Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 5
Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han.
Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku.
"Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut, pikirnya dalam hati: ilmu silat Ui Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?" Begitulah sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya" Berbareng itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikitpun tidak bergerak.
Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak.
"Memang, kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini," demikian katanya kemudian.
"Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam "Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali.
Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin "Hoa-sek-tan", habis itu baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu.
" Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu.
Tiba2 ia menjadi ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap Ui Yok-su.
Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia telah menyambung lagi ceritanya.
"Ketika mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya.
Kalau dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana.
" Kwe Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu.
"Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa dia masih hidup kini ?" tanyanya kemudian.
"Kecuali guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang," sahut Ju-ki.
"Jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu.
" "Dan entah dia meninggalkan keturunan tidak?" ujar Kwe Ceng.
Tiba2 Khu Ju-ki menghela napas panjang.
"Soalnya justru terletak disini," katanya kemudian, "Seumur hidup Locianpwe itu tidak pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu.
" "Ah, kiranya dia ini," seru Kwe Ceng mendadak "Perempuan ini keji sekali, kiranya asalnya dari sini.
" "Kau pernah ketemu dia ?" tanya Khu Ju-ki.
"Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam, ilmu silatnya memang sangat hebat," sahut Kwe Ceng.
"Dan kau telah melukai dia ?" tanya Ju-ki lagi.
"Tidak," jawab Kwe Ceng menggoyang kepala "Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi jahatnya," "Lebih baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja," ujar Khu Ju-ki.
"Dan dia punya Sumoay she Liong.
. . " "Ha, kiranya wanita she Liong itu ?" potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap.
Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga.
"Kenapa " Apa kau pernah lihat dia " Apa telah terjadi sesuatu ?" tanyanya cepat.
"Tidak, Tecu tidak pernah bertemu dia," sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh, "Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung.
" Khu Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia menghela napas pula.
"Ya, rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini," katanya kemudian "Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh.
" Melihat air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas menerangkan lagi.
"Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu," demikian ia kata.
"Oh, ulang tahunnya yang ke-20?" mengulang Kwe Ceng.
Tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun.
" "Gadis she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini," sambung Khu Ju-ki.
"Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai.
"Sudah tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang: "Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !?" "Tatkala itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan padanya.
Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah pasang omong.
Maski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam hati.
"Belakangan setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan.
Beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan, Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam kuburan.
" Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut, selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya.
"Kira2 lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu.
Tapi baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih.
Katanya pula: "Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir" Habis berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke pintu kuburan itu.
Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya " "Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya, tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali.
Tampaknya dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya.
Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi.
Dan entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara2 1agi.
Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya.
"Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau, tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu.
Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2" Tetapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2.
Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita, melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di dalam kuburan kuno itu.
" Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini.
"Dia hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?" tanyanya dengan tidak mengerti "Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang luar, maka tidak begitu jelas," sahut Khu Ju-ki.
"Tetapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci (kakak seperguruan perempuan) sendiri.
" "Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?" sela Kwe Ceng heran.
"Ya, tidak salah," kata Khu Ju-ki.
"Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu lantas disuruh turun gunung.
"Diwaktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya.
Tak tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya.
Kiranya gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan.
Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri.
"Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya, mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang.
Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun gunung.
Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima" Belakangan kembali beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya.
Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit.
. . . " "Kejadian itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang benar," tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang.
"Kenapa kau tahu?" tanya Ju-ki.
"Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu," sahut Kwe Ceng.
"llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia.
" "Cerita itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu," ujar Khu Ju-ki.
"Dan karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan "Hoat-su-jin-bong" akan mengadakan sayembara buat memilih jodoh.
Bahkan dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya pula.
Para penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia.
Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan juga tak bisa menandingi dia.
" Mendengar orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata: "Begitu saja kenapa harus heran" Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari pada dia.
" Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri.
Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Ui Yong memang jauh lebih unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik.
"Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak sembarang orang berani "sir" padanya, " demikian sambung Khu Ju-ki pula.
"Dan kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja, siapapun pingin coba2 peruntungan?" Sampai disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya.
"O, jadi para pendatang ini hendak meminang?" katanya kemudian, "Pantas makanya para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala.
" Ju-ki ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini.
"Begitulah, maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain.
Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini, ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau, apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita " Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong.
Di samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2.
Siapa duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu.
" "Jangan2 dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi," ujar Kwe Ceng.
"Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan," sahut Khu Ju-ki.
"Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu !" - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat.
Waktu Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka, iapun tidak tahu dimana letak "Hoat-su-jin-bong" yang dimaksudkan itu.
"Dan sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat menghadapi musuh," kata Khu Ju-ki lagi.
"Kami kirim orang pergi mencari berita, lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li.
Ada beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini.
Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu itu.
Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu.
"Tentang kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan.
selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan.
Orang menyebut dia Pangeran Hotu.
Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?" "Pangeran Hotu, pangeran Hotu ?" demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini.
ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini.
"Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual", kata Khu Ju-ki pula, "Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini.
"Sedang tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku.
Dia adalah Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii, maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi.
"Sedang para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya.
Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung, sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu mendekati Tiong-yang-kiong.
Tetapi rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?" Kwe Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu mencegahnya.
"Tidak perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar tubuh itu ?" katanya pula, "Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?" Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang.
"Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu sampai di depan Tiong-yang-kiong.
Begitu datang mereka lantas kobarkan api, ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada.
Dengan sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya.
Tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan seluruhnya.
Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang.
"Kini kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa.
Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan.
. . " Bercerita sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi "hauuuuh hauuuh hauuuuuh" di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu tantangan yang ditujukan pada seorang.
"Binatang, binatang !" mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng: "Ceng-ji, bangsat itu telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah.
Mari, kita ke sana !" "Apakah pangeran Hotu itukah ?" tanya Kwe Ceng.
"Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Ju-ki.
"Dia justru sedang menantang Siao-liong-Ii!" Sembari berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya.
Setelah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi di-sebul semakin keras, diantara suara "hu-hu" itu bahkan masih terseling pula suara "ting-ting-ting" yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan.
Khu Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu.
"Hm, dua jago terkemuka sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu," demikian damperatnya pula.
Sambil berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi.
Karena itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat.
Sementara tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan.
Tetapi meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi tiada suara yang membalas.
Sebab itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak: "Aku adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!".
Baru habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara "creng-creng-creng", mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim (semacam alat musik, kecapi).
Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula: "Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !" Diluar dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya tanda merasa gusar.
Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda sedang mengusir tetamu.
Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi: "Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkaupun tidak perlu kikuk2.
" Dan baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat, lapat2 seperti mengandung arti mendamperat.
Begitu hebat suara tahunan Khim itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi.
Karena itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2.
Maka Hotu lantas berseru lagi: "Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan" Habis berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan2nya secara be-ramai2.
Dalam hati mereka memikir: "Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?" Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu.
Melihat musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru: "Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!" Mendengar suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan.
"Ceng-ji, hayo turun tangan saja !" ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan perbuatan kawanan bandit itu.
Tetapi baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan.
Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2, sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat.
Diam2 Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini " Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara "ngaung-ngaung-ngaung" yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu.
Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini.
"Apakah itu ?" tanyanya.
Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling, mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan.
"He, tawon, kenapa warna putih ?" seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu.
Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya.
Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan suara yang mengerikan.
"Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat, apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?" demikian Kwe Ceng ber-tanya2 dalam hati Dalam pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki.
Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut ia terus meniup dengan sekuatnya.
Gerombolan tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar menyarnber lagi Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki.
Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi.
Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun, "Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!" demikian mereka memohon.
Diam2 Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, "0rang2 ini tergolong manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay ?" demikian ia pikir.
Sementara itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali.
Selang tak lama, suara "ngung-ngung-ngung" tadi dari jauh kembali mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan ketarik.
"Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi," demikian ia kata.
Ucapan ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu, tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih.
"Hahaha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi," kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak ketawa" Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona.
" Atas ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi "creng-creng" dua kali lagi, habis ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi.
Dalam pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.
"Totiang, Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?" ia coba tanya Khu Ju-ki.
"ltu tidak perlu," sahut Ju-ki.
"Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa bereskan sendiri Marilah kita pergi saja.
" Begitulah, maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Nyo Ko.
Mendengar kisah-derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang.
"Memangnya patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?" demikian katanya kemudian, "Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik.
" Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.
"Tadi kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebenarnya ada urusan apakah ?" kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi "Totiang mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo ?" kata Kwe Ceng.
"Aha, kiranya dia itu," sahut Ju-ki.
"Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?" "Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya," ujar Kwe Ceng.
"Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir," kata Khu Ju-ki.
Kwe Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang.
Begitulah sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat.
Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng kepada mereka.
"Dia adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng," demikian Khu Ju-ki perkenalkan pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu.
"Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji.
" Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Nyo Ko menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng.
Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2 pada Nyo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke Tho-hoa-to.
Apabila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah Nyo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Nyo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.
Karena itu, dia lantas panggil menghadap Nyo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikitpun.
Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Nyo Ko sudah merasa tak betah, apalagi kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.
"Kenapa " Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?" tiba2 dari belakang seorang menegur pada-nya.
Nyo Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng.
Maka lekas2 tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat: "Bukan ?" "Kalau begitu, kenapa kau menangis ?" tanya Thio Ci-keng pula.
"Tecu terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih," sahut Nyo Ko.
Tadi terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Nyo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya: "Anak sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?" Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: "Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta ?" Karena Nyo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat dikagumi.
Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio Ci-keng " Memang hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak menjelaskan dahulu pada Nyo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya.
Sedang Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari.
Begitulah, ketika Nyo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir: "Aku angkat guru padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja " Untuk apa sekarang kau berlagak galak ?" Oleh karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Nyo Ko telah berpaling kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.
Tentu saja Ci-keng menjadi gusar ! "Aku tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?" ia membentak pula dengan suara yang lebih keras.
"Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa," demikian sahut Nyo Ko dengan bandel.
Mendengar kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya terus me-nampar, "plak", seketika pipi Nyo Ko merah bengap.
Nyo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi.
Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya, "Hendak kemana kau?" tanyanya.
"Lepaskan aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi," teriak Nyo Ko.
Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya.
"Anak haram, kau bilang apa?" bentaknya.
Namun Nyo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat "lmam busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !" demikian segera ia balas mencaci maki.
Di jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya, yang menjadi muridpun tak berani membantah.
Kini Nyo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar.
Karena itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya terus hendak menempeleng lagi.
Diluar dugaannya, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.
Kiranya sejak Nyo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Nyo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Nyo Ko meski dia sudah kipat2kan lengannya.
Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Nyo Ko dengan keras.
"Kau cari mampus " Hajo, lepas !" ia membentak lagi.
Akan tetapi Nyo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja.
Tetapi karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara "kletak", tulang jari kena digigit patah.
Dalam keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Nyo Ko dipentangnya, jari telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu.
Maka tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang, Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Nyo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu.
Kemudian Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Nyo Ko.
Tetapi setelah sadar, kembali Nyo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton.
"Binatang, apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?" bentak Thio Ci-keng sambil jamberet dada Nyo Ko.
Akan tetapi Nyo Ko tetap tidak mau menyerah "Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !" balasnya memaki.
Karena tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika Nyo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam sekejap saja Nyo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun.
Dalam keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Nyo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya " Sebaliknya Nyo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikitpun dia pantang mundur.
Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Nyo Ko yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Nyo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi Nyo Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka.
"Kau murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?" kata Thio Ci-keng.
Akan tetapi Nyo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk rasa takluk.
Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2 tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri.
Begitulah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini.
Selagi ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau.
Keruan Ci-keng terkejut. "Jika kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau," katanya pada Nyo Ko, Habis ini ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang.
Siapa tahu, begitu Nyo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.
"Aku sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?" dengan gusar Ci-keng membentak.
"Tapi selanjutnya kau pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko.
Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal, terpaksa ia menjawab : "Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?" ?"Baiklah kalau begitu, Suhu," kata Nyo Ko.
"Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi.
" Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini.
"Ciangkau sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana," katanya kemudian.
Tetapi demi melihat baju Nyo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Nyo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.
Sementara itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Nyo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar.
Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi.
"Kita telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak murid," demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato, Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran, ada pula yang murka.
Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan: "Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi2 bisa lantas ikut berangkat.
Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !" Sesudah itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan berkata padanya: "Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!" Habis ini sekilas tertampak olehnya muka Nyo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja ia kaget.
"He, kenapa kau " Dengan siapa kau telah berkelahi ?" tanyanya cepat.
Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Nyo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Nyo Ko agar jangan bilang.
Akan tetapi Nyo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa " Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah " Lekas bilang !" bentaknya Ju-ki lagi.
Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan.
"Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang," sahut Nyo Ko kemudian.
Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya.
"Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?" desaknya lagi.
"Tadi Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat.
. . " "Ya, kenapa ?" sela Khu Ju-ki.
"Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu," demikian Nyo Ko menyambung, "maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya.
" Dengar obrolan Nyo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia bersuara sekali lagi tanda membenarkan.
"Tapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila," demikian sambung Nyo Ko lagi, "tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas.
Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya.
" Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Nyo Ko itu betul atau tidak " Dalam hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin: "Bagus, kau anak busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?" Akan tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Nyo Ko tadi maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab : "Yar memang Tecu yang menolongnya.
" Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya.
"Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting," demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi.
Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan.
Sebaliknya Nyo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar.
Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Nyo Ko.
"Khu-suco !" cepat Nyo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya.
Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung, "Apa apa ?" tanyanya.
Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya.
Sedang Nyo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya "Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku.
" Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka.
"Ngaco-belo, mana bisa terjadi begitu !" bentaknya.
Akan tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Nyo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras: "Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab.
" Terpaksa, kembali Ci-keng menyanggupi lagi.
Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit kuatir dihajar gurunya lagi, Nyo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah: "Suhu !" Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya, sejak tadi ia sudah ber-pikir2: "Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup pengaruhi dia " Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula.
" Begitulah lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya Nyo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Nyo Ko ini semakin bikin marah padanya.
"Ah, ada satu akal," tiba2 tergerak pikirannya, "sementara ini sedikitpun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku ajarkan juga tiada gunanya.
Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar.
" Begitulah, setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia memanggil: "Ko-ji, maju sini!" "Kau akan pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko ragu-ragu.
"Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?" sahut Ci-keng.
Nampak sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Nyo Ko duga.
Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu, "llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam," demikian kemudian ia berkata, "Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik" Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Nyo Ko.
Dasar kecerdasan Nyo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri: "Suhu terang benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati " Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna ?" Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng.
Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula.
Besoknya, ketika Nyo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2 kata atau istilahnya.
Begitulah, ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah kosong saja pada Nyo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya.
Pada hari kesepuluh Ci-keng membawa Nyo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Nyo Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya.
Melihat Nyo Ko betul2 membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar.
Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.
Begitulah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu.
Selama ini, Nyo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2 naik gunung, Tetapi Nyo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang " Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya.
Tetapi tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Nyo Ko masih kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah menghormat dan menurut.
Diam2 Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam hati: "Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi ?" Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2.
Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.
Hari itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling latih, ini disebut "repetisi", Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong cs.
yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di sebelah timur untuk berlatih, Oleh karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng.
Di samping sana anak murid angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka.
Ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus.
Apa yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Nyo Ko.
Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua: Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Nyo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga: akhirnya tingkatannya Nyo Ko inilah yang disebut angkatan keempat.
Oleh karena Nyo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.
Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Nyo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil namanya Nyo Ko.
Mendengar dirinya disebut, Nyo Ko menjadi tertegun "Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?" demikian ia pikir.
Akan tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi: "Ko-ji, kau dengar tidak " Hayo lekas maju !" Terpaksa Nyo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata : "Tecu Nyo Ko menghadap Suhu disini!" "Umurnya tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia," demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.
"Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?" sahut Nyo Ko.
Thio Ci-keng menjadi marah.
"Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tak bisa silat " Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?" demikian ia mendamperat.
Nyo Ko tak bisa menjawab dan menunduk.
"Kau sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh," demikian kata Ci-keng pula, "Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab.
" Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Nyo Ko, dengan sendirinya semuanya dijawab Nyo Ko dengan tepat.
"Nah, bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng," dengan tersenyum Ci-keng berkata.
Kembali Nyo Ko tercengang, "Tecu tidak bisa," jawabnya lagi.
Dalam hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Nyo Ko yang serba susah itu, tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar.
. "Kau sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan," bentaknya pula.
Para imam mendengar sendiri Nyo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai.
Mendengar banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang bersuara menyindir, akhirnya api amarahnya membakar segera Nyo Ko tekadkan hati, ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini.
Karenanya segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi dia ajun kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, terus menghantam kalang-kabut mengarah kepala imam kecil tadi.
Melihat datangnya Nyo Ko ketengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah diri minta petunjuk pada pihak lawan, diam2 imam kecil itu sudah merasa heran, apalagi kini melihat Nyo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus.
Di lain pihak Nyo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah nekat, mendadak ia menerjang maju.
Kembali imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, tetapi segera ia lihat bagian bawah Nyo Ko tak terjaga, tanpa ayal lagi segera ia miring kesamping terus ajun sebelah kakinya, dengan gerak tipu "hong-sau-lok-yap" atau angin santar menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Nyo Ko.
Karena tidak me-nyangka2, keruan Nyo Ko tak mampu berdiri tegak lagi, ia terpelanting jatuh hingga hidungnya bocor mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur.
Melihat jatuhnya Nyo Ko sangat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton itu mentertawainya.
Akan tetapi Nyo Ko betul2 bandel, begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap dulu darah hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi si imam kecil tadi.
Nampak datangnya orang cukup hebat, lekas2 imam kecil itu mengegos.
Diluar dugaannya, tipu serangan Nyo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu2 ia pentang kedua tangan terus merangkul karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya.
Namun imatn cilik itupun tidak lemah, segera ia angkat telapak tangan kanan terus meng-genjot pundak Nyo Ko, tipu ini disebut "Thian-sin-he-hoan" atau malaikat langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh bila bagian bawah sendiri terserang.
Tetapi Nyo Ko sama sekali tak pernah belajar silat dalam pratek, baik di, Tho-hoa-to maupun di Cong-lam-san ini, maka tipu serangan apa yang dilontarkan pihak lawan sama sekali ia tidak kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara "plak" yang keras, pundaknya kena dihantam mentah2 hingga terasa sakit.
Namun meski sudah berulang kali ia digebuk orang, bukannya Nyo Ko mundur teratur, sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, kembali ia gunakan kepalanya buat menyeruduk lagi, sekali imam cilik itu kena ditumbuk perutnya, hingga jatuh terjengkang, bahkan segera ditunggangi Nyo Ko di atas tubuhnya.
Kesempatan ini telah digunakan Nyo Ko untuk ayun bogemnya dan menjotos kepala orang dengan gemas.
Namun imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Nyo Ko, dan selagi Nyo Ko meringis kesakitan, segera ia meronta melepaskan diri terus melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong, karena Nyo Kotidak ber-jaga2, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat, "Syukur Nyo-sute suka mengalah," demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk, Ini adalah adat-istiadat Coan-cin-kau apabila mengakhiri suatu pertandingan Menurut biasa, jika salah satu diantara saudara seperguruan itu sudah menang atau kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua.
Siapa tahu Nyo Ko ternyata tidak kenal aturan segala, seperti kerbau gila saja kembali ia menyeruduk dengan nekat, tetapi hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia mencium tanah pula, namun semangat tempur Nyo Ko yang tidak kenal menyerah ini harus dipuji makin dihajar, semakin berani pula, bahkan iapun geraki kaki tangannya semakin cepat buat melawan.
"Nyo Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi ?" demikian Ci-keng berteriak padanya.
Tetapi mana Nyo Ko mau gubris, ia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga memukul dan menggebuk serabutan, sedikitpun dia pantang mundur.
Semula para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, dalam hati mereka berpikir : "Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti ini ?" Tetapi kemudian sesudah menyaksikan Nyo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan terjadi bencana, maka be-ramai2 mereka lantas berseru: "Sudahlah, sudahlah, sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan !" Namun Nyo Ko masih tidak mau berhenti Setelah berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri, sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan dengan Nyo Ko lagi Kata pribahasa: "seorang adu jiwa, seribu orang tak bisa melawan.
Begitu juga dengan keadaan Nyo Ko yang sedang mengamuk Apalagi selama setengah tahun ini ia telah kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak terpikir olehnya.
Karena itulah, sungguhpun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak memiliki semangat bertempur seperti Nyo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah nyali ia tak berani layani Nyo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari kalangan dan diuber oleh Nyo Ko dari belakang.
"lmam busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau hendak lari ?" demikian dari belakang Nyo Ko terus mencaci-maki.
Tentu saja caci-makinya, yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain, sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton disamping itu justru adalah Tosu atau imam, kini Nyo Ko mencaci-maki semaunya, mereka menjadi dongkol dan geli "Bocah ini betul2 harus dihajar !" demikian mereka membatin.
Dalam pada itu Nyo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi Mungkin saking gugupnya karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong, "Suhu, Suhu !" demikian ia menggembor dengan takut.
Thio Ci-keng lantas bersuara, ia mem-bentak2 agar Nyo Ko berhenti, Tak tahunya, sedikitpun Nyo Ko tidak menggubrisnya, ia masih kejar imam cilik itu dengan nekat.
Selagi keadaan tambah runyam, tiba2 terdengar suara geraman dari kalangan penonton, mendadak satu imam besar gemuk melompat keluar, meski badan imam ini gendut tetapi gerak-geriknya ternyata sangat gesit begitu dia melompat maju, dengan sekali jamberet segera belakang baju Nyo Ko kena dia pegang terus diangkat, bahkan segera terdengar suara "plak-plak-pIak" tiga kali, kontan ia persen Nyo Ko tiga kali tempelengan.
Pukulan itu ternyata sangat keras hingga seketika pipi Nyo Ko merah bengkak, hampir2 saja Nyo Ko jatuh semaput.
Waktu ia awasi, kiranya orang ini adalah Ceng-kong yang memang dendam hati padanya.
Seperti diketahui pada hari pertama Nyo Ko naik gunung, pernah Ceng-kong hampir terbakar hidup2 karena diselomoti bocah ini, sebab itulah Ceng-kong sering dicemooh dan dibuat buah tertawaan para saudara seperguruannya, katanya orang tua kalah dengan bocah cilik Oleh sebab itu juga, selalu Ceng-kong dendam atas kejadian itu.
Kini ia menyaksikan Nyo Ko bikin gara2 lagi, tentu saja ia gunakan kesempatan itu untuk melampiaskan sakit hatinya.
Buat Nyo Ko sendiri memangnya ia sudah tidak pikirkan jiwa dirinya sendiri lagi, kini demi mengenali Ceng-kong, ia lebih2 yakin dirinya pasti tidak bakal diampuni pula, cuma ia kena dicekal kuduknya, ingin meronta buat melepaskan diripun tidak mampu lagi.
Dalam pada itu, dengan tertawa ejek kembali Ceng-kong menambahi Nyo Ko tiga kali tamparan lagi.
"Kau tidak tunduk pada kata2 Suhu, itu berarti kau adalah murid murtad perguruan kita, maka siapa saja boleh menghajar kau !" demikian Ceng-kong membentak habis ini ia angkat tangannya dan akan hajar Nyo Ko lagi.
Diantara penonton di samping itu terdapat adik seperguruan Thio Ci-keng yang bernama Cui Ci-kong.
Pribadi Ci-kong lebih jujur dan suka bela keadilan, Tadi ia lihat cara bertanding Nyo Ko, semua gerak serangannya sedikitpun tidak mirip dengan ilmu silat ajaran perguruan sendiri, pula ia cukup kenal jiwa sang Suheng Thio Ci-keng yang sempit, ia kuatir jangan2 didalam terdapat soal lain, maka kini demi nampak Ceng-kong hajar Nyo Ko dengan pukulan2 yang kejam tanpa kenal ampun, ia menjadi kuatir kalau2 bocah ini terluka parah.
"Berhenti, Ceng-kong !" cepat dia membentak menghentikan tindakan murid keponakannya itu.
sebenarnya Ceng-kong belum puas dengan tempelengannya tadi, namun sang Susiok sudah membentak, mau-tak-mau ia harus melepaskan Nyo Ko.
"Susiok tidak tahu bahwa bocah ini luar biasa lincahnya, kalau tidak diberi hajaran yang setimpal mana bisa tata-tertib perkumpulan kita dipertahankan lagi ?" demikian Ceng-kong masih kurang terima.
Tetapi Cui Ci-hong tidak gubris padanya, ia mendekati Nyo Ko, ia lihat kedua belah pipi anak ini bengkak semua dan matang-biru, hidung dan mulutnya berlepotan darah pula, wajahnya sangat harus dikasihani.
Karena itu, dengan suara halus ia menghibur dan menanya: Nyo Ko, Suhu mengajarkan kepandaian padamu, kenapa kau tidak melatihnya dengan giat, sebaliknya kau berkelahi dengan para Suheng secara ngawur ?" "Hm, Suhu apa " Hakikatnya sedikitpun dia tidak mengajarkan kepandaian padaku," sahut Nyo Ko dengan gemas.
"Dengan jelas ku dengar kau mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tadi, sedikitpun kau tidak salah mengapalkan," ujar Cui Ci-hong.
"Aku toh tidak hendak menempuh ujian, untuk apa mengapalkan segala bacaan itu ?" sahut Nyo Ko.
Mendongkol tercampur geli Cui Ci-hong mendengar jawaban ini.
ia pura2 marah, tetapi maksud sesungguhnya hendak menjajal apa betul2 Nyo Ko sama sekali tidak mengerti ilmu silat perguruannya sendiri Oleh karenanya segera ia tarik muka dan membentak: "Bicara dengan orang tua, kenapa kurangajar ?" Habis berkata, se-konyong2 ia angkat sebelah tangannya mendorong ke pundak Nyo Ko.
Cui Ci-hong terhitung pula salah satu jago angkatan ketiga dari Coan-cin-kau yang setingkatan dengan In Ci-peng dan Thio Ci-keng, meski kepandaiannya masih dibawah kedua orang tersebut namun sudah cukup pula untuk malang melintang dikalangan Kangouw.
Maka dapat dimengerti tenaga dorongannya pada Nyo Ko ini telah dia keluarkan dengan tepat sekali, tiba cukup untuk jatuhkan lawannya, jika orang yang didorong tidak paham ilmu silat, karena dorongan ini pasti terjengkang, tetapi kalau mengerti silat dari cabang lain, besar kemungkinan akan kumpul tenaga buat bertahan supaya tubuh tidak terdoyong ke belakang, hanya orang yang belajar silat Coan-cin-kau saja yang bisa hindarkan dorongan ini dengan gaya doyong ke belakang.
Diluar dugaan, Ci-hong merasakan dorongannya percuma saja, sebab Nyo Ko telah sedikit miringkan pundaknya, sehingga tenaga mendorongnya sebagian besar mengenai tempat kosong, Nyo Ko hanya ter-huyung2 mundur beberapa langkah saja, tetapi tidak sampai jatuh.
Keruan Ci-hong kaget dan curiga pula.
Batin-nya dalam hati: "Dengan tenaga mengelak tadi seharusnya dia memiliki latihan sekitar sepuluh tahun dari ilmu silat aliran perguruan sendiri sungguh aneh, umurnya masih begini muda, pula baru setengah tahun masuk perguruan, mana bisa dia memiliki keuletan yang begini dalam " Dengan kemampuannya ini, tadi waktu bertanding seharusnya dia tidak perlu ngawur main seruduk sini dan terjang sana, apa mungkin didalamnya terdapat sesuatu tipu muslihat ?" Nyata dia tidak tahu bahwa didalamnya memang banyak sebab2 yang dia sendiri tidak mengetahui.
Dahulu Ma Giok pernah mengajarkan Lwekang Coan-cin-kau kepada Kwe Ceng, dan Kwe Ceng telah mengajarkan sedikit dasar kepandaian itu kepada Cin Lam-khim ibu Nyo Ko.
Sewaktu Nyo Ko berumur beberapa tahun, ibunya lantas mengajarkan cara2 semadi melatih Lwekang yang dia peroleh dari Kwe Ceng itu.
Oleh sebab itulah, dalam perkelahian Nyo Ko tadi sama sekali ia tidak mengerti tipu serangan silat, sebaliknya soal Lwekang ia malah mempunyai dasar kekuatan sepuluh tahun lamanya, Cui Ci-hong tidak tahu hal ini, sudah tentu ia terheran-heran.
Dilain pihak Nyo Ko yang kena didorong tadi merasakan dadanya menjadi sesak, hampir2 tak bisa bernapas, ia sangka Ci-hong juga bermaksud menghajarnya.
Dalam keadaan memang sudah mata gelap, sekalipun waktu itu Khu ju-ki datang sendiri juga dia pantang mundur, apalagi hanya seorang Cui Ci-hong.
Karena itu, segera ia menyeruduk lagi ke arah perut orang.
Akan tetapi Cui Ci-hong tidak mau ladeni anak kecil ini, ia tersenyum oleh kenekatan orang sambil mengegos buat hindarkan serudukan itu.
Ia sengaja mau tahu kepandaian apa yang dimiliki Nyo Ko, maka ia berkata pula: "Ceng-kong, coba kau adu beberapa jurus dengan Nyo-sute, tetapi enteng saja kalau turun tangan, jangan pukul terlalu keras !" Tentu saja Ceng-kong sangat senang, memangnya dia meng-harap2 ada perintah demikian ini, maka tanpa berkata lagi segera ia melompat ke depan Nyo Ko, tiba2 ia ulur tangan kiri pura2 memukul ketika Nyo Ko berkelit ke kanan, mendadak tangan kanannya menggablok cepat dan keras, keruan tidak ampun lagi lantas terdengar suara "bluk", tepat dada Nyo Ko kena dihantam.
Pukulan itu cukup berat, kalau bukannya Nyo Ko mempunyai kekuatan Lwekang belasan tahun lamanya, pasti dia akan muntah darah oleh genjotan itu.
walaupun demikian, tidak urung Nyo Ko merasakan dadanya sakit tidak kepalang dan mukanya pucat seperti kertas.
Nampak sekali pukul tidak bikin lawan cilik-nya terguling, diam2 Ceng-kong merasa heran juga, maka menyusul kepalan kanan diayunkan pula, sekali ini ia menjotos kemuka Nyo Ko.
Dengan sendirinya Nyo Ko angkat tangannya hendak menangkis.
Cuma sayang, maksudnya memang hendak menangkis, tetapi sama sekali ia tidak paham gerak tipu silat buat menangkis, maka kembali dia dimakan mentah2 oleh Ceng-kong.
Dengan sengaja ia kesampingkan jotosannya ini, tapi cepat ia menjojoh dengan kepalan kiri, maka terdengar suara "plak" dibarengi dengan suara jeritan tertahan Nyo Ko, nyata hantaman dengan tepat kena diperutnya.
Saking sakitnya sampai Nyo Ko menungging sambil pegang perutnya dengan meringis2.
Di luar dugaan, sekali bocah ini menjengking ke bawah, tanpa sungkan2 lagi Ceng-kong tambahi serangan lain pula, ia angkat telapak tangannya terus memotong ke kuduk orang.
Serangan yang mengarah tempat berbahaya ini, Ceng-kong menaksir Nyo Ko pasti akan kelenger seketika, dengan demikian ia telah berhasil balas sakit hati tempo hari.
Siapa tahu, Nyo Ko betul2 anak perkasa, jiwa gagah berani Engkongnya Nyo Thi-sim sudah diwariskan semua kepadanya, sama sekali bocah ini tidak menyerah, hantaman tadi hanya membikin dia terhuyung sedikit saja dan tetap belum jatuh, hanya kepalanya dirasakan pusing dan berat, tenaga pun habis tanpa bisa membalas lagi.
Nampak keadaan bocah ini sudah payah, kini Ci-hong baru mau percaya bahwa Nyo Ko memang betul2 tidak paham ilmu silat Karenanya dengan cepat ia berteriak mencegah: "Berhenti, Ceng-kong !" "Nah, sekarang kau takluk padaku tidak ?" demikian bentak Ceng-kong pada Nyo Ko.
Diluar dugaannya, Nyo Ko masih tetap berkepala batu.
"lmam busuk, imam bangsat, siapa yang sudi takluk padamu " Ada kalanya kau pasti akan kubunuh !" teriak Nyo Ko dengan penuh dendam.
Keruan tidak kepalang gucar Ceng-kong karena caci-maki ini, susul menyusul ia kirim kedua kepalan pula dan tepat mengenai batang hidung Nyo Ko.
Memangnya kepala Nyo Ko sudah puyeng dan berat oleh pukulan2 tadi, kini pandangannya menjadi gelap hingga mata ber-kunang2, ia terhuyung2 hendak jatuh.
Tetapi entah darimana, mendadak seluruh badannya se-akan2 mengalir hawa panas yang timbul dari pusarnya, sementara ia lihat jotosan ketiga kali Ceng-kong sudah datang mengarah mukanya pula, dalam keadaan kepepet, secara otomatis ia terus berjongkok dari mulutnya mengeluarkan suara "kok" sekali, berbareng kedua telapak tangannya disodok ke depan hingga dengan tepat mengenai perut Ceng-kong.
Sungguh hebat sekali pukulan ini, tahu2 sesosok tubuh segede kerbau telah mencelat pergi sejauh beberapa tombak, dengan mengeluarkan suara gedebuk disusul dengan debu pasir yang berhamburan dengan kaku Ceng-kong menggeletak telentang di atas tanah tanpa bisa berkutik lagi.
Tapi waktu para imam penyaksikan Ceng-kong menghajar Nyo Ko yang jauh lebih kecil itu mereka pada mengunjuk rasa tidak-adil, bagi orang2 yang lebih tinggi tingkatannya, kecuali Thio Ci-keng saja yang memang masih dendam pada Nyo Ko, yang lain be-ramai2 sudah bersuara mencegah.
Siapa tahu dalam keadaan mendadak itu tiba2 Ceng-kong bisa dipukul Nyo Ko hingga mencelat begitu jauh untuk kemudian menggeletak dengan kaku tanpa bisa berkutik lagi.
Semua orang ternganga heran, be-ramai2 kemudian mereka maju memeriksa keadaan Ceng-kong.
Namun bagi Nyo Ko, sama sekali iapun tidak mengira hantamannya itu bisa membawa hasil yang begitu hebat, Ha-mo-kang yang dia lontarkan ini, pertama kalinya pernah dia binasakan seorang anak murid Kay-pang di Tho-hoa-to tempo hari, kini sekali pukul Ceng-kong kena dijatuhkan lagi hingga mencelat.
"Haya, celaka, mati, sudah mati orangnya !" "Wah, napasnya sudah putus, tentu jerohan-nya telah remuk !" - "Celaka, lekas lapor Ciang-kau Cosu !" - Demikian Nyo Ko dengar suara teriakan kalang kabut para imam yang terkejut itu.
Ia pikir sekali ini dirinya benar2 telah ter-bitkan onar lagi, karena itu, dalam bingungnya tanpa pikir panjang lagi segera ia angkat langkah seribu, ia lari pergi tanpa arah tujuan.
Di lain pihak para imam itu sedang ribut oleh keadaan Ceng-kong yang belum diketahui mati atau hidup, maka kaburnya Nyo Ko ternyata tiada seorangpun yang memperhatikan.
Setelah Thio Ci-keng periksa keadaan luka Ceng-kong yang parah, sembilan dari sepuluh bagian terang tiada harapan buat hidup lagi, ia menjadi kaget tercampur gusar.
"Nyo Ko, Nyo Ko ! Di mana kau " ilmu siluman apakah yang kau pelajari itu ?" demikian segera ia ber-teriak2.
Meski ilmu silat Ci-keng tidak tergolong lemah, tetapi selamanya dia tinggal di Tiong-yang-kiong, maka pengalamannya kurang luas, Ha-mo-kang yang digunakan Nyo Ko itu ternyata tidak dikenalnya.
Begitulah dia telah ber-teriak2 memanggil beberapa kali, namun sama sekali tidak terdengar Nyo Ko menjawab, waktu para imam itu mencarinya namun tak melihat bayangan Nyo Ko lagi.
Alangkah murka Thio Ci-keng, segera ia memberi perintah mengejar ke segenap jurusan, ia pikir Cong-lam-san yang luasnya beberapa puluh li itu seluruhnya di bawah pengaruh Tiong-yang-kiong, masakah bocah sekecil itu mampu lari ke mana " Bercerita tentang Nyo Ko, ketika dengan gugup ia melarikan diri, sama sekali ia tidak pilih arah, secara ngawur ia lari secepat mungkin dan yang dipilih ialah hutan belukar yang lebat.
Tidak lama ia berlari terdengar olehnya dari belakang orang berteriak riuh ramai, semua penjuru ada orang sedang berteriak namanya: "Nyo Ko, Nyo Ko ! Hayo lekas keluar, ke mana kau hendak lari ?" Karena teriakan itu, hati Nyo Ko semakin gugup hingga larinya pun semakin tak genah, Tiba2 ia lihat ada bayangan orang berkelebat di-depannya, nyata ada satu To-su telah pergoki dia dan menyergap tiba, Lekas Nyo Ko putar tubuh berlari kearah lain, akan tetapi celaka baginya, di sana sudah mengadang pula imam yang lain.
"Nah, ini dia I Disini orangnya, di sini!" demikian imam itu ber-teriak2.
Dengan kalap Nyo Ko menerjang dengan kepala menunduk, akan tetapi Tosu tadi siap papaki dia, dengan tangan terpentang, segera imam itupun menubruk maju.
Namun sekali ini Nyo Ko sudah siap siaga, se-konyong2 ia berjongkok, kembali ia keluarkan ilmu weduk katak buat serang orang, dengan sekali sengkelit, tubuh imam itu dia lemparkan ke-belakang.
Meski imam itu tidak sampai terluka parah, tapi terbanting jatuh hampir kelengar dan seluruh badan.
babak-belur. Imam-imam yang lain menjadi jeri demi nampak gerak serangan Nyo Ko yang lihay dan ganas, mereka tidak berani sembarangan maju lagi, hanya berdiri di tempat jauh mereka ber-teriak2 pula memanggil kawan.
Ber-runtun2 Nyo Ko berhasil menangkan dua imam dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, rasa takutnya tadi menjadi banyak berkurang, tetapi kakinya toh tidak pernah berhenti, ia masih terus lari ke depan dengan cepat.
Sesudah ber-Iari2, achirnya para imam tadi menjadi jauh ditinggalkan olehnya, diam2 ia merasa girang.
Di luar dugaannya, se-konyong2 dari belakang satu pohon besar melompat keluar seorang imam setengah umur yang bermuka putih tampan dan mengadang di depannya.
Waktu Nyo Ko awasi, ia kenal imam ini adalah murid Khu Ju-hi yang tertua In Ci-peng, kedudukannya terhitung paling tinggi di antara anak murid Coan-cin-kau angkatan ketiga, Oleh karenanya lekas2 ia belok ke kiri hendak kabur lagi.
Tak tahunya gerak tubuh ln Ci-peng luar biasa cepatnya, sekali ia ulur tangannya, sekatika baju dada Nyo Ko kena di jamberetnya.
"Marilah, ikut padaku!" dengan tersenyum In Ci-peng berkata.
Namun Nyo Ko tidak menyerah begitu saja, kembali ia gunakan ilmu Ha-mo-kang, kedua telapak tangannya dengan cepat dipukulkan ke depan.
In Ci-peng tahu akan lihaynya pukulan ini, ia menjadi terkejut, lekas2 ia mendahului orang, sebelum tenaga pukulan Nyo Ko dilontarkan, kedua tangannya dengan kencang mencengkeram dulu pergelangan Nyo Ko, dengan paksa Ha-mo-kang yang hendak dilontarkan itu dia tolak kembali Harus diketahui bahwa Ha-mo-kang sebenarnya adalah ilmu kelas wahid dari dunia persilatan cuma sayang Nyo Ko belum banyak mempelajarinya dan waktunya pun tidak lama, dengan sendirinya ia bukan tandingan murid Coan-cin-kau angkatan ketiga yang tangguh ini Oleh karena tangannya dipegang orang, dalam gugupnya Nyo Ko berjingkrak2, dan selagi ia hendak mencaci maki, tiba2 terdengar Ci-peng menghela napas, lalu Nyo Ko pun dilepaskan.
"Sudahlah, lekas kau lari saja, biar aku melindungi kau disini," demikian ia berkata pula.
"Jika kau kena ditangkap kembali oleh gurumu, maka jiwamu yang kecil ini pasti tidak terampun-kan lagi.
" Kiranya tadi waktu Nyo Ko bertanding dengan imam cilik, tatkala itu In Ci-peng tidak ikut menyaksikan, tapi kemudian anak muridnya telah lapor kepadanya apa yang terjadi sesudah Ceng-kong kena dihantam oleh ilmu weduk katak Nyo Ko.
Maka lekas2 iapun menyusul datang hendak cari tahu bagaimana kelanjutannya.
Kini sesudah berhadapan dengan Nyo Ko dan melihat mulut anak ini pecah, hidung bengkak mukanya penuh berlepotan darah, ia menduga bocah ini tentu telah mengalami hajaran yang kejam pula, Ci-peng memang cukup kenal watak Ci -keng yang keras, orangnya tak berbudi, ia sendiri tidak akur dengan Ci-keng, lebih2 bila ter ingat olehnya ayah Nyo Ko yang masih terhitung saudara seguru dengan dirinya, tiba2 hatinya menjadi lemah, ia tidak tega kalau sampai Nyo Ko ditawan kembali oleh Ci-keng, maka ia sengaja melepaskan anak ini.
Sebaliknya Nyo Ko menjadi heran ketika mendengar orang mau lepaskan dirinya begitu saja, sesaat itu ia jadi bingung, ini dapat dimengerti karena beberapa tahun ini ia sudah kenyang merasakan segala hinaan, terhadap siapa saja tiada seorang pun yang dia percayai.
Karena itu, ia kuatir Ci-peng sengaja lepaskan dirinya untuk kemudian ditangkap lagi, maka tanpa menoleh segera Nyo Ko lari ke depan, sementara sayup2 ia dengar di belakang sana In Ci-peng sedang cekcok mulut dengan orang.
Ber-lari2 dalam jarak panjang ini sebenarnya sangat payah bagi Nyo Ko, syukur ia mempunyai kekuatan dasar Lwekang belasan tahun Iamanya.
Maka dia masih sanggup bertahan dengan seluruh tenaganya.
Kemudian ia pilih jalan lain, kini ia lari menyusun semak2 dan berbelak-belok di antara batu2 pegunungan yang tak teratur, sementara cuaca sudah mulai gelap, seluruh badannya terasa lemas, hampir2 ia jatuh terkulai saking letihnya napasnya yang sudah kempas-kempis.
Setelah duduk sejenak, selagi Nyo Ko hendak berdiri buat melanjutkan buronnya, tiba2 ia dengar di belakangnya ada suara orang mendengus.
Keruan saja Nyo Ko kaget, dengan cepat ia menoleh, tetapi ia menjadi tambah kaget hingga jantungnya se-akan2 melocat keluar dari mulutnya.
Kiranya dibelakangnya sudah berdiri satu imam dengan mata mendelik dan alis mengerut tegak dan berjenggot panjang, siapa dia kalau bukan Thio Ci-keng yang pernah dia angkat menjadi guru.
Sesaat itu kedua orang menjadi saling pandang dengan mata mendelik gusar, untuk beberapa detik itu mereka sama2 tidak bergerak sedikitpun.
Akan tetapi se-konyong2 Nyo Ko berteriak sekali berbareng ia putar tubuh terus lari.
Sudah tentu Thio Ci-keng tidak membiarkan anak ini lari begitu saja, ia menyerobot maju terus mencengkeram tengkuk orang.
Tahu akan ancaman bahaya ini, tiba2 Nyo Ko mendak dan menubruk kedepan, dengan cepat ia meraup sepotong batu terus ditimpukkan ke belakang,.
Karena serangan mendadak yang tidak termasuk teori ilmu silat ini, terpaksa Ci-keng mengegos menghindarkan diri, habis ini ia mengudak lagi terlebih cepat hingga jarak mereka semakin dekat.
Dalam keadaan demikian Nyo Ko sudah tidak hiraukan akibatnya lagi, sesudah berlari kesetanan beberapa langkah pula, tiba2 di depannya adalah tebing yang curam, ia tidak pusingkan di bawah sana apakah jurang yang dalam atau sungai yang berbahaya, tanpa pikir ia ceburkan diri ke bawah, seketika iapun tidak tahu apa2 lagi.
Sesudah dekat, Ci-keng coba melongok ke bawah tebing yang curam itu, ia lihat tubuh Nyo Ko sedang menggelinding ke bawah mengikuti tanah miring yang menghijau dengan rumputnya yang lebat, kemudian lantas menghilang ke dalam semak2 di bawah pohon yang rindang.
Ci-keng sendiri tidak berani ikut melompat ke bawah begitu saja, maka ia telah cari jalan lain, ia memutar ke tanah miring itu dan kemudian mengikuti bekas2 yang tergilas oleh tubuh Nyo Ko yang menggelinding itu dan mencari ke dalam hutan dibawah sana.
Tetapi hutan itu semakin dimasuki ternyata semakin lebat hingga akhirnya sedikitpun sinar matahari tidak tertampak, Saat itu ia sudah menempuh sejauh beberapa tombak ke dalam hutan, ketika mendadak ia teringat bahwa daerah itu adalah "kuburan kuno" dimana kakek gurunya, Tiong-yang Cosu pernah menetap, ia ingat bahwa Coan-cin-kau mereka selamanya ada peraturan keras yang melarang siapapun untuk mendatangi daerah kuburan ini.
Akan tetapi bila Nyo Ko harus dilepaskan saja, inilah Ci-keng tidak rela.
"Nyo Ko, Nyo Ko, lekas keluar !" segera ia ber-teriak2.
Tetapi meski ia ulangi beberapa kali teriakan-nya, sama sekali tiada jawab yang terdengar, ia menjadi murka, dengan tabahkan hati ia melangkah maju lagi beberapa tindak, dalam keadaan remang2 tiba2 terlihat olehnya di atas tanah sana berdiri satu pilar batu, waktu ia tegasi sambil berjongkok, maka terbacalah olehnya apa yang tertulis diatas batu itu, yakni yang berarti: "Orang luar berhenti disini.
" Tulisan yang melarang orang maju lebih jauh ini, membikin Ci-keng menjadi ragu2, ia bingung apa maju terus atau tidak " Karena itu segera ia berteriak lagi: "Hayo keluar, Nyo Ko ! Kau bangsat cilik ini, kalau nanti tertangkap pasti kuhajar mampus kau !" Baru habis ia menggembor se-konyong2 terdengar suara riuh aneh mendengung dari dalam hutan, menyusul itu segerombolan bayangan kelabu tiba2 berkelebat, serombongan tawon putih telah menyambar keluar di antara daun pepohonan.
Tentu saja Ci-keng sangat terkejut, lekas2 ia kebutkan lengan bajunya dengan maksud mengusir kawanan tawon itu, ia memiliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kebutan lengan bajunya itupun tidak kecil, diluar dugaan, baru saja ia mengebas beberapa kali, mendadak kawanan tawon itu terpencar menjadi dua barisan, yang satu menyamber dari depan dan yang lain menyergap dari belakang.
Keruan Ci-keng semakin kaget sedikitpun ia tak berani ayal lagi, segera ia putar lengan bajunya buat melindungi seluruh tubuhnya.
Siapa tahu, kawanan tawon putih ini ternyata sangat pintar, beberapa kali mereka gagal menyerang, segera dari dua barisan mereka terpencar menjadi empat barisan, dari empat jurusan mereka lantas mengepung.
Dalam keadaan demikian, Ci-keng tak berani bertahan lebih lama lagi, sambil ayun lengan bajunya untuk melindungi kepala dan mukanya, segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Namun kawanan tawon itu tidak membiarkan sasarannya kabur begitu saja, dengan mengeluarkan suara "ngung-ngung" yang riuh, segera mereka menguber.
Walaupun terbangnya tidak terlalu cepat namun tawon putih ini menguber terus tiada hentinya, kemana Ci-keng lari, ke sana mereka mengudak, Ci-keng lari ke timur, mereka ikut ke timur, lari ke barat, mereka ngintil ke barat hingga akhirnya Ci-keng kewalahan sendiri Ketika lengan bajunya sedikit terlambat mengebut, secepat kilat dua ekor tawon putih sudah menerobos masuk melalui lowongan itu dan masing2 mengantup sekali di pipi kanannya.
Luar biasa sakitnya sengatan itu hingga Ci-keng meringis, karena itu, cara mengebas lengan bajunya menjadi kacau dan asal kena saja, "Hari ini jiwaku pasti melayang !" demikian ia pikir, sebab ia sangka rombongan tawon itu segera pasti akan merubung kepala dan mukanya lagi.
Tak tahunya, dugaannya ternyata meleset, sekali sengat kawanan tawon itu rupanya merasa sudah cukup, agaknya mereka tidak mau banyak buang tenaga, sesudah bisa tawon mulai bekerja hingga Ci-keng berkelejotan kesakitan di tanah rumput, segera kawanan tawon itu mundur teratur kedalam hutan.
Kembali pada Nyo Ko tadi, sesudah dia tergelinding masuk ke dalam hutan dengan pingsan, entah berapa lama sudah lewat, ketika tiba2 terasa olehnya tubuhnya kesakitan seperti ditusuk sesuatu, saking sakitnya ia membuka matanya, maka tertampaklah tawon putih yang tidak terhitung banyaknya sedang beterbangan mengitari tubuh nya, kupingnya se-akan2 pekak oleh suara "ngung-ngung yang berisik dari kawanan tawon itu.
Bagaimanapun Nyo Ko memang masih kecil, sesudah menderita sehari penuh dengan segala siksaan, akhirnya ia tidak sanggup bertahan lagi, kembali ia jatuh pingsan pula.
Lewat lama sekali, tiba2 mulutnya terasa dicekoki oleh semacam cairan yang dingin segar dan harum pula yang pe-lahan2 mengalir masuk tenggorokannya.
Dalam keadaan masih setengah sadar ia merasa enak sekali cairan itu, maka pe-lahan2 ia coba buka matanya, akan tetapi ia menjadi begitu kaget ketika terlihat olehnya di depannya berdiri seorang nenek berwajah jelek keriput seperti kulit ayam yang penuh borok.
Saking kagetnya, hampiri Nyo Ko jatuh semaput lagi.
Sementara itu manusia bermuka jelek itu telah pentang mulut Nyo Ko pula mencekokinya dengan cairan manis tadi.
Hendaklah diketahui bahwa cairan manis ini adalah madu tawon yang diperoleh dari rombongan tawon putih itu yang khasiatnya sangat mujarab untuk menyembuhkan segala racun, kalau buat sembuhkan antupan tawon itu sendiri, sudah tentu lebih2 mujarab lagi.
Karena itulah dengan segera Nyo Ko merasakan tubuhnya menjadi segar bugar, iapun tahu manusia jelek itu tidak bermaksud jahat padanya, maka ia telah tersenyum sebagai tanda berterima kasih.
Manusia jelek itupun balas bersenyum, lapi karena senyumannya ini, mulutnya bergerak, otot daging di mukanya ikut terkerut, mukanya yang sudah jelek seketika bertambah lebih jelek hingga sukar dilukiskan.
Kembali Nyo Ko terkejut, tetapi aneh, ia merasa dibalik muka orang yang jelek tersembunyi perasaan yang welas-asih, kalau dibandingkan sikap dingin para imam di Cong-lam-san itu, ia merasa sikap nenek jelek ini bikin dirinya lebih hangat.
"Popoh, jangan kau biarkan Suhu datang menangkap aku," demikian kemudian ia berkata.
Mendengar anak ini menyebut dirinya sebagai Popoh atau nenek, wanita tua bermuka jelek itu sangat senang.
"Siapakah Suhu-mu, nak ?" tanyanya kemudian.
Mendengar suara pertanyaan yang penuh simpatik ini, Nyo Ko menjadi terharu, memangnya perasaan halusnya gampang terguncang, kini mendengar kata2 yang lemah lembut, seketika ia tak sanggup menjawab, malahan ia terus menangis tersedu-sedu.
Dengan pelahan wanita tua itu pegang tangan Nyo Ko, ia tidak menghiburnya, melainkan membiarkan Nyo Ko menangis se-puas2nya, wajahnya tetap tersenyum sambil memandang bocah ini dengan kepala miring, diantara sinar matanya penuh mengandung rasa kasih sayang.
"Sudah baikkah kau ?" tanya nenek ini kemudian dengan suara halus sesudah Nyo Ko puas menangis.
Watak Nyo Ko memang suka pada kehalusan dan tidak doyan kekerasan, kalau orang lain menghantam dia, menghina dia, se-kali2 tidak nanti dia mencucurkan air mata barang setetespun di hadapan orang.
Kini didengarnya suara si wanita tua yang lemah lembut dan penuh simpatik, hatinya semakin terharu hingga kembali ia menangis lagi.
"Sudahlah, anak baik, jangan menangis, jangan menangis ! sebentar tubuhmu tentu tidak akan sakit lagi," sambil menghibur, wanita tua jelek itu lantas keluarkan saputangannya untuk mengusap air mata Nyo Ko.
Tetapi semakin ia menghibur, tangis Nyo Ko semakin keras dan bertambah sedih, karenanya berbalik, si nenek merasa kelabakan, bingung tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lebih lanjut.
"Sun-popoh, kenapa kau bikin anak orang menangis begitu rupa ?" tiba2 terdengar suara orang bertanya, suara halus merdu di luar kerai Ketika Nyo Ko angkat kepalanya memandang, ia lihat sebuah tangan halus putih bersih sedang menyingkap kerai, menyusul masuklah seorang gadis jelita.
Gadis ini mengenakan baju putih mulus terbuat dari sutera halus dengan gaya yang sangat menarik, usianya belum ada dua puluhan tahun, kecuali rambutnya yang kelihatan hitam, selebihnya serba putih di seluruh badannya, wajahnya pun ayu luar biasa, namun kulit dagingnya tidak kentara warna darah sedikitpun, lapat2 membawa semacam perbawa yang aneh seperti dewi kayangan saja yang tidak mengenyam daharan keduniawian.
Mendengar orang mengatakan dia menangis, dengan muka merah segera Nyo Ko berhenti menangis, ia menunduk malu, tetapi segera ia melirik lagi pada gadis jelita itu, ia lihat orang sedang memandang juga padanya, maka cepat ia menunduk kembali.
"Aku sudah kewalahan, kau saja yang menghiburnya," demikian terdengar Sun-popoh berkata dengan ketawa.
Gadis jelita itu lantas mendekati pembaringan Nyo Ko, ia lihat luka dijidatnya bekas diantup tawon putih, ia ulur tangannya buat meraba dengan maksud ingin mengetahui apakah Nyo Ko demam atau tidak.
Begitu tangannya menempel jidat Nyo Ko, tanpa terasa anak ini jadi menggigil, ternyata tangan gadis itu dingin bagai es.
"Tidak apa-apa, kau sudah minum madu tawon, sebentar lagi tentu kau akan sembuh kembali.
" demikian kata gadis itu.
"Kau bernama siapa, nak ?" Nyo Ko tidak lantas menjawab, ia pandang orang lagi dengan mendongak ketika sinar matanya kebentrok dengan sinar mata si gadis, dalam hatinya tiba2 timbul semacam perasaan aneh yang sukar diucapkan, ia merasa gadis ini luar biasa cantiknya, luar biasa ayunya, tetapi dibalik kecantikan itu si gadis tanpa mengunjuk perasaan sedikitpun.
Nyo Ko menjadi bingung, ia tidak tahu orang sedang gusar atau lagi senang, sedang sedih atau lagi girang, tanpa terasa ia merasa heran, ia membatin gadis ini sebenarnya manusiakah " Setankah atau sebangsa malaikat dewata " Ketika ia dengar suara orang yang nyaring halus itu seperti tidak berperasaan sedikitpun, seketika Nyo Ko tak bisa menjawab pertanyaan orang tadi.
"lni adalah Liong-cici, ia adalah tuan rumah di sini, apa yang dia tanya hendaklah kau jawab saja!" demikian terdengar Sun-popoh berkata padanya dengan tertawa.
Kiranya gadis jelita berbaju putih mulus ini memang bukan lain daripada Siao-liong-li yang menjadi tuan rumah "kuburan orang hidup" (artinya orang hidup tinggal dalam kuburan se-akan2 sudah mati).
Sun-popoh ini adalah pelayan yang dahulu mendampingi gurunya Siao-liong-Ii, tapi sejak sang guru wafat, dalam kuburan hanya tinggal mereka berdua saja yang hidup berdampingan.
Hari itu mereka dengar suara mengaungnya tawon putih, mereka tahu tentu ada orang melanggar tapal batas tanah kuburan di hutan itu, maka Sun-popoh telah keluar buat memeriksanya, di sana ia dapatkan Nyo Ko sudah jatuh pingsan, maka dialah yang telah menolong jiwa anak itu.
Sebenarnya menurut peraturan kuburan kuno itu, orang luar siapapun tidak diperbolehkan masuk barang setengah langkahpun apalagi orang laki2, hal ini lebih2 melupakan pantangan besar, Akan tetapi karena usia Nyo Ko masih kecil, pula seluruh badannya kelihatan babak-belur bekas luka, meski wajah Sun-popoh sangat jelek dan kelihatan bengis, namun hatinya sebenarnya sangat welas-asih, maka ia telah turun tangan menolong Nyo Ko dengan melanggar kebiasaannya.
Begitulah sesudah mendapat penjelasan dari Sun-popoh, dengan cepat Nyo Ko lantas melompat bangun, ia turun dari pembaringannya dan berlutut menjura pada Sun-popoh dan Siao-liong-Ii.
"Tecu Nyo Ko dengan ini memberi hormat pada Sun-popoh dan Liong-kokoh," demikian ia perkenalkan diri sambil panggil orang sebagai nenek dan bibi.
Keruan Sun-popoh kegirangan dan tertawa lebar, lekas2 ia membangunkan bocah itu, "Ah, kiranya kau bernama Nyo Ko.
Sudahlah, jangan pakai adat - istiadat segala," demikian ia berkata.
Hal ini memang pantas, sebab sudah beberapa puluh tahun Sun-popoh tinggal di dalam kuburan, selama itu pula tidak pernah ia bergaul dengan orang luar, kini demi nampak wajah Nyo Ko cakap, cekatan dan pintar pula, dalam hati ia menjadi luar biasa menyukainya.
Sebaliknya Siao-liong-li ternyata tetap bersikap dingin saja, ia hanya mengangguk sekali, habis ini ia ambil tempat duduk pada suatu kursi ditepi ranjang sana.
"Cara bagaimanakah kau bisa sampai disini" Dan mengapa terluka " Orang jahat siapakah yang telah hajar kau sedemikian rupa ?" demikian Sun-popoh bertanya lagi, Di mulut ia bertanya, tapi sebelum orang menjawab ia sudah sibuk mengambilkan barang makanan dan suruh Nyo Ko makan.
Setelah makan sedikit kue yang diberikan itu, kemudian Nyo Ko menceritakan nasib dan asal usul dirinya, ia ceritakan seluruhnya dari awal sampai akhir, Memangnya Nyo Ko pandai bicara, maka ceritanya menjadi sangat menarik, ditambah lagi ia baru saja dihajar orang, dengan sendirinya lagu kata2-nya menjadi makin bernapsu.
Golok Sakti 5 Golok Halilintar Karya Khu Lung Pasangan Naga Dan Burung Hong 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama