Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 13

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 13


Sedikitpun Li Bok-chiu tak berani ayal, ia putar kebutnya dengan sama cepatnya, ia tangkis setiap serangan dan menyambut pertempuran itu dengan seluruh perhatiannya.
Setelah lewat beberapa jurus, Li Bok-chiu merasakan Kiam-hoat lawannya ternyata hebat luar biasa, daya tekanannya pun semakin berat, setiap gerak-gerik dirinya se-akan2 sudah dapat diketahui sebelumnya oleh lawan hingga selalu kena didahului orang, kalau bukan dirinya memang lebih ulet, mungkin sejak tadi sudah terkalahkan.
"Suhu betul2 pilih kasih, Kiam-hoat sebagus ini hanya diajarkan pada Sumoay saja," demikian pikir Li Bok-chiu dengan gemas.
ia menyangka itu adalah Kiam-hoat golongan mereka sendiri.
Mendadak permainan silatnya berubah, tiba2 ia melompat ke atas meja, ketika kaki kanan menendang kesamping, kaki kiri lantas berdiri di atas sebuah cawan arak, Cara mengajaknya di atas cawan, arak itu begitu tepat dan tantangan badannya begitu bagus, maka cawan itu sama sekali tak tumpah atau miring barang sedikitpun "Haha, gendakmu itu pernah mengajarkan kepandaian seperti ini tidak?" dengan gelak tertawa Bok-chiu menyindir pula, Nyo Ko tercengang bingung sejenak Tetapi segera ia menjadi gusar, "Gendak apa maksudmu?" damperatnya kemudian, "Ha, pura2 bodoh," sahut Bok-chiu, "Sumoay-ku pernah bersumpah takkan turun gunung kalau Siu-kiong-seh belum lenyap dari lengannya, kini dia telah turun gunung ikut kau, siapa lagi dia itu kalau bukan gendakmu ?" Tidak kepalang murka Nyo Ko oleh tambahan nista orang yang keji itu, tanpa berkata lagi, kerangka pedang dia putar, begitu enjot tubuhnya segera iapun melompat ke atas meja.
Cuma Ginkangnya masih belum memadai orang, maka tak berani Nyo Ko berdiri di atas cawan arak melainkan di atas sebuah mangkok, lalu kerangka pedang dia angkat terus menyerang dengan kalap.
"Ehm, tidak jelek juga Ginkangmu ini!" dengan tertawa Li Bok-chiu mengejek pula sembari menangkis serangan orang, "Nyata baik sekali gendakmu itu terhadapmu, sudah cinta lagi berbudi semuanya telah diajarkan padamu.
" Mendengar makin lama makin menjadi orang menistanya, sungguh tak tertahankan asa murka Nyo Ko.
"Orang she Li kau ini manusia atau binatang", Kau mau bicara secara manusia tidak ?" teriaknya murka, sembari memaki iapun menyerang lebih nekad.
"Hm, kalau ingin orang lain tak tahu kecuali kalau diri sendiri tak berbuat" jengek Li Bok-chiu.
"Ko-bong-pay kami bisa timbul dua manusia sampah seperti kalian ini, boleh dikata telah mencoreng muka habis-habisan.
" Begitulah, seraya menyambut setiap serangan Nyo Ko, sambil tiada hentinya Li Bok-chiu menyindir dan meng-olok2.
Karena tak tahu hal ikhwalnya, Yali Ce kakak beradik dan Liok Bu-siang hanya saling pandang, kemudian karena Nyo Ko tak sanggup membantah lagi sepatah-katapun, mereka berpikir tentu apa yang dikatakan Li Bok-chiu itu adalah kejadian sebenamya, maka tanpa terasa timbul rasa hina terhadap Nyo Ko.
Harus diketahui meski ilmu silat Nyo Ko sudah jauh maju, tetapi sama sekali Li Bok-chiu tak gentar terhadapnya, yang dia kuatirkan ialah kalau Siao-Iiong-li sembunyi di sekitar situ hingga mendadak muncul, ini berarti sukar baginya untuk melawannya, oleh sebab itu ia sengaja menista mereka dengan kata2 yang se-kotornya dengan tujuan agar Siao-liong-Ii menjadi malu dan tak berani menampakkan diri.
Dasar sifat Nyo Ko memang gampang tersinggung dan wataknya keras, karena dinista secara kotor itu, perasaannya menjadi terpukuI, kaki tangannya menjadi lemas dan gemetar, tiba2 kepala pun terasa puyeng, lalu pandangannya menjadi gelap, ia menjerit sekali kerangka pedang terlepas dari cekalannya dan orangnya pun roboh ke bawah.
Melihat ada kesempatan, Li Bok-chiu menjengek sekali, kebutnya bekerja cepat, sekali pukul kepala Nyo Ko segera disabetnya.
Tahu keadaan sangat berbahaya, lekas Yali Ce samber dua cawan arak dari meja terus ditimpukkan ke punggung Li Bok-chiu, kedua cawan itu menghantam "Ci-yang-hiat" dan "Yang-koen-hiat" yang merupakan urat nadi penting di tubuh manusia.
Mendengar dari belakang ada samberan angin Am-gi atau senjata rahasia, namun Li Bok-cIiu cukup tinggi Lwekangnya, tiba2 ia tarik napasnya dalam2 untuk menahan semua jalan darahnya, ia pikir sekali pukul mampuskan Nyo Ko dahulu, sekalipun Am-gi pembokong itu mengenai punggungnya juga takkan melukainya.
Tak tahunya, belum tiba cawannya atau arak di dalam cawan itu sudah muncrat datang lebih dulu hingga terasa kedua urat nadi tadi rada kesemutan.
"Celaka! Kiranya Sumoay telah datang, Araknya saja begini lihay, apa lagi cawannya?" demikian keluhnya dalam hati.
Maka lekas2 ia putar tubuh dan ayun kebutnya ke belakang, dengan tepat kedua cawan arak itu kena disampuknya, namun terasa juga lengannya terguncang hebat, keruan hatinya bertambah kuatir, ia heran mengapa tenaga sang Sumoay bisa begitu kuat kini" Tapi sesudah dia mengawasi ia lihat orang yang menimpukkan cawan arak itu ternyata bukan Siao-liong-li melainkan si pemuda ganteng berdandan bangsa Mongol itu.
Tentu saja hal ini semakin menambah terperanjatnya.
"Kenapa dari angkatan muda bisa muncul begini banyak jago2 lihay?" demikian ia membatin.
Sementara itu ia lihat pemuda, Mongol itu sudah lolos pedang dan dengan suara nyaring membuka suara: "Cara turun tangan Sian-koh sesungguhnya terlalu keji, maka cayhe ingin minta pengajaran beberapa jurus.
" Ia lihat si pemuda pelahan2 mendekati dirinya, langkahnya mantap, melihat umurnya baru antara dua puluhan, tetapi gerak-geriknya cara menimpuk cawan arak tadi ternyata sudah memiliki keuletan latihan beberapa puluh tahun.
"Siapakah kau" siapakah gurumu ?" tanya Li Bok-chiu dengan sorot mata yang tajam.
"Cayhe Yali Ce, anak murid Coan-cin-pay," sahut Yali Ce dengan sedikit membungkuk tubuh.
Saat itu Nyo Ko sudah siuman kembali, ia lihat Wanyen Peng lagi memandang padanya dengan berjongkok, matanya tertampak basah dan muka muram durja.
Dan ketika mendadak dengar Yali Ce mengaku sebagai anak murid Coan-cin-pay, keruan Nyo Ko terperanjat.
"Apa gurumu Ma Giok atau Khu Ju-ki?" tanya Li Bok-chiu.
"Bukan semua", jawab Yali Ce.
"Kalau begitu, tentunya Ong Ju-it bukan?" tanya Bok-chiu pula, "Bukan.
" sahut Yali Ce tetap.
Tiba2 Li Bok-chiu ketawa terkekeh.
"Dia sendiri mengaku murid Ong Tiong-yang kalau begitu kalian berdua ini tentunya Su-heng-te (saudara seperguruan)," katanya sambil menunjuk Nyo Ko.
"Mana bisa?" sahut Yali Ce terkejut "Sudah lama Ong-cinjin wafat, mana bisa saudara ini adalah muridnya?" "Huh, anak murid Coan-cin-pay memang tiada seorangpun yang baik.
Awas senjata!" ejek Li Bok-chiu, berbareng kebutnya lantas memukul.
Dengan cepat Yali Ce melangkah ke samping, tangan kirinya bergaya pedang segera menusuk dengan tipu "ting-yang-ciam" yang merupakan serangan asli dari Coan-cin-tiam-hoat.
Nampak gerak tangan orang begitu jitu dan lihay, sebagai seorang tokoh segera Li Bok-chiu tahu telah ketemukan lawan tangguh, bahwa orang mengaku anak murid Coan-cin-pay memang bukanlah palsu, oleh karena itu, lekas2 ia menggeser lagi, kebutnya menyabet pula secepat kilat, hanya sekejap saja segala penjuru se-akan2 penuh dengan bayangan kebutnya yang menyamber kian ke mari, asal lawannya sedikit kesenggol ujung kebutnya kalau tidak mati sedikitnya akan terluka parah juga.
Meski tinggi ilmu silatnya, namun pengalaman Yali Ce masih cetek, kini untuk pertama kalinya menghadapi lawan kuat, ia kumpulkan seluruh semangatnya untuk menempur orang.
Maka sebentar saja mereka sudah saling gebrak lebih 40 jurus, makin merangsak Li Bok-chiu semakin maju, sebaliknya lingkaran pertahanan Yali Ce semakin ciut, namun secara gigih ia masih bertahan, tampaknya kekalahannya sudah pasti, tetapi seketika Li Bok-chiu hendak merobohkan dia juga belum bisa.
"Ya, ilmu silat bocah ini memang dari Coan-cin-pay yang murni, meski belum setingkat Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, tetapi dibanding Sun Put-ji dan Hek Tay-thong terang tidak kalah, sungguh anak murid Coan-cin angkatan muda banyak yang pandai," demikian Li Bok-chiu terheran-heran.
Dan sesudah saling labrak beberapa jurus lagi, sengaja Li Bok-chiu memberi suatu kesempatan dan membiarkan orang menyerang maju.
Yali Ce tak tahu orang sengaja memancing, tanpa pikir pedangnya terus menusuk, siapa duga mendadak kaki Li Bok-chiu lantas melayang hingga pergelangan tangannya kena ditendang, saking sakitnya Yali Ce tak kuasa pegang kencang senjatanya.
sungguhpun begitu, namun Yali Ce tidak menjadi bingung, tiba2 telapak tangan kirinya memotong dari samping, sedang tangan kanan dengan ilmu menangkap dan menawan segera digunakan untuk merebut kebut Li Bok-chiu.
"Hah, ilmu silat yang bagus!" Li Bok-chiu tertawa memuji.
Tatkala itu Nyo Ko sudah tak merasa puyeng lagi, segera ia memaki: "Perempuan bangsat, selama hidupku ini tak sudi aku mengaku kau sebagai Supek lagi!" Habis itu, ia jinjing kerangka pedang rampasan dari Ang Llng-po tadi terus maju mengerubut.
"Ya, ya, kau adalah laki gurumu, boleh juga kau panggil aku Suci saja," dengan tertawa Li Bok-chiu menyindir.
Dalam pada itu, pedang Yali Ce telah menyamber tiba, Iekas2 Li Bok-chiu angkat kebutnya, dengan ujung kebut tiba2 batang pedang kena direbut, bahkan terus dia tarik dan ditimpukkan ke arah Nyo Ko, Namun Nyo Ko tidak menjadi gugup, ia incar baik2 datangnya pedang itu, mendadak ia angkat kerangka sarung pedangnya terus memapaknya.
Tanpa terasa Liok Bu-siang dan Wanyen Peng menjerit kuatir, tetapi segera terdengar suara "sret", ternyata dengan tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarung yang disodorkan ke depan oleh Nyo Ko itu.
Dengan kerangka sarung untuk menyambut pedang, sesungguhnya perbuatan ini terlalu berbahaya, asal pedang itu sedikit meleset saja ditambah Iagi tenaga timpukan ti Bok-chiu itu, maka dapat dipastikan dada Nyo Ko akan tertembus.
Harus diketahui sewaktu tinggal di kuburan kuno dahuIu, dengan giat Nyo Ko telah melatih ilmu menggunakan Am-gi, maka soal ketajaman mata, ketepatan waktu yang digunakan dan kejituan menaksir tempat yang diarah, semuanya sudah terlatih begitu rupa hingga boleh dikatakan bisa dipergunakan sesuka hatinya, sebab itulah kini ia berani unjuk ketangkasannya ini di depan Li Bok-chiu.
Dan begitulah, segera Nyo Ko melolos pedang yg ditancapkan, tadi dan tangan yg lain tetap pegang sarung pedang ia merangsak maju lagi bersama Yali Ce.
Restoran itu menjadi kacau balau, meja kursi jungkir balik tak keruan, para tamu lain sudah sejak tadi lari menyelamatkan diri Hanya Ang Ling-po saja yang masih ikut menonton gurunya bertempur, selama Ling-po ikut gurunya merantau, belum pernah ia saksikan gurunya dikalahkan orang, oleh sebab itu, meski gurunya kini dikeroyok dua rausuh, namun sedikitpun Ling Po tak kuatir, ia menonton dengan tenang di samping.
Sementara itu pertarungan ketiga orang bertambah seru, kemudian tipu serangan Li Bok-chiu berubah lagi dengan angin pukulannya ia desak kedua lawannya hingga sukar berdiri sekejap saja Yali Ce dan Nyo Ko berulang kali menghadapi serangan bahaya.
"Celaka," seru Yali Yen dan Wanyen Peng, berbareng merekapun melompat maju buat bantu kedua kawannya Akan tetapi bertambahnya tenaga baru ini susah juga merubah kedudukan yang sudah kalah itu, mendadak kaki Yali Yen sendiri malah terserempet oleh ujung kebut Li Bok-chiu, saking sakitnya sampai sebelah kaki gadis ini berlutut dan hampiri terjungkal Melihat adiknya terpukul pikiran Yali Ce menjadi kacau, ia kena dicecar beberapa kali oleh Li Bok-chiu, terpaksa ia mundur terus, tampak keadaan sangat genting, dengan cepat si gadis baju hijau tadi melompat maju untuk memayang mundur Yali Yen.
Meski dalam pertarungan sengit, namun mata telinga Li Bok-chiu betul2 dapat bekerja dengan tajam, begitu melihat gadis baju hijau itu melompat secara gesit dan enteng, segera ia tahu orang adalah anak murid guru pandai, kontan saja kebutnya menyabet muka si gadis.
"She apakah nona ini" siapakah gurumu?" demikian ia bertanya.
Jarak diantara mereka ada setombak lebih, tetapi menyambernya kebut ternyata cepat luar biasa, sekejap saja ujung kebut itu sudah sampai di depan muka gadis itu.
Agaknya gadis baju hijau itu terkejut, secepat kilat tangannya bergerak, tahu2 ia lolos sebatang senjata dan kebut musuh dapat ditangkisnya.
Melihat senjata orang yang aneh itu sepanjang kira2 tiga kaki dan mengkilap seperti sebatang seruling, diam2 Li Bok-chiu berpikir: "Senjata macam ini dari aliran mana ini?" Karena curiganya itu, segera ia tambahi serangan kilat dengan maksud memaksa gadis itu mengeluarkan kepandaian aslinya, Dan karena gadis itu kewalahan, lekas2 Nyo Ko dan Yali Ce menubruk maju buat menolong.
Tapi sesungguhnya mereka memang tak bisa tandingi Li Bok-chiu, hanya sekejap saja kembali kedua pemuda ini sudah terdesak dibawah angin.
"Dalam keadaan begini, asal salah satu diantara kami berdua ini sedikit meleng, pasti semua orang yang berada di sini akan melayang jiwanya," demikan Nyo Ko pikir, Oleh karena itu, segera ia ber-teriak2 : "Bini cilik, adikku sayang, Enci yang baik, Yali-sumoay, lekas kalian melarikan diri, perempuan keparat ini terlalu lihay.
" Mendengar Nyo Ko ber-teriak2 serabutan, ke-empat gadis itu ada yang senang dan ada pula yang mengkal, tetapi melihat keadaan memang sangat berbahaya, tanpa perintah lagi Liok Bu-siang yang per-tama2 turun loteng restoran itu, habis itu si gadis baju hijau dengan memayang Yali Yen juga ikut lari.
Dalam pada itu kedua pengemis tadi menyaksikan kedua pemuda gagah perkasa ini telah melabrak Li Bok-chiu karena membela mereka, terpikir oleh kedua pengemis ini hendak maju membantu, cuma sayang lengan mereka sudah patah dan tak dapat berkutik Namun demikian, kedua pengemis ini cukup setia kawan.
meski Li Bok-chiu tiada tempo buat urus mereka lagi, tapi mereka masih terus berdiri di tempatnya dan tak mau kabur mendahului Nyo Ko.
Begitulah dengan gigih Nyo Ko bertempur sejajar dengan Yali Ce, sekuat tenaga mereka menahan serangan Li Bok-chiu yang makin lama semakin lihay hingga akhirnya Wanyen Peng pun sudah undurkan diri dari restoran itu.
Meski Li Bok-chiu merangsak terus dan berada di pihak yang unggul namun dalam hati iapun gusar luar biasa.
"Kurangajar kedua bocah ini, selama hidupku siapapun tak berani merintangi kehendakku kalau sampai Liok Bu-siang bisa lolos, sungguh gelarku Jik-lian-sian-cu bakal lenyap tersapu bersih," demikian ia pikir dengan gemas.
Begitulah mereka terus bertempur mati-matian, dari loteng restoran berpindah ke tengah jalan dan dari tengah jalan sampai di ladang, "Bini cilik, adikku sayang, pergi lekas, makin jauh makin baik! Yali-sumoay, nona baju hijau, kalianpun lekas melarikan diri, kami berdua lelaki tak nanti mati," begitulah si Nyo Ko masih terus berteriak.
Sebaliknya Yali Ce sama sekali tak buka suara sepatah-katapun.
Usianya hanya setahun dua lebih tua daripada Nyo Ko, tetapi yang satu bersikap keren dan sungguh2, sedang yang lain gagah dan lincah, watak kedua pemuda ini ternyata sama sekali berbeda.
Di lain pihak karena Siao-liong-li masih tidak muncul, Li Bok-chiu menjadi lebih berani lagi, senjata kebutnya diputar semakin kencang menurut keinginannya.
Betapapun juga Nyo Ko dan Yali Ce memang masih selisih jauh dibandingkan Li Bok-chiu, meski kedua pemuda itu bisa mengeluarkan serangan yang aneh untuk mengacaukan perhatian Li Bok-chiu, namun kini mereka berdua juga mulai payah.
Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, pikirnya: "Tidak usah setengah jam lagi pasti jiwa kedua orang ini akan kubereskan semua.
" Dalam pada itu, tiba2 didengarnya beberapa kali suara burung, tahu2 dua ekor rajawali menyamber ke atas kepalanya.
Kedua rajawali itu ternyata sangat tangkas dan lihay, waktu menubruk turun, debu pasir ikut bertebaran hingga keadaan sangat mengejutkan orang.
Nyo Ko kenal kedua ekor rajawali itu adalah binatang piaraan Kwe Cing suami-isteri dahulu waktu dirinya masih kecil dan tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga bermain bersama kedua rajawali ini, ia pikir kalau kini rajawali2 ini datang, tentu pula Kwe Cing suami-isteri berada juga di sekitar sini, karena dirinya sudah berontak keluar dari Coan-cin-kau, sesungguhnya tak ingin bertemu lagi dengan mereka, maka lekas2 Nyo Ko melompat mundur, ia keluarkan topeng kulitnya dan dipakai segera.
Tatkala itu kedua ekor rajawali itu sudah menyerang pula dari kanan-kiri dan terbang naik-turun dengan sengitnya menempur Li Bok-chiu.
Ternyata ingatan kedua rajawali itu sangat baik, mereka masih dendam terhadap timpukkan "Peng-pok-sin-ciam" yang mengenai kaki mereka dahulu, kini pergoki Li Bok-chiu di tengah jalan, segera juga mereka menubruk dengan sengit, cuma kuatir merasakan lagi jarum orang yang berbisa, maka bila Li Bok-chiu ayun tangannya segera kedua binatang itu pentang sajap menjulang ke angkasa.
Diam2 Yali Ce menjadi heran oleh datangnya kedua rajawali itu, melihat binatang itu susah memperoleh kemenangan, segera ia berseru: "Nyo-heng, mari kita maju lagi bersama, kita keroyok dia dari atas dan bawah bersama rajawali2 itu, coba bagaimana ia akan,lawan kita?" Dan selagi ia hendak merangsak maju, se-konyong2 terdengar dari arah timur sana ramai suara derapan kuda, seorang penunggangnya mendatangi secepat terbang.
Nyata itulah seekor kuda merah yang berkaki panjang dan tinggi, larinya cepat tiada bandingannya, baru dengar suara menderapnya atau tahu2 kudanya sudah sampai di depan.
Semua orang menjadi heran kenapa kuda ini bisa begini cepat larinya " Sementara tertampak penunggangnya adalah seorang nona berbaju merah, kuda dan penung-gangnya bagaikan sesosok arang yang membara, hanya muka si nona yang putih halus.
BegituIah gadis itu tarik tali kendalinya, seketika kuda merah itu berhenti dengan cepat kuda ini bisa mendadak berhenti sewaktu berlari keras, tanpa meringkik juga tidak berjingkrak, kelakuannya tenang dan biasa saja, sungguh binatang bagus yang jarang diketemukan.
Sejak kecil Yali Ce dibesarkan di daerah Mongol, tidak sedikit kuda pilihan yang sudah dilihatnya, tetapi binatang sebagus ini sungguh belum pernah disaksikannya, keruan iapun luar biasa terkejutnya.
Hendaklah diketahui bahwa kuda merah ini adalah "Han-hiat-po-ma" (kuda mestika berkeringat merah darah) yang didapatkan Kwe Cing secara kebetulan di gurun pasir diwaktu mudanya.
Tatkala itu kuda merah inipun masih kecil, kini boleh dikatakan sudah menginjak usia tua, akan tetapi binatang bagus memang tak bisa disamakan dengan kuda biasa, sungguhpun usianya sudah tua, namun larinya masih cepat dan kuat tak kalah dengan masa mudanya.
Dan dengan sendirinya nona penunggangnya ini bukan lain dari pada Kwe Hu, puteri tunggal Kwe Cing dan Ui Yong dari Tho-hoa-to.
Sudah beberapa tahun Nyo Ko berpisah dengan Kwe Hu, apabila ia ingat si gadis, selalu Nyo Ko masih sangka Kwe Hu adalah anak perempuan yang nakal dan sombong, siapa tahu kini sudah berupa satu nona yang cantik jelita.
Di lain pihak, sesudah tahan kudanya, Kwe Hu saksikan kedua burungnya sejenak menempur Li Bok-chiu, lalu ia melirik ke arak Yali Ce, waktu sinar matanya sampai di muka Nyo Ko, dilihatnya Nyo Ko memakai baju orang Mongol, mukanya sangat jelek dan aneh karena memakai kedok, tanpa terasa si gadis mengkerut kening, wajahnya mengunjuk rasa hina pada Nyo Ko.
Sejak kecil memangnya Nyo Ko tak cocok dengan Kwe Hu, kini setelah bertemu kembali dan melihat si gadis masih tetap benci padanya, maka bertambah hebat rasa rendah dirinya Nyo Ko dan berduka pula.
Katanya dalam hati: "Kau pandang hina padaku, memangnya aku lantas minta2 kasihanmu" ilmu silat ayahmu tiada bandingannya di seluruh jagad, ibumu juga pendekar wanita pada jaman ini, Gwakongmu adalah maha guru ilmu silat, semua orang dari segala aliran di kolong langit ini siapa yang tidak menaruh hormat pada sekeluargamu itu" Akan tetapi, dimana ayah-bundaku" ibuku hanya wanita penangkap ular pedusunan saja, ayahku pun tak diketahui siapa dia, matinya pun tidak terang apa sebabnya.
Hm, sudah tentu aku tak bisa dibandingkan dengan kau, memang aku dilahirkan dengan nasib malang dan harus selalu dihina orang, kini kau menghina aku lagi, rasanya pun tidak menjadi soal!" Begitulah Nyo Ko berdiri terpaku dan berduka hati, ia merasa di dunia ini tiada seorangpun yang menghargai dirinya lagi, meski hidup rasanya pun tidak berguna.
Hanya Suhu Siao-llong-li saja seorang yang bersungguh hati terhadap dirinya, tetapi saat ini entah berada dimana sang guru itu" Sisa hidup ini entah masih dapat bertemu tidak dengan beliau " Sedang Nyo Ko bersedih hati, tiba2 terdengar lagi suara derapan kuda yang lebih riuh, kembali ada dua penunggang mendatangi.
Kedua ekor kuda ini satu kelabu dan yang lain coklat, meski tergolong kuda bagus juga, tetapi kalau dibandingkan kuda merah tunggangan Kwe Hu, terang selisihnya terlalu jauh.
Tiap-tiap kuda itu ternyata ditunggangi seorang pemuda dan semuanya mengenakan baju kuning.
"Bu-keh-koko (engkoh keluarga Bu), perempuan jahat ini kembali kita ketemukan lagi," segera Kwe Hu berseru pada kedua pemuda itu.
Kiranya pemuda2 penunggang kuda ini memang adalah Bu Tun-si dan Bu Siu-bun kakak beradik Dan begitu melihat Li Bok-chhi, kedua saudara Bu itu terkejut.
Li Bok-chiu adalah musuh pembunuh ibu mereka, selama beberapa tahun ini siang malam boleh dikatakan tak pernah mereka melupakan dendam itu, siapa tahu mendadak bisa kepergok di sini.
Keruan saja mereka menjadi murka, serentak mereka melompat turun dari kuda, pedang dan segera mereka memapak maju tanpa bicara lagi.
"Akupun bantu kalian," teriak Kwe Hu.
iapun lolos pedangnya dan melompat turun buat bantu kawan2nya.
Melihat makin lama musuh bertambah banyak, apalagi kedua pemuda yang datang terus merangsak maju dengan muka merah dan mata melotot seperti hendak mengadu jiwa, bahkan Kiam-hoat yang mereka mainkan sangat bagus, terang adalah anak murid dari guru ternama, malahan si gadis cantik tadi ikut2 menyerbu juga, pedang yang dipakai gemilapan menyilaukan mata, ternyata adalah sebatang Pokiam atau pedang pusaka, begitu juga Kiam-hoat yang dilontarkan lihay luar biasa.
Tentu saja Li Bok-chiu terkesiap oleh semuanya ini.
"He, kau adalah nona keluarga Kwe dari Tho-hoa-to, bukan?" tanyanya segera.
"Kau kenal juga padaku!" sahut Kwe Hu tertawa sambil melompat ke atas terus menusuk cepat.
"Hmm, sungguh sombong kau bocah perempuan ini", jengek Li Bok-chiu dalam hati, sembari kecutnya menangkis.
"Dengan sedikit kepandaianmu ini, kalau bukannya keder terhadap orang tuamu, jangan kata kau hanya satu, meski sepuluh orang pun sekaligus kumampuskan semua.
" Selagi ujung kebutnya diayun hendak melilit pedang orang, sekonyong-konyong ada angin tajam menyamber lagi dari samping.
Harus diketahui bahwa ilmu silat kedua saudara Bu dan Kwe Hu adalah sama2 ajaran Kwe Cing sendiri, ketiga muda-mudi ini tinggal setempat di Tho-hoa-to, Kiam-hoat yang mereka pelajari adalah serupa, oleh sebab itu setiap gerak serangan mereka bisa bekerja sama dengan rapat sekali.
Di-tambah lagi ada kedua rajawali ikut mengerubut hingga Li Bok-chiu rada kerepotan, sebenarnya kalau lewat sedikit lama lagi pasti salah satu diantara mereka bisa dirobohkan Li Bok-chiu dan tinggal dua yang lain tentu sukar buat selamatkan diri.
Tetapi Li Bok-chiu berhadapan dengan orang banyak, ia kuatir kalau lawannya mengerubut maju semua, inilah susah baginya untuk melayani apalagi kalau Kwe Cing suami-isteri menyusul datang lagi inilah lebih celaka baginya.
Karena pikiran itulah, begitu kebutnya menyabet lagi, dengan tertawa ia berkata: "Lihatlah sekarang, biar nonamu unjuk permainan joget monyet!" Menyusul itu kebutnya menyamber ber-turut2 enam kali, setiap serangannya selalu mengincar tempat2 yang berbahaya, maka Kwe Hu dan Bu-si Hengte didesak hingga kelabakan dan tiada hentinya me-lompat2 menghindari tampaknya menjadi seperti monyet.
Kemudian Li Bok-chiu menyabet lagi sekali dengan keras, lalu ia putar tubuh sambil berseru: "Ling-po, marilah pergi!" - Habis itu, guru dan murid inipun kabur ke arah barat laut.
"Haha, Bu-si-koko, ia ketakutan pada kita, hayo, kejar lekas!" teriak Kwe Hu.
Selesai berkata, dengan pedang terhunus iapun mengudak cepat Dengan ilmu entengkan tubuh segera Bu-si Hengte menyusul juga.
Namun larinya Li Bok-chiu dan Ang Ling-po ternyata cepat luar biasa, tampaknya mereka berlenggang kangkung seenaknya, tetapi sedikitpun tiada debu yang mengepul di bawah kaki mereka, meski Kwe Hu dan Bu-si Hengte "tancap gas" se-kencang2nya, namun jarak diantara mereka dengan Li Bok-chiu berdua makin lama semakin jauh.
Hanya kedua ekor rajawali itulah yang masih bisa menyandak orang, kadang2 kedua binatang itu masih menubruk kebawah buat memagut.
Agaknya Bu Tun-si lebih bisa berpikir, ia tahu harapan membalas dendam hari ini tak mungkin bisa terlaksana, maka dia bersuit panjang memanggil kembali kedua rajawali itu.
Karena kuatir ketiga orang itu terjadi sesuatu, maka Yali Ce dan lain2nya ikut menyusul juga.
Demi nampak Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah balik kembali, segera mereka saling memberi hormat Dan karena mereka sama2 berwatak muda, maka begitu bicara merekapun sangat cocok satu sama lain.
"He, dimanakah Nyo-heng?" seru Yali Ce tiba-tiba teringat pada Nyo Ko.
"Seorang diri dia sudah pergi," kata Wanyen Peng, "Aku tanya dia hendak ke mana, tetapi dia tak gubris lagi padaku.
" Habis berkata, Wanyen Peng menunduk kesal Waktu Yali Ce berlari ke atas tanah tinggi buat memandang, ia lihat si gadis baju hijau itu sedang jalan berendeng dengan Liok Bu-siang dan sudah rada jauh, karena mereka sedang bercakap dengan asyiknya, maka tak enak Yali Ce hendak manggilnya, sebaliknya bayangan Nyo Ko sama sekali tak kelihatan.
Sesaat itu perasaan Yali Ce se-akan2 kehilangan sesuatu saja.
Meski baru pertama kali ini ia bertemu Nyo Ko, tetapi melihat ilmu silatnya tinggi dan wataknya jujur terus terang, sekali bertemu saja rasanya sudah sangat cocok, walaupun didengarnya Li Bok-chiu menista orang berbuat sesuatu yang tak senonoh dengan gurunya, tetapi betapapun juga rasa persahabatannya dengan Nyo Ko menangkan pandangan hina karena kata2 Li Bok-chiu itu.
ia pikir: "Seorang muda gagah perkasa seperti dia (Nyo Ko) ini sesungguhnya susah diketemukan.
Seumpama betul2 ada sesuatu perbuatannya yang kurang baik, kalau aku menasihati dia dan asal dia mau perbaiki diri, rasanya masih belum kecewa sebagai seorang Iaki2 sejati.
" Dan kini mendadak Nyo Ko pergi tanpa pamit, Yali Ce menjadi seperti kehilangan seorang sahabat lama.
Kiranya tadi waktu Nyo Ko melihat Bu-si Heng-te menyusul datang dan bersama Kwe Hu mengeroyok Li Bok-chiu, kelakuan ketiga muda-mudi itu seperti rapat dan rukun sekali, Kiam-hoat merekapun bagus luar biasa hingga dalam beberapa gebrak saja sudah bikin Li Bok-chiu melarikan diri.
Ia tidak tahu larinya Li Bok-chiu sebab takut pada Kwe Cing dan Ui Yong, sebaliknya ia menyangka Kiam-hoat ketiga orang itu yang membikin Li Bok-chiu dipaksa kabur.
Pikiran ini disebabkan dahulu waktu Nyo Ko diantar ke Cong-lam-san oleh Kwe Cing, di sana Kwe Cing telah unjuk ketangkasannya mengalahkan tidak sedikit imam dari Coan-cin-kau, ilmu silat yang sangat tinggi itu terlalu berkesan dalam hati kecilnya Nyo Ko, oleh sebab itu ia pikir murid ajaran Kwe Cing sudah tentu kepandaiannya berpuluh kali lebih hebat dari pada dirinya.
Begitulah makin dipikir makin mendongkol teringat lagi oleh Nyo Ko dahulu di Tho-hoa-to telah dihajar Bu-si Hengte babak belur sampai sembunyi di dalam gua semalam sehari pula terpikir olehnya Ui Yong sengaja tak mau mengajarkan ilmu silat padanya, sebalikiya Kwe Cing malah mengirim dirinya ke Tiong-yang-kiong untuk disiksa oleh kawanan imam jahat itu, semuanya ini membikin perasaannya bergolak ditambah lagi dilihatnya Wanyen Peng, Liok Bu-siang dan si gadis baju hijau serta Yali Ce sedang memandang kepada dirinya dengan muka yang sangsi2, Nyo Ko sendiri berpikir pula.
"Hm, tentu kalian mengejek dan pandang hina padaku!" Begitulah timbul rasa benci pada dirinya Nyo Ko, mendadak ia angkat kaki dan lari seperti keranjingan setan, iapun tidak turuti jalanan umum, melainkan alas pegunungan yang diterobosnya tanpa tujuan.
Dalam keadaan kehilangan pribadinya itu, Nyo Ko anggap di seluruh kolong langit semua orang bermusuhan padanya, padahal mukanya memakai kedok kulit, meski wajahnya berubah, Wanyen Peng dan lain2 mana bisa mengetahuinya" Kenapa tanpa sebab orang mengejek dan menghina padanya" Sebenarnya Nyo Ko dari utara hendak menuju ke selatan, tetapi kini karena ingin bisa tinggalkan orang2 itu sejauh mungkin, maka dia malah balik menuju ke jurusan utara.
Dalam kusutnya pikiran dan benci pada sesamanya, Nyo Ko tanggalkan kedok yang dia pakai terus gentayangan seorang diri diantara pegunungan yang sepi, kalau perutnya lapar, ia petik buah2-an untuk mengisi perut.
Semakin jalan semakin jauh dan makin lamapun makin menanjak tinggi.
Tiada sebulan, kondisi badan Nyo Ko sudah berubah hebat, kini tubuhnya mulai kurus kering, pakaiannya compang-camping tak terurus, akhirnya iapun berada di sebuah gunung besar yang tinggi.
Ia tidak tahu bahwa waktu itu dirinya berada di atas Hoa-san (gunung Hoa), satu diantara lima gunung terbesar di kolong langit ini, ia lihat keadaan gunung sangat curam dan terjal, tetapi dengan perasaan beku, ia justru makin menanjak ke atas ke bagian yang tertinggi.
Walaupun Ginkang Nyo Ko sangat tinggi, tetapi Hoa-san adalah pegunungan yang terkenal terjalnya di kolong langit ini, kalau hendak ditanjaki begitu saja oleh Nyo Ko rasanya tak dapat dilakukannya dengan mudah.
Dan baru dia sampai di tengah gunung atau cuaca menjadi gelap, awan mendung menutup tebal, menyusul mana turunlah hujan salju yang berhamburan.
Tetapi dalam keadaan masgul, Nyo Ko justru semakin menyiksa diri se-bisa2nya, bukannya dia mencari tempat meneduh, tetapi semakin besar turunnya salju, ia melanjutkan perjalanan semakin nekad ke tempat yang paling curam dan berbahaya, sampai hari sudah gelap, turunnya salju bertambah lebat hingga jalanan sangat licin dan susah dikenali lagi.
Dalam keadaan begitu, kalau sedikit salah langkah saja, dapat dipastikan Nyo Ko akan tergelincir ke dalam jurang dan badan hancur lebur.
Namun demikian, sama sekali hal mana tak dipikirkan Nyo Ko, ia pandang jiwanya waktu itu seperti tiada harganya dan masih terus menanjak ke atas dengan nekat.
Tak lama pula, tiba2 Nyo Ko dengar di belakangnya ada suara gemerisik yang sangat pelahan sekali seperti ada sesuatu binatang yang berjalan di tanah salju itu.
Waktu Nyo Ko menoleh, tiada sesuatu yang dilihatnya, tetapi di tanah salju itu tertampak ada serentetan bekas tapak kaki disamping bekas tapak kaki dirinya sendiri.
Nyo Ko terperanjat melihat bekas tapak kaki itu, terang ada orang sedang menguntit dirinya, tetapi waktu ia menoleh kenapa tak sesuatu bayangan yang dilihatnya" Kalau dibilang setan seharusnya tidak sampai meninggalkan bekas kaki, tetapi bila manusia, kenapa gerak tubuhnya bisa begitu cepat dan mendadak menghilang " Sesudah merandek sejenak, kemudian Nyo Ko berjalan lagi, tetapi baru belasan tindak, suara gemerisik di belakangnya berbunyi pula, nyata sekali itu adalah suara orang yang berjalan di atas salju.
Mendadak Nyo Ko menoleh lagi, dengan tindakan yang cepat dan diluar dugaan ini, ia pikir sekali ini pasti bisa tahu siapakah gerangan orang itu.
Siapa duga, tetap yang dia lihat hanya dua baris bekas kaki saja di tanah salju, sedang ujung baju orang sedikitpun tak tertampak olehnya.
Kalau orang lain, menghadapi keadaan begitu, sungguhpun ilmu silatnya tinggi, tentu juga akan merasa takut dan mengkirik, tetapi Nyo Ko sudah tak sayangkan jiwanya lagi, ia malah sangat ketarik oleh kejadian itu, ia justru ingin cari tahu sampai ke-akar2nya.
ia pikir di sekitarnya tiada tumbuh pepohonan dan tempat2 lain yang bisa dibuat sembunyi pada sebelah adalah gunung tinggi dan sebelah lain adalah jurang, apa mungkin orang itu bisa terbang ke atas" sekalipun bisa terbang pasti akan kelihatan juga! Begitulah sambil jalan sembari Nyo Ko memikir, sementara itu suara gemerisik di belakang terdengar berjangkit lagi.
"Orang ini pasti berilmu silat sangat tinggi, begitu melihat pundakku bergerak, segera ia tahu aku akan berpaling terus mendahului sembunyi" demikian Nyo Ko membatin, "Sekali ini biar pundakku tak bergerak, coba dia bisa lari kemana lagi?" Lalu dengan tabah ia merangkak ke atas pula, satu saat, mendadak ia membungkuk ke depan dan memandang ke belakang melalui sela selangkangan.
Gaya ini adalah ajaran Auwyang Hong diwaktu melatih ilmu secara menjungkir itu, karena sudah biasa dilatihnya, cara membungkuk dan memandang ke belakang tadi dilakukan dengan kecepatan luar biasa, maka sekilas dapat dilihat olen Nyo Ko ada satu bayangan orang melesat ke dalam jurang.
"Haya, celaka, sekali ini bisa tewas dia," teriak Nyo Ko dalam hati saking kaget.
Ketika ia melongok ke dalam jurang, tiba2 dilihatnya ada satu orang dengan sebuah jari tangan saja menggantol di tepian batu dengan tubuhnya tergantung Kiranya beberapa kali orang itu menggoda dan selalu dengan cara demikianlah orang ini menyembunyikan diri.
Melihat orang sanggup menggunakan satu jari saja untuk menahan bobot tubuhnya dan tergantung di udara yang beralaskan jurang, sesungguhnya kepandaian orang sudah sampai taraf yang tak dapat diukur.
Oleh karenanya, dengan laku sangat hormat Nyo Ko membungkuk tubuh dan berkata : "Silakan naiklah Locianpwe!" Se-konyong2 orang itu ketawa ter-bahak2, begitu keras hingga lembah pegunungan se-akan2 bergemuruh, ketika jari tangannya menarik, orangnya seperti burung saja lantas meloncat naik dari tebing jurang itu.
"Apa kau begundalnya Ngo-kui dari Tibet" Kenapa tengah malam buta berkeliaran di sini?" mendadak ketawa orang itu berubah membentak.
Karena bentakan orang yang tanpa sebab tiada alasan ini, seketika Nyo Ko tersinggung lagi perasaannya hingga mendadak ia menangis ter-gerung2, terkenang oleh nasibnya yang malang hingga selalu dihina orang, seorang Siao-liong-li yang dihormati dan dicintai itu tanpa sebab pula telah mendamperat padanya dan selanjutnya tak dapat bersua lagi, saking dukanya hingga menangisnya makin men-jadi2 se-akan2 seluruh kesedihan dari dahulu hingga sekarang hendak dilampiaskan dalam tangisnya ini Melihat Nyo Ko mendadak meng-gerung2 mula-mula orang itu rada tercengang, tetapi demi mendengar tangis orang makin lama semakin duka, ia merasa heran puk, Melihat tangis Nyo Ko men-jadi2 dan tiada habis2nya, mendadak ia tertawa panjang sekeras2nya, paduan suara tertawa dan menangis ini menjadi begitu hebat hingga saling berkumandang di antara Iebah2 pegunungan itu, sampai gumpalan2 salju sama longsor oleh karena geloranya.
"Dan kau menangisi apa?" balas tanya orang itu tetap tertawa.
Sebenarnya Nyo Ko masih hendak memaki orang dengan kata2 kasar, syukur segera teringat olehnya ilmu silat orang yang tak terukur tingginya itu, seketika api amarahnya ditahan, malahan dengan hormat sekali ia menjura.
"Siaujin (aku yang rendah) Nyo Ko memberi hormat pada Locianpwe," demikian sapanya.
Tangan orang itu memegang sebatang tongkat bambu, tiba2 ia mencungkit pelahan lengan Nyo Ko, tanpa terasa tahu2 Nyo Ko "telah terbanting kebelakang meski tenaga tongkat orang tak berapa besar.
Menurut daya bantingan itu, seharusnya Nyo-Ko akan terbanting hingga tak sanggup berdiri lagi, namun pemuda ini sudah biasa dilatih Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak dengan tubuh menjungkir, maka di tengah udara ia masih bisa berjumpalitan, lalu dengan tegak ia berdiri kembali Kejadian ini sama2 diluar dugaan kedua orang.
Dengan ilmu silat Nyo Ko sekarang ini, sekali serang hendak bikin pemuda ini terjungkal biarpun tokoh seperti Li Bok-chiu atau segolongan Khu Ju-ki, rasanya juga tak nanti bisa, Melihat usia Nyo Ko semuda ini sudah melatih silat sampai tingkat begini tinggi dalam hati orang itu menjadi sangat kagum.
"Apa yang kau tangisi tadi?" demikian orang itu bertanya lagi Nyo Ko amat-amati orang, ia lihat orang adalah kakek2 yang rambut jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya compang-camping seperti seorang pengemis, walaupun malam gelap, namun di bawah pantulan sinar salju yang memutih, lapat2 terlihat mukanya yang merah bercahaya, semangatnya pun masih me-nyala2, tanpa terasa Nyo Ko sangat menaruh hormat padanya.
"Aku adalah seorang yang bernasib malang, hidup di jagat ini sesungguhnya tiada gunanya, lebih baik mati saja beres," sahutnya kemudian.
"Siapakah yang bikin susah kau, coba katakan pada Kongkong (kakek)," kata si pengemis tua itu.
"Ayahku dibunuh orang, tetapi aku tak tahu siapa pembunuhnya, ibuku pun mati digigit ular, di dunia ini tiada orang lagi yang sayang dan cinta padaku," sahut Nyo Ko.
"Em, sebatangkara, sungguh harus dikasihani," ujar si pengemis,tua, "Dan siapakah gurumu yang mengajarkan ilmu silat padamu?" Dengar orang menanyakan Suhunya, pikir Nyo Ko: "Resminya Kwe-pekbo adalah guruku, tetapi sedikitpun ia tak ajarkan ilmu silat padaku.
Para imam busuk Coan-cin-kau itu lebih menggemaskan pula, Auwyang Hong adalah ayah angkat dan bukan guruku, sedang Kokoh yang telah ajarkan ilmu silat padaku, kini telah berakhir dengan demikian ini, mana bisa kuceritakan hal ini pada orang luar?" Ong Tiong-yang Siansu (guru marhum) dan Lim-popoh menurunkan ilmu padaku melalui ukiran2 di kamar kuburan itu, rasanya juga belum dapat dikatakan sebagai Suhuku, sungguhpun guruku begitu banyak, tetapi satupuh ternyata tak bisa di-sebutkan.
" Demikianlah pertanyaan pengemis tua itu jadi menusuk perasaannya lagi hingga mendadak ia me-nangis2 ter-gerung2 pula, "Aku tak punya Suhu, aku tak punya Suhu!" ia ber-teriak2.
"Baiklah, baiklah! Kau tak mau mengaku juga tak mengapalah!" ujar pengemis tua.
"Bukan aku tak mau katakan, tetapi aku tak punya," sahut Nyo Ko ter-guguk2.
"Tidak punya ya sudah, perlu apa menangis lagi?" kata si pengemis tua.
"Melihat kau berjalan seorang diri di malam gelap, tadi aku sangka kau adalah begundalnya Ngo-kui dari Tibet, kini ternyata bukan, biarlah Lokiauhoa (pengemis tua) terima kau sebagai murid saja.
" Kiranya orang ini bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, Si pengemis sakti berjari sembilan, namanya sejajar dengan Tang-sia, Setok, Lam-te dan Ong Tiong-yang.
DahuIu sesudah kedudukan Pangcu (ketua persatuan pengemis) dia turunkan pada Ui Yong, lalu seorang diri ia merantau ke timur dan ke barat untuk mencari makanan2 yang paling aneh dan enak seluruh jagat.
Memang ciri satu2nya Ang Chit-kong yalah suka makan, untuk mencari makanan enak, ia tak segan2 memasuki keraton raja untuk mencuri masakan yang ingin dicicipinya itu, jadi sebelum raja makan, setiap masakan tentu dia cicipi dahulu.
Bahkan untuk penganan enak ia tidak sungkan untuk berebut tanpa pikirkan akibat-nya, saking rakusnya terhadap penganan, suatu kali dalam gemasnya ia sampai hukum dirinya sendiri dengan memotong sebuah jari telunjuk, oleh karena inilah ia disebut "Kiu-ci-sin-kay" atau Si-pengemis sakti berjari sembilan, walaupun demikian, toh cirinya yang rakus itu masih belum bisa hilang, Begitulah, oleh karena daerah Kwitang terkenal nyaman dan paling banyak terdapat makanan yang aneh2, maka Ang Chit-kong sampai di propinsi ini, ia menjadi kerasan dan sudah belasan tahun tak pernah kembali ke daerah utara lagi.
0rang2 Bu-lim menyangka usia Ang Chit-kong sudah lanjut, mungkin sudah lama wafat, siapa tahu ia justru hidup sehat di Kwitang merasai segala macam penganan di mulai dari sebangsa semut, tikus sampai ular2 berbisa dan lain sebagainya semua dimakannya, rejeki mulutnya sungguh tidak sedikit.
Tahun itu dua "Kui" dari Cong-pian-ngo-kui" atau lima momok dari Tibet melakukan pembunuhan se-wenang2 di Kwitang, Dasar Ang Chit-kong benci pada kejahatan seperti musuhnya, sebenarnya kedua Kui atau kedua momok itu sekaligus hendak dibunuhnya, tapi karena ingin juga sekalian bisa bereskan yang lain2, maka sengaja ia kuntit orang, ia tunggu bila kelima momok itu sudah berkumpul semua baru sekaligus akan dibasminya semua, siapa tahu karena menguntitnya itu akhirnya sampai di atas Hoa-san.
Waktu itu, empat momok dari Tibet itu sudah berkumpuI, hanya Toa Kui, si momok pertama, yang belum datang, siapa tahu di tengah malam Nyo Ko yang dia ketemukan di tanah salju itu, kini mendengar pemuda ini begitu sedih menangis, tiba2 hatinya tertarik dan hendak-terima Nyo Ko sebagai murid.
Selama hidup Ang Chit-kong, murid yang diterimanya secara resmi hanya Kwe Cing dan Ui Yong berdua, kini entah mengapa, tiba2 ia mengatakan sendiri ingin terima Nyo Ko.
ia pikir bocah ini pasti girang luar biasa dan menghaturkan terima kasih.
Siapa tahu, sedikitpun Nyo Ko tak pernah melupakan Siao-liong-li, ia sudah ambil keputusan tak mau lagi mengangkat guru "yang kedua.
Sebab itulah ia telah geleng2 kepala dan menjawab : "Terima kasih atas maksud baikmu, tetapi aku tak mau angkat kau sebagai guru.
" Jawaban Nyo Ko ini sangat mengherankan Ang Chit-kong, dasar pengemis tua ini wataknya sangat berkeras pada kata2nya sendiri, maka ia bilang lagi: "Kau tak mau angkat guru padaku, tetapi aku justru ingin kau menjadi muridku.
" "Kau mau pukul mati aku, boleh silakan memukul saja, tetapi ingin aku angkat guru, itulah tidak bisa," sahut Nyo Ko tetap.
Nampak tabiat orang sama kerasnya dan kukuh pada pendiriannya sendiri, Ang Chit-kong bertambah suka padanya.
"Sudahlah, kita jangan bicara urusan ini dulu, agaknya kaupun sudah lapar, marilah kita makan dulu baru berunding lagi," katanya, Habis itu, ia berjongkok di tanah salju dan menggaruk-garuk untuk mendapatkan beberapa kayu kering, dengan inilah lalu dinyalakan api.
"Hendak makan masakan apakah kita?" tanya Nyo Ko sambil bantu orang mengumpulkan kayu, "Kelabang!" sahut Chit-kong singkat "Kelabang" Ah, mana mungkin!" demikian Nyo Ko pikir, ia sangka orang cuma berguyon saja, maka ia hanya tersenyum dan tak tanya Iagi.
"Dengan susah payah aku kintil Cong-pian Ngo-kui dari Linglam (nama lain dari Kwitang) sampai di Hoa-san sini, kalau tidak mencari beberapa macam makanan enak yang aneh2, rasanya tak enak terhadap kawanku ini!" kata Chit-kong sambil tepuk2 perut sendiri.
Nyo Ko lihat perawakan pengemis tua ini kekar kuat, hanya perutnya yang rada gendut "Hoa-san adalah tempat yang paling teduh, tempat paling dingin di kolong langit ini, produksi kelabangnya adalah paling gemuk dan halus pula.
Hawa di Kwitang sebaliknya panas, segala makhluk hidup di sana lebih cepat tumbuh besar, maka daging kelabangnya pun rada kasar," demikian Ang Chit-kong mencerocos pula dengan teori ilmu makannya Mau-tak-mau Nyo Ko rada heran mendengar orang berkata secara sungguh2 dan kelihatan bukan bergurau belaka.
Sembari berkata Ang Chit-kong tambahi kayu pada api unggunnya, kemudian ia keluarkan sebuah wajan kecil dari buntalannya dan ditaruh di atas api, ia mengepal dua gelondong salju dan dimasukkan kedalam wajan.
"Mari ikut pergi mengambil kelabang," kata-nya.
Selesai berkata, sekali melesat, tahu2 orangnya sudah melompat ke atas tebing gunung setinggi lebih dua tombak.
Melihat tebing gunung itu begitu terjal, seketika Nyo Ko ragu2 tak berani ikut manjat ke atas.
"Anak tak berguna, lekas naik sini!" seru Ang Chit-kong.
Nyo Ko paiing benci kalau ada orang pandang hina padanya, kini dikatai tak berguna oleh Ang Chit-kong, tiba2 ia kertak gigi terus ikut merangkak ke atas.
"Hm, memangnya aku sudah tak pikirkan mati atau hidup lagi, biarkan mati tergelincir juga tak apalah," diam2 ia berpikir.
Karena marahnya itu, nyalinya menjadi besar, Ginkang yang dia keluarkan bisa digunakan lebih hebat, maka dengan kencang ia ikut di belakang Ang Chit-kong, meski tempat2 yang paiing curam dan berbahaya, akhirnya dapat dipanjatnya juga.
Hanya sebentar saja mereka berdua sudah memanjat sampai di atas puncak gunung yang tak pernah diinjak manusia.
Melihat Nyo Ko memiliki Ginkang yang bagus dan hatinya begitu tabah, Ang Chit-kong menjadi tambah suka padanya.
"Anak bagus, tak bisa tidak aku harus terima kau sebagai murid," demikian ia memuji.
"Terima kasih Locianpwe, kalau locianpwe ada perintah apa2, siaujin tidak nanti bantah, tentang soal angkat guru, harap jangan disebut puIa," sahut Nyo Ko.
Ang Chit-kong tahu pasti ada ganjelan hati orang yang sukar diucapkan, sebenarnya ia hendak menanya, tetapi teringat akan makanan enak yang harus diberi "prioritas" lebih dulu, maka cepat ia mendekati sebuah batu padas, ia gali tanah di bawah batu itu, maka tertampaklah seekor ayam jago yang sudah mati Luar biasa herannya Nyo Ko.
"Eh, kenapa ada bangkai ayam jago disitu?" katanya heran, Namun iapun segera mengerti: "Ah, engkau sendirilah yang memendamnya.
" Ang Ching-kong tak menjawab, ia hanya tersenyum dan angkat bangkai ayam jago itu.
Mata Nyo Ko sudah terlatih memandang di waktu malam, apalagi kini di bawah sorotan sinar salju yang membalik itu, maka tertampaklah olehnya di bawah perut bangkai jago itu penuh lengket beratus ekor kelabang yang panjangnya rata2 belasan senti dengan warna merah-hitam yang belang-bonteng.
Sejak kecil Nyo Ko sudah berkawan dengan ular, sebenarnya ia tidak takut terhadap binatang berbisa, tetapi demi mendadak nampak kelabang sebanyak ini, saking seramnya tidak urung ia mengkirik juga.
"Haha," sebaliknya Ang Chit-kong lantas tertawa riang, "Kelabang ini memang musuh kawakan ayam jago, kemarin di sini sengaja kupendam seekor bangkai jago, betul saja keIabang2 ini kena dipancing datang semua.
" Habis ini diapun mengeluarkan kain pembungkus, bangkai ayam jago berikut kelabang2 yang masih melengket itu ia buntal seluruhnya, lalu dengan riang gembira ia merosot turun dari puncak gunung itu.
"Apa benar2 akan makan kelabang" Kalau melihat sikapnya, tampaknya bukannya sengaja buat menakuti aku," pikir Nyo Ko diam2 sambil ikut di belakang orang.
Sementara itu air salju yang digodok dengan wajan Ang Chit-kong tadi sudah mendidih, Ang Chit-kong buka buntalannya tadi, ia tarik ekor tiap2 ke!abang dan dicemplungkan ke dalam wajan.
Kelabang2 itu semula kerupukan dalam air mendidih, tapi sekejap saja lantas kaku dan tak berkutik.
"Sebelum mati, kelabang2 ini telah muntahkan semua racun yang berada padanya, oleh sebab itu, air salju dalam wajan ini luar biasa jahat bisanya," ujar Chit-kong.
Kemudian ia gali sebuah lobang di tanah salju itu, ia tuang air berbisa itu ke dalamnya, saking dingin suhu di atas gunung ini, maka sebentar saja air beracun itu sudah membeku menjadi es.
Habis itu Ang Chit-kong keluarkan sebilah pisau kecil, ia potong kepala dan buntut tiap2 kelabang, lalu dipelocoti satu per satu, dengan gampang saja kulit kelabang2 itu mengelotok hingga daging kelabang kelihatan putih bersih seperti daging udang.
"Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang dapat dimakan?" demikian pikir Nyo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.
Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air salju, daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes air racun, habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari buntalannya Kaleng2 kecil ini ternyata berisi bumbul masak sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain2.
Lebih dulu wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian daging kelabang itu dituang ke dalamnya untuk digoreng, begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka terciumlah bau sedap yang bikin orang mengilar.
Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali telan air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata2 kelihatan, mau-tak-mau Nyo Ko ter-heran2 dan merasa geli pula.
Setelah kelabang2 itu digoreng sampai berwarna kuning, kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya, selesai itu, tanpa tunggu2 lagi ia comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya, dengan pelahan ia mengunyah, matanya meram-melek, begitu nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tiada sesuatu lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.
Sekaligus bet-turut2 ia pindahkan belasan ke-labang ke perutnya, habis itu baru ia katakan pada Nyo Ko: "Hayo, makan! Sungkan2 apa lagi?" Akan tetapi Nyo Ko menggeleng kepala, "Tidak, aku tak doyan," sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia ketawa ter-bahak2.
"Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa yang pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal kepala dan alirkan darah tidak nanti mereka mengkerut kening, tetapi kalau bicara soal makan kelabang, tiada seorangpun yang berani tiru aku Ang Chit-kong.
Ha, kau bocah ini hanya bermulut besar saja, sesungguhnya kau juga setan cilik bernyali kecil," demikian katanya.
Dikatai bernyali kecil, Nyo Ko menjadi dongkol, pikirnya : "Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah terus telan saja beberapa ekor kelabang itu, supaya tidak dipandang rendah olehnya.
" Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi sebagai sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk mulutnya, rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia pikirkan tadi.
"Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata kau telan sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan cara gagah kesatria," kata pengemis tua itu.
"Masakah makan kelabang saja ada soal gagah kesatria segala?" sahut Nyo Ko tertawa dingin.
"Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa malu2 mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan kelabang rasanya tiada seberapa orang," kata Chit-kong.
Nyo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah oleh orang, ia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu sedemikian gurih, begitu wangi dan begitu enak, sungguh selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan yang begitu lezat rasanya.
Karuan ia tidak mau sudah, cepat ia telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya menyamber lagi kelabang yang kedua.
"Em, hebat, sungguh hebat rasanya!" demikian berulang kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi tuman, Ang Chit-kong girang sekali, segerapun ia berebut duluan dengan Nyo Ko, hanya sekejap saja ratusan kelabang itu sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih belum Cukua, lidahnya menggigit bibir, sungguh kalau bisa ia pingin isi perutnya 100 ekor kelabang lagi.
"Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing kelabang yang Iain," kata Nyo Ko tiba2.
ia betul sudah tuman oleh rasa gurihnya kelabang goreng tadi.
"Tak bisa jadi lagi," sahut Chit-kong, "bangkai jago itu sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini kelabang2 yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet ngantuk, tahu2 iapun merebahkan diri ke tanah salju.
"Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur," demikian ia kata, "setelah makan enak besarZan ini, biarlah aku tidur se-puas2nya selama tiga hari, seandainya langit bakal ambruk juga jangan kau bangunkan aku.
" Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar, ternyata lantas pulas begitu saja.
"Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh," batin Nyo Ko.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari padanya.
" Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya, seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang putih seperti kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan cair karena hawa panas itu, tetapi kenapa bisa tertimbun di atas muka dan tubuhnya, hal ini mula2 bikin Nyo Ko tak mengerti tetapi setelah ia pikir, segera iapun tahulah.
"Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah keluarkan tenaga sakti untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya, Seorang yang masih hidup segar waktu tidur ternyata bisa kaku seperti mayat, lwekang semacam ini sesungguhnya sangat hebat, mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali juga tidak selihay dia ini," demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-kong telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya sudah tak kelihatan lagi Nyo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia mendongak, ia lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu ia tegasi, dari jauh kelihatan mendatangi lima bayangan orang dengan kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya berilmu silat amat tinggi "Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang dikatakan Locianpwe ini tadi," pikiran Nyo Ko tergerak tiba2.
Karena itu, lekas2 ia sembunyi di belakang batu padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu padas tempat sembunyi Nyo Ko, seorang diantaranya terdengar bersuara heran.
"He, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia berada di sekitar sini saja," kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik2.
Habis ini, mendadak mereka terpencar pergi buat memeriksa keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang sempit, maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang tertutup salju itu.
Karena kakinya tiba2 menginjak tempat Iunak, dalam kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas merubung dan menggali timbunan salju itu, maka tertampaklah Ang Chit-kong yang kaku dan seperti sudah mati.
Tentu saja kelima orang itu sangat girang, mereka coba periksa pernapasan Ang Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun dingin membeku.
"Pengemis tua ini terus menguntit aku sepanjang jalan hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah mampus di sini," kata seorang diantaranya.
"Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab kenapa mati?" ujar yang lain ragu2.
"ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?" debat yang kin pula, "Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?" Karena kata2 terakhir ini, empat orang yang lain menyatakan benar, kata mereka: "Ya, beruntung ia telah dipanggil raja akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar dilawan.
" "Hayo, kita masing2 bacok tua bangka ini sekali buat lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia gagah perkasa, sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh," ajak orang yang pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Nyo Ko sudah siapkan segenggam Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima orang agak sulit, tiada jalan lain kecuali cari kesempatan menyerang dulu dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah dirobohkan, sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang sabar, ketika didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong, ia kuatir orang benar2 mencelakai pengemis tua itu, maka Am-gi belum sempat dihamburkan satupun, dengan sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Nyo Ko samber sekenanya dua tangkai kayu dan digunakan sebagai Boan-koan-pit, begitu kedua tangannya bergerak be-runtun2 ia menyerang lima kali, tiap2 serangannya mengincar Hiat-to kelima orang itu.
Lirna serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui keburu ber-jaga2, kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang diantara mereka pasti ada yang dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget hingga berkeringat dingin, lekas2 mereka melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing2 ada beda antara tinggi dan rendah, tetapi cara2nya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Nyo Ko hanya satu pemuda "ingusan" yang bajunya rombeng, senjata yang dipakai hanya dua kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.
"Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis kecil dari Kay-pang?" segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak: "Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan minta ampun saja.
" "Ya, baik, biar aku menjura padamu", sahut Nyo Ko tiba2.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui berkelit Nyo Ko sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat mereka.
ia menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima orang ini tiada yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau main keroyok, ia sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Nyo Ko memang anak cerdik, ketika mendengar Tay-kui berteriak agar menjura padanya, segera ia sambut baik terus melangkah maju dan berlagak menjura.
Tak terduga mendadak kedua tangannya terus menyabet ke samping secepat kilat dengan gerak tipu "tui-jong-bong-goat" (mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan sisi kanan Sam-kui.
Tipu serangan "Tui-jong-bong-goat" ini dilontarkan secara tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi kepandaiannya ia sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu punggung goloknya kena disabet tangkai kayu Nyo Ko, ia merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tak kuat digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang kakinya, terdengar suara "keletak", meski tulang kaki tak sampai patah, namun saking sakitnya Go-kui telah berjingkrak memegangi kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata mereka menyamber menghujam Nyo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat lompat kian kemari untuk berkelit hingga seketika empat "Kui" itu tak mampu berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan pertempuran lagi.
ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli seorang anak kemarin, tentu saja gusarnya bukan buatan.
Nyo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-keng, Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia niat lari, sebenarnya tidak sukar baginya, tetapi ia kuatir Ang Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu dicelakai Ngo-kui, oleh karena itu ia tak berani menyingkir jauh hingga sebab itu pula ia tak bisa bertempur secara Ieluasa, akhirnya ia sendiri berulang kali harus menghadapi serangan bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada jalan lain kecuali melarikan diri, maka pada suatu kesempatan se-konyong2 ia samber tubuh Ang Chit-kong, ia putar tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus ia berlari sampai beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap saja yang tiga orang berada di depan dan yang dua ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu sedingin es, mau-tak-mau Nyo Ko menjadi kuatir, ia pikir betapapun nyenyak tidurnya seharusnya akan terbangun juga, aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau menolong" Jangan2 pengemis tua ini memang benar2 telah mati" "Locianpwe, Locianpwe!" ia coba teriaki Ang Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikitpun seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Nyo Ko, di belakang Tay-kui sudah menyusul datang, karena takut pada kepandaian Nyo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tak berani terlalu dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua saudaranya yang lain, sebaliknya Nyo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh tombak.
Melihat jalan yang diambil Nyo Ko yalah panjat terus ke puncak gunung, puncak itu melulu ada satu jalan kecil, maka Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit" Sebab itulah merekapun tak perlu buru2 mengejar mereka menyusul dari belakang dengan pelahan saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam, sampai suatu tempat tikungan, tiba2 Nyo Ko melihat di kedua samping adalah jurang yang beribu tombak dalamnya, di tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang hanya cukup dilalui seorang saja.
"Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini juga aku tahan mereka selama tiga hari," demikian pikir Nyo Ko.
"Tetapi kalau hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku.
. . aku. . . " Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya Ang Chit-kong masih belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu batu padas di ujung jembatan sana, lalu dengan cepat ia putar balik, sementara itu Tay-kui sudah menyusul sampai di ujung jembatan.
"Siluman jelek, berani kau maju?" bentak Nyo Ko tiba2 sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Nyo Ko hingga ke-dua2nya tergelincir masuk jurang, lekas2 Tay-kui mundur ke belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang kuning ke-emas2an, salju sudah berhenti turun, lapisan salju yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan sinar matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba2 Nyo Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
"Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?" bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang jahat, Kini mendadak melihat Nyo Ko berubah wajah yang lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan, mirip seperti mayat hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika Ngo-kui saling pandang dengan kaget.
Pelahan Nyo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu, dengan gaya "Kim-ke-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan sengaja menendang pelahan ke atas sambil ber-gerak.
2 diantara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya alangkah gembiranya pemuda ini.
"Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul seorang kesatria muda ini?" demikian diam2 Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan alam itu, kemudian mereka lantas berunding.
Keputusan diambil: mereka akan berjaga secara bergilir untuk mencari bahan makanan ke bawah gunung, dengan demikian tidak sampai dua hari "mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan karena kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari bahan makanan ke bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai setengah harian, Nyo Ko tak berani menyeberang ke sana, sebaliknya Su-kui juga tak berani menyeberang kesini.
" Sampai lewat lohor, Nyo Ko duduk bersemadi untuk kumpulkan tenaga.
Sampai besok paginya, Ji-kui datang kembali dengan membawa makanan, kelima saudara itu sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming2 Nyo Ko.
Memangnya Nyo Ko sudah kelaparan, tentu saja ia mengiler, menyaksikan orang makan begitu enak.
Waktu ia Berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini masih tetap serupa saja seperti hari pertama, pikirnya: "Jika betul2 tidur, adalah lazim kalau suatu ketikapun akan membalik tubuh, tetapi ia justru tidak bergerak sedikitpun jangan2 memang benar2 telah mati" Kalau aku bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak bertenaga, tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima musuh itu.
Tidaklah lebih baik terjang pergi sekarang saja mungkin masih bisa menyelamatkan diri.
" Pelahan2 Nyo Ko berdiri, tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja.
" Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih merebah saja seperti hari pertama, makin melihat Nyo Ko menjadi semakin sangsi.
"Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak mau pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai kelaparan setengah hari lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku sendiri akan mati kelaparan," demikian Nyo Ko membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu terpikir lagi olehnya: "Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap ayah-bunda akupun tak berbakti, pula aku tak punya sanak saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku, kini soal "kepercayaan" ini betapapun juga jadinya aku harus menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku Nyo Ko selama hidup ini selalu dipandang hina saja oleh orang, kalau aku tak bisa tepati janji ini, lebih2 aku akan dibuat buah tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati, janji tiga hari ini harus kulaksanakan.
" Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya lapar menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi, pagi hari keempat, segera Nyo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia raba badan pengemis tua itu dan terasa tetap dingin seperti es.
Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.
"Locianpwe," demikian ia memberi hormat kepada badan Ang Chit-kong, "janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia, Tecu kuatir tak sanggup menjaga keutuhan jenazahmu, maka terpaksa melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak dibuat hinaan orang2 jahat itu.
" Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang Chit-kong dan berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak dilemparkannya ke jurang.
Pada saat itu juga, melihat Nyo Ko tiba2 hendak tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri.
Dengan cepat mereka saling memberi tanda, segera mereka merubung maju memapaki Nyo Ko.
Tatkala itu Nyo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan, sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang di tengah jembatan Dengan sekali gertak mendadak Nyo Ko melemparkan Ang Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur, tahu2 ada seorang telah melayang lewat melalui kepalanya terus tancapkan kaki di tengah2 antara Nyo Ko dan Ngo-kui.
"Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak dan puas sekali!" kata orang itu sambil bergelak ketawa, Nyata ia bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Nyo Ko girang tidak kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah, mendadak ia mendusin dan dengan tepat lengannya yang panjang keburu menahan di atas jembatan, berbareng itu orangnya pun melompat lewat di atas kepala Nyo Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak tangan kiri ke depan, menyusul tangan kanan didorong maju, ini adalah satu diantara tipu serangan "Hang-liong-sip-pat-ciang" atau delapan-belas tipu pukulan penakluk naga, yang menjadi kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut "kang-liong-yu-hwe".
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang Chit-kong, hendak menghindarkan diri juga tak ke buru lagi meski insaf serangan pengemis tua ini tak sanggup disambutnya secara keras, namun tiada jalan lain kecuali berbuat sehisanya, terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan untuk tangkis pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua lengannya kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas2 Ji-kui ulur tangannya mendorong punggung sang toako.
namun demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga telapak tangannya, tiba2 Ji-kui kena didorong mendoyong ke belakang dan hampiri terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa pula maju mendukung kedua saudaranya, Dan karena menempel tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular pada Sam-kui dan paling akhir Sam-kui menularkan juga pada Go-kui Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap itu saja, bila Ang Chit-kong tambahi tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan raksasa si pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Nyo Ko menjadi tercengang sambit ternganga kagum.
"Kalian berlima setan jahat ini selamanya melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di bawah tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun tidak penasaran," kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah2, mereka pasang kuda2 dengan kuat, dengan mata mendelik mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong yang tunggal itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba2 dari jauh sana berkumandang suara "tok-tok-tok" yang keras, dari tikungan jalan sana tahu2 muncul seorang aneh yang berjalan dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan Auwyang Hong.
"Ayah!" seru Nyo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar saja, mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka- terasalah tiba2 satu kekuatan yang maha besar telah disalurkan melalui tubuh kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang Chit-kong menjadi kaget, apalagi Nyo Ko memanggil padanya "ayah", diam2 pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini adalah anak Auwyang Hong, pantas memiliki ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat, tenaga pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambahi tenaga dan balas menghantam.
Sejak "Hoa-san-lun-kiam" kedua rampung, selama belasan tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras, tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari Kwe Cing serta Ui Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan dasar ilmu silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi sudah tak kalah dengan Se-tok Auwyang Hong, Si racun tua dari barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sudah sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah itu masing2 pun bertambah lebih hebat lagi kepandaiannya sendiri2, kini untuk ketiga kalinya mereka bersua di Hoa-san, sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing diantara aduan kekuatan dua "raksasa" ini, tubuh mereka sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas merekapun sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih hebat melebihi siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya, secara keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong yang memancal di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat memancalnya, namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang sambil ketawa ter-bahak2.
Dan karena "lepas tangan" kedua "raksasa" ini, daya tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang hingga tubuh kelima orang itu ter-huyung2 kehilangan imbangan bagai orang mabuk saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, isi perut mereka sudah menderita luka parah semua, otot tulang mereka pun lemas dan menjadi orang cacat, sekalipun menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan lagi.
"Bangsat, hitung2 ajalmu belum sampai, baiknya selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas enyah dari sini!" demikian Ang Chit-kong membentak Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui bertindak pergi pelahan dengan saling dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia lirik Ang Chit-kong dan lapat2 seperti pernah kenal, maka segera ia menegurnya: "Hai, bagus amat ilmu silatmu, siapakah nama-mu?" Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya yang miring.
"Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?" demikian sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama "Auwyang Hong" itu seperti sudah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri bernama apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
"Entah, aku lupa," demikian sahutnya kemudian "Eh, ya, siapakah namaku ya?" "Hahahaha!", Ang Chit-kong tertawa geli.
"Namamu sendiri kenapa tak tahu" lekas kau pulang saja buat meng-ingat2nya".
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
"Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku," bentaknya.
"Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo katak busuk," sahut Ang Chit-kong.
"Ha-mo, Ha-mo", nama ini memang sangat dikenal Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri, tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang sangat diunggulkan yalah "Ha-mo-kang" atau ilmu weduk katak, bila digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja goda dan olok2 padanya.
Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh kebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci masing2 sudah tertahan dalam di hati mereka, meski dalam keadaan linglung, namun dengan sendirinya Auwyang Hong menjadi gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri menjublek, habis itu matanya tiba2 menyorotkan sinar bengis, diam2 Ang Chit-kong telah ber-jaga2.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak terdengar Auwyang Hong menggeram sekali dengan kalapnya ia menubruk maju.
Ang Chit-kong tak berani ayal, sekali tangannya bergerak, segera "Hang-liong-sip-pat-ciang" dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di puncak tertinggi dari Hoa-san itu, di kedua sisi mereka adalah jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak, asal sedikit ada yang berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur lebur tergelincir ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak, segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling hebat untuk mengadu jiwa, kalau dibanding dengan pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan secara halusan, terang sekali ini sudah lain keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya, meski ilmu silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi soal tenaga justru berkurang daripada tadinya.
Oleh sebab itu, pertarungan sekali ini terutama tidak ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga masing2, tetapi semuanya ingin menang dengan tipu2 pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Nyo Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap2 ilmu pukulan kedua jago tua itu hingga tidak sedikit intisari yang dia petik, apa lagi dasarnya Nyo Ko memang pintar, pula sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima dimana letak inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Nyo Ko rada kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang mengingat tempat pertempuran yang berbahaya itu, tetapi sesudah saling gebrak, kadang2 ia malah melihat Ang Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa terasa ia mengharap agar pengemis tua itu diberkahi selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah angkatnya, perasaan kekeluargaan mereka sudah begitu rapat dan melekat, tetapi tindak tanduk Ang Chit-kong juga membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini mau-tak-mau membikin Nyo Ko menjadi kagum dan menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago tua itu bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama2 menghadapi serangan lihay, namun selalu mereka sanggup menyelamatkan diri dengan baik, maka Nyo Ko akhirnya tak perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik2 tipu silat yang diunjuk mereka.
Sudah lama Nyo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok sekali dengan intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh bukan buatan rasa girang Nyo Ko, pikirnya: "Satu istilah saja dalam kitab yang disangka cuma biasa saja, siapa tahu mempunyai perubahan2 yang begini luas dan banyak," Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu berlangsung, meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan, namun, karena usia yang sudah lanjut, mau-tak-mau napas mereka mulai memburu dan jantung memukul cepat, gerak-gerik merekapun mulai kendur.
"Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi, tentunya perut sudah lapar, marilah kita makan yang keyang dulu, nanti bertanding lagi!" demikian Nyo Ko coba teriaki mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik, lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata2 "makan", segera ia melompat mundur sambil berseru: "Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!" Tadi Nyo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ, maka dengan cepat bakul itu disambernya ke hadapan Ang Chit-kong, waktu ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata isinya banyak sekali, ajam-daging komplit dengan nasi dan arak segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak pernah sungkan2, tanpa permisi lagi ia samber seekor ayam beku, baik daging berikut tulangnya terus dilalap semua hingga bersuara keletak-keletuk.
"Ayah, selama ini berada di manakah kau?" dengan suara lembut Nyo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging beku pada Auwyang Hong.
"Aku mencari kau," sahut Auwyang Hong dengan mata mendelong.
Nyo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia pikir di dunia ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku dengan sesungguh hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Nyo Ko berkata lagi: "Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang baik, janganlah kau berkelahi lagi dengan dia.
" "Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong adalah manusia jahat," kata Auwyang Hong sambil tuding Ang Chit-kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih sekali hati Nyo Ko.
"Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia busuk dan janat, Auwyang Hong pantas mampas!" Ang Ching-kong ter-bahak2 geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia pandang Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Nyo Ko, matanya menyorotkan sinar yang guram dan hampa, pikirannya pun menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat2 sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
"Ang-locianpwe," kata Nyo Ko sesudah melayani Auwyang Hong memakan sedikit, "dia adalah ayah angkatku, harap engkau kasihan dia sedang menderita sakit ingatan, sukalah jangan bikin susah lagi padanya.
" Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi mendengar permohonan Nyo Ko, berulang kali ia mengangguk "Anak baik, anak baik," demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak melompat bangun lagi.
"Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi.
" demikian ia ber-teriak2 atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong, "Daiam hal pukulan kita sama kuat, kini kita boleh coba2 senjata.
" "Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang menang", sahut Ang Chit-kong sambil geleng2 kepala.
"Menang apa segala" Aku justru ingin bunuh kau," teriak Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan sebagai pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya, pernah Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu permainan tongkatnya itu lihay luar biasa, kini meski tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun hantamannya sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba pentungnya atau Nyo Ko sudah merasakan samberan angin yang menekan dada.
Lekas2 Nyo Ko melompat minggir, waktu ia pandang Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah samber juga sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua jago tua itupun saling labrak lagi dengan serunya.
"Pak-kau-pang-hoat", ilmu permainan pentung pemukul anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah ilmu silat yang tiada bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak sembarangan mau dia keluarkan selain ini iapun punya ilmu permainan pentung lain yang bagus dan lihay, kini satu persatu ia keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka pertarungan sekali ini menjadi berbeda lagi dengan gebrakan dengan tangan dan kaki tadi, begitu hebat samber-menyambernya tongkat dan pentung hingga Nyo Ko yang menonton di samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib, tetapi masih tiada yang lebih unggul atau asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya, seluruh gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, kedua jago tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng, mungkin akan menjadikan penyesalan selama hidup, maka dengan suara keras Nyo Ko ber-teriak2 minta mereka berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti begitu saja" Kemudian Nyo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran Ang Chit-kong satu2nya: "makan", ia pikir kalau pancing pengemis tua ini dengan makanan enak tentu orang akan mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa diadakan "gencatan senjata".
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas belukar pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong ubi dan singkong, segera ia nyalakan api dan dibakar hingga menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong berteriak: "Ha-mo, busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau, makan dulu paling perlu !" Habis itu, iapun mendekati Nyo Ko terus samber saja dua potong ubi bakar itu terus digeragoti meski mulutnya sakit kebakar oleh panasnya ubi itu, sambil tiada hentinya ia puji Nyo Ko yang pintar cari barang santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu saja, ia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit sebaliknya ia samber sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah Auwyang Hong sambil berseru : "Nih, makanlah !" Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum tongkatnya diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun tangkap singkong yang dilemparkan padanya itu terus dimakan, seketika iapun lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam suatu gua, Nyo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada kejadian2 masa dahulu, maka beberapa kali ia sengaja memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu hanya ter-menung2 saja tanpa menjawab Kadang2 orang tua ini ketok2 batok kepalanya sendiri dengan kepalan, tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun percuma saja karena otaknya se-akan2 sudah pantul ia menjadi sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila, lekas2 Nyo Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia sendiri hanya guIang-guling tak bisa pulas, ia sedang pikirkan ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya siang tadi, makin mengingatnya makin bersemangat, sampai akhirnya diam2 ia bangun sendiri dan menjalankan gerak-gerik pukulan itu menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan kebagusan ilmu silat yang tiada taranya itu, sampai tengah malam, sesudah sangat lebih, barulah Nyo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi2 sekali, waktu Nyo Ko masih layap2 dalam tidurnya, tiba2 didengarnya diluat gua ada suara samberan angin yang men-deru2 di selingi dengan suara bentakan dan lompatan, Lekas Nyo Ko meloncat bangun, di depan gua terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang Hong kembali sedang saling labrak dengan ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Nyo Ko menghela napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk menunggu di samping, diam2 iapun ingat baik2 gerak tipu permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa setiap gerakan Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas, sebaliknya ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga, seringkali kalau Ang Chit-kong berada di atas angin, tahu2 Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan cepat, lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang ber-larut2 ini, siang berkelahi dan malam tidur, terus-menerus berlangsung selama enam hari, begitu payah keadaan dua orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis, namun toh masih tiada satupun yang mau mengalah barang sekali serangan saja.
"Jika pertarungan secara demikian berlangsung lagi, dua harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka," demikian Nyo Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong tidur, diam2 ia berkata pada Ang Chit-kong : "Marilah Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit.
" Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia ikut Nyo Ko keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya sambil menjura tiada hen-tinya, tetapi sepatah katapun tak dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan pada Auwyang Hong yang menderita sakit ingatan itu dan suka mengaku kalah saja padanya.
"Baiklah, aku turut permintaanmu," demikian katanya kemudian sambil ketawa ter-bahak2.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun bertindak pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia ber-tindak, se-konyong2 dari belakang ada angin me-nyamber, ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar dari gua terus menyabet dengan tongkatnya.
"Bangsat tua, kau mau lari ya?" bentak Auwyang Hong dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang ber-ulang2, ia bermaksud cari jalan buat pergi, siapa tahu selalu dicegat dan kena dikurung oleh tongkat Auwyang Hong hingga tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi sebenarnya sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini karena Chit-kong bermaksud mengalah, keruan saja ia menjadi kececar, beberapa kali ia malah hampir dicelakai oleh tongkat lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong menyodok cepat dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu di belakang serangan ini masih disusul serangan yang lebih lihay dan se-kali2 tak boleh dihindari begitu saja, maka terpaksa ia angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba2 terasa olehnya pada tongkat Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha kuat dan lihay, sungguh tidak kepalang kejut Ang Chit-kong.
"He, kau hendak adu lwekang dengan aku?" demikian sekilas pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan demikian, kecuali melawannya juga dengan tenaga dalam, memang tiada jalan lain Iagi.
Segera iapun kumpulkan Lwekangnya buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong itu.
Dengan ilmu silat setinggi Ang Chit-kong dan Auwyang Hong ini, kalau hanya terluka oleh sekali pukulan atau pentungan juga belum pasti membahayakan jiwa mereka, tetapi kini dengan adu tenaga dalam, keadaan telah meningkat sampai detik yang tidak bisa saling mengalah Iagi, hanya ada pilihan untuk mereka: "hidup atau mati", lain tidak.
Pemah juga dahulu mereka saling bertanding, tetapi karena sama2 jeri terhadap kelihayan pihak lain, kalau tidak yakin bakal menang, tiada yang berani sembarangan melakukan tindakan berbahaya ini.
Siapa tahu dalam keadaan sinting, karena sudah beberapa hari bertanding masih belum bisa menang, mendadak Auwyang Hong menyerang dengan Lwekang asli.
Belasan tahun yang lalu, benci Ang Chit-kong terhadap Se-tok Auwyang Hong boleh dikatakan meresap sampai ke tulang, tetapi kini usianya sudah lanjut, tabiat kerasnya sudah berkurang, pula melihat musuh kawakan itu tak waras otaknya, sedang Nyo Ko berulang kali mohon kasihan baginya, sesungguhnya tiada maksud lagi pada Ang Chit-kong untuk membunuhnya.
Oleh sebab itu, ia hanya pusatkan tenaga dalamnya di perut, ia hanya bertahan dan tidak menyerang, ia tunggu biar Auwyang Hong sendiri yang kepayahan kehabisan tenaga dalam.
Tak terduga, bukan tenaga Auwyang Horg berkurang, sebaliknya seperti ombak samudera saja yang menggelombang tiada henti2nya, satu gelombang didorong dengan gelombang yang lain, makin lama pun makin keras.
Mendadak Ang Chit-kong teringat pada sesuatu, tak tertahan lagi ia terkejut sekali.
Kiranya teringat olehnya pertarungan siang tadi waktu adu tenaga dengan Auwyang Hong dengan Ngo-kui di tengah sebagai alat mengukur, tatkala itu berulang Auwyang Hong memancal tiga kali dengan kakinya dan tenaga yang dikeluarkan itupun yang satu lebih besar dari yang lain, kini tampaknya sama seperti tadi itu, belum reda tenaga serangan pertama, gelombang serangan kedua sudah menyusul tiba dan begitu seterusnya, tenaga serangan kedua masih kuat, segera tenaga gelombang ketiga datang lagi.
Teringat akan itu, Ang Chit-kong tak berani ayal, segera iapun pusatkan tenaga dalamnya melakukan serangan balasan, dan karena keras lawan keras ini, tubuh kedua orang sama2 terguncang.
Melihat air muka kedua orang tua itu sangat tegang, terang mereka sedang adu tenaga dalam yang maha hebat secara mati-matian, diam2 Nyo Ko sangat kuatir, Kalau dia mau bela Auwyang Hong sebagai ayah angkatnya, asal dia serang Ang Chit-kong dari belakang dengan jarinya saja, pasti jago tua itu akan luka parah.
Tetapi dilihatnya Ang Chit-kong berjiwa jantan sejati, ia menjadi ragu2 dan tak tega turun tangan.
Lewat tak lama, mendadak Auwyang Hong menggertak sekali, berbareng itu ia terus menjungkir tegak dengan kepala dibawah, malahan sepatu dan kaos kaki ia buang juga, dengan sepasang kaki yang telanjang inilah ia meng-gejol2 dan meng-ayun2 cepat di udara hingga menerbitkan angin.
Sebaliknya Ang Chit-kong kelihatan tenang saja, tanpa bergerak sedikitpun bagai patung.
Sesudah saling ngotot lagi tak lama, akhirnya telapak kaki Auwyang Hong sampai menguap seperti digodok, nyata ia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya melakukan serangan total.
Begitu juga Ang Chit-kong, iapun melawan dengan sepenuh kekuatan yang ada padanya.
Dalam keadaan demikian ia tak bisa lagi memikirkan bakal mencelakai jiwa lawan atau tidak, yang dia harap asal dirinya sendiri tak terluka, sudah sangat beruntung baginya.
Cara begitulah mereka bertanding dari fajar menyingsing sampai lewat lohor, lambat laun Ang Chit-kong merasakan tenaga dalamnya mulai "kering", sebaliknya daya tekanan lawan masih terus menerus membanjir seperti gelombang ombak yang tiada habis2nya.
"Celaka, Si Racun tua ini semakin gila ternyata semakin lihay, hari ini jiwa Lokiauhoa (pengemis tua) bisa melayang di sini," diam2 Chit-kong mengeluh.
Nyata ia sudah menduga pertarungan ini bakal kalah, sayangnya tiada jalan buat melepaskan diri, terpaksa ia bertahan sekuatnya, Tak ia sangka, keadaan Auwyang Hong pun sudah bagai pelita yang kehabisan minyak, tinggal sirapnya saja.
Kedua orang menjadi sama2 mengeluh dan sukar dipisahkan lagi kecuali diakhiri dengan "mati atau hidup" Setelah dua jam lagi, hari sudah mulai sore, seluruh tenaga yang ada pada Ang Ching-kong sudah dikeluarkan semua tanpa ketinggalan "setetes" pun.
Begitu juga Auwyang Hong sudah napas lemah dan tenaga habis.
Nampak wajah kedua jago tua itu berubah hebat, Nyo Ko menaksir sebentar lagi kedua orang itu pasti akan gugur bersama, tetapi kalau maju buat memisahkan mereka, rasanya ilmu silat sendiri masih terlalu jauh selisihnya, kalau sampai di-bentur kembali oleh tenaga dalam mereka, mungkin ia sendiri bisa terluka parah kalau tidak mampus.
Karena itulah ia menjadi ragu2.
Tetapi bila menyaksikan air muka Auwyang Hong yang tampak sangat menderita, napas Ang Chit-kong juga memburu senin-kemis, betapapun Nyo Ko tak tega, ia ambil keputusan: "Sekalipun harus mati, biarlah kutolong mereka" Segera ia samber sebatang kayu, ia mendekati tengah kedua orang tua itu dan duduk bersila, ia turuti inti pelajaran Lwekang yang pernah diperolehnya dari Siao-liong-li dan kumpulkan tenaga buat melindungi seluruh tubuhnya sendiri.
habis itu, sambil kuatkan hatinya mendadak ia ulur kayu tadi terus mencungkit ke tengah2 kedua pentung orang.
Sungguh tak pernah diduga bahwa mencungkitnya ini sedikitpun ternyata tak makan tenaga, ketika tenaga dalam kedua jago tua itu kontak melalui batang kayunya dan kena ditangkis Lwekang yang sudah dia kumpulkan, segera dapat dipatahkan dengan gampang saja.
Kiranya itu disebabkan sisa tenaga kedua orang tua itu sudah lapuk dan tiada artinya lagi.
Meski ilmu silat Se-tok dan Pak-kay (Si Racun dari Barat dan Si pengemis dari Utara) setinggi langit, namun setelah dikuras selama beberapa hari dalam pertandingan mati-matian ini, sisa tenaga mereka hanya buat serang seorang biasa saja sukar melukainya, apalagi melawan si Nyo Ko" Maka tertampaklah kedua orang tua itu men-doprok ke tanah dengan lemas, muka mereka pucat seperti mayat dan tak bisa berkutik lagi.
"Hai, Ang-locianpwe, Ayah, baik2kah kalian?" teriak Nyo Ko kuatir.
Akan tetapi bernapas saja kedua orang tua itu merasa sulit, apalagi menjawabnya" Nyo Ko hendak angkat mereka ke dalam gua, namun Ang Chit-kong telah goyang kepalanya pelahan.
Nyo Ko tahu luka kedua orang itu terlalu berat, maka tak berani lagi geser mereka, malam itu iapun tidur di tengah2 kedua orang, ia kuatir tengah malam jangan2 keduanya bangun saling labrak lagi.
Padahal hendak sembuhkan luka dengan menjalankan lwekang saja susah, mana mungkin mereka sanggup bertempur pula" Besok paginya, setelah Nyo Ko mendusin, ia lihat napas kedua orang tua itu terempas-empis, keadaan mereka lebih buruk dari pada kemarinnya, keruan saja pemuda ini sangat kuatir, lekas2 ia panggang beberapa singkong lagi dan layani mereka makan.
Setelah dilolohi makanan sedikit, sampai hari ketiga, semangat kedua jago tua itu baru mulai rada baik, ber-turut2 Nyo Ko pindahkan mereka ke dalam gua, ia taruh yang satu di sebelah timur dan yang lain sebelah barat, ia sendiri tidur di tengah2 sebagai "garis pemisah".
Cara begitulah mereka beristirahat beberapa hari Karena Ang Chit-kpng memang doyan makan, maka pulihnya pun lebih cepat sebaliknya se-hari2 Auwyang Hong hanya bungkam saja dengan muka muram, Nyo Ko ajak bicara padanya, iapun tak menjawab.
Hari itu, ketika kedua orang itu rebah berhadapan tiba2 Ang Ching-kong berteriak pada Auwyang Hong: "Hai, Ha-mo busuk, kau menyerah padaku belum?" "Menyerah apa?" sahut Auwyang Hong.
"Masih banyak ilmu kepandaianku yang belum kukeluarkan, kalau sempat kumainkan semua, pasti aku akan hajar kau hingga kau minta ampun.
" "Haha, sungguh kebetulan, akupun masih banyak ilmu silat yang belum dikeluarkan," kata Ang Chit-kong dengan ketawa lebar.
"Pernah tidak kau mendengar Pak-kau-pang-hoat?" Auwyang Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, pikirnya: "Ya, menurut Cerita, pangcu dari Kay-pang memiliki sejurus Pak-kau-pang-hoat, kalau dimainkan bukan maki lihaynya.
Tetapi dalam pertarungan sengit dengan aku tadi, selamanya belum dikeluarkannya, agaknya dia cuma omong kosong saja, atau kalau tidak, hakekatnya ia tak bisa memainkan ilmu tongkat itu.
" Karena pikiran itu, segera ia menjengek: "Hm, Pak-kau-pang-hoat apa gunanya?" Di lain pihak Ang Chit-kong menjadi menyesal juga kenapa tidak mengeluarkan ilmu permainan tongkatnya yang sakti itu pada waktu bertarung sengit kemarinnya, kalau sampai Pak-kau-pang-hoat dikeluarkan, pasti Se-tok sudah dia robohkan, cuma sayang karena terlalu percaya pada kemampuan sendiri, bahwa tidak usah dengan ilmu pusaka Kay-pang itu juga bisa menang atas lawannya, siapa tahu akibatnya berakhir dengan ke-ke-dua2-nja sama2 luka parah, Kini hendak dikeluarkan namun tenaga sudah habis, sedang orang telah menjengek padanya, tentu saja ia penasaran.
Tiba2 tergerak kecerdasannya, ia menggapai Nyo Ko ke dekatnya, lalu dengan bisik2 ia tanya pemuda ini: "Aku adalah penjabat ketua Kay-pang yang lalu, apa kau tahu?" Nyo Ko memanggut tanda tahu.
Memang dari imam2 Coan-cin-kau di Tiong-yang-kiong dahulu ia pernah mendengar bahwa pejabat Pangcu dari Kay-pang yang dulu Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan, ilmu silatnya tiada taranya, jiwanya jujur berani, adalah seorang gagah kesatria pada jaman itu.
"Sekarang juga ada sejurus ilmu silat akan kuajarkan padamu," demikian kata Ang Chit-kong pula, "Cuma ilmu silat ini selamanya hanya diturunkan pada Pangcu perkumpulan pengemis dan tidak diajarkan pada orang luar, Tapi lantaran ayah angkatmu itu berani pandang rendah padaku, aku justru ingin kau unjukkan ilmu silat ajarannya ini padanya.
" "Jika ilmu silat Lociapwe ini tak boleh diturunkan orang luar, biar Tecu tak pelajari saja," sahut Nyo Ko.
"Pikiran ayah angkatku belum jernih, haraplah Locianpwe jangan sepandangan dengan dia.
" "Tidak, meskipun kau sudah pelajari gerak-gerik tipu silat ini, tetapi kalau belum paham rahasia menggunakan tenaganya, di saat menghadapi musuh akan tiada gunanya juga," kata Ang Chit-kong lagi sambil goyang kepala, "Kini akupun tidak suruh kau gunakan ilmu ini buat pukul ayah angkatmu, cukup asal kau goyangi tangan dan geraki kaki menurut gaya yang kukatakan, tentu ia akan paham.
Oleh sebab itu tak bisa dikatakan kuajarkan kepandaian ini padamu.
" Namun Nyo Ko masih ragu, pikirnya : "Kalau ilmu silat ini adalah pusaka Kay-pang, belum pasti ayah angkatku sanggup menangkisnya, lalu mengapa aku bantu kau buat mengalahkan ayah angkat sendiri?" Oleh sebab itu, ia tetap menolak dengan alasan tak ingin pelajari ilmu pusaka Kay-pang yang dibanggakan itu.
Rupanya Ang Chit-kong dapat meraba apa yang dipikirkan Nyo Ko, maka kepada Auwyang Hong ia berteriak: "Hai, katak busuk, anak angkatmu tahu kalau kau tak bisa lawan aku punya Pak-kau-pang-hoat, maka ia tak berani pertunjukkan cara2nya padamu.
" Auwyang Hong menjadi gusar oleh pancingan ini.
"Jangan kuatir, Nak, akupun masih banyak ilmu sakti yang belum dipergunakan lekas kau tunjukkan menurut ajarannya padaku, kenapa harus takut ?" demikian teriaknya.
Karena didesak sini dan dipaksa sana, Nyo Ko menjadi serba salah, terpaksa ia mendekati Ang Chit-kong untuk menantikan pelajaran apa yang hendak diturunkan padanya.
Ang Chit-kong suruh Nyo Ko jemput sebatang kayu, lalu ia jelaskan caranya sebuah tipu lihay dari Pak-kau-pang-hoat yang disebut "pang-tah-siang-kau" atau sekali pentung dua anjing.
Dasar Nyo Ko memang cerdas, sekali belajar lantas bisa, segera pula ia pertunjukkan gerak tipu itu menurut cara2 yang diajarkan Ang Chit-kong itu.
Melihat gerak tipu serangan pentung pemukuI anjing ini sangat aneh dan nyata memang lihay, seketika Auwyang Hong menjadi susah mendapatkan jalan untuk mematahkannya, setelah ia pikir sejenak, kemudian baru dia katakan suatu gerak tipu juga pada Nyo Ko.
Nyo Ko menurut, ia pertunjukkan menurut apa yang dikatakan Auwyang Hong itu.
"Bagus," dengan tersenyum Ang Chit-kong memuji, "dan sekarang satu tipu lagi.
" Lalu iapun ajarkan sebuah tipu pula pada Nyo-Ko dari Pak-kau-pang-hoat.
Dan begitulah seterusnya, kedua jago tua itu bertanding secara tak langsung, hanya menggunakan mulut saja dengan Nyo Ko sebagai "penyambung lidah", Karena sama lihaynya, sampai hari sudah petang baru belasan jurus saja berlangsung, walaupun begitu, bagi Nyo Ko sudah terlalu payah hingga keringat gemerobyos.
Maka untuk sementara pertandingan ditunda.
Besok paginya pertandingan dilanjutkan lagi.
Tidak sampai lohor, 36 jurus ilmu pentung pemukuI anjing sudah selesai dikeluarkan Ang Chit-kong, tetapi meski ilmu pentung itu hanya 36 jurus saja, namun perubahan2 ikutan tiap2 tipu gerakannya ternyata hebat dan tiada habis2nya.
Sampai akhirnya, waktu yang dipakai berpikir Auwyang Hong buat menangkis gerak serangan itu semakin panjang, jika pertandingan dilangsungkan sungguh2 dan tipu serangan datangnya susul-menyusul secara cepat, mana ia bisa menggunakan otaknya secara begitu bebas " Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa meski lama berpikir, namun setiap kali tipu2 tangkisannya juga selalu luar biasa bagusnya, baik untuk menjaga diri maupun buat balas menyerang, hal inipun bikin Ang Chit-kong sangat kagum.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secara begitulah pertandingan lain dari yang lain itu terus berlangsung selama tiga hari, sampai petang hari keempat, Ang Chit-kong sudah katakan pada Nyo Ko tipu perubahan terakhir dari 36 jurus ilmu pentung pemukul anjing yang disebut "boat-jau-keng-coa" atau menyontek rumput kejutkan ular, ini adalah tipu ikutan terakhir dari Pat-kau-pang-hoat yang paling lihay, menurut teori ilmu silat sudah pasti tiada jalan buat mematah-kannya, dengan sendirinya Auwyang Hong pun sukar hendak menangkisnya.
Malamnya ia guIang-guling tak bisa pulas, semalam suntuk ia peras otak memikirkan cara menangkis tipu terakhir Ang Chit-kong yang lihay itu.
Besok paginya, belum Nyo Ko mendusin atau tiba2 terdengar Auwyang Hong telah ber-teriak2: "Ha, bisa, bisa, begini caranya ! Nak, kau boleh gunakan tipu ini untuk patahkan serangannya!" Suaranya terdengar begitu bersemangat, tetapi juga ter-sengal2.
Mendengar suaranya rada aneh, waktu Nyo Ko pandang muka orang, sungguh kejutnya bukan buatan.
Kiranya usianya Auwyang Hong sudah lanjut, tetapi karena Lwekangnya terlatih dalam sekali, maka rambut dan kumisnya hanya sedikit putih kelabu saja, siapa tahu karena terlalu memeras otak semalam saja, tahu2 seluruh alis, kumis dan rambutnya kini menjadi putih semua, seketika orangnya seperti bertambah tua berpuluh tahun.
Berduka sekali hati Nyo Ko melihat keadaan orang tua itu, ia bermaksud memohon Ang Chit-kong agar jangan meneruskan pertandingan, sebaliknya terus-menerus Auwyang Hong telah mendesak lagi, mau-tak-mau terpaksa ia pertunjukkan pula tipu ciptaan baru dalam semalam oleh Auwyang Hong ini.
Demi nampak tipu baru ini, seketika muka Ang Chit-kong menjadi pucat bagai mayat, memangnya ia sudah menggeletak di tanah dan sukar berkutik, kini entah mengapa dan darimana datangnya tenaga, se-konyong2 ia melompat bangun terus menubruk ke arah Auwyang Hong sambil berteriak: "Haha, Si Racun tua, Auwyang Hong, Lokiauhoa hari ini betul2 takluk padamu!" Dan begitu saling bergumul, Ang Chit-kong merangkul erat2 tubuh Auwyang Hong.
Pedang Pusaka Buntung 5 Panji Wulung Karya Opa Keris Pusaka Sang Megatantra 1

Cari Blog Ini