Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 9
perubahan keadaan, perubahan segalanya."
"Jika ia siap, berarti dia harus memikirkan ratusan kemungkinan, ratusan perubahan.l ini saja akan membuat seseorang susah tidur dan banyak
khawatir. Jika dia sudah begitu, bukankah aku berada di posisi yang
unggul?" "Memangnya kau punya rencana apa?" tanya Cukat Tong penasaran
"Aku justru tidak punya rencana apa-apa menghadapinya. Apa saja yang
akan terjadi, akan kuhadapi saat terjadi nanti. Aku tidak perlu repot-repot memusingkan segala hal yang aku tidak tahu. Sehingga aku bisa tidur
tenang dan makan enak. Dengan begitu tenagaku akan terisi sepenuhnya"
Mendengar penjelasan Cio San, mau tidak mau Cukat Tong menganggukangguk saja. Ia mulai paham, orang seperti Cio San bukanlah orang yang malas, dan hidupnya hanya bersenang-senang. Justru orang yang bebas
seperti Cio San, adalah orang yang menerima segala hal yang terjadi dalam hidupnya dengan berani dan dengan pikiran yang terbuka.
Ia bukan hidup tanpa perencanaan. Ia hidup dengan kesigapan terhadap
segala perubahan. Ia tidak perlu repot-repot merencanakan sesuatu, karena ia yakin segala sesuatu itu sudah ada yang menentukan!
Hidup hanya perlu untuk dijalani, kenapa harus menangis"
Kenapa harus banyak berpikir dan bersusah hati"
Orang yang benar-benar bisa hidup seperti ini, adalah orang-orang yang jiwanya merdeka sepenuhnya. Mereka ini baru bisa benar-benar disebut
sebagai orang yang BERBAHAGIA!
Mau tidak mau, Cukat Tong harus kagum terhadap anak muda di depannya
ini. Siapapun memang mau tidak mau harus kagum kepada Cio San.
Bab 42 Seorang Tamu di Tengah Malam
Pada hari ke 8, mereka beristirahat di sebuah hutan. Mereka membuat
perapian dan manikmati makan malam. Rusa panggang dan nasi hangat.
Tentunya dengan beberapa cangkir arak untuk menghangatkan badan.
Setelah makan, mereka semua tidur. Kecuali Yan Tian Bu. Malam itu ia
memang mendapat giliran berjaga. Perapian dan arak memberi mereka
semua kehangatan. Padahal mereka tidur di alam terbuka.
Memasuki tengah malam, Cio San tiba-tiba terbangun. Cukat Tong juga ikut terbangun beberapa saat kemudian.
"Kau dengar itu?" tanyanya kepada Cio San
Yang ditanya hanya mengangguk-angguk. Yan Tian Bu tetap berada di
tempatnya. Ia heran, suara apa yang sedang didengarkan kedua orang itu.
Tak berapa lama, muncul bayangan hitam. Seseorang telah muncul di situ.
Ia berjalan dengan santai. Wajahnya tertutup topeng.
"Salam kepada Mo Kauw Kaucu, dan Raja Maling" kata orang itu sambil
menjura. "Salam" jawab Cio San. "Tuan siapakah?"
"Jika kau ingin tahu, silahkan ikut aku" jawab si orang bertopeng.
"Kau tunggu di sini" kata Cio San kepada Cukat Tong. Ia lalu beranjak.
"Bagus. Cio San memang adalah Cio San" wajahnya tertutup topeng, tapi orang bisa melihat bahwa ia sedang tersenyum di balik topengnya.
"Silahkan" Cio San mempersilahkan si orang bertopeng duluan. Ia lalu
mengikutinya. Si orang bertopeng bergerak dengan sangat cepat. Melompat ke atas dahan pohon, turun lagi, menyelinap ke balik pohon, dan berlari dengan sangat cepat. Karena tidak mendengar suara kaki Cio San di belakangnya, ia
menoleh. Ternyata Cio San memang masih berada di belakangnya sedang
tersenyum memandangnya. Tak berapa lama, setelah si orang bertopeng merasa mereka cukup jauh
dari rombongan Cio San, ia kemudian berhenti di sebuah tanah yang agak lapang.
"Aku adalah orang kau cari-cari selama ini" kata si orang bertopeng.
"Aku tidak pernah mencari-cari orang. Tuan mungkin salah alamat" jawab Cio San sambil tersenyum. Jemarinya memainkan rambutnya, sedangkan
tangan kirinya terlipat ke belakang.
"Aku adalah orang yang merencanakan semua pembunuhan-pembunuhan
itu. Akulah otak segala kekacauan dalam Bu Lim"
"Ah"." Hanya itu yang keluar dari mulut Cio San.
"Aku datang untuk memperingatkanmu, untuk tidak mencampuri urusanku!"
"Tuan mungkin lupa. Tapi aku tak pernah mencampuri urusanmu. Orangorangmu yang selalu datang mencariku dan ingin membunuhku."
Si orang bertopeng di depan Cio San seperti kehilangan kata-kata.
"Aku tidak menyukaimu. Aku ingin kau mati" katanya.
"Sudahlah. Rencana bodohmu ini aku sudah tahu. Rencana seperti ini hanya membuatku merasa akal pikiranku terhina"
"Rencana apa?" Cio San hanya geleng-geleng. Wajahnya menampilkan rasa kecewa.
"Kau sedang menggunakan akal "memancing harimau meninggalkan sarang"
bukan" Kau berharap saat aku meninggalkan rombonganku, gerombolanmu
bisa menyergap dan menyerang rombonganku bukan" Kau sendiri bukanlah
si otak besar itu. Kau cuma orang suruhan" kata Cio San.
Sinar mata si orang bertopeng berkilat kaget.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tinggalkan mereka?" tanya si orang
bertopeng. "Kau bukan hanya meremehkanku, kau pun meremehkan Raja Maling, dan
Ang Lin Hua" kata Cio San.
Lalu ia melanjutkan, "Hal ini sudah pasti kalian akan kalah, tapi tetap kau lakukan juga. Ini sudah pasti bukan perintah dari si otak besar. Ini pasti kau sendiri yang
merencanakannya. Si otak besar tidak akan melakukan hal sebodoh itu"
Lagi-lagi si orang bertopeng menampilkan kekagetannya.
Telinga Cio San telah mendengar suara pertarungan nun jauh di sana. Di tempat rombongannya beristirahat.
Ia lalu mengerutkan kening,
"Kau memang sengaja ingin membunuh teman-temanmu sendiri?"
"Cio San memang Cio San. Kabar tentang kecerdasanmu memang telah
membuatku kagum. Kau benar. Aku memang ingin membunuh temantemanku sendiri dengan meminjam tangan kalian"
Cio San hanya memandanginya saja.
Si orang bertopeng melanjutkan,
"Tuan kami, orang yang kau sebut si otak besar, telah berhasil
mengumpulkan banyak pendekar Kang Ouw untuk tunduk di bawah
kekuasaannya. Kami sendiri tidak saling mengenal antar satu sama lain, karena kami selalu menggunakan topeng. Tapi dari jurus-jurus silatnya, akhirnya kami bisa mengenal. Walaupun hanya bisa meraba-raba, karena
masing-masing menyembunyikan ilmu silatnya yang sebenarnya"
Lanjutnya, "Si otak besar pun memberikan kami kitab-kitab silat sakti. Ia memiliki kitab-kitab silat perguruan-perguruan besar seperti Go Bi pay, Kun Lun pay, dan Hoa San pay. Bahkan kitab-kitab silat sakti milik Butong Pay dan Siau Lim Pay pun ia miliki. Kau bisa bayangkan, orang sehebat apa dia, yang mampu mencuri kitab-kitab sakti partai-partai besar itu" Kitab-kitab ilmu yang sangat mereka rahasiakan"
Cio San hanya mengangguk-angguk.
Si orang bertopeng melanjutkan lagi,
"Maka kau bisa bayangkan betapa hebatnya ilmu kami semua" Orang
secerdas dan sesakti kau pun tak akan mampu melawan kehebatan si otak besar dan kami semua."
Suara pertempuran nun jauh di sana sudah berhenti.
"Ah, sudahlah. Bukan itu yang ingin ku ceritakan kepadamu. Sebenarnya, setelah lama berkumpul dengan anggota kelompok yang lain, aku mulai
yakin, bahwa beberapa orang musuhku berada di antara kelompok ini.
Akhirnya, bisa kau tebak sendiri, aku meminjam tenaga kalian untuk
membunuhi mereka." "Keinginanmu sudah terlaksana" kata Cio San. "Apa maumu sekarang?"
"Karena kau sudah membantuku menyingkarkan musuh-musuhku, aku ingin
memberitahumu rahasia penting"
"Silahkan" kata Cio San
"Aku tahu siapa si otak besar itu sebenarnya" kata si orang bertopeng.
"Kenapa ingin kau beritahukan kepadaku?" tanya Cio San
"Aku benci menjadi budaknya selamanya"
"Kau tadi bilang aku tak akan mampu melawannya, kenapa sekarang kau
berubah pikiran?" tanya Cio San lagi.
"Kalau kau tahu siapa dia sebenarnya, tentunya kau mampu menyusun
langkah agar mampu mengalahkannya"
Cio San tersenyum. Lalu bertanya,
"Siapa dia?" "Dia adalah perempuan paling cantik dan paling kaya di dunia" jawab si orang bertopeng.
"Maksudmu Khu Hujin?" tanya Cio San
"Siapa bilang dia paling cantik dan paling kaya?" si orang bertopeng balik bertanya.
"Oh jadi ada lagi" Siapa namanya?"
"Kau akan tahu saat kau bertemu dengannya" jawab si orang bertopeng.
Cio San mengangguk-angguk. "Terima kasih" katanya.
"Jika kau berhasil membunuhnya, aku akan datang membawa persembahan
kepadamu" kata si orang bertopeng.
Sehabis berkata begitu ia sudah melompat hilang dari situ.
Tinggalah Cio San sendirian di sana. Ia lalu berjalan dengan santai kembali ke rombongannya. Benar saja, ada beberapa mayat bergelimpangan di
sana. Cukat Tong yang pertama menyambutnya,
"Kau berhasil mengalahkannya?"
Cio San menggeleng, "Tentu saja itu bukan dia"
"Mereka menggiringmu pergi agar dapat meringkus kami. Tapi dia salah
perhitungan, Ang-Siocia (nona Ang) menghabisi mereka semua. Dalam
beberapa hari ini, ilmu silatnya meningkat pesat. Sungguh hebat"
Cukat Tong memujinya secara terang-terangan, ANg Lin Hua hanya bisa
berkata "Tidak berani..tidak berani" sambil menjura. "Semua berkat kaucu yang mulia".
"Baiklah mari kita bereskan mayat-mayat ini dan kuburkan secara layak"
kata Cio San. Mereka semua bekerja dan menguburkan belasan mayat itu saat itu juga.
Setelah selesai, mereka kembali beristirahat. Kal ini giliran Cukat Tong yang berjaga-jaga.
Lama ia diam saja, akhirnya karena tidak kuat menahan rasa penasaran, akhirnya ia mengajak Cio San bicara. Padahal Cio San terlihat sudah
tertidur. "Kau tidak ingin menjelaskan kepadaku apa yang tadi terjadi?"
Dengan agak malas-malasan Cio San menjawab,
"Mengapa kau anggap remeh akalmu sendiri" Kau adalah Raja Maling"
"Raja Maling jika berada di sebelahmu, hanya seekor kura-kura. Kalau ada kau disini, urusan berpikir, kuserahkan kepadamu seluruhnya" ujarnya
sambil tertawa. Cio San akhirnya bangkit,
"Dasar pemalas" tawanya
Ia lalu melanjutkan, "Kau pasti sudah tahu jika mereka tadi menjalankan akal "memancing harimau keluar sarang?""
"Ya" jawab Cukat Tong pendek.
"Si orang bertopeng tadi mengaku sebagai otak besar. Tapi setelah aku berhasil membongkar kebohongannya, akhirnya dia mengakui rencana
sebenarnya" "Apa katanya?" "Dia bilang, ia ingin meminjam tangan kita untuk membunuh kawan-kawan gerombolannya sendiri"
"Alasannya apa?" tanya Cukat Tong
"Katanya, beberapa anggota gerombolannya ternyata adalah musuhmusuhnya. Jadi ia ingin meminjam tangan kita." Jelas Cio San.
"Lalu kenapa ia harus memancingmu pergi" Bukankah jika ada kau, urusan pinjam meminjam tangan itu akan lebih cepat selesai?" tanya Cukat Tong lagi.
"Jika ia tidak memancingku pergi, tentunya teman-temannya tak akan
berani menyerang. Mereka kan sudah benar-benar tahu apa yang bisa ku
lakukan" "Jadi ia menyamar sebagai si otak besar, dan memancingmu keluar, agar teman-temannya berani menyerang kami" Hmmm"Bagus juga akalnya.
Lalu?" "Lalu setelah teman-temannya mati, sebagai ucapan terima kasih, ia
memberitahukan sebuah rahasia kepadaku"
"Rahasia apa?" "Rahasia jati diri si otak besar yang sebenarnya"
"HAH" Siapa dia?"
"Kata si orang bertopeng, dia adalah wanita tercantik dan terkaya di seluruh dunia"
Wajah Cukat Tong langsung berubah, "Di"dia?"
"Kau kenal?" Cukat Tong hanya mengangguk dan tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya
menunduk. Segera Cio San berkata, "Tentu saja aku tidak percaya kebohongannya"
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Karena aku sudah tahu siapa si otak besar sebenarnya"
"Kau tahu" Si..siapa?"
"Rahasia. Aku akan memberitahukannya jika aku benar-benar bisa
membuktikannya. Jika tidak, ia akan lolos dengan mudah"
"Lalu, apa maksud si orang bertopeng tadi memberitahukan rahasia palsu itu?"
"Untuk menjerumuskanku ke dalam jalan yang salah. Fitnah, agar aku
terpengaruh, dan tidak mencurigainya" jelas Cio San
"Untuk hal itu, ia mengorbankan belasan anak buahnya. Gila sekali" kata Cukat Tong
"Bisa saja, dia memang sudah tidak membutuhkan belasan anak buahnya
itu" kata Cio San. "Dan ia menganggapmu dungu untuk begitu saja percaya tipu dayanya.
Hahaha" tawa Cukat Tong.
Ia melanjutkan lagi, "Kadangkala, orang yang paling tolol adalah orang yang menganggap orang lain lebih tolol daripada dirinya"
Bab 43 Sebuah Undangan Perjalanan yang dilakukan dengan santai dan tawa canda. Jika dilakukan selama bertahun-tahun tetap saja menyenangkan. Sudah 15 hari mereka
lalui. Mengunjungi berbagai tempat-tempat yang indah. Di sebuah kota, Cio San membeli sebuah khim kecil. Tentu saja perjalanan kemudian menjadi ramai oleh nyanyian.
Kadang-kadang jika sedang berhenti di danau atau telaga yang indah,
mereka menikmati pemandangan di sana sambil menikmati lagu-lagu Cio
San. Suaranya merdu dan permainan khimnya mendayu-dayu. Tapi tak
satupun yang tahu jika lagu-lagu itu adalah ciptaan Cio San sendiri.
Hari ke 20. Mereka berhenti di sebuah telaga indah di pinggiran kota Yang Lin. Saat itu telah memasuki musim gugur. Bunga Bwee yang berguguran di sepanjang danau, membuat daerah sekitar situ terlihat seperti lautan bunga.
Cahaya mentari pagi membuat warna pantulan bunga-bunga itu meliputi
seluruh danau. Air terlihat berwarna merah muda.
Melihat air sesegar itu, Cio San jadi ingin berenang. Cukat Tong yang memang jarang mandi memilih tidur-tiduran saja di pinggiran danau. Ang Lin Hua dan Sie Peng pun juga tidak berenang. Daerah itu terlalu terbuka bagi kaum perempuan. Mereka memilih pergi ke kota untuk membeli
perlengkapan perempuan. Yan Tian Bu memilih pergi mencari rerumputan
untuk kuda-kudanya. Jadi Cio San berenang sendirian saja. Ia mencopot seluruh bajunya, dan berenang hanya menggunakan pakaian dalam. Air danau yang jernih dan
segar membuat tubuhnya merasa sangat nyaman. Walaupun airnya dingin,
Cio San tetap merasa hangat karena saat itu matahari bersinar dengan
cerahnya. Tak lama setelah ia berenang, telinganya mendengar sesuatu di daratan sana. Cio San tahu ada yang datang, tetapi ia pun tahu itu bukan langkah teman-temannya.
Lalu tak lama kemudian, muncul empat orang dari balik pepohonan. Empat orang wanita. Bahkan dari jauh pun kecantikan mereka sudah mencolok
mata. Cio San penasaran apa yang akan mereka lakukan. Ia muncul dari air untuk "memberitahukan" keberadaan dirinya.
Keempat nona itu pun melihatnya. Dari jauh Cio San bisa melihat mereka tersenyum. Cio San pun membalas tersenyum. Tapi senyumnya segera
berubah ketika ke empat nona itu perlahan-lahan mencopot baju mereka
satu persatu. Gerakan melepas baju ini dilakukan dengan lambat-lambat sambil
tersenyum pula padanya. Jika ada perempuan melakukan hal ini kepadamu, sebaiknya engkau lari. Karena sudah pasti ia akan menerkammu. Tapi Cio San tidak lari.
Ia hanya menatap saja. Satu persatu helaian baju mereka jatuh di atas tanah. Mereka
melakukannya dengan gembira, seperti sedang melakukan hal yang paling menyenangkan di muka bumi. Memang biasanya perempuan paling suka
memakai pakaian bagus di hadapan lelaki. Tapi ada juga perempuan yang suka sekali melepas pakaian bagus itu di hadapan laki-laki. Rupanya ke empat nona ini termasuk golongan yang terakhir tadi.
Kini ke empat nona itu telah berjalan memasuki danau. Senyum mereka
telah berubah menjadi tawa-tawa kecil saat kaki-kaki indah mereka
menyentuh air yang lembut dan jernih itu. Tubuh mereka tanpa sehelai
benang pun. Dari tubuh mereka, tercium bau wangi dari jarak yang cukup jauh. Kulit mereka yang mulus dan putih, serasa membuat air yang mereka masuki
terasa lebih lembut dan hangat. Tidak ada yang tidak indah dari tubuh mereka. Setiap jengkalnya sempurna. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, jika bisa dijual tentulah hanya kaisar yang mampu membelinya.
Jarak antara Cio San cukup dekat dari daratan, tapi sejak nona-nona ini membuka baju-baju mereka dan berjalan memasuki air dan mendekati
dirinya, Cio San merasa waktu berjalan sangat lama sekali. Bahkan seolah-olah dunia berhenti berputar.
Jika ada orang bilang bahwa kau tak dapat menghentikan waktu, maka
orang itu belum pernah bertemu dengan salah satu dari nona nona ini. Kau cukup melihat salah satunya, lalu kau akan merasa dunia seolah berputar ke belakang.
Bahkan seorang lelaki tua renta yang sudah sekarat pun mungkin akan
hidup kembali sebagai remaja belasan tahun jika melihat kecantikannya.
"Hmmm, inikah Mo Kauw kaucu yang baru itu?" suara salah satu dari
mereka, jika dibandingkan dengan suara penyanyi paling merdu pun,
mungkin seperti membandingkan berlian dengan lumpur.
"Aku masih ragu, dia ini pria atau seorang bocah ingusan?" timpal salah seorang.
"Tentu saja dia seorang pria. Seorang bocah ingusan mana mungkin tetap senyum-senyum saja melihat kita?"
"Benar. Matanya sepertinya sudah terlatih menilai emas permata"
Mereka berbincang dengan santai padahal tubuh mereka telanjang bulat di hadapan seorang laki-laki yang tidak pernah mereka temui sebelumnya.
Kini mereka sudah berada dihadapan Cio San. Saking dekatnya Cio San
bahkan mendengar detakan jantung, dan gerakan dada mereka saat
menghela nafas. Cio San sendiri sebenarnya sudah menahan nafas dari tadi.
Karena ia mereasa, jika nona-nona ini bernafas, nafasnya sendiri akan ikut tertarik bersama helaan nafas mereka.
"Salam kaucu" Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah pembohong terbesar di muka bumi.
Itu baru jari jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah mereka"
Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada hakekatnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa berkata-kata di
hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata,
berarti membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk
memandang mereka saja"
"Cio San tayhiap, nama kebesaran tuan sudah kami dengar beberapa bulan belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan tuan" kata salah seorang.
"Tidak berani"tidak berani", walaupun cayhe (saya) belum tahu nama
nona-nona sekalian, tapi kecantikan nona justru lebih dulu kukagumi"
"Memangnya, tuan pernah dengar di mana tentang kami?" tanya salah
seorang. "Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga bwee yang gugur itu" kata Cio San sambil tersenyum.
"Hmm?" mereka semua mengangkat alis.
"Apakah nona-nona sekalian tidak tahu" Bunga-bunga itu berguguran
karena malu. Mereka malu karena selama ini menganggap diri sebagai
Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makhluk terindah. Jadi karena tahu nona-nona akan datang kesini, bungabunga ini lebih dulu menggugurkan diri mereka sendiri"
"Ah"." Ke empat nona mendesah. Jika kau mendengar desahan salah
seorang saja, tentu kau akan menganggap dirimu sebagai orang yang paling mengerti tentang cinta.
"Tampan, pandai silat, dan pandai merayu wanita pula. Di dunia ini, kalau tidak segera kuterkam saat menemukan lelaki demikian, kalian boleh
panggil aku cucu kura-kura" kata salah seorang.
"Memangnya cuma Lian-ci (kakak Lian) saja yang berminat?"
"Ah, Cing-mey juga suka padanya" Aku tidak suka rebutan. Tapi kali ini, aku akan membuat pengecualian"
"Kalian berdua berbicara saja, apakah tidak kalian lihat lelaki tampan di hadapan kalian malah sudah ingin menerkam kalian lebih dulu?"
"Hahahahahaha" Mereka tertawa lepas. Seolah-olah di dunia ini tidak pernah ada kesedihan.
Tawanya saja sudah bikin jantung lelaki bergetar.
"Nona sekalian ada keperluan apa mencariku kesini?" tanya Cio San
"Kami hanya ingin berenang. Mengapa tuan besar kepala sekali mengira kami mencari tuan?"
"Jika nona sekalian tidak mencariku, mungkin lebih baik aku langsung saja mencari orang yang mengutus nona kesini" kata Cio San. Senyumnya tetap tersungging.
"Dari mana tuan tahu ada orang yang mengutus kami?"
"Jika ada wanita secantik salah satu dari kalian, ia tentunya akan menjadi ratu. Ia akan hidup demi kesenangannya sendiri. Tidak mungkin ia mau
disatukan dalam kelompok seperti nona-nona ini. Makanya, jika kini ada empat orang wanita secantik nona mau bersama-sama, tentulah karena ada yang mempersatukan" jelas Cio San.
Ke empat wanita itu sedikit terhenyak. Rupanya kata-kata Cio San sedikit menyentuh perasaan terdalam mereka.
"Tuan rupanya sangat paham tentang perempuan, ya?"
"Laki-laki manapun yang mengaku paham tentang perempuan, kalau tidak
dungu, tentulah sudah pikun" tukas Cio San sambil tertawa.
"Tuan benar, Pangcu kami mengutus kami untuk mengundang tuan secara
langsung untuk mampir ke tempat peristirahatannya"
"Di mana?" "Di balik bukit itu" katanya sambil menunjuk sebuah bukit.
"Baiklah, sampaikan padanya aku akan datang" kata Cio San sambil berbalik badan dan menceburkan dirinya ke air.
Tanpa menunggu lama, ke empat wanita itu pun menceburkan diri selulup ke dalam air. Begitu keluar, mereka bertanya kepada Cio San,
"Tuan tak ingin bersenang-senang dengan kami dulu?"
"Jika pangcu mu tahu, kalian menggoda tamunya, bukankah kalian akan
dihukum?" kata Cio San santai.
"Ahhh!" keempat wanita itu membanting tangan ke air karena kecewa.
Cipratannya deras sekali. Ilmu tenaga dalam mereka memang tidak bisa
dibuat main-main. Mereka lalu beranjak pergi meninggalkan Cio San. Salah satu dari mereka kemudian menoleh dan bertanya,
"Tuan tidak ingin tahu siapa pangcu kami?"
Cio San tersenyum, "Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan wanita paling cantik di dunia"
Ke empat nona itu mengangguk-angguk. Mereka lalu keluar dari air dan
memakai baju yang tadi mereka tanggalkan di pinggir danau. Baju itu
langsung dipakai tanpa menunggu tubuh mereka kering lebih dulu. Sehingga baju itu ikutan basah dan lengket ke tubuh mereka. Menunjukkan lekuk-lekuk yang sangat indah.
Cio San hanya geleng-geleng kepala, batinnya " Kadang-kadang wanita
dengan baju yang lengkap, jauh lebih menarik ketimbang wanita tanpa
baju" Itulah sebabnya wanita menghabiskan banyak waktu dan uang untuk
membeli pakaian yang mempercantik dirinya.
Cio San pun tidak lama kemudian keluar dari air. Ia mengeringkan tubuhnya dengan cara berjemur saja. Cukat Tong yang sejak tadi tidur saja kemudian bangun dan bertanya,
"kenapa kau tidak mengeringkan tubuhmu dengan tenaga dalam saja"
Hanya perlu waktu beberapa detik tubuhmu kan kering sepenuhnya"
"Tenaga dalamku hanya untuk bertarung. Bukan untuk mengeringkan
badan" ujar Cio San santai. Ia melanjutkan, "Kau sudah tahu ada 4 siluman rubah mengeroyokku, kenapa tidak datang membantu?"
"Justru karena aku tahu kau sedang dikeroyok siluman rubah, maka aku tak mau bangun" tukasnya
"Memangnya kenapa?"
"Aku takut jika mereka melihat pria setampan, sepintar, dan sesakti aku, mereka akan beramai-ramai menerkamku"
Bab 44 Dua Orang Pendekar
Ketika seluruh rombongan sudah kembali, Cio San tidak menceritakan apa-apa. Mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya makan pagi
dahulu. Di tengah jalan Cukat Tong bertanya kepada Cio San,
"Kau sungguh-sungguh akan pergi menemuinya?"
"Iya. Kau tidak ikut, bukan?" kata Cio San
"Baiklah" Jika sahabatmu mengatakan tidak ingin melakukan sesuatu, maka
sebaiknya kau memang tidak bertanya kenapa. Ia pasti mempunyai alasan tersendiri yang tidak ingin diceritakannya kepadamu.
"Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?" tanya Cio San
"Apa?" "Bisa tolong kau kawal anak buahku sampai nanti kita bertemu kembali?"
"Tentu saja" "Kota apa yang terdekat dari sini?"
"Kita bisa kembali ke kota yang tadi, atau aku bisa menunggumu di kota depan, kota Bu Tiau" jawab Cukat Tong.
"Baik, Kalian tunggu aku di Bu Tiau. Cari penginapan terbaik. Aku akan menemui kalian di sana dalam beberapa hari ini" kata Cio San
"Kaucu hendak pergi kemana?" tanya Ang Lin Hua
"Mengunjungi wanita tercantik nomor dua di dunia" kata Cio San sambil tersenyum
"Siapa itu?" tanya Ang Lin Hua
"Aku belum tahu namanya, dan belum pernah bertemu"
"Ohh" Cukat Tong menimpali, "Lalu maksudmu, siapa yang nomer satu tercantik di dunia?"
"Tentu saja ibunya Cio-kaucu" jawab Ang Lin Hua " Benar bukan, tuan?"
tanyanya kepada Cio San. Cio San hanya senyum-senyum saja.
"Ah, tentu saja yang nomer satu adalah kekasihnya di Liu Ya" tukas Cukat Tong.
"Ohh" tiada kata yang keluar dari bibir Ang Lin Hua.
Perjalanan memakan waktu beberapa lama sampai mereka tiba di kaki
bukit. Cio San kemudian turun dari kereta, dan bergegas pergi. Tiada salam perpisahan karena mereka yakin akan bertemu kembali.
Cio San menyusuri sebuah jalan mendaki yang indah sekali. Di sisi jalanan setapak ini, pohon Bwee berjejer-jejer dengan rapih. Guguran bunganya memenuhi jalanan bagaikan permadani yang menyambut tamu-tamu yang
datang kemari. Pemandangan di bukit ini sungguh indah. Tapi tak ada seorang pun yang datang ke bukit ini. Keindahan yang sepi. Cio San jadi teringat Ang Lin Hua.
Nona itu begitu cantik, namun terlihat begitu sedih. Seolah-olah yang ada di hatinya cuma air mata belaka. Entah apa yang ada di hatinya. Perasaan perempuan, hanyalah mereka sendiri yang tahu. Laki-laki hanya sanggup membaca mata mereka saja. Membaca gerak geriknya saja. Tapi
sesungguhnya laki-laki tak akan pernah tahu isi hati perempuan.
Bukit yang indah nan sepi ini benar-benar terasa bagai Ang Lin Hua. Tatapan matanya, sinar wajahnya, gerak gerik tubuhnya yang gemulai.
Menyimpahan kesedihan dan kesunyian. Tapi juga menyimpan bahaya.
Cio San sangat paham, bukit ini menyimpan ribuan rahasia yang sungguh tak dapat diduga manusia manapun. Itulah sebabnya tak ada seorang pun yang datang ke sini. Bukit ini mungkin telah menelan dan menghilangkan entah berapa banyak nyawa manusia.
Wanita cantik, dan bahaya. Bagi Cio San, kadang-kadang kedua kata ini sukar dipisahkan. Dia sendiri tidak paham mengapa ia berpikiran seperti ini.
Mungkin karena dulu terlalu sering mendengarkan ujar-ujaran ayahnya.
Entahlah. Ayahnya begitu memuja-muja kecantikan, tapi di saat yang sama, amat takut terhadap kecantikan pula.
Di dunia ini yang bisa menimbulkan perasaan kagum dan takut secara
bersamaan, tentulah kecantikan wanita.
Ia menyusuri jalanan yang indah ini. Kicau burung dan desah pepohonan mengiringi langkahnya. Harum bunga Bwee seperti memandikannya dengan
wewangian. Ia melangkah tanpa ragu. Ia yakin betul dengan dirinya sendiri.
Jika kau tidak yakin dengan dirimu, sebaiknya kau jangan melakukan
apapun. Karena kau akan kecewa.
Tak berapa lama berjalan, Cio San sudah melihat bayangan orang duduk tak jauh dari sana. Orang itu duduk bersila di atas sebuah batu besar. Saking tegap dan kokohnya ia duduk, sampai-sampai Cio San sukar membedakan
yang mana batu, yang mana orang.
Begitu sampai di depan orang itu, Cio San berhenti. Ia tidak berkata apa-apa, dan menunggu orang yang duduk itu yang berbicara.
"Kau hendak menemuinya?" tanya orang yang duduk itu. Wajahnya tampan, namun penuh bekas luka. Herannya bekas luka itu malah membuat
wajahnya semakin tampan. Di pundaknya tersanding sebuah pedang
bergagang hitam. "Benar" jawab Cio San.
"Kau yakin kau punya kemampuan untuk menemuinya?" tanya si orang
yang duduk itu. "Kalau tidak yakin, tentu tidak datang" jawab Cio San enteng.
"Bagus" Entah kapan ia berdiri dan melolos pedang. Tahu-tahu ujung pedangnya
telah menyabet leher Cio San. Jika orang lain, tentu kepalanya sudah
terpisah dari tubuhnya. Tapi Cio San bukan orang lain. Cio San adalah Cio San.
Ia hanya mundur sedikit saja, tebasan pedang itu lewat di depan lehernya.
Jarak leher dan pedang mungkin hanya sehelai rambut, sehingga jika ada yang melihat tentu menyangka leher Cio San sudah terbabat.
Tapi kepalanya masih di tempat yang seharusnya.
Si empunya pedang tentu saja terheran-heran melihat ada orang yang bisa menghindari serangan pedangnya. Di saat-saat terakhir pula. Memang
selama ini si empunya pedang tidak pernah gagal menebas leher orang.
Sayangnya hari ini ia bertemu Cio San.
"Siapa kau?" tanyanya
"Nama cayhe Cio San"
"Aku belum pernah mendengar namamu"
"Memang nama cayhe bukan nama pesohor" katanya tersenyum.
"Di dunia ini, orang yang bisa menghindari pedangku tidak sampai 5 orang"
kata si pedang hitam itu.
"Sudah berapa lama ciokhee (tuan) berada di sini?"
"Sudah 3 tahun"
"Nampaknya tuan harus sering sering keluar. Serangan tuan memang
sungguh hebat, tapi ku jamin ada orang yang jurus pedangnya bisa
menandingi jurus tuan" kata Cio San
Mata orang itu terbelalak. Ada sinar bahagia dan senang di wajahnya.
"Siapa dia?" "Namanya Suma Sun"
"Aku belum pernah dengar nama itu juga"
"Itulah sebabnya cayhe bilang, tuan harus sering keluar" kata Cio San
"Jika aku keluar dari sini, tentulah aku akan langsung mati" jawab orang itu.
"Sehebat itu kah "dia?"" tanya Cio San.
"Jauh lebih hebat dari yang bisa kau bayangkan" jawab orang itu. Ia
melanjutkan, "Kau silahkan lewat. Aku mengaku kalah"
Di dunia ini yang mampu menghindari sabetan pedangnya dengan cara
demikian, mungkin hanya orang di depannya ini saja. Pesilat yang sangat ahli, dan rendah hati, tentu akan mampu menilai kemampuan dirinya dan kemampuan orang lain.
Cio San menjura dan mengangkat tangan tanda menghormat. Tidak mudah
bagi orang Kang Ouw mengaku kalah dengan lega hati. Biasanya mereka
memilih mati daripada mengaku kalah. Karena itulah, mengaku kalah justru jauh lebih berat daripada kematian.
Oleh karena itu Cio San mau tidak mau harus kagum dan merasa hormat
sekali pada orang di depannya ini.
"Bolehkah cayhe yang hina mengetahui nama ciokhee yang terhormat?"
tanya Cio San sopan. "Namaku Gan Tiat Hu"
"Ahhh?" hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Ia pernah mendengar nama ini. Seorang pendekar muda yang jurus-jurus pedangnya begitu
memukai sampai-sampai dijuluki Si Pedang Bayangan. Orang ini menghilan 3-4 tahun yang lalu. Ternyata berdiam diri di sini.
Entah apa yang membuatnya menghamba di sini selama 3 tahun.
Entah SIAPA yang bisa membuatnya menjadi seperti itu.
Membayangkan saja Cio San sudah bergidik.
"Terima kasih atas kemurahan hati tayhiap. Boanpwe (saya yang lebih
muda) tak akan melupakan"
Ia memandang Cio San lama, dan berkata,
"Kau berhati-hatilah. Atau kau akan berakhir seperti aku pula"
"Terima kasih atas petunjuk tayhiap" ia menghormat dengan tulus.
Orang yang tulus, ketulusannya pasti akan terasa sampai ke jiwa.
Menggetarkan bagian terdalam sanubari. Sebaliknya, orang yang tidak tulus, kebusukannya akan membuat kulit merinding dan nafas menjadi sesak.
Amat sangat mudah membedakannya.
Saat melihat ketulusan dalam penghormatan Cio San, mau tidak mau orang itu tersentuh juga hatinya.
"Jika kau kalah, bunuhlah dirimu. Itu jauh lebih baik" katanya sungguh-sungguh.
"Terima kasih tayhiap." Cio San menjura lagi. Lalu berkata, "Boanpwe minta diri"
"Silahkan" Cio San lalu melanjutkan perjalanan. Jalanan setapak yang mendaki itu kini semakin menyempit namun tampak lebih indah. Ia berjalan beberapa Li,
menikmati keindahan alam bukit itu. Menikmati kesegaran udaranya. Cio San merasa ia seperti melayang-layang oleh udaranya.
Keadaan di sini, bahkan udara pun memabukkan!
Beberapa lama ia berjalan, ia sudah melihat bayangan orang lagi di
depannya. Ia duduk di bawah rimbunan bambu. Tangannya memegang
sebuah tongkat dari bambu pula.
"Kau lebih baik kembali" kata orang itu begitu melihat Cio San mendekat.
Orang ini pun tampan sekali. Pakaiannya sederhana dan ringkas. Walaupun agak kotor, malah membuat ia terlihat gagah dan jantan. Kumis dan
jambang tipis di wajahnya membuatnya terlihat garang.
"Satu langkah lagi, aku akan menyerangmu" orang itu memperingatkan.
Cio San tetap melangkah. Tongkat bambu itu kemudian mengincar ulu hatinya. Padahal jarak mereka terpisah cukup jauh. Tapi tiba-tiba bambu itu sudah mengincar ulu hatinya.
Serangan ganas ini tidak hanya cepat, melainkan membingungkan karena
bayangan tongkat seperti ada ribuan.
Jurus pertama di hindari Cio San dengan bergeser ke samping. Jurus kedua, tongkat bambu tahu-tahu mengincar kepalanya. Cio San mundur tetapi
tongkat itu tetap mengincar kepalanya. Ia mengangkat tangan kirinya.
Bunyi suara ular derik mulai terdengar dari telapak tangannya. Ia menangkis tongkat itu dengan tangan kirinya itu.
Tak disangka-sangka tongkat itu pecah berkeping-keping seolah-olah
menjadi ribuan jarum yang seluruhnya mengarah kepadanya. Cio San
sungguh kaget karena pecahan-pecahan bambu yang tak terhitung
jumlahnya itu sudah menghujam seluruh tubuhnya. Jika pecahan-pecahan
itu sampai menembus tubuhnya, tentunya akan sangat berbahaya jika
sampai masuk ke aliran darah.
Kejadian ini berlangsung sepersekian detik.
Cio San memutar tubuhnya bagai gasing. Putaran itu demikian cepat dan dahsyat bagai angin putting beliung yang menghisap jutaan pecahan bambu yang kecil-kecil itu. Begitu pecahan bambu terhisap oleh gerakan tubuh Cio San, dengan amat cepat dan tak diduga-dugam jarum-jarum itu sudah
berbalik kembali menyerang si empunya tongkat bambu.
Kembalinya bahkan lebih dahsyat dari datangnya.
Tapi si empunya tongkat bambu juga sudah siap, di tangannya kini terdapat tongkat besi. Rupa-rupanya di dalam tongkat bambu tadi, tersimpan sebuah tongkat besi. Ia memutar mutar tongkat besi itu sehingga serangan balik pecahan bambu itu punah seketika.
Putaran tongkat besi ini terasa jauh lebih berat dan berbahaya daripada tongkat bambu tadi. Pusaran tongkat ini sudah mengincar dagunya,
selangkangannya, dan perutnya dalam saat yang hempir bersamaan.
Dengan menggunakan tangan kirinya yang berbunyi derik, ia menangkis
serangan-serangan itu. Trang! Trang! Trang! Terdengar suara nyaring bagaikan suara besi bertemu besi. Menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Gerakan kedua orang ini sama-sama
cepat. Tongkat ini sudah seperti menggulung Cio San dari segala arah. Tapi dimana tongkat itu menyerang, selalu terdengar suara ular derik yang
menghalaunya. Suaranya sangat-sangat bising dan memekakkan.
Gulungan tongkat itu, entah bagaimana, kemudian berubah menjadi
gulungan rantai yang kini telah mengikat seluruh tubuh Cio San. Rantai-rantai besi ini mengikatnya sungguh kuat, sampai-sampai bernafas ia tak dapat bergerak. Ujung rantai yang berada di tangan si penyerang itu
kemudian ia hentakkan sehingga membuat Cio San sukar bernafas.
Keadaan sangat genting! Cio San terperangkap rantai-rantai besi yang mengikatnya sangat kuat.
Ia hanya bisa menutup mata. Merasakan tulang-tulangnya remuk oleh
cengkeraman rantai besi yang amat kuat itu. Siapapun tak akan mungkin lolos dari cengkeraman rantai besi itu. Rantai itu memang dibuat dari bahan khusus yang tidak dapat dihancurkan.
Detik-detik kematian telah membayanginya. Serangan ini begitu dahsyat.
Begitu tiba-tiba. Begitu kuat. Begitu sukar dihindari. Tak berapa lama lagi, tulang-tulang Cio San akan remuk seluruhnya.
Tapi kemudian sesuatu terjadi.
Entah bagaimana tubuh Cio San sudah melolos melayang ke atas dan lepas dari cengkeraman besi itu. Seperti jika sebuah benda licin yang berada di telapak tanganmu. Saat kau mencoba menggengam erat, benda licin itu
pasti meluncur keluar lepas dari genggaman tanganmu. Seperti itulah
kejadian Cio San melepaskan diri dari rantai-rantai itu.
Si penyerang terbelalak melihat kenyataan ini. Seumur hidupnya ia baru melihat gerakan demikian.
"Kau..kau bisa ilmu melemaskan tulang?" tanyanya
"Cayhe baru saja tahu. Apakah ilmu itu namanya Melemaskan Tulang" Lucu sekali" katanya sambil tersenyum-senyum.
Ia baru saja lolos dari kematian. Tapi wajah dan senyumnya seperti
menunjukkan jika dia baru saja bersenang-senang.
Ilmu Melemaskan Tulang adalah ilmu kuno yang dianggap sudah punah.
Orang yang menguasai ilmu ini mampu membuat tulang-tulangnya lemas
seperti kapas. Jika menggunakan ilmu ini, orang bisa lolos dari lubang yang amat sempit, karena tulang-tulangnya dapat ia atur sedemikian rupa. Cio San tidak tahu sejak kapan dia memiliki ilmu ini. Pada hakekatnya, ia baru saja menguasainya.
Saat dicengkeram oleh rantai besi itu. Cio San lalu mengosongkan segala pikirannya. Ia malah mengosongkan tubuhnya dari segala energi yang
selama ini dimilikinya. Kini tubuhnya seperti kehilangan daya, namun
pemusatan pikirannya yang sangat kuat membantunya untuk terus bisa
berdiri. Ia bahkan sudah bisa bergerak-gerak, tanpa menggunakan tenaga sama sekali.
Keadaan seperti ini amatlah sangat sulit. Bagaimana mungkin orang bisa bergerak tanpa menggunakan tenaga". Ketahuilah bahwa selalu ada dua
macam tenaga yang ada di dalam dunia ini. Yaitu "Im" dan "Yang". Kedua tenaga ini berbeda namun saling bertautan dan saling membutuhkan.
Seperti "gelap" dan "terang". "Api" dan "Air", "Panas" dan "Dingin".
Keadaan Cio San ini terjadi karena ia menggunakan pemahaman "Tenaga"
dan "Tanpa Tenaga". Karena setiap ada "tenaga ", pasti juga akan
memunculkan "tiada tenaga" sebagai lawan dan juga pasangan dari
"tenaga". Sebagaimana jika kau bernafas. Saat kau menghela nafas, maka paruparumu akan sesak oleh udara. Namun saat kau membuang nafas, dan
paru-parumu kosong, kau seperti merasa dadamu itu sesak juga. Karena
dorongan "ketiadaan" udara itulah yang membuat dadamu terasa sesak.
Bahkan sesaknya jauh lebih menyesakkan daripada saat paru-parumu terisi udara.
Cio San membirakan pikirannya bebas oleh teori-teori ilmu silat. Oleh jurus-jurus. Oleh hafalan-hafalan. Sehingga ia dengan mudah menangkap saripati alam. Apapun yang ada di alam bisa menjadi ilmu silat.
Tenaga yang menghilang dari tubuhnya itu, malah menghisap organ-organ tubuhnya. Cio San merasa sesak sekali. Namun ia mencoba bertahan dalam konsentrasinya. Akhirnya ia merasa tubuhnya seperti menciut. Dan memang tubuhnya menciut. Tulang-tulangnya menjadi lentur, organ-organ tubuhnya walaupun tetap berfungsi dengan baik, juga menjadi sangat lentur.
Hal ini mampu ia lakukan karena ia telah memahami Thay Kek Kun, dan
seluk beluk tubuh ular. Dengan memadukannya Cio San berhasil menguasai ilmu Melemaskan Tulang hanya dalam beberapa detik saja.
Kebanyakan hal-hal yang dianggap orang lain sulit, adalah hal-hal yang bagi sebagian orang sangat gampang. Begitu pula sebaliknya. Kekuasaan Tuhan begitu dahsyat sampai-sampai kita selalu terheran, dan tertunduk kagum.
Jika ada orang yang melihat kejadian ini, tentulah akan terkagum-kagum.
Karena Cio San berhasil memunculkan sebuah ilmu yang telah hilang di
dunia persilatan, yaitu ilmu melemaskan tulang. Ini sebenarnya bukan ilmu silat. Tetapi ilmu ini diciptakan oleh seorang ksatria dari Persia bernama Hasan Bin Shabah.
Hasan Bin Shabah ini adalah pemimpin dan pencipta pasukan bernama
"Hashashin" yang terkenal dengan ilmu-ilmu sakti mereka. Pasukan ini
Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat sakti sehingga menyebut nama mereka saja tidak ada seorangpun
yang berani. Ilmu ini lalu berkembang ke negeri Tionggoan, dibawa oleh para penyebar agama Manicheisme atau agama penyembah api. Di Tionggoan pemeluk
agama ini mendirikan partai persilatan bernama Beng Kauw. Yang kemudian berubah menjadi Mo Kauw. Yaitu pertain yang diketuai oleh Cio San
sekarang. Ilmu Melemaskan Tulang ini kemudian punah, karena tidak ada seorang pun yang berniat mempelajarinya, karena dianggap bukan ilmu
silat. "Si..siapa nama mu..?" tanyanya terbata-bata
"Nama boanpwe (saya yang muda) adalah Cio San. Cianpwe (anda yang
lebih tua) bukankah adalah Souw Hat Ta, si Raja Ribuan Senjata"
Tentu saja orang-orang pernah mendengar nama Souw Hat Ta, si Raja
Ribuan Senjata. Ia sangat terkenal dengan silatnya yang sakti, serta
senjatanya yang bisa berubah-ubah menjadi bermacam-macam. Dalam
seratus jurus, senjatanya bisa berubah menjadi seratus macam juga.
Orang ini namanya sudah sejak 10 tahun lalu menggetarkan dunia.
Namanya sudah sejajar dengan pendekar-pendekar utama. Hari ini bertemu di sini sebagai penjaga jalan, siapapun yang mendengarnya pasti tak akan percaya.
"Cayhe (saya) belum pernah mendengar nama Tayhiap (pendekar besar).
Maafkan sempitnya pengetahuan cayhe" kata Souw Hat Ta menjura.
Lanjutnya, "Kalau boleh tau, tayhiap orang partai mana" Ataukah hanya pendekar kelana biasa?"
"Harap cianpwe (anda yang lebih tua) tidak memanggil boanpwe (saya yang lebih muda) dengan sebutan tayhiap. Jika dibandingkan dengan cianpwe, boanpwe hanya anak kemarin sore." Kata Cio San sambil menjura pula.
"Tidak berani..tidak berani" kata Souw Hat Ta. "Tidak ada anak kemarin sore yang bisa menghindar dari rantai-rantaiku. Maaf, tayhiap belum menjawab pertanyaan cayhe."
"Oh maaf. Boanpwe adalah Mo Kauw Kaucu yang baru" jawab Cio San
smabil menjura dan tersenyum.
"Kau" Mo Kauw Kaucu?"
"Benar cianpwe. Boanpwe tahu-tahu saja diangkat sebagai Mo Kauw kaucu.
Tanpa sempat menolak dan melarikan diri" tawa Cio San
"Berarti kau sudah menguasai Ilmu Menghisap Matahari?"
"Boanpwe pernah sekilas melihatnya dua kali" jawab Cio San
"Dan kau sudah menguasainya bukan?" tanya Souw Hat Ta
"Boanpwe sudah paham intinya. Tapi jika dibilang menguasai, tentu masih jauh sekali"
Souw Hat Ta mengangguk-angguk, ia menjatuhkan diri lalu berkata,
"Terima kasih telah memberi ampunan kepadaku"
"Ampunan apa" Cianpwe harap berdiri, Boanpwe tidak pantas menerimanya"
kata Cio San. Ia merasa sungkan pendekar besar ini berlutut di hadapannya.
"Sesungguhnya tayhiap dapat mengalahkanku dengan mudah dengan
menggunakan ilmu Menghisap Matahari. Tapi tayhiap malah mengunakan
ilmu yang lain" kata Souw Hat Ta.
"Ah"ilmu itu terlalu ganas. Bonapwe sendiri memang belum menguasainya.
Apalagi boanpwe telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak membunuh orang lagi" Ia berkata begitu sambil matanya berkaca-kaca. Terbayang
kejadian menyeramkan saat ia "menghancurkan" tubuh puluhan
penyerangnya menjadi tulang belulang dan potongan daging.
Souw Hat Ta berdiri dan berkata,
"Tayhiap sungguh berbakat dan cerdas, mengapa mau datang kesini?"
"Hanya karena ingin" kata Cio San enteng.
ia melakukan apa-apa tanpa pernah merasa terpaksa. Tapi jika ia sudah tidak mau, ia tak akan melakukannya walaupun kau taruh pedang di
tenggorokannya. Orang seperti ini walaupun jarang, tetap saja ada menghiasi bumi. Orang-orang seperti ini membuat hidup terasa jauh lebih menarik.
"Baiklah. Cayhe hanya bisa mengucapakan selamat jalan. Apapun yang ingin tayhiap lakukan bersama "dia", adalah bukan urusan cayhe"
"Terima kasih Souw-tayhiap. Boanpwe mohon diri" Cio San menjura dan
melanjutkan perjalanan. Di depan bukit masih terlihat jauh sekali. Jalan menanjak yang curam seperti ini tentulah sukar dilalui jika kau tak
mempunyai keinginan. Keinginan adalah sumber kekuatan, tapi juga bisa menjadi sumber
malapetaka. Yang manakah yang akan ia temui nanti di ujung perjalanannya"
Bab 45 Surga atau Neraka"
Jalan setapak ini berakhir pada sebuah gerbang. Gerbang yang tidak terlalu besar. Tidak ada tulisan apa-apa pada gerbangnya. Warna kuning cerah di gerbang itu seperti membuatnya menyatu dengan kecantikan alamnya yang mempesona.
Cio San terkesima. Tempat ini begitu indah namun begitu sunyi. Tiada suara seorang pun. Ia memasuki gerbang dengan enteng, walaupun dalam hatinya ia tahu akan ada ribuan bahaya yang harus diterjangnya.
Tak jauh dari gerbang, tepat di tengah-tengah jalan, terdapat seseorang duduk bersila. Kepalanya gundul. Bajunya berkain kasar dan berwarna
kucing cerah. Sekali lihat siapapun tahu orang yang duduk itu adalah
seorang hwesio (bhiksu). Matanya terpejam. Tubuhnya penuh peluh keringat. Kelihatannya sudah
sejak tadi ia duduk di tengah jalan. Cio San berjalan mendekatinya dan menyapanya,
"Salam hormat" ia menjura.
Sang hwesio membuka mata. Tatapannya teduh. Tapi sinar matanya
mencorong. Di dunia ini mungkin hanya dia seorang yang matanya teduh
namun sekaligus mencorong. Ia hanya memandang Cio San dan berkata,
"Siapa yang sudah sampai di tempat ini, tentulah bukan orang
sembarangan" Ia bangkit berdiri. Herannya gaya berdirinya sangat aneh. Seperti melayang saja. Tahu-tahu ia sudah berdiri tegak. Hal ini menunjukkan Ginkang (ilmu meringankan tubuh) nya yang sangat tinggi.
Umurnya kira-kira 40 tahunan. Tapi entah kenapa terlihat begitu tua. Semua orang yang Cio San temui di sini sepertinya memang seperti ini semua.
Berusia masih muda, tapi terlihat begitu tua. Pendekar-pendekar gagah tapi seperti kehilangan semangat hidup.
Si "dia" memang sangat menakutkan. Di kolong langit ini, yang bisa
menghilangkan semangat hidup lelaki yang gagah, tiada lain tiada bukan memang hanya wanita. Hanya wanita.
Jika empat pesuruh wanitanya saja sudah secantik itu, apakah kau bisa membayangkan bagaimana cantiknya si wanita tercantik di dunia itu"
Jika tiga penjaga jalannya saja sudah segagah dan sesakti ini, apakah kau bisa membayangkan betapa sakti ilmu silatnya"
"Kusarankan ciokhee untuk pulang" sang hwesio berkata dengan sopan.
"Cayhe datang kesini karena diundang, mengapa harus diusir pulang?" tukas Cio San
"Ia mengundangmu?"
"Cayhe tidak berani berbohong" jawab Cio San
"Hmmm".walaupun ia mengundangmu, perintah yang kuterima darinya
adalah siapa saja yang lewat kesini, harus melawanku dulu"
"Apa boleh buat. Bertemu dengan dia memang harganya harus mahal."
"Awas serangan!" teriak sang hwesio.
Pukulannya berat. Gerakannya sederhana. Jurusnya pun jurus biasa. Tapi serangan itu bagi Cio San adalah serangan pertama seumur hidupnya yang sangat susah dihindari. Ia bergerak mundur, tapi tangan sang hwesio sudah mencengkeram tangannya. Ia menarik tangannya tapi tangannya sudah
terpegang. Kaki si hwesio melakukan gerakan sapuan, dan Cio San tersapu kakinya. Kecepatan gerakannya sungguh tak terbayangkan. Bahkan Cio San pun tak sanggup menghindarinya.
Begitu Cio San terjengkang, si hwesio mengangkat kakinya untuk menginjak hancur dada Cio San. Begitu kaki itu menghujam dadanya, tenaga dahsyat dari kaki itu seperti terserap dan terperosok ke dalam pusaran tenaga yang jauh lebih dahsyat.
"Thay Kek kun"!" sang hwesio terkejut
Kedahsyatan tenaga injakannya tadi sudah hilang entah kemana. Tubuhnya pun malah seperti terhisap oleh Cio San. Mau tidak mau ia terpaksa jatuh berlutut. Dengan segenap tenaganya ia menyerang dengan menggunakan
jurus Cakar Harimau. Cio San dengan melakukan gerakan berputar, lolos dari serangan cakar itu.
Gerakan tubuhnya yang memutar itu malah melempar sang hwesio
beberapa tombak. Untunglah dengan bersalto ia berhasil menyelamatkan
kepalanya yang hampir membentur bebatuan.
"Kau murid Butongpay?" tanya sang hwesio
"Bekas murid" kata Cio San sambil tersenyum.
"Apa yang kau lakukan sampai Butongpay mengeluarkanmu?"
"Tidak ada" Si hwesio hanya mengangguk-angguk. "Awas serangan!"
Gerakannya sungguh sangat cepat. Cakar Harimau yang datang bertubi tubi seperti hendak mencabik-cabik tubuh Cio San. Tapi Cio San lebih cepat.
Gerakan tangannya yang seperti ular malah membelit lengan sang hwesio dan mengunci seluruh gerakannya.
Si hwesio tak percaya. Bukankah tadi Cio San kalah cepat darinya" Kenapa sekarang jauh lebih cepat" Tapi ia tak ada waktu lagi untuk berpikir. Kakinya sudah naik mengincar dagu Cio San. Tapi kaki Cio San lebih cepat. Dengan gerakan sapuan yang sama dengan yang tadi dilakukan si hwesio, ia sudah menyapu kaki hwesio itu.
Sang Hwesio pun jatuh terpelanting. Ia tak pernah menyangka akan jatuh.
Ia lebih tak menyangka lagi akan jatuh oleh jurusnya sendiri.
Tapi Cio San berhenti. Ia tidak menginjak dada si hwesio seperti awal pertama hwesio itu menginjak dadanya. Ia malah mundur dan tersenyum,
lalu berkata, "Hari ini mata cayhe terbuka. Ilmu silat siau lim pay memang tiada
bandingannya" Ia berkata dengan tulus, tapi si hwesio malah marah,
"Apa maksudmu menghina ilmu kami" Aku sudah kalah, tak perlu lagi kau tambah dengan hinaan" teriaknya sambil bangkit berdiri.
"Harap cianpwe jangan salah paham. Cayhe sungguh benar-benar memuji.
Ilmu Siau Lim Pay sangat sederhana, namun inti sari silat sudah terangkum dan tercakup dengan lengkap."
Melihat ketulusan di mata Cio San, mau tidak mau kemarahannya surut
juga. Apalagi Cio San kemudian menambahkan,
"Cianpwe jatuh oleh jurus sendiri, itu jelas bukan hal memalukan"
Mendengar ini si hwesio malah bersemangat lagi,
"Jika kau mengalahkanku dengan menggunakan jurusmu sendiri, aku baru
mengaku kalah" "Baiklah. Awas serangan!" kali ini Cio San yang bergerak duluan. Tangan kirinya sudah mengeluarkan suara derik. Tangan kanannya sudah
menyerang ke depan dengan membentuk moncong ular.
Melihat serangan ini, si hwesio kaget namun ia tidak menjadi panik. Ia menghindar dengan bergerak ke samping. Tapi entah bagaimana tangan
kanan Cio San juga sudah ada di sana. Ia mencoba menangkis tangan Cio San, tapi tangan Cio San malah membelit lengannya seperti ular. Tangan Cio San sangat lemas bagai tak bertulang, membelit lengan kanan hwesio.
Karena merasa tangan kanannya sudah terkunci, ia menyerang dengan
tangan kiri. Tangan yang berbentuk cakar itu sudah mengincar
kerongkongan Cio San. Tapi suara ular derik ternyata sudah ada di sana, jauh sebelum cakar macan tiba. Tangan kiri Cio San sudah menangkap
cakar itu meremukkannya. Hwesio itu berteriak keras saat tangan kirinya remuk.
Cio San memang seperti tidak memberi ampun. Ia heran mengapa sejak
tadi serangan Hwesio ini sungguh ganas. Padahal seorang hwesio haruslah berwelas asih dan mengutamakan pengampunan. Itulah sebabnya kali ini
Cio San pun tidak ragu-ragu untuk memberinya pelajaran.
Tangan kanan si hwesio sudah terkunci, tangan kirinya sudah remuk. Kini ia hanya punya kepala. Kepalanya ia hantamkan ke wajah Cio San. Ia adalah gerakan bunuh diri yang mengajak lawan mati bersama.
Dengan kekuatannya, Cio San menarik kedua lengan hwesio itu kebawah,
sehingga mau tidak mau hwesio itu tertarik ke bawah. Hal ini membuat
serangan kepalanya tidak mengenai kepala Cio San melainkan mengenai
dadanya. Kepala yang keras itu seperti menghantam bantal yang lembut. Tapi bantal lembut itu sekitika menjadi putaran angin topan dan pusaran air bah. Ia merasa kepalanya terhisap ke dalam pusaran yang sangat kuat ini.
Kedua tangan Cio San yang sedang memegang tangan hwesio lalu membuat
gerakan memutar. Gerakan inilah yang menyelamatkan nyawa si hwesio.
Karena saat itu kepalanya sedang terserap pusaran tenaga dari dada Cio San. Jika tidak tubuh hwesio tidak ikut terputar juga, maka bisa-bisa kepala itu copot dari lehernya.
Begitu tubuhnya memutar, si hwesio sudah tidak bisa mengendalikan
tubuhnya sendiri. Pusaran tenaga ini terlalu kuat sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah mengikutinya saja. Bagitu badan hwesio itu terputar di udara, dengan sedikit gerakan telapak tangan, Cio San menyentuh tubuh hwesio itu dan langsung membuayarkan tenaga putaran yang dahsyat itu.
Thay Kek kun memang tak ada bandingannya di dunia ini!
Si hwesio jatuh terduduk. Tangannya remuk. Kepalanya terguncang. Ia
merasa bumi berputar di sekelilingnya. Ia muntah darah. Bercampur dengan muntah makanan di dalam perutnya. Perlahan-lahan ia mengatur nafasanya dan menemukan lagi kesadarannya kembali.
"I"ilmu apa..a itu ta"di?" tanyanya
"Ilmu ciptaanku sendiri" jawab Cio San. Ia melanjutkan, "Kau sudah
mengaku kalah?" "Aku mengaku" jawabnya.
Cio San pergi meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi. Entah kenapa
hatinya sebal melihat hwesio ini. Selain karena serangannya yang ganas, mungkin karena Cio San merasa seorang Hwesio dari Siau Lim Pay tidak
pantas berada di tempat ini menjadi hamba si "dia".
Cio San berjalan lambat sambil berpikir, "Apa yang menyebabkan seorang hwesio bisa menjadi seperti ini" Begitu cantikkah "dia" sampai seorang hwesio pun bisa jatuh ke dalam genggamannya?"
Lelaki yang jatuh karena cinta, adalah lelaki yang menyedihkan.
Tetapi jika ada yang menertawakannya, orang yang menertawakan itu
sungguh jauh lebih menyedihkan lagi.
Karena orang yang terjatuh itu masih memiliki perasaan.
Maka kini Cio San sudah tidak lagi marah kepadanya. Bagaimana mungkin kau marah kepada pria yang hatinya terbelenggu cinta" Cio San pun hanya bisa ikut sedih kepadanya. Dari belakang terdengar suara hwesio itu,
"Jika kau bertemu "dia", kau akan tahu mengapa aku seperti ini"
Suaranya dalam dan bergetar. Entah getaran itu karena cintanya yang
dalam atau karena rasa takutnya. Tak pernah ada orang yang mengerti.
Dari gerbang itu, terlihat taman yang indah. Berbagai macam bunga
berbaris rapih dan wangi. Perempuan yang cantik memang kadang
menularkan kecantikan kepada benda benda yang dimilikinya. Begitulah
kecantikan yang sempurna. Jika ia memakai baju, baju itu akan kelihatan cantik. Jika ia mengikat rambutnya, ikat rambut itu yang terlihat cantik.
Bahkan jika ia tidur di atas ranjang, entah bagaimana ranjangnya ikut cantik juga.
Begitulah juga rumah peristirahatan si "dia" ini. Tempat ini begitu indah dan cantiknya, sehingga bahkan jika kau letakkan bangkai sapi di halamannya, bangkai sapi itu akan terlihat indah juga.
Rumah yang akan ditujunya masih terlihat jauh. Taman bunga yang cantik seperti menyembunyikan sesuatu. Taman ini saking luasnya sampai-sampai Cio San merasa tersesat. Telinganya yang tajam sudah mendengarkan
banyak hal jauh sebelum ia sampai di taman ini. Hal yang sangat
mengerikan bagi telinganya.
Suara desahan dan erangan. Pria dan wanita mendesah dan mengerang.
Yang paling menakutkan adalah bahwa jumlah orang yang mendesah dan
mengerang itu bahkan tidak bisa dihitungnya. Begitu ia memasuki taman bunga itu, terlihatlah pemandangan yang menusuk matanya.
Puluhan, bahkan ratusan pasangan lelaki dan wanita sedang bercinta
dengan santainya. Tubuh mereka tak berbalut sehelai benangpun. Masing-masing melakukannya dengan tanpa malu-malu, bahkan dengan tanpa
sadar. Orang-orang ini kalau bukan karena mabuk, tentu karena gila.
"Tuan, mari bergabunglah dengan kami. Selamat datang di surga!" kata
seorang perempuan yang sangat cantik. Entah ia sedang berkata atau
sedang mendesah. Ratusan orang bercinta di taman bunga dengan tanpa malu-malu!
Bahkan saking merangsangnya, sampai-sampai kau akan muak melihatnya.
Apa yang terjadi dengan orang-orang ini"
Manusia yang terlalu memuja kebebasannya, memang tak lama kemudian
akan menjadi hewan. Ilmu silat sehebat apapun mungkin akan Cio San hadapi. Tetapi
pemandangan seperti ini cukuplah sekali seumur hidup saja baginya.
Taman itu sangat luas. Di sepanjang jalan, erangan dan desahan-desahan itu bagai menusuk-nusuk jantungnya. Ia sebisa mungkin menahan diri.
Lelaki manapun yang melihat pemandangan seperti ini pasti akan ingin
bunuh diri. Bunuh diri karena tidak ingin terlibat, atau bunuh diri karena menyesal tidak terlibat.
Ia memusatkan pikirannya kepada tujuannya. Rumah di depan sana. Masih jauh. Masih sangat jauh. Apakah ia akan sampai" Ataukah ia akan berhenti di tengah jalan" Terpikat bujuk rayu perempuan-perempuan cantik itu.
Tadi ada 4 wanita yang mengundangnya kesini. Keempat wanita itu bahkan kecantikan mereka pun tidak ada penulis yang sanggup menuliskannya. Kini kecantikan seperti itu berjumlah ratusan, bertebaran di taman bunga yang indah, sedang bercinta pula!
Lelaki-lelaki yang di sana pun begitu tampannya, sampai-sampai bisa
membuat lelaki yang lain pun jatuh cinta kepada mereka!.
Orang-orang yang sedang bercinta di taman ini, ada yang berpasangan
bahkan ada yang sendirian pula. Perempuan-perempuan yang sedang
sendirian inilah yang sedari tadi menggoda dan mengajak Cio San untuk bergabung.
JIka kau punya hati yang terbuat dari batu sekalipun, hatimu akan luluh menjadi debu jika kau mendengar suara mereka, melihat wajah mereka,
dan merasakan kehangatan mereka.
Bagaimana Cio San tidak"
Satu-satunya yang menguatkan hatinya adalah cintanya kepada Mey Lan.
Terbayang Mey Lan yang tertawa saat Cio San bercanda, yang menangis
saat melepas kepergiannya, dan yang mungkin kini sedang menanti
kedatangannya. Hanya kesetiaan dan kekuatan cinta yang membuat lelaki bertahan terhadap apapun.
Rumah itu terlihat dekat, tapi perjalanan terasa sangat panjang dan jauh sekali. Ia kini bertanya-tanya, mengapa tempat seindah ini menyimpan
begitu banyak kejutan yang mengerikan.
Inikah surga" Ataukah neraka" Dan penguasanya sedang menunggunya di istana indahnya.
Bab 46 Dewi atau Manusia"
Ia terus berjalan. Di ujung taman yang luas dan indah ini, Cio San dapat mendengar bunyi sungai di depan sana. Suara desahan dan erangan yang
tadi menusuk-nusuk telinganya, kini perlahan hilang berganti suara
gemericik air sungai. Ada suara langkah dari arah sungai. Entah siapa lagi yang akan ia temui.
Perlahan lahan ia melangkah, terlihat sebuah bayangan di depannya.
Seorang wanita sedang mencuci pakaian di sungai. Wanita itu menoleh dan terkejut melihat kedatangan Cio San.
"Ah"tuan pasti hendak menemui "pangcu", bukan?" katanya.
Cio San hanya mengangguk. Kenapa tempat ini tidak pernah kehabisan
wanita cantik" Wanita di depannya ini bajunya sederhana, hanya kain kasar yang modelnya ketinggalan jaman pula. Rambutnya digelung biasa. Tiada satu pun
perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tapi jika dibandingkan dengan ratusan perempuan maha cantik yang tadi ia temui, seperti membandingkan
matahari dengan kunang-kunang.
"Jika tuan ingin menemui beliau, biar saya antarkan" katanya lagi.
"Baiklah. Terima kasih, siocia (nona)" kata Cio San.
Mereka lalu berjalan beriringan. Harum tubuh nona ini adalah harum tubuh bunga Bwee. Bunga yang memenuhi tempat ini. Seolah-olah kecantikan
seluruh bunga Bwee itu bersatu dan mewujud menjadi nona ini.
"Nama cayhe Cio San, bolehkah tahu siapa nama nona?" tanya Cio San
sopan "Nama hamba Bwee Hua"
"Ahhh" hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Bwee Hua artinya bunga Bwee. Jika tidak takut dituduh berlebihan, hampir-hampir Cio San berfikir bahwa mungkin saja bunga-bunga Bwee yang indah ini tumbuh dari rambut nona ini.
Kecantikan yang sederhana. Tapi jika kau melihatnya, maka kau akan
mengenal kecantikan yang sebenar-benarnya. Kecantikan seperti ini tidak membutuhkan baju yang indah, perhiasan yang mewah, pupur tebal, dan
gincu merona. Kecantikan seperti ini hanya perlu mata yang memandangnya. Seandainya surga diciptakan di bumi, tentulah bentuknya akan seperti nona ini.
Sehingga kau seolah-olah sedang melakukan dosa besar saat
memandangnya. Oleh karena itu Cio San tidak berani memandangnya. Ia hanya menunduk
sambil berjalan. Memandangi helai-helai bunga yang menutupi jalanan.
Mereka kemudian melewati jembatan kecil dan sampai ke seberang.
Tidak ada kata-kata yang terucap. Bersama perempuan cantik, kau
sebaiknya jangan berkata-kata. Kau cukup mengaguminya saja. Karena
kadang berkata-kata itu bisa salah. Tapi mengagumi tak akan pernah salah.
Kau tak pernah salah karena mengagumi seseorang. Kau hanya salah
karena membiarkan dirimu berpikir kau bisa memiliknya.
Maka itu Cio San tidak berkata-kata dan juga tidak berpikir.
Nona ini, semuanya sempurna. Tapi kesempurnaan ini begitu sederhana.
Kecantikan nona ini tidak mungkin bisa kau bandingkan dengan permpuan lain. Kau mungkin hanya bisa membandingkannya dengan langit, bintang-bintang, atau telaga yang sunyi.
Begitu sepi. Begitu sendirian. Jika kau memandang matanya, ia akan
mengantarkanmu ke dalam kesunyian yang abadi. Nona ini mengingatkan
Cio San kepada Ang Lin Hua. Tapi jika kecantikan Ang Lin Hua memukau, kecantikan nona ini seperti hendak menghisap habis cahaya kehidupan
dalam jiwamu. Nona itu pun tidak perlu berkata apa-apa. Karena matanya telah berbicara.
Hidungnya telah berbicara. Bibirnya telah berbicara. Rambut kemerahannya telah berbicara. Kulit lembutnya telah berbicara. Nona ini hanya perlu menatapmu dan kau akan menjadi gila.
Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gila karena tidak percaya ada makhluk seindah ini mau menatapmu.
Tapi nona ini kemudian bertanya,
"Tuan ada keperluan apa hendak menemui pangcu?"
"Dia mengundangku"
"Oh," Lama mereka berjalan beriringan, lalu si nona kembali berkata,
"Tuan mungkin satu-satunya tamu undangan yang berhasil sampai disini.
Tamu-tamu lain semua terhenti di taman bungan di belakang tadi"
"Taman bunga itu memang seperti surga dan neraka melebur menjadi satu"
kata Cio San. Nona itu hanya diam. Sepertinya matanya membenarkan.
Tak lama kemudian mereka sampai di halaman depan rumah peristirahatan itu. Si nona kemudian berkata, "Tuan tinggi di sini, biar hamba
memberitahukan kedatangan tuan kepada pangcu"
Cio San hanya mengangguk-angguk lalu berkata,
"Sesungguhnya nona tidak perlu repot-repot"
"Kenapa, tuan?"
"Bukankah nona adalah sang pangcu itu sendiri?"
Nona itu menatapnya. Lama sekali.
Lalu ia kemudian tersenyum,
"Aku bisa membohongi seluruh dunia, tapi aku tetap tidak bisa
membohongimu. Mari masuk"
Ia lalu menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah peristirahatan itu. Cio San mengikutinya dari belakang. Siapapun lelaki yang berjalan di belakang nona itu pasti akan ketakutan. Takut jika nona ini kemudian menghilang dan tak terkejar lagi.
Karena siapapun yang sudah memandangnya, tentulah tak ingin
memandang wanita lain lagi. Itulah kenapa ketiga pendekar penjaga jalan tadi rela menjadi hambanya. Itulah kenapa ratusan orang rela menjadi
pesuruhnya, dan beraksi sebagai penjahat bertopeng.
Cukat Tong benar. Kekuasaan terbesar di muka bumi ini ternyata bukan
pedang atau jabatan. Kekuatan terbesar adalah paras wanita. Paras cantik yang membuat pedang jatuh lunglai dan jabatan menjadi hina.
Jika ada orang yang paling pantas menjadi otak dibalik segala kejadian ini, tentulah hanya nona ini seorang. Cio San dulu tak pernah menduga seperti ini. Karena dia tak percaya ada wanita yang paling cantik sedunia. Kini ia harus percaya.
"Silahkan duduk"
Nona itu sudah duduk di singgasananya. Bahkan cara duduknya pun begitu indah.
Cio San tetap berdiri. "Ah, kenapa tetap berdiri" Apa kau takut saat kau duduk nanti kau tak sanggup berdiri lagi?"
Cio San malah tersenyum. Sambil memainkan ujung rambutnya, ia berkata,
"Apa yang nona rasakan saat memiliki semua ini?"
"Ah, kita baru saja bertemu dan pertanyaanmu sudah seberat ini. Kau yakin tidak ingin mencicipi arak dan bersenang-senang dahulu?"
Entah kenapa ketika mendengar kata "bersenang-senang" , Cio San
merinding. Tapi Cio San hanya tersenyum, lalu berkata lagi,
"Tentunya kau tak merasa apa-apa, bukan?"
Si nona bagai tercekat. Ia terdiam lama, lalu lantang berkata,
"Benar. Aku memang tak merasakan apapun. Bahkan jika seluruh dunia
tunduk dibawah kakiku, dan semua laki-laki berlutut memujaku, aku tak akan merasa apa-apa. Kau sudah puas?"
"Aku justru kasihan"
Memang jika kau melihat seseorang memiliki segalanya, tapi ia masih saja tidak bahagia, bukankah kau akan mengasihaninya"
Tatapan mata nona ini kemudian berubah menjadi begitu menakutkan,
"Ku akui kehebatan dan kecerdasanmu, tapi apa kau pikir itu semua cukup untuk menundukan aku?" katanya.
"Pada hakekatnya, tiada seorang pun yang sanggup menaklukkanmu"
"Nah, kalau kau sudah tahu begitu, mengapa tidak lekas kesini dan pegang tanganku" Belai rambutku dan cium bibirku?"
Jika ia berkata begitu kepada seluruh lelaki di seluruh dunia, kau akan tetap merasa ia hanya berkata itu kepadamu.
Cio San hanya seorang pemuda. Pemuda sehat jasmani dan rohani pula.
Maka ia melangkah ke depan menuju singgasana nona itu. Singgasananya
entah kenapa bentuknya hampir mirip sebuah ranjang. Ada berapa banyak lelaki yang naik ke atasnya"
Jika kau naik ke atas ranjang bersama perempuan, kau berharap tak akan turun lagi selamanya. Tapi ada kalanya, saat kau turun dari ranjang itu, kau berharap tak akan pernah menaikinya lagi.
Tapi Cio San datang dan duduk di sampingnya. Wajah kedua mereka begitu dekat. Nafasnya bahkan terhirup oleh Cio San. Harum tubuhnya bahkan
sampai melekat ke tubuh Cio San. Getaran dadanya bahkan juga menjalar ke dada Cio San.
Si nona membiarkan bajunya terlepas dengan sendirinya. Rupanya bajunya tidak pernah dikancingkan. Hanya dengan satu kali gerakan, baju itu sudah jatuh terkulai di lantai. Tubuhnya kini polos. Kata telanjang terlalu kasar untuk disematkan kepadanya. Tubuhnya begitu suci dan murni. Tidak ada satu titik pun yang membuat tubuh itu menjadi tidak sempurna.
Jika kau kumpulkan seluruh pujangga, penyair, penulis lagu, dan pelukis dari seluruh muka bumi maka tak ada seorang pun dari mereka yang
sanggup melukiskan keindahan ini.
Ia mencium Cio San. Bibirnya yang merekah benar-benar tercipta untuk ini.
Tangan Cio San pun mengelus-ngelus lengannya. Tangan itu pun naik ke
daerah-daerah terindah di tubuh nona itu. Tapi seketika tangan itu pun mengangkat dan melempar nona itu ke arah tembok!
"Kau"kau" si nona tak sanggup berkata apa-apa, ia melayang turun dengan indah.
"Kau pikir semua laki-laki akan jatuh berlutut di hadapanmu?" jengek Cio San tersenyum. "Aku heran, kenapa semua perempuan cantik selalu merasa mereka bisa menaklukan semua laki-laki"
"Hah!" dengan marah nona itu membanting kaki. Lantai marmer itu hancur berantakan.
Ia lalu melayang cepat ke arah Cio San. Tubuh polo situ menyerang dengan hebatnya, sampai-sampai Cio San sendiri tidak percaya. Tapi Cio San adalah Cio San tubuhnya sendiri pun juga bergerak tak kalah cepatnya. Ia
menghindar ke samping. Serangan nona itu hanya mengenai ranjang. Tapi dalam sekejap mata nona itu sudah menghilang!
Ternyata dibalik ranjang itu terdapat pintu rahasia!
Cio San tercekat. Alangkah bodohnya ia tidak menyangka bahwa ada jalan rahasia di balik ranjang itu. Dicari-carinya tuas untuk membuka pintu rahasia tetapi semua percuma saja. Hanya si nona yang tahu rahasianya sendiri.
Dengan kecewa ia keluar dari rumah itu. Dalam sekejap ia berlari, ia sudah sampai di taman bunga tempat ratusan orang bercinta di sana. Mereka
masih di sana. Bercinta dengan puasnya seolah-olah hari esok tidak pernah ada.
Cio San lalu membakar bunga-bungaan itu. Ahli silat seperti dia hanya perlu menjentikkan batu, maka keluarlah api. Api membakar tanaman yang indah itu.
"Kebakaran-kebakaran!" semua orang berteriak panik.
Tapi begitu mereka mencium asapnya, mereka malah berteriak,
"Angin surga-angin surga!"
Mereka menghisap dan menghirup asap itu dengan nikmat. Seolah-olah di dunia ini tidak ada yang lebih nikmat dari asap ini.
Cio San meninggalkan mereka. Api dan asap membumbung tinggi. Semua
orang seperti gila dan mabuk menghirupnya.
Rupanya tanaman ini jauh lebih memabukkan ketika dibakar.
Ia memang pernah membaca. Tentang sejenis tanaman yang jika kau hirup aromanya, kau akan mabuk dan ketagihan. Kau bahkan rela membunuh
dirimu hanya untuk menghirup aromanya lagi. Rupanya ini memang cara
lain dari si "dia" untuk menguasai orang-orang ini.
Mereka semua rela mati hanya demi menghirupnya. Bahkan ketiga pendekar yang tadi dilawannya pun sudah bergabung bersama-sama untuk
menghirupnya. Ternyata mereka menjadi hamba hanya karena bungabungaan ini. Cio San pergi. Ia tak ingin tahu lagi tentang orang-orang ini.
Bab 47 Di Tepi Sebuah Telaga
Cio San telah jauh meninggalkan bukit itu. Dari tempat ia kini duduk, terlihat asap membumbung tinggi dari bukit itu. Ia yakin orang-orang di sana pasti akan dapat menyelamatkan diri. Mereka orang-orang yang perlu dikasihani. Tapi Cio San tahu ia tidak perlu melakukan apa-apa di sana.
Kini ia duduk di sebuah pavilliun kecil di pinggir telaga. Telaga ini tidak seindah telaga tempat tadi ia mandi. Tetapi lumayan sepi dan tenang. Ia bersandar di kursinya dan menikmati seguci arak yang tadi sempat ia beli sebelum sampai di telaga itu.
Ia menikmatinya perlahan-lahan. Pelan-pelan. Cara minum arak seperti ini lakukan jika ia sedang berpikir keras. Arak memang kadang-kadang
membantu pikiran lebih jernih.
Dari jauh Cio San mendengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Orang yang mengendarainya sepertinya terburu-buru. Tak berapa lama Cio San
bisa mengenal penunggang kuda itu. Dia adalah Beng Liong!
Sedang apa dia hingga terburu-buru"
"Liong-ko!" Cio San berkata pelan. Tapi suaranya telah sampai tepat di telinga Beng Liong. Ilmu mengirim suara seperti ini dibutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Beng Liong menghentikan kudanya.
"San-te, ah syukurlah kau selamat!" kata Beng Liong.
"Kenapa terburu-buru, Liong-ko?" tanya Cio San
"Aku akan ke bukit sana." Ia menunjuk bukit yang penuh asap dan api itu.
"Di tengah jalan, aku bertemu Cukat Tong. Ia bilang engkau ada di bukit itu juga. Jadi aku bergegas" jawab Beng Liong.
Ia turun dari kudanya. Wajah tampannya penuh cahaya. Di sore hari seperti ini, wajahnya bersinar-sinar dengan cerah. Harum tubuhnya yang sangat terkenal, memang bukan cerita kosong belaka. Bahkan dari jarak
bertombak-tombak pun Cio San bisa menciumnya. Bau harum yang
menyenangkan. Tidak menusuk. Lembut dan membelai-belai.
Tanpa melihat wajahnya pun, barangkali wanita-wanita akan jatuh cinta kepadanya hanya dari wanginya saja.
Bajunya terlihat sangat pantas. Beng Liong memang pintar memilih
pakaiannya. Walaupun bukan pakaian yang paling mewah, bajunya selalu
tampak rapih dan bersih. Warnanya selalu pas. Model potongannya pun
selalu bagus. Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya bebas dari kumis dan jambang. Matanya selalu cerah dan bibirnya selalu menyungging senyum. Jika senyum Cio San kadang-kadang terasa nakal dan degil, senyum Beng Liong justru terasa hangat dan menyenangkan.
Mereka dua berpelukan. Rasanya seperti sudah berpisah lama sekali.
"Senag melihat engkau baik-baik saja San-te. Apa yang terjadi di atas bukit sana" Kebakaran itu perbuatanmu bukan?"
"Haha" Cio San tertawa sambil memainkan ujung rambutnya.
"Engkau sendiri ada urusan apa ke bukit itu, Liong-ko?" ia malah balik bertanya.
"Aku mengejar Bwee Hua Sian"
"Oh, jadi namanya Bwee Hua Sian (Dewi Bunga Bwee)" seloroh Cio San.
"Kau sudah bertemu dengannya bukan" Apa yang terjadi?" tanya Beng
Liong. Cio San menceritakan semuanya.
"Kau"meninggalkan orang-orang itu di taman yang terbakar?" kata Beng
Liong terperangah. Ia lalu cepat melesat ke arah bukit itu. Ia tidak
menunggang kuda lagi. Kakinya jauh lebih cepat daripada kuda mana pun.
Cio San terpaksa mengikutinya dari belakang. Mereka terus "terbang" sampai ke bukit itu. Cio San mengirimkan pesan suara ke telinga Beng Liong,
"Tutup jalan pernafasan, asapnya beracun"
Begitu mereka sampai di taman yang dipenuhi asap itu, mereka tidak
menemukan seorang pun di sana. Cio San lega hatinya, karena sejak jauh dia tidak mendengar suara seorang pun. Ia khawatir mereka semua telah mati terbakar. Untunglah ternyata tidak ada apapun di sana.
Beng Liong juga lega. "Kenapa kau ceroboh meninggalkan orang-orang itu tadi, San-te" Bukankah mereka bisa mati terpanggang?" tanya Beng Liong.
"Karena aku tahu mereka pasti akan selamat" kata Cio San sambil
tersenyum. "Dari mana kau yakin?"
"Bwee Hua Sian masih membutuhkan tenaga mereka. Aku tidak tahu siapa
saja mereka. Tapi tentunya mereka pasti orang penting. Tokoh-tokoh
ternama" "Kau tahu Bwee Hua Sian akan kembali menyelamatkan mereka?"
"Pada awalnya aku tidak perduli. Tapi saat di jalan aku berpikir tentang nasib mereka. Saat hendak kembali lagi, aku berpikir bahwa pasti Bwee Hua Sian yang akan menyelamatkan mereka."
"Kau sengaja tidak kembali dan tidak menempurnya di sana, karena kau
tahu hal itu justru akan membahayakan nasib orang-orang itu bukan?"
"Benar, Liong ko. Jika aku bertempur dengannya di sana, pertempuran
mungkin akan berlangsung lama, dan kami malah tidak sempat
menyelamatkan orang-orang itu"
"Lalu kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku" Tahu begitu, kita tidak pelu repot-repot kemari"
"Tadi waktu di pinggir telaga, aku tiba-tiba berfikir bahwa mungkin saja Bwee Hua San tidak mampu menyelamatkan mereka. Atau bisa saja ia tiba-tiba berubah pikiran dan membunuhi mereka semua"
"Oh" Beng Liong manggut-manggut. Lanjutnya,
"Sudahlah. Mari kita pulang"
Mereka berdua lalu menuruni jalan indah di bukit itu.
"Liong-ko, sebenarnya kenapa engkau mencarinya?"
"Tidak jauh berbeda denganmu. Aku telah menyelediki sekian lama
tentangnya. Aku curiga ia adalah otak di balik semua kejadian ini." Jelas Beng Liong
"Hmmm, aku malah pada awalnya, tidak percaya ada wanita seperti dia.
Tapi setelah bertemu aku baru yakin. Awalnya aku malah curiga kepada
orang lain" "Siapa?" tanya Beng Liong.
"Cukat Tong" jawab Cio San enteng.
"Kenapa?" "Semuanya cocok. Ketika ada kejadian peracunan di markas Mo Kauw, ia
ada di sana. Walaupun aku sempat menyelamatkan mereka, tapi
pengobatanku sendiri hanya untuk sementara. Mungkin saja ia punya
tenaga dalam yang sangat tinggi untuk membantunya melawan atau
setidaknya menjinakkan racun itu. Tapi entahlah. Jika ia selamat dari racun itu, tentunya karena sebelumnya ia telah memiki penawarnya"
Lanjut Cio San, "Ia juga adalah satu-satunya orang yang selamat dari kejadian pembakaran kapal di dermaga. Ia adalah raja Maling! Dengan mudah ia bisa mencuri rahasia-rahasia, kitab-kitab sakti, dan berbagai macam hal yang tidak bisa kita bayangkan!"
"Betul juga" kata Beng Liong "Lalu sekarang pikiranmu berubah?"
"Iya. Bwee Hua Sian jauh lebih berbahaya daripada Cukat Tong. Jauh lebih masuk akal jika ia pelakunya." Kata Cio San "Eh Liong-ko, sebenarnya
manusia macam apa sih Bwee Hua Sian itu?"
"Dari hasil penyelidikanku, ia tinggal di ujung utara Tionggoan, dekat daerah bersalju. Selama ini dia tidak pernah masuk kemari. Cuma beberapa tahun ini banyak kejadian aneh yang mencurigakan. Penyelidikanku kemudian
mengarah kepadanya. Sudah dua tahun ini aku banyak mencari dan
mengumpulkan berita tentang dia. Kau tahu berapa umurnya" Ia sudah
hampir 60 tahun!" "Hah, sudah hampir 60 tahun" Tapi ia terlihat seperti gadis usia belasan tahun"
"Menurut kabar, ia telah belajar sejenis ilmu yang membuatnya awet muda.
Sejak kecil pun ia sudah memakan tumbuh-tumbuhan tertentu yang
membantunya tetap cantik seperti sekarang ini" jelas Beng Liong.
"Lalu apa maksud dia melakukan ini semua?" tanya Beng Liong.
"Entahlah. Yang ku tahu ia mungkin ingin menguasai dunia"
"Memang sepertinya ada sementara orang yang baginya kekuasaan sudah
seperti makan, minum, dan bernafas" kata Cio San.
"Orang seperti ini mana mungkin bahagia?" Beng Liong hanya geleng-geleng kepala.
Mereka berjalan lama dan mengobrol banyak hal. Ketika sampai di pavilliun tempat mereka bertemu tadi, ternyata kuda Beng Liong masih ada di situ.
"Liong-ko, aku kagum dan berterima kasih kepadamu" kata Cio San
"Engkau kesini dengan menunggang kuda. Padahal engkau lebih cepat
daripada kuda manapun. Itu berarti engkau sedang menyimpan tenagamu
untuk bertempur dengan "dia". Selain itu, engkau melakukan itu karena percaya kepadaku" jelas Cio San.
Beng Liong tersenyum dan berkata,
"Tentu saja aku percaya kepadamu. Pada kecerdasan dan kesaktian ilmu
mu. Sebab itu aku menunggang kuda. Aku yakin aku tak akan terlambat.
Ada kau di sana" Masakah aku harus khawatir?"
Mereka berdua tertawa. "Eh habis ini, engkau kemana?" tanya Beng Liong.
"Menyusul sahabat-sahabatku di kota depan" kata Cio San. "Kalau engkau, Liong-ko?"
"Aku akan bergabung dengan tentara pemerintah. Ada sedikit tugas yg
dibebankan kepadaku oleh Lau-ciangbunjin. Kau kapan bergabung?"
"Segera setelah urusan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San selesai" kata Cio San sambil tersenyum.
"Baiklah. Sampai jumpa di puncak Thay San, San-te" kata Beng Liong
sambil menaiki kudanya. "Sampai jumpa, Liong-ko. Hati-hati di jalan"
Beng Liong membdal kencang kudanya. Cio San hanya bisa menatap
punggung Beng Liong dan membatin,
"Urusan besar, memang cuma Beng Liong yang sanggup melakukannya"
Ia tersenyum, dan kembali melanjutkan perjalanannya.
Bab 48 Pertemuan Pertama Ji Hau Leng Cio San berjalan pelan-pelan saja. Kini hari sudah mulai sore. Matahari yang perlahan menuju barat, seperti mengiringi langkahnya. Langkah yang
perlahan, namun tegap dan pasti. Ia melangkah seolah-olah tidak ada satu pun hal yang dapat memberhentikan langkah itu.
Guguran bunga kadang-kadang jatuh di kepalanya. "Bunga Bwee lagi"
Kenapa hari ini aku selalu berurusan dengan bunga Bwee"
Urusan hari ini memang besar. Tapi ia malah tambah bersemangat, karena di dalam kepalanya, ia mulai melihat titik cerah dalam urusan ini.
Ia melangkah sambil tersenyum. Sambil sesekali melompat tinggi memetik buah-buahan untuk dinikmatinya.
Hidup sebebas ini, hidup senyaman ini, hidup senikmat ini. Bahkan kaisar pun tidak pernah menikmatinya.
Kadang-kadang Cio San heran dengan orang-orang yang hidupnya mereka
habiskan untuk mengejar harta dan kehormatan belaka. Apakah mereka
yakin mereka akan hidup sampai esok hari" Jika hidup dihabiskan mengejar hal hal semu seperti itu, lalu kapan mereka menikmati hidupnya"
Bukankah umur harus dijalani dengan gembira"
Bagaimana kau bisa gembira jika urusan pekerjaan melingkupi kepalamu"
Orang yang menikmati hidupnya bukan orang yang pemalas. Orang yang
menikmati hidupnya adalah orang yang bersyukur atas apa yang ia miliki.
Dan memanfaatkan apa yang dimiliknya untuk dirinya dan orang lain.
Oleh karena itu Cio San menyerahkan dirinya untuk orang lain. Memang
banyak urusan yang tak ingin dicampurinya, tetapi hatinya selalu
mendorongnya untuk menegakkan kebenaran. Ia akan melakukannya
dengan sebaik-baiknya. Dengan segenap kekuatannya. Tetapi IA AKAN
MELAKUKANNYA DENGAN CARANYA SENDIRI.
Orang seperti ini akan selalu tersenyum dalam hidupnya. Karena baginya segala perjalanan hidup adalah kebahagiaan. Penderitaan dan kesusahan adalah jalan baginya untuk menikmati dan menghargai kebahagiaan. Walau kebahagiaan itu hanya berupa sinar matahari, hujan, atau sesendok nasi.
Inilah Cio San! Pemuda yang belum dewasa benar, tapi telah menggetarkan dunia!
Kau tak perlu menjadi manusia paling tampan, kau tak perlu menjadi
manusia paling cerdas, kau tak perlu menjadi manusia paling kaya untuk bisa menikmati indahnya dunia. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri!
Toh ketampanan akan hilang saat kau tua, kepintaran bisa hilang saat kau pikun, dan kekayaan bisa hilang lenyap dalam hitungan hari. Tapi jati dirimu, tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya darimu. Dirimu
adalah dirimu. Diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Mengapa harus menangis dan menyesali kekurangan" Toh semua orang
memiliki kekurangan. Tapi tidak seorang pun yang memiliki kelebihanmu, jati dirimu, dan harga dirimu.
Pemandangan dunia seindah ini, mengapa manusia tidak pernah
menghargainya" Dunia seluas ini, mengapa takut tak punya tempat"
Cio San tersenyum. Karena kini di depannya ada orang yang tersenyum pula kepadanya.
"Bukankah tuan adalah Mo Kauw Kaucu Cio San yang terhormat?" kata
orang di depannya sambil menjura.
Orang di depan Cio San ini sangat tampan. Hampir sama tampan dengan
Beng Liong. Bajunya pun bersih dan wangi. Yang mengherankan adalah
bajunya penuh tambalan. Tetapi tambalan-tambalan ini malah membuat
pakaiannya terlihat unik dan menarik.
"Cayhe tidak berani menerima hormat dari Kay Pang Pangcu Ji Hau Leng
yang terhormat" kata Cio San sambil menjura pula.
Dua orang ini belum sekalipun bertemu dalam hidup mereka masingmasing. Tapi sudah saling mengenal. Kalau bukan karena nama mereka
sendiri sudah menggetarkan dunia, hal ini tak akan mungkin terjadi.
"Ah, pandangan kaucu tajam sekali. Tidak berani"tidak berani?" kata Ji Hau Leng
"Ah, justru cayhe yang tidak berani. Adalah suatu kehormatan bertemu
dengan pangcu di sini" kata Cio San
"Hmm, sejak dahulu cayhe memang sudah ingin bertemu dengan pangcu,
cuma rasa-rasanya kalau tidak bertemu dan mengundang sendiri, sepertinya kurang menghargai"
"Haha. Cayhe tidak berani bermimpi mendapatkan kehormatan seperti itu."
Tukas Cio San sambil menjura.
Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cayhe memang sengaja datang sendiri menjemput Kaucu. Kiranya kaucu
sudi mampir ke tempat kami para pengemis jalanan" kata Ji Hau Leng
"Ah, undangan seperti ini di dunia ini mana ada orang berani menolaknya"
Sebuah kehormatan besar, pangcu"
"Mari silahkan"
Mereka berjalan dengan santai. Tak perlu menunjukkan ginkang. Tak lama mereka telah sampai di markas utama Kay Pang. Sebuah rumah besar di
pinggiran kota. Rumah ini lumayan besar dan megah. Tapi saat masuk, Cio San kagum juga rumah ini tidak ada isinya sama sekali. Cuma kursi dan meja yang terbuat dari bambu.
Rumah ini sendiri dari luar terlihat bersih. Tapi banyaknya pengemis yang tinggal dan berlalu lalang di sana membuat rumah ini terlihat sedikit suram.
Saat mereka berdua tiba, semua orang memberi hormat dan salam. Cio San membalas dengan ramah pula.
"Harap Cio-kaucu tidak kecewa dengan isi rumah kami. Memang hanya ini yang kami miliki." Kata Ji Hau Leng.
"Justru melihat keadaan rumah seperti ini, cayhe jadi kagum. Betapa
sederhana dan bebasnya seorang pangcu dari partai terbesar di Bu Lim"
"Haha. Partai besar hanya nama kosong. Cuma berisi pengemis-pengemis
kotor seperti kami, apa pula yang bisa dibanggakan?" kata Ji Hau Leng sambil tertawa.
"Nama kosong atau bukan, tetap saja tak seorang pun di dunia ini yang berani mencari gara-gara dengan Kay Pang." Ujar Cio San yang langsung ditimpali dengan senyum oleh Ji Hau Leng.
Tak lama setelah mereka duduk, datang seorang pengemis kecil
membawakan arak. Mencium harumnya saja, Cio San sudah hampir mabuk.
"Mari kaucu, silahkan" ia berkata begitu setelah menuangkan arak ke
cangkir Cio San dan cangkirnya sendiri.
Mereka bersulang, dengan mengangkat cangkir. Dalam adat Tionggoan,
tamu tak boleh mengangkat cangkir lebih tinggi daripada tuan rumah.
Kecuali tamu itu pembesar, atau lebih tua umurnya, atau dituakan. Cio San merasa dirinya tidak termasuk ketiga golongan itu, maka ia mengangkat cangkirnya lebih rendah.
Melihat ini Ji Hau Leng kagum dengan kerendah-hatian Cio San. Ia pun
menurunkan cangkirnya agar sama rendah dengan Cio San.
"Arak hebat!" kata Cio San.
Tuan rumah biasanya senang jika dipuji 3 hal oleh tamunya, isi rumahnya, anak-anaknya, dan suguhan makanannya.
Tentu saja itu arak hebat. Jika bukan arak hebat, masa Ji Hau Leng berani menyuguhkannya kepada Cio San"
Kebiasaan minum Mo Kauw Kaucu yang baru ini rupanya sudah terdengar ke mana mana. Baru sekarang Cio San paham rupanya partai-partai besar
semuanya sudah menaruh perhatian kepadanya.
"Jika cayhe bertanya apa nama arak ini kepada Cio-pangcu, tentunya adalah suatu kekurangajaran. Tapi cayhe sendiri memang tidak terlalu paham arak.
Arak apa saja cayhe minum sampai habis. Hahahahah"
"Arak bukankah harus diminum, pangcu" Membahas arak hanya akan
membuat mulut kita berbusa. Hahaha"
"Ah benar-benar, untuk kebodohan ini, cayhe pantas dihukum 3 cangkir
arak" ia berkata begitu sambil benar-benar melakukannya. Minum tiga
cangkir. "Kalau tuan rumah saja menghukum dirinya dengan 3 cangkir, masa tamu
hanya boleh memandang dan minum seteguk?" Cio San sendiri lalu minum 4
cangkir. "Hahaha, cayhe yang bodoh ini malah tidak menawarkan. Kesalahan ini
harusnya dihukum setidaknya 5 cangkir."
Mereka melakukannya terus menerus. Para peminum memang selalu
mencari alasan untuk minum lebih banyak. Bahkan jika harus tanpa alasan pun, pasti akan mereka lakukan. Sudah tak terhitung berapa kali pengemis lain mengantarkan berguci-guci arak. Tetap saja habis dan mereka tertawa dengan riang, sambil bercanda.
"Memang untuk urusan minum, cayhe mengaku kalah" kata Ji Hau Leng
sambil menjura. Wajahnya sudah memerah. Sepertinya ia memang sudah
mulai mabuk. "Cayhe angkat tangan saja sudah tidak bisa, bagaimana bisa dibilang
menang" Hahaha"
Akhirnya kedua orang itu tidur saja di atas meja. Hari telah larut malam.
Bintang-bintang bersinar dengan cerah.
Cio San dengan malas bangkit dari mejanya. Ia ingin pergi ke "belakang".
Banyak "air" yang masuk, banyak juga yang harus dikeluarkan. Ia bertanya kepada salah seorang penjaga yang ada di situ. Penjaga itu kemudian
mengantarkannya ke "belakang".
Setelah urusannya selesai, penjaga itu masih menungguinya. Sambil
berjalan kembali, Cio San sekedar berbasa-basi,
"Wah, banyak sekali ya anggota Kay Pang. Kira-kira ada berapa ribu?"
"Jumlah pastinya hamba tidak paham tuan, tapi ada puluhan ribu. Beberapa tahun ini jumlahnya bertambah berkali-kali lipat"
"Oh" Bagus sekali. Partai lain pertambahan anggotanya pasti tidak sebanyak Kay Pang tentunya" kata Cio San
"Iya, Kay Pang memang partai besar. Nama besarnya sudah dikagumi" kata pengemis itu.
Entah dia tidak paham sopan santun, atau dia tidak mengerti dengan siapa ia bicara. Tetapi memuji-muji partai sendiri di hadapan ketua partai lain, adalah hal yang keterlaluan. Tapi Cio San santai saja, ia memang tidak pernah memandang hal-hal seperti ini berlebihan. Ia bertanya lagi,
"Memang selain nama besar, kira-kira apa yang menyebabkan orang banyak sekali bergabung dengan Kay Pang anda?"
"Tentu saja karena mereka kagum dengan pangcu kami, Ji-tayhiap. Selain masih muda, kesaktian dan kebijaksanaan beliau hampir tiada
bandingannya" jelas si pengemis
"Oh tentu saja. Cayhe sendiri tertarik masuk Kay Pang kalau seumpama
sebelumnya cayhe tidak bergabung dengan partai sekarang" kata Cio San
"Memangnya partai tuan sekarang apa?" tanya si pengemis
"Partai cayhe adalah Mo Kauw" jawab Cio San sambil tersenyum.
"Oh" hanya itu yang keluar dari mulut si pengemis. Selama ini Kay Pang dan Mo Kauw memang saling menghormati, dan tidak pernah mencampuri
urusan masing-masing. Ketika memasuki ruangan tempat ia tadi minum-minum, Cio San melihat si pangcu masih tidur tertelungkup di atas meja. Telinga Cio San kemudian mendengarkan sesuatu di luar. Rupanya si pangcu juga mendengarnya, ia langsung terbangun dan bersikap siaga.
Cio San sangat mengagumi ketajaman telinga dan kesiagaan sang pangcu
muda ini. "Itu bukan anak buah pangcu?" tanya Cio San
"Bukan." Jawab Ji Hau Leng. Ia lalu memberi perintah, " A Tou, siagakan saudara-saudara yang lain"
Tak berapa lama terdengar teriakan dari luar gerbang,
"Cayhe Tio-Ciangkun (jenderal besar), meminta ijin bertemu dengan Jipangcu" Untuk sekelas Pangcu dari Kaypang, memang harus jenderal sendiri yang menemui.
"Bukakan gerbang" perintah Ji Hau Leng
Gerbang dibuka. Tampak ratusan prajurit ada yang berjalan kaki, ada yang naik kuda.
"Mohon ijin untuk masuk" kata orang yang bernama Tio-Ciangkun itu.
Tubuhnya tinggi besar dan bercambang lebat. Pakaian perangnya
membuatnya tampak sangat gagah.
"Silahkan, Ciangkun" kata Ji Hau Leng.
"Dengarkan titah kaisar" suara Ciangkun menggelegar sambil
memperlihatkan segel kerajaan. Begitu mendengar itu, semua orang
langsung berlutut. Tio-ciangkun mengelurkan sebuah surat perintah, dan membacakannya dengan suara lantang.
"Aku kaisar Yong Lu,
Memohon bantuan kepada Kay Pang pangcu untuk turut terlibat langsung
dengan pasukan kerajaan menghadapi serangan pasukan Mongol di
perbatasan barat. Bantuan tenaga dan pikiran dari Ji-tayhiap akan dihitung sebagai jasa besar terhadap negara. Dan akan dihargai sebesar-besarnya."
Sebuah surat perintah yang singkat dan tanpa basa basi.
"Titah kaisar, selesai". Semua orang berdiri.
"Ji Hau Leng terima titah kaisar!" kata Ji Hau Leng. Ia lalu berdiri dan berkata,
"Selamat datang ciangkun, mari silahkan masuk ke dalam" kata Ji Hau Leng sambil menjura.
Sang jendral dan beberapa pengawalnya masuk ke dalam ruangan. Cio San sendiri sudah berbaur dengan para pengemis. Dia tidak ingin keberadaannya membuat Ji Hau Leng bingung harus menjamu siapa.
"Maaf cayhe datang malam-malam buta seperti ini mengganggu
ketentraman pangcu. Tapi situasi di garis perbatasan sudah mulai genting.
Pasukan kita sudah mulai kewalahan, oleh sebab itu kaisar memerintahkan pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Bantuan orang-orang Kang Ouw
sangat dibutuhkan negara" kata Tio Coangkun. Ia bicara pelan saja, tapi suaranya menggelegar.
"Mulai kapan tenaga kami dibutuhkan?" tanya Ji Hau Leng.
"Secepatnya. Cayhe dengar ada pertemuan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San beberapa bulan lagi. Mungkin pangcu bisa mengirimkan beberapa
anggota Kay Pang untuk bergabung dengan pasukan kami dulu. Setelah
urusan di Thay San seklesai, pangcu kemudian bisa bergabung"
"Hmmm, baiklah. Mari ciangkun dan saudara sekalian, silahkan nikmati
suguhan kami yang tidak seberapa"
Ada arak, dan makanan yang cukup mewah. Mereka berbincang mengenai
peperangan sampai fajar menjelang. Pasukan Tio Ciangkun sudah berkemah di luar. Memang halaman di depan gerbang markas Kay Pang sangat luas.
Tio Ciangkun dan pengawalnya lalu beristirahat di kamar yang disediakan Ji Hau Leng khusus untuk tamu-tamu istimewa. Cio San sendiri sudah lebih dahulu tidur. Berkumpul bersama pengemis-pengemis yang kumuh di lantai bagian belakang markas. Ji Hau Leng awalnya ingin membangunkan, tetapi melihat Cio San yang tertidur pula bahkan sambil mendengkur pula, ia tidak tega dan malah tersenyum.
Saat Cio San bangun, rupanya telah memasuki tengah hari. Tidurnya pulas sekali. Ia melihat pasukan kerajaan sudah membongkar kemah dan siap-siap pergi. Ia bangkit dan melihat-lihat keramaian. Saat itu secara tak sengaja Tio Ciangkun melihatnya.
"Siapakah saudara ini" Semalam cayhe melihatnya, tapi rupanya sudah
pergi tidur duluan." Katanya sambil tertawa. Dalam hati Cio San kagum juga dengan ketajaman pandangan si jendral. Dari pakaiannya, tentu saja si jendral tahu ia bukan anggota Kay Pang.
"Ah, perkenalkan Ciangkun. Ini sahabat cayhe, namanya Cio San. Dia sedikit pemalu. Makanya saat ada ramai-ramai, ia memilih pergi duluan" kata Ji Hau Leng. Ia tidak memperkenalkan Cio San sebagai pimpinan Mo Kauw,
karena itu tahu partai Mo Kauw punya hubungan yang kurang mesra dengan kerajaan.
Cio San menjura. "She (marga) Cio" Apa ada hubungan dengan jenderal besar Cio Hong Lim?"
Cio San kaget juga nama kakeknya disebut, ia lalu berkata,
"Kebetulan beliau adalah kongkong (kakek) hamba" katanya sambil
tersenyum. Ia menggunakan sebutan hamba untuk menempatkan posisi
dirinya lebih rendah. Padahal sejak tadi Ji Hau Leng menggunakan sebutan cayhe untuk dirinya sendiri saat berbicara dengan Tio-ciangkun. Jika orang menyebut dirinya sendiri cayhe, maka ia menganggap dirinya setara dengan orang yang ia ajak omong.
Ji Hau Leng bisa melihat betapa Cio San merendahkan diri sendiri.
"Ah, cayhe berhadapan dengan keluarga pahlawan rupanya. Mohon maaf
tidak mengenal" kata si jendral sambil menjura.
"Tidak berani"tidak berani"yang pahlawan adalah kakek hamba. Hamba
cuma sekedar keturunan yang tidak bisa menjaga nama keluarga" kata Cio San tersenyum.
"Ah Cio-enghiong jangan terlalu sungkan. Tidak sembarang orang yang
pantas dianggap sahabat oleh Ji-pangcu. Kalau Ji-pangcu sudah anggap
sahabat, berarti orang itu pasti orang terhormat dan dari kalangan baik-baik. Betul tidak, pangcu?" ujarnya sambil tertawa menggelegar.
Bertemu orang ini di medan perang, akan membuatmu lari terbirit-birit atau terkencing-kencing. Cio San bisa paham mengapa orang ini bisa menjadi jendral. Kecerdasan, keberanian, dan keterus terangannya membuat ia
menjadi jendral yang disegani.
Setelah berbasa-basi sebentar, Tio-ciangkun lalu minta diri. Pasukannya sendiri sudah siap berangkat sejak tadi. Mereka pun pergi melanjutkan perjalanan ke barat.
"Orang yang hebat, bukan?" tanya Ji Hau Leng.
"Tentu saja" tukas Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, "Sepertinya cayhe pun harus meminta diri pula. Ada beberapa urusan yang harus cayhe
selesaikan. Terima kasih banyak atas jamuan Ji-pangcu"
"Ah, mengapa terburu-buru kaucu" Baiklah-baiklah. Cayhe tidak berani
menahan Kaucu lebih lama"
Mereka berdua saling menjura dan memberi hormat. Cio San lalu meminta diri. Berjalan santai dan apa adanya. Ji Hau Leng menatap punggunya
sambil geleng-geleng kepala,
"Orang sehebat ini namun memiliki kerandahan hati. Amat jarang ada orang seperti dia"
Bab 49 Sekali Lagi Karena Cio San melakukan perjalanannya dengan santai, malam mulai
menjelang dan ia memutuskan untuk beristirahat saja di sebuah.reruntuhan kuil. Ia tadi telah menangkap seekor kelinci. Setelah membuat api unggun, kelinci itu kemudian dipanggangnya. Baunya harum. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Menikmati makanan apapun, jadi terasa enak saat hujan turun.
Tak lama kemudian terdengar langkah kaki. Cio San diam saja mendengar langkah kaki ini. Langkah itu berjalan perlahan. Walaupun di luar hujan, langkah orang itu tetap saja perlahan. Seperti tak ada satu pun di dunia ini yang membuatnya ingin berlari.
Ia melewati pintu depan yang daun pintunya telah hilang entah kemana.
Nyala api unggun telah mengantarkan bayangannya kepada dinding-dinding tua. Cio San tahu bayangan siapa itu. Di dunia ini, yang punya bayangan seperti ini memang hanya dia. "Dia".
Ia berhenti di depan Cio San. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap penuh kesenduan. Cio San pun hanya memandangnya.
Jika ada perempuan yang melakukan ini di hadapanmu, tentu kau akan
segera datang kepadanya, memeluknya dan berkata, "Semua akan baik-baik saja"
Apalagi perempuan tercantik di dunia.
Ia lalu melangkah lagi. Lebih dekat kepada Cio San yang sedang duduk
menikmati kelinci bakarnya.
Lebih dekat. Dan lebih dekat. Hingga perempuan itu kini jatuh di atas pangkuan Cio San. Meletakkan
kepalanya di dada Cio San. Lalu kemudian menangis. Tiada suara. Hanya airmata hangat yang turun membasahi.
Di luar hujan semakin deras.
Pernahkah kau berfikir, jika ternyata hujan bersumber dari air mata
manusia" Air sebanyak itu....., sungguh kesedihan manusia tak
terbayangkan.... Tapi mungkin saja kau salah. Karena jika kau tambahkan hujan, kepada
sungai, dan sungai kepada laut, jumlahnya tak akan pernah menyamai air mata manusia.
Lalu hal apa yang membuat manusia begitu menderita"
Apakah karena cinta"
Cinta tak akan membuat manusia menangis. Manusia menangisi dirinya
sendiri. Manusia hanya menangis karena dirinya.
Cio San membiarkannya menangis. Walaupun ia bergidik juga jika
membayangkan kalau tahu-tahu perempuan ini menusuknya dengan belati.
Belati setajam apapun toh tak akan melukai manusia separah luka yang
disebabkan cinta. Tapi Cio San memilih diam saja. Karena jika wanita memilih dadamu sebagai tempat ia menumpahkan airmatanya, itu seperti ia mempercayakan seluruh hidupnya kepadamu.
"Kau tak marah, bukan?" ia mengangkat kepalanya. Wajahnya begitu indah.
Bukan cantik. Karena cantik hanya untuk manusia.
Cio San tak tahu ia harus menjawab apa.
Siapa bilang pedang adalah senjata paling hebat" Senjata terhebat di kolong langit ini adalah air mata perempuan. Ia bisa meluluhlantakkan hatimu, mengubah pendirianmu, dan kadang malah membuatmu bertekuk lutut di
bawah kakinya. Hanya dengan airmatanya.
"Kau mungkin akan menuduhku sebagai orang yang paling hina. Aku tahu
selama ini perbuatanku menyusahkan banyak orang. Tapi kau tidak mungkin mengerti" katanya.
Air matanya masih menetes. Kadang-kadang air mata bisa membuat
perempuan tampak begitu cantik. Apakah karena itu, sehingga laki-laki sering sekali membuat perempuan menangis"
"Apakah kau tahu mengapa aku menjadi seperti ini" Orang-orang hanya bisa menuduh dan mencibir. Mereka tak pernah tahu kepedihanku. Tak pernah
tahu penderitaanku" Matanya begitu indah. Apakah karena cahaya matanya ini diambil dari
bintang-bintang" Bibirnya bergetar karena kesedihan. Tak akan ada lelaki yang sanggup
menatap bibir itu tanpa berpikir bahwa bibir itu memang diciptakan untuk dikecup.
Kadang-kadang lelaki akan merasa dirinya sebagai orang paling kuat di dunia, jika ada perempuan yang duduk di pangkuannya, dan menangis di
dadanya. Tapi kadang-kadang juga, laki-laki akan merasa dirinya begitu lemah karena tak mampu melakukan apa-apa untuk menolongnya.
"Kau mau kah mendengar ceritaku?"
Ia bertanya dengan matanya. Jika kau memiliki mata seperti dia, kau tak perlu mulut untuk berkata-kata.
Cio San mengangguk "Aku lahir dari keluarga bangsawan. Hidup kami menyenangkan. Tenang dan bahagia. Lalu saat aku berumur 20 tahun, sesuatu terjadi. Ayahku difitnah dan kami sekeluarga dihukum pancung oleh kaisar Hong Wu. Untunglah aku berhasil menyelamatkan diri"
Isak tangisnya memang tidak terdengar. Tapi kau bisa melihat airmatanya membanjir walaupun di malam buta.
"Sejak saat itu hidupku terlunta-lunta. Aku diperkosa orang. Diculik
perampok dan dijadikan budak nafsu mereka. Ah, banyak hal yang sudah
tak mampu kuceritakan lagi".."
Suaranya tercekat. "Lalu aku ditolong oleh seorang wanita. Ia membawaku ke utara. Tinggal di istana Es. Aku belajar banyak hak darinya. Tentang cara merawat tubuh.
Cara menaklukan lelaki. Aku"aku hanya ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa kami kaum wanita bukanlah kaum yang lemah"
"Kau"kau apakah bisa mengerti?"
Cio San mengangguk. "Eh, bolehkan aku meminta sedikit dagingnya?"
Tanpa menunggu jawaban Cio San, wanita itu lalu menggigit sedikit sisa daging kelinci di tangan Cio San.
"Ehm"enak sekali"
Jika Cio San yang masak, batu pun akan terasa enak.
Tanpa malu-malu, daging kelinci itu sudah dihabiskannya dari tangan Cio San. Bahkan sisa-sisa bumbu yang ada di jari jemari Cio San pun dijilatnya.
Satu demi satu. Jika ada perempuan melakukan ini kepada jari-jemarimu, kau pasti berharap ia akan melakukannya di bagian tubuhmu yang lain pula.
"Jari-jarimu lebih gurih daripada daging kelinci itu" katanya tersenyum.
Mereka terdiam lama dan saling memandang.
"Aku..aku"tak akan memaksamu untuk mengerti aku. Tak akan
menahanmu jika kau membunuhku. Aku"aku hanya ingin kau tahu, dari
semua laki-laki yang pernah aku jatuh ke dalam pelukan mereka, hanya
pelukanmu yang paling nyaman dan paling membuatku tenang"
"Malam ini apapun yang kau minta dari aku, akan ku berikan semuanya. Kau hanya tinggal meminta saja" Ia menyandarkan kepala di dada Cio San.
Hujan. Bajunya yang tadi basah kini hangat kembali karena kehangatan
tubuh Cio San. Sedekat ini. Semesra ini.
Lelaki setampan ini, dan perempuan secantik ini. Kadang kadang walaupun dengan sedikit iri, kau tetap berharap mereka terus menjadi kekasih sampai akhir nanti.
"Bolehkah aku tidur di sini" Hanya semalam saja. Sebelum besok, kau akan kembali memusuhiku"
Cio San mengangguk lagi. Ia hanya memeluk wanita itu lebih erat. Mendekatkannya pada dadanya.
Dan menghangatkan hatinya. Wanita hanya perlu ini dari lelaki. Tetapi mengapa semua terasa begitu sulit dan susah dimengerti"
Kadang-kadang, laki-laki itu sangat mengerti. Jika perempuan yang ada di pelukannnya ini suatu saat akan pergi meninggalkannya. Suatu saat akan mengkhianatinya. Oleh sebab itu kadang-kadang ia akan bersikap kejam
dan tidak perduli. Hanya agar hatinya tidak menjadi terlalu cinta dan terlalu sayang. Karena jika lelaki terlalu cinta dan terlalu sayang kepada seseorang, maka hidupnya sendiri menjadi tidak berarti lagi.
Dan wanita pun sangat mengerti hal ini. Itulah kenapa mereka begitu sering meminta perhatian dan curahan kasih sayang dari kekasihnya. Hanya agar mereka merasa benar-benar dicintai.
Sebenarnya mereka saling sayang, tapi dengan cara yang berbeda-beda.
Inilah mungkin sebab mengapa lelaki dan wanita tak pernah bisa saling mengerti.
Bukankah ini adalah hal yang sangat menyedihkan" Keduanya punya
keinginan yang sama. Maksud yang sama. Tetapi menjadi begitu berbeda
ketika kedua-duanya menunjukan cinta dengan caranya yang berbeda.
Cio San dan sang nona berpelukan erat. Seolah-olah di dunia ini tak akan ada yang sanggup memisahkan mereka.
Si nona pun tahu apa yang ada di benak Cio San. Ia terlalu berpengalaman dalam hal lelaki, sehingga tidak mungkin ia tidak memperhatikan. Betapa seluruh tubuh Cio San seperti ingin menelannya hidup-hidup.
Tapi Cio San tetap menahan dirinya.
Ia harus menahan dirinya.
Dan nona itu pun tahu, lelaki biasanya tidak mampu terlalu lama menahan diri.
Bab 50 Di Tengah Hujan dan Di Tengah Malam
Wanita menyukai berada di dalam pelukan lelaki, karena mereka merasa
pelukan itu dapat melindungi mereka dari dunia yang kejam. Ada rasa
damai di sana. Tapi lelaki pun senang memeluk wanita, karena itu akan membuat mereka merasa dirinya adalah yang paling gagah sedunia.
Kadang sebuah pelukan saja sungguh berarti amat dalam bagi para kekasih.
Lebih berharga dari hadiah apapun.
Bwee Hua membiarkan dirinya jatuh lebih dalam. Kedalam pelukan yang
sangat menghangatkan hatinya. Ia tahu, untuk menjatuhkan hati lelaki
Perjodohan Busur Kumala 24 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Cacad 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama