Ceritasilat Novel Online

Kitab Mudjidjad 6

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 6


kau katakan padaku, dimana sekarang adanya adik In?"
Burung raksasa itu tak dapat menjawab pertanyaan
Eng Lian yang nyerocos, ia hanya menggeleng gelengkan
kepalanya. Eng Lian makin bimbang hatinya, karena dari
mulutnya si burung raksasa ia tidak bisa mengorek
keterangan kemana perginya Kwee In"
Sampai malam ditunggu ternyata Kwee In tidak
pulang. Gelisah hatinya si dara cantik, tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya. Bwee Hiang... Kemana si nona sudah dibawa pergi oleh Hwee liong
coan-in Gan Lok" Dengan memiliki si cantik Bwee Hiang, tampak Gan
Lok tidak memperdulikan anak-anak muridnya lagi, ia
kabur terus keluar lembah, khawatir kepergok oleh Hekbin
Sin-tong. Belum jauh ia meninggalkan lembah Tong-hoag-gay,
ia berpapasan dengan tiga orang Hweshio. Ia dicegat,
lantaran tiga Hweshio itu curiga Gan Lok lari dengan
memanggul seseorang dipundaknya.
"Berhenti!" bentak salah satu Hweshio itu, rupanya
adalah kepala rombongan. Gan Lok sebenarnya tidak mau hentikan larinya. kalau
tidak dengan kegesitan luar biasa dua Hweshio yang
lainnya mencegat sambil lintangi tongkatnya.
Si Naga Api tertawa tergelak gelak ketika tampak
jalannya dicegat. "Kita tidak kenal satu dengan lain, kenapa kalian
mencegat aku?" tanyanya.
"Kau membawa orang dipundakmu, tentu kau bukan
orang baik-baik?" menyindir salah satu paderi itu dengan
ketawa nyengir. "Lekas kau letakkan orang itu, untuk kami periksa!"
paderi lainnya memerintah.
"Kalian dari gereja mana?" tanya si Naga Api.
"Haha, kau tanya gereja kami" Asal kau dengar tentu
kau ketakutan!" kata si Hweshio pemimpin.
"BoIeh jadi aku ketakutan. nah, sebutkanlah nama
kuilmu!" kata si Naga Api pula.
"Kami dari Pek-wan-bio, kau tentu sudah kenal kuil
kami itu, bukan?" "Pek-wan-bio..." menggnmam si Naga Api.
"Ya, Pek wan-bio!" mengulangi si Hweshio tadi, ia lihat
si Naga Api seperti jerih mendengar disebutnya nama kuil
itu. "Tunggu aku taruh dulu adikku sebentar!" kata si Naga
Api, ia segera menghampiri dekat pohon, ia turunkan
Bwee Hiang dikasi duduk bersandar pada bongkol pohon.
Bwee Hiang tak berkutik, karena ditotok, ia hanya
menurut saj.adikasi duduk oleh si Naga Api, sementara
hatinya ingin berteriak minta tolong kepada tiga paderi
itu, cuma mulutnya sukar digerakkan untuk
mengeluarkan suaranya. Maka, si nona hanya matanya saja yang kedap-kedip
mengawasi kepada tiga paderi yang mencegat tadi,
justeru kawanan paderi itu tengah memandang
kearahnya. Kawanan paderi itu tahu kalau si nona dalam keadaan
tertotok, ingin ia memberikan pertolongan, cuma saja
mereka tidak berani sembarang bergerak melihat Gan
Lok yang kelihatan sangat gesit dan hebat Iwekangnya,
meskipun sudah berusia lanjut.
"Kau mengatakan adikmu, teapi kenapa kau totok si
nona?" bentak kepala rombongan Hweshio tersebut.
"Aku menotok lantaran ia nakal," sahut si Naga Api
ketawa. "Kau tentu orang jahat, makanya sudah perlakukan
seorang nona baik baik demikian."
"KaIau aku orang jahat, memangnya kalian mau apa?"
mengejek Gan Lok. "Kau lepaskan si nona, akan kami kasi ajaran hidup
untukmu!" Si Naga Api ketawa terbahak bahak, suaranya nyaring
menusuk telinga, hingga kawanan paderi itu merasa
keder dibuatnya. "Kau siapa sebenarnya?" salah satu dari tiga paderi itu
bertanya. "Aku sekarang ingat, kau ini tentu adalah Hok Tek,
Hok Sek dan Hok Lek Taysu."
"Ya, memang kami adalah seperti apa yang disebutkan
olehmu!" kata Hok Tek. "Kalau kau tahu dengan siapa
kau berhadapan. kau lekas merdekakan si nona, baru
urusan beres!" Hok Tek dan dua saudaranya memang pengrus dari
Pek-wan-bio (Kuil Lutung Putih), mereka adalah anak
murid Siauw-lim-sie tidak langsung, suhunya ialah Tok
Kak Hweshio adalali murid Siauw-lim-sie yang telah diusir
dari perguruan karena perbuatannya rada menyeleweng.
Tok Kak Hweshio tinggi kepandaiannya, maka murid
muridnya juga berkepandaian tinggi.
Oleh sebab itu, Hok Tek dan dua saudaranya sangat
sombong. memandang bahwa kepandaian mereka
sangat tinggi dan sukar menemukan tandingannya.
Disamping banyak terdengar perbuatan-perbuatan
Hok Tek Hweshio dan kawan-kawannya yang tidak
benar. juga terkenal mereka sangat telengas. Dan lain
caranya memungut dermaan untuk kuilnya, mereka suka
menetapkan tarip sendiri terhadap orang-orang hartawan
yang dikunjunginya. Kalau yang bersangkutan tidak
menurut maunya, tahu sendiri, malamnya akan disatroni
dan dikacaukan rumah tangganya, misalnya anak gadis
atau isterinya si hartawan diculik.
Karena itu, banyak hartawan yang dimintai derma oleh
mereka selalu tidak banyak omong, asal rumah
tangganya selamat. Maksud mereka mendatangi lembah Tong-hong gay
juga ada satu maksud dengan orang orang rimba
persilatan lainnya, ingin menemukan Hek bin Sin-tong
untuk minta Kitab Mujijad. Mereka sebenarnya datang
berempat dengan gurunya, ialah Tok Kak Hweshio, tapi
mereka disuruh jalan lebih dahulu lantaran sang guru
kecandek oleh urusan lain.
"Kau tanya aku siapa" Buka telinga, kalian lebar-lebar
supaya mendengar tegas, aku adalah Hwe-lieng Coan-in
Gan Lok dari Hong tong-ouw!" Gan Lok menerangkan.
Hok Tek dan dua saudaranya kaget bukan main.
"Kau, kau bukankah Gan locianpwee yang sudah cuci
tangan dan hidup senang di pulau ceng To (pulau
Tenang)?" berkata Hok Tek kaget. Keder juga hatinya
sekarang. "Ya, memang aku sudah istirahat di ceng-to," sahut si
Naga Api. "Cuma saja aku dapat panggilan orang halus,
untuk datang kelembah Tong-hong-gay menyambut
adikku ini, ialah jodohku untuk di hari tuaku!" kata Gan
Lok. tenang-tenang saja ia.
Bwee Hiang terkejut mendengar perkataan si Naga
Api. Tidak boleh tidak ia akan dibawa ke ceng-to oleh si
Naga Api dan disana ia akan menjadi permainannya si
kakek. Ia tadi mengharapkan pertolongan ketiga Hweshio itu,
namun, sekarang melihat mereka seperti jerih
mendengar namanya Hwe-Liong coan-in,
pengharapannya menjadi buyar. Pun ia masih
menyangsikan bila dirinya dapat ditolong oleh tiga
Hweshio itu bisa selamat, karena melihat matanya tiga
Hweshio itu seperti bukannya paderi saleh (suci).
Sama saja, lolos dari si Naga Api ia akan jatuh dalam
cengkeramannya kawanan Hweshio jahat, maka pikirnya,
biarlah mereka bertempur sampai semuanya mati.
jangan sampai ada ketinggalan satu juga, dengan begitu,
ia ada harapan selamat. Diam diam ia menyesalkan kepada Kwee In, yang
sampai sebegitu jauh tidak kelihatan adik In-nya itu
muncul, sedang ia dalam bahaya sekali.
Hok Tek dan dua kawannya, ketika mendengar
perkataan si Naga Api, langsung mengerti bahwa nona
yang dibawa oleh si Naga Api ini memang bukan
familinya, hanya bakal korbannya.
Melihat kecantikan Bwee Hiang yang menarik sekali
seleranya, Hok Tek tabahkan hatinya dan ingin mencoba
kepandaiannya si Naga Api yang sangat disohorkan itu.
Siapa tahu, dengan mengandalkan jumlah banyak ia
dapat menindih si Naga Api dan merampas dirinya si
nona cantik untuk mereka atau dipersembahkan kepada
suhunya. "Naga Api, nyalimu benar besar, di-siang hari bolong
merampas anak orang." kata Hok Tek sambil unjuk lagak
jumawa, seperti memandang enteng pada si Naga Api.
"Habis, kau mau apa?" sahut si Naga Api mengejek.
"Aku mau supaya kau melepaskan si nona, dengan
begitu persahabatan kita tidak menjadi retak. Kau boleh
pikir-pikir, satu lawan tiga mana bisa menang"
Hahaha...!" Kembali terdengar Hwe-liong coan-in ketawa ngakak.
"Kepala gundul!" katanya. "Dengan melepaskan si nona,
berarti aku berbuat lebih kejam lagi, karena kalian yang
akan makan ramai-ramai. Haha, jangan mimpi! Dulu kita
tidak bersahabat, sekarang juga kita tidak bersahabat,
apanya yang kau katakan menjadi retak?"
Bwee Hiang merinding bulu tengkuknya mendengar
kata-kata si Naga Api. Mentang, kalau ia terjatuh dalam
tangannya kawanan Hweeshio itu lebih runyam lagi, pasti
tubuhnya akan diganyang oleh banyak orang. sedang
dengan si Naga Apa satu lawan satu, masih mending,
tapi biar bagaimana juga hatinya tidak rela dirinya akan
dipermainkan si Naga Api, ia harus mencari akal
bagaimana baiknya supaya bisa lolos dari
cengkeramannya kepala banyak yang sangat kosen itu.
Air-mata sudah tidak bisa diandalkan, si Naga Api tak
akan menghiraukan air mata, harus ia cari jalan lain, ia
harus berani berkorban membiarkan tubuhnya menjadi
permainan si Naga Api asal jangan kehormatannya
diganggu. Tengah ia merencanakan suatu akal. si Naga Api
disana sudah bergebrak. Matanya ketarik oleh jalannya
pertempuran, diam-diam ia berpihak pada si Naga Api
agar dalam pertempuran itu memperoleh kemenangan.
Tiga Hweshio itu memang kepandaiannya tinggi,
namun, mengeroyok si Nsga Api tidak berarti apa apa.
Dengan lincah dan gesit sekali Gan Lok memainkan
goloknya, hingga diam-diam Bwee Hiang merasa kagum
atas kepandaian orang. Ia tidak mengira si Naga Api
mempunyai ilmu golok yang sempurna. Ia ingat ketika si
Naga Api menggempur ia, tidak memperlihatkan apa-apa
yang mengagumkan, namun sekarang, Bwee Hiang
saksikan ilmu golok yang baru pernah ia lihat.
Berkelebatan golok si Naga Api diantara sambaransambaran
tiga tongkat dari tiga paderi itu, yang
mengeluarkan angin menderu-deru keras. Tampak
tubuhnya Gau Lok sebentar lenyap sebentar muncul
diantara tiga tongkat yang dimainkan dengan hebat
sekali. "Kau mau menyerahkan si nona tidak?" bentak Hok
Tek melihat lawan seperti kericuhan, serangannya pun
ditekankan lebih berat. "Kentut!" sahut si Naga Api. "Adik-ku yang manis.
mana dapat dikorbankan kepada kalian kepala guudul,
rakus! Lihat golokku akan ambil satu persatu kepala
kalian!" Menggigil tubuhnya Bwee Hiang mendengar mereka
bercakap-cakap sambil bertempur mati-matian. Hatinya
sangat cemas melihat si Naga Api agak keteter dan ia
khawatirkan Gan Lok terjungkal dan dirinya akan menjadi
permainan kawanan Hweshio rakus itu.
Tiba-tiba timbul perasaan menyesalnya, karena ia
sudah keluar lagi dari rumahnya di Kun hiang, kalau
tidak, pasti ia tak akan menemukan bahaya seperti yang
dialami sekarang. Ia dapat hidup senang di kampung
halamannya dengan hartanya yang berkelimpahan.
Namun, kapan ia pikir sebaliknya, bahwa ia
meninggalkan kampungnya dengan maksud mencari adik
In-nya, ia tidak menyesal dan berbayanglah saat yang
bahagia, ia dalam pelukannya Kwee In yang cakap dan
mulai matang bermain asmara.
Apakah ia akan menemui pula kebahagiaan itu
disisinya Kwee In" Itulah suara pertanyaan yang sukar
dijawab, karena dirinya dalam cengkeraman orang jahat.
Kalau ia bisa melindungi kehormatannya saja sudah
mujur dan terima kasih kepada Thian (Tuhan).
Sementara pikiran si nona melayang-layang, si Naga
Api telah merubah ilmu silat goloknya, sehingga si nona
melongo dibuatnya. Suara trang! trang! trang! mengaung keras, berbareng
tiga tongkat dari kawanan Hweshio itu tampak saling
susul terbang ke udara. Si Naga Api telah merubah ilmu
silat goloknya ketika melihat dirinya keteter. Ia gunakan
Hwe liong To-hoat (limn golok Naga Api) ciptaannya
sendiri. Ia baru menggunakannya pada saat itu, maka
tidak heran kalau ia merasa gegetun melihat
keampuhannya Hwe Tiong To-hoat yang di-ciptakannya
itu. Hanya beberapa gebrakan saja sudah membuat tiga
tongkat kawanan kepala gundul itu terbang keangkasa
saling susul. cepat sekali Hwe-liong coan in bergerak, melihat tiga
Hweshio itu sedang berdiri bengong, ia tidak memberi
kesempatan, begitu terdengar suara cras! cras!
kepalanya Hok Sek dan Hok Lek menggelundung dari


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempatnya. Hok Tek maslh dapat mengelakkan diri ketika
goloknya si Naga Api menyambar lehernya. Dengan
sebat ia angkat kaki meninggalkan tempat itu.
"Hahaha. mau lari?" bentak Hwe-liong coan in. Segera
menyusul jeritan Hok Tek dan roboh terkapar dengan
mata mendelik dan mulut berbusa. Ia terkena senjata
rahasia bor beracun dari si Naga Api.
-ooOdwOoo- BAB-21 MELIHAT IA sukar menyandak si kepala gundul yang
sudah gerakkan kakinya begitu gesit. maka si Naga Api
merogoh sakunya dan menyambitkan bor beracunnya.
Kena telak sekali, sekali menjerit Hok Tek Hweshio sudah
roboh terkulai. Si Naga Api menghampiri musuhnya. Ia jongkok dan
meneriaki Bwee Hiang: "Nonaku yang manis, lihat
suamimu menghukum musuhnya!" menyusul goloknya
bekerja, dadanya Hok Tek kontan terbelah dua dan
darah hidup berhamburan menciprati bajunya.
Bwee Hiang pejamkan matanya saking ngeri.
Ketika ia membuka matanya, si Naga Api sudah ada
didekatnya dan berkata : "Anak manis, mari kita
meneruskan perjalanan..."
Ia berkata sambil cendrungkan badannya hendak
meraih Bwee Hiang. "Hei, kau manis sekali kalau bersenyum...?" tiba-tiba si
Naga Api berkata ketika melihat si nona dengan tiba-tiba
saja bersenyum kearahnya. Itulah tidak ia duga, sebab
Bwee Hiang sampai sebegitu jauh hanya cemberut saja.
"Baiklah, aku akan bikin kau dapat bicara, tapi ingat,
jangan main gila! Lihat itu contohnya dengan si Hweshio
keparat!" Ia mengancam Bwee Hiang seraya tangannya
menunjuk kepada mayatnya Hok Tek.
Berbarengan itu, si Naga Api telah menotok Bwee
Hiang. membuka urat gagunya, hingga sekarang
kepalanya Bwee Hiang bisa bergerak dan berbicara,
hanya tubuhnya sebatas pundak lumpuh tak dapat
digerakan. Itulah totokan istimewa dari si Naga Api.
Meskipun begitu, Bwee Hiang merasa sedikit lega
hatinya karena kepalanya bisa digerakkan dan bisa
berbicara, siapa tahu dengan mulutnya nanti dapat
menolong dari kenancuran kehormatannya ditangan si
Naga Api yang sangat kosen.
"Toako kau benar-benar kosen!" memuji Bwee Hiang.
"Tiga kepala gundul itu sekaligus kau sudah dapat
bereskan, sungguh kepandaian yang baru kali ini aku
melihatnya..." Si Naga Api ketawa senang mendapat pujian si nona.
"Nona, siapa namamu?" si Naga Api menanya sambil
ketawa. "Aku Bwee Hiang she Liu," jawab si gadis bersenyum.
"Kenapa kau tidak menanya siapa diriku, nona Bwee?"
tanya si Naga Api. "Aku sudah tahu kau si Naga Api yang kesohor, untuk
apa aku menanya lagi?" sahut Bwee Hiang, sambil
lirikkan matanya yang balus. hingga bergejolak hati si
kakek. "Nona Bwee, kau manis sekali kalau ketawa..." memuji
si Naga Api. seraya tangannya diulur menowel pipi Bwee
Hiang, kemudian ia duduk berdekatan dengan si nona,
tidak jadi ia meraih Bwee Hiang untuk diajak melanjutkan
perjalanannya. "Toako tanganmu nakal..." kata Bwee Hiang, waktu
tangan si Naga Api meraba buah dadanya si gadis dan
bakal main. Berdebar hatinya Bwee Hiang ketika benda
yang sangat disayanginya itu diremas-remas oleh si Naga
Api sambil menyeringai ketawa.
Ingin ia marah dan menyempot habis-habisan pada si
Naga Api, tapi dipikir sebaliknya, taktik itu tidak
menguntungkan, malah mempercepat malapetaka yang
dihadapinya. Bwee Hiang sudah mengambil keputusan untuk
spekulasi dengan kecerdikannya, ia mengharap dapat
menyelamatkan kehormatannya, meski untuk itu ia harus
berkorban seluruh tubuhnya menjadi sasaran tangan si
Naga Api. "Toako," kata lagi Bwee Hiang "Sayang tanganku tak
dapat bergerak, kalau tidak, akan kupatahkan tanganmu
yang nakal itu." Si Naga Api ketawa haha hihi. Setelah puas
permainkan bagian atas, tiba-tiba tangan si Naga Api
mulai merayapi kebagian bawah. Bwee Hiang cemas
hatinya tatkala tangan si Naga Api mulai membuka tali
celananya, kemudian memasukkan tangan yang nakal itu
kedalamnya dan meraba bagian yang tersembunyi.
Tapi, segera tangan si Niga Api di tarik keluar lagi
seperti disengat binatang berbisa, lalu mengamat-amati
tangannya yang barusan bersentuhan dengan barang
yang Bwee Hiang ingin selamatkan dari kehancuran.
"Toako, kau kenapa?" tanya Kwee Hiang bersenyum.
"Nona Bwee, kau...?" si Naga Api tak dapat
melampiaskan kata-katanya.
"ya, aku sedang haid, baru saja keluar ketika kau
menggempur tiga Hweshio itu..." jawab si gadis lega
hatinya melihat si Naga Api seperti ketakutnn meraba
barangnya tadi. Ia tidak tahu, entah kenapa"
"Nona Bwee, kau datang bulan. kenapa tadi tidak
bilang?" kata si Naga Api.
"Untuk apa aku mengatakan itu. kau toh tidak akan
percaya." "Nona Bwee ada pantangan bagiku untuk
berhubungan dengan seorang wanita yang sedang haid,
hal itu dapat membawa kesialan."
"jadi, kau urung mengganggu aku?"
"Ya, sedikitnya lewat sepuluh hari setelah kau berhenti
haid." Bwee Hiang ketawa. Diam diam dalam hatinya
kegirangan, ia tidak mengira si kepala bajak mempunyai
pantangan demikian. Diwaktu haid paling sedikit
memakan tempo lima hari baru berhenti. Maka lima hari
ditambah sepuluh hari, jumlah lima belas hari, ia
mempunyai tempo untuk mencari akal menyelamatkan
diri dari si Naga Api. Pikirnya, tempo cukup lama, masa
gagal pengharapannya lolos"
Kalau sampai pada waktunya belum juga ia dapat
jalan lolos, ia nanti akan pikir bagaimana baiknya dengan
melihat gelagat. Siapa tahu, dalam tempo itu ia
mendapat pertolongan adik In-nya, sebab hanya Kwee
In-nya yang dapat mengalahkan si Naga Api tinggi
kepandaiannya. "Kalau kau mempunyai pantangan begitu, sebaiknya
kau jangan dekat-dekat aku sebelum lewat waktunya,"
kata si nona. "Dari mulai sampai berhenti haid berapa lama?" tanya
si Naga Api. "Paling cepat lima hari," sahut si nona ketawa.
Si Naga Api kerutkan keningnya. Ia memikirkan juga
lima tambah sepuluh jadi lima belas hari. terlalu lama
juga ia menanti, tapi apa boleh buat kalau ia tidak mau
menemukan bahaya sebagai akibat kesialan itu.
"Toako, kau harus jauh-jauh dulu dari aku. Setelah
lima belas hari, kau boleh punya suka dan aku akan
menyerah untuk menjadi isterimu."
"Seharusnya begitu," sahut si Naga Api. "Cuma saja,
mana bisa aku berjauhan dengan kau, nona Bwee.
Wajahmu yang cantik, benar-benar baru kutemukan,
sungguh-sungguh kau akan beruntung menjadi
isteriku..." Si Naga Api berkata seraya ketawa, dan Bwee Hiang
juga ketawa untuk membikin senang si kakek. justeru si
nona ketawa, membuat si kakek beringas dan segera
merangkul Bwee Hiang dan menciumi sepuasnya.
Bwee Hiang merasa jijik, tapi apa daya" Ia dalam
keadaan tertotok, kalau akan menimbulkan kemarahan si
Naga Api, sebaliknya ia akan memberi kelonggaran
kepadanya. "Toako, kau memans baru ketemu perempuan" Galak
benar kau, harap kasi aku bernapas..." mengeluh Bwee
Hiang, yang kewalahan menyambuti ciuman si kakek
yang bertubi tubi seperi kesetanan.
"Aku biasa berurusan dengan wanita, tapi dengan kau
lain, karena kau sangat menarik hatiku. nona Bwee!"
sahut si Naga Api seraya melepaskan pelukannya.
Diam-diam Bwee Hiang sesalkan dirinya kenapa punya
wajah cantik, sehingga ia harus mengalami kehinaan
yang dideritanya sekarang.
Tapi mengingat bahwa wajahnya yang cantik itu
adalah pemberian Tuhan, maka hatinya yang menyesal
tadi perlahan-lahan buyar sendirinya.
Tiba-tiba si Naga Api meraih tubuhnya si nona.
Bwee Hiang kaget dan menanya: "Toa-ko, kau mau
bawa kau kemana?" "Aku mau bawa kau ke ceng-to, di pulau sana kau
akan melewati hidupmu yang tentu akan, aku akan
perlakukan benar-beuar sebagai isteriku yang tercinta."
"jangan, jangan sekarang ke ceng-to. Badanku merasa
tidak enak kalau dalam keadaan haid mesti melakukan
perjalanan jauh " "jadi. bagaimana" Apa kita tetap tinggal disini saja?"
"Oh, bukan, aku maksudkan kita cari sebuah goa,
dimana kita tinggal untuk sementara sampai aku sudah
berhenti haid, baru kita lanjutkan perjalanan."
"Baiklah," kata si Naga Api, berbareng ia gerakkan
kakinya dan lari seperti terbang memondong si gadis
yang jadi kebingungan. "Toako. kau mau bawa aku kemana?" tanya Bwee
Hiang diperjalanan. "Bukankah kita mau mencari sebuah goa."
"Kenapa mesti jauh-jauh mencarinya" Didekat lembah
Tong hong-gay juga banyak goa untuk kita beristirahat."
"Mana bisa kita tinggal dekat-dekat lembah itu."
"Memangnya kenapa" Kau keberatan tinggal dekat
lembah Tong-hong-gay?"
"Bukan begitu, hanya...hanya..."
"Hanya apa" Aku tahu kau takut sama Hek bin Sin
tong, bukan?" Si Naga Api ketawa menyeringai.
"Toako, Hek-bin Sin-tong tidak apa-apa, asal kau suka
memerdekakan aku." "Mana bisa kau kumerdekakan, nona Bwee."
"Kenapa" Bukankah ada satu kebaikan kalau kau
merdekakan aku" Hek-bin Sin-tong tidak akan mencari
kau, sebab calon isterinya, ialah aku, sudah
dimerdekakan olehmu."
"Kau, kau bakal isterinya Hek-bin Sin-tong?"
"Ya, aku bakal isterinya Hek bin Sin-tong," kata Bwee
Hiang, ia melihat suatu cahaya harapan bahwa si kepala
bajak dapat digertak oleh nama gelaran adik Innya.
"Bagaimana?" mendesak Bwee Hiang. Ia percaya si
Naga Api ketakutan oleh Hek-bin Sin-tong melihat
beberapa kali ia mengerutkan alisnya.
"Nona Bwee, untuk apa kau jadi isterinya seorang
bocah yang wajahnya hitam, lebih baik kau menjadi
isteriku, meskipun aku sudah kakek, tapi kau lihat
saja...." Terkejut hatinya Bwee Hiang. Ternyata dugaannya
meleset, tapi ia masih mau mencoba menggertak si Naga
Api lagi. "Apa kau tidak takut sama Hek-bin Sin-tong, yang
akan membunuhmu manakala ia tahu kau membikin
malu calon isterinya?"
"Hek bin Sin tong tidak akan menemui jejak kita, kau
diam saja, kau tetap akan menjadi isteriku, nona Bwee!"
Bwee Hiang kewalahan nampak si Naga Api seperti
yang nekad dan mau juga mendapatkan dirinya. Apa
daya" Ia memang benar-benar tidak berdaya. Namun, ia
masih belum putus asa sama sekali, ia masih ada
harapan tempo lima belas hari lagi.
Ia tidak tahu entah sudah berapa jauh ia dibawa oleh
si Naga Api, tahu-tahu dalam keadaan sangat lelah ia
diletakkan diatas sebuah dipan dari batu. Ia rasakan
dingin ketika badannya menyentuh dipan batu itu.
"Toako, dimana kita sekarang?" tanya si nona.
"Kita berada dalam goa, tempat dahulu guruku
bertapa," sahut si Naga Api.
Goa itu agak lebar disebelah dalamnya dan ada
penerangan matahari yang menembus dari selah selah
batu disebelah atas goa. Pada waktu siang goa itu cukup
terang, hanya diwaktu malam gelap-gulita orang perlu
memasang obor kalau mau penerangan.
Ketika mereka sampai dalam goa itu, hari sudah sore.
Si Naga Api mengeluarkan ransum kering, keduanya
lalu memakannya dengan lahap karena sudah sangat
lapar perutnya. Sebentar lagi cuaca pun sudah berganti malam.
Keadaan dalam goa sangat gelap. Bwee Hiang rasakan
dingin sekali karena batu yang dipakai untuk tempat
tidurnya. Hatinya si gadis diam-diam tidak tentram, ia
kuatir si Naga Api melupakan pantangannya dan malam
itu akan menggerayangi dirinya.
Ia berdoa, memohon supaya si Naga Api pegang
teguh pantangannya. Tadi ia melihat si Naga Api keluar, entah ia pergi
kemana" Sebentar lagi ia mendengar suara kaki orang
bertindak. Ia menduga si Naga Api yang masuk dalam
goa. Hatinya berdebaran, bukan main kagetnya Bwee
Hiang, ketika tiba tiba saja tubuhnya diraih oleh si Naga


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Api dan direbahkan dibawah tapang (dipan) batu.
Celaka! pikir Bwee Hiang dalam hatinya. Tapi ia tidak
bergerak, maupun membuka mulut, ia diam saja mau
tahu perkembangan lebih jauh.
Sebentar lagi kembali tubuhnya diraih oleh si Naga
Api, baru kali ini ia menegur dengan suara gemetar:
"Toako, kau melupakan pantanganmu?"
Si Naga Api tidak menjawab, ia rebahkan pula Bwee
Hiang diatas dipan batu tadi. Untuk kegirangannya Bwee
Hiang rasakan dipan batu itu tidak dingin, malah hangat
kiranya si Naga Api telah memberi alasan batu itu
dengan rerumputan kering yang hangat, jangan sampai
Bwee Hiang kedinginan. Kini Bwee Hiang baru tahu kebaikannya si Naga Api,
maka ia menyesal atas tegurannya tadi yang tidak
beralasan. Ia berkata: "Toako, terima kasih. Maaf kalau
aku barusan menegur kau tanpa alasan."
Si Naga Api tidak menyawab, hanya ia perdengarkan
suara ketawa pelahan dalam goa yang serba gelap dan
menyeramkan itu. Kemudian si Naga Api merebahkan dirinya dibawah
tidak jauh dari dipannya Bwee Hiang. Malam itu ia tidak
gerayangi tubuhnya si nona, hingga Bwee Hiang merasa
girang dan mengharap seterusnya si Naga Api akan
berlaku sopan demikian. Setelah gulak gulik sebentaran
memikirkan nasibnya yang malang, saking lelahnya,
Bwee Hiang juga lamas tidur pulas dan baru mendusin
ketika sinar matahari nyelusup masuk dalam goa itu.
Bwee Hiang hanya dapat menggerakkan kepala
sebatas leher, kebawahnya masih dalam totokan, maka
ia tidak bisa bangun beidiri meskipun sudah lama ia
mendusin. Ia tidak tahu kemana si Naga Api sudah pergi, sebab
tidak ada dalam goa itu. Matanya Bwee Hiang memeriksa kesekitar goa,
ternyata keadaan disitu sangat resik dan menyenangkan.
Rupanya dahulu dipakai tempatnya orang berilmu.
Seketika Bwee Hiang ingat akan kata-katanya si Naga Api
yang mengatakan tempat itu bekas pertapaannya guru si
Naga Api. Entahlah, kemana perginya sang guru itu"
Apakah ia pindah tempat atau sudah meninggal dunia"
Ia kepingin tahu dari mulutnya si Naga Api.
tengah ia memikirkan goa yang serba resik itu, tibatiba
masuk si Naga Api dengan membawa semangkok
bubur yang masih mengepul.
"Kau bawa apa itu, Toako?" tanya Bwee Hiang.
"Aku barusan memasak dua mangkok bubur. satu aku
sudah makan dan ini satu mangkok aku bawakan
untukmu. Masih hangat, kau makan, pasti kau memuji
masakanku!" si Naga Api berkelakar, hingga si nona
bersenyum. Bwee Hiang tak dapat menyambuti mangkok bubur
itu. kedua tangannya lemas lunglai karena belum
merdeka dari totokan. Si Naga Api letakkan mangkok buburnya, dan
mengangkat tubuhnya Bwee Hiang untuk dikasi duduk,
kemudian ia mengambil pula mangkok bubur tadi dan
mulailah ia menyuapi Bwee Hiang seperti menyuapi
orang sakit. Bwee Hiang merasa lucu, setelah menelan bubur yang
disuapi, baru ia berkata: "Toako, kau masih terus belum
mau membebaskan totokanmu, apa kau mau terusterusan
berabe melayani aku" Lekas kau bebaskan, aku
tidak akan lari!" Si Naga Api ragu ragu, ia menatap Bwee Hiang yang
bersenyum manis kearahnya.
"Baiklah." kata si Naga Api kemudian. Ia lalu
membebaskan Bwee Hiang dari totokan.
Si nona kegirangan, ketika dapatkan kedua lengannya
bisa bergerak. Ia lalu merebut mangkuk bubur dari
tangannya si Naga Api dan makan sendiri bubur hangat
itu, tak usah pertolongan si Naga Api yang barusan
menyuapi. Ketika ia sudah makan habis bubur dalam mangkok
ini, ia hendak turun dari dipan, alangkah kagetnya sebab
bagian bawah sebatas pinggang kebawah masih belum
bebas dari totokan dan tetap belum dapat berjalan.
"Toako, kau masih belum percaya padaku?" tegur
Bwee Hiang. "Aku pencaya. tapi belum dapat aku membebaskan
kau seluruhnya sekarang."
"Kenapa" Memangnya kau takut aku melarikan diri?"
Si Naga Api tidak menyahut, ia diam taja.
"Kepandaianmu berlipat ada dari aku, masa kau takut
aku lari?" Si Naga Api tergerak hatinya. tapi kemudian ia raguragu
pula untuk membebaskan si nona seluruhnya dari
totokan. Ia tahu si nona kepandaiannya tidak boleh di
pandang rendah, kalau segala ucap katanya itu hanya
pura-pura saja didepan ia, ia akan menemukan
kerepotan manakala si nona hendak membebaskan
dirinya, meski dengan jalan bertempur ia baru bisa
menundukkan si nona lagi. Ini ia tidak mau, ia lebih suka
mengekang si nona dengan menotok separuh tubuhnya
lumpuh, si nona tidak bisa bikin apa apa terhadapnya.
Melihat gelagatnya si Naga Api seperti ragu-ragu,
Bwee Hiang tidak mendesak. Ia memang hendak
membuat si kepala bajak itu jinak, maka selalu ia bawa
aksinya jangan sampai mencurigakan. Ia bersenyum.
katanya: "Toako, tidak apalah kau masih belum percaya
seratus persen atas kesetiaan calon istrimu. Pada lain
kesempatan kau menghina isterimu ini, tahu sendiri,
akan kubalas dengan menjiwir copot kupingmu...!"
Bwee Hiang terhenti kata-katanya, karena dengan
tiba-tiba si Naga Api telah tertawa gelak-gelak.
"Kau ketawakan apa, Toako?" tanya Bwee Hiang
heran. "Aku ketawakan kau, nona-Bwee. Kau pintar sekali
membuat orang ketawa, bagus, bagus, gadis macam kau
inilah yang aku senang..."
menyusul kata-katanya itu, ia merangkul Bwee Hiang
dan menciumi pipinya. Si nona tadinya mau berontak,
tapi ia ingat bahwa ia sedang menjalankan akalnya,
maka ia diam saja pipinya dikecup berkali-kali, meskipun
ia sangat jijik. "Sudah, toako, kau harus ingat pada pantanganmu.
Kalau menuruti napsu. aku khawafir nanti kau melanggar
pantanganmu itu," akhirnya si nona yang kewalahan telah berkata sambil
mendorong tubuhnya si Naga Api yang makin merapati
badannya. Si Naga Api seperti tersadar.
"Terima kasih, oh nonaku, terima kasih..-" berkata si
Naga Api gugup dan melepaskan rangkulannya.
Hari itu Bwee Hiang dapat menenangkan napsunya si
Naga Api. Ia mengajak orang kongkouw kebarat ke timur untuk
mengalihkan perhatian si Naga Api kepada soal
perhubungan sex, dan si Naga Api juga kelihatan senang
diajak ngobiol oleh si cantik. malah beberapa kali ia
ketawa gelak-gelak kapan Bwee Hiang percakapannya
sampai kepada bagian yang mengitik urat ketawa.
Malam kedua si Naga Api tidur sebagai mana biasa
dibawah dipan batu, diatasnya tempat Bwee Hiang tidur.
Si gadis kembali kegirangan si Naga Api tidak
mengganggu dirinya. Ia harap kelakuan si Naga Api
selanjutnya demikian, sampai ia menemukan akal untuk
menolong dirinya dari cengkeramannya bajak laut
kosen... itu. Kwee In... Kemana perginya si bocah" Kenapa hanya si Rajawali
yang pulang, sedang Kwee In tidak turut balik, hingga
menggelisahkan hatinya Eng Lian yang menanti nanti
pulangnya" Kwee In ketika berpisahan dengan Eng Lian, segera ia
menunggang Rajawalinya. Ia pergi jauh, jauh keujung lembah, yang baru pernah
ia kunjungi. Tidak bisa ia membawa-bawa rajawalinya kaalu mau
memeriksa keadaan disekitar situ, maka ia suruh sang
rajawali menunggu. Si rajawali turut serta degnan
tuannya. Kwee in disamping jago dalam ilmu silat, juga ia
pandai obat-obatan, yang ia pelajari dari Liok
Sinshe(Kwee cu Gie) ayahnya. Maka serng ia mendatangi
tempat-tempat yang sunyi dan seram dalam lembah itu.
perlunya hendak mencari daun obat-obatan. Bocah itu
sangat pandai meramu dedauan menjadi obat yang
manjur. Melihat keadaan disekitar tempat itu ada menarik
sekali perhatiannya dan mungkin lawannya berada disitu,
maka ia telah balik lagi ketempat Rajawalinya dan ia
suruh sang burung raksasa itu pulang saja dan ia akan
kembali dengan menggunakan ginkang.
Sayang sang rajawali tidak bisa bicara, maka ketika
ditanyakan oleh Eng lian, ia hanya bisa geleng-geleng
kepalanya, tak dapat mengatakan perginya Kwee In.
Setelah burungnya terbang balik, Kwee in meneruskan
perjalanannya menjelajah tempat disekitar itu.
Pemandangan disitu sangat menarik perhatian Kwee In.
sampai ada ingatan akan tinggal di itu tempat.
Ia memanjat di tebing tebing gunung, lompat dari satu
kelain tebing yang curam, sungguh mengagumkan
kepandaiannya Kwee In. jurang-jurang yang
memutuskan hubungan jalan dapat ia lompati dengan
menggunakan ginkangnya yang hebat.
Dalam keadaan seperti itu. in ingat kepada
pengalamannya dengan Liok Sinshe. Waktu itu ia
digendong untuk melompati jurang yang curam, ia
memejamkan matanya ketakutan, namun, lompatannya
Liok Sinshe sangat sempurna dan tidak sampai
menemukan kesulitan. Ia mengagumi kepandaiannya
Liok Sinshe. Sekarang diam-diam ia mengagumi
kepandaian dirinya sendiri yang kalau dibanding dengan
Liok Sin-she, kepandaiannya sendiri ada diatas dari Liok
Sinshe. Itulah berkat dari It sin-keng, kalau ia tidak
meyakinkan kitab mujijad itu, pasti ginkangnya palingpaling
juga hanya sama dengan Liok Sinshe.
Selagi ia berseri-seri sambil memandangi air terjun
dari jarak lima tombak, tiba-tiba badannya mencelat
tinggi keatas, kemudian turun lagi kira-kira dua tombak
dari tempat berdirinya tadi. Sementara badannya Kwee
In mencelat keangkasa, batu besar yang ada berdekatan
dengannya tadi telah hancurr lebur menjadi abu setelah
perdengarkan suara menggelegar saking hebatnya
pukulan Iwekang yang menghajar batu tadi.
Kwee In berdiri sambil geleng geleng kepala, karena
kalau badannya tadi yang menerima pukulan dahsyat itu,
pasti akan hancur seperti batu tadi.
Ia lihat yang melancarkan pukulan tadi adalah satu
Hweshio bermuka bundar, entah siapa namanya, tapi
dibelakangnya ada dua Hweshio yang ia kenali ialah Hui
Hong dan Hui-Kong Taysu dari Siauw-lim-sie
Kwee In dibokong dari belakang. Kalau si bocah tidak
punya kepandaian istimewa, pasti waktu itu sudah
tinggal namanya saja. Dengan berani Kwee In datang menghampiri tiga
Hweshio yang sedang berdiri bengong.
"Taysu, kenapa kau menggempur aku" Kalau ada apaapa
kita boleh bicara, kenapa harus membokong seperti
orang pengecut saja!" berkata Kwee In dengan roman
tidak senang. "bocah, kau benar-benar hebat!" memuji Hweshio
yang membokong tadi. "Aku adalah Toa suheng dari Hui
Hong dan Hui Kong." "ji-suheng, ia bukannya Hek-bin Sin-tong!" kata Hui
Kong pada Hui Hong, setelah melihat wajahnya Kwee In
tidak hitam legam. Hui Hong ketawa. "Samte, kau jangan salah lihat.
Inilah Hek-bin Sin-tong yang sudah tukar wajah. Ia
sekarang bernama Kwee In, bukannya Lo In sewaktu
menjadi Hek-bin Sin tong. Parasnya begini cakap, tepat
kalau ia mendapat julukan Giok bin Long-kun!"
Hui Kong melongo mendengar perkataan sang jisuheng.
Sementara Hui Long, yang menggempur Kwee In tadi
maju mendekati Kwee In dan berkata lagi: "Kepandaian
Sicu benar-benar hebat, apakah karena Sicu dapat dari
It-sin-keng?" Kwee In sebenarnya tidak senang melihat sikapnya si
Hweshio demikian jumawa. Ia masih memandang pada
Hui Hong yang ramah-tamah, maka ia tekan perasaan
tidak ssnangnya dan menyawab: "Taysu, kepandaianku
itu apa dari It sin-keng atau bukan, perlu apa Taysu mau
tahu, kita tidak ada hubungan sama sekali."
"Tidak ada hubungan sama sekali..?" mengulangi Hui
Long dengan nada menghina.
"Kau keliru Sicu," ia menyambung, "kedatangan kami
kemari adalah hendak mencari kau, supaya
mengembalikan It-sin-keng kepada kami, karena itu
adalah kitab miliknya Siauw-lim-sie. Lolap harap Sicu
suka menyerahkan Kitab Mujijad itu padaku!"
"jangan marah, aku tidak bawa-bawa It-sin-keng,
sungguh penasaran kalau Taysu main tuduh
sembarangan. It sin-keng ada di goa ular, kalau ada
punya kepandaian, Taysu boleh pergi ambil It-sin-keng
disana!" "Kentut busuk!" menyelak Hui Kong yang berangasan.
"bocah ini sangat bandel, selamanya mungkir kalau
ditanya It-sin-keng !"
-oo0dw0oo-

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Editor : Jilid 8 dan 9 by Sumahan
JILID 8 Bab 22 HUI LONG kerutkan keningnya, seperti memikir. "Sicu
sudah tahu, bahwa kitab itu adalah miliknya Siauw-limsie,
maka Lo-lap harap Sicu suka kembalikan kepada
Siauw-lim-sie." "Habis, aku memang tidak mempunyai kitab itu,
apanya yang aku kembalikan?"
"Hanya Sicu seorang yang bisa masuk dalam goa ular,
maka siapa mau percaya kalau It-sin-keng tidak ada
sama Sicu." "Taysu mau percaya boleh, tidak mau percaya juga
aku tidak akan memaksa kau percaya!" berkata Kwee In
mulai tidak senang. "Sicu, kita tidak bermusuhan, maka untuk kitab itu aku
mohon Sicu mengalah dan menyerahkannya kembali
kepada Siauw-lim-sie," menyela Hui Hong Hweshio.
"Taysu, tempo hari aku sudah mengatakan padamu,
bahwa kitab mujijad itu tidak ada padaku, bagaimana
sekarang kau masih gerembengi aku lagi?" Kwee In
mulai kesal. "Bocah begitu untuk apa dikasi hati, hajar saja, biar ia
tahu rasa, bahwa orang Siauw-lim sie tidak mudah
dipermainkan!" menganjurkan Hui Kong, yang sejak
permulaan ketemu dengan Kwee In kelihatannya sudah
penasaran sekali. Hui Long, meskipun jadi Toa-suheng, adatnya tinggi
dan jauh dibanding dengan Hui Hong yang ramah-tamah.
Maka setelah ia ketawa ngakak, berkata lagi: "Sicu
sebenarnya menantang kekerasan?"
"Siapa yang menantang kekerasan" Kalau memangnya
kitab itu tidak bersamaku, aku harus kembalikan dengan
apa, dengan isi perutku?"
"Memang, kau harus bayar dengan isi perutmu,
bocah!" Hui Long mulai sengit.
"Aku memandang kau adalah orang-orang suci dari
gereja yang dihormati, sekarang melihat lagakmu seperti
Hweshio barandalan biasa, apa kira aku si bocah takut!"
Hui Long mendelik matanya, sementara Hui Kong
yang sudah tidak sabaran telah menerjang Kwee In.
Dengan geraki badannya sedikit saja, serangan tinju Hui
Kong lewat didepan hidung Kwee In hanya satu dim.
Kwee In tidak balas menyerang. Kalau mau, barusan
ia sudah dapat mematahkan tangannya Hui Kong yang
sembrono. Hui Kong tarik pulang tangannya. Kembali ia
menyerang dengan tipu 'Ular naga melingkarkan
ekornya', tangan kanannya mengancam mau menyerang
dada, sebenarnya kaki kanannya yang bekerja
menendang selangkangan orang.
Kwee In ketawa. Badannya berputar, tahu-tahu kaki si
sembrono kena dicekal. Dengan satu dorongan enteng,
cukup bikin Hui Kong terjengkang dan merangkakrangkak
ditanah. Mukanya si kepala gundul merah padam kena
dipecundangi Kwee In. Melihat Kwee In demikian cepat bergerak, Hui Long
tidak berani sembarangan menerjang. Ia gunakan
pukulan Lweekang dari jarak jauh, hingga angin keras
menyambar Kwee In dan bergoyang-goyang. Itulah
tenaga Lweekang yang sangat tinggi, kalau tidak, tak
bakal membuat tubuhnya Kwee In bergoyang.
Hui Long terheran-heran melihat Kwee In dapat
menahan serangan Lweekangnya.
Kembali ia menyerang, kali ini Kwee In juga
melancarkan angin pukulannya menyambuti serangan.
Kedua tenaga tidak kelihatan bertemu.
"Bum!" Suara keras terdengar dan Hui Long Hweshio
tubuhnya mental setombak, sedang Kwee In mundur
satu langkah. Belum pernah Kwee In mundur menangkis Lweekang
lawan, kalau kali ini ia harus mundur satu langkah itu
suatu bukti bahwa Lweekang si hweshio bukan main
dahsyatnya. Hui Long rasakan dadanya sesak dan muntah darah.
Melihat saudaranya terjungkal, Hui Hong maju dan
melancarkan serangan hebat.
Hui Hong meskipun menurut runtunan adalah adik dari
Hui Long, tapi tenaga dalamnya lebih hebat dari sang
kakak. Maka, untuk melayani lawan alot ini, Kwee In
harus berlaku cermat dan tidak sembarangan mengadu
tenaga. Kedua jago itu bertempur seru.
Hui Hong menang pengalaman dan berkelahi dengan
tenang, sedang Kwee In menang lincah dan gesit.
Beberapa kali ia berada dibelakang lawan, namun Hui
Hong adalah benggolannya Siauw-lim-sie, tidak mudah ia
diperdayakan si bocah. Hui Hong mendesak dan memaksa Kwee In mengadu
Lweekang. "Bum!" Terdengar suara keras, debu dan pasir pada
beterbangan tinggi dan angin badai bertiup sampai dua
tombak, itulah akibat Kwee In dan Hui Hong mengadu
Lweekangnya. Kwee In kali ini mundur dua langkah dan
merasakan darahnya bergolak seperti hendak keluar, tapi
Kwee In dapat menelan pula.
Sebaliknya dengan Hui Hong, ia mental satu tombak.
Meskipun ia dapat pertahankan dirinya tidak roboh, ia
toh memuntahkan darah hidup dan luka parah bagian
dalamnya. Dalam keadaan masing-masing terluka, tampak Tek
Hie dengan dua kawannya dari Bu-tong-pay muncul
sambil ketawa ketawa. Kwee In diam-diam mengeluh. Ia terlalu
mengandalkan tenaga dalamnya yang biasa dapat
mengalahkan kawanan Hweshio dari Siauw-lim-sie, maka
ia harus menerima kepahitan, ia terluka didalam. Coba
barusan ia gunakan Lweekang yang ia yakinkan dari Itsinkeng, lunak memukul lunak, dengan mudah ia
mengalahkan Hui Long dan kawan-kawannya, tak usah ia
mesti mengalami luka parah tiada gunanya.
Melihat Kwee In pucat wajahnya, seperti terluka
didalam, Tek Hie ketawa dan berkatai "Bocah, sebaiknya
kau serahkan saja It-sin-keng, kami akan berlalu dan
tidak akan mengganggu barang selembar bulumu!"
Kwee In mendongkol. Lagi-lagi It-sin-keng yang
meluncur keluar dari mulutnya tokoh-tokoh persilatan. Ia
sekarang mengakui kebenarannya Kim Wan Thauto yang
mengatakan ia bakal mendapat kesulitan dan tidak
tentram hidupnya oleh karena It-sin-keng (Kitab Mujijat)
itu. Orang tidak percaya bahwa ia tidak memiliki kitab itu,
telah terbukti dari penyangkalannya tidak mau dipercaya
oleh Hui Hong Hweshio yang demikian ramah tamah dan
polos jujur kelihatannya.
"Aku sudah bilang, aku tidak memiliki kitab itu, apakah
kau masih belum percaya?" berkata Kwee In sambil
memegangi dadanya yang sakit.
Tek Hie Tojin ketawa gelak-gelak. "Bocah, kau boleh
menyangkal seribu kali, siapa yang mau percaya kau?"
bentaknya. Tek Hie Tojin berani kelihatannya lantaran melihat
Kwee In sudah payah. Tokoh-tokoh persilatan itu mengenali wajah Kwee In,
yang sekarang sudah kembali pada aslinya, maka tidak
heran, kapan melihat Kwee In tidak hitam legam iagi
seperti tempo hari diketemukan di goa ular.
Mendelu hatinya Kwee In orang tidak mau percaya
dengan pengakuannya. "Habis sekarang kalian mau
apa!" Kwee In jadi nekad.
"Kau keluarkan kitab itu, atau tubuhmu akan remuk
dihajar oleh kami?" berkata Tek Hie dengan lagak yang
jumawa sekali. "Hm! Kalian boleh coba! Memangnya aku patung tidak
bisa melawan kalian?" sahut Kwee In.
Hui Long dan dua saudaranya girang melihat
kedatangannya kawanan imam dari Bu-tong-pay, mereka
percaya akan berada dipihaknya, namun harus diragukan
maksud baik mereka yang juga mengingini It-sin keng
dari ucap katanya tadi. Hui Long dan kawan-kawan tidak berani menegur,
pikirnya, paling baik beresi dulu Kwee In. Kalau dari
badan Kwee In nanti didapatkan It-sin-keng baru
didamaikan dengan Tek Hie dan dua kawannya.
Manakala mereka ngotot juga mau dapatkan It-sin-keng,
yang semestinya adalah milik dari Siauw-lim-sie, mereka
akan bertempur dengan kawanan imam dari Bu-tong-san
itu. Mereka telah menggunakan Lweekangnya yang tinggi
untuk menyembuhkan luka dalamnya, sementara Tek Hie
dan dua kawannya bertempur dengan Kwee In.
Tek Hie Tojin yang menyaksikan kelemahan Kwee In
mengadu Lweekang, maka ia juga dengan dua kawannya
telah memaksa Kwee In untuk saling gempur Lweekang.
Mereka tidak mengira bahwa Kwee In mempunyai
reserve lwekang dari It-sin-keng.
Tek Hie Tojin marasakan gempuran lwekangnya
seperti ditolak balik oleh Kwee In. Makin hebat ia
menyerang makin hebat tenaga membalik dari Kwee In.
Tek Hie Tojin tidak percaya akan keampuhannya
tenaga dalam Kwee In yang sudah menderita luka parah,
maka ia ajak dua kawannya uutuk bergabung tenaga
dalamnya mengempur Kwee In. Ini justru adalah
kesalahan total dari Tek Hie dan kawan kawan. Coba
mereka terus menggempur Kwee In dengan tenaga
dalamnya masing-masing, tanpa bergabung, pasti
dengan perlahan-lahan Kwee In akan kelelahan sendiri
dan dengan mudah dirobohkan. Kini mereka bergabung,
membuat tenaga dalam Kwee In yang masih kuat telah
menolak balik demikian dahsyat, hingga terdengar jeritan
saling susul hingga Tek Hie dengan dua kawannya
terlempar sampai dua tombak dan jatuh duduk
memuntahkan darah segar. Mereka tidak bisa bangun lagi, semuanya jatuh
pingsan. Sementara itu Kwee In kelihatan sudah sangat payah.
Hui Long Hweshio menyeringai.
"Jite dan Samte, mari kita bergabung Lwekang dan
menggempur si bocah, masa ia tidak terpental dan mati
konyol?" mengajak Hui Long pada dua saudaranya.
Hui Hong masih merasa kasihan pada Kwee In, tapi
untuk menolak ajakan Hui Long yang sudah disetujui
oleh Hui Kong ia malu hati, maka terpaksa ia menurut.
Gabungan Iwekang dari tiga tokoh Siauw-lim-sie,
bukan main hebatnya dan sungguh mengerikan sekali
dipakai menggempur Kwee In yang sudah kelewat payah
tampaknya. Kwee In girang mereka bergabung Lwekang, sebab
kalan satu persatu mereka menggerembengi dirinya,
pasti ia akan dikalahkan.
Ia masih mempunyai persediaan tenaga dalamnya,
untuk menahan gempurannya tiga tokoh kenamaan dari
Siauw-lim-sie. "Anak baik, bagaimana" Apa kau mau keluarkan kitab
itu atau tidak?" tegur Hui Hong, yang merasa kasihan
melihat Kwee In sudah sangat payah.
"Taysu, aku hormati kau, tapi kau ternyata tak
menghormati aku. Kau juga tak percaya kalau aku tidak
memiliki kitab yang kau maksudkan," sahut Kwee In.
"Ji-ko, untuk apa bicara lagi dengannya, gempur saja
sudah!" menyelak Hui Kong.
Hui Long juga menganjurkan Ji-tenya jangan banyak
cakap lagi, gempur saja Kwee In yang dalam keadaan
payah. Ia licik, pikirnya, kalau banyak omong nanti Kwee
In keburu pulih kekuatannya dan berabe untuk
menyatuhkannya. Hui Hong apa boleh buat. Hui Long maju didepan, Hui
Hong kedua. Memegangi pinggang Hui Long dan Hui
Kong memegangi pinggang Hui Hong, keduanya yang
dibelakang telah menyalurkan tenaga dalamnya
bergabung dengan Lweekang Hui Long. Dapat dikira
kirakan bagaimana dahsyatnya Lweekang gabungan dari
tiga orang kuat dari Siauw-lim sie itu untuk dihadapkan
pada Kwee In yang sudah luka parah.
"Bum! Bum!" Terdengar suara menggelegar. Kedua kekuatan
Lweekang beradu dengan dahsyatnya. Tampak Kwee In
terpental melayang tubuhnya dua tombak dan tiga orang
kuat dari Siauw-lim-sie juga tidak untung, karena tigatiganya
teiah terpental sampai tiga tombak dan
menggeletak dalam keadaan pingsan.
Kwee In juga sudah tidak sadarkan diri, tenaganya
sudah habis dikuras oleh musuh-musuhnya. Keadaannya
si bocah boieh dikatakan sudah mati, napasnya berjalan
perlahan-lahan sekali, sungguh jiwanya sangat
dikhawatirkan tidak dapat tertolong.
Tiga jago dari Bu-tong-pay dan tiga orang kuat dari
Siauw-lim-sie telah terkapar dengan tidak sadarkan diri
semuanya. Tidak jauh dari mereka, Kwee In juga jatuh
pingsan, tubuhnya tidak berkutik seperti juga sudah mati.
Angin pegunungan sementara itu meniup santer,
namun tidak menyadarkan mereka yang dalam pingsan.
Mereka rupanya mendapat luka didalam terlalu parah,
hingga sekian lama tidak sadarkan diri. Perlahan-lahan
hari pun menjelang sore, kemudian berubah gelap dan
pada waktu itulah ada berkelebat bayangan keluar dari
balik air terjun tadi. Gesit luar biasa bayangan itu, tubuhnya langsing


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceking, akan tetapi dengan enteng sekali tampaknya ia
meraih tubuhnya Kwee In, buat kemudian dibawa
melesat dan masuk kedalam goa melewati air terjun.
Siapa penghuni dalam goa dibalik air terjun itu"
Entah berapa lama Kwee In tidak sadarkan diri, ketika
mendusin ia dapatkan dirinya berbaring diatas
pembaringan batu yang beralaskan kasur yang empuk
dan mengendus bau wangi menusuk hidungnja. Ia
celingukan mencari dari mana bau wangi itu keluar"
Matanya yang tajam melihat hawa wangi itu keluar dari
asap kayu yang dibakar tidak jauh dari pembaringan
diatas mana ia rebahkan dirinya.
Kayu apakah yang demikian wangi, entahlah".
Kwee In coba gerakkan badannya, ternyata belum
dapat bergerak. Seluruh badannya dirasakan sangat
sakit, dadanya nyesak seakan-akan pernapasannya
macet kalau badannya bergerak. Ia tidak tahu, kenapa ia
sekarang berada dalam ruangan itu"
Perlahan-lahan ingatannya kumpul. Ia ingat ia telah
bertarung dengan tiga hweeshio dari Siauw-lim-sie dan
tiga imam dari Bu-tong-pay, dalam mana ia mengadu
Lwekang terakhir dengan kawanan kepala gundul itu dan
tubuhnya mental jauh, sejak itu ia tidak ingat pula akan
dirinya lagi. Tempat apakah disitu" Ia menanya pada dirinya
sendiri, siapakah penghuninya" Apakah penghuni dari
tempat itu yang telah menolong dirinya"
Rupa-rupa pertanyaan berkecamuk dalam benaknya.
Ia pusing memikirkannya. Ditambah pula dengan urusan
Eng Lian dan Bwee Hiang mengaduk dalam pikirannya,
membuat si bocah jadi linglung memikirkannya.
Pada saat itulah tiba-tiba tirai yang memisahkan
ruangan telah terbuka dan masuk seorang wanita cantik
mendekati pembaringannya.
"Oh, kau sudah sadar anak?" kata wanita cantik itu
dengan bersenyum manis. Kwee In tidak menyahut, hanya mengawasi pada
wajah orang. Usianya wanita itu dikira paling-paling juga
tigapuluhan, namun wajahnya yang cantik mengingatkan
Kwee In kepada enci Hiangnya, yang ia tidak tahu
sekarang Bwee Hiang ada dimana"
Melihat Kwee In diam saja, wanita itu cendrungkan
badannya dan mengulur tangannya yang lunak halus
mengusap-usap jidatnya Kwee In. Dengusan dari
hidungnya wanita itu menyiarkan bau wangian, yang
membuat Kwee In berdebar hatinya.
"Kau siapa enci?" tanya Kwee In sementara ia
menikmati elusan-elusan mesra dari tangan si cantik,
yang mengingatkan ia kepada ibunya Lam-hay Mo Lie
ketika pertama kali ia berjumpa dengan ibunya itu.
"Anak, kau jangan banyak bicara dahulu. Badanmu
masih belum kuat, bila kau sudah pulih dua bagian saja
tenagamu, akan kuperkenalkan siapa aku," sahut si
cantik. "Kau keliru, enci." kata Kwee In. "Aku sekarang pun
sudah sembuh, untuk apa mesti menunggu tempo
demikian lama, terangkanlah siapa sebenarnya enci?"
Wanita itu bersenyum manis, hingga Kwee In
terpesona. "Anak, kau keliru memanggil aku enci," kata wanita
itu, seraya menarik sebuah bangku dan duduk didekat
Kwee In. Tangannya kembali diulur, mengusap-nsap jidat
dan pipinya Kwee In dengan perasaan sayang.
Kwee In merasa heran nampak kelakuan si wanita
cantik. Ia tidak kenal, baru saja untuk pertama kali ia
melinat wanita itu, namun, kelihatannya ia sangat
menyayangi dirinya seperti juga Lamhay Mo Lie
terhadapnya. Untuk Lamhay Mo Lie ia tidak heran, sebab
ia adalah ibunya sendiri. Tapi, wanita didepannya
sekarang ini, demikian ramah dan menunjukkan kasih
sayangnya, siapa gerangan si wanita cantik ini"
Kwee In anak nakal dan suka berkelakar, maka ia
berkata lagi: "Enci, kalau aku keliru memanggil enci,
bolehkah aku memanggil bibi?"
Wanita itu geleng kepala, wajahnya tetap bersenyum
manis. Kwee In menjadi heran, usianya wanita didepannya itu
boleh dikata sebaya dengan ibunya (Lamhay Mo Lie),
kenapa ia keliru kalau memanggil bibi padanya"
"Jadi, aku harus memanggil apa padamu?" tanya
Kwee In kepingin tahu. "Popo...." sahut si wanita cantik, seraya perdengarkan
suara ketawa ngikiknya. "Ah, enci kau berkelakar saja padaku," kata Kwee In
melengak heran. "Itu memang panggilan yang paling tepat anak, sebab
kau adalah cucuku..."
Terbelalak matanya Kwee In mendengar perkataan
wanita itu. "Enci, kau jangan bergurau, katakanlah,
sebenarnya kau siapa?"
"Siapa yang bergurau denganmu" Aku memang
adalah kau punya popo..."
Popo artinya Nenek, jadi wanita itu adalah neneknya
Kwee In. Kwee In termenung sejenak. Seingatnya belum pernah
ia mendengar ayah dan ibunya mengatakan bahwa ia
punya nenek. Mungkin ia tidak tahu, karena tinggal
bersama-sama orang tuanya itu tidak lama, ia sudah
balik ke Tong-hong-gay. Tidak keburu ayah dan ibunya
menceriterakan bahwa mereka masih mempunyai orang
tua. Melihat Kwee In diam saja, wanita itu berkata pula:
"Anak In, kau tahu siapa aku?"
Kwee In tidak menyahut, hanya ia geleng-gelengkan
kepalanya. "Anak In, aku adalah Thio Leng San, ibunya Kwee Cu
Gie..." Kaget Kwee In badannya bergerak hendak bangkit,
tapi batal, karena seluruh tubuhnya dirasakan amat sakit.
Ia terpaksa tidur pula. "Apakah kau tidak keliru memperkenalkan dirimu?"
Kwee In masih belum mau percaya.
Sebelum wanita itu menjawab, tiba-tiba tirai tadi
bergoyang dan kembali masuk seseorang. Kali ini adalah
seorang kakek kurus kering tapi gesit dan matanya
bersorot tajam sekali, menandakan Lweekangnya si
kakek sukar diukur. Wanita itu bangkit dari duduknya menyambut kakek
tadi serta berkata: "Toako, anak In tidak percaya kalau
aku ini adalah neneknya."
Laki laki itu ketawa ngakak. Suaranya keras dan tajam
masuk kuping, hingga Kwee In kaget bukan main. "Hebat
Lweekangnya" ia membatin.
Setelah ketawa orang itu menghampiri pembaringan
Kwee In dan berkata: "Anak In, kau adalah cucu kami,
anaknya Kwee Cu Gie."
Kwee In masih belum percaya, ia kata, "Kalau kau jadi
Yayaku, aku dapat percaya, tapi ini enci menjadi Popoku,
benar-benar aku tidak percaya...."
Thio Leng San ketawa cekikikan, lagaknya masih
seperti gadis umur belasan saja. Justeru hal itu yang
bikin Kwee In tidak mau percaya.
"Anak In," kata si kakek pula. "Ia benar nenekmu. Kau
tidak percaya lantaran kelihatannya ia masih sangat
muda, tapi sebenarnya Popomu sudah berumur enam
puluh tahun lebih. Ia tampak masih demikian muda,
lantaran ia tempo hari kena makan buah ajaib yang
membikin dirinya jadi awet muda. Menurut mestinya,
keadaannya tidak lebih dari aku sekarang ini."
Kwee In berpikir. Ia ingat ibunya awet muda karena
minum obat, ia ingat dirinya makan buah Ji-goat ko telah
memiliki Lwekang hebat. Sekarang mendengar si kakek
mengatakan neneknya makan buah awet muda, ia
percaya, maka seketika itu juga matanya berkaca kaca,
hingga membuat dua orang tua itu menjadi kaget.
Kiranya si kakek adalah Bian-ciang Kwee Eng Siang,
ayahnya Kwee Cu Gie. Si Tangan Lunak (Bian-ciang)
dengan isterinya Thio Leng San, waktu mudanya telah
malang-melintang dalam kalangan Kang-ouw dengan
julukan Hoay-siang Siang-hiap (Dua pendekar dari Hoaysiang).
Sepak teryangnya yang hebat menundukkan
orang-orang jahat menolong si lemah sangat terkenal
dan menjadi pujaan orang banyak.
Belakangan mereka telah menghilang dengan tibatiba,
tidak lagi terdengar kabar ceritanya, hingga orang
menduga mereka meninggal dunia, namun sebenarnya
mereka telah mengundurkan diri dari dunia ramai dan
menyepi di lembah Tong-hong-gay.
Mereka telah mendapat tempat dalam goa dibalik tirai
air terjun, yang cocok sekali dengan selera mereka.
Mereka ditemani oleh dua burung raksasa, ialah si
Rajawali Emas dengan isterinya, yang mereka rawat
sejak kecil dan setelah besar mereka telah mengabdi
kepada majikannya dengan sangat setia.
Si Rajawali Emas yang jinak pada Kwee In, adalah
piaraannya Kwee Eng Siang dan Thio Leng San. Mereka
kasi burung rajawalinya dipakai Kwee In oleh karena
kebaikannya si bocah yang telah menolong jiwanya si
Rajawali ketika kena panah beracun dari Siauw Cu Leng.
Eng Siang suruh burung raksasanya membalas budi
untuk kebaikannya orang dan si burung raksasa menurut
perintah majikannya. Ketika Kwee In dan Eng Lian
meninggalkan lembah, si burung raksasa juga sudah
balik pada majikannya dan berkumpul dengan isterinya.
Belakangan mendapat tahu bahwa Kwee In kembali, si
Rajawali juga telah disuruh oleh Eng Siang untuk
melayani si bocah pula. Tadinya Eng Siang dan Leng San
tidak kenali Kwee In adalah cucunya sendiri. Baru
mereka kenali ketika Kwee In kembali dengan wajah
aslinya yang mirip benar dengan Kwee Cu Gie, anaknya,
maka tak ragu-ragu pula dua orang tua itu menganggap
Kwee In adalah cucunya. Bian-ciang Kwee Eng Siang pandai meramalkan
perkara-perkara yang sudah dan bakal datang.
Sudah banyak kali ia melihat Kwee In, namun ia tidak
mau unjukkan diri dan mengundang Kwee In kegoanya,
lantaran masih belum sampai temponya mereka ketemu
muka. Adalah hari itu, dimana Kwee In bertempur seru
dengan lawan-lawannya dimuka goanya, adalah hari
jodoh mereka bertemu satu dengan lain. Maka, melihat
Kwee In terluka, dengan lantas Leng San yang tidak
sabaran keluar goa dan menolong cucunya.
"Anak In, kau kenapa menangis?" menanya sang
nenek dengan penuh kasih sayang, seraya menyeka
matanya Kwee In yang berlinang-linang air mata dengan
tangannya. "Popo, aku menangis bukan apa-apa. Aku menangis
karena kegirangan ketemu dengan Popo dan Yaya.
Entahlah ayah dan ibuku bagaimana girangnya mereka
kalau dapat jumpa dengan kalian dua orang tua," jawab
Kwee In ketawa gembira. Kwee Eng Siang kembali perdengarkan suara ketawa
gelak-gelak. "Ayahmu tentu mengira aku dan Popo-mu
sudah meninggal dunia, sebab kami juga tidak
memberitahukan kepadanya keedamaian kami disini,"
berkata Kwee Eng Siang. "Kenapa Yaya tidak memberitahukan ayah, kalian ada
disini?" tanya Kwee In heran.
"Anak In, manusia berkumpul dan berpisah sudah
ditetapkan oleh takdir. Untuk sementara belum sampai
pada temponya ayahmu boleh tahu aku dengan ibumu
ada disini. Sebab, manakala dipaksa bertemu, entah bagi
aku dan nenekmu atau bagi ayahmu akan menemui
malapetaka yang tidak enak. Inilah yang hendak aku
cegah..." Kwee Eng Siang setelah berkata telah
menghela napas beberapa kali.
Kwee In bingung, apa artinya yang dikatakan takdir
oleh Yayanya" Sang nenek tahu apa yang dipikirkan cucunya, maka
ia berkata: "Anak In, manakala kau sudah pulih
kesehatanmu, nanti belajar ramalan pada Yayamu. Untuk
sekarang, kau jangan banyak tanya, kau harus menjaga
dirimu dan memulihkan kesehatanmu kembali. Jangan
banyak bergerak dulu, cucu In."
"Popo, sebenarnya sudah berapa lama aku berada
disini?" tanya Kwee In
"Satu bulan kau terus-terusan pingsan, cucu..."
Terperanjat Kwee In mendengar dirinya sudah satu
bulan terus terusan pingsan.
"Cucu, kalau bukan aku dengan Yayamu nekad
menolong kau dari rengutan malaikat elmaut, rasanya
sekarang tinggal namanya saja"
Kembali Kwee In tergetar hatinya saking kaget, "Yaya
dan Popo, cucumu hanya membikin kalian susah saja..."
kata Kwee In dan matanya kembali berkaca-kaca
menangis. Thio Leng San dan Kwee Eng Siuiig bergiliran
msnghibur cucunya. Kwee In memang anak aneh, cepat sedih dan cepat
gembira, maka dalam tempo singkat mendapat hiburan
dari kedua orang tua itu, tampak wujahnya sudah
bergembira pula. Pikirnya: "Sudah satu bulan aku dirawat oleh Yaya dan
Popo, entah bagaimana bingungnya enci Lian dan
bagaimana dengan nasibnya enci Hiang" Aku harus
lekas-lekas sembuh dan meninggalkan goa ini untuk
menjenguk enci Lian. Bersama enci Lian, aku mencari
enci Hiang." "Untuk berapa lama pula aku harus rebah cara begini
dan sembuh dari sakit?" tanya Kwee In pada Poponya.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tergantung dari kekuatan Lweekang-mu. Yayamu
dan aku akan membantu memberi pulih Lweekang
padamu, pasti kau cepat sembuh," sahut sang nenek
menghibur. Kwee In terdiam. Sementara sang nenek keluar, Kwee
In merasakan tangannya dipegang oleh Kwee Eng Siang
dan diperiksa nadinya. Tiba-tiba Kwee In merasakan ada
aliran panas nyelusup masuk ke dalam tubuhnya dan
dengan gesit menjelajahi jalan darahnya.
Itulah Lwekang Kwee Eng Siang yang diam-diam
disalurkan kepada tubuh cucunya.
Kwee In merasakan nyaman sekali badannya dan
tenaganya tambah kuat. Thio Leng San sebentar lagi sudah kembali dengan
semangkok bubur yang masih panas.
Melihat suaminya sedang menyalurkan Lwekangnya, ia
juga lalu gulung tangan bajunya dan memegang tangan
Kwee In yang sebelahnya pula. Segera Kwee In rasakan
nyelusup hawa dingin. Dalam tubuhnya sekarang ia
rasakan hawa panas dan dingin saling kejar membuka
pembuluh-pembuluh darahnya. Kwee In sekarang ini
tahu kalau Lweekang Yaya-nya berhawa panas, sedang
sang Popo berhawa dingin. Yang dan Im (Positif dan
Negatif) serentak menyembuhkan lukanya.
Kwee In rasakan enakan badannya dan napasnya juga
tidak sesesak tadi ketika ia baru saja siuman dari
pingsannya. Kedua orang tua itu girang nampak Kwee In
bersenyum gembira. Kapan mereka menarik pulang tangannya, Kwee Eng
Siang menanya "Bagaimana kau rasakan badanmu, cucu
In?" "Enakan Yaya. Terima kasih atas pertolongan Yaya
dan Popo. Aku percaya dalam tempo singkat luka
parahku akan sembuh," berkata si bocah girang.
Thio Leng San mengambil bubur tadi, sementara
tubuhnya Kwee In telah diangkat bangun dan diduduki
oleh Kwee Eng Siang. Dengan penuh kasih sayang Thio Leng San telah
menyuapi Kwee In. Diam-diam Kwee In ketawa geli, kenapa ia yang
terkenal dengan julukan Hek-bin Sin-tong boleh
mengalami nasib yang demikian menyedihkan"
-oo0dw0ooBab 23 DEMIKIAN, dengan pertolongan kakek dan neneknya,
dibantu dengan tenaga dalam sendiri yang perlahanlahan
digunakan, Kwee In rasakan kesehatannya mulai
pulih setelah melewatkan waktu dua minggu sejak ia
siuman dari pingsannya. Kwee Eng Siang dan isterinya kegirangan nampak
cucunya dapat ditolong. Hanya tenaganya masih belum pulih semua, Kwee In
dapat menemani kakek dan neneknya kongkouw. Si
bocah senang mendengar kakek dan neneknya
menceritakan pengalamannya.
Dalam mengobrol itu tiba-tiba Kwee Eng Siang
kerutkan alisnya. Matanya menatap wajah cucunya
dengan tidak berkedip. "Yaya, kau kenapa?" tanya Kwee In keheranan.
"Cucu In, diwajahmu kulihat ada cahaya kurang baik,"
sahut sang engkong menghela napas. "Setelah kau
keluar dari goa ini kau akan menemukan kejadiankejadian
yang mengejutkan, yang tidak pernah kau alami
sebelumnya. Aku harap saja kau akan menghadapinya
dengan hati tabah, anak, sebab semua itu sudah maunya
Thian (Allah), kita manusia tidak bisa mencegahnya..."
Kwee In ketawa nyengir. Sebegitu jauh ia belum
pernah mengalami kekagetan menghadapi urusan apa
juga, maka ia ragu-ragu akan perkataan Yayanya.
"Yaya, pasti aku akan hadapi dengan hati tenang dan
tabah kejadian-kejadian yang mengejutkan seperti yang
Yaya maksudkan," sahut Kwee In gagah.
"Bagus, itulah yang Yaya dan Popomu harap, anak
In." "Namun, apa Yaya dapat memberi sedikit keterangan
perkara yang mengejutkan itu supaja cucumu dapat
berjaga-jaga?" "Cucu In, itu adalah rahasia alam. Yayamu tak dapat
memberi keterangan, hanya aku ingin menasehatkan kau
harus tenang dan tabah menghadapi kegoncangan hati,
sebab semua sudah maunya takdir. Inilah nasehat
Yayamu, harap cucu In perhatikan betul dalam
perjalanan hidupmu. Kalau kau menemukan kesulitan
apa-apa, ingatlah kepada nesehat Yayamu ini dan hatimu
akan menjadi tenang..."
"Cucu In, kau harus ingat nasehat Yayamu," Poponya
menimpali. Kwee In unjuk ketawa njengirnya yang khas. "Yaya
dan Popo, terima kasih atas wejangan itu, pasti cucumu
akan perhatikan betul," Kwee In berjanji.
Kedua orang tua itu merasa senang hatinya,
diwajahnya menyungging senyuman. Selanjutnya Kwee
In menerima banyak nasehat dari mereka.
Lweekang Kwee In yang semula satu dengan lain
berlainan, ialah Lweekang yang ia dapatkan dari
keyakinannya sendiri sejak kecii dan Lweekang yang ia
dapatkan dari It-sin-keng, dengan petunjuk-petunjuk
Kwee Eng Siang dan isterinya, kini sudah dapat
dipersatukan dan Kwee In dapat menggunakannya
dengan leluasa. Sungguh menggirangkan sekali hatinya
si bocah, sebab Lweekang yang tergabung itu perlu
untuknya kalau satu waktu ia harus menghadapi pula
lawan-lawan berat dari Siauw-lim-sie dan Bu-tong pay.
"Cucu In," kata Kwee Eng Siang. "Kepandaianmu
sudah sangat tinggi. Untuk masa sekarang tidak ada
tokoh-toko silat yang dapat mengalahkanmu, meskipun
dengan beberapa orang mereka mengeroyok kau. Cuma
saja, kepandaianmu yang tinggi itu kau jangan gunakan
dijalan yang keliru, sebab ini sangat berbahaya dan tidak
ada orang yang dapat menundukkan kau. Ingatlah cucu
In, kau harus menjadi orang baik baik, membasmi
kejahatan, menolong orang kesusahan. Betulkah kau
mau berjanji, cucu?"
"Cucu suka berjanji!" jawab Kwee In kontan, tanpa
pakai pikir-pikir pula. Kwee Eng Siang dan Thio Leng San ketawa
mendengar jawaban sang cucu.
Toat Beng Nia... Diatas bukit pencabut nyawa (Toat-beng-nia) tampak
dua orang sedang berlatih silat.
Yang satu pemuda cakap tampan dan yang lainnya
wanita setengah tua, ialah Siang Niang Niang alias Tuihun
Lolo, si nenek pengejar roh.
Kim Liong, pemuda itu, tampak mainkan silatnya
dengan bagus sekali. Ternyata anak muda itu mendapat
banyak kemajuan menjadi muridnya "Tok-gan Hek-liong
(si Naga Hitam Mata Satu), yang mendidiknya dengan
sungguh-sangguh. Kini dengan munculnya Tui-hun Lolo dan mengajarkan
kepandaian kepadanya, ilmu silat anak muda itu tambah
hebat saja, diam-diam hatinya merasa girang.
Pikirnya, tidak malu ia nanti ketemu lagi dengan Bwee
Hiang, gadis yang menjadi pujaannya, sekalipun ia sudah
tahu bahwa pengharapannya hanya hampa karena si
gadis sudah ada yang punya. Ia masih mengharapkan
jatuhnya sang rembulan, maka ia tidak dapat melupakan
parasnya Bwee Hiang yang sangat menarik perhatiannya.
Hanya Bwee Hiang yang dapat membuat hatinya
bahagia. Ia membayangkan kebahagiaan hidupnya
dikemudian hari dengan si nona kosen, ia yakin bahwa si
nona bakal dijodohnya. Melihat muridnya berlatih dengan "isterinya" demikian
hebat kepandaiannya, si Naga Hitam bersenyum-senyum
girang. Pikirnya, dengan bantuan anak muda itu ia tidak
takut ada musuh datang mengganggu ketenteraman
hidupnya. Kepandaian Tok-gan Hek-liong dan Tui-hun Lolo
dikombinasikan oleh si anak muda, membuat tiap-tiap
pukulan Kim Liong menjadi sangat berbahaya, dan bikin
Siang Niang Niang kewalahan.
Diam-diam ia memuji kepandaian Kim Liong. Anak
muda ini "bukan saja wajahnya yang cakap, juga
kepandaian silatnya mungkin ia berlatih dua-tiga bulan
lagi si Naga Hitam dan aku sendiri dikalahkan olehnya..."'
Tiba-tiba, sedang mereka berlatih sengit, Tok-gan
Hek-liong bangkit dari duduknya dan menghampiri
mereka. "Stop, stop dulu, aku mau bicara."
Siang Niang Niang dan Kim Liong pada lompat
mundur. "Ada apa kau menyetop kami berlatih, Toako?" tanya
Siang Niang Niang. "Aku mau menemui seseorang, aku akan pergi dulu
dan sebentar malam mungkin aku kembali, kalian
teruskan saja berlatih..." jawab si Naga Hitam.
Kemudian sambil melambai-lambaikan tangannya yang
dibalas oleh Siang Niang Niang dan Kim Liong, si Naga
Hitam telah meninggalkan murid dan isterinya.
Dua orang itu, murid dan ibu guru, teruskan
latihannya ketika si Naga Hitam sudah tidak kelihatan
bayangannya. Banyak ibu guru itu telah memberi
petunjuk petunjuk kepada Kim Liong, hingga anak muda
itu merasa berhutang budi pada Subo.
Setelah merasa cukup berlatih, maka Siang Niang
Niang mengajak Kim Liong pulang.
Dengan perasaan sangat gembira, anak muda itu
mengiyakan dan ikut ibu gurunya pulang. Sampai
dirumah, Kim Liong tidak tinggal diam, ia memasak nasi
dan menghangatkan hidangan yang sebentar sore akan
dihidangkan kepada guru dan ibu gurunya. Repot Kim
Liong dan ia benar-benar satu murid yang bisa bawa diri.
Segala keperluan gurunya ia tidak lalai menyediakannya
hal mana membikin Tok-gan Hek-liong sangat sayang
kepada Kim Liong dan anak muda itu tahu bahwa
gurunya sangat sayang padanya.
Setelah beres dengan kerjanya, tampak Kim Liong
duduk mengambil angin diserambi depan gubuknya
menantikan pulangnya sang Suhu.
Tiba tiba ia mendengar panggilah Subonya, cepat ia
masuk kedalam dan melihat sang ibu guru sedang
rebahan diatas dipan dengan pakaian istimewa, serba
tipis, menggiurkan sekali. Apalagi dikala sang Subo
menggeliat-geliat menggerakkan pinggulnya dan menarik
napas hingga dadanya bergerak, membuat Kim Liong
yang baru pernah menyaksikan hal itu menjadi berdiri
bengong. "Liong-jie, kau kenapa berdiri bengong saja" Lekas
kemari, aku mau bicara dengan kau!" berkata Siang
Niang Niang. Kim Liong datang menghampiri dengan dada
berdebar. "Liong ji, kau duduk disitu!" sang Subo menyilahkan
muridnya ambil tempat duduk diatas bangku yang tidak
berjauhan letaknya dari dipan diatas mana ia berbaring.
Kim Liong menurut. Ia menanya, "Subo memanggil
aku ada urusan apa?"
"Hihihi..." Siang Niang Niang ketawa genit.
Kim Liong bingung melihat kelakuan sang ibu guru.
"Liong-ji" kata Siang Niang Niang pula. "Kau bigini
cakap, apa tidak kesepian tidur sendirian" Seharusnya
kau punya teman, supaya jangan kesepian tidur. Hii...
hi..." Kim Liong tidak senang hatinya melihat sang Subo
demikian genit dan mengeluarkan kata-kata yang
melantur, tapi ia tidak berani mengatakan apa-apa.
Bagaimana putih dan halusnya kulit sang Subo dibalik
bajunya yang serba tipis, membuat Kim Liong tergetar
juga hatinya. Wajahnya sang Subo yang lesu dan
matanya redup-redup seperti mengantuk,
menggairahkan sekali. Seberapa bisa Kim Liong tekan
perasaannya yang bergejolak oleh karenanya.
"Liong ji," kata sang Subo pula ketika melihat anak
muda iiu diam saja bagai patung dan matanya
mengawasi kepada tubuhnya yang menggairahkan. "Asal
kau suka menuruti kemauanku, akan kuturunkan semua
kepandaianku padamu dan pasti kau akan menjagoi
kalangan persilatan..."
"Subo, aku biasanya menuruti kemauanmu, habis aku
harus menuruti apa lagi?" tanya Kim Liong, seperti tolol
mengartikan perkataannya sang ibu guru.
"Bukannya itu yang aku maksudkan, aku mau kau
menuruti kemauanku sekarang..."
"Aku harus bagaimana menuruti kemauan Subo?"
Jengkel hatinya si wanita genit mendengar jawaban si
murid yang ketolol-tololan.
"Kau mari dekat sini duduknya...!" kata Siang Niang
Niang, seraya tangannya diulur dan menarik tangan Kim
Liong, hingga si pemuda terjerumuk dan jatuh memeluk
tubuh yang empuk menggiurkan itu.
Siaug Niang Niang merangkul kencang. "Liong-ji, masa
kau tak mengerti akan kemauanku" Oh, Liong-ji..."
keluhnya lirih. "Subo, jangan, jangan begini, nanti Suhu pulang...
Subo lepaskan aku..." kata Kim Liong seraya berontak
dari pelukan si wanita genit.
Bau harum yang menusuk hidung dari tubuh yang
menggairahkan itu, serta tangannya Siang Niang Niang
yang nakal menjamah-jamah bagian yang
membangunkan nafsu, membuat Kim Liong jadi bimbang
hatinya.

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak tolol, kenapa harus melewatkan saat yang
baik?" kata si genit, seraya mencium mulutnya Kim
Liong, dan seketika itu gugurlah imannya Kim Liong, si
jejaka tampan. Ia balas memeluk dan mencium Siang Niang Niang
tangannya menjamah ke bawah. Gemetar Kim Liong
merasa bendanya dijamah dan dipakai main.
"Liong-ji, Subomu akan bikin kau merasakan hidup
bahagia..." "Subo, jangan...!" Kim Liong melarang dengan suara
lemah, ketika si genit menarik tali kolor celananya.
" Liong-ji, kau tahu bahwa..." kata Siang Niang Niang,
tidak menghiraukan ratapan si pemuda yang mulai
menyesal atas perbuatannya.
"Bagus!" tiba-tiba terdengat suara lantang
membentak. Dua mauusia itu kaget bukan main. Kim Liong lompat
menjauhkan diri dari Siang Niang Niang sambil
mengikatkan tali celananya, sedang si wanita genit yang
baru meloloskan pakaian bawahnya, juga melejit gesit
sekali dan tahu tahu sudah ada didepan orang yang
mendengus tadi Sambil merapikan pakaiannya, Siang Niang Niang
mencaci maki orang itu, yang ternyata tiada lain adalah
Sim Liang. "Suheng, kau benar-benar kurang ajar, berani kau
melarang kesenanganku?"
"Siauw-sumoay, kau jangan memikirkan sekarang
saja, kau harus ingat juga yang sudah-sudah. Bukankah
kau sudah berjanji, hanya kami berdua saja yang
memiliki dirimu?" "Persetan sama janjiku itu. Suheng, lekas kau pergi!"
Sim Liang tahu kelemahannya Tui-hun Lolo. Maka
ketika dibentak, ia bukannya pergi, sebaliknya telah
merangkul wanita genit itu dan menghujani dengan
ciuman, kemudian meraih tubuhnya sang adik kecil
dalam perguruan itu, dibawa masuk ke kamarnya Tokgan
Hek Liong. Kim Liong berdiri bengong menyaksikan kejadian itu.
Ia hanya mendengar Siang Niang Niang berkata:
"Suheng, lepaskan aku...."
Sedang ia memikirkan apa yang terjadi dalam kamar
Suhunya, tiba tiba terdengar suara 'Crat!' dan lengan Kim
Liong yang kanan telah tertabas kutung.
Kaget bukan main si anak muda tiba-tiba ada orang
yang menabas kutung lengannya. Darah membanjir
keluar dari lengannya, hingga membikin badannya lemas.
Ia coba putar tubuhnya menghadapi orang yang
membokong tadi. Orang itu tiada lain adalah Sim Leng
yang ketawa nyengir kepadanya.
Bukan main marahnya Kim Liong, ia sembat
pedangnya dan menyerang Sim Leng dengan kalap, tapi
ia tidak bisa berbuat banyak, lantaran menggunakan
tangan kiri dan tenaganya keburu lemah oleh banyaknya
darah yang mengucur dari lengannja.
Akhirnya ia kena dirobohkan. "Hahaha....!" Sim Leng
tertawa gelak-gelak. Si kakek tidak mau membunuh si anak muda,
sebaliknya, ia telah corat-coret wajahnya Kim Liong yang
cakap dengan senjata tajamnya. Sebentar saja wajah
yang tampan itu sudah rusak digores pergi datang dan
mengeluarkan banyak darah. Kim Liong sementara itu
sudah jatuh pingsan disiksa demikian kejam.
Setelah puas merusak muka orang, Sim Leng bangkit
dari jongkoknya dan ketawa gembira. Kemudian ia teriaki
kakaknya: "Toako, belum selesai?"
Berbareng dengan itu tampak Sim Liang keluar dari
kamar dan menghampiri adiknya. "Sute, lekas kau
masuk, jangan sampai ia keburu keluar!" kata Sim Liang.
"Suheng, kau lemparkan anak haram ini kebawah
jurang, supaya Niang Niang tidak mencarinya pula!"
pesan Sim Leng, sementara itu sudah mencelat ke pintu
kamar. Ia lihat Siauw sumoaynya sedang merapikan
pakaiannya dengan rambut masih kusut.
Sim Leng meluap napsunya, ia merangkul Siauwsumoaynya
dan direbahkan pula diatas pembaringan,
seraya bertubi-tubi menciumi dan tangannya
menggerayangi tubuh orang dengan tidak merasa puas.
"Ji-suheng, aku sudah lemas..." kata Siang Niang
Niang seraya menyingkirkan tangannya Sim Leng yang
dengan kasar meloloskan pakaian sang Siauw-sumoay.
"Siauw sumoay, apa kau mau bikin Ji-suhengmu
penasaran...?" sahut Sim Leng dan dengan beringas
menerkam adik kecil seperguruannya.
"Hihihi..." terdengar suara Siang Niang Niang tertawa
genit... Sementara dua manusia itu bekerja didalam kamar,
Sim Liang bekerja untuk memindahkan tubuhnya Kim
Liong yang sedang pingsan. Dengan kejam ia
melemparkan pemuda itu kedalam jurang yang curam.
Pikirnya, kalau si pemuda tidak mati sekaligus, disambut
batu-batu tajam dibawah jurang itu, sedikitnya ia akan
mati dimakan beburonan hutan.
Puas hatinya si kakek. Setelah merapikan pakaiannya,
ia kembali kerumah, dimana ia lihat Sim Leng barusan
saja keluar dari kamar, disusul oleh Siang Niang Niang
yang rambutnya masih kusut. Ia tetap dalam pakaian
tipisnya yang menggiurkan, wajahnya cuma sangat lesi,
rupanya barusan obral tenaganya melawan dua musuh
berat. Sambil ketawa-ketawa ia ambil tempat duduk didipan,
segera kedua suhengnya duduk dikedua sampingnya. Ia
diapit, begitulah memang kerjanya dua saudara she Sim
itu untuk merayu Siauw-sumoynya. Bergilir mereka
memeluki tubuh sang adik seperguruan dan menjamah
bagian-bagian yang mengelikan, sehingga sang Siauwsumoay
ketawa cekikikan genit sekali. Ia sama sekali tidak
memikirkan Kim Liong, setelah ada dua orang itu yang
menggantikannya bersenang-senang.
Dalam keadaan gembira demikian, tiba-tiba mereka
dibikin terkejut mendengar suara ketawa terbahak-bahak
dipintu. "Hahaha...!" demikian orang itu ketawa. "Aku kira
siapa, tidak tahunya Toa dan Ji suhengnya yang sedang
menggembirakan adik seperguruannya. Sungguh mesum
kelakuan kalian! Niang Niang, aku benci kau melupakan
aku! Lekas kau juga keluar!"
Itulah Tok-gan Hek-liong yang datang. Ia barusan saja
pulang. Mendengar ada orang yang bercakap-cakap
dalam rumahnya, ia mengira Kim Liong muridnya, tidak
tahunya setelah ia mengintip, ia kenali Sim Liang dan
adiknya yang sedang merayu Siang Niang Niang yang
genit dan cekikikan ketawa.
Marah bukan main ia tatkala itu. Segera ia
perdengarkan ketawanya, disusul oleh caci makinya tadi.
Mereka kelihatan tidak takut diusir oleh Tok-gan Hekliong,
malah bangkit dari duduknya pun tidak, mereka
bertiga masih merapatkan diri dengan acuh tak acuh
mengawasi pada si Naga Hitam yang sedang marah.
Siang Niang Niang kerutkan alisnya yang lentik
mendengar dirinya diusir oleh Tok-gan Hek-liong. Melihat
perubahan wajahnya sang adik seperguruan, dua kakek
itu girang, sebab menurut kebiasaan, asal si genit
mengerutkan alisnya ia marah dan belum sudah kalau
belum melampiaskan amarahnya.
"Kalian tuli!" bentak Tok-gan Hek-liong. "Lekas kalian
keluar dari rumahku, jangan sampai aku marah dan
berlaku tidak memandang kawan!"
"Hmm! Memandang kawan, memangnya kami ini
adalah kawanmu?" jengek Sim Leng.
"Liong-ji, Liong-jie! Dimana kau berada?" teriak si
Naga Hitam, meneriaki muridnya dan hendak
menegurnya sudah memberikan kesempatan orang main
gila dalam gubuknya. Tapi orang yang diteriaki tidak
perdengarkan jawaban apa apa.
"Kau berteriak setinggi langit, muridmu tak akan
muncul. Ia sekarang sudah dimakan binatang buas
dibawah jurang!" kata Sim Liang.
"Kau membunuh muridku?" bentak si Naga Hitam.
"Kalau benar, kau mau apa?" jawab Sim Liang berani.
Si Naga Hitam marah bukan main, lantas ia cabut
goloknya dan meneryang pada tiga orang yang sedang
enak-enak saja duduk. Baharu ketika serangan mengancam, ketiga orang itu
pencarkan diri dan masing masing mengeluarkan
senjata. Siang Niang Niang gunakan pedang, sedang Sim
Liang dan adiknya menggunakan golok sebagai
genggamannya. "Niang Niang, kau perempuan lacur, bagaimana juga
perbuatanmu tidak berubah menjadi baik-baik. Kau
berjanji akan melupakan pada Toa dan Ji-suheng mu,
sekarang buktinya apa?"
"Hehe, kau mencaci aku" Dirimu sendiri macam apa?"
Niang Niang balas memaki.
Si Naga Hitam naik pitam, mana dapat dikendalikan
amarahnya. Segera ia ulangi serangannya pada Sim
Liang. Sim Leng yang menalangi menangkis, Sim Liang
membarengi dan akhirnya mereka bertempur seru.
Si Naga hitam mainkan goloknya dengan hebat sekali.
Dikeroyok oleh tiga orang lawan yang kepandaiannya
masing-masing bukannya rendah.
Siang Niang Niang, si genit waktu itu sama sekali tidak
ingat lagi akan cintanya si Naga Hitam, ia mencecar
dengan serangan-serangan yang mematikan.
Terang si Naga Hitam bukan tandingan mereka
bertiga. Lagi beberapa jurus berjalan, segera kelihatan si Naga
Hitam sudah mandi keringat dan main mundur saja
diserang lawannya. "Kena!" tiba-tiba Sim Liang berteriak, menyusul si
Naga Hitam roboh terkulai, rusuknya kena ditusuk
dengan goloknya Sim Liang.
Sim Leng tidak mau kasi hati lawannya, sebab seketika
itu juga ia telah kerjakan goloknya membabat leher
orang. Siang Niang Niang memejamkan matanya merasa
ngeri atas kematiannya si Naga Hitam yang pernah
memberi kesenangan kepadanya.
Sebelum ia dapat berpikir apa-apa, tiba-tiba kedua
tangannya ditarik oleh Sim Liang dan Sim Leng.
Tubuhnya seperti melayang dibawa terbang oleh dua
kakek itu. Kim Liong sementara itu yang dilemparkan kedalam
jurang ternyata tidak mati.
Cabang-cabang dari pohon-pohon yang menolong
menahan meluncurnya tubuh si anak muda dan ketika
sampai dibawah ia hanya pingsan, memang ketika ia
dilemparkan sudah pingsan.
Berapa lama anak muda itu tak sadarkan diri, tahutahu
ketika siuman ia tertidur diatas sebuah bale-bale.
Tidak jauh darinya ada duduk seorang tua yang tengah
menundukkan kepalanya. Tidak lama kemudian orang
tua itu bangkit dari duduknya dan menghampiri Kim
Liong. "Ooo, kau sudah siuman?" berkata orang tua itu
girang. Kim Liong manggutkan kepalanya. Ia hendak bangkit
dari rebahnya, tapi tidak bisa, sebab seluruh badannya
dirasakan sangat sakit, lebih-lebih luka dilengannya yang
dikutungi Sim Leng terasa sakit sekali kalau ia geraki.
"Kau senasib denganku, anak muda," kata orang tua
itu lagi. "Lihat, tanganku juga kutung sebelah!" seraya ia
gulung tangan bajunya yang sebelah kanan, ternyata
tangannya orang tua itu memang kutung sampai
sikutnya. Bedanya tidak seberapa, Kim Liong terkutung
disebelah atas sedikit dari sikutnya.
Kini Liong bersenyum getir melihat orang tua itu
memperlihatkan tangannya yang buntung. Ia menyahut:
"Memang kita satu nasib. Mengapa Lopek pun bisa
buntung tangannya" Tentu ada orang jahat yang telah
menganiaya Lopek." Orang tua itu menghela napas, tidak menjawab. "Anak
muda. siapa namamu?" ia menanya pada Kim Liong
sesaat kemudian. "Aku she Tan nama Kim Liong," sahut si anak muda.
"Bagaimana kau bisa jatuh kedalam jurang?"
"Aku dilemparkan orang jahat!"
"Kejam, memang orang jahat sangat kejam!" Kembali
orang tua itu memperdengarkan helaan napas.
"Jadi Lopek yang menolong aku membawa kesini?"
tanya Kim Liong. "Kau menebak separuhnya, anak muda."
"Apa maksudmu dengan perkataan menebak
separuhnya?" "Orang lain yang membawa kau sampai depan rumah
dan aku yang membawa masuk!"
Kim Liong nyengir ketawa, karena nyengir ia rasakan
wajahnya nyeri bekas digores pergi datang oleh
senjatanya Sim Leng. Kim Liong gemas pada si kakek yang merusak
wajahnya yang tampan. Dalam omong-omong lebih jauh, Kim Liong kaget
orang tua itu mengaku bahwa ia bernama Oey Pek. Ia
lantas saja menanya. "Lopek tentu adalah Ceng Ie
Sianseng Oey Pek, bukan" Kau tentu kenalan dari guruku
Tok-gan Hek-liong Lauw Kin, bukan?"
"Ha...! Gurumu Tok-gan Hek-liong Lauw Kin?"
menanya orang tua itu kaget.
"Ya. guruku adalah sahabat atau saudara angkat dari


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lopek." Orang tua itu menghela napas panjang. "Anak muda,
kau tahu hanya kulitnya saja, persahabatanku dengan si
Naga Hitam. Memang tadinya aku mengira ia adalah
orang baik, maka aku sudah tolong ia dan menurunkan
juga sedikit kepandaian silatku, tapi belakangan aku
dapat kenyataan ia adalah seorang boceng dan telah
mencelakakan aku sampai aku tidak berani muncul lagi
dikalangan Kong-ouw. Ia sangat jahat, ah, aku tak dapat
melukiskan kejahatannya itu..."
Kim Liong terbelalak matanya mendengar perkataan
Oey Pek. Ia memang ada mencurigai keadaan sang guru
yang sebenarnya. Sekarang dengan tidak disangkasangka
ia dapat mendengar dari Oey Pek, seorang yang
pernah menolong gurunya dan memberi pelajaran silat
yang berarti. Ingin ia menanyakan hal itu lebih jauh, tapi ia tidak
berani melihat Oey Pek seperti berduka kelihatannya.
Demikian dengan pertolongan Oey Pek kira-kira
semiuggu lamanya Kim Liong sudah sembuh dari lukalukanya
dan muiai pasang omong dengan tuan rumah.
Kepada Kim Liong ia menuturkan perhubungannya
dengan Tok-gan Hek-liong.
Ketika Oey Pek sudah menolong Lauw Kin dari
ancaman dua saudara she Sim, ia ajak Lauw Kin tinggal
bersama-sama. Dalam rumah, Oey Pek hanya tinggal
berdua dengan isterinya yang bernama Ceng Lian,
dengan Lauw Kin jadi mereka tinggal bertiga.
Ceng Lian tidak bisa silat dan perlakukan Lauw Kin
seperti saudara sendiri. Dengan sungguh-sungguh Oey Pek telah memberi
pelajaran silat pada Lauw Kin, sehingga ia mahir dan
boleh diadukan dengan jago silat lain.
Perhubungan mereka makin akrab.
Ketika isterinya Ceng Lian melahirkan, Lauw Kin
memberi selamat pada Oey Pek dan mendoakan anaknya
lelaki nantinya akan menuruni kepandaian sang ayah
menjadi jago dalam kalangan persilatan.
Oey Pek girang mendapat pemberian selamat itu.
Belakangan Lauw Kin dengan mengandalkan
kepandaiannya telah melakukan pekerjaan kurang baik,
ialah melakukan pembegalan. Lantaran kepandaiannya
tidak rendah, maka saban kali pekerjaannya berhasil dan
membagi hasilnya kepada isterinya.
Oey Pek tidak senang dengan barang tak halal itu,
maka ia suka tegur isterinya dan larang sang isteri
menerima hadiah dari Lauw Kin yang didapat dari jalan
jahat. Tapi Ceng Lian tidak gubris larangan sang suami, ia
tetap masih menerima hadiah-hadiah yang berharga dari
Lauw Kin. Malah Sang isteri telah menyindir kepadanya, "Kau
bisa mengatakan orang melakukan kejahatan, apa kau
sendiri melakukan kebaikan" Apa hasilnya kau melakukan
kebaikan" Mendingan melakukan kejahatan seperti Lauw
Kin, sudah terang mendapat banyak hasil dan dapat
membikin isteri senang."
Oey Pek marah dijengeki isterinya, tapi ia sangat
sayang pada sang isteri, maka amarahnya itu ia telan
saja dan sejak itu ia tidak mau mengatakan apa-apa lagi
kalau sang isteri menerima hadiah dari Lauw Kin.
Berselang hampir dua tahun lahirnya anak yang
pertama, kembali Ceng Lian telah melahirkan anak, kali
ini adalah anak perempuan.
Girang bukan main Oey Pek mendapat hadiah anak
yang kedua itu. Tadinya, sudah berjalan lima tahun ia menikah dengan
isterinya, tidak dikuruniakan anak, sekarang saling susul
ia mendapat anak, sungguh hatinya sangat girang.
Lahirlah anak kedua, Oey Pek lihat, Lauw Kin telah
memberi hadiah yang lebih hebat dari anaknya yang
pertama. Isteri Oey Pek kegirangan dan membanggakan
pemberian itu didepan sang Suami yang dikatakan tidak
punya kemampuan untuk membikin senang isterinya
Sampai sebegitu jauh Lauw Kin masih terus
menumpang dirumahnja Oey Pek.
Ia sebenarnya sudah kaya dengan hasil membegalnya,
tapi ia belum mau berlalu dari rumahnya si orang she
Oey, entahlah apa sebabnya"
Oey Pek tidak mengatakan apa-apa, malah ia senang
Lauw Kin menumpang terus dirumahnya, karena ada
orang yang lihat-lihat isteri dan anak anaknya manakala
ia dalam berpergian meninggalkan rumah sampai dua
tiga malam tidak pulang. Ia percaya Lauw Kin, yang
menjadi separuh murid darinya, melindungi rumah
tangganya dengan sungguh hati.
Pada suatu hari ia melihat Lauw Kin tidak pulang.
Ditunggu dua tiga hari, belum juga sahabat itu pulang,
hal mana membikin hatinya heran dan khawatir. Lebihlebih
isterinya telah menangis dan menyuruh Oey Pek
mencarinya. Oey Pek lain membikin penyelidikan, ternyata Lauw
Kin telah kena dijebak oleh kawanan berandal dari Coasan
(gunung ular), yang dikepalai oleh tiga kepala berandal
yang bernama Teng San, Teng Goat dan Kho Sun.
Oey Pek lain ceritakan hal ini kepada isterinya. Ceng
Lian menangis sesenggukkan. Ia berkata. "Engko Lauw
dengan kau sudah mengangkat saudara, susah senang
sama-sama, kenapa kau tega membiarkan adikmu
ditahan oleh kawanan berandal" Sungguh kau tidak
berguna menjadi manusia, apabila kau tidak menolong
engko Lauw. Lekas cari daya untuk melepaskan
kepadanya!" Oey Pek yang menyayangi lsterinya, terang hatinya
tergerak oleh kata kata sang isteri. Ia menyahut,
"Baiklah, kau jangan menangis, aku nanti cari daya untuk
tolong Lauw-hiante. Aku nanti cari kawan untuk
membantu aku." Ceng Lian girang hatinya. Ia ketawa mendengar
perkataan sang suami. "Kau adalah saudara yang setia.
Maka, kapan engko Lauw sudah dibebaskan, pasti ia
akan sangat berterima kasih kepadamu. Ia adalah orang
baik, lekas kau menolonginya!"
Ceng Ie Sianseng lantas mencari Kawan untuk
menyatroni kawanan berandal dari Coa-san. Ia sendiri
pergi kurang mantap hatinya, karena ia dengar kawanan
berandal itu kini berjumlah besar. Tiga kepalanya juga
bukan rendah kepandaiannya.
Beberapa kawannya Oey Pek tidak bersedia untuk
pergi kesana. Mereka jerih dengan keangkerannya Coasan.
Maka Ceng Ie Sianseng hanya diantar oleh kawan
akrabnya saja yang bernama Leng Tong ia menyatroni
Coa san. Dengan berani ia menemui Teng San dan dua
saudaranya. "Saudara-saudara datang kemari ada urusan apa?"
tanya Teng San, ketika mereka berhadapan.
"Kedatangan kami adalah tentang urusan Lauw Kin
yang saudara sudah tahan beberapa hari disini. Aku
harap dengan mengingat pada persahabatan dalam
kalangan Kang-ouw, saudara suka melepaskan saudara
Lauw itu." Teng San kerutkan keningnya. la menyahut: "Lauw Kin
si begal tunggal itu sangat kurang ajar, berani beroperasi
di wilayah kami, makanya kami tangkap untuk dikasi
hajaran. Bicara soal lain aku mau menemani saudara,
tapi bicara soal Lauw Kin, sebaiknya kita hentikan sampai
disini saja." Oey Pek ketawa gelak-gelak. "Saudara Teng, kau
terlalu memandang rendah pada Ceng Ie Sianseng.
Dengan sikapmu ini apakah aku tak dapat jalan lain
untuk memerdekakan saudaraku itu" Kau jangan terlalu
memandang rendah padaku?".
Teng San kaget juga Oey Pek menyebutkan
gelarannya. Memang Teng San dan dua sandaranya
sudah dengar perihal munculnya seorang muda yang
lihay dan memakai julukan Ceng Ie Sianseng, tuan
berbaju hijau. Tapi, sebagai kepala berandal, ia harus membawa
keangkuhannya dan dapat menyembunyikan perasaan
kedernya, maka ia pun tertawa gelak-gelak dan berkata:
"Hahaha, aku kira siapa yang datang, tidak tahunya Ceng
Ie Sianseng" Bagus! Suatu pertemuan yang kebetulan
sekali. Memang sudah lama aku ingin belajar kenal
dengan Ceng Ie Sianseng"
"Sekarang juga kau belajar kenal dengan Ceng Ie
Sianseng!" bentak Oey Pek.
"Sret!" Berbareng Oey Pek menghunus pedangnya, diikuti
oleh kawannya Leng Tong. "Hahaha, Ceng Ie Sianseng mau unjuk
kegagahannya!" mengejek Teng San.
Teng Goat dan Kho Sun juga sudah siap dengan
senjata goloknya. Teng San sendiri menggunakan sepasang senjata
bercagak tiga yang tengahnya panjang. Dalam ruangan
rapat yang luas lebar itu mereka berhadapan.
"Toa-cecu," tiba-tiba Leng Tong berkata. "Urusan ini
sebaiknya kita selesaikan dengan jalan damai saja, kita
tak usah bermusuhan."
"Maksud saudara Leng bagaimana dibereskannya?"
tanya Teng San. "Aku maksudkan, kalau Cecu merasa dirugikan dengan
perbuatannya Lauw Kin, nanti Lauw Kin yang mengganti
kerugian itu, asal Cecu sudah membebaskan ia dari
tahanan. Dengan begitu kita damai dan tak perlu
meuggerakkan senjata."
"Maksud saudara Leng memang baik, tapi kerugian
yang disebabkan operasi Lauw Kin itu ditempat yang
termasuk wilayah kami adalah sangat besar, cara
bagaimana ia dapat menggantinya" Oleh sebab itu, tidak
ada jalan untuk berdamai, mari kita selesaikan dengan
senjata saja, supaya mendapat keputusan. Kalau kami
kalah, dengan senang kami akan memerdekakan dirinya
Lauw Kin, tapi kalau sebaliknya, kalian lekas enyah dari
sini dan jangan datang pula, baik urusan apa saja!"
Panas hatinya Oey Pek mendengar perkataan Teng
San. "Apakah kau kita aku takut denganmu?" bentaknya
nyaring. "Apa kau kira Toa-cecu dari Coa-san takut
denganmu?" balas membentak Teng San.
Toa cecu artinya Kepala berandal kesatu.
Pertengkaran mulut itu segera disusul dengan
pertarungan senjata. Oey Pek gesit dan lincah majukan pedangnya,
sebaliknya Teng San gagah sekali mainkan sepasang
kheknya. Ternyata mereka adalah tandingan yang
setimpal, seakan-akan dua harimau yang tengah
berkelahi hebat. Namun berkat latihan yang sungguh-sungguh dan bisa
merawat diri, tampak Oey Pek lebih unggul dari
lawannya yang alpa berlatih dan banyak plesiran dengan
perempuan. Demikian, dengan perlahan-lahan Teng San
telah keteter oleh lawannya.
Melihat saudara tuanya terdesak, Teng Goat dan Kho
Sun sudah siap sedia untuk datang membantu. Dilain
pihak Leng Tong juga tidak tinggal diam, ia pasang mata
untuk bokongan dari kawan kawannya Teng San.
Pertandingan setelah berjalan dua puluh jurus, tegas
sekali bahwa Teng San sudah kedesak betul-betul oleh
lawannya. Segera ia kasi tanda supaya dua saudaranva
turun tangan membantu. Teng Goat dan Khu San lantas
menyerbu mengeroyok Oey Pek, namun Leng Tong juga
sudah menyerbu membantu kawannya. Dengan begitu
pertarungan suara senjata beradu berkali kali ramai
sekali. Ternyata Leng Tong kepandaiannya tidak dibawah
Oey Pek, maka pertemparan dua lawan tiga menjadi
berimbang. Kawanan berandal berkelahi dengan tekad hendak
melakukan pembunuhan. sebaliknya Oey Pek dan Leng
Tong hanya bermaksud memenangkan pertandingan
untuk mendapat kemerdekaan Lauw Kiu yang ditahan
oleh mereka. Tampak serangan-serangan dari Teng San dengan
kawan-kawannya sangat ganas dan mematikan. Untung
Oey Pek dan Leng Toan berkepandaian tinggi dan dapat
melayani dengan bagus. Meskipun kawanan berandal merangsek seru dan
nekad, namun mereka tak dapat berbuat banyak
menghadapi perlawanan yang gigih dari Oey Pek dan
kawannya, akhirnya Oey Pek mengeluarkan tipuan
serangannya yang paling diandalkan ialah Yu kek-se-ie
atau 'Hujan perintis dilembah sunyi'. Pedangnya
berkelebatan menyilaukan pandangan, tahu-tahu
sepasang khek Teng San dan goloknya Teng Goat kena
dijatuhkan dengan sontekan pedang pada pergelangan
tangan. Leng Tong dilain pihak juga sudah memenangkan
pertandingannya dengan membikin goloknya Kho Sun
terlepas dari cekalannya. Mereka hanya mendapat luka
sedikit saja pada pergelangan tangannya, tapi nyata
mereka telah dilucuti senjatanya dan dikalahkan dengan
mutlak oleh Oey Pek dan Leng Tong.
Meskipun sudah memenangkan pertandingan dengan
bagus sekali, Oey Pek tidak menjadi sombong dan
menekan lawannya yang sudah kalah, sebaliknya dengan
manis budi ia berkata: "Pertandingan sudah selesai,
harap sekalian Cecu suka memenuhi janji."
Teng San dan dua kawannya mengerti bahwa Oey Pek
minta Lauw Kin dikeluarkan.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berat sebenarnya mereka memerdekakan Lauw Kin,
karena begal tunggal itu kepandaiannya tinggi dan
sering-sering merugikan mereka. Tapi, oleh karena
mereka sudah berjanji, apa boleh buat, Teng San
perintah orangnya untuk mengeluarkan Lauw Kin dari
tahanannya. Sementara menanti munculnya Lauw Kin,
Oey Pek dan Leng Tong dijamu oleh Teng San untuk
mengikat persahabatan. Dua jago pedang itu tidak
keberatan, lantaran itu perjamuan menjadi gembira
jalannya. Ketika Lauw Kin muncul, ia juga diajak makan-makan
sekalian. Girang hatinya Lauw Kin telah mendapat pertolongan
dari Oey Pek. "Oey Toako, sungguh berat aku menerima budimu
yang sudah menolong diriku, semoga budimu ini
mendapat balasan yang setimpal dalam hidupmu!"
berkata Lauw Kin. Lalu kepada Leng Tong ia berkata: "Leng-heng, kau
juga telah membantu aku mendapat kemerdekaan pula,
sungguh budimu sangat besar. Semoga aku si orang she
Lauw dapat membalasnya."
"Lauw-heng, kau jangan berkata begitu," sahut Leng
Tong. "Kita adalah orang sendiri, kau dapat kesusahan,
dengan senang aku bantu, sebaliknya, kalau aku
mendapat kesusahan, apakah kau senang tinggal peluk
tangan. Lauw Kin ketawa gelak-gelak mendengar jawabannya
sang kawan. Urusan yang utama sudah selesai, maka Oey Pek dan
kawan-kawannya mohon diri pada Teng San dan
saudara-saudaranya. Ketika mereka berpisahan, Teng
San memesan pada Lauw Kin: "Lauw-heng, apa yang kau
alami beberapa hari dalam tahanan sebagai pelajaran,
aku harap selanjutnya kau tidak melanggar wilayah kami
lagi, untuk mencegah timbulnya bentrokan diantara kita,
sukakah kau berjanji?"
Lauw Kin tidak menyahut, ia hanya ketawa nyengir.
Mendelu hatinya Teng San. Ia mengerti ketawa
nyengirnya Lauw Kin pertanda bahwa perkataannya tadi
tidak diacuhkan dan Lauw Kin kembali nanti akan
melanggar wilayahnya untuk mencari hasil.
Meskipun gusar dan gemas pada si orang she Lauw,
kepala berandal itu tak dapat berbuat apa-apa, kecuali
menarik napas panjang. Ketika Oey Pek dan kawan kawan kembali dirumah,
disambut oleh Ceng Lian dengan ketawa-ketawa girang.
Ia menghaturkan selamat kepada Lauw Kin yang
sudah keluar dari tahanan kawanan berandal, ia memuji
Oey Pek (suaminya) yang dengan sungguh-sungguh
membantu kawan dan kepada Leng Tong, nyonya Oey
juga tidak lupa menghaturkan terima kasih atas
bantuannya. Leng Tong heran. Ia tidak mengerti akan sikap Ceng
Lian yang repot mengucapkan terima kasih atas
kebebasannya Lauw Kin, sedang ia dengan Lauw Kin
hanya teman serumah saja. Seharusnya yang repot
mengucapkan terima kasih adalah Lauw Kin, bukannya ia
(Ceng Lian), hal mana membuat Leng Tong jadi buat
pikiran atas sikap Ceng Lian itu.
Oey Pek sendiri tidak perhatikan sikap isterinya yang
mencurigakan Leng Tong. Ia malah memuji sang isteri sangat memperhatikan
kawan, suatu pribadi yang luhur.
Ceng Ie Sianseng memang sangat mencintai isterinya,
segala gerak geriknya dianggap benar saja. Tidak heran
kalau belakangan ia mendapat kisikan hal isterinya dari
Leng Tong telah membuatnya melengak dan tidak
percaya. "Toako, aku bukannya hendak meretakkan kau suami
isteri" berkata Leng Tong. "Cuma saja, aku sebagai
kawanmu yang paling akrab, tidak rela melihat kau
dipermainkan. Hal ini kau mau usut atau tidak, itulah
terserah. Asal aku sudah mengisikannya padamu. Aku
lihat sikapnya Toa-so terhadap Lauw Kin sangat aneh."
Oey Pek ketawa. "Terima kasih, Hiante. Urusan itu
rupanya hanya kebetulan saja, aku tidak ingin urusan
rumah tangga menjadi kacau!" jawab Oey Pek, tampak
parasnya seperti kurang senang dan tidak lama pula ia
sudah meninggalkan Leng Tong.
Si orang she Leng hanya menarik napas panjang
melihat kelakuan Oey Pek.
Pada hari-hari berikutnya Oey Pek tak berkunjung pula
kerumahnya Leng Tong, itu pertanda bahwa si orang she
Oey tidak senang pada Leng Tong! Akan tetapi Leng
Tong tidak ambil perduli. ia yakin satu waktu
perkataannya akan menjadi nyata.
Oey Pek yang memang selalu repot dengan
pekerjaannya sebagai pendekar, sering-sering tidak
pulang kerumah dua-tiga malam. Pada sore itulah Oey
Pek berkata pada isterinya: "Adik Lian, mungkin
kepergianku kali ini mendapat halangan, maka kau
jangan cemas kalau dalam beberapa malam ini aku tidak
pulang. Aku sudah minta Lauw hiante untuk bantu
menjaga rumah tangga kita, maka kau jangan takut..."
"Toako, sebaiknya kau jangan pergi. Kalau kau lamalama
diluaran rasanya hatiku tidak tentram, meskipun
ada Lauw-hiante yang membantu tilik-tilik rumah tangga
kita," sahut sang isteri yang menyatakan ketidak
senangnya sang suami pergi lama-lama.
"Urusan yang akan aku kerjakan ada sedikit
berbahaya, tapi itu untuk menolong orang susah, aku
tidak menyesal. Untuk sekali ini aku pergi minta tempo
beberapa malam, lain kali aku tidak akan mencari
kesulitan pula dan lebih senang aku diam dirumah
menemani kau dengan anak-anak..."
Oey Pek berkata sambil menowel pipinya sang isteri.
"Iiihh... genitnya masih juga belum hilang!" kata Ceng
Lian, seraya tangannya menangkis tangan nakal dari Oey
Pek. Kedua suami isterinya itu ketawa ketawa gembira.
Ketika sang malam tiba, Ceng Lian dipembaringan
bernyanyi-nyanyi meniduri anak anaknya.
Yang besar tidur diranjang spesial, sedang yang kecil
tidur bersama sama ia, yang setelah pulas ia pindahkan
ke ranjang kecil untuk bayinya itu.
Setelah anak-anaknya pada tidur, tampak Ceng Lian
gelisah. Tidur salah dan bangunpun salah rupanya,
tarikan napasnya pun agak memburu, hingga kedua
buah dadanya yang bulat besar habis neteki oroknya tadi
bergerak naik turun. Apa yang dipikirkan oleh Ceng Lian, entahlah"
"Tok! Tok! Tok!" tiba-tiba terdengar suara ketukan
pintu. Ceng Lian lompat dari tempat tidurnya dan
menghampiri pintu. "Siapa?" ia menanya.
"Aku, Ceng Lian..." terdengar sahutan dari sebelah
luar. Dengan tepat pintu dibuka. Seorang laki-laki
menerobos masuk yang segera dirangkul oleh Ceng Lian
dan diciumi. "Engko Kin, kau bikin aku sangat gelisah..."
kata Ceng Lian. Laki-laki itu yang bukan lain Lauw Kin adanya, telah
balas dengan hangat pelukan Ceng Lian dan memondong
nyonya rumah lalu direbahkan diatas pembaringan.
"Ceng Lian, apa anak-anak kita sudah tidur semua?"
tanya Lauw Kin. "Sudah, barusan saja mereka tidur," sahut Ceng Lian.
"Aku khawatir perhubungan kita lama-lama akan
diketahui oleh Oey toako. Maka pikiranku kepingin
pindah dari sini," menyatakan Lauw Kin.
"Kau pindah dari sini" Jadi, kau mau tinggalkan aku?"
"Bukan tinggalkan kau, setempo tentu aku bikin
kunjungan manakala aku tahu Oey toako kebetulan tidak
ada dirumah." "Perduli amat dengan Oey Pek. kalau tidak ada kau, ia
tidak punya anak!" "Kau jangan kata begitu. Oey-toako sangat baik dan
sudah menolong aku."
"Hm! Menolong kau" Kalau tidak ada aku yang
mendesak ia supaya menolong kau, mana ia mau buang
tenaga untuk keluarkankan dari tahanan berandal Coa
san?" Lauw Kin melengak. Ia pun sebenarnya merasa heran
Oey Pek demikian sudi menolongnya. Sedang
hubungannya belakangan ini ada sedikit retak karena
Oey Pek tidak menyetujui ia menjalankan pekerjaan
membegal. Kini ia baru tahu kalau Oey Pek menolong
dirinya lantaran desakan Ceng Lian.
"Ceng Lian, sungguh kau adalah isteriku yang baik"
kata Lauw Kin seraya merangkul dan memberikan
kecupan mesra. "Engko Kin, kau jangan pindah,'' kata Ceng Lian.
"Kalau kau pindah nanti lebih lebih mencurigakan orang,
kalau kau datang kemari."
"Baiklah, sekarang bagaimana?"
"Sekarang... kau harus memberi aku puas..."
"Apa saban ketemu aku tidak membikin kepuasan?"
"Itu lain, selama ditahan kau membikin aku rindu
dan..." "Baiklah manisku..." Lauw Kin menyetop kata-kata
Ceng Lian dengan menekan bibirnya dan tangannya yang
nakal mulai merayapi tubuhnya Ceng Lian, hingga si
nyonya menggeliat-geliat kegelian.
"Tanganmu nakal, bikin aku mati kegelian... Hihihi..."
si nyonya nyeleweng ketawa cekikikan.
Pada saat itulah terdengar pintu menjeblak ditendang
orang. Dua manusia yang mau main sandiwara itu kaget
bukan main. Cepat pada mengenakan pakaiannya dan
turun dari pembaringan. Belum sampai Lauw Kin melangkah jauh, didepannya
sudah berdiri Oey Pek. Lauw Kin menjadi sangat ketakutan. Lebih-lebih Ceng
Lian, menggigil badannya dan tidak berani turun dari
pembaringan. "Manusia-manusia hina, dua-dua maju terima binasa!"
bentak Oey Pek nyaring dengan penuh kegusaran.
Lauw Kin sudah lantas berlutut, sedang Ceng Lian
paksakan diri turun dari pembaringan dan turut Lauw Kin
berlutut didepan Oey Pek.
"Lauw Kin, kau ingat berapa kali aku sudah menolong
jiwamu?" tanya Oey Pek.
"Aku ingat Oey toako, dua kali kau sudah tolong
jiwaku." "Kau sekarang pandai silat, apa itu dapat kau pelajari
sendiri?" "Kau yang ajari dan aku terima budimu."
"Kau merasa terima budiku, kenapa kau membikin
kacau rumah tanggaku?"
"Oey toako, ampun, aku terima salah...''
"Ceng Lian, kau dari mana aku pungut sebagai
isteriku?" Oey Pek tanya isterinya.
"Aku asal anak orang miskin. Atas kebaikanmu aku
dijadikan isterimu."
"Bagus, kau masih ingat. Selama jadi isteriku, apa aku
perlakukan kau tidak baik?"
"Sama sekali tidak! Kau sangat baik, aku merasa
bahagia menjadi isterimu."
"Hahaha... Bahagia, tapi kenapa kau nyeleweng?"
"Aku turut kau sudah lima-enam tahun, belum juga
mendapat anak." "Oo, jadi lantaran kepingin punya anak Kau
nyeleweng?". Ceng Lian tidak menjawab, ia tundukkan kepala
dengan air mata bercucuran.
"Jawab, apa lantaran kepingin punya anak makanya
kau nyeleweng?" Ceng Lian perlahan-lahan anggukkan kepala. "Itulah
sebabnya..." ia menyahut perlahan.
Tergetar hatinya Oey Pek. Kiranya, dua anaknya itu
bukan anak aslinya, mereka adalah anak-anaknya Lauw
Kin. Perasaan sayang pada kedua anaknya seketika itu
menjadi lumer seperti es batu yang kena panasnya
matahari. Ia menghela napas, hatinya pedih bukan main,
isterinya gara-gara kepingin punya anak telah
nyeleweng. "Toako, kejadian sudah begini, aku harap kau
mengampuni kami orang yang berdosa..." meratap Ceng
Lian, seraya menubruk dan memeluk kakinya sang suami
sambil menangis sangat sedih, hingga hatinya Oey Pek
yang sedang gusar jadi mereda.
la ingat akan cintanya sang isteri diwaktu mereka baru
saja menikah. Mereka merasakan hidup bahagia dan
mengharapkan kedatangannya seorang putera atau
puteri. Tapi pengharapan hanya tinggal pengharapan
sampai mereka menikah lima-enam tahun, baik putera
maupun puteri tak kunjung datang.
Bagaimana girangnya Oey Pek tatkala tiba-tiba melihat
isterinya mengandung dan kemudian telah melahirkan
seorang anak laki-laki. Dua tahun kemudian kelahiran
seorang puteri pun telah menyusul, dirasakan oleh Oey
Pek hidupnya sangat bahagia sekali.
Tapi.... celaka tigabelas... anak-anaknya itu bukan
darah dagingnya, mereka dilahirkan dari perzinahan
dengan Lauw Kin, seorang yang ia pandang sebagai
saudaranya sendiri. Ia tidak nyana Lauw Kin bisa
membelakangi dirinya, Lauw Kin yang telah menerima
banyak budinya. Apa yang ia harus perbuat sekarang"


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia keraskan hatinya dan angkat pedangnya untuk
ditabaskan pada batang lehernya Lauw Kin yang tinggal
menunduk berlutut. Pada saat itulah terdengar suara orok menangis,
disusul oleh menangisnya sang kakak yang terkaget oleh
suara ribut-ribut. Pedang yang sudah tinggal ditabaskan pada batang
lehernya Lauw Kin, terhenti, kemudian dilemparkan.
"Sudahlah..." katanya menghela napas. "Lekas kalian
berlalu dari rumah ini, aku tidak ingin melihat wajah
kalian lagi. Bawa anak-anakmu sekalian..."
Oey Pek putar tubuhnya dan berlalu.
Lauw Kin tiba-tiba bergerak badannya dan menyerang
iga Oey Pek dengan totokan. Si orang she Oey tidak
mengira akan kejadian itu, tidak heran ia kena dibokong
dan jatuh terkulai. Cepat Lauw Kin mengambil pedang
Oey Pek yang barusan dilemparkan. Dengan senjata itu
ia menabas kutung lengannya Oey Pek.
Sungguh kejam sekali Lauw Kin. Ceng Lian mau
mencegah sudah tidak keburu, maka ia hanya bisa
menangis suaminya diperlakukan demikian kejam oleh si
orang she Lauw. "Engko Kin, ia tidak bersalah, kenapa kau menabas
tangannya kutung?" kata Ceng Lian sambil menangis
sesenggukan. "Ia sangat tinggi kepandaiannya, dengan hilangnya
tangan kanannya, ia tidak dapat memainkan pedangnya
pula." "Tapi ia tidak berbuat kejam terhadap kita, kenapa
kau perlakukan ia demikian?"
"Ah, kau perempuan banyak mulut!"
"Aku bukannya banyak mulut, seharusnya kita bilang
terima kasih kepadanya tidak mengambil batok kepala
kita." "Kau perempuan banyak mulut, memangnya kau
masih cinta padanya?"
Menyusul perkataannya, Lauw Kin tangannya
melayang menampar pipinya Ceng Lian hingga wanita itu
jatuh pingsan setelah mengeluarkan jeritan kesakitan.
Lauw Kin benar-benar kejam. Ia tidak menghiraukan
Ceng Lian, tapi ia lantas mendekati Oey Pek yang tidak
berkutik. Dengan beberapa kali tepukan pada jalan darah
yang penting, Lauw Kin telah memusnahkan ilmu silat
Oey Pek. Selanjutnya si orang she Oey tidak akan
menjadi jago pedang lagi yang kesohor dengan nama
Ceng Ie Sianseng. Oey Pek jatuh pingsan dimusnahkan Lweekangnya.
Kemudian diwaktu siuman kembali ia melihat kesekitar
ruangan. Ia tidak dapatkan si ganas Lauw Kin, hanya
isterinya Ceng Lian menggeletak tidak jauh darinya dalam
keadaan sudah jadi mayat.
Oey Pek rasakan ia sudah bebas dari totokan dan
dapat merangkak bangun. Jago pedang yang bernasib malang itu menghampiri
Ceng Lian dan memeriksa, kiranya Ceng Lian telah mati
lantaran ditotok urat kematiannya.
"Sungguh kejam..." menggumam Oey Pek.
Hati Budha Tangan Berbisa 3 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Kemelut Di Majapahit 16

Cari Blog Ini