Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 6
Tapi di balik pintu sana tiada suara apa-apa lagi. Apakah Tong Giok menjadi marah dan tidak
menggubrisnya" Dengan suara halus Kim-hoa-nio berkata pula: "Bukan maksudku melarang kau ke sini, tapi
telinga mereka sangat tajam, bila terdengar mereka, bukankah akan dijadikan buah
tertawaan?" Padahal sebenarnya ia sendiripun tidak sabar lagi dan ingin cepat-cepat membuka pintu,
hanya tadi Tong Giok telah membikin dia menunggu sekian lama, maka sekarang ia juga
ingin membiarkan Tong Giok merasakan betapa gelisahnya orang menunggu.
Baginya, cukup Tong Giok memohon satu kali saja dan minta dia buka pintu, bahkan tidak
perlu memohon, cukup bersuara saja, atau cukup mengetuk pintu lagi satu kali, maka segera
daun pintu akan dibukanya.
Akan tetapi sampai sekian lama, dibalik pintu sana tetap tidak ada suara apapun.
Kim-hoa-nio tidak tahan, ia berkata pula, "He, apakah kau marah?"
Tidak ada jawaban, ia tidak tahan dan berkata lagi "He, orang mampus! Mengapa kau tidak
bicara?" Makin keras suara Kim-hoa-nio, tapi keadaan di balik pintu sana semakin sunyi.
Mendadak ia merasakan gelagat tidak enak, tanpa pikir lagi segera ia membuka pintu dan
menerjang ke dalam kamar Tong Giok...
209 ***** Di kamar lain Thi-hoa-nio juga sedang berbaring di tempat tidurnya dengan mengulum
senyum. Kini rasa kesal, rasa sedihnya sudah lenyap seluruhnya, sebab dilihatnya Ji Pwe-giok tidak
tidur sekamar dengan Cu Lui-Ji.
Meski Pwe-giok juga takkan tidur sekamar dengan dia, tapi asalkan anak muda itu tidak tidur
dengan orang lain, maka cukup puas baginya, cukup menyenangkan dia.
Ia sendiripun merasakan jalan pikirannya ini sangat aneh, bahkan rada-rada lucu. Ia tidak tahu
bahwa jalan pikiran kebanyakan perempuan memang sering aneh dan lucu.
Gerundelan Kim-Hoa-nio di dalam kamarnya itu dapat didengarnya. Maklumlah, hotel ini
bukan hotel kelas wahid, segala sesuatunya tentu masih ada kekurangannya, termasuk
dindingnya yang tidak terlalu tebal itu.
Didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata, " .... untuk apa terburu-buru....nanti dijadikan buah
tertawaan....." Diam-diam Thi-hoa-nio tertawa geli, pikirnya "Tabiat taci memang aneh, jelas-jelas dia
mengharap kedatangan orang, tapi justru pura-pura tidak mau dan membikin orang gelisah"
Ketika didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata, "Eh apakah kau marah ",,,He, kenapa kau tidak
bicara ?" Maka Thi-hoa-nio bertambah gel, diam-diam membatin, "Tak tersangka Tong Giok juga
pintar main sandiwara, dengan lagak emoh begini tentu toaci berbalik tidak tahan dan ingin
menyeberang ke sana. Kemudian lantas didengarnya suara pintu dibuka.
Ia tahu sang taci akhirnya tidak tahan dan mendahului masuk ke kamar Tong Giok. Meski dia
tertawa geli, tapi muka sendiri juga mulai merah sebab terbayang olehnya ....
Nyata terlalu banyak dan terlalu jauh yang dibayangkannya, maka mukanya menjadi merah.
Tapi tak tersangka olehnya bahwa pada saat itu juga mendadak terdengar jeritan Kim-hoa-nio.
Jeritan ngeri dan menakutkan, membuat bulu roma orang berdiri.
Jelas itu bukan jeritan orang bersenda gurau atau teriakan orang asyik masyuk, juga bukan
suara "keluhan" yang dibayangkan Thi-hoa-nio tadi. Ia tidak tahan lagi dan segera melonjak
bangun dan menerjang ke sana.
***** Di sebelah sana Cu Lu-ji juga berbaring di tempat tidurnya, tapi dia lagi meneteskan air mata.
210 Dia memang sangat sedih, hal ini bukan disebabkan Pwe-giok tidak mengajaknya sama satu
kamar, tapi lantaran dia memaksa Ji-pwe-giok telah membiarkan dia diolok-olok oleh Thihoanio. Bukannya dia ingin benar-benar tidur sekamar dengan Ji-Pwe-giok, cukup asalkan Pwe-giok
membolehkan dia masuk ke kamarnya, sekalipun nanti dia harus tidur di lantai yang dingin
juga tidak menjadi soal. Bahkan dia bersedia merangkak keluar lagi melalui jenjela apabila sudah masuk ke kamar,
pokoknya asalkan Thi-hoa-nio menyaksikan dia dan Pwe-giok masuk bersama ke kamar,
maka puaslah dia. Dia tidak mendengar suara gerundelan Kim-hoa-nio, tapi suara jeritan Kim-hoa-nio dapat
didengarnya. Iapun merasa jeritan itu sangat aneh dan sangat menakutkan, dengan terkejut
iapun melompat turun dari tempat tidurnya dan berlari keluar.
Setiba di luar, dilihatnya pintu kamar Ji Pwe-giok, Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio sama
terbuka segera pula didengarnya suara Pwe-giok dan Thi-hoa-nio berkumandang keluar dari
kamar Tong-Giok. Menyusul lantas didengarnya suara tangisan Kim-Hoa-nio yang serak dan
sangat memilukan. Apakah yang terjadi di kamar Tong Giok"
Berpikir saja tidak sempat segera Lui-ji menerjang masuk ke sana. Dilihatnya tubuh Tong
Giok setengah bersandar di tepi tempat tidur, wajahnya yang tadinya sangat cakap itu kini
telah berubah menjadi seram, menyeringai dengan kulit muka berkerut, tapi tidak terdapat
noda darah pada tubuhnya, juga tidak ada bekas luka. Hanya kedua tangannya mengepal
kencang, otot hijau tampak menonjol di punggung tangannya.
Terlihat pula Kim-hoa-nio terkulai di lantai sambil menangis sesambatan. Thi-hoa-nio
berjongkok disampingnya dan perlahan membelai rambut sang taci sembari menghiburnya
dengan lirih, namun air mata Thi-hoa-nio sendiri juga bercucuran.
Muka Pwe-giok tampak pucat lesi, kelihatan berduka dan terkejut tapi juga murka. Tangannya
juga terkepal kencang sehingga ruas jarinya sampai putih saking kerasnya menggenggam.
Baru saja Lui-ji menerjang ke dalam kamar seketika ia seperti terpaku di situ dan tidak dapat
bergerak lagi. Di halaman hotel juga mulai ada suara orang nyata ada tamu lain yang ikut terjaga bangun
dan semuanya ingin tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi tidak ada orang yang benar-benar
berani menjenguknya ke sini, sebab pada umumnya orang yang berpergian biasanya
berpedoman mementingkan diri sendiri daripada campur urusan orang lain yang mungkin
malah akan mendatangkan berbagai kesulitan.
Dalam pada itu Pwe-giok sudah menutup pintu kamar Tong Giok, tangannya tampak gemetar
sehingga hampir saja tidak kuat memalang pintu.
211 Lui-ji mendekati anak muda itu, tanyanya dengan suara tertahan, "Cara bagaimana dia bisa
mati?" Pwe-giok hanya menggeleng saja tanpa menjawab, diangkatnya pelahan mayat Tong giok dan
dibaringkan di atas tempat tidur. Nyata, luka lecet saja tidak terdapat di tubuh Tong Giok.
Lalu cara bagaimana kematiannya" Mengapa dia mati"
Pwe-giok termenung sejenak, ia berbalik tanya Lui-ji, "Apakah dia kena racun" Racun apa?"
Lui-ji juga tidak menjawab, ia angkat cangkir teh di atas meja dan menghirupnya seceguk,
lalu mengeleng-geleng, cangkir teh dijilatnya pula, lalu menggeleng lagi.
"Tidak beracun?" tanya Pwe-giok.
"Tidak!" jawab Lui-ji.
Gemerdep sinar mata Pwe-giok, tiba-tiba ia bermaksud membuka tangan Tong Giok yang
mengepal itu, tapi cepat Lui-ji mencegahnya sambil berkata dengan suara tertahan. "Biarkan
aku yang membukanya."
Begitu erat genggaman Tong Giok, baru saja satu jarinya dipentang oleh Lui-ji, segera darah
mengucur keluar, malahan darah ini bersemu hitam.
Lui-ji mementang lagi dua jari Tong Giok, tertampaklah dalam genggamannya terdapat satu
biji bunga duri terbuat dari besi, duri yang tajam itu menancap di tengah telapak tangannya.
Lui-ji menghela napas panjang, ucapnya, "Amgi apa ini" Sungguh lihay, akupun rasanya
tidak tahan." Air muka Pwe-giok bertambah kelam dan prihatin, katanya dengan perlahan dan tegas, "Inilah
Tok-cit-le (duri berbisa) keluarga Tong, kena darah lantas menyumbat tenggorokan, hanya
sekejap saja jiwa orang akan melayang."
Lui-ji tercengang, ucapnya, "Jadi ini Tok-cit-le keluarga Tong yang termasyhur itu" Masa ...
masa dia bunuh diri?"
"Tiga bulan yang lalu mungkin dia bisa bunuh diri, tapi sekarang ....."
Pwe-giok tidak melanjutkan ucapannya, hanya memandangi Kim-hoa-nio dengan rawan.
Tong Giok sekarang memang tidak perlu bunuh diri.
"Dia! Pasti dia!" seru Lui-ji mendadak.
***** Fajar sudah menyingsing, lambat laun Kim-hoa-nio sudah bisa ditenangkan, bahkan tidak
kelihatan lagi ada tanda-tanda berduka. Hanya dikeluarkannya sejumlah uang perak dan
212 menyuruh pegawai hotel agar menguruskan tanah kuburan, membeli peti mati, harga tidak
ditawar, yang penting cepat.
Setiap urusan yang kecil-kecil juga diperiksa dan diawasi langsung oleh Kim-hoa-nio, dengan
tangan sendiri pula ia mengganti baju bagi Tong Giok, betapapun orang lain menganjurkan
dia mengaso dulu tetap tak digubrisnya, orang ingin membantu juga ditolaknya.
Terpaksa Pwe-giok dan lain-lain duduk mengelilinginya dan menyaksikan Kim-hoa-nio
mondar-mandir. "Biarkan saja dia bekerja," ucap Lui-ji dengan perlahan, "seorang kalau sibuk tentu dapat
melupakan duka." "Tapi kedukaannya ini mungkin tidak mudah dilupakannya," ujar Pwe-giok dengan muram.
Sejak tadi Thi-hoa-nio hanya duduk menunduk saja, kini mendadak iapun ikut bicara, "Kau
kira perbuatan Yang Cu-kang?"
"Siapa lagi selain dia?" jawab Lui-ji.
Thi-hoa-nio menggigit bibir, katanya pula, "Waktu berada di luar lumbung padi kenapa dia
tidak turun tangan?"
Pwe-giok menjawab dengan menyengir, "Bisa jadi dia menganggap kita toh tak mampu lolos
dari cengkeramannya, maka dia sengaja menyiksa kita beberapa hari lagi, apalagi dia telah ku
tipu, tentu dia ingin menagih utang padaku, pokok berikut rentenya."
Thi-hoa-nio termenung sejenak, gumamnya kemudian, "Memang orang beginilah dia, hanya
dia saja yang dapat berbuat demikian." Ia menengadah dan memandang Pwe-giok lekat-lekat,
kemudian menambahkan dengan sekata demi sekata, bisa jadi secara diam-diam dia masih
membuntuti kita dan tidak pergi."
"Ya, memang," jawab Pwe-giok.
Sorot mata Thi-hoa-nio berpindah dari wajah Pwe-giok dan memandangi pohon Yang satusatunya
di halaman sana dengan perasaan hampa, pohon sebatangkara itu tampaknya harus
dikasihani. Setelah termangu-mangu sekian lama, katanya pula dengan perlahan, "Ku tahu dia takkan
puas hanya membunuh satu orang saja, dia masih akan membunuh pula, membunuh dengan
pelahan satu persatu sehingga kita terbunuh semuanya."
Baru saja sorot mata Lui-ji ikut beralih ke pohon Yang itu, demi mendengar ucapan tersebut
tanpa terasa ia bergidik, serupa pohon yang sebatangkara itu, iapun merasakan dinginnya
angin barat yang menyayat dan sunyinya bumi raya ini.
Selang agak lama barulah Pwe-giok tertawa dan berkata, "Rasanya tidaklah mudah jika dia
ingin membunuh kita semua."
Ketika mereka teringat kepada Kim-hoa-nio, nona itu ternyata sudah tidak berada di situ lagi.
213 Angin barat meniup semakin kencang, sorot mata Yang Cu-kang yang dingin itu seolah-olah
telah bergabung bersama angin barat itu dan sedang mengintai setiap gerak-gerik mereka di
mana dan kapan pun juga. Lui-ji merapikan leher bajunya, lalu tanya Thi-hoa-nio, dengan suara tertahan, "Kemana
perginya Tacimu" Kau kira dia akan ...."
Belum habis ucapannya, mendadak Thi-hoa-nio berlari keluar.
Lui-ji menghela napas, ucapnya dengan sedih, "Setelah Tong Giok mati, sungguh kukuatir
Kim-hoa-nio juga akan ....."
Pwe-giok seperti tidak suka mendengar ucapan "bunuh diri", cepat ia memotong, "Tampaknya
dia sangat teguh imannya, kedua kakak beradik itu bukan orang yang lemah dan mudah putus
asa." "Jika dia berduka, aku malah tidak perlu kuatir," kata Lui-ji. "Tapi dia mendadak berubah
menjadi tenang dan dingin, kedukaan seorang perempuan tidak nanti hilang secepat ini."
Pwe-giok termenung, tiba-tiba ia merasa selama dua hari ini, Lui-ji seolah-olah telah
bertambah dewasa, mendadak berubah jauh lebih masak dan banyak hal yang dipahaminya.
Lui-ji mengerling, ia seperti dapat menerka isi hati anak muda itu, katanya dengan menunduk,
"Pada umumnya seorang anak lelaki perlu waktu sangat lama untuk bisa jadi dewasa, berbeda
dengan seorang anak perempuan. Pada umumnya anak perempuan memang lebih cepat
dewasa daripada seorang anak lelaki, terkadang dalam semalam saja sudah menjadi dewasa."
Pwe-giok tetap termenung dan tidak menanggapi, sebab ia tidak tahu apa yang harus
diucapkannya, Dari ucapan Lui-ji itu, tiba-tiba ia mengingat kepada orang yang pernah bilang,
"Seorang anak perempuan, betapa banyak umurnya, asalkan sudah menikah, maka dalam
semalam saja dapat berubah menjadi dewasa."
Ia tidak tahu beginikah maksud Cu Lui-ji itu" Namun ia tidak berani tanya.
Sesungguhnya dia memang tidak berani merundingkan urusan ini dengan nona itu.
Untunglah pada saat itu juga Thi-hoa-nio telah kembali, Kim-hoa-nio juga tampak ikut
masuk. Kini dia sudah tukar pakaian, bukan saja baju baru bahkan warnanya sangat
menyolok, malahan bersulam bunga yang semarak.
Betapapun juga baju demikian bukan waktunya untuk dipakai sekarang, Pwe-giok jadi heran,
mengapa Kim-hoa-nio sengaja berganti pakaian begini, tanpa terasa ia memandang
pakaiannya dengan terbelalak.
Meski mata Kim-hoa-nio masih kelihatan merah karena habis menangis, namun mukanya
sudah berbedak tipis, dia duduk di depan Pwe-giok, malahan tertawa terhadap Pwe-giok dan
berkata, "Menurut kau, baju ini indah tidak?"
214 Siapa pun tidak menyangka dia akan bertanya demikian dalam keadaan begini. Keruan Pwegiok
juga melengak, terpaksa ia menyengir dan menjawab, "Ya, sangat bagus!"
Kim-hoa-nio tersenyum, katanya, "Ibu pernah memberitahukan padaku, seorang kalau merasa
letih dan merasa kotor, sebaiknya bergantilah baju baru dan akan merasa lebih segar."
Pwe-giok menghela napas, katanya, "Dan sekarang benarkah kau rasakan lebih segar?"
Tapi Kim-hoa-nio seperti tidak mendengar pertanyaan ini, dia hanya meraba perlahan
sulaman bunga yang halus pada bajunya itu, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula terhadap
Pwe-giok, "Aku sendirilah yang menyulam bunga ini, Tong Giok pun belum pernah melihat
kupakai baju ini, engkaulah orang.... orang pertama, maksudku lelaki pertama yang melihat
kupakai baju ini." Meski dia bicara dengan perlahan dan lembut, Lui-ji jadi melengak mendengar ucapannya itu,
pikirnya, "Mengapa dia omong hal-hal demikian kepada Pwe-giok, masa Tong Giok baru
mati dan segera ia ingin menggoda lelaki lain?"
Segera Lui-ji melotot, meski ia tahu kemungkinan demikian tidaklah besar, namun dia toh
berpikir demikian dan tanpa terasa menjadi marah juga.
Didengarnya Kim-hoa-nio lagi berkata pula, "Konon koki di sini paling mahir membuat ayam
goreng ham, itik panggang, Ang-sio-hi-bin dan Ko-lok-bak, maka sudah ku pesan agar
disediakan santapan lezat ini, kita sudah capai sehari suntuk, kita harus makan enak dan
minum barang dua-tiga cawan."
Dia baru saja kematian calon suami, tapi sekarang sudah ingin minum arak.
Lui-ji tidak tahan, dengan suara keras ia bertanya, "Masa ada seleramu untuk makan minum?"
Kim-hoa-nio tertawa, jawabnya, "Orang mati tidak dapat hidup kembali, mengapa kita harus
berduka. Tang mati sudahlah, yang hidup justeru harus menjaga kesehatan sendiri dengan
lebih baik, kalau tidak, yang mati tentu tidak akan tenteram di alam baka."
Kata-kata demikian seyogyanya diucapkan orang lain untuk menghiburnya, tapi sekarang dia
sendiri yang berucap untuk menghibur orang lain. Keruan Lui-ji jadi melongo kesima.
Sementara itu santapan yang dipesan sudah diantar dan penuh satu meja, Kim-hoa-nio sendiri
lantas menuangkan arak dan mendahului angkat cawannya serta berseru, "Marilah, kita
habiskan satu cawan dahulu!"
Pwe-giok menjadi sangsi, dia seperti sudah melihat sesuatu, seperti juga ingin bicara sesuatu.
Pada waktu menuang arak, senantiasa Pwe-giok memperhatikan tangan Kim-hoa-nio.
Sebaliknya Lui-ji justeru selalu mengawasi Pwe-giok, ia kira anak muda ini takkan minum
arak, tapi mendadak Pwe-giok angkat cawan terus menenggaknya hingga habis.
Karena itu, kata-kata yang akan diucapkan anak muda itupun ikut terminum ke dalam perut
lagi bersama arak. 215 Melihat Lui-ji tidak ikut minum, Kim-hoa-nio berkata, "Nona Cu, kau ......"
"Kau berniat minum, aku tidak ingin minum." seru Lui-ji.
"Apapun juga, aku harus minum arak ini, nona Cu ...."
"Apapun juga aku takkan minum arak ini." tukas Lui-ji dengan ketus.
Kim-hoa-nio tersenyum, tetap dengan lemah-lembut, ia pandang cawan arak yang
dipegangnya dan warna arak yang merah, di bawah cahaya sang surya warna arak itu seperti
darah. Senyuman Kim-hoa-nio mulai menampilkan perasaan pedih, dia bergumam pula pelahan
menghapalkan dua bait syair kuno, syair berduka cita mengenang pacar yang telah meninggal,
arak yang dipandangnya lekat-lekat itu sekali ini dengan cepat ditenggaknya .....
"He, Taci, kau ...." Thi-hoa-nio kuatir melihat kelakuan kakaknya itu, cawan arak sendiri
tanpa terasa terlepas dan pecah berantakan.
Dengan suara lembut Kim-hoa-nio berucap, "Aku sangat baik, aku sangat gembira, selama ini
tidak pernah ku gembira seperti sekarang, sebab ku tahu selanjutnya aku akan selalu berada
bersama dia dan tiada seorang pun yang dapat lagi memisahkan kami."
Baru sekarang Lui-ji terkejut, ia rampas cawan arak orang, Pwe-giok juga berdiri dengan
kuatir. Kim-hoa-nio memegang tangan Lui-ji dengan lembut, ucapnya, "Tidak perlu kau cicipi, arak
ini tidak beracun." "Tapi kau ... kau ...." Lui-ji tidak sanggup meneruskan lagi.
"Racunnya sudah sejak tadi berada dalam perutku, pada saat pertama setelah ku tahu Giok
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cilik mati dan akupun ..."
Dia tidak dapat menyelesaikan ucapannya itu.
Sedikitnya, kematiannya tidaklah menderita, kalau hidup justeru akan lebih menderita.
***** Sudah dekat magrib pula. Angin barat menderu-deru pula. Airpun gemercik mengalir di kejauhan.
Lui-ji memandangi gundukan kuburan yang baru itu, mendadak ia menangis keras, akhirnya
ia berkata berulang-ulang, "Mengapa aku tidak minum arak itu, mengapa ..... mengapa tidak
kuminum arak itu?" 216 Gumpalan awan mengalingi sang surya yang susah hampir terbenam, seakan-akan sengaja
menyembunyikan cahayanya yang terakhir dan tidak memperbolehkan manusia memandangi
kegemilangannya sebelum kegelapan tiba.
Meski tidak hujan, namun cuaca terasa lebih kelam daripada waktu hujan.
Lui-ji berkata ambil mengucurkan air mata. "Kiranya dia sudah bertekad akan mati, mengapa
sebelumnya tidak kulihat maksudnya ini, mengapa" Mengapa aku masih juga menyalahkan
dia ...." Pwe-giok hanya memandangi gundukan tanah kuning kemerah-merahan itu, terbayang
olehnya kedua muda-mudi yang saling mencintai itu. Mengapa akhir daripada muda-mudi
yang saling cinta itu selalu adalah segundukan tanah belaka"
Diam-diam ia mengusap matanya yang basah dan berkata, "Marilah pergi!"
Lui-ji mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara parau, "Pergi! Apakah cuma kata ini
saja yang dapat kau ucapkan?"
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan muram, "Habis, apalagi yang dapat
kukatakan?" Tiba-tiba Thi-hoa-nio berkata, "Sedikitnya kita tidak perlu tinggal di sini dan menangis
melulu." "Mengapa?" tanya Lui-ji. "Mengapa" ...."
Thi-hoa-nio memandang sekelilingnya, seperti ingin mencari angin barat yang bersembunyi
dalam kegelapan senja itu. Kemudian sekata demi sekata ia menjawab, "Sebab jika dia
melihat kita sedang menangis sedih, tentu dia akan sangat gembira" Mengapa air mata kita ini
tidak kita cucurkan di tempat lain saja?"
Setiap orang tentu dapat menerka siapa yang dimaksudkannya itu.
Tanpa terasa Lui-ji juga memandang sekelilingnya, apakah betul di balik kegelapan senja itu
ada sepasang mata yang dingin sedang memandang dengan mengejek mereka yang lagi
menangis" Pwe-giok berkata pula, "Ayolah pergi saja!"
Serentak Lui-ji berbangkit dan menjawab. "Ya, mari pergi!"
***** Bintang belum lagi ada yang menghiasi angkasa, tatkala mana adalah saat yang paling guram
di tengah cakrawala ini, mereka menyusuri lembah sungai dengan airnya yang mengalir tak
pernah berhenti itu. 217 Langkah Pwe-giok paling cepat, bahkan sangat berat langkahnya seakan-akan tanah pasir di
bawah kakinya itu akan diinjaknya hingga hancur lebur, hendak menghancur-luluhkannya
bumi raya ini. Apa daya sekarang, Akhirnya Tong Giok mati juga!
Satu-satunya harapannya kembali putus. Rencana hatinya selama ini lagi-lagi mengalami
kegagalan, kepada siapa pula selanjutnya dia harus mengimbau"
Kini dia hampir-hampir putus asa sama sekali, hampir melepaskan segala usahanya, sebab
apapun perjuangannya dan betapa dia bekerja keras, pihak lawan cukup melambaikan tangan
pelahan saja dan dapat menghancurkan semua tumpuan harapannya.
Lereng gunung di bawah gumpalan awan tampaknya sedemikian besar, sedemikian misterius,
sedemikian kukuh tak tergoyahkan. Dan lawannya ternyata jauh lebih kukuh, lebih kuat
daripada gunung raksasa itu, juga serupa gumpalan awan yang tinggi di angkasa itu, tidak
dapat diraba, tak dapat diraih.
Menghadapi lawan demikian, siapa pun akan menyerah dan mengaku kalah.
Lui-ji menyusul ke samping Pwe-giok, tapi ia tidak berani bersuara, tidak berani mengajaknya
bicara, sebab ia sangat paham betapa perasaan Pwe-giok saat ini, ia sendiri pun tidak tahu
harus bicara apa" Entah sudah berapa lama lagi, mendadak Pwe-giok berseru, "Mengapa hendak kulepaskan
perjuanganku" Biarpun sekali ini ku gagal, lain kali kan masih ada kesempatan, umpama lain
kali pun gagal kan masih ada lain kali lagi?"
Meski kata-kata itu diucapkannya terhadap dirinya sendiri, namun Lui-ji toh memandangnya
dengan sorot mata yang lembut dan penuh perasaan memuji, katanya dengan suara halus,
"Betul, asalkan kita tidak roboh, pada suatu hari kita pasti mampu menjatuhkan mereka."
Menyongsong tiupan angin, Pwe-giok membusungkan dada dan berkata, "Ya, pasti akan
datang suatu hari demikian itu." Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kini Tong Giok
sudah mati, tapi kita tetap akan pergi ke Tong-keh-ceng, tidak boleh kita membiarkan si
"perawat kuda" itu malang melintang di sana."
Menyinggung si "perawat kuda", tanpa terasa Lui-ji tertawa cerah, katanya, "Betul, kita harus
membikin dia pulang kandang dan memberi makan lagi pada kudanya. Bukankah harus begitu
nona Thi" .." Ia menoleh hendak menyapa Thi-hoa-nio tapi ucapannya seketika terputus seolah-olah sebuah
tangan yang dingin mencekik lehernya.
Thi-hoa-nio ternyata tidak berada di belakang mereka!
Thi-hoa-nio telah hilang secara mendadak!
Padahal mereka masih ingat benar ketika menyusuri tepi sungai, selalu Thi-hoa-nio mengikuti
di belakang mereka, nona itu seperti tidak ingin terselip di tengah-tengah Pwe-giok dan Lui-ji,
218 dia juga seperti kuatir menimbulkan antipati Cu Lui-ji, maka sejak semula dia selalu
mempertahankan satu jarak tertentu di belakang mereka, namun jaraknya tidak terlalu jauh.
Tapi sekarang, sejauh mata memandang lui-ji tidak melihat bayangan seorangpun, yang
tertampak hanya berkerlipnya api phosphor membentang hingga jauh.
Kaki dan tangan Lui-ji menjadi dingin, teriaknya, "Nona Thi, di mana kau?"
Sayup-sayup terdengar suara yang terbawa angin dari kejauhan, "Di mana kau"...Di mana
kau..." Tapi suara ini adalah gema suara Lui-ji sendiri.
Air muka Pwe -giok berubah juga, dengan cepat pula ia melayang balik dan menarik tangan
Lui-ji terus diajak melayang pula ke arah datangnya tadi menuruti lembah sungai.
Langit yang kelam tadi entah sejak kapan sudah mulai ada cahaya bintang dan sinar bulan, air
yang mengalir berkilauan tertimpa sinar bintang dan bulan, tepi sungai kecil itu tampaknya
seperti jauh lebih terang daripada tempat lain.
Akan tetapi bayangan Thi-hoa-nio tetap tidak mereka lihat.
Tangan Lui-ji menjadi dingin seperti es, tapi dia merasa tangan Pwe-giok jauh lebih dingin
daripada tangannya, bahkan terasa membeku. ia pegang jari tangan anak muda itu dengan
kencang, katanya, "Kau pikir apakah... apakah dia sengaja pergi tanpa pamit?"
"Mengapa dia pergi tanpa pamit?" jawab Pwe-giok.
Lui-ji menggigit bibir, katanya pula, "Habis, apakah,...apakah dia telah di... digondol Yang
Cu-kang"..." Mendadak Pwe-giok berjongkok dan menjemput sebuah sepatu bersulam bunga, segera lui-ji
mengenali sepatu ini milik Thi-hoa-nio, seketika tenggorokannya seperti tersumbat dan tidak
dapat melanjutkan ucapannya.
Waktu Thi-hoa-nio berada di tengah mereka, Lui-ji berharap Thio-hoa-nio pergi saja, makin
jauh makin baik, sebab, asalkan Thi-hoa-nio memandang Pwe-giok sekejap saja, hati Lui-ji
menjadi tidak enak. Dan sekarang Thi-hoa-nio "benar" telah pergi bahkan takkan kembali lagi untuk selamanya,
hal ini membuat Lui-ji jadi berduka malah, dipandanginya sepatu bersulam itu dengan
termangu-mangu dan air matapun bercucuran.
Dia menggali sebuah liang kecil di tepi sungai dan menanam sepatu itu, katanya tiba-tiba,
"Mungkin dia sengaja pergi sendiri dan tidak diganggu oleh Yang Cu-kang."
"Ya, mungkin begitu," sahut Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
219 "Jika dia benar dicelakai oleh Yang Cu-kang, mengapa kita tidak mendengar sesuatu suara
apapun?" ujar Lui-ji. "Sekalipun dia tidak mampu melawan, sedikitnya dia kan bisa bersuara
dan berteriak." "Ya, betul," Pwe-giok mengangguk dengan berat.
"Apalagi, orang mati kan harus meninggalkan mayatnya, sedangkan kita tidak menemukan
jenazahnya, bahkan tidak melihat sesuatu tanda yang mencurigakan, apakah mungkin
mendadak iapun ....." sampai di sini Lui-ji lantas mendekap mukanya dan menangis lagi,
ucapnya dengan parau. "Untuk apa aku harus menipu diriku sendiri, sudah jelas dia telah
dicelakai oleh Yang Cu-kang, apa gunanya kubohongi diriku sendiri" sejak mula sudah
kuketahui Yang Cu-kang takkan melepaskan dia, ku tahu dia juga pasti takkan membiarkan
kita hidup sampai di Tong-keh-ceng, dia sudah bertekad akan membunuh kita satu persatu."
Sampai lama sekali Pwe-giok termenung, akhirnya ia berucap, "Marilah berangkat!"
Serentak Lui-ji melompat bangun, serunya, "Betul, ayo berangkat, kita harus mencari dia!"
"Kita tidak perlu mencari dia," kata Pwe-giok. "Sebab apa?" tanya Lui-ji.
"Kita tunggu saja, biarkan dia yang mencari kita."
Lui-ji menggigit bibirnya, katanya dengan gegetun, "Ya, betul, kalau dia sudah pasti mencari
kita, untuk apa kita bersusah payah mencari dia, akan tetapi...." ia menengadah dan
memandangi Pwe-giok, lalu bertanya, "Apakah kita akan menunggunya di sekitar sini?"
"Tidak," jawab Pwe-giok. "Kita tetap pergi ke Tong-keh-ceng, apapun juga kita harus pergi
ke sana." Sikapnya tegas an kokoh, siapa saja yang melihat kebulatan tekadnya itu pasti percaya tiada
satupun urusan di dunia ini yang dapat menggoyahkan pendirian dan tekadnya.
Lui-ji juga terharu oleh tekad anak muda itu, seketika iapun berubah menjadi jauh lebih kuat,
serunya: "Betul! Kita harus tetap menuju ke Tong-keh-ceng, kita akan pergi ke sana dengan
hidup, andaikan mati dan menjadi setan juga tetap akan pergi ke Tong-keh-ceng"
Dia sengaja berteriak, seakan-akan kuatir ucapannya tidak didengar oleh badan halus yang
selalu mengintai mereka secara sembunyi itu, seperti juga sengaja mengumumkannya kepada
semua orang di dunia ini agar mengetahui kebulatan tekad mereka.
Pwe-giok menepuk bahu anak dara itu sebagai tanda memuji, ia pegang tangan Lui-ji dan
tidak mau melepaskannya lagi, ia kuatir bilamana tangan kecil itu dilepaskan, bisa jadi anak
dara itupun akan mendadak menghilang dari muka bumi ini seperti halnya Thi-hoa-nio,
sekalipun ia tahu dengan kekuatan mereka berdua juga belum tentu dapat melawan musuh
yang menakutkan itu. ***** Perjalanan selanjutnya jelas akan bertambah sulit dan banyak rintangan.
220 Mereka tidak berani lengah sedikitpun, sebaliknya mereka menyadari, kelengahan terkecilpun
mungkin akan menimbulkan akibat yang fatal.
Setiap saat, Yang Cu-kang bisa melayang keluar dari kegelapan dan menyerang mereka
dengan kungfunya yang sukar dibayangkan.
Akan tetapi fajar sudah hampir menyingsing dan sebegitu jauh Yang Cu-kang belum lagi
muncul. Siangnya mereka beristirahat di suatu pedusunan, setelah isi perut sekedarnya mereka
melanjutkan perjalanan pula, sampai seja tiba Yang Cu-kang tetap tidak kelihatan.
Sekarang, jaraknya dengan Tong Keh-ceng sudah sangat dekat.
Petangnya, mereka sampai di suatu kota kecil, tiba-tiba Pwe-giok berkata: "Biarlah malam ini
kita menginap di sini, besok pagi-pagi baru kita menuju ke Tong-keh-ceng"
Jilid 8________ Dengan lembut Lui-ji memandangnya, ucapnya dengan menghela napas pelahan, "Engkau
memang harus tidur sebaik-baiknya, kalau tidak, mana ada semangat untuk bekerja lagi
besok?" Hotel di kota kecil itu tidak banyak tamunya, dengan sanjung puji jongos hotel menyediakan
bagi mereka dua kamar besar. Tapi setelah memandang Lui-ji sekejap, Pwe-giok berkata,
"Kami hanya perlu satu kamar saja."
Berdetak jantung Lui-ji. Sedangkan jongos hotel kelihatan rada kecewa dan heran. Dari sudut
manapun dia memandang, kedua orang ini tidak mirip suami-isteri, mengapa mereka hanya
minta satu kamar saja"
Sesudah berada dalam kamar dan pintu ditutup, jantung lui-ji berdebur semakin keras, duduk
tidak tenang, berdiripun salah, sungguh ia tidak tahu dirinya harus ditaruh di mana"
Dengan hati-hati Pwe-giok memalang pintu lalu menutup jendela pula, kemudian berkatalah
dia dengan tersenyum lembut, "Tidurlah kau!"
Lui-ji menunduk, dengan menabahkan hati ia bertanya, "Dan kau?"
"Dua kursi ini kujajarkan menjadi sebuah tempat tidur yang cukup enak," ujar Pwe-giok
dengan tertawa. "Boleh kau tidur di ranjang saja, kau perlu tidur nyenyak daripadaku," kata Lui-ji sambil
menggigit bibir. Memandangi tubuh yang agak kekurus-kurusan dengan rambut yang rada kusut serta mata
yang besar dengan sedikit garis merah itu, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang Pwe-giok,
pikirnya, "Bisa jadi Yang Cu-kang akan segera muncul. Dalam keadaan dan saat demikian,
untuk apalagi ku taat adat kolot segala, untuk apa membuat susah dia dan tidak membiarkan
221 dia tidur sebaik-baiknya, apakah kalau malam ini ku tidur seranjang dengan dia, lalu aku Ji
Pwe-giok bukan lagi seorang Kuncu sejati?"
Dalam pada itu Lui-ji telah mengambil selimut yang agak tipis dari tempat tidur dan
dibentang di atas kursi, ucapnya dengan menunduk, "Tidur di sini juga boleh, waktu ku rawat
Sacek dahulu, biarpun berdiri juga aku dapat tidur, jadi soal tidur sudah terbiasa bagiku dalam
keadaan bagaimanapun, hendaknya kau sendiri tidurlah yang baik."
Tiba-tiba Pwe-giok berucap dengan lembut, "Ranjang ini sangat besar, kita juga bukan orang
gendut, mengapa tidak tidur satu tempat tidur saja."
Bantal yang baru dipegang Lui-ji jatuh lagi ke bawah, ia ingin memandang Pwe-giok sekejap,
tapi tidak ada keberanian itu. Ia menunduk dan berkata, "Kau... kau tidak... tidak takut...."
"Takut apa?" sela Pwe-giok, "Dalam keadaan tidur memangnya kaupun dapat memukul
orang?" Tertawalah Lui-ji dengan muka bersemu merah, katanya, "Memukul sih tidak, tapi suka
menyepak, awas bila ku depak kau ke bawah tempat tidur."
***** Sesungguhnya tempat tidur itu tidaklah besar. Di dunia ini tidak ada sebuah hotel yang
sengaja menyediakan tempat tidur yang sangat besar bagi tamunya.
Sebab pada umumnya tetamu juga tidak memerlukan tempat tidur yang besar. Apabila ada
dua orang tetamu lelaki-perempuan perlu tidur satu ranjang, yang mereka harapkan bukanlah
tempat tidurnya yang besar, sebaliknya cukup tempat tidur yang kecil saja, makin kecil makin
baik, makin sempit makin memuaskan.
Pwe-giok memang sudah terlampau lelah, maka dengan cepat ia lantas terpulas.
Waktu Lui-ji naik tempat tidur, ketegangannya sungguh sukar dilukiskan, jantungnya
berdebur keras, dia tidak berani memandang sekejap pun kepada Pwe-giok, bahkan
menyentuh selimutnya saja tidak berani.
Padahal kemarin malam rencana hatinya mengharapkan dapat tidur bersama Pwe-giok, tapi
sekarang, pada malam ini, mereka benar-benar sudah tidur bersama satu ranjang, tapi dia
berbalik sangat ketakutan, takut setengah mati, takut kehilangan apa-apa. Dia membungkus
tubuhnya kencang-kencang dengan selimut dan meringkuk di pojok tempat tidur, kepalanya
dibenamkan pada bantalnya, tubuh tidak berani bergerak sedikitpun, bernapas juga tidak
berani keras-keras, dalam keadaan hening demikian, yang terdengar hanya detak jantungnya
yang memukul keras. Ia membayangkan, apabila mendadak tangan Pwe-giok menggerayang ke sini, lalu
bagaimana" Sungguh ia tidak berani memikirkannya, seketika tubuhnya terasa panas, panas sekali.
Sesungguhnya ia tidak tahan terbungkus dalam selimut, tapi tidak berani membukanya.
222 Untunglah Pwe-giok sudah tidur, dengan alon-alon, dengan perlahan sekali Lui-ji
menjulurkan kakinya keluar selimut untuk mencari angin, tapi bila Pwe-giok membalik tubuh,
dengan ketakutan cepat-cepat ia tarik kembali kakinya.
Namun apapun juga Ji Pwe-giok sudah berada di sampingnya, betapapun ia penuh rasa
bahagia, tersembul senyuman manis, senyuman bahagia pada wajahnya, senyuman yang
timbul dari lubuk hatinya yang dalam, sungguh ia ingin melompat bangun dan berteriak
sekerasnya agar manusia di seluruh jagat ini mengetahui betapa bahagianya malam ini.
Akan tetapi bila saat ini benar-benar ada orang datang, seketika dia akan malu dan mungkin
akan sembunyi di kolong ranjang.
Dan begitulah perangai seorang gadis, pikiran seorang perawan.
Menjadi seorang anak gadis sesungguhnya memang bahagia.
***** Sebenarnya Pwe-giok cuma pura-pura tidur saja. Sampai sekian lamanya, didengarnya suara
pernapasan Lui-ji sudah mulai tenang, mulai teratur dan rata, jelas si nona sudah tidur benarbenar,
barulah dia membuka mata.
Betul juga, Lui-ji memang sudah pulas, bahkan sangat nyenyak tidurnya.
Ia pikir, sesungguhnya Lui-ji memang masih anak-anak, dan biasanya anak-anak memang
lebih mudah tertidur daripada orang tua.
Bila membayangkan gerak-gerik Lui-ji yang lucu waktu mau naik ke atas tempat tidur tadi,
tanpa terasa Pwe-giok tersenyum geli.
Sesungguhnya Lui-ji memang anak dara yang menyenangkan, sangat menyenangkan.
Tidur satu ranjang bersama anak dara yang sedemikian menyenangkan, kalau dibilang Pwegiok
sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun, maka hakekatnya dia bukan manusia.
Apalagi iapun tahu anak dara itu sedemikian cinta padanya, ia tahu, asalkan dirinya "mau",
tidak nanti anak dara itu menolaknya.
***** Malam nan sunyi, cahaya bintang yang redup menyinari kertas jendela dengan lembutnya.
Di tengah malam yang hening dan lembut itu, akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ia menjulurkan
tangannya dan membelai rambut Lui-ji yang halus itu yang terurai di atas bantal, tiba-tiba
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
iapun merasa sangat panas.
Teringat olehnya ketika beberapa malam dia berada bersama Lim Tay-ih tempo hari juga
dirasakan sangat panas, begitu panas sehingga urusan apapun tak terpikir untuk
dikerjakannya, tapi rasa panas itupun mendorongnya mengerjakan urusan apapun.
223 Terbayang olehnya tubuh Lim Tay-ih yang agak menggigil itu, bibirnya yang gemetar...
gemetar yang menggetar sukma, yang sukar untuk dilupakan seumur hidup.
Kelembutan Lim Tay-ih, kejudasannya waktu itu, semua itu membuatnya sukar untuk
melupakannya. Waktu itu dia tidak menceritakan rahasia penyamarannya, tapi jelas Lim Tay-ih telah
mengetahui siapa dia. Perempuan umumnya memang ada semacam indera yang misterius, lebih-lebih terhadap
orang yang paling dekat dengan dia.
Misalnya sang ibu terhadap anaknya, isteri terhadap suaminya, daya perasa mereka yang
tajam dan peka itu sungguh sukar untuk dijelaskan oleh siapapun.
Sebab itulah, kemudian ketika Lim Tay-ih merasa ada orang menguntit jejak mereka, maka
dia lantas bertindak kasar terhadap Pwe-giok, supaya orang lain takkan mencurigai dia lagi
sebagai Ji Pwe-giok yang sudah "mati" itu.
Ketika Lim Tay-ih menyerangnya, setiap tusukan pedangnya yang mengenai tubuh Pwe-giok
hanya menimbulkan rasa bahagia, sebab ia tahu ketika pedang si nona mengenai tubuhnya,
hati si nona jauh lebih sakit daripada dia sendiri.
Dan sekarang, di mana Lim Tay-ih"
Di manapun nona itu berada pasti juga sedang memikirkan dia.
Hati Pwe-giok seakan-akan sakit tertusuk pedang, serentak ia menarik kembali tangannya
yang sedang membelai rambut Lui-ji itu.
***** Malam yang serba ruwet itu akhirnya berlalu juga dan Yang Cu-kang tetap tidak muncul.
Waktu Lui-ji mendusin, dilihatnya Pwe-giok belum lagi bangun, teringat dirinya telah tidur
semalaman bersama seorang lelaki, timbul semacam perasaan aneh dalam hati Lui-ji, entah
kejut entah girang. Meski Pwe-giok tidak berbuat apa-apa terhadapnya, tapi Lui-ji merasakan dirinya sekarang
sudah lain daripada Lui-ji kemarin. Ia merasa dirinya bukan lagi anak-anak, tapi sudah
seorang perempuan benar-benar, seorang perempuan dewasa.
Tanpa terasa tersembul juga senyuman bahagia pada wajahnya.
***** Sang surya sudah terbit tinggi di langit, Lui-ji memandangi wajah Pwe-giok yang masih lelap
itu, gaya tidur Pwe-giok seperti seorang anak kecil saja, tanpa terasa Lui-ji mengangkat
tangannya dari dalam selimut dan meraba pelahan hidung Pwe-giok, ucapnya dengan suara
224 lembut, "Alangkah baiknya jika di sini adalah rumah kita, tentu akan kubuatkan sarapan pagi
yang enak bagimu, bubur buatanku paling disukai Sacek, kukira kaupun suka, sedikitnya kau
akan menghabiskan lima mangkuk besar."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan berkata, "Lima mangkuk saja belum banyak, takaranku
adalah sepuluh mangkuk!"
Keruan Lui-ji kaget dan cepat menarik kembali tangannya serta menutupi mukanya dengan
selimut, omelnya, "Oi, kukira kau ini orang baik, kiranya kaupun telur busuk! Sudah
mendusin, tapi pura-pura tidur, bikin... bikin ...."
"Bikin" apa, tak dapat diucapkannya.
Pwe-giok memandangi rambut si nona yang terurai di luar selimut itu, tanpa terasa ia
terkesima pula, iapun tidak tahu sesungguhnya dirinya ini bahagia atau celaka"
Ia tidak berani lama-lama lagi tinggal di tempat tidur, cepat ia melompat bangun dan
membuka jendela, hawa udara di luar terasa segar dan sejuk, ia menarik napas dalam-dalam,
lalu bergumam, "Aneh, Yang Cu-kang belum juga muncul."
Teringat kepada Yang Cu-kang, seketika rasa hangat dalam hati Lui-ji menjadi dingin
kembali, cepat iapun melompat turun dan berseru, "Bisa jadi dia tidak berani datang lagi."
Pwe-giok tidak menanggapinya.
"Jika dia berani datang kemari, mengapa tidak kelihatan?" kata Lui-ji pula.
Sejenak Pwe-giok termenung, katanya kemudian dengan gegetun, "Akupun tidak tahu apa
sebabnya" tapi kuyakin pasti bukan lantaran dia tidak berani."
Lui-ji tersenyum manis, katanya, "Bisa jadi lantaran mendadak dia mati, atau mendadak
matanya buta dicakar burung, atau mendadak sakit lepra. Kalau dia tidak datang, untuk apa
kita memikirkannya?"
Pwe-giok juga tertawa geli, katanya, "Yang kupikir sekarang hanya ingin makan bubur
ayam." Lui-ji berkeplok dan berkata, "Pikiran bagus, bubur ayam dan Yucakue, nikmat!"
Karena urusan yang dipikirnya tidak sebanyak Pwe-giok, dengan sendirinya dia jauh lebih
gembira daripada anak muda itu, lebih-lebih hari ini, dia merasa sinar sang surya jauh lebih
cemerlang daripada biasanya, sampai bumi raya inipun terasa halus dan empuk, berjalan di
atasnya juga terasa enteng dan seperti mengambang.
Menjelang lohor, sampailah mereka di wilayah yang dekat dengan Tong-keh-ceng.
"Masih perlu berapa lama lagi untuk bisa sampai di tempat tujuan?" tanya Lui-ji
"Tidak lama lagi, paling-paling setengah jam lagi," kata Pwe-giok.
225 Lui-ji menghela napas lega, ucapnya, "Syukur alhamdulillah! Akhirnya sampai juga."
"Tapi Tong Bu-siang gadungan itu sedikitnya sudah dua hari sampai di sini lebih dulu, dalam
waktu dua hari tentu banyak pekerjaan yang dapat dilakukannya," kata Pwe-giok dengan
menyesal. "Kau tidak perlu cemas," ujar Lui-ji, "biarpun dia sampai lebih dulu dua hari, setiba di rumah
kan banyak urusan yang perlu diselesaikan dan tidak nanti datang terus membikin celaka
orang." "Ya, semoga demikian hendaknya, aku hanya kuatir...."
"Kuatir apa?" tanya Lui-ji.
Dengan cemas Pwe-giok menjawab, "Ku kuatir orang Tong-keh-ceng tidak percaya kepada
keteranganku. Coba pikir, jika kau menjadi anak murid Tong Bu-siang dan tiba-tiba kau
diberitahu bahwa ayahmu sekarang itu palsu, apakah kau percaya?"
Persoalan yang terbesar baginya sebelum ini adalah kekuatirannya sukar datang ke Tong-kehceng
sini, tapi sekarang setiba di Tong-keh-ceng barulah teringat olehnya masih ada banyak
persoalan penting yang lain, bahkan persoalan yang satu lebih sulit daripada persoalan yang
lain. Sungguh ia sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana dia harus memberi keterangan
supaya dapat dipercaya oleh anak murid keluarga Tong.
Lui-ji berkerut kening juga setelah mendengar alasan Pwe-giok itu, katanya kemudian, "Kau
kenal baik dengan anggota keluarga Tong?"
"Kenal baik apa" Hakekatnya tidak kenal," jawab Pwe-giok sambil menyengir
"Tidak kenal seorangpun?" Lui-ji menegas.
"Hanya kenal seorang nona yang bernama Tong Lin," sahut Pwe-giok.
Mata Lui-ji berkedip-kedip, dipandangnya anak muda itu seperti tertawa dan tidak tertawa,
katanya kemudian, "Tong Lin, ehm, indah sekali nama ini, tentu orangnya juga sangat
cantik." Baru sekarang Pwe-giok merasa dirinya terlalu banyak bicara, terpaksa ia hanya menjawab
singkat, "Ehm!"
"Kau kenal akrab dengan dia?" tanya Lui-ji pula.
"Hanya pernah berjumpa satu kali saja."
Lui-ji mencibir, "Cuma berjumpa satu kali saja lantas senantiasa ingat pada namanya, boleh
juga kau ini." Di dampingi oleh seorang anak perempuan yang aneh, banyak olah dan sok cemburu, jalan
paling baik baginya adalah tutup mulut dan jangan banyak bicara.
226 Pada tepi jalan, di bawah pohon yang rindang sana berteduh seorang penjual bakmi pikulan,
penjual bakmi ini adalah seorang tua, orang Oh-pak asli, selain bakmi juga menjual penganan
lain sebangsa wajik dan sebagainya.
Pwe-giok tidak berhenti untuk makan bakmi, tapi hanya beli beberapa biji penganan dan jajan
sekadarnya. Sebenarnya cukup enak penganan itu, terutama bila orang sedang lapar. Tapi Lui-ji hanya
menggigit satu kali saja dan rasanya seperti sukar menelannya.
Pwe-giok tertawa dan berkata, "Apakah kau masih marah?"
Dengan bersungut Lui-ji menjawab, "Masa aku secemburu Ciong Cing?"
Habis bicara, ia merasa rada kikuk, ia menunduk dengan muka merah, kesempatan itu
digunakannya untuk menelan makanan dalam mulutnya itu, lalu berkata pula, "Aku tiba-tiba
ingat sesuatu." "Oo" Apa?" tanya Pwe-giok.
"Kupikir, mungkin sekali Yang Cu-kang sudah tiba lebih dulu di Tong-keh-ceng."
"Ya, bisa jadi," sahut pwe-giok samar-samar.
"Dia tahu kita pasti akan datang ke Tong-keh-ceng, maka lebih dulu dia akan menunggu kita
di sana." "Mungkin." kata Pwe-giok pula.
"Bisa jadi sebelumnya dia sudah berunding dengan Tong Bu-siang gadungan, asalkan kita
masuk ke Tong-keh-ceng, serentak mereka akan memperdayai kita, mungkin kesempatan
bicara bagi kita saja tidak ada, lalu bagaimana kita akan mampu membongkar tipu muslihat di
Tong-keh-ceng sana?"
Pwe-giok tidak bicara lagi, air mukanya tambah kelam.
Sebenarnya bukannya dia tidak berpikir sejauh itu, iapun tidak tahu bahwa kecil sekali
harapan untuk berhasil pada perjalanannya ini, sebaliknya sangat besar bahayanya.
Akan tetapi ketika dilihatnya kegembiraan Lui-ji tadi, mana dia sampai hati mengutarakan
rasa sedihnya kepada anak dara itu dan membuatnya ikut kuatir, bila ada kegembiraan, dia
sangat suka menikmatinya bersama orang lain.
Tapi kesedihan dan penderitaan, dia lebih suka memikulnya sendiri.
"Jika kita pergi ke Tong-keh-ceng cara begini saja, hakekatnya sama saja seperti mengantar
kematian," kata Lui-ji. "Hampir setiap orang di Tong-keh-ceng adalah jagoan, bila Tong Busiang
gadungan itu memberi perintah, seketika kita bisa berubah menjadi pusat sasaran senjata
rahasia mereka yang berbisa itu."
227 "Apa mau dikatakan lagi!" ujar Pwe-giok sambil menghela napas panjang, "Dalam keadaan
terpaksa, segala bahaya tak terpikir lagi."
"Akan tetapi engkau...." mendadak ucapan Lui-ji itu terputus setengah jalan, sebab pada saat
itu juga dari kejauhan berkumandang suara roda kereta dan ringkik kuda disertai debu
mengepul tinggi, tampaknya tidak sedikit jumlah orang yang datang ini.
"Mungkinkah orang-orang ini datang dari Tong-keh-ceng?" bisik Lui-ji.
"Ehm, bisa jadi," sahut Pwe-giok.
"Bolehkah kita cari keterangan tentang Tong-keh-ceng kepada mereka?"
"Tidak boleh," jawab Pwe-giok. "Bukan saja tidak boleh, bahkan sedapatnya jangan kita
memperlihatkan gerak-gerik yang dapat menarik perhatian dan menimbulkan curiga mereka."
"Ya, ku paham," ujar Lui-ji.
Sementara itu kereta sudah semakin dekat, mereka menyingkir ke tepi jalan dan menunduk.
Namun Lui-ji tidak tahan, ia coba melirik ke sana.
Dilihatnya ada iringan belasan kereta barang kawalan, seorang pengiring mondar mandir
mengawasi jalannya konvoi itu. Dua ekor kuda yang tinggi besar di bagian depan
berpenunggang dua orang lelaki kekar.
Kereta barang itu memakai tanda pengenal panji kecil segi tiga, namun panjinya tergulung.
Kedua lelaki kekar berbaju perlente itupun adem ayem dan lagi mengobrol iseng.
Belum jauh konvoi kereta barang itu lewat, Lui-ji tidak tahan dan segera bertanya kepada
Pwe-giok, "Inikah rombongan Popiau (pengawal barang)?"
"Ehm," Pwe-giok mengangguk.
"Selamanya tidak pernah kulihat konvoi kereta barang kawalan begini, tampaknya menarik
juga," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika aku menjadi lelaki, bisa jadi akupun ingin mencicipi
rasanya menjadi jago pengawal barang."
"Tampaknya memang menarik, tapi kalau kepergok sahabat kaum Lok-lim (rimba hijau,
artinya kawanan bandit yang keluar masuk hutan) akan menjadi kurang menarik," ujar Pwegiok.
"Konon waktu iring-iringan kereta Piaukiok (perusahaan ekspedisi) berjalan, seorang
pengiringnya harus berteriak-teriak di depan, harus bersikap garang, bahkan harus
menonjolkan nama perusahaannya. Akan tetapi sekarang kawanan pengiring kereta itu tidak
berteriak-teriak minta jalan, bahkan panji pengenalnya juga di gulung, sebab apakah bisa
begitu?" "Sebab daerah sini sudah termasuk wilayah kekuasaan Tong-keh-ceng, tindakan mereka ini
adalah sebagai tanda menghormati Tong-keh-ceng. Kau lihat kedua jago pengawal yang
adem-ayem tadi, mereka dapat bersenda gurau tanpa kuatir apapun, justeru lantaran mereka
228 yakin di daerah pengaruh Tong-keh-ceng tidak bakalan diganggu oleh kawanan bandit yang
buta." Lui-ji mencibir, ucapnya, "Huh, hanya Tong-keh-ceng sekecil itu apanya yang hebat" jika
bukan lagi banyak urusan, pasti akan kuganggu mereka."
Pwe-giok hanya tertawa saja.
Memang, puteri Siau-hun-kiongcu, keponakan Hong Sam, dengan sendirinya tidak pandang
sebelah mata terhadap Tong-keh-ceng.
Akan tetapi di dunia Kangouw ini seluruhnya terdapat berapa orang Siau-hun-kiongcu dan
berapa orang Hong-samsiansing"
Tampaknya Lui-ji ingin omong apa-apa lagi tapi mendadak muncul dua penunggang kuda
berbaju hitam, kuda dilarikan secepat terbang, kedua penunggangnya yang kekar itu mahir
sekali mengendalikan kudanya, dari jauh mereka lantas berteriak-teriak sambil menggapai,
"Ong-toapiauthau! Ci-toapiauthau, tunggu, berhenti dulu!"
Pengiring yang berada di belakang konvoi kereta barang tadi melihat datangnya kedua orang
ini, segera iapun berseru, "Itu dia ksatria dari Tong-keh-ceng telah menyusul kemari, harap
kedua Piauthau suka berhenti dulu, mereka memanggil kalian!"
Cukup lantang suara pengiring kereta itu dan dapat didengar oleh kedua Piausu yang berjalan
di depan. Segera mereka memutar kudanya dan memburu ke belakang sini sambil bertanya,
"Ada urusan apa"...."
Mendengar kedua penunggang kuda berseragam hitam yang menyusul dari belakang itu
adalah orang Tong-keh-ceng, mau tak mau Pwe-giok dan Lui-ji menaruh perhatian terhadap
mereka. Pwe-giok pura-pura berjongkok untuk membetulkan sepatunya.
Kelihatan kedua orang itu sangat tergesa-gesa dengan wajah prihatin, masih jauh mereka
sudah melompat turun dari kuda masing-masing. Kedua Piausu tadi juga turun dari kuda
mereka dan menyongsongnya.
Piausu yang disebut she Ci itu tampaknya gesit dan cekatan, suaranya lantang, ia memberi
hormat dan menyapa, "Karena hari masih terlalu pagi, ketika rombongan kami lalu di daerah
sini, maka kami tidak berani mengganggu. Namun kartu kehormatan dan beberapa macam
oleh-oleh itu adalah siaute dan Ong Tek yang mengantar sendiri ke tempat kalian."
Rupanya dia kuatir didamperat oleh pihak Tong-keh-ceng, maka sedapatnya ingin memberi
penjelasan. Pwe-giok saling pandang sekejap dengan Lui-ji, diam-diam mereka terkejut, pikirnya,
"Jangan-jangan Tong Bu-siang gadungan itu bermaksud menimbulkan malapetaka dan banjir
darah di daerah Sujwan ini, maka kedua orangnya dikirim ke sini untuk melakukan
keganasan?" 229 Pwe-giok menjadi ragu apakah dirinya harus ikut campur kejadian ini atau tidak" Dia tidak
sampai hati menyaksikan kedua piausu itu mengalami nasib jelek, tapi juga tidak suka
"memukul rumput mengejutkan ular."
Siapa tahu kedua orang dari Tong-keh-ceng itu tidak bertindak apa-apa, sebaliknya salah
seorang di antaranya malah tertawa dan berkata, "Justeru setelah membaca kartu nama kalian
baru kami tahu ada Toapiauthau dari Wi-wan-piaukiok lalu di sini, apabila kami tidak sempat
memberi sambutan apa-apa, diharap suka memberi maaf."
"Ah, tidak berani," jawab Ong Tek sambil memberi hormat.
Ci-toapiauthau itu bernama Ci Kian, katanya, "Kedua Suhu memburu kemari secara tergesagesa,
entah ada petunjuk apa kiranya?"
Anak murid keluarga Tong itu tampak prihatin, ucapnya, "Soalnya ditempat kami...."
Mendadak ia tekan suaranya sehingga sangat lirih, satu kata saja tak dapat didengar lagi oleh
Pwe-giok dan Lui-ji. Untuk mendekati mereka jelas tidak mungkin, maka diam-diam Lui-ji
sangat mendongkol. Setelah bisik-bisik, air muka Ong Tek dan Ci Kian mendadak berubah, serunya, "He, bisa
terjadi begitu?" Anak murid keluarga Tong itu mengangguk dengan prihatin.
Lalu Ong Tek dan Ci Kian tidak bicara lagi, dengan pelahan mereka memberi perintah kepada
pengiring kereta tadi, habis itu mereka lantas mencemplak ke atas kuda dan pergi bersama
kedua orang dari Tong-keh-ceng itu.
Sesudah jauh mereka pergi barulah Lui-ji berkata sambil berkerut kening, "Sesungguhnya apa
yang terjadi di Tong-keh-ceng, mengapa kedua orang itu kelihatan cemas dan gugup?"
Belum lagi Pwe-giok menanggapi Lui-ji sudah mendahului menjawabnya sendiri, "Mungkin
semua ini adalah tipu muslihat yang sengaja diatur oleh Tong Bu-siang gadungan itu, mereka
sengaja menipu kedua orang ini ke Tong-keh-ceng, padahal di sana tidak terjadi apa-apa."
Makin omong makin dirasakan betapa cepat jalan pikirannya sendiri, maka segera ia
menyambung lagi, "Kita tidak boleh sembarangan menerjang ke Tong-keh-ceng, kita harus
mencari keterangan lebih dulu, kita tunggu...."
Sudah sekian lama Pwe-giok berdiam, kini mendadak bersuara, "Dapatkah kau terima suatu
permintaanku?" Lui-ji melengak, jawabnya, "Maukah kau katakan lebih dulu mengenai urusan apa?"
"Katakan dulu, mau terima atau tidak?"
"Ai, tak tersangka kaupun serupa anak kecil," ujar Lui-ji dengan tertawa. "Aku tidak tahu
urusan apa yang kau minta, mana dapat kukatakan menerima atau tidak. Apabila kau suruh
aku makan kotoran umpamanya...." ia tertawa geli sehingga muka sendiri menjadi merah.
230 "Belum pernah kuminta apa-apa padamu, tapi urusan ini, betapapun kuharap harus kau
terima," kata Pwe-giok.
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," jawab Lui-ji akhirnya sambil menggigit bibir. "Urusan apakah pasti akan
kusanggupi." Dengan suara tertahan Pwe-giok lantas bertutur, "Begitu masuk Tong-keh-ceng, di sebelah
kiri ada sebuah Ciu-lau (restoran berloteng), itulah tempat penyambutan tamu Tong-keh-ceng.
Kalau sudah berada di situ, biarpun mereka tahu kedatanganmu adalah untuk mencari perkara,
mereka tidak bakalan mengganggu dirimu, sebab hal ini sudah menjadi peraturan rumah
tangga Tong turun temurun."
"Hah, barangkali hendak kau suruh kumakan enak di restoran itu" Apa keistimewaan
masakan restoran itu, adakah bebek panggang?" tanya Lui-ji dengan tertawa. "Jika ada, sekali
ini pasti akan kusikat lebih dulu kulitnya."
Setelah makan bebek panggang dahulu dan diolok-olok oleh Kwe Pian-sian, sampai saat ini ia
belum lagi lupa tentang kulit bebek panggang.
Hati Pwe-giok menjadi terharu, ucapnya dengan lembut, "Yang ingin kuminta padamu adalah
supaya kau berjanji setiba di Tong-keh-ceng, langsung kau naik ke loteng restoran itu, apapun
yang terjadi atas diriku, tidak boleh kau turun dari sana.
Sampai lama Lui-ji termenung, katanya kemudian sambil tersenyum pedih, "Jika terjadi apaapa
atas dirimu, apakah kau kira aku dapat duduk tenteram dan makan bebek panggang di
restoran itu?" Ia merasa tangan Pwe-giok mendadak menjadi dingin, lebih dingin daripada es, Ia dapat
memahami perasaan Pwe-giok saat itu, terpaksa ia tertawa dan berkata pula, "Ya, apapun juga
tetap kuterima permintaanmu, aku berjanji takkan meninggalkan restoran itu."
***** Ketika mereka berada di jalan raya menuju ke Tong-keh-ceng, mendadak orang yang berlalu
lalang di situ bertambah banyak.
Pwe-giok melihat orang-orang itu kebanyakan adalah sahabat Kangouw yang berilmu silat
tinggi, ada yang mencorong sinar matanya, tampaknya sangat tinggi ilmu silatnya.
Mereka pun berpaling mengamat-amati Pwe-giok dan Lui-ji, ada pemuda cakap dan gadis
cantik berjalan bersama dengan bergandengan tangan, siapapun pasti akan melemparkan
pandang sekejap dua kejap kepada mereka.
Ini belum lagi aneh, yang aneh ialah air muka orang-orang ini semuanya kelihatan prihatin,
seperti menanggung beban pikiran apa-apa. Beberapa orang di antaranya ketika melihat Ji
Pwe-giok lantas menampilkan rasa terkejut, seperti kenal padanya, tapi kebanyakan orang
hanya memandangnya sekejap saja, lalu menunduk dengan muram.
231 Dalam pada itu pintu gerbang perkampungan Tong-keh-ceng sudah kelihatan dari jauh,
orang-orang yang melalui jalan ini pasti akan menuju ke Tong-keh-ceng, tapi mengapa ada
orang sebanyak ini yang berkunjung ke Tong-keh-ceng secara beramai-ramai begini"
Apakah terjadi sesuatu peristiwa besar di Tong-keh-ceng"
Lui-ji menggenggam tangan Pwe-giok erat-erat, tiba-tiba ia mendesis, "Kau kira orang-orang
ini apakah tertipu oleh Tong Bu-siang gadungan itu sehingga mereka berbondong-bondong
datang ke sini" Tentunya dia sengaja mengumpulkan mereka, lalu membunuh mereka
sekaligus dengan senjata rahasianya yang berbisa itu."
Bila teringat kepada keganasan Ji Hong-ho gadungan, Yang Cu-kang dan lain-lain, tanpa
terasa Lui-ji merinding, ucapnya pula dengan parau, "Dengan demikian, maka segenap jago
persilatan di daerah Sujwan ini akan sekaligus terjaring seluruhnya."
"Mungkin nyalinya belum sebesar itu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Toh orang lain akan memasukkan kejadian itu dalam perhitungan dengan keluarga Tong,"
kata Lui-ji. "Dia kan berusaha mengacau dunia, tujuannya justeru ingin mengaduk dunia
Kangouw ini hingga kacau balau, apapun dapat dilakukannya."
Pwe-giok termenung, ucapnya kemudian, "Umpama dia berani berbuat demikian, di antara
anak murid keluarga Tong tentu juga ada yang cerdik dan pandai, belum tentu mereka mau
menurut secara membabi buta."
Meski di mulut dia berkata demikian, dalam hati sebenarnya jauh lebih kuatir daripada Lui-ji,
sebab dia tahu betapa keras tata tertib rumah tangga Tong, perintah sang ketua harus dipatuhi
dan tidak mungkin berubah, sekalipun anak murid keluarga Tong ada yang tidak setuju juga
tidak berani membangkang secara terang-terangan.
Maklumlah anggota keluarga Tong terdiri dari anak cucu keluarga Tong sendiri tanpa unsurunsur
dari luar, tata tertib rumah tangga lebih keras daripada tata tertib perguruan,
Ciangbunjin adalah pimpinan tertinggi, maka kekuasaan kepala keluarga Tong jauh lebih
besar daripada ketua perguruan lain, meski Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay sekalipun.
Lui-ji seperti ingin bicara apa-apa lagi, tapi pada saat itu juga tiba-tiba diketahui orang-orang
yang berjalan di depan begitu sampai di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng, serentak orangorang
itu sama bertekuk lutut. Bahkan di tengah kerumunan orang banyak itu sayup-sayup
terdengar suara orang menangis.
Lui-ji saling pandang sekejap dengan Pwe-giok, keduanya sama-sama heran.
Dalam pada itu sekeliling tanah lapang di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng telah berjubal
penuh orang berlutut, di dalam pintu gerbang juga ada belasan orang yang berlutut dan
membalas hormat kepada orang-orang di luar.
Belasan orang di dalam pintu itu tampak berpakaian berkabung dengan wajah yang berduka
cita, beberapa diantaranya bahkan merah bendul matanya. Pwe-giok kenal seorang
diantaranya yang bermuka bundar dan rada gendut, yaitu murid ke tujuh dalam keluarga
Tong, terkenal di dunia Kangouw dengan julukan "Jian-jiu-mi-to" atau si Budha gendut seribu
232 tangan, namanya Tong Siu-jing, dia inilah yang menjabat sebagai juragan restoran yang
merangkap sebagai penyambut tamu.
Seorang lagi juga dikenal Pwe-giok, yaitu yang bermuka lebar, ialah Tong Siu-hong yang
berjuluk "Thi-bin-giam-lo" atau si raja akhirat berwajah besi, artinya selalu bertindak tegas
tanpa kenal ampun dan tidak pandang bulu.
Kedua orang ini bukan saja terhitung anak murid keluarga Tong pilihan, bahkan di dunia
Kangouw juga sudah lama termasyhur namanya. Tapi kini kedua orang inipun memakai baju
berkabung, menyambut tamu dalam kedudukannya sebagai Haulam atau putera orang yang
wafat. Jelaslah sekarang bahwa dalam keluarga Tong telah kematian orang, bahkan orang
yang mati ini berkedudukan sangat tinggi dan terhormat.
Sungguh Pwe-giok tidak dapat menerkanya siapakah yang meninggal dunia itu"
Lui-ji tampaknya juga tercengang, bisiknya kepada Pwe-giok, "Kita terlambat tiba di sini,
entah sudah berapa banyak anggota keluarga Tong yang menjadi korban kekejiannya. Dia
tidak mencelakai orang luar, tapi membunuh dulu anggota keluarganya sendiri, hal inipun
sangat aneh." Meski dia bicara dengan pelahan, tapi ada sebagian orang yang telah berpaling dan
memandangnya. Orang lain sama bertekuk lutut, hanya mereka berdua saja yang berdiri
ditengah-tengah orang banyak, dengan sendirinya sangat menarik perhatian orang lain.
Pwe-giok berkerut kening, cepat ia tarik Lui-ji dan ikut berlutut. Meski tidak rela, tapi mau
tak mau anak dara itu menurut juga.
Terdengarlah seorang berseru dengan menangis, "Sungguh langit dan awan yang tak dapat
diramal, dan manusia setiap saat dapat dirundung malang atau tertimpa rejeki. Orang yang
bijaksana seperti Tong-loyacu kita harapkan sedikitnya akan berumur panjang hingga seratus
tahun, siapa tahu sekarang beliau telah wafat."
Lalu seorang tadi menyambung, "Tapi orang meninggal tak dapat hidup kembali, hendaklah
saudara jangan terlalu berduka. Kepergian Tong-loyacu merupakan suatu kehilangan besar
bagi dunia Kangouw umumnya dan Bu-lim daerah Sujwan khususnya, maka untuk
selanjutnya diperlukan kepemimpinan saudara sekalian."
Orang yang bicara ini sudah ubanan, tampaknya seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan
daerah Sujwan, sebab itulah dia hanya membahasakan pihak tuan rumah sebagai saudara
karena dia anggap dirinya sendiri lebih tua.
Sebaliknya para anak murid keluarga Tong hanya mengangguk rendah-rendah dan tidak ada
yang menanggapi, semuanya tampak menangis sedih.
Yang mati ternyata "Tong Bu-siang" adanya.
Sungguh Pwe-giok tidak berani percaya, tapi mau tak mau harus percaya.
Cu Lui-ji juga melenggong, sampai sekian lama tak dapat bicara. Setelah orang yang berlutut
itu beramai-ramai sudah bangkit, barulah dia berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan,
233 "Tong Bu-siang gadungan tidak nanti mati, sampai Tong Giok yang merupakan orang
kepercayaan keluarga Tong juga mengakui Tong Bu-siang palsu itu sukar dibedakan cirinya,
tidak nanti anggota keluarga Tong yang lain dapat mengetahui kepalsuannya hanya dalam
waktu sesingkat ini."
Setelah mengerling kembali ia berkata, "Maka kukira, bisa jadi dengan jalan ini dia sengaja
hendak memancing kedatangan orang banyak..."
Tapi Pwe-giok lantas menggeleng, katanya, "Jika dia ingin memancing orang-orang ini ke sini
cara lain masih cukup banyak, kukira tidak perlu pura-pura mati. Apalagi duka cita yang
diperlihatkan anak murid keluarga Tong tampaknya juga tidak pura-pura."
"Jika begitu, jadi kau anggap anak murid keluarga Tong telah mengetahui kepalsuannya, lalu
membunuhnya?" tanya Lui-ji.
"Juga tidak bisa terjadi begitu," kata Pwe-giok. "Kalau anak murid keluarga Tong mengetahui
kepalsuannya dan membunuhnya, tentu mereka takkan sedemikian berdukanya dan
mengadakan upacara pemakaman sebesar ini."
"Habis bagaimana, apakah dia mati karena sakit keras mendadak?" kata Lui-ji pula.
"Juga tidak mungkin," ujar Pwe-giok. "Ji.... orang she Ji itu cukup licin dan dapat berpikir
panjang, kalau dia sudah berani mengirimnya ke sini tentu kesehatan orang ini dapat
diandalkan, tidak nanti dia mati sakit. Mana mereka mau bersusah payah membuang pikiran
dan tenaga serta daya atas diri yang tak dapat diandalkan."
"Betul juga," kata Lui-ji. "Jika mereka berani mengirimnya ke sini, dengan sendirinya mereka
yakin Tong Bu-siang gadungan itu takkan ketahuan belangnya dan juga tidak mungkin mati
sakit mendadak. Tong Bu-siang gadungan sendiri juga tidak mungkin pura-pura mati, lantas
mengapa dia mati?" Pwe-giok tak dapat menjawabnya.
Kejadian itu memang di luar dugaan dan sukar untuk dibayangkan.
***** Orang yang melayat itu kemudian membanjir masuk ke dalam Tong-keh-ceng.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji ikut arus manusia masuk ke sana. Urusan sudah kadung begini,
mereka hanya dapat maju dan tidak dapat mundur lagi.
Terlihat setiap rumah di kedua sisi jalan raya di dalam Tong-keh-ceng sama tutup pintu,
semuanya ikut berkabung, wajah setiap orang tampak muram durja. Maka Pwe-giok tambah
yakin apa yang terjadi ini pasti bukan cuma pura-pura belaka.
Pada ujung jalan raya sana ada sebuah ruang pendopo yang sangat luas, di situlah biasanya
anak murid keluarga Tong mengadakan rapat, tapi sekarang pendopo ini digunakan sebagai
tempat semayam peti mati Tong Bu-siang.
234 Terdengar suara tangisan ramai di ruang besar itu, para pelayat satu persatu bergiliran masuk
ke sana menyampaikan penghormatan terakhir.
Pwe-giok dan Lui-ji juga ikut di belakang dan masuk ke ruangan pendopo itu. Wajah setiap
orang tampak berduka cita, sekalipun orang yang biasanya tidak ada hubungan dengan Tong
Bu-siang, kini mau tak mau juga ikut sedih oleh suasana yang memilukan ini.
Di tengah pendopo terletak peti mati Tong Bu-siang dan meja sembahyang, di belakang peti
mati terpasang tabir yang panjang, suara tangisan di belakang tabir terdengar lebih berduka
daripada yang lain, sebab famili perempuan keluarga Tong sama berada di situ.
Jika suara tertawa orang perempuan umumnya lebih lirih daripada suara tertawa orang lelaki,
maka suara tangis orang perempuan jauh lebih keras daripada lelaki.
Di kedua sisi pendopo terdapat dua - tiga puluh meja bundar besar, hampir semua meja sudah
penuh dikelilingi tetamu, agaknya para pelayat sedang menunggu akan mencicipi perjamuan
berduka cita keluarga Tong.
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun. Para pelayat ini entah datang untuk makan atau benarbenar
hendak berbela sungkawa terhadap orang mati"
Pelayat yang datang belakangan banyak yang melongok ke sini dan memandang ke sana,
kuatir tidak mendapatkan tempat di meja perjamuan. Tapi segera ada anak murid keluarga
Tong yang bertugas sebagai penyambut tamu membawa mereka keluar. Kiranya di tanah
lapang di depan pendopo juga sudah penuh terpasang berpuluh meja perjamuan.
Maka senanglah para pelayat itu, semuanya berduduk lalu perjamuan lantas dimulai, santapan
lezat pun disajikan berturut-turut.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji ikut berduduk di tengah para pelayat itu. Karena menanggung
macam-macam pikiran, tidak ada napsu makan mereka, sebaliknya para pelayat yang tadi
kelihatan berduka cita kini sedang makan dengan lahapnya.
Diam-diam Lui-ji menarik ujung baju Pwe-giok dan bertanya, "Apakah kita hanya duduk
makan di sini, habis makan lantas angkat kaki, begitu?"
Pwe-giok hanya menyengir saja tanpa menjawab
Sambil menggigit bibir Lui-ji berkata pula, "Mengapa tidak kau cari nona yang bernama Tong
Lin itu untuk mencari keterangan tentang apa yang terjadi sebenarnya?"
Nyata nadanya masih berbau cuka alias cemburu.
Selagi Pwe-giok merasa serba salah, tiba-tiba datang seorang genduk cilik yang mendekat ke
sini, yang dicari juga bukan orang lain, tapi justeru Pwe-giok.
Setiba di depan Pwe-giok, babu cilik itu memberi hormat dan bertanya dengan suara pelahan,
"Tuan ini Ji Pwe-giok, Ji-kongcu bukan?"
235 Tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa babu cilik itu mengenalinya, lebih-lebih tak diketahuinya
ada urusan apa mendadak dirinya ditanyakan" Terpaksa ia menjawab. "Betul, aku memang Ji
Pwe-giok." Dengan suara bisik-bisik seperti sangat rahasia babu cilik itu berkata pula, "Orang yang
terhormat sebagai Ji-kongcu mana boleh berduduk di sini" Di dalam ada tempat bagi tamu
agung, silakan Ji-kongcu berpindah ke dalam saja."
Pwe-giok menjadi bingung, mengapa dirinya bisa mendadak berubah menjadi tamu agung, ia
menjawab dengan ramah, "Di sini sudah cukup baik, nona tidak perlu repot."
"Tapi nona kami memberi pesan wanti-wanti kepada hamba agar jangan kekurangan
pelayanan terhadap Ji-kongcu, jika Ji-kongcu tidak sudi pindah ke dalam, tentu hamba akan
dimarahi nona." Mendengar "nona" yang disebut-sebut itu, seketika air muka Lui-ji berubah kecut, segera ia
berdiri dan berkata, "Jika demikian, marilah kita pindah ke dalam saja."
Genduk cilik itu memandangi Lui-ji dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, lalu berkata
pula, "Tapi di dalam juga sudah.... sudah penuh, tinggal satu tempat saja, maka.... maka
nona...." Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia tarik Pwe-giok dan diajak masuk ke dalam.
Tampaknya genduk itu menjadi serba susah, ingin merintangi juga tidak berani, terpaksa ia
berkata, "Harap nona tinggal di sini saja...."
Tiba-tiba Lui-ji menoleh dan tertawa, katanya, "Bukan nona, tapi nyonya!"
"Nyonya?" genduk itu menegas dengan mulut melongo.
"Ya, nyonya Ji, Ji-hujin," kata Lui-ji
Genduk itu tambah tercengang, "Ji... Ji-hujin?" kembali ia menegas.
"Betul, Ji-hujin," Lui-ji tersenyum. "Kalau Ji-kongcu diundang ke dalam, masakah Ji-hujin
mesti duduk sendirian di luar sini?"
Seketika genduk cilik itu terbelalak, sampai sekian lamanya barulah ia menunduk dan berkata,
"Baiklah, silahkan Tuan dan Nyonya."
Kembali Pwe-giok dibuat serba salah oleh olah Lui-ji itu, ia tahu pasti Tong Lin yang berada
di belakang tabir itu melihatnya, maka pelayan pribadi ini disuruh mengundangnya ke dalam.
Lui-ji memandangnya dengan tertawa tak tertawa dan mendesis, "Sudah kuduga, biarpun
tidak kau cari dia, tentu dia yang akan mencari dirimu."
Setiba di meja perjamuan ruangan dalam, Pwe-giok melihat yang hadir di sini kalau bukan
orang tua yang sudah ubanan tentu juga tokoh Bu-lim yang terhormat.
236 Iapun sungkan berbicara dengan orang, dia hanya memberi hormat sekedarnya kepada hadirin
yang lain, lalu berduduk dan angkat sumpit terus mencomot santapan. Sesungguhnya bukan
lantaran mereka rakus, tujuannya asalkan mulut terisi, maka bebaslah daripada macammacam
kerewelan. Sebaliknya orang-orang itu sama mendeliki mereka, agaknya heran mengapa keluarga Tong
membawa dua orang "anak kecil" ke tempat duduk kaum "Tokoh besar" sini.
Untuk menandakan mereka tidak suka akan kehadiran Pwe-giok berdua, mereka hanya saling
angkat cawan arak diantara mereka sendiri dan sengaja tidak menghiraukan Pwe-giok. Tak
tahunya sikap mereka ini justeru kebetulan malah bagi Pwe-giok.
Waktu itu di balik tabir sana ada sepasang mata yang merah bendul terlalu banyak menangis
sedang mengintip, setelah memandang Pwe-giok sekejap, lalu melotot ke arah Lui-ji. Sorot
matanya penuh rasa duka dan hampa, juga penuh rasa dendam dan benci.
Untung tiada seorang pun yang memperhatikan sepasang mata itu, sebab pada saat itu juga
dari meja perjamuan di pojok sana tiba-tiba maju seorang lelaki jangkung.
Orang ini berwajah hitam dan berpinggang kasar, bergodek, tampangnya sangat menyolok.
Dengan langkah lebar ia mendekati layon Tong Bu-siang, lebih dulu ia memberi hormat
kepada para hadirin, lalu berseru. "Tong-loyacu mempunyai nama besar dan terhormat, beliau
adalah tokoh utama dunia persilatan wilayah Sujwan sini, sekali ini beliau mendadak wafat,
tidak ada seorangpun di dunia persilatan Sujwan sini yang tidak merasa kehilangan dan
berduka cita." Kata-kata demikian entah sudah berapa kali diucapkan orang, tapi orang ini masih sok aksi
dan mencerocos panjang lebar, tentu saja membosankan hadirin yang lain, semua orang saling
pandang dan mengira orang ini mungkin kurang waras.
Tapi lelaki hitam itu seperti tidak perduli dengan orang lain, ia menyambung lagi, "Yang
paling harus disesalkan adalah akhir-akhir ini Tong-loyacu selalu berdiam di dalam rumah
dan jarang keluar. Biasanya orang-orang luar memang kurang beruntung dapat berjumpa
dengan beliau, sekarang beliau berpulang ke alam baka, selanjutnya kita akan terpisah untuk
selamanya dan tidak dapat menemui beliau lagi. Sebab itulah sekarang ada usulku, kita harus
memberi penghormatan yang terakhir kali di hadapan wajah beliau sekedar kenangkenangan."
Haulam, yaitu putera yang ditinggal mati, atau diwakilkan muridnya, memberi hormat dan
menjawab, "Tapi peti mendiang guru kami sudah tertutup, maksud baik anda ini kami terima
dengan terima kasih di dalam hati saja, di alam baka arwah guru kami pun akan merasa
terhibur." Jawaban ini sebenarnya cukup sopan dan beralasan, tapi lelaki muka hitam itu tetap ngotot
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada pendiriannya, dia malah mendekati peti mati dan berteriak, "Kalau untuk memandang
terakhir kali saja tidak dapat, bukankah kita akan menyesal selama hidup?"
Haulam tadi menjawab pula, "Peti mati yang sudah di tutup tidak boleh diganggu lagi, diharap
anda maklum, untuk maksud baik anda kami mengucapkan terima kasih."
237 Meski jawaban mereka kelihatan tetap ramah tamah, tapi air muka mereka sudah kelihatan
kurang senang, nadanya juga sudah berubah agak kasar.
Tak tahunya lelaki muka hitam itu tetap tidak tahu diri, masih terus ngotot ingin melihat
wajah Tong Bu-siang yang terakhir, ia berteriak pula, "Ku datang dari tempat beribu Li
jauhnya, tentunya tidak boleh pulang dengan kecewa. Sudah lama ku kagum pada nama
kebesaran Tong-loyacu, masa untuk melihatnya satu kali saja tidak dapat?"
Sambil gembar-gembor ia terus berlari mendekati peti mati.
Keruan para hadirin sama gempar, banyak yang mengira orang ini sudah gila, tapi Pwe-giok
dapat melihat orang ini pasti mempunyai maksud tujuan tertentu dan sukar diraba.
Bagi Lui-ji, dia justeru berharap orang itu dapat membongkar peti mati selekasnya, ingin
diketahuinya di dalam peti mati itu apakah betul Tong Bu-siang atau bukan" Ingin dilihatnya
cara bagaimana kematian Tong Bu-siang"
Para Haulam yang berlutut di depan layon menjadi panik juga, serentak mereka berdiri.
Jika dalam keadaan biasa, orang ini berani main gila di Tong-keh-ceng, tentu sejak tadi orang
ini telah dibereskan. Tapi sekarang kedudukan mereka adalah keluarga yang sedang berdukacita,
mana boleh pakai kekerasan di depan layon orang tua sendiri.
Terpaksa mereka hanya menghadang saja di depan lelaki muka hitam itu dan menegur dengan
menahan rasa gusar, "Mungkin anda ini mabuk!"
"Siapa yang mabuk?" kata orang itu. "Satu tetes saja aku tidak minum. Tujuanku hanya ingin
melihat Tong-loyacu untuk penghabisan kalinya, masa perbuatan itu melanggar undangundang?"
Seorang lelaki kekar yang duduk dekat Pwe-giok mendadak menggebrak meja dan berdiri,
bentaknya, "Hendaknya kau tahu diri, sobat! Meski saudara dari keluarga Tong tidak leluasa
turun tangan, tapi bila kau berani sembarangan main gila, aku Nyo Eng-tay yang pertamatama
akan memberi hajaran padamu."
Nyo Eng-tay ini berjuluk "Kay-pi-jiu", si tangan pembelah pilar, namanya cukup gemilang di
dunia persilatan daerah Sujwan. Ucapannya ini juga cukup gagah perkasa dan beralasan,
segera ada orang bersorak mendukungnya.
Tak terduga mendadak dari luar ada orang menjengek, "Hm, Nyo Eng-tay, sebaiknya kau pun
tahu diri sedikit dan lekas tutup mulut! Kalau tidak, sebentar orang pun akan membongkar
perbuatanmu di Soa-peng-pah dahulu itu!"
Suara orang itu kedengaran seperti suara banci, para hadirin sama melongok ke arah suaranya,
tapi tiada kelihatan bayangan seorangpun.
Namun begitu wajah Nyo Eng-tay sudah lantas merah padam, sekujur badan kelihatan
gemetar, benarlah, dengan ketakutan ia lantas duduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
238 Pada saat itu ada seorang tua yang mungkin cukup berkedudukan seperti ingin bicara, tapi
seorang tua lain cepat menariknya dan membisikinya, "Untuk apa Oh-heng mencari susah
sendiri" Urusan keluarga Tong biar diselesaikan mereka sendiri, masa orang luar perlu ikut
campur?" Benar juga, orang itupun duduk kembali dan tutup mulut.
Pwe-giok tambah curiga, kini dapat diketahuinya bahwa maksud tujuan lelaki muka hitam itu
jelas sengaja cari perkara, bahkan di belakangnya pasti ada yang mendalanginya. Orang yang
bersuara di luar tadi bisa jadi juga begundal "Ji Hong-ho" itu.
Jika demikian, kematian "Tong Bu-siang" pasti juga mengandung rahasia sangat besar.
Tampaknya anak murid keluarga Tong juga merasakan gelagat tidak enak, diam-diam dari
luar sudah masuk beberapa orang dan telah menjaga rapat semua jalan keluar, agaknya lelaki
muka hitam itu takkan dibiarkan pergi begitu saja.
Tapi lelaki muka hitam ini hakekatnya tidak ada maksud pergi, dengan suara garang ia malah
berkata pula, "Mengapa kalian tidak mengijinkan orang luar melihat wajah Tong-loyacu yang
terakhir, apakah karena kematian Tong-loyacu ada sesuatu yang tidak beres" Jika demikian,
kami justeru harus melihat wajahnya."
Ucapan ini kembali membikin gempar para pelayat. Ada sebagian hadirin diam-diam
merasakan apa yang dikatakan orang ini juga cukup beralasan.
Tentu saja anak murid keluarga Tong bertambah gusar, segera ada yang membentak,
"Sahabat, kalau bicara hendaknya yang jelas dan tahu aturan."
"Masa ucapanku kurang jelas dan melanggar aturan?" jawab si muka hitam, "Jika kalian
sendiri tidak berbuat salah, mengapa...."
"Tutup mulut!" bentak seorang mendadak.
Suaranya tidak keras, tapi membawa semacam wibawa yang menundukkan orang. Tanpa
terasa lelaki bermuka hitam menyurut mundur dan tak berani bersuara lagi. Tertampaklah dari
balik tabir sana muncul beberapa orang perempuan berbaju putih berkabung.
Perempuan yang paling depan bertubuh ramping, baju berkabung yang putih mulus bersih
sekali, raut wajahnya yang agak lonjong kelihatan penuh rasa berduka, namun tidak
mengurangi wibawanya yang kereng dan disegani.
Inilah Tong Ki, nona pertama keluarga Tong yang memegang kekuasaan rumah tangga
tertinggi. Perempuan kedua bermuka bundar, matanya juga bundar besar, kelihatan lembut dan subur,
inilah model isteri bijak dan ibu yang baik, menantu teladan. Dia inilah isteri Tongtoakongcu,
namanya Li Be-ling. Orang ketiga bertubuh lemah kurus, matanya yang hitam rada cekung, biasanya selalu
berwajah sayu, kini kelihatan lebih berduka.
239 Dia seperti sengaja melirik sekejap ke arah Pwe-giok, lalu menunduk, sorot matanya
memancarkan setitik perasaan benci, seakan-akan menyatakan tidak ingin lagi melihat anak
muda itu. Inilah nona kedua keluarga Tong, yakni Tong Lin.
Begitu muncul dari balik tabir, ketiganya lantas memberi hormat kepada para hadirin.
Serentak para tamu membalas hormat mereka.
Sambil menyembah di lantai Tong Ki berkata, "Atas wafatnya ayah kami dan berkat
kehadiran kalian yang sudi melayat kemari, lebih dulu atas nama keluarga kuucapkan terima
kasih." Beramai-ramai para tamu menyatakan bela sungkawanya.
Lalu Tong Ki berucap pula, "Sebenarnya tidak pantas kami keluar menemui para hadirin, tapi
lantaran ini...." pelahan dia angkat kepalanya dan menatap tajam lelaki muka hitam, lalu iapun
berdiri dan bertanya, "Bolehkah kiranya mengetahui nama anda yang mulia?"
Lelaki muka hitam berdehem dua-tiga kali, lalu berkata, "Cayhe Gui Som-lim, tidak lebih
hanya Bu-beng-siau-cut (perajurit kecil tidak bernama) dunia Kangouw, hanya saja...."
Mendadak Tong Ki menarik muka, tukasnya dengan suara bengis, "Bagus, Gui Som-lim, coba
jawab, siapa yang menyuruh kau kemari?"
Diam-diam Pwe-giok memuji, "Nona besar keluarga Tong ini memang benar pahlawan kaum
wanita, pintar dan cerdik, sama sekali dia tidak menegur kelakuan Gui Som-lim yang
berteriak-teriak tadi, tapi langsung bertanya siapa yang menyuruh dia ke sini. Hanya satu
pertanyaan saja sudah mengalihkan perhatian semua orang. Dengan sendirinya Gui Som-lim
takkan mengaku diperintah orang lain, tapi bila dia tidak dapat memberi keterangan, tentu
takkan ada orang lain lagi yang menyangsikan sebab musabab kematian Tong Bu-siang."
Tadi Gui Som-lim masih berseri-seri dan gembar-gembor, tapi sekarang air mukanya berubah
pucat, ia menjawab dengan agak gelagapan, "Cayhe datang melayat dan tidak.... tidak disuruh
oleh siapa-siapa." Tong Ki menjengek, "Ruangan layon ini bukanlah tempat untuk membunuh, tapi kalau kau
tidak bicara sejujurnya...."
Mendadak ia berhenti dan memberi tanda lambaian tangan. Seketika di luar ada bunyi
gembereng satu kali. Lalu Tong Ki menyambung ucapannya, "Nah kau dengar suara gembereng itu, bukan?"
"Ya, deng... dengar." jawab Gui Som-lim.
"Bila gembereng sudah berbunyi tiga kali dan belum lagi kau bicara terus terang, segera
darahmu akan berhamburan di sini," ancam Tong Ki.
240 Dia bicara dengan tenang saja, namun nadanya berwibawa dan membikin orang mau tak mau
percaya akan kebenaran ancamannya itu.
Wajah Gui Som-lim tampak pucat pasi, dengan suara terputus-putus ia menjawab. "Apa yang
kukatakan tadi adalah.... adalah sejujurnya."
Tong Ki tidak menanggapi lagi, ia berdiri dengan berlipat tangan seolah-olah tidak mendengar
ucapan orang. Menyusul di luar ruangan gembereng berbunyi pula satu kali.
Mendadak Gui Som-lim membalik tubuh terus berlari pergi secepat terbang. Nyata ia
bermaksud kabur. Akan tetapi saat itu juga Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong segera muncul dari luar, keduanya
tepat menghadang jalan pergi Gui Som-lim.
Thi-bin-giam-lo, si raja akhirat bermuka besi, sesuai julukannya, Tong Siu-hong memang
tegas dan tidak kenal ampun terhadap siapapun yang bersalah. Kini matanya tampak merah
membara, napsu membunuhnya berkobar.
Gui Som-lim bergidik dan tanpa terasa menyurut mundur selangkah demi selangkah.
Mendadak gembereng berbunyi pula.
Pada saat itulah di tengah para pelayat itu mendadak terdengar suara jeritan ngeri!
Sebarisan orang yang berdiri di depan layon sana sama menampilkan perasaan takut luar
biasa. Tanpa terasa Tong Ki juga berpaling ke sana ....
Dan sekali pandang, seketika iapun terperanjat.
Kiranya peti mati Tong Bu-siang entah sejak kapan telah dibuka orang, mayat Tong Bu-siang
telah berdiri tegak bersama peti matinya, di bawah cahaya yang remang-remang kelihatan
mukanya yang pucat kuning, mata terpejam, meski tidak begitu menakutkan mukanya, tapi
keseraman orang mati cukup membikin orang merinding.
"Di belakang peti pasti ada orang, tangkap!" teriak Tong Ki bengis.
Serentak Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong menubruk maju ke sana.
Pada saat itu pula mayat Tong Bu-siang mendadak melayang keluar dengan kaku dari peti
matinya. Pwe-giok juga sudah dapat melihat di belakang peti mati pasti ada orang membikin mayat
Tong Bu-siang terpental dengan Lwekang yang kuat, tapi mendadak berhadapan dengan
kejadian aneh luar biasa ini, tanpa terasa tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin.
241 Dilihatnya mayat Tong Bu-siang yang kaku itu langsung menerjang ke arah Tong Siu-hong
dan Tong Siu-jing yang lagi menubruk ke depan. Mestinya mereka tidak berani menggunakan
tangan untuk menangkap mayat itu, tapi mau tak mau mereka harus menangkapnya.
Suara aneh yang berbunyi di luar jendela kembali bergema pula dari balik peti mati, ucapnya
dengan seram, "Tong Bu-siang sudah muncul, kenapa kalian tidak lekas menyembah
padanya?" Belum lenyap suaranya, serentak empat atau lima orang anak murid keluarga Tong telah
menubruk ke sana. Meski sedang berkabung, namun dalam baju mereka selalu membawa
Am-gi atau senjata rahasia khas keluarga Tong yang termasyhur.
"Roboh, sahabat!" bentak salah seorang.
Berbareng dengan suara bentakan itu, senjata rahasia merekapun berhamburan, berpuluh
bintik hitam menyambar ke belakang peti mati bagai hujan gerimis.
Am-gi keluarga Tong tiada bandingannya di dunia ini, bukan saja buatannya cermat dan
bagus, cara menyambitkannya juga bergaya khas. Berpuluh bintik hitam itu menyambar ke
depan dengan kecepatan yang berbeda, ada yang lambat, ada yang cepat, yang cepat belum
tentu sampai lebih dulu, yang lambat bisa mendadak menyambar tiba dengan kuat. Jadi sukar
diraba dan susah dijaga. Semua orang mengira orang yang berada di belakang peti mati itu sekali ini pasti sukar
terlolos dari kematian. Siapa tahu mendadak terdengar suara tertawa panjang, berpuluh bintik
senjata rahasia itu mendadak berputar haluan di udara, semuanya terbang balik dan
menyambar ke arah anak murid keluarga Tong sendiri.
Sambaran membalik ini jelas lebih keras daripada sambaran ke sana tadi, tampaknya dengan
segera senjata akan makan tuannya.
Keruan anak murid keluarga Tong itu terkejut, cepat mereka menutupi muka sendiri dengan
tangan kanan, tangan kiri melintang di depan dada, lalu melompat ke atas dan berjumpalitan
sekali, ketika jatuh ke lantai, serentak mereka menggelinding jauh ke sana.
Cara menghindar mereka sudah cepat, tapi sambaran Am-gi jauh lebih cepat. Tanpa ampun
pundak dan lengan ke empat orang masing-masing terkena beberapa bintik senjata rahasia
tersebut, belum lagi mereka melompat bangun, lebih dulu mereka merogoh saku dan
mengeluarkan botol kecil, obat penawar racun dalam botol terus ditelan, lalu berbaring di
lantai dan tidak berani bergerak sedikitpun.
Maklumlah, senjata rahasia keluarga Tong terkenal maha lihay racunnya, sampai di mana
kekejiannya tentu mereka sendiri yang paling tahu. Jika urat nadi yang berdekatan dengan
jantung terkena senjata rahasia itu, dengan cepat racun akan menyerang jantung, sekalipun
ada obat penawar buatan khusus juga belum tentu dapat menyelamatkan jiwa mereka.
Bila mata yang terkena senjata rahasia itu, sekalipun dapat ditolong, namun penderitaan
mengorek mata dan membedah kulit daging tentu juga dapat dibayangkan.
242 Sebab itulah lebih dulu mereka melindungi bagian-bagian yang fatal dengan tangan sendiri,
sekarang setelah makan obat penawar toh mereka tetap kuatir racun akan menjalar, maka
mereka harus berbaring diam, setelah obat penawar sudah berjalan barulah mereka berani
berdiri. Di sebelah sini ke empat orang terluka dan roboh, di sebelah sana Tong Siu-hong dan Tong
Siu-jing juga sudah menurunkan mayat yang mereka pegang, lalu mereka menerjang musuh
pula dari kanan dan kiri.
Pengalaman tempur dan kungfu kedua orang ini dengan sendirinya jauh lebih tinggi daripada
sesama saudara seperguruannya, bahkan gerakan merekapun jauh lebih cermat.
Tak terduga, pada saat itulah, "blang", mendadak peti mati itu pecah menjadi dua, terbelah
bagian tengah, lalu menghantam ke kanan dan ke kiri, memapak serbuan Tong Siu-jing dan
Tong Siu-hong. Peti mati itu terbuat dari kayu pilihan, biarpun tertanam di bawah tanah berpuluh tahun juga
tetap utuh tanpa keropos, maka dapat dibayangkan betapa kuat dan kerasnya.
Tapi sekarang sekali tabas dengan telapak tangannya orang itu sanggup membelahnya
menjadi dua, keruan semua orang terkejut.
Seketika Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong merasa pecahan peti mati itu menindih tiba bagai
gugur gunung dahsyatnya, masih berjarak cukup jauh sudah terasa daya tindihnya yang hebat
sehingga napaspun terasa sesak.
Dalam kejutnya kedua orang itu cepat menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, maka
terdengarlah suara gemuruh, kedua potong peti mati yang pecah itu menghantam lantai dan
mencelat pula ke sana dan menumbuk dinding, seketika batu pasir bertebaran.
Sial bagi yang terciprat batu, banyak yang menjerit kesakitan. Yang tidak tertimba batu juga
cepat-cepat berlari menyingkir, malahan ada yang sembunyi di kolong meja sehingga meja
kursi berjungkir balik dan mangkuk piring pecah berantakan.
Setelah kekacauan agak mereda, barulah semua orang melihat di samping mayat Tong Busiang
telah berdiri seorang berbaju hijau dengan tersenyum simpul.
Anak murid keluarga Tong serentak mengepungnya dan mengawasi musuh dengan siap
serbu. Namun orang ini tetap menghadapi mereka dengan tertawa pongah seperti tiada sesuatu
yang ditakutinya. Orang ini bukan saja sangat muda, tampaknya juga sopan santun, juga sangat cakap, hanya
sikapnya kelihatan kemalas-malasan, mirip orang yang selalu kurang tidur.
Tidak ada seorang Kangouw yang hadir ini kenal pemuda ini, siapapun tidak menyangka
orang semuda ini memiliki tenaga dalam sedemikian hebat.
Hanya Pwe-giok dan Lui-ji saja yang kenal orang ini, tapi mereka jauh lebih terkejut daripada
orang lain, sebab mereka tidak pernah menyangka pembuat gara-gara ini ialah Yang Cu-kang.
243 ***** Akhirnya Yang Cu-kang datang juga!
Anak murid keluarga Tong sama melolos senjata dan mengepungnya di tengah, setiap saat
mereka siap turun tangan.
Tapi mendadak Tong Ki membentak dengan suara tertahan, "Mundur semua!"
Tampaknya nona besar keluarga Tong ini sekarang sudah bertindak selaku Ciangbunjin,
begitu dia memberi perintah, serentak anak murid keluarga Tong terpencar, sampai Tong Siuhong
juga meluruskan tangan dan tunduk kepada perintahnya.
Di tengah kekalutan juga cuma Tong Ki saja yang tetap dapat mempertahankan
ketenangannya, sorot matanya seperti kilat berkelebat mengusap wajah Yang Cu-kang. Lalu
jengeknya, "Usia anda masih muda, tapi kungfumu sudah setinggi ini, tentu anda anak murid
orang kosen. Tapi mengacau di ruang layon orang lain, membikin anggota keluarganya yang
hidup tambah susah dan membuat yang mati merasa terhina, apakah cara inipun termasuk
ajaran perguruan anda?"
Asalkan nona besar keluarga Tong sudah buka suara, setiap katanya pasti mempunyai bobot.
Kini dia tidak bertanya siapa nama dan asal usul orang, sebaliknya semua perbuatannya itu
ditumplekkan atas perhitungan perguruannya, hal ini membuat lawan menjadi serba susah
untuk menjawab. Yang Cu-kang mengamat-amati Tong Ki beberapa kejap, dari atas dipandangnya ke bawah
dan dari bawah diulang lagi ke atas, lalu berkata dengan tertawa, "Pantas orang Kangouw
sama bilang nona besar keluarga Tong kita lihay dan galak, seekor harimau betina, setelah
berhadapan sekarang ternyata memang tidak bernama kosong, benar-benar tidak bernama
kosong...." Dia menengadah dan terbahak-bahak, mendadak ia berhenti tertawa, dengan sorot mata yang
tajam dia tatap para hadirin yang memenuhi ruangan luar dan dalam itu, lalu berseru dengan
lantang, "Cayhe Yang Cu-kang adanya, meski bukan anak murid perguruan ternama segala,
juga bukan keturunan keluarga terhormat, tapi juga tidak nanti melakukan hal-hal yang
melanggar tata susila begini. Apa yang kulakukan sekarang ini tidak bermaksud mengganggu
arwah Tong-locianpwe, sebaliknya ingin kutuntut kebenaran baginya, sebab itulah diharapkan
para hadirin suka memberi keadilan."
Ia kuatir perbuatannya mengganggu mayat dan merusak peti mati itu akan menimbulkan
Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amarah umum. Tapi setelah uraiannya ini, pandangan semua orang lantas berubah lagi. Semua
orang telah tertarik oleh kata "menuntut kebenaran" tadi, semuanya lantas berpikir, "Apakah
barangkali kematian Tong-locengcu ini ada sesuatu yang tidak beres?"
Tong Ki tidak sabar lagi, segera ia menjengek, "Kiranya orang she Gui itu adalah suruhanmu,
kau suruh dia mengacau di depan layon untuk memancing perhatian orang banyak, kau
sendiri lantas mengacau di belakang peti, begitu bukan?"
Yang Cu-kang menjawab dengan tak acuh, "Demi menuntut kebenaran bagi Tong-locianpwe
segala apapun dapat kulakukan."
244 "Jangankan ayahku wafat secara wajar, sekalipun pada masa hidup beliau ada permusuhan
dengan siapa-siapa, segala persoalannya masih dapat diselesaikan oleh putera-puterinya,
kukira tidak perlu kau ikut campur," seru Tong Ki dengan bengis.
"Oo" Apakah betul kalian dapat menyelesaikannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Tentu, kenapa tidak?" jawab Tong Ki.
"Bagus," ucap Yang Cu-kang. "Jika demikian, marilah kita melihat dulu siapakah kiranya
yang turun tangan keji terhadap Tong-locengcu, lalu...." sembari bicara iapun menarik mayat
Tong Bu-siang. Dengan gusar Tong Ki lantas membentak, "Jahanam, berani lagi kau ganggu jenazah ayahku"
Biarlah ku adu jiwa dengan kau!"
Dia sudah tahu kungfu Yang Cu-kang maha tinggi dan sangat mengejutkan, sebab itulah sejak
tadi ia menahan rasa gusarnya dan belum turun tangan, tapi sekarang semua itu seperti tidak
terpikir lagi olehnya, sekali berkelebat, tahu-tahu ia menubruk maju, kesepuluh jarinya yang
lancip segera mencengkeram mata dan tenggorokan Yang Cu-kang. Tipu serangan yang cepat
dan ganas, sekali turun tangan segera mengincar bagian yang mematikan.
Tapi Pwe-giok tahu kalau melulu kepandaian Tong Ki saja masih selisih sangat jauh untuk
dapat menandingi Yang Cu-kang.
Diam-diam Lui-ji juga berkuatir bagi Tong Ki. Betapapun perempuan tetap berharap sesama
perempuan akan mengalahkan kaum lelaki, akan tetapi Lui-ji juga berharap Yang Cu-kang
akan membongkar rahasia kematian Tong Bu-siang.
Meski perempuan bersimpati kepada sesama perempuan, tapi perempuan juga lebih suka
mencari tahu rahasia orang lain.
Dalam pada itu Tong Siu-hong dan Tong Siu-jing juga sudah menubruk maju, bersama Tong
Ki mereka mengerubuti Yang Cu-kang dari tiga jurusan.
"Apakah cuma sekian saja ilmu silat keluarga Tong?" ejek Yang Cu-kang dengan tertawa.
Selesai dia berucap demikian, tahu-tahu jenazah Tong Bu-siang sudah diangkat olehnya.
Serangan Tong Ki bertiga juga mengenai tempat kosong seluruhnya.
Yang Cu-kang terus berputar cepat seperti gasingan, mayat Tong Bu-siang digunakan sebagai
perisai di depan tubuh. Apabila Tong Ki bertiga menyerang secara ganas, yang akan kena
lebih dulu tentulah mayat Tong Bu-siang.
Dengan sendirinya mereka menjadi ragu untuk menyerang lagi.
"Lepaskan jenazah guruku dan jiwamu akan kami ampuni!" teriak Tong Siu-hong dengan
murka. 245 "Haha, aku memang tidak bisa mati, tidak perlu minta ampun padamu!" jawab Yang Cu-kang
dengan tertawa. Makin cepat dia berputar sembari membuka baju mayat yang dikenakan Tong Bu-siang itu.
Air muka Tong Ki berubah pucat, ia berjingkrak dan mendamprat, "Keparat, betapa rendah
caramu merusak jenazah, harus kubinasakan kau dulu!"
Tampaknya ia menjadi nekat, tanpa menghiraukan apapun dia terus menerjang.
Tiba-tiba Yang Cu-kang berteriak, "Wahai para hadirin, lihatlah kalian, dia yang sengaja
hendak merusak jenazah Tong-locianpwe atau aku" Dia lebih suka menghancurkan tubuh
ayahnya yang sudah mati ini dan tidak memperbolehkan kuselidiki sebab-musabab
kematiannya, coba jawab, mengapa?"
Semua orang menjadi sangsi oleh uraian Yang Cu-kang ini, sampai Tong Siu-jing dan Tong
Siu-hong juga mulai ragu dan tidak main kerubut lagi bersama Tong Ki. Malahan ada orang
yang tidak tahan dan segera berteriak, "Nona Tong, kenapa tidak dibiarkan dia memeriksa
sebab musabab kematian Tong-locengcu?"
Serangan Tong Ki sangat cepat, hanya sekejap saja dia sudah menyerang dua-tiga puluh kali,
tapi setiap serangannya hanya menyerempet lewat saja di samping tubuh musuh, ujung
bajunya saja sukar menyenggolnya.
Kini Tong Ki baru merasakan betapa tinggi ilmu silat pemuda aneh ini. Mendadak ia berhenti
menyerang dan melompat mundur, ia menggentak-gentakkan kaki sambil mengucurkan air
mata, jeritnya dengan parau, "Para hadirin sudah bicara demikian, apabila aku tidak menurut,
akan kelihatan seperti ada sesuatu kesalahanku. Akan tetapi nama baik mendiang ayahku kini
harus menjadi korban perbuatan jahanam ini...." sampai di sini kerongkongannya terasa
seperti tersumbat dan air mata berderai.
Tong Lin dan Li Be-ling memburu maju dan memapah Tong Ki.
Dengan suara bengis Tong Siu-hong lantas berteriak, "Sahabat, jika kau ingin melihatnya
boleh silahkan, tapi kalau tiada menemukan sesuatu, lima ratus anak murid keluarga Tong
lebih suka mati seluruhnya sekarang juga daripada membiarkan kau lolos keluar dengan
hidup." "Apabila tidak kutemukan sesuatu, tanpa kalian turun tangan, aku sendiri akan mati lebih dulu
di sini," kata Yang Cu-kang dengan tertawa. Mendadak ia menarik muka, lalu menyambung
pula dengan sekata demi sekata, "Sebab sudah kuketahui, kematian Tong-locianpwe justeru
adalah korban perbuatan anak muridnya sendiri."
Ucapan ini seketika membikin gempar setiap orang. Lebih-lebih anak murid keluarga Tong,
semuanya jadi murka, beramai-ramai mereka membentak, "Kau berani sembarangan
memfitnah orang" kau ada bukti?"
"Kalian ingin bukti?" tanya Yang Cu-kang, "Baik!"
Mendadak ia angkat mayat Tong Bu-siang tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Inilah buktinya!"
246 Serentak anak murid keluarga Tong membanjir maju, yang di luar ruangan juga menerjang ke
dalam. Seketika ruangan pendopo yang besar itu menjadi berjubal-jubal. Tapi sekali lompat
Yang Cu-kang telah melayang ke atas.
Meski membawa sesosok mayat, tapi gerak tubuh Yang Cu-kang masih sangat gesit, sekali
lompat saja ia sudah hinggap di atas belandar pendopo, lalu berteriak dengan suara bengis,
"Tong-locianpwe mati terkena Am-gi perguruannya sendiri, bahkan mati di Tong-keh-ceng,
lalu siapa pembunuhnya kalau bukan anak murid keluarga Tong sendiri?"
Kejut dan gusar semua anak murid keluarga Tong, ada yang berteriak, ada yang mencaci
maki, ada yang menyiapkan senjata rahasia, tapi kuatir pula mengenai jenazah Tong Bu-siang
sehingga mereka hanya bergerak saja, tapi urung menyerang.
Ada beberapa orang di antaranya ikut melayang ke atas, tapi baru saja tubuh mereka
mengapung, kontan dia tergetar ke bawah lagi oleh angin pukulan yang dahsyat. Malahan ada
seorang yang jatuh menindih tubuh kawannya.
Dengan suara bengis Yang Cu-kang berteriak pula, "Apabila kalian ingin melihat bukti,
silahkan kalian memilih beberapa orang yang sekiranya terhormat untuk menjadi saksi dan
orang lain dipersilahkan mundur lebih dulu."
Kini Tong Ki berbalik jauh lebih tenang daripada tadi, sinar matanya gemerdep, tiba-tiba ia
berkata, "Baik, jika demikian, diharapkan Siok-san-sin-wan (si kera sakti dari Siok-san) Wanloyacu,
Kim-to Oh-toasiok, Khay-pi-jiu Nyo-toasiok dan Ji Pwe-giok, Ji-kongcu berempat
untuk menjadi wasit."
Sungguh tidak pernah terpikir oleh Pwe-giok bahwa Tong Ki mendadak akan menyebut
namanya, seketika ia melenggong.
Tapi Lui-ji lantas menarik ujung bajunya dan berseloroh, "Masa kau tidak tahu bahwa dirimu
adalah seorang tokoh ternama di dunia Kangouw" Ayolah lekas tampil ke depan!"
Si orang tua yang berolok-olok di dekat Pwe-giok tadi cepat mendekati anak muda itu dan
berkata sambil memberi hormat, "Tak tersangka anda inilah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu yang
baru-baru ini menggemparkan dunia Kangouw, sampai tokoh sakti Lo-cinjin juga sangat
memuji dirimu. Bilamana sikap kami tadi kurang menghormat, mohon sudi dimaafkan."
Berita dunia Kangouw ternyata sangat cepat tersebar, kejadian pada setengah bulan yang lalu
kini sudah diketahui orang sebanyak ini, sampai Nyo Eng-tay, Kim-to Oh Gi dan lain-lain
yang tadi meremehkan dia sekarang juga memandangi Pwe-giok dengan terbelalak, air muka
mereka penuh rasa kejut dan heran, seperti tidak percaya seorang pemuda tampan dapat
menggemparkan Kangouw hanya dalam waktu setengah tahun ini.
Pwe-giok sendiri tidak pernah membayangkan dirinya ternyata bisa menonjol dan terkenal
secepat ini. Terpaksa ia membalas hormat orang dan mengucapkan kata rendah hati.
Orang tua tadi berucap pula, : "Cayhe Wan Kong-beng dari Siok-san, selanjutnya diharapkan
Ji-kongcu suka sering-sering memberi petunjuk."
247 Pwe-giok membalas hormat dan tetap rendah hati.
Dalam pada itu kerumunan orang banyak sudah mulai mundur, sehingga tempat layon tadi
terluang cukup luas. "Dengan ke empat saksi ini, apakah cukup?" Tanya Tong Ki.
"Yang lain belum tentu bisa dipercaya, tapi Ji Pwe-giok ini sudah lama kudengar dia adalah
Kuncu sejati, kuyakin ia takkan berdusta." kata Yang Cu-kang sambil menunduk ke bawah
dan tertawa kepada Pwe-giok, lalu ia melayang turun.
Pwe-giok tidak tahu mengapa orang mendadak bersikap ramah padanya, diam-diam ia
mempertinggi kewaspadaan.
Dilihatnya sambil mengangkat jenazah Tong Bu-siang, dengan suara lantang Yang Cu-kang
berkata, "Sekarang silahkan kalian memeriksanya, sesungguhnya bagaimana bekas luka
Tong-locianpwe yang mengakibatkan kematiannya."
Pada waktu akan dimasukkan ke peti mati, mayat Tong Bu-siang sudah didandani, mukanya
sudah dipoles bedak berminyak yang tebal sehingga sukar lagi melihat air mukanya yang asli.
Maklum, wajah orang mati pada umumnya hampir serupa. Tapi sekarang setelah Yang Cukang
membuka baju mayat, barulah semua orang melihat bagian dadanya hitam hangus, itulah
tandanya terkena racun jahat.
Luka yang mematikannya terletak di bawah dada kiri, ada tiga lubang kecil sebesar mata
jarum, di atas lubang kecil itu ada noda darah beku yang sudah hampir berubah menjadi hitam
seluruhnya. Yang Cu-kang lantas membuka telapak tangannya dan berkata pula, "Sekarang hendaknya
kalian melihat apa yang terdapat pada tanganku ini?"
Terlihatlah satu biji Am-gi yang terbuat dengan indah di atas telapak tangannya, itulah Tokcitle , duri besi berbisa, senjata rahasia khas keluarga Tong, juga boleh dikatakan senjata
rahasia yang bersejarah paling tua di dunia ini.
Setiap tokoh yang hadir ini sama kenal senjata rahasia itu, tapi merekapun tahu betapa
gawatnya urusan sekarang, maka mulut setiap orang seolah-olah sudah disegel dan tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Tong Siu-hong saja yang segera membentak, "Inilah Tok-cit-le dari keluarga Tong
kami, darimana kau memperolehnya?"
Yang Cu-kang tertawa, jawabnya," Am-gi inilah yang tadi hendak kalian gunakan untuk
membunuh diriku, seluruhnya mereka menghamburkan 28 biji, telah kubayar kembali 27 biji,
yang kuterima hanya satu biji ini. Jika kau tidak percaya boleh kau hitung dulu barangnya."
Dengan muka masam tong Siu-hong tidak bersuara lagi.
248 Yang Cu-kang lantas pegang Tok-cit-le itu dan perlahan dipasang di atas luka Tong Bu-siang,
tiga ujung duri Tok-cit-le itu persis masuk pada tiga titik bekas luka di dada Tong Bu-siang
itu. "Nah, luka yang mematikan Tong-locianpwe ini terdiri dari senjata rahasia apa, tentunya
sekarang kalian sudah dapat melihatnya bukan?" kata Yang Cu-kang.
Padahal sejak tadi semua orang juga sudah melihat racun yang mengenai tong Bu-siang itu
serupa dengan racun senjata rahasia keluarga Tong.
Sebab racun yang berbeda, tanda-tanda bekerjanya racun juga berlainan. Racun senjata
rahasia keluarga Tong kalau menjalar, seluruh tubuh korbannya akan berubah menjadi hitam
hangus seperti halnya Tong Bu-siang sekarang.
Maka Yang Cu-kang lantas mendengus, "Jika Tong-locianpwe mati di Tong-keh-ceng, yang
mematikannya juga Tok-cit-le keluarga Tong sendiri, lantas siapa pembunuhnya kalau bukan
anak murid keluarga Tong sendiri " "
Ia berhenti sejenak, lalu melototi Wan Kong-beng dan bertanya, "Coba bagaimana menurut
pendapatmu?" Muka kakek she Wan itu tampak prihatin dan tidak berani menjawab.
"Hm, sejak mula sudah kuketahui kau ini ular tua yang licin, tidak bisa menjadi penengah
yang jujur," jengek Yang Cu-kang. Lalu ia tatap Oh Gi dan bertanya," Dan bagaimana dengan
kau" Konon biasanya kau sok menjadi juru damai, apakah sekarang kaupun tidak berani
bicara?" Muka Oh Gi tampak merah padam, jawabnya dengan tergagap, "Ini... ini mungkin orang lain
yang mencuri senjata rahasia keluarga Tong, lalu digunakan menyerang Tong-locianpwe
secara gelap." "Hm, bila Tong-locianpwe benar mati di tangan orang lain, mengapa anggota keluarga Tong
merahasiakannya dan tidak diumumkan secara terbuka?" jengek Yang Cu-kang pula. "Dan
mengapa menyatakan Tong-locianpwe mati secara wajar karena sakit tua?"
Seketika Oh Gi tak dapat menjawab lagi.
Kini setiap orang sama setuju dengan keterangan Yang Cu-kang itu, semua menganggap Tong
Bu-siang pasti mati di tangan anak muridnya sendiri. Tapi terpengaruh oleh wibawa keluarga
Tong, tidak seorangpun berani bicara, namun air muka mereka jelas sama memperlihatkan
rasa gusar. Sebagian besar anak murid keluarga Tong tampaknya juga tidak tahu seluk-beluk persoalan
ini. Ada di antaranya juga memperlihatkan rasa sedih dan gusar, ada juga yang cuma
melenggong dan ada lagi yang menangis.
Sinar mata Yang Cu-kang hanya berhenti sejenak pada wajah Pwe-giok, mendadak beralih ke
muka Tong Siu-hong dan berkata, "Biasanya anda terkenal adil dan tidak pandang bulu serta
tidak kenal ampun, entah tindakan apa yang akan kau lakukan sekarang?"
249 Tong Siu-hong tampak menggreget-greget sehingga ujung mulutnya merembeskan darah,
tampaknya dia juga menahan sesuatu yang sukar diuraikan, sebab itulah ia hanya mengertak
gigi dan tidak mau bicara.
Mendadak Tong Siu-jing terkekeh dua kali, lalu berkata dengan suara parau, "Keluarga Tong
tidak beruntung sehingga terjadi peristiwa malang ini, atas keterangan anda yang sudi
membeberkan kejadian ini sungguh segenap keluarga Tong merasa sangat berterima kasih.
Hanya saja, apa yang dialami mendiang guru kami ini mengapa dapat diketahui sejelas ini
oleh anda?" Cara bicara orang ini ternyata tidak kalah lihaynya daripada Tong Ki.
Tampaknya dia bertanya dengan sopan, padahal cukup keji. Di balik ucapannya itu seakanakan
hendak mengatakan," Kalau Tong Bu-siang bukan mati sewajarnya, sedangkan orang
lain tidak ada yang tahu, lalu dari mana kau mendapat keterangannya" Jangan-jangan kau
sendirilah yang melakukannya?"
Biarpun kata-kata demikian tidak terang-terangan diucapkan, namun semua hadirin bukanlah
orang bodoh, mustahil mereka tak dapat meraba apa maksudnya. Karena itu, mau tak mau
Pedang Bengis Sutra Merah 3 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Sebilah Pedang Mustika 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama