Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 24
Lenghou Tiong berhenti meraba, pikirnya sambil menengadah, "Aku Yim Ngo-heng! Yim Ngo-heng" Jadi orang yang mengukir tulisan ini bernama Yim Ngo-heng" Kiranya orang ini pun she Yim, entah ada hubungan dengan Yim-locianpwe atau tidak?"
Ia coba melanjutkan meraba tulisan itu yang berbunyi, "Kini semua intisari ilmu saktiku kutulis di sini, semoga orang muda angkatan mendatang dapat mempelajarinya dan tentu dapat malang melintang di Kangouw, maka tidak percumalah kematianku ini. Pertama, semadi ...."
Dan begitulah tulisan selanjutnya adalah macam-macam ajaran tentang semadi dan mengatur pernapasan segala.
Sejak berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, dalam ilmu silat yang paling disukai adalah ilmu pedang, sedangkan tenaga dalam sendiri sudah punah, maka soal semadi baginya menjadi tidak menarik. Yang dia harap tulisan selanjutnya akan menguraikan semacam ilmu pedang yang bagus sehingga dia akan dapat memainkannya sekadar pelipur lara.
Akan tetapi huruf-huruf yang terukir itu seluruhnya adalah ajaran tentang bagaimana harus bernapas, bagaimana harus duduk memusatkan pikiran, dan sebagainya, biarpun tulisan itu habis, terasa juga tidak menemukan sebuah huruf tentang ilmu pedang.
Alangkah kecewa Lenghou Tiong, pikirnya, "Katanya ilmu sakti apa segala, ini kan cuma bergurau saja dengan aku. Segala ilmu silat dapat kuterima, hanya saja tidak dapat berlatih lwekang, sebab begitu mengumpulkan tenaga seketika darah dalam badan akan bergolak dan aku sendiri akan tersiksa."
Begitulah kemudian ia mulai makan sembari membatin pula, "Entah orang macam apakah Yim Ngo-heng itu" Dia membual ilmu saktinya bisa malang melintang di dunia segala. Tampaknya penjara ini khusus digunakan mengurung jago-jago silat kelas tinggi. Sebab dari ukiran tulisan di atas papan besi ini dapatlah diduga ilmu silat Yim Ngo-heng itu pasti sangat lihai, mengapa dia kena dikurung di sini dan tak berdaya" Jelas penjara ini memang dibangun dengan sangat kuat, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga sukar untuk kabur, terpaksa harus menunggu ajal di sini."
Begitulah ia tidak mau urus lagi ukiran tulisan itu. Pada musim panas, sedangkan di daratan saja panasnya seperti dipanggang, apalagi di penjara bawah tanah yang tak tembus hawa itu, terpaksa setiap hari Lenghou Tiong melepas baju dan tidur di atas dipan besi itu untuk mencari rasa nyaman, tapi setiap kali selalu tangannya meraba ukiran tulisan di atas dipan sehingga tanpa terasa pula banyak sekali kalimat-kalimat di antaranya jadi hafal baginya di luar kepala.
Pada suatu hari sedang ia tiduran sambil mengenangkan guru ibu-guru dan sumoaynya yang molek itu entah sekarang mereka berada di mana atau sudah pulang di Hoa-san. Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara tindakan orang mendatang. Suara ini sangat ringan tapi cepat berbeda sekali dengan langkah si kakek pengantar makanan itu.
Setelah sekian lama mengeram di dalam penjara sebenarnya Lenghou Tiong sudah tidak begitu mengharap-harapkan akan datangnya penolong. Kini mendadak ada suara kaki orang baru, mau tak mau ia menjadi girang dan khawatir. Ia bermaksud melompat bangun, tapi badan terasa lemas sehingga terpaksa tetap berbaring tanpa bergerak lagi.
Terdengar suara tindakan orang itu sangat cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu besi dan pintu lubang persegi itu pun terpentang. Sebisanya Lenghou Tiong menahan napas dan tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Didengarnya orang di luar itu berkata, "Yim-heng, beberapa hari ini hawa sangat panas, apakah engkau sehat-sehat saja?"
Begitu mendengar suaranya segera Lenghou Tiong dapat mengenali itu adalah suara Hek-pek-cu. Kalau Hek-pek-cu datang sebulan sebelumnya tentu Lenghou Tiong akan terus mencaci maki padanya dengan segala macam kata-kata kotor dan keji, tapi setelah terkurung sekian lamanya, rasa marahnya sudah padam, ia menjadi jauh lebih tenang dan sabar.
Diam-diam ia heran, "Mengapa dia panggil aku sebagai Yim-heng" Apakah dia kesasar pada kamar tahanan ini?"
Karena itu dia tetap diam saja tanpa menjawab.
Terdengar Hek-pek-cu berkata lagi, "Hanya satu pertanyaan saja yang selalu kutanyakan padamu setiap dua bulan satu kali. Hari ini adalah tanggal satu bulan tujuh, yang aku tanya padamu tetap sama, apakah engkau tetap tak mau menyanggupi?"
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, pikirnya, "Nyata orang ini memang keliru menyangka aku sebagai Yim-locianpwe. Aneh benar, biasanya Hek-pek-cu sangat cerdik, apa sekarang dia sudah pikun?"
Tapi segera ia terkesiap, "Ah, tidak mungkin, dibanding Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing, Hek-pek-cu adalah paling cerdik, mana bisa dia salah alamat" Tentu di balik ini ada sebabnya."
Karena tidak mendapat jawaban, Hek-pek-cu lantas berseru pula, "Yim-heng selama hidup terkenal sebagai kesatria yang lihai, buat apa mesti meringkuk di penjara ini sampai menjadi mayat" Asalkan engkau berjanji menerima permintaanku, maka aku pun akan pegang janji untuk membebaskanmu dari sini."
Hati Lenghou Tiong menjadi berdebar-debar, timbul macam-macam pikiran dalam benaknya, tapi sukar untuk dipecahkan. Ia tidak mengerti apa artinya Hek-pek-cu mengemukakan kata-kata itu kepadanya.
Didengarnya Hek-pek-cu sedang menegas lagi, "Sesungguhnya kau mau atau tidak?"
Lenghou Tiong tahu sekarang terbuka suatu kesempatan untuk meloloskan diri tak peduli maksud jahat apa akan diperlakukan oleh pihak musuh toh akan lebih baik daripada meringkuk di sini dan tersiksa untuk selamanya. Cuma ia tidak dapat meraba apa maksud tujuan kata-kala Hek-pek-cu tadi, ia khawatir kalau salah jawab sehingga bikin urusan menjadi runyam, maka terpaksa tetap diam saja.
Terdengar Hek-pek-cu menghela napas, katanya pula, "Yim-heng, mengapa engkau tidak bersuara" Tempo hari aku membawa orang she Hong itu kemari untuk bertanding denganmu, di depan ketiga kawanku sama sekali engkau tidak menyinggung tentang pertanyaanku kepadamu sungguh aku merasa terima kasih. Kupikir setelah mengalami pertandingan itu tentu jiwa kepahlawananmu masa lalu kembali akan berkobar lagi. Betapa luasnya jagat raya di luar sana, asalkan Yim-heng sudah keluar dari penjara gelap ini, maka bebaslah Yim-heng untuk membunuh siapa saja dan mana suka, siapa yang berani melawan Yim-heng lagi dan alangkah puasnya" Jika engkau menyanggupi permintaanku, toh hal ini sedikit pun tidak merugikanmu, tapi mengapa selama 12 tahun engkau tetap menolak?"
Dari nada Hek-pek-cu yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan memang menyangka dia sebagai orang tua she Yim itu, maka Lenghou Tiong jadi makin heran dan curiga. Didengarnya Hek-pek-cu bicara terus tapi berulang-ulang yang ditonjolkan adalah soal pertanyaannya yang minta disanggupi itu. Mestinya Lenghou Tiong ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya, tapi khawatir sekali dirinya membuka suara tentu urusan akan runyam maka terpaksa ia membisu terus.
Hek-pek-cu menghela napas katanya, "Karena pendirian Yim-heng sedemikian kukuh terpaksa bertemu lagi dua bulan kemudian."
Tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Sekali ini Yim-heng tidak mencaci maki padaku, tampaknya pikiranmu sudah rada berubah. Dalam dua bulan ini silakan Yim-heng berpikir yang masak."
Habis itu ia lantas putar tubuh dan melangkah pergi.
Lenghou Tiong menjadi kelabakan, sekali Hek-pek-cu sudah pergi harus menunggu dua bulan lagi, padahal satu hari saja di dalam penjara rasanya seperti setahun jangankan dua bulan. Maka ketika Hek-pek-cu sudah melangkah pergi beberapa tindak cepat-cepat ia menahan suara dan dengan nada kasar yang dibikin-bikin ia berkata, "Kau ... kau minta aku menyanggupi apa?"
Mendengar suaranya, secepat kilat Hek-pek-cu melompat balik, serunya, "Yim-heng, jadi engkau sudah mau menyanggupi?"
Perlahan Lenghou Tiong membalik tubuh menghadap dinding, dengan tangan menahan mulut ia berkata pula secara samar-samar, "Menyanggupi soal apa?"
"Selama 12 tahun ini setiap tahun aku selalu datang enam kali ke sini dengan menempuh bahaya hanya untuk mohon kesanggupan Yim-heng, mengapa sudah tahu sekarang Yim-heng malah tanya?" ujar Hek-pek-cu.
"Hm, aku sudah lupa," demikian Lenghou Tiong sengaja mendengus.
"Aku mohon Yim-heng mengajarkan ilmu sakti itu kepadaku, bila tamat kulatih tentu Yim-heng akan kubebaskan dari sini," kata Hek-pek-cu.
Diam-diam Lenghou Tiong menjadi ragu apakah benar Hek-pek-cu menyangkanya sebagai tokoh she Yim itu atau ada tipu muslihat lain" Seketika sebelum tahu jelas maksud tujuannya, terpaksa Lenghou Tiong mengoceh lagi secara samar-samar, tapi apa yang dikatakan sampai dia sendiri pun tidak jelas jangankan Hek-pek-cu.
Maka berulang-ulang Hek-pek-cu menegas, "Bagaimana" Yim-heng sudah sanggup?"
"Kata-katamu tak bisa dipercaya, mana aku dapat kau tipu," kata Lenghou Tiong pula.
"Habis jaminan apa yang Yim-heng kehendaki agar dapat percaya?" tanya Hek-pek-cu.
"Kau bilang sendiri saja," sahut Lenghou Tiong.
"Kukira Yim-heng masih sangsi aku tidak mau menepati janji melepaskanmu bila aku sudah berhasil mempelajari ilmu saktimu itu bukan" Tentang ini engkau jangan khawatir, aku sendiri akan mengatur sedemikian rupa sehingga Yim-heng tidak perlu ragu lagi."
"Mengatur cara bagaimana?"
"Tapi engkau sanggup atau tidak?"
Macam-macam pikiran terkilas dalam benak Lenghou Tiong, "Dia mohon belajar ilmu sakti apa-apa padaku, tapi dari mana aku punya ilmu sakti yang dapat kuajarkan padanya. Namun tiada salahnya aku mengetahui apa yang akan dia atur. Jika dia benar-benar bisa membebaskan aku dari sini, biarlah aku lantas menguraikan ajaran yang terukir di atas dipan itu padanya, peduli dia akan terpakai atau tidak yang penting tipu dia dahulu, urusan belakang."
Karena tidak mendapat jawaban, maka Hek-pek-cu berkata pula, "Bilamana Yim-heng sudah mengajarkan ilmu itu padaku maka aku sudah terhitung muridmu, mana aku berani melanggar peraturan agamamu dan mengkhianati guru tanpa membebaskanmu!"
"Hm, kiranya begitu," jengek Lenghou Tiong.
"Jadi Yim-heng sudah menyanggupi?" tanya Hek-pek-cu pula, nadanya penuh rasa girang.
"Tiga hari lagi boleh kau datang menerima jawabanku," kata Lenghou Tiong.
"Sekarang saja Yim-heng boleh menyanggupi, kenapa mesti menunggu tiga hari lebih lama?" ujar Hek-pek-cu.
Lenghou Tiong tahu Hek-pek-cu jauh lebih gelisah daripada dia sendiri, siasat ulur tempo ini tentu akan membuatnya kelabakan sekalian dapat melihat tipu muslihat apa di balik persoalan ini. Maka ia tidak menjawab, tapi sengaja mendengus keras sebagai tanda muak dan tidak sabar lagi.
Rupanya Hek-pek-cu menjadi takut, cepat ia berkata pula, "Baiklah, tiga hari lagi tentu aku akan datang minta petunjuk kepada engkau orang tua."
Ia tidak memanggil "Yim-heng" (Saudara Yim) lagi, tapi berganti menyebutnya sebagai "orang tua" seakan-akan sudah pasti orang telah menyanggupi akan menerimanya sebagai murid.
Sesudah Hek-pek-cu pergi pikiran Lenghou Tiong jadi bergolak lagi, pikirnya, "Masakah dia benar-benar menyangka aku sebagai Yim-locianpwe itu" Padahal Hek-pek-cu sangat cerdik, mana dia bisa berbuat kesalahan demikian?"
Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, "Jangan-jangan orang she Yim itu adalah gembong Mo-kau" Tapi di dalam Mo-kau juga ada orang baik seperti Kik Yang itu, ada lagi Hiang-toako, bukankah mereka juga orang Mo-kau?"
Hal ini hanya sekilas saja tebersit dalam benaknya dan lantas tak dipikirkan lagi, yang dia pikirkan hanya dua hal saja. Maksud Hek-pek-cu itu timbul dari ketulusan hatinya atau cuma pura-pura saja" Cara bagaimana harus menjawabnya bilamana tiga hari lagi dia datang pula menanyai aku"
Sehari penuh ia terus pikir ini dan terka itu, macam-macam pikiran yang aneh-aneh telah dikhayalkannya, tapi tetap tidak dapat memastikan maksud tujuan Hek-pek-cu yang sesungguhnya. Sampai akhirnya saking lelah ia terpulas sendiri.
Ketika mendusin, hal yang pertama dipikirnya adalah, "Kalau saja Hiang-toako yang cerdik itu berada di sini tentu dia akan segera mengetahui tujuan Hek-pek-cu. Kecerdasan Yim-locianpwe itu jauh di atas Hiang-toako pula, eh ya ...."
Seketika ia melonjak bangun, rupanya sesudah tidur sekarang benaknya menjadi jernih, pikirnya, "Selama 12 tahun ini Yim-locianpwe tetap tidak menyanggupi permintaan Hek-pek-cu, sudah tentu karena permintaannya itu tidak mungkin dapat diluluskan, sebagai seorang cerdik pandai tentu dia cukup tahu untung ruginya bilamana menyanggupi permintaan Hek-pek-cu. Tapi aku bukan Yim-locianpwe, apa alangannya bagiku untuk menyanggupi dia?"
Dalam hati kecilnya ia tahu urusan ini sangat ganjil, di balik hal ini tentu mengandung bencana yang membahayakan. Tapi rasa ingin lolosnya terlalu keras, asalkan ada kesempatan buat lepas dari penjara neraka ini, segala bahaya tak terpikir lagi olehnya.
Maka diam-diam ia ambil keputusan, tiga hari lagi kalau Hek-pek-cu datang, aku akan menyanggupi permintaannya, aku akan mengajarkan ilmu semadi seperti apa yang terukir di atas dipan ini padanya, coba saja bagaimana reaksinya nanti dan aku akan bertindak menurut gelagat.
Begitulah ia lantas mulai meraba-raba lagi tulisan di atas dipan sembari menghafalkannya dengan baik agar nanti dapat mengucapkannya di luar kepala supaya tidak dicurigai Hek-pek-cu. Sekarang hanya soal suaranya saja yang masih berbeda jauh dengan Yim-locianpwe itu, jalan satu-satunya harus membikin suaranya menjadi serak.
"Ah, aku ada akal, biarlah aku berteriak-teriak dan menggembor selama dua hari ini supaya kerongkonganku menjadi serak, dengan begini suaraku yang kubikin lagi secara samar-samar tentu takkan dikenali lagi olehnya," demikian Lenghou Tiong merasa girang.
Maka sehabis menghafalkan tulisan terukir itu, lalu ia mulai berteriak-teriak dan gembar-gembor seperti orang gila. Untung penjara itu terletak di bawah tanah, ditambah pintunya yang berlapis-lapis, biarpun bunyi meriam di situ juga takkan terdengar di luar, apalagi cuma suara teriaknya.
Karena itu Lenghou Tiong juga tidak khawatir orang mendengar suaranya, ia berteriak sekuat-kuatnya, sebentar mencaci maki Kanglam-si-yu, sebentar lagi menyanyi, padahal ia sendiri pun tidak tahu apa lagu yang dia nyanyikan itu, akhirnya ia menjadi geli sendiri dan tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mulai lagi menghafalkan ukiran tulisan di atas dipan pula.
Tiba-tiba terbaca olehnya beberapa kalimat yang berbunyi, "Di dalam perut, hampa seperti peti kosong ... jika perut ada hawa murni, buyarkan ke bagian nadi yim-meh."
Kalimat-kalimat ini sebelumnya juga pernah dirabanya beberapa kali, cuma tadinya ia merasa bosan dan mual terhadap ilmu semadi demikian sehingga tidak pernah direnungkan artinya yang dalam. Sekarang mendadak ia merasa heran, "Dahulu pada waktu suhu mengajarkan lwekang padaku, dasarnya yang penting adalah mengumpulkan hawa murni di dalam perut, semakin kuat hawa murni yang dapat dihimpun perut, semakin kuat pula lwekang yang dapat dilatih. Tapi mengapa kalimat ini menyatakan hawa murni yang terdapat di dalam perut harus dibuyarkan malah" Kalau di dalam perut tiada hawa murni, lalu dari mana datangnya tenaga" Kan aneh, apakah ajaran ini bukan sengaja hendak bercanda belaka" Haha, memangnya Hek-pek-cu adalah manusia rendah, jika aku mengajarkan ilmu yang menyesatkan ini padanya, biar dia tertipu."
Begitulah ia terus melanjutkan meraba tulisan itu sembari merenungkan arti yang terkandung dalam tulisan itu. Ia merasa beberapa ratus huruf permulaan semuanya adalah ajaran cara bagaimana orang harus membuyarkan tenaga, cara bagaimana memunahkan tenaga dalamnya sendiri.
Semakin diselami semakin terkesiap Lenghou Tiong. Pikirnya, "Di dunia ini mana ada orang tolol yang mau memunahkan tenaga dalamnya sendiri yang telah diyakinkan dengan susah payah itu" Ya, kecuali kalau dia sudah bertekad akan membunuh diri. Tapi kalau mau bunuh diri cukup sekali gorok leher sendiri kan beres buat apa mesti buang-buang tenaga dan pikiran untuk membuyarkan tenaga sendiri lebih dulu" Ilmu membuyarkan tenaga ini jauh lebih sukar dilatih daripada ilmu latih mengumpulkan tenaga. Sesudah dilatih apa manfaatnya pula?"
Setelah berpikir sejenak akhirnya Lenghou Tiong menjadi lesu, ia merasa Hek-pek-cu yang cerdik itu masa begitu gampang ditipu dengan diberi ajaran yang tidak masuk akal itu. Tampaknya jalan ini tak bisa dilaksanakan lagi.
Semakin dipikir semakin kesal, bolak-balik yang teringat hanya kalimat tentang "di dalam perut ada hawa murni buyarkan ke nadi yim-meh" dan seterusnya, akhirnya ia menjadi murka, makinya sambil menggebrak dipan, "Bedebah! Keparat itu terkurung di penjara neraka ini, saking gemas dan terlalu iseng ia sengaja mengatur muslihat ini untuk mempermainkan orang lain."
Setelah mencaci maki, akhirnya ia lelah lagi dan terpulas tanpa terasa. Dalam mimpi ia merasa dirinya duduk di atas dipan dan sedang semadi menurutkan ajaran yang dibacanya dari tulisan ukir itu tentang "hawa murni dalam perut buyarkan ke yim-meh" segala dan suatu arus hawa murni lantas perlahan mengalir ke nadi yim-meh, lalu ruas-ruas tulang di seluruh badan terasa nikmat tak terkatakan.
Tidak lama dalam keadaan samar-samar dan lamat-lamat seperti masih tidur tapi seperti juga sudah sadar ia merasa hawa murni dalam perutnya masih terus bergerak ke nadi yim-meh. Mendadak pikirannya tergerak, "Wah, celaka. Jadi tenaga dalamku mengalir pergi begini terus kan aku bisa menjadi lumpuh dan tak berguna lagi."
Dalam kagetnya segera ia bangun duduk, seketika hawa murni yang bergerak tadi lantas mengalir balik dari yim-meh. Kontan darah lantas bergolak, kepala puyeng tujuh keliling, dan mata berkunang-kunang, sampai lama dan lama sekali baru dapat memusatkan pikiran lagi.
Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu, kejut dan girang berkecamuk serentak, katanya di dalam hati, "Sebabnya penyakitku sukar disembuhkan adalah karena dalam tubuhku mengeram tujuh-delapan macam hawa murni yang dicurahkan Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio sehingga seorang tabib sakti sebagai Peng It-ci juga tidak sanggup mengobati aku. Hong-ting Taysu, ketua Siau-lim-si itu juga mengatakan hawa murni aneh yang bergolak dalam tubuhku ini hanya bisa dipunahkan dengan berlatih "Ih-kin-keng". Tapi ilmu semadi yang merupakan rahasia berlatih lwekang yang terukir di atas dipan ini bukankah justru mengajarkan padaku cara bagaimana memunahkan tenaga dalamku sendiri" Ahahaha! Ai, Lenghou Tiong, kau ini benar-benar bodoh seperti kerbau. Sekarang ilmu ajaib itu terletak di depan matamu mengapa tidak kau yakinkan dengan baik?"
Dapatnya dia berlatih lwekang dalam impian tadi adalah karena sebelumnya ia terlalu disibukkan oleh kalimat yang membosankan itu, pada waktu mimpi yang terpilih adalah ilmu semadi yang terukir di dipan itu dan tanpa terasa ditirukannya dalam mimpi. Cuma kemudian pikirannya lantas kacau sehingga ilmu itu pun mogok setengah jalan.
Sekarang ia lantas mengumpulkan semangat dan mengulangi lagi meraba-raba tulisan yang terukir itu, dihafalkan dan direnungkan semasak-masaknya. Hanya sejam kemudian, terasa macam-macam hawa murni yang selalu mengganggu di dalam perutnya sudah ada sebagian membuyar ke urat nadi yim-meh, meski belum dapat diusir ke luar tubuh, tapi pergolakan darah yang biasanya sangat menyiksa itu kini sudah jauh berkurang.
Ia lantas berbangkit, saking senangnya ia lantas menyanyi, tapi suara nyanyiannya terasa serak semacam suara burung gagak, rupanya gembar-gembor kemarin untuk membikin serak kerongkongannya telah membawa hasil. Kembali ia terbahak-bahak lagi. Pikirnya, "Wahai Yim Ngo-heng, dengan tulisan yang kau tinggalkan ini bermaksud membikin susah orang lain, siapa duga kebentur padaku dan malah memberi manfaat bagiku. Jika di dalam kuburmu kau tahu akan ini mungkin kumismu akan menegak saking gusarnya. Hahahaha!"
Setelah berlatih, rasa laparnya semakin menjadi, akhirnya kakek pengantar makanan yang sangat diharapkan itu datang juga. Segera ia makan dengan lahap, dalam sekejap saja semuanya disapu bersih di dalam perut. Lalu duduk di atas dipan untuk semadi lagi.
Bab 73. Hek-pek-cu Menjadi Korban Pertama Ilmu Sakti Lenghou Tiong
Begitulah tanpa putus-putus ia terus berlatih dan membuyarkan hawa murni yang mengganggu itu, setiap kali bekerja, setiap kali badannya menjadi tambah segar. Ia pikir jika hawa murni curahan Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio yang mengganggu itu sudah dipunahkan semua, lalu dapat berlatih lwekang perguruannya sendiri menurut ajaran gurunya dahulu, walaupun hal mana akan makan waktu lama, tapi sedikitnya jiwanya telah dapat diselamatkan. Jika nanti Hiang-toako berhasil membebaskan aku dari sini, tentu aku akan dapat menempuh hidup baru di dunia Kangouw. Tapi lantas teringat pula, "Suhu telah pecat aku dari Hoa-san-pay, buat apa aku mesti meyakinkan lwekang Hoa-san-pay lagi" Masih banyak sekali lwekang-lwekang dari aliran-aliran lain, umpamanya aku dapat belajar kepada Hiang-toako, bisa belajar pada Ing-ing, dan lain-lain lagi."
Teringat kepada hal-hal yang menyenangkan, kembali ia berjingkrak-jingkrak dan tertawa pula.
Besoknya ketika dia memegangi mangkuk dan sedang makan nasi, perasaannya masih tetap diliputi rasa senang dan penuh semangat, ketika tanpa sadar tangannya menggenggam lebih kuat, mendadak terdengar "prak", tahu-tahu mangkuk besar itu telah remuk di tangannya. Keruan Lenghou Tiong terkejut, tangannya meremas lagi sekenanya, kembali remukan mangkuk itu hancur menjadi bubuk. Ketika tangannya dibuka, bubukan mangkuk itu lantas jatuh bertebaran ke lantai.
Untuk sesaat Lenghou Tiong sampai terkesima sendiri, seketika ia tidak paham sebab musababnya.
Tiba-tiba terdengar suara Hek-pek-cu berseru di luar pintu, "Wah, kekuatan Yim-cianpwe tiada bandingannya di dunia ini, sungguh Cayhe kagum tak terhingga."
Kiranya tanpa terasa tiga hari sudah lalu, lantaran sedang kejut akan tenaganya sendiri yang sanggup meremas hancur sebuah mangkuk itu, sampai-sampai datangnya Hek-pek-cu itu tidak disadari, bahkan seketika Lenghou Tiong masih belum paham akan kata-kata pujian Hek-pek-cu itu, sebab sekali remas dapat membikin mangkuk itu menjadi bubuk, hal ini benar-benar sukar dibayangkan olehnya.
Maka terdengar Hek-pek-cu telah berkata pula, "Hanya sedikit remas saja Yim-cianpwe telah menghancurkan sebuah mangkuk, coba kalau cengkeraman itu mengenai badan musuh, haha, masakah nyawa musuh itu takkan melayang?"
Benar juga ucapannya pikir Lenghou Tiong, maka segera ia pun ikut terbahak-bahak.
"Tampaknya hari ini perasaan Cianpwe sangat gembira, silakan lantas menerima Tecu ke dalam perguruan, bagaimana?" pinta Hek-pek-cu.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Apakah aku boleh terima dia sebagai murid dan mengajarkan kalimat-kalimat tulisan terukir di dipan itu" Tapi, ah, aku cuma berlatih satu-dua hari saja lantas begini lihai tenagaku, tampaknya ilmu yang terukir ini bukankah untuk bercanda. Yang diharapkan Hek-pek-cu adalah ilmu ini, tapi sesudah dia meyakinkan dengan baik apakah benar aku akan dilepaskan dari sini" Padahal begitu mengetahui aku bukan Yim-locianpwe yang dia sangka, setiap saat tentu dia akan berubah sikapnya. Umpama Yim-locianpwe yang mengajarkan ilmu sakti, sesudah berhasil besar kemungkinan Hek-pek-cu juga akan berdaya untuk membinasakannya, misalnya memakai racun di dalam makanan dan sebagainya. Ya, bagi Hek-pek-cu memang sangat gampang jika dia mau meracuni aku, mana mungkin dia sudi membebaskan aku biarpun dia berhasil meyakinkan ilmu sakti ini. Mungkin inilah sebabnya Yim-locianpwe tetap tidak mau menyanggupi permintaannya selama 12 tahun."
Karena tidak memperoleh jawaban, Hek-pek-cu menjadi khawatir ada perubahan lagi, cepat ia berkata pula, "Bila Cianpwe sudah mengajarkan ilmunya, segera Tecu akan pergi mengambilkan arak enak dan ayam lezat untuk dipersembahkan kepadamu."
Sudah sekian lamanya Lenghou Tiong dikurung di situ, yang dimakan setiap hari adalah sayur asin melulu, sekarang mendengar ada ayam lezat dan arak enak, keruan ia lantas mengiler. Cepat ia berkata, "Baiklah, lekas kau pergi ambil arak dan ayam panggang dulu, sesudah makan, bisa jadi hatiku akan senang terus mengajarkan sedikit kepandaian padamu."
Sebenarnya Hek-pek-cu bermaksud menggunakan makanan lezat sebagai umpan untuk memancing ilmu yang dikehendaki, tapi orang justru ingin makan enak dulu. Jika tidak dituruti, mungkin sekali orang tua itu akan marah dan tidak jadi mengajarkan ilmu lagi. Maka cepat Hek-pek-cu menjawab, "Baik, baik, segera aku akan ambilkan arak dan ayam panggang yang gemuk. Cuma hari ini agaknya tak bisa dilaksanakan, besok saja kalau ada kesempatan tentu Tecu akan mempersembahkannya."
"Kenapa hari ini tidak bisa dilaksanakan?" tanya Lenghou Tiong.
"Untuk datang ke sini aku harus mencari kesempatan di luar tahu toako kami, bila Toako sedang keluar barulah ...."
Lenghou Tiong mendengus sebelum ucapan orang habis. Maka Hek-pek-cu juga tidak bicara lebih lanjut. Mungkin khawatir dipergoki Ui Ciong-kong, buru-buru ia mohon diri.
Ketika tangannya teraba pada remukan mangkuk tadi, diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Mengapa ilmu ini begini lihai" Baru berlatih satu-dua hari saja sudah begini hebat, apalagi kalau sudah berlatih sebulan dan lebih kan bisa ...." Berpikir sampai di sini mendadak ia melonjak bangun sambil berteriak.
Kiranya terpikir olehnya kalau sudah berlatih sebulan atau lebih lama lagi kan dapat memutus rantai borgol dan meloloskan diri dengan menerjang pintu penjara itu. Namun rasa gembiranya itu dalam sekejap lantas lenyap, sebab lantas terpikir lagi olehnya, "Jika ilmu ini benar-benar begini hebat, mengapa Yim Ngo-heng sendiri tidak dapat meloloskan diri dari sini?"
Sambil melayangkan pikiran-pikirannya, sebelah tangannya tanpa terasa meraba gelang besi di tangan kiri serta dipentangnya. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa gelang besi itu akan terpentang renggang olehnya, siapa tahu gelang besi itu mendadak terpentang, ketika ditarik lagi, ternyata pergelangan tangan kiri lantas terlepas begitu saja dari belenggu gelang besi itu.
Girang dan kejut pula Lenghou Tiong. Ketika gelang besi itu diraba lagi, kiranya di bagian tengah memang sudah putus, tapi kalau tenaga dalam sendiri belum pulih juga sukar untuk membukanya. Segera ia pun pentang terbuka belenggu tangan kanan, lalu belenggu kedua kakinya. Setiap gelang belenggu besi itu sudah terputus semua. Terlepasnya belenggu kaki dan tangan dengan sendirinya terlepas pula rantai besinya sehingga badannya sekarang tidak terikat apa-apa lagi.
Lenghou Tiong sangat heran mengapa setiap gelang besi itu ada tanda putus begitu" Padahal gelang besi yang sudah terputus begitu mana kuat untuk membelenggu orang"
Besoknya ketika orang tua itu datang mengantarkan daharan, di bawah sinar pelita yang dibawanya itu dapatlah Lenghou Tiong melihat jelas bagian yang terputus dari gelang-gelang besi itu menunjukkan tanda baru saja diputus, keruan ia tambah heran. Dari tanda itu dapat dilihat pula bekas gergaji yang halus sekali, jelas ada orang yang telah menggergaji gelang-gelang besi itu dengan semacam gergaji baja yang amat halus. Anehnya mengapa gelang yang sudah digergaji putus itu bisa terkatup kembali dan membelenggu kaki-tangannya, jangan-jangan ... jangan-jangan. Menurut jalan pikirannya tentu diam-diam ada orang yang sedang berusaha menolongnya. Dan penolong itu tentulah orang Bwe-cheng sendiri. Mungkin sekali gelang besi itu digergaji putus ketika dirinya jatuh pingsan dan mungkin pula akan membebaskannya nanti bilamana ada kesempatan bagus di luar tahu orang-orang Bwe-cheng yang lain.
Berpikir sampai di sini, seketika semangat Lenghou Tiong terbangkit. Pikirnya, "Jalan masuk ke sini berada di bawah tempat tidurnya Ui Ciong-kong, jika Ui Ciong-kong yang bermaksud menolongku tentu dapat dilakukan setiap waktu dan tidak perlu menunda lagi, Hek-pek-cu tentunya juga tidak. Tinggal Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing saja. Di antara kedua orang itu cuma Tan-jing-sing yang mempunyai kegemaran yang sama, besar kemungkinan yang berusaha hendak menolongku tentulah Tan-jing-sing yang baik hati itu."
Lalu terpikir lagi olehnya cara bagaimana akan melayani kedatangan Hek-pek-cu besok, segera ia pun mendapatkan akal, "Aku akan pura-pura meluluskan permintaannya untuk menipu daharan enak dari dia. Lalu mengajarkan ilmu palsu padanya supaya dia tertipu. Akibatnya tentu sangat lucu. Haha, tentu sangat lucu!"
Menyusul terpikir lagi setiap saat Tan-jing-sing akan datang melepaskan dia, kesempatan yang masih ada ini harus digunakan untuk lebih menghafalkan ilmu yang terukir di papan besi itu. Maka ia lantas mulai meraba-raba lagi tulisan-tulisan di papan besi serta mengingat-ingatnya di luar kepala.
Tadinya tulisan-tulisan itu tidaklah menarik perhatiannya, sekarang juga bukan sesuatu yang mudah baginya untuk menghafalkannya di luar kepala. Apalagi mengenai ilmu sakti, keliru satu huruf saja mungkin akan membawa akibat yang sukar dibayangkan.
Begitu juga kalau melupakan sebagian di antaranya tentu tak dapat diulangi lagi jika sudah keluar dari tempat neraka ini. Sebab itulah ia bertekad akan menghafalkan seluruhnya #dapatlah dihafalkan di luar kepala, habis itu barulah ia dapat tidur dengan tenang.
Dalam mimpi benar juga dilihatnya Tan-jing-sing datang membukakan pintu penjara untuk melepaskan dia, ketika terjaga bangun baru diketahui cuma impian belaka. Tapi ia pun tidak menjadi lesu, pikirnya hari ini tidak datang mungkin karena belum ada kesempatan baik, tidak lama tentu Tan-jing-sing akan datang menolongnya.
Terpikir olehnya bila nanti dirinya sudah meninggalkan penjara ini, mungkin sekali ukiran tulisan itu akan dilihat oleh Hek-pek-cu yang dianggapnya jahat itu, kalau orang macam Hek-pek-cu sampai berhasil meyakinkan ilmu sakti tentu akan menambah kejahatannya malah. Maka kembali ia mengulangi belasan kali lagi menghafalkan tulisan di atas papan itu, lalu ia menghapus sebagian huruf-huruf itu dengan belenggu besi yang telah ditanggalkan itu.
Besoknya Hek-pek-cu ternyata tidak datang, Lenghou Tiong juga tidak ambil pusing, ia meneruskan latihannya atas ilmu sakti itu. Beberapa hari selanjutnya Hek-pek-cu tetap tidak muncul.
Lenghou Tiong merasa latihannya banyak mendapat kemajuan. Hawa murni yang berasal dari Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Hwesio itu sudah sebagian besar didesak keluar dari bagian perut dan buyar melalui berbagai urat nadi. Ia yakin jika latihannya diteruskan akhirnya tentu hawa murni yang merupakan penyakit itu akan dapat dipunahkan seluruhnya.
Setiap hari ia tentu menghafalkan lagi belasan kali tulisan yang telah dibacanya itu, sebagian huruf-huruf di atas papan besi itu pun dikerok dengan gelang besi. Ia merasa tenaga dalam sendiri kian lama makin kuat, untuk mengerok huruf-huruf itu ternyata tidak begitu susah baginya.
Kembali sebulan sudah lewat, meski berada di bawah tanah juga Lenghou Tiong merasakan hawa musim panas sudah mulai berkurang. Pikirnya, "Rupanya penemuanku yang aneh ini sudah suratan takdir. Jika aku terkurung di sini di musim dingin pasti tulisan di atas papan besi ini takkan kuketemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas tulisan di atas papan besi ini takkan kuketemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas Tan-jing-sing sudah berhasil menolong keluar diriku."
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba terdengar dari lorong sana ada suara tindakan Hek-pek-cu yang sedang mendatangi. Tadinya Lenghou Tiong berbaring di atas dipan besi itu, maka perlahan-lahan ia lantas membalik tubuh sehingga berbaring miring menghadap ke dinding bagian dalam.
Terdengar Hek-pek-cu sudah sampai di luar pintu, lalu berkata, "Yim ... Yim-locianpwe, harap sudi memaafkan. Selama lebih sebulan ini Toako tidak pernah keluar rumah sehingga Cayhe sangat gelisah dan tidak dapat datang kemari untuk menjenguk engkau. Untuk ini harap engkau janganlah marah."
Berbareng itu tercium juga bau harum arak dan sedapnya ayam panggang yang teruar dari lubang pintu.
Memangnya sudah sekian lamanya Lenghou Tiong tidak merasakan setetes arak pun, maka begitu mengendus bau arak ia menjadi ketagihan, segera ia membalik tubuh dan berkata, "Mana daharannya, aku harus makan dulu dan urusan belakang."
"Ya, baik," sahut Hek-pek-cu cepat. "Jadi Cianpwe sudah menyanggupi akan mengajarkan rahasia lwekang padaku?"
"Begini, setiap kali kau mengantar kemari tiga kati arak dan seekor ayam panggang, setiap kali pula aku akan mengajarkan empat kalimat rahasia lwekang padamu. Bilamana aku sudah menghabiskan tiga ratus kati arak dan seratus ekor ayam, maka rahasia lwekang yang kuajarkan padamu rasanya sudah cukup juga."
"Cara begini rasanya rada-rada lambat dan mungkin sekali terjadi apa-apa. Biarlah setiap kali Wanpwe akan mengantar enam kati arak dan dua ekor ayam, lalu Cianpwe setiap kali mengajarkan delapan kalimat rahasianya saja?"
"Sungguh serakah sekali kau ini. Tapi, baiklah. Mana araknya, mana ayamnya, bawa ke sini," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Segera Hek-pek-cu mengangsurkan nampan kayu itu melalui lubang persegi di daun pintu itu. Benar juga di atas nampan itu ada satu poci besar arak dan seekor ayam panggung yang gemuk.
"Sebelum aku mengajarkan rahasia lwekang padamu rasanya kau tidak sampai meracuni aku," demikian pikir Lenghou Tiong. Maka tanpa pikir segera ia pegang poci arak itu dan langsung dituang ke dalam mulut.
Rasa arak itu sebenarnya tidak terlalu enak, tapi sekarang bagi Lenghou Tiong araknya terasa sangat sedap. Sekaligus hampir setengah poci besar itu telah ditenggak, lalu dibetotnya sebelah paha ayam panggang terus diganyang dengan lahapnya. Hanya sebentar saja sepoci penuh arak dan seekor ayam panggang itu telah disapu bersih. Ia tepuk-tepuk perut sendiri sambil berkata, "Ehmmm, arak sedap dan ayam lezat!"
"Cianpwe sudah kenyang makan enak, sekarang silakanlah mengajarkan rahasia lwekangnya," pinta Hek-pek-cu dengan tertawa. Sekarang ia tidak menyinggung lagi tentang mengangkat guru segala, disangkanya sehabis makan minum tentu Lenghou Tiong sudah lupa.
Tapi Lenghou Tiong juga sengaja tidak menyinggung soal ini, segera ia berkata, "Baiklah, beberapa kalimat rahasia ini hendaklah kau ingat-ingat dengan baik, yakni: "Antara delapan nadi dan urat aneh, di dalamnya ada hawa murni, himpunlah di bagian perut, salurkan melalui napas", dapatkah kau memahami empat kalimat ini?"
Empat kalimat itu memang tidak ada sesuatu yang istimewa, hanya saja Lenghou Tiong telah sengaja menjungkirbalikkan arti yang sebenarnya. Hek-pek-cu merasa empat kalimat itu tiada sesuatu yang bersifat rahasia, maka ia menjawab, "Ya, paham. Mohon Cianpwe sudi mengajarkan empat kalimat lagi."
Lenghou Tiong juga tidak jual mahal, bahkan ia sengaja obral empat kalimat lagi yang isinya untuk menakut-nakuti. Keruan Hek-pek-cu terperanjat, kalau mesti berlatih menurut kalimat-kalimat rahasia itu pastilah jiwanya akan melayang, hal ini mustahil dapat dilakukan. Maka ia bertanya, "Empat kalimat ini Wanpwe benar-benar tidak paham."
"Sudah tentu kau tidak paham," sahut Lenghou Tiong. "Ilmu sakti ini kalau dapat dipahami dengan begitu saja, lalu apa artinya sebagai ilmu sakti?"
Sampai di sini Hek-pek-cu merasa kata-kata Lenghou Tiong itu nadanya makin berbeda daripada orang she Yim itu, mau tak mau timbul juga rasa curiganya.
Maklumlah pertemuan yang sudah-sudah itu Lenghou Tiong sangat sedikit membuka suara, ucapannya dibikin serak dan samar-samar pula, tapi sekarang dia habis makan minum enak, semangatnya berkobar-kobar dan bicaranya menjadi banyak. Dasarnya Hek-pek-cu juga memang cerdik, maka ia menjadi curiga. Cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang yang di penjara itu sekarang sudah bukan lagi orang she Yim itu, hanya disangkanya kalimat-kalimat rahasia itu sengaja dibuat-buat untuk mempermainkan dia saja.
Lenghou Tiong lantas merasa juga akan curiga Hek-pek-cu, cepat ia menambahkan, "Nanti kalau kau sudah terima ajaran dengan lengkap tentu akan paham dengan sendirinya."
Habis berkata ia lantas menaruh kembali poci arak itu di atas nampan dan diangsurkan keluar melalui lubang persegi itu. Ketika Hek-pek-cu hendak menerima nampan itu, sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjerit, badannya sempoyongan ke depan, "blang", kepalanya membentur pintu besi itu, nampan juga akan tertarik masuk kembali.
"He, kenapa?" tanya Hek-pek-cu. Sebagai seorang ahli silat, reaksinya dengan sendirinya sangat cepat, tangannya terus menyambar ke lubang persegi itu untuk menangkap nampan agar poci arak di atasnya tidak sampai terjatuh dan pecah.
Dan justru pada detik itulah sebelah tangan Lenghou Tiong sudah lantas membalik ke atas dan tepat mencengkeram pergelangan tangan Hek-pek-cu itu sambil berseru, "Hek-pek-cu, coba perhatikan siapakah aku ini?"
Tidak kepalang kejutnya Hek-pek-cu karena kejadian yang tak terduga-duga itu, nampan yang masih keburu dipegang olehnya itu lantas terlepas lagi, serunya dengan takut, "Kau ... kau ...."
Kiranya tadi waktu Hek-pek-cu menjulurkan tangan hendak menerima kembali nampan, tiba-tiba timbul rasa penasaran Lenghou Tiong yang tak terkatakan, ia merasa biang keladi yang mengurung dirinya di situ dan menderita sekian lamanya tak-lain tak-bukan adalah manusia licik yang berada di depannya itu. Jika tangannya dapat dipegang dan dipuntir patah sedikitnya akan terlampiaslah rasa dendamnya. Apalagi kalau tangan Hek-pek-cu itu mendadak dipegang olehnya tentu akan kaget setengah mati, andaikan tidak berhasil sedikitnya juga akan membikin kaget padanya, tentunya sangat lucu orang yang kaget mendadak itu.
Entah lantaran timbul maksud balas dendamnya atau karena pikiran kanak-kanak yang ingin menggoda orang supaya kaget itu, maka mendadak ia pura-pura jatuh sempoyongan untuk memancing reaksi Hek-pek-cu. Dan hasilnya ternyata cocok dengan rekaannya, sekali pancing tangan Hek-pek-cu sudah lantas kena dipegang olehnya.
Sebenarnya Hek-pek-cu juga seorang yang amat cerdik, namun sama sekali ia tidak menduga akan kejadian demikian, ketika mendadak ia merasa gelagat jelek, namun sudah terlambat, tangannya sudah keburu tercengkeram dengan kuat seakan-akan terbelenggu, tanpa pikir lagi segera ia memutar tangannya dengan maksud balas mencengkeram tangan lawan, berbareng itu terdengar "blang" yang keras, tahu-tahu beberapa jari kakinya sudah patah, saking sakitnya sampai ia berkaok-kaok.
Kan aneh" Tangannya yang terpegang Lenghou Tiong, mengapa jari kakinya yang patah"
Kiranya Hek-pek-cu memiliki suatu jurus simpanan yang disebut "Kau-liong-cut-tong" (Naga Keluar dari Gua). Jurus ini baru digunakan apabila sebelah tangannya dipegang musuh, sembari membetot sekuatnya, berbareng sebelah kakinya lantas menendang secepat kilat ke tempat mematikan di tubuh musuh, kalau bukan bagian dada tentulah bagian selangkangan, lihainya bukan buatan, jika kena musuh pasti akan menggeletak seketika.
Kalau musuh adalah ahli silat yang sama tingkatan, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri ialah melepaskan tangan Hek-pek-cu yang dicengkeram itu. Tapi ia lupa bahwa di antara mereka itu masih terhalang oleh selapis daun pintu besi. Jurus "Kau-liong-cut-tong" itu memang digunakan dengan sangat tepat, tempat yang ditendang juga sangat jitu, tenaganya amat lihai pula, cuma sayang yang terkena tendangannya adalah daun pintu besi sehingga menimbulkan suara nyaring keras.
Lenghou Tiong baru tahu apa yang terjadi sesudah mendengar suara "blang" yang keras itu, baru diketahui dirinya telah selamat berkat lindungan pintu besi itu. Ia menjadi geli malah dan terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, boleh tendang sekali lagi, harus tendang sama kerasnya seperti barusan ini, habis itu aku lantas melepaskan kau!"
Tapi mendadak Hek-pek-cu merasa tenaga dalamnya terus merembes keluar melalui dua tempat hiat-to di pergelangan tangannya itu, tiba-tiba teringat olehnya sesuatu hal yang paling ditakutinya selama hidup ini. Keruan sukmanya seakan-akan terbang meninggalkan raganya. Sembari mengerahkan tenaga dan menghimpun napas ia pun memohon dengan sangat, "Lo ... Locianpwe, mohon engkau ... engkau ...." Masih mending baginya jika tidak bicara, begitu membuka mulut tenaga dalamnya juga lantas membanjir keluar. Terpaksa ia tutup mulut dan tidak berani bicara lagi. Namun demikian tenaga dalam masih tetap merembes keluar tak tertahankan.
Setelah meyakinkan ilmu yang terukir di atas dipan besi itu, hawa murni di dalam perut Lenghou Tiong sudah terkuras habis, perutnya sekarang sudah kosong dan minta diisi. Sekarang dirasakan ada hawa murni yang menyalur ke dalam perutnya sedikit demi sedikit, namun hal ini pun tidak diperhatikan olehnya. Hanya diketahuinya tangan Hek-pek-cu gemetar terus seperti sangat ketakutan. Lantaran masih gemas padanya, Lenghou Tiong sengaja hendak menggertaknya sekalian, segera ia berkata, "Aku sudah mengajarkan ilmu padamu, maka kau sudah terhitung muridku, kau berani menipu dan mengkhianati perguruan, apa hukuman atas dosamu ini?"
Namun Hek-pek-cu merasakan tenaga dalamnya semakin cepat mengalir keluar, sekarang ia sudah melupakan sakit kakinya, yang dia harap adalah lekas melepaskan tangan dari lubang persegi itu, andaikan sebelah tangan itu harus dikorbankan juga rela. Berpikir demikian segera sebelah tangannya melolos pedang yang terselip di pinggang.
Karena sedikit bergerak saja seketika kedua hiat-to di pergelangan tangannya itu laksana tanggul yang bobol, seketika tenaga dalam membanjir keluar seperti air bah dan sukar dibendung lagi.
Hek-pek-cu sadar asalkan terlambat sebentar lagi tentu segenap tenaga dalamnya sendiri akan tersedot semua oleh lawan. Maka sekuatnya ia melolos pedangnya sendiri, dengan nekat pedang itu diangkat terus hendak menebas ke lengannya sendiri. Tapi sedikit ia menggunakan tenaga saja, serentak tenaga dalamnya membanjir keluar lebih cepat dan lebih deras, telinganya terasa mendengung keras, lalu tak sadarkan diri lagi.
Maksud Lenghou Tiong mencengkeram tenaga Hek-pek-cu itu sebenarnya cuma bermaksud menakut-nakuti saja untuk melampiaskan dongkolnya, tak terduga bahwa lawan sampai jatuh kelengar saking takutnya. Sembari bergelak tertawa ia lantas melepaskan cengkeramannya. Kontan badan Hek-pek-cu lantas lemas terkulai ke bawah, perlahan-lahan sebelah tangan yang baru dilepaskan Lenghou Tiong juga mengkeret keluar.
Sekilas teringat sesuatu pada benak Lenghou Tiong, lekas-lekas ia pegang pula tangan Hek-pek-cu. Untung dia cukup cepat sehingga masih keburu menyambar tangan orang. Pikirnya, "Kenapa aku tidak membelenggu dia dengan gelang besi ini untuk memaksa Ui Ciong-kong dan kawan-kawannya membebaskan aku?"
Segera ia tarik pula sekuatnya tangan Hek-pek-cu itu. Di luar dugaan bahwa sekarang tenaga dirinya sudah luar biasa kuatnya, sekali tarik saja bukan cuma tangan Hek-pek-cu yang mendekat, bahkan kepala Hek-pek-cu ikut menerobos masuk melalui lubang persegi itu, "bluk", tahu-tahu seluruh badan Hek-pek-cu telah menyusup ke dalam kamar penjara itu dan terbanting di lantai.
Hal ini benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh Lenghou Tiong. Ia sendiri menjadi melongo kesima. Tapi segera ia memaki pada dirinya sendiri yang terlalu goblok, seharusnya sejak dulu-dulu mesti diketahui bahwa lubang persegi yang lebarnya ada dua-tiga puluh senti itu, asalkan kepala bisa masuk dengan sendirinya maka badannya juga bisa masuk. Jika badan Hek-pek-cu dengan gampang bisa menerobos masuk, mengapa dirinya tak bisa" Tadinya, memang dia terbelenggu dan dirantai sehingga sukar meloloskan diri, tapi sekarang belenggu sudah digergaji putus orang, mengapa sekarang tidak melarikan diri.
Rupanya pada waktu ia mengetahui belenggunya telah digergaji putus oleh orang, saat mana ia sedang memusatkan segenap pikirannya untuk berlatih ilmu sakti di atas dipan besi itu, pula ilmu itu belum hafal seluruhnya sehingga tatkala mana belum timbul pikirannya untuk segera berusaha meloloskan diri dari penjara itu.
Sekarang Hek-pek-cu telah ditariknya masuk ke kamar penjara, hanya berpikir sejenak saja dia lantas punya keputusan yang tetap. Segera ia menanggalkan pakaian Hek-pek-cu untuk ditukar dengan pakaiannya sendiri, lalu kerudung kepala Hek-pek-cu itu pun dipindahkan di atas kepalanya sendiri. Ia pikir andaikan di luar nanti ketemukan orang tentu mereka akan mengira dirinya adalah Hek-pek-cu.
Kemudian tangan dan kaki Hek-pek-cu dibelenggu dengan gelang besi yang sudah putus itu, Lenghou Tiong menggencet gelang besi itu sehingga merapat dan menggigit daging lengan Hek-pek-cu itu. Saking kesakitan Hek-pek-cu sampai siuman kembali dan merintih kesakitan.
"Biarlah kita berganti tempat, besok juga kakek itu akan mengantar ransum untukmu, jangan khawatir kelaparan," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Yim ... Yim-locianpwe," kata Hek-pek-cu dengan meratap, "engkau punya Gip ... Gip-sing-tay-hoat ...."
Dahulu waktu Lenghou Tiong membantu Hiang Bun-thian melawan keroyokan orang banyak di tengah gardu yang terpencil itu ia pun pernah mendengar orang berteriak tentang "Gip-sing-tay-hoat" (Ilmu Sakti Mengisap Bintang), sekarang didengar pula Hek-pek-cu menyebut nama ilmu itu, segera ia bertanya, "Gip-sing-tay-hoat apa?"
"Aku ... aku memang pantas mati ...." hanya sekian ucapannya Hek-pek-cu sudah merasa lemas, tenggorokan mengeluarkan suara mengorok, lalu tidak sanggup bersuara lagi.
Karena lebih penting meloloskan diri, maka Lenghou Tiong tidak gubris lebih jauh padanya, segera ia menjulurkan kepalanya keluar lubang persegi itu, kedua tangan lantas merambat pula ke luar, ketika tangannya menolak daun pintu besi itu, seketika tubuhnya melesat ke luar untuk kemudian menancapkan kakinya di tanah dengan tegak. Karena perutnya sekarang terkumpul pula hawa murni berasal dari Hek-pek-cu itu sehingga rasanya tidak enak. Ia tidak tahu duduknya perkara, disangkanya hawa murni berasal dari Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio itu kembali mengganggunya lagi. Tapi sementara ini tidak sempat berlatih ilmu yang diperolehnya dari ukiran dipan besi itu, yang dia harapkan adalah lekas-lekas meninggalkan penjara maut itu, maka cepat ia melangkah keluar melalui jalan di bawah tanah yang remang-remang itu.
Karena habis digunakan masuk oleh Hek-pek-cu, dengan sendirinya pintu-pintu jalan bawah tanah itu semuanya masih terbuka, maka dengan leluasa Lenghou Tiong dapat melepaskan diri dari kurungan.
Sampai di ujung lorong itu, perlahan-lahan ia naik ke atas undak-undakan, tepat di atasnya adalah sebuah papan besi penutup. Ia coba pasang kuping, tapi tidak mendengar suara apa-apa. Setelah mengalami sekapan di dalam penjara ini, nyata Lenghou Tiong sudah tambah cerdik dan waspada, ia tidak lantas menerjang ke atas, tapi berdiri di situ rampai sekian lamanya, setelah jelas tak ada suara apa-apa dan yakin Ui Ciong-kong tiada berada di dalam kamarnya, habis itu baru perlahan-lahan ia menolak papan besi penutup itu, lalu meloncat ke atas.
Setelah menutup kembali papan besi itu di tempatnya, lalu dengan berjinjit-jinjit ia hendak melangkah ke luar kamar. Tapi mendadak seorang berkata dengan suara dingin di belakangnya, "Jite, apa yang kau lakukan sendirian di bawah sana?"
Lenghou Tiong terkejut dan cepat menoleh, ternyata Ui Ciong-kong, Tan-jing-sing, dan Tut-pit-ong bertiga sudah mengepung di sekelilingnya dengan senjata terhunus. Ia tidak tahu bahwa selama ini cara Hek-pek-cu memasuki penjara di bawah tanah itu adalah menggunakan pintu rahasianya sendiri, jadi sebenarnya tidak melalui kamar tidurnya Ui Ciong-kong, tapi sekarang Lenghou Tiong telah keluar melalui jalan itu sehingga menyentuh pesawat rahasia dan menerbitkan tanda alarm, maka serentak Ui Ciong-kong bertiga lantas muncul. Cuma dia memakai kerudung kepala, pakaiannya sudah bertukar pula dengan pakaian Hek-pek-cu, maka Ui Ciong-kong bertiga tidak mengenalinya dan tetap menyangka dia adalah Hek-pek-cu.
Bab 74. Mo-kau-kaucu = Ketua Mo-kau, Yim Ngo-heng
Dalam kejutnya Lenghou Tiong lantas hendak berkata, "Aku ... aku ...."
"Aku apa" Sudah lama aku mencurigai kau dan sudah kuduga kau pasti hendak mohon Yim Ngo-heng untuk mengajarkan ilmu iblis itu kepadamu, hm, apakah kau sudah lupa kepada sumpah yang pernah kau ucapkan?" demikian jengek Ui Ciong-kong.
Pikiran Lenghou Tiong menjadi kacau, ia bingung apa mesti memperlihatkan wajah aslinya atau tetap memalsukan Hek-pek-cu. Seketika ia tidak dapat mengambil keputusan, segera ia lolos pedang yang dirampasnya dari Hek-pek-cu terus menusuk ke arah Tut-pit-ong.
"Bagus, Jiko, apa ingin berkelahi sungguh-sungguh ya?" seru Tut-pit-ong dengan gusar, berbareng pensilnya lantas menangkis.
Tak terduga serangan Lenghou Tiong itu hanya tipu belaka, selagi orang hendak menangkis, secepat terbang ia lantas berlari ke luar.
Sudah tentu Ui Ciong-kong bertiga tidak tinggal diam, serentak mereka mengejar. Hanya sebentar saja Lenghou Tiong sudah berlari sampai di ruangan besar di depan.
"Jite, kau hendak lari ke mana?" teriak Ui Ciong-kong.
Lenghou Tiong tidak menjawab, ia tetap berlari secepat terbang. Mendadak terlihat seorang mengadang di tengah pintu dan berseru padanya, "Silakan berhenti, Jichengcu!"
Saat itu Lenghou Tiong sedang berlari dengan cepat sehingga tidak keburu mengerem, tanpa ampun lagi, "blang", dengan tepat orang itu tertumbuk. Tubrukan ini benar-benar amat keras sehingga orang itu terpental ke luar dan terbanting beberapa meter jauhnya.
Sekilas pandang Lenghou Tiong dapat mengenali orang itu kiranya adalah Ting Kian, mungkin terluka parah sehingga tampaknya Ting Kian tidak mampu berkutik.
Tanpa berhenti Lenghou Tiong berlari terus menuju ke jalan kecil. Ui Ciong-kong bertiga hanya menguber sampai di muka kampung, lalu tidak mengejar lagi.
Tidak lama kemudian sampailah Lenghou Tiong di tanah pegunungan yang sunyi, jaraknya dengan kota agaknya sudah jauh, tanpa terasa dia ternyata sudah berlari sekian jauhnya. Aneh juga, meski dia berlari-lari secepat terbang dan begitu jauh, waktu berhenti ternyata tidak merasakan lelah, napasnya juga tidak memburu, dibandingkan sebelum terganggu oleh hawa murni yang aneh di dalam perut agaknya tenaganya sekarang sudah jauh lebih kuat.
Segera ia menanggalkan kerudung kepalanya. Terdengar suara gemerciknya air, memangnya ia merasa haus, segera ia mencari ke arah suara air itu, akhirnya sampai di tepi sebuah sungai pegunungan yang kecil. Ia berjongkok, belum lagi ia sempat meraup air untuk diminum, tahu-tahu di permukaan air tercermin sebuah bayangan orang yang berambut gondrong, muka penuh godek, dan berkumis panjang, jelek sekali wajah begitu.
Semula Lenghou Tiong terkejut, tapi ia lantas tertawa geli sendiri. Nyata setelah terkurung sekian lamanya di dalam penjara bawah tanah itu dia tidak pernah mandi dan bercukur, dengan sendirinya mukanya sekarang sedemikian kotor.
Seketika ia merasa badannya sangat gatal dan risi, segera ia membuka baju dan terus terjun ke dalam sungai untuk mandi sepuas-puasnya. Ia menduga daki di atas badannya itu kalau tidak ada setengah kuintal sedikitnya juga ada 30 kati.
Setelah mencuci badan sebersih-bersihnya dan kenyang minum, lalu ia memotong rambutnya di atas kepala. Ketika bercermin lagi ke permukaan air, ternyata wajahnya sekarang tampak lebih angker dan gagah, beda sekali daripada pemuda Lenghou Tiong yang bermuka putih mulus itu. Lebih-lebih tiada mirip sedikit pun daripada penyamaran yang dibuat oleh Hiang Bun-thian tempo hari.
Lenghou Tiong coba merenungkan pengalamannya, ia merasa heran tempat macam apakah Bwe-cheng itu" Mengapa tokoh hebat seperti orang she Yim itu sampai dikurung di situ sampai belasan tahun lamanya" Ia pikir hal ini perlu diselidiki dengan jelas, bilamana Yim-locianpwe itu terkurung di sana lantaran terjebak, maka aku harus berusaha menolong dia. Cuma dia telah menyatakan bila bebas dari kurungan itu, maka dia akan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang bu-lim. Jika demikian, orang baik atau orang jahatkah orang she Yim itu" Ini perlu dibikin terang dahulu dan tidak boleh sembarangan bertindak secara ngawur.
Dengan wajahku sekarang, asalkan aku berganti pakaian, biarpun berhadapan lagi pasti Ui Ciong-kong dan lain-lain takkan kenal padaku. Demikian akhirnya ia mengambil keputusan.
Waktu ia berpakaian kembali, mendadak jalan darah dan napasnya terasa tidak lancar. Segera ia duduk semadi di tepi sungai dan menjalankan ilmu lwekang yang dipelajarinya dari ukiran di atas dipan itu, maka terasalah hawa murni yang bergolak di dalam perut itu mulai tersalur ke delapan urat nadi khusus, kemudian perut terasa kosong lagi tanpa sesuatu hawa murni.
Lenghou Tiong sendiri tidak tahu bahwa dirinya sesungguhnya sudah berhasil meyakinkan semacam lwekang yang paling lihai di dunia ini, tadi waktu memegang tangan Hek-pek-cu, dalam sekejap saja segenap lwekang yang dimiliki Hek-pek-cu sudah kena disedot seluruhnya olehnya serta terhimpun di dalam perut, sekarang hawa murni baru itu disalurkan ke dalam delapan urat nadi khusus, ini berarti serentak lwekangnya telah bertambah dengan lwekang seorang tokoh seperti Hek-pek-cu, maka dengan sendirinya semangatnya menjadi tambah berkobar.
Sementara itu hari sudah dekat magrib, perut terasa lapar juga, ia coba meraba saku atas jubah rampasan dari Hek-pek-cu itu, ternyata tiada berisi uang perak atau emas, hanya ada sebuah pipa tembakau air, yaitu pipa berbentuk poci yang berisi air, pipa tembakau itu terbuat dari timbel bertatahkan batu zamrud yang indah, terang itu semacam benda antik yang sukar dinilai harganya.
Segera ia merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju kota. Terlihat suasana Kota Hangciu di waktu malam yang cukup ramai. Ia mendapatkan sebuah hotel, lalu pesan arak dan daharan untuk makan sekenyang-kenyangnya. Malamnya ia dapat tidur dengan lelap.
Besok paginya ia menggadaikan pipa berbatu zamrud itu dan mendapatkan belasan tahil uang perak untuk membeli pakaian baru, sepatu, dan keperluan lain, semuanya serbabaru gres, sesudah berdandan, ia merasa pangling terhadap coraknya sendiri yang serbabaru itu.
Tiba-tiba teringat olehnya, "Jikalau siausumoay melihat bentukku ini entah bagaimana perasaannya" Ai, aku seakan-akan baru hidup kembali setelah mengalami bencana, mengapa aku selalu terkenang lagi kepada siausumoay?"
Keluar dari hotel, ia berjalan tanpa arah tujuan. Akhirnya sampai di tepi Se-ouw (Telaga Barat) yang tersohor akan pemandangannya yang indah itu. Dilihatnya di tepi telaga ada sebuah restoran besar pakai merek "Song-si-lau". Seketika Lenghou Tiong ketagihan arak lagi, segera ia melangkah ke dalam restoran itu, ia pilih suatu tempat di tepi jendela yang menghadap ke telaga, lalu pesan minuman. Sambil menikmati arak ia melamun pula, kemarin ia masih terkurung di dalam penjara yang gelap gulita di dasar danau, tapi sekarang dirinya sudah bebas dan dapat makan minum sepuasnya, sungguh rasanya seperti habis mimpi saja.
Tanpa terasa Lenghou Tiong telah menghabiskan beberapa poci arak sehingga membikin pelayan restoran melongo heran akan kekuatan minumnya itu.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, terlihat empat orang naik ke atas loteng restoran itu. Sekilas pandang Lenghou Tiong menjadi terkesiap. Dilihatnya sorot mata keempat orang itu bersinar tajam, jelas adalah jago silat yang memiliki kepandaian tinggi.
Tiga di antara keempat orang itu adalah kakek-kakek yang berusia 60-an tahun, satunya lagi adalah wanita setengah umur. Dandanan keempat orang sama-sama sederhana, selain memanggul sebuah buntelan di punggung masing-masing, senjata pun tidak tampak mereka bawa.
Salah seorang kakek itu berbadan sangat tinggi, ketika sampai di atas loteng dan mengawasi keadaan di situ, sikapnya sangat gagah dan berwibawa. Ia pun memandang sekejap ke arah Lenghou Tiong, lalu berpaling dan berkata kepada kawan-kawannya, "Resik juga tempat ini, bolehlah kita makan di sini."
Ketiga kawannya mengiakan, lalu mereka mengambil tempat duduk pada meja sebelah sana yang juga menghadap ke telaga.
Dengan cekatan pelayan lantas mendekati untuk menawarkan makanan-makanan yang menjadi kebanggaan restorannya, siapa duga keempat orang itu ternyata tidak minum arak, bahkan juga tidak makan daging. Yang mereka pesan adalah sayur-sayuran belaka, selain itu mereka pesan lagi enam kati mi rebus.
Di waktu makan keempat orang itu sama sekali tidak berbicara, selesai makan juga habis perkara, sedikit pun mereka tidak ambil pusing enak atau tidak dari daharan yang mereka makan itu.
Dengan sangat hormat pelayan tadi mendekati tamu-tamunya, katanya dengan mengiring senyum manis, "Sayur campur goreng ini adalah masakan khusus dari koki kami, hebatnya goreng sayur melulu ini terdapat rasa hati ayam, ginjal babi, dan rempela itik tiga macam, entah bagaimana pendapat Tuan-tuan atas masakan ini?"
Seorang kakek yang kekar itu menjawab, "Masakan sayur adalah masakan sayur, buat apa pakai rasa hati babi atau hati sapi segala?"
Dari logat orang dapatlah Lenghou Tiong menduga orang berasal dari daerah Soatang (Santung). Ia heran entah keempat orang ini berasal dari golongan atau aliran mana, entah apa urusan mereka datang ke Hangciu ini" Tapi karena pikirannya sedang dipusatkan untuk menolong orang she Yim itu, ia tidak ingin cari perkara lain, ia pikir sehabis makan segera akan pergi dari situ.
Sama sekali tak terduga bahwa cara makan minum keempat orang itu ternyata sangat cepat, beberapa mangkuk mi rebus telah mereka sikat dalam sekejap, lalu membayar terus berangkat pergi tanpa memberi persen segala kepada pelayan.
Tentu saja pelayan restoran itu mengomel panjang-pendek, terlalu pelit katanya. Tapi ia lantas teringat bahwa di situ masih ada tamu lain, yaitu Lenghou Tiong, cepat ia mendekatinya dan minta maaf, "Harap Tuan jangan marah, yang hamba maksudkan bukanlah Tuan. Engkau telah makan minum besar, sudah tentu tak bisa dipersamakan dengan kaum kikir tadi."
"Makan minum besar menjadi mirip tukang gegares saja," ujar Lenghou Tiong tertawa. Lalu ia membayar dan tidak lupa memberi persen kepada pelayan.
Ia terus melancong ke seluruh pelosok kota mengikuti langkahnya tanpa tujuan yang tetap. Malamnya ia makan minum pula di suatu restoran yang lain, habis itu barulah kembali ke hotelnya untuk tidur.
Lewat tengah malam ia lantas bangun, ia melompat ke luar melalui jendela dan melintasi pagar tembok hotel terus menuju ke tepi Se-ouw di mana terletak kediaman Ui Ciong-kong.
Ginkang Lenghou Tiong sebenarnya tidak tinggi, tapi sejak berlatih "Thi-pan-sin-kang" (Ilmu Sakti dari Papan Besi) itu, sekarang bukan saja langkahnya enteng dan kuat, cukup satu langkah lebar sesuka hati saja sudah mencapai tingkatan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan olehnya sendiri. Begitu cepat langkahnya di tengah malam buta yang sunyi itu, sampai-sampai suara tindakan kaki sendiri pun tidak terdengar.
Ketika melihat bayangan pohon berkelebat begitu cepat di sisinya, seketika Lenghou Tiong menghentikan langkahnya dan melongo heran. Pikirnya, "Sesungguhnya aku masih hidup atau sudah menjadi setan" Mengapa aku bisa berlari secepat ini seakan-akan terbang saja tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun?"
Ketika ia meremas-remas tangannya sendiri, jelas terasa sakit, maka ia sendiri menjadi geli pula. Pikirnya, "Thi-pan-sin-kang itu benar-benar aneh, aku cuma berlatih sebulan saja sudah mencapai kemajuan sepesat ini, kalau kulatih terus bukankah aku akan berubah menjadi siluman?"
Ia tidak tahu bahwa cara melatih ilmu yang terukir di dipan besi itu yang paling sulit ialah membuyarkan dulu segenap tenaga dalam, kalau hal ini kurang sempurna dilaksanakan akan berarti maut bagi dirinya sendiri. Untungnya Lenghou Tiong memang sejak mula tenaga dalam sendiri sudah punah, jadi hal yang sukar bagi orang lain telah dia capai dengan tidak mengalami halangan apa-apa.
Setelah membuyarkan tenaga dalam sendiri, selanjutnya adalah menyedot hawa murni orang lain untuk dikumpulkan di dalam perut sendiri, lalu mengerahkan ke berbagai urat nadi khusus sebagai cadangan. Langkah ini pun sangat sulit, sebab adalah mustahil bahwa tenaga dalam sendiri sudah hilang cara bagaimana dapat menyedot hawa murni orang lain" Tapi dalam hal ini kembali Lenghou Tiong mempunyai keuntungan secara kebetulan, sebab sebelumnya ia telah memiliki berbagai macam hawa murni yang aneh dari Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Hwesio, lantaran itu pula dengan cepat ilmu itu telah berhasil diyakinkan olehnya, sebuah mangkuk sedikit dipencet sudah lantas hancur, tanpa sengaja tenaga dalam Hek-pek-cu juga telah dia sedot. Jadi sekaligus ia telah memiliki kekuatan delapan tokoh kelas wahid, apalagi ketika di Siau-lim-si, waktu Hong-sing Taysu berusaha menyembuhkan penyakitnya juga telah mencurahkan sedikit tenaga sakti Siau-lim-pay ke dalam tubuhnya. Maka betapa kuat tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang boleh dikata jarang ada bandingannya di seluruh dunia persilatan. Hanya saja ia sendiri tidak paham duduknya perkara, sebaliknya ia merasa aneh dan terkejut sendiri.
Untuk sejenak ia berdiri termenung, pikirnya, "Kepandaianku seperti sekarang ini terang tak bisa diajarkan oleh suhu, akan tetapi ... aku lebih suka kembali seperti dahulu dan hidup senang di tengah perguruan Hoa-san daripada luntang-lantung seorang diri di dunia Kangouw."
Begitulah ia merasa selama hidupnya belum pernah memiliki ilmu silat setinggi sekarang ini, tapi merasakan pula tiada pernah hidup sesunyi ini dan sehampa sekarang. Selama beberapa bulan dikurung di dalam penjara bawah tanah itu dengan sendirinya ia kesepian, tapi sekarang sesudah bebas toh masih berkeliaran di tengah malam buta seorang diri, dasar pembawaannya memang suka ramai, suka bergaul, dan gemar minum arak, meski menyadari ilmu silatnya mendadak bertambah lihai, tapi rasa girang itu tidak dapat mengatasi rasa kesalnya yang hampa itu.
Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia berkata di dalam hati, "Ai, semua orang tidak sudi menggubris lagi padaku terpaksa aku akan pergi ke Bwe-cheng untuk menjenguk locianpwe she Yim yang masih dikurung di sana itu. Jika dia mau bersumpah tak membunuh orang bilamana lolos dari penjara, maka boleh juga aku menolongnya meloloskan diri."
Segera ia melanjutkan perjalanan menuju ke Bwe-cheng. Tidak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan sampai di samping perkampungan itu. Suasana di dalam kampung sunyi senyap, dengan enteng sekali ia telah melompati pagar tembok.
Dilihatnya belasan rumah di situ semuanya sunyi dan gelap gulita, hanya sebuah rumah di sebelah kanan kelihatan masih ada sinar lampu. Dengan hati-hati segera ia mendekati jendela rumah itu.
"Ui Ciong-kong, apakah kau sudah tahu akan dosamu?" demikian mendadak terdengar suara seorang yang serak tua membentak di dalam rumah.
Lenghou Tiong menjadi heran, tokoh macam Ui Ciong-kong ternyata masih ada orang yang berani membentak-bentak padanya. Ia coba mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Begitu mengetahui siapa yang berada di dalam itu, seketika hatinya berdebar-debar.
Terlihat orang berduduk di empat kursi, mereka adalah keempat orang yang dijumpainya di atas loteng Song-si-lau siang tadi. Ui Ciong-kong, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing bertiga tampak berdiri di depan keempat orang itu dengan membelakangi jendela sehingga wajah mereka tidak kelihatan. Tapi yang satu berduduk dan yang lain berdiri, dari ini pun jelas akan perbedaan kedudukan mereka.
Terdengar Ui Ciong-kong sedang menjawab, "Ya, hamba mengakui salah. Hamba tidak mengadakan penyambutan sepantasnya atas kedatangan keempat Tianglo, benar-benar berdosa."
"Hm, apa dosanya jika cuma soal sambutan saja?" jengek kakek yang bertubuh jangkung. "Janganlah kau berlagak pilon lagi. Di manakah Hek-pek-cu" Mengapa tidak menghadap kepada kami?"
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, Hek-pek-cu telah terkurung di dalam penjara, tapi Ui Ciong-kong bertiga malah mengira saudara angkat mereka itu telah melarikan diri.
Begitulah Ui Ciong-kong telah menjawab, "Lapor para Tianglo, pengawasan hamba kurang keras sehingga sifat Hek-pek-cu akhir-akhir ini telah banyak mengalami perubahan. Beberapa hari ini dia telah meninggalkan tempat tinggalnya."
"Hm, dia tidak di sini" Tidak di tempat tinggalnya?" kakek tadi menegas.
"Ya," jawab Ui Ciong-kong.
Kakek itu tampak menatap Ui Ciong-kong dengan sorot mata yang tajam, katanya pula, "Ui Ciong-kong, Kaucu menugaskan kalian menjaga Bwe-cheng ini, apakah kalian disuruh memetik kecapi, minum arak, melukis, dan main catur melulu?"
"Tidak, hamba berempat ditugaskan oleh Kaucu untuk menjaga tahanan penting di sini," sahut Ui Ciong-kong dengan membungkuk tubuh.
"Betul," kata si kakek. "Lalu bagaimana dengan tahanan penting yang kau awasi itu?"
"Lapor Tianglo, tahanan penting itu masih terkurung di dalam penjara bawah tanah," tutur Ui Ciong-kong. "Selama 12 tahun hamba tidak pernah meninggalkan Bwe-cheng ini, tidak pernah melenakan tugas."
"Bagus, bagus. Kalian tidak pernah meninggalkan tempat tugas, tidak pernah melenakan tugas," kata si kakek. "Jika demikian, jadi tahanan penting itu masih tetap berada di dalam penjara bukan?"
"Betul," sahut Ui Ciong-kong tegas.
Mendadak kakek itu menengadah memandangi langit-langit rumah, tiba-tiba ia terbahak sehingga debu di langit-langit rumah itu sama rontok. Selang sejenak baru ia berkata pula, "Coba kau bawa kami pergi melihat tahanan penting itu."
"Mohon maaf para Tianglo," kata Ui Ciong-kong. "Menurut perintah keras Kaucu dahulu, tak peduli siapa pun juga dilarang menyambangi tahanan itu, jika melanggar ...."
Dengan cepat kakek tadi lantas mengeluarkan sepotong benda terus diangkat tinggi-tinggi ke atas sembari berdiri. Tiga orang kawannya serentak juga berdiri dengan sikap sangat hormat.
Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati benda itu, kiranya benda itu adalah sepotong papan kayu warna hitam hangus yang belasan senti panjangnya, di atas papan kayu itu ada ukiran-ukiran kembang dan tulisan, tampaknya sangat aneh dan penuh rahasia.
Seketika Ui Ciong-kong bertiga lantas memberi hormat dan berkata, "Hek-bok-leng-pay (Papan Kebesaran Kayu Hitam) Kaucu tiba, hamba akan menerima segala titah dengan hormat."
"Baik, sekarang pergilah membawa tahanan penting itu ke sini," kata si kakek.
"Tahanan penting itu terborgol dengan rantai, tidak ... tidak dapat dibawa ke sini," jawab Ui Ciong-kong dengan ragu-ragu.
"Hm, sampai saat ini kau masih coba putar lidah dan bermaksud mendustai kami," jengek kakek itu. "Aku ingin tanya, sesungguhnya cara bagaimana tahanan itu sampai lolos dari sini?"
"Tahanan ... tahanan itu telah melarikan diri" Ah, mana ... mana mungkin," jawab Ui Ciong-kong terperanjat. "Orang itu masih tetap terkurung di dalam penjara, mana bisa melarikan diri."
"O, jadi kau tidak mau bicara dengan terus terang ya?" kata si kakek. Perlahan-lahan ia lantas mendekati Ui Ciong-kong, mendadak sebelah tangannya menepuk ke pundak Ui Ciong-kong.
Serentak Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing bermaksud melangkah mundur, tapi tindakan mereka ternyata kalah cepat dengan gerak tangan si kakek jangkung, "plok-plok" dua kali, berturut-turut pundak Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing juga telah kena ditabok.
"Pau-tianglo," teriak Tan-jing-sing, "apa kesalahan kami sehingga engkau menggunakan cara ... cara sekeji ini terhadap kami?"
Dari suaranya dapat diketahui di samping menahan sakit luar biasa ia pun merasa penasaran.
Kakek itu menjawabnya dengan perlahan, "Kalian ditugaskan oleh Kaucu untuk menjaga tahanan penting itu, sekarang tahanan itu berhasil melarikan diri, kalian pantas dihukum mati atau tidak?"
"Jika tahanan itu benar-benar melarikan diri, sudah tentu hamba pantas dihukum mati," sahut Ui Ciong-kong. "Akan ... akan tetapi tahanan itu sampai saat ini masih berada di dalam penjara. Sekarang Pau-tianglo datang-datang lantas menggunakan hukuman keji, ini membikin kami penasaran."
Waktu bicara badan Ui Ciong-kong sedikit miring sehingga dari samping Lenghou Tiong dapat melihat jidatnya penuh butiran keringat sebesar kedelai. Maka Lenghou Tiong dapat menduga tepukan Pau-tianglo tadi tentu sangat lihai sehingga jago silat hebat sebagai Ui Ciong-kong juga tidak tahan.
Maka terdengar si kakek telah menjawab, "Baik, silakan kalian memeriksa sendiri ke dalam penjara, jikalau tahanan itu masih tetap di sana, hm, biar aku nanti menjura dan minta maaf kepada kalian, seketika pula akan memunahkan hukuman Na-sah-jiu (Pukulan Pasir Biru)."
"Baik, harap para Tianglo menunggu sementara," kata Ui Ciong-kong. Segera bersama Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing bertindak ke luar dan badan rada gemetar.
Khawatir diketahui, Lenghou Tiong tidak berani mengintip lebih jauh, perlahan-lahan ia berduduk di atas tanah, pikirnya, "Kaucu apa yang dikatakan itu menugaskan mereka menjaga tahanan penting di sini selama 12 tahun, dengan sendirinya tahanan yang dimaksudkan bukanlah diriku dan tentulah locianpwe she Yim itu. Apakah benar dia sudah berhasil lolos" Dia dapat melarikan diri dari penjara tanpa diketahui oleh Ui Ciong-kong dan lain-lain, maka kepandaiannya benar-benar mahasakti. Ya, tentunya Ui Ciong-kong bertiga memang tidak tahu, makanya Hek-pek-cu menyangka aku sebagai Yim-locianpwe."
Ia pikir sebentar lagi kalau Ui Ciong-kong bertiga sudah memeriksa tahanan di dalam penjara tentu akan dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya. Perubahan-perubahan yang hebat itu kalau dipikirkan benar-benar sangat aneh dan lucu.
Didengarnya keempat orang yang duduk di dalam itu semuanya diam saja. Pikirnya pula, "Keempat orang ini benar-benar sangat pendiam, sudah tidak minum arak, tidak makan daging pula, mana senangnya menjadi manusia" Kaucu yang dikatakan itu dari agama apakah" Jangan-jangan Mo-kau" Tapi Kaucu dari Mo-kau itu katanya bernama Tonghong Put-pay dan merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan pada zaman ini, ilmu silatnya tiada tandingannya, jangan-jangan keempat orang ini adalah tianglo (tertua) dari Mo-kau, sebab itulah Ui Ciong-kong dan kawan-kawannya sedemikian takut padanya" Dan jika demikian, jadi Ui Ciong-kong berempat juga anggota Mo-kau semua?"
Begitulah timbul macam-macam pikirannya, tapi bernapas pun dia tidak berani keras-keras, meski dia dan empat orang tua itu terhalang oleh selapis dinding, tapi jaraknya cuma beberapa meter saja, asal napasnya sedikit berat seketika pasti akan ketahuan.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam keadaan sunyi senyap itu, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri yang berkumandang dari jauh, jeritan yang penuh derita dan ketakutan. Dari suaranya dapat Lenghou Tiong mengenali sebagai suaranya Hek-pek-cu.
Menyusul terdengarlah suara tindakan kaki yang makin mendekat, Ui Ciong-kong dan lain-lain telah kembali. Segera Lenghou Tiong mengintip lagi. Dilihatnya Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing memayang Hek-pek-cu yang tampak lemas itu, air muka Hek-pek-cu tampak pucat guram, matanya sayu, berbeda sekali dengan tingkah lakunya yang cekatan dan cerdik sebelumnya.
"La ... lapor para Tianglo," demikian Ui Ciong-kong berkata dengan suara gemetar, "tahanan itu ternyata sudah ... sudah melarikan diri. Hamba terima dihukum mati di hadapan para Tianglo."
"Tadi kau bilang Hek-pek-cu tidak di sini, mengapa sekarang dia muncul lagi" Sebenarnya bagaimana duduknya perkara?" tanya kakek she Pau bernama Tay-coh itu.
"Tentang seluk-beluk kejadian ini sesungguhnya hamba juga merasa bingung," tutur Ui Ciong-kong. "Ai, kegemaran melalaikan tugas, hal ini adalah salah kami berempat yang terlalu iseng dan tergila-gila kepada kegemaran masing-masing sehingga kelemahan kami ini telah dipergunakan musuh untuk mengatur tipu muslihat, akhirnya orang itu ... orang itu telah mereka bawa lari."
Lenghou Tiong juga merasa bingung, pikirnya, "Kiranya locianpwe she Yim itu juga sudah melarikan diri, apa betul mereka sama sekali tidak mengetahui?"
Maka terdengar Pau Tay-coh bertanya pula, "Kami berempat dititahkan oleh Kaucu untuk menyelidiki bagaimana sampai tahanan penting itu bisa meloloskan diri. Jika kalian mengaku terus terang tanpa berdusta, maka ... mungkin kami akan memohonkan ampun kepada Kaucu bagi kalian."
Ui Ciong-kong menghela napas panjang, sahutnya, "Seumpama Kaucu sudi memberi ampun juga hamba malu untuk hidup lagi di dunia ini" Cuma sebelum hamba mengetahui seluk-beluk akan peristiwa ini, biar mati pun hamba merasa penasaran. Pau-tianglo, apakah ... apakah Kaucu beliau berada di Hangciu?"
Alis Pau Tay-coh tampak menegak, sahutnya, "Siapa bilang Kaucu berada di Hangciu?"
"Sebab tahanan itu baru saja melarikan diri kemarin, mengapa Kaucu seketika lantas tahu dan segera mengirim keempat Tianglo ke Bwe-cheng sini?" ujar Ui Ciong-kong.
"Hm, kau makin lama tampaknya tambah pikun," jengek Pau Tay-coh. "Siapa yang bilang tahanan penting itu baru melarikan diri kemarin?"
"Orang itu benar-benar baru melarikan diri pada kemarin siang," sahut Ui Ciong-kong. "Tatkala mana kami bertiga mengira dia adalah Hek-pek-cu, tak tersangka dia telah berhasil memancing Hek-pek-cu untuk ditawannya, lalu menukar pakaiannya dengan baju Hek-pek-cu terus menerjang keluar. Kejadian ini tidak cuma kami bertiga yang menyaksikan, malahan Ting Kian juga kena ditubruk oleh orang itu sehingga tulang iganya banyak yang patah ...."
Pau Tay-coh menoleh kepada ketiga tianglo yang lain, katanya dengan mengerut dahi, "Orang ini entah mengaco-belo apa, masakah bisa terjadi begitu?"
Seorang kakek yang pendek gemuk di antaranya lantas berkata, "Kita menerima berita itu pada tanggal delapan bulan yang lalu ..." sembari bicara ia terus menghitung-hitung dengan jarinya, lalu menyambung, "sampai hari ini sudah hari ke-21."
"Tidak ... tidak mungkin," seru Ui Ciong-kong sambil melangkah mundur, lalu berpaling dan berteriak, "Si Leng-wi, gotong Ting Kian ke sini!"
Dari jauh terdengar suara Si Leng-wi mengiakan.
Pau Tay-coh coba mendekati Hek-pek-cu dan menjambret dadanya terus diangkat, ternyata tokoh nomor dua dari Bwe-cheng itu keadaannya memang lemas lunglai seakan-akan seluruh ruas tulang badannya telah terlepas semua.
"Ya, itulah akibat seluruh tenaganya telah disedot habis oleh Gip-sing-tay-hoat orang itu," ujar si kakek hitam kurus sebelah sana.
"Bilakah kau kena dikerjai oleh orang itu?" tanya Pau Tay-coh.
"Kemarin," sahut Hek-pek-cu dengan suara terputus-putus lemah, "orang itu men ... mencengkeram pergelangan kananku sehingga aku tak bisa ... tak bisa berkutik, terpaksa aku pasrah nasib."
"Lalu bagaimana?" tanya Pau Tay-coh dengan tidak mengerti.
"Melalui lubang persegi di daun pintu itu aku telah ditarik masuk ke dalam kamar tahanan," tutur Hek-pek-cu. "Dia menanggalkan pakaianku dan membelenggu kaki-tanganku, kemudian dia menerobos keluar melalui lubang persegi itu."
"Jadi kemarin, benar-benar kemarin" Mana mungkin?" ujar Pau Tay-coh mengerut dahi.
"Dan cara bagaimana belenggu baja itu dapat diputuskan olehnya?" tanya si kakek kurus.
"Hal ini aku ... aku tidak tahu," jawab Hek-pek-cu.
"Tadi hamba telah meneliti belenggu-belenggu itu, ternyata digergaji putus dengan gergaji baja yang amat lihai, sungguh aneh, dari manakah orang itu mendapatkan gergaji halus demikian itu?" kata Tut-pit-ong.
Dalam pada itu Si Leng-wi sudah datang menggotong Ting Kian bersama dua orang pelayan. Ting Kian menggeletak di atas dipan dan tertutup selapis selimut tipis.
Pau Tay-coh membuka selimut itu dan memegang perlahan di atas dada Ting Kian, seketika Ting Kian berteriak kesakitan. Pau Tay-coh manggut-manggut dan memberi tanda agar Ting Kian digotong pergi lagi.
"Tubrukan itu benar-benar sangat hebat, jelas dilakukan oleh orang itu," ujar Pau Tay-coh kemudian.
Wanita yang duduk di sebelah kiri sejak tadi tidak pernah membuka suara, sekarang mendadak ia berkata, "Pau-tianglo, jika betul orang itu baru lolos kemarin, lantas berita yang kita terima permulaan bulan yang lalu mungkin adalah kabar bohong yang sengaja disebarkan oleh begundalnya untuk memengaruhi pikiran kita."
Usia wanita itu tidak dapat dikatakan muda lagi, tapi suaranya ternyata masih merdu dan enak didengar.
"Tidak, tidak mungkin palsu," sahut Pau Tay-coh sambil menggeleng.
"Tidak palsu?" wanita itu menegas.
"Ya, coba pikirkan, Sik-hiangcu memiliki ilmu Kim-cong-cu dan Thi-poh-sah (ilmu-ilmu kebal) yang tidak mempan diserang oleh senjata tajam biasa, tapi lima jari orang itu telah mampu menembus dadanya sehingga ulu hatinya kena dikorek ke luar mentah-mentah, kepandaian selihai ini rasanya tiada orang keduanya di dunia ini selain orang itu ...."
Selagi asyik mendengarkan, mendadak Lenghou Tiong merasa pundaknya ditepuk orang dengan perlahan, ia terkejut dan cepat menoleh. Maka tertampaklah di belakangnya telah berdiri 2 orang. Karena membelakangi cahaya rembulan yang remang, maka air muka kedua orang itu tidak terlihat jelas. Hanya seorang di antaranya lantas berkata padanya, "Adik kecil, marilah kita masuk ke sana!"
Terang itulah suaranya Hiang Bun-thian.
Keruan Lenghou Tiong kegirangan, serunya dengan suara tertahan, "He, Hiang-toako!"
Meski suara mereka itu sangat perlahan, tapi ternyata sudah didengar oleh orang-orang di dalam rumah. "Siapa itu?" Pau Tay-coh lantas membentak.
Maka terdengarlah suara gelak tertawa seorang, suaranya menggelegar memekakkan telinga. Ternyata suara yang keluar dari mulut orang di sebelah Hiang Bun-thian itu.
Orang yang tertawa itu lantas melangkah ke depan, dinding tembok yang merintangi itu ditolak begitu saja oleh kedua tangannya, seketika terdengar suara gemuruh, tembok itu ambruk menjadi suatu lubang besar, melalui lubang tembok itulah orang itu lantas melangkah ke dalam. Sambil menggandeng tangan Lenghou Tiong segera Hiang Bun-thian ikut masuk ke dalam rumah.
Pau Tay-coh berempat sudah berbangkit dengan senjata terhunus, air muka mereka tampak sangat tegang. Mestinya Lenghou Tiong ingin lekas-lekas tahu siapakah gerangan teman Hiang Bun-thian itu, cuma dia berjalan di depan dan membelakangi Lenghou Tiong, pula perawakannya tinggi besar, hanya tampak rambutnya yang hitam dan bajunya warna hijau.
"Kiranya ... kiranya Yim ... Yim-cianpwe yang datang," kata Pau Tay-coh ragu-ragu.
Orang itu hanya mendengus saja dan tidak menjawab, ia terus melangkah maju. Dengan sendirinya Pau Tay-coh dan lain-lain lantas menyingkir mundur. Sesudah membalik tubuh, orang itu lantas berduduk pada kursi yang tengah, yaitu kursi yang tadi diduduki oleh Pau Tay-coh.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas wajah orang itu yang rada lonjong, air mukanya pucat seperti mayat, tampak jelas membayangkan muka tampan pada masa mudanya.
Orang itu menggapaikan tangannya kepada Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong, katanya, "Hiang-hiante dan Adik Lenghou Tiong, marilah duduk di sini."
Demi mendengar suaranya, alangkah kejut dan girangnya Lenghou Tiong. "He, jadi kau ... kau adalah Yim-locianpwe?" serunya
Orang itu tersenyum, sahutnya, "Benar. Sungguh bagus sekali ilmu pedangmu."
Bab 75. Lenghou Tiong Tidak Sudi Menjadi Pemimpin Mo-Kau
"Haha, kau ternyata benar sudah lolos," kata Lenghou Tiong. "Sekarang ... sekarang ...."
"Sekarang kau datang hendak menolong aku, bukan?" sela orang itu dengan tertawa. "Hahaha, Hiang-hiante, saudaramu ini benar-benar seorang sahabat sejati."
Hiang Bun-thian menyilakan Lenghou Tiong berduduk di sisi kanan orang itu, ia sendiri duduk di sebelah kirinya, lalu berkata, "Lenghou-hiante adalah seorang pemberani dan berjiwa luhur, ia benar-benar seorang laki-laki sejati yang terpuji di zaman ini."
"Lenghou-hengte, sungguh aku merasa menyesal telah membikin susah padamu sampai meringkuk tiga bulan di dalam penjara gelap di dasar danau, harap maaf ya, hahahaha," kata pula orang itu dengan gelak tertawa.
Kini Lenghou Tiong lamat-lamat dapat memahami sedikit duduknya perkara, cuma masih belum jelas seluruhnya.
Dengan tersenyum simpul orang she Yim itu memandangi Lenghou Tiong, lalu katanya lagi, "Meski kau telah menderita selama tiga bulan di dalam penjara, tapi dasar ada jodoh dan secara kebetulan kau telah berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat yang kuukir di atas dipan besi itu. Hehe, rasanya itu pun sudah cukuplah untuk menambal kerugianmu."
"Ilmu sakti yang terdapat di atas dipan besi itu adalah ... ukiranmu?" Lenghou Tiong menegas dengan heran.
"Kalau bukan aku, di dunia ini siapa lagi yang mahir akan Gip-sing-tay-hoat?" sahut orang itu dengan tersenyum.
"Lenghou-hiante," sela Hiang Bun-thian, "sejak kini, Yim-kaucu punya Gip-sing-tay-hoat di dunia ini hanya kau satu-satunya ahli warisnya, sungguh aku ikut girang dan harus diberi selamat."
"Yim-kaucu?" Lenghou Tiong menegas pula.
"Kiranya sampai sekarang kau masih belum tahu jelas akan kedudukan Yim-kaucu," kata Hiang Bun-thian. "Beliau bukan lain adalah Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau, namanya yang lengkap adalah Yim Ngo-heng, apakah kau pernah mendengar nama beliau ini?"
"Nama Yim ... Yim-kaucu telah kuketahui dari tulisan yang terukir di atas dipan besi itu, cuma tidak tahu bahwa beliau adalah ... adalah kaucu," sahut Lenghou Tiong ragu-ragu. Ia tahu Tiau-yang-sin-kau (Agama Penyembah Matahari) adalah Mo-kau, orang Mo-kau sendiri menyebut agama mereka sebagai Tiau-yang-sin-kau, tapi di luar orang menamakan agama mereka sebagai Mo-kau (Agama Iblis). Ia pun tahu ketua Mo-kau selama ini adalah Tonghong Put-pay, dari mana mendadak muncul lagi seorang Yim Ngo-heng yang mengaku sebagai ketuanya"
Mendadak si kakek kurus tadi membentak, "Kaucu apa dia itu" Setiap orang di dunia ini sama tahu bahwa ketua Tiau-yang-sin-kau kami adalah Tonghong-kaucu, orang she Yim ini telah mengkhianat dan berontak, sudah lama dia dipecat dari agama kami. Hiang Bun-thian, kau berani ikut-ikutan murtad, apa kau tidak takut menerima hukuman mati?"
Perlahan-lahan Yim Ngo-heng berpaling ke arah si kakek kurus, katanya kemudian, "Kau bernama Cin Pang-wi bukan?"
"Benar," sahut kakek kurus itu tegas.
"Waktu aku masih memegang kekuasaan agama kita kau adalah Jing-ki Ki-cu (Pemimpin Panji Hijau) di wilayah Kangsay bukan?" tanya Yim Ngo-heng.
"Benar," sahut Cin Pang-wi
Yim Ngo-heng menghela napas, katanya, "Sekarang kau telah menjadi satu di antara kesepuluh tianglo, cepat amat kenaikan pangkatmu ini. Sebab apa Tonghong Put-pay begini menilai tinggi dirimu" Apakah ilmu silatmu tinggi atau karena kerjamu pintar?"
"Selamanya aku setia kepada agama, selalu tampil ke muka menghadapi segala urusan, jasa-jasa yang telah kupupuk selama 20 tahun inilah yang menaikkan pangkatku menjadi tianglo," jawab Cin Pang-wi.
"Ehm, boleh juga ya," ujar Yim Ngo-heng. Habis itu mendadak ia melompat maju ke depan Pau Tay-coh, tangannya menjulur terus mencengkeram tenggorokan.
Keruan Pau Tay-coh terkejut, untuk mencabut senjata buat menangkis sudah tidak keburu lagi, terpaksa tangan kiri diangkat untuk melindungi tenggorokan sendiri, berbareng kaki kiri melangkah mundur setindak, habis itulah tangan kanan yang mencabut goloknya itu baru ditebaskan.
Walaupun rapat benar pertahanan Pau Tay-coh itu dan ganas pula serangan balasannya, tapi tangan kanan Yim Ngo-heng itu tetap lebih cepat satu langkah, belum lagi golok Pau Tay-coh bergerak turun, dada sasarannya sudah kena dipegangnya, "bret", jubah Pau Tay-coh itu terus dirobek, sepotong benda di dalam bajunya itu terus dirampasnya. Kiranya adalah Hek-bok-leng-pay, papan hitam tanda kebesaran sang kaucu tadi.
Hampir pada saat yang sama terdengarlah suara "trang-trang-trang" tiga kali, kiranya Hiang Bun-thian telah menggunakan pedangnya menyerang tiga kali kepada Cin Pang-wi dan kedua temannya, ketiga orang itu pun lantas menangkis dengan senjata mereka. Rupanya serangan Hiang Bun-thian ini bertujuan merintangi ketiga orang itu memberi bantuan kepada Pau Tay-coh, setelah gebrakan itu pun Pau Tay-coh sudah berada dalam cengkeraman Yim Ngo-heng.
"Aku punya Gip-sing-tay-hoat belum lagi kugunakan, apakah kau ingin mencicipi rasanya?" kata Yim Ngo-heng dengan tersenyum.
Sebagai seorang gembong Mo-kau yang berkedudukan tinggi dan berpengalaman, sudah tentu Pau Tay-coh tahu betapa lihainya Yim Ngo-heng, kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang, kecuali itu tiada jalan lain lagi.
Caranya mengambil keputusan juga sangat cepat, tanpa pikir ia terus menjawab, "Yim-kaucu, selanjutnya aku berjanji akan setia padamu."
"Dahulu kau pun pernah bersumpah akan setia kepadaku, mengapa kemudian kau balik pikiran?" tanya Yim Ngo-heng.
"Mohon Yim-kaucu memberi kesempatan kepada hamba untuk membuat jasa buat menebus dosa," kata Pau Tay-coh.
"Baik, makanlah pil ini," kata Yim Ngo-heng sambil melepaskan tangannya, lalu merogoh saku dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, dituangnya sebutir pil warna merah terus dilemparkan kepada Pau Tay-coh.
Dengan gesit Pau Tay-coh menyambar pil itu, tanpa pandang lagi terus dijejalkan ke dalam mulut.
"Itu ... itu kan "Sam-si-nau-sin-tan?"" seru Cin Pang-wi.
"Benar, memang itulah Sam-si-nau-sin-tan (Obat Sakti Otak Busuk)," kata Yim Ngo-heng sambil manggut. Lalu ia menuang enam butir pil merah itu dan dilemparkan begitu saja ke atas meja.
Keenam butir pil itu bergelindingan di atas meja, tapi tiada satu pun yang jatuh ke bawah meja, malahan di tengah satu biji dan lima biji lainnya terus berputar mengelilingi satu biji itu dalam jarak yang sama.
"Kalian tentunya sudah tahu kelihaian obatku ini, bukan?" tanya Yim Ngo-heng.
"Sesudah makan Nau-sin-tan Yim-kaucu, untuk selanjutnya harus setia dan tunduk kepada Kaucu sampai akhir hayat, kalau tidak, basil yang tersimpan di dalam pil akan terus bergerak dan menyusup ke dalam otak dan sumsum tulang, rasanya sangat menderita, bahkan akan menjadi gila," kata Pau Tay-coh.
"Memang tidak salah ucapanmu," kata Yim Ngo-heng. "Sudah tahu betapa mujarabnya obatku, mengapa kau berani mati menelannya?"
"Asalkan selanjutnya hamba tunduk dan setia kepada Kaucu, betapa pun lihainya Nau-sin-tan juga takkan mengganggu diri hamba," ujar Pau Tay-coh.
"Hahaha! Bagus, bagus!" Yim Ngo-heng bergelak tertawa. "Dan siapa lagi yang mau makan obatku ini?"
Ui Ciong-kong saling pandang dengan Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing, mereka tahu apa yang dikatakan Pau Tay-coh tadi bukanlah bualan belaka. Cin Pang-wi dan kawan-kawannya sudah lama menjadi gembong Mo-kau, dengan sendirinya mereka lebih kenal pil maut yang mengandung basil itu, pada hari-hari biasa obat itu tidak ada sesuatu yang luar biasa, tapi setiap tahun satu kali di hari Toan-ngo-ce (hari Pek-cun) harus minta obat lagi kepada Yim Ngo-heng, kalau tidak, maka basil di dalam pil itu akan lantas bekerja dan begitu masuk otak, seketika orangnya akan menjadi gila mirip anjing gila dan tidak dapat disembuhkan lagi.
Selagi orang-orang itu merasa ragu-ragu, mendadak Hek-pek-cu berseru, "Mohon belas kasihan Kaucu, biarlah hamba minum dulu satu biji."
Habis itu ia terus mendekati meja dan hendak mengambil obat pil itu.
Namun Yim Ngo-heng keburu mengebaskan lengan bajunya, kontan Hek-pek-cu terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjungkal, "blang", dengan keras kepalanya membentur dinding.
"Tenagamu sudah punah, buat apa kau membuang-buang obatku saja?" jengek Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling dan berkata pula, "Cin Pang-wi, Ong Sing, Sang Sam-nio, kalian tidak sudi minum obatku yang mujarab ini bukan?"
Sang Sam-nio, wanita setengah umur itu lantas berkata dengan membungkuk tubuh, "Hamba bersumpah akan setia kepada Yim-kaucu."
Kakek yang gemuk bernama Ong Sing juga berkata, "Hamba juga akan tunduk dan setia kepada Kaucu untuk selamanya."
Kedua orang lantas mendekati meja, masing-masing mencomot sebutir pil itu terus dijejalkan ke dalam mulut sendiri. Rupanya mereka biasanya memang sangat jeri terhadap Yim Ngo-heng, sekarang melihat dia telah lolos dari kurungan, keruan mereka sangat takut dan tidak berani membangkang sedikit pun.
Berbeda dengan Cin Pang-wi, dia adalah jago Mo-kau dimulai dari kedudukan rendah sampai tingkatan tianglo berkat jasa-jasanya. Waktu Yim Ngo-heng menjabat kaucu dia adalah pemimpin Mo-kau di wilayah Kangsay sehingga belum sempat menyaksikan betapa lihainya sang kaucu ini. Sekarang dilihatnya tiga orang kawannya telah minum obat maut Yim Ngo-heng, segera ia berseru, "Maaf, aku akan pulang saja!"
Berbareng ia terus menutul kedua kakinya dan melompat keluar melalui jendela.
Yim Ngo-heng bergelak tertawa dan tidak berbangkit untuk merintangi. Ia tunggu sesudah tubuh orang melayang ke luar jendela barulah tangan kirinya lantas bergerak, sekonyong-konyong dari dalam bajunya menyambar keluar satu utas cambuk panjang warna merah. Ketika semua orang belum melihat jelas tahu-tahu sudah terdengar jeritan Cin Pang-wi, cambuk panjang itu pun sudah tertarik balik dengan membelit sebelah kaki Cin Pang-wi.
Cambuk merah itu sangat lembut, paling-paling sebesar jari kecil, tapi sedikit pun Cin Pang-wi tak bisa berkutik dan cuma mampu bergulingan saja di atas tanah.
"Sang Sam-nio, coba kau ambil satu biji pil itu, kelupas dulu kulit luarnya dengan hati-hati," perintah Yim Ngo-heng.
Dengan hormat Sang Sam-nio mengiakan, ia ambil satu biji pil di atas meja itu dan perlahan-lahan mengupas kulit luar pil yang kecil dan berwarna merah itu sehingga kelihatan biji bagian dalam yang berwarna kelabu.
"Cekokkan dia," Yim Ngo-heng memberi perintah lagi.
Kembali Sang Sam-nio mengiakan dan mendekati Cin Pang-wi, bentaknya, "Buka mulut!"
Mendadak Cin Pang-wi membalik tubuh terus memukul dengan telapak tangannya. Meski ilmu silatnya sedikit di bawah Sang Sam-nio, tapi selisihnya juga tidak jauh. Namun betis kakinya terlilit oleh cambuk panjang Yim Ngo-heng, hiat-to bagian-bagian tertentu terkekang, tenaga tangannya menjadi banyak berkurang.
Maka dengan gampang saja kaki kiri Sang Sam-nio telah digunakan menendang tangan Cin Pang-wi yang memukul itu, menyusul kaki kanan juga lantas melayang, "bluk", dengan tepat dada Cin Pang-wi tertendang, kedua kaki Sang Sam-nio menendang pula secara berantai, kembali pundak Cin Pang-wi tertendang, lalu tangan kiri Sang Sam-nio digunakan mementang dagu Cin Pang-wi dan tangan kanan menjejalkan pil itu ke dalam mulutnya.
Lantaran kakinya terbelit oleh cambuk, beruntun beberapa tempat hiat-to kena ditendang pula oleh Sang Sam-nio, maka Cin Pang-wi tidak mampu berkutik lagi dan kena dicekoki pil maut oleh Sang Sam-nio. Sebisa-bisanya Cin Pang-wi bermaksud memuntahkan pil itu, tapi mana dapat"
Yim Ngo-heng tersenyum tanda puas akan tindakan Sang Sam-nio yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik itu. Sang Sam-nio tidak memperlihatkan sesuatu perasaannya meski ia telah memperlakukan kawannya sendiri dengan cara kekerasan, dengan sikap hormat ia lantas berdiri ke pinggir.
Setelah mengikuti kata-kata Pau Tay-coh tadi, semua orang tahu bahwa di dalam Nau-sin-tan itu tersimpan basil maut yang dibungkus oleh lapisan obat, kulit obat warna merah yang dikelupas Sang Sam-nio tadi mungkin adalah obat yang antibasil maut itu.
Kemudian Yim Ngo-heng melayangkan pandangnya ke arah Ui Ciong-kong bertiga, maksudnya ingin tahu ketiga orang itu mau minum pil yang sudah tersedia atau tidak"
Tut-pit-ong tidak bicara apa-apa, terus mendekati meja dan ambil satu biji pil itu dan dimakan, Tan-jing-sing tampak berkomat-kamit entah menggumam apa, tapi akhirnya mendekat dan ambil juga satu biji pil dan dimakan.
Air muka Ui Ciong-kong tampak pucat sedih, ia mengeluarkan sejilid buku, yaitu buku yang berisi lagu "Hina Kelana", ia mendekati Lenghou Tiong dan berkata, "Tuan selain berilmu silat sangat tinggi juga kaya akan tipu daya, dengan akal sedemikian bagusnya kau telah berhasil menolong keluar Yim Ngo-heng, hehe, sungguh Cayhe sangat kagum. Buku lagu inilah yang telah membikin kami berempat saudara hancur dari kehidupan ini, sekarang biarlah kupersembahkan kembali benda ini."
Habis berkata ia terus melemparkan buku lagu itu kepada Lenghou Tiong.
Selagi Lenghou Tiong tertegun, dilihatnya Ui Ciong-kong sudah putar tubuh dan mendekati meja, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat menyesal, pikirnya, "Tertolongnya Yim-kaucu ini adalah hasil tipu daya Hiang-toako, sebelumnya aku sendirinya tidak tahu apa-apa. Tapi adalah jamak jika Ui Ciong-kong mereka membenci padaku, sukarlah bagiku untuk menerangkan kepada mereka."
Pada saat itu duga terdengar Ui Ciong-kong bersuara tertahan, perlahan-lahan badannya lantas lemas terkulai.
"Toako?" Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing menjerit berbareng sambil berlari maju untuk memayang Ui Ciong-kong, terlihat ulu hati sang toako sudah tertancapkan sebilah belati, kedua matanya melotot, namun sudah putus napasnya.
"Toako! Toako!" Tut-pit-ong dan Tan-jing-sing berteriak pula dan menangislah mereka dengan sedih.
Ong Sing lantas membentak, "Orang she Ui itu tidak tunduk kepada perintah Kaucu, ia takut dihukum dan terima membunuh diri, kenapa kalian masih coba bikin ribut segala?"
Dengan murka Tan-jing-sing bermaksud menubruk ke arah Ong Sing untuk melabraknya. Tapi segera teringat tadi ia sudah minum obat maut Yim Ngo-heng, selanjutnya tidak boleh lagi membangkang perintahnya, mau tak mau ia mesti menahan rasa murkanya dan terpaksa menunduk kepala sambil mengusap air mata.
"Bawa pergi mayat dan manusia cacat itu, lalu siapkan arak dan santapan, hari ini aku harus minum sepuasnya bersama Hiang-hiante dan Lenghou-hiante," kata Yim Ngo-heng.
Tut-pit-ong mengiakan dan memondong mayat Ui Ciong-kong ke luar, begitu pula pelayan-pelayan lantas memayang pergi Hek-pek-cu. Menyusul meja perjamuan lantas disiapkan dengan enam kursi.
"Sediakan saja tiga kursi, kami mana ada harganya bersama meja dengan Kaucu?" ujar Pau Tay-coh.
"Kalian tentunya juga sudah lelah, bolehlah makan minum di luar sana," kata Yim Ngo-heng.
Serentak Pau Tay-coh, Ong Sing, dan Sang Sam-nio bertiga mengiakan dan mengucapkan terima kasih, lalu mengundurkan diri
Lenghou Tiong mempunyai kesan tidak jelek terhadap Ui Ciong-kong, maka ia ikut berdukacita melihat tokoh utama Bwe-cheng itu membunuh diri.
Terdengar Hiang Bun-thian bertanya padanya dengan tertawa, "Adikku, mengapa secara begitu kebetulan kau berhasil meyakinkan Gip-sing-tay-hoat Kaucu itu" Hal ini perlu ceritakan padaku."
Maka, Lenghou Tiong lantas menguraikan pengalamannya di dalam penjara neraka itu.
"Selamat, selamat!" kata Hiang Bun-thian. "Kau benar-benar ada jodoh sehingga telah ditakdirkan harus memiliki Gip-sing-tay-hoat."
Habis itu ia angkat cawan arak dan mendahului menenggak. Segera Yim Ngo-heng dan Lenghou Tiong juga mengiringi secawan.
"Kalau diceritakan, kejadian itu memang sangat berbahaya," kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. "Semula waktu aku mengukir rahasia ilmu itu di atas dipan besi belum tentu akan bertujuan baik. Rahasia ilmu sakti itu memang tulen, tapi selain aku yang mengajar dan memberi petunjuk sendiri, yang melatih ilmu itu tentu akan tersesat dan mati konyol. Tapi sekarang Lenghou-hiante ternyata mampu meyakinkan dengan baik, ini benar-benar sudah takdir."
Diam-diam Lenghou Tiong merasa bersyukur bahwa rahasia ilmu sakti yang terukir di atas dipan besi itu telah digosok rata sehingga orang lain takkan tersesat. Lalu ia bertanya, "Hiang-toako, sesungguhnya cara bagaimana Yim-kaucu meloloskan diri, sampai saat ini aku masih tidak paham."
Hiang Bun-thian mengeluarkan sesuatu benda dan diserahkan kepada Lenghou Tiong, katanya dengan tertawa, "Coba lihat apakah ini?"
Lenghou Tiong merasa benda itu bulat dan keras, itulah barang titipan Hiang Bun-thian tempo hari yang disuruh menyerahkannya kepada Yim Ngo-heng. Waktu ia periksa, memang betul sebuah bola kecil buatan baja, di atas bola baja itu ada sebuah gotri yang amat kecil. Waktu gotri itu diputar, segera sebuah gergaji baja yang amat halus menjulur ke luar. Gergaji halus itu ujungnya melekat pada gotri itu dan ujung lain tergulung di dalam bola baja, itu. Nyata itulah sebuah gergaji baja yang terbuat dengan sangat indah.
Baru sekarang Lenghou Tiong sadar duduknya perkara. Katanya kemudian, "Kiranya belenggu di tangan dan kaki Yim-kaucu itu digergaji putus dengan benda ini."
"Dengan suara tertawaku yang menggelegar itu aku telah menggetar roboh kalian dengan tenaga dalamku yang ampuh, lalu aku menggergaji putus belenggu," tutur Yim Ngo-heng. "Cara bagaimana kau telah kerjakan atas diri Hek-pek-cu, dengan cara itu pulalah aku telah memperlakukan kau waktu itu."
"Kiranya kau telah menukar pakaianku, pantas Ui Ciong-kong dan kawan-kawannya tidak tahu," kata Lenghou Tiong.
"Sebenarnya hal ini pun sukar mengelabui Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu, cuma sesudah mereka mendusin, aku dan Kaucu lebih dulu sudah meninggalkan Bwe-cheng, aku telah meninggalkan lukisan dan tulisan serta catatan problem catur yang mereka inginkan itu, keruan mereka kegirangan sehingga tidak mencurigai isi penjara yang telah berganti orang itu."
"Tipu daya Hiang-toako dengan perhitungan yang tepat sungguh sukar ditiru oleh orang lain," puji Lenghou Tiong. Diam-diam ia pun membatin, "Kiranya segalanya sudah kau atur dengan baik sehingga Ui Ciong-kong berempat terpancing. Tapi sudah sekian lamanya Yim-kaucu lolos, mengapa sekian lama masih belum datang menolong aku?"
Melihat air muka Lenghou Tiong itu segera Hiang Bun-thian dapat menerka apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, katanya dengan tertawa, "Adik cilik, sesudah Kaucu lolos, banyak sekali urusan penting yang harus dikerjakan dan tidak boleh diketahui oleh musuh, maka terpaksa membikin kau menderita sekian lama di dasar danau. Justru kedatangan kami sekarang ialah hendak menolong kau. Syukurlah dari susah engkau telah menjadi untung dan berhasil meyakinkan ilmu sakti tiada bandingannya sebagai imbalan. Hahaha, terimalah permintaan maaf dari kakakmu ini."
Lalu ia menuang arak di cawan masing-masing, ia sendiri lantas menenggak habis pula.
Yim Ngo-heng bergelak tertawa, katanya, "Aku pun mengiringi kau satu cawan!"
Dasar watak Lenghou Tiong memang polos, kejadian yang telah lalu itu pun tidak dipikirkan lebih lanjut, katanya dengan tertawa, "Maaf apa" Justru aku yang harus berterima kasih kepada kalian berdua. Tadinya aku menderita luka dalam yang sukar disembuhkan, tapi setelah meyakinkan ilmu sakti Kaucu itu serentak luka dalam itu lantas sembuh dan jiwaku dapat dipertahankan."
Begitulah mereka bertiga lantas bergelak tertawa dengan sangat gembira. Sesudah minum belasan cawan, Lenghou Tiong merasa pribadi Yim-kaucu itu sangat simpatik, pengetahuan dan pengalamannya sangat luas, benar-benar seorang kesatria, seorang pahlawan yang jarang diketemukan selama hidup ini. Diam-diam Lenghou Tiong merasa sangat kagum. Walaupun tadinya ia merasa cara Yim Ngo-heng bertindak terhadap Cin Pang-wi, Ui Ciong-kong, dan lain-lain rada-rada kelewat keji, tapi sesudah bercakap-cakap, ia merasa seorang kesatria tidak dapat dinilai dengan kejadian-kejadian kecil itu.
Setelah menenggak satu cawan arak lagi, kemudian Yim Ngo-heng berkata pula, "Adik cilik, terhadap musuh selamanya aku sangat ganas, terhadap bawahan aku pun sangat keras, hal-hal ini mungkin tidak biasa bagi pandanganmu. Tapi coba kau pikir, sudah betapa lamanya aku dikurung di dasar danau" Kau sendiri telah merasakan bagaimana hidup di penjara maut itu. Cara bagaimana orang telah memperlakukan dapatlah kau bayangkan. Lalu terhadap musuh, terhadap orang yang mengkhianati aku apakah aku harus menaruh belas kasihan?"
Lenghou Tiong mengangguk membenarkan, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, ia berbangkit dan berkata, "Ada suatu hal ingin kumohon kepada Kaucu, semoga Kaucu sudi meluluskan."
"Urusan apa?" tanya Yim Ngo-heng.
"Dahulu waktu pertama kali aku bertemu dengan Kaucu pernah kudengar ucapan Ui Ciong-kong, katanya kalau sampai Kaucu berhasil lolos dan berkecimpung lagi di dunia Kangouw, maka melulu orang-orang Hoa-san-pay saja sedikitnya akan menjadi korban separuh. Lalu Kaucu juga menyatakan bila bertemu dengan guruku akan membuat beliau kalang kabut. Mengingat ilmu Kaucu sedemikian sakti, bilamana membikin susah kepada Hoa-san-pay terang tiada seorang pun yang mampu melawan ...."
"Dari Hiang-hiante kudengar kau telah dipecat dari Hoa-san-pay dan gurumu telah mengumumkan hal ini ke seluruh bu-lim," kata Yim Ngo-heng. "Jika aku nanti menghajar mereka, kalau perlu kutumpas sama sekali Hoa-san-pay supaya lenyap dari dunia persilatan, bukankah dendammu akan bisa terlampias?"
"Sejak kecil aku sudah yatim piatu dan dibesarkan berkat keluhuran budi suhu dan sunio, meski nama kami adalah guru dan murid, tapi sebenarnya tiada ubahnya seperti ayah dan anak," kata Lenghou Tiong. "Tentang aku dipecat dari Hoa-san-pay memangnya adalah salahku sendiri, pula ada sedikit kesalahpahaman sehingga sekali-kali aku tidak berani dendam dan menyalahkan suhu."
"Jika demikian, meski Gak Put-kun tidak kenal ampun padamu, sebaliknya kau tetap setia padanya?" tanya Yim Ngo-heng dengan tersenyum.
"Yang kumohon kepada Kaucu adalah sudilah engkau bermurah hati dan janganlah membikin susah guru dan anggota-anggota Hoa-san-pay yang lain," pinta Lenghou Tiong pula.
Untuk sejenak Yim Ngo-heng termenung, katanya kemudian, "Lolosnya aku dari kurungan musuh harus diakui mendapat bantuanmu yang tidak sedikit. Tapi aku telah menurunkan Gip-sing-tay-hoat padamu dan menyelamatkan jiwamu, kedua kejadian ini boleh dikata timbal balik, siapa pun tidak utang siapa. Sekarang aku telah masuk Kangouw kembali, banyak sekali urusan-urusan penting yang belum selesai sehingga aku tidak boleh memberi janji apa-apa kepadamu, sebab hal ini akan berarti merintangi setiap tindakanku selanjutnya."
Pendekar Guntur 8 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama