Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 4

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 4


tiba-tiba saja ia menjejak tanah untuk berlompat mundur. Tapi
justru ia berlompat itu, justru matanya menjadi silau sebab
ujung pedang lawan tahu-tahu sudah mengancam dadanya !
Ia menjadi sangat kaget, ia segera menyedot napas untuk
membikin dadanya ringkas sedangkan dengan goloknya ia
mencoba menangkis pedang si nona. Ia menggunakan tipu
golok "Mendorong Ombak Membantu Gelombang".
Sasarannya ialah lengan si nona yang hendak ditebas kuntung
! Baru saja golok Hian Biu digeraki, sinar pedangnya si nona
sudah berubah berbalik mengancam golok hingga Han Bin
terkejut dan berniat menarik pulang golok itu. Ia dapat
berpikir cepat tetapi gerakan tangannya terlambat disebabkan
ia terpengaruhkan kagetnya. Maka tahu-tahu kembali ia kaget
berbareng merasa dingin dan nyeri pada tangannya sebab dua
buah jeriji tangannya sudah terputus ! Untung baginya selagi
ia terancam bahaya maut Siauw Kie dan Tong Lam Cay dapat
membantunya hingga si nona tak sempat mengulangi
tikamannya ! Bukan itu saja membuat Han Bin kaget dan nyeri, dia juga
gusar sekali ! Rasa nyeri dan gusar yang bercampur menjadi
satu membikin dia merasa hatnya sakit. Hampir saja totoknya
terlepas. Dia telah ditolongi kedua kawannya tetapi itu tak
berarti ancaman petaka sudah lewat. Giok Peng mendongkol
karena usahanya telah orang rintangi, maka itu habis melayani
Siauw Kiu dan Lam Cay, kembali ia mendesak musuh she Thia
itu, terpaksa Han Bin harus menahan nyeri dan melayaninya
terus. Thay Kek Kiam sudah lantas di jalankan dengan semangat
penuh, dengan begitu nona Pek membuat tiga musuhnya
bagaikan terkurung sinar pedangnya hingga Han Bin bertiga
melihat mereka seperti menghadapi ancaman pedang
disekitarnya. Mulanya mereka dapat bekerja sama, lama-lama
mereka jadi repot sendirinya. Lewat lagi beberapa jurus, Tong
Lam Cay kaget bukan main. Inilah jurus satu kali ketika
senjatanya bentrok dengan serangannya si nona yang mereka
keroyok dengan mendadak saja senjatanya itu kena
dibuntungkan ! Hanya kaget tinggal kaget, ia terpengaruhkan
kegusarannya yang membuat matanya gelap. Demikianlah dia
berseru lantas dia lompat menerjang dengan tangan kosong
dalam hal mana dia telah memiliki latihan puluhan tahun. Dia
menyerang dengan tangan kanan dan tangan kiri silih
berganti. Giok Peng menerka orang menggunakan tenaga dalam
yang mahir, ia tidak mau melawan keras dengan keras,
selekasnya serangan hampir sampai ia menjejak tanah
berlompat tinggi. Tetapi ia mencelat cuma untuk berkelit.
"Kelihatannya kau seperti orang marah-marah. Kalau
dirumah aku mengalah sedikit terhadap kau, tidak mengapa.
Tapi kalau keluar pintu, kau harus mengalah sedikit
terhadapku. Siapa suruh kau menjadi enciku ?"
Ciu Biuaw Kouw dengar nona itu merubah sebutan
kepadanya sebagai enci, dalam hati merasa tidak enak sendiri.
Goaw Kiang Cu memanggil Lan Siauw In lalu berpesan
padanya demikian : "Dua ekor burung ini sangat cerdik, dua-duanya dapat
memahami maksud orang. Nanti kalau orang she Tiauw itu
sudah siuman kalian boleh mengambil keputusan sendiri,
kemana saja kalian mau pergi burung itu bisa membawa
kalian ke tempat yang kalian ingini. Dan sesudahnya, kalian
tidak perlu repot-repot, dua-duanya bisa balik sendiri."
Tien Wi Kek, tombak bercagak dari Ti Wie itu orang kosen
dijaman Sam Kok, tiga negara. Dengan senjata itu juga, Tay
Kong menyerang dengan luar biasa cepatnya. Kiauw In
waspada selekasnya ia diserang ia berkelit sambil mengegos
pundaknya sambil bertindak nyamping dengan tindakan
menginjak apa yang dijuluki gerak patkawa. Begitu lekas ia
selamat, ia sudah lantas menlakukan penyerangan
pembalasan. Dari samping itu ia membabat dengan babatan
"Naga Emas Menggoyang Ekor", sasarannya ialah lengannya
lawan yang galak itu. Tay Kong terkejut. Bukan saja serangannya gagal, ia pun
segera terancam bahaya. Bisa buntung lengannya itu ! Maka
lantas ia menaruh kaki begitu ia maju pula guna menyerang
kembali. Ia pakai tombak cagak kiri guna melindungi tubuhnya
dengan tombak cagak kanan ia kembali mengancam
lawannya. Ia mengarah iga kanan si nona. Itulah tipu jurus
"Kiri Menoleh, Kanan Menangkap."
Kiauw In berkelit dengan menggeser diri ke kiri satu tindak,
begitu senjata lawan lewat tanpa mengenai sasarannya, ia
membalas dengan tak kurang cepatnya. Ia menikam ke arah
kerongkongan lawan itu ! Itulah tikaman "Bianglala Putih
Mengelilingi Matahari". Demikian, begitu bergerak, mereka
sudah saling menyerang hebat, cepat dan telengas dan tidak
ada yang sudi mengalah atau berlaku lambat. LieTay Kong
lantas mendapat tahu lawannya lihai, tak mau ia berlaku lalai.
Ia segera menyerang pula. Ia mengeluarkan ilmu tombak
cagaknya yang diberi nama "Lima Harimau dan Ular Naga",
hingga anginnya itu menderu-deru membisingkan tempat
terbuka itu. Ilmu tombak cagak itu dicampur dengan ilmu
pedang Ngo Heng Kiam dari Ngo Bie Pay, hingga gerakannya
makin cepat berbahaya. Pek Cut Taysu yang menonton menjadi terkejut. Hebat Lie
Tay Kong. Sendirinya pendeta itu berkuatir nona Kiauw In
nanti tidak sanggup melayani lawannya yang lihai dan ganas
itu, celaka kalau dia ayal atau keliru menggerakkan
tangannya. Kiauw In bertempur dengan sebatang pedang
yang ia geraki umpama kata seperti "naga dan ular terbang
menari-mari", cepatnya bagaikan angin menggulung mega
atau bintang-bintang bertaburan. Lie Tay Kong dapat
mengimbangi kepandaiannya si nona, maka juga pertempuran
mereka menjadi seru sekali. Jurus-jurus telah dikasih lewat,
mereka berkelahi makin keras dan makin cepat. Sampai lima
puluh jurus, mereka tetap sama unggulnya. Hingga nampak
saja berkelebatannya sinar pedang dan tombak cagak dan
sinar itu mengkilat kehijau-hijauan. Kalau Lie Tay Kong
menyerang dengan berani, Kiauw In melawan dengan
waspada serta menjaga dan melindungi pedangnya agar
jangan sampi kena terkait. Tongkat cagak yang berkaitan itu
memang istimewa guna mengait senjata lawan untuk ditarik
dan dirampas. Maka itu walaupun pertempuran dahulu si nona
lebih banyak di pihak membela diri.
Lie Tay Kong penasaran, melihat si nona lebih banyak
berkelit, ia mau percaya nona itu tak akan bertahan lama.
Demikian ia menunggu saat yang tepat. Saat itu ialah saatnya
si nona sudah letih. Dan saat itu tiba selewatnya beberapa
jurus lagi. Secara sekonyong-konyong orang she Lie itu
berseru keras, lalu tubuhnya mencelat tinggi tujuh atau
delapan kaki, lantas dari atas selagi turun ia menyerang
dengan tombak kaitannya itu, mengarah kepala si nona.
Itulah pukulan "Menggempur punggung Thay San." Nona
Cio melihat gerakan lawannya, ia tidak menangkis, hanya
berkelit saja dengan memutar tubuh. Mudah saja ia
menyelamatkan dirinya. Tapi ia bukan melulukan berkelit
hanya selekasnya kaitan lewat, ia membalas menikam dengan
tikaman "Tiga Kali Menghajar Gelombang Pintu Naga." Lie Tay
Kong tengah menggunakan ayalnya. Sebelum kakinya
menginjak tanah, ia sudah menghalau tikaman itu. Lalu
selekasnya ia dapat berdiri terus ia berlompat pula jauh
setombak lebih. Kiauw In tidak dapat menerka maksudnya lawan.
Selekasnya ia menarik pulang pedangnya, ia pun berlompat
untuk menyusul. Maksud Tay Kong ialah menanti lawannya
letih. Terkaannya itu tepat. Hanya ia kurang menyelami
kepandaiannya si nona. Memang Kiauw In mulai merasa letih,
tetapi ia tahan diri, ia masih dapat bertahan. Tay Kong sendiri
pun sudah mulai mengeluarkan peluh sebab ia telah
mempergunakan terlalu banyak tenaga. Hanya itu ia percaya
si nona pastilah terlebih lelah dari padanya. Ketika ia
berlompat itu, kakinya sudah tak tetap semula, tetapi ia masih
menjalankan rencananya. Ia tetap menanti waktunya dan
waktu itu segera tiba. Di saat itu Kiauw In berlaku cerdik.
Nona inipun memikir guna memancing lawannya itu. Maka
berdua mereka ada masing-masing maksudnya sendiri-sendiri.
Si nona pula mengasih rupa kurang gesit...
Lie Tay Kong girang sekali. Mendadak ia mendak. Lantas ia
menyerang dengan tian wie kek, sepasang tombak kaitannya
itu. Kaitan kanan bergerak dengan jurus "Di dasar Laut
Mencari Jarum" dan yang kiri dengan "Dewa menunjuki Jalan".
Kedua kaitan meluncur ke arah tenggorokan dan iga ! Melihat
datangnya ancaman petaka itu, Kiauw In berlaku gesit. Ia
berkelit ke kiri sejauh satu tindak, terus ia memutar tubuhnya.
"Awan Menampak Matahari". Senjatanya itu dilancarkan mirip
senjata rahasia. Kiauw In dapat melihat bahaya
mengancamnya, itu ia dapat mengerti lawan pasti sudah
mengerahkan tenaga, maka itu tak mau ia melayani keras
dengan keras. Malah untuk menyelamatkan diri, ia berkelit
sambil menjatuhkan diri bergulingan sejauh tujuh atau
delapan kaki. Sebaliknya, sepasang senjatanya Lie Tay Kong
itu mengenai tanah sampai nancap setengah kaki !
Menyusul senjata itu, Tay Kong turun ke tanah, untuk
mencabutnya, tapi justru ia berbuat demikian. Kiauw In telah
berlompat maju, membalas menyerang padanya. Si nona
berlompat dengan lompatan "Ikan Gabra Meletik di Pintu
Naga" dan menikam dengan jurus "Bidadari Melemparkan
Tuak", sasarannya yaitu dada lawan. Tay Kong sampai
mencabut kaitan kirinya, kaitannya masih tetap nancap di
tanah itu, maka ia terpaksa menangkis dengan tangan kiri
dengan gerakan "Menyangga Penglari Emas" Tidak ada waktu
bagi Nona Cio untuk menarik pulang pedangnya, maka kedua
senjata lantas beradu keras, tetapi ini ada baiknya untuknya,
yang telah memikirkan jalan untuk menghajar lawan itu.
Berbareng dengan bentronya kedua senjata itu, tangan kirinya
menyambar dada lawan. Celaka bagi Tay Kong, tangan kirinya tak dapat ditarik
pulang. Dia juga tidak sempat menggunakan kaitan kanannya
sebab tombak cagak itu belum keburu dicabut. Dia pula tak
sempat menangkis dengan tangan kosong sebab tangannya
tengah memegangi gagang tombak. Maka itu, dadanya kena
terhajar keras hingga dia menjerit keras. Dengan melepaskan
tangannya pada tombak cagak yang masih nancap ditanah itu,
dia berlompat mundur, tubuhnya limbung, hampir dia rebah.
Kiauw In tahu orang terluka hendak ia menyatroni, buat
menghajarnya lebih jauh atau ia terkejut tiba-tiba. Itulah
sebab, selekasnya dia menancap kakinya, Tay Kong sudah
menimpuk dengan panah tangannya yang beracun yang
disimpannya di dalam bumbung, hingga meluncurlah enam
batang mengarah ke atas, bawah dan tengah.
Syukur si nona tabah dan sebab tak sempat ia berkelit,
maka ia putar pedangnya dengan cepat, membikin ke-enam
batang panah itu terasampok jatuh ke tanah. Lie Tay Kong
penasaran sekali, hendak ia menyerang terlebih dahulu. Ia
masih mempunyai senjata rahasia lain. Tapi, sebelum ia
mengeluarkan senjata rahasia itu, dari belakangnya ia
mendengar suara orang berkata padanya :
"Saudara Lie, silahkan mundur ! Kau biarkan Tio It In yang
membereskan ini siluman perempuan !"
Menyusuli kata-katanya itu, orang yang menyebut dirinya
Tio It In itu benar-benar sudah lompat maju dengan
penyerangan hingga Kiauw In terpaksa mesti melayani
padanya. Bahkan karena penyerangan dilakukan dengan keras
dan terus menerus tanpa merasa di dalam sejenak itu mereka
sudah melalui sepuluh jurus ! Di pihak lain, Gouw Jie Taysu
sudah dilibat Giok Bin Siang Ho Tan Hong dan Cek Hong Sian
cu Cin Tong. Dia menjadi repot sebab tak mampu dia
membebaskan diri, sedangkan sebenarnya dia memikir buat
membantui Gouw Tek Taysu. Dia pula melihat bagaimana Kan
Tia Uh si pendurhaka tengah mendesak Gouw Gio dan Gouw
Ceng, kedua tentu yang repot hingga buat membela diripun
sukar. Juga si jago tua Ngay Eng Eng sudah terlibat Beng Leng
Cinjin. Tak lama muncullah Ang Sian Siangjin. Pendeta ini
melihat Eng Eng terdesak hebat oleh ketua dari pulau luar
lautan itu, tanpa pikir pula, ia maju untuk membantu. Karena
ini Eng Eng sempat lompat mundur, hingga si pendeta sendiri
yang menggantikannya melayani. Ang Sian menggunakan
tongkat sianthung, datang datang dia membabat ke bawah.
Hebat serangan itu hingga anginnya membuat debu dan batu
halus beterbangan. Beng Leng Cinjin menangkis sambil
merapatkan menempel tongkat orang, berniat terus memapas
tangan lawan tetapi Ang Sian keburu menarik pulang
tongkatnya itu. Setelah gebrakan yang pertama ini, kedua belah pihak
lantas waspada. Karena masing-masing mereka menginsafi
lihainya lawan. Seratus lebih pendeta lantas berdiam untuk
menonton pertempuran diantara kedua jago itu. Ang Sian
bertindak memutar, demikian juga jago luar lautan itu. Mereka
sama-sama melihat kesempatan. Dua kali Beng Leng
menikam, ia tak diladeni. Ang Sian dapat menerka orang
hanya menggertak. Melihat si pendeta tidak kena digertak,
Beng Leng memikir akal. Lagi-lagi ia mulai menyerang,
separuh menggertak separuh sungguh-sungguh. Ia ulangi itu
hingga belasan kali. Ia pun ingin membuat mata lawan kabur
dengan sinar pedangnya itu, yang berkelebatan berkilauan.
Lalu mendadak ia menikam benar-benar, mencari dada si
pendeta. Ia menggunakan jurus "Ular Beracun Keluar dari
Gua". Ang Sian selalu waspada, matanya pun awas. Kali ini ia
mengerti bahwa orang bersungguh-sungguh. Lantas ia pun
menggunakan tipu. Ia membiarkan pedang meluncur ke arah
sasarannya, hanya setelah ujung senjata itu hampir mengenai,
mendadak ia mendirikan tubuhnya, yang digeser sedikit ke
samping, untuk dari situ menghajar sambil berseru,
maksudnya menghadang jalan mundur lawan. Hebat serangan
itu, yang berupa kemplangan.
Kee Liong yang turut menontonpun kaget sekali, ia takut
ketuanya nanti kena terhajar mati. Ia melihat serangan sangat
berbahaya itu. Tapi Beng Leng dapat menyelamatkan diri.
Tahu-tahu dia sudah berlompat tinggi. Itulah karena caranya


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang luar biasa, yaitu tongkat ditudingkan nempel dengan
ujung pedang lalu tenaga dikerahkan, maka sambil menolak
tongkat itu, tubuhnya mental naik untuk terus berjumpalitan
nyamping terlebih jauh, hingga dia bebas seluruhnya.
Ang Sian tidak mau mengerti, ia lompat menyusul. Kembali
ia menyerang. Ia tidak mau menanti sampai lawan keburu
memasang kuda-kuda. Cara ini membuatnya menang diatas
angin. Maka orang dan tongkat bergerak seperti menjadi satu,
setiap serangan merupakan serangan maut. Disamping ilmu
silatnya, ia memang bertenaga besar dan tenaga dalamnya
mahir. Tongkatnya itu berat, tapi ditangannya menjadi ringan
sekali, mudah digerak gerakinya, siapa terkena tongkatnya dia
seperti direnggut maut. Repot juga Beng Leng, tak perduli dia lihai sekali. Repot dia
membela diri hingga sulit buat dia mencari ketika akan satu
penyerangan membalas. Syukur ia gesit dan lincah, dapat ia
melayani dengan cara pembelaan diri saja. Akan tetapi sambil
berkelit ia juga menggunakan otaknya yang ia asah untuk
mendapatkan daya menentang bahaya jiwa, buat suatu
pembalasan. Ia bisa celaka kalau ia tidak berhasil
mendapatkan daya itu. Beng Leng lantas menggertak gigi, tubuhnya maju,
senjatanya bekerja. Ia bergerak cepat bagaikan angin.
Senjatanya itu berkilau di depan si pendeta, hingga dia ini
merasa silau dan terpaksa mundur beberapa tindak. Dengan
perlawanannya yang bertubi-tubi itu, akhirnya dapat ia
membebaskan diri untuk merebut kedudukan. Ang Sian kagum
menyaksikan imam itu demikian gagah, dilain pihak ia pun
mendongkol. Kembali ia maju menyerang. Syukur baginya, ia
berpengalaman dalam hal pertempuran. Karena ketahui lawan
lihai, ia berkelahi dengan perhatian sepenuhnya. Dengan
tongkatnya ia mencoba mengurung pula lawan itu.
Kembali Beng Leng melakukan perlawanan. Rata-rata ia
dibawah desakan, tetapi saking lihainya, Ang Sian tidak dapat
berbuat lebih banyak lagi. Sejurus demi sejurus maka
keduanya sudah lantas melalui seratus jurus lebih ! Masih saja
mereka tampak tak letih-letihnya. Bahkan lewat lagi sekian
lama si pendeta dapat bergerak lincah berputaran didalam
gelanggang pertempurannya itu. Ujung siantung seperti
membayangi tubuh orang tetapi tubuh itu tak pernah
tersentuh saking liciknya atau karena tangkisannya yang
tepat. Ada kalanya Beng Leng menangkis, beberapa tipu pedang
telah dikeluarkannya guna mendesak lawannya. Ia
menggunakan jurus-jurus seperti "Angin Keras Meruntuhkan
Daun, Kaisar Han Kho Couw Membunuh Ular, Ayam Galak
Merebut Gabah dan Di Kepala Naga Mengambil Mutiara",
ujung pedangnya senantiasa mengancam lawannya itu.
Tibalah gilirannya Ang Sian akan melayani pelbagai
ancaman petaka, dengan tongkatnya ia menghalau setiap
tikaman atau tebasan Beng Leng. Hingga kemudian mereka
tampaknya seperti seri, seimbang gerak geriknya. Dan itulah
bukti dari ngototnya si imam dari luar lautan itu yang benarbenar
lihai, tak dapat dipandang ringan. Apa yang tegas
diantara dua lawan itu, Ang Sian menang tenaga dan tenaga
dalam dan Beng Leng kelincahan, keringanan tubuhnya juga
ilmu pedangnya. Di luar pintu gerbang Siauw Lim Sie juga terjadi
pertarungan yang seru diantara penyerbu dan tuan rumah,
suara senjata beradu riuh sekali, sedang berkelebatnya
senjata-senjata itu memperlihatkan sinar berkilauan. Tubuh
orang bergerak bagaikan tak hentinya. Suasana itu mirip
dengan badai tengah mengamuk, membuat daun-daun
berjatuhan dan rumput rapat terkurung.
Selagi suasana sedemikian rupa itu, sekonyong-konyong
orang mendengar satu suara tertawa yang bergelak-gelak
keras dan lama datangnya dari rimba sebelah kiri medan laga
itu. Semua telinga orang bagaikan ditusuk-tusuk mendengar
tawa nyaring luar biasa itu. Orang terkejut dan heran tanpa
merasa orang pada berpaling. Belum berhenti suara itu atau
orang melihat munculnya seseorang ialah orang yang tertawa
luar biasa itu. Kiranya tiga tombak dari pintu di sana berdiri
seorang pengemis yang usianya sudah lanjut. Siapa yang
kenal atau tahu pengemis itu lantas mengenali Pat Pie Sin Kit
In Gwa Sian ! Segera In Gwa Sian melirik tajam ke segala penjuru,
setelah itu dia bertindak ke depannya Pek Cut ketua Siau Lim
Sie untuk lantas berkata :
"Di mataku si tua bangka, kawanan setan-setan cilik benar
ada mempunyai kepandaian yang berarti ! Maka itu sayang
mereka pada mengandung hati binatang hingga mereka sudah
mengumpul dosa dalam dunia rimba persilatan, maka itu
nampaknya tak dapat tidak, mereka harus diberi hajaran
hebat !" "Amida Buddha !" Pek Cut memuji seraya merangkap kedua
belah tangannya. "Sebenarnya sudah cukup asal mereka itu
tahu diri dan mundur sendirinya, supaya selanjutnya mereka
sadar, lalu mencuci hati dan mukanya ! Hanya dengan begitu
saja maka akan habis sudah ini macam kutukan celaka !"
In Gwa Sian tertawa pula nyaring :
"Bapak pendeta yang maha suci" katanya. "Walaupun kau
memondong maksud yang baik dari sang Buddha yang maha
mulia dan welas asih tetapi tidaklah demikian hatinya kawanan
bangsat cilik ini ! Mereka justru menguatirkan yang dunia tak
kacau balau, bahwa kejahatan masih kurang hebat ! Maka
juga kita yang bekerja buat tujuan yang mulia, kita harus
membasmi segala kejahatan, guna menolong rakyat jelata
yang aman dan damai ! Dalam hal ini kita harus bersikap
dengan pembunuhan menghentikan pembunuhan !"
Habis berkata begitu, selagi suara mendengung dan katakatanya
belum sirna, si pengemis sudah lantas bertindak ke
arah pertempuran diantara Ang Sian Siangjin dan Beng Leng
Cinjin. Ia bertindak untuk melompat mencelat supaya dapat
datang menghampiri dengan terlebih cepat. Selekasnya ia
sudah sampai mendadak ia meluncurkan sebelah tangannya
menyerang kepalanya si imam !
Itulah jurus pukulan "Burung Air Mematuk Ikan", satu jurus
dari ilmu silat "Hang Liong Bok Mo Ciang" Menaklukan Naga,
Menundukkan Bajingan. Beng Leng Cinjin menjadi kaget,
lekas-lekas ia berkelit, berbareng dengan mana dengan
pedangnya ia menebas lengan orang. In Gwa Sian menyerang
sambil berlompat maka itu tebasan pedang menyambar
padanya belum sempat menaruh kaki. Tapi tebasan lawan itu
sudah menjadi terkaannya maka juga ia menarik pulang
serangannya sambil tangannya itu diputar balik buat terus
dipakai mementil belakang pedang. Itulah pukulan tangan
yang berpokok pada ilmu tenaga dalam "Sian Thian Khie
kang" dan tepat pentilannya itu, hingga pedang lawan
memperdengarkan suara keras dan putus seketika bagian
yang terserang itu ! Memangnya In Gwa Sian telah melatih
ilmu silatnya itu selama beberapa puluh tahun.
Berbareng dengan itu, Ang Sian Siangjin tidak berlompat
mundur atau menyamping, sebaliknya, ia menyerang sebab ia
kebetulan tengah mengancam lawannya itu. Ia menyerang
dengan tangan kiri yang terbuka sambil ia berlompat maju.
Beng Leng Cinjin terkejut karena putusnya pedangnya itu,
tetapi sebagai seorang jago yang berpengalaman, hatinya
tidak gentar dan dia juga tidak mau mengangkat kaki dari
depan pertempuran cuma guna mencegah serangan lanjutan
dari lawan, ia menjatuhkan diri ke tanah, buat menyingkir
sambil bergulingan. Dengan begitu bebaslah ia dari ujung
tongkat atau tangannya si pengemis. Lekas-lekas ia menoleh,
akan menatap orang yang menguntungkan ujung pedangnya
itu. In Gwa Sian tidak menanti orang membuka mulut, ia
menuding sambil tertawa dan kata dengan nyaring : "Kiranya
latihan ilmu silat tiga puluh tahun dari pulau Ikan Lodan Hitam
cuma sebegitu saja ! Baru serangan satu jurus saja sudah kau
tak sanggup terima, bagaimana berani kau mendatangi
Tionggoan, guna mengganggu kesejahateraan kau rimba
persilatan kami ?" Itulah ejekan ! Maka gusar Beng Leng Cinjin bukan
kepalang. oooOooo "Pengemis bangkotan !" bentaknya sengit. "Pengemis,
jangan kau ngoceh tidak karuan ! Jangan kau takabur !
Kenapa kau main bokong " Apakah kau masih punya muka
untuk muncul dalam dunia Sungai Telaga ?"
In Gwa Sian menatap, sikapnya dingin.
"Menghadapi kamu, kawanan bajingan cilik, jika kau tidak
senang dan hendak menempur aku, kau utarakanlah
kehendakmu ! Kau mau apa ?"
Meluaplah hawa amarahnya si jago dari luar lautan, tak
sudi ia melayani mengadu lidah lagi, didalam murkanya itu,
mendadak ia menyerang si pengemis dengan pedang
buntungnya itu, yang ia timpukkan ! In Gwa Sian dapat
melihat serangan yang seperti membokong itu sembari
mengegos tubuh ke sisi, ia tertawa lebar, tangannya diulur
buat dipakai menyambuti senjata itu yang tepat ia kena cekal
gagangnya. Tetapi ia tidak cekal itu lama-lama hanya begitu
terpegang terus ia lemparkan ke samping, ke arah Tio It In
yang sedang berkelahi ngotot melibat Nona Cio Kiauw In !
"Aduh !" menjerit orang luar lautan itu, sebab tepat pedang
mengenakan tubuhnya menyusul mana dia roboh, atas mana
Kiauw In lompat kepadanya sambil si nona menggerakkan
pedangnya, guna menghabiskan jiwa orang atau mendadak
Kee Liong lompat menerjang. Dia itu mau membantu
kawannya, maka ia menangkis pedang si nona, hingga kedua
senjata beradu keras. Demikian It In dapat menggulingkan
tubuh. Kiauw In tidak puas atas cegahannya Kee Liong itu. Justru
pedangnya nempel dengan toya besi musuh itu, ia
meneruskan menyosorkan pedangnya itu menyusuri
pinggirannya toya, untuk menebas jeriji-jeriji tangan yang
mencekal genggaman besi bulat bundar itu.
Kee Liong kaget sekali. Inilah ia tidak sangka. Adalah diluar
dugaannya yang nona itu demikian lihai. Celakalah kalau ia
membandel memegang senjatanya itu. Buat berkelit atau
menangkis sudah tidak keburu. Maka terpaksa ia melepaskan
cekalnya hingga toya besi jatuh ke tanah dan ia sendiri terus
lompat mundur sekalian menjauhkan diri !
Kiauw In tidak mengejar lawannya itu, sebaliknya ia
berpaling ke arah Tio It In sambil terus berlompat untuk
menghampirinya. It In telah mengguling tubuh sejauh lima
tombak, akan tetapi ia dapat disusul dengan dua kali enjotan
tubuh saja. Sementara itu Lie Tay Kong, yang dilukai si nona, masih
rebah di tanah. Ia melihat nona itu menyusul It In, segera
memikir buat menurunkan tangan jahat. Ia berada lebih dekat
dengan si nona daripada It In dengan nona itu. Ia pula masih
dapat bergerak leluasa. Maka lekas-lekas ia mengeluarkan
senjata rahasianya, panah Bwan hoa-cian yang beracun itu,
terus saja ia menyerang !
Kiauw In tengah menghampiri It In, ia tidak menyangka
jelek akan tetapi ia memiliki pendengaran yang luar biasa,
telinganya menangkap suara angin menyambar. Lantas ia
menduga kepada senjata rahasia. Tanpa menoleh pula ia
mengapungi diri dengan ilmu ringan tubuh lompatan Tangga
Mega. Maka lima batang panah beracun lewat dibawah
kakinya. Justru itu Kee Liong telah menggunakan kesempatan yang
baik. Selagi si nona membantu diri itu, ia justru membantu It
In yang tubuhnya ia sambar dan angkat terus digendong
dibawa lari ! Kiauw In turun ke tanah untuk segera menuding Lie Tay
Kong. "Hai, jahanam, bagaimana kau berani membokong orang ?"
tegurnya gusar. "Perbuatanmu sungguh rendah ! Sayang kau
sedang terluka parah, tidak tega aku membunuhmu ! Ingat,
jika nanti kita bertemu pula, tak nanti aku suka memberi
ampun padamu !" "Hei budak bau, kau membuka mulut besar !" Tiba-tiba Tan
Hong si Rase Sakti Bermuka Kemala berkata dengan dingin.
"Nonamu ini ingin belajar kenal dengan ilmu silat lihai dari kau
Pay In Nia kamu ! Hendak aku lihat Tek Cio si imam tua telah
mengajarkan budaknya kepandaian berapa tinggi !" Kata-kata
ini disusul dengan serangan dengan tongkatnya yang disebut
tongkat batu sanho pang dan pukulannya ialah jurus "Berlaksa
Bunga Mekar Berbareng", itulah salah satu ilmu silat istimewa
dari pulau Hek Kang To, dan sekali hajar terus bertubi-tubi
sampai delapan kali beruntun. Kiauw In lantas seperti
terkurung sinar berkelibatan dan pelbagai jalan darahnya
terancam akan tertotok atau tertusuk !
Memang namanya "Sam Koay Cit Yauw It Lo Yauw " Tiga
siluman, tujuh iblis atau bajingan dan satu tampang tua
sangat menyeramkan dan menakuti, sebab disamping mereka
hebat luar biasa, juga mereka sangat telengas, sedangkan Tan
Hong ini menjadi salah satu dari tiga iblis dari Hek Kang To.
Dalam halnya ilmu silat, ia cuma kalah seurat dari Beng Leng
Cinjin, ketuanya dan menang setingkat dari Cek Hong Siancu
Cin Tong. Mengenai kekejamannya, kaum Sungai Telaga jeri
terhadapnya ! Kiauw In mendengar suara orang itu akan tetapi sebelum ia
sempat memutar tubuh, cahaya terang sudah datang
kepadanya untuk mengurungnya, penyerangnya sendiri tidak
nampak. Ia cerdas dan tabah. Ia berlaku tenang. Kembali ia
mencelat tinggi dengan gerakan dari lompatan Tangga Mega.
Semua hadirin di medan pertempuran mengagumi nona
Cio. Adalah diluar sangkaan mereka yang si nona dapat
menyelamatkan diri dari serangan maut itu.
Habis mengelit dan menangkis delapan jurusnya lawan,
tanpa membuang waktu lagi, nona Cio melakukan
penyerangan pembalasan. Ia lantas menggunakan Khie bun
Pat Kwa Kiam jurus "Pelangi Melayang Menyusuli Suara" ujung
pedangnya menempel tongkat. Jurus ini mempunyai delapan
perubahan dan semuanya itu lantas dikeluarkan dipakai
menyerang guna menggempur tenaga dalam lawannya.
Siapa tidak lihai dan berpengalaman sukar dia lolos dari
jurus silat itu. Tan Hong jago Hek Kang To, dia lihai dan
banyak pengalamannya, tapi dia lalai, maka itu repotlah ia.


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tongkatnya sudah berbalik kena dikekang dan beberapa kali
kena terhajar hingga bersuara nyaring seperti mau patah.
Syukur senjatanya itu istimewa dan dapat bertahan. Hanya ia
kaget dan karenanya menjadi gusar sekali sebab berbareng ia
pun malu. Lantas ia tertawa dingin. Biasanya makin ia gusar,
tawanya itu makin hebat. Sembari bertahan itu ia
mengumpulkan tenaga dalamnya, ia mencoba menindih
pedang lawan. Jilid 8 Kiauw In masih sangat muda, walaupun demikian tenaga
dalamnya berimbang dengan tenaganya cabang atas wanita
dari luar lautan itu, maka tak mudah ia berbalik dikekang pula.
Ia bertahan untuk tetap menguasai keunggulannya. Maka
suara senjata menjadi lebih serius beradu nyaring dan gerakan
tubuh mereka berdua makin hebat. Karena mereka mengadu
tenaga dalam, tindakan mereka ayal.
Itulah saat-saat yang berbahaya buat kedua pihak samasama.
Siapa lalai ia bercelaka. Alis lentik Kiauw In bangun
berdiri, sepasang matanya yang jeli dibuka lebar. Kedua belah
pipinya yang halus pun bersemu merah dadu. Tan Hong,
karena murkanya tak lagi tampak senyum genitnya yang
menggiurkan hati sebaliknya kedua biji matanya
mengeluarkan sinar marong bagaikan api bara ! Aneh ialah ia
justru tertawa, tawanya justru bertambah keras...
Kedua nona pun sampai memperdengarkan suara nafas
mereka... Tengah mereka bergulat lebih jauh itu dengan
memecah meminjam tenaga lawan, dengan sekonyongkonyong
saja tahunya Tan Hong melejit tinggi, menyusul
mana tangan kirinya yang kosong dipakai menyerang
lawannya, ia menggunakan pukulan Udara Kosong dan
sasarannya ialah batok kepala lawannya. Kiauw In waspada,
matanya tajam gerakannya gesit.
Melihat serangan lawan itu ia bertahan menentang tongkat
musuh untuk membela diri. Ia memasang kuda-kuda rendah,
tangan kirinya diangkat keras ketinggi guna menyambut
serangan gencar itu. Ia menggunakan satu jurus dari Hang
Liong Hoa Houw Kun silat Menaklukan Naga menundukan
harimau ajaran Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian paman gurunya.
Giok Bin Sian Ho cerdik sekali. Barusan dia menghajar Kiauw
dengan dua maksud, pertama untuk mengancam supaya
tongkatnya dapat dibabatkan, dan kedua sekalian saja kalaukalau
lawan itu dapat dihancurkan batok kepalanya. Tapi ia
gagal seluruhnya. Tidak disangka Nona Cio dapat menentang hajarannya itu !
Ia terkejut sebab selagi menyerang itu, tubuhnya masih belum
menginjak tanah, sedangkan tenaganya dipecah dua, ke
tangan kanan dan tangan kiri.. satu buat meloloskan
tongkatnya, satu lagi buat merebut kemenangan. Tanpa dapat
dicegah lagi kedua tangan lantas beradu satu dengan lain.
Dasar dia cerdik. Tan Hong menggunakan kesempatan buat
terus menendang. Kiauw In mau menghindarkan diri, terpaksa
ia lompat nyamping. Dengan begini berhasillah daya upaya
jago dari Hek Kong To itu, tongkatnya lantas lolos dari
kekangan pedang. Bagus untuknya, Nona Cio tidak meneruskan menyusulnya.
Melihat orang mundur, Kiauw In lantas kembali pada Pek Cut
Siansu, niatnya buat beristirahat dahulu. Biar bagaimana ia
merasa letih. Justru Nona Cio mengundurkan diri, justru ada
orang berlompat menyusul padanya, saking cepatnya tubuh
orang itu tampak seperti bayangan hitam saja.
Di lain pihak satu sinar mengkilat menyambar arah
kepalanya nona yang dihampirinya itu. Semua orang tegasnya
semua pendeta menjadi terperanjat. Nona Cio lagi dibokong
orang ! Serempak beberapa diantaranya maju guna
menghadang musuh. "Aduh !" demikian terdengar satu jeritan dan robohlah
penyerang gelap itu sebelum dia berhasil mencapai Nona Cio,
itulah akibat berkilauannya dua buah sinar mirip cahaya
bintang yang satu menyambar pedang yang lain mengarah
pedang yang dipakai si pembokong. Setelah itu maka ternyata
tukang membokong itu yaitu Cek Hong Sian cu Ciu Tong yang
membokong Nona Cio guna ia melampiaskan kedongkolan
hatinya sebab Tan Hong kena dipukul mudur. Pedangnya itu
diruntuhkan dua batang Twie Han Piauw, Piauw Mengejar Koh
atau Piauw maut dari In Gwa Sian yang membantu Kiauw In
berbareng mencegah majunya lawan.
Tatkala itu jam empat kira-kira. Angin gunung bertiup
mendatangkan hawa makin dingin. Anginpun membuat rimba
menjadi berisik sebab bergerak-gerak dahan dan daunnya.
Hanya pertempuran di muka gerbang Siauw Lim Sie telah reda
sendirinya, sebab musuh mundur teratur dan pihak Siauw Lim
Sie tidak mengejarnya. Orang pada hendak beristirahat.
Maka sunyilah suasana disekitar tempat itu ! Tetapi justru
sang kesunyian baru menguasai sang malam, mendadak
orang mendengar suara-suara yang datangnya dari dalam kuil,
datangnya saling susul suaranya seperti mengalun ditengah
udara. Semua orang terperanjat. Pek Cut mengerti musuh
sudah menyelundup kedalam kuil sedikitnya guna mengacau.
Maka ia lantas memikir siapa yang dapat dikirim untuk
membantai pihaknya yang membelai kuil. Selagi berpikir itu,
berulang-ulang ia memuji Sang Buddha !
Sebelum kepala pendeta itu berkata-kata Liauw In sudah
bertindak kehadapannya buat memberi hormat seraya berkata
: "Dari dalam kuil terdengar suara-suara dari timur
menyerang ke barat, maksudnya buat mengacau kita supaya
kita ribut dan bingung tak karuan. Menurutku tak usah kita
mengirim bantuan kesana. Di dalam kuil sudah ada tiga
totiang dan Bu Tong Pay, kawanan jahanam itu pasti tidak
dapat berbuat banyak. Kita harus jaga supaya kita tidak kena
tertipu mereka. Baiklah aku yang pergi pulang, guna melongok
dahulu." Pek Cut Taysu setuju. "Baik, kau pergilah, sute ! Asal kau
waspada !" Liauw In mengangguk, segera ia berangkat pergi. Ketika
tadi Beng Leng Cinjin dari Bok Kang To menempur In Gwa
Sian dan pedangnya kena dikutungkan, pedang mana terus
ditimpukkan oleh pendeta kepada Tio Itlo, hatinya panas
bukan main. Ia pun malu. Sekian lama ia berdiri diam saja.
Dan tatkala Kiauw In dan Tan Hong mengadu kepandaian
hingga semua orang asyik menonton, mendadak ia
mempunyai serupa pikiran, lantas secara diam-diam ia
mengangkat kaki dari situ, lantas menuju kedalam kuil.
Diatas genteng dalam diatas beberapa wuwungan atau
ruang samping, ia bersembunyi disebuah payon disitu pojok.
Dari sini ia memasang mata ke empat penjuru kuil. Ia
mendapati pelbagai pandangan dimana cahaya api terangterang.
Tapi lalu sunyi sekali. Hingga ia menjadi heran, ia
menerka-nerka apakah sebabnya kesunyian itu "
Kemudian mengawasi lebih jauh, ia tertarik dan disebuah
loteng atau rongkos disebelah kiri. Rumah bangunan itu besar
sekali. Didalam gelap segala apa tak nampak tegas. Di sana
tak ada pelita atau lentera. Hanya sejenak, Beng Leng lantas
pergi ke rongkos itu. Ia melompati pelbagai ruang atau
pendopo sebelumnya tiba diatas pendopo yang terakhir. Untuk
sampai di tempat itu, ia harus melewati sebuah jalan yang
jalannya terbuat dari batu yang terdiri dari tiga susun,
jendelanya sangat-sangat sedikit dan semuanya tertutup rapat
! Terpaksa ia lompat turun ke jalanan untuk menghampiri
pintu. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat papan merek
dengan tiga hurup Chong Keng Kok tadi, itulah loteng tempat
menyimpan kitab-kitab pusaka Siauw Lim Sie.
Tiba-tiba muncul ingatannya yang jahat ia memikir
membakar lauwiang itu, supaya habis ludas segala catatan
penting mengenai Siauw Lim Sie. Ia pun lantas merogoh
sakunya buat mengasi keluar Liauw gosokan serta peluru
peledak buatannya sendiri.
"Siapa ?" tiba-tiba ia mendengar suara pertanyaan nyaring
di belakang selagi tangannya merogoh saku itu.
Beng Leng kaget sekali. Tak disangka ada orang
memergokinya. Barusan ia tidak mendengar suara apa juga.
Segera ia menoleh maka ia melihat empat orang pendeta
dengan jubah suCinya masing-masing, semua tubuhnya tinggi
besar, tampangnya kekar dan keren. Mereka itu berdiri tegak.
Merekalah empat pendeta yang ditugaskan menjaga loteng
itu. Selagi ia melengak sejenak, Beng Leng sudah
menggenggam peluru peledaknya itu. Ingin ia melanjutkan
niatnya membakar loteng atau sebatang sianthung sudah
menyambutnya. Terpaksa, ia menunda menimpuk. Ia mundur
dua tindak, habis itu bara tangannya diteruskan diayunkan,
dipakai menimpukkan pelurunya itu.
Pendeta itu menyangka orang menggunakan alat rahasia,
dia lompat berkelit maka peluru itu mengenai batu dan kontan
meledak mendatangkan api berkobar, apinya menyambar
jubahnya ! Dalam kagetnya, petugas melindungi
keamanannya Chong Keng Kok itu membuang diri bergulingan
buat memadamkan api yang membakar tubuhnya. Walaupun
demikian sudah meletup ke mukanya membikin luka itu
melepuh dan mendatangkan rasa panas nyeri.
Beng Leng sementara itu tidak berdiam diri saja. Ia
berlompat maju untuk menyerang tiga pendeta lainnya. Ia
menggunakan hadrim, kebutannya, kebutan yang menjadi
senjatanya yang istimewa itu, karena itu ciptaan dan
buatannya sendiri, ujungnya dibuat dari emas putih, kuat
hingga tak takut terbacok kutung oleh golok atau pedang.
Kapan digunakan ujung kebuatan dapat menjadi lunak atau
keras mengikuti tenaga yang ia kerahkan.
Melihat datangnya serangan, ketiga pendeta berlompat
mundur masing-masing satu tindak, tetapi begitu lekas
mereka mundur. begitu lekas juga mereka maju sambil
menyerang dengan berbareng. Mereka menggunakan Lohan
Thunghan ilmu tongkat Arbar dan menyerang itu ke atas ke
tengah dan ke bawah. ! Pendeta yang terbakar itu dapat
berlompat bangun, dia tak terluka parah, maka juga lantas dia
maju mengepung. Tentu sekali ia gusar bukan main.
Pengepungan itu hebat tetapi Beng Leng jauh lebih kosen
daripada mereka dan kebutannya juga sangat lihai karena itu
mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan lekas juga mereka
sendiri yang kena dibikin kalang kabutan. Segera setelah
orang keteter dan terdesak, mendadak Beng Leng Cinjin
berseru bengis sambil ia mengabut dengan ilmu kebutan.
"Angin dan Mega Berubah Warna" maka serempak tongkatnya
para pendeta kena dikebut terpapas dari cekalan, mereka
semuanya terpental jauh setombak lebih.
"Lekas buka pintu Chong Keng Kok !" Beng Leng berseru
dengan begis. "Jika tidak, kalian bakal rebah dengan mandi
darah !" Ke empat pendeta itu kaget bukan main, Tanpa tongkat
ditangan mereka, mereka berdiri terpisah setombak lebih
daripada penyerbu itu, bukannya mereka mengangkat kaki,
mereka justru mengawi. Pendeta yang terbakar itu tapinya
sudah lantas memperdengarkan siulan nyaring dan lama,
memecah kesunyian malam. Siulan itu berkumandang naik ke
udara. Beng Leng berpengalaman, tahulah ia apa artinya
siulan itu, suatu pertanda ada ancaman bahaya dan meminta
bantuan. Dia memang telengas, dia menjadi sangat gusar, tidak
ampun lagi, dia lompat menyerang. Dia menggunakan jurus
silat "Pay Khong Ciang Angin Menolak Udara Kosong" yang
dahsyat sekali. Seketika itu juga ke empat pendeta roboh
tergulung dan terluka parah ! Ia pun lantas menimpukkan
empat buah pelurunya ke loteng hingga peluru meledak dan
membakar diempat penjuru, apinya terus berkobar. Menyusul
itu ramailah suara genta, karena para pendeta yang melihat
terbitnya kebakaran, sudah lantas memberikan tanda bahaya
itu. Suara genta mengaung ke tengah udara, ke lembahlembah.
Belum puas Beng Leng dengan pembakarannya itu
terhadap Chong Keng Kok, ingin ia membakar lain-lain bagian
dari kuil Siauw Lim Sie, buat membikin Pek Cut Siansu menjadi
bingung. Maka juga lantas ia meninggalkan loteng yang terus
terbakar itu. Selagi ia berlompat, tiba-tiba datang serangan
atas dirinya. Dua buah pedang yang bersinar silau menyerang
berbareng bagaikan dua ekor naga berebut mutiara mustika,
berbarengpun ia mendengar bentakan nyaring :
"Manusia jahat ! Kau cobalah pedang Bu Tong Pay ini !"
Jago dari Bok Keng To itu tidak menjadi kaget atau takut,
dengan tabah ia menyambut musuh. Dengan kebutannya, ia
menyampok pedang yang menikamnya, dengan tangan kiri ia
menyerang pula dengan Pay Khong Ciang. Dengan satu
gerakan berbareng itu, ia membalas menyerang kedua
musuhnya ! Itulah salah satu kepandaian buat menyelamatkan
diri berbareng merobohkan lawan ! Kedua imam itu lihai, duaduanya
dapat menjauhkan diri dari petaka.
Imam yang satu, Leng Hiang Tojin, sudah lantas berkata
nyaring : "Ilmu silat Hek To lihai sekali ! Sukar dicari waktunya buat
kami memohon pengajaran, maka itu sekarang ini, maukah
kau mencoba-cobanya ?"
Beng Leng melompat balik ke wuwungan semula, matanya
segera dibuka lebar-lebar. Ia segera mengenali Leng Hian dan
Song Hian, kedua imam dari Bu Tong Pay. Ia tahu mereka itu
berdua tersohor lihai, ia terperanjat juga. Ia kuatir nanti kena
dikepung. Tapi ia tabah, ia lantas tertawa nyaring dan berkata :
"Ilmu pedang Bu Tong Pay sangat termashur, apakah
biasanya kalian maju mengepung untuk merebut kemenangan
" Haaahhaa.. haaha !"
Leng Hian dapat membaca maksud orang, ia tertawa dan
berkata : "Pinto biasa merantau dengan sebatang pedangku, belum
pernah pinto berkelahi dengan dua melawan satu ! Kau
baiklah bertenang diri menerima nasib nanti !"
"Tutup bacotmu !" bentak Beng Leng gusar. "Apakah kamu
sangka aku takut kamu nanti mengepungku berbareng ?"
Belum berhenti suaranya itu, imam itu sudah lantas
menyerang Seng Hian. Ia menggunakan tangan kosong. Imam
dari Bu Tong Pay itu tahu lawan ini pandai ilmu Pay Khong
Ciang ingin ia mencobanya, maka itu tanpa ragu-ragu ia
menyambut serangan jago luar lautan itu. Maka juga
bentroklah dengan hebat mereka satu dengan lain. Menyusuli


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentrokan itu, Seng Hian mendahului bertindak terus. Ia putar
tangannya yang dilancarkan dengan niat mencekal tangan
lawan. Kalau saja ia dapat mencabak.
Beng Leng terkejut. Tak ia sangka imam dari Bu Tong Pay
itu demikian cepat. Sembari lekas menarik pulang tangan
kanan, dengan tangan kiri ia mengebut ke bahu si imam !
Seng Hian Tojin menggunakan ilmu silatnya yang dinamakan
"Kim Liong Ciu", Tangan Menawan Naga. Ia meluncurkan
terus tangannya itu. Ketika kebutan tiba dengan lincah ia
berkelit ke samping. Tapi justru si imam dari Bok Kang To pun
membarengi menghajarnya dengan kepalan, mengarah
pinggangnya. Dengan tangan kanannya juga, Seng Hian
menangkis kepalan lawannya. Ia membacoknya. Dilain pihak,
dengan pedangnya, ia menikam ke tampilingan jago luar
lautan itu. Guna menyelamatkan dirinya, Beng Leng berlompat
mundur, lebih dahulu kepalanya dikelitkan dengan melengak
ke belakang. Demikian kedua jago bergerak. Baru saja beberapa jurus
sudah terlihat kehebatannya mereka masing-masing. Siapa
ayal dia celaka. Setiap serangan berarti serangan maut. Seng
Hiang menang diatas angin, maka ia tiba-tiba mendesak,
pedangnya berkelebat. Anginnya pedang bersiur-siur, ia
mengeluarkan ilmu silat Bu Tong Pay yang tersohor itu. Biar
bagaimana, Beng Leng terperanjat juga. Sekarang insyaflah ia
akan kelihaian jago dari Bu Tong Pay itu. Hawa dingin pedang
meresap kedalam tubuhnya. Walaupun dengan rada repot, ia
mencoba mempertahankan diri. Setelah menggunakan
kebutannya yang lihai itu, ia juga mengeluarkan ilmu tenaga
dalamnya yang ia pernah latih dengan susah payah, yaitu "Mo
Teng Kee" khiekang yang lunak, yang disalurkan kepada
kebutan, hingga setiap helai dari kebutan itu bergerak-gerak
hendak melibat pedang. Mo Teng Kee mengeluarkan hawa lunak dan lembut, tak
keras sedikit juga, tetapi tenaga menariknya, menyedotnya
kuat sekali, hingga benda apa juga yang kena terlibat,
sekalipun pedang, akan terbetot terlepas ! Seng Hian Tojin
luas pengalamannya, tahu ia akan ancaman tenaga lunak
lembut itu, maka begitu ia merasai sesuatu yang menarik,
lantas ia menerka kepada ilmu kepandaian yang luar biasa
istimewa itu. Segera ia berdaya membebaskan diri. ia menggunakan
jurus-jurus "Awan Indah Membersihkan Langit" dan "Angin
Puyuh Hujan Lebat" pedang berputar melilit bagaikan
bianglala, tubuhnya bergerak tak hentinya maju mundur dan
berjumpalitan, dilain pihak ujung pedang selalu mengancam
jalan darah lawan. Ia berlaku cerdik dan gesit, senantiasa ia
menjauhkan pedangnya dari lembaran-lembaran kebutannya
lawan. Selama menjagoi di Hek Keng To dimana dia berhasil
menciptakan dan melatih Mo Teng Kee, pernah beberapa kali
Beng Leng membetot merampas senjata lawan dengan
mengandali ilmunya yang istimewa itu. Kepandaian itu sangat
jarang dipakai kecuali sudah sangat terpaksa, sebab
penggunaannya sangat menghamburkan tenaga. Hanya asal
digunakan dia belum pernah meleset atau gagal.
Beng Leng Cinjin merasa dirinya sudah terlalu hebat maka
ia mengandalkan sangat kepandaiannya itu, karenanya berani
dia datang menyatroni kuil Siauw Lim Sie untuk mengubrak
abrik kuil itu. Di luar dugaannya dia telah bertemu lawanlawan
yang lihai seperti Seng Hian Tojin ini. Bu Tong Pay
menjadi salah satu partai terbesar dan ternama, dapat
dimengerti jika ilmu pedangnya pun istimewa, ada bagiannya
tersendiri yang lihai. Seng Hian tidak kenal Mo Teng Kee tetapi
ia pernah dengar tentang ilmu lunak itu, berkat
pengalamannya dapat ia melayani dengan baik.
Demikian selekasnya merasa kebutannya Beng Leng
menarik secara luar biasa, lekas-lekas ia mengeluarkan ilmu
kepandaian pedang serta kelincahan gerak tubuh partainya.
Demikian sinar pedang kehijau-hijauan melayani sinar kebutan
keputih-putihan, bergeraknya sama cepat dan lincahnya.
Tengah dua orang lihai itu bertarung seru sekali, sekonyongkonyong
terdengar ini suara nyaring yang mempengaruhkan :
"Leng Hiang Totiang, mari kita maju bersama ! Biar
melayani ini bajingan jahanam, buat apa kita berpantang lagi
kepada aturan-aturan rimba persilatan yang mulia yang harus
ditaati " Dia toh datang menyerbu dan mengacau dengan
melanggar ajeg-ajeg suci itu ! Mari totiang, mari menyerbu
bersama siauw ceng ! Mari kita bereskan dia !" Dan belum
berhenti seruan itu, orangnya sudah berlompat maju
tongkatnya diajukan menyela diantara sinar-sinar pedang dan
kebutan ! Itulah Liauw In yang baru saja tiba.
Berhadapan dengan tetua dari Bu Tong Pay ia tidak
menyebut diri dengan aku, lolap si pendeta tua atau pinceng
si pendeta melarat, hanya siauw ceng si pendeta kecil. Itulah
pertanda bahwa ia berlaku merendah diri. Hanya setelah
seruannya itu, ia maju tanpa menanti jawaban lagi. Seorang
pendeta harus sabar, lemah lembut dan hormat. Semua sifat
itu ada pada Liauw In yang usianya sudah cukup lanjut, kalau
toh ia sekarang menjadi bertabiat keras dan tak sabaran itu,
itulah karena ia melihat bukti dari kecurangan lawan, sudah
datang menyerbu secara diam-diam, tetapi juga telengas,
telah main menggunakan api membakar Chong Keng kok,
suatu bangunan Siauw Lim Sie yang sangat penting itu.
Waktu melihat api berkobar di loteng itu saja ia sudah
kaget bukan main, timbul lantas kekuatirannya bahwa segala
kitab pusaka akan termusnah. Syukur banyak pendeta sudah
lantas muncul disini, mereka yang mencoba memerangi api,
ada juga yang membantu ke empat pendeta petugas yang
sudah menjadi korbannya Heng Leng yang ganas itu.
Ia lantas merasa lega hati, maka lantas ia tanya kemana
perginya si orang jahat pembakar loteng itu.
"Paman" berkata salah seorang petugas yang terluka itu,
"dia lari keras genting dari Lohan Tong" Lohan Tong ialah
Ruang Arhat. Mendengar jawaban itu, tanpa mengatakan sesuatu lagi,
Liauw In lari ke arah ruang itu selekasnya ia tiba di ujung
payon ia lantas melihat berkelebatannya sinar pedang dan
mengenali Seng Hian Tojin yang lagi bertarung dan Leng Hian
Tojin tengah berdiri bagaikan menonton pertempuran itu.
Maka musuh, berkobarlah hawa amarahnya hingga menjadi
merah ada wajahnya merah padam.
Demikian dalam kegusarannya itu, ia lari menghampiri, lalu
menyerukan Leng Hian Tojin dan terus mendahului
menyeburkan diri dalam medan pertempuran. Di saat itu juga
Beng Leng Cinjin tengah mendongkol dan bergusar sekali,
sebabnya ialah sesudah menggunakan Mo Teng Kee sekian
lama masih ia belum sanggup merobohkan lawannya. Ia
sempat menggertak, gigi dan matanya seperti merah menyala,
maka juga munculnya Liauw In membuatnya seperti api yang
disiramkan minyak, tidak ayal sedetik juga, ia menyambuti si
pendeta, menghajarnya deng Mo Teng Kee digabung dengan
Pay Khong Ciang. Segera juga Liauw In menjadi terkejut, sehingga lupa ia
akan hawa amarahnya. Ia lantas merasai adanya tenaga
menarik yang menyedot tongkatnya. Sedotan itu tidak keras
atau kaget tetapi kuat sekali. Lekas-lekas ia mengempit
tongkatnya, untuk menahannya sebab tak dapat secara
mendadak ia menariknya lolos. Ketika itu, ia pun terpisah
dekat dengan lawan tak ada lima kaki. Justru itu datanglah
serang Pay Kong Ciang yang dahsyat itu.
Inilah hebat. Bisa celaka ia kalau ia tidak melepaskan
tongkatnya dan lompat mundur atau berkelit ke sisi. Dalam
ilmu silat ketangguhanya Liauw In cuma dibawahnya Pek Cut
Taysu, kakak seperguruannya yang menjadi hongthio, pendeta
kepala dari Siauw Lim Sie. Ia telah berhasil memahirkan ilmu
tongkat Lohan Thung dan pukulan tangan kosong Lohan Ciang
karenanya mana mau ia dalam satu gebrak saja melepaskan
tongkatnya itu, sebab itu dapat memalukan Siauw Lim Sie dan
dirinya sendiri. Karenanya disaat terancam itu berbareng membelai
tongkatnya (tongkat panjang semacam toya) mendadak ia
berlompat sambil berjingkrak, tangan kanannya menyerang
dengan Lohan Ciang menyambut Pay Khong Ciang. Tanpa
dapat dicegah pula, beradulah kedua kekuatan dahsyat itu,
Pay Kong Ciang kontra Lohan Ciang. Bentrokan itu
mempengaruhkan Mo Teng Kee dari Beng Leng Cinjin, yang
sedotannya menjadi berkurang sendirinya, Liauw In lantas
merasai tongkatnya tertarik kendor itu, ia menggunakan
kesempatan dengan segera. Tangan kirinya yang mencekal
keras tongkatnya sengaja ditolakan dibikin kena tersedot
tetapi hanya sejenak segera ia menariknya pulang dengan
kaget. Maka loloslah tongkat itu dari sedotan, menyusul mana
ia lompat mundur hingga ia lolos dan bebas seluruhnya.
Sementara itu Seng Hiang telah mematuhi aturan rimba
persilatan, ia memegang kekal namanya sebagai jago silat,
salah seorang tertua dari Bu Tong Pay. Meskipun ia tahu Beng
Leng sudah merusak aturan rimba persilatan, ia toh tidak
menyambuti ujaran atau ajakannya Liauw In Hweshio.
Demikian, tengan Beng Leng dan Liauw In berkutat itu ia tidak
turun tangan ia justru berdiri diam menyaksika saja. Kalau ia
mengepung bersama pastilah Beng Leng celaka atau dia kalah
seketika. Ia mundur dua tindak selekasnya Liauw In maju
menyerang. Beng Leng juga melompat mundur dua tindak
selekasnya tongkat si pendeta lolos.
Untuk sejenak, ia berdiri menelongi, cuma wajahnya yang
memperlihatkan tampang bengis dan kejam bagaikan bajingan
jahat. Dilain detik dia sudah merogoh sakunya terus
mengayun tangannya, melontarkan tiga buah peluru. Liauw
Goan Tan yang dapat meledak itu sasarannya ialah Seng Hian,
Leng Hiang dan Liauw In bertiga ! Ketika imam dan pendeta
itu tahu lihainya peluru musuh itu mereka lantas menghindari
diri dengan caranya masing-masing.
Seng Hian memutar pedangnya untuk menempel dan
menyampok peluru maut itu, maka Liauw Goan Tan kena
terlempar keatas dan meledak ditengah udara, hingga apinya
mucrat ke empat penjuru angin ! Leng Hian menyambuti
peluru dengan ia mengegos tubuhnya ke sisi dengan tindakan
setangan menyala bumi, sebelah tangannya diulur, guna
menangkap lunak peluru itu, guna diraup dan digenggam !
Liauw In mempelajari Gwa Kang atau Ngo Kang, ilmu keras, ia
tidak dapat menyambut peluru secara lemah lembut, maka
juga setibanya peluru musuh ia memapaki dengan penolakan
keras Lohan Ciang. Tangan Arhatnya. Maka satu tenaga yang
kuat membuat peluru maut itu terpental balik.
Beng Leng kaget sekali. Bisa celaka ia kalau ia lalai dan
kurang gesit. Peluru jahatnya itu bisa makan tuan ! Maka buat
melindungi diri, lekas-lekas ia menyerang dengan Pay Khang
Ciang. Dengan begitu, Liauw Goan Tan kena tertolak mundur
oleh Liauw In dan kena tertahan oleh pemiliknya sendiri.
Dimana dua kehebatan saling menggencet, maka meledaklah
peluru itu hingga apinya menyambar muncrat kesegala arah,
buyar ditengah udara. Hanya terbengong sejenak, Beng Leng segera lompat turun
dari payon. Ia melihat ketiga lawan itu lihai, sangsi ia buat
menempurnya lebih jauh. Tapi ia bukannya lari ia hanya
menyelundup ke lain bagian dari kuil yang ia hendak
memusnahkannya, apa mau mencari lain bagian dari kuil yang
ia dapat jadikan sasaran pelurunya, ia lari justru ke
perdalamannya. Tatkala itu fajar lagi mendatangi. Si putra malam sudah
turun jauh ke barat. Langit sudah gelap di sana sini. Beng
Leng loncat turun justru dilorak dari Lohan Tong, samar-samar
ia melihat mereknya ruang itu.
"Baiklah aku mencoba ruang ini" pikirnya. Ia dengan halnya
setiap murid Siauw Lim Sie yang mau turun gunung,
kepandaiannya harus diuji dahulu di Lohan Tong, siapa tidak
sanggup melewatinya ia gagal. Ujian disitu bukan dilakukan
oleh penguji manusia hanya oleh Bok Jin dan Bok Ma, orangKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
orangan dan kuda-kudaan kayu. Demikian dengan perasaan
ingin tahu ia memasuki ruang itu.
Ruang gelap petang, maka jago luar lautan ini menyalakan
api. Ia bertindak di tangga. Ia mendapati ruang kosong
melompong. Tak dapat ia melihat lebih jauh kedalam. Hanya
disisi kiri dan kanan ada teratur tempat pemujaan yang
teraling dengan tirai sulam warna kuning, hingga tak terlihat
patung atau benda apa yang diperankan disitu. Tidak ada
meja atau lainnya. Ada juga lankan besi merah yang
melindungi di depan sekitarnya. Apinya Beng Leng berkelak
kelik tak dapat ia melihat tegas, tetapi dialah bajingan dari
luar lautan, nyalinya besar sekali. Dengan tabah ia bertindak
masuk. Tiba-tiba mendadak "Sret !" terdengar satu suara atau
ruangan menjadi terang benderang seluruhnya. Itulah cahaya
dari api lentera liulie teng yang menyala diempat penjuru
dengan berbareng. Saking heran ia menghentikan tindakannya
dan lantas menoleh kelilingan.
"Apakah ini ?" katanya kemudian sambil tertawa nyaring.
"Inilah gertaknya yang tak akan membuat orang kaget". Ia
memadamkan apinya dan menyimpannya pula kedalam saku,
lalu dengan berani ia bertindak terus memasuki ruang.
Berjalan belum lima tindak, mendadak Beng Leng
mendengar satu suara nyaring diatasan kepalanya, menyusul
mana dari kedua sisi tampak mengepulnya asap kuning
meluluhan, disusul pula dengan munculnya dari kuil dan kapan
masing-masing sesosok tubuh arhat besi (thie lohan) yang
besar dan gerakannya gesit, berbareng keduanya
menghadang sambil menyerang !
Yang disebelah kiri yaitu Hong Liong Lohan, mukanya
merah brewokan, dadanya lebar terbuka, serangannya
dahsyat karena berat dan cepatnya sama dengan gerak
geriknya manusia. Yang disebelah kanan yaitu Hok Houw
Lohan, mukanya hitam, alisnya hitam tebal, serangannya
dengan dua kepalannya mengarah pinggang. Pukulan itu pun
cepat dan keras. Itulah serangan yang tidak disangka-sangka
Beng Leng. Serangan itu tidak dapat dilayani dengan totokan kepada
jalan darah atau sedotan dengan ilmu Mo Teng Kee. Juga
tidak tepat untuk ditangkis. Lebih tak tepat untuk dibarengi
diserang, artinya keras lawan keras, dia menghajar, kira


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas menghantam. Maka itu tidak ada jalan lain bagi
Beng Leng buat menghindarkan diri. Ia lantas menjauhkan
dirinya menyingkir dengan tubuh bergulingan. Kedua
penyerang menyerang dari kiri dan kanan dengan sasarannya
lolos mestinya mereka beradu satu dengan lain.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Kedua pihak kepalanya
berhenti sejenak berjarak dua dim satu dengan lain tak saling
membentur, sebaliknya semua tangan tertarik kembali dengan
sendirinya. Jadi itulah semacam alat rahasia yang istimewa.
Sambil masih rebah Beng Leng melihat bekerjanya arhat besi
itu, tetapi belum sempat ia berdiri serangan sudah datang
pula. Kali ini kedua arhat maju sambil menendang dengan
masing-masing sebelah kakinya, dengan tendangan "Menyapu
Ruang". Untuk menghindarkan diri ia mencelat bangun,
menyingkirkan diri. Ketika ia menoleh, tampak kedua arhat kembali ketempat
asalnya. Jago luar lautan ini menjadi kagum dan sangat
tertarik hati, bukannya dia jeri dan mundur, justru ia ingin
mencari tahu terlebih jauh. Maka usahalah ia bertindak ke
sebelah dalam. Dalam sepuluh tindak ia sudah mendengar
suara berkeresek seperti semula tadi. Itulah suara bekerjanya
alat rahasia. Tirai kuning lantas tersingkap pula memunculkan
Acanda Lohan yang bermuka merah seperti emas dan alisnya
gomplot bersama Kanyapa Lohan yang beralis hitam beralis
putih. Kedua arhat itu maju dari kiri dan kanan, dari tempat
munculnya secara tiba-tiba majunya tak cepat juga tak
perlahan, setelah mendekati si iman kira tiga kaki mendadak
mereka mendak, terus mereka menendang secara berantai
empat kali, disusul dengan hajaran kepalan mereka dari sisi
kiri dan ke kanan dan kebawah, semua serangannya dahsyat.
Beng Leng berlaku cerdik. Ia pula tetap tabah. Hendak ia
mencoba kekuatan tangan dan kaki arhat besi itu. Ia berkelit
dari pelbagai tendangan, ia berlompat maju lalu memapak
kaki kedua arhat, hingga terdengar suara nyaring. Menyusul
hajaran itu kedua arhat yang gagal menyerang, sebaliknya
kena terserang mundur sendirinya ketempat asalnya ke dalam
lankan, kebalik tirai kuning. Beng Leng sementara itu merasai
tangannya bergemetar dan sesemutan, dia heran. Dia tidak
sangka, tubuh arhat itu seperti juga mempunyai hasil latihan
sepuluh tahunan saking kuatnya.
Sekarang dia bersangsi maju terus atau mundur teratur.
Kalau dia mundur, dia kuatir nanti ada yang tertawakan. Kalau
dia maju terus, dia menguatirkan serangan-serangan lainnya
lagi yang terlebih lihai. Selagi jago dari luar lautan ini berpikir
guna mengambil keputusan, tiba-tiba ia mendengar suara
berisik dari luar Lohan Tong.
"Kenapa Beng Leng si bangsar tua dari Hek Keng To itu
lancang memasuki Lohan Tong " " demikian suara yang satu.
"Bangsat tua itu sudah tiba hari naasnya !" kata yang lain.
"Kali ini dia bakal roboh ! Tadi dia dipecundangi Paman
guru Liauw In serta Seng Hiang Totiang lantas dia kabur ke
Lohan Tong. Rupanya ia sudah luber kejahatan maka dia tak
dapat menyingkir dari keadilan dunia !"
Terang dan tegas suara kedua orang itu. Beng Leng
menjadi sangat mendongkol. Ia telah dicaci dan dihina. Maka
berkatalah ia di dalam hati. : "Tempat macam apakah Lohan
Tong ini " Toh bukan kandang singa dan sarang harimau !
Hayo maju terus ! Akan aku bakar ludas semuanya !" Ia
merogoh sakunya buat mengeluarkan peluru apinya, untuk
ditimpukkan ke empat penjuru.
Tiba-tiba ia mendengar pula : "Bangsat tua Beng Leng itu
tahu ilmu silatnya tidak berarti, maka dia mengandalkan
peluru apinya buat main bakar saja ! Lihat saja, kalau dia
membakar didalam Lohan Tong, sama juga dia membakar dan
menembus dirinya sendiri !"
Kaget Beng Leng mendengar kata-kata itu. "Didalam dunia
ini dimana ada orang demikian dungu yang mau membakar
dirinya sendiri ?" begitu ia berpikir. "Ya, aku hampir keliru
berpikir !.." Maka itu, menuruti suara hatinya, ia bakal menuju keluar,
ia kembali kedalam, memasuki ruang arhat itu ! Hanya kali ini
ia berwaspada, senantiasa siap sedia. Setindak demi setindak
ia maju, sampai lewat kira sepuluh tombak. Sekarang ia
dihalangi langkan atau lorang merah. Kapan ia mengangkat
kepalanya, ia melihat tirai kuning yang seperti mengerudungi
seluruh ruang itu. Lain dari tirai itu, ruang kosong dari
perabotan apa juga. Ia lantas berdiam bersiaga. Ia menerka
akan muncul lagi dua arhat besi. Ia celingukan kesekitarnya.
Beberapa saat ia berdiam begitu, ia tidak mendengar atau
melihat apa-apa. Ia menjadi heran, hingga timbullah
curiganya. Karena bercuriga itu yang membuatnya berkuatir.
Beng Leng merasa punggungnya dingin. Itulah pertanda dari
hati jeri. Lantas ia membesarkan nyali, bahkan sambil berseru
ia menyerang dengan Pay Khong Ciang, menghajar tirai
kuning itu, ialah hajaran hebat, sebagaimana tadi ia berhasil
merobohkan empat petugas Chong Keng Kok. Mereka itu
adalah dari angkatan kedua.
Kesudahannya serangan ini menambah herannya jago luar
lautan itu. Serangan cuma membuat tirai bergoyang dan
berkibar, tersingkap baik, lalu perlahan-lahan turun pula. Tak
ada tanda-tandanya bekas terhajar hebat ! Beng Leng heran
dan bercuriga, ia menjadi bingung sendirinya. Lantas ia
mendapatkan apa yang dinamakan "Pwee King Coa Eng" yaitu
perasaan cahaya seperti "melihat bayangan ular dari busur
didalam cawan" lurus matanya membayangi bagaikan dia
terserang dari pelbagai penjuru hingga lantas ia mendapat
ingatan untuk lari kabur dari Lohan tong. Sulit buat maju, dia
memikir buat mundur ! Tiba-tiba ada hawa dingin yang meniup dari sebelah kiri,
tanpa merasa jago ini menoleh ke arah kiri itu. Kiranya
disebelah kiri itu terdapat sebuah gang atau lorong. Tadi
sewaktu baru masuk karena silau dengan sinar api, ia tidak
melihat lorong itu, yang tampak hitam gelap saja. Ia pula tadi
cuma memperhatikan losung serta tirainya. Tanpa ayal lagi,
Beng Leng menyalakan sumbunya, buat memakai itu sebagai
penerangan guna ia bertindak ke dalam lorong itu. Baru tiga
atau empat tindak, tiba-tiba telinganya mendengar suara
nyaring tingtong, menyusul mana mendadak padamlah
penerangan diruang Lohan Tong itu.
Sebaliknya didalam lorong segera tampak sinar buram
entah dari mana keluarnya. Ia berjalan terus dengan waspada.
Ia melalui belasan tombak. Disisi tampak cahaya terang dari
api, berbareng tampak juga sebuah jalan perapatan. Masih ia
bingung maka ia tidak memikir lain daripada supaya lekaslekas
menyingkir dari tempat itu ! Tapi masih sempat ia
berlaku siap sedia. Selekasnya Beng Leng Cinjin menginjak
batu bata bagian tengah dari jalan perapatan itu, mendadak
batu itu melesak kedalam tanah, hanya sejenak, batui tu
muncul naik pula dan jadi rata seperti semula. ia heran hingga
ia berdiri melengak. Lantas datang hal yang mengagetkan sekali. Tiba-tiba saja
dari empat penjuru, yaitu dari depan dan belakang, dari kiri
dan kanan, beruntun datang serangan golok dan tongkat
dimulainya dengan bayangannya ! Kirainya batu yang diinjak
jago luar lautan adalah batu yang menjadi alat rahasia,
karenanya mucullah empat lohan atau arhat yaitu Cu Kong
Lohan, To Lan Lohan, Kim Bin Lohan dan Gi Bin Lohan,
senjata mereka masing-masing golok kayTo dan tongkat
sianthung dan semuanya menyerang menuruti masing-masing
tipu siasatnya. Beng Leng sudah lantas mengurung diri
dengan tenaga Mo Teng Kee, lalu dengan tabah ia mengebut
serangan yang pertama, yaitu tongkatnya To Lan Lohan dan
golok kayTo dari Kim Bin Lohan, sedangkan dengan tangan
kirinya ia menepuk dada To Lan Lohan. Telak ia mengenai
sasarannya, terdengar suat tingtong, lantas arhat besi itu
berjalan mundur sendirinya, kembali ke tempat asalnya.
Menyusul itu ia memaju satu tindak, mana sambil berkelit,
maka loloslah ia dari bacokan golok dan tongkat dari arah kiri.
Aneh adalah To Lan Lohan. Mendadak dia maju pula, dia
mendesak hingga Beng Leng mau mundur ke tempatnya
semula menaruh kaki. Tapi ini justru membuatnya penasaran.
"Mesti aku robohkan dulu ke empat arhat ini !" demikian
pikirnya. Tepat itu waktu ke empat lohan berhenti bergerak-gerak,
semua berdiri diam dengan mata mengawasi bengis.
Walaupun hatinya panas, menyaksikan para arhat besi itu.
Beng Leng heran. Ia balik mengawasi tubuhnya berdiam siap
sedia buat suatu penyerangan. Ia menerka-nerka apa
maksudnya diamnya ke empat lohan itu. Ia pula bersangsi
dapat atau tidak ia roobohkan semua lohan itu dan kalau ia
menyerang mereka bakal bergerak menuruti pesawat rahasia
lainnya atau tidak. Mengawasi ke empat arhat, jago ini
menarik napas dalam-dalam. Di dalam kesunyian itu tiba-tiba
terdengar suara yang datangnya dari luar tembok.
Ilmu silatnya jagi Hek Kong To yang hendak menjagoi
dunia rimba persilatan kiranya cuma sebegini saja ! Ha ha ha
!.." Suara itu yang bernada ejekan ditimpali suara ini :
"Amida Buddha ! Siapa melepas golok jagalnya, asal dia
berpaling dia akan mendapatkan tepian daratan !", habis itu
sunyi pula. Hatinya Beng Leng tergerak mendengar kata-kata
yang belakangan itu, kata-kata yang berbau keagamaan
(Buddha). Tiba-tiba saja pikirannya terbuka, otaknya menjadi
terang. Memangnya setiap manusia ada liangsimnya, hati
sanubarinya yang sadar, suci murni. Liangsim itu, suara hati
terdapat sekalipun pada orang yang berbathin buruk atau
jahat. Demikian dengan jago luar lautan ini. Dia dapat
mempelajari silat hingga menjadi demikian lihai juga
disebabkan kesadarannya karena dia mengerti pentingnya
ilmu itu, hanya sayang dipakainya secara sesat. Mulanya ialah
karena dia bangga dengan kepandaiannya itu, lalu dia menjadi
jumawa dan berkepala besar, hingga ia menjadi galak dan
kejam. Hingga liangsimnya kena ketutupan. Sekarang tengah
terjepit itu tiba-tiba kesadarannya timbul.
Tanpa terasa dia berkata seorang diri. "Aku ini bagaimana "
Kenapa aku jadi begini ?" Di dalam lorong yang terang
benderang itu, Beng Leng melihat seperti ada tak terhitung
berapa banyaknya mata yang lagi mengawasi padanya,
sedangkan ke empat arhat yang lohan bengis itu nampak
tengah menuding ia dengan masing-masing senjatanya.
Mereka itu seperti lagi membeber perbuatan jahatnya. Ia
terkejut. Tiba-tiba ia ingat segala perbuatannya sebegitu jauh.
Memang itulah kejahatan atau kedosaan. Kawan tunduk
padanya, lawan menuding dan dunia meludahinya, ia sudah
berbuat bertentangan dengan waktu atau saat ia mulai belajar
silat. Dahulu itu ia berpikir baik lalu sesat sampai sekarang ini.
Kesesatan pun yang membujuknya menyerbu Siauw Lim Sie
ini. Kejumawaan yang membuatnya menerjang Lohan Tong.
Sekarang ternyata ia tak berhasil. Ia bahkan terdesak ke
pojok. Maka ia menjadi insyaf dan menyesal. Ia ingat halnya
tangannya berlepotan darah dan berbau baCin. Hebat
liangsamnya mendapat pukulan, pikirnya menjadi gelap.
Tiba-tiba ia merasai kepalanya pusing, terus tubuhnya
limbung, hingga detik lainnya, tanpa merasa ia roboh
sendirinya. Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Beng
Leng tidak tahu, hanya ia mendusin dengan kaget dan heran
waktu telinganya mendengar bunyinya lonceng vihara
beberapa kali. Ia segera menggerakkan tubuhnya untuk
berduduk dilantai, sedangkan matanya lantas dipentang untuk
memandang ke depan, terus ke sekitarnya. Ia heran hingga ia
duduk menjublak, terus ia memikirkan, sebenarnya apa yang
sudah terjadi dengan dirinya tadi".
Lama jago luar lautan ini berpikir, masih ia tidak
memperoleh jawabnya. Kemudian ia berpaling ke jendela,
memandang keluarnya cahaya matahari menjelaskan bahwa
sang waktu sudah tengah hari ! Jadi sudah banyak jam ia
berada di dalam kuil Siauw Lim Sie itu, ia heran orang telah
tidak mengganggunya. Masih lewat sekian saat waktu Beng Leng mendengar
tindakan kaki orang mendatangi dia berhenti di depan pintu
kamar, waktu ia berpaling ia melihat munculnya seorang
seebie kecil, kacung pendeta. Kacung itu bertindak masuk, di
depannya si jago luar lantas, dia memberi hormat.
Kata dia manis : "Oh, totiang sudah mendusin ! Silakan
duduk menanti sebentar, siauwceng hendak pergi melaporkan
kepada ketua kami ! " Dan lantas dia memutar tubuh dan
bertindak pergi didalam kamar tamu-tamu Siauew Lim Sie.
Maka ia lantas berpikir : "Bukankah aku memusuhkan
Siauw Lim Sie " Bukankah tadi malam aku menyerbu,
menyerang dan melepas api melakukan pembakaran hingga
aku terkurung di Lohan Tong " Kenapa aku sekarang
diperlakukan begini hormat oleh pihak musuhku ?" Saking
heran, Beng Leng berpikir banyak. Lalu ia merasa hatinya
tidak tenteram. "Baiklah aku pergi dengan meloncati jendela !" pikirnya.
Belum lagi itu merupakan putusan, Pek Cut Taysu sudah
tampak lagi mendatangi, tindakannya cepat tapi tenang,
wajahnya menunjuki kesabaran. Di belakang ketua Siauw Lim
Sie itu turut Liauw In dan Ang Sian Siangjin serta dua seebie
cilik. Segera setibanya di depan jago luar lautan itu, Pek Cut
memperdengarkan puji keagamaannya sambil mengangkat
tangannya ke depan dadanya, setelah mana ia kata ramah :
"Totiang, harap saudara jangan memandang kami sebagai
orang luar ! Peristiwa tadi malam adalah peristiwa yang telah
berlalu lewat, harap totiang jangan pikirkan pula. Lolap
bersama totiang sama-sama menjadi orang rimba persilatan,
maka itu bagaimanakah jika mulai hari ini kita hidup
bersahabat ?" Berkata begitu, sebelum menanti jawaban,
pendeta kepala ini sudah lantas memberi isyarat kepada kedua
kacungnya untuk mereka itu lekas menyuguhkan teh.
Selagi Pek Cut mendatangi, Beng Leng sudah berbangkit
bangun, bersiap sedia kalau-kalau orang menerjangnya, tetapi
setelah mendengar kata-kata manis itu serta melihat orang
berlaku ramah tamah, perlahan-lahan ia berduduk pula, Yang
terang yaitu ia jengah. Pek Cut duduk setelah duduk setelah
mempersilakan tamu luar biasa itu berduduk. Kedua seebie
telah kembali dengan cepat, mereka lantas menyuguhkan teh.
Liauw In bersama Ang Siang duduk menemani disebelah


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah, mereka bungkam. Setelah mereka terdiam sekian lama barulah terdengar
suaranya Pek Cut taysu terang dan lantang :
"Totiang ilmu silat dan keceradasan totiang semua itu
mengawasi orang lain satu tingkat. Lihatlah disaat bertempur
untuk merebut kemenangan, dan diwaktu menghadapi
kesulitan pikiran dan kecerdasan totiang telah menerima
prayaa kebijaksanaan Sang Buddha hingga totiang masih
disadar dan terbuka pikiran. Itulah berkat pemeliharaan diri
totiang dahulu hari ! Maka itu totiang hari ini lolap hendak
memohon kepadamu suka apalah totiang meletakkan golok
jagal agar totiang insyaf dan sudi berbuat kebaikan terhadap
dunia rimba persilatan supaya bencana kemusnahan yang
tengah mengancam dapat disingkirkan:
Dengan sikap menghormat, Beng Leng menghadapi Pek
Cut Taysu. Kata ia : "Terima kasih atas budi besar dari taysu
yang tadi malam telah membuatku insyaf, budi itu tak dapat
pinto membalasnya, karena itu mana berani pinto tak
menerima baik nasihat taysu ini " Telah kupikir buat sejak hari
ini dan seterusnya akan mengundurkan diri dari dunia Sungai
Telaga, buat hidup menyendiri !"
Imam ini mengangguk terus ia memberi hormat pula pada
si pendeta, juga terhadap Ang Sian Siangjin dan Liauw In,
kemudian tanpa mengatakan sesuatu lagi, ia pamitan dan
bertindak pergi. Pek Cut berbangkit dengan cepat, ia
merangkap tangannya. Ia memuji pula. "Tetapi, totiang" katanya, "buat apa
totiang begini tergesa-gesa " Baiklah kita bersantap dahulu,
baru totiang berangkat pergi."
"Terima kasih, taysu." kata si imam.
"Aku telah menerima budi kebaikan kalian. Sampai kita
jumpa pula !" Dan lantas dia membuka tindakan lebar, keluar dari kamar
tamu-tamu itu. Pek Cut bertiga tak dapat mencegah lagi,
maka mereka membiarkan orang berlalu. Sementara itu mari
kita kembali pada malam tadi. Habis pertempuran hebat,
orang merawat luka-luka dan beristirahat. Penjagaan tidak
dilalaikan karena dikuatirkan nanti apa penyerbuan ulangan.
Mendekati jam lima fajar muncul, angin hebat yang keras
dan dingin, membuat orang menggigil sebab hawa dingin
masuk ke tulang-tulang. Justru suasana demikian itu, tiba-tiba
terdengar suara siulan nyaring, lantas di sana tampak
bergeraknya dengan sangat gesit sesosok bayangan hitam.
Para petugas terkejut dan heran, namun lantas memasang
mata. Bajingan itu muncul buat terus berdiri diam sambil matanya
diarahkan ke empat penjuru. Sama sekali dia tak
memperdengarkan suaranya. Semua orang mengawasi terus.
Dialah seorang tua dengan jubah panjang menutupi tubuhnya.
Dia bermuka putih dan tak berkumis. Kemudian ternyata
dialah Thian Cia Lojin, yang dunia Sungai Telaga menyebutnya
It Lo Yauw Si Mambang Tua Tunggal. Hanya sebentar jago
tua itu berdiri diam, tangannya lantas menggapaikan Tan
Hong, Cia Hong, Kan Tie Un dan Kee Liong. Mereka itu
menghampiri dengan cepat, semua berdiri dengan hormat di
depannya. Dia bicara perlahan dengan empat orang itu, habis
itu dia berlompat turun, akan lari ke bawah gunung.
Lewat sesaat, Kee Liong menuding Pek Cut Taysu sambil
membentak : "Eh, keledia gundul dari Siauw Lim Sie, kau dengar ! Malam
ini kami mempunyai urusan penting karena itu kami
membiarkan kamu semua hidup lebih lama sedikit. Kamu
tunggulah nanti kami datang pula guna membuat perhitungan
!" Kemudian dia berpaling pada kawan-kawannya dan berkata
: "Mari kita pergi !". Belum berhenti suaranya mendengung,
orangnya sudah lompat berlari ke bawah gunung terus diikuti
ketiga kawannya itu. Hanya sebentar bayangan mereka pun sudah tidak tampak.
Kiauw In dan Giok Peng segera bergerak diturut oleh Ang Sian
Siangjin. Mereka bertiga hendak menghadang kawanan
penyerbu itu atau di belakang mereka, mereka mendengar
suara nyaring dari Pat Pie Sin Kint In Gwa Sian :
"Anak In ! Anak Peng ! Jangan kejar mereka ! Biarkan
mereka itu pergi !". Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng telah
berlari-lari dengan menggunakan Te In Ciong ilmu ringan
tubuh Lompatan Tangga Mega. Sebentar saja, mereka sudah
berhasil menyandak beberapa orang musuh yang terluka.
Ketika itu mereka mendengar suaranya sang paman guru,
seketika juga mereka menghentikan pengejarannya itu.
Tetapi Nona Pek mendongkol dan penasaran, ia
mengajukan jarum rahasianya, Twie Hun Kim Ciam, maka
diantara si penyerbu ada seorang yang menjerit dan terus
roboh terguling. Kiranya dialah Tio It In, satu diantara tujuh
bajingan dari To Liong To ! Kemudian bersama-sama Ang Sian
Siangjin, kedua nona kembali pada paman gurunya itu,
sedangkan Pek Cut Taysu sudah memerintahkan muridmuridnya
menjaga baik-baik pintu gerbang mereka.
Kemudian sembari memberi hormat pada In Gwa Sian
semua, ia berkata : "Kami menyusahkan saja para sicu semua ! Sekarang
marilah kita kembali ke dalam untuk beristirahat !"
Tapi In Gwa Sian berkata : "Mungkin Beng Leng si raja iblis
masih berada didalam kuil, mari kita melakukan
penggeledahan buat mencari padanya. Kalian setuju ?"
"Tak dapat kami menyusahkan pula pada sicu sekalian."
berkata Pek Cut. "Untuk melakukan pemeriksaan cukup lolap sendiri
bersama sekalian saudara dan murid kami. Sanggup kami
melayani bajingan itu ! Silahkan sicu beramai beristirahat nanti
besok kami akan mohon petunjuk terlebih jauh !" Semua
orang lantas mengikuti pendeta kepala itu masuk kedalam
dimana mereka berpisahan untuk masing-masing beristirahat.
Kemudian Pek Cut, Ang Sian Siangjin dan lima ketua dari Kam
In. Segala apa dipendopo itu tenang dan aman tak ada bekasbekasnya
pertempuran. "Heran.." pikirnya ketua itu yang lantas memikir menyuruh
murid-muridnya pergi mencari tahu atau berbareng dengan
dengan itu tampak munculnya Liauw In, yang datang dengan
cepat. "Bagus kau datang, sute !" ia berkata mendahului separuh
berseru. "Lolap justru sedang memikir buat mencari tahu
kemanakah perginya si bajingan kepala ! Apakah ada yang
terluka didalam kuil kita ?"
Liauw In maju terus sampai di depan ketua atau kakak
seperguruannya itu, untuk lebih dahulu memberi hormat.
"Beng Leng si imam siluman sudah membakar Chong Keng
Kok tetapi dia gagal" kata ia melaporkan. "Dia cuma melukai
ke empat murid angkatan kedua yang bertugas menjaga
lauwiang kita itu. Setelah itu dia dirintangi oleh kedua totiang
Seng Hian dan Leng Hian. Waktu siauwte datang kepada
mereka, hampir aku dilukai ilmu lunaknya yang lihai. Dia
rupanya merasa tak unggulan melawan terus kepada kami
bertiga dia mencoba meloloskan diri tetapi dia kesalahan
memasuki Lohan Tong dimana dia kena terlarangkan. Sampai
sekarang dia masih belum lolos. Bagaimanakah pikiran
ciangbun suheng ?" Ciangbun suheng berarti ketua yang berbareng menjadi
kakak seperguruan. Pek Cut terperanjat juga.
"Bagaimana lukanya mereka berempat ?" tanyanya. Lebih
dahulu ia ingat murid-muridnya itu.
"Mereka sudah dibawa ke pendopo sisi untuk diobati,
mungkin mereka tidak terancam bahaya mau." sahut Liauw
In. "Bagaimanakah keadaannya Chong Keng Kok setelah
dibakar itu ?" "Api telah keburu dipadamkan. Cuma terbakar bagian pintu
saja." "Amida Buddha !" Pek Cut memuji seraya merangkapkan
tangannya. "Buddha kita maha mulia maka kita bebas dari bencana
besar." "Sekarang bagaimana dengan imam siluman itu ?" Liauw In
memperingati ketuanya. "Harap ciangbujin suheng lekas
mengeluarkan keputusan !"
"Tak kupikir untuk melakukan pembunuhan." sahut ketua
itu yang pengasih penyayang.
"Terhadap orang sebangsa dia itu, ingin lolap
menggunakan kitab prayaa. Nanti kita lihat imam itu dapat
dipengaruhi atau tidak. Kalau tidak akan kita pikir pula
bagaimana baiknya." Ang Sian Siangkin tidak akur dengan sikap ketua itu.
Dia campur bicara : "Membinasakan manusia jahat berarti
berbuat kebaikan ! " katanya.
"Kenapa ciangbun suheng bermurah hati terhadap manusia
jahat itu " Tidak karuan rasa dia memusuhkan kita, dia datang
menyerbu dan telah merusak kita !"
Pek Cut tidak menjawab itu hanya berdiam untuk berpikir.
"Para sute dari Kam Ih, silahkan kalian mengundurkan diri
untuk beristirahat." kemudian katanya kepada adik-adik
seperguruannya kepada siapa ia berpaling.
"Biarkan lolap sendiri bersama kedua sute Liauw In dan
Ang Siang yang pergi melongok ke Lohan Tong." Berkata
begitu, bersama-sama Liauw In dan Ang Siang, ketua ini
lantas bertindak pergi menuju keruang arhat yang
dimaksudkan itu. Ketua ini hendak menggunakan pengarahan dari ilmu
keBuddhaan untuk menghadapi Beng Leng Cinjin supaya
imam dari Hek Keng To itu diluar lautan, tak tersesat terlebih
jauh hingga dia menampakan keimamannya, agar akhirnya dia
sadar dan insyaf dan akan berubah cara hidupnya.
Demikianlah sudah terjadi, Beng Leng telah kena dipengaruhi
prayaa, maka ialah kejadian dia insaf akan perbuatannya yang
salah dan mau mengundurkan diri, buat hidup menyendiri,
karena mana dia tidak diganggu dan dibiarkan pergi
mengangkat kaki. Sambil berlari-lari Beng Leng meninggalkan
kuil Siauw Lim Sie turun dari puncak Siauw Sit Kong.
Ditengah jalan, ia merasa kesepian. Sampai mendekati
maghrib ia belum mendapatkan tempat singgah. Sinar layung
dari matahari membuat rimbah bercahaya keemas-emasan
indah tampaknya. Ia berjalan terus, sampai ia membelok
disebuah tikungan. "Toa suheng !" tiba-tiba ia mendengar suara panggilan. Toa
suheng ia berarti kakak seperguruan yang paling tua. Segera
ia menghentikan tindakannya dan menoleh ke arah dari mana
panggilan itu datang. Di sana tampak Tan Hong adik seperguruannya yang terus
menanya : "Kakak, kemana saja kakak pergi " Kami berputaran ke
empat penjuru mencari kakak !"
Beng Leng berdiri menjublak mengawasi adik
seperguruannya itu. Karenanya ia tidak membuka mulutnya
buat menjawab. Tan Hong heran, hingga ia terperanjat.
"Kakak !" tegurnya. "Kakak, kau kenapakah ?" Masih Beng
Leng Cinjin berdiri diam. Giok Bin Sian Ho, si Rase bermuka
kumala, menghampiri hingga dekat. Ia memegang dan
menggoyang lengan orang. "Kakak, kakak !" panggilnya. Baru
sekarang imamitu bagaikan terasadar. Dia lantas menghela
napas. Jilid 9 "Bagus, bagus !" katanya. "Bagus kita bertemu disini, adik !
Inilah aku tidak sangka ! Tetapi adik, inilah pertemuan kita
yang paling akhir !"
Tan Hong terkejut hingga dia melengak.
"Kakak !" katanya sangat heran. "Kakak, apakah kau sakit "
Kenapa kakak berkata begini ?"
Beng Leng berdiam. Kembali ia tidak menjawab. Ia tak lagi
seriang, segagah seperti biasanya. Lalu ia memperdengarkan
suara bagaikan gerutuan : "Meletakkan golok jagal menoleh
ialah tepian..." Dan ia ulangi itu beberapa kali. Tampak ia
seperti lagi mengingat-ingat segala apa yang telah lalu.
Tan Hong berdiri terpaku mengawasi kakaknya
seperguruan itu, bukan main ia tak mengertinya.
Maka kedua saudara itu sama-sama berdiri menjublak,
yang satu mengawasi tanpa berkedip, yang lain memandang
ke depan dengan mendelong.
Masih lewat beberapa saat sebelum Beng Leng terbengongbengong
itu, baru keliahatan wajahnya yang dari pendiam
menjadi bersungguh-sungguh, terus dia berkata dengan
sungguh-sungguh juga : "Adik, pergi kau bersama adik Cin
Tong, lekas pulang ke Hek Keng To ! Di sana kalian tinggal
aman dan damai, jangan lagi kalian campur urusan dunia
Sungai Telaga !" Lagi-lagi Tan Hong terperanjat.
"Kakak !" katanya Bingung. "Kakak... !" Beng Leng
memutus kata-kata adik seperguruan itu : "Meletakkan golok
jagal, menoleh ialah tepian ! Kau ingat baik-baik kata-kata ini,
adik ! Kau sampaikan juga kepada adik CIa Tong ! Nah,
kakakmu pergi !" Tanpa menanti suaranya berhenti, Beng Leng sudah lantas
berlompat maju untuk berlari-lari di jalan pegunungan itu,
hingga dilain detik dia lenyap dalam remang-remang !
Tan Hong melongo, tak ingat ia akan menyusul kakaknya
itu ! Sekarang ini marilah kita melihat dahulu kepada Kiauw In
dan Giok Peng. Mereka telah berkemas-kemas untuk
selekasnya fajar tiba mulai berangkat pergi. Inilah sebabnya
kitab pusaka mereka hilang ditangannya It Hiong dan It Hiong
sudah meninggalkan gunung secara diam-diam guna mencari
kitab itu. Mereka berniat mencari Gak Hong Kun, orang yang
dicurigai telah mencuri kitab. Adalah diluar dugaan justru itu
malam kawanan dari luar lautan sudah datang menyerbu pula
kuil Siauw Lim Sie, hingga mereka mesti menempur kawanan
bajingan itu. Sampai fajar baru mereka pulang, untuk melihat
Hauw Yan, anak yang ditinggal sendirian didalam rumah
gubuk. Selekasnya mereka meloloskan pedang mereka,
mereka lari kedalam kamar.
"Mama !" demikian suara Hauw Yan, yang telah mendusin
dari tidurnya. Giok Peng berlompat kepada mustikanya itu, untuk


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat dan merangkulnya sambil ia mencium pipi orang.
"Anak !" katanya menyayang.
Kiauw In pun segera menghampiri.
"Kau telah mendusin, anak manis ?" tanyanya sambil
mengusap-usap kepala orang.
Hauw yan mengangguk dan tertawa manis.
"Bagaimana ?" kemudian Nona Cio tanya Giok Peng,
"apakah kita berangkat sekarang ?"
Nona Pek tertawa. "Kita baru habis bertempur semalam suntuk, aku merasa
letih" sahutnya. "Aku pikir baik kita beristirahat dahulu
sebentar, tengah hari, setelah bersantap, baru kita
berangkat.." Ia hening sejenak, lalu ia melanjutkan : "Kakak,
kita mau pergi mencari kitab, itu berarti kita bakal pergi buat
waktu yang tak menentu cepat atau lama, atau mungkin kita
bakal menderita, maka itu, bagaimana pikiranmu jika kita
menitipkan dahulu Hauw Yan di Lek Ogk Po " Dengan
demikian anak ini tak usah turut menderita, supaya dia tak
merepotkan kita." "Pikiran yang baik, adik" sahut Kiauw In, "Cuma, kalau adik
Hong pulang, apa katanya nanti ?"
"Ah, kakak selalu menguatirkan dia tak tenang hati !" kata
Giok Peng. "Kakak, baik kakak jangan pusing itu ! Aku pun
memikir merubah sedikit rencana kita..."
"Bagaimana, adik ?"
"Aku pikir lebih baik kita pergi dahulu mencari Gak Hong
Kan" kata Nona Pek. "Sesudah itu baru kita pergi ke Pay In
Nia menjenguk adik Hong. Bagaimana pikiran kakak ?"
"Buatku sama saja" sahut Kiauw In tertawa. "Aku percaya
ditengah jalan nanti, kita akan bertemu dengan adik Hiong.
Yang perlu ialah asal kita bertindak dengan melihat sajalah."
Senang hati Giok Peng. Maka itu, mereka lantas
beristirahat. Tengah hari, habis bersantap, kedua nona sudah lantas
bersiap pula. mendadak mereka mendengar suara orang
tertawa diluar rumah, atau In Gwa Sian tampak bertindak
masuk. Dia mengawasi ketika dia melihat persiapan nonanona
itu. "Kalian mau turun gunung ?" tanyanya. "Buat urusan
apakah ?" Kiauw In sudah lantas menyuguhkan teh kepada paman
itu. "Terima kasih atas perhatianmu, paman In" katanya
tertawa. "Kami mau pergi buat satu urusan sekalian untuk
mencari adik Hiong."
"Kalian hendak menuju kemana ?" In Gwa Sian tanya.
"Dapatkah kalian memberitahukannya kepada pamanmu ini ?"
"Pertama-tama kami mau perdi ke Lok Tiok Po" Giok Peng
menerangi jawaban. "Dari sana kita akan menuju ke Hong San
untuk membereskan sesuatu. Habis itu baru kami mencari
adik Hiong. Diakhirnya, kami berniat pulang ke Pay In Nia."
"Ooo.. !" In Gwa Sian memperdengarkan suara heran.
"Buat kepergian kami ini " Kiuaw In menambahkan, "kami
tidak mau berpamitan lagi dari Pek Cut Taysu beramai. Kamu
kurang bebas. Maka kami minta paman saja yang tolong
menyampaikannya nanti !"
In Gwa Sian sudah lantas berbangkit.
"Kalian mau berangkat, berangkatlah !" katanya. "Asal
ditengah jalan kalian harus berhati-hati ! Nah, aku si tua mau
mengundurkan diri." Pengemis itu lantas memutar tubuh dan bertidak pergi.
Baru beberapa tindak dipintu luar, ia sudah lantas berhenti
dan berpaling. "Kapan kiranya kalian akan kembali ?" tanyanya.
Kedua nona berjalan bersama, mereka pun sudah sampai
diluar. "Mungkin buat sepuluh atau lima belas hari." sahut Kiauw
In. "Kami berniat kembali supaya dapat menghadiri pertemuan
tanggal lima belas nanti."
Giok Peng sudah menutup pintu. Mereka menggendol
pedang dan membekal buntalan berikut rangsum kering,
sedangkan kantung piauw mereka berada dipinggangnya
masing-masing. Hauw Yan ada pada ibunya, saban-saban ia
memanggil mama kepada ibu itu serta Kiauw In.
Lekas juga kedua nona sudah berdiri menghadapi In Gwa
Sian guna memberi hormat akan mohon berpamitan, setelah
mana keduanya berlari-lari turun gunung...
Pat Pie Sin Kit mengawasi sambil menggeleng kepala.
Ketika itu sudah mendekati maghrib. Tiba di kaki puncak
Siauw SIt Hong kedua nona berada di dalam rimba. Itulah
tempat dimana Tan Hong bertemu dengan Beng Leng Cinjin.
Jarak waktu diantara mereka cuma berselang satu jam. Tan
Hong masih berdiri menjublak. Ia memikirkan kakak
seperguruannya itu, ia heran kenapa hati dan gerak gerik
kakak itu demikian berubah. Karena kedua nona-nona Cio dan
Pek berlari-lari dengan cepat, mereka sudah lantas melihat
kepada Tan Hong. Kiauw In yang melihat paling dahulu dan
segera mengenali nona dari luar lautan itu.
"Hati-hati adik Peng !" ia lantas memperingati Giok Peng.
"Kau lihat wanita disebelah depan itu " Dialah Tan Hong dari
Hek Keng To. Dia berada disini, maka itu entah ada berapa
banyak kawan-kawannya didekat-dekat kita...."
Berkata begitu Nona Cio sudah lantas menghunus
pedangnya maka perbuatan itu diturut adik Pengnya. Giok
Peng menempati diri di belakang kakak itu.
Kedua nona bertindak dengan cepat, selekasnya mereka
datang dengan Tang Hong mereka berlompat maju ke depan
orang. Tan Hong lihai, walaupun ia tengah menjublak telinganya
mendengar suara berkesiurnya angin maka ia lantas menoleh
hingga ia melihat kepada kedua nona itu. Ia segera berlompat
menghampiri sembari membentak ia mendahului menyerang
dengan sanhopang tongkat panjangnya yang istimewa itu.
Giok Peng mengempo Hauw Yan dengan tangan kiri,
pedangnya ditangan kanan atas datangnya serangan sebab
Tan Hong menyerangnya terlebih dahulu, ia segera
menangkis. Ia pun membentak :" Wanita jahat, kau masih
banyak lagak " Kau toh baru kabur lolos dari tangannya
kakakku !" Tan Hong sudah berusia dua puluh enam tahun, dia masih
belum menikah, pandangannya tinggi, dia suka sekali orang
mengangkat-angkatnya, sebaliknya, dia tak suka ditegur
orang. Maka itu, suaranya Nona Pek membuatnya gusar.
Tanpa berkata-kata lagi, dia maju sambil memutar
tongkatnya, yang berkilau-kilauan sinarnya guna membikin
kabur pandangan matanya Giok Peng, sesudah mana ia
menghajar ke arah Hauw Yan !
Giok Peng terkejut, ia sangat kuatir anaknya terluka, maka
itu terpaksa ia lompat mundur setombak lebih lalu sambil
mengepit pedangnya, ia mengawasi anak itu yang ia usapusap
kepalanya. Hauw Yan tidak kaget bahkan ia tersenyum dan tertawa.
Maka itu legalah hati sang ibunya.
Kiauw In gusar sekali menyaksikan orang demikian
telengas. Dia bukan menyerang si ibu hanya anak. Maka ia
lompat sambil terus menyerang Tan Hong menebas ke arah
lengan menyusul mana ia membacok pula bahunya si rase
kemala. Tan Hong dapat melihat serangan itu ia berkeliat dengan
satu gerakan melengak sambil terus berjumpalitan. Itulah tipu
"Jembatan Besi". Dengan pedangnya ia menyampok guna
menangkis karena mana kedua pedang beradu satu dengan
lain hingga terdengar suaranya yang nyaring.
Kiauw In tidak berhenti sampai disitu. Ia menyerang secara
berantai. Tan Hong segera juga kena terdesak hingga ia mesti
berkelahi dengan main mundur. Sejak pertempuran tadi
malam ia sudah tahu nona lawannya itu lihai sedangkan
sekarang si nona hendak mengumbar panasnya hatinya. Tapi
dialah seorang berkepala besar ia bandel walaupun jatuh
dibawah angin tak sudi ia cepat-cepat mengangkat kaki.
Demikian mereka jadi bertempur seru, walaupun yang satu
terdesak. Kiauw In menggunakan jurus-jurus dari ilmu pedang Khia
Bun Patwa Kiam. Ia mendesak sampai orang mundur empat
atau lima tombak jauhnya. Napasnya Tan Hong pun memburu
keras. Dia bermandikan peluh pada dahinya, tak dapat ia
melakukan penyerangan membalas. Karena ini, kemudian ia
berpikir nekad. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri untuk berguling
menghampiri lawan untuk segera berlompat bangun guna
menghajar pinggang dengan kepalan kiri !
Hebat serangan mendadak itu, tak sempat Kiauw In
menangkis, maka iapun menggunakan cara yang terakhir.
Seperti Tan Hong ia jatuhkan diri sambil melengak disusul
sebelah kakinya melayang mendepak lengan kiri orang !
Tang Hong ingin menyerang dengan hebat tak ia sangka
lawan sedemikian lihai. Ia menjadi terkejut ketika ia merasai
lengannya kena terdepak hingga seluruh lengan itu
bergemetar. Walaupun demikian dia tabah sekali. Dia lantas
menjatuhkan diri sambil membacok dengan tongkatnya !
Kembali Kiauw In terancam bahaya. Jago luar lautan itu
lihai sekali, ia lantas menggulingkan tubuh buat menjauhkan
diri, sesudah mana ia melejit bangun. Terus ia lompat maju
pula guna menyerang lagi, ia melakukan pula serangan
berantai. Selain ia membuat mata orang kabur. Ia juga
mencoba mengekang tongkat sanhopang lawannya itu.
Tan Hong tahu bahaya mengancam, ia menjadi nekad,
maka ia berkelahi secara mati-matian.
Pedang dan tongkat beradau berkali-kali, saban-saban
meletikkan percikan apinya.
Di dalam keadaan seimbang itu Tan Hong telah
menggunakan otaknya yang cerdas. Ia lantas mendapat akal.
diam-diam dengan tangan kirinya ia merogoh kedalam
sakunya dimana ia menyimpan peluru liauwgoan tan bahan
peledak buatan istimewa pihak Hek Keng To. Secara
mendadak ia menimpuk ke arah lawannya. Ia pun menimpuk
berulang-ulang. Nona Cio melihat orang menggunak senjata rahasia, ia
membela diri dengan salah satu jurus dari Hang Liong Hok
Houw Ciang, ilmu silat tangan kosong "Menaklukan Naga
Menundukkan Harimau". Ia menyambuti senjata rahasia untuk
segera dilemparkan ke samping, sedangkan dengan
pedangnya ia mengekang tongkat lawan.
Peluru jatuh ke rumput dan meledak seketika. Ketika itu
digunakan nona licik itu buat pergi berlompat mundur terus
berlari pergi menghilang diantara lebatnya pepohonan dalam
rimba itu. Kiauw In yang menjadi terkejut tak sempat
mengejarnya. Ia pun tidak memikir buat menyusul orang.
"Adik Peng, mari kita lanjuti perjalanan kita !" katanya.
"Sekarang sudah tak siang lagi !" Ia memasuki pedangnya
kedalam sarungnya. Giok Peng menghampiri kakak itu.
"Tidak kusangka disini kita mesti melakukan pertempuran
dahsyat ini" katanya tertawa. "Bangsat perempuan itu lihai
dan telengas, hampir dia mencelakai anak kita...."
Hauw yan tertawa. "Mama, enak main-main ya ?" katanya.
Kiauw In dan Giok Peng tertawa. Lucu anak belum tahu
apa-apa itu. Mereka berjalan terus dengan cepat. Ditengah jalan,
mereka bergurau dengan anak mereka. Lewat jam dan tibalah
mereka dalam kecamatan Yong hong di propinsi Holam.
Lenggang mereka memasuki kota yang tidak besar tetapi lalu
lintasnya hidup itulah kotanya menjadi ramai. Segera mereka
mencari penginapan dimana Hiauw Yan ribut lapar, karena
mana, mereka lantas minta disediakan barang hidangan.
"Tuan kecil ini lucu !" berkata jongos yang menyajikan
barang makanan. Ia tertarik dengan lagak lagunya Hauw Yan.
Anak itu manis dan lincah, siapapun suka bermain-main
dengannya. "Dia rada bandel..." kata Giok Peng.
"Nona-nona datang begini terlambat. Apakah nona-nona
datang dari Siauw Sit San "' tanya si jongos yang mengalihkan
pembicaraannya. Ia belum mendapat jawaban atau ia
menabok mulutnya sendiri : "Ngaco belo, harus dihajar"
katanya. Kiauw In dan Giok Peng tertawa. Mereka menganggap
jongos itu jenaka. Lantas si jongos memberi penjelasan tanpa diminta. "Siauw
Sit San menjadi tempat formasi kuil Siauw Lim Sie, tempat
formasi kuil Siauw Lim Sie, tempat bersembahyangnya Sang
Buddha yang maha suci dan mulia, mana dapat nona-nona
berdiam di sana " Dasar aku yang doyan ngoceh ! Masa aku
menanyakan nona-nona datang dari sana " Bersalah mulutku
harus ditabok ?" Kiauw In tertawa. "Tidak karuan-karuan kau menyebut Siauw Sit San"
katanya. "mungkinkah kau ada hubungannya dengan kuil di
sana itu ?" Jongos itu lekas-lekas menggonyangi tangan.
"Harap tidak salah mengerti nona." sahutnya. "Aku
menyebut-nyebut Siauw Sit San sebab kemarin ini kebetulan
kami kedatangan mereka tamu-tamu yang katanya datang
dari Siauw Sit San dan tengah malam buta mereka telah
berkelahi, maka itu, memasuki kamar ini, aku jadi jelas halnya
mereka itu." Habis berkata, jongos itu lantas ngeloyor keluar.
Tiba-tiba Kiauw In ingat sesuatu.
"Kakak pelayan, mari !" ia lantas memanggil. "Mari, hendak
aku menanyakan sesuatu."
Jongos itu segera kembali.
"Orang-orang macam apakah yang kemarin itu datang
disini ?" Giok Peng tanya. Ia pun mendapat ingatan seperti
Kiauw In. "Kenapa mereka berkelahi ?" Ia cedik. Ia lantas
meletakkan sepotong perak diatas meja, menambahkan
:"Uang ini buat kau minum arak ! Nah, lekas kau bicara !"
Melihat perak yang berkilau itu, pelayan itu maju dan
tindak, tangannya menyamber, wajahnya tersungging
senyuman. "Terima kasih nona !" ucapnya. "Kalau nona ingin


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan apa-apa, silahkan."
"Bukankah barusan telah aku tanyakan ?" Giok Peng
membaliki tertawa. "Orang-orang yang datang dari Siauw Sit
San itu, bagaimana cara dandanan mereka, bagaimana
macam tampangnya, dan kenapa mereka berkelahi ?"
"Merekalah dua orang pria dan dua-duanya masih muda."
sahut san pelayan yang benar-benar suka bicara.
"Kelihatannya mereka seperti sahabat baik satu dengan lain.
Tibanya mereka ialah saling susul."
"Jadi merekalah orang-orang muda," kata Giok Peng.
"Bagaimana cara dandannya mereka " Bagaimanakah
macamnya, potongan badan dan sikap duduknya " Dapatkah
kau melukiskannya ?"
Pelayan itu menggaruk-garuk kepala. Ia mencoba
mengingat-ingat. "Ya, aku kini ingat !" katanya ayal-ayalan.
"Lekas !" Nona Pek mendesak. "Bicaralah !"
Kiauw In yang mengempo Hauw Yan bersikap tenang.
"Kakak pelayan, jangan kau kuatir" katanya tersenyum.
"Kami menanyakan mereka sebab kami ingin tahu kalau-kalau
kami kenal atau tidak kedua pemuda itu."
Sembari berkata Nona Cio diam-diam mengedip mata pada
Giol Peng. Nona Pek mengerti pertanda itu, ia lantas berkata pula.
"Benar ! Kau bicaralah. Tak usah kau berbicara seperti orang
mendongeng !" Dari tertawa, jongos itu lantas mengasi lihat tampang
sungguh-sungguh. "Pemuda yang datang terlebih dahulu itu tampan, sikapnya
risau sekali, ia mulai bercerita. "Dia sangat pendiam. Tetapi
sepasang matanya itu toh sungguh menakutkan.:
"Kau takut apa "' tukas Giok Peng. "Apakah dia dapat
menelanmu ?" "Bukan begitu nona. Sebenarnya ketika aku takut masuk
kedalam kamar itu melayaninya. Ketika aku tanya dia
memerlukan apa, dia diam saja, sikapnya tawar sekali..."
"Masih ada apa lagi tentang dia ?" Giok Peng mendesak.
"Hayolah kau bicara !"
Jongos ini membuat main tangannya, ia pun mengusap
mukanya. "Ketika kemudian aku datang mengantarkan barang
makanan daun pintu hanya ditutup dirapatkan." Ia mengasi
keterangan lebih jauh. "Aku menyajikan barang makanan
diatas meja. Ketika itu ia sedang merebahkan diri diatas
pembaringan, matanya yang terbuka tengah mengawasi
langit-langit rumah. Sekilas aku melihat disudut matanya
airmatanya mengalir. Saking heran, tanpa terasa aku
memperdengarkan suara dengan berkata :"Seorang laki-laki
cuma mengalirkan daran tetapi tidak air mata ! Ah,
mengapakah ia mirip seorang wanita...?"
Menyebut "wanita" jongos itu menoleh kepada kedua tamutamunya.
Dia terkejut dan agak likat. Rupanya dia insyaf yang
dia telah ketelepasan omong.
"Bicara terus !" mengundurkan Kiauw In tertawa. "Kami tak
akan persalahkan kau !"
Lega hatinya si jongos. Dia lantas melanjuti : "Sebenarnya
tak puas aku melihat pemuda itu menangis, hendak
mengundurkan diri. Justru aku memutar tubuh, tiba-tiba aku
melihat diatas lantai terletak sebuah buku, entah kitab apa..."
Giok Peng terperanjat hingga ia menyerukan :
"Oh !" Lantas dia bertanya :" Buku apakah itu ?"
"Aku pungut buku itu" si jongos menjawab. "Aku
mengawasinya sebentar. Waktu aku hendak
mengembalikannya kepada si anak muda, tiba-tiba dia
merampasnya, terus aku digaplok ! Oh, sunggguh nyeri !
Hebat gaplokkannya itu ! Begitulah apesnya orang yang
menjadi pelayan..." "Apakah yang kau lihat pada buku itu ?" Kiauw In tanya.
"Apakah ada tulisannya ?"
Jongos itu menggaruk-garuk pula kepalanya. Dia berpikir
keras. "Aku melihat empat buah huruf." sahutnya kemudian.
"Sayang aku tidak tahu surat. Akulah dari keluarga melarat,
aku cuma dapat bersekolah selama satu tahun, sembari
bersekolah, aku mengembalakan kerbau juga..."
"Sudahlah !" Giok Peng menyela. "Aku bukan tanyakan hal
sekolahmu ! Aku tanya tentang buku ! Apakah yang tertera
pada buku itu " Berapa hurufkah yang kau kenal ?"
Jongos itu tidak marah bahkan dia tertawa.
"Kenapa nona sangat tak sabaran ?" dia bertanya. Dia
berdiam pula untuk berpikir. "Dari empat huruf itu aku cuma
dapat membaca yang dua, yang lainnya tidak sebab terlalu
banyak coretannya. Yang dua itu yaitu Sam Cay..."
Dua dua Kiauw In dan Giok Peng melengak. Mereka
dikejutkan dua huruf yang disebutkan itu. Lantas mereka
saling memandang. Terang sudah buku itu buku mereka.
Selang sesaat, Kiauw In menanya pula : "Bagaimana
dengan itu pemuda yang datang belakangan ?"
Jongos itu sudah berpengalaman dalam tugasnya, gerak
gerik kedua nona membuatnya dapat berpikir, karenanya dia
menduga apa-apa, hingga dia juga ingin berlaku cerdik.
Sahutnya : "Maaf, nona-nona. aku telah ketelepasan bicara !
Aku minta dengan sangat supaya hal ini nona-nona tidak
sampaikan kepada siapa juga !"
"Jangan kau kuatir !" berkata Giok Peng. "Lekas kau
tuturkan perihal anak muda yang datang belakangan itu !"
Masih jongos itu menatap kedua nona bergantian. Baru
setelah itu, maka dia bicara.
Katanya : "Pemuda yang datang belakangan itu lebih muda
dari pada pemuda yang datang lebih dahulu. Dia pun tampah
gagah tampangnya, malah dia bertangan terbuka, dia telah
memberi presen sepotong perak kepadaku. Dia menanya aku
siapa-siapa saja yang malam itu menumpang didalam
penginapan kami. Aku beritahu diantaranya tentang pemuda
yang datang lebih dahulu itu. Lantas dia menanya banyak
mengenai tetamu itu, dia tampangnya seperti juga dialah
seorang petugas negara..."
Tepat itu waktu terdengar suara pemilik penginapan
memanggil jongosnya, maka jongos itu lantas minta perkenan
buat segera mengundurkan diri.
Giok Peng mengunci pintu kamarnya.
"Kakak" katanya perlahan, "terang kedua pemuda itu Gak
Hong Kun dan adik Hiong. Bukankah kakakpun menerka sama
seperti aku ?" Liauw In meletakkan Hauw yan yang tidur dalam
empoannya. Ia mengangguk.
"Memang" sahutnya selang sejenak. "Dan terang sudah
yang kitab pedang guru kita telah dicuri Hong Kun !"
Giok Peng menghampiri pembaringan, untuk duduk
disisinya. "Bagaimana sekarang ?" tanyanya.
"Kita harus cepat." sahut orang yag ditanya. "Aku percaya
adik Hiong tengah menyusul Hong Kun ! Besok kita membeli
dua ekor kuda, untuk berangkat lekas ke Lok Tiok Po, habis
menitipkan Hauw Yan, segera kita menyusul ke gunung Hoang
San." "Bagus rencanamu ini, kakak." Giok Peng menyatakan
setuju. "Cuma, apakah kita tak bakal terlambat sampai di
Hong San ?" "Kita tidak mempunyai jalan lain lagi" kata Kiauw In.
"Terburu-buru juga tak ada faedahnya. Yang penting yaitu
asal disepanjang jalan kita senantiasa mencari keterangan.
Mustahil kita tak dapat menemukan mereka itu."
Giok Peng dapat menyabarkan diri. Maka itu terus mereka
beristirahat. Besoknya, mereka bangun pagi-pagi untuk terus
berkemas. Di dalam kota Tenhong mereka membeli dua ekor
kuda dengan begitu dengan cepat mereka menuju ke Lok Tio
Po, buat menuju ke Hong San. Pada suatu hari mereka tiba di
Tiangsee ibukota propinsi Oawlam. Kota ramai sekali, jalan
besar penuh dengan orang dan pelbagai kendaraan. Tapi
mereka tidak mau singgah dikota itu, maka dari pintu kota
yang satu mereka nyeplos di pintu kota yang lainnya.
Di sepanjang jalan, mereka mencoba mendengar. Sekarang
mereka menuju ke Oawlam Barat, mengikuti jalan umum.
Ketika itu, baru saja lewat tengah hari jam ngo sie dan mulai
memasuki jam hio sie mendekati lohor. Ditengah jalan tak
putusnya lalu lintas ada orang berjalan kaki, ada kereta, kuda
dan keledia. Tengah kedua nona itu melanjuti terus perjalanannya itu,
tiba-tiba dari arah depan mereka melihat memandanginya dua
orang penunggang kuda yang sedang mengaburkan kudanya.
Penunggang kuda yang di depan seorang wanita muda dan
yang di belakang seorang pria tua. Mereka terperanjat sebab
mereka juga sedang mengasi kuda mereka lari keras. Debu
sampai mengepul naik. Dibagian jalanan itu keadaan lalu lintas
sedang ramai. Lekas sekali, kedua belah pihak sudah melalui satu sama
lain. Hampir mereka bertabrakan. Ialah diantara Giok Peng
dan wanita di depan itu. Selagi berpapasan itu wanita itu
berseru kaget segera dia menahan kudanya untuk diputar
balik, buat menyusul Nona Pek.
"Nona !" dia memanggil.
Giok Peng tidak mendengar suara itu, ia larikan terus
kudanya. Wanita itu mencambuk kudanya buat menyusul.
"Siauw Yan Sie !" dia memanggil pula, keras suaranya.
"Nona Pek !" Baru sekarang Giok Peng mendengar panggilan kepadanya
itu. Segera ia menahan kudanya dan menoleh untuk
mengawasi. Lekas juga ia menjadi heran.
Penunggang kuda itu adalah seorang nona, pakaiannya
serba merah, modelnya luar biasa, tak seperti pakaian yang
kebanyakan. Orangnya sendiri juga berdandan luar biasa.
Dengan semacam gelang emas, dia mengekang rambutnya
yang dilepas panjang terurai ke punggungnya hingga rambut
itu memain diantara debaran angin. Dia pula memakai pupur
medok, hingga dia tampak genit sekali.
"Oh.." sernua saking heran. Ia mengenali Tong Hiang.
Nona itu tertawa haha hihi.
"Bagaimana nona ?" tanyanya tertawa pula. "Apakah nona
sudah mengenali budak pelayanmu " Nona agaknya tergesagesa,
kemana nona hendak pergi ?"
Giok Peng masih melengak, hingga tak dapat ia menjawab
cepat-cepat. Tong Hiang mengawasi, mukanya berseri-seri.
"Tuan muda Tio sudah pergi kelain tempat !" katanya pula
tanpa dimulai keterangannya. "Buat apa nona pergi ke Hong
San ?" Nona Pek melengak. Ia jadi berpikir.
"Heran kenapa budak ini ketahui kami mau pergi ke Hong
San ?" tanya ia pada dirinya sendiri. Ia mencoba
menenangkan hatinya."Tong Hiang, kenapa kau ketahui Tuan
Tio sudah pergi kelain tempat " Benarkan dia tak ada
digunung Hong San ?"
Ketika itu Kiauw In yang telah memutar kudanya
menghampiri Giok Peng hingga mereka berdua merendengi
kuda mereka. Ia mengenali Tong Hiang yang ia pernah lihat di
Pay In Nia dan ketahui orang memasrahkan diri dikalangan
yang sesat, dari itu ia bersikap waspada. Ia kuatir Giok Peng
nanti kena dibokong... Tong Hiang melirik pada Nona Cio. Dia tertawa manis.
"Kelihatannya kalian mencurigakan aku !" katanya.
"Rupanya kalian menganggap Tong Hiang bukan seperti
manusia umumnya ! Aku untuk memberitahukan sesuatu
kepada kau, nona, supaya kalian tak usah melakoni perjalanan
jauh yang tak ada faedahnya, yang akan membuat kalian
membuang waktu yang berharga. Nona mau percaya atau
tidak, terserah !" Mengatakan tidak, Giok Peng mesti berlaku hati-hati.
"Habis kemanakah pergi Tuan Tio ?" ia tanya. "Dapatkan
kau memberi keterangan padaku ?"
Tong Hiang tertawa geli. "Demi kitab pedang Sam Cay Kiam. Tuan Tio sudah lihat
wanita itu pergi lari." sahutnya. "Ada kemungkinan dia
mengejar terus ke Hek Kong To !"
Giok Peng melengak. Dia heran berbareng terkejut.
"Tong Hiang !" katanya keras-keras bernada menegur,
"benarkah kata-katamu itu ?"
"Tong Hiang ! Tong Hiang !" demikian terdengar suaranya
si orang tua yang menjadi kawan si budak memanggil-manggil
Dia menahan kudanya tetapi tidak pergi menghampiri. Dia
cuma memutar tubuhnya. Tong Hiang memutar kudanya, sebelah tangan diulapkan.
"Perkataan budakmu ini nona" sahutnya. "Benar atau palsu
kau pikir saja sendiri. Nah, sampai jumpa pula ! " Lantas dia
mencambuk kudanya yang dikedut dikasihh kabur guna
menyusul si orang tua kawannya itu.
Tak dapat Giok Peng mencegah orang berangkat,
karenanya berdua Kiauw In, ia saling mengawasi. Keduaduanya
terbenam didalam kesangsian : Mana Hiang bicara
benar-benar atau main-main " Budak itu mendusta atau
bagaimana " Percaya, mereka sangsi, tidak percaya mereka
ragu-ragu. Bukankah benar It Hiong tengah menyusul kitab pusaka
guru mereka " Mengapa It Hiong bukannya menyusul Gak
Hong Kun hanya wanita dari Hek Kong To, pulau ikan Lohan
Hitam itu " Kenapa kitab jadi berada ditangannya Tan Hong
nona itu " Bukankah itu buat dipercaya "
Masih sekian lama, keduanya berdiri diam saja. Mereka
bingung. Sekarang marilah kita melihat dahulu kepada Tio It Hiong,
Duri Bunga Ju 8 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Istana Kumala Putih 9

Cari Blog Ini