Ceritasilat Novel Online

Kuda Besi 7

Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 7


Dalam menempuh perjalanan itu pikiran Hui Yan tak lepas mengenangkan Kun Hiap yang oleh orang tua berpenyakitan telah dibiarkan ditawan Koan Sam Yang. Walaupun orang tua itu menja-min tentu takkan terjadi suatu apa pada diri anakmuda itu namun Hui Yan terpaksa masih cemas juga. Maka diapun cepat melakukan perjalanan, biar lekas seleaai dan lekas dapat kembali ke tempat Kun Hiap.
Menjelang hari mulai gelap, di sebelah mu-ka dia sudah melihat permukaan air telaga. kabut malam yang berwarna merah tertingkah sinar mentari tenggelam, menimbulkan warna yang beraneka indahnya. Puncak gunung demi puncak gunungpun menimbulkan bayang2 yang rebah berjajar-jajar di permukaan air. Alam pemandangan di telaga pada waktu menjelang senjakala, sungguh indah sekali. Diam2 Hui Yan memuji. Dia terus lari ke tepi dan berdiri tegak. Tiba2 terde-ngar bunyi gemercik seperti air tersiak kayuh dan dari balik gerumbul ilalang, muncul sebuah perahu kecil.
Yang mendayung perahu itu seorang wanita pertengahan tahun, mengenakan celana kuning biru dan baju pendek kembang. Dandanannya sederhana sekali.
"Toasoh," seru Hui Yan, "apakah toasoh dapat mengantarkan aku ke Ki-lok-hong?"
Wanita setengah tua itu mengangguk, "Baik, silakan nona naik kemari."
Sekali enjot kaki, Hui Yan sudah melayang ke dalam perahu kecl itu. Dan wanita itupun segera mendayung. Aneh, perahu itu meluncur cepat sekali sehingga Hui Yan hampir saja tak sempat berdiri tegak.
Pada saat dia sudah dapat berdiri tegak dan memandang ke tepi, bukan kepalang kejutnya.
Ternyata perahu itu sudah terpisah 18-an tombak dari tepi telaga.
"Toasoh, engkau sungguh kuat benar!" seru Hui Yan memuji.
Wanita itu tertawa tawar, "Ah, hanya karena mencari makan di telaga, lama2 juga terlatih," kata wanita itu, "nona, puncak Ki-lok-hong itu menjadi tempat kediaman Cui-hoa Pek-lo-poh-poh, perlu apa engkau hendak ke sana?"
"Aku hendak mencari taciku," sahut Hui Yan.
Wanita itu miringkan kepala sembari memandang Hui Yan. Tampaknya dia seperti kurang percaya atas keterangan dara itu.
"Mengapa tacimu berada pada Pek lo-poh-poh?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Sebenarnya Hui Yan tak senang kepada Hui Giok tetapi karena bagaimanapun juga Hui Giok itu adalah kakaknya, mendengar pertanyaan wanita itu mengandung hinaan terhadap Hui Giok, Hui Yan marah juga, "Siapa sih Pek lo-poh-poh itu" Mana mungkin taciku berada di tangannya.
Mendengar kata2 itu serentak si wanita hentikan kayuhnya dan perahupun berputar-putar di tengah telaga.
"Hai, mengapa engkau berhenti mendayung?" seru Hui Yan.
"Karena engkau menganggap dirimu hebat, silakan mendayung sendiri," sahut wanita itu.
Hui Yan tertawa dingin. Begitu berputar tubuh dia sudah meluncur ke muka wanita itu, menyambar lengan orang dan disentakkan, "Kalau begitu, minggirlah saja!"
Hui Yan tak mau menggunakan tenaga besar. Ia kira sekali sentak tentulah wanita itu su-dab terlempar. Tetapi siapa tahu, wanita itu membiarkan saja dirinya disiak ke samping tetapi dia tidak jatuh malah balas menendang pinggang Hui Yan.
Tendangan itu tak terduga sama sekali, plak, pinggang Hui Yau terkena dan dara itu mencelat ke udara.
Hui Yan bergeliatan di udara dan meluncur turun. Tetapi alangkah kejutnya ketika mengeta-hui bahwa dia bakal kecebur dalam air. Bukan main kejut dan cemasnya. Dan dilihatnya wanita setengah tua itu mendayung lagi sehingga perahu melesat setombak jauhnya, jelas wanita itu menghendaki agar Hui Yan tercebur ke dalam air.
"Hai, lekas dayung perahumu kemari!" seru Hui Yan yang saat itu sudah mulai meluncur turun."
Wanita itu bukan menurut sebaliknya malah mendayung lagi. Gerak kayuhnya telah menimbulkan gelombang yang besar sehingga air mendampar ke atas. Tiba2 seekor ikan besar yang panjangnya selengan orang, ikut terdampar ke atas permukaan air. Melihat itu Hui Yan girang sekali. Dia cepat menahan napas agar tubuhnya meluncur turun dengan cepat.
Hui Yau memang cerdas di samping memiliki kepandaian yang tinggi. Begitu melihat ikan besar muncul, dia sudah mendapat akai. Maka luncur tubuhnya itu tepat sekali tiba di tubuh ikan. Secepat ujung kakinya menginjak tubuh ikan itu, dengan meminjam tenaga pijakan itu dia sudah melambuiig ke udara dan melesat ke bagian belakang perahu.
Melihat itu cepat si wanita mengayunkan kayuhnya untuk membabat kaki Hui Yan. Tetapi dara itu membungkukkan tubuh memegang buritan perahu dan menggelincir sepanjang tepi perahu dan terus berdiri di daIam perahu.
Brakkk karena luput menghantam Hui Yan, kayuh itu mendapat sasaran geladak perahu dan putus. Rupanya wanita itu mengayun dengan sekuat tenaga maka waktu kayuh putus dia sampai terhuyung-huyung mau jatuh sendiri dan hampir saja terpelanting jatuh ke dalam air.
Hui Yan mencelat maju dan berseru, "Lekas kayuh lagi, kalau sampai terlambat datang di Ki-lok-hong. terpaksa engkau harus menikmati tanganku.
Wajah wanita setengah tua itu tampak berobah gelap.Dia membungkuk seperti hendak memungut kayuh tetapi ternyata gerakannya itu hanya suatu sialat pura2 saja, Dia melingkar, sambil menekankan siku lengannya sebagai penyangga tubuh pada papan perahu, tangan kirinya menghantam Hui Y-an.
Sudah tentu Hui Yan bukan seorang gadis lemah yang dengan mudah dapai disengkelit dengan cara semacam itu, Sebelumnya dia memang sudah dapat menduga akan gerak gerik wanita itu tentu mengandung maksud buruk. Maka diapun sudah berjaga-jaga.
? Dia sedikit miringkan tubuh, kelima jarinja segera balas mencengkeram pergelangan tangan orang lalu meremaskan sedikit keras.
Kepala wanita itu bercucuran keringat dingin dan tanpa dapat dipertahankan lagi, kedua lututnya lunglai, duk. ... dia berlutut di lantai.
"Harap nona suka memberi ampun," katanya meratap kasihan.
"Hm, apakah sekarang engkau kenal kelihayanku" tanya Hui Yan, "apakah taciku berada di Ki-lok-hong?".
"Siapakah kakak nona itu, aku taktahu."
"Namanya Tian Hui Giok, "kata Hui Yan.
Kalau tadi muka wanita itu sudah tak sedap dipandang kini demi mendengar nama Tian Hui Giok, wajahnya makin pucat. Duk, duk. .. .dia menundukkan kepala sehingga membentur papan perahu sebagai tanda memberi hormat yang sedalam-dalamnya.
"Hamba tak tahu kalau nona ini sam-siu-cia, harap nona memberi ampun. Hamba tak berani berbuat yang kurang menghormat lagi, "katanya.
Sebenarnya Hui Yan itu seorang dara yang berhati pemurah. Mendengar wanita itu meratap beriba-iba, diapun mengendorkan cengkeramannya. Dan melihat bagaimana jidat wanita itu sampai benjol karena terbentur dengan papan, Hui Yan tertawa, "Baiklah. lekas dayung lagi !"
Wanita itu gopoh berbangkit lalu mulai mendayung menuju ke arah puncak gunung yang hijau lebat.
Saat itu hari sudah gelap, tetapi di puncak gunung terdapat sederetan penerangan, mulai dari kaki sampai ke atas gunung. Sepintas pandang menyerupai seekor naga api yang melingkar-lingkar ~di puncak gunung.
Tak berapa lama kemudian, perahu tibalah di tepi telaga. Beberapa orang lelaki berdiri berjajar di tepi telaga dengan membawa lentera. Rata2 lentera mereka berwarna biru gelap sehingga menimbulkan pemandangan yang seram.
"Yang datang adalah Tian sam-siocia, mengapa kalian tak lekas memberi hormat?"Keempat lelaki itu terkejut dan serta merta berlutut memberi hormat.
Hui Yan merasa seperti mendapat kehormatan besar. Dengan langkah bergoyang gontai dia naik ketepi, "Ah, tak usah banyak peradatan," serunya. Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dia tak mau balas memberi anggukan kepada mereka.
Wanita setengah tua tadi tetap mengikuti di belakang Hui Yan sembari menunjukkan jalan. Selama mendaki, banyak sekali Hui Yan berjumpa dengan orang2 yang membawa lentera biru. Sikap dan gerak gerik mereka memang aneh.
Setiap kali wanita setengah tua itu memerintahkan mereka, ada yang disuruh memberi hormat dan ada yang disuruh berdiri tegak seperti prajurit yang menyambut panglimanya. Rupanya wanita setengah tua itu mempunyai kekuasaan be-sar di Ki-lok-hong. Sebab perintahnya, tak ada orang yang berani membantah.
Berjalan lebih kurang setengah li, Hui Yan melihat di sebelah muka sebuah gedung besar. Menilik bangunannya, gedung itu sudah tua. Dimuka gedung dipasang empat buah Ientera besar yang terang benderang. Juga keempat lentera itu berwarna biru. Para penjaga yang berjajar di muka pintu wajahnya tampak biru legam tertimpah caha-ya Ientera itu.
Begitu tiba di muka pintu, dari dalam segera terdengar suara Tian Hui Giok menyambut "Kami tiga saudara, yang tua dan yang bungsu sudah mati semua, jelas tetamu yang datang dan mengaku sebagai adikku ini tentu penipu yang menggunakan nama adikku!"
Terdengar pula suara seorang nenek tua yang berkata dengan nada tak enak ditelinga, "Hm, sungguh berani sekali !"
Pembicaraan kedua orang itu, terdengar oleh Hui Yan dan wanita setengah tua yang berada di sampingnya.. Serentak wanita setengah tua itu berpaling dan memandang Hui Yan dengan marah.
Hui Yap mengempos semangat dan menghambur tawa dingin, "Ji-ci, semula kita ini taci-adik tetapi sekarang tiba2 menjadi palsu, lucu sekali bukan. ?"
Dia sengaja menggunakan tenaga-dalam untuk menghembuskan suaranya agar menyusup jauh ke dalam.?? ?
Pada lain saat terdengar suara Hui Giok berkumandang, "Aya, kiranya memang benar sam-moay."
Kalau mendengar nadanya jelas suatu curah kegembiraan sehingga Hui Yan tertegun. Memang walaupun tingkah lakunya centil dan nakal, tetapi sebenarnya Hui Yan itu berhati baik dan jujur.
Hui Yan sudah tahu semua perbuatan tacinya. Dia menduga Hui Giok tentu akan terkejut ketakutan atas kehadirannya. Siapa tahu sebaliknya Hui Giok malah menyambut dengan girang.
Kembali suara Hui Giok terdengar berturut-turut, "Sam-moay, engkau dimana" Sammoay...."
Cepat sekali sesosok tubuh melesat dan tahu-tahu Hui Giok muncul di ruang itu, diiring empat orang yang membawa Ientera biru. Begitu melihat Hui Yan, Hui Giok bercucuran airmata.
"Ai, sam-moay, tak kira kita masih dapat bertemu muka..." suaranya pilu sekali sehingga Hui Yan sampai tersentuh hatinya.
Hui Giok maju selangkah dan menjabat tangan adiknya. Pada saat tangan keduanya bersentuhan tiba2 Hui Yan rasakan telapak tangannya kesemutan. Cepat dia meronta seraya menyurut mundur. Memeriksa telapak tangannya dia tak mendapatkan sesuatu perobahan apa2..
Hui Yan curiga memandang ke muka. Tampak Hui Giok terlongong seperti tak tahu apa2, Bahkan masih sesenggukan dan tertawa, "O, terima kasih Tuhan. Kukira kalau aku sudah sebatang kara, ternyata engkau masih hidup!"
"Ji-ci, mengapa engkau mengatakan kalau engkau sudah sebatang kara?" tegur Hui Yan.
Hui Giok banting2 kaki, "Sam-moay, apa engkau tak tahu " Dua orang rahib busuk bersama Thian Go lojin dan Sam Cpat sianseng telah membunuh mama dan toa-ci. ..."
Teringat akan hal itu, meluaplah kemarahan Hui Yan, "Mengapa mereka bisa bersama-sama mencari mama ?"
Hui Yan hendak mendesak Hui Giok dengan pertanyaan yang menyudutkan karena ia tahu.
Tetapi diluar dugaan Hui Giok tenang2 saja. Dia menghela napas, "Siapa yang tahu mengapa mereka dapat datang bersama-sama ?"
Sambil menjawab, airmatanya masih bercu-curan. Pada saat itu terdengar derap langkah yang sarat, tengah mendatangi dengan cepat. Hui Yan mengangkat muka. Dilihatnya seorang wanita setengah tua bersama seorang nenek sudah muncul dibelakang Hui Giok.
Nenek itu mengenakan pakaian warna hijau, bertubuh tinggi kurus seperti nenek yang lemah. Tetapi sepasang matanya yang meram melek itu, begitu beradu pandang dengan. Hui Yan. tampak jmemancarkan sinar berkilat tajam yang menikam.
Berkata nenek itu dengan suara yang lemah.
"Nona Tian, selekas kami rundingkan, masa takut kalau dendam sakithati mamamu takkan terbalas ?"
Dengan masih bercucuran airmata, Hui Giok berkata, "Asal dendam darah mamaku itu terhimpas, aku tentu akan menghaturkan kedua pusaka, itu kepada lo-cianpwe."
Nenek itu tertawa mengekeh. Tampaknya dia girang sekali seperti merasa kalau kedua pusaka baju Kim-wi-kah dan cakar Hiat-hun-jia sudah berada ditangannya
Mendengar ita Hui Yan tak senang. Tetapi pada saat dia hendak membuka suara tiba2 nenek itu berseru. "Leng-moay (adikmu) jidatnya sepertl memancarkan hawa hitam. Mirip dengan terkena racun ganas !"
Hui Giok tergetar. Dia segera menggenggam tangan Hui Yan dan berkata, "Sam-moay, dalam perjalananmu apakah engkau bertemu dengan hai2 yang tak wajar ?"
Saat itu Hui Yan segera tahu behwa nenek itu bukan lain adalah Cui-ih pek lo-pohpoh atau nenek Pek berbaju hijau. Mendengar nenek itu berkata dengan nada serius, dia terkejut sekali.
"Tidak. selama dalam perjalanan.-..,," baru dia hendak memberi keterangan tiba2 dia teringat bagaimana tadi waktu berjabat tangan dengan Hui Giok secara tiba2 telapak tangannya terasa kesemutan dan tubuhnya mendadak terasa dingin. dia tak jadi melanjutkan kata2nya.
"Pek lo-cianpwe," cepat Hui Giok menjawab, "adikku ini lincah dan cerdas. Apalagi kepandaiannya juga tinggi. Kemungkinan tak ada orang yang dapat melukainya. Engkau orang tua, mungkin salah lihat. Mari, sam-moay, kuperkenalkan. Yang ini adalah Can hujin, Soh-jiu-sian-cu Tong Wan Giok."
Hui Yan tahu kalau Tong Wan Giok itu adalah mamanya Kun Hiap. Seharusnya dia bersikap sungkan diri menghormati. Tetapi saat itu hatinya sedang kacau sehingga dia tak mengacuhkan omongan Hui Giok. Bahkan dia terus membalikkan tangan menerkam pergelangan tangan Hui Giok. Tetapi di luar dugaan Hui Giok mena-rik tangannya sehingga cengkeramannya HuiYan luput.
"Ji-ci, apa saja yang engkau lakukan pada telapak tanganku tadi?" seru Hui Yan.
Hui GioK membelalak, "Melakukan apa?"
"Kutahu engkau tetap membenciku, "Hui Yan melengking tajam," membenci toa-ci dan juga membenci mama. Tentu engkau telah melumurkan racun pada telapak tanganku!"
Hui Giok mundur selangkah. Dengan lunglai dia memandang pek lo-pohpoh dan Tong Wan Giok lalu tertawa getir, "Cobalah kalian dengar, bagaimana dengan adikku itu?"
Memang dalam keadaan seperti itu setiap orang tentu menganggap kalau Hui Yan sedang ngaco belo.
Pek lo-pohpoh pun maju selangkah ulurkan ta-ngan dan mencekal pergelangan tangan Hui Yan. Tampak wajah nenek itu berobah lalu lepaskan cekalannya lagi dan diam.
"Bagaimana?" seru Hui Yan tegang.
"Bagaimana?" hampir berbareng dengan Hui Yan, Hui Giokpun bertanya.
Tetapi Pek lo-pohpoh tak mau bicara. melainkan bertanya, "Apakah nona Tian hendak nginap di Ki-lok-hong sini?"
Mendengar kata nenek itu, Hui Yan mengira kalau dirinya tak terkena sesuatu racun seperti yang ia kuatirkan. Tetapi dia tak dapat menerima tawaran nenek itu, "Ah, tidak, kedatanganku kemari hanyalah perlu hendak mengambil barang dari ji-ci. Setelah itu aku akan terus pulang."
"Bagus, bagus, .., "kata Pek lo-pohpoh.
"Tak perlu engkau bilang, akupun sudah tahu, "Hui Giok cepat menimbrang, "bukankah sigkau hendak meminta kembali kuda besi itu?"
Sebelum Hui Yan sempat menjawab, tiba2 Tong Wan Giok sudah mendahului bertanya, "Bagaimana Kun Hiap" Dia dimana?"? dia menghampiri Hui Yan dengan wajah cemas sekali.
Hui Yan menghela napas "Dia. . . . sekarang tenaganya memang bertambah hebat sekali.. .. ." ia berhenti sejenak lalu melanjutkan," tetapi entah bagaimana kesadaran pikirannya seperti hiIang tak sadarkan diri..."
"Dia dimana!" teriak Tong Wan Giok kalap.
"Dia ditawan Koan Sam Yang dan dibawa ke daerah Biau-ciang?" sahut Hui Yan.
"Celaka! Celaka! 'Tong Wan Giok banting2 kaki, "Koan Sam Yang itu bukan manusia baik. Kalau Kun Hiap bersama dia, tentulah akan menderita. Aku akan menyusul kesana!" '
Habis berkata Tong Wan Giok terus melesat keluar. Seolah-olah daerah Biau-Ciang itu hanya dekat saja.
Hui Giok cepat melesat mengejar dan menghadang, "Pehbo, kalau saat ini mana mungkin da-pat menyusulnya" Taruh kata bisa menyusul teta-pi apakah pehbo mampu menandingi Koan Sam Yang?"
Tong Wan Giok tertegun. Kerena kehilangan faham dia hanya bingung tak karuan.
"Pehbo," bisik Hui Giok," sam-moayku tentu bisa memberi keterangan, harap jangan kuatir."
Saat itu Hui Yan juga memburu datang, katanya, "Penyakit Can kongcu bisa disembuhkan. Apabila dia sudah sembuh, ilmu kepandaiannya akan sakti sekali tiada orang yang mampu menawannya. Harap pehbo jangan kuatir."
Hui Giok kerutkan alis, "Siapa yang bilang?" tegurnya.
"Orang tua berpenyakitan itu yang mengatakan, "sahut Hui Yan, "ji-ci, beberapa biji kuda besi yang ada padamu itu, adalah benda yang diperlukan untuk pengobatan Can kongcu. Berikanlah kepadaku!"
Wajah Hui Giok membesi seketika. Sebenarnya dia hendak bertindak kepada adiknya tetapi tiba2 dia merasa kalau saat itu Tong Wan Giok sedang memandang kepadanya. Maka cepat-cepat dia tenang kembali..
"Ah, "serunya seperti orang kaget,"mengapa tidak tadi2 engkau bilang" Asal dapat menolongnya, jangankan hanya kuda besi itu, sekalipun benda yang lebih berharga dari itu, tentu akan kuserahkan."
Sudah tentu Hui Yan girang mendengar pernyataan tacinya itu. Dia tak mau memikirkan apa2 yang dibalik kata2 tacinya itu.
"Kalau begitu, lekas berikan kepadaku saja." katanya gopoh.
Hui Giok mengeluarkan dua biji kuda besi dan diberikan kepada adiknya. Hui Yan tertegun melihat tacinya mempunyai dua biji kuda besi.
Memang Hui Yan tahu kalau tacinya punya dua biji, Yang satu biji pemberian Kun Hiap. Dan yang satu biji adalah miliknya yang dirampas ji-cinya ketika dia sedang pingsan. Yang membuat Hui Yan tertegun tak lain karena sedemikian cepat dan sukarela tacinya menyerahkan kedua biji kuda besi itu kepadanya.
"Menolong orang semisal memadamkam api kebakaran." kata Hui Giok "setelah mendapatkan benda itu, mengapa engkau tak lekas2 berangkat?"
"Baik," kata Hui Yan. Baru dia hendak berputar tubuh, tiba2 dia kembali berbalik menghadap Hui Giok. Dipandangnya taci itu dengan tak mengucap sepatah katapun juga. Setelah. Menghela napas, Hui Yan terus melesat lari dan cepta tiba di tepi telaga. Disitu sudah menunggu sebuah perahu dengan tukang dayung yang segera mengantarkan keluar dari telaga.
***** Malam itu rembulan bersinar terang. Tetapi Hui Yan tiada mempunyai gairah untuk menikmati alam pemandangan malam. Pikirnya, karena sekarang benda yang dibutuhkan itu sudah berada di tangannya, lebih baik dia cepat2 pulang.
Selain daripada kuda besi yang belum diketemukan, menilik kepandaian orang tua berpenyakitan yang begitu sakti, kiranya bukan suatu hal yang sukar untuk mendapatkannya. Asal delapan biji kuda besi .sudah terkumpul semua, Kun Hiap tentu dapat disembuhkan.
Teringat hal itu hati Hui Yan gembira tegang sekali. Dia terus kerahkan semangat lari dengan menggunakan ginkangnya, Dia ingin lekas kembali ke Biau-ciang dan bertemu dengan orang tua berpenyakitan.
Dalam sekejab saja dia sudah lari sampal enam tujuh li. Tiba2 dia mendengar suara orang mendesus. Tanpa hentikan larinya, dia berpaling. Ditingkah cahaya rembulan terang, dilihatnya ada seseorang berdiri ditepi jalan. Ternyata orang itu tak lain adalah Pek-lin tojin atau imam Kongyap Hong. Dasar dara centil. Dia bukannya berhenti tetapi malah menyeringaikan mukanya kearah imam itu.
"Berhenti!" tiba2 Kongyap Hong membentak.
Bentakannya itu luar biasa kerasnya sehingga Hui Yan terkejut dan berhenti. Saat itu si imam sudah melesat kemukanya dan menimangnya dari ujung kaki sampai ke ubun2 kepala.
"Hai, apa-apaan engkau ini ?" tegur Hui Yan. yang merasa risih dipandang begitu rupa.
Koogyap Hong menghela napas, "Sayang, sayang, ah ..., sayang, sayang !"
Sudah tentu Hui Yap tak mengerti maksud si imam. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, imam itu sudah berkata dulu, "Tetapi takkan menderita kesakitan. Begitu saatnya tiba, hanya seperti orang tidur saja."
"Hai, engkau mengingau apa?" tanya Hui Yan..
Tetapi Kongyap Hong tak menjawab. Sambil menggendong kedua tangannya dia terus ngeloyor.
"Seperti melihat setan saja, huh .. , ." dengus Hui Yan. Dia terus hendak melanjutkan perjalanan tetapi tiba2 terkilas dalam pikirannya. Imam itu seorang sakti. Kalau tiada sesuatu tak mungkin dia akan mengoceh begitu. Ya, tentu ada sesuatu. Apakah tidak seperti Pek lo-pohpoh yang mengatakan kalau dirinya Hui Yan terkena racun ganas "
Ah, tetapi dia merasa tak ada suatu peroba-han dalam tubuhnya. dia lalu coba mengambil pernapasan beberapa kali. Ah, tidak apa-apa.
Saat itu si imam sudah jauh. kalau mau mendampratnya, toh percuma saja, malah akan menunda waktu. Tetapi dasar dia seorang dara centil, Daripada menyimpan dalam hati, lebih baik dia tumpahkan saja, Dia segera berteriak mendamprat sampai dua kali, setelah itu buru melanjutkan perjalanan lagi.
Selama dalam perjalanan karena ingin lekas tiba di Biau-ciang maka dia tak mau membuang buang waktu. Kecuali berhenti untuk bertanya jalan kepada orang atau bertanya tentang diri orang tua berpenyakitan itu, dia tak mau cari perkara.
Dalam waktu sebulan, berkat menempuh perjalanan dengan cepat dan non-stop, tibalah dia di jalan kecil yang akan mencapai perbatasan wilayah Hun-kwi. Jalan kecil itu merupakan jalan utama yang harus dilalui apabila hendak ke Biau-ciang.
Hui Yan sangat bernafsu sekali untuk lekas-lekas mencari orangtua berpenyakitan, Tetapi sepanjang jalan kearah baratdaya yang dilaluinya selama itu, tiapkali bertanya, tiada seorangpun yang pernah melihat orang tua yang dimaksudkan Hui Yan.
Hui Yan hampir putus asa Dia tak tahu dimanakah Koan Sam Yang menyembunyikan Kun Hiap. Bahkan dimana tempat kediaman Tok Liong cuncia yang hendak diangkat sebagai guru Koan Sam Yang itu, pun dia tidak tahu. Akhirnya dia terus melintas masuk ke daerah pegunungan di pedalaman.
Saat itu sudah senja, mentari mulai tenggelam disebelah barat. Sehari berjalan di daerah gunung itu, Hui Yan tak bertemu dengan seorang manusia. Sudah tentu hatinya pepat sekali. Kaku rasanya sehari suntuk tak bicara. Ingin dia menumpahkan kemendongkolannya dengan menghajar batu dan pohon. Ya, mengamuk itu memang obat mujarah untuk menumpahkan perasaan yang kheki.
Tiba2 di sebelah muka, disamping sebatang pohon yang tua, tampak seorang lelaki berdiri. Orang itu berdiri seperti patung, sama dengan pohon disebelahnya yang sudah Iayu dan lapuk.
Hui Yan cepat menghampiri, Waktu dekat, dari sisa sinar matahari senja, dilihatnya orang itu bertubuh tinggi besar, tulang2nya kokoh dan be-sar. Seorang lelaki yang jantan perkasa, Tetapi saat itu seperti mummi. Mukanya kempot, penuh dengan brewok. Matanya tak bersinar. Sepintas tak ubah seperti sesosok mayat.
Sejenak mengawasi, rasanya Hui Yan sudah pernah mengenal orang itu tetapi dia lupa siapa, Setelah memandang beberapa saat, ia mundur be-berapa langkah dan berseru, "Hai, siapa engkau ?"
Dia mengulang sampai beberapa. kali, tetap tak menyahut. Akhirnya dia menjerit sekuat-kuatnya dan barulah orang itu seperti tergetar lalu mengangkat kepalanya.
"Hai, apakah engkau tuli ?" teriak Hui Yan.
Orang itu gelengkan kepala.
"Engkau siapa " Apakah engkau seorang diri saja disini?" ulang Hui Yan.
Tetapi orang itu diam seperti patung. Hui Yan maju mendekat lagi dan ulurkan tangan dan mentowel pucuk hidung orang itu, plek...
Orang itu tertawa kecut, serunya, "Nona kecil, silakan engkau melanjutkan perjalanan saja, jangan menganggu aku,"
Hui Yan tertawa gelak2. "Engkau seorang lelaki yang begitu besar. selainkan hanya meminta supaya aku tak mengganggu , apakah tak punya daya lain lagi ?"
Hui Yan memang sengaja hendak turun tangan dan menghambur makian. Pikirnya, biar orang itu marah dan balas memaki serta menyerang dengan begitu dia dapat menggerakkan urat untuk berkelahi.
Tetapi diluar dugaan orang itu hanya menghela napas panjang penuh kepedihan sehingga Hui Yan turut terharu. Pikiran untuk mengganggu orang itu pun lenyap.
"Sahabat," beberapa saat kemudian Hui Yan berkata pula, "apa yang menjadi kesusahanmu, su-kalah engkau mengatakan."
Kembali orang itu menghela napas. Hui Yan buru2 mendekap telinganya dan berseru. "Jangan menghela napas, jangan menghela napas lagi, maukah ?"
Orang itu tertawa masam. Celaka, lebih baik tidak ketawa saja karena begitu tertawa, sikapnya makin menyayat hati orang, "Ah, nona kecil, engkau tak mengerti,"
"Sudahlah, jangan mengurusi aku mengerti atau tidak mengerti. Bilanglah!" seru Hui Yan.
Mata orang itu memandang jauh ke muka.
Saat itu cuaca senja makin petang. Entah apa yang dipikirkan tetapi yang jelas beberapa saat kemudian baru dia berkata dengan pelahan, "Ada seorang nona yang cantik sekali. Aku.,. aku suka kepadanya??? "
Hui Yan terkesiap. Dia tak kira manusia yang kaku seperti batang kayu itu ternyata memiliki hati yang bernyala asmara.
"Tetapi dia..." kata orang itu pula, "tak pernah mau menganggap diriku. Kemudian, dia .... dia . .. ."
Tiba2 orang itu berbalik tubuh dan berteriak, "Sudahlah, tak perlu diceritakan, tak usah diceritakan!"
"Katakanlah," pinta Hui Yan. Tetapi orang itu terus melesat pergi.
"Hai, mau kemana engkau " Mengapa baru cerita separoh terus tak mau melanjutkan ?" teriak, Hui Yan, seraya terus mengejar.
Baru setombak jauhnya, tiba2 bahunya ditepuk orang dan sepasang tangan menekannya, sehingga dia tak dapat lari.
Hui Yan terkejut dan cepat menghantam tangan orang yang menekan bahunya itu. Dia bergerak cepat sekali tetapi orang itupun juga cepat2 sudah menarik tangannya Plak .... karena tak sempat menahan, pukulan Hui Yan mengenai bahu-nya sendiri.
Dara itu makin terkejut dan berkisar kesamping lalu berbalik tubuh. Aii, ternyata yang berdi-ri dihadapannya dengan tertawa mengikik itu bukan lain adalah orang tua berpenyakitan yang dicarinya itu.
Ah, Hui Yan mendesah dalam hati. Dia tahu kalau orang berpenyakitan itu seorang sakti yang tiada tandingannya. Tetapi mengapa masih mau bergurau dengan dirinya "
Dia pura2 marah dan menegur, "Hah, kiranya engkau. Mengapa main kucing-kucingan begitu ?"
Melihat si dara marah, orang tua berpenyakitan itu malah makin gembira. Tetapi baru mukanya cerah, tiba2 mengerut beku lagi. Sikapnya aneh sekali.
Sudah tentu Hui Yan terkesiap karena tak tahu apa yang terjadi. Tiba2 orangtua itu memegang pergelangan tangan Hui Yan dan dibalikkan untuk melihat telapak tangannya, kemudian memijat pois (denyut nadi).
"Engkau, engkau bertemu dengan siapa?" serunya terkejut.
Walaupun Hui Yan seorang yang cerdas.tetapi saat itu dia bingung dan tak mengerti apa maksud orang tua itu.
"Ak tak bertemu dengan siapa2," sahutnya.
"Waktu engkau berpisah dengan aku, apa saja yang engkau lakukan " Dan bertemu dengan siapa?" desak orang tua itu. Dia minta agar Hui Yan menceritakan dengan jelas.
"Setelah berpisah, aku langsung menuju ke puncak Ki-lok-hong di telaga Thay-ou. Ditengah jalan aku bertemu dengan Pek-lin cinjin Kong-yap Hong."
Orang tua itu gelengkan kepala, "Bukan dia."
Hui Yan makin tak mengerti,. katanya pula, "Setelah tiba di Ki-lok-hpng, aku berteniu dengan ji-ci dan Tong Wan Giok. Juga Ciu-ih Pek lo-pohpoh. Setelah kukatakan maksud kedatanganku kepada ji-ci, dia terus memberikan kuda besi itu. Tampaknya dia masih punya liangsim (hati baik) Setelah itu aku segera cepat2 , kembali ke Biau-ciang sini."
Orang tua berpenyakitan itu mengangguk, "Bagaimana sikap tacimu waktu berhadapan dengan engkau ?"
"Rupanya setelah tahu kalau gagal mencelakai aku, dia menyesal, begitu melihat aku dia terus memegang tanganku dan menangis dengan sedih dan penuh kemenyesalan," kata Hui Yan.
Tiba2 orang tua berpenyakitan itu menengadahkan kepala dan menghela napas panjang "Ah. ya, tentu dia. ..."
"Lo-jin-ke, engkau mengatakan apa?"seru Hui Yan.
Orang tua berpenyakitan itu berputar kepaIa, sahutnya, "Tidak apa-apa??? "
Nadanya menggigil seram. Hui Yan malah tertarik. Pikirnya, mengapa orang tua itu berobah seperti anak kecil yang hendak menakut nakuti dirinya" Hm, kalau aku takut, berarti aku kena tipunya, kata Hui Yan dalam hati.
Tiba2 dia tertawa melengking dan mengam-bil kedua biji kuda besi, serunya, "Cianpwe, ma-sih ada berapa biji kuda besi lagi" Apakah engkau sudah mendapatkan semua?"
Orang tua itu manyambut kedua biji kuda besi itu dan menyahut stngkat, "Sudah."
Hui Yan kagum sekali, "Ah, cianpwe benar2 sakti sekali sehingga dengan mudah dapat memperoleh benda itu. Kalau suruh aku yang harus minta kepada Thian Go lojin, entah harus makan waktu berapa lama?"
Waktu mengamati kedua biji kuda besi itu tiba2 orang tua itu berteriak, "Budak perempuan keji!"
Hui Yan tertegun. Dia teringat selama dirawat orang tua itu, belum pernah orang tua itu memanggilnya dengan nada yang begitu mesra,
"Kenapa cianpwe?" buru Hui Yan mengham-piri.
Orang tua itu memandang terlongong pada Hui Yan. Sampai beberapa saat tak berkata apa-apa hanya alisnya yang mengernyit seperti memikirkan suatu persoalan yang gawat.
Wajah orang tua itu seperti orang yang habis sakit. Kini dengan wajahnya yang mengerut gelap itu, makin menimbulkan kesan yang menggetarkan hati.
Sebaliknya Hui Yan malah geli tetapi dia berusaha untuk menahan tawanya. Beberapa saat kemudian orang tua itu mengulurkan tangan dan memegang bahu Hui Yan, "Budak kecil, pada waktu itu apapila aku kebetulan tak lewat, engkau tentu sudah binasa dalam iubang pohon besar, ya atau tidak?"
Hui Yan mendesis tertawa, "Ya, benar, kalau aku mati, tentu tak ada orang lagi yang berani bergurau dengan cianpwe."
Orang tua itu tertawa hambar. Dia tahu kalau dara itu sedang mengoloknya tetapi dia tak menghirauKan dan melanjutkan berkata, "Kalau begitu, sejak saat itu sampai sekarang engkau dapat hadir hidup, katakan suatu kelonggaran besar, ya atau tidak?"
Hui Yan makin geli. Dia tak tahu apa maksud orang tua itu. Dengan serius, ia menjawab, "Ya, aku memang telah mendapat kemurahan hidup. Kali ini Raja Akhirat tentu rugi."
Orang tua menarik tangannya dan berkata. "Budak perempuan, ketahuilah, Memang dalam dunia persilatan banyak sekali tokoh sakti. Tetapi untuk mencari seorang yang benar2 menonjol dan mampu menundukkan tokoh2 persilatan dan mendapat, penghormatan mereka, haruslah dia benar2 memiliki kepandaian yang tiada lawannya. Dan untuk mencari orang semacam itu tidak mudah!"
Hui Yan makin tak mengerti kata2 orang tua yang beralih ke lain jurusan itu, serunya, "Ya, sejak Tat Mo locausu dan Thio Sam Hong cousu, rasanya tiada lagi penggantinya. Cianpwe, engkau hampir mendekati."
Orang-tua itu paksakan tertawa, "Aku sama seperti mendiang ayahmu. Kalau membicarakan soal ilmu kepandaian, ayahmu memang paling terkemuka. Aku pernah menguji kepandaian dengan ayah-mu-sampai beberapa kali tetapi kesudahannya ha-nya. berimbang saja. Kami berdua sama2 dianggap Sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Kemudian, karena ingin mengalahkan ayahmu, aku lalu mengembara sampai keluar lautan. tetapi ternyata malah runyam. Aku telah melukai seorang ketua partai persilatan dan ilmu kepandaianku malah rusak tidak seperti semula lagi... . "
Mendengar sampai disitu, tergeraklah hati Hui Yan, Dia ingat dulu mendiang ayahnya pernah menceritakan tentang seorang tokon dan tokoh itu tak lain adalah suheng dari ayahnya sendiri. Adakah .... adakah orang tua berpenyakitan yang dihadapannya itu tak lain dari tokoh yang pernah dikatakan mendiang ayahnya, yakni supeknya (paman guru) sendiri "
Tengah Hui Yan masih menduga-duga, kem-bali orang tua itu berkata pula, "Setelah aku kem-bali dari seberang lautan, ayahmupun telah meninggal. Kami berdua memang sempit dada, terlalu membanggakan keAkuan untuk mengalahkan yang lain. Ketahuilah bahwa kodrat dunia itu tak dapat direbut dengan paksa. Tepat sekali kata peribaha-sa 'Perhitungan manusia itu kalah dengan keten-tuan takdir'. itulah sebabnya maka tokoh yang benar' mengungguli semua tokoh persilatan, sampai beratus tahun belum muncul lagi. Kini... kini tokoh seperti itu telah muncul...."
Mendengar itu cepat2 Hui Yan menyambut dengan muka tersipu merah, "Apakah engkau maksudkan Kun Hiap itu?"
Orang tua berpenyakitan mengangguk, "Benar, aku memang mengatakan dia. Setelah tersedia obat mustika yang terdapat dalam delapan biji kuda besi itu. dia pasti dapat disembuhkan dari pikirannya yang hilang. Pada saat itu ilmu tenaga-dalamnya takkan ada yang menandingi lari. Setiap kali menghadapi niusuh, begitu melihat apa yang dimainkan musuh, dia tentu segera dapat menjalankan juga. Ditambah dengan pikiran terang dan dada lapang, tentu tak sampai 10 tahun lagi dia akan menjadi tokoh nomor satu dalam dunia persilatan."
"Kalau begitu mengapa cianpwe tak lekas2 mencari dia" Mau tunggu apa lagi?" seru Hui Yan.
"Saat ini aku belum dapat mengambil kepu-tusan apakah obat mustika dalam delapan biji kuda besi akan kuberikan kepadanya agar dia tersadar, "kata orang tua itu.
Sudah tentu Hui Yan terkejut sekali. Jelas orang tua itu bukan sedang bergurau. Dia cepat berserii, "Mengapa". . . . dia kenapa?"
Orang tua itu gelengkan kepala, "Tidak apa-apa. Koan Sam Yang tentu akan menyembunyikannya dengan baik, mengapa sampai terjadi sesuatu. Budak perempuan, aku bertanya kepadamu. "Kini jiwamu terancam bahaya dan harus diobati dengan obat mustika yang berada dalam delapan kuda besi ini, apakah engkau mau merelakan jiwamu" Ataukah engkau akan memberikan kepada Kun Hiap agar anak muda itu sembuh dari pikirannya yang hilang" Dengan begitu biarlah dunia persilatan akan kehilangan seorang calon tokoh yang paling sakti?"
Hui Yan tercengang menerima pertanyaan seperti itu. Dia balik bertanya, "Apa maksudmu bertanya begitu?"?? ?
Orang tua itu menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku tak Ingin mengatakan kepadamu. Tetapi aku bingung. Engkau.. . . engkau telah terkena jenis racun yang amat ganas. racun itu telah menyusup dari tengah telapak tanganmu dan terus mengalir kelengan. Sekarang sudah menyusup ke dalam hati. Paling banyak engkau hanya dapat hidup tiga hari lagi..." berkata sampai disini wajah orang tua itu menampilkan kerut kesedihan yang mendalam.
Mendengar itu jantung Hui Yan berdetak keras. Dia segera teringat kalau Pek-lin cinjin Kongyap Hong pernah mengatakan begitu juga. Waktu itu dia tak mengacuhkan. Dan setelah sebulan menempuh perjalanan ke Biau-ciang, dia-pun sudah melupakan hal itu. Kalau sekarang orang tua berpenyakitan itu jaga mengatakan begitu, adakah hal itu memang sungguh2"
Tetapi kalau umurnya hanya tinggal 3 hari saja, mengapa sampai sekarang dia tak merasa ada perobahan dalam tubuhnya" Huh, kemungkinan besar orang tua berpenyakitan itu tentu hendak menakut-nakutinya, apabila dia benar2 ketakutan, orang tua itu tentu tertawa senang. Pikirnya.
Memang sebagai dara centil, Hui Yan sering berbuat begitu untuk mempermainkan orang. karena mengukur tabiat orang tua berpenyakitan itu seperti dirinya sendiri, bukannya takut kebalikannya Hui Yan lalu tertawa mengikik.
"Kalau memangnya harus mati, biarlah saja. Toh aku sudah mengenyam kemurahan hidup sampai beberapa hari. Kalau sudah mendapat kemurahan masa aku harus temaha?" katanya dengan nada mengejek.
"Budak perempuan, aku tidak bergurau dengan engkau," kata orang tua itu dengan nada serius.
Hui Yan rasakan nada kata2 orang tua itu menggetar gelisah. Dia malah tertawa.
"Cobalah engkau menyalurkan hawa pernapasan. sampai ke Tay-po dan berhenti sebentar," perintah orang tua itu.
Hun Yan cepat melakukan perintah. Ketika tenaga-murninya sampai ke jalandarah Tay-po--hiat, memang agak sendat. Bermula dia masih tak merasa apa2 tetapi beberapa saat kemudian dia rasakan tubuhnya lemas sekali. pandang matanyapun berkunang-kunang gelap dan bluk . .. akhirnya dia jatuh ke tanah . .
Bukan main kejut Hui Yan. Buru2 dia lon-cat bingun dan menyalurkan hawa-murninya lagi. Tetapi saat itu dia tak merasakan suatu apa.
Dia mengicup-ngicupkan mata dan seketika timbuliah perasaan takut yang hebat sehingga dia tak dapat omong apa2.
Orang tua itu menghela napas, "Sekarang apa engkau sudah percaya ?"
Karena bingungnya Hui Yan hampir menangis, "Cianpwe, tolonglah aku . ,.!"
"Sudah tentu aku dapat menolongmu," kata orang tua itu.
Mendengar itu agak longgarlah kesesakan dada Hui Yan. Dia segera tertawa, pikirnya, "Ah, aku ini memang tolol. Masa di depan seorang berilmu tinggi, aku takut akan mati ?"
"Kalau begitu harap cianpwe lekas menolong saja," serunya seenak sendiri, "kalau tidak, wah, apabila aku bertempur dengan orang dan tiba2 pandang mataku gelap lalu rubuh, tentulah celaka,"
Masih diliputi keragu-raguan, orang tua, itu berkata, "Aku.... aku masih bingung untuk mengambil keputusan, menolong engkau atau tidak."
Hui Yan yang berotak cerdas segera dapat mengetahui keraguan orang tua itu. Dia terlongong-longong melongo. Beberapa saat kemudian baru berkata, "Apakah kalau hendak melenyapkan racun dalam tubuhku itu juga harus mengguuakan obat Mustika dalam kuda besi itu ?"
Orang tua itu mengangguk pelahan, "Racun yang masuk iedalam tubuhmu itu adalah Jit-seng-ki-tok (racun ganas tujuh bintang). Terbuat dari ramuan tujuh jenis racun yang hebat. Kalau baru saja terkena racun itu, memang dapat dis
embahkan dengan obat lainnya. Tetapi kini racun itu sudah menyusup dalam2 ke tubuhmu . ..." dia geleng2 kepala dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.
Hui Yan gemetar, dia lalu mencari pegangan pada segunduk batu besar tetapi tetap rasakan ke dua kakinya lemas sehingga dia ngelumpuk duduk di batu itu.
"Apakah tiada lain pengobatan lagi ?" mengangkat muka dia bertanya.
Orang tua itu gelengkan kepala, "Kalau hawa racun menyusup dari lain jalandarah, dengan terpaksa memotong uratnadi bagian itu, dapatlah mengeluarkan hawa racun, Tetapi sekarang racun itu sudah masuk kedalam urat hati, apabila urat itu dip.otong, engkau... hehi heh .. . ." dia tertawa rawan. Sebab kalau urat sim-meh dipotong, bagaimana akibatnya sudah jelas.
"Tentu masih ada lain cara! Tentu masih ada daya lain !" teriak Hui Yan deangan suara yang makin lain makin lemah sampai akhirnya tak bersuara lagi.
Orang tua itu tak bicara apa2. Dia letakkan kedua kuda besi yang dipegangnya, di tanah lalu mengeluarkan lagi keenam biji besi dari dalam bajunya. Semuanya itu dijajar-jajar di tanah, Kemudian berputar tubuh dia terus ayunkan langkah dan berkata, "Soal ini, aku benar2 sukar memutuskan. Lebih baik engkau sendiri yang memutuskan."
'Tidak, tidak, jangan pergi," teriak Hui Yan dengan suara sember. Tetapi orang tua itu sudah melesat lima tombak jauhnya. Hui Yan berbang-kit hendak mengejar tetap baru bergerak selangkah, dia sudah jatuh Lagi.
Sekarang baru dia percaya kalau orang tua itu tidak bergurau. Sambil menekan tanah, dia mengangkat kepala dan berseru, "Cianpwe, tahukah engkau siapa yang telah mencelakai diriku ini.
Orang tua itu sudah membeluk pada ujung gunung. Entah dia dapat mendengar suara si dara atau tidak. setelah berteriak dua kali, Hui Yan berhenti.
Dia teringat ketika baru tiba di Ki-lok-hong, dia memang berjabat tangan dengan Hui Giok. Tiba2 saat itu dia rasakan telapak tangannya kesemutan. Teringat hal itu, kedua tangannya lunglai dan kembali dia jatuh ke tanah.
Pelahan-Iahan ia membalikkan telapak tangan dan memeriksanya. Pada jalandarah lo-kiong-hiat Wi tengah telapak tangannya tampak sebuah titik berwarna merah mengkilap. Dipandangnya titik itu dengan termangu-mangu . ,...
Ah, kelihatannya titik merah itu makin mengembung besar dan makin besar, lalu berputar-putar dan tiba2 .... tampaklah bayangan wajah Hui Giok tersenyum menyeriggai ....
Uh .. . . . sekonyong-konyong Hui Yan mennyambar dan menerkamnya. Tetapi yang diterkam itu tak lain hanyalah beberapa biji kuda besi yang berjajar dihadapannya, "Tidak, tidak, aku tidak akan mati. Jangan harap engkau dapat tertawa gi-rang. ..."
Tiba2 ia meinbuka tangan dan kuda besi yang dipegangnyapun jatuh ke tanah, Dia terkejut karena saat itu dia seperti melihat Kun Hiap muncul dan tengah tertawa seperti orang gila Tingkah laku pemuda itu tak ubah seperti seorang yang sakit ingatan....
"Ah, dia bakal menjadi tokoh unggul yang sudah ratusan tahun tak pernah terdapat dalam dunia persilatan. Asal dia dapet diobati dengan obat mustika dalam delapan biji kuda besi itu. Ah, tetapi dia sendiri, jika tidak mendapat obat mustika dalam kuda besi itu, juga pasti mati ... ."
Hui Yan rasakan kepalanya seperti mulai berputar-putar, makin lama makin deras. Kedela-pan biji kuda besi yang diatas tanah itu seperti meringkik dan melonjak-lonjak. Hui Yan menjerit, lalu serentak berdiri.
Dipandangnya kuda-besi kuda-besi itu lekat-lekat. Hatinya kacau balau tak menentu.
Orang tua berpenyakijan tak dapat mengam-bil keputusan untuk menggunakan obat mustika dalam kuda besi itu karena dia ingin menciptakan seorang tokoh nomor satu pada diri Kun Hiap.
Dan Hui Yan juga tak dapat mengambil keputusan karena rasa cintanya kepada Kun Hiap. Rasa cinta itu menimbulkan rasa egoistis (keakuan). Kalau dia sampai mati, bukankah Hui Giok akan tertawa girang karena dapat merebut Kun Hiap"
Andaikata tidak ada taci yang menjadi saingannya itu, Hui Yan tentu rela memberikan obat mustika itu kepada Kun Hiap.
Sampai beberapa saat belum juga Hui Yan dapat mengambil keputusan. Dia berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dulu, Dan setelah tenang, dia dapat menemukan sesuatu pikiran terang. Ya, dia masih punya waktu tiga hari lamanya. Memang tiga hari itu waktu yang singkat sekali dan apa yang dapat ia lakukan selama itu " Ah kembali pikirannya bingung tak keruan.
Beberapa waktu kemudian baru, timbul pi-kirannya, Dia ingin bertemu dengan KunHiap la-gi, Ia hendak melihat bagaimana keadaan anakmuda itu, Apakah pikirannya masih hilang atau sudah ada perobahan. Kepada pemuda itu ia hendak mengucapkan beberapa pesan hatinya.
Tiba2 dia terbeliak, pikirnya, "Dengan ren-cana itu, berarti aku sudah memutuskan untuk menyerahkan obat mustlka itu keaada Kun Hiap."
Ya, memang dalam hati kecil dara itu sudah mempunyai keputusan untuk memberikan obat mustika kepada pemuda yang dicintainya. itulah sebabnya maka timbul keinginan untuk bertemu muka yang terakhir kalinya dengan pemuda itu.
Kembali dia, terlongong-longong beberapa saat lalu memunguti delapan biji kuda besi dan di simpan kedalam bajunya. Dia mengambil pernapasan sebentar untuk menenangkan suara kemudian baru berseru, "Cianpwe, aku sudah mengam-bil keputusan. Lekaslah engkau kemari."
Setelah dua kali berteriak barulah dari jauh terdengar suara penyahutan orang tua itu, 'Engkan memutuskan bagaimana" Lekas kasih tahu aku!"
Hui Yan menghimpun napas dan berseru pula, "Aku memutuskan untuk memberikan obat mustika itu kepada Kun Hiap!"
Jelas orang tua itu tentu mendengar jawaban Hui Yan yang sengaja diteriakkan lebih keras. Tetapi beberapa jenak belum juga kedengaran orang tua itu bersuara.
Berselang beberapa saat baru terdengar sebuah suara parau dari kejauhan, "Nona Tian Nona Tian kukira d dunia itu hanya aku seorang yang menjadi manusia sebatang kara dan rela mengorbankan diri. Tetapi ternyata tidak.."
Suara itu makin terdengar dekat. Selain bernada parau juga napasnyapun terdengar terengah-engah. Jelas kalau orang itu sedang berlari mendatangi.
Waktu Hui Yan masih tercengang, sesosok manusia sudah berkelebat muncul dihadapannya.
Aa, orang itu bukan lain adalah orang yang sudah pernah dilihatnya, lelaki bertubuh tinggi kurus yang tegak berdiri di samping pohon seperti patung.


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hui Yan menyurut mundur setengah langkah dan membentak, "Siapa!"
Orang itu tidak menjawab melalnkan ulurkan tangan hendak memegang tangan si dara. Hui Yan cepat memiringkan tubuh dan hendak menghindar. Tetapi ketika matanya beradu pan-dang dengan orang itu, dia dapatkan pandang mata orang itu memancarkan rasa kagum dan terima kasih kepadanya.
Hui Yan tergerak hatinya. Dia merasa orang itu tak mengandung maksud jahat kepadanya. Tangannya yang hendak ditarik itu dijulurkan kembali dan orang itupun segera menjabat dengan kencang. Bibir gemetar beberapa saat kemudian baru terdengar dia bersuara, "Nona Tian, ...."
Orang itu hanya mengatakan sepatah kata nama Hui Yan tetapi tak melanjutkan lagi. Jelas dia sedang mengalami kegoncangan batin yang hebat.
"Siapakah sebenarnya anda ini?" tegur Hui Yan.
"Ah, kiranya engkau tak kenal aku! Ah, aku ternyata banyak berobah sekali. Kadang bahkan aku sendiri juga hampir tak mengenali diriku sendiri," kata orang itu.
Walaupun berkata cukup panjanig tetapi orang itu belum mengatakan siapa dirinya. Waktu Hui Yan hendak bertanya, orang itu melanjutkan berkata lagi, "Nona Tian. entah bagaimana aku harus menyatakan terima kasih kepadamu."
"Mengapa engkau berterima kasih kepadaku?"
Dengan terputus-putus orang itu berkata."Walaupun dia...a bukan anak kandungku sendiri. Tetapi selama itu kuanggap dia itu sebagai anakku. Engkau mau menolongnya.... ai, seharusnya, aku tak perlu berterima kasih kepadamu. Tetapi entah, bagaimana aku harus mengatakan kepadamu. Andaikata hal itu terjadi pada dia, kemungkinan dia takkan mau memberi pengorbanan sedemikian besar seperti yang engkau lakukan sekarang ini."
Hui Yan kerutkan dahi dan tetap tak tahu siapakah gerangan orang yang mengoceh dihadapannya itu. Dia menghela napas, "Sahabat, engkau...." sebenarnya Hui Yan hendak mencegah agar orang itu jangan mengoceh tak keruan begitu tetapi harus berkata dengan urut dan mengatakan dirinya itu siapa.
Tetapi sebelum Hui Yan sempat membuka mulut, terdengar suara orang berpenya-kitan berkata dengan pelahan-lahan, "Jangan memutuskan omongannya. Biarkan saja dia melan-jutkan kata-katanya. Dia terlalu gembira sekali. Sudah sebulan ini aku tak pernah mendengar dia mau bicara!"
Hui Yan cepat berpaling. Ah, ternyata orang tua berpenyakitan itu sudah berada di sebelahnya.
"Siapakah dia ?" tanya Hui Yan.
"Apakah engkau belum tahu " Coba, lihat ikat pinggangnya," sahut orang tua itu.
Waktu memandang kearah pinggang orang kurus itu, Hui Yan melihat sebatang kerangka pedang yang kosong. Kerangka itu panjang dan le-bar bentuknya. Pada bagian atas, berukir sepasang naga. Hui Yan tertegun.
"Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu," serunya serentak, seraya menarik tangannya. Wajahnya berobah merah lalu tertawa dingin, "Ho, kiranya engkau ! Tak kira kalau seorang manasia yang tak punya malu!"
"Tutup mulutmu!" orang tua cepat membentaknya.
"Kalau dia kebetulan disini, itu bagus sekali," kata Hui Yan, "cianpwe, dimana Kun Hiap " Le-kas usahakan mencarinya. Setelah ingatannya sembuh, biarlah dia segera melampiaskan dendam terhadap musuh yang telah membunuh ayah dan mencemarkan mamanya.
Orang tua berpenyakitan diam tetapi Wi Ki Hu tertawa gelak2, "Membunuh ayah mencemarkan mamanya" Ha, ha, dendam ayah dibunuh, mama dicemarkan ! Ai, nona Tian, engkau telah rela berkorban nyawa untuk menolong Kun Hiap. Tetapi kalau engkau dianggap orang engkau telah membunuh ayah dan mencemarkan mamanya, ba-gaimana perasaan hatimu?"
Hui Yan mencibirkan bibir, "Omong kosong! Apakah aku yang membunuh ayahnya" Ayahnya Can Jit Cui itu mati ditangan siapa?"
Wi Ki Hu menyurut mundur dua langkah dan memegang batang pohon, serunya, "Memang benar. Cin Jit Cui itu mati ditanganku."
Hui Yan maju selangkah, mendesaknya "Bukankah Can Jit Cui itu saudara-angkatmu?"
Wajah Wi Ki hu yang kurus seperti mayat itu tiba2 memancarkan cahaya aneh. Namun dia tidak marah karena dituduh dan didesak begitu rupa oleh si dara, Dengan mantap dan tandas dia menyahut, "Benar!"
"Engkau dan Can Jit Cui mancintai Tong Wan Giok. tetapi Tong Wan Giok tidak suka kepadamu. Dia mencintai Can Jit Cui apa lagi sudah mengandung bibit anaknya. Lalu engkau bunuh saudara-angkatmu. Waktu Tong Wan Giok bingung dan putus asa, engkau lalu menggunakan kesempatan untuk memperisterinya, benar atau tidak " " Hui Yan menyerocos menghujani pertanyaan seperti seorang jaksa yang sedang menuntut kesaIahan seorang tertuduh.
"Separoh bagian muka dari omonganmu itu, memang benar. Tetapi yang separoh lagi, tidak benar, "sahut Wi Ki Hu.
Hui Yan tertawa dingin, "Mengapa tidak be-nar" Katakanlah, aku bersedia mendengar pembelaan dirimu."
Tiba2 orang tua berpenyakitan melesat kemuka, "Siau Wi, aku tahu jelas akan peribadimu maka aku percaya kalau dalam peristiwa itu tentu ada sebabnya. Katakanlah, mengapa engkau sam-pai membunuh Can Jit Cui."
Tubuh Wi Ki Hu menggigil keras sehingga batang pohon yang dicengkeramnya itu berbunyi berkeretekan karena ditutupi kelima jarinya.
"Dunia persilatan saat ini sedang gencar membicarakan dirimu. Katakanlah mengapa engkau sampai membunuh Can Jit Cui. Kurasa tentu ada sebabnya."
Dalam berkata-kata itu sepasang mata si orang tua berki!at~kilat memandang Wi Ki Hu dengan tajam. Tetapi Wi Ki Hu tidak menampakkan rasa kemenyesalan. Hanya daging pipinya berkerenyutan, menandakan kalau batinya, tegang
Beberapa saat kemndian baru dia menghela napas dan berkata tersendat-sendat. "Aku.. . . membunuhnya karena cintaku yang besar kepada Wan Giok!"
"Dan engkau lalu melakukan rencana buruk itu?"Hui Yan menyeletuk.
Sekonyong-konyong Wi Ki Hu meraung keras, teriaknya, "Ngaco! Bermula akupun hanya seperti engkau yalah hanya ingin menasehatinya.. ..tctapi dia tak mau mendengar, dia tak mau menurut.
Suaranya makin lama makin lemah, kepala menunduk lalu diam. Suasana di hutan pegunungan itupun kembali sunyi senyap.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suatu bunyi yang aneh. Kadang terputus, kadang terdengar, Nadanya seram dan rawan, membuat bulu kuduk tegak meregang.
"Dia tak mau menurut bagaimana " Mengapa tidak menerangkan selanjutnya?" kata suara itu.
Hati Hui Yan resah. Buru dia menghimpun hawa-murni untuk menjaga semangatnya agar tetap tenang.
Wajah orang tua berpenyakitanpun juga be-robah. Dia kebutkan lengan baju sehingga Hui Yan terdorong beberapa Iangkah jauhnya, kemudian membentak "Jangan bergerak, disitu saja !"
Sudah tentu Hui Yan tak mengerti. Dan memangnya dia juga tak punya tenaga untuk berjalan kemana-mana lagi.
Saat itu suara yang menyeramkan tadi terdengar pula. "Toh-loji, sudah bertahun-tahun tak berjumpa. Apakah engkau sudah mengganti nama" Kalau mendengar nada suaramu, seperti ada su-aranya tetapi tak berisi semangat, tampaknya kedelapan uratnadimu tak bekerja normal lagi. Mengapa engkau tak lekas2 menyediakan liang kubur tetapi masih nongol disini cari perkara ?"
Suara itu berkumandang nyaring dan cepat sekali sudah menghampiri dekat. Orang berpenyakitan berbalik tubuh untuk menghadapi arah datangnya suara itu. Dengan begitu Hui Yan dan Wi Ki Hu berada di belakangnya.
Hui Yan berusaha untuk menenangkan diri katanya, "Siapakah yang datang itu?"
Sebelum orang tua berpenyakitan itu menja-wab, sesosok bayangan dengan kecepatan yang tinggi sudah melesat datang dan tegak tiga meteran dihadapannya. Tetapi walaupun dalam jarak sede-kat itu, tetap orang itu belum dapat diketahui wajahnya yang jelas karena tubuhnya masih barge-rak dan bergoyang-goyang, sepertinya setiap saat dia akan melesat melayang ke udara.
Pakaian warna kelabu yang dipakainya memancar sinar, Sepintas memang menyedapkan pandang tetapi kalau dipandang dengan cermat sangat menusuk mata, Bahkan wajah orang itupun seperti dilingkari oleh cahaya berkilau itu sehingga tak dapat kelihatan dengan jelas, Kalau orang menga-takan bahwa di dunia ini terdapat bangsa setan maka tak salah lagi kiranya pasti begitulah kea-daannya.
Setelah berdiri tegak, orang itu tertawa aneh, "Toh loji, kita hanya berpisah beberapa tahua sa-ja, mengapa engkau berobah menjadi begitu rupa" Engkau menderita putus urat sebuah atau dua buah ?"
"Sudah tentu hanya sebuah, Kalau tidak, begitu melihat engkau aku tentu akan menyingkir jauh2?"
"Baik, baik," sahut orang itu, "dulu kita ini bertiga, Lo-toa yang paling tinggi kepandaiannya. Aku dan engkau memang sering ingin hendak mengalahkannya. Akhirnya, yang satu mengembara ke luar lautan dan yang satu menyembunyikan diri di pedalaman Biau-ciang, Kini lotoa sudah meninggal. tinggal aku dan engkau berdua. Sudah tentu kita akan menyelesaikan keinginan yang belum pernah terselesai, siapakah yang lebih unggul diantara kita berdua ini ?"
Mendengar kata2 orang itu, wajah orang tua berpenyakitan tampak mengerut serius tetapi tak mau bicara.
Mendebur keras jantung Hui Yan waktu mendengar percakapan kedua orang itu. Kini dia mu-lai tahu jelas bahwa yang dimaksud dengan lo-toa atau saudara tertua itu, bukan lain adalah mendiang ayahnya sendiri. Orang tua berpenyakitan itu orang she Toh dengan. begitu jelas saudara angkat dari ayahnya, Namanya yang lengkap adalah Toh Lian Hong bergelar Bu-ing-hui-liong atau si Naga-terbang-tanpa-bayangan.
Hui Yan teringat bahwa, mamanya pernah berulang kali menerangkan bahwa Bu-ing-hui-liong itu bertubuh kekar tinggi, seorang lelaki yang gagah perkasa. Ilmu kepandaiannya dalam ginkang tiada lawannya. Dalam dunia persilatan, tokoh yang memiliki ilmu Sut-te-seng-cun, sebuah ilmu ginkang tinggi mungkin hanya dia seorang. Tetapi siapa tahu sekarang tokoh yang sehebat itu hanya tinggal seorang tua yang kurus kering dan wajahnya seperti orang yang berpenyakitan.
Bukan saja tahu riwayat orang tua berpenyakitan, pun Hui Yan juga tahu siapakah tokoh menyeramkan yang baru muncul itu. Dia tak lain adalah durjana besar dari daerah Biau-ciang yani Tok Liong cuncia, tokoh yangdisebut-sebutakan Sam Yang akan dijadikan guru itu.
"Nona kecil," kau Tok Liong cuncia, "apa-kah.engkau takut?"
Bu-ing-hui-liong Toh Lian Hong atau si orangtua berpenyakitan berkata dengan nada dingin, "Dia adalah puteri bungsu dari lo-toa. Ma-sa dia takut kepadamu ?"
Mendengar itu gemetarlah Tok Liong cuncia. Dia meraung keras dan menyakitkan telinga sehingga menyebabkan mata Hui Yan berkunang-kunang hampir jatuh pingsan.
Serempak menghamburkan raung yang aneh itu, tubuh Tok Liong cuncia mencelat ke udara, lalu meluncur turun, melambung lagi dan lalu tu-run lagi.. Dalam gerak melayang dan turun itu, dia sudah melampui kepala Toh Lian Hong dan kini tiba di hadapan Hui Yan.
Hui Yan rasakan seperti d landa oleh gelombang angin deras sehingga dia menyurut mundur diri secara kebetulan membentur tubuh Wi Ki Hu.
Tetapi tepat pada saat itu juga, bayangan kelabu dari tubuh Tok Liong cunciapun sudah melesat tiba dan. terus ulurkan tangan mencekam dada si dara.
? Hui Yan terkejut sekali. Dia cepat menghantam tetapi baru setengah jalan, siku lengannya terasa mengencang karena sudah dicengkeram Tok Liong cuncia.
Hui Yan menjerit ngeri?? ?
(bersambung ke jilid 12).
Melihat Hui Yan terancam bahaya, orangtua berpenyakitan Toh Lian Hong cepat bertindak, Dia gunakan kedua siku tangannya untuk membentur Tok Liong cuncia. Ketika Tok Liong cuncia balikkan tangan kiri untuk menampar, Toh Lian Hong cepat menekuk siku lengan kanannya untuk diganti dengan gerak menghantam sedang siku kiri tetap membentur tubuh Tok Liong cuncia.
Sudah tentu Tok Liong cuncia tak mau menderita. Terpaksa dia lepaskan cengkeramannya pada tangan Hui Yan.
Merasa lengannya sudah bebas, Hui Yan ce-pat melesat ke samping sampai dua tombak jauhnya. Setelah menenangkan semangat beberapa je-nak baru dia memandang ke muka.
Ternyata saat itu Toh Lian Hong tengah tegak berhadapan dengan Tok Liong cuncia. Kedua tokoh itu hanya terpisah satu meteran. Tampaknya mereka santai-santai juga.
Toh Lian Hong tetap masih menekuk pinggang seperti orang yang setiap saat akan jatuh. Sedang tubuh Tok Liong masih bergoyang gontai kian kemari. Keduanya berdiri diam. Beberapa saat kemudian baru terdengar Tok Liong cuncia berkata, "Loji, apakah mau bertempur sungguhan?"
"Rupanya memang tak dapat tidak harus bertempur ini," sahut Toh Lian Hong, "dalam beberapa tahun terakhir ini aku telah dapat menguasai ilmu Toan-meh-sinkang." Dan ilmu kepandaianmu Sip-seng-sinkang juga sudah merajai dunia persilatan."
Tok Liong cuncia menghela napas, "Kita bertiga saudara, seharusnya dulu tidak perlu ang-kat saudara saja, Sebaiknya engkau bunuh ayahku dan akupun membunuh isterimu. Lalu kita terikat dendam permusuhan besar sehingga kalau bertem-purpun tak perlu kasihan karena mengingat tali persaudaman. Tetapi sekarang kita saling menye-but adik-engkoh, kalau bertempur mau tak mau tentu agak sungkan, bukan ?"
Toh Lian Hong menengadahkan kepala tertawa, "Siapa yang bilang bahwa di dunia yang begini luasnya, kita tiada lawannya lagi. Dapat la-wan kok saudara-angkat sendiri." demikian keduanya saling buka suara seperti ayam sabung yang saling besar-besar kokonya, Tetapi kalau menilik kepandaian yang mereka miliki, memang mereka bukan menyombongkan diri melulu.
Tok Liong cuncia mundur beberapa langkah lalu berseru, "Loji, Ilmu Sip-seng-sinkang itu khusus untuk menghisap tenaga-dalam orang. Harap engkau berhati-hati, jangan sampai tanganku melekat pada tubuhmu."
Toh Lian Hong menjawab dengan sarat, "Ja-ngan memandang rendah kalau tubuhku bergetar getar seperti mau jatuh. itu memang tanda2 dari ilmu koan-meh-sinkang (ilmu sakti memutuskan uratnadi) yang lihay. Engkaupun harap berhati-hati menghadapi aku!"
Sebelum bertempur, keduanya saling menga-takan kesaktian dari ilmukepandaian masing2. dengan begitu jelas bahwa mereka masih mengingat rasa ikatan persaudaman. Dan karena mereka hendak menguji kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul, maka merekapun tak dapat menghindarkan hal2 yang negatif.
"Baiklah, loji," Tok Liong cuncia mengang-guk, "terimalah seranganku lebih dulu!"
Dari lengan bajunya segera memancar cahaya kelabu. Tetapi ketika tiba di tengah jalan, cahaya kelabu itu berhenti sehingga lengan bajunya masih seperti "tergantung" di udara.
Pada lain saat lengannya terdengar berbunyi berkeretekan dan tangannyapun menjulur maju kearah Toh Lian Hong.
Toh Lian Hong tetap berdiri tenang. Seakan-akan dia tak menghiraukan terhadap pukulan maut yang mampu membengkah bumi dan meruntuhkan langit itu.
"Hai, kita kan sudah mulai, mengapa masih diam saja dan mengingat hubungan persaudaraan kita ?" melihat itu Tok Liong cuncia sendiri menjadi kelabakan.
Tetapi sekalipun begitu dia tetap melanjutkan serangannya, Tubuhnya melonjak setengah meter
keatas dan pukulaanya itu dari atas menghantam kebawah dengan makin dahsyat. Anginaya menderu-deru seperti badai yang menggetarkan bumi.
Mendadak Toh Lian Hong menggembor keras dan tubuhnyapun seperti membengkak besar sampai beberapa senti. Dan sekali balikkan tangan kanan diapun balas menyongsong.
Kedua tokoh itu dengan kekuatan yang dahsyat saling berhantam dengan kecepatan tinggi Hui Yan' yang menyaksikan pertempuran maut itu tak urung terkejut sekali.
Dia teringat tadi Tok Liong cuncia telah memberi peringatan kepada Toh Lian Hong bahwa ilmunya Sip-sen sin kang itu bukan olah2 hebatnya, Toh Lian Hong jangan sekali2 sampai tubuh Toh Lian Hong kena tercengkeram. Dengan begitu kalau Toh Lian Hong sampai beradu pukulan, bukankah itu berbahaya sekali" Teringat hal itu Hui Yan terus hendak berteriak memberi peringatan, Tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, tangan kedua tokoh itu sudah makin mendekat dan sekonyong-konyong tulang lengan To Lian Hong seperti patah.
Hui Yan makin terkejut sekali. Tulang lengan Toh Lian Hong yang teklok dan menjulai ke bawah itu, menghantam tanah, bum.....
Aneh, aneh sekali Toh Lian Hong orang tua berpenyakitan itu. Untuk menghindari pukulan lawan, bukan dia menangkis atas loncat ke samping, tetapi kebalikannya dia malah menghantam kebawah. Dengan begitu jelas pukulan Tok Liong cuncia tadi masih tetap melaju kearah tubuhnya.
Melihat itu jeritan Hui Yan yang tertahan di kerongkongannya tadi, kini dihamburkan lagi....
Tepat pada saat si dara berteriak, tangan kiri Toh Lian Hongpun sudah bergerak mengayun keatas menghantam Tok Liong cuncia.
? Astaga ! Pukulan Toh Lian Hong itu ternya-ta bukan kepalang hebat dan indahnya. Ternyata pukulan tangan kanan yang menghantam tanah tadi ikut mendukung pukulan tangan kirinya, bersama-sama menghantam Tok Liong cuncia.
Saat itu baru Hui Yan tahu tujuan dari orang tua berpenyakitan Toh Lian Hong menghantam tanah itu. Jelas jago tua itu menyadari, kalau dia terus menghantam kemuka untuk beradu kekuatan, jelas tenaganya tentu tak cukup. Disamping itu tentulah Tok Liong cuncia dengan mudah dapat menghindar ke samping.
Tetapi kini Tok Liong cuncia telah terperangkap. Karena mengira tangannya tak ada yang merintangi dan terus maju menerkam maka tubuhnyapun ikut maju lebih mendekat Toh Lian Hong Dengan begitu tak. mungkin dia mampu menghindari dari. pukulan dua tangan Toh Lian Hong.
"Bagus!" seru Hui Yan memuji gembira.
Tok Liong cuncia mendengus sekonyong-konyong tubuhnya mencelat ke udara sembari menamparkan kedua lengan bajunya ke bawah. Sepintas menyerupai dua ekor naga kelabu yang menyambar-nyambar diudara.
Dengan demikian tenaga-dalam siu-keng (tenaga-dalam-lengan-baju) dan tenaga pukulan keduanya saling beradu.??? :
Darrr.... . Terdengar letusan macam halilintar membelah bumi. Toh Lian Hong mundur dua langkah. Tetapi Tok Liong cuncia juga terlempar dan jungkir balik sampai delapan langkah baru dapat malayang turun ke tanah.
Gerakan jungkir balik itu mencapai delapan tombak jauhnya. Dan secepat mendarat di tanah dia terus berjumpalitan sampai delapan kali ke muka. Berjumpalitan mundur dan maju itu dilakukan sama cepatnya. Dan gerakannya itu menimbulkan hambaran angin keras. Beberapa dahan pohon dan ranting, berderak-derak patah karena terlanggar hamburan tenaga tokoh itu.
Waktu berjumpalitan ke muka itu, Tok Liong cuncia melakukan beherapa tutukan dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah, Dan tutukan jari itu menghamburkan desis angin yang mencurah kearah Toh Lian Hong.
Tubuh orang tua berpenyakitan Toh Lian Hong melengkung miring. Tampaknya begitu didorong tentu rubuh. Dengan tubuh miring itu, kakinya bergerak dalam suatu tata-langkah maju mundur aneh tetapi yang jelas dia dapat menghindari tutukan jart Tok Liong cuncia dengan mudah sekali.
Setelah jurus ilmu tutukan dari Tok Liong cuncia itu dimainkan habis, Toh Lian Hongpun mulai gerakkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.
Hui Yan tertarik sekali, sampai da terbeliak melongo menyaksikan pertempuran yang dahsyat dan indah itu, Baik Toh Lian Hong maupun Tok Liong cuncia sampai tak tampak. Yang kelihatan hanyalah bayang taburan tangan yang sederas hujan mencurah sementara sesosok bayangan keIabu tengah menari-nari didalamnya.
Gerakan kedua tokoh itu makin lama makin cepat sehingga mereka tak kelihatan lagi kecuali hanya tedengar bunyi deru angin dan pukulan.
Tetapi pukulan siapa, sukar diketahui.
Belum satu jam saja mereka sudah melancarkan belasan jurus. Tiba2 mereka sama2 menggembor keras terus tercerai. Yang satu loncat ke timur yang satu mencelat ke barat, Mereka kini terpisah satu tombak jauhnya.
Wajah Tok Liong cuncia tampak berseri-seri. Mengangkat tangan, dia lontarkan secarik kain warna kelabu yang sebesar tinju orang, kain itu berkibar-kibar melayang ke udara.
"Loji," serunya, "itulah robekan kain baju-mu!" serunya.
Wajah Toh Lian Hong masih pucat lesi seperti si orang sakit, Setelah kain itu melayang turun ke tanah, barulah dia menjentik dengan jari tengah cret.... ternyata dia menjentikkan sebuah benda pada robekan kain itu.
Waktu Tok Liong cuncia memandang kearah robekan kain, barulah dia tahu kalau benda yang melekat diatas kain itu, semacam giok-pwe atau pengikat sabuk dari batu giok.
Cepat Tok Liong cuncia merabah pinggangnya. Seketika wajahhya yang berseri-seri itu pun berobah pucat kaget.
"Loji," dia tertawa meringis. "Jurus apakah yang engkau gunakan tadi?"
"Ping-jip-ko-bong (penyakit masuk kedalam usus), sebuah jurus dari ilmu pukulan Toan-meh-ciang-hwat. Jurus yang engkau gunakan untuk merobek bajuku itu apa namanya ?" balas Toh Lian Hong.
"Ah, Jurus itu tidak mempunyai nama yang bagus," sahut Tok Liong cunoia, "hanya jurus Kim-si-kau-poan-jiu-ciat-kou (kera bulu emas-memutus-dahan-memetik-buah) yang dirobah sana sini dan kuberi nama Kim-wan-ciat-koh (Kera-emas-memetik-buah). Loji, jangan menertawakannya,"
"Apa-apaan itu ?" sahut Toh Lian Hong, "memang banyak sekali jurus2 yang sakti berasal dari gerak binatang2 di hutan. Sungguh hebat sekali.
Tok Liong cuncia juga acungkan jempol tangannya balas memuji, "Ah, jurus Ping-jip-bong ko yang engkau mainkan tadi, barulah pantas dipuji. Sungguh dapat dikatakan, hidup kembali walaupun dalam keadaan mati. Waktu tubuhnya miring ke samping tadi, kukira dengan sekali gebrak saja tentulah aku dapat menyelesaikan engkau. tetapi siapa tahu, aku malah kena engkau perangkap 1"
Keduanya saling puji memuji, kemudian saling berjabatan tangan, dan tertawa gelak2.
Waktu bertempur keduanya melanearican se-rangan dahsyat bahkan main seperti orang musuh besar yang saling menginginkan nyawa lawannya. Tetapi setelah berhenti bertempur, keduanya saling memuji kepandaian masing2 dan mereka menun-jukkan bagian2 indah dari ilmu tingkat tinggi. Hal itu menyebabkan Hui Yan meringis dalam hati
Setelah puas tertawa, kedua tokoh itu saling berpandang dengan mata kilat kilat. Tok Liong cuncia tegak tak bergerak, kedua kakinya terpaku di tanah. Tiba2 dia meluncur maju. Rumput dan pasir yang dilintasi, menjadi terbabat rata, mening-galkan dua buah parit kecil.
"Walaupun jurus2nya luar biasa tetapi masing-masing mempunyai sumber yang hampir tak berbeda. Kalau tidak adu tenaga-dalam, tentu tak dapat diketahui siapa yang lebih unggul," kata Tok Liong cuncia setiba dihadapan Toh Lian Hong.
"Ya, silakan mulai." sahut Toh Lian Hong dingin.
Tok Liong cuncia katupkan kelima jari dan songsongkan tinjunya ke muka. Dia tak mau menggunakan ciang atau pukulan dengan tangan, melainkan dengan kun atau tinju. Dengan begitu dia hendak menunjukkan kalau dia tak mau menggunakan ilmu Sip-seng sinkang untuk mencari kemenangan.
Perlu diketahui, bahwa ilmu menghisap tenaga dalam lawan, atau Sip-seng-sinkang yang dimiliki Tok Liong cuncia itu memang merupakan, ilmu kepandaian luar biasa yang khusus dipunyai Tok Liong cuncia seorang. Ilmu itu akan memancarkan balik tenaga-murni dalam tubuh dan melalui telapak tangan akan dapat mengeluarkan daya sedot untuk menghisap tenaga-dalam lawan.
Tok Liong cuncia tidak mau membuka telapak tangannya dan menggantinya dengan kepalan tinju. Berarti bahwa dia tak mau menyedot tenaga-dalam lawan.
Toh Lian Hong mundur dua langkah untuk menghindar, serunya, "Kalau mau mengadu tenaga-dalam, haruslah mengeluarkan kepandaian demgan sungguh2, Losam, mengapa engkau gunakan tinju tidak tangan " Apakah eagkau memandang rendah kepadaku ?"
Tok Liong cuncia menjawab, "Ah, mana aku berani??? " tiba2 kelima jarinya ditebarkan dan pelahan-lahan didorongkan ke muka. Walaupun gerakannya lambat tetapi menimbulkan hembusan angin yang cukup keras. Angin yang berputar-putar seperti angin lesus. Bermula angin itu tidak menghambur ke muka melainkan ke belakang, lalu kembali lagi ke telapak tangannya. Oleh karena itu waktu jari tangannya mendekati Tok Lian Hong, pakaian orang itupun berkibar keras ke belakang lalu mencuat ke muka lagi.
Toh Lian Hongpun mulai mengangkat tangan nya tetapi sama sekali tidak mengeluarkan hamburan tenaga. Memang gerakan kedua tokoh kali ini dilakukan dengan pelahan sekali, tidak segencar gebrak pertama tadi.
Hui Yan tahu bahwa dalam gerakan kedua orang itu tentu akan meletus suatu kejadian yang mengejutkan maka diapun menahan napas untuk mengikuti dengan penuh perhatian.
Lebih kurang dua peminum teh lamanya, baru tampak tangan kedua orang itu pelahan-lahan saling mendekati. Plak, .,. pada lain saat mengatup keras dan saling merapat.
Ah, Hui Yan diam2 mengeluh heran. Apa yang diperkirakannya ternyata tidak betul. Waktu saling membentur, ternyata dua tangan mereka; tidak mengeluarkan bunyi yang hebat, melainkan biasa2 saja.
Tetapi begitu saling menempel, cepat sekali Tok Liong cuncia sudah mundur tiga langkah begitu juga Toh Lian Hoog, pun mundur tiga langKah. Kemudian masing2 tegak berdiri ditempat sembari tangan mereka masih saling menempel.
Entah berapa lama, tetap mereka masih tegak berdiri seperti patung. Sudah tentu Hui Yan kelabakan, Dia berpaling ke arah Wi Ki Hu, "Bagai... bagaimana ini ?"
"Entah, aku juga tak tahu," sahut Wi Ki Hu "Hai, kapan tak ada yang menang atau kalah, lebih baik berhenti saja !"
Karena kuatir kedua tokoh itu akan sama2 remuk maka sambil berseru, Wi Ki Hupun maju menghampiri untuk melerai.
Tetapi pada saat dia mendekat hampir dua meter dan tempat kedua tokoh itu, tiba2 dia menjerit aneh dan tubuhnya melayang-layang kebelakang dan terbanting jatuh ke tanah. Mulutnya mengumur darah. Jelas dia telah menderita luka.
Ternyata walaupun tampaknya tidak bergerak tetapi darah dan pernapasan Kedua tokoh itu memburu keras seperti kuda binal. Ilmu Sip-seng-sinkang dari Tok Liong cuncia sedang memancarkan daya-sedot dan Toh Lian Hong sedang berjuang untuk menolak.. Dan karena juga hendak berusaha menggempur lawan maka diapun memancarkan segenap tenaga-dalamnya.
Itulah sebabnya maka begitu mendekat, Wi Ki Hupun terbentur dengan hamburan tenaga-sakti mereka. Melihat itu Hui Yan terkejut dan buru2 menghampiri ketempat Wi Ki Hu, serunya dingin, "Ih, jangan mati dulu engkau !"
Wi Ki Hu terbeliak. Dia tak mengerti mengapa tiba2 dara itu begitu menaruh perhatian kepa-danya. Dia mengerang dan berusaha untuk berbangkit, "Ah, mungkin aku beluma mati."
"Bagus," seru Hui Yan pula, "kalau engkau mati, dan Kun Hiap belum sempat melampiaskan pembalasanaya, dia tentu akan menyesal seumur hidup."
Wi Ki Hu menarik napas. Dia tertawa rawan.
"Nona Tian, kurasa??? " baru dia berkata begitu tiba2 sesosok tubuh melesat tiba dengan cepat sekali.
Hui Yan terkejut, demikian pula Wi Ki Hu. Ah, ternyata pendatang itu seorang lelaki tua yang tubuhnya panjang tetapi kepalanya kecil. Siapa lagi kalau bukan Koan Sam Yang.
Lebih dulu Koan Sam Yang memandang kearah kedua tokoh yang sedang adu tenaga-dalam. Dia lerkejut. Kemudian dia melirik kepada Hui Yan dan sekali melesat dia sudah tiba di hadapan dara itu, tegurnya, "Apakah engkau melihat dia?"
Hui Yan deliki mata, "Engkau melihat setan barangkali. Apa yang engkau tanyakan kalau melihat dia itu ?"
Koan Sam Yang menghela napas dan banting2 kaki lalu ngeloyor pergi, Tiba2 Hui Yan tersentak, serunya, "Hai. siapakah yang engkau katakan "dia" itu?"
Tetapi Koan Sam Yang sudah jauh. Dii tak menghiraukan pertanyaan si dara.
Timbul suatu pemikiran dalam hati Hui Yan hendak mengejar tetapi tiba2 Koan Sam Yang yang sudah jauh itu tiba2 berhenti dan balik menghampiri dengan melangkah mundur.. Sambil melangkah mundur dia menghambur tawa yang tak sedap di dengar
"Aku..... beritikad baik. Jangan memandang aku dengan tertawa. Apa sih yang lucu?" serunya.
Ketika Hui Yan n rmandang lebih seksama, ternyata mundur Koan Sam Yang itu ada sebabnya, yakni karena ada seseorang yang berada di mukanya dan maju mendesak.
Orang itu berpakaian compang-camping, muka kotor dan sepasang matanya memandang lekat ke muka, mulut menyungging tawa yang aneh. Sepintas menyerupai bangsa setan alas yang membuat bulu kuduk orang berdiri.
Pada saat lain Koan Sam Yang dan orang aneh itu makin dekat ke tempat Hui Yan dan sa-at itu barulah Hui Yan terkejut bukan kepalang Ternyata orang aneh itu bukan lain adalah Kun Hiap sendiri.
Hui Yan girang sekali tetapi sebelum dia sempat untuk memanggil, tiba2 Koan Sam Yang ayunkan tangan menghantam kearah dada Kun Hiap.
"Ha!"Hui Yan berteriak kager tetapi sudah terlambat. Duk. .... pukulan Koan Sam Yang tepat menghujam dada Kun Hiap.
Tetapi aneh sekali. Pemuda itu seperti tak merasa apa2, hanya langkahnya yang agak terhenti sejanak. Tetapi kebalikannya, Koan Sam Yang sendirilah yang malah tersurut mundur tiga langkah. Kun Hiap tidak membalas melalukan hanya memandang Koan Sam Yang dengan tertawa.
"Hai, engkau telah merebut gelarku, ya" Aku selamanya apabila bertempur tak pernah balas menyerang. Mengapa. engkau juga tidak mau balas menyerang?" Koan Sam Yang tertawa meringis.
Melihat kejadian itu Hui Yan tertawa gem-bira sekali dan berseru, "Koan tocu, kalau dia mau membalas, dikuatirkan engkau memang bakal takkan balas menyerang untuk selama-lamanya!"
Sudah tentu Koan Sam Yang tahu maksud Hui Yan. Dara itu mengatakan kalau Kun Hiap mau balas menyerang, dia (Koan Sam Yang) ten-tu tidak dapat balas menyerang selama-lamanya kerena tentu sudah mampus..
Tiba2 dara itu tersadar. Kerena Kun Hiap sudah muncul disitu maka diapun harus segera melaksanakan keputusannya, Itu berarti, bahwa dia hanya dapat hidup selama tiga hari lagi saja.
Tetapi biarlah, rasanya dia rela. Karena setelah minum obat pusaka, tentulah Kun Hiap akan pulih kembali ingatannya sebelum dia sendiri (Hui Yan) keburu mati. Dan sejak itu akan lahirlah di dunia persilatan seorang tokoh baru, seorang pemimpin persilatan yang tak ada tandingannya. Dan pada waktu itu, tentulah Kun Hiap akan dapat membalas dandam kematian ayahnya.
Hui Yan tertawa rawan, menghampiri ke muka Kun Hiap. Dia seorang dara yang centil, yang tak kenal takut. Tetapi kala itu disaat berhadapan muka dengan Kun Hiap, airmatanya berderai-derai seperti hujan mencurah.....
Tetapi Kun Hiap yang sudal. kehilangan daya ingatannya itu hanya ganda tertawa seperti orang limbung. Hui Yan perlahan-lahan memegang tangan pemuda itu, menghela napas dalam lalu berpaling.
"Toh locianpwe, Kun Hiap telah datang. Obat pusaka dari delapan kuda besi. ..." tiba-tiba dia hentikan kata-katanya karena melihat Toh Lian Hong masih berjuang seru dalam adu tenaga-dalam lawan Tok Liong cuncia. Dan pada saat itu Koan Sam Yang menghampiri ketempat kedua tokoh itu seraya berseru, "Suhu, suhu..."
Hui Yan tertegun. Kini baru dia tahu kalau Koan Sam Yang memang sudah nekad tetap berguru kepada Tok Liong cuncia. Dia makin terke-jut ketika melihat Koan Sam Yang terus maju menghampiri kedua tokoh itu dengan mata berkilat-kilat.
"Koan tocu, engkau mau apa?" serentak dia berteriak menegur.
Tetapi sudah terlambat, Koan Sam Yang meringkik dan aneh terus menghantam kearah Toh Lian Hong.
Tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi yang dimiliki Koan Sam Yang, merupakan tenaga-keras yang merajai. Seketika angin memburu dahsyat,...
Hui Yan menjerit keras, "Koan Sam Yang, engkau sungguh munafik.. ..", sambil teriak dia segera loncat ke muka.
Pada saat Koan Sam Yang mengayunkan tenaga Sam-yang-cin-gi, tangannyapun menampar ke belakang sehingga Hui Yan terhalang dan terdorong mundur sampai tiga langkah.
Kini Hui Yan tahu jelas bahwa tindakan Koan Sam Yang untuk menyerang secara pengecut kepada Toh Lian Hong itu adalah karena hendak mengambil hati Tok Liong cuncia, karena dia su-dah menjadi muridnya.
Suatu perbuatan edan. Sebenarnya dalam dunia persilatan, Koan Sam Yang juga mempunyai nama besar. Tetapi karena ingin menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap, dia sudah tak menghiraukan segala cemooh dan hinaan, mati-matian berguru kepada Tok Liong cuncia.
Hui Yan bingung, Dia tahu tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi itu telah dikuasai Koan Sam Yang dengan sempurna, Saat itu orang tua berpenyakitan tengah beradu tenaga-dalam dengan Tok Liong cuncia.
Tiba2 Hui Yan teringat bahwa satu-satunya yang mampu menghalangi tindakan Koan Sam Yang itu hanyalah Kun Hiap maka cepat dia berpaling dan seru, "Kun Hiap...."
Tetapi secepat itu pula dia hentikan kata-katanya karena melihat Kun Hiap masih tersenyum menyeringai seperti orang tolol. Jelas anak-muda itu seperti tak tahu apa yang telah terjadi dihadapannya. Andaikata saat itu dia memberikan obat pusaka dalam delapan kuda besi, toh tak mungkin anakmuda itu akan segera pulih ingatannya dalam waktu yang begitu singkat.
Hui Yan mengeluh sekali dan berpaling kemuka lagi. Saat itu pukulan Koan Sam Yan sudah hampir tiba di bahu kiri Toh Lian Hong, Dan waktu pukulan mendarat pada bahu, kedua tokoh itu masih tegak diam seperti tak merasa terjadi sesuatu.
Tetapi itu hanya sementara waktu saja. Beberapa saat kemudian tiba2 terdengar bunyi letupan, tahu2 Tok Liong cuncia menyurut mundur selangkah. Dia memandang Koan Sam Yang dengan marah.
Kemudian Toh Lian Hongpun mencelat melayang seperti layang2 putus tali. Dan berbareng itu Koan Sam Yang meringkik aneh, kedua tangannya dijulurkan lurus ke muka, keringat.
Bluk, kedua lututnya teklok dan terus berlutut ditanah, mulutnya meloroh-loroh seperti orang kedinginan, Kedua tangan menekan pada tanah, kelima jarinya mencengkeram keras sehingga masuk kedalam tanah. Dia meringkik aneh. beberapa kali, napas terengah-engah keras.
"Suhu, tolong, tolonglah aku, lekas... lekas! Gunakan Sip-seng-sin-kang untuk menyedot tenaga Sam-yang-cin-gi dari tubuhku, lekas lekas... sukalah memandang pada mendiang ayahku dan menolong aku, tolonglah, aku..."
Koan Sam Yang melolong-lolong, keringat dan airmata bercucuran. Tidak lagi dia itu Koan Sam Yang yang diagulkan sebagai tokoh ternama, melainkan seperti lelaki tua yang sedang sekarat!
Wi Ki Hu saling berpandang dengan Hui Yan. Tetapi Wi Ki Hu juga tak berdaya. Dia tak mampu memberi pertolongan.
Saat itu tubuh Toh Lian Hong yang melayang sampai tiga tombak di udara, tengah meluncur turun. Gerak luncurnya aneh sekali. Tidak-meluncur deras tetapi pelahan-lahan seperti daun kering yang bertebaran ke tanah.
Melihat itu Hui Yan tertegun. Kemudia ia meras lengah dalam hati, karena percaya Toh Lian Hong tentu tak menderita luka sehingga dapat menguasai tubuhnya waktu meluncur turun. Bahkan orangtua berpenyakitan itu sengaja memamerkan kepandaiaannya yang istimewa.
Melihat layang turunnya Toh Lian Hong, Tok Liong cuncia meringkik aneh dan terus ayunkan tubuh melayang ke muka untuk menyambuti tubuh Toh Lian Hong. Tiba2 dia menghambur jeritan yang kera. dan aneh sehingga telinga Hui Yan sampai terasa terngiang pecah. Dara itu melihat dengan hati2 seperti membawa barang gelas, Tok Liong cuncia pelahan-lahan meletakkan tubuh Toh Lian Hong.
Hui Yan benar2 tak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Baru setelah teriakan Tok Liong cuncia itu mulai sirap, barulah dara itu maju menghampiri. Dan begitu melihat apa yang terjadi, seketika mata dara itu terbeliak lebar2.
Tok Liang cuncia tegak berdiri seperti orang yang kehilangan semangat. Sepasang mata tak berkedip memandang ke muka. Sedang Toh Lian Hong menggeletak ditanah. wajahnya pucat seperti mayat, matanya tak bersinar lagi, tak ubah seperti sesosok mayat yang sudah membeku bertahun-tahun. Jelas orang tua berpenyakitan itu telah meninggal dunia.
Ternyata pada waktu pukulan Koan Sam Yang belum sampai mengenai Toh Lian Hong, maklum sedang mencurahkan semangat menghadapi Tok Liong cuncia, tetapi Toh Lian Hong merasa kalau dirinya bakal celaka. Maka diapun segera bersiap.
Pada saat pukulan Koan Sam Yang hendak tiba, Toh Lian Hong menggunakan ilmu meminjam tenaga lawan untuk mengembalikan hantaman orang, dia menyalurkan tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dari Koan Sam Yang untuk menghantam Tok Liong cuncia, Dengan mendapat tambahan tenaga pukulan dari Koan Sam Yang, Toh Lian Hong memancarkan tekanan keras kepada Tok Liong cuncia. Akibatnya Tok Liong cuncia terpental selangkah ke belakang.
Tetapi karena bertindak begitu, tenaga sakti dari tubuh Toh Lian-Hong sendiri ditambah tenaga sakti "Sam-yang-cin-gi dari Koan Sam Yang tentu tersedot oleh ilmu Sip-seng-sinkang Tok Liong cuncia hingga habis. Dan getaran tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dari Koan Sam Yang telah menbuat Toh Lian Hong terpental ke udara.
Dahulu karena ingin mengalahkan Tian Put Biat (ayah Hui Yan) maka Toh Lian Hong sampai merantau ke seberang lautan untuk mencari ilmu kesaktian. Tetapi karena dia sangat bernafsu sekali berlatih dengan keras maka jalan sebuah uratnadinya telah putus.
Sebenarnya apabila salah satu dari delapan uratnadi pokok tubuh manusia itu putus, orang itu kalau tidak cacat tentu mati. Tetapi kebetulan sekali pada waktu itu dia bertemu dengan seorang sakti yang memberi pelajaran ilmu Toan-meh-sinkang atau ilmu sakti urat yang putus. Dengan meyakinkan ilmu itu, kepandaian Toh Lian Hong malah bertambah hebat.
Tetapi ilinu Toan-meh-sinkang itu tidak boleh digunakan secara paksa dan berkelebihan. Berbeda dengan ilmu tenaga-dalam dari partai2 persilatan umumnya, Toan-meh-sinkang hanya digunakan pada saat2 yang berbahaya dan tidak boleh menggunakan kekerasan kalau berhadapan dengan lawan. Dan kalau sekali menderita kekalahan, maka pemilik Toan-meh-slnkang itu takkan tertolong lagi jiwanya.
Waktu Toh Lian Hong terpental ke udara karena getaran tenaga-sakti Sam-yang Cin gi tadi dia sudah merasa bakal celaka. Dia berusaha untuk menghimpun tenaga dalam tetapi macet. Sampai diulang tiga kali, tetap saja gagal. Malah karena gerakan pernapasan untuk menghimpun tenaga-murni itu menyebabkan urat-urat nadi dalam tubuhnya membengkak dan putus. Maka sebelum jatuh ke tanah, sebenarnya Toh Lian Hong sudah putus jiwanya.
Yang tahu keadaan itu hanya Tok Liong cuncia seorang. Maka dia lalu meringkik aneh dan buru2 loncat menyanggupi tubuh Toh Lian Hong. Makaudaya. hendak menolong tetapi ketika menyentuh tubuh orang tua itu, dia dapatkan kalau sudah tak bernyawa lagi. Walaupun dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, tetap tak dapat menolongnya.
Melihat Toh Liang Liong sudah binasa, seketika Hui Yan rasakan bumi seperti berputar-putar sehingga tubuhnya bergoyang-goyang hendak rubuh. Pada saat itu dari arah belakang setiup angin menghambur. Terpaksa dara itu miringkan tubuh.
Waktu memandang dengan seksama ternyata ada sesosok bayangan melesat dari sampingnya. Baru tiga langkah bayangan itu sudah terjungkal rubuh di tanah. Ternyata orang itu adalaii Koan Sam Yang.
Koan Sam Yang berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya bergoyang kian kemari seperti dari empat penjuru ada orang yang mendorongnya.
Napasnya masih terengah- engah dan dengan tersendat-sendat dia berseru, "Suhu.. .. tolonglah aku.. ..."
Tok Lion cuncia berpaling kearah Koan Sam Yang berseru dingin, "Tadi aku sedang menguji kepandaian dengan Toh-ji-ko, siapa suruh engkau campur tangan" Setelah dia meninggal, lalu dengan siapa lagi aku bisa mendapat lawan" Perlu apa aku harus menolong engkau?"
Melihat Tok Liong cuncia bicara dengan nada dingin dan matanya berkilat-kilat, Koan Sam Yang makin mengigil.
"Suhu, tolonglah aku. ... akan kuberitahukan kepadamu .. .. untuk mengisap tenaga-dalam sakti dari seseorang. ... tenaga-sakti dan orang itu tiada lawannya di dunia ini !"cepat Koan Sam Yang berseru keras.
Mendengar itu Hui Yan segera tahu siapa yang dimaksudkan Koan Sam Yang itu. Sudah tentu dia terkejut sekali. Setelah Toh Lian Hong meninggal, kalau Tok Liong cuncia hendak mengisap tenaga-dalam Kun Hiap, tentulah tak ada yang dapat merintangi lagi.
"Koan Sam Yang!" teriaknya dengan marah sekai, Engkau sudah mau mampus, mengapa masih mau mencelakai orang!"
Koan Sam Yang, menuding Kun Hiap dan berteriak keras, "Dia, dia, ya dialah orangaya! Tenaga dalamnya sungguh tiada taranya dalam dunia ini. Kalau dapat menghisapnya, tentu. . .
"Kutahu " tukas Tok Liong cuncia dingin, "tujuanmu berguru kepadaku tak lain hanya hendak belajar ilmu Sip seng-sin-kang. Setelah kau memiliki, engkau terus mau menghisap tenaganya bukan"''
Koan Sam Yang mengangguk-angguk, "Ya. . .. ya.. .. mohon suhu lekas turun tangan!"
Tok Liong cuncia ayunkan kaki. Selangkah demi selangkah dia maju menghampiri ketempat Koan Sam Yang. Sepasang matanya memandang lekat2 pada Kun Hiap.
Melihat itu menggigillah hati Hui Yan. Dia seperti mendapat firasat tak baik maka cepat2 dia melangkah maju menghadang di depan Kun Hiap untuk melindungi pemuda itu dari kemungkinan yang berbahaya.
Dengan nada dingin berserulah Tok liong cuncia kepada Koan Sam Yang, "aku, aku. ... akan turun tangan!"
"Terima kasih...," belum selesai Koan Sam Yang berkata, Tok Liong cuncia sudah mengangkat tangan dan duk... . seperti buuyi guruh yang tak jadi meletus maka tangan Tok Liong itupun segera mendarat di dada Koan Sam Yang.
Seketika tubuh Koan Sam Yang mencelat ke belakang, brukkk terhentur pada sebatang pohon besar dan menghamburkan gema kumandang suara yang bergemuruh.
Memang pukulan yang dilancarkan Tok-Liong-cuncia itu disebut pukulan Biat-pik jong-hong atau pukulan-berkumandang. tenaga pukulan yang melontarkan tubuh Koan SamYang masih berkuasa untuk menumbangkan pohon yang sebesar paha orang.
Setelah hamburan daun dan debu yang mengabut itu menipis barulah Hui Yan dapat melihat pemandangan yang dilihatnya itu, serentak ngerilah hatinya.
Ternyata tubuh Koah Sam Yang sudah tidak merupakan mayat yang utuh lagi. Waktu membentur pohon, tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi , dalam tubuhnya memancar keluar, pohon tumbang dan pecah berkeping~keping, tetapi tubuhnya sendiri juga hancur berantakan tak karuan. .....
Hui Yan menghela napas. Nama Koan Sam Yang sudah cukup termasyhur di dunia persilatan. Teapi karena dikuasai oleh nafsu angkara untuto menyedot tenaga-sakti Kun Hiap, dia rela merendahkan diri untuk menjadi murid Tok Liong cun-cia. Tetapi hasilnya, bukan ilmu Sip-seng-sinkang (ilmu penyedot tenaga dalam) yang diperolehnya melainkan suatu kematian yang mengerikan sekali.
Tok Liong cuncia membuat liang dengan hanya mengebutkan tangan baju. Angin tajam bergulung2 mengungkap bongkah2 tanah dan terbukalah sebuah liang kubur. Dan sekali lengan bajunya mengebut pula, maka jenasah Toh Lian Hong melayang masuk kedalam liang. Kemudian untuk yang ketiga kalinya Tok Liong cuncia mengebutkan lengan bajunya lagi maka bongkah2 tanah tadipun menimbun kembali liang kubur itu.
Setelah mengubur Toh Lian Hong, barulah Tok Liong cuncia baralih memandang Kun Hiap. Dia kerutkan wajah, menunjukkan keheranan besar, serunya, "Benar, tenaga-dalam pada tubuh anakmuda itu memang luar biasa sekali, jarang terdapat dalam dunia!"
Mendengar itu hati Hui Yan makin tegang, serunya, "Wi tayhiap, lekas kemarilah berdiri disebelahku."
Wi Ki Hu mengerti apa yang dimaksud Hui Yan. Cepat dia melesat ke samping si dara. keduanya tegak didepan Kun Hiap untuk melindunginya.
Tetapi tampaknya Tok Liong cuncia seperti tak merasa kalau ada kedua orang itu yang hadir disitu. Dia mengigau seorang diri. "Ah. kemungkinan memang mentakdirkan aku menjadi jago nomor satu dalam dunia persilatan yang tak pernah muncul sejak beratus tahun ini!"
"Cuncia, "cepat Hui Yan gopoh berteriak, ilmu kepandaianmu tiada tandingannya dalam dunia persilatan. Perlu apa engkau.. .. hendak meng-hisap tenaga-dalam orang lagi?"
Tok Liong cuncia tertawa gelak2, "Berilmu makin tinggi tentu saja makin bagus Siapa yang tak mau memiliki kepandaian tinggi?"
Sambil berkata dia terus maju selangkah. Seketika terasa menghambur setiup angin kuat melanda kearah Hui Yan dan Wi Ki Hu sehingga terdorong mundur beberapa langkah.
Kebetulan mereka mundur ke tempat Kun Hiap. Walaupun pikiran Kun Hiap masih kabur tetapi karena tenaga-dalam Tok Liong cuncia itu melanda kearahnya juga maka secara spontan tubuh pemuda itu memancarkan daya-lawan untuk menolak. Dengan demikian terhentilah Hui Yan dan Wi Ki Hu. Mereka tersiak kesamping.
Kini tiada lagi perintang yang menghalang diantara Kun Hiap dan Tok Liong cuncia. Tok Liong cuncia menampilkan kerut wajah cerah dan maju selangkah demi selangkah. Setelah tiba satu meter didepan Kun Hiap, barulah dia berdiri tegak.
Melihat itu, Hui Yan dan Wi Ki Hu tegang sekali. Mereka tahu kalau Tok Liong cuncia hendak mengisap tenaga-dalam dari tubuh Kun Hiap.
"Tunggu, cuncia!" serentak Hui Yanpun berteriak.
Tetapi Tok Liong cuncia seperti orang kesurupan. Dia tak menghiraukan teriakan si dara. yang nyaring. Dia tetap hendak melanjutkan rencananya.
"Cuncia, jangan menghisap tenaga-dalamnya," kembali Hui Yan berteriak malah kali ini terus melesat maju.
Tok Liong cuncia berpaling dan kebukan lengan baju untuk menghentikan Hui Yan. Dengan mata berapi-api dia membentak, "Kenapa tak boleh?"
Dia bertanya dengan nada yang menusuk telinga Hui Yan. Malah kedua lengan bajunya juga berkibas sehingga menimbulkan hamburan angin kenyang membuat Hui Yan berputar-putar ke belakang sampai tujuh langkah baru dia akan jatuh. Untung dia dapat memegang sebatang pohon sehingga dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Sekalipun begitu karena tubuhnya berputar-putar seperti gangsingan, kepalanya terasa pusing dan mata berkunang.
Dengan wajah lesi, berserulah Wi Ki Hu, "cun-cia, ilmu kepandaianmu sudah tiada yang mengalahkan dalam dunia persilatan. Mengapa engkau masih tak puas?"
"Siapa bilang kalau kepandaianku itu tidak ada yang menandingi lagi?" balas Tok Liong cuncia.
"Siapakah yang dapat menandingi kepandaian.cuncia?" seru Wi Ki Hu.
Pelahan-lahan Tok Liong mengisar pandang kearah Kun Hiap. Beberapa jenak kemudian baru dia berkata, "Ada, ada orang yang kepandaiannya memang lebih tinggi dari aku."
Kata-katanya itu penuh tanda iri dan cemas.
Wi Ki Hu dan Hui Yan terkejut, "Siapa" Serempak mereka berdua berseru.
Tok Liong cuncia menuding Kun Hiap, "Dia!" Tiba2 dari ujung jarinya mendesis angin tajam yang menuju ke jalandarah Jin-tiong-hiat diatas bibir Kun Hiap.
Sebenarnya Tok Liong juga tak bermaksud hendak membuuuh. Tetapi karena hatinya tegang sekali sehingga dia tak dapat menguasai hawa murni yang memancar deras maka begitu tangan menuding, dari ujung jari itupun segera meluncur tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi. Apalagi jaraknya begitu dekat sehingga cepat sekali sudah mengenai sasarannya.
Tenaga-dalam yang dipancarkan melalui jari Tok Liong cuncia itu dapat menghancurkan batu karang. Dan jalandarah yang diarahnya yalah jalandarah Jin-tiong-hiat yang merupakan jalandarah vital pada tubuh manusia. Jelas Kun Hiap tentu akan.mati seketika.
Tetapi apa yang terjadi sungguh membuat orang terbelalak. Bahkan Tok Liong cuncia sendiri sampai tertegun kesima. Ternyata Kun Hiap tidak apa2 tampaknya dia tak merasa apa, hanya menjulurkan lidah untuk menjilat jalandarah Jin-tiong-hiat yang terletak diatas bibirnya, seolah seperti oang yang habis makan saja, masih ada lekatan makanan yang melumur pada atas bibirnya.
Tok Liong cuncia menarik napas, serunya, "Nah, kalian lihat tidak?" sambil berkata dia ayunkan tangan kanan ke belakang dan setiup tenaga kuat segera menghambur untuk menghalangi langkah Hui Yan dau Wi Ki Hu yang hendak menghampiri.
Kemudian tangan kanannya pelahan-lahan diangkat ke atas seperti hendak menghantam.
"Cuncia," teriak Hui Yan tegang, "tahukah engkau, dari mana dia mendapat tenaga-dalam yang luar biasa hebatnya itu?"
"Sudah tentu karena mendapat rejeki yang luar biasa, Kalau tidak begitu, taruh sata sejak dalam kandungan dia sudah mulai dilatih pun tidak muugkin akan memperoleh hasil yang begitu luar biasa hebatnya."
"Benar," kata Hui Yan, "memang tanpa sengaja dia telah meminum sejenis leng-yok (obat mujarah). Tetapi sebenarnya leng-yok itu mengandung racun maka walaupun mendapat tenaga dalam yang luar biasa saktinya tetapi dia berobah menjadi limbung pikiran. Apabila cuncia menghi-sap tenaga-dalamnya, kemungkinan engkau juga akan berobah hliang ingatan. Lalu apa gunanya"
Sambil mendengar keterangan Hui Yan, tangan tangan Tok Liong cuncia pelahan-lahan diturunkan ke dada Kun Hiap. Waktu Hui Yan selesai bicara, tangan Tok Liongpun sudah berada kira2 tiga Inci dari dada Kun Hiap. Sejenak berhenti, wajahnya menampil senyum, ujarnya, "Nona Tian, rupanya engkau hendak menghalangi tindakanku. Kata orang, ilmusilat itu tiada batasnya. Tetapi itu hanya kata2 saja. Misalnya aku. Dengan kepandaian yang kumiliki sekarang ini, apabila aku dapat menghisap tenaga-dalamnya, aku berani mengatakan bahwa akulah tokoh pertama sejak dulu sampai sekarang yang memiliki ilmu kepandaian tiada lawannya. Bahkan Tat Mo cousu dan Thio Sam Hong cousu pada masa itu juga tak mampu menandingi aku. Oleh karena itu, sekalipun ingatanku hilang, sekalipun jadi orang gila, mengapa aku harus menyesal?"
Mendengar itu Hui Yan tidak dapat omong lagi. Dia memperhatikan bahwa sebelum menghisap tenaga-dalam Kun Hiap, ternyata omongan Tok Liong cuncia itu sudah seperti orang yang tidak waras lagi.
Tiba2 terdengar Wi Ki Hu menghela napas panjang.. Mendengar kata2 Tok Liong tadi perasaan Wi Ki Hu berbeda jauh dengan Hui Yan.
Kedua orangtua Hui Yan itu adalah tokoh2 persilatan yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu sejak kecil semula, Hui Yan sudah dilatih ilmusilat. Dia itu merasa bahwa ilmu-silat adalah suatu kepandaian yang harus dituntut secara wajar. Dia tidak pernah mengira bahwa demi mencari ilmusilat yang lebih tinggi, orang akan berbuat apa saja seperti orang gila. Diapun tak pernah memikirkan bahwa begitu besar harganya sebuah jurus ilmusilat itu sehingga orang rela dirinya dihina, seperti tindakan Koan Sam Yang. Rela memberi imbalan jiwa dan raga, rela menjadi orang gila seperti Tok Liong cuncia.
Itu pikiran Hui Yan yang hendak memberi peringatan kepada Tok Liong cuncia. Tetapi lain lagi pikiran Wi Ki Hu yang lebih luas pengetahuan dan pengalamannya. Dia menghela napas karena menganggap bahwa orang yang belajar ilmu-silat itu seperti orang yang kemasukan setan. Buktinya, Koan Sam Yang dan sekarang Tok Liong cuncia. Keduanya seperti khilaf untuk memburu ilmu kepandaian yang sakti.
Sajenak tertegun, Hui Yan hendak berkata lagi untuk mencegah Tok Liong cuncia. Tetapi teringat akan jawaban Tok Liong tadi, dia batal.
Saat itu ketika melihat telapak tangan Tok Liong makin merapat ke dada Kun Hiap, Hui Yan menjerit dan tanpa menghiraukan segala apa lagi, dia terus menerjang.
Tetapi baru maju empat atau lima iangkah, dia sudah terbentur dengan tenaga yang terhambur dari tangan kiri Tok Liong tadi. Seperti membentur tembok karet yang memiliki daya mental keras, dara itu menjerit aneh dan mencelat balik seperti dilemparkan ke udara. Di udara terpaksa dia jungkir balik sampai tujuh atau delapan kali, Bluk, bluk, bluk .... delapan biji kuda besi dalam bajunya berhamburan jatuh ke tanah.


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah tentu dia gugup sekali dan buru2 mengerahkan tenaga-dalam agar meluncur ke bawah. Tetapi sebelum kaki menginjak bumi tiba2 terdengar suara ledakan keras seperti dua keping papan saling dihantamkan sekuat-kuatnya. Buru2 dia memandang ke arah suara itu ternyata tangan kanan Tok Liong cuncia sudah melekat pada dada Kun Hiap.
Seketika Hui Yan rasakan pandang matanya gelap seperti tertutup kabut. Dalam kabut itu seperti memercik bintang2 emas. Dia hendak mengempos semangat untuk menghimpun tenaga-murni tetapi macet maka tak ampun lagi dia jatuh ke tanah.
Tepat pada saat itu pula, samar-samar ia mendengar suara dua orang wanita. Yang satu menjerit kaget dan yang satu tertawa dingin. Dia tidak lupa dengan nada suara itu. Yang melengking kaget adalah mama dari Kun Hiap yaitu Soh-jiu-sin-cu Tong Wan Giok. Dan yang lain adalah Tian Hui Giok, taci kedua dari Hui Yan.
Hui Yan tertawa hambar. Dia merasa tertulung karena jiwanya segera melayang maka pandang matanya sampai gelap. Tetapi setelah mendengar nada suara kedua wanita itu, dia berusaha keras untuk menenangkan hatinya.
Tiba2 Wi Ki Hu tertawa dan berteriak keras, "Wan Giok hati-hatilah !"
Hui Yan terkejut dan cepat membuka mata. Tampak sesosok tubuh melesat menyerang Tok Liong cuncia tetapi terpental balik oleh pukulan Tok Liong.
Hui Yan melihat jelas bahwa yang menyerbu Tok Liong adalah Tong Wan Giok, mama dari Kun Hiap. Dan dilihatnya pula ji-cinya, Hui Giok, sedang membungkukan tubuh ke tanah, memunguti ke delapan biji kuda besi. Melihat itu, Hui Yan paksakan diri untuk menggeliat bangun.
"Ji-ci apakah engkau baik2 saja?" serunya. Racun dalamt tubuh dara itu sudah mulai bekerja dan diapua merasa kalau tidak berapa lama lagi tentu mati. Maka ucapannya itupun bernada sinis.
Rupanya Hui Giok yang melakukan peracunan kepada adiknya itu, tergetar juga dia segera berdiri. Dia sudah dapat memungut empat biji kuda besi.
Hui Yan berjalan pelahan-lahan menghampiri tacinya. Mulutnya mengulum senyum sinis. Diam2 Hui Giok membatin, apakah adiknya itu belum tahu kalau yang mencelakainya itu adalah tacinya sendiri.
Diam2 Hui Giok tenangkan hati dan bersikap seperti biasa agar jangan sampai ketauan.
"Ai, sam-moay, bagaimaga engkau?" serunya sambil tertawa menyambut.
Mendengar itu rupanya Hui Yan tak tahan lagi melihatnya. Serentak dia menghambur tawa keras dan berseru, "Aku segera mati, apakah engkau tidak tahu?"
Hai Giok pura2 kaget, "Sam-moay, apa maksudmu berkata begitu " Jangan omong tak keruan begitulah!"
Seperti mau meledak rasanya dada Hui Yan melihat tingkah laku tacinya yang berani mati melakukan sandiwara itu. Namun dia tetap tertawa dan berkata, "Mengapa aku harus omong tak keruan" Apakah aku masih dapat hidup lagi" Ji-ci, engkau sungguh baik sekali memperlakukan adikmu ini !"
Berobah seketika wajah Hui Giok, tetapi secepat itu diapun sudah menenangkan diri, katanya, "Sam-moay, sudah tentu aku merasa sedih juga. Kita taci-adik tidak dapat berkumpul selamanya. Ai, kebaikan apa yang kulakukan kepadamu, ah . . . .?"
Hui Giok memang lihay seperti seekor ular berbisa yang tampaknya jinak. Dia sengaja menerima ucapan sindiran dari adiknya itu seperti hal yang sesungguhnya. Maka diapun mengucapkan kata-kata merendah untuk berbasa basi.
Hui Yan selangkah demi selangkah makin mendekati. Setelah tiba lebih kurang dua meter di depan tacinya, tiba2 dia berteriak keras, dia merentang kedua ttangan dan menebarkan ke sepuluh jari lalu menerjangnya.
Merasa kalau bersalah melakukan perbuatan keji terhadap adiknya, saat itu Hui Giok seperti melihat sesesok iblis yang mengerikan tengah menyerbunya. Padahal Hui Yan memang melancarkan apa yang disebut Li-kui-hoa-sim atau ilmu merobah diri menjadi sengeri setan.
Hui Giok ketakutan. Sambil sempoyongan mundur dia lontarkan sebuah kuda besi ke arah Hui Yan.
Saat itu Hui Yan sudah kalap, Dia memang bertekad hendak membunuh tacinya. Kalau dia mati, biarlah tacinya juga mati. Dia sudah mata gelap. Tiba2 dia melihat setitik benda hitam melayang kepadanya, mungkin suatu senjata pisau. Tanpa memikir dan melihat lebih jelas, dia ngangakan mulut dan menggigit benda hitam itu dengan mulutnya.
Creto . . . . ah, benda itu keras sekali, Hui Yan makin gemas dan menggigit lebih keras. Ah, dia merasa linu karena giginya seperti mau putus rasanya. Saat itu baru dia menyadari kalau yang digigit itu tak lain adalah kuda besi. Dan ternyata pula giginya telah menyusup masuk ke perut kuda besi itu dan pada lain saat lidahnya seperti dialiri cairan air yang sejuk sekali. Tanpa disadari mulutnya lalu meneguk, menelan cairan itu ke dalam kerongkongan.
Entah bagaimana seketika itu juga dia merasa dadanya merekah longgar dan pernapasannya manjadi wangi. Rasa longgar dan enak itu cepat berkembang menyalur ke seluruh tubuhnya.
Hui Yan tercengang dengan kedua tangan masih menjulur ke muka hendak menerkam, mulut masih menggigit kuda besi. Sepintas seperti setan yang menggigit daging kuda.
Hui Giok makin takut, dia menggigil makin keras dan mundur terus.
Beberapa saat kemudian baru Hui Yan tenang kembali. Dia mengambil kuda besi di mulutnya. Dilihatnya pada perut kuda besi itu terdapat sebuah lubang kecil semacam pintu dan pintu itu terbuka karena digigitnya tadi. Dari lubang pintu itu mengalir cairan warna hijau gelap yang tanpa disadari telah mengalir masuk kedalam perutnya.
Ternyata, cairan dalam lubang perut kuda besi itu sudah kering, jelas semuanya sudah pindah ke dalam perut Hui Yan.
Hui Yan tegak terlongong memegang kuda besi itu. Dahinya bercucuran keringat deras sekali. Dia tak tahu apakah cairan hijau gelap itu. Tetapi dia tahu kalau cairan itu tentu sejenis leng-yok atau obat mujijat yang dapat menolong jiwanya dan dapat menyembuhkan pikiran Kun Hiap yang hilang.
Tadi telah terjadi pertentangan hebat dalam batinnya dan akhirnya dia memutuskan untuk mengorbankan diri demi menyembuhkan Kun Hiap. Dia hendak menyerahkan ke delapan biji kuda besi itu kepada Kun Hiap tetapi di luar dugaan kini dia telah meminum isi daripada salah satu kuda besi itu.
Kini delapan biji kuda besi itu tinggal tujuh biji. Apakah masih ada khasiatnya" Apabila ke tujuh kuda besi itu sampai tak dapat menyembuhkan Kun Hiap .... memikir sampai di situ keringat makin mencurah keluar 1ebih deras. sekujur tubuhnya berkeringat dingin. dia menatap Hui Giok lekat2.
Hui Giok tak berani beradu pandang dan berpaling kepala. Dilihainya Tong Wan Giok dengan wajah merah padam berdiri di bawah sebatang pohon, sedang Wi Ki Hu memandangnya dari sisi pohon lain, Tangan kanan Tok Liong masih menempel lekat pada dada Kun Hiap.
Wajah pemuda-itu masih tetap berseri cerah seperti tak terjadi suatu apa.
Saat itu empat keliling sunyi senyap. Tiba2 Tok Liong cuncia menghamburkan engah napas yang berat. Ubun2 kepala mengeluarkan gumpal hawa putih yang menggerombol di atas kepalanya. tak mau terpencar sehingga dalam beberapa saat kemudian menjadi sebuah lingkaran besar. Sepintas dia seperti memakai topi putih yang aneh bentuknya.
Melihat itu hati Hui Yan makin gugup Di menduga Tok Liong cuncia tentu sudah berhasil menghisap tenaga-sakti dari Kun Hiap. Pada hal delapan biji kuda besi itu kini sudah berkurang satu. Dan celakanya lagi yang tiga biji berada di tangan Hui Giok.
Rasa tegang menyerang perasaan Hui Yan. Dara itu menganggap bahwa situasi yang di hadapinya benar2 celaka sekali. Sesaat dia rasakan uluhatinya sakit sekali dan huak, tiba2 dia meledakkan tangis.
Hui Giok longgar perasaannya. Saat itu dia menyadari kalau Hui Yan bukan manusia setan dan takkan mati.
"Mengapa engknu menangis?" bentaknya keras-keras.
Saat itu Hui Yan rasakan bumi seperti berputar deras, Dia tak mendengar bentakan tacinya. Begitu tubuh terhuyung ke samping dia terus rubuh ke tanah.
Hui Giok kerutkan alis. Waktu dia hendak maju menghampiri tiba2 Tong Wan Giok berseru, "Nona Tian, cobalah engkau carikan upaya. Lihatlah Kun Hiap . ... dia .... dia ...., wajahnya begitu menyeramkan !"
Hui Giok mengangkat muka memandang. Dia juga terkejut sekali. Dilihatnya kabut putih di badan Tok Liong cuncia makin tebal dan saat itu separoh dari tubuhnya sudah tertutup kabut sehingga wajahnya tak tampak lagi.
Kun Hiap masih berseri tawa tetapi wajahnya pucat sepeni mayat dan tubuhnyapun agak gemetar.
"Peh-bo, jangan kuatir .... aku akan melerai mereka," seru Hui Giok"Nona Tian, berhati-hatilah!" teriak Tong Wan Giok.
Hui Giok melesat ke muka tetapi dia tertahan oleh gumpalan tenaga besar. Ternyata tangan kanan Tok Liong cuncia melekat pada dada Kun Hiap sedang tangan kirinya mendorong ke belakang. Dari tangan kiri itu memancar tenaga-sakti yang makin lama makin besar seperti membentuk sebuah tembok hawa yang kuat. Bukan saja dapat menahan Hui Giok dan Tong Wan Giok yang hendak mengganggu, pun bahkan dapat mendorong mereka mundur ke belakang.
Sekarang Hui Giok maju lagi. Dia merasakan tenaga penghalang yang dipancarkan Tok Liong cuncia itu tidak sekuat tadi sehingga dia dapat melanjutkan langkah.
Makin maju mendekati makin dia merasakan bahwa dinding-tenaga itu makin keras. Dan ketika terpisah dua meter dari kedua orang itu, dia mulai susah melangkah. Setiap langkah harus menggunakan tenag
a dan semangat sepenuhnya. Malah ketika tinggal satu meter dari tempat mereka, dia tak dapat melangkah lagi.
Apa boleh buat. Hui Giok bentikan langBah dan dengan paksakan diri dari napasnya yang menghimpit dada, dia segera berseru, "Kun Hiap
Baru dia berseru begitu tiba2 telah terjadi perobahan besar. Tok Liong cuncia menghambur, pekikan yang dahsyat sekali, mirip seperti naga meringkik karena menderita luka. Bumi seolah tergetar. Sedemikian dahsyat pekikan itu sampaipun Hui Yan yang rebah di tanah, melonjak bangun.
Karena berada dekat sekali dengan Tok Liong cuncia, Hui Giok menderita kegoncangan paling hebat. Dia berusaha mengerahkan semangat dan tenaga-murni untuk maju menghampiri ke tempat kedua orang itu. Setelah hanya terpisah satu meter, dia kendorkan pengerahan tenaga-murni itu untuk mengambil napas. Siapa tahu pada saat itu tiba2 Tok Liong meringkik seperti halilintar. Tak ampun lagi Hui Giok mencelat terlempar ke udara.
Jodoh Rajawali 10 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Ksatria Negeri Salju 4

Cari Blog Ini