Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 7

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 7


"Omitohud!" cepat-cepat paderi itu mengatupkan robekan sutera lagi dan segera
berpaling kepada Su Bo-tun, "Benda yang Su-heng rampas tadi, kuwakilkan Su-heng untuk
menyerahkan kepada pemiliknya!"
Habis berkata ia segera menyerahkan kembali kedua robekan sutera itu kepada Siulam.
Serta merta Siu-lam menyambuti dan menjura kepada ketua Siau-lim-si itu, "Taysu
benar-benar seorang pemimpin yang arif bijaksana. Wanpwe kagum sekali!"
Tay Hong hanya tertawa hambar, "Loni jarang berkelana keluar maka tak begitu jelas
tentang cerita peta Hiat-ti-tho yang tersiar di luaran. Harap sicu suka menjelaskan!"
Pertanyaan itu kembali memojokkan Siu-lam. Dengan menyerahkan robekan sutera itu
kepada Tay Hong, ia duga si dara baju putih Bwe Hong-swat yang saat itu menyaru jadi
bocah muka kotor, tentu membencinya. Dan apabila ia menjelaskan tentang rahasia peta
itu lagi, sudah tentu akan menimbulkan dendam gadis baju putih itu.
Sesaat tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Berpaling kepada si bocah muka kotor,
tampak dia tegak berdiri tenang. Sedikitpun kerut wajahnya tak menampilkan sinar
kemarahan. Sukar diduga bagaimana isi hatinya.
Suasana hening seketika. Berpuluh-puluh mata hadirin tertumpah pada Siu-lam.
Peta Hiat-ti-tho atau Telaga Darah merupakan pusaka yang paling diincar oleh seluruh
kaum persilatan. Maka pernyataan ketua Siau-lim-si itu, benar-benar mendapat reaksi
penyambutan yang besar. Setiap orang segera membuat perhitungan (rencana) dalam hati. Setiap ucapan dan
gerak-gerik Siu-lam, mendapat sorotan yang tajam.
Siu-lam merasa saat itu dirinya berada di ujung tanduk. Setiap patah ucapan yang
keliru, pasti akan menimbulkan salah paham besar yang menjurus pada pertumpahan
darah. Beberapa saat Siu-lam tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia benar-benar kehilangan
paham. Hatinya tegang bukan kepalang".
Sekonyong-konyong Ngo Cong-gi memecah kemacetan suasana dengan berseru
nyaring, "Kini persoalannya sudah jelas. Anak muda itu (Siu-lam) jika bukan orang Benggak
tentulah mempunyai hubungan dengan anak buah Beng-gak. Pernah kudengar cerita
orang, sebelum Lo Hian lenyap, dia telah membuat sebuah peta yang diberi nama Telaga
Darah. Seluruh ilmu silat dan ilmu pengobatan, ditulis dalam sebuah kitab, kemudian
disembunyikan dalam sebuah tempat rahasia. Peta itu merupakan peta rahasia tempat
penyimpanan kitab. Cerita itu sudah lama sekali tersiar didunia persilatan. Kurasa saudarasaudara
tentu sudah mendengarnya"."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Dalam beberapa hari terakhir ini, memang
di dunia persilatan santer tersiar kabar tentang kemunculan peta Hiat-ti-tho. Tetapi tiada
yang pasti kebenarannya, hal itu karena tiada seorangpun yang tahu pasti siapakah yang
memilikinya. Andaikata tahu, punorang pasti akan merahasiakan. Akupun pernah tertarik
juga akan berita itu tetapi penyelidikanku selama ini sia-sia belaka. Yang nyata, sejak
meluapnya berita itu sampai ke daerah Kanglam, maka sering terjadi pembunuhanpembunuhan
gelap. Tahu-tahu sebuah keluarga atau sebuah perguruan telah dibunuh
orang. Dan setiap pembunuhan itu tentu dilakukan secara habis-habisan sampai ke candil
abangnya. Sudah tentu masyarakat dan dunia persilatan menjadi panik. Menurut dugaanku,
pembunuhan itu mempunyai sangkutan dengan peta Hiat-ti-tho. Dan kini setelah ternyata
peta itu muncul di sini, sebaiknya janganlah lo-siansu menyerahkan benda itu kepada
orang?" orang she Ngo itu menutup kata-katanya sambil memandang lekat-lekat pada
sobekan sutera yang dicekal Siu-lam. Sorot matanya mengandung nafsu hendak
merampas". Tay Hong gelengkan kepala tertawa, "Robekan sutera yang ditangkap siau-sicu itu,
telah kuberikan jelas. Bukan peta Hiat-ti-tho! Jika peta Hiat-ti-tho masakan loni berani
gegabah mengembalikan kepadanya!"
Ngo Cong-gi tertegun diam.
Dalam pada itu, Siu-lam memperhatikan sekalian jago-jago pada saat itu. Mereka
nampak tegang dan siap berkelahi. Siu-lam menenangkan diri dengan menghias
senyuman. "Untuk kesekian kalinya wanpwe tandaskan," katanya kepada Tay Hong siansu, "Bahwa
wanpwe tidak ada hubungan sama sekali dengan Beng-gak. Kebalikannya wanpwe malah
bersumpah tak mau hidup dalam satu kolong langit dengan mereka. Guruku dibinasakan
sehingga sumoayku terpaksa lari ke Coh-yang-ping mencari perlindungan pada Su locianpwe.
Jika taysu tak percaya harap tanyakan pada Su lo-cianpwe!"
Tay Hong berpaling, serunya, "Su-heng, benarkah hal itu?"
Su Bo-tun menyahut dingin, "Sebelum mengasingkan diri, aku pernah memberikan lima
batang uang Soh-in-kim-chi kepada orang. Barangsiapa yang mendapatkan uang itu, dia
dapat meminta pertolongan apapun kepadaku. Aku tak peduli siapa dia, pokok uang Sohinkim-chi itu merupakan hutang budi yang harus kubayar!"
"Seluruh kaum persilatan tak ada yang tak kenal nama Su-heng!" seru Tay Hong pula,
"Siapa saja yang dapat menunjukkan uang emas Soh-in-kim-chi, tentu Su-heng
meluluskan apa saja yang dimintanya!"
"Yang menjadi peganganku ialah uang emas Soh-in-kim-chi itu asli atau tidak. Tentang
asal-usul orang itu dapat memperoleh uang tersebut, tak kuhiraukan!" sahut Su Bo-tun.
Tay Hong kurang puas dengan sikap dan perangai Su Bo-tun yang kelewat tak punya
perasaan. "Loni benar-benar kagum atas tindakan Su-heng memberi uang emas sebagai tanda
Su-heng berhutang budi. Tetapi jika ada orang yang karena memiliki uang emas Soh-inkimchi sampai binasa dan Su-heng tetap berpeluk tangan saja, tidak tepatlah kalau uang
emas itu disebut Soh-in-kim-chi"."
"Dunia persilatan siapakah yang tak kenal perangai Su Bo-tun yang aneh" Masakan kau
perlu meminta penjelasan lagi" Apakah artinya sebutan Siu-chiu-kiau-in itu?" tukas Su Botun.
"Kalau begitu mengapa tak mengganti nama Soh-in-kim-chi dengan Soh-beng-kim-chi
saja?" tiba-tiba terdengar seseorang menyeletuk. Soh-in artinya pengikat budi tetapi Sohbeng
artinya pengikat nyawa atau kebalikan arti dari Soh-in.
Sekalian orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata dia seorang lelaki berjubah biru
tua. Usianya kurang lebih enam puluh tahun tetapi masih nampak gagah.
Hadirin tak kenal padanya. Tetapi bahwa dia diundang untuk menghadiri rapat Enghiongtay-hwe tentulah seorang tokoh yang cemerlang".
"Jika menyimpan uang emas Soh-in-kim-chi saja tak mampu, biarlah nyawanya
direnggut orang!" Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun mendengus.
Jago tua berjubah biru yang bicara tadi, tersinggung mendengar kata-kata Su Bo-tun.
"Sudah lama kudengar Su-heng ini sebagai tokoh persilatan yang paling tidak aturan.
Kiranya hari ini baru kubuktikan kebenarannya!"
Su Bo-tun tertawa dingin, "Hal itu masakan perlu kau yang mengatakan lagi" Memang
seumur hidup aku tak suka bicara tetek bengek. Jika kau tak puas, silahkan keluarkan
kepandaianmu!" "Orang takut pada Su Bo-tun, tapi aku tidak takut?" jago tua itu berseru gusar seraya
melangkah maju. Tay Hong siansu cepat maju menghadangnya, "Harap jiwi suka memandang mukaku
dan mundur dulu"."
Rupanya jago tua itu mengindahkan pada ketua Siau-lim-si. Ia menurut.
Tay Hong menghela napas pelahan dan memandang Su Bo-tun, "Su-heng sudah lama
mengundurkan diri dari masyarakat persilatan. Dan Tio-heng ini pun jarang sekali keluar.
Biarlah aku yang memperkenalkan saudara berdua?" ia berhenti sejenak dan tersenyum,
"walaupun jiwi berdua belum kenal, tapi tentu sudah saling mendengar nama masingmasing.
Tio-heng ini ialah Tio Hong-kwat, pendekar ternama yang pernah
menggemparkan dunia persilatan dengan Sam-kiam-it-pit (tiga pedang satu pit)!"
Ucapan itu mendapat sambutan yang gemuruh dari para hadirin. Mereka memandang
ke arah jago tua itu. Memang belasan tahun yang lalu, nama Sam-kiam-it-pit Tio Hongkwat
itu menjadi buah bibir orang persilatan daerah Tionggoan (Tiongkok). Lebih-lebih
kaum persilatan daerah Kanglam Kangpak sangat mengindahkan sekali kepadanya. Tetapi
sedikit sekali orang yang bertemu muka dengannya.
Dia benci pada segala kepalsuan dunia persilatan maka ia jijik sekali bergaul dengan
kaum persilatan. Untuk mencemoohkan mereka, sengaja ia memakai topeng yang
wajahnya buruk sekali. Tiap kali bertempur, selalu ia memakai topeng itu. Dalam
menjalankan darma kependekarannya, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh jahat
yang jatuh di tangannya. Dalam menilai sesuatu peristiwa ia selalu berpijak pada
kebenaran dan sedia menghadapi siapa saja dan tokoh sakti yang manapun juga.
Dia menggunakan senjata yang aneh. Tiga batang pedang dan sebatang pit (pena
orang Tionghoa). Walaupun sangat benci pada kejahatan tapi wataknya welas asih.
Terhadap tokoh-tokoh jahat yang dikalahkan tak mau ia menurunkan tangan ganas. Maka
sekian banyak korban-korbannya itu, jarang yang sampai terluka parah atau binasa. Jagojago
yang dikalahkan itu, tidak mendendam bahkan menaruh rasa kagum padanya, entah
sudah berapa banyak orang yang berusaha untuk bertemu muka dengan dia, tapi tak
pernah berhasil. Orang mengira dia menghilang dari dunia persilatan, tapi sebenarnya dia
masih sering keluyuran kemana-mana. Hanya orang tak mampu mengenalinya.
Maka kalau saat itu sekalian hadirin terbeliak kaget dan memandang dengan penuh
perhatian pada jago tua yang diperkenalkan sebagai Sam-kiam-it-pit, memang tak
mengherankan. "Jiwi berdua adalah tetamu yang loni hormati," kata Tay Hong lebih lanjut, "maksud
bukan lain hendak mohon bantuan jiwi untuk bersama-sama menumpas bencana yang
mengancam dunia persilatan dewasa ini. Dalam hal ini mohon keikhlasan jiwi berdua agar
jangan menghiraukan hal-hal yang kurang penting sehingga membuat loni sulit
mengurusi." Su Bo-tun mendengus dan palingkan muka.
"Ah, maafkan siansu. Belum membantu malah sudah menyulitkan siansu."
Siau Yau-cu pun menghampiri, ujarnya, "Dalam menghadapi masalah penting ini, lebih
dulu kita harus mengadakan pembersihan?" ia memandang Siu-lam, kemudian si dara
Hian-song lalu si bocah bermuka kotor. Katanya pula, "Setelah kupikir berulang kali,
memang ilmu pedang saudara Pui itu, serupa dengan ilmu pedang yang dahulu dimainkan
si wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh. Dan bocah muka kotor itu, gerak-geriknya lebih
mencurigakan juga. Walaupun belum berani kukatakn bahwa dia orang suruhan Beng-gak,
tapi kita tak dapat menghindari dugaan begitu."
Saat itu Siu-lam benar-benar kehabisan akal. Ia insyaf akan suasana yang gawat. Sekali
salah urus, tentu akan menimbulkan bencana. Menghadapi tokoh sakti yang hadir di situ,
akibatnya kalau tidak mati tentu terluka berat.
Jilid 13 TANPA TERASA, ia berpaling memandang Hian-song dan si bocah muka kotor. Tampak
bocah itu tenang saja seperti tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya. Sebaliknya diamdiam
Hian-song telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Tay Hong berpaling memandang Siu-lam, ujarnya, "Kiranya sicu masih menyimpan
banyak rahasia. Benar-benar loni tak mengerti mengapa sicu tak mau mengutarakan?"
Sejenak mata Siu-lam menyapu sekalian hadirin. Katanya, "Benar, benar, memang aku
menyimpan banyak rahasia. Tetapi rahasia itu sama sekali tiada hubungan dengan hadirin
di sini. Apalagi aku telah berjanji pada seorang untuk tidak membocorkannya."
"Jika siau-sicu tak dapat menerangkan dengan terus terang, loni pun sukar untuk
melindungi," kata Tay Hong siansu.
Tiba-tiba Hian-song melesat ke samping Siu-lam, lengkingnya, "Kalau tak mau
mengatakan terus terang, lalu bagaimana?"
"Soal ini menyangkut mati hidupnya ribuan orang persilatan. Sekali-kali loni tiada
mempunyai maksud apa-apa, harap jiwi berdua suka menimbang semasak-masaknya!"
Siu-lam mengambil lengan baju si dara, bisiknya, "Tay Hong siansu seorang paderi
yang berbudi luhur, harap sumoay jangan sampai melanggar adat kepadanya."
Hian-song terkesiap tetapi pada lain saat ia tertawa dan menyingkir ke belakang Siulam.
Tay Hong siansu menghela napas; "Kiranya siau-sicu tadi tentu sudah mendengar cerita
Siau lo-cianpwe tentang jarum sakti Chit-jiau-soh. Jarum yang halus kecil itu, telah
merupakan lambang Elmaut bagi setiap orang persilatan yang melihatnya. Jika sekarang
jarum itu muncul lagi di dunia persilatan, apalagi jarum itu diperuntukkan tanda undangan
kepada seluruh tokoh persilatan agar menghadiri pesta maut di gunung Beng-gak,
tentulah merupakan persoalan yang hebat sekali.
Siau-sicu masih muda, tentu tak menyaksikan betapa ngeri suasana pembunuhan yang
telah terjadi di dunia persilatan akibat keganasan jarum Chit-jiau-soh. Kemunculan jarum
maut itu lagi dapat dibayangkan betapa ngerinya banjir darah yang akan menggenangi
dunia persilatan nanti. Jika siau-sicu memang orang dari Beng-gak, loni tak dapat berbuat
apa-apa. Tetapi jika bukan, loni mohon kerelaan siau-sicu untuk menyelamatkan ribuan
orang persilatan!" Dengan halus Tay Hong siansu telah memberi ultimatum (peringatan) kepada Siu-lam.
Jika anak muda itu tetap menolak untuk memberi keterangan, seluruh hadirin tentu akan
menuduhnya sebagai orang Beng-gak. Apa yang akan terjadi, dapatlah sudah Siu-lam
membayangkan. Tengah Siu-lam merenung, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar derap kaki orang
melangkah masuk. Begitu melihat siapa pendatang itu, buru-buru Siu-lam memberi hormat
dan berseru girang, "Ah, kebetulan sekali Tio supeh datang. Aku sedang menderita
dicurigai sebagai orang Beng-gak. Mohon supeh suka menolong kesulitanku!"
Kiranya yang datang itu bukan lain ialah Tio It-ping, salah seorang jago pedang yang
termasyhur di wilayah Kanglam. Begitu masuk, ia curahkan mata memandang pada si
bocah muka kotor. "Dunia persilatan Kanglam, siapa yang tak tahu kalau kau murid dari Ciu Pwe"!"
sahutnya. "Memang telah kujelaskan hal itu kepada para lo-cianpwe, tetapi rupanya tidak
dipercaya!" kata Siu-lam. Tiba-tiba ia teringat sewaktu berpisah dengan supeh itu,
tanyanya, "Apakah luka supeh sudah sembuh?"
Tio It-ping mengangguk. Sambil menghampiri ke tempat Siu-lam, ia menanyakan
tentang diri Hian-song, serunya, "Siapakah anak perempuan ini?"
Setelah berpisah dalam keadaan berbahaya, seharusnya Tio It-ping menanyakan
tentang keadaan Siu-lam selama ini, tetapi tidak sepatah pun kata-kata semacam itu
terluncur dari mulutnya. Wajah jago tua itu tampak dingin-dingin saja.
Siu-lam menerangkan bahwa Hian-song pernah menolong jiwanya dan kini mereka
saling berbahasa sebagai suheng dan sumoay.
"Hm, karena mempunyai sumoay yang cantik maka kau lantas melupakan sumoay yang
dulu!"dengus Tio It-ping.
Siu-lam terkesiap, "Apakah maksud supeh"."
"Mengapa kau tak mengerti?" sahut Tio It-ping. "Mendapat yang baru melupakan yang
lama, memang bukan hal yang mengherankan. Hanya sayang gite (adik angkat, yang
dimaksud ialah Ciu Pwe), telah keliru mengambil seorang murid palsu. Bukan saja
menurunkan seluruh kepandaiannya, pun pada saat menutup mata telah memesan
kepadaku dan Jui-tian-ih-hong Lim Jing-siu supaya melaksanakan perjodohan anak
perempuannya dengan kau. Hm, gite-ku itu punya mata tetapi tak dapat melihat orang"."
Siu-lam makin gugup, serunya, "Sudilah kiranya supeh mengatakan yang jelas. Biar
bagaimana aku tentu melaksanakan."
Tio It-ping merasa, ucapannya tadi memang kurang jelas. Ia agak tenang dan berseru,
"Oh, kalau begitu kau masih ingat pada Ciu sumoaymu?"
Sahut Siu-lam, "Suhu benar-benar telah mengalami nasib yang menggenaskan. Seluruh
keluarganya dibunuh, puteri tunggalnya yang lolos ke Coh-yang-ping pun akhirnya jatuh
ke tangan iblis wanita Ih Ing-hoa. Aku sendirilah yang mengubur jenazah sumoay di dalam
lembah Coh-yang-ping."
Ih Ing-hoa adalah momok wanita yang termasyhur di dunia persilatan. Hadirin tahu
siapa wanita itu. Mereka terbeliak mendengar kata-kata Siu-lam.
Mata Siau Yau-cu berkilat-kilat. Ia melangkah maju menghampiri Siu-lam, tegurnya,
"Apakah dia masih hidup" Di mana kau melihatnya?" tiba-tiba jago Bu-tong-pay itu
teringat akan kedudukan dirinya. Sikapnya yang tampak gugup itu tentu akan
menimbulkan dugaan para hadirin. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.
"Apakah lo-cianpwe kenal pada Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa itu?" Siu-lam balas bertanya.
Sebenarnya Siau Yau-cu tak suka menjawab pertanyaan mengenai hal itu, namun
mulutnya bersungut-sungut, "Bukan hanya kenal saja, sekalipun sudah jadi bangkai, tetap
kukenalnya?" tiba-tiba ia menyadari kalau kelepasan omong. Tapi sudah terlanjur.
"Ih Ing-hoa mempunyai kesalahan, pun mempunyai jasa. Dunia persilatan masih belum
punya penilaian pasti terhadap dirinya. Kau seorang anak muda, tak pantas memaki orang
tanpa mengetahui duduk perkaranya!" cepat-cepat Tio It-ping menyeletuk. Jelas bahwa
jago tua itu, simpati terhadap Ih Ing-hoa.
Tay Hong siansu segera menengahi, "Sekarang ini masih belum diketahui Ih Ing-hoa
mati atau masih hidup. Maka sukar untuk menetapkan penilaian terhadap dirinya."
Tampak tubuh Siau Yau-cu agak menggigil. Menatap Siu-lam, jago tua dari Bu-tong-pay
itu bertanya, "Apakah Ih Ing-hoa masih hidup?"
"Sudah mati?" sahut Siu-lam.
Siau Yau-cu terkesiap. Masih ia menegas lebih lanjut, "Kapan dia mati" Di mana
mayatnya sekarang?" Siu-lam mempunyai kesan bahwa ucapan jago tua Bu-tong-pay itu mengandung
perhatian mesra kepada Ih Ing-hoa. Diam-diam ia bersangsi sendiri apakah wanita
berwajah jelek di dalam goha tempo hari benar Ih Ing-hoa atau bukan. Karena selama itu,
si wanita tak pernah mengatakan asal-usulnya.
"Eh, kutanyakan di manakah mayatnya sekarang, mengapa kau diam saja" Apakah kau
tidak mendengar?" Siau Yau-cu mengulangi.
Melihat kesibukan orang, Siu-lam menyahut dengan tenang, "Apakah wanita itu benar
Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa atau bukan, aku tidak berani memastikan, hanya dugaan saja!"
Sebagai seorang jago tua yang ternama, cepat-cepat Siau Yau-cu menindas
kegoncangan hatinya. Sikap Siau Yau-cu menimbulkan tafsir lain pada hadirin. Mereka
mengira jago tua itu tentu mempunyai ganjalan hati kepada wanita iblis Ih Ing-hoa.
Merekapun tak mau mendesak lebih lanjut.
Setelah melepaskan diri dari pertanyaan Siau Yau-cu, Siu-lam berpaling ke arah Tio Itping
dan menanyakan keadaan supeh itu selama berpisah.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawab Tio It-ping, "Walaupun perpisahan itu tak lama, tetapi ceritanya panjang sekali.
Nanti saja apabila ada kesempatan akan kuceritakan padamu!"
Kemudian jago tua itu berpaling kepada Tay Hong siansu, serunya, "Anak ini memang
benar murid Ciu Pwe. Bukan saja tak mempunyai hubungan dengan pihak Beng-gak,
tetapi malah mempunyai dendam darah yang hebat. Hal ini, aku yang menjadi saksinya!"
Namun ketua Siau-lim-si itu tetap berkata, "Ah, hati orang sukar diduga. Walaupun siasicu
itu berasal dari murid keluarga Ciu, tetapi dia sudah berpisah beberapa bulan dengan
Tio tay-hiap. Dalam beberapa bulan itu, sukar untuk menjamin bahwa dia tidak
berobah"." Jelas bahwa ketua Siau-lim-si itu, sudah mempunyai kecurigaan besar
terhadap Siu-lam, sampaipun kata-kata Tio It-ping tak dipercayai.
"Jika lo-siansu tak percaya, memang aku dapat berbuat tak apa-apa?" sungut Siu-lam.
Tiba-tiba Tay Hong berseru nyaring, "Siapakah anak perempuan yang menyaru menjadi
bocah laki-laki bermuka kotor itu" Walaupun pura-pura gagu, tetapi tetap tak dapat
mengelabuhi mata loni!"
Ucapan ketua Siau-lim-si itu menyebabkan sekalian hadirin terbeliak dan berpaling
memandang si bocah bermuka kotor.
Siu-lam pun terkesiap. Ia duga pengetahuan Tay Hong itu tentu berasal dari surat yang
dilontarkan dara baju putih Bwe Hong-swat kepadanya itu. Ia kuatir dara itu akan marah
kepadanya. Rupanya Bwe Hong-swa atau si bocah muka kotor itu dapat mengetahui keresahan hati
Siu-lam. Tiba-tiba ia tertawa dan berseru kepada Tay Hong, "Hm, bukankah setelah
membaca surat itu aku baru tahu aku seorang wanita" Kalau tahu mengapa sejak tadi kau
tak mau mengumumkan?"
Permainannya bersandiwara menjadi orang gagu, saat itu buyar seketika".
Su Bo-tun segera mendengus, "Hm, pertama kali melihatmu, aku sudah menduga kau
tentulah bocah perempuan baju putih dari gerombolan Beng-gak"."
Bwe Hong-swat mengusap mukanya dengan lengan baju. Seketika terlihatlah wajahnya
yang asli. Sebuah wajah gadis yang berkulit putih segar.
"Kau memang suka membual! Kalau memang tahu mengapa tadi-tadi tak mengatakan.
Sekarang setelah orang lain bilang, kau tak mau kalah angin?" seru Hong-swat.
"Memang aku sengaja hendak menunggu permainan yang hendak kau suguhkan. Maka
aku tak mau membuka kedokmu dulu!" sahut Su Bo-tun marah.
"Su-heng, apakah benar anak perempuan ini benar orang Beng-gak?" tanya Tay Hong.
"Benar," sahut Su Bo-tun, "Bukan hanya anak buah saja tetapi dia adalah murid
kesayangan dari ketua Beng-gak!"
Bwe Hong-swat terkesiap. Ia heran mengapa Su Bo-tun mengetahui keadaan dirinya.
Walaupun ia dibesarkan dan dididik dalam lingkungan serba ngeri, tetapi sebagai seorang
gadis yang baru berusia delapan belas tahun, ia masih memiliki perasaan ingin mengetahui
segala apa. Namun ia kuatir, jika menanyakan malah akan menimbulkan kerunyaman.
Tampak wajah Tay Hong mengerut serius, ujarnya dengan nada berat, "Soal ini penting
sekali. Harap Su-heng jangan bergurau!"
Tay Hong seorang ketua Siau-lim-si yang berwibawa. Betapapun sifat Su Bo-tun yang
dingin, tetapi saat itu mau tak mau ia terpengaruh juga oleh sikap Tay Hong. Seketika ia
menyahut, "Apa yang kukatakan, tak nanti salah. Harap lo-siansu jangan bersangsi lagi!"
Tanya Tay Hong pula, "Bagaimana Su-heng tahu kalau dia anak murid Beng-gak?"
Ketua Siau-lim-si itu tidak mau bertindak secara gegabah. Ia menyadari, tindakan yang
salah akan mengakibatkan kehancuran.
Rupanya Su Bo-tun kesal hati. Ia memandang ke atas tiang penglari, ia menyahut
dingin, "Setiap orang tahu peristiwa hebat pada belasan tahun yang lalu di mana tokohtokoh
partai persilatan telah menguber dan menggempur wanita iblis pemilik Chit-jiau-soh.
Tetapi tiada seorangpun yang tahu bahwa aku Su Bo-tun tanpa banyak ramai, seorang diri
telah bertempur dengan perempuan siluman itu sampai sehari semalam. Walaupun
akhirnya aku dilukai oleh perempuan iblis itu, tetapi aku bertempur dengan mengandalkan
pada kepandaianku sendiri. Dari pertempuranku dengan budak perempuan itu tadi jelas
kuketahui bahwa ilmu silatnya sama dengan perempuan iblis pemilik Chit-jiau-soh dulu.
Jelaslah sudah bahwa ketua Beng-gak sekarang ini tak lain tak bukan adalah perempuan
iblis pemilik Chit-jiau-soh itu juga!
Dan dugaanku lebih diperjelas dengan adanya undangan dari Beng-gak yang
menggunakan Chit-jiau-soh sebagai surat undangan. Bahwa budak perempuan yang baru
berumur dua puluhan tahun sudah begitu hebat kepandaiannya, siapa lagi kalau bukan
anak murid kesayangan dari iblis perempuan pemilik Chit-jiau-soh"."
Sebenarnya dalam hati Su Bo-tun kagum atas kepandaian bocah muka kotor itu.
Namun mulutnya berkata lain.
Bwe Hong-swat dengan tenang membuka kancing bajunya. Ia hendak membuka baju
di hadapan para hadirin. Sudah tentu sekalian hadirin terkesiap. Tay Hong segera berseru
menganjurkan hadirin agar memalingkan muka. Semua orang menurut. Hanya Hian-song
yang tetap deliki mata memandang lekat-lekat pada gerak-gerik Bwe Hong-swat.
Bwe Hong-swat bergerak cepat. Dalam beberapa kejap iapun sudah membuka bajunya,
menyingkap rambut palsu, mengusap-usap mukanya lalu melongsorkan rambutnya ke
atas. Seketika tampak dirinya yang asli. Seorang gadis cantik dalam pakaian putih. Dengan
wajah yang membuka dingin, ia tegak berdiri di tengah ruangan.
Sambil membelai-belai rambut, ia berseru hambar, "Kalau benar, mau apa" Kalah salah,
mau apa?" Di hadapan sekian banyak tokoh ternama, ia tampak tenang sekali. Sedikitpun tak
mengunjuk rasa gentar. Tay Hong tersenyum, serunya, "Li-sicu benar-benar bernyali besar. Loni sangat kagum.
Para hadirin di sini adalah mereka yang diundang oleh suhumu untuk menghadiri pesta
Ciau-hun-yan di lembah Coat-beng-koh. Tetapi sejauh pengetahuanku, tak ada gunung
yang disebut Beng-gak itu. Maukah li-sicu memberitahukan tempat itu?"
Sahut Bwe Hong-swat dingin, "Lembah Coat-beng-koh, pesta maut Ciau-hun, suatu
tempat yang berkabut keseraman, berawan kengerian. Bisa datang, tak bisa pulang.
Sebaiknya kalian jangan datang kesanalah!"
Kata-kata itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam hati para hadirin. Siau Yau-cu
tertawa dingin, serunya, "Kata-kata nona itu, sungguh sukar dimengerti. Jika nona tak
mau menjelaskan terpaksa kami minta tolong nona untuk menunjukkan jalan ke gunung
itu!" Dengan masih tetap tawa hambar, Bwe Hong-swat menyahut, "Jika kalian memang
hendak mengantar jiwa, harap jangan terburu-buru. Pada waktunya tentu bakal ada orang
yang datang menjemput?" ia berhenti merenung. Sesaat kemudian berkata lagi, "Coanbeng
tiada tempat, Cian-hun mempunyai tempat. Kalian masih mempunyai waktu dua
bulan untuk hidup"."
"Budak hina, jangan coba-coba menggertak orang! Aku tak percaya di dunia terdapat
semacam tempat yang begitu misterius!" tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara
orang melengking. Sekalian hadirin memandang ke arah suara itu. Ah, ternyata seorang tua bertubuh
pendek. Dia mengenakan pakaian compang-camping penuh tambalan. Jika tidak buka
suara, hadirinpun tak mengetahui bahwa di sudut ruangan ternyata terdapat seorang tua
pendek yang sedemikian anehnya.
Orang itu telinganya panjang sekali sehingga menjulur sampai ke pundak. Sepasang
matanya setengah meram setengah melek. Hidungnya mekar, alis pendek dan
tubuhnyapun pendek gemuk. Sepintas pandang memang aneh sekali perawakan orang itu.
Bwe Hong-swat si gadis berhati dingin tak kuasa menahan gelinya ketika melihat
perwujudan orang pendek itu. Serunya, "Hi hi kau juga akan menghadiri pesta Ciau-hunyan?"
Orang pendek itu menyahut dingin, "Seumur hidup aku paling benci melihat perempuan
tertawa. Kalau bicara, bicaralah yang tegas. Jangan cekikikan tak genah. Kalau tak
menurut, awas, tentu kuhajar!"
"Uh, justeru aku hendak tertawa sebebas-bebasnya supaya kau dapat menikmati.
Setelah itu baru akan bicara!" sahut Bwe Hong-swat. Sambil menyingkap rambutnya ke
belakang bahu, gadis itupun tertawa gelak-gelak. Nadanya penuh kerawanan.
Biasanya orang tak menaruh perhatian karena wajah gadis itu berseri dingin. Tetapi
saat itu ketika ia tertawa, air mukanyapun berubah berseri-seri laksana bunga sedang
mekar". Tiba-tiba terdengar orang tua pendek mendengus geram. Ia mengangkat tangan
kanannya dan dikibaskan ke muka. Seketika Bwe Hong-swat hentikan tertawanya dan
menyurut mundur beberapa langkah.
"Bu-ing-sin-kun!" teriak Siau Yau-cu. Bu-ing-sin-kun artinya pukulan tanpa bayangan.
Kakek pendek gemuk itu tak menghiraukan Siau Yau-cu. Ia melesat maju ayunkan
tangannya. Bwe Hong-swat kembali terdorong mundur. Tubuhnya tampak gemetar sedikit
seperti orang yang menderita luka berat. Dan kakek pendek itu dengan wajah bengis,
maju menghampiri. Saat itu kaki Bwe Hong-swat tak dapat berdiri jejak dan tubuhnyapun terhuyunghuyung.
Wajah pucat, ujung mulutnya seperti mengulum darah. Jika kakek kerdil itu
memukul lagi, Bwe Hong-swat tentu binasa seketika! Tetapi gadis itu keras hati. Walaupun
menghadapi bahaya kematian, tetap ia tak mau minta ampun. Setelah mundur empat-lima
langkah ia berhenti. Melihat itu timbullah rasa kasihan Siu-lam. Bagaimana juga, ia pernah berjanji menjadi
suami-siteri dengan gadis itu. Apalagi gadis itu pernah menolong jiwanya. Segera ia
bersiap-siap memberi pertolongan.
Tampak si kakek cebol mengangkat tangannya dan maju menghampiri. Gaya
pukulannya memang luar biasa anehnya. Sedikitpun tak mengeluarkan suara dan
sambaran angin dan tahu-tahu lawan sudah menderita.
Melihat hal itu cepat-cepat Siu-lam bertindak. Sambil berseru nyaring ia menerjang si
kakek cebol dengan dorongkan kedua tangannya. Jurus itu disebut Hud-hwut-hu-pian,
ajaran kakek dari Hian-song.
Karena yakin akan kesaktiannya, si kakek cebol hanya tertawa dingin saja dan kerahkan
tangannya menangkis. Tetapi tiba-tiba tangan Siu-lam meluncur ke bawah dan berputarputar.
Tahu-tahu tangan kanan si kakek tersiak ke samping dan telapak tangan Siu-lam
langsung menjamah dada si kakek. Tetapi Siu-lam tak mau melontarkan tenaga dalam
yang telah dikerahkan pada telapak tangannya itu. Ia hanya meminta dengan berbisik,
"Harap lo-cianpwe suka memberi ampun kepadanya!"
Wajah kakek cebol itu berubah seketika. Dia biarkan saja dadanya dijamah Siu-lam. Tak
mau menyurut mundur juga tak mau menangkis.
"Setiap berkelahi, aku selalu berpegang pada anggar-anggar. Siapa yang dapat
memenangkan aku, tentu kululuskan permintaannya. Dengan kepandaian yang kau miliki
sekarang walaupun lebih hebat lagi sedikit, nanti tak mampu melukai aku. Tetapi karena
kau mampu menjamah dadaku, pantas juga mendapat pujianku. Ya, aku suka mengaku
kalah. Dalam itupun, kaulah orang kedua yang dapat mengalahkan aku!"
Siu-lam menarik tangannya, "Wanpwe takkan minta apa-apa hanya mengharap locianpwe
suka melepaskan nona baju putih itu!"
"Menang satu kali, aku hanya dapat mengabulkan sebuah permintaan. Jika kululuskan
membebaskannya, berarti aku sudah tak berhutang janji lagi padamu. Apa kau tak
menyesal?" "Seorang lelaki sekali bilang, tentu takkan menyesal!" sahut Siu-lam.
Kakek pendek itu merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah botol kecil dari
batu kumala lalu menuang sebutir pil putih. Katanya kepada Bwe Hong-swat, "Kau telah
terkena dua kali pukulan Bu-ing sin-kun. Tentu menderita luka dalam. Makan pil ini tentu
sembuh!" "Siapa sudi minum pil darimu!" sahut Bwe Hong-swat angkuh.
Kakek pendek itu marah, "Kalau tak minum pil jangan harap kau hidup lebih dari tiga
bulan!" "Matipun tak mengapa," jawab Bwe Hong-swa seraya berputar diri terus melangkah
pergi. It-ciang-cin-sam-siang Ngo Cong-hian dan Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong yang tengah
berdiri di ambang pintu, cepat menghadang gadis itu.
Bwe Hong-swat menginsyafi, dalam keadaan terluka seperti saat itu, tidak mungkin
dapat melawan kedua tokoh itu. Segera ia hendak loncat keluar.
Tiba-tiba terdengar Ngo Cong-hian mendesak dan menyurut ke samping. Tepat pada
saat itu terdengar suara tertawa dingin dari si kakek pendek, "Siapa yang berani
menghadang nona itu, akan mendapat Bu-ing sin-kun!"
Pada saat itu Siu-lampun sudah loncat ke samping Bwe Hong-swat. Ketika melihat
tanpa sebab apa-apa mendadak Ngo Cong-hian menyingkir ke samping, tahulah ia si
kakek pendek telah memberi bantuan. Buru-buru ia berbisik kepada Bwe Hong-swat,
"Lekas tinggalkan tempat ini, nona!"
Bwe Hong-swat menghela napas perlahan. Wajahnya berkerut-kerut hendak
mengucapkan sesuatu tetapi tak jadi.
Tiba-tiba sesosok tubuh melesat menyanggapi tubuh Ngo Cong-hian yang terhuyunghuyung,
serunya cemas, "Apakah kau terluka berat?"
Siu-lam agak terkesiap. Dilihatnya penolong itu mirip seperti pinang dibelah dua dengan
Ngo Cong-hian. Dia kenal orang itu Ngo Cong-gi bergeral Tei-Tui-Hong-ciau yang pernah
dijumpai di karang Coh-yang-ping. Memang keduanya itu kakak beradik. Ngo Cong-hian
menjadi pemimpin kaum persilatan di daerah Oulam. Sedangkan Ngo Cong-gi berkelana di
dunia persilatan. Melihat engkohnya terluka, Ngo Cong-gi pun cepat-cepat menolongnya.
Tay Hong siansu maju menghampiri dan menegur kakek cebol itu, "Apakah lo-cianpwe
ini Bu-ing-sin-kun yang termasyhur di dunia persilatan?"
Orang tua pendek itu tiba-tiba berpaling kepada Siu-lam, serunya, "Aneh, orang itu tak
mengandung maksud baik tapi tak mengajukan sikap bermusuhan!"
Ia tak menghiraukan Tay Hong. Namun ketua Siau-lim-si itu seorang paderi yang penuh
toleransi. Ia tak marah. Kemudian melangkah ke hadapan si kakek pendek. Tetapi belum
lagi paderi itu membuka mulut, si kakek cebol sudah mendahuluinya. "Meminta aku
supaya jangan merintangi jalannya, benarkah seperti kentut busuk?"
Terdengar desah tertahan dan Kau Cin-hong yang ikut menghadang tadi, pun menyurut
ke samping memberi jalan.
Siu-lam cepat-cepat menyanggah pinggang Bwe Hong-swat, "Lekas pergi," sekali
mengayunkan tangan ia lemparkan tubuh gadis itu keluar pintu.
Karena tak dihiraukan, hilanglah kesabaran Tay Hong siansu, serunya nyaring, "Dia
terluka parah, mungkin sukar melintasi Beng-gwat-ciang sini!"
Dengan kata-kata itu ia hendak mengatakan bahwa Beng-gwat-ciang tempat
pertemuan besar itu penuh dengan penjagaan yang ketat.
Seru si kakek pendek dengan dingin, "Siapa yang berani merintangi tentu sudah bosan
hidup!" Tay Hong berseru gusar, "Memang sudah lama loni mendengar kemasyhuran nama Buingsin-kun. Hari ini benar-benar loni tambah pengalaman"."
Tiba-tiba kakek pendek itu tertawa nyaring sehingga memutuskan ucapan Tay Hong
yang belum selesai. Kemudian ia berseru lantang, "Aku tinggal lama sekali di Se-gak (luar
perbatasan daerah barat atau Tibet). Jarang benar aku datang ke Tiong-goan. Tetapi
sekalipun tinggal di daerah terpencil, sering juga aku mendengar tentang dunia persilatan
Tiong-goan yang penuh dengan jago-jago sakti. Terutama mengenai partai Siu-lim-si
sangatlah berkumandang. Ilmu kesaktian dari kitab Tat-mo-ih-kin-keng dan tujuh puluh
dua macam ilmu kepandaian, telah menempatkan Siau-lim-si sebagai partai utama yang
memimpin dunia persilatan Tiong-goan. Sudah lama kurindukan, jika hari ini kau
beruntung dapat menerima pelajaran barang beberapa jurus, alangkah senang aku!"
Tay Hong siansu benar-benar tak kecewa sebagai ketua dari sebuah partai persilatan
besar. Ucapan si kakek pendek yang penuh dengan provokasi itu, tak dapat lekas-lekas
membangkitkan kemarahan ketua Siau-lim-si itu. Bahkan dia tampak tenang-tenang saja.
Dengan wajah ramah dan senyum cerah, berserulah Tay Hong, "Terima kasih atas pujian
yang tak layak loni terima itu. Sebagai pejabat yang diserahi untuk menjadi ketua ke
duapuluh delapan dari gereja Siau-lim-si, loni hanya ditugaskan untuk mengembangkan
ajaran-ajaran budi welas asih, bukan dendam permusuhan"."
Kakek pendek itu tertawa dingin dan berseru menantang, "Kecuali para ko-chiu Siaulimsi boleh dikata seluruh jago-jago sakti dalam dunia persilatan Tiong-goan telah
berkumpul di sini. Siapapun saja, apabila suka bermain-main dengan aku si orang tua ini
barang dua jurus saja, tentu akan kusambut dengan gembira sekali!"
Rupanya kakek pendekitu bernafsu sekali untuk berkelahi. Maka ucapannya itu bernada
suatu tantangan pada sekalian hadirin!
Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat rupanya tak dapat tinggal diam lagi. Pikirnya, "Hm,
congkak sekali orang itu. Dia tak memandang mata sama sekali kepada kaum persilatan
Tiong-goan. Jika tak diberi pengajaran, tentu dia makin besar kepala."
Sebelum Tay Hong membuka mulut, Tio Hong-kwat segera mendahului berseru,
"Kudengar dalam ilmu kesaktian terdapat semacam ilmu pukulan yang disebut Bu-ing-sinkun.
Konon kabarnya pukulan itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Tahu-tahu orang
akan menderita luka dalam yang parah tanpa dapat menghindar"."
"Kau siapa" Apakah kau berminat hendak menguji Bu-ing-sin-kun?" seru si kakek
pendek. Menyaksikan bahwa Bwe Hong-swat, Ngo Cong-hian dan Kau Cin-hong telah dilukai
pukulan Bu-ing-sin-kun, diam-diam Tio Hong-kwat sudah siapkan rencana untuk
menghadapi si kakek pendek. Ia mengeluarkan tiga batang belati pendek dan tangan kiri
menjepit sebatang poan-koan-pit. Serunya, "Terima kasih atas perhatian saudara yang
suka memberi pelajaran sakti kepadaku. Tetapi akupun hendak mainkan senjata-senjataku
ini. Jika permainanku jelek, harap jangan ditertawakan!"
Kakek cebol itu mendengus dingin, "Tak apa kau hendak pakai senjata apapun, asal
dapat melukai diriku, aku tentu mengaku kalah"."
Tiba-tiba kakek itu memandang keluar. Dilihatnya Bwe Hong-swat pergi dengan
langkah pelahan-lahan. Diam-diam timbullah kasihannya. Ia tahu bahwa apa yang
dikatakan Tay Hong siansu tadi tentu tak bohong. Apa yang diperingatkan ketua Siau-limsi
itu tentu sesungguhnya. Bwe Hong-swat tentu sukar untuk lolos dari penjagaan muridmurid
Siau-lim-si". Memikir keadaan si gadis, serentak bangkitlah nafsu berkelahi dari si kakek cebol.
Serentak ia berseru lantang menyahut pernyataan Tio Kwat-hong, "Jangan lagi hanya tiga
batang pisau kecil sekalipun kau tambah dengan beberapa macam senjata, bagiku tiada
artinya. Ayo, silahkan kau tunjukkan permainanmu!"


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu Sam-kiam-it-pit Tio Kwat-hong telah siap. Sejak mengundurkan diri dari dunia
persilatan, ia telah berhasil meyakinkan suatu ilmu lwekang yang istimewa. Masih belum
banyak orang yang mengetahui hal itu. Walaupun kehadirannya dalam pertemuan Benghiongtay-hwe itu bukan bertujuan untuk mempertunjukkan kepandaian, tetapi keadaan
telah menyeretnya dalam suasana yang berlainan dengan tujuannya. Adalah berkat ilmu
keyakinannya maka ia dapat membuat Su Bo-tun mengkeret nyalinya. Karena saat itu ia
tengah kerahkan ilmu lwekangnya yang baru, maka ia tak dapat menyahut tantangan si
kakek pendek. Tay Hong benar-benar seorang paderi berilmu. Selain ilmu agama, iapun mahir akan
ilmu silat berbagai aliran. Tatkala Siau Yau-cu menyerukan ilmu pukulan Bu-ing-sin-kun
tadi, dengan cepat Tay Hong sudah dapat menangkap. Memang ia tahu bahwa dalam
dunia ilmu silat terdapat ilmu pukulan aneh semacam itu. Sayang di dunia persilatan
Tiong-goan selama ini belum terdapat tokoh yang memiliki ilmu kepandaian itu.
Menjadi pemimpin gereja Siau-lim-si bukanlah mudah. Dia harus seorang paderi yang
benar-benar memiliki bakat dan kecerdikan yang gemilang. Kalau tidak dalam bidang
pelajaran agama tentu dalam bidang ilmu silat.
Sebenarnya paderi yang setingkat dengan Tay Hong, berjumlah sembilan orang. Dan
Tay Hong termasuk dalam urutan yang ke tujuh. Tetapi berkat kecerdasannya yang hebat
dan menonjol, dapatlah ia diangkat menjadi ketua Siau-lim-si. Sekalipun begitu dia
memiliki pribadi yang luhur dan rendah hati. Selain suhunya, para saudara
seperguruannya tidak mengetahui sampai di mana kesaktian ilmu yang dimiliki Tay Hong.
Dan karena selama puluhan tahun tak pernah berkelahi dengan orang, maka para
pengasuh bagian dalam gereja Siau-lim-si tetap tak mengetahui kepandaian Tay Hong.
Melihat Sam-kiam-it-pit Tio Kwat-hong hendak bertempur dengan si kakek cebol, diamdiam
iapun kerahkan lwekangnya untuk bersiap-siap memberi pertolongan apabila
diperlukan. Ketika melihat Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat mengacungkan senjatanya dan tidak mau
bicara, tahulah orang tua pendek itu bahwa orang sedang mengerahkan tenaga. Namun
orang pendek itu hanya tertawa hambar saja.
Tiba-tiba ia kibaskan tangannya perlahan-lahan ke muka. Tidak terdengar suatu bunyi,
tak terdengar kesiur angin, tahu-tahu Tio Hong-kwat rasakan dirinya dilanda oleh
dorongan tenaga yang kuat, hingga tubuhnya bergetar dua kali".
Sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan itu, mau tak mau tercengang
menyaksikan kejadian yang aneh itu. Belum pernah mereka melihat suatu ilmu pukulan
yang demikian ajaib. Setelah menerima sebuah pukulan Bun-ing-sin-kun, tiba-tiba Tio Hong-wkwat
hembuskan napas dan cepat taburkan ketiga batang belati kecil itu beriring-iring, satu di
muka dua di belakang, melayang ke arah si orang tua yang pendek.
Menggunakan tiga batang pisau yang dijepit dengan jari, sudah merupakan ilmu
permainan yang aneh. Kemudian pada saat tertekan musuh, cepat dapat membuat reaksi
menaburkannya, lebih menakjubkan lagi.
Tiba tang pisau itu seketika berubah seperti tiga buah bintang meluncur, mendesingdesing
menuju ke dada si orang tua pendek. Tetapi kakek pendek itu tak acuh. Pada saat
belati hampir tiba di dadanya, barulah ia kebutkan tangan kanan. Seketika ketiga batang
belati itu tersiak ke samping, melayang ke arah Tay Hong siansu.
"Omitohud!" Tay Hong berseru seraya kebutkan lengan jubahnya. Angin menderu keras
dan ketiga batang belati itupun mencelat ke atas tiang penglari.
Tiba-tiba Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat menggembor keras. Sekali tangan kanannya
berayun seperti orang memetik, ketiga belati itupun meluncur turun dan kembali ke dalam
tangannya lagi. Adegan itu berlangsung dalam sekejap mata. Kakek pendek dari Tibet, ketua Siau-lim-si
dan Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, telah mengunjukkan ilmu kepandaian yang luar biasa.
Menggunakan kesempatan itu, Siu-lam cepat-cepat lari keluar menyusul Bwe Hongswat.
Serunya berbisik, "Jika tak mau lari sekarang mau menunggu kapan lagi?"
Bwe Hong-swat menengadah memandang awan yang berarak di cakrawala, sahutnya
rawan, "Yang akan lari, bukan aku"."
Siu-lam mendengus lirih, "Bukan kau, masakan aku?"
Bwe Hong-swat mengusap bibirnya yang berdarah lalu tertawa hambar, "Kau dan
sumoaymu itu. Mumpung saat ini masih pagi, harap lekas-lekas menyingkir pergi! Aku
sudah menjadi isterimu, apa yang kukatakan tentu tak bohong!"
Kata-kata itu diucapkan dengan tenang tiada nada cemburu atau dengki. Hanya seperti
kebiasaannya, memang dingin nadanya.
Siu-lam terkesiap. Ia heran mengapa nona itu tetap tenang dan dingin menghadapi
bahaya maut. Dan mengapa nona itu tetap setia pada janji di bawah sinar rembulan yang
lalu. "Tetapi betapapun halnya, dia pernah menolong jiwaku. Aku harus membalas budi dan
minta supaya dia mau tinggalkan tempat ini?" akhirnya ia mengambil kesimpulan.
Tetapi tak sempat membuka mulut, Bwe Hong-swat sudah mendahului bicara, "Setelah
meninggalkan tempat ini, jika ingin hidup tenang, carilah daerah pegunungan yang sunyi
yang jarang didatangi orang. Gantilah nama dan jangan muncul lagi ke dunia persilatan.
Paling baik lagi jika kalian dapat berlayar keluar negeri dan menetap di sebuah pulau
kosong. Kalian tentu akan dapat hidup tenang dan bahagia. Namun jika kau tetap hendak
hidup di dunia persilatan dan mengangkat nama, satu-satunya jalan hanyalah harus
menemukan peta Telaga Darah itu. Hanya kalau sudah dapat mempelajari ilmu kesaktian
dalam kitab peninggalan Lo Hian, barulah kau dapat menundukkan guruku".
Sekalipun aku ini isterimu, tetapi tak dapat pergi bersamamu. Karena jika ketahuan aku
lenyap suhu dan saudara-saudara seperguruanku tentu akan mengerahkan tenaga untuk
mencariku. Hal itu selain akan menimbulkan banjir darah di dunia persilatan, pun akhirnya
kita nanti tak mampu lolos dari kejaran mereka. Sekali tertangkap kau tentu tak dapat
membayangkan betapa ngeri kematian yang akan kita terima".
Walaupun dalam kehidupan sekarang kita tak dapat terangkap sebagai suami isteri,
tetapi aku sudah menjadi isterimu. Biar bagaimana tetap akan menjaga kesucian diriku,
agar dapat kupersembahkan kelak pada penjelmaan kita yang akan datang. Tekad dan
ikrarku ini, biarlah bumi dan langit yang menjadi saksi!"
Suatu rangkaian kata-kata panjang yang penuh bernada kasih mesra dan kesetiaan
seorang isteri sejati. Tetapi mimik wajah gadis itu tetap membeku dingin sehingga seolaholah
kata-kata yang indah mesra itu bukan berasal dari mulutnya".
Bermula Siu-lam pun tergerak hatinya. Tetapi ketika melihat wajah Bwe Hong-swat
yang dingin, seketika perasaannya pun tawar. Ia sangsi apakah hati dan wajah gadis itu
tidak bertentangan" Siu-lam tertawa dingin, "Memang manis laksana madu nona merangkai kata-kata,
tetapi sayang kuanggap kata-kata itu hanya suatu pulasan kosong belaka. Aku merasa
berhutang budi padamu maka tanpa menghiraukan kecurigaan para orang gagah yang
hadir di dalam ruangan aku berusaha membantumu supaya dapat lolos dari sini. Tetapi
jika nona tak mau lari, akupun tak dapat memaksamu!" habis berkata Siu-lam berputar diri
terus melangkah ke dalam ruangan lagi.
Tiba-tiba terdengar Bwe Hong-swat berkata seorang diri, "Sebagai seorang isteri, harus
berbakti kepada mertua dan menurut suami. Sekalipun kau maki-maki, tetapi aku tetap
takkan membalas!" Siu-lam berhenti dan berpaling. Tampak Bwe Hong-swat tegak mematung dengan
hampa. Siu-lam termangu sejenak. Pada lain kejab ia keraskan hati terus loncat masuk ke
dalam ruangan. Ternyata suasana dalam ruangan genting sekali. Kedengaran si kakek cebol gemuk itu
tertawa dingin. Sambil menatap Tio Hong-kwat, ia berseru, "Kepandaianmu yang tak
seberapa itu tetap bukan menjadi tandinganku. Lebih baik kau menyisih ke samping. Lihat
saja!" Kakek gemuk itu berpaling ke arah Tay Hong siansu, serunya pula, "Ilmu silat Siau-limsi
ternyata bukan nama kosong. Melihat caramu menampar belati tadi benar-benar ada
isinya juga. Dapat bertemu dengan seorang paderi sakti seperti kau tak sia-sialah jerih
payahku datang ke Tiong-goan."
Diam-diam Tay Hong menimang. Ia heran dari mana dan kapan kakek cebol itu
menyelundup ke dalam ruangan. Padahal penjagaan di luar sangat ketat sekali. Jelas
bahwa kakek itu memang seorang sakti yang luar biasa. Apabila bisa mendapat bantuan
tenaganya, tentulah akan menambah kuatnya barisan orang gagah di dalam menghadapi
pihak Beng-gak. Sedapat mungkin harus menjadikan dia sahabat, bukan musuh, pikirnya.
"Ah, sicu amat sakti, loni jelas bukan tandingan sicu," katanya kepada kakek cebol itu.
Di luar dugaan si kakek cebol marah, serunya, "Kita belum bertanding, bagaimana kau
tahu tak dapat mengalahkan aku?"
Kakek cebok menutup kata-katanya dengan mengangkat tangan kanan dan sebuah
pukulan Bu-ing-sin-kun sudah meluncur.
Sudah beberapa orang yang terluka oleh Bu-ing-sin-kun yang sakti. Dan kini para
hadirin gelisah cemas atas keselamatan Tay Hong.
Ketua Siau-lim-si itu rangkapkan kedua tangan memberi hormat, "Ilmu pukulan Bu-ingsinkun, benar-benar jarang terdengar dan terlihat. Mana mampu loni menerimanya?"
Walaupun mulut mengatakan begitu, tetapi diam-diam Tay Hong sudap siap
mengerahkan ilmu lwekang Siang-kang (ilmu lwekang dari sumber kitab Buddha) yang
telah diyakinkan selama berpuluh tahun untuk melindungi tubuhnya.
Berpuluh pasang mata yang mencurah pada Tay hong, melihat jubah ketua Siau-lim-si
itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin. Tetapi pada lain saat, sudah tenang kembali.
Kakek cebol itu tertawa meloroh serunya, "Ilmu kepandaian Siau-lim-si benar-benar tak
bernama kosong. Aku sungguh gembira sekali dapat menguji kesaktian dengan ketua
partai persilatan yang mengepalai dunia persilatan!"
Kembali kakek cebol itu gerakkan kedua tangannya. Berturut-turut ia lepaskan dua
buah pukulan Bu-ing-sin-kun.
Lwekang yang terpancar dari Bu-ing-sin-kun itu termasuk Im-ji-kang atau lwekang
lunak bersifat Im atau yang disebut Im-ji-kang. Begitu menyentuh tubuh orang, barulah
tenaga itu membuat reaksi memancarkan tenaga membal yang dahsyat. Dapat
menghancurkan isi tubuh orang. Karena sama sekali tak mengeluarkan suara, maka
musuh jarang mampu menjaga diri.
"Harap sicu berhenti dulu, loni hendak bicara!" seru Tay Hong siansu, diam-diam ia
mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang cebol yang congkak itu agar
jangan kelewat tak memandang mata pada tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan.
Diam-diam ketua Siau-lim-si itu kerahkan tenaga lwekang yang disebut Pan-cha-siankang.
Suatu lwekang yang hanya terdapat dari sumber pelajaran kitab suci Buddha. Ia
perkokoh kedua kuda-kuda kakinya, menegakkan dada dan menyambut kedua buah
pukulan Bu-ing-sin-kun".
"Hm," terdengar orang tua kate itu mendesah perlahan. Bahunya gemetar dan
tubuhnya terdorong dua langkah!
Sementara tubuh Tay Hong siansu pun tampak mengkeret pendek beberapa dim.
Serunya, "Ilmu Bu-ing-sin-kun sicu telah loni terima. Memang benar-benar tiada taranya di
dunia. Loni sungguh tak mampu menghadapi, harap hentikan. Loni hendak berkata.
Apabila nanti sicu hendak berkelahi lagi, nanti saja dimulai lagi!"
Kiranya kedua kaki ketua Siau-lim-si itu telah melesak beberapa dim ke dalam tanah.
Itulah sebabnya, tubuhnya tampak pendek.
Kecongkakan yang berlebih-lebihan dari kakek pendek itu, seketika hilang lenyap
bagaikan awan tertiup angin. Diam-diam ia mengeluh dalam hati bahwa ternyata apa yang
didengung-dengungkan orang bahwa Tiong-goan penuh dengan tokoh-tokoh persilatan
yang sakti, ternyata bukan cerita kosong.
Bu-ing-sin-kun yang dapat digunakan untuk memukul hancur batu karang pada jarak
dua tombak jauhnya, ia percaya tentu dapat menghancurkan tubuh Tay Hong. Tetapi apa
yang dialaminya benar-benar di luar dugaan. Tubuh ketua Siau-lim-si itu telah
memancarkan tenaga lwekang yang dapat menolak dan mementalkan kembali Im-ji-kang
dari pukulan Bu-ing-sin-kun. Hebatnya tenaga membal itu harus diderita olehnya sehingga
kuda-kuda kakinya tergempur dan dia dipaksa harus menyurut mundur dua langkah.
Siau Yau-cu jago tua dari Bu-tong-pay, pun terkesiap kagum. Diam-diam ia memuji
kepandaian dari partai Siau-lim-si. "Bahwa memang tepatlah kalau Siau-lim-si diangkat
sebagai partai pemimpin. Kiranya sumber kepandaiannya memang lebih tinggi dari partai
Bu-tong-pay. Menilik umurnya, Tay Hong siansu ini lebih muda sepuluh tahun dari aku.
Tetapi ilmu lwekang dan kesaktiannya, ternyata lebih tinggi!"
Rupanya kakek pendek itu menurut juga untuk hentikan serangannya. "Mau bicara apaapa,
lekas silahkan!" serunya.
Tay Hong mengangkat kedua kakinya yang melesak di lantai lalu menghampiri.
Ujarnya, "Mohon tanya, apakah kedatangan sicu jauh-jauh dari Se-gak ke Tiong-goan sini,
hanya semata-mata hendak adu kesaktian dengan kaum persilatan Tiong-goan?"
Kakek pendek itu merenung sejenak, sahutnya, "Sekalipun bukan hendak adu
kesaktian, tetapi untuk menerima pelajaran dari tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan, adalah
cita-citaku!" "Kecuali untuk menguji kepandaian mencari nama, apakah sicu masih ada lain tujuan
lagi?" tanya Tay Hong pula.
"Ah, sukar menyatakan hal itu," jawab si kakek pendek.
Walaupun keyakinan Tay hong belum mencapai taraf sepi ing pamrih, namun terhadap
ambisi cari nama, ia sudah tak memiliki lagi. Ia tersenyum, "Sewaktu kecil loni pernah
mendengar cerita suhu, bahwa di antara ilmu kesaktian dari berbagai aliran persilatan di
dunia, terdapat sebuah ilmu pukulan yang tak mengeluarkan suara, disebut Bu-ing-sinkun.
Kala itu sudah timbul keinginan dalam hati loni agar kelak mempunyai rejeki untuk
menyaksikan ilmu yang luar biasa itu"."
Kakek pendek itu mendengus dingin, "Sekarang aku sudah berada di sini. Silahkan kau
keluarkan semua kepandaian partai Siau-lim-si, agar aku tambah pengalaman!"
Diejek begitu, Tay Hong tetap tak marah. Bahkan dengan senyum tertawa ia berseru,
"Kala itu umur loni masih muda sekali, pengalaman kurang maka memiliki keinginan untuk
menerima pelajaran Bu-ing-sin-kun. Tetapi kini setelah tua, keinginan itu sudah lenyap
sama sekali." "Hm, sayang keinginanku untuk mencari nama tak turut hilang dihanyut masa
ketuaanku. Hari ini marilah kita adu kepandaian sampai ada yang menang dan kalah."
Mendengar ketua mereka dihina, sekalian paderi Siau-lim-si gusar dan sebagian besar
hendak loncat ke tengah gelanggang menghajar kakek sombong itu.
Tetapi sebaliknya Tay Hong malah tertawa lepas, serunya, "Tujuan sicu dari daerah Segak
yang begitu jauh datang kemari, jika hendak menguji ilmu kesaktian sicu dengan para
jago silat Tiong-goan. Lepas dari isi hati sicu yang sebenarnya, tujuan sicu itu memang
bagus sekali. Andaikata dalam keadaan biasa, loni tentu akan membantu sekuat-kuatnya
agar maksud sicu itu terlaksana. Akan loni undang seluruh kaum persilatan untuk
menyambut sicu. Tetapi sayang, sicu datang pada saat yang tidak tepat"."
"Tidak tepat" Bukankah saat ini semua jago-jago silat Tiong-goan hadir di sini"
Bukankah ini satu ketika yang bagus sekali"."
"Benar," sahut Tay Hong, "Memang yang berkumpul di sini adalah tokoh persilatan
ternama. Tetapi pertemuan ini bukan bertujuan menentukan pemimpin dunia persilatan.
Bukan pula untuk menyelesaikan sengketa dunia persilatan. Tetapi bertujuan
membicarakan suatu persoalan. Soal yang menyangkut mati hidupnya kaum persilatan
dari suatu ancaman bencana. Dalam suasana prihatin seperti saat ini, sudah tentu kami
tak punya selera untuk bertanding kesaktian dengan sicu!"
Kakek gendut pendek itu termenung sejenak. Pada lain saat ia bertanya, "Apakah
hubunganku dengan bencana yang akan menimpa dunia persilatan Tiong-goan itu?"
Belum Tay Hong menyahut, tiba-tiba Siu-lam sudah mendahului, "Lo-cianpwe,
bukankah kedatanganmu ke Tiong-goan ini karena hendak menantang berkelahi dengan
tokoh silat Tiong-goan yang paling sakti?"
Kakek pendek itu terkesiap. Sesaat ia tak dapat menjawab pertanyaan Siu-lam. Tibatiba
ia marah, teriaknya, "Hm, tadi karena lengah, kau mampu menjamah dadaku. Untuk
itu aku pun sudah sedia meluluskan sebuah permintaanmu. Sekarang di antara kita sudah
tidak ada hutang-piutang lagi. Jika kau tak puas, ayo kita bertempur lagi!"
Walaupun sudah tua tetapi rupanya kakek itu masih berdarah panas. Selain tak mau
mengakui kesalahannya, ia pun gemar sekali berkelahi.
Siu-lam tersenyum, serunya, "Ah, mengapa lo-cianpwee begitu bersungguh-sungguh.
Tadi hanya karena kebetulan saja maka wanpwe dapat menggunakan lwekang
kesempatan yang bagus. Tetapi ah, itu tak berarti. Kepandaian wanpwe masih tak setaraf
ujung kuku lo-cianpwe!"
Rupanya kakek pendek gendut itu biasa hidup di daerah Tibet yang masih terbelakang.
Ia jarang bergaul dengan orang. Pergaulannya pun terbatas dengan suku-suku Mongol
dan suku Hwe. Suku-suku yang masih polos jujur, tidak seperti orang suku Han yang
sudah cerdik. Disanjung demikian rupa oleh Siu-lam, kakek itu tak dapat menjawab. Dia
hanya mendengus dingin. Rupanya Siu-lam tak mau memberi kesempatan si kakek berpikir lebih mendalam.
Cepat-cepat ia menyusul kata-kata lagi, "Para hadirin di sini, meskipun terdiri dari tokohtokoh
ternama dalam dunia persilatan Tiong-goan, tetapi jika bicara secara jujur mereka
semua lantas bukanlah tokoh yang benar-benar luar biasa kepandaiannya!"
Sudah tentu ucapan Siu-lam itu menimbulkan reaksi besar. Sekalian hadirin
memandang anak muda itu. Namun Siu-lam tak mau mengacuhkan. Dengan senyum hambar ia berseru lebih lanjut,
"Tokoh yang kami anggap paling sakti di dunia persilatan, saat ini tak hadir. Jika benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar lo-cianpwe hendak mengangkat nama, asal mampu kalahkan orang itu, tentulah
seluruh kaum persilatan Tiong-goan akan tunduk pada lo-cianpwe!"
Kakek pendek itu terbakar oleh kata-kata Siu-lam. Hatinya panas seketika, serunya,
"Mana orang itu" Akan kutangtangnya berkelahi!"
Dengan tenang tetapi penuh provokatif, berserulah Siu-lam, "Orang itu memang sakti
sekali dan oleh kamu persilatan dipandang jago nomor satu. Sudah tentu dia tak mau
sembarangan unjuk diri. Para hadirin yang berada di sini, telah menerima surat
undangannya untuk adu kepandaian. Waktu akan diadakan pertandingan itu ialah dua
bulan lagi. Jika lo-cianpwe takut harap lekas-lekas kembali ke Se-gak saja, jangan lama
berada di Tiong-goan sini. Tetapi jika lo-cianpwe memang bersungguh-sungguh hendak
mencari nama, silahkan hadir dalam pesta adu kepandaian itu. Asal lo-cianpwe mampu


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkan dia, gelar sebagai jago nomor satu di dunia tentu dapat lo-cianpwe miliki!"
Setelah mendengar kemana tujuan kata-kata Siu-lam seharusnya sekalian hadirin
mendukung. Tetapi mereka tetap kuatir. Karena jelas ketua Beng-gak sekarang itu bukan
lain ialah pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu. Walaupun kakek dari Tibet itu memang
hebat, tapi dikuatirkan masih belum dapat mengalahkan ketua Beng-gak.
Tay Hong siansu, Siau Yau-cu, Su Bo-tun diam-diam menyetujui tindakan Siu-lam.
Memang kalau bisa mendapatkan tenaga kakek Tibet itu, tentulah kekuatan mereka
bertambah besar. Kakek pendek itu merenung beberapa jenak. Katanya, "Dua bulan lagi" Wah, terlalu
lama sekali! Mana aku tahan menunggu!"
Tiba-tiba terdengarlah sebuah lengking gemerincing laksana kelinting meandering, "Ih,
jika kau ingin lekas-lekas mati, mudah saja. Lembah Coat-beng-koh sudah siapkan pesta
Ciau-hun-yang (memanggil arwah). Jika saudara suka, boleh segera datang ke sana!"
Tanpa berpaling segera Siu-lam tahu siapa yang buka suara itu. Ia kerutkan kening dan
menegur, "Ih, mengapa kau belum pergi?"
Sekalian hadirin berpaling. Ah, ternyata si gadis baju putih muncul lagi. Gadis itu
perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Mengapa aku harus pergi" Kalian toh sudah pasti mati, biarlah kulakukan suatu
kebaikan. Membawa kalian ke lembah Coat-beng-koh termasuk sebuah jasa yang baik!"
"Omitohud!" Tay Hong rangkapkan kedua tangannya. "Li-sicu telah mengaku sebagai
orang Beng-gak. Dapatkah li-sicu menerangkan, benarkah ketua Beng-gak sekarang ini
sama dengan pemilik jarum Chit-jiau-soh pada masa berpuluh tahun yang lampau"."
Dingin-dingin saja gadis itu menyahut, "Benar atau tidak, tak ada perubahan yang
penting. Yang penting kalian harus cari jalan hidup"."
Sejenak ia berhenti lalu berkata pula, "Sebelum bulan lima tanggal lima nanti, kalian
harus datang lebih dulu ke sana. Hal itu tentu menguntungkan kalian. Aku telah
merencanakan sesuatu untuk kebaikan kalian! Untuk terhindar dari kematian, mudah tak
mungkin. Rencanaku untuk akan memberi kesempatan kalian untuk menurunkan pelajaran
pada anak murid atau menuliskan ilmu kepandaian kalian dalam buku sebagai peninggalan
kepada murid-murid. Dengan begitu kepandaian kalian takkan ikut terkubur selamalamanya"."
Tay Hong siansu tersenyum, "Jika kami memang benar pasti mati dalam pesta Ciauhunyan itu, maksud li-sicu memang mulia sekali!"
"Kalian tak percaya omonganku" Ah, aku pun tak dapat berbuat apa-apa!" kata Bwe
Hong-swat. "Apakah wanita siluman yang menjadi ketua Beng-gak itu, suhu nona sendiri?" tiba-tiba
Siau Yau-cu nyeletuk. Di luar dugaan, Bwe Hong-swat mengiakan, "Benar"."
"Tetapi suhumu tidak mempunyai dendam permusuhan dengan kami semua, mengapa
dia hendak mengadakan pesta Ciau-hun-yan untuk membasmi kaum persilatan semua?"
tanya Siau Yau-cu pula. "Hm, masakan hal itu dibuat heran. Jika kalian dibasmi, bukankah tiada orang yang
berani melawan suhuku lagi" Bukankah dunia persilatan dapat dikuasai Beng-gak" Suhu
mau jadi raja pun tiada orang yang berani menentangnya!"
Su Bo-tun yang sudah sekian lama tidak membuka mulut, tiba-tiba nyeletuk, "Ilmu
kepandaian silat, tersebar luas tiada batasnya. Sekalipun suhumu sakti, tetapi tentu masih
ada yang lebih sakti lagi. Untuk membasmi semua kaum persilatan di dunia, hanya satu
lamunan gila!" Bwe Hong-swat tak perdulikan tokoh berhati dingin itu. Ia menengadah memandang ke
wuwungan ruangan. Setelah merenung sejenak ia berkata pula, "Mungkin jika kepandaian
kalian ini diberi pada seorang, kemungkinan orang itu tentu dapat melawan suhuku.
Tetapi" menurut hematku, kemungkinan menang, kan tipis"."
Tiba-tiba nona itu tertawa rawan, serunya, "Namun jika kalian tak mau datang ke pesta
itu, kematian yang bakal kalian terima tentu lebih mengerikan lagi. Ah, aku sudah bicara
kelewat banyak. Kutahu kata-kataku ini tak akan banyak faedahnya bagi kalian."
Tay Hong rangkapkan kedua tangan memberi hormat, "Terima kasih atas petunjuk
nona yang berharga. Jika kami beruntung dapat terhindar bahaya dari lembah Coat-bengkoh,
li-siculah yang paling besar jasanya"."
Rupanya pernyataan ketua Siau-lim-si itu telah mempengaruhi sekalian hadirin. Tak lagi
pandangan mereka terhadap Bwe Hong-swat sebagai musuh.
Bwe Hong-swat maju menghampiri Tay Hong. Ia mengeluarkan selembar sutera putih,
ujarnya, "Inilah lukisanku sendiri tentang keadaan lembah Coat-beng-koh. Ikutilah jalanjalan
pada peta itu dan datanglah lebih pagi ke sana!"
Tay Hong menyambuti peta itu dan terus dimasukkan ke dalam jubah. Ia hendak
mengucap sesuatu tetapi tak tahu apa yang dikatakan.
Bwe Hong-swat tetap dingin wajahnya. Dengan tenang ia memandang ke sekeliling
hadirin. Lalu menghampiri Siu-lam. Tiba-tiba Hian-song maju ke sisi pemuda itu dan
tempelkan kepala ke bahu Siu-lam serta menggandeng tangannya. Dipandangnya Bwe
Hong-swat direbut gadis baju putih itu.
Melihat ketegangan dara itu, tiba-tiba Bwe Hong-swat tertawa, serunya, "Jagalah dia
baik-baik, jangan sampai dia jatuh dalam pelukan gadis lain."
Sekalian hadirin terbeliak. Masakan seorang mengucap kata romantis begitu, dengan
sikap yang tenang. "Jangan berolok-olok!" Siu-lam tersipu-sipu.
"Kau malu?" Bwe Hong-swat tertawa.
Siu-lam hendak menyahut tetapi secepat kilat Bwe Hong-swat mencabut pedang Siulam
dan terus ditusukkan ke bahunya sendiri. Seketika pakaiannya yang putih basah
dengan darah merah".
Setelah menusuk diri, Bwe Hong-swat serahkan kembali pedang kepada Siu-lam. Siulam
tak tega. Ia merobek lengan bajunya dan menghampiri Bwe Hong-swat.
"Ah, mengapa kau menyiksa diri?" serunya seraya hendak membalut bahu si nona.
Tetapi diam-diam Bwe Hong-swat sudah kerahkan lwekang menutup darahnya yang
mengalir. Kemudian ia berputar dan melangkah pergi, "Kau mau apa?"
Siu-lam tertegun melongo, serunya, "Apakah kau tak tahu kalau aku hendak membalut
lukamu?" Bwe Hong-swat merobek bajunya sendiri lalu suruh Siu-lam membalutkan. Siu-lampun
menurut. Malah Hian-song pun membantu membalutkan juga. Tanpa mengucap sepatah
kata, Bwe Hong-swat hanya mengangguk dan terus melangkah keluar.
Tay Hong siansu melangkah mengantarkan nona itu sampai keluar ruangan dan
mengucapkan doa agar lekas sembuh. Kemudian sambil berbisik, ketua Siau-lim-si itu
bertanya, "Apakah siasat Gok-ji-ki (menyiksa diri) nona itu dapat mengelabuhi suhu
nona?" "Jangankan suhuku, bahkan kedua suciku pun mungkin sukar dikelabuhi," sahut Bwe
Hong-swat. "Kalau nona tahu begitu perlu apa nona menyiksa diri?" tanya Tay Hong pula.
Bwe Hong-swat tiba-tiba tertawa, "Jika kau mau menolong, jangankan kedua suci
bahkan suhuku pun tentu kena dikelabuhi!"
Serta merta Tay Hong menyatakan kesediaannya.
"Kudengar Siau-lim-si mempunyai sebuah ilmu pukulan dahsyat Toa-lat-kim-kong-ciang,
benarkah itu?" "Benar," sahut Tay Hong, "ilmu itu termasuk salah satu dari tujuh puluh dua ilmu Siaulimsi. Bila nona menginginkan, dengan senang hati akan loni berikan."
"Pukullah aku dengan Toa-lat-kim-kong-ciang, supaya kedua tulang dadaku patah,"
tiba-tiba Bwe Hong-swat berseru.
Tay Hong agak terkesiap. Tetapi segera ia tahu maksud nona itu. Ia menghela napas,
ujarnya, "Ah, pribadi nona yang rela mengorbankan diri untuk kepentingan umum, benarbenar
sangat luhur! Kelak jasa nona tentu akan diingat orang selama-lamanya. Baiklah,
loni akan melaksanakan permintaan nona!"
Habis berkata ketua Siau-lim-si itu segera memukul ke samping dada Bwe Hong-swa,
wut, tubuh Bwe Hong-swat mencelat sampai-sampai lima-enam meter dan terhampar di
tanah. Ternyata nona itu memang sengaja memberikan dirinya terluka maka iapun tak
mau mengerahkan lwekang. "Omitohud!" Tay Hong berseru seraya loncat ke tempat Bwe Hong-swat. Diangkatnya
nona itu, "Apakah nona terluka berat?"
Bwe Hong-swat pucat wajahnya. Ia tertawa hambar, ujarnya, "Apabila Gan Leng-po
sudah tersadar, tanyakanlah di mana peta Telaga Darah itu. Hanya ilmu yang tersimpan
dalam kitab itu yang dapat menundukkan suhuku!"
"Terima kasih atas petunjuk nona yang berharga," kata Tay Hong, "loni akan berusaha
sekuat tenaga untuk melaksanakannya. Saat ini sekalian tokoh-tokoh persilatan telah
berkumpul. Sekalipun suhu nona kelewat sakti tetapi belum pasti dapat membasmi kami
semua. Nona terluka parah, maukah kusuruh mengantarkan dalam perjalanan."
"Tak usah," sahut Bwe Hong-swat serentak, "Di bawah kaki gunung sudah ada orang
yang menyambut?" ia menghela napas lalu katanya pula, "Dalam peta buatanku ini di
sebelah dalamnya masih terdapat secarik peta lagi. Apabila lo-siansu memeriksanya
tentulah akan mengetahui berbagai perkakas rahasia yang dipasang di Beng-gak. Nah,
selamat tinggal!" Nona itu terus lari turun gunung.
Setelah bayangan Bwe Hong-swat lenyap, Tay Hong siansu menghela napas dan
melangkah ke dalam ruangan lagi.
"Apakah nona itu sudah pergi?" tanya Siau Yau-cu. Tay Hong mengiakan.
"Apa katanya kepadamu?" tiba-tiba kakek pendek dari Tibet menyeletuk. Dari nadanya
ia sudah tak memusuhi Tay Hong lagi.
"Dia minta supaya kita mempercepat kedatangan kita ke Beng-gak agar jangan
memberi kesempatan pada si wanita iblis mempersiapkan rencana yang jahat!" sahut Tay
Hong. Kembali Su Bo-tun yang sudah sekian saat tak buka suara, kini berseru, "Jika ketua
Beng-gak itu benar-benar wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu, menurut
anggapanku, tak perlu kita takuti!"
"Harap sicu suka memberi petunjuk!" seru Tay Hong.
Sepasang mata tokoh dataran karang Coh-yang-ping itu berkilat-kilat memandang ke
sekeliling ruangan kemudian katanya, "Seorang manusia terdiri dari darah dan daging.
Betapapun saktinya namun tak mungkin dia mampu mempelajari segala macam ilmu
kepandaian dari partai-partai persilatan. Walaupun yang hadir dalam pertempuran ini
bukan tokoh-tokoh yang sempurna, tetapi mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang terkemuka
di daerah masing-masing. Memang jika bertempur satu lawan satu, kita tentu kalah.
Tetapi kalau kita beramai-ramai menempurnya, masa tak dapat mengalahkannya?"
"Dahulu bukankah keempat partai persilatan juga mengambil langkah seperti itu"
Namun tetap dapat dibobolkannya!" seru Siau Yau-cu.
Siau Yau-cu berkata dingin, "Setiap ilmu kepandaian silat, tentu memiliki cirri
keistimewaan sendiri. Tetapi sewaktu menyerang beramai-ramai, tak boleh setiap orang
hanya mengunjukkan ilmu istimewanya masing-masing tanpa menurut aturan. Karena hal
itu bukan saja tak dapat mengembangkan permainan, pun malah akan membuat keadaan
kacau. Misalnya ilmu lwekang Yang-kong (keras) seharusnya diimbangi dengan lwekang
Im-ji-kang (lunak), apabila dipadukan dengan serasi tentu akan hebat perbawanya.
Sebaliknya, apabila perpaduan itu kurang memadai, tentu akan menguntungkan pihak
lawan yang akan menggunakan kelemahan-kelemahan kita untuk menghancurkan. Maka
yang penting adalah masing-masing orang harus dapat menyesuaikan diri dengan gaya
permainan kawan dan permainan gabungan keseluruhannya. Coba saudara-saudara
jawab, siapakah yang mampu menghadapi serangan dari tiga macam ilmu kesaktian yang
menyerang dengan serempak!"
Tay Hong siansu mengangguk, "Pandangan Su-sicu memang hebat. Loni kagum sekali,
ilmu silat di dunia hampir serupa coraknya. Barisan Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay dan
barisan Lo-han-tin dari Siau-lim-si, menurut penilaian orang merupakan barisan istimewa
untuk mengepung musuh. Tetapi menurut hemat loni, barisan itu baru dapat berkembang
baik apabila anggotanya sudah mempunyai sumber ilmu silat yang sejenis. Uraian Su-sicu
tadi yang mengatakan bahwa walaupun sumber ilmu silatnya berlainan, tetapi asal orang
mengembangkan kepandaiannya masing-masing untuk menyerang, tentu musuh akan
kewalahan. Dalam hal ini loni kurang mengerti harap Su-sicu menjelaskan!"
Su Bo-tun menuang arak pada cawannya. Setelah meneguk, ia berkata perlahan-lahan,
"Dalam hidupku, baru saat ini aku bicara banyak. Rupanya gelar Siu-kiau-in terpaksa harus
kuserahkan kepada orang lain."
Berkata Tay Hong, "Urusan ini menyangkut keselamatan seluruh kaum rimba persilatan.
Sekalipun Su-sicu membuka pantangan banyak bicara, namun kata-kata Su-sicu pasti akan
menjadi kenangan indah bagi angkatan muda di kemudian hari."
Jilid 14 Tiba-tiba Su Bo-tun berbangkit. Menengadah memandang ke wuwungan, ia berkata
seorang diri: "Seumur hidup, aku hanya tahu pada diriku sendiri, tak peduli pada lain
orang. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam tentu kuhimpas. Aku tak mau hutang
pada orang, tetapi tak mau meminjamkan orang. Apakah falsafah hidup begitu tak
benar"." Tiba-tiba sepasang matanya membertik cahaya bergemerlapan dan mulutnyapun
merekah senyum, serunya: "Ibarat matahari, aku sudah hampir condong ke barat.
Mungkin hidupku hanya takkan lebih dari 20 tahun lagi. Tetapi apakah yang kutinggalkan"
Dalam sepanjang hidupku tak pernah kuterima penghargaan dan kesayangan orang. Dan
belum pernah kumenyayangi seseorang?" tiba-tiba ia teringat akan Bwe Hong-swat gadis
baju putih yang berwajah dingin. Diam-diam ia membatin bahwa gadis itu cocok sekali
dengan pribadinya sendiri".
Setelah beberapa saat ia termenung diam, tiba-tiba ia memandang pada Tay Hong,
serunya: "Dunia persilatan menganggap partai Siau-lim-pay sebagai pemimpin dunia
persilatan. Bagaimanakah pandangan Siau-lim-si terhadap diriku?"
"Jika Su-sicu sungguh-sungguh hendak bertanya, loni tentu senang sekali
memberitahukan!" "Jangan kepalang tanggung. Bilanglah, baik atau buruk aku tetap akan
mendengarkan!" Kata Tay Hong siansu: "Menurut kesan yang loni peroleh, dunia persilatan pada
umumnya menilai Su-sicu dengan 16 patah kata."
"Apakah itu?" tanya Su Bo-tun.
"Seorang pendekar yang aneh. Bersikap tawar, puas diri. Tiada perasaan, kurang
nafsu. Enggan bergaul, emoh keluarga!"
Seketika tertawalah Su Bo-tun tergelak-gelak: "Delapan kata yang dibagian muka,
rupanya siansu sengaja hendak menyanjung aku. Tetapi delapan kata yang terakhir,
memang tepat. Tiada kecintaan, kurang nafsu, enggan bergaul, emoh berkeluarga.
Memang sampai setua ini aku belum kawin dan tak memikirkan keturunan. Yang
kupikirkan hanya soal baik dan buruk, tidak menghiraukan salah atau benar. Hidup
seorang diri, tanpa kawan tanpa keluarga. Dan tak pernah kulakukan sesuatu yang akan
dikenang orang," ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula.
"Sayang kedua orang tuaku sudah menutup mata. Sehingga tak dapat kuberbakti lagi.
Dalam usia setua ini, soal berkeluarga akan kupertangguhkan sampai kelak pada
penjelmaan yang akan datang lagi?" tiba-tiba wajahnya mengerut sungguh, katanya lebih
jauh, "Hanya terhadap masalah terakhir itu akan kulakukan dengan sepenuh tenaga. Agar
dikenang oleh angkatan yang akan datang!"
Tay Hong mengucapkan beberapa patah kata pujian: "Keputusan Su-sicu merupakan
kebahagiaan bagi seluruh kaum persilatan!"
Su Bo-tun menghela napas: "Telah kukatakan tadi bahwa pendirian hidupku akan
mengasingkan diri dari dunia ramai. Tetapi melihat tindakan gadis baju putih yang rela
melukai diri sendiri demi untuk menyelamatkan kaum persilatan, tergeraklah hatiku. Ah,
wajah gadis itu serta sikapnya sedingin dan setawar sikapku. Tetapi hatinya ternyata lebih
sadar dari aku. Aku benar-benar malu!"
Tay Hong cepat perintahkan paderi kecil untuk siapkan meja perjamuan lagi. Kemudian
hadirin mulai menikmati hidangan lagi. Tay Hong berdiri mengangkat cawan, serunya:
"Atas pernyataan Su-sicu yang bertekad hendak membantu dunia persilatan dari bencana
kemusnahan, marilah loni ajak minum bersama-sama untuk merayakan peristiwa itu!"
Su Bo-tun tersipu-sipu, ujarnya: "Ah, lo-siansu kelewat menyanjung diriku. Seumur
hidup aku belum pernah berbuat kebaikan apa-apa. Sudah hampir berumur 80 tahun, di
mana sebelah kakiku sudah ongkang-ongkang di liang kubur, aku mendapat rejeki untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan orang banyak. Dalam hal itu, aku tak pantas
menerima pujian dari saudara-saudara terutama lo-siansu!"
Hampir sekalian hadirin tak percaya. Tetapi apa yang disaksikan saat itu memang
suatu kenyataan Siu-chiu-kiu-in Su Bo-tun tokoh yang termasyhur berhati dingin, tiba-tiba
telah berubah menjadi seorang manusia yang bersemangat keluhuran!
Perjamuan itu telah terkacau hampir dua jam lamanya akibat kemunculan tabib Gan
Leng-po, si gadis baju putih Bwe Hong-swat dan si kakek gemuk pendek dari Tibet.
Setelah suasana reda, kini perjamuan berlangsung pula dengan meriah. Sebagai tuan
rumah, Tay Hong sibuk mengangkat cawan arak untuk menghormat setiap tokoh.
Setelah perjamuan selesai, maka mulailah mereka menginjak pembicaraan tentang
rencana untuk menghadapi Beng-gak.
Kata Siau Yau-cu: "Diam-diam tadi telah kupikirkan. Kurasa kedatangan gadis baju
putih itu sungguh-sungguh secara mendadak sekali. Walaupun kita tak memandangnya
sebagai musuh, tetapi tiada jeleknya kita menaruh kewaspadaan!"
"Siau lo-cianpwe benar! Walaupun kita tak boleh berprasangka jelek terhadap orang,
tetapi tak boleh kita lengah?" sahut Tay Hong.
Tiba-tiba si kakek pendek berbangkit, serunya: "Aku tak dapat tinggal lama-lama di sini.
Jika kalian sudah menetapkan waktunya hendak menuju ke Beng-gak, biarlah aku si kakek
tua ini menjadi pelopor pertama untuk menghadapi wanita itu. Aku akan menanti sampai
10 hari ini. Apabila sampai selama itu belum juga berangkat ke Beng-gak, maaf, akupun
terus akan pulang saja!"
Diam-diam Tay Hong memutuskan jangan sampai kakek pendek yang memiliki pukulan
sakti Bu-ing-sin-kun sampai pergi. Segera ia menerangkan bahwa sebelum 10 hari tentu
sudah menuju ke Beng-gak.
Kakek itu tertawa gembira: "Lembah Coat-beng-koh jarang terdengar namanya.
Tempat itu justeru membangkitkan kegembiraanku!"
Mendengar tokoh aneh itu suka tinggal di situ Tay Hong gembira sekali. Suasana


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertemuan yang tadi begitu panas karena tercengkam oleh rasa curiga mencurigai, saat
itu telah tenang penuh dengan rasa kesatuan dan persatuan.
Tay Hong mengulangi pertanyaan kepada Su Bo-tun dan minta jago Coh-yang-ping itu
menguraikan rencananya menghadapi Beng-gak.
"Ah, sebenarnya hal itu bukan kepandaian sejati," sahut Su Bo-tun, "maksudku begini.
Kita pilih 6 orang tokoh bersama aku menjadi 7 orang. Hendak kuberikan pelajaran
tentang ilmu langkah Chit-sing-tun-heng. Dengan ilmu itulah nanti kita beramai-ramai
menghadapi ketua Beng-gak"."
Tay Hong kejut-kejut girang. Ia memuji kehebatan ilmu yang tiada keduanya di dunia
persilatan itu. Su Bo-tun hanya ganda tertawa: "Orang-orang hanya mengira bahwa ilmu Chit-singtunheng itu khusus diperuntukkan untuk menghindari serangan. Tetapi mereka tak
mengerti bahwa sebenarnya ilmu itupun dapat dipergunakan untuk menyerang. Asal
sudah dapat menyelami keindahan ilmu itu, kita tentu akan mempunyai sebuah barisan
yang sakti. Baik dalam pertahanan maupun dalam serangan. Pilihan 6 tokoh itu
sebaiknya dari cabang persilatan yang berlainan sumbernya. Setelah menguasai gerak
langkah Chit-sing-tun-heng, masing-masing dipersilahkan untuk menyerang dengan
kepandaian sakti masing-masing. Dalam keadaan begitu, musuh yang betapa saktinya,
pun tentu akan kewalahan?" ia berhenti sejenak lalu katanya pula: "Sebaiknya silahkan
lo-siansu yang memilih tokoh-tokoh itu!"
Tay Hong tertegun. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab. Memang
tampaknya sederhana, tetapi prakteknya tak mudah untuk memilih keenam tokoh itu.
Rupanya Siau Yau-cu mengetahui kesulitan Tay Hong. Ia berbangkit, serunya:
"Keadaan kita sekarang adalah senasib sependeritaan. Apa yang kita hadapi adalah
mengenai mati hidupnya dunia persilatan. Asal kita dapat mengatasi bencana ini, generasi
yang akan datang tentu lebih aman dan tenang. Sekurang-kurangnya kita dapat
melenyapkan malapetaka yang hebat?" ia berhenti sejenak: "Ilmu gerak langkah Chitsingtun-heng dari Su-heng itu, memang sudah termasyhur di dunia persilatan. Untuk
menentukan siapa yang patut dipilih menjadi anggota barisan itu, memang sulit. Maka
kusarankan lebih baik Su-heng dan Tay Hong siansu berunding untuk menetapkan pilihan
itu!" Sekalian hadirin tiada membuat reaksi apa-apa. Dalam pada itu Tay Hongpun
menimang. Jika menolak, urusan tentu akan berlarut-larut panjang. Akhirnya ia
menerima usul Siau Yau-cu itu.
Setelah merenung beberapa saat, ketua Siau-lim-si itu berseru: "Dengan memberanikan
diri loni mempersilahkan Kat Thian-beng sicu, berdua saudara Ngo, Tio It-ping sicu, Thian
Hong tootiang berenam dengan ditambah Su-heng sendiri, agar segera dapat mempelajari
gerak langkah Chit-seng-tun-heng itu. Apakah saudara-saudara mempunyai lain pendapat
lagi?" Kat Thian-beng memang sudah kenal baik dengan Tay Hong. Tak mau ia menyulitkan
sahabatnya itu. Serentak ia berbangkit dan menyatakan persetujuannya. Juga Kiu-singtuihun Kau Cin-hong, kedua saudara Ngo Cong-han Ngo Cong-gi serta Thian Hong totiang
dan Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat mendukung pernyataan Kat Thian-beng.
Atas pertanyaan Tay Hong, kapan dimulai mempelajari ilmu Chit-sing-tun-heng itu Su
Bo-tun tertawa: "Jika hendak menyakinkan sempurna, mungkin akan berlangsung 10
tahun. Tetapi jika hanya untuk melakukan pengepungan bersama, dalam 7 hari saja,
sudah cukup." Demikianlah setelah tercapai persepakatan, Tay Hong segera mempersilahkan hadirin
beristirahat. Untuk itu telah disediakan ruangan-ruangan tetamu.
Paderi kecil yang bertugas membawa tetamu-tetamu ke kamar yang disediakan,
menghampiri Siu-lam dan Hian-song. Ia mengatakan kedua pemuda itu disediakan dua
buah kamar. Kaum pria dan wanita harus tinggal di kamar terpisah.
"Ih, paderi kecil itu usil benar," gerutu Hian-song. Namun Siu-lam tertegun merah
mukanya. "Eh, engkoh Lam, apa yang kau pikirkan?" tegur Hian-song ketika melihat sampai
beberapa saat Siu-lam tertegun diam.
Siu-lam menghela napas: "Kalau tinggal di sini, kurasa bukan penyelesaian yang
tepat"." "Benar!" seru si dara, "setelah kita selesaikan beberapa urusan, kita harus pergi.
Dalam beberapa hari ini aku sedang memikirkan sesuatu"."
"Apa yang kau pikirkan?"
Dengan mata berkicup-kicup, dara itu mengangkat mukanya dan menatap Siu-lam:
"Apakah kau benar-benar tahu?" selebar muka dara itu merah jambu.
Siu-lam tak berani beradu pandang, buru-buru ia berpaling muka, katanya: "Mana
kutahu apa yang kau pikirkan?"
Hian-song tertawa. Tiba-tiba ia berseru mantap: "Ah, kau seorang pemuda pintar
tetapi ada kalanya bertindak tolol sekali! Aku sedang terkenang akan pesan kakekku!"
"Pesan apa yang kau pikirkan?"
"Beliau mengatakan, tak pantaslah kiranya seorang anak gadis berkelana luntanglantung
di dunia persilatan. Saat itu memang tak kuacuhkan. Tetapi sekarang baru
kuakui kata-kata kakek itu memang benar!"
Siu-lam menghela napas: "Ah, dunia persilatan memang penuh kebohongan dan
kepalsuan. Bagi seorang gadis memang kurang tepat berkelana di situ."
"Ah, baru sekarang aku menyesal mengapa aku belajar silat. Jika aku tak bisa silat,
tentu aku akan tinggal di rumah mengurusi rumah tangga. Membantu suami merawat
anak, mencuci pakaian dan masak-masak!"
Siu-lam terkesiap, ia tertawa: "Manusia mempunyai nasib yang berbeda. Tak dapat kita
persamakan. Sumoay bukanlah seorang gadis biasa maka mempunyai perjalanan hidup
yang lain!" "Aku bagaimana" Bukankah sama dengan gadis biasa?" seru Hian-song kemudian
pelahan-lahan jatuhkan diri ke dada siu-lam. Sinar matanya berkicup-kicup memancar
kesipuan. Sebenarnya Siu-lam hendak mengelak, tetapi pada lain kilas ia kasihan juga terhadap
dara yang sudah sebatang kara itu. Tak mau ia melukai hatinya. Dirangkulnya bahu dara
itu. "Engkoh Lam, siapakah gadis baju putih itu" Apakah hubungannya dengan kau"
Rupanya kau kenal banyak gadis-gadis," Hian-song tanya berbisik-bisik.
Siu-lam terkesiap. Kemudian ia tertawa: "Ah, kukenal padanya ketika di gunung Kiukiongsan dahulu!" "Apakah dia baik kepadamu?"
"Dia pernah menolong jiwaku!"
"Mengapa dia menolongmu!" tiba-tiba Hian-song berpaling menatapnya. Beberapa saat
Siu-lam tertegun. Tiba-tiba Hian-song tertawa: "Ah, aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya!
Jika ia tak menolongmu, mungkin kita takkan berjumpa!"
Karena sampai beberapa saat Siu-lam tak dapat bicara, Hian-song berkata pula:
"Engkoh Lam, salahkah kata-kataku tadi?"
"Tidak!" "Lalu mengapa kau diam saja?"
"Apa yang harus kukatakan?" tanya Siu-lam.
Ketika Hian-song hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk.
Ternyata kedua paderi kecil yang mengantar para tetamu tadi, muncul dengan membawa
hidangan teh. Menggunakan kesempatan itu, Siu-lam segera suruh si dara mengasoh. Kemudian ia
sendiripun masuk ke dalam kamarnya. Mereka mendapat dua buah kamar.
Siu-lam duduk bersemedhi memulangkah semangat. Kemudian baru ia berbaring di
tempat tidur. Tiba-tiba terdengar suara orang menyebut Omitohud di luar jendela. Siulam
terkejut dan buru-buru membukan jendela.
"Siau-suhu hendak pesan apa lagi?" tegurnya kepada pendatang itu yang ternyata si
paderi kecil. "Hongtiang mengundang sicu ke kamarnya. Ada urusan penting!"
"Tolonglah siau-suhu memanggilkan nona Tan"."
"Suhuku hanya mengundang sicu seorang!"
"Hanya aku sendiri?" Siu-lam agak kaget.
Paderi kecil itu mengiakan. Siu-lam mulai membayang kecurigaan. Adakah paderi
Siau-lim-si itu hendak mencelakainya" Ia dan si dara akan dipisah kemudian satu demi
satu akan dihancurkan. "Berapakah umur siau-suhu tahun ini?" untuk menutupi kegelisahannya, Siu-lam alihkan
pertanyaannya. "Tahun ini umurku 15. Harap sicu jangan kuatir. Suhu seorang paderi yang welas asih.
Beliau selalu bekerja secara terang. Tak nanti mau mencelakai sicu!" kata paderi kecil itu.
Isi hatinya diketahui, wajah Siu-lam tersipu merah. Ia percaya ucapan paderi kecil itu
tentu benar. Maka segera ia keluar mengikuti paderi itu. Ternyata Siu-lam dibawa ke
ruang Cong-keng-loh atau perpustakaan. Sebuah tempat yang dalam sekali letaknya dan
harus melalui beberapa pintu.
"Apakah maksud lo-siansu memanggil aku kemari?" tanyanya ketika berhadapan
dengan Tay Hong. "Siau-sicu tentu curiga mengapa loni mengundang sicu datang ke ruang yang begini
pelik letaknya. Silahkan masuk loni hendak minta beberapa penjelasan," sambut Tay
Hong siansu. Siu-lam mengikuti ketua Siau-lim-si itu melintasi beberapa gang dan tikungan yang
gelap. Tak berapa lama kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan yang terdapat
penerangannya. Di ruang itu tampak juga It-tay-kiam-seng Siau Yau-cu. Di sampingnya
duduk si tabib gila" Gan Leng-po.
Rupanya tabib itu masih linglung. Ketika masuk, Siu-lam pun tak mau menghiraukan
kedua orang itu. Dilihatnya di ujung ruangan terdapat sebuah kim-ting (tempat perapian
dari emas). Kim-ting mengepulkan asap wangi.
Berkata Tay Hong kemudian: "Sebenarnya tak selayaknya loni mengganggu
peristirahatan siau-sicu yang tentu letih. Tetapi karena sebuah masalah yang sukar sekali,
terpaksa loni mengundang sicu kemari!"
"Silahkan lo-siansu memberi pesan," kata Siu-lam.
Kata Tay Hong: "Mungkin pertanyaan loni ini agak tak nalar. Tetapi karena hal itu
menyangkut mati hidupnya dunia persilatan, harap sicu dapat berlapang dada dan
memandang luas persoalan itu secara keseluruhannya."
Kembali Siu-lam minta paderi itu lekas mengatakan saja.
"Apakah orang tua bertongkat bambu ini benar Ti-ki-cu Gan Leng-po?" tanya Tay Hong.
"Benar, aku pernah tinggal lama bersamanya di Kiu-kiong-san. Tak mungkin mataku
keliru!" "Dapatkan siau-sicu menuturkan pengalaman sicu ketika berjumpa dengannya?"
Setelah merenung sejenak, Siu-lampun mengiakan lalu ia menuturkan apa yang telah
dialami di gunung Kiu-kiong-san bersama si tabib itu.
Tay Hong tersenyum dan menghaturkan terima kasih atas kesediaan anak muda itu
menuturkan ceritanya. "Entah apakah yang lo-siansu hendak tanyakan padaku lagi?" tanya Siu-lam.
Siau Yau-cu menyelutuk: "Gadis baju putih yang melukai lengannya sendiri itu apakah
benar anak murid Beng-gak?"
"Menurut yang kuketahui memang dia adalah anak murid ketua Beng-gak," kata Siulam.
"Omitohud!" tiba-tiba Tay Hong berseru seraya pejamkan mata: "Sebenarnya loni tak
mau menaruh syak wasangka. Tetapi karena urusan ini besar sekali artinya, terpaksa loni
akan bertanya lagi. Bagaimanakah sicu dan gadis baju putih itu saling memanggil?"
Siu-lam merenung. Jelas paderi itu telah mengetahui cabikan sutera Bwe Hong-swat
yang dilontarkan kepadanya. Ah, lebih baik ia menceritakan secara terus terang saja.
"Tentulah loni sudah mengetahui sendiri dari cabikan sutera itu. Tetapi apabila
kuceritakan, tentu menggelikan dan tak mungkin dapat dipercaya," katanya sesaat
kemudian. "Ah, loni tak sengaja telah melihat cabikan sutera itu. Loni tak enak hati"."
"Tak perlulah lo-siansu mempunyai perasaan begitu. Janji terhadap gerombolan
macam Beng-gak, mana kita harus bersungguh-sungguh menepati?" Siu-lam tertawa.
Tetapi tiba-tiba wajah Tay Hong mengerut serius, serunya: "Bagi kaum wanita kesucian
adalah kehormatannya dan merupakan jiwanya. Tak nanti ia mau sembarangan
mengucap janji apabila hatinya tak bersungguh-sungguh. Gadis baju putih itu berwajah
jujur dan serius, harap sicu jangan membuat hatinya sengsara!"
"Mengapa aku harus bersungguh-sungguh pada sepatah dua patah janji yang
kulakukan secara sembarangan itu" seru Siu-lam.
"Perintah ayah-bunda, merupakan pegangan hidup bagi kaum gadis. Kami orang
persilatan, memandang setiap ucapan janji itu sebagai jiwa kita. Sekali berkata tak
mungkin kita jilat lagi!" tiba-tiba Siau Yau-cu berseru dengan nada berat.
Siu-lam terkesiap. Diam-diam ia heran mengapa kedua tokoh sakti itu begitu
memperhatikan sekali akan urusan muda-mudi"
Tiba-tiba Tay Hong siansu berkata pula:
"Dalam umur 5 tahun, loni telah masuk gereja dan ketika umur 9 tahun, loni telah
mulai dicukur rambut. Umur 12 loni telah dipilih menjadi murid pewaris dari ketua Siaulimsi yang lalu. Sebenarnya loni tiada mempunyai pengetahuan tentang urusan anak
muda. Tetapi karena masalah ini menyangkut kepentingan dunia persilatan, terpaksa loni
harus banyak mulut. Ketahuilah, gadis baju putih itu menumpahkan cintanya pada sicu
dengan sungguh atau hanya pura-pura, mempunyai hubungan besar sekali dengan
kepentingan dunia persilatan!"
"Harap lo-siansu memberi penjelasan!"
Tay Hong mengeluarkan sutera putih dan membentangnya di atas meja, serunya"
Sutera putih ini merupakan peta yang dibuat oleh nona itu. Dalam peta ini telah
diterangkan segala kejahatan dan alat-alat ganas dari gerombolan Beng-gak. Cobalah sicu
kemari melihatnya!" Siu-lam terbeliak". Pencuri Pada peta itu tampak lukisan sebuah lembah yang sekelilingnya penuh dengan hutan.
Di tengah-tengahnya terdapat sebuah padang rumput. Di tengah padang rumput terdapat
8 buah huruf kecil berbunyi:
Lembah Coat-beng-koh pesta Ciau-hun-yan Barang siapa hadir Tak mungkin kembali! Setelah meneliti beberapa jenak, karena masih belum mengetahui rahasianya, Siu-lam
bertanya pada Tay Hong siansu.
"Siansu, apakah ciri-ciri yang mencurigakan dalam peta ini?" tanyanya.
Tay Hong menghela napas, ujarnya: "Bermula loni mengira kalau hutan-hutan itu diatur
menurut formasi barisan Ki-bun-pat-kwa atau Ngo-heng-seng-gek dan lain-lain. Maka
kuminta Siau lo-cianpwe bersama-sama merundingkan. Tetapi hasilnya, kita tak
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kemudian perhatian loni tertumpah pada
bentuk lembah yang seperti kelopak bunga. Ketika sejak kecil berada di gereja Siau-lim-si,
gurun loni suka sekali dengan". Maka di taman gereja Siau-lim-si, banyaklah ditanami
dengan berbagai jenis tanaman yang aneh-aneh. Tetapi aneh, bentuk kelopak bunga
dalam peta ini, loni benar-benar belum pernah melihatnya. Menurut dugaan loni,
kemungkinan besar bentuk bunga itu hanya suatu peringatan bahwa di sekitar hutan di
situ penuh dipasangi senjata rahasia beracun!"
"Menurut tinjauanku, ketua Beng-gak itu tak lain tak bukan ialah perempuan iblis
pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu. Dia tentu tak mau dan menganggap tak perlu untuk
menghiasi hutan dengan senjata rahasia..." tiba-tiba Siau Yau-cu berkata, "tetapi memang
mengherankan. Mengapa lembah itu hanya ditanami dengan hutan bunga begitu.
Memang mencurigakan!"
Tay Hong mengambil sepucuk surat lalu diserahkan kepada Siu-lam: "Surat ini diberikan
pada sicu. Loni tak boleh membukanya!"
Siu-lam melihat surat itu bertuliskan alamatnya dan hanya boleh dibuka olehnya. Ia
terkesiap. Pada sudut sampul tertera kata-kata: Dari isterimu yang tetap setia: Bwe Hongswat.
Tersentuh perasaan Siu-lam. Ah, ternyata nona baju putih itu masih tetap setia janji di
Telaga Han-cui-than dahulu".
Begitu merobek sampul, dibacanya surat itu:
Aku dibesarkan dalam keluarga harimau dan serigala yang buas. Tetapi nuraniku
belum ludas sama sekali. Aku tetap patuh kepada ajaran Sam-jong (3 patuh: gadis patuh
pada orang tua, isteri taat pada suami dan janda menurut anaknya).
Sejak sumpah di Telaga Han-cui-than aku sudah menjadi keluarga Pui. Aku kecewa
dan menyesal sekali karena tak dapat melakukan kewajiban sebagai seorang isteri,
sehingga berdosa karena tak dapat memberi keturunan pada keluarga Pui. Maka dengan
segala keikhlasan hati, kuharap kau suka mengambil isteri lagi. Lelaki mempunyai dua
tiga isteri, sudah lumrah. Harap kau jangan bersangsi".
Siu-lam menghela napas, serunya: "Surat yang kabur tak jelas artinya"."
Tiba-tiba Siau Yau-cu menanyakan isi surat itu. Siu-lam terkesiap dan hanya menghela
napas saja. "Baiklah sicu membaca sampai habis dulu. Jika ada hal-hal yang meragukan, barulah
kita berunding lagi," kata Tay Hong siansu.
Siu-lam membaca lagi: Perkakas dan alat-alat rahasia di lembah Coat-beng-koh, tak mungkin dapat diduga
orang. Aku sendiri tak tahu rahasia-rahasianya. Kalau toh sudah tahu berbahaya, apa
guna kita harus mengadu jiwa" Bukankah hanya seperti telur beradu dengan tanduk"
Dengan kesungguhan dan kesucian hati sebagai isteri, kumohon kau jangan ikut datang.
Dengan iringan jiwa kesetiaanku, kudoakan kau mengenyam kehidupan yang bahagia"."
Siu-lam tersentuh nuraninya. Ia baru menyadari betapa besar rasa cinta Bwe Hongswat
kepada dirinya. Ia melanjutkan membacanya lagi:
Penyakit gila dari tabib Gan Leng-po, walaupun sukar diobati tetapi bukan tak mungkin
disembuhkan. Jika dia dapat disembuhkan dan dapat diketemukan peta Telaga Darah
kemudian bisa mendapatkan kitab pusaka dari Lo-hian, barulah dapat melenyapkan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bencana sekarang ini. Tetapi waktunya sempit sekali. Hari perjamuan Ciau-hun-yan
sudah di depan mata. Atas nama seorang isteri setia, kumohon kau pergi
menyembunyikan diri dan berusahalah untuk mencari kitab pusaka itu. Tetapi harus
dirahasiakan benar-benar, agar jangan menimbulkan kehebohan. Tetapi apabila Gan
Leng-po tak dapat sembuh, lebih baik dilenyapkan sekali saja agar peta itu jangan sampai
jatuh ke tangan orang lain. Kudengar suhuku belum berani merajalela. Tetapi selekas
mendapatkan kitab itu, dia tentu akan melaksanakan cita-cita untuk menghancurkan kaum
persilatan dan merajai dunia persilatan"."
Membaca sampai di sini, Siu-lam berhenti dan entah bagaimana ia tak mau melanjutkan
membacanya lagi. Beberapa saat kemudian ia serahkan surat itu kepada Tay Hong,
ujarnya: "Tentang hubunganku dengan nona Bwe, kiranya lo-siansu dapat mengetahui
surat itu. Ah, tak kira ia begitu bersungguh-sungguh menganggap ikrar itu. Tetapi dunia
persilatan ini penuh dengan kelicikan dan kepalsuan. Dan hal ini kuserahkan saja kepada
lo-siansu bagaimana baiknya!"
Setelah membaca, Tay Hong kerutkan alis. Katanya: "Menilik isi surat itu, memang
nona itu bersungguh-sungguh sekali tampaknya. Tetapi karena hal ini penting sekali, loni
pun tak dapat memberi kesimpulan yang tetap. Siau-heng, tolonglah kau bantu
memecahkan persoalan ini," katanya kepada Siau Yau-cu seraya menyerahkan surat.
Siau Yau-cu membacanya dengan serius. Hampir sepeminuman teh lamanya baru ia
selesai. Sambil menyerahkan kembali surat itu kepada Tay Hong:
"Undangan Beng-gak itu masih kurang dua bulan. Kita masih mempunyai tempo untuk
berusaha. Yang penting harus menyembuhkan tabib Gan Leng-po," katanya.
Tay Hong menyerahkan surat kepada Siu-lam, ujarnya: "Karena kehilangan peta maka
tabib itu berubah gila. Mungkin bukan obat yang dapat menyembuhkannya."
Siau Yau-cu membenarkan dan mengusulkan untuk menutuk beberapa jalan darah
tabib itu. Ketua gereja Siau-lim-si itu merenung sejenak lalu kata: "Sebelum pergi, nona
baju putih itu pernah berkata kepada loni, jika kita tak mempunyai pegangan untuk
memenangkan Beng-gak, lebih baik datang lebih pagi ke sana!"
Siau Yau-cu tetap menyatakan bahwa soal pergi ke Beng-gak itu baik ditunda dulu.
Yang penting mengobati Gan Leng-po. Tay Hong setuju. Kemudian ia persilahkan Siu-lam
kembali ke kamarnya. Ia mengantar sendiri anak muda itu keluar dari ruang
perpustakaan, kemudian suruh seorang paderi kecil mengantarkan.
Siu-lam terkejut ketika pada pohon siong yang tumbuh di halaman luar, tampak
sesosok tubuh langsing tengah bersandar. Ia taka sing lagi dengan orang: "Eh, mengapa
Song sumoay berada di sini," tegurnya seraya menghampiri.
Memang yang bersandar di pohon itu si dara Hian-song, sahutnya: "Kemana saja kau
malam-malam begini, sampai aku bingung mencarimu!"
Siu-lam mengatakan bahwa ia dipanggil Tay Hong diajak berunding. Kemudian ia
menanyakan mengapa dara itu tak tidur.
"Sebenarnya aku sudah ngantuk tetapi tiba-tiba teringat sebuah hal penting dan buruburu
mencarimu tetapi kau tak ada!"
Atas pernyataan Siu-lam, dara itu berkata: "Tiba-tiba aku teringat akan peta Telaga
Darah!" Siu-lam terkejut. Ia tahu bahwa dara itu tentu diam-diam sudah mengetahui bahwa ia
menyembunyikan peta itu. "Pernahkah kau melihat peta itu?" tiba-tiba Hian-song bertanya.
Siu-lam bingung. Jika memberitahukan, ia kuatir dara itu akan kelepasan
membocorkan rahasia. Namun kalau tidak diberitahu, ia sungkan membohongi.
Tiba-tiba dara itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangkan di muka Siu-lam,
serunya: "Engkoh Lam, apakah kau melihat jari tanganku ini?"
"Sudah tentu, aku toh belum linglung," Siu-lam tertarik dan sekali lagi ia suruh dara itu
beristirahat. "Ih, kukira kau tak bisa bicara," Hian-song tertawa. "aku tak mengantuk sekarang.
Kalau memikirkan sesuatu. Masakan mata bisa di bawa tidur!"
"Apakah yang kaupikirkan?"
Si dara mengemasi rambutnya yang terurai seraya berkata: "Ketika mendengar orangorang
tadi membicarakan peta Telaga Darah, tiba-tiba aku teringat ketika masih kecil dulu
kakek pernah mengatakan tentang peta itu. Sebenarnya ia tak suka menceritakan tetapi
entah bagaimana saat itu ia memberitahukan padaku. Sayang aku tak dapat mengingat
seluruhnya!" Sebenarnya Siu-lam buru-buru hendak masuk ke dalam kamar untuk memikirkan
bagaimana sebaiknya ia menggarap peta yang berada padanya itu. Jika peta itu benarbenar
petunjuk dari tempat simpanan kitab pusaka Lo Hian, sungguh tak ternilai
pentingnya. Merupakan kunci dari hidup-matinya kaum persilatan. Peta itu sebenarnya
telah dikuasai Bwe Hong-swat. Apakah hendak dikembalikan kepada nona itu lagi, ia
masih belum tahu". Adalah ketika mendengar kata-kata Hian-song tadi, serentak Siu-lam bertanya: "Apa
yang diceritakan Tan lo-cianpwe" Maukah sumoay memberitahukan kepadaku?"
"Tolol! Kalau tak bermaksud memberitahukan padamu masakan aku mencarimu!" si
dara tertawa. Siu-lam meminta agar dara itu suka mengingat pelahan-lahan karena hal itu penting
sekali artinya. "Tetapi aku tak dapat mengingat semuanya!" kembali si dara menjelaskan, "begini
sajalah. Apa yang kuingat akan kuceritakan, yang tidak ingat takkan kuceritakan!"
Sebenarnya tempat itu tak tepat untuk bicara, namun kalau dibawa masuk ke kamar,
Siu-lam pun sungkan. Akhirnya ia mengajak dara itu duduk di bawah pohon siong
tersebut. "Engkoh Lam, apakah kita ikut mereka ke lembah Coat-beng-koh juga?" tanya Hiansong.
Siu-lam mengatakan bahwa hal itu belum dapat ia pastikan, melihat perkembangannya
nanti. Sambil menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda itu, Hian-song berkata: "Ketika
kakek menceritakan tentang peta Telaga Darah aku baru berumur 12 tahun. Kala itu
penyakit kakek sudah payah sekali. Dia mengatakan kalau dia tak dapat hidup lama lagi,
kecuali bisa mendapatkan peta itu. Aku heran dan mengira Telaga Darah itu tentu suatu
obat mujijat. Kutanyakan apakah Telaga Darah itu"."
"Eh, sumoay, apakah kata Tan lo-cianpwe?" tukas Siu-lam.
"Kakek tak mau segera menjawab pertanyaanku. Beberapa lama kemudian baru ia
menceritakan benda itu," Hian-song sejenak melirik pada Siu-lam dan tertawa, "kakek
mengatakan bahwa Telaga Darah itu sebuah peta tempat penyimpanan kitab pusaka.
Kitab itu dibuat oleh seorang aneh yang luar biasa pandainya. Asal dia melakukan
sesuatu, maka orang harus menggunakan seumur hidup untuk mempelajarinya. Sekali
tahu apa maksud pelajarannya orang tentu mendapat kepandaian yang tak habis
digunakan seumur hidup!"
"Apakah Tan lo-cianpwe mengatakan bahwa orang sakti itu bernama Lo Hian?" tanya
Siu-lam. "Siapa namanya aku tak ingat," kata Hian-song, "hanya sekali itu kakek bercerita
dan karena aku masih kecil, akupun tak begitu menaruh perhatian."
"Tan lo-cianpwe mengatakan dia pernah bertemu dengan orang sakti itu?" tanya Siulam.
"Ya, pernah!" sahut Hian-song, "Meskipun kakek tak mengatakan pernah bertemu,
tetapi setiap kali menyebut orang sakti itu, kakek selalu bersungguh-sungguh dan
mengindahkan. Jika tak pernah bertemu, mustahil dia begitu mengindahkan sekali!"
Siu-lam tertawa dan memuji dara itu sekarang semakin cerdas. Hian-song tertawa
riang: "Aku merasa banyak sekali hal yang tak mengerti, maka ingin sekali aku belajar,
tetapi entah dapat berhasil atau tidak"."
"Ah, kau seorang dara yang cerdik tentu dapat belajar dengan baik," kata Siu-lam.
"Kakek mengatakan bahwa orang aneh itu selain saksi dalam ilmu silat pun pandai
dalam ilmu sastera, begitu pula ilmu perbintangan dan ketabiban. Dia sering menjelajah
hutan dan gunung yang terpencil untuk mencari daun-daun obat. Entah berapa banyak
orang yang telah ditolongnya tetapi anehnya tiada seorangpun dari mereka yang tahu
siapa penolongnya. Orang sakti itu selalu bekerja dengan diam-diam!"
"Apakah orang sakti itu masih hidup?"
Hian-song menggeleng: "Entahlah. Kakek mengatakan entah apa sebabnya orang sakti
itu tiba-tiba melenyapkan diri dari masyarakat. Tiada seorangpun yang tahu dan pernah
mendengar beritanya. Kemudian di dunia persilatan terdengar desas-desus tentang
munculnya peta Telaga Darah. Bermula kakek tak percaya tetapi kemudian ia melihat
sendiri peta itu barulah ia percaya."
Hian-song menghela napas, katanya pula: "Kesemuanya itu terjadi pada beberapa
puluh tahun berselang. Kala itu aku belum muncul di dunia!"
"Apakah Tan lo-cianpwe tak mengambil peta tersebut?" tanya Siu-lam.
"Aku tak ingat! Tetapi kemungkinan tentu tidak karena kalau kakek mengambil peta itu
mengapa dia tak dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri?" sahut Hian-song.
"Benarlah," kata Siu-lam, "tetapi bahwa dia pernah melihat peta Telaga Darah, tentulah
tak bohong. Kalau kakek tak dapat mengambil peta itu, terang kalau peta itu telah
menjadi rebutan dan mengalami pergolakan hebat."
Siu-lam segera teringat akan nasib gurunya. Jika gurunya tak menyimpan peta itu
tentu tak sampai mengalami nasib yang begitu mengenaskan.
Hian-song menghela napas lagi: "Ah, engkoh Lam, aku ingat lagi. Lebih baik jangan
membicarakan hal itu!"
Siu-lam menganjurkan supaya dara itu suka mengingat-ingat lagi dengan pelahan. Dan
kalau teringat sesuatu, supaya memberitahukannya.
Hian-song berbangkit: "Eh, benar, aku teringat sebuah hal yang tak kumengerti.
Bolehkah kubilangkan padamu?"
Sudah tentu Siu-lam terkejut dan mempersilahkan dara itu berkata.
"Silahkan, tak apalah kalau salah," kata Siu-lam.
Hian-song tundukkan kepala, ujarnya rawan: "Entah bagaimana ketika kulihat kau
bersama-sama dengan nona baju putih tadi, hatiku jadi gelisah!"
Siu-lam mengatakan bahwa di dalam dunia persilatan sudah lazimlah pergaulan antara
wanita dan pria. "Ah, memang begitu. Aku sudah tahu hal itu memang sudah biasa. Tetapi entah
bagaimana waktu melihat kau bersama dia, ingin sekali aku membunuhnya!"
"Apa?" Siu-lam terbeliak kaget.
Hian-song mencucurkan beberapa tetes air mata, ujarnya: "Engkoh Lam, kalau
kubunuhnya, kau tentu akan membenci aku, bukan?"
Siu-lam menghela napas pelahan: "Dia orang baik tak layak membunuhnya."
"Kalau aku dibunuh orang, apakah kau juga sedih?" tanya si dara.
"Tentu!" "Kalau kau dibunuh, cobalah terka, aku bersedih atau tidak?"
Siu-lam tertawa: "Ah, mana aku bisa menerka."
Dengan wajah memberingas, berseru si dara penuh kemantapan: "Aku takkan bersedih
tetapi akan menangkap musuhmu dan akan kubunuhnya pelahan-lahan. Mayatmu akan
kubawa ke sebuah goa yang tak pernah dijelajahi orang, seumur hidup aku menunggu di
situ" agar aku pun mati di sampingmu."
Siu-lam tertegun. Belum sempat ia membuka mulut, si dara sudah berputar tubuh dan
melangkah pergi. Sikap dan nada dara itu penuh mengunjuk tekadnya yang tegas dank
eras. Ia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Tetapi matanya tak mau dibawa tidur. Ia
mengenangkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya selama ini. Tiba-tiba ia teringat akan
Tio It-ping. Bukankah pamannya itu terluka parah mengapa mendadak bisa datang ke
sini. Cepat ia bangun dan lari keluar. Tetapi ia tertegun. Untuk mencari kamar
pamannya itu, ia harus bertanya pada paderi. Dan apabila bertanya tentu akan
menerbitkan kecurigaan. Ah, ia terpaksa kembali masuk ke kamarnya lagi. Tak lama ia
jatuh pulas. Ketika bangun ternyata hari sudah malam. Dan di luar halaman hujanpun turun.
Kamar gelap karena tiada penerangan tetapi ia dapat melihat benda-benda di sekeliling.
Setelah meneguk teh, perasaannya agak enak. Tiba-tiba dari cahaya kilat yang
memancar, tampak sesosok bayangan orang berada di luar jendela. Ia terkejut. Dalam
penjagaan paderi-paderi Siau-lim-si yang keras, hanya seorang dara sakti semacam Hiansong
yang mampu menyelundup ke situ.
Siu-lam loncat keluar jendela dan menghampirinya. Memang pendatang itu Hian-song.
Rupanya ia mengetahui Siu-lam datang.
"Engkoh Lam, apa kau terjaga dari tidur?" tiba-tiba dara itu menegur.
"Song-moay, mengapa kau berada di sini?" sahut Siu-lam.
"Aku tak bisa tidur dan berdiri di luar kamarmu sejak tadi. Kudengar kau tidur nyenyak
sekali maka tak tega membangunkan kau!"
Tergerak hati Siu-lam mendengar kata-kata itu. Ia memegang tangan si dara dan
diajaknya masuk ke kamar. Ia kasihan melihat dara itu kehujanan. Ia mendorong pintu
tetapi pintu terkancing. "Ah, aku benar-benar tolol," ia teringat tadipun mengambil jalan loncat dari jendela.
Maka terpaksa ia masuk dari jendela lagi. Kemudian ia menyalakan lampu. Pakaian Siulam
basah tertimpah air hujan.
"Engkoh Lam, duduklah di kursi itu!" tiba-tiba si dara berseru. Siu-lam terpaka
menurut. "Apapun yang kukerjakan, kau tak boleh bergerak!" kata si dara pula. Siu-lam
mengiakan. Hian-song menghampiri kamar tidur, mengambil pakaian dan sepatu Siu-lam lalu
mengangkat sebelah kaki si pemuda dan meloloskan sepatunya yang basah.
"Hai, tak usah, sumoay. Aku dapat menggantinya sendiri!" Siu-lam terkejut.
"Bukankah tadi kau sudah berjanji takkan bergerak!" seru si dara.
"Sumoay sudah seorang dara remaja dan aku seorang pemuda. Mana boleh melakukan
hal itu?" serentak Siu-lampun berbangkit.
Hian-song mengangkat mukanya pelahan-lahan, ujarnya: "Apakah kelak kau tak mau
memperisterikan aku?"
"Urusan perkawinan adalah soal yang menyangkut kehidupan kita. Tanpa persetujuan
orang tua dan tanpa perantara, kita tak dapat memutuskan sendiri!" kata Siu-lam.
Hian-song terkesiap, katanya: "Memang sejak kecil tiada orang yang mendidik aku.
Banyak hal di dunia yang aku tak mengerti. Kupikir kelak apabila menjadi isterimu, aku
melayanimu baik-baik. Tetapi bagaimana caranya, aku tak mengerti. Karena melihat
pakaianmu basah, kupikir hendak menggantinya. Apakah hal itu salah?"
Siu-lam kasihan pada dara yang sudah sebatang kara itu. Jika ia berlaku kasar, tentu
akan melukai perasaannya. Maka dengan tenang ia memberi penjelasan: "Memang di
dunia banyak sekali adat istiadat kesopanan. Pelahan-lahan kau tentu akan
mengetahuinya. Walaupun sebagai putera-puteri persilatan, kita tak perlu terikat akan
segala adat kesopanan itu, tetapi kitapun harus membatasi diri agar jangan dicela orang.
Harap sumoay ke kamar dan beristirahat. Besok kita bicara lagi!"
"Ah, mungkin beberapa tahun lagi aku takkan berlaku setolol ini," tiba-tiba ia menutupi
mukanya dan lari keluar. Keesokan harinya pagi-pagi sekali paderi kecil sudah mengantari minuman. Siu-lam tak
menghiraukan. "Pakaian sicu yang basah ini, biarlah kucucinya," tiba-tiba paderi kecil itu berseru.
Siu-lam mengiakan. Setengah jam kemudian ia tersentak kaget. Peta Telaga Darah"
buru-buru ia loncat bangun, ah" pakaiannya yang basah sudah lenyap. Tentu dibawa si
paderi kecil tadi! Cepat ia memburu keluar tetapi paderi kecil itu sudah tak tampak.
Siu-lam bingung tak keruan. Kemanakah ia harus mencari paderi kecil itu" Tiba-tiba ia
mendapat pikiran untuk mencarinya ke dapur. Paderi kecil itu tentu bertugas di bagian
dapur. Untuk menghormat kedatangan para tetamunya, Tay Hong memang khusus membawa
paderi yang ahli masak. Ketika tiba di dapur, Siu-lam hanya melihat seorang paderi
tengah mencuci mangkuk. Kepala dapur tak ada.
Siu-lam memberi hormat dan bertanya kepada paderi: "Maaf, toa-suhu, tolong tanya di
mana beberapa suhu kecil yang mengantar minuman pagi tadi?"
"Sicu maksudkan paderi kecil yang mengantar makanan pagi tadi" Mereka berjumlah
12 orang. Entah mana yang sicu tanyakan?"
"Yang mengantar ke ruang bagian timur!"
"Ruangan sebelah timur ada 3 buah. Yang mana sicu maksudkan" Dan paderi-paderi
kecil itu secara sukarela mengantarkan makanan. Tak ditentukan siapa-siapa yang harus
mengantar. Apakah keperluan sicu?" tanya paderi itu.
"Aku kehilangan sebuah benda yang penting!" kata Siu-lam.
Paderi itu terkesiap, ujarnya: "Gereja dijaga keras, tak mungkin terjadi pencurian.
Kedua belas paderi kecil itu dibawa Hong-tian (ketua) dari gereja Siau-lim-si. Tak nanti
Pendekar Lembah Naga 4 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Pangeran Anggadipati 1

Cari Blog Ini