Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Bagian 1
" GOLOK BULAN SABIT Karya : Khulung Disadur : Tjan Jilid : 1 REMBULAN ada kalanya berbentuk sabit ada kalanya
berbentuk bulat, yang kita kisahkan sekarang adalah
sewaktu bulan purnama, karena kisah ini terjadi didalam
bulan purnama. Rembulan pada malam ini jauh lebih indah, jauh lebih
mempesona daripada hari-hari sebelumnya. rembulan itu
tampak begitu indah, indah dan membawa kemisteriusan,
indah yang menggetarkan sukma dan membuat hati orang
hancur luluh. Demikian pula dengan kisah cerita ini, penuh
mengandung kemisteriusan dan keindahan yang menarik.
membuat orang merasa heran, bertanya tanya dan benak
penuh khayalan. Konon menurut cerita kuno, setiap bulan terang purnama, selalu akan muncul siluman siluman
binatang atau siluman pepohonan bahkan juga siluman rase dari bawah bumi yang bermunculan
untuk menyembah rembulan serta menghisap inti kekuatan dari rembulan.
Ada kalanya, mereka akan muncul dalam bentuk manusia, muncul dengan aneka wajah untuk
melakukan segala macam perbuatan yang di luar dugaan setiap orang.
Perbuatan-perbuatan mereka ada kalanya menimbulkan rasa kaget, ada kalanya menimbulkan
rasa seram, ada kalanya menimbulkan rasa girang, dan ada kalanya menimbulkan perasaan
sedih. Mereka dapat menyelamatkan nyawa seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang beribu
ribu kaki dalamnya, dapat pula mendorong seseorang dari atas puncak gunung.
Mereka dapat membuat kau memperoleh kedudukan serta harta kekayaan yang luar biasa,
tapi dapat pula membuat kau kehilangan segala galanya.
Walaupun belum pernah ada orang yang menjumpai raut wajah mereka, tapi tiada seorang
juga yang bisa menentukan dimana mereka berada.
Golok ada yang lurus ada pula yang melengkung, yang kita ceritakan sekarang adalah sebilah
golok yang melengkung, melengkung bagaikan alis mata Cing cing.
Golok lengkung itu memang milik Cing cing.
Cing cing adalah seorang gadis cantik tapi misterius, seperti pula rembulan yang sedang
purnama di langit.. Golok adalah senjata pembunuh yang ampuh. . .
Demikian juga dengan golok lengkung milik Cing cing, dikala kau menyaksikan cahaya golok
lengkung itu berkelebat lewat, biasanya bencana segera akan tiba.
Siapapun juga di dunia, ini tak seorangpun dapat menghindari cahaya golok yang lengkung itu.
Cahaya golok itu tidak terlalu cepat, seperti pula sinar rembulan, dikala kau melihatnya, cahaya
itu sudah menimpa di atas tubuhmu.
Di langit hanya ada sebuah bulan yang purnama, di bumi ada sebilah golok yang lengkung.
Dikala ia muncul di dunia, bukan selalu bencana yang dibawa, ada kalanya diapun bisa
membawa kebahagiaan serta keadilan bagi umat manusia.
Kali ini dia akan muncul kembali di jagad, tapi apa yang bakal dia bawa untuk umat manusia "
Tiada seorangpun yang tahu.
Golok lengkung Cing cing berwarna hijau, hijau bagaikan gunung dikejauhan, hijau seperti
daun pohon, hijau seperti air mata ke kasih.
Di atas golok lengkung Cing cing tertera sebaris tulisan yang berbunyi:
"Siau lo it ya teng cun yu"
Artinya: Mendengar rintihan hujan di sebuah loteng pada suatu malam.
ooooo0ooooo SEORANG GADIS BUGIL FAJAR baru saja menyingsing, kabut menyelimuti seluruh permukaan bumi, kabut yang sangat
tebal. Ting Peng mendorong daun jendela ruangannya, kabut tebal yang putih melayang masuk dan
menerpa di atas wajahnya.
Ia berparas tampan, bertubuh gagah, sehat, penuh semangat hidup dan perkasa, sewaktu
tertawa, seringkali memperlihatkan kepolosan seorang bocah, seakan akan seorang bocah lelaki
yang baru tumbuh menjadi dewasa.
Tapi Ting Peng sudah bukan kanak-kanak.
Pada bulan tiga, secara beruntun dia telah mengalahkan tiga orang jago pedang yang paling
tersohor dalam dunia persilatan.
Bila sinar matahari dan air membuat tumbuhan tumbuh dengan subur, maka kemenangan
serta keberhasilan membuat seorang bocah laki-laki cepat tumbuh menjadi dewasa dan matang.
Sekarang bukan saja ia telah menjadi seorang lelaki yang sejati, lagi pula amat mantap, tegas
dan penuh dengan kepercayaan pada diri sendiri.
Dia dilahirkan pada bulan tiga, tahun ini genap sudah dua puluh tahun, pada ulang tahunnya
yang kedua puluh itulah, dengan sebuah jurus Thian gwa liu song (bintang meluncur dari luar
angkasa) ia berhasil mengalahkan Si Teng seorang jago pedang kenamaan dari kota Po-teng.
Si Tong adalah seorang jago lihay dari Cing-peng-kiam aliran utara, dengan kemenangan
tersebut ia memberi hadiah ulangtahun dirinya sendiri.
Pada bulan empat, sekali lagi ia berhasil mengalahkan Tui-hong-kiam (pedang pengejar angin)
Kek Khi dengan jurus Thian-gwa liu seng.
Kek Khi adalah murid tertua dari partai Hoa-san, ilmu pedangnya cepat lagi ganas, setiap kali
melepaskan serangan tentu buas dan mematikan, dia adalah seorang laki-laki yang angkuh.
Tapi setelah pertarungan itu, dia dapat dikalahkan dengan hati yang puas, kepada umum dia
mengakui: "Sekalipun aku berlatih sepuluh tahun lagi, belum! tentu bisa kuhadapi serangan tersebut?"
Bulan lima, ciangbunjin dari Thi-kiam bun, (perguruan pedang baja), Siong Yang kiam kek,
(jago pedang dari siong yang) Kwik Tin-peng dikalahkan pula dengan jurus Thian-gwa liu-song,
Terhadap jurus pedang serta manusianya itu, Kwik Tin peng memberi komentar:
"Dia betul-betul seorang pemuda yang jarang ditemukan dikolong langit, dalam setahun
mendatang, pemuda ini pasti akan tersohor dalam dunia persilatan dan merupakan seorang
pemimpin yang cakap"
Walaupun perguruan Thi-kiam-bun tidak terhitung suatu perguruan yang besar dan ternama,
namun mereka mempunyai sejarah yang cukup lama. .
Kwik Tin-peng sebagai seorang ciangbunjin ternyata mengucapkan kata-kata tersebut, sudah
barang tentu ucapannya sangat berbobot.
Hingga sekarang, acapkali Ting Peng merasa bangga dan gembira setiap kali teringat akan
perkataan tersebut. "Tersohor dalam dunia persilatan, sebagai seorang pemimpin yang cakap"
Sudah lima belas tahun ia melatih diri secara tekun, setiap hari berlatih selama hampir tujuh
jam lamanya, membuat telapak tangan maupun telapak kakinya menjadi lecet-lecet dan terluka.
Apalagi dimalam musim salju yang dingin, untuk membangkitkan semangatnya kerapkali ia
mempersiapkan segumpal bongkahan es, bila merasakan dirinya menjadi malas, maka gumpalan
es itu disusupkan ke dalam celana sendiri. Tentu saja siksaan seperti itu tak akan bisa
dibayangkan oleh orang lain.
Ia begitu menyiksa dirinya. karena ia bertekad hendak menjadi terkenal, melampiaskan
kekecewaan dari ayahnya yang sepanjang hidupnya tak pernah berhasil.
Ayahnya adalah seorang piausu yang tak ternama, dalam suatu ketika tanpa di sengaja ia
telah menemukan selembar kitab ilmu pedang yang sudah koyak-koyak..
Bukan sejilid, melainkan hanya selembar.
Di atas lembaran kertas itu, tercantumlah rahasia dari jurus Thian gwa liu seng tersebut.
Bintang yang meluncur datang dari luar angkasa, tiba-tiba meluncur tiba, tiba-tiba meluncur
pergi, kecepatan dan kerlipan cahaya tersebut tak bisa dibandingkan dengan kejadian apapun,
pula tak seorangpun yang bisa membendungnya.
Tapi waktu itu ayahnya sudah tua, kecerdasan otaknya sudah mundur, reaksinya juga makin
lamban, tak mungkin lagi baginya untuk melatih ilmu pedang semacam itu, maka selembar catatan
ilmu pedang itupun telah diwariskan kepada putranya.
Sebelum menghembuskan napas yang penghabisan, ia sempat meninggalkan pesan,
Katanya: "Kau harus berhasil melatih ilmu pedang itu, kau harus melampiaskan semua kekecewaan dan
keputus-asaanku, agar orang lain tahu bahwa aku orang she Ting pun memiliki keturunan yang
bisa menonjol" Setiap kali teringat akan persoalan ini, Ting Peng akan merasakan darah panas dalam rongga
dadanya bergolak keras, bahkan air matapun hampir saja jatuh bercucuran.
Sekarang ia tak perlu melelehkan air mata lagi.
Air mata hanya dilelehkan oleh mereka yang lemah, dan seorang lelaki sejati tak boleh
melelehkan air mata, darah yang harus meleleh keluar .......
Dia menarik napas panjang-panjang menghirup udara pagi yang segar dan dingin, dari bawah
bantal ia mencabut keluar sebilah pedang.
Hari ini, kembali dia akan mempergunakan pedang ini untuk meraih kemenangan sekali lagi
baginya. Jika hari ini pertarungannya berakhir dengan kemenangan, ia baru akan benar-benar berhasil
dengan sukses. "Si Tong, Kok Khi, Kwik Tin peng meski terhitung jago-jago kenamaan dalam dunia persilatan,
tapi bila dibandingkan dengan pertarungan yang akan berlangsung hari ini kemenangan yang tiga
kali secara beruntun itu masih belum terhitung seberapa.
Sebab lawan tandingannya hari ini adalah Liu Yok-siong.
Cing siong kiam kek (jago pedang pohon cemara) Liu Yok siong yang merupakan salah satu
dari antara Sui han sam yu (tiga serangkai cemara, bambu dan bwe) jago-jago kenamaan dalam
kolong langit dewasa ini.
Liu Yok siong yang merupakan kepala kampung Cing siong san ceng.
Liu Yok siong yang merupakan satu satunya murid preman dari Thian It cin jin, seorang imam
saleh dari kuil Lip tin koan di bukit Bu tong san.
Sejak banyak tahun berselang ia sudah mendengar akan nama besar orang ini.
Ketika itu nama tersebut baginya bagaikan bukit Tay san yang sangat tinggi, jauh tinggi di atas
dan tak mungkin tergoyahkan.
Tapi keadaan sekarang jauh berbeda.
Sekarang ia mempunyai keyakinan untuk mengalahkan orang ini.
Ia menggunakan cara yang paling jujur dan cara yang paling terbuka untuk memohon petunjuk
dari Bu lim cianpwe kenamaan ini. Membuat Liu Yok siong tak sanggup untuk menampik
tantangannya itu. Sebab dia harus berhasil merobohkan orang itu bila ingin maju ke depan, maju ke lingkungan
orang-orang ternama dalam dunia persilatan.
Baik waktu maupun tempat diselenggarakannya pertarungan itu ditentukan sendiri oleh Liu
Yok siong. "Bulan enam tanggal lima belas, tengah hari tepat, di perkampungan Cing siong san ceng"
Hari ini adalah bulan enam tanggal lima belas.
Hasil dari pertarungan hari ini, akan menentukan nasib serta masa depannya di kemudian hari.
Pakaian yang semalam ia cuci sendiri digantungkan pada tiang jemuran di mulut jendela, kini
sudah hampir kering. Walaupun belum mengering sama sekali, setelah dikenakan di badan, dengan cepat akan
mengering sendiri. Pakaian ini merupakan satu satunya pakaian yang dia miliki, pakaian yang dibuat oleh ibunya
sendiri menjelang kepergiannya dulu, sekarang warnanya sudah luntur, bahkan di sana sini penuh
dengan tambalan, tapi asal selalu dicuci dan kering, Ia masih bisa mengenakannya untuk
berjumpa dengan siapapun.
Miskin bukan sesuatu yang memalukan, malas dan dekil baru sesuatu yang memalukan.
Setelah berpakaian, dari bawah bantalnya kembali ia mengeluarkan sebuah kocek terbuat pula
dari kain biru. Dalam kocek hanya tinggal sekeping kecil hancuran perak.
Inilah seluruh harta yang dimiliki, setelah dibuat untuk membayar ongkos penginapan, yang
tersisapun paling cuma beberapa puluh rence uang tembaga.
Biasanya ia selalu tidur di tempat-tempat yang tak perlu membayar uang sewa, seperti
dikolong meja altar dalam kuil atau rumput di tengah hutan ........
Tapi demi keberhasilannya dalam pertempuran hari ini, dengan perasaan terpaksa dia
memasuki penginapan kecil itu, sebab dia membutuhkan tidur yang nyenyak dan nyaman, dengan
begitu badannya baru akan memiliki semangat serta kekuatan yang segar, dalam kondisi seperti
ini dia baru akan berhasil menangkan pertarungan.
Setelah membayar rekening penginapan sambil menggigit bibir kembali ia membeli setengah
kati daging sapi, sepuluh potong tahu kering, sebungkus besar kacang tanah dan lima bakpao
besar dengan menggunakan sisa uang yang dimilikinya.
Baginya makanan tersebut bukan saja merupakan suatu makanan yang mewah dan
berlebihan, lagi pula ia menganggap sebagai suatu pemborosan yang tak boleh diampuni, sebab
dihari hari biasa dia hanya dahar kuah keras yang cukup dibeli dengan uang tiga rence tembaga
tapi cukup untuk mengisi perut selama sehari penuh.
Tapi hari ini, ia bertekad untuk memaafkan dirinya satu kali, hari ini ia membutuhkan tenaga
yang besar, hanya makan makanan yang lezat baru akan timbul kekuatan yang segar.
Apalagi setelah lepas hari ini, besar kemungkinan keadaannya akan sama sekali berbeda.
Nama besar bukan saja dapat mendatangkan kebanggaan serta martabat, dapat pula
mendatangkan banyak hal yang biasanya tak pernah kau duga.
Harta kekayaan, kedudukan mungkin juga akan turut berdatangan semua.
Dia sangat memahami hal ini, sehingga dia selama ini terus menerus menggertakkan
rahangnya kuat-kuat untuk menahan kemiskinan dan kelaparan ini.
Dia tidak akan pernah membiarkan dirinya tercemar oleh perbuatan yang tidak terhormat, dia
telah membulatkan tekad untuk mencapai kesuksesan lewat jalan yang normal.
Sekarang masih ada waktu dua jam sebelum waktu tengah hari tiba, dia memutuskan untuk
mencari sebuah tempat agar dapat menikmati makanan ini.
Di kaki bukit dekat Villa Bukit Wan Song dia menemukan sebuah tempat yang memiliki sumber
air, padang rumput, kembang merah, dan pemandangan yang indah, ke empat penjurunya
dilingkari oleh kembang dan pepohonan, sekali mata memandang tampaklah langit yang membiru.
Pada saat ini kabut tebal sudah memudar, matahari baru saja naik meninggi, di atas daundaun
yang hijau bulir-bulir embun berkilauan, cemerlang bagaikan mutiara.
Dia duduk di atas rumput yang empuk, merobek dendeng daging, aroma dendeng daging
ternyata jauh lebih harum daripada yang dia bayangkan.
Dia merasa sangat gembira.
Pada saat inilah seorang perempuan berjalan masuk ke dalam tempat rahasia kecilnya ini,
seperti seekor kambing antelope yang sedang dikejar oleh pemburu.
Bocah perempuan ini berparas cantik dan masih belia.
Ting Peng sudah merasakan napasnya seperti berhenti, debar jantungnya bertambah cepat
tiga kali lipat dari biasanya.
Dia belum pernah sebelumnya berdekatan dengan perempuan.
Di kampung halamannya, bukannya tidak ada gadis belia, dia juga bukannya tidak pernah
melihat mereka. Dia selalu saja mati-matian mengendalikan dirinya, semua cara sudah dia gunakan, dia
memasukkan bongkahan es ke balik celananya, memasukkan kepalanya ke dalam air sungai,
menusuk kakinya sendiri dengan jarum, berlari, mendaki gunung, bersalto...
Sebelum dia mencapai ketenaran, dia tidak akan membuat hal-hal ini memecah
konsentrasinya, dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan tenaga oleh apa pun juga.
Tetapi sekarang, dia tiba-tiba melihat ada seorang wanita yang telanjang, seorang wanita
cantik yang tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya.
Kulitnya yang putih itu, payudaranya yang tinggi menjulang, matanya yang bulat dan indah...
Dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya sebelum akhirnya dapat
memalingkan kepalanya. Perempuan ini malah mendekat, menariknya dan berkata dengan napas
yang terengah-engah: "Tolong, tolong aku, kau harus menolongku."
Wanita itu begitu berdekatan dengannya, napasnya terasa hangat dan harum, dia bahkan bisa
mendengar detak jantungnya.
Mulutnya terasa kering, sehingga tidak satu patah kata pun diucapkannya.
Gadis ini sudah menyadari perubahan yang terjadi dalam tubuhnya, sehingga wajahnya
berubah menjadi merah merona, dia menggunakan sepasang tangannya untuk menutupi
tubuhnya, "Kau... kau... bisakah kau melepaskan pakaianmu untuk dipinjamkan padaku?"
Pakaian itu, adalah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, namun dia tanpa berpikir panjang
lagi langsung menanggalkannya.
Setelah gadis itu mengenakan pakaiannya, barulah dia merasa agak tenang sedikit, setelah itu
dia berkata dengan penuh rasa hormat: "Terima kasih!"
Ting Peng akhirnya juga merasa lebih tenang sedikit, akhirnya dia juga bisa mengutarakan
kata-kata: "Apakah ada orang yang sedang mengejarmu?"
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, di matanya juga terdapat air mata.
Ting Peng berkata: "Tempat ini sangat terpencil, orang lain akan sulit menemukannya, kalau
pun ada orang yang mengejar, kau tidak perlu takut."
Dia adalah seorang pria yang jantan, sejak lahir dia sudah punya sifat melindungi wanita,
apalagi gadis ini memiliki wajah yang begitu cantik.
Dia menggenggam tangan gadis itu: "Selama ada aku dan golok ini, maka kau tidak perlu
takut." Gadis itu kembali merasa tenang, dia berkata dengan lirih: "Terima kasih."
Dia sepertinya sudah pernah mengatakan kedua kata itu. setelah selesai berkata seperti itu dia
lalu menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya.
Ting Peng semakin tidak tahu harus berkata apa.
Meskipun tubuh gadis itu hanya ditutupi oleh sehelai pakaian, namun sehelai pakaian yang
pendek sama sekali tidak dapat menutupi dan menyembunyikan seluruh bagian tubuh seorang
gadis yang telah matang itu.
Tubuh seorang gadis yang seperti dia ini, benar-benar memiliki terlalu banyak bagian yang
menarik perhatian orang. Jantungnya masih terus berdebar kencang, deburan jantungnya pun sangat cepat.
Setelah beberapa lama kemudian, barulah dia menyadari kalau mata gadis itu sedang terus
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandangi bungkusan dendeng sapinya itu.
Makanan ini mungkin sekali adalah makanan terakhir yang akan dilahapnya, uang terakhir
yang dimilikinya hanyalah berjumlah satu tong saja.
Namun dia tanpa berpikir panjang berkata: "Makanan ini semuanya bersih, kau makan saja
sedikit." Gadis itu kembali berkata: "Terima kasih!"
Ting Peng berkata: "Tidak usah sungkan-sungkan."
Gadis itu lalu benar-benar tidak sungkan-sungkan lagi.
Belum pernah Ting peng menyangka kalau seorang gadis muda seperti dia ternyata cara
makannya seperti seekor serigala.
Ia pasti sudah lama menderita kelaparan, sudah banyak siksaan dan penderitaan yang
dialaminya. Bahkan ia sudah dapat membayangkan tragedi yang telah menimpa dara ayu ini.
Seorang gadis yang sendirian, ditelanjangi oleh sekawanan manusia jahat dan dikurung dalam
sebuah penjara bawah tanah tanpa dl beri makan, rupanya gadis itu telah mempergunakan segala
macam cara yang dimiliki nya untuk melarikan diri dari situ.
Dikala ia sedang menghela napas panjang mengenang tragedi yang menimpa gadis itu, si
nona telah menyikat habis segenap harta yang dimilikinya itu.
Bukan saja daging sapi dan tahunya disikat ludas bahkan beberapa biji bakpao pun ikut
dilahap, yang tersisa sekarang tinggal empat puluh biji kacang tanah.
Tampaknya dara itupun merasa agak rikuh dengan kejadian itu, pelan-pelan ia mendorong
kacang tanah tersebut ke hadapannya sambil berbisik amat lirih:
?"Kacang ini makanlah untukmu!"
Ting Peng segera tertawa..
Sebenarnya bukan saja ia tak bisa tertawa, bahkan mau menangispun tak bisa, tapi
kenyataannya justru dia tak tahan untuk tertawa terbahak bahak,
Dara ayu itupun turut tertawa, tertawa dengan pipi yang berubah menjadi merah karena
jengah, merahnya pipi bagaikan sekuntum bunga di bawah sorotan cahaya matahari,
Tertawa, bukan saja dapat membuat dirinya bertambah cantik, membuat orang lain gembira,
dapat pula memperpendek jarak antara seseorang dengan orang yang lain.
Tiba-tiba saja mereka merasa jauh lebih leluasa, jauh lebih bebas untuk bergerak, akhirnya
dara ayu itupun mengisahkan tragedi yang telah dialaminya.
Apa yang dilamunkan Ting Peng tadi ternyata memang tidak terpaut jauh dibandingkan
dengan kenyataan. Dara ayu itu memang benar-benar ditangkap oleh segerombolan orang jahat, ditelanjangi dan
disekap dalam sebuah kamar yang gelap, sudah beberapa hari lamanya ia tak diberi makan
sebutir beraspun, kawanan penjahat itu mengira dia sudah kelaparan sehingga tak mampu
berkutik, sebab itu penjaga batu agak mengendor, dan iapun memanfaatkan kesempatan itu untuk
melarikan diri. Gadis itu merasa amat berterima kasih sekali kepadanya, dengan dada terharu kembali ia
berkata: "Bisa bersua dengan orang baik seperti kau, sungguh hal ini merupakan suatu kemujuran
bagiku" "Dimanakah orang-orang itu sekarang" Akan kubalaskan dendam sakit hatimu itu!"
?"Kau, tak boleh kesana.."
?"Mengapa?" Dara ayu itu ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya,
"Ada sementara persoalan tak ingin kukatakan pada saat ini, tapi di kemudian hari aku pasti
akan memberitahukan kepada mu".
Dibalik persoalan itu tampaknya masih ada rahasia lain, tapi setelah berkata demikian, tentu
saja ia merasa enggan untuk bertanya lebih jauh.
Gadis itu kembali berkata:
"Sekarang. asal aku dapat menemukan seseorang, legalah hatiku"
"Siapa yang hendak kau cari?"
"Seorang cianpwe ku, dia telah berusia enam tujuh puluh tahunan, tapi gemar mengenakan
baju berwarna merah menyala, asal kau berjumpa dengan nya pasti dapat segera kau kenali"
la mendongakkan kepalanya dan memandang dengan sorot mata penuh permohonan
tanyanya lirih: "Bersediakah kau membantuku untuk menemukan jejaknya?"
Tentu saja Ting Peng tak bisa pergi, benar-benar tak bisa pergi dan tak mungkin pergi
sekarang" jaraknya dengan saat pertarungan yang bakal menentukan nasibnya itu tinggal kurang
dari dua jam. Ia masih lapar, masih belum berlatih ilmu pedangnya.
Ia harus baik-baik memupuk kekuatannya, menjaga kondisi badannya daripada pergi mencari
seorang kakek yang belum pernah dijumpainya.
Tapi, apa lacur justru dia tak sanggup untuk mengucapkan kata "tak bisa" itu dari mulutnya.
Mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis yang cantik jelita memang bukan suatu
pekerjaan yang terlalu gampang.
Bukan saja harus memiliki keberanian yang sangat besar, kaupun harus memiliki kulit muka
yang cukup tebal. Seorang pria harus mengalami banyak percobaan dan penderitaan lebih dulu, sebelum dapat
belajar mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis cantik.
Ting Peng menghela napas panjang di hatinya, iapun bertanya:
"Entah lo-siansing itu tinggal dimana ?"
"Kau bersedia membantuku untuk mencari dirinya?" mencorong sinar tajam dari balik mata
gadis itu. Terpaksa Ting Peng harus manggut-manggut.
Dengan luapan rasa gembira, gadis itu melompat bangun dan memeluknya erat-erat,
"Oooh, kau betul-betul seorang yang baik, selama hidup aku tak akan melupakan dirimu"
Ting Peng sendiripun percaya, untuk melupakan gadis ini dalam sejarah hidupnya memang
bukan suatu pekerjaan yang gampang,
"Ikuti sungai ini dan berjalanlah menuju ke hulu, bila kau sampai di ujung sungai ini akan kau
jumpai sebuah pohon kuno yang aneh sekali bentuknya, jika kebetulan udara sedang bersih, ia
pasti sedang bermain catur di sana"
Kebetulan cuaca hari ini sangat bersih dan segar.
"Setelah bertemu dengannya, kau harus mengobrak-abrik papan caturnya lebih dahulu, sebab
hanya didalam keadaan demikian ia baru akan menuruti perkataan mu, dan mengikuti kau datang
kemari" Seorang pecandu catur memang begitulah sikapnya, sekalipun langit bakal ambruk, dia akan
berbicara setelah permainan yang satu babak diselesaikan..
"Aku akan menunggu kedatanganmu di sini, entah kau berhasil menemukannya atau tidak,
kau harus cepat-cepat kembali ke sini"
ooooo0ooooo AIR sungai itu amat bersih.
Dengan menelusuri sungai, Ting Peng berjalan menuju ke hulu, ia berjalan dengan langkah
cepat. Tentu saja dia harus cepat-cepat pulang, dia masih ada banyak urusan yang harus
diselesaikan, sang surya makin meninggi, tiba-tiba ia merasa lapar. Lapar setengah mati.
Hari ini, mungkin merupakan hari yang terpenting sepanjang hidupnya, saat yang akan
menentukan nasibnya di kemudian hari.
Tapi sekarang, keadaannya seperti seorang tolol, mana perut lapar, bertelanjang dada, harus
menelusuri sungai pula untuk mencari seorang kakek berbaju merah untuk seorang dara muda.
Bila orang lain yang melakukan perbuatan semacam ini dia pasti tak akan percaya.
Satu satunya kenyataan adalah gadis itu memang sangat cantik, bukan Cuma cantik saja, lagi
pula mempunyai suatu sikap yang istimewa sekali, membuat orang tak bisa menampik
permohonannya dan tak tega untuk menolaknya.
Lelaki yang bisa mengucapkan kata "tidak" di hadapan gadis cantik seperti ini pasti tidak
banyak jumlahnya Untung saja sungai itu tidak terlalu panjang, betul juga di ujung sungai terdapat sebatang
pohon kuno, di bawah pohon tampak dua orang sedang bermain catur, salah seorang diantaranya
adalah seorang kakek berambut putih yang memakai jubah warna merah.
Ting Peng menghembuskan napas lega dengan langkah lebar dia maju ke depan dan
mengobrak abrik permainan catur mereka.
Dia memang seorang pemuda yang sangat penurut.
Siapa tahu belum lagi tangannya dijulurkan ke depan tiba-tiba kakinya menginjak tempat
kosong, rupanya di atas tanah terdapat sebuah liang, kakinya persis masuk ke dalam liang
tersebut. Untung saja liang itu tidak terlalu besar sehingga ia tak sampai tertelungkup ke tanah.
Tapi tidak untungnya, baru saja kaki itu dicabut keluar dari dalam liang, kaki yang lain telah
terjirat tali. Ternyata di atas tanah terdapat seutas lingkaran tali, begitu kakinya melangkah ke dalam tali
itu, serta merta tali tersebut menyusut kecil dan membelenggunya kencang kencang.
Padahal waktu itu kakinya yang lain masih berada ditengah udara, begitu kaki yang satu terikat
tali, kontan saja hilanglah keseimbangan badannya.
Yang lebih parah lagi, ternyata kolongan tali itu diikat pada sebatang dahan pohon, dahan itu
sebetulnya melengkung di atas tanah, begitu kolongan tali tersebut bergerak, serta merta dahan
pohon tadi melenting ke udara, otomatis badannya ikut pula tertarik ke tengah udara.
Dasar sial lagi, sewaktu badannya mencelat ke tengah udara kebetulan badannya menumbuk
di atas dahan pohon yang lain, tempat yang tertumbukpun kebetulan adalah jalan darah lemas
dekat pinggangnya, sedikit saja terbentur, kontan saja segenap tenaganya lenyap tak berbekas.
Maka tanpa diketahui ujung pangkalnya, tahu-tahu pemuda itu sudah tergantung di atas pohon
dengan kepala di bawah kaki di atas, persis seperti seekor ikan asin yang dijemur di bawah
teriknya matahari. Liang di atas tanah, kolongan tali disamping liang dan dahan pohon tersebut, apakah
semuanya diatur secara sengaja"
Gadis ayu itu suruh dia datang ke situ, apakah ia sengaja membiarkannya masuk perangkap
ini " Tapi mereka toh tiada dendam sakit hati apa-apa, kenapa ia harus mencelakainya "
Dua orang manusia yang berada di bawah pohon itu masih bermain catur dengan asyik.
Jangan toh menolongnya, berpaling dan memandang sekejap ke arahnyapun tidak, seakan akan
mereka sama sekali tak tahu kalau ada satu orang yang datang ke situ dan kena terjirat oleh tali
sehingga tergantung di atas dahan pohon.
Dua orang ini benar-benar pecandu catur.
Orang yang sedang asyik bermain catur, apalagi pemainnya adalah pecandu-pecandu catur
biasanya paling tak senang kalau diusik orang lain.
Mereka sengaja mengatur jebakan tersebut mungkin hanya berjaga juga terhadap gargguan
orang lain, bukan sengaja dipasang untuk menghadapi seorang.
Gadis itu tentu saja tak akan tahu kalau di sana telah dipasang jebakan semacam itu.
Berpikir sampai ke situ, sedikit banyak Ting Peng merasa hatinya agak tenteram sedikit, sambil
menahan diri segera teriaknya:
"Lo-sianseng berdua, tolong turunkan aku dari sini"
Tapi pemain-pemain catur itu sama sekali tidak menggubris, mengulangi kembali ucapannya
sampai tiga kali namun menggubris seolah-olah tak sepotong perkataanpun yang didengar oleh
mereka berdua. Habislah kesabaran Ting Peng, dengan suara menggeledek ia berteriak semakin keras
"Hey !" Ia cuma meneriakkan sepatah kata saja, sebabnya kata pembukaan itu saja yang sanggup
diutarakan olehnya. Baru saja mulutnya dibuka, sebuah benda telah meluncur datang dan menyumbat bibirnya.
Semacam benda yang bau, lunak, lembab dan amis, entah lumpur" Entah benda yang jauh
lebih kotor dan najis daripada lumpur"
Benda itu meluncur datang dari atas dahan pohon di seberang sana, dimana seekor monyet
kecil berbaju merah sedang bergelantungan di pohon dan memandangnya sambil mencicit.
Benda yang disambit seekor monyet tentu saja bukan benda yang baik, kalau benda itu cuma
lumpur, nasibnya masih terhitung lumayan.
Hampir pingsan Ting Peng saking gusarnya.
setelah melewati perjuangan yang penuh sengsara dan penderitaan, dikala kesuksesan sudah
hampir tiba di depan mata. ternyata dia harus mengalami peristiwa semacam ini.
oooooOooooo SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA
SEBUAH liang, seutas tali dan sebatang dahan pohon telah membuat seorang pemuda yang
telah berlatih diri selama tiga belas tahun tak berkutik lantaran tergantung, Ting Peng sungguh
amat membenci kepada diri sendiri, kenapa begitu tidak berhati hati. kenapa begitu ceroboh dan
tak berguna padahal liang itu, tali itu dan dahan pohon itu diatur dalam jarak serta letak yang
sangat tepat, tak mungkin hal itu bisa dilakukan tanpa suatu perencanaan yang matang, bukan
saja seorang harus memiliki otak yang cerdas, diapun harus memiliki pengalaman yang matang
untuk bisa menyusun rencana secermat ini.
Kakek berjubah merah itu mempunyai kepala yang jauh lebih besar dari kepala manusia biasa,
rambutnya telah beruban, muka nya merah seperti bayi dan badannya gemuk pendek seperti
bocah cilik. Kakek yang lain berbadan kurus dan lebih muda, mukanya dingin menyeramkan tanpa emosi,
dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam yang mengerikan sehingga sekilas pandangan
menyerupai sebuah buah kering yang mulai berkeriput.
Seluruh perhatian dari kedua orang itu sedang tertuju ke meja catur, sebelum melakukan
langkah-langkah caturnya, mereka selalu berpikir dan merenung sampai lama sekali.
Matahari makin lama semakin tinggi, kemudian, sang surya pun mulai tenggelam di langit
barat, andaikata tiada peristiwa ini, sekarang Ting Peng pasti telah berhasil mengalahkan Liu Yok
siong, nama besarnya pasti sudah termasyhur dalam dunia persilatan.
Sayang, saat ini dia masih tergantung di atas pohon bagaikan seekor ikan kering.
Sampai kapan permainan catur mereka akan berakhir" Kemudian apa yang hendak mereka
lakukan terhadap dirinya"
Si kakek berjubah hitam yang menyeramkan itu bermain catur dengan cars yang amat lamban,
sambil memegang biji catur, ia termenung sampai lama sekali sebelum biji catur itu pelan-pelan
dan lambat-lambat diletakkan di atas papan catur.
Kakek berjubah merah itu melototkan sepasang matanya lebar-lebar, memandang apakah
catur tersebut, butiran keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Siapapun juga yang menyaksikan mimik wajahnya itu segera akan tahu kalau permainan catur
kali ini kekalahan berada di pihaknya.
Dalam memainkan catur, ia selalu gegabah dalam permainan ini pikirannya harus bercabang,
dalam permainan ini dia sengaja mengalah.
Orang yang kalah dalam permainan, selalu akan berusaha untuk mencari banyak alasan guna
memberi penjelasan kepada diri sendiri, ia tak sudi mengaku kalah dengan begitu saja tentu saja
dia menuntut hendak bermain satu babak lagi.
Sayang kakek berjubah hitam itu telah bangkit berdiri, kemudian tanpa berpaling telah angkat
kaki meninggalkan tempat itu.
Kakek berjubah merah itu segera mencak-mencak sambil berkaok kaok, sambil menyusul dari
belakangnya ia berteriak teriak:
"Kau tak boleh pergi, kita harus bermain satu babak lagi!"
Begitulah, yang satu lari di depan sedangkan yang lain mengejar dari belakang, mereka
seakan akan sama sekali tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuh, jalannya pun tidak terlalu
cepat, tapi dalam waktu singkat bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Si monyet kecil berbaju merah yang berada di dahan pohon seberang sanapun lenyap tak
berbekas. Hari semakin senja, udara makin gelap ternyata mereka pergi untuk tak kembali lagi, seakan
akan mereka sama sekali tak tahu kalau di situ masih ada seseorang yang tergantung.
Sejak awal sampai akhir mereka sama sekali tidak memandang Ting Peng barang sekejappun.
Malam sudah menjelang tiba, udara serasa dingin, suasanapun semakin sepi, didalam
keadaan seperti ini, sudah barang tentu tidak mungkin ada orang lain yang bakal ke situ.
Bila seseorang tergantung di tempat seperti ini sekalipun di gantung selama tujuh delapan hari
tak nanti ada orang yang bakal datang untuk melepaskannya.
Sekalipun akhirnya mati lantaran tergantung, juga bukan sesuatu yang aneh.
Berada dalam keadaan begitu, bukan saja ia merasa gelisah, lagi pula kedinginan dan
kelaparan ditambah lagi wajahnya seperti membengkak. Ke empat anggota badannya kaku dan
kesemutan. Tiba-tiba ia merasa dirinya bagaikan seekor babi, seekor babi yang paling dungu di dunia ini,
seekor babi paling sial dikolong langit.
Bahkan dia sendiripun tidak tahu mengapa ia sesial ini.
Hingga saat ini dia belum tahu siapa nama gadis itu, tetapi dia telah memberikan satu satunya
pakaian yang dia miliki, memberikan seluruh harta kekayaannya untuk mengisi perut gadis itu,
bahkan demi dia ia digantung seperti seekor ikan kering di sana, malah belum diketahui dia bakal
digantung sampai kapan. Saking sedih dan gemasnya, dia ingin sekali menampar diri sendiri sebanyak tujuh delapan
puluh kali, kemudian menangis tersedu sedu.
Tak disangka pada saat itulah, mendadak tali itu putus dan tubuhnya terjatuh dari tengah
udara, meskipun tidak enteng jatuhnya, tapi justru telah membebaskan jalan darahnya yang
tertotok. Mungkinkah kejadian inipun sudah berada dalam perhitungan orang lain..."
Mereka hanya menginginkan ia merasakan sedikit penderitaan, dan sama sekali tidak
berharap untuk menggantungnya sampai mati?" .
Tapi, antara ia dengan mereka, dimasa lalu tiada dendam, dimasa sekarang tiada sakit hati,
mengapa mereka harus Menggunakan cara ini untuk mempermainkannya"
Ia memikirkannya juga tidak mengerti.
Sekarang, perbuatan pertama yang langsung dilakukan adalah mengorek keluar lumpur yang
menyumbat mulutnya. Perbuatan kedua yang harus dilakukan adalah memburu kembali ke tempat tadi dan mencari
gadis itu untuk ditanya sampai jelas.
Sayang gadis itu telah pergi. pergi sambil membawa satu satunya pakaian yang dia miliki.
Sejak kini, besar kemungkinannya mereka tak akan berjumpa lagi, tentu saja diapun tak akan
berjumpa lagi dengan kakek berjubah merah itu.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi" Mungkin sampai tuapun dia tak akan mengerti atas
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk persoalan yang sebenarnya.
Sekarang, satu satunya pekerjaan yang bisa dilakukan adalah dengan tubuh setengah
telanjang, perut kosong, ditambah lagi mulut yang bau dan serta rasa dongkol berangkat ke
perkampungan Ciang siong san ceng untuk mohon maaf.
Sekarang walaupun terlalu lambat kedatangannya. tapi lebih-baik terlambat daripada sama
sekali tidak datang. Seandainya orang lain bertanya kepadanya mengapa datang terlambat, dia akan mengarang
suatu cerita untuk menjelaskannya.
Sebab bila ia bicara terus terang, belum tentu orang lain akan mempercayainya.
Ketenaran perkampungan Cing siong san ceng ternyata jauh lebih hebat daripada apa yang
dibayangkan semula. bahwa si penjaga pintu gerbangpun mengenakan jubah panjang dari sutera
yang halus dan mahal harganya.
Begitu tahu kalau dia adalah "Ting Peng Ting tayhiap" sikap penjaga pintu itu menjadi amat
sungkan. sedemikian sungkannya sehingga sepasang matanya sama sekali tidak memandang
dadanya yang tak berpakaian. juga tidak memandang ke wajahnya yang penuh berlumpur.
"Biasanya, penjaga pintu dari suatu keluarga besar atau keluarga kenamaan selalu adalah
seorang manusia yang tahu sopan santun, dan sangat tahu akan peraturan.
Tapi justru sikapnya yang sopan santun dan tahu aturan ini, seringkali membuat orang merasa
tidak tahan. Dengan kata-kata yang halus dan gerak gerik yang sopan, penjaga pintu itu berkata:
"Kedatangan Ting sauya tidak terhitung terlalu lambat! hari ini masih tanggal lima belas, belum
tanggal enam belas, cengcu kami serta kawan-kawan yang diundang cengcu sebenarnya juga
menanti kedatangan Ting sauya di sini. sekalipun menunggu tiga lima hari juga tidak apa-apa"
Agak merah paras muka Ting Peng karena jengah, agak tergagap ia berkata:
"Sebenarnya aku akan datang sedari pagi tadi."
Ia telah mempersiapkan sebuah cerita yang menarik, sayang si penjaga pintu yang sopan itu
seperti enggan untuk mendengarkan, dengan cepatnya ia menyambung kembali.
"Sayang sekali hari ini cengcu kami masih ada sedikit urusan dia harus segera berangkat ke
kota" Ia sedang tertawa, tertawa dengan amat sopannya:
"Berulang kali cengcu telah berpesan kepadaku, agar aku mohonkan maaf kepada
"Ting sauya, sebab dia hanya bisa menunggu selama tiga setengah jam, setelah itu mau dia
harus pergi meninggalkan rumah"
Ting Peng tertegun, ia tak dapat menyalahkan Liu Yok siong, siapapun yang sedang di tunggu
bisa menunggu selama tiga jam lebih sudah terhitung sesuatu yang hebat.
Tapi, bagaimana selanjutnya.
Sekarang, dalam sakunya tinggal uang tembaga sekeping, pakaian bagian atasnya telah
hilang, sedang perutnya tak karuan laparnya.
Kemana dia bisa pergi"
Meskipun senyum si penjaga pintu masih amat sungkan, namun tidak terlintas keinginan orang
untuk mempersilahkan dia masuk ke dalam:
Akhirnya Ting Peng berseru:
"Dapatkah aku menunggu di sini sampai kedatangannya"
Si penjaga pintu itu segera tertawa.
"Bila Ting sauya ingin menunggu di sini, sudah barang tentu boleh saja?"
Baru saja Ting Peng menghembuskan napas lega, mendadak si penjaga pintu itu melanjutkan:
"Tapi kami tak dapat mempersilahkan Ting sauya untuk tinggal ditempat ini"
Ia masih tertawa sambungnya:
"Sebab kepergian cengcu paling tidak akan makan waktu sampai dua tiga puluh hari lamanya,
bagaimana mungkin kami dapat mempersilahkan Ting sauya untuk berdiam selama dua tiga puluh
hari di sini?" Perasaan Ting Peng seakan akan tenggelam, ia merasa tertegun dan tak tahu apa yang musti
dilakukan. Kembali si penjaga pintu itu berkata:
"Namun cengcu telah meninggalkan pesan, katanya sebelum tanggal lima belas bulan
mendatang ia pasti sudah pulang, waktu itu pekerjaannya pasti sudah beres, sekalipun hendak
menunggu tiga lima hari juga tak menjadi soal"
"Baik!" ucap Ting Peng kemudian sambil menahan sabar, "tanggal lima belas bulan
mendatang, tengah hari tepat aku pasti akan datang lagi kemari"
Kembali penjaga pintu itu tertawa:
?"Aku toh bisa bilang, hari itu cengcu tak ada urusan, sekalipun Ting sauya datang sedikit
lambatpun tidak mengapa katanya.
Suara tertawanya masih begitu sungkan, cara berbicaranya juga masih sungkan-sungkan.
Tapi Ting Peng telah membalikkan badannya, tanpa berpaling lagi pergi meninggal kan tempat
itu, Dia benar-benar tak ingin menyaksikan selembar wajah penuh senyuman yang begitu
sungkan, begitu tahu aturan itu. Ia sudah tak tahan
Dia bersumpah dalam hatinya, bila suatu hari berhasil mendapat nama besar ia pasti akan
kembali lagi ke situ agar si penjaga pintu inipun menyaksikan senyumannya,
Itu adalah kejadian kemudian hari, sekarang dia tak sanggup tertawa, ia masih belum tahu
dengan cara apa hendak melewatkan sebulan ini.
Tapi bagaimanapun juga sekarang dia masih mempunyai sekeping uang tembaga.
Dengan sekeping uang tembaga, ia masih dapat membeli sebuah kueh keras, asal minum air
agak banyak, sudah pasti perutnya akan menjadi kenyang.
Tapi, menanti ia hendak mengeluarkan sisa uang tembaga yang dimilikinya itu, ia baru
menjumpai bahwa uang itupun sudah lenyap tak berbekas.....
Mungkinkah uang itu terjatuh dikala ia tergantung tadi"
Tidak mungkin" Mendadak teringat olehnya bahwa uang itu sama sekali tidak dimasukkan ke dalam koceknya,
sehabis membeli daging sapi, ia masukkan sekeping uang tembaga itu ke dalam saku kecil dalam
pakaian luarnya. Sekarang, pakaian itu telah dikenakan si nona, sekeping uang tembaga terakhir yang
dimilikipun ikut terbawa olehnya.
Padahal, siapa nama gadis itupun sampai sekarang belum diketahui.
Tiba-tiba Ting Peng tertawa, tertawa terbahak bahak, hampir saja airmatanya turut bercucuran
karena gelak tawanya. Malam semakin kelam, malam ini adalah suatu malam yang berbulan.
Rembulan bersinar terang diangkasa, bintang bertaburan memenuhi langit, air selokan di
bawah timpaan cahaya rembulan tampak bagaikan sebuah ikat pinggang berwarna perak, ketika
angin malam berhembus lewat membawa bau bunga, suasana terasa lebih nyaman dan segar.
Malam yang kelam selalu memang indah tapi yang lebih indah tentu saja rembulan yang
sedang purnama. Rembulan yang bulat besar dan terang benderang.
Ting Peng berharap rembulan yang bulat itu dapat berubah menjadi sebuah kueh kering yang
bulat. Ia bukannya seseorang yang tak tahu arti seni, tapi bila seseorang sedang lapar, biasanya dia
akan melupakan soal seni.
Tempat ini adalah tempat perjumpaannya dengan si nona tadi, dia kembali ke situ karena ia
benar-benar tak tahu ke mana dia harus pergi,
Dengan mengandalkan kepandaiannya, untuk pergi mencuri, merampas, tentu saja dapat
dilakukan secara mudah. Tapi dia tak akan melakukan perbuatan semacam ini, dia tak ingin meninggalkan noda yang
tak bisa dicuci bersih pada dirinya.
Ia harus mencapai kesuksesan melalui jalan yang lurus dan benar.
Mungkinkah uang tembaga itu terjatuh dari bajunya" Kalau sampai terjatuh di sini besar
kemungkinan ia masih bisa menemukan kembali,
Belum lagi uang tembaga itu ditemukan, ia telah menemukan kembali kacang tanah miliknya
tadi. Dengan sangat berhati hati dia mengumpulkan kacang itu, mematahkannya menjadi dua dan
bersiap-siap melahapnya dengan penuh kenikmatan,
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang gadis muda yang menerjang datang
bagaikan seekor domba yang sedang dikejar serigala, begitu sampai di sisinya, la lantas
menerjang kacang di tangannya sehingga tercerai berai di atas tanah.
Tapi kali ini, Ting Pang sama sekali tidak merasa kalau dirinya sedang naas, malahan saking
girangnya dia sampai melompat lompat
"Oooh, rupanya kau..." pekiknya, nona yang mencelakai orang itu ternyata telah datang
kembali. Ting Peng, sama sekali tak menyangka kalau masih bisa berjumpa dengannya, di bawah sinar
rembulan ia tampak jauh lebih cantik dari pada pagi tadi,
Walau pun mereka tak lebih baru bertemu untuk kedua kalinya, tapi Ting Peng yang baru
bertemu dengannya, bagaikan berjumpa dengan seorang sahabatnya yang paling karib.
Gadis itupun kelihatan sangat gembira, ditariknya tangan Ting Peng keras-keras, seakan akan
dia kuatir kalau pemuda itu tiba-tiba kabur dari situ.
"Sebenarnya aku mengira tak mungkin akan berjumpa lagi denganmu.
Ucapan itu merupakan kata-kata yang hendak di ucapkan oleh mereka berdua, ternyata kedua
orang itu mengutarakannya hampir bersamaan waktunya.
Dua orang itu segera berpandangan dan tertawa.
Ting Peng menggenggam pula tangannya erat-erat, seakan-akan dia kuatir kalau gadis itu pun
kabur secara tiba-tiba. Dengan sorot mata yang lembut, gadis itu menatapnya, kemudian berkata pelan:
"Tadi aku selalu mengingatkan diriku, bila kali ini bisa berjumpa lagi denganmu, aku harus
teringat akan suatu persoalan"
?"Persoalan apa?"
"Bertanya siapa namamu?" katanya sambil tertawa,
Ting Peng ikut tertawa, barusan diapun telah mengingatkan diri sendiri bila bertemu lagi dia
akan bertanya siapa namanya, ternyata gadis itu bernama Ko siau (menggelikan),
"Kau maksudkan namamu adalah Ko-siau (Menggelikan)?"
"Hmmm" ?"Ko-siau yang berarti menggelikan"
"Ehmm!" "Aneh benar namamu itu!" seru Ting Peng sambil berusaha untuk menahan gelinya
"Bukan cuma aneh, bahkan menggelikan sekali, bila kau tahu nama marga ku maka kau pasti
akan kegelian" ?"Apa nama margamu?" "
"Aku she Li" Setelah menghela napas, terusnya:
" Ternyata namaku adalah Li Ko-siau (Kau amat menggelikan) coba katakanlah menggelikan
atau tidak?" Ternyata Ting Peng masih dapat menahan rasa gelinya.
Kembali Li Ko-siau berkata:
"Aku benar-benar tidak habis mengerti, mengapa ayahku bisa mencarikan nama seperti ini
kepadaku" "Padahal nama inipun tidak terlalu jelek" hibur Ting peng.
"Tapi sejak masih kecil dulu orang selalu bertanya kepadaku: "Hei, Li Ko-siau, sebenarnya
apamu yang menggelikan?" tiap kali mendengar pertanyaan itu kepalaku langsung membesar,
mana mungkin bisa tertawa lagi?"
Akhirnya Ting Peng tak tahan untuk tertawa terbahak bahak.
Ko-siau sendiripun ikut tertawa.
Semua keapesan yang dialaminya dalam sehari ini seketika tersapu lenyap tak berbekas
bersama meledaknya gelak tertawa itu, sayang masih ada persoalan lain yang tak bisa dilupakan,
sekalipun bisa dilupakan untuk sesaat tapi dengan cepatnya dapat teringat kembali. Misalnya saja
lapar. Tertawa tapi dapat mengisi perut yang kosong juga tak dapat menyelesaikan persoalan
mereka. Ko siau pasti masih ada persoalan, Ia masih mengenakan pakaian dari Ting-Peng pakaian itu
sama sekali tak dapat menutupi segenap potongan badannya.
Ketika cahaya rembulan menyorot di atas bagian-bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian
itu segera timbul suatu rangsangan yang membuat orang makin terpikat.
Persoalan yang dihadapi Ting Peng lebih banyak lagi.
Tapi dia sendiripun tak tahu karena apa, ternyata yang paling dikuatirkan dan perhatikan saat
ini bukanlah diri sendiri, melainkan adalah gadis itu.
"Aku tahu kau tentu ingin bertanya kepadaku, kenapa aku menyuruh kau pergi mencari si
kakek yang berbaju merah itu?" ujar Ko siau, ?"kenapa aku tidak menantikan kedatanganmu di
sini" Selama setengah harian ini kemana saja aku telah pergi?"
Ting Peng tidak menjawab, karena apa yang diucapkan gadis itu memang persoalanpersoalan
yang ingin diketahui olehnya.
Tapi lebih baik kau tak usah bertanya saja" kembali Ko siau berkata lirih.
"Kenapa?" "Karena sekalipun kau bertanya kepadaku belum tentu akan kujawab pertanyaanmu itu."
Ditariknya tangan pemuda itu kemudian berkata lebih jauh:
"Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab semakin banyak persoalan
yang diketahui seseorang, biasanya semakin banyak pula kerisauan yang akan kau hadapi, aku
tak ingin menambah kerisauanmu lagi!"
Tangannya begitu halus lembut dan berkilat sorot matanya, begitu halus jujur dan tulus.
Walaupun Ting Peng belum pernah mendekati perempuan, namun ia dapat menyaksikan
ketulusan hatinya. Bagi Ting Peng, hal itu sudah lebih dari cukup, diapun balas menggenggam tangannya
sembari menjawab: "Aku akan menuruti perkataanmu, kau tak boleh aku bertanya, akupun tak akan banyak
bertanya" Tiba-tiba Ko siau tertawa manis, katanya kemudian:
"Tapi, aku masih akan menyuruh kau untuk melakukan suatu pekerjaan lagi!"
"Pekerjaan apa?"
"Bila kau menelusuri sungai ini menuju ke hilir, maka akan kau jumpai sebuah rumah berloteng
yang atapnya berwarna hijau"
"Kau minta aku datang kesana?"
"Yaa, aku minta sekarang juga kau kesana!
"Kemudian?" `Setibanya ditempat itu, pasti akan muncul seseorang yang membawa pergi menjumpai tuan
rumah 1oteng tersebut, apa yang dia kata kan harus kau turuti, apa yang ia suruh kau lakukan,
kaupun harus melakukannya tanpa membantah"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat, kemudian terusnya:
"Kau harus mempercayai diriku, aku tak akan mencelakaimu!"
"Aku percaya" "Bersediakah kau pergi ke sana"
Tidak pergi, tentu saja tidak pergi, bagaimanapun juga dia tak ingin pergi.
Tadi ia sudah cukup banyak merasakan penderitaan dan siksaan akibat melakukan pekerjaan
buatnya. Dan kini, apa yang diucapkan ternyata lebih brutal lagi, bagaimana mungkin ia dapat
menyanggupi" Sayang ia justru harus memenuhi juga permintaannya itu.
Kalau tadi ia harus berjalan "menelusuri sungai menuju ke hulu" maka kali ini dia harus
berjalan "menelusuri sungai menuju ke hilir", kalau tadi menjumpai "seorang kakek berbaju
merah", maka sekarang dia harus menemukan "sebuah bangunan loteng yang bergenting hijau"
Kalau tadi ia mendapat sial, digantung orang seperti ikan asin dan mencicipi semulut lumpur
bau, maka sekarang apa pula yang bakal dijumpai....
Mungkinkah kali ini dia akan lebih sial lagi daripada pagi tadi"
oooooOooooo Ia telah menjumpai bangunan loteng itu.
Di bawah cahaya rembulan, bangunan loteng itu kelihatan begitu tenang dan penuh
kedamaian. Siapapun tak akan melihat kalau didalam sana bisa terdapat sesuatu perangkap.
LIDAH PEREMPUAN TAK BERTULANG
DALAM bangunan loteng itu tiada perangkap, yang ada cuma sinar lampu yang lembut,
dekorasi yang mewah dan perabot yang serba indah menawan hati.
Kalau kau bersikeras mengatakan bahwa ditempat seperti ini ada perangkap, maka perangkap
itu sudah pasti adalah suatu perangkap yang lembut, dan hangat.
Bila seseorang dapat mati dalam perangkap yang halus dan hangat, paling tidak jauh lebih
enak dari pada mampus di gantung di atas pohon.
Orang yang membukakan pintu adalah seorang nona cilik yang mempunyai sebuah kepang
besar, ia pandai tertawa, kalau tertawa tampak sepasang lesung pipinya yang sangat dalam.
Ditengah malam buta begini, tiba-tiba datang seorang lelaki asing yang bertelanjang dada
mengetuk pintu, Ting Peng mengira dia pasti akan ketakutan, atau paling tidak merasa terkejut,
Siapa tahu ia sama sekali tidak tampak kaget atau ketakutan melainkan cuma tertawa
cekikikan, seakan akan ia sudah tahu bakal ada seorang laki-laki berdada telanjang yang akan
berkunjung ke situ. Siapa yang kau cari?" segera tegurnya..
"Aku datang mencari tuan rumah!"
"Mari kubawa kau menjumpai nya!"
Bukan saja jawabannya amat cepat dan lantang, malah ia segera menggandeng tangan Ting
Peng dan diajak masuk ke dalam ruangan, seakan akan dengan Ting Peng sudah merupakan
sahabat karib, ?"Tuan rumah ada di atas loteng,
Ruangan di atas loteng lebih megah, lebih mewah dan lebih mentereng" selembar tirai mutiara
tergantung ditengah ruangan, tuan rumah berada dibalik tirai mutiara tersebut.
Hal ini bukan disebabkan dia sengaja berlagak sok rahasia, bagaimanapun juga seorang
perempuan memang harus waspada menghadapi seorang pria yang datang berkunjung ditengah
malam buta seperti ini, mungkin waktu itu dia sudah bertukar pakaian dan siap-siap untuk tidur,
tentu saja ia lebih tak ingin dijumpai seorang lelaki asing dalam keadaan begitu.
Walaupun Ting Peng tidak terlalu paham dengan tata pergaulan, sedikit banyak ia toh mengerti
juga tentang masalah ini.
Tentu saja diapun sudah tahu kalau tuan rumah adalah seorang perempuan, sebab ketika
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbicara tadi meski suaranya agak parau, namun merdu dan enak didengar.
"Siapa yang menyuruh kau datang kemari mencariku?"
"Seorang nona she-Li!"
"Apa hubunganmu dengannya".
"Dia adalah sahabatku!"
"Apa yang telah dia katakan kepadamu?"
"Ia bilang, apa yang hendak kau suruh kulakukan, aku harus melakukannya tanpa
membantah" "Dan kau akan menuruti perkataannya?"
"Aku percaya dia tak akan mencelakai diriku?"
"Apakah pekerjaan apapun yang hendak kuperintahkan kepadamu, kau bersedia untuk
melakukannya?" "Kau adalah sahabatnya, akupun mempercayai dirimu?"
"Tahukah kau apa yang hendak kusuruh kau lakukan?"
"Tidak tahu" Tiba-tiba suara tuan rumah berubah sama sekali, berubah menjadi galak dan buas serunya:
"Aku hendak menceburkan badanmu ke dalam sebuah baskom berisi air panas yang amat
panas, lalu menggunakan sikat besar untuk menyikat semua lumpur yang menempel di atas
tubuhmu, kemudian menukar pakaian yang melekat di badanmu, menggunakan sepasang sepatu
baru untuk membelenggu kakimu, lalu mendudukkan kau dikursi, dan mengisi penuh perutmu
dengan beberapa macam masakan yang sudah beberapa jam dipersiapkan, agar kau tak mampu
berkutik lagi" Ting Peng segera tertawa. Ia telah mengenali kembali suara dari tuan rumah.
Sambil tertawa cekikikan, orang itu munculkan diri dari balik tirai, ternyata si tuan rumah itu tak
lain adalah Ko siau, Li Ko siau!
Ting Peng sengaja menghela napas panjang, keluhnya:
"Aku toh bersikap sangat baik kepadamu, mengapa kau malah siap-siap mencelakai diriku
dengan cara begini?"
Ko-siaupun sengaja menarik muka sambil menjawab:
"Siapa suruh kau amat menuruti perkataanku" Kalau tidak mencelakaimu, lantas harus
mencelakai siapa?" "Padahal kalau Cuma perbuatan-perbuatan seperti itu aku sih tak bakal takut"
"Apa yang kau takuti?"
"Aku paling takut minum arak, kalau kau melolohku dengan beberapa kati arak wangi, maka
kau benar-benar telah mencelakaiku?"
Araknya adalah arak tua yang wangi, hidangannya adalah daging sapi dimasak angsio. Kalau
benar-benar ada orang mencelakai orang lain dengan cara seperti ini, pasti akan terdapat banyak
sekali orang yang bersedia dicelakainya.
Sekarang, Ting Peng telah membersihkan badan dengan air panas, sekujur badannya dari
atas sampai ke bawah, dari dalam sampai keluar, dari kepala sampai ke kaki, semuanya telah
bertukar pakaian dengan satu stel pakaian yang masih baru.
Cuma ikat pinggangnya saja yang belum diganti.
Seutas tali pinggang yang terbuat dari kain baru, satu inci lebarnya dan empat jengkal
panjangnya. Bagi seseorang yang sudah hampir semaput karena kelaparan, arak semacam ini memang
terlalu tua, daging sapi semacam inipun memang sedikit terlalu banyak.
Ia benar-benar telah dibuat tak berkutik, mau berjalanpun rasanya sukar sekali.
Sambil tersenyum Ko siau segera berkata:
"Sekarang, kau seharusnya tahu, kau tidak sepantasnya bersikap begitu baik kepadaku,
karena orang yang makin baik kepadaku, sebaliknya aku justru semakin ingin untuk
mencelakainya". Ting Peng menghela napas panjang, katanya pula:
"Padahal akupun tak bisa dikatakan terlalu baik kepadamu, aku hanya memberi satu stel
pakaian kumal kepadamu, memberi sedikit daging sapi yang dingin bakpau yang dingin"
"Tidak!, yang kau berikan kepadaku bukan satu stel pakaian yang kumal, melainkan seluruh
pakaian yang kau miliki. Daging sapi yang kau berikan kepadaku juga bukan sedikit daging sapi,
melainkan seluruh makanan yang kau miliki"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat perasaan lembut dan penuh rasa terima kasih terpancar
keluar dari balik matanya, kemudian ia melanjutkan lagi.
(Bersambung Jilid 02) Jilid : 2 BILA ada seseorang telah memberikan segala sesuatunya kepadamu maka apa yang hendak
kau berikan kepadanya?"
Ting Peng tidak menjawab.
Tiba-tiba ia merasa kehidupan manusia itu amat menarik, kehidupan manusia itu penuh
dengan kehangatan dan cinta kasih.
Bila ada orang setelah menyerahkan segala sesuatu yang dimilikinya kepadaku maka aku
hanya mempunyai suatu cara terhadapnya " kata Ko-siau kemudian.
"Apakah caramu itu"
Ko-siau menundukkan kepalanya rendah rendah, kemudian menjawab dengan lirih:
Akupun akan menyerahkan seluruh yang kumiliki kepadanya!"
Ia benar-benar telah menyerahkan segala sesuatunya yang dimilikinya kepada pemuda itu,
pada malam itu juga! Fajar telah menyingsing. Ketika Ting Peng terbangun dari tidurnya, ia masih berbaring di sisinya, bagaikan burung dara
berbaring di atas dadanya yang telanjang.
Memandang rambutnya yang hitam pekat serta lehernya yang putih bersih, hatinya cuma
merasakan suatu kebahagiaan dan kepuasan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Karena gadis yang cantik jelita itu, kini sudah menjadi miliknya.
Ia bukan cuma merasa puas, bahkan amat berbangga hati, karena sekarang ia telah menjadi
seorang lelaki sejati, malam tadi ia telah membuktikan kejantanannya terhadap gadis itu.
Entah sedari kapan, gadis itupun telah bangun, dengan menggunakan sepasang matanya
yang besar dan lembut sedang menatapnya tertegun.
Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, dibelainya rambut gadis itu kemudian
gumamnya: "Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, seandainya aku kaya raya, akupun seorang yang ternama, aku pasti
akan membawa kau untuk menjelajahi seluruh dunia, agar semua orang di dunia ini merasa
kagum kepada kita, iri kepada kita, waktu itu kau pasti akan merasa bangga pula atas segala
sesuatunya" Setelah menghela napas, tambahnya:
"Sayang, pada saat ini aku tak lebih hanya seorang pemuda miskin yang tak punya apa-apa.
"Aku justru paling suka dengan bocah miskin seperti kau" ucap Ko siau sambil tersenyum.
Ting Peng termenung sambil membungkam diri, mendadak teriaknya keras-keras:
"Oooh .....! Hampir saja aku lupa, aku masih mempunyai semacam barang yang bisa
kuberikan kepadamu" Tiba tiba ia melompat bangun, dari tumpukan pakaian yang menumpuk di sisi pembaringan dia
berhasil menemukan ikat pinggangnya yang kuno itu, serunya:
"Aku akan menghadiahkan ikat pinggang ini untukmu!"
Kali ini Ko siau tidak tertawa, karena paras mukanya tiba-tiba berubah menjadi amat serius
juga amat tegang, sama sekali tidak mirip orang yang lagi bergurau:
Dengan suara yang lembut Ko siau berkata,
"Asal benda itu adalah pemberianmu, aku pasti akan baik-baik menyimpannya"
"Aku tak ingin kau menyimpannya, aku minta kau untuk mengguntingnya ....."
Ko siau sangat menurut sekali:
ia menggunting ikat pinggang itu hingga terlepas dari jahitan, ternyata di dalam ikat pinggang
itu terdapat selembar kertas yang sudah kuno dan amat kumal.
Warna kertas itu telah berubah menguning pada separuh halaman bagian atas terlukiskan
sebuah gambaran yang sederhana, sedangkan pada halaman sebelah bawah penuh berisikan
tulisan kecil yang lembut dan sangat rapat.
la hanya sempat membaca dua baris kalimat yang berbunyi demikian:
"Jurus serangan ini merupakan rahasia paling besar selama hidup, mematahkan pedang
bagaikan mematahkan bambu, Cing peng, Hoa san, Siong yang, Khong tong, Bu tong, Hong san,
Thiam cong yang bertemu dengan jurus ini pasti akan kalah"
Setelah membaca kedua baris itu, dia tidak memandang lebih lanjut, dengan senyuman
dikulum ujarnya. ?"Sungguhkah jurus serangan itu sedemikian lihaynya?"
"Sebenarnya aku sendiripun tidak terlalu yakin, aku tak berani mencari jagoan yang sungguhsungguh
lihay untuk mencoba, tapi sekarang aku telah tahu, Cing peng, Hoa san dan Siong yang
kiam hoat ibaratnya tahu bertemu dengan pisau tajam bila berjumpa dengan jurus serangan ini,
sedikitpun tidak memiliki tenaga perlawanan.
Ia sangat gembira dan emosi, terusnya:
"Menanti aku sudah berhasil mengalahkan Lin Yok siong, aku akan pergi mencari orang yang
lebih ternama darinya, pokoknya suatu ketika aku bisa merobohkan setiap jago pedang kenamaan
yang ada dalam dunia persilatan, saat itu mungkin aku akan memiliki nama besar yang sejajar
dengan nama besar Sam-sauya dari keluarga Cia, Sam sauya dari perkampungan Sin-kiam san
ceng" Ko siau memandang sekejap ke arahnya, lalu mengembalikan kertas kumal itu kepadanya
sambil berkata: "Benda ini merupakan benda yang paling berharga bagimu, aku tidak menginginkan nya "
" Justru karena benda itu paling berharga bagiku maka kuhadiahkan untukmu, mengapa kau
tidak mau?" "Aku adalah seorang wanita" ujar Ko siau lembut, "aku sama sekali tak ingin beradu kekerasan
atau berebut nama dengan jago-jago pedang kenamaan dalam dunia persilatan, asal aku bisa
mendapatkan hatimu, aku sudah merasa gembira sekali"
Gadis itu memeluknya kencang-kencang lalu dengan lemah lembut bisiknya lagi:
"Aku hanya ingin mendapatkan kau secara seluruhnya"
Rembulan yang purnama mulai berbentuk sabit, kemudian dari berbentuk sabit kembali
menjadi purnama. Sehari demi sehari lewat tanpa terasa, hampir saja Ting Peng melupakan janjinya dengan Liu
Yok siong. Tapi Ko siau tidak melupakannya, dia sempat mengingatkan pemuda itu:
"Seingatku pada bulan tujuh tanggal lima belas, kau masih mempunyai suatu janji?"
"Setibanya saat itu, aku pasti akan pergi"
"Hari ini sudah tanggal delapan, selama beberapa hari ini kau harus pergi melatih ilmu
pedangmu, Lebih baik berlatihlah di suatu tempat yang tak ada orangnya, aku tahu setiap kali kau
melatihku, kau lantas ingin..... kau lantas ingin....."
"Sekarangpun aku sudah ingin ....." sambung Ting Peng dengan cepat sambil tertawa.
Ko-siau tidak tertawa, diapun tidak berkata apa-apa lagi. tapi keesokan harinya, ketika Ting
Peng terbangun dari tidurnya, ia telah meninggalkan bangunan loteng itu bersama si dayang yang
punya sepasang lesung pipi bila tertawa itu, dia hanya meninggalkan sepucuk surat.
Dalam surat tersebut, dia minta agar Ting Peng selama beberapa hari ini baik-baik melatih ilmu
pedangnya, baik-baik menjaga kesehatan dan kondisi badannya, bila janjinya pada bulan tujuh
tanggal lima belas sudah lewat, mereka pasti akan berkumpul kembali.
Pesan itu membuat Ting Peng terharu, membuat pemuda itu merasa amat berterima kasih.
Walaupun hati kecilnya merasa pedih dan murung juga akibat perpisahan itu, tapi teringat
bahwa tak lama kemudian mereka akan segera berkumpul kembali, diapun lantas membangkitkan
semangat untuk berlatih pedang, berlatih golok, berlatih tenaga. Demi dia, pertarungannya kali ini
tak boleh sampai kalah. Ia menemukan bahwa kondisi badan sekarang jauh lebih baik daripada dulu, seorang lelaki
yang sudah mempunyai perempuan baru benar-benar akan menjadi seorang lelaki se jati, seperti
juga tanah bumi, setelah diberi air hujan tanah nya baru akan berubah menjadi subur dan
bertambah segar. Sampai bulan tujuh tanggal lima belas, semangat maupun kondisi badannya telah mencapai
pada puncak paling segar.
terhadap pertarungan yang bakal berlangsung, dia telah memiliki keyakinan pasti menang, ia
yakin dalam pertarungan yang akan berlangsung nanti, kemenangan berada ditangannya.
Bulan tujuh tanggal lima belas pagi.
Cuaca hari ini sangat cerah, sinar matahari memancarkan cahaya keemas emasannya
menyoroti empat penjuru. Perasaan Ting Peng hari ini persis secerah cuaca di luar, bahkan dia sendiripun merasa
semangatnya berkobar kobar, penuh daya hidup dan kekuatan yang melimpah, sekalipun dunia
bakal ambruk, ia masih sanggup untuk menahan rasanya,
Ketika si penjaga pintu dari perkampungan Cing siong san ceng yang sopan santun dan tahu
perasaan itu berjumpa dengannya, iapun dibikin terperanjat sekali.
Bisa menjadi seorang penjaga pintu dari suatu keluarga yang kaya adalah suatu pekerjaan
yang tak gampang, bukan saja dia harus memiliki sepasang mata yang dalam sekejap pandangan
bisa membedakan mana orang kaya mana orang miskin, diapun harus memiliki selembar wajah
macam papan peti mati. Tapi sekarang, bukan saja paras mukanya sudah berperasaan, bahkan suatu luapan perasaan
yang amat segar. Ia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda berbaju perlente yang berwajah cerah ini
bukan lain adalah si pemuda miskin bermuka sial yang pernah dijumpai sebulan berselang.
Menyaksikan mimik wajahnya itu, Ting Peng merasa lebih senang dan gembira, rasa mangkel
dan mendongkol yang pernah dialaminya sebulan berselang, sekarang agak terlampiaskan juga.
Menanti ia berhasil mengalahkan Liu Yok siong nanti, paras muka saudara ini pasti akan
berubah menjadi lebih menggembirakan.
Satu satunya hal yang membuat Ting Peng merasa menyesal adalah antara dia dengan Liu
Yok siong sesungguhnya tiada dendam tiada sakit hati, semestinya tidak pantas kalau dia akan
menghancurkan nama baiknya yang telah dipupuk dan dibina selama banyak tahun itu.
Konon Liu Yok siong bukan saja tersohor sebagai seorang pendekar, diapun sangat baik
orangnya, bahkan terhitung seorang Kuncu, seorang lelaki sejati.
Liu Yok siong bertubuh jangkung, ceking tampan, berwajah bersih, berbaju necis, sopan
santun dan merupakan seorang lelaki setengah umur yang berpendidikan tinggi, seorang lelaki
yang romantis. Terhadap sebagian besar anak gadis, lelaki semacam ini jauh lebih menarik dan merangsang
daripada pemuda-pemuda yang masih ingusan.
Dalam perjumpaan itu dia sama sekali tidak menyinggung peristiwa sebulan yang lalu, diapun
tidak menegur Ting Peng yang kedatangannya hari ini terlalu awal.
Didalam hal ini, mau tak mau Ting Peng harus mengakui bahwa dia memang seorang Kuncu,
seorang lelaki sejati. Sikapnya amat mantap, gerak geriknya gesit, jari jemarinya panjang tapi bertenaga, lagi pula
reaksinya cukup cepat dan cekatan.
Kesemuanya ini membuat Ting Peng mau tak mau harus mengakui bahwa dia adalah seorang
musuh yang amat tangguh, nama besarnya dalam dunia persilatan pasti bukan nama kosong
belaka. Lapangan untuk berlatih silat yang beralas pasir lembut telah dipersiapkan, pada rak senjata
dikedua belah sisinya penuh dengan aneka macam senjata yang gemerlapan, di bawah pohon
yang rindang terjejer enam tujuh buah kursi yang terbuat dari kayu jati.
Liu Yok siong segera memberi penjelasan, katanya:
"Ada beberapa orang sahabat yang sudah lama mengagumi ilmu pedang Ting sauhiap,
mereka ingin sekali datang menonton. Dan aku tak bisa menampik keinginan mereka, maka ku
undang kehadiran mereka semua, di dalam hal ini aku harap Ting sauhiap jangan marah"
Tentu saja Ting Peng tak akan marah.
Dikala seseorang sudah mendekati saatnya untuk ternama, ia memang selain berharap ada
banyak orang yang ikut menyaksikan, makin banyak orang yang datang, semakin gembira hatinya.
Dia hanya ingin tahu: "Siapa saja yang akan datang kemari?"
"Seorang Bulim cianpwe, Tiong lo-sianseng dari bukit Thiam cong!" Liu Yok siong
menerangkan. "Kau maksudkan Hong im kiam kek Tiong Tian?"
Liu Yok siong segera tersenyum.
"Tidak kusangka kalau Ting-sauhiap juga tahu tentang lo sianseng ini" katanya.
Tentu saja Ting Peng tahu, Tiong Tian adalah seorang jago tua yang amat bijaksana, ilmu
pedangnya mendapat pujian dan sanjungan pula dari setiap orang.
Bisa mengundang orang semacam ini sebagai saksi dalam pertarungan tersebut, Ting Peng
benar-benar merasa amat jujur sekali.
Kembali Liu Yok siong berkata:
"Bwe-hoa lojin dan Meh tiok cu juga akan datang, orang persilatan menyebut kami sebagai tiga
serangkai cemara, bambu dan bwe, padahal aku benar benar merasa malu untuk dijajarkan
namanya dengan mereka"
Kemudian ia tertawa, menampilkan sekulum senyuman bangga yang tak akan dihindari oleh
seorang Kuncu sekalipun, terusnya:
"Selain itu ku undang pula seorang Cia sianseng, nama besarnya dalam dunia persilatan tidak
terlalu besar, karena ia jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan"
Setelah tertawa, terusnya:
" Orang dari perkampungan Sin kiam san ceng memang selamanya jarang sekali melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan"
"Perkampungan Sin kiam san ceng?" seru Ting Peng dengan paras muka agak berubah,
"Apakah Cia sianseng itu adalah orang dari perkampungan Sin kiam san ceng?"
"Benar!" jawab Liu Yok siong hambar.
Jantung Ting Peng mulai berdebar keras.
Bagi seorang pemuda yang belajar pedang, nama dari Sin kiam san ceng memang cukup
mempunyai tenaga yang besar untuk membuat jantung orang berdebar keras.
Perkampungan Sin kiam san ceng di puncak Cui im hong, telaga Liok-sui-oh, di sana berdiam
keturunan keluarga Cia. Sam sauya dari keluarga Cia, Cia-Siau-hong. Dia adalah manusia diantara dewa pedang,
pedangnya adalah pedang diantara dewa pedang.
Mungkinkah Cia sianseng yang datang hari ini adalah dia pribadi"
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang pertama yang datang paling dulu adalah Tiong Tian dari partai Tiam-cong.
Hong-im-kiam-kek sudah lama termasyhur dalam dunia persilatan, Liu Yok siong sendiripun
menyebutnya sebagai lo-sianseng, tapi ia kelihatan belum terlalu tua, pinggangnya masih
kelihatan lurus, rambutnya masih berwarna hitam, sepasang matanya juga masih memancarkan
cahaya yang berkilauan. Sikapnya terhadap jagoan muda yang pernah mengalahkan jago-jago lihay dari Cing peng,
Hoa san dan Siong yang ini sedikitpun tidak sungkan, kemudian Ting Peng baru tahu kalau sikap
nya terhadap siapapun tak pernah sungkan.
Orang yang lurus dan jujur tampaknya selalu mempunyai watak seperti ini, selalu mereka
beranggapan bahwa orang lain harus bersikap kelewat menghormat kepadanya lantaran
kelurusan serta kejujurannya.
Mungkinkah hal ini dikarenakan orang yang benar-benar lurus dan jujur dalam dunia persilatan
terlalu sedikit" Tapi ia sama sekali tidak menempati kursi utama, tentu saja kursi utama itu harus diberikan
kepada Cia sianseng dari perkampungan Sin kiam san ceng.
Cia sianseng belum datang, Bwe hoa dan Meh tiok dari Sui han sam yu telah datang.
Menjumpai dua orang tersebut, Ting Peng segera tertegun dibuatnya.
Kedua orang ini yang satu berbaju merah, dan berwajah merah seperti bayi, sedang yang lain
berwajah suram dan bertubuh ceking seperti bambu, ternyata kedua orang itu tak lain adalah dua
orang yang bermain catur di bawah pohon yang rindang di hulu sungai tempo hari.
Tapi sikap kedua orang itu seakan akan sama sekali tidak pernah kenal dengan Ting Peng,
dalam keadaan begitu, Ting Peng ingin sekali bertanya kepada Bwe hoa lo jin:
"Mengapa kau tidak membawa serta monyet kecilmu yang gemar mengenakan pakaian merah
seperti kau?" Bwe hoa lojin agaknya sama sekali tak tahu akan peristiwa itu, sikapnya terhadap Ting Peng
amat sungkan. Ting Peng sendiripun ingin sekali melupakan peristiwa tersebut, sayang ada satu hal yang tak
mungkin terlupakan olehnya.
Mengapa Ko siau menyuruhnya pergi mencari kedua orang itu" Apa hubungannya dengan
kedua orang itu" Ia mulai menyesal, mengapa tidak menanyai persoalan itu sampai jelas, kenapa harus
mengatakan kepada Ko siau:
"Bila kau tidak menjawab, akupun tak akan bertanya"
Sekarang tentu saja ia tak mungkin bisa menjawab lagi karena Cia sianseng dari
perkampungan Sin kiam san ceng telah datang.
Cia sianseng memiliki wajah yang membentuk bulat badannya gemuk, wajahnya selalu penuh
senyuman, ramah tamah dan kelihatan persis seperti seorang saudagar yang kaya raya.
Tentu saja Cia sianseng tersebut bukan Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong yang
termasyhur dalam dunia persilatan sebagai jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit.
Orang lain masih tetap bersikap hormat kepadanya, bahkan Tiong Tian dari Tiamcong pay
yang angkuh itupun mempersilahkannya untuk menempati kursi utama.
Tapi ia bersikeras menampik hal itu, dia selalu mengatakan bahwa dirinya tak lebih hanya
seorang pengurus rumah tangga dari perkampungan Sin kiam san-ceng, berada di hadapan para
jago kenamaan, bisa mendampingi mereka disampingpun sudah merupakan kebanggaan.
Tampaknya siapa saja orangnya, asal dia berasal dari perkampungan Sin kiam san ceng,
kedudukannya dalam dunia persilatan selain tinggi, terhormat dan disanjung setiap orang.
Jantung Ting Peng mulai berdebar keras, darah panas dalam tubuhnya mulai menggelora
dengan kerasnya. Ia bersumpah, suatu ketika diapun akan berkunjung ke perkampungan Sin-kiam-san-ceng,
dengan sebilah pedang mestika dia akan menyambangi pendekar lihay yang tiada tandingannya
dikolong langit itu, dan minta petunjuk tentang ilmu pedangnya yang tiada taranya tersebut.
Sekalipun dalam pertarungan itu dia bakal kalah di ujung pedangnya, dia tak akan merasa
malu dan menyesal. Tapi, sebelum kesemuanya itu dilakukan, pertarungan yang bakal berlangsung hari ini harus
dimenangkan lebih dahulu.
Pelan pelan ia bangkit berdiri, ditatapnya Liu Yok siong lekat-lekat, kemudian katanya:
"Boanpwe Ting Peng ingin sekali memohon petunjuk ilmu silat cianpwe, harap cianpwe suka
lebih berperasaan dalam menggunakan pedang."
Tiong Tian segera berkerut:
"Kau masih muda, ada suatu persoalan kau harus mengingatkan selalu dalam hatimu" .
"Baik!" Sambil menarik muka, dengan suara dingin Tiong Tian berkata:
"Pedang adalah suatu benda yang tak berperasaan, bila pedang sudah diloloskan dari sarung,
maka dia tak akan mengenal ampun?"
Dua orang bocah kecil berbaju merah, dengan membopong sebuah kotak pedang yang antik
dan mewah berdiri serius di belakang Lui Yok siong.
Pelan-pelan Liu Yok siong membuka kotak pedang itu, mengeluarkan pedangnya dan
meloloskan dari sarung. "Cring ...." diiringi bunyi gemerincing yang sangat nyaring, pedang itu dilolos dari sarungnya. .
?"Pedang Bagus!" Cia sianseng segera memuji sambil tersenyum.
Pedang itu memang sebilah pedang bagus, cahaya pedangnya menyala-nyala, hawa pedang
yang dingin serasa menusuk badan.
Begitu pedangnya sudah diloloskan, sikap Liu Yok siong pun berubah menjadi lebih santai dan
tenang. Telapak tangan Ting Peng sudah menggenggam gagang pedangnya erat-erat, jari tengahnya
yang mengerahkan tenaga terlalu besar telah berubah memucat, peluh mulai membasahi telapak
tangannya. Pedang yang dimiliki tak lebih hanya sebilah pedang biasa, jelas tak mungkin bisa
dibandingkan dengan pedang tajam milik Liu Yok siong.
Diapun tak memiliki ketenangan serta kesantaian seperti apa yang diperlihatkan Liu Yok siong.
Oleh karena itu, walaupun ia percaya kalau jurus Thian gwa liu seng yang dimilikinya pasti
dapat mematahkan ilmu pedang dari Liu Yok siong, tak urung hatinya merasa sangat tegang juga.
Liu Yok siong memandang sekejap ke arahnya, lalu sambil tersenyum berkata:
"Di rumahku masih terdapat sebilah pedang bagus, walaupun bukan terhitung sebilah pedang
mestika, namun toh lumayan juga, bila Ting sauhiap tidak merasa keberatan, akan kusuruh orang
untuk mengambilnya."
Bagaimanapun juga dia adalah seorang Bu lim cianpwe (angkatan tua dari dunia persilatan),
sudah barang tentu dia tak ingin mencari keuntungan dengan mengandalkan pedangnya yang
tajam. Ting Peng enggan menerima kebaikannya itu dengan hambar dia menjawab pelan:
"Biar boanpwe pergunakan pedang ini saja sebab pedang ini adalah warisan ayahku, boanpwe
tak ingin membuangnya dengan begitu saja"
Benar!" "Apakah kau berasal dari keluarga Ting di telaga Tay-oh?" Tiba-tiba Tiong Tian bertanya pula.
"Tidak, Boanpwe datang dari wilayah Gi-pau!"
"Waaah... aneh kalau begitu"
Setelah berhenti sejenak, dengan suara dingin lanjutnya:
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, orang selalu mengatakan bahwa ilmu
pedang Ting sauhiap bukan saja sangat lihay, terutama sekali jurus pedangmu yang terakhir,
benar-benar luar biasa dan tiada taranya, sudah lima puluh tahun aku belajar ilmu pedang, namun
tidak kuketahui kalau wilayah Gi pek terdapat suatu keluarga Ting yang memiliki ilmu pedang
keluarga yang begitu hebatnya."
"Padahal masalah ini juga bukan sesuatu yang aneh" sela Cia Sianseng, "sebab dalam dunia
persilatan memang selalu terdapat para pendekar lihay yang lebih suka hidup mengasingkan diri
daripada mencari nama yang tenar, Tiong siangseng! Meskipun pengetahuanmu cukup luas,
belum tentu setiap keluarga yang pandai berilmu silat kau ketahui"
Mendengar perkataan itu, Tiong Tian segera menutup mulutnya rapat-rapat ........
Liu Yok siong juga tidak banyak berbicara lagi, pedangnya segera diangkat sejajar dengan
dada, lalu serunya: ?"Silahkan!" Ting Peng juga tidak banyak berbicara, dia lantas bersiap-siap untuk melangsungkan
pertarungan yang sudah lama diidam-idamkannya itu.
Suasana menjadi hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.
ooooo0ooooo JURUS THIAN GWA LIU SENG BULAN tujuh tanggal lima belas, tengah hari, di bawah terik matahari.
Permukaan tanah yang berlapiskan pasir halus memantulkan sinar gemerlapan di bawah
sorotan matahari, sinar pedang lebih menyilaukan siapapun.
Ting Peng sudah mulai melancarkan serangannya.
Kecuali jurus Thian gwa liu seng, dalam ilmu pedang miliknya memang tiada sesuatu yang
istimewa, jurus jurus pedang warisan keluarganya itu hanya bisa dikatakan sebagai "biasa",
sederhana dan tiada sesuatu yang aneh.
Sebaliknya ilmu pedang aliran Bu-tong justru penuh dengan serangan-serangan yang dahsyat
dan penuh dikombinasikan dengan gerakan yang enteng, lincah dan cekatan, di bawah permainan
Liu Yok-siong, kepandaian tersebut kelihatan lebih hidup dan meringankan.
Dengan menggunakan taktik mencukil, menebas dan menusuk, pedangnya diputar sedemikian
rupa melakukan gerakan-gerakan yang luar biasa, dalam sekejap mata Ting Peng telah dikurung
sehingga tak mampu berganti napas lagi.
Menyaksikan ilmu pedang tersebut, semua orang mulai merasa sedikit kecewa terhadap
kemampuan si jago pedang muda yang baru muncul didalam dunia persilatan ini.
Sebaliknya Ting Peng mempunyai kepercayaan serta keyakinan yang besar sekali untuk bisa
memenangkan pertarungan ini.
Paling tidak ia telah menyaksikan tiga buah titik kelemahan dalam ilmu pedang yang
digunakan Lui Yok-siong itu, " bila dia pergunakan jurus Thian gwa-liu-seng tersebut, sudah dapat
dipastikan ilmu pedang dari Liu Yok siong itu akan hancur berantakan seperti pisau tajam yang
menebas bambu. Sebenarnya dia masih ingin mengalah beberapa jurus serangan lagi untuk Liu Yok siong, dia
tak ingin selalu memperlihatkan keganasannya di hadapan Bu lim cianpwe ini.
Tapi bila pedang sudah diloloskan, maka tak akan mengenal kata ampun"
Dia masih teringat jelas dengan perkataan itu.
Mendadak pedangnya yang memainkan gerakan sederhana itu berubah menjadi hebat,
bagaikan serentetan cahaya bintang yang datang dari luar angkasa dengan cepatnya seluruh
angkasa terbungkus dibalik hawa pedang tersebut.
Bintang yang memancar dari luar angkasa memang tak bisa diraba tak bisa dilawan.
Pedang yang tak berperasaan, tak pernah mengenal arti ampun kepada korbannya.
Tiba-tiba muncul perasaan menyesal dalam hatinya, karena dia tahu Liu Yok siong pasti akan
terluka di ujung pedangnya...."
Tapi dugaannya ternyata meleset, "Traang!" Percikan bunga api berhamburan diangkasa.
Ternyata Liu Yok siong berhasil menyambut serangan dengan jurus Thian gwa liu seng yang
sesungguhnya tak mungkin bisa dihadapinya itu.
Tenaga dalam aliran Bu tong pay merupakan tenaga dalam aliran lurus, Liu Yok siong juga
merupakan satu-satunya murid preman dari Thian ti Cinjin, sudah barang tentu kesempurnaan
tenaga dalamnya tak mungkin bisa ditandingi oleh Ting Peng.
Ketika sepasang pedang saling membentur, hampir saja Ting Peng tergetar roboh ke tanah,
namun ia sama sekali tidak roboh.
Sekalipun pedangnya sampai gumpil sedikit akibat bentrokan itu, telapak tangannya meski
tergetar pecah dan sakitnya bukan kepalang, namun ia tak sampai roboh.
Karena ia telah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya roboh ke tanah.
Tekad, meski sesuatu yang tak nampak tapi justru merupakan kunci yang terpenting untuk
menentukan menang kalah; ada kalanya justru jauh lebih penting daripada tenaga dalam.
Dia belum kalah, dia masih bisa bertarung lagi, barusan dia pasti agak teledor sehingga jurus
serangannya seharusnya bisa meraih kemenangan telah disia-siakan dengan begitu saja.
Sementara itu Liu Yok-siong telah menarik kembali pedangnya, dan menatap wajahnya
dengan sorot mata yang sangat aneh.
"Dia belum kalah!" tiba-tiba Tiong Tian berseru:
Ia memang seorang yang benar-benar jujur, lurus dan adil, justru lantaran perkataannya itu,
rasa benci dan muak Ting Peng kepadanya kini berubah menjadi rasa terima kasih.
Akhirnya Liu Yok siong mengangguk juga katanya:
"Aku tahu, dia memang belum kalah"
Ia masih menatap wajah Ting Peng dengan sorot mata yang sangat aneh, sepatah demi
sepatah dia lantas bertanya:
"Jurus pedang yang kau pergunakan barusan adalah ilmu pedang yang pernah kau
pergunakan untuk mengalahkan Kwin Tin-peng dari perguruan Siong yang-pay...."
"Benar!" "dengan jurus serangan itu juga kau mengalahkan Si Teng serta Kek Khi dua orang jago?"
"Benar!" Liu Yok siong termenung sejenak, setelah itu tanyanya:
"Siapakah ayahmu?"
"Ayahku sudah meninggal pada delapan tahun berselang"
Ia tidak menyebutkan nama ayahnya, Liu Yok siong juga tidak mendesak lebih jauh.
Paras mukanya menunjukkan perubahan yang lebih aneh lagi, tiba-tiba ia berpaling ke arah
Cia sianseng sembari tanyanya:
"Tentunya Cia sianseng sudah melihat dengan jelas bukan jurus pedang yang barusan
dipergunakan oleh Ting sauhiap?"
Cia sianseng tersenyum. "Ilmu pedang yang sangat hebat dan luar biasa itu meski tidak begitu kupahami, untung saja
masih dapat kulihat dengan jelas"
"Bagaimana perasaan Cia sianseng terhadap jurus pedang tersebut?"
"Jurus pedang itu sangat lihay, ganas dan luar biasa, hampir sama dengan kekuatan yang
terpancar dari ilmu Toh-mia-cap-sah-si yang dimiliki Yan Cap-sa dimasa lalu, aliran yang
dianutpun agaknya hampir bersamaan, Cuma sayang tenaga dalamnya masih kurang memadahi"
Setelah tertawa, kembali ujarnya:
"Cuma itu menurut pandanganku yang ngawur, jadi kalau aku salah berbicara, tolong
dimaafkan sebab aku sama sekali tidak mengerti tentang ilmu pedang"
Tentu saja perkataannya tak mungkin mengawur, di bawah perkampungan Sin-kiam-san-ceng,
mana mungkin terdapat orang yang tidak mengerti tentang ilmu pedang"
Tiga puluhan tahun berselang, Yan Cap sa malang melintang dalam dunia persilatan dengan
melakukan beratus-ratus kali pertarungan tanpa berhasil dikalahkan orang, dia adalah satusatunya
orang yang sanggup menandingi kepandaian Sam Sauya dari keluarga Cia
Kemudian dia dengan Cia Siau hong memang dilangsungkan pula suatu pertarungan tapi
siapa yang menang siapa yang kalah" Hingga kini masih merupakan sebuah tanda tanya besar.
Sekarang, walaupun jago pedang yang hidup menyendiri itu sudah tiada lagi di dunia, tapi
nama besarnya serta kelihaian ilmu pedangnya masih merupakan sanjungan dan pujian dari
setiap orang. Cia sianseng telah membandingkan jurus pedang dari Ting Peng itu dengan jurus-jurus Toh
mia cap-sah-kiam, hal mana sesungguhnya merupakan suatu kebanggaan buat Ting Peng.
Sambil tersenyum Liu Yok siong berkata:
"Cia sianseng berkata demikian sesungguhnya aku merasa terkejut bercampur bangga"
Ting Peng tertegun, Setiap orang jago tutur tertegun.
Yang merasa terkejut bercampur bangga tentunya adalah Ting Peng mengapa bisa menjadi
dia" Dengan suara dingin Tiong Tian segera berkata.
"Cia sianseng memuji ilmu pedang Ting Peng, apa sangkut pautnya dengan dirimu?"
"Memang ada sedikit hubungan!" jawab Liu Yok siong tenang
Tiong Tian segera tertawa dingin:
Liu Yok siong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk buka suara lagi, segera katanya:
"Setiap orang dalam dunia persilatan tentu tahu bahwa pengetahuan cianpwe amat luas,
dengan Si catatan senjata Pek Siau seng di jaman dulu hampir sama"
Walaupun pengetahuanku tidak seluas Pek siau seng, namun ilmu pedang dari pelbagai partai
dan perguruan yang ada di dunia ini memang pernah kusaksikan semua".
"Pernahkah cianpwe menyaksikan jurus pedang itu?"
"Belum pernah!"
"Bagaimana dengan Cia sianseng?"
"Aku adalah seorang yang berpengetahuan cetek, entah berapa banyak ilmu pedang yang tak
pernah kusaksikan selama ini, jawab Cia sianseng.
Liu Yok siong segera tertawa hambar, jawabnya:
"Sudah barang tentu kalian berdua belum pernah menyaksikan jurus pedang itu, karena jurus
tersebut adalah hasil ciptaanku sendiri"
Perkataan ini benar-benar suatu ucapan yang mengejutkan hati.
Kalau ada guntur membelah bumi. Ting Peng pasti tak akan sekaget setelah mendengar
perkataan itu. Hampir saja dia melompat bangun saking kagetnya, dengan suara keras segera serunya.
"Apa kau bilang?".
"Apa yang kuucapkan semestinya Ting sauhiap sudah mendengarnya dengan amat jelas"
Ting Peng segera merasakan darah panas dalam tubuhnya bergolak keras serunya kemudian:
"Kau.... Kau punya bukti?"
Pelan-pelan Liu Yok siong membalikkan badannya kepada si bocah kecil di belakangnya ia
menitahkan: "Kau pergi ke kamar hujin, dan mintalah dia untuk datang kemari berikut membawa kotak
berisi kitab pusakaku!"
Berbicara bagi seorang lelaki yang belajar pedang, di dunia ini hanya ada dua hal yang tak
bisa dinikmati bersama dengan orang-orang lain dan tak nanti memperkenankan orang lain untuk
mengusiknya. Kedua hal itu adalah kitab pusaka ilmu pedangnya dan istrinya.
Liu Yok siong adalah seorang lelaki, Liu Yok siong juga belajar ilmu pedang tentu saja amat
menyayangi kitab pusaka serta bininya.
Tapi sekarang dia mempersilahkan istrinya untuk membawa sendiri kitab pusaka itu datang ke
arena, dari sini dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang cermat dan berhati-hati.
Tiada seorangpun yang berbicara lagi pun tak seorang jua yang bisa berbicara lagi.
Apa yang dilakukan Liu Yok siong selamanya memang membuat orang tak sanggup berbicara
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Dengan cepat kitab pusaka ilmu pedang itu telah dibawa keluar, Liu hujin sendiri yang
membawanya keluar, Kitab pusaka itu disimpan dalam sebuah kotak yang disegel dengan rapi, di atas kotak masih
menempel segelnya dalam keadaan utuh, Liu Hujin mengenakan sebuah kain cadar untuk
menutupi wajahnya. Walaupun selembar kain cadar yang halus telah menutupi raut wajah aslinya, akan tetapi tidak
menutupi keanggunan serta keluwesannya.
Liu hujin memang seorang perempuan cantik yang ternama dalam dunia persilatan, lagi pula ia
berasal dari keluarga yang terpandang, bukan Cuma punya nama yang harum, diapun terkenal
karena kesetiaannya terhadap suami.
Berada di hadapan orang asing, tentu saja ia tak bisa bertemu orang dengan raut wajah
aslinya. Tentu saja dia sudah tahu akan duduknya persoalan, maka kitab pusaka itu langsung
disodorkan ke tangan Tiong Tian serta Cia sianseng.
Kedudukan Cia sianseng dalam dunia persilatan, kejujuran Tiong Tian sebagai seorang
pendekar, memang tak mungkin menimbulkan kecurigaan orang, tiada seorang pun yang merasa
curiga. Kitab pusaka itu terbuat dari lembaran kertas berwarna putih, kertas itu sangat tipis, tipis
sekali. Karena kitab itu bukan kitab pusaka dari Bu tong pay, kitab itu berisikan ilmu pedang ciptaan
Liu Yok siong sendiri, Cing siong-kiam boh (Kitab pedang Cing-siong)
Bila ilmu pedang aliran Bu tong sangat luas dan tiada taranya, maka ilmu pedang ciptaan Liu
Yok siong hanya terdiri enam jurus.
"Halaman yang terakhir, berisikan jurus serangan yang kumaksudkan!"
Cia sianseng dan Tiong Tian segera membalik kitab ilmu pedang itu ke halaman yang paling
belakang, dengan kedudukan serta nama baik mereka dalam dunia persilatan, tentu saja mereka
enggan untuk menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lihat.
Tapi demi bukti yang nyata, demi nama baik Ting Peng dan Liu Yok siong, mau tak mau
mereka harus melihatnya juga.
Mereka hanya menyaksikan beberapa kejap, paras mukanya segera berubah sangat hebat.
Maka Liu Yok siong segera bertanya:
"Jurus serangan yang barusan digunakan Ting sauhiap, tentunya kalian berdua telah
menyaksikan dengan jelas bukan?"
"Benar!" "Barusan, Ting sauhiap bilang bahwa dia telah mempergunakan ilmu pedang itu untuk
mengalahkan Si Teng, Kek Khi dan Kwik Ting-peng, tentunya kalian berdua juga sudah
mendengar jelas bukan?"
"Benar!" "Jurus pedangnya itu, perubahannya serta inti sarinya mirip sekali dengan jurus Bu tong sionghee
hong (angin sejuk di bawah bukit Bu tong) yang tercantum didalam kitab itu?"
"Benar!" Cayhe dengan Ling sauhiap bukankah baru berjumpa untuk pertama kalinya ini...."
Tentang soal ini Tiong Tian dan Cia sianseng tak berani memastikan, maka mereka bertanya
kepada Ting Peng. Ting Peng segera mengangguk mengakui...., maka Liu Yok siong bertanya lagi.
"Mungkinkah kitab pusaka ilmu pedang ini adalah sejilid kitab palsu"
"Tidak mungkin!"
Sekalipun orang pernah menyaksikan Ting Peng mempergunakan jurus pedang itu, juga tak
mungkin bisa memperoleh inti kekuatan dari jurus pedang tersebut.
Dalam hal ini baik Cia sianseng maupun Tiong Tian berani memastikannya.
Maka Liu Yok siong menghela napas panjang.
"Aaai....! Sekarang aku tak akan berbicara apa-apa lagi."
Ting Peng lebih-lebih tak bisa berbicara lagi. Walaupun ia merasa dirinya sudah meningkat
menjadi dewasa, sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang bocah, dia dibesarkan didalam sebuah
dusun yang sederhana, meninggalkan dusun pun belum sampai tiga bulan, darimana mungkin ia
bisa memahami tipu muslihat serta segala kelicikan di dalam dunia persilatan...
Dia hanya merasakan hatinya seperti tenggelam ke bawah, seluruh tubuhnya ikut tenggelam
ke bawah, tenggelam ke dalam sebuah liang yang gelap dan dalam, sekujur tubuhnya seakanakan
terbelenggu kencang, dia ingin meronta, namun tak bisa, ingin berteriak namun tak dapat.
Semuanya harapannya telah musnah dan hancur, masa depannya yang cemerlang kini
berubah menjadi selapis kegelapan yang mencekam.
Dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Waktu itu, Tiong Tian sedang bertanya kepada Lui Yok siong.
"Kalau kau memang telah menciptakan jurus pedang itu, kenapa selama ini belum pernah kau
menggunakannya?" "Aku sebagai seorang murid Bu-tong pay, sudah sepantasnya kalau menjunjung tinggi nama
baik partai Bu-tong, jurus itu aku berhasil menciptakannya tanpa sengaja, waktu itu akupun
mencatatnya saja karena suatu yang iseng. Aku hanya bertujuan sebagai kenang-kenangan di
kemudian hari ilmu pedang bu-tong-pay terlalu luas dan dalam sampai matipun kepandaian
tersebut masih berkelebihan bagiku selama hidup aku tak akan menggunakan ilmu pedang aliran
lain pun tiada berambisi untuk mendirikan perguruan lain, kalau bukan keadaan sangat mendesak
aku tak akan mengeluarkan kitab pusaka ini untuk diperlihatkan kepada orang lain"
Penjelasan ini bukan saja sangat masuk diakal lagi pula jujur dan amat bijaksana siapapun
pasti akan menerimanya sambil mengangguk anggukkan kepala.
"Bagus sekali ucapanmu itu" kata. Cia sianseng sambil tersenyum, "It thian cinjin tentu akan
merasa bangga karena mempunyai seorang murid seperti aku"
"Jikalau jurus pedang itu memang merupakan ciptaanmu sendiri, dari mana Ting Peng bisa
mempelajarinya?" "tanya Tiong Tian tiba tiba.
"Aku sendiripun kurang jelas, justru pertanyaan itu hendak kutanyakan kepada Ting sauhiap"
Dia lantai berpaling ke arah Ting Peng, sikapnya masih lembut dan halus, katanya:
"Sesungguhnya jurus serangan ini adalah ilmu pedang warisan keluargamu atau bukan"
"Bukan!" sahut Ting Peng sambil menundukkan kepalanya, rendah-rendah.
Ketika mengucapkan perkataan itu, perasaannya tersiksa sekali, seakan-akan ada cambuk
yang sedang menghajar di atas tubuhnya.
Tapi sekarang, mau tak mau dia harus mengakui. Bagaimanapun juga dia masih muda dan
jujur, ia merasa tak dapat membohongi liangsim sendiri...
"Lantas, darimana kau berhasil mempelajari ilmu pedang itu?" tanya Liu Yok siong kemudian.
"Secara tidak sengaja ayahku berhasil menemukan selembar kitab pusaka yang robek, di atas
robekan itu tercantum satu jurus Thian gwa liu-seng"
"Kitab pusaka siapakah itu"
"Entahlah!" Ting Peng memang benar-benar tidak tahu.
Di atas kertas itu tidak tercantum nama, itulah sebabnya dia sendiripun tak tahu milik siapakah
ilmu pedang itu, maka dia tak bisa tidak harus mempercayai perkataan dari Liu Yok siong tersebut.
Semua yang dikatakan adalah kata-kata yang sejujurnya.
Namun Liu Yok siong segera menghela napas panjang, katanya:
"Tidak kusangka seorang pemuda yang masih muda belia seperti kaupun sudah pandai
berbohong" "Aku tidak berbohong!"
"Lantas dimanakah robekan kertas yang berisi ilmu pedang itu!"
"Berada di....."
Kata-kata tersebut tidak dilanjutkan, karena sekarang dia sendiripun tak tahu kertas berisi
catatan ilmu silat itu berada dimana.
Ia teringat kertas itu pernah diserahkan kepada Ko siau, Walaupun Ko Siau mengembalikan
lagi kepadanya, tapi akhirnya dia meminta gadis itu untuk menyimpan baginya, karena gadis itu
telah memberikan segala sesuatunya kepadanya, maka diapun memberi segala sesuatunya
kepada gadis itu. Sejak itu penghidupan mereka dilewatkan dalam kehangatan, kemerahan dan kebahagiaan,
seorang pemuda yang baru saja merasakan kemesraan dan kehangatan, mana mungkin masih
memikirkan persoalan lainnya"
Dengan tatapan mata yang dingin, Liu Yok siong memandang ke arahnya, kemudian sambil
menghela napas katanya: Kau masih muda, masih belum pernah melakukan kesalahan besar, aku tak ingin terlalu
menyusahkan dirimu, asal kau bersedia menyanggupi sebuah permintaanku, aku tak akan
mengusut lagi asal usul datangnya robekan kitab pusaka itu"
Ting Peng menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Dia dapat merasakan, apapun yang dia ucapan pada saat ini, orang lain tak akan
mempercayai lagi. diapun dapat menangkap pandangan hina yang terpancar keluar dari sorot
mata orang. "Asal kau bersedia untuk berjanji, selama hidup tidak menggunakan pedang lagi, aku akan
memperkenankan kau pergi dari sini".
Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi amat keras dan serius, terusnya:
Tapi jika di kemudian hari kuketahui bahwa kau telah mengingkari janji, hmm! Kemanapun kau
kabur, aku pasti akan merenggut nyawa mu"
Seseorang yang belajar padang, seorang pemuda yang bertekad ingin mengangkat namanya,
bila sepanjang hidup tak boleh memakai pedang lagi, bila sepanjang hidup tak boleh melakukan
perjalanan lagi dalam dunia persilatan, lalu apa artinya hidup di dunia ini"
Tapi sekarang Ting Peng harus menyanggupi, sekarang tiada pilihan lain lagi baginya.
Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi dingin, karena tiba-tiba menghembus lewat segulung
angin dingin, mengibarkan bajunya, mengibarkan juga kain cadar yang menutupi wajah Liu
hujin..... ooooo0ooooo MALAM BULAN PURNAMA CUACA telah berubah, sang surya yang memancarkan cahaya keemas-emasan telah tertutup
dibalik awan. Tiba-tiba Ting Peng merasakan sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, lalu sebentar lagi
merasakan sekujur badannya panas bagai dibakar dengan api.
Semacam kesedihan dan kegusaran yang tak terlukiskan dengan kata-kata, membara dari
dasar telapak kakinya langsung menerjang ke atas tenggorokan, membakar wajahnya sehingga
berubah menjadi merah membara membuat matanya ikut membara pula.
Ketika hembusan angin mengibarkan kain cadar yang menutupi wajah Liu hujin tadi, ia telah
menyaksikan raut wajahnya sang nyonya yang sebenarnya...
Ternyata Liu hujin bukan lain adalah Ko siau.
Sekarang segala sesuatunya telah menjadi jelas, mimpipun dia tak mengira kalau kenyataan
yang sebenarnya begitu rendah, terkutuk, begitu kejam dan tak berperi-kemanusiaan.
Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, memandang Liu hujin
sambil tertawa tergelak, suara tertawanya kedengaran mirip sekali dengan jeritan binatang buas
menjelang kematian. Kemudian sambil menuding ke arahnya dan terbahak bahak, serunya:
"Kiranya Haaahhh..... haaahhh..... haaahhh kiranya kau?"
Setiap orang memandang ke arahnya dengan terkejut, kaget bercampur keheranan.
"Kau kenal dengan dia?" tegur Liu Yok siong.
"Tentu saja aku kenal dengan dia, kalau aku tidak kenal dengannya, siapa yang bakal kenal
dengannya?" "Kau tahu, siapakah dia?"
?"Li Ko siau!" Liu Yok siong kontan saja menarik muka sambil tertawa dingin, serunya lantang:
"Aku sama sekali tidak menggelikan (Ko siau), kau juga tidak menggelikan!"
Kejadian semacam ini memang tidak menggelikan, sedikitpun tidak menggelikan.
Pada hakekatnya kejadian ini untuk menangispun tak sanggup mengeluarkan suara.
Seharusnya Ting Peng menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya .sejak dari ia
muncul dalam keadaan bugil, sampai dia pergi mencari Bwe hoa lojin untuknya, digantung lalu ia
menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
Tapi kejadian semacam ini tak mungkin bisa diucapkan.
Kejadian itu sesungguhnya terlalu brutal, terlalu tidak masuk diakal, kalau dia
menceritakannya, orang lain pasti akan menganggapnya sebagai orang gila, seorang gila yang
cabul dan memalukan. Untuk menghadapi manusia gila semacam itu, sekalipun digunakan cara yang paling kejam,
cara yang paling buaspun, orang lain tak akan mengatakan apa-apa.
Dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan seorang gila semacam itu, di gantung
orang hidup-hidup. Sekarang dia baru tahu, lubang hitam di mana ia terjerumus ternyata adalah sebuah
perangkap. Sepasang lelaki sejati dan perempuan alim ini bukan saja hendak merampas kitab pusaka ilmu
pedangnya, bahkan hendak merusak nama baiknya dan menjerumuskan dia ke lembah
penghinaan. Karena itu sudah cukup menggetarkan hati mereka, karena dalam pertarungan ini sebenarnya
kemenangan berada di tangannya.
Sekarang, sebenarnya ia sudah menggetarkan dunia persilatan, namanya sudah menjulang
tinggi ke angkasa. Tapi sekarang, tiba-tiba Ting Peng menubruk ke depan, menggunakan segenap tenaga yang
dimilikinya untuk menubruk Liu-hujin yang sebenarnya sama sekali tidak menggelikan itu.
Sekarang ia sudah habis, ia sudah terperosok ke dalam perangkapnya yang rendah dan
terkutuk. Sekarang, diapun hendak membinasakan dirinya.
Sayang seorang perempuan alim seperti Liu hujin, tak mungkin bisa dimusnahkan oleh
seorang bocah tak bernama seperti dia.
Baru saja badannya menerjang ke depan, ada dua bilah pedang telah menusuk ke tubuhnya.
Terdengar Bwe hoa lojin sedang membentak dengan suara keras:
"Selama ini lohu tidak buka suara, karena Liu Yok siong adalah saudaraku, tapi sekarang aku
sudah tidak tahan untuk berdiam diri belaka"
Liu Yok siong juga menghela napas, katanya:
"Aku sebenarnya tak ingin menyusahkan dirimu, mengapa kau hendak mencari kematian
untuk diri sendiri?"
Guntur menggelegar memecahkan keheningan, hujan turun secara tiba-tiba dengan derasnya.
Diantara menyambarnya cahaya kilat dan sinar pedang, pakaian Ting Peng telah basah oleh
noda darah. Sepasang matanya telah berubah menjadi merah membara, sekarang ia tidak memperdulikan
segala sesuatunya lagi. Bagaimanapun juga, masa depannya telah hancur dan musnah, lebih baik sekarang juga ia
mati di sini, mati di hadapan perempuan tersebut.
Cia sianseng tidak menghalangi, Tiong Tian juga tidak.
Mereka tak ingin mencampuri urusan ini lagi, sebab pemuda tersebut tak ada harganya untuk
dikasihani. Andaikata ia mempunyai nama, mempunyai kedudukan, kalau dia berasal dari keluarga
persilatan yang ternama, mungkin saja ada orang yang akan membantunya mengucapkan
beberapa patah kata, mendengarkan penjelasannya.
Sayang dia tak lebih hanya seorang bocah miskin yang tidak punya apa-apa....
Cahaya pedang berkelebat lewat dan menusuk bahunya, tapi ia tidak merasa sakit.
Sekarang ia sudah agak menggila, sudah agak pusing, sudah agak kaku, karena bila
seseorang telah berada dalam keadaan seperti ini, dia tak mungkin akan memikirkan soal
keselamatannya lagi. Sayang ia sudah melangkah ke jalan kematian sekarang, ingin berpalingpun sudah tak sempat
lagi, agaknya ia bakal dicincang mati seperti seekor anjing gila.
Dua bilah pedang dari Bwe hoa dan Cing siong bagaikan dua ekor ular berbisa meluncur ke
depan dan membelenggunya.
Sekarang, ia telah berhasil membongkar intrik busuk mereka, jelas mereka tak akan
membiarkan ia hidup terus di dunia ini.
Kini setiap orang telah menganggap dia berdosa, dia bersalah dan tak bisa diampuni lagi,
sekalipun mereka membunuhnya, hal inipun merupakan sesuatu yang lumrah.
Liu Yok siong telah melancarkan tusukan mautnya, pedang itu menyambar ke depan dan
langsung mengancam tenggorokan Ting Peng.
Tiba-tiba suara guntur kembali menggelegar di angkasa, diantara kilat yang menyambar,
sebatang pohon besar terpapas menjadi dua dan roboh ke tanah...
Halilintar menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, bunga api bepercikan ke
empat penjuru. Diantara kobaran api yang menjilat-jilat batang pohon yang sangat besar itu terbelah menjadi
dua, kemudian diiringi bunyi gemuruh yang keras tumbang ke atas tanah.
Inilah suatu kekuatan langka, suatu kehebatan alam yang akan ditakuti oleh segenap manusia
di dunia ini, apapun kedudukannya dalam masyarakat.
Ditengah jeritan kaget, setiap orang tanpa terasa mundur ke belakang, Liu Yok siong juga ikut
mundur. Hanya Ting Peng seorang yang masih menerjang mau, menerjang keluar melalui dahan pohon
yang terbelah dua, menerjang lewat dari antara jilatan api.
Dia tak tahu apakah ia masih bisa mundur atau tidak, diapun tak tahu harus melarikan diri
kemana. Ia tiada tujuan, diapun tidak menentukan arah mata angin.
Didalam hatinya hanya terlintas ingatan untuk melarikan diri dari perangkap ini, bisa kabur
sampai dimana, dia akan lari kemana, segenap kekuatan yang dimilikinya telah digunakan,
menanti seluruh tenaga yang dipakainya telah habis, diapun roboh ke tanah, roboh di atas sebuah
celah bukit. Ditengah hujan badai yang turun dengan derasnya, cuaca luar biasa gelapnya, ingatan terakhir
yang melintas dalam benaknya, bukan rasa dendam dan bencinya kepada Liu Yok siong serta Ko
siau, juga bukan kepedihan diri sendiri.
Apa yang teringat olehnya saat itu adalah ayahnya, sepasang mata ayahnya menjelang
kematian. Sekarang, sepasang mata tersebut seakan-akan juga sedang memandang ke arahnya,
pandangan yang penuh cinta kasih dan kepercayaan.
Ia percaya putranya dapat melampiaskan rasa kecewanya, pasti bisa tersohor di dunia
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
persilatan. Bulan tujuh tanggal lima belas, Malam hari, dikala bulan sedang purnama.
Setelah hujan berhenti, rembulan yang purnamapun muncul kembali di atas jagad.
Rembulan pada malam ini seakan-akan jauh lebih indah daripada dihari-hari lain,
kecantikannya begitu rahasia, begitu sepi dan cukup membuat hati orang merasa luluh .
Ketika Ting Peng membuka kembali matanya. Ia menangkap rembulan yang purnama itu.
Ternyata dia tidak mati, orang yang menghendaki kematiannya juga tidak berhasil
menemukannya di sana. Entah suatu kebetulan" Atau kah takdir" Ternyata ia terjatuh dalam sebuah celah bukit yang
rupanya adalah sebuah selokan.
Hujan deras menimbulkan air bah, air yang mengalir lewat selokan membawanya sampai di
situ. Tempat ini letaknya sudah jauh sekali dari tempat dimana dia terjatuh pertama kali tadi, ketika
merangkak bangun dari selokan tersebut, diapun menyaksikan sebuah gua yang dalam sekali.
Empat penjuru di sekeliling sana semuanya ada bukit, semuanya ada pohon, tanah perbukitan
yang basah dan segar setelah hujan lewat, bagaikan seorang gadis perawan yang baru selesai
membersihkan badan. Kecantikan seorang gadis perawan. membawa kerahasiaan dan kemisteriusan.
Gua itu bagaikan mata dari gadis perawan, begitu gelap, dalam dan mengandung daya tarik
yang besar. Tampaknya Ting Peng sudah tertarik oleh kerahasiaan gua itu, tanpa terasa ia bangkit berdiri
dan menghampirinya. Sinar rembulan memancar masuk dari luar gua, menerangi dinding gua yang penuh lukisan
alam semesta melainkan lukisan langit
Hanya di atas langit, baru akan ditemukan pemandangan semacam ini.
Gedung istana yang besar dan megah, pasukan pengawal yang berbaju perang emas,
dayang-dayang keraton yang bersanggul tinggi, berbaju bulu, intan permata yang berserakan
dimana-mana, bebungaan dan buah-buahan yang segar, semuanya melukiskan pria yang perkasa
seperti panglima langit perempuan yang agung bagaikan bidadari.
Terpesona Ting Peng menyaksikan kesemuanya itu.
Semua harapannya telah punah, masa depan yang gemilang telah berubah menjadi gelap..
Dialam semesta, ia ditipu, dihina, dicemooh dibuat penasaran, dipaksa mengambil keputusan
yang pendek. Dialam semesta ia tiada masa depan lagi, tiada hari esok, semua masa depannya telah
dimusnahkan orang. Sekali difitnah orang selama hidup dosanya tak akan bersih dari tubuhnya, selama hidup ia tak
ada harapan untuk mengangkat kepala lagi, sekalipun bisa hidup lebih lanjut, dia hanya bisa
menyaksikan orang-orang yang memfitnah mencemooh dan menghinanya, karena selama hidup
ia tak akan mampu untuk mengalahkan mereka.
Lalu apa artinya hidup terus di dunia ini"
Walaupun dialam semesta tiada hukum yang adil, di langit juga ada fitnahan yang dialaminya
dalam alam semesta hanya bisa diadukan ke atas langit.
Padahal ia masih muda tidak sepantasnya mempunyai ingatan seperti itu.
Tapi bila seseorang telah terdesak sehingga tiada jalan lain, jika ia sudah berada dalam
keadaan apa boleh buat sekalipun tak ingin berpikir demikianpun, pikiran itu akan datang dengan
sendirinya. Mendadak dia teringat akan mati.
Mati memang jauh lebih gampang dari pada hidup lagi pula lebih menggembirakan.
Ditipu orang apalagi ditipu secara mentah-mentah oleh seorang perempuan yang untuk
pertama kali dicintainya memang merupakan suatu siksaan batin yang tak bisa ditahan oleh
siapapun, hal itu sudah cukup untuk membuat seorang pemuda tak sanggup untuk hidup lebih
jauh. Mendadak ia merasakan tangannya masih menggenggam pedang nya erat-erat.
Jikalau pedang ini memang tak bisa mendatangkan nama besar dan kebesaran lebih baik ia
mati saja di ujung pedang ini.
Berpikir sampai di situ, pedangnya lantas diangkat ke atas dan siap-siap digorokkan ke atas
leher sendiri. Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba terhembus lewat segulung angin, dibalik hembusan angin
Dendam Iblis Seribu Wajah 7 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama