Ceritasilat Novel Online

Imbauan Pendekar 4

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 4


dengan dia." kata Lui-ji.
"Akupun ingin mencarinya, cuma sayang, saat ini iapun tidak sanggup lagi mendengarkan
uraianmu." "Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Sebab dia sudah mati," tutur Yak-ih dengan tak acuh.
"Hah, dia sudah mati?" tukas Lui-ji dengan melenggong. "Apakah Hay Tong-jing yang
membunuhnya?" "Kukira Hay Tong-jing juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu untuk membunuhnya,"
ujar Ji Yak-ih dengan tersenyum, "Tadi waktu kulihat dia mengejar keluar untuk mencari
diriku, sungguh perutku hampir meledak saking gelinya."
"Waktu itu kau sembunyi dimana?" tanya Lui-ji.
"Ketika kalian menjebol langit-langit kamar dan lolos keluar, saat itulah kubuka pintu dari
bawah loteng dan sembunyi pula ke dalam kamar itu," jawab Yak-ih. "Kalian hampir
membongkar segenap pelosok rumah ini, hanya kamar yang telah kalian bobol itulah yang
kalian lewatkan." Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, mau tak mau ia harus mengakui langkah Ji
Yak-ih yang cerdik itu. Meski rada besar resikonya, tapi langkah itu memang benar tak
terpikir oleh siapapun. "jika begitu, siapa pula yang membunuh ibunda Oh-lolo?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, ialah diriku ini," kata Yak-ih.
Sekali ini Lui-ji benar-benar terkejut, serunya "kau yang membunuh dia" Bilakah kau bunuh
dia?" "Pada waktu kalian datang kemari, mungkin mayatnya sudah membusuk," tutur Yak-ih.
126 Kembali Lui-ji melengak, ucapnya, "Habis, siapa pula nenek yang kami lihat itu?"
Hiang-hiang tertawa, mendadak ia bicara dengan suara yang sudah berubah, ucapnya dengan
terputus-putus, "Biar... biarkan mati dia, entah sudah... sudah berapa kali kusuruh budak itu
jangan... jangan mencelakai orang lain, tapi dia tidak... tidak mau menurut."
Seketika Lui-ji melongo, serunya, "He, kiranya... kiranya nenek yang kami lihat itu ialah
dirimu ini." "Betul, memang aku inilah yang menyamarnya," jawab Hiang-hiang dengan tersenyum.
"O, rupanya sesudah gagal mencelakai kami, segera kau kembali ke kamarmu sendiri dan
cepat-cepat berdandan untuk memulihkan wajahmu yang asli, begitu bukan"....Pantas Hay
Tong-jing tidak dapat menemukan dirimu."
"Ya, memang begitulah," jawab Hiang-hiang.
"Jelas kalian berdua sudah berniat mengkhianati Oh-lolo, maka pada waktu dia keluar rumah,
lalu kau sendiri menyamar sebagai orang tua itu, supaya penghuni rumah hiburan ini tidak
curiga. Apalagi orang tua ini juga jarang-jarang muncul di depan umum dan orang luar pun
tidak menaruh perhatian."
"Betul, cocok seperti apa yang kalian katakan, lantaran mengincar kungfunya, maka kukawin
dengan Oh-lolo," ujar Ji Yak-ih dengan tersenyum. "Sekarang sudah hampir seluruh
kepandaiannya telah kukuasai, dengan sendirinya aku tidak memerlukan dia lagi, malahan
muak rasanya bila kulihat cecongornya itu, maka sudah lama ingin kubunuh dia, cuma sayang
belum ada kesempatan baik."
"Dan pada waktu dia keluar rumah inilah lebih dulu kami membunuh ibunya," sambung
Hiang-hiang. "Kami sedang menunggu pulangnya untuk membereskan dia sekalian, siapa
tahu kalian sudah mendahului memberi bantuan kepada kami."
Lui-ji berdiam sejenak sambil berkedip-kedip ucapnya kemudian, "Jika kami sudah
membantu kehendak kalian, mengapa kalian masih juga ingin mencelakai kami?"
"Kan sudah kukatakan sejak tadi, semua ini adalah perintah atasan, kami sendiri tidak
berkuasa," ujar Ji Yak-ih.
"Perintah atasan apa" Masakan kalian juga mempunyai cukong?" Lui-ji menegas dengan
terkejut. "Betul," sahut Yak-ih.
"Siapa dia?" tanya LUI-ji.
"Bila kalian bertemu dengan beliau tentu kalian akan paham," ujar Hiang-hiang dengan
tertawa. Lui-ji tercengang sejenak, ucapnya kemudian "Maksudmu, kami kenal dia?"
127 "Mungkin kenal,: kata Hiang-hiang.
Lui-ji tidak bertanya lebih lanjut, sebab ia memang tidak perlu tanya lagi. Diam-diam ia
melirik Pwe-giok sekejap, dalam hati mereka sudah tahu sama tahu, jelas orang yang
mendalangi Ji Yak-ih itu pasti Ji Hong-ho adanya.
Lebih dahulu Ji Yak-ih dan Hiang-hiang dibeli dan mereka memperalat Oh-lolo, setelah Ohlolo
tiada gunanya lagi, mereka lantas diperintahkan membunuhnya.
Inilah cara yang biasa digunakan oleh Ji Hong-ho, dengan cara yang sama pula ia hendak
menumpas Thian can-kaucu, bahkan besar kemungkinan setiap tokoh Bu-lim terkemuka
jaman ini juga telah menjadi incarannya. Betapa luas dan rapi rencananya sungguh sukar
untuk dibayangkan. "Kiranya dia juga yang menyuruh kau mengerjai kami, jadi kalian bukan bertujuan menuntut
balas bagi Oh-lolo," kata Lui-ji.
Hiang-hiang menguap ngantuk, sambil mengucek matanya yang sepat ia berkata :
"Bilamana kami hendak membalaskan sakit hati Oh lolo, yang akan kami kerjai lebih dulu
tentu adalah orang she Hay itu."
"Dan kalian tidak mengapa-apakan dia ?" Pwe-giok ikut bertanya.
"Dia toh bukan sasaran yang dikehendaki juragan kami, untuk apa kami bersusah payah
mengeluarkan tenaga percuma ?" jawab Hiang-hiang.
Entah sebab apa, Hiang-hiang yang semula kelihatan lincah dan penuh gairah itu, sekarang
kelihatan lesu, sebentar-sebentar menguap seperti ingin tidur, sedikitpun tidak bersemangat
lagi. Waktu Pwe-giok memandang Ji Yak-ih, orang inipun berulang menguap, sampai-sampai air
mata dan ingus juga menetes, mukanya juga lesu seperti mendadak tambah tua belasan tahun.
Melihat keadaannya sekarang, siapa pun tidak percaya dia adalah lelaki cakap dan gagah tadi.
Pwe-giok tidak dapat mengorek keterangan lagi dari mereka, sebab tidak cuma malas bicara,
bahkan mereka pun malas mendengarkan, keadaan mereka lebih mirip mayat hidup belaka.
Sama sekali Lui-ji tidak paham sebab apakah mereka bisa mendadak berubah menjadi
begini ". Kedua orang yang tadinya masih segar bugar, dalam waktu singkat bisa berubah
menjadi layu. Selang sejenak, sambil menguap Hiang-hiang tanya Ji Yak-ih, "Apakah kaupun kehabisan
rangsum ?" "Ehm," Yak-ih mengangguk.
"Huh, ku tahu kau pasti ada simpanan, kalau tidak bagi sedikit, lihat saja nanti kalau tidak ku
ganyang kau." jengek Hiang-hiang mendadak.
128 Keadaan Yak-ih tambah lesu, sampai matapun malas membentangkannya, jawabnya:
"Jika aku menyembunyikan setitik saja, anggaplah aku ini piaraanmu."
Cara bicara mereka tadi selalu sopan santun, tapi kata-kata mereka sekarang telah berubah
kasar seperti umpatan kuli dermaga atau bicokok ditempat judi.
malahan dari percakapan mereka itu jelas diantara mereka berdua tiada tanda ada hubungan
intim, semua ini sungguh di luar dugaan dan sangat mengherankan.
Apalagi, dirumah hiburan ini setiap saat dapat disediakan santapan lezat, mengapa mereka
bilang kehabisan "rangsum" segala "
Selagi Pwe-giok merasa curiga, mendadak di luar jendela sana ada orang mendesis: "Ssst!
Juragan datang !" Menyusul lantas terdengar suara kresek-kresek orang berjalan melintasi halaman luar sana.
Yang datang agaknya ada tujuh atau delapan orang.
Seketika semangat Ji Yak-ih dan Hiang-hiang terbangkit, mereka memburu ke dekat pintu dan
berdiri dengan tangan lurus ke bawah, kelihatannya tegang, tapi seperti juga bergembira.
Mungkin saking senangnya, dengan mengikik tawa Hiang-hiang lantas berkata, "Syukur
kepada Thian yang Maha Pemurah, akhirnya juragan datang juga, kalau tidak..."
"Tutup mulutmu !" bentak Yak-ih mendadak dengan suara tertahan.
Sembari bicara ia terus menyingkap kerai, dan masuklah berturut-turut delapan atau sembilan
orang, semuanya memakai mantel hitam panjang menyentuh tanah, memakai topi lebar
sehingga hampir menutupi seluruh wajah mereka. Ke sembilan orang ini seperti berasal dari
satu mesin cetak, serupa, tak terlihat ada suatu perbedaan.
Mendadak Lui-ji menjengek: "Hm, tak tersangka seorang Bu-lim-bengcu yang terhormat juga
suka bertindak secara sembunyi-sembunyi begini. Tapi biarpun kau terbakar menjadi abu juga
tetap dapat kukenali kau."
Tiba-tiba satu diantara ke sembilan orang itu tertawa dan berkata: "Kau kenal diriku "
memangnya siapa aku ini ?"
Suaranya ternyata halus merdu, jelas suara kaum wanita.
Lui-ji jadi tercengang, ucapnya: "Dengan sendirinya bukan kau yang kumaksud, tapi ialah..."
"Ialah siapa ?" orang itu menegas pula.
Sinar mata Lui-ji lantas menyapu kian kemari diantara ke sembilan orang itu, tak terduga
delapan diantara sembilan orang itu lantas menanggalkan topinya dan membuka mantelnya.
129 Ternyata semuanya adalah anak gadis yang masih sangat muda dan sangat cantik, semuanya
berpakaian yang sangat serasi dengan garis tubuhnya, garis tubuh yang pasti mendebarkan
jantung lelaki manapun juga. Biarpun orang buta sekarang juga dapat melihat bahwa mereka
bukanlah samaran lelaki. Kembali Lui-ji melengak, sorot matanya lantas hinggap pada tubuh orang terakhir.
Perawakan orang ini seperti lebih tinggi sedikit daripada ke delapan orang yang lain, sikapnya
juga lebih mantap dan anggun.
Lui-ji mencibir, jengeknya,
"Sekarang tidak kau perlihatkan wajahmu, Ji Hong-ho ?"
Mendadak orang itu tertawa, ucapnya dengan pelahan:
"Ji Hong-ho " kau kira aku ini Ji Hong-ho ?"
Segera ia menanggalkan topinya, segera ke delapan orang tadi berebut bantu membuka
mantelnya. Kini wajahnya dapat terlihat dengan jelas. Mana bisa dia ini Ji Hong-ho " Dia juga seorang
perempuan muda, bahkan terlebih cantik, lebih mempesona.
Baru sekarang Lui-ji benar-benar melenggong dan tak dapat bicara lagi.
Tapi Ji Pwe-giok justru sepuluh kali lebih terkejut daripada Lui-ji, sungguh tak terpikir
olehnya bahwa "juragan" yang disebut-sebut oleh Ji Yak-ih dang Hiang-hiang ternyata bukan
lain daripada Ki Leng-Hong dari Sat-jin-ceng.
Kini masih siang hari, cahaya didalam rumah cukup terang, Pwe-giok dapat melihat jelas
keadaan Ki Leng-hong. Nyata nona ini sudah jauh lebih masak daripada dahulu, juga tambah
cantik. Namun sinar matanya terlebih tajam daripada dulu, sikapnya juga lebih dingin, bahkan
bertambah semacam wibawa yang membikin orang tunduk bila berhadapan dengan dia.
Ki Leng-hong juga sedang mengamat-amati Pwe-giok, ucapnya dengan tertawa hambar:
"Tampaknya kau sangat terkejut, masa tak terpikir olehmu akan diriku ?"
Pwe-giok menghela nafas, jawabnya: "Ya, seharusnya sejak tadi-tadi harus kuingat padamu."
Dia pandang Ji Yak-ih dan Hiang-hiang sekejap, lalu menyambung pula, "Setelah melihat
perubahan mereka tadi seharusnya kuingat akan dirimu."
"Oo ?" Ki Leng-hong bersuara heran.
"Sebab hanya orang yang terkena racunmu itulah dapat berubah secepat itu, berubah
sedemikian memelas, sebab aku sendiripun pernah merasakan penderitaan semacam itu," kata
Pwe-giok dengan menghela nafas.
130 Ki Leng-hong juga menghela nafas, katanya: "Cuma sayang, belum sempat kau rasakan
nikmatnya, kalau tidak tentu akan kau ketahui bahwa barang siapa sudah merasakan
kenikmatan semacam itu, maka penderitaan apapun juga akan terasa setimpal."
Mendadak ia berpaling dan tanya Ji Yak-ih: "Betul tidak?"
Cepat Ji Yak-ih dan Hiang-hiang bertekuk lutut dan mengiakan.
Ki Leng-hong menuding mereka berdua dan berkata pula: "Coba kau lihat mereka ini, yang
lelaki tentu gemar main perempuan, yang perempuan juga bergairah dan memerlukan lelaki.
Kedua orang ini tinggal bersama dan boleh di ibaratkan kayu kering dan api yang mudah
menyala dan terbakar. Akan tetapi aku berani menjamin bahwa diantara mereka berdua pasti
tidak ada hubungan pribadi. Nah, apakah kau tahu sebab apa mereka tidak berhasrat untuk
mengadakan hubungan intim ?"
Pwe-giok tidak menjawab, tapi Lui-ji segera bertanya: "Sebab apa ?"
"Sebab pada hakekatnya mereka sudah tidak bergairah untuk berbuat begituan," tutur Ki
Leng-hong. "Padahal berbuat begituan adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini, setiap lelaki
maupun perempuan tentu berhasrat ingin melakukannya. Tapi bagi mereka hal begitu
sedikitpun tidak ada artinya. Apakah kau tahu sebabnya ?"
Sekali ini Lui-ji juga tidak bersuara lagi.
Maka dengan pelahan Ki Leng-hong menjawabnya sendiri, "Sebabnya adalah karena
kenikmatan yang kuberikan kepada mereka berpuluh kali lebih menyenangkan daripada
berbuat begituan. Setiap orang yang sudah merasakan nikmatnya "Kek-lok-wan" (obat maha
nikmat) yang kuberikan, terhadap urusan lain akan dirasakan hambar dan tidak ada rasanya
lagi." "Kek-lok-wan apa yang kau maksudkan ?" akhirnya Lui-ji tidak tahan dan bertanya juga.
Ki Leng-hong tersenyum, jawabnya: "Yaitu semacam obat dewa yang paling ajaib di dunia
ini. Kau ingin mencicipi atau tidak ?"
Lui-ji berkedip-kedip, ucapnya: "Mencicipi juga boleh. Bagiku, semakin keras racun sesuatu
benda, semakin ingin kucicipi."
"Kaupun ingin mencicipi ?" Mendadak Pwe-giok berteriak. "Masakah tidak kau lihat keadaan
kedua orang ini " memangnya kau kira mereka ini orang lemah seperti ini " Apakah kau tahu
lantaran Kek-Lok-wan yang disebut itulah maka mereka tidak sayang menjual dirinya sendiri,
tidak sayang dihina dan dianiaya orang, bahkan rela melacurkan diri dan menjadi bandit."
Sudah cukup lama Lui-ji berkumpul dengan anak muda itu dan tidak pernah melihat cara
bicaranya yang beringas seperti sekarang ini. Nyata dia sedemikian benci terhadap Kek-lokwan
tersebut. 131 Waktu ia pandang Ji Yak-ih dan Hiang-hiang, kedua orang sama menunduk malu karena
cercaan Pwe-giok itu. Dengan melotot Pwe-giok berteriak pula: "Tapi kecanduan Kek-Lok-wan ini juga bukan tidak
dipunahkan, aku justru pernah mengalami sendiri, asalkan kalian mempunyai hati yang teguh,
punya keberanian, sanggup menahan siksaan untuk sementara waktu, maka kalian pasti dapat
membebaskan diri dari pengaruhnya. Dengan demikian kalian akan dapat bangkit kembali
menjadi manusia baru. Kalau tidak, kalian akan semakin tenggelam dan akan selamanya
diperbudak olehnya."
Air muka Ji Yak-ih dan Hiang-hiang tampak terangsang, tapi Ki Leng-hong lantas
mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menuang satu biji pil berwarna coklat tua, ucapnya
dengan pelahan: "Satu kotak Kek-Lok-wan ini mestinya ku sediakan untuk kalian, tapi
sekarang kalian tidak ingin menikmatinya lagi, biarlah kuberikan saja kepada orang lain."
Demi mengendus bau khas obat itu, seketika rasa malu dan emosi yang bergejolak pada wajah
Ji Yak-ih dan Hiang-hiang tadi sirna seluruhnya. Seketika kedua orang berubah lagi menjadi
beringas, seperti anjing lapar yang melihat tulang, dengan pandangan rakus mereka melototi
kotak yang dipegang Ki Leng-hong itu.
Sekonyong-konyong kedua orang berlutut dan menyembah, dengan suara gemetar mereka
meratap: "O, sama sekali tiada maksud kami akan begitu, kata-kata tadi seluruhnya diucapkan
oleh dia." Ki Leng-hong memandang mereka dengan dingin, dengusnya: "Jika demikian, jadi tiada
maksud kalian hendak melepaskan diri dari Kek-lok-wan ?"
"Ya, ti...tidak !" jawab Ji Yak-ih dan Hiang-hiang berbareng.
"Masa kalian rela diperbudak olehnya selama hidup ?" tanya Ki leng-hong.
"Ya...ya..." Hiang-hiang dan Ji Yak-ih berebut menjawab lebih dulu.
"Huh, manusia tak berguna," omel Ki leng-hong: "Ini, ambil !"
Mendadak ia hamburkan isi kotak kecil yang dipegangnya sehingga pil kecil-kecil itu
bergelindingan memenuhi lantai, serentak Ji Yak-ih dan Hiang-hiang merangkak dan berebut
memungutnya. Pwe-giok menghela nafas, sungguh ia tidak tega menyaksikan tingkah laku mereka.
"Nah, sekarang tentunya kau tahu betapa besar kekuatan Kek-Lok-wan ini," kata Ki Lenghong.
"Tentunya tidak setiap orang dapat membebaskan diri dari kekuasaannya seperti kau."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menyambung pula dengan pelahan: "Terhadap tekad dan
keberanianmu, sungguh akupun sangat kagum."
Pwe-giok tidak menghiraukan ocehannya.
132 Tapi Ki Leng-hong lantas berkata pula, "Mengapa kau tidak menggubris diriku " Apapun juga
kita kan sahabat lama. Apalagi akupun pernah banyak membantu kesukaranmu, mengapa
begitu melihat diriku lantas ingin mengelak seperti takut kepada ular berbisa."
Pwe-giok diam sejenak, akhirnya menghela nafas dan berkata: "Betul, memang banyak kau
bantu kesukaranku, akupun tahu harus membalas kebaikanmu, tapi...tapi..."
"Jangan kuatir, saat ini belum tiba waktunya kuminta balas jasamu," kata Ki Leng-hong
dengan tertawa. "Jika demikian, apakah kau...kau ingin..."
"Aku hanya ingin mengadakan suatu transaksi denganmu."
"Transaksi ?" Pwe-giok menegas.
"Ya, transaksi, persetujuan jual beli, bisnis kata orang !" Leng-hong mengitari Pwe-giok, lalu
menyambung, "Tahukah kau bahwa sesungguhnya kau ini seorang yang sangat aneh. sejak
pertama kali kulihat kau lantas kulihat pada dirimu terdapat banyak hal-hal yang aneh."
"Hal-hal yang aneh bagaimana ?" tanya Pwe-giok. "Di...dimana letak keanehanku ?"
Mendadak Ki Leng-hong berpaling, Ji Yak-ih dan Hiang-hiang diusirnya keluar, pintu kamar
ditutupnya rapat-rapat, lalu berkata dengan pelahan,
"Pertama, mestinya kau ini putera tunggal Ji Hong-ho, tapi malah...."
Belum habis ucapannya, berteriaklah Lui-ji dengan kaget:
"Apa katamu " Dia putera Ji Hong-ho ?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Leng-hong tersenyum, jawabnya : "Masa kau tidak tahu " ya, dia memang putera Ji Hongho,
dengan sendirinya kau tidak tahu. Rahasia ini selain aku dan Ko-lauthau memang tidak
ada orang ketiga lagi yang tahu."
Lui-ji melototi Pwe-giok dengan melongo, saking kejutnya hingga tidak sanggup bersuara
pula. "Dapat menjadi putera Bu-lim-bengcu jaman inikan sesuatu yang membanggakan dan
terhormat. Tapi dia tidak sudi dan pura-pura mati agar orang mengira dia adalah seorang Ji
Pwe-giok yang lain."
"Se...sebab apakah dia begitu ?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja dia tidak mau mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, tidak mau mengaku Lim
Tay-ih sebagai bakal istrinya, bahkan membiarkan Lim Tay-ih salah paham padanya dan lebih
suka dibunuh oleh nona Lim itu."
133 Dia tertawa, lalu melanjutkan: "Hari itu kusaksikan sendiri pedang Lim Tay-ih menusuk
tubuhnya, aku menjadi rada sedih baginya."
"Apa yang terjadi itu mungkin disebabkan persoalan mereka terlalu membuatnya berduka,
hanya aku saja yang dapat memahami perasaannya sebab aku..akupun..." sampai di sini dia
tidak meneruskan lagi. "Masa ayahmu juga berbuat hal-hal yang membikin kau kecewa dan berduka, maka kaupun
tidak sudi mengakui dia sebagai ayahmu ?" tanya Ki Leng-hong.
Lui-ji menggigit bibir dan tidak menjawabnya.
"Tapi keadaannya jelas berbeda dengan keadaanmu," kata Leng-hong pula.
"Memangnya dia kenapa ?" tanya juga Lui-ji.
"Bukannya dia tidak sudi mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, dia hanya menganggap Ji
Hong-ho yang sekarang ini adalah Ji Hong-ho palsu," tutur Ki Leng-hong.
Keterangan ini membuat Lui-ji terkejut, bahkan air muka Pwe-giok sendiri juga berubah.
Leng-hong memandangnya dengan tersenyum, katanya pula, "Di dunia ini banyak orang yang
mengira rahasianya sendiri pasti takkan diketahui orang lain, padahal sejak purbakala hingga
kini tiada sesuatu rahasia yang mutlak dapat mengelabui orang lain. Betul tidak ?"
Ia tahu tidak nanti Pwe-giok menjawab pertanyaannya itu, maka ia lantas menyambung pula,
"Bahkan di dunia ini banyak peristiwa yang sudah terjadi diluar dugaan orang. seperti
kejadian sekarang, kau kira sudah dapat menghindarkan diriku, tapi di sini justru kupergoki
kau lagi." "Maksudmu..." "Maksudmu kejadian tempo hari," sela Leng-hong sebelum lanjut ucapannya Pwe-giok:
"Yaitu waktu berada di kota kecil yang sepi itu, di sana kau kira takkan bertemu dengan
siapapun, tak kau duga orang yang melihat dirimu di sana waktu itu sesungguhnya jauh lebih
banyak daripada sangkaanmu."
Pwe-giok menghela nafas, gumannya: "Ya, memang jauh lebih banyak daripada perkiraanku."
"Kau tahu, akupun terkejut ketika melihat kau dan Lim Tay-ih masuk ke hotel itu..."
"Tapi sampai sekarang aku tetap tidak paham, mengapa kau bisa berada di kota kecil itu ?"
sela Pwe-giok. "Aku berada di sana karena menguntit jejak Sebun Bu-kut," tutur Leng-hong.
"Sebab sejak ku pergoki dia, terhadap tindak tanduk orang semacam itu aku lantas menaruh
curiga, selalu kurasakan mereka itu bukan manusia baik-baik."
134 Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya. "Kami tidak mengira karena menguntit jejak mereka
sehingga kalian memergoki diriku di sana."
"Akupun tidak menduga bahwa mereka sebenarnya sedang menguntit dirimu," kata Lenghong.
"Lebih-lebih tak kuduga Ang-lian-hoa juga akan muncul di kota kecil itu. Kemudian baru
diketahui bahwa hal itu disebabkan Kay-Pang akan mengadakan suatu pertemuan di daerah
Sujwan, maka Ang-Lian-hoa kebetulan lalu di sana."
"Ai, di dunia ini memang terlalu banyak kejadian kebetulan," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
"Ketika Ang-lian-hoa melihat kalian, mungkin dia jauh lebih terkejut daripadaku," tutur Lenghong
pula. "Sebab sama sekali tak terduga olehnya bahwa nona Lim yang dingin seperti es itu bisa
masuk hotel bersama seorang lelaki yang baru dikenalnya, bahkan tinggal didalam suatu
kamar yang sama." Lui-ji seperti mau bicara apa-apa, tapi urung setelah memandang Pwe-giok sekejap.
"Dengan sendirinya Ang-lian-hoa ingin menyelidiki duduk perkaranya," kata Leng-hong pula.
"Tapi dia harus menjaga gengsi, tidak nanti dia mengintip urusan pribadi orang lain secara
diam-diam, sebab itulah dia memerintahkan seorang anak buahnya yang bernama Song-losu
agar menyamar sebagai pelayan hotel."
"Hm, memang sudah kuketahui gerak-gerik pelayan itu rada-rada tidak beres," jengek Pwegiok.
"Begitu masuk kamarku dia lantas...lantas memandang tubuh nona Lim, pelayan umumnya
mana ada yang berani begitu ?"
"Masa sudah kau ketahui dia adalah anak buah Ang-lian-hoa ?" tanya Leng-hong.
"Meski tidak dapat kupastikan, tapi ku tahu umumnya orang-orang yang bekerja sebagai
pelayan dan sejenisnya itu kalau tidak ada kontak dengan Kay-pang tentu sukar
mempertahankan profesinya itu."
Leng-hong tertawa, ucapnya: "Dan mungkin tidak pernah kau duga bahwa Song-losu itu
diam-diam juga termasuk anak buahku."
"Hah, masa...masakah dia juga sudah kecanduan Kek-lok-wan ?" seru Pwe-giok terkejut.
"Ya, begitulah," jawab Leng-hong.
"Makanya sebelum dia menyampaikan laporan kepada Ang-lian-hoa, lebih dulu setiap gerakgerikmu
telah dilaporkannya kepadaku. Menurut laporannya, katanya sikap kalian berdua
sangat aneh. Malahan waktu untuk kedua kalinya dia masuk kamarmu, dilihatnya nona Lim
135 sedang menangis dengan kepala tertutup selimut, sebaliknya kau berdiri termangu
menghadapi dinding seperti mau bertemu dengan orang lain."
"Apalagi yang dilaporkannya ?" tanya Pwe-giok.
"Dia bilang, sebenarnya dia kenal nona Lim, sebab dahulu waktu nona Lim mengalami
kesulitan, dia juga menyamar sebagai pelayan dan diam-diam meneruskan berita yang
diselundupkan nona Lim. Tapi sekali ini nona Lim seperti tidak kenal dia lagi."
Pwe-giok lantas teringat kepada kejadian itu, sebab Ang-lian-hoa pernah bercerita padanya
bahwa berita yang diselundupkan Lim Tay-ih itu adalah pesan si nona agar Ang-lian-hoa
mempercayai si Ji pwe-giok.
Semua ini adalah kejadian beberapa bulan yang lalu, tapi kalau terpikir sekarang rasanya
seperti sudah lama sekali, seolah-olah kejadian di jelmaan hidup yang lalu.
Ki Leg Hong bercerita lebih lanjut, "Setelah menerima laporan Song-losu itu, aku juga merasa
heran, timbul keinginanku untuk pergi kesana, siapa tahu Sebun Bu-kut dan begundalnya
sudah berada di sana lebih dulu, bahkan Ang-lian-hoa juga ikut kesana."
"Ya, akupun tahu hotel itu telah kedatangan tamu yang tidak sedikit," ujar Pwe-giok.
"Kemudian lantas kulihat nona Lim mendadak menerjang keluar dari kamar sambil berkaokkaok,
menyusul kau lantas ditusuknya dengan pedang, tampaknya tubuhmu hendak
dilubanginya dengan sekali tusuk," Leng-hong memandang Pwe-giok dengan terbelalak, lalu
bertanya, "Sebab apakah dia bertindak begitu?"
Pwe-giok termenung sekian lamanya, jawabnya kemudian sambil menghela napas, "Seperti
katamu tadi, aku tidak memberitahukan padanya bahwa aku inilah.... Ji Pwe-giok yang bakal
suaminya itu. Dia.....dia menganggap aku berbuat sesuatu yang tidak baik padanya, maka dia
ingin membunuhku." Ki Leng-hong tersenyum hambar, katanya, "Melihat kejadian itu, Ang-lian-hoa, Sebun Bukut
dan begundalnya tentu juga mempunyai pikiran begitu, merekapun yakin kau telah berbuat
tidak senonoh kepada nona Lim, keteranganmu ini pasti akan dipercaya oleh mereka, tapi
aku..." "Masa kau tidak percaya?" tanya Pwe-giok.
"Ya, satu kata pun aku tidak percaya," jawab Leng-hong.
"Memangnya kau kira apa yang telah terjadi?" tanya Pwe-giok pula.
"Pertama, kuyakin dia sudah tahu kau inilah Ji-Pwe-giok yang dahulu itu, kalau tidak, mana
mungkin dia masuk hotel bersamamu dan tinggal di dalam satu kamar....."
"Tapi mungkin....mungkin dia sengaja mencari kesempatan untuk membunuhku," kata Pwegiok.
136 Leng-hong tertawa, katanya, "Jika dia ingin membunuhmu, dimana-mana kan terbuka
kesempatan baginya, mengapa mesti menunggu sampai berada dihotel" Sebabnya dia
bertindak setelah masuk hotel, tujuannya hanya untuk main sandiwara saja, kalau
penontonnya sudah hadir semua barulah dia mulai main."
Air muka Pwe-giok semakin pucat, desisnya "Untuk apa dia main sandiwara?"
"Untuk para penontonnya," kata Leng-hong dengan tertawa. "Sebab kalian sudah melihat
kedatangan Sebun Bu-kut dan begundalnya, bahkan tahu diam-diam mereka sedang mengintai
gerak-gerik kalian, maka si nona berlagak bertengkar dengan kau dan seperti ingin
membunuhmu, dengan demikian orang-orang itu tentu takkan curiga bahwa kau adalah Ji
Pwe-giok yang dahulu itu."
Dia tertawa dan berhenti sejenak, lalu menyambung dengan perlahan, "Justeru lantaran
kutahu rahasiamu, makanya dapat ku terka semua ini, kalau aku sudah dapat menerkanya,
untuk apa lagi kau bohongi aku, kan tiada gunanya?"
Kembali Pwe-giok termenung pula hingga lama, katanya kemudian, "Seumpama betul
terkaanmu, lalu kau mau apa?"
"Tidak mau apa-apa," jawab Leng-hong. "Aku cuma kagum dan iri padamu yang mempunyai
bakal isteri sedemikian pintar dan bijaksana...."
Mendengar kata "bakal isteri" itu, tiba-tiba muka Lui-ji berubah merah padam, lalu mendadak
berubah pucat pula, sungguh ia ingin mendekap telinganya, tidak sudi mendengarkannya.
Sementara itu Ki Leng-hong telah menyambung, "Berbareng itu akupun sangat berkuatir
bagimu, sebab orang semacam Ji Hong-ho, sekalipun untuk sementara dapat kau tipu, lambat
laun rahasiamu tetap akan diketahui olehnya. Waktu itu ada maksudku hendak
memperingatkan dirimu, siapa tahu, begitu melihat diriku kau lantas ketakutan seperti melihat
setan dan lari terbirit-birit."
Sekali ini Pwe-giok termenung hingga agak lama, katanya kemudian, "Lalu apa pula transaksi
yang kau sebut tadi?"
"Semua rahasiamu sudah kuketahui," jawab Leng-hong." bilamana kubeberkan rahasiamu ini,
seketika akan mendatangkan malapetaka bagimu. Tapi kau tidak perlu kuatir, bukan saja akan
ku tutupi rapat rahasiamu ini, bahkan akan kubantu kau pula."
"Membantuku bagaimana?" tanya Pwe-giok.
"Dapat kubantu kau menghancurkan Ji-Hong-ho gadungan itu, sebab aku sendiri pun ingin
menghancurkan dia," jawab Leng-hong sekata demi sekata.
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Betul, ku tahu ambisimu yang ingin menjadi
Bu-lim-bengcu, untuk itu kau harus menghancurkan dia lebih dahulu, dan untuk
menghancurkan dia, lebih dulu harus pula kau bongkar rahasianya, sebab itulah kau lantas
ingat kepadaku, daripada kau bilang akan membantu diriku, kan lebih tepat jika dikatakan kau
bantu dirimu sendiri."
137 Ki Leng-hong tertawa, katanya, "Saat ini kita berdua mempunyai musuh yang sama, jadi
bukan soal lagi tentang siapa membantu siapa, kukira sama saja apakah kau bantu aku atau ku
bantu kau." "Dan kalau aku tidak sudi bekerja sama dengan orang macam kau ini!"
"Kan sederhana saja...sekarang juga akan kubunuh kau..."
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Ai, tampaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain,
begitu bukan?" "Ya, memang begitulah." jawab Ki Leng-hong. Ia tertawa cerah, lalu menyambung, "Tapi bila
kau mau bekerja sama denganku, tahu akan kubantu kau dengan sepenuh tenaga, mungkin
tidak kau ketahui betapa kekuatanku, untuk itu dapat kuberitahukan padamu bahwa di sekitar
utara dan selatan sungai panjang (Tiangkang atau Yang tze kiang), di sepanjang lembah
Sungai Kuning, dari Saypak (barat laut) sampai Saylam (barat daya), pada setiap kota besar
yang penting rata-rata terdapat anak buahku, asalkan kuberi perintah, tentu mereka akan
menjual nyawa bagimu."
"Jika benar sebesar ini kekuasaanmu, mengapa kau masih ingin menjadi Bu-lim-bengcu, lalu
apa manfaatnya bagimu?"
Ki Leng hong tertawa, katanya, "Setiap orang mempunyai hobinya sendiri, ada orang gemar
minum arak, ada yang kemaruk harta, ada pula yang suka main perempuan, dan hobiku adalah
kekuasaan." "Kekuasaan?" Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, kekuasaan," jawab Ki Leng-hong. "Orang yang tidak pernah berkuasa, selamanya tidak
akan tahu bagaimana rasanya kekuasaan, dan cita-citaku yang terbesar selama hidupku ini
adalah ingin melihat para ksatria Bu-lim di seluruh dunia ini sama berlutut dan tunduk di
hadapanku, tapi sekarang,.... sekarang aku hanya dapat beraksi secara rahasia saja, apa bila
gagal, maka selamanya akupun takkan melihat matahari lagi."
"Ada sementara orang bilang arak dapat mengacaukan watak dan perempuan bisa merugikan
kesehatan, tapi menurut pendapatku, yang paling celaka di dunia ini mungkin adalah
"kekuasaan" yang kau inginkan itulah," kata Pwe-giok dengan menyesal.
Sorot mata Ki Leng-hong mendadak berubah menjadi merah membara, ucapnya sekata demi
sekata, "Tapi kalau ada sesuatu yang paling menarik di dunia ini, maka hal itu adalah
kekuasaan. Betul tidak?"
"Tapi hendaklah kau renungkan lagi, meski sekarang Ji Hong-ho jadi Bu-lim-bengcu, tapi kau
kan tidak pernah tunduk dan menyembah padanya, bila kau jadi Bengcu, darimana pula kau
tahu tiada orang lain yang secara diam-diam mengkhianat dan membangkang padamu ?"
"Hal itu adalah lumrah," ujar Ki Leng-hong:
138 "Sekalipun menjadi raja juga pasti ada bawahan yang mengkhianat dan memberontak. Yang
penting asalkan setiap orang menghormat dan tunduk di hadapanku, biarpun ada yang secara
diam-diam membangkang juga tidak menjadi soal."
"Namun kedudukan Bu-lim-bengcu macam begitu akan dapat bertahan berapa lama ?" tanya
Pwe-giok "Asalkan dapat berkuasa satu hari...biarpun cuma satu hari juga sudah puas bagiku," kata
Leng-hong. Pwe-giok menghela nafas pula, gumannya:
"Ai, kekuasaan, kekuasaan! Tak tersangka kata-kata ini mempunyai daya tarik sebesar ini ?"
"Kau tidak perlu banyak mempelajari urusan ini, cukup bagimu asalkan kau paham bahwa
untuk menuntut balas, jika ingin membongkar rahasia Ji Hong-ho itu, maka kau perlu bekerja
sama denganku, kalau tidak, jalan lain bagimu hanya ada satu, yaitu mati !"
"Tapi akupun ada suatu syarat, kalau tidak kau terima aku lebih suka mati saja," kata Pwegiok.
"Syarat apa ?" tanya Ki Leng-hong.
"Aku tidak ingin kau sebut-sebut Kek-Lok-wan di hadapanku, bukan saja tidak ingin
meminumnya, akupun tidak sudi mendengarnya."
"Memangnya kau kira barang ini tidak berharga ?" ujar Leng-hong dengan tertawa,
"Supaya kau tahu bahwa barang ini terkadang jauh lebih bernilai daripada emas. Apalagi
kalau kau sudah terima kehendakku, untuk apa ku buang-buang percuma ransum yang sukar
dicari ini." "Asal kuterima permintaanmu dan kau lantas percaya ?" Pwe-giok menegas.
"Di dunia ini kalau masih ada orang yang dapat kupercaya, maka orang itu adalah kau !
Apalagi..." Ia tertawa, lalu menyambung: "Masih cukup banyak rahasiamu yang tergenggam di tanganku,
aku tidak perlu kuatir kau akan ingkar janji, lebih-lebih persekutuan kita inikan saling
menguntungkan, mustahil takkan kulaksanakan dengan baik."
"Wah, tampaknya bila ingin ku bongkar rahasia mereka, terpaksa aku harus bekerja sama
dengan orang-orang seperti kalian ini."
"Betul," kata Leng-hong, "Sebab orang yang sok anggap dirinya kaum pendekar budiman,
pahlawan setia, semua itu sudah berdiri dipihak Ji Hong-ho, jelas tiada seorang pun yang mau
membantumu, sebab Ji Hong-ho kan Bu-Lim-bengcu sekarang ?"
Di dunia ini memang banyak hal-hal aneh dan ajaib.
139 Yang dilakukan Pwe-giok sebenarnya pekerjaan yang luhur dan suci, tapi terpaksa harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, terpaksa harus berkumpul dengan manusia yang tidak
luhur dan juga tidak suci.
Demi hidup, terpaksa ia harus mati lebih dulu.
Hal ini kedengarannya sangat lucu dan sukar dipercaya, tapi faktanya memang demikian dan
masuk diakal. Memang, ada sementara urusan yang tampaknya benar dan masuk diakal,
padahal sebenarnya justru sangat janggal.
Betapapun Lui-ji tidak menyangka kisah hidup Pwe-giok masih sedemikian banyak
rahasianya yang liku-liku. Baru sekarang ia tahu betapa malang nasib Pwe-giok dan ternyata
jauh lebih nelangsa daripadanya.
Kalau kemalangan Lui-ji sendiri masih dapat diceritakan kepada orang lain, tapi kemalangan
Pwe-giok justru harus serba tertutup, sama sekali tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Pula kemalangannya masih dapat memperoleh simpatik dari orang lain, sedangkan
kemalangan Pwe-giok siapa yang tahu "
Dia pandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, tanpa terasa air mata meleleh pula.
Tiba-tiba Ki Leng-hong berkata dengan tertawa, "Cu Lui-ji...Cu Lui-ji...Nama ini memang
sangat tepat bagimu, sesungguhnya kau memang seorang "lui-ji" (anak suka menangis),
mungkin cairan yang mengalir dalam pembuluh darahmu juga terdiri dari air mata."
"Dan tahukah kau cairan apa yang mengalir dalam pembuluh darahmu ?" jawab Lui-ji dengan
gusar. "Jika kau tidak tahu, biarlah kuberitahukan padamu, yang mengalir dalam pembuluh
darahmu itu adalah air busuk, air got, air pecomberan. Nah, tahu ?"
Ki Leng-hong tidak marah, ia tersenyum dan berkata pula, "Umumnya orang berduka tidak
dapat marah-marah, tapi sambil mencucurkan air mata kau masih dapat memaki orang,
sungguh aneh." "Kenapa mesti heran," ujar Lui-ji. "Ada sementara orang sambil tersenyum malahan dapat
membunuh orang sekaligus, inilah yang lebih aneh."
"Tersenyum sambil membunuh orang, kukira untuk kepandaian ini tiada orang yang mampu
menandingi Siau-hun-kiongcu ?"
Lui-ji terkejut, "Hah, kau tahu asal-usulku ?"
"Coba kau pikir, apabila tidak kuketahui asal-usulmu, mana bisa kubeberkan rahasia besar ini
di hadapanmu " masa aku tidak kuatir rahasia ini akan kau siarkan?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Darimana kau tahu ?" tanya Lui-ji dengan beringas.
"Jika sedikit urusan ini saja tidak mampu kuketahui, masa aku berani berebut kuasa dengan Ji
Hong-ho ?" jawab Ki Leng-hong.
140 "Ingin ku beritahu, sekalipun aku masih jauh berpuluh li di sana, apa yang terjadi di sini pasti
kuketahui." Tiba-tiba ia tertawa terhadap Pwe-giok dan berkata pula: "Ah, aku lupa mengucapkan selamat
kepadamu. Kau dapat mempersunting istri sepintar dan secantik ini, sungguh mengagumkan
dan menggirangkan." Pwe-giok tidak berucap apapun, tanpa terasa ia memandang Lui-ji sekejap, dilihatnya wajah
Lui-ji pucat lesi, air mata hampir bercucuran pula.
"Ti...tidak perlu kau berolok-olok padaku dengan...dengan kata-kata demikian," ucap Lui-ji
dengan tersendat. "Olok-olok " Masa kau anggap aku berolok-olok ?" kata Leng-hong.
Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab dengan parau: "Sudah jelas-jelas kau tahu apa yang
terjadi itu cuma...cuma gurauan saja."
Sehabis mengucapkan "gurauan" itu sekujur badannya serasa kehabisan tenaga, akhirnya air
mata pun berderai tak tertahankan lagi.
"Gurauan " Masa urusan perkawinan boleh dibuat bergurau ?"
"Tapi...tapi aku...."
"Jangan kuatir," ujar Leng-hong dengan suara lembut, "Jika kau kira dia akan menyangkal
pernikahan ini, maka salahlah kau. Ji Pwe-giok pasti bukan manusia rendah demikian. Tidak
nanti dia mengingkari janji dan tidak mengakui kau sebagai istrinya lantaran kau tidak jadi
mati." Tubuh Lui-ji bergemetar, sorot matanya beralih pelahan ke arah Pwe-giok.
Mendadak Ki Leng-hong berkata pula dengan tertawa: "Tidak perlu kau tanya dia. Malahan
dapat kuajari suatu akal padamu, apabila dia tidak sudi mengakui Cu Lui-ji sebagai istrinya,
maka boleh kau mati dihadapannya."
Diam-diam Pwe-giok menghela nafas, dilihatnya Lui-ji masih memandangnya dengan
termangu-mangu. Belum lagi tahu apa yang harus diucapkannya, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan sayu, "Jangan
kau kuatir, betapapun tidak nanti kulakukan hal begitu, aku..."
"Mengapa tidak kau lakukan " Apa jeleknya tindakan begitu ?" sela Leng-hong mendadak.
"Seorang lelaki kalau menyukai seorang perempuan segala jalan akan ditempuhnya untuk
mendapatkan si dia, dan orang takkan memaki dia, malahan orang akan memuji
kepintarannya cara mendapatkan perempuan itu. Sebaliknya kalau seorang perempuan
menyukai seorang lelaki, mengapa si perempuan tidak boleh main akal ?"
"Akan...akan tetapi....perempuan kan tidak sama dengan lelaki," kata Lui-ji.
141 "Apanya yang tidak sama " lelaki adalah manusia, perempuan juga manusia bukan " Selama
beribu-ribu tahun perempuan selalu tertindas oleh kaum lelaki, sebabnya si perempuan sendiri
yang memandang dirinya lebih rendah daripada lelaki. Sebab itulah aku harus berjuang bagi
kaum wanita." Dia melototi Lui-ji, lalu berkata pula, "Coba, ingin kutanya padamu, dalam hal apa kau lebih
rendah daripada lelaki " mengapa kau justru memandang rendah dirimu sendiri ?"
Lui-ji menggigit bibir dan tidak bersuara lagi, tapi air mata yang meleleh di pipi sudah mulai
mengering, wajahnya yang pucat juga mulai cerah, tidak putus asa lagi.
Leng-hong mendekatinya dan memegang tangannya, ucapnya dengan suara lembut: "Adik
cilik, kita sama-sama orang perempuan, sebab itulah kita juga harus bersatu padu dan
berjuang bagi kaum wanita yang tertindas selama beribu tahun ini, supaya lelaki di dunia ini
tidak berani menindas kita lagi, kita harus berbuat sesuatu agar kaum lelaki tahu bahwa
perempuan bukan dilahirkan sebagai barang permainan lelaki."
Melihat air muka Lui-ji tahulah Pwe-giok bahwa propaganda Ki Leng-hong itu bukan saja
telah menggelitik lubuk hati Lui-ji, hakekatnya dapat dikatakan Lui-ji telah terpikat olehnya.
Maklumlah apa yang diuraikan Ki Leng-hong itu tentu cocok bagi telinga setiap perempuan di
dunia ini. Ia tahu sekarang Lui-ji pasti tidak lagi menganggap Leng-hong sebagai orang jahat.
Didengarnya Leng-hong lagi pidato pula: "Pernikahan diantara lelaki dan perempuan memang
serupa orang mengail, yang memegang alat pancing biasanya adalah si lelaki, boleh juga
sekali tempo perempuan juga memegang alat pancingnya, toh yang mau terpancing hanya
orang yang suka saja. Tapi pada saat kau berhasil mengail seekor ikan, bisa jadi ikan itupun
menyangka kau yang terpancing olehnya."
Dalam pada itu ia sudah membuka Hiat-to Lui-ji dan Pwe-giok yang ditutuknya tadi, lalu ia
jejalkan tangan Lui-ji pada tangan Pwe-giok, seperti benar seperti pura-pura, seperti
berkelakar tapi juga seperti bersungguh-sungguh ia berkata. "Sekarang kuserahkan dia
padamu, jika kau berani membikin susah dia. awas, pasti akan kubikin perhitungan
denganmu." Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan berkata, "Terima kasih!"
"Apa" Kaupun terima kasih padaku?" Leng hong melenggong.
"Ya, tadinya ku kuatir dia sukar diberi penjelasan, sekarang barulah merasa lega hatiku," kata
Pwe-giok. "Ah, meski dimulut kau bicara demikian, didalam hati mungkin kau caci-maki padaku karena
aku telah memberi kuliah pada binimu tadi,"
"Mana bisa ku caci-maki padamu?" ujar Pwe-giok dengan tak acuh. "Aku cuma merasa rada
heran saja." "Oo! Heran bagaimana?" tanya Leng-hong.
"Ku heran, apa yang terjadi di sini cara bagaimana dapat kau ketahui di kejauhan sana?"
142 Leng-hong tersenyum misterius, ucapnya, "Masakah kau lupa pada dongeng tentang Kongsun
Tiang yang mahir bahasa burung itu?"
"O, maksudmu kau terima berita melalui burungmu?" tanya Pwe-giok dengan rada geli.
"Apakah kau kira sekarang aku masih percaya tentang bahasa burung yang kau kuasai itu?"
"Jika aku tidak paham bahasa burung, waktu kau terjebak di kamar sumur hantu itu, siapakah
yang dapat menolong kau?"
"Yang.....yang menolongku itu kan nona....nona Ki Leng-yan?" jawab Pwe-giok dengan ragu.
"Hahahahaha!" mendadak Leng-hong tertawa.
"Cara bagaimana kau tahu itu perbuatan Ki Leng-yan" Apakah dapat kau bedakan" Berapa
banyak pula kau memahami diri kami?"
Pwe-giok jadi melengak, malahan terasa merinding.
Sebenarnya ia percaya penuh nona yang berdiri di depannya ini Ki Leng-hong adanya,
sebenarnya ia percaya penuh Ki Leng-yan pasti tidak nanti berbuat demikian. Tapi sekarang,
ia benar-benar bingung. Maklumlah, terhadap dua kakak beradik itu memang tidak banyak yang diketahuinya. Meski
Ki Leng-hong kelihatan sangat pintar dan cekatan, tapi siapa pula yang tahu bahwa
kelinglungan Ki Leng-yan itu bukan pura-pura belaka"
Ki Leng-hong melototinya dan berucap pula sekata demi sekata, "Sekarang dapatkah kau
membedakan siapa aku ini?"
Pwe-giok menghela nafas, jawabnya sambil menyengir, "Mestinya dapat kubedakan, tapi
tambah lama tambah sukar bagiku untuk membedakannya."
Leng-hong bergelak tertawa, katanya. "Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa seorang yang
menganggap benar-benar menguasai sesuatu urusan terkadang justeru sangat sedikit yang
dikuasainya. Sebab bila dia merasa menguasai betul-betul, biasanya ia lantas tidak mau
memikirkannya lebih mendalam lagi."
Diam-diam Pwe-giok berusaha mencerna makna yang terkandung dalam kata-kata Ki Lenghong
ini, tanpa terasa ia jadi terkesima.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang mengetuk pintu perlahan, terdengar suara orang, katanya
ingin melapor sesuatu. Waktu Pwe-giok menengadah, barulah diketahuinya cuaca sudah kelam, hari sudah petang.
Yang mengetuk pintu dan masuk itu ialah Hiang-hiang, kini sudah bergairah lagi. Tentu
berkat Kek-lok-wan pemberian Ki Leng-hong tadi.
"Ada urusan apa?" tanya Leng-hong.
143 "Di luar kedatangan tiga orang....."
"Kau tahu bila malam tiba, di sini akan banjir tamu," sela Leng hong dengan dahi berkerut.
"Tapi hari ini..... kau tahu beberapa daripada hari-hari biasa, mengapa tidak kau tolak mereka
dan katakan tidak terima tamu."
"Sejak magrib entah sudah berapa banyak tamu yang ditolak," turu Hiang-hiang, "tapi ketiga
orang ini tidak mau pergi meski sudah kukatakan hari ini Bong-hoa lau tidak menerima tamu,
mereka berkeras masuk."
Leng-hong menarik muka katanya, "Oo.....Sudahkah kau periksa ketiga orang itu?"
"Siau Hong tidak berani bertindak sendiri dan melapor padaku, maka ku keluar melihat
mereka, kulihat ketiga orang itu berdiri seperti patung didepan pintu dan tidak menerjang
masuk secara paksa," demikian tutur Hiang-hiang.
"Bagaimana bentuk mereka?" tanya Leng-hong setelah termenung sejenak.
"Karena di depan pintu malam ini tidak diberi lampu gantung, maka samar-samar hanya
kelihatan usia ketiga orang seperti tidak muda lagi, kuda tunggangan mereka kelihatan jenis
kuda terkenal dari Kwan-gwa, mulut kuda malahan masih berbusa, jelas baru saja menempuh
perjalanan jauh dan berlari cepat."
"Maka mereka tidak terlihat?" tanya Leng-hong.
"Mereka sama memakai topi pandan yang lebar dan buatan khas sehingga wajah mereka tidak
jelas kelihatan, hanya satu diantaranya seperti ada cirinya, yaitu lengan baju kanan seperti
kosong melompong, jelas seorang yang buntung tangannya."
Gemerdep sinar mata Ki Leng-hong, ucapnya, "Jika demikian, ketiga orang ini jelas datang
dari tempat jauh, bahkan tidak suka wajah mereka dilihat orang."
"Ya, begitulah," kata Hiang-hiang.
Leng-hong termenung sejenak, jengeknya kemudian, "Apakah diriku inilah sasaran mereka"
Justeru akan kulihat orang macam apakah mereka itu dan untuk apa mereka datang ke sini"
Apapun juga takkan ku kecewakan mereka."
Sebenarnya sikap Lui-ji sudah kembali biasa, tapi begitu Ki Leng-hong keluar dan tertinggal
dia dan Pwe-giok saja, ia menjadi kikuk dan tidak tahu kemana tangannya harus ditaruh"
Iapun tidak tahu waktu itu hati Pwe-giok sedang senang atau marah, juga tak dapat menerka
apa yang sedang dipikirnya, sebab anak muda itu selalu kelihatan tenang dan halus.
Ia tidak tahu bahwa hati Pwe-giok saat itu juga tidak kurang kalutnya dan tidak tahu cara
bagaimana harus bersikap terhadap si nona serta apa pula yang harus dibicarakannya.
Pwe-giok hanya tahu dirinya tidak boleh lagi menyinggung perasaan si nona. Sebab ia tahu,
apapun juga, seorang anak perempuan seusia Lui-ji tentu penuh dengan khayalan yang mulukImbauan
Pendekar > karya Gulong/Khulung > diceritakan oleh Gan K.L. > buyankaba.com 144
muluk, mudah tersinggung dan juga gampang berduka, tapi juga paling kuat akan harga diri
sendiri. Masa inilah masa paling berbahaya bagi anak gadis, anak masa demikian inilah sering terjadi
pergolakan batin dan tidak mantap pendiriannya, cukup sesuatu urusan kecil saja dapat
menimbulkan petaka bagi mereka.
Namun Pwe-giok sesungguhnya juga tidak dapat mengakui Lui-ji adalah isterinya, seumpama
usia mereka tidak selisih sebanyak itu, seumpama Lui-ji memang gadis yang sudah tumbuh
cukup masa, sekalipun Pwe-giok benar-benar suka padanya, rasanya juga tidak nanti dia
mengakui si nona sebagai isterinya.
Sebab, apapun juga tidak boleh Pwe-giok meninggalkan Lim Tay-ih.
Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dirinya harus menyelesaikan urusan ini, sebab itulah
dia tidak berani salah omong lagi, sebab itu pula mereka hanya duduk berhadapan saja dan
tiada yang dapat dibicarakan.
Selagi keadaan terasa canggung, untunglah Ki Leng-hong telah kembali.
Serentak Pwe-giok dan Lui-ji bangkit dan menyongsong kedatangan Ki Leng-hong, tapi baru
satu-dua langkah, keduanya lantas berhenti pula serentak, Lui-ji melirik Pwe-giok sekejap,
sebaliknya Pwe-giok juga sedang memandangnya.
Lui-ji berharap Pwe-giok tidak jelas melihat air mukanya, siapa tahu Ki Leng-hong justeru
menyalakan lampu didalam ruangan.
Keruan muka Lui-ji menjadi merah, ia menunduk dengan senyuman kikuk, cepat ia mundur
dan duduk kembali. Setelah mengerling sekejap. Leng-hong mengikik tawa, katanya, "Baru ku tahu sekarang
bahwa semua pengantin di dunia ini ternyata sama, betapapun tabahnya seseorang, apabila
menjadi pengantin baru tentu juga akan merasa malu."
Makin rendah kepala Lui-ji tertunduk, sampai dia sendiri tidak tahu mengapa mukanya bisa
semerah itu. Pwe-giok berdehem untuk menghilangkan rasa canggung, lalu bertanya, "Sesungguhnya
siapakah yang datang itu?"
"Entah, aku tidak tahu siapa mereka?" jawab Leng-hong.
"Bukankah baru saja kau keluar melihat mereka?" tanya Pwe-giok.
"Tidak, hakekatnya aku tidak keluar."
"Sebab apa?" tanya Pwe giok pula.
"Sebab tanpa melihat mereka pun ku tahu apa maksud tujuan kedatangan mereka," tanpa
menunggu pertanyaan Pwe-giok lagi, segera Leng-hong menyambung, "Rupanya mereka
145 telah berjanji dengan orang untuk bertemu di sini, makanya mereka buru-buru datang kemari.
Orang Kangouw mengadakan pertemuan dirumah pelacuran kan sesuatu kejadian yang
jamak." "Jika demikian, mengapa gerak gerik mereka sedemikian misterius seakan-akan kuatir dilihat
orang?" kata Pwe-giok.
"Bisa jadi mereka bersepakat akan berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang," ujar Lenghong.
"Kan banyak perbuatan yang tidak boleh dilihat orang di dunia "Kangouw, asalkan
tidak ada sangkut pautnya dengan kita, untuk apa kita ikut campur."
Pwe-giok termenung sejenak, katanya kemudian, "Aku menjadi tertarik untuk melihat
bagaimana bentuk ketiga orang itu."
Lenghong tertawa katanya, "Tak tersangka kau ini juga suka ikut campur urusan orang lain,
padahal kau sendiri sedang dirundung macam kesulitan."
"Justeru lantaran cukup banyak kesulitanku, maka biarpun ditambah lagi beberapa macam
urusan lagi juga tidak menjadi soal bagiku," jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Apalagi,
bila kulihat seseorang yang suka main sembunyi-sembunyi dan gerak-geriknya menimbulkan
curiga, selalu kurasakan dia pasti ada sangkut pautnya dengan diriku."
Mencorong sinar mata Ki Leng hong, katanya, "Cukup leluasa jika kau ingin melihat mereka,
cuma sekarang Hiang-hiang sedang meladeni mereka, kuberani menjamin, darimana asal-usul
mereka pasti sukar lolos dasri pengamatan Hiang-hiang."
"Ah, kukira belum tentu," mendadak Lui-ji menyeletuk.
Leng-hong tersenyum, katanya, "Tampaknya kau belum paham urusan-urusan beginian.
Seorang anak perempuan yang sudah berkecimpung selama 3 tahun di rumah hiburan begini,
maka matanya akan berubah jauh lebih tajam daripada pisau. Misalnya terhadap seorang
tamu, betapa bobotnya, tebal atau tipis isi sakunya, begitu melangkah masuk rumah ini segera
akan dapat dilihat mereka. Di depan mereka, jangankan orang miskin sok berlagak cukong,
biarpun cukong sengaja pura-pura miskin juga akhirnya saku mereka akan dikuras habis
habisan oleh mereka."
Lui-ji tertawa, katanya, "Berlagak cukong memang jauh lebih gampang daripada pura-pura
miskin." Pada saat itulah mendadak seorang menanggapi dengan mengikik tawa, "Hihihi, betul, orang
yang berlagak cukong memang tidak kutakuti, orang demikian biasanya berani buang uang
tanpa banyak yang mereka bawa. Sebaliknya orang miskin kebanyakan sukar dilayani, apa
bila tidak kau beri rasa enak dulu kepadanya, biarpun saat itu saku mereka penuh duit juga
jangan harap akan kau gaet sepeser pun."
Jelas Hiang-hiang telah datang lagi.
"Bagaimana dengan ketiga orang itu?" tanya Leng-hong.
"Berada di pavilyun sana," lapor Hiang-hiang.
146 "Mengapa tidak kau temani mereka?"
"Ketiga orang itu mirip patung belaka, ku tertawa pada mereka, sama sekali mereka tidak
menggubris, ku bicara pada mereka juga tidak mereka dengarkan, hakekatnya aku ini tidak
dianggap sebagai perempuan. ingin kulihat apakah diriku ini mendadak telah berubah tua atau
buruk rupa, masa tiada orang yang tertarik lagi padaku."
Lui-ji berkedip-kedip mendengarkan cerita Hiang-hiang itu, tiba-tiba ia berkata, "bisa jadi
mereka orang tuli." Hiang-hiang bergelak tertawa, "Mereka tidak tuli, sebaliknya pendengaran mereka sangat
tajam, lebih-lebih kakek itu, setiap kali ada orang berlalu diluar, segera ia melompat ke
jendela dan melongok keluar."
"Kakek?" gumam Pwe-giok sambil berkerut kening. "Kakek macam apakah dia?"
"Tampaknya sudah 60 atau 70 tahun, jenggotnya sudah putih semua, gayanya juga bukan
sembarang orang, tidak saja kelihatan berduit, bahkan juga seperti cukup berpengaruh",
Hiang-hiang tertawa, lalu menyambung pula, "Tua bangka yang masih suka pelesir demikian
sebenarnya sudah cukup banyak kulihat, namun kakek yang satu ini rada lain daripada yang
lain." "Apanya yang lain?" tanya Pwe-giok.
"Orang yang datang kesini, semakin tua usianya semakin gila perempuan, dan juga makin
suka main gerayang, tapi kakek ini senantiasa bersungut, seperti setiap saat siap berkelahi
dengan orang." "Dia bicara dengan logat daerah mana?" tanya Pwe-giok.
"Hakikatnya dia tidak berucap satu katapun. hanya si buntung itu ketika menyeruhku
menyediakan makanan telah berucap beberapa kata padaku, logatnya seperti orang dari
daerah Kanglam." "Bagaimana bentuk orang ini?" tanya Pwe-giok tertarik.
Sikap Hiang-hiang seperti muak dan ingin tumpah, tuturnya dengan rasa jiji, "Usia orang ini
pun tidak muda lagi, bukan saja sebelah tangannya buntung, bahkan mukanya penuh bekas
luka yang merah menakutkan sehingga lebih mirip orang sakit lepra."
Rada berubah air muka Pwe-giok, ia termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Lalu
bagaimana bentuk orang ketiga?"
Hiang-hiang tertawa cerah, tuturnya, "Orang ini masih muda, antara tiga orang hanya dia saja


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling mirip manusia. Cuma tampaknya dia sudah beberapa hari tidak makan nasi,
kurusnya tidak kepalang, tinggal kulit membungkus tulang, sampai membuka mata saja
rasanya tidak sanggup."
147 Kembali Pwe-giok termenung sejenak, ia berpaling dan berkata kepada Ki Leng hong. "Tadi
kau bilang cukup leluasa apa bila ingin melihat mereka."
"Betul," jawab Leng-hong dengan tertawa, "di seluruh dunia, rumah pelacuran manapun, baik
besar maupun kecil, sedikit banyak tentu ada sesuatu yang aneh, apa lagi rumah pelacuran ini
adalah milik Oh-lolo."
"Sesuatu yang aneh" Apa maksudmu?" tanya Lui-ji saking ingin tahu.
Leng-hong tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, "Menurut perasaanmu, adakah sesuatu
perbedaan antara cahaya lampu di sini dengan cahaya lampu di tempat lain?"
Lui-ji jadi melengak, ia menggeleng dan menjawab, "Apa perbedaannya?"
"Tidakkah kau rasakan cahaya lampu di sini lebih terang dan juga lebih lembut."
"Oooo...." Lui-ji melongo.
"Tahukah kau apa sebabnya?"
"Sebab...sebab di ruangan ini tidak cuma dua buah lampu saja yang terletak di meja. Pada
dinding juga tergantung dua lampu lagi," jawab Lui-ji.
"Dan tahukah kau sebab apa kedua lampu itu ditaruh dekat dinding"
Kembali Lui-ji melengak, jawabnya, "Sebab apa" Sudah tentu untuk penerangan."
"Haha, salah kau!" seru Leng-hong dengan tertawa. "Untuk mengintiplah maka kedua lampu
itu dipasang di dinding."
"Untuk mengintip?" Lui-ji menegas.
"Ya, apa bila ada orang mengintip di lubang kunci atau celah-celah jendela, bisa jadi akan
dilihat olehmu, tapi kalau orang mengintip dari balik lampu sana, tentu takkan kau ketahui."
Terbeliak mata Lui-ji, katanya,
"Betul juga, sebab pasti tidak ada orang yang akan memandang ke arah cahaya lampu,
seumpama memandang kesana juga takkan jelas terlihat, sebab matanya pasti akan silau."
"Betapapun kau memang pintar," ujar Leng-hong dengan tertawa.
"Pantas Oh-lolo sedemikian banyak mengetahui segala seluk beluk kejadian di dunia
kangow." guman Lui-ji dengan gegetun.
"Tapi tujuan mengintip bukanlah karena ingin tahu rahasia orang lain," kata Hiang-hiang tibatiba.
"Habis apa tujuannya ?" tanya Lui-ji
148 Dengan gemas Hiang-hiang menjawab,
"Dia tahu adat orang lelaki, bila seorang lelaki masuk rumah pelacuran, maka segala tingkah
lakunya yang paling kotor dan rendah akan dikeluarkannya tanpa restan. Maka dia lantas
sembunyi dibalik dinding untuk mengintip semua tingkah olah kaum lelaki ini, menyaksikan
kami dipermainkan kaum lelaki, semakin senang hatinya. Terkadang dia malah menyeret
lakinya untuk menonton bersama. Sebab hanya dengan cara inilah dia akan...akan mendapat
kepuasan, sebab nenek jompo ini memang sudah terlalu reyot dan tidak.. tidak bergairah
untuk berbuat sendiri, terpaksa ia harus main intip supaya...supaya dapat..."
"Cukup," sela Leng-hong sambil berkerut kening.
"Memangnya perlu kau ceritakan lebih jelas lagi ?"
Terbelalak mata Lui-ji, ucapnya, "Ceritanya memang belum begitu jelas, sebab aku memang
belum begitu jelas, sebab aku memang belum begitu paham,"
Leng-hong tertawa geli, katanya, "Urusan beginian, akan lebih baik jika kau jangan terlalu
paham." Dengan gemas Hiang-hiang bertutur pula, "Pendek kata, tujuan nenek itu membuka rumah
pelacuran ini sebagian besar juga untuk memenuhi kepuasannya itu. Ya, nenek jompo ini
bukan saja seorang perempuan yang keji dan kejam, bahkan juga orang gila yang kotor dan
cabul." Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Tapi sekarang dia sudah mati. setiap orang mati adalah
orang bajik, sebab dia takkan berbuat sesuatu lagi yang merugikan orang lain. Lalu, untuk apa
kau mencaci-maki dia ?"
Akhirnya Ki Leng-hong membawa Pwe-giok ke suatu ruang rahasia yang berdinding rangkap.
Sudah tentu, didalam ruang sempit berdinding rangkap demikian hawa sangat panas, hanya
mengintip sebentar saja mereka sudah sama berkeringat. Hanya Pwe-giok saja yang
berkeringat dingin. Sebab akhirnya diketahuinya bahwa si kakek yang berlagak tuan besar itu adalah Tong Busiang,
sedangkan orang buntung yang bermuka buruk itu adalah Ong Uh-lau.
Seperti diketahui. buntungnya tangan dan rusaknya muka Ong Uh-lau itu adalah akibat
terkena racun Khing-hoa-samniocu di hotel kecil itu dahulu. Sejauh ini baru sekarang Ong
Uh-lau muncul lagi di depan umum.
Dengan sendirinya muka Ong Uh-lau sekarang sudah berubah sama sekali. Dipandang dari
balik gelas lampu yang tembus cahaya, wajah Ong Uh-lau tampak beringas menakutkan,
seolah-olah benci dan memusuhi setiap manusia di dunia ini.
Tong Bu-siang kelihatan berduduk tenang, lagaknya memang kereng sesuai seorang
pemimpin suatu perguruan ternama, hanya sikapnya saja kelihatan rada tegang, kedua
tangannya tiada hentinya mengutak-atik sebuah cawan teh di atas meja.
149 Masih ada seorang lagi yang duduk membelakangi Pwe-giok. Dengan sendirinya Pwe-giok
tak dapat melihat wajahnya, hanya kelihatan bahunya sangat lebar, pinggang kecil.
Dengan menempelkan telinganya ke dinding dapatlah Pwe-giok mendengar suara didalam
ruangan itu. Saat itu kedengaran ada langkah orang di luar.
Segera Tong Bu-siang melompat bangun, "Trang", cawan sampai terjatuh ke lantai hingga
pecah berantakan. Dengan mendongkol Ong Uh-lau melototinya sekejap, meski tidak omong apa-apa, tapi Pwegiok
sudah dapat memastikan bahwa Tong Bu-siang ini pasti gadungan. Sebab, ahli senjata
rahasia seperti Tong Bu-siang, kedua tangannya pasti sudah sangat terlatih, kalau memegang
sebuah cangkir saja tidak mantab, lalu cara bagaimana akan sanggup menyambitkan senjata
rahasia keluarga Tong yang terkenal lihay itu "
Wajah dan sikap orang ini memang persis Tong Bu-siang yang asli, boleh dikatakan "barang
tiruan" yang sangat sempurna, kecuali kedua tangannya itu. Maklumlah, tangan Tong Busiang
yang menjadi andalannya itu memang tidak dapat dipalsukan oleh siapapun juga.
Terbeliak mata Pwe-giok, seperti mendadak melihat setitik sinar dalam kegelapan, sebab
sekarang diketahuinya bahwa intrik busuk komplotan jahat itu toh tidak seluruhnya sempurna,
masih ada titik-titik kelemahan yang dapat digempur.
Ternyata yang masuk kemudian tidak lain adalah Hiang-hiang dan beberapa genduk yang
membawakan beberapa nampan makanan. Tong Bu-siang itu menghela nafas panjang, lalu
berduduk pula. Di bawah cahaya lampu, senyuman Hiang-hiang sungguh amat menggiurkan, setiap lelaki
yang dilirik dengan senyuman maut Hiang-hiang itu mustahil kalau tidak segera mengajaknya
ke dalam kamar. Sekalipun senyuman maut Gin-hoa-nio rasanya juga tidak sebesar ini daya tariknya, sebab,
apapun juga Gin-hoa-nio kan cuma "amatir" saja, sedangkan Hiang-hiang adalah
"professional", memang itulah pekerjaannya.
Cuma sayang, dia ketanggor, Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang itu bahkan sama sekali tidak
melirik padanya, apalagi tertarik.
Sesudah para pelayan menyiapkan makanan dan minuman, dengan goyang pinggul Hianghiang
lantas mendekati tamunya, ia angkat poci arak dan sengaja mempertontonkan
tangannya yang putih mulus itu ke depan mata orang.
Gelang kemala hijau yang dipakainya sama berdentingan, suaranya juga halus merdu, biar
tanpa arak juga suara tertawanya cukup memabukkan tamunya. Tapi sayang, Ong Uh-lau dan
Tong Bu-siang tetap tidak menggubrisnya, seperti tidak melihatnya sama sekali.
Namun Hiang-hiang belum putus asa, dengan suara nyaring seperti bunyi keleningan ia
berkata, "Silahkan tuan-tuan mencicipi arak simpananku ini, biasanya arak ini tidak
sembarangan kusuguhkan kepada tamuku, hanya sekarang harus dikecualikan sebab hanya
ketiga ksatria ternama seperti kalian inilah yang..."
150 Belum habis ucapannya mendadak Tong Bu-siang mendelik dan memotong ucapannya,
Darimana kau tahu kami ini ksatria ternama " siapa yang beritahukan padamu ?"
Hiang-hiang mengerling genit, katanya dengan senyuman menggiurkan, "Masa perlu
diberitahu " Sekali melihat sikap kalian yang berwibawa ini, kalau bukan ksatria ternama
mana bisa sekereng ini ?"
Tong Bu-siang mendengus, katanya, "Kami ini orang dagang, kekayaan kami memang boleh
diandalkan..." "Creng", mendadak Ong Uh-lau melemparkan sepotong emas murni diatas meja, katanya,
"Kau ingin memiliki emas ini atau tidak ?"
Meski Bong-hoa-lau ini rumah hiburan yang biasanya penuh tamu berduit, tapi emas seberat
ini tidaklah mudah diperoleh apabila tiada hubungan intim antara tamu dan langganannya.
Hiang-hiang pura-pura menunduk, ucapnya dengan menggigit bibir, "Apakah tuan
ingin...ingin..." "Ku ingin kau keluar dari sini !" tukas Ong Uh-lau, "Keluar dengan membawa emas ini, kalau
tidak dipanggil sebaiknya jangan masuk kemari."
Lui-ji mengira sekali ini Hiang-hiang pasti tidak dapat tertawa lagi. Siapa tahu, sambil
mengerling Hiang-hiang berkata pula dengan tertawa genit, "Ai, jika demikian, biarlah
kuucapkan terima-kasih saja."
Habis berucap segera ia comot emas itu dan benar-benar melangkah pergi.
Mendadak orang yang duduk membelakangi Pwe-giok itu berseru, "Nanti dulu !"
Hiang-hiang menoleh dan tersenyum genit, tanyanya: "Ada apa lagi ?"
Tangan orang itu terjulur ke depan, tahu-tahu setangkai bunga goyang berhias mutiara besar
tersunggih di tangannya. Bunga goyang bermutiara ini jelas jauh lebih berharga daripada sepotong emas tadi, seketika
perhatian semua orang tertarik oleh perhiasan ini, hanya Pwe-giok saja yang tetap
memperhatikan tangan orang itu.
Tangan itu tidak kasar, bahkan jarinya halus dan lentik, tercuci sangat bersih, meski baru saja
memegang tali kendali kuda dan menempuh perjalanan jauh, tapi tangannya tetap tidak
sekotor sedikitpun. Tangan ini tampaknya tidak terlalu kuat, tapi sangat mantap, dengan menyunggih bunga
mutiara dan terjulur begitu tetap kelihatan mantap tidak bergoyang sedikitpun.
Dada Hiang-hiang tampak naik turun, dengan terengah ia berkata: "Selama hidup tidak pernah
kulihat mutiara seindah ini, bolehkah aku memegangnya ?"
151 "Untuk apa hanya memegang saja " Jika kau suka, boleh kuberikan padamu," kata orang itu.
Suaranya ternyata suara orang muda, bahkan kedengarannya rada kemalas-malasan.
Hiang-hiang menjawab dengan tersenyum senang: "Jelas kau tahu tiada seorang perempuan
yang dapat menolak pemberian perhiasan sebagus ini. kenapa kau perlu tanya lagi padaku."
"Tapi kalau kau suka pada perhiasan ini, kau harus tinggal di sini dan mengiringiku minum
arak," kata orang itu.
Seketika timbul rasa kejut dan heran pada wajah Hiang-hiang, tanpa terasa ia pandang Tong
Bu-siang dan Ong uh-lau, dilihatnya air muka kedua orang itu bersungut menahan rasa marah,
tapi tidak berani menyatakan keberatannya.
Dengan sendirinya Pwe-giok jauh lebih terkejut dan heran daripada Hiang-hiang.
Siapakah gerangan pemuda itu " mengapa dia sengaja memusuhi Ong Uh-lau " terangterangan
Ong Uh-lau mengusir Hiang-hiang, tapi dia minta Hiang-hiang menemaninya
minum arak " Tampaknya Ong Uh-lau hanya berani marah tapi tidak berani bicara, masa orang she Ong ini
jeri terhadap pemuda itu "
Bahwa mereka adalah satu rombongan dan datang bersama, jelas merekapun sedang
melakukan sesuatu yang penuh rahasia, agaknya pemuda itupun anak buah Ji Hong-ho.
Jika begitu, mengapa dia memusuhi Ong Uh-lau dan mengapa Ong Uh-lau jeri padanya.
Setahu Pwe-giok, kedudukan Ong Uh-lau dalam komplotan Ji Hong-ho gadungan itu tidaklah
rendah, juga bukan seorang penakut, tapi mengapa mengalah kepada pemuda ini.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan pemuda inilah betul-betul seorang tokoh yang misterius.....
Dengan sendirinya Hiang-hiang menurut dan berduduk lagi di situ.
Malahan ia sengaja berduduk di pangkuan pemuda itu, sekujur badannya terbenam dalam
pelukan orang itu. Ong Uh lau dan Tong Bu-siang saling pandang sekejap, mereka berpaling ke arah lain dan
tidak mau memandang lagi rekannya.
"Huh, munafik, hipokrit," ejek pemuda itu dengan bergelak tertawa. "Sebabnya dunia ini
kacau balau begini adalah karena terlalu banyak manusia munafik." Dia rangkul pinggang
Hiang-hiang yang ramping, lalu menyambung pula dengan tertawa, "Tapi antara kau dan aku
tiada bedanya, sama-sama siaujin (manusia kecil, rendah) tulen, makanya kita berdua jauh
lebih gembira daripada orang lain, betul tidak ?"
Hiang-hiang terkikik-kikik di tepi telinga pemuda itu, ucapnya: "Ya, bukan saja jauh lebih
gembira daripada orang lain, bahkan juga jauh lebih menarik daripada orang lain."
152 "Haha, ucapan bagus, ucapan tepat ! Harus kuhormati kau tiga cawan !" seru pemuda itu
sambil bergelak. Dia benar-benar menuang tiga cawan arak berturut-turut, sambil mengetuk poci arak iapun
berdendang: "Manusia hidup jarang ketemu waktu gembira, mumpung ada kesempatan
janganlah dilewatkan. Malam sejuk dan indah begini, mana boleh tanpa minum arak. Marilah
mari, akupun menyuguh kalian tiga cawan arak !"
Sekali ini Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang ternyata sangat penurut, mereka benar-benar angkat
cawan dan menenggaknya hingga habis meski dengan ogah-ogahan dan berkerut kening, cara
minum arak mereka ini mengingatkan orang pada anak kecil yang dipaksa minum obat.
Tapi pemuda itu masih terus menenggak araknya secawan demi secawan, berbareng ia terus
lalap santapan yang tersedia, malahan seperti santapan itu kurang lezat, berulang ia menggigit
hidung Hiang-hiang pula. Hiang-hiang tertawa cekakak dan cekikik, mendadak ia menjerit.
"Sakit ?" tanya pemuda itu.
Hiang-hiang membenamkan kepalanya di dada orang sambil menjawab: "O, tidak !"
"Hahahaha !" Pemuda itu tertawa.
"Sudah kuberikan bunga mutiara yang bernilai ribuan tahil emas tadi, maka akupun berhak
menggigit kau dan terpaksa kaupun menjawab tidak sakit, Inilah manusia, setiap manusia ada
harganya, ada tarifnya sendiri-sendiri, bedanya cuma tinggi atau rendah tarif saja."
"Dan engkau sendiri apakah pasang tarif ?" tanya Hiang-hiang dengan aleman.
"He, kau ingin membeli diriku ?"
"Ehmm, akan ku beli kau dan kubawa pulang dan kusembunyikan didalam kamar."
Pemuda itu tertawa keras, ucapnya: "Cuma sayang, harga diriku terlalu tinggi, jika kau cari
duit mati-matian seperti sekarang ini, setiap tamu kau terima dan seluruh hasil pendapatanmu
kau kumpulkan, setelah menabung 30 atau 50 tahun, mungkin masih ada harapan."
"Wah, sementara itu bukankah aku sudah menjadi nenek-nenek ?" ujar Hiang-hiang sambil
mengikik tawa. "Asal ada duit, biarpun nenek-nenek juga tidak menjadi soal."
Mendengar sampai di sini, dibalik ruangan rahasia Lui-ji tidak tahan dan mendesis: "Busyet,
tampaknya orang ini cocok menjadi saudara angkat Ji Yak-ih."
Ki Leng-hong menghela nafas pelahan, katanya: "Orang ini mungkin sepuluh kali lebih pintar
daripada Ji Yak-ih dan juga berpuluh kali lebih menakutkan."
153 "Tapi juga orang semacam dia inilah yang pantas disebut sebagai siaujin tulen." tukas Pwegiok.
Dilihatnya pemuda itu berturut-turut menghabiskan lagi tiga cawan arak, lalu memukul meja
dan berseru dengan tertawa: "Meski sekarang kau tidak mampu membeli diriku, tapi aku
mampu membeli dirimu. Kau beli diriku atau aku yang membeli dirimu, akhirnya kan juga
sama saja?" Mendadak ia berbangkit, Hiang-hiang diseretnya sambil berguman: "Wah, rasanya aku sudah
mabuk dan ingin bobok, marilah kita...."
Dengan sempoyongan ia terus tarik Hiang-hiang ke kamar sebelah sana, terdengar suara
tertawa Hiang-hiang dan pintu kamar pun tertutup.
Selang sejenak, terdengar pemuda tadi berdendang pula, dendangnya orang mabuk, suaranya
semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi.
Mendadak seluruh rumah hiburan itu berubah menjadi sunyi senyap, Lui-ji dan lain-lain yang
mengintip dibalik ruang rahasia sana juga tidak berani bersuara lagi.
Selang sejenak pula, Tong Bu-siang menggeleng kepala dan berucap dengan menyesal:
"Sungguh aku tidak mengerti, mengapa Bengcu menyuruh orang macam begini ikut ke sini
bersama kita." Ong Uh-lau terpekur sejenak, sahutnya: "Perintah Bengcu, sudah tentu cukup beralasan."
"Tapi orang sialan ini sebenarnya orang macam apa, kau tahu ?" tanya Tong Bu-siang.
"Akupun tidak tahu." jawab Ong Uh-lau.
"Yang jelas Bengcu menaruh kepercayaan penuh kepadanya, sebab itulah beliau memberi
pesan wanti-wanti padaku agar kita tunduk kepada perintahnya, apapun juga kehendaknya
harus kita turuti." Tong Bu-siang menghela nafas, katanya, "Tapi dalam keadaan demikian orang ini hanya tahu
makan minum dan berfoya-foya, urusan lain tidak ambil pusing, malahan terus pergi tidur
segala. Orang macam begini masa dapat dipercaya?"
Ong Uh-lau termenung sejenak, akhirnya tetap mengemukakan kata-kata yang sama, yaitu:
"Atas pesan Bengcu, tentu ada alasannya."
Baru sekarang Pwe-giok tahu sampai Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang juga tidak tahu asal-usul
si pemuda yang misterius ini.
Sejak awal hingga akhir pemuda itu tetap berduduk membelakangi Pwe-giok sehingga yang
kelihatan hanya bayangan samping saja, malahan hanya pandangan sekilas saja. Diketahuinya
wajah pemuda itu sangat cakap, tapi juga seperti pemalas, membuka mata saja rasanya
enggan. 154 Sampai saat ini Pwe-giok dapat memastikan sesuatu, yakni bukan saja ia tidak kenal pemuda
ini, bahkan tidak pernah melihatnya sebelum ini.
Dalam pada itu, Tong Bu-siang dan Ong Uh-lau masih tetap duduk diam sana, arak setetespun
tidak minum, makanan setitik juga tidak disentuh. Malahan keduanya kelihatan rada tegang
dan mulai gelisah.

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selang sekian lama lagi, tiba-tiba Tong Bu-siang tertawa dan berkata: "Kuharap orang itu bisa
lekas datang, biarlah kita menyelesaikan urusan kita di luar dan biarkan dia menikmati
menjadi pengantin baru, coba nanti cara bagaimana dia akan bertanggung jawab terhadap
Bengcu" Ong Uh-lau melotot lagi padanya sambil menjengek: "Hm, caramu bicara ini apakah takkan
ketahuan belangmu?" "Ketahuan belangku apa?" jawab Tong Bu-siang dengan mendelik.
"Ingat, sekarang kau ini dalam kedudukan apa?"
"Sudah tentu ku tahu."
"Jika kau dalam kedudukan sebagai seorang Ciangbunjin suatu perguruan ternama, caramu
bicara hendaknya juga berbau sebagai seorang berpengaruh. Tapi caramu bicara yang
inginkan orang lain tertimpa malang dan mengharapkan kekacauan dunia ini hanya
memperlihatkan kau ini berasal dari kaum rendahan"
Jilid 6________ Seketika Tong Bu-siang melenggong, mukanya sebentar pucat sebentar merah, mendadak ia
menggebrak meja dan berteriak: "Ku tahu kalian memandang hina padaku, sebab dahulu aku
cuma seorang perawat kuda saja. Tapi kau sendiri, kau ini kutu macam apa pula" Memangnya
kau kira kau ini benar-benar Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau segala?"
"Tutup bacotmu!" bentak Ong Uh-lau dengan gusar.
"Aku justru ingin omong lagi" sahut Tong Bu-siang dengan muka merah padam. "Ya, ingin
omong terus, apa yang dapat kau lakukan terhadapku" memangnya dapat kau bunuh diriku?"
"Biar kubunuh kau, memangnya takut apa?" kata Ong Uh-lau dengan beringas.
"Huh, masa kupercaya kau berani" Jangan lupa, saat ini aku adalah ketua keluarga Tong yang
disegani, bilamana kau bunuh diriku, ke mana lagi akan kau cari seorang Tong Bu-siang yang
lain?" Ong Uh-lau melotot sekian lama, tiba-tiba ia tertawa, katanya, "Ai, sudahlah, apa yang
kukatakan, semuanya adalah demi kebaikanmu, sebab kalau sampai rahasiamu terbongkar,
bagimu maupun bagiku sama-sama tidak ada faedahnya."
Maka tertawalah Tong Bu-siang, ucapnya, "Jangan kuatir, latihanku selama dua tahun ini
masa percuma?" 155 Mendengar sampai di sini, tangan Pwe-giok sudah berkeringat dingin.
Nyata "Tong Bu-siang" ini tadinya cuma seorang perawat kuda saja, bisa jadi lantaran
mukanya serupa Tong Bu-siang asli, maka dia terpilih untuk dijadikan Tong Bu-siang imitasi.
Jika demikian, lalu siapa pula orang yang menyaru sebagai Ong Uh-lau ini" Dan siapa lagi
yang menyamar sebagai Lim Soh-koan, Ong Tay-oh, Sebun Bu-kut dan lain-lain, berasal dari
orang macam apakah mereka itu"
Sudah tentu, bisa jadi mereka semula cuma seorang kusir, seorang koki, seorang tukang sayur,
seorang penambal sepatu, bahkan bukan mustahil seorang germo.
Lalu, orang macam apa pula "Ji Hong-ho" itu"
Mungkinkah tingkatannya lebih terhormat daripada orang-orang ini"...
Bisa jadi karena dia lebih berbakat dan lebih giat berlatih, maka selain wajah dan gerakgeriknya
dapat menirukan Hong-ho Lojin dengan persis, bahkan juga berhasil mempelajari
kungfu Bu-kek-bun dengan baik. Namun apa pun juga, asalnya pasti seorang Siaujin yang
rendah. Berpikir sampai di sini, seluruh badan Pwe-giok rasanya seperti mau meledak.
Dalam pada itu Ong Uh-lau dan Tong bu-siang tampak semakin gelisah. Tong Bu-siang lantas
berbangkit dan mondar-mandir di dalam ruangan sambil bergumam, "Aneh, kenapa belum
datang....Kenapa belum datang?"
"Jika dia tidak datang, biarpun gelisah juga tiada gunanya," ujar ONg Uh-lau. "Lebih baik
berduduk dan menunggu saja."
Tong Bu-siang gosok-gosok jenggotnya dan berkata, "Kau tidak gelisah, akulah yang gelisah,
jika dia tidak datang, bagaimana?"
"Urusan ini juga menyangkut kepentingannya, mana bisa dia tidak datang," ujar Ong Uh-lau.
"Semoga tidak terjadi apa-apa atas dirinya," kata Tong Bu-siang sambil menghela napas.
Sesungguhnya siapakah gerangan yang mereka tunggu itu"
Mengapa mereka begitu tegang dan juga misterius tampaknya"
Saking tak tahan hampir saja Lui-ji bertanya. Tapi pada saat itulah mendadak di luar jendela
terdengar suara "kok-kok" dua kali, seperti suara burung kokok beluk.
Seketika semangat Tong Bu-siang terbangkit, ia melompat ke depan jendela dan menjawab
dengan suara "cuat-cuit" dua kali, dari luar ada suara mencicit pula, lalu Tong Bu-siang
membuka daun jendela, dan dari luar segera melayang masuk seorang lelaki berbaju hijau.
156 Dandanan orang ini mirip seorang petani yang baru saja habis pulang mencangkul dari sawah,
kain bajunya kasar, berlepotan lempung lagi.
Ikat kepalanya yang juga terbuat dari kain hijau kini pun sudah basah kuyup, jelas dia
menempuh perjalanan dengan cepat dan tergesa-gesa.
Maka orang ini hitam hangus seperti pantat kuali, bila diperhatikan baru ketahuan mukanya di
poles dengan hangus berminyak agar wajah aslinya tidak dikenal orang.
Serentak Ong Uh-lau berbangkit dan menyambut kedatangan orang, tegurnya dengan suara
tertahan, "Angin apakah yang meniup sahabat ke sini?"
Orang itu celingukan sejenak, lalu iapun menjawab dengan suara tertahan, "Angin tenggara
yang meniup dari barat laut."
Adakah sahabat melihat sesuatu di tengah perjalanan?" tanya Ong Uh-lau pula.
"Kulihat si kakek lagi makan permen dan si cucu lagi minum arak," sahut orang itu.
Tanya jawab ini sangat lucu dan mengada-ada saja, jelas hanya untuk mencocokkan kode
rahasia masing-masing. Air muka On Uh-lau kelihatan merasa lega, ia lantas memberi hormat dan berkata pula,
"Silahkan duduk, sudah lama kami menunggu di sini,"
"Mengapa tamu Bong hoa lau ini hanya terdiri atas kalian saja?" tanya orang itu.
"Sebab para nona penghuni rumah hiburan ini sama pergi menghibur, tidak menerima tamu,"
tutur Ong Uh-lau. "Masa rumah hiburan begini pakai libur segala?" kata orang itu rada tercengang.
"Maklumlah, bilamana para nona penghuni rumah hiburan macam begini sedang datang
bulan, "palang merah" menurut istilah mereka, maka tamu apapun akan ditolak."
Baru sekarang orang itu menghela nafas lega, pandangannya segera tertarik pada arak dan
santapan di atas meja... "Apakah saudara belum lagi bersantap?" tanya Ong Uh-lau.
"Ya, terus terang, sudah dua hari Cayhe tidak makan satu butir nasi apapun," jawab orang itu
sambil menyengir dan menelan air liur.
Aneh! Orang macam apakah dia ini, mengapa jejaknya demikian misterius dan juga
sedemikian konyol, sampai mesti menempuh perjalanan selama dua hari dengan puasa"
Jangan-jangan dia lagi menghindari pengejaran seseorang, karena itulah dia tidak sempat
makan dan juga tidak berani muncul di depan umum"
157 Lalu jauh-jauh Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang datang ke sini untuk menunggu orang ini, apa
pula maksud tujuan mereka"...
Dalam pada itu orang berbaju hitam itu sudah berduduk dan mulai makan. Walaupun sudah
kelaparan, namun cara makannya tidak rakus, tampaknya cukup sopan dan terpelajar.
Dalam tingkah laku sopan demikian, bisa jadi tidak dapat berpura-pura. Sebab itulah seorang
hartawan yang kaya mendadak akan tetap kelihatan kedodoran, seorang pengemis biarpun
diberi pakaian mahkota juga tetap tidak memper seorang raja.
Untuk hal demikian ini, sekali pandang saja Pwe giok lantas tahu bahwa orang berbaju hijau
ini pasti berasal dari keluarga terhormat.
Selang sejenak pula barulah orang itu menaruh sumpitnya, tiba-tiba ia melototi Tong Bu-siang
dan berkata, "Coba, silahkan Anda lepas baju dan celana dan perlihatkan padaku."
Bahwa seorang yang kelihatan berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar mendadak
menyuruh orang lain "membuka celana untuk diperlihatkan kepadanya", sungguh kejadian
yang sukar dipercaya. Yang lebih aneh lagi ialah Tong Bu-siang ternyata menuruti permintaan itu, ia benar-benar
membuka baju dan mencopot celana.
Perlahan Lui ji mengomel, ia berpaling dan malu untuk memandangnya, tapi tidak urung
hatinya ingin tahu apa yang akan dilakukan orang berbaju hijau itu setelah menyuruh Tong
Bu-siang membuka pakaian.
Ia coba melirik lagi ke sana, dilihatnya Tong Bu-siang tidak membuka pakaian hingga
telanjang bulat, saat itu setelah kakinya yang penuh bulu lebat tampak selonjor di atas kursi.
Sambil menunjuk satu jalur panjang bekas luka pada kaki Tong Bu-siang itu, Ong Uh-lau
berkata dengan tersenyum, "Bekas luka ini kukerjakan menurut contoh bekas luka pada Busiang
Lojin, baik panjangnya maupun lebar dan dalamnya kujamin persis seperti bekas luka
pada Bu-siang Lojin itu."
"Hehe, caranya bekerja seperti halnya hendak mengukir stempel di pahaku ini," tukas tong
Bu-siang dengan menyengir, "Sampai tiga hari lamanya dia mengukir dan hasilnya memang
memuaskan, akan tetapi yang runyam adalah diriku, meski belasan kati arak Hoa-tiau
kuhabiskan, sakitnya tetap tidak kepalang."
Orang berbaju hijau itu manggut-manggut, katanya, "Bagus, tapi tahukah kau siapa yang
membuat bekas luka ini?"
"Ini kan Bu-siang Lojin ...."
"Ingat!" sela orang itu, "Sekarang kau sendiri ialah Bu-siang Lojin."
Tong Bu-siang tertawa, ucapnya, "Ya, betul. Tentang .... tentang bekas luka ini, terjadinya
pada waktu aku masih muda, lantaran kepincuk kepada seorang gadis suku Pai, jauh-jauh ku
pergi ke lembah sungai Nu di perbatasan Yunan sana, sendirian ku terjang delapan benteng
158 Kimsah, sebab Kimsah cecu (kepala benteng Kimsah) telah merampas berlaksa tahil pasir
emas suku bangsa Pai si gadis, meski ke delapan Cecu yang menjadi biang keladinya telah
kubunuh dengan senjata rahasiaku, tapi pahaku juga terkena bacokan golok mereka, kalau
saja aku tidak selalu membawa obat luka "Yunan-peh-uo", bisa jadi pahaku ini harus
kupotong." "Kemudian bagaimana?" tanya si baju hijau.
"Kemudian baru kuketahui gadis Pai itu sengaja memperalat diriku untuk merampas kembali
pasir emas milik bangsanya itu, padahal dia sendiri sudah mempunyai kekasih pilihannya
sendiri, pada saat ku rawat lukaku di pembaringan, diam-diam gadis itu kabur bersama
kekasihnya." Si baju hijau menghela napas panjang, tukasnya, "Ya, begitulah, maka sejak itu kau anggap
gadis suku Pai rata-rata tidak setia, semuanya suka menipu, lantaran itu pula kau berkeras
melarang anakmu menikah dengan Kim-hoa-nio yang juga berasal dari suku bangsa minoritas
itu." Baru sekarang Pwe-giok paham sebab musabab Tong Bu-siang benci kepada Kim-hoa-nio,
rupanya bukan disebabkan Kim-hoa-nio adalah anggota dan puteri ketua Thian-can-kaucu,
tapi lantaran nona itu berasal dari suku bangsa Pai.
Tak tersangka olehnya bahwa Tong Bu-siang yang kelihatan kaku dan prihatin itu, pada masa
mudanya juga seorang pemuda pecinta, sebab kalau bukan pemuda yang sok romantis tentu
dia takkan tertipu oleh perempuan.
Sementara itu Ong Uh-lau telah memutar badan Tong Bu-siang, ia tuding codet pada
punggungnya dan berkata pula, "Bekas luka inipun cukup baik bukan?"
"Ya, bagus, sama seperti aslinya." ujar si baju hijau.
"Dan bekas luka itu terjadi pada waktu aku berumur 26, demi untuk menuntut balas bagi
saudara misanku, aku berduel dengan tokoh golok sakti Ban-sing-to, hasilnya adalah codet
ini. Tapi meski punggungku terbacok oleh goloknya, pedangku juga sempat menembus
tenggorokannya." "Tepat," ujar si baju hijau. "Lantas di tubuhmu seluruhnya ada berapa banyak bekas luka?"
"Seluruhnya ada sembilan tempat," sahut Tong Bu-siang, "kecuali kedua codet yang paling
besar ini masih ada lagi empat tempat bekas luka pedang dan dua tempat bekas luka golok,
serta satu tempat luka terbakar akibat senjata api si Pat-pi-thian-ong."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, "Dua di antara empat bekas luka itu adalah akibat
tusukan Gin-leng-kiam-khek, hal itu terjadi lantaran dia menista nama baik perguruan kami,
waktu itu umurku 28, selama setahun kucari dia tiga kali untuk berduel, kedua kali pertama
hampir saja ku mati di bawah pedangnya, pada ketiga kalinya barulah kubinasakan dia."
"Setelah ke sembilan tempat bekas luka ini, apakah di tubuhmu tiada bekas luka lain lagi?"
tanya si baju hijau. 159 "Seperti tidak .... tidak ada lagi," jawab Tong bu-siang setelah berpikir sejenak.
"Masa tidak ada lagi, umpamanya gigimu ....."
"Oya, betul, gigiku kurang tiga biji, sebab pada waktu mudaku aku tidak kenal artinya takut,
hampir setiap jago ternama ku tantang untuk mengukur kungfu masing-masing. Satu kali ku
tantang jago silat nomor satu di lereng Tiang-pek-san, hasilnya daguku kena ditonjoknya
sehingga tiga biji gigiku bagian atas rompal, bahkan mulutku bengkak hingga lima hari tak
dapat makan dan bicara."
"Hendaknya kau jangan lupa bahwa peristiwa itu adalah salah satu kebanggaanmu selama
hidup." kata si baju hijau. "Sebab jago Tiang-pek-san itu terkenal berwatak keras dan tidak
kenal ampun, barang siapa berani mencari perkara padanya, biarpun orang berkepala besi juga
akan dihancurkan olehnya, tapi dia cuma merontokkan tiga biji gigimu, sebab itulah biarpun
kau kalah bertanding, namun kekalahanmu cukup gemilang, lantaran itu pula seringkali kau
membuka mulut untuk memperlihatkan mulutmu yang ompong akibat gigi rontok ditonjok
lawan itu." "Ya, aku tidak pernah lupa." sahut Tong Bu-siang.
Sampai di sini, diam-diam Pwe-giok merasa terharu dan sedih bagi nasib Tong Bu-siang.
Padahal tokoh-tokoh yang disebutnya itu terkenal sangat lihay pada masa beberapa puluh
tahun yang lalu, tapi tong Bu-siang berani mendatangi jago-jago itu dan menantang duel
padanya, ini menandakan masa muda tong Bu-siang pasti seorang yang tidak takut pada langit
dan tidak gentar pada bumi, benar-benar seorang ksatria yang gagah berani.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa setelah tua, Tong Bu-siang bisa berubah menjadi
pengecut, penakut seperti tikus.
Meski dia sudah mengkhianati Pwe-giok, tapi Pwe-giok tidak dendam padanya, sebaliknya
malah merasa orang tua itu harus dikasihani. Dan sekarang duplikatnya sudah tersedia, maka
nasibnya selanjutnya pasti lebih mengenaskan.
Terdengar si baju hijau sedang menghela napas dan berkata, "Ada sementara urusan yang
mesti takkan menarik perhatian orang lain, tapi sedapatnya kita harus tetap waspada. Sebab
sedikit rahasia kita diketahui orang, akibatnya semua urusan bisa runyam, bahkan jiwamu
mungkin juga akan amblas."
"Betul," kata Tong Bu-siang, "jika ingin bekerja besar harus lebih berhati-hati, ku paham
peraturan ini." Si baju hijau termenung sejenak, katanya kemudian, "Kebiasaanmu sehari-hari juga tidak
boleh teledor sedikitpun. Misalnya, sekarang kau sudah mengundurkan diri dari dunia
persilatan, tapi tiap urusan penting dalam perkampunganmu masih harus diselesaikan atau
diputuskan olehmu. Sebab itulah anak muridmu setiap hari masih tetap datang menyambangi
kau pada waktu tertentu serta untuk meminta petunjukmu."
"Ya, ku tahu, semua itu dilakukan pada waktu aku sarapan pagi," kata Tong Bu-siang.
"Dan apakah kau tahu apa-apa saja yang kau makan setiap hari?" tanya pula si baju hijau.
160 "Ku tahu orang Sujwan tidak biasa makan bubur, sebab itulah setiap pagi ku sarapan satu
piring nasi goreng dengan telur dadar, terkadang juga sarapan nasi goreng babat pedas, makin
pedas makin baik, sebab orang Sujwan memang terkenal doyan cabai."
"Apakah semua itu dapat kau biasakan?"
"Pada waktu permulaan memang tidak biasa, bila makan pedas keringat lantas bercucuran,
tapi setelah berlangsung dua tahun, semua itupun menjadi biasa bagiku."
"Dan tahukah kau biasanya berapa hari kau mandi satu kali?" tanya pula si baju hijau, lalu
iapun tanya berbagai urusan, baik yang penting maupun yang sepele, dan semuanya itu
dijawab oleh "Tong Bu-siang" dengan lancar, sampai-sampai setiap hari Tong Bu-siang yang
asli berak berapa kali juga diketahuinya dengan jelas.
Dari sini dapatlah diketahui bahwa komplotan mereka ini telah menguasai benar-benar lahirbatin
Tong Bu-siang, setiap gerak-geriknya dan setiap kebiasaannya sudah dipelajarinya
dengan tuntas tanpa kekurangan apapun juga.
Ki Leng-hong menghela napas, ucapnya, "Untuk pekerjaan ini, entah betapa banyak Ji hongho
itu telah memeras pikiran dan tenaga."
"Tentunya perbuatannya ini ada imbalannya," ujar Pwe-giok dengan mengertak gigi.
"Betul, dengan demikian, maka segala sesuatu, harta benda maupun kekuasaan tong-keh-ceng
di Sujwan yang bersejarah ratusan tahun itu akan berpindah seluruhnya ke tangannya, jadi
tenaga dan pikiran serta biaya berapa banyak yang dikeluarkannya tetap berharga, tidak rugi,"
demikian kata Leng-hong. "Mereka menunggu kedatangan orang berbaju hijau ini, kiranya mereka sengaja hendak
menguji Tong Bu-siang gadungan ini, apakah sudah memenuhi syarat atau tidak untuk tampil
ke pentas," tukas Lui-ji. "Akan tetapi, orang macam apa pula orang serba hijau ini" Mengapa
dia menguasai sejelas ini seluk-beluk kehidupan Tong Bu-siang" Seolah-olah bagaimana bau
kentut Tong Bu-siang juga diketahuinya."
"Kukira orang ini pasti anak murid keluarga tong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
"Ya, dia bukan saja anak murid keluarga Tong, bahkan pasti orang yang sangat berdekatan
dengan Tong Bu-siang." kata Ki Leng-hong.
"Dan sekarang dia telah mengkhianati Tong Bu-siang dan menjualnya," kata Pwe-giok pula.
"Apabila Tong Bu-siang mengetahui dirinya bakal dikhianati anak murid sendiri, mungkin dia
takkan mengkhianati orang."
Dalam pada itu si baju hijau sudah mengecek semua persoalan terhadap Tong Bu-siang
gadungan, dia sedang berduduk dan memandangi mereka dengan diam saja.
Sejenak kemudian, Ong Uh-lau menyengir, katanya, "Apakah saudara merasa ada hal-hal lain
yang kurang memuaskan?"
161 Si baju hijau tidak menjawab, tapi menuang tiga cawan arak, lalu berkata perlahan, "Ilmu
bersolek atau menyamar meski sudah tersebar luas selama ratusan tahun di dunia kangouw,
tapi orang yang berganti rupa secara demikian masih belum juga berani bergaul di depan
umum secara terang-terangan, sebab seorang yang sudah berganti rupa dengan menyamar,
betapapun pandai caranya berhias, bila ketemu seorang ahli, sekali pandang saja akan


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketahuinya. Menurut cerita yang terjadi di Kangouw, meski banyak orang yang berganti rupa dan
menyamar sebagai orang lain, lalu menyusup ke dalam sesuatu organisasi rahasia lain
sehingga segenap anggota organisasi itu dapat dikelabuinya, akan tetapi itu hanya dongeng
saja di dunia Kangouw, menurut pandanganku sekarang, semua cerita itu hanya dongeng yang
sengaja dibumbui dan dibesar-besarkan, kukira sama sekali tak dapat dipercaya."
Bahwa mendadak si baju hijau bicara hal-hal ini, tentu saja Ong Un-lau dan Tong Bu-siang
gadungan itu merasa bingung karena tidak tahu apa maksudnya, terpaksa mereka diam saja
tanpa komentar, mereka menunggu ceritanya lebih lanjut.
Benar juga, si baju hijau lantas menyambung pula, "Tapi ilmu menyamar demikian setelah
jatuh di tangan Bu-lim-bengcu sekarang, seketika ilmu ini berkembang dengan lebih ajaib,
sebab beliau sanggup melebur antara ilmu pengobatan dan ilmu menyamar ini beliau harus
dipuji dan tiada bandingannya dari dulu kala hingga sekarang."
Mendengar sampai di sini barulah Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang menghela napas lega serta
tertawa cerah. Si baju hijau menatap lekat-lekat ke arah Tong Bu-siang gadungan, katanya kemudian dengan
suara tertahan, "Bahwa beliau mampu menciptakan seorang tokoh semacam Anda ini,
sungguh aku merasa kagum dan takluk benar-benar lahir batin. Sekarang jangankan orang lain
tak dapat membedakan asli atau palsunya anda, bahkan akupun tidak dapat membedakannya."
Tong Bu-siang gadungan itu kelihatan bergirang." ucapnya, "Jika demikian, jadi aku sudah
boleh muncul di depan umum?"
Akhirnya di baju hijau juga tertawa cerah, katanya, "Ya, kemunculan anda sekarang kuyakin
tidak perlu dikuatirkan lagi, tidak mungkin gagal."
Segera ia mengangkat cawan dan menyambung pula, "Marilah kuberi selamat dulu kepada
kalian, semoga segala sesuatu berjalan lancar dan sukses!"
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar seorang bergelak tertawa menanggapi, "Hahaha,
jika benar kau ingin menyuguh arak, kan jumlahnya masih kurang satu cawan!"
Suara itu berkumandang dari kamar sebelah sana, yaitu kamar si pemuda kurus masuk
bersama Hiang-hiang tadi.
Air muka si baju hijau berubah, segera tangannya meraba kantung yang tergantung di
pinggangnya, bentaknya. "Siapa itu?"
Maka terlihatlah seorang pemuda cakap melangkah keluar dari kamar dengan kemalasmalasan,
badan hampir seluruhnya telanjang, hanya memakai cawat saja.
162 "Eh, tangan anda itu jangan dikeluarkan," kata pemuda itu dengan tertawa. "Terus terang, Am
gi (senjata rahasia) keluarga Tong tak sanggup kumakan."
Si baju hijau menyurut mundur dua tindak ucapnya sambil melototi Ong Uh-lau, "Didalam
rumah ini ternyata masih ada orang lain, masakah kalian tidak tahu?"
Ong Uh-lau menyengir, jawabnya, "Sudah tentu kami tahu, sebab saudara ini bukanlah orang
luar." "Oo!" si baju hijau melengak.
Pemuda cakap tadi lantas berkata dengan tertawa hambar, "Hendaklah Anda jangan terlalu
tegang, aku ini bukan saja kawan kalian, bahkan juga sahabat baik Ji Hong-ho."
Secara blak-blakan ia menyebut nama "Ji Hong-ho" di depan Ong Lau-thau, keruan si baju
hijau tercengang, sejenak ia melongo, lalu bertanya, "Siapakah nama Anda yang terhormat?"
Pemuda itu menghela napas, jawabnya, "Sebenarnya akupun ingin menyebutkan namaku agar
membuat kaget padamu, cuma sayang, aku tidak lebih hanya seorang Bu-beng-siau-cut
(prajurit tak bernama, keroco) saja."
Ong Uh-lau berdehem, lalu menyela, "Inilah Yang-kongcu, Yang cu-kang, sahabat karib
turun temurun Bengcu."
Mendadak pemuda itu mengulap tangannya, serunya dengan tertawa. "Ah, tak perlu kau
bohongi dia dan juga tidak perlu menyanjung diriku. Jangankan Ji Hong-ho tidak kenal ayahbundaku,
sampai-sampai aku sendiripun tidak tahu siapa ayah-ibuku" Masa berani ku bicara
tentang persahabatan turun-temurun segala dengan sang Bengcu?"
Air muka Ong Uh-lau menjadi merah, lalu berubah pucat. Sedangkan si baju hijau juga
melengak. Sebaliknya pemuda yang bernama Yang Cu-kang lantas berkata pula sambil menuding
hidungnya sendiri, "Tahukah kau sebab apakah aku bernama Yang Cu-kang?"
Si baju hijau ingin tertawa, tapi urung, jawabnya dengan rada gelagapan, "Oo, maaf, aku tidak
tahu." Maka Yang cu-kang lantas menyambung dengan bergelak tertawa, "Hahaha, sudah tentu kau
tidak tahu, sebab urusan inipun tiada sangkut-paut sedikitpun dengan kau, untuk apa kau
minta maaf?" Dia angkat cawan dan menenggak arak, lalu berkata pula, "Supaya kau tahu, bolehlah
kuberitahukan padamu, yaitu lantaran aku diselamatkan orang dari banjir Yangcukang
(Yangtzekiang, Tiangkang), makanya aku diberi nama Yang Cu-kang. Mungkin begitu aku
lahir lantas dibenci orang, sampai-sampai ayah-bundaku juga tidak sudi memiara diriku dan
dihanyutkan ke sungai. Agaknya mereka memang orang cerdik, seperti sebelumnya sudah
tahu setelah dewasa aku akan semakin dibenci orang."
163 Ong Uh-lau, Tong Bu-siang gadungan dan si baju hijau sama melenggong dan tidak
menanggapi, namun dalam hati masing-masing sama berpikir bahwa pemuda ini ternyata
cukup tahu diri bahwa dirinya dibenci orang.
Yang Cu-kang lantas berduduk, dengan tertawa ia berkata pula, "Untunglah kita tiada maksud
bersahabat, sebab itulah tidak menjadi soal meski kalian merasa muak padaku. Ketahuilah,
biarpun kalian benci padaku, rasanya juga belum tentu ku suka kepada kalian. Jika bukan atas
permintaan Ji Hong-ho, biarpun kalian sediakan tandu bagiku juga ku malas datang ke sini."
Si baju hijau seperti tidak tahan, katanya dengan dingin, "Sebab apa Bengcu menyuruh anda
ke sini, sungguh Cayhe rada-rada tidak paham."
"Apakah kau betul-betul tidak paham?" Yang Cu-kang menegas dengan tertawa. "Padahal
alasannya sangat sederhana, yaitu kuatir jiwa kalian akan disambar orang, makanya aku
diminta agar datang kemari untuk melindungi kalian."
"Hm, sekalipun benar ada orang mengincar jiwa kami, rasanya kami sendiri sanggup
melayaninya, tidak perlu Anda ikut berkuatir," jengek si baju hijau.
"Oo" apa betul kau mampu melayaninya sendiri?" tanya Yang Cu-kang.
"Hmk!" si baju hijau mendengus.
"Wah, jika demikian, tentunya kau anggap kungfumu sendiri cukup hebat, begitu?" tanya
Yang Cu-kang dengan bergelak.
"Kalau bicara tentang kungfu, rasanya Cayhe cukup percaya kepada diri sendiri," kata si baju
hijau. "Hehe, mungkin kau anggap kungfumu sendiri cukup hebat, tapi bagi pandanganku jelas tidak
seberapa," kata Yang Cu-kang dengan terkekeh. "Kalau ku incar jiwamu umpamanya, rasanya
terlebih mudah daripada makan nasi."
Seketika si baju hijau menggebrak meja dan berbangkit.
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang gadungan saling pandang sekejap, sedikitpun tidak ada tandatanda
akan melerai, sebab mereka juga ingin tahu sampai dimana lihaynya kungfu Yang Cukang
ini. Maka terdengar Yang Cu-kang lagi menghela napas, ucapnya, "Eh, apakah kau bermaksud
bertanding denganku?"
"Ya, memang," jawab si baju hijau dengan gusar.
"Baik!" kata Yang Cu-kang.
Baru saja kata "baik" itu terucap, sinar lampu berkedip, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah
lenyap. 164 Jelas si baju hijau sangat terkejut, baru saja ia hendak membalik tubuh, tapi belum lagi
tubuhnya berputar, tiba-tiba terasa ada orang meniup hawa di kuduknya.
"Coba, jika benar ku incar jiwamu, tentu kepalamu sudah berpindah rumah, bukan?" demikian
terdengar Yang Cu-kang berucap perlahan di belakangnya.
Mendadak di baju hijau berteriak, sebelah tangannya terus berayun ke belakang, serentak
sinar perak berhamburan. Tak tahunya di belakang ternyata tiada bayangan seorang pun,
Yang Cu-kang sudah menghilang.
Belasan titik sinar perak itu semuanya menancap di dinding dan menimbulkan bunyi nyaring
perlahan. Waktu ia berpaling lagi, dilihatnya Yang Cu-kang sudah berduduk kembali di
tempat semula, seperti sejak tadi tidak pernah bergeser dari kursinya.
Gerakan pemuda ini sungguh aneh dan cepat seperti hantu, bukan saja Ong Uh-lau dan lainlain
sama melengak, sampai Ji Pwe-giok yang mengintai di balik dinding sana juga terkesiap.
Kalau bicara tentang ginkang, Pwe-giok merasa dirinya tidak mampu membandingi pemuda
she Yang itu, bahkan Hay tong-jing yang sombong itupun sukar menandinginya.
Si baju hijau tampak melongo dengan keringat bercucuran, hangus yang terpoles di mukanya
juga luntur terguyur oleh air keringatnya sehingga mukanya kelihatan belang-bonteng.
"Nah, bagaimana" Sekarang kau takluk tidak?" tanya Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Si baju hijau mengepal kedua tangannya dan tidak mampu menjawab.
Dengan tertawa Yang Cu-kang berkata pula, "Sebenarnya kaupun tidak perlu sedih,
sebaliknya kau harus bergembira, sebab kalian mendapat pelindung seperti diriku ini, siapa
lagi yang berani ganggu seujung rambut kalian?"
Ong Uh-lau tertawa terkekeh, ucapnya, "Betapa hebat Ginkang saudara, sungguh baru
sekarang mataku terbuka benar-benar."
Tong Bu-siang juga menyanjung, "Kuyakin di seluruh dunia sekarang, tiada seorang pun yang
memiliki Ginkang melebihi Yang-heng."
Walaupun mereka menyanjung, tapi sesungguhnya mereka memang terpengaruh juga oleh
kehebatan Ginkang Yang Cu-kang.
Tak terduga, biarpun disanjung, sebaliknya Yang Cu-kang malah menarik muka dan
menjengek. "Hm, kata-kata kalian ini tidak beralangan bila diucapkan di dalam kamar ini, tapi
kalau kalian siarkan, bisa jadi kepala orang she Yang akan amblas oleh karena propaganda
kalian." "Ah, janganlah Yang-heng bergurau," ujar Tong Bu-siang, "Melulu Ginkang Yang-heng ini
saja masa perlu takut kepada orang lain?"
165 Yang Cu-kang mendengus, "Hm, dalam pandangan kalian ginkangku tentu saja luar biasa, hal
ini lantaran kalian tidak pernah melihat orang yang benar-benar menguasai kungfu sejati,
mungkin mendengar saja kalian tidak pernah."
Tong Bu-siang merasa penasaran, katanya, "Biarpun pengetahuan kami sangat cetek dan
kurang berpengalaman, tapi tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal karena Ginkangnya rasanya
ada beberapa orang yang kuketahui."
"O, siapa-siapa saja yang kau ketahui?" tanya Yang Cu-kang.
"Misalnya, Hu-yong-siancu dari Hoa-san-pay, Hay-hong Hujin dari Pek-hoa-bun, An-lianpancu
dari Kay-pang, lalu .... lalu tokoh-tokoh yang terkenal sebagai Bu-lim-jit-kim (tujuh
unggas dunia persilatan) dan Kanglam-su-yang (empat burung seriti dari Kanglam) serta ....."
"Huh, orang-orang begitu juga kau sebut sebagai ahli ginkang?" jengek Yang Cu-kang.
"Meski Ginkang mereka belum dapat menandingi Yang-heng, tapi mereka sudah tergolong
jago kelas satu dunia Kangouw."
"Kelas satu?" Yang Cu-kang menegas. "Huh, mungkin kelas enam saja belum bisa."
Yang cu-kang menenggak araknya lagi beberapa cawan, kemudian berkata pula dengan
pelahan, "Tentunya kalian sudah cukup lama berkecimpung di dunia Kangouw, tapi apakah
kalian pernah mendengar suatu tempat yang bernama "Hwe-sing-kok" (lembah gema suara)
?" Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang saling pandang sekejap, lalu menjawab sambil menggeleng,
"Tidak ..... tidak pernah mendengar."
"Akupun tahu kalian pasti tidak pernah mendengar tempat itu," ujar Yang Cu-kang, "Sebab
kalau kalian pernah mendengar, tentu saat ini kalian takkan duduk dan minum arak
bersamaku di sini." Air muka Ong Uh-lau berubah, ia tidak tahan, akhirnya ia bertanya, "Apakah di Hwe-singkok
itu juga terdapat seorang tokoh dengan Ginkangnya yang maha tinggi?"
Yang Cu-kang menghela napas juga, ucapnya, "Tokoh di Hwe-sing-kok itu masa cuma
Ginkangnya saja yang maha tinggi, bahkan sudah tergolong Ginkang yang maha ajaib dan
mungkin tidak pernah kau bayangkan."
Ia minum secawan arak pula, lalu menyambung lagi, "Kau tahu sebab apakah tempat itu
bernama Hwe-sing-kok" Sebab orang yang tinggal di sana mirip gema suara lembah
pegunungan, meski kalian dapat mendengar suaranya, tapi selamanya takkan melihat
bayangan mereka. Jika kau bersalah kepada mereka, mereka takkan membunuhmu atau
memukul dirimu, tapi begitu kau membuka suara segera kau akan mendengar gema suara
mereka yang sama dengan ucapanmu. Jika kau ketakutan dan tiga hari tidak bicara, maka tiga
hari itu juga tidak akan terjadi apa-apa, tapi begitu kau bicara, di sampingmu segera akan
timbul pula gema suara mereka."
166 Pucat muka Ong Uh-lau, katanya dengan menyengir, "Tapi ... tapi kalau mereka cuma
menirukan caraku bicara kan juga tiada yang perlu ditakuti?"
"Kalau mereka cuma menirukan caraku bicarakan juga tiada yang perlu ditakuti?" kata Yang
Cu-kang. Ong Uh-lau melengak karena ucapan Yang Cu-kang itu jelas ulangan kata-katanya tadi,
kembali ia menyengir dan berucap, "Ah, kenapa saudara berkelakar denganku."
"Ah, kenapa saudara berkelakar denganku!" Yang Cu-kang menirukan pula.
"Ai, saud ....saudara ini ...."
"Ai, saud ....saudara ini ...."
Butiran keringat sudah memenuhi jidat Ong Uh-lau, seketika ia tutup mulut dan tidak berani
bersuara lagi. Yang Cu-kang tertawa, katanya, "Nah coba, aku cuma menirukan tiga kalimat ucapanmu, kau
pun dapat melihat siapa yang menirukan suaramu, dan kau sudah merasa kesal dan risih,
maka boleh kau bayangkan, apabila ada seorang yang tak kelihatan yang senantiasa, setiap
saat setiap detik, selalu menirukan caramu bicara, kemanapun kau lari asalkan kau buka
mulut, maka suaramu itu seakan-akan lantas bergema di sampingmu. Tapi dengan cara
apapun juga, dengan usaha bagaimanapun tetap takkan kau lihat bayangannya."
Dia berhenti sambil melototi Ong Uh-lau, "Coba jawab, apakah kau dapat hidup tenteram
dengan cara demikian?"
Ong Uh-lau sudah mandi keringat, ia terdiam cukup lama, akhirnya menghela napas dan
menjawab dengan menyengir, "Hidup dalam keadaan begitu mungkin akhirnya aku bisa jadi
gila." "Hm, dia justeru ingin membuatmu gila." jengek Yang Cu-kang. "Jika kau menyalahi dia,
meski dia tidak membunuhmu, tapi dia akan memaksa kau bunuh diri. Setahu kami, orang
yang pernah digoda oleh mereka, tiada seorangpun yang sanggup bertahan lebih dari tiga
bulan." Tanpa terasa Tong Bu-siang juga mengusap keringat di dahinya, tanyanya dengan suara
parau: "Masa di dunia ini benar-benar ada orang yang menakutkan dengan ginkang sehebat ini?"
"Betapa menakutkan Ginkang mereka mana dapat kulukiskan seluruhnya," kata Yang Cukang,
"kalau kau sendiri tidak pernah mengalami, selamanya juga sukar membayangkannya."
"Jika demikian, kita perlu hati-hati dan jangan sampai berbuat salah kepada mereka," ujar
Tong Bu-siang sambil menyengir.
167 "Hal ini memang kalian tidak perlu kuatir, mereka tidak nanti mencari setori kepada kalian,
jika kalian ingin dicari oleh mereka, sedikitnya kalian harus pulang dan giat berlatih kungfu
selama 20 atau 30 tahun lagi."
Meski mendongkol di dalam hati karena merasa terhina, tapi Tong Bu-siang dan Ong Uh-lau
tidak berani lagi membuka mulut.
Dengan tenang Yang Cu-kang menyambung pula, "Kalau bicara tentang Ginkang, tokohtokoh
dari Hwe-sing-kok itulah yang dapat diibaratkan rajawali diangkasa, orang-orang yang
menamakan dirinya Bu-lim-jit-kim atau Kanglam-su-yang apa segala, kalau dibandingkan
mereka, paling-paling hanya dapat dianggap sebagai cacing saja."
"Lantas saudara sendiri bagaimana?" tanya Ong Uh-lau tak tahan.
"Aku" Paling-paling hanya dapat dianggap sebagai seekor burung pipit, begitulah," sahut
Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Jika demikian, kan kepala Anda sendiripun setiap saat bisa amblas diprotol orang, cara
bagaimana pula engkau akan melindungi orang lain?" tiba-tiba si baju hijau tadi mengejek.
"Untuk ini tidak perlu kalian kuatir." kata Yang Cu-kang dengan tak acuh, "sebab orang yang
mengincar nyawa kalian itu melulu diriku saja sudah cukup kulayani, sedangkan orang yang
Pedang Ular Mas 2 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Harpa Iblis Jari Sakti 21

Cari Blog Ini