Ceritasilat Novel Online

Imbauan Pendekar 5

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 5


mampu memprotoli kepalaku itu ..... Haha, seumpama kau potong kepalamu sendiri dan
diantar kehadapan mereka, mungkin memandang sekejap saja mereka tidak sudi, sebab jiwa
kalian dalam pandangan mereka tidak laku sepeser pun."
Si baju hijau terkesima sejenak, tanpa bersuara mendadak ia melangkah pergi. Meski Ong Uhlau
dan Tong Bu-siang gadungan itu hendak mencegahnya juga tidak keburu lagi.
"Biarkan dia pergi." jengek Yang Cu-kang.
"Orang ini meski tidak bernilai sepeser pun, kalau dia pergi dengan penasaran, bisa jadi akan
menimbulkan hal-hal yang tidak baik," ujar Ong Uh-lau.
"Kau kuatir dia akan membocorkan rahasia?" tanya Yang Cu-kang.
"Ya, meski Bengcu sudah berunding dan sepakat dengan dia, tapi orang macam begini kalau
sampai hati mengkhianati sanak keluarga sendiri, mustahil tidak tega mengkhianati kita."
"Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar ke sana dan bunuh dia", ujar Yang Cu-kang.
Ong Uh-lau seperti melengak dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa,
"Jangan-jangan Anda sengaja membikin dongkol dia supaya angkat kaki dari sini?"
Yang Cu-kang menuang lagi araknya, sahutnya tak acuh, "Betul, berada di tempat begini
paling asyik untuk mengobrol dan menghibur diri, jika mesti putar golok dan main pedang,
kan tidak cocok dengan keadaan tempat ini. Untuk membunuh orang tidak menjadi soal
bagiku, tapi mengacaukan kesenangan, inilah yang tidak dapat kulakukan."
168 Kembali Ong Uh-lau termenung sejenak, katanya kemudian. "Masih dua-tiga jam lagi fajar
akan menyingsing, kukira dua-tiga jam kan cukup?"
Yang Cu-kang hanya menatap arak dalam cawan, katanya dengan dingin, "Bila urusan ini
tidak dapat kau selesaikan sebelum fajar tiba, maka sebaiknya kaupun mencari akal untuk
kabur dan menyelamatkan nyawa saja."
Air muka Ong Uh-lau berubah pucat, tanpa bicara ia terus berbangkit dan menerjang keluar.
Yang Cu-kang masih terus menatap araknya, seperti ingin minum arak dengan matanya, ingin
mengguyur rasa sedih dalam matanya dengan arak.
Tong Bu-siang tidak mengerti mengapa pemuda yang dingin dan pongah itu mendadak
menjadi sedih, terpaksa iapun tutup mulut dan tidak berani tanya.
Sampai sekian lama barulah Yang Cu-kang berkata pula dengan perlahan, "Tahukah kau
sebab apa kusuruh dia membunuh orang, tapi aku sendiri berduduk di sini ?" - Ia angkat
cawan dan menenggak lagi araknya.
Diam-diam Tong Bu-siang berpikir kalau dalam berduduk dan minum arak di sini, untuk apa
susah payah membunuh orang" Walaupun demikian ia membatin, dengan sendirinya ia tidak
berani menyatakan perasaannya itu, dia menjawab dengan tertawa. "En... entah, aku tidak
tahu." "Sebabnya, selama ini akupun tidak pernah membunuh orang" tutur yang Cu-kang dengan
suara berat. "Jadi aku tidak ingin melanggar pantangan membunuh demi orang itu."
Tong Bu-siang melengak, tanyanya: "Haah, Anda benar-benar tidak pernah membunuh
orang?" "Kau tidak percaya?" yang Cu-kang tertawa, tertawa yang hampa, pelahan ia menyambung
pula. "Sebenarnya akupun ingin mencicipi bagaimana rasanya membunuh orang, Cuma
sayang, sejak kemunculanku belum pernah menemukan seorang yang berharga untuk
kubunuh." "Orang macam apakah yang sekiranya berharga untuk kau bunuh?" tanya Tong Bu-siang
gadungan. Mendadak Yang Cu-kang menatapnya tajam-tajam dan menjawab: "Akan kukatakan padamu
bilamana sudah kutemukan orangnya!"
Tong Bu-siang merasa sinar mata orang tiba-tiba berubah menjadi buram, seperti mata ikan
mati, menyeramkan, ia hanya memandang sekejap saja dan merinding.
Untung Yang Cu-kang lantas berdiri, gumannya: "Di dalam kamar masih ada yang
menunggu, tempo adalah uang, maaf, tak kutemani kau."
"Apakah nona itu sudah tidur?" tanya Tong Bu-siang dengan was-was.
169 "Jangan kuatir" jengek Yang Cu-kang. "Tidak nanti dia mendengar rahasia kita ini, hanya saja
sampai saat ini tidak tega kucabut nyawanya" sedikitnya sampai besok malam?"
"Jika demikian, silahkan anda tidur saja sepuasnya?"
"Kau tidak ingin pergi dari sini?"
"Pergi?" Tong Bu-siang melengak. "Pergi ke mana?"
"Tong Bu-siang dengan sendirinya harus pulang ke Tong keh-ceng."
Kembali Tong Bu-siang melengak, katanya kemudian dengan tergagap: "Masa sendirian
kupergi ke sana?" "Memangnya kau anak kecil dan perlu diantar?"
"Akan" akan tetapi?"
Yang Cu-kang menarik muka, katanya: "Masa kau lupa siapa dirimu saat ini?"
Tong Bu-siang menunduk, jawabnya: "Baiklah, sekarang juga ku berangkat."
Yang Cu-kang tertawa cerah, katanya: "Berangkatlah lekas, mungkin puteri kesayanganmu itu
sedang mengharapkan kedatanganmu!"
Dan baru saja Tong Bu-siang melangkah, tiba-tiba Yang Cu-kang bertanya pula, "Setibanya
di rumah, apa yang harus kau kerjakan, apakah kau masih ingat?"
"Mana berani kulupakan?" jawab Tong Bu-siang.
"Bagus, berangkatlah kau," kata Yang Cu-kang, "besok malam mungkin kau sudah sampai di
Tong-keh-ceng, sebaiknya malam itu juga kau selesaikan beberapa urusanmu itu, dalam tiga
hari bilamana tidak kau selesaikan, sebaiknya kaupun mencari akal untuk menyelamatkan diri
saja." Dia tertawa, lalu mendelik dan menyambung dengan sekata demi sekata, "Pada waktu bicara
hendaknya kau hati-hati, bukan mustahil aku selalu ikut mendengarkan di belakangmu."
***** Begitu Tong Bu-siang berangkat, berbareng Pwe-giok, Lui-ji dan Ki Leng-hong lantas ikut
keluar juga, cuma mereka tidak berangkat menuju ke arah yang ditempuh tong bu-siang
gadungan itu. Ki Leng-hong berkata, "Untuk membongkar tipu muslihat Ji Hong-ho gadungan itu, kunci
utamanya kan terletak pada diri tong bu-siang tiruan itu, mengapa tidak kau kuntit jejaknya ?"
"Untuk membongkar rahasia Tong Bu-siang palsu itu, kunci utamanya terletak pada si baju
hijau, maka kita tidak mau kubiarkan di dibunuh oleh Ong Uh-lau sehingga hilanglah saksi
hidup," ujar Pwe-giok.
170 "Menurut kau, sebenarnya siapa dia?"
"Saat ini tidak ada waktu bagiku untuk memikirkannya, sebab pikiranku lagi kusut."
Ki Leng-hong termenung sejenak, katanya pula. "Tapi beberapa urusan yang akan
diselesaikan Tong Bu-siang setibanya di rumah itu tentu sangat besar pula sngkut pautnya
dengan urusanmu." "Betul," Lui-ji ikut bicara, "sepulangnya tentu segera ia perintahkan anak muridnya
membunuh orang, siapapun yang akan mereka bunuh, orang lain tidak dapat mencegahnya."
"Selain itu," tukas Ki Leng-hong, "bilamana resep pembuatan senjata rahasia berbisa keluarga
Tong itu sampai diserahkan kepada Ji Hong-ho, hal ini pun bukan suatu urusan kecil, sebab
itulah kita harus berusaha untuk merintanginya."
"Meski urusan ini sangat penting, tapi yang lebih penting kukira tetap si baju hijau yang
misterius itu," ujar Pwe-giok. "Asalkan dapat menemukan dia, maka urusan lain pasti akan
terpecahkan dengan sendirinya."
Mendadak Ki Leng-hong berhentikan langkahnya, katanya, "Baik, boleh kalian mencari si
baju hijau, biar ku kembali kesana untuk mengawasi tingkah laku orang she Yang itu, toh
dengan kekuatan kalian berdua rasanya sudah lebih daripada cukup untuk melayani Ong Uhlau
dan sibaju hijau." "Begini juga baik," kata Pwe-giok.
Leng-hong tertawa, katanya, "Hendaknya kau pun jangan lupa janji kita, kalau bicara
sebaiknya juga berhati-hati, sebab bukan mustahil senantiasa akupun mengintil dan
mendengarkan di belakangmu."
***** Malam yang sejuk, suasana sunyi senyap.
Embun yang menghiasi jalan raya terbuat dari balok batu itu gemerdep laksana kerlip bintang
di langit. Kecuali suara kentongan yang terkadang berkumandang dari kejauhan hampir boleh
dikatakan tidak terdengar lagi suara lain.
Di jagat raya yang luas ini seolah-olah tertinggal Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok berdua saja.
Tadi Lui-ji hanya mendengarkan, melihat dan terheran-heran serta tiada hentinya menerka
dan menduga, urusan lain sudah terlupakan seluruhnya.
Tapi sekarang, setelah dihembus angin malam yang sejuk, disorot oleh cahaya bintang yang
redup, tiba-tiba teringat olehnya apa yang dilakukannya terhadap Pwe-giok itu ....
Seketika hatinya seperti dipuntir-puntir, tanpa terasa air matanya akan menetes lagi.
171 Pwe-giok berjalan dengan cepat, air mukanya juga suram, meski sorot matanya jelalatan dan
selalu mengamati segala sesuatu di sekitarnya, tapi sama sekali tidak memandang Lui-ji
barang sekejap pun. "Apakah dia menganggap aku lagi mengganggunya?" demikian pikir si nona.
Mendadak ia berhenti dan berkata, "Aku ... akupun akan pergi."
"Pergi?" Pwe-giok menegas dan melengak sambil berpaling. "Hendak ke mana kau?"
Lui-ji menggigit bibir dan tertawa, katanya, "Banyak sekali tempat yang dapat ku datangi,
kukira tidak perlu kau kuatir."
Kecuali orang buta, siapapun dapat melihat tertawanya yang hampa dan pedih itu. Sungguh
Pwe-giok berharap dirinya bisa mendadak berubah menjadi orang buta saja. Sungguh ia
berharap hatinya bisa berubah menjadi keras dan berkata kepada si nona, "Baiklah jika kau
mau pergi silahkan pergi saja, meski menguatirkan kau berkelana sendirian, tapi bila kau ikut
bersamaku mungkin akan lebih banyak bahayanya, sebab aku memang tidak sanggup
melindungi dirimu, keadaan tidak mengijinkan kubawa serta kau. Jika kau ikut padaku bisa
jadi akan lebih membuatmu berduka, sebab tidak mungkin dapat kutemani kau untuk
selamanya." Apa daya, ia tidak tahu cara bagaimana supaya dia dapat mengucapkan kata-kata itu.
Maka ia tidak bicara apa-apa, hanya pelahan ia pegang tangan Lui-ji, walaupun disadarinya
dengan cara demikian tentu akan menambah runyamnya persoalan. Tapi dia tidak mempunyai
cara lain. Hari segelap itu, angin sedemikian dingin, mana dia tega membiarkan anak dara
sebatangkara ini pergi mengembara seorang diri.
Air mata Lui-ji akhirnya juga bercucuran....
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara gemeretak roda kereta dan ringkik kuda
dari kejauhan dan makin lama semakin mendekat.
Sudah jauh malam begini, mengapa ada kereta kuda dilarikan secepat ini "
Kebetulan di tepi jalan sana ada sebuah bak air minum kuda, cepat Pwe-giok menarik Lui-ji
dan melompat kesana. Baru saja mereka berjongkok, cepat sekali kereta kuda itu sudah
muncul dari tikungan jalan terus dilarikan ke arah sini.
Bagi pandangan orang lain kereta ini hanya sebuah kereta berkabin yang sangat umum, tapi
Pwe-giok yakin bila kereta ini kereta berkabin biasa tentu takkan menempuh perjalanan pada
tengah malam buta begini.
Tak terduga, setelah memasuki jalan raya ini, lari kereta kuda lantas diperlambat, lalu berhenti
dan dari dari dalam kabin kereta mendadak menongol sebuah kepala orang perempuan.
Ketika Pwe-giok mengintip dari balik bak air, dilihatnya rambut perempuan itu hitam
gompiok dan digelang dengan hiasan sebuah tusuk kundai kemala hijau, cuma mukanya tidak
sempat terlihat. 172 Terdengar si kusir lagi berkata: "Di depan sana adalah gapura janda Ong, apakah perlu
meneruskan perjalanan kesana ?"
Perempuan tadi berpikir sejenak, jawabnya kemudian: "Sudahlah, tunggu saja di sini."
Sebentar lagi ia bertanya pula: "Saat ini kira-kira sudah pukul berapa ?"
Si kusir mengusap keringat dengan sebuah handuk kecil sambil menjawab, "Sudah lewat
kentongan ke empat, hampir kentongan kelima."
"Waktu yang dijanjikan adalah kentongan ketiga (antara pukul 1 tengah malam), jadi
kedatangan kita sudah terlambat, mengapa dia malah belum sampai ?"
Suaranya penuh rasa gelisah, mirip seorang gadis yang baru saja minggat dari rumah, tapi
setiba ditempat yang dijanjikan ternyata tidak bertemu sang kekasih.
Tak terduga, di dalam kabin kereta ada lagi suara seorang perempuan dan bertanya, "Bisa jadi
dia tidak sabar menunggu dan mencari kita ke tempat lain."
Perempuan pertama seperti tambah gelisah, ucapnya, "Padahal dia tahu kita pasti datang,
mengapa tidak menunggu dulu ?"
"Jangan kuatir, dia pasti datang," kata perempuan yang lain.
Belum habis ucapnya, mendadak sesosok bayangan melayang turun dari wuwungan rumah
seberang sana, di bawah remang cuaca malam, wajahnya kelihatan kelam dan sukar diketahui
bagaimana mukanya. Akan tetapi Pwe-giok sudah dapat melihatnya, jelas orang ini adalah si baju hijau yang
misterius itu. Kiranya dia juga sudah berjaga-jaga sebelumnya dan telah menyiapkan orang
menunggunya di sini. Terlihat si baju hijau juga sangat gugup dan gelisah, begitu melayang turun ia lantas
menggerundel: "Tahukah kau sudah pukul berapa sekarang ?"
"Justru lantaran kami memburu waktu, ditengah jalan as kereta patah sehingga datang
terlambat..." Demikian perempuan pertama tadi memberi penjelasan.
"Dan bagaimana dengan kau " mengapa kau tidak menunggu ?"
"Soalnya aku merasa di belakangku seperti ada orang menguntit, maka aku sengaja berputar
dulu ke tempat lain," Tutur si baju hijau dengan suara parau, sembari bicara ia terus
menyusup ke dalam kereta.
Kepala perempuan yang menongol tadi juga mengkeret ke dalam, terdengar dia bertanya,
"Bagaimana, urusannya sudah beres ?"
"Wah, ceritanya sangat panjang, lekas berangkat saja !" sahut si baju hijau.
173 Segera si kusir bersuara menghalau kudanya dan kereta itu dilarikan lagi ke depan dengan
cepat... Biarpun Ong Uh-lau sudah cacat, betapapun dia adalah seorang tokoh Kangouw kawakan,
tapi si baju hijau ini ternyata mampu meloloskan diri dari penguntitannya, jelas orang inipun
cukup cerdik dan cekatan.
Perempuan yang berada di dalam kereta itu tampaknya juga sangat prihatin, pula perempuan
umumnya juga jauh lebih cermat dan hati-hati daripada kaum lelaki, bilamana sekarang
hendak menguntit jejak mereka tanpa diketahui, rasanya pasti bukan suatu pekerjaan yang
mudah. Apalagi lari kereta itu sangat cepat, dengan tenaga Pwe-giok dan Lui-ji sekarang mungkin
sukar mengintil secara ketat di belakang mereka.
Selagi Pwe-giok ragu-ragu, mendadak Lui-ji melompat keluar dari balik bak air, tubuh si nona
yang kecil mungil dan gesit laksana kucing, sekaligus ia melompat ke belakang kereta terus
menyusup ke bawah. Pwe-giok ingin mencegah, tapi sudah terlambat, dilihatnya Lui-ji sudah menempel di bawah
kereta, tangannya yang kecil tampak menggapai pelahan padanya, lalu menghilang dalam
kegelapan bersama kereta itu.
Nona cilik itu sungguh pemberani, meski merasa kuatir, terpaksa Pwe-giok mengikutinya dari
kejauhan. Dalam keadaan demikian ia lebih-lebih harus berusaha agar tidak diketahui lawan,
sebelum jelas meraba seluk beluk dan asal usul lawan ia lebih-lebih tidak boleh sembarang
bertindak. Untunglah di tengah malam buta yang sunyi senyap, meski kereta itu sudah dilarikan sangat
jauh toh suara gemertak rodanya masih terdengar, dan Pwe-giok lantas menyusul ke sana
menuruti arah suara roda kereta.
Kota ini masih asing bagi Pwe-giok, hakekatnya ia tidak dapat membedakan jalan, ia cuma
tahu jalan yang dilalui kereta itu semuanya jalan batu yang rajin.
Baru sekarang ia mengetahui kota ini ternyata sangat besar, sudah cukup lama dia menguntit
kereta itu dan belum lagi keluar kota.
Kini bajunya sudah basah kuyup oleh keringat, tenaga pun mulai tidak tahan, sebab meski dia
baru tidur nyenyak cukup lama, tapi sesudah bangun belum lagi makan sebutir nasipun.
Manusia adalah besi, nasi adalah baja, betapa kuatnya seseorang juga tidak mampu melawan
rasa lapar. Dia boleh tiga hari tiga malam tidak tidur dan dapat bertahan sekuatnya, tapi satu
hari tidak makan nasi saja rasanya sudah lemas, kedua kaki terasa lunglai, sekujur badan
terasa kosong. Untunglah pada saat itu laju kereta mulai lambat, suara detak kaki kuda yang semula sangat
kerap kini sudah mulai jarang-jarang.
174 Pwe-giok menghela nafas lega, baru saja ia bermaksud berhenti untuk mengusap keringat,
begitu dia mengangkat kepala memandang kesana, seketika ia tercengang, air mukanya juga
berubah pucat. Dilihatnya balok batu jalan raya yang licin dan gemerlap dengan butiran embun, dikejauhan
sana ada bayangan gapura besar, di tepi jalan juga ada bak air tempat minum kuda...
Hah, tempat ini bukankah tempat yang sudah dilaluinya tadi "
Busyet! Jadi kereta ini hanya berputar kayun kian kemari didalam kota. Apakah si baju hijau
terlalu iseng habis makan kenyang, maka tengah malam buta pesiar menumpang kereta.
Diam-diam Pwe-giok sudah merasakan gelagat tidak enak, segera ia memburu kesana
sekuatnya, dilihatnya kereta kuda itu masih berjalan pelahan ke depan. Jelas kelihatan kuda
kelabu berceplok hitam, kereta berkabin yang cukup indah serta si kusir yang kepalanya
berikat handuk putih.... Semuanya itu dapat dilihat jelas oleh Pwe-giok, jelas-jelas pula kereta ini adalah kereta yang
di kuntitnya tadi. Tapi mengapa kereta ini hanya berputar-putar saja didalam kota, bahkan berputar balik ke
tempat semula. Sesungguhnya apa kehendak si baju hijau yang misterius itu " sungguh Pwegiok
merasa bingung dan sukar mencari jawabannya.
Ia menjadi serba runyam. Coba bayangkan, dia mengejar setengah malam, letihnya setengah
mati, hasilnya dia kembali ke tempat semula. Jika tahu begini sebelumnya, lebih baik dia
menunggu saja di sini. Sementara itu kentongan kelima (antara pukul 4-5) sudah lewat, fajar belum lagi menyingsing
dijalan raya masih jarang ada orang lalu, hanya di ujung jalan sana ada sebuah warung yang


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menyalakan lampu. Kiranya warung ini menjual tahu, angin malam yang sejuk kini sudah membawa bau sedap
bunga tahu serta wedang kacang hijau,
Dalam keadaan dan saat demikian, bau sedap ini bagi Pwe-giok mungkin tergolong daya tarik
yang paling besar di dunia ini, hampir saja dia tidak tahan dan ingin menyerbu ke dalam
warung itu untuk makan sekenyangnya.
Akan tetapi ia tetap bertahan, ia tidak boleh meninggalkan kereta itu.
Siapa tahu kereta itu lantas berhenti juga di depan warung itu. Cepat Pwe-giok melompat ke
emper rumah yang gelap di tepi jalan, ia sembunyi di balik sebuah tong sampah.
Dilihatnya si kusir turun dari keretanya dengan kemalas-malasan, ia minta satu mangkuk
wedang kacang, sambil berjongkok di depan warung ia minum wedang kacang itu dengan
nikmatnya. Sembari minum, terkadang ia pun berhenti dulu untuk menghela nafas, rasanya
seperti sangat puas dengan wedang kacang yang sedap itu.
175 Anehnya si baju hijau dan kedua perempuan tadi tidak kelihatan ikut turun, didalam kereta
juga tiada sesuatu suara apapun, padahal jejak mereka tadi kelihatan sangat misterius dan
dilakukan dengan tergesa-gesa, mengapa sekarang mereka cukup sabar berduduk didalam
kereta untuk menunggu si kusir minum wedang kacang dengan pelahan "
Makin dipikir makin dirasakan oleh Pwe-giok ada sesuatu yang tidak beres, waktu ia
mengintai ke bawah kereta, keadaan gelap gulita dan tidak terlihat apapun, entah Lui-ji masih
menempel di situ atau tidak.
Mau tak mau Pwe-giok merasa cemas dan gelisah.
Dalam pada itu si kusir sudah habis minum wedang kacangnya, dia berdiri dan mengulet,
dilemparkannya beberapa mata uang ke dalam mangkuk, tampaknya dia hendak berangkat
lagi. Betapapun sabarnya Pwe-giok kini juga tidak tahan lagi, mendadak ia keluar dari tempat
sembunyinya, ia menggapai dan memanggil,
"Hei, kusir, kereta itu menerima penumpang tidak ?"
Kusir itu mengusap mukanya dengan handuknya yang sudah kumal, jawabnya dengan
tertawa: "Jika kereta kosong tidak terima penumpang, apakah kusirnya tidak makan angin
belaka ?" Kereta kosong "! Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin, dengan langkah lebar ia lantas mendekati
kereta, mendadak ia menyingkap kerai pintu kereta dan melongok ke dalam....Benar juga,
kabin kereta kosong melompong, tiada seorang pun. Waktu ia melongok ke bawah kereta, Cu
Lui-ji juga tidak kelihatan lagi.
Keruan kejut Pwe-giok tak terkatakan, ia tidak pantang apa-apa lagi, mendadak ia menubruk
maju, baju kuduk kusir itu dicengkeramnya, bentaknya dengan bengis,
"Kemana perginya para tamu penumpangmu tadi ?"
Ya, kemana perginya para penumpangnya tadi "
Dan kemana pula perginya Lui-ji "
Kereta tadi dilarikan dengan sangat cepat, Lui-ji sembunyi di bawah kereta, tulang sekujur
badan seakan-akan retak karena diguncangkan oleh kereta itu. Debu yang ditimbulkan oleh
kaki kuda dan roda kereta seolah-olah sengaja memusuhi dia, selalu menerobos ke dalam
hidungnya. Sungguh ia merasa hidungnya itu hampir berubah menjadi cerobong asap.
Penderitaan itu sungguh sukar ditahan, tapi Lui-ji terpaksa menggertak gigi dan bertahan
sedapatnya. Dia bukan saja harus menahan nafas, bahkan juga harus tutup mulut, malahan
harus memegangi as roda sekuatnya supaya dia tidak terjatuh dan mungkin digilas oleh roda
kereta. 176 Untunglah pada saat itu dari dalam kabin terdengar suara orang berbicara, hal ini sedikit
banyak telah memencarkan perhatiannya dan juga memencarkan rasa deritanya, maka ia
lantas pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat....
Didengarnya si perempuan pertama tadi sedang berkata, "Ai, selama ini, sungguh aku hampir
mati rindu padamu. Bagaimana dengan kau" Rindu padaku tidak ?"
Terdengar si baju hijau lagi terbatuk-batuk.
Maka perempuan itu berkata pula: "Apakah kau tidak merindukan diriku "...Mengapa kau
tidak bicara ?" Lalu suara perempuan yang lain mengikik tawa dan berkata, "Tidak perlu kau pantang, ada
apa boleh kau katakan saja, anggaplah aku sudah tidur, bukan saja aku tidak mendengarkan
percakapan kalian, akupun pasti tidak akan mengintip."
Karena itu si baju hijau barulah menghela nafas, ucapnya, "Jika aku tidak memikirkan dirimu,
mana.. mana bisa kulakukan hal-hal demikian ini !"
"Apakah kau menyesal ?" tanya si perempuan.
"Tidak, sama sekali aku tidak menyesal," Jawab si baju hijau dengan suara lembut tapi tegas.
"Demi kau, apapun juga dapat kulakukan dan pasti takkan menyesal."
Perempuan tadi kedengaran bersuara tertahan seperti mendadak dipeluk oleh si lelaki, habis
itu lantas tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Meski Lui-ji tidak paham apa yang terjadi, tapi diketahuinya juga bahwa dalam keadaan
begitu rasanya berdiam akan lebih baik daripada bersuara.
Ia cuma heran apakah si baju hijau rela menjual keluarga Tong hanya demi membela
kekasihnya itu " lantas siapakah gerangan perempuan itu " ada hubungan apa pula antara dia
dengan keluarga Tong di Sujwan.
Selang agak lama baru terdengar si perempuan menghela nafas lega, nafas kepuasan. Lalu
sambil tertawa dan setengah mengomel ia menghardik, "Kau budak mampus, katamu tidak
akan mengintip, mengapa sekarang mengintip ?"
Perempuan yang lain tertawa ngikik, jawabnya, "Habis, siapa yang tahan melihat kedua
kakimu menyepak kian kemari, malahan kusangka kau mengidap penyakit ayan."
"Sialan !" omel si perempuan pertama.
"Setan cilik ini mungkin lagi birahi dan ingin punya lelaki, makanya bicara seperti orang gila
begini," Perempuan lain menimpali dengan tertawa, "Ai, entah siapa yang lagi birahi dan ingin dipeluk
lelaki, sampai satu detik saja tidak tahan, masa di dalam kereta lantas hendak...hendak
main..." 177 Cepat si baju hijau batuk-batuk lagi, selanya: "Eh, apakah kalian sudah mengatur tempat
tujuan kita ?" "Jangan kuatir," kata perempuan yang lain,
"Begitu toaci menerima beritamu, segera semua urusan telah dibereskannya. Lantaran kuatir
siang hari tidak leluasa menempuh perjalanan cepat, dia malah sudah lebih dulu menyuruh
orang mengatur suatu tempat tinggal di luar kota, dan sekarang juga kita akan menuju kesana
untuk istirahat dan besok malam baru kita berangkat lagi."
Dia mengikik tawa, lalu menyambung: "Padahal Toaci bukan kuatir tidak leluasa menempuh
perjalanan di siang hari segala, dia hanya ingin anu dulu denganmu...."
"Hus, setan cilik, apa kau minta kurobek mulutmu "!" bentak perempuan yang pertama.
Tampaknya kedua taci beradik itu bersenda-gurau dengan gembira, sedangkan si baju hijau
agaknya menanggung sesuatu pikiran, dia berkata dengan suara tertahan, "Siapakah yang kau
suruh mengatur tempat tinggal itu ?"
"Dengan sendirinya orang yang dapat dipercaya," jawab Si perempuan.
"Ai, orang yang dapat dipercaya di dunia ini sesungguhnya tidak banyak," kata si baju hijau,
"Untuk itu kau..."
"Aku cuma menyuruh dia mengatur pondokan dan tidak kukatakan untuk keperluan apa, dia
juga tidak kenal kau..." demikian kata si toaci.
"Tapi kalau kau masih berkuatir, setiba di sana biarlah nanti kubunuh dia."
Sampai di sini, Lui-ji terkejut pula.
Sungguh tak terpikir olehnya kedua taci beradik yang menarik ini ternyata berhati sekeji itu,
membunuh orang dianggapnya seperti makan nasi sehari-hari saja.
Selang sejenak, si baju hijau berkata pula: "Tempat yang telah diatur untuk kalian itu apakah
sudah diketahui terletak dimana ?"
"Begitu keluar kota segera kita dapat menghubungi dia." ujar si Toaci.
Si baju hijau termenung sejenak, katanya lagi, "Jika demikian, boleh kau suruh kusir
mengendarai keretanya berputar kayun saja didalam kota."
"Berputar kayun di dalam kota " untuk apa ?" si Toaci menegas dengan melengak.
"Setiba di depan sana kita lantas melompat keluar, kita keluar kota sendiri dengan berjalan
kaki, biarkan kereta ini tetap berputar di dalam kota, dengan demikian, andaikan ada orang
menguntit kereta ini juga takkan menjadi soal lagi."
178 Perempuan yang lain tertawa, ucapnya, "Sungguh tidak nyana nyalimu berubah menjadi
sekecil ini, kuingat dahulu kau bukan seorang penakut begini."
"He, jangan.. jangan-jangan telah terjadi sesuatu ?" tanya sang Toaci.
"O, tidak, semua syaratku sudah diterima mereka seluruhnya," kata si baju hijau.
"Kalau begini, urusannya kan sudah berhasil apalagi yang kau takutkan ?" ujar si Toaci.
Si baju hijau menghela nafas, katanya, "Justru lantaran urusan sudah jadi, maka aku harus
lebih berhati-hati."
"Aneh, kenapa bisa begitu ?" tanya sang toaci.
"Sebab selalu kurasakan ada sesuatu yang tidak enak, bisa jadi mereka akan membunuhku
untuk menutup mulutku !"
"Siapa saja yang bertemu denganmu tadi ?" tanya si perempuan kedua tadi.
"Yaitu begundal Ji Hong-ho yang paling dipercaya, Ong Uh-lau dan .... dan Tong Bu-siang
palsu itu." Perempuan kedua itu menjengek, "Hm, jika menguntit, jangan harap lagi mereka dapat pulang
dengan hidup." "Kedua orang ini tidak menguatirkan, tapi masih ada seorang lagi yang sangat menakutkan,"
tutur si baju hijau. "Siapa dia?" "Dia mengaku bernama Yang Cu-kang, entah nama asli atau samaran."
"Apakah ilmu silat orang ini sangat tinggi?"
Si baju hijau menghela napas, katanya, "Selama hidupku ini sungguh belum pernah melihat
jago silat yang lebih hebat dari dia, di depannya kungfuku yang kulatih selama berpuluh tahun
ini sama seperti permainan anak kecil yang tiada artinya."
Agaknya kedua taci beradik itupun rada terkejut, seketika keadaan menjadi hening.
Lalu si baju hijau berkata pula, "Apapun juga tidak ada jeleknya jika kita berhati-hati sedikit,
lebih-lebih .... " dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Segala sesuatu
urusanku kan lebih ruwet daripada kalian ...."
Dengan tertawa perempuan muda itu memutus ucapannya, "Sudahlah, jangan mengeluh lagi,
jika kau mengeluh, sebentar Toaci bisa menangis. Biarlah kuturuti semua kehendakmu."
Selang sebentar, terdengar dia berkata kepada si kusir, "Lau Wong, kami akan turun di depan
sana, tapi kereta jangan berhenti, boleh kau larikan dengan cepat dan berputar kayun di dalam
kota, sedikitnya satu jam baru boleh kau hentikan."
179 Terdengar si kusir mengiakan.
Lalu perempuan itu berkata pula, "Awas, jika kau bocorkan jejak kami satu kata saja atau kau
malas dan tidak menjalankan keretamu sebelum satu jam, maka hukuman apa yang akan kau
terima tentunya kau sudah tahu sendiri."
"Ya, ham ... hamba tidak berani," jawab si kusir.
"Akupun tahu kau pasti tidak berani," ujar perempuan itu dengan tertawa, "Apalagi ke mana
kami akan menuju hakekatnya juga tidak kau ketahui."
***** Mendengar mereka akan melompat keluar dari kereta, mulailah Lui-ji merasa gelisah. Sebab
kalau dia meneruskan penguntitannya terhadap ketiga orang ini, maka dia pasti akan
kehilangan kontak dengan Ji Pwe-giok.
Sebaliknya kalau dia tertinggal di situ untuk memberi kabar kepada Pwe-giok, maka dia akan
kehilangan jejak selanjutnya ketiga orang itu.
Padahal hanya diketahuinya pondokan yang dituju mereka terletak di luar kota, tapi rumah di
luar kota entah beberapa ratus jumlahnya, darimana dia tahu rumah mana yang akan menjadi
pondokan mereka" Selagi gelisah, tiba-tiba Lui-ji ingat sekotak Yanci (pupur merah, gincu) yang dibawanya,
Yanci ini adalah kado pemberian nona penghuni Bong-hoa-lau pada waktu di "menikah"
semalam. Yanci ini sangat bagus warnanya, bahkan dusnya juga sangat indah buatannya, konon
produksi termasyhur pabrik kosmetik "Thian-hiang-cay" di Peking.
Lui-ji sangat senang pada Yanci itu, maka sekotak lantas disimpannya dalam baju. Tatkala
mana tak terpikirkan olehnya bahwa yanci ini akan berguna baginya.
Tapi sekarang terpikirlah olehnya, dengan sebelah tangannya ia mengeluarkan kotak kecil
yanci itu, ia remas pecah dusnya, dengan yanci itu ia menulis beberapa huruf di bawah kereta,
bunyinya: "Aku menguntit keluar kota ...."
"Meski cuma beberapa huruf saja ditulisnya, tapi tangan sudah terasa pegal, selagi ia mengaso
dan hendak menulis lagi, tiba-tiba ada suara dalam kabin kereta, terdengar si baju hijau
berkata, "Di sini kelihatan sepi, ayo kita keluar!"
Habis itu lantas kelihatan tiga orang melompat keluar kereta, sekali kaki mereka menempel
tanah, serentak mereka melejit lebih jauh lagi ke sana. Gerakan kedua Taci beradik itu
ternyata jauh lebih cepat dan gesit daripada si baju hijau.
Segera Lui-ji juga kendurkan pegangannya, "bluk", ia terbanting di tanah dan hampir-hampir
kelenger, tapi ia tidak menghiraukan rasa sakit lagi, cepat ia melompat bangun terus mengejar
ke sana. 180 Ia merasa Ginkang sendiri jauh lebih tinggi satu tingkat ketimbang ketiga orang itu, maka
sedikitpun ia tidak kuatir jejaknya akan diketahui lawan.
Sementara itu si kusir sudah melarikan kereta ke arah lain dan juga tidak mengetahui ada
seorang jatuh dari bawah keretanya.
Diam-diam Lui-ji bersyukur dan bergirang akan hasil kerja dirinya ini, ia merasa
penguntitannya sekali ini boleh dikatakan "tabah dan hati-hati, gesit dan bersih", biarpun
tokoh Kangouw kawakan juga belum tentu dapat bekerja sebagus ini.
Dia lupa bahwa umumnya orang yang semakin berpengalaman di dunia Kangouw nyalinya
justeru bertambah ciut. Orang yang bernyali besar seperti dia tidak nanti tahan 20 atau 30
tahun berkecimpung di dunia Kangouw. Sebab orang demikian biasanya pasti tidak berumur
panjang. Dilihatnya ketiga orang di depan itu makin menuju ke tempat yang sepi dan terpencil, karena
itu langkah mereka pun tidak lagi berhati-hati seperti semula, tiada seorang pun yang menoleh
ke belakang. Tentu saja Lui-ji bertambah berani, diam-diam iapun tambah senang, pikirnya, "Kalian
mengira sudah dapat melepaskan diri dari orang yang menguntit, tentunya kalian tidak tahu
masih ada diriku!" Kini dia sudah dapat melihat jelas perawakan kedua taci beradik itu, mereka berbaju yang
sangat serasi dengan garis tubuh masing-masing, potongan badan mereka sangat menggiurkan
orang, biarpun sedang berlari dengan Ginkang juga kelihatan pinggang mereka yang ramping
dengan gaya yang menarik. Cuma sayang Lui-ji tetap belum sempat melihat wajah mereka.
Setelah berjalan sekian jauhnya, kedua kakak beradik kembali bersenda gurau lagi.
Karena tidak berani terlalu dekat, maka Lui-ji tidak dapat mengikuti apa yang sedang
dipercakapkan mereka. Dalam pada itu di ufuk timur sana sudah remang-remang, fajar sudah mulai menyingsing.
Tertampak sawah membentang di depan sana, padi menguning melambai-lambai terusap
angin laksana gelombang ombak.
Di tepi sawah sana ada tiga atau lima buah gubuk, di ujung rumah meringkuk seekor anjing
penjaga, ketika mencium bau orang asing, mendadak anjing itu melompat bangun dan
menggonggong. Di belakang rumah sana ada sebuah kolam ikan, ada kebun kecil di samping kolam dengan
tanaman sayur yang tampak menghijau segar, kebun itu dikitari pagar bambu yang dirambati
akar-akaran yang berbunga kuning kecil yang sedang mekar dengan indahnya.
Itulah gambaran sebuah rumah petani yang aman tenteram dan adem-ayem. Akan tetapi Lui-ji
justeru merasa seperti kekurangan sesuatu. Dia memang dibesarkan di suatu kota kecil,
terhadap pemandangan dan suasana pedusunan sudah tidak asing lagi. Di sini juga ada sawah
181 dan padi, ada kebun dan sayur, ada rumah gubuk, ada kolam ikan, bahkan juga ada anjing
penjaga rumah. Lantas apa yang dirasakannya masih kurang"
Mendadak ketiga orang di depan itu berhenti, lalu celingukan kian kemari, habis itu mereka
lantas langsung menuju ke rumah petani itu. Perempuan yang berbadan lebih padat itu
malahan berkata dengan tertawa, "Tentu inilah tempatnya, pasti tidak salah lagi."
Dia berbicara dengan suara cukup keras, sampai Lui-ji juga dapat mendengar dengan jelas.
Si baju hijau juga berkata, seperti lagi bertanya, "Darimana kau tahu pasti tidak salah?"
Lalu perempuan tadi menjawab, "Sebab di sini tidak ada ayam berkotek, pernahkah kau
melihat orang kampung tidak piara ayam?"
Perempuan yang lain menyela dengan tertawa, "Orang tani piara ayam atau tidak, Toa-siauya
(tuan muda) yang hidup senang di gedung megah seperti dia mana bisa tahu."
Si baju hijau seperti benar-benar tidak paham, kembali ia bertanya, cuma suaranya sangat
rendah sehingga tidak terdengar oleh Lui-ji.
Maka perempuan muda satunya berkata pula dengan tertawa, "Keluarga petani tidak ada yang
tidak piara ayam, tapi ayam jantan adalah makhluk yang paling dipantang oleh kami. Bahwa
rumah ini tidak ada ayam, tentu karena semua ayam di sini sudah di bunuh oleh orang suruhan
kita itu." Mendengar sampai di sini barulah teringat Lui-ji bahwa sesuatu yang dirasakan kurang tadi
kiranya adalah ayam yang dibicarakan mereka itu. Sebab ia pun tahu pada umumnya kaum
petani pasti piara ayam. Tapi mengapa kedua perempuan ini bilang pantang pada ayam jago atau jantan"
Hal ini biarpun direnungkan orang selama tiga hari tiga malam mungkin juga belum dapat
memahami alasannya. Tapi hanya berpikir sejenak saja Lui-ji lantas mendapatkan
jawabannya, tahulah dia apa sebabnya.
Tanpa terasa ia tertawa geli sendiri dan bergumam. "Wah, kiranya mereka adalah sekaum
dengan diriku, menarik juga jika demikian."
Ia tahu ayam jantan adalah musuh dari segala makhluk berbisa, terutama sebangsa


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalajengking, kelabang dan sebagainya. Sebab itulah golongan dan aliran Kangouw yang
mengandalkan keahlian mereka dalam hal penggunaan racun, semuanya memandang ayam
jago sebagai makhluk yang tidak mendatangkan berkah, semuanya pantang melihatnya,
apalagi memelihara. Usia Lui-ji masih muda, tentunya tidak banyak mengetahui seluk beluk orang Kangouw, tapi
dia adalah seorang ahli racun, ahli yang tiada taranya, dengan sendirinya alasan orang-orang
itu pantang melihat ayam jago dengan segera dapat dipahaminya.
Sementara itu orang di dalam rumah gubuk itu sudah terjaga bangun oleh suara gonggong
anjing tadi. 182 Seorang lelaki berbaju hijau tampak melongok keluar, ketika melihat kedua perempuan muda
itu, seketika ia berdiri dengan hormat sehingga urung menguap kantuk, dengan membungkuk
tubuh ia menyapa, "Baru sekarang Tongcu tiba " maaf hamba tidak sempat menyambut kedatanganmu."
Kedua perempuan muda itu hanya mengulapkan tangannya, lalu masuk ke rumah gubuk itu.
Anjing tadi masih terus menyalak, tapi setelah didepak satu kali oleh lelaki tadi, sambil
mengaing anjing itu lari terbirit-birit dengan mencawat ekor.
Pintu rumah gubuk itu kemudian tertutup, menyusul cahaya lampu lantas kelihatan terang di
balik jendela. Pelahan Lui-ji merunduk kesana, ia sembunyi di belakang rumah gubuk lain yang dijadikan
lumbung padi, meski melihat kedatangan orang asing lagi, namun anjing itu rupanya sudah
kapok dan tidak berani menggonggong pula, hanya lidahnya tampak terjulur dengan nafas
terengah-engah. Kertas perekat jendela tampaknya masih baru, masih putih bersih, Lui-ji sangat ingin
mendekat jendela untuk mengintip, tapi setelah dipikir lagi kini pondokan ketiga orang ini
sudah diketahui, seharusnya dia cepat putar balik kek kota untuk mencari Pwe-giok, sebab ia
dapat membayangkan saat ini anak muda itu pasti sangat gelisah karena tidak menemukan
dia. Selagi ia merasa ragu, entah mesti maju atau harus mundur, tak terduga, pada saat itu juga di
sampingnya mendadak ada orang mengikik tawa, suara tertawa nyaring seperti bunyi
keleningan. Keruan Lui-ji terkejut, cepat ia berpaling, dilihatnya dua orang muncul dari depan
lumbung, siapa lagi kalau bukan kedua perempuan misterius tadi.
Akhirnya dapatlah dia melihat muka mereka.
Nyata, mereka tidak cuma cantik, bahkan membawa semacam daya tarik yang sukar
dilukiskan, daya tarik genit ini seolah-olah timbul dari tulangnya sehingga tidak dapat ditiru
oleh siapapun. Meski pakaian mereka hanya terbuat dari kain kasar, namun para nona penghibur di Bonghoalau sana satu jari saja tak dapat membandingi mereka, bahkan menjadi babunya saja tidak
setimpal. Perempuan yang bertubuh lebih padat agaknya bermata lebih besar sedikit, tapi adik
perempuannya tampaknya lebih kuat daya tariknya, tertawanya juga lebih menggiurkan.
Sambil tertawa si adik memandang Lui-ji, ucapnya dengan lembut: "Eh, nona cilik, angin pagi
sedingin ini, apakah kau tidak takut masuk angin?"
Mata Lui-ji yang jeli itu berkedip-kedip, iapun tertawa dan menjawab: "Justru lantaran merasa
kegerahan di rumah, maka ku keluar untuk mencari angin."
"Ooo, kau tinggal di sekitar sini?" tanya perempuan muda tadi.
183 Lui-ji mengiakan. "Jika demikian, kita kan tetangga"
"Memangnya, siapa bilang bukan?" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Perempuan muda itu tertawa, katanya: "Jika kita bertetangga, marilah duduk di dalam,
kebetulan ada bakso yang baru ku bikin, masih panas-panas, segar menghangatkan badan."
Dengan tertawa Lui-ji menjawab: "Baiklah, sejak tadi memang ada maksudku hendak belajar
kenal dengan kalian, apalagi sekarang akan disuguh bakso"
Sejak tadi si Taci hanya berdiri dengan tertawa, sekarang iapun menyatakan setuju dengan
berkeplok: "Kami baru saja pindah ke sini dan lagi merasa kesepian karena tidak ada kenalan,
siapa tahu di pedusunan ini ada nona sepintar dan secantik kau ini."
Begitulah mereka terus membawa Lui-ji ke dalam rumah, bahkan berulang-ulang memuji
Lui-ji, katanya: "cantik dan lincah" dan bermacam-macam lagi, tampaknya seperti benarbenar
sangat gembira. Padahal dengan sendirinya sejak tadi-tadi mereka sudah mengetahui jejak mereka diikuti Luiji,
mereka memang sengaja berlagak lengah, maksudnya justru hendak memancing Lui-ji ke
sini. Kini setelah diketahui Lui-ji cuma seorang nona cilik, dengan sendirinya pula tidak begitu
dirisaukan oleh mereka. Tak tahunya bahwa Lui-ji sendiri juga tidak memandang berat
mereka. Lui-ji bukan anak bodoh, dengan sendirinya iapun tahu maksud tujuan mereka, tapi bila
teringat kemahiran andalan kedua kakak beradik itu adalah menaruh racun, maka diam-diam
Lui-ji tertawa geli. Ia membatin, "Huh, memangnya kalian mengira aku ini dapat dikerjai sesuka hati kalian"
Huh, ketanggor diriku, kalian yang bakal celaka."
Begitulah diam-diam ia merasa kedua kakak beradik tidak tahu diri dan berani main racun
dengan seorang ahli. Tak terduga olehnya bahwa di dalam rumah gubuk itu ternyata dipajang cukup resik dan apik,
semuanya serba bersih, setiap benda seolah-olah sudah digosok dan dicuci berpuluh kali.
Tapi si baju hijau tidak kelihatan di dalam rumah, lelaki yang menyambut kedatangan mereka
tadi juga sudah hilang. Diam-diam Lui-ji heran, pikirnya, "Jangan-jangan mereka sudah
membunuhnya." Si adik lantas memegang tangan Lui-ji dan bertanya ini dan itu, "Eh, adik cilik, kau she apa"
Tinggal dimana" Berapa umurmu" Ada siapa-siapa lagi di rumahmu?"
184 Dan Lui-ji juga menjawab sekenanya, sampai dia sendiri merasa geli. Baru sekarang ia
merasakan bahwa dirinya ternyata juga berbakat untuk berdusta.
Ia tidak tahu bahwa berdusta adalah bakat pembawaan setiap perempuan, sebaliknya lelaki
harus mengalami latihan cukup lama baru mahir berdusta.
Selang sejenak, sang Taci muncul dari dapur dengan membawakan tiga pasang sumpit, tiga
sendok, satu piring "intip" goreng dan tiga mangkuk baso.
"Intip", yaitu lapisan nasi yang menempel di bagian dasar kuali, adalah makanan yang biasa
di rumah petani. Bakso yang dibawakan itu memang masih mengepulkan asap, jelas memang
sarapan yang disediakan oleh lelaki yang mendepak anjing tadi.
"Eh, adik cilik, bakso harus dimakan selagi panas, kalau sudah dingin tidak enak," kata si Taci
dengan tertawa. "Ayolah makan mumpung panas."
Lui-ji berkedip-kedip, tiba-tiba ia berkata, "Ah, tidak, aku tidak berani makan."
Si taci seperti terkesiap, tanyanya, "Sebab apa tidak berani makan?"
"Maklumlah kami orang udik, kecuali tahun baru atau hari raya, hampir tidak pernah makan
daging. Kalau sekarang harus kumakan semangkuk besar bakso ini ku kuatir perutku bisa
mules." "Hihi," kata si Taci tertawa riang, "jangan kuatir, meski bakso ini memakai macam-macam
bumbu, tapi gemuknya tidak banyak, tak nanti membikin perut mules."
"Apakah benar takkan mematikan orang?" tanya Lui-ji dengan tertawa.
Air muka si Taci seperti berubah sedikit, ia pandang adiknya.
Si adik lantas mengikik tawa, katanya, "Ai, adik cilik ini memang suka bergurau, masa bakso
bisa membunuh orang?"
Lui-ji mengerling, katanya dengan tertawa, "Baiklah, kalau begitu, akupun tidak sungkansungkan
lagi." Dan benar-benar ia lantas berduduk dan makan bakso dengan nikmatnya.
Kedua kakak beradik itupun mengiringinya makan, diam-diam kedua orang saling berkedip.
Dengan kedipan matanya si adik lagi tanya sang Taci, "Kau taruhi "bumbu istimewa" tidak ke
dalam bakso ini?" Dan sang taci seperti menjawab, "Tidak nanti ku lupa!"
Tak terduga mendadak Lui-ji berkata dengan tertawa, "Wah, lezat benar bakso ini, cuma
sayang aku rada tidak bisa menikmati bumbu istimewa yang kalian gunakan ini."
Kembali kedua kakak beradik itu tercengang, dengan tertawa genit si adik berkata, "Di dalam
bakso ini mana ada bumbu istimewa segala ?"
185 "Masa tidak ada?" ujar Lui-ji. "Tapi mengapa lidahku terasa kesemutan."
"O, mungkin terlalu banyak garam." kata si Taci.
Lui-ji menghela napas, gumamnya, "Terlalu banyak menaruh garam terkadang juga bisa bikin
orang mati keasinan." Tengah bicara orangnya terus memberosot ke bawah kursi.
Kedua kakak beradik itu seperti terkejut dan berseru, "he, adik cilik, kenapa kau?"
Tapi lewat sejenak pula Lui-ji masih tetap terkapar di bawah meja tanpa bergerak sedikitpun,
dari ujung mulutnya merembes keluar busa putih. Sampai di sini barulah kedua kakak beradik
itu menghela napas lega. Si adik tepuk-tepuk ulu hatinya sendiri dan berkata, "Tadi aku benar-benar dibuat kaget, dari
ucapannya itu kusangka dia ini seorang ahli."
"Jika benar dia seorang ahli tentu dia takkan makan bakso suguhan kita ini," ujar sang Taci.
"Cukup tidak kadar obat yang kau gunakan?" tanya si adik.
"Pas, tanggung tidak kurang dan tidak lebih," jawab sang Taci. "Sekalipun ahli racun seperti
Oh-lolo, setelah minum kuah bakso ini pasti juga akan menggeletak tak berkutik."
"Siuut", mendadak si baju hijau melompat ke belakang sana, ia berjongkok dan memandang
Lui-ji sekejap, lalu berkata sambil berkerut kening. "Mana boleh kau racun mati dia."
Si Taci menarik muka, tanyanya: "Mengapa tidak boleh" Jangan-jangan kau kenal dia?"
Belum lagi si baju hijau menanggapi, si adik telah menyeletuk dengan tertawa: "Wah, cara
bicaramu kudu hati-hati, Cici sudah minum cuka (maksudnya cemburu)"
Si baju hijau menghela napas, katanya kemudian sambil menyengir: "Ai, justru karena aku
tidak kenal dia, maka perlu dia dibiarkan hidup"
Tapi sang Taci masih bersungut, tanyanya: "Untuk apa" Memangnya kau ingin berkawan
dengan dia?" Dengan gugup si baju hijau menjawab: "Kita kan perlu tanya dia siapa yang menyuruhnya
mengikuti jejak kita dan masih adakah orang lain yang datang bersama dia?". Ia berhenti
sejenak, lalu menghela napas dan menyambung pula: "Ai, dalam keadaan demikian masa kau
cemburu padaku dan tetap tidak percaya padaku?"
Si Taci tertawa cerah, dari belakang ia rangkul pinggang si baju hijau, ucapnya dengan suara
lembut: "O, masa aku tidak percaya padamu" Aku....aku cuma main-main saja denganmu"
Segera si adik berseloroh: "Baiklah, jangan kau marah. Jika cici tidak suka padamu, untuk apa
dia cemburu. Bagiku, bilamana ada orang mau cemburu padaku, bukannya marah sebaliknya
aku akan gembira malah"
Si baju hijau lantas tertawa, katanya: "Aku kan tidak benar-benar marah, hanya saja...."
186 "Jangan kuatir, kadar racun yang kuberikan itu tidak terlalu keras, untuk sementara ini dia
tidak akan mati" tukas si Taci. "Jika kau ingin menanyai dia, segera dapat ku sadarkan dia"
Di luar dugaannya, belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Lui-ji menanggapinya
dengan tertawa. "Kukira kau tidak perlu repot-repot, asalkan kalian menghendaki aku hidup
lagi, aku sendiri segera dapat hidup kembali"
Sembari bicara, secepat kilat iapun turun tangan, saat itu si baju hijau bermaksud memeriksa
denyut nadinya, maka pergelangan tangannya seketika kena dicengkeram oleh Lui-ji.
Sungguh tak terpikir oleh si baju hijau bahwa si nona cilik yang sudah mati keracunan ini
dapat hidup kembali secara mendadak, lebih-lebih tidak menyangka kungfunya sedemikian
tinggi, seketika sekujur badannya terasa kesemutan dan tidak bisa berkutik lagi.
Kedua kakak beradik itupun melenggong terkejut, si adik melototi sang Taci, agaknya ingin
bertanya: "Apa-apaan ini" Jangan-jangan memang benar garam kau gunakan sebagai racun?"
Tapi sang Taci juga tidak kurang kaget dan bingungnya, sungguh ia tidak paham mengapa
bisa jadi begini" Dengan tangan sendiri ia taruh racun di dalam kuah bakso, hal ini tidak mungkin keliru, apa
lagi kadar racun yang ditaruhnya itu cukup keras, seekor kudapun akan menggeletak.
Akan tetapi racun sekeras itu bagi nona cilik ini ternyata tidak manjur sama sekali.
Lui-ji tertawa ngikik sambil memandangi mereka yang melongo itu.
Biji mata si adik berputar, tiba-tiba iapun tertawa dan berkata: "Adik cilik, apakah kau kira
kami benar-benar hendak meracuni kau" Tadi kami hanya menakut-nakuti kau saja. Coba kau
pikir, bila benar di dalam bakso ada racunnya, apakah kau tahan?"
Lui-ji mengangguk, jawabnya: "Benar, jika dalam bakso benar ada racunnya, kan aku sudah
mati sejak tadi." "Makanya, yang kami taruh di dalam kuah bakso itu hanya bumbu saja sebangsa garam dan
merica" ujar si adik dengan tertawa genit. "Malahan bumbu masak itu adalah oleh-oleh
seorang paman kami yang baru pulang dari luar negeri"
"Ooo?" Lui-ji bersuara seperti heran.
Mendadak si adik berlari ke dapur dan keluar lagi dengan membawa satu botol kecil, serunya
dengan tertawa: "Coba lihat, adik cilik, bumbu masak semacam inilah, barang impor, sukar
dicari, masakah kau kira racun segala?"
"Apakah benar-benar bukan racun" Bolehkah kucicipi sedikit?" kata Lui-ji.
Kehendak Lui-ji ini seperti di luar dugaan kedua kakak adik itu dan tentu saja membuat
mereka kegirangan, sebab mereka sedang mencari alasan agar Lui-ji mau mencicipi "bumbu
masak" itu, siapa tahu Lui-ji sudah mau mencicipi sendiri sebelum diminta.
187 Segera si adik berkata, "Silahkan saja mencicipinya, rasanya gurih, bila beracun, boleh
kuganti nyawamu." "Jika beracun, bukankah aku akan mati seketika, cara bagaimana dapat ku tuntut ganti nyawa
padamu?" ujar Lui-ji.
Si adik melengak pula, sahutnya dengan tergagap, "Oo, ta... tapi"
Selagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, tiba-tiba Lui-ji berkata
pula dengan tertawa, "Coba lemparkan botolmu itu, bumbu masak segurih ini betapapun harus
kucicipi sedikit." Sehabis menerima botol kecil itu, ia gigit sumbat botol dan dibukanya, maklum, sebelah
tangannya masih repot mencengkeram pergelangan tangan si baju hijau.
Kedua kakak beradik itu benar-benar dibuat bingung oleh nona cilik yang angin-anginan ini,
sungguh mereka tidak tahu Lui-ji ini nona pandai atau orang sinting"
Tapi ketika Lui-ji menuang bubuk di dalam botol ke mulutnya, tanpa terasa wajah kedua
kakak beradik itu menampilkan rasa girang. Sebab mereka tahu obat di dalam botol itu bukan
saja racun, bahkan racun yang sangat lihai, sekarang mereka menyaksikan sendiri nona cilik
itu menuang bubuk racun di atas lidahnya, jelas sekali ini tidak salah lagi, diam-diam mereka
tertawa gembira dan membatin, "Budak cilik ini ternyata seorang tolol."
Terlihat mulut lui-ji sedang berkecek-kecek, seperti orang makan coklat yang sedap, bahkan
nona cilik itu lagi berkata dengan tertawa, "Wah, memang benar sangat enak. Dapat mencicipi
barang selezat ini, biarpun mati keracunan juga rela."
Sembari bicara ia terus menuang seluruh isi botol ke dalam mulut.
Jilid 7________ Meski kedua kakak beradik itu merasa gembira, tapi diam-diam juga merasa sayang, karena
sebotol penuh bubuk racun yang sukar dibuat itu telah dihabiskan begitu saja oleh Lui-ji.
Padahal bubuk racun itu lebih berharga daripada emas, sebotol kecil itu cukup untuk meracun
mati berpuluh lelaki kekar, tapi sendirian budak cilik ini telah melalapnya sekaligus.
Seketika kedua kakak beradik itu melongo, ya gegetun ya menyesal, mereka merasa cara Luiji
makan racun itu sebagai suatu pemborosan.
Sambil menghela napas, tiba-tiba si adik berhitung, "Satu... dua... tiga...."
Ia yakin, apabila hitungan "tiga" terucapkan, maka budak cilik itu pasti akan roboh, sebab
sebanyak itu bubuk racun yang dilalapnya, biarpun manusia baja juga akan meleleh.
Siapa tahu, meski sudah sekian detik dia mengucapkan hitungan "tiga" dan Lui-ji masih tetap
tenang-tenang saja tanpa kurang suatu apa pun, malahan nona cilik itu lantas menggantikan
dia menyambung hitungannya, "Empat... lima... enam... tujuh...."
188 Baru sekarang kedua kakak beradik itu melonjak kaget.
Lui-ji tertawa dan berkata, "Bumbu masak ini memang sangat gurih, cuma sayang, terlalu
sedikit. Bagiku, sedikitnya harus makan sepuluh atau dua puluh botol baru cukup kenyang."
Dia melemparkan botol kosong ke lantai, lalu tertawa ngikik, katanya pula, "Jika kalian ingin
menyuguh makanan enak kepada tamu, seharusnya kalian jangan terlalu pelit, ayolah
keluarkan lagi beberapa botol."
Mana bisa bicara lagi kedua kakak beradik itu.
Sesungguhnya merekapun bukan anak kemarin yang baru mengembara di dunia Kangouw,
mereka sudah cukup berpengalaman, sudah banyak juga tokoh Kangouw kelas tinggi yang
pernah mereka temui, tapi selama ini jarang ada yang terpandang oleh mereka.
Dan sekarang, hanya seorang nona cilik ini telah membuat mereka mati kutu dan tak dapat
bersuara. Si baju hijau sejak tadi hanya menunggu kesempatan, sekarang ia menyadari tiada
kesempatan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata, "Kami bermata tapi buta, tidak tahu
bahwa nona ternyata seorang kosen."
"Ah, akupun bukan orang kosen apa segala, hanya perutku lebih istimewa daripada orang
lain," ujar Lui-ji dengan tertawa.
Si kakak melotot, ucapnya dengan suara parau, "Baiklah, kami mengaku terjungkal,
sesungguhnya akan.... akan kau apakan dia?"
"Akupun tidak ingin apa-apa....." mendadak ucapan Lui-ji terhenti, sebab diketahuinya di
dalam rumah mendadak telah bertambah satu orang.
Siapapun tidak tahu orang ini datang darimana" Orang ini seperti mendadak jatuh dari langit
saja, seperti muncul dari bawah bumi dan tahu-tahu sudah berada di situ.
Meski di dalam rumah lampu masih menyala, tapi di luar hari sudah terang benderang, cahaya
matahari menyorot masuk ke dalam rumah melalui lubang jendela dan menyinari tubuh orang
ini. Entah sejak kapan dia sudah duduk di kursi sebelah dan terus menerus menguap kantuk
seperti orang sudah tiga malam tidak tidur.
Tapi orang ini bukan kakek-kakek, malahan sangat muda, bahkan tergolong cakap, hanya saja
kelopak matanya yang kelihatan selalu sukar terpentang, seperti orang yang tidak pernah tidur
cukup. Sudah tentu kedua kakak beradik itupun terkejut ketika mengetahui di dalam rumah mereka


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba telah bertambah satu orang, Tapi betapapun kaget mereka tetap tidak sekaget si baju
hijau dan Cu Lui-ji. 189 Sebabnya, Lui-ji kenal orang ini, si baju hijau lebih-lebih kenal, melihat datangnya orang ini,
disamping terkejut iapun rada-rada bergirang. Maklum, ia berharap orang ini akan turun
tangan menolongnya. Siapa tahu, setelah belasan kali orang ini menguap, lalu dia hanya memandangi si baju hijau
dengan cengar-cengir, seluruh badannya terkulai di atas kursi seperti orang yang tidak
bertulang atau kehabisan tenaga.
"Yang-heng, apakah kau kenal nona cilik ini?" sapa si baju hijau dengan mengiring tawa.
Pemuda itu memang Yang Cu-kang adanya. Dengan tertawa ia menjawab, "Melihat caranya
memegangi tanganmu sedemikian mesranya, tentu dia ini sahabat baikmu. Dan kalau aku
kenal sahabat baikmu, bukankah nanti kau akan cemburu lagi dan bisa jadi aku akan kau
labrak." Biji mata Lui-ji berputar, segera ia berkata dengan tertawa, "Betul, kami memang sahabat
baik, masa kau perlu tanya lagi?"
Berbareng ia perkeras cengkeramannya sehingga si baju hijau kesakitan dan berkeringat
dingin, mana dia berani membantah sekata pun.
Yang Cu-kang menghela napas, katanya, "Pantas kau tidak sudi minum arak di Bong-hoa-lau
sana, kiranya kau sudah mempunyai tempat sebaik ini serta diladeni nona cantik sebanyak
ini." - Dia berhenti dan mendadak menggebrak meja, lalu menyambung, "Dan diam-diam kau
datang ke sini sendirian di luar tahu kami, hm, sungguh terlalu dan bukan perbuatan seorang
sahabat sejati." Kedua nona kakak beradik tadi sama memperlihatkan rasa kurang senang atas sikap Yang Cukang
itu. Cepat si baju hijau berkata pula, "Meski ku datang sendiri ke sini, tapi berulangulang
sudah kutanyai beberapa nona ini, siapakah ksatria muda nomor satu di dunia sekarang
ini. Beliau tak lain tak bukan ialah Yang Cu-kang, Yang-tayhiap."
Mendadak Yang Cu-kang menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Haha, apakah benar
aku Yang Cu-kang ini seorang ksatria muda" Wah, sampai aku sendiri tidak tahu."
Gemerdep sinar mata Lui-ji, tiba-tiba iapun berkata dengan tertawa, "Ah, Yang-tayhiap ini
baru datang, tentu perutnya sudah lapar, bukankah kalian masih sedia bakso, kenapa tidak
kalian suguhi beliau satu mangkuk?"
Kedua kakak beradik itu ragu-ragu sejenak, si Toaci memandang tangan Lui-ji dan
memandang pula keringat yang menghiasi dahi si baju hijau, terpaksa ia menjawab dengan
menyengir, "Ya, segera kuambilkan!"
"Ah, tidak perlu," kata Yang Cu-kang. "Aku bukan puteri Siau-hun-kiongcu dan juga bukan
murid Hong Sam, bakso spesial buatan nona ini sekali-sekali aku tidak berani makan."
Ucapan ini kembali membuat semua orang terkejut.
190 Lui-ji tidak menyangka pemuda yang misterius ini ternyata tahu asal-usulnya. Lebih-lebih
kedua nona kakak beradik itu, merekapun tidak pernah menyangka Cu Lui-ji adalah puteri
Siau-hun-kiongcu. Tanpa terasa mereka sama memandang Lui-ji. Sedangkan mata Lui-ji justeru lagi melototi
Yang Cu-kang, ucapnya, "Cara bagaimana kau kenal diriku?"
Yang Cu-kang tertawa, jawabnya, "Nona, sekarang kau bukan lagi orang yang tak bernama.
Sejak kudengar kejadian yang kau lakukan di Li-toh-tin sana, sudah lama ingin kutemui nona,
sebab serupa diriku, nona juga telur busuk yang tiada taranya."
Lui-ji menjadi gusar, dampratnya, "Siapa yang serupa kau" Setan yang serupa denganmu."
"Setahuku, setan penasaran di Li-toh-tin sekarang sedikitnya ada ratusan," kata Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Memangnya orang-orang itu bukan mati di tangan nona?"
Dia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Masih sekecil ini usia nona, tapi sudah
mempunyai karya sebesar ini, hari depanmu sungguh gilang gemilang dan sukar diukur.
Sedangkan kekejianku juga pasti tidak di bawah nona, sebab itulah nona dan aku adalah satu
pasangan yang setimpal."
Hampir saja perut Lui-ji meledak saking gusar, ia merasa kulit muka orang she Yang ini
benar-benar tebal dan jarang ada bandingannya. Sudah banyak orang busuk yang dilihatnya,
tapi belum pernah ada orang yang mau mengakui dirinya sendiri adalah telur busuk. Tapi
sekarang pemuda ini tidak cuma mengaku sebagai telur busuk, bahkan kelihatannya sangat
bangga malah. Mendadak si adik tadi tertawa genit, suaranya nyaring merdu seperti bunyi keleningan,
serunya, "Kau bilang nona cilik itu telur busuk" Aku ini kan juga bukan orang baik"!"
"Ya, betul," kata Yang Cu-kang sambil berkeplok, "Setiap orang di dalam rumah ini memang
tiada satupun orang baik."
Si adik mengerling sambil tertawa menggiurkan, ucapnya pula, "Jika demikian, bukankah aku
dan kau adalah pasangan yang paling setimpal."
Yang Cu-kang tidak menanggapi, ia hanya memandangi si adik dari kepala sampai ke kaki,
lalu dari kaki kembali ke atas kepala, tampaknya dia begitu terpesona sehingga matanya
menyipit, serupa orang menikmati penari perut yang telanjang bulat.
Meski dalam hati gemasnya tidak kepalang, kalau bisa ia ingin mengorek mata pemuda yang
serupa mata maling itu, namun lahirnya si adik justeru tertawa semakin manis, sambil
menggigit bibir ia berkata, "Sudah cukup kau pandang" Bagaimana, cocok tidak?"
Dengan mata terpicing Yang Cu-kang tertawa dan menjawab, "Bagus, bagus! Boleh kau jadi
Ji-ngeh (bini kedua) ku, aku ini biasanya tidak suka menolak kehendak orang, makin banyak
makin baik." Si adik terkikik-kikik, katanya, "Wah, sungguh setan cilik yang rakus, melulu diriku saja
takkan habis kau ganyang, memangnya kau ingin berapa orang lagi?"
191 Sembari bicara sebelah tangannya yang memegang sepotong sapu tangan terus mengebas ke
arah Yang Cu-kang dengan tertawa manis.
Meski tertawanya manis, tapi sorot matanya justeru sedingin es, ia melototi Yang Cu-kang
dan menunggu robohnya pemuda itu, sebab entah sudah berapa banyak pemuda bangor yang
pernah roboh di bawah lambaian sapu tangannya itu.
Tak terduga, bukannya roboh, sebaliknya Yang Cu-kang malah bergelak tertawa dan berkata,
"Haha, apakah kau kira hatiku dapat kau pikat hanya dengan lambaian sapu tanganmu yang
kecil itu" Haha, percuma, jangan membuang tenaga percuma, sebab hatiku ini sudah lama ku
buang ke Yang-cu-kang untuk umpan ikan."
Seketika ujung hidung kedua kakak beradik itu keluar butiran keringat, diam-diam sang kakak
menggreget, ia menjadi nekat, sekonyong-konyong ia berputar, serentak tujuh titik sinar emas
menyambar secepat kilat ke arah Yang Cu-kang.
Di luar dugaan, tangan Yang Cu-kang hanya bergerak pelahan dan ke tujuh titik emas itu
kontan menyambar balik ke sana, bahkan daya luncurnya jauh lebih cepat. Maka terdengarlah
suara "crat-cret" beberapa kali, tujuh pisau emas sama menancap di dinding, bahkan salah
sebuah pisau emas itu membawa secomot rambut sang kakak yang terkupas.
Sekarang, mau tak mau air muka Lui-ji juga berubah pucat, sungguh ia tidak tahu cara
bagaimana pemuda she Yang ini melatih kungfunya. Apalagi kedua kakak beradik itu, wajah
mereka lebih-lebih pucat seperti mayat.
Yang Cu-kang tetap adem-ayem saja, malahan kedua kakinya terus diangkat dan
diselonjorkan di atas meja, ucapnya dengan tertawa, "Kungfuku ini tentunya tidak pernah
kalian lihat, bukan" Apabila kalian ingin melihat pertunjukan kungfuku yang lain, silahkan
kalian mengeluarkan semua besi tua dan baja karatan yang kalian bawa."
Si adik menghela napas, ucapnya, "Kukira tidak perlu lagi, kami sudah menyerah padamu."
Mendadak si baju hijau berteriak dengan beringas, "Kedatanganmu ini jika ingin membunuh
diriku, silahkan lekas turun tangan dan jangan membikin susah mereka."
Yang Cu-kang menghela napas, ucapnya, "Ai, kau ini benar-benar seorang pecinta sejati,
pantas nona ini sudi mengikuti dirimu dengan sepenuh hati. Cuma, darimana kau tahu
kedatanganku ini hendak membunuh kau" Bukan mustahil kedatanganku ini justeru hendak
menyelamatkan kau!" Lui-ji menjengek, "Hm, tak tersangka Yang Cu-kang yang terhormat juga mahir berdusta."
"Untuk apa kudustai dia?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa kemalas-malasan. "Bagiku,
mudah sekali jika ingin kubunuh dia, tapi juga tiada kesukaran apapun jika hendak
kuselamatkan dia." "Kalau begitu, sesungguhnya hendak kau selamatkan dia atau akan kau bunuh dia?" tanya si
adik dengan suara lembut.
192 "Apakah kau minta ku bicara sebenarnya?" tanya Yang Cu-kang dengan tersenyum.
"Ya." jawab si adik.
"Baik, biar kukatakan padamu, lebih dulu akan kuselamatkan dia dari cengkeraman nona cilik
itu, kemudian...." "Kemudian bagaimana?" tukas sang kakak tidak tahan.
"Kemudian baru kubunuh dia," Jawab Yang Cu-kang dengan tak acuh, "lalu aku akan
bergembira bersama kalian bertiga nona cantik ini, bilamana aku sudah bosan memainkan
kalian, akan ku ringkus kalian bertiga dan kujual seluruhnya ke Bong-hoa-lau."
Semua itu diucapkannya dengan tersenyum, diuraikannya secara ringan, seperti hal hal
demikian ini adalah kejadian yang biasa dan tidak perlu diherankan atau dikejutkan.
Keruan tidak kepalang kejut dan juga gusar Cu Lui-ji, si baju hijau dan kedua nona kakak
beradik itu, hampir saja dada mereka meledak. Saking gemasnya hingga seketika mereka
tidak dapat bersuara malah.
Mereka merasa betapa keji hati pemuda she Yang ini, betapa tebal kulit mukanya sungguh
sukar ada bandingannya. Dengan tertawa Yang Cu-kang berkata pula, "Mungkin kalian mengira potonganku gagah dan
terpelajar, tentu takkan berbuat hal-hal demikian" Jika begitu pikiran kalian, maka salahlah
kalian. Caraku bicara justeru sangat jujur dan terus terang. Apa yang kukatakan pasti
kulaksanakan, tidak akan berubah sedikitpun."
Pelahan ia lantas berbangkit, ia pandang Lui-ji dengan tersenyum dan berkata, "Nah, sekarang
juga akan ku mulai menyelamatkan dia dari cengkeramanmu! hendaknya kau waspada!"
Tak tersangka mendadak Lui-ji melepaskan cengkeramannya dan berseru dengan suara
tertahan. "Lekas lari, biar kuhadapi dia!"
Walaupun ucapan Lui-ji itu dapat didengarnya, tapi Yang Cu-kang masih tetap berdiri di
tempatnya dengan tersenyum tanpa bergerak sedikitpun. Si baju hijau tertegun sejenak,
mendadak ia melompat bangun terus hendak kabur keluar pintu.
Berbareng itu Cu Lui-ji juga lantas menerjang ke arah Yang Cu-kang.
Siapa tahu, baru saja tubuh Lui-ji bergerak, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah menghilang.
Terdengar suara "blang" yang keras, si baju hijau telah terbanting di lantai dari udara.
Waktu semua orang memandang ke sana, Yang Cu-kang sudah berada di seberang meja dan
masih berduduk di kursinya dengan kemalas-malasan, malahan kedua kakinya diselonjorkan
tinggi-tinggi ke atas meja.
"Nah, kalian sudah lihat, aku tidak membual bukan?" demikian Yang Cu-kang berkata dengan
tertawa, "Hakekatnya aku tidak menggerakkan tanganku, aku cuma berucap satu kalimat dan
dia lantas kuselamatkan dari cengkeraman nona cilik itu."
193 Si kakak berkata dengan suara gemetar, "Dan sekarang kau... kau..."
"Sekarang akan kubunuh dia," tukas Yang Cu-kang dengan tak acuh, "kalian tidak perlu
kuatir, ku tanggung dia takkan kesakitan."
Lalu dengan kemalas-malasan ia berbangkit dan mendekati si baju hijau.
Agaknya si baju hijau yang menggeletak di lantai itu sudah tidak mampu berkutik sama
sekali. Kedua kakak beradik mendadak menggentak kaki, agaknya mereka menjadi nekat, tiba-tiba
mereka menarik baju sendiri sehingga kelihatan kutang masing-masing yang berwarna
jambon, tertampak pula kulit badan mereka yang putih mulus.
Tubuh kedua kakak beradik itu sungguh sangat memikat, tapi air muka mereka telah berubah
menjadi beringas menakutkan, mereka melototi Yang Cu-kang dan berkata dengan suara
serak, "Asalkan kau melangkah maju lagi satu tindak, segera kami mengadu jiwa dengan
kau!" Yang Cu-kang menghela napas, ucapnya, "Masa kalian bermaksud gugur bersamaku?"
"Betul," jawab kedua nona kakak beradik itu berbareng, tahu-tahu tangan mereka sudah
memegang sebilah pisau emas sepanjang satu kaki lebih, tapi pisau emas itu tidak ditunjukkan
ke arah musuh melainkan mengancam di atas dada sendiri.
Yang Cu-kang berkerut kening, ucapnya, "Apakah ini kungfu kalian yang disebut "Hoa-hiathunsin, Si-kay-tay-hoat" (ilmu menghancurkan tubuh dan bedah mayat)?"
Dengan bengis si kakak membentak, "Jika kau tahu kualitas barang, tentu pula kau kenal
lihaynya?" Yang Cu-kang tersenyum, ucapnya, "Apapun yang kalian keluarkan tetap tidak ada gunanya,
sebab kalau aku tidak menghendaki kematian kalian, biarpun kalian ingin mati juga tidak
dapat." - Habis berkata, mendadak ia melayang ke depan.
Dengan menggreget segera kedua kakak beradik itu nekat hendak membedah dadanya sendiri
dengan pisau emas yang mereka pegang itu.
Lui-ji sampai kesima memandangi kedua perempuan cantik yang menggiurkan itu dengan
segera akan bermandi darah. Dan bila mana setitik air darah itu menciprat di tubuh Yang Cukang
maka Yang Cu-kang pun jangan harap akan hidup lagi.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak terdengar suara "trang-trang" dua kali, kedua bilah
pisau emas itu jatuh di lantai, tahu-tahu kedua kakak beradik sudah berada dalam rangkulan
Yang Cu-kang. Dengan setiap tangan merangkul seorang nona itu, mata yang Cu-kang justeru melototi Cu
Lui-ji, ucapnya dengan tertawa, "Sungguh menyesal, aku hanya punya dua tangan dan
semuanya terpakai, terpaksa kau harus menunggu."
194 Gemerdep sinar mata Lui-ji, tiba-tiba ia berkata, "Jika tanganmu tidak sempat kau gunakan,
boleh kuwakilkan kau membunuhnya saja!"
Ia tahu si baju hijau sangat enteng bagi Ji Pwe-giok, kalau orang ini mati, bisa jadi selamanya
Pwe-giok takkan mampu membuktikan tulen atau palsunya Tong Bu-siang itu.
Sembari bicara serentak iapun melayang maju kedua tangan menghantam sekaligus, kedua
kaki juga menendang beruntun ke arah Yang Cu-kang.
Dia mengira biarpun Yang Cu-kang mempunyai kepandaian setinggi langit, kalau sekarang
kedua tangannya merangkul dua nona, mana dia dapat menghindari serangannya yang
serentak ini. Siapa tahu mendadak tubuh Yang cu-kang berputar cepat, kedua nona dalam rangkulannya itu
mendadak disodorkan ke depan untuk memapak serangannya.
Lui-ji menjadi kaget, tampaknya hantaman dan tendangannya pasti akan mengenai badan
kedua nona yang setengah telanjang itu, baru saja ia bermaksud menarik kembali
serangannya, tak tahunya pada saat itulah terasa ada orang mengembus hawa di bagian
gitoknya. Didengarnya Yang Cu-kang lagi berucap dengan tertawa di tepi telinganya, "Biarpun kau
belajar lagi 30 tahun dengan Hong sam juga tiada gunanya. Akan lebih baik jika kau temani
aku main-main beberapa hari, bila hatiku senang, bisa jadi akan kuajarkan beberapa jurus
padamu dan selama hidupmu akan merasakan betapa besar manfaatnya."
Lui-ji merasa telinganya seperti dikili-kili, bahkan terasa geli. Sungguh gemasnya tidak
kepalang, ingin sekali tendang orang itu dibunuhnya, tapi sayang, badan sendiripun tak bisa
berkutik lagi. Yang Cu-kang lantas menjajarkan tiga kursi menjadi satu baris, Lui-ji didudukkannya pada
kursi tengah, sedangkan kedua kakak beradik itu didudukkan pada kedua kursi kanan dan kiri.
Cahaya mata hari yang menembus masuk melalui jendela itu dapat menyinari tubuh kedua
nona kakak beradik itu dengan jelas, sampai-sampai pori-pori di badan merekapun dapat
terlihat jelas. Meski sesama wanita, melihat tubuh mereka yang mulus itu, berdetak juga jantung Lui-ji, dia
ingin bergerak, tapi tak dapat, ingin memaki, sukar membuka mulut.
Rupanya Yang Cu-kang tidak cuma menutuk Hiat-to kelumpuhannya, bahkan juga menutuk
Hiat-to bisunya, supaya mereka tak dapat bicara satu sama lain.
Muka kedua kakak beradik itu tampak merah padam, mata mereka seolah-olah memancarkan
sinar tembus, mereka lantas menangis demi melihat si baju hijau yang menggeletak tak bisa
berkutik itu. Yang Cu-kang membetulkan bajunya, lalu berkata dengan serius, "Hari ini adalah hari besar
selama hidupku, sebab itulah ku undang nona bertiga untuk menjadi peninjau, untuk ikut
195 menyaksikan upacara aku membunuh orang. Apabila caraku membunuh orang tidak baik,
diharap para nona suka memberi petunjuk seperlunya."
Dia terus membungkuk tubuh sebagai tanda hormat, lalu menyambung pula, "Soalnya selama
hidupku ini tidak pernah membunuh orang, baru sekarang untuk pertama kalinya kubuka
pantanganku membunuh, sebenarnya aku tidak ingin menggunakan orang begini sebagai
pembukaan, tapi tiada orang lain yang kutemukan, terpaksa seadanya."
Air mata kedua kakak beradik itu bercucuran bibir pun tergigit hingga berdarah.
Yang Cu-kang menjemput pisau emas yang terjatuh di lantai itu, di usapnya pisau itu dengan
mengkilap dengan baju yang ditanggalkan kakak beradik itu, perlahan ia mendekati si baju
hijau, tiba-tiba ia menoleh dan berkata pula, "Eh, apa barangkali ketiga nona masih ada
kedatangan sahabat lain" Jika masih ada, bagiku menjadi lebih baik, sebab upacara yang
khidmat ini rasanya terlalu sedikit jika cuma disaksikan oleh tiga tamu undangan saja."
Sebenarnya Lui-ji berharap mudah-mudahan Ji Pwe-giok akan menyusul tiba, tapi sekarang ia
berbalik berharap semoga anak muda itu jangan datang, sebab ilmu silat orang she Yan ini
sungguh terlalu menakutkan.
Yang Cu-kang sedang menghela nafas, gumamnya, "Orang lain sama bilang membunuh
orang adalah suatu yang merangsang, mengapa sekarang tidak kurasakan rangsangan
sedikitpun?" Dengan kemalas-malasan pula ia berkata dengan tertawa, "Sebentar kalau kau rasakan sakit
boleh kau berkedip-kedip dan akan ku bikin kau mati lebih cepat, sebab aku tidak suka
melihat orang meringis kesakitan."
Tampaknya pisau emas segera akan menghujani hulu hati si baju hijau, air mata kedua nona
kakak beradik pun berderai, siapa tahu, pada saat itulah mendadak seorang berucap di jendela,
"Aku tidak suka melihat orang meringis kesakitan.
Seketika air muka Yang Cu-kang berubah, ia melompat ke depan jendela, tapi mendadak
menyurut mundur pula dan membentak, "Siapa itu?"
Mendadak orang itu pun membentak "Siapa itu?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tambah pucat wajah Yang Cu-kang, teriaknya, "Apa...apakah benar kau..." belum habis
ucapannya, "blang", ia terjang jendela yang lain hingga terpentang dan menerobos keluar
secepat anak panah, di luar dia membentak pula, "Hwe sing-diong (kutu gema suara), selama
ini aku tidak bermusuhan dengan kau, jangan kalian coba-coba mengganggu diriku,
ketahuilah akupun bukan orang yang mudah direcoki."
Bicara sampai kata terakhir itu, suaranya sudah berada berpuluh tombak jauhnya, lalu tidak
terdengar apa-apa lagi. Kedua kakak beradik itu sama melengak, Lui-ji terkejut dan juga bergirang, sungguh tak
tersangka olehnya Hwe-sing-diong bisa datang menolong untuk menolong mereka dan dapat
membuat pemuda yang misterius itu kabur ketakutan. Dengan penuh rasa kagum dan ingin
196 tahu ia pandang keluar jendela dengan terbelalak, diam-diam ia berharap orang maha sakti itu
sudi memperlihatkan wajahnya.
"Blang", mendadak daun jendela yang sebelah sini juga di dobrak orang, seorang benar-benar
menerjang ke dalam rumah.
Ke empat orang yang berada di dalam sama terkejut setelah tahu siapa orang yang menerjang
tiba ini, sebab orang ini bukan lain daripada Ji Pwe-giok adanya.
Melihat kedua nona kakak beradik itu, wajah Pwe-giok juga memperlihatkan kejut dan heran,
cepat ia membuka Hiat-to Lui ji yang tertutuk, lalu berkata dengan suara tertahan, "Lekas
buka Hiat-to mereka, lalu ikut pergi bersamaku."
Lui-ji tidak bicara lain, tapi bertanya lebih dulu, "Kau kenal mereka?"
Dalam pada itu Pwe-giok sudah angkat si baju hijau dan menerjang keluar rumah.
Sambil menggigit bibir Lui-ji jadi termenung memandangi kedua nona kakak beradik itu.
Didengarnya Pwe-giok lagi mendesak di luar "Lekas, cepat! Bisa jadi sebentar Yang Cu-kang
akan kembali ke sini, akan kutunggu kalian di lumbung padi sana!"
Biji mata Lui-ji mengerling, lebih dulu ia jemput baju yang terlempar di lantai dan ditaruh di
atas tubuh kedua kakak beradik itu, lalu ia membuka Hiat-to bisu mereka, seperti tertawa tapi
bukan tertawa ia melototi mereka, katanya, "Setelah kalian berpakaian dengan rapi baru boleh
keluar, aku tidak suka suamiku melihat perempuan telanjang, tahu?"
Kedua kakak beradik itu seperti melenggong si taci tidak bicara, tapi si adik lantas bertanya
"Suamimu?" Lui-ji meliriknya sekejap, katanya, "Memangnya kalian kenal suamiku?"
Sang Taci mengangguk, sedangkan si adik berkata pula, "Kami memang kenal Ji-kongcu, tapi
tidak tahu dia adalah suamimu?"
Mata Lui-ji melotot lebih besar, ucapnya, "Ji-kongcu ialah suamiku, suamiku ialah Ji-kongcu.
masa kalian belum lagi paham?"
"Oo, apa betul?" jengek si adik. "Wah, jika begitu harus kuucapkan selamat padamu. Tadinya
kukira kau adalah puterinya."
Sampai hijau muka Lui-ji saking gusarnya, ucapnya, "Hm, sekali pandang saja segera ku tahu
kau bermaksud tidak baik padanya. Tapi ingin ku peringatkan padamu, jika kau coba
menggoda suamiku, tentu akan kucabut nyawamu!"
***** Lumbung padi itu tidak lembab, tapi sangat suram, sekeliling penuh tertimbun padi, hanya
pada suatu sudut gudang itu saja tempat luang, waktu Pwe-giok membawa si baju hijau ke
situ, Hiat-to orang itu juga telah dibukanya.
197 Sambil melototi Pwe-giok si baju hijau berucap, "Dengan menyerempet bahaya besar Anda
menyusul kemari untuk menolong kami, tentunya hubunganmu dengan mereka kakak beradik
cukup akrab bukan?" Pwe-giok termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan perlahan, "Meski hubunganku
dengan mereka cukup baik, tapi tidak sampai mesti menjual ayah-bunda sendiri demi
membela mereka." Tubuh si baju hijau bergetar hebat, ia menyurut mundur dua-tiga tindak, ucapnya dengan
parau, "Ap...apa katamu" Aku tidak paham!"
Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Tong Giok, Tong-ji-kongcu, sudah begini, apakah kau
masih ingin mengelabuhi diriku?"
Si baju hijau mengepal tinjunya kencang-kencang sekujur badan bergemetaran.
Pwe-giok berucap pula dengan gegetun, "Semula sukar bagiku untuk menerka siapa dirimu,
sebab apapun juga tak terpikir olehku bahwa Tong-jikongcu dapat mengkhianati ayahnya
sendiri, menjual keluarga sendiri, Tapi setelah melihat kedua kakak beradik Kim-hoa-hio
barulah ku paham duduk perkaranya, Lantaran ayahmu tidak menyetujui perkawinanmu
dengan Kim-hoa-nio, maka kau tidak sayang melakukan perbuatan kotor ini."
Mendadak suaranya berubah bengis, sambungnya, "Rupanya syaratmu bagi perbuatanmu
yang terkutuk ini adalah setelah Tong Bu-siang gadungan itu pulang ke Tong-keh-ceng, lalu
mengumumkan persetujuannya akan perkawinanmu. Tapi apakah pernah kau pikirkan bahwa
perbuatanmu ini bukan saja berdosa pada ayahmu bahkan juga berdosa kepada leluhur
keluarga Tong kalian yang telah bersejarah ratusan tahun?"
Tong Giok menyurut mundur selangkah demi selangkah, sampai di kaki dinding, ia mendadak
berteriak dengan suara parau, "Ayahku toh sudah mati, aku tidak membunuhnya. Perbuatanku
ini kan sama seperti membuat beliau yang sudah mati itu hidup kembali, dan semua saudaraku
tidak perlu lagi berduka, sebab itulah aku merasa tidak berbuat salah dan tidak berdosa."
Dengan gusar Pwe-giok berkata. "Apakah benar-benar kau suka seorang yang tidak kau kenal
menjadi ayahmu, menjadi ayah saudara-saudaramu" Benarkah kau suka saudara-saudaramu
diperbudak orang yang semestinya tiada sangkut-pautnya dengan keluarga Tong kalian"
Apakah tidak kau sadari setelah dia menjadi ketua keluarga Tong kalian, lalu nama baik
keluarga Tong yang termasyhur selama beratus tahun itu akan hancur dengan begitu saja?"
Tubuh si baju hijau alias Tong Giok tampaknya mulai lunglai, dia mendekap mukanya dan
berkata dengan suara gemetar, "Tapi tahukah kau, apabila aku tidak bertemu dia (maksudnya
Kim-hoa-nio), betapa tersiksa batinku" Biarpun aku harus masuk neraka dan takkan menitis
selamanya akupun ingin bersama dia."
Ia berhenti sejenak, mendadak ia melototi Pwe-giok dan menyambung pula, "Apakah kau
tahu betapa besar dan betapa kuatnya "cinta?" Tahukah kau tidak sedikit orang yang berada di
dunia ini hanya hidup demi cinta dan berapa banyak pula orang mati akibat cinta?"
198 Setelah tersenyum pedih, lalu lanjutnya lagi, "Dengan sendirinya kau tidak tahu, sebab pada
hakekatnya kau tidak pernah jatuh cinta benar-benar kepada seseorang, hakekatnya kau belum
tahu bagaimana rasanya cinta!"
Wajah Pwe-giok tanpa terasa menampilkan perasaan berduka, ucapnya sambil menyengir,
"Kau kira aku tidak pernah mencintai seseorang" Kau kira aku tidak paham artinya cinta?"
"Jika kau paham, tentu kau tidak....tidak mencela perbuatanku ini." kata Tong Giok.
"Kesulitanmu mungkin aku lebih paham dari siapapun juga," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
"Sebab itulah, sekalipun kau minggat bersama Kim-hoa-nio pasti takkan kusalahkan dirimu,
tapi perbuatan inilah yang tidak pantas kau lakukan, perbuatan mengkhianati ayah sendiri dan
keluarga sendiri, perbuatan yang terkutuk."
Tong Giok tersenyum pedih, tukasnya, "Minggat" Kau kira minggat adalah perbuatan yang
sangat mudah?" "Apabila benar cinta kalian sedemikian mendalam, mengapa kalian tidak dapat meninggalkan
kehidupan ramai ini dan mengasingkan diri ke satu tempat yang jauh dan sunyi sana agar
dapat hidup dengan tenteram selamanya. Apakah kalian masih kemaruk kepada dunia fana
ini, masih sayang meninggalkan kenikmatan hidup mewah ini" Jika sedikit pengorbanan ini
saja tidak sanggup kalian lakukan, hakekatnya kalian tidak sesuai untuk bicara tentang cinta
segala." "Jika orang lain, dengan sendirinya boleh berbuat seperti uraianmu itu, tapi kami...."
"Kalian kenapa?" Pwe-giok menegas.
"Tahukan kau hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap putera-puteri keluarga Tong yang
minggat bersama kekasihnya" Sekalipun kami kabur ke ujung langit juga mereka akan dapat
menemukan kami dan menawan kami kembali, apalagi betapa kejinya Thian can kaucu juga
sudah lama diketahui."
"Setahuku, Thian can kaucu tidak pernah anti perkawinan kalian," kata Pwe-giok.
"Dia tidak anti, sebab dia tahu perjodohan kami pasti akan gagal," tutur Tong Giok, "sebab
itulah syarat yang dikemukakannya adalah aku harus melamar secara resmi dan kawin dengan
sah. Kalau tidak, dia melarang Kim-hoa-nio bertemu denganku."
"Tapi kalian kan tetap dapat minggat?" ujar Pwe-giok.
"Betul, kami dapat minggat, mungkin juga kami dapat lolos dari pengejaran keluarga Tong,
tapi jangan harap akan dapat lolos dari kekejian Thian-can-kau," kata Tong Giok, lalu ia
menyambung dengan sekata demi sekata, "Sebab kalau Kim-hoa mengkhianati Thian-cankau,
dalam waktu tujuh bulan seluruh tubuhnya akan membusuk dan mati."
"Sebab apa bisa begitu?" tanya Pwe-giok.
"Sebab dia sudah diberi racun ulat langit oleh Thian-can-kaucu yang tidak mungkin tertolong
lagi," tutur Tong Giok.
199 Mau tak mau Pwe-giok menghela napas menyesal, katanya pelahan, "Lantaran itulah, demi
kepentinganmu sendiri tidak sayang kau korbankan orang lain...."
"Sama sekali aku bukan manusia yang berhati binatang begitu," kata Tong Giok. "Apa yang
kulakukan juga sudah kuperhitungkan dengan baik."
"Apa perhitunganmu?" tanya Pwe-giok.
"Aku dapat membantu usaha mereka hingga berhasil, tapi akupun dapat menghancurkan
usaha mereka," ujar Tong Giok. "Hanya aku saja yang dapat membongkar intrik mereka, pada
suatu hari tentu dapat kubongkar tipu muslihat mereka itu."
"Pada suatu hari" Memangnya akan kautunggu sampai kapan?" tanya Pwe-giok.
"Dengan sendirinya menunggu sampai perkawinan kami sudah terlaksana."
"Tapi pernahkah kau pikirkan, sebelum intrik mereka kaubongkar, apa yang dapat
dilakukannya?" "Hal ini....ini..." Tong Giok menjadi gelagapan.
"Banyak yang dapat dilakukannya," sambung Pwe-giok. "Bukan saja dia dapat membongkar
seluruh rahasia pembuatan am-gi (senjata gelap atau rahasia) keluarga Tong kalian, bahkan
dia dapat memperalat setiap anak murid keluarga Tong untuk berbuat apa saja baginya, dapat
disuruhnya membunuh banyak orang yang akan mati secara mengerikan, bahkan termasuk
saudaramu dan sanak keluargamu, jadi sebelum kau sempat membongkar rahasianya, lebih
dahulu dia sudah menghancurkan segenap keluargamu."
Lalu sekata demi sekata Pwe-giok menegaskan lagi, "Apalagi pada hakekatnya kaupun takkan
sempat hidup sedemikian lama."
Tong Giok berdiri terpaku, tiba-tiba air matanya berderai, ia bergumam, "Jadi salahkah aku
ini" Apakah aku benar-benar salah?"
"Sampai sekarang, apakah kau belum lagi mau mengaku salah?" tanya Pwe-giok.
"Tempo hari, ayahku menyuruh kita bertukar pakaian, bahkan menyuruh kau memakai
topengku, meski resminya untuk mengelabui mata-telinga para pekerja bengkel senjata
rahasia itu, padahal diam-diam ayahku menyuruh aku dan toako secara terpencar pergi
mencari pimpinan kalian, yaitu Bu-lim-bengcu Ji Hong-ho..."
"Urusan ini sudah kuketahui," kata Pwe-giok.
Tugas demikian dengan sendirinya beliau tidak dapat mempercayai orang lain, betapapun aku
adalah putranya, selamanya juga sangat penurut, tapi sebelum ku berangkat beliau wantiwanti
memperingatkan diriku agar segera pulang ke rumah bila tugas sudah selesai, aku
dilarang bertemu dengan Kim-hoa, kalau melanggar, aku akan dihukum menurut tata tertib
rumah tangga." 200 "Dan kau tidak menurut pada perintahnya, bukan?" kata Pwe-giok.
"Jika aku tidak dipikat orang lain, betapapun aku tidak berani membangkang," jawab Tong
Giok dengan muram. "Tapi ketika kutemui Ji Hong-ho, dia malah memberitahukan padaku
bahwa ayah dan Toakoku telah meninggal semua. Katanya, bila berita ini tersiar, bukan saja
Tong-keh-ceng akan segera kacau balau, bahkan dunia persilatan juga akan mengalami
pergolakan hebat, demi kepentingan umum, terpaksa dia akan mencari satu orang untuk
menyamar sebagai ayahku, lebih dulu menjaga ketenangan dan perkara lain boleh diatur
belakangan?" "Sebab itulah kau lantas percaya pada ucapnya, begitu?"
"Meski apa yang dikatakannya itu kurasakan agak janggal, tapi dia menegaskan lagi bahwa
tindakannya itu lebih banyak untungnya dan tiada ruginya, terutama terhadap diriku akan
besar manfaatnya." "Ya, tampaknya dia tidak hanya menyetujui perkawinanmu dengan Kim-hoa-nio, mungkin
dia juga menyanggupi akan mengangkat kau sebagai pimpinan Tong-keh-ceng."
Tong Giok menunduk, katanya dengan menyesal, "Lantaran salah pikir, seketika itu kuterima
semua kehendaknya. Tapi kemudian dapat juga kupikirkan, bilamana rahasianya ketahuan,
mungkin akupun akan dibunuhnya untuk membungkam mulutku."
"Terkadang kau ternyata juga seorang yang sangat prihatin dan hati-hati," ujar Pwe-giok
dengan gegetun. "Tapi lebih sering kau terlalu ceroboh. Mungkin inilah yang disebut...."
mendadak ia berhenti, kata "keblinger" urung diucapkannya, sebab tiba-tiba iapun merasakan
anak muda ini juga pantas dikasihani, ia tidak tega lagi melukai hatinya.
Tong Giok lantas bercerita pula, "Selama ini aku dan Kim-hoa ada hubungan secara rahasia,
sebab itulah setelah janji pertemuanku dengan Ji Hong-ho yang diadakan di Bong-hoa-lau itu
selesai diam-diam kuminta agar Kim-hoa datang kemari untuk memapak dan membantuku
bila perlu." "Langkahmu ini ternyata tidak keliru?" kata Pwe-giok.
"Tapi aku sudah salah berbuat langkah yang paling penting," ujar Tong Giok dengan muram,
"Kata orang, kehidupan manusia ini laksana main catur. Hidupku ini sudah melakukan suatu
kesalahan yang tidak dapat ditarik kembali lagi, aku merasa malu untuk...."
Belum habis ucapannya, mendadak Kim-hoa menerjang masuk dan mendekap di atas
tubuhnya, serunya sambil menangis, "Kau tidak salah, yang salah ialah diriku, akulah...akulah
yang membikin susah padamu!"
Pwe-giok memandangi mereka, memandangi dua sejoli yang saling cinta dengan teguh, meski
dalam lingkungan seburuk ini, namun cinta mereka tidak tergoyahkan sedikitpun.
Seketika Pwe-giok juga tidak tahu bagaimana perasaannya, ia tidak tahu apabila dirinya yang
menghadapi keadaan seperti mereka itu, apakah dia juga akan dapat tahan uji seperti mereka"
201 Meski ia merasa apa yang diperbuat mereka itu pantas disesali, tapi nasib mereka juga pantas
mendapat simpati, bahkan keteguhan cinta mereka pantas dikagumi.
Perlahan Lui-ji juga sudah mendekati Pwe-giok, tanyanya dengan pelan, "Tulisanku di bawah
kereta itu dapat kau baca?"
Pwe-giok mengiakan. Sebenarnya ia bermaksud menegur si nona agar selanjutnya tidak boleh
sembrono dan bertindak gegabah, tapi kini setelah berhadapan, satu kata saja sukar untuk
diucapkan. Dilihatnya Lui-ji menunduk sambil memainkan ujung bajunya, seperti sedang menunggu
dampratan dan seperti juga sedang menanti dipuji.
Terpaksa Pwe-giok berkata dengan suara halus, "Kalau tidak membaca tulisanmu itu, mana
bisa kususul ke sini?"
Lui-ji tersenyum, katanya, "Kira-kira kapan kau sampai di sini" Apakah kau melihat Hwesingdiong yang suka menirukan perkataan orang itu?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya, "Siapa Hwe-sing-diong itu, sama sekali tidak kulihat
seorangpun." Berputar biji mata Lui-ji, tiba-tiba ia mendesis pelan, "Jangan-jangan memang tidak ada Hwesingdiong segala, tapi kau yang telah menggertak lari Yang Cu-kang?"
Dengan tersenyum Pwe-giok mengangguk, lalu mendesis pula, "Makanya ku kuatir Yang Cukang
akan segera kembali lagi ke sini."
"Jangan kuatir," ujar Lui-ji dengan tertawa, "dia mengira Hwe-sing-diong diam-diam telah
mengintil di belakangnya, tentu dia tak berani lagi bersuara. Apabila nanti dia tahu tertipu dan
memburu kembali ke sini, tentu kitapun sudah pergi jauh."
Si adik dari kedua nona itu ialah Thi-hoa-nio, dia berdiri jauh di sebelah sana dan sedang
melirik Lui-ji, melihat nona cilik ini bicara bisik-bisik dengan Pwe-giok dan tertawa ringan,
betapapun hati Thi-hoa-nio merasa panas, sambil menggigit bibir ia melengos ke sana.
Tiba-tiba ia merasa kehadirannya di situ hanya berlebihan, tidak ada orang memperhatikannya
dan juga tidak ada orang menggubrisnya.
Walaupun suara tangisan Kim-hoa-nio dan Tong Giok cukup membuatnya berduka, tapi suara
tertawa Lui-ji dan Pwe-giok membuat hatinya lebih pedih dan ia ingin segera mati saja dan
bereslah segalanya. Di luar dugaan, mendadak terdengar Pwe-giok menyapanya, "Nona Thi-hoa, beberapa bulan
ini tidak bertemu, tampaknya kau agak kurus sedikit."
Mendingan tidak ditegur, kata Pwe-giok ini malah menambah pedih hatinya, tak tertahan lagi
air mata Thi-hoa-nio berlinang-linang. Pikirnya dengan mendongkol, "Jika kau tahu aku
tambah kurus ini lantaran siapa. Bila kau masih juga memperhatikan diriku, mengapa kau
menikah dengan orang lain?"
202 Sungguh ia ingin menubruk ke dalam pangkuan Pwe-giok dan menangis sepuas-puasnya,
ingin pula ia menggigit muka Pwe-giok, ingin dicicipinya darah anak muda itu sesungguhnya
dingin atau panas" Seketika tidak keruan perasaannya dan entah apa yang harus
diucapkannya, siapa tahu Pwe-giok tidak menunggu jawabannya, juga tidak mendekatinya,
sebaliknya malah melangkah ke sebelah Tong Giok sana, perkataannya tadi seolah-olah hanya
tegur sapa dengan kenalan di tengah jalan saja.
Seketika darah Thi-hoa-nio terasa dingin sampai di bawah derajat nol. Buah hatinya rasanya
juga seperti hilang dirogoh orang, urusan apapun tak dirasakan lagi.
Pwe-giok seperti tidak paham betapa besar perubahan perasaan seorang gadis pada waktu
sekejap itu, hakekatnya ia tidak memperhatikan Thi-hoa-nio, ia lantas membuka Hiat-to Tong
Gok dan berkata dengan menyesal, "Akupun tidak menyalahkan engkau, hanya saja kau harus
mempunyai perhitungan sendiri."
Tong Giok terdiam sejenak, mendadak ia seperti mengambil sesuatu keputusan yang pasti, ia
berbangkit dan berdiri tegak, ucapnya, "Aku pergi bersamamu!"
"Pergi ke mana?" tanya Pwe-giok.
"Puang ke Tong-keh-ceng dan membongkar rahasia mereka," ucap Tong Giok tegas.
"Tepat, beginilah baru perbuatan seorang lelaki sejati," puji Pwe-giok dengan tersenyum
cerah. "Asalkan ada tekadmu, di dunia ini tidak ada urusan sulit yang tidak dapat diatasi,
lebih-lebih tidak ada urusan yang tidak dapat diselesaikan."
Lui-ji juga bergembira, pemberontakan perjuangan Ji Pwe-giok tampaknya sampai di sini


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru mulai kelihatan ada hasilnya, baru sekarang mendung gelap mulai kelihatan setitik sinar
terang. Kecuali Thi-hoa-nio, semangat setiap orang sama terbangkit.
Tong Giok membersihkan hangus yang mengotori mukanya, dia seperti sudah bertekad
takkan main menyamar dan memalsu secara sembunyi-sembunyi lagi, dia ingin menjadi
manusia tulen menurut wajah aslinya.
Termangu-mangu Kim-hoa-nio memandangi kekasihnya itu dengan butiran air mata masih
berada di kelopak matanya, namun juga kelihatan juga rasa puasnya, perasaan terhibur.
Maklumlah, tidak ada seorang perempuan yang tidak mengharapkan kekasihnya sendiri
adalah seorang lelaki sejati.
"Waktu kita yang terbuang sudah cukup lama, marilah kita lekas berangkat saja," kata Lui-ji
dengan tertawa. "Betul, ada persoalan apa boleh kita bicarakan lagi dalam perjalanan," tukas Pwe-giok.
Tak terduga, mendadak di lumbung padi itu seorang lantas menirukan suaranya, "Betul, ada
persoalan apa boleh kita bicarakan lagi dalam perjalanan."
Seketika semua orang sama berubah pucat.
203 Meski merekapun tahu pembicara itu pasti bukan Hwe-sing-diong yang tulen, tapi dalam
pandangan mereka Yang Cu-kang dan Hwe-sing-diong sama menakutkannya.
Dengan muka pucat lui-ji lantas berteriak, "Yang Cu-kang, tidak perlu kau main sembunyi
dan berlagak seperti setan iblis, ku tahu kau telah kembali."
Kim-hoa-nio menggenggam Tong Giok erat-erat, iapun menjengek, "Hm, tadi kau telah lari
terbirit-birit seperti anjing mencawat ekor, masa kau masih punya muka untuk kembali ke
sini?" Pwe-giok juga lantas berteriak, "Yang Cu-kang, jika kau sudah kembali lagi ke sini, masuklah
kemari!" Kalau Lui-ji bicara dengan Pwe-giok, di luar tidak ada gema suara sedikitpun, tapi baru habis
ucapan Pwe-giok itu, seketika di luar ada gema suara yang serupa, "Yang cu-kang, jika kau
sudah kembali ke sini, masuklah kemari!"
Dengan gregetan lui-ji berteriak pula, "Yang Cu-kang, orang lain takut padamu, namun Ji
Pwe-giok tidak pernah jeri padamu, kalau berani ayolah masuk ke sini!"
Dengan sinar mata gemerdep kim-hoa-nio menambahkan, "Dan kalau kau tidak berani masuk
kemari berarti kau bukan manusia!"
Biar orang lain berteriak dan mencaci maki apapun juga, orang di luar itu tetap tidak memberi
sesuatu reaksi, tapi bila Pwe-giok membuka mulut, segera menggema suara yang sama di
luar. mereka saling memberi isyarat, lalu serentak mereka menerjang keluar.
Di luar, cahaya sang surya gilang gemilang menerangi bumi raya ini, anjing itu masih
meringkuk kantuk di pojok rumah, langit cerah kebiruan, hanya segumpal awan mengapung
jauh di udara sana, tapi sekeliling situ tiada kelihatan bayangan seorangpun.
Dengan suara bengis Pwe-giok lantas berteriak, "Jika kau merasa telah ku permainkan,
mengapa sekarang tidak berhadapan denganku untuk bertempur?"
Kontan gema suara itupun berbunyi: "Jika kau merasa telah ku permainkan, mengapa tidak
berhadapan denganku untuk bertempur?"
Sekali ini gema suara itu berkumandang dari lumbung padi sana tapi ketika mereka menerjang
ke dalam lumbung, tetap tiada bayangan apapun yang ditemukan.
Lui-ji mendapat akal, ia mendesis kepada Pwe-giok. "Kau tinggal saja di sini, biar kami
berempat berjaga di luar."
Pwe-giok mengangguk. Setelah mereka keluar semua, segera ia berteriak, "yang Cu-kang,
ayolah perlihatkan dirimu?"
Benarlah, suara itu bergema pula di luar lumbung, "Yang Cu-kang, ayolah perlihatkan
dirimu!" 204 Gema suara itu kedengaran berkumandang dari sebelah timur lumbung, segera Pwe-giok
melayang keluar sana, dilihatnya Lui-ji, Tong Giok dan Kim-hoa-nio kakak beradik berjalan
di empat penjuru. Yang berjaga di sebelah timur ialah Tong Giok, saat itu dia kelihatan
bingung dan cemas. Segera Lui-ji dan lain-lain ikut berkerumun ke sebelah sini.
"Kau dengar gema suara itu berkumandang dari sebelah sini?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok mengangguk. Segera Kim-hoa-nio memegang lagi tangan Tong Giok dan tanya padanya, "Apakah tidak ada
yang kau lihat?" Dengan muka pucat dan suara parau Tong Giok menjawab, "Kudengar suara itu timbul dari
belakang, ketika ku putar tubuh, suara itu tetap bergema di belakangku, seperti kitiran aku
berputar beberapa kali, suara itu lantas lenyap, tapi orangnya lantas menghilang juga."
"Sekali ini kita berdiri dengan mengadu punggung, coba cara bagaimana dia akan mengelabui
kita," ujar Kim-hoa-nio.
"Kalau kalian berdiri di sini, masa dia tak dapat pergi ke sebelah sana?" kata Lui-ji.
Semua orang saling pandang dengan melongo.
Selang sejenak, tiba-tiba Lui-ji berkata pula, "Kukira orang ini mungkin bukan Yang Cukang."
"Apa dasarnya?" tanya Tong Giok.
"Kalau Yang Cu-kang sudah tahu kau akan membongkar rahasia mereka, tentu kau takkan
diberi kesempatan pulang dengan hidup, tapi orang tadi kan tidak bertindak apa-apa terhadap
dirimu." Tong giok menarik napas dingin, ucapnya, "Habis siapa dia kalau bukan Yang Cu-kang?"
"Kalau bukan Yang Cu-kang, dengan sendirinya ialah Hwe-sing-diong tulen ..." ucapannya
ini tidak saja membuat orang lain terkesiap, malahan Lui-ji sendiri juga terkejut dan tanpa
terasa menyurut mundur ke samping Pwe-giok.
Sudah cukup lama Pwe-giok membungkam, kini mendadak ia berkata, "Apapun juga, rencana
kita tetap tidak berubah. Tak perduli siapa dia, karena dia tidak berani berhadapan denganku,
maka akupun tidak perlu takut padanya. Biarkan dia menirukan suaraku, hakekatnya tidak
kupikirkan hal ini."
Meski demikian ucapan Pwe-giok, tapi dalam batin seolah-olah tertindih oleh sepotong batu
raksasa. Meski dia tidak buka suara dan semuanya akan berlangsung dengan tenang tanpa
terjadi apa-apa. tapi setiap orang tahu ada seorang yang misterius dan maha sakti serta
205 menakutkan senantiasa mengikuti jejak mereka secara diam-diam, dimana dan kapan saja,
asalkan Pwe-giok bersuara, segera gema suara itu akan berkumandang pula.
Beban moril atau tekanan batin ini sungguh sangat berat dan dapat membikin orang menjadi
gila. Petangnya, sampailah mereka di suatu kota yang cukup ramai, mereka mondok pada satu
hotel yang banyak tamunya, makan di restoran pada saat ramai dikunjungi tamu lain.
Pwe-giok memandang sekelilingnya, terlihat semua meja sudah penuh tamu, dengan
sendirinya ia tidak menemukan Yang cu-kang. Tapi bagaimana dengan Hwe-sing-diong"
Jangan-jangan Hwe-sing-diong itu termasuk di antara tetamu ini.
Mendadak Pwe-giok berteriak, "Wahai, dengarkan! Sekarang aku bicara lagi, ayolah silahkan
kaupun bersuara!" Suaranya keras dan lantang, keruan membikin kaget setiap tamu yang sedang makan itu,
semuanya sama menoleh dan memandangnya dengan melongo heran, malahan ada yang
menyangka dia sebagai orang sinting.
Tapi Pwe-giok dan lain-lain juga memandangi setiap orang dengan melotot, sebab mereka
juga ingin tahu sekarang gema suara itu akan berkumandang dari mana"
Tak tahunya, sampai sekian lama, tetap tiada sesuatu gema apapun. Semua tamu masih
memandangi mereka dengan heran dan mengira mereka rombongan orang gila.
Sesungguhnya sikap dan gerak-gerik Pwe-giok dan kawan-kawannya memang serupa orang
sinting, mereka diliputi rasa heran, cemas, tapi akhirnya menjadi girang dan sama bergelak
tertawa. Dengan sendirinya tetamu lain tak dapat menerka hal apa yang membuat mereka tertawa
gembira begitu. Saking senangnya, hampir-hampir saja Lui-ji berjingkrak dan berteriak-teriak. Sebisanya ia
tahan suaranya dan berkata, "Hwe-sing-diong sudah pergi, kalian dengar tidak?"
"Ya, betul, kami dengar," jawab Kim-hoa-nio dan Tong giok serentak.
Tetamu lain tentu saja bertambah heran, sudah jelas mereka tidak mendengar apa-apa,
mengapa justeru bilang dengar" Apa namanya kalau bukan orang gila"
"Jika demikian, agaknya memang betul Hwe-sing-diong yang tulen." ujar Lui-ji dengan
tertawa. "Sebab kalau dia Yang Cu-kang, tentu dia takkan pergi."
Agaknya Pwe-giok masih was-was, ia coba berkata pula, "Jika dia sudah merecoki diriku,
kenapa mendadak pergi?"
Meski dia sengaja bicara dengan suara keras, namun tetap tiada gema suara apapun.
206 Lui-ji juga sengaja menunggu sejenak, setelah keadaan tetap tenang, dengan tertawa barulah
ia berkata, "Bisa jadi dia tidak ingin mencari perkara padamu, cuma lantaran kau pernah
memalsukan suaranya untuk menggertak Yang Cu-kang, maka dia sengaja menggoda dirimu
supaya kau kapok." "Betul," tukas Kim-hoa-nio dengan tertawa cerah, "mungkin sekarang dia merasa sudah
cukup menggoda dirimu, maka malas bermain-main lagi denganmu."
Dengan sendirinya makan malam mereka ini berlangsung dengan sangat meriah. Tapi Pwegiok
tetap jarang bicara, hal ini bukannya dia kuatir akan direcoki Hwe-sing-diong lagi, tapi
lantaran terlalu sedikit kesempatan bicara baginya.
Bayangkan, kalau tiga perempuan bersama satu meja, mana ada kesempatan bicara bagi kaum
lelaki. Yang paling pendiam diantara ketiga perempuan itu ialah Thi-hoa-nio, terus menerus dia
memandang Lui-ji dan Pwe-giok, seakan-akan ingin tahu apakah mereka benar-benar telah
kawin. Dan ketika mereka habis makan, dapatlah Thi-hoa-nio menarik kesimpulan tentang hal
tersebut. Pwe-giok ternyata minta disediakan lima buah kamar, dia berkata, "Hari ini kita harus
istirahat sebaik-baiknya supaya besok kita dapat menempuh perjalanan dengan bersemangat,
begitu juga supaya dapat bekerja dengan penuh bergairah.
Tiba-tiba ia tertawa terhadap Kim-hoa-nio dan Tong giok, lalu berkata pula, "Hanya kamar
kalian saja yang berdempetan, malahan ada pintu tembusnya. Meski lima buah kamar yang ku
pesan, tapi aku cukup tahu akan kebutuhan keadaan."
Kim-hoa-nio melirik Tong Giok sekejap wajah kedua orang menjadi merah. Betapapun
mereka belum menikah secara resmi. Maka Kim-hoa-nio lantas berkata, "Malam ini kita harus
istirahat sebaik-baiknya, pintu tembus itu pasti takkan terpakai."
Mendingan dia tidak bicara, begitu dia omong maka serentak tertawalah semua orang,
sampai-sampai Tong Giok juga tidak tahan dan ikut tertawa.
Keruan muka Kim-hoa-nio tambah merah, omelnya, "Jangan kau senang, sebentar akan ku
kunci pintu tembus itu, coba kau akan senang lagi atau tidak?"
Sehabis bicara, ia sendiripun tertawa dan berlari masuk ke kamarnya sendiri. Meski sekarang
mereka masih dalam kesulitan, tapi pada saat yang paling kritis, paling berbahaya kini sudah
terlalui, maka hati semua orang dapat bergembira.
Yang paling gembira sekarang tampaknya ialah Thi-hoa-nio.
Tiba-tiba ia tertawa terhadap Lui-ji dan berkata, "Taciku dan Cihuku (suami taci) belum
menikah, makanya mereka masih harus tidur terpisah. Tapi kalian kan sudah menikah,
mengapa kalian tidak tinggal bersama di dalam satu kamar?"
207 Setelah melihat Pwe-giok masuk ke kamarnya dan pintu lantas ditutup, hati Lui-ji memang
lagi tidak enak, sekarang ditanya Thi-hoa-nio, seketika ia bersungut dan menjawab dengan
marah, "Urusan kami suami-isteri, perlu apa kau ikut pikirkan?"
Habis berkata ia terus berlari ke kamarnya sendiri dan menutup pintu.
Thi-hoa-nio memandang pintu kamar Pwe-giok, lalu memandang pula cahaya bulan di langit,
tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berucap dengan hampa, "Malam ini sungguh masih
sangat panjang, mungkin agak terlalu panjang ..."
***** Kamar Kim-hoa-nio memang benar ada dua pintu, sebuah pintu keluar yang menembus ke
serambi, pintu yang lain dengan sendirinya pintu tembus ke kamarnya Tong Giok.
Tanpa membuka sepatu Kim-hoa-nio terus melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, dia
berguling kian kemari, seperti ingin cepat-cepat tidur, tapi kedua matanya justru terpentang
lebar-lebar dan memandangi pintu tembus itu.
Sungguh sangat mengecewakan, dibalik pintu itu ternyata tiada setitik suara apapun.
Apakah Tong Giok sudah tidur" Apakah dia dapat pulas"
Dengan menggigit bibir, tiba-tiba Kim-hoa-nio merangkak bangun, dengan berjinjit-jinjit ia
mendekati pintu tembus itu, ia melangkah dengan berjengket-jengket, persis seperti maling
takut kepergok. Padahal di dalam kamar kecuali dia sendiri seekor lalat saja tidak ada.
Kim-hoa-nio pun merasa geli sendiri. Ia termangu-mangu sejenak sambil menggigit bibir, lalu
menjulurkan tangan dan bermaksud mengetuk pintu, tapi tangan yang baru terjulur itu segera
ditarik kembali. Sejauh itu di balik pintu sana masih tetap tiada terdengar gerak-gerik apapun.
Diam-diam Kim-hoa-nio merasa mendongkol, pikirnya: "Sialan! Kau tidak mau kemari,
memangnya aku yang harus ke situ" Aku justru tidak mau mencarimu lebih dulu, ingin
kulihat apa abamu?" Sembari menggerundel, segera ia mendekat tempat tidur dan menjatuhkan dirinya lagi ke atas
kasur. Sekali ini dia bukan cuma membuka sepatu, bahkan juga melepaskan kaos kaki.
Dipandangnya kaki sendiri yang putih halus itu, entah mengapa, tanpa terasa mukanya
menjadi merah. Pantas juga hotel ini selalu penuh tetamu, servis mereka sangat memuaskan, setiap kamar
teratur dengan resik dan apik, setiap hari seprai dan selimut selalu diganti, malahan seluruh
kamar berbau harum. 208 Di dalam kamar yang berbau harum, di atas tempat tidur yang empuk, terdengar pula suara
nyanyian merdu sayup-sayup dari kejauhan, lagu yang berirama sendu yang mengenang
kekasih. Busyet! Dalam suasana demikian mana dia dapat pulas"
Perlahan Kim-hoa-nio meraba kakinya yang mulus itu, sebenarnya kakinya sudah pegal
karena berjalan sejauh ini, tapi ketika ia meraba kulit kaki yang halus itu, rasanya seperti...
seperti mau.... Ia pun tidak dapat menjelaskan apa yang dirasakannya itu, yang pasti mukanya bertambah
merah. Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar pintu berbunyi perlahan, seperti ada orang
mengetuk pintu. Tanpa disuruh lagi Kim-hoa-nio terus melompat turun, sampai sepatu juga tidak sempat
dipakainya, dengan kaki telanjang ia mendekat kesana dan hendak membuka pintu. Tapi
tangan yang baru terjulur segera mengkeret lagi.
Dengan menggigit bibir ia berkata dengan tertawa ngikik, "Ku tahu kau pasti tidak tahan.
Padahal hari-hari selanjutnya masih sangat panjang, untuk apa kita mesti terburu-buru begini"
Masa barang resmi kita jadikan barang gelap?"
Sang Ratu Tawon 1 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Istana Yang Suram 18

Cari Blog Ini