Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 15
dengan kacamata yang berbeda. Sungguh lucu cara manusia berpikir, tindakan yang sama bisa diberikan arti yang berbeda,
tergantung dari siapa pelakunya. Ketika Ding Tao sebagai pemuda lugu yang menjadi pelakunya, dan ketika Ding Tao
sebagai pemuda cerdik, ambisius dan pandai berpura-pura yang menjadi pelakunya, betapa berbeda hasil dari analisa Tiong Fa.
Akhirnya dengan rahang tekatup rapat dan tangan mengepal Tiong Fa menyudahi perenungannya. Dengan kesal
dihantamnya meja yang ada di hadapannya.
"Sialan! Anak anjing! Tidak kukira dia sudah menipu aku mentah-mentah!", geram Tiong Fa dengan marahnya.
Entah sudah berapa kali dia tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang, sekarang dia menganggap orang
berhasil menipu dirinya dan merasa marah luar biasa. Perasaannya melonjak-lonjak dan Tiong Fa pun bangkit berdiri dan
berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya yang kecil untuk menenangkan perasaannya yang bergejolak.
"Apa yang harus kulakukan dengan sepasang kakak-beradik itu kalau begitu?", dengan mata berkilat oleh rasa marah Tiong
Fa kembali duduk dan merenung.
"Hmph! Kubunuh saja yang lelaki dan yang gadis kujual jadi pelacur.", ujarnya dengan mata berkilat.
Untuk beberapa saat lamanya, Tiong Fa membiarkan dirinya larut dalam khayalan, Huang Ying Ying adalah gadis yang
cantik dan Tiong Fa bukan orang yang bisa menghargai seorang wanita sebagai manusia. Meskipun bisa dikatakan, selain
dirinya sendiri, semua manusia lain tidak lebih seperti bidak catur dalam pandangan Tiong Fa yang egois. Meskipun yang
tercetus tadi tidak lebih dari celetukan sambil lalu, setelah berkhayal Tiong Fa diam-diam memikirkannya lebih serius.
Perlahan-lahan wajah Tiong Fa tampak makin kejam, otaknya bekerja, merajut pembalasan dendam bagi Ding Tao lewat
Huang Ying Ying. Di ruang tempat Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu disekap, kedua besaudara itu tengah berlatih dengan tekunnya.
Keduanya sadar bahwa apa yang sudah mereka pelajari belumlah sampai pada puncak ilmu keluarga mereka. Mereka juga
berada di tengah-tengah lawan yang berjumlah jaih lebih banyak dan lebih berpengalaman, sementara mereka hanya
berdua saja. Tapi keduanya pantang untuk menyerah pada keadaan, meski harapan yang ada hanyalah selemah nyala lilin kecil, nyala
yang lemah itu terus mereka pertahankan.
Saat mereka mendapatkan jatah makanan, maka Huang Ren Fu akan terlebih dahulu mencicipi setiap hidangan. Setelah
mereka yakin semuanya aman, barulah mereka menyantapnya bersama-sama. Setiap ada waktu terluang, maka kedua
bersaudara itu akan berlatih dengan keras.
Di luar itu, merekapun berusaha sebisa mungkin untuk menyelidiki situasi keberadaan mereka saat ini. Mengenali tiap-tiap penjaga, berusaha mempelajari kebiasaan setiap orang dan sebagainya. Keduanya memiliki waktu yang cukup panjang
untuk melakukan semua itu, apalagi Tiong Fa ternyata berlaku cukup baik dalam menyediakan segala kebutuhan mereka.
Namun kebaikan Tiong Fa itu pula yang membuat mereka semakin tergerak untuk berusaha lepas dari cengkeramannya.
Mengenal tabiat Tiong Fa, mereka berpendapat bahwa tentu ada satu tujuan yang tidak baik yang dimiliki Tiong Fa atas diri mereka berdua.
Berada di dalam ruangan yang terbatas dan tertutup dari lingkungan di luar, mereka berdua sudah belajar untuk
mempertajam telinga mereka. Saat Tiong Fa dan dua orang penjaganya berjalan menuju ke ruangan mereka, Huang Ying
Ying yang lebih tajam telinganya dengan segera memberi peringatan.
"Awas, ada yang datang", desis Huang Ying Ying.
Kedua orang bersaudara itu segera menghentikan latihan mereka, menggunakan handuk kecil yang ada mereka
mengeringkan keringat dan perlahan-lahan mengatur nafas agar siapapun yang datang, tidak akan menyadari bahwa
mereka masih berlatih dengan tekun meskipun sudah terkurung selama beberapa bulan.
Dengan berdebar keduanya menunggu, hal ini sudah terjadi berulang kali dan setiap kali mereka mendengar orang datang
mendekat, seluruh urat syaraf merekapun menegang, bersiap, menantikan kesempatan untuk lolos.
Seringkali penantian mereka berakhir dengan kekecewaan, hidangan dimasukkan lewat sebuah lubang kecil yang ada di
pintu besi tempat mereka dikurung. Pernah Huang Ren Fu mencoba menangkap tangan yang memasukkan hidangan
tersebut. Siapa sangka begitu tangan itu terpegang, maka sebilah pedang berkelebat memenggal tangan itu. Suara orang
menjerit dan dengusan tawa mengejek, terdengar dari dalam ruangan.
"Hohoho, jangan harap kau lepas dari tahanan ini. Orang yang memberimu makan hanyalah orang yang tidak mengerti apaapa. Jangan harap kau lepas dari tempat ini dengan melibatkan mereka, tidak akan ada yang kau dapatkan, hanya
menyengsarakan nasib mereka saja.", ujar suara tersebut dari luar.
Penuh penyesalan Huang Ren Fu hanya bisa memandangi kutungan tangan yang ada di genggamannya. Hebat akibat dari
keganasan penjaga itu, bukan hanya Huang bersaudara saja yang enggan untuk melibatkan orang lain. Orang yang dibayar
untuk mengurus merekapun hilang nyalinya, jangankan berusaha membantu kedua saudara itu, berpikir untuk membantu
mereka pun tidak berani mereka lakukan.
Tapi kali ini debar jantung di dada mereka tidak berakhir dengan kekecewaan. Debar jantung di dada mereka makin
mengguruh dengan semakin dekatnya suara tapak kaki yang ada di luar.
"Tiga orang?", bisik Huang Ren Fu sambil melirik Huang Ying Ying.
Huang Ying Ying mengangguk membenarkan. Biasanya jika yang datang adalah orang yang bertugas untuk mengantarkan
makanan dan mengambil ember tempat mereka membuang kotoran. Maka hanya dua orang yang datang. Yang pertama
adalah yang bertugas untuk membawa semuanya itu dan yang kedua adalah penjaga yang mengawasi setiap gerakan yang
ada. Demikian kuat debaran jantung mereka, hingga rasanya dada mereka mau pecah saat tiba-tiba pintu besi yang ada
terbanting terbuka. Suara pintu yang terbuka menggelegar, Tiong Fa dengan tangan di pinggang dan kaki terpentang lebar
berdiri di sana. Dengan wajah yang diwarnai kemarahan hebat dia menunjuk-nunjuk kedua orang bersaudara itu. Di
belakangnya berdiri dua orang penjaga dengan golok dan pedang di sarungnya.
Berbagai umpatan kasar melompat keluar dari mulut Tiong Fa, kedua orang bersaudara itu hanya bisa menatap dengan
penuh keheranan. 1000 macam makian dan kutukan mereka siapkan bila saatnya bertemu dengan Tiong Fa. Namun saat ini
keheranan lebih menguasai diri mereka dibandingkan kemarahan dan dendam. Di luar sangkaan mereka Tiong Fa akan
datang dengan kemarahan yang meluap-luap. Ada apakah gerangan"
Perlahan-lahan mereka mulai menangkap sumber dari kekesalan Tiong Fa. Mulai dari keberadaan Ding Tao, sampai
keberhasilan Ding Tao dalam mengusir Tiong Fa dari setiap cabang usaha keluarga Huang yang dikuasainya. Tanpa terasa,
seulas senyuman terbentuk di wajah kedua bersaudara itu.
Melihat senyuman yang terbentuk di wajah kedua orang muda mudi itu, Tiong Fa terdiam sejenak. Kemudian sebuah
senyuman sinis terpampang di sana.
"Hehehehe, rupanya kalian merasa senang mendengar berita kekalahanku dan kemenangan Ding Tao."
"Ding Tao, pahlawan kecil kalian. Heh ! Apakah kalian tahu mengapa aku memilih untuk menyekap kalian berdua hiduphidup daripada membunuh kalian seperti yang lain" Bisakah otak kalian yang kecil memikirkannya?", ejek Tiong Fa dengan
senyum mengejek. Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu bukan orang bodoh, segera setelah Tiong Fa bertanya, dengan cepat mereka
menghubungkannya dengan Ding Tao dan sampai pada kesimpulan yang sama. Wajah Huang Ying Ying berubah jadi pucat,
sementara Huang Ren Fu lebih tenang.
"Jangan harap kau bisa menggunakan kami untuk menekan Ding Tao.", ujar Huang Ren Fu dengan dingin.
Kedua bersaudara itu sudah menemukan kembali ketenangan mereka, dengan gagah keduanya mengambil kuda-kuda
dengan kedua tangan mereka bersiap di depan dada. Tiong Fa tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan pemuda itu
dan melihat sikap mereka berdua.
"Hahahaha, baguslah kalau kalian masih punya semangat bertarung.Memang benar kalian harus siap-siap mempertahankan
diri dari kami bertiga, tapi jangan salah pikir, lakukanlah itu untuk diri kalian sendiri dan bukan untuk Ding Tao, karena Ding Tao sudah melupakan kalian berdua."
"Hmph! Tutup mulutmu, Kak Ding Tao bukan orang seperti itu!", seru Huang Ying Ying dengan marah.
"Hahahaha, Kak Ding Tao" mesra sekali kau memanggilnya. Apakah kau tidak tahu, kalau sekarang ini Ding Tao sudah
menikah" Bukan hanya menikah, tapi menikah dengan dua orang gadis sekaligus. Hahahaha, hebat sekali dia, bukan saja
berhasil mengangkangi harta kalian sekeluarga, diapun mampu menipu segenap orang yang ada, sehingga dia dipandang
sebagai orang yang jujur."
"Jujur" puih?", ejek Tiong Fa sambil meludah ke atas lantai.
Tapi Huang Ying Ying tidak mendengar ejekan Tiong Fa, wajahnya sedikit pucat dan dengan gemetar dia bertanya, "Apa
maksudmu Kak Ding Tao sudah menikah?""
Tawa Tiong Fa memenuhi ruangan itu, melihat Huang Ying Ying termakan oleh perkataannya, bergiranglah hati Tiong Fa,
"Sudah jelas bukan" Ding Tao menganggap dirimu sudah mati, itu sebabnya dia menikah lagi. Atau mungkin lebih tepatnya
harus kukatakan, dia sudah tidak memerlukan dirimu lagi untuk dapat menguasai harta benda keluarga Huang. Buat dia
adalah kebetulan yang baik, kalau dirimu mati atau dianggap mati. Jadi daripada susah-susah berusaha memastikan
keselamatanmu, dia memilih untuk menyiarkan kematianmu pada dunia dan menikah dengan gadis kaya untuk
memperbanyak hartanya."
"Hmp! Tidak perlu kau dengarkan dia Adik Ying, jika benar Ding Tao orang semacam itu, lalu apa gunanya dia menahan
kita?", dengus Huang Ren Fu, sambil berbicara, matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Tiong Fa dan kedua orang anak buahnya.
"Hohoho, justru untuk itulah kau ke mari, selama ini kupikir kalian adalah sandera yang berharga, tapi nyata sekarang
bahwa kalian tidak ada harganya buatku. Jadi kuputuskan daripada memberi makan kalian tanpa guna, lebih baik kujual
saja kalian. Yang lelaki bisa kujual pada orang asing untuk dijadikan budaknya. Yang perempuan akan kujual ke
pelacuran.", jawab Tiong Fa sambil terkekeh kejam.
Wajah kedua orang bersaudara itu pun jadi pucat membayangkan nasib yang akan menimpa mereka. Apalagi bagi Huang
Ren Fu yang mengkhawatirkan keselamatan dan kehormatan Huang Ying Ying.
Dengan desis tertahan dia berbisik pada Huang Ying Ying, "Tenangkan dirimu" tajamkan mata dan pikiran, begitu ada
kesempatan, cepat lari."
Huang Ying Ying tidak menjawab hanya menganggukkan kepala.
Tiong Fa tertawa saja melihat kedua orang bersaudara itu, "Hahaha, apa kalian semudah itu untuk kabur dari sini" Kalian hanya berdua dan tidak bersenjata, sedangkan kami bertiga memegang senjata dan di luar sana masih ada banyak lagi
penjaga yang lain. Jangan bermimpi, terima saja nasib kalian dan khusus untuk Puteri Ying Ying" hehehe, sebelum kau
kujual, aku sudah memutuskan untuk mencicipi dirimu terlebih dahulu. Hitung-hitung untuk melampiaskan kekesalanku
pada Ding Tao." "Keparat!", mendengar ucapan Tiong Fa, kemarahan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying pun memuncak, tanpa bersepakat
terlebih dahulu, keduanya sudah melompat bersama-sama untuk menyerang Tiong Fa.
Gesit gerakan kedua orang bersaudara itu, tapi tidak kalah gesit Tiong Fa dan kedua orang anak buahnya.
"Kalian tangkap yang lelaki, yang gadis serahkan padaku!", seru Tiong Fa sambil berkelit dari serangan kedua orang muda tersebut.
Berdua menghadapi Tiong Fa saja, keduanya masih belum bisa menandinginya apalagi ketika Huang Ying Ying berhadapan
sendirian dengan Tiong Fa, dari segi kecepatan, kematangan ilmu dan juga kekuatan, gadis itu berada di bawah Tiong Fa.
Sehingga dalam waktu yang singkat Huang Ying Ying sudah berada di bawah angin.
Lain lagi dengan Huang Ren Fu, pemuda itu mampu mempertahankan diri dengan ketat, meskipun dia tidak mampu
menerobos kedua orang lawannya untuk membantu Huang Ying Ying. Namun kedua orang anak buah Tiong Fa juga
menghadapi kesulitan untuk menaklukkannya. Namun mendengar teriakan Huang Ying Ying dan tawa Tiong Fa, membuat
konsentrasi pemuda itu menjadi kacau dan mempengaruhi pula pertahanannya.
Tiong Fa sendiri mempermainkan Huang Ying Ying seperti seekor kucing mempermainkan tikus tangkapannya. Dia tidak
terburu-buru melumpuhkan gadis itu, melainkan tangannya dengan nakal menyentuh bagian-bagian tubuh dari gadis itu.
"Keparat! Orang tua bejad! Berkelahilah seperti laki-laki jantan kalau kau memang laki-laki!", bentak Huang Ying Ying
dengan wajah memerah karena malu dan kesal.
Sebuah pukulan yang dilepaskan dengan sekuat tenaga dapat dihindari dengan mudah oleh Tiong Fa. Ketenangan yang
diperlukan dalam sebuah pertarungan sudah tidak dimiliki oleh Huang Ying Ying, gerakannya hanya terdorong oleh
kemarahan dan rasa putus asa. Sembari berkelit, tangan Tiong Fa pun dengan cepat mampir, meremas pantat gadis muda
itu. Tidak urung Huang Ying Ying terpekik, bercampur kaget dan marah.
"Hyahahaha" benar-benar masih perawan, kalau laki-laki jantan bertarung dengan betina tentu berbeda caranya,
hyahahaha", ujar Tiong Fa sambil tertawa.
Huang Ren Fu meskipun sadar bahwa dia harus tetap tenang, namun dia tidak dapat mengingkari kemarahan yang dia
rasakan. Dahinya terasa berdenyut kencang, darahnya mengalir semakin cepat. Gerakannya semakin ganas, mengiringi
kemarahan yang timbul dari dalam dada. Kemarahannya memang membuat tenaganya semakin besar, jika saja lawan yang
dihadapi tidak cukup berpengalaman, mungkin hal ini akan memberikan keuntungan pada dirinya. Namun lawan yang
dihadapi sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Sadar bahwa lawan bangkit amarahnya, mereka tidak
melawan keras lawan keras.
Justru mereka lebih banyak melakukan gerak tipu dan menghindar.
"Wah Tuan Tiong Fa sungguh beruntung, gadis semontok itu, akupun ingin bertarung melawannya", ujar salah seorang dari
mereka sambil menghindari serangan Huang Ren Fu yang datang ke arahnya.
"Hahahaha, ya benar-benar, kuharap Tuan Tiong Fa mengijinkan aku juga untuk menunjukkan kejantananku.", olok-olok
yang lain menimpali. Merah darah kedua bola mata Huang Ren Fu, pukulannya bertubi-tubi dilepaskan ke arah dua orang lawannya. Perkelahian
pun berubah bentuknya, jika tadi mereka bertiga saling menyerang dan bertahan. Sekarang hanya Huang Ren Fu yang
menyerang, sedang kedua orang yang lain hanya menghindar, bergantian mendekat dan menjauh. Jika yang seorang
berkelit menghindari serangan Huang Ren Fu, maka yang lain akan mendekat dan memasang diri untuk menjadi sasaran
serangan Huang Ren Fu. Dengan jalan itu, Huang Ren Fu dibuat melepaskan serangan tiada hentinya dan menghabiskan
tenaga Huang Ren Fu dengan cepat.
Di lain tempat Tiong Fa pun mempermainkan Huang Ying Ying semaunya, dada, pantat, pinggul, paha dan setiap bagian
tubuh gadis itu pun jadi sasaran kekurang ajaran Tiong Fa. Pekikan Huang Ying Ying dan tawa ketiga orang itu, membuat
nalar Huang Ren Fu hilang.
Dalam satu gerakan mudah, kedua orang lawannya memasukkan serangan yang bersarang telak pada tubuh dan dahinya.
Seketika itu juga pandangan Huang Ren Fu menjadi nanar, tubuhnya terlempar bergulingan. Saat pandangan matanya
sudah kembali normal dan kepalanya tidak lagi terasa berputar, yang dilihatnya pertama kali adalah dua ujung golok yang teracung di hadapan matanya.
Perlahan matanya bergerak dan melihat pemandangan yang membuat hatinya mengerut.
Tidak berapa jauh di sana, Tiong Fa berdiri dengan senyum iblisnya. Sementara Huang Ying Ying tergeletak dengan wajah
memar-memar. "Bagus, cepat juga kau sadar, kalau tidak terpaksa aku harus menyirammu dengan air dingin. Aku ingin kau melihat
tontonan yang menarik.", ujar Tiong Fa memandangi Huang Ren Fu dengan sinar mata yang mengerikan.
Huang Ren Fu bukan pemuda yang takut mati, tapi ketika dia menyadari apa yang akan terjadi tanpa dia bisa melakukan
apa-apa, otaknya berhenti bekerja, menolak untuk menerima kenyataan. Tubuhnya pun diam membeku di tempatnya, tidak
kuasa bergerak, hanya matanya yang nyalang menatap merekam kejadian yang ada di hadapannya, tanpa otaknya bisa
memahami apa yang dia lihat.
Tiong Fa terlihat sangat menikmati tiap saat, dia tidak terburu-buru, perlahan dia melangkah mendekati Huang Ying Ying
yang masih tergeletak. Ketika dia melihat Huang Ying Ying tidak juga bergerak dia mendengus kesal dan menengok ke arah
Huang Ren Fu. "Hmm" aku tahu kalian berlatih dengan rajin semenjak aku menyekap kalian di sini. Jadi setidaknya aku berharap melihat
sedikit kemajuan. Sayang sepertinya adikmu kurang cocok untuk berlatih bela diri. Seharusnya saat ini dia sudah mulai
sadar, seperti dirimu.", ujarnya pada Huang Ren Fu.
"Er Nu, ambil air dingin untuk nona muda.", ujarnya pada salah seorang anak buahnya.
Yang dipanggil Er Nu segera menyarungkan kembali goloknya dan hendak melangkah untuk mengambil air seperti yang
diperintahkan Tiong Fa. Baru beberapa saat dia melangkah, terdengar Huang Ying Ying mengeluh perlahan.
?"Tunggu dulu", ujar Tiong Fa dan Er Nu pun menunggu, sebuah seringai kejam terlihat di wajahnya.
Perlahan-lahan, Huang Ying Ying membuka matanya dan berusaha bangkit. Otaknya baru bekerja berusaha memahami
situasi yang ada di sekelilingnya. Ketika dia melihat Tiong Fa berdiri di hadapannya, seluruh kesadarannya menjeritkan
tanda bahaya. Serentak Huang Ying Ying melompat berdiri. Hampir saja dia terjatuh lagi, namun sekuat tenaga dia
berusaha bertahan agar tidak jatuh.
Tiong Fa tertawa terbahak-bahak, sambil mengedipkan mata ke arah Huang Ren Fu dia berkata, "Jangan kuatir, adikmu
masih utuh, aku sengaja menunggu sampai engkau sadar, supaya tidak ada sedikitpun yang terlewat darimu."
Berbalik ke arah Huang Ying Ying, Tiong Fa membuka jubah luarnya dan melepaskan ikat pinggangnya sambil berkata,
"Nah, sekarang akan kutunjukkan bagaimana seorang lelaki jantan bertarung."
Diiringi suara tawa dari dua orang anak buahnya, tanpa malu-malu Tiong Fa melepaskan bajunya satu per satu hingga
semuanya terlepas dari tubuhnya. Tubuh Huang Ying Ying menggigil ketakutan, tenaganya sudah terkuras oleh pertarungan
melawan Tiong Fa tadi. Semangatnya pun sekarang menghilang, kakaknya terbaring tidak mampu berbuat apa-apa,
sementara di hadapannya, orang yang paling ia benci hendak merenggut kehormatannya.
Dengan satu gerakan yang sebat, Tiong Fa menyapu kaki Huang Ying Ying hingga gadis itu jatuh terjerembab tanpa mampu
melawan sedikit pun. Menyusul Tiong Fa menubruk gadis itu dan menangkap kedua tangannya.
Huang Ying Ying hanya mampu menjerit dan menangis, saat Tiong Fa bertubi-tubi menciumi wajahnya. Semakin gadis itu
meronta, semakin memuncak nafsu liar Tiong Fa dan anak buahnya. Di saat yang seperti itu, mengapakah HuangRen Fu
hanya berdiam diri menonton" Apakah pemuda itu takut kehilangan nyawanya di bawah todongan mata golok yang tajam"
Bukan demikian, pemuda itu bukan pemuda yang takut kehilangan nyawa dan memilih diam melihat adiknya dihina orang.
Namun saat Tiong Fa melepaskan bajunya, Tiong Fa juga melemparkan pedangnya ke atas lantai. Melihat pedang yang
tergeletak tidak berapa jauh dari dirinya, Huang Ren Fu melihat satu jalan untuk melepaskan dirinya dan menolong adiknya.
Justru karena ada harapan, maka pemuda itu tidak berani bertindak dengan gegabah.
Huang Ren Fu melihat betapa Tiong Fa dan kedua anak buahnya sudah dikuasai oleh nafsu binatang mereka. Pengawasan
terhadap dirinya tidak lagi dilakukan. Kedua orang anak buah Tiong Fa yang seharusnya menjaga dirinya, justru lebih sibuk mengamati Tiong Fa yang berusaha menggagahi Huang Ying Ying. Namun sesekali mereka masih melirik ke arahnya sambil
menyeringai iblis. Itu sebabnya Huang Ren Fu tidak segera bertindak, perlahan-lahan dia mengatur nafasnya, sambil
matanya nanar memandang ke depan, seakan tidak memiliki semangat untuk melawan. Pedih hatinya melihat Huang Ying
Ying dihina orang, namun kesempatan yang tipis tidak ingin dia sia-siakan.
Sementara itu Tiong Fa berusaha membuka baju Huang Ying Ying, sebagian pundak dan bagian atas dada gadis itu sudah
terbuka. Namun gadis itu tidak hendak menyerah begitu saja, dia terus berjuang untuk mempertahankan kehormatannya.
Akhirnya Tiong Fa habis sabar dan berteriak pada anak buahnya.
"Er Nu, kemari, pegang kedua tangan gadis ini!", seru Tiong Fa dengan wajah yang merah padam oleh nafsu yang bergolak.
Tanpa ragu lagi, Er Nu yang juga sudah dikuasai oleh nafsu melemparkan goloknya dan bergegas pergi untuk membantu
Tiong Fa melampiaskan nafsu bejatnya.
Tinggal seorang yang menjaga Huang Ren Fu, yang seorang itu pun sudah tidak lagi memperhatikan pemuda itu. Nafasnya
berat dan matanya nyalang menatap ke depan. Seluruh perhatiannya tertuju pada Huang Ying Ying yang sekarang tidak
mampu lagi melawan kehendak Tiong Fa. Dua tangannya terpegang erat oleh Er Nu.
Diiringi tawa penuh nafsu, tangan Tiong Fa yang sekarang bebas bergerak perlahan meremas dada Huang Ying Ying yang
membukit. Puas meremas-remas, perlahan-lahan dia menarik sisa baju yang masih menutupi sebagian besar dada Huang
Ying Ying, dinikmatinya ekspresi wajah Huang Ying Ying yang ketakutan.
Ketiga orang laki-laki itu tidak lagi melihat ataupun mendengar hal lain kecuali Huang Ying Ying. Nafsu sudah memuncak
memenuhi setiap reling hati dan pikiran mereka.
Di saat itulah tiba-tiba sebuah jeritan meregang nyawa menggoncang kesadaran mereka yang sedang dimabuk nafsu
binatang. Diam-diam Huang Ren Fu berhasil menggapai golok Er Nu yang tergeletak dekat dirinya, jauh lebih dekat dari pedang Tiong Fa. Dihimpunnya hawa murni dan dengan satu hentakan dia melompat bangun sambil menebas leher penjaganya.
Darah pun memancar keras, membasahi dinding ruangan dan Huang Ren Fu yang tidak berhenti di situ saja. Seperti
seorang malaikat pencabut nyawa dia melompat cepat bagaikan terbang menyambar Tiong Fa yang masih menindih tubuh
Huang Ying Ying. Namun Tiong Fa memang bukan orang sembarangan, dalam situasi seperti itupun dia masih sempat melompat pergi,
meskipun harus menyelamatkan diri sampai terguling-guling, menjauh dari golok Huang Ren Fu yang menyambar-nyambar.
Adalah Er Nu yang menjadi korban golok Huang Ren Fu yang haus darah, karena segera setelah goloknya tidak berhasil
memenggal kepala Tiong Fa, Huang Ren Fu tidak mencoba nengejar orang biadab itu. Perhatiannya yang pertama adalah
melihat adik tersayangnya lepas dari cengekeraman orang. Reaksi Er Nu tidak secepat Tiong Fa, pula wajah Huang Ren Fu
yang masih dihiasi oleh darah kawannya dengan mata melotot penuh kemarahan dan mulut menyeringai bak harimau
mukra, tampak begitu menakutkan, hingga Er Nu membeku di tempatnya. Mata golok yang berkilauan dihiasi merahnya
darah datang menyambar dan Er Nu hanya diam menanti kematian.
Segera setelah Huang Ying Ying lepas, Huang Ren Fu menarik adiknya itu menjauh, tapi Huang Ying Ying yang mulai hilang
keterkejutannya, sekarang dikuasai oleh kemarahan. Gadis itu menyambar pedang Tiong Fa yang tergeletak di lantai.
Seakan mendapatkan kembali kekuatannya yang tadi hilang, gadis itu berkelebat membur Tiong Fa. Serba keripuhan Tiong
Fa berusaha mengelak dan menangkis serangan gadis itu. Tiong Fa yang tadi berada di atas angin, sekarang tiba-tiba
terancam nyawanya, tapi Tiong Fa tidak kehilangan ketenangannya.
Meskipun tadi sempat terkejut namun cepat dia menguasai kembali hati dan pikirannya.
"Awas tawanan hendak kabur!", demikian dia berteriak-teriak sambil berusaha menyelamatkan diri dari serangan Huang
Ying Ying dan Huang Ren Fu.
Huang Ying Ying yang sudah kalap tidak menghiraukan teriakan Tiong Fa. Untung ada Huang Ren Fu yang lebih tenang,
pemuda itu segera sadar akan keadaan mereka saat ini. Memang benar mereka berada di atas angin, namun untuk
membunuh Tiong Fa bukanlah pekerjaan mudah. Ilmu Tiong Fa masih beberapa lapis lebih tinggi dari mereka berdua,
dengan teriakannya itu tentu anak buah Tiong Fa akan berdatangan dan keadaan akan segera berbalik saat itu terjadi.
Pemuda itu pun dengan segera menarik tangan Huang Ying Ying, saat Huang Ying Ying meronta, maka dengan keras dia
membentak, "GADIS BODOH! Lepaskan dia! Apa kau mau tertawan lagi" Kita harus lari sekarang!"
Huang Ying Ying terkejut, seumur hidup belum pernah kakaknya ini memaki dia. Namun kejutan itu justru menyadarkan
gadis itu akan keadaan dirinya. Sambil merapikan bajunya dia melompat mundur ke arah pintu. Huang Ren Fu yang merasa
lega oleh tanggapan adiknya itu dengan segera menyerbu Tiong Fa dengan begitu hebatnya hingga Tiong Fa terpaksa
menyelamatkan diri, melemparkan tubuhnya mundur jauh ke belakang. Tidak menanti Tiong Fa bangkit berdiri, Huang Ren
Fu segera melompat menyusul Huang Ying Ying yang sudah keluar ruangan terlebih dahulu.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Huang Ren Fu muncul, Huang Ying Ying pun segera berlari menuju ke arah pintu keluar. Dalam waktu dingkat
Huang Ren Fu sudah menjajari adiknya itu. Sementara Tiong Fa masih sibuk berteriak dan terburu-buru memakai
pakaiannya, kedua bersaudara itu sudah semakin dekat ke arah pintu keluar dari bangunan itu.
Tiga orang penjaga yang berusaha menghadang mereka tidak sempat memberikan banyak perlawanan. Bagaikan sepasang
banteng ketaton, kedua berusadara itu menyerbu dan tidak memberikan kesempatan bagi lawan mereka untuk melawan.
Sepanjang mereka berada dalam tahanan, keduanya sudah menggunakan telinga mereka baik-baik untuk mengamati
keadaan di luar. Langkah kaki penjaga dan juga pengantar makanan mereka dengarkan baik-baik. Dari situ mereka
berusaha menggambarkan keadaan di luar. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan, sejak mereka ada di dalam sana, mereka
sudah mendiskusikan jalan lari keluar dari bangunan itu, seandainya mereka mendapatkan kesempatan.
Sekarang kesempatan itu sudah terbuka, keduanya pun berlari dengan seluruh hidup dan mati mereka dipertaruhkan di
sana. Tidak ada waktu bagi mereka untuk meragukan rencana yang sudah mereka buat. Teriakan Tiong Fa dan derap
langkah kaki lawan yang mereka dengar, menjadi cambuk yang melecut semangat mereka berdua.
Segera setelah sampai di luar bangunan tempat mereka dikurung, barulah mereka tercenung sejenak. Rupanya tempat itu
cukup luas, dengan tembok yang mengelilingi seluruh kompleks bangunan. Tempat mereka dikurung hanyalah salah satu
dari bangunan yang ada. Tapi Huang Ren Fu sudah memikirkan hal ini jauh sebelumnya, tanpa ragu pemuda itu segera menunjuk tembok pagar yang
terdekat. Begitu sampai di sana, dia berikan kedua tangannya bagi Huang Ying Ying sebagai tumpuan. Tanpa ragu gadis itu pun
menggunakannya sebagai pijakan untuk melompat ke atas tembok. Huang Ren Fu pun segera melontarkan tubuh Huang
Ying Ying, membantunya melompat semakin tinggi.
Tinggi tembok itu tidak sampai dua kali tinggi Huang Ren Fu, Huang Ying Ying yang sudah berada di atas tembok, segera
mengulurkan tangan membantu Huang Ren Fu untuk melompat ke atas.
Di balik tembok itu mereka melihat gang kecil yang berujung ke sebuah jalan besar. Tanpa ragu keduanya melompat ke
bawah. "Cepat hapus darah di wajah kakak!", ujar Huang Ying Ying mengingatkan Huang Ren Fu yang sudah hendak lari ke jalan
besar. Huang Ren Fu yang tersadar, cepat melepaskan baju luarnya yang juga terciprat darah dan menggunakan baju luarnya itu
untuk membersihkan wajah dan tangannya dari darah yang baru mulai mengering. Huang Ying Ying sendiri menggunakan
kesempatan itu untuk merapikan dirinya.
Golok dan pedang yang tidak bersarung, menjadi ganjalan, namun tidak melihat jalan lain untuk menyamarkannya, tidak
ingin pula melepaskan senjata satu-satunya, mereka putuskan membawanya saja sesamar mungkin.
Kedua bersaudara itu pun pergi ke jalan besar yang cukup ramai, kemunculan mereka tentu saja menarik perhatian. Yang
pemuda hanya mengenakan baju dalam tanpa jubah luar dan keduanya menjinjing senjata yang sudah dicabut dari
sarungnya. Dengan menundukkan kepala, karena sadar oleh perhatian orang, keduanya berjalan secepat mungkin, menjauh dari
bangunan tempat Tiong Fa bermarkas.
Nasib baik masih menaungi mereka, entah karena sebab apa, Tiong Fa dan rombongannya terlambat cukup lama. Ketika
Tiong Fa dan orang-orangnya menemukan jejak mereka di gang sempit itu, mereka berdua sudah ada di dalam kerumunan
orang di jalan yang ramai.
Tapi Tiong Fa tidak menyerah dengan mudah. Dia segera menyebarkan anak buahnya dalam kelompok-kelompok kecil
untuk mencari jejak kedua orang muda itu.
Terjadilah kejar-kejaran yang cukup mendebarkan di antara mereka. Keadaan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying yang
cukup mencolok membuat mereka mudah dilacak. Beberapa kali mereka sempat melihat kelompok orang Tiong Fa yang
memergoki mereka berdua. Namun kelompok Tiong Fa pun tidak berani terlalu terang-terangan dalam menangkap kedua
orang muda itu. Hal ini memberikan keuntungan sendiri bagi Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu.
Apalagi kedua orang muda itu begitu awas melihat ke sekeliling mereka karena merasa masih berada dalam bahaya.
Sehingga belum sampai orang-orang Tiong Fa mencapai posisi mereka, kedua orang muda itu sudah sempat lari ke arah
yang lain. Sayangnya, untuk melepaskan diri dari kejaran mereka juga tidak mudah.
Nafas kedua orang muda itu mulai habis, sementara lawan yang lebih banyak dan lebih menguasai medan, perlahan-lahan
berhasil menggiring mereka ke tempat yang sepi.
Di sebuah perempatan jalan, kedua orang muda itu tiba-tiba sadar bahwa lawan sudah mendekati dari tiga arah yang ada.
Mau tidak mau, merekapun lari melewati satu-satunya jalan yang tersisa. Keduanya sudah terlalu panik untuk berpikir
jernih. Bahwasannya lawan tidak berani bertindak terlalu gegabah, seharusnya tempat yang ramai adalah perlindungan
yang terbaik. Namun yang ada dalam benak mereka hanya lari sejauh-jauhnya dari lawan.
Saat mereka berdua mendapati jalan yang mereka pilih itu tidak memiliki percabangan dan menuju ke satu tempat, barulah
mereka curiga akan maksud lawan.
Saat mereka sampai di sebuah kawasan yang kumuh dan sepi, barulah keduanya sadar bahwa mereka sudah terjebak.
Jalan itu membawa mereka ke sebuah lapangan kecil yang dikelilingi perkampungan kumuh. Penghuni rumah-rumah kumuh
itu rupanya sudah kenyang oleh penderitaan dan biasa diinjak-injak orang. Ketika melihat dua orang muda itu berlari dan di belakang keduanya ada sekelompok orang yang mengikuti, dengan segera mereka masuk ke rumahnya masing-masing dan
menutup pintu rapat-rapat.
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu akhirnya saling berpandangan, mendapati jalan buntu di depan mata.
"Sudahlah, biarlah kita lawan saja mereka, kalaupun tidak bisa lepas, setidaknya mereka tidak bisa menangkap kita hidup-hidup.", ujar Huang Ren Fu sambil menghela nafas.
Huang Ying Ying menggigit bibir dan mengangguk. Belum hilang dari benak gadis itu, bayangan Tiong Fa yang menindih
dirinya. Sekujur tubuhny masih terasa kotor oleh sentuhan Tiong Fa.
Kedua orang muda itupun membalikkan badan, menanti lawan yang berjalan mendekat. Pedang dan golok digenggam kuatkuat. "Jangan terlalu tegang, atur nafas dan kumpulkna hawa murni", ujar Huang Ren Fu mengingatkan adiknya.
Huang Ying Ying menganggukkan kepala, sebisa mungkn diapun berusaha mengendorkan ketegangan yang mencengkam
hatinya dan membangkitkan semangat yang ada. Para pengejar yang melihat kedua orang itu tidak lagi lari, mengendurkan
lari mereka. Sekarang mereka berjalan lebih perlahan, merekapun sadar, sebentar lagi akan terjadi pertarungan.
Tidak ada yang ingin mencapai kedua orang buruan mereka terlebih dahulu dengan nafas terengah-engah dan tenaga yang
membuyar. Itu sama saja mengirimkan nyawa dan teman-temannyalah yang akan menarik keuntungan.
Setapak demi setapak, mereka pun semakin dekat.
Debaran jantung kedua orang muda itu pun semakin sulit dikendalikan. Namun setidaknya tenaga mereka sudah pulih
sebagian. Nafas mereka sudah tidak lagi memburu. Pedang dan golok di tangan digenggam dengan mantap. Ketegangan
yang mereka rasakan, tidak membuat mereka menjadi panik, namun dialihkan menjadi dorongan semangat berjuang.
Mereka yang mengejar kedua orang muda itu nampaknya memahami benar keadaan keduanya. Itu sebabnya mereka pun
mendekat dengan hati-hati. Salah seorang di antara mereka yang berperan sebagai pemimpin, menggerakkan tangannya
dan dengan rapi mereka pun menyebar, perlahan-lahan bergerak mengepung kedua orang muda itu.
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu bergerak sehati, perlahan-lahan mengubah posisi tubuh mereka mengikuti gerakan
lawan, menjaga agar lawan selalu berada dalam jarak pandang mereka.
Ketika lawan membentuk kepungan dalam bentuk lingkaran yang sempurna, kedua orang muda itu pun sudah beradu
punggung dan saling menjaga.
"Sebaiknya kalian berdua menyerah saja. Aku tahu kalian berdua berasal dari keluarga pesilat, namun kami pun bukan
orang yang tidak pernah mengayunkan pedang sebelumnya. Kalian masih muda, selama kalian masih hidup, masih ada
harapan untuk bangkit kembali.", ujar pemimpin kelompok itu membujuk mereka untuk menyerah.
Sambil mengertakkan gigi Huang Ren Fu menjawab, "Hmph! Orang she Huang boleh mati tak boleh dihina. Jangan berpikir
untuk melemahkan semangat kami!"
Lama mereka terdiam, akhirnya pemimpin kelompok lawan pun berkata, "Baiklah aku mengerti, kulihat kalian sudah
bertekad untuk melawan sampai titik darah penghabisan. Meskipun Tuan Tiong Fa menghendaki kami untuk menangkap
kalian hidup-hidup, tapi sepertinya aku tidak akan bisa memenuhinya."
Rupanya pemimpin kelompok ini bukannya orang yang tidak berperasaan. Meskipun dia menjadi orang upahan Tiong Fa, dia
bisa memahami perasaan kedua orang buruannya. Tidak menangkap salah, tapi menangkap mereka hidup-hidup hanya
akan membuat mereka lebih menderita. Ada kalanya hidup lebih menderita dari mati, meskipun bisa diperdebatkan apakah
memang mati lebih baik daripada hidup. Ada yang lebih takut hidup menderita daripada takut mati, ada pula orang yang
lebih takut mati daripada hidup dalam penderitaan dan kehinaan.
"Awas serangan!", seru pemimpin gerombolan upahan Tiong Fa mengawali serangan.
Dengan seruan itu dimulai pula pertarungan seru antara kedua belah pihak. Dua orang muda itu bertarung bagaikan
serigala yang terpojok. Golok dan pedang mereka menyambar-nyambar lawan tanpa ampun. Huang Ying Ying mungkin
tidak sekuat lawan-lawannya, namun dengan pedang di tangan dia mampu menutupi hal itu dengan kecepatannya.
Beberapa kali lawan yang lengah harus menahan nyeri ketika pedang gadis itu menumpahkan darah.
Tapi lawan terlalu banyak dan kedua orang muda itu pun harus mengakui bahwa ilmu mereka masih kurang dalam hal
pengalaman. Perlahan-lahan, pakaian mereka mulai berwarna merah, oleh darah yang mengucur dari luka akibat senjata
lawan. "Jika kalian ingin menyerah, menyerahlah. Kapan saja kalian menyerah aku akan menghentikan serangan. Namun jika
kalian memang menghendaki kematian, akupun tidak akan menghalangi niat kalian.", seru pemimpin lawan sambil sedikit
mengendurkan tekanannya atas Huang Ren Fu.
Menggunakan kesempatan yang singkat itu, Huang Ren Fu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tegas dia
menjawab. "Cuma satu jalan untuk membawa kami pergi ke tempat anjing Tiong Fa, yaitu sebagai mayat."
"Baiklah, sekali lagi kukatakan, setiap saat kau merasa ingin menyerah, katakan saja dan aku akan menghentikan
serangan." Kemudian melihat ke sekeliling pada setiap orang-orangnya yang ikut menghentikan serangan dia menekankan,"Kalian
mengerti?" "Kami mengerti", jawab mereka serempak.
"Serang!", dengan seruan itu sekali lagi pertarungan dimulai.
Keadaan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying sudah sangat payah, entah sengaja atau tidak tekanan lebih banyak ditujukan
pada Huang Ren Fu. Lengan pemuda itu sudah mulai terasa kejang, dalam satu serangan dia dipaksa untuk menangkis
serangan lawan. Kelelahan sudah tidak tertahankan, goloknya terlempar lepas dari tangan. Dua buah pedang menyambar,
menyusul serangan yang tadi berhasil dia tangkis.
Kata orang, pada saat kematian datang menjemput, berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau berkelebat cepat dalam
benakmu. Saat Huang Ren Fu menyadari kematiannya akan datang sebentar lagi, entah apa yang mengisi benaknya.
Tangannya bergerak secara naluriah, untuk melindungi bagian-bagian vital dari tubuhnya yang diserang lawan. Namun dia
tahu yang dia lakukan sia-sia belaka. Tangan yang terdiri dari daging dan tulang tidak akan menang melawan logam yang
sudah diasah tajam. Jika lawan kurang kuat, lengannya akan terluka dan serangan selanjutnya baru akan menembus tubuhnya. Jika dia
beruntung berhadapan dengan lawan yang tangguh, senjata lawan akan menebas lengannya dan terus menebas tubuhnya
tanpa terhenti oleh daging dan tulang.
Tapi di saat dia sudah pasrah menanti tajamnya bilah pedang lawan mencacah tubuhnya, gerak pedang lawan tiba-tiba
terhenti. Seperti membentur sesuatu yang keras di tengah jalan.
Lapangan yang tadi riuh oleh teriakan dan dentang besi beradu dengan besi, sekarang menjadi sunyi. Butuh waktu
beberapa saat sebelum Huang Ren Fu menyadari keadaan di sekitarnya. Dan beberapa saat lagi sebelum panca inderanya
bekerja dengan wajar dan dia merasakan kehadiran seseorang di dekat dirinya dan Huang Ying Ying.
Terkejut pemuda itu mundur selangkah dan menoleh ke samping. Huang Ying Ying rupanya juga sudah merasakan
kehadiran orang itu dan sekarang berada di sisi Huang Ren Fu, memandang penolong mereka.
Berdiri di sana seorang tua dengan baju compang-camping. Seluruh rambutnya sudah memutih, di tangannya dia
memegang sebuah tongkat. Roman mukanya seperti monyet, semakin berkesan demikian dengan kerutan yang memenuhi
wajahnya, demikian pula tubuhnya yang kecil dan bungkuk. Namun dari penampilan yang tidak mengesankan itu muncul
wibawa yang besar. Tertawa terkekeh kakek tua itu pun berujar, "Ong Bun kecil, aku tahu kesusahanmu tidaklah kecil. Barang kawalan
dirampas orang, dua orang saudara angkatmu mati dalam pengawalan. Tuan besar yang menyewa dirimu pun menyita
habis seluruh hartamu sebagai ganti rugi atas hilangnya barang kawalan. Tapi apa perlu dirimu jadi pesuruh dari orang licik macam Tiong Fa?"
Rupanya pemimpin gerombolan yang mengejar Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying itu bernama Ong Bun, bekas kepala dari
sebuah jasa pengawalan. Terdesak oleh hutang akhirnya jadi orang upahan Tiong Fa. Ditegur sedemikian rupa oleh orang
tua tersebut, wajah Ong Bun berubah jadi pucat.
Salah seorang anak buahnya menggeram dan memaki, "Orang tua, jangan sembarangan mengeluarkan perkataan. Tuan
besar Ong Bun bukanlah orang yang boleh kau hina seenaknya!"
"Hoho, anjing kecil berani juga menyalak", ujar orang tua itu sambil tertawa.
"Keparat! Siapa yang kau panggil anjing?", seru orang yang merasa tersindir itu dengan marah.
Ong Bun yang melihat gelagat kurang baik berusaha mencegah anak buahnya dan berteriak, "Tahan!"
Namun teriakan itu terlambat keluar, dua bilah pedang sudah berkelebat dengan cepat mengancam orang tua itu. Yang
seorang menyerang sambil bergulingan membabat kaki. Yang seorang lagi melompat setinggi dada, sebuah kakinya
melayang menendang bahu sementara pedang di tangan bergerak membacok ubun-ubun orang tua itu.
Serangan mereka cukup cepat, Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying tidak sempat bertindak, mereka berdua masih belum
pulih dari rasa kaget mereka akan kemunculan orang tua itu yang begitu tepat waktu menyelamatkan mereka, lagipula
mereka sedang di tengah pembicaraan. Lain dua orang muda itu, lain pula orang tua itu. Meskipun usianya lebih lanjut,
namun kewaspadaannya justru lebih tajam dari mereka yang lebih muda. Diserang dari dua arah dengan tiba-tiba, tidak
membuatnya gugup. Dengan satu lompatan dia menendang ke atas, tepat mengenai kaki lawan yang mengarah ke bahunya. Terdorong ke atas
oleh tendangan itu, otomatis bacokan ke arah ubun-ubun pun kehilangan tenaganya karena terhalang oleh kaki dan badan
sendiri. Di saat yang sama golok yang membabat kaki dihindari. Tongkat di tangan pun tidak diam saja, dengan sebat lawan yang masih berada di atas disodok ulu hatinya. Pada saat turun pun orang tua itu tidak hanya turun begitu saja. Di saat melompat dia melompat dengan ringan, di saat turun dia turun seperti batu gunung yang berguguran. Kuda-kudanya kokoh
kuat menancap ke tanah, tepat menginjak tangan lawan yang memegang golok. Suara tulang yang patah terdengar
nyaring, diiringi teriakan kesakitan dari dua orang lawannya.
Cukup panjang jika diceritakan, tapi sesungguhnya terlihat sederhana bagi mereka yang melihatnya. Sederhana, hanya saja tiap gerakan tepat dilakukan, baik tempat dan waktunya.
Melihat pameran keahlian itu tidak ada yang berani lagi sembarangan maju. Apalagi Ong Bun sendiri sudah berteriak
memerintahkan mereka untuk menahan serangan. Berbeda dengan anak buahnya, Ong Bun sejak tadi sudah merasakan
bahwa orang tua di hadapannya itu tidak boleh diremehkan. Bukankah tadi dia dan dua orang anak buahnya yang lain,
sudah merasakan betapa mudahnya orang tua itu menyelinap di antara mereka dan Huang Ren Fu, kemudian menghentikan
serangan mereka" Lalu orang tua itu pun menunjukkan pengetahuannya tentang keadaan mereka, sementara mereka
belum mengenali orang tua itu.
Ditambah lagi sejak awal Ong Bun sudah merasa dirinya berada di pihak yang bersalah. Ong Bun ini dulunya sempat
berguru di biara Shaolin, setelah menyelesaikan satu dari 72 warisan Shaolin, dia kemudian keluar untuk mencari
pengalaman di dunia persilatan. Dalam perjalanannya dia bertemu dua orang sahabat, kemudian saling mengangkat
saudara dan mendirikan satu biro pengawalan.
Tahun berjalan, biro pengawalan mereka semakin besar. Siapa sangka saat mereka mendapat pesanan antar dari seorang
pejabat tinggi negara, satu terobosan bagi biro pengawalan mereka, justru mereka mendapatkan masalah. Bukan hanya
gagal mengawal barang, dua orang sahabatnya ikut gugur dalam menjalankan tugas. Sudah jatuh tertimpa tangga, pejabat
tinggi tersebut menuntut tanggung jawab dari biro pengawalan mereka. Demi agar tidak terjerat oleh hukum, harta
simpanan yang ada semuanya diberikan.
Dalam keadaan putus asa dan Ong Bun masih memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak buahnya, keluarga saudara
angkat yang ditinggalkan dan juga keluarganya sendiri. Di saat terjepit itulah Tiong Fa datang menawarkan bantuan.
Meskipun reputasi Tiong Fa sudah sangat buruk di dunia persilatan, demi rasa setia kawan, Ong Bun menelan harga dirinya dan menutup mata hati nuraninya.
Siapa sangka, hari ini dia harus berhadapan dengan orang tua yang menegurnya sedemikian rupa, tepat menusuk di tempat
yang paling lemah dalam hatinya.
"Tetua" memang mudah untuk mengatakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi terkadang kehidupan tidak
semudah itu. Jalan manapun yang kupilih, semuanya tampak salah di mataku.", ujar Ong Bun dengan suara berat.
"Hmm" benarkah demikian?", tanya orang tua itu.
"Tetua, jika aku tidak merendahkan diri dengan menjadi orang upahan Tiong Fa, maka anak isteriku, anak isteri saudara
angkatku dan juga pengikutku dan keluarga mereka akan kelaparan. Bisakah aku sebagai seorang pemimpin, saudara dan
kepala keluarga membiarkan hal itu terjadi?", tanya Ong Bun menolak untuk disalahkan.
"Hoo" anak isterimu adalah satu hal, tapi mengapa pula kau menaruh di atas pundakmu, anak isteri dari saudara
angkatmu, juga anak isteri dari sekian pengikutmu?", orang tua itu balik bertanya.
"Ong Bun, janganlah sombong. Seorang manusia tetaplah hanya seorang manusia. Kau bukan dewa, jika memang
pundakmu hanya mampu menanggung beban keluargamu sendiri, mengapa pula kau memaksakan diri untuk menanggung
beban orang lain" Apakah kau pikir dengan tindakanmu sekarang ini, kau berbuat baik bagi mereka" Bukankah yang kau
lakukan sekarang ini tidak ubahnya menarik mereka semua, bersama-sama masuk ke dalam kubangan lumpur?", tanya
orang tua itu kepada Ong Bun.
Kemudian dengan tongkatnya dia menunjuk pula sekian banyak orang-orang Ong Bun dan berkata pula, "Salahkah aku jika
aku memanggil kalian anjing" Kalian hanya mengenal kesetiaan, tapi tidak memiliki kebijakan untuk membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Seperti anjing yang hanya tahu setia pada tuannya, tanpa mau tahu apakah tuannya itu
memilih jalan yang benar atau yang salah."
"Apakah demikian yang namanya kesetiaan seorang manusia" Jika kalian setia pada Ong Bun sebagai seorang manusia,
sudah selayaknya kalian mengingatkan dia jika dia mengambil jalan yang salah."
Perkataan orang tua itu membangkitkan berbagai macam perasaan yang berbeda di hati setiap orang yang mendengarnya.
Mereka yang sudah lama merasa sudah mengambil keputusan yang salah dengan bekerja untuk Tiong Fa, mendapatkan
bentuknya dari ucapan orang tua tersebut dan merasa bersyukur sudah mendengarnya. Tapi mereka yang mengikuti Tiong
Fa demi upah, entah Ong Bun mengajak ataupun tidak, merasa risih dan tertuduh oleh perkataan orang tua itu.
Tiba-tiba salah seorang dari anak buah Ong Bun menyarungkan kembali pedangnya, menghadap ke arah Ong Bun orang itu
membungkuk hormat dan berkata, "Ketua Ong, sudah lama aku mengikutimu dan tidak pernah aku menyesalinya
sedikitpun. Hari ini aku ingin mengucapkan salam perpisahan, meskipun dalam hati kau tetap seorang pemimpin bagiku.
Maafkan aku, jika beberapa waktu terakhir ini, aku sudah menjadi beban bagimu, hingga Ketua Ong harus menginjak jalan
yang penuh lumpur. Aku hanya bisa berdoa, suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik."
Satu per satu, jumlah orang yang berpamitan bertambah. Ong Bun berdiri dalam diam merenungi kejadian ini.
Tapi tidak semua merasakan hal yang sama.
Salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak keras, "Pengecut kalian semua! Kalian lari ketika bertemu musuh yang kuat, meninggalkan Ketua Ong Bun sendiri dan kalian menyebut diri kalian sebagai pengikut yang setia" Puihh! Pergi saja kalian!"
Dengan teriakan itu muncullah teriakan-teriakan yang lain. Dari teriakan berubah jadi makian dan tiba-tiba kelompok yang tadinya berdiri dalam satu barisan kini terpisah menjadi dua. Satu kelompok yang hendak memisahkan diri dan mundur dari pertarungan dan yang lain yang ingin tetap bertahan. Ong Bun berdiri terpaku melihat pengikutnya siap untuk saling
berkelahi antar diri mereka sendiri. Sejenak laki-laki itu menutup mata. Saat dia membuka matanya kembali, sinar yang
dulu hilang sudah kembali.
"Hentikan! Berhenti kalian semua!", seru Ong Bun, teriakannya mengguruh mengatasi caci maki gusar dari para
pengikutnya yang siap saling menumpahkan darah.
Semua terdiam, tatapan mereka tertuju pada diri Ong Bun.
"Mulai hari ini, jangan panggil aku lagi Ketua Ong. Selama ini aku sudah menipu diriku sendiri. Jika aku sendiri tidak mampu berjalan dengan benar, bagaimana mungkin aku bisa memimpin orang lain untk berjalan bersama denganku?", ujar Ong
Bun dengan tenang. Sudah sekian lama mereka tidak melihat Ong Bun yang berdiri dalam keyakinannya sendiri, sehingga ketika dia kembali
pada dirinya, seakan-akan dia menjadi orang yang berbeda. Tapi bagi mereka yang masih ingat akan Ong Bun yang dulu,
mereka diingatkan kembali akan sosok Ong Bun yang membuat mereka menjadi pengikutnya dengan hati rela.
Berbalik pada orang tua itu, Ong Bun mengangguk hormat, membungkuk dalam-dalam dan berkata, "Tetua, jika boleh aku
mengenal namamu. Biar akan kuingat hari pertemuan kita ini dan di setiap doaku akan kuingat nama anda."
"Hmm" tidak malu kau pernah belajar di Shaolin. Baiklah, namaku adalah Hua Ng Lau, kau tidak perlu memanggilku tetua,
panggil saja Si tua Ng Lau.", jawab orang tua itu sambil tersenyum ramah.
Hilang sudah kegarangannya, bersamaan dengan ucapan Ong Bun yang mengakui kesalahannya. Sebaliknya wajah Ong Bun
berubah begitu dia mendengar nama orang tua itu.
"Tetua Hua" rupanya anda?"
Tapi Hua Ng Lau mengulapkan tangannya tanda dia tidak ingin Ong Bun melanjutkan kata-katanya. Melihat itu Ong Bun pun
mengangguk-anggukkan kepala.
"Tentang dua orang muda ini, mereka adalah?", Ong Bun berujar sambil menunjuk ke arah Huang Ren Fu dan Huang Ying
Ying. Namun kata-katanya terputus sekali lagi oleh gerakan tangan Hua Ng Lau, "Tak perlu kau katakan, hal itu aku sudah bisa
menduga-duganya sendiri. Sekarang kau pergilah bersama dengan mereka yang masih mau mengikutimu. Carilah jalan
yang baik untuk mencari penghidupan, asalkan seseorang mau mencari jalan, langit tentu tidak menutup mata."
"Dan bagi kalian", kali ini orang tua itu menatap ke arah para pengikut atau bekas pengikut Ong Bun, "Ingatlah hal ini, bahwa siapapun yang kalian ikuti, tidak berarti melepaskan tanggung jawab kalian sebagai pribadi demi pribadi. Kalianpun adalah manusia-manusia yang memiliki hak dan kewajiban untuk memilih jalan hidup kalian masing-masing."
Beberapa orang dari mereka menganggukkan kepala dengan tulus merenungi perkataan orang tua itu. Sebagian yang tidak
ingin menerima kekalahan, namun juga tidak berani untuk meneruskan pertarungan, melihat banyaknya kawan, bahkan
Ong Bun sendiri yang memutuskan untuk mundur dari pertarungan. Hua Ng Lau dan kedua bersaudara Huang hanya
memandangi mereka yang perlahan-lahan pergi meninggalkan tempat itu. Memandangi punggung-punggung mereka yang
semakin lama semakin menjauh. Ada yang berjalan kembali ke arah kediaman Tiong Fa dengan sumpah serapah di dalam
hatinya. Ada pula yang menempuh jalan lain dengan satu hati yang ringan dan bersih. Tapi setiap orang harus memilih
jalannya sendiri, karena setiap orang akan dimintai pertanggungan jawabnya sendiri oleh langit.
Menanti mereka semua pergi, Hua Ng Lau membalikkan badan dan memandangi kedua orang bersaudara itu, lalu dengan
senyum ramah dia bertanya, "Maukah kalian ikut denganku?"
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di lain tempat orang-orang yang mengejar kedua bersaudara dan memutuskan untuk tetap bekerja pada Tiong Fa kembali
dengan wajah menunduk dan hati berdebar. Sudah bisa mereka bayangkan hukuman dan makian yang akan mereka
terima. Namun hal itu tidak membuat mereka memilih jalan yang lain. Bagi beberapa orang sepertinya hanya ada satu jalan yang terbuka. Sayangnya mereka memilih untuk mencarinya pada orang seperti Tiong Fa, karena yang mereka temukan
hanya sebuah bangunan yang kosong.
Di perbatasan kota itu, sebuah rombongan kecil pedagang sedang berjalan dengan santai. Beberapa buah kereta berjalan
beriringan di belakang mereka. Setiap kereta dijaga oleh beberapa orang, di masa di mana penjahat masih berkeliaran di
jalan-jalan antara satu kota dengan kota yang lain, hal ini bukanlah pemandangan yang aneh. Bersenda gurau di bagian
paling depan adalah Tiong Fa bersama beberapa orang pengikut utamanya.
"Tuan Tiong Fa, apa yang akan terjadi dengan dua orang bersaudara itu?", tanya seorang dari mereka.
"Hmm" hal ini tergantung juga dengan nasib baik dua orang bersaudara itu. Jika nasib mereka buruk, mereka akan mati di
tangan Ong Bun.", jawab Tiong Fa.
"Bagaimana jika Ong Bun berhasil menangkap mereka hidup-hidup?"
"Oh jika demikian, saat Ong Bun mendapati rumah sudah kosong, dia tentu akan melepaskan kedua orang bersaudara itu."
"Tapi kulihat beberapa orang di antare mereka bukan orang baik-baik. Jika Ong Bun mati dalam pertarungan dan yang
menggantikannya adalah orang-orang itu?"
"Hahaha, maka nasib kedua orang bersaudara itu akan jauh lebih buruk, tapi tetap hidup. Karena buat mereka, seorang
gadis cantik yang hidup tentu lebih baik daripada sebuah mayat. Dengar, apapun yang terjadi dengan dua orang bersaudara itu, setidaknya mereka sudah tidak lagi menjadi beban buat kita. Tapi jika mereka ternyata berhasil hidup dan lolos, maka itu lebih baik.", ujar Tiong Fa.
"Hmm" kami kurang mengerti maksud Tuan Tiong Fa.", ujar salah seorang dari mereka.
"Hohoho, bukankah mudah untuk dimengerti. Dengan sengaja kubuat mereka harus berjuang keras untuk bebas. Menderita
penghinaan dan kesusahan. Jika setelah semua perjuangan itu mereka mendapati Ding Tao yang mengambil alih kekayaan
dan kekuasaan keluarga Huang sudah melupakan nasib mereka. Kira-kira bagaimana perasaan kedua orang bersaudara itu"
Kira-kira bagaimana perasaan nona muda Huang ketika mendapati cintanya sudah dilupakan?", ujar Tiong Fa berusaha
menjelaskan. "Hahahaha, salah satu penyangga Ding Tao yang terbesar saat ini adalah sisa-sisa keluarga Huang. Kemunculan kedua
orang bersaudara itu akan mengambil penyangga itu dari dirinya. Dan mereka tidak akan dengan mudah mau mendukung
Ding Tao. Tidak, setelah apa yang mereka alami hari ini.", ujar Tiong Fa sambil tertawa terbahak-bahak.
Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying mungkin mengira bahwa mereka berhasil lolos dari cengkeraman Tiong Fa oleh kesiap
sediaan mereka. Atau mungkin karena kelalaian Tiong Fa, tapi Tiong Fa tidak lalai hariitu. Dia tidak lalai saat dia
melemparkan pedangnya di dekat Huang Ren Fu. Tidak juga lalai saat dia mengajak dua orang bodoh dengan nafsu besar
yang mudah kehilangan kewaspadaan saat melihat kulit putih mulus, untuk menemani dia.
"Tapi bagaimana jika ternyata dua orang bersaudara itu tidak juga membenci Ding Tao setelah apa yang kita lakukan hari
ini?", tanya salah seorang pengikut Tiong Fa.
"Hmm" itu akan sangat menjengkelkan, tapi itu adalah tanda bahwa kita harus mencari tempat untuk tidur panjang
beberapa tahun lamanya. Jika setelah melewati penghinaan sedemikian rupa dan mendapati Ding Tao sudah menikahi
wanita lain, namun Huang Ying Ying tidak juga membencinya. Itu tandanya Ding Tao bukan orang yang mudah untuk
dihadapi. Tahu kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri. Tahu kapan harus bersembunyi dan kapan memunculkan diri.
Memiliki kesabaran untuk diam dan menunggu. Kalian mengerti?", ujar Tiong Fa menjelaskan.
"Ya" kami mengerti.", jawab mereka serempak.
Tiong Fa mungkin seorang bajingan, tapi dia bajingan dengan otak yang licin.
Kembali pada Huang Ren Fu, Huang Ying Ying dan Hua Ng Lau, pertanyaan Hua Ng Lau menyadarkan kedua orang
bersaudara itu. Sebelumnya sejak kedatangan orang tua itu yang terjadi dengan tiba-tiba, percakapan antara orang tua itu dengan Ong Bun dan anak buahnya, semuanya seperti mimpi dan khayalan yang tidak nyata. Tadinya mereka sudah
bersiap-siap untuk menyongsong kematian, kemunculan Hua Ng Lau sungguh di luar dugaan. Bahkan ketika Ong Bun dan
anak buahnya memencar pergi, mereka masih belum percaya bahwa mereka akhirnya selamat, luput dari cengkeraman
dewa kematian. Begitu tersadar, keduanya cepat menjatuhkan diri untuk berlutut dan mengucapkan terima kasih.
"Tetua Hua" kami berhutang nyawa padamu. Budi baik ini entah kapan kami bisa membalasnya.", ujar Huang Ren Fu sambil menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih Tetua Hua?", sahut adiknya dengan tenggorokan tercekat dan sedikit terisak.
Rasa syukur memenuhi rongga dada keduanya, Huang Ying Ying yang lebih perasa sudah mulai meneteskan air mata.
Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata syukur dan bahagia. Orang tua itu hanya tertawa terkekeh sambil
membangunkan kedua orang muda itu. Badannya memang kecil dan bungkuk, tapi nyata tenaga yang besar tersembunyi di
dalamnya. Dengan mudah dia menegakkan tubuh dua orang muda itu.
"Hahahaha, jangan panggil aku tetua, panggil saja Kakek Hua. Berdirilah kalian anak baik" ayo kita cari dulu tempat yang enak untuk mengobrol.", ujarnya dengan ramah.
Keduanya pun berjalan mengikuti Hua Ng Lau. Orang tua itu berjalan dengan pasti, seakan sudah hafal daerah kumuh
tersebut. Dia tidak mengambil jalan keluar dari lingkungan yang kumuh itu, melainkan berjalan menuju ke salah satu rumah dalam lingkungan yang kumuh itu. Melalui beberapa lorong sempit dan halaman rumah yang dipenuhi gantungan cucian,
akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang terlihat bersih dan rapi.
Rumah itu tidak mewah, hanya sebuah rumah yang dibangun dari bambu dan beratapkan daun. Namun berbeda dengan
rumah lain, rumah ini terpelihara dan rapi, dengan kebun yang ditanami berbagai macam tanaman, di pelatarannya terlihat beberapa macam dedaunan dan akar-akaran yang sedang dijemur dan dikeringkan.
"Ayolah, kita duduk-duduk di dalam", ujar orang tua itu sambil membuka pintu.
Dengan sopan kedua orang muda itu pun ikut masuk ke dalam. Menunggu orang tua itu duduk terlebih dahulu, barulah
mereka ikut duduk di bangku yang ditunjukkan.
Hua Ng Lau menganggukkan kepala melihat kesopanan kedua orang muda itu, "Hmm" apakah benar kalian ini adalah dua
orang kakak beradik, putera dan puteri Huang Jin, yang selamat dari pembantaian keluarga Huang di kota Wuling?"
Sejenak Huang Ren Fu saling berpandangan dengan Huang Ying Ying, keduanya sudah begitu dekat sebagai saudara.
Apalagi mengalami penderitaan bersama-sama, tanpa terucap satu kata pun, mereka sudah saling tahu, bahwa Huang Ying
Ying menyerahkan percakapan itu pada kakaknya.
Huang Ren Fu pun berpikir sejenak sebelum menjawab, "Benar sekali Tetua" eh maksudku Kakek Hua. Namaku Huang Ren
Fu dan ini adikku Huang Ying Ying."
"Hmm" jadi benar dugaanku?", jawab Hua Ng Lau.
"Dari mana Kakek Hua tahu bahwa kami dua bersaudara dari keluarga Huang di Wuling?", tanya Huang Ren Fu ingin tahu.
"Sejak penyerangan di Wuling sampai hari ini, kira-kira sudah hampir 9 bulan berlalu. Selama itu kalian terus berada di dalam sekapan Tiong Fa tentunya kalian belum tahu betapa banyak perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan dalam
waktu yang singkat itu. Jika kalian tahu tentu tidak akan sukar bagi kalian untuk menduganya.", ujar Hua Ng Lau
menjawab. "Kalau Kakek Hua tidak keberatan, maukah Kakek menceritakannya pada kami?", ujar Huang Ren Fu dengan penuh keingin
tahuan. Tentu saja sekilas berita tentang apa yang sudah dan sedang terjadi sudah mereka tangkap dari ocehan Tiong Fa sesaat
sebelum mereka melarikan diri dari cengkeraman Tiong Fa, namun siapa yang mau percaya dengan manusia yang berlidah
ular" Berbeda dengan Hua Ng Lau, bukan saja dia merupakan penolong mereka, namun dari apa yang mereka tangkap Hua
Ng Lau sungguh berbeda dengan Tiong Fa. Meskipun baru saja bertemu, namun dalam hati, mereka merasa bahwa kakek
tua ini bisa dipegang perkataannya.
"Aku mengerti, kalian pasti ingin tahu dengan apa yang terjadi selama kalian dalam sekapan Tiong Fa, terutama dengan
hal-hal yang berkenaan dengan nasib keluarga kalian. Aku tidak tahu, apakah yang akan kuceritakan ini akan membuat
kalian merasa bersyukur atau justru merana. Aku jenis orang yang percaya bahwa tahu yang sebenarnya lebih baik
daripada bahagia dalam penipuan. Tapi sebelum aku memulai, aku ingin kalian berusaha mendengar kisahku ini dengan
bijaksana. Tidak ada yang terjadi di muka bumi ini, yang tidak ada hikmahnya. Kalian mengerti maksudku?", tanya orang
tua itu pada keduanya. Huang Ren Fu mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab, dari penuturan Hua Ng Lau sebelum bercerita dia sudah
dapat membayangkan apa yang terjadi selama mereka disekap sudah tentu tidak indah bagi pendengaran mereka berdua.
Tanpa bisa dicegah jantungnya berdegup lebih kencang.
Setelah hatinya tenang dia pun menjawab, "Kami mengerti Kakek Hua, orang yang picik hanya bisa menyesali keadaan
yang buruk dan bersombong sewaktu keadaan baik. Namun orang yang bijak bisa mengambil hikmah dari kejadian yang
buruk dan waspada sewaktu keadaan baik."
"Ya, kurang lebih seperti itu. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi manusia yang bijak bisa merenungi setiap keadaan
dirinya, entah baik atau buruk dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan. Dengan demikian,
baik buruknya keadaan yang menimpa dirinya, dari waktu ke waktu dia menjadi semakin sempurna sebagai manusia.", ujar
Hua Ng Lau. Huang Ying Ying yang sedari tadi diam tiba-tiba berkata, "Kakek Hua" engkau berkata demikian, apakah berarti tidak ada
kabar baik yang hendak kau sampaikan buat kami?"
Hua Ng Lau tersenyum dengan lembut pada nona muda itu dan menjawab, "Baik dan buruk hanyalah ilusi, semuanya
tergantung bagaimana caramu memahami satu peristiwa. Sesuatu yang dianggap buruk bisa menjadi pelecut semangat
bagi kebangkitan di masa depan, jika sudah demikian apakah masih bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk?"
"Sebaliknya satu kejadian yang baik, bisa membuat orang terlena dan jatuh dalam kesusahan, jika sudah demikian apakah
masih bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik" Pahami hal ini baik-baik, jika kau sudah memahami hal ini dengan baik,
aku akan menceritakan kejadian dalam dunia persilatan selama kalian disekap oleh Tiong Fa.", ujar Hua Ng Lau sambil
menepuk bahu gadis itu. Cukup lama gadis itu terdiam, saling berpandangan dengan saudaranya, untuk kemudian menunduk dan menyeka pelupuk
mata yang membasah. Hampir seluruh keluarga dan sahabatnya, dibantai habis dalam semalam. Apa ada yang lebih buruk
lagi dari itu" Jika ada yang masih tersisa, maka itu adalah Ding Tao, laki-laki yang dikasihinya. Apakah yang satu itupun akan diambil dari dirinya" Apakah benar yang dikatakan Tiong Fa tentang Ding Tao" Tapi jika benar perkataan Tiong Fa
tentang Ding Tao, bukankah dia masih memiliki kakaknya yang dia kasihi" Bukankah dia masih memiliki kebebasannya"
Tidakkah dia harusnya bersyukur bisa lepas dari cengkeraman Tiong Fa"
Sambil menguatkan hati gadis itu menengadah, menatap ke arah Hua Ng Lau dan menganggukkan kepala, "Kakek Hua,
berceritalah. Aku tidak yakin apakah aku bisa menanggapinya dengan bijaksana, tapi percayalah aku akan berusaha
mendengarkannya dengan hati dan pikiran yang terbuka. Tidak terburu-buru menilai, namun mengambil waktu untuk
merenunginya." "Hmm" baguslah kalau begitu. Baiklah kalau begitu aku akan mulai bercerita.", ujar Hua Ng Lau sambil tersenyum.
Hua Ng Lau pun mulai bercerita tentang apa yang dia dengar dan ketahui, sejak dari peristiwa terbantainya keluarga Huang di Wuling, Tiong Fa yang mengembangkan sayap dan menguasai seluruh cabang-cabang bekas miliki keluarga Huang,
kemunculan Ding Tao kembali di Wuling, serangan Ding Tao atas Tiong Fa, desas-desus akan pertarungan Ding Tao dengan
ketua Partai Hoasan, berdirinya Partai Pedang Keadilan dan akhirnya sampai pada berita tentang pernikahan Ding Tao
dengan Murong Yun Hua dan Murong Huolin.
Mengikuti cerita Hua Ng Lau, kedua bersaudara ini dibuat naik turun perasaannya. Kesedihan saat mengingat kehancuran
keluarga Huang, bersemangat oleh pembalasan dendam Ding Tao atas Tiong Fa, khawatir saat Ding Tao berhadapan dengan
Ketua Partai Hoasan dan kemudian dengan salah seorang Tetua dari Hoasan.
Merekapun ikut bersyukur dengan keberhasilan Ding Tao.
Dan merekapun tertegun mendengar kisah pernikahan Ding Tao dengan keluarga Murong. Huang Ren Fu dengan rasa
khawatir memandangi raut wajah Huang Ying Ying, ketika akhirnya mereka sampai di titik itu. Huang Ren Fu yang beberapa
tahun lebih tua, sudah beberapa kali merasakan apa yang dia kira sebagai cinta dalam hidupnya. Sebagai remaja dia pernah mengalami cinta monyet yang hanya bertahan beberapa bulan lamanya. Menjelang dewasa pernah pula dia jatuh cinta
namun terpaksa melupakannya karena gadis yang dia kagumi sudah bertunangan dengan pemuda lain. Dengan pengalaman
ini Huang Ren Fu tidak terburu-buru menilai Ding Tao seperti apa yang dituduhkan Tiong Fa, hanya karena Ding Tao
menikahi gadis lain selain adiknya.
Namun sebagai seorang kakak, dia juga bisa merasakan kepedihan Huang Ying Ying. Apalagi Ding Tao dan Huang Ying Ying
sudah begitu dekat sekian lama, belasan tahun lamanya, meskipun perasaan cinta itu baru bersemi di akhir kebersamaan
mereka. Di satu sisi adalah sahabat baiknya, di sisi lain adalah adiknya. Melihat kesedihan yang membayang di wajah Huang Ying
Ying, ada pula rasa geram yang muncul dalam hatinya.
"Nona itu" maksudku isteri Kakak Ding Tao saat ini sedang menanti kelahiran anaknya"... Itu berarti dia sudah hamil 5
bulan saat menikah dengan Kakak Ding Tao?", tanya Huang Ying Ying sedikit terbata.
Hua Ng Lau menganggukkan kepala, "Benar" itu berita yang kudengar."
"Jika demikian, setidaknya Kakak Ding Tao sudah mengenal nona itu ketika keluarga kami diserang?", ujar Huang Ying Ying sambil memandang ke kejauhan.
"Kira-kira begitu?", jawab Hua Ng Lau.
"Tapi Adik Ying Ying, Ding Tao tidak menikahinya hingga 5 bulan kemudian. Pada saat dia sudah berhasil membalaskan
dendam keluarga Huang. Dari cerita Kakek Hua, juga bisa kita simpulkan bahwa selama itu Ding Tao tidak pula berusaha
menemui gadis itu. Gadis itu yang datang menemui Ding Tao. Sebaliknya selama itu, justru dia berusaha mencari tahu
tentang keberadaan kita berdua.", ujar Huang Ren Fu sambil menggenggam, lembut tangan adiknya.
"Ya" aku juga berpikir demikian?", ujar Huang Ying Ying dengan lemah.
Lama tidak ada seorangpun di antara mereka yang berbicara. Tidak Huang Ying Ying, tidak Huang Ren Fu, tidak pula Hua Ng Lau. Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau, mereka bisa membayangkan pergumulan batin yang sedang dilalui Huang Ying Ying
dan karenanya memilih diam. Kedua orang itu hanya bisa menghela nafas saat Huang Ying Ying mengerjapkan matanya dan
menghapus titik air mata yang hendak mengalir di pipinya.
"Aku percaya pada ketulusan Kakak Ding Tao, hanya saja keadaan menentukan jalan yang berbeda bagi kami berdua.", ujar
Huang Ying Ying sambil menahan isak.
"Hmm" baiklah kurasa kalian berdua sudah bisa memahami keadaan yang terjadi saat ini, keluarga Huang seperti yang
dahulu kalian kenal sudah tidak ada, berganti menjadi Partai Pedang Keadilan di bawah pimpinan Ding Tao.", ujar Hua Ng
Lau dengan lembut. "Kalau begitu, aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian. Apa yang ingin kalian lakukan sekarang" Apakah kalian ingin
kembali ke Wuling atau setidaknya kembali menemui orang-orang dari masa lalu kalian sebagai bagian dari keluarga Huang.
Atau kalian ingin mencoba hidup yang baru. Melepaskan masa lalu kalian sebagai keluarga Huang?", tanya Hua Ng Lau pada
kedua bersaudara itu. "Sebelum kalian memutuskan aku ingin memberi beberapa masukan pada kalian. Kembalinya kalian pada apa yang tersisa
dari keluarga Huang, ada kemungkinan akan membuat keadaan yang sudah mulai tenang kembali bergoncang. Entah
goncangan besar atau kecil, hal itu tidak bisa dikatakan dengan mudah. Tergantung dengan bagaimana kalian menyikapi
keadaan sekarang ini.", ucap Hua Ng Lau segera setelah dia menanyakan hal itu.
"Kalian bisa saja datang dan mengambil alih apa yang tersisa dari keluarga Huang, sebagai orang yang paling berhak atas warisan dari keluarga Huang. Jika demikian, itu berarti akan ada sebagian besar dari Partai Pedang Keadilan yang akan
memisahkan diri. Atau bisa juga kalian datang hanya sebagai bagian lain dari sisa-sisa keluarga Huang. Mengikuti mereka yang sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Ding Tao. Meskipun tidak ada goncangan besar, namun tentu saja
dengan kemunculan kalian akan ada penyesuaian dan ada singgungan-singgunngan yang muncul.", ujar Hua Ng Lau sambil
memandang ke arah Huang Ying Ying.
Dia tidak ingin menjelaskan dengan detail tapi berharap Huang Ying Ying bisa membayangkan sendiri bagaimana
kemungkinan akan munculnya singgungan-singgungan baik dalam partai maupun dalam keluarga Ding Tao.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam Hua Ng Lau melanjutkan, "Atau jika kalian ingin memulai hidup yang baru. Aku
memiliki satu tawaran bagi kalian."
"Pertemuan kita yang terjadi oleh karena satu kebetulan, kupandang sebagai ketentuan langit. Beberapa hari ini, aku sering sekali memikirkan keadaanku yang tidak memiliki keluarga maupun pewaris untuk mewarisi ilmu dari keluarga Hua. Dalam
keadaan seperti ini, bertemu dengan kalian yang kehilangan akar kalian, membuat aku berpikir."
"Jika kalian bersedia, aku ingin mengangkat kalian sebagai pewarisku, menjadi murid-muridku yang bisa meneruskan ilmu
yang sudah kupelajari. Agar tidak punah di tanganku, melainkan boleh diamalkan demi kebaikan sampai ke generasigenerasi yang selanjutnya.", ujar Hua Ng Lau sambil tersenyum pada kedua anak muda itu.
Tawaran Hua Ng Lau itu tentu saja membuat kedua bersaudara itu terkejut bukan main. Mereka sudah menyaksikan sendiri
kehebatan Hua Ng Lau saat menghadapi Ong Bun dan anak buahnya, jika dibandingkan tentu kehebatannya beberapa
tingkat di atas kemampuan ayah mereka sendiri. Bagi Huang Ren Fu tawaran itu membuah pilihan menjadi mudah, kembali
ke Wuling tidak berarti apa-apa lagi baginya, seluruh keluarganya sudah tiada. Usaha yang dulu dimiliki keluarganya
sekarang sudah berada di tangan orang lain. Jika usaha itu masih berada di tangan Tiong Fa, mungkin masih ada keinginan untuk merebutnya kembali, namun sudah ada yang membalas dendam pada Tiong Fa dan sisa-sisa keluarga Huang sudah
jatuh ke tangannya, orang itupun adalah sahabatnya sendiri, maka keinginan itu pun hampir-hampir tidak ada.
Di lain pihak, melepaskan masa lalu juga berarti mendapatkan seorang guru yang mumpuni. Apalagi dari nama orang
tersebut, ada satu ingatan tentang nama-nama tokoh besar dalam dunia persilatan. Seorang tokoh sakti yang juga pandai
dalam hal pengobatan, bermarga Hua, menurut orang masih keturunan dari Hua Tuo di jaman tiga kerajaan.
Tapi Huang Ren Fu masih ragu-ragu untuk memutuskan, keraguannya itu muncul karena Huang Ying Ying. Bagi Huang Ren
Fu, sekarang ini Huang Ying Ying adalah orang yang paling berharga buatnya. Seluruh keluarganya sudah mati terbantai,
tinggal adiknya seorang. Sementara Huang Ying Ying memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ding Tao. Jika Huang
Ying Ying memutuskan untuk menemui Ding Tao, maka Huang Ren Fu tidak akan tega untuk melepaskannya pergi
sendirian, menghadapi situasi yang mungkin tidak mengenakkan. Bagaimanapun juga Ding Tao sudah berkeluarga,
pertemuan mereka itu nanti, tentu akan penuh dengan perasaan yang serba salah. Karena itu, Huang Ren Fu tidak segera
menjawab pertanyaan Hua Ng Lau, sebaliknya dia menoleh dan memandang ke arah Huang Ying Ying.
Huang Ying Ying tentu saja bisa merasakan apa yang ada dalam hati kakaknya itu. Gadis ini pun berusaha memahami
hatinya yang sedang tidak menentu. Ada kerinduan untuk bertemu kembali dengan Ding Tao. Ada ketakutan untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja muncul jika dia bertemu kembali dengan Ding Tao.
Setelah beberapa lama dia berpikir, dengan suara lirih dia bertanya, "Bisakah kita pergi diam-diam untuk mengunjungi
Wuling" Aku ingin melihat bagaimana kehidupan Ding Tao sekarang ini, setelah itu aku akan mengikuti Kakak Ren Fu dan
Kakek Hua." Huang Ren Fu memandangi adiknya dalam-dalam, kemudian dengan lembut bertanya, "Adik Ying Ying, sebenarnya apakah
yang ada dalam hatimu" Jika kau ingin hidup bersama Ding Tao, aku akan menemanimu. Di dunia ini tinggal dirimu seorang
keluargaku, apa pun keputusanmu aku akan menemanimu dengan senang hati. Jika memang ingin melepaskan diri dari
masa lalu, apakah tidak lebih baik jika tidak usah melihatnya sekali lagi, meskipun dari kejauhan."
"Tidak Kakak Ren Fu, aku sudah memutuskan untuk meninggalkan masa laluku, termasuk hubunganku dengan Ding Tao.
Aku mengerti kedatanganku hanya akan membawa gangguan dalam rumah tangganya. Aku hanya ingin melihat dirinya
sekali lagi.", jawab Huang Ying Ying.
"Tidakkah hal itu akan membuat hatimu terluka nantinya?", tanya Huang Ren Fu dengan hati-hati.
Huang Ying Ying tersenyum dan menjawab, "Hatiku tidak serapuh itu. Kakak Ren Fu dan Kakek Hua tidak perlu kuatir."
Huang Ren Fu memandangi adiknya sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Hua Ng Lau, "Menurut "
Kakek Hua bagaimana"
Hua Ng Lau dengan tertawa menjawab, "Ya sudah, kalau Anak Ying Ying sendiri sudah berkata demikian, aku percaya
sepenuhnya. Jadi kalian mau menjadi pewarisku?"
Sejenak Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying saling berpandangan sebelum menjawab dengan serempak, "Ya Kakek Hua,
kami mau." Tanpa menunggu banyak aba-aba, keduanya pun segera menjatuhkan diri berlutut dan memberikan hormat pada Hua Ng
Lau, sesuai dengan adat kebiasaan pada jaman itu ketika mengangkat seseorang menjadi guru. Dalam dunia persilatan,
hubungan guru dan murid tidak sama dengan hubungan antara guru dan murid di masyarakat biasa. Hubungan guru dan
murid adalah satu hubungan yang khusus, tidak ubahnya hubungan antara orang tua dengan anaknya.
Selesai dengan segala tatacara yang biasa dilakukan, termasuk menyuguhkan teh dan sebagainya. Huang Ren Fu kemudian
bertanya pula pada Hua Ng Lau, "Hmm" apakah kami sebaiknya memanggil Guru Hua atau Kakek Hua saja?"
"Hehehe, kalian lebih kuanggap sebagai cucuku sendiri, oleh karena itu, panggil saja aku kakek.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa bahagia.
Huang Ying Ying pun tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Hua Ng Lau. Ada kalanya membuat orang
lain bahagia, terasa lebih membahagiakan daripada mencari kebahagiaan bagi diri sendiri. Penderitaan yang dialami pun
terasa lebih ringan, saat perhatian kita tertuju pada orang lain dan bukan berpusat pada diri sendiri.
"Kakek", sebenarnya siapa julukan kakek dalam dunia persilatan?", tanya Huang Ying Ying dengan manja.
"Jika cucu tidak salah, apakah kakek yang berjuluk Tabib Dewa?", ujar Huang Ren Fu yang dengan cepat ikut menyesuaikan
diri. "Hahaha, kalian ini memang cucu kakek yang pintar. Ya, ada juga orang yang memanggilku demikian.", jawab Hua Ng Lau
sambil tertawa. "Tabbib Dewa" Kalau begitu selain mahir ilmu silat, kakek tentu juga mahir ilmu pengobatan, pantasan di pelataran rumah ada banyak tanaman obat-obatan yang sedang dikeringkan.", sahut Huang Ying Ying.
"Kakek, kakek pandai ilmu pengobatan dan juga bermarga Hua, apakah kakek masih keturunan dari Tabib Hua Tuo yang
terkenal dalam sejarah itu?", tanya Huang Ying Ying yang berbicara tanpa henti.
"Heh" menurut orangtuaku demikianlah halnya.", jawab Hua Ng Lau dengan mata berbinar-binar.
"Tapi setahuku, Tabib Hua Tuo tidak pandai bersilat, bagaimana kakek bisa jadi mahir pula bersilat?", tanya Huang Ying Ying sekali lagi.
"Hmm" kejadiannya seperti ini?", ujar Hua Ng Lau membuka ceritanya.
"Sebenarnya dari keluarga Hua, tidak banyak yang meneruskan ilmu keluarga mengikuti Kakek moyang kami Tabib Hua
Tuo. Tapi setidaknya di setiap generasi harus ada satu anak yang berkewajiban meneruskan ilmu keluarga."
"Sejak dari dulu, sebagai seorang tabib, hubungan antara penerus keluarga ilmu keluarga Hua dengan orang dari dunia
persilatan memang tidak pernah putus. Namun prinsip kami adalah mengobati siapapun yang datang tanpa mau berpihak
pada golongan tertentu. Tokoh-tokoh dunia persilatan pada umumnya menghargai keputusan ini dan tidak pernah
mengganggu kami." "Siapa sangka, pada jaman kakek buyutku hidup, ada seorang tokoh dunia persilatan yang mendendam pada kakek
buyutku, karena dia telah menyelamatkan nyawa dari musuh bebuyutannya. Tanpa menghiraukan kesepakatan yang tidak
tertulis di masa itu, dia berusaha membunuh kakek buyutku itu."
Sambil mengambil nafas Hua Ng Lau menghirup teh di cangkirnya sambil diam-diam melirik Huang Ying Ying dan Huang
Ren Fu yang sedang mendengarkan cerita Hua Ng Lau dengan penuh perhatian. Entah kenapa, kebanyakan orang tua
memang suka bercerita dan kesenangan bercerita itu semakin berlipat saat pendengarnya mendengarkan dengan penuh
perhatian. Demikian juga Hua Ng Lau, sudah lama orang tua ini hidup sendirian. Munculnya dua anak muda ini membawa
semangat baru dalam hidupnya.
"Lalu apa yang terjadi kemudian" Mengapa ada yang berani berusaha menyakiti kakek buyut, apakah dia tidak takut pada
orang-orang dunia persilatan yang lain?", tanya Huang Ying Ying yang tidak sabaran.
Senyum lebar terbentuk di wajah Hua Ng Lau, "Hee" sabar sedikit biar kakek membasahi tenggorkan kakek dulu."
Huang Ying Ying pun mendapatkan sodokan di pinggangnya dari kakaknya. Sambil meleletkan lidah, Huang Ying Ying segera
bangkit dan mengisi cangkir Hua Ng Lau dengan teh.
Setelah menghirup teh dalam cangkirnya untuk kedua kalinya dan berdehem beberapa kali, Hua Ng Lau kembali
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanjutkan ceritanya, "Tokoh jahat yang berusaha menyakiti kakek buyut ini bukan orang sembarangan. Bisa dikatakan
dia termasuk 4 besar dalam dunia persilatan di masa itu. Untung saja rencananya untuk mencelakai kakek buyut berhasil
didengar oleh partai Kaypang."
"Ketua Kaypang di masa itu, yang termasuk 4 besar juga, mengundang sahabatnya untuk menggagalkan rencana tokoh
jahat itu. Pertarungan hebat pun terjadi sampai beberapa kali. Karena ilmu mereka memang hampir seimbang, Ketua
Kaypang dan sahabatnya tidak pernah berhasil mengalahkan dengan telak. Meskipun mereka berhasil menyelamatkan
nyawa kakek buyut, namun selama tokoh jahat itu masih hidup, bahaya terus saja mengancam."
"Akhirnya Ketua Kaypang dan sahabatnya itu memutuskan untuk mengajarkan dua macam ilmu silat andalan mereka pada
kakek buyutku. Dengan demikian diharapkan kakek buyut bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada perlindungan orang lain."
"Sejak itu pula, selain mewarisi ilmu pengobatan, pewaris ilmu keluarga Hua, juga mewarisi ilmu silat.", ujar Hua Ng Lau menutup ceritanya.
"Oh" rupanya demikian. Kakek, ada hal yang membuatku heran. Bukankah ilmu keluarga Hua diwariskan turun temurun
sampai beberapa generasi. Jika demikian, bukankah harusnya keluarga Hua sudah menjadi satu kekuatan yang besar"
Ataukah di tiap generasi hanya boleh ada satu pewaris saja, sementara yang lain tidak mendapatkan bekal apa-apa
sedikitpun?", tanya Huang Ying Ying sambil mengerutkan alisnya.
"Hehehe, kami Keluarga Hua memang berbeda dengan yang lain. Sejak keturunan Tabib Hua Tuo yang pertama, kami
sudah merasakan beratnya menyandang nama besar. Bukankah beliau akhirnya harus menderita hukuman mati oleh karena
nama besarnya itu?" "Itu sebabnya hanya ada satu pewaris di tiap generasi dan hanya ada satu orang yang berhak menyandang nama marga
Hua dari keturunan Tabib Hua Tuo. Hal ini pun dilakukan hanya agar ilmu itu tidak lenyap begitu saja.", ujar Hua Ng Lau menjelaskan.
"Wah.. tapi bagaimana kali pewaris itu tidak memiliki keturunan atau mengalami kecelakaan" Apa tidak terlalu riskan
dengan mempercayakannya pada satu orang saja?", tanya Huang Ying Ying sekali lagi.
"Hehehe, sebenarnyalah demikian dan memang pernah terjadi demikian. Contohnya seperti diriku yang tidak memiliki
keturunan. Dan pernah juga ada salah seorang pewaris ilmu keluarga Hua yang mati sebelum sempat mewariskannya pada
seseorang.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa.
"Lho" jika begitu, kakek mendapatkan ilmu keluarga Hua dari siapa. Kok aku sekarang jadi bingung.", ujar Huang Ying Ying sambil menggosok-gosok ujung hidungnya yang mancung.
"Hahahaha, hmm" rupanya kalau tidak diceritakan sampai tuntas, kau tidak akan pernah puas.", jawab Hua Ng Lau sambil
tertawa. Huang Ren Fu pun ikut tertawa, sejak mendengarkan jawaban Hua Ng Lau tentu saja dia sudah memiliki dugaan. Namun dia
tidak ingin menjawabnya, dia lebih suka berdiam diri dan mendengarkan percakapan antara Huang Ying Ying dan Hua Ng
Lau, karena terlihat jelas bagaimana keduanya menikmati percakapan itu.
"Tentu saja tidak puas, karena itu kakek baik tolong ceritakan sampai tuntas", ujar Huang Ying Ying dengan manja.
Ya, untuk sejenak lamanya segala penderitaan yang dialami Huang Ying Ying jadi terlupakan. Tidak salah keputusan Huang
Ren Fu untuk berdiam diri.
"Hehehe, ya,ya. Nah dengarkan baik-baik. Selain mewariskannya pada satu orang, kami penerus ilmu warisan keluarga Hua
juga diwajibkan untuk menuliskan ilmu yang kami miliki serta pengembangannya di sebuah kitab. Kitab itu sendiri
tersimpan di tempat yang aman. Sehingga bila terjadi sesuatu pada diri kami, jika langit mengijinkan dan ada orang yang berjodoh, ilmu itu masih ada yang meneruskan. Dan itulah yang terjadi saat salah seorang penerus keluarga Hua meninggal sebelum sempat mewariskan ilmunya.", jawab Hua Ng Lau.
"Kalau memang salah seorang keturunan Tabib Hua Tuo meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan ilmu itu diwarisi
lewat kitab, mengapa sampai sekarang penerusnya masih bermarga Hua" Apakah memang karena jodoh maka yang
menemukannya juga orang bermarga Hua?", tanya Huang Ying Ying.
"Tidak, bukan demikian. Saat itu penemunya tidak bermarga Hua, namun ketika dia menemukan kitab itu dan membaca
pesan dari penulisnya. Hatinya tergerak oleh budi pekerti dari para penerus Tabib Hua Tuo dan diapun memutuskan untuk
mengganti marganya menjadi Hua, demi meneruskan nama keluarga Hua yang terputus. Hal itu dia tuliskan dalam kitabnya
dan sampaikan pada penerusnya. Sejak saat itu, setiap penerus ilmu keluarga Hua, otomatis memiliki nama marga Hua,
meskipun jika sebelumnya mereka bukan bermarga Hua."
"Kakek, jika demikian, apakah kakek berharap agar kami juga mengubah nama marga kami menjadi Hua?", Huang Ren Fu
yang sejak tadi diam mendengarkan, sekarang membuka suara.
Hua Ng Lau tersenyum lembut, "Memang seharusnya demikian. Namun dalam kasus kalian, kupikir, tidak ada salahnya jika
kau tetap bermarga Huang dan hanya Ying Ying yang mengganti marganya menjadi Hua."
Menoleh ke arah Huang Ren Fu dia melanjutkan, "Hal ini kuputuskan karena kebetulan dirimu adalah satu-satunya penerus
nama keluarga kalian."
Kemudian kepada Huang Ying Ying dia berkata, "Kuharap kau tidak keberatan, apalagi kalau dipikir sebenarnya hanya
masalah nama, hubunganmu dengan kakakmu juga tidak berubah, kalian tetap kakak beradik."
Dengan rasa malu Huang Ren Fu berkata, "Kuharap kakek tidak salah paham, sebenarnya jika dikatakan meninggalkan
masa lalu, sudah sepantasnya kalau cucu mengganti juga nama marga menjadi Hua, hanya saja seperti yang kakek bilang,
penerus nama keluarga Huang dari Wuling hanya tinggal diriku seorang."
Hua Ng Lau tertawa sambil menepuk bahu Huang Ren Fu, "Hahaha, apa perlunya merasa sungkan" Sejak hari ini kalian
sudah kuanggap cucuku sendiri, masalah nama marga bukan hal yang perlu dipikirkan. Hal itu menjadi penting untuk
menunjukkan rasa terima kasih kita pada para pendahulu."
"Nah, apakah kalian setuju dengan pengaturan itu?", tanya Hua Ng Lau sambil melihat ke kanan dan ke kiri, ke arah Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying.
"Tentu saja kek, tidak ada masalah. Tapi omong-omong, karena cucu perempuanmu ini yang mewarisi marga Hua, apakah
itu artinya ilmu warisan keluarga Hua yang diwariskan akan lebih lengkap?", jawab Huang Ying Ying atau yang sekarang
lebih tepatnya bernama Hua Ying Ying, sambil bertanya.
"Hahaha, apakah kau mau seperti itu?", tanya Hua Ng Lau sambil tertawa lebar.
"Ya" tidak usah selisih banyak-banyak, sedikit saja, asal cucu perempuanmu ini punya senjata rahasia untuk melawan
kakaknya kalau kakaknya sedang nakal.", jawab Hua Ying Ying sambil menempel-nempel pada Hua Ng Lau.
"Hahahaha, baiklah, biar orang berkata kalau aku kurang adil, nanti aku beri satu ilmu rahasia, supaya kakakmu tidak
berani nakal padamu.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa lebar.
Huang Ren Fu tentu saja tidak keberatan, Hua Ying Ying adalah adik kesayangannya, jika Hua Ng Lau bersikap baik
padanya, diapun ikut bergembira. Apalagi sejak ayah mereka merebut Pedang Angin Berbisik dari tangan Ding Tao, adiknya
itu sering sekali menjadi murung dan semakin murung sejak terbunuhnya seluruh anggota keluarga mereka. Kehadiran Hua
Ng Lau sebagai kakek yang memanjakan cucunya, tampaknya menjadi penghibur yang tepat untuk mengakhiri masa-masa
kesedihan Hua Ying Ying. Huang Ren Fu hanya ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hua Ying Ying yang melihat kakaknya hanya bisa tertawa pun, menggodanya, "Nah, jangan iri ya. Tapi jangan kuatir, kalau kakak baik padaku aku tentu tidak akan memakai ilmu rahasia itu."
"Hahaha, baiklah aku akan jadi kakak yang patuh pada adiknya.", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa.
"Hehehe, Ying Ying, kakek belum beritahukan ilmu rahasia untuk melawan kakakmu, tapi melihat gelagatnya, sebaiknya
kakek beritahukan sekarang. Ilmu rahasia itu namanya, ilmu menjadi adik yang sopan dan penurut. Kalau kau sudah mahir
ilmu itu, kutanggung kakakmu tidak akan pernah mengganggumu.", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Waah" kalau ilmu itu sih sudah tidak perlu diajari lagi kek?", ujar Hua Ying Ying sambil menepuk-nepuk jidatnya, berpura-pura kecewa, diiringi tawa Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau.
Sudah berpuluh tahun rumah kecil itu tidak pernah ramai oleh tawa. Tentu saja perubahan yang terjadi membuat tetangga
kiri kanan ingin tahu. Dinding rumah tidak tebal, jarak antara rumah yang satu dengan yang lain juga tidak berjauhan. Pun ketiga orang itu tidak menahan-nahan suaranya, hati sedang gembira, dengan sendirinya suara menjadi cukup keras. Tapi
tidak ada yang merasa terganggu dengan suara tawa mereka. Sebaliknya ketika para tetangga dekat mulai menangkap
bahwa Hua Ng lau mengangkat dua orang muda sebagai cucunya, mereka ikut merasa bergembira. Maklum saja sebagai
tabib, entah sudah berapa banyak orang yang tertolong oleh kebaikan hati Hua Ng Lau.
"Kakek, tentang keinginan Adik Ying Ying untuk melihat keadaan Ding Tao, menurut kakek, kapan baiknya perjalanan itu
kita mulai?", tanya Huang Ren Fu setelah tawa mereka mereda.
"Hmm" aku tahu Ying Ying tentu ingin secepatnya melihat keadaan Ding Tao, namun setidaknya aku ingin kalian menunggu
kira-kira ? tahun lamanya. Dalam waktu itu aku akan melatih kalian dengan ilmu beladiri warisan keluarga Hua. Kalian
sudah memiliki dasar yang cukup baik, jadi kurasa waktu yang ? tahun itu sudah cukup untuk membuat kalian menjadi
jagoan yang tangguh.", ujar Hua Ng Lau menjawab pertanyaan Huang Ren Fu.
Wajah Hua Ying Ying berubah menjadi sedikit muram, namun dia tidak mengeluh, sebaliknya justru dia menganggukkan
kepala, "Aku mengerti kek, tanpa bekal yang cukup untuk menjaga diri. Berkelana di dunia persilatan hanya akan
mengundang bahaya saja. Aku juga tidak ingin menjadi beban bagi kakek."
Hua Ng Lau tersenyum dan mengelus kepala Hua Ying Ying yang dengan cepat menjadi cucu kesayangannya itu, "Baguslah
kalau kau bisa berpikir dengan matang. Mulai besok kita akan mempelajari dasar-dasar dan teori ilmu bela diri keluarga
Hua." "Hmm" kek, waktu ? tahun itu tentunya bukan waktu yang tidak bisa ditawar bukan" Jika ternyata kami bisa maju dengan
pesat, melebihi perkiraan kakek, tentu waktu yang ? tahun itu bisa menjadi lebih singkat.", tanya Huang Ren Fu.
Pertanyaan itu timbul bukan dari ketidak sabarannya, namun Huang Ren Fu yang melihat kemurungan Hua Ying Ying ingin
menunjukkan kemungkinan itu pada adiknya. Sekaligus ingin melecut pula semangat adiknya itu dalam berlatih dengan
adanya harapan tersebut. Hua Ng Lau yang sudah mulai sedikit-sedikit memahami watak Huang Ren Fu tersenyum dalam
hati. "Ya, tentu saja, semakin tekun kalian dalam mempelajarinya, semakin pendek pula waktu yang dibutuhkan. Hanya saja aku
perlu mengingatkan bahwa tubuh kitapun memliki batasan-batasannya. Berlatih tanpa beristirahat yang cukup, justru akan
merusak tubuh.", jawab Hua Ng Lau dengan bijak.
"Wah, kalau begitu kek, kenapa harus menunggu besok untuk memulai pelajarannya" Bagaimana kalau dimulai dari
sekarang?", tanya Hua Ying Ying pada Hua Ng Lau.
"Hehehehe, bukankah sudah kubilang, tubuh kalian pun perlu istirahat. Barusan kalian harus bertempur dan memaksa
tubuh kalian untuk bekerja melebihi batas kekuatannya. Sekarang kalian harus mengistirahatkan tubuh kalian baik-baik,
besok barulah kalian bisa perlahan-lahan mulai berlatih.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa.
"Hmmm" tapi kek, kalau hanya dalam bentuk teori, kan bisa dilakukan sambil beristirahat?", ujar Hua Ying Ying terus
memaksa. "Hahaha, ya,ya, kalau begitu pun boleh. Baiklah hari ini kita mulai pelajarannya, tapi ingat hanya teorinya saja yang akan kuuraikan. Besok baru kalian boleh menggunakan tenaga kalian.", jawab Hua Ng Lau sambil menggelengkan kepala, diikuti
oleh sorakan Hua Ying Ying yang senang karena keinginannya terpenuhi.
"Adik Ying, omong-omong, apa kau tidak ada yang terlupa?", tegur Huang Ren Fu setelah tawa Hua Ying Ying mereda.
"Lupa" Apa ya yang terlupa?", Hua Ying Ying balik bertanya dengan wajah bingung.
"Hari sudah siang, sedari tadi sejak menolong kita kakek belum sempat makan apa-apa, hanya meminum beberapa cangkir
the. Apa tidak kasihan?", tegur Huang Ren Fu sambil menahan senyum.
"Astaga" aku lupa. Maafkan aku ya kek, kakek mau makan apa" Apa ada bahan-bahan di dapur yang bisa dimasak" Atau
kita pergi untuk membeli makanan?", ujar Hua Ying Ying sambil segera berjalan ke arah dapur.
Rumah Hua Ng Lau tidak besar, tentu saja dengan cepat keduanya sudah tahu di mana dapur, ruang tidur dan sebagainya.
Hua Ng Lau merasa bahagia, memang manusia sudah dikodratkan untuk hidup bersama-sama. Rumah yang biasanya sepi
jadi ramai, orang tua itu pun merasakan kehangatan dalam hatinya.
Sambil tersenyum dia menyahut, "Di dapur masih ada nasi yang kumasak tadi pagi, ada juga beras, sayuran, tepung dan
bumbu-bumbu seadanya."
Huang Ren Fu pun menyusul Hua Ying Ying sambil berpamitan pada Hua Ng Lau, "Kek, biar aku bantu Adik Ying Ying
menyiapkan makan siang."
"Ya, ya, pergilah. Aku akan beristirahat sebentar, sudah lama juga aku tidak menggerakkan badan seperti tadi", jawab Hua Ng Lau sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu.
Dari tempatnya Hua Ng Lau bisa mendengar senda gurau kakak beradik itu di dapur.
"Hee" memangnya kau bisa masak apa?", terdengar suara Huang Ren Fu berkata pada adiknya.
"Oh, jangan salah ya, aku kan sering belajar memasak juga di rumah. Bukan seperti dirimu yang hanya tahu makan saja.",
sahut Hua Ying Ying. "Katanya sudah pandai ilmu sopan dan penurut pada kakak, tapi sepertinya kok belum dipraktekkan ya?", balas Huang Ren
Fu. "Hooo, maunya?", ujar Hua Ying Ying dibalas tawa oleh Huang Ren Fu.
Sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok, mata Hua Ng Lau pun mulai terpejam dengan senyum masih menghiasi
wajahnya. Tidak salah jika orang bijak pernah mengatakan, untuk segala sesuatu di bawah langit ini ada waktunya. Ada
waktu untuk mencucurkan air mata, ada pula waktunya untuk tersenyum dan tertawa. Kali ini adalah saat bagi Hua Ng Lau
dan kedua cucu barunya untuk tertawa dalam kebahagiaan.
----------------------- 0 -------------------------Di tempat lain, Ding Tao dan sahabat-sahabatnya sepertinya belum bisa lepas dari perjuangan dan kerja keras. Pernikahan Ding Tao memberikan selingan yang menyegarkan, namun beberapa bulan berjalan usia pernikahannya, mereka sudah
kembali sibuk dengan pekerjaan mereka. Permasalahan pertama muncul dari keinginan Murong Yun Hua agar Ding Tao
memanfaatkan kitab-kitab koleksi keluarga Murong. Terutama kitab-kitab ilmu silat yang berisi berbagai macam aliran ilmu silat yang berhasil dikumpulkan oleh ayah Murong Yun Hua dan Murong Huolin.
Ding Tao yang sejak awal enggan untuk melanggar batasan dan kebiasaan dalam dunia persilatan, tentu saja dengan cepat
menolak ide Murong Yun Hua tersebut. Mencuri belajar dari ilmu orang lain adalah perbuatan yang dipandang hina dalam
dunia persilatan. Tidak ingin berselisih dengan Ding tao, Murong Yun Hua pun tidak memaksa Ding Tao untuk ketiga kalinya.
Namun Murong Yun Hua yang menyadari betapa pentingnya peran Ding Tao sebagai pimpinan dari satu partai, tidak mau
menyerah begitu saja, diam-diam Murong Yun Hua menemui Chou Liang untuk membicarakan hal ini.
Chou Liang seperti biasa sibuk dengan masalah jaringan mata dan telinga Partai Pedang Keadilan. Terutama dengan
semakin besarnya bayangan dari Partai Pedang Keadilan yang digerakkan oleh Guru Chen Wuxi, Fu Tong si tongkat besi dan
Song Luo si pemilik rumah makan. Chou Liang tidak ingin mereka yang bergerak di luar ini sembarangan menerima
anggota. Justru karena mereka bergerak tanpa membawa nama Partai Pedang Keadilan, tiap-tiap anggota harus benarbenar dapat dipercaya sebelum mereka boleh tahu bahwa sebenarnya mereka masih merupakan bagian dari Partai Pedang
Keadilan. Jumlah anggota inti dari gerakan bayangan ini tidaklah besar, namun tiap orang tentu memiliki jaringannya sendiri yang
tidak tahu menahu tentang hubungan mereka dengan Partai Pedang Keadilan. Hingga saat itu, jumlah mereka yang menjadi
inti dari bagian tersebut baru sejumlah 14 orang, termasuk guru Chen Wuxi, Fu Tong dan Song Luo.
Dari 14 orang itu, 5 di antaranya bertugas untuk mengurusi rumah-rumah aman, tempat anggota inti Partai Pedang
Keadilan bisa bersembunyi jika diperlukan.
Selain 5 tempat tersebut, secara lebih terbuka untuk anggota Partai Pedang Keadilan sendiri, Chou Liang juga sudah
menempatkan 8 orang tersebar di berbagai tempat untuk menyiapkan tempat serupa itu. Demikian juga dengan jaringan
mata dan telinga bagi Partai Pedang Keadilan yang dibentuk dari orang-orang Partai Pedang Keadilan sendiri. Demkian
sibuknya Chou Liang menangani dua jalur jaringan mata-mata dari Partai Pedang Keadilan.
Bukan hanya sebagai muara akhir dari setiap sumber informasi, Chou Liang juga bertanggung jawab untuk menyaring dan
menganalisa setiap informasi yang dia terima untuk disampaikan pada Ding Tao dan orang-orang kepercayaannya.
Karena itu dahi Chou Liang pun sedikit berkerut saat mendengar Murong Yun Hua berkunjung ke tempat kerjanya dan
meminta bertemu. Salah seorang anggota yang sedang menyampaikan laporan, cepat-cepat disuruhnya meninggalkan
tempat dan berkas-berkas pun dirapikan sebelum kemudian dia mempersilahkan Murong Yun Hua untuk masuk ke dalam.
Tentu saja pintu dibiarkan terbuka lebar-lebar dan seorang pembantu perempuan diminta untuk menghidangkan minuman
bagi Murong Yun Hua. Murong Yun Hua sendiri tidak datang sendirian, dia datang bersama seorang pelayan pribadinya. Setelah bertemu, tentu
Murong Yun Hua tidak langsung menyinggung masalah yang ingin dia sampaikan. Terlebih dahulu mereka berbasa-basi
sejenak. Setelah selesai dengan basa-basi, Murong Yun Hua pun dengan tenang berujar, "Penasehat Chou Liang, sebenarnya aku
datang karena aku memiliki sedikit masalah dengan barang-barang warisan keluarga Murong yang baru saja dikirimkan dari
rumah." "Oh" begitu, kalau memang bisa membantu tentu akan kubantu. Coba nyonya ceritakan masalahnya, barangkali Chou
Liang bisa memberikan sedikit bantuan.", ujar Chou Liang sambil menduga-duga.
Murong Yun Hua sudah dua bulan lebih tinggal bersama Ding Tao, sebagai orang kepercayaan dan sahabat Ding Tao, sudah
berulang kali Chou Liang bertemu dan juga sempat bertukar pikiran dengannya. Dari apa yang dia lihat dan dengar Chou
Liang sudah tahu bahwa Murong Yun Hua bukan seorang wanita cantik dengan otak kosong.
Murong Yun Hua dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan di kediaman mereka, markas besar dari Partai Pedang
Keadilan. Dalam waktu yang singkat dia berhasil memperoleh kepercayaan dan kesetiaan para pelayan di sana. Mereka
dengan senang hati melaksanakan apa yang diminta Murong Yun Hua dari mereka, bukan hanya karena mereka menghargai
Ding Tao suaminya, tapi karena mereka hormat dan segan pada Murong Yun Hua sendiri. Murong Yun Hua tidak ragu untuk
menegur, tidak lupa juga untuk memuji, tidak canggung untuk mengambil inisiatif dan terbukti apa yang dia sarankan
membuat kehidupan dalam rumah tangga Ding Tao berjalan dengan lebih baik.
Selesai dengan mengatur para pelayan pribadi untuk keluarga Ding Tao, Murong Yun Hua mengalihkan perhatiannya pada
lingkungan di sekelilingnya. Pada tempat bangsal di mana anggota-anggota lain berdiam, perawatan keseluruhan kompleks
bangunan, penyediaan makanan dan minuman dan masalah-masalah lain yang menyangkut penghidupan seisi markas
besar tersebut. Di sinipun Murong Yun Hua menunjukkan kepiawaiannya dalam mengatur dan menata.
Dan dengan bijaksana, dalam melakukan semuanya itu, Murong Yun Hua tidak pernah lupa untuk bertanya terlebih dahulu
pada Ding Tao, meskipun hal itu sebenarnya tidak berkenaan secara langsung dengan masalah organisasi. Sehingga ketika
pada awalnya ada yang meragukan dan mempertanyakan perintah dari Murong Yun Hua, dengan sendirinya harus menutup
mulut ketika mengetahui bahwa hal itu sudah diketahui dan disetujui oleh Ding Tao sendiri.
Dengan demikian dalam waktu yang beberapa bulan Murong Yun Hua bukan hanya menjadi isteri Ding Tao, tapi juga
berperanan dalam berputarnya roda Partai Pedang Keadilan, meskipun dalam fungsi yang berbeda dengan anggota inti
Partai Pedang Keadilan yang lain.
Tidak ada seorangpun yang merasa keberatan dengan apa yang dilakukan Murong Yun Hua, justru kesigapan dan kecekatan
nyonya muda ini membuat mereka terkagum-kagum. Bahkan Sun Liang yang memiliki keluarga cukup besar dan 3 orang
isteri yang cantik dan cakap, juga mengakui kelebihan Murong Yun Hua dibandingkan kebanyakan ibu rumah tangga
lainnya. Dalam satu pertemuan, dengan bercanda dia menggoda Ding Tao dan memuji keberuntungannya karena
mendapatkan Murong Yun Hua sebagai isterinya.
Chou Liang sebagai orang yang berperanan cukup besar untuk menyatukan Ding Tao dan Murong Yun Hua, dalam hati
merasa berbangga akan ketepatan keputusannya waktu itu. Itu sebabnya jika kini Murong Yun Hua mengajak dia
berbincang, meskipun merasa terganggu tidak kemudian Chou Liang meremehkan nyonya muda ini. Dalam hati dia
bertanya-tanya dan yakin bahwa tentu ada persoalan yang cukup penting untuk dibicarakan.
"Sebenarnya, ayah kami berdua, aku dan Adik Huolin, memiliki kegemaran mengumpulkan kitab-kitab berharga dari
berbagai tempat. Baik kitab berisikan ilmu pengobatan, kesenian, kerajinan sampai pada kitab-kitab yang berisi ilmu bela diri. Begitu banyaknya koleksi buku mereka, hingga sewaktu kami pindah untuk tinggal di tempat ini, hanya koleksi mereka tentang ilmu bela diri yang bisa kubawa.", ujar Murong Yun Hua bercerita.
"Tadinya kupikir, Kakak Ding Tao yang gemar belajar ilmu bela diri, tentu akan menyukainya. Siapa sangka, ternyata Kakak Ding Tao tidak ingin melihatnya sama sekali, karena tidak ingin disangka mempelajari ilmu orang tanpa ijin. Sekarang aku jadi bingung, hendak disimpan di mana kitab-kitab itu. Jika disimpan di rumah, tentu Kakak Ding Tao akan merasa
tersinggung. Hendak disimpan di tempat lain, tentu akan sulit mengawasinya. Bagaimanapun barang itu adalah peninggalan
keluarga, apalagi kitab jika tidak disimpan di tempat yang baik akan mudah rusak oleh cuaca.", demikian Murong Yun Hua
menjelaskan duduk masalahnya.
Chou Liang tentu saja bukan bernama Chou Liang jika tidak dapat segera menangkap maksud dari pembicaraan ini.
Meskipun Chou Liang tidak tertarik dengan kitab ilmu silat tapi dia juga paham betapa besar artinya jika Ding Tao mau
mempelajari ilmu dalam kitab-kitab tersebut. Sudah tentu yang dibawa Murong Yun Hua bukanlah kitab yang tidak
berharga. Sudah tentu pula yang dimaksudkan Murong Yun Hua bukanlah di mana kitab itu harus disimpan, tapi bagaimana
caranya agar Ding Tao mau mempelajarinya.
Dengan senyum sopan Chou Liang pun menjawab, "Ah" rupanya begitu, baiklah, jika demikian, orang bermarga Chou ini
akan coba bantu untuk mengurusnya. Nyonya tidak perlu memikirkan hal itu lagi."
Murong Yun Hua pun tersenyum mengerti, "Syukurlah kalau begitu, baiklah kalau begitu aku pamit dahulu, aku tidak berani mengganggu pekerjaan Penasehat Chou Liang lebih jauh lagi. Kuharap Penasehat Chou Liang bisa menemukan solusinya
secepat mungkin." Dengan itu pula pertemuan mereka berakhir, tentunya diwarnai dengan beberapa basa-basi sebelum Murong Yun Hua
meninggalkan Chou Liang untuk berpikir. Berpikir keras karena Chou Liang pun sadar, bahwa masalah mencuri ilmu ini
memang masalah yang sensitif bagi orang-orang dalam dunia persilatan. Bagi beberapa aliran dan tokoh yang keras,
terkadang sebelum seseorang diterima menjadi murid, terlebih dahulu harus melalui seleksi yang ketat dan kemudian
melakukan upacara yang rumit. Sudah seperti itupun, belum tentu seluruh ilmu diajarkan, untuk melanjutkan ke tahap
tertentu, tidak jarang kembali ada tata cara yang harus dilewati.
Tentu saja bukan tanpa alasan jika satu ilmu dijaga dengan demikian ketatnya. Karena perbuatan buruk murid tentu akan
menjatuhkan nama gurunya. Kekalahan murid akan menjatuhkan juga nama besar gurunya.
Meskipun tidak semua orang begitu kukuh dengan aturan tidak tertulis ini. Bagaimanapun juga pada akhirnya, dalam dunia
yang mengadu kekuatan maka hukumnya menjadi, siapa yang kuat dialah yang benar, tapi Chou Liang tidak ingin bertindak
dengan gegabah. Dia tahu betapa keras kepalanya Ding Tao, jika dia tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin dia justru
membuat Ding Tao semakin enggan untuk membaca kitab-kitab itu. Perlahan-lahan sebuah siasat muncul dalam benaknya.
Seperti juga saat dia membuat Ding Tao menikahi Murong Yun Hua, Chou Liang pun berpikir untuk mencari rekan dalam
menjalankan siasatnya dan dia sudah tahu siapa orang yang tepat untuk diajak berbicara. Tapi Chou Liang tidak terburu
nafsu untuk melaksanakan siasatnya.
Kebetulan orang yang hendak ia mintai tolong memang berencana untuk berkunjung ke Jiang Ling. Chou Liang pun dengan
sabar menunggu kedatangannya.
Siapa yang sedang ditunggu kedatangannya oleh Chou Liang" Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah Ma Songquan dan
isterinya. Keduanya sejak dulu memang tidak pernah terpisahkan, meskipun keadaan di cabang Wuling jadi kurang kuat
karena ditinggalkan oleh mereka berdua, Ding Tao dan yang lainnya pun tidak pernah terpikir untuk meminta mereka
membagi tugas. Yang seorang pergi ke Jiang Ling untuk bertemu dengan Ding Tao dan yang seorang lagi menunggu di
Wuling. Bagi setiap orang dalam Partai Pedang Keadilan, Ma Songquan ya Chu Linhe, Chu Linhe ya Ma Songquan. Ada Ma Songquan
tentu ada Chu Linhe dan demikian pula sebaliknya.
Bukan tanpa alasan kuat jika Chou Liang memilih sepasang pendekar itu untuk menolongnya meyakinkan Ding Tao
mempelajari ilmu dari kitab-kitab milik Murong Yun Hua. Jika ada orang dalam Partai Pedang Keadilan yang hampir-hampir
sama sekali tidak terikat dengan adat istiadat dunia persilatan yang berlaku secara umum, maka itulah mereka. Bukankah
dulu mereka ini sepasang iblis, dijuluki sepasang iblis bukan hanya karena kekejiannya, tapi juga karena sifatnya yang
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Latah 3 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama