Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 2
tetap berada diatas lain orang. Demikian dengan aku si
pengemis tua, kalau bukannya aku mendengar kabar halnya
Pek Cio Siangjin di Kiu Hoa san memiliki ilmu pedang yang
luar biasa istimewa, tidak nanti aku mendatangi Pay In Nia
untuk menantangnya bertanding..."
Pengemis itu berhenti sejenak, untuk menarik napas
perlahan-lahan melegakan dadanya
"Di masa itu aku si pengemis tua, aku istimewa sekali" ia
melanjuti. "Bicara sebenar, aku sangat tidak puas yang
gurumu disohorkan sebagai orang gagah luar biasa yang
nomor satu dalam dunia rimba persilatan maka itu aku telah
menempur dia sampai tiga hari dan tiga malam, diantara kita
tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, sampai
akhirnya gurumu menunda gerakan pedang dan
menganjurkan aku untuk menghentikan pertarungan itu.
Kemudian barulah aku pikirkan tentang pertandingan itu,
lantas aku insyaf bahwa setelah bertanding selama seratus
jurus aku telah kalah didalam satu jurus diantaranya. Ketika
itu setahuku, ilmu Hian-bun Sian Thian Khje kang dari gurumu
itu belum sempurna, begitupun belum sempurna ilmu
pedangnya Patkwa Kiu bun Kiam dan ilmu ringan tubuh
lompat tinggi Te In Ciong, loncatan Tangga Mega, tiga puluh
tahun telah berlalu siapa tahu selain semua ilmunya itu
sekarang diapun menciptakan ketiga ilmu pedangnya yang
digabung menjadi satu itu yaitu Thaykeka Liang Gie Kiam,
sedangkan aku, sebaliknya, aku bagaikan si nakan panah yang
telah diluncurkan..."
Kiau In berkuatir. Ia melihat diwaktu berkata terakhir itu
wajahnya si pengemis guram sekali, suata tanda bahwa dia
insyaf dan menyesal. Maka ia lekas-lekas berkata : "Paman,
kaum rimba persilatan menyebut paman sebagai Pat Pie Sin
Kit, bukankah julukan itu besar dan harum tak kalah daripada
namanya guruku ?" In Gwa Sian tertawa hambar.
"Aku si pengemis tua, telah tua kau..." katanya masgul.
Mendadak dia berbangkit bangun terus bertindak keluar
dengan perlahan. Kiauw In dan Giok Peng melengak. Belum pernah dia
melihat jago tua itu demikian berduka dan kelakuannya
demikian aneh. Maka mereka menerka bahwa perubahan itu
pastilah disebabkan selama tahun-tahun yang belakangan ini
hidupnya si pengemis aneh terlalu sunyi....
Kiauw In masih mau omong lebih banyak pula tetapi
karena sang paman guru sudah pergi keluar, terpaksa ia mesti
menunda, walaupun demikian, ia toh lantas berjalan
mengikutinya. Giok Peng dengan mengempo Kauw Yan mengintil di
belakang si kakak In. Kedua nona itu berjalan tanpa suara, mereka mengikuti
paman itu sampai diluar gubuk sejauh seratus tombak lebih,
sampai disitu baru mereka berhenti.
In Gwa Sian berjalan terus dengan tak pernah ia menoleh
walaupun hanya satu kali. Nampaknya seperti ia tidak tahu
yang kedua keponakan murid itu telah mengantar keluar.
Terus Kiauw In dan Giok Peng mengawasi kepergian sang
paman yang berjalan terus dan baru menghilang disuatu
pengkolan gunung... Tiba-tiba Nona Pek merasakan sesuatu, yang menggugah
hatinya, maka tanpa merasa airmata itu berjatuhan ke muka
anaknya... Kiauw In mendapatkan serupa duka itu, matanya lantas
menjadi merah dan mengembangkan air, hanya dia memilih
dapat meneguhkan hatinya mencegah airmata itu mengucur
keluar... Lantas juga kedua nona itu berdiri diam saja, yang satu
menepis air matanya, yang lain mencoba menguasai hati, buat
melegakan diri. Giok Peng terasadar paling dahulu karena tiba-tiba saja
Hauw Yan memanggil : "Mama ! Mama !" Maka insaflan ia
atas keadaan mereka. Dari itu, lekas-lekas ia menarik
tangannya Kiauw In. "Kakak, mari kita pulang !" ia mengajak .
"Ah.. !" Nona Cio mengeluh. "Sejak aku kenal paman In,
belum pernah aku melihat ia seduka barusan..." Lalu tanpa
mengatakan sesuatu lagi, ia memutar tubuh untuk pulang ke
gubuk mereka. Giok Peng yang tadinya menarik tangan orang, berjalan
mengikuti di belakangnya.
Cepat lewatnya sang waktu. Sepuluh hari berlalu seperti
tanpa terasa. Selama itu In Gwa Sian belum pernah kembali.
Maka itu, untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, sambil
merawat Hauw Yan, kedua nona rajin berlatih guna
menyempurnakan ilmu pedangnya itu. Ilmu pedang itu perlu
dengan latik tak putus-putusnya untuk menjadi sempurna
betul-betul. Sementara itu In Gwa Sian sebenarnya sedang repot luar
biasa hingga ia umpama kata tak dapat memecah dirinya.
Namanya Pek Cut Siansu dari Siauw Lim Sie sangat kesohor,
nama diapun tak kalah pamornya. Sekarang mereka berdua
membuat undangan umum. Undangan mereka itu membuat
mereka yang diundang menjadi memperoleh kehormatan
besar, hingga siapa yang menerima itu hatinya menjadi
girang. Benar seperti diduga si pengemis sahabat-sahabat
yang tempat kediamannya paling dekat dengan Siauw Lim Sie
telah datang siang-siang. Diantaranya haruslah disebut
seorang Sungan Telaga Kang Ouw yang dianggap luar biasa,
yang tinggal menyendiri bagaikan bersembunyi disuatu tempat
yang bernama Kim Kok Wan, taman lembah emas, di wilayah
kota Lok yong. Ia telah membuat seluruh rumah besar (cung
ie) yang pintunya senatiasa tertutup karena ia menampik
datanya tamu-tamu, bahkan kunjungan orang rimba
persilatan, Bu Lim ia tolak juga. Karena itu lama kelamaan,
jadi jarang orang menjenguknya, hingga akhirnya ia dilupakan
kaun Kang Ouw dan Bu Lim.
Jago itu she Ngai bernama Eng Eng. Di masanya dia
malang melintang, namanya sangat tersohor. Orang segani
dia kerena dua rupa kepadiaannya, yaitu ilmu ringan tubuh
berlompat tinggi dan jauh, Kang Kang Tae Ciong Sat dan
senjata rahasianya yang dijulukinya Teratai Thio lian cie, yang
berjumlah seratus delapan biji. Pada empat puluh tahun yang
lalu, pernah dengan seorang diri dia menempur lima ketua
Kam Im dari Siauw Lim Sie, sebab ialah ia telah mencuri kitab
silat tangan kosong dan ilmu pedang Siauw Lim Sie yang
disimpan didalam Coang Kok Kok, lauwiang tempat
menyimpan kitab. Ia pun telah bertempur dengan Pek Cut
Siansu sendiri selama tiga ratus jurus tanpa ada yang kalah
atau menang. Ketika itu Pek Cut belum diangkat menjadi
ketua Siauw Lim Sie dan dia mempunyai seorang paman
seperguruan yang terlebih tua. Kapan paman itu melihat dia
tidak bisa merobohkan musuh, si paman turun tangan sendiri.
Dialah Ceng In Taysu, pendeta satu-satunya yang
kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada Pek Cut.
Sedangkan gurunya Pek Cut sendiri ialah Go In Taysu.
Tatkala itu usianya Ceng In sudah seratus tahun lebih,
selama hidupnya jarang dia tinggal menetap di Siauw Lim Sie.
Dia lebih gemar merantau. Selama tiga sampai lima tahun, tak
pernah ia pulang ke kuilnya. Hanya disaat Pek Cut bertempur
dengan Eng Eng kebetulan dia baru pulang. Menyaksikan Pek
Cut keteter, dia menyuruh si keponakan murid mundur, untuk
dia yang menggantikan melayaninya.
Sebenarnya selama tigaratus tahun, Ceng In adalah jago
Siauw Lim Sie satu-satunya. Go In sendiri masih kalah
dengannya. Hanya tabiatnya saja yang aneh, tak betah dia
tinggal didalam kuil. Benarlah, setelah dia maju belum
tigapuluh jurus, Eng Eng sudah kena ditotok hingga tak
berdaya. Pek Cut menyayangi Ngai Eng Eng, ia memintakan
keampunan, maka Eng Eng dibiarkan pergi setelah dia diberi
nasihat. Tapi Eng Eng ingat budi, disaat Peng Cut
mengantarkannya turun gunung, dikaki puncak Siauw li Hiong,
mereka berdua mengikat janji persahabatan. Sejak itu belum
pernah mereka bertemu pula, sampai selewatnya tiga tahu
Pek Cut diangkat menjadi hongthio atau ciang bunjin, ketua
Siauw Lim Sie, baru Eng Eng datang untuk memberi selamat.
Kedua sahabat bertemu dengan sangat gembira. Inilah
pertemuan sesudah belasan tahun mereka terpisah. Malam
itu, mereka berdua bicara asyik sekali. Eng Eng berkatai
hatinya, ia sudah bosan dengan dunia Kang Ouw dan ingin
hidup menyendiri di Kim Kok Wan, maka lain waktu ia minta
Pek Cut suka berkunjung ke rumahnya itu. Kata-katanya telah
dibuktikan. Demikia ia mencuci tangan dan membangun
rumahnya di Kim Kok Wan tiu. Bahkan ia sampai menampik
kunjungannya sahabat atau orang Bu Lim lainnya. Pek Cut
menyetujui dan meuji keputusan sahabat itu mengundurkan
diri, sebab memang benar dunia Kang Ouw sangat berbahaya.
Cuma satu malam sahabat itu beromong-onong,
selanjutnya mereka berpisah pula.
Selanjutnya, selama Eng Eng tinggal di Kim Kok Wan,
hubungan kedua sahabat bagaikan terputus. Tapi disini itu Pek
Cut merasa aneh, ia seperti mencurigai Eng Eng. Ia mendapat
perasaan sahabatnya itu menyimpan sesuatu rahasia entah
apa. Apakah perlunya rumah atau halaman demikian besar di
Kim Kok Wan itu " Hanya itu pernah Pek Cut memikir
menanyakan keterangannya si sahabat tetapi selalu ia gagal
saja, ia ragu-ragu mulainya sukar dibuka. Dan Eng Eng selama
dia tidak ditanya dia pura-pura tidak tahu apa-apa.
Mulanya masih kedua sahabat suka berkunjung dengan
lain, tahun lewat tahun saling berkunjung itu berkurang
bahkan selama dua atau tiga tahun tak pernah sekali jua.
Hingga mereka seperti sudah saling melupakannya. Tapi
sekarang setelah Siauw Lim pay menghadapi ancaman
pertempuran mati hidupnya ini tiba-tiba Pek Cut ingat
sahabatnya lama itu dan segera mengirimkannya surat
undangan. Terpisahnya kota Lok yang dengan Tiong Gak cuma kira
ratus lie, buat orang yang mengerti silat hal itu tidak dapat
menjadi alangan suatu apa orang dapat pergi pagi dan pulang
sore. Pek Cut mengirim utusan murid Siauw Lim Sie yang
terpilih maka suratnya tiba dalam satu hari.
Semenjak dilepasnya surat-surat undangan Siauw Lim Sie
menjadi repot membuat persiapan menyambut kawan dan
juga lawan, kamar-kamar disediakna penjagaan diseluruh
halaman kuil diperketat. Tak ada jalan yang tak dijaga.
Sementara itu marilah kita melihat dahulu kepada In Gwa
Siang sejak dia meninggalkan Kiauw In dan Giok Peng berdua.
Jago tua ini merasa hatinya sangat tidak tenang. Sudah hilang
kitab ilmu pedang walaupun itu bukan kitab karyanya sendiri
telah pergi pula anak angkatnya tanpa pamitan lagi. Terutama
ia berduka sekali. Seharusnya ia menuju ke barat, buat
kembali ke Siauw Lim Sie, lantaran pikirannya kusut itu ia
terasasar. Sesudah jalan kira tujuh lie baru ia ketahui bahwa ia
kesasar. Tentu sekali ia harus memutar tubuh buat kembali.
Tetapi itu waktu di depan ia, ia melihat dua pasang sepatu
mana berserakan diatas rumput. Segera timbul perasaannya
ingin tahu, maka dengan satu kali lompat sampailah ia pada
ke empat buah sepatu itu. Kali ini dia bukan lagi heran, hanya
heran bercampur kaget. Diantara rumput itu tampak rebah dua tubuh pendeta yang
jelas nyata dari jubahnya warna abu-abu dan disisi kedua
mayat itu menggeletak masing-masing singathung, yaitu
tongkat panjang dan kay To golok mereka itu. Tetapi yang
paling hebat ialah kedua pendeta itu hilang kepalanya masingmasing
sebatas leher ! Tak usah disangsikan lagi bahwa kedua mayat itu ialah dua
orang pendeta yang ditugaskan menjaga jalan dan sebuah
jalan cagak. Sebagai seorang jago, apapula jago tua In Gwa Siang cuma
kaget sebentar. Lantas dia sadar dan dapat menerka artinya
penemuan mayat-mayat itu,. ialah kedua pendeta itu roboh
sebagai korban-korbannya tangan-tangan jahatt. Tepatnya
musuh ! Segera Pat Pie Sin Kit menghampiri mayat-mayat itu, guna
meneliti terlebih jauh. Melihat dari darah yang tidak mengucur
banyak, tahulah dia bahwa kedua pendeta itu mulanya kena
tertotok jalan darahnya, lalu sedang mereka tak sadar, leher
mereka ditebas kutung-kutung. Dalam penasaran, ia meraba
dada orang. Maka ia menemui masih ada denyutan jantung
orang. Maka itulah bukti bahwa orang baru saja dibunuh !
Melihat formasinya tongkat dan golok, In Gwa Sian pun
mendapat kesan kedua senjata sengaja diletakkan disisi
mereka itu. Maka itu lantas otaknya bekerja : "Dia atau
mereka itu, pasti bukan sembarang orang. Tak mudah
merobohkan dua orang hingga orang tak berdaya dan
mayatnya dipindahkan ke tempat yang bala dengan rumput
tebal dan tinggi itu dan sepatu mereka bagaikan
dipertontonkan ! Kenapa kepala orang pun dikutungkan dan
dibawa pergi " Untuk apakah " Bukankah itu bukti bahwa
musuh berada atau bersembunyi disekitar sini guna
melakukan pembunuhan gelap terhadap para pendeta " Atau
mungkin kalau yang jatuh bukan cuma kedua pendeta yang
malang nasibnya ini... "
Tengah pendeta ini berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar
suara berkeresek rumput di belakangnya, belum lagi ia
menoleh atau melirik, kupingnya lantas mendengar ini suara
yang rada parau : "Saudara, bukankah saudara ialah Pat Pie
Sin Kit In Gwa Sian yang namanya tersohor dalam dunia
Sungai Telaga ?" Cepat bagaikan kilat, In Gwa Sian memutar tubuhnya. Ia
sudah lantas bersiap sedia. "Tidak salah !" sahutnya cepat.
"Ya, inilah si pengemis tua ! Dan kau, tuan yang terhormat,
siapakah kau ?" Di depan pengemis ini, cuma sejarak bebeapa kaki, tampak
seseorang tua yang kumis janggutnya telah putih semua
bagaikan perak, tubuhnya jangkung kurus, karenanya
jubahnya panjang juga, sedangkan wajahnya menunjuki dia
berwibawa. Yang aneh ialah ditangan kirinya dia itu tertenteng
dua kepala orang yang terikat menjadi satu dengan rotan dan
tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang terbuat
dari perunggu. Walaupun demikian dengan muka berseri-seri
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia lantas menjawab pertanyaan orang. "Aku yang rendah
ialah Ngay Eng Eng dan aku datang ke Tiong Gak ini karena
aku menerima undangannya pendeta Pek Cut serta kau kakak
In !" Tingkatnya In Gwa Sian tingkat tinggi, jarang orang Bu Lim
rimba persilatan yang memanggilnya saudara, kakak atau
adik, maka itu, mendengar orang she Ngay ini memanggil ia
kakak, ia merasa tidak senang. Walaupun demikian ia tidak
mau menunjuk rasa tak puasnya itu. Orang toh berkatai ia
bahwa orang datang karena menerima undangannya. Tak
mau ia berlaku kurang hormat.
"Maaf aku kurang hormat" katanya sambil merangkap
kedua tangannya. "Kakak kau membawa-bawa kepala orang,
kepala siapakah itu ?"
In Gwa Sian sengaja menanya meski juga ia sudah melihat
tegas sekali dua kepala itu tiada rambutnya, jadi itulah
kepalanya dua orang pendeta, bahkan itulah kepalanya dua
orang murid Siauw Lim Sie yang tubuhnya baru ia ketemukan.
Ngay Eng Eng menghela napas.
"Aku menyesal yang aku datang terlambat satu tindak !"
katanya sengit "karena itu kedua bapak pendeta ini telah kena
orang bokong hingga mereka menerima kehilangannya secara
hebat dan menyedihkan ini."
Kedua matanya In Gwa Sian mengerluarkan sinar bengis.
"Dengan begitu kakak Ngay kau telah melihat sendiri si
orang jahat ?" tanyanya, "entah bagaimanakah macamnya
pembunuh itu ?" "Mereka terdiri dari dua orang" sahut Eng Eng. "Tubuh
mereka kecil dan sangat gesit, telah aku susul ia sejauh
beberapa lie, aku tidak berhasil menyandaknya. Setelah aku
menyerang mereka berulang-ulang dengan teratai besiku,
barulah mereka meninggalkan dua kepala orang ini. Bicara
terus terang, aku menyesal dengan kegagalanku ini..."
In Gwa Sian heran tapi belum sempat ia menanya pula, ia
melihat tibanya Liauw In Taysu bersama dua orang pendeta
tingkat tinggi dari Tatmo ih. Mereka itu datang sambil berlarilari.
Mulanya Liauw In melihat mayatnya kedua pendeta yang
rebah tak berjiwa dan tanpa kepala, baru ia mengawasi kepala
orang di tangan Ngay Eng Eng, tidak ayal lagi ia mengangkat
sebelah tangannya sambil memperdengarkan pujinya.
"Siacu" tanyanya kemudian kepada Eng Eng, "apakah
kedua kepala orang itu kepalanya murid-murid kami ini ?"
Pendeta itu sangat jarang berada didalam kuilnya karena
itu ia tidak kenal Ngay Eng Eng dan tidak tahu juga
persahabatannya orang she Ngay itu dengan ketuanya, karena
ini, melihat orang membawa-bawa kepalanya dua murid Siauw
Lim Sie, ada dirinya ia menjadi bercuriga.
Ditanya begitu rupa, Ngay Eng Eng tertawa hambar, ia
memangnya bertabiat dingin dan jumawa, pertanyaan itu
yang nadanya luar biasa, membuatnya tak puas. Ia seperti
dapat menerka bahwa orang mencurigainya. Tapi ia
menjawab sambil tertawa hambar : "Kecuali orang-orang
Siauw Lim Sie di Tiong Gak sini dimana ada pendeta-pendeta
lain ?" Mendadak pendeta itu menjadi gusar, walaupun biasanya ia
sabar dan tenang. Inilah disebabkan hebatnya apa yang ia
lihat kedua orang muridnya rebah terkapar tanpa kepala dan
kepalanya justru terikat dan tercekal ditangan orang yang
tidak kenal, sedangkan orang itu bersikap angkuh. Tanpa pikir
panjang lagi ia mengangkat tongkatnya melintang dan dengan
murka, "Jika demikian, maka Siculah yang menjadi
pembunuhnya kedua murid kami ini."
Ngay Eng Eng menengadah langit dan tertawa lebar. Kata
dia : "Membunuh orang dan berbuat jahat bukanlah urusan
yang terlalu berat, tak ada perlunya kalau orang menjadi
kaget dan menjadi banyak berisik karenanya !"
Liauw In juga tertawa dingin.
"Sicu berani membunuh orang, rupa-rupa sicu tak takut
untuk mengganti jiwa ?" tanyanya pula, tetap keras. Karena
habis sudah kesabarannya, ia tegas menggerakkan tongkatnya
untuk menerjang. "Tahan !" berseru In Gwa Sian yang segera mencegah
gerakan tangan orang. Liauw In melengak saking heran. Ia pun segera melihat
pengemis itu berlompat maju, menghadang di depannya.
Hanya sambil menghadang itu, In Gwa Sian terus berkata :
"Aku si pengemis tua sudah lama mendengar nama besar dari
kau, kakak Ngay, sayang tak dari siang-siang kita bertemu
satu dengan lain, hari ini kau melihatmu, benarlah kau
seorang gagah perkasa !"
Eng Eng tertawa bergelak.
"Pujian, hanya pujian !" katanya. "Nama kakaklah justru
yang besar dan telah menggemparkah seluruh Sungai Telaga !
Sudah lama aku mengkangeni nama kakak, beruntung sekali
hari ini kita dapat bertemu muka hingga dengan demikian
dapatlah aku penuhkan pun harapanku !" Ia diam sejenak
terus ia menambahkan : "Didalam dunia ini tak sedikit
peristiwa-peristiwa melepas budi dan penasaran dan semua
ada yang terjadi karena sang kebetulan, demikian dengan
taysu ini karena ia melihat aku memegangi kepala orang
kontan aku dituduh sebagai pembunuhnya ! Dalamhal ini biar
bagaimana aku menjelaskan rasanya sulit buat aku
membersihkan diri, susah buat melenyapkan salah mengerti
karenanya, karena urusan ada begini rupa, aku pikir terlebih
baik bagiku untuk tidak mengadu lidah !"
Habis mengucap itu jago tua itu berpaling untuk
mengawasi Liauw In dan mulutnya berulang kali mengawasi
dengan tawa dingin. Liauw In membanting kaki. Dialah seorang sadar, maka
tiba-tiba saja dia insaf akan kekeliruannya. Maka itu lantas ia
sesalkan In Gwa Sian. "Eh, pengemis bangkotan, kau jahat sekali. Hampir-hampir
kau membuat kau berbuat salah terhadap seorang sahabat !"
katanya sengit. Si pengemis tersenyum. "Kakak Ngay ini adalah tamu undangannya ketua Siauw
Lim Sie kama." katanya sabar. "Siapa suruh kau tidak
mengenalnya ?" Liauw In menggerakkan tongkatnya dari atas ke bawah,
maka pancapnya tongkatnya itu kedalam tanah hingga
tanahnya muncrat, setelah mana dia merangkap tangannya
memberi hormat pada Eng Eng.
"Maaf, pinceng tidak mengenali kau sicu" katanya.
Eng Eng segera membalas hormat, ia melihat usia si
pendeta sudah lanjut, ia percaya pendeta itu jadi salah
seorang tertua dari Siau Lim Sie dan kedudukannya pasti tidak
rendah. "Akupun minta diberi maaf." katanya sambil tertawa.
"Lantaran malasku, sangat jarang aku berkunjung ke Siauw
Lim Sie, hingga kecuali ketua Pek Cut, bapak pendeta lainnya
sangat sedikit yang kukenal."
Kembali Liauw In membalas hormat dan berkata merendah,
sesudah mana ia menitahkan kedua kawannya membawa
pulang kedua mayat itu, supaya mereka itu segera
melaporkan kepada ketua-ketua mereka sekalian memohon
petunjuk. "Sekarang mari kita melihat-lihat disekitar ini. " In Gwa Sian
mengajak. Pemeriksaan itupun menjadi pemikirannya Liauw In, mka
itu berdua mereka lantas pergi berputaran, tetapi karena tidak
ada hasilnya terus mereka pulang ke Siauw Lim Sie. Baru
sampai dipintu gerbang, mereka sudah disambut Pek Cut
sendiri. Bukan main girangnya kedua belah pihak, keduanya
tertawa riang. Habis saling memberi hormat, Pek Cut berkata : "Kakak
Ngay sudah mengundurkan diri, seharusnya tak dapat aku
mengganggumu akan tetapi urusan luar biasa penting,
terpaksa aku mengirim surat juga kepadamu. Inilah sebab
kawanan bajingan luar lautan lihai semuanya tak dapat
mereka dihadapi oleh kaum rimbah persilatan seumumnya."
Eng Eng tertawa. "Sudah beberapa puluh tahun kita bersahabat, selama itu
belum pernah kita saling minta bantuan, " kata ia, "sekarang
kau telah mengundang aku, aku sangat berterimakasih. Itulah
pertanda bahwa kau masih belum melupakan sahabat
lamamu. Karena itu juga begitu aku menerima suratmua,
begitu aku berangkat kemari, hanya sayang aku toh terlambat
satu tindak, aku tiba tanpa mampu menolong kedua muridmu
itu. Karena itu, sesungguhnya aku malu sekali...."
Parasnya Pek Cut berubah menjadi suaram dengan
mendadak. Ia menjadi sangat berduka.
"Itulah baru permulaan dari peristiwa-peristiwa hebat
menyedihkan." katanya menghela napas, "dan itu tidak
sampai disini saja ! Silahkan kalian masuk kedalam, nanti
kalian mendapat tahu, terutama kau, sahabatku."
Sepasang alisnya In Gwa Sian terbangun. Ia menerka pada
suatu kehebatan lain. Sebenarnya ia hendak meminta
keteranga, atau dapat ia mencegah membuka mulutnya. Maka
dengan membungkam ia turut bertindak masuk. Pek Cut
memimpin dan Ngay Eng Eng mengikuti.
Ketua Siauw Lim pay mengajak kedua teman lamanya
langsung ke Tatmoto. Ruang Bodhidarma, untuk memasuki
sebuah kamar sisi yang terbuat dari batu merah. Itulah
sebenarnya, kamar peranti berobat atau istirahatnya pendetapendeta
yang terluka disebabkan kecelakaan-kecelakaan
latihan. Baru mendekati tujuh atau delapan kaki dari kamar,
bertiga mereka sudah mendengar rintihan tak hentinya,
rintihan saling susul dari mereka yang tengah menderita. Itu
pula pertanda bahwa orang yang lagi menderita itu tak sedikit
jumlahnya.... Di muka pintu ada dua orang pendeta yang bertubuh tinggi
dan besar yang mengawal, selekasnya mereka melihat Pek
Cut, lantas mereka memberi hormat kepada ketua itu, terus
lekas-lekas mereka membukakan pintu.
In Gwa Sian menjadi tidak sabaran, dialah yang
mendahului bertindak masuk, maka itu lantas ia melihat
delapan orang yang masing-masing rebah diatas pembaringan
kayu cemara, tubuh mereka itu dikeredongi selimut putih
hingga tak tampak lukanya masing-masing.
Pek Cut mengawasi si pengemis dan sahabatnya Eng Eng,
wajahnya suaram saking berduka.
"Selama beberapa ratus tahun, belum pernah Siauw Lim
Sie mengalami peristiwa hebat dan menyedihkan seperti kali
ini." kata suaranya sedih. "Sungguh tak kusangka, justru
dibawah pimpinanku bisa terjadi semua ini. Itulah bukti dari
pimpinanku yang tidak bijaksana karena aku tidak mempunyai
kemampuan hingga aku menyebabakan para murid ini
menderita. Kalau nanti aku beruntung dapat kembali dari
perjalanan kesarang bajingan luar lautan itu akan aku
mengundurkan diri dan mengambil keputusan guna aku
mengatur maaf kepada para leluhur dan partaian...."
Sementara itu In Gwa Sian heran. Ia tidak melihat tandatanda
darah pada kain keredong yang berwarna putih itu.
Maka ia kata didalam hati :" Rintihan mereka menyatakan
tentunya mereka terluka parah habis kenpa tak ada tanda
daranya barang setitik juga ?" Saking herannya, tapa merasa
sebelah tangannya diulur dipakai menyingkap kain kerebong
puting dari penderita yang terdekat dengannya.
Begitu ia melihat sang penderita begitu In Gwa Sian sendiri
melengak, matanya mendelong, mulutnya ternganga. Toh Pit
Pin Sin Kit menjadi pengemis konsen dan luas
pengalamannya. Pendeta yang lagi menderita itu memejamkan kedua belah
matanya, mukanya telah berubah menjadi biru pucat ! Itulah
yang menggetarkan hatinya si jago tua.
Pek Cut menyaksikan keadaannya sahabat pengemis itu, ia
menghela napas. "Tadi aku menerima laporan, " berkata ia sabar,"katanya
dua orang kami yang berjaga-jaga diarah Barat daya, di jalan
genting yang penting, kedapatan roboh tak berdaya dan
merintih terus terusan, kelihatannya mereka seperti terkena
racun. Mulanya aku mengira mereka itu kurang berhati-hati
dan telah kena terpagut binatang beracun maka kau
memerintahkan pihak Tatmo Ih mengirim orang-orang buat
membantu mereka serta berbareng menempatkan dua orang
penggantinya. Baru aku memberikan perintah itu, lantas
datang lain-lain laporan yang serupa, bahwa orang-orang kami
roboh tak berdaya dengan tubuh bengkak dan mukanya pucat
pasi kehitam-hitaman. Kami tidak tahu apa yang
menyebabkan kecelakaan itu. Karena itu aku minta beberapa
Tianglo dari Tiam Ih serta adik Liauw In pergi melakukan
pemeriksaan guna mencari sipenyerang...."
Liauw In merapatkan kedua tangannya dan berkata :
"Panco sudah menerima titah itu dan telah pergi dengan
mengajak dua orang murid Tatmo Ih, tatkala kami tiba
ditempat jagaan sebelah selatan, kami mendapatkan bahwa
dua orang kita yang bertugas di sana sudah binasa
dibunuh...." Pek Cut menarik napas. "Bagaimanakah duduknya itu ?" tanya. Kemudian setelah
memperoleh jawaban, ia kata pada Eng Eng, "Kakak Ngay,
dapatkah kau mengira-ngira kedua orang musuh itu berasal
dari mana ?" Ngay Eng Eng menggeleng kepala.
"Aku tidak kenal mereka itu, " sahutnya. "Aku cuma melihat
mereka itu bertubuh kecil dan gerak geriknya sangat gesit.
Muka merekapu ditutup dengan topeng. Jika aku tidak keliru
menerka, mestinya mereka itu orang-orang perempuan...."
"Apa " Orang perempuan ?" tanya In Gwa Sian heran.
"Ya !" Eng Eng tetapkan. "Rasanya mataku tidak keliru
melihat ! Senjata mereka juga bukan senjata yang umumnya
dipakai bangsa pria !"
"Senjata apakah itu ?"
"Yang satu membekal pedang, hanya pedang itu jauh lebih
pendek daripada pedang yagn biasa, panjang kira-kira cuma
dua kaki. Yang lainnya menggunakan sepasang pisau belati
panjang kira-kira satu kaki. Pasti sudah mereka masuk
hitungan jago silat kelas tinggi, sebab mereka gesit dan lihai
dari ilmu ringan tubuhnya mahir sekali. Waktu aku memburu
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada mereka, mereka sudah berhasil membinasakan kedua
orang kurbannya dan ketika aku mengejar, mereka kabur
tanpa dapat dicandak, hingga aku menggunakan senjata
rahasiaku, baru mereka meninggalkan dua kepala kurbannya
itu." "Mulanya dua kali aku menghajar mereka dengan pukulan
Tangan Udara kosong. Aku percaya kepandaianku dalam ilmu
itu sudah enam bahagian sempurna, seranganku beras diatas
lima ratus kati, tetapi heran, mereka itu dapat menangkis
dengan baik. Entah mereka menggunakan tipu, entah kenapa,
sehabis menyambuti dua kali seranganku itu, mereka memutar
tubuh dan kabur keras sekali hingga akhirnya mereka lolos...."
Berkata sampai disitu, jago tua ini berhenti sebentar. Ia
mengawasi bergantian kepada In Gwa Sian dan Pek Cut
Siansu. Kemudian ia menghela napas, rupanya untuk
melegakan hatinya yang pepat.
"Aku si tua, aku sangat bersyukur sudah mengundang aku,"
ia melanjuti kemudian. "Sebagaimana kalian ketahui, telah
beberapa puluh tahun sejak aku mengundurkan diri. Siapa
sangka kalian masih mengingatkan dan telah
mengundangnya. Terang kalian sangat menghargai aku. Tapi
aku menyesal sekali, dihadapanku, orang membuatku gagal
mencegah kecelakaan sampai ada orang-orang yang
bercelaka. Itulah hal yang membuatku malu hingga tak ada
tempat buat aku menaruh mukaku. Coba mereka itu berhasil
membawa pergi kepalanya kedua bapak pendeta itu, pasti tak
ada mukaku buat menemui kalian, tak dapat aku memasuki
kuil ini. Syukurlah aku mengerti ilmu lari cepat Delapan Tindak
Mengejar Tonggeret. Ilmu mana aku tidak sia-siakan selama
aku hidup mengasingkan diri. Sejauh dua tiga lie, masih aku
menjadi bingung sendiri. Ketika itu aku makin percaya mereka
bukanlah sembarangan orang. Diakhirinya terpaksa aku
serang mereka dengan biji Teratai besiku. Kalau ini aku tidak
gagal seluruhnya. Mereka itu terkena teratai besi, lantas
mereka melepaskan dua kepala korbannya, tetapi mereka
sendiri kabur terus dan lolos..."
"Saudara Ngay mengandalkan kepada pengetahuanmu
yang luas, tak dapatkah menerka-nerka mereka sebenarnya
dari golongan mana ?" Pek Cut tanya.
Eng Eng menggelengkan kepala.
"Tak dapat aku mengenali mereka sebab pertama-tama
kami tidak sampai bertempur dan kedua mereka mengenakan
topeng." Tiba-tiba In Gwa Sian menyela : "Saudara Ngay, melihat
keterangan kau ini, mungkin mereka bukan asal Tionggoan,
mestinya mereka orang luar lautan juga. Sayang aku si tua,
aku datang terlambat satu tindak, jika tidak tentu aku akan
mencoba membekuk satu diantaranya, guna mengorek
keterangan perihal mereka !"
Sampai disitu, Liauw In pun campur bicara,
"Dalam pertempuran setengah bulan yang lalu" kata ia,
"walaupun pihak bajingan tidak memperoleh hasil, kita juga
bukannya mendapat kemenangan, karena itu, benarlah katakatanya
saudara In, kita harus ketahui jelas perihal mereka
itu. Setahuku, memang kita belum mendengar perihal dua
oarang pembunuh itu seperti yang dilakukan saudara Ngay."
"Mereka itu lihai, merekapun belum ketahuan siapa adanya,
itulah satu soal" berkata Pek Cut. "Soal lainnya ialah muridmurid
kami yang terluka ini. Tubuh mereka bengkak dan muka
mereka matang biru, tak tahu kami mereka terkena racun apa.
Sama sekali mereka tidak terluka. Bagaimanakah kita harus
menolong mereka itu " Aku rasa ilmu pengobatan kami sulit
menolongnya, jika mereka terkena senjata rahasia biasanya
yang kecil dan halus seperti jarum, mesti ada tanda atau
bekas-bekasnya." In Gwa Siang dan Ngay Eng Eng menundukkan kepala,
mencoba mencium-cium ke dekat tubuh para korban itu.
Mereka tidak mendapat hasil apa-apa. Bau yang mereka
dapati cuma bau baCin seperti biasa, baunya luka yang umum.
Toh merekalah orang-orang tua, orang-orang Kang Ouw
kawakan. Maka mereka jadi diam.
Lewat sekian lama, In Gwa Sian menghela napas.
"Seumur aku hidup di dalam Sungai Telaga," kata ia,
"segala macam senjata rahasia hampir aku kenal semuanya,
bahkan senjata rahasia hebat dari beberapa jago, aku ketahui
dengan baik sekali. Ada senjata rahasia beracun yang aku
belum tahu, toh pernah aku mendengarnya."
"Menurut aku, para bapak pendeta ini pasti bukan
disebabkan senjata rahasia" kata Eng Eng. "Aku percaya
mereka dilukai oleh suatu pukulan tangan rahasia yang
beracun. Dalam hal ilmu pukulan ini aku tahu tentang Yan Tio
Siang Can serta Kim Lam It Tok. Kecuali mereka itu bertiga,
aku rasa sukar mencari orang pandai semacam mereka yang
ke empat." Jago tua itu menyebut tiga orang ahli menggunakan
pukulan beracun itu. Yang Tio Siang yaitu "Sepasang malaikat
kejam dari Yan Tio" (Honak dan Lhoasay) dan Kim Lam It Tok
yakni si "Tunggal Beracun dari Kwio ciu Selatan".
In Gwa Sian menggeleng-geleng kepala.
"Kalau Yan Tio Siang Can, itulah rasanya tak mungkin" kata
dia. "Denganku si pengemis tua, kami mempunyai pergaulan
tawar tidak tawar, rapat tidak rapat, dan berhubung dengan
kepergian kita keluar lintas ini, aku telah bersedia-sedia
mengirim undangan mengharap bantuannya. Mengenai Kim
Lam It Tok, aku cuma pernah dengar namanya, bahwa gerak
geriknya sangat terahasia, hingga hampir tak ada orang Kang
Ouw yang ketahui tindak tanduknya. Pernah aku pergi ke Kwi
ciu mencarinya tetapi aku gagal menemuinya. Aku sangsi
kalau inilah hasil perbuatannya....."
Eng Eng tertawa. "Sebenarnya setiap rekan rimba persilatan mengetahui
perihal Kim Lam It Tok," kta ia, "cuma benar, melainkan
beberapa orang saja yang pernah bertemu muka dengannya.
Aku mempunyai peruntungan baik, pernah satu kali aku
melihatnya." In Gwa Sian menarik nafas dalam-dalam.
"Kim Lam It Tok terkenal diseluruh negara, tetapi tak ada
orang yang tahu she dan namanya yang benar." katanya pula,
"orang cuma mendengar gelarannya tetapi belum pernah
melihat sendiri orangnya, maka itu saudara, kalau kau pernah
bertemu dengannya dapatkah kau melukiskan tentang
wajahnya, tubuh dan usianya " Semoga kalau dilain ketika aku
melihat dia, dapat aku mengenalinya. Hendak aku si pengemis
tua berkenalan dengan dia."
Eng Eng tersenyum. "Dialah seorang biasa saja, tidak ada ciri-cirinya yang luar
biasa atau berlainan dari orang kebanyakan." sahutnya.
"Tentang usianya dia seimbang dengan usiaku."
Selama dua orang itu bicara, Pek Cut dan Liauw In berdiam
saja. Sebenarnya mereka kurang setuju orang bicara melulu
tetapi mereka malu hati untuk melarangnya, karenanya
terpaksa mereka tunduk mendengarkan dengan hati mereka
risau tidak karuan. Kebetulan Pat Pie Sin Kit mendapat lihat kedua pendeta itu,
tahulah ia apa sebabnya orang berdiam dengan tampang
berduka itu. "Aku mendapat satu pikiran." katanya kemudian. "Kedua
muridnya Tek Cio si hidung kerbau mempunyai obat hosinouw,
entah obat itu dapat dipakai menolong membasmi racun
atau tidak..." Sebelum Pek Cut menjawab, Eng Eng sudah
mendahuluinya. "Obat itu tersohor mujarab, boleh sekali kita mencobanya,"
kata jago tua itu. "Dengan adanya obat itu, hendak aku
mencoba membuat obat pemusnah racun itu."
"Jadinya kau mengerti ilmu pengobatan, saudara Ngay ?"
In Gwa Sian tegaskan. Eng Eng tertawa. "Bersama Kim Lam It Tok pernah aku tinggal buat suatu
waktu" ia menjawab memberikan keteranga. "Dia baik sekali
terhadapku, dia telah mewariskan caranya pembuatan
beberapa obat pembasmi racun, sayang akulah yang tolol, tak
dapat aku mempelajari semua. Inilah sebabnya kau tidak
mengerti sebab musabab dari penderitaannya para bapak
pendeta ini, hanya itu aku merasa, andiakata kita memiliki
hosin ouw, mungkin pengobatannya tak seberapa sulit. Nah,
silahkan saudara pergi mengambil obat itu nanti aku berdaya
mencoba meringankan penderitaannya mereka ini...."
In Gwa Sian mengangguk. Ia memutar tubuh buat pergi
keluar, tetapi baru beberapa tindak, mendadak Eng Eng
memanggilnya. "Saudara In, tunggu ! Sekarang aku tahu
bagaimana harus mengobati mereka ini, tak berani aku
merepotkan pula padamu !"
Pat Pie Sin Kit menoleh. Ia merasa heran. Begitu cepat
perubahannya si orang Ngay ini. Ia pun lantas melihat
bagaimana Eng Eng sudah lantas bekerja, sedangkan Pek Cut
dan Liauw In mendampinginya disisi pembaringan.
Eng Eng mengenakan sarung tangan pada tangan kirinya,
tangan kanannya mencekal sebuah pisau kecil yang tajam
mengkilat, dengan pisau itu ia mengkurat lengan kiri seorang
pendeta, membuat luka sepanjang satu dim lebih, hingga luka
itu lantas mengalirkan darah yang merah kehitaman.
In Gwa Sian segera datang menghampiri. "Apakah saudara
sudah dapat menerka racun ini racun apa?" tanyanya.
Ngay Eng Eng tersenyum. "Tadi aku lalai" sahutnya, "hampir aku terpedayakan
meraka itu ! Sekarang setelah aku melihat darahnya, aku
merasa pasti bahwa semua bapak pendeta ini telah
keracunan. Ya semacam ular...."
"Jadi benarkah mereka terpagut ular ?" In Gwa Sian
menanya tegas. Eng Eng tertawa, ia mengangguk.
"Jangan kata para bapak pendeta ini yang mengerti ilmu
silat" katanya, "sekalipun orang biasa saja, asal dia bersenjata
dia dapat membela dirinya. Apa pula mereka ini berbareng
kena diracuninya. Karena ular itu ular biasa, darimana
datangnya ular sedemikian banyak dan munculnya pun hampir
berbareng dipelbagai tempat " Maka itu dapat diterka bahwa
musuh menggunakan racun yang mulanya mereka kumpul
atau simpan dahulu didalah sebuah selubung atau pipa besi
istimewa, kapan mulut selubung dibuka, lantas racun ini
ditimpukan seperti orang menyerang dengan senjata rahasia.
Dalam hal ini, racun itu racun dicelupkan pada jarum atau
pasir, setelah jarum atau pasir beracun itu mengenakan atau
menempel pada tubuh, racunnya lantas bekerja mengalir ke
seluruh tubuh, meresap ke dalam darah daging hingga si
korban kontan bakuh beku tubuhnya dan kulitnya lantas
berubah matang biru lalu didalam waktu dua belas jam
tubuhnya bengkak, racun masuk ke jantung dan putuslah jiwa
orang..." In Gwa Sian heran mendengar keterangan itu.
"Dengan begini saudara Ngay" katanya, "teranglah kau
pandai ilmu pengobatan keracunan..."
Eng Eng tertawa pula. "Saudara In memuji padaku !" katanya. "Aku cuma belajar
kulitnya saja dari Kim Lam It Tok, tak dapat aku dibilang
mengerti atau pandai..." Ia terus merogoh sakunya,
mengeluarkan sebuah botol, ketika ia buka tutup botol itu dari
situ tersiar bau sangat tak sedap yang menyerang hidung
membuat orang hendah tumpah-tumpah.
Menyaksikan semua itu In Gwa Sian, Pek Cut dan Liauw In
pada mengerutkan kening. Eng Eng kembali tertawa. "Bicara sejujurnya saudara-saudara" kata ia, "isinya botolku
ini ialah racunnya kodok siam uh. Bukannya aku jumawa,
apabila dipadu dengan racun musuh, racunku ini jauh lebih
beracun, hanya kalau kedua racun dicampur menjadi satu
sifatnya lantas berubah menjadi lunak sedang. Demikian
sekarang hendak aku memakai racun siam uh untuk
membantu para bapak guru ini..."
Sementara itu pendeta itu bernafas perlahan sekali
bagaikan lagi menantikan tibanya sang maut...
Pek CUt dan Liauw In tidak mencegah orang she Ngay itu.
Mereka berdiri disisi seperti lagi menonton. Demikian pula Pat
Pie Sin Kit. Eng Eng melanjuti usaha pertolongannya. Racun siam uh
itu berwarna kuning, air beracun itu dituangkan sedikit keluka
guratan dilengannya sipendeta pertama, lalu menyusul
dengan cepat percobaan pertolongan itu kepada tujuh orang
pendeta lainnya. Semua mereka inipun digores dahulu sedikit
kulit lengannya, sesudah darahnya yang beracun mengalir
keluar baru mereka dipakaikan obat racun itu. Diakhirnya Eng
Eng memberikan Pek Cut sebotol kecil obat warna putih
sembari tertawa ia kata : "Kalau sebentar satu jam kemudian
mereka terasadar diri dari pingsannya, segera kasih mereka
makan dua butir obat ini dengan diantar dengan air dingin.
Setelah itu biarkanlah mereka beristirahat. Lewat tiga hari,
dengan setiap harinya mereka makan pula dua butir, semoga
mereka sudah sembuh seluruhnya. Sebaliknya apabila
pertolonganku ini gagal, kedelapan bapak guru ini tak akan
hidup melewati malam ini."
Pek Cut menyambuti obat sambil ia menghaturkan terima
kasih, lalu menyerahkan itu lebih jauh kepada seorang
muridnya yang ditugaskan menjaga dan merawati orangorang
yang lagi menderita itu. Kepada si tuan penolong, ia
menambahkan :"Saudara Ngay, jangan menguatirkan apaapa,
jika obat ini tidak menolong mereka terserah kepada
Sang Buddha, manusia mati atau hidup sudah tertakdirkan,
kita manusia tak dapat memaksakan..."
Eng Eng tersenyum. "Tetapi toh aku percaya bahwa pengobatanku ini tidak
keiru !" katanya. "Amida Buddha !" Pek Cut memuji sambil merapatkan
tangannya. "Saudara datang dari tempat yang jauh siapa
sangka saudara lantas menghadapi peristiwa tak beruntung
ini, maka setelah sekarang selagi pertolongan pertama ini
silahkan saudara mengikutku ke dalam untuk kita berduduk
beromong-omong supaya dapat aku melakukan kewajibanku
sebagai tuan rumah terhadap tetamunya."
Eng Eng mengucap terimakasih. Ia menerima baik
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
undangan itu. Liauw In segera berjalan di depan, untuk meninggalkan
ruang Tatmo Ih itu guna memimpin tamunya ke kamar ketua.
Seorang sue bie kacung pendeta lantas muncul
menyuguhkan air teh. Habis menghirup tehnya, In Gwa Sian yang mulai
membuka suara. Kata dia : "Dilihat dari peristiwa ini, nyata
sekali kawanan bajingan masih belum berlalu dari wilayah kita
ini bahkan mungkin sekali, mereka segera akan mengulangi
pembokongannya dengan senjata racun yang jahat itu. Karena
itu, menurut pikiranku, baiklah kita lebih dahulu melakukan
penggeledahan secara besar-besaran, guna membersihkan
bagian dalam, lalau kita mengirim orang-orang secara
menyamar ke kaki gunung buat memata-matai musuh disetiap
dusun atau kampung disekitar kita. Dengan begitu, mereka
juga bisa sekalian menyambut datangnya tamu-tamu
undangan kita." Eng Eng menyetujui usul itu, yang bahkan ia puji.
Pek Cut menghela napas. "Karena keadaan ialah menjadi begini rupa, baiklah, akan
aku turut saran kedua saudara" katanya, berduka. Karena
sebagai seorang beribadat, ia sebenarnya tak menyetujui
pertempuran apa juga. Habis berbicara, mereka bersantap. Burung, udang,
semuanya sayuran rasanya lezat. Sesudah itu barulah ketua
Siauw Lim Sie mulai mengatur orang-orangnya.
Tatmo Ih diminta memilih lima puluh orang murid pilihan,
supaya mereka itu dipecah menjadi lima, setiap rombongan
dikepalai oleh Liauw In bersama kelima tianglo dari Tatmo,
ketua dari ruang Tohan Tong dan pengurus Chong Kong Kok.
Mereka ditugaskan menggeledah seluruh wilayah Siauw Lim
Sie sekalian mengatur pula pelbagai pos penjagaan, supaya
setiap jalan masuk terjaga rapi. Dua puluh orang murid
lainnya yang terpilih cerdik, dikirim berpencaran turun gunung
guna sambil menyambut memasang mata kepada kawan dan
lawan. In Gwa Sian dan Ngay Eng Eng membiarkan bantuannya,
mereka akan membantu ke pelbagai arah. Untuk didalam kuil,
Pek Cut yang bertanggung jawab sendiri.
Dengan cara demikian, Siauw Lim Sie bagaikan salin rupa.
Beberapa hari sudah lewat, tidak terjadi suatu apapun.
Penyerangan gelap tak terulang pula. Eng Eng dan In Gwa
Sian penasaran, sendirinya mereka menjelajah gunung,
memeriksa setiap gua dan lainnya, seluas beberapa puluh lie,
mereka juga tidak menemukan apa-apa. Dilain pihak, tamutamu
undangan mulai tiba, mereka disambut dengan baik dan
diberikan tempat serta pelayanan sempurna. Kalau tamu yang
datang tamu teman lama, Pek Cut dan In Gwa Sian sendiri
yang melayaninya. Begitulah Siauw Lim Sie, yang tadinya sepi menjadi ramai.
Penghuninyapun menjadi beraneka ragam disebabkan
bedanya cara berdandan pelbagai tamu-tamu itu.
Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu. Tetap tak terjadi
gangguan pihak lawan. Sementara itu, delapan pendeta yang terkena racun sudah
mulai sembuh seluruhnya. Pada suatu hari, Pek Cut datang ke kamarnya In Gwa Sian.
Ia hendak mendamaikan cara bekerja untuk menghadapi
lawan nanti. In Gwa Sian nampak repot menyambut ketua Siauw Lim
Sie. Setelah mempersilahkan duduk, ia pula mendahului
menanya keadaan kedelapan pendeta korban racun musuh
itu. Pek Cut bersyukur orang sangat memperhatikan muridmuridnya.
"Syukurlah tibanya saudara Ngay" kata ia menjawab
pertanyaan, "kalau tidak pasti mereka itu tak akan dapat
ditolong lagi..." "Apakah saudara Ngay dapat mengatakan atau menerka
siapa musuh penyerang gelap itu ?" tanya pula Pat Pie Sin Kit.
"Mungkinkah mereka adalah murid-muridnya Cit Mo dari pulau
To Ling To ?" "Cit Mo" ialah "tujuh bajingan" jago-jago dari To Liong To.
"Belum" sahut Pek Cut. "Aku pun keras memikirkannya
tanpa hasilnya. Anehnya kenapa sesudah berselang begini
lama, masih belum ada tindakan lainnya dari mereka itu ?"
"Apakah Siansu menerka kepada pihaknya Kim Lam It Tok
?" In Gwa Sian tanya.
Ketua Siauw Lim Sie itu merapatkan kedua belah alisnya, ia
pun menarik napas berduka.
"Jika dugaannya saudara Ngay tidak keliru, Kim Lam It Tok
sudah kena tertarik kawanan bajingan itu" sahutnya menyesal.
"Kalau benar dialah adanya, makin sulit buat kita
melayaninya...." In Gwa Sian heran melihat pendeta itu berduka demikian
rupa, sedang ia tahu Pek Cut adalah seorang jago. Berbareng
dengan itu, ia berkesan baik sekali terhadap pendeta ini. Maka
juga mengawasi si pendeta ia menatap tajam hingga matanya
bagaikan bersinar menyala.
"Aku si pengemis tua, aku tidak percaya mereka itu
mempunyai kepandaian sedemikian lihai hingga mereka
sanggup menjagoi Tionggoan !" katanya keras. "Asal aku si
pengemis tua masih bernapas, tak nanti aku ijinkan mereka
bertingkah polah !" "Kau dan kawan-kawanmu saudara In, memang kalian
mempunyai kepercayaan yang kuat sekali" berkata si pendeta,
"cumalah, buat bicara terus terang, To Liong To Cit Mo serta
Kim Lam It Tok benar-benar tak dapat dipandang terlalu
ringan. Ketujuh bajingan atau siluman itu sudah dua puluh
tahun lamanya belum pernah terdengar menginjak pula tanah
Tionggoan, maka itu, sekarang ini, mungkin mereka sudah
meyakinkan entah ilmu gaib apa. Yang paling dikuatirkan
adalah Kim Lam It Tok seorang. Sudah sejak tiga puluh tahun
yang lampau, belum pernah dia tampak atau terdengar pula
namanya dibuat sebutan. Menurut kabar angin, dia tinggal
menyendiri di dalam rimba lebat terasing dikaki bukut puncak
Il Kiam Hong di gunung Bin San dimana dia setiap hari hidup
berdekatan dengan pelbagai macam binatang beracun, yang
jadikan binatang piaraannya, hingga taklah heran andiakata
dia pakai racun sebagai alat senjatanya yang istimewa. Benar
sulit andiakata betul-betul dia turut memusuhi kita..."
Perkataannya ketua Siauw Lim Sie itu membuat si
pengemis tua berpikir keras.
"Seumurku, aku cuma pernah mendengar nama dia tetapi
belum pernah bertemu dengan orangnya sendiri." katanya
kemudian. "Siansu, tahukan Siansu akan asal usulnya ?"
Jilid 4 Mendapat pertanyaan itu, tiba-tiba Pek Cut ingat kepada
Ngay Eng Eng, maka pikirannya : Kenapa kau tidak mau
mengundang dia datang kemari supaya dialah yang memberi
penjelasan" Dia kenal Kim Lam It Tok, mungkin dia banyak
mengetahui tentangnya. "Saudara In, kau menyadarkan aku.
Bukankah saudara Ngay yang telah menolong jiwa para
muridku" Ia pernah mengatakan bahwa ia pernah belajar
tentang racun dari Kim Lam It Tok yang ia kenal baik, karena
itu kenapa kita tidak mau minta keterangan darinya"
In Gwa Sian mengangguk. "Benar! Dari keterangannya mungkin kita bisa meraba-raba
pada jago racun itu." Pek Cut lantas menitahkan seorang
kacungnya pergi untuk mengundang tamunya tersebut.
Setelah satu bulan tinggal bersama disatu tempat didalam
kuil, pergaulan diantara In Gwa Sian dan Ngay Eng Eng tak
lagi main sungkan, bahkan sangat erat satu dengan lain.
Demikianlah ketika tamunya tersebut muncul diambang pintu,
dan ketika ia melihat hanya ada dua orang di sana, yaitu
hanya tuan rumah dan si pengemis tua, maka ini agak
membuat sitamu sedikit heran, ia lantas bertanya : "Entah ada
urusan apa maka Siansu dan saudara In memanggilku datang
kemari?" In Gwa Sian menghargai tamunya itu, begitu lekas ia
melihat orang muncul, ia lantas berdiri buat memberi hormat
sambil mengundang duduk. Pek Cut pun menyambut secara
terhormat, walau dilain pihak ia harus menjaga derajat dan
kehormatannya sebagai tuan rumah.
Bersama In Gwa Sian, Eng Eng melangkah masuk kedalam
kamar untuk duduk berkumpul dan tanpa basa-basi lagi Pek
Cut langsung memohon keterangan perihal Kim Lam It Tok.
Eng Eng bersedia memberikan penuturannya. Iapun telah
merasa sejak semula bahwa keracunannya para pendeta mirip
dengan racun yang digunakan jago dari Kwieciu Selatan itu.
Beginilah ceritanya. Ketika Eng Eng berusia dua puluh tahun lebih, ia telah
hidup merantau, maka banyak sekali kenalannya baik dari
kalangan hitam maupun putih. Iapun kadang-kadang
melakukan perbuatan baik, menolong siapa yang harus
ditolong. Ia dikenal karena ilmu ringan tubuhnya yang mahir
dan teratai besi Thi Lian Cie nya yang lihai yang ia peroleh
dari seorang gagah. Kemudian ketika ayah bundanya
meninggal dunia warisan sawah kebunnya ia serahkan pada
kakaknya, ia sendiri terus merantau. Pada satu waktu dalam
usia tigapuluh tahun lebih, ia sampai digunung Tok San di
Kwieciu, kota terbesar kedua di propinsi Inlam. Kwieciu kota
yang besar, banyak penduduknya dan ramai. Penduduknya
kecuali bangsa Han asli juga banyak suku Biauw, Yauw dan
Koso. Suku-suku itu dimasa itu masih dianggap separuh sopan
dan tinggalnya berpencaran dan cara hidupnya ialah
membawa hasil hutan yang berupa obat-obatan kekota untuk
dijual atau ditukar dengan minyak, garam , bahan pakaian dan
lain-lain. Terjadilah pada suatu hari, ketika ia sedang menunggang
kuda, Eng Eng melintasi jalan besar dipegunungan Tok san
itu. Ketika itu hawa udara panas menyengat, maka disatu
tempat terpisah lima atau enam lie dari kota, ia singgah untuk
beristirahat dan berteduh. disitu terdapat tak sedikit para
pelancong lainnya. Ia memasuki sebuah hutan kecil dan
menambatkan kudanya pada sebuah pohon, terus ia duduk
bercokol diatas sebuah batu hijau bersih. Hawa dan angin
disitu mendatangkan rasa sejuk. Selagi ia beristirahat itu,
mendadak ia mendengar suara berisik sedikit jauh di
belakangnya, dibawah sebuah pohon besar. Ia lantas menoleh
dan menghampiri lalu menyelak didalam kerumunan orang
banyak. Ia melihat seorang lagi menjerit ketakutan dan
menangis. Itulah seorang wanita suku Biauw yang lagi
memegangi seorang pria bangsanya yang pingsan. Disisinya
ada dua buah bekal yang penuh barang makanan dan bahan
pakaian. Si orang pingsan mengeluarkan darah dari mulutnya
dan mukanya pucat kehitam-hitaman.
Dengan melihat sekelebatan saja, Eng Eng tahu bahwa
orang ini telah keracunan, hanya ia tak tahu racun apa itu.
Segera timbul rasa kasihannya dan keinginannya buat
menolong. Ia memang membekal obat, maka dari kantong
obatnya ia mengeluarkan sebuah pil. Ia serahkan obat itu
pada si wanita yang ia suruh masuki kedalam mulutnya si pria
yang dibukanya dengan paksa. Setelah itu tubuh si pria
dipondong dan direbahkannya dibawah pohon.
Wanita itu sangat berterima kasih kepada Eng Eng. Ia
ternyata mengerti juga bahasa han, maka ia mengerti ketika
sipenolongnya itu menanyakan kenapa si pria terkena racun
dan apa hubungannya dengan si pria itu. Ia menerangkan
bahwa pria itu adalah suaminya dan entah kenapa barusan
mendadak dia roboh pingsan keracunan.
"Obatku itu manjur." kata Eng Eng. "Lihat sebentar lagi
lewat satu jam, suamimu akan dapat tertolong. Aku hendak
tanya kau. Bukankah kalian datang belanja diwaktu pagi,
kenapa baru sekarang suamimu keracunan?"
"Memang kami pergi kekota pagi-pagi dan kamipun sehatsehat
saja," kata wanita itu.
"Aku tak melihat tanda apa-apa, maka itu mungkin tadi
selagi berjalan pulang dia telah menyedot hawa beracun"."
"Hawa beracun" Memangnya ditempatmu ada suatu
racun?" "Kami tinggal dikaki gunung Tiam Chong San. Di belakang
tempat kediaman kami ada sebuah selokan dalam berupa
jurang. Baru satu bulan lalu disitu kedapatan seekor laba-laba
yang besar luar biasa dan beracun, setiap pagi dia suka
menyemburkan hawa beracunnya itu yang mirip uap atau
halimun yang bisa mencelakai orang atau binatang yang
kebetulan lewat dan terkena semburannya itu. Sudah tak
sedikit orang atau ternak yang mati karena racunnya?"
Mendengar keterangan itu, Eng Eng terdiam, ia merasa
obatnya tak akan sanggup memunahkan racun laba-laba itu.
Tengah ia berpikir tiba-tiba ia mendengar suara orang
bernapas disisinya, segera ia menoleh dan mendapati si pria
Biauw itu mendusin, kedua matanya dibuka perlahan-lahan,
kaki tangannya pun turut bergerak lalu seterusnya dia
merintih dan mengeluh! "Ha! obatku bekerja!" pikirnya girang. Maka ia lalu berkata
pada si wanita : "Syukur suamimu sadar, itulah pertanda
bahwa obatku bekerja. Sekarang lekas kau mengajaknya
pulang. Semoga aku bisa mengobatinya sampai sembuh
betul." Nyonya itu mengawasi penolongnya dan mengucapkan
terima kasih banyak. Eng Eng tidak menolong kepalang tanggung, sebab pria itu
belum bisa berjalan dan istrinya tak kuat menggendongnya, ia
lalu memondong dan menaikinya keatas kudanya, lalu ia
menuntun kuda itu. Si wanita jalan di muka sebagai penunjuk
jalan. Jalannya berliku-liku, kira-kira satu jam barulah mereka
sampai dikaki gunung, untuk jalan lebih jauh mereka harus
memasuki sebuah lembah. Selagi mendekati kampung, ada
tiga puluh orang desa datang berlari-lari seperti mau
menyambut, sebab mereka heran mendengar suara kaki kuda.
Dan mereka benar-benar heran sesudah melihat keadaan si
pria yang tergolek dipunggung kuda.
Seorang pria Biauw yang pakaiannya rapi dan kumisnya
pendek muncul diantara rombongan, ketika si wanita
melihatnya dia lari pada pria itu buat berbicara, rupanya guna
menuturkan perihal suaminya serta penolongnya itu. Setelah
itu si wanita mengajak kenal dengan Eng Eng. Kiranya dialah
ketua suku Biauw dikampung itu dan namanya Minai.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera ketua itu menyuruh beberapa orang menolong pria
yang keracunan itu, untuk digotong pulang kerumahnya
dengan istrinya, dia turut bersama kemudian berbicara dengan
Eng Eng. Maka tahulah penolong ini bahwa kampung itu
bernama Ceng Hong Cay dan penduduknya ialah suku "siok"
Biauw artinya suku Biauw yang sudah maju disebabkan
mereka bisa bergaul dengan bangsa Han, sehingga banyak
yang mengerti bahasa Han dan cara hidupnya banyak yang
mengikuti cara hidup bangsa Han juga. Jadi mereka beda
dengan suku "Song" Biauw, suku yang masih tertinggal yang
hidupnya dipedalaman dan sulit buat bergaul karena masih
menutup diri. Eng Eng pun diundang kerumah siketua. Sebenarnya itu
bukanlah sebuah rumah melainkan goa.
Disini Minai membicarakan urusan laba-laba beracun itu,
yang baik siang maupun malam suka menyemburkan hawanya
yang beracun hingga tak sedikit orang dan binatang ternak
yang mati sebagai korban racunnya. Sia-sia belaka orang
menggunakan berbagai macam obat pemunah, hingga sudah
satu bulan lebih mereka terancam racun itu. Hanya baru
selang beberapa hari Minai menemui seorang yang katanya
dapat membasmi racun itu, orang mana telah diundang
tinggal bersama didalam dusun itu.
"Siapakah orang itu dan dimana adanya dia sekarang?"
tanya Eng Eng menyela. "Obatnya orang itu benar-benar manjur," sahut Minai yang
tak menjawab langsung," Sejak dia datang setiap orang yang
keracunan dapat ditolong jiwanya. Siapa minum obatnya
lantas muntah sedikit air kuning yang bau. Dia she Sia, untuk
membasmi laba-laba itu mulanya dia minta diantarkan
kejurang tempat mengeramnya laba-laba itu, setelah itu dia
pergi sendirian saja. Dia pergi setiap lewat tengah hari.
Menurutnya, untuk membinasakan binatang beracun itu dia
harus menanti saat yang tepat."
Eng Eng heran, ia menyangsikan kepandaian orang she Sia
itu. Lalu ia mengutarakan keinginannya buat menemui orang
itu untuk belajar kenal dan minta sikepala suku
mengantarkannya sebagai perantara.
Tengah mereka berbicara itu, seorang pemuda Biauw
datang pada ketuanya dan berbicara beberapa patah kata,
setelah itu dia lantas berlalu pula. Tak tahu Eng Eng apa yang
disampaikan pemuda itu karena ia tak mengerti bahasa Biauw,
tapi tuan rumah sudah lantas berkata padanya :"Pemuda
barusan bernama Shapi. Dia adalah keponakanku, ia
mengatakan tentang orang yang keracunan yang tuan tolong
itu, katanya korban itu pernah muntah lagi tapi tetap pingsan,
maka keponakanku datang meminta obatnya Tuan Sia"
"Habis, kenapa kau tidak berikan obat itu?"
"Obat itu tak ada padaku, obat itu selalu dibawa tuan Sia"
"Orang itu perlu segera ditolong, biar aku yang pergi
menemui orang she Sia itu!" Eng Eng menawarkan jasanya.
"Tuan tidak kenal dia, taruh kata tuan bisa menemuinya,
mungkin usaha tuan akan gagal," kata siketua. "Bagaimana
kalau kita pergi bersama?"
Eng Eng setuju, maka pergilah mereka berdua. Jalanan di
belakang gunung itu sukar juga tetapi mereka dapat
melaluinya. Tibalah mereka dilembah sebelah kanan gunung,
lembah mana sebenarnya terapit tiga buah gunung dan
luasnya kira-kira satu bahu sawah. Disebelah kanan itulah
terletak sebuah jurang dalam belasan tombak yang gelap
hingga tak nampak apa-apa. Berada didekat jurang dimana
angin halus berhembus, sudah tercium bau tak sedap dan
amis. Sampai disitu, Minai tak berani maju lebih jauh, katanya :
"Laba-laba itu bersembunyi didasar jurang ini, didalam sebuah
goa. Nanti aku coba memanggil-manggil, entah tuan Sia
berada ditempat atau tidak"."
Lalu dua kali ketua kampung ini berteriak memanggil.
Tidak ada jawaban, tetapi tidak lama tampaklah seorang
setengah tua dengan baju hijau muda muncul dibawah
sebatang pohon cemara, terus dia mendaki dengan cepat,
gerakannya mirip gerakan seekor kera.
Eng Eng segera memasang mata, hingga ia bisa menerka
orang sudah berusia kira-kira tiga puluh tahun, berkumis
pendek, dahinya lebar dan matanya tajam. Pada pinggangnya
tergantung sebuah kantong piauw, paling dahulu ia
memandang Minai, barulah beralih ke Eng Eng.
Minai lantas menunjuk pada Eng Eng dan berkata pada
orang tua itu :"Tuan ini tadi ditengah jalan sudah membantu
seorang penduduk kampung kami yang keracunan, sekarang
ia minta aku mengantarkannya kemari untuk melihat
bagaimana tuan akan membinasakan si laba-laba beracun"
Orang itu tidak menjawab, hanya mengawasi kedua orang
itu, nampaknya dia masgul.
Melihat demikian, Eng Eng memecah kesunyian, katanya
:"Tuan, apakah tuan telah melihat binatang beracun itu"
Dalam hal menolong jiwa sesamanya, bersedia aku
mengeluarkan tenagaku yang tak berarti, maka seandianya
tuan membutuhkan kawan pembantu, tuan perintahkan saja
aku!" Mendengar kata-kata itu, orang setengah tua itu kelihatan
lenyap kemasgulannya, wajahnya menjadi sedikit terang.
"Kau baik sekali, saudara" katanya. "Justru hari ini aku
sedang memikirkan untuk turun tangan dan lagi kekurangan
seorang pembantu, jika tuan sudi membantu, itulah bagus
sekali!" "Jangan sungkan tuan" Eng Eng menjawab,"Bilang saja apa
yang harus aku lakukan!"
"Terima kasih!" kata orang itu.
Sampai disitu keduanya lantas belajar kenal satu dengan
yang lain. Eng Eng tambah menghargai orang setengah tua itu
sebab dialah kiranya Sia Hong dengan gelar Cek sian ciang si
Tangan Merah yang tersohor.
Sementara itu Minai lantas minta obat kemudian pulang
terlebih dahulu. Setelah ketua suku itu pergi, Sia Hong berkata pada Eng
Eng, "Binatang beracun itu bakal muncul tak lama lagi, kita
harus bersiap sedia sekarang, mari tuan turut padaku!"
Eng Eng mengangguk, maka keduanya lantas turun
kejurang sambil merembet diatara pohon rotan. Lewat
beberapa tombak jalanannya makin sukar dan sekitarnyapun
mulai remang-remang. Sesaat kemudian, Sia Hong berdiam diatas sebuah batu
karang besar, sebelah tangannya terus menunjuk ke depan
sambil berkata :"Lihat arah yang kutunjuk itu, didinding
tembok gunung itu ada sebuah gua kecil, itulah tempat si
laba-laba bersembunyi."
Eng Eng mengawasi, ia dapat melihat goa itu yang tertutup
rumput, goa itu tak akan tampak kalau tidak diperhatikan
benar. "Binatang beracun itu yang dinamakan siu cu," Sia Hong
menjelaskan, "Entah mengapa dia bersarang disini, sulitnya
sekarang dia telah menjadi sangat besar dan racunnya
menjadi sangat beracun, hingga untuk dapat didekati"."
Eng Eng mengerutkan kening.
"Habis saudara Sia, bagaimana kau hendak turun tangan?"
tanyanya. "Telah sekian lama aku awasi binatang itu, dia biasa keluar
lewat magrib buat mencari makan. Keluarnya satu hari satu
kali. Barang makanannya ialah segala kutu dan ular yang lebih
dahulu ia sembur dengan racunnya yang mirip uap itu hingga
bakal mangsanya menjadi pingsan dan beku. Jika terbawa
angin, uap itu dapat melayang jauh dan jika mengenai orang
atau binatang yang kebetulan berada dibawah angin, maka
orang itu akan celaka tanpa tahu apa sebabnya. Uap itu
bagaikan hawa, tak boleh tersedot oleh hidung dan
bekerjanya sangat cepat, orangnya pingsan terus mati"."
Baru sekarang Eng Eng mengerti kenapa Salim, orang
Biauw itu pingsan mendadak.
"Saudara, untuk membinasakan laba-laba itu, apakah telah
kau sediakan obat pemunahnya?" tanyanya kemudian.
"Ya" sahut Sia Hong. "Telah aku gunakan waktu beberapa
hari mencari bahan obatnya, lalu terus aku membuatnya
menjadi obat pulung, inilah dia obat itu!" Ia merogoh kantong
obatnya dan mengeluarkan sebutir pil warna kuning tua
sebesar telur burung gereja, sambil mengangsurkannya pada
sahabat barunya itu, ia lalu berkata "Telan ini untuk mencegah
serangan uap beracun itu."
Eng Eng menyambut obat tersebut yang terus ia masuki
kedalam mulutnya. "Saudara bagaimana caranya kau hendak membasmi labalaba
itu?" katanya. "Itu dia sulitnya! Walaupun aku sudah sedia obat
penawarnya aku masih takut datang terlalu dekat untuk
menebas atau menikamnya dengan pedang. Kalau dia sedang
gusar dan menyemburkan racunnya secara hebat, itu sangat
berbahaya"." "Bagaimana kalau kita serang dia dengan piauw atau panah
tangan?" Itulah jalan satu-satunya, hanya dalam hal ini kita harus
menjaga supaya dia kena telak, karena kalau hanya terluka
dia akan mengamuk dan itu sangatlah berbahaya. Bicara terus
terang, aku kuatir aku tak mampu menggunakan senjata itu
dengan sempurna"." "Bagaimana jika aku mempertunjukkan
sedikit kepandaianku yang tak berarti, yaitu aku membantu
saudara dengan peluruku?"
"Baiklah," jawab Sia Hong. Hanya Biear bagaimanapun
mereka baru kenal, sehingga ia rada sangsi.
Selama itu, sang waktu terus berjalan, sang surya mulai
doyong kebarat, mereka berdua terus mengawasi goa itu.
Dilain saat, sang magrib sudah tiba, ketika jagat mulai
gelap, maka dari mulut goa tampak sesuatu yang tak terlihat
tadi siang. Itulah sinar hijau yang lembut, yang makin lama
makin terang. Dan ketika jagat mulai benar-benar gelap maka
sinar itu lantas menjadi sepasang cahaya hijau mencorong
sekali. Karena itulah sepasang mata sebesar biji buah persik
yang berada diwajah seekor laba-laba raksasa, yang sangat
besar kepala dan tubuhnya berwarna hitam sedangkan kaki
tangannya yang panjang semua berbulu kuning.
Sia Hong lantas menyiapkan keluar beberapa batang
piauwnya (kongpiauw), sedangkan Eng Eng segera
menyiapkan pelurunya. Dengan cepat laba-laba itu sudah muncul diluar goa
dengan seluruh badannya. Selagi Eng Eng mengawasi tajam,
tahu-tahu Sia Hong sudah mulai menyerang ke arah perut
binatang itu. Sang laba-laba tak mengira ada orang mengintai dan
menyerangnya, dua batang kongpiaw menancap pada
perutnya tetapi tidak lantas membunuhnya, dia merasa sangat
nyeri dan menjadi gusar karenanya, tak ampun lagi, dia
menyemburkan racunnya yang jahat yang berwarna kuning.
Tepat saat beberapa puluh biji peluru pun datang
menghujaninya. "Lekas lompat berkelit!" terdengar suara Sia Hong. "Jangan
menghadapinya, racunnya itu tak dapat dihadang!"
Baru Eng Eng mau bergerak, ia merasa lengan kirinya
ditarik, maka ia meneruskan ikut melompat kesamping sejauh
beberapa tombak, karena mereka terus berlompatan dan
ketika mereka berdiri diam untuk menoleh ke belakang,
sempat mereka lihat buyarnya uap kuning itu, makin lama
makin tipis, sedangkan sang laba-laba sudah roboh menjadi
bangkai sebab seluruh tubuhnya penuh terhajar peluru teratai
besi. Rumput dimulut goa itu pada rebah, rupa-rupanya bekas
diamuk kaki tangannya si laba-laba raksasa itu.
Masih sekian lama Sia Hong diam mengawasi, baru
kemudian berkata :"Syukur binatang berbahaya itu telah dapat
dibinasakan, sekarang marilah kita pulang buat mengatakan
kepada penduduk Biauw supaya mereka menyuruh orang
untuk memendam bangkai ini.
Eng Eng setuju, maka berdua lantas berjalan pulang.
Bukan main girangnya Minai dan warganya, mereka lantas
menjamu kedua orang tamunya dan mereka sangat dihormati
dan dipuji, kemudian mereka berdua diminta suka berdiam
beberapa hari lagi dikampung tersebut.
Selama itu hubungan antara Sia Hong dan Eng Eng makin
erat, lalu Eng Eng mendapat tahu bahwa si sahabat benarbenar
seorang ahli hewan beracun, hingga iapun memperoleh
pengetahuan banyak tentang perihal racun, dan semua
penuturan si sahabat ia ingat baik-baik.
Lewat beberapa hari barulah kedua orang itu berlalu dari
Tiam Cong San, lalu mereka berduapun berpisah untuk
melanjutkan perjalanan masing-masing.
Sesudah lewat beberapa tahun Eng Eng mendengar dunia
Kang Ouw memuji nama Sia Hong sebagai Kim Lam It Tok, Si
Tangan Beracun dari Kwiecu Selatan. Ingin ia menemui
sahabatnya itu, sayang orang tersebut tak menentu tempat
tinggalnya hingga sukar mencarinya. Karena itu belum pernah
kedua sahabat itu saling bertemu lagi, sampai terjadi peristiwa
hebat dikuil Siauw Lim Sie itu, sehingga Eng Eng jadi ingat
pula pada sahabatnya itu, demikianlah penuturannya.
In Gwa Sian dan Pek Cut telah mendengarkan dengan
penuh perhatian, dan akhirnya Pek Cut mengerutkan alisnya
dan berkata masgul :"Dengan begitu teranglah Kim Lam It
Tok seorang yang lurus, kenapa sekarang dia ikut kawanan
bajingan dari luar lautan itu" Sungguh aku tidak mengerti."
"Memang itu aneh tetapi sekarang kita belum mengetahui
sebab musababnya." berkata Eng Eng. "Dahulupun aku tak
sempat bertanya perihal gurunya, tak tahu aku tabiatnya
secara mendalam. Mungkin ada sebab musabab yang
membuat pikirannya berubah?"
"Siapa lurus siapa sesat, itu cuma soal satu tindak kaki,"
kata Pat Pie Sin Kit. "Sia Hong mempunyai kepandaian
istimewa itu, ia sudah kena terpikat si sesat yang hendak
memanfaatkannya." Sampai disitu mereka berbicara, tidak ada keputusan apaapa,
lalu Pek cut mengajak Eng Eng mengundurkan diri dari
kamarnya si pengemis luar biasa.
Besoknya tengah hari, Pek Cut menerima berita tibanya Go
Hian Tojin bersama dua orang saudara seperguruannya serta
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
empat orang muridnya. Go Hian adalah ketua partai Bu Tong
Pay dipropinsi Hopak dan kedua saudaranya itu Seng Hian dan
Leng Hian. Bu Tong Pay cuma kalah ternama sedikit dari
Siauw Lim Sie. Tingkatnya Go Hian sama dengan Pek Cut
sedangkan namanya tersohor berimbang dengan nama In
Gwa Sian. Ketika undangan dikirim yang diharap ialah Go Hian
akan mengirim beberapa orang wakilnya, siapa sangka dia
datang sendiri. Inilah diluar dugaan. Maka Pek Cut dan In Gwa
Sian menjadi heran. Walaupun demikian tanpa ayal mereka
menyambut dengan hormat kedatangan Go Hian, bahkan Pek
Cut mengajak para Tianglo dari Kam Ih dan Tatmo Ih.
Yang luar biasa, walaupun mereka sama-sama ternama,
ketiga orang itu belum pernah bertemu satu dengan lain,
artinya mereka belum pernah berkenalan.
Pek Cut beramai menyambut ditempat yang jauhnya lima
lie dari kuilnya. Selagi menantikan, ia dan rombongannya
melihat bagaimana dua orang muridnya yang bertugas
menjaga diarah itu tengah memimpin rombongan tamutamunya,
tujuh orang imam yang mengenakan Topauw, jubah
keimaman serta punggungnya masing-masing menggendong
pedang, cepat jalannya para tamu itu seperti lari, hingga
kedua penyambutnya yang mesti mendahului mereka pada
bermandikan keringat, padahal waktu itu musim dingin.
Setibanya rombongan itu, Pek Cut maju paling depan untuk
menyambut, ia sudah lantas berhadapan dengan seorang
imam tua dengan janggut panjang hingga ke dada dan
jubahnya hijau muda, sembari tertawa ia berkata :"Lolap toh
berhadapan dengan Go Hian Totiang, bukan" Maaf muridku
telah tak jelas membawa berita, hingga lolap tak tahu bahwa
yang tiba totiang sendiri hingga tak dari jauh-jauh lolap
menyambutnya?" Imam itu tersenyum, ia membalas hormat sambil menjura.
"Tak berani, tak berani pinto menerima kehormatan
demikian besar!" kata dia merendah. "Pinto datang bersama
dua saudara seperguruanku serta ke empat muridku, supaya
mereka itu mudah diperintah-perintah."
"Lolap tak berani, lolap malu akan mendengar kata-kata
diperintah-perintah itu." berkata Pek Cut merendah,
"Kedatangan totiang saja sudah membuat kami sangat girang
dan bersyukur dan kami mengharap semoga berkat nama
totiang yang besar kita dapat membasmi kawanan bajingan
luar lautan itu supaya kita dapat melindungi kesejahateraan
rimba persilatan seluruh tionggoan!"
Go Hian merendah, kemudian ia perkenalkan kedua sute,
adik seperguruannya itu, maka Pek Cut pun saling memberi
hormat dengan Seng Hian dan Leng Hian yang baru berusia
empat puluh lebih, rambutnya hitam , matanya tajam. Setelah
itu ia yang ganti memperkenalkan para Tianglonya serta Pat
Pie Sin Kit juga. Go Hian semua pernah mendengar nama besar si pengemis
aneh, ia tertawa sambil mengurut-urut janggutnya, dengan
ramah ia berkata :"Sudah lama pinto tak dengar nama
Tayhiap banyak disebut orang, kali ini karena ancaman
terhadap kaum rimba persilatan, tayhiap sudi hadir disini,
pinto bersyukur sekali. Pasti kaum rimba persilatan juga akan
bersyukur seperti pinto!"
Imam itu memanggil Tayhiap kepada pengemis cabang
atas itu. "Sebenarnya namaku itu nama kosong belaka!" In Gwa
Sian merendah. "Tak berani aku si pengemis tua menerima
panggilan Toheng ini. Adalah kami yang sangat bersyukur
bahwa Toheng sebagai seorang ketua partai yang namanya
besar bagaikan gunung Tay San, telah sudi menghargai kami
dengan kehadiran Toheng beramai disini guna bekerja untuk
kaum rimba persilatan tionggoan!"
Tiba-tiba Go Hian menghela napas.
"Sebenarnya pihak kamipun telah mendengar perihalnya
kaum bajingan luar lautan itu sudah mendatangi Tionggoan,"
katanya masgul. "Hanya diluar dugaan kami bahwa
bergeraknya mereka begini cepat. Siauw Lim Sie dan Bu Tong
berasal dari satu kaum, kita bagaikan gigi dan bibir, maka itu
jangan kata Siauw Lim Pay yang mengundang, biarpun cuma
Pek Cut Taysu sendiri, Bu Tong Pay sudah seharusnya dapat
memberi jasanya yang tak berarti. Itulah sebabnya kenapa
pinto setelah menerima surat undangan, sudah lantas
berangkat kemari!" "Terima kasih, terima kasih!" Pek Cut balas menjawab.
"Toheng beramai sudah melakukan perjalanan jauh, itulah
artinya penderitaan, maka itu silahkan kita pergi kegubuk kami
supaya kami dapat menyambutnya sebagaimana layaknya
tuan rumah. Perkenankanlah lolap memimpin jalan!"
Berkata begitu, benar-benar Pek Cut memutar tubuh buat
bertindak pergi, maka In Gwa Sian lantas mengikutinya,
hingga mereka lantas diikuti oleh para tamunya.
Disepanjang jalan, asal bertemu pendeta, semua pendeta
itu menghunjuk hormat dan mengucapkan selamat datang.
Mereka ini mengagumi pihak Bu Tong Pay, sebab mereka tahu
nama Seng Hian dan Leng Hian sangat tersohor sebagai ahliahli
pedang, kalau mereka itu lihai, pasti lihai pula Go Hian
sebagai suheng dan cianbunjin partai.
Pak Cut mengajak tamunya berkumpul di Tatmo dimana
sudah lantas disajikan barang barang hidangan , delapan
orang kacung bersiap melayani mereka, sedang diluar ruangan
berkumpul dua ratus orang pendeta sebagai pengawal
kehormatan. Pula telah diperdengarkan bunyi tetabuhan
diwaktu mereka menyambut tetamu, semua memuji :"Amidha
Budha!" Itulah cara penyambutan besar dari Siauw Lim Sie terhadap
tetamunya yang dipandang agung, melihat hal itu Go Hian
beramai bangkit untuk mengatakan dengan merendah bahwa
ia tak sanggup menerima penghormatan itu.
"Inilah melulu disebabkan bersyukurnya kami, karena
seorang ketua partai besar seperti Bu Tong Pay telah sudi
datang mengunjungi Tiong Gak," kata Pek Cut. "Silahkan
duduk, mari mengeringi tiga cawan!"
"Biar bagaimana kedatangan kami ini adalah hal yang
biasa," berkata Go hian, "Tadinya pinto sudah mengambil
keputusan buat hidup menyendiri, guna menyingkir dari
segala keruwetan tetapi sekarang tidak."
"Demikian juga maksud kami dari Siauw Lim Pay," kata Pek
Cut, "Murid-murid kami banyak yang merantau, tetapi mereka
itu telah dipesan untuk tidak sembarangan melakukan
pembunuhan, siapa tahu kami toh disatroni kawanan bajingan
luar lautan itu?" Lantas ketua Siauw Lim Sie menjelaskan bagaimana muridmuridnya
kena dibokong dengan racun bahkan ada dua yang
dipenggal batang lehernya!
Mendengar keterangan itu, alis Go Hian terbangun, itulah
tanda dari kemurkaannya. "Kawanan bajingan itu tinggal terpisah dari kami jauhnya
laksaan lie, tetapi siapa tahu mereka toh datang menyatroni,"
Pek Cut melanjutkan, "Maka itu teranglah maksud mereka
bukan untuk membasmi Siauw Lim Sie saja. Itulah sebabnya
kami membuat undangan umum buat mengajak sesama kaum
persilatan bekerja sama guna menantang dan mencegah
berhasilnya maksud jahat rombongan itu."
"Itupula sebabnya kenapa kami datang kemari." Go Hian
memberi kepastian. Kami mengerti ilmu silat cuma kulitnya
saja, karenanya kami bersedia menerima pelbagai perintah.
"Toheng hanya merendah," berkata Pek Cut, "Siapa yang
tak pernah mendengar nama Bu Tong Siang Kiam"
Kedatangan Toheng beramai ini membuat kami merasa sangat
mendapat muka!" "Bu Tong Siang Kiam" ialah sepasang jago pedang dari Bu
Tong Pay. Berkata begitu Pek Cut menghela napas, lalu ia
menambahkan: "Sebenarnya, apabila tidak ada In Tayhiap
yang mendesak kami, tak berani kami turut membuat
undangan umum ini".."
Go Hian mengalihkan pandang matanya dari pendeta itu
kepada si pengemis tua, lekas-lekas ia berkata: "Pinto malas
sekali, sudah beberapa puluh tahun tak pernah pinto
merantau, karena itu pinto cuma mendengar saja nama
tayhiap banyak disebut orang, tapi hari ini kita dapat bertemu
muka, sungguh pinto banyak bersyukur!"
In Gwa Sian tersenyum, "Namaku si pengemis cuma nama kosong belaka,"
bilangnya. "Tak berani aku menerima pujian dari Toheng."
"Dijaman ini siapakah yang tidak kenal Tek Cio Siangjin,
Heng San Kiamkek dan Pat Pie Sin Kit tiga orang besar?" kata
pula imam dari Bu Tong Pay itu. "Pinto pun telah mendengar
halnya saudara In bersahabat erat dengan Tek Cio Totiang,
maka itu dalam urusan kita ini tentunya Siangjin pun turut
diundang. Kapankah kiranya Siangjin bakal tiba, supaya pinto
dapat bertemu dengannya?"
"Tek Cio sihidung kerbau adalah orang paling aneh," sahut
In Gwa Sian, yang menghela napas.
"Sudah sejak setengah tahun lalu dia telah pergi jauh."
Tiba-tiba saja pengemis ini menghentikan kata-katanya itu.
Itulah disebabkan ia ingat akan sebutan "sihidung kerbau" itu.
Ia sudah keterlepasan ngomong. Bukankah ketujuh tamunya
ini imam seperti Tek Cio sahabatnya itu" Ia tersenyum jengah,
terus ia menutup mulutnya.
Agaknya Go Hian tidak menghiraukan kata-kata "sihidung
kerbau" itu, dia tersenyum ketika dia melanjuti bicara. Kali ini
dia tanya. Heng San Kiamkek turut diundang atau tidak.
"Katanya dia sangat lihai dengan sebatang pedangnya," ia
menambahkan, "Kalau dia turut diundang, pasti kita akan
berhasil membasmi kawanan bajingan luar lautan itu."
"Kami memikir buat mengundang Heng San Kiamkek, tapi
tak dapat," Pek Cut mewakili In Gwa Sian menjawab.
"Sekarang ini ia tak ketentuan tempatnya, jadi sukar untuk
mengirimkan undangan kepadanya."
Go Hian agak menyesal, tetapi ia tidak bilang apa-apa.
Demikian mereka berjamu sembari memasang omong.
Selang satu jam, perjamuan itu ditutup, terus Pek Cut
mengantarkan para tetamunya kekamar yang sudah
disediakan buat mereka itu. Hingga selanjutnya Go Hian
semua berdiam didalam kuil Siauw Lim Sie itu.
Waktu berjalan dengan cepat, tibalah tanggal sembilan
bulan pertama. Sekalian pendeta yang diutus menyampaikan
surat undangan sudah pada pulang dengan saling susul.
Sedangkan para undangan telah datang silih berganti.
Diantaranya adalah Uan Tio Siang Can yang belum tiba. Cuma
mereka itu terhitung orang-orang dari kalangan sesat bukan
luruspun bukan.." Pada suatu hari In Gwa Sian pergi ke belakang gunung,
kegubuk kedua nona. Selekasnya dia masuk kedalam gubuk,
dia jadi terkejut saking herannya. Ini disebabkan dia
mendapati mereka itu lagi bersiap berkemas untuk berangkat.
"Eh, eh, anak-anak!" tegurnya heran, "Kemana kalian
hendak pergi?" Kiauw In dan Giok Peng tidak menjawab pertanyaan itu,
mereka terus berkemas-kemas.
Pengemis tua itu mengawasi tajam, lalu dia menengadah
ke langit dan tertawa lebar.
"Kalian berdua, kalian sangat nakal" katanya nyaring. Dia
tidak gusar walaupun dia seperti dipermainkan. "Sekarang
kalian menjadi gagu agaknya. apakah kalian mau main gila"
apakah kalian memberikan teka-teki kepadaku si pengemis tua
supaya aku menerkanya?"
Sekali lagi dia tertawa. Kiauw In mencibir mulutnya. Tiba-tiba diapun tertawa.
"Aku tidak gagu!" sahutnya. Dan ia tertawa pula. "Jika
paman hendak menebak silahkan menebak!"
Giok Peng sementara itu berulang kali mengedipkan
matanya pada si kakak, maksudnya mencegah orang
membocorkan "rahasia" supaya rencana mereka jangan gagal,
akan tetapi Kiauw In berpura-pura tidak melihatnya, ia tetap
dengan tingkahnya itu hingga membuat si adik Peng heran
dan ragu-ragu. Dengan sepasang matanya yang jeli Giok Peng
terus mengawasi kakaknya itu.
In Gwa Sian sebaliknya tidak memperhatikan atau lebih
tepat tidak memperdulikan gerak geriknya Giok Peng itu,
bahkan dia sudah lantas mengulurkan tangannya mencekal
Kiauw In sembari berkata keras: "Anak In, apakah kau sangka
aku tidak tahu" Hm! Kalau kalian berdua bukannya hendak
pergi mencari dia, siapa lagi?"
Kiauw In tertawa seenaknya saja.
"Dia siapa?" tanyanya. Sedikitpun ia tak nampak likat atau
jengah. Si pengemis tua tertawa lebar.
"Dia siapa?" ia mengulangi, "Siapa lagi! Dialah anak Hiong!"
Kedua nona saling mengawasi, mereka tersenyum.
"Mana dapat kalian mendustai aku si orang tua?" berkata
In Gwa Sian. "Janganlah berpikir demikian! Ketika anak Hiong
meninggalkan gunung, didalam suratnya sudah ditulis jelas
bahwa lain tahun bulan pertama tanggal lima belas dia bakal
kembali ke Tiong Gak, maka jika kalian hendak pergi asalasalan
untuk mencarinya, pikiran kalian itu pikiran tolol!"
"Paman keliru!" berkata Giok Peng, "Walaupun benar kami
hendak mencari seseorang, tapi dia bukanlah adik Hiong!"
Pat Pie Sin Kit melengak sejenak, terus dia berpikir.
"Habis anak Peng, siapakah yang hendak kalian cari?"
tanyanya, "Lekas bilang!"
Si nona tapinya menggeleng kepala.
"Anak tak akan memberitahukan," sahutnya.
Pengemis tua merasa aneh. Ia mengawasi kedua nona
bergantian, kebetulan Giok Peng tunduk untuk merapikan
bajunya, ia lalu tarik lengan Kiauw In buat diajak pergi keluar.
"Anak In, apakah kalian hendak pergi bersama?" dia tanya
sungguh-sungguh setibanya dihalaman luar. "Jangan kau
membohongi padaku!" "Anak cuma akan mengantarkan dia," sahut Nona Cio.
"Anak sendiri mempunyai tempat tujuan lain?"
In Gwa Sian menjadi heran, ia bingung. Ia mengurut-urut
kumisnya dengan tidak tahu harus bilang apa, ia berdiam saja.
"Anak telah bicara jelas!" berkata Kiauw In menegaskan.
"Paman tak akan bertanya tanya pula, bukan?"
Lantas si nona membalik tubuh untuk kembali kedalam,
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus ia menurunkan pedang yang tergantung ditembok lalu
diletakkannya dimeja, kemudian ia membantu Giok Peng
merapikan buntalannya. In Gwa Sian sudah lantas kembali kedalam sambil bertolak
pinggang, ia berdiri di depan kedua nona.
"Karena kalian tidak mau bicara, aku juga tidak akan
memaksa!" katanya dengan suara tinggi.
"Tapi sekarang kalian harus terangkan padaku, kalian
hendak berangkat hari ini atau besok?"
Giok Peng mengangkat kepalanya.
"Kami akan berangkat besok!" sahutnya singkat.
In Gwa Sian menghela napas.
"Kalian mau pergi juga, nah pergilah, kalian bebas!"
katanya. "Hanya kalau nanti anak Hiong kembali kesini,
apakah kata kalian" Kalian ada pesan atau tidak" Bicaralah!"
"Tidak!" menjawab kedua nona berbareng, singkat.
Mendengar itu, tanpa terasa si pengemis menggeleng
kepala, dan tanpa bilang apa-apa lagi dengan perlahan ia
bertindak keluar". Selekasnya orang berlalu, Kiauw In tertawa, bahkan sambil
bertepuk tangan, katanya: "Adik Peng, hari ini kita dapat
menggoda paman In!" "Tetapi paman mengatakan hal yang benar" Giok Peng
bilang. "Kalau benar adik Hiong pulang dalam beberapa hari
ini, bagaimana?" "Mungkinkah dia akan pergi mencari kita?"
Kiauw In menenangkan. "Adik Peng, kau cuma memikirkan
dia seorang, kau sampai melupakan urusan besar!"
Giok Peng menubruk kakaknya itu.
"Kakak, kakak, aku tidak mau!" katanya.
"Kakak kau permainkan aku! Ah, aku tak mau pergi!"
Kiauw In lantas merangkul adiknya itu, hendak ia
menggoda namun dibatalkannya. Karena Hauw Yan yang lagi
tidur membalik tubuh untuk menyingkap selimutnya, terus
anak itu bangun akan duduk sambil ia memanggil: "Mama!
Mama!" Giok Peng melepaskan diri, ia lari kepada anaknya itu yang
baginya bagaikan mestika. Sambil memeluk anak itu ia
berkata: "Anak, ibumu disini! Apakah kau ingin makan?"
Hauw Yan merangkul leher ibunya itu.
"Mama, kenapa ayah masih belum kembali?" tanyanya.
Ditanya lain, ia menjawab lain. "Mama, lekas cari ayah, ajak
ayah pulang! Hendak aku mengajak ayah pergi kegunung
memetik buah!" Kiauw In menghampiri ibu dan anak itu, menepuk-nepuk
lengan Hauw Yan. "Hauw Yan" katanya sabar, "Besok bersama ibumu akan
aku ajak pergi mencari ayahmu, sekarang jangan kau ganggu
ibumu." "Aku tidak mau ikut" kata anak itu yang merangkul terus
pada ibunya, "aku hanya ingin mama mencari ayah!"
Kiauw In menyilangkan tangan di muka bocah itu.
"Kau lihat," katanya, "Kau sekarang telah berusia lima
tahun! Tak malukah kau selalu mencari ayah dan ibumu?"
Hauw Yan memegang tangan orang, untuk dibawa
kemulutnya buat digigit! "Haha!" tertawa Kiauw In. "Kau nakal ya" Bagaimana kau
hendak menggigit tangan otang?"
"Habis aku dilarang mencari ayah"." kata anak itu.
"Huss!" Giok Peng mengasih dengar suara Hauw Yan lantas
tertawa. Malam itu Giok Peng meniduri anaknya, lalu ia duduk
bersama Kiauw In, membicarakan rencana mereka.
Sebenarnya mereka itu disamping rencana mereka, juga mau
bekerja masing-masing. Rencananya Kiauw In begini : Kiauw In menerka Hong Kun
yang mencuri kitab, ia ingin Giok Peng yang mengambilnya
kembali, caranya yaitu Giok Peng harus bersikap baik terhadap
Hong Kun dan memberinya pengertian. Kitab itu mesti didapat
pulang, kesatu supaya tidak hilang, kedua agar mereka
bertiga dapat bersama-sama memahami dan meyakininya. Tak
dapat isi kitab itu dipelajari orang lain karena akan sangat
berbahaya bagi rimba persilatan. Pertemuan diantara Giok
Peng dan Hong Kun itupun perlu guna memutuskan tali
asmara diantara mereka berdua, supaya It Hiong tidak
terganggu lebih jauh. Mulanya Giok Peng menolak rencana
tersebut, akhirnya ia kena bujuk dan menyetujuinya. Mereka
akan pergi bersama, tetapi Kiauw In mau terus pulang ke Pay
In Nia guna mendapat kepastian, It Hiong telah pulang
kegunungnya atau tidak. Mereka mengharap akan kembali ke
Tiong Gak tanpa terlambat, agar mereka dapat menghadiri
rapat besar demi membantu Pek Cut. Rencana itu tak mau
dibocorkan walaupun terhadap In Gwa Sian. Merekapun akan
berangkat besok pagi secara diam-diam.
Selesai bicara mereka memadamkan api dan terus tidur.
Tengah malam itu datang angin utara yang hebat, hingga
saling beterbangan membuat hawa menjadi dingin luar biasa.
Angin itu tak mau berhenti, daun jendela diserbu berulangKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
ulang. Hauw Yan tak dapat tidur, sebentar-sebentar dia
memanggil ibunya, hingga Giok Peng turut menjadi sukar tidur
pula. Kiauw In pun mendusin dengan terperanjat.
Ia menanti sampai jam lima. Diluar dugaan angin menderuderu
lebih kencang hingga hawa menjadi dingin hampir tak
dapat dilawan. Akhirnya Giok Peng lompat turun dari pembaringannya, ia
iangin menyalakan api. Tiba-tiba dari arah pintu gerbang kuil,
terdengar riuh suara genta hingga membisingkan telinga,
memecah kesunyian malam dan membuat hati orang gentar"
Mengerti bahwa itulah genta kuil yang merupakan tanda
bahaya, Giok Peng lantas menolak tubuh Kiauw In untuk
dibangunkan, terus membisiki sang kakak agar sang kakak
memasang telinga. Alis nona Cio rapat satu dengan lain, dengan cepat ia
meniup dan memadamkan api untuk terus membisiki
kawannya: "Pastilah kawanan bajingan dari luar lautan itu
telah datang menyerbu pula secara membokong! Lekas kau
gendong Hauw Yan, aku sendiri mau keluar untuk melihatlihat!"
"Kakak lebih baik kita pergi bersama." Giok Peng berkata.
"Aku kira tidak ada halangannya kalau kita membiarkan Hauw
Yan tidur seorang diri?" Ia lantas menghampiri anaknya untuk
membisiki telinganya, kemudian ia menjemput dua batang
pedang diatas meja, satu dikasihhkan pada kakaknya.
Kiauw In menyambuti. Lantas keduanya pergi keluar. Habis
menutup pintu mereka memecah diri ke kiri dan kanan berlalu
sambil saban-saban mendekam.
Giok Peng pergi ke kiri, habis memutari rimba ia menuju
kepondokan belakang yaitu Lohan Tong. ruang Arhat tempat
para pendeta belajar silat yang lantainya beralaskan batu
persegi, hanya ubinnya sudah tidak rata bekas latihan keras
dari banyak tahun. Syukur ia pandai ilmu ringan tubuh dan
matanya awas, ubin tak rata itu tidak menyusahkannya.
Ruang itupun mendapat penerangan dari cahaya rembulan,
sebab saat itu si putri malam sedang terangnya. Lentera
didalam ruang tidak dinyalakan rupanya sudah dipadamkan,
tetapi ditubuh delapan belas patung arhat nampak cahaya
cukup nyata, semua berdiam ditempatnya masing-masing
dalam kesunyian ruang itu. Diluar situpun tidak ada orang,
kecuali angin yang menggoyang-goyang pohon-pohon bambu
dan menimbulkan suara gesekannya.
Ketika itu suara genta sudah berhenti, rupanya gantinya
adalah suara berlarinya sepatu dari beberapa puluh pendeta
dari dua pendopo depan berlari-lari kehalaman luar. Suara itu
tak lama lantas hilang. Disaat Giok Peng hendak melintasi pendopo Tay Hiong Pothian
mendadak ia ingar putranya, ia menjadi ragu-ragu,
tengah ia berpikir matanya melihat satu bayangan berkelebat
disebelah kiri pintu Pekarangan, bergeraknya sangat pesat
hingga sukar dilihat dengan jelas, karena itu ia menjadi curiga,
segera ia melompat menyusul, pedangnya diputar guna
melindungi dirinya. Setelah melewati pintu, Nona Pek melihat sebuah taman
kecil yang berdampingan dengan sekelompok kamar pendeta.
Itulah halaman barat. Ia melintasi halaman itu, dari sini ia
memutar ke pendopo Tay Hiong Po-thian dan di depan sana
letaknya pintu gerbang. Ia lompat naik keatas genteng terus
melintasinya. genteng itu penuh salju, lantas ia tiba ditepian
payon. Dibawah itu ada sebuah pohon bwe yang bunganya
putih sedang mekar. Disini sinar putih dari salju membuat
sekitarnya terang. Selagi Giok Peng hendak lompat turun, mendadak kakinya
yang sebelah terpeleset salju, berbareng dengan mana dari
samping menyambar segumpal benda. Ia menerka kepada
bokongan orang jahat. Maka ia berteriak: "Jahanam, jangan
curang!" sambil membentak ia berkelit seraya melompat turun
kehalaman. Baru ia meletakkan kakinya, serangan sudah
datang lagi, kali ini terus bertubi-tubi. Celakanya halaman itu
penuh dengan es hingga sulit menaruh kaki disitu.
Pada saat terancam itu, Giok Peng berlaku cerdik dan
cepat. Ia putar pedang di depannya, menghalau setiap
serangan gumpalan salju, dilain pihak ia lompat mundur
kepohon guna melindungi diri di belakang pohon itu. Ia
berlompatan dengan gerakan "Walet pulang sarang".
Hebat serangan gelap itu, walaupun senjatanya cuma
gumpalan es, batang pohon terhajar hingga terdengar suara
berisik dan cabangnya pada bergoyang-goyang, hingga salju
diatasnya berjatuhan bagai hujan.
Untuk menghindarkan diri lebih jauh, nona Pek
berlompatan lagi kesamping, kali ini dengan gerakan "Walet
Menembus Tirai". Ia jadi berada di depan sebuah pendopo.
disitu tergantung sebuah genta yang besar yang biasa
digunakan sebagai pertanda untuk para pendeta bersantap
pagi dan sore. Disitu Giok Peng berpikir dengan cepat. Tay Hiong Po-thian
sunyi, demikian juga pendopo kiri kanannya. Kemanakah
perginya semua pendeta" Bukankah musuh tengah menyerbu"
Apakah mereka terkena tipu daya musuh "Memancing
Harimau Meninggalkan Sarang?" Itulah berbahaya. Itu artinya
kuil kosong. Maka ia memikirkan untuk membunyikan genta.
Tapi terlalu berbahaya jika ia harus mengambil tambang yang
dikaitkan sebuah martil kecil alat untuk memukul genta, ia lalu
mengayun kakinya menjejak genta itu!
Segera terdengar suara nyaring berisik, berulang-ulang
yang terdengar sampai ketempat yang jauh.
Hanya belum berhenti suara genta itu, tiba-tiba dari
belakang pohon terdengar sebuah suara menghina: "Nona
kecil, para pendeta sudah kabur semuanya, maka itu kau
biarlah aku yang melayani."
Giok Peng terkejut. Inilah yang tidak ia sangka. Ia
menerka, suara itu tentulah dikeluarkan bayangan tadi. Belum
lagi ia memberi jawaban, kembali ia dibuat kaget sekali, kali
ini dengan menyambarnya seutas tali yang panjang, yang
mengancam menjerat lehernya.
Dalam kagetnya, Giok Peng membela diri. Ia menunduk
sambil pedangnya disabetkan keatas ke arah tali itu untuk
memapasnya putus. Ia menggunakan tipu tebasan
"Membisakan Awan dan Halimun", karena ia mendongkol,
iapun mendamprat: "Jahanam tak punya muka! Lihat senjata
nonamu!" Orang yang bersembunyi itu tertawa mengejek, terus ia
berkata: "Haha, malam ini aku datang sengaja untuk
menjengukmu nona! nona yang baik, kau tahu sendiri, para
pendeta itu adalah bangsa orang suci yang tak menghendaki
istri, mereka itu beda dengan aku, Haha! Nona baiklah kau
ikut aku ke pulau To Liong To untuk hidup senang dan
bahagia! Pulauku itu jauh lebih hebat dari pada kuil sunyi ini.
Dan kau akan jauh lebih berbahagia daripada mengikuti
kawanan pendeta itu!"
Kata-kata orang itu membuat nona Pek gusar sekali,
hatinya amat panas, hampir ia membalas mendamprat tapi ia
batalkan begitu mendengar disebutnya nama To Liong To,
pulau naga melengkung. Jadi benar penyerbu ini orang luar
lautan, pastilah datang dalam jumlah besar. Maka mereka itu
tidak boleh dipandang ringan. Para pendeta pun belum pada
kembali. "Baiklah aku layani dia bicara, barangkali saja aku bisa
mendapat tahu siapa dia sebenarnya?" demikian pikirannya.
Maka tenanglah hatinya. Maka ia melanjutkan menjejak lagi
genta itu dilain pihak ia membuka suaranya, katanya: "Kalau
kau benar orang kosen dari To Liong To, kenapa kau
memasuki kuil seperti maling" Bukankah selain kau masih ada
konco-koncomu yang lain?"
Orang didalam gelap itu telah menarik kembali talinya, ia
tahu setelah gagal kali yang pertama, yang kedua kali pasti
tak ada gunanya. Ia ternyata berada diatas pohon, dari atas
itu ia mengeluarkan juga suaranya: "Eh nona, apakah kau tak
kenal sebuah pepatah kuno "Perang tak pantang haram". Kau
harus ketahui, kami yang datang maksud kami tidak baik tak
nanti dia datang menyambuti. Mari nona, tuan besarmu Cut
Tong Kauw, Thie Siong Kang tak dapat menanti lama!
Mendengar suara orang itu, tahulah Giok Peng bahwa
manusia ceriwis itu ialah si "Ular Naga Keluar dari Gua" (Cut
Tong Kauw), tapi belum sempat memberi jawaban musuhnya
itu sudah menggunakan pula tali bandringannya. Hanya kali ini
dia bukan mengarah leher melainkan hanya melayangkan
talinya dari kiri ke kanan untuk melilit tubuh.
Mulanya Giok Peng mau menebas, namun ia melihat ujung
tali itu tanpa kepalanya yang bundar, ia lantas menerka
kepada tipu daya jago To Liong to itu. Maka ia batal menebas.
Ia menjejak genta untuk membuat tubuhnya melesat. Begitu
lekas ia menyingkir, begitu lekas juga genta itu kena terlibat
tali musuh dan tertarik keras hingga gentanya berbunyi
nyaring. Menyaksikan hal itu tahulah si nona bahwa Thie Siong Kang
bertenaga besar sekali. Iapun lantas memikirkan daya buat
berlalu dari situ. Dengan musuh berdiam diatas dan ia
dibawah , ia terancam bahaya. sebab ia kalah kedudukan yang
baik. Ia lantas memutuskan untuk menanti kembalinya para
pendeta"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa ragu lagi Giok Peng berlompat sejauh dua tombak
hingga ia berada dekat dengan pintu gerbang, lagi satu
lompatan ia akan berada disebelah luar. Tapi ketika ia melihat
pintu, ia heran. Disitu telah bertumpuk banyak batang pohon
yang panjang dan pendek. Umpama kata mirip bukit. Pasti
berabe sekali andiakata ia mesti singkirkan semua rintangan
itu. Terpaksa ia mencari jalan keluar lainnya. Begitulah ia
putar pedangnya sambil ia membentak:
"Jahanam hendak aku mengadu jiwa denganmu!"
Walaupun demikian ia menempelkan tubuhnya pada tembok
sambil jalan dan melindungi dirinya disisi tiang pendopo.
Setelah itu ia lompat untuk sampai dipendopo Tay Hiong Pothian.
Ia hendak lewat pendopo belakang guna melintasi
deretan kamar dan keluar dari situ".
Thie Siong Kang ternyata pintar sekali. Dia telah menduga
si nona telah tertutup jalan majunya dan pasti bakal mundur
teratur, maka dia lantas menjaga dipendopo. Untuk itu dengan
gesit dia lompat turun dari atas pohon dan terus
menempatkan dirinya. Maka ketika Giok Peng datang
mendekat, mendadak dia menggunakan tali bandringannya
sambil dia berseru: "Nona yang baik, baiklah kau letaki
pedangmu, supaya dengan baik kau turuti aku! Percayaitu aku
Cut Tong Kauw, tidak nanti akan menyia-nyiakanmu. Pulau To
Liong To gunungnya indah permai, barang makanannya
lengkap dan lezat! Semuanya sedia untuk kau cicipi dan
makan sepuasnya! Anginnyapun sejuk dan gelombangnya
tenang, hingga pastilah kita bergembira andiakata kita berdua
naik perahu akan berpesiar bersama-sama! Setiap hari akan
aku temani kau selalu! Nah, marilah kita"
Tak sudi Giok Peng kena ringkus tali itu, juga tak mau ia
menyambutinya dengan pedangnya, hanya setelah menanti
hampir tibanya ujung tali, mendadak ia lompat mencelat untuk
menjauhkan diri. Pedangnya diputar buat melindungi diri.
Itulah salah satu jurus dari ilmu pedang Khie Bun Pat Kwa
Kiam. Selekasnya ia bebas dari ancaman tali bandringan itu,
iapun lompat melesat justru ke arah musuh itu, jago To Liong
To itu justru sedang terbuka dadanya sebab dia lagi
membandring si nona. Tapi dia benar-benar kosen, walaupun
seperti dibokong itu masih dapat ia mengelakkan diri.
"Bagus" dia berseru. Bukannya dia menangkis, dia justru
mencelat pergi, berkelit dari serangan yang berbahaya itu.
Segera dia bertindak dan menatap lawannya, mtanya melirik
tajam. Menyusul itu dia bertindak maju sambil tertawa dia
menantang: "Nona yang baik, jangan kelewat kasar! Mari
maju lagi!" Kembali Siong Kang menggunakan tali bandringannya yang
lihai itu. Nampaknya dia ingin memberi hormat, sebenarnya
dia bersiap untuk melanjutkan serangannya. Disaat itu dia
bersikap sombong dan wajahnya menunjukkan
kejumawaannya. Giok Peng mengawasi dengan tajam. Ia mengerti bahwa ia
terancam bahaya kalau ia kurang jeli dan kurang gesit. Ia
mendongkol maka mukanya menjadi bersemu merah.
Siong Kangpun mengawasi si nona itu yang dimatanya
tampak semakin cantik dan manis. Dia memang seorang
bajingan yang berparas elok. Dipulaunya, aturannya keras, tak
berani dia sembarang main gila, tidak demikian apabila dia
berada diluar wilayahnya. Dia menjadi bebas bebas, dialah si
tukang menghina wanita. Memang dia bertugas meronda
dibagian luar, jadi ia sering meninggalkan pulaunya,
menyeberang buat beberapa lama untuk mencari kesempatan
memuaskan nafsunya. Demikian juga ketika ia melihat Giok
Peng, dia tertarik bukan main dan berniat mengganggu nona
itu. Dia sampai mengeluarkan iler.
Jilid 5 "Nona yang baik, aku Cut Tong Kay, aku kenal aturan,"
kata dia mencoba bersikap sabar.
"Aku tahu kau tuan rumah dan aku tetamu, dan aku tahu
pula pepatah yang berkata, tamu-tamu tak dapat memaksa,
kau tuan rumahnya! Begitulah sekarang ini, aku suka
mengalah didalam tiga jurus, tak akan aku membalas
menyerang padamu tetapi jika dalam tiga jurus kau tak
mampu mengalahkan aku, bagaimana?" Giok Peng
mendongkol dan gusar, tak sudi ia melayani bicara.
"Siapa mau mengalah dari kau sekalipun buat tiga jurus!"
bentak si nona. "Aku akan layani kau sampai seratus jurus ..."
Siong Kang menyela dengan tawa nyaring, bandering
ditangannya diulapkan. "Nona, jangan kau memandang enteng taliku ini!" katanya.
"Taliku ini sama dengan aku sendiri ialah sudah lama
tersohornya! Mari aku bilangi kau secara terus terang! Taliku
ini bernama Twle Hun Toat Beng So, artinya tali pengejar roh
dan perampas nyawa! Taliku lebih hebat daripada Kwa Sian
So, tali peranti meringkus dewa, dan selama sepuluh tahun
entah berapa banyak orang kangouw kosen yang telah
kuringkus bagaikan babi dan kambing untuk diseret ke Po
Liong To dimana mereka dibunuh dan kulitnya dibeset
mayatnyapun ludas! Hanya kalau orang sebagai kau yang
begini cantik manis, aku Cut Tong Kay suka bermurah hati,
takkan ku hukum mati kepadamu sebaliknya akan aku ambil
kau sebagai ..." Benci rasanya Giok Peng mendengar orang
mengoceh makin lama makin tak keruan.
"Jahanam! selanya. "Jahanam, hari ini kau mengakui
kejahatanmu sudah meluap! Entah berapa banyak wanita
yang telah menjadi korban kebiadabanmu! Kalau kau tak
datang kemari, itulah untungmu, tetapi sekarang kau sudah
mengantarkan jiwa, inilah kebetulan bagiku! Memang aku
hendak membasmi manusia biadab semacammu! Akulah yang
akan mengejar roh dan merampas jiwamu! Sudah, jangan
banyak mulut kau. "Lihat pedangku!" Begitu ia mengakhiri kata-katanya itu,
begitu Nona Pek maju ke garis "Bun" dari Patkwa menyimpang
satu tindak untuk menginjak garis "Twee".
Itulah gerakan dari Khie Bun Patkwa Kiam untuk maju
menyerang. Inilah sebab Siong Kang kebetulan berdiri di garis "Kian
Kiong". Siong Kang mengawasi gerak gerik si nona. Dia tak
mengerti artinya tindakan maju itu. Dia justru merasa sangat
girang sebab dia menyangka hatinya si nona sudah berubah
menjadi lunak. Tanpa merasa dia berseru: "Bagus nona!" Baru saja seruan
itu keluar atas pedangnya, Giok Peng seudah meluncur
kemuka orang. Tadinya pedang itu bersikap bukan menebas
bukan menikam, membuat si pria mata keranjang tak dapat
menerka-nerka. Tahu-tahu dia sudah kaget.
Maka guna menyelamatkan dirinya, dia lompat
berjumpalitan dengan jurus silat "Thie Poan Kio", jembatan
papan besi. Melihat orang lolos, Giok Peng menyerang pula
dengan satu susulan cepat.
Ia mendadak ke Kian Kiong, pedangnya menikam kemuka
orang, disaat orang itu berkepala di bawah berkaki di atas.
Segera terdengar satu suara nyaring, dari beradunya ujung
pedang dengan benda keras! Nona Pek terperanjat.
Tikamannya itu tepat, hanya tadinya kalau ia menyangka
mengenai sasarannya, kiranya hampir menancap di batu bata!
Dan tengah ia keheran-heranan, ia mendengar tawanya si
orang she Thio yang terus berkata: "Aku berada disini
menantikanmu!" Dengan cepat Giok Peng kepalanya, Siong
Kang berjongkok diatas meja tempat memasang dupa,
banderingannya terlibat pada kuping hio louw, tempat abu.
Dia tampak gembira. Diam-diam si nona terperanjat. Benarbenar
lawan itu lihai. Siong Kang menepuk-nepuk meja sembari tertawa dia
berkata: "Nona, ilmu ringan tubuhmu benar mahir! Dan ilmu
pedang juga tak dapat dicela! Nah, hayo kau menyerang pula.
Tinggal satu jurus lagi! Bukankah aku menjanjikan tiga jurus
padamu?" Giok Peng tidak menjawab.
Ia sedang diganggu rasa herannya. Ialah kenapa tidak ada
pendeta yang muncul sedangkan ia sudah membunyikan
genta berulang-ulang. Apa mungkin semua pendeta sudah
pergi keluar berikut Pek Cut Siauw dan In Gwa Siau,
pamannya itu" Kalau benar pastilah di luar kuil sudah terjadi
sesuatu yang hebat. Ia pula memikirkan Kiauw In.
Bagaimana dengan kakak itu" Kemana perginya sang
kakak" Apakah kakak itupun tak menghadapi lawan yang
lihai" Karena pikirannya itu terganggu, ia jadi diam sambil
mengawasi saja lawannya itu. Siong Kang manatap tajam, ia
mempuasi mata keranjangnya terhadap kecantikan nona di
hadapannya itu. Ia merasa orang makin dipandang menjadi
makin cantik, hingga kembali liurnya meleleh keluar ....
Akhirnya Giok Peng sadar, hatinya pun panas sekali.
"Cut Tong Kauw!" bentaknya smabil menuding: "Kaulah si
ular naga yang biasa keluar dari sarangnya, kenapa kau tidak
mau jantan nongol" Kalau aku lihat macammu sekarang ini
kau justru mirip dengan Hok Au Coa, ulat yang mendekam
diatas meja! Beranikah kau turun dari meja dan diam dekat
padaku untuk melayani pedangku ini?" Siong Kang tertawa
lebar menjawab tantangan itu.
"Masih ada satu jurus!" katanya jumawa, bukannya dia
menjawab, dia justru memperingati akan janji yang
diberikannya. "Kau tahu, kalau seorang budiman mengeluarkan
perkataannya, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya! Kau
percaya aku, aku tidak mau menghina kau dengan melanggar
janjiku!" Giok Peng berlaku sabar.
Ia memang berniat menggunakan akal memancing orang
melompat turun akan ia membarengi menyerang atau kalau ia
gagal, hendak ia lompat keluar guna mencari siasat
selanjutnya. Siong Kang tidak tahu dirinya di akali. Ia
nongkrong terus diatas meja sembahyang itu. Ketika ia
mendapat kenyataan si nona tidak mau menyerangnya pula,
baru ia membuka mulut lebar-lebar untuk tertawa.
Dengan sikap acuh tak acuh, ia berkata: "Setelah kau
selesai menyerangku tiga kali, barulah aku akan membalas
menyerangmu! Kalau ada yang datang tetapi tidak dibalasi, itu
namanya tidak kenal adat istiadat. Nona yang baik, benar atau
tidak kata-kataku ini?" Baru sekarang si nona mau melayani
bicara. "Katamu mau mengalah tiga jurus dari aku," katanya,
"sudah dua jurus dan masih ada satu jurus sisanya yang
penghabisan, tetapi kau berlaku licik" Kenapa kau main
berkelit saja" Itu namanya bukan mengalah, hanya kau
melindungi dirimu yang licin. Dengan caramu ini, jangan kata
tiga jurus, tiga ratus juruspun tidak ada artinya!" Nona Pek
sudi melayani bicara karena ia pikir untuk memperlambat
waktu, selama ia mengharap-harap kembalinya para pendeta
yang ia sangka akan tiba tak lama lagi, siapa tahu jago dari
pulau Naga Melengkung itu tak kena diakali.
Dia itu tak sudi turun, cuma matanya terus mengawasi.
"Hai, makhluk hina dina!" bentak Giok Peng kemudian.
"Masih kau tidak mau turun untuk kita bertempur terus?"
"Hmm!" Siong Kang mendengus dingin, terus dia berlompat
jungkir balik untuk meloloskan tali kaitannya dari kuping
tempat abu yang besar, untuk lekas-lekas dia menyimpannya.
Setelah itu barulah dia menghunus pedangnya sambil dia
berlompat turun guna bersiap siaga.
Nona Pek langsung melompat maju sambil menikam
kerongkongan orang. Siong Kang tertawa dingin, dengan
pedangnya ia memberi perlawanan. Dia menebas pedang
orang dengan jurus "Garuda Mementang Sayap." Karena ini
kedua senjata beradu keras dan mengeluarkan letikan
percikan seperti kembang api. Dengan berbareng kedua pihak
melompat mundur. Dengan cepat tahulah mereka akan tenaga
kekuatan masing-masing. Hanya sebentar, Cut Tong Kauw segera membentak sambil
dibarengi tubuhnya melompat maju untuk menikam si nona.
Dia incar jalan darah hiam kie di dadanya nona itu. Itulah satu
serangan ceriwis! Setelah mengetahui tenaga lawan, Giok
Peng tidak mau buat kedua kalinya mengadu tenaga pula. Ia
tertawa sambil melompat maju ke arah lawannya, iapun
membacok ke arah lengan kiri lawan itu. Itulah tikaman "Badai
dan guntur". Ia mencari jalan darah Pek Jie. Siong Kang
tertawa dingin. Dia berkelit sambil memutar tubuh, pedangnya
terus ditikamkan pula. Kali ini dia menggunakan tipu
"Menyibak Rumput Mencari Ular" dan pedangnya mencari
sasaran jalan darah beng bun di punggung si nona.
Giok Peng terkejut juga. Sambil mengegos tubuh, ia lompat
ke samping, dari situ ia menyontek dengan pedang kemuka
lawan, membikin lawan itu kaget dan lekas-lekas membela
diri. Melihat lagak orang itu, si nona tertawa. Tapi ia tidak
hanya tertawa, ia menyusuli dengan satu tikaman lain. Kali ini
ke dada, ke sasaran yang berupa jalan darah ciang tay.
Siong Kang pun terkejut. Ia melihat bagaimana si nona
selalu mencari jalan darahnya yang berbahaya, yang dapat
membahayakan nyawanya. Ia menjadi panas hati. Segera ia
membuat pembalasan. Dua kalinya menikam saling susul
bengis sekali. Giok Peng menjadi repot dibuatnya.
Tak kurang cepatnya, ia menangkis ke kiri dan ke arah
darimana tikaman-tikaman datang. Ia mendapat kenyataan
serangan si Naga Keluar dari Sarang mengancam sekali sinar
putih dari pedangnya dia itu berkelabatan putih dan suara
anginnya menghembus-hembus. Maka ia berlaku tenang, ia
melayani dengan jurus dari Kie Bun Patkwa Kiam. Karena ini
mereka berdua menjadi bergerak-gerak dengan cepat sekali.
Mereka berkelit dan berlompatan, mereka maju dan mundur
silih berganti. Tanpa merasa, saking cepatnya pertempuran sudah
berlangsung dua puluh jurus. Selama itu si nona merasai
bagaimana musuhnya kuat dan alot. Selama itu ia cuma
mampu melayani, tak dapat ia mendesaknya. Syukur ia cerdas
dan bermata tajam. Maka tak mau ia larut melayani keras
dengan keras. Segera ia menggunakan akal.
Ia menggunakan ketajaman lidahnya, akan mendamprat
dan mengejek lawan itu, membuatnya panas hati dan gusar.
Akal ini memberikan hasil. Hatinya Siong Kang panas bukan
main, ia menyerang sengit sekali. Ia telah menggunakan
seluruh kepandaiannya akan merobohkan si nona.
Dalam murkanya, ia lupa halnya si nona cantik manis dan
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi ia hendak ganggu dan perkosa. Sekarang ia
menyerangnya sebagai musuh yang dibenci! Dengan Kie Bun
Patkwa Kiam, Giok Peng layani musuh yang tangguh dan
telengas ini. Dimana perlu ia menyingkir ke sekitar lawan, tak lagi ia
mau melawan sama kerasnya. Maka itu, kembali telah lewat
dua puluh jurus. Hingga selama empat puluh jurus, mereka
masih sama tangguhnya. Segera tampak Siong Kang tak lagi
menyerang keras sebagai tadi-tadinya.
Gerakannya mulai lamban, seperti dua tangannya tak dapat
mengimbangi hawa amarahnya.
Baru sekarang dia mengerti bahwa sebenarnya nona itu
Kemelut Di Majapahit 17 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Renjana Pendekar 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama