Ceritasilat Novel Online

Imbauan Pendekar 7

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 7


semua orang lantas merasa curiga juga terhadap Yang Cu-kang.
Tapi Yang Cu-kang hanya tersenyum tak acuh, katanya, "Jika ingin orang lain tidak tahu,
kecuali diri sendiri tidak berbuat. Soalnya Cayhe baru saja berpisah dengan Tong-locianpwe
pada tiga hari yang lalu, kini mendadak mendengar berita kematiannya, dengan sendirinya
timbul curigaku. Seorang yang sehat walafiat, tidak terluka apa-apa, mengapa baru pulang
lantas tutup usia dan meninggal untuk selamanya."
Kata 'tutup usia dan meninggal selamanya' sengaja diucapkannya dengan suara tajam,
berbareng sorot matanya menyapu pandang para hadirin, melihat air muka semua orang
kembali berubah, barulah ia menyambung lagi, "Meski Cayhe adalah kenalan baru Tonglocianpwe,
tapi sekali bersahabat tetap bersahabat, betapapun aku tidak rela dia mati secara
penasaran. Sebab itulah sengaja ku datang kemari untuk melihat keadaan yang sebenarnya.
Apabila anda menjadi diriku, apakah anda takkan bertindak seperti ini?"
Jilid 9________ Ucapan ini memang benar dan masuk akal sehingga sukar dibantah.
Tong Siu-jing menghela napas panjang, lalu berkata dengan muram, "Pandangan anda sangat
tajam, kami tidak cuma berterima kasih, juga sangat kagum. Hanya saja anak murid keluarga
Tong yang dewasa sedikitnya ada 500 orang lebih, yang mahir menggunakan Tok-cit-le ini
juga ada ratusan orang. Dalam waktu singkat mungkin sangat sukar menemukan siapa
pembunuhnya. Sebab itulah diharap anda suka menyerahkan persoalan ini kepada kami untuk
membereskannya. Kelak kami pasti akan memberi pertanggung jawaban kepada anda."
"Hm, orang luar semacam diriku ini memang tidak pantas ikut campur urusan dalam rumah
tangga keluarga Tong," jengek Yang Cu-kang. "Hanya saja apa yang kau katakan barusan ini
sukar dipercaya orang."
250 "Yang kukatakan adalah sejujurnya?"
"Sejujurnya?" Yang Cu-kang menegas, "Kalau begitu coba jawab, apakah Tong-locianpwe
meninggal di kamar pribadinya yang terahasia?"
"Ini" ini"." Tong Siu-jing gelagapan.
"Kalau dia tidak mati di kamar rahasia pribadinya, maka setelah dia terkena senjata rahasia
berbisa, tentu akan segera diketahui oleh kalian, mengapa mesti menunggu sampai ikut
campurnya orang luar seperti sekarang ini?"
Karena tidak ada alas an lain, terpaksa Tong Siu-jing mengaku, katanya, "Betul, beliau
memang wafat di kamar tidur pribadinya."
"Jika demikian, ingin kutanya pula, di antara ratusan anggota keluarga Tong yang mahir
menggunakan Tok-cit-le, ada berapa orang di antaranya yang boleh masuk ke kamar pribadi
Tong-locianpwe?" Biarpun Tong Siu-jing juga pandai bicara, sekarang ia menjadi mati kutu dan tak dapat
menjawab pertanyaan Yang Cu-kang yang tajam itu.
Baru sekarang Pwe-giok mengetahui ketajaman mulut Yang Cu-kang ternyata tidak di bawah
ilmu silatnya. Para anak murid keluarga tong, sama menunduk, tiada seorangpun berani memandang Tong
Ki. Tapi semakin mereka tidak berani memandangnya, justru sama dengan memberitahukan
kepada orang lain, bahwa yang dapat memasuki kamar pribadi Tong Bu-siang itu setiap saat,
hanya terdiri dari beberapa nona keluarga Tong saja. Hanya saja mereka merasa borok rumah
tangga sendiri tidaklah baik disiarkan keluar, maka tidak ada yang mau bicara.
Maka selain anak murid keluarga Tong, pandangan semua orang sama tertuju kea rah Tong
Ki. Sorot mata mereka jauh lebih merikuhkan daripada ucapan apapun.
Wajah Tong Ki tampak pucat. Nona besar keluarga Tong yang sehari-hari terkenal pintar
bicara dan cekatan dalam bertindak ini, kini harus menghadapi tuduhan membunuh orang tua
sendiri. Sekujur badannya kelihatan gemetar, ia berdiri kaku di situ dan tak dapat bicara
sekatapun. Mendadak salah seorang hadirin berseru, "Masakah anak perempuannya juga bisa
membunuhnya?" Ucapan ini kedengarannya seperti ingin membela Tong Ki, padahal sama saja melontarkan
tuduhan resmi terhadap Tong Ki. Waktu semua orang menoleh, tidak kelihatan siapa yang
bersuara itu. Terdengar yang Cu-kang menjengek," Seorang kalau sudah kemaruk kepada kekuasaan dan
kedudukan, segala apapun dapat diperbuatnya."
251 Tiba-tiba seseorang berseru pula di tengah orang banyak, "Masakah maksudmu demi
menjabat Ciangbunjin, nona besar Tong tidak sayang membunuh ayahnya sendiri,
memangnya siapa yang mau percaya kepada ocehanmu ini?"
Ucapan ini tambah menyudutkan Tong Ki, meski dia bilang siapapun tidak mau percaya, yang
benar mungkin sedikit sekali orang yang tidak percaya kepada ucapan ini.
Yang Cu-kang mendengus," Apabila hati Tong-toakohnio tidak menyembunyikan sesuatu,
mengapa dia melarang orang lain memeriksa sebab musabab kematian Tong-locianpwe" Pada
waktu jenazah Tong-locianpwe dibersihkan, masa dia tidak melihat tanda-tanda luka beracun
pada tubuhnya?" Seketika para pelawat menjadi heboh, semuanya yakin si pembunuhnya pastilah Tong Ki,
sampai-sampai Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji mau-tak-mau juga percaya.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas, ia sendiripun sedih, pikirnya," Jika benar Tong Ki
membunuh ayahnya lantaran ingin kedudukan dan berkuasa, maka apa yang terjadi ini boleh
dikatakan hukum karma, sebab "Tong Busiang" yang dibunuhnya ini justru adalah musuhnya
yang membunuh ayahnya yang sesungguhnya."
Sorot mata Yang Cu-kang yang tajam itu menatap wajah Tong Ki, katanya dengan bengis,
"Tong-toakohnio, sekarang apa yang dapat kaukatakan lagi?"
Tong Ki balas melototinya dan menjawab sekata demi sekata, "Benar kau minta aku
menceritakan duduk perkara yang sebenarnya?"
"Hm, masa kau berani bercerita?" jengek Yang Cu-kang.
"Baik, kau sendiri yang memaksa ku bicara," jawab Tong Ki dengan suara bengis, lalu ia
menarik napas panjang-panjang.
Tapi sebelum ia bicara lagi, mendadak Tong Lin berseru, "Kejadian ini seharusnya akulah
yang menjelaskannya."
Gadis yang selalu murung ini biasanya jarang bicara, sejak tadi iapun bungkam belaka, siapa
tahu pada detik yang genting ini mendadak ia buka suara. Apa yang diucapkannya bahkan
sangat mengejutkan, sampai Pwe-giok juga terkesiap dan tak dapat menerka apa yang hendak
diceritakan. Tong Ki memandangnya dengan penuh rasa heran dan sangsi, tanyanya, "Kau....."
Dengan air muka kelam Tong Lin berkata pula, "Pada saat terakhir sebelum ayah meninggal,
hanya aku saja yang berjaga di sampingnya, sebab itulah cuma aku saja yang mengetahui
dengan jelas sebab musabab kematian beliau."
"O, hanya kau yang tahu?" Yang Cu-kang menegas dengan terheran-heran.
"Ya, hanya aku," jawab Tong Lin.
252 Yang Cu-kang berkerut kening, katanya, "Apakah kau sendiri yang membunuh Tonglocianpwe?"
Betapapun ia merasa sangat heran, sebab sesungguhnya Tong Lin tidak ada alasan untuk
membunuh ayahnya sendiri.
Li Be-ling menarik tangan Tong Lin dan bertanya dengan suara lembut," Mungkin kau terlalu
berduka, sehingga pikiranmu menjadi kurang sadar?"
"Pikiranku cukup terang dan sadar," jawab Tong Lin, "sebenarnya tidak ingin kukatakan
kejadian ini, akan tetapi keadaan sudah mendesak, jika tidak kubeberkan, tentu fitnah
terhadap Toaci sukar lagi dicuci bersih."
Tong Ki memandang adiknya itu dengan bingung, entah kaget entah terima kasih.
"Malam itu," demikian Tong Lin mulai berkisah," Toaci dan Toaso sudah sama tidur. Tibatiba
teringat sesuatu urusan dan harus kubicarakan dengan ayah. Maka aku lantas mencari
beliau untuk berunding, meski sudah larut malam."
"Kau teringat kepada urusan apa?" tanya Yang Cu-kang.
"Urusan rumah tangga kami apakah kaupun ingin ikut campur?" jengek Tong Lin.
Yang Cu-kang menyengir dan tidak bicara lagi.
"Siapa tahu, belum lagi ku masuk ke kamar ayah, segera kudengar ada suara orang bicara di
situ," demikian Tong Lin melanjutkan ceritanya. "Tentu saja aku sangat heran, sudah larut
malam begini mengapa di kamar ayah masih ada tamu" Padahal sehari-hari ayah hidup
teratur, jarang tidur jauh malam, bahkan bila kedatangan tamu tentu kamipun diberitahu,
kecuali tamunya tidak melalui pintu gerbang , melainkan masuk secara sembunyi-sembunyi."
"Hm, penjagaan Tong-keh-ceng sedemikian keras dan ketat, sekalipun ada orang hendak
menyelundup ke sini secara sembunyi-sembunyi kukira juga bukan pekerjaan mudah," jengek
Yang Cu-kang. "Bukan saja tidak mudah, bahkan tidak mungkin terjadi," tukas Tong Lin.
"Jika demikian, cara bagaimana pula tamu itu masuk ke kamar ayahmu?" Tanya Yang Cukang.
"Di kamar ayah ada sebuah jalan rahasia yang langsung menembus ke luar perkampungan,"
tutur Tong Lin, "mungkin orang itu sudah ada janji dengan ayah, sebab itulah ayah sendiri
yang membawanya masuk melalui jalan rahasia di bawah tanah itu."
Bahwa kejadian rahasia inipun diceritakannya, meski belum diketahui bagaimana lanjutannya,
tapi sedikit banyak orang sudah mulai percaya kepada penuturannya.
"Sebenarnya aku tidak sengaja hendak mengintip rahasia ayah, tapi aku sudah terlanjur datang
ke situ, selagi aku berdiri di situ dengan ragu, mendadak kudengar ayah sedang berkata, "Kita
253 adalah kenalan lama, tapi persoalan ini cukup penting, betapapun aku harus hati-hati. Kau
tahu, senjata rahasia Tong-keh-ceng selamanya tidak pernah dipinjamkan kepada orang luar."
"O, orang itu datang untuk meminjam senjata rahasia kepada Tong-locianpwe," tanya Yang
Cu-kang. "Tatkala mana, akupun merasa orang itu terlalu tidak tahu diri dan ingin memaksakan
kehendaknya kepada orang lain. Kudengar dia bicara banyak dengan ayah dan tampaknya
tetap minta ayah meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Apalagi yang dikatakannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bilang urusan yang akan dilaksanakannya sangat penting, jika berhasil, ayah juga akan
mendapatkan manfaatnya. Dia bilang jika ayah tidak mau tampil sendiri, sedikitnya harus
meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Lalu Tong-locianpwe menerima permintaannya?" tanya Yang Cu-kang lagi.
"Tidak, meski ayah adalah kepala keluarga, tapi peraturan leluhur betapapun tidak berani
dilanggar oleh beliau."
"Dan kalau senjata rahasia tidak dipinjamkan kepada orang itu, maka orang yang
menewaskan Tong-locianpwe juga bukan dia." ujar Yang Cu-kang.
"Kudengar orang itu masih terus membujuk," demikian Tong Lin menyambung, "ku kuatir
ayah akan terbujuk akhirnya, maka cepat ku masuk ke situ. Sebab kuyakin bilamana ada
orang ketiga ikut hadir, tentu orang itu tidak leluasa untuk bicara lagi."
"Dan dia juga melihat kedatanganmu?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bukan orang buta, masa tidak melihat kedatanganku?" jawab Tong Lin. "Meski
kedatanganku membuatnya agak terkejut, tapi dia ternyata tidak mengurungkan maksud
tujuannya." "O, dia kenal kau?" tanya Yang Cu-kang.
Tong Lin mengangguk, jawabnya dengan muram, "Justru lantaran kukenal dia, makanya aku
tidak mencurigai dia. Siapa tahu pada saat aku lengah, sebiji Tok-cit-le yang kubawa telah
dicuri olehnya." Gemerdep sinar mata Yang Cu-kang, tiba-tiba ia mendengus, "Hm, rupanya orang itupun
seorang copet sakti."
"Gerak tangannya sungguh halus dan cepat, bukan saja aku tidak tahu sama sekali, bahkan
ayah juga tidak mengetahuinya, "sambung Tong Lin dengan menyesal.
"Kau datang ke kamar ayahmu, untuk apa kau bawa senjata rahasia?" tanya Yang Cu-kang
dengan melotot. 254 "Anak murid keluarga Tong tidak pernah meninggalkan senjata rahasianya, pada waktu
tidurpun selalu membawanya," jawab Tong Lin.
"Apakah inipun peraturan leluhur kalian?" tanya Yang Cu-kang.
"Betul," jawab Tong Lin tegas.
"Dan dengan Tok-cit-le yang dicurinya darimu itu digunakannya untuk membunuh ayahmu?"
tanya Yang Cu-kang lagi. Tong Lin menunduk dengan muram, sambungnya lagi," Pada waktu ia mohon diri, ayah
mengantarnya keluar, setiba di ambang pintu, mendadak dia membalik badan dan memberi
hormat, tapi kesempatan itu telah digunakannya menepuk sekali di dada ayah, siapapun tidak
menyangka pada telapak tangannya tersembunyi senjata rahasia, lebih-lebih tidak menyangka
hanya lantaran ayah menolak meminjamkan senjata rahasia kepadanya, lalu dia turun tangan
keji terhadap ayah."
Sampai di sini ceritanya, tanpa terasa semua orang percaya tujuh bagian kepadanya. Sebab
meski urusan ini tidak seluruhnya masuk akal, tapi urusan sudah terlanjur begini, betapapun
Tong Lin sendiri ikut bertanggung jawab, jadi mustahil dia berdusta hal-hal yang tidak
menguntungkan dia. Yang Cu-kang menghela napas panjang, katanya," Jika demikian, jadi kau menyaksikan
sendiri ketika orang itu membunuh Tong-locianpwe?"
"Betul," jawab Tong Lin.
Mendadak Yang Cu-kang membentak dengan gusar," Jika benar kau saksikan sendiri kejadian
itu, mengapa baru kau ceritakan sekarang?"
Tong Lin menunduk, ucapnya dengan sedih. "Sebab... sebab orang yang bertindak begitu
adalah ...adalah bakal suamiku, ayah memang sudah menjodohkan diriku kepadanya."
Keterangan ini seketika menggemparkan para hadirin, ada yang terkejut, ada yang
menyesalkan, ada yang kasihan, tapi terhadap apa yang diceritakan itu tidak curiga lagi.
Sebab kalau tidak terpaksa, tidak mungkin Tong Lin mau membeberkan rahasianya sendiri.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa gegetun, sungguh dia tidak menyangka urusan bisa
berbelit-belit begini. Dengan menangis Tong Lin berkata pula, "Waktu kulihat dia berani turun tangan keji
terhadap ayah, sebenarnya saat itu juga ingin ku adu jiwa dengan dia, tapi hatiku menjadi
lemah setelah dia membujuk rayu diriku."
"Hm, dasar perempuan," jengek Yang Cu-kang, "perempuan memang condong ke luar, kalau
sudah punya suami, ayah ibu pun tak terpikir lagi. Kebanyakan perempuan di dunia memang
begini, maka kaupun tak dapat disalahkan."
255 "Kuminta jangan kau omong lagi," kata Tong Lin dengan air mata bercucuran. "Akupun tahu
dosaku, namun menyesalpun tidak keburu lagi, sebab apa yang terjadi ini tidak kubeberkan
waktu itu, kemudian aku semakin tidak berani omong. Waktu ayah dimasukkan peti, akulah
yang mengatur segala sesuatu, sebab ku kuatir luka di tubuh beliau diketahui orang lain."
"Jika demikian, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan saudaramu yang lain?" tanya Yang
Cu-kang. "Ya, hakekatnya mereka tidak tahu apapun," kata Tong Lin.
"Hm, bagus, pemberani, kau memang pemberani dengan menanggung semua perbuatan ini,"
jengek Yang Cu-kang. "Hal ini memang kesalahanku, dengan sendirinya aku harus bertanggung jawab," kata Tong
Lin dengan menangis. "Tapi siapakah bakal suamimu itu" Masa orang lain tidak tahu?" tanya Yang Cu-kang.
"Perjodohan kami ini diputuskan oleh ayah dan mestinya akan diresmikan pada hari ulang
tahunku yang ke 18 nanti, siapa tahu...siapa tahu belum tiba hari ulang tahunku dan beliau
sudah...sudah ...." dia menangis tersedu-sedu sehingga tidak sanggup melanjutkan.
"Apakah kau masih hendak menyembunyikan identitasnya?" tanya Yang Cu-kang dengan
bengis. Tong Lin menangis sambil menutup mukanya dan tidak menjawab.
Semua orang jadi murka, ada yang berteriak "Siapa anak jadah itu" Jika tidak kau katakan,
cara bagaimana akan kau hadapi ayahmu di alam baka nanti nona tong?"
Tong Lin menggreget, seperti mengambil keputusan dengan tekad yang bulat, mendadak ia
mendongak, katanya sambil menuding seorang, "Bakal suamiku itu ialah dia!"
Sungguh, siapapun tidak menduga bahwa orang yang dituding oleh Tong Lin adalah Ji Pwegiok!
Mimpipun Pwe-giok sendiri juga tidak menduga, dia malah menyangka yang dimaksudkan
Tong Lin adalah seorang yang berdiri di belakangnya, ia menoleh.
Tapi segera didengarnya Tong Lin menyambung lagi, "Iyalah orang ini, Ji Pwe-giok."
Keterangan ini tidak cuma menggemparkan para hadirin, para anak murid Tong juga serentak
mengepung Pwe-giok di tengah, semuanya melototinya dengan mata merah berapi, seperti
sekawanan binatang liar yang sudah kalap dan siap menerkam dan mengganyangnya.
Selama hidup Pwe-giok sudah acapkali dituduh dan difitnah, entah sudah betapa banyak dia
mengalami kejadian di luar dugaan dan mengejutkan, tapi tidak ada satupun yang lebih
menggetarkan hatinya seperti sekarang. Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus
membantah atau memberi penjelasan, seketika ia terkesima dan tidak dapat bicara.
256 Di ruangan besar itu kembali gempar, ada yang berteriak murka, ada yang mencaci-maki.
Ada yang berkata, "Sungguh tidak tersangka sudah membunuh Tong-loyacu, keparat ini
masih juga berani datang ke sini, sungguh besar amat nyalinya."
"Ya, tampaknya dia ramah tamah dan sopan santun, siapa tahu dia adalah manusia yang
berhati binatang," sambung yang lainnya.
Ada lagi yang menanggapi dengan suara tertahan, "Jika bukan pemuda cakap seperti dia ini,
mana bisa Tong-jikohnio terpikat olehnya."
Dengan sendirinya Lui-ji juga melenggong kaget, baru sekarang ia berteriak, "Tidak, bukan
dia, tidak mungkin dia, kalian keliru!"
Seperti orang kesetanan dia menerjang ke tengah kerumunan orang banyak dan menubruk ke
samping Pwe-giok terus mendekapnya, dengan suara parau ia berteriak pula, "Tidak mungkin
dia melakukan hal ini. Apalagi dua hari yang lalu hakekatnya dia tidak berada di sini, tapi
masih berada beratus li jauhnya di sana, mana bisa dia terbang ke sini untuk membunuh
orang.?" "Dari mana kau tahu dua hari yang lalu dia masih berada di tempat beratus li jauhnya?"
bentak Tong Siu-hong mendadak.
"Dengan sendirinya ku tahu, sebab selama ini aku selalu berada bersama dia," jawab Lui-ji.
"Memangnya kau ini apanya?" tanya Siu-hong.


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akulah isterinya " jawab Lui-ji tegas.
Tong Siu-hong menggeleng dan menghela napas, katanya, "Ai, nona cilik, mungkin kau telah
tertipu dan diperalat olehnya."
Dengan suara parau Lui-ji berteriak, "Meng....mengapa kalian tidak percaya kepada
keteranganku " Mengapa kalian memfitnah orang baik-baik.?"
"Orang semacam ini tidak ada harganya untuk dibela, nona cilik," ujar Tong Siu-hong dengan
gegetun. "Kalau dia dapat menipu orang lain, lambat atau cepat kaupun akan tertipu olehnya."
"Dia pernah menipu siapa" Coba katakan!" teriak Lui-ji.
"Kalau dia sudah mengikat jodoh dengan gadis keluarga Tong, tapi di luaran dia memelet
pula dirimu, jahanam yang tidak berbudi pekerti seperti ini masakah masih kaubela?" teriak
Siu-hong dengan gusar. "Tapi hakikatnya dia tidak pernah mengikat jodoh apa segala dengan orang keluarga Tong
kalian," kata Lui-ji.
"Darimana kau tahu?" Siu-jing ikut bertanya.
257 "Tentu saja kutahu, sebab sejak kukenal dia, selama ini kami tidak pernah berpisah," jawab
Lui-ji tegas. Gemerdep sinar mat Tong Siu-jing, tanyanya pula, "Bilakah kau kenal dia?"
"Aku....aku ...." hanya satu kata saja Lui-ji berucap dan tidak dapat menyambung lagi. Sebab
perkenalannya dengan Ji Pwe-giok belum lagi ada sebulan lamanya, apa yang dilakukan Pwegiok
lebih sebulan yang lalu, tentu saja tak diketahuinya sama sekali.
Baru sekarang ia merasakan dirinya sama sekali tidak tahu apapun mengenai diri Ji Pwe-giok,
kecuali tahu namanya, urusan lain tidak pernah diberitahu oleh Pwe-giok. Bahkan namanya
asli atau palsu juga tidak diketahuinya dengan pasti.
Tong Siu-jing melihat perubahan air muka si nona, katanya dengan lembut, "Nona cilik,
urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau, lebih baik kau menyingkir saja."
"Apa ..... apa kehendak kalian?" tanya Lui-ji
Wajah para anak murid keluarga Tong tampak kelam dan masam, semuanya tutup mulut.
Padahal tanpa menjawabpun semua orang tahu apa yang hendak mereka lakukan.
Jika benar Ji Pwe-giok telah membunuh orang tua mereka, mana bisa mereka melepaskan dia
begitu saja. Sejak tadi mereka sudah menyiapkan senjata rahasia maut di tangan masingmasing.
Kini Pwe-giok terkepung oleh berpuluh orang. Asal Am-gi atau senjata rahasia mereka
dihamburkan, biarpun punya sayap juga sukar bagi Pwe-giok untuk menghindar.
Pwe-giok menghela napas panjang, ucapnya dengan rawan," Ya, persoalan ini memang tidak
ada sangkut-pautnya dengan kau, maka lebih baik kau menyingkir saja."
Dia tahu mati hidupnya hanya bergantung dalam sedetik saja, maka ia tidak ingin membuat
susah Lui-ji, apalagi iapun dapat melihat kini anak dara itupun curiga kepadanya dan tidak
lagi percaya kepadanya seperti sebelum ini.
Lui-ji mengertak gigi dan berkata, "Tidak, apapun juga ku tahu hal ini pasti takkan kau
lakukan." "Apa gunanya kalau tahu?" ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir, "apa yang kau katakan
hakekatnya tidak dipercaya mereka, padahal selain dirimu, siapa lagi yang dapat memberi
kesaksian bahwa dua hari yang lalu hakekatnya aku tidak berada di sini."
Ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu menyambung pula dengan suara parau,
"Ya, seandainya ada orang lain yang tahu, siapakah di dunia seluas ini yang sudi menjadi
saksi bagi Ji Pwe-giok."
Air mata Lui-ji sudah meleleh di pipinya.
258 Dilihatnya Tong Lin telah menyusup ke tengah orang banyak sambil berseru, "Ji Pwe-giok,
jangan kau salahkan diriku, aku....aku terpaksa, maka kukatakan terus terang."
Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Ya, kau sangat baik, sangat baik...."
"Tapi bagaimanapun juga, bila kau mati, akupun tidak ingin hidup lagi di dunia ini...." ucap
Tong Lin dengan menangis.
Mendadak Lui-ji membentak, "Kau perempuan jahanam, kau bikin celaka dia hingga begini,
kau masih berani bicara lagi dengan dia!" Di tengah bentakannya segera ia menubruk ke sana.
Tong Lin tidak menangkis, dan juga tidak menghindar, ucapnya dengan pedih, "Bagus,
biarlah kita mati bersama-sama saja!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu tangan Lui-ji sudah mencekik lehernya.
Tong Siu-jing bermaksud melerai mereka, tapi dicegah oleh Tong Siu-hong, "Tidak perlu,"
bisik Tong Siu-hong dengan suara tertahan, "keluarga Tong kita tidak beruntung, sehingga
terjadi urusan begini, biarkan saja dia mati."
Tong Siu-jing menoleh, dilihatnya Tong Ki masih berdiri kaku di tempatnya tadi dengan
wajah pucat seperti mayat, sama sekali tidak ada niatnya hendak mencegah keributan antara
kedua nona itu. Dalam pada itu para hadirin lantas berteriak-teriak, "Ji Pwe-giok, apa lagi yang akan kau
katakan.... Hayolah, anak murid keluarga Tong, lekas kalian turun tangan, kami sama
menunggu hendak menggunakan hati keparat ini untuk sesaji di depan layon Tong-locengcu."
Tapi Pwe-giok berdiri berpangku tangan tanpa bicara apapun, sebab ia tahu tiada gunanya
bicara terhadap orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat ini.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang berseru, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwe-giok,
sungguh kau bernasib sial, tanpa sebab kau difitnah sebagai pembunuh. Tampaknya lebih baik
kau mati di tanganku saja daripada mati secara penasaran."
Suaranya bergema hingga lebih keras daripada suara beratus orang yang sedang berteriakteriak
itu. Tanpa terasa semua orang sama mendongak dan memandang ke atas. Baru
diketahui mereka entah sejak kapan Yang Cu-kang telah melompat lagi ke atas belandar,
dengan tangan memegang poci arak dan mulut menggigit sepotong paha ayam, sedang makan
dengan nikmatnya. "Difitnah apa" Bukti sudah nyata, saksi juga ada, masa kaupun ingin membelanya " "teriak
Tong Siu-hong. Yang Cu-kang menjengek, "Hm, bukti dan saksi " Di mana " Siapa pula yang menyaksikan
dia membunuh Tong-locengcu " "
"Apa yang dikatakan Ji-kohnio tadi masa tidak kau dengar" "kata Siu-hong.
259 Yang Cu-kang menghela napas dan menggeleng, ucapnya, "Hanya berdasarkan keterangan
seorang perempuan dan kalian lantas hendak menjatuhkan vonis padanya, sungguh anggap
nyawa orang bagai permainan anak kecil saja."
Tong Siu-hong menjadi gusar, teriaknya," Memangnya kau anggap Ji-kohnio berdusta?"
"Ya, mana mungkin Jikohnio berdusta!" teriak orang banyak.
"Betul, tindakannya itu selain membikin celaka orang lain, ia sendiripun susah dan ikut
tersangkut, sungguh akupun tidak paham mengapa dia berdusta" Yang jelas ku tahu dia
memang berdusta." "Kau tahu" Kau tahu apa?" teriak Siu-hong dengan murka.
"Ku tahu dengan pasti malam kemarin dulu orang she Ji ini memang tidak berada di Tongkehceng, tapi jauh berada di tempat ratusan li sana."
"Hm, hanya berdasarkan keteranganmu saja masa dapat dipercaya?" jengek Siu-jing.
Yang Cu-kang menghela napas, katanya, "Ya, akupun tahu keteranganku sukar dipercaya oleh
kalian, sebab itulah sejak tadi aku diam saja."
Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "cas" satu kali, menyusul
lantas terjadi getaran dahsyat seperti langit runtuh dan bumi ambles, belandar ruangan
pendopo itu mendadak patah. Atap pendopo itu ambruk dengan menerbitkan suara gemuruh
yang menggetar sukma. Seketika jeritan kaget dan takut terdengar di mana-mana, semua orang berebut lari keluar agar
tidak tertindih oleh gedung yang ambruk itu. Ada yang bertenaga lemah dan berilmu silat
rendah, kontan roboh terinjak-injak sehingga timbul teriakan ngeri di sana-sini.
Tong Siu-hong, Tong Siu-jing dan lain-lain merasa kayu dan batu bertebaran menjatuhi
mereka, terpaksa mereka harus mencari selamat lebih dulu. Dengan tangan mereka
melindungi kepala masing-masing, walaupun begitu, tidak urung merekapun tidak terhindar
oleh urukan puing, sebelah kaki Tong Siu-hong malah tertindih oleh belandar patah dan
merintih kesakitan. Walaupun begitu, ia tetap berteriak memberi komando, "Awas, jangan sampai lolos keparat
she Ji itu, jaga rapat pintu keluar!"
Tapi seluruh ruangan pendopo itu sekarang sudah kacau balau, mana Ji Pwe-giok dapat
ditemukan lagi. "Mungkin dia sudah kabur pada waktu kekacauan terjadi," teriak Siu-jing dengan gusar.
Di tengah teriakannya, serombongan anak murid keluarga Tong yang tidak terluka telah ikut
dia menerjang ke luar. Tapi baru sampai di ambang pintu, kembali debu pasir dan rontokan
puing berhamburan dari depan, bahkan sedemikian kuat sehingga tanah pasir yang rontok ke
lantai juga menerbitkan suara gemerasak.
260 Mendadak tampak Yang Cu-kang berdiri di depan pintu dengan tertawa, ucapnya dengan
tenang, "Apa yang kalian kejar " Memangnya kalian tidak percaya kepada keteranganku "
Kalau tidak percaya, agaknya terpaksa harus kuruntuhkan segenap rumah Tong-keh-ceng
kalian. " ***** Pada waktu terjadi kekacauan, tiba-tiba Pwe-giok mendengar suara Yang Cu-kang berkata di
sampingnya, "Di sini dapat kulayani sendiri, lekas kalian menerjang keluar dan menyusur
jalan raya, nanti kalian akan dipapak orang.... "
Belum habis ucapan Yang Cu-kang, segera Pwe-giok menarik Cu Lui-ji dan sebelah tangan
mengempit Tong Lin yang sudah jatuh pingsan itu, mereka terus menerjang keluar mengikuti
arus manusia. Tanpa banyak buang tenaga, dapatlah Pwe-giok menerjang keluar pintu, sebab Yang Cu-kang
telah menghadang di depan sana, didengarnya di ruangan pendopo sana masih ramai dengan
suara gemuruh. Tetamu yang semula duduk makan minum di luar, karena diterjang oleh arus manusia yang
membanjir keluar dari dalam, serentak merekapun lari lintang pukang, meja kursi jungkir
balik, mangkok piring pecah berantakan. Ada yang sol sepatunya agak tipis, begitu menginjak
pecahan beling seketika menjerit kesakitan, tapi baru menjerit kontan mereka diterjang roboh
dan terinjak-injak oleh arus manusia.
Ada sementara tamu yang hadir dengan membawa anak kecil, maksud mereka ingin hemat,
daripada makan di rumah, mumpung ada pesta, nunut makan sekalian. Siapa tahu keuntungan
tidak diperoleh, sebaliknya malah tertimpa petaka.
Maka di tengah jeritan di sana sini terselip pula jerit tangis orang perempuan dan anak kecil.
Jika yang hadir cuma orang-orang kangouw saja, mungkin kekacauan itu akan lebih mudah
diatasi, tapi kini di antara tamu ditambah sanak famili dan sobat andai keluarga Tong di
sekitar Tong-keh-ceng, maka suasana benar-benar kacau-balau tak keruan, ada orang yang
biasanya bisa bersikap tenang, dalam keadaan begitu pusing kepala juga oleh suasana hiruk
pikuk ini. Hanya Pwe-giok saja yang sudah gemblengan dan kenyang siksa derita, pada saat demikian
masih tetap tenang dan kepala dingin. Ia menyapu pandang sekejap sekelilingnya, segera ia
menarik Lui-ji berlari menuju ke sebuah gang di sebelah kiri sana.
"Mengapa kita tidak menyusuri jalan raya, bukankah di sana katanya akan dipapak orang " "
tanya Lui-ji. Dengan suara tertahan Pwe-giok menjawab, " Meski Yang Cu-kang menolong kita, tapi katakatanya
tetap tidak boleh dipercaya, orang ini banyak tipu akalnya, tindak-tanduknya sukar
diduga, dia menolong kita pasti dengan tujuan tidak baik. "
"Betul, akupun tidak habis mengerti mengapa dia tidak membunuh kita, sebaliknya malah
menyelamatkan kita, "kata Lui-ji.
261 Setelah masuk ke jalan kecil ini, orang berlalu lantas sedikit, sebab pada umumnya semakin
kacau suasananya, semakin sedikit orang yang menuju ke tempat sepi, kebanyakan orang
tentu berlari menuju ke tempat yang banyak orangnya dan tidak dapat membedakan arah
mana yang lebih aman. Meski ada orang yang jelas-jelas tahu di depan ada jurang berapi, tapi bila melihat semua
orang sama berlari ke sana, tanpa kuasa iapun akan ikut orang banyak berlari ke situ. Sebab
dalam keadaan demikian umumnya orang sudah kehilangan rasio, sudah tidak mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri.
Di depan kelihatan pepohonan yang jarang-jarang, ternyata suatu tempat yang sunyi, suasana
kacau balau tadi tampaknya sudah ditinggalkan jauh di belakang sana.
"Tempat apakah ini " " tanya Lui-ji.
"Tempat pribadi keluarga Tong, " jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkejut, serunya, "Lari saja kuatir tersusul, kenapa kita malah menuju ke tempat
mereka" Memangnya kita sengaja mengantar nyawa?"
"Hanya jalan ini paling baik bagi kita, "ujar Pwe-giok, "sekalipun rada berbahaya, terpaksa
harus kita coba." Lui-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kau kira segenap anggota keluarga mereka
berada di depan sana, maka sengaja kau tempuh bagian yang sepi dan penjagaan longgar ini?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak terdengar seorang menghardik, "Berhenti!
Apakah kalian ingin lari?"
Berbareng dengan suara bentakan itu, belasan pemuda berpakaian ringkas ketat serentak
melayang keluar dari balik hutan di sebelah kanan sana, yang menjadi kepala adalah orang
yang terluka sebelah kakinya, darah di kaki yang cidera itu belum lagi kering, nyata dia inilah
Tong-Siu-hong yang tadi tertindih oleh belandar patah itu.
Orang ini benar-benar manusia baja, meski kaki sudah patah tulang, tapi tubuh masih tegak
seperti tonggak. "Kau lagi, seru Lui-ji dengan gregetan. "Mengapa kau terus membuntuti kami?"
Ia tidak tahu bahwa Tong Siu-hong tidaklah sengaja mengejarnya, hanya lantaran jalan
mereka dirintangi Yang Cu-kang, terpaksa mereka harus memutar dari belakang, siapa tahu
secara kebetulan jalan lari Pwe-giok dan Lui-ji malah benar-benar tercegat.
Nasib manusia terkadang memang sangat ajaib, seperti kata peribahasa: "Sengaja menanam
bunga, bunga tidak berkembang. Tidak sengaja menanam pohon Liu, justru pohon ini tumbuh
rindang." Seluk-beluk hal demikian mungkin hanya orang yang sudah mengalami sendiri
barulah dapat memahaminya.
262 Baru habis Lui-ji berkata tadi, serentak anak murid keluarga Tong lantas terpencar dan
mengepung mereka di tengah, cuma merekapun jelas merasa jeri, maka tidak berani
sembarangan turun tangan.
Berputar biji mata Lui-ji, segera ia tahu pihak lawan merasa kuatir bila melukai Tong Lin
yang berada dalam cengkeraman Pwe-giok. Maka ia lantas berkata dengan tertawa, "
Sesungguhnya kami tidak membunuh Tong Bu-siang, selamanya kita tidak kenal mengenal
dan tiada sengketa apapun, asalkan kalian melepaskan kami, segera kami kembalikan nona
Tong kepada kalian."
Ia menyangka ucapannya ini sudah cukup tepat. Siapa tahu Tong Siu-hong seakan-akan tidak
mendengar saja, mendadak ia membentak, "Tok-soa ! "
"Tok-soa" atau pasir berbisa adalah senjata rahasia keluarga Tong yang paling lihai, meski
jaraknya tak dapat mencapai jauh, tapi asal dalam lingkaran seluas kurang dari dua tombak,
asalkan pasir beracun itu dihamburkan, jarang ada orang yang dapat lolos dari serangannya,
dan asalkan terkena satu butir pasir saja, kalau tidak dioperasi bagian lukanya, dalam waktu
singkat bagian luka itu akan membusuk dan dalam waktu tiga hari, orang itu akan mati.
Tong Siu-hong tidak malu berjuluk sebagai "Thi-bin-giam-lo", si raja akhirat bermuka besi,
artinya orang yang berhati keras tanpa kenal ampun, nyata ia sudah bertekad mengambinghitamkan
Tong Lin, bila perlu nona itu akan dibiarkan mati bersama Ji Pwe-giok.
Di antara anak murid keluarga tong ada juga sementara pemuda yang diam-diam menaksir
Tong Lin, tapi sekali mendengar perintah Tong Siu-hong, tiada seorangpun yang ragu dan
membangkang. Dalam sekejap itu belasan tangan yang bersarung kulit menjangan sudah
meraup pasir beracun yang berada di kantung masing-masing, bila tangan mereka ditarik
kembali, segera akan terjadilah hujan pasir, dan dalam jarak belasan tombak di sekitar Pwegiok
dan Lui-ji akan berada di bawah ancaman pasir berbisa itu.
Tapi sekarang mendadak Pwe-giok menerjang ke sebelah kiri.
Rupanya pada waktu Tong Siu-hong memberi perintah tadi, ia sempat melihat perubahan air
muka dua orang pemuda di sebelah kiri, mereka memandang Tong Lin dengan sorot mata
yang sedih dan tidak tega.
Maka tahulah Pwe-giok kedua pemuda ini pasti diam-diam mencintai tong Lin, serangan
mereka tentu juga tidak tega, asalkan cara turun tangan mereka memperlihatkan agak ragu,
tentu Pwe-giok ada harapan untuk menerjang keluar kepungan.
Walaupun cara demikian sangat berbahaya, tapi dalam keadaan kepepet, tiada pilihan lain lagi
baginya. Dia benar-benar menerjang keluar.
Tapi dia lupa terjangannya itu tetap tak dapat lolos dari jangkauan pasir beracun itu, bila anak
murid keluarga Tong itu menghamburkan pasir beracun dari belakang, tentu juga akan sulit
menghindarkannya. Untunglah pada saat itu juga mendadak terdengar suara Tong Ki berteriak, "Berhenti,
semuanya berhenti!" 263 Di tengah suara teriakannya, muncul Tong Ki bersama Li Be-ling , di belakang mereka ikut
pula tujuh atau delapan orang pelayan berpakaian singset, semuanya berlepotan debu pasir.
"Hamburkan Tok soa, jangan sampai mereka kabur!" bentak Siu-hong dengan bengis.
"Jangan! Tidak boleh!" bentak Tong-ki tidak kurang bengisnya.
"Serang!" teriak Siu-hong pula sambil menghentak kaki.
Tong Ki juga menghentakkan kakinya ke tanah dan berteriak, "Siu-hong apa kau tidak
pikirkan lagi keselamatan Jimoay?"
Dalam pada itu para anak murid keluarga Tong sudah siap menggenggam pasir berbisa, tapi
semuanya ragu dan serba salah, entah perintah siapa yang harus mereka turut. Sementara itu
Pwe-giok dan Lui-ji sudah sempat menerjang pergi beberapa puluh tombak jauhnya.
"Kohnaynay (bibi), jika kau pikirkan hubungan pribadi, keluarga Tong bisa hancur oleh
tindakanmu ini, "seru Siu-hong dengan suara parau.
Tib-tiba Li Be-ling ikut bicara, "Urusan ini tidak perlu kalian ikut campur, kujamin mereka
takkan bisa kabur, turutlah kepada perkataanku dan tentu takkan salah."
Biasanya Li be-ling terkenal pendiam dan jarang bicara, maka setiap ucapannya cukup
berbobot. Tong Siu-hong melotot, katanya," Baik, biarlah kuserahkan mereka kepada kalian."
Sembari bicara rombongan anak murid keluarga Tong itu tetap mengejar ke depan sana.


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya Pwe-giok membawa seorang tawanan, jalanan tidak apal pula, maka sukar untuk
lolos dari kejaran lawan. tapi setelah Siu-hong memberi tanda, pengikutnya tadi lantas
berhenti mengejar, hanya tinggal Li Be-ling dan Tong Ki saja yang masih terus mengejar ke
depan. Dengan ginkang Pwe-giok dan Lui-ji, mestinya mereka dapat lolos dari kejaran musuh, tapi
apa yang dapat dikatakan lagi kalau di depan sudah buntu, beberapa rumah tampak
menghadang di depan sana, di belakang rumah adalah dinding tebing belaka.
Yang dipikir Pwe-giok hanya selekasnya meloloskan diri, tidak ada hasratnya untuk
bergebrak dengan lawan. Dia tidak ingin mencelakai lawan, juga kuatir sukar kabur bila
terlibat lagi dalam pertempuran, namun keadaan sekarang memaksanya mau-tak-mau harus
menggunakan kekerasan. Tak terduga, setiba di sini, Tong Ki dan Li Be-ling lantas berhenti jauh di sana dan tidak
mendesak maju lagi. Malahan Tong Ki memberi tanda lambaian tangan, agaknya menyuruh
mereka lekas pergi. Pwe-giok jadi melengak, seperti ingin bicara sesuatu, tapi akhirnya tidak jadi, ia tarik Lui-ji
dan menerjang masuk ke dalam deretan rumah di depan.
264 Tampak segala sesuatu yang terdapat di dalam rumah itu teratur dengan rapi, setiap alat
perabotnya serba antik dan indah.
Lui-ji menggeleng, katanya, "Aku tidak paham mengapa yang Cu-kang menolong kita, tapi
aku lebih-lebih tidak habis mengerti bahwa Tong-toakohnio inipun menolong kita, sungguh
aneh dan ajaib." "Di dunia ini memang banyak kejadian yang tak terduga," ucap Pwe-giok.
"Dan bahwa Tong-jikohnio bisa membikin susah padamu, mungkin juga tidak kauduga
bukan?" jengek Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok hanya menghela napas dan tidak bicara lagi.
Saat itu Tong Lin belum lagi siuman, Pwe-giok menaruhnya di atas kursi, lalu dia mencari di
seluruh ruangan. Lui-ji tidak tahu apa yang dicari anak muda itu, ia coba tanya, "Tempat apakah di sini?"
"Kamar pribadi Tong Bu-siang," jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkesiap, ucapnya, "Tong-toakohnio sudah menolong kita, kesempatan ini tidak kita
gunakan untuk kabur, untuk apa kita berbalik lari masuk ke kamar rahasia Tong Bu-siang?"
"Untuk mencari jalan keluarnya."
"Jalan keluar" Masa di sini ada jalan keluarnya?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab, Lui-ji sudah melihat dipan di pojok kamar itu mulai
bergeser, di bawah tempat tidur itu muncul sebuah lorong di bawah tanah yang sangat gelap.
"Hah, kiranya di sini memang ada jalan keluar rahasia, "seru Lui-ji sambil berkedip-kedip,
"pantas Tong-jikohnio ini mengatakan kau masuk ke sini melalui jalan rahasia, caranya
berdusta ternyata sangat hidup dan seperti terjadi sungguhan. "
Pwe-giok hanya menyengir saja tanpa menanggapi, segera ia mendekati tong Lin dan
mengangkatnya. Mendadak Lui-ji mendengus, "Hm, tampaknya kalian memang tidak mau berpisah sedikitpun,
kukira lebih baik kalian berdua diikat menjadi satu saja dengan tali. "
Sementara itu Pwe-giok sudah melangkah turun ke lorong di bawah tanah itu, tiba-tiba ia
menoleh dan berkata, "Saat ini bukan waktunya bicara, maukah kau tutup mulut ?"
Terkesiap Lui-ji, matanya menjadi merah. Belum pernah Pwe-giok bicara kepadanya dengan
muka masam seperti ini. Pwe-giok berjalan di depan dengan hati-hati, setelah berjalan sekian jauhnya, ia menghela
napas dan berkata," Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang boleh kau katakan saja
sepuasmu." 265 Tapi mulut Lui-ji justru tertutup rapat-rapat.
"Meski tadi tidak kau bunuh dia, tapi ku tahu dia pasti terkena racun di tubuhmu, jika
sekarang kau paham maksudku, hendaklah kau punahkan dulu racun dalam tubuhnya."
Tapi Lui-ji tutup mulut semakin rapat, seakan-akan tidak mau lagi dibuka.
Pwe-giok berkerut kening, katanya, "Kenapa. Sekarang kau malah tidak mau bicara."
Lui-ji tetap tutup mulut, hanya dengan jarinya ia tuding Pwe-giok, lalu tuding pula mulutnya
sendiri. Pwe-giok tersenyum, ucapnya, "Sekarang kau sudah dewasa, masa masih suka ngambek
seperti anak kecil.?"
Mendengar dirinya dianggap sudah "dewasa", Lui-ji tertawa, dengan mulut menjengkit, ia
berkata, "Kau yang suruh aku tutup mulut, aku kan selalu menuruti perintahmu saja. "
"Jika begitu, lekaslah kau menolong dia, "kata Pwe-giok.
Mata Lui-ji kembali merah, ia menggigit bibir dan berkata, "Tahumu hanya menyuruh ku
tolong dia, kau hanya gelisah baginya, mengapa tidak kau tanyakan diriku, apakah juga
terkena racunnya atau tidak" Anggota keluarga Tong mereka kan juga terkenal ahli racun?"
"Meski senjata rahasia berbisa keluarga Tong sangat terkenal, tapi kau sendiri kan..."
"Aku kenapa" Aku ini orang berbisa, begitu" Barang siapa bila menyentuh diriku pasti
keracunan, begitu" Jika demikian, kenapa sampai sekarang kau tidak keracunan?"
Pwe-giok jadi melenggong, jawabnya, "Soalnya ku...kulihat Gin-hoa-nio yang cuma
menampar kau satu kali dan tangannya lantas keracunan, anggota Thian-can-kau itupun hanya
mencolek kau sekali dan dia juga...."
"Tapi Tong-jikohnio ini kan tidak memukul dan mencolek diriku" Jika racun di tubuhku tak
dapat kukuasai sendiri, mungkin sejak dulu Sacek sudah mati keracunan."
"O, jadi begitu, jadi dia tidak keracunan?"
"Memangnya kau kira aku ini orang goblok dan tidak tahu bahwa nona Tong kita ini tidak
boleh dibunuh?" Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ai, rupanya aku salah mengomeli kau, soalnya kulihat
sampai saat ini nona Tong itu belum lagi siuman, maka kukira...."
Belum habis ucapan Pwe-giok, Lui-ji mendekati Tong Lin dan menepuk bahunya sambil
mendengus, "Tong-jikohnioku sayang, tampaknya kau tidak cuma pintar berdusta, caramu
pura-pura juga sangat ahli. Akan tetapi bila kau tidak segera siuman, sekarang juga akan
kubelejeti pakaianmu."
266 Tubuh Tong Lin tampak bergetar, benarlah dia lantas membuka mata.
Lui-ji melototi Pwe-giok, katanya, "Nah, sekarang tentunya kau paham apa yang terjadi.
Lantaran kuatir ditanyai, maka dia sengaja pura-pura mampus.....Hm, tanpa membedakan
hitam dan putih lantas menuduh orang yang tak bersalah, malahan menganggap dirinya sangat
pintar dan cerdik , huh.!"
Terpaksa Pwe-giok menerima omelan itu dengan jujur, bahkan tunduk lahir batin.
Mulut Lui-ji menjengkit, dia melengos dan mengejek pula, "Nah, Tong-jikohnio, apakah
sekarang kau masih segan untuk bangun berdiri?"
Muka Tong Lin yang pucat itu kelihatan merah, ia menggreget, jawabnya, "Sudah jelas
kau....kau tahu hiat-to kakiku tertotok, tapi kau bicara seenaknya."
"Terkadang aku memang juga bisa membikin dongkol orang," ujar Lui-ji tak acuh.
"Memangnya hanya kalian saja yang boleh memfitnah diriku dan aku tidak boleh
membalas.?" Sekujur badan Tong Lin gemetar saking gemasnya, tapi tak dapat menjawab.
Pwe-giok menghela napas, katanya kemudian. "Ji-kohnio, aku tidak ada permusuhan apapun
dengan kau, mengapa kau sengaja mencelakai diriku?"
Tiba-tiba Lui-ji mendengus pula. "Kau boleh sembarangan menuduh diriku, tentu boleh juga
dia sembarangan menuduh kau. Kalian berdua adalah sepasang ahli yang suka menuduh orang
baik, kenapa kau salahkan dia " "
Sungguh Pwe-giok serba susah, ia hanya menyengir saja, tapi sekarang ia tidak berani lagi
menyuruh Lui-ji tutup mulut, sebab ia telah mendapatkan suatu pelajaran berharga pula, yaitu:
Jangan sekali-kali kaum lelaki menyuruh orang perempuan tutup mulut. Sebab seketika itu
mungkin si dia akan benar-benar tutup mulut, tapi seterusnya bukan mustahil dia akan
cerewet selama hidup. Kini yang tutup mulut benar-benar adalah Tong Lin, dia seperti sudah mengambil keputusan
takkan bicara lagi. Dengan suara lembut Pwe-giok membujuknya. "Caramu bersikap demikian bisa jadi lantaran
kaupun mempunyai kesulitan, sebab jelas kau bukan seorang yang suka berdusta."
"Hm, justru lantaran dia bukan seorang yang suka berdusta, maka apa yang diucapkannya
tentu dipercaya orang lain," jengek Lui-ji. "Apabila dia kelihatan sebagai seorang perempuan
bawel, tentu tiada orang yang mau percaya kepada ocehannya."
Setiap kali Pwe-giok tanya Tong Lin, yang ditanya tidak bersuara, tapi Lui-ji selalu
mendahului menanggapi. Terpaksa Pwe-giok berlagak pilon dan bersabar, katanya pula, "Bisa jadi ada alasanmu yang
kuat sehingga terpaksa kau berdusta, asalkan kau tuturkan terus terang, pasti tidak kusalahkan
kau." 267 "Hm, bisa jadi memang benar-benar kekasihnya yang membunuh Tong Bu-siang itu, demi
untuk menyelamatkan kekasihnya, maka dia perlu mencari seorang sebagai tumbal," jengek
Lui-ji lagi. Sekali ini dia tidak menanggapi dengan ngawur, tapi yang dikemukakan cukup masuk akal.
Terbeliak mata Pwe-giok, serunya, "Masa benar-benar kau tahu siapa si pembunuhnya?"
"Sudah tentu dia tahu, "Lui-ji mendahului menanggapi pula, "Tapi caramu bertanya ini tentu
juga takkan mendapatkan jawabannya."
Lalu Lui-ji mendekati Tong Lin, dengan bengis ia berkata, "Sesungguhnya siapa yang
membunuh Tong Bu-siang itu " Jika tetap tidak kau katakan, segera ku.... "
Belum habis ucapannya, mendadak seorang menanggapi dengan perlahan, "Orang yang
membunuh Tong Bu-siang itu ialah diriku ini."
Dalam kegelapan entah sejak kapan telah bertambah sesosok bayangan orang yang berwarna
putih kelabu, seperti badan halus saja yang mendadak muncul di situ.
Karena tak dapat melihat jelas wajah orang, Pwe-giok dan Lui-ji berseru berbareng, "Siapa
kau " " Orang itu tidak menjawab, tapi lantas mengetik api.
Di bawah cahaya api, tampak seorang perempuan berkabung, geretan api yang dipegangnya
berkelip seperti api setan, wajahnya pucat lesi tanpa warna darah sedikitpun.
Melihat orang ini, Pwe-giok benar sangat terperanjat, serunya tanpa terasa, "He, kau "!"
"Ya, betul aku!" sahut orang itu sambil menghela napas.
"Sungguh tak tersangka olehku yang berbuat itu adalah dirimu," kata Pwe-giok dengan
gegetun. Mendadak Lui-ji membentak, "Kau berani mengaku sebagai si pembunuhnya di depan kami,
apakah kau sudah bertekad akan membunuh kami untuk menghilangkan saksi?"
Orang itu mendengus, "Huh, jika ingin kubunuh kalian, mengapa tadi ku tolong kalian?"
Orang yang mengaku sebagai "pembunuh" ini ternyata nona besar keluarga Tong, yaitu Tong
Ki. Air mata Tong Lin sudah bercucuran, ucapnya dengan suara parau, "Toaci, untuk apa kau
datang kemari" Aku sudah jelas tak dapat hidup lagi, juga tidak ingin hidup lebih lama lagi,
mengapa tidak kau biarkan ku tanggung dosa ini?"
"Ku tahu tindakanmu ini adalah demi diriku," ucap Tong Ki dengan rawan. "Kau rela
mengorbankan dirimu, kau memang anak yang baik, tapi aku...."
268 "Akupun tahu tindakan toaci ini adalah demi mempertahankan nama baik keluarga Tong
kita..." "Bagus, bagus, kalian semuanya anak baik, apa yang kalian lakukan semuanya beralasan.
Tapi Ji Pwe-giok apakah harus ikut dikorbankan ?" teriak Lui-ji mendadak.
Tong Ki menghela napas panjang, katanya. "Ya, ku tahu tindakan kami ini telah membikin
susah Ji-kongcu, tapi di dalam persoalan ini sesungguhnya memang mengandung banyak
rahasia yang tidak boleh diketahui orang luar. "
"Masa sekarang kami belum juga berhak mengetahui rahasia ini?" tanya Lui-ji.
"Kedatanganku untuk menemui kalian ini justru sudah siap hendak kuberitahukan rahasia ini
kepada kalian," ucap Tong Ki. Ia berhenti sejenak dan tersenyum getir, lalu melanjutkan,
"Tentu dalam hati kalian merasa sangat heran mengapa aku membunuh ayah sendiri, bukan "
" "Ya, aku memang sangat heran," kata Lui-ji.
"Setelah ku beritahu rahasia ini, kuharap kalian jangan menyiarkannya, sebab rahasia ini
sesungguhnya sangat penting."
"Masa kau tidak percaya kepada Ji Pwe-giok?" Lui-ji mendahului bertanya.
"Justru ku tahu lantaran Ji-kongcu adalah seorang kuncu sejati, maka ku datang ke sini...",
tiba-tiba Tong Ki tersenyum misterius, "Kalian tahu, Tong Bu-siang yang kubunuh itu
sebenarnya bukanlah ayahku."
Ia mengira keterangannya ini pasti akan membikin kaget Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, tak
terduga Lui-ji hanya mencibir saja dan berkata, "Rahasia ini tidak luar biasa, sebelumnya
kami sudah tahu." Tong Ki berbalik terperanjat, serunya, "Apa, kalian sudah tahu sebelumnya?"
"Ya, memang betul, "tukas Pwe-giok.
Dia sebenarnya adalah pemuda yang pendiam, apalagi berada bersama Lui-ji, kesempatannya
bicara boleh dikatakan sangat sedikit, sejak tadi sampai sekarang, hanya ketiga kata itu saja
sempat diucapkannya. Malahan sekarang Lui-ji terus mendahului berkata pula, "Tidaklah heran jika hal ini diketahui
oleh kami, yang ku herankan justru cara bagaimana kalianpun mengetahuinya?"
Tong Ki tersenyum getir, tuturnya, "Sebenarnya urusan keluarga Tong ini hanya diketahui
olehku sendiri, tapi sekarang kalianpun mengetahuinya, tentu saja sangat mengherankan."
"Malahan kami tahu pula bahwa Tong Bu-siang gadungan itu aslinya cuma seorang kusir,"
kata Lui-ji pula. 269 "Kusir?" Tong Ki menegas dengan tercengang.
"Betul, hanya seorang kusir," kata Lui-ji. "Dia berkasak-kusuk dengan anak buah Ji Hong-ho
di Bong-hoa-lou sana, mereka tidak tahu kami mengintipnya dari balik dinding, sehingga
rahasianya ketahuan."
Mendingan dia tidak bicara, sebab Tong Ki tambah bingung oleh ceritanya itu.
Dengan menyesal Pwe-giok berkata, "Urusan ini memang sangat ruwet, tapi yang paling
penting haruslah diketahui oleh nona, bahwa semua tipu muslihat, semua intrik keji ini datang
dari .... dari Ji Hong-ho itu, dialah yang mendalangi semua kejadian ini."
"Ji Hong-ho?" Tong Ki menegas pula dengan melenggong. "Kau maksudkan Ji-lo-siansing
yang menjadi Bu-lim bengcu itu?"
"Betul, siapa lagi kalau bukan dia?" jawab Pwe-giok dengan menggreget.
Tong Ki tambah tercengang, katanya, "Dan apa sangkut-pautnya dengan urusan keluarga
Tong kami ini?" "Justru lantaran ia ingin menguasai keluarga Tong yang berpengaruh ini, maka dia telah
menculik Tong-locianpwe untuk memalsukannya, "tutur Pwe-giok. "Tindakannya ini
sebenarnya berlangsung dengan sangat rahasia, siapa tahu secara tidak sengaja dapat kami
pergoki." "Kedatangan kami ke sini justru hendak membongkar tipu muslihatnya itu," timbrung Lui-ji
tak tahan. Tong Ki melengak sejenak, mendadak ia bergelak tertawa.
Pwe-giok dan Lui-ji saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu mengapa nona besar
keluarga Tong itu tertawa sedemikian geli.
Setelah tertawa sekian lamanya, tiba-tiba Tong Ki menghela napas panjang dan bergumam,
"Agaknya inilah yang disebut manusia berencana, Thian yang menentukan. Betapapun usaha
manusia takkan berhasil jika Thian tidak berkenan."
"Apa maksudmu?" tanya Lui-ji sambil berkerut kening.
"Terus terang, ayahku sudah wafat belasan tahun yang lalu," tutur Tong Ki dengan suara
tertahan. Kembali Pwe-giok terkejut, serunya, "Belasan tahun yang lalu" Tapi jelas...jelas ku.."
"Waktu beliau wafat, saat itulah suasana di daerah Sujwan ini sedang kacau balau, keluarga
Tong kami waktu itupun menghadapi sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Tong Ki. "Berkat
mendiang ayahku bertahan dengan tenang sehingga segala kesulitan dapat diatasi. Tapi beliau
kuatir apabila dia meninggal, suasana bisa kacau lagi, maka beliau sengaja mencari seorang
duplikat untuk menyaru sebagai dia, guna mengatasi segala kemungkinan."
270 Dia tertawa, lalu melanjutkan, "Duplikat yang ditemukan ayah itu adalah seorang paman yang
masih sanak keluarga kami dan bukanlah kusir segala. paman ini memang sangat mirip ayah,
setelah dirias, sukarlah orang luar akan membedakannya. Apalagi seumpama ada sesuatu
yang tidak betul, tentu orang akan menyangka karena ayah habis sakit, sehingga terjadi
perubahan." "Jika demikian, jadi Tong-locianpwe yang pernah kutemui itu sesungguhnya juga palsu?"
kata Pwe-giok dengan menyesal.
Baru sekarang ia paham, mengapa Tong Bu-siang itu kelihatan takut urusan, terkadang
sikapnya tidak menampilkan wibawa seorang pemimpin.
Akhirnya iapun paham sebab apa "Tong Bu-siang" itu mengkhianatinya.
"Paman itu memang bukan seorang bijaksana dan cekatan, maka sebelum wafat, ayah telah
pesan padaku secara wanti-wanti agar paman itu hanya dijadikan sebagai boneka saja.
Apabila suatu waktu timbul pikiran jahatnya hendak merebut kedudukan dan merampas
kekuasaan, ayah menyuruhku agar membinasakan dia tanpa ragu," setelah berhenti sejenak
sambil menghela napas, lalu Tong Ki menyambung, "Justru karena diberi tugas berat ini oleh
mendiang ayahku, terpaksa ku jaga keluarga ini sepenuh tenaga, betapapun aku tak dapat
menikah dan ikut suami."
Teringat kepada pengorbanan Tong Ki yang besar ini, tanpa terasa Pwe-giok ikut terharu dan
bersedih baginya. Seorang perempuan rela mengorbankan masa muda sendiri dan hidup
kesepian, kehidupan demikian tidaklah mudah dilakukan setiap orang.
"Selama belasan tahun ini," tutur Tong Ki pula, "pamanku itu tampaknya juga hidup prihatin,
segala persoalan akulah yang memutuskan, ia sendiri tidak berani bertindak di luar tahuku.
Siapa tahu, setelah pulang sekali ini, dia kelihatan berubah, dalam waktu satu hari saja dia
berani mengambil keputusan sendiri dan mengeluarkan belasan macam perintah. Demi untuk
melaksanakan pesan ayah, terpaksa kubunuh dia."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi, "Tapi akupun tidak menyangka bahwa di balik
kepalsuan itu, masih ada tiruan pula. Kejadian aneh di dunia ini sungguh terkadang jauh lebih


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mustahil daripada dongeng."
Termangu-mangu Lui-ji mendengarkan ceritanya, baru sekarang ia tersenyum getir dan
bergumam, "Ya, memang tidaklah gampang bila suatu keluarga persilatan ternama ingin
mempertahankan nama dan kehormatannya."
Tong Ki tersenyum pedih, katanya, "Betul, umumnya orang hanya tahu kebesaran dan
kejayaan keluarga Tong kami, tapi siapa yang tahu di balik kejayaan ini entah tersembunyi
betapa banyak pahit getir, betapa banyak mengalirkan darah dan air mata...."
Dia seperti terkenang kepada kejadian-kejadian di masa lampau, tanpa terasa air matanya
bercucuran. Pwe-giok jadi teringat kepada nasib Tong Ki yang pernah bertunangan 2 - 3 kali, tapi setiap
kali bakal suaminya selalu mati mendadak, apakah orang-orang itu hanya mati secara
kebetulan " Adakah di balik kematian itu tersembunyi suatu rahasia "
271 Teringat demikian tanpa terasa Pwe-giok bergidik.
Ia tidak ingin memikirkannya lagi, juga tidak sampai hati untuk memikirkannya, apapun juga
Tong Ki harus dianggap sebagai anak perempuan yang tidak beruntung dan perlu dikasihani.
Kejayaan hanya bisa diperoleh dengan macam-macam imbalan yang besar. Sejak dahulu kala,
di balik soal "kejayaan", entah telah berapa banyak menimbulkan korban, entah berapa
banyak tulang-belulang yang bertumpuk dan betapa banyak darah yang mengalir.
Dan semua ini apa cukup berharga"
Lui-ji termenung sejenak, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Tong Giok juga tidak tahu rahasia
keluarga kalian ini?"
"Tidak, iapun tidak tahu," jawab Tong Ki.
"O, pantas dia...... "mendadak Lui-ji tidak melanjutkan ucapannya, sebab ia merasa orang
yang telah mati tidak perlu lagi disinggung perbuatannya yang memalukan itu.
Pwe-giok memandangnya sekejap sebagai tanda memujinya.
Betapapun pada dasarnya Lui-ji adalah anak perempuan yang berhati bajik, cuma seperti juga
kebanyakan anak perempuan di dunia ini, terkadang dia suka banyak bicara walaupun
sebenarnya bukan waktunya untuk bicara.
Tong Ki lantas menutur pula, "Kecuali diriku dan paman itu, di dunia ini jelas tiada orang lain
lagi yang tahu rahasia penyamaran ini. Sebab waktu itu adik-adikku masih kecil, maka ayah
menyuruhku sekalian merahasiakan urusan ini bagi mereka."
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, ia tahu Tong Jan juga pasti tidak tahu rahasia
ini, kalau tidak, mustahil ia mau membantu Tong Bu-siang gadungan itu untuk
mengkhianatinya dahulu. Rupanya setelah belasan tahun menjadi boneka, Tong Bu-siang palsu itu tidak rela dan
merasa penasaran, maka dia bersekongkol dengan Ji Hong-ho untuk mempertinggi kedudukan
sendiri dan memperkuat kekuasaannya.
Tapi meski dia telah mengkhianati Ji Pwe-giok, dia tidak menjual keluarga Tong, sebab itulah
ketika ajalnya itu, dia tetap tidak memberitahukan rahasia kepalsuannya sendiri kepada Ji
Hong-ho. Pwe-giok menghela napas panjang, ucapnya, "Apapun juga pamanmu itu tidak bersalah
terhadap keluarga Tong kalian."
Tong Ki menghela napas, katanya, "Demi kehormatan keluarga, terpaksa harus berkorban
sendiri, inilah penderitaan kebanyakan murid ke keluarga persilatan di dunia ini, juga
semangat dasar keluarga persilatan ini supaya dapat bertahan hidup di dunia persilatan. "
272 "Tadinya akupun sangat mengagumi para murid keluarga persilatan, tapi sekarang..... "Lui-ji
berucap dengan rawan, sebab iapun mempunyai penderitaannya sendiri, menjadi puteri "Siauhunkiongcu", betapapun bukanlah sesuatu yang enak.
Selang sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula, "Rahasia ini mungkin tidak diketahui orang lain,
tapi Ji-kohnio tentunya tahu, bukan" "
"Ia baru tahu pada kemarin malam, "jawab Tong Ki.
"Ooh " Baru kemarin malam " "Lui-ji merasa heran.
"Ya, baru kemarin malam, memang betul ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan
Tong...Tong Bu-siang itu, setiba di luar pintu, ia memang berhenti di sana, sebab saat itu aku
sedang bicara di dalam kamar. "
"O, jadi dia menyaksikan kau bunuh Tong Bu-siang itu, tentu saja dia terkejut, ketika kau tahu
dia berada di luar kamar, terpaksa kau beritahukan rahasia keluargamu itu kepadanya, begitu "
"tanya Lui-ji. "Ya, memang betul begitu, "sahut Tong Ki.
"Aku memang lagi heran mengapa kalian tidak mau menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya." "Soalnya waktu itu kami belum mengetahui liku-liku urusan ini, lebih-lebih tidak tahu bahwa
Tong Bu-siang palsu itu telah dipalsukan pula oleh orang lain."
Lui-ji menjengek, "Hm, kalian tidak ingin orang luar mengetahui perebutan kekuasaan di
tengah keluarga sendiri, demi menjaga nama baik keluarga Tong, lantas kalian korbankan Ji
Pwe-giok, begitu bukan?"
Terpaksa Tong Ki menghela napas panjang, sebab dia memang tidak dapat menjawabnya.
Lui-ji melototi Tong Lin, katanya pula dengan perlahan, "Ji-kohnio, ingin kuminta penjelasan
sesuatu kepadamu." Tong Lin menundukkan kepala, seakan-akan tak mau mendongak lagi untuk selamanya.
Maka Lui-ji berkata pula. "Jika kau perlu cari tumbal, siapapun boleh kau cari, kenapa
pilihanmu jatuh pada diri Ji Pwe-giok " Ada persoalan apa antara kau dengan dia " "
Kepala Tong Lin tertunduk lebih rendah lagi, air matapun berderai.
Mendadak Tong Ki menghela napas, katanya, "Daripada kau minta penjelasannya, lebih baik
aku saja yang berbicara baginya."
"Hm, kiranya kaupun tahu apa sebabnya, jangan-jangan hal inipun atas gagasanmu?" jengek
Lui-ji. 273 Tong Ki tak tahan, iapun balas menjengek, "Hm, jika gagasanku, tentu takkan jadi begini,
sebab biarpun Ji-kongcu adalah pemuda cakap yang jarang ditemukan, tapi bagiku rasanya
tidak berarti apa-apa."
Dia seperti dibikin marah oleh Lui-ji sehingga cara bicaranya juga tidak sungkan-sungkan
lagi. Lui-ji berbalik tertawa geli malah, ucapnya, "Baik sekali, justru kuharapkan dia akan
dipandang sebagai siluman buruk di mata wanita lain. Apabila semua perempuan di dunia ini
berpandangan serupa Tong-toakohnio, maka amanlah hatiku."
Tong Ki memandangnya, rasa gusarnya perlahan-lahan lenyap, sebab ia merasa Lui-ji tidak
lebih hanya seorang anak kecil yang berlagak menjadi orang tua. Ia tertawa, lalu menghela
napas panjang lagi dan berkata, "Namun adik perempuanku ini justru...."
"Toaci!" seru Tong Lin mendadak sambil mendongak, "jangan...jangan kau..."
"Mengapa jangan?" jawab Tong Ki lembut. "Seorang anak gadis jatuh cinta kepada seorang
pemuda kan bukan sesuatu yang memalukan " Mengapa tidak boleh kita katakan terus
terang?" Tubuh Tong Lin tampak gemetar, mukanya bersemu merah.
Lui-ji mendelik, ucapnya, "Jadi maksudmu, lantaran dia suka kepada Pwe-giok, maka dia
mencelakainya pula. Wah, kalau begitu, rasa sukanya itu rada-rada tidak enak."
"Dia memang jatuh cinta kepada Ji-kongcu," sambung Tong Ki, "ketika diketahuinya Jikongcu
sudah menikah denganmu, betapa sedih hatinya, tentu dapat kau bayangkan, ditambah
lagi kemalangan yang menimpa keluarga kami, derita batinnya mana bisa ditahannya " "
Dia menatap Lui-ji lekat-lekat, lalu berkata pula dengan perlahan, "Tentu nona juga tahu,
jarak antara cinta dan benci sedemikian kecilnya. Bilamana nona yang berada dalam keadaan
seperti dia ini, mungkin kaupun akan bertindak demikian. "
Lui-ji terdiam sejenak, ia pandang sekejap Pwe-giok yang sedang melenggong itu, lalu
berucap dengan sayu, "Ya, bisa jadi aku akan bertindak terlebih kejam daripada dia. "
"Apalagi, memang cuma Ji-kongcu saja yang dapat disebutnya, bila dia menyebut orang lain,
pasti tidak ada yang mau percaya, "kata Tong Ki.
"Sebab apa" "tanya Lui-ji.
"Sebab dia telah cukup tersiksa demi membela Ji-kongcu, "tutur Tong Ki dengan gegetun.
"Jika bukan lantaran kejadian itu, meski kemudian tidak menimbulkan banyak persoalan,
mungkin dia sudah dihukum mati menurut peraturan rumah tangga kami....."
Sampai di sini, Pwe-giok tidak tahan lagi, ucapnya dengan terharu, "dia membawa Gin-hoanio
ke tempat rahasia pembuatan Am-gi keluarga Tong, apakah tindakannya itu demi diriku
?" 274 "Asal kau tahu saja," ujar Tong Ki dengan tersenyum getir, "dan kalau Ji-kongcu sudah tahu,
tentunya kau harus memaafkan perbuatannya tadi."
Pwe-giok pandang Tong Lin yang sedang menangis itu dan entah apa yang harus
diucapkannya. Tapi Lui-ji lantas mendekati Tong Lin, ucapnya dengan suara lembut. "Jikohnio, sebenarnya
aku benci padamu, tapi sekarang aku benar-benar bersimpati padamu..."
Mendadak Tong Lin melonjak bangun, teriaknya dengan suara parau, "Aku tidak memerlukan
simpatimu, tidak perlu kasihanmu. Kubenci padamu, kubenci kau!..." dia terus meronta dan
hendak menerjang maju, tapi lantaran hiat-to kaki tertotok, ia jatuh terjungkal pula.
Lui-ji menggigit bibir dan tersenyum pedih, ucapnya," Tidak perlu kau benci padaku,
kubilang dia suamiku, sesungguhnya hanya menipu diriku sendiri saja, sebab dalam hatinya
hanya terisi oleh nona Lim Tay-ih itu. Akupun serupa kau, sama-sama gadis yang harus
dikasihani, aku...aku..... "sampai di sini air matanyapun berderai.
Tong Ki memandangi mereka, matanya juga mengembeng air mata, gumamnya, "Cinta... O
cinta..." mendadak ia pandang Pwe-giok, ucapnya dengan dingin, "Ji-kongcu, tampaknya
tidak sedikit kau bikin susah orang!"
Pwe-giok tampak terkesima dan bergumam, "Tidak sedikit orang yang ku bikin susah..." ia
mengulang kalimat tersebut beberapa kali, tapi selain itu dia memang tidak dapat bicara lain.
Apalagi, biarpun bicara apapun juga, Tong Ki takkan bersimpati padanya.
Tong Ki membangunkan Tong Lin, lalu berkata, "Sekarang, selesailah perkataanku, bolehlah
Ji-kongcu pergi!" Dia seperti tidak mau memandang Pwe-giok lagi, sampai Lui-ji juga tidak menyangka
sikapnya akan berubah menjadi sedingin itu.
Lui-ji tidak tahu bahwa seorang perawan tua biasanya paling benci terhadap lelaki yang tidak
berbudi dan tidak setia, seakan-akan dia sendiri sudah beratus kali ditipu oleh kaum lelaki.
Padahal masakah dia tidak tahu bahwa Pwe-giok tidak bersalah, hanya saja ia tidak mau
mengakui fakta ini, sebab yang dibencinya bukanlah Ji Pwe-giok melainkan kaum lelaki.
Melihat Tong Ki mulai melangkah pergi dengan memayang Tong Lin, Lui-ji tidak tahan,
serunya, "Nona Tong, apakah rahasia tadi akan kau siarkan " "
"Tidak, "jawab Tong Ki.
"Jika ... jika begitu, apa gunanya kau beritahukan rahasia ini kepada kami " "tanya Lui-ji pula.
"Kenapa tidak ada gunanya " "sahut Tong Ki.
"Sebab kalau orang lain tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, bukankah Pwe-giok akan tetap
dianggap sebagai pembunuh Tong-locengcu?"
275 "Hm, sudah jelas dia tidak setia padamu, untuk apa kau perhatikan dia?" jengek Tong Ki,
sambil bicara, tanpa menoleh lagi ia terus tinggal pergi.
Lui-ji melenggong, ia ingin menyusul ke sana, tapi Pwe-giok keburu menariknya dan berkata.
"Sudahlah, biarkan dia pergi."
"Sudahlah!?" teriak Lui-ji. "Urusan ini mana boleh dianggap sudah" Masa kau lebih suka
dituduh orang sebagai pembunuh?"
Pwe-giok termangu sejenak, ucapnya kemudian dengan tersenyum getir, "Aku sendiri sudah
cukup dibebani berbagai tuduhan, biarpun ditambah lagi urusan ini juga tidak menjadi soal."
"Sungguh aku merasa bingung, kau ini orang macam apa," ucap Lui-ji dengan mendongkol.
"Orang lain membikin susah padamu, tapi kau tidak marah sedikitpun. Orang lain kuatir dan
gelisah bagimu, kau sendiri malah adem-ayem?"
Pwe-giok tertawa, katanya, "Jika kau anggap aku ini orang yang tak berbudi dan tak setia,
untuk apa lagi kau perhatikan diriku?"
Ucapan Pwe-giok ini membuat Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan
menangis, dengan gemas ia berkata, "Masa kau anggap ucapanku tadi tidak pantas"
Memangnya hatimu tidak memikirkan Lim Tay-ih melulu" Apakah aku salah omong, salah
menuduh padamu?" Apapun Pwe-giok tidak dapat bicara lagi.
Setelah menangis sejenak, rasanya Lui-ji sudah cukup menangis, kemudian ia bergumam,
"Mungkin akulah yang salah. Aku ini gadis cerewet, cengeng, sedikit-sedikit menangis, sering
pula bicara, hingga menimbulkan kemarahanmu, mengapa tidak kau tinggalkan diriku dan
pergi sendiri saja " "
Pwe-giok tetap tidak bicara apapun, ia hanya gandeng tangan si nona dan diajaknya
berangkat, maka dengan menurut Lui-ji juga ikut berangkat.
Tanpa bicara memang cara yang paling baik untuk menghadapi kaum perempuan.
***** Pwe-giok tahu lorong di bawah tanah itu menembus ke kelenteng yang letaknya terpencil itu.
Di kelenteng itulah anak buah Ji Hong-ho menculik "Tong Bu-siang" dan membunuh Tong
Jan. Juga di kelenteng itu untuk pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan Kwe Pian-sian. Tanpa
terasa ia jadi teringat kepada Ciong Cing, gadis yang merana karena cinta itu.
Ke manakah mereka sekarang" masih hidup atau sudah mati"
Iapun teringat kepada Gin-hoa-nio, teringat kepada nasibnya yang mengerikan itu, maka
wajah Kim-hoa-nio, Thi-hoa-nio, Kim-yan-cu dan lain-lain seolah-olah terbayang pula di
depan matanya. 276 Dengan sendirinya, ia lebih-lebih tak dapat melupakan Lim Tay-ih.
Ia menghela napas panjang, pikirnya dengan rawan, "Nasib mereka sama tidak beruntung,
apakah benar akulah yang membikin susah mereka...?"
Hampir setiap anak perempuan yang dikenalnya seakan-akan tidak ada satupun yang
beruntung dan bahagia. Apakah sebabnya"
Wanita cantik biasanya dipandang orang sebagai "air bencana", lalu pemuda cakap seperti Ji
Pwe-giok ini terhitung apa"
Jalan tembus pada lorong di bawah tanah itu ditutup oleh sepotong batu yang dapat diputar,
sehingga tidak banyak suara yang ditimbulkannya. Apalagi di luar sana adalah kelenteng di
tanah pegunungan sunyi dan jauh dari jejak manusia, biarpun menerbitkan sedikit suara juga
tidak menjadi soal. Namun begitu Pwe-giok tetap sangat hati-hati, lebih dulu ia geser batu itu sedikit, di luar
ternyata gelap gulita, biarpun ada cahaya bulan dan bintang juga tak dapat menyinari tempat
ini. Dan biasanya kegelapan selalu berkawan kesunyian, kecuali denyut jantung sendiri, hampir
tak terdengar apapun oleh Pwe-giok, bahkan anginpun berhenti berdesir.
Setelah yakin benar keadaan aman, barulah Pwe-giok menarik Lui-ji naik ke atas.
Tapi pada saat itu juga dalam kegelapan mendadak timbul serentetan suara orang tertawa.
Seorang dengan tertawa berkata, "Baru sekarang kalian muncul" Sudah lama kutunggu di
sini." Pwe-giok terkejut dan menyurut mundur, tapi segera cahaya lampu terang benderang.
"He, Yang Cu-kang!" seru Lui-ji kaget, "Kau benar-benar seperti arwah yang tidak mau
buyar, kenapa kaupun ikut ke sini?"
"Bisa jadi lantaran aku dan kalian memang berjodoh..." Yang Cu-kang tersenyum, dia duduk
bersila di lantai, di depannya ada sebotol arak dan beberapa bungkus makanan, ada pula
sebuah lampu dan sebuah geretan api.
Dengan tertawa ia berkata pula, "Arak dan makanan ini kubawa sendiri dari tempat perjamuan
keluarga Tong sana, meski arak masih hangat, namun makanannya sudah dingin, karena
barang didapatkan dengan gratis, biarlah kita nikmati saja seadanya. Marilah, silahkan kalian
ikut minum barang secawan. "
Pwe-giok memandangnya dengan tersenyum, ucapnya kemudian, "terima kasih!"
Dia benar-benar mendekati Yang Cu-kang dan ikut duduk di situ, cawan arak diangkatnya
dan ditenggak habis. Lui-ji ingin mendahului mencicipi arak itu, tapi sudah tidak keburu lagi.
277 Yang Cu-kang tertawa, katanya. "Ji-heng, ilmu silatmu sebenarnya tidak seberapa,
kecakapanmu juga tidak melebihi diriku, tapi kau memang jauh lebih sabar daripadaku. Hal
ini mau-tak-mau aku harus kagum padamu. Marilah, ku suguh kau satu cawan."
Lalu dia tertawa terhadap Lui-ji dan berkata pula, "Hendaknya nona Cu jangan kuatir, arak ini
tidak beracun, untuk membunuh orang cukup banyak caraku dan tidak perlu memakai racun."
Biji mata Lui-ji berputar, ucapnya hambar, "Tapi caraku membunuh orang cuma ada satu,
yakni pakai racun. Setiap saat dan di manapun juga dapat ku taruh racun, entah sudah berapa
banyak orang yang mati ku racun, tapi tiada seorangpun yang mengetahui cara bagaimana
matinya." Sampai di sini mendadak ia tertawa terhadap Yang Cu-kang dan menambahkan,
"Bukan mustahil akupun sudah menaruh racun di dalam arak yang akan kau minum ini, kau
percaya tidak?" Jika orang lain yang berkata demikian, bisa jadi Yang Cu-kang akan bergelak tertawa dan
menenggak habis araknya itu, tapi sekarang kata-kata tersebut diucapkan oleh puteri tunggal
Siau-hun-kiongcu, maka bobotnya menjadi lain.
Yang Cu-kang pandang arak dalam cawan yang dipegangnya itu, katanya dengan tetap
tertawa, "Bila benar arak ini sudah kau racuni, tentu takkan kau beritahukan kepadaku,
bukan?" "Kenapa tidak kau coba?" ucap Lui-ji dengan tersenyum.
Melengak juga Yang Cu-kang, betapapun ia menjadi sangsi, seumpama tahu benar arak ini
tidak beracun juga tidak sanggup diminumnya lagi.
"Kenapa" Bukankah nyalimu biasanya sangat besar?" tanya Lui-ji.
"Nyaliku memang sangat besar, tapi kalau dipancing orang, seketika bisa berubah menjadi
kecil," kata Yang Cu-kang.
Dengan jarinya yang lentik, Lui-ji mengambil cawan arak yang dipegang Yang Cu-kang itu,
arak dalam cawan dituangnya ke dalam cawan Pwe-giok, lalu berkata dengan terkikik,
"Sayang jika arak ini dibuang, dia tidak mau minum, biar kau saja yang menghabiskannya. "
Pwe-giok tertawa, tanpa bicara ia tenggak araknya hingga habis.
Dengan tertawa Lui-ji berkata pula, "Nah, lihatlah, hakekatnya arak ini tidak beracun, kenapa
tidak berani kau minum" Sungguh memalukan jika keberanian minum arak saja tidak ada."


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang Cu-kang tidak malu juga tidak rikuh, ia malah tertawa dan menjawab," Apa salahnya
jika bertindak hati-hati, apalagi arak kan harus disuguhkan dulu kepada tetamu."
Habis berkata ia menuangi lagi cawan sendiri dengan arak dalam poci, lalu berkata,
"Sekarang arak ini tentunya dapat kuminum tanpa kuatir."
Mata Lui-ji berkedip, katanya, "Betul, arak baru ini tidak beracun, lekas kau minum saja."
278 Tapi kembali Yang Cu-kang merasa sangsi, sampai sekian lama ia pandang cawan arak yang
dipegangnya itu, katanya dengan menyengir, "Ah, kalau terlalu banyak minum arak mungkin
akan mengidap kanker hati, lebih baik mengurangi minum arak."
Lui-ji tertawa senang, ucapnya, "Coba lihat, kubilang di dalam arak beracun, kau tidak berani
minum, kukatakan arakmu tidak beracun, kaupun tidak berani minum. Memangnya apa yang
harus kukatakan supaya kau berani minum arak ?"
"Apapun yang kau katakan, jelas aku tidak ingin minum lagi, " ujar Yang Cu-kang dengan
tertawa. Ia menaruh cawan araknya, lalu bergumam, "Jiwanya telah kuselamatkan, tapi
secawan arak saja aku tidak boleh minum, tampaknya memang lebih baik tidak menolong
siapapun." Mendadak Lui-ji menarik muka, ucapnya, "Siapa yang minta kau tolong kami " Tong Giok
telah kau bunuh, Kim-hoa-nio juga kau celakai, Thi-hoa-nio juga kau binasakan, kenapa kami
tidak kau bunuh, sebaliknya malah menolong kami ?"
"Memangnya kau senang jika kubunuh kalian ?" tanya Yang Cu-kang dengan tersenyum.
"Mendingan kau tidak mengincar kami, kalau tidak, tentu susah kau !" jengek Lui-ji.
"Bagiku bukan soal susah atau tidak, jika aku berniat membunuh orang, yang menjadi soal
adalah orang itu pantas dibunuh atau tidak, " kata Yang Cu-kang, mendadak ia menarik muka
dan menegas, "Coba, ingin kutanya padamu, seorang demi mendapatkan isteri, dia lupa
kepada sanak famili, sampai saudara sendiri juga dikhianatinya, orang demikian pantas
dibunuh atau tidak ?"
"Hal ini disebabkan kalian sendiri yang memaksa dia berbuat demikian, masa kau salahkan
dia malah ?" jawab Lui-ji.
"Jika kupaksa kau bunuh Ji Pwe-giok, kau mau ?" tanya Yang Cu-kang.
"Dengan sendirinya tidak mau," sahut Lui-ji.
"Nah, apa bedanya, " ujar Yang Cu-kang. "Kupaksa kau atau tidak adalah satu hal, kau mau
melakukannya atau tidak juga satu hal yang lain. Jika Tong Giok setia kepada sanak
keluarganya seperti kesetiaanmu terhadap Ji Pwe-giok, lalu apa gunanya kami memaksa dia
?" "Tapi bagaimana dengan Kim-hoa-nio " Ken..kenapa kau"."
"Kim-hoa-nio " Bilakah pernah kuganggu seujung rambutnya " " sela Yang Cu-kang, "Dia
sendiri yang rela mati bersama kekasihnya, apa sangkut pautnya dengan diriku" Di dunia ini
banyak perempuan bodoh seperti dia, entah berapa banyak yang mati setiap hari, masa aku
yang kau salahkan" "
"Hm, kau tolak bersih semua kesalahanmu, jika demikian, jadi kau ini manusia baik hati
malah," jengek Lui-ji.
279 "Ah, predikat ini tak berani kuterima, "jawab Yang Cu-kang dengan tertawa, "cuma orang
yang memang tidak harus dibunuh, biarpun orang menyembah padaku agar membunuhnya
juga takkan kulakukan."
Mata Lui-ji mendelik, teriaknya dengan bengis, "Lantas bagaimana dengan Thi-hoa-nio"
Dalam hal apa dia pantas dibunuh?"
"Thi-hoa-nio" Siapa bilang kubunuh dia?"
"Aku yang bilang!" teriak Lui-ji.
"Kau lihat kubunuh dia" Apakah kau lihat jenazahnya" Darimana kau tahu dia sudah mati?"
"Tanpa melihatnya sendiri juga ku tahu dia mati di tanganmu," jengek Lui-ji.
"Eh, coba jawab, bagaimana jika dia tidak mati?" tanya Yang Cu-kang tiba-tiba.
"Jika dia tidak mati, biar ku" kutelan guci arak ini," kata Lui-ji.
"Wah, guci arak ini sekali-kali tidak boleh ditelan, kalau kau telan, bila ada orang melihat
perutmu mendadak buncit, tentu orang akan heran, masa ada anak perawan bunting sebelum
bersuami, bahkan mengandung anak kembar, kalau tidak masakah perutmu sebesar gentong?"
"Siapa bilang perutku besar" " teriak Lui-ji dengan gusar dan muka merah.
"Bila perut terisi dua guci, mustahil tidak menjadi besar?"
Lui-ji melengak, tanyanya, "Dua guci" Dari mana datangnya dua guci ?"
"Kan nona sendiri sudah mempunyai guci cuka, sekarang menelan lagi guci arak, jadinya kan
dua guci?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa.
Seorang anak perempuan kalau kalah berdebat dengan orang, biasanya kalau tidak menangis
dan ribut, sedikitnya juga akan ngambek dan menggunakan macam-macam alasan yang tidak
masuk akal, orang lain kudu dibikin keok barulah dia merasa puas.
Jilid 10________ Tapi sayang, segala macam senjata orang perempuan ternyata tidak mempan terhadap orang
semacam Yang Cu-kang. Lui-ji juga tahu bicaranya sia-sia belaka, maka akhirnya dia cuma
melotot doang dengan hati gemas.
"Baiklah, anggaplah aku tak dapat mengungguli pembicaraanmu," kata Lui-ji akhirnya
dengan tertawa, "Jika kau jadi perempuan, tentu kaupun seorang perempuan bawel dan barang
siapa berhadapan dengan perempuan bawel, anggaplah dirinya sedang sial!"
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan berkata, "Eh, Yang-heng menunggu di sini sekian lama.
Apakah tujuanmu untuk bertengkar mulut dengan dia?"
280 Yang Cu-kang jadi melengak dan tidak dapat menjawab untuk sekian lamanya, mendadak
iapun tertawa dan berkata, "Anjing yang menggigit orang biasanya tidak menggonggong,
pameo ini ternyata benar. Tampaknya selanjutnya harus kupandang Ji-heng dengan cara lain."
Pwe-giok hanya tertawa saja tanpa menjawab.
Terpaksa Yang Cu-kang berhenti tertawa dan berucap dengan sungguh-sungguh. "Cayhe
sengaja menunggu di sini berhubung ku tahu Ji-heng adalah seorang Kuncu sejati."
"Ah, tidak berani," jawab Pwe-giok.
"Selama hidupku paling benci kepada Kuncu palsu, manusia munafik," kata Yang Cu-kang
pula. "Tapi Kuncu sejati seperti Ji-heng ini, Cayhe tetap sangat kagum dan hormat."
"Ah, tidak berani," ucap Pwe-giok pula.
"Lebih-lebih orang jujur dan berpendirian teguh seperti Ji-heng, penuh rasa tanggung jawab
dan sanggup menderita..."
Lui-ji tidak tahan, ia menyela, "Sesungguhnya apa keperluanmu, ingin bicara lekas bicara,
ingin kentut lekas kentut, tiada gunanya kau menyanjung puji belaka. Sebab cara
bagaimanapun kau jilat dia, jawabannya tetap kedua kata itu saja, yakni tidak berani."
Yang Cu-kang terkekeh, katanya lagi, "Cayhe hanya ingin minta petunjuk satu hal kepada Jiheng,
Kuncu sejati seperti Ji-heng tentunya takkan berdusta padaku."
Benar juga seperti apa yang dikatakan Lui-ji, dengan tersenyum Pwe-giok tetap menjawab,
"Ah, tidak berani!"
"Begini," ucap Yang Cu-kang. "Cayhe hanya ingin tanya satu hal saja, sesungguhnya
siapakah yang membunuh Tong-Bu-siang itu" Apakah Tong-toakohnio yang membunuhnya"
Untuk apa dia membunuhnya" Apakah karena dia sudah mengetahui ayahnya itu barang
palsu" Darimana pula dia tahu akan hal ini?"
Pwe-giok termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Soal ini bukan lagi satu hal, tapi meliputi
lima hal." Mencorong sinar mata Yang Cu-kang, katanya dengan melotot, "Baiklah, boleh dianggap
Cayhe minta petunjuk lima hal kepadamu."
Dengan perlahan Pwe-giok menjawab, "Karena Yang-heng sudi bertanya, dengan sendirinya
Cayhe tidak berani memberi keterangan bohong. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?" tukas Yang Cu-kang.
Mendadak Pwe-giok tutup mulut dan tidak bicara lagi.
Lui-ji bertepuk tangan dan berkata dengan tertawa, "Hihi, masakah kau tidak paham
maksudnya" Dia tidak boleh membohongi kau, tapi juga boleh tutup mulut tanpa bicara. Baru
sekarang ku tahu cara inilah cara yang paling baik untuk menghadapi perempuan bawel."
281 Mendadak Yang Cu-kang berbangkit dan bertanya dengan suara bengis, "Jadi kau tidak mau
bicara"!" Serentak Lui-ji juga melompat bangun dan menjawab dengan mendelik, "Memangnya mau
apa jika tidak bicara?"
Kelam air muka Yang Cu-kang, Lui-ji menyangka orang pasti akan turun tangan
menyerangnya, mau-tak-mau tegang juga hatinya. Sebab ia menyadari apabila orang mulai
turun tangan maka serangannya pasti maha dahsyat.
Tak terduga Yang Cu-kang lantas tertawa malah, katanya, "Ya sudahlah! Kalau Ji-heng tidak
mau bicara, anggaplah aku tidak pernah bertanya."
Lui-ji jadi melengak sendiri, tanyanya, "He, kenapa kau jadi sungkan?"
"Sebab sesungguhnya aku ingin bersahabat dengan Ji-heng," jawab Yang Cu-kang. "Apabila
Ji-heng sudi mampir ke tempat tinggalku untuk minum barang satu-dua cawan, maka hatiku
akan sangat bergembira."
"Ke tempat tinggalmu" Kau punya rumah?" tanya Lui-ji dengan terkejut.
"Setiap orang harus punya rumah, masa aku dikecualikan?" jawab Yang Cu-kang dengan
tertawa. "Betul, tikus pun punya liang, apalagi kau," ujar Lui-ji. "Eh, dimanakah letak liang tikusmu?"
"Kediamanku terletak tidak jauh dari sini," jawab Yang Cu-kang. "Biniku juga dapat
membuatkan dua-tiga macam santapan yang dapat sekedar untuk teman minum arak."
Kembali Lui-ji terkejut, ia menegas, "Hah, binimu" Kaupun punya bini?"
"Jika ada tikus jantan, tentunya perlu tikus betina, kalau tidak darimana datangnya tikus
anakan?" ujar Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji menghela nafas, katanya kemudian, "Ai, sebenarnya permainan apa yang sedang kau
lakukan" Sampai akupun merasa bingung. Tapi aku pun benar-benar ingin tahu macam
apakah binimu itu, ternyata sudi diperistri oleh makhluk semacam kau ini."
"Entah Ji-heng sudi mampir atau tidak?" tanya Yang Cu-kang.
Ji Pwe-giok tertawa, belum lagi dia bersuara, Lui-ji telah mendahului, "Kuyakin dia juga
ingin melihat binimu itu, betul tidak?"
"Haha, bagus," seru Yang Cu-kang sambil bertepuk tangan. "Bila nona sudah omong begini,
mau-tak-mau Ji-heng harus pergi."
Padahal Pwe-giok memang benar ingin pergi juga, sebab kini diketahuinya Yang Cu-kang ini
bukan saja misterius, bahkan ajaib, bukan saja menakutkan, tapi juga sangat menarik.
Diundang orang macam begini mungkin sukar ditolak oleh siapapun juga.
282 Rumah Yang Cu-kang memang betul terletak tidak jauh dari situ, setiba di sana fajar belum
lagi menyingsing. Terlihat di kaki gunung sana ada tiga atau lima buah rumah gubuk, asap
dapur kelihatan sudah mengepul keluar atap rumah.
"Wah, tampaknya binimu sangat rajin," ujar Lui-ji sambil berkedip-kedip. "Sedini ini dia
sudah bangun dan menanak nasi."
"Hal ini dilakukannya karena dia tahu bakal kedatangan tamu agung, maka perlu persiapan
lebih dulu," jawab Yang Cu-kang.
"Oo" Sebelumnya dia sudah tahu akan kedatangan kami?" tanya Lui-ji heran.
"Betul," jawab Yang Cu-kang dengan tertawa. "Terus terang apabila kalian tidak kubawa
pulang sekarang, pintu rumah itu tidak nanti akan terbuka lagi untukku."
Lui-ji bertambah bingung, tanyanya, "He, sebab apa dia mengharuskan kau bawa pulang
kami" Memangnya dia kenal kami?"
Sekali ini Yang Cu-kang hanya tertawa saja tanpa menjawab, tampaknya urusan menjadi
semakin misterius. "He, kutanya padamu, mengapa tidak kau jawab?" kata Lui-ji pula.
"Sikapku ini kubelajar dari Ji-heng," ujar Yang Cu-kang. "Ini namanya kulak kontan jual
tunai." Dengan gemas Lui-ji berkata, "Baik, sudahlah jika kau tidak mau bicara, toh sebentar juga
akan kuketahui." Pagar bambu di luar rumah gubuk itu penuh dirambati akar-akaran, pintu pagar setengah
terbuka, kebun di depan rumah penuh bunga seruni yang sedang mekar sehingga menambah
keindahan suasana subuh. Yang Cu-kang menyilakan tetamunya masuk ke rumah dengan mengulum senyum, sikapnya
benar-benar seorang tuan rumah yang simpatik, tapi sesungguhnya apa yang sedang
dirancangnya hanyalah Thian yang tahu.
Tepat di tengah ruangan rumah ada sebuah meja sembahyang, yang dipuja adalah lukisan
Tho-wan-sam-kiat-gi, atau tiga bersaudara angkat di jaman Tho, yaitu gambar Lau Pi, Kwang
Kong dan Thio Hui. Di sebelahnya adalah gambar Kwan-im-posat. Di depan tempat
pemujaan ada sebuah meja besar.
Pajangan rumah ini adalah model rumah petani asli. Dipandang dari depan, diamati dari
samping, Lui-ji merasa tidak melihat sesuatu yang luar biasa, tapi justeru karena tiada sesuatu
yang luar biasa, hatinya juga semakin heran.
Apapun juga Yang Cu-kang tidak mirip petani atau orang yang mau tinggal di rumah gubuk
begini. 283 Di atas meja besar itu benarlah sudah disiapkan beberapa mangkuk santapan, ada mangkuk
besar atau mangkuk kecil, semuanya masih mengepulkan asap, jelas baru saja selesai diolah.
Di samping ada satu kuali nasi liwet dan satu guci arak.
Lui-ji tidak sungkan-sungkan lagi, tanpa disuruh ia terus berduduk dan makan.
Setelah berjuang semalam suntuk, dia memang sudah lapar. Sambil makan sembari berkata
dengan tertawa, "Hah, seni masak binimu memang boleh juga. Sungguh besar rejekimu
berhasil mendapatkan seorang bini yang pandai masak."
"Ah, beberapa macam masakan udik ini mungkin tidak cocok dengan selera kalian," ujar
Yang Cu-kang dengan tertawa senang.
"Dan dimanakah Enso (sebutan kepada isteri kawan)" Mengapa tidak kau undang keluar
untuk bertemu?" tanya Pwe-giok.
"Sebentar, mungkin dia lagi sibuk di dapur," ujar Yang Cu-kang.
"Sudah sebanyak ini santapan yang disediakan, apalagi Enso hendak menambahinya lagi, wah
hati kami menjadi tidak enak," kata Pwe-giok.
"Untuk tamu agung dengan sendirinya dia bekerja giat," tukas Yang Cu-kang.
"Wah, apakah kalian ingin membikin perut kami meledak" Sudahlah, lekas mengundang Enso
keluar saja!" pinta Pwe-giok dengan tertawa.
"Baik, baik," Yang Cu-kang juga tertawa. "Jika demikian terpaksa ku turut perintah dengan
hormat." Apabila ada orang lain menyaksikan keadaan ini serta mendengar percakapan mereka, tentu
akan disangka sepasang suami-isteri desa ini sedang meladeni sanak famili kaya dari kota.
Mimpi pun takkan tersangka oleh siapa pun bahwa apa yang diucapkan ketiga orang ini
adalah basa-basi yang sangat umum, tapi yang terpikir oleh mereka justeru hal-hal yang
sangat rumit dan misterius.
Dengan sendirinya lebih-lebih tak terpikir oleh siapapun bahwa ketiga orang yang sedang
duduk makan dan omong iseng ini, yang seorang mengemban tugas berat keluarga yang
mengalami musibah, putera keluarga ternama dunia persilatan yang telah banyak
menimbulkan huru-hara. Seorang lagi adalah tokoh ajaib yang tindak-tanduknya sangat aneh,
sebentar baik, lain saat jahat, tapi memiliki ilmu maha sakti. Sedangkan orang ketiga adalah
puteri mendiang Siau-hun-kiongcu yang termasyhur dan disegani.
Apabila benar ada orang melihat mereka sekarang dan mengetahui asal-usul mereka yang
sesungguhnya, bisa jadi siapapun akan ketakutan dan segera angkat langkah seribu, biarpun
dibunuh juga tak berani lagi kembali ke sini.
Begitulah terdengar Yang Cu-kang lagi berseru dengan tertawa, "Ya, menantu buruk rupa
akhirnya toh harus menghadap mertua. Bolehlah kau keluar saja sekarang!"
284 Benarlah, di dapur lantas terdengar seorang perempuan menjawab dengan suara merdu,
"Setelah Pak-lay-cah (goreng jerohan) ini selesai kubuat, segera ku keluar!"
Seketika Lui-ji melengong, ucapnya, "He, suara siapa itu" Rasanya seperti sudah apal."
"Sudah tentu apal, masa tak dapat kau kenal suaranya?" ujar Yang Cu-kang tertawa.
Pwe-giok juga merasa heran.
Pada saat itulah, tirai bambu tersingkap dan muncul seorang nyonya muda berbaju hijau
dengan membawa satu piring Pak-lay-cah yang masih hangat.
Melihat nyonya ini, Pwe-giok dan Lui-ji benar-benar melengong.
Isteri Yang Cu-kang ternyata tak-lain tak bukan ialah Thi-hoa-nio.
Sungguh mimpi pun tak terpikir oleh siapapun. Seumpama saat itu dari dapur mendadak
muncul siluman yang berkepala tiga dan berenam tangan takkan membuat mereka lebih kaget
daripada sekarang. Mulut Lui-ji sampai melongo seakan-akan sukar terkatup kembali. Karena terlalu lebar
mulutnya melongo sehingga sepotong Ang-sio-bak yang baru saja dimasukkan ke mulut itu
hampir jatuh keluar. Dengan muka merah Thi-hoa-nio berucap, "Masakanku kurang enak, hendaknya jangan
kalian tertawai." "Ah, janganlah... enso merasa sungkan," kata Pwe-giok.
Betapapun sabarnya, kini iapun harus melongo dan tergagap, sebutan "enso" itu harus
diucapkannya dengan sepenuh tenaga.
Muka Thi-hoa-nio bertambah merah, katanya, "Pak-lay-cah ini harus dimakan selagi hangathangat,
hendaknya Ji-kongcu jangan sungkan."
"Ya, ya, aku tidak sungkan," kata Pwe-giok.
Sungguh ia tidak tahu apa yang dapat dikatakannya lagi, terpaksa mulutnya diisi saja dengan
Pak-lay-cah. Apapun juga Pwe-giok dapat menahan perasaannya, tapi Lui-ji tidak sanggup bertahan lagi,
mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "Jadi kau benar-benar telah menikah dengan dia?"
Thi-hoa-nio menengadah, ucapnya dengan tersenyum, "Seorang perempuan, lambat atau
cepat kan harus menikah, bukan?"
Cu Lui-ji duduk lagi di kursinya, ia menggeleng kepada dan berkata, "Sungguh aku tidak
paham, mengapa kau bisa menikah dengan makhluk aneh ini?"
285 "Kau pandang diriku sebagai makhluk aneh, tapi tidak aneh bagi pandangannya," ujar Yang
Cu-kang dengan tertawa. "Ini namanya lain ladang lain belalangnya, lain pandang lain
kesimpulannya. Kalau tidak, setiap perempuan di dunia ini kan serupa nona Cu, hanya Ji-heng
saja yang sedap dalam pandanganmu dan lelaki lain tiada satupun yang cocok. Wah, bisa


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

runyam kaum lelaki."
Mendadak ia angkat guci arak dan bergumam, "Eh, entah betapa rasa guci arak ini dan entah
siapa yang beruntung dapat mencicipinya."
Lui-ji menarik nafas panjang, "Tidak perlu kau pancing diriku, karena sudah kalah dengan
sendirinya akan kutelan guci arak ini. Hanya menelan guci arak sekecil ini apa artinya"
Bagiku rasanya lebih mudah daripada makan sayur."
"Ha, jika benar kau sanggup barulah benar-benar ku kagum padamu," ujar Yang Cu-kang
dengan tertawa. "Baik, boleh kau lihat saja nanti," kata Lui-ji.
Dia benar-benar mengangkat guci arak itu.
Seketika mata Yang Cu-kang terbelalak, ia tahu bahwa segala sesuatu dapat diperbuat oleh
anak dara ini, bisa jadi dia benar-benar akan menelan guci arak itu, maka dia ingin tahu
dengan cara bagaimana guci itu akan ditelannya.
Dilihatnya Cu Lui-ji mengangkat guci itu ke atas, lalu dipandang dari kiri dan diamati dari
kanan, mendadak ia menggoyang kepala dan berucap, "Ah, tidak, tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?" tanya Yang Cu-kang.
"Guci arak yang kukatakan tadi bukanlah guci ini, hendaknya kau pergi ke kelenteng tadi dan
mengambilkan guci yang berada di sana," kata Lui-ji.
Saking geli, akhirnya Yang Cu-kang bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan" Pergilah ambil! Sudah lama ingin kucicipi rasanya guci arak,
sungguh aku tidak sabar menunggu lagi!" seru Lui-ji.
"Nona berkata demikian, tentunya kau kira ku malas pergi ke sana," kata Yang Cu-kang
dengan perlahan. "Padahal jarak ke kelenteng itu tidak terlalu jauh dari sini, apa halangannya
kalau ku pergi lagi ke sana."
Sembari bicara ia lantas berdiri sungguh-sungguh.
"Hm, kalau mau pergi lekaslah pergi, aku tidak sempat menunggu terlalu lama di sini," jengek
Lui-ji. Thi-hoa-nio tertawa, katanya, "Jika benar dia pergi mengambil guci arak itu, biar kubantu kau
makan setengahnya." 286 "Huh, jika mau makan harus kumakan satu guci bulat, kalau cuma setengah saja belum cukup
kenyang bagiku," ujar Lui-ji.
"Wah, apapun juga nona memang tidak mau mengaku kalah," ujar Yang Cu-kang.
"Kenapa aku harus mengaku kalah?" jawab Lui-ji dengan ngotot.
Yang Cu-kang tergelak, ucapnya, "Tapi jangan kau kuatir, jika benar ku pergi ambil guci itu
tentu akan merusak suasana gembira ini. Mana berani ku bikin marah si cantik dan
mengharuskan nona menelan guci arak sungguhan."
"Nah, kau sendiri yang tidak mau pergi mengambilnya dan bukanlah aku yang tidak berani
makan gucinya," kata Lui-ji.
"Ya, ya, jangankan cuma sebuah guci arak, biarpun selusin juga kupercaya akan dilalap habis
oleh nona," seru Cu-kang dengan tertawa.
Tanpa terasa Cu Lui-ji tertawa geli, ucapnya, "Ya, memang betul. Tampaknya kau cepat
belajar menjadi pintar."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan ada suara ringkik kuda. Meski suaranya
masih sangat jauh, tapi terdengar sangat jelas pada waktu subuh di daerah pegunungan yang
sunyi ini. Lui-ji berkerut kening, ucapnya, "Jangan-jangan kalian kedatangan tamu pula."
"Ya, tampaknya memang begitu," sahut Cu-kang.
"Siapakah yang datang?" tertarik juga Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum, tanyanya, "Menurut pendapat nona, siapakah kiranya yang datang
itu?" "Tentunya tidak lain daripada begundalmu itulah," jengek Lui-ji.
Mendadak Yang Cu-kang menggebrak meja, serunya dengan bergelak tertawa, "Hahaha,
sedikitpun tidak salah, tampaknya nona cepat belajar menjadi pintar."
Terdengar suara derapan kaki kuda semakin dekat, benar juga arahnya menuju ke rumah
gubuk ini, bahkan derap kaki kuda itu sangat kerap, agaknya yang datang ini berjumlah tidak
sedikit. Air muka Lui-ji rada pucat, berulang ia mengedipi Pwe-giok, namun anak muda itu tetap
mengulum senyum saja, seolah-olah tidak mendengar apapun.
Mendadak Yang Cu-kang menggebrak meja pula dan berkata, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwegiok,
sekujur badanmu sungguh nyali belaka, sampai aku mau-tak-mau harus kagum
padamu." "Ah, tidak berani," sahut Pwe-giok dengan tersenyum.
287 "Kalau nyalimu tidak besar, mana kau berani ikut aku ke sini?"
"Pemandangan di sini sangat indah, Enso juga pandai masak, masa aku tidak ikut ke sini?"
kata Pwe-giok. Dengan sinar mata mencorong Yang Cu-kang menatap anak muda itu, katanya, "Masakah
tidak kau kuatirkan kemungkinan ku pancing kau ke sarang harimau?"
"Ku tahu Anda bukanlah manusia licik demikian," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Tahu orangnya, kenal mukanya, tapi tidak tahu hatinya, janganlah Ji-heng menganggap
diriku ini orang baik."
"Apabila Anda bermaksud membikin celaka diriku, tentu tidak perlu menunggu sampai
sekarang, lebih-lebih tidak perlu banyak membuang tenaga percuma."
Sejenak Yang Cu-kang melototi Pwe-giok, tiba-tiba ia menengadah dan terbahak-bahak,
ucapnya, "Hahaha! Ji-heng menggunakan hati Kuncu untuk menilai perut Siaujin (orang
kecil/rendah), mungkin kau akan menyesal kelak."
Terus menerus dia memaki dan menjelekkan dirinya sendiri, tapi Pwe-giok berbalik memberi
penjelasan baginya. Lui-ji menjadi serba salah dan bingung, ia tidak tahu mengapa Pwe-giok
sedemikian mempercayai orang ini.
Sejak mula Lui-ji merasakan orang she Yang ini tidak dapat dipercaya, tapi seumpama
sekarang mau pergi pun tidak keburu lagi, sebab ketika suara tertawa Yang Cu-kang telah
berhenti, tahu-tahu suara derapan kaki kuda yang ramai tadi pun berhenti di depan gubuk.
Segera terdengar seorang berseru, "Sepada"!"
"Jelas kau tahu di dalam sini ada orang, untuk apalagi bertanya?" jawab Yang Cu-kang.
"Setiba di tempat kediaman Yang-kongcu mana kami berani sembarangan masuk ke situ,"
kata orang di luar dengan mengiring tawa.
"Kau sudah cukup sopan, lekaslah masuk kemari," kata Yang Cu-kang sambil berkerut
kening. Maka terdengarlah suara langkah orang, sejenak kemudian tertampaklah tiga orang
melangkah masuk ke dalam gubuk.
Dua orang diantaranya masing-masing membawa sebuah peti, ukuran peti cukup besar,
tampaknya tidak ringan bobotnya. Tapi kedua orang itu dapat mengangkatnya dengan enteng,
sedikitpun tidak nampak memakan tenaga.
Orang ketiga bermuka putih, tidak jelek, malahan selalu tertawa, bajunya sangat serasi dengan
potongan badannya, golok yang tergantung di pinggangnya tampaknya bukan sembarangan
golok, sekujur badannya boleh dikatakan cukup sedap dipandang orang, tapi entah mengapa
Yang Cu-kang justeru merasa tidak cocok dengan orang demikian.
288 Lui-ji merasa orang ini sudah dikenalnya, seperti pernah dilihatnya entah dimana, tapi Pwegiok
lantas memberitahukan bahwa tempo hari orang inipun berada di Li-toh-tin dan
menyaksikan Ji Hong-hong main catur bersama Tong Bu-siang itu. Malahan kemudian ketika
Ji Hong-ho mengunjungi Hong-samsiansing di loteng kecil itu, rasanya orang inipun ikut
serta. Begitu masuk segera orang ini memandang sekejap Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, seketika
sikapnya rada berubah. Pwe-giok diam saja dan berlagak tidak mengenalnya.
"Barang yang ku hendaki apakah sudah dibawa kemari?" tanya Yang Cu-kang.
Kedua orang yang membawa peti itu menjawab, "Ya, berada di dalam peti ini."
"Tentunya tidak keliru, bukan?" Cu-kang menegas.
"Barang pesanan Kongcu mana bisa keliru?" ujar kedua orang itu dengan tertawa sambil
melirik Pwe-giok, tampaknya merekapun rada sirik padanya.
Mendadak Yang Cu-kang berseru, "He, kiranya kalian saling kenal?"
Si muka putih bergolok tadi terkejut, cepat ia berkata dengan tertawa, "O, ti... tidak kenal."
"Jika tidak kenal, biarlah kuperkenalkan kalian," kata Cu-kang dengan tertawa. Lalu ia tuding
kedua orang yang menggotong peti itu dan menjelaskan, "Kedua orang ini yang satu bernama
Pi-san-to (golok pembelah gunung) Song Kang dan yang lain bernama Pah-hou-kun (jago
pukul harimau) Tio Kiang. Konon mereka adalah tokoh terkemuka di sekitar utara Kangsoh."
Tio Kiang dan Song Kang tertawa dan mengucapkan kata-kata rendah hati.
Yang Cu-kang lantas menyambung lagi sambil mendengus, "Padahal, huh, golok pembelah
gunungnya itu tidak lebih banyak golok pembelah kayu, dan si jago pukul harimau itu,
hahaha... bukan saja harimau tak terpukul mati, bahkan kucing saja tak dapat dipukulnya
mati." Keruan muka Tio Kiang dan Song Kang sebentar merah sebentar pucat, mereka tidak berani
marah, mau tertawa juga tidak bisa, jadinya cuma menyengir.
Melihat keadaan mereka yang serba salah itu, Lui-ji merasa kasihan kepada mereka.
Lalu Yang Cu-kang menuding lagi si muka putih dan berkata, "Dan kungfu saudara ini jauh
lebih tinggi daripada kedua orang tadi, dia bernama Giok-bin-sin-to (si golok sakti bermuka
kemala) Co Cu-eng. Golok yang tergantung di pinggangnya itu meski tak dapat memotong
besi dan merajang baja seperti memotong sayur, tapi sedikitnya berharga beberapa tahil perak
untuk beli arak. Beberapa jurus permainan goloknya juga cukup menarik untuk ditonton."
Tak tertahan tersembul juga senyuman bangga Co Cu-eng, dengan tertawa ia berkata, "Ah,
Kongcu terlalu memuji."
289 Yang Cu-kang tidak menghiraukannya, ia menyambung pula, "Cuma orang ini lebih tepat
diberi nama "macan ketawa" atau "Siau-li-cong-to" (di balik senyuman tersembunyi pisau),
perutnya penuh berisi air kotor, dia inilah model orang munafik yang dimulut menyebut
sayang, tapi sekaligus juga menikam."
Co Cu-eng masih juga tertawa, cuma tertawa yang lebih tepat disebut menyengir.
"O, kagum," demikian Pwe-giok memberi hormat.
"Kau tidak perlu sungkan terhadap mereka," kata Cu-kang pula. "Ketiga orang ini adalah
begundal Ji Hong-ho, jika ada kesempatan setiap saat jiwamu diincar mereka, tidak nanti
mereka sungkan padamu."
Tiba-tiba Lui-ji menyeletuk, "Ah, kalian datang dari jauh, jangan-jangan menghendaki jiwa
kami?" Co Cu-eng tertawa terkekeh, katanya. "Untuk ini harus melihat bagaimana kehendak Yangkongcu,
sebab kamipun termasuk begundal Yang-kongcu."
Serentak Lui-ji berdiri sambil melototi Yang Cu-kang.
Namun dengan tenang Yang Cu-kang berkata, "Siapa di antara kalian yang mengincar jiwa
siapa, semuanya aku tidak ambil pusing, terserah kepada kalian siapa yang lebih tangguh."
Mendadak ia berkata kepada Co Cu-eng dengan tertawa, "Santapan sudah ku sediakan di atas
meja, apakah kalian perlu menunggu ku tuangkan ke dalam mulut kalian?"
Seketika semangat Co Cu-eng terbangkit, mata Tio Kiang dan Song Kang juga terbeliak.
"Bagus, kiranya kau pancing kami ke sini dan menganggap kami sebagai santapan lezat?"
teriak Lui-ji dengan gusar.
Yang Cu-kang menghela nafas, katanya, "Kan sudah kukatakan padamu bahwa aku ini cuma
seorang Siaujin, siapa suruh dia mengukur diriku sebagai Kuncu. Dia sendiri yang mau masuk
perangkap, masakah menyalahkan orang lain?"
Pwe-giok tertawa hambar, katanya, "Cayhe tidak pernah menyalahkan orang lain."
Segera Co Cu-eng memberi isyarat kepada Tio Kiang dan Song Kang, lalu berkata, "Jika
demikian, kami akan..."
Mendadak Thi-hoa-nio berteriak, "Aku tidak perduli apa kehendak kalian, yang pasti santapan
yang kubuat dengan susah payah ini tidak boleh disia-siakan, seumpama kalian harus
mengadu jiwa, sedikitnya harus tunggu dulu setelah mencicipi masakanku ini."
"Dan nona ini siapa lagi?" tanya Co Cu-eng dengan ketus.
"Ini bukan nona, tapi nyonya isteriku," kata Cu-kang.
290 Co Cu-eng melengak, cepat ia memuji dengan tertawa, "Wah, pantas masakan ini enak
dipandang dan sedap dimakan, kiranya adalah hasil karya nyonya."
"Belum kau makan, darimana kau tahu rasanya masakan ini?" ujar Thi-hoa-nio.
"Biarlah kami menyelesaikan urusan pokok dulu, habis itu barulah kami menikmati masakan
enak nyonya," kata Co Cu-eng dengan tertawa.
"Wah, akan terlambat nanti, sebab masakan ini harus dimakan selagi panas," kata Thi-hoanio.
"Apalagi jika diantara kalian berlima ada dua yang mati, mungkin masakan ini takkan
habis termakan, kan sayang?"
Yang Cu-kang menghela nafas pula, katanya, "Masakan lezat yang sudah disiapkan oleh
orang perempuan, kalau tidak ada yang makan, rasanya sakit seperti mukanya tertampar.
Maka kupikir kalian perlu makan lebih dulu."
"Betul, kenyang makan barulah bertenaga, kalau mati juga tidak perlu menjadi setan
kelaparan," tukas Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Dengan simpatik ia mengambilkan tiga pasang sumpit dan dibagikan kepada Co Cu-eng
bertiga. Kalau tangan sudah memegang sumpit, dengan sendirinya tak dapat lagi memegang senjata.
Padahal setelah menempuh perjalanan jauh, Song Kang dan Tio Kiang memang juga sudah
lapar. Mula-mula mereka merasa sungkan, tapi setelah menyumpit dua-tiga kali, akhirnya
makan mereka jadi bernafsu, kerja sumpit mereka seperti mesin saja cepatnya.
"Cara menyerang kalian kalau bisa secepat sumpit kalian ini, maka Ji-heng pasti akan
celakalah nanti," kata Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Plak," mendadak Thi-hoa-nio menampar Yang Cu-kang dengan perlahan, omelnya dengan
tertawa, "Cis, coba kau lihat, sedikitpun kau tidak pantas menjadi tuan rumah, kan seharusnya
kau bujuk para tamu makan lebih banyak."
"Plok," Yang Cu-kang juga membalas menamparnya perlahan serta menjawab dengan
tertawa, "Isteriku sayang, jangan kuatir, sebelum masakanmu ini dimakan habis, siapapun
dilarang turun tangan."
Di hadapan sekian orang, kedua suami isteri ini ternyata bersenda gurau dengan mesranya.
Melihat kedua orang ini sedemikian mesra dan penuh kasih sayang, diam-diam Lui-ji merasa
heran dan dongkol pula. Semula dia mengira sebabnya Thi-hoa-nio memaksa Co Cu-eng bertiga makan dulu pastilah
mempunyai maksud tujuan tertentu, bisa jadi ingin membantu dirinya dan Pwe-giok, bahkan
mungkin sekali di dalam santapan itu sudah diberinya racun untuk mematikan Co Cu-eng
bertiga. Tapi sekarang tampaknya tidak demikian adanya.
291 Thi-hoa-nio benar-benar seperti pengantin baru yang mulai belajar masuk dapur dan buruburu
ingin memperlihatkan kemahirannya memasak, di dalam makanan ternyata tiada racun
sedikitpun. Tampaknya Yang Cu-kang sudah mengambil keputusan akan menjual Ji Pwe-giok kepada Ji
Hong-ho, cuma dia sendiri malas turun tangan. Meski Lui-ji tidak gentar menghadapi Co Cueng
bertiga, tapi kalau mereka tidak mampu mengatasi Pwe-giok, akhirnya Yang Cu-kang
juga akan turun tangan dan Pwe-giok tetap sukar lolos dari cengkeraman mereka.
Makin dipikir makin kuatir Lui-ji, dengan sendirinya dia tidak bernafsu makan, sungguh ia
ingin mendepak meja makan itu supaya jungkir balik, kalau bisa lari akan terus lari, kalau
tidak bisa lari harus turun tangan lebih dulu.
Tapi Pwe-giok kelihatan makan dengan nikmatnya, bahkan ia sibuk menyumpit Pak-lay-cah
yang masih hangat itu dan dikunyah dengan perlahan.
Lui-ji sangat mendongkol, ia tidak tahan, katanya, "Apakah selama hidupmu tidak pernah
makan Pak-lay?" Lebih dulu Pwe-giok menelan makanan yang memenuhi mulutnya itu dan didorongnya
dengan seceguk arak, lalu memejamkan mata dan menghela nafas lega, kemudian menjawab
dengan tersenyum, "Pak-lay-cah selezat ini, selanjutnya mungkin sulit untuk mencicipinya
lagi, kesempatan terakhir ini mana boleh dilewatkan secara sia-sia?"
Hampir saja Lui-ji berteriak, tapi bila terpikir setelah mengalami perjuangan mati-matian,
akhirnya Pwe-giok tetap juga akan jatuh ke dalam cengkeraman Ji Hong-ho, tanpa terasa
hatinya menjadi pedih. Pwe-giok menyumpit secuil daging itik ke mangkuk Lui-ji, katanya, "Itik cah sayur Kay-lan
ini adalah masakan terkenal daerah Sujwan, meski tidak selezat bebek panggang Peking yang
termasyhur itu, tapi mempunyai cita rasa tersendiri, kau perlu mencicipinya."
Petualangan Manusia Harimau 1 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Petualang Asmara 23

Cari Blog Ini