Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 10

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 10


"Jangan!" sekonyong-konyong Oh Thi-hoa mencelat bangun.
Coh Liu-hiang melengak. "Kenapa jangan" Memangnya kau tidak mau terima pinangan?"
"Sudah tentu aku tidak terima!"
"Melihat tampangmu begitu gembira, kau terpincut dan patuh benar pada tuan putri itu. Waktu dia menuang arak bagi kau, hampir saja- tulang-tulangmu luluh, kenapa sekarang kau tolak pinangannya?"
"Bicara terus terang, memang aku ada sedikit naksir pada tuan putri, kalau yang disukai bukan aku, mungkin aku sepuluh lipat lebih sedih dari ulat busuk. Tapi bila harus menikah benar benar sama dia, sekali-kali tidak boleh jadi."
"Kenapa tidak boleh?"
"Tidak boleh ya tidak boleh dan tetap tidak mau!"
"Kukira penyakit lamanya mulai kumat lagi," sela Ki Ping-yan, "Orang lain tak suka sama dia, kau kejar-kejar orang seperti lalat mengejar makanan wangi. Kalau orang lain menyukai kau, kau malah pasang gengsi dan meninggikan harga diri."
"Buyutnya saja yang punya maksud demikian," gerutu Oh Thi-hoa gelisah : "Aku cuma, cuma......" semakin gugup tak kuasa mulutnya bicara lagi.
"Cuma bagaimana?" desak Ki Ping-yan.
Keringat membasahi seluruh kepala Oh Thi-hoa, serunya : "Coba kalian pikir, orang macam apa aku ini, mana bisa mendapat tuan putri sebagai biniku" Apa aku mampu memberi makan dia"
Jikalau aku harus tunduk begitu saja menjadi menantu raja, matipun aku tidak sudi."
"Ah, kau ngelantur terlalu jauh," bujuk Coh Liu-hiang, "Persoalan justru sekarang kita hadapi, dan putusan harus kau beri sekarang pula."
"Benar, orang begitu besar minatnya dan sudi memandangmu lagi, jikalau kau menolak seluruh rencana kita akan gagal total," demikian Ki Ping-yan menganalisa, "Menurut pendapatku, bagaimanapun juga kali ini kau harus terima pinangannya."
"Kalau kalian paksa aku, biar aku lari saja," suara Oh Thi-hoa mulai panik.
"Ada aku dan Maling Kampiun berada di sini, memangnya kau mampu lari?"
Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya : "Ini urusan besar pribadiku, kenapa kalian harus paksa aku"
Masihkah kalian terhitung teman baikku" Kalian....................kalian memang hendak jual kawan demi keselamatan sendiri?"
Sekilas Coh Liu-hiang saling pandang dengan Ki Ping-yan, katanya mendadak sambil berdiri :
"Kalau demikian, biarlah aku pergi menolak pinangan ini."
"Sebetulnya ini persoalan kita bertiga, kalau dia tak mau berpikir demi kepentingan kita bersama, apa boleh buat. Besok tunggu saja digiring keluar oleh mereka."
"Aku cuma sayang bagi dia saja," Coh Liu-hiang menanggapi ocehan Ki Ping-yan, "Tuan putri dari kerajaan kaya-raya dari negeri terpencil, seorang tokoh silat kosen yang tersembunyi lagi, istri seperti ini dia tolak mentah-mentah, jangan heran bila kelak ia akan menyesal seumur hidup!"
Oh Thi-hoa melongo mendengar percakapan mereka.
Kata Coh Liu-hiang geleng kepala sambil beranjak keluar : "Tuan putri itulah yang harus dikasihi, setelah mendengar tolakannya ini betapa hatinya takkan pilu dan sedih?"
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Oh Thi-hoa menjerit.
"Kenapa harus berlambat-lambat, tidakkah lebih baik ia padamkan api cintanya?"
Oh Thi-hoa membusungkan dadanya, "Cukup berat aku mempertimbangkan, aku berkeputusan siap berkorban demi teman, siapa suruh kita punya ikatan teman puluhan tahun."
Coh Liu-hiang kedipkan matanya pada Ki Ping-yan, tapi mulutnya berkata keras : "Mana boleh begitu! Pernikahan merupakan urusan besar masa depan, kami sebagai teman baik mana tega membuat kau menjadi korban, biarlah aku kesana menolak pinangannya." lalu dia beranjak keluar pula.
Oh Thi-hoa lekas menariknya, katanya tertawa meringis : "Kecuali itu, masih...................."
Coh Liu-hiang sengaja pura-pura tak tahu : "Kau masih ada apa?"
Oh Thi-hoa mengelus batok kepalanya, katanya tersendat : "Kupikir punya bini tuan putri merepotkan, tapi jauh lebih enteng daripada berputar-putar ditengah gurun pasir tanpa tujuan tertentu, apalagi aku.......aku tak tega bila kita semua harus menderita dan bersedih hati," kalau dia berbicara setulus hati, orang lain justru hampir meledak perutnya saking geli.
Berkata Ki Ping-yan : "Sejak tadi sudah ku ketahui penyakitmu ini, arak suguhan tidak kau terima, malah ingin dihukum minum arak."
Terdengar seorang berkata dengan tertawa di luar kemah: "Arak suguhan atau arak hukuman segala" Cayhe hanya sedang menunggu arak kegirangan!"
Malam sudah larut, tapi setiap kemah masih terang benderang.
Ciok Tho tetap berdampingan dengan teman-teman untanya, dengan cermat dan teliti ia ladeni teman-temannya itu, agaknya bila dia sedang mengasuh dan menjaga orang lain baru bisa melupakan derita lahir batinnya sendiri. Saat ini, rombongan unta itu sudah terlelap dalam tidur nyenyak, tapi dia tetap duduk di sana termangu-mangu. Di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya, duduk seorang sebatang kara, seorang yang suka menyepi. Betapa rawan dingin dan memilukan keadaannya"
Tapi waktu itu sebetulnya dia bukan hanya seorang diri saja, tak jauh dari tempatnya ada seorang yang sedang mengawasinya dengan penuh perhatian, malah sudah sejak tadi dan tak bergerak sedikitpun. Sudah tentu Ciok Tho tidak merasa bila dirinya diperhatikan orang, tapi Coh Liu-hiang malah mengetahui, baru saja dia keluar dari kemah, lantas dilihatnya Ong Tiong sedang memperhatikan Ciok Tho.
Ong Tiong bahwasanya memang seorang tokoh yang misterius. Kenapa begitu besar perhatiannya terhadap seorang gembala yang sudah cacat" Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, ingin dia menghampiri, Ong Tiong sudah melihat dirinya dan cepat menyingkir, meronda ke tempat lain, Coh Liu-hiang masih ingin mengejarnya dan tanya persoalan yang sebenarnya. Baru beberapa langkah kakinya beranjak, tiba-tiba didengarnya tawa cekikikan yang nyaring merdu bagai kelintingan.
Kata sebuah suara semerdu kicauan burung kenari : "Bukankah kau sudah ingin tidur pagi"
Kenapa jadi orang kelayapan malam?"
Tanpa berpaling Coh Liu-hiang sudah tahu yang datang adalah Pipop-kongcu. Dia tertawa dipaksakan, sahutnya : "Orang yang kelayapan malam kukira bukan melulu Cayhe saja?"
"Orang lain aku tak perduli, tengah malam buta masa kau tidak tidur, apa mau ngintip orang mandi lagi?"
"Mungkin aku ada maksud demikian, tapi orang yang kelayapan malam sekarang terlalu banyak, lebih baik aku pergi tidur saja!" sejak tadi ia tak pernah berpaling, sembari bicara kakinya melangkah cepat ke depan.
"Hai..........kembali kau!" terdengar teriakan Pipop-kongcu.
Coh Liu-hiang menghela napas, apa boleh buat dia berhenti dan pelan-pelan berpaling.
Di bawah sinar bintang, jelas kelihatan kerlingan matanya laksana sungai perak, wajahnya yang molek kelihatan merengut, mulutnya cemberut ke arah Coh Liu-hiang, katanya : "Kutanya kau, kenapa kau tak hiraukan aku?"
"Cayhe masa tak hiraukan tuan putri" Cuma kalau toh tiada urusan, Cayhe ingin pergi tidur saja."
Semakin lebar biji mata Pipop-kongcu, "Siapa bilang tiada urusan, aku sedang mencarimu?"
Kain sari yang membelit badannya kelihatan begitu putih, seluruh anggota badannya seolah-olah tembus cahaya dan bening laksana kaca.
"Ada urusan apa tuan putri mencari aku?" tanyanya kemudian setelah menenangkan gejolak hatinya setelah terbayang adegan mandi yang mendebarkan itu.
"Aku cuma ingin tanya, kenapa orang panggil kau ulat busuk?"
Menghadapi kecantikan seorang gadis cantik laksana bidadari dari kahyangan ini, Coh Liu-hiang seperti kehabisan akal dan tak mampu mengontrol dirinya, sayang orang sudah bakal menjadi istri teman karibnya, kenapa pula orang justru mencari dirinya ditengah malam buta ini"
Sekuatnya Coh Liu-hiang menggosok hidungnya, sungguh dia kehabisan akal dan kata-kata untuk menerangkan.
Tapi kerlingan mata Pipop-kongcu tak kendor menatap mukanya, terpaksa Coh Liu-hiang menunduk, matanya justru melihat ujung kain sari yang melambai tertiup angin, serta sepasang kaki halus yang putih dan telanjang.
"Kutanya padamu, kenapa tidak kau jawab?" desak Pipop-kongcu.
Apa boleh buat Coh Liu-hiang menjawab : "Pertanyaanmu ini tidak seharusnya kau ajukan padaku, ya toh" Siapa yang panggil aku demikian, seharusnya kau tanya pada dia."
Pipop-kongcu berpikir dengan kepala melengak, agaknya dia belum meraba kemana maksud kata-kata Coh Liu-hiang, pada saat itulah kebetulan Go Ceng-thian buru-buru mendatangi, Coh Liu-hiang menarik napas lega, katanya tertawa: "Apakah tugas Go-heng sudah berhasil?"
"Cayhe sudah memberi laporan kepada Ongya, Ongya amat riang, meski beliau tahu kalian letih dalam perjalanan, tapi lantaran kesenangan, beliau undang kalian kesana untuk diajak mengobrol."
"Tak menjadi soal, hari-hari yang menggirangkan seperti ini, memangnya kita tidak bisa tidur,"
seperti sengaja tidak sengaja ia melirik ke arah Pipop-kongcu, tujuan kata-katanya sudah jelas.
Pipop-kongcu masih tidak mengerti, mulutnya malah monyong kepadanya, katanya tertawa:
"Perduli apapun ucapanmu, pertanyaan ini tetap akan kutanyakan, laripun kau takkan bisa,"
perlahan-lahan ia putar tubuh terus berlari seringan asap secepat angin.
Coh Liu-hiang menjublek di tempatnya, sungguh ia tidak paham apa maksud orang"
Terdengar Go Ceng-thian berkata : "Kalau demikian, Ongya sudah siapkan jamuan untuk makan minum semalam suntuk, silahkan kalian kesana, aku sicomblang ini sudah hampir patah kakiku, ayolah akupun sudah pingin minum arak."
Sinar lilin terang benderang didalam kemah, Pipop-kongcu duduk merapat disamping ayah bagindanya, menuang arak melihat Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa melangkah masuk segera ia unjuk senyum manis. Seketika merah jengah muka Oh Thi-hoa. Sungguh ia tak habis mengerti, seorang gadis yang sudah menjadi temanten masih berani unjuk muka di depan umum, lebih tak terduga olehnya calon istrinya jauh lebih berani dan wajar dari dirinya.
"Kalian sudah tiba, mari! mari!" sambut Kui-je-ong tertawa senang, "Hidangan masih hangat lekas duduk dan silahkan minum secangkir ini."
"Jangan duduk dulu," sela Go Ceng-thian tertawa, "calon menantu seharusnya menghadap dulu kepada mertua."
Ternyata Pipop-kongcu ikut cekikikan, timbrungnya : "Benar! Lekas berlutut dan menyembah!"
Mimpipun Oh Thi-hoa tidak pernah menyangka calon istrinya inipun berani berolok-olok dan menggoda dirinya, biasanya dia anggap muka sendiri setebal dinding, sekarang sudah merah seperti kepiting direbus. Coh Liu-hiang saling tukar pandang dengan Ki Ping-yan, dari sebelah belakang mereka dorong perlahan. Tanpa kuasa Oh Thi-hoa segera berlutut, mukanya merah mencapai kuping dan leher.
"Baik, baik, baik!" seru Kui-je-ong kegirangan sambil manggut. Beruntun tujuh delapan kali ia berseru memuji, lalu dari dalam kantong bajunya dia merogoh keluar sebutir jamrud sebesar burung dara yang berkilauan dan diangsurkan kepada Oh Thi-hoa, katanya pula tertawa: "Batu dari ujung langit sering membawa berkah besar, nah kau terimalah!"
Di bawah sinar api tampak jamrud sebesar itu seperti menggelinding kian kemari, cahayanya bergelombang berkunang-kunang, walau Oh Thi-hoa seorang kasar yang tak bisa menilai barang, toh dia lihat jamrud ini tentu amat berharga dan tak ternilai, katanya tersendat dengan muka merah
: "Anugerah sebesar ini, mana berani terima?"
"Pemberian dari bapak mertua sebagai hadiah pertemuan, jikalau tidak kau terima menandakan tidak tahu kehormatan, lekas kau terima saja." Coh Liu-hiang mendesaknya. Dia cukup ahli untuk menilai barang antik yang tak ternilai harganya, sekilas pandang ia lantas tahu itulah jamrut mata kucing yang harganya menyerupai sebuah kota, jelas tak lebih asor dari Ki-lohci-sing itu.
Secara royal dan sembarangan Kui-je-ong mau menyerahkan barang mestika yang begitu tinggi nilainya kepada orang, kenapa pula orang pandang jejak Ki-loh-ci-sing begitu penting dan genting" Lahirnya Coh Liu-hiang mengulum senyum, dalam hati justru sedang menimang-nimang.
Mendadak menyelinap masuk seorang gadis jelita dari sebelah belakang, langsung menjatuhkan diri berlutut dan berbicara seperti kicauan burung. Jawaban Kui-je-ong orang lainpun tidak mengerti. Akhirnya berkatalah Kui-je-ong dengan mengelus brewoknya.
"Penyakit permaisuri rada baikan, silahkan dia keluar duduk di sini."
Pek-hun-kian-hiap Go Pek-hun orang kedua dari dua bersaudara she Go berkata dengan tertawa," Apa permaisuri juga ingin keluar melihat calon menantunya?"
"Memang begitu, sudah lama dia rebah di atas ranjang karena penyakitnya, tak nyana karena mendengar kabar baik, dia malah bisa keluar, sungguh menggembirakan."
Ditengah gelak tawanya, tampak beberapa gadis berpakaian serba sutera sedang beranjak keluar memayang seorang perempuan setengah baya yang masih kelihatan ayu molek, pakaiannya memanjang ke tanah, rambutnya sedikit awut-awutan, sikapnya agung berwibawa.
Matanya rada sipit seperti habis bangun tidur, roman mukanya menunjukkan lemah semangat dan punya sakit lama, usianya sudah rada lanjut tapi kecantikannya masih membekas jelas. Tanpa sadar semua orang tertunduk kepalanya tiada satupun yang berani memandangnya dengan langsung.
Hanya Coh Liu-hiang yang berpendapat, Thian memberkahi sepasang mata kepadanya, jikalau tidak memanfaatkannya untuk menikmati yang ingin kau lihat, bukan saja menyia-nyiakan kebaikan yang Maha Kuasa, boleh dikata sedang menyiksa diri sendiri.
Dengan tertawa riang Pipop-kongcu menyongsong maju, Kui-je-ong pun berdiri menyambut, sentaknya: "Tidak lekas kau payang permaisuri untuk duduk, lekas.......tenda bagian luar kenapa tidak lekas ditutup?"
Kui-je-ong yang serba romantis dan suka foya-foya ini ternyata begitu kasih sayang terhadap permaisurinya, seperti kuatir orang terkena angin menambah berat penyakitnya. Dengan gerakan gemulai permaisuri duduk di tempatnya, walau duduk tak bergerak, tapi cuma kerlingan matanya saja, membuat orang yang dipandang segera tahan napas.
Langsung Pipop-kongcu tunding Oh Thi-hoa dan berkata pada ibunya : "Dia inilah!"
Seketika Oh Thi-hoa merasakan darahnya seperti mengalir naik ke atas kepala dan hampir meledakkan batok kepalanya.
"Baik, baik sekali!" ujar permaisuri dengan tertawa senang. Dimana sebelah tangannya bergerak, dari belakang segera maju seorang gadis yang membawa nampan dari batu jade, di atas nampan cahaya kemilau menyolok mata, entah barang-barang mestika apa saja yang ada di situ.
"Inilah pemberian ibundaku, terimalah." Kata Pipop-kongcu.
Kali ini bukan saja Oh Thi-hoa tidak berani menolak malah kata-kata sungkanpun tidak berani ia ucapkan.
Kui-je-ong angkat cangkirnya, katanya tertawa besar. Teman-teman agung duduk memenuhi meja, keluarga punya kerja, merupakan hari kebahagiaan kehidupan manusia, adakah sesuatu yang lebih menggirangkan dari persoalan jodoh! Mari! Mari! Silahkan kalian tenggak tiga ratus cangkir bersama Siao-ong.
Beramai-ramai semua hadirin angkat cangkir masing-masing dan minum sepuasnya, suasana riang gembira menghayati hati semua hadirin, cuma Oh Thi-hoa seorang yang amat mendelu, biasanya ia paling kesetanan melihat arak, tapi seperti pengantin yang malu-malu saja menghadapi arak, kepalapun tak berani diangkat.
Pepatah ada bilang "Ibu mertua menilai menantu, semakin dipandang semakin menarik"
Tapi mata permaisuri seperti sengaja tak sengaja sering melirik kepada Coh Liu-hiang, dia cuma mencicipi dua tegak arak saja, lalu berdiri dan berseri tawa, katanya: "Semoga kalian makan minum riang gembira, badanku kurang sehat, maaf aku mengundurkan diri terlebih dahulu." Coh Liu-hiang mengantar punggung orang keluar, ternyata iapun terlongong tak bergerak.
Ki Ping-yan berbisik kepadanya : "Perempuan lain kau tidak minat, ingat itu permaisuri orang, jangan sekali-kali kau bikin pikiranmu butek."
Coh Liu-hiang menyeringai geli, ingin ia mendebat tapi mulut tetap terkancing.
Didengarnya Go Ceng-thian tiba-tiba berkata : "Mana Toh Tayhiap itu?"
"Agaknya dia tak tertarik lagi." sahut Kui-je-ong, "Meski Siao-ong berusaha menahannya makan malam, segera dia berlalu sungguh menjengkelkan Suton Liu-che tahu-tahu ikut menghilang tanpa pamit."
Masih ada Ong-heng itu, kemana dia" Tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini berwatak aneh," sahut Go Pek-hun, sudah berulang kali kupanggil dia, tapi dia tak mau hiraukan undanganku.
Orang ini tak datang malah kebetulan, dia tahu Siao-ong sedang mencari pembantu yang berkepandaian tinggi, dia datang sendiri tanpa kuundang, tapi tindak tanduknya main sembunyi-sembunyi, Siao-ong tak berani percaya kepadanya, setelah mencuci tenggorokannya dengan arak, tawanya semakin lebar, katanya lebih lanjut: "Tapi semua yang hadir di sini ku anggap orang sendiri, Siao-ong punya isi hati yang ingin kulimpahkan kepada kalian, ingin kupinjam suasana yang riang gembira ini, dan setelah kujelaskan harap kalian suka menyimpan rahasia ini."
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sekilas bertukar pandang, dalam hati sama berpikir :" Ternyata memang ada variasinya, arak ini jadi kurang sedap diminum."
Dua saudara she Go berkata bersama : "Silahkan Ongya katakan saja, kami bersaudara pasti tutup mulut."
Pandangan Kui-je-ong tertuju pada Coh Liu-hiang bertiga, Coh Liu-hiang lantas angkat bicara,
"Teman baik menantu raja, mana berani berkhianat pada baginda."
"Ya, ya! Siao-ong memang terlalu banyak curiga, mendadak ia hentikan tawanya, katanya dengan nada berat. Kuharap kalian suka memaklumi keadaan Siao-ong sekarang ini. Sejak menteriku memberontak, terpaksa Siao-ong harus hidup dalam perantauan, menghadapi setiap persoalan, mau tidak mau aku harus bertindak hati-hati."
Kembali Coh Liu-hiang bertukar pandang dengan Ki Ping-yan, batinnya : "Rekaan kami ternyata tidak meleset, Negeri Kui-je ternyata direbut orang, bahwa dia menarik kaum persilatan sebanyak mungkin, agaknya untuk melindungi jiwanya."
Terdengar Kui-je-ong melanjutkan dengan penuh penasaran. "Walau Siao-ong keluyuran di luar, tapi hatiku berada didalam negeri, sudah tentu pembesar pemberontak sama tahu hatiku, maka mereka selalu berusaha mendesak melenyapkan jiwa Siao-ong. Selama satu tahun ini, Siao-ong berulang kali menghadapi mara bahaya, malah yang datang melakukan pembunuhan bukan lagi busu-busu dari negeriku sendiri, melainkan pembunuh-pembunuh kejam yang diundang dari Tionggoan oleh kaum pemberontak itu."
Go Ceng-thian kelihatan tegang, katanya : "Siapa saja orang-orang yang berani meluruk datang itu?"
"Bagaimana jejak kaum pendekar Tionggoan, Siao-ong tidak begitu jelas, cuma aku tahu satu diantaranya bergelar Sin-to-bu-tik "Golok Sakti Tanpa Tandingan" masih ada seorang lagi bernama Pat-pi-na-lo."
Go Ceng-thian menghela napas lega, katanya jumawa : "Ongya tak usah kuatir, jangan kata ada Oh-heng tiga bersaudara disini, mengandal kami bersaudara, orang-orang itu jangan harap bisa melukai seujung rambut Ongya."
"Tapi menurut apa yang Siao-ong ketahui, kaum pemberontak kembali mengundang empat-lima jago-jago silat tinggi, khabarnya satu diantaranya memiliki ilmu pedang yang tinggi, boleh dikata tiada bandingannya di seluruh jagat."
Go Ceng-thian jadi tegang lagi, tanyanya : "Apakah Ongya sudah tahu siapa nama-nama mereka?"
"Siao-ong hanya tahu empat orang diantaranya tujuh hari yang lalu sudah tiba di daerah sekitar sini, tokoh yang terlihay itu jejaknya tidak menentu dan misterius."
"Darimana Ongya dapatkan kabar ini?" tanya Go Pek-hun.
"Walau Siao-ong gelandangan di luar jauh dari sanak kandang, tapi didalam istana masih ada menteri-menteriku yang setia, mereka secara diam-diam memberi kabar kepadaku."
Mendadak Oh Thi-hoa menyela dengan suara keras : "Peduli berapa lihay orang-orang itu, asal mereka berani datang kemari, jangan harap bisa pulang dengan hidup," belum habis kata-katanya, Pipop-kongcu sudah mengerling ke arahnya dengan senyuman penuh arti. Seketika merah pula selebar mukanya.
"Ya! Ya! Ada kalian di sini, apa pula yang kutakutkan, cuma .........., Siao-ong rada curiga bukan mustahil orang she Oh itu adalah salah satu pembunuh yang menyelundup kemari."
"Benar, orang ini sembunyi kepala memperlihatkan ekor, jejaknya memang mencurigakan,"
kata Go Pek-hun prihatin.
Jikalau benar-benar pembunuh yang menyelundup kemari, malah bisa bersikap terus terang untuk menghindari curiga orang, mimik wajah kurang wajar malah bisa menunjukkan hatinya, demikian ujar Coh Liu-hiang.
"Benar," Kui-je-ong tepuk tangan, "Pandangan tuan memang tajam, Siao-ong hampir saja menyalahkan orang baik-baik, cuma......" seri tawanya hilang, berganti mimik kaku, katanya pula :
"Kecuali itu, Siao-ong masih ada urusan lain."
"Ongya masih ada urusan apa?" tanya Go Ceng-thian.
"Pernahkan kalian mendengar nama Ki-loh-ci-sing?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang bertiga, persoalan ini sejak mula memang sudah dalam dugaan mereka.
"Cayhe belum pernah dengar!" kata Go Ceng-thian.
Ki-loh-ci-sing adalah sebuah jamrut yang lebih mahal dari sebuah kota. Siao-ong sebetulnya minta bantuan Peng-bun-ngo-hou mengantarnya."
Apakah keturunan dari perguruan Ngo-bun-toan-bun-to itu" tanya Go Pek-hun.
Kui-je-ong manggut-manggut sambil mengiakan.
"Kelima bersaudara ini terhitung tokoh kosen kelas satu dalam Bulim, Pek-kek-piau-kiok namanya lebih terkenal, selamanya tak pernah gagal, jikalau Ongya menyerahkan barang dalam perlindungan mereka, bolehlah tidur nyenyak, makan kenyang, tak usah kuatir."
"Siao-ong tahu mereka boleh dipercaya, maka berani aku berikan tanggung jawab yang berat ini kepada mereka, tak nyana kelima bersaudara ini kini sudah ajal semua, Ki-loh-ci-sing sudah tentu sudah terjatuh ke tangan orang lain."
"Apakah berita ini boleh dipercaya?" tanya Go Ceng-thian kaget.
"Takkan salah, anak buahku sudah menemukan jenazah mereka."
Seketika guram muka bersaudara she Go, orang yang mampu membunuh Peng-keh-ngo-hou sekaligus, sekali-kali mereka tidak akan kuat melawannya.
Apa Ongya ingin supaya kami pergi merebut Ki-loh-ci-sing itu" tanya Coh Liu-hiang.
"Siao-ong tak punya maksud demikian."
Coh Liu-hiang tertegun malah mendapat jawaban ini, tanyanya pula : "Maksud Ongya adalah......."
"Terus terang, orang yang merebut Ki-loh-ci-sing itu, barusan sudah memberi kabar kepada Siao-ong,"
"Dimana orang yang memberi kabar itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menurut laporan anak buahku, ginkang orang itu amat tinggi laksana bayangan setan, setelah menyerahkan sepucuk surat, bayangannya segera menghilang tanpa bekas."
"Kalau demikian, dimana surat itu?"
"Ada disini."
Surat ini hanya bertulisan beberapa huruf kata saja yang berbunyi :
"Ki-loh-ci-sing sudah menjadi milikku, jikalau ingin minta kembali, tiga hari kemudian tepat tengah hari, antarkan lima ratus tail uang emas, lima ratus butir mutiara, gelang pualam lima puluh pasang, lima puluh li setelah ke arah barat, akan datang seseorang yang membawa Ki-loh-ci-sing mengadakan pertukaran, kalau mutiara ada yang guram, gelang pualam ada yang palsu, dengan setulus hati Ki-loh-ci-sing selamanya takkan kukembalikan."
Sudah tentu surat ini tiada tanda tangan, hanya ada lukisan sebuah patung Koan-im yang punya seribu tangan seribu mata.
"Hanya sebutir jamrut sebesar itu, apakah mempunyai nilai sedemikian banyak" Apa orang itu tidak gila?" seru Go Ceng-thian.
"Dia sih tidak gila," sahut Kui-je-ong.
"Masakan Ongya sudah terima persyaratan itu?"
"Ya."
Dingin tengkuk Go Pek-hun, mulutnya menggumam : "Sebetulnya Cayhe beramai dengan senang hati suka merebut balik batu permata itu bagi Ongya."
Upah yang besar tentu ada orang yang memberanikan diri. Kalau Kui-je-ong suka memberikan harta benda senilai sebuah kota kepada orang lain, sudah tentu nyalinya seketika bangkit berkobar-kobar.
Kui-je-ong malah menghela napas, katanya : "Bukan Siao-ong tak percaya kemampuan kalian, kuatirnya bila diketahui orang itu, dan orang itu membawa lari mestika itu, betapa besar dunia ini, kemana Siao-ong harus mencari dia." Ia merandek sebentar lalu menyambung, "Oleh karena itu Siao-ong lebih senang kehilangan harta benda, asal Ki-loh-ci-sing dapat kuminta balik."
"Jadi maksud Ongya supaya tiga hari lagi kami bertiga pergi mengantar barang-barang yang diminta itu untuk ditukar dengan Ki-loh-ci-sing?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, Siao-ong ada minat menepati janji tapi aku kuatir pula, setelah mereka menerima harta bendaku ini, lalu mengingkari janji, maka jikalau kalian sudi membantu kesulitanku ini, Siao-ong akan lega dan terhibur."
"Dengan suka rela kami beramai suka bekerja, Ongya tak usah kuatir," Coh Liu-hiang memberikan janjinya.
Ki Ping-yan tiba-tiba menyelutuk: "Menurut pandanganku, bila Ongya benar-benar mengantar barang-barang yang diminta itu, mereka mungkin tak mau tukar barang."
"Kenapa?" berubah air muka Kui-je-ong.
"Kalau mereka melihat Ongya mau menukar dengan harta benda sebanyak itu, tentunya mereka bisa membayangkan bahwa nilai Ki-loh-ci-sing amat tinggi daripada barang-barang itu, dengan sendirinya syarat yang mereka ajukanpun bisa berubah lebih tinggi bukan."
Mereka pasti takkan berbuat demikian! Kata Kui-je-ong yakin setelah berpikir sebentar.
"Masa ya?"
Dalam pandangan Siao-ong, Ki-loh-ci-sing amat tinggi, tapi kalau berada ditangan mereka paling-paling hanya senilai lima ribu tail emas, kalau toh mereka sudah kelebihan terima lima ratus biji mutiara dan lima puluh pasang gelang pualam, masakah mereka mau merubah tujuan semula?"
Bersinar mata Ki Ping-yan, tanyanya langsung: "Kenapa pula Ongya sendiri justru menilai Kiloh-ci-sing itu sedemikian tinggi?"
"Sudah tentu ini merupakan rahasia, rahasia ini di seluruh kolong langit ini hanya Siao-ong saja yang tahu."
Ki Ping-yan tak bertanya lebih lanjut, suasana kemah seketika sirap dan hening lelap. Dari luar kemah tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari ringkik kuda dan keluhan unta, seolah-olah mereka harus dikasihani.
Ki Ping-yan tiba-tiba berdiri, katanya: "Biar aku keluar melihatnya."
Ringkik yang menyayatkan hati ini, seketika membuat hati semua orang lebih mendelu.
Cangkir emas sudah terangkat ditangan Kui-je-ong tapi sekian lamanya ia seperti segan menenggak habis araknya.
Go Pek-hun tak tahan dan ikut berdiri, katanya sambil mengerut kening: "Unta dan kuda menjerit-jerit, mungkin terjadi apa-apa diluar?" Dengan langkah tergopoh-gopoh ia berlari keluar, kebetulan berpapasan dengan Ki Ping-yan yang beranjak masuk.
"Apa yang terjadi di luar?" tanya Go Pek-hun.
"Tiada apa-apa," sahut Ki Ping-yan dengan muka membesi hijau.
"Kalau tak apa-apa, kenapa kuda dan unta begitu ribut?"
"Itulah karena mereka baru saja kehilangan satu kawan."
"Kawan?" Go Pek-hun melengak, "Binatang juga punya kawan?"
"Ada manusia yang lebih rendah dari binatang , diapun punya kawan, benar tidak?" Tanpa memperdulikan Go Pek-hun, Ki Ping-yan ke tempat duduknya. Kecuali Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, kepada siapapun ia tidak menghiraukan, apalagi sekarang hatinya sedang murung.
Coh Liu-hiang sudah maju mendekat, tanyanya berbisik : "Maksudmu Ciok Tho?"
"Em!" semakin kaku muka Ki Ping-yan.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Coh Liu-hiang tegang.
"Dia tinggal pergi."
"Pergi betul-betul?"
"Bukan Ciok Tho saja, Ong Thiong pun ikut pergi."
"Kukira demikian."
"Kau tidak mengejarnya?"
"Tidak perlu dikejar."
"Kenapa?"
Ciok Tho mau ikut dia pergi tentu ada latar belakangnya, meski kita menyandaknya, dia belum tentu mau kembali, apalagi pernah aku berjanji kepadanya, bila ia mau pergi, aku tidak akan merintanginya.
"Sungguh manusia aneh, benarkah sampai sekarang kau masih belum tahu asal usulnya."
"Em!"
Teringat sikap dan mimik Ong Thiong waktu memperhatikan Ciok Tho, berkerut alis Coh Liu-hiang, "Asal-usul Ong Thiong itu tentunya amat misterius, coba pikir, apa tak mungkin kedua orang ini sebelumnya memang sudah pernah kenal?"
Ki Ping-yan malah berpaling kearah lain, seolah tidak mendengar kata-katanya, Coh Liu-hiang tahu kalau orang bersikap demikian, itu pertanda percakapan sudah berakhir.
Disini mereka berbisik-bisik bicara, di sana Kui-je-ong menarik Oh Thi-hoa tanya ini tanya itu, cuma sorot mata Pipop-kongcu tak pernah beralih dari badan Coh Liu-hiang.
Akhirnya berkata Coh Liu-hiang : "Kami beramai sudah cukup kenyang dan puas, Ongya juga perlu segera istirahat." Baru saja ia berusaha mengakhiri perjamuan tengah malam ini, siapa tahu pada waktu itu juga keadaan di luar mendadak menjadi ribut ringkik kuda, derap langkah dan jeritan orang campur aduk. Disusul orang banyak berteriak-teriak : "Api! Api! Lekas tolong ada orang melepas api!"
Berubah air muka Kui-je-ong : "Mungkin ada pembunuh lagi" Ka.......kali.......an lekas keluar memeriksa," belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah lompat bangun dan menerjang keluar.
Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, baru saja dia hendak bilang : "Jangan kena tipu memancing harimau meninggalkan sarang." Siapa tahu tanpa ayal Ki Ping-yan sudah tarik tangannya ikut memburu keluar. Keadaan di luar tidak segaduh yang mereka bayangkan. Anak buah Kui-je-ong agaknya adalah busu-busu pilihan dan gemblengan, menghadapi perubahan mendadak, sedikitpun mereka tidak menjadi gugup. Tapi api yang timbul di berbagai tempat memang tidak kecil, pohon-pohon dan perkemahan para busu banyak yang terjilat api, kuda dan unta dalam kandangpun ada yang lepas.
Tatkala itu kebanyakan busu-busu itu repot memadamkan api, cuma sedikit yang mengejar dan menangkap pulang unta dan kuda, perkemahan tempat tinggal Kui-je-ong jadi tiada penjagaan.
Ki Ping-yan menerjang maju, menarik seseorang, tanyanya bengis : "Dimana kawanan busu yang menjaga perkemahan Ongya?"
Busu ini melototkan mata, mukanya gugup dan gelisah, ternyata dia tidak paham ucapan Ki Ping-yan. Untung seorang lain segera memburu maju dan menjawab dengan hormat : "Hamba beramai tahu dalam kamar Ongya banyak jago lihai dan cukup berkelebihan untuk melindungi Ongya."
Pelan-pelan Ki Ping-yan lepas tangan, jengeknya dingin : "Baik sekali tipu memancing harimau meninggalkan sarang ini."
"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tarik aku keluar! "Omel Coh Liu-hiang.
"Kutarik kau keluar memang ku sengaja, untuk membiarkan mereka memainkan sandiwara."
"Maksudmu Go................"
Kalian hanya memperhatikan permaisuri dan putrinya, sebaliknya aku tidak.
"Jadi sekarang.............."
Aku pergi cari Siao-ong, pergilah kau melihat sandiwara itu, badannya bergerak sebat sekali, sekali berkelebat laksana anak panah meluncur ke depan.
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, setelah memutar sebuah lingkaran besar barulah dia kembali ke kemah Kui-je-ong, langsung dia melayang ke puncak kemah dimana terdapat lubang angin. Ditempat ketinggian ini dengan jelas Coh Liu-hiang ikuti kejadian didalam kemah.
Dilihatnya Kui-je-ong masih memegangi cangkir araknya tapi araknya sudah bercecer keluar karena tangannya gemetar hebat. Pipop-kongcu duduk memeluk ayah bagindanya. Kedua saudara Go itu, satu berdiri diambang pintu melongok keluar, satu lagi berjaga disampingnya.
Go Pek-hun tiba-tiba berpaling, katanya : "Semua sudah pergi jauh."
Go Ceng-thian tersenyum lebar : "Sret" ia loloskan pedangnya.
Kata Kui-je-ong gemetar : "Kalian sekali-kali jangan turun tangan, Siao-ong..." belum habis ia bicara ujung pedang yang kemilau tahu-tahu sudah mengancam di depan hidungnya. Keruan Kui-je-ong kaget dan ketakutan, serunya : "Kau........, apa yang kau lakukan?"
Go Ceng-thian menyengir sadis. Tidak apa-apa cuma ingin memenggal batok kepalamu.
"Siao-ong undang kalian dengan bayaran tinggi, kenapa kalian malah mengancamku?"
"Bayaran tinggi" Berapa uang yang kau berikan pada kami?"
"Bukankah selaksa tail?"
"Tapi musuhmu memberi dua laksa tail"
"Kalian dijuluki sebagai pendekar, kenapa.......kenapa melihat harta lantas lupa harga diri?"
"Pendekar" Berapa sih harganya pendekar?" Go Ceng-thian tertawa tergelak-gelak, "Kau sudah menjelang ajal, biar kuberi peringatan padamu, manusia yang bisa dibeli dengan uang, dia bukanlah pendekar. Orang yang dapat kau beli, orang lainpun berani membeli dengan harga lebih tinggi."
"Kalau demikian, memang mata Siao-ong yang picak."
"Memang matamu picak, bicara terus terang, kabar yang kau katakan tadi kurang tepat, kali ini kami bukan empat orang tapi enam orang."
"Ma.....masih empat lagi yang lain" dimana?"
"Sudah tentu mereka sudah tiba semua, coba kau terka siapa yang membawa mereka?"
Pipop-kongcu tiba-tiba menimbrung : "Apakah Toa Hoan?"
"Benar," ujar Go Ceng-thian, "kau memang lebih cerdik dari bapakmu, aku jadi merasa tak tega membunuhmu."
Go Pek-han mengerutkan alis, katanya : "Waktu amat mendesak, kau ngobrol apa" Kalau ada orang kemari, apakah kau mau pahalanya direbut orang lain?"
Benar, aku hampir lupa memberi tahu kepadamu, kepalamu ini berharga lima ratus tail.
Dimana ia gentakkan tangan, ujung pedangnya segera memenggal kepala Kui-je-ong.
Coh Liu-hiang belum mau turun tangan, hatinya cukup tetap dan tenang, ia tahu tak perlu dirinya ikut campur, batok kepala Kui-je-ong takkan terpenggal. Benar juga terdengar "Ting" , pedang panjang Go Ceng-thian tahu-tahu tersampok miring, hampir saja terlepas dari tangannya.
Entah kapan, tahu-tahu Pipop-kongcu sudah memegang rebabnya itu, katanya dingin : "Hanya mengandalkan kau, ingin mengambil kepala ayah baginda, orang-orang yang mendahului kau sudah sejak dulu berhasil."
Tersirap darah Go Pek-hun, katanya : "Kepandaian budak ini tidak lemah, rombongan orang-orang yang mendahului kita mungkin sudah terjungkal ditangannya."
Go Ceng-thian kertak gigi, bentaknya : "Kau tetap jaga pintu, seorang diri aku cukup menghadapi dia." Sinar pedangnya berkelebat, kembali ia menubruk maju.
"Apa kau cukup mampu menghadapi aku?" cemooh Pipop-kongcu. Rebabnya tak pernah bergerak, tapi belum habis kata-katanya, dari ujung rebabnya itu tiba-tiba menyembur keluar setabir jarum-jarum perak, begitu banyak jarum-jarum itu, seperti hujan menyambar, entah berapa banyak jumlahnya.
Saking terkejutnya, lekas Go Ceng-thian putar pedangnya sekencang mungkin untuk melindungi badan. Yu-liong-kiam-hoat yang punya enam puluh empat jurus itu memang terkenal kelincahan dan kehebatannya untuk mempertahankan diri, tapi betapapun rapat permainan pedangnya, jarum-jarum perak itu menyambar lebih rapat lagi.
Terdengar jeritan yang menyayatkan hati, pedang melesat naik ke udara, Go Ceng-thian dekap mukanya dengan kedua tangannya, darah segar meleleh dari sela-sela jari tangannya, mulutnya melolong kesakitan dengan pilu : "Senjata rahasia teramat jahat!" belum selesai kata-katanya badannya sudah roboh terjerembab.
Pipop-kongcu menghela napas, katanya : "Senjata rahasia beracun yang jahat, memang khusus digunakan untuk menghadapi manusia-manusia jahat seperti kalian."
Sementara itu dengan mata melotot marah, Go Pek-hun sudah menubruk maju dengan menarik sebuah kasur duduk sebagai tameng ditangan kiri, pedang ditangan kanan menusuk tujuh jurus dengan tipu-tipu mematikan.
Kelihatannya Pipop-kongcu tak kuasa bertahan, dia terdesak mundur berulang-ulang.
"Gadis busuk," maki Go Pek-hun penuh kebencian, "Masih punya cara keji apa kau" Kenapa tidak kau gunakan?"
Pipop-kongcu mundur terdesak mepet cagak kemah dan tak mungkin mundur lagi, tetapi roman mukanya tetap mengulum senyuman manis, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Sementara Kui-je-ong sudah mengkeret dipojokan sana, teriaknya : "Lekas, lekas turun tangan! Nyalimu besar, nyali bapakmu kecil!"
Tawa Pipop-kongcu semerdu kelintingan, serunya : "Aku hanya ingin berkenalan dengan Yu-liong-kiam mereka, kau orang tua minta aku turun tangan, baiklah aku mulai! "Dengan kedua tangan ia mengangkat rebabnya memapak keatas, "Reng" kembang api berpercikan, pedang panjang kembali terpental.
Go Pek-hun menyeringai buas, serunya : "Keparat, ternyata rebab besi!"
Rebab memang dibuat dari besi murni, beratnya luar biasa, meski orang yang punya tenaga besar, sukar memainkan seenteng pedang, terpaksa Pipop-kongcu harus menggunakan kedua tangannya untuk mengangkatnya. Go Pek-hun cukup maklum permainan orang takkan lincah dan gesit, maka sedikitpun ia tidak gentar, pedang dimainkan lebih gencar, kembali ia menubruk maju, cuma kali ini dia tak berani mengadu kekerasan.
Tampaknya dengan rebabnya Pipop-kongcu tetap melayaninya dengan mantap dan tenang, jurus-jurus permainan rebabnya amat aneh dan lain, malah cukup cepat juga. Karena rebab ini terlalu besar, sedikit tangannya bergerak, perubahan rebab menjadi tak menentu banyaknya dan yang aneh, setiap jurus permainannya tetap bertahan dengan rapat.
Dengan kedua tangan memegangi rebab, untuk melukai musuh tentulah sulit, meski sudah banyak pengalaman Coh Liu-hiang, namun belum pernah terpikir olehnya, dengan kedua tangan memegang satu senjata, untuk melawan musuh dengan sama kuat, terutama jurus-jurus permainan seaneh ini belum pernah dilihatnya. Dia sendiri seolah-olah sudah mengikat mati kedua tangannya, meski amat rapat dan kuat pertahanannya, terang dirinya takkan bisa mencapai kemenangan.
Go Pek-hun juga merasa heran, setelah beberapa jurus berlalu, nyalinya bertambah besar, serangannya lebih gencar, belakangan dia malah berani mendesak musuh, pikirnya harus berani nyerempet bahaya untuk memperoleh kemenangan.
Siapa tahu, tepat pada waktu itu, tiba-tiba tampak sinar perak berkelebat.
Tahu-tahu kedua tangan Pipop-kongcu terkembang dikedua sampingnya, bagian lekuk dari rebab itu tahu-tahu melesat keluar sebuah belati yang berkilauan dan tiba-tiba menusuk amblas ke dalam perut Go Pek-hun.
Pedang Go Pek-hun terlempar lepas, dengan sempoyongan badannya roboh terkapar, matanya menyorotkan penasaran, sampai mati dia masih belum paham cara bagaimana kena dibunuh oleh lawannya.
Menghadapi badan orang yang roboh pelan-pelan, Pipop-kongcu berkata pelan-pelan :
"Senjataku ini memang teramat aneh, ganas dan keji, kenapa kau justru mendesak aku menggunakannya?"
Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa getir ditempat persembunyiannya, Lwekang Pipop-kongcu kelihatannya tidak begitu tinggi, permainan jurus silatnya yang dipelajaripun tak banyak, setiap jurusnya masih kelihatan kaku sederhana, kejam, telengas dan bermanfaat.


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh tak habis pikir otak Coh Liu-hiang, entah darimana orang mempelajari kepandaian seaneh itu, seorang gadis kecil mempelajari ilmu silat begitu lucu, bukan suatu hal yang patut dibuat senang.
Kui-je-ong sudah berdiri, sambil mencari arak dan berteriak : "Lekas! Lekas suruh orang menggotong kedua mayat ini, aku takut melihat orang mati."
"Setelah membunuh orang, kaki tanganku jadi lemas," ujar Pipop-kongcu. Badannya masih menempel kain kemah, tepat pada saat itulah sekonyong-konyong dua tangan orang tiba-tiba melesat masuk melalui kain kemah secepat kilat dan berhasil menelikung kedua tangan Pipop-kongcu.
Saking terkejutnya, cangkir ditangan Kui-je-ong yang baru dipegangnya seketika mencelat jatuh pula. Terdengar blak bluk dua kali, dua orang tahu-tahu sudah merobek kemah dan menerjang masuk.
Kedua orang ini bermuka pucat pias, pakaiannya serba hitam. Orang di sebelah kanan adalah Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, tangan kirinya dengan kencang mencengkeram lengan Pipop-kongcu, sementara tangan kanan diperban dan digantung oleh kain panjang dari lehernya.
Orang di sebelah kiri berbadan kurus kering, sebaliknya kepalanya seperti melesak masuk ke dalam lehernya, tapi sepasang matanya justru berkilat terang sebuas mata orang hutan yang kelaparan.
Kedua lengan Pipop-kongcu seperti terjepit oleh dua jepitan besi, saking kesakitan hampir saja matanya melelehkan air mata, tapi dia kertak gigi, mengeluhpun tidak.
Bergetar suara Kui-je-ong : "Ka.....kalian ingin memenggal kepala Siao-ong boleh kuberikan tapi lekas lepaskan putriku."
Toh Hoan terloroh-loroh katanya : "Masa kau belum pernah dengar nama burukku" Jikalau tuanmu bisa membunuh dua orang, takkan satu yang ketinggalan hidup."
Laki-laki kurus seperti kera itu mengerutkan kening, katanya : "Mau bunuh lekas bunuh, cerewet apalagi!"
Agaknya Toh Hoan rada jeri terhadap orang ini, katanya tertawa kering : "Sun-heng hendak turun tangan" Atau Siaute yang turun tangan?"
"Kalau hobimu memang membunuh orang biar kau saja yang turun tangan!"
"Terima kasih, terima kasih............." Toh Hoan tertawa besar .
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berkata perlahan-lahan : "Kedua orang ini mana boleh kalian bunuh."
Ditengah kumandang suaranya, sesosok bayangan orang melayang turun dari langit-langit kemah, kelihatannya tidak menggunakan gaya apa-apa, tapi waktu melayang turun sekujur badannya seringan kapas melayang ditengah udara, sedikitpun tak mengeluarkan suara waktu kakinya menyentuh tanah.
Kecuali Coh Liu-hiang si maling romantis, siapa pula yang memiliki ilmu Ginkang setinggi itu"
Laki-laki baju hitam itu, semula bersikap takabur dan congkak, mimiknya seolah-olah tiada orang lain dihadapannya, tapi setelah melihat bayangan orang, seketika ia terkejut melongo, jari-jari tangannya yang terkepal kencang tadi mengendor sama sekali.
Dengan mengawasi orang Coh Liu-hiang tersenyum simpul, katanya : "Sun-kausu masih kau kenal padaku?"
Kiranya laki-laki baju hitam ini adalah ahli waris tunggal dari Tiang-pek-kau-cun "Rombongan kera dari Tiang-pek-san" , seorang yang amat keras dan tangan telengas diantara sekian banyak gembong-gembong persilatan yang lalim dan kejam, sampaipun Tiang-pek-kiam-pay merasa pusing menghadapi Hek-kau Sun Khong ini, Si Kera Hitam.
Kalau biasanya dia bikin orang pusing kepala, tapi sekarang dia sendiri yang merasa kepalanya puyeng, sekian lama dia menjublek tanpa kuasa bersuara. Semula Toh Hoan masih unjuk wibawa, namun melihat sikapnya ini seketika terkancing mulutnya.
Berkata Coh Liu-hiang tertawa: "Manusia seperti tampangmu ini berani juga kemari menjadi pembunuh bayaran, memangnya kau tidak merasa malu?"
Hek-kau, Sikera Hitam Sun Khong tiba-tiba membanting kaki, katanya dengan suara sumbang
: "Kalau aku tahu kau berada di sini, meski leherku digorok juga, aku takkan kemari."
"Terhitung kau masih punya nurani." puji Coh Lu-hiang.
Setelah melongo sesaat lagi, akhirnya Hek-kau menghela napas, tanpa banyak cincong segera ia berlalu.
Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, sitangan keji tak kenal kasihan, segera berseru : "Kau hendak pergi begini saja?"
Sun Khong mendadak membalikan badan, jengeknya sinis : "Memangnya aku tak boleh pergi?"
"Siapakah bocah ini?" tanya Toh Hoan aseran, "Kenapa Sun-heng begitu takut padanya?"
Sun Khong memelototi matanya, katanya menyeringai sadis : "Kau berani menganggapnya sebagai bocah" Mengandal apa kau berani tanya dia" Hem!" berbareng dengan gerengannya, sebuah tangan hitam laksana kaitan besi tahu-tahu berkelebat laksana kilat, sebelum Toh Hoan sadar dan hendak berkelit, mulutnya sudah menjerit keras dan sempoyongan. Tahu-tahu dadanya sudah berlobang besar dan menyemburkan darah.
Sun Khong membersihkan jari-jari tangannya yang berlepotan darah dengan bajunya, sekali tendang ia bikin badan orang terbang jauh keluar kemah, seperti tak terjadi apa-apa, kedua tangannya digosok-gosok, katanya tertawa pada Coh Liu-hiang: "aku tahu kau tak pernah membunuh orang, tapi kutinggalkan dia di sini juga membawa kesulitan, terpaksa kubunuh saja dia." belum habis kata-katanya, tanpa menoleh dia tinggal pergi.
Semula Kui-je-ong masih hendak meringkusnya, tapi mukanya sudah pucat ketakutan, setelah musuh berlalu barulah Kui-je-ong memuntahkan isi perutnya, serunya sambil pejamkan mata :
"Lekas, bersihkan semua mayat-mayat itu!"
Sekonyong-konyong Sun Khong melongokkan kepalanya pula dari luar, katanya : "Hampir aku lupa memberitahumu, karena aku berhutang budi padamu, begitu melihat mukamu segera aku berlalu. Tapi masih ada sepuluh kali lebih hebat dari aku akan kemari secepat mungkin, kau harus hati-hati."
"Selamanya aku amat hati-hati, cuma siapa pula tokoh yang lihai itu?" ujar Coh Liu-hiang tertawa.
Sun Khong tertawa meringis, sahutnya : "Begitu aku menyebut namanya, kepalaku pusing tujuh keliling, lebih baik tak kukatakan, sayang segera aku harus berlalu, kalau tidak bisa melihat pertarungan kalian, wah, tentu amat hebat dan menarik." Kali ini dia berlalu lebih cepat, kata-kata terakhir diucapkan sepuluhan tombak jauhnya.
Mendadak Pipop-kongcu memburu kedepan Coh Liu-hiang, teriaknya sambil menarik tangannya : "Siapakah sebetulnya kau ini" Sampaipun aku , kau tidak mau memberitahu?"
Coh Liu-hiang lepaskan tangannya dari cekalan orang, sahutnya tertawa : "Aku bukan siapa-siapa, aku ini bukan lain adalah ulat busuk!"
Pada saat itu juga dari luar kumandang gemboran Oh Thi-hoa : "Ulat busuk, tiada kejadian apa-apa di tempatmu?"
Pipop-kongcu masih merengek-rengek, katanya tertawa kepada Coh Liu-hiang: "Benar, aku memang ingin tanya kau, kenapa dia selalu panggil kau ulat busuk!"
Sungguh tak enak bagi Coh Liu-hiang bicara berhadapan dengan gadis sambil merengut, tapi sekarang terpaksa dia harus menarik muka, kalau tidak dia merasa bersalah terhadap Oh Thi-hoa.
Katanya : "Julukan ini diberikan oleh calon suamimu, kenapa tidak kau tanya padanya?"
Pipop-kongcu seperti tertegun sebentar, kebetulan Oh Thi-hoa bersama Ki Ping-yan melangkah masuk, sekali menyapu pandang, Ki Ping-yan lantas tersenyum, katanya :
"Bagaimana" Baik tidak sandiwaranya?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya : "Kalian kelihatannya adem-adem saja mengejar maling diluar, tapi kau biarkan maling lari masuk kemari.............."
Belum habis kata-katanya, Oh Thi-hoa sudah tergelak-gelak.
Berkerut alis Maling Kampium, katanya : "Kau merasa geli."
"Kali ini memang kau kena ditipu oleh jago mampus."
"Tertipu?" Maling kampium tertegun.
"Kau kira kami tidak melihat kedua orang itu?"
"Kalau melihat kenapa kau biarkan mereka masuk kemari?"
"Jago mampus ejekan buat Ki Ping-yan, sudah kenal Sun-khong, dia tahu selama hidupnya kera hitam itu paling kagum terhadapmu, kuatir kau terlalu menganggur di sini, maka dia dibiarkan supaya kau bereskan sendiri, waktu aku hendak melabraknya, malah kena dirintangi."
Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya geleng-geleng : "Memang aku sudah heran, meski ginkang Sun-kaucu "Kera she sun" tidak lemah, mana mungkin dia bisa lolos dari pandangan kalian, siapa tahu memang kalian hendak mempersulit diriku saja."
Ki Ping-yan tertawa tawar, ujarnya : "Tapi kalau kera hitam itu tidak bisa dipandang sebagai tokoh yang boleh diampuni, aku takkan membiarkan dia berhadapan dengan kau.........jikalau kubiarkan setan pemabokan ini melabrak kera hitam itu, coba pikir apakah kera hitam itu bisa lolos?"
Kalau semua orang gempar, ribut dan berjuang mati-matian mengadu jiwa, mengalirkan darah, saking tegang bahkan napaspun memburu, ketiga orang ini justru bersikap adem-ayem seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa, seperti sedang makan sayur belaka.
Baru sekarang Kui-je-ong bisa menenangkan hati, tiba-tiba ia memburu maju, katanya :
"Mereka...........mereka semua datang enam orang, mana pula yang dua?"
"Ongya ingin melihat mereka?" tanya Ki Ping-yan tawar.
Kui-je-ong terperanjat, lekas ia goyang-goyang tangan, sahutnya : "Tidak..........tidak mau."
Coh liu-hiang menghela napas, katanya : "Tak beruntung kedua orang itu kebentur oleh mereka berdua, mungkin selamanya takkan bisa kemari."
Pipop-kongcu menatapnya, tanyanya : "Kalau kebentur oleh kau?"
Maling kampium pura-pura tidak dengar, ia tidak perdulikan pertanyaan orang.
Oh Thi-hoa malah yang menjelaskan dengan tertawa : "Siapa saja yang kebentur oleh dia, terhitung baik nasibnya, Dulu kera hitam pernah tiga kali kebentur di tangannya, tiga kali juga dilepaskannya. Oleh karena itu setiap kali berhadapan dengan dia, kentutpun Sun-kaucu tak berani, lantas tinggal pergi." Lalu ia menambahkan dengan sungguh-sungguh: "Bahwasanya kepandaian kelima orang itu dilipat-gandakanpun bukan tandingan Sun-kaucu seorang."
Seketika Kui-je-ong menjadi tegang pula, katanya : "Tapi Sun-kaucu tadi bilang, masih ada seseorang yang sepuluh kali lebih lihay dari dia hendak kemari."
"Oh, apa ya?" tanya Ki Ping-yan mengerutkan alisnya.
"Tokoh yang sepuluh kali lebih lihay dari Sun-kaucu, hanya ada beberapa orang saja dalam dunia ini, tapi bukan mustahil kera hitam itu sedang main-main dengan kita."
"Sun-kaucu selamanya tak pernah berbohong."
"Kalau begitu, coba kau pikir siapa yang dia maksudkan?"
"Perduli siapa dia, tunggu saja kedatangannya, jikalau kalian tak punya kebiasaan tidur, biar aku seorang diri pergi tidur saja," tanpa menunggu reaksi orang banyak Ki Ping-yan tinggal pergi.
Biji mata Oh Thi-hoa berputar-putar, lagaknya seperti ingin minum, tiba-tiba ia melihat roman muka Pipop-kongcu berubah begitu jelek, seketika lenyap selera minumnya, sambil menyengir dan mengusap mulut dengan lengan bajunya, lekas ia tinggal pergi meronda keluar.
Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak ingin tinggal lama-lama disini, setelah bersoja segera ia hendak mengundurkan diri. Tak nyana Pipop-kongcu tiba-tiba menahannya : "Tunggu sebentar ?"
"Harap tunggu!" Kui-je-ong menahannya.
Betapapun keras teriakan Pipop-kongcu boleh dianggap tak mendengar, tapi seruan Kui-je-ong tak bisa tidak ditanggapi, apa boleh buat Coh Liu-hiang putar badan, tanyanya : "Ongya masih ada pesan apa?"
Bersambung ke Jilid 18
Jilid 18 Sekian lama Kui-je-ong terlongong, katanya kemudian menyengir tertawa : "Menurut pendapatmu kapan baiknya hari pernikahan putriku dengan temanmu dilangsungkan?"
"Maksud Ongya......."
"Lebih cepat lebih baik" sebelum Kui-je-ong bicara Pipop-kongcu sudah menyela bicara.
Tak sedikit Co Liu-hiang pernah lihat perempuan bernyali besar dan bermuka tebal, tapi seperti putri raja yang ingin lekas-lekas menikah seperti Pipop-kongcu ini belum pernah dilihatnya, katanya dengan menyengir kejut : "Kalau perjodohan ini sudah disetujui oleh kedua belah pihak, kapan saja pernikahan dilangsungkan tak menjadi soal."
Kalau begitu besok saja dilangsungkan, kata Pipop-kongcu dengan mata bersinar.
Dengan langkah lebar Coh Liu-hiang kembali ke perkemahannya, hatinya jengkel dan geli pula mulutnya menggumam : "Sungguh belum pernah kulihat calon pengantin yang begini terburu-buru untuk kawin."
Baru saja kakinya melangkah ke dalam perkemahan, dilihatnya Oh Thi-hoa sedang memeluk guci menuang arak ke dalam mulutnya sekaligus ia habiskan setengah guci arak, katanya tertawa
: "Tadi hampir saja bikin aku mati kutu dengan mendelong melihati kau dan dia sepuasnya."
"Bukankah kau biasanya bermuka tebal?" Olok Ki Ping-yan.
Orang lain mengolok dan menggoda aku, tidak menjadi soal, tapi dia.......diapun menggoda aku, coba katakan malu tidak aku ini"
"Kalau sekarang kau sudah takut kepadanya, celakalah hidupmu dikelak kemudian."
"Ya, hidup baru, besok harus kau mulai, pengantin perempuan terburu-buru ingin kawin, dia desak aku supaya tentukan pernikahan besok pagi."
"Apa besok pagi?" Oh Thi-hoa menjerit sambil mencelat bangun.
"Ya, besok pagi!" Coh Liu-hiang menegaskan.
Sekali raih Oh Thi-hoa renggut baju di depan dada Coh Liu-hiang : "Kau........kau lantas menyanggupi?"
"Sebagai calon menantu raja, cepat atau lambat kau akan menikah, apa bedanya cepat sehari atau lambat seminggu?"
Oh Thi-hoa jumpalitan jatuh keatas ranjang, mulutnya berkaok-kaok : "Celaka dua belas, sedikitpun aku tidak mempersiapkan diri apa tidak menyulitkan aku?"
"Jadi pengantin harus siap apa" Jikalau kau tidak bisa , aku dan Maling romantis cukup mampu mengajarkan pada kau." Goda Ki Ping-yan tertawa.
Oh Thi-hoa lempar sebuah bantal ke arah orang, dengan kaki telanjang dia mondar-mandir kesana-kemari mencari arak, dan mulutnya muring-muring : "Mana araknya" Arak yang harus mampus ternyata sudah habis" Kalau tidak tenggak dua cangkir lagi untuk menekannya, serasa hampir melonjak keluar jantungku saking tegang."
Coh Liu-hiang mengawasi Ki Ping-yan, katanya : "Coba kau pikir, kenapa mereka begitu terburu nafsu hendak melangsungkan pernikahan besok pagi?"
"Setelah kejadian malam ini, Kui-je-ong seperti burung yang ketakutan dikejar panah, kepada siapapun dia tidak percaya lagi, terpaksa harus lekas mencari menantu untuk menjadi pelindungnya, kalau tidak............"
Mendadak Oh Thi-hoa menjerit kaget, serunya : "Lekas kalian kemari, coba lihat apa ini?"
karena mengobrak abrik kesana kemari, tiba-tiba didapatnya secarik kertas di bawah tindihan botol arak.
Di atas kertas putih itu bertuliskan huruf huruf yang indah berseni.
Tuan-tuan datang dari jauh, jiwa sendiri belum tentu selamat, kenapa turut campur urusan orang lain" Mumpung hari belum terang tanah, lekas tinggalkan tempat ini, itulah jalan paling tepat, kalau tidak menyesalpun sudah terlambat.
Jikalau kalian sudi mendengar nasehatku, kesempatan lain akan kubuatkan hidangan lezat untuk menjamu kalian panjang umur.
Tertanda Orang di ruang pemujaan
Tak terasa Coh Liu-hiang terlongong mengawasi kertas di tangannya.
"Dua kali meninggalkan surat dengan tulisan yang sama, naga-naganya komplotan Ciok-kwan-im memang sudah sejak lama menyelundup disekitar Kui-je-ong......." Ki Ping-yan utarakan dugaannya.
"Menurut dugaanmu siapa-siapa saja komplotannya?" tanya Oh Thi-hoa.
Siapapun mungkin saja, mungkin para busu, mungkin permaisuri atau gundik-gundiknya, bukan mustahil mereka ayah beranak juga," komentar Ki Ping-yan.
Kesima mata Oh Thi-hoa, katanya kemudian menyengir kecut : "Jangan kalian menjadi gelisah lantaran aku tidak jadi menantu raja, bagi aku tidak jadi soal, memang kemungkinan adalah mereka ayah beranak sendiri."
Coh Liu-hiang tersenyum katanya : "Jikalau hanya huruf hitam diatas kertas ini cukup mampu mengusir kita, seumpama kita tetap bisa hidup, menjadi manusiapun tak ada artinya lagi."
Bercahaya biji mata Oh Thi-hoa, katanya sambil menggosok-gosok tapak tangan: "Nah, kata-kata ini baru mirip ucapan si maling kampium, apapun yang akan terjadi kita harus adu jiwa dengan dia."
"Sekarang," kata Coh liu-hiang dengan prihatin, "Kalau dia sudah pasti hendak mencari kita, maka kita tak perlu tergesa-gesa, biarlah kita tunggu kedatangannya saja disini, besok kau tetap melangsungkan pernikahanmu, tiga hari kemudian tetap kita bekerja menurut rencana Kui-je-ong untuk menukar Ki-loh-ci-sing itu dengan barang-barang yang sudah disiapkan."
Menurut hematmu apa dia betul hendak menukarnya"
"Sudah tentu dia takkan menukarnya."
Oh Thi-hoa menibrung bertanya : "Kalau dia tak mau tukar, kenapa kita harus melakukannya?"
Secara royal Kui-je-ong berikan permata kucing itu pada kau, sebaliknya Ki-loh-ci-sing dipandangnya lebih berharga dari jiwanya sendiri, jelas Ki-loh-ci-sing membekal suatu rahasia yang amat tinggi nilainya, benar tidak"
"Ya, mungkin!" sahut Oh Thi-hoa.
Bahwa Ciok-koan-im mau bertindak demikian tidak lebih karena ingin tahu sampai dimana nilai dari rahasia Ki-loh-ci-sing itu"
Ki Ping-yan tiba-tiba nimbrung : "Kalau Kui-je-ong memandang Ki-loh-ci-sing begitu berharga, kenapa dia tidak ragu menyerahkan kepada Peng-keh-chit-hou untuk membawanya pergi?"
Coh Liu-hiang berpikir sebentar baru menjawab : "Mungkin bukan dibawa pergi, tapi titip kepada Peng-keh-chit-hou untuk membawanya kemari."
Ki Ping-yan mengerutkan keningnya, "Jadi Ki-loh-ci-sing itu semula tak berada ditangan Kui-je-ong" Tapi berada ditangan seseorang yang menetap di Tionggoan" Sekarang Kui-je-ong amat memerlukan barang ini lalu suruh orang untuk mengantarnya kemari?"
Sudah tentu itupun suatu kemungkinan, benar tidak"
"Kalau demikian, urusan tidak besar, barang begitu berharga mana Kui-je-ong sudi titipkan pada orang lain" Kalau toh orang itu sudah menyimpan mestika semahal itu, mana sudi memberikan kepada orang lain pula?" Ki Ping-yan utarakan kesangsiannya.
"Dalam hal ini sudah tentu mengandung suatu rahasia yang tak mungkin diketahui orang luar."
Coh Liu-hiang coba menganalisa. "Mungkin hanya Kui-je-ong seorang yang tahu rahasia ini, kita tak perlu menebak-nebak, cuma kupikir," Ia tertawa lalu menyambung: "Bila keadaan memaksa, mungkin Kui-je-ong akan memberitahu sendiri."
Setelah mengalami ketegangan dan keributan semalam suntuk, meski hati masih diganjal urusan-urusan penting, tapi begitu memejamkan mata, tanpa terasa siapapun akan terlelap dalam impian.
Entah berapa lama mereka tertidur, sekonyong-konyong terdengar lambaian pakaian yang terhembus angin, sesosok bayangan orang bagai terbang menerjang masuk kedalam perkemahan, ternyata dia bukan lain rampok budiman dari Tionggoan Sutou Liu-che.
Orang-orang sebangsa Coh Liu-hiang seolah olah selamanya tak pernah tidur sungguh-sungguh.
Ki Ping-yan segera menyambut kedatangan orang dengan jengekan dingin: "Tuan pergi tanpa pamit, kini datang tanpa memberitahu lagi, apa tingkah lakumu tidak terlalu aneh?"
Sambil menyeka keringat Sutou Liu-che unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Cayhe ada urusan perlu kuberitahukan, harap kalian suka maafkan keteledoranku ini."
Lama Ki Ping-yan menatapnya, lambat laun sikapnya mulai lunak.
Oh Thi-hoa malah tertawa, katanya : "Kau punya urusan penting apa, duduklah dan bicara perlahan-lahan."
"Semalam Cayhe pergi tanpa pamit, karena secara diam-diam aku menguntit jejak Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan, sejak pertama kali Cayhe merasa orang ini terlalu licik dan mengandung maksud tertentu, pastilah ada latar belakangnya."
"Tidak malu kau sebagai kawakan Kangouw, pandanganmu memang tepat," puji Oh Thi-hoa.
"Gerak-geriknya seperti amat tergopoh-gopoh dan gelisah sepanjang jalan, aku menguntitnya secara diam-diam, untunglah tidak konangan olehnya, dia terus menuju keutara kira-kira setengah jam perjalanan, terlihat di depan sana terdapat sebuah bukit pasir, dibalik bukit pasir inilah berdiri sebuah perkemahan."
Mencorong pandangan mata Ki Ping-yan, katanya tertawa dingin : "Siapa saja orang-orang yang berada didalam perkemahan itu aku tidak tahu tapi cuma dengan si kera hitam Su-khong seorang, kalau tuan seorang diri hendak main selidik dan mencuri dengar rahasia mereka belum tentu kau bisa pulang dengan nyawa hidup."
Sutou Liu-che menyengir tertawa, ujarnya : "Sudah tentu cayhe tahu dalam perkemahan itu pasti ada jago-jago kosen, masa aku berani sembrono, setelah kulihat Toh Hoan memasuki perkemahan itu, baru saja aku kebingungan apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba nampak seekor kuda mencongklang pesat menuju ke arah perkemahan itu, di atas kuda penunggangnya membidikkan sebatang panah melesat masuk ke dalam perkemahan, kuda tak berhenti terus membedal ke arah yang lain dan menghilang."
"Betapa tajam pendengaran Sun-kaucu, sejauh ratusan tombak waktu kuda itu lari mendekati kupingnya pasti sudah mendengarnya, mana mungkin kuda itu bisa mendekat dalam jarak panah dengan perkemahan" Mana dia orang membidikkan panahnya lagi?" demikian jengek Ki Ping-yan lagi.
"Kuda itu agaknya memang keturunan naga, agaknya kakinya terbungkus rapat sehingga tidak menimbulkan suara di atas pasir, tentunya kecepatan lari dan keringanan langkahnya tidak lebih asor dari seorang tokoh kosen yang punya ginkang tinggi."
Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, ujarnya tertawa : "Kuda itu mungkin setanding dengan kuda yang kau pinjam dari mutiara hitam."
"Ditengah gurun pasir memang tidak sedikit kuda-kuda jempolan... silahkan tuan lanjutkan ceritanya," kata Coh Liu-hiang.
"Baru saja kuda itu melesat pergi, tiga sosok bayangan orang segera melesat secepat panah keluar dari kemah, mengejar dengan kencang, Cayhe tahu inilah kesempatan terbaik untuk aku bertindak dan menyerempet bahaya, kalau ayal tentu sia-sia kedatanganku."
"Tidak kecil ya nyali tuan," olok Ki Ping-yan sinis.
"Secara diam-diam Cayhe berputar kebelakang perlahan, soalnya di belakang ada beberapa kuda yang terlindungi lingkaran tali, ringkik kuda bisa melenyapkan gerak langkahku."
"Memang tidak malu kau dipandang rampok budiman dari Tionggoan, tindakanmu memang serba perhitungan," kembali Oh Thi-hoa memuji.
Merah muka Sutou Liu-che, katanya pula : "Cayhe mendekam di atas pasir, pelan-pelan aku singkap sedikit ujung kemah dan mengintip ke dalam, tampak kecuali Toh Hoan masih ada dua orang berpakaian sutra emas, bertopi kebesaran dari negeri Kui-je dan seorang Han yang bermuka bengis dan licik."
Ki Ping-yan melirik kepada Coh Liu-hiang, bertaut alis Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah pemberontakan yang terjadi dinegeri Kui-je ini ada orang Han yang ikut menjadi kaki tangannya?"
"Ketiga orang ini mencabut panah dari atas meja, diujung panah terdapat lempitan secarik kertas. Orang Kui-je itu membacanya sebentar, mungkin dia tidak bisa baca bahasa Han maka kertas itu dia angsurkan kepada laki-laki tua bermuka bengis kejam itu, minta orang membaca huruf-huruf yang ada di atas kertas."
"Jadi kau tahu juga apa yang tertulis di atas kertas itu, nasibmu cukup baik," timbrung Oh Thi-hoa.
"Cayhe dengar laki-laki tua itu membaca cukup keras: Ki-loh-ci-sing sudah berada di tanganku, kalau kalian ingin mendapatkan benda ini, sediakan lima ribu tail emas, lima ratus butir mutiara, lima puluh pasang gelang pualam, menuju ke barat daya lima puluh li untuk menukarnya, kalau kalian tidak berminat, benda ini akan menjadi milik Kui-je-ong.
Belum selesai Sutou Liu-che membacakan, Coh Liu-hiang bertiga sudah berjingkat berdiri, seru Oh Thi-hoa: "Bocah keparat, sekaligus menawarkan dagangan kepada dua pembeli, apakah Ki-loh-ci-sing ada sangkut pautnya dengan negeri Kui-je........"
Ki Ping-yan segera menukas, katanya : "Bagaimana reaksi kedua orang Kui-je, setelah mendengar surat yang dibaca itu?"
"Roman muka mereka seketika berubah, pada saat itu pula tiga orang yang mengejar keluar keburu pulang, bukan saja orang-orang dalam kemah tidak menyinggung soal surat itu, secara diam-diam kertas surat itupun disimpannya."
Bagaimana hasilnya dengan pengejaran mereka, tanya Oh Thi-hoa.
"Tidak terkejar, satu diantara ketiga orang itu yang bertubuh kurus seperti kera, mulutnya mengumpat caci, katanya kuda itu pasti kuda setan, kalau tidak meski memejamkan mata pasti diapun bisa menyandaknya."
"Sun-kaucu memang mengagulkan ginkangnya tiada bandingan, kali ini dia terjungkal oleh seekor kuda, sudah tentu hampir edan saking marah," kata Oh Thi-hoa geli.
"Aku tahu orang ini tentu seorang jagoan kosen, disaat hatiku gelisah kuatir jejakku ketahuan, untunglah setelah mereka berunding, Sun-kausu itu membawa tiga temannya termasuk Toh Hoan meluruk kemari!" tutur Sutou Liu-che.
"Kalau tuan tahu mereka kemari membunuh orang, kenapa tidak lekas kau pulang memberi kabar?" desak Ki Ping-yan.
"Cayhe tahu ada kalian bertiga disini, meski jumlah mereka ditambah sepuluh kali lipat jangan harap bisa berhasil, maka aku ingin bertahan sebentar lagi, ingin aku tahu sampai dimana nilainya Ki-loh-ci-sing itu?"
Sutou Liu-che melanjutkan ceritanya, "Setelah ke empat orang ini pergi, kedua orang Kui-je dan seorang Han itu mulai berdebat, seorang bilang harus lekas mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk menukarnya, pihak lain imbalannya terlalu besar, belum tentu Ki-loh-ci-sing punya nilai begitu tinggi, harus waspada dan bertindak melihat gelagat."
Coh Liu-hiang beradu pandang dengan Ki Ping-yan, mereka tahu bahwa ketiga orang itu terang belum tahu rahasia dari Ki-loh-ci-sing itu, maka mereka curiga dan bimbang kuatir tertipu, kalau tidak ditukar kuatir pula benda mustika itu jatuh ke tangan Kui-je-ong.
Berkata Sutou Liu-che lebih lanjut : "Aku sedang heran, kenapa orang-orang ini begitu besar perhatiannya pada sebutir permata saja, siapa tahu tiba-tiba ada orang menepuk pundakku....,"
sampai di sini rona mukanya mengunjuk rasa jeri dan heran, agaknya belum hilang rasa takutnya, cepat ia menyeka keringatnya pula, katanya dengan menghela napas : "Cayhe sejak kecil sudah mengembara, ilmu silatku belum termasuk kelas tinggi, bagi seorang pekerja dalam bidangku ini, mata kuping harus tajam luar biasa, siapa tahu orang itu sudah berada di belakangku, bayangannyapun tak kulihat."
Kesima mata Coh Liu-hiang, katanya : "Tak nyana kecuali Sun-khong, masih ada orang kosen berada di sini."
"Waktu itu sungguh bukan kepalang rasa kagetku, waktu aku berpaling bayangan orang itu sudah sepuluh tombak jauhnya, orang sedang melambaikan tangan kepadaku, aku tahu jejakku sudah konangan, terpaksa aku mengeraskan kepala menghampiri......." keringat dingin di kepalanya berketel-ketel, katanya menyambung dengan tertawa getir : "Setelah aku berhadapan dan melihat tegas muka orang ini, baru aku tahu bahwa jiwaku berhasil kurenggut kembali."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Ping-yan.
"Untunglah dulu aku pernah bertemu dengan orang ini sekali, kalau tidak sekarang aku takkan bisa pulang bertemu dengan kalian," tutur Sutou Liu-che menghela napas.
"Jadi dia membebaskan kau demikian saja?" tanya Oh Thi-hoa.
"Terus terang, dua tahun yang lalu waktu aku sedang bekerja, secara tak terduga kebentrok dengan orang ini, untung tujuanku waktu itu hendak menolong keluarga seorang janda, maka dia melepaskanku. Watak orang ini amat aneh, asal dia mengampuni kau sekali, meski kau selanjutnya berbuat salah padanya, dia pasti takkan melukai seujung rambutmu."
"Laki-laki benar bocah itu," seru Oh Thi-hoa.
"Apakah orang ini juga diundang oleh kaum pemberontak itu untuk membunuh Kui-je-ong?"
kata Ki Ping-yan mengerut kening.
"Ya, begitulah menurut dugaanku." Sahut Sutou Liu-che.
"Siapakah dia sebenarnya?" tanya Ki Ping-yan.
"Cayhe pernah bersumpah berat, matipun takkan menyebut namanya, cuma aku bisa memberitahu, ilmu orang ini amat tinggi dan tak terukur tingkatannya, kalian harus lebih hati-hati."
Tiba-tiba Ki Ping-yan menarik muka, desisnya bengis : "Kalau dia menanam budi kepadamu, kenapa kau kemari memberikan kabar kepada kami?"
"Setahun yang lalu, secara tak sengaja kakakku mendapatkan harta terpendam yang tak ternilai jumlahnya, menurut rencana kami kakak beradik hendak mundur dan mengasingkan diri dari percaturan dunia persilatan, siapa tahu hasil yang amat rahasia ini ternyata diketahui oleh Kaypang Pangcu Lamkiong Ling, bukan saja harta karun yang kami temukan itu dirampas semuanya, kakakkupun menemui ajal dengan badan terbacok hancur, Cayhe tahu siapa pembunuhnya, tapi........tapi......," ia kucek-kucek matanya yang berkaca-kaca, katanya tawar :
"Tapi ilmu silat Cayhe terang bukan tandingan Lamkiong, jikalau peristiwa ini sampai bocor, didalam Kaypang Lamkiong Ling laksana sang surya yang sedang bercokol di puncak cakrawala, siapa orang-orang Kangouw yang mau percaya akan omonganku."
"Benar!" ujar Coh Liu-hiang, "Waktu itu Lamkiong Ling memang membutuhkan dana yang tak terhitung jumlahnya, jikalau harta karun milik siapapun asal dapat direbut, dengan cara kejam atau telengas apapun bisa saja dia lakukan."
Sutou Liu-che menghela napas, ujarnya : "Dendam kesumat sedalam lautan ini, terang aku tiada harapan untuk membalasnya, siapa tahu dengan tenaga seorang diri Coh Liu-hiang si Maling kampium ternyata berhasil membongkar rahasia dan muslihat kejam Lamkiong Ling, secara tidak langsung mewakili aku menuntut balas, dan peristiwa ini cukup menggetarkan dunia, tiada kaum persilatan yang tak tahu, sungguh Cayhe amat berterima kasih dan hutang budi kepada Maling kampium, sayang Coh Liu-hiang selincah naga sakti. Selama ini Cayhe tak berhasil menemukan jejaknya dan menyampaikan sembah salam dan terima kasihku."
Mendadak ia angkat kepala dengan nanar ia awasi Coh Liu-hiang, katanya dengan hormat :
"Cayhe tahu Maling kampium suka kelana dan tamasya kemana saja tidak menunjukkan asal usul dan muka aslinya kepada orang lain, tapi Cayhe yakin kedua mataku ini belum lamur, aku masih bisa membedakan orang yang tulen!" sembari bicara segera ia berlutut dan menyembah berulang-ulang.
Lekas Coh Liu-hiang mengangkatnya bangun: "Apakah benar aku ini Coh Liu-hiang adanya, Cayhepun amat haru dan terima kasih akan maksud baikmu."
"Kejadian hari ini, kedua pihak sama-sama tuan penolongku, sungguh Cayhe tiada muka tinggal lama-lama disini, semoga kalian bisa merasakan kegetiran hati Cayhe," kembali ia menjura serta menambahkan: "Cayhe sekarang mohon diri, semoga kelak berjumpa pula.........." habis kata-katanya lekas ia putar badan lantas berlalu dengan cepat.
Lama sekali baru Oh Thi-hoa menghela napas dan membuka kesunyian: "Kalau orang lama hidup keluntungan di Kangouw sepuluh tahun, musuhnya sudah tersebar di seluruh penjuru, tapi Coh Liu-hiang justru menanam budi kepada setiap orang yang ditolongnya, kalau demikian betapapun jarang membunuh sesama manusia lebih baik."
Ki Ping-yan malah mengerutkan kening, katanya: "Kalau Sutou Liu-che sudah tahu kalau kau adalah Maling Kampium, tapi dia minta kau waspada menghadapinya, maka dalam pandangannya ilmu silat orang ini tidak lebih asor dari Coh Liu-hiang."
"Benar," timbrung Oh Thi-hoa, "Sekian banyak tahun, yang bisa bertanding dengan Coh Liu-hiang belum pernah kita saksikan, jikalau dia benar-benar datang hari ini, ingin juga aku bermain-main melawannya."
Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya: "Jangan kau lupa, hari ini adalah hari pernikahanmu, perduli berapa banyak musuh yang datang, biar aku dan Ki Ping-yan yang menghadapinya, boleh kau masuk dan tidur senikmatnya dalam kamar pengantinmu!"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa: "Jikalau musuh datang terlalu banyak, seharusnya kalian beri kesempatan kepadaku untuk melemaskan tulang-tulangku."
Ki Ping-yan menyengir, katanya: "Kau kan punya istri yang dapat melayanimu sepuasnya, memangnya kau belum merasa letih?"
Baru saja Oh Thi-hoa merenggut sebuah bantal hendak dilempar kesana, tahu-tahu enam-lima orang laki-laki yang membawa baki berisi topi, pakaian dan segala perlengkapannya masuk ke dalam kemah, dengan membungkuk dan salah seorang berkata dengan berseri tawa: "Upacara pernikahan sudah siap, diharap Huma "calon mantu" lekas ganti pakaian siap melangsungkan upacara nikah."
"Cepat benar kerja kaki tangan kalian," puji Coh Liu-hiang terpingkel-pingkel.
Oh Thi-hoa melotot mengawasi topi yang berhias tinggi itu, mendadak ia angkat kedua tangannya ke atas, badanpun roboh rebah di atas ranjang, teriaknya: "Jikalau kalian suruh aku mengenakan topi segede itu, lebih baik kalian persen sekali bacokan saja kepadaku."
Akan tetapi mengenakan topi macam apapun, sudah tentu lebih enak daripada badan ditusuk pisau. Akhirnya Oh Thi-hoa kenakan juga topi kebesaran dan mengenakan pakaian pengantin.
Waktu ia coba bercermin tiba-tiba terasa olehnya bahwa tampangnya sebetulnya tidak seburuk seperti yang pernah dibayangkannya sendiri.
Demikian pula mempelai perempuan mengenakan pakaian serba baru, dengan perhiasan serba mewah, secarik kain merah sutra menutupi raut wajahnya.
Mengawasi kain merah sutra itu diam-diam bersorak hati Oh Thi-hoa batinnya : "Hari ini betapapun kau takkan bisa menggodaku lagi."
Kemah yang semula sudah begitu molek dan megah kini kelihatan lebih mewah dan semarak.
Selebar muka Kui-je-ong merah bercahaya terang, tapi selama ini permaisurinya tak pernah unjukkan dirinya.
Mungkin karena tiada kehadiran permaisuri maka dalam perkemahan itu tiada tampak bayangan seorang perempuan jua. Setelah mempelai berdua melakukan sembahyang dan sekedar tata tertib pernikahan, segera mereka di usung masuk kedalam kamar pengantin.
Ternyata memang begitulah adat perkawinan dari negeri Kui-je, sederhana dan meriah. Kalau peristiwa ini terjadi dalam negeri mereka, tamu-tamu perempuanpun tak boleh unjuk diri di hadapan umum dan lagi setelah mempelai masuk ke dalam kamar pengantin, mempelai laki-laki harus berjaga-jaga diluar pintu, menunggu para tamu yang berpamitan pulang menghaturkan secangkir arak, memang malam hari di gurun pasir teramat dingin, semua gembala selalu membekal sebotol atau secukupnya arak untuk memanaskan badan.
Di sana setiap laki-laki mempunyai hobby minum, semakin banyak arak yang ditenggak mempelai laki-laki, lebih semarak dan terpandanglah jamuan pernikahan ini, maka sampai akhirnya diantara sepuluh mempelai laki-laki, sepuluh orang semuanya digotong masuk ke dalam kamar pengantin.
Tapi kebiasaan adat pernikahan seperti ini justru mencocoki selera Oh Thi-hoa, kehabisan arak merupakan suatu yang paling dia takuti selama hidupnya, kalau ada yang mencekoki arak padanya, kebetulan malah bagi dirinya.
Tampak empat laki-laki yang telanjang bagian atas badannya menggotong seekor unta panggang masuk ke dalam perkemahan, mencekal sebuah pisau perak, Kui-je-ong mulai bekerja mengiris perut unta panggang ini. Didalam perut unta ternyata berisi seekor kambing panggang, didalam panggang kambing ini kiranya berisi seekor ayam pula.
Inilah perjamuan besar paling mewah dan semarak dalam lingkungan kerabat istana raja yang jarang terjadi di padang pasir, dengan pisau peraknya Kui-je-ong membelek perut ayam panggang, dengan ujung pisaunya dia menyodok keluar sebutir telur ayam yang berlepotan minyak, serunya dengan mengelus jenggot: "Telur ini bisa membawa rejeki, selama ini menurut tradisi hanya tamu-tamu agung saja yang setimpal mencicipinya, hari ini perjamuan pernikahan, keadaan lain dari yang lain, tamu agung siapa saja yang memakan telur yang bisa membawa rejeki ini, bukan saja bakal mendapat berkah dan wahyu, malah yang bakal menjadi pengantin adalah dia pula."
Coh Liu-hiang amat heran dan ketarik akan adat istiadat dan cara-cara yang aneh, dilihatnya Kui-je-ong sedang menghampiri ke arahnya, telur yang membawa rejeki yang tersunduk di ujung pisaunya dia taruh didalam piring Coh Liu-hiang, lalu serunya lantang sambil mengangkat kedua tangan: "Ayolah kita beramai-ramai sama menghaturkan secangkir arak kepada tamu agung kita."
Seruan Kui-je-ong seketika mendapat tepuk tangan yang gegap gempita, semua hadirin bersorak sorai sambil bertepuk tangan, dengan tertawa Coh Liu-hiang mengambil telur di atas piringnya, tiba-tiba dilihatnya ujung pisau perak ditangan Kui-je-ong kelihatan bersemu hitam disinari cahaya api. Tersirap darahnya, namun lahirnya dia berlaku tenang dan wajar, dimana tangannya terayun, berbareng mulutnya terpentang lalu terkatup lagi, orang lain cuma menyangka telur itu sudah terlelap masuk ke dalam perutnya, sebetulnya telur itu sudah menggelundung masuk ke dalam lengan bajunya.
Terdengar Ki Ping-yan berkata dengan menghela napas: "Kejadian dalam dunia ini memang serba aneh, kenyataan Siau Oh hari ini menjadi menantu raja, apakah sebelum ini pernah terpikir olehmu?"
"Kuda liar itu terhitung sudah terbelenggu," ujar Coh Liu-hiang tertawa, "Seharusnya kita ikut gembira, cuma.......malam ini kau harus dua belas kali lebih hati-hati dan waspada, sekali-kali jangan minum sampai mabuk."
Ki Ping-yan mendadak menyengir lebar, katanya : "Coba kau lihat apakah ini?"
Secara diam-diam ia sisipkan segulung kertas yang sudah basah oleh minyak, sehingga tulisannya rada burem, tapi masih jelas dan bisa dibaca dimana tertulis:
"Hari ini adalah hari bahagia pernikahan putrimu, biarlah besok kepalamu kutitipkan sehari lagi di atas badanmu, besok waktu masih mendatangi, biar kupenggal kepalamu, semoga kau memeliharanya secara baik-baik jangan sampai mengecewakan hatiku."
Tanpa terasa Coh Liu-hiang menjublek mengawasi lembaran kertas di tangannya.
Kata Ki Ping-yan yang tertawa getir: "Tutur kata orang ini meski tidak sehalus dan sesopan tulisanmu tapi nada dan pembawaannya amat mirip benar dengan kebiasaanmu, cuma dia menginginkan batok kepala orang lain, boleh dikata rada kejam dari kau."
"Darimana kau dapatkan kertas peringatan ini?" tanya Coh Liu-hiang prihatin.
"Tertancap dibuntut unta panggang itu tadi waktu aku keluar kebetulan kulihat, maka ditengah jalan kusambar lebih dulu," enak saja ia berujar bahwasanya kalau tidak teliti dan seksama terhadap barang sesuatu, mana mungkin didalam keadaan semeriah ini dapat memperhatikan urusan kecil ini. Masakah mungkin bisa diketemukan secara kebetulan"
Untuk kepergok olehmu, jikalau terjatuh ke tangan Ongya, mungkin seketika dia jatuh semaput, bukankah perjamuan ramai ini bakal jadi kacau dan bubar.
"Beruntung Siau Oh melangsungkan pernikahan hari ini, jikalau aku dan kau tak bisa beri peluang kepadanya supaya bisa tenang dan senang serta puas masuk ke kamar pengantinnya, lebih baik cari saja seutas tali gantung diri."
"Seumpama orang itu tidak datang, bahaya yang harus kita hadapi hari ini cukup besar juga, jangan dipandang persoalan ini terlalu sepele, hidangan dan arak hantaran orang lain sekali-kali kita jangan mencicipinya."
Berkilat mata Ki ping-yan, sekian lama ia tatap mata orang, katanya kemudian dengan mengerut kening : "Apakah telur rejeki itu mengandung racun?"
Belum sempat Coh Liu-hiang menjawab, tujuh delapan orang berbondong-bondong mendatangi hendak menghatur arak kepada mereka.
Berkata Ki Ping-yan dengan suara berat : "Lebih baik aku berjaga-jaga di luar, bila kau bisa bebaskan dirimu boleh kau keluar temui aku." Setetes arakpun ia tidak cicipi, terus melangkah dengan langkah tergopoh-gopoh. Sebaliknya Oh Thi-hoa sedang tenggak sebanyak-banyaknya sampai selebar mukanya merah gelap. Bersahabat dengan kawan seperti Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan, sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi nasibnya, bila seseorang mempunyai nasib dan rejeki seperti dirinya, kapan atau saat apapun tak menjadi soal minum sedikit banyak.
Malam semakin larut, bau daging panggang semerbak, gelak tawa dan senda gurau orang-orang masih tetap ramai, namun suasana tegang yang diliputi hawa pembunuhan masih mencekam sanubari orang-orang tertentu ditengah gurun pasir ini.
Badan Ki Ping-yan terbungkus didalam selimut beludru yang tebal, duduk di bawah bayang pohon di pinggir kolam, kepalanya menengadah mengawasi bintang-bintang yang lebat bertebaran ditengah cakrawala, lambat laun sinar bintangpun mulai pudar. Begitu duduk tanpa bergerak, seolah hendak duduk terus sampai kiamat, orang seperti dia memang agaknya tak pernah merasakan kesepian dan letih.
Sekonyong-konyong sebuah botol terlempar datang, terang botol itu hampir memukul kepalanya, seolah-olah tak pernah bergerak, namun botol itu tahu-tahu sudah berada di tangannya. Dengan langkah perlahan Coh Liu-hiang datang menghampiri, katanya sambil menghela napas : "Hawa dingin di sini aneh benar............" tiba-tiba ia melihat rambut Ki Ping-yan sudah membeku jadi es, katanya pula sambil mengerutkan kening : "Kalau kau tak minum arak, tak mau berdiri jalan mondar-mandir, hanya duduk begini saja, apa kau tak kuatir mati kedinginan?"
"Hawa dingin takkan membekukan aku sampai mati," sahut Ki Ping-yan dingin.
Akhirnya dia membuka tutup botol dan menenggak dua kali, katanya perlahan-lahan : "Hanya dengan duduk tenang tak bergerak di sini, baru aku bisa melihat apakah ada orang luar yang datang, jikalau aku mondar-mandir kian kemari, tak bisa aku kendalikan keadaan keseluruhannya."
"Dalam kolong langit ini, siapa pula yang dapat tahu bahwa kaupun bisa juga rela kedinginan menahan lapar demi sahabat tercinta."
"Aku hanya melakukan urusan yang aku suka, persetan bagaimana pandangan orang lain, apa pula sangkut pautnya dengan diriku?"
Coh Liu-hiang tertawa-tawa, ia tak bicara lagi, ia tahu bila Ki Ping-yan menarik muka dan bicara aseran, perduli apapun yang kau katakan padanya, kau takkan diberi tanggapan.
Sesaat kemudian, Ki Ping-yan sendiri malah yang buka suara : "Bagaimana Siau Oh?"
"Sudah masuk kamar pengantin."
"Digotong masuk?"
"Seperti panggang unta tadi, bedanya cuma perutnya tak ada kambing panggangnya."
Ki Ping-yan tertawa geli, mulutnya menggumam : "Orang yang sembarangan waktu bisa jatuh mabuk memang kadangkala membawa rejeki nomplok."
Coh Liu-hiang rebut botol arak itu, lalu ditenggaknya sekali, katanya : "Adakah sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan dibagian luar?"
"Orang yang meninggalkan surat peringatan mungkin sudah berlalu, bahwa orang bisa menancapkan secarik kertas di atas unta panggang di hadapan sekian banyak hadirin, kepandaiannya tentu tidak rendah, ingin aku menghadapinya."
"Kapan kaupun bisa terburu nafsu" Jarang terjadi."
"Memangnya kau kira aku ini mayat hidup!"
"Bagaimana juga orang itu menjadi bagianku, kalian tak boleh bergebrak sama dia."
"Jadi kau takut aku bakal terbunuh oleh dia?"
"Akupun kuatir kau membunuhnya, jikalau orang macam itu sampai mati rasanya sangat disayangkan."
"Hm!" Ki Ping-yan menggeram-geram, Botol arak direbutnya balik lalu ditenggak pula dua kali, tiba-tiba ia bertanya : "Mana telur itu?"
Coh Liu-hiang menggerakkan lengan bajunya, tahu-tahu telur itu sudah berada ditapak tangannya, begitu terhembus angin seketika menjadi beku sekeras batu, kata Coh Liu-hiang :
"Pisau perak itu sudah menusuk amblas sedalam setengah dim, tapi hanya ujung pisau sebesar beras saja yang kelihatan menjadi kehitaman, diri sini dapatlah kita bayangkan mungkin telur putihnya tak beracun, racunnya hanya ada ditelur kuning."
Ki Ping-yan sambuti telur itu serta diamat-amatinya dengan seksama, lalu iapun keluarkan sebilah pisau perak kecil, selapis demi selapis ia kikis permukaan telur, lama kelamaan dia dapati sebatang jarum kecil lembut laksana rambut didalam kuning telur. Dengan ujung pisau peraknya, perlahan-lahan ia menjungkitnya keluar, seluruh batang pisau perak itu seketika berubah hitam.
Coh Liu-hiang menghela napas panjang, katanya tertawa : "Perut unta berisi kambing, perut kambing berisi ayam, telur berada didalam perut ayam, didalam putih telur barulah kuning telur, bahwa dia bisa menaruh racun didalam kuning telurnya saja, sungguh buah karya yang lihay."
Ki Ping-yan tertawa, katanya : "Dia menaruh racun ditempat begini rupa, namun bisa ketahuan oleh kau, bukankah kau lebih lihay?" mendadak roman mukanya kelam, sambungnya : "Kui-je-ong sendiri yang menjungkit telur ini dan diberikan kepadamu?"
"Benar!"
Kecuali dia sendiri, sebelum ini mungkin tiada siapapun yang tahu kepada siapa telur ini hendak dia berikan, jadi orang yang menaruh racun.......apakah Kui-je-ong sendiri"
Kalau Kui-je-ong sendiri yang menaruh racun, waktu dia menjungkit telur kenapa harus pakai pisau perak" sebentar ia termenung lalu menambahkan: "Kalau bicara soal kesempatan untuk menaruh racun didalam telur, hanya koki atau tukang masak saja yang mungkin melakukan."
"Terang bukan koki itu."
"Kau sudah menyelidikinya?"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya!" sahut Ki Ping-yan pendek.
"Masa kau tahu bila ia tidak berbohong?"
"Aku cukup tahu," cepat jawaban Ki Ping-yan tapi meyakinkan.
Coh Liu-hiang tidak bertanya lebih lanjut, jikalau Ki Ping-yan sudah begitu yakin, sia-sia ia membuang ludah. Kalau jawabannya begitu sederhana, tentulah pertanyaan yang dia ajukan kepada koki teramat jelas dan teliti dan lagi tentu menggunakan suatu cara yang menyudutkan orang yang ditanya, sehingga mau tidak mau harus menjawab dengan jujur. Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu akan watak Ki Ping-yan.
Rada lama kemudian Ki Ping-yan bersuara lagi: "Untuk menaruh racun didalam telur seperti ini, belum tentu harus dilakukan oleh seorang koki saja, siapapun bisa turun tangan dikala orang lain tidak waspada, jarum racun dia sambitkan masuk ke dalam telur cuma.......orang itu pasti amat dekat dengan Kui-je-ong dan lagi dia sudah perhitungkan bahwa telur itu bakal diberikan padamu."
matanya melotot kepada Coh Liu-hiang berpikir siapakah orang itu"
Lama Coh Liu-hiang berpikir-pikir, katanya tertawa: "Yang terang sekarang takkan bisa disimpulkan, lekaslah kau pergi tidur saja."
"Kau...."
Bukit Pemakan Manusia 13 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Romantika Sebilah Pedang 2

Cari Blog Ini