ini dahulu pernah saya kenal dengan baik, oleh
karena itu, saya akan menemuinya dan ''saya akan menggabungkan diri dengan mereka
membantu Pangeran Tua. Kalau saya sudah berhasil menyelundup ke sana dan mengetahui
semua rahasianya, tentu akan mudah bagi Taijin untuk turun tangan."
"Sebuah siasat yang baik sekali!" seru Pangeran Tang Gi Su. "Akan tetapi apakah tidak
teramat berbahaya" Bagaimana kalau dia mengetahui bahwa engkau ada-lah seorang
panglima muda?" "Tidak ada yang mengetahui akan pengangkatan saya itu kecuali Gui-ciang-kun, Taijin. Saat
ini belum ada orang lain mengetahuinya. Saya yakin siasat itu akan berhasil."
"Baiklah kalau begitu, kita hanya menanti hasil usahamu itu."
Setelah pertemuan itu selesai, Thian Lee memohon diri dan Lauw Tek diting-gal di rumah
Pangeran Tang karena sejak saat itu dia telah diterima menjadi pem-bantu pangeran dan diberi
tempat tinggal di belakang.
Ketika Thian Lee keluar dari ruangan dalam dan hendak keluar, tiba-tiba terdengar seruan
halus, "Song-twako....!"
Dia menengok dan berhadapan dengan Cin Lan! Thian Lee merasa seluruh tubuhnya gemetar
dan jantungnya berdebar penuh keharuan dan ketegangan. Gadis itu nampak demikian cantik
jelita sehingga dia seperti terpesona dan ttdak mampu mengeluarkan kata apa pun.
"Twako, engkau Song Thian Lee, bukan" Lupakah engkau kepadaku" Aku Cin Lan!"
"Nona, bagaimana aku dapat lupa kepadamu" Tak sedikit pun aku pernah lupa kepadamu!"
"Hemm, engkau sudah lupa, menyebut aku nona. Lupakah engkau bahwa namaku Cin Lan?"
"Maaf, Lan-moi... aku... rasanya tidak "^pHntas orang seperti aku...."
"Sudahlah, aku paling tidak senang kalau engkau sudah merendahkan diri seperti ini. Aku tadi
mendengar bahwa Ayah menerima dua orang tamu. Kiranya engkaukah tamunya?"
"Benar, aku dan seorang lagi yang bernama Lauw Tek. Kini Lauw-twako telah diterima
menjadi pembantu ayahmu sedaogkan aku... aku mempunyai tugas lain yang amat penting."
"Lee-ko, ada keperluah apa sajakah engkau berkunjung kepada ayahku" Dan bagaimana Ayah
menerimamu" Aku masih merasa amat menyesal sekau kalau teringat sikap Ayah dahulu itu
kepadamu. Engkau tentu dapat memaafkan, bukan?"
"Hemm, hal itu sudah lama kulupa-kan. Sekarang ayahmu bukan sajc mene-rimaku dengan
baik, bahkan kami telah bekerja sama...."
"Bekerja sama" Dalam hal apa?"
"Bekerja sama untuk menyelidiki dan menumpas pemberontak...."
Cin Lan sudah menyambar tangan Thian Lee. "Ssttt, mari kita bicara di dalam, Lee-ko. Di sini
dapat terdengar orang lain. 'Marilah, ikut denganku."
Sebetulnya Thian Lee merasa tidak enak dan takut kalau-kalau Pangeran Tua akan merasa
tidak senang, akan tetapi gadis itu telah menarik tangannya se-hingga terpaksa dia
mengikutinya. Ter-nyata Cin Lan membawanya ke tanrian bunga. Taman bunga itu luas dan
di tengahnya terdapat kolam ikan dan beberapa buah bangku.
"Nah, klta duduk dan bercakap-cakap di sini. Tentu tidak akan terdengar orang lain. Kita
dapat melihat keadaan seke-liling dan akan tahu kalau ada orang mendekat," kata Cin Lan.
Keduanya du-duk di bangku taman, bersanding.
"Aku khawatir ayah ibumu akan marah melihat aku duduk bersamamu di sini, Lan-moi."
"Tidak ada yang akan marah kepadaku, Lee-ko. Biarlah aku yang akan ber-tanggung jawab.
Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau sampai dapat bekerja sama dengan Ayah dalam
menghadapi komplotan pemberontak. Ayah memang ditugaskan oleh Sri Baginda Kaisar
untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan itu dan membongkar rahasia komplotan. Dan
bagaimana engkau sampai dapat diteri-ma Ayah untuk bekerja sama?"
"Aku membawa surat perkenalan dari Gui-ciangkun untuk ayahmu, dan ayahmu menerimaku.
Bahkan ayahmu juga menerima seorang kenalanku, Lauw Tek men-jadi pembantunya."
"Aku girang sekali, Lee-ko. Kau tahu, semenjak kepergianmu malam itu, setelah engkau
menolong kami dan sikap Ayah yang begitu merendahkanmu, aku selalu merasa bersedih.
Aku telah berusaha mencarimu, akan tetapi di rumah makan itu mereka mengatakan bahwa
engkau telah keluar dari sana. Tahu-tahu seka-rang engkau telah muncul di sini, bahkan
bekerja sama dengan ayahku! Betapa glrang rasa hatiku, Lee-ko!" Sinar mata gadis itu
demikian mesra memar dangnya sehingga Thian Lee merasakan hatinya tergetar. Benarkah
pandangannya itu" Benarkah sinar mata gadis memandang mesra kepadanya" Apakah ini
merupakan tanda bahwa gadis itu pun suka kepadanya" Seberkas cahaya harapan menerangi
hatinya. Dia pun menatap wajah gadis ity dan terpesona. Rambut yang hitam panjang itu
digelung ke atas dan anak rambut yang berjuntai dan melingkar-lingkar di dahi dan pelipis
amatlah manisnya. Alisnya hitam melengkung menambah indahnya sepasang ma ta yang
tajam dan penuh gairah hidup. Hldungnya mancung dan yang paling menarik adalah
mulutnya. Bibir yang selalu merah segar dengan lesung pipit di sebelah kiri. Kulit lehernya
begitu putih halus tanpa cacat. Tubuh yang padat berisi, pinggang ramping dan leher yang
panjang itu. "Lee-ko, kenapa engkau diam saja?"
Thian Lee seolah baru sadar dan se-perti ditarik kembali ke alam nyata. "Ehh... ahhh... tidak
apa-apa, Lan-mol," katanya gagap,
"Lee-ko, engkau belum menanggapi kata - kataku tadi. Katakanlah betapa girang rasa hatiku
bertemu dengan eng-kau di sini dan mendengar engkau bekerja sama dengan Ayah. Apakah
engkau tidak senang bertemu denganku, Lee-ko?"
"Wah, senang sekali, Lan-moi. Sudah... lama aku merindukan pertemuan ini...." Dia terkejut
sendiri, merasa kelepasan bicara menyatakan isi hatinya.
"Benarkah, Lee-ko" Aku pun rindu sekali kepadamu. Telah berulang kali engkau
menolongku, bahkan nienyelamatkan nyawaku, akan tetapi pertemuan kita selalu demikian
singkat. Aih, tak dapat kulupakan untuk pertama kali engkau menolongku dari ancaman racun
ular di Pulau Ular Emas yang telah menggigltku, aku bahkan mencurigaimu. Entah apa
jadinya dengan diriku yang roboh pingsan karena keracunan kalau bukan engkau yang datang
melatihku menyalurkan hawa beracun itu. Kemudian, kembali engkau menyelamatkan aku di
rumah Pangeran Tua ketika aku terancam oleh jagoan-jagoan di sana. Aku tentu telah
tertawan kembali kalau engkau tidak membawaku lari. Dan engkau memakai kedok sehingga
aku tidak mengenalimu. Akhirnya, ketika Ayah diserang orang-orang jahat, kembali engkau
muncul dan mernbantu kami. Budlmu terlampau besar untuk dapat kulupakan saja, Lee-ko."
"Sudahlah, Lan-moi, harap jangan bicara tentang budi. Aku dengar senang hati membantumu,
dan keberanianmu sungguh mengagumkan hatiku. Sejak pertama kali, melihat engkau
membela gurumu dengan mati-matian mencciri sian-tho, aku sudah kagum sekali kepadamu.
Kernudian engkau berani menyerbu ke dalam rumah Pangeran Tua, seperti memasuki sarang
harimau. Aku kagum sekali".
"Aku berhutang budi kepada guruku Pek 1 Lokai yang budiman. Siapa lagi ka-lau bukan aku
yang mencarikan obatnya ketika Suhu terluka parah" Dan berkat obat sian-tho itu, juga berkat
pertolong-anmu, Suhu telah sembuh kembali. Tidak perlu engkau memujiku, Lee-ko, akan
tetapi engkaulah yang patut dipuji, berulang kali menyelamatkan aku yang tadi-nya sama
sekali tidak kaukenal. Maka aku girang sekali engkau kini bekerja sama dengan Ayah. Oh ya,
tadi kau katakan bahwa engkau mempunyai tugas yang amat penting. Apakah itu" Apakah
ada " hubungannya dengan kerja sama itu, Ko-ko?"
"Sebetulnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi kepadamu akan kujelaskan semuanya,
Lan-moi. Untukmu tidak ada rahasia apa pun yang kusimpan. Memang ada hubungannya
dengan kerja sama ini. Ayahmu dan aku telah bersepakat bahwa dalam keadaan sekarang ini
kami tidak mampu berbuat apa pun terhadap Pangeran Tua karena tidak ada bukti. Karena itu
kami harus dapat mencari buktinya dan satu-satunya jalan adalah menyelundup masuk ke
dalam sarang musuh dan nienjadi pembantunya. Akulah yang akan menyelundup ke sana dan
bekerja kepada musuh."
"Ah, itu berbahaya sekali! Akii tidak setuju, Lee-ko! Engkau bisa celaka kalau berada di
antara komplotan itu. Di sana terdapat banyak orang lihail', Cin Lan berseru dengan khawatir.
"Aku dapat menjaga diri, Lan-moi."
"Akan tetapi kalau engkau ketahuan, bagaimana mungkin engkau daps lolos dari sana" Tidak,
harus dicari jal un lain. Suruh saia lain anggauta penyelidik yang menyelundup ke sana.
Jangan engkau! Kalau terjadi malapetaka menimpamu bagaimana....?"
Melihat sikap gadis itu yang tiba-tiba wajahnya berubah pucat penuh ke-khawatiran, jantung
dalam dada Thian Lee berdebar keras. Tak salahkah penglihatannya" Gadis itu khawatir
kalau-kalau dia celaka! Thian Lee teringat, pikirnya. Justeru inilah saat terbaik baginya untuk
berterus terang, seperti si-kap yang diperlihatkannya kepada Lee Cin. Dia tidak boleh
membiarkan hatinya selalu dalam keraguan.
"Lan-moi, kenapa engkau mengkhawa-tirkan diriku" Kenapa engkau begitu memperhatikan
diriku?" Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Lan menundukkan mukanya dan suaranya ter-dengar lirih,
"Aku... aku tidak ingin melihat engkau celaka, Lee-ko, aku... tidak ingin kehilangan
engkau...." Mendengar ini, Thian Lee merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Dia duduk mendekat dan
memegang kedua tangan gadis itu. "Lan-moi, mungkinkah ini" Mungkinkah engkau juga
mencintaku seperti aku mencintanriu?"
Kepata ttu semakin menunduk akan tetapi Cin Lan tidak menarik kedua ta-ngannya yang
digenggam Thian Lee. "En-tahlah, Lee-ko... aku tidak tahu... hanya semenjak pertemuan kita
pertama kali itu, aku... aku tidak dapat melupakanmu apalagi setelah disusul pertemuan
berikutnya." "Lan-moi, engkau juga tidak pernah meninggalkan hatiku sejak pertemuan kita yang pertama.
Hanya.. aku rneragu.... mungkinkah aku seorang pemuda yatim piatu yang miskin dapat...."
"Sssttt....!" Cin Lan mengangkat ngan kanan dan menutupi mulut pemuda itu. "Jangan
teruskan kata-kata seperti itu!"
Mereka saling pandang dan dapat saling menangkap sinar kasih dalam mata masing-masing.
"Akan tetapi, Lan-moi, engkau puteri pangeran sedangkan aku...."
"Sudahlah, Lee-ko. Kau anggap aku ini orang macam apa" Aku tidak memandang harta atau
kedudukan, melainkan pribadinya dan aku amat kagum dan menghormati pribadimu."
Thian Lee kenibali menggenggam kedua tangan yang mungil itu. "Lan-moi engkau sungguh
membuat aku merasa berbahagia sekali!"
"Engkau juga membuat aku berbahagia, Lee-ko."
Akan tetapi mereka cepat saling rnelepaskan tangan mereka ketika mendengar suara orang
menghampiri tempat itu. Ketika mereka bangkit dan memandang, ternyata yang datang adalah
Pangeran Tang Gi Su sendiri. Tentu saja Thian Lee merasa rikuh dan tidak enak sendiri Akan
tetapi pangeran itu tidak kelihatan marah, hanya menegur heran.
"Eh, Song-ciangkun, engkau rnasih berada di sini?"
"Ayah, engkau menyebut dia ciang-| kun?" kata Cin Lan dengan heran sekali.
"Tentu saja. Bahkan Sri Baginda Kai-sar sendiri yang mengangkatnya menjadi i panglima
muda keamanan istana!"
Cin Lan memandang Thian Lee dan menegur, "Lee-ko, kenapa tidak kauceritakan hal ini
kepadaku?" "Ah, Lan-moi, akn baru saja diangkat dan hal itu bahkan masih dirahasiakan agar tugasku
sebagai penyelidiki dapat i berhasil dengan baik."
"Ayah, kenapa harus Lee-ko yang menyelundup kesana" Hal itu berbahaya sekali. Kenapa
tidak menyuruh saja penyelidik yang lain?" kata Cin Lan kepada ayahnya.
"Hal itu adalah atas kehendak Song-ciangkun sendiri, Cin Lan," kata ayahnya.
"Benar, adik Cin Lan. Memang seyo-gianya aku yang melakukannya sendiri agar berhasil.
Jangan khawatir, aku mempunyai cara yang baik. Kau tentu tahu Liok-te Lo-mo yang pernah
kautantang itu, bukan" Nah, ketika aku masih kecil dia itu pernah menjadi guruku. Me-lalui
dia, aku dapat dengan mudah masuk ke sana menjadi pembantu dan dapat mengetahui semua
rahasia mereka." "Akan tetapi kalau ketahuan, bisa berbahaya sekali, Lee-ko. Kalau saja aku dapat
menyertaimu, tentu dapat membantu kalau engkau terancam bahaya."
"Ah, tentu saja tidak mungkin, Lan-moi. Engkau sudah dikenal mereka. Aku dapat menjaga
diri dan mari kita membagi tugas, Lan-moi. Nanti kalau saatnya sudah tlba, yaitu kalau tiba
saatnya pasukan menyerbu ke sana, engkau boleh membaotu untuk memperkuat penyerbuan
mengingat di sana banyak orang kang-ouw yang menjadi kaki tangan Pangeran Tua. Kita
bekerja sama, engkau dari luar dan aku dari dalam. Akan tetapi sebelum saatnya tiba, harap
engkau jangan sekali-kali berkunjung ke sarang harimau yang berbahaya itu."
"Song-ciangkun berkata benar, Cin Lan. Kita menunggu saja tanda darinya dan aku yakin dia
akan dapat menjaga dirinya baik-baik. Kalau dia sudah diangkat menjadi panglima oleh Sri
Baglnda Kaisar, hal itu menunjukkan bahwa dia tentu memiliki kemampuan untuk itu."
Thian Lee lalu memberi hormat dan berkata, "Nah, aku berangkat sekarang. Harap jangan
lupa menyuruh Lauw-twako menanti saya di tempat pertemuan kami yang biasa, Taijin.
Dengan demikian, akan lebih mudah saya mengirim berita, dan tidak menimbulkan
kecurigaan." "Baik, Ciangkun. Semua telah kuatur dengan baik. Selamat bekerja," kata Pa-ngeran Tang Gi
Su. "Lee-ko, berhati-hatilah dan jagalah dirimu baik-baik," kata Cin Lan dengan suara agak
gemetar karena hatinya geli-sah memikirkan keselamatan pria yang dicintanya itu.
"Jangan khawatir, Lan-moi," kata Thian Lee dan setelah memberi hormat sekali lagi, dia pun
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Cin Lan.
Sejak tadi Pangeran Tang Gi Su mengamati puterinya yang memandang ke arah perginya
Thian Lee dan kini seperti tenggelam dalam lamunan. Kemudian dia duduk di dekat puterlnya
dan memanggll. "Cin Lan?.,.!" Gadis itu seperti baru diseret turun ke dunia nyata dan dipandangnya wajah ayahnya dengan
kaget. "Ya, Ayah...." katanya.
Pangeran itu tersenyum dan memegang pundak puterinya. "Kini aku mengerti mengapa
engkau dapat akrab dengan pemuda itu. Ternyata dia seorang pemuda yang gagah berani dan
tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, tidak mungkin Sri Baginda Kaisar
memberinya anugerah pangkat yang penting dan memberi tugas untuk membantu aku
membongkar rahasia komplotan pemberontakan,"
"Dia memang memiliki ilmu yang tinggi, Ayah. Aku sendiri sudah tiga kali melihat
kehebatannya. Pertama kali ke-tika aku terkena gigitan ular berbisa dan keracunan, dia
menolongku dan meng-ajarkan aku untuk mengendalikan hawa sin-kang yang kacau di
tubuhku. Kemudi-an kedua kalinya ketika aku berhadapan dengan orang-orang kang-ouw di
rumah Pangeran Tua dan dalam bahaya, dia menolongku dan dapat dengan cepatnya
mernbawa aku lari dari tempat berbahaya itu. Dan ke tiga, ketika malam-malam itu dia
menolong Ayah dari ancaman orang jahat yang hendak membunuh Avah "
"Hemm, agaknya engkau kagum sekali kepadanya, Anakku."
Wajah Cin Lan berubah kemerahan akan tetapi dengan suara tegas ia berkata, "Aku memang
kagum sekali kepadanya, Ayah."
"Dan agaknya engkau tertarik kepada-nya."
Jawaban Cin Lan mengandung tantangan, seolah ia menantang ayahnya jika ayahnya
menentang. "Aku memang tertarik sekali kepadanya!"
Pangeran Tang Gi Su mehghela napas panjang. Bagaimanapun, setelah mendapat kenyataan
bahwa Thian Lee telah diangkat menjadi seorang panglima muda ke-amanan istana, tentu saja
hatinya tidak-lah begitu benar membiarkan anaknya bergaul dengan pemuda itu. Tidak seperti
ketika mendengar bahwa pemuda itu hanya seorang pelayan rumah makan!
"PenoJakanmu atas pinangan putera Pangeran Bian Kun dulu itu memang benar, Cin Lan.
Untung aku pun belum menerimanya. Sekarang, melihat gelagatnya bahwa Bian Hok amat
dekat hubungannya dengan Tang Boan, aku khawatir Pangeran Bian Kun terlibat pula dalam
komplotanitu. "Ayah, aku menolaknya karena sejak dahulu aku tahu bahwa Bian Hok bukanlah orang baik.
Dan aku menilai orang yang akan menjadi jodohku bukan dan harta maupun pangkatya,
melainkan dari pribadinya."
"Dan menurut penilaianimu, kepribadian Thian Lee itu baik?"
"Dia seorang yang gagah perkasa, berbudi luhur dan memiliki harga diri yang tinggi, juga
rendah hati, Ayah." "Dan dia cinta padamu?"
"Demikianlah, Ayah," kaanya malu-malu.
"Bagus, mudah-mudahan saja pilihan hatimu itu tidak keliru. Aku tidak akan menghalangimu,


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin Lan." "Terima kasih, Ayah," jawab gadis itu dengan gembira bukan main dan di dalam hatinya ia
berterima kasih telah menda-patkan seorang ayah tiri yang ia ibatau amat menyayangnya.
Ketika Thian Lee berkunjung ke istana Pangeran Tua, dia dihadang di pintu gerbang oleh
pasukan penjaga yang ber-sikap galak.
"Kau siapa, orang nnuda, dan ada keperluan apakah datang ke tempat ini?" bentak kepala
penjaga dengan bengis. "Maafkan saya," jawab Thian Lee sambil memberi hormat. "Nama saya Song Thian Lee.
Saya adalah murid dari Liok-te Lo-mo. Mendengar bahwa Suhu berada di sini, maka saya
menyusul dan saya ingin berterpu dengan Suhu Liok-te Lo-mo."
Mendengar pengakuan pemuda itu, kepala jaga menjadi berkurang kegalakannya, "Hemm,
kautunggu di sini sebentar, kami akan melapor ke dalam."
Tak lama kemudian muncullah Liok-te Lo-mo dan Thian Lee masih menge-nalnya dengan
baik walaupun kini usia datuk sesat itu sudah semakin tua. Kakek itu memandang Thian Lee
dari kaki sampai kepala, kemudian berseru, "Thian Lee....! Engkau bocah bernama Thlan Lee
dulu itu?" Thian Lee lalu menjatuhkan diri berlutut "Suhu, apakah Suhu sudah lupa kepada teecu" Teecu
sendiri tidak pernah dapat melupakan budi kebaikan Suhu, maka mendengar bahwa Suhu
berada di tempat ini teecu lalu datang mencari Suhu."
"Thian Lee, apakah selama ini engkaa sudah mempelajari banyak ilmu silat?"
"Berkat blmbingan Suhu yang pertama kali, teecu ^udah mempelajari banyak macam ilmu
silat." "Kaupelajari dari Jeng-ciang-kwi?"
"Dari dia dan dari lain-lain guru pula, Suhu."
"Hemm, lalusekarang engkau mehcai'l, aku ada keperluan apakah?"
"Suhu terus terang saja aku sedang berada dalam kesulitan. Aku tidak mem-punyai pekerjaan
tetap yang menyajikan masa depan yang baik. Ketika aku mendengar berita di dunia kangouw bahwa Suhu berada di sini dan bekerja di sini, aku bergegas mencari Suhu dengan makw
sud minta pertolongan Suhu agar aku diperbolehkan bekerja di sini pula. Suhu, teecu akan
bekerja sebaik mungkin." Liok-te Lo-mo memandang pemuda itu penuh perhatian dan
mengangguk-angguk. "Akan tetapi tidak mudah untuk bekerja di sini, Thian Lee. Engkau
harus memiliki kepandaian tinggi dan keberanian besar untuk dapat bekerja membantu
Pangeran Tua." "Jangan khawatir, Suhu. Teecu sudah mempeiajari banyak macam ilmu silat yang tinggi, dan
dalam hal keberanian, teecu disuruh melakukan apa pun akan kulaksanakan dengan
sebaiknya. Kalau perlu teecu dapat diuji!"
"Hemm... hemmm... kalau begitu mari ikut denganku," katanya dan dia meng-ajak Thian Lee
pergi ke sebuah ruangan yang cukup luas di bangunan samping. Ruangan itu adalah sebuah
lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). "Aku ingin mengujimu lebih dahulu sebelum
menghadapkanmu kepada Pangeran."
"Baik, Suhu. Silakan!"kata Thian Lee dengan sikap tenang.
Liok-te Lo-mo lalu bergerak memukul dengan kedua tangannya bergantian dan Thian Lee
maklum bahwa bekas gurunya ini memiliki sin-kang panas dingin yang dilatlhnya dengan api
dan es. Maka dia pun lalu mengimbangi, menangkis dengan mengerahkan kedua tenaga yang
berlawanan itu. "Duk! Duk!" Ketika dua pasang lengan -itu bertemu, Liok-te Lo-mo terkejut sekali karena dia
merasakan betapa bekas murid ini memiliki tenaga yang mampu mengimbanginya! Dia
menjadi tidak ragu-ragu lagi dan segera menyerang dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi,
kakek itu sudah berusia sekitar delapan puluh tahun, tenaganya sudah banyak berkurang.
Seandainya tenaganya masih sepenuh dahulu saja dia tidak akan mampu menandingi Thian
Lee, apalagi dalam ke-adaannya yang sudah lemah seperti sekarang. Thian Lee dapat
mengimbangi dan menghadapi semua serangannya dengan baik, mengelak dan kadang
menangkis. Setiap kali dia menangkis kakek itu terhuyung ke belakang.
Melihat betapa muridnya tidak pernah membalas namun dia sama sekali tidak marnpu
menyentuh tubuh muridnya, Liok-te Lo-mo rrienjadl kagum dan juga heran sekali. Muridnya
telah menjadi seorang yang demikian lihainya.
"Mari kita mencoba dengan senjata!" katanya dan Liok-te Lo-mo sudah melolos sabuk
rantainya yang merupakan sen-jatanya yang ampuh.
"Teecu tidak berani mengangkat senjata terhadap Suhu, biar teecu melayani rantai Suhu
dengan tangan kosong saja!" kata Thian Lee. Tentu saja kakek itu menjadi semakin terkejut.
Muridnya itu berani melawannya yang bersenjata sabuk rantai dengan tangan kosong"
Padahal dengan senjata pun, masih jarang ada orang yang akan mampu metawan sabuk
rantainya. Hatinya merasa penasaran dan dia segera menyerang dengan dahsyat. Akan tetapl
dengan kelincahan kakinya, Thian Lee dapat mengelak dari semua serangan yang datang
secara bertubi-tubi. Bahkan kadang Thian Lee berani menangkis sambaran rantai itu dengan
tangannya! Hal ini tentu saja membuat ILiok-te Lo-mo terkejut dan terheran-heran. Akan
tetapi rasa penasaran mem-buat dia menyerang terus sampai pertandingah itu berlarigsung
lima puluh jurus lebih dan keringatnya mulai membasahi badannya.
Pada saat rantai itu menyannbar lagi dari kanan, Thian Lee memutar tangan kanannya dan
menangkap rantai itu sehingga tidak mampu bergerak lagi. Betapapun Liok-te Lo-mo
berusaha melepaskan rantainya, namun dia tidak sanggup dan pada saat itu Thian Lee berkata,
"Maaf, Suhu. Sudah cukup, harap Suhu tidak menyerang lagi." Dan dia melepaskan rantainya.
"Bagaimana pendapat Suhu, apakah teecu sudah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat dan
pantas untuk mengabdi di sini?"'
Liok-te Lo-mo menyimpan rantainya dan menghela napas panjang. "Hebat, engkau telah maju
dengan pesat sekali, Thian Lee. Pangeran tentu akan girang kalau engkau dapat membantu.
Mari, mari kuajak engkau menghadap Pangeran."
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang, "Ha-ha, sungguh hebat pemuda ini. Dan sejak
tadi Yang Muljia Pangeran telah melihatnya, Lo-mo!"
Tentu saja Thian Lee sudah sejak tadi mengetahui kehadiran mereka di luar lian-bu-thia, akan
tetapi dia pura-pura terkejut dan bersama Liok-te Lo-mo memutar tubuh. Melihat bahwa yang
da-tang adalah Pangeran Tua bersama Pak-thian-ong Dorhai dan beberapa orang tokoh kangouw, Liok-te Lo-mo segera memberi hormat,
"Kebetulan sekali Paduka datang, ka-rena hamba memang bermaksud mengajak murid hamba
ini menghadap Paduka," kata Liok-te Lo-mo membanggakan muridnya. Dia merasa bahwa
dia sendiri tidak mampu menandingi Thian Lee maka dia merasa bangga mengaku pemuda itu
sebagai muridnya! Pangeran Tua memandang Thian Lee penuh perhatian. Tadi Pak-thian-ong su-dah berkata
kepadanya ketika mereka menonton pertandingan itu bahwa pemuda itu^lihai sekali, bahkan
lebih lihai diban-dingkan Liok-te Lo-mo!
"Liok-te Lo mo siapakah pemuda ini?" tanya Pangeran dan dia lalu duduk di atas kursi dalam
lian-bu-thia itu. Liok-te Lo-mo berdiri dengan sikap hormat dan memperkenalkan. "Yang Mu-lia, pemuda ini
bernama Song Thlan Lee dan dahulu dia adalah murid hamba. Kemudian dia merantau untuk
memperdalam ilmunya dan sekarang dia mencari hamba di sini dengan membawa ilmu
kepandaian yang tinggi sekali. Dia mohon untuk mengabdikan dirinya kepada Paduka dan
hamba percaya dia akan menjadi pembantu yang baik dan dapat diandalkan."
Beberapa lama Pangeran Tua menatap wajah Thian Lee penuh selidiki. Pemuda" itu bersikap
tenang walaupun jantungnya berdebar tegang. Pangeran Tua yang sudah berusia enam puluh
lima tahun lebih itu memiliki mata seperti mata elang, begitu tajam penuh selidik. Dia harus
berhati-hati sekali berhadapan de-ngan seorang dengan mata seperti itu.
"Song Thian Lee," katanya dengan suara parau dan berwibawa. "Benarkah engkau ingin
mengabdi kepadaku?" "Benar sekali, Yang Mulia," kata Thian Lee. Hening sejenak dan mata elang itu tetap menatap
wajah Thian Lee penuh selidik dan tiba-tiba Pangeran Tua bertanya dengan suara membentak,
"Kenapa engkau hendak mengabdi kepadaku, Thian Lee?"
Thian Lee memang sudah waspada dan siap sedia maka dia tidak menjadi terkejut atau gugup.
Dengan tenang saja dia memandang wajah pangeran itu dan menjawab, "Karena Suhu Liok-te
Lo-mo bekerja di sini, maka hamba ingin pula bekerja di sini, Yang Mulia."
"Engkau sudah tahu apa yang harus kaukerjakan di sini?"
"Belum, Yang Mulia. Suhu belum sem-pat menceritakan kepada hamba. Akan tetapi apa pun
perintah Yang Mulia kepada hamba, akan hamba laksanakan sebaiknya."
"Benarkah" Andaikata kami mengutusmu pergi membunuh seorang musuh kami, sanggupkah
engkau melakukannya?"
Tentu saja Thian Lee tidak terkejut mendengar akan tetapi dia bersikap seolah tertegun juga,
hal yang sudah se-patutnya kalau orang disuruh melakukan pekerjaan membunuh! "Kalau
memang Paduka menghendaki kematian seorang musuh, tentu saja hamba sanggup
mengerjakannya!" jawabnya lantang dan pasti.
"Paduka harap jangan ragu-ragu mengutus murid hamba ini, Pangeran. Dia seorang murid
yang baik dan patuh, serta telah memiliki ilmu kepandaian yang boleh diaridalkan!" kata
Llok-te Lo-mo bangga. "Kalau begitu, berani engkau bersumpah setia kepada kami, Thian Lee?" tanya pula Sang
Pangeran yang mulai percaya karena di situ terdapat Liok-te Lo-mo yang seolah menjadi
penanggung ja-wab atas kesetiaan dan kemarnpuan pemuda, itu.
"Tentu saj'a haw&i? berani faersumpah," kata Thian Lee.
Pangeran Tua tersenyum. "Tidak usah bersumpah, karena kami tidak p6rcaya kepada sumpah.
Malam ini kami memberi tugas pertama kepadamu, untuk menguji sampai di mana
kernampuanmu." "Hamba siap melaksanakan, Yang Mulia!"
Pak-thian-ong Dorhai lalu mernotong, "Yang Mulia, bagaimana kalau dia ditu-gaskan untuk
menyelesaikan pembunuhan atas din Pangeran Tang Gi Su yang tempo hari gagal dilakukan?"
Diam-diam Thian Lee terkeJut bukan main, akan tetapi dia bersikap tenang saja. Sang
Pangeran itu mengangguk-angguk. "Dialah penghalang satu-satunya yang harus lebih dulu
lenyap. Koksu (Pe-nasihat Negara), persiapkan pertemuan dengan semua pembantu, kita
mengada-kan rapat darurat untuk mengatur per-siapan sehubungan dengan rencana penyerangan terhadap Pangeran Tan Gi Su!"
"Baiklah, Yang Mulia." Pangeran itu lalu meninggalkan lian-bu-thia, dan Pak-thian-ong
Dorhai berkata kepada Liok-te Lo-mo, suaranya memerintah,
"Lo-mo, kau urus muridmu ini dan bawa hadir dalam rapat ya.ng, akan di~ adakan di ruangan
rapat." "Baik, Koksu," jawab Liok-te Lo-mo dengan sikap hormat. Maka semakin yakinlah hati
Thian Lee bahwa Pak-thian ong yang sudah mendapat kedudukan sebagai Koksu ini memang
diam-diam bersekongkol dengan Pangeran Tua.
Ketlka akhirnya Thian Lee diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana diadakan rapat,
hatinya berdebar tegang. Tak disangkanya akan demikian mudahnya dia berhasil melakukan
penyelidikan. Memang sudah diperhitungkannya bahwa bekas gurunya itu yang akan men- .
jadi jalan baginya untuk menyelundup ke dalam istana Pangeran Tua, akan tetapi tidak
disangkanya dalam waktu sehari saja dia sudah diajak dalam suatu rapat rahasia!
Dan di daram rapat yang diadakaft pada malam hari itu, hadir pula semua anggauta komplotan
itu! Selain Koksu Pak-thian-ong Dorhai, terdapat pula be-berapa orang pangeran yang
berpihak kepada' Pangeran Tua, termasuk Pangeran Bian Kun yang diwakili puteranya, Bian
Hok. Dan ada pula dua orang panglima besar yang agaknya sudah dapat dibujuk untuk
mempersiapkan pemberontakan! Di samping Llok-te Lo-mo terdapat pula belasan orang
tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
Setelah rapat dibuka oleh Pangeran Tang Gi Lok, Pangeran ini segera mem-perkenalkan
Thian Lee kepada semua orang. "Ketahuilah bahwa kami telah mendapatkan seorang
pembantu baru, yaitu murid Liok-te Lo-mo yang memiliki kemampuan tinggi sehingga dia
sanggup untuk melakukan pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su."
Mendengar ini semua orang memandang kepada Thian Lee, dan pemuda itu merasa
jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau ada yang mengenalnya, terutama sekali orang
yang pernah me-nyerbu rumah Pangeran Tang Gi Su dan yang pernah dilawannya dalam
membantu pangeran itu dahulu" Andaikata tiga orang itu berada di situ dan mengenal-nya,
dia. akan menyangkal keras. Akan tetapi untung baginya bahwa setelah gagal melakukan
pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su, tiga orang kang-ouw itu lalu dipecat bleh
Pangeran Tua. "Besok malam Thian Lee akan mela-kukan pembunuhan itu. Matinya Pangeran Tang Gi Su
merupakan awal gerakan klta. Begitu usaha Thian Lee berhasil, pada keesokan malamnya
lagi, kita harus mulai bergerak. Kau, Liok-te Lo-mo, bersama dua orang pembantu membunuh Pangeran Kian Tek. Dan kau, Hek-tung Kai-ong, engkau bersama anak buahmu harus
berhasil membunuh Pangeran Kian Tung." Pangeran Tua lalu mem-bagi-bagi tugas untuk
membunuhi pange-fan-pangeran dan pejabat yang menen-tangnya. Semua orang dibagi dalam
tujuh kelompok untuk melakukan tujuh pem-bunuhan, sehari setelah Thian Lee berhasil
membunuh Pangeran Tang Gi u! Tentu saja semua ini dicatat di dalaro hati oleh Thian Lee.
"Kalau semua itu berhasil, biar'ah Kaisar aku sendiri yang akan menangani-nya!" kata Pakthian-ong Dorhai deni an suaranya yang besar dan berat, "Ka au Kaisar sudah tewas, maka
selanjutr ya adalah menjadi wewenang Paduka untuk bertindak, Pangeran."
"Kalau semua itu berhasil, aku akan bergerak, didukung oleh pasukan Ban-ciangkun dan
Tung Ciangkun menguasai istana," kata Pangeran Tua dan dua orang panglima itu
mengangguk setuju. Mereka ramai membicarakan rencana siasat gerakan besar itu, dan akhirnya Pangeran Tua
berkata kepada Thian Lee, "Thian Lee, semua rencana ini akan berhasil hanya kalau usahamu
berhasil. Karena itu, engkau harus bekerja dengan baik dan besok malam harus berhasil
membunuh Pangeran Tang Gi Su."
"Akan hamba laksanakan dan hamba tanggung pasti berhasil baik!" kata Thian Lee dengan
nada sombong "Hemm, kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan seyakin itu, Thian Lee," kata Pak-thianong. "Ketahuilah bahwa pernah kami mengusahakan pembunuhan atas diri pangeran itu, akan
fetapi gagal. Dla memiliki seorang puteri yang lihai sekali dan semenjak usaha pembunuhan
yang gagal itu, Pangeran Tang Gi Su menyuruh pasukan melakukan penjagaan di rumahnya
secara ketat sekali."
"Akan tetapi aku percaya bahwa muridku Thian Lee akan berhasil melakukan1 tugas itu!"
kata Liok-te Lo-mo sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan bangga.
"Thian Lee, kalau engkau membutuhkan bantuan dalam tugasmu itu, katakanlah dan kami
akan menyerahkan baiituan secukupnya," kata Pangeran Tua.
"Tidak perlu, Yang Mulia. Banyak orang bahkan akan menyulitkan bahkan mungkin
menggagalkan usaha itu. Hamba akan bertindak seorang diri saja," kata Thian Lee penuh
kepercayaan kepada diri sendiri.
"Bagus! Aku pun akan bersikap seperti Thian Lee kalau menerima tugas seperti itu. Pembantu
hanya akan membuatku tidak leluasa bergerak. Thiar Lee engkau seorang pemuda yang gagah
bera-ni. Biarlah aku memberimu selamat dengan beberapa cawan arak!" Setelah berkata
demikian, Pak-thian-ong memegang secaWan arak dengan tangan kirinya lalu mengambil
guci arak dengan tangan kanan. Dituangkan arak dari guci itu ke dalam cawan arak sampai
penuh sekali, hampir meluber, akan tetapi tidak sam-pai tumpah dan arak di cawan itu seperti
berubah menjadi benda keras atau seperti telah berubah menjadi es yang membeku! Dia
menjulurkan tangannya dan menyerahkan cawan itu kepada Thian Lee sebagai ucapan
selamat, ditonton oleh semua orang dengan pandang mata kagum karena mereka maklum
bahwa Koksu ini mendemonstrasikan sin-kangnya yang membuat arak menjadi beku!
Akan tetapi Thian Lee menerima cawan arak itu dengan tenang saja dan ketika cawan arak
berada di tangannya, arak itu mencair kembali akan tetapi tetap tidak tumpah, kemudian
diminumnya sekali tengguk.
Pak-thian-ong tertawa. "Bagus, terimalah secawan lagi!" Dan kini, ketika dia menuangkan
arak dari guci itu ke dalam cawan, terdengar suara dan arak dalam cawan itu bergolak seperti
mendidih, bahkan mengeluarkan uap! Inilah sin-kang panas dan demikian kuatnya sin-kang
itu sehingga arak dalam cawan pitift, sampai mendidih.
Thian Lee menerimanya pura-pura tidak tahu betapa cawan dan arak itu panas sekali. Begitu
cawan terpegang olehnya, arak itu terhenti mendidih dan ketika dia membalikkan cawan, arak
di dalamnya tidak tumpah seolah telah membeku menjadi es yang melekat pada cawan, Dari
keadaan panas mendidih arak berubah menjadi dingin membeku! Kemudian Thian Lee
membalikkan lagi cawan arak dan minum arak itu yang menjadi cair kembali seperti biasa.
"Terima kasih, Koksu," kata Thian Lee dengan sikap sederhana, Pak-thian-ong Dorhai
terbelalak dan tersenyum. "Hebat, kepandaianmu hebat juga, orang muda. Aku yakin
sekarang bahwa engkau akan berhasil melaksanakan tugasmu yang berat!"
Tentu saja Pangeran Tua menjadi gembira sekali. Kalau Koksu sudah memuji, berarti bahwa
pemuda itu memang berilmu tinggi dan besar harapan ctta-citanya akan terkabul. Kalau.
Pangeran Tang Gi Su yang dianggapnya paling ber-bahaya itu telah terbunuh, dan semua
pangeran yang dikehendaki kematiannya sudah pula ditewaskan, maka selanjutnya
persoalannya akan lebih mudah.
Dia sendiri lalu memberi selamat kepada Thian Lee dengan secawan arak dan setelah rapat
pertemuan mengatur rencana siasat itu selesai, pertemuan dilanjutkan dengan pesta.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali Thian Lee sudah berpamit kepada Liok-te Lo-mo,
dan berkata, "Suhu, tugas teecu malam ini tidaklah mudah, karena itu pagi ini juga teecu akan
melakukan penyelidlkan terhadap penjagaan di gedung Pangeran Tang Gi Su agar malam
nanti tidak sampai menjadi gagal."
Tentu saja Liok-te Lo-mo setuju sekali dan demikianlah, Thian Lee lalu keluar dari istana
Pangeran Tua dan berjalan-jalan berkeliaran di kota raja. Dia sengaja melakukan ini untuk
melihat apakah ada yang membayanginya. Setelah, merasa yakin bahwa tidak ada yang
membayanginya, dia lalu menyusup masuk ke dalam kuil tua di mana Lauw Tek telah
menantinya. Di dalann ruangan kuil yang tersembunyi, Thian Lee lalu bercakap-cakap dengan Lauw Tek.
Dia menceritakan seluruh rencana siasat yang akan dijalankan oleh Pangeran Tua dan minta
Laiw Tek mencatat nama semua pangeran yang terancam pembunuhan pada keesokan
malamnya. Juga tentang rencana Koksu yang akan membunuh Kaisar kalau usaha
pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su berhasil.
"Lalu apa yang harus dilakukan oleh Pangeran Tang?" tanya Lauw Tek, ter-kejut bukan main
mendengar laporar? tentang rencana siasat yang amat jahat dari Pangeran Tua itu.
"Kita belum dapat bertindak dan perlu bukti. Karena itu, malam nanti aku akan menyusup ke
dalam gedung Pangeran Tang Gi Su, dan ketika aku keluar, kerahkan pasukan untuk
menangkapku, akan tetapi membiarkan aku lolos lalu kabarkan bahwa Pangeran Tang Gi Su
terbunuh! Dan sejak malam nanti, Pangeran Tang harus menyembunyikan diri, dan boleh
menaruh sebuah peti mati untuk mengelabuhi orang. Dengan demikian, tentu Pangeran Tua


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan percaya, benar bahwa aku telah berhasil membunuh Pangeran Tang dan rencana mereka
tentu akan dilanjutkan. Nah, ketika para orang kang-ouw itu menyerbu rumah para pangeran
dan menteri itu, pasanglah perangkap sehingga mereka semua tertangkap. Bukan itu saja,
pada malam hari itu juga, ketika para orang kang-ouw me-nyerbu rumah para pangeran,
kerahkan pasukan untuk mengepung istana Pangeran Tua, juga kerahkan pasukan menangkap
Ban-ciangkun dan Tung-ciangkun, jangan memberi kesempatan kedua panglima itu.
menggerakkan anak buah mereka. Juga semua komplotan yang telah kusebut namanya tadi
harap dicatat benar-benar dan besok malam dilakukan penangkapan secara serentak untuk
menggagalkan semua rencana mereka. Nah, sudahkah jelas, Lauw-twako?"
"Sudah....!" jawab Lauw Tek dengan suara gemetar. "Wah, urusan ini demikian gawat
membuat aku menjadi gugup. Baiklah, kuulangi semua keteranganrnu tadi untuk dilaporkan
kepada Pangeran Tang, kalau-kalau ada yang kulupakan."
Lauw Tek lalu mengulang semua yang dikemukakan Thian Lee tadi.
"Bagus, engkau telah ingat semuanya Twako. Dan jangan lupa minta kepada Pangeran Tang
agar pagi hari ini juga pergi menghadap Kaisar dan membicarakan rencana siasat yang diatur
Pangeran Tua itu agar Kaisar juga dapat ber-siap-siap menjaga diri dan melakukan
penangkapan atas diri Koksu Pak-thia-ong. Ingat, sesudah malam nanti Pangerang Tang Gi Su
harus menyembunyikan, dirinya karena dia dikabarkan tewas."
"Baik, Song-ciangkun. Akan kulaksana-kan sebaik-baiknya," kata Lauw Tek.
Thian Lee lalu meninggalkan kuil tua itu dari belakang sehingga tidak kelihatan oleh orang
lain. Dia tidak berani berkunjung ke rumah Pangeran Tang Gi Su karena hal ini kalau
diketahui mata-mata Pangeran Tua tentu akan menimbulkan kecurigaan. Ketika dia sedang
berjalan dekat pintu gerbang sebelah selatan, dia melihat Lee Cin menunggang kuda keluar
dari pintu gerbang itu. Karena ia sedang membawa tugas berat dan tidak ingin sepak
terjangnya hari itu diketahui orang maka dia tidak berani memanggil, hanya ikut keluar dari
pintu gerbang untuk mengetahui ke mana gadis itu pergi dan apa pula yang hendak
dikerjakan. Dia ingin menemui Lee Cin karena bantuan gadis itu sangat dibutuhkan pada
waktu yang gawat itu. Kalau Lee Cin suka membantu Cin Lan dalam menghadapi para
pemberontak, tentu para pemberon-tak itu akan lebih mudah ditangkap ketika mereka
menyerbu rumah para pangeran.
Apakah yang sedang dilakukan Lee Cin di kota raja" Seperti kita ketahui gadis ini
meninggalkan Thian Lee dengan hati yang hancur karena pepnuda itu terus terang
menyatakan tidak membalas cintanya bahkan telah mencinta gadis lain. Untuk menghibur
hatinya ia pergi ke kota raja. Tadinya, kehancuran hatinya membuat ia ingin sekali rnengamuk
ke rumah Pangeran Tua akan tetapi ia teringat akan pesan ayahnya betapa bahayanya kalau ia
rnelakukan hal itu. Ketika ia tiba di kota raja, ia membeli seekor kuda dan berkeliaran di kota
raja menunggang kuda, kadang melewati ru-mah Pangeran Tua. Ketika tadi ia sekali lagi
melewati istana itu, ia melihat beberapa orang pengennis yang memegang tongkat hitam
berada di sekitar istana itu. Agaknya para anggauta Hek-tung Kai-pang itu mengenalinya
karena mere-ka segera membayanginya.
Lee Cin tersenyum seorang diri, teringat akan gelang kemala yang pernah dirampasnya dari
seorang anggauta Hek-tung Kai-pang sehingga mereka itu ber-usaha untuk memintanya
kembali darinya. Sekarang agaknya mereka itu mengenalnya dan membayanginya, tentu
karena urusan gelang kemala itu. Karena merasa dibayangi terus, Lee Cin lalu membelokkan
kudanya keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. la tidak ingin membuat keributan
di kota raja dan kalau mereka itu hendak mencari keributan, biarlah hal itu terjadi di luar kotai
raja, pikirnya. Rombongan pengemis yang membayanginya menjadi semakin banyak dan ketika ia keluar
dari kota raja, jumlah mereka sudah ada tiga puluh orang! Sete-lah tiba di jalan yang sunyi di
luar kota raja, Lee Cin sengaja menghentikan ku-danya dan menanti mereka yang membayanginya itu dengan senyum mengejek. Hatinya sedang kecewa dan kesal, maka kalau ada
orang-orang yang mencari keributan, tentu saja ia akan meladeni! Bahkan ia sendiri akan
mencari keributan. Tak lama kemudian, tiga puluh orang anggauta Hek-tung Kai-pang yang dipimpin oleh empat
orang tokohnya sudah mengepungnya. "Heii, kalian ini para pengemis apakah hendak minta
sumbangan dariku" Majulah, aku mempunyai beberapa pukulan dan tendangan untuk dibagibagikan pada kalian!"
Seorang pemimpin Hek-tung Kai-pang maju dan berkata dengan suara lantang, "Nona,
sesungguhnya kami tidak ingin mencari keributan dengan Nona. Akan tetapi, harap Nona
berlaku adil dan meT ngembalikan sebuah gelang kemala yang dulu Nona rampas dari
seorang anggauta kami. Ketahuilah, Nona, bahwa gelang itu bukan milik kami dan harus
dikembalikan kepada pemiliknya."
Ucapan itu mengingatkan Lee Cin kepada Thian Lee, kepada siapa gelang kemala itu ia
berikan. Juga mengingatkan bahwa gelang kemala itu adalah tanda pertunangan Thian Lee
dengan orang lain. Hal ini menambah kejengkelannya.
"Gelang kemala itu milik siapa ateu tidak peduli dan aku tidak dapat me-ngembalikannya
kepada kalian. Habis, kalian mau apa?" Setelah berkata demi-kian, Lee Cin melompat dari
atas kuda-nya, berjungkir balik tiga kali dan turun di depan pemimpin para pengemis itu.
"Nona, kami hanya minta hak kami, kalau Nona tidak mau memberikan, terpaksa kami
menggunakan kekerasan."
"Menggunakan kekerasan" Apa maksud kalian?"
"Menangkap Nona untuk kami bawa kepada ketua kami agar mendapat pengadilan!"
"Hemm, kalian ini jembel-jembel busuk tak tahu diri. Biarlah kuberi kalian pembagian
pukulan agar puas!" bentak Lee Cin. Para pengemis itu lalu mengeroyoknya dan karena
mereka semua menggunakan tongkat hitam yang terbuat dari besi, Lee Cin melompat ke
belakang dan mencabut pedangnya. Nampak sinar merah berkelebat ketika Pedang Ular
Merah telah berada di tangannya. Para pengemis maju menyerang dan Lee Cin menggerakkan
pedangnya menangkis sam-bil membagi tamparan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua
kakinya. Tingkat kepandaian gadis ini jauh lebih tinggi dari para pengeroyoknya, maka
sebentar saja beberapa orang telah roboh terpelanting. Pada saat pengeroyokan sedang
berlangsung dengan ramainya tiba para pengeroyok itu menjadi kacau karena di antara
mereka itu, tanpa terkena serangan Lee Cin, sudah berjatuhan sendiri disambar kerikil-kerikil
kecsl yang entah dari mana datangnya. Suasana menjadi kacau apalagi ketika empat orang
pimpinan itu pun roboh disam-bar batu kecil yang tepat mengenai jalan darah mereka dan
membuat mereka lumpuh beberapa detik lamanya. Lee Cin sendiri merasa heran ketika tibatiba para pengeroyoknya itu melarikan diri cerai-berai meninggalkannya, seolal takut kepada
sesuatu. la pun melihat tadi banyak pengeroyok roboh padahal ic tidak atau belum menyerang
mereka yang masih jauh darinya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, ia pun dapat
menduga bahwa ia tentu telah mendapat bantuan orang pandai, apalagi ia melihat adanya
banyak batu kecil berserakan di tjennpat itu.
"Lee Cin....!" Thian Lee muncul setelah para pengeroyok tadi sudah tidak tampak lagi.
Lee Cin menengok dan mengerutkan alisnya. Kini ia mengerti. "Ah, kiranya engkau yang
membantuku" Aku tidak membutuhkan bantuanmu, Thian Lee!"
"Aku tahu bahwa engkau tidak akan kalah oleh mereka. Akan tetapi aku ingin mereka segera
pergi karena aku ingin bicara penting denganmu, Lee Cin."
"Tentang apa?" ia mengusir harapan yang timbul sekilas mengenai perasaan jiati Thian Lee.
"Tentang tugasku yang diberikan oleh ayahmu, Lee Cin. Maukah engkau membantuku"
Seperti kauketahui, ayahmu memberikan surat kepadaku untuk disam-paikan kepada Guiciangkun dan kepada Sri Baginda Kaisar. Nah, surat-surat itu sudah kusampaikan dan kini aku
ditugas-kan oleh Kaisar untuk membantu Pange-ran Tang Gi Su membongkar komplotan
pemberontak." "Hemm, bantuan apa yang dapat kau berikan kepadaku," tanya Lee Cin ragu. Bagaimanapun
juga, pemuda ini menerima tugas dari ayahnya dan membantu pemuda ini berarti membantu
ayahnya pula. Dengan panjang lebar Thian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya sarn-pai dia
menyelundup ke dalam istana Pangeran Tua dan mendapat kepercayaar? sebagai pembantu
Pangeran Tua sehingga dia dapat mengetahui semua rahasia rencana siasat pangeran yang
hendak memberontak itu. Betapa pangeran itu hendak membunuh para pangeran dan pejabat
setia, kemudian membunuh Kai-sar dan menguasai tahta kerajaan.
"Ih, betapa jahatnya!" seru Lee Cin kaget. "Bagaimana aku dapat membantunya".
"Pangeran Tua memiliki banyak pembantu lihai, maka makin banyak di pihak kita yang
memiUki kepandaian bekerja sama, lebih baik lagi. Pangeran Tang Gi Su memang akan
mengerahkan kekuatan pasukan, akan tetapi tanpa bantuan orang-orang pandai, aku khawatir
para pemberontak dan penjahat itu akan dapat melarikan diri. Karena itu, aku minta engkau
suka membantu menghadap para penyerbu itu dan terserah kepada Pangeran Tang Gi Su
engkau hendak diminta rnembantu dan melindungi pangeran yang mana. Engkau temuilah
Tang Cin Lan, dan engkau bekerja-samalah dengannya."'
"Hemmm, siapa itu Tang Cin Lan?"
"la puteri Pangeran Tang Gi Su, se-brang puteri pangeran akan tetapi juga seorang pendekar
wanita murid Pek 1 Lokai yang lihai. Pergilah ke rumah Pa-ngeran Tang Gi Su, temui
pangeran itu atau temui Tang Cin Lan, katakan kepa-da mereka bahwa aku yang menyuruhmu
membantu mereka, tentu mereka akan menerimamu dengan senang hati dan memberimu
tugas yang penting untuk menghadapi komplotan pemberontak itu."
"Hemm, mengapa aku harus menuruti perintahmu?" kata Lee Cin dengan sikap angkuh.
"Karena engkau adalah puteri Paman "Souw Tek Bun yang menjadi bengcu. Kalau Paman
Souw sendiri berada di sini pasti beliau akan membantu. Kini yang berada di sini adalah
engkau, maka sudah sepatutnya engkau mewakili ayahmu membantu penindasan
pemberontak ini, Lee Cin."
Lee Cin merasa terdesak. la tentu saja suka mewakili ayahnya dan ia me-mang tahu bahwa
pemuda ini bertugas karena permintaan ayahnya yang menye-rahkan surat untuk Kaisar.
"Baiklah, akari tetapi kalau keluarga pangeran itu tidak menerimaku dengan baik, aku tidak
sudi membantu mereka."
"Mereka itu bangsawan, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang baik dan dapat
menghargai orang-orang gagah. Katakan saja bahwa aku yang memintamu agar berkunjung
kepada mereka untuk membantu menghadapi kaki tangan Pangeran Tua, pasti mereka akan
meneri-mamu dengan senang hati." Thian Lee lalu memberi keterangan di mana letak rumah
Pangeran Tang Gi Su. Setelah mengetahui letak rumah itu dengan jelasi Lee Cin lalu pergi
menunggangi kudanya, kembali ke kota raja. Thian Lee juga kembali ke kota raja dan dia
langsung saja pergi ke istana Pangeran Tua. hati-nya lega karena dia telah mengati.r dan
Pangeran Tang tentu telah mempersiap-kan segalanya.
Lee Cin membalapkan kudanya sehihgga sebentar saja dara perkasa inl sudah memasuki kota
raja dari pintu gerbang selatan. la lalu menjalankan kudanya perlahan mencari rumah Pangeran Tang. Setelah tiba di depan rumah itu, ia melompat turun dari kudanya dan menuntun
kuda itu memasuki pekarangart! yang luas dari rumah itu. Beberapa orang petugas jaga segera
menghampirinya. "Maaf, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apakah memasuki pekarangan ini?" tanya
kepala jaga dengan sikap hormat.'
"Aku ingin bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su atau puterinya, Nona Tang Cin Lan.
Katakan bahwa aku datang dengan keperluan yang amat penting!"
Tentu saja para penjaga itu tidak berani membiarkan Sang Pangeran keluar karena mereka
sudah menerima perintah agar melakukan penjagaan ketat semenjak ada penyerangan
terhadap pangeran itu. Akan tetapi mereka tahu betapa lihainya puteri pangeran sehingga
sebaiknya kalau gadis yang tidak mereka kenal ini dihadapkan kepada Tang-siocia itu. "Baik,
silakan ikut kami, Nona dan biarkan kuda Nona di sini, akan ada yang mengurusnya," kata
kepala jaga dan Lee, Cin mengangguk, lalu mengikuti kepala jaga itu menuju ke sebuah
ruangan tamu di samping depan bagian rurnah besar
"Silakan Nona menanti sebentar, kami hendak melaporkan kedatangan Nona kepada Tangsiocia." Kembali Lee Cin mengangguk sambil duduk di atas kursi yang terukir indah. Kepala
jaga itu pergi meninggalkannya dan tidak lama kemudian, pintu sebelah dalam terbuka dan
muncullah seorang gadis cantik dari dalam rumah. Melihat munculnya gadis ini, Lee Cin
bangkit dan memandang penuh perhatian. Dua orang gadis itu berdiri berhadapan dan saling
pandang dengan mata penuh selidik. Lee Cin kagum melihat gadis itu. Tubuhnya ramping
dengan leher panjang dan kulit leher dan tangannya nampak putih mulus. Rambutnya hitam
panjang digelung ke atas, dengan anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis. Alisnya
melengkung dan sepasang matanya tajam penuh keberanian. Hidungnya mancung dan
mulutnya kecil dengan bibir penuh dan merah segar menantang. Mulut itu menjadi manis
sekali karena adanya lesung pipit di sebelah kiri. Seorang gadis yang cantik jelita.
Sementara itu, Cin Lan juga memandang kagum. Gadis di depannya itu mengenakan pakaian
berkembang berani. Mukanya berbentuk bulat telur. Mulutnya kecil mungil dan hidungnya
mancung agak berjungkat ke atas sehingga nampak lucu menggemaskan. Juga di kedua
pipinya terdapat lesung pipit yang menambah kemanisannya. Karena gadis itu nampak masih
muda sekali, maka Cin Lan menaksir bahwa ia lebih tua satu dua tahun dibandingkan gadis
itu, yang kecantikan-nya nampak liar, seperti setangkai bunga mawar hutan yang banyak
durinya. "Engkau siapakah, adik yang baik?" tanya Cin Lan ramah.
"Bukankah engkau yang bernama Tang Cin Lan, murid Pek 1 Lokai?" Lee Cin baias
bertanya. Cin Lan merasa heran bagaimana gadis asing ini sudah mengenalnya, bahkan
mengenal gurunya pula. "Benar sekali, bagaimana engkau bisa mengetahuinya" Siapakah
engkau, adik yang manis?"
"Namaku Souw Lee Cin, dan ayahku adalah Bengcu Souw Tek Bun."
Cin Lan terkejut juga mendengar ini. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama Bengcu Souw
Tek Bun. "Ah, kira-nya puteri Bengcu. Silakan duduk, Adik Lee Cin. Katakan, apa
keperluanmu berkunjung ini" Adakah sesuatu yang dapat kubantu?"
Sikap manis dari Cin Lan menyenangkan hati Lele Cin dan ia segera dtlduk. Pantas Thian Lee
memuji-muji gadis ini. Memang seorang gadis yang ramah pikirnya.
"Aku datang berkunjung karena disuruh oleh Thian Lee. Kau mengenal Thian Lee, Enci?"
Wajah Cin Lan seketika berubah kemerahan ketika mendengar nama kekasihnya disebutsebut. "Tentu aku mengenalnya. Engkau disuruh ke sini oleh Lee-koko" Adakah dia mengirim
pesan atau berita?" Biarpun masih muda, akan tetapl Lee Cin sudah pandai menilai orang dari sikapnya. Gadis ini
menyebut Thian Lee dengan Lee-ko, dan ketika mendengar nama Thian Lee disebut,
wajahnya menjadi kemerahan dan sinar matanya bersinar-sinar, dan ketika bertanya tentang
Thian Lee, nampaknya demikian tegang. Ah, seperti ia sendiri, gadis bangsawan ini juga
mencinta Thian Lee! Jilid 17 ..... "Dia tidak mengirim berita apa pun, hanya menyuruh aku datang ke sini menghadap Pengeran
Tang Gi Su atau puterinya yang bernama Tang Cin Lan, dan menyatakan bahwa aku ingin
membantu menghadapi komplotan pemberontak yang hendak membunuhi banyak pangerar.
Aku akan membantu menangkapi mereka." Ucapan ini mengandung suara yang nadanya
sombong sekali sehingga Cin Lan tersenyum. Gadis ihi tinggi hati, pikirnya, akan tetapi kalau
kedatangannya ini atas permintaan Thian Lee, sudah pasti gadis ini memiliki kepandaian
tinggi. Apalagi mengingat bahwa ia puteri beng-cu
"Engkau tahu apa tentang pemberontakan, Adik Lee Cin?"
Thian Lee sudah menceritakan semuanya kepadaku." Lalu ia mengulang apa yang
didengarnya dari Thian Lee. Mendengar ini, Cin Lan tidak ragu lagi. Gadis ini tentu dipercaya
sepenuhnya oleh Thian Lee sehingga semua rahasia itu telah diceritakan kepadanya.
"Ah, kiranya engkau sudah mengetahui segalanya. Mari, Adik Cin, mari kita ke dalam!" la
lalu memegang tangan Lee Cin dan ditariknya gadis itu untuk bersama-sama memasuki
rumah besar menuju ke lian-bu-thia yang berada di belakang rumah.
"Eh, Enci Cin Lan. Apa maksudmu membawaku ke slni?"
"Kau maafkan aku, Adik Ctin. Sama ssekali bukan aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi
yang kita hadapi adalah lawan-lawan. yang amat lihai. Oleh karena itu, sebelum menerimamu
aku harus lebih dulu menguji kepandaianmu agar engkau tidak sampai menderita celaka kalau
berhadapan dengan mereka."
"Bagus! Engkau hendak mengujiku. Kebetulan aku pun ingin sekali menguji kepandaianmu
yang begitu dipuji-puji oleh Thian Lee. Marilah!" Lee Cin sudah melompat ke tengah ruangan
silat itu dan memasang kuda-kuda dengan gaya yang manis sekali. Cin Lan tersenyum, lalu
mengambil sebatang tongkat dari rak senjata.
"Adik Lee Cin, dalam menghadapi para penjahat itu mereka tentu menggunakan senjata,
maka kuminta engkau keluarkanlah senjata andalanmu dan mari kita main-main sebentar." la
melintangkan tongkatnya di depan dada dan sekali putar, tongkat itu mengeluarkan angin
berdesir. Melihat ini Lee Cin dapat menduga bahwa Cin Lan tentu mahir sekali memainkan
tongkat itu, apalagi mengingat bahwa ia adalah murid Pek 1 Lokai yang tingkat
kepandaiannya sudah menyamai tingkat kepandaian para datuk. Gurunya sendiri, atau lebih
tepat ibu kandungnya, sudah sering bercerita kepadanya tentang kelihaian Pek 1 Lokai. Maka,
tanpa ragu lagi ia pun melolos Pedang Ular Merah dari pinggangnya.
Cin Lan kagum melihat betapa pedang yang blasa dipakai sebagai sabuk itu sudah berada di
tangan Lee Cin dan mengeluarkan cahaya kemerahan.
"Bagus'. Nah, sambutlah serangan tongkatku, Adik Lee Cin!"
Cin Lan sudah maju menggerakkan tongkatnya dan dengan ilmu tongkat Hok-mo-tung ia
menyerang dengan gerak-an cepat dan kuat sekali. Lee Cin yang gudah menduga akan
kelihaian Cin Lan, segera memutar pedangnya melindungi diri dan menangkis. Terdengar
suara nyaring berulang kali ketika pedang ber-temu tongkat dan keduanya merasa betapa
telapak tangan mereka tergetar.
Lee Cin bertandlng dengan sungguh-sungguh, setelah menangkis ia pun balas menyerang,
sehingga terjadilah pertandingan yang hebat dan indah dipandang. Sinar pedang berbaur
dengan sinar tongkat yang bergulung-gulung sehingga sukarlah diikuti pandang mata siapa
yang lebih unggul di antara dua orang gadis cantik itu. Terdengar suara tongkat berdesir-desir
diiringi suara pedang berdesingan. Setelah lewat hampir seratus jurus, keduanya masih belum
ada yang leblh unggul! Lee Cin lalu mulai meng-gerakkan tangan kirinya untuk membantu
pedangnya dengan totokan It-yang-ci.
Cin Lan terkejut ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari jari tangan kiri Lee Cin. la
melompat ke belakang dan memutar tongkat sambil berseru, "Tahan, Adik Lee Cin. Sudah
cukup!" katanya gembira. "Hebat, ilmu kepandaianmu benar hebat! Aku mengaku kalah."
"Ah, Enci Lan. Engkau yang hebat. Ilmu tongkatmu sungguh mengagumkan, Engkau tidak
kalah sama sekali." "Sekarang aku telah yakin akan kemampuanmu. Tadi pun sebetulnya aku telah percaya
karena kalau sampai Lee-koko yang, menyuruhmu ke sini untuk membantu kami, tentu
engkau lihai sekali. Akan tetapi aku ingin yakin dan sekarang aku tidak ragu lagi. Mari
kuhadapkan kepada Ayah, Adik Lee Cin."


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menggandeng tangan Lee Cin, Cin Lan mengajaknya mengunjungi ayah-nya yang
berada di tempat tersembunyi dalam gedung itu. Lee Cin melihat betapa. ternpat itu terjaga
ketat dan berlapis-lapis sehingga akan sukarlah bagi siapa saja yang hendak membunuh Sang
Pangeran. Ketika memasuki ruangan itu, Lee Cin melihat seorang laki-laki berusia hampir enam puluh
tahun duduk seorang diri. Orang ini kelihatan tenang dan berwibawa sekali.
"Cin Lan, ada urusan apa engkau masuk ke sini" Dan Nona ini siapakah mengapa engkau ajak
ke sini?" "Maaf, Ayah. Karena kedatangan adik inilah maka aku membawanya menghadap Ayah.
Namanya Souw Lee Cin, Ayah. la adalah puteri dari Bengcu Souw Tek Bun dan ia datang
atas permintaan Lee-koko untuk membantu kita. Dan aku sudah mengujl kemampuannya,
Ayah. Wah, ia hebat sekali, lihai dan pantas menjadi pembantu karena aku sendiri pun tidak
mampu mengalahkannya!"
Pangeran itu nampak gembira mendengar laporan puterinya. Dia memandang kepada Lee Cin
dengan sinar mata kagum lalu berkata, "Selamat datang, Nona Souw! Makin besarlah hati
kami dengan kedatangan Nona yang hendak membantu kami! Aku tahu bahwa ayahmu
adalah seorang pendekar perkasa yang setia dan dipercaya oleh, Sri Baginda Kaisar."
"Taljin, aku datang karena diminta oleh Thian Lee dan mudah-mudahan saja aku tidak akan
mengecewakan kalian di sini. Aku siap menanti perintah untul< melindungi Pangeran yang
mana." "Ayah Lee-koko telah menceritakan semuanya kepada Adik Lee Cin sehingga tidak ada
rahasia baginya. la sudah tahu akan semua rencana siasat yang hendak dilakukan Pangeran
Tua." "Bagus, kalau begitu. Akan tetapi, yt kami telah mengatur siasat untuk rnelin-dungi semua
calon korban dan memasang jebakan untuk menangkap para pembunuh itu. Sebaliknya kita
menunggu munculnya Thlan Lee yang malam ini ditugaskan musuh untuk membunuhku. Kita
tanyakan kepadanya saja ke mana kalian berdua akan ditugaskan. Untuk sementara ini, harap
Nona Souw suka bersama Cin Lan tinggal di dalam rumah ini dan jangan membuat gerakan
keluar agar tidak menimbulkan kecurigaan kepada pihak musuh."
Sambil bergandeng tangan kedua orang gadis itu mengundurkan diri dan tak lama kemudian
mereka sudah asyik bercakap-cakap dalain kamar Cin Lan. Keduanya segera menjadi akrab
karena banyak persamaan antara kedua orang gadis ini, sama-sama terbuka dan keras.
Malam ini sunyi sekali. Malam tanpa bulan bintang karena langit tertutup awan gelap. Di
dalam kegelapan malam itu nampak dua sosok bayangan manusla berkelebat cepat sekali
mendekati gedung tempat tinggal Pangeran Tang Gi Su.
Biarpun Thian Lee sudah meyakinkan hati Pangeran Tua bahwa dia sanggup membunuh
Pangeran Tang Gi Su seorang diri saja tanpa bantuan, tetap saja Pangeran Tua merasa sangsi
dan dia mengutus Liok-te Lo-mo untuk mengawani Thian Lee. Agak lama kedua orang ini
mendekam di balik semak tak jauh dari tembok yang mengelilingi rumah Pangeran Tang Gi
Su untuk melihat keadaan. Penjagaan ketat sekali dan setiap beberapa menit sekali nampak
belasan orang peronda berjalan di dekat tembok mengelingi tembok pagar yang tinggi.
"Suhu, penjagaan ketat sekali. Kalau kita berdua yang masuk ke dalam akan lebih mudah
ketahuan musuh. Sebaiknya Suhu menanti di sini biarkan aku masuk melakukan tugas itu.
Percayalah, pasti berhasil kalau aku bergerak seorang diri. Lebih mudah bersembunyi kalau
masuk seorang diri dan Suhu menanti di Sini sampai aku keluar."
Liok-te Lo-mo yang sudah tahu akan kelihaian bekas muridnya ini mengangguk. "Akan tetapi
hati-hatilah. Aku mendengar penjagaan di dalam gedung itu ketat sekali sejak serangan
pertama itu gagal." "Jangan khawatir, Suhu. Aku pasti berhasil!" kata Thian Lee dan dia menggunakan penutup
muka dari sutera hitam, kemudian berkelebat ke depan mendekati pagar tembok. Dia
membiarkan serombongan peronda lewat, setelah mereka lewat, tubuhnya melayang naik ke
atas pagar tembok dengan kecepatan luar biasa sehingga kalau ada yang kebetulan lewat tentu
hanya mengira bahwa itu bayangan pohon saja. Liok-te Lo-mo yang mengintai dari balik
Amarah Pedang Bunga Iblis 8 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Jago Kelana 16

Cari Blog Ini