Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Allahhu Akbar........!" Si Kedok Hitam berseru memuji Tuhan ketika dia membungkuk dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu telah tewas dan dan dari mulut, hidung dan telingannya mengeluarkan darah!
Mendengar seruan itu, Malangkoro menoleh dan melihat gurunya sudah roboh, dia berteriak keras, "Bapa.......!" dan raksasa itu menangis, lalu lari menubruk jenazah kakek itu. Semua orang memandang heran, tidak menyangka sama sekali seorang raksasa tinggi besar yang segala-galanya nampak kasar dan keras, kini dapat menangis seperti anak kecil, menangisi Koleksi Kang Zusi
kematian gurunya. Semua orang merasa terharu. Kiranya Malangkoro memiliki perasaan lembut dan jelaslah bahwa semua yang dilakukannya selama ini adalah karena pengaruh gurunya.
Bayu yang merasa gemas melihat Malangkoro, menghampiri raksasa yang mengguguk sambil memeluk jenazah gurunya itu dengan batu besar di tangan, tentu berniat untuk menghantamkan batu itu kepada kepala si raksasa. Akan tetapi tangan lembut Mawarsih menahannya. Ketika Bayu menoleh, dara itu menggelengkan kepala, melarang perbuatan Bayu yang terpaksa melempar batunya.
"Malangkoro, lihatlah betapa gurumu telah menyeleweng dari pada kebenaran dan dia roboh dan tewas oleh pukulannya sendiri. Angkara murka selalu mendatangkan malapetaka kepada diri sendiri. Masih belum terlambat bagimu untuk menyadari kekeliruan langkah gurumu dan memperbaikinya."
Malangkoro menahan tangisnya. "Aku menyerah kalah dan kalian boleh membunuh- ku."
"Kami tidak akan membunuhmu, Malangkoro, bahkan kami girang kalau andika suka membantu Mataram." kata Mawarsih.
"Tidak, aku hanya mempunyai sebuah permintaan. Kalau boleh, aku akan membawa pergi jenazah bapa guru, dan aku berjanji tidak akan membantu Ponorogo, tidak akan mencampuri urusan perang antara Mataram dan Ponorogo. Kalau kalian tidak setuju dan hendak membunuhku, silakan!"
Mawarsih memandang kepada Aji dan Aji mengangguk, ketika Mawarsih Koleksi Kang Zusi
memandang kepada Kedok Hitam, diapun mengangguk tanda setuju.
Mawarsih menghela napas panjang. Sebetulnya, dia belum yakin benar akan ketulusan hati Malangkoro, orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan angkara murka, akan tetapi karena Banuaji dan Kedok Hitam sudah menyetujui, ia pun berkata, "Baiklah, pergi bawa jenazah gurumu, Malangkoro."
Malangkoro mengangkat jenazah gurunya, lalu melangkah pergi dengan langkah lebar dan cepat, seolah dia takut kalau-kalau mereka semua akan mengubah keputusan dan menghalanginya.
"Semua sudah beres, selamat tinggal!" Kedok Hitam berkata dan sekali berkelebat, dia telah meloncat jauh sekali.
"Tunggu.......!" Mawarsih berseru, akan tetapi Kedok Hitam seperti tidak mendengar. Kalau saja di situ tidak ada Aji, tentu Mawarsih akan mencoba untuk mengejar. Akan tetapi, kehadiran Aji membuat ia merasa tidak enak dan malu sendiri kalau harus mengejar Si Kedok Hitam. Diam-diam ia merasa kecewa dan juga jengkel kepada Aji yang dianggap menghalanginya, pada hal tadi terbuka kesempatan baik sekali untuk ia dapat bicara dengan Kedok Hitam! Karena itu, ia mengerutkan alisnya dan menjadi murung.
Tentu saja kini ia dapat merasa bahwa di dalam hatinya, ia memilih Kedok Hitam yang benar-benar amat digdaya. Kalau tidak ada Kedok Hitam kembali ia terancam bahaya yang amat mengerikan, bahkan Aji dan Bayu tentu tewas di tangan Malangkoro dan Danyang Gurita. Entah sudah beberapa kali Kedok Hitam menyelamatkan nyawanya dan biarpun Aji pernah menolong ia dan ayahnya, namun dibandingkan dengan pertolongan yang diberikan Kedok Hitam, maka pertolongan Aji itu bukan apa-apa.
Melihat sikap Mawarsih, Banuaji mengerutkan alisnya lalu tersenyum menutupi hati yang iri dan cemburu karena jelas bahwa Mawarsih gandrung kepada Si Kedok Hitam! Diapun lalu melangkah meninggalkan Mawarsih sampai belasan langkah, membelakangi dara itu lalu terdengar dia Koleksi Kang Zusi
menembang dengan suaranya yang lembut dan merdu dengan kidung Pangkur.
"Rasane yen nandang branta
pamurihe namung tyas basuki
kayungyun satria luhung sadonya namung sajuga angga lemes rasane yen lagi wuyung
sanajan dan tinggal lunga
saya angles jroning ati."
Tembang itu bermakna: Rasanya kalau sedang berahi, keinginannya hanya berbahagia, terpikat satria agung, sedunia hanya satu, badan lemas rasanya kalau sedang rindu, biarpun ditinggal pergi, makin haru di dalam hati. Mawarsih merasa benar akan sindiran dalam kidung itu, maka wajahnya menjadi merah padam. Ia adalah seorang wanita yang gagah, tidak suka sindir-menyindir, maka ia langsung menghampiri Aji yang setelah bertembang berdiri memandang jauh, lalu berkata lantang,
"Kakangmas Aji, kenapa andika menyindirku dalam tembang tadi?"
Aji memutar tubuh menghadapi dara itu, wajahnya berseri penuh senyum, dan dia berkata, "Diajeng Mawarsih, siapa yang menyindir" Aku bertembang tentang keadaan orang yang sedang merindukan kekasih, dan tentu saja yang merasa tersindir hanyalah orang yang sedang rindu.
Apakah andika sedang rindu, diajeng, maka menganggap aku menyindir?"
Wajah ayu itu semakin merah, akan tetapi sinar matanya menantang. Bagi Koleksi Kang Zusi
Mawarsih, kiranya tidak perlu lagi ia bersembunyi dari kenyataan perasaan hatinya. Pula, akan tidak adil bagi Aji kalau ia tidak berterus terang saja.
"Memang benar, kakangmas Banuaji." katanya dengan suara tegas. "Aku sebagai seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, harus memegang janji, setia kepada janji sendiri. Aku sudah berjanji, bahkan berikrar dalam bentuk sayembara, bahwa aku hanya mau berjodoh dengan seorang satria yang lebih sakti dibandingkan aku dan ayahku. Dan sudah jelas bahwa Si Kedok Hitam itu lebih sakti dari pada aku atau ayah, atau dirimu sekalipun. Tidakkah sudah wajar kalau aku mengharapkan dia menjadi calon jodohku?"
Mendengar kata-kata yang jujur ini, juga mengandung kemarahan karena kidungnya tadi. Aji tersenyum pahit. Dia merasa betapa hatinya semakin tidak enak. Terang-terangan dara itu mengatakan bahwa dia tidak pantas menjadi jodohnya, dan yang pantas adalah Si Kedok Hitam! Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan rasa tidak enak hati ini, bahkan lalu sengaja hendak mengoda labih jauh lagi.
"Heii, Bayu, apakah engkau juga mendengarnya tadi" Sahabat kita yang baik ini, dara perkasa yang dahulu kita kenal berdiam di lereng Lawu, dan kini telah menjadi puteri senopati Ki Sinduwening yang sakti, sahabat kita itu menolak pinangan banyak sekali pemuda-pemuda perkasa dan tampan, karena ia memilih seorang yang tidak jelas keadaan dirinya, entah laki-laki entah perempuan, entah bagaimana wajahnya, hanya karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi."
"Aku pun merasa heran sekali, kakang Aji. Mbakayu Mawarsih demikian cantik jelita, ayu dan manis. Bagaimana kalau orang yang dicintanya itu, setelah kedoknya dibuka, ternyata seorang kakek-kakek yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun?" kata Bayu.
"Wah, tidak tahulah aku, Bayu. Akan tetapi ia seorang wanita yang gagah Koleksi Kang Zusi
perkasa, tentu berani bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya. Sebaiknya mulai sekarang kita memberi selamat kepadanya, Bayu!"
"Kau benar, kakang Aji. Mbakayu Mawarsih, aku menghaturkan selamat atas pilihanmu itu. Semoga Si Kedok Hitam bukan kakek-kakek yang hampir seabad usianya, semoga diapun masih muda belia dan tampan seperti kakangmas Aji ini."
"Akupun mengucapkan selamat, diajeng Mawarsih, atas pilihanmu kepada Si Kedok Hitam. Akupun memujikan semoga dia itu bukan seorang yang wajahnya buruk seperti setan, dan semoga engkau akan dapat tetap mencintanya andaikata wajahnya amat buruk menyeramkan."
Mawarsih menggigit bibirnya, dan membayangkan wajah di balik kedok hitam itu wajah kakek-kakek berusia tujuh puluh lima tahun, atau wajah yang amat buruk menyeramkan, misalnya hidungnya gruwung, atau bibirnya sumbing, matanya buta sebelah, mukanya hitam buruk penuh bekas cacar, ia tidak dapat menahan rasa ngerinya dan iapun segera membalikkan tubuh agar tidak nampak oleh Bayu dan Aji betapa kedua matanya basah air mata.
"Mbakayu Mawarsih, mudah-mudahan kelak kalau tiba saatnya dia membuka kedoknya, engkau tidak akan memutar tubuh membelakanginya.
Kasihan sekali Si Kedok Hitam kalau begitu," kata bayu dengan suara menggoda. Tiba-tiba terdengar lengking suling yang ditiup Aji. Mendengar ini, Mawarsih menjadi semakin gemas dan air matanya jatuh bercucuran.
Ia lalu melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi suara suling itu seolah-olah mengejarnya. Mawarsih menutupi kedua tangan sambil terus berlari, dan kedua matanya makin deras mencucurkan air mata.
*** Koleksi Kang Zusi Kadipaten Ponorogo setelah mendapat keterangan dari Malangkoro tentang persia-pan Mataram, mengatur siasat untuk mendahului Mataram, yaitu lebih dahulu menyerang sebelum diserang. Akan tetapi karena Pangeran Rangsang telah lebih dahulu menyuruh penyelidik mengamati Malangkoro, maka siasat dari Ponorogo itu telah diketahui.
Sang Prabu Hanyokrowati bersama para senopatinya lalu mengatur siasat, dan untuk menghadapi pasukan Ponorogo yang akan menyerbu secara diam-diam itu, pasukan Mataram mempergunakan Barisan Gunting yang dipersiapkan untuk membiarkan pasukan Ponorogo masuk ke daerah Mataram, kemudian menggunting pasukan dari depan dan belakang.
Sementara itu, pasukan khusus yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Hanyokrowati, dibantu oleh beberapa orang senopati di antaranya Ki Sinduwening dan Mawarsih, dengan mengambil jalan lain akan menyerbu Ponorogo yang telah ditinggalkan sebagian besar pasukannya yang menyerbu ke Mataram.
Pada hari yang ditentukan itu, terjadilah perang tanding yang amat hebat di daerah Mataram dekat perbatasan. Pasukan Ponorogo tentu saja tekejut bukan main ketika dalam perjalanan mereka untuk melakukan penyerbuan tiba-tiba ke Mataram, mereka telah dihadang oleh pasukan besar Mataram, dan ketika pertempuran terjadi, dari arah belakang merekapun muncul pasukan Mataram yang lain sehingga pasukan Ponorogo terjepit di tengah-tengah. Mereka melakukan perlawanan mati-matian dan pertempuran berlangsung seru dan banyak korban yang berjatuhan.
Pasukan Ponorogo yang melakukan penyerbuan itu merupakan sebagian besar dari kekuatan balatentara Ponorogo, dipimpin oleh para senopati pilihan, di antara mereka terdapat Ki Danusengoro, Ki Demang Padangsuta ayah Nurseta, Ki Wirobandot ayah Mayaresmi, Ki Surodigdo dan lain-lain.
Adapun Nurseta sendiri, bersama Mayaresmi dan Brantoko, tinggal di Ponorogo untuk menjaga kadipaten bersama pasukan mereka.
Biarpun pasukan Ponorogo dipimpin oleh para senopati pilihan dan mereka melakukan perlawanan mati-matian dan gigih, namun karena mereka Koleksi Kang Zusi
terjebak, dihimpit dari depan dan belakang, apa lagi karena pasukan Mataram yang lebih besar jumlahnya dan menggunakan Barisan Gunting itu dipimpin sendiri oleh Pangeran Raden Mas Rangsang yang sakti mandraguna, maka pertempuran itu berlangsung berat sebelah.
Di antara para senopati Ponorogo, yang paling digdaya adalah Ki Danusengoro. Akan tetapi, senopati yang gemuk pendek dan wajahnya bengis ini dihadapi sendiri oleh Raden Mas Rangsang! Dan dalam pertandingan satu lawan satu ini terbuktilah kesaktian pangeran sulung dari Mataram itu. Ki Danusengoro mengamuk dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua aji kesaktiannya untuk menandingi pangeran yang sakti mandraguna itu. Dengan auman Aji Singadibya, dan dengan keris Margapati di tangan, Ki Danusengoro memang dahsyat sekali.
Namun, yang ditandingi adalah Raden Mas Rangsang, putera Sribaginda yang bertubuh tinggi tegap dan yang merupakan putera tersakti di antara para pangeran sehingga aji apapun yang dikeluarkan Ki Danusengoro, selalu aji itu ambyar bertemu dengan daya tolak dari sang pangeran.
Perang campuh yang terjadi itu amat mengerikan. Debu mengepul tinggi, membu- bung sampai angkasa, menggelapkan cuaca. Pekik dan raung bercampur dengan rintih dan keluh, diselingi ringkik kuda. Kuda-kuda berlompatan, berdiri di kedua kaki belakang, meringkik-ringkik, mendengus-dengus dan penunggangnya, dengan keris, pedang atau tombak di tangan, dengan tubuh atas telanjang dan penuh dengan keringat yang membuat tubuh itu berkilauan bagaikan arca tembaga yang dilumuri minyak. Senjata yang saling bertemu di udara berdencingan, berkerontongan, derap kaki mereka yang berkelahi gemuruh, darah muncrat diiringi jerit kesakitan dan tubuh-tubuh tak bernyawa atau sedang sekarat mulai berserakan dan bertumpuk. Bau yang amis memuakkan dan menyesakkan dada.
Perang! Puncak kemenangan nafsu atas diri manusia. Di dalam perang, manusia sudah kehilangan kepribadiannya, yang ada hanya bersimarajalelanya nafsu yang membuat manusia menjadi buas, bahkan lebih kejam dari pada makluk yang paling buas sekalipun. Tidak ada perang Koleksi Kang Zusi
di antara makluk yang lebih lain sehebat perang di antara manusia. Tuhan dilupakan, kemanusiaan lenyap, yang ada hanyalah mambunuh, membunuh agar tidak dibunuh! Yang ada hanyalah mencari kesenangan, dan yang ada hanya menghitungkan untung rugi. Setan iblis berpesta pora atas kemenangan mereka terhadap manusia kalau setan iblis mampu menggerakkan manusia untuk saling bunuh dalam perang. Dendam dan kebencian berkobar-kobar. Manusia saling bunuh, justru kuda-kuda yang digunakan dalam perang tidak dibunuh, tentu dengan dasar perhitungan rugi untung tadi. Kuda dapat menguntungkan sebagai barang rampasan karena menang perang, maka tidak dibunuh.
Seperti juga orang-orang Ponorogo dan orang-orang Mataram ketika bertempur dalam perang itu, mereka hanya tahu membunuh dan membunuh, sama sekali lupa akan kenyataan bahwa mereka sesungguhnya sebangsa, bahwa mereka sesungguhnya sama-sama manusia, bahwa mereka sesungguhnya sama-sama diciptakan Tuhan dan diturunkan di dunia ini untuk bekerja guna mendatangkan bahagia dan sejahtera kepada manusia.
Dalam keadaan biasa, dalam keadaan damai, membunuh manusia lain saja merupakan dosa yang dikutuk dan pelakunya akan dikejar-kejar sebagai orang gila atau sebagai makluk buas yang berbahaya, yang harus ditangkap dan dihukum berat, kalau perlu dihukum mati. Akan tetapi di dalam perang, makin banyak seseorang membunuh manusia lain, maka dihormatilah dia, makin diagungkan dan dipuji! Dan kejanggalan yang menyedihkan ini sudah menjadi salah kaprah, sudah diterima sebagai suatu kebenaran mutlak oleh manusia di seluruh dunia! Semua yang sedang bertempur mengadu nyawa itu lupa bahwa sesungguhnya mereka hanyalah diperalat nafsu yang terutama sekali sedang bersarang di dalam batin dua orang manusia bersaudara yang sedang saling memperebutkan kekuasaan! Mereka adalah Sang Prabu Hanyokrowati melawan adiknya sendiri, yaitu Pangeran Jayaraga yang menjadi Adipati Ponorogo. Perebutan kekuasaan dua orang kakak beradik ini berkembang menjadi permusuhan antara dua kelompok manusia yang saling memisahkan dan membedakan diri sebagai kelompok Mataram dan kelompok Ponorogo.
Pasukan Ponorogo terpaksa harus melawan mati-matian karena mereka tidak mempunyai jalan mundur lagi. Jumlah merekapun kalah besar, perlahan-lahan mereka mulai terdesak dan banyak di antara mereka yang sudah roboh menjadi korban perang.
Koleksi Kang Zusi Ki Danusengoro yang bertanding mati-matian melawan Raden Mas Rangsang, kini dibantu oleh Ki Wirobandot, warok dari Pacitan yang juga digdaya dan yang bersenjata kolor hitam itu. Ki Wirobandot maklum bahwa kalau sampai Ki Danusengoro kalah dan roboh, tentu semua prajurit Ponorogo akan kehilangan pegangan dan akan runtuh semangat mereka.
Oleh karena itu, melihat Ki Danusengoro terdesak hebat oleh Raden Mas Rangsang, dia mengeluarkan teriakan keras dan terjun ke dalam perkelahian itu, membantu Ki Danusengoro mengeroyok Raden Mas Rangsang. Akan tetapi, pangeran ini tidak menjadi gentar, bahkan melarang ketika ada senopati Mataram hendak membantunya. Dia melayani kedua orang lawan itu dengan garakan yang ringan dan cepat bukan main.
Tubuhnya bagaikan burung walet yang menyambar-nyambar sehingga kedua orang yang sama-sama pendek gendut itu seringkali menjadi bingung karena orang yang dikeroyoknya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu menyerang balik dari belakang atau dari atas!
Dua orang senopati Ponorogo itu sudah bermandi peluh. Suatu saat, mereka berdua menyerang secara berbareng. Dari arah kiri, Ki Danusengoro menusukkan kerisnya ke arah lambung Pangeran Ramsang, sedangkan dari arah kanan, Ki Wirobandot menghantamkan kolor hitamnya ke arah kepala pangeran itu. Serangan mereka itu dahsyat dan berbahaya, karena keduanya mengeluarkan sisa tenaga mereka sekuatnya. Raden Mas Rangsang maklum akan datangnya bahaya, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang ke belakang sehingga sambaran keris dan kolor itu luput, lalu dari bawah, tangan kanannya bergerak dan keris di tangannya meluncur seperti kilat menyambar, disambitkan dan tepat menghujam ke perut Ki Danusengoro!
"Capp....... aughhh..........!!" Ki Danusengoro terhuyung, kerisnya terlepas dari tangannya, kemudian dia roboh terkulai, terlentang dan tewas karena keris milik Raden Mas Rangsang itu cukup ampuh. Melihat ini, Ki Wirobandot terkejut, gentar akan tetapi juga marah sekali. Dia meraung dan menghujamkan senjata kolor hitamnya ke arah tubuh pangeran itu.
Raden Mas Rangsang menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak, menyambar kerisnya yang masih menancap di perut Ki Koleksi Kang Zusi
Danusengoro, kemudian dengan keris di tangan dia menghadapi amukan Ki Wirobandot. Tadi saja, ketika mengeroyok pengeran itu bersama Ki Danusengoro mereka berdua masih kewalahan, apa lagi sekarang dia harus maju seorang diri. Belum sampai sepuluh jurus, diapun terjungkal dengan dada terluka keris dan tewas seketika di samping mayat Ki Danusengoro.
Setelah dua orang senopati yang paling diandalkan dalam pasukan itu tewas, semangat para perajurit Ponorogo menjadi lemah. Apa lagi setelah berturut-turut tewas pula Senopati Surodigdo dan Ki Demang Padangsuta, para prajurit menjadi panik dan mulailah mereka mencari jalan untuk dapat melarikan diri dan lolos dari maut.
Penyerbuan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sang Prabu Hanyokrowati sendiri ke kota kadipaten Ponorogo juga tidak mengalami kesulitan. Hanya pasukan kecil saja, sisa dari pasukan besar yang dikerahkan untuk menyerang daerah Mataram, yang menahan serbuah mereka, pasukan yang dipimpin oleh Nurseta, Mayaresmi, dan Brantoko.
Tentu saja Sang Adipati Jayaraga dari Ponorogo terkejut bukan main ketika mendengar bunyi hiruk pikuk dan bahwa kadipatennya diserbu pasukan Mataram. Hampir dia tidak dapat percaya karena sebagian besar pasukannya sudah dikerahkan untuk diam-diam mendahului dan menggempur Mataram. Bagaimana kini tiba-tiba saja pasukan Mataram bahkkan dapat menyerang kadipatennya"
Adipati Jayaraga ikut pula memimpin pasukannya menyambut serbuan pasukan Mataram. Akan tetapi jumlah pasukannya jauh kalah besar.
Segera terjadi perang campuh yang amat seru. Ketika Nurseta bersama Mayaresmi mengamuk, tiba-tiba saja mereka berdua berhadapan dengan Ki Sinduwening yang sudah memegang senjatannya yang ampuh, yaitu sebatang pecut. Nurseta dan Mayaresmi tadi membabati prajurit Mataram dan dengan ilmu mereka, keduanya berhasil merobohkan beberapa orang prajurit.
Koleksi Kang Zusi "Tar-tar-tar-taarrr..........!" Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dari ujung pecut menyambar-nyambar di atas kepala mereka. Nurseta terkejut ketika melihat bahwa yang menyerang dia dan kekasihnya adalah Ki Sinduwening. Wajah Nurseta menjadi pucat karena dia merasa gentar terhadap tokoh yang sebetulnya masih paman gurunya sendiri itu. "Maya, lari.......!" serunya kepada kekasihnya, mengajaknya melarikan diri karena merasa bahwa mereka berdua tidak akan menang menandingi senopati Mataram yang amat tangguh itu.
Ki Sinduwening mendengar ajakan ini dan pecutnya meledak-ledak, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menyambar ke arah kedua orang lawannya, menutupi jalan keluar mereka yang terpaksa harus menggerakkan senjata mereka untuk menangkis dan melindungi diri.
Nurseta menggerakkan tombaknya, dan Mayaresmi menggerakkan senjatanya yang berupa sebatang pedang pendek tipis yang amat tajam.
Ketika berkali-kali menangkis gulungan sinar cambuk, pedang dan tombak itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan pemiliknya, membuat hati mereka semakin takut.
"Paman, ingat saya adalah murid keponakanmu. Saya mohon ampun, paman!"
kata Nurseta sambil memutar tombak melindungi tubuhnya.
Gerakan cambuk itu terhenti dan sepasang mata Ki Sinduwening memandang jalang. "Pertandingan ini adalah antara senopati Mataram melawan senopati Ponorogo, tidak ada hubungannya dengan paman guru dan murid keponakan! Apakah engkau sudah begitu pengecut, seorang pengkhianat yang tidak berani mempertanggungjawabkan peng-khianatanmu" Sambutlah seranganku ini! Tar-tar-tarr.........!!" Kini sinar cambuk menyambar lebih ganas lagi dan biarpun Mayaresmi dan Nurseta Koleksi Kang Zusi
mati-matian menggerakkan senjata mereka untuk menangkis, tetap saja senjata mereka terpukul ke samping dan ujung cambuk itu menyambar ke arah tubuh mereka. Bagaikan moncong ular berbisa, ujung cambuk itu menyengat leher Nurseta dan dada Mayaresmi. Satu kali saja terkena sengatan ujung cambuk itu, Nurseta dan Mayaresmi mengeluh dan terhuyung. Mereka disambut oleh para perajurit Mataram dan dalam keadaan terhuyung dan nanar, mereka berdua tidak mampu membela diri lagi dan banyak senjata tajam dan runcing memasuki tubuh mereka, membuat Nurseta dan Mayaresmi terkulai roboh mandi darah dan tewas seketika."Innalillahi wa innailahi rojiun..........semoga Gusti Allah mengampuni kalian berdua." kata Ki Sinduwening sambil memejamkan mata sejenak. Bagaimanapun juga, Nurseta adalah murid Ki Ageng Jayagiri, kakak seperguruannya, sedangkan Mayaresmi adalah isteri kakak seperguruan itu yang belum dicerai.
Sementara itu, Brantoko, pemuda tinggi besar gagah perkasa murid Ki Danusengoro yang menjadi senopati ketiga yang memimpin pasukan Ponorogo mempertahankan kadipaten Ponorogo, mengamuk dengan kerisnya dan merobohkan banyak prajurit Mataram. Akan tetapi, seperti rekan-rekannya diapun terkejut bukan main melihat sinar merah menyambar dan ketika dia meloncat mundur menghindar dan memandang, dia telah berhadapan dengan Mawarsih! Maklumlah Brantoko bahwa gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu pasti tidak akan mau mengampuninya, maka diapun menjadi nekat dan tanpa banyak cakap lagi Brantoko sudah menggerakkan kerisnya, menyerang kalang-kabut. Bukan hanya kerisnya yang manyambar-nyambar ganas, juga tangan kirinya yang telah diisi Aji Hastarudira yang mambuat tangan kiri itu berubah kemerahan dan setiap tamparan tangan kirinya merupakan cengkeraman maut karena telah terisi hawa yang beracun.
Dahulu pernah Brantoko bertanding melawan Mawarsih di luar dusun Sintren, di tempat tinggal Ki Sinduwening ketika Brantoko dan gurunya datang meminang Mawarsih dan ditolak, atau ditantang bertanding karena ayah dan anak itu menghendaki jodoh Mawarsih yang mampu mengalahkan dara itu dan ayahnya. Ketika itu, Brantoko terdesak oleh Mawarsih.
Sebetulnya bukan terdesak karena kalah tinggi tingkat kedigdayaannya, melainkan kerena Brantoko tidak ingin melukai gadis yang dicintainya. Akan Koleksi Kang Zusi
tetapi sekarang, setelah harapannya untuk memperisteri Mawarsih musnah, dam mereka berhadapan sebagai senopati yang masing-masing mempertahankan dan membela negara sendiri-sendiri, Brantoko mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang Mawarsih sebagai lawan yang harus dibunuh.
Mawarsih juga maklum akan ketangguhan Brantoko, maka dara inipun melawan dengan mati-matian sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru. Keris dan tangan kiri Brantoko menyambar-nyambar menyebar maut, namun dengan kelebihan ilmunya meringankan tubuh, Mawarsih dapat selalu menghindarkan diri dan ujung kemben merahnya mematuk-matuk bagaikan ular sendok marah, dan setiap patukan itu menyerang jalan darah yang mematikan dari lawan! Brantoko juga tidak mau mengalah sekali ini, dia berusaha keras untuk menyarungkan kerisnya ke dalam tubuh Mawarsih yang dahulu pernah membuatnya tergila-gila. Kini tak sempat lagi dia membayangkan kejelitaan wajah dan keindahan bentuk tubuh Mawarsih, satu-satunya nafsu yang menguasainya adalah nafsu untuk membunuh!
Menghadapi Brantoko yang kini mengamuk bagaikan kerbau gila itu Mawarsih mulai terdesak! Brantoko kini melihat bahwa pasukan Ponorogo mulai panik, dan mendengar teriak-teriakan para prajurit bahwa gurunya, Ki Danusengoro, juga sudah tewas, maka diapun menjadi nekat dan tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Dia harus membunuh Mawarsih sebagai pelampiasan kemarahannya, dan rela kalau untuk itu diapun akan berkorban nyawa. Dia hendak mengajak Mawarsih mati bersama, mengadu nyawa. Menghadapi orang nekan seperti ini, Mawarsih yang masih menyayangi nyawanya, menjadi kewalahan dan terdesak.
"Haaaiittt.........!!" Tiba-tiba Brantoko yang sudah menjadi semakin penasaran dan nekat karena belum juga mampu merobohkan lawannya, menubruk dengan nekat bagaikan seekor harimau menubruk kambing, kerisnya dihujamkan ke arah dada Mawarsih. Dara ini cukup trengginas, cepat menghindar ke kanan dan kembennya menyambar ke depan tepat melilit tangan kanan Brantoko yang memegang keris. Mawarsih bermaksud Koleksi Kang Zusi
merampas keris itu, akan tetapi Brantoko yang sudah nekat dan tidak memperdulikan keselamatan dirinya, membiarkan lengannya ditarik ke depan dan dia menggunakan kesempatan ini untuk memukul ke arah kepala Mawarsih dengan sepenuh tenaga Hastarudira, dari atas ke bawah dengan tangan miring. Hebat bukan main pukulan itu dan Mawarsih tidak mengira bahwa lawannya tidak memperdulikan keris yang akan dirampasnya bahkan memukul dengan nekat. Jarak pukulan itu sudah dekat sekali, namun Mawarsih masih cukup cekatan untuk memiringkan tubuhnya.
"Plakk!" Biarpun kepalanya luput dari hantaman tangan merah itu, pundaknya masih terserempet. Mawarsih mengeluh dan terhuyung ke belakang. Brantoko mengeluarkan suara tawa menyeramkan dan menubruk lagi. Akan tetapi, dari samping menyambar pecut yang meledak, mengenai pundak Brantoko sehingga tubrukannya menyeleweng, bahkan dia terlempar ke arah Mawarsih yang menyambutnya dengan sambaran ujung kemben merahnya ke arah kepala.
"Tukk!!" Ujung kemben itu dengan tepat mengenai pelipis kiri Brantoko dan pemuda inipun mengeluh dan tewas seketika.
Para senopati Ponorogo lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Juga Adipati Jayaraga dapat ditawan setelah adipati ini melakukan perlawanan mati-matian. Atas perintah Sang Prabu Hanyokrowati, maka para senopatinya mengepung dan menawan adipati itu, tidak melukainya apalagi membunuhnya.
Ponorogo diduduki dengan mudah dan di depan kakaknya, Adipati Jayaraga yang telah menyatakan kalah dan takluk, mengakui kesalahannya. Sang Prabu Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang mengampuni saudaranya, bahkan dia mengangkat kembali Raden Jayaraga menjadi Adipati Jayaraga kembali di Ponorogo. Dengan kemurahan raja Mataram ini, semakin takluklah hati sang adipati dan diam-diam dia mengakui keagungan kakaknya yang kini membuktikan bahwa Mataram sama sekali bukan ingin mengakangi daerah Ponorogo, melainkan seperti yang berulang kali dikatakan sebelumnya, hanya ingin melihat Mataram dalam suatu persatuan Koleksi Kang Zusi
yang kokoh dengan semua daerahnya sehingga mereka akan menjadi kuat untuk menghadapi ancaman bahaya yang datangnya dari barat, yaitu dari orang-orang berkulit putih yang mulai menanamkan kuku mereka di bumi nusantara.
Selesailah perang saudara itu, yang tinggal hanya bekas dan akibat-akibatnya yang amat menyedihkan. Bekas-bekas prajurit yang menjadi tapadaksa, cacat dengan lengan buntung, kaki buntung, muka codet. Janda-janda yang ditinggal mati suaminya, ibu-ibu tua ditinggal mati puteranya, anak-anak kecil ditinggal mati ayahnya. Orang-orang kaya yang mendadak menjadi miskin dan orang-orang miskin mendadak menjadi kaya. Benci dan dendam! Rumah-rumah yang terbakar musnah. Gadis-gadis yang kehilangan kehormatannya. Itulah akibat perang, di jaman apa dan di negara manapun juga. Kejam!
Sang Prabu Hanyokrowati kembali ke Mataram untuk menyusun kekuatan baru. Bagaimanapun juga, perang melawan Ponorogo menewaskan banyak prajurit dan sang prabu sendiri ingin mengaso dulu sebelum berangkat lagi ke Jawa Timur membawa pasukan besar karena banyak daerah yang harus ditundukkan sesudah Ponorogo. Banyak daerah di Jawa Timur yang dahulu sudah menakluk kepada Mataram, kini memisahkan diri kembali dan harus ditundukkan lagi kalau Mataram ingin menjadi negara yang kuat dan bersatu.
*** Mawarsih tidak mengikuti ayahnya yang bersama pasukan kembali ke Mataram. "Aku rindu kepada dusun kita Sintren, bapa. Bapa pulang saja dahulu ke Mataram, aku akan berkunjung dan tinggal di Sintren selama beberapa hari. Setelah terobati rinduku, aku akan menyusul bapa ke Mataram."
Ki Sinduwening menggerakkan bibirnya, namun menelan kata-katanya kembali. Tadinya dia ingin bertanya siapa yang dirindukan puterinya, dusun Sintren ataukah Banuaji, ataukah Si Kedok Hitam" Orang tua ini mengerti Koleksi Kang Zusi
benar akan derita hati puterinya. Dia hanya menarik napas panjang dan mengangguk. Keadaan sudah aman, perang sudah padam dan orang-orang yang memusuhi mereka telah tewas. Tidak ada bahaya mengancam puterinya. Pula, siapa berani mengancamnya" Ia akan mampu melindungi diri sendiri. Maka, diapun meninggalkan puterinya di Sintren dan pulang ke Mataram bersama pasukannya yang menang perang, mengawal Sribaginda Raja.
Pagi itu, pagi-pagi sekali, pada saat cahaya matahari membakar puncak-puncak bukit sedangkan mataharinya sendiri masih bersembunyi di balik puncak, Mawarsih sudah berjalan-jalan meninggalkan pondok lamanya, menuju ke lapangan rumput dekat puncak, di mana dahulu ia seringkali berlatih pencak silat dan kadang ia bergurau dengan Bayu si penggembala kerbau.
Selagi dia berjalan perlahan sambil melamun, membiarkan pikirannya hanyut bersama angin pagi yang semilir sejuk, tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar seruan orang memanggilnya.
"Mbakayu Mawar........!!"
"Bayu!" sebelum menoleh Mawarsih sudah menyebut nama itu karena ia mengenal betul suara Bayu. Semenjak pertemuannya yang terakhir kalinya, ia membawa Bayu kepada ayahnya dan pemuda remaja yang mencari pekerjaan itu oleh ayahnya disuruh mengurus kuda. Dan kini tiba-tiba saja pemuda itu muncul di tempat itu!
"Heii, Bayu, bagaimana engkau dapat berada di sini?" tegurnya dengan heran, namun wajahnya berseri karena hatinya gembira dapat bertemu dengan anak itu di tempat yang sunyi itu.
Koleksi Kang Zusi "Mbakayu Mawarsih, kami di kota raja semua sudah mendengar tentang kemenangan pasukan kita. Karena gembira, aku lalu bermaksud untuk menyambut Paman Senopati dan mbakayu, akan tetapi di tengah perjalanan, ketika bertemu dengan rombongan pasukan, Paman Senopati memberitahu bahwa mbakayu berada di sini, maka aku mohon ijin beliau untuk menyusul ke sini dan diperkenalkan."
"Hemm, bocah nakal. Engkau meninggalkan pekerjaan dan menyusulku, ada urusan apakah?" Ucapannya menegur namun suaranya gembira.
"Aku juga rindu kepada tempat ini, mbakayu, juga rindu kepada Paman Lurah di Pancot beserta bibi dan keluarga mereka. Eh, ada aku membawa sebuah berita yang tentu akan menyenangkan hatimu, mbakayu!"
"Berita apakah itu" Jangan bermain teka-teki, katakan berita apa yang hendak kausampaikan kepadaku?"
"Tadi aku melihat kakangmas Banuaji......." kembali anak itu menghentikan kata-katanya dan mengamati wajah Mawarsih dengan sinar mata gembira.
"Kakangmas Aji" Di mana dia?" Mawarsih bertanya penuh semangat karena selama berada di tempat ini, yang diingatnya hanyalah dua orang, Banuaji dan Si Kedok Hitam!
"Dia juga berkunjung kepada Paman Lurah di Pancot dan tadi aku melihat dia di sana!" Bayu menunjuk ke arah sebuah lereng hutan cemara. Tanpa banyak bertanya lagi Mawarsih lalu melangkah cepat menuju ke lereng itu, diikuti oleh pandang mata Bayu yang diam-diam tersenyum nakal.
Koleksi Kang Zusi Kini Mawarsih berlari, menuju ke hutan cemara. Tiba-tiba ia menahan langkahnya. Terdengar suara tiupan suling dari hutan cemara di lereng itu.
Demikian lembut dan merdu suara itu memecah keheningan di tempat yang sunyi itu. Entah mengapa, begitu ia memperhatikan suara suling yang mengalun kan tembang Asmaradana itu, terdengar pula olehnya kicau burung di pohon-pohon, gemercik suara air di anak sungai sana, desir angin yang bermain di antara daun-daun pohon, merupakan perpaduan yang amat indah.
Mawarsih berdiri temangu, hanyut oleh suara suling yang melengking-lengking. Hatinya trenyuh, penuh haru dan kedua matanya menjadi basah, bergelimang air mata. Harus ia akui bahwa ia mencintai Banuaji. Melihat wajah pemuda itu, melihat sikap dan gerak-geriknya, mendengar suaranya ketika dia bicara, bahkan mendengar tiupan sulingnya saja, semua itu sudah mendatangkan perasaan bahagia di hatinya. Tak dapat ia mengingkari hatinya sendiri. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia mencinta pemuda yang tidak memiliki kesaktian itu" Kedigdayaan Banuaji hanya biasa biasa saja, jauh di bawah tingkatnya sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan kesaktian Si Kedok Hitam. Kalau dia memilih Banuaji, berarti dia melanggar janji dalam hatinya sendiri bahwa ia hanya mau berjodoh dengan seorang pria yang lebih tangguh darinya.
Suara suling itu seolah memiliki daya tarik seperti mengandung besi sembrani, dan bagaikan dalam mimpi, Mawarsih menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan menghampiri ke arah suara suling itu yang keluar dari dalam hutan cemara. Dan di atas tanah yang berumput hijau segar dan bersih, di sanalah Aji duduk meniup sulingnya. Pemuda itu nampak demikian asyiknya meniup suling, hanya jari-jari tangannya saja yang bergerak, selebihnya diam bagaikan sebuah patung yang amat indah. Kidung Asmaradana mengandung getaran yang mengharukan karena di dalam suara suling yang melengking-lengking itu seolah membawa rintihan batin seorang yang sedang kasmaran, sedang tenggelam dalam kerinduan, menanti-nanti datangnya kekasih yang amat disayang dan dirindukan. Nada terakhir kidung itupun makin melembut dan menipis untuk akhirnya larut ke dalam kesunyian.
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas Aji.......!"
Pemuda itu terkejut, menoleh dan bagaikan seorang yang tersentak oleh suatu kejutan yang membahagiakan, wajahnya berseri, matanya terbelalak dan diapun meloncat bangkit, berdiri dan berhadapan dengan dara itu.
Sepasang matanya memandang penuh kagum dan pesona. Betapa cantik dara yang berdiri di depannya itu! Rambut yang hitam panjang itu digelung secara sederhana sekali, seperti kebiasaan gadis dusun, dan rambut itu agak kusut dipermainkan angin gunung, sinomnya yang lembut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis. Alisnya yang hitam panjang dan kecil melengkung itu seperti bulan muda, menjelirit bagaikan dilukis, menghias sepasang mata yang sudah amat indahnya. Sepasang mata yang jeli, lebar, dan sinarnya tajam bagaikan bintang kembar, dengan bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidungnya kecil mancung dan mulutnya dengan sepasang bibir yang aduhai! Entah mana yang lebih indah menarik di antara mata dengan kerling yang akan meruntuhkan hati seorangt pendeta sekalipun dengan bibir yang selalu merah basah dan segar mengandung senyum simpul itu! Dagu yang meruncing itu agak berlekuk dari ujung mulut sebelah kanan terdapat lesung pipit, ditimpali setitik tahi lalat di pipi kiri.
Semua keindahan wajah itu masih dilengkapi lagi dengan kulit yang kuning mulus, bentuk tubuh yang ramping dengan lekuk lengkung sempurna bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum.
Kalau Aji disuruh menemukan sedikit saja cacat cela pada diri Mawarsih, pasti tidak akan dia menemukannya. Bagi seorang yang sedang jatuh cinta, tidak ada buruk pada diri orang yang dicintanya, bahkan apa yang nampak cacat bagi orang lain, dalam pandang matanya mungkin akan menjadi pemanis!
Melihat betapa pandang mata Banuaji kepadanya seperti itu, pandang mata yang pernah dilihatnya ketika untuk pertama kali mereka saling berjumpa dan berkenalan, pandang matanya penuh pesona dan kagum, pandang mata mengandung rasa sayang, perlahan-lahan wajah Mawarsih menajdi kemerahan. Bukan pandang mata seorang pria yang mata keranjang, yang memandang kepadanya penuh nafsu berahi seperti mata yang pernah diperlihatkan Brantoko, atau Nurseta, atau bahkan Malangkoro, melainkan pandang mata yang mengandung sinar yang Koleksi Kang Zusi
menghormat, menyayang dan mengagungkan. Akan tetapi, pandang mata itu cukup membuat ia merasa jantungnya berdebar tidak karuan, membuat ia tersipu dan salah tingkah, merasa betapa setiap gerakannya seperti kaku dan canggung.
"Kakangmas Aji, suara sulingmu........ eh, merdu dan indah sekali......."
akhirnya Mawarsih dapat mengeluarkan kata-kata, sengaja memuji suara suling untuk memecahkan pesona dan mengalahkan perhatian agar ia dapat bersikap tenang.
Namun ucapannya itu rupanya kurang kuat, tidak dapat menyadarkan pemuda yang sedang tenggelam dalam buaian pesona asmara itu. "Dan engkau....... betapa cantik jelitanya engkau, diajeng Mawarsih. Seperti engkaukah kiranya Dewi Komaratih dari khayangan itu! Ya Allah, bagaimana aku dapat mengingkari kenyataan hatiku ini" Diajeng Mawarsih, aku cinta kepadamu, diajeng. Maafkan aku, akan tetapi aku tidak tahan untuk menyembunyikan lagi. Aku cinta padamu dan aku mengharapkan agar dapat hidup bersamamu untuk selamanya, berdampingan sebagai suami isteri....."
Melihat sikap dan mendengar ucapan Banuaji, Mawarsih gemetar seluuh tubuhnya. Sendi-sendi tulangnya seperti kehilangan tenaga dan iapun jatuh bersimpuh di atas tanah, menangis sejadi-jadinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menangis, apa pula yang disedihkan, akan tetapi nyatanya, tangisnya menyerbu dan iapun menangis seperti anak kecil, menguguk, tubuhnya terguncang-guncang.
Melihat keadaan dara itu, barulah Aji sadar dari pesona asmaranya. Dia terkejut dan khawatir, lalu melompat ke dekat Mawarsih dan berlutut.
Ingin ia merangkul, ingin dia menghibur, akan tetapi dia tidak berani lancang menjamah tubuh itu. Dia hanya memandang khawatir dan bertanya halus, "Diajeng, kenapa engkau menangis" Apakah...... ah, kalau aku menyinggung perasaan hatimu, ampunkan aku, diajeng. Aku memang tidak tahu diri, berani mengaku cinta, berani menyinggung perasaanmu........, Koleksi Kang Zusi
diajeng Mawarsih, hentikan tangismu dan maafkanlah aku....." Pemuda itu meratap, hatinya seperti ditusuk rasanya karena dia mengira bahwa Mawarsih menangis karena tersinggung oleh pernyataan cintanya tadi.
Mendengar ucapan pemuda itu, Mawarsih mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya tangisnya terhenti. Ia mengusap air matanya dan mengangkat muka yang basah itu memandang Aji dengan sepasang mata kemerahan.
"Kakangmas Aji......, hatiku memang sedih, sungguh sedih..... kalau saja andika memiliki kesaktian seperti Si Kedok Hitam, aku...... aku akan merasa berbahagia sekali, kakangmas......, akan tetapi andika..... ah, andika tidak memiliki kedigdayaan itu, dan aku..... aku hanya mau berjodoh dengan orang yang lebih tangguh dariku........"
Berkerut sepasang alis pemuda itu. Perlahan-lahan dia menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri. Wajahnya muram dan suaranya berubah menjadi penuh kegetiran ketika dia berkata, "Maaf, diajeng Mawarsih, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap seorang gadis yang bijaksana seperti andika seperti ini. Andika mencinta orangnya ataukah kesaktiannya" Kalau andika mencinta kesaktiannya, lebih baik andika berjodoh saja dengan kesaktian, bukan dengan orang!" Setelah berkata demikian, Aji melompat dan lari pergi dari situ.
"Kakangmas Aji......!" Mawarsih menjerit, merasa jantungnya seperti ditusuk dan dara inipun menangis lagi, mengguguk seperti tadi. Dalam saat itu, leburlah semua kegagahannya dan muncullah sifat aslinya sebagai seorang wanita, mahkluk yang amat peka rasa dan mudah dipengaruhi perasaan hatinya sendiri, mudah gembira, mudah bersedih, mudah ketawa dan mudah menangis. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti hati Aji dengan pernyataannya yang terus terang tadi. Ia tahu bahwa sebagai seorang laki-laki, tentu saja sakit rasanya hati pemuda itu karena telah dibanding-bandingkan dan diremehkan, dikatakan bahwa dia tidak diterima karena tidak sesakti Si Kedok Hitam! Akan tetapi, ia sudah berterus terang dan itulah jalan satu-satunya yang baik, bagi dirinya sendiri maupun bagi Banuaji.
Koleksi Kang Zusi Mbakayu Mawarsih, kau kenapakah?" Bayu mendekati Mawarsih dan bertanya dengan heran dan khawatir. "Apakah mbakayu sudah berjumpa kakangmas Aji dan di mana dia sekarang" Kenapa mbakayu menangis?"
Sejenak Mawarsih tidak mampu menjawab. Setelah tangisnya mereda, ia meman- dang kepada Bayu. Hatinya risau dan bungung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia haus akan nasihat dan pendapat orang lain, dan karena yang barada di situ hanyalah Bayu, maka ia lupa bahwa Bayu hanyalah seorang pemuda remaja yang usianya baru empat belas tahun.
"Bayu, apa yang harus kulakukan" Kakangmas Aji marah kepadaku dan dia pergi meninggalkan aku. Ah, aku menjadi bingung sekali, Bayu."
"Akan tetapi, kenapakah, mbakayu" Selama yang kuketahui, kakangmas Banuaji bukan seorang pemarah, bahkan tidak pernah aku melihat dia marah. Aneh sekali kalau sekarang di marah-marah kepadamu, mbakayu.
Padahal, setiap kali dia bicara tentang dirimu kepadaku, dia selalu memuji-mujimu setinggi langit."
Bayu, aku pun bingung. Akupun kagum padanya, dan aku suka padanya, akan tetapi aku........ aku juga memuja Si Kedok Hitam, bahkan aku merasa lebih tepat menjadi jodoh Si Kedok Hitam yang lebih sakti dibandingkan aku, sedangkan kakangmas Aji......" Ia berhenti sebentar dan memandang kepada Bayu minta pertimbangan, "Ah, Bayu, apa yang harus kulakukan?"
Anak itu tersenyum dan menggeleng-geleng kepala keheranan. "Aih, bagaimana mungkin engkau mencinta dua orang pria, mbakayu Mawarsih"
Tentu saja engkau harus memilih salah satu dan tidak dapat hidup bersama Koleksi Kang Zusi
keduanya! Pantas kakangmas Aji marah. Engkau memang aneh sekali, mbakayu!" kata Bayu dengan lagak menggurui.
"Apa yang harus kuperbuat, Bayu" Aku mencinta kakangmas Aji karena ketampanannya, karena kepribadiannya, akan tetapi dia tidak memenuhi persyaratan dalam sayembaraku dahulu, dia tidak memiliki kedigdayaan melebihi aku. Aku juga memuja Si Kedok Hitam karena berhutang budi kepadanya, aku cinta padanya karena kesaktiannya."
"Waaahhh, repot kalau begini!" kata Bayu cemberut. "Aku tahu bahwa kakangmas Banuaji mencintamu, mbakayu, akan tetapi apakah Si Kedok Hitam itu juga mencintamu?"
"Aku hampir yakin bahwa diapun mencintaku, akan tetapi dia tidak pernah mau menyatakannya dan selalu bersembunyi dalam kerahasiaan."
"Kalau begitu, mbakayu haruslah tegas. Dahulu, bukankah Si Kedok Hitam yang memenangkan sayembara" Dia berhak menjadi jodoh mbakayu Mawarsih, sebaiknya kalau mbakayu minta ketegasan darinya!"
Mawarsih menghela napas panjang, akhirnya berkata lirih, "Engkau memang benar, Bayu. Akan tetapi ke mana aku harus mencarinya?"
Aku tahu dia berada di mana, mbakayu."
Mawarsih terbelalak memandang wajah anak remaja itu. "Benarkah itu, Bayu" Engkau tahu di mana dia" Di mana?"
Koleksi Kang Zusi "Kemarin aku bertemu dengan dia, katanya dia sedang mencari Malangkoro yang melarikan diri."
"Malangkoro" Mawarsih memandang heran. "Bukankah dia sudah berjanji tidak akan memusuhi Mataram, dan dalam perangpun dia tidak muncul membantu Ponorogo?"
Benar, akan tetapi kemudian diketahui bahwa diam-diam Malangkoro masih menaruh dendam dan dia menyusun segerombolan tersendiri untuk memberontak kepada Mataram setelah Ponorogo tidak berhasil. Gusti Pangeran Sulung, yaitu Raden Mas Rangsang mengerahkan pasukan khusus membasmi gerombolan itu dan Malangkoro dapat meloloskan diri. Si Kedok Hitam mengejarnya dan kemarin aku melihat dia berada di puncak bukit itu. Entah apakah dia sekarang masih di sana atau sudah pergi."
"Aku akan mencarinya!" kata Mawarsih dan iapun sudah berkelebat lari cepat sekali mendaki bukit yang ditunjuk Bayu itu. Bayu mengikuti bayangan dara itu dengan senyum simpul.
Dengan menggunakan Aji Tunggang Maruta, Mawarsih dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja ia sudah tiba di puncak bukit itu. Karena ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, maka wajahnya menjadi kemerahan dan butir-butir keringat halus membasahi leher dan muka. Ia memandang ke sekeliling dan matanya bersinar-sinar ketika ia melihat orang yang dicarinya benar-benar berada di situ, dudulk seorang diri di atas batu besar dekat goa. Dia adalah Si Kedok Hitam, tidak salah lagi dan cepat Mawarsih lari menghampiri.
Agaknya Si Kedok Hitam ini memang berbeda jauh dengan Banuaji.
Biarpun gerakan Mawarsih lincah dan ringan tidak menimbulkan Koleksi Kang Zusi
suara,namun agaknya pendengaran- nya yang tajam terlatih sudah dapat menangkapnya dan diapun memutar tubuh sambil berlompat sehingga kini berdiri berhadapan dengan Mawarsih.
"Ah.........., engkaukah ini?" tegurnya seperti orang heran. "Bagaimana andika tahu aku berada di sini dan ada keperluan apakah andika menemui aku di sini?"
Mawarsih merasa gemas sekali. Susah-susah dicari, dikenang, dirindukan, setelah ditemukan orang itu malah menegurnya! Sikap dingin Si Kedok Hitam itu membuat ia merasa penasaran sekali dan ia membenarkan nasihat Bayu tadi. Ia harus bersikap tegas!
"Kedok Hitam," katanya, suaranya tegas dan lantang karena ia ingin mendapatkan keputusan saat itu juga. "Aku datang mencarimu untuk menuntut agar andika bertindak sebagai seorang ksatria yang bertanggung jawab!"
"Hemm, den roro, apakah maksud kata-kata andika itu" Apa yang harus kupertanggung-jawabkan?" Sepasang mata dari balik kedok itu mencorong dan mengamati wajah Mawarsih penuh selidik.
"Lupakah andika bahwa tempo hari andika ikut bertanding di panggung sayembara, dan andika telah menangkan pertandingan itu, mengalahkan Malangkoro yang menjadi pemenang utama. Hal itu berarti bahwa andika telah memenangkan sayembara, akan tetapi...... mengapa andika pergi begitu saja dan......... menyia-nyaikan diriku?" Kini, setelah semua panguneg-uneg di hatinya terlontar keluar. Mawarsih tidak lagi terganggu oleh rasa malu. Ia berdiri tegak dan matanya seperti hendak menembus kedok hitam itu dan menjenguk sampai ke dalam dada untuk mengetahui isi hati orang berahasia.
Koleksi Kang Zusi Sejenak dua pasang mata saling bertemu bertaut dan akhirnya Si Kedok Hitam menghela napas panjang dan berkata, "Itukah yang ingin andika tanyakan, den roro Mawarsih" Andika tentu mengerti bahwa aku naik ke panggung bukan untuk mengikuti sayembara, melainkan hendak menekan kesewenang-wenangan Malangkoro. Pula, aku tahu bahwa aku tidak pantas untuk itu...... maksudku, andika tidak pantas menjadi jodoh seorang seperti aku ini, dan andika jauh lebih pantas kalau menjadi jodoh Banuaji."
Hemm, kenapa andika beranggapan begitu, kalau aku boleh bertanya?"
desak Mawarsih penasaran.
"Tentu saja, karena Banuaji rasanya memenuhi semua syarat, sedangkan aku sendiri ........ ah, aku berwajah buruk, tidak patut menjadi jodoh andika."
"Kedok Hitam kenapa andika beranggapan seperti begitu" Aku sendiri hanya berpendapat bahwa aku harus memegang janji sayembara, yaitu pria yang memenangkan sayembara itulah calon jodohku, kalau aku mengingkari janji sendiri, aku akan selalu merasa tertekan oleh hati nuraniku sendiri."
Kembali Kedok Hitam menghela napas panjang. "Den Roro, bagiku, perjodohan hanya mempunyai satu saja syarat utama, yaitu cinta kasih.
Dan cinta kasih baru akan timbul kalau dua orang berlawanan jenis saling berjumpa dan ada daya tarik tertentu di antara keduanya. Akan tetapi, andika belum pernah melihat wajahku, bagaimana mungkin ada cinta di hati andika, dan tanpa adanya cinta bagaimana mungkin kita berjodoh?"
"Kedok Hitam, dengarlah kata-kataku ini yang keluar dari lubuk hatiku.
Aku tidak perduli bagaimanapun bentuk wajah andika, aku tetap menganggap andikalah satu-satunya calon jodohku yang telah kutentukan Koleksi Kang Zusi
dari hasil sayembara. Bapaku sendiri akan selalu merasa kecewa dan malu kalau dia harus mengingkari janjinya dalam sayembara itu. Kedok Hitam, andika seorang ksatria, sudah selayaknya kalau andika mempertanggungjawabkan perbuatan andika. Andika sudah memasuki sayembara, dengan alasan apapun andika telah mengalahkan pemenang utama, berarti andika yang menjadi pemenang sayembara. Adalah suatu sikap pengecut kalau andika melarikan diri dari kenyataan dan tidak berani memperlihatkan muka kepadaku! Aku menuntut agar andika membuka kedok itu sehingga aku tahu siapa pria yang telah kupilih sebagai calon jodohku!"
Pada saat itu, Bayu yang tadi mengejar Mawarsih sudah tiba pula di situ dan dia mendengar juga ucapan Mawarsih. "Tepat sekali permintaan mbakayu Mawar itu!" kata Bayu yang memang biasanya bersikap lincah.
"Kedok Hitam, sudah bebepara kali andika menyuruh aku dan aku menaatinya, kiranya sudah sepantasnya kalau aku juga mendapat kesempatan melihat siapa andika, melihat wajah andika yang selalu disembunyikan di balik kedok. Benar ucapan mbakayu Mawarsih, seorang ksatria sejati tidak akan bersembunyi di balik kedok!"
Kini Si Kedok Hitam tertawa. Suara tawanya nyaring dan mengejutkan kedua orang di depannya itu. "Ha-ha-ha-ha, kalian berdua terlalu mendesakku. Baiklah, kalian berdua merupakan orang-orang pertama yang melihat wajah Si Kedok Hitam. Nah, pandanglah baik-baik, inilah wajah Si Kedok Hitam!" Dengan kedua tangannya, Kedok Hitam membuka kedoknya dari kain hitam dengan gerakan cepat dan dua pasang mata itu memandang dan terbelalak.
Wajah Mawarsih berubah pucat, matanya terbelalak ngeri dan kakinya melangkah mundur. Bayu bahkan mengeluarkan suara seperti orang ketakutan dan jijik. Wajah itu! Bukan hanya buruk, melainkan cacat dengan codet memanjang dari dahi ke dagu, sebelah matanya membengkak, hidungnya melingkar dan mulutnya hampir berdiri. Kulit mukanya kasar dan menghitam. Sungguh muka yang bukan hanya buruk, melainkan manakutkan dan mengerikan, wajah yang sudah rusak, mungkin karena bacokan senjata tajam sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Mungkin saja masih muda, mungkin sudah tua.
Koleksi Kang Zusi Melihat kedua orang itu terbelalak ketakutan, Kedok Hitam menutupkan kembali kedoknya dan dia pun tertawa lagi bergelak. "Ha-ha-ha, tidak perlu lagi andika berpura-pura, den roro Mawarsih. Andika merasa ngeri, jijik, dan ketakutan melihat wajahku, bukan" Nah, tidak tepatkah kalau kukatakan bahwa andika lebih tepat kalau memilih Banuaji sebagai jodoh andika" Kulihat bahwa bagaimanapun juga, andika masih mementingkan wajah tampan, ha-ha-ha!"
Wajah Mawarsih yang tadinya pucat itu kini berubah kemerahan. Harus diakui kebenaran ucapan Si Kedok Hitam. Bagaimana mungkin ia dapat bersuamikan seorang pria yang wajahnya rusak seperti itu" Memandangnya saja ia tidak sanggup berlama-lama! Ia seorang dara perkasa yang menghargai kegagahan, maka iapun berkata sejujurnya, sesuai dengan isi hatinya.
"Maafkan aku, Kedok Hitam. Terus terang saja, hatiku condong kepada andika berdua kakangmas Aji. Aku ingin sekali kakangmas Aji memiliki kesaktian seperti andika, dan akupun ingin sekali andika memiliki ketampanan seperti kakangmas Aji. Hatiku menuntut kesempurnaan dari pria yang kucinta. Aku menjadi bingung, Kedok Hitam........." Mawarsih menundukkan mukanya, merasa terpukul oleh kenyataan itu.
Pada saat itu terdengar suara tawa lain, tawa yang kasar dan parau, terbahak-bahak menimbulkan gema di sekitar tempat itu, dan muncullah seorang laki-laki raksasa yang bukan lain adalah Malangkoro! "Hua-ha-ha-ha, kiranya Si Kedok Hitam hanyalah seorang laki-laki yang palsu! Pengecut lagi!"
"Malangkoro, akhirnya engkau muncul juga!" Si Kedok Hitam berseru.
"Tentu engkau menyadari bahwa engkau tidak mungkin dapat lolos dariku!"
Koleksi Kang Zusi "Aku sudah bosan untuk berlari menjadi buruan. Akan tetapi sekarang akupun tahu bahwa andika hanyalah seorang laki-laki palsu dan pengecut!
Dahulu, di panggung sayembara, andika menyatakan tidak menghendaki Mawarsih, dan sekarang ternyata mengadakan pertemuan dengannya!"
"Sudahlah, Malangkoro. Ini bukan urusanmu, sebaiknya engkau menyerah untuk kutangkap dan kubawa ke Mataram untuk diadili!"
"Babo-babo, sekali ini Malangkoro tidak akan menyerah kepada siapapun, Kedok Hitam. Kalau memang andika seorang laki-laki jantan jangan pengecut, aku tantang andika untuk membuka kedokmu dan mari kita mengadu ilmu sampai seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa dan pemenangnya berhak memiliki Mawarsih! Kalau engkau menolak, tidak berani membuka kedokmu dan tidak berani memenuhi tantanganku, maka sebaiknya engkau kembali saja ke pangkuan ibumu sebagai seorang pengecut hina!"
"Jahanam keparat engkau, Malangkoro! Seperti seekor burung pandai mengoceh sebelum mati, engkau membuka mulut seenaknya saja. Siapa bilang bahwa aku tidak berani membuka kedokku dan menerima tantanganmu" Nah, lihat baik-baik siapa aku. Malangkoro!"
Dengan hati ngeri, Mawarsih dan Bayu memandang kepada Kedok Hitam dengan penuh perhatian. Sekali ini mereka ingin melihat wajah mengerikan di balik kedok hitam itu. Seperti tadi, Kedok Hitam menggunakan kedua tangan untuk membuka kedoknya, akan tetapi tidaklah secepat tadi dan ketika akhirnya kedok itu dibuka dan disimpan dalam saku bajunya, kembali Bayu dan Mawarsih terbelalak, sekali ini bukan karena takut dan ngeri, melainkan kerena terheran-heran.
"Kakangmas Aji.......!" Hampir berbareng seruan ini keluar dari mulut Koleksi Kang Zusi
Mawarsih dan Bayu. Kini wajah yang muncul dari balik kedok hitam itu bukan wajah mengerikan seperti tadi, melainkan wajah Banuaji! Akan tetapi Mawarsih mengerutkan alisnya dan sinar matanya membayangkan kemarahan. Kini ia mengerti. Yang menyamar sebagai Si Kedok Hitam tadi adalah Aji, tentu dengan maksud untuk memburukkan Kedok Hitam, di bawah kedok itu, Aji memakai lagi sebuah topeng yang amat buruk mengerikan. Tak disangkanya bahwa Banuaji memakai akal securang itu.
Tentu Aji sudah menduga bahwa ia memilih Kedok Hitam, maka berusaha untuk menjauhkannya dari Kedok Hitam, dengan cara yang licik dan curang!
Hal ini membuat Mawarsih demikian sakit hatinya sehingga tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah air mata. Akan tetapi juga terdapat suatu perasaan lega. Kalau begitu, Si Kedok Hitam yang asli bukanlah seorang yang bermuka mengerikan! Yang ini hanyalah Kedok Hitam palsu alias Banuaji.
Sementara itu, menghadapi Banuaji yang kini tidak memakai kedok, Malangkoro kembali tertawa terbahak-bahak. "Huaha-ha-ha-ha kiranya andika Si Kedok Hitam palsu! Bocah setan yang pengecut, pernah melarikan diri dariku. Ha-ha-ha, bagus, sekarang tiba saatnya aku akan mematahkan seluruh tulang di tubuhmu, mencabik-cabik dagingmu, melumatkan kepalamu, mencerai-beraikan isi perutmu!"
Banuaji tersenyum. "Aduh, sumbarmu seperti engkau dapat meruntuhkan gunung mengeringkan samudera. Lebih baik engkau menyerah untuk keseret ke Mataram, Malangkoro pengkhianat besar!"
Sementara itu, Mawarsih maklum bahwa Aji bukanlah tandingan Malangkoro, maka ia sudah melangkah maju. "Kakangmas Aji, tidak kusangka engkau tega mempermainkan aku seperti ini. Akan tetapi mengingat engkau pernah menolongku beberapa kali, biarlah aku melupakan sakit hatiku dan membantumu emnghadapi Malangkoro." Wajah dara itu muram dan matanya mengeluarkan sinar marah.
Koleksi Kang Zusi Banuaji menghadapi Mawarsih dan diapun tertawa, dan suara tawanya membuat dara itu merasa seram dan bulu tengkuknya meremeng. Itu tawa Si Kedok Hitam! Kemudian ketika Aji bicara, ia terbelalak. Suara Si Kedok Hitam!
"Diajeng Mawarsih, aku belum memerlukan bantuanmu. Mundurlah dan lihatlah baik-baik siapa sebenarnya aku ini!" Dia mengeluarkan sebatang suling dari ikat pinggangnya dan menghadapi Malangkoro. Mawarsih memandang dengan muka pucat. Suling itupun senjata yang biasa dipergunakan Si Kedok Hitam! Mimpikah ia" Ia masih belum percaya dan siap untuk membantu Aji kalau-kalau pemuda itu terancam bahaya maut di tangan Malangkoro yang digdaya."Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!" Malangkoro sudah menggerakkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang parang yang besar, berat dan tajam berkilauan. Agaknya sekali ini Malangkoro benar-benar telah bersiap sedia mempertahankan diri dengan taruhan nyawa maka dia memperlengkapi dirinya yang kebal dan kuat itu dengan senjata yang mengerikan.
"Sing.......wuuuttt........!" Parang itu menyambar dahsyat dan kalau mengenai sasaran, yaitu leher Banuaji, agaknya leher itu akan terbabat putus seperti sebatang pohon pisang disambar parang yang tajam. Namun, Aji sudah dapat mengelak dengan lincahnya, menyusup ke bawah sambaran sinar parang dan dari bawah sulingnya menotok ke arah pusar raksasa itu.
Melihat gerakan ini, Malangkoro tidak berani sembrono menerimanya dengan kekebalannya. Dia memang memandang rendah Aji, tidak seperti kalau dia melawan Si Kedok Hitam, akan tetapi dia merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari totokan suling, maka diapun berhati-hati dan menangkis tusukan suling itu dengan parangnya yang tadi luput mengenai sasaran dan diputar ke bawah dengan ayunan kuat untuk menangkis suling dan kalau mungkin mematahkan atau memecahkannya.
"Trang.........!!" Malangkoro terkejut bukan main ketika merasa betapa telapak tangannya tergetar dan panas, bahkan parangnya hampir terlepas dari tangannya ketika bertemu suling. Dan Aji sudah menyerangnya lagi dengan tendangan kaki bertubi-tubi sehingga Malangkoro terpaksa Koleksi Kang Zusi
berloncatan ke belakang dan ketika terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya, tubuhnya hampir terjengkang dan ketika dia mempertahankan diri, dia terhuyung ke belakang.
Mawarsih terbelalak, melongo seperti orang nanar. Ia mencibit lengannya sendiri. Bukan, bukan mimpi! Akan tetapi gerakan Aji itu! Biasanya Aji kalau bertanding hanya mengandalkan kelincahan, selalu menghindarkan dari desakan Malangkoro. Akan tetapi sekarang, Aji bahkan mendesak raksasa itu dengan serangan bertubi-tubi dan gerakannya demikian dahsyat, gerakan yang dikenalnya sebagai gerakan dari Si Kedok Hitam! Ia merasa bingung sekali, walaupun juga amat kagum karena kini Aji sudah mendesak lagi lawannya dengan serangan sulingnya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking, seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Bagaimana mungkin itu" Si Kedok Hitam adalah Banuaji" Ah, tidak mungkin! Ia pernah melihat mereka berdua muncul dalam saat bersamaan, ketika Aji bersama ia dan Bayu mengeroyok Malangkoro, sedangkan Si Kedok Hitam bertanding ilmu melawan guru Malangkoro, yaitu Ki Danyang Gurita. Mereka jelas merupakan dua orang yang berlainan! Mungkin ini ulah Banuaji! Akan tetapi karena sudah jelas bahwa Aji tidak terdesak Malangkoro, bahkan mendesak terus dengan hebatnya, iapun tidak maju membantu.
"Bagus, kakangmas Aji! Hantam dia! Robohkan raksasa sombong itu!" Bayu berteriak-teriak memberi semangat dengan gembira sekali melihat Aji mendesak Malangkoro.
Mawarsih juga merasa kagum sekali dan ikut bergembira, bahkan hampir ia ikut bersorak-sorai seperti Bayu kelau tidak ditahannya. Akan tetapi, di balik kekaguman dan kegembiraannya, ia masih terheran-heran dan bingung. Sukar sekali menggambarkan bagaimana perasaan dara ini pada saat itu. Yang jelas saja kagum, gembira dan terharu. Akan tetapi juga malu bukan main! Malu kepada Banuaji yang ia pandang rendah sebagai seorang pemuda yang tidak memiliki kesaktian tinggi. Malu kepada Si Kedok Hitam yang ia anggap sebagai seorang yang memiliki wajah mengerikan dan menakutkan.
Koleksi Kang Zusi Malangkoro sendiri merasa kecelik dan disamping kaget dan heran, terutama sekali dia menjadi gentar. Tadinya, dia memang sudah nekat untuk menandingi Si Kedok Hitam, mengadu nyawa karena dia maklum bahwa ke manapun dia melarikan diri, dia tidak akan mampu lepas dari kejaran Si Kedok Hitam. Dia sudah nekat, karena walaupun dia tahu bahwa Si Kedok Hitam amat sakti dan dia tidak akan mampu menandinginya, dia tetap berani untuk mengadu nyawa dengan harapan senjatanya akan dapat membantunya mengalahkan lawan yang tangguh itu. Ketika tadi dia melihat bahwa yang dihadapinya hanyalah Si Kedok Hitam palsu, karena ternyata adalah Banuaji yang pernah beberapa kali menandinginya dan dia tahu merupakan lawan yang tidak berapa kuat, diapun sudah merasa girang sekali. Dia sudah merasa yakin akan dapat membunuh Si Kedok Hitam palsu itu dan memboyong Mawarsih. Siapa kira, lawan ini ternyata amat tangguh dan dari gerakan-garakan dan tenaganya, dia bukanlah Kedok Hitam palsu, melainkan yang asli. Tentu saja diapun merasa bingung seperti Mawarsih, walaupun bingung bercampur gentar, tidak seperti bingungnya hati Mawarsih yang bercampur kagum dan gembira.
Pertandingan itu berlangsung semakin seru. Malangkoro kembali berteriak seperti seekor binatang buas ketika parangnya menyambar ke arah pinggang Aji. Pamuda ini maklum bahwa parang itu amat berbahaya dan selama Malangkoro masih memegang senjata yang menggiriskan itu, tidak mudah beginya untuk mengalahkannya, walaupun dia dapat selalu mendesak.
Ketika parang menyambar ke arah pinggangnya, dia mendiamkannya saja sampai menyambar dekat, barulah dia menarik tubuh ke belakang dan ketika parang lewat, secepat kilat sulingnya menyambar ke arah pergelangan tangan raksasa itu.
"Tukk! Aughhh......!!" Malangkoro mengeluarkan teriakan marah karena tangan kanannya tiba-tiba seperti lumpuh dan parang itu terlempar dekat kaki Mawarsih. Ujung suling itu telah menotok otot besar di pergelangan tangannya dan membuat dia tidak mampu mempertahankan lagi senjatanya.
Mawarsih secara otomatis menggerakkan kakinya dan parang itupun ditendangnya mencelat sampai jauh dan lenyap dalam semak belukar.
Koleksi Kang Zusi Malangkoro menghadapi Aji dengan kedua mata melotot merah. Aji tersenyum dan menyelipkan sulingnya ke ikat pinggang. Dia tidak mau menandingi lawan yang sudah kehilangan senjatanya dengan suling. Lawan bertangan kosong, diapun harus melawannya dengan tangan kosong!
Malangkoro merasa lega melihat ini, muncul pula harapannya dan diapun menggereng bagaikan seekor singa terluka, lalu menubruk ke depan dengan kedua lengan yang panjang dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari membentuk cakar menyambar ke arah kepala lawan. Aji menghindar dengan ringan ke belakang, lalu maju dan membalas dengan tendangan kakinya yang dapat ditangkis pula oleh Malangkoro. Kedua orang ini melanjutkan pertandingan mereka dan setelah keduanya kini tidak memegang senjata, pertandingan itu bahkan semakin seru. Malangkoro mengandalkan kekebalan dan kekuatan tubuhnya, Aji lebih mengandalkan kecepatan gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam tamparan atau tendangan pemuda itu bukan hanya tenaga otot dan kerasnya tulang seperti tenaga lawan, melainkan tenaga sakti yang keluar dari dalamnya pusarnya.
Mawarsih kini tidak meragukan lagi bahwa yang sedang bertanding melawan Malangkoro itu adalah adalah Si Kedok Hitam, walaupun akal pirikannya membantah karena ia pernah melihat kemunculan Aji dan Si Kedok Hitam dalam waktu yang bersamaan. Ia pun tahu bahwa Aji sama sekali tidak membutuhkan bantuannya melawan Malangkoro, bahkan Aji kini mempermainkan lawan dan berulang kali membuat Malagkoro terjengkang atau terpelanting.
"Engkau masih belum mau menyerah?" Aji berseru ketika untuk kesekalian kalianya Malangkoro terpelanting roboh, melihat raksasa itu merangkak dan bangkit kembali, bagaikan Sang Rahwana yang setiap kali hidup dan bangkit kembali dari maut begitu tubuhnya jatuh ke atas tanah.
"Babo-babo, keparat. Amuk suramrata jayamrata! Malangkoro pantang menyerah selama nyawa belum meninggalkan badan!" bentak raksasa itu dan kembali dia menubruk dengan buas, walaupun mukanya sudah berdarah-darah.
Koleksi Kang Zusi Aji memang tidak memukulnya dengan sepenuh tenaga. Dia bermaksud untuk menangkapnya hidup-hidup dan tidak terluka parah agar mudah menggiringnya ke Mataram. Akan tetapi tidak diduganya bahwa raksasa itu demikian bandel dan pantang menyerah.
"Malangkoro manusia bandel, terpaksa engkau harus kuhajar!" bentak Aji dan kini tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu. Malangkoro berusaha menangkis dan mengerahkan tenaga Tirtadahana yang dahsyat.
Akan tetapi Aji sudah tentu saja mengenal aji pukulan ampuh itu dan diapun mengerahkan tenaganya. Dua tangan yang sama-sama kuat bertemu, namun kekuatan Aji lebih dahsyat sehingga pukulannya yang tertangkis itu masih menerobos masuk dan mengenai dada Malangkoro.
"Dessss.........!!" Tubuh Malangkoro terguling-guling sampai ke tepi jurang.
Akan tetapi, raksasa itu memang kuat bukan main. Dia masih mampu bangkit lagi, nampaknya hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat ke dalam jurang. Aji terkejut dan cepat lari ke tepi jurang, menjenguk diikuti pula oleh Mawarsih dan Bayu dan di sana di dasar jurang mereka melihat tubuh raksasa itu, rebah terlentang dengan kepala berdarah-darah, agaknya ketika jatuh kepalanya menimpa batu.
Pada saat itu terdengar gerakan orang dan ketika mereka bertiga menengok, kiranya yang muncul adalah Raden Mas Rangsang, pangeran sulung bersama Ki Sinduwening.
"Bapa......!" Mawarsih lari menghampiri ayahnya karena ia masih bingung dan membutuhkan kekuatan ayahnya untuk menghadapi kenyataan yang mengguncangkan hatinya bahwa ternyata Aji memiliki kedigdayaan yang hebat, akan tetapi ia bingung sekali melihat Aji dan Kedok Hitam seolah merupakan orang yang sama. Sementara itu, pangeran itu meloncat ke dekat Aji dan ikut menjenguk ke bawah.
Koleksi Kang Zusi "Hemm, agaknya dia sudah tewas. Kenapa tidak andika tangkap saja hidup-hidup adimas?"
"Tadinya saya sudah bermaksud menundukkan dan menangkapnya hidup-hidup, kakangmas, akan tetapi dia bandel bukan main dan ketika tadi saya memukulnya roboh, tanpa saya sangka-sangka, dia berhasil melompat ke dalam jurang."
Mawarsih semakin bingung dan heran mendengar betapa Aji bicara dengan sang pangeran secara demikian akrabnya, saling menyebut adimas dan kakangmas! Sementara itu, dua orang muda sudah mendekati Mawarsih yang masih memegang lengan ayahnya dan Raden Mas Rangsang lalu berkata kepada ayah dan anak itu sambil tersenyum. "Paman Sinduwening, seperti telah kuberitahukan kepada paman tadi, inilah adik seperguruanku."
"Dia.........?"" Ki Sinduwening memandang takjub. "Tapi dia..... dia adalah.......
bukankah dia yang bernama Banuaji?"
"Raden Mas Rangsang tersenyum mengangguk. "Benar, paman. Dia bernama Banuaji, akan tetapi juga seringkali muncul sebagai Si Kedok Hitam."
"Haa.......?" Orang tua itu semakin heran. "Jadi anakmas Banuaji ini yang manjadi Si Kedok Hitam?"
"Tidak mungkin!" Mawarsih berseru penasaran. Bagaimana mungkin kakangmas Aji juga Si Kedok Hitam kalau aku pernah melihat kehadiran Koleksi Kang Zusi
mereka bersama ketika kita berkelahi melawan Malangkoro dan gurunya, Danyang Gurita" Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka adalah dua orang, kakangmas Aji bersama aku dan Bayu mengeroyok Malangkoro sedangkan Si Kedok Hitam melawan Danyang Gurita! Ini saksinya, Bayu. Coba katakan, Bayu, tidak benarkah kata-kataku tadi?"
Bayu mengangguk dan diapun memandang kepada Aji dengan sinar mata terheran-heran. "Benar sekali apa yang dikatakan Mbakayu Mawarsih.
Saya sendiri dekat dengan kakangmas Aji yang masih kakak misan saya dan belum pernah melihat dia menjadi Si Kedok Hitam."
Sang pangeran tersenyam. "Harap diajeng Mawarsih dan juga Paman Sinduwening percaya kepadaku. Yang dikatakan diajeng Mawarsih tadi memang benar, akan tetapi ketika adimas Banuaji dan Si Kedok Hitam muncul dalam waktu yang bersamaan, ketika itu Si Kedok Hitam adalah aku sendiri. Aku memang sengaja menyamar sebagai Si Kedok Hitam untuk membantu adimas Banuaji, dan untuk menjaga agar penyamarannya sebagai Si Kedok Hitam tidak sampai terbuka."
Mawarsih memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik dan penuh teguran. "Kalau begitu, selama ini andika mempermainkan aku dan ayah, kakangmas Aji" Tapi kenapa....." Kenapa kau......." Mawarsih tidak melanjutkan ucapannya karena suaranya terdengar seperti hampir menangis.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Diajeng Mawarsih, dan Paman Sinduwening, harap suka memaafkan saya, karena sesungguhnya, terpaksa sekali saya melakukan penyamaran itu dan....."
"Dimas Banuaji, kelak saja andika memberi penjelasan kepada Paman Sinduwening dan diajeng Mawarsih. Sementara ini cukup kalau mereka mengetahui bahwa andika adalah Banuaji alias Kedok Hitam. Aku menyusul ini bukan hanya untuk melihat apakah Malangkoro sudah dapat kau Koleksi Kang Zusi
tundukkan, akan tetapi juga karena aku diutus Kanjeng Rama Prabu untuk memenggilmu menghadap, sekarang juga!"
"Benar, anakmas Aji. Aku sendiri juga mendengar perintah Gusti Prabu untuk memanggil Si Kedok Hitam, karena itu sebaiknya kalau anakmas pergi sekarang juga. Biarlah jenazah Malangkoro aku yang akan mengurusnya."
"Kalau begitu selamat tinggal, paman, dan andika juga, diajeng Mawarsih.
Biar lain kali aku memberi penjelasan kepadamu." Setelah berkata demikian, Aji bersama Pangeran Raden Mas Rangsang meninggalkan tempat itu, bergegas menuju ke kota raja karena tidak ingin Sribaginda Raja menanti lebih lama lagi.
*** Sang Prabu Hanyokrowati menerima Raden Mas Ransang dan Si Kedok Hitam di ruangan dalam, sesuai dengan permintaan Si Kedok Hitam. Pagi tadi, ketika Sang Prabu hendak memutuskan pembagian hadiah-hadiah bagi mereka yang telah berjasa di medan pertempuran menundukkan Ponorogo, Sang Prabu menyebut nama Si Kedok Hitam. Dia sudah lama mendengar nama Si Kedok Hitam disebut-sebut, bahkan ketika pasukan yang pertama kali menyerbu Ponorogo terjebak dan hampir saja Sang Prabu terancam bahaya. Si Kedok Hitam yang menolongnya sehingga Sang Prabu tahu akan adanya jebakan lalu keburu menyelamatkan diri. Walaupun Si Kedok Hitam tidak ikut berperang secara terbuka, namun jasanya sudah besar sekali dan Sang Prabu ingin bertemu dengannya dan memberi hadiah. Akan tetapi, tak seorangpun di antara para senopati tahu di mana adanya Si Kedok Hitam. Akhirnya, Raden Mas Rangsang menyatakan bahwa dia sanggup mencari Si Kedok Hitam. Mendengar ucapan puteranya ini, Sang Prabu mengutusnya agar cepat mencari dan menemukan Si Kedok Hitam dan mengajaknya menghadap ke istana.
Ketika Raden Mas Rangsang dan Si Kedok Hitam tiba di istana, Raden Mas Koleksi Kang Zusi
Rangsang lebih dahulu menghadap ayahandanya dan mengatakan bahwa Si Kedok Hitam hanya mau menghadap Sang Prabu kalau diterima di sebelah dalam, tidak diketahui ponggawa lain, dan hanya dihadiri oleh keluarga raja. Permintaan aneh ini tentu tidak akan dipenuhi Sang Prabu kalau yang memintanya bukan puteranya sendiri, yang menanggung bahwa Si Kedok Hitam mempunyai alasan kuat untuk mengajukan permohonan itu.
Demikianlah, Si Kedok Hitam bersama Raden Mas Rangsang lalu memasuki ruangan sebelah dalam di mana sudah duduk Sang Prabu Hanyokrowati bersama semua keluarga istana. Tidak ketinggalan pula puterinya, yaitu Dyah Ayu Ratu Pandan, puteri yang jelita dan berusia delapan belas tahun itu, hadir pula. Juga Raden Mas Menang, Raden Mas Cakra dan para pangeran lain kecuali Raden Mas Martapura yang kini tidak waras lagi pikirannya dan hanya mengeram diri di dalam kamarnya.
Semua anggota keluarga memperhatikan Si Kedok Hitam ketika dia memasuki ruangan bersama Raden Mas Rangsang, dan dengan penuh hormat Si Kedok Hitam berlutut dan menyembah. Semua orang memandang kagum karena mereka sudah mendengar akan kedigdayaan Si Kedok Hitam dan akan jasa-jasanya yang besar.
"Heii, Kedok Hitam! Kami sudah mendengar banyak tentang sepak terjangmu yang membantu Mataram, karena itu kami sudah menganggap pantas untuk memberi imbalan jasa kepadamu." kata Sang Prabu dengan wajah manis dan sikap ramah.
"Mohon beribu ampun, Gusti Prabu. Sesungguhnya, hamba hanya melakukan kewajiban hamba menentang yang lalim, dan kalau hamba melihat yang lalim dikalahkan sedangkan yang benar dapat hamba bela dan selamat, hal itu sudah merupakan imbalan yang amat membahagiakan hati hamba. Hamba tidak mengharapkan apa-apa lagi, Gusti."
Sang Prabu Hanyokrowati mengerutkan alisnya. "Hemm, engkau adalah Koleksi Kang Zusi
seorang ksatria sejati, Kedok Hitam. Kalau engkau tidak menghendaki apa-apa lagi, kenapa engkau mohon agar kami menerimamu hanya dalam keluarga yang terbatas saja, tidak menghendaki diketahui para ponggawa"
Apa maksudmu?" "Ampun beribu ampun, Gusti. Sesungguhnya, hamba menghendaki agar pertemuan dirahasiakan, bukan sekali kali untuk kepentingan hamba, melainkan demi kepentingan paduka pula."
"Hemm, apa maksudmu" Jelaskan!"
"Kakangmas Pangeran Raden Mas Rangsang menghendaki agar hamba memperkenalkan diri dan membuka kedok di hadapan paduka sekeluarga, oleh karena hal ini menyangkut keluarga paduka, maka hamba mohon diterima dalam lingkungan keluarga saja."
"Bicaramu semakin aneh mengandung rahasia, Kedok Hitam. Rahasia apa gerangan yang menyangkut diri kami?"
"Sebelumnya, hamba mempunyai sebuah benda dan mohon paduka periksa, apakah paduka mengenal benda yang hamba simpan sejak kecil ini." Si Kedok Hitam lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku bajunya dan setelah menyembah, dia menghaturkan benda itu kepada Sang Prabu.
Benda itu ternyata seuntai kalung emas dan begitu menerima benda ini dan mengamatinya, Sribaginda menjadi terkejut dan termenung. Terbayanglah kenangan masa lalu. Ketika itu, sekitar dua puluh tahun yang lalu ketika mendiang ayahnya, Raja Mataram yang pertama yang berjuluk Senopati Ing Alaga Saidin Panatagama atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Senopati, dia sendiri masih seorang pangeran dan ketika pasukan Mataram memperluas wilayahnya ke jurusan timur, dia yang ketika itu disebut Pangeran Raden Mas Jolang, ikut pula memimpin Koleksi Kang Zusi
pasukan. Di daerah Ponorogolah terjadinya peristiwa yang kini dikenangnya itu. Dia bertemu dengan Niken Sari, puteri seorang pendeta di dusun dan mereka saling jatuh cinta. Pangeran Raden Mas Jolang mempersunting dara itu atas persetujuan ayah si gadis, dan terpaksa dia meninggalkan Niken Sari di rumah sang pendeta karena dia harus melanjutkan perjalanannya memimpin pasukan yang menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur. Dia meninggalkan Niken Sari dalam keadaan mengandung dan kalung yang kini berada di tangannya adalah kalung yang ia tinggalkan kepada Niken Sari. Karena kesibukanya sebagai seorang pangeran maahkota, dia putera dari garwa padmi atau permaisuri, dan karena ayahandanya selalu mengadakan gerakan untuk menundukkan daerah-daerah Mataram yang luas, Raden Mas Jolang melupakan Niken Sari yang ditinggalkan di dusun sebelah selatan Ponorogo itu.
"Aih, ini kalung yang kami berikan kepada Niken Sari! Bagaimana dapat berada di tanganmu, Kedok Hitam?"
"Ampun, Gusti. Kalung itu hamba terima dari ibu kandung hamba, ketika hamba berusia sepuluh tahun dan ibu hamba di ambang pintu kematiannya."
"Siapa ibu kandungmu?"
"Ibu kandung hamba..... ia..... ia bernama Niken Sari......"
"Ya Allah! Jadi kau..... kau..... anak Niken Sari yang dikandungnya ketika aku pergi meninggalkannya" Jadi engkau..... engkau ini puteraku sendiri?"
"Adimas, bukalah kedokmu dan perlihatkan wajahmu kepada kanjeng rama dan semua keluarga." Raden Mas Rangsang berkata dari belakang Si Kedok Hitam. Kedok Hitam menyembah ke arah Sribaginda, lalu dia membuka kedok kain hitam yang selalu menutupi mukanya.
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas Banuaji..........!!" Tiba-tiba Dyah Ayu Ratu Pandan menjerit.
"Eh, kau sudah mengenalnya?" Sang Prabu menoleh ke arah puterinya dengan heran.
"Ampunkan hamba, kanjeng rama. Sesungguhnya, adimas Banuaji ini adalah adik seperguruan hamba dalam olah kedigdayaan, hamba berdua murid-murid Ki Pandanaran, menerima ilmu-ilmu yang diajarkan kepada beliau oleh Eyang Sunan Kalijaga. Pernah adimas Banuaji hamb ajak ke kapangeranan dan bertemu dengan diajeng Dyah Ayu Ratu Pandan dan mereka hamba perkenalkan. Diajeng, ini adalah kakakmu sendiri."
"Diajeng, maafkan saya......" Banuaji memandang kepada puteri jelita itu, dan Dyah Ayu Ratu Pandan menangis. Hati siapa tidak akan hancur lebur mendapat kenyataan bahwa satu-satunya pria yang membutnya tergila-gila dan yang dicintanya setengah mati, yang dirindukannya setengah mati, kini muncul sebagai kakaknya, seayah berlainan ibu!
Tentu saja pertemuan itu merupakan pertemuan kekeluargaan yang asyik masyuk, mendatangkan kegembiraan dan keharuan, dan Banuaji dielu-elukan dan sejak saat itu, dia adalah Raden Mas Banuaji, seorang pangeran yang telah diterima dan diakui oleh Sang Prabu dan segenap keluarga istana! Perlahan-lahan, Dyah Ayu Ratu Pandan juga dapat menerima kenyataan itu, betapapun pahitnya dan kini mengertilah ia mengapa Banuaji yang pernah dicintanya itu tiba-tiba saja menghilang dan tidak pernah muncul. Kiranya Banuaji sudah tahu bahwa ia adalah adik sendiri, maka dia menjauhkan diri dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam.
*** Koleksi Kang Zusi Ketika Ki Sinduwening yang menjadi senopati Mataram mengajak kembali puterinya ke kota raja, Mawarsih mengeleng kepalanya. Dara ini nampak berduka sekali, wajahnya muram dan alisnya berkerut.
"Tidak, bapa, aku tidak ingin kembali ke kota raja. Aku ingin tinggal di lebih lama di sini, karena di tempat sunyi ini aku merasa kedamaian dan ketentraman."
Ki Sinduwening memaklumi perasaan puterinya. Tentu puterinya itu merasa terpukul sekali akan kenyatan bahwa Banuaji dan Kedok Hitam adalah satu orang! Tentu ia merasa malu akan sikapnya sendiri, malu kepada Banuaji juga malu kepada Si Kedok Hitam, karena tadinya ia bersikap mendua, yaitu mencinta keduanya sehingga sukar menentukan pilihan.
"Baiklah, setelah selesai urusanku di kota raja, aku akan menjemputmu di sini Mawar." Ki Sinduwening lalu meninggalkan puterinya dengan hati merasa yakin bahwa Banuaji pasti akan kembali kepada Mawarsih. Akan tetapi dia minta kepada Bayu untuk tinggal pula di situ menemani Mawarsih. Bayu tidak membantah dan Mawarsih juga mengangguk setuju karena satu-satunya orang yang mengetahui benar akan isi hatinya hanyalah Bayu.
Setelah mereka berdua saja yang tinggal di pondok sunyi itu, tiada habis-habisnya Mawarsih menghujani pertanyaan kepada Bayu tentang Banuaji.
Bayu juga bercerita sejujurnya. Pertama kali dia bertemu dengan Banuaji dan tahu bahwa Banuaji masih ada hubungan keluarga dengannya karena Lurah Pancot adalah paman dari Aji sedangkan ibu Lurah adalah bibi Bayu.
"Semenjak kakangmas Aji bertemu dan berkenalan dengan mbakayu di puncak bukit itu, dia selalu membicarakan tentang dirimu denganku. Jelas Koleksi Kang Zusi
bahwa kakangmas Aji amat kagum dan suka kepadamu, mbakayu Mawarsih.
Hubuangan kami akrab sekali, bahkan kakangmas Banuaji mengajarkan dasar-dasar ilmu pencak silat kepadaku. Akan tetapi, aku selalu mengenalnya sebagai kakangmas Banuaji, sama sekali tidak mengira bahwa dia adalah Si Kedok Hitam."
"Akan tetapi, bukankah beberapa kali engkau bersama Si Kedok Hitam, seperti ketika engkau menantang Malangkoro di panggung sayembara itu?"
"Benar, mbakayu, akan tetapi dia yang muncul tiba-tiba dan menyuruh aku melaku- kan tantangan itu. Karena melihat kakangmas Banuaji tidak mampu menang atas diri Malangkoro, aku penasaran dan dengan senang aku melaksanakan permintaannya, sama sekali tidak menyangka bahwa dia adalah kakangmas Aji sendiri."
"Aneh, kenapa dia harus menyamar menjadi Kedok Hitam" Kenapa dia seperti yang sengaja mempermainkan aku dan ayahku?"
"Aku merasa yakin dia tidak bermaksud mempermainkanmu, mbakayu. Aku mengenal benar kakangmas Aji sebagai seorang yang lembut dan baik hati.
Sikapnya yang merahasiakan diri dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam, tentu ada sebabnya yang memaksa dia melakukannya. Dia sayang kepadamu, mbakayu, bagaimana mungkin dia tega mempermainkanmu.
Tunggu saja, aku yakin dia akan memberi penjelasan kepadamu."
"Akan tetapi, di mana dia sekarang. Bayu?" tanya Mawarsih dengan suara sayu, dan pilu.
"Maaf, mbakayu. Aku sendiripun tidak tahu dan tidak dapat menduga di mana. Bukankah Gusti Pangeran Rangsang mengajaknya menghadap Gusti Prabu ke istana" Sebaiknya kalau mbakayu menunggu di sini, karena kalau Koleksi Kang Zusi
aku tidak salah perhitungan, kakangmas Aji pasti akan datang ke sini mencari mbakayu."
"Benarkah itu, Bayu?" Suara Mawarsih lirih penuh harap-harap cemas.
Menanti memang merupakan pekerjaan yang paling berat. Waktu rasanya merayap lama sekali, apa lagi bagi Mawarsih yang sudah menanti-nanti munculnya Banuaji selama tiga hari.
Sore itu, dengan hati yang ternyuh dan berat, Mawarsih seorang diri berjalan ke puncak di mana ia pernah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Aji. Ia duduk melamun di atas batu yang dahulu pernah diduduki Aji. Apakah Banuaji benar-benar marah kepadanya karena ia pernah menolak Banuaji karena memilih Kedok Hitam" Juga karena ia pernah memperlihatkan kejijikan ketika melihat wajah di balik kedok itu yang amat buruk" Banuaji pernah mengejeknya agar menikah saja dengan kesaktian kalau yang dicinta bukan orangnya melainkan kesaktiannya. Dan sebaliknya Kedok Hitam yang melihat ia ketakutan melihat wajah buruk di balik kedok, juga mengejeknya bahwa ia mementingkan wajah tampan. Baik Banuaji, maupun Kedok Hitam, keduanya telah mengejeknya! Padahal keduanya adalah satu orang saja.
Mawarsih melamun, menghadap ke barat. Langit di barat terbakar merah oleh matahari senja. Biasanya, pemandangan matahari tenggelam di langit senja merupakan penglihatan yang teramat elok, sepenuhnya menggelarkan kebesaran kekuasaan Gusti Allah. Namun, dalam keadaan hatinya seperti saat itu, pemandangan itu bahkan membuar hati Mawarsih menjadi ternyuh, merasa seolah-olah semangatnya diterbangkan ke langit kemerahan itu, sunyi sepi sendiri di antara awan-awan putih kebiruan.
Hatinya menjerit dan tanpa disadarinya, jerit hatinya itu mengeluarkan rintihan dan keluhan melalui tembang. Ia bertembang Asmaradana, suaranya menggetar penuh perasaan, dan air matanya perlahan-lahan turun membasahi pipinya ketika ia berkidung.
Koleksi Kang Zusi "Gandrung wuyung lara ati
ternyuhe kang nandang branto
kadya den iris atine apa baya kang tumiba amorong angga kawula nganti anti wong abagus duh kula nyuwun usada"
Kidung itu menggambarkan keadaan hatinya, yang berarti, "Rindu dendam sakit hati, harunya yang sedang rindu, seperti disayat hatinya, apa gerangan yang akan menimpa, diri hamba ini, menanti-nanti si tampan, hamba minta penawar rindu."
Bait terakhir tenggelam ke dalam kesenduan, diiringi helaan napas panjang dan Mawarsih menusap kedua pipinya dengan punggung tangan, seperti anak kecil menangis. Tiba-tiba ia tersentak dan terbelalak mendengar suara suling! Suling itupun memainkan kidung Asmaradana, begitu lembut dan indah dan tanpa menolehpun tahulah ia siapa yang meniupnya. Bukan Bayu! Ia pun bangkit berdiri dan perlahan-lahan ia membalikkan tubuhnya.
Dan benar saja, dari lereng di bawah, ia melihat Banuaji sedang berjalan menghmpirinya sambil meniup sulingnya. Rasa rindu yang menyesak dada, membuat Mawarsih tidak lagi mengenal rikuh dan malu. Ia berlari menyambut pemuda itu sambil menangis.
Aji juga berlari menyambut sambil mengembangkan kedua lengannya.
Keduanya bertemu, masing-masing mengembangkan lengan dan mereka Koleksi Kang Zusi
saling berpelukan. "Kakangmas Aji......!"
"Diajeng Mawarsih........!"
Mawarsih menangis di dada pemuda itu dan Aji mendekap kepala itu penuh kasih sayang, seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya dan tidak akan melepaskannya lagi. Mawarsih menangis, mengguguk seperti anak kecil, air matanya membasahi baju dan menembus ke dada Banuaji, terasa oleh pemuda itu seperti siraman embun pagi pada akar-akar di hatinya yang sudah lama mendambakan siraman kasih.
"Kakangmas....... ampunkan aku, kakangmas....." Mawarsih merintih dalam tangisnya.
Banuaji mengelus rambut itu dengan penuh kemesraan. Sudah terlalu sering dia bermimpikan keadaan seperti sekarang ini, memeluk tubuh dara itu, mengelus rambutnya. Sebetulnya dara itu tidak perlu bicara lagi karena tadi dia sudah bertemu Bayu dan adik misannya itu sudah menceritakan semua tentang Mawarsih, tentang isi hati Mawarsih yang dalam tiga hari ini ditumpahkan kepadanya, tentang perasaan Mawarsih cintanya terhadap Banuaji semenjak pertama kali bertemu, cinta kasih yang tergoda dan terhalang karena munculnya Kedok Hitam yang dianggap lebih sakti, apa lagi yang sudah sering menyelamatkan nyawa dara itu.
"Tidak ada yang perlu diampuni, diajeng. Kita berdua harus menghadap Gusti Allah kalau hendak memohon mapun atas dosa-dosa kita, dan juga mengucap syukur Alhamdulillah bahwa Gusti Allah telah mempertemukan kita."
Koleksi Kang Zusi Bukan main lega rasa hati Mawarsih mendengar ini. Ia mengangkat mukanya yang basah dan menantap wajah pemuda itu, ingin mendapatkan kepastian. "Benar-benarkah andika mau memaafkan semua kesalahanku, kakangmas?"
Banuaji menunduk dan menutup mulut yang bertanya itu dengan ciumannya. Lama mereka seperti berubah menjadi arca dalam pelukan itu, kemudian Banuaji mengundurkan rangkulannya.
"Diajeng, engkau tidak bersalah. Akulah yang seyogianya minta maaf karena setelah kupikir-pikir, memang aku yang telah mempermainkan engkau dan paman Sinduwening dengan penyamaranku sebagai Kedok Hitam itu.
"Nah, sekarang andika mengaku, kakangmas!" kata Mawarsih manja dan juga lega gembira. "Dan andika sudah berjanji untuk menjelaskan, mengapa andika berpura-pura lemah dan menyamar sebagai Kedok Hitam yang lebih sakti. Hayo jelaskan, kakangmas karena pertanyaan itu tak pernah berhenti mengaduk hati dan pikiranku, mendatangkan rasa penasaran."
Banuaji tersenyum. "Mari kita duduk dan akan kujelaskan kepadamu, diajeng." Dia menuntun tangan Mawarsih dan keduanya mendaki puncak, lalu duduk di atas batu panjang, berdampingan, tangan kanan Aji menggenggam tangan kiri Mawarsih dan sepuluh buah jari itu saling kait dan saling belit seperti sepuluh ekor anak belut yang baru lahir.
"Aku adalah adik seperguruan kakangmas Pangeran Rangsang, kami berdua menjadi murid Ki Pandanaran dan cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga.
Ketika aku diajak kakangmas pangeran berkunjung ke kepangeranan, aku Koleksi Kang Zusi
diperkenalkan kepada adiknya, yaitu Sang Dyah Ayu Ratu Pandan......."
"Ah, Sekar Kedaton yang cantik jelita itu?" tanya Mawarsih, hatinya merasa tak enak membayangkan Aji berkenalan dengan puteri yang cantik jelita itu.
"Benar, diajeng. Kemudian....... kemudian........, ah, bagaimana, ya" Biarlah aku berterus terang saja. Aku melihat betapa puteri itu agaknya.......
menaruh hati kepadaku. Karena itu, aku lalu menjauhkan diri, menghilang dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam. Begitulah, diajeng, dan penyamaranku itu tidak ada yang mengetahui, kecuali kakak seperguranku itu, yaitu kakangmas Pangeran Rangsang."
Dara itu menatap wajah kekasihnya dengan mata terbelalak dan sinar mata heran, bahkan tidak percaya. "Kakangmas Aji! Andika menolak cinta puteri jelita Sekar Kedaton itu dan memilih aku?"
Aji tersenyum dan menggoda, "Bukankah engkau juga menolak cinta Banuaji dan memilih si buruk rupa Kedok Hitam."
"Ihh, kakangmas. Jawablah, mengapa" Jangan membikin aku mati penasaran!"
"Kenapa" Karena......... eh, matamu ini, hidungmu ini, mulutmu ini........"
"Aih, kakangmas, hentikan dulu.......... ah, biarkan aku bernapas, aku ingin jawaban- mu yang benar....." Mawarsih meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu terdengar suara dehem orang dan sepasang kekasih itu tentu saja terkejut dan cepat saling melepaskan rangkulan sambil meloncat berdiri dan membalikkan tubuh. Dapat dibayangkan betapa keduanya tersipu malu ketika melihat melihat bahwa yang datang adalah Ki Sinduwening! Banuaji menjadi demikian tersipu sehingga dia tidak mampu berkata apapun hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
Akan tetapi, senopati itu tidak kelihatan marah, bahkan tersenyum.
"Mawar, bapa datang untuk memberitahu kepadamu bahwa kemarin bapa dipanggil menghadap oleh Gusti Prabu dan beliau melamar engkau untuk dijodohkan dengan pangeran......"
"Tidak! Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran yang manapun juga, bapa!" Teriak Mawarsih memotong ucapan ayahnya, lalu dengan sikap menantang ia menggandeng tangan Banuaji dan melanjutkan, "Bapa, aku hanya mau berjodoh dengan kakangmas Banuaji!"
Akan tetapi dara itu menjadi bingung dan heran melihat ayahnya tidak marah, bahkan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kenapa engku belum juga mengubah watakmu yang kekanak-kanakan itu, Mawar" Aku belum selesai bicara dan engkau sudah memotong dan membantah begitu saja."
Akan tetapi aku memang tidak sudi diperistri pangeran! Aku hanya mau mempunyai suami........."
Kini ayahnya yang memotong. "Juga tidak mau kalau pangeran itu bernama Raden Mas Banuaji?"
Koleksi Kang Zusi Pegangan tangan pada tangan pemuda itu terlepas dan Mawarsih memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seperti melihat malaikat muncul di depannya.
"Ha-ha-ha, biarlah aku pergi ke pondok dan kalian lanjutkan pertemuan kalian. Anakmas Pangeran, paman pergi dulu." Dan senopati itu sambil terus tertawa meninggalkan mereka.
"Andika....... andika....... benarkah itu, kakangmas....... andika seorang.....
pangeran?" "Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri dari diajeng Ratu Pandan, diajeng. Ia adalah adikku sendiri, akan tetapi ketika itu ia belum mengetahuinya karena rahasiaku hanya diketahui kakangmas Pangeran Rangsang. Aku putera kanjeng rama prabu dari ibuku, seorang anak pendeta di dekat Ponorogo........"
"Aduh, pangeran.......... ampunkan hamba.........." Mawarsih menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Akan tetapi Banuaji menyambar tubuhnya dan mengangkatnya bangkit kembali.
"Hushhh..........!" bisiknya. "Bagimu aku tetap kakangmas Aji dan engkau diajeng Mawarsih. Aku tidak akan tinggal di istana, aku akan membangun rumah tangga denganmu di sini, di tempat yang indah ini, dan kita akan membentuk keluarga bahagia, dengan anak kita, cucu kita......."
Mawarsih tenggelam ke dalam pelukan kekasihnya. "Dan aku hanyalah Mawarsih, gadis dusun yang bodoh......."
Koleksi Kang Zusi Terdengar tiupan suling yang merdu dari jauh. Suara suling itu melengking-lengking, syahdu dan bagaikan membuat sepasang kekasih yang sedang terayun gelombang asmara itu. Suling itu menembangkan kidung-kidung yang indah. Kinanti, Asmaradana, Sinom, Pangkur, Dangdanggula......
kidung senja yang indah. Kidung Senja Di Mataram! Sepasang kekasih tenggelam ke dalam kemesraan, bagaikan mabok madu asmara, lupa keadaan, lupa diri, lupa bahwa di pondok, Ki Sinduwening menanti-nanti.
Akan tetapi, Ki Sinduwening duduk bersila dengan sabar, dengan senyum di mulut dan sepasang mata yang basah.
TAMAT Pendekar Elang Salju 2 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Dewi Sungai Kuning 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama