Ceritasilat Novel Online

Golok Kumala Hijau 3

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 3


Sui, karena aku sudah tiada jalan lain yang bisa ditempuh. Biarpun ayahku bisa menerima
kenyataan seperti apa pun, tak nanti dia tahan bila orang lain menganggap diriku sebagai seorang
pembunuh keji." "Aku tahu." "Oleh sebab itu walaupun aku tahu perbuatan ini sangat berbahaya dan amat goblok, namun
mau tak mau aku harus melakukannya juga."
"Aku tahu." "Padahal aku tidak memiliki keyakinan apa pun untu1 bisa menghadapinya."
"Aku tahu," Hoa Hoa-hong mengangguk.
"Tapi kau masih bersikeras ingin mengikuti aku?"
"Sebetulnya bisa saja aku tak ikut pergi," ujar Hoa Hoa?hong sambil menggigit bibir, "Tapi
sekarang sudah tak mungkin lagi untuk tidak pergi, masa kau masih belum paham?"
Toan Giok menatap wajah gadis itu dengan lembut, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aku paham, tentu saja aku paham."
Hoa Hoa-hong tersenyum manis, katanya dengan lembut, "Asal kau sudah memahami akan hal
ini, sudah lebih dari cukup!"
"Apa yang harus kita lakukan agar dapat bertemu Thiat Sui?"
"Sebenarnya kau tak perlu pergi mencarinya."
"Kenapa?" "Karena asal ada orang melihat jejakmu, mereka segera akan melaporkan hal ini kepadanya
dan dia sendiri langsung akan datang mencarimu."
"Sekarangjuga kita akan ke sana?"
"Kenapa?" "Sekarang bukan seat yang tepat."
"Memangnya kita harus rnenunggu di sini hingga terang tanah nanti?"
"Bila kau benar-benar percaya bahwa tiada ersoalan yang tak ak mungkin di dunia ini, sekarang
tidurlah dulup dengan nyen
Toan Giok benar-benar tertidur.
Dia masih muda, seorang pemuda yang sudah kelelahan, dimana pun ia berada pasti ada
tempat untuknya beristirahat, ada tempat tidur untuknya.
Apalagi dia berada di sisinya, tempat manakah di dunia ini yang lebih hangat, aman dan lebih
tenteram daripada berada di sampingnya"
Bukankah pelukan seorang gadis yang begitu lembut dan menyenangkan sesungguhnya
merupakan surga bagi kau lelaki"
Bahkan dalam mimpi pun terbawa kehangatan dan keindahan.
Sewaktu terbangun dari tidurnya tadi, ia menjumpai dirinya tertidur di atas paha Hoa Hoahong,
di atas pahanya yang hangat.
Ia tidak ikut tidur, hanya mengawasi pemuda itu dengan perasaan lembut.
Begitu membuka mata, Toan Giok langsung melihat wajahnya, melihat kehangatan dan
kelembutan cinta yang pada saat biasa tersembunyi di balik sorot matanya.
Dalam waktu sekejap tiba-tiba ia merasa telah berubah menjadi seorang wanita sesungguhnya.
Bukan lagi gadis muda yang suka mencari cekcok dan adu mulut.
Ia menatapnya dan tertawa.
Tawa mereka begitu riang, begitu polos dan bersungguh hati, tiada rasa malu lagi di antara
mereka, tiada pula rasa menyesal atau permintaan maaf.
Biarpun ia bersandar di atas pahanya, namun semua itu dianggap hal yang lumrah, biasa dan
tak ada yang aneh. Perasaan hati mereka saat ini secerah udara di luar jendela, begitu segar,
bersih, penuh harapan dan cahaya terang. Sinar matahari di musim semi memang tak pernah
membuat orang kecewa. Mereka berjalan di bawah cahaya matahari.
Mereka telah bertemu banyak orang, mereka merasa setiap orang seakan sedang gembira.
Tentu saja ada banyak orang telah melihat mereka berdua dan merasakan juga
kegembiraan sepasang muda-mudi ini.
Sesungguhnya mereka memang pasangan yang amat mengagumkan, tapi yang paling menarik
perhatian orang bukanlah Toan Giok, melainkan Hoa Hoa-hong.
Memang tidak banyak perempuan berpakaian ketat yang berlalu-lalang di tengah jalan, apalagi
perempuan dengan perawakan tubuh yang begitu indah, ramping dan padat berisi. "Semua orang
memperhatikan dirimu," bisik Toan Giok.
"Kenapa mereka tidak memperhatikan aku?"
"Karena kau tidak semenarik aku," sahut Hoa Hoa-hong sambil tertawa cekikikan.
"Tapi kepalaku bemilai lima ribu tahil perak."
Kini Hoa Hoa-hong baru sedikit keheranan.
Tadi dia masih belum terpikir sampai ke situ, di saat seorang gadis sedang menjadi pusat
perhatian banyak orang, mungkinkah pikirannya dapat membayangkan persoalan yang lain"
"Mungkin saja orang yang telah melihatmu sekarang, secara kebetulan belum sempat melihat
surat pengumuman yang disebar-luaskan Thiat Sui."
"Kau sempat melihatnya dimana?"
"Dalam warung penjual teh."
Warung teh dimana pun di dunia ini biasanya merupakan tempat yang paling ramai. Walaupun
sekarang hari masih pagi, namun kebanyakan warung teh sudah buka.
"Pagi kulit direndam air, sore air merendam kulit". Orang Hangciu yang paling mengerti mencari
kenikmatan, tak mungkin akan mengendon di rumah pada pagi hari sambil menikmati bubur
buatan bini. Bakpao, kepiting goreng, soun Yang-ciu yang dijual di rumah makan kota Hangciu sama
tersohornya seperti Cha-sau, Siomay yang dijual di rumah makan Kwangtung.
Anehnya, hampir semua orang yang berada dalam warung teh itu tak ada yang menaruh
perhatian terhadapnya. Sepasang mata mereka masih tetap mengawasi Hoa Hoa-hong tanpa berkedip.
Mungkinkah orang-orang itu semuanya setan perempuan dan tak satu pun yang tergoda oleh
harta" Dua lelaki kekar berjalan masuk ke dalam ruangan sambil membawa sangkar burung. Tempat
yang mereka pilih kebetulan persis di bawah pengumuman berhadiah.
Orang itu sedang mendongakkan kepala memperhatikan wajah Toan Giok, lalu entah berbisik
apa kepada sobatnya. Toan Giok segera memberi kedipan mata kepada Hoa Hoa-hong, kemudian dengan langkah
perlahan berjalan lewat, bahkan dengan gaya seakan tak sengaja berdiri di bawah pengumuman
itu sambil mengamatinya. Dua orang lelaki yang membawa sangkar burung itu memandangnya beberapa kejap, siapa
tahu kembali mereka berpaling ke arah lain sambil berteriak kepada pelayan, "Siapkan dua porsi
bakpao dan sepoci teh Liong-cing."
Mungkinkah mereka lebih tertarik pada bakpao daripada uang hadiah sebesar lima ribu tahil
perak" Toan Giok berdehem beberapa kali, kemudian mulai membaca tulisan pada pengumuman itu
dengan suara lantang, "Barang siapa mengetahui jejak orang ini dan datang memberi laporan,
disediakan hadiah sebesar lima ribu tahil perak."
Di bawahnya sama sekali tak tercantum alamat yang jelas.
Toan Giok segera berlagak seolah baru sadar kalau orang yang sedang diburu adalah dirinya,
segera ia memperlihatkan sikap ketakutan setengah mati.
Siapa tahu kedua orang itu masih tetap menganggapnya gadungan.
Tiba-tiba Toan Giok tertawa terhadap mereka, tegurnya, "Menurut kalian, mirip tidak lukisan di
pengumuman itu dengan wajahku?"
"Sama sekali tak mirip."
Jawaban kedua orang itu tegas dan tuntas.
Toan Giok tertegun, sambil tertawa paksa ujarnya lagi, "Tapi mengapa aku makin melihat
merasa semakin mirip dengan wajahku?"
Dua orang itu sudah mulai minum teh, jangankan menjawab, menggubris pun tidak.
Kalau boleh, Toan Giok ingin sekali menjewer telinga kedua orang itu, ingin bertanya kepada
mereka sebetulnya orang buta" Atau orang goblok"
Seorang pelayan teh sedang menuang air putih dalam poci tamunya, Toan Giok segera menarik
tangan orang itu dan tanyanya dengan suara keras, "Coba kau perhatikan lukisan itu, mirip tidak
dengan wajahku?" Sekuat tenaga pelayan itu menggeleng, dia seakan baru bertemu orang gila, paras mukanya
pucat-pias karena ketakutan. Untuk kesekian kalinya Toan Giok tertegun.
Sementara itu Hoa Hoa-hong berjalan menghampiri, diam-diam menarik ujung bajunya.
Berputar biji mata Toan Giok, sengaja menggunakan suara yang bisa terdengar banyak orang,
teriaknya, "Gambar wajah di pengumuman itu jelas adalah aku. Aneh, sungguh aneh, kenapa tak
seorang pun bisa melihat dan mengetahuinya?"
Sambil bicara, dia amati perubahan wajah orang lain.
Tapi seluruh tamu yang berada dalam warung teh itu seolah tiba-tiba berubah jadi setan
kelaparan semua. Bukan saja tak ada yang mendongakkan kepala untuk mengamati dia, bahkan
setiap orang menundukkan kepala sambil menghabiskan , sarapan mereka.
Toan Giok benar-benar mati kutu, dia merasa mau menangis tak bisa mau tertawa pun tak
dapat! Lima ribu tahil perak! Satu jumlah duit yang amat besar, mengapa justru tak ada yang mau
menerimanya" Dia sama sekali tak habis mengerti.
Tampaknya Hoa Hoa-hong pun tidak habis pikir. Akhirnya ia menarik Toan Giok untuk diajak
duduk, katanya sambil tertawa paksa, "Mungkin saja ada orang yang telah pergi memberi laporan,
hanya saja mereka tak berani terlihat olehmu."
"Semoga saja begitu," sahut Toan Giok sambil menghela napas panjang.
Maka mereka pun mulai menunggu, untung bakpao serta soun masakan tempat itu cukup lezat.
Hingga seluruh bakpo dan dua mangkuk soun habis disantap, suasana tetap tenang dan sama
sekali tidak terjadi apa pun.
Sekali lagi Toan Giok memperhatikan lukisan di atas dinding, lalu gumamnya, "Jangan-jangan
lukisan itu memang sama sekali tak mirip aku?"
"Aneh kalau tak mirip," Hoa Hoa-hong menimpali.
"Kalau memang mirip, mengapa mereka tak mau mencari tambahan uang sebesar lima ribu
tahil" Sungguh aneh!"
"Betul, memang agak aneh."
Toan Giok menghela napas panjang, kembali ujarnya sambil tertawa getir,
"Ketika aku tak ingin dikenali orang lain, mungkin saat ini hampir semua orang yang hadir
dalam ruangan ini telah mengenali diriku."
Hoa Hoa-hong ikut menghela napas, katanya pula sambil, tertawa getir, "Memang banyak
kejadian di dunia ini yang begitu keadaannya."
Belum selesai dia berkata, mendadak terlihat seseorang berjalan masuk ke dalam ruangan,
kemudian satu per satu merobek semua pengumuman yang menempel di atas dinding.
Ternyata semua orang tamu yang berada dalam warung teh itu tak ada yang menaruh
perhatian, bahkan sikap mereka seakan-akan tidak melihatnya sama sekali.
Tentu saja Toan Giok melihat kejadian ini.
Orang itu berwajah hitam pekat dengan sinar mata tajam, ternyata dia tak lain adalah Kiaulosam,
orang yang suka mencampuri urusan orang lain.
Baru saja Toan Giok ingin menegurnya, mengapa dia begitu suka mencampuri urusan orang
lain. Siapa tahu pada saat itu kembali terlihat seseorang yang dikenalnya berjalan masuk ke dalam
ruangan. Dia adalah seorang Tojin berlengan tunggal berwajah bersih tapi kurus.
Tidak menunggu disapa Toan Giok, ia sudah berjalan menghampiri dan menegur sambil
tersenyum, "Wah, hari ini kalian berdua benar-benar amat santai, sepagi ini sudah keluar rumah
untuk minum teh." "Tojin pun tampak amat santai hari ini," balas Hoa Hoa hong dengan nada ketus. "Sepagi ini
sudah keluar rumah minum teh."
Ku-tojin tertawa. "Aku dengar ada seorang nona amat senang mencampuri urusan orang, mungkin kaulah
orangnya." "Tepat sekali," sahut Toan Giok sambil tertawa geli. Dengan gemas Hoa Hoa-hong melotot
sekejap ke arahnya, tapi dia segera menahan diri dan tidak mencari gara-gara pada pemuda itu.
Karena pada saat itulah Kiau-losam telah berjalan mendekat, melemparkan setumpukan kertas
pengumuman yang baru saja dirobeknya ke atas meja, lalu ujarnya sambil tertawa, "Inilah
beberapa lembar yang terakhir, aku seorang diri telah menarik balik tiga ratusan lembar."
"Kenapa harus ditarik kembali?" tak tahan Toan Giok bertanya.
"Karena aku memang suka mencampuri urusan orang lain," jawab Kiau-losam.
Toan Giok menghela napas panjang, ia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan memang
kenyataan. "Kalau memang senang mencampuri urusan orang, tolong sekarang tempelkan kembali semua
pengumuman itu satu per satu," seru Hoa Hoa-hong sambil menarik muka.
"Kenapa harus menempelkan kembali semua kertas rongsok itu?"
"Siapa bilang kertas itu rongsokan?"
"Aku." "Masa kau tak menginginkan uang hadiah sebesar lima ribu tahil perak?"
"Ingin, sayang tak ada orang yang mau member untukku," kata Kiau-losam.
"Bukankah Thiat Sui sudah tak ingin menangkapnya lagi?"
"Oh, baru tahu sekarang?"
Hoa Hoa-hong seketika tertegun, begitu pula dengan Toan Giok.
Lewat beberapa saat kemudian, tak tahan kembali Hoa Hoa-hong bertanya, "Kenapa secara
tiba-tiba Thiat Sui berubah pikiran?"
Kiau-losam memandangnya sekejap, lalu memandang pula ke arah Toan Giok, setelah itu balik
tanyanya, "Memangnya kalian belum tahu?"
"Kalau sudah tahu, buat apa aku mesti bertanya?" Kiau-losam menatapnya beberapa saat,
kemudian sambil tertawa tergelak, ujarnya, "Mungkin saja karena dia secara tiba
tiba berubah jadi orang baik."
Kembali Hoa Hoa-hong tertegun, teriaknya keras, "Bagaimana pun juga, kami tetap akan pergi
mencarinya." "Kalian hendak mencarinya?" Kiau-losam seolah tertegun pula dibuatnya.
Hoa Hoa-hong tertawa dingin.
"Memangnya hanya dia saja yang boleh mencari kami, sementara kami dilarang pergi
mencarinya?" Untuk kesekian kalinya Kiau-losam tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, tentu saja kalian boleh mencarinya, bahkan pasti berhasil menemukannya."
Tawanya kelihatan sangat aneh, amat misterius.
"Darimana kau tahu kami pasti berhasil menemukannya?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Karena aku bersedia mengantar kalian pergi ke sana." Benar saja, ia benar-benar membawa
mereka pergi, bahkan dalam waktu singkat telah menemukan Thiat Sui
Temyata Thiat Sui benar-benar telah berubah menjadi orang yang sangat baik.
Orang mati memang tak mungkin melakukan kejahatan lagi.
Oleh karena itu semua orang mati adalah orang baik. Thiat Sui telah menjadi orang mati.
Mimpi pun Toan Giok tidak menyangka kalau Thiat Sui secara tiba-tiba bisa mati, bahkan mati
dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
Orang pertama yang menemukan mayatnya adalah Kiau losam.
"Kau temukan mayatnya dimana?"
"Di tengah jalan raya."
"Apa penyebab kematiannya?"
"Batok kepalanya dibacok orang hingga kutung, tubuhnya kepalanya sudah terkapar di tengah
jalan, sementara batok mencelat sejauh satu tombak ."
"Kematiannya sungguh mengenaskan! membunuhnya?"
"Tak ada yang melihat. Aku hanya melihat golok yang dipakai untuk membunuhnya!"
Golok itu berada di atas peti mati.
Peti mati itu disemayamkan dalam Hong-lin-si, sedang golok yang berada di atas peti mati
adalah Bi-giok-jit-seng-to milik Toan Giok.
Petugas yang mengurusi lelayon dalam biara itu adalah Lu Kiu.
Orang penyakitan ini, di usianya yang uzur harus menyaksikan dua kali pembunuhan sadis
dalam satu hari yang sama. Kematian mengerikan dari putranya dan kematian dari sahabat
karibnya. Kedua orang itu sama-sama menjadi korban keganasan sebilah golok, Bi-giok-jit-seng-to.
Cahaya matahari tampak berubah jadi suram setelah menembus ranting pohon Boddhi yang
rimbun. Cahaya yang redup itu menyinari dua buah peti mati yang berada di hadapannya, menyinari
juga paras mukanya yang pucat, dia tampak menjadi tua beberapa tahun secara tiba tiba.
Menyaksikan semua itu, perasaan Hoa Hoa-hong ikut berubah jadi sangat berat.
Lu Kiu menggunakan sapu-tangannya menutupi mulut sendiri, kemudian batuk berulang kali.
Kini sapu-tangan itu sudah kotor, namun dia seakan tak ambil peduli.
Setelah termenung cukup lama, akhirnya Hoa Hoa-hong berkata, "Bukankah golok itu
sebenarnya berada di tangan Thiat Sui?"
"Tapi dia tak pernah membawanya," jawab Ku-tojin.
"Lalu ia simpan golok itu dimana?"
"Entahlah, aku hanya tahu di scat senja tadi, tiba-tiba golok itu lenyap."
"Aku berani menjamin, senja kemarin Toan Giok selalu ada bersama diriku," Hoa Hoa-hong
menegaskan. "0, ya?" Kembali Hoa Hoa-hong berkata, "Selain aku, masih ada seorang lagi yang bisa dijadikan saksi."
"Siapa?" "Seseorang yang tidak kukenal."
"Kau tidak kenal orang itu, tapi orang itu bersedia berada bersama kalian?" kata Ku-tojin
hambar. "Betul, karena kami telah menolongnya dari dalam sebuah peti, bahkan ia menderita luka."
Ku-tojin memandang Kiau-losam sekejap, sementara Kiau-losam mendongakkan kepala
mengawasi belandar rumah.
Mimik muka kedua orang itu sangat hambar tanpa perubahan apa pun.
Sebaliknya paras muka Hoa Hoa-hong sedikit berubah merah karena gelisah. Dia pun tahu,
perkataannya memang sukar untuk membuat orang lain percaya.
Sekarang, sekalipun ia masih dapat menemukan orang itu pun sama sekali tak ada. gunanya.
Siapa yang mau percaya perkataan seorang asing"


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Ku-tojin bertanya, "Kemarin malam kalian berada dimana?"
"Kami berada dalam rumah Thiat Sui."
"Apakah di sana ada orang?"
"Bukan saja tak ada orang, bahkan semua barang dalam rumah pun telah dipindah."
"Dan kalian berdua berada di dalam rumah kosong itu semalam suntuk?"
Paras muka Hoa Hoa-hong berubah semakin merah.
Persoalan ini pun sama saja sukar membuat orang lain mempercayainya.
Tiba-tiba Ku-tojin menghela napas panjang, katanya, "Thiat Sui bukanlah sahabatku."
"Juga bukan temanku," sambung Kiau-losam.
Ku-tojin segera mendongakkan kepala memandang Toan Giok, tambahnya, "Tapi kau adalah
sahabat kami." Toan Giok mengangguk perlahan, namun ia tak berkata apa-apa, dia memang tak mampu
berkata apa-apa. "Walaupun kita adalah sahabat, namun apabila sekarang kau ingin pergi, aku pasti tak akan
menahanmu," kembali Ku-tojin berkata.
Toan Giok sangat terharu dan berterima kasih.
Tentu saja dia memahami maksud baik Ku-tojin. Pendeta itu sedang membujuknya agar
secepatnya pergi meninggalkantempat penuh gara-gara ini.
Tiba-tiba Lu Kiu menghela napas panjang dan ikut berkata, "Kau memang seharusnya pergi
dari sini." "Aku ...." "Inilah golok milikmu, sekarang boleh kau bawa pergi," kembali Lu Kiu berkata.
Ia memandang sekejap golok yang berada di atas peti mati, kemudian perlahan-lahan
melanjutkan, "Karena aku pun pernah berkata, kau adalah sahabatku, lagi pula aku percaya
padamu. Setibanya di Po-cu-san-ceng, tolong sampaikan permintaan maafku kepada Cu-jiya,
katakan katakan kalau kami ayah dan anak tak bisa pergi menyampaikan ucapan selamat
kepadanya." Toan Giok mengertak gigi, tidak membiarkan air atanya berlinang. Sambil menggigit bibir,
sepatah demi sepatah ujarnya,
"Tapi aku tak ingin pergi dari sini."
"Kenapa?" tanya Lu Kiu dengan kening berkerut.
"Karena aku memang tak dapat pergi."
"Thiat Sui sudah mati, sekarang tiada seorang pun yang bisa mempersulit di rimu."
"Aku tahu." "Lantas kenapa kau tak mau pergi?"
"Karena kalau sekarang juga aku pergi, selama hidup aku akan selalu dicurigai orang sebagai
pembunuh." "Tapi kami semua percaya penuh kepadamu, apakah kepercayaan ini masih belum cukup?" sela
Ku-tojin. "Kalian percaya padaku karena kalian adalah sahabatku, tapi masih banyak orang di dunia ini
yang bukan sahabatku."
Ditatapnya golok yang berada di atas peti mati lekat-lekat, kemudian perlahan melanjutkan,
"Apalagi golok itu memang benar-benar golok keluarga Toan kami. Siapa pun yang telah
menggunakan golok keluarga Toan untuk membunuh orang, peristiwa ini jelas ada hubungannya
dengan keluarga Toan."
"Jadi kau ingin menemukan pembunuh sebenamya?"
Toan Giok manggut-manggut.
"Dan Kau sudah menemukan titik terang?" tanya pendeta itu lagi.
"Hanya ada seekor."
"Seekor apa?" "Seekor naga, naga hijau."
"Naga hijau" Maksudmu perkumpulan Naga hijau?" berubah paras muka Ku-tojin.
"Betul, Cing-liong-hwe."
Begitu mendengar "Cing-liong-hwe" disinggung, paras muka semua orang tampak berubah.
Selama ratusan tahun belakangan, di dunia persilatan memang belum pernah terdapat sebuah
organisasi yang begitu misterius dan menakutkan seperti Cing-liong-hwe.
Organisasi ini betul-betul bagaikan seekor naga, seekor naga beracun seperti dalam dongeng.
Walaupun setiap orang pemah mendengar tentang kehadirannya, bahkan percaya akan
keberadaannya, namun belum pernah ada yang benar-benar
melihatnya, juga tak ada yang tahu macam apakah bentuk organisasi itu dan seberapa besar
daya pengaruhnya. Semua orang hanya tahu, dimana pun kau berada, rasanya hampir setiap pelosok dunia telah
berada dalam lingkaran pengaruhnya. Setiap saat, kemungkinan besar dia akan muncul di
hadapanmu. Bahkan ada sementara orang selalu merasa bahwa setiap waktu dirinya hidup dalam pengaruh
ancamannya, begitu terhimpit hingga untuk bernapas pun susah.
Lewat lama kemudian Ku-tojin baru menghembuskan napas panjang, katanya, "Jadi menurut
kau, persoalan ini ada sangkut-pautnya dengan Cing-liong-hwe?"
Toan Giok mengangguk. "Aku tiba di sini pada tanggal sembilan."
"Berarti dua hari berselang?"
"Betul, aku bertemu Hoa Ya-lay pada senja dua hari berselang."
"Konon waktu itu kau sedang minum arak di rumah makan Sam-ya-wan?"
"Jejak Hoa Ya-lay selama ini amat rahasia, karena dia tahu banyak orang sedang mencarinya.
Bila seseorang berusaha menghindari kejaran orang lain, dia tak nanti akan mendatangi tempat
seperti rumah makan Sam-ya-wan, tapi buktinya hari itu
dia justru menampakkan diri di sana."
Setelah tertawa, kembali lanjutnya, "Bahkan dia seolah kuatir orang lain tidak melihat
kehadirannya, maka sengaja dia duduk di samping jendela, bahkan sengaja menggulung tinggi
tirai bambunya dan membuka daun jendela lebar-lebar."
"Rasanya keadaan seperti ini memang kurang sesuai dengan kenyataan yang sedang dia
hadapi," kata Ku-tojin setelah termenung sebentar.
"Kemudian anak buah Thiat Sui secara kebetulan dating mencarinya pada saat itu, kebetulan
juga menemukan dirinya persis di hadapanku!" kata Toan Giok lebih jauh.
"Jadi menurut kau, semua kejadian ini memang sudah dirancang dan direncanakan
sebelumnya?" "Aku tidak percaya di dunia ini benar-benar terdapat banyak kejadian yang begitu kebetulan."
"Kalau begitu, antara Thiat Sui dan Hoa Ya-lay sudah terjalin persekongkolan jauh
sebelumnya?" tanya Ku-tojin setelah berpikir sejenak.
Toan Giok manggut-manggut.
"Aku yakin mereka telah memperhatikan gerak-gerik serta jejakku sejak awal. Begitu tahu aku
datang, mereka pun menyiapkan sandiwara itu dan memperagakan di depanku."
"Seandainya waktu itu kau tidak ikut campur dalam peristiwa itu?" tanya Ku-tojin.
Toan Giok menghela napas, sahutnya sambil tertawa getir, "Mereka pasti sudah
memperhitungkan kalau aku tak bakal berpeluk tangan."
Mendadak Hoa Hoa-hong ikut menghela napas, selanya setelah mendengus dingin, "Seorang
lelaki muda yang berdarah panas, menganggap dirinya hebat. Baru selesai meneguk sedikit arak,
bila melihat seorang gadis cantik dianiaya segerombolan
Hwesio jahat, mana dia akan berpeluk tangan melepas kesempatan emas untuk
menyelamatkan si cantik?"
Toan Giok tertawa getir, sahutnya, "Sekalipun waktu itu aku tidak turun tangan, memangnya
kau anggap mereka akan menyudahi persoalan begitu saja?"
Hoa Hoa-hong mengerling sekejap ke arah pemuda itu, katanya cepat, "Untungnya Toankongcu
kita adalah seorang Enghiong Hohan yang tak tahan melihat ketidak-adilan, sehingga
mereka pun tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran untuk menjebaknya."
Bila seorang wanita melihat ada kesempatan untuk mengumbar rasa cemburunya, dia pasti tak
akan melepaskan peluang itu begitu saja.
Ku-tojin segera berkerut kening, tanyanya, "Lalu apa maksud tujuan mereka berbuat begitu?"
"Pertama, mereka memang ingin membunuh Lu Siau-hun dan melimpahkan kesalahan itu
kepadaku." "Mereka menyangka Lu-kiuya pasti akan membalas dendam atas kematian Lu-kongcu," kata
Ku-tojin. "Benar, inilah yang dinamakan siasat sekali timpuk mendapat dua ekor burung, meminjam
golok membunuh orang."
"Bagaimana dengan untaian mutiara dan Giok-pay milik Lu-kongcu" Apakah Hoa Ya-lay sengaja
menghadiahkan padamu?"
"Bukan! Kalau dia sengaja menghadiahkan untukku, sudah pasti aku tak akan menerimanya,"
sahut Toan Giok. Kemudian setelah menghela napas, katanya lagi sambil tertawa getir, "Cara yang dia gunakan
sangat hebat dan luar biasa, sampai aku sendiri pun tertipu olehnya."
Baru sekarang dia menyadari, ternyata Hoa Ya-lay tidak segoblok apa yang dia bayangkan
semula. Ternyata dia sengaja mencuri uang kertas dan golok Bi giok-to milik Toan Giok, sengaja
menyembunyikan di dasar pot bunga, sengaja membiarkan Toan Giok melihatnya.
Kemudian dia baru sengaja berlagak tidur, agar Toan Giok mencuri balik semua barang
miliknya. Tentu saja dia pun telah memperhitungkan. Begitu berhasil, Toan Giok pasti akan kabur secara
diam-diam. Dalam keadaan terburu-buru, tentu saja Toan Giok tak akan menyangka kalau barang yang
diambilnya telah ketambahan benda lain, apalagi semua barang itu memang diletakkan pada satu
kantung yang sama. Menanti Toan Giok menyadari barangnya kelebihan dan ingin mengembalikan kepadanya,
perempuan itu pasti sudah tak berada di sana lagi. Sejak saat itu, Toan Giok pasti tak akan
berhasil menemukan dirinya lagi.
Oleh karena itu Toan Giok pun akan kehabisan daya untuk menemukan seseorang yang bisa
membuktikan kalau malam itu dia berada di sana.
Apalagi setiap orang tahu bahwa Lu Siau-hun adalah musuhnya yang paling tangguh.
Seseorang demi memperistri perempuan kaya dan cantik, memang tak aneh bila secara diamdiam
dia membunuh saingannya lebih dahulu.
Menanti Lu Kiu menemukan bahwa untaian mutiara serta Giok-pay milik putranya berada di
tangan Toan Giok, dia pasti akan menuduh anak muda itu sebagai pembunuhnya.
Ku-tojin menghela napas panjang, katanya, "Sebetulnya siasat ini sangat hebat dan sama sekali
tanpa cela." "Sayangnya mereka tetap salah memperhitungkan satu hal," sambung Toan Giok.
"0, ya?" "Mereka tidak menyangka Lu-kiuya kenal aku lebih dulu di meja judi, bahkan telah
menganggap aku sebagai sahabatnya."
Selama ini Lu Kiu hanya mendengarkan dengan wajah serius dan penuh penderitaan,
mendadak selanya, "Sebenarnya Thiat Sui pun sahabatku."
"Aku tabu" "Semasa masih kecil dulu, dia adalah tetanggaku, masuk biara Siau-lim di usia dua belas
tahun." Padahal Thiat Sui adalah putra seorang pembantu di rumah keluarganya. Justru karena dia
merasa status social sendiri teramat rendah, maka timbullah sifatnya yang sombong, ambisius dan
ingin menang sendiri. Orang yang rendah diri dan tak percaya diri, terkadang sengaja berlagak sok hebat dan
jumawa. Untuk melindungi titik kelemahan sendiri, terkadang manusia dapat melakukan tindakan dan
perbuatan aneh. "Dia tak segan menjadi Hwesio karena ingin mempelajari ilmu silat biara Siau-lim dan menjadi
orang terkenal," kata Lu Kiu.
"Oleh sebab itu, di saat berlatih silat di biara Siau-lim, dia berlatih paling tekun dan serius."
"Karena itulah dia berhasil memiliki kepandaian silat yang hebat," Toan Giok manggut-manggut.
"Selama ini aku sangat memahami wataknya dan percaya dia tak akan bersekongkol dengan
perempuan semacam Hoa Ya?lay."
"Kau pasti sudah lama tak bertemu lagi dengannya," sela Toan Giok cepat.
Lu Kiu menghela napas panjang.
"Ai, aku memang sudah lama tak pernah berjumpa dengannya. Oleh sebab itu ketika dia
mengundangku bertemu di sini, aku sendiri pun merasa sedikit di luar dugaan."
"Setelah lewat banyak tahun, terkadang watak dan tabiat seseorang bisa mengalami perubahan
sangat besar." "Sekalipun dia telah berubah, namun biara Siau-limmengutamakan disiplin, peraturan yang
berlaku di sana amat ketat. Sementara dia sudah dua puluh tahun mengendon dalam biara Siaulim,
terjun ke dunia persilatan pun belum lama berselang. Bagaimana mungkin dia bisa kenal
bandit perempuan macam Hoa Ya-lay?" "Dengan tabiatnya, tentu saja dia tak akan bersekongkol dengan Hoa Ya-lay," kata Toan Giok
setelah berpikir sebentar.
"Benar, memang tak mungkin," Lu Kiu mengangguk. "Sebetulnya dia bukan bersekongkol
dengan Hoa Ya-lay, melainkan dengan Cing-liong-hwe," Toan Giok menerangkan.
" Cing-liong-hwe?" tanya Lu Kiu dengan kening berkerut.
"Ketika meninggalkan biara Siau-lim, dalam keadaan gusar, alasan utamanya adalah karena ia
sadar posisinya dalam biara Siau-lim sudah mentok dan tak mungkin bisa lebih menonjol lagi,
maka dia ingin pergi keluar dan melakukan perbuatan yang bisa menggemparkan kolong langit."
"Tapi dia sebatangkara, tak punya teman, tak punya komplotan, apalagi sudah lama hidup
sebagai pendeta. Terhadap masalah persilatan maupun jago dalam Kangouw pasti terasa asing,
untuk bisa melakukan satu pekerjaan besar, dia harus menemukan seorang pembantu yang
handal dan memiliki kekuatan sangat besar."
Setelah termenung sejenak, akhirnya Lu Kiu manggut manggut, dia seakan telah memahami
sebagian duduknya persoalan.
Kembali Toan Giok berkata, "Tampaknya Cing-liong-hwe memanfaatkan kelemahan itu untuk
menariknya bergabung dengan mereka."
"Dengan tabiatnya, mana mungkin ia rela diperalat orang begitu saja?"
"Aku rasa dia pun ingin memperalat kekuatan'Cing-liong hwe untuk memperluas pengetahuan
serta kenalannya, jadi bisa jadi persekongkolan ini merupakan sebuah bentuk kerja sama yang
saling menguntungkan."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Cing-liong-hwe adalah sebuah organisasi yang luar biasa,
mau orang segera ada orang, mau duit segera ada duit. Bagi siapa pun, kehadiran mereka jelas
merupakan sebuah daya tank luar biasa, apalagi pada dasarnya dia memang seorang temperamen
yang bertindak menurut suara hati sendiri."
Lu Kiu terbungkam, dia tidak bicara lagi.
Dia pun tahu, apa yang diucapkan Toan Giok bukan saja tak salah, bahkan sudah disampaikan
dengan perkataan yang paling sopan.
Setelah perjumpaannya dengan Thiat Sui, dia pun merasa sepak-terjang Thiat Sui kelewat
berlebihan, terkadang apa yang dia lakukan membuat orang lain susah untuk menerimanya.
Bag 9. Memburu begal wanita Hoa Ya-lay
Tapi dia telah memaafkan Thiat Sui, karena dia berpendapat Thiat Sui adalah seorang
Enghiong. Biasanya sepak-terjang seorang Enghiong memang agak berbeda bila dibandingkan orang
biasa. "Sayangnya meski Thiat Sui kuat, Cing-liong-hwe jauh lebih kuat," kata Toan Giok. "Oleh sebab
itu, sejak bergabung dengan Cing-liong-hwe, lambat-laun dia mulai dikuasai orang, makin lama
semakin tak bebas melakukan apa pun dan dipaksa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
sebetulnya tak ingin dia lakukan. Bila dalam keadaan seperti ini, dia baru berkeinginan
meninggalkan Cing-liong-hwe, jelas keadaan sudah terlambat."
Karena dia sudah terbiasa merasakan kehidupan yang serba ada, serba berlebihan dan penuh
kenikmatan. Sudah terbiasa main perempuan dan menenggak arak paling bagus.
Mungkin saja dalam hati kecilnya dia pun sadar kalau semua yang dilakukan adalah perbuatan
salah, mungkin dia pun mulai membenci diri sendiri, benci karena menceburkan diri sendiri dalam
perangkap dan kekuasaan orang lain.
Oleh karena itu dia pun semakin menceburkan diri, sekuat tenaga pergi mencari rangsangan
dan kenikmatan. Semua itu dia lakukan demi melampiaskan rasa dendam pada diri sendiri.
Setelah itu dia baru ditelan Cing-liong-hwe, dilibat dan dimusnahkan.
Lu Kiu menghela napas panjang, ujarnya sedih, "Dia menjadi pendeta karena ingin hidup
menonjol, hidup penuh kesenangan, sama sekali tak ada niat untuk mengkhianati ajaran Buddha,
namun dalam hal ini dia telah salah langkah."
"Ai ...." Toan Giok menghela napas. "Setelah melakukan satu kesalahan, dia melakukan
kesalahan yang lain dan sekali lagi terjun ke dalam Cing-liong-hwe."
Lu Kiu pun menghela napas panjang.
"Cing-liong-hwe memang kelewat kuat, kelewat besar. Siapa berani bergabung dengan mereka,
pada akhirnya pasti akan tertelan, terlibas hingga lenyap."
Mendengar itu, tanpa terasa Toan Giok menghela napas panjang.
Sudah cukup lama Ku-tojin termenung tanpa bicara. Pada saat itulah, tiba-iba ia bertanya,
"Menurutmu, kejadian ini adalah rencana yang disusun Cing-liong-hwe dan dilaksanakan oleh Thiat
Sui?" "Aku rasa pasti begitu."
"Konon Cing-liong-hwe mempunyai tiga enam puluh lima cabang, kota Hangciu pasti
merupakan salah satu di antaranya?" tanya Ku-tojin.
"Tepat sekali."
"Jangan-jangan Thiat Sui adalah Tongcu tempat ini?"
"Sebetulnya aku mengira dia."
"Dan sekarang?"
"Sekarang aku sudah mengetahui kalau ternyata masih ada orang lain. Selama Thiat Sui berada
di sini, dia selalu diawasi oleh seseorang. Oleh sebab itu, setelah terjadi peristiwa di luar dugaan
ini, dia segera dihabisi nyawanya."
"Kenapa dia hams dibunuh?"
"Demi menghilangkan saksi, demi memperlihatkan kewibawaan."
"Demi kewibawaan?"
"Siapa pun yang gagal melakukan tugas bagi Cing-liong?hwe, dia harus mati!"
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Karena itulah tak ada orang yang bekerja untuk Cingliong

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hwe, yang tidak berusaha mati-matian."
"Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Cing-liong-hwe dapat berhasil," kata Ku-tojin sambil
menghela napas. "Namun dalam kejadian kali ini, mereka tidak berhasil."
Dengan wajah tersenyum, Ku-tojin manggut-manggut, sahutnya, "Sekarang bukan saja kau
masih hidup segar-bugar, bahkan bila ingin pergi pun segera dapat pergi."
"Tapi bila aku benar-benar pergi, rencana mereka pun akan berhasil," tukas Toan Giok cepat.
"Kenapa?" Toan Giok tertawa. "Rencana mereka, target utama adalah melenyapkan aku serta Lu Siau-hun."
"Sekarang Lu-kongcu telah meninggal."
"Betul," sahut Toan Giok sambil mengangguk, "Walaupun sekarang aku masih hidup, namun
sama artinya telah mati." "Kenapa" Aku tak habis mengerti."
"Karena aku telah menjadi seorang pembunuh. Paling tidak, belum terbukti kalau aku bukan
pembunuh. Oleh sebab itu biarpun aku menebalkan muka dan tetap datang ke Po-cu-san-ceng,
perjalananku kali ini pasti sia-sia."
"Betul," teriak Ku-tojin seakan barn mengerti. "Tentu saja Cu-jiya tak akan mengambil
seseorang yang dicurigai sebagai seorang pembunuh untuk dijadikan menantunya."
Toan Giok tertawa getir. "Seseorang yang sudah dicurigai sebagai seorang pembunuh, mau pergi kemana pun pasti tak
akan dipandang sebelah mata oleh orang lain. Sekalipun secara tiba-tiba kau ditemukan mati di
tengah jalan pun, tak bakal ada yang menaruh simpatik kepadamu."
"Oleh karena itu kau berpendapat setiap saat ada kemungkinan mereka akan mencelakaimu?"
sambung Ku-tojin. Toan Giok menghela napas panjang.
"Bahkan setelah mereka berhasil membunuhku, semua tanggung jawab dapat mereka timpakan
ke tubuh Lu-kiuya, sebab Lu-kiuya mesti tak ingin bermusuhan secara langsung dengan keluarga
Toan, dia pun tak rela membiarkan putranya mati secara mengenaskan, maka satu-satunya jalan
adalah mencari orang untuk membokongku, bukankah alasan ini sangat masuk akal?"
Ku-tojin memandangnya beberapa saat, tiba-tiba ia menghela napas panjang, desahnya, "Aku
benar-benar telah salah menilai dirimu."
"Salah menilai aku?"
Ku-tojin tertawa lebar, katanya, "Semula kusangka kau adalah seorang Kongcu hidung bangor
yang pandai minum, berjudi, main perempuan dan melakukan perbuatan busuk lainnya. Meski
kemudian jalan pikiranku berubah, namun aku sama sekali tak mengira kalau kau ternyata adalah
manusia seperti ini."
Sudah cukup lama Hoa Hoa-hong membungkam, tiba tiba ia menimbrung, "Menurut kau, dia
adalah orang seperti apa?"
"Walaupun sekilas dia mirip seorang Toasiauya yang tak tahu apa-apa. Padahal persoalan yang
dia pahami, pada hakikatnya jauh lebih banyak daripada kami rase-rase tua."
Hoa Hoa-hong tak tahan untuk tertawa geli, sindirnya, "Kemampuan paling utama yang dimiliki
orang ini adalah berlagak jadi babi namun menerkam harimau. Bila ada orang menyangka dia
adalah seorang lelaki goblok, maka pandangan itu keliru besar."
Dari balik matanya terpancar sinar berkilauan, begitu juga dengan air mukanya.
"Oleh sebab itu bila aku jadi Cu-jiya, kalau bukan memilih dia sebagai menantu, mau memilih
siapa lagi?" Ku-tojin menambahkan sambil tertawa.
Tiba-tiba paras muka Hoa Hoa-hong berubah jadi suram.
Sambil menarik muka, dengusnya dingin, "Sayang kau bukan dia!"
Mendadak terdengar Lu Kiu terbatuk-batuk, kemudian perlahan-lahan bangkit.
Langit sudah semakin gelap, di tengah hembusan angin, terasa hawa yang dingin mencekam.
Ia berdiri di tengah hembusan angin, mengawasi peti mati di hadapannya, lalu katanya
perlahan, "Orang yang berbaring di dalam sana adalah putraku."
Tak seorang pun bicara, tak seorang pun tahu apa yang harus diucapkan.
Terdengar Lu Kiu berkata lebih lanjut, "Biarpun dia tidak terlalu pintar, juga tidak terhitung
kelewat jujur, namun aku hanya memiliki seorang putra."
Semua orang-tua pasti akan mengatakan putra sendiri paling baik. Sekalipun tidak dia
uffgkapkan, semua orang dapat memakluminya.
Kembali Lu Kiu melanjutkan, "Ibunya paling memahami tabiat anaknya. Dia tahu anakmya
keras kepala dan suka mencari menang sendiri. Orang semacam ini paling gampang
menderita kerugian dalam Kangouw, maka sebelum ia meninggal, ibunya berulang kali
memohon kepadaku, agar aku merawat dan menjaganya secara khusus."
Paras mukanya kini berubah makin pucat, nada suaranya makin parau. Dengan nada
mengenaskan, lanjutnya, "Dia menjadi istriku sejak berusia enam belas tahun, selain rajin dan
hidup hemat, selama puluhan tahun dia hidup dalam ketidak-bahagiaan. Hingga menjelang ajal,
dia hanya memohon satu hal padaku, tapi aku ternyata aku tak mampu melaksanakannya."
Toan Giok tertunduk sedih.
Dia cukup memahami perasaan seperti ini, karena dia pun mempunyai seorang ibu yang penuh
perhatian. Lu Kiu menatapnya tajam, kemudian katanya lebih jauh, "Mengapa kuucapkan perkataan ini
kepadamu" Tak lain agar kau pun tahu bahwa aku sangat berharap dapat menemukan pembunuh
sebenarnya, agar aku bisa membalas dendam bagi bocah ini, karena keinginanku untuk balas
dendam jauh lebih kental daripada keinginanmu."
"Aku mengerti," Toan Giok tertunduk rendah.
"Namun sebelum kita berhasil mengumpulkan bukti, kita tak boleh mencurigai siapa pun
sebagai pembunuhnya."
"Aku mengerti."
"Kau tidak mengerti!"
"Kenapa?" "Maksudku, walaupun sepak-terjang Cing-liong-hwe banyak yang tidak benar dan tidak
mencerminkan jiwa kependekaran, kita pun tak boleh mencurigai mereka." "Kenapa?" tak tahan
Toan Giok bertanya lagi. "Sebab, bila dalam dasar hati kita sudah tertanam pendapat, kadangkala pendapat itu bisa
membuat kita melakukan kesalahan, apalagi Cing-liong-hwe kelewat kuat, kelewat besar. Asal kita
melakukan sebuah kesalahan, niscaya kita semua akan tertelan dan lenyap dari muka bumi."
"Sekarang aku sudah memahami maksud hatimu," seru Toan Giok dengan serius dan sungguh
sungguh. "Baguslah kalau kau sudah mengerti."
Dia tidak berbicara lagi. Dengan sapu-tangannya dia menutupi mulut, kemudian diiringi suara
batuk, perlahan-lahan beranjak pergi dari tempat itu.
Angin berhembus datang dari arah depan, meniup di atas tubuhnya.
Dia membungkukkan pinggang, seakan tak kuat menahan hembusan angin itu.
Ketika tiba di pintu depan, kembali is terbatuk-batuk hingga seakan pinggang pun tak kuat
ditegakkan kembali. Pada saat itulah mendadak dari balik hembusan angin berkumandang suara helaan napas yang
berat. Tempat dimana layon itu berada adalah ruang samping Hong-lin-si. Di luar gedung merupakan
halaman kecil, di tengah halaman tertanam aneka bambu ungu serta pohon Boddhi.
Begitu mendengar helaan napas itu, tiba-tiba paras muka Lu Kiu berubah hebat, segera
bentaknya, "Siapa itu?"
Di tengah bentakan, tubuhnya bagaikan anak panah yang terlepas dari busur segera melesat ke
depan. Kakek tua yang lemah dan berpenyakitan itu dalam waktu singkat tiba-tiba berubah segesit
burung elang. Dalam sekejap, terdengar suara gemuruh yang ramai berkumandang dari balik daun bambu,
lalu terlihat sesosok bayangan meluncur keluar dengan kecepatan tinggi, dalam waktu singkat
telah tiba di luar pagar pekarangan.
Walaupun gerakan tubuh Lu Kiu sangat cepat, ternyata gerakan tubuh orang ini pun tidak kalah
cepatnya. Di luar pagar terdapat hutan yang cukup luas, daun di sekeliling tempat itu sangat rimbun dan
lebat. Menanti Lu Kiu tiba dil uar sana, bayangan tubuh orang itu sudah lenyap.
Entah sejak kapan sinar matahari sudah tertutup di balik awan hitam, hembusan angin terasa
makin dingin menggigilkan.
Saat ini memang permulaan musim semi.
Lu Kiu berdiri termangu-mangu sambil memandang pegunungan nun jauh di sana. Mimik
mukanya menunjukkan perubahan yang sangat aneh, tak seorang pun bisa menduga apa
gerangan yang sebenarnya sedang dia pikirkan saat itu.
Toan Giok pun tak dapat menduga, maka tak tahan dia bertanya. "Apakah sudah kau ketahui
siapakah orang itu?"
Lu Kiu ragu-ragu sejenak, akhirnya dia mengangguk, kemudian secara tiba-tiba menggeleng
pula! Sebenarnya apa maksud semua itu" Tak seorang pun paham.
Sebenamya siapakah orang itu"
Mengapa bersembunyi di balik hutan bambu mengintai" Mengapa pula dia menghela napas"
Jangan-jangan Lu Kiu sudah tahu siapakah orang itu, hanya saja dia enggan mengatakan
kepadanya" Sesudah menghela napas, kata Toan Giok, "Terlepas siapa pun orang itu, aku rasa dia tidak
mempunyai niat jahat."
"Kalau tak punya niat jahat, mengapa harus kabur?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Mungkin saja dia tak ingin asal-usulnya diketahui kita semua."
"Tapi kenapa dia tak ingin asal-usulnya diketahui oleh kita" Apakah dia pun mempunyai
kesulitan yang tak bisa dikatakan kepada orang lain?"
"Aku rasa orang itu mirip seseorang," mendadak Hoa Hoa-hong berkata lagi.
"Mirip siapa?" "Walaupun aku tak melihat jelas paras mukanya, tapi dari pakaian yang dia kenakan, aku masih
dapat mengenalinya."
"Pakaian siapa yang dia kenakan?"
"Apakah kau benar-benar tak bisa mengenali?"
Tiba-tiba saja Toan Giok tidak berbicara lagi.
Tentu saja dia tak mungkin tidak mengenali pakaian siapakah itu. Kenyataan, ia telah melihat
dengan jelas sekali. Pakaian yang dikenakan orang itu tak lain adalah jubah sutera ungu yang
dikenakan Hoa Hoa-hong sewaktu menyaru sebagai pria.
Ketika tercebur ke dalam telaga, dia masih mengenakan pakaian itu. Setelah balik ke rumah,
dia baru melepaskan pakaian itu dan membuangnya ke belakang pintu.
Toan Giok masih teringat dengan jelas, ketika akan keluar rumah semalam, dia masih melihat
pakaian itu berada di sana. Sambil merendahkan suaranya dan tertawa dingin, bisik Hoa Hoahong,
"Kau tak usah mengelabui aku lagi, aku tahu kau pun sudah melihat kalau orang itu adalah
orang yang kita selamatkan dari dalam peti."
"Kalau kau tidak melihat jelas bentuk mukanya, lebih baik jangan sembarangan mencurigai
orang," kata Toan Giok hambar.
Hoa Hoa-hong mencibirkan bibir. Sambil tertawa dingin, ia menyahut, "Hm, aku sengaja
mencurigai dia, siapa tahu dia memang ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Kalau tidak,
kenapa dia mesti bersembunyi tak berani ketemu orang?"
Toan Giok tertawa, dia tak lebih hanya tertawa, tak sepatah kata pun yang diucapkan lagi.
Sejak awal dia sudah melanggar sebuah pantangan lagi di antara ketujuh pantangan yang
dibuat orang-tuanya jangan mengajak debat Hoa Hoa-hong.
Ternyata Hoa Hoa-hong tak mau melepaskan dirinya begitu saja. Sambil tertawa dingin,
kembali ujarnya, "Baru saja orang mengatakan kau pintar, apakah kau merasa dirimu benar-benar
sangat pintar" Apakah orang lain goblok semua" Atau kau anggap hanya aku seorang yang
goblok?" Biarpun Toan Giok tidak mengakui, namun dia pun tidak berusaha untuk menyangkal.
Hawa amarah Hoa Hoa-hong semakin memuncak. Kali ini sambil bercekak pinggang, teriaknya,
"Bila kau anggap dirimu benar-benar pintar, maka pendapatmu itu keliru besar.
Padahal apa yang kau ketahui, tidak sampai separoh dari apa yang kuketahui."
Toan Giok masih mengambil keputusan untuk tidak buka suara. Kebetulan saat itu Ku-tojin
sedang berjalan mendekat, sambil tersenyum ia segera menimbrung, "Apalagi yang nona ketahui"
Bolehkah kau mengatakannya agar kami semua ikut mendengarkan?"
Dengan gemas, Hoa Hoa-hong melotot sekejap ke arah Toan Giok, kemudian katanya,
"Sebetulnya aku tak ingin mengatakannya, tapi orang ini benar-benar kelewat menghina, kelewat
memandang rendah diriku. Aku benar-benar tak tahan
melihat wataknya itu!"
Biarpun Ku-tojin tidak membantunya berbicara, namun sorot matanya memancarkan perasaan
simpatik dan pengertian, seakan Tosu ini pun ikut merasa tak terima dengan perlakuan yang
diperoleh gadis itu. Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lebih jauh, "Untuk melepaskan keleningan, carilah pemasang
keleningan itu. Bila ingin membongkar rahasia ini, kita harus menemukan Hoa Ya lay terlebih
dahulu." Ku-tojin segera menyatakan persetujuannya.
Usul semacam ini memang masuk akal dan tak mungkin ditolak siapa pun.
Dengan nada dingin, kembali Hoa Hoa-hong berkata,
"Tapi mampukah kalian menemukan Hoa Ya-lay" Di antara kalian semua, siapa pula yang tahu
dimanakah ia berada?"
Mencorong sinar terang dari balik mata Ku-tojin. Dengan nada menyelidik, tanyanya, "Jadi nona
mengetahui dimanakah ia berada?"
Dengan sudut matanya Hoa Boa-hong melirik Toan Giok sekejap, lalu jawabnya, "Biarpun
sekarang aku mengatakan tahu, apakah kalian mau percaya" Karena kalian pada hakikatnya tidak
tahu siapakah diriku yang sebenamya, darimana asal
usulku dan sebenamya siapakah aku?"
Apakah nona ini mempunyai asal-usul yang luar biasa dan mengejutkan"
Terpaksa semua orang berpaling dan memandang Toan Giok dengan mata terpentang lebar,
seolah mereka berharap pemuda ini dapat menjawab pertanyaan itu.
Toan Giok hanya bisa tertawa getir, dia sendiri pun tidak tahu.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, "Aku tahu jalan pikiran kalian pasti sama seperti dia,
pasti mengira aku hanya seorang nona kecil yang tak mengerti urusan apa pun, seorangnona
nakal yang suka mengajak berdebat."
Setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Tapi pernahkah kalian berpikir, mengapa secara tiba-tiba
aku bisa muncul di sini" Kenapa muncul tepat pada saatnya" Padahal urusan ini sama
sekali tak ada hubungannya dengan diriku, kenapa pula aku justru suka mencampuri urusan
ini?" Semua orang mulai berpikir, segera dirasakan kalau kejadian ini memang suatu hal yang sangat
aneh dan mencurigakan. Nama Hoa Hoa-hong tak pernah terdengar sebelumnya, juga belum pernah ada orang bertemu
dengannya sebelum ini. Orang ini seakan-akan seperti mendadak terjatuh dari
langit, bahkan terjatuh persis pada senja tanggal sembilan, terjatuh tepat di samping Toan
Giok. Mana mungkin ada kejadian yang begitu kebetulan di kolong langit"
Di balik semua ini pasti masih terdapat rahasia lagi. Bahkan Lu Kiu pun tak tahan untuk tidak
bertanya, "Sebenarnya siapakah nona" Berasal darimana" Dan apa kedudukanmu dalam dunia
persilatan?" Hoa Hoa-hong nampak sangsi sejenak, seakan sedang mempertimbangkan apakah harus
mengakui semuanya secara terus terang atau tidak.
Tapi pada akhirnya, dia mengakui juga.
"Pernahkah kalian mendengar kalau dalam kalangan Lak?san-bun terdapat seorang opas
wanita yang tiada duanya di kolong langit, orang menyebutnya Jit-jiau-hong-huang (Burung hong
bercakar tujuh)?" Tentu saja semua orang pernah mendengamya.
Mereka memang jago-jago kawakan yang banyak pengalaman dalam persilatan, apalagi Jitjiauhong-huang memang seorang opas yang amat tersohor.
Konon dalam beberapa tahun belakangan ini, kasus kejahatan yang berhasil dibongkar oleh
opas wanita itu tidakberada di bawah jumlah kasus yang berhasil dituntaskan opas
nomor wahid di kolong langit, Sin-gan-eng (Elang bermata sakti).
Kembali terdengar Hoa Hoa-hong bertanya, "Pernahkah kalian berjumpa dengan Jit-jiau-honghuang?"
"Belum pernah," semua orang menggeleng.
"Kalau begitu, kalian telah menjumpainya hari ini."
"Jadi. kau adalah Jit-jiau-hong-huang?" tanya Ku-tojin, agak berubah wajahnya.
"Betul sekali, memang akulah orangnya," sahut Hoa Hoa hong dengan nada hambar.
"Jadi kedatanganmu kemari bertujuan untuk menangkap si bandit wanita Hoa Ya-lay?"
Kembali Hoa Hoa-hong mengangguk.
"Sudah kelewat banyak kasus kejah-atan yang ia lakukan, aku telah mengawasinya sejak awal."
Ku-tojin segera menghela napas, ujarnya sambil tertawa getir, "Tampaknya kita semua benarbenar
punya mata tak berbiji. Nona, kau benar-benar seorang jagoan yang tak mau
menampakkan diri." "Padahal sudah cukup lama aku tiba di sini, diam-diam kuawasi terus tingkah-laku serta sepakterjang
bandit wanita itu. Hanya saja lantaran urusan ini adalah urusan golongan Lak-san bun
(Pengadilan), maka aku pun tak ingin kalian turut campur dalam persoalan ini."
"Apakah nona berhasil mencari tahu dimana tempat persembunyian bandit wanita itu?" tanya
Ku-tojin lagi. "Bandit perempuan itu memang lebih licik daripada seekor rase," sahut Hoa Hoa-hong dengan
angkuhnya. "Sayang dia bernasib sial, karena harus bertemu dengan aku."
Setelah melirik sekejap ke arah Toan Giok, katanya lagi, "Kau sangka dirimu pandai berlagak
bodoh" Padahal kemampuanku berlagak bodoh seratus kali lipat lebih hebat daripada
kemampuanmu. Sementara bandit wanita itu pun selalu beranggapan aku tak lebih hanya seorang
nona cilik yang tak tahu urusan, sama sekali tidak menaruh kewaspadaan terhadapku. Itulah
sebabnya ia terjatuh ke tanganku."
Toan Giok masih tetap membungkam, dia hanya bisa tertawa getir.
Dalam keadaan seperti ini, tentu saja dia tak sanggup berkata-kata lagi.
"Aku tahu dalam dua hari terakhir, demi menghindari terpaan hujan badai, untuk sementara
waktu dia tak akan melakukan gerakan apa pun, maka sebetulnya aku pun berniat menunggu
sampai tibanya bala bantuan sebelum melakukan langkah lebih jauh!" kata Hoa Hoa-hong lagi.
Setelah menghela napas, Ianjutnya, "Sayang aku telah membocorkan rahasiaku sekarang,
berarti aku sudah tak bisa menunggu lagi sampai tibanya bala bantuan."
"Kami pun tak akan membiarkan nona menunggu sampai datangnya bala bantuan," kata Kutojin


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat. "Bila kau membutuhkan pembantu, kami bersedia menyumbangkan tenaga untuk
membantu." "Aku tahu, demi kalian sendiri, tentu saja kalian tak bisa berpeluk tangan."
"Lalu nona berencana kapan akan mulai turun tangan?"
Tiba-tiba paras muka Hoa Hoa-hong berubah serius, katanya, "Aku pun tahu, kalian tak bakal
membocorkan rahasiaku ini. Tapi untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, aku
berencana untuk turun tangan pada malam ini juga. Dan mulai sekarang, semua orang yang telah
mendengar rahasia ini tak boleh pergi meninggalkan sisiku, aku pun melarang kalian mengajak
bicara orang lain." Ternyata dia telah berubah seperti berganti orang lain.
Bukan saja berubah lebih hati-hati, bahkan setiap tindakan dan ucapannya amat tegas.
Dengan nada serius Lu Kiu segera berkata, "Kami semua pasti akan mentaati perintah nona."
Hoa Hoa-hong segera melotot sekejap ke arah Toan Giok, tegurnya cepat, "Bagaimana dengan
dirimu?" "Aku memang selama ini selalu menuruti perkataanmu," sahut Toan Giok sambil tertawa getir.
"Kau suruh aku ke timur, belum pernah aku berani pergi ke barat"
Hoa Hoa-hong kembali menarik muka, katanya dingin,
"Bagus sekali, hanya saja ...."
"Hanya saja kenapa?" serentak Lu Kiu, Ku-tojin, serta Kiau-losam bertanya.
"Untuk menghindari segala kemungkinan, kita harus mencari pembantu lagi."
"Mencari siapa?" tanya Lu Kiu.
"Tongcu dan Kang-say, Pi-lik-tong!"
"Ong Hui?" Hoa Hoa-hong manggut-manggut.
"Untuk menangkap rase, setiap saat kita butuh menggunakan senjata peledak Pi-lik-tong."
Padahal dirinya sekarang sudah mirip seekor rase, bahkan seekor rase tua yang sangat
berpengalaman. Jangankan orang lain, bahkan Toan Giok pun merasa kagum sekali setelah menyaksikan
sikapnya. Kembali Hoa Hoa-hong termenung, kemudian katanya, "Aku hanya tak tahu apakah ia bersedia
mencampuri urusan ini?"
"Kujamin dia pasti mau," Ku-tojin segera menyahut,
"Karena pada dasarnya dia memang orang yang suka mencampuri urusan orang lain."
"Kau dapat menemukan dia?"
Ku-tojin tertawa tergelak.
"Kalau disuruh mencari orang lain, aku tak yakin akan berhasil. Kalau suruh aku mencari Ong
Hui, pada hakikatnya jauh lebih gampang daripada seekor kucing menangkap tikus."
Ternyata untuk mencari Ong Hui memang tak terlampau sulit,
karena dia berada di luar Hong-lin-si, tepatnya berada dalam warung arak milik Ku-tojin sedang
minum arak. Tosu perempuan yang cantik jelita sedang duduk di sampingnya, menemani.
Tampaknya perasaan wanita itu sedang sangat baik.
Setelah meneguk dua cawan arak, wajahnya kelihatan lebih bersinar dan menawan hati.
Tampaknya Ku-tojin memang orang yang bernasib mujur, tidak banyak lelaki yang bisa
memperistri wanita secantik dia.
Saat itu Ku-tojin telah menarik Ong Hui ke samping.
Cukup dengan beberapa patah kata, Ong Hui segera menganggukkan kepala berulang kali.
Tosu perempuan menggunakan ujung mata mengerling sekejap ke arah mereka, tak tahan
tegurnya, "He, kalian berdua sedang membicarakan rahasia apa" Hm, mau mencari perempuan
lain secara diam-diam?"
Buru-buru Ku-tojin menyahut sambil tertawa, "Kami tak bakal mencari terlalu banyak, paling
tiap hari mencari tiga orang saja."
"Kalau begitu, aku pun tak akan mencari kelewat banyak," sahut Tosu perempuan itu tertawa.
"Kau akan mencari apa?"
"Kalian boleh pergi mencari perempuan, memangnya aku. tak bisa mencari Ielaki di rumah?"
"Untung di seputar sini hanya ada kaum Hwesio."
"Hm, jangan lupa, Hwesio pun laki-laki, Tosu perempuan memang paling cocok dijodohkan
dengan Hwesio," kata Tosu perempuan hambar.
Ku-tojin tertawa terbahak-bahak, ternyata dia sama sekali tidak gelisah atau cemas, dia pun tak
akan minum cuka, sebab siapa pun dapat melihat kalau dia pasti amat mempercayai bininya.
Hoa Hoa-hong pun merasa sangat puas, karena ia mengetahui bahwa orang ini memang bisa
pegang rahasia, buktinya di hadapan bini sendiri pun, dia sama sekali tidak memberi bocoran apa
pun. "Ai, aku benar-benar kagum kepadamu," gumam Ong Hui sambil menghela napas.
"Mengagumi aku" Apa yang perlu dikagumi?" tanya Ku tojin.
"Paling tidak ada sate hal kau lebih tangguh dari aku."
"0, ya?" "Bila aku memiliki istri secantik ini, tak nanti aku akan berlega hati membiarkan dia berada di
rumah seorang diri."
Kontan saja Ku-tojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, maka kau sering datang minum arak ketika aku tak ada di rumah, rupanya kau sudah
tertarik padanya?" Tosu perempuan ikut tertawa. Sambil menggigit bibir dan mengerling Ong Hui sekejap,
serunya, "Karena dia sudah berkata begini, lain kali mari kita berikan topi hijau untuknya. Lihat
saja apa yang akan dia perbuat?"
Bag 10. Golok Kumala Hijau tanda pertunangan
Sebenarnya matahari bersinar terik, tiba-tiba saja langit berubah jadi gelap karena diselimuti
awan tebal, menyusul hujan pun turun.
Hujan turun makin lama semakin deras.
Menyaksikan tetesan air hujan yang membasahi wuwungan rumah, semua orang mulai
berkerut kening. "Hahaha, ternyata Thian menciptakan peluang indah untuk kita," seru Hoa Hoahong
sambil tertawa. "Kau suka turun hujan?" tanya Ku-tojin dengan kening berkerut.
"Kalau berada dalam suasana lain, aku tak suka. Tapi hujan ini memang turun tepat waktu."
"Kenapa?" tanya Ku-tojin tak habis mengerti.
"Kalian adalah orang-orang kenamaan di tempat ini, sasaran kita pun bukan orang kecil,
kemana pun kita pergi pasti akan memancing perhatian orang banyak. Sekalipun ingin menyaru,
bukan pekerjaan yang gampang."
Setelah tersenyum, lanjutnya, "Tapi dengan turunnya hujan, semua persoalan pun
terselesaikan." Ku-tojin semakin tak mengerti, begitu juga dengan yang lain.
Hoa Hoa-hong telah mengambil satu stel baju hujan yang tergantung di atas dinding, ujamya
sambil tertawa, "Asal kita kenakan jas hujan, lalu mengenakan topi caping bambu ini, siapa lagi
yang bisa mengenali kalian?"
Banyak orang beranggapan, kelebihan dari telaga Se-ouw adalah bukan saja indah di saat
musim semi, indah pula di saat musim salju, musim hujan ataupun musim dingin.
Duduk di atas perahu pesiar yang lebar, mengenakan pakaian yang bersih, mengelilingi telaga
sambil menikmati pemandangan saat hujan, benar-benar merupakan satu peristiwa yang indah
dan penuh seni. Namun ketika kau mengenakan jas hujan, memakai caping lebar, berbasah-basah di tengah
hujan, menembusi jalanan berlumpur untuk menangkap seorang begal ulung, jelas keadaannya
sama sekali berbeda. Di tepi telaga terdapat sebuah paviliun bersegi enam. Dalam paviliun terdapat seorang kakek
penjual teh dan wedang kacang, saat itu dia sedang mengawasi hujan dengan termangu.
Titik-titik air hujan yang menimpa permukaan telaga persis seperti kuah dalam wajan yang
sedang mendidih. Dengan jatuhnya hujan sederas ini, sama artinya dagangan hari ini bakal tak
laku. Tiba-tiba terdengar Hoa Hoa-bong berkata, "Mari kita menangsal perut dengan beberapa butir
telur karena apakah hari ini masih bisa makan atau tidak, masih tanda tanya."
"Kenapa kita tidak pergi ke rumah makan Lau-gwat-lau untuk menangsal perut?" usul Ku-tojin.
"Orang yang bekerja macam kita sudah terbiasa hidup susah. Jadi bila kalian ingin membantu
aku mengungkap teka?teki kasus ini, lebih baik sedikitlah menahan din."
Ku-tojin tidak berbicara lagi. Sambil bermuram durja, ia membeli beberapa butir telur dan
perlahan-lahan melahapnya. Hujan turun semakin deras.
Kembali Hoa Hoa-hong berkata, "Lebih baik kalian membeli beberapa butir telur lagi sebagai
sangu, bisa dimakan di tengah jalan nanti."
"Sekarang juga kita akan berangkat?" tanya Lu Kiu.
"Sekarang waktu sudah larut, lagi pula kita harus menempuh perjalanan yang cukup jauh,"
sahut Hoa Hoa-hong. "Sebenarnya dimana tempat itu?" dengan merendahkan suara Kiau-losam berbisik.
Hoa Hoa-hong segera menunjuk puncak bukit di seberang telaga, sahutnya, "Kita akan ke
sana!" "Balk, akan kucari sebuah perahu besar, kita menyeberang dengan perahu."
"Tidak bisa!" "Kenapa tak bisa?" tanya Kiau-losam tertegun.
Sambil menarik wajah, sahut Hoa Hoa-hong, "Bisa jadi setiap tukang perahu di sini telah
menjadi mata-mata Cing?liong-hwe, kita tak boleh menyerempet bahaya."
Kiau-losam seperti masih ingin mengatakan sesuatu, namun setelah menyaksikan paras
mukanya yang dingin kaku, dia pun urungkan niatnya.
Mendadak Toan Giok berjalan menghampirinya, lalu berbisik, "Tahukah kau, tampangmu
sekarang macam apa?"
"Macam bandit wanita?"
"Tentu saja tampangmu sekarang tak mirip bandit, tapi lebih mirip kaisar Latin-0" sahut Toan
Giok sambil tertawa. Berhubung mereka tak boleh menempuh perjalanan dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh, kuatir asal-usul mereka terbongkar, terpaksa mereka melanjutkan perjalanan dengan
menembusi tanah berlumpur.
Sampai hari sudah malam mereka baru tiba di kaki bukit di seberang telaga.
Gunung itu bukan Si-shia, juga bukan Ban-leng. Bukan saja jalan bukit terjal dan berliku-liku,
bahkan sekalipun pada suasana cerah pun jarang ada yang berkunjung ke sana.
Di tengah malam hujan yang begitu dingin dan becek, orang yang tak punya penyakit tak nanti
akan pergi ke atas bukit.
Lu Kiu, Ku-tojin, Kiau-losam, Toan Giok, maupun Ong Hui adalah sekelompok manusia dengan
otak waras, mereka sama sekali tak berpenyakit, apalagi penyakit tak waras.
Tapi sekarang mereka hanya mengikuti di belakang Hoa Ho-a-hong tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Karena setiap orang tahu, untuk mengungkap rahasia ini, mereka harus dapat menangkap Hoa
Ya-lay. Asal kasus ini bisa terbongkar, penderitaan yang lebih pahit pun rela mereka lakukan.
Hanya saja Hoa Ya-lay sialan itu betul-betul siluman penyiksa manusia. Tempat mana pun tidak
ia datangi, justru tempat yang begini sepi, becek dan terjal dipilihnya sebagai tempat
persembunyian. Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sama sekali tak ada pertanda akan berhenti.
Hujan musim semi di wilayah Kanglam memang tak ubahnya seperti kemurungan yang
menyelimuti hati manusia, mau dipotong di tengah jalan pun tak mungkin terpotong.
Jas hujan dan caping yang baru dibeli tampaknya tidak mampu menahan curahan hujan.
Kini pakaian mereka telah basah-kuyup, kaki pun penuh dinodai lumpur kotor.
Setiap orang merasa kedinginan, lapar dan lelah, tapi mereka tetap menahannya sekuat
tenaga. Sebab semua ini memang mereka lakukan dengan sukarela, dilakukan dengan hati ikhlas.
Dengan susah payah, akhirnya tibalah mereka di punggung bukit. Saat itulah Hoa Hoa-hong
baru menghentikan langkah dan beristirahat.
Bagaimana pun gadis itu tetap seorang manusia, tentu saja dia pun merasa lelah.
"Apakah sudah sampai?" tak tahan Ong Hui bertanya.
Pertanyaan itu diajukan dengan suara yang amat rendah, tapi Hoa Hoa-hong masih menarik
wajah sambil melotot sekejap ke arahnya.
Biarpun dia adalah pemilik Pi-lik-tong yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan, tak
urung dibuat takut juga hingga tak berani buka suara lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah depan berkumandang suara langkah manusia.
Hoa Hoa-hong segera memberi tanda sambil menyusup ke dalam hutan di balik jalanan,
menjatuhkan diri bertiarap di tanah.
Terpaksa semua mengikut di belakangnya, menyelinap masuk ke dalam hutan dan
menyembunyikan diri. Lumpur lembab dan dingin, tapi semua tak merasakan lagi, karena suara langkah kaki itu makin
lama semakin dekat dan akhirnya tiba di hadapan mereka.
Dilihat dari balik semak belukar, tampak orang itu adalah seorang penebang kayu yang sudah
tua. Dengan mengenakan jas hujan, ia berjalan sempoyongan dari atas gunung, tangan satu
memegang payung usang, sedang tangan lain memegang buli-?buli arak.
Tampaknya ia sudah minum terlalu banyak hingga jalan pun sempoyongan, mulutnya bahkan
sedang bergumam seperti orang mengigau, kelihatannya ia sedang dalam perjalanan turun
gunung untuk membeli arak.
Justru karena dia sudah cukup banyak minum arak, maka dalam suasana seperti ini pun tetap
turun gunung untuk membeli arak.
Bila seseorang sudah mabuk enam-tujuh bagian, memang sulit baginya untuk berhenti minum,
bahkan lebih sulit daripada seekor kucing kelaparan yang tidak mencuri ikan.
Apakah setan arak tua itu adalah anak buah Cing-liong?hwe, mata-mata Hoa Ya-lay"
Semua orang menahan napas, bergerak pun tak berani.
Mereka adalah jago-jago silat kawakan, tentu saja mereka tak akan melakukan tindakan
"menyibak rumput mengejutkan ular".
Setelah menunggu dengan susah-payah, akhimya setan tua itu lenyap juga di tikungan bukit
sebelah depan, lambat-laun suara langkah kakinya pun tak terdengar lagi.
Kini Ong Hui tak kuasa menahan diri lagi, segera tanyanya, "Apakah dia ...."
"Sssttt!" siapa tahu baru saja dia buka suara, ucapannya sudah ditukas Hoa Hoa-hong.
Tak boleh buka suara! Tak boleh buka suara! Kalau sampai mengagetkan Hoa Ya-lay, siapa
yang mampu memikul tanggung-jawab ini"
Terpaksa semua orang menahan napas, merangkak di tengah kubangan lumpur, menunggu
dan menunggu. Setiap orang merasa dirinya seakan telah berubah menjadi anjing liar yang tak
punya rumah. Entah sudah berapa lama mereka menunggu, akhirnya Hoa Hoa-hong berdiri juga, memberi
tanda dan minta mereka melanjutkan perjalanan naik ke atas bukit.
Kini bukan saja kaki mereka sudah penuh dengan lumpur, pakaian mereka pun kotor oleh
Lumpur. Sepanjang hidup, belum pernah Toan Giok mengalami keadaan yang begini
mengenaskan. Tapi tak seorang pun berkeluh-kesah atau menggerutu, bahkan Lu-kiuya yang senang akan
kebersihan pun saat ini tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Setiap orang hanya berharap bisa menangkap Hoa Ya-lay secepatnya, membalas dendam atas
kematian Lu Siau-hun dan membersihkan nama Toan Giok dari segala tuduhan.
Setiap orang percaya pada Hoa Hoa-hong, ternyata Jit jiau-hong-huang yang tersohor namanya
ini memang sangat berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya. Caranya melacak musuh dan
memecahkan kasus memang cukup mengagumkan.
Langit di atas bukit terasa lebih gelap, lebih dingin.
Sekali lagi Hoa Hoa-hong menghentikan perjalanannya secara tiba-tiba dan bersembunyi di
balik hutan. Di balik hutan terdapat sebuah tebing curam, di bawah tebing berdiri dua bush bangunan kecil
terbuat dari kayu, cahaya lentera memancar keluar dari balik ruangan.
Apakah di sinilah tempat persembunyian Hoa Ya-lay" Semua orang bertiarap di atas tanah sambil menahan napas, mereka berharap bisa secepatnya
menyerbu masuk ke dalam rumah kayu itu dan membekuk Hoa Ya-lay.
Ternyata Hoa Hoa-hong termasuk seorang jago yang pandai mengendalikan diri, tampaknya ia
sudah mengambil keputusan, apabila tidak yakin seratus persen, perempuan itu tak akan
melakukan tindakan secara sembrono.
Suasana dalam rumah kayu itu tetap hening, sama sekali tak terdengar suara apa pun.
Kembali mereka menunggu sampai lama sekali, seakan sudah menunggu hampir seratus tahun
lamanya. Pada akhirnya, Hoa Hoa-hong berbisik lirih, "Aku akan masuk dulu seorang diri, sementara
kalian kepung rumah ini rapat-rapat, tunggu aba-abaku sebelum kalian ikut menyerbu masuk."
Mengapa dia hams menyerempet bahaya menyerbu masuk seorang diri" Mengapa bukannya
menyerbu masuk secara bersama-sama" Tak seorang pun mengerti.
Tapi lantaran dia telah berkata begitu dan pasti ada alasannya, terpaksa semua orang menurut.
Hoa Hoa-hong segera melejit ke depan dan menyelinap masuk bagaikan segulung asap tipis.
Temyata kungfu Jit-jiau-hong-huang memang sangat tangguh.
Tampak perempuan itu berhenti sebentar di luar rumah sambil memeriksa keadaan, kemudian
dengan sekali tendang ia hajar pintu ruangan, lalu menyerbu masuk ke dalam.
Sementara itu para jago yang lain telah bergerak cepat mengepung bangunan rumah itu.
Gerakan tubuh setiap orang tampak amat cepat, hal ini bisa dimaklumi, karena hampir semua
yang hadir adalah jago?jago kelas satu dalam Kangouw.
Tampaknya Hoa Ya-lay meski seekor rase licik pun sulit untuk meloloskan diri.
"Blam!", mendadak terdengar suara benturan keras di dalam rumah kayu itu, disusul kemudian
Hoa Hoa-hong membentak keras, "Hoa Ya-lay, mau kabur kemana kau?"
Ku-tojin, Ong Hui, Kiau-losam semuanya tak kuasa menahan diri. Bagaikan anak panah terlepas
dari busurnya, serentak mereka menerjang masuk ke dalam rumah.
Tapi dengan cepat mereka berdiri terperangah.
Ternyata di dalam rumah kayu hanya ada satu orang, Hoa Hoa-hong!
*** Rumah kayu itu kotor dan kacau, lamat-lamat terendus bau arak yang busuk.
Di sudut ruangan tertumpuk kayu bakar, sedang di atas meja tertaruh sebuah lentera minyak.
Hoa Hoa-hong sedang duduk santai di samping lentera, menggunakan selembar handuk
mengeringkan rambutnya yang basah
"Mana Hoa Ya-lay?"
"Tidak tahu."

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau pun tidak tahu?" Ong Hui yang pertama kali bertanya.
"Aku bukan komplotannya, juga bukan sahabatnya, darimana aku bisa tahu berada dimanakah
dia," jawab Hoa Hoa hong santai.
Kembali semua orang tercengang, terperangah.
Akhirnya Ku-tojin tak kuasa menahan diri, tegurnya, "Bukankah kau sendiri yang mengatakan
kalau kau berhasil melacak jejaknya?"
"Ah, itu semua bohong, sama sekali bohong," jawab Hoa Hoa-hong sambil tersenyum lebar.
Untuk kesekian kalinya Ku-tojin tertegun.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, "Aku bukan Jit?jiau-hong-huang, juga bukan opas
wanita, aku tak lebih hanya seorang nona cilik yang suka mencari keributan. Masa kalian sebagai
jago silat kawakan juga tak mengetahuinya?"
Memandang lumpur yang mengotori seluruh tubuh sendiri, Ku-tojin benar-benar dibuat
menangis tak bisa tertawa pun tak dapat.
Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti seorang bloon, orang yang benar-benar goblok.
Perasaan para jago yang lain, tak berbeda jauh dengan perasaan Tosu itu.
"Aku curiga salah satu di antara kalian adalah Liong-thau Lotoa!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Hanya Liong-thau lotoa yang mengetahui jejak
Hoa Ya-lay, hanya dia yang tahu kalau aku sedang berbohong. Apa yang kulakukan sekarang pasti
diketahui olehnya, sekalipun dia tetap mengikuti perjalananku yang sia-sia ini, namun sikap serta
mimik wajahnya pasti akan memperlihatkan titik kelemahan, aku yakin dapat mengetahui
kelemahan itu." "Dan sekarang, apakah kau berhasil mengetahuinya?" tanya Ku-tojin sambil menghela napas.
"Belum!" Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Tampaknya kalian semua adalah orang jujur dan baik,
tidak seharusnya aku mencurigai kalian!"
Ketika seorang nona cantik memuji dirimu sebagai seorang baik, mungkinkah kau bisa
mengumbar amarahmu" Lu Kiu pun hanya bisa menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir, "Apakah
sekarang nona masih ada perintah lain?"
"Hanya ada satu"
Setelah mengedip mata dan tersenyum, lanjutnya, "Paling baik bila kita sekarang kalian cepat
pulang ke rumah, mandi air panas, minum semangkuk teh panas, lalu tidur yang nyenyak.
*** Jendela di atas loteng itu masih dalam keadaan terbuka, cahaya lentera telah padam, hujan
pun telah berhenti. Mereka menggunakan perahu kecil yang ditumpanginya sewaktu datang untuk balik ke rumah,
sepanjang jalan Toan Giok tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Diam-diam Hoa Hoa-hong melirik sekejap ke arahnya kemudian bertanya, "Entah apakah
saudara yang kita keluarkan dari dalam peti masih berada di sana atau tidak?"
Toan Giok masih duduk sambil menarik muka, sama sekali tidak bersuara.
"Coba kau tebak, apakah dia masih ada di sana?" kembali Hoa Hoa-hong berkata.
Toan Giok tidak menjawab, dia pun tidak menebak.
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong melompat bangun, teriaknya, "He, kenapa kau marah" Atas dasar apa
kau marah padaku" Bukankah aku berbuat demikian gara-gara kau" Memangnya hanya kau yang
menderita, sementara aku tidak" Tubuhmu berlepotan lumpur, memangnya aku tidak?"
Tiba-tiba Toan Giok melompat bangun, teriaknya pula, "Siapa bilang aku sedang marah?"
Begitu ia berteriak, Hoa Hoa-hong malah tertegun dibuatnya.
"Kalau bukan sedang marah, mengapa wajahmu dingin kaku seperti papan peti mati?"
"Karena hatiku tidak senang."
"Kenapa tak senang?"
"Kalau kau jadi aku, memangnya kau bisa senang?"
Hoa Hoa-hong tak sanggup berbicara lagi.
Siapa pun orangnya, bila mempunyai masalah seperti apa yang dihadapi Toan Giok sekarang,
dapat dipastikan ia tak akan senang.
Akhirnya Hoa Hoa-hong menghela napas panjang, ujarnya dengan suara lembut, "Sekarang
apa yang akan kau lakukan?"
"Tidak tahu" Dia melompat bangun, melompat naik ke atas loteng, membuka pintu dan menyerbu masuk.
Dia pun ingin tahu apakah orang yang mereka selamatkan dari dalam peti masih berada di sana
atau tidak" Ternyata orang itu masih berada di sana, berada di ruang luar sambil makan sisa bakpao
kemarin dan meneguk arak yang masih ada.
Pakaian yang dikenakan masih sama seperti baju yang dikenakan sewaktu keluar dari peti,
pakaian dalam yang lusuh dan kotor, kakinya masih telanjang, wajahnya tampak lebih pucat, letih
sayu daripada kemarin. Toan Giok ikut duduk, mulai makan bakpao dan minum arak.
Tiba-tiba orang itu berkata sambil tertawa, "Bakpaonya belum bau."
Toan Giok ikut tertawa, sahutnya, "Dagingnya juga belum bau, udangnya belum bau, Hiwannya
belum bau, hanya aku yang tambah bau."
Orang itu tersenyum. "Kau seperti orang yang baru saja dimasukkan ke dalam peti, bahkan peti yang kemasukan air."
"Ai, aku lebih suka dimasukkan ke dalam peti. Paling tidak jauh lebih baik daripada ditipu orang
dan mesti bergulingan di kubangan lumpur seperti seekor anjing."
"Siapa yang telah menipumu?"
"Aku!" Hoa Hoa-hong berjalan masuk sambil menggendong tangan, dengan hambar lanjutnya, "Dia
memang telah kutipu hingga semalaman harus bergulingan di kubangan lumpur, tapi pakaian
ini?" Tiba-tiba dia mengangkat tangannya dan memperlihatkan jubah ungu yang pernah dikenakan
sewaktu menyamar jadi seorang pria itu.
Kini jubah ungu itu sudah kotor oleh noda lumpur.
Ditatapnya orang itu dengan sinar tajam, lalu kembali tegurnya dengan nada dingin,
"Sebetulnya bajuku ini sudah berbaring dan tidur dengan nyenyak di dalam rumah, kenapa tibatiba
bias bergulingan di luar hingga penuh lumpur, memangnya baju itu tumbuh kaki hingga bisa
berjalan keluar sendiri" Mula-mula pergi ke Hong-Lin-si untuk mencuri dengar pembicaraan orang,
kemudian secara diam-diam ikut pula bergulingan di tanah?"
Tiba-tiba paras muka orang itu berubah sedikit memerah.
Kembali Hoa Hoa-hong menyindir sambil tertawa dingin, "Tentu saja pakaian ini tak berkaki,
karena kakinya tumbuh di tubuhmu!"
Sepasang matanya melotot, melototi orang itu tanpa berkedip, mendadak teriaknya, "Aku ingin
bertanya padamu, mengapa kau menguntit kami" Sebenarnya siapa kau" Apa sangkut-pautmu
dengan persoalan ini?"
Paras muka orang itu dari merah tiba-tiba berubah lagi jadi pucat-pasi, dia seakan ingin
mengucapkan sesuatu, apa mau dikata, justru tak mampu diucapkan keluar.
Di antara suara hujan di luar jendela, mendadak terdengar suara perahu yang bergerak
mendekat. Tanpa sadar Toan Giok dan Hoa Hoa-hong melongok keluar jendela. Pada saat itulah, tiba-tiba
pemuda misterius berwajah pucat itu melejit ke tengah udara, lalu secepat kilat meluncur keluar
dari pintu rumah. Pada saat yang bersamaan, terlihat seseorang melompat masuk ke balik jendela dengan
kecepatan tinggi. Orang itu adalah seorang kakek kurus tinggi, berwajah bersih tapi penuh wibawa. Dia tak lain
adalah Lu Kiu. Pakaian yang dikenakan masih belum kering, masih berlepotan lumpur, tapi paras mukanya
justru dingin kaku seperti papan peti mati.
Dengan terperanjat Hoa Hoa-hong menatap wajahnya, lalu tanyanya sambil tertawa paksa,
"Kau belum pulang?"
"Aku belum pulang," jawaban Lu Kiu sangat dingin.
"Untung di sini masih ada arak, bagaimana kalau minum barang dua cawan untuk mengusir
hawa dingin?" kata Toan Giok sambil tertawa.
"Aku datang bukan untuk minum arak."
Dilihat dari paras mukanya, siapa pun dapat menduga kalau kedatangannya memang bukan
untuk minum arak. Berputar sepasang biji mata Hoa Hoa-hong.
"Jika bukan minum arak, mau apa kau kemari?" tegurnya.
"Datang untuk membunuh orang!"
"Datang untuk membunuh" Siapa yang akan kau bunuh?" Hoa Hoa-hong tak mampu tertawa
lagi. "Selama hidup Lohu selalu memilah antara budi dan dendam secara jelas. Thiat Sui adalah
sahabat karibku, Siau-hun adalah putra tunggalku. Siapa pun yang telah membunuh mereka, aku
tak akan membiarkan dia hidup lewat malam
Toan Giok tak sanggup tertawa pula.
"Jadi kau datang untuk membunuhnya?" tanya Hoa Hoa?hong. "Bukankah kau tahu dengan
jelas bahwa pembunuhnya bukan dia?"
Lu Kiu tertawa dingin. "Golok pembunuh adalah Bi-giok-jit-seng-to keluarga Toan. Kalau pembunuhnya bukan dia,
lantas siapa lagi?" Hoa Hoa-hong terkesiap dan berdiri melongo.
Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa secara tiba-tiba Lu Kiu bisa berubah pikiran.
Terdengar Lu Kiu berkata lagi, "Aku memang tak ingin bermusuhan dengan Toan Hui-him, tapi
dendam sakit hati ini tetap harus kubalas."
"Maka di hadapan orang lain, kau berlagak sok setia kawan. Tapi begitu orang lain sudah
bubar, kau menginginkan nyawanya lagi?"
"Betul." "Kau tidak kuatir salah membunuh?"
"Lebih baik salah membunuh satu orang daripada melepas seorang musuh besar. Selama Lohu
berkecimpungan dalam Kangouw, tak sedikit orang yang telah kubunuh, jadi sekalipun salah
membunuh satu orang lagi pun, hal ini lumrah dan tak aneh."
"Kau tidak takut orang lain salah membunuhrnu?" tegur Hoa Hoa-hong dingin.
"Usia Lohu sudah lewat dari setengah abad. Setelah hari ini berani datang kemari,
sesungguhnya aku sudah tidak memikirkan lagi mati hidupku."
Dengan sorot mata setajam mata golok, ditatapnya wajah Toan Giok lekat-lekat, mendadak is
membentak nyaring, "Cabut Bi-giok-jit-seng-tomu! Kalau memang punya kemampuan, coba
penggallah batok kepala Lohu dan gunakan sebagai cawanmu minum arak."
Toan Giok menghela napas panjang, sahutnya sambil tertawa getir, "Kalau ingin minum arak,
aku minum dengan cawan."
"Tapi aku justru ingin menggunakan batok kepalamu sebagai pengganti cawan, darahmu akan
kuanggap sebagai arak, akan kugunakan darahmu untuk bersembahyang di depan arwah anakku."
Suaranya sangat parau, sepasang matanya menatap tajam leher Toan Giok tanpa berkedip,
sementara sepasang tangannya yang kurus kering telah diangkat ke udara, mementangkan cakar
elangnya dan setiap saat dia seakan ingin mencengkeram tenggorokan anak muda itu hingga
tembus dan berlubang. Siapa pun dapat melihat, dia telah menghimpun seluruh tenaga dalamnya hasil latihan selama
puluhan tahun pada kedua belah tangannya. Asal serangan itu dilancarkan, dapat dipastikan
korbannya bakal tewas secara mengenaskan.
Pada saat itulah terdengar seseorang berteriak, "Kau jangan turun tangan sembarangan,
jangan salah membunuh orang!"
Di tengah suara teriakan, tampak seseorang menyusup masuk ke dalam ruangan dengan
kecepatan tinggi, ternyata orang itu tak lain adalah pemuda pucat misterius itu.
Siapa sebenarnya pemuda ini" Darimana dia tahu kalau Lu Siau-hun bukan tewas di tangan
Toan Giok" Tentu saja dia tahu. Mungkin di kolong langit dewasa ini hanya dia seorang yang bisa membuktikan kalau Lu Siauhun
bukan tewas di tangan Toan Giok.
Karena dia tak lain adalah Lu Siau-hun!
Ternyata Lu Siau-hun belum mati!
Menyaksikan putranya yang sudah jelas telah mati ternyata berdiri segar di hadapannya,
ternyata Lu Kiu sama sekali tidak menunjukkan perasaan girang atau terkejut.
Lu Siau-hun berlutut. Sambil menundukkan kepala, berlutut di hadapan ayahnya.
"Ananda tak berbakti, hanya membuat kau orang-tua merasa kuatir saja."
Lu Kiu masih berdiri dengan wajah membesi.
"Aku sama sekali tidak menguatirkan keselamatanmu," Sahutnya dingin, "Karena aku tahu, kau
memang belum mati." Sementara itu Hoa Hoa-hong tak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya, "Jadi dia adalah
Lu Siau-hun" Dia adalah putramu" Dan kau tahu kalau dia belum mati?"
Lu Kiu mengangguk. "Sekalipun Cing-liong-hwe menggunakan jenazah yang telah disaru untuk mengelabui diriku,
aku tetap tahu kalau dia belum mati. Sekalipun dia tidak menghela napas di luar ruang layon
Hong-lin-si pun, aku tetap tahu."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Karena bagaimana pun juga dia adalah putraku!"
Jawaban ini tak bisa dianggap sebagai sebuah penjelasan yang baik, namun sudah cukup
menjelaskan segala sesuatunya. Bagaimana pun, hubungan antara ayah dan anak memang
terjalin oleh perasaan yang sensitif dan aneh. Perasaan ini tak bisa dijelaskan oleh siapa pun,
namun juga tak seorang pun bisa
menyangkalnya. Hoa Hoa-hong masih tak habis mengerti, kembali ujarnya, "Kalau memang Cing-liong-hwe
bertekad akan menghabisi nyawanya, kenapa mereka harus menggunakan tubuh orang lain untuk
mengelabuimu, sementara orang yang asli dimasukkan ke dalam peti dan ditenggelamkan ke
dasar telaga?" Tiba-tiba Toan Giok tertawa, jawabnya, "Karena mereka tak ingin membiarkan Lu-kiuya
menyaksikan mata kail yang berada di tubuhnya."
Dia seakan sudah mengetahui akan rahasia ini, maka lanjutnya, "Mereka tak ingin Lu-kiuya
menyaksikan kalau di tubuhnya masih terdapat mulut luka lain, mereka harus membuat Lu-kiuya
yakin dan percaya bahwa dia mati karena terkena bacokan golokku."
Lu Kiu manggut-manggut, katanya, "Orang yang telah mati, wajahnya pasti berubah jadi kusut
dan kejang, mereka telah memperhitungkan kalau aku tak bakal mengetahui rahasia ini."
Hoa Hoa-hong semakin tak mengerti, kembali tanyanya, "Kalau kau sudah tahu bahwa putramu
belum mati, mengapa masih berusaha membunuh Toan Giok untuk membalas dendam
kematiannya?" "Karena aku pun tahu, dia pasti merasa tak punya muka untuk bertemu denganku. Bila ia tak
berhasil menangkap Hoa Ya-lay, si bandit perempuan itu dengan kemampuan sendiri,
kemudian membalas sakit hati sendiri, dia tak bakal muncul untuk bertemu denganku."
Baru sekarang di atas wajahnya yang letih dan hambar muncul perasaan sayang dan kasihan,
perlahan-lahan terusnya, "Bagaimana pun juga dia adalah putraku, tentu saja aku mengetahui
dengan jelas tabiatnya."
Kini Hoa Hoa-hong sedikit menjadi jelas.
"Oleh karena itu kau sengaja menggunakan cara ini untuk memancingnya keluar?" katanya.
Lu Kiu manggut-manggut, ujarnya sambil menghela napas, "Biarpun bocah ini angkuh dan
keras kepala, namun bukan seorang yang lupa budi. Dia tak akan membiarkan tuan penolongnya
mengadu nyawa dengan bapaknya."
"Tapi darimana kau bisa tahu kalau dia berada di sini?" tanya Hoa Hoa-hong sedikit tak paham.
Akhirnya sekulum senyuman menghiasi wajah Lu Kiu, sahutnya, "Karena sejak awal sudah
kuduga kalau orang yang kalian selamatkan dari dalam peti adalah dia."
Hoa Hoa-hong ikut tertawa.
"Kau pun sudah mendengar kalau pakaian yang dia kenakan adalah pakaian milikku," katanya.
"Biarpun aku sudah tua dan penyakitan, namun telingaku belum tuli."
"Hahaha, bukan saja tidak tuli, bahkan ... pada hakikatnya lebih tajam lebih tajam ...."
Sebetulnya dia ingin mengatakan kalau telinganya lebih tajam dari kelinci, tapi dia tidak
melanjutkan perkataan itu, karena sekarang sudah timbul perasaan hormatnya terhadap orang-tua
ini. Lu Kiu telah menerima baju dari tangannya dan dikenakan di tubuh putranya.
"Walaupun pakaian ini kotor. Paling tidak jauh lebih baik ketimbang tak berpakaian, hati-hati
kalau sampai masuk angin."
"Aku aku ...." Lu Siau-hun terharu bercampur terima kasih, gejolak darah panasnya membuat
tenggorokannya tersumbat dan tak sepatah kata pun mampu diucapkan.
Hoa Hoa-hong menghembuskan napas panjang, katanya kemudian, "Karena hingga sekarang
kau masih hidup, tentunya kau bisa mengatakan sendiri bukan siapa orang yang sebenarnya telah
membokongmu?" Lu Siau-hun tergagap, tak mampu berkata-kata.
"Kau merasa keberatan untuk mengatakannya?" tanya Hoa Hoa-hong sambil menatapnya
tajam. "Aku ...." "Atau kau masih mempunyai kesulitan yang sukar untuk diutarakan?"
Lu Siau-hun menutup mulut rapat-rapat, bahkan mata pun dipejamkan. Butiran air mata
tampak jatuh berlinang membasahi pipinya.
Ternyata dia memang mempunyai kesulitan yang susah diutarakan, dia tak ingin mengatakan,
tapi sekarang mau tak mau harus dikatakan juga.
Menyaksikan air mata yang berlinang, semua orang segera mengerti apa gerangan yang telah
terjadi. Hoa Ya-lay telah membohonginya, mengkhianatinya, namun selama hidup sulit baginya untuk
melupakan Hoa Ya lay. Cinta memang sesuatu yang aneh, seorang pemuda romantis seringkali jatuh cinta pada
seorang wanita yang tidak seharusnya dia cintai.
Sekalipun dia tahu dan memahami hal itu, apa daya perasaan cinta telah merasuk ke dalam
tulangnya, ingin dihapus pun tak mungkin bisa dia lakukan.
Tampaknya Lu Kiu tak tega menyaksikan hal ini.
Perasaan sedih yang menyelimuti perasaan putranya. Sebagai seorang ayah, dia pasti
mengetahui jauh lebih jelas.
Tiba-tiba Lu Kiu berkata, "Walaupun tadi kau gagal menemukan sesuatu yang mencurigakan,


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun aku justru telah menemukan satu hal yang pantas dicurigai."
"Menurutmu, siapa yang paling mencurigakan?" tanya
Hoa Hoa-hong. "Ku-tojin!" "Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Karena kau sama sekali tak tahu manusia macam apakah dirinya."
Hoa Hoa-hong memang sama sekali buta, sama sekali tak tahu.
"Dia adalah seorang manusia paling malas, paling ogah merasakan penderitaan," Lu-kui
menerangkan. "Sekalipun Hoa Ya-lay benar-benar mempunyai dendam kesumat sedalam lautan
dengan dirinya, tak nanti dia mau disiksa sepanjang malam di tengah curah hujan, udara dingin
dan tanah berlumpur!"
"Tapi aku tidak mendengar suara menggerutu atau penyesalannya," seru Hoa Hoa-hong.
"Justru itulah aku merasa keheranan."
"Apakah karena dia tahu kalau aku sedang berbohong, juga tahu dimana Hoa Ya-lay berada,
kuatir hal ini kuketahui, maka dia rela mengalami semua penderitaan itu?"
Lu Kiu manggut-manggut. "Padahal sekalipun tak ada kejadian hari ini pun, sejak lama aku sudah menaruh curiga
kepadanya." "0, ya?" "Ketika Thiat Sui terlibat pertarungan melawan Toan Giok waktu itu, dia hanya berdiri
menonton berpangku tangan. Dari sikapnya, dia seakan berharap Toan Giok bisa tewas di tangan
Thiat Sui, berapa kali Ong Hui ingin turun tangan mencegah, tapi setiap kali selalu dicegah
olehnya." Berputar biji mata Hoa Hoa-hong, ujarnya, "Semula aku mengira hanya satu orang yang
berharap kau tidak mati." "Menurut kau, siapakah orang itu?"
"Liong-thau Lotoa dari Cing-liong-hwe."
"Sesungguhnya memang hanya satu orang yang benar?benar berharap Toan Giok mati," ucap
Lu Kiu. Berkilat mata Hoa Hoa-hong, tiba-tiba serunya, "Ah, jangan-jangan Ku-tojin adalah Liong-thau
Lotoa!" "Dia tak lebih hanya seorang Lopan warung arak kecil, tapi setiap bertaruh bisa kalah berpuluh
laksa tahil perak, darimana dia memperoleh uang sebanyak itu?"
Mendadak Hoa Hoa-hong mendongakkan kepala. Sambil melotot ke arah Toan Giok, tegurnya,
"He, apa yang sedang kau pikirkan" Kenapa kau tidak berbicara?"
Toan Giok tertawa. "Karena apa yang ingin kukatakan telah kalian katakan semua!"
Lu Siau-hun yang selama ini hanya menunduk, tiba-tiba mendongakkan kepala sambil berkata,
"Waktu itu, dalam keadaan setengah sadar, aku memang melihat ada sesosok bayangan manusia
berlengan tunggal, bahkan aku seperti mendengar ia ia cekcok ramai dengan nona Hoa."
"Senjata rahasia itu dilancarkan dari belakang tubuhmu," kata Hoa Hoa-hong. "Bisa jadi orang
yang melepaskan senjata rahasia itu adalah dia."
Sekali lagi Lu Siau-hun menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
Hoa Hoa-hong memutar sepasang biji matanya, setelah termenung sesaat, kembali ujarnya,
"Jika Ku-tojin benar-benar adalah Liong-thau Lotoa, saat ini dia pasti tak akan pulang ke rumah."
"Kenapa?" tanya Lu Kiu.
"Sebab dia sudah tahu kalau kami tempatkan Hoa Ya-lay sebagai satu-satunya titik terang.
Dengan tabiatnya, dia pasti akan mendahului kita dan berusaha membunuh Hoa Ya-lay untuk
melenyapkan saksi!" Paras muka Lu Siau-hun yang pucat kini semakin memucat, bahkan bibir pun tampak mulai
gemetar. Hoa Hoa-hong sengaja tidak memandang ke arahnya, ujarnya lebih jauh, "Oleh karena itu
sekarang juga kita harus pergi mencari Ku-tojin, membuktikan apakah dia berada di rumah atau
tidak!" "Dia tak akan berada di sana," tiba-tiba Toan Giok menyela sambil tertawa tergelak.
"Darimana kau bisa tahu kalau dia tak ada di rumah?"
"Karena Lu-kiuya datang kemari dengan menguntit kita berdua, tapi di belakang Lu-kiuya pun
masih ada seseorang lain yang ikut menguntit sampai di sini!" jawab Toan Giok hambar.
"Ku-tojin?" seru Hoa Hoa-hong cepat.
Toan Giok tidak menanggapi pertanyaan itu. Dia berpaling, memandang sekejap daun jendela
di luar sana, lalu sambil tersenyum, ujarnya, "Kalau sudah datang kemari, kenapa tidak masuk ke
dalam untuk minum barang dua cawan arak?"
Suasana di luar jendela sangat hening, hanya kabut yang terbang rendah di atas permukaan
air. Tapi begitu Toan Giok selesai menegur, dari bawah jendela segera berkumandang suara gelak
tertawa yang amat keras. "Bocah muda, ternyata kau memang hebat, tampaknya selama ini aku terlalu rendah
menilaimu!" Itulah suara gelak tertawa Ku-tojin.
Tapi gelak tertawanya kali ini terdengar sangat aneh dan tersisip suatu nada yang sukar
dijabarkan. Ternyata Ku-tojin benar-benar telah muncul.
Walaupun dia masih tertawa, namun paras mukanya telah berubah pucat-pias, sinar matanya
tersisip nada ejekan yang penuh kepedihan dan sadis, dia seakan menganggap dirinya seperti
seekor serigala yang telah masuk perangkap pemburu.
Toan Giok memandangnya sekejap, tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Kau sama sekali tidak
menilai diriku terlalu rendah, kau telah menilai rendah dirimu sendiri."
"0, ya?" "Kau tidak seharusnya datang kemari!"
"Kenapa?" tanya Ku-tojin.
"Bila sekarang kau balik ke rumah, saat ini kau sudah berbaring nikmat di atas ranjangmu, tak
seorang pun di dunia ini yang bisa membuktikan kalau kaulah yang telah membokong Lu-kongcu."
"Aku sendiri pun tahu akan hal ini, tapi bagaimana pun juga aku tetap harus datang kemari."
"Kenapa?" tak tahan Toan Giok bertanya.
"Karena Lu Siau-hun belum mati, sedang kau pun tidak mati."
"Bila kami tidak mati, berarti kaulah yang harus mati!"
Sekulum senyuman pedih menghiasi ujung bibir Ku-tojin, sahutnya, "Kau sendiri pun pernah
berkata, bagi orang yang bekerja untuk Cing-liong-hwe, kegagalan merupakan kematian, meski
melakukan sedikit kesalahan pun, hasilnya tetap sama, mati!"
Perkataan itu memang pernah diucapkan Toan Giok, diutarakan sewaktu berada di ruang layon
Thiat Sui. Ternyata Ku-tojin teringat semua perkataan itu dengan jelas, bahkan teringat kata per kata.
"Jadi kau telah mengakui bahwa dirimu adalah Liong thau Lotoa tempat ini?" sela Hoa Hoahong
cepat. "Setelah keadaan berkembang jadi begini, buat apa aku mesti menyangkal!" sahut Ku-tojin.
"Jadi kau memang sudah berniat mencari mati?" tanya Toan Giok sambil menatap tajam
wajahnya. Ku-tojin menghela napas sedih.
"Bagiku, lebih baik mati di tangan kalian daripada harus mati di tangan pelaksana hukuman
Cing-liong-hwe." "Bagaimana dengan Hoa Ya-lay?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Mengapa kalian tidak berpikir, kalau benar dia adalah satu-satunya titik terang kalian,
mungkinkah aku akan membiarkan dia hidup terus?"
Mendadak Lu Siau-hun melompat bangun, jeritnya dengan suara parau, "Kau ... kau telah
membunuhnya untuk melenyapkan saksi?"
"Kenapa" Kau ingin membalas dendam baginya?" ejek Ku-tojin dingin.
Mendadak terlihat cahaya pisau berkelebat, sebilah pisau yang tajam telah menghujam hulu
hatinya. Dia belum roboh, masih memandang Lu Siau-hun dengan pandangan dingin, katanya dengan
suara dalam, "Aku telah menyelamatkan dia, seharusnya kau berterima kasih kepadaku, aku ...."
Dia tak sempat melanjutkan kata-katanya karena darah segar telah menyembur keluar dari
lubang mata, telinga, mulut, serta hidungnya.
Langit sudah mulai terang.
Secercah cahaya fajar mulai muncul di ufuk timur, memancar masuk melalui daun jendela dan
menyinari wajahnya. Akhirnya dia roboh ke tanah.
Perubahan ini berlangsung sangat tiba-tiba, kematiannya pun terjadi sangat mendadak.
Suatu peristiwa yang aneh dan penuh misteri, ternyata berakhir secara tiba-tiba begitu saja.
Memandang mayat yang membujur kaku di lantai, sorot mata aneh seolah-olah muncul dari
balik mata Toan Giok, gurnamnya, "Kau tidak seharusnya mati, kenapa kau harus mati!"
"Kalau dia tak pantas mati, apakah kau yang pantas mati?" tak tahan Hoa Hoa-hong menyela.
Toan Giok menghela napas, ternyata dia mengakuinya, "Aku memang sepantasnya mati!"
Tiba-tiba ia berpaling, memandang wajah Lu Siau-hun, kemudian mengucapkan perkataan yang
sangat aneh, "Ketika terakhir kali kau melihat Hoa Ya-lay, apakah dia sedang memancing ikan?"
Lu Siau-hun manggut-manggut.
Kembali dia merasa amat tercengang, sebab dia tak menyangka kalau Toan Giok bisa
mengetahui hal ini. *** Matahari sudah berada di tengah angkasa, hari ini udara bersih dan amat cerah.
Pintu gerbang warung arak milik Ku-tojin sudah terbuka setengah, si pelayan kudisan yang
aneh itu sedang menyapu lantai depan pintu.
Gentong arak besar serta bangku kecil memang berada di luar warung sepanjang malam. Toan
Giok, Lu Siau-hun, Hoa Hoa-hong sedang duduk mengelilingi gentong arak.
Si kudis sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, tapi mulutnya
mengomel tiada hentinya. "Sekalipun benar-benar setan arak, tidak seharusnya datang sepagi ini untuk minum arak!"
"Mana Lopanniomu?" tiba-tiba Toan Giok menegur.
"Masih tidur." "Mana Lopanmu?" kembali Toan Giok mengajukan pertanyaan yang aneh.
"Masih tidur juga."
Toan Giok membungkam dan tidak berkata apa-apa lagi.
Mereka berempat pun duduk dengan tenang, duduk menanti, siapa pun tak tahu sebenamya
apa yang sedang mereka nantikan"
Air muka mereka berat dan murung, menyampaikan sebuah berita kematian kepada istrinya
memang bukan pekerjaan yang menyenangkan.
Matahari sudah semakin meninggi.
Hoa Hoa-hong mulai hilang kesabarannya, dia mulai gelisah dan tak sanggup menahan diri,
gadis itu seakan hendak mengatakan sesuatu.
Apa yang ingin diucapkan akhirnya tak jadi disampaikan, karena secara tiba-tiba ia menjumpai
ada seseorang sedang memperhatikan mereka.
Terlepas siapa pun, setelah melihat orang ini, tak tahan mereka pasti akan memandangnya
beberapa kejap. Tentu saja orang ini adalah seorang wanita, seorang perempuan yang lincah, bukan saja cantik,
bahkan anggun dan pandai berdandan.
Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah gaun hijau tua yang dikombinasikan
dengan gaun sutera yang panjang.
Gaun yang putih bersih bagai salju bukan saja terbuat dari bahan kain berkualitas tinggi,
jahitannya pun rajin dan bersih, perpaduan warna yang amat serasi.
Akhirnya Lopannio warung arak itu muncul.
Dandanannya sekarang sama persis seperti dandanannya ketika pertama kali Toan Giok
melihatnya. Hanya saja mimik wajahnya sama sekali berbeda.
Kini wajahnya sudah tak dihiasi senyuman manis dan memikat.
Ia menatap mereka, perlahan-lahan berjalan mendekat. Toan Giok dan Lu Kiu telah bangkit,
tapi mereka nampak sangsi, seakan tak tahu bagaimana harus menyampaikan berita duka ini kepadanya.
Ternyata dia pun tidak membutuhkan pemberitahuan itu, tiba-tiba perempuan itu tertawa,
tertawa pilu, katanya lembut,
"Apakah kalian hendak memberitahu kepadaku, mulai sekarang aku telah menjanda?"
Toan Giok manggut-manggut.
"Darimana kau bisa tahu?" tak tahan Lu Kiu bertanya.
"Aku bisa melihatnya," sahut Tosu perempuan sambil tertawa pedih.
"Kau dapat menebaknya dari perubahan mimik muka kami?"
"Aku telah mengetahuinya sejak awal," sahut Tosu perempuan pilu. "Belakangan ini, dia dia
sering uring-uringan dan seperti kehilangan semangat, seolah dia sudah tahu kalau bencana besar
bakal menimpa dirinya!"
Meskipun mimik wajahnya masih tetap tenang dan tegar, namun air mata telah membasahi
kelopak matanya. Tiba-tiba ia berpaling, lalu ujarnya, "Kalian cukup beritahu kepadaku, kemana aku harus
mengambil jenazahnya. Perkataan lain tak usah dibicarakan lagi!"
Toan Giok sama sekali tak peduli dengan perkataan itu, malah katanya, "Ketika pertama kali
melihatmu, kau pun muncul secara tiba-tiba, persis seperti hari ini!"
Tosu perempuan tidak berpaling, hanya dengusnya dingin, "Apakah setiap kali hendak keluar,
aku harus menabuh genderang lebih dulu untuk memberitahu kepadamu?"
"Kau sebetulnya bukan keluar, tapi pulang," tugas Toan Giok.
Ditatapnya gaun putih saljunya, kemudian perlahan lahan terusnya, "Peduli siapa pun yang
baru keluar dari dalam, tak nanti dia akan sebersih ini."
Mendadak Tosu perempuan berpaling, sambil melotot gusar, katanya, "Sebenarnya apa yang
ingin kau sampaikan?"
"Ai, aku hanya ingin memberitahu kepadamu, suamimu tidak seharusnya mati!" kata Toan Giok
sambil menghela napas. "Apakah kau yang seharusnya mati?"
Ternyata Toan Giok mengakui.
"Benar, karena aku seharusnya sudah tahu siapakah kau!"
"Siapakah aku?"
"Hoa Ya-lay!" jawab Toan Giok sepatah demi sepatah,
"Kau adalah Hoa Ya-lay, kau juga Liong-thau Lotoa tempat ini!" Sekali lagi Tosu perempuan
melotot gusar ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa, senyumannya berubah jadi begitu cantik dan
menawan seperti dahulu. Sekujur badan Lu Siau-hun tiba-tiba mengejang keras dan berubah jadi kaku.
"Ketika untuk pertama kali melihatmu, dalam hatiku telah muncul semacam perasaan yang
sangat aneh," kata Toan Giok. "Aku selalu merasa seolah dahulu pernah bertemu denganmu."
Tosu perempuan hanya mendengarkan, dia seakan sedang mendengarkan orang lain
menceritakan suatu kisah yang sangat menarik.
Terdengar Toan Giok berkata lebih jauh, "Setiap kali kau muncul di tempat ini, tampilanmu
selalu mirip sekuntum bunga segar yang baru saja dipetik, karena pada malam hari kau tak pernah
berada di sini." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Karena kau adalah Hoa Ya-lay. Begitu malam
tiba, kau harus keluar rumah untuk menyebar bau harummu. Di tengah malam buta, di bawah
cahaya lentera, tentu saja tak akan ada orang yang bisa mengenali penyaruanmu, semakin tak
mungkin ada orang yang menduga kalau di pagi hari kau adalah Lopannio warung arak, apalagi
kalau saat itu orang lain sudah keburu dibuat mabuk oleh bau harum semerbak tubuhmu."
"Tampaknya kau sedang mabuk?" tegur Tosu perempuan sambil melirik ke arahnya.
Toan Giok tertawa getir. "Aku memang pemah mabuk, untung saja segera mendusin."
"Sejak kapan kau telah mendusin?"
"Mungkin selama ini aku seperti sadar tak sadar, tapi setelah melihat peti mati yang berisikan
Thiat Sui, aku langsung setengah sadar, begitu melihat Ku-tojin terkapar bersimbah darah, aku
baru benar-benar tersadar."
"Kenapa?" "Karena Thiat Sui tak mungkin mati di tangan Ku-tojin, aku cukup mengetahui ilmu silatnya, Kutojin
tak nanti bisa melukai seujung rambutnya."
"Memangnya tak mungkin terjadi peristiwa di luar dugaan?"
"Tak mungkin!" jawab Toan Giok, tambahnya, "Thiat Sui memang orang yang besar rasa
curiganya, dia tak akan percaya pada siapa pun. Terhadap Ku-tojin pun tidak mempunyai kesan
baik, maka Ku-tojin pada hakikatnya tak mungkin bisa mendekati dirinya."
Kalau untuk mendekati pun tak mungkin, tentu saja semakin mustahil untuk membunuhnya
secara mendadak, apalagi membokongnya.
Kembali Toan Giok berkata, "Aku pun tahu Lu Siau-hun tidak mungkin dibokong oleh Ku-tojin."
"Kenapa?" "Sebab mata kail bukanlah senjata. Bila ingin melukai orang menggunakan kail ikan, maka di
atas kail pasti ada benangnya dan saat itu yang sedang memancing ikan bukan Ku-tojin,
melainkan Hoa Ya-lay."
Ternyata pertanyaan yang dia ajukan kepada Lu Siau-hun tadi bukanlah pertanyaan yang aneh,
rupanya dia memang mempunyai tujuan tertentu.
"Itulah sebabnya aku tak habis mengerti," kata Toan Giok, "Kalau memang semua perbuatan
itu bukan dia yang lakukan, kenapa Ku-tojin harus memikul semua dosa dan tanggung jawabnya?"
"Bukankah kau telah memahami" Bagaimana pula penjelasannya?" tanya Tosu perempuan.
"Dia berbuat begitu tak lain karena ingin mewakili orang lain memikul dosa dan tanggungjawab
itu, seorang lelaki yang romantis memang tak akan sayang mengorbankan diri demi wanita
yang disukai dan dicintainya."
Dengan sedih lanjutnya, "Seorang lelaki romantis bila tahu istrinya adalah wanita semacam Hoa
Ya-lay, kenyataan ini sudah pasti akan menjadi persoalan yang amat menyakitkan hati. Oleh
karena itu dia tak segan mengantar nyawa sendiri guna mengakhiri semuanya ini."
Bukannya terharu, Tosu perempuan malah tertawa, katanya, "Hanya berdasarkan beberapa
petunjuk itu, kau sudah menuduh aku adalah Hoa Ya-lay?"
"Aku dapat melihat kalau wanita yang benar-benar dicintainya hanyalah kau, aku pun dapat
melihat di dunia saat ini hanya ada semacam orang yang dapat membunuh Thiat Sui."
"Manusia macam apa?"
"Perempuan, perempuan macam kau!"


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kenapa aku harus membunuhnya?"
"Karena kemungkinan besar dia adalah petugas yang dikirim Cing-liong-hwe untuk mengawasi
gerak-gerikmu. Kau merasa kehadirannya merupakan sebuah ancaman bagimu, maka kau
gunakan kesempatan ini untuk membunuhnya, kemudian melimpahkan semua kesalahan ini
kepadaku." Kembali Tosu perempuan tertawa, hanya kali ini suara tawanya sedikit dipaksakan.
"Sebetulnya perangkap ini merupakan sebuah jebakan yang amat rumit. Kau berencana akan
menyeret semua orang yang ada masuk ke dalam perangkap ini, sayangnya setelah dihitung
pulang-pergi, kau masih tetap kekurangan satu hal."
"Hal apa?" tak tahan Tosu perempuan bertanya.
"Perasaan," jawab Toan Giok. "Kau tak memperhitungkan perasaan manusia, karena kau
sendiri memang hidup tanpa perasaan."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Justru karena manusia punya perasaan, maka Lukiuya
baru mempercayai aku, maka Lu Siau-hun berhasil kuselamatkan, maka Ku-tojin matt demi
kau, maka aku pun berhasil mengetahui rahasiamu."
Waktu itu, seandainya Lu Kiu bekerja sama dengan Thiat Sui, niscaya Toan Giok sudah tewas
dalam ruang perahu. Lu Siau-hun pun ikut tewas di dalam peti kayu.
Kembali Toan Giok menghela napas, katanya, "Ku-tojin ingin aku mati karena dia tahu aku pun
pernah mabuk, maka dia cemburu, sama persis seperti perasaan dia ketika menemukan kau
berada bersama Lu siau-hun."
Itulah sebabnya, di saat Lu Siau-hun tak sadarkan diri, ia sempat mendengar suara cekcok Kutojin
dengan Hoa Ya-lay, apa yang didengarnya memang tak salah.
Dengan tenang Tosu perempuan mendengarkan semua uraian itu, sinar matanya seolah
sedang memandang tempat kejauhan, tiba-tiba dia menghela napas panjang.
"Aku memang telah salah memperhitungkan satu hal, hanya saja kau tak pernah akan mengira
kesalahan apa yang telah kulakukan."
"0, ya?" Lagi-lagi Tosu perempuan menghela napas panjang.
"Menyaksikan caramu membayar rekening makan sebesar satu tahil tujuh renceng serta
sikapmu yang kasar dan serba salah, sebetulnya kusangka kau hanya seorang telur busuk yang
suka mencampuri urusan orang lain."
Tentu saja Toan Giok masih teringat jelas kejadian pada hari itu.
Dia terburu-buru mengeluarkan kantung uangnya, lalu dalam gugup dan tergesa-gesanya
karena kurang hati-hati, uang kertas serta daun emasnya terjatuh ke atas geladak. Dalam satu
hari saja dia sekaligus telah melanggar empat pantangan besar dari Toan-loyacu.
Bukan saja dia telah membuat onar, dia pun bermusuhan dengan kaum pendeta, memamerkan
harta kekayaannya, bahkan berhubungan dengan wanita asing.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau gara gara-kejadian itu, bencana dapat berubah jadi
keberuntungan. "Karena kau telah menyinggung peristiwa itu, aku pun jadi teringat akan satu hal."
"Soal apa?" "Masa kau tidak tahu" Kau harus mengembalikan uang kertasku senilai seribu tahil perak."
Lalu setelah tertawa lanjutnya, "Kedua orang itu pasti kaulah yang sengaja mengirim ke sana,
tujuannya tak lain agar aku menyangka Thiat Sui adalah Lotoa tempat ini, kau ingin aku
beranggapan bahwa Liong-thau Lotoa dan Hoa Ya-lay adalah dua orang yang berbeda."
"Darimana kau bisa tahu?" tak tahan Hoa Ya-lay bertanya.
"Bila anggota Cing-liong-hwe adalah setan bodoh yang begitu ceroboh, perkumpulan naga hijau
tak akan menjadi organisasi yang sangat menakutkan."
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hoa Ya-lay mengembalikan seribu tahil uang kertas itu.
Bukan hanya mengembalikan uang kertas, bahkan dia pun menyerahkan setumpuk daun emas.
"Inilah hasil kemenanganmu, jadi kau seharusnya membawanya pergi," kata Hoa Ya-lay.
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya, "Sekarang kau masih ada pertanyaan lagi?"
"Tidak ada." "Tidak ada?" tanya Hoa Ya-lay tercengang.
"Walaupun kau ingin mencelakai kami, kenyataannya kami masih tetap hidup. Walaupun kau
telah melakukan kesalahan, tak perlu kami yang memberi hukuman kepadamu, karena sidang
pengadilan dari Cing-liong-hwe mungkin sudah dipersiapkan untuk mengadili dirimu. Sedangkan
mengenai Kiau-losam dan Ong Hui apakah merupakan anak buahmu atau bukan, hal ini sama
sekali tak ada sangkut-pautnya dengan diriku."
Setelah tertawa, kembali terusnya, "Biarpun aku suka mencampuri urusan orang, namun
urusan yang tak sepantasnya kucampuri, tak akan kucampuri."
Inilah perkataan terakhir yang dia katakan.
Lu Siau-hun pun tidak berkata apa-apa, karena ayahnya telah menggenggam tangannya eraterat.
Mereka semua telah pergi, pergi tanpa berpaling.
Hoa Ya-lay hanya memperhatikan mereka, tubuhnya sama sekali tak bergerak, karena dia tahu,
pada hakikatnya dia memang tak punya jalan lagi untuk pergi.
Cahaya rembulan bening bagaikan cermin, permukaan air telaga pun bersih bagaikan cermin, di
balik cermin terlihat rembulan nan purnama.
Dengan termangu Hoa Hoa-hong mengawasi rembulan di atas permukaan air, tiba-tiba dia
menghela napas panjang. "Hari ini sudah tanggal dua belas."
"Ehm?" "Sebelum tanggal lima belas bulan empat, kau harus sudah tiba di Po-cu-san-ceng?"
"Ehm!" "Oleh sebab itu besok pagi kau harus berangkat."
Kali ini tiada suara yang muncul dari kerongkongan Toan Giok, tiba-tiba saja ia merasa hatinya
kecut, tenggorokannya seolah tersumbat oleh sesuatu benda.
Segulung angin berhembus, menggoyang permukaan air, bulan purnama di atas permukaan
pun hancur berantakan. "Apakah kau tetap akan mengantar Bi-giok-to itu ke Po?cu-san-ceng?"
tiba-tiba Hoa Hoa-hong bertanya.
Toan Giok mengangguk. "Bolehkah aku melihatnya sebentar?" pinta Hoa Hoa hong.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Toan Giok melolos Bi-giok-to itu. Di bawah sinar
rembulan, golok itu tampak hijau mulus sehijau permukaan air telaga.
Dengan termangu, Hoa Hoa-hong mengawasi senjata itu, kembali tanyanya, "Apakah golok ini
akan menjadi tanda pertunanganmu?"
Toan Giok tidak menjawab, dia tak tega untuk menjawab.
Sebenarnya dia ingin berkata, "Walaupun golok ini akan kugunakan sebagai tanda
pertunangan, tapi aku belum tentu berminat dengan pertunangan ini."
Sayang sebelum dia mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba Hoa Hoa-hong mengayun tangannya
dan melempar Bi-giok-to itu ke tengah telaga.
Golok itu merupakan golok mestika keluarga Toan. Bila sampai hilang, akibatnya tak bisa
terbayangkan oleh siapa pun, termasuk Toan Giok sendiri.
Maka tanpa pikir panjang, dia terjun ke dalam air telaga. Dia harus menemukan kembali golok
kumala hijau itu. Tentu saja ia tak berhasil menemukannya!
Bila ingin menemukan sebilah Bi-giok-to yang begitu kecil di tengah telaga yang luas, pada
hakikatnya sama seperti mencari jarum di tengah samudra. Suatu hal yang tak mungkin terjadi.
Menanti dia muncul kembali di atas permukaan, Hoa Hoa-hong telah lenyap.
Perasaannya saat itu benar-benar amat tersiksa, jauh lebih menderita daripada kehilangan
golok kumala hijau warisan leluhurnya.
Karena dia tahu, dalam kehidupan berikutnya, tak mungkin ia dapat bertemu lagi dengan gadis
itu. Di tengah kehidupan masyarakat yang begitu luas, harus pergi kemana mencari gadis itu"
Bukankah hal ini sama sulitnya seperti mencari Bi-giok-to di dasar telaga yang luas"
Angin kembali berhembus, menimbulkan riak-riak di atas permukaan telaga.
*** Sejak semula Toan Hui-him Loyacu telah tiba di Po-cu-san ceng. Bagaimana pun dia merasa tak
lega membiarkan putranya pergi seorang diri, apalagi kepergiannya kali ini adalah kepergiannya
yang pertama. Saat itu dia sedang duduk bersanding dengan Cu Gwan, Cu-jiya di ruang utama perkampungan.
Menyaksikan putra kesayangannya ini, selembar wajah yang pada dasarnya sudah kereng dan
serius, kini seakan berubah hijau membesi.
"Bukankah aku menyuruh kau menyerahkan Bi-giok-to itu ke tangan Jisiokrnu?"
"Benar," Toan Giok tertunduk lesu.
"Bukankah aku telah memberitahu kepadamu, lebih baik kehilangan batok kepala daripada
kehilangan Bi-giok-to?" kembali Toan loya menegas.
"Benar!" "Sekarang dimana golok itu?"
Toan Giok bukan saja tak berani mendongakkan kepala, bahkan bemapas keras pun tak berani.
Paras muka Cu Gwan Cu-jiya jauh lebih lembut dan ramah, segera tanyanya, "Bukankah golok
itu selalu berada bersamamu, kenapa mendadak bisa hilang?"
"Aku aku aku memang kurang hati-hati, semua ini merupakan kesalahanku."
"Bukan kesalahan orang lain?"
"Bukan." Cu-jiya menatapnya, sorot mata maupun mimik wajahnya kelihatan sangat aneh. Mendadak
ujarnya, "Bukankah kau pemah berkata, seorang lelaki, demi perempuan yang sangat dicintainya,
tak segan memikul semua dosa dan kesalahannya?"
Dengan terperanjat Toan Giok mendongakkan kepala, dia benar-benar tak habis mengerti
darimana Cu-jiya bisa tahu perkataannya itu.
Cu-jiya tertawa, suara tawanya pun sangat aneh, tiba-tiba tanyanya lagi, "Apakah kau benarbenar
menyukainya?" Sambil berkata, dia menunjuk ke arah seseorang yang baru saja muncul dari belakang ruangan.
Seorang gadis bermata besar dan selalu mengernyitkan hidung sebelum tertawa.
"Hoa Hoa-hong!" hampir saja Toan Giok tak kuasa menahan diri untuk berteriak, dia benarbenar
tak menyangka Hoa Hoa-hong bisa muncul di tempat itu.
Tampak Hoa Hoa-hong mengernyitkan hidungnya yang kecil, lalu tertawa lebar, ujarnya, "Kalau
Tosu perempuan pun bisa menjadi Hoa Ya-lay, kenapa Hoa Hoa-hong tak bisa menjadi Cu Cu?"
Akhirnya Toan Giok mengerti.
Sekarang dia tahu mengapa Hoa Hoa-hong muncul pada saat yang begitu kebetulan, mengapa
dia selalu mencampuri urusannya.
Temyata dia secara pribadi sedang pergi menguji dan memeriksa watak calon suaminya, dia
ingin tahu orang macam apakah bakal suaminya itu.
Tapi ada satu hal yang Toan Giok tidak mengerti, maka tanyanya, "Mengapa kau membuang
Bi-giok-to itu ke dalam telaga?"
Temyata Bi-giok-to tidak berada dalam telaga, tapi masih berada dalam genggaman Cu Cu.
Ternyata golok yang dibuangnya adalah golok palsu. Kontan saja Toan Giok menghela napas
panjang, ujarnya sambil tertawa getir, "Mengapa kau harus membuat aku pa nik?"
"Karena aku sedang minum cuka," sahut Cu Cu cemberu t.
"Minum cuka siapa?"
"Tentu saja minum cukaku sendiri."
Temyata Cu Cu sedang minum cuka Hoa Hoa-hong, Hoa Hoa-hong pun sedang minum cuka Cu
Cu. Kalau sudah begini, bagaimana caramu menyelesaikan hutang-piutang ini"
Toan Giok telah menjadi seorang Enghiong yang amat tersohor di wilayah Kanglam, bahkan
sudah menikah dengan Cu Cu.
Namun perasaan Toan-loyacu tetap uring-uringan. Setiap hari dia bermuram-durja, bahkan
seringkali menghela napas seorang diri.
Tentu saja semua orang merasa keheranan, begitu juga dengan Cu-jiya.
"Aku benar-benar tak habis mengerti, persoalan apakah yang sebenarnya membuat hatimu tak
suka?" "Hanya ada satu hal," jawab Toan Hui-him.
"Kalau begitu cepat katakan, aku benar-benar ingin tahu."
Toan Hui-him menghela napas panjang, katanya, "Sewaktu Toan Giok akan meninggalkan
rumah, aku telah memberi tujuh pantangan besar kepadanya, minta dia jangan melanggar ketujuh
pantangan itu, tapi kenyataannya dia telah melanggar semua pantangan itu!"
"Tapi aku lihat dia sama sekali tak menderita kerugian, juga tak dipusingkan masalah yang
pelik, bahkan karena itu dia berhasil menyingkap rahasia Cing-liong-hwe yang berniat
mencelakainya dan mempunyai banyak teman."
Setelah tersenyum kembali, ujarnya, "Lagi pula bila dia tidak berbuat begitu, belum tentu
putriku mau menikah dengannya semudah itu."
Toan Hui-him tetap menghela napas, katanya, "Justru karena itu maka aku merasa tak suka!"
"Kenapa?" Cu-jiya semakin tak mengerti.
"Coba bayangkan, aku menyuruh dia tidak melakukan hal-hal itu, tapi dia telah melanggar
semuanya. Gara-gara itu bukan saja dari bencana dia jadi mujur, bahkan telah menjadi seorang
Enghiong besar dan menikahi seorang gadis cantik."
Dia menggeleng kepala berulang kali, terusnya sambil menghela napas panjang, "Coba
bayangkan sendiri, apakah selanjutnya dia mau menuruti semua perkataanku?"
Cu-jiya kembali tertawa, tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, bila lantaran persoalan ini kau jadi
tak suka, maka tindakanmu itu keliru besar!"
"Aku salah" Aku salah" Kau malah mengatakan aku salah?" Toan-loyacu gusar.
"Ada orang yang sejak lahir sudah pemberani, ada orang yang sejak lahir sudah pintar, Iincah
dan cekatan, tapi tak ada yang bisa menandingi orang yang sejak lahir sudah mujur. Putramu
adalah orang yang mujur sejak lahir, oleh karena itu selama hidup dia pasti akan lebih gembira
dan bahagia daripada orang lain, apalagi yang membuatmu tak gembira?"
Oleh karena itu senjata yang dimaksud bukanlah Bi-giok?jit-seng-to, tapi kejujuran.
Hanya orang yang jujur baru memiliki nasib mujur!
Nasib Toan Giok mujur, karena dia belum pernah membohongi seorang pun, juga belum pemah
berbohong satu kali pun, kendati di saat sedang berjudi.
Oleh karena itu dia dapat mengalahkan Cing-liong-hwe. Keberhasilannya bukan lantaran dia
memiliki Bi-giok-jit-seng-to, melainkan karena dia memiliki kejujuran.
TAMAT Misteri Bayangan Setan 2 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk 3

Cari Blog Ini