Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 7

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Si Kedok Hitam" Siapa dia itu?"
Koleksi Kang Zusi "Tidak ada seorangpun yang mengetahui, Pangeran, karena dia datang mengenakan kedok hitam. Setelah bertanding dan menang dia pergi lagi."
Pangeran itu tertawa. "Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Paman Sinduwening, kenapa sih susah-susah memilihkan jodoh puterimu ini dengan jalan mengadakan sayembara?"
"Hamba telah mendapat persetujuan Yang Mulia Sang Prabu, karena sayembara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun tenaga-tenaga muda yang digdaya untuk memperkuat barisan kita yang akan menyerang ke timur."
Raden Mas Martapura mengangguk-angguk. "Bagus, akan tetapi karena tidak ada yang terpilih sebagai jodoh Mawarsih, dan mengingat ia sudah cukup dewasa, bagaimana kalau, andika serahkan saja Mawarsih kepadaku, paman?"
Bukan hanya Ki Sinduwening dan Mawarsih berdua saja terkejut mendengar ucapan itu, juga semua orang yang mendengarnya menjadi terkejut dan memandang dengan hati tegang. Semua orang sudah tahu belaka akan ulah pangeran mahkota ini yang terkenal mata keranjang, akan tetapi sekali ini hendak menggangu puteri seorang senopati yang berjasa dan yang dipercaya Sang Prabu. Namun, hanya sebentar Ki Sinduwening terkejut. Dia segera dapat mengatasi perasaannya.
"Kanjeng Pangeran telah memiliki banyak selir......"
Koleksi Kang Zusi "Tidak mengapa, paman. Selirku sudah ada sembilan orang, ditambah seorang lagipun tidak mengapa!" kata pangeran itu sambil tersenyum, memotong ucapan Ki Sinduwening yang belum selesai.
"Bukan begitu maksud hamba. Paduka tentu saja boleh memiliki berapa banyakpun selir, akan tetapi puteri hamba tidak mau menjadi selir siapapun juga."
Mendengar ucapan ini, Raden Mas Martapura terbelalak, memandang seperti tidak percaya bahwa ada ayah yang menolak puterinya dia ambil sebagai selir! Padahal, menurut pendapatnya, setiap orang ayahpun akan berlumba menyerahkan puterinya untuk menjadi selirnya karena hal itu berarti naiknya derajat mereka.
"Apa......?" Andika........ berani menolak kehendakku, paman?" bentaknya marah. "Ini merupakan perintah, tahukah andika" Perintah dari seorang pangeran mahkota, calon raja!"
"Maaf, Pangeran. Hamba seorang senopati dan setiap saat siap untuk mentaati perintah atasan dengan taruhan nyawa, selama perintah itu ada hubungannya dengan tugas hamba. Tugas hamba adalah melawan musuh kerajaan dan memadamkan api pemberontakan dan pengacauan. Mengenai urusan perjodohan puteri hamba, hal itu merupakan persoalan pribadi kaluarga kami."
"Paman Sinduwening, berani engkau menampik pinanganku" Ini merupakan penghinaan!"
Koleksi Kang Zusi "Maaf, Pangeran. Hamba tidak menampik, akan tetapi urusan perjodohan puteri hamba adalah urusan pribadinya dan hamba serahkan sepenuhnya kepada keputusan yang akan menjalani. Mawarsih, jawablah sejujurnya di depan Pangeran, maukah engkau diambil menjadi selir Kanjeng Pangeran Raden Mas Martapura?"
Dengan muka masih ditundukkan karena tidak mau memberi kesempatan kepada pangeran itu untuk meraba-raba wajahnya dengan sinar matanya, Mawarsih menggeleng kepala keras-keras. "Tidak, bapa. Aku tidak mau diselir oleh siapapun. Aku tidak mau!"
Ki Sinduwening memandang wajah pangeran itu yang berubah kemerahan.
"Nah, paduka mendengar sendiri, Pangeran. Bukan hamba atau puteri hamba menampik paduka, melainkan karena puteri hamba tidak suka diselir, baik oleh paduka ataupun oleh siapa juga."
Pangeran itu menjadi marah bukan main, bukan hanya karena penampikan pinangannya itu dianggap suatu penghinaan, akan tetapi terutama sekali karena penolakan itu disaksikan dan didengar banyak orang sehingga hal itu amat memalukan dirinya. Diapun dengan melotot menoleh kepada selosin perajurit pengawal, lalu menghardik sambil menudingkan telunjuknya kepada Ki Sinduwening dan Mawarsih.
"Tangkap mereka berdua!"
Dua belas orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga keselamatan pangeran mahkota itu sudah turun dari atas pungung kuda mereka pula, akan tetapi kini mereka saling pandang seperti orang-orang bodoh dan kehilangan akal. Padahal mereka adalah perajurit-perajurit pilihan yang Koleksi Kang Zusi
mempunyai tanggung jawab berat, yaitu menjaga keselamatan putera mahkota. Akan tetapi, mendengar perintah untuk menangkap Senopati Sinduwening dan puterinya, mereka tentu saja merasa serba salah dan gentar. Seorang senopati adalah seorang panglima, atasan mereka, apa lagi mereka semua tahu belaka betapa saktinya Ki Sinduwening dan puterinya!
Untuk melaksanakan perintah itu, menangkap Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa gentar dan tidak berani, akan tetapi membangkang terhadap perintah Raden Mas Martapura mereka juga takut. Maka, mereka hanya saling pandang dan melongo seperti kehilangan akal.
"Hayo tangkap mereka!!" Bentak pula Raden Mas Martapura. Pada saat itu, muncul seorang yang sekali meloncat sudah berada di atas panggung dan diapun bertanya dengan suara lembut namun berpengaruh sekali.
"Hemm, Paman Sinduwening, adimas Pangeran Mahkota, apakah yang telah terjadi di sini" Ada apakah ribut-ribut ini dan mengapa andika nampak marah-marah, adimas?"
Hati para perajurit pengawal, juga hati Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa lega ketika melihat siapa yang muncul pada saat yang gawat itu. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, tinggi tegap, berwajah tampan dan anggun, sikapnya agung dan berwi- bawa. Dia adalah Raden Mas Rangsang, pangeran yang merupakan putera sulung Sang Prabu Hanyokrowati, Pangeran Raden Mas Rangsang ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, sakti mandraguna, ahli dalam ilmu kesenian dan kesusasteraan, dan terutama sekali dekat dengan rakyat jelata sehingga dia amat terkenal dan disuka. Tangan dan hatinya selalu terbuka untuk menolong rakyat yang sedang tertimpa kesengsaraan, dan tangan itu dapat menjadi sekeras baja kalau dia menghadapi kejahatan. Satu di antara kebijaksanaannya adalah bahwa dia sedikitpun tidak pernah merasa iri atau marah ketika Sang Prabu Hanyokrowati mengangkat adiknya yang ke tiga, yaitu Raden Mas Martapura, sebagai pangeran mahkota, sungguhpun menurut adat dan aturan, dialah sebagai putera sulung yang lebih berhak menggantikan ayah mereka kelak. Akan tetapi, sedikitpun Raden Mas Rangsang tidak pernah mengeluh, bahkan sikapnya terhadap Raden Mas Martapura selalu lembut dan penuh nasihat.
Koleksi Kang Zusi Melihat munculnya kakak sulungnya, Raden Mas Martapura yang masih penasaran dan marah, segera mengadu. "Kakangmas, ayah dan anak ini telah menghinaku! Aku telah dipermalukan di depan orang banyak!
Kakangmas harus memberi hukuman berat kepada mereka!" teriaknya dengan muka merah.
Raden Mas Rangsang lalu menghadapi para penonton yang masih berada di situ dan sejak tadi tidak berani mengeluarkan suara, dan dengan suara yang lembut dia berkata kepada mereka, "Kuharap para paman, kakak dan adik suka meninggalkan tempat ini karena sudah tidak ada sesuatu yang perlu ditonton lagi."
Mendengar ucapan lembut itu, orang-orang segera mengundurkan diri dan merasa malu sendiri karena memang tidak patut kalau mereka terus menonton pertikaian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka.
Tempat itu menjadi sepi dan yang tinggal di atas panggung kini hanya kedua orang pangeran, Ki Sinduwening dan Mawarsih. Akan tetapi Ki Sinduwening yang tahu akan kewajiban, segera meneriaki para peserta sayembara agar sore hari nanti mereka datang kepadanya untuk diterima sebagai perajurit. Para peserta itu menyanggupi dan merekapun segera mengundurkan diri. Hanya selosin perajurit pengawal itu saja yang masih tinggal di bawah panggung, akan tetapi mereka hanya menundukkan muka, tidak berani memandang ke atas panggung karena maklum bahwa majikan mereka, Putera Mahkota, sedang merah kepada mereka yang tadi tidak menaati perintah untuk menangkap ayah dan anak itu.
"Nah, sekarang ceritakanlah. Adimas Pangeran, apa sesungguhnya yang telah terjadi sehingga andika menjadi marah-marah dan mengatakan bahwa Paman Sinduwening dan diajeng Mawarsih ini telah menghinamu dan mempermalukanmu di depan orang banyak?"
"Coba saja kakangmas pertimbangkan sendiri, siapa orangnya yang tidak merasa terhina! Aku mendengar bahwa Ki Sinduwening mengadakan Koleksi Kang Zusi
sayembara untuk memilih suami bagi puterinya. Aku ingin nonton pertandingan sayembara, akan tetapi setelah tiba di sini, pertandingan telah bubar dan tidak seorangpun yang dapat diterima menjadi suami Mawarsih, karena gadis ini masih bebas, belum terikat perjodohan, sudah sepantasnya kalau aku mengajukan pinangan, kuminta kepada Ki Sinduwening agar Mawarsih menjadi selirku. Akan tetapi, kakangmas, mereka ini ayah dan anak ini, menolakku dan penampikan itu mereka lakukan di sini, di depan banyak orang! Siapa yang tidak merasa malu dan terhina" Aku ini putera mahkota, calon raja mereka, dan mereka berani merendahkan aku seperti ini?" Suaranya terdengar seperti hendak menangis.
Dengan sikap tenang dan sabar, Raden Mas Rangsang mendengarkan ucapan adiknya, kemudian dia menoleh kepada Ki Sinduwening dan tersenyum, bertanya, "Paman Sinduwening, benarkah apa yang dikatakan oleh dimas Pangeran Martapura tadi?"
"Memang benar bahwa Kanjeng Pangeran Mahkota telah minta agar Mawarsih diberikan kepada beliau untuk dijadikan selir yang kesepuluh.
Karena beliau mengajukan pinangan di sini, disaksikan banyak orang, maka ketika hamba menjawab, hamba lakukan di sini pula. Hamba sudah jelaskan bahwa urusan perjodohan anak hamba menjadi hak Mawarsih sendiri untuk menentukan, dan puteri hamba itu tidak mau dijadikan selir oleh siapapun juga. Bukan berarti kami menoleh atau menampik Kanjeng Pangeran, melainkan tidak mau kalau Mawarsih dijadikan selir. Kami tidak bermaksud menghina, apa lagi mempermalukan, Pangeran."
"Adimas Pangeran, benarkah apa yang diucapkan Paman Sinduwening itu?"
tanya Raden Mas Rangsang kepada adiknya, suaranya menuntut ketegasan.
Raden Mas Martapura cemberut. "Sama saja, ayah dan anak ini telah menolak pinanganku, dan itu penghinaan namanya. Aku adalah putera mahkota dan........."
Koleksi Kang Zusi "Adimas Pangeran, cukup semua itu. Justeru karena andika menjadi putera mahkota, calon raja, maka haruslah bersikap bijaksana dan tidak menindas kepada bawahan dan rakyat jelata. Memaksa seorang wanita menjadi selir, itu merupakan perbuatan sewenang-wenang namanya. Apakah adimas pangeran ingin mencontoh perbuatan Rahwanaraja yang hedak memaksa Dewi Shinta menjadi isterinya" Adimas mengajukan pinangan di tempat umum, mendapat jawaban di tempat umum pula, hal ini sudah sepantasnya. Dan seperti andika pangeran mendengar sendiri tadi, Ki Sinduwening dan Mawarsih sama sekali tidak bukan bermaksud menghina atau menolak pinangan, hanya merupakan tekad diajeng Mawarsih untuk tidak suka dijadikan selir. Diajeng Mawarsih, jawablah, apa jawabanmu kalau sekarang ini aku meminangmu untuk menjadi selirku?"
Kedua pipi Mawarsih berubah kemerahan mendengar pinangan aneh dari Raden Mas Rangsang ini. "Mohon paduka mengampuni hamba, Pangeran.
Hamba hanya akan menikah dengan pria idaman hati hamba, dan menjadi isterinya, bukan menjadi selirnya. Hamba tidak mau menjadi selir siapapun juga."
Raden Mas Rangsang menoleh kepada adiknya. "Nah, andika mendengar sendiri, adimas pangeran! Aku tidak merasa tersinggung oleh penolakannya, karena hal itu wajar, bukan" Orang meminang hanya mempunyai dua kemungkinan, diterima atau ditolak.Kita sepatutnya kagum akan pendirian diajeng Mawarsih yang hanya suka menjadi isteri seorang pria idaman hatinya."
Mendengar ucapan kakaknya, Raden Mas Martapura menunduk dan cemberut. Biarpun dia putera mahkota, akan tetapi dia belum menjadi raja dan selama dia masih menjadi pangeran, tentu saja dia harus tunduk terhadap kakaknya, saudaranya yang lebih tua. Sementara itu, Ki Sinduwening yang merasa tidak hati mendengar mahkota seolah ditegur pangeran sulung, segera berkata, "Mohon paduka berdua sudi memaafkan kami ayah dan anak. Tidak ada seujung rambutpun di hati kami untuk merendahkan paduka berdua, hanya urusan perjodohan merupakan urusan Koleksi Kang Zusi
pribadi puteri hamba, bahkan hamba sendiripun tidak berani memaksanya."
"Sudahlah, paman," kata Raden Mas Rangsang. "Anggap saja kesalahan paham ini tidak pernah terjadi. Adimas Pangeran Mahkota masih terlalu muda untuk mengetahui bahwa tidak semua gadis berlumba menjadi selirnya dan tidak semua ayah mengharapkan puterinya menjadi selir pangeran."
Raden Mas Martapura merajuk. "Sudahlah sudah........, katakan saja aku tidak boleh berbuat sesuka hatiku. Kakangmas Rangsang, aku pergi dulu!"
Tanpa menoleh lagi dia menuruni panggung dan meloncat ke atas punggung kudanya dan segera pergi, diikuti oleh selosin pengawalnya.
Raden Mas Rangsang menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Hemm, sampai kapankah dia akan menjadi dewasa?" Lalu dia menghadap Ki Sinduwening dan berkata, "Paman, maafkan kalau aku terpaksa menegurmu, paman. Memang sudah menjadi hak kalian untuk mengadakan sayembara, apa lagi kalau tahu bahwa sayembara itu juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan tenaga orang-orang digdaya untuk memperkuat pasukan Mataram dan sudah pula mendapat restu Kanjeng Rama. Akan tetapi, paman. Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, pada saat Mataram sedang berusaha untuk menundukkan daerah timur yang memberontak, sudah tepatkah kalau paman sebagai seorang senopati Mataram mendahulukan urusan pribadi yang sifatnya suka ria" Maaf, paman, aku hanya mengingatkan, bukan menyalahkan atau menegur."
Mendapatkan peringatan dari pangeran yang mereka kenal sebagai seorang bijaksana itu, Sinduwening dan Mawarsih tertegun. Dan bagaikan baru terbuka mata mereka akan sikap Banuaji dan juga Si Kedok Hitam.
Itukah sebabnya mengapa mereka itu biarpun menentang Malangkoro namun tidak ikut menjadi peserta yang memperebutkan Mawarsih"
Koleksi Kang Zusi "Ah, sekarang kami menyadari kekeliruan kami, Raden Mas Rangsang.
Terima kasih atas peringatan paduka dan memang apa yang paduka katakan itu sungguh benar dan tepat. Kami akan menunda usaha memilih mantu ini dan akan lebih dahulu menghimpun tenaga dan melaksanakan tugas menyerbu ke Ponorogo pada waktu yang telah ditentukan Sang Prabu."
Raden Mas Rangsang mengangguk. "Memang seyogyanya demikian, paman.
Aku mendengar tentang kedigdayaan Malangkoro, karena itu sepatutnya kalau dia diberi kedudukan yang cukup penting dalam pasukan kita, juga para peserta sayembara yang lain dapat diberi kedudukan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Kanjeng Rama menentukan penyerangan kurang lebih tiga bulan lagi dengan perhitungan bahwa hujan sudah mulai berkurang sehingga Kali Tempuran dan Kali Ngebel tidak banjir. Kedua kali itulah yang akan dipergunakan untuk mengepung Ponorogo dari utara dan barat, sedangkan pasukan dari selatan menyerbu mulalui daratan."
Ki Sinduwening mangangguk-angguk kagum. "Hamba yakin akan keampuhan siasat perang yang akan diatur oleh Sang Prabu."
Pangeran itu tersenyum kepada Mawarsih dan berkata, "Diajeng Mawarsih, ada tiga peristiwa penting terjadi dalam kehidupan kita, yaitu kelahiran, perjodohan, dan kematian. Dan yang tiga ini sepenuhnya diatur oleh kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Kasih, oleh karena itu, andika serahkan saja kepadaNya, dan andika pasti akan dapat bertemu dan bersatu dengan jodohmu."
Kedua pipi gadis itu menjadi kemerahan dan iapun menghaturkan terima kasihnya dengan sembah. Pangeran sulung itu lalu berpamit dan meninggalkan ayah dan anak itu termenung berdua saja mengenangkan semua peristiwa yang telah terjadi.
Koleksi Kang Zusi Akhirnya Ki Sinduwening menghela napas panjang. "Alhamdulillah.......!"
"Bapa, kenapa bersyukur?" tanya puterinya,tak mengerti.
Ki Sinduwening memandang puterinya dan tersenyum, kini wajahnya menjadi tenang, terbebas dari kegelisahan yang dirasakannya ketika mereka mengadakan sayembara. "Mawar, sekarang bapamu ini baru mengerti mengapa dua orang muda yang kauharap-harapkan itu tidak mengikuti sayembara! Agaknya, aku yakin bahwa merekapun berpendapat sama seperti Raden Mas Rangsang, yaitu bahwa sekarang tidak tepat saatnya bagi mereka untuk mengikuti sayembara pemilihan jodoh, tidak tepat waktunya untuk bersenang-senang."
"Benarkah itu, bapa" Kiranya tidak banyak orang yang memiliki kebijaksanaan seperti kanjeng pangeran itu."
"Si Kedok Hitam itu jelas bukan orang biasa, melainkan seorang pendekar yang sakti, seorang ksatria yang berbuat kebaikan tanpa pamrih sehingga dia menyembunyikan mukanya. Sudah tentu seorang ksatria seperti dia memiliki kebijaksanaan yang tidak jauh bedanya dari kebijaksanaan Raden Mas Rangsang. Juga Banuaji itu, biarpun anak dusun, namun jelas dia memiliki kecerdikan dan kebijaksaan. Kemunculan mereka bukan sebagai peserta sayembara akan tetapi berusaha untuk menolong kita dari desakan Malangkoro membuktikan bahwa mereka itu, walaupun jauh berbeda dalam sikap, namun memiliki dasar yang sama, yaitu watak pendekar tanpa pamrih."
"Mudah-mudahan saja perkiraan bapa ini benar," kata Mawarsih lirih dan muncul pula harapan di hatinya. Sekali lagi, kedua orang muda itu, baik Aji maupun Si Kedok Hitam jelas telah menolongnya dan ini membuktikan bahwa mereka setidaknya memperhatikan keselamatannya. Kini dia yakin Koleksi Kang Zusi
bahwa Si Kedok Hitam juga seorang muda. Bukankah tadi dia menyebut paman kepada ayahnya" Dan teringat akan sepak terjang kedua orang muda itu di atas panggung, hatinya condong lebih mengagumi Si Kedok Hitam, walaupun ia merasa terharu atas pembelaan Banuaji yang demi membelanya melupakan kelemahan diri sendiri sehingga kalau tidak cepat-cepat pergi, mungkin akan tewas di tangan Malangkoro yang pada waktu itu sudah marah bukan main.
Ki Sinduwening sudah melupakan dan mengesampingkan urusan perjodohan puterinya dan menyibukkan diri dengan penampungan orang-orang muda yang memenuhi panggilan kerajaan untuk menjadi parajurit. Ki Sinduwening sendiri yang menguji dan menempatkan mereka dalam kedudukan yang sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Sang Prabu Hanyokrowati mempercayakan penghimpunan tenaga ini kepada senopatinya yang setia itu.
*** Begitu tiba di istana, Raden Mas Martapura, pangeran mahkota, segera memanggil komandan pasukan pengawal dan memerintahkan agar memberi hukuman cambuk masing-masing dua puluh lima kali kepada dua belas orang perajurit pengawalnya ketika dia berada di panggung pertandingan sayembara yang diadakan Ki Sinduwening. Dengan alasan bahwa selosin perajurit pengawal itu membangkang perintahnya, tidak mau menangkap Ki Sinduwening dan Mawarsih, dia menyuruh hukum mereka dan minta agar padanya diberi regu pengawal yang baru.
Penumpahan kemarahan kepada selosin pengawalnya ini masih belum menghapus kejengkelan yang meracuni hati Raden Mas Martapura. Dia menginginkan Mawarsih, dan selama keinginan ini belum terpenuhi, dia tentu akan terus-terusan marah dan jengkel. Sembilan orang selirnya yang muda-muda dan cantik tidak dapat menghibur hatinya.
Sebagai putera Sang Prabu Hanyokrowati, tentu saja Raden Mas Martapura juga bukan seorang pria yang lemah. Biarpun dia tidak menguasai aji kedigdayaan seperti para saudaranya, terutama Raden Mas Rangsang, namun dia memiliki satu kelebihan, yaitu ilmu sihir atau sulap.
Koleksi Kang Zusi Dia pernah berguru kepada seorang pertapa ahli sihir sehingga Raden Mas Martapura seringkali melakukan tapa-brata untuk menguasai ilmu sihir.
Seringakali dia memamerkan ilmunya itu kepada para penghuni istana, hanya untuk mencari pujian dan membanggakan diri.
Sore hari itu, dengan wajah murung dan pandang mata muram, dia berjalan-jalan di taman sari istana. Maksudnya untuk menghibur dirinya, dan dia melarang pengawal mendekatinya. Dia berjalan-jalan seorang diri dan ketika dia berada di dekat dinding pemisah antara taman sari dan kaputren di mana tinggal para selir dan dayang dari Sang Prabu Hanyokrowati, dia mendengar suara tembang. Suara tembang itu demikian merdu dan indahnya sehingga dia menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Tembang Kinanti itu terdengar indah sekali karena ditembangkan oleh seorang ahli yang memiliki suara merdu. Di dalam hatinya timbul perasaan iri. Di antara para selirnya dan abdi dayangnya, tidak ada yang memiliki suara merdu itu. Ayahnya selalu memilih yang terbaik! Bahkan selir-selir ayahnya juga cantik-cantik, lebih menarik daripada selir-selirnya sendiri.
Nafsu mendorong kita untuk mengejar yang baru, dan sudah menjadi sifat nafsu yang berakhir dengan kebosanan kepada sesuatu yang tadinya diburu-buru dan yang telah menjadi miliknya. Karena pengaruh nafsu inilah maka kita selalu lebih menghargai milik orang lain daripada milik kita sendiri. Milik orang lain, baik itu berujud benda, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau manusia sekalipun, akan selalu nampak lebih menarik dari pada yang kita miliki. Bunga mawar di taman orang lain nampak lebih cantik semerbak harum dibandingkan bunga mawar di taman sendiri. Demikian pula dengan Raden Mas Martapura yang sejak muda sekali, karena selalu dimanja, menjadi hamba nafsu yang selalu mengejar kesenangan dan kenikmatan. Biarpun sembilan orang selirnya itu canti-cantik, namun dia merasa bosan dan dia membayangkan bahwa selir-selir muda ayahnya jauh lebih cantik menarik!
Tiba-tiba wajah yang murung itu kini berseri, mulut yang cemberut itu mengembang- kan senyum dan mata yang muram kini berseri, lalu dia Koleksi Kang Zusi
mengepal tangan kanannya. Hemm, kenapa tidak" Dari pada bersusah hati, lebih baik dia menghibur diri di dalam kaputren tempat para selir ayahnya!
Tentu saja di pintu tembusan itu diahadang seorang pengawal yang berjaga di situ. Begitu melihat sang pangeran, pengawal itu memberi hormat dan menegakkan tombaknya.
"Minggir, aku mempunyai urusan penting di dalam!" kata sang pangeran.
Biarpun dengan alis berkerut, penjaga itu tidak berani melarang. Kalau bukan pangeran mahkota yang memasuki pintu tembusan itu,tentu dia akan melarang dengan mati-matian, karena kalau sribaginda mengetahui bahwa dia memperbolehkan pria memasuki tempat itu, dia tentu akan dihukum berat, mungkin dihukum mati karena bagi pria,memasuki tempat tinggal para selir itu merupakan larangan keras. Dia minggir dan membiarkan pangeran muda itu masuk.
Pada saat itu, para selir yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu bersama para dayang yang centil-centil sedang bersuka ria, ada yang bertembang, ada yang menari dan ada yang hanya bercengkerama. Semua tugas sehari itu telah selesai dan mereka setelah mandi dan makan malam, kini bersantai-santai di taman kecil itu sambil menanti kalau-kalau Sribaginda berkenan datang ke situ dan bersenang dengan mereka.
Ketika Raden Mas Martapura muncul, semua selir terkejut. Di antara mereka yang berpakaian sembarangan, segera menutupkan pakaian pada tubuh mereka agar nampak sopan. Tempat itu memang khusus ditinggali para selir yang muda, sedangkan para selir tua yang telah mempunyai anak, mendapatkan kamar-kamar tersendiri di istana. Setelah mereka semua tahu bahwa yang datang adalah pangeran mahkota, merekapun menyambut dengan sikap manis. Bagaimanapun juga, pangeran ini merupakan calon pengganti raja, maka para selir dan para dayang amat menghormatinya.
Mereka mempersilakan sang pengeran duduk lalu dengan berbagai macam gaya yang luwes mereka menanyakan maksud kedatangan pangeran itu.
Raden Mas Martapura tersenyum. "Ah, tidak mempunyai urusan tertentu, hanya ingin bermain-main saja karena aku merasa bosan di istanaku."
Koleksi Kang Zusi Seorang selir yang masih muda, baru dua puluh tahun usianya, hitam manis dan centil mengerling tajam dan berkata sambil tersenyum. "Aihh, paduka ini sungguh aneh, Pangeran. Bukankah di istana paduka terdapat selir-selir yang paling cantik, yang setiap saat siap menghibur hati paduka"
Bagaimana mungkin paduka merasa bosan?" Ucapan itu didukung oleh para selir lainnya. Bagaimanapun, mereka merasa bergembira karena di tengah-tengah mereka terdapat seorang pangeran muda yang tampan.
"Hemm, mereka itu sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para ibu selir di sini," kata pengeran itu. "Di tempat ini aku merasa seperti di dalam taman Indraloka, di antara para dewi kahyangan yang cantik jelita."
Ucapan pangeran itu disambut oleh kekekh tawa yang gembira dan juga centil, bahkan ada seorang dua orang selir yang dengan sembunyi-sembunyi menyentuh tubuh pangeran itu dari samping dan belakang.
Namun seorang di antara mereka, seorang selir yang mendapat nama panggilan Sekarjingga, mengerutkan alisnya. Ini sungguh tidak layak dan tidak baik, pikirnya. Oleh karena itu, ia memberanikan diri berkata kepada pangeran itu dengan suara lembut. "Ampunkan hamba, pangeran. Hamba kira seyogyanya kalau paduka segera meninggalkan tempat ini, karena kalau sewaktu-waktu Kanjeng Rama paduka masuk, kita semua akan mendapatkan kemarahan."
Mendengar ucapan ini, Raden Mas Martapura mengerutkan alisnya dan mengangkat muka untuk melihat siapa yang berani menegurnya itu walaupun dengan teguran halus. Kiranya ia adalah Sekarjingga, selir ayahnya yang sudah menjadi selir selama tiga tiga tahun dan belum mempunyai anak. Selir ini cantik manis, dan mungkin untuk menyesuaikan diri dengan namanya, kembennya berwarna jingga. Akan tetapi, di samping Koleksi Kang Zusi
merasa terganggu oleh teguran itu, dia merasa bahwa selir itu benar juga.
Dan bagaimanapun, para selir yang bersikap ramah kepadanya ini tidak akan berani bersikap lebih mesra daripada sekedar keramahan terhadap seorang pangeran yang menjadi putera tiri mereka!
Diapun memaksa diri tersenyum. "Andika benar juga, kanjeng Ibu Sekarjingga. Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang dan memanggil Kanjeng Rama agar menemani kalian yang sedang kesepian," Diapun bangkit berdiri, tersenyum kepada semua selir yang diam-diam merasa kecewa dan kehilangan karena pangeran yang tampan itu demikian cepat meninggalkan mereka. Raden Mas Martapura keluar dari tempat itu melalui pintu tembusan yang tadi dan kepada penjaga yang masih bertugas di situ, dia berkata bahwa sebentar lagi Sang Prabu akan lewat masuk melalui pintu tembusan itu.
Sang penjaga merasa heran dan diam-diam tidak percaya bahwa Sribaginda akan memasuki kaputren lewat pintu tembusan itu karena biasanya kalau berkunjung ke situ langsung dari istana melalui pintu besar manuju ke kaputren yang letaknya di bagian belakang istana itu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya penjaga itu dan cepat-cepat dia memberi hormat ketika tak lama kemudian Sang Prabu Hanyokrowati benar-benar memasuki kaputren lewat pintu tembusan itu. Dengan agungnya Sang Prabu lewat dan hanya melirik kepadanya, membuat penjaga ini hanya berani memberi hormat sambil menundukkan mukanya.
Sementara itu, pada selir juga berharap-harap heran bagaimana mungkin sang pangeran tadi dapat memanggil ayahnya untuk datang ke situ! Dan lagak pangeran tadi sungguh tinggi hati, mengatakan bahwa dia akan memanggil Sang Prabu, seolah bisa saja dia memanggil beliau. Dimohon datangpun belum tentu dapat, apa lagi dipanggil! Akan tetapi betapa heran dan juga gembira rasa hati mereka ketika benar-benar Sang Prabu muncul di tempat itu dari pintu tembusan yang menuju ke taman sari. Yaitu taman besar istana, dari mana tadi sang pangeran keluar!
Koleksi Kang Zusi Tentu saja para selir menyambut dengan hormat dan gembira, dan segera mereka mempersilakan Sribaginda untuk masuk ke dalam, duduk dengan santai dan mereka semua melayaninya dengan penuh kemesraan. Dan agaknya malam itu Sribaginda sedang bergembira. Dan nampak demikian penuh semangat dan penuh cinta, bahkan agak berlebihan sehingga dia menciumi para selirnya, seorang demi seorang bagaikan seekor harimau kelaparan!
Keadaan ini membuat Sekarjingga kembali menjadi curiga. Selama tiga tahun lebih ia menjadi selir Sribaginda, dan biarpun pada saat-saat tertentu Sribaginda dapat bersikap mesra, namun belum pernah seperti ini, seperti harimau kelaparan dan menciumi para selir begitu saja di depan semua selir itu! Seolah Sribaginda telah kehilangan kesopanan dan keagungannya sebagai seorang raja besar! Karena itu, ketika tiba gilirannya dia dipegang tangannya, ditarik dan hendak dirangkul dan dicium, dengan halus namun tegas ia meronta dan melepaskan diri.
"Ampun, gusti......... tapi...... tidak di sini......." katanya. Dan Sribaginda menjadi marah, lalu menggerakan jari-jari tangannya, menjentik dengan ibu jari dan jari tengah sehingga mengeluarkan suara berdetak seolah-olah dia sedang membujuk seekor burung perkutut atau seekor ayam.
"Nimas Sekarjingga, kenapa engkau malu-malu" Lihat itu, kembenmu juga sudah terlepas dan kembenmu tidak malu-malu seperti engkau!" Beberapa kali jari tangannya menjentik dan..... Sekarjingga manahan jeritnya karena tiba-tiba saja kembennya yang berwarna jingga itu terlepas seolah ada tangan tak nampak yang melepaskannya atau seolah kemben itu hidup seperti ular, melepaskan lingkarannya dari pinggangnya yang ramping. Para selir dan dayang juga merasa heran, akan tetapi mareka segera tertawa cekikikan karena mereka maklum bahwa Sang Prabu Hanyokrowati agaknya memperlihatkan ilmunya sehingga kemben itu dapat terlepas sendiri!
Koleksi Kang Zusi "Nah-nah sekarang kainmu yang melepaskan diri. Kalau pakaianmu tidak malu-malu kenapa engkau malu, nimas" Ke sinilah,ke dalam pelukanku....."
Kembali jari-jari tangan itu menjentik-jentik dan...... tak dapat lagi Sekarjingga menahan jeritnya karena kini benar-benar kain yang melibat tubuhnya mulai mengembang dan hendak melepaskan diri dari tubuhnya!
Dan pada saat itu, terdengarlah suara yang berat dan berwibawa, "Apa yang terjadi di sini" Ada apakah ribut-ribut ini?" Ketika semua selir dan dayang menoleh, banyak di antara mereka yang menjerit dan mereka semua terbelalak melihat Sang Prabu Hanyokrowati telah berdiri di ambang pintu ruangan itu! Ketika mereka semua kini menoleh kepada
"Sribaginda" yang tadi mereka layani dan yang mengajak mereka bercumbu, mereka semua menjadi pucat dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Sang Prabu, karena yang tadi mereka anggap sebagai Sribaginda bukan lain adalah Raden Mas Martapura! Pengaruh sihir atas diri selir Sekarjingga juga pudar dan selir ini cepat membetulkan kain dan kembennya, lalu menjatuhkan diri berlutut menyembah Sribaginda sambil menangis.
"Kanjeng Rama, hamba hanya ingin bermain-main di sini......." Raden Mas Martapura tergagap dan diapun cepat turun dari tempat duduknya, menyembah dan wajahnya menjadi agak pucat.
Kalau pangeran lain yang tertangkap basah menodai tempat selir seperti itu, pasti Sang Prabu Hanyokrowati akan marah besar dan mungkin menghukumnya dengan berat, bahkan bisa saja membunuhnya karena perbuatan itu sungguh merupakan aib bagi keluarganya. Akan tetapi, dia terlalu menyayang Raden Mas Martapura, maka dalam kekecewaan, penyesalan, kedukaan dan kemarahannya, terlontar ucapan yang langsung keluar dari lubuk batinnya.
"Martapura, apakah engkau sudah gila" Perbuatanmu ini seperti perbuatan orang gila saja!"
Koleksi Kang Zusi Hening sesaat setelah Sang Prabu Hanyokrowati mengeluarkan ucapan itu, kemudian nampak Pangeran itu berkata dengan suara gemetar, "Ampunkan hamba, Kanjeng Rama....." dan terdengar isak tangisnya! Akan tetapi hanya sebentar karena kini pangeran itu berkata lagi, "Kanjeng Rama, hamba ingin bersenang-senang saja......"Dan diapun tertawa-tawa.
"Astagfirullah aladziimm........!" Sang Prabu Hanykrowati mohon ampun kepada Gusti Allah dan diapun menyadari apa yang telah terjadi. Dalam kemarahannya tadi, dia telah mengeluarkan kata-kata kutukan dan kini puteranya itu benar-benar telah menjadi gila! Ucapan seorang ayah atau ibu mengandung kekuatan yang amat hebat, apa lagi keluar dari hati seorang raja besar yang telah mendapatkan wahyu dari Gusti Allah untuk menjadi pemimpin rakyat. Namun, sekali mengeluarkan ucapan tidak mungkin dapat ditarik kembali dan raja itu hanya dapat memandang puteranya dengan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Raden Mas Martapura memang bersikap aneh. Dia mengangkat muka, memandang ke sekeliling, tertawa ha-ha-he-he, lalu menyembah ke arah Sang Prabu Hanyokrowati. "Kanjeng Rama, hamba mohon diri......." Dan diapun bangkit dan berjalan pergi melalui pintu tembusan diikuti oleh pandang mata sang ayah yang kini baru menyadari bahwa dia telah meracuni puteranya sendiri dengan limpahan kasih sayang yang hanya merusak kepribadian puteranya itu sehingga menjadi manja, tinggi hati dan batinnya lemah.
"Ya Allah, Gusti Maha Agung..... segala kehendakMU terjadilah......." Dia meratap di dalam hatinya. Kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada para selirnya, "Kalian semua harus mandi keramas, kemudian berpuasa selama tiga hari, baru boleh memperlihat- kan diri kepadaku."
Para seli sambil menangis menaati perintah itu dan Sang Prabu Hanyokrowati lalu kembali ke istana.
Koleksi Kang Zusi Peritiwa yang nampaknya sepele ini ternyata kemudian mengubah jalannya sejarah seperti yang telah diatur oleh Sang Prabu Hanyokrowati. Biarpun Raden Mas Martapura sudah diangkat menjadi pangeran mahkota dan ditentukan bahwa dia yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja di Mataram, akan tetapi karena pikirannya tidak waras lagi, karena dia telah menjadi seorang yang lebih sering bersikap seperti orang gila, tentu saja tidak mungkin mendudukkan dia sebagai raja dan kelak, sebagaimana tercatat dalam sejarah, yang menggantikan Sang Prabu Hanyokrowati bukanlah Raden Mas Martapura, melainkan Raden Mas Rangsang, pengeran sulung yang kelak akan menjadi seorang raja yang amat terkenal, bahkan lebih besar dari pada ayahnya, yaitu Sultan Agung Senopati Ing Alaga Saidin Panatagama dengan julukan Sang Prabu Pandita Anyakrakusuma!
Dalam peritiwa ini kembali terbukti akan kebesaran dan keagungan kekuasaan Tuhan! Betapapun pandainya manusia, betapapun pintarnya manusia mengatur dan merencanakan sesuatu, namun akhirnya Kekuasaan Tuhan yang akan menentukan segalanya, sungguhpun semua akibat itu bukan tanpa sebab dan sebabnya terletak dalam sepak terjang si manusia sendiri dalam hidupnya. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih tepat bagi sikap hidup kita sehari-hari kecuali, ingat dan waspada. Ingat selalu tanpa henti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh keyakinan akan kekuasaan-Nya dan menyerah dengan penuh kepasrahan, keihklasan dan ketawakalan, dan waspada akan langkah hidupnya setiap saat sehingga kita tidak akan lengah dan tahu benar apa bila langkah hidup ini menyeleweng atau menyimpang dari kebenaran yang sudah digariskan dalam setiap agama atau pengertian tentang perbedaan antara benar dan salah pada umumnya. Walaupun pengetahuan hati akal pikiran tidak mungkin mampu mengusai nafsu yang sudah mencengkeram diri setiap orang manusia, namun dengan penyerahan yang sepenuhnya lahir batin, maka Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja selaras dengan kehendak Tuhan.
*** Malam terang bulan purnama. Indah nian permukaan bumi yang mandi cahaya bulan purnama. Terang namun lembut dan dingin, berbeda dengan terangnya matahari di siang hari yang keras garang dan panas. Tepatlah perbandingan yang dikatakan orang bahwa matahari adalah "raja" dan bulan adalah "ratu" atau dewi. Begitu indah, lembut dan suasana menjadi tenang dan penuh keriangan apabila bulan purnama muncul di angkasa.
Koleksi Kang Zusi Di dalam sebuah gubuk di tengah ladang yang sunyi, di luar pintu gerbang kota raja, nampak duduk dua orang yang sedang bercakap-cakap. Dari jauh, mereka kelihatan seperti dua orang petani yang sedang menikmati bulan purnama di gubuk itu. Akan tetapi andaikata ada yang sempat mendekati mereka, orang itu tentu akan terkejut mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Raden Mas Rangsang, pangeran sulung itu. Dan lebih mengejutkan orang lagi, yang duduk di depannya, keduanya bersila, di dalam gubuk bambu yang terbuka itu, adalah seorang yang berpakaian serba hitam dan mukanya tertutup kedok. Si Kedok Hitam yang kemunculannya di dalam sayembara yang diadakan Ki Sinduwening telah menggegerkan orang. Si Kedok Hitam sedang duduk bercakap-cakap dengan Pangeran Raden Mas Rangsang! Dan mereka bercakap-cakap demikian akrabnya!
"Berita yang kaubawa ini sungguh teramat penting, adimas," kata Pangeran Raden Mas Rangsang. "Jadi sudah pasti bahwa mereka itu hendak bergerak pada waktu pagi, lima hari lagi dan dua hari kemudian, mereka akan menyerbu Mataram di waktu malam hari?"
"Demikianlah keterangan yang saya peroleh, kakakngmas pangeran. Dan karena saya dapat mendengarnya ketika mereka mengadakan rapat penting, tentu saja hal itu sudah pasti." jawab Si Kedok Hitam."
"Bagus, kalau begitu besok akan kulaporkan kepada Kanjeng Rama agar diadakan perubahan siasat menghadapi mereka. Kemudian, berita apa lagi yang penting darimu, adimas?"
"Tentang Malangkoro dan gurunya. Danyang Gurita itu, kakangmas pangeran."
Pangeran itu tersenyum. "Hemm, raksasa yang hampir memenangkan Koleksi Kang Zusi
sayembara dan memboyong diajeng Mawarsih itu" Orang yang kaukalahkan dalam pertandingan" Wah, ulahmu itu membuat diajeng Mawarsih tak dapat tidur, adimas."
"Saya hanya mencegah orang kasar itu memaksakan kehendaknya, kakangmas pangeran."
"Sudahlah, akupun tidak menyalahkan engkau mencegah diajeng Mawarsih menjadi isteri orang lain. Akan tetapi, berita apa tentang Malangkoro dan Danyang Gurita?"
"Ketika saya bertanding melawan Malangkoro, saya melihat dia menggunakan jurus dari Aji Tirtadahana (Air Api)......"
"Ahh!" Raden Mas Rangang memotong. Bagaimana mungkin itu"
Tirtadahana adalah aji yang dirangkai oleh Eyang Sunan Kalijogo!"
"Itulah sebabnya saya menjadi terkejut, heran dan ingin sekali menyelidiki, kakang- mas. Malangkoro adalah murid Danyang Gurita, dan kakek itu adalah seorang pertapa ahli sihir dan ilmu hitam. Bagaimana mungkin Malangkoro dapat melakukan serangan Aji Tirtadahana" Saya lalu pergi ke tempat asal mereka, di pantai Laut Selatan. Ternyata kemudian bahwa Danyang Gurita pernah bentrok dengan Eyang Sunan dan dikalahkan lalu menakluk. Kemudian, karena Eyang Sunan Kalijogo melihat bahwa Danyang Gurita mau bertaubat, maka beliau berkenan mengajarkan beberapa jurus dari Tirtadahana. Nah, kakek itu lalu mengajarkan pula kepada muridnya, si Malangkoro. Akan tetapi bukan hal ini yang terpenting dalam hasil penyelidikan saya, kakangmas pangeran."
Koleksi Kang Zusi "Ada yang lebih penting lagi" Wah, andika memang seorang penyelidik yang ulung dan mahir, adimas! Ceritakan, apa lagi yang kau ketemukan dalam penyelidikanmu?"
"Kakangmas, ternyata bahwa Malangkoro dan gurunya adalah mata-mata yang sengaja dikirim oleh Sang Adipati Ponorogo."
"Eladhalah!" Pangeran Raden Mas Rangsang berseru kaget. "Sungguh cerdik sekali Paman Adipati Ponorogo! Paman Sinduwening mengadakan sayembara untuk menghimpun tenaga, Paman Adipati mempergunakan kesempatan itu untuk menyelundupkan mata-mata yang menjadi peserta sayembara. Dan Malangkoro berhasil memperoleh kedudukan dalam pasukan kita karena kedigdayaannya. Hemm, aku mengerti sekarang mengapa mereka hendak melakukan serbuan mendadak. Tentu mereka sudah mendengar tentang rancana penyerbuan pasukan kita ke Ponorogo dan mereka sengaja hendak mendahului."
"Kakangmas Pangeran bijaksana dan cerdik pandai, tentu telah dapat mengambil kesimpulan dan tahu apa yang harus dilakukan. Kakangmas tentu maklum bahwa sampai sekarang, saya tetap dapat menjauhkan diri dari keterlibatan perang saudara yang amat menyedihkan ini."
Pangeran sulung itu mengangguk. "Aku mengerti akan keadaanmu dan perasaan hatimu, adimas. Perasaanmu terpecah antara Mataram dan Ponorogo yang sesungguhnya tidak merupakan daerah terpisah dan andika tidak mau terlibat karena berat terhadap keduanya. Akan tetapi biarpun tidak langsung terlibat, andika membantu Mataram dengan keterangan-keterangan, hanya karena andika melihat betapa Paman Adipati Ponorogo dipengaruhi orang-orang yang hendak memancing di air keruh, orang-orang yang menghendaki pecahnya perang saudara. Kami juga akan menuntut andika untuk membantu kami berperang, adimas. Akan tetapi, menurut pikiranmu, bagaimana baiknya dengan Malangkoro" Apakah sebaiknya kalau dia sekarang juga kutangkap?"
Koleksi Kang Zusi "Sebaiknya jangan, kakangmas. Lebih baik kita berpura-pura tidak tahu saja, dan nanti apabila terjadi pertempuran, saya yang akan mengamatinya kalau-kalau dia melakukan pengkhinatan yang merugikan Mataram."
"Baiklah kalau begitu. Akan tetapi, karena antara kita jarang mendapat kesempatan untuk saling jumpa, ingin sekali aku mempergunakan kesempatan ini untuk minta nasihatmu tentang diajeng Dyah Ayu Ratu Pandan. Sejak andika menjauhkan diri dan tidak pernah nampak lagi, bahkan kemudian selalu bersembunyi sebagai Si Kedok Hitam, ia seringkali bertanya kepadaku di mana andika berada, dan ia merasa amat rindu kepadamu. Aku yakin benar bahwa ia amat mencintamu, adimas."
"Aduh Gusti, hati ini seperti diremas kalau teringat kepada diajeng Ratu Pandan, kakangmas. Tentu kakangmas maklum bahwa tidak mungkin......"
"Aku tahu, adimas, dan sampai sekarang, hanya aku seorang yang mengetahui rahasiamu. Bahkan Kanjeng Rama sendiri belum tahu. Dan akupun memenuhi permintaanmu agar aku tidak menceritakan kepada orang lain. Lalu bagaimana baiknya dengan diajeng Ratu Pandan" Apakah sebaiknya kalau kuceritakan saja kepadanya tentang rahasiamu agar ia tidak mengharapkanmu lagi?"
"Jangan, kakangmas! Belum tiba saatnya. Nanti setelah pertempuran melawan Ponorogo selesai, saya akan menceritakan segalanya kepada semua orang. Kalau sekarang diceritakan, tentu akan menimbulkan kerisauan dan hal itu amat tidak baik selagi kita berdua berada dalam keadaan tegang dan gawat menghadapi perang saudara."
"Baiklah, adimas. Dan sekarang tentang diajeng Mawarsih. Kalau memang kalian sudah saling mencinta, akupun mau menjadi perantara untuk Koleksi Kang Zusi
mengajukan pinangan....."
"Ahhh, kakangmas pangeran. Bagaimana mungkin seorang gadis dapat mencinta seseorang yang selama hidupnya belum pernah dilihat wajahnya"
Kalau belum yakin benar bahwa ia mencinta saya, bagaimana saya akan berani mengajukan pinangan" Hal itupun nanti saja kita bicarakan setelah pertempuran yang menyedihkan hati kita ini berakhir."
Raden Mas Rangsang tertawa, lalu merenung memandang bulan dan berkata seperti kepada diri sendiri. "Wahai Sang Dewi Ratri (Dewi Malam), Sang Dewi Candra Purnama (Bulan Purnama), betapa penuh rahasia cahayamu nan indah gemilang, seperti rahasia yang terpendapat dalam cinta kasih! Ada orang jatuh cinta karena wajah dan tubuh yang indah, karena memang kita suka akan keindahan! Ada yang jatuh cinta karena budi kebaikan, karena memang kita suka kalau diperlakukan baik oleh orang lain. Ada yang jatuh cinta karena harta atau kedudukan, karena memang kita suka memiliki harta atau kedudukan. Semua itu sama saja, karena dasarnya adalah kesenangan. Akan tetapi ada cinta karena cinta, kerena sesuatu terjadi di dalam batin, dan cinta inilah yang membuat orang yang dicinta selalu nampak indah, selalu nampak baik dan harta atau kedudukan tidak masuk hitungan, lagi. Andika orang yang penuh rahasia, adimas, ingin sekali aku mengetahui, kalau andika jatuh cinta, entah pada golongan mana andika berdiri."
"Saya tidak tahu, kakangmas. Dalam urusan cinta, agaknya saya masih harus belajar dari kakangmas, karena saya tidak mempunyai pengalaman sama sekali." jawab Si Kedok Hitam.
Pangeran sulung itu hanya tertawa dan merekapun meninggalkan gubuk itu, saling berpisah. Raden Mas Rangsang kembali ke kota raja sedangkan Si Kedok Hitam pergi ke arah timur.
Di bawah sinar bulan purnama, Si Kedok Hitam berjalan seorang diri. Dia Koleksi Kang Zusi
berjalan sambil melamun. Selama menjadi adik seperguruan Raden Mas Rangsang, pangeran itu telah banyak memberi bimbingan kepadanya, baik mengenai aji kesaktian maupun kebijaksanaan. Dan dia bertemu dengan Dyah Ayu Ratu Pandan, adik bungsu pangeran itu. Oleh Pangeran Raden Mas Rangsang, mereka diperkenalkan dan sejak perkenalan itu, puteri kedaton itu nampak akrab dengannya dan diapun merasa betapa puteri kedaton itu menyukainya. Hal ini amat merisaukan hatinya karena terdapat sebuah rahasia pada dirinya yang membuat dia tidak mungkin dapat berjodoh dengan sang puteri. Dan rahasia itu hanya diketahui Raden Mas Rangsang seorang.
Sejak dia yakin bahwa puteri itu jatuh cinta kepadanya, dia lalu lenyap dari pergaulan umum dan muncullah dia sebagai Si Kedok Hitam. Hal ini pertama kali dia lakukan agar sang puteri tidak lagi dapat bergaul dengannya, dan ke dua kalinya, dia dapat melakukan bentuan kepada Mataram tanpa harus memperlihatkan diri, baik kepada pihak Mataram maupun pihak Ponorogo. Kalau melihat ayah kandungnya orang Mataram, tentu dia harus memihak Mataram. Akan tetapi ibu kandungnya adalah orang Ponorogo sehingga diapun tidak tega untuk memusuhi Ponorogo. Dan keadaannya itu hanya diketahui oleh Raden Mas Rangsang. Pendiriannya sama dengan pengeran itu, bahwa perang saudara antara Mataram dan Ponorogo itu merupakan suatu keadaan yang menyedihkan. Sang Adipati Jayaraga dari Ponorogo adalah adik sendiri dari Raden Mas Jolang yang sekarang menjadi Sang Prabu Hanyokrowati.
Ketika menyadari bahwa dia tenggelam ke dalam renungan dan kenangan, Si Kedok Hitam mencela diri sendiri dan dia lalu berlari cepat, mempergunakan aji berlari cepat sehingga tubuhnya melesat ke dalam cahaya bulan, seperti seekor rusa muda. Sebentar saja bayangan hitam itupun lenyap.
*** Bulan sudah tidak purnama lagi, namun masih memancarkan cahayanya yang terang karena baru lewat tiga hari purnama. Di dusun Ngampil, semua penghuninya sudah tidak nampak di luar rumah. Malam telah larut dan keadaan di dusun kecil seperti dusun Ngampil memang demikian. Di dusun, Koleksi Kang Zusi
berbeda dengan keadaan di kota, tidak terdapat tempat-tempat hiburan yang dapat ditonton, tidak terdapat pula warung-warung tempat jajan.
Karena itu, para penghuni dusun lebih senang berada di dalam rumah, baik untuk bergadang maupun tidur sore-sore. Apa lagi malam itu hawanya memang dingin sekali.
Malam terang bulan dengan hawa udara sedingin itu merupakan malam yang indah sekali bagi sepasang pengantin baru seperti Bargowo dan Suminten yang pernah terkenal sebagai ledhek dari Pacitan yang bernama Madularas. Baru sebulan mereka menikah dengan sederhana di dusun Ngampil dan tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun cukup menjadi tempat tinggal mereka berdua bersama Bibi Warsinah, yaitu bibi dari Suminten yang kini ikut keponakannya yang sudah yatim piatu itu.
Bargowo masih memimpin perkumpulan Dayatirta dan kurang lebih tiga puluh orang anggotanya tersebar di sekitar daerah itu, ada pula yang tinggal di dusun Ngampil, dan ada pula yang tinggal di dusun-dusun yang berdekatan. Biarpun kini kakaknya, Santiko, telah meningalkan Bargowo dan ada belasan orang anggota perkumpulan Dayatirta mengikuti jejak Santiko meninggalkan perkumpulan itu, namun perkumpulan itu masih berdiri di bawah pimpinan Bargowo.
Biarpun sejak ia remaja Suminten sudah bekerja sebagai ledek yang pandai menari dan bernyanyi dengan suara merdu, namun tidak seperti para ledek pada umumnya di waktu itu, Suminten selalu pandai menjaga diri dan tidak pernah mau disentuh pria, apa lagi disuruh melayani dalam pergaulan yang mesra. Ia selalu menolak sehingga ia adalah seorang gadis murni ketika menikah dengan Bargowo, suaminya yang dipilihnya karena saling mencinta dan juga terutama karena ia telah berhutang budi itu. Dan Bargowo yang telah berusia tiga puluh tahun, seorang pria yang matang, tampan dan lembut, bersikap lembut sekali sehingga Suminten memasuki kehidupan baru sebagai isteri dengan penuh kebahagiaan.
Malam itu, belum juga tengah malam, suami isteri pengantin baru ini telah tidur pulas dengan senyum kepuasaan dan kebahagiaan di bibir mereka.
Mereka tidak tahu bahwa Bibi Warsinah gelisah dalam kamarnya di belakang, tak juga dapat pulas, hal yang tidak seperti biasanya dan beberapa kali ia bangun duduk dengan hati merasa tidak enak.
Koleksi Kang Zusi Malam itu sunyi, dan biarpun bulan bercahaya terang, namun kesunyiaan melengang itu mendatangkan suasana yang menyeramkan. Apa lagi ketika terdengar suara anjing melolong, kebiasaan anjing-anjing yang suka melolong ke arah bulan, suasana menjadi semakin menyeramkan, bahkan mengerikan, seolah-oleh lolong anjing itu sebagai peringatan kepada para penduduk dusun Ngampil bahwa setan-setan yang gentayangan sedang berkeliaran mencari korban.
Empat orang penduduk dusun Ngampil yang mendapat giliran meronda pada malam hari itu, mulai mengantuk dan mereka duduk di dalam gardu penjagaan, merasa seram juga mendengar lolong anjing itu. Perondaan tiap malam diadakan secara bergilir atas prakarsa Bargowo sebagai ketua perkumpulan Dayatirta.
Kalau ada penduduk dusun itu yang kebetulan berada di luar dusun, tentu dia akan lari tunggang-langgang melihat gerombolan bayang-bayang hitam yang datang menuju ke dusun itu. Mereka terdiri dari kurang lebih lima puluh orang dan di dalam sinar bulan yang dari jauh nampak remang-remang itu, mereka menambah seramnya suasana, seolah mereka itu adalah segerombolan iblis yang datang hendak mengganggu ketentraman dusun Ngampil. Sesungguhnya, iblis tidak akan kelihatan jahat sebelum dia menguasai seorang manusia karena iblis sendiri tidak kuasa berbuat jahat.
Akan tetapi, kalau iblis sudah menguasai hati manusia, barulah iblis mempergunakan tubuh manusia untuk melakukan kejahatan. Dan gerombolan orang yang menghampiri dusun Ngampil itu adalah serombongan manusia! Mereka dipimpin oleh seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya dihias brewok sehingga dia nampak jantan, gagah dan menyeramkan. Orang ini bukan lain adalah Santiko!
Sebulan lebih yang lalu, Santiko pergi meninggalkan perkumpulan Dayatirta diikuti belasan orang anak buahnya ketika dia dengan marah harus mengakui kekalahan dalam memperebutkan cinta kasih Suminten Koleksi Kang Zusi
dari adiknya sendiri, yaitu Bargowo. Dia pargi membawa perasaan cemburu dan iri hati yang makin lama semakin membara menjadi dendam. Nafsu menggelitik hati dan akal pikirannya, mengobarkan api dendam yang membuat Santiko hampir gila. Makin dikenang, semakin terbayanglah dia akan wajah Suminten yang cantik jelita, tubuhnya yang menggairahkan.
Dan semakin marahlah dia kepada adiknya yang dianggapnya telah merampas Suminten dari tangannya, kemarahan yang lambat laun menjadi dendam kebencian.
"Aku harus mendapatkan Suminten!" Akhirnya, setelah tersiksa batinnya selama sebulan, dia mengambil keputusan bulat. "Aku tidak dapat hidup tanpa Suminten!"
Dendam meracuni hati manusia, menggelapkan hati nuraninya dan mengguncang pertimbangan akal budi sehingga menjadi miring. Santiko berubah sama sekali! Dia sudah lupa akan keputusan yang diambilnya bersama Bargowo bahwa mereka berdua tidak akan melibatkan diri dengan perang saudara antara Mataram dan Ponorogo, dan hanya bersikap sebagai ksatria yang melindungi yang lemah tertindih, menentang yang jahat dan mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan. Dia segera pergi berkunjug ke Ponorogo dan diterima dengan penuh kegembiraan oleh adik seperguruannya, yaitu Raden Nurseta dan juga oleh Mayaresmi, bekas isteri guru mereka, Ki Ageng Jayagiri yang kini menjadi kekasih Nurseta dan bersama-sama membantu Adipati Jayaraga dari Ponorogo.
"Ah, kami merasa berbahagia sekali bahwa andika telah menyadari bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti kepada Ponorogo, kakang Santiko. Akan tetapi, akan lebih baik kalau kakang Bargowo juga dapat diajak untuk bekerja sama."
"Hemm, dia telah menjadi pengkhianat, dia berpihak kepada Mataram!"
kata Santiko dengan geram, akan tetapi kemarahannya bukan karena seperti yang dikatakannya itu, melainkan karena Suminten.
Koleksi Kang Zusi "Kalau begitu, dia perlu dihukum, Kakang Santiko. Sebaiknya kalau andika membawa pasukan dan mendatanginya. Sukur kalau dia mau membantu Ponorogo. Kalau berkeras tidak mau, sebaiknya ditangkap sebagai pengkhianat." kata Nurseta penasaran.
Demikianlah, malam itu Santiko membawa anak buahnya ditambah pasukan Ponorogo yang jumlahnya semua kurang lebih lima puluh orang untuk melaksanakan tugas pertamanya yang dia terima dari adik seperguruannya, Raden Nurseta yang kini telah menjadi seorang senopati muda Ponorogo.
Akan tetapi di balik inti tugasnya itu tersimpan rahasia hatinya, yaitu gerakannya itu terutama sekali untuk merampas Suminten dari tangan adiknya!
Lolong anjing yang tadi seperti ratapan yang ditujukan kepada bulan, kini bertambah ramai, bukan lolong lagi melainkan gonggongan anjing yang marah atau ketakutan. Agaknya anjing-anjing di dusun itu telah mengetahui akan datangnya segerombolan orang itu yang kini sudah memasuki pintu gerbang dusun. Empat orang peronda yang tadinya duduk saja di gardu, kini bangkit dan mereka mengambil keputusan untuk melakukan perondaan. Dusun itu biasanya aman. Tidak ada penjahat berani beraksi di daerah itu karena mereka takut kepada perkumpulan orang gagah Dayatirta. Bargowo mengusulkan diadakan perondaan karena keadaan yang gawat dengan adanya ancaman perang antara Ponorogo dan Mataram, dan biasanya, kalau terjadi perang, maka para penjahat akan keluar dan berkeliaran dan mengganas tempat-tempat yang tidak ada petugas keamanannya.
Ketika mereka tiba di tepi dusun, dan melihat serombongan orang muncul di tikungan jalan, tentu saja mereka terkejut sekali dan terheran-heran.
Mereka tidak menyangka buruk karena tidak mungki ada pencuri dalam jumlah yang demikian banyaknya. Ketika mereka mendekat, mereka melihat bahwa rombongan orang itu berpakaian perajurit, maka mereka menjadi semakin heran, apa lagi menyaksikan dan mengenal Santiko berada di Koleksi Kang Zusi
antara mereka. Segera empat orang peronda itu lari menuju ke rumah kepala dusun untuk melaporkan.
Santiko dan rombongannya tidak memperdulikan empat orang peronda itu.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat menuju sebuah rumah, rumah Bargowo dan Suminten! Santiko merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi dia sudah berpesan kepada anak buahnya agar kalau Bargowo manolak dan melawan dia, dikeroyok dan ditawan. Dia sendiri akan mengurus Suminten.
Bargowo dan Suminten yang sudah tidur pulas, terbangun ketika mendengar daun pintu rumah mereka digedor orang. Akan tetapi Bibi Warsinah yang sejak tadi memang gelisah dan sukar tidur, sudah terbangun lebih dulu dan ia cepat berlari membukakan daun pintu. Ia terbelalak melihat demikian banyaknya orang di depan rumah sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara saking kaget dan takutnya.
Pada saat itu, Bargowo dan Suminten muncul pula. Dengan pakaiannya yang kusut dan rambut terlepas awut-awutan, dalam pandangan Santiko, Suminten nampak semakin menggairahkan. Sementara itu, Bargowo terbelalak kaget dan heran melihat bahwa yang berdiri di depan pintu adalah kakaknya, Santiko dan di belakang kakaknya itu terdapat puluhan orang perajurit Ponorogo.
"Kakang Santiko......, ada apakah" Kenapa kakang datang malam-malam begini dan...... siapa pula para prajurit ini?" Bargowo bertanya dengan bingung, akan tetapi hatinya merasa tidak enak. Dia menoleh kepada isterinya, "Minten, kau kembalilah ke dalam kamar." Suminten yang menjadi pucat melihat demikian banyaknya orang di depan rumah, kini dirangkulnya Bibi Warsinah dan kedua orang wanita itu memasuki kamar.
Dengan tenang Bargowo lalu melangkah keluar dari pintu, menghadapi kakaknya di pekarangan depan. "Nah, katakanlah, kakang Santiko. Apa Koleksi Kang Zusi
maksud kedatanganmu ini?"
"Kami datang sebagai utusan Kanjeng Adipati Ponorogo untuk menangkapmu! Engkau pengkhianat yang tidak mau membantu Ponorogo, bahkan memihak Mataram. Nah, engkau menyerah sajalah agar kami tidak mempergunakan kekerasan," kata Santiko.
Bargowo mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. "Kakang Santiko! Engkau mengabdi kepada Kadipaten Ponorogo" Engaku yang telah mengkhianatiku, mengkhianati keputusan kita bersama! Aku tidak sudi menyerah!" Bargowo maklum bahwa kalau dia menyerah, dia pasti akan dihukum.
"Bargowo, kalau engkau menyerah, minta ampun kepada Kanjeng Adipati, dan bersedia untuk mengabdikan diri kepada kadipaten Ponorogo, mungkin engkau akan diampuni." Santiko membujuk karena merasa tidak enak juga kalau tidak mencoba untuk membujuk seperti dianjurkan Nurseta, apa lagi percakapan mereka didengarkan oleh semua perajurit.
"Tidak sudi, kakang Santiko! Aku seorang ksatria sejati, bukan seorang pengecut! Sebaiknya kalau engkau pergi membawa anak buahmu dan jangan menggangguku lagi!"
Santiko tidak ingin berbantah lagi. Dia menoleh memberi isarat kepada anak buahnya dan Bargowo segera dikepung dan hendak dipegang. Ketua Dayatirta ini menjadi marah dan sekali bergerak, dia telah menampar dan menendang roboh dua orang yang terdekat.
"Hemm, tangkap dia!" Santiko membentak dan kini Bargowo dikeroyok Koleksi Kang Zusi
banyak orang, Bargowo mengamuk dan melihat ini, Santiko segera meloncat masuk ke dalam rumah itu.
Dua orang wanita itu saling rangkul dan nampak terkejut ketika Santiko memasuki kamar itu. Santiko tersenyum. "Diajeng Suminten, jangan takut.
Mari andika ikut denganku agar tidak ada yang berani mengganggumu." Dia menjulurkan tangannya kepada wanita muda itu. Akan tetapi Suminten makin rapat merangkul bibinya dan memandang dengan mata penuh kecurigaan dan ketakutan.
"Tidak, aku tidak mau ikut, kakangmas Santiko. Pergilah dan jangan ganggu kami....."
"Hemm, apakah engkau lebih suka jatuh ke tangan puluhan orang itu?"
gertak Santiko dan diapun melangkah maju mendekat. "Marilah, aku akan menyelamatkanmu!"
"Tidak, aku ingin bersama kakangmas Bargowo..........!" Suminten menjerit ketakutan. Ia sudah tahu bahwa kakak suaminya ini marah karena ia tidak mau menjadi isterinya, melainkan memilih Bargowo.
Karena melihat Suminten tidak mau dibujuk, sekali sambar, Santiko telah dapat menangkap pergelangan tangan wanita itu dan menariknya mendekat.
"Tidak.......! Lepaskan aku! Lepaskan.....!" Suminten meronta-ronta, akan tetapi ia tidak dapat melepaskan tangannya yang terpegang pria tinggi besar itu.
"Lepaskan ia! Kenapa andika memaksanya" Ia adalah adik ipar andika!
Koleksi Kang Zusi Ingat, anak mas Santiko, perbuatan ini tidak sopan.......!" Bibi Warsinah juga mencba untuk melepaskan pegangan tangan Santiko kepada lengan keponakannya itu. Melihat ini, Santiko menjadi marah dan sekali kakinya bergerak, tubuh Bibi Warsinah terkena tendangan dan terpelanting roboh, pingsan! Santiko lalu memondong tubuh Suminten yang meronta-ronta, dengan ringan dia dapat memondong tubuh itu di atas pundaknya dan diapun lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang dan terus melarikan Suminten yang menjerit-jerit!
Pada waktu itu, para anak buah Dayatirta yang tinggal di dusun itu sudah datang berlari-larian dan melihat betapa ketua mereka dikeroyok puluhan orang perajurit dan bekas anak buah Dayatirta yang meninggalkan perkumpulan itu bersama Santiko, merekapun membantu ketua mereka.
Akan tetapi, karena para perajurit Ponorogo yang menyertai Santiko adalah prajurit pilihan, dan jumlah mereka jauh lebih banyak, apa lagi karena di antara mereka terdapat pula belasan orang anggota Dayatirta, maka pertempuran itu amat berat sebelah. Banyak di antara mereka yang roboh, bahkan Bargowo sendiri, setelah merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya roboh mandi darah terkena tusukan keris dan bacokan golok.
Dengan nama isterinya dalam rintihan, pria perkasa ini akhirnya tewas dalam kubangan darahnya sendiri.
Santiko melarikan Suminten ke luar dusun Ngampil dan ternyata pasukan dari Ponorogo itu meninggalkan kuda mereka di suatu tempat, agak jauh dari dusun itu. Santiko membawa Suminten naik ke atas punggung seekor kuda dan menjalankan kuda itu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Suminten meronta dan menangis, menjerit namun tidak da gunanya. Ia sama sekali tidak mampu melepaskan diri dan kini hanya mampu menangis ketika ia duduk di atas pungung kuda, di depan Santiko yang memegang kendali kuda dengan tangan kanan, sedangkan lengan kirinya yang kuat melingkari pinggang Suminten yang ramping. Akhirnya, Suminten dapat menenangkan dirinya dan dengan hati dipenuhi kegelisahan memikirkan keselamatan suaminya, ia memaksa diri untuk bicara dengan tenang.
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas Santiko, sebetulnya apakah artinya semua ini" Kenapa andika datang malam-malam di rumah kami dan membawa puluhan orang?"
Melihat wanita itu sudah tenang dan bicara dengan teratur, tidak lagi panik ketakutan, hati Santiko menjadi lega, "Nah, begitu sebaiknya, diajeng Suminten. Andika tentu tahu bahwa aku sama sekali tidak akan suka menyusahkanmu. Ketahuilah bahwa kami datang sebagai utusan Kanjeng Adipati Jayaraga di Ponorogo untuk menangkap adimas Bargowo."
"Akan tetapi...... andika bukan prajurit Ponorogo.........!"
"Aku sekarang adalah seorang perwira pasukan kadipaten Ponorogo, diajeng, dan aku hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan paduka."
"Apa kasalahan kakangmas Bargowo" Kenapa dia harus ditangkap?" tanya Suminten dengan khawatir dan penasaran.
"Dia telah berkhianat, diajeng. Sejak dahulu, sebelum menikah denganmu, aku selalu membujuknya agar membantu kadipaten Ponorogo melawan Mataram, akan tetapi dia selalu menolak, bahkan dia condong membantu Mataram. Karena itu, dia dianggap pengkhianat dan aku diutus untuk menangkapnya."
"Ahhh.......!" Suminten menggeliat.
Koleksi Kang Zusi "Kau...... kenapakah, diajeng?"
"Aku lelah sekali, kakangmas Santiko. Mari kita turun dan beristirahat sebentar. Andika tahu aku tidak akan dapat melarikan diri," katanya dengan suara memohon.
Santiko mengangguk, lalu dia melompat turun dan membantu Suminten turun dari atas punggung kuda yang dia biarkan makan rumput. Mereka berada di lereng sebuah bukit dan dengan lesu karena kelelahan Suminten duduk di atas sebuah batu.
"Kakangmas, aku merasa heran sekali kenapa andika begitu tega kepada adikmu sendiri!" Suminten mencela.
"Aku terpaksa, diajeng. Tugas adalah tugas dalam melakukan tugas, kita harus mengesampingkan urusan pribadi. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat engkau ikut ditangkap dan diperlakukan kasar oleh para prajurit Ponorogo itu. Oleh karena itulah, aku sengaja masuk ke dalam rumah dan memaksamu pergi. Semua ini kulakukan untuk menjaga keselamatanmu agar tidak diganggu orang-orang itu."
Suminten memandang ke sekeliling. Bulan sudah jauh dibarat, akan tetapi cahayanya masih menerangi permukaan lereng itu sehingga Suminten dapat melihat bahwa mereka berada di lereng bukit yang sunyi, tidak nampak ada dusun berdekatan, dan yang ada hanyalah jurang-jurang dan jalan pendakian yang amat berat untuk dilalui. Keterangan Santiko itu masuk di akal. Mungkin Santiko memang hendak menyelamatkannya. Akan tetapi suaminya terancam, dan apa artinya ia diselamatkan oleh Santiko kalau ia tidak tahu bagaimana dengan nasib suaminya?"
Kakang mas Santiko, apa yang mereka lakukan kepada suamiku" Kenapa Koleksi Kang Zusi
andika tidak mencegah mereka?"
Santiko menghela nafas dan kelihatan menyesal. "Sudah kukatakan bahwa kami hanya melaksanakan tugas, diajeng. Dan pasukan Ponorogo itu hanya akan menangkap Bargowo. Tadi sudah kubujuk dia agar dia menyerah saja sehingga tidak sampai terjadi perkelahian."
"Lalu...... apa yang terjadi selanjutnya?" Suminten mendesak, gelisah dan kini ia selalu memandang ke belakang, ke arah dusun Ngampil yang sudah jauh dan tidak nampak dari situ, terhalang bukit.
"Aku tidak tahu, diajeng. Mudah-mudahan saja bargowo menyerah dengan baik-baik dan tidak ada teman-temannya yang ikut-ikutan melawan sehingga terjadi pertempuran."
hening sampai lama. Mereka hanya duduk diatas batu dan Suminten termenung, gelisah. Kemudian, ia berkata, "Kakang mas Santiko, marilah kita kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Aku yang akan membujuk suamiku agar tidak melawan dan menyerah saja......"
"Sebaiknya kita tunggu di sini saja, diajeng. Jaraknya sudah terlalu jauh dan kalau kita ke sanapun tidak ada gunanya, tentu sekarang semuanya telah selesai. Rombongan itu akan lewat sini."
Suminten tidak dapat membantah lagi dan dengan hati tegang dan gelisah ia menanti di tempat itu, duduk di atas batu dan selalu memandang ke barat, ke arah dusun Ngampil.


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi Kang Zusi Bulan telah lenyap ditelan bukit yang berada di barat sehingga cuaca menjadi gelap. Akan tetapi tidak lama, karena kurang satu jam kemudian, mulai nampak cahaya kemerahan di ufuk timur, tanda bahwa sang raja siang mulai terbangun dari balik bukit di timur dan sudah lebih dahulu mengirim cahayanya yang kemerahan. Biarpun sejak ia menanti di situ sampai fajar menyinsing hanya beberapa jam saja, namun bagi Suminten yang menanti dengan hati cemas dan tegang, rasanya begitu lama seakan bertahun-tahun. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan Santiko juga ikut bangkit berdiri, memandang ke barat. Nampak serombongan penunggang kuda!
Suminten berdiri dengan mata melotot tak pernah berkedip, berusaha untuk mencari suaminya di antara para penunggang kuda yang masih jauh itu, kedua tangannya terkepal dan jantungnya berdetak keras. Juga Santiko memandang dengan jantung berdebar. "Itulah mereka, pasukan Ponorogo." katanya lirih.
Akhirnya rombongan berkuda itu tiba dekat. Jumlah mereka berkurang belasan orang, akan tetapi tidak nampak Bargowo di antara mereka, baik menunggang kuda sendiri atau sebagai tawanan.
Suminten menyongsong mereka dengan muka pucat. "Di mana Kakang Mas Bargowo" Di mana suamiku.....?"" tanyanya berulang-ulang. Rombongan itu tidak ada yang menjawab, akan tetapi seorang anak buah Santiko yang memimpin rombongan itu melapor kepada Santiko.
"Kakang Mas Santiko, Bargowo mengamuk dan dibantu beberapa orang anggota Dayadirta sehingga terjadi pertempuran. Kami kehilangan sebelas anak buah yang tewas, akan tetapi kami berhasil merobohkan semua pemberontak, juga Bargowo tewas."
Koleksi Kang Zusi "Kakangmas Bargowo.........!!" Tiba-tiba Suminten menjerit dengan suara melengking, lalu ia lari cepat ke depan, ke arah barat, seolah hendak mengejar suaminya.
"Diajeng Suminten..... !!" Santiko yang tadinya mendengarkan laporan anak buahnya, menengok dan terkejut melihat Suminten telah berlari-lari itu.
Dia lalu meloncat mengejar.
Akan tetapi Suminten seperti kesetanan atau memperoleh kekuatan baru yang hebat. Larinya cepat sekali, tidak peduli betapa telapak kakinya berdarah tergores batu-batu tajam.
"Suminten, tunggu.....!!" Santiko telah mengejar dekat dan mengejar suara Santiko, Suminten menjerit-jerit.
"Aku mau ikut suamiku! Pergi kau, Santiko yang kejam. Pergi......!" Dan melihat jurang di sebelah kirinya, tiba"tiba Suminten meloncat, terjun ke bawah jurang.
"Suminten......!!" Santiko meloncat dan menyambar dengan tangannya. Dia berhasil menyerengkeram ujung kain Suminten. "Brett.....!" Terdengar kain robek dan yang tinggal yang di tangan Santiko hanya sepotong kain robek sedangkan tubuh Suminten telah ditelan jurang yang menganga lebar dan dalam itu. Masih terdengar jeritan Suminten memanggil suaminya ketika tubuh itu meluncur ke bawah, lalu hening.
"Suminten...... ah, Suminten......!" Seperti orang gila Santiko lalu menuruni jurang itu, berpegang kepada batu-batu dan akar-akaran. Para anak buahnya menjenguk dari atas jurang, tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menonton dengan hati tegang. Dengan ilmu kepandaiannya, Santio terus menuruni jurang itu sampai tiba di bawah. Tidak nampak lagi oleh para Koleksi Kang Zusi
anggotanya, akan tetapi para anggota pasukan itu mendengar raungan Santiko seperti raungan seekor harimau marah.
Tak lama kemudian, anak buah pasukan itu melihat Santiko mendaki tebing jurang sambil memondong tubuh Suminten yang rambutnya terurai, baju dan kedua tangan Santiko berlepotan darah! Dia mendaki dengan muka pucat sekali, matanya liar dan tanpa mengeluarkan suara. Semua orang memandang dengan ngeri dan juga kasihan. Para anak buah Dayatirta yang meninggalkan perkumpulan bersama Santiko tahu bahwa Santiko mencinta Suminten yang telah menjadi isteri Bargowo itu, maka kini mereka dapat merasakan betapa hancur hati Santiko melihat wanita yang dicintanya itu agaknya telah tewas di dasar jurang.
Kini Santiko telah tiba di atas dan semua orang melihat betapa kepala Suminten yang rambutnya terurai lepas itu penuh darah yang mengalir sampai ke mukanya... Jelaslah bahwa wanita cantik itu tewas dengan kepala retak.
Santiko meletakkan jenazah Suminten di atas tanah, kemudian dia membalik, menghapi tiga puluh lebih anak buah pasukan yang memandang dengan iba kepadanya. "Adimas Bargowo telah tewas?" tanyanya dan suara itu terdengar datar dan dingin.
"Sudah, kakangmas Santiko." lapor seorang di antara mereka.
"Dia digdaya, bagaimana bisa tewas" Siapa yang dapat menewaskannya?"
"Keris pusakaku berhasil menusuk lambungnya!" kata seorang perajurit yang kumisnya tebal.
Koleksi Kang Zusi "Tobak pusaka ini berhasil menembus dadanya!" kata pula orang ke dua yang bermuka hitam.
Tiba-tiba Santiko mengeluarkan teriakan aneh dan menyeramkan, tubuhnya bergerak cepat dan tiba-tiba saja dia menubruk ke depan, kedua tangannya sudah menangkap dan mengangkat tubuh dua orang yang mengaku telah membunuh Bargowo, dan sekali banting, terdengar suara keras dan kepala kedua orang itu pecah terbentur pada batu yang tadi diduduki Suminten!
Tentu saja suasana menjadi gempar. Apa lagi ketika Santiko mulai mengamuk, menyerang orang-orang terdekat! Biarpun Santiko menjadi pemimpin mereka, akan tetapi dia baru saja diangkat menjadi perwira dan karena sekarang pria tinggi besar itu agaknya telah menjadi gila dan menyerang anak buahnya sendiri, tentu saa mereka tidak mau mati konyol dan segera menggunakan senjata untuk membela diri dan mengeroyok Santiko.
Santiko tidak gila, akan tetapi kekecewaan, penyesalan dan kemarahan memang membuat dia seerti orang gila. Dia sampai tega mengkhianati adik kandungnya sendiri demi Suminten, karena ingin sekali memiliki wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Akan tetapi, ketika Suminten membunuh diri, timbul penyesalannya, teringat dia akan adiknya yang sejak kecil diasuh dan disayangnya, dan semua itu ditambah dengan kedukaan karena melihat Suminten membunuh diri di depan matanya tanpa dia mampu mencegahnya. Maka, diapun menumpahkan kemarahannya kepada rombongan pasukan dari Ponorogo itu! Merekalah yang telah membunuh Bargowo, dan mereka pula yang menyebabkan Suminten membunuh diri.
Kalau mereka tidak tergesa memberitakan tentang kematian Bargowo, belum tentu Suminten nekat membunuh diri. Pula, di situ memang hanya ada mereka yang dapat menjadi tempat penumpahan kemarahannya.
Koleksi Kang Zusi Santiko mengamuk. Dia sudah mencabut kerisnya dan dikeroyok oleh tiga puluh tujuh orang yang semuanya bersenjata! Bagaikan seekor banteng terluka, Santiko menubruk sana sini, menangkis senjata tajam dan runcing dengan lengan kiri dan menghujankan kerisnya kepada siapa saja yang terdekat. Perkelahian mati-matian itu berlangsung tidak terlalu lama karena memang berat sebelah, akan tetapi dengan kerisnya. Santiko telah dapat meroboh- kan tujuh orang pengeroyok sebelum dia sendiri roboh dengan perut ditembusi tombak. Dia masih berusaha untuk bangkit, akan tetapi puluhan batang senjata menghantamnya dari sekelilingnya dan diapun tewas dengan tubuh hancur. Para anak buah pasukan itu tentu saja menjadi marah bukan main melihat betapa banyak kawan mereka tewas oleh komandan mereka sendiri, maka mereka melampiaskan kemarahan dan kebencian kepada mayat Santiko sehingga tubuh itu penuh dengan luka.
Santiko seperti telah menjadi gila karena duka. Tadinya hatinya sudah merasa berat dan sedih karena dia terpaksa harus menegakan adiknya, Bargowo, dikeroyok dan dibunuh para prajurit Ponorogo karena dia ingin memiliki Suminten yang dicintanya. Kemudian, tanpa disangkanya sama sekali, Suminten yang sudah berada di tangannya itu terlepas, bahkan membunuh diri terjun ke dalam jurang. Kesedihannya bertambah dan dia merasa hatinya hancur lebur.
Duka selalu timbul dari ikatan. Yang memiliki akan kehilangan. Isteriku atau suamiku, anak-anakku, keluargaku, kekayaanku, nama besarku, kedudukanku semua itu menjadi ikatan dan mulai saat kita memiliki kita sudah berada di ambang pintu duka karena dia yang memiliki akan menderita apa bila dia kehilangan yang dimilikinya. Memiliki sesuatu seperti membiarkan yang dimiliki berakar dalam hati sehingga sekali waktu yang dimiliki itu dicabut dari hatinya maka hati itu akan terluka dan berdarah. Memilih adalah ulah nafsu, karena nafsu selalu menghendaki kepuasaan, kesenangan, kebanggaan, identitas diri, pembengkakan dari si aku. Tentu saja kita dalam kehidupan ini mempunyai sesuatu, baik mempunyai orang lain sebagai keluarga, sebagai isteri atau suami, sebagai anak-anak, sanak keluarga, sahabat atau harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, Mempunyai bukan dalam arti kata Memiliki Mempunyai secara lahiriah, tidak memiliki secara batiniah. Batin haruslah bebas kalau kita tidak ingin dilanda duka. Batin harus mengerti dengan penuh keyakinan Koleksi Kang Zusi
bahwa sengala sesuatu adalah milik Tuhan! Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita, sekali waktu akan rusak dan binasa.
Kebinasaan kakak beradik Santiko dan Bargowo, juga kematian Suminten, semua itu disebabkan karena keterikatan. Hal ini dapat menimpa siapun juga yang membiarkan batin terikat, membiarkan batin memiliki, bukan sekedar mempunyai.
*** Atas permintaan Mawarsih yang setiap hari membujuknya, Ki Sinduwening akhirnya menyebar penyelidik untuk mencari tahu di mana dapat menemukan Bayu, anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang pernah muncul di panggung sayembara dan menantang Malangkoro untuk bertanding melawan Kedok Hitam. KI Sinduwening maklum bahwa puterinya tentu ingin bertanya kepada Bayu tentang Si Kedok Hitam.
Akhirnya, seorang penyelidik mengabarkan bahwa dia melihat Bayu berada di sebuah gubuk di tepi sungai. Mendengar laporan ini, pada sore itu juga Mawarsih pergi mencari Bayu.
Dari jauh sudah melihat gubuk di tepi sungai itu, di tempat yang sunyi.
Dan telinganya menangkap lengking suara suling. Mendengar suara suling yang ditiup dalam tembang indah di senja hari memang amat mengasyikkan, terdengar sendu dan mengharukan. Mawarsih mengenal tembang sinom dalam lagu tiupan suling itu dan diam-diam ia merasa kagum. Agaknya Bayu sekarang telah memperoleh kemajuan dalam hal permainan meniup suling.
Bayukah yang meniup suling itu atau...... Banuaji" Jantungnya berdebar membayangkan Banuaji. Tak dapat disangkalnya bahwa hatinya diselimuti kemesraan apabila ia teringat kepada pamuda itu. Akan tetapi, sayang bahwa Aji bukanlah orang yang memiliki kedigdayaan, seperti yang dimiliki Kedok Hitam. Dan apabila ia teringat kepada Kedok Hitam, timbul perasaan bangga dan kagum. Tidak, ia akan memilih Kedok hitam daripada Aji, walaupun tentu saja ia akan tanpa ragu memilih Aji sebagai calon jodohnya dari pada orang-orang lain.
Koleksi Kang Zusi Dengan hati-hati Mawarsih menghampiri gubuk dan setelah dekat, iapun mengenal Bayu, seorang diri saja sambil meniup sulingnya. Mawarsih tersenyum, lalu memanggil dengan suara gembira, "Bayu........!"
Suara suling terhenti dan Bayu menengok dan matanya bersinar-sinar ketika dia mengenal siapa yang datang menjenguknya di tempat sunyi itu."
"Mbak Ayu..... eh, Raden Ajeng....... Raden Ayu atau Raden Roro......."
"Hushh!" Mawarsih membentak sambil tertawa. "Tidak ada raden-radenan.
Bagimu aku tetap Mbakayu Mawarsih!"
"Tapi........ tapi, engkau kini puteri seorang senopati, bukan seperti dahulu lagi......." bantah Bayu.
"Sudahlah, Bayu. Apakah engkau tidak mau lagi menganggap aku ini sahabatmu, seperti dahulu ketika kita masih berada di Sintren" Kalau engkau tidak mau menyebut aku mbakayu, sebaiknya aku pergi lagi saja."
"Maaf, mbakayu Mawarsih, jangan marah, akupun hanya bergurau." kata Bayu yang memang biasanya lincah jenaka dan pandai bicara. "Bagaimana engkau sampai tersesat ke tampat ini, mbakayu?"
"Hemm, kalau aku kaukatakan tersesat, bagaimana dengan dirimu" Kenapa engkau juga berada di sini" Apakah engkau tidak lagi tinggal di Pancot, di lereng Lawu itu?"
Koleksi Kang Zusi "Tidak, mbakayu. Sejak seekor anak kerbau Paman Lurah yang kugembala digondol harimua, paman selalu marah-marah kepadaku. Aku jadi tidak kerasan dan aku pergi meninggalkan Pancot dan akhirnya aku berada di sini, kadang membantu para paman tani untuk sekedar mendapat makan.
Aku ingin mencari pekerjaan dan meluaskan pengalaman, mbakayu."
"Bagaimana engkau dapat berada di tempat kami mengadakan sayembara itu tempo hari?"
"Aku memang memasuki kota raja untuk mencari pekerjaan, mbakayu Mawarsih. Aku mendengar tentang sayembara itu dan aku pergi menonton.
Tentu saja aku mengenal engkau, akan tetapi aku tidak berani menegur."
"Dan kemudian engkau menantang Malangkoro untuk bertanding melawan Kedok Hitam. Nah, katakan siapakah Kedok Hitam dan di mana dia sekarang?" Gadis itu menatap wajah Bayu dengan tajam penuh selidik.
"Sungguh mati aku tidak tahu siapa dia, mbakayu. Ketika itu, dia berada di belakangku dan berbisik agar aku menantang Malangkoro untuk bertanding dengan dia. Karena aku tidak suka melihat kemenangan Malangkoro, tidak suka melihat raksasa itu menjadi jodohmu, maka aku melakukan apa yang dimintanya dengan senang hati. Setelah perkelahian selesai, dia menghilang dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia." Dari pandang mata pemuda remaja itu tahulah Mawarsih bahwa Bayu tidak berbohong.
Ia menghela napas penuh kekecewaan, kemudian ia teringat akan Banuaji.
Sejak dahulu, Banuaji adalah dengan Bayu, bahkan mungkin masih sanak karena mereka berdua ada hubungan keluarga dengan Lurah Pancot.
"Bayu, ketika nonton pertandingan sayembara, engkau tentu melihat kakang Banuaji, bukan?"
Koleksi Kang Zusi "Tentu saja!" jawab Bayu dan nada suaranya gembira.
"Nah, kalau begitu, maukah engkau menceritakan kepadaku tentang kakang Banuaji" Apa saja yang dilakukannya selama ini dan di mana dia sekarang berada?"
Bayu menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian lalu bertanya,
"Nanti dulu, mbakayu Mawarsih. Sebelum menjawab pertanyaanmu itu, lebih dulu aku ingin bertanya, bagaimana sikap mbakayu Mawarsih apa bila mbakayu telah berjanji kepada seseorang yang amat mbakayu sayang dan kagumi. Apakah akan memegang teguh janjinya dan tidak akan mengingkari janji?"
Dengan spontan Mawarsih menjawab, "Tentu saja! Demikianlah sikap seorang yang gagah perkasa dan bijaksana. Pengingkaran janji hanya dilakukan orang yang rendah diri dan pengecut, Bayu. Kenapa engkau tanyakan hal itu?"
"Begini, mbakayu. Aku sudah berjanji kepada kakangmas Aji bahwa aku tidak akan bercerita kepada siapapun juga mengenai diri kakangmas Aji.
Nah, tentu mbakayu tidak ingin melihat aku menjadi pengkhianat dan pengecut?"
Mawarsih tertegun dan sejenak ia termenung. Ia merasa dikalahkan Bayu!
Tentu saja ia tidak lagi mampu membantah, hanya diam-diam ia merasa penasaran sekali mengapa Banuaji hendak merahasiakan tentang dirinya!
Kalau Si Kedok Hitam sudah jelas menyembunyikan keadaan dirinya dengan mengenakan kedok. Akan tetapi Banuaji" Kenapa ikut-ikutan menyimpan rahasia"Melihat Mawarsih menundukkan muka dengan alis berkerut dan Koleksi Kang Zusi
wajahnya nampak muram, Bayu berkata, "Mbakayu Mawarsih, maaf kalau aku mengecewakan hatimu. Sudahlah jangan dipikirkan lagi, sebaiknya kalau aku memainkan tembang kegemaran mbakayu. Kidung Asmaradana, bukan?" Tanpa menanti jawaban, Bayu lalu menempelkan ujung suling di bibirnya dan mulai meniup suling, memainkan tembang Asmaradana.
Mawarsih masih diam saja, merasa terayun dan dibuai tembang yang memang digemarinya itu. Mendengar lengking suling lembut itu teringatlah ia kepada Banuaji yang pernah ia dengar memainkan lagu Asmaradana dengan sulingnya dalam perjumpaan mereka yang pertama kali di lereng Lawu.
Selagi kedua orang itu tenggelam ke dalam ayunan suara suling, tiba-tiba gubuk itu terguncang keras dan atap gubuk tiba-tiba terbuka dan terlempar entah ke mana! Tentu saja Mawarsih terkejut bukan main dan iapun meloncat keluar dari gubuk, dikuti Bayu yang masih memegang suling.
Mawarsih terbelalak melihat bahwa yang mendorong atap gubuk sampai terbuka itu bukan lain adalah Malangkor dan seorang kakek tinggi kurus seperti jerangkong! Ia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek itu bernama Danyang Gurita, seorang ahli pertapa ahli sihir yang menjadi guru dari Malangkoro. Tentu saja diam-diam ia merasa gentar sekali karena ia sudah tahu akan kedigdayaan Malangkoro, dan tentu guru raksasa ini juga seorang yang sakti.
Sesungguhnya Malangkoro dan Danyang Gurita adalah dua orang kepercayaan Pangeran Jayaraga atau Adipati Ponorogo yang diutus untuk menjadi mata-mata di Mataram. Juga Malangkoro mengikuti sayembara memperebutkan Mawarsih sebetulnya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Nurseta! Nurseta yang menggunakan kesempatan adanya sayembara itu untuk minta bantuan Malangkoro, dan andaikata Malangkoro berhasil memboyong Mawarsih, tentu gadis itu akan diberikannya kepada Nurseta yang sudah menunggu-nunggunya di ponogoro.
"Mawarsih, kebetulan kita bertemu di sini. Engkau harus ikut denganku!"
kata Malangkoro dengan suaranya yang menggelegar.
Koleksi Kang Zusi "Tidak sudi aku!" kata Mawarsih. "Pula, engkau sudah dikalahkan Si Kedok Hitam, berarti engkau sudah gagal dalam sayembara dan engkau kini telah diberi kedudukan dalam pasukan Mataram. Kenapa engkau berani mengatakan bahwa aku harus ikut denganmu?"
Bayu juga berkata lantang. "Malangkoro, engkau ini raksasa hanya besar badannya saja, akan tetapi jiwamu kecil! Tidak malukah engkau, sudah kalah masih ingin memaksa mbakayu Mawarsih?"
Wajah Malangkoro menjadi merah sekali. "Bocah setan, jangan ikut-ikut, pergilah!" Biarpun bersikap galak, Malangkoro kini menoleh ke kanan dengan hati gentar. Dia ingat bahwa anak inilah yang tempo hari menantangnya sebagai utusan Si Kedok Hitam. Dia takut kalau-kalau di dekat situ ada Si Kedok Hitam.
"Malangkoro, kenapa sih banyak cakap lagi" Tangkap gadis itu dan tendang saja anak itu kalau banyak tingkah!" terdengar suara si kakek tinggi kurus, suaranya serak dan lirih seperti berbisik.
"Malangkoro, engkau akan dapat menangkap diriku kalau sudah tidak bernyawa lagi!" kata Mawarsih dan ia sudah melolos kemben merahnya yang dipegang kedua ujungnya lengan kedua tangan lalu direntangkan di atas kepalanya, memasang kuda-kuda dan siap melawan mati-matian. Bayu juga tidak mau kalah. Dengan suling di tangan, anak remaja ini pun memasang kuda-kuda di samping Mawarsih.
"Jangan takut, mbakayu. Aku akan membantu melawan raksasa jahat ini!"
kata anak itu dengan sikap gagah. Mawarsih kagum sekali dan ia menduga bahwa agaknya bocah ini telah menerima pelajaran pencak silat dari Si Kedok Hitam. Akan tetapi tetap saja ia merasa khawatir dan tidak ingin melihat anak itu terancam bahaya karena hendak membelanya.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu, terdengar suara tawa yang nyaring dan muncullah seorang pemuda dari balik gubuk yang atapnya sudah roboh. Melihat pemuda itu, Bayu tersenyum gembira sekali. Mawarsih juga merasa gembira mengenal pemuda itu, karena dia adalah Banuaji, akan tetapi ia tidaklah segembira Bayu. Bagamanapun juga, Aji bukan Si Kedok Hitam, dan pemuda ini tidak akan dapat menandingi Malangkoro, apa lagi di situ terdapat kakek Danyang Gurita!
Malangkoro juga mengenal Aji sebagai seorang pemuda yang pernah mempermain- kannya di atas panggung sayembara akan tetapi kemudian melarikan diri sebelum dapat dihajarnya, maka alisnya berkerut dan diapun marah bukan main.
"Jahanam keparat, berani engkau datang mengantar kematian di depanku!"
dan raksasa ini sudah siap untuk menerjang. Akan tetapi Banuaji tersenyum dan mengangkat dua tanganya ke atas.
"Nanti dulu, Malangkoro, nanti dulu. Boleh saja engkau akan membunuhku, akan tetapi setelah aku bicara dengan gurumu, juga denganmu. Perama aku akan bicara kepada Danyang Gurita, gurumu yang mulia ini. Heii, Kakek Danyang Gurita, andika adalah seorang yang sudah tua. Apakah andika tidak pernah bercermin" Carilah air jernih dan bercerminlah, tentu akan nampak olehmu bahwa rambut andika sudah putih. Itu menandakan bahwa andka haruslah mengisi kepala dengan putih-putih, dengan yang bersih-bersih. Akan tetapi sebaliknya, anda yang sudah tua bahkan tidak segan untuk melanggar sumpah dan janji."
"Jagat Dewa Bathara!" Kakek itu berseru, "Bocah ini sungguh lancang mulut. Heh, bocah lancang,aku Danyang Gurita selama hidupku tidak pernah berjanji apa-apa kepadamu, bagaimana andika dapat mengatakan Koleksi Kang Zusi
bahwa aku melanggar janji?"
"Danyang Gurita, apakah hanya kepadaku andika dapat berjanji" Biarpun kepadaku andika belum pernah berjanji apapun, akan tetapi lupakah andika sumpah dan janji andika dahulu, ketika andika bertanding lalu dikalahkan oleh Eyang Sunan Kalijaga" Andika bersumpah untuk menjadi seorang Islam yang saleh dan taat, andika telah membaca syahadat, andika mengakui bahwa tidak ada sesembahan lain kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan andika mengakui bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian andika berjanji bahwa setelah andika menerima ilmu dari Eyang Sunan Kalijaga, andika akan mempergunakan ilmu untuk membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi apa yang andika perbuat selama ini"
Mengumbar nafsu melakukan kejahatan, membela murid yang angkara murka!"
Wajah kakek tinggi kurus itu menjadi pucat sekali mendengar dia diingatkan tentang janjinya kepada Sunan Kalijaga, dan hal ini membuat Malangkoro menjadi semakin marah.
"Babo-babo, bocah keparat! Engkau sudah benar-benar bosan hidup!"
bentaknya dan dia sudah menggerakkan tangannya yang besar mencengkeram ke arah kepala Aji. Akan tetapi Aji sudah melompat ke belakang sehingga cengkeraman itu luput.
"Malangkoro, lupakah andika bahwa andika telah diterima menjadi seorang perwira dari pasukan Mataram" Diajeng Mawarsih adalah puteri Senopati Mataram, Ki Sinduwening, juga merupakan atasan andika. Bagaimana andika sekarang berani hendak mengganggu- nya" Apakah andika hendak berkhianat?"
Wajah Malangkoro menjadi kemerahan. "Sudahlah, bocah ingusan, tidak perlu andika mencampuri urusanku!" bentaknya, merasa tidak sanggup untuk melayani Aji dalam percekcokan. "Bapa, Danyang, mari kita Koleksi Kang Zusi
binasakan dulu dua orang bocah lancang ini agar aku dapat menagkap Mawarsih dengan mudah." Dia mengajak gurunya yang masih berdiri dengan muka pucat. Perlahan-lahan, wajahnya yang tadinya pucat menjadi kemerahan dan dia memandang kepada Aji dengan sinar mata seperti berapi-api saking marahnya.
Pada saat yang amat gawat bagi Mawarsih, Aji dan Bayu yang menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh itu, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu di situ telah berdiri orang berpakaian dan berkedok hitam. Si Kedok Hitam! Hampir saja Mawarsih berteriak kegirangan melihat munculnya orang yang selalu diharapkan dan dikaguminya itu.
"Danyang Gurita, mengingkari sumpah terhadap Eyang Sunan Kalijaga sama dengan mengundang kutukan untuk diri sendiri. Sadarlah dan kembalilah ke jalan benar!" terdengar Si Kedok Hitam berseru kepada kakek tinggi kurus itu.
"Bapa, mari kita bunuh mereka!" bentak Malangkoro dan diapun sudah menerjang ke arah Aji. Pemuda ini kembali mengelak ke sana sini mengandalkan kelincahannya, dan melihat betapa Aji didesak, Mawarsih segera membantunya dengan senjatanya yang istimewa, yaitu kemben merahnya, menyambar-nyambar cepat dalam serangannya ke arah tubuh raksasa itu. Biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan, namun Malangkoro maklum bahwa kemben di tangan Mawarsih itu, biarpun kelihatan hanya kain lembik dan lemah, namun mengandung tenaga sakti yang ampuh, maka diapun tidak berani mengandalkan kekebalan menerimanya, dan menggunakan tangan untuk menangkis ujung kemben. Dan dia memang benar. Ketika tangannya menangkis dan bertemu ujung kemben, dia merasa betapa tangannya bergetar dan nyeri, dan kedua ujung kemben merah itu seperti dua ekor burung srikiti saja, cepat bukan main dan tidak mungkin dapat ditangkap dengan cengkeraman. Sementara itu Aji juga tidak begitu terdesak lagi dan setelah dibantu Mawarsih, dia bahkan dapat membalas dan ternyata dia memiliki gerakan lucu dan aneh. Sudah dua kali dia dapat menendang pantat raksasa itu sehingga mengeluarkan suara nyaring dan dari celana yang tertendang itu mengeluarkan debu! Bayu, pemuda remaja Koleksi Kang Zusi
itupun mencoba untuk membantu, akan tetapi karena dia tahu bahwa tubuh raksasa itu kebal, dia menggunakan tanah dan batu untuk disambitkan ke arah muka Malangkoro. Memang tidak berbahaya bagi Malangkoro, akan tetapi cukup mengganggu karena tentu saja dia tidak ingin kedua matanya kemasukan tanah atau pasir yang tentu akan mencelakakan! Dikeroyok tiga seperti itu, Malangkoro yang digdaya itu merasa kewalahan juga. Kalau dia mendesak Bayu untuk membunuh remaja yang mengganggunya itu, dari kanan kiri Mawarsih dan Aji datang menyerbu. Terpaksa dia membagi tenaga menghadapi pengeroyokan mereka bertiga.
Sementara itu, pertandingan antara Si Kedok Hitam melawan Danyang Gurita juga terjadi dengan seru akan tetapi aneh. Agaknya Danyang Gurita yang sudah tua itu tidak lagi mengandalkan kekuatan tubuh, tebalnya kulit dan kerasnya tulang. Dia agaknya maklum bahwa dalam usianya yang sudah tua sekali itu, bertanding mengandalkan kekuatan tubuh tentu akan amat merugikan, oleh kerena itu, dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengalahkan Si Kedok Hitam!
Sungguh aneh pertandingan antara kedua orang itu, Danyang Gurita memang melakukan gerakan pencak silat, namun gerakan itu lambat seperti guru sedang mengajar- kan gerakan-gerakan pencak silat kepada muridnya dalam tingkat pertama, agar si murid dapat mengikuti gerakan-gerakan itu.
Dan biarpun gerakan itu lambat dan nampaknya tidak bertenaga namun setiap kali tangan itu bergerak ke arah Si Kedok Hitam, ada angin menyambar dahsyat sekali!
Si Kedok Hitam agaknya mengenal ilmu aneh itu dan diapun melakukan hal yang sama dengan lawannya. Diapun berdiri di tempat dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang bersilat, gerakan yang lambat pula, namun juga dari gerakan tangannya itu mengan- dung angin dahsyat yang menyambar-nyambar ke depan. Kedua orang itu ternyata saling mengadu kekuatan tenaga sakti! Namun beberapa kali nampak Danyang Gurita bergoyang-goyang tubuhnya bagaikan pohon dilanda angin keras dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia masih kalah kuat.
Koleksi Kang Zusi Kini Danyang Gurita menyilangkan kedua lengannya depan dada, bersedekap dan matanya dipejamkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Kepalanya mengeluarkan asap mengepul, makin lama semakin tebal dan asap itu membentuk seekor harimau yang mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan asap berbentuk harimau itu menubruk ke arah Si Kedok Hitam! Akan tetapi, dengan tenaganya Si Kedok Hitam membungkuk, mengambil seganggam tanah lalu menyabitkan tanah itu ke arah asap berbentuk harimau sambil berseru, "Asal tanah kembali kepada tanah!"
Memang tadi ketika hendak mengeluarkan ilmu itu, Danyang Gurita menggunakan sekepal tanah pula yang dilontarkan ke atas. Ketika bayangan itu terkena tanah, lenyaplah bayangan itu dan asap itupun lenyap seperti tersedot masuk kembali ke dalam kepala Danyang Gurita. Beberapa kali Danyang Gurita menggunakan ilmu sihirnya untuk membentuk bayangan yang bermacam-macam dan menakutkan, namun selalu dapat dibuyarkan oleh sambitan tanah Si Kedok Hitam. Kalau Danyang Gurita mempergunakan kekuatan sihir yang berasal dari kekuatan daya-daya rendah, kekuatan yang datangnya dari nafsu dan setan, sebaliknya Si Kedok Hitam hanya menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja, kekuatan manakah di alam semesta ini yang akan mampu menandinginya" Semua kekuatan dari segala benda adalah ciptaan Tuhan pula oleh karena itu, bagi Si Kedok Hitam yang bersandar kepada kekuasaan Tuhan, semua serangan Danyang Gurita itu bagaikan permainan kanak-kanak saja!
Sementara itu, Malangkoro mengamuk dikeroyok tiga orang itu. Diam-diam Mawarsih kagum juga melihat betapa lincahnya Aji mempermainkan Malangkoro. Gerakannya memang cepat bukan main, akan tetapi agaknya Aji tidak mempeunyai tenaga untuk merobohkan Malangkoro. Demikian pula Bayu memiliki kelincahan dan kecedikan, akan tetapi tentu saja anak inipun tidak mungkin dapat merobohkan Malangkoro, dan hanya kembenyalah yang dapat menyerang dengan dahsyat, mengimbangi penyerangan Malangkoro yang mengamuk akan tetapi yang serangannya membabi buta dan tidak pernah dapat mengenai lawan itu. Diam-diam Mawarsih merasa gembira.
Tak pernah ia dapat membayangkan bahwa ia akan menghadapi serangan lawan berat bersama-sama Aji dan Bayu! Dan kini lebih gembira lagi bahwa di situ muncul Si Kedok Hitam. Tanpa adanya Si Kedok Hitam, mereka bertiga tentu akan celaka dan sudah tadi Aji dan Bayu binasa sedangkan ia diculik Malangkoro. Juga kini lenyap keraguan hatinya yang pernah mencurigai dan menduga kalau-kalau Si Kedok Hitam adalah Banuaji!
Koleksi Kang Zusi Sekarang jelas terbukti bahwa Si Kedok Hitam bukan Banuaji, melainkan orang lain yang memiliki kedigdayaan jauh melampui Aji, bahkan melampui kepandaiannya sendiri dan kepandaian ayahnya.
Danyang Gurita sudah mulai lemah. Pernapasannya mulai terengah-engah dan lehernya penuh keringat. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua gagal. Ahirnya dia memutar-mutar kedua tangannya, menggosok-gosok telapak kedua tanganya, hendak mengeluarkan ajinya yang paling dahsyat, yang selama ini tidak pernah dia pergunakan, yaitu Aji Tirtadahana (Air Api) yang dahulu dia dapatkan dari Sunan Kalijaga.
Keringatnya mulai menjadi panas dan begitu dia hendak menyerang Si Kedok Hitam dengan ilmu yang ampuh itu, Si Kedok Hitam berseru,
"Danyang Gurita, lupakah andika akan kutukan kalau andika melanggar pantangan Eyang Sunan Kalijaga" Berani andika menggunakan Aji Tirtadahana?"
Agaknya Danyang Gurita tidak peduli lagi dan diapun mengerahkan tenaga, menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah Si Kedok Hitam dengan tenaga Aji Tirtadahana sepenuhnya. Si Kedok Hitam mengenal aji yang dahsyat ini, tidak berani dia menerimannya dan tubuhnya melesat ke atas menghindarkan diri. Akan tetapi, sebetulnya dia tidak perlu melakukan hal ini karena pada saat itu, terdengar Danyang Gurita mengeluh dan terkulai roboh! Agaknya kutukan itupun terjadilah. Tenaga dahsyat dari Aji Tirtadahana agaknya membalik dan menghantam dadanya sendiri, menghancurkan isi dadanya dan diapun roboh, tewas seketika!
"Allahhu Akbar........!" Si Kedok Hitam berseru memuji Tuhan ketika dia membungkuk dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu telah tewas dan dan dari mulut, hidung dan telingannya mengeluarkan darah!
Mendengar seruan itu, Malangkoro menoleh dan melihat gurunya sudah roboh, dia berteriak keras, "Bapa.......!" dan raksasa itu menangis, lalu lari menubruk jenazah kakek itu. Semua orang memandang heran, tidak menyangka sama sekali seorang raksasa tinggi besar yang segala-galanya nampak kasar dan keras, kini dapat menangis seperti anak kecil, menangisi Koleksi Kang Zusi
kematian gurunya. Semua orang merasa terharu. Kiranya Malangkoro memiliki perasaan lembut dan jelaslah bahwa semua yang dilakukannya selama ini adalah karena pengaruh gurunya.
Bayu yang merasa gemas melihat Malangkoro, menghampiri raksasa yang mengguguk sambil memeluk jenazah gurunya itu dengan batu besar di tangan, tentu berniat untuk menghantamkan batu itu kepada kepala si raksasa. Akan tetapi tangan lembut Mawarsih menahannya. Ketika Bayu menoleh, dara itu menggelengkan kepala, melarang perbuatan Bayu yang terpaksa melempar batunya.
"Malangkoro, lihatlah betapa gurumu telah menyeleweng dari pada kebenaran dan dia roboh dan tewas oleh pukulannya sendiri. Angkara murka selalu mendatangkan malapetaka kepada diri sendiri. Masih belum terlambat bagimu untuk menyadari kekeliruan langkah gurumu dan memperbaikinya."
Malangkoro menahan tangisnya. "Aku menyerah kalah dan kalian boleh membunuh- ku."
"Kami tidak akan membunuhmu, Malangkoro, bahkan kami girang kalau andika suka membantu Mataram." kata Mawarsih.
"Tidak, aku hanya mempunyai sebuah permintaan. Kalau boleh, aku akan membawa pergi jenazah bapa guru, dan aku berjanji tidak akan membantu Ponorogo, tidak akan mencampuri urusan perang antara Mataram dan Ponorogo. Kalau kalian tidak setuju dan hendak membunuhku, silakan!"
Mawarsih memandang kepada Aji dan Aji mengangguk, ketika Mawarsih Koleksi Kang Zusi
memandang kepada Kedok Hitam, diapun mengangguk tanda setuju.
Mawarsih menghela napas panjang. Sebetulnya, dia belum yakin benar akan ketulusan hati Malangkoro, orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan angkara murka, akan tetapi karena Banuaji dan Kedok Hitam sudah menyetujui, ia pun berkata, "Baiklah, pergi bawa jenazah gurumu, Malangkoro."
Malangkoro mengangkat jenazah gurunya, lalu melangkah pergi dengan langkah lebar dan cepat, seolah dia takut kalau-kalau mereka semua akan mengubah keputusan dan menghalanginya.
"Semua sudah beres, selamat tinggal!" Kedok Hitam berkata dan sekali berkelebat, dia telah meloncat jauh sekali.
Agaknya Danyang Gurita tidak peduli lagi dan diapun mengerahkan tenaga, menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah Si Kedok Hitam dengan tenaga Aji Tirtadahana sepenuhnya. Si Kedok Hitam mengenal aji yang dahsyat ini, tidak berani dia menerimannya dan tubuhnya melesat ke atas menghindarkan diri. Akan tetapi, sebetulnya dia tidak perlu melakukan hal ini karena pada saat itu, terdengar Danyang Gurita mengeluh dan terkulai roboh! Agaknya kutukan itupun terjadilah. Tenaga dahsyat dari Aji Tirtadahana agaknya membalik dan menghantam dadanya sendiri, menghancurkan isi dadanya dan diapun roboh, tewas seketika!
Ksatria Negeri Salju 7 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Jodoh Rajawali 23

Cari Blog Ini