Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 26
hingga ia menjadi terharu sekali.
"Kakak Hiong, mari kita pergi !" begitu Ya Bie berkata
setelah dia menyaksikan kesudahannya pertempuran itu. Tapi
dia masih harus mengulangi itu beberapa kali, baru It Hiong
seperti mendusin. Maka sembari terus memegangi tubuhnya
Kiauw In, dia berpaling kepada Im Ciu It Mo, akan mengawasi
si Bajingan Tunggal. Tiba-tiba Im Ciu It Mo memperdengarkan suaranya yang
keras : "Bocah she Tio, jangan kau pergi dahulu ! Ingat, masih
ada Cit Biauw Tin !"
Si Bajingan memperingatkan orang dengan Barisan
rahasianya, Barisan Cit Biauw Tin itu.
It Hiong menjawab terang dan tegas : "Sekarang ini aku
perlu lekas-lekas mengobati kakak Kiauw In ! Tentang Cit
Biauw Tin, biarlah lain kali saja aku mencobanya !" Dan sambil
membopong Kiauw In, ia terus bertindak menuju ke mulut
gua. Mendadak saja terdengar suara angin bergerak, segera Cit
Biauw Tauw ni, nona-nona muridnya si Bajingan Tunggal,
bergerak maju untuk menghadang.
Im Ciu It Mo pun segera berkata nyaring : "Apakah kau
mempunyai kepandaian untuk mempunahkan khasiat dari
obatku Thay-siang Hoan Hun Tan " Lebih baik kau melayani
dahulu Cit Biauw Tin, supaya sekalian saja kau memperoleh
obatku !" It Hiong menoleh. "Terima kasih untuk kebaikanmu, cianpwe !" katanya
nyaring. "Tak usah, tak usahlah aku meminta obat Thay-siang
Hoan Hun Tan lagi dari cianpwe !"
Dan terus ia berjalan pula.
Ketujuh nona sudah lantas menghadang di mulut gua.
Dengan masing-masing mencekal cambuk, mereka bersikap
mengancam. Ya Bie menyaksikan suasana itu, dengan satu siulan
nyaring ia membangunkan si orang utan yang bertubuh besar
dan berwajah bengis itu, sedangkan ia sendiri, segera
bertindak ke mulut gua sambil membulang-balingkan
tangannya dimana ularnya melilit-lilit lengannya !
"Kakak Hiong, akan aku membuka jalan untukmu !" kata si
nona berani. Menyusul kata-katanya itu, muridnya Touw Hwe Jie sudah
mencelat ke sebelah depan It Hiong, untuk berjalan di muka
guna membuka jalan diantara ketujuh nona penghadang itu.
Ular hijau itu mengangkat kepalanya, dia membuka
mulutnya akan mempermainkan lidahnya !
Dari ketujuh nona itu, yang ditengah ialah Jie Biauw
bersama Cit Biauw, nona-nona kedua dan ketujuh. Mereka itu
telah menyaksikan belasan orangnya menempur si nona "cilik"
tetapi mereka semua kena terpagut ular dan roboh tak
berdaya, karena itu, melihat ular datang dekat, mereka lompat
menyingkir. Hanya itu, justru mereka berdua menjauhkan diri,
empat yang lainnya berbareng menyerang dengan cambuk
mereka ! Ya Bie melihat datangnya serangan, ia memutar tangannya,
ia mengangkat ularnya tinggi-tinggi. Dengan itu ia membela
dirinya. Sebab itulah yang dinamakan jurus silat "Sian So Hok
Liong" atau "Tambang Dewa Merantai Naga".
Hebat si ular hijau, dia menyambuti ke empat cambuk
untuk terus melilitnya ! Nona-nona itu kaget sekali, serentak mereka menarik
cambuk mereka, untuk mencoba meloloskannya. Di lain pihak,
Ya Bie sebaliknya menarik ularnya.
Kedua pihak jadi berkutat, karena itu majunya It Hiong
yang memeluki Kiauw In menjadi terhalang. Mereka jadi
berhenti di belakangnya si Nona Tanggung.
Peng Mo bingung menyaksikan suasana bentrok itu. Dia
insyaf, kalau pertempuran sampai terjadi, itulah tak
menguntungkan pihaknya It Hiong. Itulah mungkin yang
dikehendaki Im Ciu It Mo.
Sekian lama Peng Mo berdiam, akan tetapi otaknya diputar,
akhirnya ia dapat memikir satu jalan. Maka lantas ia berpaling
pada It Mo, sembari tertawa tawar, ia kata : "Hm, Im Ciu It
Mo yang ternama di keliling jagat, kiranya dia cuma pandai
menggunakan cara-cara yang rendah !"
Mukanya It Mo menjadi merah padam. Panas dia
mendengar ejekan itu. "Peng Mo !" bentaknya. "Peng Mo, apakah maksudmu ?"
Peng Mo mengimplang. "Kau masih berlagak pilon ?" jawabnya. "Kalau peristiwa ini
sampai tersiar diluaran, hendak aku lihat bagaimana mukamu,
dimana kau hendak menaruhnya ?"
Kembali parasnya It Mo berubah. Sebenarnya dia puas
yang muridnya menempur Ya Bie dan ingin melihat
kesudahannya, siapa sangka tahu-tahu Peng Mo
memperdengarkan ejekan, serta ancamannya itu !
"Hm ! Hm !" dua kali dia memperdengarkan tawa
dinginnya. Dia pun menyeringai mengejek. Terus dia
menambahkan : "Mereka itu sendiri yang hendak berkelahi,
habis apakah sangkut pautnya dengan aku !"
Peng Mo memperlihatkan tampang memandang enteng.
Dia juga tertawa dingin. "Dengan kata-katamu, It Mo, kau telah menonjolkan
hatinya Suma Ciauw !" katanya. "Buat apakah kau bersikap
begini rendah ?" Suma Ciauw adalah orang yang di hati lain, berkata lain
lagi. Mendadak It Mo gusar sekali.
"Kau berani begini kurang ajar terhadapku ?" tegurnya.
"Kau berani bicara tidak karuan ?"
Dari tertawa dingin, Peng Mo menyambut teguran itu
dengan tertawa terbahak-bahak. Dia mengangkat mukanya
dan memelengoskan itu, matanya dibuat main.
"Kita sebenarnya orang-orang satu golongan !" kata dia.
"Dan itulah sebabnya kenapa pin-ni berani bicara sejujurjujurnya
memberi nasihat padamu, cianpwe. Kalau cianpwe
hendak mengangkat nama dan melindungi itu di dalam dunia
rimba persilatan, yang paling dahulu dan paling utama ialah
memegang kepercayaan atas diri sendiri, buat mengharga
nama harum ! Coba cianpwe pikir, benar atau tidak katakataku
ini !" Telak kata-kata itu, dan It Mo merasai dia kena terejek. Di
dalam hati, dia kaget sekali.
Sementara itu pergulatan masih berlaku diantara ke empat
Cit Biauw Yauw Lie serta Ya Bie, yang melilitkan ular hijaunya
kepada cambuknya ke empat muridnya Im Ciu It Mo itu.
Kedua belah pihak telah saling menarik, saling membetot.
Ya Bie mesti memperkokoh tenaga dalamnya melayani
empat orang lawan sekaligus !
Masih ada tiga orang muridnya Im Ciu It Mo. Setelah orang
berkutat sekian lama tanpa kesudahan, mereka itu lantas
memikir buat turun tangan, guna membantui ke empat
saudara seperguruan itu. Begitulah setelah saling melirik,
dengan diam-diam mereka bergerak serempak, untuk
menyerang Ya Bie secara membokong !
Hebat buat Ya Bie. Untuk menyelamatkan dirinya, dia mesti
melepaskan ularnya dan sendirinya juga mesti berkelit sambil
terus berlompat menyingkir, akan tetapi sebelum ia sempat
bertindak, guna menyelamatkan diri itu, si orang utan sudah
mendahuluinya. Binatang itu sangat waspada. Dia seperti tahu yang
nonanya mau dibokong. Justru orang menyerang, justru dia
berlompat maju, buat menalangi Ya Bie menjambret-meraup
tiga batang cambuk. Dia menggunakan kedua tangannya.
Ya Bie sendiri sementara itu sudah menggunakan
kecerdasan dan kecerdikannya. Di saat genting itu, ia masih
ingat bagaimana harus bertindak. Dengan tiba-tiba dia
memperdengarkan seruannya yang nyaring, dia menggunakan
ilmu gaibnya, Hoan Kak Bie Cin ! Maka didalam sekejap saja
So Hun Cian Li berubah wujud menjadi Im Ciu It Mo !
Ketiga citBiauw Yauw Lie terkejut mendengar jeritannya
nona itu, sejenak itu juga kacaulah pikirannya dan kaburlah
penglihatan matanya, sedangkan hati mereka terasakan
gentar sendirinya. Selagi membokong Ya Bie, mendadak
mereka melihat yang lompat kepada mereka adalah Im Ciu It
Mo, guru mereka sendiri !
Serentak mereka itu memperdengarkan jeritan kaget,
dengan cepat mereka menarik pulang cambuknya masingmasing
sambil mereka pun berlompat mundur.
Ya Bie menggunakan kesempatan yang baik. Kalau tadi ia
menarik, sekarang ia mendadak mengangsurkan tangannya -ya, ularnya; dengan cara demikian, ia membuat lilitannya
menjadi longgar, berbareng dengan itu, tangan kirinya
menyusul meluncur dengan satu hajaran jurus silat "Cian Eng
Ciang" atau tangan Seribu Bayangan, untuk menghadang
sekalian lawannya itu ! Selagi ketiga nona kabur penglihatannya, empat yang
lainnya lantas saja mundur dengan terhuyung-huyung sebab
dengan tiba-tiba saja cambuk mereka lepas dari libatan,
hingga mereka mesti terpaksa mundur sendirinya, mundur
dengan tindakan kaki tidak teratur. Syukur untuk mereka,
tidak sampai mereka pada terguling roboh. Tapi hajaran Cian
Eng Ciang tidak memberi kesempatan pada mereka untuk
memperbaiki diri, sedangnya mata mereka pun kabur,
serangan tiba. Maka kali ini, tanpa ampun pula, mereka pada
roboh terduduk mendeprok !
Dengan roboh dan menyingkirnya ketujuh penghadang itu,
maka terbukalah jalan di muka pintu gua. Maka dengan saling
susul, It Hiong dan kawan-kawannya berlompatan keluar.
Selekasnya ke empat nona bagaikan sadar dan membuka
matanya, begitu mereka berlompat bangun, mereka
mendapati ketiga lawan sudah berada diluar gua. It Hiong
keluar bersama si orang utan. Hanya itu Peng Mo, selagi ia
keluar bersama, terhadap So Hun Cian Li, dia telah melakukan
sesuatu...... Ek Toa Biauw mementang matanya, terus ia berseru, lalu
tubuhnya mau berlompat menyusul.
"Tahan !" mencegah Im Ciu It Mo.
"Ada apa, suhu ?" tanya Toa Biauw sambil dia batal
mengejar, dia membalik diri sambil mengajukan
pertanyaannya itu kepada gurunya.
"Toa Biauw, mari," si guru memanggil tanpa dia menjawab
dahulu muridnya. Murid itu datang menghampiri, sedangkan enam orang
kawannya lantas mengawasi padanya dan pada guru mereka
itu, sebab mereka ingin sekali mengetahui guru itu hendak
mengatakan atau berbuat apa.
"Ada titah apa, suhu ?" Toa Boauw menanya pula setibanya
ia di depan gurunya kepada siapa ia menjura hormat.
Im Ciu It Mo menarik muridnya sampai dekat sekali, untuk
terus membisikinya, kemudian dengan mengulapkan
tangannya, ia kata tegas-tegas : "Dengan begini aku hendak
menguji kecerdasan kalian ! Nah, pergilah !"
Ek Toa Biauw mengangguk, terus ia memutar tubuh, lalu
dengan satu gerakan tangan, ia minta kawan-kawannya turut
padanya. Ia pun mendahului bertindak pergi. Maka bagaikan
angin melesat, tubuh-tubuh yang langsing itu pada
berlompatan keluar gua. Ketika itu diluar gua, Ya Bie yang membuka jalan dengan
jalan di muka dan Peng Mo berjalan paling belakang selaku
pelindung. Dengan memondong Kiauw In, yang tetap tak
sadarkan diri, It Hiong berjalan ditengah-tengah. Si orang
utan berada di belakang si anak muda atau di depannya si
Bajingan Es. Mereka mesti melalui jalan yang sempit, bagaikan terjepit
antara dua dinding gunung. Jika tidak berhati-hati, mereka
akan kena menyentuh batu-batu yang nonjol keluar dari ujung
tepian dinding disitu, batu besar yang ujungnya lancip tajam.
Di dalam ini pula orang tak dapat melihat langit, hanya ada
sinar remang-remang, seperti cahaya kunang-kungan.
Syukurlah mereka masih mampu melihat jalanan untuk dapat
maju terus. Di dalam hati, It Hiong menerka-nerka darimana datangnya
sinar terang itu. Biar bagaimana, mereka merasa sedikit
berkhawatir..... Mereka juga tidak tahu jalan itu bakal menuju kemana, ke
arah buntu atau ke jalan keluar.....
Sekian lama mereka berjalan, mereka belum sampai juga
diakhirnya. Mereka cuma mengkol di beberapa tikungan.
Selama itu, masih tampak sinar terang itu yang warnanya
kehijau-hijauan...... Jalanan sempit sekali, hingga orang mau menerka bahwa
mereka sedang menuju ke jalan buntu.....
Jangan kata Ya Bie, yang masih hijau, Peng Mo pun
mendapati serupa kekhawatiran.
Cuma It Hiong yang tidak memikirkan itu, sebab
perhatiannya lagi dipusatkan kepada Kiauw In, yang berada
dalam pondongannya, bagaimana nona itu akan dapat
ditolong dari pengaruhnya obat Thay-siang Hoan Hun Tan
yang lihai itu.... Masih mereka berjalan terus. Kembali sebuah tikungan
dilewatkan. Tiba-tiba Ya Bie menghentikan langkahnya. Keraguraguannya
sampai di puncaknya hingga tak berani ia
sembarangan maju terus. "Kakak Hiong !" panggilnya sambil menoleh pada si anak
muda. Tanpa merasa, suaranya agak menggetar.
It Hiong pun menghentikan langkahnya.
"Ada apa ?" tanyanya heran. Ia heran sebab otaknya tetap
berada pada Kiauw In. Terus ia kelelap dalam pikiran
memikirkan obat untuk menyembuhkan nona Cio.......
"Kakak Hiong," kata Ya Bie. "Kita sudah berjalan lama
sekali, kita sudah melalui jauh, kenapa jalan sempit ini masih
juga belum tiba pada ujungnya. Aku pun mendapat rasa jalan
makin sempit....." Mendengar itu barulah It Hiong bagaikan sadar. Maka
lantas ia memasang amta, melihat ke depan dan ke sisi kiri
dan kanannya. "Adik Ya Bie benar," Peng Mo turut bicara. "Apakah tak
mungkin jalanan ini benar jalanan buntu " Apakah tak
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin ada sebabnya kenapa Im Ciu It Mo membiarkan kita
lari tanpa dia mengejar ?"
It Hiong berpikir. Kata-katanya kedua kawan itu beralasan.
Terpaksa, ia pun menjadi bercuriga. Walaupun demikian,
sebagai orang yang telah banyak pengalamannya, dapat ia
bersikap tenang. Terus ia memasang matanya, maka juga,
habis si Bajingan Es berkata itu, ia melihat si Bajingan justru
berada disisinya, terpisah kira tiga kaki, dan tubuhnya
Bajingan itu cuma sebatas ketiaknya. Sebaliknya Ya Bie, yang
berada di depannya, terlihat sedikit lebih tinggi daripadanya,
lebih tinggi sebatas kepala......
Hanya sejenak It Hiong lantas menerka sebabnya mereka
jadi katai dan tinggi tak rata itu. Itulah tanda bahwa habis
menikung itu, mereka tengah mendaki. Mungkin mereka lagi
menuju ke arah puncak gunung !
Akhir-akhirnya pemuda she Tio itu tertawa.
"Maju terus !" katanya kemudian. "Mari kita maju dengan
hati tenang ! Kita tengah menuju ke puncak gunung !"
Ya Bie heran hingga dia melengak.
"Kakak Hiong," tanyanya tak mengerti, "bagaimana kau
bisa menerka begini " Benarkah jalan sempit ini jalanan
menuju ke puncak gunung ?"
It Hiong menoleh pada Peng Mo. Kata dia : "Aku percaya
yang taysu juga telah melihat sebagai aku...."
Peng Mo pun melengak mendengar kata-kata si anak
muda, hingga ia jadi berfkir. Ia tidak segera menjawab, hanya
lalu memperhatikan formasi tempat dimana mereka berdiri.
Memang tanah agak manjat naik. Baru setelah itu, dia kata
pada Ya Bie : "Eh, adik, apakah kau tidak memperhatikan
formasi tanah yang kita injak ini, iya atau tidak " Tanpa sejauh
satu tombak, nampak tegas tanah disini mudun ke bawah,
meninggi ke atas ! Sungguh, dalam hal ini kakak Hiongmu itu
jauh terlebih cerdik dari pada kita !"
Seruannya si Bajingan Es pun menyadarkan Ya Bie, ia
memang cerdas. It Hiong pun lantas berkata pada nona itu : "Adik Ya Bie,
baiklah kau juga ingat bahwa itulah suatu pengalaman buat
orang yang menjelajah dalam dunia Kang Ouw !"
Ya Bie sadar, ia pun girang.
"Iya, akan aku ingat baik-baik !" sahutnya, sedangkan
hatinya lega bukan main. Maka bertiga mereka berjalan terus mendaki, sampai
mereka mesti berjalan sambil sedikit membungkuk. Sinar
terang guram itu terus membantu mereka.
Mungkin mereka sudah melalui dua puluh tombak lebih,
lantas jalanan makin sempit. Di lain pihak, sinar itu makin
terang, seumpama terangnya cahaya si puteri malam !
Ya Bie berjalan terus bagaikan merayap, lalu merayap
benar-benar ! It Hiong mesti memondong tubuh Kiauw In, tidak dapat ia
merayap seperti si nona. Apa akal " Lantas ia menggunakan
Gie Heng Hui Heng Sut, ilmu pedang rahasia bagaikan terbang
melayang. Itulah ilmu ringan tubuh yang teratas. Maka
majulah ia bagaikan asap mengepul naik !
Hanya sebentar, pemuda ini sudah melewati Ya Bie, dua
puluh tombak lebih. Peng Mo Nikouw sebaliknya maju dengan menggunakan
ilmu Pek-houw Yu Cian Kang, atau Cicak Merayap di Tembok.
Maka ia dapat maju mirip tikus atau ulat.
Jalanan menanjak itu tinggi dua ratus tombak lebih, tempat
yang dapat diinjak kaki pun licin. Syukur buat Ya Bie, dia tak
menghadapi kesulitan. Sebab Kip Hiat Hong Mo telah
mewariskan dia ilmu ringan tubuh yang sangat mahir, hingga
dia tak usah kalah dengan orang Kang Ouw kelas satu yang
mana juga. Walaupun demikian, nona itu telah dapat disusul dan
dilampaui oleh Peng Mo. Hal itu membuatnya penasaran, ia
tak mau kalah, ia lantas percepat larinya. Di lain detik,
berhasillah ia merendeng si Bajingan Es. Saking girang ia
tertawa nyaring. Peng Mo cuma menoleh dan melirik, ia maju terus tanpa
mengatakan sesuatu. Ya Bie tertawa tanpa sengaja, itu justru membahayakan
padanya. Siapa lagi menggunakan ilmu ringan tubuhnya,
pantang baginya buat tertawa, sebab dengan tertawa, ia
mengganggu pemusatan pikirannya sendiri. Demikian si nona,
lantaran ia tertawa, tubuhnya turun pula, sejauh sepuluh
tombak lebih, hingga ia tertinggalkan pula oleh si Bajingan Es.
Ia kaget sekali. Hampir ia jatuh. Untuk menyelamatkan diri,
selain meminta bantuan ularnya, yang ia libatkan kesisinya
dimana ada sepotong batu besar. Dengan begitu, ia bukan
saja tak jatuh terus, bahkan ia lantas dapat merayap naik
pula. Akhirnya nona kita tiba ditempat yang aman, disitu ia
bercokol dengan mengeluarkan nafas, melegakan hati. Ia
bergidik kapan ia ingat bahaya barusan yang mengancamnya.
Itulah ancaman bahaya maut ! Syukur ada si ular hijau, yang
dapat melibat batu besar dan menahan tubuh nonanya !
Tempat aman itu berupa sebuah gua, yang gelap sekali. Di
situ Ya Bie meluruskan nafasnya.
"Adik Ya Bie ! Adik Ya Bie !" demikian berulang kali
terdengar suara panggilannya It Hiong.
"Kakak..... Hiong.... !" si nona menjawab, nafasnya belum
lurus seluruhnya. "Kakak kau.... kau dimana ?"
"Aku disini !" begitu terdengar suara Peng Mo, yang
bagaikan menalangi It Hiong menjawab. "Adik Ya Bie, mari
merayap naik kemari !"
Saking gelapnya gua, mereka tidak melihat satu sama lain.
Sebenarnya Peng Mo terpisah dari muridnya Touw Hwe Jie
cuma setombak lebih.... Ya Bie mendengar suara orang dan mengira-ngira dari
mana suara itu datang, maka ia lantas merayap menghampiri.
TIba di depannya Peng Mo, samar-samar ia melihat It Hiong
lagi duduk sambil terus memondong tubuhnya Kiauw In. Ia
terpisah dari kakak itu cuma tiga atau empat kaki.
Bagaikan anak kecil, melihat It Hiong, tiba-tiba Ya Bie
menangis ! Sebab ia sangat girang dapat menemui pula anak
muda itu. Ia lekas merayap naik, untuk mendekati, setelah
mana sambil menangis terus ia merangkul bahu pemuda itu.
It Hiong terkejut. Tak tahu ia sebabnya kelakuan si adik Ya
Bie...... Bahkan Peng Mo juga tidak kurang herannya.
Kiranya Ya Bie berduka karena ingat bahaya yang
mengancamnya selagi ia jatuh turun itu, sesudah lega hati, ia
membayangi itu, lalu ia sedih sendirinya. Ia menangis hingga
tubuhnya bergemetaran. It Hiong mengusap-usap rambut yang hitam indah dari
nona itu. "Sudah, jangan menangis, adikku !" katanya, menghibur,
membujuki seperti juga si nona ialah seorang bocah cilik.
"Sebenarnya kau kenapakah ?"
Mendengar pertanyaan itu, lega hati si nona. Ia
memangnya tidak berduka lara. Maka setelah mendengar
suara si anak muda, yang merdu sekali bagi telinganya, tibatiba
ia tertawa. Mendadak saja hatinya terbuka pula.
Selagi si anak muda heran, si nona jengah sendirinya. Ia
berhenti tertawa dan menyelusupkan mukanya di atas bahu
oang. Baru setelah itu, ia berkata perlahan " Barusan aku lupa
yang aku lagi mengerahkan tenaga dalamku, untuk dapat lari
keras dengan ilmu ringan tubuh, tiba-tiba saja aku tertawa,
maka sendirinya tubuhku jatuh turun, hingga hampir aku
menemui ajalku." It Hiong heran hingga ia melengak.
"Benarkah ?" tanyanya. "Bukankah ilmu ringan tubuhmu
sudah sempurna sekali " Kenapa kau masih takut jatuh "
Apakah kau bukannya dibikin menjadi mendongkol atau
penasaran sendiri sebab diantara kita bertiga, kaulah yang
larinya kurang cepat " Kalau benar begitu, kau keliru........."
Peng Mo mendengar pembicaraan itu, dia tertawa.
"Adik !" katanya. "adik, ilmu ringan tubuhmu sudah
sempurna sekali sedangkan usiamu masih sangat muda ! Aku
tahu, didalam dunia Kang Ouw, cuma beberapa gelintir orang
saja yang sanggup menyamaimu ! Memangnya kau ingin
menyaingi kakak Hiong mu ini?"
Ya Bie senang mendengar kata-kata orang dua orang itu, ia
mementang matanya, terus ia menghela nafas.
"Barusan, Toa-suhu," kata ia, "ketika aku dapat menyandak
kau, girangku bukan kepalang, maka juga aku tertawa tanpa
dipikir pula, siapa tahu lantaran tertawa, tenagaku lenyap
hingga aku jatuh turun. Syukur sekali Sian Liong, ularku, telah
menolong padaku, kalau tidak, tentulah jiwaku sudah
melayang........" Begitu dia menyebut Sian Liong, ularnya yang Naga Sakti
itu, tiba-tiba Ya Bie ingat akan So Hun Cian Li, si orang utan,
hingga tanpa merasa, ia berseru dengan pertanyaannya :
"Mana So Hun Cian Li ?"
Diam-diam It Hiong pun terperanjat. Ia juga melupai orang
utan itu. Ia hanya tidak menyangka binatang itu kena ditawan
Im Ciu It Mo sebab So Hun Cian Li sudah mewariskan
kepandaian ringan tubuh dari Kip Hiat Hong Mo.
"Entah dia pergi kemana, " kata si anak muda kemudian.
"Sebentar, sekeluarnya dari sini, kita cari padanya ! Aku
percaya dia tak nanti terancam bahaya !"
Peng Mo tertawa. Dia pun turut bicara.
"Adik, kau legakan hatimu !" katanya. "Binatang itu menjadi
kesayangan gurumu, dia telah dididik sempurna, tidak nanti
dia roboh ditangannya Im Ciu It Mo. Pula, tidak nanti Im Ciu It
Mo berani mencelakainya ! Mana berani dia menanam bibit
permusuhan dengan gurumu " Itu pula dapat mengganggu
usahanya membangun Bu Lim Cit Cun...."
Sejak keluar dari Cianglo ciang, belum pernah Ya Bie
ketinggalan atau berpisah dari orang utannya, sekarang
keduanya terpisah, tidak heran kalau hatinya menjadi tidak
tenang. Ia tidak tahu sebabnya kenapa So Hun Cian Li tidak
berjalan bersamanya. Dia tidak sangka bahwa Peng Mo telah
main gila terhadapnya dengan dia itu menuntun tangan gelap
terhadapnya Bienatang kesayangannya.
Disaat sama-sama molos dari mulut gua, Peng Mo berjalan
di belakangnya So Hun Cia Lie, maka itu mudah saja dia
menotok binatang itu. Si orang utan tidak bercuriga sama
sekali. Orang pula menggunakan ilmu totoknya yang lihai. Dua
jari tangan diulurkan pada jalan darah tay-meh di
pinggangnya Bienatang itu. Ilmu totok itu ilmu ciptaan Hong
Gwa Sam Mo sendiri, beda dari pada ilmu yang dimiliki orang.
Siapa kena tertotok, ia tidak segera roboh, hanya nantinya,
lewat sekian waktu. Jadinya totokan bekerja belakangan.
Peng Mo berbuat demikian karena ia takut kepada Ya Bie,
takut si nona nanti menggunakan ilmu Hoan Kak Bie Cin
terhadapnya. Kalau dia menotok So Hun Cian Li hingga
binatang itu roboh seketika, dia khawatir nanti dicurigai It
Hiong atau Ya Bie, maka dia menggunakan kepandaian
istimewanya itu. Maksudnya Peng Mo merobohkan si orang utan tak lebih
tak kurang karena kehendaknya mendapati It Hiong, supaya
anak muda itu nanti menjadi penggantinya Gak Hong Kun !
Dia tetap ingin melampiaskan nafsu binatangnya terhadap
anak muda kita. Dia menggunakan akal bulusnya ini sebab dia
merasa gagal memancing It Hiong dengan paras elok, dengan
kecentilannya dan dengan obat beracun juga. Dengan
kekerasan terang dia telah tidak berhasil. Maka sekarang dia
memakai akal membaiki, dengan melepas budi membantui si
anak muda menentang Im Ciu It Mo, agar orang itu nanti
ingat dan mau membalas budinya. Lain dari itu, dia pula
hendak menggunakan Ya Bie buat dijadikan sandera, jaminan
manusia, agar It Hiong suka "menyerah" kepada
kehendaknya..... Selagi Ya Bie bingung karena lenyapnya So Hun Cian Li,
Peng Mo diam-diam bergirang di dalam hatinya. Ia hanya
berpura-pura saja yang ia membantu membujuki nona yang
cerdas tetapi masih hijau itu. Benar-benar hatinya si nona
menjadi tidak tenang dan berkhawatir pula seperti semula.
Sekian lama mereka sama-sama berdiam, maka juga
terperanjatlah mereka bertiga ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar orang menghela nafas serta suara seperti
merintih. Kiranya itulah suara dari mulutnya Kiauw In, yang
sadar di pangkuan It Hiong.
Si anak muda terperanjat berbareng hatinya lega, tidak ayal
lagi ia lantas menguruti nona itu, supaya dia bebas seluruhnya
dari totokannya yang membuat orang seperti tidur nyenyak.
Meskipun ia masih terpengaruhkan obat Thay-siang Hoan
Hun Tan, sebebasnya totokannya It Hiong, Kiauw In dapat
sadar seperti biasa, tinggal otot-otot syarafnya saja yang tetap
terganggu. Ya Bie girang sekali mendengar Nona Cio terasadar.
"Kakak In mendusin !" katanya gembira. "Bagaimana
sekarang ?" Saking prihatin, nona ini meraba-raba mukanya Kiauw In.
"Gua ini gelap sekali, bagaimana mukanya Kakak In dapat
dilihat ?" tanyanya kemudian.
It Hiong seperti tidak mendengar kata-katanya nona itu. Ia
sedang terbenam dalam pikiran bagaimana caranya ia harus
membantu pacarnya, bebas dari pengaruh obatnya Im Ciu It
Mo. Baru sesaat kemudian ia kata : "Kau benar, adik. Memang
kita harus dapat melihat mukanya....."
Tiba-tiba It Hiong ingat Lee-cu, mutiara mustikanya. Lantas
ia merogoh sakunya dan mengasi keluar mutiara itu. Hingga di
dalam sekejap, cahaya terang dari benda mustika lantas
menerangi seluruh gua, yang ternyata hanya sebuah gua
kecil. Untuk dapat melihat wajah pacarnya, It Hiong membawa
tangannya yang memegang mutiara ke mukanya Kiauw In,
matanya sendiri terus mengawasi.
Ya Bie menggeser tubuh buat melihat dari dekat, sambil
separuh bersender pada tubuhnya It Hiong. Ia mengawasi
nona Cio. Dengan suara prihatin, ia menghela nafas perlahan.
Kiauw In memejamkan kedua matanya, mukanya pucat. Ia
bagaikan lagi tidur nyenyak. Nafasnya pun terasalurkan
dengan tenang. It Hiong membawa Lee-cu ke hidungnya si nona terpisah
hanya dua dim kira-kira, dengan demikian ia bisa memandang
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas parasnya si nona. Cuma sebab matanya nona itu
tertutup, ia tidak dapat melihat sinarnya yang guram.
Diarahkan kepada mukanya Kiauw In, aneh mutiara
mustika itu. Mendadak sinarnya menjadi suaram, atau dilain
saat, lantas terang pula seperti biasa. Kiranya mutiara itu
terkena nafasnya si nona. Samar-samar nampak, hawa nafas
nona itu bercahaya hijau. Lagi sekali, mutiara suaram dan
bercahaya kembali. It Hiong mengawasi terus. Ia pun membiarkan mutiaranya
tetap berada diatas hidungnya sang kakak seperguruan. Maka
ia melihat tegas bagaimana saban si nona mengeluarkan
nafas, saban-saban sinar mutiara itu guram, lalu terang. Lalu
tampak suatu perubahan lain. Sinar hijau dari nafasnya si
nona perlahan-lahan menjadi makin kecil dan makin kecil,
sinar itu bagaikan buyar atu menipis dengan perlahan-lahan.
Sebaliknya, mulutnya si nona seperti juga dapat menyedot
sinar terang dari mutiara mustika itu.
Nampaknya Kiauw In senang sekali dengan Lee-cu. Dalam
keadaan seperti lagi tidur itu, terus menerus ia menarik nafas
keluar dan masuk. Keluar ia mengeluarkan hawa hijau, masuk
ia memasuki sinar putih terang dari sinar mutiara mustika itu.
Lewat lagi sekian lama, maka habis atau hilanglah sudah
cahaya hijau itu -- ialah warna kotor dari Thay-siang Hoan
Hun Tan dari Im Ciu It Mo. Habis itu, ia terus berdiam, ia
seperti lagi tidur pula dengan nyenyaknya.
It Hiong terus mengawasi, ia tidak bergerak agar tidak
mengganggu si nona. Ya Bie mementang matanya lebar-lebar mengawasi
perubahan yang terjadi atas dirinya nona Cio itu. Tampak
tegas yang ia merasa aneh. Ia juga tidak berani
memperdengarkan suara apa-apa, supaya ia tidak
mengganggu nona itu. Dengan sabar It Hiong menyimpan mutiaranya, matanya
terus ditatapkan ke muka Kiauw In. Ia memasang mata, tetapi
hatinya bekerja. Ia pun heran dengan kesudahannya gerakgeriknya
mutiara mustika itu. Maka ia sangat ingin tahu
bagaimana kesudahannya nanti. Perlahan-lahan ia
memperoleh harapan besar sebab ia mendapat kenyataan
pacarnya tidur sangat nyenyak. Itu bukan tanda bahaya,
hanya alamat baik........
Sehabisnya ia bicara paling belakang, Peng Mo sementara
itu duduk bersila sambil bersemadhi, guna mengumpulkan
tenaga, buat menenangkan diri. Ia terus berada di dalam
kegelapan sang gua sampai It Hiong mengeluarkan Lee-cu,
hingga ia bisa samar-samar melihat sedikit sinar terang, ketika
ia membuka matanya, baru ia melihat tegas cahaya terang itu,
hingga ia ketahui dari mana datangnya cahaya itu. Berbareng
terkejut dan heran, mendadak timbul rasa tamaknya ! Ialah ia
ingin memiliki mutiara itu !
"Bagaimana aku harus mendapatkannya ?" demikian
pikirnya. Ketika itu Ya Bie justru seperti sedang menghadang
di depannya. "Kalau aku gagal dengan satu kali rampas saja,
jangan aku harap nanti bisa molos keluar dari sini....."
Hebat si nikouw, selagi di satu pihak ia ingin memiliki
mutiara mustika, di pihak lain ia pun sangat bernafsu
mengangkangi dirinya It Hiong sendiri, si pemuda gagah dan
tampan yang setiap waktu dapat menimbulkan rasa birahinya.
Maka itu, letih berpikir ia terus duduk berdiam. Ia harap
dengan bersemadhi ia nanti dapat mengekang diri, agar ia
selalu bisa berlaku tenang.
Tiba-tiba Peng Mo dikejutkan satu suara tertahan : "Oh !"
dan menyusul itu terdengar seru girang dari Ya Bie : "Kakak
Kiauw In mendusin !"
Memang juga nona Cio sudah terasadar, ketika ia membuka
matanya, paling dahulu ia melihat It Hiong, disusul dengan
kesadarannya bahwa ia rebah di pangkuannya anak muda itu,
hingga saking terkejut dan heran ia mengeluarkan seruan
tertahan itu. It Hiong diam menjublak selekasnya ia mendengar suara
pacarnya itu. Ia heran dan berbareng girang. Itulah berarti
yang Kiauw In sudah bebas dari pengaruh jahat dari obat
yang lihai dari Im Ciu It Mo. Hanya berbareng dengan itu,
masih ada sedikit kekuatirannya yang ingatannya si nona nanti
terganggu disebabkan sudah terlalu lama dia menjadi
korbannya Thay-siang Hoan Hun Tan.
Kiauw In mengawasi It Hiong, lalu Ya Bie, yang suara
kegirangannya ia dengar, setelah itu dengan cepat ia
menggerakkan tubuhnya, buat bangun berdiri. Nampaknya ia
mirip orang yang baru sembuh dari penyakit berat, karena
sambil berdiri itu, ia toh menghimpit tubuhnya pada tubuh It
Hiong, nafasnya kelihatan memburu.
Kemudian lagi Nona Cio mengawasi Ya Bie, untuk sembari
tertawa bertanya : "Adik Ya Bie, kenapakah kau mengawasi
saja kakakmu ini " Memangnya kau lihat aku bagaimana ?"
Ya Bie girang tak terkirakan. Dia tidak lantas menjawab
pertanyaan orang, ia justru maju merangkul nona itu, setelah
mana barulah ia berkata : "Kau telah mengenali aku, kakak !
Kau nyata telah sadar seluruhnya !"
Kiauw In menatap nona di depannya itu.
"Apakah katamu, adik ?" tanyanya heran, sepasang alisnya
pun terbangun. "Pantas kau masih belum tahu, kakak !" sahut Ya Bie. "Kau
telah makan obat Thay-siang Hoan Hun Tan dari Im Ciu It Mo,
lantas kesadaranmu lenyap, hingga kau tak ingat lagi dirimu
sendiri. Hal ini telah berjalan selama beberapa bulan kakak !
Sekarang kakak sadar. Inilah aneh ! Sama sekali kakak belum
diobati. Kiauw In sudah pulih seluruhnya, maka itu mendengar
keterangan Ya Bie, ia menjadi heran. Ia tak ingat apa-apa
sejak ia terkena obatnya Im Ciu It Mo. Ia pun heran yang ia
sembuh tanpa obat! Kenapakah " Karena itu, keras ia
memikirkannya, kepalanya ditundukkan.
It Hiong telah berbangkit bangun. Biar bagaimana, ia masih
mengkhawatirkan masih ada sisa pengaruh obatnya It Mo
terhadap pacarnya itu. Maka dengan menggunakan
mutiaranya mirip sebagai lampu, ia menerangi mukanya si
nona dan mengawasinya dengan seksama.
Kiauw In tengah berfikir keras ketika matanya disilaukan
cahaya mutiara, seperti terpengaruhkan sesuatu,
kesegarannya atau semangatnya terbangun dengan tiba-tiba.
Maka ia sudah lantas mengangkat mukanya, untuk terus
menatap It Hiong. Ia pun membuka bibirnya, buat sambil
menghadapi mutiara itu menarik nafas dalam-dalam !
Selekasnya si nona menyedot cahaya mutiara
dihadapannya itu, mendadak saja It Hiong terasadar ! Terang
sudah yang cahaya mutiara mustika itu yang menjadi penawar
bagi nona itu ! Ya, pengaruhnya Thay-siang Hoan Hun Tan
telah disirnakan Lee-cu !
Jadi Lee-cu adalah mutiara mustika serba guna !
Sampai disitu, tanpa ragu pula, anak muda kita
mengangsurkan mutiaranya ke mulut si nona, untuk
memasuki itu ke dalam mulut orang seraya ia berkata lembut :
"Kakak, kau kemutlah mutiara ini, lalu ludahmu kau telah
masuk kedalam perutmu, habis itu lantas kau rasakan
tubuhmu, bagaimanakah perubahannya !"
Ya Bie heran mendengar kata-kata si pemuda, hingga ia
melengak. Dengan mutiara dikemut si nona, gua menjadi gelap pula
dalam seketika. It Hiong segera meraba bahunya Kiauw In, di sisi siapa ia
berdiri. Ia bersiap sedia untuk sesuatu kejadian. Di lain pihak,
dengan perlahan ia kata pada Ya Bie : "Adik, kau berhatihatilah....."
"Ya", menjawab si nona polos, yang terus mengawasi ke
arah muda mudi itu. Ia dapat menangkap artinya kata-kata si
pemuda, sebab habis itu, gelaplah gua itu. Bahkan dengan
mengeluarkan ularnya, ia terus memernahkan diri di depannya
si pemuda. Sedangkan ularnya, dengan memutar-mutar
lidahnya, memperlihatkan sinar berkilauan pada lidahnya itu.
Sementara itu lain lagi perasaannya Peng Mo. Selekasnya
dia mendapat kenyataan gua berubah menjadi gelap pula.
Ketika itu dia telah dipengaruhi pelbagai perasaan tamak dan
kemaruk, sebab dia ingin memperoleh si anak muda serta
mutiaranya itu, karena dia menghendaki sangat memperoleh
tubuhnya anak muda itu. Gelap petang itu adalah ketika atau
kesempatan paling baik baginya, demikian pikirnya. Lebih
dahulu ia mengawasi tajam ke arah ketiga muda mudi itu
yang sedang berdiam diri, lalu mendadak ia meluncurkan
tangannya kepada mereka !
Ketika itu, Peng Mo masih belum menginsyafi khasiat dari
Lee-cu. Ia menyangka It Hiong memasuki itu ke dalam
mulutnya Kiauw In melulu untuk mencoba-coba saja. Di lain
pihak, ia tak menyangsikan lihainya obat dari Im Ciu It Mo,
hingga ia pun tidak percaya nona Cio bakal sembuh karena
mutiara itu. Ketika ia meluncurkan tangannya itu, mendadak ia
menariknya pulang. Tiba-tiba ia melihat satu cahaya kehijauhijauan,
yang bergerak-gerak. Ia kenali itulah lidahnya Sian
Liong, ularnya Ya Bie, yang ia telah ketahui dengan baik
beracunnya. Maka juga batallah ia hendak melakukan
penyerangan membokong. Di lain pihak lagi, kecerdikannya
membuatnya dapat memikir aka.
"Adik Ya Bie !" tegurnya, kemudian sembari tertawa. "Adik,
apakah nona Cio sudah terasadar " Benarkah ?"
Ia menanya sambil bertindak menghampiri.
"Ya," Ya Bie menjawab. Tetapi dia menambahkan : "Toasuhu,
jangan kau mendekati kami !"
Kata-kata itu dikeluarkan wajar, tanpa sungkan-sungkan,
sedangkan ularnya, si nona membulang-balingkannya. Hingga
dengan mata malamnya, Peng Mo dapat melihatnya. Dia jeri
sekali dan lekas-lekas dia mundur pula. Hanya, karena sangat
panas hatinya, dia menggertak giginya sendiri. Dia sangat
membenci nona itu. "Tio sicu..... " kemudian dia memanggil It Hiong.
Suara itu halus, akan tetapi berhenti dengan tiba-tiba.
Dengan itu Peng Mo ingin mendapat kenyataan si pemuda
membencinya atau tidak. Tegasnya ia masih dipandang
sebagai sahabat atau lawan.......
Jawabannya It Hiong diberikan dengan cepat.
"Kakak Kiauw In sudah mendusin," demikian suara si anak
muda. "Toa suhu, mari kita pergi mencari jalan keluar dari gua
ini." Ketika itu, Kiauw In sudah mengeluarkan mutiara dari
dalam mulutnya dan menyerahkan itu pada si anak muda,
kemudian ia kata : "Oh, kiranya Toa-suhu Peng Mo pun
berada disini....." Itulah kata-kata ringkas dan sederhana, tetapi mendengar
itu, tubuhnya Peng Mo menggigil. Inilah sebab si Bajingan
insyaf, dengan sadarnya nona Cio, makin sult buat ia
mendapatkan It Hiong. Maka itu, saking bingung, ia sampai
tak dapat menyambuti kata-katanya si nona.
Adalah Ya Bie, yang menalangi menjawab.
"Dia datang untuk mencari Gak Hong Kun !" kata nona itu.
"Setelah dia bertemu dengan Kakak Hiong, dia lantas tak
meneruskan pergi mencari orang she Gak itu !'
Tak tentram hatinya It Hiong mendengar kata-katanya Ya
Bie itu. Ia kuatir nona polos ini nanti bicara terus tanpa
pembatasan, hingga dia khawatir juga Peng Mo nanti menjadi
tak puas dan mendongkol karenanya. Berbahaya andiakata
Peng Mo bergusar dan mengambil tindakan keras. Maka itu, ia
berkata pula : "Kakak In, kau harus menghaturkan terima
kasih kepada Toa-suhu. Mengenai kebebasan kakak ini, Toasuhu
telah memberikan bantuannya........"
Lega hatinya Peng Mo mendengar suaranya It Hiong itu. Ia
justru berkuatir si nona menjadi beranggapan lain mengenai
dirinya. Ia lantas menyambungi si anak muda. Katanya : "Di
dalam kalangan Kang Ouw sudah umum orang saling
membantu ! Itulah bantuanku yang tidak berarti ! Tio sicu,
berat kata-katamu......."
Di dalam hatinya, Ya Bie mengatakan "Cis !". Ia sebal
terhadap si Bajingan Es. Tetapi ia tidak mengatakan apa yang
ia pikir itu. "Kakak Hiong, mari kita pergi !" kata ia, sengaja dengan
suara nyaring. Walau ia mengatakan demikian, muridnya Touw Hwe Jie
tak bergeming. Ia berdiri diam dengan waspada, ular
beracunnya tetap ditangannya, siap sedia buat menurunkan
tangan apabila saatnya tiba.....
Peng Mo melihat sikapnya Ya Bie, ia menahan sabar. Ia
harus tahu diri. Di saat seperti itu, tidak dapat ia
menggunakan kekerasan. Sesudah Kiauw In sadar, It Hiong
memperoleh tenaga bantuan yang besar sekali. Ia juga takut
Ya Bie nanti mengatakan hal-hal yang dapat menyakiti
hatinya. Bahkan saking cerdiknya, ia lantas tertawa dan kata :
"Tio sicu, mari pinni membuka jalan buat kalian !"
Peng Mo sudah lantas merubah panggilannya, tidak lagi
saudara Tio hanya Tio sicu. Habis itu, terus dia meringankan
langkahnya. "Banyak capek saja, Toa-suhu !" kata It Hiong, yang di
dalam hatinya dapat menerka nikouw itu jeri terhadap ularnya
Ya Bie. Diam-diam ia menarik ujung bajunya si nona, guna
membiarkan pendeta perempuan itu melewatinya.
Selekasnya si nona menggeser tubuh, Peng Mo maju terus.
It Hiong memanggil Ya Bie, buat diajak berjalan bersama,
ia sendiri membuka langkahnya dengan sebelah tangan
memapah Kiau In dan tangannya yang lain mengangkat tinggi
mutiara mustikanya. Lee-cu dipakai sebagai lentera.
Berempat mereka berjalan dengan perlahan-lahan.
Gua itu memang gua yang merupakan jalanan di dalam
perut gunung, jalannya selalu berliku-liku, dikedua sisinya,
sepanjangnya hanya dinding gunung. Pada langit-langit gua
terdapat stalaktit. Yang heran ialah jalanannya yang rata
seperti buatan manusia. Peng Mo berjalan terus di depan. Mulanya masih terdengar
suara tindakan kakinya samar-samar yang terbawa angin, atau
di lain saat, lalu tak terdengar sama sekali.
It Hiong tidak pedulikan orang yang telah pergi jauh atau
meninggalkannya. Apa yang ia pikirkan ialah halnya Kiauw In,
yang harus dilindungi keluar dari terowongan itu. Ia ingin
dapat menyingkir jauh dari Im Ciu It Mo, agar si Bajingan
Tunggal tak dapat menyusulnya.
Bertiga It Hiong berjalan terus. Entah berapa buah
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tikungan telah dilalui. Rintangan tidak ada, kecuali batu
gunung yang menonjol keluar. Mungkin mereka sudah
berjalan selama satu jam lebih, baru mereka melihat sinar
terang samar-samar. Di situ pun mulai terasa siurannya angin
dingin. Angin mendatangkan hawa segar.
"Mungkin kita bakal muncul di mulut gua....." kata Kiauw In
perlahan. "Kita harus waspada," kata Ya Bie, yang berjalan di
belakang nona Cio. "Kita mesti berhati-hati supaya jangan
sampai kita terbokong atau terperangkap di mulut goa oleh Im
Ciu It Mo !" Kiauw In tertawa manis. "Kau telah belajar berlaku cerdik, adik !" katanya.
"Pantaslah Peng Mo Nikouw pun rada jeri terhadapmu !"
It Hiong tertawa dan turut bicara.
"Berhati-hati berarti bernyali besar !" katanya. "Adik Ya Bie
memang tengah belajar banyak !"
Senang Ya Bie mendengar pujiannya muda mudi itu.
"Mari kasikan aku yang keluar dahulu di mulut gua !"
katanya kemudian, tertawa. "Biarlah aku dapat berlatih lebih
jauh !" Dengan gerakan gesit, si nona polos sudah mendahului It
Hiong dan Kiauw In yang dia lewatkan, terus dia lari ke mulut
gua yang sudah berada di depannya.
"Hati-hati, adik !" Kiauw In memperingatkan.
Selama itu, dengan perlahan-lahan, tenaganya Kiauw In
mulai pulih. Selanjutnya tak lagi ia dipapah, cuma kepalanya
masih ditempel pada dada lebar dari si pemuda. Di dalam
keadaan seperti itu, tidak lagi ia merasa likat. Ia berjalan
dengan perlahan. Di dalam hati, ia pun senang yang ia dapat
berdampingan dengan kekasihnya itu. Biar bagaimana, ia
tetap seorang wanita muda....
Segera juga Ya Bie sudah sampai di mulut gua atau
terowongan luar biasa itu. Ia sekarang mau berlompat keluar.
Masih lagi beberapa kaki, ia sudah bersiap dengan ularnya,
yang dililitkan di lengannya. Ketika ia akhirnya berlompat, ia
menggunakan tipu loncat "Ya Bie Toan Hiat", Kijang hutan
loncat keluar dari lubang.
Tepat si nona bergerak, cepat Kiauw In lompat
menghadang di depannya It Hiong sebab si anak muda mau
segera menyusul. "Sabar !" katanya. Lalu ia mengawasi ke mulut gua.
Hanya sebentar, lalu terdengar suara Ya Bie, sebagai
jeritan atau seruan. It Hiong khawatir nona itu menghadapi lawan tangguh,
sambil menarik lengannya Kiauw In, ia lompat keluar, maka
sempat ia melihat Ya Bie berdiri sedikit jauh dari mulut gua
itu, tubuhnya terhuyung, hingga ia memegangi sebuah pohon
kecil. Masih si nona itu mengeluarkan suara tajam, sedangkan
di atasan rambutnya masih tampak sisa mirip halimun keunguunguan.
Di dalam sekelebatan saja, It Hiong menerka Ya Bie
terkena semacam bubuk bius, maka itu sambil menyuruh
Kiauw In menanti, ia berlompat pesat pada kawannya itu. Ia
menggunakan ilmu lompat ringan Tangga Mega. Selekasnya ia
tiba, ia sambar tubuh orang, buat diangkat dan dibawa
berlompat kembali. Sama cepatnya, ia mengeluarkan Lee-cu
yang terus ia dijejalkan ke dalam mulut si nona.
Tadi itu, Ya Bie telah berlaku cerdik. Ketika ia berlompat,
ulatnya dibulang balingkan dahulu dan ia pun menahan
nafasnya. Adalah setelah ia berlompat keluar, suatu benda
mirip asap yang warnanya keungu-unguan, yang ia tak lihat
dari mana datangnya, sudah menyambar kepadanya. Ia tidak
kena mencium atau menyedot uap itu tetapi mukanya
bagaikan ketutupan, terus ia merasa bingung sekali, maka
juga ia sudah lantas perdengarkan seruannya itu. Ia masih
dapat mengingat buat membela diri, maka juga sambil
menggoyang-goyang ularnya, ia lompat pula ke pohon kecil
itu, sampai It Hiong muncul dan menolongnya. Syukur ia tak
sampai roboh. Lekas sekali mutiara kena dikemut, Ya Bie mendapat
pulang kesadarannya. Hawa yang adem dari mutiara
membuatnya --hati dan otaknya-- segar pula seketika. Bahkan
sebaliknya, ia menjadi sangat segar. Tapi ia cerdik dan nakal,
ia menyender terus di tubuhnya It Hiong, ia pula tak mau
segera membuka matanya. Ia berdiam saja, tanpa
berkutik....... It Hiong dan juga Kiauw In, tidak menyangka apa-apa.
Mereka hanya menerka orang menjadi korbannya bubuk bius
yang berupa seperti halimun ungu itu. Karena itu, sebaliknya
dari bercuriga, mereka justru berkhawatir buat
keselamatannya nona itu. Selagi si anak muda memeluki tubuh orang, Kiauw In lekaslekas
mengurutinya. Mereka pun memikirkan, sampai kapan
nona itu akan mendusin. Tak tahunya, orang lagi menikmati
hangatnya tubuh si anak muda serta "sedap"nya urutan
tangan halus nona Cio....
Hanya sebentar, Kiauw In lantas merasai nafasnya si nona
sudah pulih. Ia meraba nadi orang, nadi itu pun biasa saja.
"Ia tak kurang suatu apa," katanya kemudian, hatinya lega.
Ya Bie khawatir rahasianya terbuka. Habis mendengar katakatanya
Kiauw In, ia lantas memperdengarkan suara perlahan,
terus ia membuka matanya. Ia nampak terkejut, maka ia
berlompat bangun, setelah mana, ia mengeluarkan mutiara
dari dalam mulutnya. It Hiong menyambut mustika mutiara itu buat disimpan di
dalam sakunya. "Bagaimana rasamu, adik ?" tanyanya perlahan.
Ya Bie melirik Kiauw In, lantas ia menggelengi kepala.
Nona Cio menggenggam tangan orang dan tertawa.
"Kembali kau belajar cerdik !" katanya. "Ini pula satu
pengalaman ! Apakah kau mendapat lihat orang macam apa
yang membokongmu ?" Ya Bie tidak menjawab, ia melainkan menggeleng pula
kepalanya sambil tangannya membuat main ularnya. Di dalam
hati ia khawatir Kiauw In nanti mendapat lihat sikap purapuranya
itu..... "Melihat macamnya bubuk atau asap itu," kata It Hiong,
yang mengungkapkan dugaannya, "pasti penyerangan
dilakukan oleh Peng Mo Nikouw."
"Memang juga, diantara Hong Gwa Sam Mo tak akan ada
orang yang baik hatinya." kata Kiauw In.
Ya Bie berlega hati mendapat tahu nona Cio tidak
mencurigainya. "Sayang sebelum aku melihat si penyerang, kepalaku sudah
lantas terasa pusing," kata dia.
Baru nona itu mengucapkan kata-katanya itu, atau mereka
bertiga segera mendengar tawa dingin berulang-ulang, yang
datangnya dari suatu arah, menyusul mana lantas tampak
munculnya beberapa orang, yang mulanya terlihat seperti
bayangan saja ! It Hiong yang paling dahulu berpaling. Suara dan orangorang
itu datangnya dari tengahnya tiga puncak yang
bagaikan menjadi satu. Nampaknya tak ada jalanan di sana
itu. Toh dari sana ada orang yang memperlihatkan diri.
Lekas sekali orang-orang itu sudah sampai di depannya si
anak muda bertiga. Mereka berjumlah berlima, semuanya
bersenjatakan pedang dan golok. Dilihat dari tampangnya,
mereka mestinya bukan sembarang orang Kang Ouw. Mereka
itu berdiri berbaris. Menghadapi rombongan itu, anak muda kita berlaku sangat
tenang. Ia bukannya mengawasi orang, hanya ia menengadah
langit melihat awan disekitarnya. Ketika itu malam, mungkin
sudah jam empat. Sisa rembulan remang-remang dan angin
bertiup shilir. Masih terlihat cukup tegas, kelima orang itu
berwajah bengis. Kulit muka mereka seperti hijau.....
Dengan satu kelebatan saja, It Hiong sudah mengenali
kelima orang itu -- orang-orang Kang Ouw dari kalangan
sesat. Ya Bie tidak kenal kelima orang itu, sedangkan Kiauw In
mengenalnya samar-samar. Mereka itu adalah kelima bajingan dari To Liong To, ialah
Lam Hong Hoan, Cie Seng Ciang, Siauw Tiong Beng, Bok Cee
Lauw dan Tio Siong Kan. Mereka telah meninggalkan pulau
mereka dan pergi merantau setelah kematiannya ketua
mereka, To Cu Kang Teng Thian yang mati bersama Ang Sian
Taysu disebabkan mereka itu berdua berkelahi mati-matian.
Mereka mengembara buat mencari Siauw Wan Goat, adik
angkat mereka. Di luar dugaan mereka telah bertemu Im Ciu
It Mo dan roboh sebagai korbannya Thay-siang Hoan Hun
Tan, obat biusnya si Bajingan Tunggal, hingga mereka tak
sadarkan diri seperti Gak Hong Kun dan Cio Kiauw In. Setelah
urat syarafnya terganggu, mereka dikurung di puncak gunung
Hek Sek San, di sana mereka diajari ilmu menggunakan
senjata rahasia beracun yang lihai, yaitu Sun Im Ciat Sat
Kang. Sebab Im Ciu It Mo hendak menggunakan mereka itu
sebagai senjata guna nanti menjagoi dalam pertemuan Bu Lim
Cit Cun. Supaya mereka itu menjual jiwa baginya !
Im Ciu It Mo merasa penasaran kepada It Hiong, maka itu
terpaksa ia mengeluarkan orang tawanannya yang lihai itu,
guna mereka menempur si anak muda.
Rombongannya kelima Bajingan ini adalah rombongannya
It Mo yang pertama. Di setiap tikungan lainnya masih ada
jago-jagonya yang disembunyikan. Itulah orang-orang yang
diandali maka juga tadinya dia tak mau mengejar It Hiong
bertiga, hanya ia memegat di muka terowongan atau mulut
goa ini. Semua orangnya telah dibikin kacau urat syarafnya,
supaya mereka berkelahi tanpa kesadaran hanya menuruti
saja segala perintahnya. Lam Hong Hoan yang bersenjatakan juan pian terbuat dari
baja sudah maju paling dahulu, matanya mengawasi tajam
dan bengis pada ketiga muda mudi di depannya. Ia maju
dengan membuka langkah lebar. Segera ia membentak :
"Bunuh mereka !" Dan terus ia menyerang dengan senjata
lunaknya itu ! Menyusul bentakan itu, empat Bajingan lainnya turut
bergerak serentak. Hanya mereka lebih dahulu lompat
memencar, guna mengambil sikap mengurung ketiga orang
itu, sesudahnya, baru serempak mereka menyerang !
It Hiong bermata celi, ia sudah lantas dapat melihat sinar
mata orang -- sinar mata guram seperti sinar matanya Kiauw
In sebelum nona itu sadar. Maka tahulah ia yang ia tengah
menghadapi lawan dari kalangan apa. Karena ini, tak ingin ia
yang Kiauw In dan Ya Bie menempur mereka itu. Ia sudah
lantas berlompat maju, akan melayani kelima lawan itu. Ia
segera menggunakan ilmu pedang Kie-bun Patkwa Kiam.
Kepada Kiauw In dan Ya Bie, ia menggunakan kesempatan
akan memesan : "Kalian jangan maju, hanya bersiaga saja !"
Kiauw In dapat menangkap maksudnya si anak muda, ia
terus menarik tangannya Ya Bie untuk diajak menyingkir dari
pengepungan, kemudian mereka berdua berdiri di tempat
terpisah lima kaki, buat benar-benar memasang mata.
"Bagaimana, kakak ?" tanya Ya Bie heran. "Mana dapat kita
menonton saja kakak Hiong menempur lima orang jahat itu "
Mereka semua nampaknya kosen-kosen......."
"Kita menyimpan tenaga....." Kiauw In membisiki. "Kita
menonton dahulu, kalau perlu baru kita turun tangan
membantui kakak Hiongmu !"
Ya Bie berdiam tetapi matanya segera mengawasi kepada
It Hiong. Pertempuran, atau lebih benar pengepungan sudah
berlaku. Senjatanya musuh berkilau tak hentinya. Mereka itu
menyerang dengan hebat. It Hiong kelihatan bergerak
bagaikan naga licin diantara para penyerangnya itu.
Sesudah terkepung sekian lama, panas juga hatinya si anak
muda. Orang seperti sangat ingin membinasakannya. Mereka
itu berkelahi seperti tak kenal ampun. Sinar mata mereka
suaram tetapi ilmu silat mereka tak berkurang lihainya.
Sejak keluar dari rumah perguruan, tak pernah It Hiong
melupakan pesan gurunya. "Kau mengampunilah dimana kau mampu !" demikian
pesan itu. Selamanya It Hiong melakukannya. Tapi sekarang
ia didesak begini rupa. Mana mampu ia meloloskan diri kalau
ia melayani mereka seperti biasa " Musuh pun entah masih
ada berapa banyak lagi kawannnya.
Lagi satu kesukaran dari It Hiong, ialah pedangnya telah
orang curi dan pedangnya yang sekarang ini tidak dapat
dipakai memapas kutung sejata lawan seperti kalau ia
menggunakan Keng Hong Kiam. Maka kemudian ia memikir
buat melontarkan senjata-senjata musuh dengan ia
mengandalkan tenaga dalamnya, yang disalurkan kepada
lengan atau pedangnya. Tanpa merasa pertempuran sudah berlangsung sebanyak
empat puluh jurus, selama itu belum juga kelima Bajingan
dapat menang diatas angin. Inilah sebab, walaupun mereka
berlima lihai, tetapi It Hiong bukan lagi sembarang lawan, ilmu
silat si anak muda sudah mencapai batas kemahirannya.
Lam Hong Hoan nampak penasaran, ia perhebat tikaman
dan tebasannya bergantian. Ia bersenjatakan sebatang ruyung
panjang. Anginnya senjata itu bersuara nyaring.
Tengah pertarungan berlangsung, dari kejauhan terdengar
satu suara, sebentar singkat sebentar panjang. Itulah suara
yang tak menyenangi siapa yang mendengarnya. Itulah suara
yang umum menyebutnya tangisan bajingan..... Seram
iramanya ! Mendengar suara itu, Lam Hong Hoan berlima
memperhebat serangannya secara tiba-tiba. Mereka
nampaknya bagaikan sedang kalap. Selagi merangsak itu,
mereka mengeluarkan bentakan perlahan.
Demikianlah Siauw Tong Beng dengan golok lunaknya
menebas dari samping kepada bahu kirinya It Hiong. Itulah
tebasan "Menghunus Golok, Memutus Air". Berbareng dengan
itu, dengan sepasang rodanya, Bok Cee Lauw menyerang
iganya It Hiong kiri dan kanan.
Ketika itu It Hiong tengah menangkis bacokannya Cie Seng
Ciang serta tangan kirinya menolak ruyungnya Lam Hong
Hoan, nampaknya iganya menjadi kosong. Pasti semua
lawannya tidak tahu bahwa dengan itu ia justru lagi
memasang umpan ! Kiauw In dan Ya Bie terkejut, berbareng mereka berseru,
berbareng juga mereka berlompat maju, berniat membantu
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak muda pujaannya itu. Akan tetapi belum lagi mereka
memasuki kalangan, aau mereka sudah mendengar satu suara
nyaring, yang disusul dengan terbangnya ketiga senjatanya
lawan, sedangkan Siauw Tiong Beng dan Bok Cee Lauw
lompat mundur serentak, tubuhnya terhuyung tujuh tindak,
setelah itu baru mereka bisa mempertahankan diri untuk
berdiri tegak. Setelah berdiri tegak itu, Siauw Tiong Beng memegangi
tangan kanannya, yang telapakannya mengalirkan darah
hidup. Bok Cee Lauw sebaliknya menurunkan kedua-dua
tangannya dan tubuhnya bergemetaran, sedang mukanya
pucat, giginya berjatrukan dan dari mulutnya terdengar
rintihan perlahan.... Kiranya It Hiong menerbangkan senjata orang dengan satu
gerakan berbareng dari kedua kakinya, yang mendupak
selekasnya dia menjejak tanah guna mengapungi tubuh.
Itulah satu tipu dari ilmu Gie Kiam Hui Heng, terbang dengan
mengendalikan pedang, sedangkan kedua belah kakinya
mengerahkan tenaga dari Hian bun Sian Thian Khie-kang.
Ketiga lawan lainnya kaget sekali apabila mereka
menyaksikan dua kawan mereka kena dibikin tak berdaya itu,
mereka berdiri diam dengan mendelong, hingga mereka lupa
membantu atau sekalipun menghibur saja.
Sementara itu dari pojok gunung terdengar pula suara
siulan nyaring tetapi pendek, selekasnya Lam Hong Hoan
mendengar itu, dia bagaikan lupa pada mendelong atau rasa
ngerinya, tiba-tiba saja dia berlompat maju akan menerjang
pula kepada lawan. Tapi Hong Hoan bukan maju sendiri, bahkan dia telah
orang dahului. Itulah Tio Sing Kang, yang telah menyerang selekasnya dia
mendengar suara siulan yang luar biasa itu ! Dengan sepasang
kaitannya, kaitan Wan Yho Kauw, dia menerjang It Hiong di
atas dan di bawah ! Di antara tujuh bajingan dari To Liong To, ilmu silatnya Tio
Sing Kang yang paling rendah, walaupun demikian, sepasang
senjatanya itu, telah dia latih selama dua puluh tahun lebih,
maka itu dapat dimengerti yang ilmu kaitannya tak dapat
disamakan dengan orang-orang Kang Ouw yang kebanyakan.
Dengan ilmu kaitannya itu, dia dapat termasuk orang
golongan tingkat utama. Karena dia berasal dari bajak, dia
pula pandai sekali berenang dan selusup, sedangkan gerakan
ringannya, dalam ilmu Kwie Sian Tong Hian --Iblis Berkelebat-dia dapat disamakan dengan Siauw Wan Goat, adik angkatnya
itu. Cie Seng Ciang juga turun tangan membarengi
penyerangannya Tio Siong Kang itu. Bajingan ini lantas
menyerangdengan timpukan senjata rahasianya yang berupa
thie-lian-cie, biji teratai besi.
Alisnya It Hiong berbangkit melihat lawan menggunakan
senjata rahasia. Ia jadinya dibokong ! Sementara itu, dengan
satu gerakan Tangga Mega, ia telah dapat menyingkirkan diri
dari beberapa senjata lawan-lawannya itu, habis mana ia terus
bertindak ! "Aduh !" demikian terdengar jeritannya Cie Seng Ciang.
Tio Siong kan menoleh dengan lantas, atau hatinya menjadi
gentar. Seng Ciang roboh dengan mandi darah, tangannya
memegangi pedangnya yang sudah menjadi buntung.
Ruyungnya Lam Hong Hoan sendiri terpental tinggi, syukur tak
lepas dari cekalannya. Walaupun demikian, menyaksikan kebinasaannya Seng
Ciang, Siong Kang menjadi gusar sekali, hingga ia lantas maju
pula sambil berseru : "Saudara Lam, mari kita maju bersama !
Kita harus membalaskan sakit hatinya saudara-saudara kita !"
Lam Hong Hoan menyahuti sambil menjerit keras, selagi
Siong Kang menyerang dengan kaitannya, ia menyerbu
dengan ruyungnya. Justru itu dari belakangnya dinding batu tampak munculnya
dua orang citBiauw-Yauw Lie, hanya sejenak, mereka lenyap
pula. Mereka berlalu selekasnya mereka masing-masing
menyambar dan mengempit Siauw Tiong Beng dan Bok Cee
Lauw, yang tadinya pada duduk di tanah tengah menungkuli
rasa nyerinya........ Selagi Siong Kan dan Hong Hoan menyerang ia dengan
hebat, It Hiong sebaliknya berkesan baik terhadap mereka itu.
Memangnya ia tidak berniat membinasakan ketujuh Bajingan
dari To Liong To, kalau tadi ia membinasakan juga Seng
Ciang, itulah disebabkan meluapnya amarahnya seketika
lantaran Bajingan she Cie itu menyerang ia dengan senjata
rahasia. Ia dapat mengerti kemarahannya saudara angkat
bajingan itu terhadapnya.
Demikian, karena It Hiong tidak berniat membinasakan
lawan, ia jadi melayani mereka itu bagaikan ia sedang bermain
petak. Ia menggunakan melulu kegesitan dan kelincahan
tubuhnya. Lekas sekali, sang fajar telah tiba.
Ketika itu Kiauw In, disamping memasang mata, telah
memberesi rambutnya yang kusut, kemudian ia menengadah
langit, lalu mengeluarkan nafas melegakan kalbunya.
Ya Bie sebaliknya ! Nona itu mengawasi pertempuran
dengan dia seperti tak sanggup mengendalikan hatinya. Dia
tak sabar sekali. "Bagaimana, eh ?" katanya kemudian. "Kenapa kakak
Hiong bermurah hati terhadap sekalian lawannya itu ?"
Kiauw In menghela nafas. "Kakakmu itu sedapatnya hendak pantang membunuh."
katanya menjelaskan. "Dia biasa menggunakan timbangan
yang adil disebelahnya dia memang memiliki apa yang
dinamakan hati wanita......"
Ya Bie berdiam, dia agak kurang mengerti. Tapi hanya
sejenak, dia lantas kata keras : " Kakak Hiong takut melanggar
bencana pembunuhan tetapi aku, Ya Bie tidak !"
Nona ini sudah melibatkan ularnya pada pinggangnya, lalu
ia membukanya pula. "Kakak, tolong kau waspada !" katanya kemudian tiba-tiba,
lalu sebelum lenyap suara mendengungnya kata-katanya itu,
tubuhnya sudah mencelat maju, bahkan terus ia
memperdengarkan seruannya yang tajam. Sebab ia lantas
menggunakan ilmu sesatnya --Hoan Kak Bie Cin. Dengan
suaranya itu, ia hendak mengacaukan pikirannya sekalian
musuh ! Setelah itu si polos sudah berada diantara musuh sambil ia
membulang-balingkan Sian Liong, si Naga Sakti, ular
beracunnya itu ! Tio siong Kang kalah latihan semadhinya dari pada Lam
Hong Hoan, selekasnya dia mendengar suaranya Ya Bie,
tubuhnya lantas menggigil sendirinya, menyusul mana,
hatinya pun berdebaran, bahkan segera juga gerak gerik
sepasang kaitannya lantas menjadi ayal secara tiba-tiba.
Ya Bie bermata sangat celi, ia melihat perubahan pada
bajingan she Tio itu, tidak ayal pula, ia merangsak pada
Bajingan itu, untuk meluncurkan ularnya kepada dada dan
perut orang ! Tio Siong Kang terkejut, tetapi ia belum tahu lihainya si
Naga Sakti, untuk membela diri, guna membinasakan binatang
menyelosor itu, segera ia menghajar dengan dua-dua
kaitannya kiri dan kanan. Adalah keinginannya akan dengan
satu kali kait, binatang jahat itu nanti mati dengan tubuhnya
terkutung menjadi dua potong !
Adalah diluar sangkaan dari jago dari To Liong To itu
bahwa Sian Liong lihai sekali. Tubuhnya yang bersisik, yang
tak seperti ular lain umumnya yang kulitnya cuma licin saja,
tak mempan senjata tajam, kebalnya luar biasa. Dia pula
sangat celi dan cerdas. Dia melihat tibanya kaitan, dia lantas
berkelit melejit, menyusul mana, selagi tubuhnya bebas dari
ancaman petaka, mulutnya sendiri tahu-tahu sudah memegat
lengan kanan Bajingan itu !
Ketika itu Lam Hong Hoan pun memperoleh kesempatan
menghajar ke arah pinggang si nona, ruyung panjangnya
digerakkan dengan hebat, dengan tenaga sepenuhnya,
dengan antaran seluruh tenaga dalamnya !
Ya Bie cerdik sekali. Begitu ia melihat ancaman bahaya, ia
tidak mau menangkis, hanya dengan satu gerakan lincah, ia
menjatuhkan diri ke tanah terus bergulingan sejauh lima kaki
lebih ! Hingga bebaslah ia dari ancaman maut. Tapi setelah
selamat itu, segera ia berlompat bangun, buat berlompat lebih
jauh menghampiri pula lawan, guna merapatkan ! Inilah daya
cerdik guna membuat lawan tidak leluasa mengunakan
senjatanya yang panjang. Kembali dari kejauhan terdengar siul nyaring tetapi pendek,
berulang-ulang. Kali ini suara itu jauh lebih mendesak !
Lam Hong Hoan berlompat mundur, ruyungnya ditarik
pulang, kemudian dia mengawasi kepada Siong Kang, setelah
mana dia berlompat pula, kali ini berlompat mundur, maka
selanjutnya dia lari menghilang dari tempat dari mana tadi
mereka muncul ! Tio Siong Kang rebah ditanah. Dia roboh terkulai setelah
berdiri diam tak lama. Tubuhnya bergemetar, mukanya
menjadi pucat pasi. Hebat pagutannya Sian Liong yang
beracun itu. Tanpa berkutik pula, ia hilang nyawanya dengan tubuhnya
tetap menggeletak di tanah.
Ya Bie melihat kaburnya Hong Hoan, saking panas hatinya,
hendak ia mengejar. "Adik Ya Bie !" tiba-tiba ia mendengar panggilannya It
Hiong. "Adik, jangan kejar musuh !"
Mendengar suara itu, si nona mendengar kata. Dia sangat
patuh terhadap kakak Hiongnya itu ! Sebaliknya dari pada
mengejar musuh, dia memutar tubuhnya dan menghampiri si
anak muda, menghadapi siapa dia tertawa manis.
"Ada apakah kakak ?" tanyanya gembira.
Kiauw In menghampiri kawan itu.
"Adik, apakah kau ketahui namanya beberapa orang ini ?"
tanyanya. Ya Bie membuka mata lebar-lebar, terus dia menggeleng
kepala. Nona Cio menghela nafas, lalu ia menoleh pada It Hiong.
"Sungguh tak kusangka !" kata ia perlahan setelah ia
menatap wajahnya si pemuda. "Sungguh tak kusangka, orangorang
dari To Liong To pun dapat dipengaruhi Im Ciu It Mo,
hingga mereka kena diperintah mengadu jiwa......."
It Hiong mengawasi dua orang yang rebah ditanah.
"Kakak mengenali mereka ?" tanyanya.
Kiauw In tertawa dan menjawab. "Ketika kawanan bajingan
menyerbu Siauw Lim Sie, mereka ini telah memperlihatkan
dirinya, namun ketika itu aku mengenalinya samar-samar.
Yang aku ingat lebih tegas, itulah dia !"
Si nona menunjuk tubuhnya Tio Siong Kang.
It Hiong pun kata : "Yang barusan kabur itu adalah Lam
Hong Hoan, locu nomor dua dari To Liong To. Baru-baru ini di
pinggang gunung Heng San, pernah aku menempur Lam Hong
Hoan dan Bok Cee Lauw. Maka dua korban ini, mereka
tentulah kawan-kawannya mereka itu."
"Kalau merekalah Tujuh Bajingan dari To Liong To," tanya
Ya Bie, "kenapa sekarang cuma ada lima orang " Mungkinkah
?" Mendadak saja si nona menghentikan kata-katanya itu.
Tiba-tiba ia ingat mungkin masih ada dua orang, yang belum
terpengaruhkan Im Ciu It Mo atau mereka itu berdua dapat
meloloskan diri.... Kata-katanya Ya Bie mengingatkan It Hiong pada Siauw
Wan Goat, nona Bajingan nomor tujuh yang tergila-gila
kepadanya, bahkan karenanya itu sudah terpedayakan Gak
Hong Kun. Entah dimana adanya nona itu sekarang.....
Kemudian It Hiong pun ingat akan kematiannya Kang Teng
Thian, ketua To Liong To. Jago itu telah menuduh dialah
orang yang mencelakai Siauw Wan Goat itu. Bagaimana fitnah
itu sedangkan ia adalah seorang yang putih bersih "
Kang Teng Thian mengajak Siauw Wan Goat mendatangi
Siauw Lim Sie di gunugn Siong San, di sana dia tak mau
mengerti, maka juga dalam pertempurannya dengan Ang Sian
Siangjin, ia berdua bersama biarawan itu telah membuang
jiwa bersama-sama...... "Itulah hebat" pikir It Hiong. "Semua itu gara-garanya Hong
Kun." Mengenang Siauw Wan Goat, It Hiong menyesal dan
berduka. Bukankah nona itu sangat mencintainya, hingga dia
menjadi tergila-gila " Karena itu, dia telah menderita, kesucian
dirinya sampai dirusak Hong Kun.
Tanpa merasa, anak muda kita menghela nafas, wajahnya
pun suaram. Ya Bie terkejut, dia heran. Mulanya ia melengak sejenak,
cepat-cepat ia menanya : "Kakak Hiong, apakah aku keliru
bicara ?" Pemuda itu menggeleng kepala.
Kiauw In sebaliknya dari pada Ya Bie. Ia dapat menerka
kedukaannya si anak muda, sebab ia tahu lakonnya Siauw
Wan Goat itu. Maka ia lantas melirik anak muda itu dan
bersenyum. "Adik Ya Bie, kau tidak salah bicara !" ia pun kata. "Dia -orang ini-- sangat berat bencana asmaranya ! Dia tentunya
telah mengingat kepada Siauw Wan Goat dari To Liong To...."
Mendengar suara si nona, mukanya It Hiong menjadi
merah, ia merasai kulitnya panas. Tepat dugaan nona itu.
Dengan alisnya berkernyit, ia berpaling ke lain arah. Tak mau
ia mengatakan sesuatu. Tapinya Kiauw In sangat halus budi Pekertinya. Tak sedikit
juga ia menyesal atau jelus dengan lakon asmara kekasih itu.
Ia pun dapat membaca hatinya si anak muda. Maka ia lantas
tertawa dan kata : "Eh, eh, kau kenapakah " Kecelakaannya
Siauw Wan Goat yang harus dikasihhani, aku percaya
bukanlah perbuatanmu !"
It Hiong menoleh, mengawasi pacarnya.
"Jika aku yang berbuat tak tahu malu seperti itu, apakah
kakak kira ada mukaku buat datang menemuimu ?" katanya.
Lantas nona Cio memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Sudah, jangan kita bicarakan urusan sampingan itu !"
demikian katanya. "Kita sekarang lagi berada di tempat yang
berbahaya ! Nanti saja, selolosnya kita dari Hek Sek San,
setelah ada kesempatan, kita pergi cari Siauw Wan Goat buat
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantui dia melakukan pembalasannya !"
Sekonyong-konyong It Hiong menghunus pedangnya.
"Gak Hong Kun !" katanya sengit. Terus dia membacok
batu di depannya, hingga batu itu pecah dengan
memuncratkan percikan apinya.
Itulah tanda bahwa ia sangat penasaran terhadap murinya
It Yap Tojin. Ya Bie melengak menyaksikan perbuatannya It Hiong.
Inilah sebab ia tidak tahu tentang lakonnya Siauw Wan Goat
dengan Gak Hong Kun dan anak muda itu sendiri.
Matahari sementara itu mulai menaik dan halimun sudah
buyar, maka tanah pegunungan itu mulai terlihat terang dan
nyata. Kiauw In segera mengawasi ke sekitarnya, hingga ia
mendapatkan sebuah jalan kecil untuk turun gunung.
"Untuk dapat keluar dari gunung ini, kita cuma dapat
mengambil jalan kecil itu," katanya, menghela nafas. Ia
masgul. Ya Bie si polos kata : "Tadi pun musuh kita menyingkir dari
jalan dari jalan itu ! Mari kita pergi, asal kita berhati-hati !
Mungkin ada perangkap di tengah jalan sana......."
It Hiong mementang lebar kedua matanya.
"Untuk keluar dari sini, kita jangan takut pada perangkap
lagi !" katanya keras. Nyata bahwa ia masih panas hati.
"Benar !" seru Ya Bie, gembira dan bersemangat. "Apa
yang harus dibuat takut " Mari kita pergi!"
Malah nona polos ini terus mengajak ujung bajunya Kiauw
In buat diajak berjalan. Nona Cio mau mengikuti kawan muda itu atau It Hiong
segera menghadang di depan mereka.
"Jangan sembarangan, adik !" kata si anak muda pada Ya
Bie. "Biar aku yang membuka jalan !"
Dan anak muda ini lantas bertindak di muka, mengambil
jalan kecil itu. Jalan kecil menanjak naik itu, banyak tikungannya. Jalan
pun sempit. Kira setengah lie jauhnya, tiba sudah orang di jalan yang
buntu -- buntu karena terpegat sebuah jurang yang dalam
mungkin seribu tombak. Dari dalam jurang itu tampak uap
mengepul naik, diantara sorotan cahaya matahari, uap itu
memberi penglihatan aneka warna.
"Sungguh berbahaya !" kata It Hiong. "Terang kita salah
jalan !" Kiauw In mengawasi anak muda itu. Kalau It Hiong maju
terus, dia pasti akan tercemplung ke dalam jurang. Syukur,
matahari terang sekali. Ia lalu mengawasi ke seputarnya.
Kesudahannya, bertiga mereka berdiri melengak. Tak
tampak jalan lain ! Habis, kemana perginya musuh yang kabur
tadi " Kiauw In berdiam sambil otaknya bekerja. TIba-tiba ia
tertawa. "Kita tolol !" katanya. "Di sini mesti ada sebuah gua, yang
menjadi jalanan keluar ! Hanya gua itu rupanya tertutup
hingga kita tidak melihatnya........"
It Hiong dan Ya Bie membenarkan dugaan itu.
"Mari kita cari !" Kiauw In menambahkan, mengajak.
Kedua kawan itu mengangguk. Bertiga mereka lantas
memutar tubuh, buat berjalan baik. Hanya kali ini mereka
berjalan dengan perlahan sambil selalu memeriksa kedua sisi
jalanan itu. Mereka mesti menggunakan waktu banyak sebab mereka
berjalan dengan sangat perlahan. Perjalanan yang jauh tak
ada setengah lie meminta waktu lama. Sudah satu jam tetapi
mereka belum menemui jalanan atau gua yang dicari itu.
It Hiong menjadi mendongkol dan penasaran.
"Aku tidak percaya Im Ciu It Mo demikian lihai hingga dia
mampu mengurung kita di puncak gunung ini !" katanya
sengit. Melihat orang mengumbar hawa nafsunya, Kiauw In
tertawa. "Adik !" katanya manis. "Sejak kapan kau belajar tak tahan
sabar " Toh terang-terang kita melihat musuh mengambil
jalan ini ! Kalau disini tidak ada jalan keluarnya, habis dari
manakah lenyapnya mereka itu " Mungkinkah mereka naik ke
langit " Mulanya toh mereka datang, lalu pergi !"
"Jika kita tidak menemukan jalanan itu," Ya Bie turut
bicara, "kita merayap turun saja ! Apa yang mereka dapat
lakukan atas diri kita ?"
It Hiong tidak berkata apa-apa. Mereka berjalan balik lagi.
Tanpa merasa, selagi mereka itu naik dan turun, sang
waktu sudah mendekati tengah hari.
Tio It Hiong duduk di tanah, otaknya bekerja, matanya
melihat jauh ke depan. Ia heran yang mereka tak berhasil
mencari jalan keluar itu.
Kiauw In dan Ya Bie turut berduduk, untuk beristirahat.
Gunung itu sunyi, cuma angin bersiuran. Ya Bie membekal
rangsum kering, ia keluarkan itu dan membagi kedua
kawannya. Dengan begitu, mereka dapat mengisi perut.
Si nona sangat polos, tiba-tiba dia tertawa.
"Aku girang dapat berdiam bersama-sama kalian, kakak
Hiong !" kata ia. "Sekali pun sampai lama, ya, sampai lama
sekali, aku senang !"
Hatinya si anak muda tergetar, dengan wajah likat, ia
melirik nona Cio. Nona itu berpura-pura tak mendapat lihat anak muda itu.
"Adik yang tolol !" katanya tertawa. "Janganlah kau bicara
setolol ini ! Paling benar, kau bersiaplah terhadap senjata
gelap dari pihak lawan !"
Ya Bie terperanjat, juga It Hiong.
Memang benar katanya Kiauw In itu. Maka mereka lantas
menoleh kelilingan. Tiba-tiba dari sebuah tikungan muncul satu tubuh manusia
bagaikan bayangan, tubuh itu lari cepat seumpama terbang.
Kiauw In bertiga melihat orang, serempak mereka
berlompat bangun, untuk bersiap sedia menyambut. Mereka
menerka kepada musuh. Hanya It Hiong, di lain saat sudah
lantas berlompat maju, guna memapaki orang itu.
Lekas sekali orang yang mendatangi itu tiba dekat kepada
si anak muda, untuk lega hatinya anak muda itu. Dia kiranya
So Hun Cian Li. Ia lantas tak bersiap siaga lagi.
Di depannya It Hiong, si orang utan memperdengarkan
suaranya beberapa kali dan kedua tangannya yang berbulu
digerak-geraki. Entah apa yang mau dikatakan.
Syukurlah Ya Bie datang menyusul. Nona itu lantas bersiul.
Melihat si nona polos, nampak So Hun Cian Li girang bukan
kepalang. Dia berlompat menubruk, terus dia memeluki eraterat
nona itu sedang Pekiknya diperdengarkan berulang-ulang.
Baru sesudah lewat sekian lama, dia melepaskan pelukannya.
Apa yang telah terjadi atas dirinya orang utan ini "
Sebenarnya dia telah ditotok Peng Mo, hingga dia ketinggalan,
sesudah orang berjalan jauh lima atau enam tombak, dia
roboh sendirinya. Dia kehilangan tenaganya, dia rebah
terkulai. Sementara itu tibalah ketujuh Yauw Lie murid-muridnya Im
Ciu It Mo. Mereka diperintahkan guru mereka mengatur
perangkap guna membekuk It Hiong beramai. Ek Toa Biauw
mengajak kawan-kawannya pergi ke jalan kecil itu. Lantas
mereka melihat si orang utan sedang rebah menggeletak.
Mereka heran, tetapi mereka menerka orang utan itu sudah
mati, maka mereka tidak menghiraukannya.
Tidak demikian dengan Ek Cit Biauw, si nona bungsu. Dia
jail, sembari lewat itu dia mendepak pinggangnya si orang
utan. Dia mau tahu, binatang itu benar sudah mati atau
bukan. Justru ia mendepak, ia mendepak tepat jalan darah
orang yang ditutup Peng Mo.
Lekas sekali So Hun Cian Li siuman, hanya ketika dia
membuka kedua matanya, dia melihat beberapa orang tengah
berlari-lari pergi. Dia lantas menduga kepada Ya Bie bertiga,
maka dia berlompat bangun, terus dia lari menyusul, untuk
mengikuti. Cit Yauw Lie menggunakan jalan rahasia, mereka tak usah
seperti It Hiong beramai yang mesti melintasi banyak
pengkolan serta mendaki tinggi dua ratus tombak. Tiba di
atas, mereka terus bekerja. Keenam nona tahu si orang utan
siuman tetapi mereka membiarkannya. Adalah Ek Cit Biauw
yang mengajak So Hun Cian Li bermain-main....
Kemudian, ketika Ek Toa Biauw mendengar tawanya Ek Cit
Biauw serta Pekiknya si orang utan, tiba-tiba ia mendapat
pikiran kenapa ia tidak mau menggunakan orang utan itu
sebagai perangsang, guna menipu It Hiong semua
menghampiri pesawat rahasia mereka. Inilah sebabnya
kenapa ia membiarkan terus si orang utan mengikuti mereka
sampai di atas puncak datar.
Jilid 55 Tindakannya Im Ciu It Mo yang pertama-tama ialah
menitahkan kelima Bajingan dari To Liong To, yang telah
roboh dibawah pengaruh gaibnya, pergi menghadang dan
menyerang It Hiong bertiga. Di luar dugaan, kelima bajingan
gagal, bahkan dua hilang jiwa, dua lagi terluka. Karenanya, Im
Ciu It Mo memanggil Lam Hong Hoan pulang.
Ek Toa Biauw melihat It Hiong bertiga, ia khawatir anak
muda itu dapat mencari jalan rahasia, setelah berpikir, mereka
sengaja membikin So Hun Cian Li pergi memperlihatkan diri,
supaya sehabis itu, si orang utan nanti mengajak It Hiong
bertiga mendatangi pesawat rahasia mereka, agar mereka itu
kena terjebak. Segera setelah dapat membikin tenang pada si orang utan,
Ya Bie lantas mengajaknya berbicara, minta dia suka
menunjuki jalan keluar, ialah jalan yang tadi diambil si orang
utan sendiri. So Hun Cian Li tetap binatang, dia tidak tahu perangkap Im
Ciu It Mo. "Kita tidak berhasil mendapati jalan keluar itu, tidak ada
halangannya kalau So Hun Cian Li yang menunjuki," kata It
Hiong setelah Ya Bie memberitahukan si orang utan dapat
menjadi penunjuk jalan. Kiauw In sebaliknya mengernyitkan alisnya. Dia berpikir
keras. "Sia-sia saja percobaan kita mencari jalan keluar," katanya
selang sesaat. "tetapi So Hun Cian Li dapat datang kemari
dengan mudah saja, tanpa dia mendapat celaka, inilah aneh.
Aku rasa pada ini mesti ada rahasianya......" Walaupun Nona
Cio mengatakan demikian, Ya Bie tapinya tidak takut.
"Lihai ia Im Ciu It Mo menggunakan racunnya serta
kepandaiannya orang-orangnya, semau telah kita kenal !"
katanya gagah. "Karena itu, apalagi yang harus kita buat takut
?" Kiauw In menghela nafas. "Kau benar, adik," katanya. "akan tetapi apakah barusan
kau tidak lihat cara munculnya orang-orang To Liong To itu
serta cara kaburnya yang satunya " Bukankah mereka pun
mengambil jalan serupa datang dan perginya " Kenapa kita
justru gagal mencari jalan rahasia itu ?"
"Kakak benar," berkata It Hiong. "Di sini tentu ada
rahasianya. Meski demikian kakak, justru karena kita tidak
berhasil mencari jalan keluar itu, kenapa kita tidak mau pakai
perantaraannya orang utan ini " Biarlah dia yang menunjuki
jalan !" "Ya, biar dia menjadi penunjuk jalan kita !" Ya Bie campur
bicara. "Marilah kita ikuti So Hun Cian Li, lainnya hal biar kita
lihat saja !" Biar bagaimana Kiauw In mesti menyetujui nona kecil itu.
Memang mereka tidak mempunyai pilihan lain.
"Baiklah," katanya diakhirnya. "Asal kita waspada !"
Begitulah mereka berangkat. Ya Bie menyuruh orang
utannya jalan di depan mereka.
Mereka menempuh pula jalan kecil tadi dimana mereka
telah berjalan bulak balik tanpa hasil Setibanya di depan
jurang, si orang utan sudah lantas berlompat turun !
Ketika itu tengah hari, jurang yang tadi tertutup uap,
sekarang uapnya telah buyar. It Hiong heran melihat So Hun
Cian Li berlompat turun, segera ia menyusul ke tepiannya
jurang, untuk melongok ke bawahnya.
Cahaya matahari dapat menembus terang sekali ke dalam
jurang itu. Maka di situ tampak sebuah apa yang dinamakan
"batu rebung", yang muncul nonjol panjang tiga atau empat
tombak, yang berupa mirip sebatang penglari melintang
diantara jurang atas dan dasarnya. Tadi itu, sebelum uap
buyar, ia beramai tak melihatnya.
Si orang utan berdiri di atas batu panjang itu, dia berPekikPekik sambil menggerak-geraki kaki dan tangannya.
Kiauw In dan Ya Bie telah turut melongok ke dalam jurang
itu. "Pasti ada gua di tempat di mana batu itu menonjol," kata
Nona Cio, "hanya....."
"Kalian tunggu," It Hiong menyela, "Nanti aku lompat turun
buat melihatnya......"
Belum habis kata-kata itu diucapkan, orangnya sudah
berlompat turun, untuk menaruh kaki di batu panjang itu,
yang jaraknya dari atas cuma tujuh atau delapan tombak.
Mudah saja buat si anak muda turun ke situ karena
kemahirannya ilmu ringan tubuh Tangga Mega serta ilmu
pedang melayang Gie Kiam Hui Heng Sut. Juga mudah saja
buatnya mendapati gua, atau lubang seperti diterka Kiauw In.
Karena gua justru merupakan mulut terowongan.
So Hun Cian Li menunjuk pada mulut gua, kembali dia
berPeki berulang kali. It Hiong mengawasi. Mulut gua itu gelap
dan dari situ bertiup keluar angin shilir. Kecuali angin halus
itu, tidak ada suara lainnya.
Anak muda kita segera menggunakan otaknya. Di dalam
situ mesti ada orang yang menjaga atau telah dipasangi
perangkap yang berbahaya.
"Mari !" kata It Hiong yang terus menarik si orang utan
buat diajak berlompat naik pula.
"Adakah jalanan di situ ?" Ya Bie paling dahulu menanya si
anak muda. It Hiong tertawa. "Di situ ada sebuah mulut gua." sahutnya. "Hanya
entahlah, gua itu menembus ke perut gunung atau ke
bawahnya........"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus !" seru si nona polos. "Mari kita turun !" Dan ia
maju ke tepian jurang, bersiap lompat turun ke dalamnya.
"Tahan !" mencegah Kiauw In sambil menarik lengan
orang. Kemudian dia menoleh kepada It Hiong, untuk
bertanya : "Adik, bagaimana penglihatanmu mengenai gua itu
?" "Jika aku tidak keliru menerka, " sahut orang yang ditanya,
"itulah mesti salah sebuah gua sarangnya Im Ciu It Mo." Alis si
anak muda bangkit, tampangnya menjadi gagah sekali ketika
ia menambahkan, "Namun, walaupun itu adalah sarang naga
atau sarang harimau, pasti aku akan menerjang memasukinya
!" Kiauw In membuka mata lebar memandan si anak muda,
lalu dia tertawa. "Melawan harimau tanpa bersenjata atau menyeberangi
sungai tanpa perahu, itulah yang dinamakan kegagahannya si
orang biasa saja," katanya. "Adik, apakah kau tak kuatir orang
Kang Ouw menertawakanmu andiakata mereka mendengar
tentang cara lakumu ini ?"
It Hiong melengak. Ia sadar yang barusan ia telah terlalu
menuruti suara hatinya sendiri. Segera ia menatap nona di
depannya itu. Terhadap kakak seperguruan ini, disebelah rasa
cintanya, ia pun sangat menghormatinya. Lalu, sendirinya, ia
pun tertawa. "Kau benar, kakak," katanya kemudian. "Nah, apakah
kakak telah memikir sesuatu ?"
Ya Bie sebaliknya berdiri bengong mengawasi bergantian
muda dan mudi itu. Ia pun insyaf akan kecerdasannya Kiauw
In, maka diam-diam ia menjadi menaruh hormat sekali.
Kiauw In dengan perlahan menggeleng kepala.
"Di saat ini, aku belum memikir apa-apa," sahutnya halus.
"Aku cuma ingat bahwa disini ada faedahnya jika kita gunakan
bunyi pepatah yang berkata melempar batu buat menumpang
tanya jalanan........."
Pepatah itu berbunyi "Touw-sek-bun-louw--Melempar batu,
Menanya jalan". Dengan menuruti pepatah itu, orang biasa
melempar batu dari atas ke bawah atau ke sebelah depan,
guna kemudian mendengari jatuhnya batu itu, guna
mengetahui reaksinya. Hanya disini, Pekerjaan itu sulit juga. Untuk melempar,
atau menimpukkan batu, ke dalam mulut gua, orang mesti
berdiri di palangan batu itu. Batu panjang itu sebaliknya
meluncur hanya sebatang dan sekitarnya jurang, maka kecuali
berlompat ke atas, ke kiri dan kanan atau ke dasar jurang,
semua itu berbahaya. Bagaimana apabila muncul reaksi yang
mengancam hebat " Orang sukar menangkis atau berkelit,
atau orang bakal tercemplung ke dasar jurang......
It Hiong menggunakan otaknya selekasnya ia mendengar
kata-kata si nona, karena ia berpikir itu, ia tidak lantas
membuka mulutnya. Kiauw In bersenyum mengawasi pemuda
itu. "Adik," katanya, "buat apak kita memikir lama-lama "
Menurut aku, kita gunakan saja ilmu Kiauw-keng !"
"Oh !" suara It Hiong mendengar perkataannya si nona. Ia
bagaikan baru mendusin dari tidurnya.
Ya Bie sebaliknya tidak mengerti.
"Kakak Kiauw In, apakah itu Kiauw-keng ?" tanyanya.
Menurut arti biasanya, kiauw-keng berarti tenaga kekuatan
yang dikendalikan kecerdasan.
Kiauw In mengawasi nona itu sebentar, lalu ia bersenyum.
"Biarlah Kakang Hiongmu melakukan itu buat kau lihat !"
sahutnya kemudian. Lalu ia menuntun nona itu, buat diajak
memungut tujuh atau delapan buah batu sebesar telur, batu
mana terus mereka letaki di tepian jurang.
It Hiong tertawa. Kata dia : "Kakak, siapakah yang sangka
bahwa cara bermain-main kita menggunakan batu di Pay In
Nia sekarang ada gunanya di gunung Hek Sek San ini ?"
Nona Cio tidak menjawab, ia cuma bersenyum.
It Hiong lantas mengerahkan tenaga dalamnya, Hian-bun
Sian Thian Khie-kang, untuk menyalurkan ke tangannya kiri
dan kanan, setelah itu kedua tangannya itu menjemput batu
sebesar telut itu, beberapa buah. Di lain saat, cepat sekali, ia
sudah lantas perlihatkan kepandaiannya.
Dengan digeraki sebagai dipentil, sebuah batu lantas
terpental, yang mana disusul dengan pentilan lainnya. Luar
biasa cepat adalah batu yang terpentil belakangan, yang
menyusul batu pentilan terdahulu. Bedanya ialah pentilan
pertama rada perlahan, pentilan belakangan sangat cepat
hingga yang pertama tercandak dan terhajar keras, karena
mana, batu terdahulu itu mental keras ke arah mulut gua !
Ya Bie heran dan kagum menyaksikan batu dapat dibikin
terpental demikian macam.
"Hebat !" serunya girang sekali. "Kakak Hiong, sungguh kau
pandai !" Justru orang memujinya, It Hiong sudah menyentil pula,
sampai buat ke empat kalinya !
Kiauw In sementara itu mendekam di pinggiran jurang,
buat memasang telinga, guna mendengar hasilnya permainan
"Touw sek bun louw" itu. Ia tak usah menanti lama akan
mendengar sambutan dari dalam gua itu. "Jawaban" yang
datang setiap batu mental masuk ke dalam gua, jawaban itu
berupa menyambarnya senjata-senjata rahasia yang
disinarnya matahari bercahaya kebiru-biruan. Itulah sinar yang
menandakan senjata rahasia itu tadinya telah dicelup dahulu
ke dalam racun ! Itulah pula pelbagai pisau belati, anak panah
dan piauw ! Karena It Hiong melanjuti timpukan istimewanya itu, maka
juga Kiauw In bersama Ya Bie terus memunguti dan
mengumpuli batu-batu kolar sebesar telur itu, sampai
serangan-serangan senjata rahasia itu berhenti, baru mereka
turut berhenti juga. Ya Bie heran, tetapi ia lantas berkata : "Serangan senjata
rahasia sudah berhenti, mari kita turun akan memasuki gua !"
"Tunggu dulu !" kata It Hiong, tangannya masih
menggenggam batu. "Dalam waktu pereang orang tak
pantang berlaku palsu ! Maka itu, kita harus waspada ! Siapa
tahu kalau musuh menggunakan akal liciknya."
Ya Bie mendengar kata, ia mundur pula. Kata-katanya
"Kakak Hiongnya" itu benar sekali.
Kiauw In bertindak ke tepi jurang, akan mengawasi ke
mulut gua tadi. "Aku mendengar suara banyak kaki bergerak-gerak"
katanya seraya memasang telinga. "Rupanya beberapa orang
lagi berjalan mundar mandir hanya tibanya di mulut gua,
mereka pada berhenti......."
"Apakah kakak telah mendengarnya dengan jelas ?" Ya Bie
tanya. "Kenapa mereka pada berhenti di mulut gua " Kenapa
mereka tak berani muncul ?"
Kiauw In mengerutkan alisnya, terus ia menghela nafas.
"Mungkin sekali merekalah orang-orang yang telah makan
obat jahatnya Im Ciu It Mo," sahutnya. "Mereka itu tak cerdas
lagi, semua gerak geriknya menuruti saja kendalinya si
Bajingan Tunggal........"
It Hiong melemparkan batu ditangannya, ia berjalan
mundar mandir. Otaknya bekerja. Lewat sesaat, ia
mengangkat kepalanya, menoleh kepada Kiauw In.
"Bagaimana sekarang ?" tanyanya pada si nona. "Mereka
tidak mau muncul, kita sebaliknya tidak mau turun ! Habis,
sampai berapa lamakah kita harus menanti ?"
"Kita lihat saja," sahut nona Cio. "Buat kita, tindakan yang
utama ialah kita memasuki goa di luar sangkaan mereka,
supaya mereka dapat dikekang andiakata mereka menyerang
dengan senjata rahasianya. Kita harus menjaga diri agar kita
tak terkena senjata rahasia beracun dan tidak nyemplung ke
dasar jurang !" Ya Bie terkejut. Sungguh hebat apabila mereka sampai
tercemplung ! "Kakak benar !" katanya kemudian. Ia menyenderkan
tubuhnya pada tubuhnya Kiauw In, nampaknya ia seperti
takut nanti jatuh ke dasar jurang itu !
It Hiong berdongkol, ia menjemput pula beberapa buah
batu tadi. "Akan aku coba !" katanya. "Hendak aku menggunakan
ilmu Gie Kian Hui Heng Sut. Kakak berdua menunggu sampai
aku memanggil, baru kalian lompat turun ke jurang ini buat
menyusulku!" Berkata begitu, si anak muda menghunus pedangnya, buat
terus diputar, hingga terdengar suara anginnya yang keras.
Mendengar suara itu, mendadak ia melongo. Karena
mendadak ia ingat, itu bukanlah Keng Hong Kiam, pedang
mustikanya. Bahwa pedang mustikanya justru ada yang curi.
Pasti, dengan pedang biasa itu, kemahirannya akan
berkurang. Kiauw In belum pernah menyaksikan ilmu pedang Gie Kiam
Hui Heng Sut dari adik seperguruannya itu, ia mengawasi
dengan prihatin. Ia pun memesan : "Adik, kau berhati-hatilah,
jangan kau terlalu menempuh bahaya........"
"Aku mengerti," sahut It Hiong, yang lantas saja berlompat,
sedangkan pedangnya ia putar hebat, lantas mengeluarkan
sinar berkelebatan. Berbareng, tubuh manusia dan pedang
mencelat ke dalam jurang, terus melesat ke mulut gua !
Matanya Kiauw In berkunang-kunang melihat gerakan si
pemuda yang demikian cepat itu.
Menyusul itu, satu bayangan tubuh pun turut berlompat ke
dalam gua. Segera terdengar beberapa kali suara tertahan, menyusul
mana lantas terdengar juga suara nyaring dari It Hiong :
"Kalian turunlah !"
Kiauw In dan Ya Bie sudah siap sedia, akan tetapi,
mendengar panggilan itu, mereka melengak juga. Lantas
mereka saling melirik, baru mereka lompat menyusul ! Gua
gelap gulita, akan tetapi samar-samar tampak beberapa buah
mayat menggeletak di tengah jalan. Lewat tiga atau empat
tombak, terowongan mulai menikung. Dari sebelah dalam
segera terdengar suara nyaring dari beradunya alat senjata,
juga terdengar bentak-bentakan.
Kiauw In menarik bajunya Ya Bie, buat diajak lari terlebih
keras pula, menyelusupi jalan maju lebih jauh, akan mencari
suara berisik itu. Lagi kira sepuluh tombak, setelah sebuah
tikungan, orang telah keluar di mulut gua yang lainnya, maka
disitu tampak suatu pemandangan alam dari tanah
pegunungan. Disitu, kedua nona menyusul It Hiong yang
justru lagi masuki pedangnya ke dalam sarungnya. Pemuda itu
berdiri tenang di sebuah tempat mirip pengempang kering,
disekitarnya rebah berserakan tujuh atau delapan tubuh dari
orang-orang yang berseragam hitam, yang pakaiannya
bermandikan darah, tak ada yang tubuhnya berkutik.
Ya Bie mengawasi semua mayat itu, lantas dia tertawa.
"Sungguh kau hebat luar biasa, kakak Hiong !" pujinya.
Kiauw In sebaliknya menghela nafas.
"Semua ini ada akibatnya kejahatan dari Im Ciu It Mo......"
katanya. "Inilah badai pembunuhan disebabkan kelicikan dan
kekejamannya !" Ketika itu keduanya telah sampai di depannya si anak
muda. Kiauw In lantas memandang ke sekitarnya. Ia melihat
dinding gunung diseputarnya itu, tinggi umpama kata mirip
langit. Cuma di tempat mereka berdiri, yang tanahnya
datarnya cukup luas. Sekitar tiga sampai empat puluh tombak,
tak ada tumbuh rumput. Semua batu karang telah berubah
menjadi hita. Di sebelah depan, jauh sepanahan, terlihat
sederet rumah batu, rumahnya katai, katai juga semua
pintunya. Deretan rumah itu bagaikan menghadang jalanan.
"Tak kusangka di dalam gua terdapat melulu orangorangnya
Im Ciu It Mo." kata It Hiong pada nona Cio. "Syukur
kepandaian mereka biasa saja dan diantaranya tak ada
pemimpin yang lihai. Aku cuma mendapatkan pesawat
rahasianya yang mengobral pelbagai senjata rahasia tadi."
"Mungkin si pemimpin sudah mundur teratur ke dalam
deretan rumah batu," Kiauw In mengutarakan dugaannya.
"Jangan jangan mereka akan bertahan di dalam rumah
itu........" "Peduli apa !" kata Ya Bie menyela. "Apa yang harus dibuat
takut " Dapatkah deretan rumah-rumah itu menghadang ilmu
Gie Kian Hui Heng Sut dari kakak Hiong ?"
Begitu si nona menutup mulutnya, begitu mukanya menjadi
merah. Di depannya Kiauw In, ia menyebut orang dengan
"kakak Hiong". Ia likat sendirinya.
It Hiong sebaliknya, mengawasi deretan rumah batu itu.
"Ya" katanya kemudian. "tak peduli di dalam rumah itu ada
pemimpinnya yang lihai atau pelbagai macam senjata
rahasianya yang beracun, kita toh harus menyerbunya !"
Panas hatinya karena pertempuran barusan, anak muda ini
tak lagi berhati-hati seperti semula.
Tepat itu waktu tampak So Hun Cian Li yang tadi lari di
depan sudah lari kembali. Di belakang dia terlihat dua orang
mirip bayangan-bayangan lari mengejar dengan keras sekai.
Mereka itu muncul dari salah sebuah jendela rumah batu itu.
Hanya sebentar, si orang utan dan pengejarnya sudah
sampai di depannya It Hiong bertiga. So Hun Cian Li berPekik
tak hentinya, dia kelabakan. Inilah sebab di punggungnya
menancap sebatang pedang yang berkilauan, yang pasti
adalah jarum beracun. Dia berkulit tebal dan kuat, dia toh tak
tahan nyerinya. Melihat lukanya si orang utan, Kiauw In lekas berkata pada
It Hiong : "Adik, So Hun Cian Li dilukai senjata beracun, lekas
kau obati padanya. Nanti aku yang menghadapi musuh."
Ya Bie gusar sekali mendapat kenyataan binatangnya itu
telah dilukai, dengan mata terbuka lebar dan bijinya bagaikan
terputar, ia sudah lantas meloloskan ularnya dari libatan pada
pinggangnya, tanpa membuka mulut lagi, ia maju mengikuti
Nona Cio menghampiri musuh.
Dua orang yang keluar dari rumah batu itu berseragam
singsat, tampang dan mata mereka tampak sangat bengis.
Mereka berhenti berlari, untuk segera mengawasi tajam
kepada kedua nona yang menghampirinya.
Kiauw In lantas mengenali Yan Tio Siang Cian, sepasang si
kejam dari wilayah Yan-TIo (propinsi Cilee), ialah dua saudara
Leng Gan dan Leng Ciauw. Yang mencolok mata dari dua
orang itu yakni masing-masing kehilangan tangan kanan dan
tangan kirinya, yang lenyap selama pertarungan di puncak
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiauw JIt Hong di gunung Tay San selama diadakan
pertemuan besar kaum sesat dan golongan lurus. Bahkan
yang menebasnya kutung justru Kiauw In bersama Giok Peng.
Dahulu itu, Kiauw In berlaku murah hati, dia tak membasmi
terus, siapa tahu sekarang mereka itu muncul pula di
depannya di gunung Hek Sek San.
Yan Tio Siang Cian tidak merasa berhutang budi,
sebaliknya, mereka bersakit hati, maka itu sesudah
meninggalkan gunung Thay San, mereka mengobati diri dan
seterusnya pergi mencari guru, akan belajar silat terlebih jauh,
maka sekarang, kalau mereka bertempur, selalu bekerja sama.
Dengan berdiri berendeng dan rapat, mereka seperti masih
mempunyai sepasang tangan kiri dan kanannya ! Mereka pula
masuk dalam rombongannya Im Ciu It Mo hingga mereka
menjadi pandai menggunakan senjata beracun, bahkan
mereka diajari juga ilmu silat Tauw-lo-ciang, hingga mereka
diandali Im Ciu It Mo sebagai pembantu-pembantu setia dan
lihai, guna nanti dia menjagoi dunia Kang Ouw.
Melihat nona Cio, yang dia kenali, Leng Gan tertawa
mengejek berulang kali. "Hm, budak bau !" hardiknya. "Nyata disini kita bertemu
pula ! Tak nanti kami melupakan sakit hati terkutungnya
tangan kami, maka sekarang kami mau menuntut balas
berikut bunganya !" Kiauw In tertawa. "Tak kusangka kalian berdua, kegalakan kalian masih tak
berubah !" katanya. "Percuma saja ketika di puncak Tiauw JIt
Hong aku menaruh belas kasihan kepada kalian !"
Leng Ciauw gusar sekali. Dengan tangan kirinya, tangan
semengga-mengganya itu, dia menghunus goloknya, untuk
dikibaskan. "Cio Kiauw In !" bentaknya. "kau kurangilah ocehanmu
yang tak ada gunanya itu ! Paling baik kau serahkan nyawamu
!" Leng Gan juga mencabut golok dengan tangan kanannya
yang tunggal, terus dia melangkah maju hingga berdua
saudara, mereka berdiri berendeng rapat, hingga mereka
tampak seperti seorang dengan kedua tangannya lengkap. Di
lihat dari berkilauannya golok mereka, tak usah disangsikan
lagi yang kedua golok itu pernah direndam atau telah
dipakaikan semacam racun.
Ya Bie tidak puas menyaksikan lagakanya dua orang yang
bertangan buntung itu. Dia berlompat maju seraya memutar
ularnya, untuk diteruskan dipakai menyambar mukanya dua
orang yang jumawa itu. Ular hijau itu mengulur lidahnya, buat
dibuat main, sedangkan matanya bersinar beringas. Melihat
ular itu, Yang Tio Siang Cian yang ada orang-orang Kang Ouw
berpengalaman menjadi kaget.
"Sian Liong !" seru mereka berbareng.
Ternyata mereka mengenali Sian Liong, si ular beracun,
Naga Sakti. Lantas mereka berlompat mundur, sebab mereka
takut nanti kena dipagut ular lawan itu. Meski demikian, habis
mundur mereka berlompat maju pula, kali ini untuk
menebaskan golok mereka. Niat mereka agar ular itu dapat
dibacok kutung ! Ya Bie menarik pulang ularnya, atas mana ia lantas diserbu.
Kedua saudara Leng maju terus sambil mengulangi
serangannya, kali ini golok mereka mencari sasaran pada bahu
dan perutnya si nona. Hebat serangan serempak itu.
Nyata sekali, walaupun tangan mereka masing-masing
kurang satu, sekarang ini mereka itu berlipat lihai daripada
semasa di puncak Tiauw JIt Hong. Ya Bie sudah cukup
berpengalaman, tetapi toh belum pernah ia kena dibikin repot
senjata begini cepat, maka juga ia berkelahi dengan waspada.
Leng Ciauw bukan saja kejam, dia juga jail bahkan cabul.
Selamanya dia menusuk atau membacok ke arah perutnya si
nona, membuat nona itu mendongkol berbareng jengah
hingga mukanya menjadi merah. Tentu sekali, ia gusar bukan
main. Muridnya Kip Hiat Hong Mo bukan sembarang murid,
karena panas hatinya, nona polos itu jadi menggertak giginya.
Ia memasang mata dengan tajam. Begitulah ketika golok
menyambar ke bahunya, ia berkelit dengan dibarengi gerakan
kaki "Angin puyuh di tanah datar". Tubuhnya bagaikan melilit
dengan lincah sekali, hingga ia bebas dari ancaman maut.
Jangan kata tubuhnya, ujung bajunya pun tidak berkenalan
dengan golok lawan. Karenanya, kontan ia membalas dengan
meluncurkan ularnya ke dada orang !
Cepatnya gerakan senjata kedua belah pihak tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Itulah bagaikan berkelebatnya
sang kilat. Leng Gan dan Leng Ciauw merasa heran, kaget dan
kagum. Nona yang baru berusia tujuh atau delapan belas
tahun ini ternyata lihai luar biasa, sebab ia sanggup
menyelamatkan diri dari serangannya dengan jurus silat golok
"Giok Sek Hun Tuaw" atau "Batu Kemala Terbang
Berhamburan". Itulah suatu jurus mereka yang lihai sekali.
Sudah musuh lolos, lantas mereka pun dibalas serang dengan
sama hebatnya, sebab ular hijau itu, si Naga Sakti, meluncur
ke depan mereka ! Terpaksa dua saudara itu bergerak mundur
seperti semula tadi. Ya Bie pun mengerti ancaman bahaya dari musuh barusan,
maka itu selagi kedua musuh mundur, ia tidak menyusul,
sebaliknya, ia berdiri diam untuk menatap kedua musuh itu.
Diam-diam di dalam hatinya ia mengucap syukur yang
barusan ia dapat menyingkir dari ancaman maut. Jantungnya
memukul keras, nafasnya pun mendesak.
Seperti si nona mengawasi lawannya, kedua lawannya pun
menatap tajam pada nona itu. Mereka heran sekali. Kiauw In
juga kaget ketika melihat Ya Bie terancam bahaya, hampir ia
berlompat membantunya, buat menghindarkan dia dari
bahaya atau segera ia mendapat kenyataan kawan itu lihai,
tubuhnya ringan dan gesit dan pengalamannya pun cukup. Ia
merasa hatinya lega. Walaupun demikian, tidak dapat ia
membiarkan kawan itu tetap melayani dua orang musuh yang
lihai. "Adik, silahkan mundur !" katanya kemudian. "Biarlah
kakakmu yang berhitungan dengan mereka, buat
menyelesaikan segala-galanya !" Dan ia lompat maju ke depan
orang guna menghadapi lawan.
Ketika itu It Hiong telah dengan cepat membantu So Hun
Cian Li. Dengan bantuannya Lee-cu, ia mencabut jarum
beracun dari tubuhnya si orang utan. Sebenarnya jarum tidak
menancap dalam saking kerasnya kulit tetapi jarum beracun
dan racunnya tetap berbahaya. Berkat khasiatnya mutiara
mustika, racun itu dapat dilenyapkan dengan segera dan
lukanya lantas sembuh seperti sedia kala.
Adalah pikirannya It Hiong akan menempur Yan Tio Siang
Cian tetapi waktu ia mendengar suaranya Kiauw In, ia
membatalkan niatnya itu. Ia bersedia membiarkan si manis
yang melayani musuh. Ia hanya berdiri di sisi sambil
memasang mata. "Fui !" Ya Bie berludah, lalu terus bertindak kepada It Hiong
untuk berdiri berendeng dengan anak muda itu.
Habis berkata itu, Kiauw In maju dengan perlahan,
kemudian ia menghentikan langkahnya sambil berbareng
merintangi pedangnya di depan dadanya. Kata ia dengan
bengis : "Orang-orang she Leng, hendak aku melihat ilmu
pedang bersatu padu dari kalian berdua ! Hendak aku
membuktikan sampai dimana kemahiran kalian menggunakan
golok kalian ! Nah, kalian majulah !"
Sepasang alisnya Leng Gan bangkit. Hebat kata-katanya si
nona. "Hm ! Hm !" dia perdengarkan suara seramnya. "Bagus !
Memang hendak aku mencoba ilmu golokku kepadamu ! Kau
kenalilah Cu-Ngo Hap Pek To !"
Itulah nama golok yang berarti "golok bersatu padu
diwaktu tengah hari dan tengah malam". Dan menyusuli
berakhirnya kata-katanya itu, Leng Gan dan saudaranya sudah
lantas bergerak dengan berbareng, goloknya masing-masing
turut bergerak juga, hingga sinarnya berkilauan di antara
cahaya matahari. Kedua golok bergerak satu dari atas ke
bawah dan yang lainnya dari bawah ke atas.
Nona Cio sudah bersiap sedia, ia lantas menggerakkan
pedangnya buat melayani. Oleh karena percaya kedua lawan
benar-benar lihai ilmu goloknya, Kiauw In tidak sudi berlaku
sembrono. Ia berkelahi dengan berhati-hati dengan ilmu
pedangnya Sam Cay Kiam, yang berarti "Langit, Bumi dan
Manusia". Karena ia bersedia menyambut bentrokan, senjata
mereka bertiga lantas juga saling bentrok satu dengan lain
hingga terdengarlah berulangkali suaranya yang nyaring dan
membisingkan telinga. Benar-benar lihai ilmu golok Cu-Ngo Hap Pek To dari Yan
Tio Siang Cian. Semua gerakannya cepat dan rapi, satu
dengan lain dapat bekerja sama dengan baik. Mereka
menangkis sendiri atau menyerang sendiri juga, tetapi lebih
sering mereka menyerang dengan berbareng tetapi dengan
arah sasarannya berlainan, guna membingungkan lawan. Tak
jarang mereka membatalkan atau merubah serangan mereka
melulu buat menukar siasat, guna memakai sekali jalan.
Kiauw In melayani dengan sama cepatnya tetapi pun
berbareng dengan hati dingin. Dengan bersikap tenang itu,
perlahan-lahan ia menyelami ilmu golok lawannya. Dengan
cepat ia mengetahui kedua lawan ini bukan lawan-lawan yang
dahulu. Mereka benar-benar lihai. Maka ia terus berlaku sabar
dan waspada. Ia mengerti, kedua lawan tak dapat dirobohkan
dalam tiga atau empat puluh jurus saja. Ia bergerak gesit
dengan menggunakan ilmu ringan tubuh Te In Ciong atau
Tangga Mega, yang telah dikuasai It Hiong dengan baik sekali.
Nyata ia dapat mengimbangi si anak muda. Demikian, ia
senantiasa berkelebatan bagaikan gerak geriknya seekor
walet. Di dalam pertempuran itu, yang paling tegas tampak ialah
berkilauannya sebatang pedang dan dua batang golok, mirip
sinar membulang-baling dari sang kilat. It Hiong menonton
dengan perhatian penuh, ia pun mengagumi kedua saudara
Leng itu, yang menjadi lihai luar biasa. Tentu sekali ia sangat
perhatian terhadap Kiauw In, sang kakak seperguruan yang ia
hormati berbareng kekasih yang ia cintai.
Tanpa merasa pertempuran sudah melalui jurus
kelimapuluh. Matahari miring ke barat, sang waktu telah
mendekati magrib. Hal itu membuat hatinya It Hiong menjadi
kurang tenang. Beberapa kali ia berniat maju, guna
membantui sang kakak tetapi selalu ia batal sendirinya. Ia
malu sendirinya. Sebab ia mesti menghargai kehormatan
dirinya selaku laki-laki sejati. Bukankah ia muridnya satu partai
persilatan tersohor " Tak dapat ia melanggar aturan kaum
Kang Ouw walaupun Yan Tio Siang Cian bukanlah orang yang
harus dihormati. Disebelah itu, puas ia menyaksikan Kiauw In
tak kalah desak. It Hiong terus berdiri diam mengawasi pertempuran
berlangsung. Ya Bie juga kagum bukan main. Belum pernah ia melihat
caranya Kiauw In bersilat seperti itu, bagitu pun tidak ia
sangka yang Yan Tio Siang Cin demikian tangguh. Goloknya si
penderita cacat lihai sekali, sangat berbahaya ! Pertempuran
berlangsung terus sampai mendadak dari rumah batu tampak
munculnya beberapa orang yang berlari-lari bagaikan
bayangan hitam, sebab sudah pakaian mereka seragam hitam,
muka mereka ditutup dengan topeng hitam juga.
Ya Bie bermata celi, ia mendapat lihat munculnya orangorang
itu. Segera ia menarik ujung bajunya It Hiong dengan ia
memperdengarkan suara tertahan. Menyusul seruannya si
nona, dari belakang yang terus menyambut orang-orang yang
baru datang itu. Hingga mereka itu tampak terkejut terus
memisah diri, guna melayani serangan tiba-tiba itu.
Kiranya bayangan hitam itu ialah So Hun Cin Lie. Dia ini
mendongkol yang tadi dia telah terkena jarum beracun, meski
dia selamat, hatinya toh panas sekali. Maka itu, melihat
datangnya beberapa orang itu, dia lantas maju menyerang !
Dia ingin melampiaskan kemendongkolannya itu.
Dalam halnya ilmu silat, kepandaiannnya So Hun Cian Li
sudah mencapai taraf orang Kang Ouw kelas satu, sekarang
dia berkelahi karena kemarahannya, dapat dimengerti yang
dia menjadi kosen sekali, sepasang tangannya yang berbulu
menyambar-nyambar dengan hebat !
Beberapa orang berseragam hitam itu menjadi repot dalam
sekejap, tak peduli mereka berjumlah lebih banyak serta
bersenjatakan senjata tajam. Terpaksa mereka lebih banyak
berkelit daripada menyerang. Ya Bie yang polos menyaksikan
pertempuran binatang piaraannya itu, ia senang sekali,
dengan menaruh kepalanya di dadanya It Hiong, ia tertawa
geli. It Hiong sebaliknya berfikir keras menyaksikan dua
rombongan pertempuran itu, yang dua-duanya berimbang
serunya. Justru itu, ia bagaikan disadarkan kelakuan polos dari
Ya Bie itu, telinganya mendengar tawa halus yang merdu dan
hidungnnya mencium bau harum dari nona cilik itu. Tanpa
merasa, ia merangkul nona itu.
"Adikku, apa artinya ini ?" tanyanya.
Ya Bie berhenti tertawa, ia mengangkat kepalanya,
menatap si pemuda. "Aih !" serunya perlahan.
Ke empat mata bentrok sinarnya, itu berarti banyak bagi
hatinya kedua orang. Mereka merasakan seperti tengah
bermimpi atau melayang-layang di udara....
Tak lama muda mudi itu bagaikan bermimpi, mendadak It
Hiong sadar. Itulah disebabkan dari medan pertempuran,
suara berisik berkurang secara tiba-tiba. Ia lantas menoleh
dan mengawasi. Benar-benar pertempuran telah berubah sifatnya. Tiba-tiba
terdengar satu suara tertahan. Lantas tampak tubuhnya
seorang berseragam hitam terlempar tinggi, terus jatuh ke
dalam jurang disisi mereka. Di pihak lain, dua saudara Leng
bertempur tanpa rapat lagi satu pada lain seperti mulamulanya,
mereka jadi terpisah hingga meraka tidak dapat
bersilat golok bagaikan bersatu padu, akan tetapi di lain pihak,
dengan memisahkan diri, mereka merangsak, menggencet di
kiri dan kanan. Kiauw In merubah juga caranya bersilat dari ilmu Sam Thay
Kiam, ia menukarnya dengan Khie-bun Patkwa Kiam, hingga
sekarang dapat ia mengimbangi tangkisannya dengan
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan pembalasannya. Ia sanggup membikin sepasang
golok lawan bagaikan terkekang di luar. Tadi pun ia yang
memaksa lawan merenggangkan diri.
Walaupun mereka telah memisahkan diri, hingga ilmu golok
gabungan mereka menjadi terintang, Leng Gan dan Leng
Ciauw pun telah memikir akal mereka yang licin. Dan akal itu,
mereka tak menunda lama untuk mewujudkannya. Dengan
satu gertakan goloknya, Leng Gan si kakak menggunakan
jurus silat "Walet Menyambar Air" hingga ia mencelat ke
belakang si nona. Selagi mencelat itu, ia menggunakan
kesempatan merogoh ke dalam sakunya, menyusul mana
tangannya dikibaskan, membuat tiga buah sinar perak
berkilauan meluncur ke kepalanya Nona Cio, meluncurnya
sambil berputar ! Senjata rahasia itu pun berbunyi nyaring.
Itulah senjata rahasia istimewa dari Leng Gan, namanya
"Hui Hoan Yan-ciu Piauw atau piauw walet terbang berputar".
Sudah piauw itu direndam di dalam racun, juga meluncurnya
berputar-putar mirip bumerang. Bentuknya piauw mirip
burung walet dari mana nama itu diambil (yan-ciu). Jahatnya
racun ialah membuat daging bonyok dan lepas dari tulang !
It Hiong melihat senjata rahasi itu, diam-diam ia berkuatir
buat keselamatan pacarnya. Bukankah piauw itu telah
berputar dan bersuara membingungkan " Dari terkejut, ia
menjadi gusar! Musuh berlaku curang ! Maka maulah ia
membantu kakak seperguruannya. Begitulah ia menolak
tubuhnya Ya Bie, berniat melompat maju.
Di luar dugaan anak muda ini, ia telah didahului si nona
polos. Tahu-tahu nona itu sudah mencelat tinggi dua tombak,
dengan loncatan "Ular Hijau Melintasi Pohon", jauhnya
setombak lebih. Berbareng denganitu, dia pula sudah lantas
menyerang dengan dua-dua tangannya, tangan kanannya
meluncurkan ularnya dengan jurus silat "Rantai Putih
Melintangi Sungai" dan tangan kirainya menolak keras dengan
tolakan "Menolak - Menumbuk" hingga tiga batang piauw
musuh kena tertolak terbang kembali !
Celakanya, piauw itu menyambar ke arah empat orang
yang lagi mengepung So Hun Cian Li, mereka itu kena
mencium bau racun, kontan kepala mereka terasa pusing.
Syukur mereka masih dapat bertahan, sedang kawan mereka
yang satunya, ialah orang yang telah dilemparkan ke dalam
jurang. Dua batang piauw kena disampok si ular hijau, terpentalnya
keras hingga mengenakan batu gunung, suaranya nyaring,
percikannya pun terpencar terus terlihat asapnya. Yang hebat
Bara Diatas Singgasana 21 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Dendam Membara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama