Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 25

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 25


Wajah Lenghou Tiong tampak cemas karena permohonannya ditolak. Dengan tertawa lantas Yim Ngo-heng berkata pula, "Duduklah dulu, Adik cilik. Di dunia ini sekarang aku cuma mempunyai dua orang kepercayaan sejati, ialah Hiang-hiante dan kau. Maka apa yang kau minta padaku betapa pun dapat dirundingkan lagi. Baiklah begini, hendaklah kau menyanggupi sesuatu urusan padaku, lalu aku pun akan berjanji padamu untuk tidak mengganggu orang-orang Hoa-san-pay kecuali bila mereka yang mendahului bersikap tidak hormat padaku. Andai kata aku mesti hajar adat kepada mereka juga akan bertindak seringannya mengingat permohonanmu tadi. Nah, bagaimana, setuju?"
Lenghou Tiong menjadi girang, serunya, "Pesan apa saja dari Kaucu tentu akan kuterima dengan baik."
"Begini," kata Yim Ngo-heng, "marilah kita bertiga mengangkat sebagai saudara. Selanjutnya ada rezeki dinikmati bersama, ada kesukaran dipikul bersama. Jabatan Hiang-hiante kunaikkan menjadi Kong-beng-cosu dari Tiau-yang-sin-kau kita dan kau menjadi Kong-beng-yusu (Rasul Cahaya Kanan). Nah, bagaimana pendapatmu?"
Seketika Lenghou Tiong melenggong, sama sekali ia tidak menduga orang akan minta dirinya masuk menjadi anggota Mo-kau. Sejak kecil ia telah mendengar cerita guru dan ibu gurunya tentang macam-macam kejahatan yang dilakukan orang-orang Mo-kau, meski sekarang dirinya telah dipecat dari Hoa-san-pay, yang diinginkannya adalah hidup bebas dan menjadi seorang yang tidak terikat oleh sesuatu aliran atau golongan. Maka tidak mungkin dirinya disuruh menjadi anggota Mo-kau.
Begitulah pikirannya menjadi kacau dan tidak sanggup menjawab. Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian sama menatap tajam padanya untuk menantikan jawabnya, sesaat itu suasana menjadi sunyi senyap.
Selang sejenak baru Lenghou Tiong membuka suara, "Maksud Kaucu memang baik, tapi Lenghou Tiong adalah angkatan muda, mana berani disejajarkan dengan Kaucu dan mengangkat saudara segala" Pula meski Cayhe bukan orang Hoa-san-pay lagi, namun Cayhe masih berharap suhu akan berubah pikiran dan menarik kembali keputusan beliau ...."
Yim Ngo-heng tertawa hambar, katanya, "Meski kau panggil kaucu padaku, tapi jiwaku sendiri setiap saat dapat melayang, sebutan kaucu tidak lebih cuma gelar kosong belaka. Di dunia ini sekarang setiap orang mengetahui ketua Tiau-yang-sin-kau adalah Tonghong Put-pay. Orang ini sekali-kali tidak di bawahku ilmu silatnya, tipu akalnya bahkan jauh lebih pintar daripadaku. Banyak pula anak buahnya, kalau melulu mengandalkan tenagaku serta Hiang-hiante berdua dan bermaksud merebut kembali kedudukan kaucu dari dia, hal ini mirip memakai telur memukul batu, hanya khayalan belaka. Jika kau tidak ingin mengangkat saudara dengan aku, ini pun aku dapat mengerti karena kau ingin menjaga dan membersihkan dirimu sendiri. Marilah, kita bergembira ria dan minum arak saja, hal-hal tadi tidak perlu kita bicarakan lagi."
"Cara bagaimana kedudukan kaucu sampai direbut oleh Tonghong Put-pay dan mengapa sampai kena dikurung pula di penjara maut itu, apakah sekiranya seluk-beluk kejadian itu dapat dituturkan kepadaku?" tanya Lenghou Tiong.
Yim Ngo-heng tersenyum pedih dan menggeleng kepala, katanya, "Selama 12 tahun mengeram di dasar danau, soal kedudukan dan nama segala mestinya sudah hambar bagiku. Tapi, hehe, justru semakin tua hatiku terasa semakin panas malah."
"Adik cilik," sambung Hiang Bun-thian, "tempo hari Tonghong Put-pay telah mengirimkan orang-orangnya sebanyak itu untuk mengudak diriku, betapa ganasnya mereka itu sudah kau saksikan sendiri. Coba kalau kau tidak tampil ke muka membela diriku, tentu aku sudah dicincang hancur lebur di tengah gardu itu. Dalam pandanganmu masih ada perbedaan antara pihak cing-pay dan Mo-kau segala, tapi cara mereka mengerubut kita berdua tempo hari itu apakah masih dapat dibedakan antara yang baik dan yang jahat" Padahal segala hal adalah tergantung perbuatan orang. Memang di dalam cing-pay tidak sedikit terdapat orang baik, namun siapa berani bilang tiada manusianya yang rendah dan kotor" Di dalam Mo-kau memang betul juga tidak sedikit orang-orangnya yang jahat, tapi bila kita bertiga sudah pegang pimpinan, kita dapat mengadakan pembersihan secara keseluruhan untuk melenyapkan golongan sampah itu, dengan demikian dapatlah kita membuka lembaran baru bagi sejarah dunia Kangouw."
"Ya, ucapan Toako juga ada benarnya," sahut Lenghou Tiong mengangguk.
"Masih segar dalam ingatanku," demikian Hiang Bun-thian melanjutkan, "dahulu Kaucu menganggap Tonghong Put-pay seperti saudara sekandung sendiri sampai mengangkatnya sebagai Kong-beng-cosu, hampir semua kekuasaan kepemimpinan agama telah diserahkan padanya. Tatkala mana Kaucu sedang memusatkan segenap tenaga dan pikiran untuk meyakinkan Gip-sing-tay-hoat untuk membetulkan beberapa kekurangan-kekurangan ilmu itu, maka urusan agama sehari-hari tidak sempat diawasinya. Siapa duga Tonghong Put-pay itu memang manusia berhatikan binatang, lahirnya saja ia sangat hormat kepada Kaucu dan tidak berani membangkang segala perintahnya, tapi diam-diam ia memupuk kekuatan dan pengaruhnya sendiri, dengan macam-macam alasan yang dibuat-buat ia telah memecat atau menghukum mati anak buah yang setia kepada Kaucu. Hanya beberapa tahun saja orang-orang kepercayaan Kaucu telah dicerai-berai. Kaucu adalah seorang yang jujur dan tulus, karena melihat Tonghong Put-pay begitu menghormat padanya, pula segala urusan agama telah diatur sedemikian rapinya, maka beliau sama sekali tidak menaruh curiga apa-apa."
Yim Ngo-heng menghela napas, katanya, "Hiang-hiante, soal ini sungguh membuat aku merasa malu padamu. Kau pernah beberapa kali memberi nasihat padaku agar hati-hati terhadap Tonghong Put-pay, tapi aku malah menyalahkan kau menaruh iri hati padanya dan menganggap kau sengaja memecah belah persatuan di antara pimpinan. Kau menjadi marah dan tinggal pergi untuk seterusnya tidak pernah bertemu lagi."
"Hamba sekali-kali tidak berani dendam dan menyalahkan Kaucu," ujar Hiang Bun-thian. "Soalnya hamba lihat gelagatnya kurang baik, Tonghong Put-pay telah mengatur anak buahnya sedemikian rapi dan setiap saat bisa bertindak, kalau hamba tetap mendampingi Kaucu tentu akan lebih dulu terancam kekejiannya. Maka kupikir lebih baik menyingkir pergi saja untuk mengawasi gerak-geriknya dari tempat lain, dengan demikian sedikitnya akan membuat Tonghong Put-pay berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu pengkhianatan."
"Ya, langkahmu memang tepat," ujar Yim Ngo-heng. "Tapi waktu itu dari mana aku mengetahui akan maksudmu yang baik itu" Bahkan aku merasa gusar karena kau tinggal pergi tanpa pamit dan hampir-hampir saja aku celaka karena saat itu aku sedang asyik berlatih. Pada saat demikian Tonghong Put-pay semakin giat melayani aku dan minta aku jangan marah. Dengan begitu aku tambah masuk perangkapnya sehingga akhirnya aku menyerahkan kitab pusaka "Kui-hoa-po-tian" kepadanya."
Mendengar disebutnya "Kui-hoa-po-tian", tanpa tertahan Lenghou Tiong sampai berseru.
"Apakah kau juga tahu akan "Kui-hoa-po-tian", Adik cilik?" tanya Bun-thian.
"Aku pernah mendengar nama kitab itu dari guruku, katanya kitab itu berisi rahasia ilmu silat yang paling tinggi, sungguh tak terduga bahwa kitab pusaka itu ternyata berada di tangan Kaucu," sahut Lenghou Tiong.
"Selama beberapa ratus tahun Kui-hoa-po-tian selalu adalah pusaka Tiau-yang-sin-kau kita, selalu diturunkan dari kaucu yang satu kepada kaucu penggantinya," tutur Yim Ngo-heng. "Waktu itu karena aku sedang tenggelam dalam latihan Gip-sing-tay-hoat sehingga lupa daratan, maka timbul maksudku hendak menyerahkan kedudukan kaucu kepada Tonghong Put-pay. Sebab itu aku telah menurunkan "Kui-hoa-po-tian" kepadanya sebagai tanda yang jelas bahwa tidak lama lagi aku akan mengangkat dia sebagai penggantiku. Tapi, ai, Tonghong Put-pay sebenarnya seorang yang sangat pintar, sudah terang kedudukan kaucu akan dia jabat, mengapa dia masih terburu-buru nafsu, tanpa menunggu aku mengadakan musyawarah dan mengumumkan secara resmi, tapi dia justru lantas mengambil risiko dengan mengadakan pengkhianatan dan perebutan kedudukan?"
Dahi Yim Ngo-heng terkerut rapat-rapat seakan-akan sampai saat ini dia masih tidak paham akan kejadian itu.
Hiang Bun-thian lantas menanggapi, "Pertama dia tidak sabar menunggu, ia tidak tahu kapan baru Kaucu akan menyerahkan kedudukan padanya. Kedua, dia merasa khawatir kalau-kalau mendadak timbul sesuatu perubahan besar."
"Padahal segala sesuatunya sudah dia atur dengan baik, perubahan mendadak apa yang dia takuti" Sungguh sukar dimengerti," kata Yim Ngo-heng. "Dengan tenang aku telah coba merenungkan macam-macam tipu muslihatnya, meski semuanya dapat kupahami, hanya saja apa sebabnya mendadak dia berontak, itulah yang sampai saat ini aku tetap tidak mengerti. Memang, terhadap kau memang dia rada-rada iri, ia khawatir bukan mustahil aku akan mengangkat kau sebagai penggantiku. Tapi sesudah kau pergi tanpa pamit, dia sudah kehilangan saingan, mestinya dia dapat menunggu secara sabar."
Bab 76. Lenghou Tiong Menjadi Perwira Gadungan
"Apakah Kaucu masih ingat satu kalimat yang diucapkan Siocia pada malam perayaan Pek-cun dalam tahun perebutan kekuasaan Tonghong Put-pay itu?"" tanya Bun-thian.
"Hari Pek-cun" Apa yang telah diucapkan si Ing-ing kecil" Apa sangkut pautnya dengan Tonghong Put-pay, aku sudah tidak ingat lagi," sahut Yim Ngo-heng.
"Janganlah Kaucu menganggap Siocia (tuan putri) masih anak kecil, tapi dia cukup pintar dan cerdik, betapa teliti pikirannya tidak kalah daripada orang dewasa," ujar Bun-thian. "Tahun itu kalau tidak salah Siocia baru berumur delapan tahun. Di tengah perjamuan ia telah menghitung-hitung yang hadir dan mendadak tanya kepada Kaucu, "Ayah, mengapa setiap tahun hari Pek-cun dalam perjamuan setiap tahun selalu berkurang satu orang?"
"Waktu itu Kaucu tercengang dan menjawab, "Setiap tahun berkurang satu orang bagaimana?"
"Lalu Siocia berkata, "Aku masih ingat tahun yang lalu yang hadir dalam perjamuan demikian ada sepuluh orang, dua tahun yang lalu adalah sebelas orang dan tiga tahun yang lalu ada 12 orang. Tapi tahun ini, satu, dua, tiga, empat, lima ... cuma tinggal kita bersembilan orang saja.?"
"Ya, tatkala itu aku pun merasa masygul sesudah mendengar ucapan si Ing-ing cilik itu," ujar Yim Ngo-heng dengan menghela napas. "Setahun sebelumnya Tonghong Put-pay memang telah menghukum mati Cik-hiante, satu tahun sebelumnya lagi Khu-tianglo telah mati di Kamsiok tanpa diketahui apa sebabnya, kalau dipikir sekarang tentunya juga tipu keji yang telah diatur Tonghong Put-pay. Dan lagi setahun sebelumnya Bun-tianglo telah dipecat, akibatnya ia pun binasa dikerubut oleh jago-jago Hoa-san-pay, Heng-san-pay, dan lain-lain, sebab musababnya dengan sendirinya juga karena perbuatan Tonghong Put-pay. Ai, kata-kata yang diucapkan oleh anak kecil sebagai si Ing-ing cilik tanpa sengaja itu ternyata tidak menyadarkan aku pada waktu itu."
Setelah merandek sejenak dan minum arak seceguk, lalu sambungnya pula, "Terus terang, Hiang-hiante, tatkala mana latihan ilmuku Gip-sing-tay-hoat meski sudah lebih dari sepuluh tahun, ilmu saktiku itu pun sudah cukup ternama di dunia Kangouw sehingga sangat ditakuti orang-orang yang menamakan dirinya dari cing-pay. Akan tetapi aku sendiri mengetahui ilmu saktiku itu masih ada beberapa kekurangan, kalau aku tidak lekas memperbaikinya tentu kelak akan membawa bencana bagiku, tenaga-tenaga yang kusedot dari orang lain akan mendadak menggempur badanku malah. Tatkala itu di dalam badanku sudah terdapat tenaga dalam lebih 20 tokoh silat kelas wahid yang berbeda-beda, agar tidak membahayakan diriku sendiri, aku harus berusaha melebur puluhan macam tenaga dalam itu menjadi satu sehingga dapat kugunakan dengan leluasa. Tahun itu, sebabnya aku tenggelam dalam pikiranku sendiri adalah persoalan yang kukhawatirkan ini. Karena itu pula apa yang diucapkan si Ing-ing cilik di tengah perjamuan Pek-cun itu dengan cepat telah kulupakan."
"Pantas, makanya hamba sangat heran, biasanya Kaucu sangat gesit menghadapi segala persoalan, mengapa terhadap tipu muslihat Tonghong Put-pay itu tidak merasakan apa-apa, bahkan kelihatannya rada-rada limbung," kata Hiang Bun-thian. "Setelah mendengar ucapan Siocia itu, kulihat wajah Tonghong Put-pay menunjukkan rasa kurang senang meski dia pura-pura bersenyum simpul dan berkata, "Rupanya Siocia suka keramaian. Jika demikian lain tahun kita mengundang banyak hadirin untuk ikut perjamuan ini ya?"
"Mungkin waktu itu ia mengira Kaucu telah mempunyai pendirian yang tetap dan pura-pura tidak tahu untuk mencoba dia. Maklumlah ia cukup kenal kecerdasan Kaucu, ia menduga hal yang terang gamblang itu mustahil tidak menimbulkan kecurigaan Kaucu."
"Ya, sesudah kau ingatkan, lapat-lapat aku menjadi ingat memang si Ing-ing cilik pernah berkata demikian pada waktu itu," ujar Yim Ngo-heng.
"Pula, mungkin Tonghong Put-pay melihat Siocia sudah mulai besar dan tambah pintar, bilamana Siocia sudah dewasa bukan tidak mungkin Kaucu mengangkatnya sebagai ahli waris. Makanya Tonghong Put-pay tidak sabar menunggu lebih lama lagi dan lebih suka mengambil risiko dengan bertindak lebih dahulu dengan kekerasan."
Yim Ngo-heng manggut-manggut, katanya dengan terharu, "Ya, jika saat ini si Ing-ing cilik berada di sini, kita menjadi bertambah dengan seorang kawan lagi dan takkan kekurangan tenaga."
"Adik cilik," Hiang Bun-thian berpaling kepada Lenghou Tiong, "tadi Kaucu telah mengatakan bahwa di dalam Gip-sing-tay-hoatnya terdapat beberapa kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan. Tapi aku yakin selama terkurung 12 tahun di dalam penjara, meski cukup menderita, namun Kaucu menjadi sempat mencurahkan segenap pikirannya untuk menyelami kelemahan ilmunya itu dan akhirnya dapatlah dipecahkan semua kesulitan dalam ilmu saktinya itu. Betul tidak, Kaucu?"
Sambil meraba-raba jenggotnya yang hitam itu Yim Ngo-heng tertawa senang, katanya, "Memang betul. Selanjutnya tenaga murni siapa pun yang kusedot akan dapat kupergunakan semua dan tidak perlu khawatir digemparkan kembali oleh hawa-hawa murni aneh yang kuhimpun. Hahaha, Lenghou-hengte, coba kau menarik napas panjang-panjang, bukankah hiat-to di bagian belakang kepala dan di depan dada terasa bergolaknya hawa murni yang melonjak-lonjak dengan keras?"
Lenghou Tiong menarik napas panjang seperti apa yang dikatakan, benar juga dirasakan hiat-to yang disebut itu ada hawa murni yang melonjak-lonjak. Seketika berubahlah air mukanya.
Segera Yim Ngo-heng berkata lagi, "Kau baru saja belajar sehingga belum begitu merasakan bergolaknya hawa murni itu. Tapi dahulu aku sendiri hampir-hampir tak tahan melawan gempuran hawa murni yang membalik itu. Lantaran itu pula maka Tonghong Put-pay berhasil melaksanakan pengkhianatannya."
Lenghou Tiong percaya apa yang dikatakan Yim Ngo-heng itu memang bukan omong kosong, pula diketahui sebabnya Hiang Bun-thian sengaja mengatakan hal demikian itu, maksudnya ialah supaya dirinya mau mohon petunjuk kepada Yim Ngo-heng. Tapi kalau dirinya tidak mau masuk Tiau-yang-sin-kau, dengan sendirinya permohonan demikian sukar untuk diucapkan. Pikirnya, "Khasiat Gip-sing-tay-hoat adalah mengisap tenaga orang lain untuk memupuk kekuatan sendiri. Ilmu demikian terlalu keji dan mementingkan diri sendiri, sekali-kali aku tidak mau meyakinkannya, selanjutnya juga takkan kugunakan. Tentang hawa murni aneh dalam tubuhku yang sukar dilenyapkan memang sebelumnya datang ke sini sudah demikian adanya, jiwaku ini memangnya seperti diketemukan kembali secara kebetulan. Sebagai seorang laki-laki sejati mana boleh aku takut mati dan mengingkari cita-citaku selama ini?"
Karena pikiran demikian, segera ia membelokkan pokok pembicaraan, katanya, "Kaucu, ada sesuatu yang Cayhe ingin minta penjelasan. Menurut cerita suhuku, katanya Kui-hoa-po-tian itu adalah kitab pusaka yang tiada taranya dalam ilmu silat. Bila berhasil meyakinkan ilmu silat dalam kitab pusaka itu, selain tiada tandingannya di dunia, bahkan bisa panjang umur dan awet muda, Mengapa ... mengapa Kaucu tidak mau meyakinkan ilmu sakti di dalam kitab pusaka itu, sebaliknya malah ... malah berlatih Gip-sing-tay-hoat yang ganas dan membahayakan itu?"
"Sebab musabab tentang ini tentunya tak boleh diceritakan kepada orang luar," sahut Yim Ngo-heng dengan tertawa hambar.
"O, maaf kesembronoanku," ujar Lenghou Tiong dengan muka merah, sebab ia merasa dirinya adalah orang luar dan tidak pantas tanya lebih lanjut.
Mendadak Hiang Bun-thian berdiri dan berseru dengan suara lantang, "Adik cilik, usia Kaucu sudah lanjut, umur toakomu ini pun beda tidak seberapa tahun dari beliau. Jika kau mau masuk agama kita, kelak ahli waris Kaucu tiada orang lain kecuali kau sendiri. Seumpama kau anggap nama Tiau-yang-sin-kau kurang baik, apakah kelak kau tak bisa memperbaikinya bilamana kau sudah pegang pimpinan demi kebahagiaan sesama umat di dunia ini?"
Sampai di sini ia menggabrukkan cawan araknya ke atas meja, lalu menuangi secawan penuh kemudian berkata lagi, "Selama beberapa ratus tahun Tiau-yang-sin-kau kita selalu bermusuhan dengan golongan yang menamakan dirinya cing-pay. Jika kau tidak sudi masuk agama kita, penyakitmu tentu tidak bisa sembuh, jiwamu setiap saat bisa melayang, andaikan dapat hidup lebih lama juga mungkin gurumu, ibu-gurumu dan orang-orang Hoa-san-pay sendiri ... Hehe, dengan ilmu sakti yang dimiliki Kaucu sekarang, untuk menumpas segenap orang Hoa-san-pay sehingga lenyap dari dunia persilatan rasanya juga bukan bualan belaka. Sebagai saudara angkat jika kau mau terima nasihatku, silakan habiskan secawan ini."
Ucapan Hiang Bun-thian ini memang betul dan masuk di akal, tapi juga mengandung ancaman dan pancingan dengan kedudukan sehingga mau tak mau Lenghou Tiong dipaksa harus masuk menjadi anggota Mo-kau.
Namun darah panas Lenghou. Tiong seketika tersirap, serunya dengan lantang, "Toako, Kaucu, tanpa sengaja aku telah mempelajari ilmu silat Kaucu, ilmu ini bilamana selanjutnya tak bisa kulupakan, selama aku masih hidup tentu juga takkan kugunakan terhadap orang lain. Hoa-san-pay telah berdiri selama beberapa ratus tahun dan tentu mempunyai cara hidupnya sendiri, orang lain belum tentu mampu sekaligus menumpasnya begitu saja. Adapun mengenai jiwaku ini memangnya sudah tidak kupandang penting lagi, mati atau hidup sudah suratan takdir, boleh pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Hanya sekianlah ucapanku, sampai berjumpa pula kelak."
Habis berkata ia terus berangkat dan memberi salam perpisahan kepada Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian, lalu melangkah pergi. Hiang Bun-thian bermaksud bicara lagi, namun dengan cepat Lenghou Tiong sudah pergi jauh.
Keluar dari Bwe-cheng, Lenghou Tiong tarik napas panjang-panjang, tertiup oleh angin malam, segar rasa badannya. Dilihatnya bulan sabit menghias di tengah cakrawala, air telaga di kejauhan membayangkan bulan sabit itu dengan awan putih di sekelilingnya. Pemandangan alam di daerah Kanglam jelas berbeda sama sekali dengan pemandangan pegunungan di atas Hoa-san.
Lenghou Tiong menuju ke tepi telaga, ia berdiri termenung sejenak di situ, pikirnya, "Urusan penting yang dihadapi Yim-kaucu sekarang tentunya membikin perhitungan dulu dengan Tonghong Put-pay untuk merebut kembali kedudukan kaucu, dengan sendirinya ia belum sempat mencari perkara kepada Hoa-san-pay. Tapi kalau suhu, sunio dan para sute atau sumoay yang tidak tahu seluk-beluk ini sampai kepergok dengan dia, maka mereka pasti akan celaka. Aku harus berusaha memberitahukan mereka selekasnya agar mereka bisa siap-siap dan berlaku waspada."
Hatinya menjadi pedih bilamana teringat suhunya telah mengumumkan kepada seluruh orang bu-lim tentang pemecatannya dari Hoa-san-pay. Tapi guru dan ibu-guru telah membesarkannya seperti ayah-ibu kandung sendiri, maka ia harus merasa duka dan tidak menaruh dendam atau benci. Pikirnya pula, "Kalau nanti aku menuturkan kepada suhu tentang aku hendak dipaksa masuk Mo-kau oleh Yim-kaucu, tentunya suhu akan dapat memahami diriku yang tidak sengaja bergaul dengan orang-orang Mo-kau, bisa jadi beliau akan terus menarik kembali keputusannya dan menerima aku kembali, paling-paling aku akan dihukum kurung di atas "Puncak Perenung Dosa" selama tiga tahun saja."
Karena ada harapan akan diterima kembali oleh gurunya, semangat Lenghou Tiong lantas terbangkit, ia pikir Hok-wi-piaukiok milik keluarga Lim-sute-nya mungkin ada kantor cabangnya di Kota Hangciu, biarlah ke sana aku akan mencari berita tentang suhu.
Begitulah ia lantas pulang ke hotel dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui siapa pun juga. Ketika ia hendak tidur, sementara itu sudah ramai suara ayam jago berkokok, fajar sudah hampir menyingsing.
Ketika ia mendusin hari sudah tengah hari. Ia pikir sebelum bertemu dengan gurunya lebih baik jangan memperlihatkan muka aslinya. Apalagi Ing-ing pernah memerintahkan Coh Jian-jiu dan lain-lain supaya menyiarkan berita di Kangouw bahwa jiwanya akan dihabiskan. Maka ada lebih baik menyamar saja agar tidak mendatangkan kesulitan. Tapi sebaiknya menyamar apakah"
Sembari melamun ia terus berjalan keluar kamar. Baru saja sampai di tengah chimce (pelataran di dalam rumah), mendadak ada orang mengguyurkan satu baskom air ke arahnya.
Tapi betapa gesit dan cepat gerakan Lenghou Tiong sekarang, seketika ia meloncat ke pinggir sehingga air baskom itu mengenai tempat kosong.
Waktu berpaling, dilihatnya seorang perwira tentara memegangi sebuah baskom cuci muka sedang melotot kepadanya, bahkan terus mengomel dengan kasar, "Jalan saja tidak bawa mata, apa tidak tahu tuan besar sedang membuang air kotor?"
Sungguh tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, mana di dunia ada orang kasar sedemikian, sudah hampir mengguyur orang dengan air busuk malahan mendahului memaki orang pula. Dilihatnya usia perwira itu sekira 40-an tahun, wajahnya rada kereng dan sikapnya gagah, dari pakaian seragamnya dapat diduga mungkin berpangkat perwira menengah.
"Lihat apa" Apakah tidak kenal pada tuan besarmu?" demikian perwira itu membentak pula.
Mendadak Lenghou Tiong mendapat akal, ia pikir menarik juga jika aku menyaru sebagai perwira ini, dengan demikian aku dapat kian-kemari di Kangouw dengan bebas, orang bu-lim mana yang mengira akan penyamaranku ini"
"Nenekmu, tertawa apa" Apanya yang lucu?" begitu lagi perwira itu membentak.
Kiranya Lenghou Tiong menjadi senang ketika membayangkan penyamarannya sebagai si perwira nanti sehingga tanpa terasa wajahnya tersenyum simpul.
Namun ia tidak menggubris lebih jauh, ia datang kepada pengurus hotel untuk membayar rekeningnya. Sekalian ia bertanya dengan suara perlahan, "Dari manakah perwira garang itu?"
"Siapa tahu dia dari mana?" jawab pengurus hotel itu dengan murung. "Dia mengaku datang dari kota raja. Baru tinggal satu malam di sini pelayan yang meladeni dia sudah mendapat persen tiga kali tamparan. Sudah banyak daharan yang dia makan, entah nanti dia membayar atau tidak."
Lenghou Tiong manggut-manggut dan tidak memberi komentar apa-apa. Ia keluar dari hotel itu dan masuk sebuah kedai minum yang berdekatan, ia pesan teh dan minum dengan perlahan. Sesudah menunggu sekian lamanya, terdengarlah suara berdetaknya kaki kuda, perwira itu telah keluar dari hotel dengan menunggang seekor kuda merah, pecutnya telah diayun-ayunkan sehingga menerbitkan suara petasan, mulutnya lantas membentak-bentak pula, "Minggir, minggir! Neneknya, hayo lekas minggir!"
Beberapa orang yang sedikit terlambat menyingkir telah kena pecutnya sehingga berteriak-teriak kesakitan.
Lenghou Tiong sudah membayar uang minum sejak tadi, segera ia lantas berbangkit mengikut di belakang kuda perwira itu.
Perwira itu terus melarikan kudanya ke jalan raya pintu gerbang barat, sesudah keluar kota, kira-kira beberapa li jauhnya, jalanan sudah mulai sepi, segera Lenghou Tiong mempercepat langkahnya dan menyerobot ke depan kuda sembari mengebaskan sebelah tangannya.
Keruan kuda perwira itu terkejut dan meringkik sambil berjingkrak ke atas, hampir-hampir saja perwira itu jatuh terbanting. Untung kepandaian menunggang kudanya cukup mahir sehingga badannya ikut menegak dengan masih tetap menginjak di atas pelana.
"Nenekmu, jalan saja tidak bawa mata" Hampir saja binatang ini menubruk mati diriku," demikian Lenghou Tiong lantas membentak.
Seumpama Lenghou Tiong tidak buka suara saja perwira itu pun sudah murka, apalagi dia pakai memaki segala, keruan perwira itu tambah gusar, begitu kudanya sudah tenang kembali, "tarrr", kontan pecutnya menyabet ke atas kepala Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong merasa kurang leluasa bertindak di tengah jalan raya, segera ia pura-pura menjerit takut terus berlari ke jalan kecil di sebelahnya. Tentu saja perwira itu tidak mau menyudahi begitu saja, ia melompat turun dari kuda dan ditambat sekadarnya di batang pohon, lalu mengejar ke arah Lenghou Tiong.
"Aduh mak!" Lenghou Tiong pura-pura berteriak ketakutan dan lari ke dalam hutan.
Dengan membentak-bentak dan memaki kalang kabut perwira itu mengejar terus. Tapi baru saja ia memasuki hutan itu, sekonyong-konyong iganya terasa kesemutan, "bluk", tanpa ampun lagi ia jatuh tersungkur.
Dengan sebelah kaki menginjak di atas dada perwira yang sudah roboh tak berkutik itu, Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, "Neneknya, begini saja kepandaianmu masakah mampu pimpin pasukan dan perang segala?"
Kemudian ia menggeledah baju perwira itu dan dikeluarkannya sebuah sampul surat besar, di atas sampul tertulis "Surat Pengangkatan" dengan stempel merah Peng-poh-siang-si (Kementerian Angkatan Perang). Waktu sampul dibuka, dikeluarkannya sehelai kertas tebal. Memang benar itulah sebuah surat pengangkatan yang ditujukan kepada Go Thian-tik, semula perwira distrik Jongciu di Hopak, sekarang diangkat menjadi komandan militer Kota Coanciu di Hokkian, ditetapkan pula supaya segera berangkat ke tempat tugas yang baru itu.
"Kiranya adalah tuan besar komandan tentara, jadi kau inilah Go Thian-tik?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
Lantaran dadanya terinjak dan tak bisa berkutik, air muka perwira itu menjadi merah padam, ia masih coba membentak, "Lekas lepaskan aku, kau ... kau berani main gila kepada pembesar negeri, apa kau ti ... tidak takut mati?"
Walaupun masih pakai membentak segala, tapi lagaknya sudah tidak segarang tadi.
"Aku kehabisan sangu, ingin pinjam pakaianmu untuk digadaikan," ujar Lenghou Tiong tertawa. Lalu ia tepuk perlahan di atas kepala perwira itu sehingga pingsan. Dengan cepat ia lantas membelejeti pakaian seragam itu.
Ia pikir perwira ini tentu sudah biasa menindas rakyat kecil, maka harus diberi hajaran yang setimpal. Segera ia belejeti pula seluruh pakaiannya sehingga telanjang bulat.
Ia angkat buntelan perwira itu, rasanya rada berat, ketika dibuka, ternyata ada beberapa ratus tahil perak di dalamnya, ada pula tiga buah lantakan emas. Pikirnya, "Ini tentu hasilnya memeras dari rakyat kecil, sukar bagiku untuk menggunakannya kembali kepada asalnya, terpaksa untuk beli arak saja bagi tuan besar Go Thian-tik aku ini. Ha, ha, haha!"
Begitulah ia lantas menanggalkan pakaian sendiri, lalu memakai seragam perwira rampasan itu lengkap dengan sepatu kulit panjang, golok kebesaran, buntelan berisi uang perak, semuanya dipindahkan ke atas tubuhnya. Lalu pakaian sendiri dirobek untuk dipakai mengikat Go Thian-tik yang tak bisa berkutik itu, mulutnya dijejal penuh pula dengan tanah liat, habis itu barulah ia menuju kembali ke jalan raya.
Begitu mencemplak ke atas kuda, pecutnya berbunyi, lantas membentak-bentak pula, "Minggir, minggir! Neneknya, jalan saja tidak bawa mata" Hahahaha!"
Ia berlagak seperti Go Thian-tik tulen, tapi akhirnya ia menjadi geli sendiri. Di tengah suara tertawanya itulah ia melarikan kudanya secepat terbang ke arah selatan
Malamnya ia menginap di suatu kota kecil, pengurus dan pelayan hotel telah meladeni dia dengan sangat hormat dan takut-takut. Besok paginya Lenghou Tiong menanyakan jurusan ke Hokkian, lalu memberi persen satu tahil perak. Keruan pengurus dan pelayan hotel sangat berterima kasih dan mengantar keberangkatannya dengan hormat.
"Untung kalian ketemukan perwira gadungan seperti aku, jika ketemu perwira tulen seperti Go Thian-tik tentu kalian bisa celaka," pikir Lenghou Tiong.
Ia lantas meneruskan perjalanan ke selatan. Sampai di Kota Kim-hoa dan selanjutnya logat daerah selatan sudah sangat berbeda dengan daerah utara. Untungnya orang-orang mengira dia perwira tulen dan sama berusaha bicara Mandarin (bahasa pemerintah) dengan dia sehingga tidak banyak kesukaran yang dia alami.
Selama hidup Lenghou Tiong tidak pernah pegang uang sebanyak sekarang, keruan ia lantas makan minum semaunya tanpa batas. Terkadang hawa murni yang masih mengeram di dalam tubuhnya suka bergolak lagi ke dalam perut dan membuatnya kepala pusing, terpaksa ia menjalankan ilmu yang diukir Yim Ngo-heng di atas papan besi itu untuk membuyarkan tenaga dalam itu ke urat nadi tertentu, dengan demikian semangatnya lantas pulih kembali dan badannya terasa segar.
Meski tempo hari ia telah menyatakan di depan Yim Ngo-heng dan Hiang Bun-thian bahwa ilmu sakti yang berhasil diyakinkan tanpa sengaja itu selanjutnya takkan digunakannya terhadap orang lain, tapi di saat macam-macam hawa murni di dalam badannya itu menerjang dengan hebat, terpaksa ia mengerahkan ilmu itu untuk memunahkannya. Begitulah setiap kali ia berlatih berarti setiap kali ilmu itu bertambah kuat, tapi dia pun insaf dirinya makin kejeblos ke dalam ilmu Mo-kau itu. Untungnya dia menggunakan ilmu itu terhadap diri sendiri sehingga tidak dapat dianggap mengingkari pernyataannya sendiri.
Suatu hari sampailah dia di lereng Pegunungan Sian-he-nia, jalan pegunungan berliku-liku dan makin meninggi. Untung kuda tunggangannya itu adalah kuda pilihan dan cukup cepat meski berlari di jalan pegunungan.
Menjelang tengah hari, terlihat di depan sana juga ada tiga orang laki-laki sedang berjalan ke selatan. Dari langkah mereka yang tangkas jelas mereka adalah orang-orang bu-lim. Lenghou Tiong tidak ingin bikin gara-gara, perlahan-lahan ia menjalankan kudanya dan berseru, "Maaf, harap memberi jalan!"
Waktu ketiga orang itu menoleh dan melihat pendatang adalah seorang perwira yang tampaknya berpangkat tidak rendah. Padahal zaman itu kaum militer berkuasa, tapi perwira ini ternyata mau bicara dengan sopan, sungguh jarang ada. Maka cepat mereka lantas menyingkir ke pinggir jalan.
Waktu melalui ketiga orang itu, sekilas Lenghou Tiong melihat satu di antara mereka itu adalah orang tua berumur setengah abad lebih, kedua alisnya menjulur ke bawah, sebaliknya sudut mulutnya menjengkit ke atas. Kedua orang lainnya adalah pemuda-pemuda umur 20-an. Seorang di antaranya rada tampan dan gagah. Pada pinggang kedua pemuda itu masing-masing bergantung sebuah golok. Sedangkan orang tua itu tidak tampak membawa senjata.
Jago silat di dunia Kangouw teramat banyak, maka Lenghou Tiong juga tidak menaruh perhatian. Ia melarikan kudanya lagi, dua-tiga puluh li kemudian, sampailah dia di suatu kedai nasi. Ia berhenti di situ dan pesan pemilik kedai menyembelihkan seekor ayam gemuk disertai dua kati arak. Perlahan-lahan ia menenggak araknya sembari menantikan ayam dipanggang.
Baru saja pemilik kedai selesai membubuti bulu ayam dan belum lagi diolah, ternyata ketiga orang tadi pun sudah datang dan singgah juga di kedai. Mereka mengangguk kepada Lenghou Tiong, lalu mengambil tempat duduk sendiri-sendiri.
Ketika melihat pemilik kedai sedang menyembelih ayam, orang tua itu lantas berkata, "Harap buatkan juga dua ekor ayam, kalau ada daging juga boleh potongkan dua piring."
Dari logatnya jelas dia berasal dari Tiongciu (daerah tengah).
Tiba-tiba pemilik kedai mengeluh, "Wah, sungguh sayang! Kebetulan kami cuma tinggal seekor ayam ini dan telah dipesan oleh tuan pembesar itu. Daging juga tidak ada, kalau goreng sosis saja bagaimana?"
"Kami tidak makan daging babi," sahut orang tua itu. "Sudahlah kalau ada telur boleh goreng saja satu piring."
"Telur juga baru saja habis, sungguh sayang," jawab pemilik kedai.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Mereka tidak makan daging babi, agaknya mereka adalah kaum muslimin."
Maka segera ia berkata, "Saudara-saudara, biarlah ayam itu kuberikan kepada kalian, aku sendiri boleh makan sosis saja."
"Bapak komandan benar-benar orang baik, sungguh kami sangat berterima kasih," kata yang tua.
"Ah, tidak apa, kita sama-sama orang utara, sudah seharusnya saling membantu," ujar Lenghou Tiong.
Ketiga orang lantas memberi hormat dan mengucapkan terima kasih pula, lalu mulai minum arak.
Ketika pemilik kedai lagi goreng ayam sehingga bau mulai teruar dari wajan, mendadak terdengar ada suara keriang-keriut di luar, beberapa gerobak dorong telah berhenti di depan kedai. Lima tukang gerobak dengan dada telanjang lantas melangkah ke dalam kedai. Berkarung-karung muatan gerobak-gerobak itu tampaknya adalah garam yang cukup berat.
Kelima tukang gerobak itu bermandikan keringat, mereka duduk di meja yang silir sembari kipas-kipas dengan topi rumput masing-masing. Seorang di antaranya lantas berkata, "Wah, alangkah sedap baunya. Ada ayam goreng ya juragan" Berikan dua ekor, pilihkan yang gemuk."
"Ai, tahu bakalan laris begini tentu di pasar kemarin aku tentu membeli ayam beberapa ekor lagi," ujar pemilik kedai dengan tertawa. "Maaf Tuan-tuan, ayamnya cuma tinggal seekor saja telah dipesan Tuan komandan ini. Tapi Tuan besar ini benar-benar orang baik, beliau telah memberikan lagi kepada ketiga Tuan itu."
Laki-laki yang bicara tadi memandang sekejap ke arah Lenghou Tiong, lalu melotot pula ke arah si kakek dan kedua pemuda, kemudian berkata, "Kematian sudah di depan mata masih ingin gegares segala" Ada lebih baik lekas enyah dari sini saja."
Kedua pemuda tadi menjadi gusar, serentak mereka berdiri dengan tangan memegang golok. Seorang yang gagah itu lantas membentak, "Kau mengoceh apa?"
Si tukang gerobak yang berpotongan pendek gemuk lantas menjawab, "Hm, kawanan anjing dari Mo-kau seperti kalian hendak berbuat apa sama berkeliaran ke sini?"
Si kakek melirik kepada kedua pemuda, lalu menjengek, "Hm, kiranya kawan-kawan sekaum sengaja hendak cari ...." Belum selesai ucapannya, mendadak bayangannya berkelebat, "plak-plok" dua kali, punggung kedua tukang gerobak telah kena digaplok olehnya dan roboh terkapar.
Lenghou Tiong terkejut, dalam hal ilmu pukulan dan sebagainya dia tidak mendalam mempelajari sehingga dia tidak tahu cara bagaimana si kakek melakukan serangan kilat itu.
Terdengar suara bentakan seorang, kiranya pemilik kedai telah menerjang ke luar dengan dua bilah belati yang mengilat terus menubruk ke arah si kakek. Tiga tukang gerobak yang lain juga sama melolos senjata dari gerobak masing-masing dan mulai bertempur melawan kedua pemuda dari Mo-kau. Menyusul lantas terdengar suara bentakan riuh ramai dari segenap pelosok, dari balik batu dan pohon mendadak muncul lebih 20 orang dan membanjir ke depan kedai nasi itu.
Lenghou Tiong tambah terkejut, kiranya di sini telah sembunyi orang sebanyak ini.
Gerakan si kakek tadi ternyata sangat licin, sekali menyelinap ke samping ia telah menghindarkan terjangan si pemilik kedai, tahu-tahu dua tukang gerobak yang lain kena dipukul roboh lagi. Tenaga pukulannya sungguh lihai, asal kena seketika binasa sasarannya.
Tiba-tiba sinar pedang berkelebat, seorang tojin telah menyerbu ke dalam kedai, pedangnya terus menusuk si kakek.
"Kiranya Ho-hong Susiok dari Thay-san-pay," kata Lenghou Tiong di dalam hati.
Ho-hong Tojin yang dimaksud adalah tokoh keempat dalam Thay-san-pay, betapa tinggi ilmu silatnya hanya di bawah ketuanya, yaitu Thian-bun Tojin. Maka sekali turun tangan susul-menyusul ia telah menyerang empat kali sehingga si kakek terdesak mundur dua-tiga tindak. Tapi dengan memainkan kedua telapak tangannya menyusup kian-kemari di bawah sambaran pedang lawan, sedikit pun si kakek tidak tampak di bawah angin.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Anggota-anggota Mo-kau benar-benar sangat banyak orang pandai, pantas selama beberapa ratus tahun kaum cing-pay tidak mampu membasminya. Seperti si kakek ini jelas adalah jago kelas satu."
Begitulah Ho-hong Tojin masih terus mendesak sehingga kembali si kakek mundur dua tindak. Sekonyong-konyong tangannya memukul ke belakang dan mengenai dada pemilik kedai itu, walaupun ia menyerang tanpa menoleh, tapi seperti halnya di punggung juga ada mata, serangannya sangat jitu.
Sekali serangan tepat mengenai sasarannya, dengan cepat sekali si kakek lantas menggeser ke belakang pemilik kedai dan kembali memukul satu kali lagi di punggungnya. Badan pemilik kedai seketika mencelat ke depan, menubruk ke arah Ho-hong Tojin. Waktu Ho-hong berkelit ke samping, kesempatan itu cepat digunakan si kakek untuk lari ke ruang belakang.
Sudah tentu Ho-hong Tojin tidak tinggal diam, bersama dua orang lagi mereka lantas mengejar ke dalam. Sementara itu pemuda yang gagah tadi telah mati dikerubut oleh belasan orang. Lalu ada orang berteriak, "Anjing kecil itu jangan dipotong lagi, kita perlu tawanan hidup!"
Tinggal pemuda yang tampan itu masih terus bertempur mati-matian meski badannya sudah penuh luka, namun ia tidak gentar sedikit pun. Mendadak kaki kanannya kena disabet oleh ruyung seorang lawan, kontan ia jatuh terjungkal, cepat tiga orang lantas menubruknya dan menawannya hidup-hidup.
Dalam pada itu di lereng belakang sana ramai dengan suara bentakan orang, rupanya Ho-hong Tojin dan kawan-kawannya sedang mengejar si kakek. Tapi hanya sebentar saja Ho-hong bertiga tampak sudah kembali dengan marah-marah, bahkan seorang di antaranya yang pendek mencaci maki kalang kabut karena tidak mampu menyusul buronannya.
Di kala orang-orang itu sedang bertempur, Lenghou Tiong pura-pura ketakutan dan meringkuk di pojokan kedai. Ia lihat di antara anak murid Thay-san-pay yang dipimpin Ho-hong Tojin itu ada beberapa orang seperti sudah dikenalnya. Sejak meninggalkan Hangciu selama belasan hari ini ia tidak pernah cukur, maka ia yakin orang-orang itu takkan bisa mengenalnya. Tapi selama mukanya tidak dirias, ia merasa tetap berbahaya. Maka ia sengaja menunduk pura-pura takut dan tidak berani beradu pandang.
Melihat sang "perwira" sedemikian takutnya, seorang murid Thay-san-pay lantas berkata, "Tuan komandan, kau sendiri telah menyaksikan keganasan orang-orang Mo-kau tadi. Tapi urusan ini tiada sangkut pautnya dengan kau, silakan lekas meneruskan perjalananmu saja."
"Baik, baik, aku akan segera be ... berangkat," sahut Lenghou Tiong pura-pura gemetar. Lalu bergegas-gegas keluar dari kedai dan mencemplak ke atas kudanya. Diam-diam ia pikir, "Untuk urusan apakah orang-orang ini datang ke Hokkian sini" Apakah ada hubungannya dengan Hoa-san-pay kami?"
Lantaran pertempuran tadi sehingga Lenghou Tiong tidak jadi bersantap. Padahal daerah Pegunungan Sian-he-nia sangat jarang penduduknya, meski sudah lebih 20 li jauhnya tetap tidak tampak sebuah rumah pun. Sementara itu hari sudah hampir gelap. Seadanya Lenghou Tiong lantas petik buah-buahan yang diketemukan sekadar tangsel perut.
Tiba-tiba ia melihat di sebelah pohon sana ada sebuah gua kecil yang rada kering dan tidak sampai terganggu oleh binatang atau serangga. Segera ia tambat kudanya di batang pohon dan membiarkannya makan rumput sendiri. Lalu ia sendiri pun mencari setumpukan rumput kering untuk dibuat kasur, ia bermaksud bermalam di gua itu.
Ia merasa jalan napas dan saluran darahnya rada-rada sesak, segera ia duduk semadi. Ilmu sakti ajaran Yim Ngo-heng itu ketika permulaan latihan tidak terasakan apa-apa, tapi setiap kali diulangi lagi setiap kali merasakan tambahan manfaatnya, rasanya nyaman tak terkatakan. Sekian lamanya ia berlatih sehingga badan terasa segar dan enteng.
Akhirnya ia menarik napas panjang-panjang, lalu berbangkit. Ia menjadi tersenyum getir sendiri, pikirnya, "Tempo hari Yim-kaucu tidak mau menjawab pertanyaanku tentang apa sebabnya dia meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, padahal dia memiliki Kui-hoa-po-tian yang tiada bandingannya. Namun sekarang aku menjadi paham sebabnya. Kiranya Gip-sing-tay-hoat ini kalau sudah berhasil diyakinkan, maka seperti halnya candu saja, orang akan merasa seperti ketagihan dan sukar untuk meninggalkannya."
Bab 77. Kelakar Si Perwira Gadungan
Ia berjalan keluar gua, dilihatnya langit penuh dengan bintang, sekeliling melulu suara serangga belaka. Pada saat lain tiba-tiba dari atas jalan pegunungan itu ada suara orang sedang mendatangi. Tatkala itu jaraknya masih jauh, tapi sekarang tenaga dalamnya amat kuat, dengan sendirinya telinganya menjadi tajam pula. Tergeraklah pikirannya, cepat ia melepaskan tambatan kuda, ia tepuk perlahan pantat kuda itu agar berjalan ke lereng sana. Ia sendiri lantas sembunyi di belakang pohon.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara tindakan orang tadi semakin mendekat. Jumlah orangnya ternyata tidak sedikit. Di bawah sinar bintang yang remang-remang terlihat orang-orang itu sama memakai baju hijau, seorang di antaranya bertindak dengan sangat cepat dan gesit. Kiranya bukan lain daripada si kakek yang bertempur di kedai melawan orang-orang Thay-san-pay itu. Selebihnya kira-kira ada 30-an orang dengan potongan tinggi-pendek tidak sama, mereka mengikut di belakang si kakek tanpa membuka suara.
"Mereka menuju ke selatan dan masuk ke Hokkian, jangan-jangan ada hubungannya dengan Hoa-san-pay kami" Apakah mereka mendapat perintah Yim-kaucu untuk membikin susah kepada suhu dan sunio?" demikian pikir Lenghou Tiong.
Ia tunggu sesudah rombongan itu sudah pergi rada jauh, dengan hati-hati segera ia pun menguntit dari belakang.
Beberapa li kemudian, jalan pegunungan itu mendadak bertambah curam, kedua tepi berdiri dinding tebing, hanya di tengah-tengah celah bukit itu jalanan sempit itu menembus. Begitu sempit jalanan itu sehingga tidak cukup untuk dua orang jalan berjajar. Terlihat 30-an orang itu menanjak ke jalan pegunungan itu dalam barisan yang panjang.
Lenghou Tiong lantas menyusup ke tengah semak-semak rumput di tepi jalan untuk menghindarkan pergokan orang-orang itu jika kebetulan ada yang menoleh. Ia hendak tunggu barisan orang itu sudah melintas ke sebelah bukit sana barulah akan menyusul ke atas.
Di luar dugaan, ketika hampir sampai di atas bukit, mendadak rombongan orang-orang itu lantas memencarkan diri dan bersembunyi di balik batu-batu padas, hanya sekejap saja semuanya sudah menghilang.
Lenghou Tiong terkejut dan mengira jejaknya telah diketahui oleh orang-orang itu. Tapi segera ia mengetahui bukan begitu halnya. Pikirnya, "Mereka sembunyi di sini untuk menyergap musuh yang hendak naik ke atas bukit. Ya, tempat ini memang sangat berbahaya, jika diserang secara mendadak tentu lawan akan terbasmi. Ngo-gak-kiam-pay adalah kawanan serikat, aku harus memperingatkan mereka akan bahaya ini."
Begitulah ia lantas merangkak pergi di tengah semak rumput, sesudah jauh meninggalkan jalan pegunungan itu barulah ia lari turun ke bawah. Sesudah tidak tampak lagi tanjakan bukit tadi baru dia berani kembali ke jalan pegunungan itu dan melangkah ke utara.
Sembari jalan cepat ia pun pasang telinga memerhatikan suara tindakan orang dari depan. Belasan li kemudian, tiba-tiba dari tempat yang lebih tinggi di sebelah kiri berkumandang suara tajam seorang wanita sedang berkata, "Kau masih berdebat membela Lenghou Tiong keparat itu?"
Di tengah malam buta dan di tanah pegunungan sunyi demikian mendadak namanya sendiri disebut secara jelas oleh seorang wanita, betapa pun tabahnya Lenghou Tiong juga tidak urung merasa merinding, pikirnya, "Setan atau siluman ini, mengapa namaku disebut-sebut di tempat begini?"
Menyusul lantas terdengar pula suara seorang wanita lain, cuma jaraknya rada jauh, suaranya perlahan pula sehingga tidak jelas apa yang dikatakan.
Waktu Lenghou Tiong menengadah ke atas, ternyata di lereng sana berdiri dua-tiga puluh orang. Ia heran, mereka membicarakan diriku, mengapa memaki aku keparat lagi"
Segera ia menyusup pula ke semak rumput dan menyusur ke belakang tanah tanjakan itu. Dengan jalan membungkuk sampailah dia di balik sebatang pohon besar. Didengarnya suara seorang wanita sedang berkata, "Supek, Lenghou-suheng berhati baik dan berbudi luhur ...."
Hanya mendengar kalimat ini saja seketika dalam benak Lenghou Tiong terbayang sebuah wajah yang bulat telur dan cantik manis, sebab lantas diketahuinya bahwa yang bicara itu adalah nikoh cilik dari Hing-san-pay, yaitu Gi-lim. Lantaran guncangan perasaannya sehingga ucapan Gi-lim selanjutnya tidak terdengar olehnya.
Suara wanita yang tajam semula tadi lantas berkata dengan gusar, "Mengapa kau ngotot terus" Memangnya surat selebaran ketua Hoa-san-pay adalah palsu" Gurunya telah menyebarkan surat edaran bahwa Lenghou Tiong telah dipecat karena bersekongkol dengan orang Mo-kau, apakah tuduhan ini adalah fitnahan" Kepergian kita ke Hokkian sekarang rasanya tidak-bisa-tidak mesti bertarung dengan pihak Mo-kau, maka setiap tindak tanduk kita harus dilakukan dengan hati-hati. Aku tahu dahulu kau pernah ditolong oleh Lenghou Tiong, tapi besar kemungkinan dengan sedikit budi kebaikan yang pernah dia berikan padamu itu akan digunakan olehnya untuk menjebak kita ...."
"Supek, kejadian itu bukan cuma sedikit budi kebaikan saja," sela Gi-lim. "Tapi tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri Lenghou-suheng telah ...."
"Masih kau menyebutnya suheng?" bentak suara wanita yang pertama yang serak tua itu. "Dia memang pandai berpura-pura, adalah bajingan yang banyak tipu daya sehingga anak kecil seperti kau mudah tertipu."
"Perintah Supek tentu saja Tecu patuhi," sahut Gi-lim. "Cuma ... cuma saja Lenghou-su ...." sebelum kata "heng" terucapkan telah ditelan kembali mentah-mentah.
"Cuma apa?" tanya suara tua tadi.
Gi-lim seperti sangat takut dan tidak berani bicara lagi.
Orang tua itu lantas berkata, "Sekali ini Ngo-gak-kiam-pay telah mendatangi Hokkian semua. Kita sama-sama mengetahui bertujuan mencari "Pi-sia-kiam-boh" milik keluarga Lim di Hokciu itu. Bocah dari keluarga Lim sudah menjadi murid Gak-siansing dari Hoa-san-pay, jika kiam-boh itu sampai diperoleh pihak Hoa-san-pay sudah tentu kita ikut bersyukur. Hing-san-pay kita selamanya mengutamakan keadilan dan tidak sudi mengincar barang milik orang lain. Seumpama kiam-boh itu jatuh di tangan kita juga akan kita kembalikan kepada keluarga Lim. Yang hendak kita jaga adalah jangan sampai kitab pusaka itu jatuh di tangan kaum jahat sehingga disalahgunakan. Ciangbunjin telah memberikan tugas berat kepadaku untuk memimpin orang-orang kita ke Hokkian, urusan ini menyangkut kepentingan cing-pay kita, maka kita harus waspada dan akan kulaksanakan dengan sepenuh tenaga. Bila kiam-boh itu sampai jatuh di tangan Mo-kau sehingga menambah ilmu kepandaian mereka, maka celakalah pihak kita tentu. Kira-kira maju lagi 30 li akan sampai di tapal batas Hokkian dan Ciatkang, selanjutnya setiap langkah kita akan selalu menghadapi bahaya. Maka malam ini biarlah kita capek sedikit dan meneruskan perjalanan ke Ji-pek-poh. Untungnya Ho-hong Susiok dari Thay-san-pay sudah membunuh kawanan Mo-kau yang datang lebih dulu sehingga kita tidak perlu buang-buang tenaga lagi. Tapi kalau orang-orang Mo-kau menyusul tiba secara besar-besaran, tentu pertarungan sengit akan terjadi lagi."
Terdengar suara beberapa puluh orang perempuan sama mengiakan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Orang tua ini bukan ketua Hing-san-pay, juga bukan gurunya Gi-lim Sumoay, entah suthay tua mana dari Hing-san-pay mereka" Dia telah menerima surat edaran guruku dan menganggap aku sebagai orang jahat, hal ini juga tak bisa menyalahkan dia. Dia mengira rombongannya sudah mendahului jalan di depan, tak tahunya kalau orang-orang Mo-kau sudah sembunyi di atas bukit sana. Syukur aku memergoki kejadian ini, tapi cara bagaimana aku memberitahukan kepada mereka?"
Terdengar orang tua itu berkata pula, "Di pegunungan sunyi ini akan kuberi tahukan secara jelas kepada kalian. Harus diketahui, begitu kita memasuki wilayah Hokkian, maka di tiap tempat akan selalu berhadapan dengan musuh. Bukan mustahil pelayan restoran atau pesuruh hotel adalah mata-mata Mo-kau pula. Jangankan di sebelah kamar ada telinga, bahkan di tengah semak-semak rumput umpamanya juga mungkin ada musuh bersembunyi. Oleh karena itu, selanjutnya tiada seorang pun boleh menyebut "Pi-sia-kiam-boh" segala, bahkan nama Gak-siansing, Lenghou Tiong, dan Tonghong Pit-pay juga tidak boleh disebut-sebut."
Para murid wanita itu lantas sama mengiakan.
Kiranya ketua Mo-kau yaitu Tonghong Put-pay, karena ilmu silatnya mahasakti, maka menamakan dirinya "put-pay" (tak terkalahkan), tapi orang-orang cing-pay kalau menyebut namanya sengaja diubah menjadi "pit-pay" (pasti kalah). Hanya beda satu huruf saja, tapi artinya sama sekali terbalik.
Mendengar namanya sendiri disejajarkan dengan nama gurunya sendiri serta nama Tonghong Put-pay, tertampil senyuman getir di wajah Lenghou Tiong. Pikirnya, "Aku cuma seorang keroco yang tak berarti saja, mengapa sedemikian dihargai oleh para cianpwe Hing-san-pay kalian?"
Lalu terdengar orang tua tadi berkata lagi, "Marilah kita melanjutkan perjalanan!"
Kembali para murid mengiakan, menyusul tujuh murid wanita berlari cepat ke bawah dari tempat yang tinggi itu, selang sejenak kembali tujuh orang lari ke bawah pula.
Ginkang kaum Hing-san-pay cukup terkenal dan mempunyai keindahannya sendiri, maka barisan tujuh orang berturut-turut itu tampaknya menjadi sangat rapi. Tidak lama kemudian kembali tujuh orang berlari turun lagi. Murid-murid wanita itu bercampur aduk antara murid nikoh dan murid perempuan preman, di tengah malam gelap sukar juga diketahui Gi-lim ikut di dalam kelompok yang mana. Hanya diketahui semuanya menuju ke arah selatan.
Lenghou Tiong berpikir pula, "Para suci dan sumoay dari Hing-san-pay itu memiliki kepandaian tinggi, tapi begitu mendaki lereng bukit sana, di tengah jalan kecil yang diapit oleh tebing yang curam, bila mendadak disergap oleh kawanan Mo-kau, tentu keadaan tidak menguntungkan mereka dan akan menderita korban berat."
Begitulah berturut-turut anak murid Hing-san-pay itu telah diberangkatkan, seluruh ada lima kelompok, pada kelompok terakhir berjumlah delapan orang, mungkin dipimpin sendiri oleh orang tua tadi.
Segera Lenghou Tiong mencabut segenggam rumput hijau dan dikucek-kucek supaya keluar airnya, lalu dipoles ke mukanya sendiri, kemudian ditempeli pula dengan debu tanah sehingga kotor, ia menduga sekalipun di waktu siang juga Gi-lim takkan mengenalnya. Lalu ia berlari memutar ke sebelah kiri jalanan terus mengejar ke depan.
Ginkang Lenghou Tiong sebenarnya tidak tinggi, namun sekarang dia memiliki tenaga dalam yang mahakuat, setiap langkah yang diayunkan sekenanya juga cukup lebar, apalagi sekarang ia berlari dengan bersemangat, maka hanya sekejap saja ia sudah dapat menyusul rombongan orang-orang Hing-san-pay. Khawatir jejaknya didengar oleh tokoh tua Hing-san-pay yang pasti berkepandaian tinggi itu, Lenghou Tiong sengaja memutar pula untuk kemudian mendahului di depan rombongan Hing-san-pay. Sesudah berada kembali di jalanan pegunungan itu, larinya menjadi lebih cepat lagi.
Sesudah lewat sekian lamanya, sang bulan sudah menghias di tengah cakrawala. Sampai di bawah tanah tanjakan Lenghou Tiong lantas berhenti dan mendengarkan dengan cermat, tapi tidak terdengar sesuatu suara apa pun. Pikirnya, "Jika aku tidak menyaksikan sendiri kawanan Mo-kau itu sembunyi di sekitar tanah tanjakan ini, siapa yang dapat mengirakan bahwa di tempat inilah tersembunyi bahaya maut yang setiap saat akan meletus."
Perlahan-lahan Lenghou Tiong mendaki tanjakan yang diapit dinding tebing curam itu. Sampai di mulut jalan yang sempit, jaraknya dengan tempat sembunyi orang-orang Mo-kau ditaksir masih ada ratusan meter jauhnya. Segera ia duduk di situ sambil termenung, "Besar kemungkinan orang Mo-kau sudah melihat diriku, cuma khawatir sembunyi mereka diketahui pihak Hing-san-pay, rasanya mereka takkan mengganggu diriku."
Sesudah menunggu sebentar, akhirnya ia merebahkan diri sekalian. Selang sejenak lagi, sayup-sayup terdengarlah suara tindakan orang di bawah sana. Tiba-tiba timbul pikiran Lenghou Tiong ingin memancing keluarnya orang-orang Mo-kau untuk bertempur agar diketahui oleh orang-orang Hing-san-pay.
Segera ia menggumam sendiri, "Huh, selama hidupku paling benci kepada pengecut-pengecut yang pintarnya menyerang secara menggelap. Kalau benar berani kenapa tidak bertempur secara terang-terangan untuk menentukan mati atau hidup" Huh, main sembunyi-sembunyi untuk membikin celaka orang lain, ini benar-benar perbuatan manusia rendah yang tidak tahu malu."
Dia bicara menghadap ke atas bukit dengan menggunakan tenaga dalam, meski suaranya tidak begitu keras, tapi dapat berkumandang jauh dan diduga akan terdengar jelas oleh orang-orang Mo-kau.
Tak tersangka orang-orang itu ternyata cukup sabar dan dapat menahan perasaan tanpa gubris caci maki Lenghou Tiong itu. Tidak lama kemudian, tujuh murid Hing-san-pay kelompok pertama sudah sampai di depan Lenghou Tiong.
Di bawah sinar bulan dapatlah murid-murid Hing-san-pay itu melihat seorang perwira tentara tidur telentang di atas tanah itu. Padahal jalan pegunungan itu sangat sempit dan cuma cukup dilalui seorang saja, kedua samping adalah dinding tebing yang curam, untuk menanjak ke atas harus melangkahi dulu badan sang "perwira".
Sebenarnya dengan suatu lompatan saja dengan gampang murid-murid Hing-san-pay itu sudah bisa lalu, cuma kaum wanita adalah tidak pantas melompat lewat di atas kepala kaum pria, betapa pun hal ini tidak sopan.
Maka seorang nikoh setengah umur di antaranya lantas berkata, "Maaf, tolong Tuan komandan suka memberi jalan!"
Lenghou Tiong sengaja bersuara "ah-uh" tak jelas, habis itu mendadak timbul suara mengoroknya dengan keras.
Nikoh setengah umur itu bergelar Gi-ho, wataknya rada berangasan. Ketika melihat seorang perwira tidur mengadang di tengah jalan di tengah malam buta, bahkan suara mengoroknya itu jelas sengaja dibuat-buat, keruan ia sangat mendongkol. Tapi sedapat mungkin ia menahan gusarnya dan bicara pula, "Jika kau tidak mau menyingkir, terpaksa kami akan melangkah di atas badanmu."
Sembari masih mengorok, Lenghou Tiong sengaja menggumam pula seperti mengigau, "Jalanan ini sangat banyak setan iblisnya, janganlah lalu ke sana. Oooh, lautan derita tiada batasnya, kembalilah masih bisa menepi."
Gi-ho melengak, ucapan orang itu seakan-akan bermakna ganda. Seperti omongan orang sinting, tapi seolah-olah bermaksud memperingatkannya akan bahaya di depan sana.
Seorang nikoh lebih muda lantas tarik lengan baju Gi-ho, ketujuh orang sama mundur beberapa tindak. Seorang lantas bicara dengan suara bisik-bisik, "Suci, tampaknya orang ini rada-rada tidak beres."
"Ya, mungkin dia adalah orang Mo-kau yang hendak menyergap kita di sini," ujar yang lain.
Tapi seorang lagi lantas menanggapi, "Tidak, kukira orang Mo-kau takkan menjadi perwira kerajaan. Andaikan sengaja menyamar juga akan menyaru dalam bentuk lain."
"Tak perlu gubris padanya," kata Gi-ho akhirnya. "Jika dia tetap tidak mau menyingkir segera kita melompati dia."
Lalu ia melangkah maju dan membentak, "Jika kau tetap tidak menyingkir, terpaksa kami akan berlaku kurang hormat."
Baru sekarang Lenghou Tiong pura-pura mendusin, lalu merangkak bangun berduduk sambil mengolet kemalas-malasan. Khawatir Gi-lim mengenalnya, ia sengaja duduk menghadap ke atas bukit dan membelakangi anak murid Hing-san-pay itu. Dengan sebelah tangan menahan dinding tebing, badannya pura-pura sempoyongan kayak orang mabuk sembari berseru, "Arak enak, arak bagus!"
Pada saat itu pula anak murid Hing-san-pay kelompok kedua juga sudah tiba. Seorang murid dari keluarga preman lantas tanya, "Gi-ho Suci, apa yang dilakukan orang ini di sini?"
"Entah, kenal saja tidak!" ujar Gi-ho sambil mengerut dahi.
Tiba-tiba Lenghou Tiong berseru, "Tadi baru saja sembelih seekor anjing, perutku menjadi kembung saking kenyang, terlalu banyak pula menenggak arak, wah, mungkin aku ingin muntah-muntah. Ai, celaka, benar-benar akan muntah!"
Lalu ia sengaja mengeluarkan suara "Aooh! Aouuuh!" seperti orang hendak tumpah.
Murid-murid perempuan Hing-san-pay itu dasarnya memang suka akan kebersihan, sesudah menjadi murid Hing-san-pay mereka tidak pernah minum arak dan makan daging pula, apalagi daging anjing. Keruan mereka sama mendekap hidung dan menyingkir mundur demi mendengar ocehan Lenghou Tiong tadi.
Meski mulutnya menguak berulang-ulang, tapi tiada sesuatu yang ditumpahkan oleh Lenghou Tiong.
Selagi murid-murid Hing-san-pay itu bisik-bisik membicarakan kelakuan Lenghou Tiong itu, dalam pada itu rombongan ketiga juga sudah tiba pula. Segera terdengar seorang di antaranya berkata dengan suara lemah lembut, "Orang ini sedang mabuk, sungguh harus dikasihani. Biarlah dia mengaso sebentar barulah kita lewat ke sana."
Mendengar suara itu, hati Lenghou Tiong rada tergetar, pikirnya, "Hati Gi-lim Sumoay benar-benar welas asih."
Tapi terdengar Gi-ho telah berkata, "Orang ini sengaja mengacau di sini, agaknya tidak bermaksud baik."
Habis itu ia lantas melangkah maju dan membentak, "Lekas menyingkir!"
Berbareng itu pundak kanan Lenghou Tiong lantas didorong.
Lenghou Tiong pura-pura tergeliat sambil berseru, "Ai, celaka!"
Tubuhnya lantas terhuyung-huyung ke depan sehingga jalan pegunungan yang sempit itu semakin tersumbat. Untuk bisa lalu Gi-ho dan rombongannya harus melompat melintasi kepala Lenghou Tiong, lain jalan tidak ada.
Gi-ho menyusul maju dan membentak lagi, "Minggir!"
"Baik, baik!" sahut Lenghou Tiong sembari melangkah ke atas beberapa tindak. Semakin jalan semakin menanjak ke atas sehingga jalanan sempit itu semakin tertutup rapat. Mendadak ia berteriak, "Hai, kawan-kawan yang sembunyi di atas itu, awas, orang-orang yang kalian tunggu-tunggu sekarang sudah mulai naik ke atas, begitu diterjang tentu tiada satu pun bisa lolos!"
Mendengar teriakan Lenghou Tiong itu, cepat Gi-ho dan teman-temannya melangkah mundur. Seorang di antaranya berkata, "Tempat ini memang sangat berbahaya, jika musuh sembunyi di sini dan menyergap secara mendadak memang sukar untuk ditahan."
"Jika benar ada orang sembunyi di sini masakah dia berteriak-teriak demikian?" ujar Gi-ho. "Kukira dia cuma menggertak sambal belaka, tentu di atas tidak ada orang. Bila kita perlihatkan rasa takut tentu akan ditertawai musuh."
"Memang," tukas dua nikoh setengah umur yang lain. "Marilah kita bertiga membuka jalan di depan, biarkan para sumoay menyusul dari belakang."
Begitulah mereka lantas melolos pedang, segera mereka mendekati Lenghou Tiong pula.
Lenghou Tiong pura-pura megap-megap napasnya dan berkata, "Wah, terjal benar bukit ini, sudah tua, tidak kuat lagi."
Seorang nikoh itu lantas membentak, "He, silakan kau minggir agar kami bisa lewat dulu."
"Ai, orang beragama janganlah suka marah-marah. Cepat atau lambat akhirnya toh akan sampai juga di tempat tujuan. Ai, kalau pergi ke akhirat kan lebih baik perlahan sedikit."
"Kurang ajar, kenapa kau memaki orang?" kata nikoh tadi sembari menusukkan pedangnya ke punggung Lenghou Tiong dari samping Gi-ho.
Tujuannya hanya untuk menggertak Lenghou Tiong agar dia mau menyingkir, maka ketika pedangnya hampir mencapai tubuhnya segera ia tahan pedang dan tidak diteruskan.
Kebetulan pada saat yang sama Lenghou Tiong telah putar tubuh, ketika melihat sebatang pedang mengacung tepat di depan dadanya, mendadak ia membentak, "Ai, kau ... kau mau apa" Aku adalah pembesar kerajaan, kau berani berbuat kurang ajar padaku" Hayo prajurit, tangkap nikoh ini!"
Tapi biarpun dia membentak dan berteriak memberi aba-aba, sudah tentu di pegunungan sunyi itu tiada orang menggubrisnya. Malahan beberapa nikoh muda menjadi cekikikan geli. Mereka merasa lucu akan sikap Lenghou Tiong yang berlagak seperti tuan besar itu.
"Tuan komandan, kami ada urusan penting harus buru-buru berangkat, sudilah kau minggir dulu memberi jalan," demikian seorang nikoh membujuk lagi dengan tertawa.
"Komandan apa segala" Aku adalah panglima, kau harus panggil jenderal padaku, tahu?" bentak Lenghou Tiong.
Dengan tertawa-tawa beberapa nikoh lantas memanggil berbareng, "Baiklah, Jenderal, mohon engkau suka memberi jalan!"
Lenghou Tiong bergelak tertawa sembari membusungkan tiada, lagaknya seperti dunia ini dia kuasa. Tapi mendadak sebelah kakinya terpeleset, badannya terus terperosot jatuh.
Nikoh-nikoh muda itu sama menjerit khawatir. Dua di antaranya lantas memburu maju untuk memegangi lengan Lenghou Tiong. Lenghou Tiong pura-pura terpeleset sekali lagi, habis itu baru berdiri tegak sambil memaki, "Mak ... begini licin tanah ini. Pembesar setempat benar-benar tak becus semua, masakah jalanan kecil seburuk ini tidak pernah diperbaiki."
Karena terpeleset dan jatuhnya itu, waktu berdiri lagi badannya sudah menyandar pada dinding tebing yang lekuk, kesempatan itu segera digunakan oleh murid-murid Hing-san-pay untuk melompat lewat dengan ginkang masing-masing dan terus berlari ke atas.
Ketika sesosok tubuh yang ramping melayang lewat, itulah Gi-lim adanya. Cepat Lenghou Tiong lantas mengintil di belakangnya. Dengan demikian orang-orang yang masih berada di belakang menjadi terhalang lagi.
Melihat langkah Lenghou Tiong sangat kaku, napasnya terengah-engah pula, dua tindak tiga kali jatuh, jalan setengah merangkak, tapi cukup cepat juga, maka murid-murid Hing-san-pay yang berada di belakangnya sama geli dan mengomel pula, "Ai, jenderal kok begini ... jatuh berapa kali sih setiap harinya?"
"Jangan kau mendesak-desak jenderal, Gi-jing Suci," kata Gi-lim sambil menoleh. "Jika terburu-buru nanti beliau benar-benar akan jatuh tergelincir ke bawah."
Melihat sepasang mata Gi-lim yang besar dan bening dengan wajah yang ayu itu, Lenghou Tiong jadi terkenang kejadian dahulu ketika menghindari pengejaran orang-orang Jing-sia-pay di Kota Heng-san. Gi-lim telah memondongnya melarikan diri dari kota itu, tatkala itu dirinya pernah juga memandang muka yang molek itu dengan kesima. Maka sekarang mendadak timbul juga rasa kasihnya, pikirnya kalau musuh yang sembunyi di atas itu sampai menyerbu keluar, betapa pun aku harus melindungi keselamatan Gi-lim Sumoay.
Dalam pada itu kelompok-kelompok Hing-san-pay di bagian belakang berturut-turut sudah sampai di kaki bukit, sedang kelompok paling depan juga hampir mencapai atas bukit sana.
Lenghou Tiong sengaja berteriak-teriak lagi, "He, he! Awas! Di atas sana banyak bersembunyi kaum pencoleng, hati-hati jangan sampai sedikit sangu yang kalian bawa itu dirampok oleh mereka!"
"Ada jenderal kita di sini, kenapa kita mesti takut!" ujar Gi-jing dengan tertawa.
"He, awas, seperti ada orang melongak-longok di atas sana!" teriak Lenghou Tiong.
Seorang murid muda lantas mengomel, "Jenderal ini memang rewel, masakah kami takut kepada beberapa kaum pencoleng begituan?"
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar jeritan dua murid wanita yang lain dan terus terperosot ke bawah. Cepat dua temannya memburu maju untuk membangunkan mereka.
Beberapa orang di depan lantas berseru, "Awas, kawanan bangsat melepaskan senjata rahasia!"
Belum habis ucapannya kembali ada seorang terguling ke bawah lagi.
"Berjongkok semua, awas senjata rahasia musuh!" seru Gi-ho. Serentak mereka sama mendakkan tubuh.
Lenghou Tiong lantas memaki, "Bangsat kurang ajar, apa kalian tidak tahu ada jenderal di sini?"
Gi-lim tarik-tarik tangannya sambil berkata khawatir, "Lekas berjongkok, lekas!"
Beberapa murid wanita di depan sana lantas balas menghamburkan senjata rahasia, tapi musuh sembunyi di balik batu-batu padas, seorang pun tidak kelihatan, sudah tentu serangan mereka tidak mengenai sasarannya.
Nikoh tua yang memimpin rombongan Hing-san-pay itu adalah Ting-cing Suthay. Ketika mendengar jejak musuh diketemukan di bagian depan, segera ia memburu maju dengan melompati kepala anak murid wanita itu. Sampai di belakang Lenghou Tiong, secepat burung ia lantas melayang lewat pula di atas kepalanya.
Keruan Lenghou Tiong berteriak-teriak, "Wah, sebal, sial!" Lalu ia berludah beberapa kali.
Tertampak Ting-cing Suthay terus menyerbu ke atas di bawah berhamburnya senjata rahasia musuh, senjata-senjata rahasia itu ada yang menancap di lengan bajunya yang gondrong longgar itu, ada yang disampuk jatuh pula. Hanya beberapa kali loncatan lagi Ting-cing Suthay sudah sampai di atas bukit.
Tapi baru saja sebelah kakinya hendak melangkah ke atas, sekonyong-konyong angin keras menyambar tiba. Sebatang toya tembaga telah mengemplang ke atas kepalanya. Dari suara angin yang menderu itu dapatlah diketahui toya itu pasti sangat berat.
Ting-cing Suthay tidak berani menangkis begitu saja, cepat ia berkelit dan menggeser ke samping. Tapi tahu-tahu dua tombak berantai lantas menusuknya pula dari atas dan bawah. Ternyata penyerangnya adalah seorang ahli tombak yang lihai.
"Pengecut!" bentak Ting-cing Suthay sambil cabut pedangnya, sekali tangkis sepasang tombak lawan kena disampuk ke samping. Tapi toya tadi lagi-lagi menyerampang ke pinggangnya. Kiranya ada tiga musuh lihai yang menyergapnya di ujung jalan situ sehingga Ting-cing tidak sempat mencapai puncak bukit.
Meski satu lawan tiga, namun Ting-cing Suthay tetap tabah. Ketika pedangnya menempel toya musuh, sekalian ia terus menebas ke bawah. Tapi sebuah tombak lawan tahu-tahu juga menusuk ke pundaknya.
Dalam pada itu di bawah sana ramai dengan jerit khawatir murid-murid Hing-san-pay, menyusul terdengarlah suara gemuruh, ternyata musuh sudah memanjat ke atas tebing dan dari situ mereka menjatuhkan batu-batu besar.
Terimpit di jalan pegunungan yang sempit itu, terpaksa murid-murid Hing-san-pay itu berlompatan kian-kemari untuk menghindari tumbukan batu-batu besar. Untung murid Hing-san-pay yang dikerahkan ke Hokkian ini adalah jago-jago pilihan semua dengan ginkang yang tinggi, namun demikian tidak urung beberapa orang terluka juga keserempet batu-batu itu.
Mendengar jeritan anak muridnya, Ting-cing Suthay lantas mundur dua tindak dan berseru, "Putar balik, turun dulu ke bawah!"
Segera ia mengadang di belakang untuk menahan kejaran musuh.
Tapi suara gemuruh masih terus terdengar, batu-batu besar dijatuhkan terus oleh musuh dari atas tebing. Menyusul terdengar suara benturan senjata yang ramai, kiranya di kaki bukit juga ada musuh, mereka menunggu rombongan Hing-san-pay sudah memasuki jalanan sempit dan mendaki ke atas bukit, begitu teman di atas bertindak, lalu mereka muncul dari tempat sembunyi untuk menyumbat jalan mundur orang-orang Hing-san-pay.
Segera Ting-cing Suthay mendapat laporan dari bagian bawah bahwa musuh yang mencegat di bawah itu sangat lihai, sukar menerjang ke bawah. Bahkan sejenak kemudian laporan datang lagi mengatakan dua teman telah terluka.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting-cing menjadi gusar, secepat terbang ia lari ke bawah. Dilihatnya dua laki-laki baju hijau dengan golok sedang menyerang, dua murid wanita tampak terdesak mundur. Sembari membentak Ting-cing terus melayang ke bawah dengan tusukan pedang.
Tapi mendadak dari bawah dua buah gandin berantai menghantam mukanya. Terpaksa Ting-cing menangkis dengan pedangnya, sebuah gandin yang lain mendadak mencelat ke atas untuk kemudian lantas menghantam ke bawah.
Keruan Ting-cing terkejut dan mengakui betapa hebat tenaga lawan. Sebab gandin itu masing-masing sedikitnya adalah 20-an kati. Tapi orang itu dapat memainkan gandin seberat itu dari jauh dengan melalui rantai yang lemas, maka dapatlah dibayangkan kekuatan lengannya itu.
Jika di tanah datar Ting-cing Suthay tentu tidak sukar untuk melayani serangan-serangan demikian, tapi di tengah jalan sedemikian sempit, selain berhadapan dari satu jurusan tiada jalan lain lagi. Padahal sepasang gandin lawan itu diputar sedemikian rapatnya dan menghantam berulang-ulang, percuma saja Ting-cing memiliki ilmu pedang yang tinggi, terpaksa ia main mundur ke atas bukit lagi.
Tiba-tiba terdengar suara mengaduh di atas, kembali beberapa murid wanita terguling ke bawah karena kena senjata rahasia musuh.
Bab 78. Orang Hing-san-pay Masuk Perangkap Musuh
Ting-cing coba tenangkan diri, ia merasa musuh yang menjaga di atas itu ilmu silatnya lebih lemah dan lebih mudah dilayani. Maka cepat ia menerjang ke atas lagi dengan melompati murid-murid Hing-san-pay.
Ketika Lenghou Tiong dilompati pula, ia lantas berteriak-teriak, "Ai, macam apa ini" Memangnya lompat tinggi atau lompat jauh" Sudah tua begini masih suka main-main lompat segala" Kepalaku kau lompati ke sana ke sini, sungguh sial, kalau judi tentu kalah!"
Lantaran ingin buru-buru menerjang musuh, maka Ting-cing tidak memerhatikan apa yang diucapkannya. Sebaliknya Gi-lim lantas berkata kepadanya, "Maaf, Supek kami tidak sengaja melompati kau!"
Tapi Lenghou Tiong pura-pura masih mengomel, "Sudah sejak tadi aku bilang di sini banyak pencoleng, tapi kalian tidak mau percaya."
Dalam hati ia pun merasa tidak terduga bahwa di bawah bukit itu ternyata ada sembunyi orang-orang Mo-kau pula. Tergencet di tengah jalan sedemikian sempit, biarpun berjumlah banyak juga terpaksa orang-orang Hing-san-pay tidak mampu berkutik, untuk membantu mereka dirasakan serbasusah juga.
Waktu Ting-cing hampir tiba di atas bukit lagi, sekonyong-konyong bayangan toya berkelebat, sebatang pentung padri telah mengemplang ke atas kepalanya. Kiranya musuh telah siap di situ pula dengan jago pilihan.
Diam-diam Ting-cing gelisah, ia pikir kalau rintangan ini tidak bisa dibobolkan, besar kemungkinan anak murid Hing-san-pay yang dipimpinnya ini akan musnah seluruhnya di bukit ini.
Cepat ia mengegos, pedangnya menusuk dari samping, dari jarak beberapa senti saja jauhnya ia berhasil menghindarkan diri dari hantaman pentung musuh. Berbareng itu ia sudah menubruk maju bersama pedangnya terus menusuk musuh bersenjata pentung, yaitu seorang thauto (hwesio berambut) besar gemuk.
Serangan Ting-cing ini boleh dikata sangat bahaya, tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri, jika perlu gugur bersama musuh. Karena tidak terduga-duga akan kenekatan Ting-cing, thauto itu menjadi tidak keburu menarik kembali pentungnya untuk menangkis. "Cret", tusukan pedang itu tepat menancap di bawah iganya.
Thauto itu benar-benar sangat tangkas dan kuat, meski terluka parah ia masih berteriak sembari menghantam sehingga pedang Ting-cing terpukul patah menjadi dua, sudah tentu kepalanya juga berlumuran darah.
"Lekas, berikan pedangmu!" seru Ting-cing.
Secepat terbang Gi-ho melompat ke atas sembari mengangsurkan pedangnya dan berseru, "Ini, Supek!"
Baru saja Ting-cing putar tubuh hendak memegang pedang itu, sekonyong-konyong dari sebelah sebuah tombak menyerang ke arah Gi-ho, tombak yang lain terus menusuk pula ke pinggang Ting-cing Suthay.
Terpaksa Gi-ho menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi orang bertombak itu lantas menyerang lebih gencar sehingga Gi-ho didesak mundur ke bawah lagi. Maka gagallah usahanya mengangsurkan pedangnya kepada Ting-cing.
Menyusul dari sana menubruk maju lagi tiga orang. Dua orang bergolok, seorang pakai sepasang boan-koan-pit, Ting-cing lantas terkepung di tengah. Namun sedikit pun nikoh tua itu tidak gentar, dengan bertangan kosong ia keluarkan "Thian-tiang-ciang-hoat" yang lihai dari Hing-san-pay, ia layani empat senjata musuh dengan sama lihainya.
"Ai, bagaimana baiknya ini?" demikian seru Gi-lim perlahan karena khawatir.
Segera Lenghou Tiong berteriak, "He, kawanan berandal kurang ajar! Minggir, minggir, biar aku lewat ke sana untuk membekuk berandal-berandal itu."
"Eh, jangan, mereka bukan berandal biasa, tapi adalah jago silat semua, begitu maju tentu kau akan dibunuh mereka," cegah Gi-lim.
Tapi Lenghou Tiong lantas membusungkan dada dan berkata, "Sungguh terlalu kawanan bandit ini, apa mereka tidak kenal undang-undang kerajaan?"
Habis itu ia lantas melangkah maju dan mendesak lewat di samping murid-murid wanita Hing-san-pay itu. Terpaksa murid-murid itu menempel rapat di dinding untuk memberi jalan padanya.
Setiba di atas bukit, segera Lenghou Tiong bermaksud melolos goloknya, tapi sudah ditarik-tarik sekian lamanya golok tidak tertarik keluar. Ia pura-pura memaki, "Neneknya, golok ini juga main gila padaku. Pada detik segawat ini mengapa dia berkarat di dalam sarungnya dan tidak mau keluar!"
Gi-ho yang sedang bertempur sengit melawan dua anggota Mo-kau dapat mendengar omelan Lenghou Tiong di belakangnya itu, ia menjadi dongkol dan geli pula, segera ia berteriak, "Lekas kau menyingkir, di sini terlalu bahaya bagimu!"
Karena berbicara, sedikit meleng saja tombak musuh telah menusuk ke pundaknya dan hampir saja terluka. Lekas-lekas Gi-ho melompat mundur, sudah tentu lawannya lantas memburu maju.
Lenghou Tiong lantas berteriak-teriak, "Wah, wah! Apa macam ini" Berandal kurang ajar, apa kalian tidak melihat jenderalmu berada di sini?"
Sekali menyelinap, tahu-tahu ia telah mengadang di depan Gi-ho.
Musuh yang bertombak itu menjadi melengak ketika mendadak muncul seorang perwira tentara di hadapannya. Saat itu cuaca sudah mulai remang-remang sehingga dapat terlihat jelas dandanan Lenghou Tiong yang terang adalah perwira tinggi kerajaan. Maka tombak orang itu tidak jadi ditusukkan terus, hanya diacungkan ke dada Lenghou Tiong sambil membentak, "Siapa kau" Apakah orang yang berkaok-kaok di bawah tadi adalah pembesar anjing kau ini?"
"Nenekmu, kau sebut aku pembesar anjing" Kau sendirilah berandal anjing!" balas Lenghou Tiong dengan lagak tuan besar. "Kalian berani merampok di sini, aku sudah datang masih juga kalian tidak lekas kabur, sungguh besar amat nyali kalian! Nanti kalau jenderalmu ini sudah bekuk batang leher kalian dan dimasukkan penjara baru kalian tahu rasa."
Dia sengaja mengoceh tak keruan, sebaliknya murid-murid Hing-san-pay yang berada di belakangnya sama geleng-geleng kepala.
Sekilas Lenghou Tiong melihat Ting-cing Suthay belum ada tanda-tanda akan kalah, kawanan Mo-kau juga tidak menghujani senjata rahasia lagi ke bawah, maka ia lantas membentak, "Bandit kurang ajar, mengapa kalian tidak lekas berlutut dan menyembah minta ampun padaku" Memangnya kalian ingin kupenggal kepala kalian satu per satu ...."
Mendengar ucapan itu, murid-murid Hing-san-pay sama mengerut kening dan berkata di dalam hati, "Orang gila!"
Gi-ho lantas melangkah maju dengan pedang terhunus, ia siap melindungi Lenghou Tiong jika musuh mulai menyerangnya.
Lenghou Tiong pura-pura tarik-tarik goloknya lagi sekuat tenaga dan tetap tak terlolos dari sarungnya, kembali ia mengumpat, "Neneknya, di garis depan golok pusaka ini justru berkarat. Hm, jika golok ini tidak berkarat, biarpun seribu kepala kawanan berandal macam kalian juga sudah kupenggal."
Musuh bersenjata tombak itu terbahak-bahak geli, lalu membentak, "Persetan kau!"
Berbareng itu batang tombaknya terus digunakan menyabet pinggang Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong menjerit takut sembari menarik goloknya sekuat tenaga sehingga golok itu terbetot berikut sarungnya, lalu tubuhnya menyelonong ke depan pura-pura terbanting jatuh.
"Hati-hati!" seru Gi-ho.
Tapi di waktu terbanting jatuh tadi Lenghou Tiong sudah menggunakan satu jurus dari "Tokko-kiu-kiam", ujung sarung goloknya dengan tepat menutuk hiat-to penting di pinggang musuh bertombak. Tanpa berkutik sedikit pun musuh itu lantas menggeletak tak berkutik lagi.
Sesudah "bluk" terbanting jatuh, seperti orang kelabakan, lekas-lekas Lenghou Tiong merangkak bangun. Lalu ia pura-pura heran, "He" Aha, kau juga terguling! Kita menjadi seri, marilah kita coba-coba lagi."
Gi-ho cukup cerdik dan cekatan, tanpa disuruh ia terus cengkeram laki-laki itu dan dilemparkan ke belakang. Ia pikir dengan seorang tawanan tentu urusan akan lebih mudah diselesaikan.
Dalam pada itu dari pihak Mo-kau telah menerjang maju lagi tiga orang dengan maksud hendak menolong kawan mereka.
Lenghou Tiong berteriak pula, "Aha, kawanan berandal benar-benar kurang ajar!"
Segera goloknya memukul ke kanan dan menyabet ke kiri, caranya sama sekali tidak teratur.
Memang Tokko-kiu-kiam yang ajaib itu tidak punya jurus serangan tertentu, apakah dimainkan dengan indah atau dimainkan secara bodoh tiada beda daya gempurnya dan sama-sama dapat mengalahkan musuh dengan ajaib. Sebab titik pokoknya adalah terletak pada tujuannya dan bukan gayanya.
Langkah Lenghou Tiong tertampak sempoyongan kian-kemari, goloknya yang masih berselubung sarung itu diputarnya serabutan tak keruan. Tiba-tiba ia seperti kesandung dan menubruk ke arah seorang anggota Mo-kau. "Bluk", kebetulan ujung sarung golok tepat mengenai pula "ki-hay-hiat" di bagian perut orang itu. Orang itu cuma sempat menarik napas panjang-panjang, lalu jatuh terkapar.
Sambil menjerit kaget, Lenghou Tiong melompat mundur, tahu-tahu gagang goloknya membentur pula "sin-tong-hiat" di bagian punggung seorang lawan. Kontan orang itu terguling.
Mendadak kaki Lenghou Tiong seperti kesandung badan musuh yang terguling itu. Ia memaki, "Nenekmu!"
Tapi tubuhnya lantas terhuyung-huyung ke depan dan kembali sarung goloknya tepat mengarah di atas tubuh seorang Mo-kau bergolok.
Orang ini adalah satu di antara jago pilihan yang mengeroyok Ting-cing Suthay. Lantaran punggungnya tertumbuk, golok yang dia pegang lantas mencelat dari cekalan. Kesempatan itu tidak diabaikan Ting-cing, kontan ia melancarkan pukulannya di dada musuh. Tanpa ampun lagi orang itu muntah darah dan tampaknya jiwanya tak tertolong lagi.
"Eh, awas, awas!" demikian Lenghou Tiong berkaok-kaok sambil mundur-mundur beberapa tindak ke arah musuh yang pakai senjata boan-koan-pit.
Tanpa pikir orang itu lantas menutuk "sin-tong-hiat" di punggung Lenghou Tiong dengan senjata pensilnya. Namun Lenghou Tiong sempat menggeliat dan menyelonong ke depan lagi, di mana ujung sarung goloknya membentur, kembali dua anggota Mo-kau kena dirobohkan lagi.
Musuh bersenjata boan-koan-pit itu sangat gesit, secepat terbang ia lantas menubruk maju. Lenghou Tiong menjerit, "Tolooong!" sambil terus lari ke depan. Sudah tentu orang itu lantas mengejar.
Di luar dugaan mendadak Lenghou Tiong menghentikan langkah dan berdiri tegak, gagang goloknya menongol ke belakang melalui bawah ketiak. Karena tidak pernah menduga Lenghou Tiong akan berhenti mendadak, keruan musuh yang mengejar itu menjadi kelabakan, betapa pun tinggi ilmu silatnya juga tidak sempat untuk ganti haluan lagi, saling nafsunya dia mengudak sehingga "tong-kok-hiat" di antara dada dan perutnya seperti sengaja ditumbukkan sendiri ke gagang golok Lenghou Tiong. Air muka orang itu memperlihatkan sikap yang sangat aneh, seakan-akan terhadap apa yang terjadi sekali-kali tidak mau percaya. Namun perlahan-lahan badannya lantas terkulai lemas.
Kemudian Lenghou Tiong baru memutar tubuh, dilihatnya pertempuran di atas bukit sudah berakhir, sebagian murid-murid Hing-san-pay sudah naik ke situ dan sedang berdiri berhadapan dengan kawanan Mo-kau, teman-temannya berturut-turut juga sedang naik ke atas bukit dengan cepat.
Lenghou Tiong lantas berteriak-teriak pula, "He, kawanan bandit kurang ajar, melihat sang jenderal di sini mengapa kalian tidak takluk dan menyembah minta ampun padaku" Apa kalian minta mampus semua!"
Habis itu dengan memutar goloknya yang bersarung itu ia terus menyerbu ke tengah-tengah gerombolan Mo-kau.
Karena tidak kenal asal usulnya, anggota-anggota Mo-kau itu tidak berani sembrono, beramai-ramai senjata mereka memapak terjangan Lenghou Tiong.
Murid-murid Hing-san-pay segera bermaksud maju untuk membantu, tapi kelihatan Lenghou Tiong sudah berlari ke luar dari gerombolan musuh sambil berteriak-teriak, "Wah, lihai amat kawanan bandit kurang ajar ini!"
Lenghou Tiong berlari dengan langkah yang berat dan setengah diseret, sedikit ayal mendadak ia jatuh terbanting, goloknya yang bersarung itu terpental balik dan tepat mengetok keningnya, seketika ia jatuh kelengar. Tapi dalam serbuannya ke tengah gerombolan Mo-kau itu ternyata ada lima jago musuh yang telah digulingkan lagi.
Habis serbu musuh mendadak jatuh sendiri tak sadarkan diri, keruan hal ini membuat kedua pihak sama-sama tertegun heran.
Cepat Gi-ho dan Gi-jing memburu maju sambil berseru, "Kenapa kau, Jenderal?"
Tapi Lenghou Tiong memejamkan mata dengan rapat dan pura-pura tidak sadar.
Seorang tua yang menjadi pemimpin gerombolan Mo-kau mau tak mau harus berpikir dulu sebelum bertindak lagi. Hanya dalam sekejap saja pihaknya sudah mati seorang, bahkan ada sebelas orang yang ditutuk roboh secara aneh oleh perwira sinting itu. Baru saja perwira itu pun menyerbu ke tengah barisannya, ketika dia menyerang dua kali dan bermaksud menangkapnya tapi gagal, bahkan hiat-to sendiri yang penting hampir-hampir tertutuk oleh sarung goloknya.
Nyata benar betapa tinggi ilmu silat "perwira sinting" benar-benar sukar diukur. Apalagi pihak sendiri sudah tertutuk roboh sebelas orang, lima orang di antaranya kena ditawan pula oleh Hing-san-pay, jelas urusan hari ini tidaklah menguntungkan.
Maka dengan suara lantang orang tua itu lantas berkata, "Ting-cing Suthay, orang-orangmu yang terkena senjata rahasia itu perlu obat pemunah racun tidak?"
Melihat di pihak sendiri juga ada beberapa orang yang tak sadarkan diri karena terkena senjata rahasia berbisa musuh, maka tahulah Ting-cing Suthay akan maksud lawan, ia lantas menjawab, "Berikan obat pemunah untuk tukar orang!"
Orang itu manggut-manggut, lalu bisik-bisik bicara dengan seorang anak buahnya, kemudian majulah anak buahnya itu dengan membawa sebuah botol porselen kecil ke hadapan Ting-cing Suthay dengan hormat.
Ting-cing terima botol obat itu, lalu berkata dengan suara tegas, "Jika obat pemunahnya manjur betul tentu akan kubebaskan orang-orangmu."
"Baik," sahut orang itu. "Ting-cing Suthay dari Hing-san-pay tentu bukan seorang yang suka menjilat kembali ludahnya sendiri."
Habis itu ia lantas memberi tanda, dua anak buahnya lantas berlari maju untuk menggotong mayat kawan mereka yang sudah mati, dua orang lagi mendekati orang bersenjata boan-koan-pit tadi untuk memayangnya. Lalu mereka turun ke bawah bukit dari sebelah barat. Dalam sekejap saja mereka sudah menghilang.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong pura-pura siuman sambil merintih, "Aduh, sakit benar!"
Diraba-rabanya dahi sendiri yang benjut itu. Lalu menyambung, "He, ke mana kawanan berandal itu" Ke mana mereka?"
Gi-ho mengikik geli, sahutnya, "Jenderal benar-benar sangat aneh bin lucu, untung tadi kau menyerbu ke tengah musuh dan menyerang mereka serabutan, ternyata kawanan berandal itu dapat kau halau lari."
"Hahahaha! Bagus, bagus! Sekali jenderalmu maju, seketika kawanan berandal kabur semua," demikian ia berkaok dengan tepuk-tepuk dada. Tapi mendadak ia memegang dahi sambil menjerit, "Aduh ...."
"Apakah lukamu sakit, Jenderal?" tanya Gi-ho. "Ini, kami ada obat luka."
"O, tidak apa-apa, aku hanya-pusing kepala!" sahut Lenghou Tiong dengan menyengir.
Ting-cing Suthay menyerahkan obat pemunah kepada seorang muridnya dan menyuruhnya mengobati kawan-kawan yang terluka. Lalu ia mendekati Lenghou Tiong dan memberi hormat, katanya, "Nikoh tua Ting-cing dari Hing-san mohon tanya siapakah nama Siauhiap (pendekar muda) yang mulia?"
Hati Lenghou Tiong terkesiap dan diam-diam mengakui tokoh Hing-san-pay itu benar-benar bermata tajam karena dapat mengetahui usianya yang masih muda, bahkan tahu dia adalah jenderal gadungan. Maka cepat ia membalas hormat dan menjawab, "Hormatku Suthay. Jenderal she Go bernama Thian-tik, jabatanku adalah panglima militer daerah kota besar Coanciu, sekarang juga aku akan menuju ke tempat jabatanku itu."
Sudah tentu Ting-cing merasa sangsi, sudah jelas orang ini memiliki ilmu silat mahatinggi, tidak nanti sudi menjadi kaki tangan kerajaan. Tapi dengan jawabannya itu jelas dia tidak mau mengaku terus terang asal usulnya. Padahal Hing-san-pay telah utang budi padanya, entah bagaimana cara membalasnya kelak. Katanya kemudian, "Kiranya Ciangkun (jenderal) adalah seorang tokoh yang tirakat dalam jabatan resmi. Ilmu silat Ciangkun sukar diukur, meski nikoh tua sudah berpengalaman, tapi sedikit pun tidak dapat menerka asal usul perguruanmu, sungguh aku sangat kagum."
Lenghou Tiong bergelak tertawa, katanya, "Sesungguhnya ilmu silatku memang sangat lihai. Banyak terima kasih atas pujianmu. Harap kau berdoa saja agar aku lekas naik pangkat dan banyak rezeki, setiap kali judi pasti menang, istri muda tambah sepuluh lagi, putra-putri berbaris seperti antre. Hahahahahaha!"
Di tengah suara gelak tawanya itulah ia lantas melangkah pergi.
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang sinting itu, anak murid Hing-san-pay lantas mengelilingi Ting-cing Suthay, dan tanya beramai-ramai, "Supek, orang macam apakah dia itu?"
"Dia benar-benar sinting atau pura-pura saja?"
Ting-cing hanya menghela napas dan tidak menjawab. Ia coba memandang anak murid yang terluka itu, ternyata keadaan mereka sudah tidak berbahaya setelah dibubuhi obat pemunah dari Mo-kau tadi. Untuk penyembuhan selanjutnya Hing-san-pay sendiri juga punya obat luka yang manjur. Maka ia lantas membuka hiat-to kelima anggota Mo-kau yang tertutuk itu dan menyuruhnya pergi.
Kemudian ia memerintahkan rombongannya mengaso dulu di bawah pohon. Ia sendiri duduk di atas batu dan merenungkan kejadian tadi. Ia masih ingat ketika Lenghou Tiong menerjang ke tengah musuh, orang tua pimpinan Mo-kau itu telah menyerangnya, tapi dalam sekejap saja Lenghou Tiong masih mampu merobohkan lima orang lawan, jurus yang dipakai tiada sedikit pun memperlihatkan gaya perguruannya yang sebenarnya. Di dunia persilatan sekarang ternyata ada jago muda selihai ini, sepantasnya dia anak murid orang kosen yang mana" Jago sehebat ini ternyata adalah kawan dan bukan lawan, sungguh harus bersyukur bagi Hing-san-pay. Demikian pikirnya.
Selang sejenak, ia suruh muridnya mengeluarkan alat tulis dan sehelai sutra tipis, ia menulis sebuah surat, lalu berkata, "Gi-cit, ambilkan merpati pos!"
Gi-cit adalah murid Ting-cing sendiri, sambil mengiakan segera ia mengeluarkan seekor merpati pos putih dari sebuah sangkar bambu yang digendongnya.
Ting-cing melipat sutra tipis itu menjadi suatu pulungan kecil, lalu dimasukkan ke dalam sebuah bumbung bambu yang amat kecil pula, diberi tutup, lalu lak. Kemudian diikat dengan benang di kaki kiri merpati. Dalam hati ia berdoa semoga merpati itu mencapai tempat tujuannya dengan selamat. Habis itu ia mengaburkan merpati itu ke udara. Makin lama makin tinggi terbang merpati itu dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Dari menulis surat sampai melepaskan merpati, setiap gerakan Ting-cing Suthay dilakukan dengan sangat lamban, berbeda sama sekali daripada ketangkasannya melabrak musuh tadi. Dengan menengadah ia mengikuti terbang merpati pos itu sampai burung itu menghilang. Selama itu anak murid Hing-san-pay tiada seorang pun berani bersuara, mereka tahu pertempuran tadi sesungguhnya sangat berbahaya meski beruntung mendapat bantuan seorang perwira yang sinting dan lucu. Tentu Ting-cing Suthay telah menguraikan peristiwa tadi dalam suratnya untuk dilaporkan kepada Ciangbunjin Hing-san-pay mereka, yaitu Ting-sian Suthay.
Selang agak lama, tiba-tiba Ting-cing menggapai kepada seorang nona cilik berumur 15-16 tahun. Dara cilik itu berbangkit dan mendekatnya sembari menyapa, "Suhu!"
Perlahan-lahan Ting-cing membelai rambut anak dara itu dan bertanya, "Anak Koan, tadi kau takut tidak?"
Nona cilik itu manggut, jawabnya, "Takut. Untung jenderal itu sangat gagah berani sehingga kawanan penjahat dapat dihalau lari."
Ting-cing tersenyum, katanya, "Jenderal itu bukannya gagah berani, tapi ilmu silatnya memang sangat bagus."
"Kau katakan ilmu silatnya sangat bagus, Suhu?" nona itu menegas. "Tapi kulihat serangannya tak keruan macam, malahan jidatnya sendiri terketok golok, bahkan goloknya berkarat di dalam sarungnya dan tak bisa dilorot keluar."
Melihat Ting-cing Suthay bercakap dengan sumoay kecil mereka, beramai-ramai anak murid Hing-san-pay yang lain juga lantas merubung maju.
Kiranya nona cilik itu bernama Cin Koan, dia adalah murid Ting-cing yang paling kecil, pintar dan cerdik, maka sangat disayang oleh sang guru.
Anak murid Hing-san-pay enam bagian adalah nikoh, empat bagian lain adalah murid preman, ada wanita setengah umur yang sudah menikah, ada pula nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Cin Koan adalah murid Hing-san-pay yang paling muda.
Begitulah Gi-ho lantas ikut bicara, "Kau bilang serangannya tak keruan, kukira ia sengaja pura-pura saja. Ia dapat mengelabui orang dengan ilmu silatnya yang tinggi, itu namanya orang pintar. Supek, apakah engkau dapat menerka jenderal itu berasal dari aliran dan golongan mana?"
Perlahan-lahan Ting-cing menggeleng, sahutnya, "Jika aku bisa menerkanya sedikit saja tentu aku tidak perlu merasa khawatir lagi. Ilmu silat orang itu hanya dilukiskan dengan kata-kata "sukar diukur", selebihnya aku sendiri tidak tahu."
Cin Koan menarik-narik lengan bajunya dan bertanya pula, "Suhu, apa sih yang kau khawatirkan" Bukankah jenderal itu sudah membantu kita menghalau musuh?"
"Bukan begitulah soalnya," tutur Ting-cing. "Jika musuh menghadapi kita secara terang-terangan, maka setitik pun kita takkan takut sekalipun kita akan terbunuh jika kalah. Tapi sekarang kita seakan-akan diselubungi selapis kain, kita seperti orang buta yang tidak tahu apa yang sedang kita hadapi, entah langkah selanjutnya adalah tanah datar atau jurang, coba bayangkan, mengkhawatirkan atau tidak?"
Cin Koan manggut-manggut, tanyanya pula, "Surat Suhu tadi ditujukan kepada Ciangbun-susiok bukan" Apakah bisa segera sampai?"
"Burung merpati itu akan menuju ke Pek-in-am di Sohciu untuk diganti merpati yang lain, dari Pek-in-am ke Biau-siang-am di Celam adalah satu pos lagi, kemudian satu pos lagi di Jing-cing-am di Lau-ho-kau, jadi berturut-turut disambung oleh empat merpati, akhirnya tentu akan mencapai Hing-san."
"Syukur rombongan kita tidak ada korban jiwa, beberapa suci dan sumoay yang terluka itu satu-dua hari lagi juga akan sembuh," ujar Gi-ho.
Ting-cing Suthay seperti tidak menghiraukan ucapan Gi-ho itu, ia menengadah dan termangu-mangu, tiba-tiba ia berseru kepada Gi-lim yang berdiri di luar kerumun orang banyak sana, "Gi-lim, kau pernah bilang ilmu silat Lenghou Tiong jauh di bawah Dian Pek-kong, beberapa kali dia dikalahkan, betul tidak?"
Gi-lim tampak melengak, kedua pipinya perlahan-lahan bersemu merah. Sungguh aneh, setiap kali orang menyebut namanya Lenghou Tiong tentu hatinya lantas berdebar seakan-akan sesuatu perbuatannya yang salah telah diketahui orang. Tapi di dalam lubuk hatinya juga lantas merasa senang dan bahagia, kalau bisa biarkan setiap saat orang lain selalu menyebut namanya Lenghou Tiong di tepi telinganya.
Melihat kedua pipi Gi-lim semu merah, sikapnya kikuk-kikuk pula, diam-diam Ting-cing membatin, "Begitu mendengar nama Lenghou Tiong, seketika sikapnya berubah aneh, jangan-jangan telah timbul pikiran keduniawiannya?" Segera ia mengulangi pertanyaannya dan menegas, "Kutanya kau betul tidak apa yang kau ceritakan itu?"
"Betul," jawab Gi-lim rada terkejut dari lamunannya. "Ilmu silat Lenghou-suheng memang tidak dapat menandingi Dian Pek-kong, waktu dia menolong aku, dia telah kena bacokan-bacokan golok Dian Pek-kong dan hampir-hampir jiwanya melayang."
Ting-cing manggut-manggut, lalu menggumam, "Lenghou Tiong cukup mengetahui seluk-beluk Ngo-gak-kiam-pay kita, orang ini telah sekongkol dengan Mo-kau, sungguh merupakan bahaya besar bagi kita. Jika bukan dia yang membocorkan rahasia, dari mana Mo-kau mengetahui kita akan lalu di Sian-he-nia ini?"
"Supek," cepat Gi-lim berkata, "dia ... dia ... Lenghou-suheng kan juga tidak mengetahui perjalanan kita ini?"
Dengan tajam Ting-cing menatap Gi-lim, jawabnya, "Dia tidak tahu" Dari mana pula kau mengetahuinya?"
"Saat ini entah di mana beradanya Lenghou-suheng, masakah dia bisa bersekongkol dengan Mo-kau untuk membikin susah kita?" ujar Gi-lim.
Ting-cing mendengus dengan kurang senang, katanya, "Gi-lim, kau adalah orang yang telah meninggalkan rumah, jiwamu sudah berada pada Buddha, janganlah kau tersesat agar tidak sesal di kemudian hari."
Gi-lim merangkap kedua tangannya sambil menunduk dan berkata perlahan, "Tecu tidak berani."
Melihat kedua mata Gi-lim basah berkaca mengembeng air mata, Ting-cing menjadi tidak tega dan merasa kasihan. Ia tepuk-tepuk bahu Gi-lim dan berkata, "Musuh sudah kabur jauh, untuk sementara agaknya mereka tidak berani mengusik kita lagi. Habis bertempur tentu kalian sudah lelah, bolehlah makan ransum dulu di sini dan tidurlah sebentar di bawah pohon yang rindang sana."
Beramai-ramai anak murid Hing-san-pay sama mengiakan, lalu mereka sibuk bekerja, ada yang memasang api unggun untuk memasak air dan sebagainya.
Kiranya keberangkatan orang-orang Hing-san-pay ke selatan ini sebenarnya sangat dirahasiakan. Tapi beritanya toh diketahui oleh pihak Mo-kau, sebab itulah Ting-cing merasa sangsi dan khawatir.
Sesudah mengaso beberapa jam, selesai makan siang, Ting-cing melihat beberapa murid yang terluka itu masih lesu semangatnya, katanya, "Jejak kita sudah ketahuan, selanjutnya tidak perlu berjalan di malam hari, yang luka juga perlu dirawat maka malam ini biarlah kita menginap di Ji-pek-poh saja."
Begitulah mereka terus turun ke bawah, beberapa jam kemudian sampailah mereka di Ji-pek-poh, suatu kota kecil yang merupakan kota perbatasan antara Ciatkang dan Hokkian. Setiba di kota itu cuaca sudah mulai remang-remang. Anehnya tiada terdapat seorang pun di kota kecil itu.
"Adat kebiasaan Hokkian mengapa begini aneh, masakah begini dini orang di sini sudah masuk tidur?" kata Gi-ho heran.
"Coba kita mencari suatu hotel untuk bermalam," kata Ting-cing Suthay.
Biasanya Hing-san-pay mempunyai hubungan baik dengan berbagai nikoh dunia persilatan yang menghuni di kuil atau kelenteng setempat, tapi Ji-pek-poh ini tiada kelenteng sehingga terpaksa mereka harus mencari hotel.
Seluruh kota Ji-pek-poh ada ratusan rumah dan toko, tapi aneh, semua pintu rumah sudah tertutup rapat. Sepanjang mata memandang keadaan sunyi lelap, mirip sebuah kota mati belaka. Meski hari belum gelap sama sekali, tapi suasana di tengah kota seperti di tengah malam buta saja sepinya.
Setelah membelok di pengkolan jalan sana, tertampaklah sehelai spanduk yang bertuliskan nama sebuah hotel "Sian-an-khek-tiam" (Rumah Penginapan Sian-an). Tapi pintu hotel itu pun tertutup rapat, keadaan sunyi senyap.
Seorang murid perempuan bernama The Oh lantas maju mengetok pintu hotel itu. The Oh adalah murid dari keluarga preman, raut mukanya yang bulat telur itu selalu mengulum senyum manis. Pintar bicara dan pandai menjawab, maka sangat disukai kawan-kawannya. Sepanjang jalan dia boleh dikata ditugaskan sebagai juru bicara dan hubungan luar bagi rombongan mereka.
Begitulah The Oh berulang-ulang telah mengetok pintu hotel, tapi sampai lama sekali masih belum ada orang membukakan pintu. Ia lantas berseru, "Bukakan pintu, Paman!"
Suaranya nyaring dan jelas, meski terhalang beberapa ruangan rumah juga akan mendengarnya. Tapi aneh, tetap tiada seorang pun dalam hotel itu membukakan pintu, keadaan jelas sangat luar biasa.
Gi-ho lantas maju dan pasang kuping di daun pintu, tapi tiada suatu suara apa-apa yang terdengar di dalam. Ia berpaling dan berkata kepada Ting-cing, "Supek, di dalam memang tiada orang."
Ting-cing juga merasakan ketidakwajaran suasana itu, dilihatnya kain spanduk yang bertuliskan nama hotel itu masih baru, daun pintu juga cukup bersih, pasti hotel itu bukan menghentikan usahanya. Katanya kemudian, "Coba kita ke sana, hotel di kota ini tentunya tidak cuma satu ini saja."
Tidak jauh ke depan sana kembali ada sebuah Hotel "Lam-an-khek-tiam" lagi. Akan tetapi sesudah The Oh mengetok pintu seperti tadi, keadaan tetap sama tiada jawaban seorang pun.
"Gi-ho Suci, marilah kita periksa ke dalam," ajak The Oh.
Gi-ho mengiakan, bersama mereka lantas melompati pagar tembok ke dalam. The Oh segera berseru, "Adakah orang di dalam?"
Tetap tiada jawaban apa-apa. Mereka lantas melolos pedang dan masuk ke ruangan hotel itu, lalu masuk ke ruangan dalam, dapur, dan sekelilingnya, memang benar tiada seorang pun, namun di atas meja kursi tiada berdebu, bahkan satu poci teh rasanya juga masih hangat-hangat.
The Oh membuka pintu membiarkan Ting-cing Suthay dan rombongan masuk ke dalam, lalu melaporkan apa yang dilihatnya. Semua orang sama menyatakan keheranan mereka.
"Coba kalian bertujuh menjadi satu kelompok memeriksa ke berbagai pelosok di sana, carilah tahu apa sebabnya kota menjadi kosong begini?" Ting-cing memberi perintah. "Tujuh orang tidak boleh terpencar, begitu ada jejak musuh segera berikan tanda dengan suitan."
Para murid Hing-san-pay mengiakan, masing-masing kelompok lantas berjalan ke luar dengan cepat, dalam sekejap saja di ruang hotel itu hanya tinggal Ting-cing sendirian. Semula masih terdengar suara tindakan kepergian murid-murid itu, sampai akhirnya suasana menjadi sunyi senyap dan mendirikan bulu roma. Sebuah kota dengan ratusan rumah itu ternyata hening lelap, sampai suara kokok ayam atau salak anjing juga tak terdengar, benar-benar suasana yang luar biasa.
Selang sejenak, Ting-cing mendadak merasa khawatir, "Jangan-jangan pihak Mo-kau sengaja pasang jebakan, anak murid itu sebagian besar belum berpengalaman, bisa jadi mereka akan masuk perangkap musuh."
Ia coba ke luar pintu hotel itu, terlihat bayangan orang berkelebatan di ujung timur sana, di sebelah lain ada beberapa bayangan melompat ke dalam rumah orang lagi, semuanya dikenali sebagai anak murid Hing-san-pay, legalah hati Ting-cing.
Tidak lama kemudian para murid telah kembali susul-menyusul dan sama melaporkan tiada menemukan seorang pun di seluruh kota. Kata Gi-ho, "Jangankan manusia, hewan juga tiada seekor pun."
"Tampak belum lama penduduk kota ini meninggalkan tempatnya," sambung Gi-jing. "Banyak tanda-tanda yang menunjukkan mereka baru saja berangkat dengan tergesa-gesa dengan barang-barang berharga sekadarnya."
Ting-cing manggut-manggut, tanyanya kemudian, "Bagaimana pendapat kalian?"
"Tecu kira semuanya ini adalah perbuatan kaum iblis Mo-kau," ujar Gi-ho. "Mereka telah mengusir pergi penduduk kota, tidak lama lagi mereka tentu akan menyerang kita secara besar-besaran."
"Benar!" sahut Ting-cing. "Sekali ini rupanya kaum iblis hendak bertempur dengan kita secara terang-terangan, itulah sangat bagus. Kalian takut atau tidak?"
"Menumpas kaum iblis adalah tugas suci murid Buddha kita," sahut para murid serentak.
Ting-cing berkata pula, "Baiklah, kita akan bermalam di hotel ini, paling perlu tanak nasi dan makan kenyang dulu. Coba dulu apakah air dan bahan makanan ada racunnya atau tidak?"
Begitulah anak murid Hing-san-pay lantas sibuk menyiapkan daharan. Di waktu makan biasanya murid Hing-san-pay memang dilarang bicara. Sekarang mereka lebih-lebih prihatin lagi. Mereka sama pasang kuping untuk mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu suara yang mencurigakan di luar. Selesai kelompok pertama makan mereka lantas keluar berjaga menggantikan kelompok yang lain dan begitu seterusnya.
Tiba-tiba Gi-jing mendapat satu akal, katanya, "Supek, bagaimana kalau kita pergi menyalakan pelita di rumah-rumah penduduk yang lain agar musuh tidak tahu pasti di mana kita berada."
"Akal membingungkan musuh ini sangat bagus," ujar Ting-cing. "Kalian bertujuh boleh pergi menyalakan pelita."
Bab 79. Jatuh ke Sumur Ditimpa Batu Pula
Waktu ia memandang keluar dari hotel itu, dilihatnya rumah-rumah penduduk itu satu per satu mulai memancarkan cahaya lampu. Tidak lama kemudian hampir sekeliling sudah rata terpasang lampunya, hanya saja keadaan tetap sunyi. Di atas langit bulan sabit tampak memancarkan sinarnya yang remang redup.
Meski Ting-cing pernah malang melintang di dunia Kangouw, tapi pertempuran sengit di atas Sian-he-nia semalam benar-benar sangat berbahaya, bila dibayangkan kembali rasanya masih mengerikan. Jika seorang diri, biarpun keadaan lebih buruk sepuluh kali juga Ting-cing tidak gentar, tapi sekarang ia memimpin berpuluh anak murid Hing-san-pay, mau tak mau ia harus memikirkan keselamatan mereka. Diam-diam ia berdoa semoga Buddha memberkahi kekuatan baginya sehingga para murid yang dipimpinnya itu tidak mengalami cedera apa-apa. Kalau perlu biarlah ia sendiri yang menjadi korban, yang lain semoga selamat pulang sampai di Hing-san.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur laut sana berkumandang suara jeritan orang perempuan, "Tolong, tolooong!"
Di tengah malam sunyi senyap itu, suara jeritan tajam itu kedengaran menjadi tambah ngeri. Ting-cing rada terkesiap, suara itu terang bukan suara anak murid Hing-san-pay. Ia coba mengawasi jurusan datangnya suara itu, tapi tidak tampak sesuatu. Segera terlihat Gi-jing bertujuh berlari ke timur laut, tentunya mereka sengaja memeriksa ke sana. Tapi sampai lama kelompok Gi-jing itu tidak tampak muncul kembali.
Jaka Lola 2 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Pendekar Jembel 4

Cari Blog Ini