Ceritasilat Novel Online

Iblis Sungai Telaga 8

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 8


Pendeta itu tertawa. "Semua itu tak dapat lantas dijelaskan satu demi satu !"
sahutnya. "Hanya dapat aku terangkan, ketika barusan aku
meramalkan ternyata tanwat berdua bakal mengalami
kekagetan tetapi tidak merebutnya...."
Biasanya orang berlaku manis budi. It Hiong tapinya kurang
puas. Ia menghargai penjelasan bukannya kata-kata yang
artinya tersembuyi. Maka dengan tampang sungguh ia
berkata, "Aku yang tendah tak memikirkan soal mati dan
hidup dan datang kami kesini selain ingin menumpang
melewatkan sang malam juga sekalian untuk mohon diberi
petunjuk jalanan guna pergi ke Huyong ciang. Petunjuk itu
saja sudah cukup bagi kami, itu akan sangat memuaskan !"
Pendeta tua itu memperdengarkan puji Sang Buddha.
"Tio tanwat sungguh jujur, harap maafkan aku si pendeta
tua yang tak lekas mengetahuinya." katanya. "Baiklah, besok
akan aku titahkan muridku mengantarkan kalian pergi ke
Huyong ciang ! Sekarang silahkan tanwat berdua pergi
beristirahat." Begitu berkata pendeta itu memejamkan matanya.
It Hiong tahu bahwa pembicaraaan sudah selesai. Berdua
Kiauw In, ia memberi hormat. Lantas mereka mengikuti si
kacung pendeta yang memimpinnya ke kamar dimana mereka
dapat beristirahat. Atau mendadak terdengar suaranya si
pendeta tua itu : "Tanwat, tunggu sebentar ! Mari hendak aku
si pendeta tua menghadiahkan sesuatu yang tak berharga..."
It Hiong berdua kembali, mereka menghampiri pendeta itu.
Sang pendeta memegang sebuah peles kecil, ia angsurkan
pada tamu-tamunya yang muda itu sembari ia berkata : "Ilmu
silatnya si tua tidak berarti, tak dapat aku memberikan
sesuatu, karena itu sudi apakah kiranya tanwat menerima ini
barang mainan yang tak berharga. Khasiatnya obat ini ialah
untuk melawan segala macam racun. Sebelumnya memasuki
Huyong ciang, baik tanwat telan dahulu tiga butir, obat ini
pasti ada faedahnya...."
It Hiong menyambuti sambil menghaturkan terima kasih.
Kembali ia memberi hormat. Lalu terus ia turut si kacung
pendeta pergi ke kamar peristirahatan.
Besok paginya si kacung pendeta menyuguhkan barang
makanan sangat sederhana. Mereka mengisi perut, habis itu
berdandan. Mereka mau pergi ke kamar obat, untuk
berpamitan dari si pendeta tua, atau si kacung yang telah
muncul pula kata pada mereka, "Tak usah tanwat menemui
guruku lagi, sekarang juga kita berangkat !"
Itu artinya si pendeta telah memesan buat orang segera
berangkat. Muda mudi itu tidak memaksa malah mereka lantas
mengikuti kacung itu yang memimpin keluar kuil. Ketika itu
matahari baru saja muncul, sinarnya terang tetapi masih
lunak. Angin pagi sejuk sekali.
Kacung pendeta itu membuka jalan terus saja, dia berjalan
dengan cepat. Dia pendia ilmu lari ringan tubuh. Maka It
Hiong berdua mengikuti dengan berlari-lari juga. Saking
kerasnya lari mereka tak sempat mereka memperhatikan
pemandangan di kiri dan kanan sepanjang jalan yang dilalui
itu. Setelah kira delapan puluh lie barulah mereka beristirahat.
Tak lama, mereka sudah berjalan pula. Kira satu jam, tibalah
mereka di Huyong Ciang, di kaki bukit.
"Tio tanwat, kita sudah sampai," kata si seebie sambil dia
menunjuk dengan tangannya. "Silakan kalian maju terus di
jalan depan itu kira-kira sepuluh lie, nanti tampak sebuah selat
sempit di pinggang bukit. Itulah Huyong ciang. Kalau tanwat
jalan lagi kira tiga lie, akan tanwat tiba di Siang Ceng Koan.
Sekarang ini menurut pesan guruku, hendak aku
menyampaikan beberapa patah kata-kata kepada tanwat
berdua." Kacung itu berhenti bicara untuk menatap muda mudi itu.
It Hiong tertawa dan kata : "Ada apa dengan gurumu itu,
bapak guru kecil ?" katanya manis. "Pengajaran apa itu dari
gurumu yang harus disampaikan kepada kami " Silahkan
disebut !" Masih si kacung menatap orang, tampangnya sungguhsungguh.
"Selat sempit di pinggang gunung itu ialah Huyong ciang"
ia memberitahukan. "Lembah itu, kecuali jam cu sie dan ngo
sie, akan mengeluarkan uap yang beracun yang warnanya
merah dadu, tampak mirip halimun suaram, hingga seluruh
lembah kena tertutup. Manusia ataupun binatang, asal kena
menyedot uap itu, akan keracunan dan di dalam waktu satu
jam, akan terbinasa tanpa tertolong lagi."
"Oh, uap itu demikian jahat ?" kata Kiauw In. "Habis mana
dapat kami melaluinya " Tidak dapatkah kami jalan mutar
untuk sampai di kuil Siang Keng Koan itu ?"
Seebie itu tertawa. "Nona memikir secara wajar sekali !" kata dia. "Kalau ada
jalan lainnya, tidak nanti aku mengajaknya kemari. Kawanan
imam jahat dari Siang Ceng Koan itu justru menggunakan uap
itu sebagai pelindung dirinya. Kuil mereka juga berdiri di
tempat yang tidak ada jalannya, jangan kata manusia, bangau
tak dapat mendakinya !"
"Kalau begitu, buat pergi ke Siang Ceng Koan, kita mesti
ambil jalan dilembah itu." kata It Hiong. "Habis bagaimana
caranya untuk meluputkan diri dari serangan uap beracun itu "
Tolong bapak guru kecil berkatainya."
"Jangan sungkan, tanwat" berkata si kacung pendeta.
"Tetapi ini pun cuma pesan guruku tadi, pesan yang harus
disampaikan kepada tanwat berdua." Ia berhenti sedikit, terus
ia melanjuti. "Seluruh lembah Huyong ciang itu ditumbuhi
pohon bunga "Huyong", maka itu didapatkannya namanya itu.
Tadinya lembah itu penuh dengan hawa beracun, kemudian
hawa beracun itu kena disedot bunga huyong yang baunya
harum dan punahlah racun itu hingga siapa lewat disitu dia
tak akan menghadapi ancaman malapetaka. akan tetapi sejak
sepuluh tahun yang lalu, dengan datangnya kawanan imam
busuk itu yang membangun kuilnya, setelah mereka tahu
khasiatnya bunga huyong itu, bunga itu lantas dipetik habis
hingga karenanya timbul pula uap beracun itu. Hingga
sendirinya huyong ciang menjadi sangat berbahaya ! Selama
tahun-tahun yang belakangan ini entah sudah roboh berapa
banyak korban yang tidak tahu ancaman racun yang hebat
itu..." Sebagai penutup keterangannya si seebie menyebut nama
Sang Buddha. It Hiong berdua berdiam. Diam-diam mereka memikirkan
uap jahat itu. "Obat yang guruku kasihkan pada tanwat itu" lewat sesaat
si kacung pendeta berkata pula, "khasiatnya selain dapat
mencegah atau menghapus racun yang beruap itu juga untuk
menyembuhkan penyakit atau luka di dalam. Guruku
memesan wanti-wanti akan aku menyaksikan tanwat berdua
memakan obatnya tiga butir setelah mana barulah tanwat
dapat memasuki lembah. Hanya ingat sesudah matahari turun,
jangan sekali-kali memasuki lembah, itulah berbahaya !
Sekarang maafkan aku banyak rewel. Hendak aku
menyaksikan tanwat berdua menelan obat guruku itu supaya
aku dapat segera berangkat pulang guna menyampaikan
laporan." It Hiong menarik keluar peles kecil warna hijau dari dalam
sakunya, ia membuka tutupnya. Lantas ia dapat mencium bau
obat yang harum, yang mendesak hidung setelah mana ia
merasa lega dan nyaman sekali. Bersama-sama Kiauw In ia
makan obat itu. "Bapak guru kecil, ada pesan apakah lagi buat kami ?"
kemudian It Hiong tanya si kacung pendeta. "Silahkan
sebutkan !" Seebie itu menurunkan kantong yang digendolnya
dipunggungnya sembari menyerahkan itu kepada si anak
muda, ia menjawab : "Inilah rangsum kering dan air minum
buat tanwat berdua. Inilah tanda hormat dari aku sendiri dan
aku memujikan supaya tanwat itu ! Sekarang ijinkanlah aku
berangkat pulang !" Berkata begitu, kacung pendeta itu memberi hormat terus
ia memutar tubuh dan berjalan pergi. It Hiong sangat
bersyukur, ia mengawasi orang berlalu tanpa ia sempat
mengucapkan sesuatu. Kedua pendeta itu, guru dan muridnya sangat baik hati.
"Bapak guru kecil, tunggu dahulu !" tiba-tiba Kiauw In
memanggil. Sebegitu jauh nona ini membungkam saja.
Seebie itu menghentikan langkahnya dan berpaling.
"Ada perintah apakah tanwat ?" tanyanya.
Nona Cio menarik tangannya It Hiong buat diajak
menghampiri pendeta cilik itu, sembari memberi hormat
sambil menjura ia berkata kepada si pendeta, "Lebih dahulu
kami menghaturkan terimakasih kami kepada bapak guru kecil
serta gurumu yang mulia itu yang telah memberikan obat
kepada kami serta pelbagai petunjuk yang berharga ! Kami
berjanji, sepulangnya kami akan mampir dulu dikuil kalian
buat menyatakan syukur kami !"
"Ah, tanwat cuma memuji saja kepada kami !" kata si
seebie tertawa. "Kami orang-orang yang lagi mensucikan diri,
kami tak biasa dengan segala aturan umum...!"
Berkata begitu, ia memutar tubuhnya, berniat segera
berlalu. Atau mendadak dia berbalik pula untuk terus berkata :
"Hampir aku lupa ! Di atas bukit dekat huyong ciang ini benar
tidak terdapat hewan dan burung tetapi ada terdapat
semacam ular yang beracun yang gemar memagut manusia
atau yang lainnya benda. Tegasnya dia pasti menyerang
setiap sesuatu yang dapat bergerak ! Karenanya, selagi
memasuki lembah, baiklah sicu berlaku waspada, berlaku hatihati
sekali !" It Hiong merangkap kedua tangannya.
"Terima kasih, bapak guru kecil !" ucapnya. "Kami akan
berhati-hati, harap bapak guru kecil jangan kuatir."
Dengan satu kali mengucap "Sampai jumpa pula !" maka
ngeloyorlah kacung pendeta itu hingga lekas juga dia lenyap
diantara bayangan pepohonan.
It Hiong mengawasi sampai orang itu lenyap, terus ia
dongak matahari. Ia menerka pada jam sio sie, antara jam 9
sampai jam 11. Maka ia lantas kata pada kawannya, "Kakak,
mari kita lekas berangkat ! Justru tengah hari, kita harus
dapat melintasi Huyong ciang !" Segera sambil memegang
gagang Kong Hong Kiam, pedangnya yang tajam, ia menarik
tangan si nona buat diajak bertindak pergi.
Tadi si kacung pendeta memberitahukan jam yang
berbahaya ialah kedua jam cu sie dan ngo sie. Cu sie ialah jam
11 dan 12 malam dan ngo sie ialah jam 11 dan 12 tengah
hari. Kiauw In mengikuti tanpa bicara.
Perjalanan kira sepuluh lie telah dilalui tanpa banyak sukar
oleh dua orang kakak beradik seperguruan itu, tak peduli
tempat-tempat yang dilalui sangat sukar. Itulah tanah
pegunungan tanpa jalanan umumnya. Mereka mesti
menggunakan ilmu ringan tubuh Tangga Mega, dengan apa
mereka dapat berlari keras dan berlompat pesat. Dalam waktu
yang pendek, tiba sudah mereka dimulut lembah yang
berbahaya itu karena uap racunnya.
Kiauw In menghentikan tindakannya untuk memandang
tajam ke depan, ke kiri dan kanan. Ketika itu tepat tengah
hari. Tak ada uap, cuma dibalik cahaya matahari tengah hari
itu terlihat asap merah dadu yang bergerak-gerak perlahan
mengikuti siuran angin. Gunung mempunyai dua buah puncak
yang tajam lancip memasuki mega. Dipuncak itu tak terdapat
pohon kayu atau rumput. Hawa sumPek terbawa angin
menyampoki muka, hawa itu tak berbau busuk, tapi rasanya
tak menyenangi. "Sampai saat ini, hawa beracun itu belum juga lenyap."
kata Kiauw In, "maka itu baik kita makan dulu, baru kita
memasuki lembah. Kita pun harus makan pula obat."
It Hiong akur. "Baik, kakak" sahutnya.
Lantas mereka duduk berhadapan, akan membuka
bungkusan rangsum kering, untuk bersantap sekalian makan
obat. Masih mereka duduk berdiam sekian lama, baru inilah
mereka bertindak ke arah lembah dan memasukinya. Jalanan
rada mulai banyak batu koralnya. Guna melompat asap jahat,
mereka berlari-lari keras. Mereka pula tidak berani bicara,
supaya mereka tak usah menyedot hawa beracun itu.
Syukurlah mereka tidak menemui binatang jahat, umpama
kata ular. Hanya hawa tanah yaitu hawa gunung, dari bawah
dari kaki menghembus-hembus ke atas, terasanya meresap
tajam. Mereka juga tidak memperdulikan segala apa dikiri dan
kanan, mereka lari terus maka akhirnya berhasilah mereka
melalui lembah yang berbahaya itu hingga dilain saat mereka
telah tiba dipinggang gunung di karang muncul.
Di sini angin bertiup bagaikan mendatangkan hawa baru
yang nyaman dan menyegarkan. Disini pula mereka dapat
bernapas lega setelah sekian lama mereka menahan napas
guna mencegah serangannya hawa beracun. Walaupun telah
makan obat, mereka tetap berhati-hati.
Habis duduk beristirahat, perlahan-lahan mereka berbangkit
berdiri. Ketika itu matahari mulai doyong ke barat. Mereka melihat
rimbah cemara dan lainnya pohon yang hidup di tanah
berkarang itu. Daun yang hijau membuat orang bagaikan
merasa berada di dunia yang lain...
Kiauw In melirik It Hiong.
"Adik, sudah letihkah kau " Aku kira sudah tak jauh lagi
untuk tiba di kuil Siang Ceng Koan."
Si anak muda menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya. "Kita harus bersyukur kepada pendeta
tua dari vihara Bie Lek Sin itu yang telah memberikan kita
obat dan pelbagai keterangan mengenai keadaan disini, juga
perihal imam-imam dari Siang Ceng Koan. Kalau mau kakak
dapat duduk beristirahat lebih lama pula."
Kiauw In menarik keluar saputangannya akan menyeka
mukanya. Ia pun duduk diatas rumput.
"Dasar tenaga dalamku yang kurang sempurna" kata ia
tertawa. "Aku telah mengeluarkan sedikit peluh..." Ia pun
merapihkan rambutnya yang tertiup kusut oleh sang angin.
Hatinya It Hiong sangat tergiur melihat si nona tertawa. Ia


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaksikan sepasang sujen yang manis menarik hati. Ia
merasa kasihan berbareng sangat tertarik.
"Lenyapnya kitab pedang guru kita adalah karena
kesalahanku," kata ia. "Aku menyesal karena hal itu, aku
membuat kakak turut menderita capek hati dan membuang
tenaga bahkan disini kita lagi menghadapi malapetaka. Kakak
tak tenang hati adikmu ini, aku mohon maaf, harap kakak sudi
memakluminya." Tidak cukup dengan memohon maaf saja, si anak muda
pun menjura dalam. Nona Cio tertawa geli. "Ada saja kau adik !" katanya. "Aku toh telah menyerahkan
segala apa kepadamu !"
"Demi kau, apakah aku mesti jerikan segala capek lelah "
Tidak ! Bahkan sekarang kita harus lekas pergi ke Siang Ceng
Koan guna menyelesaikan tugas kita !"
It Hiong bersyukur. "Setelah kakak beristirahat cukup, kita akan lantas pergi
kesana." katanya sungguh-sungguh. Kiauw In menatap adik
seperguruannya itu. "Coba bilang adik,"tanyanya, "kau memikir buat membuat
kunjungan terus terang guna meminta pulang kitab silat kita
itu atau kita masuk menyelundup diluar tahu mereka secara
mendadak ?" "Buatku, aku tidak perduli itu jalan berterang atau
menggelap !" sahut It Hiong sungguh-sungguh hingga dia
nampak sangat bersemangat. "Jika Hian Ho tidak sudi
mengembalikan kitab pedang kita itu dengan mengandal pada
Keng Hong Kiam akan aku membuat darahnya muncrat
berhamburan !" Berkata begitu tanpa merasa anak muda ini bersiul nyaring
hingga terdengar kumandangnya di seluruh lembah. Justru
suara itu baru berhenti atau suara lain yang lekas
menyusulnya. Dari arah kiri dimana terdapat sebuah jalanan terdengar
bentakan nyaring dan bengis.
"Siapakah yang sudah berani datang kemari dengan banyak
lagak ?" Teguran itu disusul dengan datangnya dua orang tosu atau
imam penganut agama Tao yang warna putih rembulan dan
pedangnya tergendol di masing-masing punggungnya.
Usia mereka masing-masing tiga puluh lebih. yang hebat
ialah tampang mereka yang bengis-bengis serupa dengan
sikapnya yang galak itu. Setelah datang dekat, kedua imam itu mengawasi tajam
sepasang muda mudi tampan dan cantik serta dandanannya
berwajah gagah hingga lekas sekali mereka merubah sikap
mereka sendiri. Tanpa kehendaknya, satu diantaranya bertanya, "Sicu
berdua dari kalangan mana " Tolonglah beritahukan kami
supaya kami lekas menyediakan obat pemunah racun serta
mengabarkan kepada koancu kami."
Koan cu ialah ketua kuil. Imam itu mengatakan akan
menyediakan obat pemusnah racun sebab menurut anggapan
umum dari mereka, siapa memasuki Huyong ciang dia pasti
terserang uap beracun dan kalau dia dari satu golongan, dia
mau segera ditolongi setelah mana dia harus beristirahat
sedangkan pihak kaoncu mesti lantas menerima laporan.
It Hiong lantas memberi hormat.
"Totiang berdua, terimalah hormat kami !" katanya. "Aku
yang muda ialah Tio It Hiong dan kunjungan kami kemari
adalah buat mencari Hian Ho Cingjin. Tolong totiang memberi
keterangan kepada kami dan sudi apalah mengajak kami
menemuinya !" Imam itu tidak membalas hormat. Kecuali dia menunjuki
sikap jumawa. Dia hanya menanya, "Tio sicu sudi apakah kau
memberitahukan kami tentang golongan atau perguruanmu."
It Hiong tidak berkeberatan memperkenalkan diri. Jawabanya,
"Kami berdua murid-muridnya Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia
Kio Hoa San. Inilah kakak seperguruanku Cio Kiauw In. Jelas
sudah bukan?" Mendadak saja kedua imam itu tertawa bergelak.
"Sungguh murid-murid pandai dari jago suatu jaman !" kata
yang satu. "Ah, janganlah kau pakai nama termashur guru
kalian untuk menakut-nakuti orang ! Dengan kami tidak
memberikan kalian obat pemunah jangan harap kalian akan
dapat turun gunung dengan masih hidup ! Nah, silakan kalian
menggali liang kubur kalian sendiri disini. Ha ha ha ha !"
It Hiong menjadi gusar. "Orang takabur dan jahat. Jika
kalian tidak sudi menolong mewartakan kedalam jangan
sesalkan kami kalau kami menyerbu !" ia mengancam. Ia pun
menyambar tangannya Kiauw In untuk ditarik buat diajak
menyerbu ! Kedua imam itu tertawa terbahak-bahak mereka segera
menghunus pedang mereka. "Pedang Toya kalian ini tidak mengenal orang !" kata yang
satu tetap jumawa. "Jika kalian berani menerobos masuk,
jangan sesalkan kami apabila kami tak menaruh belas kasihan
lagi !" It Hiong pun tertawa. Dari mereka dapat ia menyabarkan
diri. "Dengan tangan kosongku, bersedia aku belajar kenal
dengan ilmu pedang kalian !" katanya sengaja bersikap
jumawa. Kedua imam itu saling melirik, setelah itu yang disebelah
kiri berkata, "Kak, coba kau minggir satu tindak ! Kau biarkan
adikmu yang membekuk." Menyusul katanya itu, imam itu
sudah lantas menikam It Hiong, gerakannya sangat gesit dan
arahnya ialah ulu hati. Si anak muda tidak berkelit, tidak ke kiri atau ke kanan
atau ke belakang. Ia tetap berdiri tegak. Ketika ujung pedang
lawan tiba, ia sambut itu dengan japitan dua jeriji telunjuk dan
tengahnya, sedangkan dengan luncuran tangan kirinya
dengan satu gerakan dari jurus silat Hang Ling Hok Wouw
Ciang, Menaklukan Naga Menundukan Harimau, ia
menyampok telinga orang hingga si imam terpelinting
beberapa tindak ! Bahkan terus dia memuntahkan darah hidup
! Imam yang satunya yang sedari tadi berdiri saja, lantas
berlompat maju, akan menyambar kawannya, sang sute adik
seperguruan untuk dipegangi, guna mencegah dia itu roboh.
Sementara itu wajahnya sendiri menunjuki dia gusar
berbareng jeri. Wajahnya itu merah padam dan matanya
celingukan seperti mata tikus. Toh ia menghadapi It Hiong dan
kata : "Kau sudah melanggar aturan kami, kau juga telah
menyerang orang ! Hm, kau nanti lihat !" Habis itu, segera ia
berlalu dengan mengajak sutenya itu !
It Hiong gusar, hendak ia mengejar untuk menghajarnya.
Atau: "Adik Hiong, jangan !" demikian terdengar suaranya Kiauw
In, siapa sudah lantas menyusul hingga dia berdiri di sisinya,
untuk menyambungi dengan perlahan : " Mereka kabur, inilah
kebetulan ! Kita jadi dapat susul mereka, yang seperti menjadi
penunjuk jalan sukarela membawa kita ke Siang Ceng Kuan !
Buat apa kita melayani mereka ?"
It Hiong dapat dikasih mengerti. Ia malah mengangguk dan
tertawa perlahan. Diam-diam ia memuji kakak In itu yang
pandai menggunakan otak. Kedua imam itu mempunyai ilmu ringan tubuh yang baik.
Yang satu sudah terluka tetapi dia dapat lari keras seperti
kakaknya. Sebentar saja mereka sudah melalui empat puluh
tembok, terus mereka menikung disebuah pengkolan.
Dua dua It Hiong dan Kiauw In menggunakan
kepandaiannya Lompatan Tangga Mega, mudah saja mereka
berdua menyusul dan mengguntingnya terpisah sejarak enam
atau tujuh tombak, mereka mengintil terus.
Ketika menikung kedua imam itu berpaling ke belakang,
menimpukkan tiga batang panah tangan, habis mana mereka
menghilang tanpa memperdulikan serangannya yang berhasil
atau tidak. Disitu terdapat batu-batu karang yang besar dan
banyak renggangannya. Dua dua It Hiong dan Kiauw In berlompat minggir,
menjauhkan diri dari anak panah, menyusul mana mereka
berlompat menyusul. Tapi mereka sampai ditikungan, disitu
dihadapan batu karang yang besar, sudah menantikan empat
orang imam lainnya, jubah mereka seragam, senjata mereka
serupa yaitu pedang yang digendol di punggung mereka.
Mereka berdiri dengan tenang. Selekasnya mereka dihampiri
muda mudi itu, imam yang menjadi pemimpin menyapa
dengan tawar : "Kamu berdua tidak tahu yang diri kamu
tinggal ditunggu waktu saja, kenapa kamu masih galak begini
rupa " Hm ! Tahukah kau bahwa Kiu Kiong San tak dapat
membiarkan orang lancang mendatangi dan main gila disini ?"
Kiauw In menarik tangan It Hiong mundur dua tindak.
"Kami datang ke Seng Ceng Koan ini untuk mencari Hian
Ho Cinjin." berkata si nona sabar. "Kami hendak meminta
pulang kitab pedang kami. Tentang maksud kedatangan kami
ini telah kami jelaskan kepada imam tadi, siapa tahu mereka
tidak mau memakai aturan, mereka berlaku keras dan kasar
terhadap kami bukan saja mereka tak sudi menolong memberi
laporan, mereka justru mendahului menyerang kami hingga
terpaksa kami bertindak membela diri. Demikianlah telah
terjadi, mereka sudah mencari celakanya sendiri. Sekarang
kami ingin memasuki Siang Ceng Koan, kami mau bertemu
dengan Hian Ho Cinjin, kalau disini ada aturannya tolonglah
bilangi kami." Imam itu tetap tidak senang.
"Eh, anak perempuan." tegurnya. "Kau telah melukai orang
kami yang telah melakukan tugas meronda menurut aturan
kami, buat pelanggaran itu kalian harus dibekuk untuk nanti
menantikan pemeriksaan dan hukuman !"
Baru imam itu menutup mulutnya atau tiga orang
kawannya sudah mencelat ketiga arah buat mengambil sikap
mengurung muda mudi itu, gerakan mereka sangat cepat.
It Hiong mengawasi ke empat imam itu, ia mendapat
perasaan bahwa satu pertempuran tak dapat dihindarkan pula,
karena itu ia menjadi sangat tidak senang dengan sepasang
alisnya bangkit berdiri, ia kata bengis : "Tak perduli kamu
mengatur Barisan rahasia apa, tak nanti kamu dapat bertahan
melawan kami sebanyak tiga puluh jurus, maka itu baiklah aku
sendiri saja dengan sebatang pedangku ini yang akan
mencoba menemani kamu main-main ! Bukankah Barisanmu
ini yang dipanggil Su Cio Kiam Tio ?"
Barisan rahasia itu Su Cio Kiam Tio adalah Barisan pedang
Empat Ekor Gajah. Dengan latihan yang baik dan bersatu
padu, empat orang yang bersenjatakan pedang bisa
mengurung dan mengepung seorang lawan baikpun lawan
yang tangguh. "Jangan mengoceh saja bocah !" membentak imam yang
menjadi pemimpin itu. "Dan bocah wanita itu, biarnya dia
berada diluar kurungan, jangan harap dia bakal dapat lolos
turun gunung !" Kiauw In tidak membalas apa-apa, ia hanya mengawasi It
Hiong, saat anak muda itu memberi isyarat dengan lirikan
matanya atas mana ia lantas berdiri diam untuk menanti
sambil menonton. Ia hanya memasang mata secara diamdiam.
Ia bertenang hati karena melihat pemudanya tenangtenang
saja. Ke empat imam habis sabar, begitu mereka bergerak
berbareng begitu mereka maju merangsek, sinar pedang
mereka bergerak-gerak bagaikan kilat menyambar-nyambar.
Begitu ia diserang, begitu It Hiong mendak begitu ia putar
pedangnya membabat ke segala arah, dengan begitu ia paksa
musuh-musuhnya berlompat mundur dengan kaget. Pedang
mereka itu hendak dipapas kuntung dalam satu gebrakan.
Tapi imam-imam itu lihai, dapat mereka menyelamatkan
pedangnya masing-masing. Dengan begitu terbukti halnya
mereka sudah berlatih baik.
Pertempuran berlangsung terus, ke empat imam tidak
berdiam tetap disatu arah. Mereka berputaran atau bergantian
mengambil kedudukan, semua gerakan mereka teratur rapi,
begitu pun maju dan mundurnya yang penting hebat ialah
kegesitan mereka, tubuh mereka hampir tak tampak tegas...
Mulanya repot It Hiong melayani pengepungan itu. Mulamula
matanya bagaikan kabur hingga disekitarnya ia melihat
lawan melulu. Empat senjata bergerak bagaikan delapan
buah. Semua pedang lawan itu juga sukar untuk disentuh buat
ditebas kutung. Maka untuk membela diri, ia segera
menggunakan Khie bun Pat Kwa Kiam. Ia melawan sambil
menutup diri, maka itu hebatlah pertempuran mereka berlima
enak ditontonnya, tetapi berdebaran hatinya siapa yang
melihatnya. Lama pertempuran berlangsung, ke empat imam tetap
melakukan pengurungan. Nyata mereka sanggup melayani
Khie bun Pat Kwa Kiam, bahkan It Hiong kena dibikin repot
hingga anak muda ini mesti menggunakan kelincahannya buat
menyingkirkan diri dari setiap tikaman atau tebasan pedangpedang
tak hentinya. Demikianlah sudah terjadi, si anak muda tak dapat
mengalahkan musuh, malah keluar dari kurungan pun sulit,
sebaliknya ke empat imam itu tidak dapat merobohkan
seorang lawannya walaupun keinginan mereka adalah lekas
merobohkan atau membekuknya....
Kiawu In menonton. Ia merasa tertarik, tetapi ia pun tak
sabaran bahkan sibuk. Ia merasa tak ada gunanya It Hiong
bertempur bertele-tele seperti itu. Maka diakhirnya terpaksa ia
campur mulut. Ia teriaki pemudanya : "Adik Hiong !
Bertindaklah dengan tindakan To cay Cit Chea Pou dan
gerakilah pedangmu dengan jurus kesembilan dan kedua belas
dari Khie bun Pat Kwa Kiam !"
Sebagai penonton, matanya si nona terlebih awas dan
otaknya lebih mudah berpikir.
Mengenai "tio" atau Barisan rahasia, Kiauw In ada
mempunyai pengertian yang mendalam dan itu dibantu
dengan kecerdasannya, maka itu, sesudah menonton sekian
lama, bisa ia menangkap arti Barisan "Su Chio Kiam Tio" dari
kawanan imam itu. It Hiong lihai tetapi ia masih membutuhkan
pengalaman, sedang keistimewaannya ialah ilmu Hian Bau
Sian Thian Khie kang. Si nona berkat kecerdasannya, dapat
menggunakan otak atau kecerdikannya. Demikian ia sadarkan


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adik seperguruannya itu. It Hiong mendusin, selekasnya ia mendengar suara kakak
seperguruan. Dengan lantas ia mengumpul semangatnya,
memusatkan perhatiannya, setelah mana ia bergerak dengan
jurus pedang "Anak Panah Menikam Saluran Merah" dan
Bianglala menutupi Langit" yang mana disusul dengan suara
nyaring, "Traaang ! dua kali terus pedangnya kedua imam
terbabas kutung dan kutungannya runtuh ke tanah, hingga
mereka yang kaget sekali pada berlompat mundur lima
tombak, sedangkan dua yang lain terus berlompat ke pinggir
sebab mereka itu kaget menyaksikan pedang kawankawannya
kena dipapas buntung ! Habis itu, It Hiong tidak bersilat terus. Ia berdiri diam
ditengah kalangan, pedangnya dirapatkan pada tubuhnya. Ia
mengawasi tajam kepada empat imam itu sambil berkata :
"Apakah lagi kepandaian kalian " Silahkan keluarkan
semuanya ! Aku bersiap sedia melayani pula pada kalian !"
Imam yang menjadi pemimpin itu melemparkan pedang
buntungnya, kata ia : "Ilmu pedang Pay In Nia benar-benar
lihai, sekarang kami telah belajar kenal dengannya ! Hanya
sayang walaupun kalian begini gagah, itulah tidak ada
faedahnya ! Tanpa lewat lagi satu jam, racun jahat bakal
bekerja maka di gunung Kiu Kong San inilah tubuh dan tulang
belulang kalian bakal terkubur!"
Habis berkata begitu, si imam tertawa terbahak-bahak. Dia
kalah tetapi dia merasa puas. Kawan-kawannya berdiam
sambil bersenyum. Setelah itu, serentak mereka bergerak
untuk menyingkirkan diri.
"Berhenti !" mendadak It Hiong membentak dengan sikap
bengis. "Ada apakah ?" si imam berpaling seraya terus bertanya.
"Jika kalian memikir untuk meminta obat pemunah racun, jika
kalian mempunyai nyali, nah, kalian naik dan pergilah ke Siang
Ceng Koan !" Belum lagi It Hiong berkata pula, Kiauw In sembari tertawa
manis sudah mencelat maju hingga ia berdiri berendeng
dengan pemudanya itu terus ia memperdengarkan
bentakannya. "Siapakah yang kesudian obatmu itu " Kalian
sudah kalah maka kalian harus memimpin kami pergi ke Siang
Ceng Koan ! Jika tidak, kalian harus tahu sendiri !"
Imam itu gusar. "Kalian jangan keterlaluan !" katanya nyaring. "Kami
mengingat diantara kita tidak ada permusuhan, kami juga
menyayangi ilmu kepandaian kalian, apapula kalian masih
begini muda, kalian orang-orang yang penuh pengharapan,
maka kami merasa berkasihan terhadap kalian, kami suka
memberi petunjuk hidup ! Dengan memakan obat pemunah
racun, kalian tak akan mati ! Apakah kalian menyangka kami
takut kepada kalian " Hmm." Dan dia berlompat maju, sebelah
tangannya diluncurkan. It Hiong berlompat maju juga, sebelah tangannya diangkat
untuk menyambuti serangan itu. Sengaja dia tidak
menggunakan pedangnya, tetapi itulah salah satu pukulan
hang Liong Hok Hoaw Biong !
Kontan si imam menjerit, kontan dia roboh terjengkang,
darah muncrat dari mulutnya, sebab anggauta dalam
tubuhnya tergetar hingga darahnya menyembur keluar !
Melihat demikian, imam yang tiga lagi lantas memutar
tubuh dan kabur diantara sela-sela karang yang merupakan
jalanan untuk mendaki gunung. It Hiong mendongkol, ia
berlompat mengejar atau :
"Tahan" demikian terdengar cegahannya Kiauw In.
Adik seperguruan itu mendengar kata, ia kembali dengan
segera. "Ada apa, kakak ?" tanyanya.
"Kita harus waspada, adik" berkata si nona. "Bukankah
musuh berada ditempat tersembunyi dan kita di tempat
terbuka " Itulah berbahaya untuk kita. Siapa tahu kalau
musuh menyembunyikan apa-apa diantara karang yang besarbesar
itu " Apakah adikku sudah lupa pantangan memasuki
rimba dalam-dalam ?"
It Hiong mengangguk, ia berdiam. Kakak itu benar.
Ketika itu sang magrib hampir tiba. Selagi yang gunung
tinggi menjulang kelangit, sang matahari sudah berada jauh
rendah di bawah. Cuacapun remang-remang, walaupun
mereka berdua berada ditengah pegunungan terbuka. Tapi
kakak beradik itu lagi berdiam sambil mata mereka mengawasi
keatas gunung, tiba-tiba mereka melihat melesat naiknya
sejumlah anak panah berapi, yang sesampainya ditengah
udara dapat pecah berbunyi sendirinya, suaranya nyaring.
Itulah panah yang diberikuti dengan petasan dor dor yang
apinya bercahaya Biru mengkilat.
Satu kali It Hiong menoleh ke belakang, maka di sana tak
lagi ia melihat si imam yang tadi telah dilukainya. Imam itu
rupanya sudah ditolongi secara diam-diam tanpa ketahuan
pihak lawan. Lantas si anak muda memikirkan panah api barusan. Ia
menerka-nerka. "Kalau kita maju di jalan seperti ini," katanya kemudian,
"kita selalu berada ditempat terbuka hingga mudah apabila
kita diserang secara menggelap. Disepanjang jalan naik pasti
ada musuh-musuh yang bersembunyi. Kalau kita saban-saban
dirintangi, bukankah itu akan memperlambat waktu kita dan
kita jadi senantiasa terancam bahaya. Sampai kapankah kita
akan tiba dikuil ?" Kiauw In tertawa. "Jalan diantara karang-karang ini mungkin adalah jalan
yang terpendek" katanya. "Tidak apa jika kita ambil jalan yang
penuh bahaya asal kita lekas sampai..."
It Hiong berpikir, matanya berkeliaran melihat kesekitarnya
dan keatas juga. Tiba-tiba melesat pula panah api ke tengah udara, sampai
disuatu tempat disambut oleh beberapa lainnya. Sinar biru itu
terus pula dan lenyap. Selagi si anak muda berpikir, memikirkan artinya tanda
panah api itu, Kiauw In yang cerdas berkata : "Adik Hiong,
lihat itu tempat dimana panah api muncul ! Menurut aku itu
justru pusatnya penghuni gunung ini atau di sana ada tempat
penjaganya. Aku pikir asal kita dapat menyingkir dari tempattempat
itu, kita pun jadi tak usah menemui bahaya."
It Hiong mengawasi ke tempat dimana tadi panah api
bermunculan. "Kau benar, kakak !" katanya kemudian, gembira. "Baiklah,
mari kita lekas pergi !' Lantas keduanya berangkat. Mereka tidak mengambil jalan
umum hanya menyamping. Dapat mereka berlompatan atau
berlari keras. Disini tidak ada jalanan, ada juga pepohonan
atau tanah kosong yang penuh bebatuan. Di dalam waktu tiga
jam mereka sudah melalui kira dua puluh lie. Benarlah, tak
pernah mereka menemui rintangan. Ketika itu si putri malam
sudah berada ditengah-tengah langit. Apa yang terdengar
ialah suaranya burung malam atau daun-daun cemara yang
termainkan sang angin. Sudah suasana sunyi, seram pula
rasanya, siapa yang nyalinya kecil, pasti sudah bangun bulu
tampangya... It Hiong dan Kiauw In bergerak-gerak bagaikan layangan.
Sekarang mereka berada diatas sebuah tanah berkarang yang
luas dimana tak ada pepohonan hanya rumput melulu atau
lumut yang licin yang terasa demam. Di depan itu tempat
buntu sudah. Sambil berdiri berendeng, muda mudi itu mengawasi ke
depan. Mereka mau mencari jalanan maju. Diantara cahaya
rembulan mereka melihat sinar berkilauan disebelah kiri
mereka. Kiranya itulah sebuah telaga atau pengempang.
Dengan menarik baju si nona dan si pemuda lari ke tempat air
berkumpul itu. Bagian itu adalah belakang gunung dan dinding
gunung tampak banyak lubang atau gua, hingga mirip lubang
sarang tawon besar dan kecil tak rata.
Keduanya berhenti di tepi telaga sekali hingga mereka
merasai ademnya hawa air.
Mulai berada ditengah langit, si putri malam perlahan-lahan
doyong ke barat. Air telaga sangat bening hingga mirip kaca
hingga bayangan muda mudi itu tampak tegas sekali. Sang
rembulan berkaca di muka air, nampaknya sangat indah
hingga sangat menggiurkan untuk dipandang.
Memandangi keindahan sang alam itu mendadak It Hiong
ingat sesuatu. "Kakak !" segera ia tanya Kiauw In, "Kakak diantara tiga
surat wasiat guru kita bukankah ada satu yang berbunyi
"Siang Goat Hui" dan itu dipesannya untuk dibuka disaat Siang
Goat Kauw Hui seperti ini ?"
"Siang Goat Kauw Hui" berarti "Sepasang rembulan saling
memancarkan keindahan cahayanya" dan dengan disaat itu si
putri malam bagaikan berkaca di muka telaga tepatlah
bunyinya pesan itu. Rembulan dilangit dan bayangannya
dipermukaan air berarti satu pasang...
Kiauw In melirik si anak muda.
"Baiklah aku beritahukan kau adik" sahutnya perlahan.
"Sebenarnya guru kita meninggalkan empat tabung surat
wasiat kepada kakakmu dan yang ada tanggal bulannya telah
aku baca bagian depannya. Disitu kecuali pesan menjalankan
perintah sebagai wakil guru, yang berupa kim pay juga ada
sehelai surat yang dilampirkannya..."
Berkata begitu si nona tertawa dan tunduk.
It Hiong nampak sangat tak sabaran.
"Kakak" katanya, "apakah pesan bapak guru kita itu "
Kenapa kakak sudah melihatnya sekian lama tetapi kakak
masih belum memberitahukan aku ?"
Si nona tertawa pula. "Guru kita menulis tentang pentingnya kim pay itu."
sahutnya. "Tidak ada soal lainnya. Aku menganggap kapan
saja aku beritahukan hal itu kepada kau adik. Itulah sama !"
"Bukannya begitu kakak" kata si pemuda sungguhsungguh.
"Kalau kakak memberitahukan aku siang-siang,
bukankah itu terlebih baik ?"
"Guru kita menyebut tentang kau, adik" kata kakak itu
terpaksa. "Bapak guru berkatai halnya kau menghadapi
beratnya bencana asmara dan pembunuhan dan aku dipesan
untuk menjagai kau sedapat-dapatnya. Aku tidak mau
memberitahukan hal itu kepadamu karena kuatir kau nanti
berduka supaya semangatmu tidak jadi terganggu karenanya.
Demikian sekian lama ini aku hanya mengawasi kau secara
diam-diam saja. Itulah sebabnya kenapa aku berayal
membicarakannya denganmu. Kalau ada lain urusan yang
penting, tak nanti aku berani menyembunyikannya
terhadapmu." It Hiong mengerti orang menyukainya karenanya ia
menjadi lebih menghormati kakak itu yang baik hatinya yang
lemah lembut gerak geriknya.
"Kakak" katanya, "selanjutnya terhadap kata-kata kakak
akan aku mendengarnya sebagai kata-kata guru kita, akan
aku turutkan supaya kutukanku itu bisa berkurang."
Kiauw In tersenyum. "Kau bicara berlebihan adik !" katanya. "Cukup asal kau
mengerti dan dapat membatasi diri."
It Hiong lantas tandas akan melihat ke permukaan air.
"Kakak" katanya, "melihat rembulan yang dua itu aku jadi
ingat pesan guru kita tentang Siang Goat Kauw Hui itu. Kakak
bagaimana pendapatmu, bukankah kata-kata itu cocok dan
tepat sekali?" Kiauw In mengawasi bayangan rembulan itu, ia bagaikan
menjublak kemudian ia merogoh sakunya akan menarik keluar
surat wasiat gurunya, ia membolak balik surat, ia sangsi akan
membukanya. It Hiong bertindak mendekati kakak itu. Ia sudah mengulur
tangannya akan mengambil surat itu atau mendadak ia
menarik pulang tangannya. Ia ingat tak dapat ia membuka itu,
itulah tugasnya sang kakak.
Kiauw In mengira sang adik seperguruan hendak membuka
surat wasiat itu, siapa tahu It Hiong mendadak membatalkan
siasatnya, ketika si pemuda mengulur tangannya ia sudah
menyodorkannya selekasnya surat dipegang It Hiong ia
melepaskannya, maka waktu anak muda itupun melepaskan
pegangannya surat lantas terlepas dan jatuh bahkan melayang
terbawa angin jatuh ke telaga !
Dua duanya muda mudi itu terperanjat, waktu kertas
melayang keduanya lompat menyambar tetapi gagal. It Hiong
tidak mau menyerah, ia berlompat terus dengan
menggunakan ilmu ringan tubuh Lompatan Tangga Mega.
Tatkala itu kertas sudah sampai di air, maka ia pun jatuh ke
telaga, ketika ia berhasil memegang kertas, pakaiannya basah,
maka dengan pakaian kuyup ia lompat naik ke darat. Pula,
dengan sendirinya sampul surat telah terbuka.
"Kakak" kata adik seperguruan ini yang menghampiri
kakaknya sembari mengangsur surat itu, "Kakak, bagaimana
kalau kakak buka dan baca pesan guru kita ini ?"
Kiauw In menyambuti sebelum ia membuka surat itu, ia
memandang dulu si anak muda.
"Pakaianmu basah seluruhnya, adik" kata ia sambil
mengawasi. "Di sini angin besar dan hawa angin. Itulah
kurang baik bagi kesehatanmu. Bagaimana kalau kita cari
dahulu sebuah gua untuk kau mengeringkan pakaianmu itu ?"
Berkata begitu si nona mengawasi ke dinding gunung buat
mencari gua dimana It Hiong dapat membuka pakaiannya
untuk diperas dan dikeringi dengan diangin-anginkan. It Hiong
setuju dan ia turut melihat kedinding gunung itu.
"Mari !" kata si kakak seperguruan kemudian. Ia menarik
tangan orang, untuk dibawa ke sebuah gua disamping telaga.
Dimulut sebuah gua, yang mulutnya lebar, ia menolak tubuh si
anak muda seraya menyuruh masuk, ia sendiri berdiri
menantikan di luar itu, bahkan segera ia membeber surat
wasiat gurunya, buat membacanya diterangnya si putri
malam. Tek Cio Siangjin, sang guru menulis empat buah huruf yang
bunyinya syair bukanya syair, sedangkan dipaling bawah ada
catatannya sebaris huruf-huruf, bunyinya :
"Untuk Anak In dan Anak Hiong"
Bunyinya pesan itu begini :
"Pada malam sepasang rembulan saling memancarkan
sinarnya.

Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah waktunya jodoh ditetapkan ditelaga mirip
nampan kumala. Malam ini menjadilah malam dari lilin berbunga.
Kesampaianlah maksud hati dibukit Kiu Kiong San.
Jangan menentang pesan ini !
Jangan lewatkan saat indah !"
Membaca itu mengertilah Kiauw In akan maksud gurunya.
Surat wasiat itu menunjukkan dan mengharuskan ia menikah
dengan Tio It Hiong disitu malam juga, dibukit Kiu Kiong San
itu, ditepinya telaga atau muara Giok Poan Tha--demikian
telaga itu yang namanya berarti Nampan Kumala. Sendirinya
ia girang berbareng jengah hingga jantungnya memukul
dadanya berombak. Ia girang sebab tercapailah cita-citanya
berpasangan dengan Tio It Hiong. Ia lantas ingat bagaimana
dahulu hari sewaktu perpisahan dari It Hiong yang turun
gunung buat mencari musuhnya guna menuntut balas di kaki
Pay In Nia, mereka berdua mengikat janji bagaimana berat
rasanya perpisahan itu, hingga semenjak itu tak pernah ia
melupakan si anak muda. Ia pula bertambah girang waktu
dahulu ia memperoleh jaminan dari paman In nya yang
menguatkan perjodohannya itu.
Semenjak itu, ia dan It Hiong adalah calon suami istri.
Hanya itu saat pernikahannya yang masih belum ditetapkan.
Pertama-tama It Hiong tengah merantau, kedua guru mereka
sedang berpesiar dan ketiga si Paman In Gwa Sian repot
dengan pengembaraannya. Dan ia sendiri, ia pun turut
menjelajah dunia Kang Ouw sungai telaga buat mencari
pengalaman. Tapi malam ini adalah malam yang tepat yang
dipilih dan ditetapkan guru mereka. Inilah malam diluar
dugaan mereka, sebab surat wasiat justru dibuka digunung
yang menjadi wilayah musuh. Hanya dasar wanita, ia gagah
dan polos atau tidak ia toh merasa malu sendirinya. Begitulah
sendirinya, tanpa ia merasa mukanya menjadi bersemu merah
dadu, demikian juga kedua telinganya....
Sambil memegangi surat wasiat itu, Nona Cio berdiri
menjublak. Ia seperti membiarkan angin gunung yang halus
meniup-niup membuat main anak rambutnya sedangkan si
putri malam membuatnya seperti berkaca di permukaan air
telaga. Bayangannya di muka air membuatnya seperti Goat
Kiong Siansu si putri rembulan...
Masih lama Kiauw In berdiri diam saja itu sampai kemudian
ia mendengar suara sabar dari It Hiong yang keluar dari dalam
gua. "Eh, kakak In, kakak telah memikirkan apakah " Kenapa
kakak berdiri menjublak saja...?"
Nona Cio terperanjat, ia lantas menoleh.
It Hiong bertindak mendatangi, selagi datang semakin
dekat, dia berkata pula : "Kakak, apakah yang guru kita tulis "
Petunjuk apakah diberikan kepada kita " Bolehkah aku
membaca pesan itu ?"
Segera si pemuda datang dekat dan tangannya terus diulur
guna menyambuti surat. Kiauw In melengak. Ia jengah dan bingung hingga tak tahu
apa ia harus bilang. Maka ia cuma mengangsurkan surat
wasiat guru mereka itu, setelah mana ia memutar kepalanya,
melihat ke arah lain. Ia lihat sekali sebabnya jantungnya
memukul... It Hiong sudah lantas membaca surat gurunya itu. Ia girang
bukan main bagaikan anak kecil, ia lompat berjingkrakan. Ia
lantas berpaling pada kakak seperguruannya.
"Kakak ! Kakak !" serunya. "Kakak, kau.." Mendadak ia
terdiam. Ia mendapati kakak itu tunduk dan likat, mulutnya
bungkam, kedua tangannya yang halus membuat main ujung
bajunya. "Eh, kakak kau kemanakah ?" tanya si pemuda heran. Ia
mendekati sampai dekat sekali.
Sang kakak terus berdiam, kepalanya tetap tunduk,
mulutnya tetap bungkam...
It Hiong dapat menerka sebab dari sikap kakak
seperguruan itu, ia lantas memegang dan menggenggam
tangan halus si nona, ia tertawa ketika ia berkata : "Urusan
pernikahan adalah urusan sangat penting bagi kita kakak.
Buat apakah kau malu-malu " Bukankah itu merupakan citacita
kita yang telah terwujud " Kakak adalah orang rimba
persilatan, tak layaknya kakak bersikap seperti nona-nona
yang kebanyakan !" Kata-kata itu benar dan membangunkan semangat. Kiauw
In segera mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda
wajah siapa terang bercahaya sebab kegembiraannya. Ia
sendiri air matanya masih berlinang tetapi ialah air yang jernih
sekali. Keduanya saling menatap. Akhirnya mereka bersenyum
dan tertawa ! It Hiong tetap sangat bergembira.
"Sungguh lihai guru kita !" kata ia dengan pujiannya. "Guru
kita pandai silat berbareng juga mengerti ilmu siam in dapat
menghitung -hitung sang waktu dengan tepat sekali !
Bukankah aneh guru dapat menunjuki pertemuan kita ditelaga
ini guna mecekoki jodoh kita " Dan justru di malam mana
terang bulan seperti ini, tanpa menghiraukan disinilah tempat
musuh ! Malam ini gua kita jadikan kamar pengantin kita,
bagaikan sepasang walet yang terbang pulang ke sarangnya !
Entah bagaimana beruntung adikmu ini kakak..."
Sang malam berlalu terus. Segera juga tiba jam empat.
Diwaktu begitu si putri malam menggunclang makin terang
indah lemah lembut tampaknya, cahayanya membuat
sepasang muda mudi itu bagaikan bayangan. Sambil
berpegangan tangan dengan perlahan mereka bertindak
memasuki gua dimana hawa hangat. Maka disitulah sepasang
muda mudi yang saling mencinta telah menyempurnakan
angan-angan hidupnya. Di dalam gua di gunung seperti Kiu Kiong San itu, tidak
terdapat ayam atau lebih benar si ayam jago tukang
menceritakan tibanya sang fajar, walaupun demikian, cuaca
pagi tampak tegas, sedangkan sebagai gantinya sang ayam,
burung bercowetan, bernyanyi menuruti caranya sendiri. Dan
di pagi hari itu maka dari dalam gua muncullah sepasang
mempelai, berjalan bergandengan tangan menghampiri tepian
telaga Giok Poan Tha, untuk mereka mencuci muka dan mulut
buat membersihkan tubuh mereka untuk kemudian beruda
mereka duduk berendeng diatas sepotong batu ditepi telaga
itu yagn menjadi saksi dari terikatnya jodoh mereka.
Mereka masih mempunyai bekalan rangsum kering,
bersama-sama mereka mengisi perut mereka, sembari
bersantap mereka berbicara bersenyum dan tertawa. Mereka
saling mengawasi dengan sinar mata mereka memain, wajah
mereka terang dan ramai alis mereka bergerak gerak...
Adalah hal yang menyenangkan mereka berdua sejak
kemarin maghrib sampai malam tadi terus sampai fajar itu,
mereka tidak mendapat rintangan dari imam atau imam-imam
dari Siang Ceng Koan. Rupanya imam-imam itu tidak
menyangka yang muda mudi itu bermalam digunungnya.
"Sekarang sudah tidak pagi lagi" lewat sesaat It Hiong
berkata. Mereka sudah makan dan beristirahat cukup. "Marilah
kita pergi ke Siang Ceng Koan ! Tapi kakak kau letih atau tidak
?" Kiauw In tersenyum. Biar bagaimana ia nampak masih
sedikit jengah. Ia tunduk ketika ia menjawab. "Kakakmu tidak
letih, mari kita berangkat !" Dan terus ia bangkit berdiri.
Dengan tangan pada gagangnya pedang Keng Hong Kiam,
It Hiong jalan mengitari sebuah telaga yang berukuran lebar
kemudian ia bertindak jalan dari mana kemaren magrib
mereka datang. Kiauw In bertindak merendengi suaminya itu. Pernikahan
mereka tidak wajar tetapi sah sebab pernikahan itu telah
memperoleh pengakuan dari pihak-pihak yang menguasai diri
mereka. Tek Cio Siangjin dan In Gwa Sian sang guru dan ayah
angkat. Selagi meninggalkan telaga, mereka masih menoleh
sekali lagi sebagai pertanda mengambil selamat berpisah.
Hanya sejenak wajah mereka itu guram.
"Inilah telaga yang seumur kita tak dapat kita lupakan !"
kata It Hiong. "Bukankah benar begitu kakak ?"
Masih anak muda ini memanggil kakak kepada istrinya itu
sebagai mana juga istri itu tetap memanggil adik kepada
suaminya. Mereka pun tetap su cie dan sute, kakak dan adik
seperguruan. Kiauw In tertawa manja. "Asal saja kau ingat, adik !" katanya.
Sampai itu waktu, mereka sudah turun dari halaman batu
karang yang tinggi dan luas itu. Matahari pagi cerah sekali,
langit bersih bagaikan habis dicuci. Diatas gunung tak ada
mega sedikit juga. Karena ini tidak heran kalau dari jauh-jauh
dua-dua Kiauw In dan It Hiong dapat melihat samar-samar
bangunan kuil jauh disebelah kanan depan mereka. Kuil itu
berada disebelah kanan, diantara pepohonan dan
wuwungannya bersusun-susun.
Jilid 17 "Lihat itu !" kata Kiauw In kepada suaminya sambil
tangannya menunjuk. "Ini dia yang pepatah berkatai, kalau
kita mencari sesuatu, sampai sepatu besi kita rusak, masih
kita tidak dapat mencarinya, tetapi sebaliknya, kalau mau
bertemu, dapat diketemukannya dengan mudah saja ! Aku
percaya, itulah Siang Ceng Koan !"
"Aku pun percaya kita tidak menerka keliru." berkata It
Hiong girang. "Kemaren kita tiba sesudah magrib, terus
sampai sore dan malam kita sukar melihat apa-apa, sekarang
langit begini cerah, segala sesuatu tampak terang dan jelas.
Aku percaya bahwa kita diberkahi Thian Yang Maha Kuasa !
Mari, kakak, mari kita percepat perjalanan kita... !"
Kiauw In mengangguk. "Tidak disangka Siang Ceng Koan berada di kaki puncak."
kata ia. "Jadi dari sini jaraknya sangat dekat. Adik, segera kita
bakal sampai di sana. Harap kau berhati-hati !"
"Aku tahu kakak" sahut anak muda yang berterima kasih
kepada istrinya itu. Sebagai kakak seperguruan si nona turut
menyayangi adik seperguruannya itu. Sedangkan merekalah
suami istri, bahkan pengantin baru.
Berdua muda mudi ini melakukan perjalanan yang tak
mudah. Sebab inilah bukan jalanan hanya tanah pegunungan,
banyak batu berselangkatan, banyak pohon tumbuh
serabutan. Dilihat dari telaga nampaknya SInag Ceng Koan
dekat, tetapi setelah dihampiri letaknya cukup jauh. Itulah
sebab jalanan turun naik dan berliku-liku, tak dapat orang
berlari langsung. Mereka juga mesti menghadapi dirintangan
lembah. Syukur ilmu ringan tubuh mereka sudah sempurna dan
latihannya membuat mereka seperti tak kenal lelah. Selang
dua jam tibalah sudah mereka diluar rimba, didalam mana
Siang Ceng Koang berdiri tegak sebagai bangunan yang besar
dan megah. Hutan itu umumnya terdiri pohon-pohon cemara dan jie,
entah kapan tumbuhnya sebab rata-rata sudah besar, tinggi
dan tua, dahan-dahannya banyak dan daunnya lebar hingga
suasana disitu menjadi tenang sekali.
Selekasnya memasuki rimba dan keluar dilain bagian. It
Hiong dan Kiauw In melihat sebuah halaman yang lebar, yang
penuh dengan rumput, hingga sekarang tampak tegas kuil-kuil
agama kho yang besar, kekar dan angker kelihatannya.
Tiga huruf "Siang Ceng Koan" yang besar tampak tegas
sekali di muka pimtu gerbang, saking besarnya, itu terlihat
dari jauh-jauh. Suami istri itu berjalan dihalaman rumput itu, akan
menghampiri pintu gerbang. Di muka tangga mereka berhenti
sejenak, untuk melihat keliling, guna mencari kalau-kalau ada
orangnya kuil itu yang kebetulan berada diluar.
Tidak terlihat siapapun juga, kecuali pintu yang besar dan
lebar dan bercat hitam. Yang luar biasa adalah pintu
terbentang lebar, hingga orang bisa melihat ke arah
kedalaman, kepada pendopo pertama yang disebut Wie To
Tian, yaitu pendopo Veda.
"Heran." pikir Kiauw In. "Kuil Siang Ceng Koan di Huyong
ini tersohor busuk didalam dunia Sungai Telaga, ini jadinya
bukan tempat orang-orang baik-baik, sedangkan tadi malam
ada isyarat panah api, kenapa sekarang pintuk gerbang
dipentang lebar-lebar " Kenapa juga tiada seorang jua yang
menjaga di muka pintu " Apakah maksud para pendeta disini
?" It Hiong mengawasi istrinya yang berdiam berpikir itu
kemudian ia bertanya : "Kakak, bagaimana kakak pikir kuil ini
bagaikan kuil kosong melongon ! Apakah baik kita langsung
masuk kedalamnya tanpa menghiraukan mereka memasang
jebakan atau tidak dan tanpa memperdulikan mereka
mengatur tipu daya tersembunyi " Apakah tak baik kita maju
dengan melihat selatan saja?"
"Semua orang Siang Ceng Koan terhitung orang-orang
sesat" sahut sang istri. "Mereka terkenal telangas dan kejam,
tetapi sekarang mereka bersikap begini rapi, terang sudah
mereka mempunyai rencana yang tersembunyi ! Entah apa
dayanya itu, lubang jebakan atau penjagaan gelap " Aku
percaya sengaja mereka mengatur begini bukan memancing
kita lancang masuk kedalam perangkapnya ! Maka itu, kalau
kita berlaku sombong, mudah kita dijebak mereka ! AKu pikir,
baik kita juga menggunakan akal tua-tua dan lumrah sekali !
Kita menggunakan batu menimpuk kedalam kuil ! Kau akur
bukan ?" It Hiong mengangguk. Bahkan segera ia bekerja. Dengan
mengerahkan tenaga dalam Sian Thian Hian Buk Khie kang,
dengan jari-jari tangannya ia menutuk kepada dinding
gunung, demikian ia dapat mencongkel beberapa potong batu
karang sebesar kepalan, terus batu ditimpukkan ke arah
patung Veda di pendopo itu.
Satu suara nyaring yang keras adalah akibat timpukan itu,
terus patung itu bergerak sendirinya, segera dari dalam tubuh
patung itu melesat berhamburan anak-anak panah dan golokgolok
pendek. Jadi disitulah adanya senjata rahasia yang
tersembunyi, celakalah siapa lalai dan berani menyentuh
patung itu dengan tenaganya !
Kiauw In cerdik dan cepat, selekasnya ia melihat patung
bergerak, ia menarik ujung bajunya It Hiong buat diajak
berkelit bersama hingga semua senjata rahasia itu tidak
mengenai sasarannya. Selekasnya semua golok dan panah rahasia itu habis,


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur dari sebelah dalam ruang segera muncul empat
orang tosu atau imam yang rata-rata berusia kira empat puluh
tahun, tubuhnya tertutup jubah suci, tangannya masingmasing
menyekal pedang panjang, matanya terpentang lebar
dan bersorot bengis. "Hai, bocah cilik !" salah seorang imam membentak,
"kemarin mudah kau melukakan murid kami yang lagi
melakukan Pekerjaan meronda sekarang kamu datang dengan
mengacau ke kuil kami !"
It Hiong berlaku sabar. Dengan merangkapkan kedua
tangannya ia memberi hormat
"Totiang, harap totiang sudi dengar perkataanku" katanya
tenang. "Hm !" si imam menanggapi, jumawa.
"Totiang," kata pula si anak muda. Totiang ialah panggilan
terhormat untuk seorang imam, tosu atau Tojin. "Totiang,
kedatangan kami ke kuil totiang ini sebenarnya guna mencari
Hian Ho Cinjin dari Kim Hee Kiong guna kami minta pulang
kitab ilmu pedang guru kami. Oleh karena itu, kami memohon
sudi apakah totiang memberitahukan kami, Hian Ho ada
didalam kuil totiang atu tidak dan kalau ada tolonglah
beritahukan dia agar dia mengembalikan kitab pedang kami
itu." "Aku tak perduli kamu mengoceh apa juga !" membentak
imam itu kasar. "Kamu sudah melukakan orang kami, maka itu
kami mau membuat pembalasan dan kami mau minta itu dari
kamu !" Masih It Hiong dapat mengendalikan dirinya !
"Totiang, tolong totiang mengabarkan ketua totiang
tentang tibanya kami !" ia memohon pula. "Kepada ketua
totiang itu kami akan menghaturkan maaf kami."
Imam itu melengak buat kesabaran orang. Dia menatap.
"Bocah, coba bilangi nama perguruan atau partaimu !" kata
dia akhirnya. "Nanti Toya kamu pikir-pikir bagaimana kami
harus bertindak !" It Hiong segera memperkenalkan dirinya. Dengan suara
terang dan jelas ia menjawab : "Aku yang rendah bernama Tio
It Hiong dan inilah kakak seperguruanku Cio Kiauw In. Kami
adalah murid-murid dari Tek Cio Siangjin dari Pay In Nia Kui
Hoa San." "Hm !" lagi-lagi si imam memperdengarkan suara dingin
yang bernada mengejek. "Pantaslah kamu berani datang ke
Huyong ciang ini dan lancang melukakan orang !" Ia
mengimplang bergantian pada si muda mudi baru dia
melanjuti : "Sekarang Toya kamu hendak menguji pihak Pay
In Nia mempunyai kepandaian apa yang luar biasa ! Jika kamu
dapat melewati pedang Toya kamu, baru nanti aku mengasi
laporan kedalam ! Bagaimana ?"
Sampai disitu Kiauw In menyela.
"Aku pikir totiang," katanya sabar, "baiklah tak usah kita
sampai mengadu kepandaian. Kami cuma memohon kebaikan
kalian buat melaporkan kepada ketua totiang tentang
kedatangan kami ini guna mencari Hian Ho Cinjin dari Kim Hee
Kiong guna kami meminta pulang kitab ilmu pedang kami
habis itu segera kami akan turun gunung buat terus pulang.
Diantara kita toh tidak ada dendam atau permusuhan, buat
apa kita sampai mengadu tenaga ?"
"Anak perempuan, banyak bacot ya ?" bentak imam itu.
"Apakah itu ada karena ajarannya si imam tua Tek Cio ?"
Sampai disitu meluap sudah hawa amarahnya It Hiong.
Gurunya telah diperhina. "Eh, imam, berapa tinggi kepandaianmu maka kau berani
menghina guru kami ?" tegurnya. Dan lantas ia menghunus
pedang Keng Hong Kiam dan tanpa mengatakan apa-apa lagi,
segera ia menikam ! Imam itu bukan sembarangan imam, matanya juga sangat
awas. Dengan melihat cahaya berkelebatnya pedang, tahulah
ia yang pedang si anak muda pedang mustika. Maka itu tak
sudi ia mengadu senjata. Begitu ditikam, begitu ia lompat
mundur, begitu juga ia menghunus pedangnya, buat
meneruskan membalas menebas pinggangnya si anak muda.
Hebat imam itu, habis menebas dan gagal karena It Hiong
berkelit, ia melanjuti menebas dan menikam pula, bergantian
dengan berulang-ulang. Sama sekali ia tak sudi mengasi ketika
pada si anak muda. It Hiong dapat membalas tetapi lawan
terus berkeliat. Dalam hal itu, imam itu lincah dan awas sekali
matanya. Maka, seperti tanpa merasa mereka lekas juga telah
bertempur sampai tiga puluh jurus ! Setelah itu barulah si
imam seperti kehilangan kesempatan yang baik,
menggerakkan pedangnya, terpaksa dia malah mundur. Maka
dengan demikian juga, dia mulai terancam bahaya.
Lagi satu jurus, mendadak It Hiong berseru, pedang
menyambar membarengi seruannya itu. Serangan itu
dilakukan dengan si penyerang berlompat maju, sinar
pedangnya berkilauan. Yang menjadi sasarannya ialah
kepalanya si imam sebab tipu pedang yang digunakan yaitu
"Burung Air Mematuk Ikan."
Bukan main kagetnya si imam, tak sempat dia berkelit,
terpaksa dia menangkis. Kesudahannya dia menjadi kaget
pula. Pedangnya kena dibuat buntung ! Maka syukurlah buat
dianya selagi terancam maut itu, ketiga orang kawannya
meluruk bersama, menyerang si anak muda guna membantu
padanya agar dia tak terdesak lebih jauh. Gerakannya ketiga
imam itu ialah yang dinamakan "Mengurung Negara Wee
Untuk Menolong Negara Tio."
It Hiong memutar pedangnya untuk sekaligus menyampok
ketiga pedang lawan ! "Apakah janji kamu janji belaka ?" ia menegur. "Kamu
sudah kalah, apakah kamu belum mau melaporkan kepada
koancu kamu ?" "Koan Cu" ialah ketua kuil atau imam kepala.
"Apakah kau tidak dapat melihat ?" seorang imam balik
menegur. "Di sana kakak seperguruanku telah pergi untuk
memberi laporan !" Tapi dia penasaran, sembari berkata itu,
dia maju dengan serangannya ! Dia menebas dengan hebat !
It Hiong tidak menangkis, ia hanya lompat berkelit.
"Masihkah kamu tidak mau berhenti menyerang ?"
tegurnya. "Apakah kamu menghendaki supaya darah kamu
muncrat berhamburan ?"
Imam itu penasaran, dia berkepala besar.
"Jika kau benar laki-laki, mari kau tempur pula Toya kamu
bertiga !" demikian tantangannya, suaranya dingin. "Kau nanti
lihat siapa yang nanti roboh numprah dengan darahnya
muncrat berhamburan !"
Lalu tanpa menanti jawaban lagi, imam itu maju
menyerang pula dibarengi kedua kawannya, hingga bertiga
mereka meluruk pula dari tiga arah dengan cara teratur dan
pedang-pedang mereka meluncur berbareng. Dengan
demikian It Hiong terus kena dikurung. Bahkan habis tikaman
yang pertama itu menyusul yang lainnya tikaman dan tebasan
atau bacokan ! Tidak ada si anak muda akan melayani ketiga imam itu
tetapi sekarang terpaksa ia melayani juga karena orang
memaksanya dan hatinya menjadi panas dibuatnya. Bagus
untuk ketiga imam itu lawannya tidak memikir menanam
permusuhan jadi tidak dilawan secara telengas.
Oleh karena ketiga imam menyerang hebat sekali
kesudahannya mereka sendiri yang menjadi lelah terlebih
dahulu, napas mereka lantas memburu keras, peluh mereka
mulai mengucur. Dengan begitu juga gerak gerik mereka
menjadi kendor sendirinya. Sebaliknya adalah lawan mereka
yang berkelahi keras tetapi tetap tenang.
Akhirnya It Hiong kata mengancam : "Jika kamu masih
tetap tak mau berhenti menyerang aku, awas, jangan kamu
nanti mengatakan aku tidak mengenal kasihan !" Lalu ia putar
pedangnya buat mengurung diri. Itulah tipu pedang "Badai
Menyapu Salju" hingga sinar pedang merupakan mirip
kurungan berkeredepan. Barulah sekarang ketiga imam itu kaget sekali, tanpa
berkata apa-apa mereka berlalu dengan berbareng, mereka
melompat mundur untuk lari kabur kedalam kuil mereka !
It Hiong berhasil bersilat, pedangnya dimasuki kedalam
sarungnya. Ia mengawasi dengan sabar kaburnya ketiga
lawan itu, sesudah lenyap dibalik pintu atau tembok
Pekarangan baru ia bertindak perlahan menghampiri Kiauw In
yang semenjak tadi berdiam saja menonton pertempuran itu.
"Kakak" tanyanya, "apakah baik kita susul mereka itu atau
bagaimana ?" "Baiklah kau beristirahat dahulu, adikku" menjawab si nona
sabar dan prihatin, "Kita lihat dulu ada apa lagi gerak gerik
sesudah itu..." It Hiong suka mendengar pikirannya sang kakak, ia
mengangguk. Tak usah lama muda mudi ini menantikan, dari arah
sebelah dalam pintu gerbang kuil sudah terdengar tawa yang
nyaring beberapa kali, tatkala daun pintu terpentang dengan
menerbitkan suara keras, maka diambang pintu gerbang itu
tampaklah munculnya enam orang Tosu atau imam yang
jalannya saling susul diantara siapa ada seorang To-kouw
ialah imam wanita, sedangkan yang jalan paling depan adalah
Tiang Heng Hojin, imam tua usia lebih kurang enam puluh
tahun. Dia bertubuh kasar dan kekar, lebar mukanya, putih
kumisnya, janggutnya jarang. Yang hebat adalah sepasang
matanya--mata kecil seperti mata tikus tetapi tajam dan
cahayanya mengundang kekejaman. Dia pula mengenakan
jubah merah api dan bahannya dari bahan yang mahal serta
sulamannya ialah lambang Patkwa yang terbuat dari sutra
emas. Ditangannya dia mencekal sebatang Giok jit ie,
semacam tongkat lambang kesucian yang terbuat dari batu
kemala, warnanya kehijau-hijauan mengkilat. Dan suara tawa
tadi adalah suara tawanya yang disalurkan dengan bantuan
tenaga dalamnya. Imam yang kedua berusia kira lima puluh tahun, jubah
kuning, punggungnya menggendol pedang panjang. Dia
berwajah halus berbayang otot-ototnya yang merah, sedang
sepasang matanya tajam galak, membuat siapa yang
melihatnya menjadi jeri. Dialah Kim Leng Tojin.
Di belakang Kim Leng ini ialah si To-kouw, yang usianya
baru empat puluh lebih. Nama suci dia ialah Gouw Ceng yang
berarti "Imam putih bersih". Tubuh dia ramping dan mukanya
bundar dan elok mirip bulan purnama, hanya pipinya montok,
pupurnya tebal serta sepasang alisnya bersikap tegas. Kalau
imam yang pertama bermata bengis, maka mata dia ini
bersinar tajam galak karena kegenitan seperti juga seluruh
tampang wajahnya. Senjatanya ialah sebatang kebutan.
Tiga orang imam lainnya ialah ketiga koancu dari Kim Hee
Kiong yaitu Hian Siu, Hian Ho dan Hian Ciu. Mereka mengintil
di belakangnya ketiga imam tuan rumah itu. Mereka berdiam
di Siang Ceng Koan semenjak Kim Hee Kiong, kuil yang
menjadi sarangnya, diobrak abrik It Hiong.
Tiang Heng Tojin bertindak dengan perlahan, setiap
tindakannya berat. Ia turun diundakan tangga, sampai
diundakan yang terakhir, berdiri di tanah yang berumput.
Dengan lantas ia mengawasi tajam It Hiong dan Kiauw In.
Terang wajahnya menunjuki ia merasa heran.
"Eh, kedua bocah, apakah kau datang ke gunung ini
dengan mendaki dan melintasi lembah Huyong ciang yang
sempit ?" demikian tanyanya. Ia heran sebab sesudah orang
berada disitu satu jam atau lebih, kedua-duanya masih sehat
tak kurang suatu apa, tak ada tanda-tandanya terkena hawa
gunung yang beracun. It Hiong sementara itu diam-diam memasang mata
terhadap Hian ho Cinjin si imam yang hilang mata kirinya, ia
mencoba menyabarkan diri sebab hatinya merasa panas. Ia
ingin lantas mendapat pulang kitab ilmu pedangnya tetapi
iapun menerka Hian Ho akan tak secara mudah sudi
menyerahkannya karena itu kata-katanya Tiang Heng itu tak
ada dalam perhatiannya. Ia mendengar tetapi bagaikan tidak.
Tiang Heng menjadi tidak puas. Inilah kentara pada
perubahan parasnya. "Hei, bocah cilik !" dia membentak. "To ya kamu
menanyakan kau, kau dengar atau tidak " Kenapa kau tidak
terpaksa berani menjawab pertanyaanku ?"
Kali ini suara itu keras dan tajam, keras mirip guntur.
It Hiong terperanjat, ia bagaikan orang terasadar, maka ia
berpaling kepada imam itu. Hendak ia memberikan
jawabannya atau Kiauw In sudah mendahuluinya.
Nona Cio maju satu tindak.
"Kami mendaki Huyong ciang sejak kemarin." sahutnya
sabar. "Maksud kami adalah membuat kunjungan, akan
tetapi..." "Tutup mulutmu !" Gouw Ceng Tokouw menyela, hingga
kata-kata orang menjadi terputus. "Bukankah kamu sudah
memperdayai murid kami yang merondia gunung, yang kamu
telah bujuk menyerahkan obat pemunah racun, setelah mana
kamu menggunakan tangan jahat melukai para murid kami itu
?" Kiauw In tidak gusar. Sebaliknya ia tertawa manis.
"Akulah Cio Kiauw In !" sahutnya sabar. "Tidak nanti aku
melakukan perbuatan yang tidak pantas itu yang dapat
memalukan perguruan kami !"
"Oh !" si imam wanita mengasi suara dengar suara tertahan
perlahan. Ia seperti ingat sesuatu.
"Eh, bocah !" kemudian ia tanya. "Kau she Cio, apakah kau
ada hubungannya dengan Cio Hay Auw ?"
Kiauw In heran ditanya begitu. Sebagai seorang jujur yang
pertama ia ingat ialah mungkin imam ini kenalan atau sahabat
ayahnya. Maka ia lantas merubah sikapnya.
"Cio Hay Auw itu adalah nama ayahku almarhum."
sahutnya hormat. "Mohon tanya cianpwe, apakah nama atau
gelaran cianpwe ?" "Cianpwe" ialah orang atau panggilan buat orang dari
angkatan lebih tua. Selagi nona Cio berlaku hormat itu mendadak si imam
wanita memperlihatkan wajah suaram atau muram
mendongkol karena penasaran, ketika ia membuka mulut pula
ia membentak dengan bengis sekali.
"Hai budak bau !" demikian suaranya yang kasar. "Kiranya
kaulah anak perempuan dari si orang she Cio, manusia yang


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berbudi itu ! Baiklah, nanti nyonyamu memberi pelajaran
kepadamu, supaya sekalian aku dapat melampiaskan
penasaranku selama belasan tahun !"
Kata-kata itu ditutup dengan orangnya berlompatan maju
kepada nona kita, jangankan dia lantas hajar dengan satu
cambukan kebutannya ! Kiauw In waspada dan bermata jeli. Selekasnya mendengar
suara orang yang kasar itu sudah bercuriga, apa pula ia
melihat si imam menjejak tanah untuk berlompat kepadanya.
Belum lagi ujung kebutan mengenakan padanya, ia sudah
mencelat mundur satu tindak. Walaupun ia diperlakukan kasar
itu ia tidak lantas menjadi gusar. Tetapi ia berlaku sabar dan
tak mau ia membalas menyerang.
"Cianpwe" katanya, "kalau dahulu hari ayahku almarhum
ada melakukan sesuatu yang tidak selayaknya terhadap
cianpwe, aku mohon sudilah cianpwe menjelaskan padaku
apabila ternyata benar ayahku itu keliru, dengan segala
senang hati suka aku menghaturkan maaf untuknya..."
Mendengar suara orang itu, maka Gouw Ceng menjadi
merah dan pucat bergantian. Agaknya dia jengah berbareng
mendongkol atau bergusar. Tak sudi dia memberikan
keterangan, karena dia merasa malu akhirnya. "Hei, budak
bau !" dia membentak pula.
"Pergilah kau pulang dan tanyakan sendiri pada orang she
Cio yang harus dibacok beribu kali itu. Kau tanya dia apa yang
dia lakukan pada delapan belas tahun yang lampau di kota
Kayhong ! Jika kau tanyakan nanti ketahui jelas perbuatan tak
berbudi apa yang dia telah perbuat."
Kembali si imam wanita menunjukan tampang gusar,
kembali dia maju sambil dia menyabet pula dengan
kebutannya itu yang merupakan genggamannya.
Buat kedua kalinya Kiauw In melompat mundur, hanya kali
ini, hatinya menjadi panas juga. Orang terlalu menghina
padanya sedangkan ia telah berlaku sabar dan mengalah.
"Ayahku almarhum adalah seorang lelaki Kang Ouw sejati !"
demikian ia kata, suaranya tegas. "Manakah ayahku mau
memandang mata kepada seorang wanita semacam kau "
Jangan kau lancang menyebut orang darah ! Jangan kau
mengoceh tidak karuan !"
"Kang Ouw" ialah Sungai Telaga sebagaimana "Lok Lim"
Rimba Hijau dan "Bu Lim" Rimba Persahabatan.
Sepasang alis si Tokouw bangkit bangun, matanya bersinar
sangat tajam dan galak, itulah tanda bahwa dia sangat
penasaran dan gusar. Lantas terdengar tawa dinginnya
berulang kali. "Budak kurang ajar !" bentaknya pula.
Dan dia maju pula dengan serangan kebutannya tu, yang
lemas-lemas kaku, bahkan kali ini dia turut menyerang sampai
dua belas kali, sebab setiap kali si nona menyingkirkan diri !
Sekarang tibalah serangan terakhir dari Gouw Ceng yang
mengumbar nafsu amarahnya, sekarang tidak lagi Kiauw In
sudi mengalah terus, terpaksa ia menangkis dan membalas
menyerang. Dengan segera ia menggunakan tiga puluh enam
jurus Khie bun Pat Kwa Kiam, jurus-jurus pilihan untuk
mengimbangi serangan kebutan.
Saking sengitnya pertempuran, kedua wanita itu seperti
nampak hanya bayangannya saja, mereka membuat mata
orang bagaikan kabur. It Hiong menonton sekian lama. Tahulah ia sebabnya
pertempuran itu. Itulah pasti soal lama, yang hanya diketahui
Gouw Ceng sendiri, sebab segalanya gelap bagi Kiauw In. Si
nona bertempur saking terpaksa, sebab ia harus bela diri.
Tentu sekali, It Hiong tidak dapat berdiam saja. Mereka
berdua datang guna meminta pulang kitab ilmu pedang dan
sekarang Hian Ho berada dihadapannya. Karena ia melihat
bahwa ia tak usah berkuatir bagi Nona Cio, ia lantas maju ke
hadapannya Hian Ho, tangannya diulur dengan satu gerakan
"Chong Hay Na Liong" atau "Didalam Laut Menangkap Naga"
suatu jurus dari "Hang Liong Hok Houw". Ia menyambar
bahunya si imam untuk menjambret jalan darah hang hu !
Hian Ho terkejut, dia terdesak sekali. Tidak sempat dia
menangkis, maka terpaksa dia berkelit sambil mendak,
mengasi lewat tangan penyerangnya.
Sementara itu Tiang Heng Tojin tidak dapat berdiam saja.
Rupanya keadaan membuatnya bertangan gatal. Bukannya dia
berbicara dahulu, dia justru berlompat maju dengan
senjatanya yang istimewa itu, ia sampok tangannya It Hiong !
"Bocah, tanganmu telengas !" dia membentak. "Tidak
kusangka, seorang guru yang tersohor dapat mewariskan
seorang murid rendah begini."
It Hiong mengelit tangannya sambil tubuhnya berkisar. Ia
tidak melayani si imam tua itu, ia juga tidak terus menyerang
kepada Hian Ho. Memang barusan ia sudah menyerang
separuh membokong, atas itu ia merasa jengah sendirinya. Di
lain pihak, kata-katanya si imam menyakiti telinganya. Ia
percaya pasti si imam tak tahu sebabnya ia bersikap keras
demikian sebab keinginannya yang keras agar lekas mendapat
pulang kitab ilmu pedang gurunya.
"Totiang, terima kasih" kata ia kepada si imam. Ia berlaku
sabar dan memberi hormat pula.
"Tapi ada sebabnya kenapa barusan aku mengambil
sikapku itu. Totiang ketahui, Hian Ho sudah mencuri kitab ilmu
pedang guru kami dan sekarang kami datang untuk
memintanya pula. Sekarang aku minta totiang tolong
memberikan pertimbangan mereka kami bisa memiliki pula
kitab ilmu pedang kami itu !"
Sementara itu kitab pedang itu sudah berada ditangannya
si imam dari Siang Ceng Koan itu maka juga mendengar
pemintaannya si anak muda Tiang Heng menjadi berdiam. Ia
malah merasa likat. Sejenak itu, tak dapat dia membuka
mulutnya. Sebenarnya ketiga koancu dari Siang Ceng Koan itu ialah
Tiang Heng, Kim Leng dan Gouw Ceng bukannya saudara
seperguruan satu dengan lain, mereka berkenalan dan
bersahabat disebabkan dengan asmara dan satu tujuan.
Tiang Heng Tojin bertubuh tinggi dan besar dan kekar
tetapi dia ada kekurangan dalam hidupnya ialah ia telah
kehilangan tenaga kelaminnya. Maka sia-sia saja dia menjadi
seorang laki-laki. Itu pula yang menyebabkan dia memilih
nama suCinya itu. Tiang Heng berarti penyesalan atau
penasaran seumur hidup. Sedang begitu nafsu birahinya
berkobar-kobar. Maka itu kebetulan sekali ia berkenalan
dengan Gouw Ceng si wanita nakal maka juga berdua mereka
nama dan tampangya suci, hatinya lain.
Gouw Ceng itu pada delapan belas tahun yang lampau
menjadi seorang nona usia dua puluh lima atau dua puluh
enam tahun, dia cantik dan ilmu silatnya baik demi
kesenangan dirinya itu waktu dia repot mencari seorang pria
yang sudi menjadi kekasihnya, ia ingin seseorang yang gagah
perkasa. Terjadilah suatu hari selagi berada di dalam kota Kayhong,
Gouw Ceng bertemu dengan Cio Hay Auw ayah almarhum dari
nona Cio. Cio Hay Auw tidak tahu siapa Gouw Ceng. Berdua
mereka bermain api asmara. Baru belakangan ia ketahui
sifatnya wanita itu yang hatinya mudah berubah yang cintanya
tidak untuk satu. Lantas ia memisahkan diri. Gouw Ceng
penasaran, dia pergi mencari. Dia berhasil menemukannya.
Lantas dia menggerembengi Hay Auw hingga Hay Auw
menjadi kewalahan dan habis sabar lantas dia diserang
sehingga luka tangannya. Hal itu membuat dia sakit hati, dia
gilai Hay Auw tetapi bukan sesuci suci hatinya, melulu untuk
memuaskan nafsu birahinya saja. Berpisah dari Hay Auw
selama belasan tahun dia terus hidup berfoya-foya dengan
siapa saja yang ia sukai atau siapa saja yang menyukainya.
Sekarang didalam usia empat puluh tahun lebih kurang dia
justru bersahabat dengan Tiang Heng Tojin dan Kim Leng
Tojin. Inilah kebetulan sebab mereka sama-sama orang yang
beragama walaupun cuma namanya saja. Disamping kedua
imam itu ia juga main gila dengan Hian Ho Cinjin. Inilah
perhubungan mereka berdua yang membikin Hian Ho dapat
berdiam di Siang ceng Koan.
Habis memperoleh kitab pedang Sam Cay Kiam, Hian Ho
lantas kembali ke Siang Ceng Koan. Ia berlaku cerdik sekali.
Kitab itu ia persembahkan kepada Tiang Heng Tojin. Katanya
buat menghunjuk penghargaan serta membalas budi.
Bukankah ia telah diberi menumpang tinggal di dalam kuil
orang " Sebenarnya dengan begitu hendak ia melindungi diri
dengan mengajukan Tiang Heng andia kata Tio It Hiong
datang mencarinya. Kalau It Hiong dan Tiang Heng bertempur
dan It Hiong kalah dan terbinasa ia selamat dan tetap
tenanglah kedudukannya. Tiang Heng Tojin senang menerima kitab ilmu pedang Sam
Cay Kiam itu. Dia memang gemar mengumpulkan barangbarang
berharga umpama batu permata. Hanya ada satu hal
yang memberatkan padanya, ia menganggap diri sebagai
seorang koancu maka ia harus menghargai diri. Sekarang
sekali ini It Hiong datang meminta pulang kitab Sam Cay
Kiam, ia jadi merasa sulit. Tak dapat ia menyangkal tapi juga
tak sudi mengembalikan kita itu ! Habis, bagaimanakah " Lalu
ia batuk-batuk, terus ia menyerukan Gouw Ceng untuk
menghentikan pertempuran.
Gouw Ceng mendengar kata, selekasnya dia mendengar
suaranya ketua itu, dia menangkis satu serangan, terus
lompat keluar dari kalangan pertempuran. Kiauw In pun
berhenti menyerang, bahkan ia terus bertindak ke sisinya It
Hiong. Dari sini, bersama-sama adik seperguruannya itu, ia
mengawasi para lawan, guna mendengari apa katanya mereka
itu. Sekian lama sudah lewat. Tiang Heng masih berdiam saja.
It Hiong menjadi tidak sabaran, maka ia kata kepada imam itu
: "Totiang, jika totiang tidak dapat berlaku adil dalam urusan
kitab pedang kami itu, harap totiang jangan persalahkan aku
apabila aku terpaksa mesti menggunakan kekerasan guna
turun tangan sendiri !"
Dan benar-benar anak muda ini maju satu tindak ke arah
Hian Ho sedangkan pedangnya sudah lantas dihunus.
Ketiga imam dari Kim Hee Kiong pernah dikalahkan pemuda
itu, mereka sudah jeri sendirinya. Hanya kali ini mereka
berada ditempat terbuka, disarang kawannya sendiri,
terutama di muka umum, mereka bersitegang.
Hian Siu melihat kakaknya berayal-ayalan ia tidak puas ia
pun menjadi gusar sekali.
"Eh, bocah, jangan jumawa !" bentaknya. "Sakit hati dari
tangan buntung justru harus diminta pertanggung jawabnya
dari kau ! Itulah hutang darah yang harus ditagih dan dibayar
!" Imam ini berlompat maju selekasnya dia habis berkata,
tangan kanannya menghunus pedang.
"Hm !" It Hiong memperdengarkan suara menghinanya. Ia
sebal menyaksikan lagak orang. "Bagaimana kalau kau kalah
pula " Kau hendak mengembalikan kita pedang atau tidak "
Kau ajukanlah caramu !"
Gusar tinggal gusar. Hian Siu tahu dia bukanlah lawan dari
si anak muda. Tapi dia menebalkan muka. Dia sudah
mencabut pedangnya tetapi tak mau dia lantas maju
menyerang. Dia kata : "Kitab ilmu pedangmu yang tak berarti
itu berada ditangan Tiang Heng Toheng ! Jika kau mempunyai
kepandaian bocah, kau mintalah sendiri !"
Kata-kata kawan itu membuat mukanya Tiang Heng merah.
Itulah justru hal yang dia tak sukai. Tapi dia mesti membuka
suaranya. Maka dengan dingin dia berkata : "Tentang kitab
pedang itu harus dicari tahu terlebih dahulu siapa benar siapa
salah. Tentang itu Toya kamu tidak mau mengambil peduli !
Baik kalian memutuskannya dengan tenaga kalian sendiri !"
Imam ini tidak mau merendahkan diri maka ia
membahasakan dirinya "Toya kamu".
"Sudah jangan bicara saja dari hal tidak karuan !" bentak It
Hiong yang habis sabarnya, maka ia menjadi menuruti hawa
amarahnya dan telah bicara besar. Ia menambahkan : "Kalian
dari Kim Hee Kiong, kalian adalah arwah-arwah
bergelandangan yang baru lolos dari ujung pedang, maka itu,
baik kalian semua majulah dengan berbareng !"
Hian Siu, Hian Ho dan Hian Ciu bertiga menjadi sangat
terdesak. Mereka lantas saling melirik. Di dalam keadaan
seperti itu mereka jadi buntu jalan, mereka menjadi nekad.
Terpaksa mereka memikir akan kalah atau berbicara bersama
musuh.... Dengan satu siulan berbareng, ketiga imam dari Kim Hee
Kiong berlompat maju dengan berbareng juga serentak
mereka menyerang si anak muda, maka juga sinar pedang
mereka seperti menjadi satu berkelebat ke arah si anak muda,
semua mencari sasarannya masing-masing.
It Hiong dengan bersiap sedia atas tibanya serangan itu, ia
menggerakkan pedangnya untuk menghalau ancaman
bencana. Pedangnya pun berkelebat berkilauan. Karena
sangat mendongkol, ia ingin menjauhi pertempuran secepat
mungkin. Maka juga, habis diserang itu ia segera membuat
pembalasan. Dengan satu emposan semangat maka
tenaganya telah dikerahkan pada kedua belah tangannya
terutama tangan kanan dan tubuhnya bergerak dengan lincah.
Ketiga koancu termasuk orang-orang kelas satu tetapi hati
mereka telah diciutkan pedang Keng Hong Kiam dari
lawannya. Biar bagaimana mereka merasa jeri juga. Saking
terpaksa sekarang mereka melawan dengan mati-matian,
dengan begitu merekapun menjadi tangguh.
Hian Siu kehilangan tangan kirinya, dengan hanya
menggunakan tangan kanan, tak mereka ia menggunakan
ilmu silat pedang simpanannya, Im sat-ciang. Hian Ho lenyap
sebelah matanya, dalam hal penglihatan, dia pula kurang
leluasa. Hian Ciu sebaliknya, ilmu silatnya masih kalau jauh
dari kedua kakak seperguruannya itu, ia juga turut bergerak
tetapi sangat terbatas. Adalah kenekatan mereka bertiga yang
menyebabkan mereka dapat bertahan.
Oleh karena kedua belah pihak berkelahi dengan keras,
jurus-jurus juga dilewatkan sama cepatnya. Hanya sebentar,
dua puluh jurus telah berlalu. Habis itu, It Hiong lantas dapat
memperhatikan setiap lawannya, satu demi satu, kemudian ia
terutama perhatikan Hian Siu, si mulut kasar itu.
Dalam murka, Hian Ciu melihat lowongan pada tubuh
lawan. Tak ayal lagi, ia maju menikam, ia memang tidak mau


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi ketika kepada musuh yang ia benci itu.
It Hiong lihat bahaya mengancamnya, dengan cepat ia
mengegos ke sisi, selekasnya ujung pedang lawan ia
meluncurkan tangan kirinya dengan apa ia menangkap lengan
lawan. Itulah jurus silat "Tangan Menawan Naga". Tepat ia
berhasil dengan sambaran atas cekalannya itu !
Bukan kepalang kagetnya Hian Siu. Itulah berbahaya untuk
saudaranya. Ia berlaku cepat, tangannya ditarik terus
pedangnya diayun guna menikam iga kiri lawan.
It Hiong tidak menjadi bingung, ia bahkan berlaku sangat
cepat. Guna menghindarkan diri dari ujung pedang, ia
menggeser tubuh sambil menyempar tubuhnya Hian Ciu
menyusul mana kaki kanannya dikasih melayang naik !
Sedangkan pedangnya, berbareng digerakkan !
Benar-benar darah sudah lantas berhamburan, muncrat
dari tubuh yang terluka sebab pedang It Hiong tidak kepalang
tanggung menyambar yang satu diteruskan kepada yang lain.
Hian Siu dan Hian Ciu roboh tak berdaya lagi, selagi kena
terhajar berteriakpun mereka hampir tak sempat ! Kedua
imam itu mau saling tolong tetapi mereka justru menjadi
korbannya si anak muda yang menjadi lawannya itu.
Hian Ho adalah korban yang paling hebat, dia merangsak
maju justru keduanya sudah roboh terkulai, justru dia datang
dekat, dia disambut It Hiong dengan satu bacokan hebat,
maka juga pecahlah kepalanya, tubuhnya rebah disisi Hian
Siu. Hian Ciu tapinya beruntung. Dia cuma kena tertendang
hingga muntah darah, selekasnya dia roboh dan berlompat
bangun untuk lari pergi, ketika It Hiong membebat padanya ia
menangkis maka dengan beradunya kedua pedang, Keng
Hong Kiam membabat kutung pedang lawan. Dalam kaget dan
takutnya, Hian Ciu terus kabur, menghilang di belakang kuil
Siang Ceng Koan. Ia sipat kuping tanpa berani menoleh pula,
tanpa menghiraukan pula dua saudaranya !
Tiang Heng Tojin bertiga Kim Leng dan Gouw Ceng
berubah pucat parasnya, mereka berdiri melengak
menyaksikan It Hiong dalam satu rintasan itu telah
merobohkan ketiga lawannya. Itulah hebat sekali.
It Hiong tidak mengejar Hian Ciu, hanya ia bertindak ke
depannya Tiang Heng Tojin, koancu utama dari Siang Ceng
Koan. "Totiang, aku minta suka apalah totiang memegang janji !"
demikian katanya, halus tetapi berwibawa. "Sekarang aku
yang rendah minta supaya kitab ilmu pedang kami dibayar
pulang, seterimanya itu kami berdua segera akan turun
gunung dan berlalu dari sini !"
Ketika itu Kim Leng Tojin yang sadar paling dahulu, dia
memandang si anak muda dan juga Kiauw In, terus dia
tertawa dengan menunjuki wajahnya yang licik. Kata dia :
"Untuk mengembalikan kitab ilmu pedang mesti ada syaratnya
!" "Apakah janji kalian tak masuk hitungan ?" It Hiong
menanya menegaskan. "Masih ada syarat apakah lagi ?"
Kembali Kim Leng memperdengarkan tawanya yang tak
sedap terus dia menunjuk Nona Cio.
"Syarat itu mudah sekali !" jawabnya. "Ialah ini nona harus
ditinggalkan disini ! Kitab ilmu pedang harus ditukar dengan
dia !" Sepasang alisnya It Hiong berdiri, ia gusar bukan main.
"Kau gila !" bentaknya. "Lekas serahkan kitab kami itu !"
Menutup kata-katanya, anak muda ini berlompat maju ke
depan orang, pedangnya ditebaskan !
Kim Leng Tojin terkejut, tetapi dia tak menjadi gugup.
Karena dia tak sempat menghunus pedangnya buat
menangkis terpaksa dia lompat mundur. Dia cuma lompat
sambil mengibaskan tangan kirinya. Tapi disisi dia, Tiang Heng
Tojin membantu saudaranya itu dengan ia melakukan satu
serangan tangan kosong yang hebat ke arah tubuh si anak
muda, sedangkan Gouw Ceng juga tak berdiam saja. Dia ini
turut menyerang dengan kebutannya, menghadang di
depannya Kim Leng Tojin hingga imam pria itu terhindar dari
ancaman maut ! It Hiong merasai terjangan angin yang dahsyat, cepat
sekali ia berlompat mundur. Tiba-tiba saja insaf bahwa tak ada
gunanya untuk melayani imam itu secara mati-matian.
Kim Leng Tojing tidak kabur terus, setelah lolos dari
bahaya, ia kembali, ia hanya sekarang tangannya sudah lantas
menggenggam dua buah senjata rahasianya ia ia beri nama
"jie ie" menuruti kehendak hati" senjata mana biasa ia simpan
didalam sakunya. Inilah semacam peluru yang dapat
menyiarkan hawa beracun yang bisa membuat orang tak
sadarkan diri maka lengkapnya ialah hia hun hio atau peluru
asap yang mempingsankan. Segera ia menimpuk ke arah
Kiauw In. Dalam hal menimpuk itu, ia sudah melatih diri
dengan sempurna. Kedua peluru dibikin bentrok satu dengan
lain terus meledak dengan berbunyi cukup nyaring.
Jie ie tan meledak tepat diatas kepala Nona Cio, lantas
menghembuskan asapnya warna ungu, buyar ke pelbagai arah
mengikuti tiupannya angin, baunya harum sangat menusuk
hidung dan memusingkan kepala.
Kiauw In kena mencium bau asap itu, kontan dia limbung
dua tindak terus roboh tak sadarkan diri.
Gouw Ceng tahu maksudnya Kim Leng merobohkan si
nona, ia tidak sudi mengalah, maka juga tanpa menghiraukan
halnya mereka lagi menghadapi lawan tangguh ia justru
menegur kaka seperguruannya yang nomor dua itu Jie
suheng. "Eh, kakak bagaimana eh ?" demikian tanyanya. "Kau.."
Kim Leng tidak menghiraukan pertanyaan itu menyusuli
robohnya Kiauw In, ia lompat melesat kepada nona itu, kedua
tangannya diulur maksudnya guna menjambret tubuh si nona
guna digampit buat dibawa lari.
Berbareng dengan gerakan gesit imam itu, dia juga telah
memperdengarkan jeritan dari kesakitan yang menyayatkan
hati, tubuhnya telah terpental dan roboh terkulai dengan
mandi darah, darahnya berhamburan disekitarnya. Sebab
justru dia lompat kepada Kiauw In justru orang menyambut
kepadanya, tubuhnya dipapaki dihajar dengan tinju tangan
berbareng tubuhnya itu tertolak mundur. Tapi yang paling
celaka ialah waktu ada sesosok tubuh lain yang mencelat ke
arahnya sambil memperlihatkan sinar pedang berkelebatan
dan sinar pedang itulah yang merampas rohnya dan
membuatnya mandi darah. Apakah yang sebenarnya terjadi "
Kiauw In terkena asap beracun, kepalanya pusing dan
tubuhnya limbung terus dia roboh tetapi itu bukannya berarti
ia pingsan. Obat pemunah racun kuat melindungi
kesadarannya bahkan setelah merasai kepalanya pusing, insaf
ia akan jahatnya asap ungu itu maka dengan kecerdikannya
terus ia menggunakan akal berpura roboh lalu diwaktu rebah
diam-diam ia memasang mata, selekasnya Kim Leng tiba ia
menghajar dengan satu tinju dari lima "Heng Liong Hok Mo
Ciang" membuat si imam terhajar hebat hingga muntah darah
dan tubuhnya terpental balik, justru itu tiba juga tubuhnya It
Hiong ! Si anak muda melihat segala apa ia terkejut, ia menyangka
kakak seperguruannya roboh di tangan musuh, maka itu, agar
dapat membantu ia lompat menghampiri Kim Leng Tojin,
tanpa banyak pikir lagi ia sambut imam itu dengan pedangnya
yang tajam. Kemudian maka sampailah Kim Leng Tojin yang
ceriwis dan cabel itu pada ajalnya hingga tamat sudah lakon
hidupnya yang mesum ! Dua-dua Tiang Heng Tojing dan Gouw Ceng Tokouw
menjadi kaget sekali. Sudah menyaksikan kebinasaannya Hian
Siu dan Hian Ho sekarang mereka mesti melihat tanpa
berdaya kematian saudara seperguruannya itu sedangkan
tadinya hati mereka sudah girang sebab nona lawannya itu
kena dibikin roboh. Bedanya cuma mereka kalau Tiang Heng
girang sesungguhnya, Gouw Ceng hanya sesaat dan segera
timbul jelus dan cemburunya terhadap sang Jie suheng. Tapi
setelah jie suheng itu terbinasa, kembali dia kaget dan hatinya
mencelos. Habis kaget, dua-duanya menjadi gusar, maka itu
dengan muka merah dan mata mendelik mereka maju
menyerang It Hiong. "Bocah, serahkan jiwamu !" bentak Gouw Ceng yang
menyerang dengan kebutannya.
Sementara itu It Hiong sudah lompat kepada Kiauw In
dengan berniat mengasi bangun kakak seperguruan itu. Ia
girang akan mendapat kenyataan si kakak tak kurang suatu
apa. Karena mau menolong Nona Ciu, ia tidak menyangka
jelek kepada Tiang Heng dan Gouw Ceng hingga tahu-tahu si
imam wanita sudah menerjang ke arahnya.
"Kakak.." ia memanggil Kiauw In atau segera ia merasai
serbuan anginnya serangan gelap. Ia mengerti bahwa itulah
ancaman bahaya, tanpa ragu pula ia menjatuhkan diri dengan
jurus silat "Harimau lapar Menerkam Kambing" menyusul
mana kakinya menyapu dengan jurus silat "Kaki Ekor
Harimau" hingga dengan demikian selamatlah ia dari
kebutannya si imam wanita.
Di pihak lain, Gouw Ceng juga menjerit kaget. Inilah sebab
geraka kaki dari jurus silat "Kaki Ekor Harimau" dari si anak
muda yang hampir mengenai perutnya. Syukur ia gesit sekali
dan dapat mengegos diri. It Hiong berlompat bangun, ia menuding si imam wanita
sambil berkata keras : "Jika kau benar mempunyai
kepandaian, kau bertempurlah secara terang-terangan ! Kau
main menyerang secara menggelap, tidakkah itu membuat
orang memandang hina kepadamu ?"
Gouw Ceng berdiri diam, ia melengak sejak ia bebas dari
ancama petaka. Tegurannya si anak muda juga membuatnya
bungkam, sebab tidak ada alasan untuk menyangkal atau
membantah. Disamping itu ia jeri terhadap pedang mustika si
anak muda serta kegagahannya yang ia telah saksikan sendiri.
Ketika itu Teng Hiang Tojin telah lantas menunjuki
kecerdikannya. Ia memangnya beraninya cuma terhadap yang
lemah dan takut kepada yang kuat, ia pula merasa lega sebab
Gouw Ceng tidak kurang suatu apa. Sebenarnya ia mempunyai
latihan dari beberapa puluh tahun serta juga mengerti ilmu
silat sesat yang disebut "Pan Bun To To", tetapi terhadap It
Hiong ia ragu-ragu atau kurang gunakan. Maka itu sampai itu
waktu segera ia merogoh sakunya mengeluarkan kitab Sam
Cay Kiam, yang mana terus ia angsurkan kepada si anak
muda. Tetapi supaya ia tidak kalah gertak, ia tertawa dingin
dan kata : "Ini kitabmu, ambillah ! Toya kamu tak
membutuhkan kitab semacam ini !"
It Hiong menyambut, tangannya sampai bergemetar saking
girangnya. Karena orang menyerahkan kitab itu, ingin ia
mengucapkan kata-kata sungkan, baru ia mau mengajak
Kiauw In turun gunung. Atau si imam telah mendahuluinya.
"Di dalam peristiwa hari ini, itulah bukan karena Toya kamu
jeri terhadap kamu !" kata koancu dari Siang Ceng Koan
jumawa. "Yang benar ialah aku tidak mau turun tangan
terhadap kamu, kawanan anak kecil ! Taruhlah aku menang,
kemenangan bukanlah kemenangan kegagahan ! Mampusnya
mereka itu juga menyenangkan hatiku, sebab dengan
demikian maka adik seperguruanku bakal dengan setulusnya
hati mencintai aku ! Kau telah ketahui, cukup sudah !"
Dengan adik seperguruan itu Tiang Heng maksudnya su
moay, adik seperguruan yang wanita ialah Gouw Ceng
Tokauw si imam wanita yang berbareng menjadi kekasih atau
gula-gulanya. It Hiong dan Kiauw In melengak mendengar perkataannya
imam tua itu. Itulah kata-kata atau sikap yang mereka tak
sangka sama sekali hingga mereka dibuat heran karenanya.
Sesadarnya mereka, tanpa mengatakan sesuatu lagi, berdua
mereka mengangkat kaki meninggalkan Kiu Kiong San.
Waktu sudah tengah hari selagi mereka berlari-lari. Seluruh
gunung sunyi kecuali oleh deru angin diantara pepohonan.
Mereka terus berlari keras sampai mereka tiba di jalan yang
memasuki lembah Huyong ciang yang sempit itu. "Kakak"
berkata si anak muda yang menghentikan larinya, "kakak,
mari kita beristirahat disini sambil mengisi perut...'
"Aku kuatir kakak sudah letih."
Memang anak muda ini menyayangi kakak itu, rasa
bersatunya telah menjadi sangat erat. Sekarang mereka bukan
kakak beradik lagi, bukan su cie dan sute, hanya tunangan
satu dengan lain. Kiauw In sudah lantas turut menghentikan larinya, ia
berbalik melirik adik seperguruan itu, senyumannya berpeta,
lalu sambil mengangguk, ia pergi ke sebuah batu untuk
berduduk disitu. It Hiong menghampiri, keduanya terus duduk berendeng.
Si nona mengeluarkan bekalan rangsum keringnya, ia
membagi kepada si anak muda, maka dengan begitu berdua
mereka mulailah bersantap.
Beberapa kali Kiauw In menyingkap rambutnya yang dibuat
main sang angin. "Adik, apakah kau telah simpan baik-baik kitab pedang itu
?" kemudian si Nona Tanya sembari ia tertawa.
It Hiong meraba ke dadanya.
"Jangan kuatir, kakak" sahutnya. "Akan aku jaga baik-baik
kitab ini, yang akan aku hargai melebihi jiwaku !"
"Sebenarnya" kata pula si nona, "dengan berhasilnya
perjalanan kita ke Huyong cian ini harus kita berterima kasih
kepada bapak pendeta dari vihara Bie Lek Sin. Bapak pendeta
itu telah memberikan kita obat pemunah racun hingga kita
bebas dari gangguan racun itu."
"Dan juga..." berkata ItHiong yang tiba-tiba terhenti katakatanya.
Si nona heran, dia menatap muka orang.
Kiauw In cantik manis, halus kulit mukanya, dia luwes
sekali. Ketika itu, disaat hatinya terbuka, dia pula tampak
ramah sekali. "Dan.." katanya bersenyum, "kita harus bersyukur juga
pada malam dari muara Giok Poan Tha itu disaat Siang Goat
Kouw Hui, Sepasang si putri malam saling memancarkan
cahayanya yang indah permai. Itulah saat yang
menyempurnakan cita-cita kita, kakak. Benar bukan kakak ?"
Kiauw In melirik. "Cis !" ia kasih dengar suaranya. "Adik, kapannya kau
belajar jail begitu rupa " Kau mulai nakal ya " Ah, kau begini


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gembira, apakah kau telah melupai Paman Beng mu serta adik
Peng atau kakak Peng mu itu ?"
Ditanya begitu It Hiong berdiam, wajahnya tak lagi
tersungging senyuman seperti barusan. Ya, ia lantas ingat
Paman Beng nya, orang yang telah melepas sangat banyak
budi terhadapnya, juga kakak Giok Peng nya itu terutama si
Paman Beng yang lagi terkurung di Ay Lao San, yang perlu
segera ditolongi. Di lain pihak, ia juga ingat keruwetan
diantara si kakak Giok Peng dengan Gan Hong Kun, hingga
didalam sekejap ia dapat membayangi pula semua peristiwa di
Lek Tiok Po dahulu hari. Bagaimanakah semua itu harus
dipecahkan " Selagi It Hiong memikirkan kakak Giok Peng itu sebab ia
diingatkan oleh si kakak Kiauw In, maka Giok Peng sendiri
sementara itu bersama dua orangnya telah kembali ke Lek
Tiok Po, ke rumahnya. Di ruang besar, ia menemui ayahnya
serta dua orang kakaknya, begitupun sang paman emPek,
yaitu paman tua Tong Wie Lam. Paling dahulu ia memberi
hormat dan menanyakan kesehatan ayah serta sekaliannya
itu, baru pembicaraan beralih ke lain-lain urusan sampai
akhirnya tiba kepada halnya Gak Hong Kun.
"Bocah she Gak itu nampak seperti orang gila hingga dia
sangat memuakkan." berkata Pek Kiu Jie, sang ayah. "Bahwa
dia telah pergi kabur siang-siang itu adalah hal yang baik
sekali. Anak Peng kalau nanti kau bertemu pula dengannya,
jangan kau memandang-mandang lagi, jangan kasih hati,
supaya tak usahlah dia nanti mengerocoki pula kita disini !"
"Hm !" Tong Wie Lam memperdengarkan suara dihidung.
"Seumurku aku menjelajah dunia Kang Ouw, belum pernah
aku bertemu dengan bocah bermuka tebal tak kenal malu
seperti dianya ! Keponakan Peng, jika nanti kau bertemu
dengannya, kau berhati-hatilah terhadap akal muslihatnya
yang licik, supaya kau tak usah sampai kena terjebak !"
"Ayah, paman, terima kasih buat nasihat ini." berkata sang
anak atau keponakan, "aku dapat membawa diriku baik-baik.
Andia kata dia berani main gila terhadapku, tak nanti aku beri
hati padanya, aku akan menghajarnya !"
Kemudian nona menghampiri Pek Siauw Hoaw, kakaknya
yang nomor dua. "Kakak" tanyanya, "apakah kesehatan kakak sudah pulih
kembali ?" "Sudah, adik" sahut kakak itu, "tak usah kau
mengkhawatirkan aku."
"Kakakmu malu pada dirinya sendiri" Thian Liong, si kakak
tertua berkata. "Karena ilmu silatku tidak berarti maka telah
terjadi peristiwa mengecewakan ini, hingga nama baiknya Lek
Tiok Po turut tercemarkan oleh anak edan she Gak itu ! Eh,
adik. mengapakah kau tidak pulang bersama-sama adik Tio ?"
Dengan "adik Tio" itu, Thiang Liong menyebutnya "moay
hu" yaitu "suami dari si adik", suaminya Giok Peng. Ia
memanggil demikian karena menuruti aturan kekeluargaan
walaupun pernikahan Giok Peng dan It Hiong itu secara luar
biasa sekali. Giok Peng tidak menjawab kakaknya yang tua itu,
sebaliknya tanpa merasa ia mengucurkan airmata, ia berduka
kalau ia ingat terlukanya kakaknya nomor dua itu serta
"suasana" di ruang itu tatkala Hong Kun mengacau, ia seperti
dapat membayanginya. Jilid 18 "Semua ini salahku" katanya menyesal dan masgul sekali. "
Tak selayaknya aku bersahabat dengan bocah edan she Gak
itu! Kau kakak, kau sampai terluka, sedang ayah ibu dan
paman Tong menjadi pusing karenanya."
Kakak yang dimaksud si nona adalah kakaknya yang kedua,
Siauw Houw, sedang mengenai Tong Wie Lam, ia
menyebutnya paman yang telah dirobohkan oleh Hong Kun.
Selagi menyebut itu, saking gusarnya, tubuhnya sampai
gemetar sendirinya, sebab ia mesti menguasai hawa
marahnya. Thian Long bangkit da mengusap-ngusap rambut adiknya
itu. "Sudah adikku." Dia menghibur. "Sudah jangan kita
pikirkan pula bocah edan itu! Cuma kalau adik Tio pulang
bersama, pastilah bocah edan itu jeri terhadapnya"."
Giok Peng mengeluarkan sapu tangannya guna menghapus
airmatanya. "Tatkala kami mendengarkan peristiwa ini, ketika itu kami
lagi berada dirumah paman Liok Cim," kata Giok Peng. "Ketika
itu adik Hiong gusar tak terkirakan segera dia mengajakku
pulang supaya orang edan she Gak itu dapat dihajar! Aku
kuatir urusan menjadi besar dan dapat mengguncangkan
dunia Kang Ouw. Bukankah karena itu bisa bentrok dengan
pihaknya dia itu" Bukankah sekarang justru sedang banyak
urusan" Ketika itupun kitab ilmu pedang Sam Cay Kiam dari
gurunya adik Hiong telah dicuri Hong Kun yang membuatnya
jatuh kedalam tangannya Hian Ho si imam siluman dari Kim
Hee Kiong. Hebat akibatnya andiakata imam itu dapat
kesempatan mempelajari ilmu pedang itu, maka itu perlu adik
Hiong lekas mencari dan merampasnya kembali. Kitab itu
seterusnya jatuh ketangan imam-imam dari Kiauw Kiong San,
supaya kitab itu dapat dirampas pulang, adik Hiong telah pergi
bersama kakak Kiauw In. Kitab itu sangat penting, karena itu
aku tak berani mengganggu waktu yang sangat berharga buat
adik Hiong, maka juga sekarang aku pulang seorang diri.
Kalau urusan disini sudah beres, aku memikir untuk pergi
menyusul adik Hiong dan kakak In itu."
"Oh, begitu?" kata Thian Liong yang melengak sebentar,
terus dia tertawa. "Maaf aku keliru menyesali adik Hiong!"
Wie Lam gusar mendengar halnya Hong Kun mencuri kitab
ilmu pedangnya Tek Cio Siangjin, sampai ia menggebrak meja.
"Bangsat cilik itu benar-benar manusia yang berwajah
binatang!" katanya sengit. "Tidaklah keterlaluan kalau kalian
bikin dia mampus!" "Anak Peng" berkata Kiu Jie sabar, "Kau habis melakukan
perjalanan jauh, pergilah kau beristirahat. Pergi kau menemui
ibumu dahulu! Jangan kau pergi ke Ciat Yan Siaw, sigila itu!"
Giok Peng menurut, ia memohon perkenan terus ia
mengundurkan diri. Ketika ia bertindak kedalam, hatinya
berat, pikirannya kacau. Ia berjalan dengan perlahan dengan
demikian ia bisa melihat segala sesuatu didalam rumahnya itu,
yang mengingatkan segala apa, dari segala perabotan sampai
pohon-pohon kembang. Hanya saat itu ia tak sempat
memperhatikannya, ia menuju kedalam dimana ia menemui
ibunya, Ban Kim Hong. "Mama!" ia berseru memanggilnya seraya terus menubruk
merangkul ibunya itu, selekasnya ia mengngkat kedua belah
tangannya memberi hormat, kemudian ia lantas menangis
tersedu-sedu. "Ah,anak..." berkata sang ibu yang terus mengelus elus
rambut putrinya itu. "Kau baru pulang anak" Kenapa kau
berduka begini rupa" Apakah kau merasai sesuatu
penasaran?"" Dengan air mata berlinangkat mukanya, mengawasi ibunya.
"Aku menyesal buat urusan Gak Hong Kun, ibu" sahutnya
berduka. "Dialah si iblis pengganggu jiwa ragaku! Kenapa dia
selalu menyusahkanku, membuatku taka man?"
Diapun sekalian menuturkan halnya pemuda she Gak itu
sudah mencuri kitab ilmu pedang.
"Sudahlah anak, sudah" ibu yang baik hati itu menghibur.
"Kau jangan pikirkan pula orang edan itu. Yang paling perlu
adalah memperhatikan suami dan anakmu. Anakmu baik-baik
saja. Kau justru harus melewatkan hari-harimu yang
menggembirakan! Jangan pedulikan soal kecil, hanya
utamakan saja kesehatamu. Mengenai Gak Hong Kun, setelah
kau pulang ini, ibu da ayahmu tahu bagaimana harus
mengambil tindakan"."
Justru waktu itu seorang budak perempuan mendatangi
bersama Hauw Yan. Si anak yang baru saja disebut dan baru
mulai belajar, bahkan dengan caranya yang lucu anak itu
berkata pada neneknya: "Nenek " nenek, kakak ini tak mau
mengajak aku main-main"dia"dia"dia mengajak pulang."
Sang nenek tertawa. "Dia tak mau bermain dengan mu tidak mengapa",
katanya. "Kau boleh bermain-main dengan nenek! Nah, kau
lihat ini! Siapakah ini?"
Nyonya tua itu menunjuk puterinya.
Hauw Yan mengawasi ibunya, matanya dibuka lebar-lebar.
"Ma"mama"!" segera ia memanggil.
Bukan main girangnya Giok Peng, ia lompat pada anaknya
itu untuk lantas menyambarnya buat diangkat dan dipeluk.
"Anak manis!" serunya sambil terus menghujani ciuman,
"Anakku!" Maka sekejap itu buyarlah kesusahan hati ibu ini.
Ban Kim Hong sementara itu memerintahkan budaknya
yang barusan memomomg Hauw Yan: "Kau beritahukan
semua budak lainnya tentang pulangnya nonamu ini, jangan
sampai beritahukan pada orang she Gak itu! Mengertikah
kau?" "Mengerti, nyonya!" sahutnya sang budak, yang terus
memberi hormat dan mengundurkan diri.
Giok Peng terus melayani anaknya yang manis itu.
Besok siangnya, nona Peng memberitahukan ayah ibunya
bahwa ia hendakmenemui Gak Hong Kun. Orangtuanya
setuju, namun harus ditemani ibunya serta kakak tertuanya,
Thian Long. Tiba di muka loteng Ciat Yan Lauw, Giok Peng berkata pada
ibu dan kakaknya: "Ibu dan kakak jangan turut masuk dahulu,
tunggu saja disini dahulu, biar aku yang menemuinya, hendak
aku lihat tingkahnya. Kalau sampai terjadi pertempuran
barulah ibu dan kakak masuk membantu."
Ibu dan kakak itu mengangguk, maka menantila mereka
diluar. "Asal kau berhati-hati, anak!" pesan ibunya.
Giok Peng lantas bertindak memasuki ruang depan. Ia
melihat sebuah ruang yang kosong. Tak ada kursi, meja dan
perabot lainnya. Ditembok juga tak tergantung barang apapun
juga. Hal ini membuat ia jadi mendongkol. Ruang itupun
sangat sunyi, Hong Kun tak tampak sekalipun bayangannya.
"Gak Hong Kun!" ia lantas memanggil, "Gak Hong Kun!"
Dari dalam kamar-kamar tidur terdengar suara bagaikan
orang terasadar, terus itu disusul suara cacian "Ah, budak
mana yang begini kurangajar, berani memanggil-manggil aku
dengan namaku saja. Dia harus dihajar"!"
"Manusia bermuka tebal, kau keluarlah!" Giok Peng
membentak gusar, "Mari keluar, beranikah kau menemui aku
Pek Giok Peng!" Hong Kun memperdengarkan suara kaget dan heran, lantas
orangnya melompat keluar.
"Oh adik Peng, adik Peng, kau pulang?" serunya, "Maafkan
buat kata-kataku barusan?"
Ia berlari menghampiri si nona yang ia sambar kedua
tangannya untuk ditatap mukanya!
Giok Peng menepis tangan orang hingga anak muda itu
terpelanting. "Kau pakailah aturan!" bentaknya. "Mari kita bicara, buat
apa kau minta maaf, kalau kau berlaku sangat kejam
terhadapku?" Nona itu melangkah kekursi dipojok di sana ia terus
menjatuhkan diri untuk duduk. Ia masih dapat menguasai
dirinya. Dari situ ia mengawasi si anak muda. Pakaian Hong
Kun tidak rapi, rambutnya juga kusut kecuali ia tampak
bengong saja, kesehatannya tidak terganggu. Dia berdiri diam
dengan mata mengawasi si nona, nyata dia tak wajar lagi. Dia
menjadi tenang setelah Kiu Jie menjanjikan akan mengirim
orang pergi menyusul dan mengajak Giok Peng pulang.
Agaknya dia memperoleh harapan. Cuma selain pendiam ia
juga tidak menghiraukan pula perawatan dirinya.
Habis menatap si nona, Hong Kun pergi duduk, kedua
tangannya dipakai membuat main rambutnya. Beberapa kali ia
tunduk, lalu kembali mengawasi nona di depannya itu. Sekian
lama itu ia tetap membungkam. Giok Peng pun mengawasi
tanpa mengucap sepatah kata, menyaksikan kondisi
sipemuda, timbullah rasa kasihannya.
Sebab anak muda itu menjadi kacau pikirannya disebabkan
gagal dalam soal asmara dengannya. Tapi kapan ia ingat
orang telah berlaku kurang ajar dan mengacau, timbul pula
hawa marahnya. Bukankah ayah bundanya telah diperhina
dan kakaknya dilukai pemuda edan itu"
Cinta itu pikirnya kemudian, cinta ialah taman firdaus muda
mudi, tetapi itupun tempat makamnya si anak-anak
muda.Memikir demikian nona ini menghela napas panjang.
Demikian muda mudi ini sampai sekian lama saling berdiam
saja, Cuma kadang-kadang terdengar helaan napas mereka.
Akhirnya Giok Peng disadarkan oleh batuk-batuk ibunya
diluar jendela. "Gak Hong Kun!" demikian sapanya. "Gak Hong Kun kau
telah datang kemari katanya mencari aku, lagakmu seperti
orang gila, mau apakah kau" Sekarang aku berada disini dan
kita sudah bertemu muka, kenapa kau berdiam saja"
Bicaralah!" Suara nona itu keras dan tandas.
Hong Kun tetap membungkam, kedua tangannya
memegangi kepalanya, wajahnya diam tak berubah.
"Apakah yang kau pikir tentang perbuatanmu disini?" Giok
Peng berkata pula. "Mengertikah kau bahwa itulah perbuatan
buruk sekali" Jika kau insyaf dan tidak dapat mengatakan
sesuatu, terserah kepada kau, aku tidak mau bila ada apa-apa
lagi! Supaya aku tak usah bertemu pula denganmu!"
Tiba-tiba saja Hong Kun mengangkat kepalanya, dengan
kedua mata dipentang lebar ia mengawasi tajam kepada nona
di depannya itu. "Jadi kau begini tega hati terhadap aku?" demikia
tanyanya. "Kau tahu sendiri aku Gak Hong Kun, apa yang aku
lakukan seua buat kebaikanm! Kau lihat sekarang, orang
sampai menganggap aku seorang gila! Aku dianggap tak tahu
malu! Sekarang kau datang, kau juga tak mau mengingat
persahabatan kita dahulu, kau mengusirku! Kenapa kau tidak
mau menghiburku" Kalau demikian baiklah kau bunuh saja
aku, supaya tak usah setiap pagi dan sore aku memikirkan
dirimu! Kau tahu hatiku terasa ditusuk-tusuk saja!"


Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona Pek menghela napas. "Gak Hong Kun," katanya. "Kau bukan lagi seorang anak
kecil, kau pintar dan cerdas, kenapa sekarang pikiranmu gelap
begini rupa" Kau toh tahu cinta tidak dapat dipaksakan?"
Pemuda itu mengangguk. "Adik Peng" katanya sabar. "Walaupun Gak Hong Kun
bodoh, diapun tahu cinta tak dapat dipaksakan, akan tetapi
harus ingat saat sebelum kau bertemu dengan saudara Tio itu!
Bukankah kita sering berpesiar bersama, mendayung perahu
dan menunggang kuda dan berbincang dibawah sinar puteri
malam" Atau kita berkumpul diantara terangnya sinar api"
Ketika itu , kau memanggilku kakak dan aku memanggil kau
adik, hati kita bagaikan bersatu. Apakah ketika itu Gak Hong
Kun telah berbuat salah" Adik dengar! Hari ini tak peduli
bagaimana sikapmu terhadapku, aku tetap mencintai kau!
Justru demimu aku telah datang kemari! Kau bialng tentang
hubunganmu dengan adik Tio" Itu adakah karena anjuran
orang atau karena kerelaanmu" Jawablah!"
Dan dia menatap tajam dan bengis, matanya tak pernah
berkedip! Giok Peng diam berpikir. Pertanyaannya pemuda itu tepat
sekali, maka ia jadi membayangkan hubungan mereka dahulu.
Gak Hong Kun menantikan, lalu dia tertawa dingin :
"Aku tahu bahwa rejekiku tipis sekali," katanya pula.
"Dimasa ini selama hidup kita tak ada harapanku lagi untuk
hidup bersama denganmu adik Peng. Inilah yang dibilang air
mengalir ketimur tanpa kembali."
"Apalagi yang dapat kubilang" Aku Cuma merasa menyesal
telah terlalu percaya bahwa cinta itu putih bersih bahwa Cinta
tak dapat diminta dengan paksa! Inilah yang membuatku
menyesal dan penasaran seumur hidupku! Coba dahulu hari
aku mencontoh perbuatan saudara Tio di loteng Ciat Yan
Pendekar Pengejar Nyawa 20 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Pengejar Nyawa 10

Cari Blog Ini