Ceritasilat Novel Online

Makam Asmara 8

Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 8


Paderi yang datang itu memang Hui In tay-su. kepala ruang Kwat-si-wan dari gereja Siau-lim-si.
Dibelakangnya mengikut serombongan paderi Siau-lim.
Sesaat kemudian masuk pula delapan orang paderi jubah merah yang masing-masing mencekal
tongkat paderi. Mereka melangkah masuk dengan tenang mengawal seorang paderi jubah kuning,
Paderi jubah kuning itu memondong sebatang tongkat Kumala Hijau. Ya, dia memang Goan Thong
taysu, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Dibelakang ketua itu ikut Hui Ko taysu yang menyanggul
sebatang garu tembaga. Dan dibelakang Hui Ko taysu. seorang imam jubah biru, memanggul
sebatang pedang di punggung.
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa keras, "Bagus, Siau-lim dan Bu tong, dua orang ketua dari
partai persilatan yang menentukan nasib dunia persilatan Tioag-goan, pun datang."
Goan Thong taysu tertawa hambar: Omitohud! Para enghiong ternyata sudah datang lebih
dulu." Imam jubah biru yang menyanggul pedang di punggung itu ternyata ketua partai Bu-tong-pay
yang bergelar Thian Ci totiang. Ketua Bu tong-pay itu tegak dengan sebelah tangan menjulang
lurus didepan dada, lalu tertawa: Sembilan partai persilatan dalam dunia persilatan, tidak ada yang
tidak memikirkan peristiwa pertempuran dalam makam tua ini. Ketua tiap2 partai persilatan segera
akan datang bersama rombongan masing-masing"."
Tiba-tiba ketua Lam-hay bun tertawa mengejek, "Bagus, benar-benar suatu pawai besar,
mengapa tak mengundang orang untuk menyaksikannya?"
Goan Thong taysu menyambut dingin, "Asal engkau mampu membuat pin ceng dan Thian Ci
toheng mati dalam ruang ini, mengapa engkau kuatir mereka takkan berbondong-bondong masuk
seperti anak-anak menyerbu api?"
"Kalau kalian memang menghendaki mati, apakah susahnya?" sahut ketua Lam-hay-bun.
Tiba-tiba wajah Han Ping berseri cerah, serunya, "Ih Thian heng"."
Ih Thian heng cepat berpaling kearah Han Ping, sahutnya agak heran, "Mengapa?"
Menunjuk pada pedang Pemutus asmara yang berada disisinya, Han Ping berkata, "Perbuatan
jahat apakah yang pernah dilakukan oleh kedua orang-tuaku?"
"Ayahmu?" kata Ih Thian heng, "banyak sekali membunuh orang, tangannya berlumuran darah
manusia, tiga Pendekar dari Lam-gak itu, semua bukan manusia baik!"
"Kuminta engkau bicara yang jujur!" bentak Han Ping marah, "Setiap patah keteranganku ini,
memang suatu kenyataan," jawab Ih thian heng.
Han Ping menghela napas panjang, "Di dunia ini tiada ayahbunda yang jahat. Sekalipun kedua
orangtuaku bukan orang baik, tetapi dendam darah itu tetap harus kutuntut. Lekas engkau ambil
pedang Pemutus-asmara itu dan bunuh diri saja!"
Kata" Han Ping itu diucapkan dengan wajar dan tenang.
"Mengapa?" tanya Ih Thian-heng.
Kata Han Ping, "Aku teringat akan beberapa jurus permainan ilmu silat. Jelas jurus itu tak
mungkin dapat engkau lawan. Apabila engkau ingin menjaga nama harummu sebagai seorang
kesatrya, lebih baik engkau segera bunuh diri saja."
Ih Thian-heng tertegun, serunya, "Sekalipun aku percaya apa yang engkau katakan itu, tetapi
aku tetap masih mempunyai keraguan."
"Baiklah," seru Han Ping pula, "yang datang di makam ini makin lama makin banyak. Kita harus
lekas menyelesaikan persoalan ini!"
Habis berkata Han Ping terus mengangkat tangan dan menampar.
Ih Thian-heng tersenyum, "Bagus, rupanya hari ini takkan berhenti sebelum ada yang
menggeletak jadi mayat!" ia terus menangkis.
Tamparan Han Ping itu tampaknya lemah gemulai seperti tak bertenaga. Tetapi ketika
berbentur dengan tangan Ih thian-heng, Ih Thian-hengpun segera rasakan uluhatinva tergetar.
Tekanan tenaga yang begitu hebat, memaksa Ih Thian-heng harus menyurut mundur selangkah.
Han Ping menarik pulang tangannya lalu menampar pula. Melihat gerakan tangan Han Ping
lemah gemulai seperti tadi. Ih Thian-heng tak berani menyamputi. Ia cepat menghindar ke
samping. Tetapi tiba-tiba Han Ping berputar tubuh dan tangannya yang bergerak pelahan tadi
sekonyong-konyong merangsang, secepat kilat membayang tubuh Ih Thian-heng.
Setelah menghindar dari tamparan Han Ping tadi. Ih Thian-heng hendak balas menyerang.
Tetapi tak terduga-duga dia sudah dikejar lagi oleh pukulan anakmuda itu. Sedemikian cepat sekali
tangan Han Ping itu menghantam sehingga Ih Thian-heng lak sempat menghindar, Seketika
lengan kirinya kesemutan. Tulang lengannya patah, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.
Tetapi Han Ping tak mau menyusuli pukulan, melainkan loncat mundur dan memungut pedang
Pemutus asmara, serunya, "Lekas cabut senjatamu!
Tampak keringat sebesar kedele bercucuran dari kedua belah pipi Ih Thian-heng. Dia tegak
berdiri diam, seolah-olah tak mendengar seruan Han Ping.
Sambil memutar pedang, Han Ping berseru pula, "Ih Thian-heng, lekas cabut senjata mu".
Ih Thian-heng tiba-tiba tersenyum dan berkata perlahan, "Lengan kiriku patah, dalam waktu
sepeminum teh mungkin belum dapat kugerakkan."
Han Ping agak terkesiap, serunya, "Baiklah, akan kutunggu sampai sepeminum teh lagi!"
Dalam pada itu Goan Thong taysu berpaling kearah Hui in taysu yang berada disisinya dan
berbisik, "Minta kembali pedang Pemutus-asmara milik gereja kita itu!"
Setelah mengiakan, Hui In taysu segera berseru nyaring, "Ji Han Ping!"
Dalam hati memang Han Ping sudah mempunyai prasangka terhadap Hui K o dan Goan Thong,
Mendengar teriakan itu serentak iapun menjawab dingin, "Ada apa?"
"Kapankah engkau hendak mengembalikan pedang Pemutus asmara dari gereja kami itu?" seru
Hui Ko. Diam-diam Han Ping menimang. Menilik adanya, jelas paderi Siau-limsi itu memang bertujuan
hendak mengambil kembali pedang Pemutus asmara. Apabila dihadapan sekian banyak tokohtokoh,
ia mengakui pedang pusaka itu sebagai milik Siau lim si, tentulah pedang itu harus
dikembalikan. "Walaupun adu sendiri tak mempunyai keinginan untuk mengangkangi pedang itu, tetapi aku
harus mencari orang yang berbudi luhur memberikan pedang itu. Agar orang itu dapat melakukan
beberapa hal yang berguna terhadap manusia"."
Setelah menetapkan keputusan, maka Han Ping pun berkata tawar, "Maaf, aku tak mengerti
apa maksud ucapan taysu. tetapi apakah hubungannya pedang pusaka ini dengan gereja taysu?"
Wajah Goan Thong berobah, serunya! "Kubawa para ketua sembilan partai persilatan dengan
rombongannya ke makam tua sini, sama sekali tiada dengan maksud hendak mempersulit
sahabat2 persilatan dunia Tiong goan sendiri."
"Soal itu, aku tak ingin berbanyak tanya," sahut Han Ping.
Melihat Han Ping tak menaruh perindahan kepadanya. Goan Thog taysu makin marah, serunya
dengan bengis, "Setelah keluar ke dunia persilatan, pin-cengpun sekalian hendak membasmi
beberapa orang jahat!"
Han Ping tertawa lepas, "Pedang pusaka ini" Ya, memang benar kuambil dari gereja taysu"."
"Karena berasal dari gereja kami, maka pedang itu tentulah benda milik Siau-lim-si," teriak Hui
Ko taysu. "Tetapi aku tak mencurinya," bantah Han Ping, "dan bukan pula mengambil. Benda itu adalah
hasil dari menang bertaruh. Kalau taysu hendak meminta kembali pedang ini memang mudah
saja, asal Hui Gong taysu hidup kembali".
"Tutup mulutmu!" bentak Goan Thong dengan bengis.
Han Ping menyahut dingin, "Aku bukan anak murid Siau lim-si harap taysu jangan bicara
kasar!" Goan Thong taysu melirik pada ThianCi to-tiang, serunya, "Toheng, dia begitu congkak
sehingga aku tak dapat menahan kesabaran lagi."
"Biarlah kutanya kepadanya." kata ketua Butong pay ilu lalu menatap kearah Han Ping,
"Siapakah nama sicu?"
"Ji Han Ping." "O, kiranya Ji tayhiap Aku Thtin ci."
"Ah, sudah lama aku mendengar nama totiang yang harum," kata Han Ping.
Thian Co totiang tertawa, "Ah, harap jangan memuji. Aku menerima undangan dari Goan
Thong taysu, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup sahabat dunia persilatan Tiong-goan,
akan berhadapan dengan Lam-hay Ki-siu. Aku tak ingin melibat diantara sesama kaum persilatan
Tiong-goan akan saling bunuh membunuh sendiri. Maka dengan ini ingin kuhaturkan sepatah kata
kepada Ji tayhiap." "Han Ping akan mendengarkan dengan hormat," sahut Han Ping.
"Sudah berpuluh tahun pedang Pemutus-asmara lenyap dari dunia persilatan," kata Thian Ci
totiang," sekarang pedang itu muncul lagi didalam makam tua ini. Dan akupun beruntung
menyaksikan pusaka yang termasyhur itu. Hanya saja, aku tak tahu nari manakah asal pedang
itu?" Han Ping merenung sejenak, menyahut, "Benar pedang itu berasal kari gereja Siau-lim-si, tetapi
sama sekali aku tak mencurinya."
Thian Ci totiang tertawa, "Apakah hasil dari pertaruhan?"
"Benar," Hati Ping mengiakan. "Lalu siapakah yang mencuri pedang itu?" tanya Thian Gi pula.
"Hui Gong taysu."
"Dimanakah dia sekarang?"
"Meninggal dunia."
"Hui Gong taysu meninggal dalam ruang pertapaannya. Adakah keterangan Ji tayhiap itu dapat
dipercaya orang?" kata ketua Bu-tong pay pula.
Han Ping tertegun, serunya, "Lalu bagaimana?"
"Aku mempunyai dua cara supaya Ji tayhiap suka memilih," kata ketua Bu tong pay.
Han Ping terkesiap. Namun ia tak mau kalah perbawa dan serentak menyahut.
"Silahkan totiang mengatakan"."
JILID 8. Pedang Pemutus Asmara. Berkata ketua Bu tong pay pula, "Entah bagaimana Ji tayhiap memperoleh pedang itu tetapi
jelas pedang itu berasal dari gereja Siau- lim-si. Agar jangan sampai merusak persahabatan di
antara sesama kaum persilatan Tiong-goan, mohon Ji tayhiap suka memandang muka pinto dan
suka mengembalikan pedang itu kepada Siau-lim."
"Mohon tanya, apakah cara kedua yang totiang hendak utarakan?" tukas Han Ping.
"Ji tayhiap mengatakan bahwa pedang itu engkau dapatkan karena menang bertaruh adu
kepandaian. Maka pinto hendak mengulangi hal itu, akan bertaruh juga dengan Ji tayhiap." kata
Thian Ci totiang. Han Ping terkesiap. "Apabila Goan Thong Taysu suka memberi keterangan atas sebuah pertanyaanku, tak perlu
bertaruh, aku tentu akan menghaturkan pedang itu kepada Siau-lim-si," sahut Han Ping.
"Pertanyaan apa?"
"Bahwa totiang berani bertaruh dengan aku demi kepentingan Siau-lim-si, jelas menunjukkan
keluhuran budi totiang. Tetapi dapatkah totiang menjamin kepadaku bahwa Goan Thong taysu
tentu mau menjawab pertanyaanku itu?"
"Soal itu tergantung dari janji Ji-tayhiap untuk mengembalikan pedang itu?"
Tanpa ragu-ragu Han Ping lalu angsurkan pedang Pemutus-asmara, "Silahkan totiang menerima
pedang ini." Sambil menyambuti pedang, Thian Ci totiang berkata, "Asal pertanyaan itu tak mengandung
hinaan kotor kepada orang, aku tentu bersedia untuk menjadi saksi kedua belah fihak."
Setelah menyerahkan pedang, mata Han Ping lalu menatap Goan Thong taysu.
"Dalam kalangan agama Hud-kau, orang menuntut adanya hukum Karma. Apabila sepatah saja
engkau bohong, engkau tentu akan dijebluskan ke dalam neraka delapan belas lapis"." kata
pemuda itu. Tiba-tiba Han Ping bertanya dengan nada serius, "Bagaimanakah kematian ketua Siau-lim-si
dari dua angkatan yang lalu?"
Partanyaan ini sungguh di luar dugaan orang, sehingga sekalian orang tertegun.
Dan tampaknya Goan Thong taysu tergetar nyalinya melihat kegarangan sikap anakmuda itu.
Setelah termangu sejenak, ia menyahut, "Tiada seorang kaum persilatan yang tak tahu bahwa
karena menderita sakit maka beliau meninggal"."
"Apakah omonganmu itu benar-benar keluar dari hati nuranimu yang baik?" tiba-tiba Han Ping
menggembor keras. Goan Thong terbeliak tak dapat menjawab.
"Apakah bukan engkau yang memperdayakan kekuasaan suhumu untuk membunuhnya?" teriak
Han Ping nyaring. Rupanya Goan Thongpun sudah mendapat kesadarannya kembali. Ia membentak marah,
"Jangan ngaco belo"."
Han Ping bersuit panjang lalu berseru dengan lantang, "Siang malam kupikirkan peristiwa itu
dan akhirnya aku dapat menemukan jawabannya. Murid pertama dari sucoumu yakni Hui Gong
taysu, seorang tunas yang cemerlang. Walaupun karena terlena oleh rasa dengki telah melakukan
pembunuhan tetapi tak seharusnya dia menerima hukuman seumur hidup semacam itu"."
Goan Thong taysu mendengus, "Harap Hui In susiok turun tangan untuk melenyapkan anak gila
ini agar jangan sampai menodai nama baik Siau-lim-si."
Hui In taysu, sute dari mendiang Hui Gong taysu, adalah paman guru dari Goan Thong taysu
ketua Siau-lim-si yang sekarang. Paderi tua itu mengerut sedih lalu merangkapkan kedua
tangannya. "Maksudku, biarlah dia bicara dulu sampai selesai, baru kita nanti menindaknya," kata paderi
tua itu. Han Ping tak menghiraukan, ia tetap melanjutkan kata-katanya dengan nyaring, "Sucoumu
menghukum Hui Gong taysu dalam ruang Renungan itu, tujuannya tak lain agar Hui Gong taysu
dapat menggunakan waktu2 yang sunyi dan hening itu, untuk memperdalam pengertiannya
tentang ilmu pusaka Siau-lim. Setelah dapat menembus rahasia2 ilmu pusaka itu, barulah dia nanti
akan diangkat sebagai ketua Siau-lim. Dengan demikian tentulah pamor gereja Siau-lim-si akan
makin rmenjulang luas. Itulah sebabnya mengapa sucoumu hanya memerintahkan Hui Gong taysu
dihukum menghadap tembok selama tiga tahun saja."
"Lekas bunuh murid liar itu agar nama Siau-lim-si jangan tercemar"." karena tak kuat
menahan kemarahannya, Goan Thong taysu menggembor.
Dua orang paderi jubah merah merah tampil ke muka dan menghantam. Tetapi Han Ping cepat
bergerak, ia menghindari pukulan dari sebelah kiri dan menangkis pukulan dari sebelah kanan.
"Taysu sekalian mungkin tak percaya kepadaku," serunya, "tetapi apabila para paderi tingkat
tinggi mau merenungkan suasana pada saat itu, tentulah akan percaya pada apa yang kukatakan
ini"." Paderi jubah merah yang menyerang dari sebelah kiri tadi, saat itu sudah akan mandorongkan
kedua tangannya ke arah Han Ping, Tetapi demi mendengar kata-kata Han Ping tiba-tiba ia
menarik pulang tangannya dan mundur ke tempatnya semula.
Melihat itu bukan kepalang merah Goan Thong taysu. Segera ia membentak kepada beberapa
paderi jubah merah, "Mengapa tinggal diam saja. Apakah kalian lupa akan peraturan gereja yang
keras itu?" Rombongan paderi itu serempak marangkapkan kedua tangan ke dada dan menyerukan
Omitohud lalu tundukkan kepala tak menyahut.
"Harap ciangbun hong-tiang jangan marah," tiba-tiba Hui In taysu menyeletuk, "atas peringatan
sicu itu, akupun segera teringat akan sebuah hal. Pada saat aku hendak berangkat menjalankan
tugas ke daerah Kwan-ga (luar perbatasan), suhu masih terbaring di tempat tidur karena
menderita sakit dan memesan wanti2 kepadaku, paling lambat tiga tahun lagi harus kembali ke
gereja untuk menghadiri upacara pengangkatan Hui Gong menjadi ketua gereja"."
Merahlah selembar muka Goan Thong, bentaknya, "Tutup mulutmu! Apakah engkau anggap
tongkat Kumala Hijau ini tak boleh membunuh seorang angkatan tua?"
Wajah Hui In pun berobah serius, serunya dengan nada sarat, "Bagaimana aku berani melawan
tongkat pimpinan gereja kita."
Sambil gentakkan tongkat Kumala Hijau, berserulah Goan Thong taysu, "Kalau tak berani
menentang tongkat Kumala Hijau, harap lekas menerima amanatnya."
Sambi rangkapkan kedua tangan, Hui In menyambut, "Dengan hormat aku menanti."
Goan Thong taysu mengacungkan tongkat pimpinan itu ke atas seraya pelahan-lahan maju
menghampiri. Kerut dahinya memancar hawa pembunuhan.
Rombongan paderi itu tampaknya patuh sekali terhadap tongkat Kumala Hijau. Pada saat
tongkat itu dibawa Goan Thong berjalan, mereka tundukkan kepala dengan khidmat sekali.
Tiba-tiba Han Ping berkisar tubuh menghadang jalan Goan Thong. Dua orang paderi jubah
merah segera menghantamnya dari kanan dan kiri.
Walaupun rombongan paderi itu sudab menaruh kecurigaan terhadap Goan Thong tetapi
mereka tetap menghormati kedudukannya sebagai seorang ketua. Maka itulah sebabnya, ketika
Han Ping menghadang, kedua paderi jubah merah itu segera menyerangnya.
Han Ping tak mau bentrok dengan paderi Siau-lim-si. Ia cepat loncat menghindar lalu berpaling
ke arah Thian Ci totiang, serunya, "Totiang adalah seorang imam yang berkedudukan tinggi. Apa
yang totiang ucapkan tentu harus ditepati. Mohon totiang suka memberi peradilan."
Thian Ci totiang menghela napas sarat, serunya, "Goan Thong toheng."
Tanpa berpaling, ketua Siau-lim-si itu mengiakan. Dengan dikawal oleh rombongan paderi, ia
cepatkan langkah menerjang ke tempat Hui In taysu. Mengangkat tongkat Kumala Hijau terus
dihantamkan. Melihat tongkat Kumala Hijau hendak mengemplang kepalanya, Hui In tak berani menghindar
dan mengerahkan tenaga dalam untuk menahan. Cepat ia pejamkan mata dan menghela napas,
"Hui Gong suheng, tunggulah aku untuk bersama-sama ke Inderaloka!" terdengar suara gemboran
keras. Segelombang angin pukulan melanda dan menyiak tongkat Kumala Hijau itu.
Goan Thong taysu terkejut dan berpaling. Dilihatnya pengemis tua yang rambutnya kusut masai
dan menggendong sebuah buli2 arak warna merah tengah berjalan menghampiri.
"Siapa engkau?" bentak Goan Thong murka.
Orang itu tertawa dingin. "Huh, masakan aku si pengemis tua engkau tak kenal?"
Goan Thong taysu menunjuk Hui Ko taysu dengan tongkat Kumala Hijau serunya, "mohon Hui
Ko susiok turun tangan membasmi pengemis tua itu."
Hui Ko taysu loncat ke muka, berseru dingin, "Cong To, kuharap engkau jangan usil."
Pengemis-sakti Cong To tertawa, "Penyakit yang sudah lama diderita pengemis tua itu, justeru
penyakit usil suka mencampuri urusan orang."
"Kalau begitu engkau cari mati," Hui Ko marah dan terus menghantam.
Cong To menangkis dengan tangan kanan. Ketika saling berbentur, pengemis itu tersurut
mundur selangkah. Hui Ko taysu menghambur serangan dengan kedua tangannya. Makin lama makin gencar dan
hebat. Dia memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Setiap pukulannya tentu lebih hebat dari yang
sudah2. Cepat sekali keduanya sudah bertempur empat lima jurus.
Tiba-tiba Goan Thong berseru nyaring, "Murid Siau-lim yang berhianat berani menentang
amanat tongkat Kumala Hijau, harus dihukum mati"."


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rombongan paderi Siau-lim serempak berseru, "Mohon ciangbun-jin suka bermurah hati. Hui In
taysu merupakan salah satu dari dua orang angkatan Hui yang masih hidup. Bagaimana ciangbunjin
hendak menurunkan perintah menghukumnya mati."
Tetapi Goan Thong taysu tetap berseru lantang, "Semua tindakan aku yang bertanggung
jawab." Habis berkata ia terus ayunkan tongkat Kumala Hijau ke arah kepala Hui In.
Melihat itu Han Ping terkejut. Tetapi tempatnya dengan Hui In masih terpisah dengan sederet
rombongan paderi jubah merah. Sekalipun ia maju menolong tetapi keadaan tak memungkinkan.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa seorang paderi sakti dari tiba-tiba Ih Thian-heng yang
sejak tadi pejamkan mata menyalurkan tenaga-dalam membuka mata dan membentah, "Goan
Thong, berhenti!" Dengan cepat ia gerakkan tutukkan jari-sakti ke arah Goan Thong.
Pertama, ilmu tutukan-jari dari jauh yang dilancarkan Ih Thian-heng itu memang amat cepat
sekali. Dan kedua kalinya, rombongan paderi itu memang tak menghendaki Hui In taysu sampat
binasa di bawah hantaman tongkat Kumala Hijau. Maka Paderi2 itupun sengaja bergerak lamban.
Goan Thong taysu terkejut dan terpaksa menghindar mundur. Ia menyadari bahwa sekalipun ia
dapat menghatam pecah kepala Hui In, tetapi dia sendiripun pasti celaka terkena ilmu tutukan jari
maut dari Ih Thian-heng. Selekas dapat mencegah Goan Thong taysu, Ih Thian-heng pun segera menderita serangan
dari dua paderi pengawal Goan Thong.
Han Ping berpaling ke arah Thian Ci totiang, "Karena totiang tak dapat menjamin kepentingan
dua fihak, harap mengembalikan pedang itu kepadaku," katanya dengan nada dingin.
Thian Ci totiang terkesiap dan wajahnyapun berobah. Sambil menyerahkan kembali pedang, ia
berteriak keras, "Goan Thong toheng, harap memandang mukaku dan hentikan tindakan dulu.
Hendak bicara, marilah bicara secara baik2."
Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. Ia gerakkan kedua kakinya untuk menendang
sehingga kedua paderi yang menyerangnya itu mundur.
"Dunia mengatakan aku orang she Ih ini manusia berhati kejam dan ganas. Tetapi siapa tahu
partai Siau-lim-si yang membanggakan diri sebagai pemimpin dunia persilatan dan sebuah partai
perguruan yang besar, ternyata juga terdapat permainan yang kotor dan menyedihkan"."
Wajah Goan Thong taysu merah padam, bentaknya, "Ih Thian-heng, jangan ngaco belo"."
Ih Thian-heng tertawa panjang. "Bukankah hatimu takut" Seorang lelaki, berani berbuat berani
bertanggung jawab. Mengapa harus takut?"
Bum, bum". terdengar pula dua letupan dari Hui Ko dan Pengemis sakti Cong To yang saling
adu pukulan. Tiba-tiba Hui Ko taysu membentak, "Hai, pengemis, dan mana engkau mencuri ilmu pelajaran
Siau-lim-si?" Cong To tertawa, "Tat Mo cousu sendirilah yang mengajarkan kepadaku. Suruh aku mewakili
beliau membersihkan perguruan Siau-lim-si, menyikat murid2 murtad."
Ia menutup kata-katanya dengan melancarkan dua buah pukulan yang kesemuanya adalah
ilmu pusaka perguruan Siau-lim-si.
Tempo Cong To dan Han Ping terperangkap jatuh ke dalam penjara air Hian-bu-kiong,
keduanya melewatkan hari dengan makan belut. Han Ping telah mengatakan banyak sekali ilmu
pelajaran dalam buku Tat-mo-ih kin-keng yang dihafalnya secara lisan. Cong To yang tinggi
kepandaiannya dan merupakan seorang tokoh kelas satu dalam dunia persilatan, mendengarkan
uraian Han Ping itu dengan penuh perhatian. Lalu merenungkan dan meresapinya. Dengan
demikian bukan saja ia memperoleh banyak sekali ilmu2 pusaka perguruan Siau-lim-si, pun ia
telah memperoleh kemajuan besar dalam ilmu tenaga-dalam.
Pada saat itu Goan Thong tetap menggerak-gerakkan tongkat Kumala Hijau untuk memaksa
rombongan paderi menyerang Ih Thian-heng.
Rombongan paderi yang menyertai Goan Thong masuk ke dalam makam tua itu, adalah
paderi2 kelas satu. Sekali mereka maju menyerang, sudah tentu perbawanya dahsyat sekali.
Ih Thian-heng dalam keadaan masih belum terluka pun sukar untuk menghadapi. Apalagi saat
itu sebelah lengannya lumpuh. Untungnya Para paderi itu sudah menaruh kecurigaan kepada Goan
Thong. Mereka memang sengaja tak mau membunuh Ih Thian-heng agar dapat dijadikan saksi
hidup. Waktu bertempur, merekapun sengaja memberi kelonggaran sehingga dengan demikian Ih
Thian-heng tak sampai menderita kekalalaan.
Namun sekalipun mereka memberi kelonggran, setelah bertempur berpuluh jurus, Ih Thianheng
tetap merasa tak kuat bertahan.
Goan Thong taysu serdiripun tak sahar lagi. Ia segera menyerang dengan tongkat Kumala Hijau
kepada Ih Thian-heng. Tujuh buah serangan dilancarkan sembari membentak kepada para anak
buahnya, "Dalam limapuluh jurus apabila tak mampu mencabut jiwa Ih Thian-heng, kalian harus
lekas siap menerima hukuman perguruan."
Rupanya rombongan paderi itu sudah mengetahui bahwa ketuanya tahu kalau mereka tak
menyerang sungguh-sungguh. Mendengar bentakan itu, mereka terkejut lalu menyerang gencar.
Tongkat Kumala Hijau memang merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari gereja Siau-lim si.
Semua paderi Siau-lim-si dari tingkat bawah sampai tingkat yang paling tinggi, tunduk dan taat
pada amanat tongkat Kumala Hijau.
Ih Thian-heng yang sudah tak kuat, makin payah. Dalam limapuluh jurus, tentu tentu akan mati
di bawah hujan pukulan paderi2 Siau-lim-si.
Nyo Bun-giau, ketua Lembah setan dan lain2 hanya berpeluk tangan mengawasi. Tetapi
walaupun tampaknya tak acuh, dalam hati mereka amat gelisah juga. Mereka tak tahu
bagaimanakah kesudahan peristiwa yang terjadi pada saat itu.
Dalam pada itu fihak Lam-hay-bun malah sudah mengelompok. Tampak bibir ketua Lam-haybun
bergerak-gerak. Rupanya dia gunakan ilmu Menyusup-suara untuk memberi perintah kepada
anak buahnya. Si Bungkuk dan si Kate, Ong Kwan-tiong serta si Baju merah kaki satu, tampak serius
wajahnya. Lalu masing-masing bergerak menduduki tempat-tempat penting di empat penjuru.
Si dara baju ungu rupanya menaruh perhatian pada pertempuran antara Ih Thian-heng dan
rombongan paderi Siau-lim itu.
Pada saat Ih Thian-heng terancam maut. tiba-tiba Han Ping berseru pelahan dan menghantam
balik Goan Thong. Ketua itu mengelak dan hantamkan tongkat Kumala Hijau untuk menutuk
lengan Han Ping. Han Ping loncat menghindar lalu menghantam keempat orang paderi. dengan ilmu Tujuhpukulan
dan kehebatan pukulan itu membuat sekalian orang terkejut.
Walaupun ilmu kepandaian paderi2 itu tinggi tetapi karena menderita serangan hebat secara
mendadak, tak urung mereka menjadi kacau.
Ih Thian-heng menghela napas longgar. Semangatnyapun bangkit kembali. Dia segera
keluarkan ilmu pukulan yang hebat untuk menyapu paderi2 itu.
Melihat itu Goan Thong segera berteriak, "Yang mundur akan mati."
Dengan susah payah para paderi itu dapat mengatasi kekacauan dan mulai lancarkan serangan
lagi kepada Ih Thian-heng dan Han Ping yang terkepung di tengah.
Walaupun keduanya merupakan musuh bebuyutan, tetapi keadaan saat itu memaksa keduanya
bahu membahu menghadapi serangan paderi Siau-lim. Suasana itu telah menjadikan keduanya
entah sebagai musuh entah kawan.
Sementara itu Hui Ko dan Cong Topun sudah bertempur sampai seratus jurus lebih.
Hui Ko taysu mengeluarkan ilmusilat pusaka Siau-lim. Dan tak sengaja serangan itu membuat
Cong To makin menyelami banyak sekali ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin keng yang
belum diketahui artinya. Rupanya Goan Thong sudah memutuskan untuk membunuh Han Ping dan Ih Thian-heng.
Dengan mengandalkan kekuasaan tongkat Kumala Hijau, ia dapat mendesak para paderi
menyerang dengan seluruh tenaga.
Ke delapan paderi jubah merah, saat itu benar-benar sudah tenggelam dalam pertempuran
seru. Sebelum Goan Thong taysu, kesembilan orang itu melancarkan serangan2 maut kepada Han
Ping dan Ih Thian-heng. Dalam partai Hui Ko-Cong To. Semula kedudukan yang bagus dari Hui Ko, telah digagalkan oleh
jurus2 permainan yang istimewa dari Cong To. Dengan demikian keduanya tetap berimbang.
Pertempuran itu pasti berjalan lama, mungkin sampai ratusan jurus.
Pada fihak Siau-lim-si hanya Hui In taysu seorang yang belum turun tangan.
Saat itu tampak Ih Thian-heng mulai lelah. Karena lengannya yang sebelah tak dapat bergerak
maka dia hanya bertempur dengan satu tangan. Sudah tentu agak canggung.
Melihat itu terpaksa Han Ping harus mengawasi keadaannya. Berulang kali ia menghantam dan
menendang untuk membebaskan Ih Thian-heng dari serangan maut para paderi.
Seiring pertempuran berjalan seru, tiba-tiba Goan Thong berteriak keras, "Hui In supeh, kalau
engkau tak mau turun gelanggang terpaksa akan kugunakan tongkat Kumala Hijau untuk
memelintahkan engkau menghantam hancur ubun-ubun kepalamu sebagai tebusau dari hukuman
perguruan kepadamu!"
Habis berkata ketua Siau-lim-si itu meloncat mundur seraya mengangkat tongkat pusaka.
Hui Tn taysu memandang tongkat Kumala Hijau, tongkat kekuasaan Siau lim-si yang sudah
turun temurun sampai beberapa angkatan ketua. Tampak paderi tua dari angkatan Hui itu tegang
sekali. Rupanya timbul pertentangan dalam batin paderi tua itu. Melawan atau mentaati amanat
tongkat Kumala Hijau yang dilantangkan oleh ketua Siau lim-si sekarang yakni Goan Thong taysu.
Han Ping tahu bahwa ilmu kepandaian Hui In taysu itu adalah yang paling sakti di antara
rombongan paderi Siau lim-si yang berada di makam situ. Bahkan Goan Thong taysu itupun hanya
murid keponakan dari Hui In taysu. Goan Thong memanggil Hui In dengan sebutan "susiok" atau
paman guru. Han Pingpun menyadari pula bahwa apabila Hui In taysu terpaksa turun tangan karena ditekan
oleh Goan Thong yang menggunakan kekuasaan tongkat Kumala Hijau itu. pastilah suasana dalam
pertempuran itu akan berobah berbahaya.
Berpaling ke arah rombongan tokoh-tokoh, Han Ping mendapat kesan bahwa sekali pun mereka
menaruh perhatian pada jalannya pertempuran itu tetapi mereka tak mangunjuk sikap hendak
membantu. Rupanya mereka takut bentrok dengan fihak Siau-lim-si.
Terdengar Hui In menghela napas, "Ah, apabila ciangbun-jin menyetujui sepulangnya ke gereja
segera membuka rapat besar para tianglo (paderi golongan angkatan tua). aku segera menurut
perintah untuk turun tangan. Tetapi apabila ciangbunjin menolak, lebih baik aku diam saja dan
menanti hukuman dari tongkat Kumala Hijau itu."
Dengan ucapannya itu jelas kalau Hui In tak menyatakan hendak membunuh diri sendiri
dengan menghantam ubun-ubun kepalanya.
Sejenak merenung. Goan Thong taysu segera berkata, "Baik, aku meluluskan permintaanmu.
Sepulang ke gereja segera akan kuselenggarakan rapat besar Tianglo."
"Kalau demikian aku akan melaksanakan perintah Kumala Hijau," kata Hui In.
Sejenak keliarkan pandang ia berseru pelahan suruh paderi2 jubah merah itu menyingkir.
Setelah itu Hui In taysu maju selangkah dan memukul punggung Ih Thian-heng.
Saat itu Ih Thian-heng sedang menghadapi serangan dari dua orang paderi jubah merah dari
sebelah muka. Sudah tentu ia tak berdaya melayani pukulan dari belakang.
Han Ping terkejut. Ia tahu Hui in taysu memiliki tenaga pukulan yang sakti. Apabila punggung
Ih Thian-heng terkena, tentulah akan remuk binasa.
Cepat anakmuda itu bertindak. ia berputar tubuh dan langsung tangan kirinya bergerak untuk
menangkis. Ketika kedua pukulan saling beradu. Han Ping terpental mundur selangkah. Luka pada
lengannya yang baru saja berhenti mengeluarkan darah merekah kembali dan mengucurkan
darah. Hui In taysu tertegun. Kesempatan itu digunakan Han Ping untuk mencabut pedang PemutusAsmara. Sekonyong-konyong Goan Thong menyerbu dan menutuk punggung Han Ping dengan tongkat
Kumala Hijau. Tring, cepat Han Ping menebas tongkat itu dengan pedang.
Dalam pada itu Hui Inpun menutuk dengan jari. Sebuah arus tenaga dahsyat yang
mendesuskan angin tajam segera melanda Han Ping.
Tongkat Kumala Hijau adalah pusaka gereja Siau-lim-si dan pedang Pemutus asmara itu sebuah
pedang pusaka yang ampuh sekali. Apabila tongkat lambang kepemimpinan Sian lim si yang
sangat dipuja oleh para paderi itu sampai terbabat kutung, tentulah akan membangkitkan
kemarahan seluruh paderi. Itulah sebabnya maka Hui In menyerempaki dengan tutukan jari untuk
memaksa Han Ping menyurur mundur. Dan memang, Han Ping yang kenal akan kelihayan tutukan
jari itu segera menghindar ke samping.
Angin tutukan jari Hui Inpun melanda terus ke sisi Han Ping. Tetapi angin tajam itu pun dapat
mencegah majunya rombongan paderi yang hendak menyerbu Han Ping.
Goan Thong taysu berseru gopoh, "Hui In susiok, harap menahan Han Ping, jangan kasih dia
menerobos keluar!" Habis berkata paderi itu terus menyerang Ih Thian-heng dengan tongkat Kumala Hijau.
Rupanya dia sudah memutuskan membunuh Ih Thian-heng dulu baru nanti membasmi Han Ping.
Hui In taysu mengiakan dan segera menghadang Han Ping.
Sambil luruskan pedang Pemutus-asmara ke muka dada, Han Ping memandang paderi itu
dengan mata berkilat-kilat. "Taysu adalah orang yang paling kuhormati. Aku tak mau bertempur
dengan taysu." "Bertempur dengan lawan harus menggunakan ilmu kepandaian untuk mengalahkan. Silahkan
sicu mencurahkan seluruh kepandaian sicu. Sekalipun aku terluka, takkan merasa penasaran."
Han Ping mengungkat alis dan tertawa nyaring, "Sungguh tak nyana bahwa dua buah partai
persilatan yang begitu termasyur dalam dunia persilatan, ternyata hanya manusia2 yang tak
pegang janji. Kalau mereka yang dipandang sebagai pemuka dunia persilatan begitu nista tingkah
lakunya, tentulah dunia persilatan pada umumnya juga berhati jahat."
Ucapan yang diucapkan dengan tajam oleh Han Ping, benar-benar bagaikan pisau yang
menusuk uluhati Thian Ci totiang, ketua Bu-tong-pay.
Thian Ci totiang segera mencabut pedang yang tersanggul di belakang punggungnya.
Sejenak dideringkan, ia berseru keras, "Goan Thong toheng, apabila tak mau memberi muka
kepadaku, akupun terpaksa akan turun tangan."
Goan Thong terkesiap. Cepat ia gunakan ilmu menyusup-suara untuk memberi perintah kepada
anak buahnya agar menumpahkan seluruh kekuatan dan dalam 10 jurus harus dapat merubuhkan
Ih Thian-hene. Setelah itu ia terus menarik pulang tongkat Kumala Hijau dan menyurut mundur,
menghampiri ke tempat Thian Ci totiang.
"Apakah toheng berkata kepadaku?" tanyanya.
"Aku sudah meluluskan kepada Ji Han Ping untuk menjamin kedua belah fihak. Lalu akupun
sudah mewakili toheng untuk meminta kembali pedang Pemutus asmara itu. Rasanya toheng
tentu ingat hal itu," kata Thian Ci totiang.
"Ya, memang mendengar sedikit," kata Goan Thong, "tetapi tak begitu jelas. Harap toheng
suka menjalaskan sekali lagi."
Dengan siasat itu, jelas Goan Thong hendak mengulur waktu agar anak buahnya sudah sempat
membunuh Ih Thian-heng. Apabila hal itu sudah terlaksana. sekalipun Thian Ci totiang hendak
turun tangan, tentu sudah terlambat. Dan setelah tinggal Han Ping seorang, mudahlah untuk
menghadapinya dengan pelahan.
Tiba-tiba Han Ping bersuit panjang. Dengan wajah marah ia berseru kepada Hui In taysu,
"Andaikata taysu tak mau memberi ampun kepadaku, tetapi paling tidak taysu harus mengingat
akan penderitaan seorang suheng yang tanpa salah telah dipenjarakan seumur hidup"."
"Omitohud," seru Hui In pelahan," kekuasaan dari ketua Siaw lim si adalah yang paling tinggi.
Tongkat Kumala Hijau merupakan lambang kekuasaan yang sudah turun temurun sampai sepuluh
angkatan ketua. Bagaimana aku berani membangkang amanatnya?"
Han Ping menghela napas panjang, "Ah, sebuah benda pemberi amanat, ternyata mempunyai
perbawa yang begitu besar. Belum lama keluar ke dunia persilatan aku sudah melihat benda
pusaka itu mengalami dua kali hinaan"."
Tiba-tiba ia berganti nada keras. "Keadaan memaksa aku turun tangan, harap taysu jangan
salahfaham." Ia menutup kata katanya dengan mainkan jurus Hun-toan ong-siang-tay atau Ruh mengenangkampung
halaman. Ujung pedang berkelebatan menaburkan tiga kelopak bunga pedang yang
mengancam Hui In. Hui In kebutkan lengan lalu diserempaki dengan menampar. Kedua gerakan itu untuk
membendung serangan pedang Han Ping.
"Hmm". harap taysu sutra berhati-hati." Han Ping berseru dengan nada sarat. Pedangpun tibatiba
berganti dengan jurus Kim-lun-kiu-coan atau Roda emas-sembilan kali berputar.
Serentak empat julusan delapan kiblat penjuru tertutup oleh lingkaran sinar pedang yang
memancarkan hawa dingin, permainan pedang itu adalah pelajaran yang paling terakhir yang
diselami Han Ping. Merupakan salah sebuah dari tiga buah ilmu pedang istimewa dalam kitab Tatmoih-kin-keng. Karena melihat Ih Thian-heng sudah kacau permainannya, Han Ping makin gelisah dam dalam
kemarahannya ia keluarkan ilmu pedang pusaka itu.
Sambil kebas-kebaskan lengan jubah, Hui In loncat mundur. Dalam hal ini, untunglah dia tahu
gelagat dan Cepat-cepat menghindar. Tetapi tak urung jubahnya tergurat pecah oleh ujung
pedang. Satelah dapat mengundurkan Hui IEn, Han Ping teruskan serangannya ke arah kawanan pederi.
Segera terdengar dua buah orang tertahan dari dua erang paderi jubah merah yang menderita
luka. Darah merah membasahi jubah kedua pederi dan berketes ketes membasahi lantai.
Melihat itu serentak bangkitlah semangat Ih Thian-heng. Dengan ilmu tendangan berantai, ia
menendang rubuh seorang paderi.
Han Ping bersuit panjang. Setelah beberapa kali mengganti permainan pedangnya, ia berhasil
mengundurkan kawanan paderi.
"Para, suhu sekalian," serunya lantang, "aku sebenarnya tak mempunyai dendam permusuhan
suatu apa dengan para taysu. Gereja Siau lim-si telah berabad-abad harum namanya dalam dunia
persilatan. Tetapi seperti pula halnya dengan betapapun baiknya tentu tetap terdapat rumput. Aku
minta agar peristiwa dipenjarakannya Hui Gong taysu, diumumkan. Tentang bagaimana
pertimbangan terhadap murid yang dianggap jahat itu, adalah hak keputusan gereja Siau lim-si
untuk menjatuhkan hukuman. Aku takkan ikut campur."
Melihat ilmu permainan pedang yang luar biasa anehnya dari anakmuda itu. Pula teringat akan
peristiwa seorang paderi cemerlang dari dua angkatan yang lalu, para paderi itu serempak
hentikan serangannya. Setelah itu Han Pingpun berpaling ke arah Thian-heng. serunya, "Apakah lo-cianpwe suka
untuk menuturkan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si selama dua
angkatan ini" Dengan demikian dapatlah para suhu disini menghapus tuduhan mereka bahwa kita
ini bermaksud hendak mengadu domba mereka."
Ih Thian-heng tertawa nyaring. "Kita ini kawan atau lawan, aku sungguh tak jelas."
Kata Han Ping, "Soal ini dengan urusan kita berdua, memang lain. Dua macam masalah itu tak
boleh dicampur-adukkan. Tetapi seorang lelaki harus dapat membedakan garis permusuhan.
Selama peristiwa dalam Siau-lim-si belum selesai, untuk sementara waktu kita menjadi sahabat.


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah peristiwa itu selesai, kita nanti menjadi musuh besar lagi."
Ih Thian-heng menghela napas panjang serunya, "Suasana saat ini, benar-benar belum pernah
kualami seumur hidup. Siau-lim-si, Lam hay-bun, Dua Lembah dan Tiga Marga, ditambah pula
dengan dendam permusuhan antara saudara Ji dengan aku, benar-benar merupakan suatu
keadaan yang campur aduk tak keruan. Bagaimana kesudahannya nanti tiada seorangpun dapat
menduganya." Bum". terdengar adu pukulan dari Hui Ko taysu dan Pengemis-sakti Cong To. Cong To tersurut
dua langkah ke belakang, Hui Ko taysu pun mundur selangkah.
Melihat itu serentak Han Ping berseru, "Harap lo-cianpnwe berdua berhenti dulu. Setelah jelas
akan duduk perkaranya, siapa yang salah siapa yang benar, baru nanti melanjutkan bertempur
lagi." Melihat para paderi itu sudah berhenti, Hui Ko taysu terpaksa mundur ke samping.
Sebenarnya saat itu Hui Ko sudah merasa kewalahan terhadap pengemis tua. ilmu permainan
Cong To makin lama makin aneh. Apabila dilanjutkan, sudah jelas siapa yang akan kalah.
Setelah meliarkan pandang mata ke sekeliling maka Ih Thian-heng pun berkata, "Peristiwa yang
terjadi pada masa dua angkatan terdahulu dari gereja Siau-lim-si walaupun aku tak menyaksikan
tetapi aku berani menjamin bahwa peristiwa itu memang sungguh-sungguh benar"."-ia ulurkan
tangan mencekal mayat Kim loji, serunya pula, "Goan Thong, cobalah engkau lihat dengan
seksama. Apakah engkau kenal orang ini?"
Karena membenturkan kepalanya ke tembok, separoh batok kepala Kim loji hancur.
"Tidak kenal," Goan Tong gelengkan kepala.
Ih Thian hang tertawa, "Sayang dia buru-buru mati, sehingga tak dapat bicara dengan engkau.
Tetapi meskipun dia sudah mati, aku masih menyimpan seinah benda."
Ia merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah arca Buddha dari perunggu kuno.
Diacungkan arca itu tinggi2, serunya, "Para suhu sekalian, apakah kalian kenal pada arca kecil
ini?" Melihat arca berwarna kuning emas itu, seketika berobahlah wajah sekalian paderi. Kemudian
mereka mencurahkan pandang ke arah Goan Thong taysu.
Tetapi ketua Siau-lim-si itu hanya tertawa dingin, serunya, "Arca Budha emas, apanya yang
mengherankan" Apakah yang akan dijadikan bukti dengan benda itu"."- ia menutup kata-katanya
dengan menggerakkan tongkat Kumala Hijau, lalu berseru, "Dengarlah amanat tongkat Kumala
Hijau lagi"." "Tutup mulut!" bentak Han Ping marah. "kalau engkau yakin dirimu seorang suci, mengapa tak
mau tunggu sampai Ih Thian-heng selesai bicara!"
Hui In taysu tiba-tiba kerutkan alis. serunya, "Arca emas itu, mirip benar dengan salah sebuah
arca buddha dalam gereja Siau-lim-si."
"Kalau benar, lalu bagaimana?" teriak Goan Thong yang sudah mulai kalap.
Hui In taysu terkesiap, serunya, "Harap ciangbunjin jangan marah dulu. Sebuah arca Buddha
masakan dapat membuktikan perbuatan salah dari ciangbunjin" Kalau Ih Thian-heng sengaja
melakukan fitnah, jangan harap hari ini dia dapat hidup lagi"."
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, "Tetapi bagaimana kalau keteranganku ini memang
sungguh-sungguh benar?"
Sejenak berhenti, Ih Thian-heng melanjutkan berkata lagi, "Terhadap peristiwa
dipenjarakannya Hui Gong taysu seumur hidup, mungkin para suhu sekalian menaruh kecurigaan,
bukan" Tetapi kalian tak berani mengutarakan!"
Sekian paderi saling bertukar pandang tetapi tak ada yang berani buka mulut.
Ih Thian-heng mengacungkan arca emas itu, serunya, "Arca Buddha dari emas ini adalah hongtiang
ciang bunjin Siau lim-si sendiri yang menyerahkan kepada Kim loji. Dan Kim loji pun
menyerahkan kepadaku supaya disimpan"."
Melirik ke arah Goan Thong, tiba-tiba Ih Thian-heng membentak Goan Thong, "omonganku ini
benar atau tidak?" Seperti melihat bayangan setan, terbeliak mata Goan Thong memandang wajah Ih Thian heng.
Ia terlongong tak dapat bicara sampai beberapa saat.
"Karena engkau tak berani menjawab, berarti secara diam-diam engkau sudah mengakui," kata
Ih Thian-heng pula," waktu menyerahkan arca itu kepada Kim loji, engkau mengatakan kepadanya
bahwa dengan mengandalkan arca itu, apabila Kim loji menghadapi urusan, baik besar maupun
kecil, Siau-lim-si tentu akan memberi bantuan."
Melihat para paderi rupanya sudah terpengaruh dengan kata-kata Ih Thian-heng, marahlah
Goan Thong. Tetapi ia tak mau buru-buru bertindak melainkan merenung. Beberapa saat
kemudian wajahnya pun tampak tenang lagi.
"Orang itu apakah Kim loji itu dan siapakah aku ini?" serunya dingin," masakan aku mau
memberi janji begitu kepadanya!"
Ih Thian-heng tertawa. "Disitulah letak persoalannya. Ketua Siau-lim-si. seorang tokoh yang
mendapat kehormatan besar dari setiap orang persilatan. Tetapi dia rela menyerahkan arca emas
gereja kepada seorang persilatan yang tak ternama"."
Goan Thong menukas dingin, "Siapakah kaum persilatan yang tak tahu akan tingkah laku Ih
Thian-heng yang jahat dan licik itu" Dia seorang manusia yang licin. Masakan tak mampu
membuat arca tiruan semacam itu?"
Goan Thong menatap Ih Thian-heng lalu melanjutkan, "Mengajukan saksi seorang mati yang
sudah tak dapat bicara lalu merangkai keterangan palsu. Ho, sungguh hebat permainanmu,
sungguh beracun sekali mulutmu!"
Ih Thian-heng kerutkan ails, "Seorang paderi yang berhati begitu licin. O". itulah sebabnya
maka engkau dapat merebut pimpinan dan mengelabui para angkatan tua."
Setiap patah kata-kata Ih Thian-heng itu, bagaikan ujung pedang yang menusuk uluhati Goan
Thong taysu. Tetapi ketua Siau-lim-si yang penuh dengan siasat itu tetap bersikap tenang.
"Sebenarnya aku harus lekas memberi amanat tongkat Kumala Hijau agar engkau dihukum
mati. Tetapi karena ketajaman lidahmu agaknya dapat mempengaruhi orang maka akan kuberimu
kesempatan untuk bercerita sampai habis baru nanti akan kulucuti semua kebohonganmu," Goan
Thong taysu tertawa mengejek.
"Engkau benar-benar seorang yang kuat menguasai perasaan," kata Ih Thian-heng lalu
mengangkat patung emas, "kunci dari persoalan saat ini, hanya terletak pada arca ini palsu atau
bukan. Jika salah seorang dari gereja dapat memberi kesaksian bahwa arca ini memang milik
gereja Siau-lim, entah engkau akan mengatakan bagaimana?"
"Ketiga arca Buddha berwarna emas itu, saat ini masih tersimpan dalam ruang Perpustakaan
gereja. Dan dalam ruang itupun tersimpan kitab pelajaran ke 72 ilmu silat sakti dari perguruan
Siau-lim, termasuk juga kitab pusaka Tat mo ih kin-keng yang paling diincar oleh setiap orang
persilatan itu. Kalau ada orang yang dapat masuk ke dalam ruang itu, tak mungkin dia hanya akan
mengambil sebuah arca saja!"
"Ah"." Ih Thian-heng mendesah, "caramu untuk mendebat dan menghindari pertanyaan, lihay
sekali. Tetapi keadaan hari ini memang harus diselesaikan. Agar engkau mengakui kesalahan
memang perlu kiia adu lidah habis-habisan"."
Ih Thian-heng berpaling kearah Hui In taysu, serunya pula, "Taysu adalah satu satunya
angkatan Siau-lim-pay yang masih hidup. Tentulah sudah pernah melihat ketiga arca Buddha itu.
Silahkan memeriksa arca ini, apakah benar-benar pusaka milik gereja Siau-lim."
Habis berkata Ih Thian-heng terus melemparkan arca itu kepada Hui In taysu.
Hui In taysu menyambuti dan memeriksa dengan teliti. Seketika berobahlah wajahnya.
"Adakah supeh dapat melihat ciri kepalsuannya?" tanya Goan Thong taysu.
"Ini, ini". menurut pemeriksaanku, agaknya seperti bukan palsu."
"Benarkah begitu" Cobalah berikan kepadaku!" kata Goan Thong. Hui In agak bersangsi tetapi
ia memberikannya juga. Setelah menyambuti arca dan memeriksa balik, tampak wajah Goan Thong berseri lalu berkata
dengan sarat, "Memang bukan palsu"."
Mendengar pengakuan itu, tercenganglah sekalian paderi Siau-lim. Entah girang entah kejut.
Ih Thian-heng tertawa dingin, "Hm, benar-benar seorang yang licin bagai belut. Sayang hari ini
angkau bertemu dengan Ih Thian-heng . , ."
Wajah Goan Thong berobah bengis dan dengan mata berkilat kilat ia memandang sekalian
paderi, serunya, "Mengapa dalam ruang Perpustakaan terjadi kekacauan, aku tak mendapat
laporan?" Para paderi itu saling berpandangan tak dapat bicara.
Kemudian berkatalah Goan Thong kepada Ih Thian-heng, "Ih Thian-hang, dihadapan para
ketua partai2 persilatan. ketua Dua Lembah dan Tiga Marga serta tokoh-tokoh yang ternama,
engkau dapat menunjukkan benda pusaka milik Siau-lim-si. Dengan demikian jelas engkaulah
yang mencuri dan tentulah masih banyak benda pusaka yang engkau ambil!"
Dengan kata-kata itu jelas Goan Thong hendak memutar balik suasana. Ih Thian-heng yang
hendak mendakwa, kini akan dijadikan terdakwa.
Han Ping menghela napas panjang, serunya, "Ih lo-cianpwe, entah sampai kapan habisnya
kalau engkau adu lidah dengan dia" Maksudku, silahkan Ih lo cianpwe menuturkan apa yang lociaupwe
ketahui. Tak perduli para paderi itu percaya atau tidak, pokoknya kita sudah
menyelesaikan kewajiban."
Ih Thian-heng tersenyum, "Itu juga suatu cara"."-berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Para
suhu sekalian tentu tahu bahwa Hui Gong taysu itu seorang tunas luar biasa dalam sejarah Siaulimsi beberapa ratusan tahun ini. sebenarnya bakatnya yang cemerlang itu. Bukan melainkan
hanya pada kalangan Siau-lim-si, pun dalam dunia persilatan sejak tiga ratusan tahun ini termasuk
seorang tokoh luar biasa yang berbakat hebat. Tuhan telah memberkahi dia kecerdasan yang luar
biasa tetapi pun seolah-olah menggariskan nasibnya harus di penjara seumur hidupnya sampai
mati dengan penasaran"."
Tiba-tiba terdengar ketua Lam-hay-bun mendengus dingin.
Tetapi wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton atau ibu dari si dara baju ungu, cepat
mendahului bicara, "Mengapa engkau mendengus" Apakah engkau merasa lebih hebat dari dia?"
Tampaknya ketua Lam-hay-bun itu tak mau bertengkar mulut dengan isterinya. ia segera diam.
Ih Thian-heng merenung sejenak lalu berkata pula, "Pada suatu malam di pertengahan musim
rontok limapuluh tahun yang lalu, ketua Siau lim yang dijabat oleh seorang paderi dari tingkatan
Hui, menderita sakit dan menutup mata. Peristiwa itu tentulah para suhu sekalian masih ingat."
"Benar," sahut Hui In taysu, "meninggalnya Hui Seng sute sampai hari ini memang tepat
duapuluh tahun. Sekembalinya dari mengembara ke daerah Tibet, aku pulang ke gereja tepat
pada bulan delapan tanggal enambelas. Hui Seng sute sudah menutup mata setengah hari
lamanya." Ih Thian-heng tertawa hambar, "Tahukah para suhu sekalian apa yang menyebabkan kematian
Hui Seng taysu itu" Beliau telah mati karena minum racun istimewa yang diberikan secara diamdiam
oleh Goan Thong. Tetapi pada detik-detik menghembuskan napasnya yang terakhir, Hui
Seng taysu mengetahui perbuatan jahat itu. Dimakinya Goan Thong habis-habisan. Goan Thong
terkejut. Dia mengira kalau racun yang diberikan itu tak dapat bekerja atau mungkin kurang
banyak. Maka dia tak berani membantah melainkan terus berlutut minta ampun atas kedosaannya.
Dia mengaku bahwa yang menyuruh melakukan peracunan itu adalah susiok nomor tujuh"."
Hui In taysu terbeliak, "Susiok nomor tujuh"." cepat ia alihkan pandang matanya kepada Hui
Ko taysu yang menjadi susiok atau paman guru nomor tujuh dari Goan Thong.
"Jit sute, apakah hal itu benar?" serunya.
Hui Ko taysu berobah wajahnya. Tiba-tiba ia rangkapkan kedua tangannya ke dada dan berkata
lunglai, "Suheng, ampunilah dosaku"."-ia terus pejamkan mata dan duduk di lantai.
Melihat itu Goan Thong kerutkan dahi dan membentak, "Susiok. jika tidak benar, mengapa tak
mau membantah?" Diulanginya lagi seruan itu sampai beberapa kali tetapi Hui Ko taysu tetap tak menjawab.
Hui In taysu menghela napas, ujarnya, "Diam-diam dia sudah gunakan tutukan Siau thian -sing
unnuk menghancurkan jantungnya sendiri. Da sudah meninggal"."
Goan Thong tertegun lalu menghampiri ke tempat paman gurunya itu.
Kewibawaan ketua Siau-lim-si yang sudah turun temurun beberapa angkatan selalu menjadi
sumber kekuasaan pimpinan saat itu benar-benar telah mengalami ujian yang paling
menyedihkan. Wajah sekalian paderi yang berada di ruangan itu tampak berduka dan tegang.
Mereka kehilangan faham menghadapi suasana saat itu.
Seluruh mata para paderi tertumpah kepada Goan Thong yang tengah melangkah ke tempat
Hui Ko taysu. Hui In tiba-tiba menyebut "omitohud" serunya, "Ih Thian-heng memang memfitnah, harap
ciangbun-jin jangan terpengaruh"."
Paderi tingkat tinggi itu tiba-tiba teringat akan nama baik Siau lim-si, Urusan dalam gereja,
bagaimana boleh dikeluarkan di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan!
Goan Thong taysu pelahan-lahan mengangkat tongkat Kumala dan berseru, "Hui In supeh"."
Hui In rangkapkan tangan memberi hormat dan menyahut gopoh. "ciang-bunjin hendak
memberi perintah apa?"
Wajah Goan Thong berobah pucat, katanya dengan serius, "Tongkat Kumala Hijau ini sudah
turun temurun 26 angkatan ketua. Kekuasaannya lebih tinggi dan ketua partai sendiri. Demi
mengagungkan kewibawaannya, maka aku hendak menghaturkan tongkat ini kepada supeh"."
Hui In terkesiap, "Ah, mana aku berani menerimanya?"
Tetapi tiba-tiba Goan Thong sudah menghampiri dan membentak, "Supeh, terimalah!"-tongkat
Kumala Hijau segera dilontarkan.
Tongkat pusaka itu merupakan benda yang paling berpengaruh dalam gereja siau-lim-si.
Melihat perbuatan Goan Thong. sekalian paderi terbeliak kaget.
Hut In terpaksa menyambuti.
Kemudian Goan Thong menghela napas, "Apa yang dikatakan Ih Thian-heng memang benar.
Aku memang telah melakukan dosa besar meracuni guru. Arca emas itu memang aku yang
memberikan kepada Kim loji. Soal itu menyangkut dendam dari dua orang angkatan tua. Peristiwa
itu telah kucatat dengan jelas, kutaruh dalam peti kayu dalam ruang tempat tinggalku. Bila supeh
pulang. silahkan membuka peti itu tentu dapat mengetahui peristiwa itu dengan jelas. Aku
menyadari bahwa kedudukan yang kuperoleh dari hasil pembelian dengan pusaka gereja itu,
benar-benar suatu dosa yang tak berampun dan aku malu untuk hidup dalam dunia"."
Hui In cepat melangkah maju, "Tunggu dulu, ciangbunjin "."
Goan Thong deliki mata dan membentaknya, "Mundur!"-ia ayunkan tangan mendorong Hui In.
Hui In terpaksa menghindar ke samping. Dan detik itu dipergunakan Goan Thong untuk
gerakkan tangan kanan menekan dadanya sendiri.
sekalian paderi berteriak kaget. Mereka bergerak hendak mencegah.
Goan Thong turunkan tangan kanannya. Terlihat dadanya saat itu sudah berhias dengan
tangkai pedang yang ujungnya membenam ke dalam dadanya.
Para paderi itu tak menyangka kalau Goan Thong menyembunyikan senjata dalam lengan
jubahnya. Mereka tak keburu mencegah lagi dan terpaksa mundur.
Goan Thong melangkah ke dekat dinding ruangan, mengambil arca Buddha dan diletakkan di
mukanya lalu ia berlutut. "Murid telah melanggar dosa besar yang tak berampun. Murid mohon
ampun di hadapan Hud-ya "." ia mencabut tangkai pedang dari dadanya. Darah merah segera
menyembur keluar. Seketika rubuhlah Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ternyata telah melakukan kedosaan
besar. Dia menyadari perbuatannya dan menebus kesalahannya dengan bunuh diri.
Hui In tertegun. Kemudian memberi perintah kepada murid2 untuk mengurus kedua jenazah,
Hui Ko taysu dan Goan Tong.
Setelah itu maka Hui In taysu lalu beralih memandang Han Ping. serunya, "Engkau telah
membersihkan suatu peristiwa yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si. Engkaupun menunaikan
tugas menyelesaikan dendam dari dua angkatan paderi. Tetapi engkau juga merusak nama baik
gereja Siau-lim-si yang selama beratus tahun. Men". jadi pusat perindahan orang. Aku kehilangan
faham, harus memperlakukan engkau sebagai lawan atau sebagai kawan?"
Han Ping tertawa hambar "Kawan atau lawan. terserah pada pertimbangan taysu". ia
menengadahkan kepala dan tertawa nyaring, lalu serunya, "Dua buah cita2, sudah terlaksana
yang satu. Setelah dapat membalaskan sakit hati orang tuaku, matipun aku tak penasaran."
Saat itu anak buah Lam-hay-bun sudah tersebar di seluruh tempat-tempat yang penting.
Mereka hanya melihati saja gerak gerik tokoh-tokoh persilatan Tiong-goon yang saling gasak
sendiri itu. Rupanya mereka hendak menunggu setelah tokoh-tokoh Tiong-goan itu remuk, baru
akan turun tangan. Setelah Goan Thong taysu meninggal, Ih Thian-heng pun menyadari kalau keadaan dirinya
sudah makin terpencil. Ketua Kedua Lembah dan Tiga Marga tampaknya sukar untuk diajak
bersekutu lagi. Dan Han Ping tetap hendak menuntut balas kepadanya. Dengan begini, ia harus
berjuang seorang diri. Satu satunya jalan yalah secara tiba-tiba menerobos kduar dari terowongan
yang digunakan masuk oleh rombongan paderi Siau-lim tadi. Tetapi ternyata pintu terowongan itu
sudah dijaga oleh orang Lam-hay-bun yang paling sakti yaitu nenek Bwe Nio.
Sambil memandang ke sekeliling, Ih Thian-heng menimang-nimang dalam hati. Ia menyadari
kalau kesempatan untuk lolos, sudah makin menipis. Diam-diam ia gerakkan tenaga-dalam untuk
memulihkan tenaga, hanya dengan tenaganya sendiri ia dapat mengandalkan.
Dan makin pulih tenaga dalamnya pun makin besarlah kemungkinan untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba Hui in taysu menghela napas panjang lalu memberi hormat kepada ketua Bu tongpay.
"Thian Ci toheng, musibah yang telah menimpa perguruan Siau-lim-si, toheng sudah
menyaksikan sendiri!"."
Jawab ketua Bu- tong pay, "Aku merasa menyesal sekali karena tak dapat mencegah Goan
Thong toheng"._."
"Haiku sudah hampa, tak ingin ikut campur tentang pertikaian dunia persilatan lagi. Maka".
aku hendak mohon diri pulang lebih dahulu," kata Hui In taysu pula.
Ketua Bu-tong-pay merenung beberapa saat, kemudian berkata, "Silahkan, lo siansu."
Sambil rangkapkan kedua tangan memberi hormat, berkatalah Hui In taysu pula, "Dengan
totiang yang menghadiri tempat ini, semoga segala dendam pertumpahan darah akan berobah
menjadi suasana yang bersahabat."
"Ah, kemungkinan aku tak mempunyai kemampuan sedemikian besar," kata ketua Bu-tong-pay.
Tiba-tiba ia gunakan ilmu Menyusup suara kepada Hui In taysu. "Orang-orang Lam hay-bun sudah
menjaga posisi yang penting. Rupanya mereka tetap hendak mengadu kesaktian dengan tokohtokoh
Tiong-goan. Apabila lo siansu berkeras hendak menerobos kaluar, kemungkinan tentu akan
bentrok dengan mereka."
Hui In Taysu memandang keempat penjuru lalu memberi hormat kepada nenek Bwe, "Mohon
sicu suka memberi kebebasan kepada loni dan rombongan keluar dari tempat ini."
Tetapi nenek Bwe menengadah memandang ke atas, seolah-olah tak mengacuhkannya.
Tiba-tiba si Kaki-buntung baju merah membentak, "Lekas mundur lagi"."
Saat itu Han Ping berpaling dan melihat si dara Sangkwan Wan ceng dengan rambut terurai
sambil memondong Ting Ling tengah berjalan ke arah ruangan situ.
"Ceng ji".!" melihat puterinya. serentak Siangkwan Ko berteriak dan bergegas hendak lari
menyongsong. "Berhenti!" bentak Kaki buntung seraya ayunkan tongkat besinya menyerang.
Siangkwan Ko menghindar, mencabut pedang di punggungnya lalu balas menusuk dengan
jurus Naga-marah-mengaduk-laut.


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Kaki-buntung tak mau menghindar. Ia kiblatkan pedangnya untuk menangkis. Pedang
Siangkwan Ko terbuat dari bahan pilihan, beratnya berpuluh-puluh kati. Karena bentuknya
panjang. dapat digunakan juga sebagai tongkat besar. Diapun tak mau mundur. Tring".
Rupanya Siangkwan Wan-ceng terkejut mendengar benturan senjata yang menderingkan bunyi
tajam dan nyaring. Tiba-tiba ia berhenti.
Saat itu Siangkwan Wan ceng sudah tiba di arena adu senjata itu. Asal maju selangkah lagi,
dara itu tentu celaka. Kalau tidak dimakan pedang ayahnya tentu terkena hantaman tongkat besi
Kaki buntung. "Hm". bagus!" bentak Kaki buntung lalu memutar tongkatnya sederas angin puyuh.
Permainannya memang aneh sekali. Setiap pukulan, sukar diduga sehingga membuat jago tua
Siangkwan Ko itu tak berdaya untuk balas menyerang.
Kiblatan tongkat besi beberapa kali melayang di muka Siangkwan Wan ceng. Kalau sampai
mengenai jenazah Ting Ling, tentu jenazah itu akan hancur. Kalau kena Siangkwan Wan-ceng,
dara itupun tentu mati atau terluka berat.
Melihat itu terpaksa Siangkwan Ko menyurut mundur agar tongkat lawan jangan sampai
mengenai puterinya. Di luar dugaan begitu Siangkwan Ko mundur, si Kaki-buntungpun menarik tongkatnya tak mau
mengejar. Ternyata anak buah Lam hay bun itu meskipun tampaknya berpencaran tetapi sesungguhnya
mereka telah membentuk diri menjadi suatu barisan. Tiap orang mempunyai batas lingkaran gerak
sendiri. Apabila ada yang kesulitan, boleh saling membantu. Karena Siangkwan Ko sudah keluar
dari batas lingkaran geraknya, Kaki-buntungpun tak mau mendesak lagi.
Han Ping mencurahkan padang kearah Siangkwan Wan-ceng dan Ting Ling. Serentak
melayanglah pikirannya akan kebaikan kedua nona itu kepada dirinya. Makin terkenang. hatinya
makin senda. Sesaat kemudian darahnyapun meluap luap lalu tiba-tiba berteriak, "Ih Thianheng"."
Nyaring sekali seruan itu sehingga seluruh ruangan berkumandang keras.
"Mengapa?" Ih Thian-heng terkesiap.
"Aku hendak bertanya sesuatu hal, entah apa apakah engkau suka memberitahu?" tanya Han
Ping. "Silahkan saudara Ji bertanyalah."
"Nona Ting terluka ditanganmu, dengan cara bagaimana" Apakah masih dapat ditolong?"
"Dengan tutukan Kek gong-tiam- hiat! Dapat tertolong atau tidak, setelah kuperiksa baru dapat
diketahui," sahut Ih Thian-heng.
"Asal engkau dapat menolong jiwa seorang lagi. berarti akan mengurangi kedosaanmu," seru
Han Ping. Ih Thian-heng tersenyum, serunya, "Walaupun hari ini aku dapat melakukan kebaikan tetapi
hanya terbatas. Sukar untuk menghapus kejahatan yang telah kulakukan di masa lampau."
"Bila engkau mampu menghidupkan nona Ting, budi dan dendam kita, memang makin ruwet,"
seru Han Ping. Ih Thian-heng memandang wajah Siangkwan Wan-ceng, katanya pelahan, "Lebih baik suruh
mereka masuk kemari dulu"."
ooo000ooo Naga lawan harimau. "Biarlah kusambut meraka," kata Han Ping seraya maju menghampiri. Ia memberi hormat
kepada Kaki buntung, "Kedua nona itu. yang satu meninggal dan yang satu terluka. Sudah tak
maungkin melawan lagi. Seorang kesatrya takkan melukai wanita dan orang yang lemah. Sudilah
saudara suka memberi jalan kepada mereka."
Walaupun si Kaki buntung itu berwatak keras dan bengis tetapi demi mendengar kata-kata Hari
Ping, ia tampak kerutkan kening merenung. Sebenarnya dia memang berwatak ksatrya.
"Baiklah," sesaat kemudian ia berseru, "membiarkan mereka masuk memang boleh tetapi aku
tak dapat membiarkan mereka keluar lagi."
"Baiklah," kata Han Ping, "nanti keluarnya akulah yang akan mengantar mereka."
Kaki-buntungpun menyisih kesamping dan memberi jalan. Cepat Han Ping maju dua langkah
dan memberi hormat, "Nona Siangkwan."
Tetapi Siangkwan Wan-ceng hanya tertawa rawan tak menyahut.
Han Ping kerutkan kening, pikirnya, "Agaknya nona ini seperti hilang kesadaran pikirannya.
Sukar untuk bicara dengan dia. Dan dihadapan sekian banyak orang, akupun sungkan untuk
menarik tangannya." Selagi Han Ping ragu-ragu, tiba-tiba Siangkwan Ko melangkah maju dan berseru pelahan,
"Ceng ji, Ceng-ji, bagaimana engkau?" Ia terus menarik lengan puterinya melangkah maju.
Ting Kopun bergegas menyongsong jenazah puterinya, Ting Ling.
"Lo cianpwe, harap berikan puterimu kepada Ih Thian-heng. Coba saja dia dapat menolong
atau tidak," kata Han Ping.
Tanpa menjawab Ting Ko pun menghampiri ke tempat Ih Thian heng. Ih Thian heng
memeriksa wajah nona itu dengan seksama, meraba pernapasannya lalu berkata, "Tak dapat
ditolong lagi"."
"Tetapi." katanya pula. "kematian nona Ting ini bukan karena tanganku"."
"Dengan mata kepala sendiri aku melihat engkau telah memukul anakku, mengapa engkau
masih berani menyangkal!" teriak Raja Lembah-setan Ting Ko dengan marah.
"Saudara Ting seorang yang ahli dalam ilmu silat. Tentu mengerti bahwa pukulan jarak jauh
Kek-gong-tam- hwat-jiu-hwat itu tak mungkin dapat merenggut jiwa puterimu."
"Kalau tak dapat ditolong, apa boleh buat"." kata Han Ping.
Tiba-tiba si data baju ungu yang sudah begitu lama tak bersuara. menyeletuk, "Dia makan
racun dan menderita luka berat. Kesempatan hidup, memang amat tipis sekali. pukulan dengan
tenagadalam dari jarak jauh yang dilepas Ih Thian-heng, hanya mempercepat kematiannya saja.
Kalau saat ini tersedia obat yang dapat menghilangkan racub dalam tubuhnya, kemungkinan
masih ada setitik harapan untuk menghidupkannya"."
Sepasang mata Han Ping berkilat-kilat, serunya, "Ih Thian-heng, apakah engkau yang memberi
racun kepada nona Ting?"
"Ya." sahut Ih Thian-heng, "tetapi obat penawarnya tidak sukar. Yang sukar yalah setelah
racun ditawarkan, lalu cara penyembuhan selanjutnya"."
"Cobalah engkau halau racun dalam tubuhnya baru nanti cari daya untuk menolongnya," kata
Han Ping. Tiba-tiba terdengar Hui In taysu herseru "omitohud" lalu berkata, "Kalau li sicu berkeras tak mau
memberi jalan, akupun terpaksa akan membobol!"
Lalu serentak terdengarlah dering senjata beradu dan pukulan saling berhantam.
Han Ping tetap memikirkan keadaan Ting Ling, tanpa berpaling ia segera berseru keras, "Ih
Thianheng, apakah engkau dengar kata kataku tadi?"
Ih Thian-heng terkesiap, serunya, "Ya, dengan jelas!"
"Racun dalam tubuh nona Ting, engkaulah yang memberi. Dan luka-luarnya engkaulah yang
membuatnya dengan pukulan Kek-gong- tam-hiat-jiu-hwat Kalau engkau tak dapat menolongnya,
siapakah lagi yang mampu menolong?"
"Berusaha, tiada jeleknya. Berhasil atau gagal, tak boleh dipastikan," sahut Ih Thian-heng.
"Kalau engkau sungguh-sungguh berusaha, aku sudah sangat berterima kasih." kata Han Ping.
Tiba-tiba berkatalah Ih Thian hang dengan wajah serius, "Aku dengan engkau, seperti air
dengan minyak tak mungkin akur. Kita mungkin hidup bersama. Maka engkau tak layak
menghaturkan terima kasih kepadaku. Terhadap engkau, aku hanya mengandung dendam
penasaran, tiada budi lagi. Hal ini engkau harus ingat benar!"
Han Ping tertegun. Tiba-tiba ia menghela napas dan tak bicara lagi.
Dengan wajah mengerut serius, mulailah Ih Thian-heng memeriksa pergelangan nadi Ting Ling.
Dan Han Pingpun mencurahkan perhatiannya kepada pertolongan Ih Thian heng itu. Seolah olah
tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya saat itu.
Tiba-tiba Ih Thian-heng kerutkan alis lalu berbangkit dan berpaling memandang ke arah NyoBun-giau. "Mengapa engkau memandang aku?" seru Nyo Bun- giau dengan wajah berobah.
Ih Thian-heng tertawa tawar. "Mengapa aku memandang engkau, masakan saudara Nyo tak
merasa?" Wajah Nyo Bun-giau berobah-robah. Sebentar merah sebentar pucat. Dan hatinya berguncang
keras. Han Ping heran, serunya, "Eh, kalian berdua mengapa itu?"
Ih Thian-heng, tersenyum, "Tidak apa-apa. Aku hanya melihati saudara Nyo saja."
Karena tak kuasa menahan getaran hatinya, tiba-tiba Nyo Bun-giau menggembor keras, "Ih
Thian-heng. aku tak perlu pemberian budimu. Aku tak takut, engkau mengatakan dengan terus
terang!" Ih Thian-heng tertawa. "Kalau saudara Nyo hendak mengatakan sendiri, akupun takkan
merintangi." Walaupun saat itu sebelah tangannya sudah remuk dan kesaktiannya berkurang, Namun sikap
dan bicaranya masih berwibawa sebagai seorang datuk durjana kelas wahid!
Nyo Bun-giau terkesiap. Dilihatnya Han Ping, Siangkwan Ko, Ih Thian-heng dan lain2 orang,
tengah memandang kepadanya. "Baiklah, aku akan bicara," kata Nyo Bungiau karena tak tahan
lagi, "Tentang nona Ting akulah yang melukainya. Sekalipun Nyo Bun-giau tidak turun tangan,
tetapi nona itu memang tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi."
Han Ping kerutkan alis, berseru keras, "0, kiranya engkau"." sekali kaki bergerak, ia terus
menyerang Nyo Bun-giau. Tetapi Ih Thian-heng cepat menghadangnya, "Sabar dulu saudara Ji, kalau saudara hendak
menolong nona Ting, terpaksa harus minta saudara Nyo yang mengobati."
Han Ping hentikan langkah, memandang Nyo Bun-giau dengan berapi-api.
"Ih Thian-heng," kata Nyo Bun-giau, "tak perlu engkau yang mengatakan, akupun memang
akan menolong nona Ting."-ia terus melangkah ke tempat Ting Ling. Dia memang takut kepada
Han Ping. "Tunggu dulu!" tiba-tiba si dara baju ungu berseru lagi.
"Kenapa?" tanya Nyo Bun-giau.
Berkata dara baju ungu itu dengan dingin, "Kalian tak ada yang mampu menolongnya"."
Han Ping berobah wajahnya, "Mengapa".?"
"Kukatakan tak dapat menolong, tentu tak dapat menolong," kata dara baju ungu.
Han Ping marah. "Tetapi justeru aku tetap akan menolongnya"."
"Sekalipun kalian saat ini dapat melenyapkan racun dalam tubuh, takkan tertolong jiwanya,"
kata dara baju ungu. "Lenyapkan dulu racun baru nanti berusaha menolong jiwanya!" seru Han Ping.
Dara baju ungu tertawa dingin. "Berusaha apa lagi" Kalau engkau tak melenyapkan racun, aku
masih dapat manjaga agar jenazahnYa tetap utuh dan cantik. Tetapi kalau tidak, hm tubuh
secantik itu tentu segera akan menjadi tulang belulang yang busuk."
Merenung sejenak, Han Ping bertanya, "Apakah benar-benar sudah tak dapat ditolong lagi?"
Kata dara baju ungu itu pelahan-lahan, "Memang masih ada jalan"."
"Jalan bagaimana?"
"Walaupun kukatakan tetapi rasanya engkau tentu tak dapat melakukan cara itu," kata si dara
baju ungu lalu mengeliarkan pandang matanya ke sekalian orang, "bukan hanya engkau, mereka
pun juga tiada satupun yang mampu."
"Lalu nona sendiri?" tanya Ih Thian-heng. Dara itu gelengkan kepala pelahan, "Aku juga tak
dapat." Han Ping berseru penasaran, "Kalau siapa saja tak dapat, berarti tak ada cara pengobatannya!"
Dara itu menghela napas pelahan, serunya, "Kecuali ada orang yang dapat menarik ayah. Pasti
ibuku ikut campur. Dengan tenaga dalam kedua orang itu tentu dapat menolong jiwa nona Ting!"
Han Ping memandang ke arah ketua Lam-hay-bun lalu melirik kepada wanita cantik, serunya
menegas, "Sungguhkah hal itu?"
"Kapan aku bohong?" seru dara itu marah.
Tampak sepasang mata ketua Lam-hay-bun berkilat, serunya, "Toto, ayahmu ini bukan seorang
manusia dewa! Bagaimana dapat menghidupkan orang yang sudah mati?"
"Ayah seorang memang tak mampu," sahut si dara.
Ucapan dara itu rupanya menyentuh hati wanita cantik, serunya cepat. "Nak, ibu belum pernah
belajar ilmu menolong orang yang terkena racun."
"Kalau hanya ibu seorang, memang takkan dapat," seru si dara pula.
Wanita cantik itu hendak membuka mulut atau tiba-tiba ia merasa sepasang mata ketua Lamhaybun itu tengah berkilat-kilat memandang kepadanya. Terpaksa ia hanya mendengus dan diam
lagi. Han Ping melihat wajah Ting Ling yang pucat Iasi. Segera ia teringat akan budi kebaikan nona
itu kepadanya selama ini. Mau tak mau hatinya pun rawan dan diam-diam menimang, "Bila ada
orang atau obat yang mampu menolongnya, apa dan bagaimana berbahayanya, aku tentu akan
berdaya untuk mendapatkannya."
Dara baju ungu menghela napas panjang. serunya "Ah, tak perduli engkau berbanyak hati lagi.
Kalau ayah dan ibuku tak mau bekerja sama, sekalipun engkau memperoleh daun obat Leng ci
yang berumur seribu tahun, atau ginseng ribuan tahun, pun tetap takkan mampu menolongnya.
Ketahuilah bahwa keadaan tubuh nona Ting saat ini sudah kehilangan pusat sumber penggerak
darah, daging tubuhnya sudah tak dapat bekerja lagi. Kecuali dengan obat sakti, pun harus
disaluri dengan tenaga dalam sakti agar daya kerja urat2 dan jalandarahnya dapat pulih kembali.
Dengan demikian barulah ia mempunyai harapan hidup lagi."
Kembali Han Ping memandang kearah ketua Lam-hay-bun dan wanita caniik. Ditatapnya kedua
suami isteri yang aneh itu lekat2.
Pikiran dan hati Han Ping penuh dicengkam dengan berbagai perasaan. Antara membalas sakit
hati kematian orangtuanya dan menolong Ting Ling. Kedua hal itu ia harus dapat
menyelesaikannya. Tiba-tiba terdengar hambusan napas yang sarat dan terengah-engah dari Hui In taysu.
Ternyata paderi Siau-lim-si itu tengah mengadu tenaga-dalam dengan nenek Bwe. Wajah
keduanya tampak tegang, keringat bercucuran seperti hujan mencurah.
Suasana dalam ruang itu sepi sekali.
Tiba-tiba Han Ping berbatuk-batuk untuk memecahkan kesunyian lalu berkata pelahan lahan
kepada Ih Thian-heng, "Kaum persilatan mengatakan engkau kejam dan ganas. Kejahatanmu
menumpuk setinggi gunung. Tetapi kusaksikan sendiri engkau telah melakukan beberapa
perbuatan baik. Berani berbuat berani tanggung jawab. Tak ubah seperti laku seorang ksatrya."
Ih Thian-heng tersenyum, "Ah, jangan kelewat memuji"."
Han Ping mengalihkan pandang matanya kepada ketua Lam-hay-bun, serunya, "Lo cianpwe
dengan jerih payah telah menciptakan makam tua ini dan dengan meminjam kemasyhuran nama
pedang Pemutus Asmara, telah merangkai suatu cerita khayal yang menggemparkan dunia
persilatan Tiong-goan yang saling bunuh membunuh. Apakah sesungguhnya maksud tujuan locianpwe
berbuat begitu?" Ketua Lam-hay-bun tertawa dingin, "Dengan makam tua ini aku hendak membasmi manusia2
yang mangejar nama dan temaha harta benda".-"
"Engkau mendirikan makam tua yang penuh alat-alat maut. Lalu anakmu mengundang seluruh
jago2 silat dalam dunia agar menyaksikan betapa hebat kelihaian dan kesaktianmu. Apakah itu
bukan tindakan hendak mengejar nama?" seru Han Ping.
"Tiada seorang pun di dalam dunia yang berani bicara sekasar itu kepadaku. Nyalimu sungguh
besar sekali!" teriak ketua Lam-hay-bun marah.
Tetapi Han Ping tak gentar, serunya, "Hanya karena kalah dalam soal Asmara dan Kesaktian
dengan Hui Gang taysu, maka engkau tumpahkan kemarahan kepada seluruh kaum persilatan
Tionggoan! Engkau ciptakan makam tua ini sematamata sebagai alat untuk membasmi seluruh
kaum persilatan Tiong-goan. Dengan begitu engkau hendak mengangkat nama dan membalas
kekalahanmu kepada Hui Gong taysu"."
Seketika berobahlah wajah ketua Lam-hay-bun, bentaknya, "Kalau ya, lalu engkau mau apa?"
"Kalau engkau sudah mengakui begitu, jelas hatimu itu beratus kali lebih ganas dari Ih Thianheng!"
kata Han Ping dangan nyaring.
Bum". tiba-tiba terdengar suara benda runtuh. Ternyata Hui In taysu dan nenek Bwe samasama
rubuh ke tanah. Kiranya kedua tokoh itu sama kuatnya. Tenaga-dalam mereka berimbang tetapi karena mereka
sama-sama ngotot. akhirnya keduanya kehabisan tenaga. Mereka menderita luka-dalam dan lantas
rubuh. Sekonyong-konyong Han Ping menengadahkan muka dan bersuit panjang lalu berseru nyaring,
"Aha, lagi jatuh korban ngeri dari perbuatan manusia yang mengejar nama"."
Terdengar alun gelombang doa nyanyian yang khidmat dan rawan. Rombongan paderi Siau-lim
tengah berlutut mengerumuni tubuh Hui In taysu dan menyanyikan doa keagamaan yang
menyayat hati. Berkatalah ketua Bu-tong-pay, imam Thian Ci, "Sekalipun tokoh-tokoh dalam ruang ini akan
menderita luka atau binasa tetapi di luar ruangan masih menunggu jago2 dari sembilan partai
persilatan"." Ketua Bu-tong-pay itu menutup kata-katanya dengan mengayunkan pedang dan menerjang
keluar. Ong Kwan-tiong cepat maju menghadang serunya, "Setiap orang hanya boleh keluar sebagai
mayat, tidak boleh masih bernyawa!"
Ketua Bu-tong pay tertawa dingin. serunya, "Apakah hendak mencoba pedangku ini?"-Sekali
tangan bergerak maka pedangpun segera berobah menjadi lingkaran sinar.
Ong Kwan-tiongpun segera tusukkan senjatanya yang berbentuk seperti garisan panjang.
Thian Ci totiang tertawa dingin. Sekonyongkonyong ia ajukan kaki kiri, menekankan pedangnya
ke bawah dan seketika memancarlah tenagadalam yang menyedot senjata lawan lalu digelincirkan
ke samping. Ong Kwan-tiongpun licin. Begitu senjatanya disedot ke samping ia terus menyerempaki dengan
menusuk ke lambung lawan.
Serangan Ong Kwan-tiong itu tak terdugaduga oleh ketua Bu tong-pay. Thian Ci totiang
memang tak mengharapkan bahwa cara yang dilakukannya itu dapat melukai lawan. tetapi ia tak
menduga sama sekali bahwa Ong Kwan tiong ternyata begitu licin dan lihay. Karena itu terpaksa
paksa ia menyurut mundur seraya bolang balingkan pedang untuk melindungi diri.
Ong Kwan-tiong tetap tegak berdiri di tempat tak mau mengejar.
Tampak si dara baju ungu lari menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek Bwe lalu
memeluknya. Diguncang-guncangnya tubuh nenek itu seraya memanggil-manggil namanya.
Ibunya, wanita cantik berpakaian puteri keraton melekatkan pandang matanya kepada si dara.
setiap saat siap akan bergerak apabila ada orang yang berani mengganggu puterinya.
Thian Ci totiang, ketua Bu-tong- pay, tegak berdiri menenangkan pikiran. Diam-diam dia sudah
merenungkan tenaga dalam aneh yang dipancarkan dari senjata Ong Kwan-tiong.
Sesaat kemudian ia segera mainkan pedangnya pula. Kali ini dia sudah mempunyai persiapan.
Tak mau gegabah menyerang, jurus serangannya dilambari dengan tenaga-dalam yang penuh.
Ong Kwan-tiongpun segera menyambut dengan senjatanya berbentuk penggaris pandang yang
disebut Thian-sing ci atau Panggaris-bintang. Kedua tokoh itu pun bertempur seru lagi.


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu pedang partai By-tong-pay, dianggap sebagai ilmu pedang aliran Ceng-cong atau asli.
dimainkan maka berkembanglah sinar pedang ke delapan penjuru. Angin menderu-deru, dahsyat
dan berwibawa sekali. Tetapi senjata Thian-sin-ci dari Ong Kwan-tiong memancarkan tenaga-dalam penyedot yang
aneh dan hebat. Berulang kali dapat menyedot pedang lawan dibawa menjulang ke atas.
Dua senjata itu laksana dua buah halilintar yang saling menyambar. sedikit saja terbuka
peluang kelemahan, tentu akan terancam.
Rupanya ketua Bu-tong- pay itu mengalami kesulitan menghadapi tenaga dalam penyedot dari
senjata Ong Kwan-tiong. Dalam pada Itu Han Ping keliarkan pandang matanya ke sekeliling. Diam-diam la menimang,
"Anakmurid Lam-hay-bun. ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi semuanya. Jelas ketua
Lam-hay-bun itu tentu hebat sekali kepandaiannya.
"Menilik kekuatan saat ini," masih Han Ping menimang dalam hati, "kaum persilatan dunia
Tiong-goan, apabila mau melupakan dendam permusuhan masing-masing untuk bersatu padu
menghadapi mereka. Entah bagaimana kesudahannya, tentulah dapat memaksa orang Lam-haybun
untuk melepaskan pertempuran ini! Sayang dendam permusuhan di antara kaum persilatan
Tiong-goan itu sudah sedemikian mendalam dan pelik. Untuk menganjurkan mereka supaya
menghapus dendam dan bersatu, sukar sekali. Pada akhirnya, mereka tentu akan dihancurkan
oleh orang Lam-hay-bun di makam tua ini. Jalan satu-satunya pada saat ini ialah menganjarkan
supaya kawan2 Tiong-goan itu mau membuang dulu dendam permusuhannya dan bersatu.
Dengan damikian mungkin dapat terhindar dari bahaya maut di makam ini."
Melihat nenek Bwe rubuh di tanah, ketua Lamhay-bun tetap tenang. setitik pun tak mengunjuk
sikap terkejut atau pun reaksi apa-apa. Diam-diam Han Ping merasa ketua Lam hay-bun itu
seorang yang ganas sekali. Lebih ganas dari Ih Thian-heng.
Dilihatnya pengemis sakti Cong To mengambil buli2 arak dari punggung dan meneguknya dua
kali. Setelah itu berseru, "Ji laute, pengemis tua hendak menyampaikan beberapa patah kata.
Entah engkau suka mendengarkan atau tidak?"
"Ah, silahkan saja toako mengatakan," sahut Han Ping.
Sejenak Pengemis-sakti itu mengeliarkan pandang ke arah rombongan tokoh-tokoh silat Tionggoan
lalu berkata, "Orang-orang itu sesungguhnya manusia2 yang banyak dosa dan harus mati.
Tetapi keadaan saat ini bukan waktunya untuk menerima hukuman."
Tiba-tiba terdengar si dara baju ungu berteriak, "Au bungkuk, lekaslah engkau kemari
membantu aku menutuk dua buah jalandarah Bwe Nio ini."
Tetapi mata si Bungkuk memandang wajah si dara dan wajahnya menampilkan ketakutan lalu
berseru dengan terbata-bata, "Nona, nona". "
"Jangan takut," kata si dara, "Asal engkau kemari segala apa aku yang tanggung."
Si Bungkuk terpaksa menurut. ia maju menghampiri ke tempat si dara. Sambil berjalan ia
memandang ke arah ketua Lam-hay-bun sehingga langkah kakinyapun berat dan pelahan. Jelas
dia gelisah dan ketakutan sekali.
Dua orang paderi berjubah merah tiba-tiba berdiri dan menghadang si Bungkuk.
Rupanya wanita cantik itu tahu bahwa kedua paderi itu hendak bermaksud buruk terhadap
puterinya maka cepat ia membentak dingin:!"Rubuhlah!"
Sekali tangannya mengayun maka kedua paderi itupun segera rubuh.
Sekalian tokoh-tokoh silat terkejut. Diam-diam mereka membatin, "Pada jarak enam tujuh
meter jauhnya wanita itu dapat merubuhkan dua orang paderi Siau-lim. Kepandaiannya, benarbenar
mengejutkan orang." Han Ping kerutkan alis, menundukkan kepala berkata kepada Cong To. "Bukankah toako
menghendaki supaya untuk sementara ini aku jangan mengurus soal dendam permusuhan atas
kematian ayah bundaku?"
"Kalau engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, jangan harap seumur hidup kita dapat
keluar dari makam ini," kata Cong To.
Berkata Han Ping dengan nada lapang, " Menolong orang lebih penting dari membalas sakit
hati, apalagi toako yang memerintahkan."
Pengemis Sakti Cong To tertawa, "Membalas dendam sakithati orangtua, bukan pengemis tua
ini hendak melarangmu. Tetapi setelah keluar dari makam ini, pengemis tua tentu akau
membantumu untuk melaksanakan pembalasan sakithati itu,"
"Ah, aku tak berani mengharap bantuan toako," kata Han Ping," asal pada saat itu toako suka
menghadiri sebagai saksi, aku sudah merasa berterima kasih."
Ia berputar tubuh lalu melangkah ke tempat Hui In taysu.
Melihat dua orang paderi rubuh, rombongan paderi Siau lim itu sudah tak dapat menahan
kesabarannya lagi. Kesedihan hati mereka berobah menjadi dendam kemarahan yang berkobarkobar.
Diam-diam mereka berunding untuk mengatur langkah untuk serempak menerjang musuh.
Han Ping dapat mengetahui sikap kemarahan rombongan paderi itu. Ia segera memberi
hormat, serunya, "Para suhu sekalian, harap untuk sementara ini suka bersabar. Ijinkan kulihat
bagaimana luka Hui In taysu."
Jarak pertempuran adu tenaga-dalam antara Hui In taysu dengan nenek Bwe hanya satu
meter. Pada saat Han Ping menghampiri ke tempat Hui In, ia segera membau bau harum dari
tubuh si dara baju ungu. Saat itu kedengaran wanita cantik tartawa dingin. serunya, "Barangsiapa yang hendak
mencelakai anakku, berarti hendak cari mati sendiri."
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, pikirnya, "Dengan menjebak kita ke dalam makam tua ini,
jelas ketua Lam hay-bun itu tentu sudah mempunyai persiapan. Tetapi mengapa dia tak segera
melaksanakan rencananya itu tentulah karena hendak menunggu supaya kita saling berhantam
sendiri agar kekuatan kita menjadi habis. Tetapi mereka juga mempunyai kelemahan: Diantara
kedua suami Isteri itu rupanya tidak akur, saling membawa kemauannya sendiri. Kemungkinan hal
itu juga menyebabkan ketua Lam hay bun tak mau lekas-lekas menjalankan rencananya. Kalau
tidak, tentulah dia sudah melaksanakan alat-alat yang telah direncanakan itu untuk
menghancurkan seluruh tokoh Tiong-goan. Dan rupanya dia yakin kalau mampu melakukan
pembasmian itu sehingga tampaknya dia begitu tenang dan tenteram"."
Makin merenung, Han Ping makin besar kecurigaannya. Dikeliarkannya pandang matanya ke
sekeliling ruangan. Setelah sebelah tangannya lumpuh, Ih Thian-heng menyadari kalau dirinya bakal tak mungkin
dapat terlepas dari pedang Han Ping. Ruangan itu dijaga ketat oleh anak buah Lam-hay-bun yang
berkepandaian sakti. Diam-diam ia sudah merasa putus-asa.
Tetapi di kala mendengar Han Ping menyetujui permintaan Cong To agar jangan mengungkat
permusuhan lagi dan untuk sementara jangan mencari balas atas kematian kedua orangtuanya,
timbullah semangat Ih Thian-heng. Apalagi Han Ping pun menyetujui untuk bekerja sama
menghadapi orang Lam-hay-bun.
Ih Thian-heng memang cerdas. Melihat Han Ping memandang kian kemari. segera ia dapat
menyelami isi hati anakmuda itu.
Di lain fihak ketua Lam-hay bunpun memperhatikan gerak gerik Han Ping. Segera ia tertawa
dingin. "Andaikata dalam ruang ini terdapat barisan gelap, pun tak perlu harus kugerakkan."
Diam-diam Han Ping membatin, "Hmm". orang tua itu tak boleh dipercaya. Aku harus tetap
berusaha mencari akal untuk membobolkan makam ini."
Tiba-tiba mata Han Ping tertumbuk pada si dara baju ungu. Seketika timbullah pemikirannya.
"Dara baju ungu ini rupanya merupakan puteri kesayangan dari kedua suami istri itu. Apabila
dapat menawannya mungkin dapat menekan ketua Lam-hay-bun untuk membiarkan kita keluar.
Asal sudah berada diluar makam ini, kita tak perlu takut kepadanya lagi."
Dengan pemikiran itu, tiba-tiba ia loncat dan secepat kilat menyambar lengan si dara dan
tangan kirinya segera menghantam.
Dengan gerakan itu jelas membuktikan betapa kemajuan yang diperoleh dari pengalaman
selama ini. Di samping kepandaiannya maju pesat, kecerdasannya menghadapi lawan pun
semakin bertambah banyak.
Seperti yang diduganya, memang pada saat tubuhnya melambung di udara, wanita cantik ibu si
dara baju ungu itu segera gerakkan tangan kanan menghantamnya.
Seutas sinar perak yang halus seperti rambut segera meluncur ke arah Han Ping. Tetapi karena
anakmuda itu sebelumnya sudah membarengi dengan sebuah pukulan, sarangan sinar putih
selembut rambut itupun dapat dihalau.
Tetapi itu masih belum berarti bahwa Han Ping sudah terlepas dari bahaya. Karena setelah
melepaskan senjata gelap, wanita cantik itupun menyerempaki menyerbu.
Gerakannya memang cepat sekali tetapi Han Ping tetap lebih cepat lagi. Dia sudah dapat
mencekal lengan si dara lalu ditariknya ke muka.
Dengan menghadapi perisai itu, terpaksa wanita cantik terkeiut. Cara ia mencondongkan tubuh
ke belakang agar gerakannya terhenti lalu enjot kakinya mengantar sang tubuh kembali ke tempat
semula. "Hmm, untuk sementara terpaksa aku harus berlaku kurang ajar kepada nona," bisik Han Ping
kepada si dara jelita. Dara itu mendengus dingin, "Bagus, bagus sekali "."
Tampak ketua Lam-hay-bun berkilat-kilat memandang Han Ping lalu berseru dengan nada
sedingin es, "Ji Han Ping. bukankah engkau bermaksud hendak menekan aku dengan jiwa
puteriku itu?" Jawab Han Ping, "Apabila dengan ilmusilat lo cianpwe hendak membunuh semua tokoh-tokoh
dalam makam ini, dengan segala kerelaan dan kekaguman, aku akan mempersilahkan lo-cianpwe.
Tetapi apabila engkau mempersiapkan segala macam alat rahasia"."
Ketua Lam-hay-bun tertawa gelak-gelak, "Untuk melampiaskan kedukaanku kehilangaan
seorang anak, kalian tentu akan kubasmi habis- habisan!"
Han Ping termangu, serunya, "Apakah engkau benar-benar berhati batu!"
Tiba-tiba ia merasakan jari2 halus dari si dara baju ungu itu menggurat pelahan pada siku
tangannya dan kemudian daraa itu melengking merintih lalu jatuhkan kepalanya ke dada Han
Ping. Kiranya setelah menguasai jalandarah tangan dara itu, tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa
perbuatan itu tak kayak dilakukan oleh seorang ksatrya. Segera ia kendorkan cengkeramannya. Di
luar dugaan saat itu si daralah yang memegang erat lengan Han Ping.
"Hm, siapa yang berani melukai puteriku, bukan saja tulang2 mayatnya akan kucincang, pun
seluruh keluarganya akan kubunuh habis-habisan," seru wanita cantik ibu si dara baju ungu.
Tiba-tiba dara baju ungu itu berseru pelahan, "Aduh. kemanjaan yang membikin aku mati"."
Dia memang suka melakukan suatu gerak yang aneh. Nada suaranya memang merawankan
hati sekali. Ketua Lam-hay-bun memandang ke arah isterinya.
"Kalau tidak saat ini, tunggu kapan lagi kita akan pergi?" tiba-tiba Ih Thian-heng berseru lalu
melangkah ke arah pintu. Ong Kwan-tiong cepat memutar senjatanya dan berseru, "Berhenti!"
Ih Thian-heng tersenyum, "Kalau kalian orang Lam-hay-bun memang hendak menantang
bertempur, mari kita bertempur di luar makam. Kita cari sebuah tempat yang lapang dan mengadu
ilmu kepandaian sampai ada yang mati. jika kalian orang Lam-hay-bun benar-benar mampu
mengalahkan kaum persilatan Tiong-goan, kalian tentu dapat menguasai dunia persilatan Tionggoan.
Tetapi pertempuran itu harus mengadu ilmu kepandaian yang sesungguhnya, agar masingmasing
fihak merasa puas!" Seru Ong Kwan-tiong menyahut, "Kalau ingin keluar dari makam ini, hanya ada dua jalan.
Bertempur dengan kepandaian atau minta kepada suhuku"."
"Aku dan kawan2 akan memilih jalan kesatu," seru Ih Thian-heng terus gerakkan tangan
menghantam. Ong Kwan-tiongpun cepat songsongkan senjatanya untuk menusuk lengan Ih Thian-heng.
"Kita sama-sama menerjang!" Melihat itu Nyo Bun-giaupun berseru marah dan terus
menghantam Ong Kwan-tiong dari samping.
Tetapi tiba-tiba ia merasa segelombang tenaga kuat mendamparnya sehingga tenaga pukulan
dari Nyo Bun-giau itu terdorong ke samping.
Nyo Bun-giau berpaling dan melihat yang melepas hantaman itu si Kate.
Melihat itu Ca Cu jingpun berseru keras terus lontarkan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun atau
Pukulan-sakti-seratus-langkah.
Angin menderu-deru menghamburkan desis suara tajam yang menusuk telinga. Memang
pukulan Seratus-langkah itu merupakan pukulan yang diandalkan oleh Ca Cu jing.
Melihat itu si Bungkuk cepat menghantam untuk menangkis pukulan Peh-poh-sin-kun dari Ca
Cu-jing itu. JILID 9 Anak buah Lam-hay-bun telah mengambil posisi yang rapi. Betapapun Ih Thian-heng dan tokohtokoh
Tiong-goan itu melancarkan serangan yang gencar dan melontarkan pukulan2 yang dahsyat
namun orang-orang Lam-hay-bun itu selalu dapat menghindar ataupun menangkis dan akhirnya
menggagalkan serangan lawan.
Saat itu suasana dalam ruangan berobah kacau dan acak-acakan. Deru angin pukulan dan
lengking teriakan serta bentakan kemarahan dan hawa pembunuhan, telah memenuhi seluruh
ruangan. Pertempuran telah dimulai.
Tiba-tiba si dara baju ungu yang masih rebah di dada Han Ping berbisik-bisik, "jangan lepaskan
aku. Ayah sudah mempersiapkan rencana pembunuhan besar-besaran dalam ruang itu. Sekalipun
kepandaianmu sakti tetapi tetap engkau tak dapat melawan. Adanya mereka tak mau segera
menjalankan alat pembunuhan itu adalan karena ayah dan Ibu masih saling bertengkar dan juga
masih menguatirkan keselamatan diriku."
Mendengar itu Han Ping amat bersyukur, sahutnya, "tetapi nona begini"."
"Sudahlah saat ini jangan engkau banyak bicara," cepat si dara baju ungu menukas. "Kalau
ayahku mengetahui engkau tak dapat melukai aku, celakalah"."
Han Ping menghela napas panjang dan diam.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berteriak keras, "Saudara2 sekalian, harap berhenti dulu.
Pengemis tua hendak bicara!"
Sekalian jago2 segera berhenti menyerang, dan menyurut mundur.
Sejenak Cong To keliarkan mata memandang ke segenap ruangan. Dilihatnya lelaki tua baju biru
atau ketua Lam-hay bun masih tetap bersikap dingin terhadap isterinya, wanita cantik berpakaian
puteri keraton. Demikian pula sikap wanita cantik itu terhadap ketua Lam-hay-bun. Tampaknya
kedua suami isteri yang tak akur itu tak mempedulikan suasana pertempuran disitu.
Melihat itu diam-diam pengemis sakti menghela napas, "Hai, kedua suami isteri itu benar-benar
manusia yang berhati dingin". "
Kemudian Pengemis sakti berseru kepada sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan, "Mereka sudah
mengatur kedudukannya dengan rapi, dapat saling memberi bantuan. Apabila fihak kita
menyerang secara acak-acakan, bagaimana mungkin bcrhasil membobolkan barisan mereka?"
Sekalian tokoh itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan.
Mendengar kata-kata Cong To, segera mereka menyadari kekeliruannya.
Memang anak buah Lam-hay-bun itu mempersiapkan diri dalam tempat-tempat yang tepat.
Walaupun hanya Ong Kwan-tiong bertiga dengan si Bungkuk dan si Kate, tetapi mereka mampu
menghadapi serangan dari tokoh ternama seperti Ih Thian-heng, Ca Cu-jing, Nyo Bun-giau, Ting
Ko ketua Lembah raja-setan.
Kiranya rahasia dari pertahanan ketiga anak-buah Lam-hay-bun itu tak lain ialah gerak perubahan
kedudukan mereka yang begitu lancar dan rapi. Mereka dapat menggunakan siasat "meminjam
tenaga lawan untuk memukul kembali". Dengan demikian pukulan2 dari Ih Thian-heng dan tokohTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tokoh lainnya itu, dapat dimanfaatkan dan dikembalikan kepada pengirimnya. Ketiga orang Lamhaybun itu dapat bertahan betapapun lamanya.
Demikianlah dalam waktu singkat, Pengemis sakti Cong To dapat mengetahui rahasia kekuatan
orang Lam-hay-bun, lalu berseru menghentikan sekalian jago2 Tiong-goan.
Tiba-tiba wanita cantik tertawa dingin lalu melangkah ke tempat Bwe Nio. Menepuk beberapa
jalandarah pada tubuhnya lalu mengeluarkan sebutir pil diminumkan ke mulut Bwe Nio.
Sesaat kemudian terdengar nenek Bwe itu mengerang pelahan lalu pelahan-lahan duduk.
"Terima kasih cu-bo," serunya pelahan kepada wanita cantik itu.
Sahut wanita cantik itu dengan dingin, "Sejak aku meninggalkan pulau Lam-hay Toto, telah
banyak menerima perawatanmu. Pertolonganku anggaplah sebagai pembalasan jasamu melayani
Toto sampai sekian tahun itu."
"Ah, mana hamba berani menuntut jasa?" kata nenek Bwe, "nona, memiliki kecerdasan luar biasa
dan hamba selama mengikutinya banyak sekali mendapat manfaat"."
"Sudah, jangan banyak omong tak karuan," tukas si wanita cantik lalu berpaling memandang si
dara baju ungu, "Toto, ibu hendak pergi, apakah engkau hendak ikut aku" Ataukah engkau akan
tinggal disini?" Tiba-tiba dara baju ungu itu menjerit, "Aduh". tulang lenganku hampir pecah, sakit sekali!"
Wanita cantik itu kerutkan dahi dan wajahnya pun segera menampilkan hawa pembunuhan.
Dengan tenang ia segera melangkah ke tempat Han Ping, tegurnya dengan nada dingin, "Kalau
engkau berani melukai puteriku, jangan harap engkau mampu hidup. Lekas lepaskan Toto!"
Jawab Han Ping, "Asal engkau memberi perintah supaya orang-orang itu membuka jalan, aku
tentu akan melepaskannya"."
Dan Han Ping lalu menutup kata-katanya dengan melekatkan pedang Penmutus asmara ke leher si
dara jelita, serunya, "Apabila nyonya menggerakkan tangan, puterimu terpaksa tentu menjadi
mayat." Mendengar ancaman itu seketika menyurutlah hawa pembunuhan pada wajah si wanita cantik.
Kini wajahnya bertebar keramahan dan matanya pun tampak berlinang-linang. Wajahnya berseri
keibuan yang penuh kasih sayang terhadap puterinya.
Sesaat kemudian ia berpaling dan berseru kapada Ong Kwan-tiong. "Kalian menyingkirlah ke
samping buka pintu dan lepaskan mereka!"
Ong Kwan-tiong terkesiap, serunya tersekat-sekat, "Ini, ini"."
"Kalian mendengar perintahku atau tidak?" seru wanita cantik itu dengan murka.
Ong Kwan-tiong serentak memberi hormat, serunya, "Ya, murid mendengar."
"Kalau mendengar mengapa masih tak mau menyingkir ke samping," seru wanita cantik pula.
"Suhu menitahkan murid menjaga tempat sekuat-kuatnya," jawab Ong Kwan-tiong, "tak boleh
seorangpun melintasinya!"
Wanita cantik itu tertawa dingin, "Baik! Omonganku tadi seperti dianggap angin saja! Hm, dia
hendak mempergunakan makam ini sebagai tempat menyembunyikan alat-alat rahasia dan
benda2 beracun. Dia hendak membasmi seluruh tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan. Untuk
melaksanakan citacitanya itu, dia tak mempedulikan lagi jiwa anaknya. Tetapi aku takkan
membiarkan dia bertindak begitu"."
Wanita cantik itu melangkah ke arah Ong Kwan-tiong dan melepaskan sebuah hantaman.
Ong Kwan-tiong tak berani menangkis, juga tak berani menghindar. Dia hanya berdiri menunggu
ajal. Tiba-tiba ketua Lam-hay-bun lepaskan sebuah pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang untuk
menghalau pukulan isterinya.
"Kalian menyingkirlah!" serunya kepada Ong Kwan-tiong.


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ong Kwan-tiong menurut, ia menyurut mundur ke samping. Melihat itu si Bungkuk dan si Kate pun
ikut mundur ke samping dan membuka sebuah jalan.
Wanita cantik tertawa dingin, serunya, "Buka Pintu dan lepaskan mereka keluar!"
Ong Kwan-tiong terkesiap. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba ketua Law-hay-bun maju menghampiri dan berkata, "Betapa susah payah kubangun
makam tua ini. Kalau sekarang hendak engkau kacau, bukankah akan sia2 belaka segala jerih
payahku itu"." Sahut wanita cantik, "Kalau engkau memang mempunyai kesaktian, mengapa engkau tak
menantang mereka untuk adu kepandaian" Dengan mengandalkan perkakas2 rahasia dalam
makam ini untuk mencelakai orang, bukanlah laku seorang ksatrya!"
"Apa pedulimu!" teriak ketua Lam-hay-bun dengan murka, "siapa suruh Engkau ikut campur?"
Tetapi wanita cantik itu tak gentar, bahkan malah menantang, "Kalau aku senang ikut campur,
engkau mau apa?" "Yah". mah".,! Aduh aku sakit sekali ini!" tiba-tiba dara baju ungu berteriak.
Ketua Lam-hay-bun tergetar hatinya. Ia berpaling ke arah puterinya lalu tertawa keras, "Ah".
ternyata Thian tak mengabulkan kehendakku. Hm, apa boleh buat."
Tiba-tiba ia menampar dinding dengan tangan. Dinding batu yang licin itu seketika merekah
sebuah pintu. Wanita cantik berpaling dan berkata dingin2 kepada Han Ping, "Pintu sudah terbuka. Seharusnya
engkau lepaskan dia!"
Han Ping keliarkan pandang. Dilihatnya mata sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan itu mencurah
kepadanya dengan sikap yang tegang.
Karena melihat Han Ping masih ragu-ragu, ketua Lam-hay- bun marah dan membentaknya. "Nanti
mayatmu tentu akan kucincang sampai hancur lebur agar kebencian hatiku bisa terlampias."
Rupanya wanita cantik itu memang sengaja hendak cari perkara dengan suaminya. Ia tertawa
mencemooh, "Rupanya dia telah mewarisi kepandaian dari Hui Gong taysu. Mungkin engkau tak
mampu mengalahkannya."
Seketika berobah pucat pasilah wajah ketua Lam hay bun. Ucapan isterinya benar-benar
menyinggung hatinya. Han Ping menghela napas panjang, serunya, "Lo-cianpwe berdua, harap suka memberi jalan agar
mereka yang terluka dapat keluar dari sini. Aku tetap akan tinggal disini. Asal sekalian orang yang
menderita luka itu sudah keluar semua, aku pasti akan melepaskan puterimu."
Ketua Lam-hay-bun saling bertukar pandang dengari isterinya. Kemudian keduanyapun masingmasing
mundur selangkah. "Silakan para suhu sekalian keluar dahulu," seru Han Ping kepada golongan paderi Siau-lim-si.
Rombongan paderi Sian-lim-si itu memandang Han Ping lalu memanggul jenazah Goan-thong dan
Hui Ko, kemudian mengangkut Hui In taysu dan keluar dari ruangan itu.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benak Han-Ping cepat ia, berseru, "Suhu sekalian, harap berhenti
dahulu." Rombongan paderi itu tertegun dan hentikan langkah.
Han Ping segera maju menghampiri. Diam-diam ia kerahkan tenaga-murni dan beberapa kali
menutuk jalandarah di tubuh Hui In taysu. Kemudian mempersilahkan para paderi itu lanjutkan
keluar. Para paderi menyambut dengan doa, pelahan lalu melangkah keluar.
Sejenak keliarkan pandang, berkata pula Han Ping dengan pelahan, "Siangkwan pohcu, Ting kohcu
berdua, menderita luka parah. Harap lekas-lekas berobat. Mungkin masih dapat tertolong. Maka
silahkan keluar lebih dahulu."
Mendengar itu Ting Ko lalu memanggul Ting Ling melangkah keluar. Pun Siangkwan Ko juga
segera memimpin tangan Siangkwan Wan-ceng, mengikuti di belakang Ting Ko.
Sikap dan keberanian Han Ping menghadapi maut bagai suatu hal yang tak mengerikan, benarbenar
telah membuat sekalian tokoh-tokoh Tiong-goan kagum dan secara, tak sadar mereka
menganggap pemuda itu sebagai pemimpin mereka.
Ketua Lam-hay-bun dan wanita cantik ternyata tak berbuat apa-apa. Mereka membiarkan saja
orang-orang itu keluar dari makam.
Tiba-tiba ketua Lembah-seribu-racun pesatkan langkah dan terus menerobos keluar dari pintu
batu itu. Han Ping kerutkan alis. membentaknya perlahan, "Lo-cianpwe, nanti dulu, giliran yang belakang."
Saat itu ketua Lembah-seribu-racun sudah hampir dekat pada pintu batu. Ia berhenti mendengar
suara Han Ping lalu balas membentak, "Mengapa?"
Kata Han Ping, "Cara lo-cianpwe bergerak mau menyelamatkan jiwa terlalu terburu-buru "."
Betapapun halnya tetapi ketua Lembah seribu-racun itu merah juga mukanya mendengar katakata
Han Ping. Sahutnya, "Lambat atau cepat toh sama saja!"
Sesungguhnya yang ingin lekas-lekas keluar dari tempat itu bukan melainkan hanya Leng Kongsiau.
ketua Lembah seribu-racun itu seorang. Nyo Ban-giau, Ca Cu-jing dan lain2 juga ingin sekali.
Hanya saja mereka tak mau bergerak seperti ketua Lembah-seribu-racun yang begitu tergopohgopoh
itu. Ternyata selain sayang akan jiwanya, pun orang-orang itu memang mengandung pikiran untuk
keuntungan diri sendiri. Mereka mengharapkan supaya lekas keluar baru ketua Lam-hay-bun itu
gerakkan alat perkakas rahasia agar semua orang yang masih berada dalam makam itu tertimbun
mati semua. Tambah seorang yang mati dalam makam itu, bagi yang masih hidup berarti suatu
keringanan karena berkurang seorang musuh yang kuat.
Ketua Lam hay-bun itu dingin2 saja melihat Han Ping laksana seorang laksamana yang memberi
perintah kepada anak buahnya. Demikian pula dengan wanita cantik, ibu si dara baju ungu.
Rupanya kedua suami isteri itu terpaksa harus mengalah demi memikirkan keselamatan puterinya
yang ditawan Han Ping. Suasana dalam ruangan sunyi senyap. Tampak Han Ping tengah merenung dan entah apa yang
sedang dipikirkan. Pengemis-sakti Cong To batuk-batuk pelahan sehingga kesunyian terpecah. Kemudian berkata,
"Saudara, apa yang engkau pikirkan?" tegurnya kepada Han Ping.
"Aku tengah berpikir apakah kita perlu tinggal disini atau tidak, untuk menyelesaikan pertempuran
dengan pihak Lam hay-bun. Memang kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini dengan
selamat, tetapi rasanya persoalan takkan habis sampai disitu saja. Dunia persilatan tentu masih
bergolak-golak dan kacau. Entah kelak akan membawa berapa banyak korban yang tak berdosa
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 5 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Si Dungu 4

Cari Blog Ini