Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 7
Ketika ia memeriksa ranjang kecil, kedua anaknya
sudah tidak ada ditempatnya lagi, mungkin telah dibawa
pergi oleh Lauw Kin. Kejadian diatas telah menggemparkan dan menjadi
buah bibir penduduk kampung.
Leng Tong datang menghibur Oey Pek, yang sekarang
merasa telah menjadi nyata kisikannya sang sahabat baik
itu. Merasa malu tinggal terus dalam kampungnya, maka
Oey Pek diam-diam sudah pindah mencari tempat yang
aman, ia mendapat tempat seperti yang sekarang ia tinggal.
Demikian penuturan Ceng Ie Sianseng kepada Kim
Liong. Anak muda itu sangat tertarik dengan penuturan si
orang tua, beberapa kali ia menghela napas dan
menyesalkan perbuatannya sang guru, si Naga Hitam
alias Lauw Kin. "Lopek, kenapa kau tidak melakuan pembalasan?"
tanya Kim Liong. "Anak muda, kau ini seperti ngimpi saja, bukankah aku
sudah menjadi seorang cacat. Cara bagaimana aku dapat
membalas sakit hatiku?" sahut Oey Pek ketawa getir.
Kim Liong sadar kesalahannya. Ia minta maaf untuk
pertanyaannya tadi yang dikeluarkan tanpa dipikir dulu.
Kim Liong duduk termangu-mangu memikirkan
nasibnya. "Anak muda, kau lagi melamun apa"'' tanya Oey Pek.
"Aku lagi memikirkan nasibku, Lopek" Aku punya
tangan kanan yang biasanya digunakan main pedang,
sekarang sudah kutung, cara bagaimiua aku dapat
menjagoi jago pedang pula" Mukaku yang dirusak aku
tidak pikirkan, hanya tanganku yang kanan,yang aku
ingin gunakan untuk membalas tak dapat aku pakai..."
Oey Pek ketawa menyeringai. "Itu soal mudah, anak
muda. Asal kau mau luluskan permintaanku, aku akan
berikan kepandaian menggunakan pedang dengan
tangan kiri," kata Oey Pek.
"Aku harus melakukan apa untukmu?" tanya Kim Liong
kepingin tahu. "Aku minta kau bunuh gurumu si Naga Hitam itu, yang
kau sekarang tahu kejahatannya sampai dimana?" jawab
Oey Pek, wajahnya menunjukkan perasaan gemas.
Kim Liong terkejut dan tundukkan kepala mendapat
jawaban demikian. Ia ingat akan kebaikannya sang guru waktu
mendidiknya, sebaliknya ja tidak bisa lupakan
kejahatannya yang begitu buas mencelakakan Oey Pek,
si Baju Hijau, yang tulen-tulen adalah penolongnya.
Ia mempertimbangkan pergi datang.
Napsunya untuk menjadi jago dalam kalangan Sungai
Telaga (Kang-ouw) meluap-luap sejak ia dikalahkan
mengadu Lweekang dengan Bwee Hiang. Ia ingin
menjagoi dalam kalangan persilatan, untuk menunjukkan
pada si nona cantik bahwa ia bukannya pemuda tidak
berguna. Terdorong oleh kemauan keras ini, maka Kim
Liong telah terima baik permintaan Oey Pek dan sejak
itulah ia diajari main pedang dengan tangan kiri.
Oey Pek sudah menciptakan Coat-ciang Kiam-hoat,
ilmu pedang tersendiri menggunakan tangan kiri.
Maksudnja kalau tenaga Lwekangnya pulih ia dapat
gunakan ilmu itu untuk menuntut balas pada si Naga
Hitam. Tapi sayang, setelah ia berusaha sekerasnya
tenaga dalamnya telah musnah sama sekali, hingga ia
putus asa dalam niatnya menuntut balas.
Tiba-tiba pada itu hari ia dapat menolong Kim Liong.
pemuda yang mempunyai tulang dan bakat baik,
kebetulan tangan kanannya juga kuntung, timbullah
dalam hatinya pengharapan dapat menggunakan
tenaganya si anak muda untuk membalaskan sakit
hatinya. Ia tidak mengira kalau Kim Liong adalah muridnya si
Naga Hitam yang menjadi musuh besarnya itu. Ia pikir
manakala Kim Liong sudah dapat tahu riwayat
kejahatannya si Naga Hitam pasti ketarik akan
membunuhnya, maka ia sudah menceritakan riwayat
perhubungannya dengan Lauw Kin dan kemudian ia
menawarkan ilmu pedangnya ditukar dengan
pembunuhan atas dirinya si Naga Hitam.
Kim Liong memiliki bakat dan tulang-tulang yang baik
untuk menjadi ahli silat kelas wahid, maka tidak seberapa
sukar ia menerima kepandaian menggunakan dengan
tangan kiri. Dalam sedikit tempo saja ia sudah hapal dan
tinggal mematangkan dengan banyak berlatih dalam ilmu
pedang yang istimewa itu.
Kim Liong kegirangan setelah memahami ilmu pedang
Oey Pek. Pada suatu hari ia pamitan dari Oey Pek untuk
mencari si Naga Hitam. Tujuannya adalah balik keatas jurang dimana si Naga
Hitam bersembunyi. Ketika ia sampai dirumah si Naga Hitam, ia tidak
dapatkan penghuninya, malah keadaan disitu sangat
kotor dan berantakan. Ia menemukan sesosok mayat
yang sudah jadi kerangka (jerangkong). Waktu ia periksa
dengan teliti, hatinya terkejut, karena itu adalah
kerangka dari tubuhnya si Naga Hitam. Ia kenali dari
sebelah matanya yang kiri meletos kedalam, si Naga
Hitam hanya menggunakan matanya yang kanan saja.
NB : Bab 24 dibuku asli memang tidak ada
-oo0dw0oo- JILID 9 Bab 25 TOK-GAN HEK-LIONG sudah mati. Hatinya Kim Liong
lega dan girang, sebab dengan kematian sang guru ia tak
usah dengan tangannya sendiri membunuh gurunya itu,
yang terhadap dirinya sendiri tidak membuat dosa apa
apa. Untuk membikin Oey Pek merasa puas bahwa
musuhnya sudah tewas, maka Kim Liong balik lagi
kerumah Oey Pek dan mengajak si orang she Oey untuk
menyaksikan sendiri kerangka dari Tok-gan Hek-liong.
Untuk naik keatas jurang Oey Pek tidak bisa, maka ia
digendong oleh Kim Liong ke sana. Waktu menyaksikan
dan meyakinkan bahwa rangka itu adalah kerangka si
Naga Hitam, maka hatinya Oey Pek msajadi senang ada
orang yang menolong membalaskan sakit hatinya. Siapa
yang sudah membunuh si Naga Hitam, Oey Pek tidak
tahu, tapi yang terang ia kegirangan melihat musuhnya
sudah tiada dalam dunia ini.
Setelah Kim Liong antar balik Oey Pek kerumahnya
pula, ia mohon diri dari si Baju Hijau untuk merantau.
Oey Pek, sebagai orang yang berpengalaman, telah
memberi banyak nasehat kepada si pemuda supaya
menjaga dirinya baik-baik jangan kena ditipu oleh kawan
yang mulutnya manis tapi hatinya buruk. Dan
menganjurkan supaya anak muda itu meyakinkan terus
ilmu pedangnya sampai mahir betul. Ia percaya dengan
pedang ditangan kiri tidak kurang lihaynya dengan orang
yang memegang pedang ditangan kanan. Malah dalam
ilmu pedang tangan kirinya itu ada banyak jurus-jurus
istimewa yang membikin lawan kelabakan dan akhirnya
dibikin terjungkal. Kim Liong mengucapkan banyak terima kasih atas
semua nasehat Oey Pek. Co Ciang Kiam Hoat. Ilmu pedang yang Kim Liong terima dari Oey Pek
dinamai 'Co-ciang-kiam-hoat' atau 'Ilmu Pedang Tangan
Kiri', Banyak jurusnya yang lihay dan bervariasi, tidak
heran kalau si anak muda sangat tekun meyakinkannya.
Dengan ilmu pedangnya yang hebat itu, sebenarnya
Kim Liong sudah boleh pulang dan menjagoi
dikampungnya sebagai pemimpin dari Ceng liong-pang,
tapi anak muda itu mau mencari pengalaman dalam
dunia Kang ouw dan ia mengambil keputusan untuk
merantau. Dengan pengharapan satu waktu ia dapat
berjumpa dengan Bwee Hiang, gadis yang ia buat pikiran
siang dan malam. Kadang-kadang ia sangsi, dengan mukanya sekarang
sudah rusak, apakah Bwee Hiang ketarik olehnya,
meskipun ilmu pedangnya hebat"
Mengingat akan pepatah 'kalau jodoh masa kemana"'
ia tidak hilang harapan ketemu dengan gadis impiannya
itu. Dalam perjalanan di pegunungan, tiba-tiba ia
dikagetkan oleh beberapa orang yang lari serabutan. Ia
heran, ia ingin menanya, tapi orang-orang itu
kelihaiannya sangat ketakutan dan tidak ada seorangpun
yang berhenti untuk ditanya.
Ia dengar satu diantaranya berkata, "Celaka, paman
Kim tentu dimakan. Bagaimana baiknya" Apa tidak lebih
baik kita kembali saja" Masa kita dengan banyak orang
tidak bisa mengeroyok seekor macan?"
"Kau ngomong seenaknya saja, macan itu sangat
besar dan mana kita mampu melayaninya. Apa kau lupa
kata pamaii Kim kemarin, bahwa si A Liong telah
diterkam mati olehnya dengan tidak meninggalkan
bekas?" Demikian Kim Liong mendengar percakapan mereka
sembari lari ketakutan. Sebentar lagi ada dua orang yang lari belakangan
telah meneriakinya: "Anak muda, lukas kau sembunyi
atau ikut kami lari. Macan itu sangat buas, aku takut kau
juga nanti dimakan seperti paman Kim..."
Kim Liong bimbang hatinya. Apa ia perlu turut lari"
Tanya dalam hati kecilnya.
Mengingat bahwa ada seorang tua yang menjadi
korbannya binatang buas, hati pendekarnya tergugah
dan ia bersemangat untuk melawan macan.
Mereka heran Kim Liong diam saja. Mereka kira tentu
Kim Liong tuli, makanya juga tidak meladeni peringatan
mereka. Sebentar lagi berkesiur angin keras, itulah tanda sang
macan buas mendatangi. Orang orang yang belum jauh lari merasa ngeri si
anak muda akan diterkam oleh binatang buas itu,
mereka pada naik kepohon, untuk menyaksikan si macan
akan mengumbar kebuasannya terhadap si anak muda
tuli itu. Tidak lama, benar saja lompat keluar seekor macan
loreng yang besar badannya, panjangnya hampir tiga
meter. Ia menggerang menakuti didepannya Kim Liong, yang
jadi kesima menghadapi si raja hutan untuk pertama kali.
Sambil menggerang dan mencakar-cakar wajahnya
sendiri, macan itu benar-benar menakutkan.
Hanya sejenak Kim Liong kesima melihat macan
demikian besar didepannya, tapi setelah itu bangun
semangatnya. Seperti kepada manusia, Kim Liong
berkata: "Macan kau mengganas membikin orang lari
ketakutan, apa-apaan perbuatanmu itu" Apa barusan kau
sudah makan manusia" Kau benar-benar buas!"
Orang orang yang berada diatas pohon melengak
mendengar si pemuda bicara dengan seekor macan
buas. Pikirnya, apa pemuda itu ingatannya kurang beres"
Macan itu heran melihat manusia tidak takut padanya.
Ia menggerang dan menubruk Kim Liong.
Anak muda itu berkelit, macan itu menubruk angin.
Panas hatinya sang macan, segera ia putar tubuhnya dan
menyerang Kim Liong pula, namun anak muda itu
melayani dengan tenang. Beberapa kali tubrukan sang
macan telah menubruk sasaran kosong, hingga sang
macan menjadi jengkel dan kecapean sendiri.
Ia mendekam mengaso dulu rupanya dan matanya
mencilak mengawasi kepada Kim Liong yang ketawa
nyengir kepadanya. Orang-orang diatas pohon kagum akan kepandaian
Kim Liong dapat mempermainkan macan yang besar itu.
Mereka kepingin lihat bagaimana kesudahannya"
Kim Liong melihat macan itu mendekam saja seperti
sedang menghilangkan lelah, menjadi tidak sabaran dan
datang dekat mengganggu. Sang harimau beringas lagi.
ia menubruk dengan buasnya. Kim Liong kelit nyamping,
dari mana ia menjotos rusuknya si raja hutan hingga
mengerang kesakitan. Ketika kembali macan itu menubruk, Kim Liong tidak
kasi hati, tangannya menampar keras pada kepalanya,
kontan kepala itu hancur dan berantakan isinya. Macan
itu jatuh dan tidak bangun iagi setelah berkelejotan.
Kim Liong berdiri terpaku, ia merasa gegetun dengan
kesudahan tampatannya tadi membuat kepala macan
hancur berantakan. Sementara itu orang banyak sudah datang merubung.
"Anak muda kau sungguh hebat. Betul-betul hebat
pukulanmu!" memuji diantaranya orang banyak itu. Tapi
Kim Liong tidak menjadi bangga, malah merasa kasihan
kepada sang macan yang kepalanya hancur.
Sebetulnya ia tidak sengaja membikin hancur kepala
macan itu, ia menampar menurut sukanya, ia tidak tahu
reaksi Lweekangnya sudah sangat dahsyat.
Kim Liong dipuja puji oleh orang-orang itu, yang
ternyata hampir semuanya adalah pemburu.
Ia diundang untuk mengunjungi rumahnya kepala
rombongan pemburu itu yang bernama Lie Hun. Kim
Liong tidak keberatan, memang perjalanannya tidak
mempunyai tujuan. Disana Kim Liong mendapat kehormatan sebagai tamu
istimewa. Senang Kim Liong melihat kawanan pemburu itu
semuanya ramah tamah.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut cerita mereka, ternyata macan itu bukannya
satu, tapi ada sepasang. Yang mati adalah
perempuannya, sedang yang lelakinya jauh lebih buas
dan sudah ada beberapa diantara pemburu itu yang
menjadi korban. Selagi mereka omong-omong, ada beberapa orang
datang melapor bahwa paman Kim yang telah dimakan
macan, hanya ketinggalan pakaian dan sepasang kakinya
saja yang dagingnya sudah digerogoti oleh si binatang
buas. Paman Kim adalah pamannya Lie Hun, tentu saja Lie
Hun sekeluarga menjadi sangat sedih atas kematian sang
paman. "Dengan matinya sang macan betina, pasti yang
jantan akan mengamuk dan mengganggu keamanan
dalam kampung ini," berkata Lie Hun.
"Sampai demikian buas macan itu?" tanya Kim Liong.
"Macan jantan itu jarang keluar diwaktu siang.
Keluarnya diwaktu malam dan hebat sekali tenaganya,
beberapa jaring perangkap dapat ia bikin robek
seenaknya saja. Lantaran itu, berkali-kaii kena ketangkap
ia dapat meloloskan diri lagi."
"Kalau begitu macan itu tak boleh dibuat permainan!"
nyeletuk Kim Liong. "Apa Tan heng tidak ada ingatan iseng-iseng
menghadapi macan jantan itu'' tanya Lie Hun ketawa, ia
memancing selera tamunya untuk turun tangan.
"Boleh juga," sahut Kim Liong ketawa.
Lie Hun kegirangan. Semua orang yang hadir pada
bersorak kegirangan mendengar kesanggupan Kim Liong.
Ada beberapa orang yang tawarkan diri untuk ikut serta,
tapi Kim Liong menolak, katanya lebih baik kalau ia kerja
sendiri asal dikasi tahu dimana tempatnya dapat bersua
dengan macan jantan itu. Lie Hun dan kawan kawannya memberitahukan Kim
Liong dibagian-bagian mana suka lewat macan jantan itu
diwaktu malam. Kim Liong berjanji akan perhatikan
petunjuk itu dan sebentar malam ia akan pergi sendiri
kesana. Diwaktu sorenya, Kim Liong dijamu dengan hidangan
serba lezat, katanya itu sebagai pemberian selamatan
kepada Kim Liong yang hendak menangkap macan buas.
Kim Liong tidak menampik makanan, ia sikat apa yang
bisa dimasukkan dalam perutnya sehingga tuan rumah
merasa senang melihat si anak muda tidak malu-malu.
Malamnya Kim Liong telah berangkat mencegat macan
jantan itu. Ia tidak membawa balabantuan resminya, tapi diandiam
Lie Hun suruh beberapa orangnya mengintip dari
kejauhan. Mereka disuruh menyiapkan senjata panah,
kalau melihat Kim Liong dalam bahaya dalam
pertempuran dengan macan buas itu, mereka boleh
bantu dengan menggunakan panahnya.
Lima orang jago panah mengikuti Kim Liong dengan
diam-diam. Lama juga Kim Liong menantikan keluarnya sang
macan, sampai ia kekesalan dan ngantuk kepingin tidur.
Justeru ia sedang mencari tempat untuk rebahan, tibatiba
ia mendengar suara berkeresekan disusul dengan
lompatan dari seekor macan loreng seperti siang tadi,
malah ini ada lebih besaran badannya dan garang sekali.
Caranya meraung juga lebih keras dan membikin takut
orang. Tapi Kim Liong tidak takut. Ia tidak kesima seperti tadi
siang. Rupanya tadi siang pengalaman yang membikin
hatinya menjadi tabah menghadapi macan besar.
Macan jantan itu sangat buas, sebab tanpa banyak
lagak lagi ketika melihat Kim Liong didepannya, sudah
lantas menerkam. Gesit macan itu, terkamannya
membikin orang gugup untuk berkelit. Tapi Kim Liong
tabah. Diterjang beberapa kali Kim Liong dapat
mengegos dengan bagus, hal mana membikin macan itu
menjadi gusar. Setelah perdengarkan geramannya yang seram,
kembali ia menerjang. Sekali ini Kim Liong berkelit sambit
kerjakan kakinya menendang dari samping.
Tendangannya kena telak pada pinggulnya sang macan
hingga macan itu terlempar dan bergulingan pincang.
Lantaran merasa sakit pinggulnya. macan itu tidak
berani sembarangan menerkam pula, ia mendekam
sebentar untuk hilangkan sakit rupanya.
Pengalaman tadi siang, Kim Liong tidak mau ulangi
pula, ia mau menakluki sang macan dengan tidak
memukul remuk kepalanya. Begitulah, ketika kembali macam itu menerkamnya, ia
kelit nyamping, dari mana ia enjot tubuhnya dan tahutahu
menclok diatas bebokongnya sang raja hutan.
Kaget bukan main macan itu, ia berlari-larian kencang
dan mengebas-ngebaskan badannya supaya
penunggangnya terpelanting jatuh, akan tetapi Kim Liong
terus nangkring dan ketawa berkakakan, sedang kedua
tangannya memegangi kencang pada lehernya si macan.
Binatang itu lari kencang serta berlompatan beberapa
kali dengan pengharapan Kim Liong jatuh terpelanting,
namun Kim Liong seperti lengket diatas bebokongnya,
malah kedua lututnya si anak muda menjepit makin
keras dan macan itu menjadi tidak berdaya, akhirnya ia
roboh sendirinya lantaran kecapean dan berat
ditunggangi Kim Liong. Melihat binatang itu sudah habis tenaganya, Kim Liong
turun dan berdiri mengawasi sang macan dengan muka
berseri-seri puas. Girang ia dapat manakluki macan yang
demikian besar ukurannya dengan tidak membikin sang
macan mati karena pukulannya.
Selagi ia berdiri ketawa, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh
berkereseknya pula pepohonan.
Ia menduga datangnya macan lain, tapi ketika
kemudian muncul dari gerombolan yang berkeresekan,
ternyata bukannya macan, tapi orang-orangnya Lie Hun
yang semuanya membekal panah. Lega hatinya si anak
muda, menegur: "Kalian memangnya sudah lama
mengintip aku mempermainkan macan ini?"
"Ya, kami disuruh oleh pemimpin kami untuk
memperhatikan gerak-gerik Kongcu bertarung dengan
macan, manakala perlu pemimpin kata, kami harus turun
tangan untuk melindungi Kongcu."
"Bagus, kau tolong sampaikan pada pemimpinmu
ucapan terima kasihku...." berkata si anak muda.
Kemudlan angkat kakinya berlalu.
Tapi baru beberapa langkah, ia balik lagi dan berkata:
"Macan ini belum mati, kalian harus berhati-hati..."
"Kongcu mau kemana?" tanya salah satu diantaranya,
tapi Kim Liong tidak menjawab dan berjalan terus
meninggalkan mereka. Melihat macan belum mati dan kalau dibiarkan
mengasoh, menanti kembali tenaganya, maka kawanan
pemburu itu sudah keluarkan tambang yang kuat dan
meringkusnya. Dua pasang kakinya macan itu diikat kuat
kemiidian digotong pulang. Sebelumnya supaya macan
iitu jangan sampui liar diperjalanan, mereka sudah
mencolok buta sepasang matanya dan mengepruk
kepalanya hingga pingsan.
Kim Liong tidak kembali ke kampungnya Lie Hun, ia
lewatkan sang malam dengan tidur diatas pohon. Pagipagi,
ia meneruskan perjalanannya. Senang ia bikin
perjalanan dipegunungan yang banyak mendapatkan
pemandangan indah. Ia pun mengharapkan sesuatu
yang tidak terduga-duga, ialah menemukan kegaiban
untuk kebaikan dirinya seperti yang banyak diceritakan
dalam buku buku yang ia pernah baca.
-oo0dw0oo- Bab 26 PADA SUATU MALAM, ketika baru saja ia merapatkan
matanya hendak tidur diatas dahan pohon, tiba tiba ia
mendengar suara seruling menggema dimalam sunyi
demikian. Dari mana bunyinya seruling itu datangnya" Kim Liong
menanya pada hati kecilnya.
Ia pasang kupingnya, lagu dari seruling itu makin lama
makin meresap dalam hatinya si anak muda, sehingga ia
terbangun dan perlahan-lahan turun dari pohonnya.
Kakinya tanpa disadari telah berjalan ke jurusan dari
mana seruling itu telah menggema. Setelah ia jalan
melewati beberapa tikungan itu, ia telah sampai pada
suatu bangunan indah yang tidak berpagar tembok
tinggi. Kim Liong dengan berindap-indap kakinya telah
memasuki pekarangan bangunan indah itu. Kapan ia
sampai dipekarangan belakang, ia menemukan suatu
kolam pohon teratai yang indah. Ditengah tengah kolam
ada dibangun pulau-pulauan kecil mungil. Untuk sampai
ke pulau-pulauan mungil itu orang harus menggunakan
perahu, makanya Kim Liong melihat di sekitarnya tidak
ada perahu. Suara seruling yang merdu itu masih, menggema dan
keluarnya justeru dari pulau-pulauan kecil itu. Ia ingin
sampai di pulau-pulauan itu, untuk melihat siapa yang
meniup seruling demikian enak kedengarannya dan
meresap dalam hati. Pikirnya, paling sedikit yang meniup seruling itu adalah
satu sastrawan yang mengasingkan diri dan menghibur
dirinya dengan meniup seruling diwaktu malam sunyi.
Melihat tidak ada barang yang dapat digunakan untuk
menyampiri pulau-pulauan itu, Kim Long menjadi nekad.
Ia banyak melatih ginkangnya disamping ilmu pedang
pada waktu belakangan ini, maka ia mau coba-coba
untuk menggunakan ginkang itu sekarang.
Lebih dahulu ia memandang lama pada itu beberapa
daun teratai yang mengambang.
Setelah mana, dengan ilmu entengi tubuh (ginkang) ia
enjot tubuhnya, dengan meminjam itu beberapa daun
teratai yang mengambang sebagai pijakannya, sebentar
saja Kim Liong sudah sampai di pulau-pulauan tadi.
Girang hatinya anak muda itu, karena dapat
kenyataan bahwa ginkangnya maju jauh.
Setelah berada dipalau-pulauan, tiba-tiba suara
seruling itu lenyap. Kim Liong celingukan. Pulau pnlauan itu dibangun
indah dan mungil, siapa sampai disitu pasti hatinya
terbuka dan merasakan kebahagiaan.
Kini anak muda kita mencari-cari si peniup seruling.
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara ketawa ngikik dari
seorang wanita. Suara ketawa itu datangnya dari sebelah
kanannya ia berdiri, cepat anak muda itu enjot tubuhnya
melesat ke tempat tadi dimana kedengaran orang
kekikikan ketawa. Sesosok bayangan tinggi langsing Kim Liong lihat
berkelebatan dan masuk ke dalam pulau-pulauan itu. Ia
menduga bayangan itu tentu adalah si nona yang tadi
kekikikan ketawa. Cepat ia memburu masuk. Ia kaget dan hendak keluar
lagi melihat bayangan tadi yang tampak sadang duduk
membelakangi dirinya. Ia adalah satu gadis remaja,
dari usia paling paling juga enambelas tahun, kenapa ia
berada sendirian dipulau-pulauan pada malam sesunyi
itu" Ia cepat putar tubuh mau keluar lagi, khawatir si nona
menegur akan kesembronoan dirinya main masuk tanpa
permisi. Tapi, sebelum ia melangkah, ia segera
meadengar suara empuk berkata: "Toako. Kenapa kau
hendak keluar lagi?"
Kim Liong jadi berdiri terpaku dipintu.
Gadis Itu membaliki tubuhnya dan kelihatan sekarang
wajahnya yang lonjong telur, alisnya lentik, kulitnya putih
dan kalau berseri pada kedua belah pipinya tampak
sujennya bermain dengan indahnya.
Kim Liong berdiri dengan tergugu memandang si gadis
bersenyum kearahnya. Tidak pernah sebelumnya ia menemukan gadis
secantik itu, hingga bayangannya Bwee Hiang yang
selalu ada dikelopak matanya seakan-akan telah lenyap
tanpa bekas. "Sungguh cantik ia..." Kim Liong menggumam.
"Kau juga tetap tampan meski wajahmu penuh
dengan goresan barang tajam.." terdengar si gadis
menyahut dengan tertawa riang.
Kim Liong terkejut si nona dapat mendengar
gumaman perlahan tadi. Lebih kaget lagi si nona
mengatakan wajahnya tetap tampan, meskipun penuh
dengan goresan barang tajam. Dari perkataannya itu,
pasti si nona tahu bahwa wajahnya mula-mula sangat
tampan. Kim Liong hanya membalasi senyuman si gadis jelita.
"Toako, kau tak usah malu-malu, mari masuk!"
mengundang si gadis, seraya bangkit dari duduknya dan
menghampiri Kim Liong. Si anak muda makin kagum melihat dandanan si nona
demikian mewah dan serasi benar warna pakaian yang
dikenakannya dengan keelokan wajahnya.
Kim Liong masih berdiri bengong dekat pintu.
Tiba-tiba saja ia kaget ketika si nona menarik
tangannya diajak masuk kedalam dan disilahkan duduk
diatas kursi panjang yang indah bikinannya.
Si gadis duduk didepannya dan ketawa manis.
"Toako, kenapa kau tidak bicara, apa memangnya kau
gagu?" tanya si gadis jenaka.
"Oh, ma"af, aku mengganggu Siocia," sahut Kim Liong
gugup. "Toako, jangan pakai banyak peradatan, panggil saja
nama kecilku Lin..."
Kim Liong anggukkan kepala. "Apa Siocia, eh, adik Lin
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang barusan meniup seruling?" tanya Kim Liong agak
gugup ia menghadapi gadis hartawan itu.
"Tidak salah, itulah aku yang meniupnya, kenapa?"
sahut Lin. "Oh, sungguh merdu irama lagunya, sampai
semangatku terbetot kemari. Harap Sio... eh adik Lin
jangan marah aku datang mengganggu"
"Toako, kau bicara demikian gugup tidak keruan,
tenangkanlah hatimu, aku juga tidak akan menelannya,
kau jangan takut!" si Lin berkelakar dengan ketawa.
Mau tidak mau Kim Liong jadi ketawa ngakak.
"Nah, begitulah kalau jadi orang laki-laki!" kata Lin.
Kim Liong mulai hilang rasa kikuknya, ia berkata, "Adik
Lin, kau sungguh cantik. Siapa ayahmu yang terhormat?"
"Ayahku tidak ada disini," sahutnya bersenyum manis.
"Ia hanya kadang-kadang saja datang menjenguk aku
disini." "Dan ibumu?" tanya pula Kim Liong kepingin tahu.
"Ibuku" Ibu tidak satu rumah dengan aku, ia punya
lain rumah sendiri."
"Tempat begini luas dan indah, kenapa kau tinggal
sendirian?" "ltu lebih menyenangkan, Toako. Untuk apa tinggal
nyampur dengan orang tua?"
"Ayahmu kau katakan hanya kadang-kadang saja
datang menjenguk, memang tinggalnya jauh dari sini"
Kasihan kau hanya dijenguk kadang-kadang saja oleh
ayahmu." Gadis cantik jelita itu ketawa, dua sujennya bermain
mempesonakan Kim Liong yang memandangnya dan
hatinya bergejolak tidak keruan.
Tampak ia bangun dan menuangi air teh, kemudian
disuguhkan pada Kim Liong.
Anak muda itu menyambuti sambil membilang banyak
terima kasih. "Tahun ini ayahku tidak melihat aku, entahlah" Aku
harap lain tahun ia datang, aku rindu melihat ayah," kata
si nona, seraya duduk lagi dikursinya.
"Ah, menjenguk puteri sendiri saja masa sampai
tahunan?" "ltulah kebiasaan ayah, Toako."
Kim Liong heran, tapi ia tidak menanya lebih jauh. Ia
alihkan pembicaraan: "Adik Lin, kau tinggal sendirian,
apa kau tidak takut?"
"Takut apa?" si jelita mesem menggiurkan.
"Takut, kalau ada orang jahat yang nyelonong masuk
dan mengganggu kau."
"Hihihi...!" si gadis ketawa. "Orang jahat sudah
menyelonong masuk, apa yang mau dikatakan lagi" Ah,
Toako kau bergurau!"
Kim Lieng terbelalak matanya. Ia kaget, karena dirinya
dicap orang jahat yang nyelonong masuk. Ia penasaran,
katanya: "Adik Lin, aku bukannya orang jahat!"
"Kalau bukan orang jahat, apa" Tengah malam
menyatroni seorang gadis yang kesepian, kalau tidak
berniat jahat, apa?"
Kim Liong makin penasaran difitnah si gadis.
"Adik Lin, aku datang hanya ingin lihat siapa yang
menabuh seruling, bukannya bermaksud jahat atas
dirimu!" kata Kim Liong dengan penuh penasaran.
"Wah, Toako kelihatannya penasaran. Aku hanya
main-main saja, berkelakar, untuk apa kau bersungguhsungguh
menganggap perkataanku barusan?" sahut si
gadis ketawa. Seketika itu juga reda penasarannya si anak muda.
Diam diam dalam hatinya ia memaki: "Gadis nakal,
apakah cara begitu kau berkelakar" Hampir-hampir
perutku meledak lantaran tuduhanmu yang bukanbukan..."
Gadis itu menggeserkan kursinya mendekati Kim
Liong. Ia menanya: "Siapa namamu, Toako" Apa aku
boleh tahu?" "Tentu saja boleh" sahut Kim Liong kontan. "Namaku
Kim Liong she Tan." "Bagus namamu, namaku Lin Lin. Biasanya ayah dan
ibu panggil aku Lin saja sejak kecil, makanya barusan
aku minta kau panggil nama kecilku saja."
"Sungguh indah namamu, adik Lin. Pantas sekali
dengan wajahmu yang cantik!" memuji Kim Liong tanpa
disadari saking mengagumi kecantikan anak dara itu.
Lin Lm mengerlingkan matanya menusuk jantung Kim
Liong. Anak muda itu bukannya hidung belang sebenarnya,
tapi entah kenapa berhadapan dengan Lin Lin ia agak
berani dan nekad. "Toako, apa kau bisa memainkan kim?" tanya si dara
manis. "Aku tidak pandai, tapi coba-coba saja," sahut Kim
Liong. Anak muda itu dirumahnya sering memainkan kim,
tabuan Tioaghoa yang sangat digemari oleh muda-mudi
yang suka seni musik. Lin-Lin bangkit dari duduknya dan mengambil tabuan
yang dimaksud. "Adik Lin, bagus amat kim ini" kata Kim Liong seraya
menyambuti barang yang diserahkan kepadanya.
Kemudian ia pentil-pentil, seakan-akan menyetemkan
senarnya. "Kau menabuh kim dan aku meniup seruling,
bukankah itu bagus?" Lin Lin kata.
Kim Liong anggukkan kepala. Namun ia tidak melihat
Lin Lin yang ketawa manis kepadanya, karena saat itu
pikirannya sedang dipusatkan menyetem kimnya.
"Mari kita mainkan didepan," mengajak Lin Lin.
Kim Liong menurut. Sebentar lagi tampak mereka
duduk diserambi depan rumah tidak berjauhan, hidung si
anak muda masih bisa saban saban kesambar bau harum
dari pakaiannya si gadis atau mungkin juga bau harum
itu keluar dari tubuhnya si cantik yang putih laksana salju
dibalik bajunya yang agak tipis.
Gerak-gerik si nona begitu lincah dan menarik hati,
membuat Kim Liong terpesona oleh karenanya. Kalau
dulu ia tidak suka mengenangkan cinta, kini ia
mengharapkan cinta. Dewi Asmara telah mengaduk dalam
otaknya menghadapi gadis demikian cantik dan
mengoyahkan iman dari seorang pendeta.
"Toako, kau tunggu...." tiba-tiba si nona berkata,
ketika barusan saja ia duduk dan sekarang bangkit pula,
terus masuk kedalam. Tidak lama ia keluar dengan satu nampan indah,
diatasnya ada sebotol arak dan hidangan yang menjadi
temannya. "Toako, sebelum kita mulai memainkan tabuhan,
marilah kita keringkan dulu beberapa cawan arak dan
kuwe kuwe yang sederhana," mengundang si gadis
dengan senyumnya yang memikat dan matanya
mengerling kearah Kim Liong.
Hatinya pemuda itu berdebaran. Ia seberapa bisa
menekan geloranya sang hati, ia tidak mau nanti
dikatakan kurang sopan terhadap si gadis yang baik hati
itu. "Adik Lin, kau membawakan sendiri hidangan ini,
apakah kau tidak punya pembantu dirumah yang biasa
melayani tamu?" tanya Kim Liong.
"Pelayan ada, tapi semuanya sudah pada tidur," jawab
si gadis. "Aku tidak mau ada pelayan diantara kita, maka
aku tidak membangunkannya. Mari kita coba dulu
araknya." Kim Liong menyambuti cawan arak yang disodorkan
kepadanya, Ketika ia dekati bibir cawan, ia segera ia
membaui arak yang sangat wangi dan menarik seleranya.
"Arak wangi, arak wangi..." Kim Liong memuji seraya
ketawa kegirangan. "Toako, kau suka arak, itu baik sekali!" kata si gadis
ketawa. "Aku masih menyimpan beberapa botol lagi,
nanti, kalau sebotol ini habis diminum akan kuambilkan
lagi untuk Toako. Mari kita sekarang minum untuk
merayakan malam gembira ini..."
Kim Liong angkat cawannya dan berbareng dengan si
gadis, ia minum kering isinya.
Benar-benar itu arak bagus, meskipun arak sudah
melewati tenggorokannya, Kim Liong rasakan seperti
masih ada nyangkut dan menyiarkan hawa wangi.
Si nona kembali tuangi arak dalam cawan Kim Liong
yang kosong. "Minum, minumlah lagi Toako!"
mengundang si gadis. Kim Liong lantas tenggak pula arak wangi itu, kembali
hatinya merasa senang dapat mcncicipi arak yang
sebagus itu. Juga si gadis tidak mau ketinggalan dan dia minum
kering arak dari cawannya.
Sebentar lagi, tampak si nona bangkit dari duduknya
dan masuk kedalam. Tidak lama kemudian ia kembali
dengan membawa dua botol arak lagi.
Kim Liong gembira sekali. Ia memang biasa minum
arak, tapi belum pernah ia minum arak yang sewangi
malam itu. "Adik Lin, kau baik sekali," kata Kim Liong, ketika si
nona taruh botol arak diatas meja. "Dengan diantar oleh
arak yang demikian harum, benar-benar malam terang
bulan seperti sekarang ini menggembirakan hatiku..."
"Toako, syukur kalau kau dapat kegembiraan dengan
pertemuan kita yang pertama ini," sahut si gadis, kembali
ia kasi lihat senyumannya yang tak dapat dilupakan oleh
si anak muda. "Adik Lin, apa kita boleh mulai dengan tabuhan kita?"
tanya Kim Liong. "Boleh, boleh. Silahkan Toako!" sahat si gadis
kegirangan. Kim Liong mulai memetik kimnya dengan sebuah lagu
kesayangannya, yang ia namakan "Bertemunya muda
mudi". Lagu merdu dengan isinya mengharukan dan
meresap dalam hati. Ternyata Kim Liong pandai sekali memetik kim,
suaranya mengalun jauh disana dalam malam sunyi
demikian. Lin Lin menikmati lagu kim yang dipetik Kim
Liong sembari memejamkan matanya yang halus.
Lagu yang dikumandangkan oleh kimnya Kim Liong itu
berisi sajak (kata-kata) sebagai berikut:
"Di Sana jauh di sana...
Ku jumpa seorang nona. Hatiku menjadi bimbang, Semangatku seperti terbang.
Apa itu gerangan cinta"
Membuat hatiku merana?"
"Bagus, bagus...!" memuji si nona, seraya bertepuk
tangan, tatkala Kim Liong hentikan memetik kimnya.
"Toako, kau pandai benar memetik kim, sungguh senang
aku mendengarnya bila setiap malam dapat berduaan
dengan kau..." "Adik Lin, kau berkelebihan memuji," sahut Kim Liong
merendah. Namun, diam-diam ia senang atas pujian si nona,
malah hatinya berdebaran mendengar Liu Lin
mengatakan ia senang sekali kalau tiap malam
mendengarkan lagunya itu dengan berduaan saja,
mereka berkumpul. "Toako. Apa kau suka sekali lagi memainkan lagumu
tadi" Aku senang mendengarnya" memohon si gadis,
ketika Kim Liong sudah menghirup kering arak dalam
cawannya. "Adik Lin, asal itu tidak membosankan kau, biarpun
kau suruh aku menabuh kim semalaman, aku tidak
keberatan," kata Kim Liong ketawa.
"Sungguh kau adalah engkoku yang baik, Toako. Nah,
terimalah lagi secawan arak sebagai pengantar lagumu
yang akan diperdengarkan..." kata Lin Lin sambil kembali
menuangkan arak dalam cawan Kim Liong dan dihirup
kering oleh si anak muda.
Sebentar lagi menggema pula suaranya kim, kali ini
diiringi dengan suara Kim Liong yang menuangkan isi
hatinya dengan kata-kata:
"Di sana jauh di sana...
Senyumnya bikin aku menanya.
Apa kau tak menolaknya"
Bila aku memeluknya"
Dunia jadi kita punya Bila kita memadu cinta"
"Sungguh indah, sungguh indah..." memuji Lin Lin
sambil bertepuk tangan. Kim Liong hentikan memetik kimnya sambil
memandang kearah Lin Lin.
Si cantik menyambut tatapan pemuda itu dengan
senyuman memikat. Wajahnya yang cantik jelita tampak
memerah karena pengaruhnya arak, makin menonjol dan
mengairahkan dalam pandangan Kim Liong. Alisnya
yang. Lentik, dibawah mana bersemayam sepasang mata
yang tajam halus, membuat Kim Liong berdebaran
hatinya, kapan dilirik oleh si gadis. Pemuda itu tidak tahu
bagaimana ia harus berbuat menghadapi si cantik yang
membetot-betot ujantungnya itu.
Untuk menekan gelora hatinya, ia berkata: "Adik Lin,
aku sudah memenuhi permintaanmu memetik kim,
sekarang tinggal giliranmu, cobalah mainkan
serulingmu..." Lin Lin ketawa. "Tentu, tentu, akan kusambut lagumu
tadi," sahutnya. Lin Lin lantas menyiapkan seruling kumalanya yang
indah dan segera ditempelkan pada bibirnya yang merah
delima. Bibir yang mungil itu seperti gemetar menyentuh
lobang seruling, diikuti oleh pandangan mata Kim Liong
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tak berkedip. Segera terdengar lagu seruling memecah kesunyian
malam. Awan yang agak kegelap-gelapan berlalu-lalang dan
menutupi rembulan yang terang. Suasana sangat
menggembirakan bagi dua anak muda itu. Selama Lin Lin
meniup serulingnya, saban-saban ia melemparkan lirikan
aneh dan agak genit dalam pandangan Kim Liong.
Lagu yang dikumandangkan oleh Lin Lin adalah
lagunya Kim Liong tadi, hingga si anak muda menjadi
heran kenapa Lin Lin dapat melagukan lagu
kesenangannya itu" Dalam lagu seruling itu ada mengandung sajak:
"Di sana jauh di sana...
Kulihat seorang pemuda. Ia bersenyum kearahku, Membuat berombak dadaku. Ingin "ku menanya padanya,
Apa ia ada yang punya?"
Kim Liong menikmati lagu itu dengan pikiran
melayang-layang jauh, ia merasa dirinya diayunambingkan
oleh buaian lagu dan sajak dari seruling si
nona. "Sungguh indah kau meniup senilingmu, adik Lin!"
memuji Kim Liong, ketika si nona meletakkan
serulingnya. "Laguku hanya meniru dari lagumu, apanya yang
bagus?" sahut si gadis ketawa.
"Adik Lin, kau bisa memainkan lagu itu, apakah
barusan saja kau mendengar dari aku, apa memang kau
juga memainkan lagu "Bertemunya muda-mudi!?""
Si nona tidak menjawab. Hanya bersenyum saja dan
anggukkan kepala. "Bagus, kalau begitu masih ada satu sajak lagi, apa
kau suka nyanyikan didepanku, adik Lin?" memohon Kim
Liong. "Aku tidak keberatan, asal kau suka
mendengarkannya," sahut si gadis ketawa.
"Tentu, tentu, tolonglah kau nyanyikan..." Kim Liong
seperti kebakaran jenggot memohon, hingga Lin Lin
menjadi ngikik. Kim Liong menanti sajak berikut yang dinyanyikan si
gadis. Ia tidak mengira suaranya si gadis demikian empuk
merayu ketika Lin Lin mem buka mulutnya menyanyikan
sajak terakhir dari lagu "bertemunya muda mudi".
Kim Liong tampak berseri-seri gembira. Kadangkadang
mengerutkan alisnya dan menarik napas
panjang. Sajak itu bunyinya seperti berikut:
"Di sana jauh di sana...
Itulah alam dunia Pemuda dengan pemudi. Wajar memadu kasih. Didunia hanya kenangan, Kenapa sia-siakan kesenangan?"
Suatu sajak yang mendebarkan hati pemuda yang
mendengarnya, apapula sajak itu dinyanyikan oleh
pemudi seperti Lin Lin yang hebat kecantikannya.
Kim Liong merasa gelisah tiba-tiba, waktu Lin Lin
hentikan menyanyinya. "Adik Lin, suaramu sangat merdu, sungguh aku tidak
bosan mendengarnya..." memuji Kim Liong, seraya
menatap wajah si jelita. Lin Lin hanya ketawa mesem dan membalas tatapan
Kim Liong. Sepasang mata beradu pandangan, seperti berbicara,
keduanya lain menundukkan kepala dengan hati
berdebaran. "Adik Lin, mari kita minum pula. Sebagai pemberian
selamat dariku" kata Kim Liong yang memecahkan
kesunyian. Lin Lin bersenyum dikulum, tangannya yang halus
menyambuti cawan arak yang sudah terisi penuh, yang
disodorkan oleh Kim Liong.
Muda-mudi itu segera mengeringkan araknya, kembali
Kim Liong menuangi arak dalam cawan si gadis dan
minta Lin Lin minum lagi.
"Toako, ini adalah cawan yang terakhir, aku sudah
mabuk..." kata si gadis, matanya agak dipejamkan, tapi
arak dihirup kering dari cawannya dan dengan lesu si
gadis meletakkan cawan kosong diatas meja.
Kim Liong juga merasakan kepalanya sudah pusing.
Ia memandang pada Lin Lin yang tengah
menyandarkan badannya pada sandaran kursi, matanya
redup-redup ngantuk, bibirnya yang merah delima
seperti agak gemetar. Kadang-kadang ia seperti
bersenyum kearah Kim Liong.
Bergejolak hatinya si anak muda melihat
pemandangan itu semua. "Aduh, panas..." kata si gadis, seperti yang ngelindur.
Menjusul Lin Lin telah membuka kancing bajunya dan
meloloskan pakaian atasnya.
"Aduuh... maak..!" Kim Liong mengeluh dalam hatinya,
melihat Lin Lin meloloskan pakaian atasnya dan hanya
kain sutera tipis saja yang membungkus kulitnya yang
putih halus, dadanya berombak naik turun hingga
sepasang bukitnya yang belum lama, tampak tegas sekali
ikut bergerak. Suatu pemandangan yang membuat kalap lelaki rakus.
Kim Liong bukan lelaki rakus, ia tekan penasaran
bergejolak hatinya supaya jangan sampai melalukan
perbuatan tidak baik terhadap gadis yang masih suci
dalam keadaan mabuk itu. Untuk menghibur diri, terusterusan
minum arak wangi yang menyenangkan
seleranya. Dalam keadaan mabuk ia ketawa terbahakbahak
sendirian. Botol pertama sudah habis diminum berdua, botol
kedua ditenggak habis dan botol yang ketiga, arak
tinggal sepertiganya. Kim Liong tidak mau meninggalkan
restan, ia sikat habis dan dimasukkan kedalam
tenggorokannya. Sampai disitu ia rasakan perutnya seperti bergolak
kepanasan, arak wangi itu seperti menyelusuri seluruh
tubuhnya, menerobos sana dan nerobos sini, hingga Kim
Liong kebingungan takut minum arak beracun. Ia tahan
hawa panas yang bergolak dalam perutnya. Dengan
Lwekangnya ia menahan, tapi tenaga dalamnya tertolak
mundur oleh tenaga arak yang bergolak dalam perutnya.
"Toako, kau jangan habiskan arak itu, kalau minum
kebanyakan tenagamu nanti sangat hebat dan tidak ada
orang yang mengalahkan, itulah arak "Thay-lek-seng-ciu"
yang tidak sembarangan orang ada jodoh
meminumnya...." Kim Liong terkejut, itulah suaranya Lin Lin. Tapi kapan
ia menoleh kearah si gadis, si nona masih memejamkan
matanya dengan pakaian atasnya masih terbentang.
Bingung Kim Liong, lantaran hawa panas yang
mengaduk dalam perutnya belum mau hilang.
Yang membuat ia heran, Lwekangnya dengan mudah
ditolak mundur oleh tenaga arak tadi, malah perlahanlahan
rasanya tenaga dalamnya tertarik dan bergabung
jadi satu dengan tenaga arak tadi berkumpul di tantian
(perut). Entah beberapa banyak peluh yang membasahi
tubuhnya, Kim Liong bergelisahan merasa tidak tahan
oleh bekerjanya arak yang bergolak dalam perutnya.
Seluruh badannya dirasakan sangat panas dan ingin ia
berkaok-kaok minta tolong kalau tidak malu kepada si
gadis yang tengah enak-enakan memejamkan matanya.
Dalam keadaan bergelisahan demikian, tiba tiba Kim
Liong mendengar suara Lin Lin lagi, katanya: "Toako, kau
terlalu banyak minum "Thay-lek-seng ciu", itu karena kau
terlalu rakus, tanpa ada obatnya kau akan mati
konyol...!" "Adik Lin, tolong kau kasi obatnya, tolong adik Lin, aku
bersumpah tidak berani lagi minum arak celaka itu..."
meratap Kim Liong ketakutan.
"Obatnya mudah saja..." sahut Lin Lin, tapi orangnya
masih memejamkan matanya, seperti sedang tidur,
hingga Kim Liong merasa heran.
"Adik Liu, apa obatnya" Sebutkan, aku nanti
mencarinya sampai dapat!?"
"Obatnya sudah ada, asal kau berani melakukannya."
"Aku berani melakukannya, adik Lin..."
"Bagus. Kau tidak sampai mati konyol."
"Mana obat itu, adik Lin?"
"Obat sudah didepan mata, kenapa kau tidak lekaslekas
melakukannya?" Kim Liong menjadi bingung. Ia mendekati Lin Lin, tapi
ia tidak lihat ada obat terletak didekat si gadis, sedang si
nona sendiri masih menyandarkan badannya pada
sandaran kursi seperti tidur. Ia heran, tapi tegas apa
yang ia dengar tadi Lin Lin katakan, maka ia menanya:
"Adik Lin mana obatnya?"
"Anak tolol, obat didepan mata masih mencari-carinya
lagi?" Kim Liong betul betul tidak paham dengan kata-kata
Lin Lin. Ia diam termenung-menung, sedang hawa panas terus
mengamuk dalam perutnya, hingga tak tahan ia kalau
tidak keluarkan rintihan. Ia merintih-rintih dan
memandangi parasnya si nona yang sangat elok. Bulu
matanya yang lentik panjang seperti menutupi sepasang
matanya yang dipejamkan. Mulutnya yang mungil
bersenyum kearahnya. "Anak tolol. Kau masih mau tunggu apa lagi?"" tibatiba
Lin Lin membuka mulutnya berkata, dan ini dapat
dilihat tegas oleh Kim Liong.
"Adik Lin, aku harus berbuat bagaimana?"
"Hawa panas harus dibrantas oleh hawa dingin, baru
berimbang, maka hawa dingin itu ada pada badanku, kau
masih mau tolol-tololan lagi?"
Kim Liong melengak heran. Perlahan-lahan ia mengerti
akan kata-kata si nona yang tidak tegas. Ia maklum,
karena si nona masih gadis. Kalau ia berkata blak-blakan
terang ia akan merasa malu. Meskipun sudah
delapanpuluh persen paham akan kata-kata si gadis, Kim
Liong masih ragu-ragu akan menjamah badan si gadis
yang demikian menggairahkan.
Tapi keinginan sembuh telah mendorong keraguraguannya.
Perlahan-lahan ia dekati si gadis yang rebah
bersandar di kursi. "Kau pondongaku dan rebahkan didipan sana, aku
nanti obati kau..." tiba-tiba Lin Lin berkata, tapi matanya
terus dipejamkan, hanya mulutnya saja yang bergerak.
Berdebar keias hatinya Kim Liong.
Ia sudah nekad kepingin sembuh sakitnya, maka
dengan tidak sangsi lagi ia meraih si gadis dari kursinya
dan dipindahkan diatas dipan.
Badannya si gadis dirasakan sangat dingin ketika
bsrsentuhan dengan badannya.
Kim Liong tidak menghiraukan itu, malah tiba-tiba Lin
Lin memeluknya waktu tubuhnya hendak diletakkan di
atas dipan, Kim Liong rasakan ada apa-apa yang aneh
merangsang napsunya, ia membalas memeluk dan dilain
detik... terjadilah pergumulan yang seru.
Terdengar dengusan saling susul seperti dua ekor
naga yang bertarung. Setelah selesai bergumul, Lin Lin berkata: "Toako,
pertemuan kita adalah jodoh. Aku menyerahkan diriku
untuk mengobati hawa panas dalam tubuhmn, berarti
selesai tugasku. Aku harap, sesudahnya kau bisa bawa
dirimu baik-baik..."
"Memangnya kita akan berpisahan!" potong Kim Liong.
"Jodoh kita hanya sampai disini..."
"Tidak, tidak, kau adalah penolongku dan akan kupuja
kau sebagai isteriku yang tercinta, akan kubawa kau
menemui ibu dan ayahku... Kita tak akan berpisahan
pula!" Kim Liong berkata seraya merangkul Lin Lin dan
menciuminya seperti orang kalap.
Lin Lin manda saja dipeluki dan diciumi Kim Liong,
sementara Kim Liong dalam melakukan perbuatannya itu
makin lama makin heran, karena badannya si gadis
sangat dingin, malah paling belakang seperti memeluk es
batu. Tapi, lantaran cintanya yang besar pada Lin Liu yang
sudah menyembuhkan rasa panas dalam perutnya
dengan mengorbankan kehormatannya, ia tidak
perdulikan hawa dingin dari tubuhnja si cantik, ia terus
memeluk dan menciumi bertubi-tubi.
Cuaca perlahan-lahan telah menjadi terang.
Kim Liong masih memeluki Lin Lin. "Adik Lin. Hidupku
akan merana manakala kau tidak besertamu. Oh, adik
Lin..." Ia kembali mencium si gadis, ia mencium...
mencium... hidungnya dirasakan sakit entah kenapa"
Kiranya yang diciumi olehnya adalah.... bongpay atau
batu nisan... Kim Liong melejit bangun dengan sangat kaget.
Bangunan indah dengan pulau-pulauan nya yang
menarik hati, perabotan yang mewah didalamnya, kolam
pohon teratai yang daunnya dipakai pijakan untuk
mencapai pulau-pulauan, kini tidak tertampak disekeliling
Kim Liong. Hanya yang tertampak banyak kuburan.
Kiranya malam tadi ia telah tertidur, diatas kuburan itu
yang batu nisannya ia ciumi.
Kim Liong tidak ketakutan oleh karenanya, malah ia
memeriksa kuburan yang dia ciumi. Batu nisannya itu
adalah kuburan siapa"
Tampak pada batu nisan ada ditulis: "DISINI
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BERISTIRAHAT CIA LIN LIN US1A 16 TAHUN, PUTERI
TUNGGAL DARI CIA TIKWAN."
Kiranya Lin Lin itu adalah puteri tunggal dari pembesar
setempat. Kim Liong duduk termenung-menung dekat kuburan
Lin Lin. Ia lihat kuburan-kuburan kotor, banyak tumbuh
rumput alang-alang. Ia ingat Lin Lin ada berkata bahwa
ayahnya tahun yang lalu tidak menjenguknya, rupanya
sudah setahun lebih kuburan itu tidak dibersihkan karena
tidak ada yang datang. Gadis itu telah mengatakan
bahwa ibunya ada tinggal tidak berjauhan dengan
rumahnya, mungkin kuburan ibunya tidak jauh dengan
Lin Lin. Ketika Kim Liong selidiki, benar saja hanya
kealangan tiga kuburan terdapat kuburan ibunya Lin Lin.
Sementara itu Kim Liong rasakan badannya sangat
sehat dan enteng sekali. Kim Liong kembali duduk dengan termangu-mangu
membayangkan kejadian yang ia alami.
Bagaimana gembiranya ia duduk berduaan memainkan
kim dan seruling dan menyanyi, masing-masing isi
hatinya melalui lagu "Bertemunya muda mudi". Sambil
tertawa-tawa gembira mereka mengeringkan arak "Thaylekseng-ciu", kemudian mereka jadi mabuk dan si jelita
kepanasan membukai bajunya sehingga tertampak
tubuhnya yang menggiurkan. Bagaimana ia minum arak
berkelebihan dan jadi kepanasan perutnya dan
penyakitnya sembuh karena si gadis kasikan dirinya
digunakan sebagai obatnya.
Kim Liong tidak melupakan kebaikannya Lin Lin.
Bagaimana pengaruhnya Thay-lek seng-ciu, Kim Liong
tidak pikirkan. Ia hanya memikirkan kebaikannya Lin Lin
dan dengan tidak terasa ia jatuhkan diri berlutut didepan
kuburan si nona dan berkemak-kemik berkata: "Adik Lin.
Aku tidak melupakan kebaikanmu. Kita telah
berhubungan badan dalam dunia khajal, aku harap dilain
penitisan kita jumpa dan menjadi suami isteri. Harap
arwahmu ditempat baka merasa senang dengan kata
kata ini dan lain kali kapan aku lewat disini, pasti akan
menjenguk kuburanmu..."
Setelah itu, Kim Liong bangkit dari berlututnya.
Dengan perlahan ia menepuki batu nisan si gadis seraya
berkata: "Adik Lin selamat tinggal..."
Untuk kekagetannya Kim Liong lihat batu nisan yang
ditepuk perlahan tadi telah pecah berantakan. Ia sangsi
tenaganya demikian dahsyat, mungkin kalau batu nisan
itu yang sudah amoh hanya ditepuk pelahan saja
berantakan. Dalam bingungnya tiba-tiba ia diserbu oleh lima orang
polisi. "Hei, aku bukan orang jahat, kenapa kalian mau
tangkap aku?" kata Kim Liong seraya berkelit dari
serbuan kawanan polisi itu.
Kepala rombongan polisi yang berkumis melintang dan
tinggi besar membentak: "Kalau bukan orang jahat
kenapa kau menepuk hancur batu nisan Siocia?"
"Aku tidak bermaksud menghancurkan. Aku hanya
menepuk pelahan, boleh jadi batu nisan itu yang sudah
amoh!" jawab Kim Liong.
"Hm! Batu nisan sudah amoh" Kau periksa dan buka
matamu yang lebar, apa batu itu amoh" Dasar penjahat,
kau harus ditangkap dan dikasih hukuman..."
"Hei, ada apa ini ribut ribut. Siang Kiu, ada apa?" tibatiba
seorang dengan pakaian kebesaran muncul diantar
oleh tiga orang pelayan perempuan jaug membawa
rantang makanan, rupanya mau bersembahyang
dikuburan. "Lapor pada Tayjin." Kata Siang Kiu, "Orang muda ini
jahat betul, masa batu nisan Siocia ia pukul sampai hancur?"
Pembesar iiu, yang bukan lain Cia Tikwan, ayahnya Lin
Lin, lalu memeriksa batu nisan anaknya, memang juga
sudah hancur berantakan. Cia Tikwan menjadi tidak senang. La memandang Kim
Liong dan membentak: "Kau siapa" Kau berani memukul
remuk batu nisan anakku, memangnya anakku punya
salah apa terhadapmu" Kau jangan sembarangan, apa
kau tidak lihat diatas batu nisan itu ada tulisan bahwa ini
adalah kuburan anakku?"
Cia Tikwan memandang tajam pada Kim Liong. Ia lihat
Kim Liong adalah satu anak muda yang ganteng
perawakannya, sayang mukanya dirusak oleh goresan
senjata tajam dan jadi jelek, sedang tangan kanannya
buntung kalau melihat lengan bajunya yang kosong. Ia
tidak mengerti, kenana anak muda ini menggempur batu
nisan anaknya" Apa ia memang kekasih anaknya dan
saking jengkel telah melampiaskan marahnya dengan
menggempur batu nisan Lin Lin"
"Tayjin," kata Kim Liong, ia tidak berlutut, hanya
menyoja saja sebagai tanda hormat. "Apa yang terjadi
bukannya disengaja. Aku mengucapkan selamat tinggal
pada puteri Tayjin sambil menepuk pelahan pada batu
nisannya, tidak tahunya telah pecah berantakan. Aku
sedang pikir apa batu itu amoh, dengan tiba-tiba aku
diserbu oleh orang-orang Tayjin. Aku harap atas
kelancangan aku barusan Tayjin suka memberi ma"af!"
"Kau mengucapkan selamat tinggal pada anakku,
memangnya kau kenal?" tanya Cia Tikwan. Ia heran Kim
Liong mengatakan demikian.
"Ya, aku kenal dengan Siocia" sahut si anak muda
polos. "Kau kenal dimana?" tanya pembesar.
"Aku kenal dengan Siocia dalam impian..."
"Apa kau sakit ingatan?"
"Tidak, aku tidak gila. Memang benar aku kenal
dengan Siocia dalam impian..."
"Siang Kiu!" Cia Tikwan teriaki orangnya. "Lekas
tangkap orang gila ini!"
Siang Kiu mengiyakan, lantas ajak kawan-kawannya
mengepung Kim Liong. Anak muda kita tidak senang dirinya dikepung, maka
ia berkata: "Tayjin, apa kesalahanku mau ditangkap?"
"Kesalahanmu lantaran ngaco belo kenal dengan
anakku!" Kim Liong bingung. Ia hendak menjelaskan kepada Cia
Tikwan tentang pertemuannya dengan Lin Lin akan
percuma saja, Cia Tikwan tentu tidak mau mengerti. Oleh
karena itu, untuk meloloskan diri kepaksa ia harus
bertempur dengan kawanan polisi itu.
Ia tidak berniat menumpahkan darah, ia hanya ingin
kawanan polisi itu tahu kelihayannya, maka ia hanya
menggunakan lengan bajunya yang kanan, yang kosong,
untuk menggebas mereka. Kim Liong pikir dengan
kebasan tangan baju sudah cukup bikin mereka mundur,
sebab tangan bajunya ada mengandung Lwekang.
Untuk kekagetannya, lima orang polisi itu ketika
dikebut oleh lengan bajunya telah mencelat jauh satu
persatu tubuhnya. Kira-kira sampai dua tombak jauhnya
dan mereka merangkak bangun dengan susah payah.
Kim Liong heran, kenapa tenaganya jadi begitu hebat"
Ia ingat sekarang, bahwa tenaganya hebat karena ia
minum arak sakti, ijalah "Thay-lek-seng-ciu" dari Lin Lin.
Dari heran ia berbalik kegirangan. Melihat dahsyatnya
tenaga dalamnya sekarang, ia tidak berani lain kali
sembarangan menggunakannya, sebab bisa membikin
orang mampus. Tikwan juga heran melihat dengan segebrakan saja
Kim Liong telah bikin terjungkal lima orangnya. Ia
berteriak dan minta Siang Kiu membekuk si anak muda
kembali. "Tayjin, aku tidak bersalah dan kita juga tidak
bermusuhan, untuk apa dipaksakan untuk menangkap
aku" Batu nisan adik Lin yang pecah nanti aku suruh
orang perbaiki atau bikin yang baru."
Cia Tikwan masih ngotot dan suruh orangnya
menyerbu Kim Liong. Anak muda kita tidak senang orang tidak bisa dikasi
mengerti, maka ketika Siang Kiu mengirim jotosan ia
tidak berkelit, sebaliknya ia menyambuti kepalan orang.
Dengan tidak disengaja ia memencet tinju Siang Kiu,
seketika itu juga Siang Kiu berkaok-kaok kesakitan dan
tinjunya telah remuk hancur.
Kembali Kim Liong kaget atas kehebatan tenaganya.
Ia mendorong Siang Kiu perlahan, namun akibatnya
runyam untuk si kepala polisi, karena tubuhnya
terdorong melayang dan jatuh membentur tanah, hingga
ia rasakan sakit semaput.
Empat kawannya Siang Kiu meluruk seraya mencabut
goloknya masing-masing. Mereka kira dikeroyok dengan
golok, Kim Liong akan mudah ditangkap. Tampak Kim
Liong gunakan ginkangnya berkelebat, tahu-tahu empat
goloknya orang polisi itu sudah pindah tangan.
Kemudian dengan suara lantang, Kim Liong berkata:
"Tayjin, kalau kau masih penasaran, lihat tubuhmu akan
kubikin seperti ini!" menyusul satu persatu golok orangorang
polisi itu dipatahkan oleh Kim Liong seenaknya
saja, dengan satu tangan kirinya, hingga matanya Cia
Tikwan terbelalak saking heran dan kagum.
Menyusul badannya menggigil ketakutan.
Kim Liong sementara itu tidak acuhkan si pembesar
yang salah paham, ia tinggalkan tempat itu tanpa pamit
lagi pada si pembesar yang ketakutan.
Cia Tikwau sebenarnya ingin memanggil balik Kim
Liong untuk ditanyakan persoalannya dengan puterinya,
tapi ia tidak berani buka suara, ia takut Kim Liong marah
membuat susah kepada dirinya.
"Mungkin juga pemuda itu tidak sengaja menggempur
batu nisan Siocia, Tayjin," berkata Siang Kiu. "Lihat ini
tinjuku!" Siang Kiu sambil memperlihatkan tinjunya yang
sudah remuk tidak keruan.
Cia Tikwan geleng kepala. "Pemuda itu sangat besar
tenaganya," kata Cia Tikwan setelah menghela napas.
"Golok kalian dengan satu tangan saja dipatahkan satu
demi satu, seperti juga senjata itu hanya terbikin dari
tanah lempung. Entahlah ia ada hubungan apa dengan
puteriku, sayang aku tidak keburu menanyakan lebih
jelas." "Kita terburu napsu," kata Siang Kiu. "Kalau dilihat
begitu, pemuda itu tidak gila, pikirannya cukup sehat.
Perkenalannya dengan Siocia entah dengan cara
bagaimana, sungguh sayang Tayjin tak dapat
mengetahuinya..." -oo0dw0oo- Bab 27 CIA TIKWAN Cia Tiang Ek menjabat Tikwan (Kepala distrik) di
Hongkoan, satu distrik yang lumayan juga penduduknya,
terkenal sebagai pembesar yang jujur. Ia menikah dalam
usia tigapuluh tahun dengan seorang gadis dari usia
duapuluh tahun bernama Thio Im Nio. Dengan siapa, Cia
Tiang Ek dapat hidup akur dan beruntung. Setelah lima
tahun menikah, barulah suami isteri itu telah dikurniakan
anak seorang puteri yang mereka namakan Lin Lin.
Bagaimana girangnya Cia Tiang Ek dan isteri, itu tak
usah dikatakan lagi, mereka telah mengadakan
perjamuan makan-makan dan mengadakan sembahyang
Thian Allah sebagai pengucapan syukur mereka telah
dikurniakan anak yang mungil.
Lin Lin ternyata adalah anak yang rnembawa rejeki,
menurut anggapan orang tuanya, sebab sejak anak itu
dilahirkan, Cia Tiang Ek dari pangkat kecil terus menerus
dapat kenaikan pangkat sampai menjadi Tikwan dalam
distrik Hongkoan. Waktu itu usianya Lin Lin sudah masuk
empat belas tahun. Dalam usia remaja demikian, kecantikannya Lin Lin
menonjol dan sangat dikagumi oleh penduduk Hongkoan.
Selain cantik, Lin Lin sangat lincah dan pintar sekali,
hingga sangat disayang oleh kedua orang tuanya.
Hidup beruntung Cia Tiang Ek dengan Thio Im Nio
ternyata tidak sampai dihari tua, ada halangan ditengah
jalan, ialah dengan munculnya seorang wanita lain.
Wanita itu bernama Tan Cui Gin, bekerja sebagai
pelayan dari nyonya rumah dan teman bermain Lin Lin,
sebab usianya dengan Lin Lin hanya kacek dua tahun,
ialah Cui Gin lebih tua ketika Lin Lin masuk usia empat
belas tahun. Cui Gin asalnya anak orang susah. Cia Tikwan yang
telah menolong kebutuhan orang tuanya, dengan suka
rela telah menyerahkan Cui Gin untuk menjadi budaknya
Cia Tikwan. Tadinya Cia Tikwan menolak, tapi waktu
ayahnya Cui Gi membujuk bahwa Cui Gin adalah satu
anak baik dan baik sekali kalau menjadi pelayan Hujin
(nyonya). Cia Tikwan jadi ketarik dan membawa Cui Gin
pulang. Cia Hujin atau nyonya Tikwan tadinya merasa muak
melihat Cui Gin, tapi setelah anak itu disuruh mandi dan
tukaran baju yang baik, ternyata parasnya boleh juga
dan menarik simpatinya nyonya Tikwan.
Waktu itu Cui Gin baru berumur empat belas tahun.
Memang ia adalah anak baik, bisa ambil-ambil hati
sang majikan, hingga nyonya Tikwan lama-lama
memandang ia sebagai anaknya sendiri saja dan dikasih
kebebasan buat ia bersolek dalam kamar Cia Hujin.
Dengan tambahnya usia dan pandai bersolek dalam
umur enam belas tahun tampak Cui Gin menonjol
kecantikannya dan tubuhnya mempunyai sex appeal
yang khas. Melihat itu, Cia Hujin senang dan ingin memungut Cui
Gin itu sebagai anaknya asli sebagai encinya Lin Lin,
puteri tunggalnya. "Cia koko," kata nyonya Tikwan pada suaminya, masih
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia tidak rubah panggilannya seperti permulaan ia menjadi
suami isteri. Itulah menandakan cinta yang kekal dari
suami isteri itu. "Ada urusan apa, adik Im?" tanya sang suami dengan
suara mencintai. "Sudah empat belas tahun sejak Lin Lin lahir, kita
belum mendapat kurnia anak lagi," sahut sang isteri
dengan suara gemetar. "Oo, kau masih mengharapkan adiknya si Lin?" tanya
sang suami ketawa. "Jangan kuatir, nanti ulang tahunnya
si Lin yang ke lima belas kau dapat lagi anak. Ha ha
ha..." "Iiih orang tua genit!" kata sang isteri, seraya
meludah. Tapi hatinya diam-diam merasa girang atas
kata-katanya sang suami yang ia tahu suaminya
berkelakar. "Habis, bukan kau mau anak lagi, adik Im?" goda sang
suami. "Bukan itu maksudku," jawab sang isteri seraya deliki
suaminya. "Kalau bukan itu, apa?" tanya Cia Tikwan heran.
"Aku pikir si Lin adalah puteri tunggal kita. Bagaimana
kalau kita tambah satu puteri lagi dan kita jadi punya dua
gadis jelita?" "Adik Im. aku tidak mengerti dengan perkataanmu
ini?" "Begini." sahut sang isteri. "Si Gin, anak itu baik, kau
lihat apa ia tidak cantik" Sekarang usianya sudah enam
belas tahun, kacek dua tahun dari si Lin yang sekarang
sudah empat belas tahun. Bagaimana kalau kita ambil ia
sebagai anak kita, sebagai encinya si Lin" Apa ini tidak
bagus?" "Baik sih baik, cuma saja kalau anak orang dianggap
anak sendiri, rasanya aku tidak begitu setuju. Kau
tunggu saja, masa kita tidak punya anak lagi?"
"idiiih. orang ajak berdamai, malah jadi melantur?"
Cia Tikwan ketawa menyeringai. "Aku masih ada
harapan, aku bisa bikin anak lagi," kata Cia Tikwan
serius. "Iiiihh. angotnya jadi. Tua-tua genit..." nyonya Tikwan
senyum dikulum. Nyonya Tikwan yang maksudnya mendamaikan
memungut anak menjadi ngawur tiap perkataannya,
melihat suaminya dengan mendadak sontak jadi agresif,
kepaksa ia melayani dan terlupakanlah saat itu
mengambil Cui Gin jadi anak angkatnya, menjadi encinya
Lin Lin. Hebat memang kalau Cia Tikwan sedang menerkam
mangsanya, sering Nyonya Tikwan kewalahan dan minta
damai. Kiranya mereka bakan berdua saja bergumul, sebab
ada orang ketiga yang menonton.
Melalui renggangan pintu yang tidak tertutup rapat,
Cui Gin menyaksikan pergumulan hebat itu dengan hati
berdebaran dan kaki rasanya lemas.
Dasar masih anak-anak, Cui Gin kira tadinya dia orang
itu sedang berkelahi, ia sudah mau berteriak memanggil
Lin Lin, tapi urung ketika matanya tertumbuk pada
bagian bawah tubuh mereka yang bekerja keras dan tak
tertutup pakaian. Mulai saat itulah hatinya si gadis cilik berdebaran dan
kakinya dirasakan lemas. Melihat pertarungan sudah selesai, si gadis ketakutan
dan dengan berindap-indap ia menjauhkan diri. Ia takut
perbuatannya dipergoki oleh majikannya.
Bagi Cui Gin, satu gadis ciiik, belurn mempunyai
pikiran apa-apa terhadap hubungan sex, tapi setelah ia
menyaksikan adegan yang mendebarkan hati itu, jadi
buat pikiran dan setempo ia jadi gelisah dimalam hari.
Ia melamun ingin menjadi isterinya Tikwan, hidup
mewah dan segalanya tidak kekurangan. Kalau sampai ia
menjadi isterinya Tikwan, selain ia mencicipi apa yang ia
pernah lihat, ia juga dapat menolong kedua orang tuanya
yang hidup miskin. Ia bisa membiayai kedua orang tua
dan satu saudaranya yang masih kecil untuk hidup
senang, tidak lagi kedua orang tuanya itu terlunta-lunta
minta kasihannya orang. Tapi apa daya" Ia hanya satu budak, mana ada
harganya untuk menjadi nyonya Tikwan" Kalau sampai
sekarang ia dapat mencicipi kesenangan dalam soal
pakaian dan makan, itu lantaran belas kasihannya
Nyonya Tikwan. Hatinya bimbang tidak karuan. Cui Gin tidak
mendengar ketika dirinya dibicarakan oleh Nyonya
Tikwan untuk dijadikan anak angkatnya, sebab waktu ia
sampai dipintu kamar ia sudah lantas melihat adegan
yang mendebarkan itu. Ia sebenarnya mau masuk ke dalam kamar dan
memanjakan Nyonya Tikwan mau menyuruh apa
padanya" Ia dapat kebebasan keluar masuk dalam kamar
Nyonya majikannya, lantaran Nyonya Tikwan sayang
kepadanya dan menganggap seperti anaknya sendiri.
Coba Cui Gin dengar tentang dirinya diusulkan oleh
Nyonya Tikwan untuk diangkat anak oleh Tikwan, pasti
tidak ada kejadian bencana dalam rumahnya Cia Tikwan
yang sampai sebegitu jauh sangat beruntung dan
hahagia. Pada suatu sore Cui Gin dengar Nyonya berkata: "A
Gin, sebentar malam Loya kerja sampai larut malam
untuk menyelesaikan pekerjaannya yang banyak. Aku
tidak enak badan menemaninya, maka itu pergilah kau
yang temani Loya. Duduk jangan jauh-jauh dari pintu
kamar kerjanya, supaya Loya gampang memanggilnya
kalau ada keperluan apa-apa."
"Aku akan perhatikan pesanmu, Thay-thay," sahut Cui
Gin. Menurut kebiasaan, kalau suaminya menyelesaikan
pekerjaan diwaktu malam, Cia Hujin yang menemani
suaminya, sembari bekerja mereka sembari kongkouw,
jadi tidak ngantuk. Cia Tikwan sangat gembira di temani
isterinja yang pandai ngobrol.
Apa mau pada sore itu, Cia Hujin rasakan kepalanya
nyelegot-nyelegot sakit, maka ia perintahkan pelayannya
untuk melayani Cia Tikwan menyelesaikan pekerjaannya.
Ketika Cui Gin keluar dari kamar, berbareng Cia
Tikwan masuk dan menanyakan kesehatannya sang
isteri, apakah bisa sebentar malam menemani ia bekerja"
"Koko, kali ini benar-benar aku sakit. Kepalaku
dirasakan nyelegot-nyelegot, maka aku menyesal tak
dapat menemani kau untuk malam ini."
"Bagaimana kalau Lin Lin saja yang temani aku?"
tanya sang suami. "Lin Lin jangan," sahut sang isteri. "Kalau koko
kerjanya sampai jauh malam, mana Lin Lin bisa tunggu"
Anak itu gampang pules, bukan kau jadi senang malah
jadi pusing akan mendengar dengkurnya anak itu."
Cia Tikwan ketawa gelak-gelak. "Biarlah kalau begitu,
aku sendirian juga tidak apa-apa."
"Kau tidak sendirian, sebab aku sudah pesan si A Gin
untuk melayani kau, koko! A Gin anaknya cekatan dan
pasti kau sering mendapat pelayanannya. Suruh saja ia
duduk nongkrong dekat pintu kamar kau kerja, menanti
perintahmu kalau perlu apa-apa"
Cia Tikwan kerutkan alisnya! "Apa ia juga bukan
tukang tidur?" tanyanya.
"Hihihi..." Nyonya Tikwan ketawa garing. "Percayalah,
kau tidak akan menyesal dilayani oleh anak itu. Ia sangat
gssit dan penurut, makanya juga aku ada ingatan untuk
mengambil ia sebagai anak angkat kita..."
"Ah, sudahlah, jangan sebut-sebut lagi soal angkat
anak. Satu kali kau sebut-sebut lagi soal mengangkat
anak, aku akan bikin kau susah bangun..."
"Idiiiih... genitnya jadi!" kata Nyonya Tikwan sembari
jebirkan bibirnya. Cia Tikwan tidak berani ganggu isterinya seperti
biasanya, lantaran ia tahu isterinya sedang sakit ia hanya
merangkul dan memberi ciuman.
Nyonya Tikwan merasa beruntung sekali mendapat
suami yang demikian mencintai pada dirinya, meskipun
sudah ada umur masih galak saja kelihatannya.
Pikirnya, jarang orang bersuami isteri sudah hampir
duapuluh tahun masih menyala cintanya.
Cia Tikwan adalah satu lelaki kuat, yang menjadi
idaman tiap wanita, sang Nyonya memuji suaminya
dengan diam-diam. "Selamat bekerja koko..." kata sang isteri, ketika Cia
Tikwan hendak meninggalkan kamarnya.
"Selamat beristirahat...." sambut Cia Tikwan ketawa.
Nyonya Tikwan kasi lirikan genit waktu suaminya
menghilang dibalik pintu.
Cia Tikwan memang satu pegawai negeri yang rajin.
Kalau hanyak kerjaan dalam kantor tidak segan-segan ia
bereskan dirumahnya. Ia bekerja kadang-kadang sampai
larut malam dan merasakan lelah sendirinya.
Ia tidak suka main perempuan, misalnya piara banyak
gundik seperti kawan-kawan sejabatnya yang lain. Ia
cukup dengan satu isterinya Im Nio, yang ia cintai dan
anggap ada tandingannya yang memuaskan. Im Nio
belum pernah menampik walaupun disembarangan
waktu Cia Tikwan membutuhkan pelayanan. Tambah usia
Im Nio tambah kencang dan padat tubuhnya, hingga
menggembirakan Cia Tikwan kalau sedang 'main-main'
dengannya. Lantaran mendapat pelayanan yang cukup dari Im
Nio, Cia Tikwan tidak berpaling kepada lain perempuan.
Ia selalu tumplekkan perhatiannya kepada pekerjaannya
yang susun tindih, yang harus diselesaikan cepat-cepat
manakala ia tidak mau mendapat kritikan dari orangorang
yang tersangkut perkaranya.
Dibawah pimpinan Cia Tikwan, distrik Hongkoan
mendapat kemajuan dan penduduknya merasakan
mereka telah mendapat perlindungan hukum yang adil.
Demikian, pada malam itu Cia Tikwan dengan tekun
telah bekerja dalam kamar kerjanya sendirian, tanpa
ditemani oleh isterinya sebagaimana kebiasaannya.
Ia tidak kurang semangat bekerjanya, meskipun tidak
ada Im Nio disampingnya. Adalah pada saat pikirannya sedang dipusatkan pada
pekerjaannya, tiba-tiba Cia Tikwan agak kaget
mendengar pintu kamar dibuka. Ia menoleh sebentaran
dan melihat yang masuk adalah Cui Gin, pelayan ciliknya,
yang membawa nenampan di atasnya ada sepoci air teh
dan kuwe-kuwe untuk Cia Tikwan sarapan diwaktu lapar
malam. "Loya, aku mewakili thaythay malam ini melayani
Loya," kata Cui Gin seraya meletakkan nenampannya
diatas meja. "Akn tahu, Thaythay sudah mengatakan itu," sahut Cia
Tikwan, seraya meneruskan pula pekerjaannya dengan
tidak menoleh kepada si pelayan cilik.
Thaythay artinya Nyonya besar dan Loya sama dengan
Tuan besar. "Air teh masih panas, apa aku boleh menuangkan
secangkir untuk Loya minum?"
"Ya, boleh kau tuangkan saja dan bawa kemari."
Cui Gin menuangkan air teh kedalam cangkir,
kemudian ia bawa dan letakkan diatas meja Cia Tikwan
bekerja. Sambil meletakkan cangkir, matanya si pelayan
cilik melirik pada sang majikan, namun Cia Tikwan tidak
perhatikan itu, karena perhatiannya melekat pada
pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
Cui Gin undurkan diri, tapi tidak keluar kamar, ia
berdiri dekat meja tadi ia meletakkan nenampannya.
Matanya berkeliaran memeriksa keadaan kamar kerja itu.
Ternyata ada cukup lebar, dimana selainnya ditaruh meja
bundar dengan tiga kursinya dan satu kursi panjang yang
beralaskan bahan empuk, sedikit kesebelah dalam ada
sebuah dipan muat dua orang tidur dengan spreinya
yang putih dan bantal-bantal yang sarungnya disulam
burung-burungan hong yang indah sekali. Ingin ia datang
lebih dekat pada dipan itu dan melihat sulaman indah
pada bantal-bantalnya. Tapi ia mana punya keberanian.
kalau tidak ingin disemprot oleh Cia Tikwan yang galak.
Banyak pigura indah, disampingnya dipasang
beberapa pot kembang, telah menghiasi kamar itu,
sehingga serba menarik hati.
Cui Gin bengong mengagumi keindahan kamar kerja
itu. Cia Tikwan sementara itu telah menghirup air tehnya.
Ia rasakan segar teh panas masuk dalam perutnya,
kapan ia menoleh kebelakang menjadi kaget melihat Cui
Gin ada berdiri disitu tengah termangu-mangu
memandangi keindahan kamar.
Ia tidak menegur Cui Gin yang berdiri membelakangi
ia, sebaliknya hatinya geli melihat pelayan cilik itu
terheran-heran dengan keindahan perabotan yang
terdapat disitu. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada lehernya Cui Gin
yang jenjang bagus, rambutnya yang dikepang dua
seperti anak kecil, badannya kecil langsing, pinggulnya
kecil berisi tidak tepos. Untuk sejenak, Cia Tikwan
melupakan pekerjaannya dan menumplekkan
perhatiannya kepada tubuhnya si pelayan cilik yang kecil
mungil... Mendadak Cui Gin putar tubuhnya, hingga Cia Tikwan
agak gugup juga mengembalikan kedudukannya seperti
yang sedang tekun bekerja. Cui Gin tidak tahu kalau
dirinya barusan dipandangi oleh majikannya dengan
mata tidak berkedip. Ia melihat Cia Tikwan masih sedang bekerja keras.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini gilirannya si pelayan cilik yang mengagumi Cia
Tikwan. Ia lihat perawakan badannya Cia Tikwan tinggi
besar. Dalam usia pertengahan Cia Tikwan tampaknya
gagah dan kuat. Pikirnya, pantasan Nyonya Tikwan
hampir-hampir kewalahan melayani suaminya yang
demikian tinggi besar dan kuat.
Pada saat itu terbayang adegan menarik dikelopak
matanya. Ketika Cia Tikwan merangsek dengan napas
mendengus-dengus, ia lihat Nyonya Tikwan mainkan
tubuhnya. Dari pelan berubah cepat pantat Nyonya
Tikwan digeraki dengan napas memburu, hingga jadi
seru pergumulan mereka, akan kemudian terhenti
setelah mendapatkan kenikmatan dari perjuangannya. Ia
melihat keduanya masih saling peluk untuk beberapa
saat, sebelum mengenakan pakaiannya masing-masing.
Itu semua terbayang didepan matanya Cui Gin,
bayangan yang membikin ia ingin coba-coba mengambil
tempatnya Nyonya Tikwan. Tapi, apakah itu mungkin" Ia
hanya seorang budak, mana Cia Tikwan ambil perduli
terhadap dirinya" Juga, membayangkan besarnya badan
Cia Tikwan yang berlipat ganda darinya, ia merasa ngeri
kalau dirinya diperlakukan seperti Nyonya Tikwan yang
sudah berpengalaman. Mengingat itu, ia jadi bergidik seram. Tapi ia merasa
telah ditakut-takuti oleh bayangannya sendiri. Ia diamdiam
ketawa geli, kemudian ia angkat kakinya bertindak
keluar dari kamar dengan pikiran bimbang.
Belum berapa lama ia duduk menanti, ia dipanggil
masuk oleh Cia Tikwan. Cepat ia bangkit dan masuk kedalam, ia menanya:
"Loya panggil A Gin mau suruh apa?"
"Kau tuangi lagi air teh," sahut Cia Tikwan tanpa
menoleh, ia tetap bekerja.
Cui Gin lalu ambil cangkir teh dari atas meja sang
majikan, kemudian diisinya dan dibawakan pula ke
mejanya Cia Tikwan. Baru ia mau melangkah balik, ia berhenti mendengar
Cia Tikwan menanya : "Gin, apa kau tidak ngantuk?"
"A Gin masih belum ngantuk, juga mana boleh tidur
selagi melayani Loya," sahut Cui Gin.
"Bagus, kau anak baik," puji Cia Tikwan dengan tidak
menoleh sama sekali kepada Cui Gin, yang sangat
diharap-harap oleh pelayan cilik itu.
Cui Gin melihat Cia Tikwan dingin-dingin saja, ia
merasa kecewa, ia lantas melangkah lagi dan keluar dari
kamar. Belum lama ia duduk kembali ia dipanggil kedalam.
"Loya man suruh A Gin apa lagi?" tanyanya.
"Kau tuangi pula teh untukku!" sahut Cia Tikwan.
Cui Gin heran, kenapa ia saban-saban dipanggil untuk
tuangi air teh" Ia tidak heran, kalau ini lama-lama sekali,
tapi ini justeru belum lama ia duduk sudah lantas
dipanggil, apa Cia Tikwan sangat haus makanya minum
saja?" Tapi ia tidak berani menanyakan, ia turut perintah.
Ketika ia meletakkan cangkir diatas meja tulis sang
majikan, diam-diam ia menatap wajahnya sang majikan
yang sedang repot bekerja. Ia berdiri sejenak, kemudian
putar tubuhnya hendak berlalu.
"A Gin!" terdengar Cia Tikwan memanggil, hingga si
pelayan cilik hentikan tindakannya dan kembali
menghampiri majikannya. Kali ini Cui Gin berdebar
hatinya, melihat majikannya menatap padanya tidak
berkedip "Ada apa, Loya?" tanya si pelayan cilik.
"A Gin, kau sekarang umur berapa?" tanya Cia Tikwan.
Heran Cui Gin majikannya menanyakan umur, tapi ia
lantas menyahut: "A Gin sudah masuk enambelas tahun
ini." Cia Tikwan kerutkan alisnya. "Masih belum matan..."
Cia Tikwan menggumam "Apanya yang belum matang?" tanya si pelayan cilik
heran. Cia Tikwan menyeringai ketawa, hingga Cui Gin dari
takut-takut menjadi berani. Ia balas menatap wajah Cia
Tikwan yang memandang dirinya terus-terusan.
"A Gin, mari datang dekat!" kata Cia Tikwan
Cui Gin tidak berani menolak, ia majukan langkahnya.
Cia Tikwan suruh ia datang lebih dekat lagi, akhirnya
sampai tubuhnya menempel pada meja tulis Cia Tikwan,
dan lengannya menekan-nekan meja untuk mengalihkan
perasaan takutnya. Cia Tikwan lihat gerak gerik si pelayan cilik yang
ketakutan. "Kenapa kau A Gin, apa kau takut pada Loya?"
tanyanya, seraya ketawa menyeringai.
Cui Gin tundukkan kepalanya tidak menjawab.
"A Gin, kau jangan takut, Loya tidak akan apa-apakan
kau..." kata Cia Tikwan, tapi berbareng tangannya
menggerepe dan memegang tangan Cui Gin yang kecil
mungil. Berdebar hatinya Cui Gin, namun ia biarkan tangannya
dipegang dan diusap-usap.
"A Gin, kau cantik hampir mengalahkan Lin Lin..."
memuji Cia Tikwan. Cui Gin senang dipuji, apa lagi kecantikannya
dikatakan mengalahkan Lin Lin, puteri tunggal dari
pembesar itu yang disohorkan sangat cantik.
Tampak ia bersenyum manis, Cia Tikwan makin
ketarik hatinya. Pelan-pelan ia menarik tangan si pelayan
cilik kedekatnya. "A Gin, badanmu kecil seperti Lin Lin
dalam pangkuanku..."
Cui Gin kaget merasa dirinya dirangkul dan tubuhnya
diraih diduduki diatas pangkuannya Cia Tikwan. Ia coba
memberontak, tapi pelukannya si pembesar sangat kuat.
"A Gin, kau jangan berontak, Lin Lin juga sering duduk
dipangkuan seperti ini, bukankah kau merasa hangat?"
menghibur Cia Tikwan. "Tapi A Gin bukan Lin Lin, kalau Thaythay lihat,
bukankah nanti jadi berabe?"
"Thaythay suruh kau wakili Thaythay, maka kau harus
menurut seperti kata Thaythay."
Terkejut Cui Gin mendengar perkataan itu. Apa
maksudnya si pembesar berkata demikian" Apakah si
pembesar maksudkan ia harus mewakili juga Thaythay
dalam menunaikan kewajibannya sebagai suami isteri"
Oh, hebat kalau sampai demikian.
Ia tabahkan hatinya dan menanya: "Loya, kau
maksudkan apa dengan kata-kata tadi?"
"Kau harus mewakili Thaythay seperti Thaythay
melayani aku." "A Gin hanya disuruh melayani perintah Loya."
"Apa salahnya kalau aku perintah kau duduk
dipangkuanku?" Kembali hatinya Cui Gin berdebaran.
"A Gin, badanmu begini kecil, apa kau sudah
matang...?" bisik Cia Tikwan, sementara tangannya
merayapi buah dadanya si pelayan cilik yang baru mentil.
Tarikan napas Cui Gin jadi lebih cepat dadanya
dijamah Cia Tikwan. "Loya, kau jangan main-main begini, nanti Thaythay
pergoki aku dipukuli..." kata Cui Gin seraya singkirkan
tangan si pembesar ceriwis.
"Thaythay lagi sakit, mana ia datang kemari?"
sahutnya, membesarkan hati.
Cui Gin kewalahan menyingkirkan tangan Cia Tikwan
yang nakal dan dibiarkan saja merayapi tubuhnya. Tibatiba
dalam pikirannya timbul pikiran untuk mengangkat
dirinya menjadi Nyonya Tikwan, seraya pegangi tangan
Tikwan, ia berkata: "Loya, A Gin belum matang, tapi
bersedia menyerahkan diri, kalau Loya suka
mengabulkan pennintaan A Gin. Kalau tidak, jangan
harap Loya kesampaian maksud Loya untuk
mendapatkan diri A Gin. Biar mati A Gin akan
pertahankan diri A Gin..."
"A Gin, kau mau minta apa" Uang, barang perhiasan,
nanti akan kukasi padamu" janji Cia Tikwan, seraya
menciumi si pelayan kecil.
"Bukan itu, Loya." sahut Cui Gin. "A Gin mau, kau
ambil A Gin sebagai isterimu yang kedua apabila Loya
sudah ganggu diriku..."
Cia Tikwan terkejut, serentak saja tangannya yang
nakal berhenti bekerja. Matanya menatap pada wajah si
pelayan cilik yang bersenyum-senyum.
"A Gin... itu tak mungkin," berkata Cia Tikwan
kemudian. "A Gin meskipun seorang budak. tidak nanti menjual
murah dirinya. Kalau tak mungkin, sudahlah...!" kata Cui
Gin seraya merontak dan melepaskan diri dari pangkuan
Cia Tikwan, sehingga si pembesar jadi melongo.
Napasnya yang barusan berkobar telah padam
seketika seperti disiram air es. "A Gin, kau menentang
kehendak Loya?" bentak Cia Tikwan.
Cui Gin bersenyum tawar. Entah dari mana ia
mendapat keberanian menghadapi majikannya yang
terkenal galak. "Lo-ya. A Gin sudah bicara." katanya. "A
Gin meskipun seorang budak, masih menghargakan
harga diri. Loya boleh menggunakan kekerasan, tapi
jangan menyesal kalau Loya hanya dapatkan mayat A
Gin..." Cia Tikwan tidak mengira budak itu ada sangat hebat
kemauannya. Tadinya mengira dengan mudah saja ia
permainkan dirinya Cui Gin, seorang budak dari keluarga
miskin. "A Gin, kau harus ingat," kata Cia Tikwan. "Kau
berasal dari keluarga miskin. Aku ambil kau dan disuruh
melayani Thaythay lantaran merasa kasihan! Kau disini
mendapat perlakuan seperti juga anaknya pembesar,
lantaran kami sayang padamu. Apakah ini pembalasanmu
meminta perkara yang bukan-bukan" Thaythay begitu
baik padamu, apa kau tega menjadi Ji-hujin yang berani
menjadi saingannya?"
A Gin tertawa kecil. "Loya bisa bilang begitu, tapi apa
Loya tega setelah menodai si budak lantas menyianyiakan
begitu saja?" Cia Tikwan bungkam. Memang maksudnya, setelah
menodai si pelayan cilik, ia tidak mau ambil perduli lagi.
maka kata-katanya Cui Gin telah mengetuk hati
nuraninya. Cia Tikwan mengawasi si pelayan cilik yang berdiri
dengan rambut kusut, pakaiannya aduk-adukan, masih
belum dirapikan bekas barusan tangannya yang nakal
menyusup sana dan menyusup sini untuk mengobarkan
api berahi si pelayan cilik.
Tampak Cui Gin dalam berseri-serinya seperti lebih
cantik dari semula ia lihat. Darahnya Cia Tikwan yang
tadi membeku, mendadak menjadi panas lagi melihat Cui
Gin dalam pakaian dan rambut kusut menggairahkan.
Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Cui Gin, ia
coba mencekal tangan si pelayan cilik, tapi kena
dikibaskan. "Lo-ya, jangan kurang ajar! Lihat besok, apa
A Gin masih ada dirumah ini?"
"Kau mau kemana?" tanya Cia Tikwan gugup.
"Itu Loya tak usah tahu," jawab Cui Gin berani.
"A Gin, kau jangan tinggalkan aku..." kata Cia Tikwan
pelan. "Hi hi hi..." Cui Gin tertawa, "Tidak mau ditinggalkan
mudah saja, asal Loya terima permintaan A Gin tadi."
"A Gin, soal ini kita nanti rundingkan lagi..." kata Cia
Tikwan, seraya menyergap si pelayan cilik yang tidak bisa
berkelit dan ia meronta-ronta sambil menggigit.
"A Gin, kau jangan begini, aku nanti luluskan
permintaanmu..." kata Cia Tikwan yang kewalahan
dengan berontaknya sang korban.
"Loya tidak bohong?" menegaskan Cui Gin, yang mulai
jinak mendengar perkataan majikannya.
"Kenapa aku harus mendustai kau A Gin..." Cia Tikwan
berkata, seraya meraih tubuhnya Cui Gin dan dibawa ke
kursi panjang dan kembali diduduki diatas pangkuannya.
"Loya, kau harus sumpah atas janjimu itu," kata Cui
Gin, ketika dengan bernafsu sang majikan merayapi pula
tubuhnya. "Sumpah apa?" tanya Cia Tikwan kaget.
"Sumpah, bahwa Loya benar-benar akan mengangkat
aku menjadi Ji-hujin."
Cia Tikwan kewalahan, maka dengan sembarangan
saja ia bersumpah, ia kata, kalau ia salah janji, biar isteri
dan puterinya (Lin Lin) nanti mati saling susul.
Cui Gin kelihatan puas mendengar itu. Secara genit
sekali ia melayani Cia Tikwan.
Melalui rintihan Cui Gin yang kesakitan, Cia Tikwan
telah melampiaskan napsunya.
Besoknya Cui Gin tidak masuk kerja karena pintu
gerbangnya bengkak semalam didobrak dengan paksa
oleh meriam Cia Tikwan. Sampai tiga hari ia tidak keluarkeluar
kamar, hingga Nyonya Tikwan khawatir akan
dirinya si pelayan cilik.
Nyonya Tikwan kira Cui Gin sakit kena masuk angin,
seperti dikatakan si pelayan, ialah sehabisnya jaga
malam melayani Cia Tikwan. Ketika ia menjenguk si
pelayan cilik di kamarnya, tampak Cai Gin wajahnya
sangat lesu dan pucat, seperti yang benar-benar sakit
kena masuk angin. Nyonya Tikwan mau suruh panggil
tabib, tapi Cui Gin mencegah, katanya: "Tak usah, besok
juga aku sudah masuk kerja melayani Thaythay. Hari ini
aku sudah baikan. Terima kasih atas Thaythay punya
perhatian...." Benar saja besoknya Cui Gin sudah dapat menjalankan
tugasnya pula seperti biasa melayani Nyonya besarnya,
hanya wajahnya masih pucat dan lesu.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cui Gin tidak mengira efeknya mewakili Thaythay ada
demikian hebat. Tadinya ia ingin mainkan pinggulnya seperti yang
dilakukan oleh Nyonya Tikwan, namun, jangan pula ia
dapat menggerakkan pinggulnya, menahan rasa sakit
saja dari rangsekannya Cia Tikwan bikin ia hampirhampir
jatuh pingsan. Ia merasa ngeri untuk mengulangi, tapi pada lain
kesempatan kepaksa ia iringi pula kehendaknya Cia
Tikwan yang tak dapat ditolak. Lama-lama ia jadi biasa
dan sudah tidak ngeri-ngeri lagi untuk menghadapi Cia
Tikwan dalam pergumulan hebat.
Hari jalannya cepat, enam bulan sudah lewat sejak Cia
Tikwan mengganggu dirinya, kini Cui Gin menjadi
ketakutan melihat perutnya makin lama makin
membesar. Segera juga rahasia perhubungannya dengan Cia
Tikwan telah diketahui oleh Im Nio, Nyonya Tikwan,
melalui perutnya yang membesar itu.
Ketika ditanya, Cui Gin mengaku terus terang, dirinya
telah diganggu oleh Cia Tikwan, hingga sang Nyonya jadi
kalap dan menggebuki Cui Gin setengah mati, ditendang
beberapa kali hingga Cui Gin meloso-loso dilantai dan
minta-minta ampun. Karena tendangan itu, si pelayan cilik
jadi keguguran kandungannya.
Mulai dari saat itulah keluarga Cia Tikwan yang sangat
bahagia itu menjadi retak.
Cui Gin yang dikirim pulang ke rumah orang tuanya
tidak jadi susah, lantaran diam-diam Cia Tikwan memberi
tunjangan dan ia dipiara terus, hingga hidupnya senang.
Malah Cui Gin disewakan sebuah rumah yang pantas,
dimana ia dengan dua orang tua dan adik laki-lakinya
tinggal. Si pelayan cilik ternyata bisa mengambil hati,
maka Cia Tikwan sangat sayang padanya. Sering
pembesar itu melewatkan waktu malamnya dalam rumah
Cui Gin, hingga Nyonya Tikwan jadi kesepian. Perlakuan
Cia Tikwan yang tawar terhadap dirinya, membuat
Nyonya Tikwan menjadi kesal, lama-lama ia sakit TBC
dan meninggal dunia. Kematian itu tidak mendukakan
bagi Cia Tikwan, sebab ia punya Cui Gin sebagai
gantinya. Sebaliknya bagi Lin Lin kematian ibunya
membuat ia sangat berduka dan siang malam menangis
saja. Lewat dua bulan sejak kematian isterinya, Cia Tikwan
telah membawa pulang Cui Gin untuk menjadi isterinya
yang sah senagai gantinya Im Nio.
Cui Gin girang bukan main, maksudnya menjadi
Nyonya Tikwan telah kesampaian.
Cui Gin pintar, bukan saja Cia Tikwan sudah dapat
ditundukkan, juga Lin Lin ia baiki dan ambil hatinya,
hingga si jelita melupakan apa yang telah terjadi dengan
Cui Gin, yang mengkhianati ibunya.
Untuk sementara dalam rumah tangga Cia Tikwan
dapat dirasakan ketenangan dan kebahagiaan. Si
pembesar senang Cui Gin bisa membawa diri dan bergaul
rapat dengan anaknya. Ia harap keberuntungan rumah
tangganya itu akan berjalan demikian seterusnya.
Tapi sang nasib menghendaki lain.
Cia Tikwan punya sekretaris yang pintar, namanya Cia
Goan Kie. -oo0dw0oo- Jilid 10 BAB-28 GOAN KIE adalah seorang pemuda dari usia tiga
puluhan, parasnya cakap dan kelakuannya sopan santun,
hingga Cia Tikwan sayang padanya. Malah kalau bukan
satu she (Cia), Cia Tikwan ingin memungut Goan Kie
sebagai mantunya apabila Lin Liu sudah dewasa.
Sering dalam pekerjaan malam, Goan Kie bantu Cia
Tikwan, hingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan
beres. Kebiasaan Cia Tikwan yang selalu suka ditorgkrongi
oleh isterinya manakala ia bekerja malam dalam
rumahnya, maka Cui Gin pun tidak dapat bebas dari
kewajibannya menemani suaminya. Cui Gin masih sangat
muda, baru umur delapan belas tahun, sebagai nyonya
muda belia demikian tentu saja segala-galanya memang
dari nyonya Tikwan dulu. Keinginannya Cia Tikwan dalam
hubungan sex dapat dipenuhkan dengan memuaskan,
hingga si pembesar benar-benar jatuh diselangkangan
sang nyonya muda yang cantik.
Sebagai isteri muda belia begitu, tentu kadang kadang
Cui Gin muak juga melayani suaminya yang kolot, ia
ingin melayani lelaki muda yang lebih menimbulkan
napsunya. Pandangannya telah jatuh kepada Goan Kie yang
sering diajak kerja malam oleh suaminya. Mula-mula
Goan Kie menolak ajakannya si nyonya muda, tapi
belakangan Cui Gin terus merayu, hingga terjadilah
perhubungan rahasia diluar tahunya Cia Tikwan.
Cui Gin bersolek makin hebat setelah mendapatkan
hatinya Goan Kie. hingga kadang-kadang mengherankan
Cia Tikwan dan menanya: "A Gin, kau bersolek demikian
hebat, kecantikanmu tambah menonjol saja, aku
khawatir kau direbut orang..."
Cui Gin terkejut mendengar kata-kata Cia Tikwan,
seperti tahu hubungannya dengan Goan Kie, tapi ia licin,
dengan lagak yang manja ia jatuhkan diri dipelukan Cia
Tikwan dan menyawab: "Loya, kau jangan takut. A Gin
akan menjaga dan setia pada Loya sampai kita bersama
masuk kubur..." Senang hatinya Cia Tikwan mendapat jawaban
demikian. Sambil elus-elus rambutnya Cui Gin yang bagus, Cia
Tikwan kata lagi; "A Gin, memang aku tahu kau adalah
isteriku yang sangat setia..."
Cui Gin dengan lagak genit merangkul suaminya dan
menciuminya. Sungguh bahagia Cia Tikwan rasakan pada saat
demikian. Hubungan Cui Gin dengan Goan Kie, meskpiun mereka
coba tutup rapat, ternyata kelahuan juga. Siapa yang
pergoki" Itulah Lin Lin pada suatu malam hendak menemui
ayahnya dalam kamar kerjanya, ia tidak ketemu
ayahnya, sebaliknya ia lihat Cui Gin. sedang dipeluki oleh
Goan Kie diatas kursi panjang. Pakaian atasnya Cui Gin
terbuka dan buah dadanya yang kanan sedang dihisap
oleh mulutnya Goan Kie, hingga si nyonya muda
mengeliat-geliat kegelian dan ketawa haha hihi. Goan Kie
sudah merangsek dan akan menelanjangi Cui Gin,
manakala tidak mendengar suara tindakan orang, ialah
Lin Liu yang sengaja telah mengeraskan tindakannya
supaya kedengaran oleh dua orang mesum itu.
Dukan main kagetnya Goan Kie dan Cui Gin, mereka
cepat-cepat bangun dan merapikan pula pakaiannya.
Mereka mengira tindakan itu Cia Tikwan adanya, tapi
besok-besoknya kenyataan tidak ada reaksi apa-apa dari
Cia Tikwan. Cui Gin lantas menduga akan Lin Lin malam itu
mendatangi kamar kerja ayahnya. Dugaannya makin
jelas kapan ia ketemu Lin Lin, gadis itu seperti membenci
padanya dan kalau diajak bicara seperti acuh tak acuh.
Khawatir Lin Lin msngadukan urusannya kepada Cia
Tikwan, maka Cui Gin telah berdamai dengan
kekasihnya, bagaimana mereka harus mengambil
tindakan, supaya jangan sampai Cia Tikwan nanti ketahui
perhubungannya gara-gara Lin Lin.
Pikiran jahat telah mengaduk dalam benaknya dua
manusia binatang itu. "Adik Gin, uatuk menutup rahasia kita sebaiknya kita
singkirkan saja jiwanya Lin Lin. Sebelumnya ia bikin
susah kita, kita dului, bukankah itu baik?"
Cui Gin terkejut. Ia menanya: "Apa kau mau
membunuh Lin Lin dengan tanganmu sendiri, engko
Kie?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Bukan, kita taruhi racun dimakanannya." jawab Goan
Kie. "Ah, jalan itu nanti ada buntutnya. Ia mati mendadak,
apakah itu tidak mencurigakan" Kita nanti dapat susah
oleh karenanya." Goan Kie kctawa gelak-gelak pelan.
"Adik Gin, bukan begitu kenyatannya. Kalau Lin Lin
sudah kena makan racun, ia tidak mati seketika, hanya ia
dapat sakit pelan~pelan dan dalam tempo satu minggu
barulah ia mati..." "Apa ada racun yang begitu lambat bekerjanya?"
tanya Cui Gin cepat. "Ya," sahut Goan Kie. "Itu racun istimewa, yang kita
harus beli dengan harga mahal."
"Belinya dimana?" tanya Cui Gin.
"Belinya pada seorang imam yang belum lama sampai
ketempat kita sini."
"Kau kenal pada imam itu?"
"Bukan saja kenal, malah ia adalah guru silatku."
"Oo, jadi engko Kie pandai siiat juga?"
"Sedikit-sedikit boleh juga. tapi buat menunduki adik
Gin tidak perlu silat... "
Cui Gin ketawa cekikikan sambil mencubit Goan Kie.
"Apa namanya imam gurumu itu?" tanya Cui Gin.
"Tiat Leng Tojin, kepandaiannya membuat racun
istimewa." "Bagus. Aku tidak perduli mengeluarkan duit berapa,
asal pekerjaan kita selamat. Kau belilah obat racun itu,
engko Kie." demikianlah, kedua manusia terkutuk itu kasak kusuk
lebih jauh. Dasar nasibnya Lin Lin lagi sialan rupanya, ia mau
menemui ayahnya malah menemui adegan yang
membuat bulu kuduk-nya merinding. Ia adalah satu
gadis yang halus perasaannya dan tidak suka mengadu
biru, maka perbuatannya sang ibu tiri yang menyolok itu
tidak ia adukan kepada ayahnya. Hanya diam-diam ia
menyesalkan kelakuan ibunya itu,
Sejak itu hatinya tidak senang pada Cui Gin, maka
saban ketemu ia perlihatkan wajah yang kurang senang,
tapi untuk mana sang ibu tiri belagak pilon saja.
Pada suatu malam Lin Lin rasakan perutnya sakit.
Ia tadinya kira hanya sakit perut biasa saja, tapi lamalama
dirasakan makin sakit hingga ia berkaok-kaok dan
membikin pelayannya jadi kebingungan. Segera Cia
Tikwan dipanggil. Melihat anaknya bergelisahan, ia juga
kebingungan. Ia lekas-lekas menyuruh orangnya untuk
memanggil tabib, tapi dicegah oleh Cui Gin yang datang
bersama Cia Tikwan kesitu.
"jangan buru-buru panggil tabib, biarkan saja dulu,
nanti kita lihat bagaimana" Rasanya Lin Lin kesalahan
makan, makanya dengan mendadak perutnya sakit," kata
Cui Gin, sedang hatinya ketakutan kalau Cia Tikwan
benar-benar memanggil tabib dan rahasianya bisa bocor.
Tapi ia percaya akan keterangannya sang kekasih,
katanya obat itu mulai unjukkan reaksinya dengan perut
kesakitan keras, tapi segera akan lenyap sakitnya,
kemudian racunnya menjalar melalui pembuluhpembuluh
darah dan dalam tujuh hari si korban akan
mati karenanya. Cia Tikwan menurut pikiran isterinya. Benar saja, tidak
lama kemudian Lin Lin sembuh sendirinya, ia tidak
gelisah iagi dengan sakit perutnya.
Melihat keadaan anaknya sudah reda dan mulai tidur.
maka Cia Tikwan ajak Cui Gin kembali kekantornya.
Untuk membikin suaminya melupakan anaknya yang
sakit barusan, Cui Gin telah ajak cia Tikwan bicara hal
lain, terutama hal hubungan sex yang si bekas pelayan
kecil tahu kegemarannya sang suami. Benar saja Cia
Tikwan yang napsunya masih menyala lupa akan Lin Lin
dan mencari hiburan dari istri mudanya yang sekarang
tidak merintih lagi malah sudah pandai mainkan
pinggulnya yang kecil. Benar katanya Goan Kie, sejak sakit perut Lin Lin jadi
meroyan. Pernah dipanggilkan tabib, tapi sang tabib
tidak tahu penyakitnya Lin Lin penyakit apa dan kasi obat
sekenanya saja. jiwanya Lin Lin tidak ketolongan. Setelah
menderita sakit meroyan tujuh hari lamanya ia telah
menyusul roh ibunya ditempat baka.
Lin Lin meninggal dunia dalam usia enam belas tahun,
gadis remaja yang cantik lnar biasa dan menjadi idaman
setiap pria. Setelah Lin Lin tidak ada, maka perbuatannya Cui Gin
dan Goan Kie lebih leluasa lagi, dapat mereka
mengelabui Cia Tikwan yang sudah kolot. Malahan, pada
wakru belakangan, setelah Lin Lin mati. jiwa Cia Tikwan
seperti terpukul dan tidak begitu gembira pula untuk
bermain cinta. Ia selalu memikirkan kematian anaknya.
Baru sekarang ia memikirkan juga tentana kematian
isterinya, Im Nio. Im Nio scbagai isteri tidak mengecewakan, baik
pelayanan sebagai isteri terhadap suami maupun dalam
pelayanan hubungan sex Im Nio harus diakui sebagai
wanita yang ideal dalam rumah tangga.
Kenapa ia sampai menterlantarkan isterinya itu oleh
karena gara-garanya Cui Gin. Kematian Im Nio karena
kesal melihat kelakuannya (Cia Tikwan) tidak benar. Kini,
puteri tunggalnya yang cantik telah mangkat menyusul
ibunya. Apa ia bisa hidup beruntung terus disampingnya
Cui Gin" Umurnya Cui Gin sangat jauh terpautnya.
manakala ia sudah loyo, tidak bisa memberikan kepuasan
lagi, apakali Cui Gin tidak nanti mencari gantinya" Inilah
yang Cia Tikwan buat pikiran.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada suatu malam, dimana Cia Tikwan sedang bekerja
dalam kamar kerjanya, Cui Gin telah berunding dengan
kekasihnya. Cia Tikwan ternyata belakangan ini lebih suka tinggal
sendirian dalam kamar kerjanya, maka ia tidak suka
ditemani oleh isterinya maupun oleh Goan Kie,
sekretarisnya yang ia sangat sayangi. Saking sayangnya,
Cia Tikwan telah memperbolehkan Goan Kie untuk
tinggal sama-sama dalam rumah besarnya. Gerakgeriknya
leluasa, lantaran Cia Tikwan sangat percaya
kepadanya. Ia tidak melihat tanda-tanda dari kekurangan ajaran
Goan Kie terhadap isterinya yang muda, juga sebaliknya,
Cui Gin kalau berhadapan dengan Goan Kie selalu unjuk
wajah serius sebagai nyonya Tikwan.
Itu semua mereka unjuk didepan Tikwan saja, untuk
menutupi kecurigaannya. Dibalik si Tikwan tolol itu
mereka boleh dikata hidup sebagai suami isteri.
Sungguh, dengan adanya dua makhluk itu, dalam
rumah tangga Cia Tikwan menjadi kotor.
Cui Gin dan Goan Kie telah berunding untuk
menyingkirkan jiwanya Cia Tikwan.
"Engko Kie, aku sebal sama si kolot itu yang bagaikan
patung belakangan ini. Entah kenapa ia, sebab duludulunya
ia paling menyala," demikian Cui Gin berkata
pada Goan Kie. Sang kekasih ketawa geli. Ia menyahut: "Ia sudah
padam, masih ada lampu lainyanya menyala, kenapa
adik Gin bolehnya muak kepada si kolot?"
"Lampu yang mana, engko Kie?" tanya Cui Gin
mesem. "Apa lampunya Goan Kie kurang menyala?" Goan Kie
balik menanya. Cui Gin ketawa cekikikan. "Aku ingin kita hidup berdua
lebih bebas lagi, bagaimana jalannya?"
Goan Kie kerutkan keningnya seperti berpikir.
"Apakah hidup kita sekarang kurang bebas?" tanyanya
kemudian. "Tentu saja kurang bebas. Pertemuan kita dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi, kalau diwaktu malam aku
seperti di siksa didekatnya si kolot yang sudah jadi
patung batu! Aku ingin selalu berdekatan dengan kau,
engko Kie..." "Kalau kita pergi dari rumah ini apa nanti tidak dapat
kesukaran hidup kita ?" tanya Goan Kie yang
mengawatirkan hidupnya. "Kenapa kau takut" Asal kita bisa singkirkan jiwanya si
kolot, semua hartanya akan jatuh padaku dan dengan
harta itu apa tidak cukup untuk kita hidup senang?"
Goan Kie menganggukkan kepalanya, akan tetapi ia
tidak menjawab. "coba kau pikirkan jalan apa, supaya kita dapat
menyingkirkan ia untuk keberuntungan kita?" Cui Gin
minta advisnya sang kekasih.
"Tidak ada jalan lain dari pada kita pindahkan jiwanya
seperti dengan adik Lin Lin tempo hari, bagaimana, kau
setuju?" Goan Kie usul.
Cui Gin terkejut. Berbayang waktu itu ia mencampuri
makanan Lin Lin dengan racun yang ia dapat dari Tiat
Leng Tojin, gurunya Goan Kie.
"Aku setuju saja, asal itu untuk keberuntungan kita."
"Ya, dengan racun seperti yang kita kasi makan pada
Lin Lin, pasti si kolot akan melayang jiwanya tanpa orang
tahu ia sakit apa." "Bagus," memuji Cui Gin. "Cuma, kalau Lin Lin itu
waktu tidak pergoki kita dan ia ambil sikap mendiami
padaku, aku sebenarnya tidak tega mengambil jiwanya."
"Sekarang bagaimana, apa kau tega melayangkan
jiwanya si kolot?" "Terang aku tega, sebab itu adalah untuk
keberuntungan kita."
"Kalau si kolot masih menyala tentu kau tidak tega
menyingkirkannya, bukan?" Goan Kie menggodai Cui Gin.
"Ah. kau bisa saja menggodai orang.." sahut Cui Gin
seraya tangannya diulur menyubit pipi orang.
Goan Kie ketawa dan merangkul Cui Gin. ia
menciumnya dan dibalas dengan hangat oleh si pelayan
cilik yang sekarang sudah berubah menjadi 'ular yang
cantik.' Mereka lakuan perundingan itu dalam kamar belakang,
kamar yang biasa mereka gunakan pertemuan manakala
Cia Tikwan sedang mengurus pekerjaannya diwaktu
malam. Dalam kamar belakang itu, yang juga diperabotan
mewah, ada tersedia meja kursi dan dipan piranti Cia
Tikwan melepaskan lelahnya diwaktu puiang kerja.
Kamar itu ada memakai lubang-lubang angin yang
membuat orang yang berada didalamnya menjadi betah.
Sampai sebegitu jauh pertemuan mereka dikamar itu
tidak pernah dapat gangguan, sebab baliknya Cia Tikwan
kekamarnya habis kerja, selalu dipapak oleh Cui Gin.
Dengan begitu mereka tidak takut dipergoki oleh Cia
Tikwan. Mereka tidak pernah mimpi sebelumnya, kalau malam
itu adalah malam penghabisan dari pertemuan mereka
dalam kamar itu. Cia Tikwan pada saat itu sedang mendengarkan
pembicaraan mereka dengan badan menggigil menahan
gusar. Ia sebenarnya sudah ingin menggedor pintu dan
melabrak dua manusia binatang itu, namun
perbuatannya itu dicegah oleh seorang yang buntung
lengannya. yang bukan lain adalah Tan Ciang Tan Kim
Liong. si Tangan Tunggal.
Cara bagaimana Kim Liong dengan mendadak saja
bisa berada dengan tikwan"
Marilah kita mundur sebentar.
Kim Liong setelah meninggalkan kuburan Lin Lin,
hatinya penasaran akan kematian si jelita. Ia menduga
akan ada apa-apa dibalik kematiannya si nona yang mati
dalam usia remaja itu, maka ia lalu mencari keterangan
dan dapat keterangan yang mencurigakan, ialah si nona
mula-mulanya sakit perut dan lewat tujuh hari telah
meninggal. Kim Liong lebih jauh menanyakan keterangan pula hal
rumah tangganya Cia tikwan, ia dapat keterangan
setelah istrinya meninggal, Cia Tikwan telah mengambil
Cui Gin sebagai istrinya. Umurnya Cui Gin ada sangat
muda, dulunya bekas lepayan nyonya Tikwan.
Peruntungannya Cui Gin sangat baik, dari pelayan bisa
menanjak menjadi nyonya Tikwan, demikian memuji
orang yang memberi keterangan pada Kim Liong.
Dari keterangan itu, Kim Liong lantas mengambil
putusan untuk melakukan penyelidikan dalam rumahnya
Tikwan. Tidak sukar ia melakuan pakerjaannya, karena
kepandaiannya Kim Liong sekarang hebat sekali!.
Tubuhnya enteng seperti daun, tenaganya kuat bagaikan
raksasa berkat minum Thay lek seng ciu pemberian Lin
Lin. Sudah beberapa malam Kim Liong melakukan
penyelidikan, ia nonton juga adegan-adegan yang
menggiurkan antara Cui Gin dan Goan Kie. yang bila
menurut hatinya ia sudah kepingin membunuh dua
manusia itu, cuma saja ia masih belum dapat keterangan
tentang kematiannya Lin Lin
Belakangan dengan tegas ia dengar dua manusia
binatang itu timbulkan urusan kematian Lin Lin yang
dikasi racun oleh mereka, lantas saja Kim Liong sekarang
tahu siapa orangnya yang membunuh Lin Lin.
Untuk menunjukkan kepada Cia Tikwan kesalahnya
Goan Kie dan Cui Gin, malam itu ia perlihatkan diri dalam
kamar kerjanya Cia Tikwan.
Pembesar yang rajin itu menjadi kaget dengan tiba
tiba saja muncul Kim Liong didepannya. Ia kenali
pemuda itu adalah pemuda yang ia lihat di kuburan Lin
Lin yang ia sangka adalah satu pemuda sinting.
Kim Liong menjura dengan hormat, ketika melihat Cia
Tikwan kesima seperti duduk terpaku dikursinya.
"Harap Tayjin tidak jadi gusar, kedatanganku dengan
lancang ini," kata Kim Liong seraya ketawa nyengir.
"Anak muda. kau mau apa datang malam-malam
kemari?" tanya Cia Tikwan, setelah kagetnya hilang dan
melihat Kim Liong seperti tidak bermaksud jahat atas
kedatangannya. "Tayjin, bukan hanya malam ini aku datang kemari,
tapi sudah beberapa malam."
"Beberapa malam" Ada urusan apa beberapa malam
kau datangi rumahkn?"
"Aku datang bukan bermaksud jahat, hanya ingin
membikin terang kematiannya adik Lin Lin yang sangat
mencurigakan." "Lin Lin puteriku itu?" tanya Cia Tikwan kaget.
"Ya, adik Lin, puteri Tayjin yang matinya mengandung
penasaran." Terbelalak heran matanya Cia Tikwan mendengar
perkataan Kim Liong. "Apa kematiannya dibunuh, eh, aku maksudkan
diracuni orang jahat?"
"Ya, adik Lin mati karena diracuni orang jahat."
"Siapa orangnya yang berani meracuni anakku?"
"Orangnya dekat-dekat saja, cuma Tayjin seperti buta
matanya." Cia Tikwan tidak senang mendengar matanya
dikatakan buta, tapi ia tidak berani banyak lagak didepan
Kim Liong yang ia tahu sangat lihay.
Wajahnya tidak berubah meskipun hatinya kurang
senang. "Apa kau bisa unjukkan orangnya?" tanya si pembesar
negeri. "Tentu, mari ikut aku," kata Kim Liong, seraya
bertindak keluar kamar. Cia Tikwan mengikuti dari belakang dengan hati
berdebaran. Ketika mereka jalan berendeng, Kim Liong membisiki
supaya Cia Tikwan jalan berindap indap, jangan
membuat suara, karena mereka bendak mencuri dengar
orang bicarakan rahasia didalam kamar.
Cia Tikwan anggukkan kepala. Demikian, Cia Tikwan
telah dibawa kekamar belakang peranti ia beristirahat.
Kim Liong suruh orang tua itu mendengarkan apa
yang orang percakapkan disebelah dalam dengan pesan
supaya Cia Tikwan tenang-tenang saja, jangan bikin
ribut. Cia Tikwan pasang kuping, ia lantas kenali suaranya
Cui Gin dan Goan Kie yang sedang pasang omong.
Hatinya kaget dan mendelu, dirinya dimaki-maki oleh Cui
Gin sebagai patung, ia mencelos waktu mendengar Lin
Lin mati karena diracuni dan lebihan pula kagetnya
mendengar dirinya akan diracuni seperti Lin Lin tempo
hari. Dalam panasnya sang hati. Cia Tikwan sudah tidak
sabaran dan unjuk gerakan ingin menerjang masuk, akan
tetapi Kim Liong mencegah dan membisiki kupingnya:
"Tayjin tidak malu memergoki isteri Tayjin dalam
keadaan telanjang dipeluki kekasihnya" Ini kurang baik,
maka kasikan aku yang tangkap mereka untuk
dihadapkan depan Tayjin, sedang Tayjin sendiri boleh
menunggu dikamar kerja Tayjin."
Cia Tikwan menurut. Ia balik tubuhnya dan berlalu
dengan tindakan pelan, hingga tidak mengganggu
mereka yang sedang merundingkan kematiannya Cia
Tikwan. Ketika melihat si orang tua sudah lenyap, Kim Liong
mulai bekerja. Kebetulan pintu tidak dikunci, maka dengan pelan Kim
Liong membuka. Baru saja pintu terbuka separuh, Kim
Liong ketawa geli melihat orang bergumul seperti ia
tempo hari dengan Lin Lin. Pemandangan demikian
sudah biasa baginya dalam beberapa malam ini ia
melakukan penyelidikan. Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sengitnya
diatas dipan, Kim Liong jalan mendekati dan menotok
jalan darah Goan Kie, hingga pemuda itu lumpuh
tubuhnya tidak bergerak, mendekam diatas tubuh Cui
Gin, hingga Cui Gin heran, tiba-tiba saja partnernya
hentikan kerjanya dan mendekam tidak berkutik diatas
badannya. "Hei, kenapa kau berhenti..?" tanya Cui Gin.
Sementara itu matanya melihat adanya Kim Liong, ia
jadi kaget dan mendoroug Goan Kie jatuh kelantai, cepat
ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Kurang ajar, kau berani sembarangan masuk dalam
kamar orang?" Cui Gin memaki.
Ia muak melihat wajah Kim Liong yang jelek banyak
goresan senjata dan tangannya buntung, namun hatinya
tergetar dan membayangkan bencana atas dirinya
dengan kedatangaunya si buntung didepannya ini.
Kim Liong tidak menyawab, ia cenderungkan
badannya. "Hei, kau mau apa?" bentak Cui Gin, yang mengira
orang akan maui dirinya. menyusul badannya dirasakan lemas tak bertenaga. Ia
kena ditotok oleh Kim Liong.
Badannya Cui Gin dibungkus dengan selimut, lalu
dipanggul atas pundak kirinya, sedang Goan Kie dalam
keadaan telanjang ditenteng oleh Kim Liong dibawa
kekamar kerjanya Cia Tikwan yang sedang menanti
dengan tidak sabaran. Dalam kamar kerja Cia Tikwan, Kim Liong rebahkan
Cui Gin diatas kursi panjang, sedang Goan Kie ia letakkan
diatas lantai.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tayjin, nah inilah dua manusianya yang membikin Lin
Lin mati penasaran..." Kata Kim Liong, setelah ia
meletakkan kedua bebannya itu.
Cia Tikwan bukan main gusarnya melihat dua manusia
yang tertangkap basah itu.
Ia menekan kegusarannya dan menanya pada Kim
Liong: "Anak muda, sebenarnya kau ini siapa" Kau sudah
begitu perlukan tempo untuk menyelidiki kematian
anakku!" "Aku Tan Kim Liong, dengan adik Lin aku kenal baik."
"Dari mana kau mula-mula kenal dengan anakku?"
"Urusan ini panjang untuk diceritakan, hampir tak bisa
dipercaya, nanti akan kujelaskan pada Tayjin, sekarang
Tayjin urus dulu dua pembunuh ini, bagaimana Tayjin
akan mengawasi hukumannya?"
"baiklah Tan-enghiong," sahut Cia Tikwan.
Pembesar itu menghampiri Goan Kie yang rebah
dengan tidak berkutik, hanya matanya saja kedap kedip
mengawasi Cia Tikwan seperti motion pengampunan.
Melihat keadaan Goan Kie dalam pakaian Adam,
gusarnya Cia Tikwan bukan main. Ia dapat
membayangkan bagaimana orang muda itu telah
mempermainkan isterinya. Dengan satu tendangan keras
ia memaki: "Manusia boceng, apa kau tidak puas dengan
perlakuan yang menyayangi kau sebagai anak sendiri"
Kau berani bersekongkol hendak meracuni aku" Hm!
Sungguh besar nyalimu!"
Menyusul kembali Cia Tikwan menendang. hingga
Goan Kie bergulingan dengan meringis-ringis kesakitan,
halmana bukan membikin Cia Tikwan kasihan, malah ia
makin gusar. "Tan-enghiong, coba kau buka totokannya, aku mau
mendengar pengakuannya?" Cia Tikwan berkata, seraya
menghampiri Cui Gin yang menggeletak di atas kursi
panjang. Dengan gemas ia menyambret selimut Cui Gin
dan ditariknya, sambil berkata: "Ini manusia hina, mana
ada harga berada diatas kursiku!"
Ngek! Cui Gin kena diinjak dan digulingkan dengan
kakinya, tubuh Cui Gin yang telanjang jatuh dilantai tidak
berkutik. Matanya bercucuran air mata, seperti memohon
pengampunan suaminya. Sementara itu Goan Kie sudah dibebaskan dari
totokan. Ia berlutut didepan Cia Tikwan dan mengaku
salah, ia mohon pembesar itu memberi kelonggaran
hukum kepadanya. Ia timpahkan segala kesalahan
kepada Cui Gin. Ia berkata: "Aku ingat kebaikan Tayjin, aku menolak
ketika Thaythay memaksa mengajak main gila. tapi aku
seorang manusia biasa. tak tahan dengan rayuannya
yang saban saban mengiang ditelingaku, maka akhirnya
aku terjatuh juga dalam pengaruhnya. Aku sama sekali
tidak punya pikiran untuk mencelakai Sio-Cia, tapi
Thaythay yang mendesak untuk aku membeli racun dan
meracuni SioCia. Thaythay yang mencampuri racun itu
dalam makanannya SioCia..."
"Manusia hisal" memotong Cia Tikwan, kakinya
menyusul menendang kepalanya Goan Kie yang tengah
berlutut hingga bor-boran darah dan kepalanya si
manusia cabul dirasakan pusing tujuh keliling.
Ia menggeletak separuh pingsan.
"Tan-enghiong, tolong kau behaskan totokannya
perempuan hina ini," Cia Tikwan minta Kim Liong
membebaskan totokan Cui Gin.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 4 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Pedang Penakluk Iblis 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama