Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 30
Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah dipelajari Nyo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk secara begitu2 saja tanpa sesuatu perubahan.
Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas pulang ke gua.
sepanjang hari Nyo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tapi aneh, sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar daripada biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.
Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah membawakan pula beberapa biji buah merah, segera Nyo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.
Girang sekali anak muda itu, cepat ia melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk berlatih pula dengan si rajawali.
Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu, sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi lebih tangkas.
Begitulah dia terus berlatih beberapa hari ber turut2, pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja, setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya.
Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan ilmu pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya yang tampaknya begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.
Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan, asalkan tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar daripada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu.
Meski sekarang dia cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.
Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit2 kecil di bawahnya, kini dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu seakan2 sama sekali tiada artinya lagi.
"Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan seperti dituang dan langit Nyo Ko coba bertanya si rajawali: "Tiau-heng, hujan sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?" Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana dengan cepat.
Nyo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada sesuatu benda aneh lagi" Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya di bawah hujan deras.
Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.
Setelah membelok ke suatu selat gunung, suara gemuruh air semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai kecil di bawahnya, di antara air itu terselip pula tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja.
Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Nyo Ko sudah basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam2 anak muda itu rada jeri.
Rajawali itu menarik baju Nyo Ko lagi dan mengajaknya ke tepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun ke sungai.
"Untuk apa turun ke situ?" ujar Nyo Ko dengan heran.
"Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut.
" Tiba2 rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika sayap kirinya menyampuk ke depan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu itu ter-tolak ke atas.
Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.
Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali.
Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap, batu itu terus mencelat dan jatuh di tepi sungai.
Habis itu si rajawali lantas melompat kembali ke samping Nyo Ko.
Sekarang Nyo Ko dapat menangkap maksud si rajawali, ia tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang di tengah air bah ini setiap hari hujan.
Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.
Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Nyo Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak terduga, tanpa ampun tubuh Nyo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah telanjur, terpaksa Nyo Ko mengincar baik2 dan tancapkan kakinya di atas batu karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air, segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.
Tiba2 terpikir oleh Nyo Ko: "Tokko-locianpwe itu adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku tidak?" Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia melawan terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang terbawa arus benar2 ia tidak mampu.
Cukup lama Nyo Ko bertahan di tengah damparan air bah yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan pedangnya untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.
Belum sempat ia mengaso, tahu2 sayap si rajawali telah menyabet pantatnya lagi.
Sekali ini Nyo Ko sudah waspada, maka sabetan itu tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam sungai.
Diam2 ia mengakui rajawali itu benar2 merupakan "guru yang keras dan sahabat yang baik", ia pikir kalau dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah tidak mempunyai hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya" Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah juga semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan tidak goyah lagi.
Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya, Bisa2 mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu, segera Nyo Ko melompat ke tepi sungai.
Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah bersiap juga, begitu melihat Nyo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Nyo Ko menahannya dengan pedang dan dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai, "plung", ia kecebur pula ke dalam amukan air bah.
Baru saja kakinya menginjak batu karang di dalam sungai tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk mulutnya, Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu.
Cepat ia berdiri sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama itu, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh di dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu.
Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali, Dasar watak Nyo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung juga dia tidak mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu.
Di dalam air dengan sendirinya batupun berubah enteng, pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air sehingga Nyo Ko dapat memainkannya dengan leluasa.
Begitulah ia terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga habis, kakipun terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi sungai.
Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air lagi, padahal dia sudah lemas betuI2, kalau tidak mengaso dulu tentu tidak sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu.
Benar saja, rajawali itu tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air, seketika sayapnya menyabetnya.
"Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!" seru Nyo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi sejenak dan sungguh2 terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi ke atas.
Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi, karena kepepet, terpaksa Nyo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.
"Maaf, Tiau-heng!" seru Nyo Ko sambil menusukkan pedangnya pula.
Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Nyo Ko itu, cepat burung itu melompat mundur.
Tahulah Nyo Ko bahwa selama setengah harian berlatih di tengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah kuat, keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan mengikatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah sehebat ini.
Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di tepi sungai dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi segera ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula.
Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama lagi pasti juga akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi Karena pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk berlatih Iagi.
Waktu untuk keempat kalinya dia melompat kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh ia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu.
sekaligus ia lantas habiskan buah2 itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.
Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh juga bukannya tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat, namun air bah sudah mulai surut.
Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya betapa cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air, dengan cara begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan dihancurkannya, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.
BegituIah dari amukan air bah itu Nyo Ko telah berhasil menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan pedang puntul yang berat itu kini sudah dikuasainya benar2 dan tidak perlu dilatih lagi, ia pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya paling2 juga cuma begini saja.
Tiba2 terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini" Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini" Teringat begini seketika terbangkit jiwa kesatriaannya.
"Tidak, aku harus juga meniru Tokko-locianpwe, harus kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago silat di dunia ini, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini," demikian ia menggumam sendiri.
Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung itu.
teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak, pikirnya: "Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani, sejak dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya dahulu sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu mati karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa" Hm, dia mengutungi lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau tidak kubalas sakit hati ini aku bukan lagi laki2 sejati.
" Selamanya Nyo Ko paling tegas membedakan budi dan sakit hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.
Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas.
Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia pulang ke gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan datang lagi, mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya untuk sementara.
Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi.
Rajawali itu mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat.
Pedang puntul itu sangat berat, kalau digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Nyo Ko mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan digendongnya di punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang tinggi.
Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat magrib, karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh2 semacam Kwe Cing dan Ui Yong.
Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah pekuburan, di semak2 rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.
Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar ia mencari pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah dia mendekati benteng kota.
Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan tinggi, tempo hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga perlu menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.
Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Nyo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjati benteng kota.
Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi di samping pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana, segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk dinding benteng.
Meski ujung pedang itu puntul, tapi tusukannya sangat kuat, terdengailah suara "brak" yang keras, dinding benteng yang tersusun dari batu2 besar itu pecah seketika dan berlubang.
Nyo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa tenaga sekuat itu, diam2 ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia melompat lagi,ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada lubang dinding benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali ini dia menusuk dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan mengejutkan penjaga.
Dengan begitulah setindak demi setindak ia memanjat ke atas benteng, Kira2 beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi ia terus merambat ke atas dengan "Pia-hou-yu-jiang-kang" atau ilmu cecak merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng dan sembunyi di tempat yang gelap.
Di bagian dalam benteng itu ada undak2an batu, ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah dan berlari ke tempat tinggal Kwe Cing.
Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam Nyo Ko telah banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan gesit, ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.
Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Cing bukan sembarangan melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Ui Yong yang hebat itu.
Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba di luar rumah kediaman keluarga Kwe, pelahan2 dan hati2 ia melintasi pagar tembok.
Dia cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera tertampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.
Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa tiada seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera ia melangkah ke dalam kamar.
Dia dapat memandang di malam gelap seperti di siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal di atas ranjang sudah di singkirkan ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik2 itu justeru tertabas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas pula.
Nyo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya juga rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii sangat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga sama jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun Lik-oh dan lain2 semuanya kesemsem padanya baik secara samar2 maupun berterus terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia pikir kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu, biarpun tinggi ilmu silatnya, paling2 juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.
Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung pikirannya timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Pada saat itulah tiba2 dari sebelah sana samar2 ada suara orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.
Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Cing, dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Ui Yong sedang berkata: "Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Nyo Ko itu adalah anak baik.
Belum ada satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah jiwanya masih hidup?" Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan menangis.
"Ko-ji pasti bukan manusia begitu," terdengar Kwe Cing menjawab "Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali, andaikan kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku.
" "Kau rela, aku yang tidak rela " belum habis ucapan Ui Yong, tiba2 terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan nyaring.
Nyo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Ui Yong menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup" Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui celah2 jendela, terlihat Ui Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap jendela, maka Nyo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga besar, kulit rada ke-hitam2an, jelas bukan bayi perempuan yang pernah digendongnya itu.
Dalam pada itu terdengar Ui Yong sedang menina bobokkan bayi itu, lalu berkata "Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali.
" Baru sekarang Nyo Ko menyadari duduknya perkara, kiranya Ui Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Cing, yaitu Kwe Yang, kemudian menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh.
Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-ii.
Begitulah Kwe Cing sedang mondar mandir di dalam kamar dan berkata kepada sang isteri: "Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-2 suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya karena seorang bayi?" "Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun tidak mengidzinkan!" ujar Ui Yong, "Apakah kita harus membiarkan jiwa anak kita itu melayang begitu saja?" "Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?" kata Kwe Cing.
"Habis bagaimana" Sang ayah tidak pedulikan anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?" seru Ui Yong dengan gusar.
Biasanya Nyo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini.
Kalau Ui Yong bicara sambil menangis, maka Kwe Cing terus mondar mandir di dalam kamar dengan muka bersungut.
Selang tak lama Kwe Cing membuka suara pula: "sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik tidak ada.
" "Memangnya anak Hu kurang baik apa?" seru Ui Yong.
"Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau dia menyerang secara gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Nyo Ko juga sudah kutabas bila dia tidak mengembalikan anakku.
" "Kau bilang apa Yong-ji?" bentak Kwe Cing dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara gebrakan itu.
Saat itu juga Nyo Ko melihat di jendela sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus menyingkir pergi.
Nyo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.
Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha menguntit dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya, seketika hati Nyo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari.
Tapi pada saat itu juga cahaya lampu di kamar Ui Yong telah dipadamkan dan terdengar suaranya: "Kau keluar saja, membikin kaget anak ini saja.
" Nyo Ko tahu Kwe Cing akan segera keluar dan sukar mengelabuhi mata sang paman, maka cepat ia melompat ke sana dan sembunyi di balik gunung2an, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu.
ia melompat ke atas pohon besar yang terletak di luar kamar dan sembunyi di balik daun pohon yang lebat.
Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu kembali di kamarnya pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, tapi tak berani banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona tidur, lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu.
Dari atas pohon Nyo Ko dapat melihat keadaan kamar dengan jelas melalui jendela yang masih terbuka itu.
Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela napas panjang dan berduduk dengan bertopang dagu.
Nyo Ko pikir "Apa yang kau sedihkan" Kau membikin buntung lenganku, akupun balas membuntungi sebelah lenganmu.
Cuma seorang lelaki tidak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang kuhendak membereskan kau adalah terlalu mudah bagiku, namun cara ini bukanlah perbuatan seorang jantan sejati.
Rasanya aku harus ber teriak2 lebih dulu agar paman Kwe memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar kukalahkan dia dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan perbuatanku yang terangan ini tentu takkan ditertawakan orang.
Akan tetapi ilmu silat paman Kwe teramat tinggi, apakah aku dapat mengalahkan dia" Ah, mungkin tidak dapat.
Lalu bagaimana, aku harus menuntut balas atau tidak?" BegituIah ia menjadi ragu2, tapi demi teringat pada lengannya yang sudah buntung itu, seketika darahnya bergolak lagi dan segera ia nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu.
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara tindakan orang sedang mendatang, ternyata bukan lain daripada Kwe Cing.
Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe Cing mengetok pelahan pintu kamar dan me-manggih "Anak Hu, apa kau sudah tidur?" Kwe Hu berbangkit dan menjawab: "Kau kah, ayah?" suaranya terdengar rada gemetar.
Nyo Ko terkesiap juga, ia pikir jangan2 paman Kwe sengaja datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui kedatanganku ini" Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda itu.
Daiam pada itu Kwe Hu telah membuka pintu kamarnya, ia memandang sekejap pada sang ayah, lalu menunduk.
Kwe Cing melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat tidur dan terdiam untuk sekian lamanya.
Setelah ayah-anak itu sama2 bungkam agak lama, akhirnya Kwe Cing membuka suara: "Selama beberapa hari ini kemana saja kau?" Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu menjawab dengan tergagap: "Setelah .
. . . . setelah melukai Nyo-toako, anak takut.
. . takut didamprat ayah, maka.
. . maka. . . " "Maka kau bersembunyi begitu?" sambung Kwe Cing, Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk "Jadi maksudmu menunggu setelah kegusaranku mereda barulah kau pulang?" Kembali Kwe Hu manggut2, mendadak ia menubruk ke pangkuan sang ayah dan berseru dengan ter-guguk: "Apakah engkau masih marah pada anak, ayah?" Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Cing membelai rambut anak gadisnya, katanya dengan pelahan: "Tidak, aku tidak marah, selamanya aku tak pernah marah, aku cuma sedih bagimu.
" "O, ayah!" teriak Kwe Hu sambil mendekap sang ayah dan menangis tersendat sendat.
Kwe Cing menengadah memandangi langit2 kamar tanpa bicara lagi.
Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia berkata pula: "Kakek Nyo Ko, namanya Nyo Thi-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian, keduanya adalah saudara angkat.
Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat sebagai saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui.
" Kwe Hu mengiakan. Maka Kwe Cing lantas melanjutkan: "Meski tingkah laku Nyo Ko itu ter-kadang suka dugal tapi pembawaannya berbudi luhur, beberapa kali dia pernah menyelamatkan jiwa ayah-bundamu, usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan bangsa, hal inipun kau mengetahui," Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis Kwe Hu tidak berani menanggapi.
Tiba2 Kwe Cing berbangkit dan berkata pula: "Selain itu ada lagi suatu hal yang tidak diketahui olehmu, biarlah sekarang kuceritakan padamu.
Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Nyo Khong, dahulu perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tak dapat menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, akhirnya dia tewas secara mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin, Walaupun kematian paman Nyo itu bukan dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi sebenarnya keluarga Kwe kita utang cukup banyak kepada keluarga Nyo.
" Untuk pertama kalinya sekarang Kyo Ko mendengar tentang sebab musabab serta tempat kematian ayahnya itu, seketika dendam kesumat yang terpendam dalam lubuk hatinya itu berkobar kembali.
Dalam pada itu terdengar Kwe Cing sedang berkata: "Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekadar mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu.
. . siapa tahu. . . Ai!" Mendadak Kwe Hu mendongak dan berkata: "Ayah, dia telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata2 kotor yang merendahkan anakmu ini, Coba ayah, biarpun keluarga Nyo mereka mempunyai hubungan erat dengan keluarga Kwe kita, apakah anak boleh dihina dan dicerca begitu saja olehnya dan tidak boleh membantah dan melawannya?" Se-konyong2 Kwe Cing membentak: "Sudah jelas kau telah mengutungi lengannya, cara bagaimana dia dapat menghina dan mencerca kau" Dan di mana pedang itu?" Kwe Hu tidak berani berbantah lagi, ia mengeluarkan Ci-wi-kiam itu dari bawah kasur.
Setelah memegang pedang itu, Kwe Cing menggetarnya pe-lahan, seketika terdengar suara mendengung Lalu katanya dengan pedih: "Anak Hu, manusia hidup harus bisa mawas diri, setiap tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapapun juga.
Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tapi sayangku padamu tidak kurang daripada ibumu.
" Sampai dengan kalimat2 terakhir ini suaranya berubah menjadi halus dan lunak.
Maka dengan suara pelahan Kwe Hu menanggapi "Ya, anak juga tahu.
" "Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu," kata Kwe Cing tiba2.
"Kau telah memotong sebelah lengan orang, akupun memotong sebelah lenganmu.
Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biarpun puteriku sendiri kalau berbuat salah juga takkan kubela.
" Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya pasti akan dihukum oleh sang ayah, tapi sama sekali tak menduga bahwa ayahnya tega menabas lengan-nya.
Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat dan berteriak: "Ayah!" Nyo Ko juga tidak menduga bahwa Kwe Cing sedemikian tinggi luhur budinya, iapun berdebar menyaksikan adegan luar biasa itu, Terlihat wajah Kwe Cing yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam, mendadak pedangnya bergerak terus menabas.
Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak seorang melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya menangkis pedang Kwe Cing, siapa lagi dia kalau bukan Ui Yong.
Tanpa bicara Ui Yong menyerang tiga kali, semuanya tipu serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat, karena ilmu permainan pentung itu memang sangat hebat, pula Kwe Cing tidak ber-jaga2, mau-tak-mau ia terdesak mundur dua-tiga tindak oleh sang isteri.
"Lekas lari, anak Hu!" satu Ui Yong.
Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu, menghadapi peristiwa luar biasa ini, ia menjadi melenggong dan berdiri mematung.
Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan memutar pentungnya, segera Ui Yong gunakan pentungnya untuk menolak tubuh Kwe Hu sehingga terjungkal keluar jendela, "Lekas kembali ke Tho-hoa-to dan mohon Kwakongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada ayahmu!" seru Ui Yong sambil memutar kembali pentungnya untuk mengalangi Kwe Cing, lalu ia berseru pula: "Lekas pergi, kuda merah tertambat di depan!" Rupanya Ui Yong cukup kenal watak sang suami yang polos dan jujur itu, bahkan terkadang juga kepala batu, tapi juga sangat mementingkan setia kawan dan menghormati orang tua.
Sekali ini anak perempuannya telah berbuat salah besar, tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya ia telah suruh orang menyiapkan kuda merah itu di luar pintu lengkap dengan pelana terpasang serta perbekalan seperlunya, ia pikir kalau berhasil meredakan amarah suaminya, kalau perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya dan bereskan persoalannya, kalau tidak terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang jauh, kelak kalau amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya itu akan disuruh pulang.
Tadi sehabis ribut mulut di kamar dan Kwe Cing terus menuju kamar anak perempuannya, segera Ui Yong merasakan gelagat kurang enak, cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan puterinya ttu.
sebenarnya kepandaian Ui Yong sekali2 bukan tandingan Kwe Cing, tapi biasanya Kwe Cing rada segan pada isterinya, pula melihat Ui Yong memondong bayi, betapapun tidak tega menggunakan pukulan berat untuk menghalau sang isteri, karena sedikit ragu dan teralang itulah Kwe Hu sempat kabur keluar rumah.
Sudah tentu semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Nyo Ko di tempat sernbunyinya, ketika Kwe Hu terlempar keluar jendela, kalau dia terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah binasa sejak tadi.
Tapi mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok pangkalnya adalah disebabkan diriku, kalau kubinasakan dia selagi orang dalam kesusahan, betapapun rasanya tidak enak dan tidak tega.
Dalam pada itu Ui Yong masih terus memutar pentungnya dan mendesak mundur Kwe Cing pula, kini Kwe Cing sudah kepepet di tepi ranjang dan takdapat mundur lagu Mendadak Ui Yong berteriak "Terima ini!" Berbareng bayi dalam pondongannya terus dilemparkan kepada sang suami.
Dengan melengak Kwe Cing menangkap bayi itu, Ui Yong lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus: "Kakak Cing, harap kau mengampuni anak Hu.
" Namun Kwe Cing menggeleng, jawabnya: "Yong ji, masakah aku sendiri tidak sayang pada puterinya sendiri" Tapi dia telah berbuat kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapapun hati kita takkan tenteram, pula cara bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji" Ai, lengannya buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana keadaannya sekarang?" Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Nyo Ko tahu sang paman senantiasa memikirkan dirinya, tanpa terasa ia menjadi terharu dan hampir meneteskan air mata.
"Sudah sekian hari kita mencarinya dan tak menemukan jejaknya, kalau terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan bekas2nya.
" kata Ui Yong. "Apalagi kepandaian Ko-ji sudah tidak dibawah kita, meski terluka parah juga takkan beralangan.
" "Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu.
" kata Kwe Cing. "Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda merah, mana dapat menyusulnya lagi?" kata Ui Yong dengan tertawa.
"Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa Lengpay (tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar kota," kata Kwe Cing pula.
"Baiklah, terserah kau," jawab Ui Yong sambil menghela napas, lalu ia mendekati sang suami untuk menerima bayinya.
Tanpa sangsi Kwe Cing mengangsurkan bayi itu, di luar dugaannya, baru saja kedua tangan Ui Yong menyentuh gurita si bayi, se-konyong2 tangannya terus menyelonong ke iga Kwe Cing, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ajaran Ui Yok-su yang terkenal dengan nama "Lau-hoa-hut-hiat-jiu" mendadak ia tutuk kedua Hiat-to penting di bagian iga sang suami.
Dengan kepandaian Kwe Cing yang maha sakti sekarang ini, kalau Ui Yong tidak main licik, betapapun sukar hendak menutuk suaminya itu.
Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Boloh kepada suaminya memang sudah diatur rencananya ini, Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe Cing benar2 mati kutu, seketika dia kaku pegal dan menggeletak di atas ranjang tanpa bisa berkutik.
Sambil membopong bayinya Ui Yong terus membukakan sepatu dan baju luar sang suami dan dibaringkan di tempat tidur serta diberi bantal pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Cing diambilnya Lengpay.
Sudah tentu Kwe Cing menyaksikan ini tapi tak berdaya, Kemudian Ui Yong merebahkan bayinya pula di samping sang suami agar ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti pula dan berkata: "Kakak Cing, maaf, nanti kalau anak Hu sudah kuantar keluar kota, pulangnya akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf padamu.
" Kwe Cing hanya menyeringai saja tanpa bisa menjawab, isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti dahulu.
Terlihat Ui Yong melangkah pergi dengan tersenyum.
Dalam keadaan tertutuk begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol Hiat-to yang tertutuk itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas betapapun sukar lagi menyusul puterinya, persoalan ini benar2 membuatnya serba runyam.
Ui Yong sayang pada anak, ia kuatir Kwe Hu seorang diri pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan di tengah jalan, maka cepat ia kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka yang biasa dipakainya segera ia memburu ke pintu gerbang selatan, setiba di sana, tertampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira penjaga yang tidak mau membukakan pintu.
Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha menjelaskan bahwa tanpa idzin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap, malam2 membuka pintu gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, sebab itulah perwira itu menyatakan keberatan untuk mengeluarkan si nona.
Ui Yong kenal kecerobohan puterinya itu yang juga kurang pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tapi malahan mengumbar kemarahan dan berteriak2 yang tiada gunanya.
Cepat ia mendekati mereka dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang suami tadi.
Melihat Lengpay itu memang aslinya, pula dibawa sendiri oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf dan membukakan pintu, bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe itu.
Ui Yong merasa kebetulan dengan kuda pinjaman itu, Kwe Hu juga sangat girang melihat kedatangan sang ibu, segera keduanya melarikan kuda mereka keluar kota.
Karena merasa berat untuk berpisah dengan puterinya, Ui Yong terus mengantar hingga cukup jauh dari kota, karena habis perang, beberapa ratus li di utara kota Siangyang boleh dikatakan tandas tanpa penduduk, sebaliknya di bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan pasukan Mongol, walaupun suasana juga kurang aman, tapi penghidupan rakyat tetap berlangsung seperti biasa.
Kira2 sudah lebih 20 li, pagipun tiba, ibu dan anak itu sampai di suatu kota kecil, beberapa toko sudah membuka dasar menanti tamu, Ui Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk sarapan dan habis itupun mereka terus berpisah.
Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti ajakan sang ibu.
Dalam hati ia sangat menyesalkan perbuatan sendiri yang telah mengutungi lengan Nyo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa harus berpisah dengan ibunda pula kembali ke Tho-hoa-to, di sana hanya akan ditemani seorang kakek buta saja, yaitu Kwe kongkong, ia membayangkan dirinya pasti tidak betah hidup di pulau terpencil itu.
Begitulah kedua orang lantas pesan sarapan di rumah makan itu, Ui Yong lantas menyerahkan kaos pusaka yang kebal senjata itu kepada Kwe Hu dengan pesan supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan, banyak pula dia memberi nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.
Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya, ketika sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan dan menjual buah2an, timbul hasrat Ui Yong untuk memberi bekal beberapa buah apel pada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan.
Maka iapun berkata: "Anak Hu, hendak-lah kau makan sekenyangnya agar nanti tidak kelaparan, suasana kacau begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi.
Aku pergi sebentar ke sana untuk membeli sedikit buah.
" - Habis ini ia lantas menuju ke toko buah2an.
Sesudah memilih belasan buah apel yang merah besar, baru saja mau membayar, tiba2 di belakang ada suara seorang perempuan sedang berkata: "Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan pada karung ini.
" Ui Yong merasa tertarik oleh suara yang nyaring itu, ia coba meliriknya, kiranya seorang To-koh berbaju kuning sedang membeli rangsum di toko beras sebelah, Pada tangan kiri To-koh itu memondong seorang bayi perempuan, tangan kanan sedang mengeluarkan uang.
Popok yang dikenakan bayi itu terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas itulah buah tangan Ui Yong sendiri.
Seketika hati Ui Yong tergetar hebat sehingga buah apel yang di pegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya.
Siapa lagi bayi itu kalau bukan Kwe Yang, puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya itu.
Dari samping dapat dilihatnya pula To-koh itu ternyata adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu.
Ui Yong sendiri belum pernah bertemu dan bertempur dengan iblis perempuan ini, tapi melihat pinggangnya terselip sebuah kebut, matanya buta sebelah serta dandanannya, segera ia yakin pasti Li Bok-chiu adanya.
Sejak melahirkan Kwe Yang, dalam keadaan kacau dan gugup ia cuma pernah memandang beberapa kejap kepada bayi itu.
sekarang ia coba mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat indah, dan mukanya molek, meski orok yang baru berumur beberapa hari, namun jelas adalah calon perempuan cantik kelak.
Dilihatnya pula air muka bayi itu ke-merah2an dan tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Bo-loh, yang disusuinya sendiri juga tidak sesehat dan semontok ini.
Begitulah karena kejut dan girangnya, hampir saja Ui Yong meneteskan air mata, Si penjual buah sampai melongo heran melihat Ui Yong berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya itu.
Sementara itu Li Bok-chiu sudah selesai membayar dan mengangkat karungnya terus bertindak pergi, Tanpa pikir Ui Yong lantas menguntit ke sana.
Karena keadaan, sudah mendesak, ia tidak sempat kembali ke rumah makan untuk memberitahukan Kwe Hu, Yang dia kuatirkan hanya Kwe Yang saja, ia pikir orok itu berada di tangan iblis keji itu, kalau merebutnya kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu.
Karena itu ia tidak segera bertindak melainkan terus mengintil di belakang Li Bokchiu.
Rada cemas juga Ui Yong melihat Li Bok-chiu terus keluar kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: "lblis ini adalah Supek Nyo Ko, walaupun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah mengutungi lengan Nyo Ko, Kobong-pay mereka telah mengikat permusuhan dengan keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk mengalahkan mereka, jalan paling baik adalah selekasnya aku harus bertindak.
" Dalam pada itu Li Bok-chiu telah membelok ke selatan dan masuk ke sebuah hutan, cepat Ui Yong mengeluarkan Ginkangnya dan secepat terbang mengitar ke samping hutan sana agar mendahului di depan Li Bok-chiu, di situ mendadak ia melompat keluar dan menghadangnya.
Ketika mendadak di depannya muncul seorang nyonya muda cantik, rada terkejut juga Li Bok chiu, akan tetapi segera ia dapat menenangkan diri.
"Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik lian-siancu Li-totiang, selamat bertemu!" sapa Ui Yong dengan tertawa.
Dari gaya lompatan Ui Yong tadi, Li Bok-chiu yakin orang pasti bukan tokoh sembarangan pula melihat orang bertangan kosong sebuah pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika tergerak-pikirannya, dengan tersenyum ia lantas menaruh karungnya dan memberi hormat sambil berkata.
"Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama kebesaran Kwe-hujin dan baru sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan.
" Di dunia persilatan kini, tokoh wanita terkemuka hanya Ui Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur.
Meski ilmu silat Siao-liong-li juga lihay, tapi usianya masih muda, namanya belum begitu terkenal, sedangkan Ui Yong adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari timur) Ui Yok-su serta isteri tercinta Kwe Cing, jabatannya juga tinggi, yaitu ketua Kay-pang, organisasi kaum jembel yang paling berpengaruh.
Sedangkan Li Bok-chiu terkenal dengan kebut mautnya, jarum berbisa serta pukulan "panca-bisa" yang tidak kenal ampun.
Kini keduanya kepergok bersama, hati kedua-nya sama-sama terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian cantik.
Karena itu dalam hati masing-masing sama was-was dan tidak berani meremehkan pihak lawan.
Maka dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula: "Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara secara begitu sungkan?" "Kwe-hujin sendiri adalah ketua Kay-pang, tokoh dunia persilatan terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat" jawab Li Bok chiu.
Begitulah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan rendah hati, kemudian Ui Yong menuju sasarannya:.
"Wah, bayi dalam pondongan Li-totiang ini sungguh sangat menyenangkan.
Putera siapakah ini?" "Kalau kukatakan, sungguh sangat memalukan harap Kwe-hujin jangan mentertawakan diriku.
" kata Bok-chiu. "Ah, mana kuberani," ujar Ui Yong, Diam2 ia bersiap kalau segera saling bergebrak, tapi sebelum menggunakan kekerasan iapun berusaha mencari akal untuk bisa merebut kembali puterinya itu.
Dalam pada itu terdengar Li Bok - chiu telah menjawabnya: "Sungguh malang juga perguruan Ko-bong-pay kami dan mungkin juga aku memang tidak becus mengajar Sumoayku, anak ini adalah puteri liong-sumoayku di luar nikah.
. . . " Sudah tentu Ui Yong sangat heran mendengar keterangan ini, sudah jelas Siao-liong-li tidak pernah hamil, darimana bisa melahirkan di luar nikah" Padahal bayi ini jelas puteriku, apa maksud tujuannya.
Sebenarnya bukanlah Li Bok-chiu sengaja hendak membohongi Ui Yong, soalnya dia memang menyangka bayi itu adalah anak haram hasil hubungan Siao-liong li dengan Nyo Ko.
Dia dendam pada mendiang gurunya karena dianggap pilih kasih, pada sang Sumoay dan menurunkan pusaka Giokli-sim-keng padanya.
Sekarang kebetulan Ui Yong bertanya tentang bayi itu, maka dia sengaja hendak merusak nama baik Sumoaynya.
Begitulah Ui Yong lantas berkata pula: "Nona Liong tampaknya sopan dan suci, masakah berbuat sejauh itu, sungguh sukar dibayangkan Dan siapakah ayah anak ini?" "Ayah anak ini?" Li Bok-cbiu mencgas.
"Hah, kalau disebut akan lebih memalukan lagi, ialah murid Sumoayku, si Nyo Ko.
" Meski Ui Yong pintar berlagak, tak urung mukanya menjadi merah juga dan merasa gusar, Maklumlah, kalau anaknya dianggap anak haram Siao-Iiong-Ii masih mendingan, tapi dikatakan ayah bayi itu ialah Nyo Ko, ini berarti menghinanya.
Namun rasa gusar itu hanya sekilas saja terlintas dimukanya, segera ia tenang kembali dan berkata.
"Anak ini sungguh sangat menyenangkan.
Eh, Li-totiang, bolehkah kupondong sebentar.
" Segera ia mendekatinya sambil mulutnya berkecek2 untuk meminang anak bayi itu.
Sejak dapat merebut Kwe Yang, selama beberapa hari Li Bok-chiu tinggal di pegunungan yang sepi dan hidup gembira dengan momong bayi itu, setiap hari dia memeras susu macan tutul utk minuman si bayi.
Meski dia sudah banyak berbuat kejahatan tapi pembawaan setiap manusia pada umumnya tidaklah jahat, soalnya dia patah hati dalam cinta, dia menjadi benci kepada sesamanya dan sakit hati kepada kehidupan ini, wataknya berubah menjadi nyentrik, dari nyentrik berubah menjadi keji.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Kwe Yang itu memang bayi yang cantik menyenangkan sehingga mengetok hati keibuannya, terkadang kalau dia merenung di tengah malam sunyi, terpikir olehnya andaikan Siao-liong-li akan menukar bayi itu dengan Giok-li-sim-keng juga takkan diterimanya.
sekarang Ui Yong dilihatnya hendak memondong si bayi, ia menjadi senang sebagaimana layaknya seorang ibu akan merasa gembira dan bangga kalau puteranya dipuji orang, maka tanpa pikir ia terus menyodorkan Kwe Yang.
Ketika tangan Ui Yong sudah menyentuh popok dari Kwe Yang, tanpa terasa air mukanya menampilkan rasa kasih sayang seorang ibu yang tiada taranya.
Sudah sekian lama siang dan malam ia memikirkan keselamatan anak perempuan ini, sekarang dia dapat menemukannya dan memondongnya, tentu saja girangnya tak terlukiskan.
Li Bok-chiu juga seorang yang maha pintar dan cerdik, melihat air muka Ui Yong luar biasa itu, seketika hatinya tergerak "Kalau dia cuma suka pada anak kecil dan ingin memondongnya, mengapa hatinya terguncang sedemikian rupa" Tentu dibalik hal ini ada sesuatu yang tidak beres.
Karena itulah mendadak ia menarik kembali Kwe Yang yang sudah disodorkan itu, berbareng ia terus melompat mundur.
Baru saja kakinya menempel tanah dan hendak menegur apa kehendak Ui Yong sebenarnya, tiba2 Ui Yong sudah membayanginya melompat maju.
Cepat Li Bok-chiu menyambutnya dengan karung yang dipanggulnya itu, seketika 20 kati beras dan satu kati garam berhamburan ke muka Ui Yong.
Sudah tentu sukar bagi Ui Yong untuk menghalau hujan beras dan garam itu, sebisanya dia meloncat ke atas sehingga beras-garam itu menyamber lewat di bawah kakinya.
Pada kesempatan itu juga Li Bok -chiu lantas melompat mundur Iagi, kebutnya lantas disiapkan dan berkata dengan tertawa: "Kwe-hujin, apakah kau hendak merebut anak ini untuk Nyo Ko?" Pikiran Ui Yong dapat bekerja dengan cepat, sekejap itu dia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selanjutnya, kalau lawan sudah curiga, terpaksa harus memakai kekerasan untuk merebut kembali si Kwe Yang cilik itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Ah, aku cuma tertarik pada anak yang montok ini dan ingin memondong-nya, tapi kau ternyata tidak sudi dan terlalu merendahkan diriku.
" "Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin termashur di seluruh jagat, selamanya siaumoay sangat kagum, kini dapat menyaksikan sedikit gerak tubuhmu dan ternyata memang tidak bernama kosong.
" kata Li Bok-chiu, "Tapi siaumoay masih ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja.
" - Rupanya dia kuatir kalau Kwe Cing juga berada di sekitar situ, maka dia menjadi jeri, setelah bicara begitu segera ia hendak melangkah pergi.
Ui Yong lantas meloncat maju, selagi tubuhnya masih mengapung di udara, lebih dulu pentung bambu penggebuk anjing sudah dilolosnya dan begitu kaki menyentuh tanah, segera ia menutulkan pentungnya ke punggung Li Bok-chiu.
Diam2 Li Bok-chiu mendongkol padahal bicaranya cukup ramah dan sungkan, kalau orang sudah mulai menyerangnya, terpaksa ia harus melayaninya.
Cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis pentung lawan, menyusul iapun balas menyerang satu kali, Pak-kau-pang-hoat memang sangat hebat dan cepat luar biasa, setelah beberapa jurus saja Li Bok-chiu sudah merasa kewalahan.
Dasar ilmu silatnya memang lebih rendah sedikit daripada Ui Yong, apalagi sekarang dia memondong bayi, tentu saja gerak-geriknya lebih2 tidak leluasa.
Dalam pada itu Ui Yong terus bergerak mengitarnya, pentungnya menyerang dengan lebih kencang hanya sekejap saja Li Bok-chiu sudah terdesak hingga kelabakan.
Namun Li Bok-chiu juga cerdik, melihat serangan pentung Ui Yong itu selalu menjauhi si bayi, maka tahulah dia akan kelemahan lawan, seperti juga waktu menempur Nyo Ko, bayi ini malah menjadi perisai yang baik baginya.
Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kwe-hujin, jika engkau ingin menjajal kepandaianku kukira masih banyak kesempatan di lain waktu saja, kenapa mesti kau paksakan sekarang ini" Kalau sampai salah seorang antara kita salah tangan, bukankah anak yang menyenangkan ini akan menjadi korban?" Melihat Li Bok-chiu mulai menggunakan anak itu sebagai tameng, Ui Yong menjadi ragu apakah orang memang benar2 tidak tahu bayi itu adalah anakku atau cuma pura2 saja" Karena pikiran ini segera ia sengaja memancingnya dengan berkata.
"Demi keselamatan anak ini, sudah belasan jurus kuberi kelonggaran padamu, kalau tidak lekas kau taruh anak itu, terpaksa aku tidak pedulikan mati-hidupnya lagi.
" Sembari berkata pentungnya terus menutuk kaki kiri lawan.
Ketika Li Bok-chiu hendak menangkis dengan kebutnya, namun pentung Ui Yong lantas memutar ke atas untuk menjojoh dada orang.
Tikaman ini cukup cepat lagi jitu, yang diarah justeru adalah tubuh si Kwe Yang kecil yang berada dalam pondongan Li Bok-chiu.
Kalau saja serangan ini mengenai sasarannya, sekalipun Li Bok chiu sendiri juga akan ikut terluka parah, apalagi Kwe Yang kecil itu, pasti jiwanya akan melayang seketika.
Namun Ui Yong benar2 sudah menguasai pentungnya dengan sesuka hati, meski tampaknya ujung pentung sudah menempel popok bayi, tapi sedikitpun bayi itu tak terluka kalau pentung itu tidak disodorkan lebih maju lagi.
Tentu saja Li Bok-chiu tidak tahu, ia kuatirkan keselamatan si bayi, maka cepat ia melompat ke samping dan karena itu juga ia sendiripun tak terjaga, tahu2 kaki kirinya keserempet pentung dan hampir terjungkal setelah sempoyongan dan dapat berdiri tegak, lalu ia berpaling dan berkata: "Kwe-hujin, percuma saja kau terkenal sebagai pendekar berbudi, mengapa kau tega melukai seorang bayi, apa kau tidak malu?" Melihat sikap orang tidaklah pura2, diam2 Ui Yong bergirang karena orang terjebak oleh akalnya, dengan tertawa iapun menjawab: "Anak ini toh bukan bibit yang baik, buat apa dibiarkan hidup di dunia ini?" Habis berkata ia terus menyerang pula dan sengaja mengincar Kwe Yang saja.
Dibawa lompat kian kemari oleh Li Bok-chiu, agaknya Kwe Yang kecil itu merasa tidak enak, mendadak ia menangis keras2.
Diam2 Ui Yong merasa kasihan, tapi serangannya justeru bertambah kencang, kalau saja Li Bo-k-chiu tidak berusaha bertahan sekuatnya, tampaknya setiap jurus serangan Ui Yong bisa menewaskan bayi itu.
Li Bok-chiu menjadi serba susah, mendadak ia menangkis dengan kebutnya.
lalu berseru: "Kwe-hujin, sebenarnya apa kehendakmu?" Dengan tertawa Ui Yong menjawab: "Li-lotiang, kata orang, di dunia Kangouw saat ini hanya Li-totiang dan diriku saja tergolong tokoh wanita terkemuka, kebetulan kita bertemu di sini, bagaimana kalau kita coba2 menentukan siapa yang lebih unggul.
" Diam2 Li Bok-chiu mendongkol dengusnya: "Hm, kalau Kwe-hujin sudi memberi pengajaran, sungguh kebetulan bagiku.
" "Tapi kau membawa anak kecil itu, kalau ku-menang juga kurang berharga," ujar Ui Yong "Sebaiknya kau taruh dulu bayi itu, lalu kita bertanding dengan segenap kemahiran masing2.
" Li Bok-chiu pikir ucapan Ui Yong itu ada benarnya juga, apalagi melihat cara menyerang Ui Yong tadi, tampaknya tidak kenal ampun sedikitpun terhadap anak sekecil itu.
ia coba memandang sekelilingnya, terlihat di sebelah kanan sana di tengah2 beberapapohon besar ada tanah rumput yang tumbuh lebat - tanah rumput itu cocok sekali sebagai kasuran, segera ia membawa Kwe Yang ke sana dan ditaruh di atas rumput, lalu memutar balik dan berkata: "Baiklah, mari kita mulai!" Setelah saling gebrak belasan jurus tadi: Ui Yong tahu kepandaian Li Bok-chiu seimbang dengan dirinya, kalau sekarang puterinya direbut kembali, untuk kabur juga sukar jika Li Bok chiu balas menyerang seperti perbuatan dirinya tadi, malahan kalau lengah sedikit saja mungkin Kwe Yang kecil itu bisa celaka, jalan paling baik hanya kalau mengalahkan Li Bok-chiu, membinasakan dia atau melukainya dengan parah, habis itu barulah puterinya itu dapat di rebut kembali dengan selamat.
Apalagi iblis ini sudah banyak berbuat kejahatan, kalau kubinasakan dia juga setimpal dengan perbuatannya, Berpikir begini, seketika timbui hasratnya membunuh Li Bok-chiu.
Sudah biasa Li Bok-chiu menjalankan keganasannya, segala cara keji juga tak segan digunakannya, dalam hal ini ia suka ukur orang lain dengan dirinya sendiri.
Ketika dia melihat Ui Yong selalu melirik ke arah si bayi, timbul sangkaannya kalau Ui Yong sukar mengalahkan dia, bisa jadi memulai menyerang bayi itu untuk memencarkan perhatiannya.
Sehab itulah ia terus mengadang di depan Ui Yong sehingga sukar juga bagi Ui Yong untuk merebut kembali puterinya itu.
Dalam sekejap itu Ui Yong juga sudah memikirkan beberapa macam akal, ia yakin setiap akalnya dapat membinasakan Li Bok-chiu, tapi betapapun juga akan membahayakan si Kwe Yang kecil, karena itulah ia menjadi ragu2.
Pikirnya: "Melihat sikap iblis ini, tampaknya dia sangat sayang pada anak Yang, andaikan sementara ini Yang- ji tak dapat kurebut kembali, tapi keselamatannya juga tidak perlu dikuatirkan maka sebaiknya aku jangan sembarangan bertindak agar tidak keliru mencelakai Yang-ji.
" Setelah berpikir lagi, Ui Yong lantas berkata.
"Li-totiang, kepandaian kita berselisih tidak jauh dan sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat.
Dalam pertempuran kita nanti kalau mendadak ada binatang buas dan hendak makan anak itu, bukankah kita juga akan ikut terganggu.
Kukira bayi kita bereskan saja dulu dan kitapun dapat bertempur se-puas2nya," - Habis berkata ia memungut sepotong batu kecil terus diselentikkan kearah Kwe Yang dengan mengeluarkan suara mendesing.
Itulah ilmu silat tenaga jari sakti Tho-hoa-to yang terkenal, Li Bok-chiu sendiri pernah melihat Ui Yok-su memainkan ilmu ini, ia tahu tenaga selentikan ini luar biasa hebatnya.
Maka cepat ia gunakan kebutnya untuk menyampuk sambil membentak "Apa alangannya bayi itu bagimu" Mengapa berulang kali kau ingin mencelakai dia?" Diam2 Ui Yong merasa geli, padahal cara menyelentik batu itu tampaknya lihay, tapi sebenarnya dia menggunakan gerakan memelintir, seumpama Li Bokchiu tidak menyampuknya juga batu itu akan mencelat ke samping bila menyentuh tubuh Kwe Yang takkan melukainya.
Tapi supaya Li Bok-chiu tidak curiga, Ui Yong sengaja meng-olok2 malah: "Hah, sedemikian sayang Li-totiang terhadap bocah ini, orang yang tidak tahu boleh jadi akan.
. . akan mengira kau. . . haha. . . " "Mengira aku apa, memangnya mengira dia anakku?" damperat Li Bok-chiu dengan gusar, mukanya menjadi merah jengah pula.
"Kau adalah To-koh (pendeta agama To/Tao, lelaki disebut Tosu dan wanita disebut Tokoh) dengan sendirinya tidak mungkin melahirkan anak, orang lain tentu mengira bocah ini adalah anak.
. . anak adik perempuanmu," ujar Ui Yong dengan tertawa, ia cukup licin, dalam adu mulut iapun tidak mau rugi, bahwasanya Kwe Yang dikatakan sebagai anak adik perempuan Li Bok-chiu, hal ini sama halnya dengan mengatakan Li Bok-chiu adalah anak Ui Yong dan Kwe Cing, dia sengaja mengucap begini untuk membalas perkataan Li Bok-chiu tadi yang mengatakan bahwa Nyo Ko adalah ayah Kwe Yang.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak tahu maksud Ui Yong, iapun tidak menaruh perhatian melainkan cuma mendengus saja, lalu berkata: "Baiklah, silakan Kwe-hujin mulai maju saja!" "Kutahu kau selalu menguatirkan keselamatan bocah itu, di waktu bertempur tentu juga perhatianmu akan terpencar sekalipun kukalahkan kau juga kurang berharga," kata Ui Yong.
"Begini saja, akan kucari beberapa tali rotan untuk mengelilingi anak itu agar binatang buas tidak dapat mendekatinya, habis itu kita boleh bertempur sepuasnya.
" Habis berkata ia lantas mengeluarkan sebuah pisau kecil berangkai emas, ia memotong rotan2 yang banyak tumbuh di sekitar situ.
Semula Li Bok-chiu merasa sangsi dan berjaga dengan rapat agar Ui Yong tidak menyerobot bayi itu, tapi kemudian dilihatnya orang melingkari rotan itu pada beberapa pohon di sekelilingnya Kwe Yang cilik, jaraknya cukup jauh, dengan demikian binatang buas memang teralang untuk mendekati bocah nu.
Diam2 ia mengakui akal Ui Yong yang baik itu.
Dilihatnya Ui Yong terus melingkari pohon2 itu dengan rotan sebaris demi, sebaris selapis demi selapis pula, makin lama makin banyak, tertampak pula wajah Ui Yong tersenyum aneh seperti orang bermaksud buruk, mau-tak-mau Li Bok-chiu menjadi kuatir, cepat ia berseru: "Sudahlah, cukup!" "Baiklah jika kau bilang cukup," kata Ui Yong dengan tertawa, "Nah, Li-totiang, kau pernah bertemu dengan ayahku, bukan?" "Benar," jawab Li Bok-chiu.
"Kudengar dari Nyo Ko, katanya kau pernah menulis empat kalimat olok2 terhadap ayahku beserta anak muridnya, apakah betul?" tanya Ui Yong.
Li Bok-chtu terkesiap, ia pikir kiranya untuk urusan inilah Ui Yong sengaja merecokinya sekarang, Dengan nada dingin iapun menjawab: "Ketika itu mereka berlima mengerubuti aku seorang, ini juga fakta.
" "Hm sekarang kita boleh satu lawan satu dan lihat saja nanti siapakah yang akan ditertawakan orang Kangouw?" jengek Ui Yong.
Dengan gusar Li Bok-chiu lantas membentak; "janganlah kau temberang, ilmu silat Tho-hoa-to sudah banyak kulihat, paling2 juga begitu2 saja dan tiada sesuatu yang istimewa.
" "Huh, jangankan ilmu silat Tho-hoa-to, sekalipun bukan ilmu silatnya juga belum tentu kau mampu melayaninya," jengek Ui Yong pula, "Lihatlah, kalau kau mampu, coba saja keluarkan orok itu.
Diam2 Li Bok-chiu terkejut "Apakah dia telah mencelakai anak itu?" Segera ia melompat ke sana, setelah melintasi sebaris lingkaran rotan itu dan membelok kekiri, tiba2 terlihat pagar rotan mengalang di depan, yang terbuka adalah jalan yang membelok ke kanan, tanpa pikir ia terus menyusur ke sana, terdengar suara Kwe Yang cilik sedang menangis, hatinya rada lega, tapi setelah membelok dan memutar lagi beberapa kali, aneh, tahu2 dia berputar ke luar pagar rotan lagi.
Keruan ia menjadi bingung, jelas dia terus memutar ke bagian dalam, mengapa sekarang berbalik berputar keluar" Tanpa pikir lagi ia terus melompat pula ke bagian dalam pagar rotan itu, namun tali rotan berjari itu melingkar ke sana-sini secara serabutan, sedikit lena, "bret" ujung jubahnya terobek sebagian tercantol duri rotan itu, Maka ia tidak berani gegabah lagi, kini ia bertindak dengan lebih hati-2, baru saja ia mengamat-amati lingkaran2 rotan itu dengan lebih teliti, mendadak dilihatnya Ui Yong sudah berada di dalam pagar rotan dan sedang memondong si orok.
Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut luar biasa, cepat ia berseru: "Hei, lepaskan anak itu!" Segera ia menyusuri lingkaran pagar rotan itu dengan lebih cepat, lingkaran seluas beberapa meter persegi antara beberapa pohon itu ternyata sukar diterobosnya, dia ber-lari2 ke kanan dan ke kiri, setelah maju kemudian memutar mundur lagi, setelah mengitar beberapa kali, akhirnya dia berada lagi di luar pagar rotan itu.
Sudah banyak pengalaman Li Bok-chiu, tapi belum pernah menemukan kejadian seaneh ini, ia menjadi heran apakah di dunia ini benar2 ada "lingkaran setan?" Lalu cara bagaimana mengatasinya" Selagi dia merasa bingung, dilihatnya Ui Yong telah menaruh kembali anak itu, lalu memutar ke sana dan membelok ke sini, dengan bebas dan seenaknya saja Ui Yong dapat keluar dari lingkaran pagar rotan itu.
Tiba2 Li Bok-chiu menyadari duduknya perkara, teringat olehnya kejadian malam itu ketika melawan Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu siang, keliga muda-mudi itu telah memasang gundukan tanah di luar gubuk mereka dan dirinya ternyata tidak mampu menyerang dari depan.
sekarang lingkaran rotan yang dibuat Ui Yong ini tentu juga berdasarkan ilmu hitung Kiu-kiong-pat-kwa khas Tho-hoa-to.
Setelah merenung sejenak, segera ia dapat mengambil keputusan harus menghalau musuh dulu, habis itu barulah menyingkirkan tali rotan itu satu persatu.
Kalau sekarang, menerobos begitu saja dan musuh menyerang dari arah yang lebih menguntungkan tentu dirinya akan terjebak dan kalah.
Karena pikiran ini, segera ia melompat pergi beberapa meter jauhnya, ia malah sengaja menjauhi pagar rotan itu untuk mengawasi setiap gerik-gerik lawan, sementara ia tidak menghiraukan urusan Kwe Yang lagi.
Tadi Ui Yong sudah bergirang ketika melihat Li Bok-chiu tersesat di tengah lingkaran rotan, tapi mendadak terlihat iblis itu melompat pergi diam2 iapun merasa kagum akan keputusan lawan yang cepat dan tegas itu.
Oleh karena keselamatan Kwe Yang sekarang sudah terjamin, ia tidak perlu membagi pikiran lagi, segera pentung bambunya bergerak, dengan jurus "An-kau-keb-tau (tahan kepala anjing mengangguk ke bawah), segera ia menyabet leher Li Bok-chiu.
Akan tetapi kebut Li Bok-chiu lantas melingkar ke batang pentung, "sret", berbareng ujung kebut terus menyabet ke muka Ui Yong.
BegituIah keduanya saling serang dengan cepat dan sama2 mengeluarkan segenap kemampuan masing2, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak sepuluh kali.
Usia Li Bok-chiu lebih tua daripada Ui Yong, dengan sendirinya iapun lebih ulet, namun gerak serangan Pak-kau-pang-hoat lawan sungguh hebat sekali, bahwa dia mampu bertahan berpuluh jurus serangan Ui Yong boleh dikatakan jarang terjadi di dunia persilatan ia menyadari kalau berlangsung lebih lama lagi, tidak lebih dari sepuluh gebrakan pula dirinya pasti akan kalah.
Pentung bambu Ui Yong itu bukan senjata tajam, tapi setiap Hiat-to di tubuhnya selalu menjadi incaran, kalau tertutuk mustahil jiwanya tidak melayang" Setelah menangkis beberapa jurus lagi, dahi li Bok-chiu sudah mulai berkeringat, sebisanya ia menyabet dua-tiga kali dengan kebutnya, habis itu ia terus melompat mundur dan berseru: "Pang - hoat Kwe-hujm memang hebat, aku mengaku kalah.
Hanya saja ada sesuatu yang kutidak paham dan perlu minta penjelasanmu" "Ah, masakah pakai penjelasan segala?" ujar Ui Yong dengan tertawa.
"Semua orang tahu ilmu permainan pentungmu ini adalah kepandaian khas Kiu-ci-sin-kay (pengemis sakti berjari sembilan) Ang Cit-kong, kalau ilmu silat Tho-hoa-to juga hebat, mengapa Kwe-hujin tidak belajar ilmu silat dari ayah sendiri, tapi malah belajar kepandaian orang lain?" Ui Yong tahu maksud Li Bok-chiu, karena tidak dapat menandingi permainan pentungnya, maka sengaja meng-olok2 agar dia menggunakan ilmu silat lain.
Maka ia lantas menjawab dengan tertawa: "Kalau kau sudah tahu Pang-boat ini adalah ajaran khas Kiu-ci-sin-kay, tentunya kaupun kenal nama ilmu permainan pentung ini.
" Li Bok-chiu hanya mendengus saja dengan muka cemberut tanpa menjawab.
. Dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula: "permainan pentung ini disebut penggebuk anjing, maksudnya asal melihat anjing boleh gebuk saja, hanya inilah soalnya masakah perlu penjelasan pula?" Melihat akalnya tidak berhasil menipu Ui Yong menggunakan ilmu silat lain, kalau adu mulut dirinya juga kalah, segera ia selipkan kebutnya pada tali pinggang, lalu menjengek: "Hm, di-mana2 pengemis memang pintar me-rengek2, nyatanya sang pangcu juga pintar main mulut, baru sekarang aku kenal!" Habis ini ia terus menuju ke sana dan duduk di bawah pohon.
Kalau Li Bok-chiu mau mengaku kalah dan terus pergi, tentu inilah yang diharapkan Ui Yong, Tapi ibu itu ternyata cuma duduk saja di sana, setelah berpikir segera Ui Yong tahu maksudnya.
jelas iblis itu merasa berat meninggalkan anak Yang yang mungil itu, kalau sekarang dirinya mengambil bocah itu, pasti Li Bok-chiu yang bergantian mengganggu-nya, dalam keadaan begitu tentu dirinya akan serba susah pula.
Tampaknya kalau Li Bok-chiu tidak dibinasakan atau dilukai, sekalipun anak Yang dapat ditemukan juga sukar membawanya pulang dengan selamat.
Segera ia mendekati Li Bok-chiu dengan langkah yang memakai hitung Pat-kwa, tampaknya mengarah ke kanan dan membelok lagi ke kiri tanpa sesuatu yang aneh, tapi kalau mendadak Li Bok-chiu berusaha kabur, tak peduli melompat ke arah manapun pasti sukar terhindar dari cegatan Ui Yong.
Begitulah pentung Ui Yong lantas menutul ke muka Li Bok chiu.
Li Bok-chiu menangkis dengan sebelah tangan sambil membentak: "Hah, sejak matinya Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong, nyatanya Ui Yok-su memang benar tiada ahli waris lagi.
" Ucapan ini meng-olok2 pula mendiang murid Ui Yok-su yang berkelakuan jahat itu dan sekaligus juga menyindir Ui Yong yang cuma mampu menggunakan Pak-kau -pang-hoat dari Kay-pang melulu.
Padahal Giok-siau-kiam-hoat, ilmu pedang seruling kemala, kepandaian khas Tho-hoa-to juga sudah dilatih Ui Yong dengan baik, soalnya dia tidak membawa pedang, kalau pentung digunakan sebagai pedang, senjata yang dipakai tidak cocok, boleh jadi sukar mengalahkan lawan tangguh seperti Li Bok-chiu ini.
Karena itu ia hanya menjawab dengan tertawa: "Ya, memang brengsek juga beberapa murid busuk ayahku itu, mereka mana dapat dibandingkan dengan Li-totiang dan nona liong yang sama2 suci bersih dari suatu perguruan.
" Li Bok-cbiu menjadi murka, mukanya yang putih itu berubah merah padam, begitu lengan bajunya mengebas, dua jarum berbisa segera menyamber perut Ui Yong.
Perlu diketahui bahwa Li Bok-chiu meski jahat dan membunuh orang tak terhitung banyaknya, tapi dia tetap bertubuh perawan suci bersih, dia anggap Siao-liong-li berbuat tidak baik, maka ia menjadi gusar mendengar Ui Yong mempersamakan dia dengan sang Sumoay dan segera menyerang dengan jarum berbisa yang keji.
Berdirinya Ui Yong dengan Li Bok-chiu kini sangat dekat, untuk mengelak jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia memutar pentung bambu sekencangnya untuk menyampuk jatuh jarum2 berbisa itu.
Syukur permainan pentungnya sudah dikuasainya sedemikian sempurna sehingga jarum yang kecil itu dapat di-tangkisnya, walaupun begitu ketika jarum itu menyamber lewat di mukanya, terendus juga bau amis yang memuakkan.
Selagi Ui Yong terkesiap, dilihatnya dua buah jarum musuh menyamber tiba pula.
Cepat ia melengos ke samping sehingga jarum2 itu menyamber lewat di tepi telinganya.
Diam2 ia menjadi kuatir kalau jarum2 yang beterbangan akan nyasar mengenai Kwe Yang, maka cepat ia berlari keluar hutan itu.
Segera Li Bok-chiu mengudaknya, ia sangka Ui Yong hanya mahir memainkan pentung bambu saja, ilmu silat jenis lain bukan tandingannya, maka begitu melompat keluar hutan ia lantas membentak: "Kalah menang belum jelas, mengapa kau hendak pergi begitu saja?" Ui Yong memutar balik dan menghadapinya dengan tersenyum, Li Bok-chiu lantas meng-olok2 lagi: "Kwe-hujin, caramu menangkis jarumku tetap juga memakai pentungmu?" Berbareng ia terus menubruk maju lagi.
Ui Yong pikir kalau pentung bambu tidak disimpan kembali, kalahpun Li Bok-chiu tetap merasa penasaran.
Maka ia lantas menyelipkan pentung bambu pada tali pinggang, lalu menjawab dengan tertawa: "Baiklah, sudah lama kudengar Ngo-tok-sin-ciang (pukulan sakti panca bisa) Li-totiang telah banyak membunuh orang, sekarang kucoba belajar kenal dengan ilmu pukulanmu itu.
" Li Bok chiu menjadi melengak malah, ia heran kalau orang sudah tahu betapa lihay ilmu pukulannya yang berbisa itu malah menantang bertanding pukulan, bukan mustahil dibalik ini ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi iapun tidak menjadi jeri, segera ia menjawab: "Baik, akupun ingin belajar Lok-eng-ciang-hoat dari Tho-hoa-to yang hebat.
" Dilihatnya Ui Yong melancarkan pukulannya, segera ia memapaknya dengan telapak tangan kiri, menyusul tangan kanannya juga menghantam pundak lawan, Kedua pukulan sekaligus ini cukup keras dan lihay, tampaknya tidak mudah bagi Ui Yong untuk menangkis.
Tak terduga ketika menghantam dengan tangan kanan, bahkan Li Bok-chiu tambahi pula dengan menyambitkan dua buah jarum berbisa ke bagian perut Ui Yong.
Sungguh lihay luar biasa antara pukulan itu disertai dengan jarum berbisa, pada umumnya orang tentu hanya berjaga terhadap pukulannya yang berbisa itu, siapa tahu kalau dari jarak sedekat itu menggunakan senjata rahasia, Sebab itulah banyak tokoh2 terkenal kena dirobohkan olehnya.
Akan tetapi Ui Yong tidak menjadi gngup cepat ia tarik kembali pukulannya tadi untuk menangkis pukulan tangan kanan Li Bok-chiu, berbareng sebelah tangannya merogoh baju seperti hendak mengambil senjata rahasia buat balas menyerang.
Namun kelihatannya sudah terlambat, baru saja tangannya mau ditarik keluar dari bajunya, kedua jarum berbisa dari Li Bok-chiu sudah tinggal beberapa senti jauhnya di perutnya.
Dalam keadaan begitu, biarpun Ui Yong mempunyai kepandaian setinggi langit juga tidak sempat menghindar lagi, Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, dilihatnya dengan jelas jarum2 itu menembus baju dan menancap ke dalam tubuh Ui Yong.
"Aduuh!" Ui Yong menjerit sambil memegangi perutnya dan menungging, tapi mendadak tangan kirinya terus memukul juga ke dada Li Bok-chiu.
Pukulan Ui Yong sungguh sangat cepat dan di luar dugaan.
"Bagus!" Li Bok-chiu berseru sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang, berbareng kedua tangannya juga lantas dipukulkan ke dada Ui Yong.
Ia yakin setelah Ui Yong terkena jarumnya, dengan cepat racun jarum itu pasti akan bekerja dan menjalar, maka pukulannya ini cuma berharap akan mendorong Ui Yong sejauhnya dan biarkan lawan mati keracunan.
Tak terduga, Ui Yong ternyata tidak berusaha menangkis kedua tangan Li Bok-chiu melainkan tubuh bagian atasnya tampak sedikit bergerak, Li Bok-chiu mengira mungkin badan Ui Yong mulai kaku setelah terkena jarumnya.
Tapi ketika kedua tangannya menempel baju di dada lawan, mendadak kedua telapak tangannya terasa kesakitan seperti tercocok benda tajam sebangsa jarum.
Dalam kagetnya cepat Li Bok-chiu melompat mundur, waktu ia berikan kedua tangannya, terlihat di tengah kedua telapak tangan ada luka tusukan yang kecil, sekitar luka itu berwarna hitam, jelas itulah tanda terkena jarum berbisanya sendiri.
Keruan ia terkejut dan gusar pula, tapi juga bingung dan heran mengapa bisa terjadi begitu" Segera dilihatnya Ui Yong telah mengeluarkan dua buah apel dari bajunya, pada kedua apel itu masing2 tertancap jarum perak, Baru sekarang Li Bok-chiu tahu duduknya perkara, Kiranya di dalam baju UiYong tersimpan dua buah apel, yaitu sebagian apel yang dibelinya dan sempat dibawanya tadi.
Ketika Li Bok-chui menyambitkan jarum, Ui Yong tidak mengelak, tapi tangannya dimasukkan ke baju untuk menggeser apel ke tempat yang tepat menjadi sasaran jarum musuh.
Habis itu Li Bok-chiu dipancingnya pula untuk memukul pada jarum yang menancap di buah apel.
Sesungguhnya Li Bok-chiu juga cerdik pandai tapi sekarang ia benar-2 rnati kutu menghadapi lawan yang banyak tipu akalnya seperti Ui Yong ini mau-tak-mau ia harus mengaku kalah, ia merogoh saku dengan maksud mengambil obat penawari tapi segera didengarnya angin keras menyamber tiba, kedua tangan Ui Yong telah menghantam ke mukanya.
Cepat menangkis dengan tangan kiri, tiba2 dilihatnya kelima jari tangan Ui Yong terbuka dari mengebut ke bagian iganya, kelima jari terbuka dengan gaya yang indah seperti bunga anggrek.
Hati Li Bok-chiu tergerak, ia pikir mungkin inilah Lan-hoa-hut-hiat-jtu (mengebut Hiat to dengan gaya bunga anggrek) yang terkenal itu, Cepat ia menangkis dan urung mengambil obat, dengan kuku jari ia coba mencakar jari musuh.
Ui Yong lantas menarik kembali tangannya, menyusul tangan lain dengan jari terbuka mengebut pula ke Hiat to di pundaknya, Habis itu jari merapat menjadi telapak tangan, segera Ui Yong memukul lagi dengan tangan satunya dan begitu seterusnya secara bergantian.
Muka Li Bok-chiu menjadi pucat, baru sekarang ia mengetahui ilmu sakti Tho-hoa-to memang benar2 luar biasa jangankan dirinya sudah terkena racun, sekalipun dalam keadaan sehat juga bukan tandingan Ui Yong.
Begitulah ia ingin lekas2 meloloskan diri untuk mengambil obat penawar, tapi Ui Yong terus menyerangnya tanpa kendur sedikitpun Padahal racun jarumnya itu sangat lihay, sementara itu kadar racun sudah mulai menjalar dari lengannya ke atas, asalkan menjalar sampai ulu hati, maka binasalah dia tak tertolong Iagi.
Melihat wajah orang semakin pucat, gerakannya juga semakin lemah, Ui Yong tahu kalau menyerang lagi sebentar tentu lawan takkan tahan ia pikir kejahatan orang sudah lewat takaran, kalau sekarang mati oleh jarumnya sendiri juga pantas dan kebetulan dapat membalas sakit hati kematian ibu kedua Bu cilik.
Karena itulah ia menyerang lebih cepat tanpa kendur sedikitpun berbareng iapun jaga rapat agar tiada kesempatan bagi lawan untuk melancarkan serangan balasan.
Li Bok-chiu merasa lengannya mulai kaku pegal, sejenak kemudian rasa kaku itu sudah sampai ketiak, kini kedua tangannya sudah tidak mau menurut perintah lagi, Cepat ia berseru: "Berhenti dulu" Berbareng ia melompat ke samping, lalu berkata pula dengan putus asa.
"Kwe-hujin, selama hidupku membunuh orang tak terhitung banyaknya, memangnya tidak kuharapkan hidup sampai sekarang, mengadu tenaga maupun mengadu akal memang aku bukan tandinganmu kalau sekarang kumati di tangan mu juga tidak perlu penasaran Hanya saja aku ingin memohon sesuatu padamu, entah kau sudi menerima tidak?" "Urusan apa?" tanya Ui Yong sambil mengawasi lawan, ia kuatir Li Bok-chiu sengaja mengulur waktu untuk mengambil obat penawar.
Namun terlihat kedua tangan Li Bok-chiu sudah kaku lurus melambai ke bawah, terdengar ia berkata: "Kwehujin, aku tidak akur dengan sumoayku tapi anak itu sungguh sangat menyenangkan maka kumohon kemurahan hatimu agar kau suka merawatnya dan jangan mencelakai jiwanya.
" Hati Ui Yong tergetar mendengar permohonan Li Bok-chiu yang diucapkan dengan hati tulus itu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa iblis yang sudah menggunung kejahatannya itu mendekati ajal juga ternyata bisa mengeluarkan kasih sayangnya kepada seorang bayi, Maka iapun lantas menjawab: "Ayah-ibu anak ini bukanlah orang biasa, kalau diberikan hidup di dunia bisa jadi akan membikin susah saja padaku, maka lebih baik.
. . " "Kumohon kemurahan hatimu.
. . " kembali Li Bok-chiu memohon.
Ui Yong sengaja hendak mencoba lagi, ia mendekati iblis itu dan mengebut Hiat-to yang membuatnya takbisa berkutik lagi, lalu merogoh bajunya serta mengeluarkan botol obat, lalu bertanya: "Apakah ini obat penawar racun jarummu itu?" Tanpa pikir Li Bok-chiu mengiakan, Lalu Ui Yong berkata pula: "Dalam satu hari aku tak dapat membunuh dua orang, jika ingin kuampuni jiwamu, maka anak itu harus kubunuh-, sebaliknya kalau kau rela mati, jiwa anak itu dapat kuampuni.
" Sama sekali tak terpikir oleh Li Bok-chiu bahwa dia masih diberi kesempatan untuk hidup, tapi kalau minta Ui Yong membunuh saja anak itu terasa tidak tega, sebaliknya menggunakan jiwa sendiri untuk menukar jiwa anak itupun terasa tidak rela.
Dalam pada itu dilihatnya Ui Yong telah menuang sebutir obat dari botol dan diperlihatkan padanya, yang ditunggu hanyalah jawabannya saja.
Karena itu ia menjadi nekat: "Baik, aku.
. . . " Tapi Ui Yong ternyata sudah mempunyai pertimbangannya sendiri, ia lihat Li Bok-chiu ragu2 sekian lama, betapapun hal ini menandakan ada pertentangan batin dalam hati nurani iblis itu.
Bagaimanapun dia akan menjawab, melulu tentu pikiran bajik ini saja sudah pantas untuk mengampuni jiwanya, Bahwa dia sudah berlumuran darah dan penuh dosa, tentu kelak ada orang membinasakan dia.
Maka ia terus memotong ucapan Li Bok -chiu tadi dengan tertawa: "Li-totiang, sesungguhnya aku harus berterima kasih atas perhatianmu terhadap anak Yang.
" "Apa katamu" Anak Yang siapa?" tanya Li Bok-chiu dengan bingung.
"Ketahuilah bahwa anak ini she Kwe bernama Yang, dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan diriku baru lahir dia sudah jatuh ke tangan nona Liong, entah cara bagaimana terjadinya sehingga engkau salah paham mengira dia itu puteri nona Liong.
Berkat perawatanmu selama ini sehingga anak Yang tampak bertambah sehat dan kuat, sungguh aku merasa berterima kasih.
" -- Habis berkata ia lantas memberi hormat dan menjejalkan obat yang dipegangnya itu ke mulut Li Bok-chiu, lalu bertanya: "Apakah cukup?" "Racun itu sudah mulai menjalar harus kuminum tiga biji obat itu," jawab Bok-chiu dengan cepat.
Segera Ui Yong menyuapi dua biji obat ke mulut Li Bok-chiu, ia pikir obat penawar ini mungkin ada gunanya kelak, maka tidak dikembalikan kepada iblis itu melainkan dimasukkan ke saku sendiri, lalu berkata dengan tertawa: "Setelah tiga jam Hiat-to yang kututuk akan punah sendiri dan kau dapat pergi sesukamu.
" Habis itu cepat ia berlari ke dalam hutan tempat ia menaruh Kwe Yang tadi, ia pikir "Sudah selang sekian lama, entah anak Hu sudah pergi belum, kalau dia sempat melihat adik perempuannya tentu dia akan sangat gembira.
" Cepat ia memutar masuk ke tengah pagar rotan.
Akan tetapi setelah tiba di tempatnya seketika ia melongo kaget, sekujur badan lantas menggigil seperti kejeblos ke dalam liang es.
Kiranya lingkaran pagar rotan yang dibuatnya itu masih tetap utuh tanpa sesuatu tanda yang mencurigakan, namun bayangan Kwe Yang sudah tak tertampak lagi.
Keruan jantungnya ber debar2 seperti mau rontok, sekalipun biasanya dia banyak tipu akalnya, sekarang ia menjadi bingung dan kelabakan sebisanya ia berusaha menenangkan diri: "Jangan gugup, tenang, tenang! Hanya sebentar saja aku bertempur dengan Li Bok-chiu di Iuar sana, anak Yang digondol orang, tentu orang itupun belum jauh perginya.
" Segera ia memanjat ke pucuk pohon yang paling tinggi di situ dan coba memandang sekeliling, Tanah di luar kota Siangyang cukup datar, dipandang dari pucuk pohon itu dapat mencapai belasan li jauhnya tapi ternyata tiada terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan.
sementara ini pasukan Mongol sudah mundur jauh ke utara, tanah datar yang luas ini tiada orang berlalu lalang, kalau saja ada seorang dan seekor kuda tentu akan kelihatan meski dalam jarak yang jauh.
Ui Yong pikir kalau pencuIik itu belum pergi jauh tentu masih berada di sekitar sini saja.
Segera ia berusaha mencari di sekitar pagar rotan, ia berharap dapat menemukan sesuatu jejak pencuIik itu, Tapi keadaan tali rotan itu sedikitpun tiada tergeser atau rusak, hilangnya anak itu pasti bukan digondol oleh binatang buas dan sebagainya.
Padahal pagar rotan yang dilingkari menurut perhitungan tai tongpatkwa khas Tho-hoato itu, di dunia ini kecuali anak murid Tho-hoa-to sendiri tiada orang luar yang memahaminya, sekalipun tokoh sebesar macam Kim-lun Hoat-ong juga takdapat bergerak bebas di tengah pagar rotan yang diaturnya-ini, apakah mungkin ayah sendiri yang datang" Begitulah ia menjadi sangsi Mendadak ia menjerit-di dalam hati: "Ah, celaka!" Tiba2 teringat olehnya ketika kepergok Kim-lun Hoat ong beberapa waktu yang lalu, dalam keadaan kepepet ia telah mengatur barisan batu untuk menahan musuh, tatkala itu Nyo Ko datang menolongnya, maka ia lantas menguraikan secara ringkas garis besar barisan batu yang diaturnya itu kepada anak muda itu.
Teringat kepada Nyo Ko, seketika kepala Ui Yong menjadi pusing dan menambah rasa kuatirnya, Anak muda itu sangat pintar, diberitahu satu dapat dipahaminya tiga, walaupun hitungan Kiu-kiong-pat-kwa itu tidak mudah dipelajari dalam waktu singkat, tapi setelah tahu garis besarnya, untuk memecahkan pagar rotan itu tidaklah sulit.
"Anak Hu telah menabas kutung sebelah lengannya, sakit hatinya kepada keluarga Kwe semakin mendalam, sekali anak Yang jatuh ditangannya, maka pasti tamatlah jiwanya" Begitulah Ui Yong menjadi sedih teringat kepada puteri yang baru lahir beberapa hari itu sudah akan mengalami nasib seburuk itu, tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Namun Ui Yong sudah banyak pengalaman dan kenyang gemblengan, pintar lagi cerdik, dia bukan perempuan biasa yang tak berdaya bila sedang berduka.
Setelah berpikir sejenak, cepat ia menghapus air mata, lalu mulai mencari lagi jejak datang perginya Nyo Ko.
Akan tetapi aneh juga, di sekitar situ ternyata tiada sesuatu bekas kaki yang dapat ditemukan.
Ia menjadi heran, biarpun Ginkang Nyo Ko sudah maha tinggi, kalau menginjak ditanah pasti akan meninggalkan bekas, memangnya dia datang-pergi dengan terbang" Dugaan Ui Yong ini ternyata cukup mendekati kebenaran, Kwe Yang memang telah dibawa pergi oleh Nyo Ko dan datang perginya anak muda itu juga menyerupai terbang di udara.
Seperti telah diceritakan, malam itu Nyo Ko menyaksikan Ui Yong menutuk tokoh Kwe Ceng dan menyuruh Kwe Hu pulang ke Tho-hoa-to, maka Nyo Ko lantas menguntit dari kejauhan, lantaran merasa berat harus berpisah dengan puterinya, maka Ui Yong tidak memperhatikan penguntitan NyoKo itu.
Ketika Ui Yong memergoki Li Bok-chiu, lalu kedua tokoh perempuan itu bertempur keluar hutan, diam2 Nyo Ko sudah merancang tindakan apa yang harus dilakukannya.
Dia memanjat ke atas pohon besar dan meraih seutas rotan tua dan panjang, ujung rotan ia ikat pada dahan pohon, lalu ia menggandul pada tali rotan serta diayun ke tengah lingkaran pagar rotan yang dibuat Ui Yong untuk mengurung Kwe Yang cilik itu.
Kuatir kalau Ui Yong dan Li Bok-chiu akan segera masuk kembali ke hutan itu, maka Nyo Ko lantas menggunakan kedua kakinya mengepit tubuh Kwe Yang kecil itu dan sekali ayun dia keluar lagi dari pagar rotan itu, Dilihatnya UiYong masih bertempur dengan Li Bok-chiu, cepat ia menyelinap keluar hutan dan kabur pergi Ginkang Nyo Ko sekarang boleh dikatakan tiada tandingannya lagi di dunia ini, hanya sekejap saja sudah tiba kembali di kota kecil itu, dilihatnya Kwe Hu sedang celingukan sambil menuntun kuda merah menunggu kembalinya sang ibu.
setelah dekat, mendadak Nyo Ko terus mencemplak ke atas kuda merah itu dari belakang.
Keruan Kwe Hu terkejut, ia menoleh dan melihat yang menunggangi kuda merah ternyata Nyo Ko adanya, ia menjerit kaget ia melihat Nyo Ko menyeringai padanya, "sret" cepat ia melolos pedang Ci-wi-kiam yang lemas tajam milik Tokko Kiu-pay itu telah dirampas oleh Kwe Cing, maka yang dibawa Kwe Hu sekarang cuma pedang biasa saja, kalau Nyo Ko mau membinasakan dia boleh dikatakan teramat mudah, akan tetapi ketika melihat si nona ketakutan hingga muka pucat, Nyo Ko hanya mendengus saja, lengan baju kanannya yang kosong itu terus dikebaskan dan membelit pedang Kwe Hu, tangan kirinya terus merebut tali kendati kuda, kedua kakinya mengepit kencang, terus saja kuda merah itu membedal cepat ke depan.
Kwe Hu terkesima menyaksikan perginya Nyo-Ko itu, ketika ia periksa pedang sendiri, ternyata batang pedangnya sudah bengkok seperti arit.
Nyata tindakan Nyo Ko tadi hanya sebagai "pamer kekuatan" saja, maksudnya ingin memberi tahu bahwa kalau dia mau, biarpun lengan kanannya sudah buntung, hanya sekali kebas lengan baju saja cukup membikin jiwanya melayang! BegituIah Nyo Ko melarikan kuda merah itu cepat ke utara dengan membawa Kwe Yang cilik, hanya sebentar saja berpuluh li sudah dilaluinya, sebab itulah ketika Ui Yong memandang dari pucuk pohon juga tidak melihat bayangannya.
Keadaan Nyo Ko sekarang benar2 serba susah dan sukar mengambil keputusan, mestinya iapun bermaksud menabas sebelah lengan Kwe Hu untuk membalas dendam, tapi sampai detik terakhir dia ternyata tidak tega turun tangan.
ia coba memandang Kwe Yang cilik, bayi itu sedang tidur dengan lelapnya dan wajahnya yang cantik mungil.
Tiba2 timbul pikirannya: "Paman dan bibi Kwe kehilangan puterinya ini, biar kubawa pergi dan takkan kukembalikan mereka sebagai pembalasan dendamku, penderitaan batin mereka saat ini mungkin jauh melebihi aku.
" Sekaligus Nyo Ko melarikan kudanya hingga dua tiga ratus li jauhnya, sepanjang jalan mulai banyak rumah penduduk, ia lantas meminta sedikit susu sapi atau susu kambing dari petani yang ditemukan untuk menyuapi Kwe Yang, Kini dia mempunyai kuda bagus, maka ia bertekat akan langsung pulang ke kuburan kuno untuk mencari Siao-liong-li.
Hanya beberapa hari saja ia sudah sampai di Cong-lam-san.
Teringat kepada masa lalu, terharulah hati Nyo Ko.
Setiba di depan kuburan kuno, ia lihat batu nisan kuburan besar itu masih berdiri dengan tegaknya seperti dahulu.
Tapi pintu kuburan sudah tertutup rapat ketika diserbu oleh Li Bok-chiu dahulu, untuk masuk ke dalam kuburan tiada jalan lagi selain melalui jalan di bawah tanah dan harus selulup ke dasar sungai.
Dengan kesaktian Nyo Ko sekarang, menyelam air dan menyusun jalan bawah tanah itu tentu bukan soal lagi baginya, akan tetapi bagaimana dengan Kwe Yang, ia menjadi serba susah, kalau orok dibawa menyelam, jelas takkan tahan dan pasti mati.
Tapi bila teringat kalau Siao-liong-li berada dalam kuburan dan segera akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu, ia menjadi tidak sabar lagi.
Segera ia menaruh Kwe Yang di dalam sebuah gua di dekat kuburan itu, ia menguruki mulut gua dengan ranting kayu dan belukar kering, ia pikir baik Siao-liong-li dapat ditemukan dalam kuburan atau tidak, yang pasti dia akan segera keluar lagi untuk mengatur Kwe Yang.
Selesai memasang perintang di mulut gua, lalu ia memutar ke belakang kuburan, Tapi baru belasan langkah, tiba2 terdengar samar2 beradunya senjatar terbawa desiran angin, ia terkesiap, ia yakin arahnya tepat Tiong-yang-kiong, ia menjadi ragu2.
Pada saat lain tiba2 terdengar mendengungnya roda perak yang mencelat ke udara, segera ia mengenali roda itu adalah senjata khas milik Kim lun Hoat-ong.
Sekali ini Nyo Ko tidak tahan akan rasa ingin tahunya, cepat ia mengeluarkan Ginkang dan lari ke tempat datangnya suara, yaitu Giokhi--tong di belakang istana Tiong-yangkiong.
Pada saat itulah Siao-liong-li tergencet oleh pukulan dahsyat kei lima tokoh Coan-cin-kau dan roda emas Kim lun Hoat-ong sehingga terluka parah.
Kalau saja Nyo Ko datang lebih dini sejenak tentu Siao-liong-li akan terhindar dari malapetaka itu.
Tapi apa mau dikata lagi, segala apa memang tak dapat seluruhnya memenuhi kehendak manusia.
Nasib orang, suka-duka kehidupan manusia dan dengan segala segi2nya acapkali terjadi hanya karena selisih dalam sedetik itu saja.
Begitulah ketika mendadak Siao liong-li melihat sebelah lengan Nyo Ko buntung, seketika ia lupa pada luka sendiri yang parah, dengan penuh perhatian dan kasih sayang ia menanyai sebab2 buntungnya lengan anak muda itu.
Dengan bersemangat Nyo Ko berkata: "Kokoh, memang sudah kuduga, setelah lenganku buntung, kau tentu akan semakin sayang padaku.
" Siao-liong-li hanya tertawa manis saja dan tidak menjawab sebenarnya ia cuma ingin bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko sebelum ajalnya, kini angan2 nya itu sudah tercapai, tiada lain lagi yang diharapkannya.
Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesranya, perasaan mereka seperti terlebur menjadi satu, biarpun dikelilingi musuh2 tangguh, namun keduanya sama sekali tidak ambil pusing.
Melihat Nyo Ko muncul tiba2, Coan-cin-ngo-su merasa urusan ini tambah sukar diselesaikan Segera Khu Ju-ki berseru: "Tiong-yang-kiong adalah tempat suci dan keramat, sebenarnya apa maksud kalian mengacau ke sini?" Dengan gusar Ong Ju-it juga ikut membentak.
"Nona Liong, meski Ko-bong-pay kalian dan Coan-cin-pay kami ada selisih paham, untuk itu kita dapat menyelesaikannya sendiri, mengapa kau sengaja mengundang orang2 asing dan kaum perusuh ini hingga mencelakai anak murid kami sebanyak ini?" Siao-liong-li terluka parah, mana dia dapat menjelaskan duduknya perkara dan berdebat dengan mereka.
Dengan pelahan Nyo Ko mendukung pinggang Siao-liong-li dan berkata dengan suara halus: "Kokoh, marilah kita pulang ke kuburan kuno dan jangan urus orang2 ini.
" "Lenganmu masih sakit tidak?" tanya Siaoliong-li.
Nyo Ko menggeleng, jawabnya dengan tertawa: "Tidak, sudah lama sembuh.
" "Apakah racun bunga cinta ditubuhmu itu tidak kumat?" tanya pula si nona.
"Terkadang juga kumat, tapi tidak begitu lihay seperti dulu," ujar Nyo Ko.
Setelah dilukai Siao-liong-li, sejak tadi Ci-keng sembunyi di belakang dan tak berani nongol, kemudian muncul Coan-cin-ngo-Cu keluar dari tempat menyepinya, ia menjadi kuatir kalau guru dan paman guru itu mengusut persoalannya, tentu jabatan ketua dirinya akan gagal dan bahkan akan dihukum berat.
Karena itu ia menjadi nekad, ia pikir keadaam ini harus dibakar lebih lanjut agar tambah kacau sehingga kelima orang tua itu tidak sempat mengurut persoalannya, dengan begitu barulah ada kesempatan baginya untuk menang kalau Kim-tun Hoat-ong dapat menumpas Coan-cin-ngocu akan lebih baik lagi baginya sehingga selamanya dia tidak perlu kuatir lagi.
Ci-keng tahu akan ilmu silat Nyo Ko sudah jauh diatas dirinya, tapi kini melihat anak muda itu buntung sebelah lengannya, tangan kiri yang baik itu digunakan memegang Siao-liong-ii sehingga keadaannya itu hampir boleh dikatakan tak bisa berkutik kalau diserang.
Selama ini Ci-keng paling benci kepada bekas murid murtad ini, kini ada kesempatan baik, tentu tak dilalukan begitu saja.
Segera ia mengedipi muridnya, yaitu Ceng-kong, lalu membentak: "Murid murtad Nyo Ko, kedua Cosuya menanyai kau, mengapa kau diam saja?" Nyo Ko menoleh dan memandangnya dengan sorot mata penuh kebencian pikirnya: "Kokoh telah dilukai kalian para Tosu busuk ini, sementara ini takkan ku urus, kelak saja akan kubikin perhitungan dengan kalian.
" ia memandang sekejap pula pada pihak Tosu Coan-cin-kau itu, lalu memayang Siao liong-Ii dan melangkah pergi.
"Maju!" bentak Ci-keng, berbareng Ceng-kong terus menubruk maju dan menusuk pedang mereka di iga kanan Nyo Ko.
Ci-keng adalah tokoh terkemuka dari angkatan ketiga Coan-cin-kau, meski ia sendiri terluka, tapi tidak begitu parah, sekarang ia menyerang ke bagian lengan Nyo Ko yang buntung itu, yakin lawan pasti tidak mampu balas menyerang, tentu saja serangannya sangat berbahaya.
Meski Khu Ju-ki juga tidak senang atas sikap Nyo Ko yang angkuh dan tidak menghormati orang tua itu, tapi mengingat pesan Kwe Cing serta teringat kepada hubungan baik antara guru dan murid (ayah Nyo Ko, Nyo Khong dan Kwe Cing adalah murid Khu Ju-ki), mau-tak-mau ia harus mencegah serangan Ci-keng yang lihay itu, cepat ia membcntak: "Berhenti, Cikeng!" Sedangkan si dogol Be Kong-co juga lantas berteriak2 memaki: "Huh, Tosu koparat tidak tahu malu, kenapa kau menusuk bagian lengan orang yang buntung?" Akan tetapi di luar dugaan semua orang, mendadak tubuh Ceng-kong yang besar itu mencelat ke udara sambil ber-kaok2, "blang", dengan tepat Ceng-kong menumbuk tubuh Nimo Singh.
Dengan kepandaian Nimo Singh sebenarnya tubrukan Ceng-kong bukan soal baginya, tapi lantaran kedua kakinya sudah buntung dan menggunakan tongkat saja, dengan sendirinya tangannya tak dapat pula menolak, maka tumbukan itu membuat Nimo Singh jatuh terjungkal.
Tapi begitu punggungnya menempel tanah, seketika ia melompat bangun lagi menegak sebelah tongkatnya terus mengemplang sehingga punggung Ceng-kong terhantam dengan keras dan jatuh semaput.
Dalam pada itu tahu2 pedang Ci-keng juga terinjak oleh kaki Nyo Ko, Ci-keng berusaha menarik sekuatnya hingga muka merah padam, tapi pedangnya tidak bergeming sedikitpun.
Kejadian ini berlangsung dengan cepat luar biasa, orang yang berkepandaian sedikit rendah hampir tidak tahu cara bagaimana Nyo Ko mengatasi kedua penyerang itu.
Tapi Kim-lun Hoatong, Siau siang-cu, In Kik si dan Coan-cin-ngo cu dapat melihatnya dengan jelas.
Rupanya waktu kedua pedang penyerangnya mendadak lengan baju kanan Nyo Ko yang kosong itu mengebas dengan tenaga dahsyat sehingga tubuh Ceng-kong yang gemuk itu terlempar tinggi dan menumbuk Nimo Singh, sedangkan Ci-keng memang tidak dapat dipersamakan dengan muridnya itu, ketika mendadak merasa lengan baju orang menyambar dengan kuat, sebisanya ia menahan tubuhnya di tempat sehingga kebasan Nyo Ko itu tidak dapat mengguncangnya.
Akan tetapi pedangnya yang terjulur itu lantas tertekan ke bawah sehingga kena diinjak oleh kaki Nyo Ko.
Karena sudah digembleng oleh arus air bah, dengan sendiri tenaga kaki Nyo Ko luar biasa kuatnya, injakannya itu sungguh laksana tindihan gunung, meski Ci-keng berusaha menarik pedangnya sepenuh tenaga tetap tak bergoyang sama sekali "Tio-totiang," kata Nyo Ko dengan dingin, "dahulu di depan Kwe-tayhiap sudah kau katakan bukan lagi guruku, kenapa sekarang kau mengungkap soal guru dan murid! mengingat pernah kupanggil kau sebagai guru, biar kuampuni kau saja!" - Habis berkata, mendadak ia tarik kembali tenaga injakannya.
Padahal saat itu Ci keng sedang menarik sekuatnya, keruan tenaga tarikannya serentak terbetot kembali seluruhnya "blang", dengan tepat gagang pedang menyodok dada sendiri, kontan ia muntah darah, pandangannya menjadi gelap dan jatuh terlentang.
Melihat itu, Ong Ju-it dan Lau Ju-hian lantai menyerang dari kanan kiri, tapi mendadak sesosok bayangan menerjang tiba dari samping, "trang-trang" kedua pedang sama terguncang pergi.
Kiranya yang menerjang tiba itu adalah Nimo Singh, dia ditubruk terjungkal oleh Ceng-kong walaupun Ceng-kong juga digebuknya hingga kelengar, tapi rasa gusarnya masih belum terlampias, ia pikir pangkal pokoknya adalah gara2 Nyo Ko, maka ia lantas menerjang maju lagi, tongkat kirinya menangkis kedua pedang kedua Tosu itu, tongkat kanan terus mengemplang ke kepala Nyo Ko dan Siao-liong-li.
Saat itu Siao-liong-li sama sekali tak bertenaga, dengan lemas ia menggelendot di tubuh Nyo Ko, sedangkan Nyo Ko juga tahu kepandaian Nimo Singh tak dapat di samakan dengan Ci-keng dan Ceng-kong, bila mengebas dengan lengan baju saja mungkin sukar menghalau hantaman tongkat yang hebat itu.
Maka cepat ia menggeser sedikit kekiri lengan baju kanan digunakan melibat pinggang Siao-liong-li yang ramping agar si nona menggelendot di sisi kanan dadanya, lalu tangan kiri di gunakan menarik Hian-tian-po-kiam, itu pedang pusaka tumpul dan berat terus di angkat ke atas.
Terdengar suara "bluk" yang keras, tangan Nimo Singh tergetar sakit, tongkat besinya mencelat ke udara dan jatuh ke belakang gua Giok-bi-tong sana.
Nyo Ko sendiri juga kaget karena tidak mengira pedang tumpul milik Tokko Kiu-pay memiliki kekuatan begitu hebat dalam pada itu meski sebelah tangan Nimo Singh serasa kaku, tapi dasarnya memang tangkas dan nekat, ia mengerang terus meloncat ke atas dengan bantuan sebelah tongkatnya, menyusul tongkat itu terus menghantam pula ke bawah.
Kembali Nyo Ko menangisnya dengan pedang tumpul itu.
ia pikir tadi sudah mencoba tenaga kekerasan, biarlah sekarang kucoba tenaga lunak, maka begitu menyentuh senjata musuh, pedangnya terus melengket dengan tongkat, kalau saja dia mau mengerahkan tenaganya, seketika Nimo Singh dapat dilemparkan, jika dibanting ke dinding karang, pasti tubuh Nimo Singh akan hancur.
Sebenarnya Nyo Ko juga tidak kenal ampun lagi apabila mengingat Siao-liong-li telah dilukai sedemikian rupa, ia merasa manusia2 jahat ini pantas dibinasakan semua.
Tapi ketika dia hendak mengerahkan tenaga, tiba2 dilihatnya tubuh Nimo Singh yang terapung di udara itu tidak mempunyai kaki lagi, ia menjadi teringat kepada dirinya sendiri yang juga buntung sebelah tangan.
Dasar hati nuraninya memang baik, tiba2 timbul rasa senasib nya, pedangnya tidak jadi dicungkit ke atas, sebaliknya terus ditekan ke bawah sehingga tongkat besi Nimo Singh itu menancap ke dalam tanah hampir separohnya.
Dengan masih memegangi tongkatnya Nimo Singh bermaksud mencabutnya, akan tetapi tangan kanan yang tergetar tadi masih kaku kesakitan sehingga sukar mangeiuarkan tenaga.
"Biarlah kuampuni jiwamu sekarang, apakah kau masih mempunyai muka buat tinggal lebih lama di Tionggoan?" jengek Nyo Ko.
Muka Nimo Singh merah padam tak bisa menjawab selain berdiri melongo saja di tempatnya.
Walaupun kekalahan Nimo Singh secara luar biasa itu juga di luar dugaan Siau-siang-cu dan In Kik-si, tapi mereka tidak mengira bahwa cuma dalam sebulan saja kekuatan Nyo Ko telah maju sepesat ini, mereka malah menyangka Nimo Singh yang tidak becus setelah kedua kakinya buntung.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera In Kik-si memburu maju dan mencabutkan tongkat serta diserahkan kembali pada Nimo Singh.
Setelah menerima tongkat, segera Nimo Singh menahan tubuhnya lagi dan bermaksud melompat jauh menyingkir ke sana, tak terduga rasa kaku lengannya ternyata belum hilang, baru saja menekan "bluk", kembali ia jatuh terjungkal pula.
Siau-siang-cu adalah manusia yang culas, asal orang lain celaka, baik kawan ataupun lawan baginya bukan soal, yang pasti ia justeru merasa senang, ia pikir si cebol Hindu sekali ini pasti tamat riwayatnya, selekasnya Nyo Ko yang sudah cacat badan ini kutangkap lebih dulu, inilah kesempatan baik untuk mencari jasa dan menyohorkan nama.
Maka ia lantas melompat maju dan berseru: "Hai, bocah she Nyo, beberapa kali kau sudah mengacaukan pekerjaan Ongya, sekarang lekas kau ikut pergi saja.
" Mengingat luka Siao- liong-Ii yang parah, Nyo Ko pikir kalau musuh2 ini tidak lekas dihalau tentu sebentar akan sukar menyelamatkan sang Kokoh, maka dengan suara pelahan ia coba tanya Siao liong-Ii: "Apakah kau kesakitan, Kokoh?" "Mendingan, tidak begitu sakit," jawab Siao- liong-li.
Nyo Ko lantas menoleh kepada Siau-siang-cu dan berkata: "Baiklah maju!" Siau-siang-cu menyeringai seram, katanya: "Ktu cuma bertangan satu, kalau kukalahkan kau dengan dua tangan rasanya tidak adil.
" Segera ia sisipkan tangan kirinya pada tali pinggang, tangan kanan memutar pentungnya dan berkata pula: "Akupun menggunakan sebelah tangan saja agar matipun kau takkan menyesali.
" Nyo Ko ingin lekas menyelesaikan persoalan, ia tidak ingin banyak omong, mendadak pedang tumpul di tangan kiri terus mengarah lurus pinggang Siau-siang-cu.
Melihat pedang yang kasar kehitam2an serta tumpul laksana sepotong besi tua saja, Siau-siang-cu percaya senjata ini tentu ada sesuatu yang istimewa, akan tetapi di mulut ia tetap menghina, ka-tanya, "Huh, darimana kau menemukan besi tua ini?" Habis berkata ia terus menghantarkan pentungnya pada pedang tumpul.
Tanpa menggoyangkan pedangnya, Nyo Ko hanya mengerahkan tenaga saja ke batang pedang itu, maka terdengarlah suara "bluk" sekali, tahu2 pentung Siau-siang-cu itu patah menjadi beberapa potong dan mencelat betebaran.
"Celaka," keluh Siau-siang-cu sambil mundur dengan cepat Akan tetapi Nyo Ko tidak tinggal diam, pedangnya menjulur kedepan, ia sodok ke kanan satu kali dan pukul ke kiri satu kali, kontan kedua lengan Siau-siangcu patah semua.
Melihat gelagat jelek, cepat ln Kik-si menubruk maju sambil putar ruyungnya terus mengadang di depan Siau-siang-cu.
ln Kik-si adalah saudagar besar batu permata negeri Persia, dengan sendirinya pandangannya sangat tajam, terutama dalam hal ngekir benda mestika, ketika menyaksikan pedang Nyo Ko itu menggetar terbang tongkat Nimo Singh tadi, dia sudah yakin pedang Nyo Ko itu pasti benda mestika, dari warnanya yang aneh ia menaksir pedang itu mungkin terbuat dari besi murni yang jarang ditemukan Kemudian dilihatnya lagi pentung Siausiang-cu juga tergetar hingga patah menjadi beberapa potong, ia tambah yakin pedang itu pasti benda pusaka.
Pada umumnya In Kik-si tidak terlalu jahat, cuma sejak kecil ia telah berdagang intan permata, maka setiap kali melihat benda mestika yang aneh, tentu dia ketarik dan dengan segala jalan ia ingin memilikinya, apakah harus dibeli, ditipu atau kalau perlu direbut dan dicuri.
Pedang pusaka Nyo Ko sekarang juga sangat menarik perhatiannya, seketika timbul keserakahannya ingin memiliki, segera ia putar ruyungnya yang lemas itu terus membelit pedang lawan.
Nyo Ko sendiri tidak terlalu benci pada In Kik-si karena sikapnya yang cukup ramah dan sopan, ketika melihat ruyung orang menyamber tiba, di atas ruyung tertampak penuh bertatahkan batu permata, maka ia lantas membiarkan pedangnya dibelit oleh ruyung orang, katanya: "ln-heng, selama ini kita tiada permusuhan apa2, sebaiknya lekas tarik kembali ruyungmu dan memberi jalan padaku, Ruyungmu penuh batu mestika, sungguh sayang kalau sampai rusak.
" "Apakah betul begitu?", ujar In Kik-si dengan tertawa, sekuat nya ia terus membetot.
Akan tetapi Nyo Ko tetap berdiri tegak seperti tonggak tanpa bergeming sedikitpun In Kik-si menjadi penasaran, tapi iapun tahu kepandaian lawan sangat lihay, kalau tidak menggunakan akal tentu pedang mustika itu sukar direbut Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kepandaian Nyo-heng maju sepesat ini, sungguh harus diberi selamat dan menggembirakan, Siaute menyerah kalah" Sambil mengucap begitu, mendadak tangan lain mengeluarkan sebilah belati terus menikam ke dada Siao-liong-li.
Tujuan In Kik-si sebenarnya tidak hendak mencelakai nyawa Siao-liong li, soalnya ia tahu Nyo Ko sangat memperhatikan si nona, kalau melihat nona itu terancam bahaya, tentu akan menolongnya mati2an maka tikamannya pada Siao-liong-li sesungguhnya cuma gertakan belaka, dengan begitu dia akan berhasil merebut pedang pusaka Nyo Ko.
Benar juga, Nyo Ko menjadi kaget melihat Siao lior.
g-li diserang, Pada saat itulah In Kik-si lantas membentak: "Lepas pedang!" Sekuatnya ia lantas membetot rayungaya untuk merampas pedang lawan.
Ternyata Nyo Ko lantas menuruti kehendaknya dan melepaskan pedangnya, cuma sekalian di dorong ke depan, pedang panjang dan belati pendek, karena dorongan itu, jarak kedua orang bertambah jauh sehingga belati yang pendek itu tidak dapat mencapai tubuh Siao-liong-li.
Naga Dari Selatan 5 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama