Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 6
"Oh, jadi lo-cianpwe menolak rencana Tay Ti suheng?" tiba-tiba Tay Hong siansu
menyeletuk. Siau Yau-cu mendongak dan tertawa panjang. Serunya, "Karena hal itu hampir saja
timbul salah paham antara partay Siau-lim-si dengan Bu-tong-pay. Dalam hal itu memang
tak dapat menyalahkan orang yang menyiarkan desas-desus mengenai kesalahan paham
itu. Oleh karena sukar untuk menuduh siapakah orang yang menyiarkan desas-desus
tersebut. Adanya kali in segan untuk mengundang orang Bu-tng-pay, kemungkinan tentu
masih terdapat dendam kesalahan paham!"
"Memang desas-desus itu santer sekali di dunia persilatan. Namun loni segan untuk
mencari permusuhan dengan orang Bu-tong-pay. Apalagi Tay Ti suheng sudah binasa, kita
benar-benar prihatin sekali. Kami tak sempat lagi mengurusi soal dendam kepada orang
Bu-tong-pay". Orangnya toh sudah mati, perlu apa ketegangan dibesar-besarkan tanpa
guna"." Kata Siau Yau-cu, "Hal itu memang tak dapat dipersalahkan. Ketika itu hanya paderi
Thian In to-tiang yang dapat menangkap pembicaraanku dengan Tay Ti siansu. Sayang
Thian In to-tiang sudah meninggal sehingga sukar mencari saksi yang benar-benar
mengetahui peristiwa itu"."
Siau Yan-cu tiba-tiba pejamkan kedua matanya lalu melanjutkan, "Kala itu memang aku
masih belum menyatakan apa-apa terhadap rencana Tay Ti siansu. Tiba-tiba Tay Ti siansu
gerakkan tongkatnya dan di empat penjuru segera terpancar gulung sinar tongkat yang
sederas hujan mencurah dari langit"."
Saat itu aku tak dapat mempertimbangkan apa-apa lagi. Pedang kucabut dan menyurut
mundur. Tay Ti siansu benar-benar kembangkan sehebat-hebatnya ilmu kepandaiannya.
Tongkatnya berayun laksana naga bergeliatan di udara. Angin menderu-deru laksana
badai prahara. Ah, memang sudah selayaknya apabila Siau-lim-si dipandang sebagai aliran
pemimpin dunia persilatan!"
"Ah, lo-cianpwe sendirilah yang sepantasnya menerima penghormatan itu," kata Tay
Hong siansu merendah. Tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena teringat akan
mata Siau Yan-cu yang terluka itu.
Jago pedang Bu-tong-pay itu tertawa getir, serunya, "Saat itu aku menyisih ke samping
untuk memulangkan napas dan menunggu kesempatan. Setelah melihat suatu liang
kesempatan yang bagus, segera kuloncat ke udara menerjangnya. Aku berhasil menggurat
pecah kain kerudungnya tetapi tak kuduga-duga dengan suatu gerakan membalik tangan
yang luar biasa, diapun berhasil melukai sebelah mataku. Luka itu membuat aku tak dapat
melanjutkan serangan lagi. Dan kesempatan itu tak disia-siakan wanita iblis. Dia lancarkan
serangan balasan yang hebat. Yang pertama-tama menjadi korban ialah Thian In totiang.
Dadanya tertusuk pedang siluman perempuan itu. Namun dalam keadaan terluka parah,
totiang kerahkan seluruh sisa tenaganya dan berhasil balas menusuk dan menutuk lawan.
Rencanaku telah menyalurkan napas secukupnya, aku hendak menempurnya lagi.
Tetapi ternyata pertempuran telah mengalami perubahan yang hebat sehingga tak
memungkinkan lagi aku maju ke gelanggang. Thian In totiang menghembuskan napas.
Tay Ti siansu terluka berat dan aku kehilangan sebelah mata. Dan kawan yang lain-lain
sudah kehabisan tenaga. Kemudian terdengar jeritan ngeri berturut-turut. Dalam beberapa
kejap saja, siluman perempuan itu telah dapat melukai tujuh orang kemudian ia
menerobos keluar dari kepungan. Di antara ketujuh orang yang terluka itu, tiga orang
termasuk Thian In totiang telah meninggal. Aku dan Tay Ti siansu terluka berat. Dari
partai Go-bi-pay dan Kun-lun-pay masing-masing terluka seorang. Dalam keadaan yang
sedemikian itu, terpaksa kami tak dapat mengejar siluman perempuan itu. Demikianlah
kurang lebih gambaran dari pertempuran besar yang bersejarah itu?"
Tay Hong siansu menghela napas, "Berpuluh-puluh tahun lamanya antara partai kami
dengan partai lo-cianpwe tak dapat akur adalah disebabkan kesalahpahaman itu. Ah,
sebaiknya urusan lama tak perlu diungkat lagi. Dengan pendirian itu maka loni telah
mengirim undangan kepada Bu-tong-pay agar suka mengirimkan wakil menghadiri
pertempuran besar ini"."
"Ah, meskipun tak menerima undangan tetapi karena Bu-tong-pay mendapat undangan
dari Beng-gak supaya datang menghadiri pesta Ciau-hun-yan, sudah tentu ketua Bu-tongpay
pun akan datang ke lembah Coat-beng-ko juga!" kata Siau Yau-cu.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru nyaring, "Pemimpin gerombolan Beng-gak telah
mengirim undangan pada seluruh partai-partai persilatan dan jago-jago di segenap
penjuru, supaya menghadiri pesta mau yang disebut Ciauhun-an (pesta panggil arwah).
Entahlah apa maksudnya undangan itu. Tetapi rasanya kaum persilatan tentu bakal
menghadapi bencana besar! Meskipun musuh sangat kuat, tetapi pihak kita pun cukup
kuat. Rasanya dengan tenaga persatuan yang berkumpul saat ini, kita tak perlu gentar
menghadapi musuh. Tetapi yang patut dikuatirkan ialah tipu muslihat musuh. Jika mereka
secara licik mencampurkan racun di dalam arak atau hidangan lain, sabarlah kita
hadapi"." Sekalian orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Ngo Conghian
yang bergelar It-ciang-tin-sam-sian atau dengan sebuah pukulan menundukkan tiga
wajah. Jago tua yang sudah berumur tujuh puluhan itu yang tadi datang bersama-sama
Su Bo-tun. Kemudian jago tua itu beralih memandang ke arah Siu-lam dan Hian-song, serunya,
"Dan masih ada sebuah hal lain yang tak kurang bahayanya. Ialah kita tak tahu
bagaimana keadaan musuh yang sebenarnya. Tetapi sebaliknya musuh dapat
menyelundupkan orangnya ke dalam rapat kita ini."
Begitu ucapan itu berkumandang, gemparlah suasana pertemuan. Siau Yau-cu serentak
memberingas dan memandang tajam-tajam pada setiap tetamu".
Jilid 11 RUPANYA TAY HONG siansu juga terpengaruh oleh pernyataan jago tua itu. Ia agak
gemetar lalu membisiki seorang paderi kecil yang berada di sampingnya, "Undang
keempat houw-hwat kemari!"
Paderi kecil itu segera lari keluar. Setelah itu Tay Hong siansu berseru kepada Ngo
Cong-hian, "Jika Ngo tayhiap tahu akan hal itu, harap segera menunjukkan"."
Ngo Cong-hian menuding ke arah Siu-lam dan si dara Hian-song, serunya dengan
tandas, "Siapakah di antara saudara-saudara yang hadir di sini kenal pada mereka
berdua?"" Mendengar itu serentak berbangkitlah Kat Thian-beng, "Ngo-heng, jangan memfitnah
orang sewenang-wenang! Aku kenal saudara ini!"
Su Bo-tun perlahan-lahan memandang pada Kat Thian-beng. Ia tertawa dingin tetapi
tak mengucap apa-apa. Karena dirinya menjadi bulan-bulanan perhatian para hadirin, Kat Thian-beng berseru
pula, "Aku berjumpa dengan saudara Pui ini di gunung Kiu-kiong-san. Kala itu gurunya
sedang sakit keras dalam sebuah goha?"
Ternyata pengetahuannya terhadap diri Siu-lam hanya terbatas sampai di situ. Maka ia
tak dapat menceritakan lebih panjang lagi.
"Silahkan Kat-heng duduk kembali. Loni hendak bicara sedikit dengan kedua sicu itu!"
seru Tay Hong siansu. Siu-lam menyadari bahwa walaupun Kat Thian-beng bertekad hendak membelanya
tetapi jago tua itu tak mempunyai kemampuan untuk melindungi. Maka berbangkitlah ia
dan berseru, "Apa yang lo-sancu hendak menanyakan, aku yang rendah bersedia
menjawab!" Ketua Siau-lim-si itu rangkapkan kedua tangan dan berseru dingin, "Maafkan loni. Dari
perguruan manakah sicu itu?"
Siu-lam merenung sejenak, jawabnya, "Guruku orang she Ciu bernama Pwe!"
Singkat dan tegas Siu-lam memberi jawaban. Sehabis menjawab ia terus duduk lagi.
"Ciu Pwee?" Tay Hong mengulang nama itu. Tanya pula, "Apakah gurumu tak hadir
di sini?" Dengan pertanyaan itu jelas bahwa Tay Hong tak kenal dengan Ciu Pwe.
Tiba-tiba Thian Hong totiang berbangkit, serunya, "Ciu Pwe adalah salah seorang dari
empat jago pedang Kanglam. Aku pernah bertemu dengannya!"
"Apakah Ciu tayhiap tak datang?" tanya Tay Hong siansu.
Sekalipun sudah tahu kalau jago she Ciu itu tak nampak, namun Thian Hong totiang
masih memandang sekeliling ruangan kemudian baru menjawab, "Belum datang!"
"Silahkan to-heng duduk," kata Tay Hong. Kemudian ketua Siau-lim-si itu berpaling ke
arah Siu-lam lagi, "Siau-sicu telah mampu melalui tiga buah pos penjagaan di belakang
gunung. Apakah ilmu pedang sicu itu juga sicu peroleh dari guru sicu?"
Diam-diam Siau-lam tak puas atas sikap ketua Siau-lim-si. Masakan di hadapan sekian
banyak tokoh persilatan, seolah-olah dirinya hendak diperiksa asal-usulnya.
Namun pemuda itu masih menekan perasaannya dan menyahut dingin-dingin, "Apa
yang kupelajari memang banyak ragamnya. Selain dari guruku, aku pernah bertemu
dengan seorang sakti. Pokoknya harap lo-siansu jangan kuatir. Aku bukan orang Benggak.
Sebaliknya dengan orang Beng-gak aku mempunyai dendam sakit hati yang besar.
Hadirku ke sini adalah hendak menggabungkan diri dengan sekalian orang gagah untuk
menumpas gerombolan itu."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang dan empat paderi tinggi besar masuk ke dalam
ruangan dengan membawa senjata.
Melihat itu Siu-lam sengaja keraskan suaranya, "Tentang dendam antara perguruanku
dengan gerombolan Beng-gak, rasanya Su lo-cianpwe dari Po-to-kang tentu mengetahui
sedikit-sedikit. Jika kurang percaya, silahkan lo-siansu menanyakan padanya. Hanya
inilah yang dapat kuterangkan. Namun bila lo-siansu masih tetap tak mempercayai,
akupun tak dapat berbuat apa-apa lagi!"
Tay Hong alihkan pandangan pada Su Bo-tun, tanyanya, "Jika tak keberatan, sukalah
Su-heng suka memberi sedikit penerangan."
Acuh tak acuh sambil memandang ke atas tiang penglari, menyahutlah Su Bo-tun
dengan dingin, "Sudah puluhan tahun aku menutup diri dari pergaulan kaum persilatan.
Tiga bulan yang lalu, dia datang ke Po-to-kang dengan membawa Soh-in-kim-chi.
Sebelumnya ia datang, memang ada pula seorang anak perempuan yang muncul di Po-tokang.
Rupanya kedatangan pemuda itu telah dikuntit orang"."
Tampaknya Su Bo-tun bicara dengan susah payah dan suaranya pun makin lama makin
rendah. Pada saat mengucapkan kata-katanya yang terakhir itu, hampir seperti tak
kedengaran lagi. Tay Hong siansu kenal akan perangai manusia aneh itu. Jika mendesaknya, mungkin
akan menimbulkan kemarahannya. Maka beralihlah kepada Siu-lam, ujarnya, "Bagaimana
loni berani mencurigai Siau-sicu" Hanya loni benar-benar mengagumi ilmu pedang siausicu.
Saat ini yang berkumpul di sini adalah jago-jago kelas satu dari berbagai partay
persilatan dan tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Maksud loni, hendak meminta siausicu
mempertunjukkan kepandaian di depan orang gagah dari seluruh penjuru negeri agar
kami dapat tambah pengalaman!"
Siu-lam menimang. Dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, sukarlah baginya
untuk menolak. Maka ia memutuskan untuk menerima permintaan paderi itu.
Serentak ia berbangkit, ujarnya, "Karena lo-siansu yang menyuruh sudah tentu wanpwe
tak berani menolak. Hanya saja wanpwe pun ingin mengajukan permintaan, entah
apakah lo-siansu suka meluluskan?"
"Asal beralasan tentu loni takkan menolak!"
Siu-lam tersenyum lalu menunjuk pada Ngo Cong-hian, "Wanpwe hendak mohon agar
Ngo lo-cianpwe itu suka menemani wanpwe bermain-main."
Tay Hong terkesiap, sahutnya, "Dalam hal ini, harus menanyakan persetujuan Ngo
tayhiap!" Kini sekalian orang memandang ke arah Ngo Cong-hian.
Jago tua itu tak dapat menghindar lagi, katanya, "Karena kau begitu memandang tinggi
padaku, terpaksa aku pun suka menemani!" Segera ia perlahan-lahan maju ke tengah
ruangan. Tiba-tiba Siu-lam berseru nyaring, "Kita hanya sekedar bermain-main untuk saling
menguji kepandaian dan sifatnya hanya tukar pengalaman. Jangan saling melukai!"
Kemudian ia memberi pesan kepada Hian-song. Baik ia kalah atau menang, janganlah
dara itu ikut campur. Hian-song tertawa, "Sudah tentu kau dapat menundukkannya, masakan perlu
kubantu!" Siu-lam segera melangkah ke tengah. Keempat paderi tinggi besar tadi segera
berpencaran berdiri di empat sudut. Seolah-olah mereka hendak menjaga jangan sampai
Siu-lam melarikan diri. It-ciang-tin-sam-siang Ngo Cong-hian sejenak memandang ke arah hadirin, serunya,
"Yang hadir saat ini terdiri dari tokoh-tokoh ternama dari tiga belas propinsi. Aku hendak
mohon bertanya pada saudara-saudara sekalian. Pada masa ini kecuali ketua dari Benggak,
siapa lagi yang menggunakan jarum Chit-jiau-soh itu?"
Suasana hening seketika. Tak seorang pun yang menyahut pertanyaan jago tua itu.
Ngo Cong-hian melanjutkan pula, "Tetapi di antara para hadirin di sini, ada seorang
yang menyimpan jarum maut. Walaupun tak berani memastikan bahwa Beng-gak telah
mengirim mata-mata ke sini, tetapi sukarlah untuk menghilangkan kecurigaanku. Jika
nanti aku sampai mati dalam tangannya, harap saudara-saudara suka menyelidiki hal
itu"." Siu-lam anggap orang she Ngo itu berkeras hendak memaksa para hadirin supaya
percaya bahwa ia (Siu-lam) benar-benar mata-mata Beng-gak. Dalam keadaan seperti
saat itu, memang sukar untuk memberi penjelasan. Sebaiknya ia menundukkan dulu
beberapa orang setelah itu baru memberi penjelasan.
Mencabut pedangnya, pemuda itu tertawa nyaring, "Para lo-cianpwe sekalian, tentulah
ada yang pernah bertempur dengan orang Beng-gak. Sebaiknya suka memperhatikan
apakah dalam ilmu pukulan atau pedangku nanti, mirip dengan kepandaian orang Benggak
atau tidak"." Kemudian ia menatap Ngo Cong-hian, serunya, "Karena wanpwe menyimpan sebatang
jarum kutung maka lo-cianpwe lalu menuduh aku sebagai mata-mata Beng-gak. Rasanya
lo-cianpwe tentu sudah kenal akan ilmu kepandaian orang Beng-gak. Dari gerak
permainan wanpwe nanti dapat menunjukkan ciri wanpwe. Silahkan lo-cianpwe segera
meloloskan senjata!"
Ngo Cong-hian tertawa dingin, "Biarlah kulayanimu dengan sepasang tanganku ini."
Siu-lam meragu dan hendak menyimpan pedang seraya berkata, "Kalau begitu, silahkan
lo-cianpwe menyerang dulu!"
Gelar It-ciang-tin-sam-sian atau sebuah pukulan menggetarkan tiga propinsi dari Ngo
Cong-hian itu bukanlah suatu gelar kosong. Memang dalam hal ilmu pukulan ia
mempunyai kepandaian yang istimewa. Dia telah berhasil memiliki ilmu pukulan Thit-satciang
atau pukulan pasir besi serta pukulan Tiok-yap-chiu (pukulan daun bambu). Thiatsatciang bersifat lunak. Selama berkelana di dunia persilatan, Ngo Cong-hian jarang
menemui lawan. Teringat akan budi Siu-lam, buru-buru Kat Thian-beng berseru memberi peringatan
kepada pemuda itu, "Ilmu pukulan Ngo tayhiap telah menggetarkan dunia persilatan.
Harap Pui-heng tetap pakai senjata sajalah"."
Ngo Cong-hian berseru pula, "Selama hidup sampai tujuh puluh tahun, tak pernah aku
bertempur memakai senjata. Silahkan kau yang mulai menyerang!"
"Baik!" Siu-lam menjawab dengan mainkan pedangnya dalam jurus Thian-ma-henggong
atau kuda langit mencongklang di udara. Putaran pedang pemuda itu memancarkan
sinar berkilau-kilauan seperti petir menyambar.
Ngo Cong-hian terkejut. Mundur selangkah ia lepaskan sebuah tamparan. Sedang
tangan kiri balas menyerang.
Dalam beberapa bulan terakhir ini Siu-lam selalu berhadapan dengan musuh yang sakti.
Maka makin banyaklah pengalaman yang diperolehnya dan makin tinggilah
kewaspadaannya. Terhadap lawan, ia tak berani bersikap memandang rendah.
Walaupun tahu tamparan lawan tampaknya lemah tak bertenaga, namun tak berani ia
menangkis. Mengikuti gerak putaran pedangnya, ia menghindar ke samping baru balas
menyerang lagi. Pelajaran yang diterima dari kakek Hian-song yang sakti itu, meliputi
berbagai ilmu pedang dari partai persilatan ternama. Sebentar ia gunakan ilmu pedang
dari Hoa-san-pay, sebentar berganti dengan ilmu pedang dari partai Kun-lun-pay. Setiap
jurus yang dimainkan tentu merupakan ilmu permainan istimewa dari partai persilatan
yang bersangkutan. Dalam waktu yang singkat saja, Ngo Cong-hian sudah terdesak mandi keringat.
Tiba-tiba Siu-lam bersuit nyaring dan tubuhnya melambung ke atas. Segumpal sinar
pedang segera mengurung kepala Ngo Cong-hian.
"Omitohud! Jurus Thian-ong-lo-jiok yang indah sekali!" tiba-tiba Tay Hong berseru.
Baru ia mengucap begitu, sekonyong-konyong Siu-lam menarik pulang pedang dan
mundur sampai lima langkah.
Merah padam muka jago tua Ngo Cong-hian. Tiba-tiba ia merangkap kedua tangan
memberi salam, serunya, "Ilmu pedangmu sungguh hebat. Aku tak mampu melawan!"
Habis berkata jago tua itu berputar diri lari keluar".
Tay Hong cepat-cepat lintangkan lengannya mencegah, "Menang kalah adalah jamak.
Mengapa Ngo tayhiap begitu bersungguh-sungguh?"
Lengan ketua Siau-lim-si itu bagai sebuah palang besi yang kokoh sekali sehingga Ngo
Cong-hian tak dapat berjalan lagi.
Su Bo-tun kerutkan kening memandang Siu-lam dengan tajam. Dari kerut wajahnya,
jelas kalau ia merasa terkejut. Namun karena dia tak suka bicara, dia tak mau
mengutarakan isi hatinya.
Tay Hong memandang Siu-lam, ujarnya, "Maukah siau-sicu mengeluarkan kutungan
jarum Chit-jiau-soh yang ada pada sicu itu?"
Siu-lam berpaling dan suruh Hian-song mengeluarkan kutungan jarum Chit-jiau-soh.
Dara itu segera menyerahkan jarum pada si anak muda.
"Apakah jarum kutung ini yang disebut Chit-jiau-soh, aku sendiri tak tahu. Silahkan
cianpwe sekalian memeriksanya?" kata Siu-lam sambil meletakkan jarum itu di telapak
tangannya. "Benar! Benar!" serentak terdengarlah teriakan bergemuruh memenuhi ruangan.
Siu-lam segera hendak menyerahkan jarum itu kepada Hian-song. Tiba-tiba Tay Hong
siansu berseru, "Harap siau-sicu serahkan jarum itu kepada loni."
Siu-lam meragu sejenak tetapi akhirnya ia menghampiri ke tempat ketua Siau-lim-si,
katanya, "Jarum ini pemberian seorang lo-cianpwe. Kami hendak menukarkannya dengan
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah benda lain. Silahkan locianpwe memeriksa, tetapi setelah selesai harap
kembalikan kepada wanpwe!"
Jika Siu-lam mengatakan bahwa jarum itu merupakan tanda undangan dari Beng-gak
untuk menghadiri rapat yang diselenggarakannya, tentulah urusan takkan berlarut-larut
panjang. Tetapi dengan memberikan keterangan seperti yang diucapkan kepada Tay
Hong itu, bahkan Saiauw Yau-cu pun tertarik perhatiannya.
Mata Tay Hong berkilat-kilat memandang jarum yang berada di telapak tangan Siu-lam,
serunya, "Jika siau-sicu kuatir loni takkan mengembalikan, lebih baik sicu simpan saja"."
Ketua Siau-lim-si itu berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Tentang asal-usul jarum itu
harap siau-sicu menerangkan yang jelas agar menghilangkan kecurigaan para hadirin!"
Diam-diam Siu-lam mengeluh. Suasana saat itu gawat sekali. Sekali salah bicara pasti
akan menimbulkan bencana jarum. Disimpannya lalu tertawalah ia, "Tentang asal-usul
jarum ini, wanpwe benar-benar kurang jelas?" ia berpaling pada Hian-song dan minta
dara itu agar menceritakan apa yang diketahui tentang jarum itu.
Siu-lam seorang pemuda cerdas. Sejak tempo hari, memang ia sudah menduga kakek
Hian-song itu tentu mempunyai hubungan dengan pihak Beng-gak. Tetapi saat itu Siu-lam
sungkan untuk menanyakan pada kakek Hian-song. Sedang karena si dara masih kecil,
juga sukar untuk mengorek keterangan.
Tetapi kini di hadapan hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan di seluruh
penjuru, di antara tokoh-tokoh yang sudah tergolong cianpwe (angkatan tua) itu tentulah
ada seorang dua orang yang dapat membantu membuka tabir yang menyelimuti jarum
kutung itu. Atas dasar pemikiran itulah maka Siu-lam minta si dara bercerita.
Serta merta Hian-song menghampiri Siu-lam. "Suheng, kau menghendaki aku
mengatakan bagaimana?" serunya. Memang wajar sekali pertanyaan dara itu. Karena
sejak kecil ia hanya ikut pada sang kakek, tak tahulah ia asal-usul dirinya. Maka ia
bingung apa yang harus diceritakan.
Siu-lam memandang wajah si dara. Sesaat timbullah rasa kasihannya, pikirnya, "Begitu
ikhlas ia menaruh kepercayaan kepadaku, tetapi aku bersikap dingin kepadanya"."
Siu-lam menghela napas, katanya, "Terserahlah katakan apa saja yang kau ketahui.
Jika mereka tak percaya, kita pun tak dapat berbuat apa-apa!"
Si dara berkeliaran memandang kepada hadirin lalu berkata, "Jarum kutung ini kuterima
dari kakekku di kala beliau hendak menutup mata. Beliau suruh aku menukarkan jarum
itu dengan seseorang. Jarum itu supaya ditukar dengan sebatang pedang?" Di hadapan
sekian banyak orang, dara itu tak lancar bicaranya. Maka setelah mengucap beberapa
patah, ia pun berhenti lagi.
Sekalipun begitu, cukup sudah untuk membangkitkan perhatian para hadirin. Tiba-tiba
Tay Hong meminta pada Siu-lam, "Bolehkah siau-sicu meminjamkan jarum itu kepada
loni?" Kali ini Siu-lam tak banyak bicara terus saja menyerahkan jarum. Tay Hong memeriksa
dengan seksama sekali. Dari bekas kutungannya, jelas mengunjukkan bahwa bekas itu
sudah lama sekali. Setelah menyerahkan kembali jarum itu kepada Siu-lam, berkatalah
ketua Siau-lim-si itu, "Menurut pemeriksaan loni, bekas kutungan jarum itu mungkin
terjadi pada beberapa belas tahun yang lalu!"
Tiba-tiba Siau Yau-cu berbangkit dan menghampiri ke muka Hian-song, "Siapakah
namamu?" Sejenak dara itu memandang ke arah Siu-lam, kemudian menyahut, "Aku bernama Tan
Hian-song!" "Tan Hian-song! Tan Hian-song!" Siau Yau-cu mengulang beberapa kali lalu bertanya
pula, "Dapatkah nona memberitahukan nama orang tua nona?"
Hian-song kerutkan dahi, ia menggeleng, "Aku tak pernah melihat wajah orang tuaku.
Bagaimana aku dapat mengetahui namanya?"
Jawaban itu membuat Siau Yau-cu terbeliak. Buru-buru ia menghaturkan maaf, "Maaf
atas kelancanganku bertanya. Tetapi siapakah kiranya yang memelihara nona selama
ini"." Hian-song pejamkan mata. Dua butir air mata menetes turun. Sahutnya dengan
rawan, "Aku ikut pada kakekku"."
"Kalau begitu nona tentu tahu siapa nama kakek nona yang mulia?" tanya Siau Yau-cu.
Di luar dugaan dara itu tetap gelengkan kepala, "Selain memberi pelajaran menulis dan
ilmu silat, baik nama ayahbundaku maupun nama kakek sendiri, tak pernah beliau
mengatakan kepadaku!"
Pernyataan Hian-song itu mendapat sambutan helaan napas dari para hadirin. Siau
Yau-cu beralih memandang Siu-lam, serunya, "Karena saudara berbahasa suheng sumoay
dengan nona ini, tentulah saudara tahu tentang riwayatnya."
Baru Siu-lam hendak menjawab, Hian-song sudah mendahului, "Kalau aku sendiri yang
tersangkut tidak tahu asal-usul diriku, bagaimana suheng dapat mengetahui" Apa
perlunya menanyakan padanya?"
Para hadirin mengindahkan sekali pada Siau Yau-cu yang dianggap sebagai cianpwe.
Maka tiada seorang pun yang lancang mengganggu pembicaraan jago tua itu.
Siau Yau-cu berbatuk-batuk berapa kali lalu bertanya lagi, "Walaupun tak tahu
namanya tetapi nona tentu masih ingat potongan wajah kakek nona itu!"
Agaknya Hian-song sudah mulai bosan mendengar pertanyaan Siau Yau-cu. Ia
berpaling kepada Siu-lam, serunya, "Suheng, mengapa orang tua ini ceriwis sekali
bertanya tak putus-putusnya" Perlukah kuberitahukan?"
Siu-lam tersenyum, "Siau lo-cianpwee adalah seorang angkatan tua dari Bu-tong-pay.
Jika sumoay tahu, tiada halangan memberitahukan kepadanya."
Sebenarnya diam-diam Siu-lam juga ingin mengetahui hal itu sendiri. Hanya ia segan
untuk bertanya pada Hian-song.
Hian-song berdiam merenung. Rupanya ia hendak mengingat-ingat peristiwa yang
lampau. Pada lain saat ia berkata, "Ketika aku tahu apa saat itu kakek sudah tua sekali.
Dia menderita luka berat. Setiap hari dia tentu gunakan waktu sepenuhnya untuk
mengajar aku ilmu silat dan ilmu sastra. Tak pernah dia membicarakan lain-lain soal
kepadaku. Dan akupun tak tahu penyakit apa yang dideritanya itu. Tetapi kurasa
penyakitnya itu amat parah sekali."
Siau Yau-cu telah menumpah seluruh perhatiannya untuk mendengarkan cerita si dara.
Ketika Hian-song tiba-tiba berhenti, segera ia bertanya, "Yang aku tanyakan ialah wajah
kakek nona dan berapakah usianya. Entah apakah nona suka memberitahukan hal itu?"
"Berapa usia tua kakekku itu" Ah, aku benar-benar tak tahu. Mungkin di antara
delapan puluhan tahun. Jenggotnya yang putih memanjang sampai ke dada. Tubuhnya
kurus dan lemah!" Siau Yau-cu berdiam sampai beberapa saat. Kemudian ia menegas, "Apakah kata-kata
nona itu benar-benar sesungguhnya?"
"Kalau sudah mau memberitahukan kepadamu, masak aku bohong!" sahut Hian-song.
Mata Siau Yau-cu yang tinggal satu itu berkilat-kilat menyapu seluruh hadirin. Tiba-tiba
ia mundur dua langkah dan meraba tangkai pedangnya.
"Di antara kalian berdua, siapakah yang kepandaiannya paling tinggi?"
Melihat jago tua itu merubah tangkai pedang dengan wajah memberingas, sekalian
hadirin segera berbondong-bondong mundur dan kembali ke tempat duduk masingmasing.
Hanya Tay Hong siansu dan Su Bo-tun yang masih hidup tetap berdiri di tempat.
Siu-lam berpaling kepada Hian-song dan minta dara itu supaya mundur dulu, "Biarlah
aku yang lebih dulu akan menerima pelajaran dari lo-cianpwe ini. Jika tak kuat, barulah
sumoay yang maju!" katanya seraya mencabut pedang dan melangkah maju.
Jago tua dari Bu-tong-pay itupun lintangkan pedangnya di dada lalu berseru dingin,
"Pertandingan ini menyangkut mati hidup. Harap jangan bersenda gurau!"
Siu-lampun bersiap diri, "Silahkan lo-cianpwe memulai. Matipun wanpwe takkan
menyesal!" "Aku mengembara di dunia persilatan tak begitu lama. Selama itu tak pernah kuturun
tangan lebih dulu. Silahkan saudara yang mulai!"
Siu-lampun tak mau banyak bicara lagi. Begitu getarkan pedang, segera ia menusuk ke
dada Siau Yau-cu. Siau Yau-cu gerakkan pedang. Seketika berhamburan segumpal sinar pedang menabur
pedang Siu-lam. Tring" seketika Siu-lam rasakan tangannya kesemutan. Pedangnya
hampir terlepas. Buru-buru ia empos semangat dan mundur tiga langkah.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
Tenang sekali Siau Yau-cu mengangkat pedang lagi, kaki kiri maju selangkah, pedang
menusuk ke muka. Tampaknya biasa saja gerak serangan itu. Tetapi yang hebat adalah
gerakan kaki kiri yang maju mengikuti pedang itu. Benar-benar sukar dijaga.
Siu-lam pun sudah siap. Dengan kerahkan seluruh tenaga ia maju menyerang. Pedang
diputar laksana kitiran, sekaligus diserangkan pada tiga buah jalan darah Hian-im, Ciangtay
dan Ki-bun. Siau Yau-cu tersenyum serunya, "Jurus Hwe-chiu-gin-hoa yang bagus! Pujian itu
ditutup dengan menusuk ke tengah lingkaran sinar pedang Siu-lam. Dan begitu ujung
pedang tergetar terpecah berhamburan menusuk siku lengan Siu-lam sebelah kanan?"
Walaupun Siu-lam bergerak lebih dulu, tetapi ternyata Siau Yau-cu lebih cepat
serangannya. Untuk kedua kalinya Siu-lam dipaksa harus loncat mundur lagi!
Siau Yau-cu tak mau mengejar. Dia tegak di tempat sambil lintangkan pedangnya.
Serunya tersenyum, "Jurus Hwe-chiu-gin-hoa yang kau mainkan tadi, meskipun
gerakannya tak salah, tapi tenagamu masih kurang cukup. Gerak serangannya pun
kurang cepat. Pembukaan dan penutupnya tidak serasi. Sayang ilmu pedang yang begitu
sakti, menjadi berkurang perbawanya.
Diam-diam Siu-lam mengakui tajamnya pandangan jago tua itu. Memang dari kakek
Hian-song, dia tak pernah menerima ilmu pedang yang lengkap. Maka tak dapatlah ia
melengkapi setiap pembukaan dengan penutupannya.
Siu-lam tenangkan diri sejenak. Setelah itu dia mengerang lagi. Pedang ditusukkan ke
kiri lalu dibabatkan ke kanan. Sekaligus ia lancarkan empat buah serangan. Kali ini bukan
melainkan cepat, pun juga dilengkapi dengan penutupnya.
Dan memang kali ini, Siau Yau-cu tak semudah memecahkan seperti tadi. Tampak jago
tua itu tegak mematung. Pedangnya diputar-putar menjadi sebuah lingkaran sinar.
Tring, tring, tring" keempat serangan Siu-lam terpental oleh sinar pedang Siau Yau-cu.
Karena menderita kegagalan, Siu-lam mundur lima langkah. Pedang dijulurkan ke muka
dalam sikap menunggu lawan.
Tetapi ternyata Siau Yau-cu tak mau menyerang. Dia tetap berdiri di tempatnya sambil
lintangkan pedang. Ia mengangguk tertawa.
"Empat jurus serangan pedang tadi, adalah merupakan empat buah serangan berantai
dari ilmu pedang Bu-tong-pay yang disebut Leng-hong-cap-pek-kiam (ilmu pedang
delapan belas angin puyuh). Di dunia persilatan ilmu pedang itu dijuluki sebagai Tui-huntohbeng-kiam (Pedang mengejar roh perampas jiwa). Jika tenaga dan latihanmu sudah
dapat mencapai keseimbangan, aku tentu sukar menghadapinya!"
Kata-kata jago tua itu mengandung nada pujian. Sekalian hadirin yang terdiri dari
tokoh-tokoh persilatan ternama, pun kagum. Mereka tak nyana bahwa seorang pemuda
yang berusia kurang lebih dua puluhan tahun, ternyata dapat memiliki ilmu pedang sakti
dari partay Bu-tong-pay yang termasyhur.
Siu-lam tenangkan diri. Tiba-tiba ia maju menyerang lagi. Kali ini dia menusuk ke dada
orang. Tampaknya gerakannya amat sederhana. Tetapi bagi Siau Yau-cu yang dipandang
sebagai seorang Kiam-seng (nabi pedang), tidak demikian. Tiba-tiba jago tua itu mundur
dua langkah lalu putar pedangnya dengan gencar sekali. Seketika berhamburanlah
bergumpal-gumpal sinar putih.
Melihat gerakan pedang yang sedemikian dahsyatnya, terpaksa Siu-lam tak berani
menangkis. Buru-buru ia menarik pedang dan mundur ke belakang.
Setelah dapat mengundurkan si anak muda, Siau Yau-cu pun hentikan putarannya
pedang. Ia mengangguk dan berseru memuji, "Jurus It-cut-keng-thian yang bagus.
Itulah ilmu pedang istimewa dari partay Hoa-san-pay. Entah dari manakah saudara dapat
mempelajarinya?" Pertanyaan itu menyadarkan Siu-lam bahwa kini dirinya benar-benar telah mempunyai
kepandaian yang sakti. Di hadapannya sekian banyak tokoh-tokoh ternama, ia mendapat
pujian dari seorang tokoh macam Siau Yau-cu, mau tak mau ia gembira juga.
"Ah, lo-cianpwe keliwat memuji wanpwe. Wanpwe benar-benar tak berani menerima
pujian begitu tinggi"."
Tiba-tiba Siau Yau-cu berkata, "Sekarang, aku hendak balas menyerangmu!" Ia
menutup kata-katanya dengan melangkah maju. Pedang dihamburkan ke arah kepala Siulam.
Siu-lam terkejut sekali. Dilihatnya pedang lawan telah berubah menjadi ribuan batang
pedang yang menyerang dari empat jurusan. Ia benar-benar bingung untuk menangkis.
Dalam kebingungan tiba-tiba ia teringat akan jurus Bi-kun-bik-jit (awan tebal menutup
matahari) ajaran dari si kakek sakti. Serentak ia mainkan pedangnya untuk melindungi
kepalanya. Kemudian ia geserkan kaki kirinya, setelah langkah ke samping sambil
memutar pedangnya. Tring" tring" terdengar dering ujung pedang beradu nyaring dan
tahu-tahu berhasillah ia keluar dari lingkaran pedang lawan".
Siau Yau-cu mendesis lirih. Pedang digetarkan dan iapun menyerang lagi. Kali ini
serangannya lebih hebat. Sedikitpun ia tak mau memberi ampun. Selain gencarnya
sederas hujan mencurah, pun batang pedang telah disaluri lwekang. Wut, wut, wut"
anginnya menderu-deru berhamburan di udara. Dalam sekejap saja kembali Siu-lam
terbungkus oleh sinar pedang!
Melihat Siu-lam tak berdaya, Hian-song tak karuan. Dengan melengking, ia menyerbu!
Melihat itu Tay Hong siansu goyangkan tangan kirinya dan keempat paderi tinggi besar
tadipun segera berjajar-jajar menghadang si dara.
Hian-song murka. Tanpa bicara apa-apa, ia gerakkan kedua tangannya. Yang kanan
menghantam, yang kiri menutuk. Pukulan dan tutukan itu mengarah bagian yang
berbahaya. Ganasnya bukan main.
Kedua paderi yang berjajar di sebelah muka terpaksa mundur lalu menangkis. Mereka
berempat adalah paderi-paderi Siau-lim-si yang berkedudukan tinggi. Tak mau mereka
berkelahi dengan seorang anak perempuan. Maka merekapun tak mau balas menyerang.
Hian-song berdiri tegak menunggu serangan. Tetapi karena lawan tiada bergerak,
iapun menyerang lagi. Ruang perjamuan yang tak seberapa besarnya itu tak menyempatkan orang
menggunakan ilmu ginkang. Maka jika hendak menolong Siu-lam, si dara harus
menerobos hadangan keempat paderi. Dalam kebingungan, Hian-song lancarkan
serangan maut. Betapapun halnya ia harus dapat membantu Siu-lam. Kekalapan dara itu
membuat keempat paderi kelabakan untuk menjaga diri. Untung mereka mempunyai
kepandaian tinggi dan tenaga sakti. Hantaman mereka berempat, menderu-deru laksana
badai prahara. Setelah beberapa kali serangan tak berhasil Hian-songpun merubah siasatnya. Tak lagi
ia menyerang maju melainkan cukup memperhebat pukulannya. Keempat paderi makin
sibuk dan terpaksa mereka membalas menyerang untuk melindungi diri.
Tay Hong siansu terkejut menyaksikan kepandaian Hian-song. Hampir ia tak percaya
bahwa seorang anak perempuan yang begitu muda belia ternyata mempunyai ilmu
kepandaian yang begitu sakti. Diam-diam ketua Siau-lim-si itu gelisah. Jika keempat houhwat
itu tak mampu mengalahkan seorang dara, Siau-lim-si pasti akan menjadi bulanbulan
ejekan orang persilatan. Sedangkan sebagai ketua Siau-lim-si, ia tak dapat
merendahkan diri untuk maju melawan seorang dara tak terkenal.
Kegelisahan Tay Hong siansu makin memuncak ketika dilihatnya keempat paderi
terpontang-panting tak mampu balas menyerang lagi.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring dan seketika taburan sinar pedang Siau
Yau-cu yang memenuhi ruang, hilang lenyap".
Sekalian hadirin memandang ke tengah gelanggang. Tampak Siu-lam berdiri di
samping masih mencekal pedang. Tetapi wajahnya pucat lesi, kepalanya basah kuyub
mandi keringat". Sementara Siauw Yau-cu loncat ke sudut ruang. Wajahnya tenang sekali seperti tak
mengalami kejadian suatu apa.
Sekalian hadirin tidak tahu bagaimana kesudahan pertempuran tadi. Bahkan Hian-song
yang sedang bertempur dengan keempat paderi tadipun serentak berhenti.
Tiba-tiba tubuh Siu-lam terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Dan
"huak"!" tahu-tahu ia muntah darah.
"Pui suheng!" Hian-song menjerit kaget seraya lari menghampiri. Cepat-cepat ia
menyanggapi tubuh Siu-lam agar jangan sampai jatuh, "Kau terluka?" tanyanya penuh
cemas. Siu-lam tersenyum, "Tak apalah. Aku hanya terlalu banyak menggunakan tenaga.
Sebentar tentu akan baik sendiri!"
Mendengar nada suara si anak muda masih terang, legalah hati Hian-song. Tampak
Siau Yau-cu menghampiri. Wajahnya amat serius.
Hening seketika. Semua mata dicurahkan pada gerak-gerik jago tua itu. Mereka
berdebar-debar menantikan apa yang akan terjadi.
Hian-song cepat merebut pedang Siu-lam. Dia siap melindungi anak muda itu apabila
Siau Yau-cu berani menyerang lagi.
Tiba-tiba jarak empat, lima langkah, Siau Yau-cu berhenti. Matanya yang tinggal satu,
berkilat-kilat memandang si dara, "Silahkan nona menyingkir ke samping. Aku hendak
bicara kepadanya!" "Bicara kepadaku, juga sama saja!" sahut si dara.
Tiba-tiba Siu-lam melangkah dua tindak ke samping lalu memberi hormat kepada jago
tua itu, "Apa yang lo-cianpwe hendak memberi petunjuk, wanpwee bersedia mendengar!"
"Siapa yang mengajarmu jurus ilmu pedang untuk menangkis seranganku tadi?" tanya
Siau Yau-cu. Siu-lam berdiam sejenak, sahutnya, "Ketika lo-cianpwee tadi menyerang, aku hampir
tidak dapat bertahan lagi. Tiba-tiba aku teringat sebuah jurus ilmu pedang"."
"Benar! Memang dalam permainan pedangmu banyak yang mencurigakan.
Pertempuran pada belasan tahun berselang di mana ketua gerombolan Beng-gak mainkan
ilmu pedangnya yang sakti, saat ini muncul kembali dalam ruang sini"."
Seketika gemparlah seluruh hadirin!
"Apa?" Siu-lam berteriak kaget, "Ilmu pedang yang kumainkan tadi serupa dengan ilmu
pedang dari gerombolan Beng-gak?"
Siau Yau-cu berseru nyaring, "Apakah ketua Beng-gak sekarang ini sama dengan
perempuan siluman yang menjadi pemilik jarum Chit-jiau-soh dahulu itu, sebelum melihat
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya aku tak berani menetapkan dulu"."
Berpuluh-puluh pasang mata menumpah ruah ke arah Siau Yau-cu dan Siu-lam.
Pernyataan Siau Yau-cu itu benar-benar menggetarkan semangat para hadirin. Benarkah
ketua Beng-gak yang menyelenggarakan pesta maut di lembah Coat-beng-koh itu sama
orangnya dengan iblis perempuan pemilik jarum Chit-jiau-soh yang pernah menggegerkan
dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu"
Sejenak Siau Yau-cu sapukan pandangannya kepada hadirin, kemudian baru berkata
lagi dengan pelahan, "Dari permainan pedang saudara kecil ini, aku sudah mempunyai
kesan yang mencurigakan. Maka kuserangnya dia dengan gencar. Kepandaiannya
memang hebat tetapi dalam hal tenaga dalam dia masih kalah jauh sekali dengan aku.
Tetapi ketika dalam keadaan terdesak, dia tiba-tiba mengeluarkan kepandaiannya yang
aneh." "Mengapa lo-cianpwe menganggap permainanku itu aneh?" tanya Siu-lam penuh
keheranan. "Mataku yang kiri ini terluka dengan jurus itu! Maka terhadap jurus permainan itu
kuingat jelas sekali. Berpuluh tahun yang lalu, aku mengasingkan diri di tengah gunung.
Kucurahkan seluruh waktuku untuk menciptakan ilmu pedang guna menghancurkan jurus
permainan yang telah menghilangkan sebelah mataku itu. Kuyakin aku telah berhasil
menciptakan ilmu pedang yang dapat mengalahkan jurus itu. Tetapi siapa tahu ketika kau
gunakan jurus itu, ternyata aku masih tak mampu menghadapi!"
Diam-diam Siu-lam teringat akan kata-kata kakek Hian-song tempo hari, bahwa di
dunia persilatan tak ada tokoh yang mampu menghadapi jurus ilmu pedang yang
diajarkannya itu. Dan di dunia pun tiada orang kedua yang memiliki ilmu pedang itu!
Teringat hal itu diam-diam menyesal karena ia hanya dapat menguasai separoh bagian
saja dari ilmu pedang sakti itu.
"Belasan tahun aku bersembunyi dalam pegunungan. Kucurahkan hidupku untuk
menciptakan ilmu penghancur ilmu pedang itu. Rasanya di dunia memang tiada lagi orang
kedua yang mampu menggunakan ilmu pedang ajaib itu kecuali si iblis perempuan. Maka
jika saudara tak mau mengatakan siapa yang mengajarkan padamu, sukar bagiku untuk
tak menaruh kecurigaan pada dirimu!"
Wajah Siu-lam mengerut serius. Dia balas bertanya, "Apakah lo-cianpwe memastikan
bahwa yang melukai lo-cianpwe itu seorang wanita?"
Pernyataan Siu-lam itu membuat sekalian hadirin terkesiap. Mereka tak mengerti
mengapa si anak muda bertanya begitu.
"Aku takkan salah melihatnya!" sahut Siau Yau-cu tegas.
Siu-lam berdiam diri. Setelah memandang ke sekeliling hadirin, kemudian ia
memandang kepada Hian-song, "Sumoay, tentang luka yang diderita Tan lo-cianpwe,
apakah beliau tak pernah mengatakan padamu?"
Si dara gelengkan kepala, "Tidak, sejak aku besar, memang kakek menderita penyakit
itu. Dia hanya kadang-kadang keluar mencari daun obat. Selebihnya dia tak pernah
keluar dari kamarnya!"
Siu-lam menghela napas, katanya pula, "Cobalah sumoay ingat-ingat lagi. Apakah
selama belasan tahun itu tiada orang yang pernah datang berkunjung pada beliau?"
Hian-song merenung. Beberapa lama kemudian baru ia berkata, "Rasanya pernah ada
seorang tetapi waktu itu aku masih kecil. Ketika kakek bercakap-cakap dengan dia di
kamar, samar-samar aku masih ingat. Orang itu seorang buta. Sejauh ingatanku, orang
buta itu adalah satu-satunya tetamu yang pernah berkunjung pada kakek. Tetapi pun
hanya satu kali itu saja. Selanjutnya tak pernah datang lagi."
Siu-lam sejenak berpaling kepada Siau Yau-cu itu kemudian menghadap si dara lagi,
tanyanya, "Cobalah sumoay ingat-ingat lagi. Apakah yang mereka bicarakan dalam kamar
itu?" Kali ini Hian-song gelengkan kepala, "Waktu itu aku baru berumur sepuluhan tahun.
Jika tetamu itu bukan seorang buta, akupun tentu tak ingat lagi. Dia tinggal setengah hari
di kamar kakek. Akupun tak memasuki kamarnya. Biasanya begitu bangun pagi, kakek
tentu mengharuskan aku berlatih silat. Hanya hari itu karena menerima si buta, ia
menginginkan aku bermain keluar. Setelah si buta pergi, barulah kakek memanggilku
pulang." "Selain tetamu buta itu, apakah tiada lagi yang pernah berkunjung?" tanya Siu-lam.
"Tidak pernah! Ya hanya tetamu buta itu!" sahut Hian-song.
Tiba-tiba Siu-lam mengajukan pertanyaan, "Sumoay, ketika aku singgah di kedaimu,
kulihat kedua tetamu itu tertutuk jalan darahnya. Siapakah mereka?"
Rupanya Siu-lam lupa bahwa saat itu ia sedang berada dalam sebuah perjamuan yang
dihadiri puluhan tokoh-tokoh ternama dari segenap penjuru. Ia tak henti-hentinya
bertanya agar si dara dapat mengingat peristiwa yang lampau. Pernyataan Siau Yau-cu
bahwa ilmu pedang yang dimainkan dari ajaran si kakek itu, ternyata sama dengan ilmu
pedang wanita pemilik jarum Chit-jiau-soh. Keinginan untuk menyelidik hal itu besar
sekali. Hian-song tersenyum, "Ih, kau masih ingat peristiwa itu?"
"Ya, siapakah yang menutuk mereka?" tanya Siu-lam.
"Siapa lagi kalau bukan aku!" jawab Hian-song, "Tetapi hal itu tiada hubungannya
dengan kakek. Kedua orang itu cengar-cengir hendak berlaku kurang ajar kepadaku lalu
kututuk jalan darahnya. Jadi tak ada sangkut pautnya dengan kakek. Sebelum kakek
bangun, mereka sudah kulepas lagi?" tiba-tiba dara itu agak tersipu-sipu, ujarnya, "Eh,
waktu itu akupun membohongimu, karena memberitahukan padamu kalau kakek sedang
ke pasar. Sebenarnya di waktu itu kakek berada di rumah. Lukanya sedang kambuh?"
Tiba-tiba seorang paderi tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Dia memberi
hormat di hadapan Tay Hong siansu. Setelah mengucap beberapa patah kata dia lalu
keluar lagi. Hal itu agak membuyarkan perhatian para hadirin. Kini perhatian mereka
ditujukan kepada Tay Hong. Mereka duga tentu terjadi sesuatu yang penting.
Ketua Siau-lim-si itu menyapukan pandangannya pada para hadirin lalu bertanya, "Di
antara saudara-saudara, siapakah yang kenal akan Tian-ki-ci Gan Leng-po?"
Walaupun Gan Leng-po jarang keluar di masyarakat ramai dan karena sikapnya yang
dingin, orang segan berhubungan dengannya. Namun setiap orang persilatan tahu akan
tabib sakti. Tiba-tiba Thian Hong totiang menyelutuk, "Aku pernah berjumpa dengannya. Tetapi
dia sudah berubaha pikirannya, agak tak waras!"
"Omitohud!" seru Tay Hong siansu, "Apa dasarnya ucapan to-heng itu?"
"Rombongan kami telah menyaksikan sendiri. Tentulah tak keliru!"
"Benar, akupun melihat sendiri!" tiba-tiba Golok Sakti Lo Kun berseru.
Diam-diam Siu-lam gelisah. Jika tabib gila itu masih kenal padanya dan di hadapan
hadirin meminta kembali peta Telaga Darah, tentulah akan timbul kerunyaman"."
Tay Hog berpaling kepada kedua muridnya yang berada di samping, "Minta pada ruang
Tat-mo-wan agar mengirim dua orang untuk membawa tetamu itu masuk!"
Kedua paderi kecil itu melakukan perintah.
Siau Yau-cu bertanya kepada Thian Hong, "Apakah Ti-ki-cu Gan Leng-po itu yang
disohorkan dunia persilatan sebagai tabib sakti murid dari Lo Hian?"
Belum Thian Hong menyahut Golok Sakti Lo Kun sudah mendahului mengiakan.
"Karena saudara kenal padanya, apakah desas-desus yang mengatakan dia itu murid Lo
Hian, memang benar?"
Lo Kun mengurut-urut jenggotnya. Pada lain saat ia berseru, "Hal itu memang sukar
dikata. Menurut kabar yang tersiar, memang Gan Leng-po pernah berjumpa dengan Lo
Hian. Tapi Lo Hian itu macam naga sakti yang penuh diliputi rahasia. Banyak cerita di
dunia persilatan mengenai dirinya, tetapi selama itu tiada yang dapat memberi bukti.
Hingga tokoh Lo Hian itu seolah-olah hanya hidup dalam cerita saja. Mungkin Gan Lengpo
benar-benar telah berjumpa padanya atau mungkin juga dia hanya mengaku-aku
sebagai murid Lo Hian agar namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tabib. Dia tak
menduga bahwa dengan itu bakal dibanjiri oleh orang-orang yang hendak minta
pertolongan. Mungkin karena kewalahan akhirnya ia lari menyembunyikan diri di gunung
Kiu-kiong-san." Karena Lo Kun dipandang sebagai orang jago tua yang banyak pengalaman, maka tiada
seorangpun yang mengusik pembicaraannya.
Satu-satunya yang berani nyeletuk adalah Siau Yau-cu, tanyanya, "Lo-heng tinggal
lama di Kang-lam. Entah apakah pernah dengar tentang peta Telaga Darah?"
Lo Kun mengurut-urut jenggot, tertawa, "Para hadirin di sini, kebanyakan tentu sudah
mendengar cerita peta Telaga Darah itu. Tetapi benda itupun serupa halnya dengan diri
Lo Hian. Ceritanya memang ada tapi yang pernah melihat sendiri, mungkin tidak ada?"
tiba-tiba ia berhenti karena merasa kelepasan omong. Buru-buru ia berseru, "Tetapi entah
siapakah di antara saudara-saudara yang pernah melihat peta Telaga Darah?"
Jantung Siu-lam berdebar keras. Buru-buru kini berpaling karena takut tak dapat
menguasai perasaannya. Memang pertanyaan Lo Kun itu membuat suasana hening lelap. Tiada seorang pun
yang membuka mulut. Setelah beberapa lama tiada yang menyahut, Lo Kun hendak
bicara lagi. Tetapi tiba-tiba Su Bo-tun batuk-batuk dan berbangkit perlahan-lahan. Kini
sekalian hadirin memandang kepadanya.
Tetapi ternyata Su Bo-tun hanya bergeliat pinggang lalu duduk kembali. Memang kaum
persilatan telah mengetahui bagaimana watak orang she Su itu. Tak seorangpun yang
suka cari perkara padanya. Maka tingkah lakunya yang aneh itupun dibiarkan saja.
Siau Yau-cu kerukan kening lalu berpaling kepada Tay Hong siansu, "Aku hendak
mohon tanya kepada taysu?"
Tay Hong mempersilahkan, "Silahkan Siau lo-cianpwee memberi petunjuk!"
"Ah, janganlah taysu menyebut dengan panggilan begitu. Aku adalah kawan suheng
taysu, maka kita ini sama tingkatan!"
"Baiklah. Silahkan Siau-heng bertanya," kata Tay Hong siansu.
Kata Siau Yau-cu, "Eng-hiong-tay-hwe kali ini, bertujuan untuk menghadapi gerombolan
Beng-gak. Untuk menyelamatkan dunia persilatan dari bahaya keganasan. Yang
memenuhi datang dalam pertemuan ini harus mempunyai tujuan dan tekad yang sama.
Sehidup semati dan senasib seperjuangan. Semua harus berlaku jujur. Di antara saudara
hadirin, jika ada yang tahu tentang peta itu, sebaiknya suka mengatakanlah.
Mata Su Bo-tun menumpah pada Siau Yau-cu, katanya dengan nada dingin, "Apakah
dampratan Siau-heng itu ditujukan pada aku?"
"Harap jangan salah paham. Maksudku tak lain hanya mengharap agar saudarasaudara
sekalian suka mencurahkan isi hatinya secara terbuka. Dengan begitu kita
mempunyai kemungkinan untuk mencari jejak ketua Beng-gak. Pengetahuan itu akan
menjadi pegangan kita di dalam menghadapinya nanti!"
"Seumur hidup aku tak pernah mengatakan sesuatu yang tak mempunyai!" dengus Su
Bo-tun. Karena menghadapi seorang tokoh seperti Siau Yau-cu, Su Bo-tun pun agak
sungkan. Siau Yau-cu menghela napas. Pada saat ia hendak berkata, tiba-tiba muncullah dua
orang paderi dengan membawa orang tua. Orang tua bertubuh kurus, mencekal sebatang
tongkat bambu. Sekalian hadirin diam saja mengawasi orang tua kurus itu. Hanya Siu-lam yang diamdiam
terkejut. Karena ia tahu orang itu bukan lain Gan Leng-po sendiri".
Begitu melangkah masuk, Gan Leng-po sapukan pandangannya sekeliling. Ketika
matanya tertumbuk pada Siu-lam, tiba-tiba ia berhenti. Wajahnya berubah tegang.
Siu-lam tergetar hatinya. Dia tahu kalau tabib itu sudah mengetahui dirinya. Jika
sampai dia (Gan Leng-po) mengatakan dirinya mempunyai peta Telaga Darah, tentulah
akan menimbulkan kegemparan besar.
Rupanya hadirinpun mulai memperhatikan gerak-gerik Gan Leng-po. Karena tabib itu
terus-menerus memandang Siu-lam, sekalian orangpun menjadi tegang.
Siu-lam segera berpaling kepada Hian-song dan memanggilnya.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini suheng!" seru si dara seraya menghampiri.
Dara itu memang cerdik tetapi sayang dia tak punya pengalaman. Apa yang dikandung
dalam hati terus saja ditumpahkan secara kontan.
Sebaliknya Siu-lam kelabakan. Kata-kata terus terang dari si dara seolah-olah
memberitahu kepada orang bahwa keduanya hendak melarikan diri. Bukan main tegang
Siu-lam sehingga tubuhnya mengucurkan keringat dingin. Namun ia berusaha keras untuk
tetap bersikap setenang mungkin.
"Apakah kau takut?" tanyanya kepada Hian-song dengan disertai senyum tertawa.
Pertanyaan yang tepat sekali. Selain untuk menghindari kecurigaan orang, sekaligus
dapat membakar semangat si dara yang terkenal keras kepala itu.
Menyahutlah Hian-song dengan tegas, "Mengapa takut" Sekalipun mereka maju
semua, akupun tak gentar!"
Secara demonstratif (menyolok) Siu-lam menepuk-nepuk bahu dara itu. Pemuda itu
hendak melonggarkan ketegangannya. Tetapi lupa bahwa Hian-song seorang gadis.
Tindakannya tak sesuai dengan tata santun hubungan antara pria dan wanita pada masa
itu. Apalagi dilakukan di depan sekian banyak orang. Sekalian hadirin sama menyeringai
hina. Rupanya Siu-lam menyadari tindakannya yang melampaui batas kesopanan itu. Buruburu
ia menarik pulang tangannya. Dilihatnya si dara pun kemaluan". Tetapi bibirnya
mengulum senyum bahagia. Tiba-tiba ia berkisar menatap wajah Siu-lam. Keduanya
saling beradu pandang".
Dalam anggapan Hian-song, Siu-lam satu-satunya orang yang menjadi tiang
sandarannya di dunia. Tindakan Siu-lam tadi dianggapnya suatu pernyataan yang
menyambut harapan si dara.
"Di hadapan sekian banyak orang dia begitu mesra kepadaku tentulah dia sudah
menerima diriku sebagai kawan hidup. Antara pria dan wanita yang paling mesra dan
akrab hubungannya adalah di antara suami istri. Ah, memang aku goblok sekali. Dia
sudah mencintai diriku mengapa sedikitpun aku tak menyadari?" demikian pikiran yang
menghinggapi benak Hian-song saat itu.
"Engkoh Lam, kalau kita berdua sampai kalah menghadapi sekian banyak orang, tak
apalah. Bukan kita yang harus malu, tetapi merekalah!" katanya. Ia berusaha untuk
membesarkan hati Siu-lam.
Tiba-tiba wajah Gan Leng-po menggersang menghela napas lalu berteriak sekuatkuatnya,
"Hiat-te-tho, Hiat-te-tho?" tiba-tiba ia rubuh terkapar di tanah.
Tay Hong kerutkan alis berseru pelahan, "Omitohud?" ia melesat ke tempat Gan Lengpo
menyambar tubuh tabib itu.
Sekalian hadirin terkejut. Sedang Siau Yau-cu pun segera menghampiri untuk memberi
pertolongan. Setelah diurut-urut beberapa saat, jago tua itu menghela napas, "Mengapa
detak nadinya lemah sekali."
"Ah, tak kukira kalau tabib yang termasyhur sakti ternyata tidak mampu mengobati
dirinya sendiri?" dengus Su Bo-tun.
Kata-kata itu benar-benar tidak simpatik. Sekalian hadirin tak puas mendengarnya.
Siau Yau-cu berpaling kepadanya, "Apakah Su-heng kenal padanya?"
Jawab Su Bo-tun dingin, "Dia mempunyai nama besar sebagai tabib sakti, tetapi
diragukan kepandaiannya tak sepadan dengan namanya"."
"Bagaimana Su-heng tahu?" tukas Siau Yau-cu dengan wajah agak mengerut.
"Jika dia memang pandai ilmu obat-obatan tentu tak perlu ngerepotkan Siau-heng!"
Siau Yau-cu memandang tajam kepada Su Bo-tun, matanya membertik kemarahan.
Sekalian hadirin gelisah. Kedua orang itu merupakan tokoh-tokoh yang sakti tetapi
berwatak aneh. Jika mereka sampai bentrok, dikuatirkan pertemuan besar itu akan
mengalami kegagalan besar!
"Menurut pendapat Siau-heng, bagaimanakah keadaan saudara Gan" Apakah dia ada
harapan tertolong?" buru-buru Tay Hong menyela.
"Dia lama kehilangan kesadaran pikirannya. Dan karena kurang beristirahat, badannya
lemah sekali. Tetapi bagi seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, takkan menderita begitu
apabila tak mengalami penderitaan batin yang hebat"."
Tiba-tiba Lo Kun menyelutuk, "Pada beberapa bulan terakhir ini, di wilayah Kanglam
telah tersiar berita tentang munculnya peta Telaga Darah. Dan menurut kabar, Ti-ki-cu
Gan Leng-po itu merupakan ahli waris dari Lo Hian yang diberi peta itu. Pemimpin
golongan hitam Siau-bin-it-tiau Wan Kiu-gui pernah membawa anak buahnya ke Kiu-kiongsan.
Aku dan Thian Hong totiang pun menuju ke gunung itu juga. Di tengah jalan telah
berpapasan dengan dia (Gan Leng-po). Keadaannya sudah tak karuan. Rambut terurai
kusut, pakaian compang-camping dan tingkah lakunya limbung"."
Lo Kun berhenti bicara. Apa yang diketahui tentang diri si tabib hanya terbatas sampai
di situ. Ia berpaling kepada Siu-lam dan berseru, "Saudara tentu tahu lebih banyak.
Maukah kau mengatakannya?"
Dalam keadaan seperti itu, Siu-lam tak dapat menyembunyikan diri lagi. Karena hal itu
pasti akan mempertebal kecurigaan orang kepada dirinya. Segera ia menuturkan
pengalamannya selama beberapa bulan ini. Tetapi bagian mengenai peta Telaga Darah
tak diceritakan. Diaturnya ceritanya itu dengan hati-hati sehingga tak menimbulkan
kecurigaan orang. Sambil dengarkan cerita, Siau Yau-cu menyalurkan tenaga dalam ke beberapa jalan
darah di tubuh Gan Leng-po. Berkat tenaga dalam sakti dari jago tua itu, tak berapa lama
dapatlah Gan Leng-po tersadar. Sejenak ia memandang kepada Siau Yau-cu, lalu duduk
bersila menyalurkan tenaganya.
Kembali ruangan sunyi senyap. Tetapi hati hadirin tetap tak tenteram, penuh diliputi
ketegangan menunggu Gan Leng-po sadar. Diam-diam Siu-lam berdoa agar kesadaran
pikiran si tabib jangan sampai sembuh. Karena sekali tabib itu dapat mengingat peristiwa
yang lampau, tentulah akan mengoceh, dan ia serta Hian-song pasti akan menjadi bulanbulanan
perhatian hadirin. Detik-detik penuh ketegangan itu benar-benar mencengkeram suasana pertemuan
sehingga ketua Siau-lim-si sebagai penyelenggara pertemuan itupun tak dapat berbuat
apa-apa. Beberapa saat kemudian ketua Siau-lim-si itu segera berbisik-bisik suruh pelayan
paderi-paderi kecil menghidangkan minuman dan makanan kepada hadirin. Dalam
beberapa saat meja-meja yang tadi telah disingkirkan ke samping, diatur lagi. Sekian
tokoh-tokoh pun segera mengambil tempat duduk. Siau Yau-cu berhadapan dengan Siulam.
Setelah hidangan selesai dihidangkan maka Tay Hong segera mengangkat cawan arak
dan berseru, "Sejak kecil pinceng (aku) telah menjalankan pantangan tak makan daging
dan minum arak. Tetapi hari ini pinceng sengaja melanggar pantangannya itu dan
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempersembahkan arak kehormatan kepada saudara-saudara sekalian. Demi
keselamatan seluruh kaum persilatan dan rakyat semoga Tuhan memberkahi perjalanan
kita ke Beng-gak menemui undangan"."
Upacara yang penuh bernada budi-asih itu telah menyentuh perasaan sekalian hadirin.
Bahkan seorang tokoh berhati dingin macam Su Bo-tun pun ikut berdiri mengangkat
cawan arak dan meneguk bersama-sama.
Tiba-tiba Gan Leng-po membuka mata terus bangun dan duduk di sebuah kursi di
dekatnya, ia menyambar sumpit (sendok) terus makan dan minum sepuas-puasnya. Dia
tak mengacuhkan sekalian hadirin yang terheran-heran melihatnya. Sambil tundukkan
kepala, ia mengganyang makanan dengan lahapnya. Ternyata dia kuat sekali makan dan
minumnya. Hidangan yang berada di meja, telah diganyangnya habis-habisan.
Siau Yau-cu menghela napas pelahan, serunya, "Siapakah di antara saudara-saudara
yang kenal padanya?"
Lo Kun berpaling dan mengamat-amati wajah Gan Leng-po dengan tajam. Serunya,
"Orang limbung yang kami jumpai di gunung Kiu-kiong-san tempo hari, memang mirip
sekali dengan dia. Tetapi kala itu wajahnya tertutup rambutnya yang terurai kusut masai
dan pakaiannya pun tak keruan. Lain dengan saat ini"."
Agaknya Su Bo-tun muak mendengar keterangan Lo Kun yang tak banyak bedanya
dengan yang tadi. Ia mendengus, menyambar cawan arak lalu diteguknya habis.
Karena dengusan itu, Lo Kun buktikan kata-katanya dan berpaling memandang orang
she Su itu. Tay Hong kuatir kedua orang itu bentrok. Buru-buru ia berbangkit, serunya,
"Apakah menurut Lo-heng orang itu benar Sin-ih Gan Leng-po yang termasyhur?"
Lo Kun terkesiap, sahutnya, "Memang dia mirip sekali dengan orang tua gila yang kami
jumpai di Kiu-kiong-san. Tetapi apakah dia itu Gan Leng-po, tak berani kupastikan.
Hanya kalau menilik gerak-geriknya kemungkinan memang benar!"
Tiba-tiba seorang tua yang jenggotnya putih menjalar sampai ke dada, berbangkit,
"Aku tinggal di daerah utara, tetapi sering kali mendengar tentang Gan Leng-po yang
termasyhur sebagai tabib sakti dan berilmu silat tinggi. Tokoh semacam itu tentulah
mempunyai wibawa seperti seorang dewa. Tetapi orang itu tolol dan limbung mana sesuai
dengan pribadi Gan Leng-po" Karena Lo-heng ini tak dapat member kesaksian yang pasti,
sebaiknya tak usah kita perbincangkan lebih lanjut. Undangan Beng-gak sudah dekat
sekali waktunya. Setiap detik, berharga bagi kita. Lebih baik kita segera rundingkan
langkah untuk menghadapi Beng-gak daripada membicarakan seorang tua limbung yang
tiada gunanya!" Walaupun perkataan jago tua itu ditujukan pada pimpinan pertemuan, tetapi pada
hakekatnya mengandung dampratan halus pada Lo Kun. Lo Kun merah padam mukanya
tetapi untuk beberapa saat tak dapat ia memberi jawaban yang tepat. Ia terlongonglongong,
duduk berdiri serba salah. Dipandangnya orang yang mengancamnya tadi.
Tetapi ia tak kenal. Melihat Lo Kun dalam kesukaran, buru-buru Kat Thian-beng berbangkit dan bertanya
dengan tawar kepada orang tadi, "Karena Kau-heng sudah lama mendengar nama Gan
Leng-po, tentulah juga sudah mengenalnya, bukan?"
Orang tua she Ku itu tersenyum, "Apakah maksud Kat-heng bertanya padaku itu"
Apakah Kat-heng masih tak melupakan peristiwa kecil pada dua tahun yang lalu itu" Tadi
aku berkata hanya sering mendengar kebesaran nama Gan Leng-po sebagai tabib sakti,
tetapi aku tak mengatakan pernah melihatnya!"
"Ah, terhadap Kiu-sing-tui-hun (Sembilan Bintang Pengejar Nyawa) Kau Cin-hong yang
termasyhur di enam propinsi utara, masakan aku berani mengecam. Hanya kalau Kauheng
menganggap kata-kata semacam yang kuajukan itu tak sedap didengar, hendaknya
janganlah Kau-heng tujukan pada lain orang juga!"
Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong tertawa dingin, "Dengan begitu Kat-heng memang
hendak mempersulit aku?"
Tenang-tenang Kat Thian-beng menyahut, "Setiap hal tentu ada pangkal dan ujungnya.
Manusiapun mempunyai hati yang baik dan buruk. Kau-heng sendiri mengecam orang
seenaknya saja. Apakah hal itu" Apalagi ternyata Kau-heng hanya mendengar nama Gan
Leng-po sebagai tabib sakti tetapi tak mengetahui tentang peta Telaga Darah. Tahu
ujungnya tak tahu pangkalnya, dan toh sudah bangga setengah mati. Padahal apa yang
diketahuinya hanya bagian luarnya yang kosong melompong"."
Brak" tiba-tiba terdengar suara tinju menghantam meja. Karena marahnya, Kau Cinhong
menghantam meja. Makanan dan minuman yang berada di meja itu pecah
berantakan beterbangan kemana-mana".
Melihat ketegangan itu, buru-buru Tay Hong siansu berseru, "Harap saudara berdua
memandang muka loni dan duduk tenang. Segala apa dapat dirundingkan dengan
tenang!" Jilid 12 PERLU diketahui bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu, terdiri dari jagojago
terkemuka dalam daerahnya masing-masing. Setiap orang mempunyai keangkuhan
dan harga diri. Maka setiap hal betapapun kecilnya tetapi dirasa menyinggung perasaan
tentu mudah menimbulkan bentrokan. Adalah berkat kewibawaan ketua Siau-lim-si maka
bentrokan-bentrokan dapat diatasi sebaik-baiknya.
Kat Thian-beng bersahabat baik dengan Tay Hong siansu. Maka iapun segera duduk.
Tiba-tiba Siauw Yau-cu membuka suara, "Memang akupun pernah mendengar tentang
cerita Lo Hian. Sayang sekalian hadirin di sini tak ada yang dapat membuktikan benar
tidaknya cerita itu. Jika pribadi Lo Hian itu memang ada maka kemungkinan besar
perempuan iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh itu mempunyai hubungan dengan tokoh Lo
Hian"." Karena tak tahan, Siu-lam serentak berbangkit. Tetapi pada saat ia hendak membuka
mulut menceritakan tentang terbunuhnya kedua gurunya serta rahasia dari peta Telaga
Darah, tiba-tiba ia batalkan. Pikirnya, "Ah, rahasia besar itu mana boleh kuceritakan
kepada orang luar. Ternyata sebagian besar orang-orang yang hadir di sini tak tahu
menahu tentang peta Telaga Darah. Sekali mendengar tentang peta itu, mereka tentu
akan berlomba-lomba mengejarnya."
Dengan pertimbangan itu, iapun duduk kembali.
Tay Hong kerutkan alis, serunya, "Apakah yang siauw-sicu hendak katakan" Silahkan,
sekalipun salah, tak apalah!"
Belum Siu-lam menyahut, Siauw Yan-cu sudah melanjutkan kata-katanya lagi, "Dahulu
ketika aku bersama jago-jago sakti dari empat partai persilatan menempur perempuan
siluman itu, jelas kuperhatikan ilmu pedangnya terdiri dari beberapa macam ilmu pedang
sakti. Sebentar dia gunakan ilmu pedang partai Hoa-san-pay, sebentar ia keluarkan ilmu
pedang sakti dari Kun-lun-pay. Ilmu pedang itu ternyata merupakan gabungan dari semua
ilmu pedang sakti berbagai partai persilatan. Hampir serupa dengan permainan pedang
saudara ini (Siu-lam). Bedanya hanya perempuan iblis itu lebih hebat lwekangnya serta
lebih ganas"." Pada waktu mengucapkan kata-kata terakhir itu, mata Siau Yau-cu memandang Siulam.
Siu-lam berpaling memandang Hian-song tetapi dara itupun hanya balas memandang
kepadanya. "Dan terutama permainan pedang saudara kecil itu sewaktu memecahkan seranganku.
Benar-benar sama dengan permainan pedang si perempuan iblis ketika melukai mataku
yang kiri. Jika ketua gerombolan Beng-gak itu juga perempuan siluman pemilik jarum Chitjiausoh, terang kalau ia mempunyai hubungan dengan anak muda ini. Sekurangkurangnya
tentu kepandaiannya berasal dari satu sumber!"
Hian-song pelahan-lahan menarik ujung baju Siu-lam, bisiknya, "Engkoh Lam, apakah
jurus permainan pedang yang kaumainkan tadi, ajaran dari kakekku?"
Siu-lam mengangguk, "Benar, memang Tan lo-cianpwe yang mengajarkan!"
Dara itu merenung beberapa jenak, katanya pula, "Eh, kalau begitu apapun kakek
mempunyai hubungan dengan perempuan siluman pemilik Chit-jiau-soh?"
Mendengar si dara memaki pemiliki Chit-jiau-soh sebagai perempuan siluman, sekian
orang sama memandang kepadanya.
"Aneh!" tiba-tiba Su Bo-tun menghela napas dan mendengus. Tetapi hanya sepatah itu
saja lalu dia tak mau bicara lagi. Tahu bagaimana wataknya, sekalian orangpun tak mau
bertanya kepadanya. Siu-lam segera berbangkit, "Bahwa Siau lo-cianpwe menaruh kecurigaan, memang tak
dapat dipersalahkan. Wanpwe tak berani mengatakan ilmu pedang yang wanpwe mainkan
tadi ada hubungannya dengan orang Beng-gak atau tidak?" sejenak ia berpaling kepada
Hian-song, katanya pula, "Tetapi yang jelas ilmu pedang itu wanpwe terima dari kakek
nona Tan ini ialah Tan lo-cianpwe. Seorang tua yang kasihan sekali nasibnya karena
walaupun memiliki kesaktian tetapi dirundung luka dalam yang parah. Saudara-saudara
yang hadir di sini adalah para ksatria yang ternama. Tentu mempunyai pengalaman yang
luas. Asal ada yang mengetahui tentang diri lo-cianpwe yang memakai she Tan, tentulah
rahasia yang berbelit-belit ini dapat tersingkap!"
"Siau-sicu benar!" seru Tay Hong siansu.
Siau Yau-cu pun berkata, "Sayang di antara kita yang hadir di sini tak ada yang tahu
apakah orang tua aneh ini benar-benar si tabib sakti Gan Leng-po. Karena di dunia
mungkin hanya dia yang pernah ketemu Lo Hian."
Siu-lam memandang tajam kepada lelaki tua yang masih duduk terlongong-longong itu.
Beberapa saat kemudian, berkatalah ia perlahan-lahan, "Dia memang Ti-ki-cu Gan Lengpo,
tetapi"." Gemuruh hiruk pikuk sekalian hadirin mengerat kata-kata Siu-lam yang belum selesai.
"Harap siau-sicu memeriksa lagi dengan teliti. Benarkah dia Gan Leng-po?" seru Tay
Hong siansu dengan nada berat.
Berpuluh-puluh mata menimpah ruah kepada Siu-lam. Seolah-olah pesakitan yang
sedang menunggu keputusan hakim".
"Tak salah lagi, dia memang Ti-ki-cu Gan Leng-po!" sahut Siu-lam dengan wajah
bersungguh, "Wanpwe telah berjumpa dengan dia di pondok terapung bulan yang lalu.
Sampai lama aku bercakap-cakap dengannya sehingga tak mungkin salah lagi. Tetapi kini
dia sudah gila mungkin tak dapat mengingat peristiwa yang lampau lagi?" tiba-tiba ia
berhenti. Terlintas sesuatu pada pikirannya, "Penyakit gila tabib itu masih belum sembuh.
Mengapa ia berpakaian baru dan dapat menuju ke atas gunung Thay-san" Tak mungkin
seorang gila mampu mencapai puncak Beng-gwat-ciang apabila tak dibawa orang!"
Sekalian orang memandang Siu-lam seorang pemuda yang penuh misteri. Bukan saja
memiliki kesaktian yang di luar penilaian orang, pun ucapannya mengenai diri lelaki tua
sebagai Gan Leng-po itu disambut dengan penuh kekagetan!
Karena melihat pemuda itu tak melanjutkan keterangannya, Tay Hong segera menegur,
"Jika siau-sicu kenal padanya, harap suka memberi keterangan yang jelas. Jika hal itu
dapat menjadi jalan ke arah menundukkan gerombolan Beng-gak, besar nian jasa siausicu
terhadap dunia persilatan!"
Kata Siu-lam dengan hormat, "Ada suatu hal yang secara tak terduga-duga menjadi
buah pikiran wanpwe. Dalam hal ini wanpwe mohon petunjuk taysu!"
Dengan serentak Tay Hong memberikan kesediaannya. Siu-lam memandang Gan Lengpo
lekat-lekat, serunya, "Jelas bahwa penyakitnya gila masih belum sembuh. Tetapi
bagaimana dia dapat naik ke puncak Beng-gwat-ciang sini" Dan bukankah kedatangannya
itu tepat sekali pada waktu perjamuan sedang berlangsung?"
Tay Hong terkesiap. Ia hendak perintah paderi kecil untuk menyelidiki siapakah yang
membawa tabib itu tadi. Tapi buru-buru Siu-lam berkata, "Jika memang tak ada orang
yang mengirimnya kemari, jelas penyakit gila tabib itu patut disangsikan. Tetapi jika
memang ada orang yang mengantarnya kemari, maka orang yang mengantar itulah
merupakan jejak yang harus kita selidiki!"
Tay Hong memuji pendapat Siu-lam. Ia segera membisiki paderi kecil yang berada di
samping dan paderi kecil itupun segera lari keluar.
Suasana menjadi tenang kembali. Sekalian hadirin setuju akan pernyataan Siu-lam.
Mereka tak sabar lagi menanti kedatangan paderi kecil itu. Tak berapa lama kembalilah
paderi kecil itu dengan membawa seorang bocah lelaki yang memakai kopiah. Dua orang
paderi tinggi besar yang menyanggul golok kwat-to mengiring ke belakang mereka.
Bocah laki-laki itu walaupun pakaiannya jelek dan robek-robek, tetapi nyalinya besar.
Tenang-tenang saja ia melangkah masuk ke dalam ruang yang penuh dengan berpuluhpuluh
tokoh silat. Tay Hong kerutkan kening, tegurnya, "Marilah maju mendekat sini, aku hendak
bertanya padamu." Jejaka tanggung berpakaian buruk itu umurnya baru lima belasan tahun. Tetapi kerut
wajahnya yang penuh ketenangan itu menandakan bahwa dia seorang kelana dalam dunia
persilatan. Sambil mengangguk, iapun maju ke hadapan Tay Hong.
Mata Tay Hong yang tajam segera menarik kecurigaan. Diperhatikannya sorot mata
pemuda tanggung itu kejam sekali dan sikapnya pun luar biasa. Tetapi mengapa
mengenakan pakaian yang compang-camping" Ah, mungkin tentu ada sesuatu dengan
bocah itu. Diam-diam Tay Hong siansu salurkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
Kira-kira terpisah dua tiga meter dari ketua Siau-lim-si, berhentilah pemuda tanggung
itu. Sejenak ia sapukan mata memandang ke sekeliling hadirin kemudian tegak berdiri
dengan tangan menjulai. Setelah menunggu beberapa saat, barulah Tay Hong tersenyum. Menuding ke arah Gan
Leng-po, bertanyalah ia, "Adakah siau-sicu kenal dengan orang itu?"
Pemuda tanggung itu mengangguk-angguk tiga kali tetapi tak menjawab sepatah pun
juga. "Karena kau yang membawanya kemari, tentulah kau tahu namanya?" tanya Tay Hong
pula. Kali ini si pemuda tanggung gelengkan kepala.
"Eh, mengapa kau tak bicara" Apakah kau gagu?" seru Tay Hong siansu dengan keras.
Pemuda tanggung itu menunjuk mulutnya sendiri lalu geleng-geleng kepala.
Ketua Siau-lim-si menghela napas, ujarnya, "Loni tak mau menyakiti orang. Tetapi
caramu bergerak seperti orang gagu itu, tak mungkin dapat mengelabuhi loni!"
Pemuda tanggung itu tetap tak bicara. Tenang sekali sikapnya seolah-olah memang tak
mendengar apa yang diucapkan Tay Hong siansu.
Tay Hong agak kewalahan. Mengingat kedudukan sebagai ketua Siau-lim-si yang
termasyhur, ia tak mau turun tangan terhadap seorang bocah yang baru berumur lima
belasan tahun. Walaupun diketahui bocah itu sedang bermain sandiwara, namun ketua
Siau-lim-si itu tak dapat berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong berdiri dan berseru, "Karena taysu sebagai
ketua Siau-lim-si segan berurusan dengan seorang bocah, baiklah serahkan padaku saja!"
"Baiklah," jawab Tay Hong, "menilik air muka dia seorang anak yang cerdik. Tidak
menyerupai seorang gagu. Harap Kau-heng menanyainya."
Kau Cin-hong tertawa, "Seorang gagu pasti tuli telinganya. Tetapi dia tadi dapat
mendengar dengan baik. Tak mungkin gagu. Tentu hanya berpura-pura saja!"
Tiba-tiba jago tua itu menggebrak meja, dan membentak bocah itu, "Kemarilah!"
Melihat Kau Cin-hong menggebrak meja beberapa orang yang duduk di sebelahnya
sama loncat menyingkir. Mereka tak mau kecipratan makanan seperti tadi lagi. Karena
ternyata tak ada mangkuk yang pecah, orang-orang itupun kembali duduk lagi.
Bocah itu mengerut wajah kurang senang. Dipandangnya Kau Cin-hong sejenak lalu
melangkah menghampirinya.
Kau Cin-hong mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan dan wataknya keras.
Diam-diam ia heran mengapa bocah itu dan begitu tenang walaupun ia menunjuk sikap
bengis. Ia harus berjaga diri. Ketika bocah itu sudah hampir dekat, cepat ia membentak,
"Berhenti!" Bocah itupun berhenti. Sedikitpun ia tak mengunjuk rasa jeri atau takut.
"Budak, lihatlah siapa saja yang berada dalam ruangan ini. Mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan yang ternama. Jangan kau berlagak gagu" jika tetap tak mau bicara jangan
tanya dosa nanti!" Pemuda aneh itu memandang pada Siu-lam lalu Hian-song tundukkan kepala.
Berulangkali ia berlaku begitu. Kau Cin-hong sama sekali tak dihiraukan.
Jago tua itu marah sekali. Wut, ia ulurkan tangan menyambar siku lengan si bocah.
Tetapi Kau Cin-hong hampir mengeluh kaget ketika pemuda tanggung itu menyingkir ke
samping. Ilmu sambaran Kin-na-chiu dengan mudah dapat dihindari bocah itu.
Hampir Cin-hong tak percaya apa yang disaksikan. Ilmu sambarang tangan yang
disebut Kin-na-chiu itu, jarang sekali jago-jago persilatan yang mampu meloloskan diri.
Tetapi seenaknya saja bocah itu menghindar. Kemudian ia terus memandang Siu-lam dan
Hian-song saja. Diam-diam Siu-lam risih, pikirnya, "Eh, kenapa dia memandangku tak hentinya?" Dia
balas memandang dengan seksama. Eh, rasanya ia pernah bertemu dengan pemuda
tanggung itu. Tapi entah di mana"."
Pemuda tanggung itu beradu pandang dengan Siu-lam tiba-tiba tertawa sehingga
tampak dua deret giginya yang putih dan rapi. Sebaliknya Siu-lam heran.
Tiba-tiba Siau Yau-cu berbangkit dan maju ke muka, "Saudara, kau gesit sekali?"
secepat kilat tangannya kiri menyambar.
Pemuda tanggung itu cepat-cepat mengendap ke bawah dan tiba-tiba melesat ke
samping. Dia terhindar dari cengkeram Siau Yau-cu. Kejadian itu benar-benar
menggemparkan. Sekalian hadirin tersentak berdiri dan siap-siap hendak menghadang
bocah itu. Sekalian hadirin punya pendapat yang sama. Pada diri pemuda tanggung itulah
akan dapat diperoleh kesaksian benar tidaknya lelaki tua yang gila itu Gan Leng-po. Dan
mungkin juga bocah itu akan merupakan kunci untuk mencari keterangan tentang
gerombolan Beng-gak. Hanya Su Bo-tun yang masih tetap duduk. Hanya matanya tak hentinya memperhatikan
tingkah laku bocah aneh itu.
Karena hadirin jago-jago silat semua, maka dengan cepat mereka segera mengatur diri,
mengepung pemuda tanggung yang bermuka kotor itu. Tetapi bocah itu tetap acuh tak
acuh. Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong melangkah maju setindak, bentaknya, "Budak, jika masih
tetap membisu, tentu kuhajar!" sambil membentak Kau Cin-hong ulurkan tangan kanan
mencengkeram bahu kanan pemuda itu.
Bocah itu mengangkat tubuh, tanpa kelihatan kakinya gerak, tahu-tahu ia sudah
meluncur ke muka, menuju ke tempat Siu-lam berdiri.
"Kembalilah!" Siu-lam mendorongkan tangan kanan dengan jurus Tui-bo-cu-lan
Bocah itu tertawa. Tangan yang kotor menampar dan tiba-tiba mencengkeram lengan
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siu-lam yang bermula memandang rendah, tak keburu menghindar lagi. Ia terkejut sekali
ketika rasakan angin tamparan bocah itu panas sekali. Apabila tangannya kena
tercengkeram, tentu celaka.
Walaupun sudah memiliki kekuatiran begitu, namun Siu-lam tetap tak mampu
menghindari diri. Uh, ia rasakan siku lengan kanannya tercengkeram. Serangkum hawa
panas meresap keras. Buru-buru ia hendak salurkan tenaga dalam untuk melawan, tapi
tiba-tiba bocah itu sudah loncat ke samping.
Sejak pertempurannya dengan Siau Yau-cu tadi, sekalian hadirin menganggap Siu-lam
yang seorang pemuda sakti. Pun loncatnya bocah itu ke samping, mereka sangka tentulah
karena dipentalkan oleh tenaga Siu-lam yang lihay. Mereka tak tahu sama sekali bahwa
bocah itu memang atas kemauannya sendiri loncat ke samping itu.
Siu-lam tegak berdampingan dengan Hian-song. Dara itu melihat jelas apa yang terjadi.
Tetapi dia kurang pengalaman sehingga tak dapat mengetahui sebabnya. Paling-paling ia
anggap, matanya agak kabur.
Siu-lam tercengang karena tangannya kena terlumur kotoran minyak tangan si bocah.
Namun ia pun heran mengapa bocah itu hanya menjamahnya tanpa melukai. Dan ketika
memandang ke muka tampak bocah itu tertawa menyeringai memandangnya dengan
mesra. Siu-lam makin tertarik perhatiannya. Dipandangnya bocah itu beberapa kali. Aneh,
kenapa seorang pemuda mempunyai wajah yang cantik dan tubuh langsing. Ia merasa
seperti melihatnya tetapi entah di mana.
Tiba-tiba Tui-hong-tiau Ngo Cong-hian mengerung keras dan menghantam bocah desa
itu. Memang loncatnya bocah itu tepat berada di samping. Semula ia hendak turun tangan
tapi masih ragu-ragu. Kalau sampai menggigit jari seperti Siau Yau-cu dan Kau Cin-hong,
ia tentu jatuh merk. Namun yang terdekat dengan bocah itu adalah dia. Kalau dia tak
bergerak, orang lainpun tentu sungkan. Apa boleh buat, terpaksa ia turun tangan juga.
Tadi Kau Cin-hong dan Siau Yau-cu gunakan menyambar tapi mengalami kegagalan.
Maka sekarang tak mau ia berlaku sungkan kepada bocah itu. Sekali gerak, ia lepaskan
hantaman keras. Tetapi serempak dengan hantaman itu serentak tersadarlah ia akan
kedudukan dirinya. Pantaskah seorang tokoh seperti dia, menghantam seorang bocah
kotor" Ah, ia menyesal sendiri tetapi tangannya sudah terlanjur terlepas. Wut, bocah itu
seperti terdampar kena angin dan terpental ke belakang. Tetapi anehnya gerak
melayangnya tubuh bocah itu enak dan indah sekali. Bukan macam laying-layang putus
tetapi seperti bintang beralih tempat.
Seketika terlintaslah sesuatu pada benak Siu-lam, "Eh, benarkah dia yang menyamar?"
tanyanya dalam hati. Kali ini Golok Sakti Lo Kun berteriak nyaring, "Hai, budak kotor! Jika tetap membandel,
jangan salahkan aku si orang tua menghajar anak kecil!" sambil mengacungkan tinju, Lo
Kun menerjang. Juga Lo Kun mempunyai pertimbangan yang sama. Walaupun tahu bahwa bocah itu
lebih sakti dari dirinya, tetapi ia sungkan kalau tak turun tangan. Untuk menjaga
kemungkinan dia mendapat malu, maka dilantangkanlah kata-kata yang garang lebih dulu.
Pada saat bocah muka kotor itu hendak melayang turun ke lantai, tiba-tiba tubuhnya
berhenti di atas dan wuuut" ia ayunkan tubuhnya ke atas tiang penglari kemudian baru
melayang turun. Sekalian hadirin tercengang. Bukan seolah-olah hebatnya ilmu ginkang bocah itu.
Beberapa saat kemudian baru terdengar Tay Hong siansu berseru, "Omitohud! Jurus Hudpohlian-tay yang bagus!"
Hud-poh-lian-tay artinya Buddah berjalan di atas teratai bunga telaga.
Sin-kiu-kiau-in Su Bo-tun tertawa dingin, serentak ia berbangkit dan perlahan-lahan
menghampiri ke tengah gelanggang. Serunya, "Itu ginkang semacam itu, belum patut
diherankan. Menutup penyaluran lwekang lalu menyalurkan ke perut dan melambung ke
atas lalu turun lagi bukanlah suatu pekerjaan yang sukar!"
Watak Su Bo-tun yang eksentrik (aneh) memang sudah terkenal. Pada waktu sekalian
hadirin mengepung bocah kotor itu, dia tetap enak-enak duduk. Dan bahwa saat itu ia
turun ke gelanggang sendiri, benar-benar menarik perhatian. Bahwa seorang tokoh
macam Siau Yau-cu pun ikut tertarik.
Dalam pada itu Hian-song menghampiri ke samping Siu-lam, bisiknya, "Lengkoh Lam,
aku pun dapat juga melakukan ilmu ginkang seperti bocah itu."
Karena pikirannya sedang dipusatkan untuk mengingat siapakah bocah bermuka kotor
itu, maka Siu-lam tak menaruh perhatian pada kata-kata Hian-song. Ia hanya ganda
tertawa hampa. Dan Hian-song yang masih bersifat kekanak-kanakan, ikut tertawa juga.
Tetapi ketika Hian-song berpaling ke muka, dilihatnya bocah muka kotor itu masih
memandang lekat-lekat pada Siu-lam. Hian-song heran, serunya, "Eh, engkoh Lam,
apakah dia kenal padamu" Mengapa dia terus-menerus memandang padamu saja?"
Belum Siu-lam menyahut, tiba-tiba Su Bo-tun sudah tiba di sampingnya dan tak
disangka-sangka tokoh aneh itu terus menyambar siku lengan Siu-lam. Siu-lam kaget
tetapi sudah tak keburu menghindar lagi. Siku lengannya kena tercengkeram!
"Lepaskan!" melihat itu, secepat kilat Hian-song gunakan dua buah jarinya untuk
menusuk. Memang cepat sekali gerakan si dara itu. Tetapi sayang dia berhadapan dengan
seorang tokoh semacam Su Bo-tun. Dengan sebuah gerakan menyurut mundur dua
langkah, dapatlah tusukan si dara itu dihindari.
Tetapi Hian-songpun dara yang jalan darah Hian-seng-si-kwannya sudah tertembus.
Dia dapat bergerak dalam posisi yang bagaimanapun juga. Tusukannya luput, cepat sekali
ia sudah menyerang lagi dengan pukulan dan tutukan jari. Sekaligus ia lancarkan empat
buah serangan. Cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan seolah-olah. Yang diarah
ialah bagian jalan darah maut dari lawan!
Walaupun Su Bo-tun pemilik dari ilmu langkah Chit-sing-tun-hing (Tujuh Bintang
Beralih) yang sakti, tetapi karena tangan kanannya sedang mencengkeram lengan Siu-lam,
maka gerakannyapun kurang leluasa. Hanya sekejap ia agak berayal menghindar, maka
bahu kanannya terkena ujung jari Hian-song. Seketika ia rasakan lengannya kesemutan.
Cengkeramannya kendur. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Siu-lam untuk
berontak lalu lompat ke samping.
Setelah pemuda itu terlepas, gerakan Su Bo-tun pun lebih leluasa. Segera ia mainkan
gerak Chit-sing-tun-hing. Kesaktian gerakan kaki itu dengan cepat dapat menghindari
serbuan jari Hian-song. Tetapi pada saat Su Bo-tun hendak lancarkan balasan, Hian-song
pun sudah buang tubuhnya loncat beberapa meter ke belakang!
Siu-lam dengan penuh toleransi memberi hormat kepada Su Bo-tun, "Su lo-cianpwe
adalah seorang yang sangat diindahkan di dunia persilatan. Tetapi tindakan menyerang
tanpa memberitahukan apa-apa itu, apakah lo-cianpwe tak merasa merendahkan diri?"
Tutukan jari Hian-song pada bahunya tadi, saat itu mulai terasa sakit. Cek Su Bo-tun
kerahkan tenaga dalam untuk menolak rasa sakit itu. Diam-diam ia terkejut atas kelihayan
si dara. Karena sedang menyalurkan lwekang maka tak mau ia menyahut teguran Siu-lam.
Ia hanya berpaling dan memandang dingin kepada pemuda ini.
Sekalian hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan kawakan, cepat mengetahui
bahwa bocah bermuka kotor itu mempunyai hubungan dengan Siu-lam. Sedangkan Tay
Hong siansu segera memberi perintah kepada paderi bocah yang berada di samping.
Paderi bocah itupun segera keluar.
Tiba-tiba Siau Yau-cu melangkah maju menghampiri si bocah bermuka kotor dan
membentaknya, "Gan Leng-po yang asli kau bawa kemana, hah!"
Ucapan jago tua dari Bu-tong-pay itu benar-benar menggegerkan seluruh ruangan.
Bahkan si bocah bermuka kotor itu sendiripun tercengang dan melongo. Tetapi rupanya
bocah itu seorang cerdas. Cepat-cepat ia mengatupkan mulutnya yang menganga.
Perubahan muka bocah itu diketahui jelas oleh Siau Yau-cu. Sebagai seorang persilatan
yang bangkotan, cepat ia dapat melihat kelemahan bocah itu. Serunya tertawa, "Ho,
jangan kau berpura-pura bisu! Berkepandaian tinggi dan mempunyai wajah bagus,
mengapa dilumuri kotoran tak karuan" Perlua apa memakai pakaian compang-camping
untuk menutupi keadaan dirimu yang sebenarnya?"
Sejenak bocah itu keliarkan pandangannya ke sekeliling hadirin. Kemudian perlahanlahan
ia mengatupkan mata dan tetap membisu.
Sementara itu Tay Hong siansu segera menghampiri ke meja tempat si lelaki tua tadi,
serunya, "Apakah sicu ini Sih-in Gan Leng-po yang termasyhur?"
Lelaki tua itu berpaling memandang dingin kepada ketua Siau-lim-si. Tay Hong
menghela napas. Diam-diam ia memperhatikan keadaan orang aneh itu. Kesimpulannya:
dia memang tidak berpura-pura tetapi kemungkinan ditotok jalan darahnya atau diberi
minum racun yang dapat melumpuhkan tenaga dalamnya.
"Ah, asal dapat menolongnya, kemungkinan tentu dapat memperoleh keterangan yang
berharga. Jika dia benar Gan Leng-po, tentu dapat menuturkan apa yang telah terjadi
padanya. Tetapi jika bukan Gan Leng-po, pun tak apalah. Memberi pertolongan kepada
orang yang menderita adalah perbuatan yang mulia!" akhirnya ia mengambil keputusan.
Setelah mengerahkan tenaga dalam, ketua Siau-lim-si itu sekonyong-konyong
menggembor keras dan menampar ubun-ubun kepala orang tua itu.
Kiu-sing-tui-hun Kan Cin-hong terkejut. Jelas orang tua yang limbung dan ketololtololan
itu tentu hancur kepalanya. Cepat-cepat ia berseru, "Lo-siansu, harap jangan
membunuhnya"." Tetapi seruan itu sudah terlambat. Plak, tangan Tay Hong sudah tiba di atas ubun-ubun
kepala orang tua itu. Seketika itu bersama kursinya dia terjungkal rubuh ke belakang.
Tetapi secepat kilat Tay Hong sudah menyambar orang itu, diseretnya maju dan dengan
kecepatan yang luar biasa, Tay Hong lekatkan tangan kanannya ke dada orang itu lalu
loncat mundur lagi".
Kejadian itu berlangsung dalam sekejab mata. Si lelaki aneh tetap duduk di atas
kursinya sambil menyekal tongkat. Dan Tay Hong siansu tegak berdiri di samping. Kepala
pemimpin Siau-lim-si bercucuran keringat.
Hadirin tak tahu apa yang sedang dilakukan Tay Hong. Kiranya ketua Siau-lim-si itu
sedang melaksanakan pertolongannya dengan gunakan ilmu Lo-han-coan-teng. Sebuah
ilmu rahasia yang hanya diajar pada Ciang-bun-bong-tiang (ketua gereja) dan paderipaderi
tingkatan tianglo (para kepala bagian). Bahkan walaupun murid-murid Siau-lim-si
yang berkepandaian tinggi tak tahu juga bahwa Siau-lim-si memiliki ilmu rahasia semacam
itu. Bahwa sekalian hadirin tak tahu apa yang dilakukan ketua Siau-lim-si, memang tak
dapat dipersalahkan. Gerakan Tay Hong siansu itu memang aneh. Dikata memberi
pertolongan tidak seperti orang menolong. Namun menyerang orang pun tak menyerupai
seperti orang memukul. Tokoh-tokoh itu tak mengerti tetapi merekapun tak berani berbuat
apa-apa. Dipandangnya ketua Siauw-lim-si itu dengan penuh perhatian.
Tengah perhatian hadirin tertumpah pada Tay Hong siansu, tiba-tiba si bocah muka
kotor itu melentikkan sebuah benda kecil ke arah Siu-lam. Lentikan itu menggunakan
tenaga dalam lunak sehingga tak menerbitkan suara apa-apa.
Siu-lam cepat menyambuti. Ternyata benda itu lunak seperti sutera. Segera ia berputar
tubuh dan membukanya. Lipatan sutera itu bertuliskan beberapa huruf berbunyi:
Peta Hiat-tho yang kuikatkan pada baju Gan Leng-po, hilang!
Isterimu: Swat Kata-kata terakhir yang mesra itu bagaikan halilintar menyambar telinga Siu-lam. Bukan
kepalang terkejutnya. Pikirnya, "Peristiwa pernikahan di bawah rembulan dahulu, sudah
lampau. Tetapi mengapa dia masih menyebut dirinya sebagai isteriku?"
Tiba-tiba Hian-song melengking, "Engkoh Lam, bolehkah kulihat benda itu?"
Bagi Hian-song, Siu-lam adalah satu-satunya orang yang mengisi hatinya. Walaupun
sekalian hadirin memperhatikan Tay Hong, namun dara itu tetap memperhatikan gerakgerik
Siu-lam. Melihat pemuda itu menyambuti benda yang dijentikan si bocah muka kotor
lalu tampak termenung, tertariklah perhatian Hian-song.
Siu-lam terkesiap. Jika sutera itu diberikan, tentulah si dara akan curiga. Setelah
merenung sejenak segera ia angsurkan sutera itu.
Hian-song tertawa seraya menyambuti. Tetapi belum tangan menyentuh sutera itu tibatiba
sebuah tangan lain mendahului merebut. Siu-lam terkejut dan buru-buru menarik
tangannya tapi kalah cepat. Tangan orang itu sudah mencengkeram ujung sutera. Bret"
ketika Siu-lam menariknya, sutera itupun robek jadi dua. Yang digenggam Siu-lam hanya
sobekan sutera yang tertulis:
"Peta Hiat-ti-tho, lenyap.
Isterimu Swat". "Orang hutan bangkotan, tak malukah kau merebut barang orang?" Hian-song
mendamprat marah dan ayunkan tangannya kepada orang yang merebut sutera.
Ternyata yang merebut ialah Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun. Tokoh aneh itu mendengus
dingin. Ia gerakkan tangan kirinya dalam jurus Im-hun-hong-gwat (awan hitam menutup
rembulan) untuk menangkis serangan Hian-song. Sedangkan tangan kanan cepat
memasukkan sobekan sutera ke dalam bajunya!
Hian-song terdampar mundur selangkah. Marah dan sesalnya bukan kepalang. Jika ia
tak minta lihat sutera itu, tentulah tokoh aneh itu tak merebutnya. Pikirnya lebih lanjut,
"Ah, jika aku tak berhasil merebut kembali separoh sobekan dari tangan si orang, engkoh
Lam terus benci padaku. Ah, aku harus merebutnya kembali!"
Dengan keputusan itu, Hian-song segera menyerang Su Bo-tun lagi. Sekalian hadirin ia
terkejut mendengar dampratan Hian-song tadi dan merekapun segera berpaling
memandang ke arahnya. Terkejutlah mereka ketika menyaksikan entah apa sebabnya
dara itu menyerang Su Bo-tun.
Walaupun belum mengetahui bahwa dara itu telah terbuka jalan darah Seng-si-hiankwan
sehingga tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat kesempurnaan, namun melihat
cara dara itu menyerang sedemikian dahsyat dan cepat, tergetarlah hati Su Bo-tun.
Memang jika ia menangkisnya dengan kekerasan tentu segera dapat diketahui
kesudahannya. Tetapi andaikata ia menang, pun beratus-ratus tokoh persilatan yang hadir
di situ, ia takkan tambah dikagumi karena menang dari seorang anak perempuan yang tak
terkenal. Dan apabila kalah, bukankah namanya akan ludes"
Dengan pertimbangan itu, akhirnya Su Bo-tun gunakan ilmu gerakan kaki Chit-sing-tunheng
untuk menghindari serangan si dara.
Kini adalah giliran Hian-song yang terkesiap kaget. "Eh, tuang Bangka itu gunakan ilmu
apa" Mengapa tepat pada saat lenganku hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba ia dapat
menghindarkan diri?" diam-diam Hian-song bertanya dalam hati. Namun ia masih
penasaran. Diemposnya semangat dan kerahkan tenaga dalamnya ke arah tangan
kanannya, ia siap lancarkan serangan yang lebih dahsyat.
Pada saat Su Bo-tun hendak memperbaiki posisi tubuhnya setelah menghindari
serangan si dara, tiba-tiba si bocah muka kotor melesat ke tempatnya dan secepat kilat
menampar muka Su Bo-tun dengan tangan kiri".
Dalam pada itu,Siu-lam pun segera masukkan separoh sobekan sutera ke dalam baju
dan terus loncat ke samping Hian-song, "Adik Song, orang itu cukup lihay, jangan
sembarangan menyerangnya!"
Memang Hian-song agak kewalahan menghadapi Su Bo-tun. Ia girang karena Siu-lam
memberi nasihat itu. Tapi dia telah merebut sutera yang kau pegang. Jika tak kurebutnya,
kau tentu benci padaku, Engkoh Lam" Seru Hian-song dengan nada kekanak-kanakan.
"Sudahlah, mengapa aku membencimu?" Siu-lam tersenyum.
"O, kalau begitu legalah hatiku!" Hian-song tertawa riang.
Pada waktu kedua anak muda itu bercakap-cakap, Su Bo-tun pun sudah bertempur
dengan bocah muka kotor. Seru sekali pertempuran itu berlangsung.
Ilmu kesaktian Su Bo-tun, dewasa itu dianggap sebagai tokoh yang paling terkemuka di
dunia persilatan. Ilmu gerakan kaki Chit-sing-tun-hengnya dipandang sebagai ilmu yang
jarang terdapat di dunia persilatan. Bahkan ketua Siau-lim-si pun menaruh perindahan
kepadanya. Maka Tay Hong khusus mengirim orang untuk menyerahkan surat undangan
kepadanya. Setiap jago silat yang mampu bertahan diri melayani Su Bo-tun sampai sepuluh jurus,
tentu dapat digolongkan jago kelas satu. Tetapi bocah muka kotor itu ternyata mampu
menempurnya sampai tiga puluhan jurus dan belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan.
Peristiwa itu benar-benar menggoncangkan hati para hadirin.
Su Bo-tun bertempur dengan hati-hati sekali. Sedang si bocah muka kotor makin lama
makin memperhebat serangannya dengan jurus-jurus yang ganas. Hanya saja gerak
serangan mereka, tidak lagi berebut kecepatan tetapi pelahan-lahan. Justru gerak pelahan
inilah yang lebih mengerikan. Setiap gerak pukulan dan tendangan tentu mengandung
tenaga dalam yang hebat. Lebih mengerikan dari serangan cepat yang mereka lakukan
dalam babak-babak permulaan tadi.
Pertempuran yang bermutu tinggi telah menarik perhatian sekalian hadirin.
"Hiat-ti-tho! Hiat-ti-tho"!" tiba-tiba orang tua yang diduga Gan Leng-po itu serentak
berbangkit dan berkaok-kaok terus menyerbu kepada kedua orang yang tengah bertempur
itu. "Berhenti!" Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong cepat loncat menghadang.
Wut" lelaki tua itu menyambutnya dengan ayunkan tongkat. Kau Cin-hong terkejut dan
buru-buru menyingkir ke samping. Setelah tiada menghadang orang tua itu terus
menyerbu ke tengah gelanggang. Wut" ia sapukan tongkatnya kepada Su Bo-tun.
Pertemuan itu benar-benar di luar dugaan Su Bo-tun. Di hadapan sekian banyak tokohtokoh
silat dari delapan penjuru, ia malu untuk gunakan gerak kaki Chit-sing-tun-heng. Dia
hendak gunakan kesaktian tenaga dalamnya untuk menundukkan si bocah. Masakan
seorang bocah yang baru berumur belasan tahun mampu menandingi lwekangnya.
Tetapi apa yang dihadapinya ternyata di luar dugaan. Bukan saja ilmu pukulan bocah
itu luar biasa anehnya, pun tenaga dalamnya juga hebat sekali. Hampir berimbang dengan
dirinya. Su Bo-tun tak mampu mengembangkan tenaga dalam karena setiap kali tentu
terhapus oleh tenaga dalam lunak dari bocah itu. Itulah sebabnya pertempuran sampai
berjalan sekian lama. Sampai pada saat itu barulah Su Bo-tun menyadari suatu kenyataan. Apabila ia sampai
kalah, ludaslah namanya dari dunia persilatan. Kini ia mulai merobah siasat. Ia gunakan
gerakan lambat tetapi disaluri tenaga dalam penuh untuk menyerang.
Tetapi siasat itupun ternyata mendapat perlawanan hangat dari si bocah. Bocah itu
sekaligus gunakan kedua tangannya untuk menyerang. Tangan kanan menghamburkan
tenaga dalam lunak untuk menghapus pukulan lawan. Tangan kiri menghambur tenaga
dalam terus untuk balas menyerang.
Su Bo-tun makin kaget. Ia benar-benar tak menyangka bahwa bocah itu sedemikian
Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saktinya. Sekali terkena pukulan atau tendangannya, ia tentu menderita muka. Kekuatiran
itu menambah perhatiannya untuk lebih mempertinggi kewaspadaannya.
Maka pada saat si lelaki limbung menyerang dengan tongkat, walaupun terasa
punggung tersambar angin, namun ia lebih memberatkan serangan si bocah. Serentak
luruskan kedua tangannya lalu sekonyong-konyong direntangkan menyerang ke muka
untuk menangkis serangan si bocah. Dalam pada itu diam-diam ia kerahkan tenaga dalam
ke arah punggungnya. Serangan tongkat siap diterimanya.
"Ah, Gan tayhiap seorang tabib sakti yang ternama, mengapa menyerang orang dari
belakang?" tiba-tiba sesosok tubuh mencelat ke tengah dan menyambar tongkat orang tua
limbung itu. Cepat dan tangkas sekali gerak sambaran itu.
Ternyata yang bertindak itu adalah Siau Yau-cu jago tua dari partai Bu-tong-pay. Dan
karena tongkatnya dicengkeram, orang tua limbung itu terlongong-longong".
Bum" terdengar bunyi menggelegar keras ketika Su Bo-tun beradu pukulan dengan si
bocah. Bocah itu terpental ke belakang sampai tiga langkah. Tetapi Su Bo-tun tergetar
tubuhnya. Keduanya telah memeras tenaga. Maka setelah beradu pukulan, mereka sama-sama
berdiam diri menyalurkan tenaga.
"Hiat-ti-tho?" karena tongkatnya dicengkeram kencang dan dua kali tak berhasil
menariknya lepas, orang tua limbung itu lepaskan tongkatnya dan tiba-tiba menyerang Su
Bo-tun! Su Bo-tun marah, dampratnya, "Kau sendiri yang minta mati, jangan salahkan aku
kejam!" Cepat gunakan langkah Chit-sing-tun-heng menyelinap ke samping lalu balas
memukul. Pukulan itu menggunakan jurus biasa, tetapi karena diimbangi dengan gerak
Chit-sing-tun-heng, perbawanya dahsyat sekali.
Ternyata kesaktian dari gerak Chit-sing-tun-heng bukan melainkan terletak pada gerak
penghindaran diri yang tak dapat diduga musuh, tetapipun jika diserempaki dengan
pukulan yang sederhana saja, akan merupakan serangan yang berbahaya sekali.
Orang tua limbung itu memang belum sembuh pikirannya, tetapi tenaga dan ilmu
silatnya masih tetap hebat. Serangannya kepada Su Bo-tun itu, dilakukan dengan cepat
dan dahsyat. Maka ketika tiba-tiba Su Bo-tun lenyap, dia tak keburu menarik pulang
tangannya lagi. Karena sudah terlanjur memukul ke muka, ia teruskan saja menyerang
pada Siu-lam. Su Bo-tun yang menyelinap ke belakang tabib gila itu, kini hendak menggempur
punggung orang. Si tabib gila Gan Leng-po tentu celaka. Kalau tak mati tentu akan terluka
parah! Siu-lam kaget. Celaka ia lompat ke muka untuk melindungi si tabib seraya berseru
mencegah Su Bo-tun, "Lo-cianpwee, harap menaruh kasihan!"
Sebenarnya tak mungkin Siu-lam dapat menghadang, tetapi seruan pemuda itu telah
membuka kesadaran Su Bo-tun. Tokoh aneh itu diam-diam membantu. Jika ia sampai
membunuh orang tua limbung yang diduga keras tentu Gan Leng-po, tentulah akan
menimbulkan kemarahan orang banyak. Karena pemikiran itu maka ia agak termangu ragu
sehingga gerakannyapun agak perlahan.
Siu-lam cepat menarik tubuh orang tua limbung ke samping kemudian ia memberi
hormat kepada Su Bo-tun, "Terima kasih atas kemurahan hati lo-cianpwe!"
"Hm, kau hendak menjadi pahlawannya?" dengus Su Bo-tun dengan nada dingin.
"Ah, mana wanpwe berani pada lo-cianpwe. Hanya wanpwe sayangkan kalau locianpwe
sampai mengotorkan tangan membunuh seorang tua yang tak sehat pikirannya."
"Tetapi dia menyerang aku dari belakang. Andaikata aku sampai terkena, kepada
siapakah aku harus minta keadilan?" Su Bo-tun makin marah.
"Ah, tak mungkin Su lo-cianpwe yang sakti sampai terkena pukulannya!" Siu-lam
tertawa. Pujian itu meredakan kemarahan Su Bo-tun. Namun tokoh aneh itu tetap
mendampratnya, "Aku tak suka berkelakar dengan orang"."
Tiba-tiba Hian-song melesat datang dan menyahutnya, "Siapa sudi bergurau padamu"
Sudahlah, jangan pedulikan padanya, engkoh Lam!"
Hian-song seorang dara yang biasa bicara terus terang. Ia anggap Siu-lam adalah satusatunya
pemuda yang menjadi tiang harapannya. Ia marah apabila ada orang berani
menghina atau mengganggu pemuda itu. Tak peduli itu Su Bo-tun atau Siau Yau-cu atau
ketua Siau-lim-si atau siapapun juga".
Saat itu Siu-lam sudah dapat mengenali siapakah sebenarnya di balik wajah kotor dari
bocah aneh itu" Dia bukan lain adalah Bwe Hong-swat, si dara baju putih yang telah memaksanya
melakukan sumpah perkawinan di bawah sinar bulan tempo hari. Dan dara itu rupanya
tetap setia memegang sumpah. Ah, bagaimanakah jadinya nanti apakah dara itu tetap
bersungguh-sungguh mengaku jadi isterinya" Bukankah keadaan akan menjadi runyam"
Dalam beberapa saat Siu-lam benar-benar kehilangan paham. Tak tahu ia apa yang
harus dilakukannya. Dalam pada itu, Su Bo-tun memandang dingin kepada Hian-song, pikirnya, "Aku habis
bertempur sampai seratus jurus dengan bocah kotor itu. Tenagaku belum pulih. Dan dara
ini juga tak boleh dipandang ringan. Jika dia sampai turun tangan menyerangku, tentu
sibuk aku dibuatnya. Ah, lebih baik tak kuhiraukan saja"." Ia pejamkan mata dan tak
mempedulikan Hian-song lagi.
Rupanya Gan Leng-po masih belum waras pikirannya. Ia tak tahu bahwa dirinya habis
terhindar dari bahaya maut. Karena tak berhasil menggebuk orang, dia terus lari keluar.
Tay Hong siansu memberi isyarat dengan tangan dan beberapa paderi segera
berhamburan menghadang tabib gila itu.
Melihat ada orang menghadang jalannya, Gan Leng-po menjawab dengan tongkatnya.
Kawanan paderi itu segera menghadapinya dengan ilmu pengepungan. Setiap kali si tabib
hendak menerobos keluar, setiap kali itu pula paderinya menghalaunya mundur. Mereka
adalah paderi-paderi Siau-lim-si yang tergolong tingkat kochiu (jago sakti) dari paseban
Tat-mo-wan. Apalagi mereka menyerang secara beramai, sudah tentu perbawanya
dahsyat sekali. Karena tak berhasil menerobos keluar, Gan Leng-po berputar dan terus menerjang ke
arah Tay Hong siansu. "Omitohud!" Tay Hong siansu menyambutinya dengan menyongsongkan kedua tangan
ke muka. Serangkum angin dahsyat melanda Gan Leng-po. Tabib itu menangkis, tetapi ia
tersurut mundur tiga langkah.
Dalam pada itu Siau Yau-cupun menghampiri Siu-lam, tegurnya, "Benarkah orang tua
yang limbung itu Ti-ki-cu Gan Leng-po?"
Siu-lam mengiakan. "Berapa lamakah kau pernah berjumpa dengan dia?" tanya Siau Yau-cu.
"Kira-kira tiga-empat bulan yang lalu!"
"Apakah kala itu dia sudah limbung begitu?"
Pertanyaan Siau Yau-cu itu tak lekas-lekas dijawab. Siu-lam masih menimang-nimang.
Jika ia menceritakan terus terang, dikuatirkan sekalian hadirin yang terdiri dari tokohtokoh
persilatan yang banyak pengalaman itu tentu akan menghujani pertanyaanpertanyaan.
Melihat Siu-lam bersangsi, timbullah kecurigaan Siau Yau-cu. Serunya melantang,
"Meskipun ilmu pedang saudara hebat sekali, tapi tenaga dalammu masih belum
sempurna, sehingga tak mampu menyalurkan ke arah pedang. Aku percaya, masih dapat
melawannya!" "Apakah maksud lo-cianpwe" Maaf, wanpwe tak jelas," Siu-lam heran.
"Kau pintar, masakan tak dapat menyelami. Tetapi baiklah kujelaskan juga!" Sian Yaucu
tertawa sambil mengurut-urut jenggotnya.
Tiba-tiba jago tua Bu-tong-pay itu agak berobah kerut wajahnya, serunya, "Sewaktu
bertanding pedang tadi, telah kuketahui jelas bahwa ilmu pedang saudara satu sumber
dengan ilmu pedang wanita siluman yang dahulu melukai mataku. Rasanya di dunia tiada
lagi orang kedua yang mampu menggunakan ilmu pedang itu"."
Diam-diam ia terperanjat. Ia heran mengapa jago tua itu mengungkat kembali soal
jurus ilmu pedang Jiau-toh-co-hoa yang dikatakan serupa dengan ilmu pedang dari
perempuan iblis yang pernah melukai sebelah mata Siau Yau-cu. Padahal jelas ilmu
pedang adalah dari orang tua she Tan atau kakek Hian-song. Adakah kakek itu
mempunyai hubungan dengan si wanita siluman"
Rupanya pernyataan Sian Yau-cu menarik perhatian sekalian hadirin. Mereka segera
mengerumuni ke tengah ruangan.
Hian-song tak puas karena dikerumuni orang banyak, segera ia maju menghampiri ke
samping Siu-lam, bisiknya, "Engkoh Lam, andaikata kita kalah melawan sekian banyak
orang, rasanya tentu takkan memalukan!"
Sekalian orang itu siap hendak turun tangan. Mereka panas mendengar ucapan Hiansong.
Sian Yau-cu memperhatikan kedua muda-mudi itu dengan tajam. Walaupun
dikepung sekian banyak jago silat, namun kedua anak muda itu tetap tenang. Hian-song
bersenyum simpul. Siu-lam tegak mematung.
Dalam pada itu, tampak si bocah muka kotor sudah pulih tenaganya. Selekas membuka
mata, segera ia memandang Su Bo-tun lagi.
Saat itu Su Bo-tun berdiri dekat dengan Siau Yau-cu. Ketika terasa ada angin
menyambar dari belakang, secepat kilat Siau Yau-cu menyambar ke belakang. Bocah
muka kotor itu terkejut. Tamparan Siau Yau-cu dahsyat sekali. Tak mau ia menangkis
melainkan menyingkir ke samping.
Melihat kericuhan itu segera Tay Hong siansu berseru, "Harap saudara-saudara tenang
dulu. Loni hendak bicara!"
Sekalian hadirin terkejut mendengar seruan ketua Siau-lim-si yang bernada marah.
Apalagi setelah diketahui kerut wajahnya agak menggelap, mau tak mau mereka
mengindahkan seruan itu. Tay Hong siansu memandang ke sekelilingnya, serunya pula, "Loni sangat bersyukur
sekali pada saudara-saudara sekalian yang telah memberi muka pada loni dengan
memerlukan menghadiri rapat di gunung Tay-san ini.
Kehadiran saudara-saudara jelas mempunyai satu tujuan yang sama. Yakni bersamasama
menyelamatkan dunia persilatan dari suatu bencana," sejenak ketua Siau-lim-si itu
berhenti lalu berkata pula, "Kami kaum gereja Siau-lim-si, sejak didirikan oleh mendiang
Tat Mo cousu, telah mengalami bermacam-macam gelombang bencana dan ujian
kesulitan. Syukurlah berkat kesatuan dan persatuan kaum Siau-lim-si, kesemuanya itu
dapat dilintasi dengan baik"."
Tiba-tiba Kat Thian-beng nyeletuk, "Memang sejak ratusan tahun, di dunia persilatan
tak pernah mengalami ketenangan. Selalu ada saja bahaya yang mengancam. Tetapi
setiap kali timbul bahaya, tentulah gereja Siau-lim-si segera muncul. Jika tidak
mendamaikan suatu perselisihan di antara sesama kaum persilatan, tentulah bersamasama
kaum persilatan bersatu-padu untuk menumpas sesuatu durjana yang ganas. Nama
Siau-lim-si telah mendapat tempat perindahan yang tertinggi dalam dunia persilatan. Hal
itu yang utama bukanlah karena kepribadian dan sifat-sifat keutamaan kaum Siauw-lim-si
benar-benar menundukkan hati orang. Maka jika losiansu hendak memberi petunjuk,
silahkan segera mengutarakan. Kami para hadirin tentu sedia melakukannya!"
Tay Hong tertawa, "Ah, sicu terlalu menyanjung. Loni benar-benar tak berani dan tak
pantas menerima pujian setinggi itu?" ia menghela napas pelahan, sambungnya pula,
"Tetapi pertemuan kali ini adalah merupakan pencerminan dari kesatuan para tokoh
persilatan. Jadi bukanlah merupakan kepentingan seseorang atau segolong golongan.
Demi tujuan dan kepentingan bersama itulah maka loni mohon kepada sekalian saudara
supaya suka melepaskan segala kepentingan dan dendam permusuhan pribadi. Agar kita
benar-benar dapat bersatu untuk melaksanakan cita-cita bersama itu!"
Kata-kata yang diucapkan dengan lantang dan penuh wibawa itu benar meresap ke
dalam hati para hadirin. Kemudian ketua Siau-lim-si itupun menghampir ke tempat Su Bo-tun. Ia memberi
hormat, ujarnya, "Telah lama loni mengagumi nama Su-heng yang telah termasyhur di
dunia." Rupanya Su Bo-tun si hati dingin itu tak berani memandang rendah kepada paderi Siaulimsi. Ia pura-pura mengangguk sedikit, sahutnya, "Ah, jangan lo-siansu kelewat memuji.
Silahkan lo-siansu memberi pesan!"
"Tak lain tak bukan, loni hendak memberanikan diri mohon lihat separoh sobekan
sutera yang Su-heng simpan tadi," kata Tay Hong.
"Ini?" Su Bo-tun mendengus.
Tiba-tiba Siau Yau-cu menyeletuk, "Karena Su-heng sudah sudi mendatangi rapat ini,
tentu Su-heng sudah bersatu tujuan dengan kita. Menurut anggapanku, persoalan yang
kita hadapi saat ini, bukanlah menyangkut kewibawaan nama seseorang tetapi benarbenar
demi keselamatan dunia persilatan. Hal ini bukan aku bermaksud memuji kekuatan
lawan dan merendahkan kekuatan kita sendiri. Tetapi memang suatu kenyataan bahwa
dahulu ketika empat partai jago-jago partai persilatan yang terluka dan binasa di bawah
taburan jarum Chit-jiau-soh wanita iblis itu. Maka sekarang ini apabila ketua gerombolan
Beng-gak ternyata si wanita iblis pemilik jarum Chit-jiau-soh, kita bakal menghadapi suatu
bencana besar. Apakah persatuan partai-partai menumpasnya, masih belum dapat kita
amalkan. Menghadapi hal semacam itu, hanya rasa kesatuan dan persatuan dari seluruh
kaum persilatan yang sangat diperlukan untuk bersatu padu menumpas wanita berbahaya
itu. Yang pasti, dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh banjir darah, partaipartai
persilatan terancam bahaya kemusnahan!"
Uraian panjang lebar yang diucapkan oleh seorang jago tua dari Bu-tong-pay yang
termasyhur itu, benar-benar menggetarkan seluruh perasaan hadirin. Mereka beralih
memandang ke arah Su Bo-tun dengan pandangan menuntut".
Su Bo-tun batuk-batuk sebentar lalu mengeluarkan separoh robekan kain sutera tadi
dan diserahkan kepada Tay Hong siansu. Tay Hong membukakan dan membaca:
Pada baju Gan Leng-po yang kuletakkan" tulisan hanya sampai di situ. Jadi belum
dapat diketahui benda apa yang diletakkan itu.
Tay Hong memandang ke arah si orang tua. "Apakah memang dia Gan Leng-po?"
tanyanya dalam hati. Tay Hong segera melangkah ke tempat Siu-lam dan minta pinjam separoh robekan
sutera yang disimpan pemuda itu.
Siu-lam diam-diam terkejut. Akan diberikankah robekan sutera itu kepada Tay Hong"
Jika ia menolak, tentu akan menimbulkan kemarahan orang banyak. Namun kalau
diserahkan, ia kuatir si bocah muka kotor akan marah".
Dalam kebingungan, Siu-lam berpaling memandang kepada si bocah muka kotor!
Siau Yau-cu melangkah maju menghampiri dan menegurnya, "Siapakah sebenarnya
saudara ini" Jika tak mau mengaku terus terang, jangan sesalkan kita terpaksa akan
menindakmu!" Siu-lam memperhatikan wajah bocah kotor itu dingin saja. Ia mempunyai kesan bahwa
bocah itu tentu tak keberatan. Maka segera ia hendak mengeluarkan robekan sutera yang
disimpannya itu. "Engkoh Lam, jangan diberikan!" tiba-tiba Hian-song melengking.
Sambil berpaling Siu-lam menjawab, "Tak apalah. Toh sobekan suteraitu tak ada
rahasianya apa-apa. Tiada halangan mereka hendak melihatnya!"
Tetapi tiba-tiba ia terkejut dalam hati. Bukankah tulisan itu ditandai oleh kata-kata isteri
Swat" Seketika timbullah keraguannya. Namun saat itu robekan sutera sudah terlanjur
dikeluarkan. Jika tak diserahkan, tentu mudah disangka jelek. Namun diserahkan, tentu
akan menimbulkan kesulitan baru. Mereka tentu akan bertanya, siapakah yang menyebut
dirinya sebagai "isterinya Swat" itu.
Setelah menimang sejenak, akhirnya Siu-lam menyerahkan juga robekan sutera itu
kepada Tay Hong seraya disertai kata-kata yang tandas, "Taysu seorang paderi utama,
wanpwe percaya penuh"."
Tay Hong siansu tak mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda itu. Tetapi ia sungkan
untuk bertanya. Setelah menyambuti pemberian Siu-lam segera ia padukan dengan
separoh robekan dari Su Bo-tun tadi. Dan saat itu barulah ia melihat satu rangkaian katakata
yang berbunyi: Pada baju Gan Leng-po yang kuletakkan peta Hiat-thi-tho, ternyata lenyap.
Isterimu Swat. Beberapa jago silat, ada yang hendak menghampiri untuk melihat isi robekan sutera.
Tetapi Tay Hong memang seorang paderi yang bijaksana. Melihat dua kata yang terakhir
(isterimu Swat) cepat sekali ia sudah dapat menghubungkan dengan ucapan Siu-lam tadi.
Pendekar Kidal 8 Pendekar Cacad Karya Gu Long Jodoh Rajawali 34
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama